PERKAWINAN ADAT SUMBAWA DAN PERMASALAHAN HAK WARIS BILA DITINJAU MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 Soemali, SH., M.Hum. 1 ABSTRAK Perkawinan menurut hukum adat Sumbawa (Tau Samawa) merupakan ikatan antara pria dengan wanita sebagai suami-istri untuk bermaksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum adat yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan dari pihak suami dengan agama dan kepercayaan yang dianut dari pihak istri dan suami. Dengan terjadinya perkawinan, suamiistri mempunyai kewajiban memperoleh keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orangtua dan kerabat. Dalam mencari jalan penyelesaian mengenai permasalahan hak waris pada umumnya masyarakat hukum adat Sumbawa menghendaki adanya penyelesaian yang rukun dan damai. Kata Kunci : UU Perkawiman, Perkawinan Adat Sumbawa, Hak Waris
PENDAHULUAN Latar Belakang Masyarakat Sumbawa dalam bentuk yang asli memiliki struktur hukum adat tersendiri. Bentuk masyarakat hukum tersebut berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Kelompok-kelompok tersebut menyebar di berbagai tempat di daerah lain di Sumbawa. Perbedaan kelompok tersebut tecermin dalam upacara adat dalam perkawinan tradisional. Prosesi Pernikahan Tau Samawa atau masyarakat Sumbawa sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan masyarakat lain di Indonsia. Namun tentu adat istiadat yang menyertai prosesi itu sangat berbeda dan punya keunikan tersendiri. Beberapa prosesi tersebut di antaranya: Samulung, Bajajak, Bakatoan, Basaputis, Bada, Nyorong, Tama Kengkam, Nikah, Rame Mesa, Pengantan Ngiring, Basai. Sejak adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan) telah ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang perkawinan yang berlaku bagi semua warga Negara Indonesia. Dengan demikian, berlakulah system lex Specialis Derogat Lex Generalis, di mana undang-undang khusus menyampingkan undang-undang umum, sehingga setiap perkawinan mengacu kepada undang-Undang tersebut bersifat khusus. Di dalam UU Perkawinan pada pasal 1 menyatakan bahwa perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir batin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2 Menurut R. Soetojo Prawirohamidjo,3 pasal 1 UU Perkawinan, mengandung unsur: 1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Arkola, Surabaya, 1990, hal. 5 3 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-Undangan di Indonesia, Surabaya, Airlangga Univesiry Press. 1986, hal. 38-43 2
101
Soemali, SH., M.Hum.: Perkawinan Adat Sumbawa dan Permasalahan Hak Waris bila ditinjau menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
102
1. Ikatan Lahir Batin Ikatan lahir batin merupakan yang dapat lihat dan mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, hal ini disebut sebagai hubungan formal. 2. Antara seorang pria dan seorang wanita Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang wanita. Perkawinan seorang pria dengan seorang pria atau antara seorang wanita dengan seorang wanita atau seorang wadam dengan seorang wadam tidak mungkin terjadi. 3. Sebagai suami-istri Ikatan perkawinan didasarkan pada suatu perkawinan yang sah, apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang, baik syarat-syarat intern maupun syarat eksternnya. 4. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Keluarga adalah kesatuan yang terdiri ayah, ibu, anak selaku sendi dan dasar susunan masyarakat Indonesia. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungan dengan keturunan yang merupakan pula tujuan perkawinan, sedangkan pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orangtua. Untuk mendapatkan hal ini, diharapkan kekekalan dalam perkawinan, yaitu bahwa sekali orang melakukan perkawinan, tidak akan bercerai untuk selama-lamanya, kecuali cerai karena kematian. 5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Sebagai Negara yang berdasarkan pancasila, sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama, kerohanian, sebagai perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir batin atau jasmani, akan tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai perananan penting. Apabila kita ambil makna dari arti perkawinan dalam ketentuan Undang-Undang hukum perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, serta bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Berdasarkan uraian di atas, kita telah memiliki pengertian tentang hukum perkawinan adat Sumbawa serta pengertian perkawian menurut hukum tertulis, yakni UU Perkawinan. Rumusan Masalah 1. Bagaimana perkawinan adat Sumbawa dipandang dari segi UU Perkawinan? 2. Bagaimana cara penyelesaian jika terjadi permasalahan hak waris? Metode Penulisan 1. Pendekatan Masalah Penulisan mengenai perkawinan adat sumbawa yang ditinjau dari UU Perkawinan tentang perkawinan, menggunakan pendekatan Normatif
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Soemali, SH., M.Hum.: Perkawinan Adat Sumbawa dan Permasalahan Hak Waris bila ditinjau menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
103
sosiologis, yaitu dengan melakukan penelitian dan kajian secara mendalam tentang hukum perkawinan menurut hukum adat maupun UU Perkawinan. Setelah itu dibandingkan dengan kondisi di lapangan (di masyarakat Sumbawa) mengenai perkawinan adat dan cara pewarisannya. 2. Bahan Hukum Bahan dasar penulisan hukum normatif meliputi: a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer meliputi berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penulisan ini. b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder meliputi berbagai tulisan berupa buku-buku literatur, makalah, artikel yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dalam penulisan ini. PEMBAHASAN A. Sistem Perkawinan Menurut Hukum Adat Sumbawa Perkawinaan menurut hukum adat Sumbawa atau yang disebut juga Tau Samawa merupakan suatu ikatan antara pria dengan wanita sebagai suami-istri untuk bermaksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum adat yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan dari pihak suami dengan agama dan kepercayaan yang dianut dari pihak istri dan suami. Dengan terjadinya perkawinan, maka suami-istri mempunyai kewajiban memperoleh keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orangtua dan kerabat. Oleh karena itu, perkawinan menurut hukum adat Sumbawa sebetulnya untuk mendapatkan atau memperoleh keturunan dari perkawinan antara seorang laki-laki dengan wanita yang mempunyai kekerabatan yang erat dengan silsilah dalam keluarganya agar garis keturunan tetap eksis dalam komunitasnya. Namun hal tersebut tidak berarti mengesampingkan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari dalam membina dan membangun rumah tangga yang harmonis di dalam hubungan yang menyangkut keluarga. Tujuan dari perkawinan yang utama dalam hukum adat Sumbawa adalah untuk melahirkan keturunan. Akan tetapi maksud dan tujuan perkawinan hukum adat Sumbawa ditentukan oleh bentuk dengan cara menarik garis keturunan yang mana hal tersebut dibagi beberapa golongan dari garis keturunan yang ada. Berbagai adat dan keberagaman upacara tradisional masih tetap dilestarikan dalam masyarakat adat Sumbawa ini. Adapun penggolongan perkawinan menurut hukum adat dapat digolongkan atas: 1. Perkawinan Patrilineal. 2. Perkawinan Matrineal. 3. Perkawinan Parental/Bilateral. 4. Perkawinan Altenerend. Ad. 1. Perkawinan Patrilineal
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Soemali, SH., M.Hum.: Perkawinan Adat Sumbawa dan Permasalahan Hak Waris bila ditinjau menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
104
Dalam masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilineal atau menarik garis keturunan berdasarkan pihak laki-laki, terdapat beberapa bentuk perkawinan, yaitu a. Perkawinan Jujur Perkawinan jujur ini adalah perkawinan yang dilakukan atas adanya uang atau barang jujur dalam arti pembelian oleh pihak wanita. Maka, setelah perkawinan si wanita akan mengalihkan kedudukannya dari anggota kerabatnya sendiri ke dalam keanggotaan kerabat suami. Si wanita mengikatkan diri pada perjanjian untuk ikut di pihak suami, baik pribadi maupun harta benda yang dibawa akan tunduk pada hukum adat suami dan segala perbuatan hukum istri harus berdasarkan persetujuan suami. Istri tidak boleh bertindak sendiri, karena ia adalah pembantu suami dalam mengatur kehidupan rumah tangga, baik dalam hubungan kekerabatan dalam hubungan masyarakat. Oleh karena di dalam perkawinan patrilineal ini memakai uang pengganti atau jujur, maka fungsi dari jujur tersebut adalah Secara yuridis untuk mengubah status keanggotaan klan dan wanita. Secara ekonomis membawa pergeseran dalam kekayaan. Secara sosial tindakan penyerahan jujur itu mempunyai arti pihak wanita mempunyai kedudukan yang dihormati. Sebagai konsekuensi dari perkawinan jujur itu maka anak-anak yang (akan) lahir dari perkawinan itu akan menarik garis keturunan pihak ayahnya dan akan menjadi anggota dari masyarakat hukum adat di mana ayahnya juga menjadi anggota. b. Perkawinan Ganti Suami Terjadinya perkawinan ganti suami yang disebut leviraat huwelijk atau vervang huwelijk dikarenakan suami wafat. Dalam bentuk perkawinan ini tidak diperlukan lagi pembayaran jujur, pembayaran adat, dan lain-lain sebab istri memang masih tetap berada di rumah suami, hanya saja perlu adanya pengetahuan dari kerabat pihak istri. c. Perkawinan Ganti Istri Terjadinya perkawinan ganti istri yang disebut vervolg-huwelijk adalah disebabkan istri meninggal, maka suami kawin lagi dengan kakak atau adik wanita ini tidak perlu lagi pembayaran uang jujur sebab diberikan ketika mengambil istri yang telah wafat. Maksud dari perkawinan ini adalah agar istri pengganti dapat memberikan keturunan guna pengurusan keluarga jika istri yang telah wafat belum mempunyai keturunan supaya anak/kemenakan dapat diurus dan dipelihara dengan baik serta dapat memelihara hubungan kekerabatan antara kedua belah kerabat yang telah terikat dalam hubungan perkawinan itu. Ad.2. Perkawinan Matrilineal Kesatuan matrilineal ini disebut pula sebagai somah. Suatu somah seperut adalah suatu kebulatan kemasyaratan yang organisasinya didasarkan atas kewangsaan pancar perempuan. Ia berinti kepada beberapa laki-laki dan perempuan bersaudara seibu dan ideal-types terdiri dari kelompok intinya itu
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Soemali, SH., M.Hum.: Perkawinan Adat Sumbawa dan Permasalahan Hak Waris bila ditinjau menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
105
beserta keturunan pancar perempuan dari saudara perempuan. Pangkal buah perut adalah seorang nenek pancar perempuan dari anggotanya. Suatu somah seperut mempunyai anggota laki-laki dan perempuan, tetapi anak-anak seorang anggota laki-laki tidaklah menjadi anggota, karena termasuk somah seperut ibu mereka di dalam suku lain. Yang menjadi anggotanya hanyalah keturunan pancar perempuan (meliputi orang laki-laki dan perempuan) dari saudara-saudaranya perempuan yang menjadi intinya dahulu. Suatu somah seperut dapat berlangsung lama: 3 sampai 5 generasi. Kalau ia menjadi terlalu besar, ia akan pecah beberapa somah seperti baru, yang masing-masing, berpangkal kepada anggota perempuan inti itu, yang telah merupakan jurai (cabang) di dalam somah seperut semula. Suatu somah seperut adalah suatu badan hukum yang mempunyai harta benda sendiri yang disebut harta pusaka. Pengurusannya berada di tangan para anggota laki-laki dari generasi tertua yang disebut para mamak di bawah pimpinan mamak tertua. Ad.3. Perkawinan Parental/Bilateral Cara menarik garis keturunan semacam ini disebut juga brayat mandiri. Dalam hal ini suatu brayat mandiri adalah suatu kesatuan kemasyarakatan yang organisasinya didasarkan hubungan suami-istri. Ia berinti kepada suami istri dan ideal-types terdiri atas suami dan istri beserta anak-anaknya. Ia merupakan suatu kesatuan nyata berdasarkan organisasi dan fungsinya, namun tidak merupakan badan hukum. Hal ini bisa diketahui di daerah Jawa, Madura, Kalimantan, dan Aceh. Di kalangan orang Jawa, pimpinan brayat adalah dwi tunggal suami-istri. Di dalamnya terdapat solidaritas yang kuat antara suami dan istri, bapak dan anaknya, ibu dan anaknya, dan sesama anak. Organisasi brayat yang demikian itu menimbulkan berbagai persoalan mengenai konsekuensinya dalam hukum, di antaranya mengenai kecakapan berbuat suami dan istri, mengenai harta perkawinan, mengenai kekuasaan atas harta perkawinan dan anak-anak, mengenai pewarisan. Ad.4. Perkawinan Altenerend Masyarakat altenerend adalah masyarakat yang garis keturunan seseorang, ditarik berganti-ganti sesuai dengan bentuk perkawinan yang dilakukan oleh orangtuanya. Perkawinan yang dilakukan oleh orangtuanya dilakukan menurut hukum keibuan atau disebut juga samendo, maka anak yang lahir dari perkawinan ini menarik garis keturunan melalui ibu. Apabila perkawinan yang dilakukan oleh salah seorang anak menurut hukum kebapakan atau disebut juga kawin jujur, maka anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menarik garis keturunan dari pihak ayah. Jika bentuk perkawinan seperti yang menganut alternerend, maka anak yang lahir bisa menarik garis keturunan dari ayah maupun dari ibu. Bentuk perkawinan alternerend ini terdapat di daerah Rejang. Berdasarkan bentuk-bentuk perkawinan serta tujuan menurut hukum adat Sumbawa dan pendapat sarjana mengandung beberapa kelemahan mengenai status perkawinan yang dilakukan menurut hukum adat Sumbawa. Perkawinan yang dilakukan secara adat Sumbawa hanya menitikberatkan
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Soemali, SH., M.Hum.: Perkawinan Adat Sumbawa dan Permasalahan Hak Waris bila ditinjau menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
106
tujuan untuk memperoleh keturunan agar garis keturunan kekerabatan tidak sampai hilang. Dari uraian tersebut bisa ditarik pengertian hukum perkawinan secara adat Sumbawa pada umumnya belum tertulis, namun asas-asasnya dipakai sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang yang berlaku sekarang ini di mana ruang dan lingkupnya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan hukum perkawinan yang lainnya, seperti dalam proses maupun dalam sebab-sebab putusnya perkawinan. Mengenai perkawinan dalam hukum adat Sumbawa, terdapat syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam hukum adat Sumbawa: 1) Persetujuan dalam Hukum Adat Sumbawa. 2) Batas Umur. Ad.1. Persetujuan dalam Hukum Adat Sumbawa Menurut hukum adat Sumbawa setiap pribadi walaupun sudah dewasa tidak bebas menyatakan kehendaknya untuk melakukan perkawinan, tanpa persetujuan orangtua/kerabatnya. Lebih-lebih pada masyarakat kekerabatan adat Sumbawa yang sistem klannya masih kuat. Klan yang mengetahui dan memilihkan calon-calon istri bagi para anggota lelakinya, sedangkan anak-anak gadis akan diberikan kepada klan-klan yang lain. Dengan terlaksana persetujuan untuk kawin diputuskan oleh mereka sendiri, lalu disampaikan kepada orangtua untuk melakukan “bakatoan” (meminang). Ad.2. Batas Umur Menurut Hilman Hadikusumah, 4 dalam hukum adat memperbolehkan perkawinan semua umur. Di masa lampau sebelum berlakunya UU Perkawinan sering terjadi perkawinan yang disebut kawin gantung (perkawinan yang ditangguhkan percampuran sebagai suamiistri), kawin antara anak-anak, kawin paksa, juga kawin utang (karena orangtua si wanita tidak dapat membayar utang, maka ia menyerahkan anak gadisnya sebagai pembayar utang dan si gadis dikawini oleh si berpiutang), atau juga kawin selir, di mana anak gadis diserahkan kepada bangasawan atau raja untuk dikawini sebagai istri selir. Sementara itu, sahnya perkawinan bukan saja adanya persetujuan antara kedua calon mempelai tetapi juga termasuk keluarga/kerabat mereka dan dilaksanakan menurut tata tertib hukum agamanya dan sesuai adat Sumbawa dari kedua mempelai. Dengan begitu, perkawinan itu sudah sah menurut hukum adat Sumbawa. Bagi mereka yang belum menganut agama yang diakui pemerintah, sepertinya halnya di kalangan penganut kepercayaan agama lama (kuno) seperti pemuja roh dan agama yang percaya dengan nenek moyang, maka perkawinan dilakukan menurut tata tertib kepercayaan itu adalah sah. B. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dengan diundangkannya UU Perkawinan tentang perkawinan, maka tidak ada lagi beraneka ragam aturan mengenai peraturan. Perkawinan 4
Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal. 22-54
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Soemali, SH., M.Hum.: Perkawinan Adat Sumbawa dan Permasalahan Hak Waris bila ditinjau menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
107
menurut Undang-Undang ini sesuai dengan bunyi pasal 1 yang berbunyi: “Perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perkawinan dapat dilangsungkan bila seseorang telah memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Adapun syarat-syarat yang terdapat dalam Undang-Undang tersebut: a. Syarat materiil b. Syarat formil Ad. A. Syarat materiil Yang dimaksud dengan syarat materiil adalah syarat-syarat mengenai diri pribadi calon mempelai, maupun syarat-syarat formil, yaitu syarat-syarat yang menyangkut formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat melangsungkan perkawinan. Syarat materil ini tertuang di dalam pasal: Pasal 6 ayat (1) “Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”. Maksud dari ayat (1) di atas adalah persetujuan itu haruslah murni, betulbetul tercetus dari para calon suami istri itu sendiri, dalam bentuk kemauan untuk hidup bersama seumur hidup dan bukan secara paksaan. Ayat (2) “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orangtua”. Pasal 7 ayat (1) “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun“. Tujuan dari pasal tersebut adalah jika belum mencapai umur minimal sesuai dengan apa yang ditegaskan di dalam pasal tersebut untuk melangsungkan perkawinan diperlukan suatu dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria maupun pihak wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 9 “Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali hal tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4. Tujuan dari pasal ini memberikan pengecualian bagi seseorang untuk melakukan perkawinan lagi, dengan mengajukan permohonan ke pengadilan. Hal ini sesuai dengan pasal 3 ayat (2) yakni “Pengadilan, dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristreri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Pada pasal 4 dinyatakan: Ayat (1) “Dalam hal seseorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya”.
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Soemali, SH., M.Hum.: Perkawinan Adat Sumbawa dan Permasalahan Hak Waris bila ditinjau menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
108
Ayat (2) “Pengadilan dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 11 ayat (1) yang berbunyi: “Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu”. Pasal 8 menyatakan perkawinan dilarang antara dua orang yang: a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orangtua antara seorang dengan saudara neneknya; c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. Pasal 10 menyatakan “Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lainnya dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain”. Melihat pasal-pasal tersebut disimpulkan bahwa syarat-syarat perkawinan menurut Undang-Undang tersebut: 1. Persetujuan kedua orangtua mempelai. 2. Adanya izin dari kedua orangtua bagi yang belum memenuhi umur 21 tahun. 3. Adanya dispensasi bagi calon yang belum cukup umur. 4. Tidak terikat tali perkawinan. 5. Adanya jangka waktu bagi yang telah putus perkawinannya. 6. Tidak melanggar larangan kawin. 7. Tidak sedang bercerai untuk kedua kalinya dengan suami-istri yang akan dikawin Ad. b. Syarat Formil Adapun syarat-syarat formil sebagai berikut: a. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan dalam pasal 3 ayat (1) yang mengatakan: “Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan”.
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Soemali, SH., M.Hum.: Perkawinan Adat Sumbawa dan Permasalahan Hak Waris bila ditinjau menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
109
Ayat (2)
“Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan”. Pasal 4 “Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau orangtua atau wakilnya”. b. Pengumuman oleh pegawai pencatatan perkawinan. Pasal 8 “Setelah dipenuhi tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, pegawai pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor pencatatan perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum”. Pasal 9 “Pengumuman ditandatangani oleh pegawai pencatat dan memuat: a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama istri dan atau suami mereka terdahulu. b. Hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan akan dilangsungkan. c. Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaan masing-masing. d. Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan. Sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Sah-tidaknya suatu perkawinan menurut UU Perkawinan diukur dengan ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing orang yang akan melangsungkan perkawinan, sehingga setiap perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan hukum agama dan kepercayaan dengan sendirinya tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 2 ayat (1): “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya”. Sementara R. Soetojo Pawirohamidjojo menyatakan untuk sahnya perkawinan hanya ada satu syarat, yaitu apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan dalam pencatatan menurut pasal 2 ayat (2) tidak lain tindakan administrasi. Tetapi apabila diperhatikan praktik yang berlaku, yang dicatat dalam akte perkawinan antara kedua orang mempelai adalah hari dan bukan tanggal. Orang awam menganggap pencatatan perkawinan termasuk esentislia (waktu dan tanggal) untuk sahnya perkawinan. Dalam praktik diketahui walaupun kedua mempelai telah kawin dalam lingkup tertentu, akan tetapi bila belum ke catatan sipil, mereka menganggap belum kawin sah satu sama lain. Jika mereka tidak cocok satu sama lain, mereka pisah dan tidak perlu mengajukan gugatan perceraian, selanjutnya diam-diam kawin
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Soemali, SH., M.Hum.: Perkawinan Adat Sumbawa dan Permasalahan Hak Waris bila ditinjau menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
110
dengan orang lain di catatan sipil. Akibatnya, mempelai yang satu tidak diketahui telah kawin secara sah berdasarkan pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 namun tidak diketahui lantaran tidak dilakukan pencatatan perkawinan di catatan sipil. 5 Sedangkan menurut Abdurrahman,6 pencatatan perkawinan bukanlah syarat menentukan sahnya perkawinan, karena segala perkawinan di Indonesia sudah dianggap sah apabila hukum agama dan kepercayaan sudah menyatakan sah. 7 Meskipun demikian, pencatatan perkawinan memegang peranan sangat menentukan karena pencatatan merupakan suatu syarat yang diakui-tidaknya suatu perkawinan oleh negara, yang membawa konsekuensi bagi yang bersangkutan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Abdurrahman bahwa sekalipun suatu perkawinan tidak dicatat, perkawinan tersebut sah menurut ajaran agama atau kepercayaannya, namun perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara begitu pula segala akibat yang timbul dari perkawinan tersebut.8 Dari uraian tersebut sahnya perkawinan dalam UU Perkawinan dituangkan dalam pasal 6 sampai 12 yang dijelaskan dalam Bab II huruf secara ringkas: 1. Persetujuan kedua orangtua mempelai. 2. Usia kedua calon mempelai pria sudah memcapai 19 tahun atau lebih dan calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun. 3. Adanya izin dari kedua orangtua bagi yang belum memenuhi umur 21 tahun. 4. Antara calon mempelai pria dan wanita tidak hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin. 5. Adanya jangka waktu bagi yang telah putus perkawinannya. 6. Tidak melanggar larangan kawin. 7. Tidak sedang bercerai untuk kedua kalinya dengan suami-istri yang akan dikawin. C. Keabsahan Perkawinan Adat Sumbawa Dipandang dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Syarat sahnya suatu perkawinan menurut hukum adat Sumbawa, bukan saja adanya persetujuan antarkedua calon mempelai. Namun ada beberapa syarat lain yang harus dipenuhi dalam suatu prosesi perkawinan adat Sumbawa. Selain persetujuan antarkedua calon mempelai, persetujuan dari keluarga/kerabat merupakan syarat utama dan yang paling penting. Pelaksanaan prosesi perkawinan juga harus memenuhi tata tertib hukum agama calon mempelai dan sesuai dengan adat istiadat daerah Sumbawa. Menurut hukum adat Sumbawa setiap pribadi walaupun sudah dewasa tidak bebas menyatakan kehendaknya untuk melakukan perkawinan, tanpa persetujuan orang tua/kerabatnya. Lebih-lebih pada masyarakat kekerabatan adat Sumbawa yang sistem klannya masih kuat, yang mana klan 5
R. Soetojo Prawirohamdjojo, Pertumbuhan Hukum Keluarga Indonesia, 1991, h. Abdurrahman, “Sedikit Tentang Masalah Pencatatan Perkawinan Menurut UU No. 1 tahun 1974, Bandung, 1978, h. 13 7 Ibid, hal. 15-16 8 Ibid, hal. 20-24 6
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Soemali, SH., M.Hum.: Perkawinan Adat Sumbawa dan Permasalahan Hak Waris bila ditinjau menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
111
yang mengetahui dan memilihkan calon-calon istri bagi para anggota lelakinya, sedangkan anak-anak gadis akan diberikan kepada klan lain. Dengan terlaksananya persetujuan untuk kawin diputuskan oleh mereka sendiri, lalu disampaikan kepada orangtua untuk melakukan “bakatoan” (meminang). Menurut Hilman Hadikusumah, 9 dalam hukum adat memperbolehkan perkawinan semua umur. Sistem ini pun yang terjadi dalam perkawinan adat Sumbawa. Calon mempelai ditentukan oleh kerabat dalam klannya. Jadi, pembatasan umur dalam perkawinan tidak ada sama sekali. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yang menyatakan adanya pembatasan umur untuk diperbolehkan melakukan perkawinan. Perkawinan hukum adat Sumbawa apabila dikaitkan dengan UU Perkawinan dapat dikatakan belum sah. Hal ini dikarenakan perkawinan adat Sumbawa tidak menganjurkan untuk mencatatkan setiap perkawinan yang terjadi ke dalam lembaga pencatatan perkawinan. Karena masyarakat Sumbawa menganggap bahwa pencatatan perkawinan bukanlah syarat yang menentukan sahnya perkawinan, sebab perkawinan adat Sumbawa sudah dianggap sah apabila hukum agama dan kepercayaan serta syarat-syarat secara hukum adat Sumbawa yang sudah ditentukan, maka perkawinan tersebut adalah sah. Akibat dari suatu perkawinan apabila tidak dicatatkan di pencatatan perkawinan bisa dipastikan berdampak pada hak waris atau permasalahan waris yang timbul di masyarakat adat Sumbawa. D. Penyelesaian Permasalahan Hak Waris dalam Masyarakat Hukum Adat Sumbawa 1. Sistem Pewarisan Dengan adanya struktur masyarakat yang berbeda menurut hukum adat—struktur masyarakat parental, matrilineal, patrilineal—sistem pewarisan pun beraneka ragam. Adapun garis besarnya dapat dibedakan dalam tiga pokok sistem: a. Sistem Pewarisan Individual Pewarisan dengan sistem individual adalah suatu sistem perwarisan setiap ahli waris mendapat bagian dari harta warisan untuk dapat dikuasai dan dimiliki sesuai dengan bagiannya masing-masing. Kenyataan ini berarti bahwa harta warisan dapat dipecah-pecah dan dapat dibagi-bagi sesuai dengan jumlah ahli waris yang ada, sehingga pemiliknya adalah secara perorangan. Sistem individual ini banyak berlaku dalam masyarakat parental seperti Jawa. Dengan adanya pemilikan secara perorangan ini, maka bagian harta warisan ini dapat menjadi landasan materiil bagi kehidupan dan penghidupan keluarga yang bersangkutan yang nantinya akan beralih lagi kepada generasi penerusannya sehingga terpenuhi makna “penerusan dan pengoperan dari suatu generasi berikutnya”. Antara lain dengan pemiliknya secara pribadi, maka waris dapat bebas menguasai dan memiliki harta warisan bagiannya untuk 9
Hilman Hadikusuma, Op Cit, h. 22-54
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Soemali, SH., M.Hum.: Perkawinan Adat Sumbawa dan Permasalahan Hak Waris bila ditinjau menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
112
dipergunakan sebagai modal kehidupan lebih lanjut tanpa dipengaruhi angota-angota keluarga lain. Ia dapat mentransaksikan bagian warisannya itu kepada orang lain untuk dipergunakan menurut kebutuhannya atau menurut kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya. Pecahnya harta warisan dan merenggangkan tali kekerabatan yang berakibatkan timbul hasrat ingin memiliki kebendaan secara pribadi dan mementingkan diri sendiri. b. Sistem Pewarisan Kolektif Sistem pewarisan kolektif terdapat dalam masyarakat matrilineal. Dalam pewarisan dengan sistem kolektif ini harta peninggalan diteruskan dan dialihkan pemiliknya kepada para ahli waris secara bersama-sama atau sebagai satu kesatuan yang berarti bahwa warisan itu tidak terbagi-bagi pemiliknya. Harta peninggalan tersebut diurus bersama di bawah pengawasan “Mamak Kepala Waris”. Para ahli waris hanya mempunyai hak pakai dan hak menikmati hasilnya saja, misalnya tanah pusaka di Minangkabau. Sistem ini terdapat juga di Ambon, yakni atas “Tanah Dati” yang tidak dibagi-bagikan kepada ahli waris melainkan hanya disediakan penikmatan hasilnya dan pemakaiannya bagi ahli waris. Di Minahasa dikenal “Tanah Kelakaran” yang merupakan tanah kerabat yang tidak terbagi-bagi tetapi dapat dipakai dan dinikmati oleh para anggota keluarga. c. Sistem Pewarisan Mayorat Sistem ini terdapat dalam masyarakat dengan kekerabatan pancar lelaki atau patrilineal, di mana dalam keseluruhan harta peninggalan diwariskan oleh anak tertua. Namun dalam sistem mayorat ini tidak berarti bahwa anak tertua adalah sebagai pemilik harta peninggalan secara perorangan. Ia hanya berkedudukan sebagai penguasa, seolaholah mendapatkan mandat dari orangtua yang dibatasi oleh masyarakat keluarga, dan kewajiban mengurus saudara-saudara lainnya sehingga mereka dapat mentas atau mencar. 1) Mayorat lelaki, artinya anak lelaki tertua yang menguasai seluruh harta peninggalan orangtuanya seperti berlaku di lingkungan masyarakat Lampung, Bali, Batak, dan Papua. 2) Mayorat perempuan, artinya anak perempuan tertua menguasai seluruh harta peninggalan orangtuanya yang disebut anak tunggu tubing, seperti berlaku di lingkungan masyarakat adat Sumedo (Sumatra), Dayak, Landak, Daya Tayan, disebut adanya anak pangkalan di Toraja Barat. Kelemahan dan kelebihan sistem warisan mayorat terletak pada kepemimpinan anak tertua dalam kedudukannya sebagai pengganti orangtua yang telah wafat dalam mengurus harta kekayaan dan memanfaatkan guna kepentingan semua anggota keluarga yang ditinggalkan. Anak tertua yang penuh tanggung jawab dapat mempertahankan keutuhan dan kerukunan keluarga sampai semua anggota ini menjadi dewasa dan dapat berdiri sendiri mengatur rumah tangga sendiri.
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Soemali, SH., M.Hum.: Perkawinan Adat Sumbawa dan Permasalahan Hak Waris bila ditinjau menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
113
Sistem mayorat sering kali disalahtafsirkan tidak saja oleh orang luar yang tidak menemaninya, tetapi oleh pihak warisan “anak penyimbang” itu sendiri. Anak tertua sebagai pengganti orangtua yang telah meninggal bukan pemilik harta peninggalan secara perorangan. Sebagai pemegang mandat orangtua yang tidak saja dibatasi musyawarah keluarga yang ditinggalkan, tetapi juga berdasarkan atas tolong-menolong oleh bersama untuk kepentingan bersama. d. Sistem Mayoret Adalah anak bungsu yang berdiam di rumah orang tuanya yang menguasai harta warisan dibagi-bagi dengan kewajiban bersama-sama kakaknya untuk mengatur harta warisan. 2. Harta Warisan Mengenai harta warisan menurut hukum adat adalah seluruh harta kekayaan materiil dan non materiil yang ditinggalkan oleh pewaris. Harta warisan termasuk harta kekayaan pewaris yang telah diberikan kepada seseorang atau beberapa ahli waris sewaktu pewaris masih hidup. Harta warisan menurut hukum adat tidak merupakan kesatuan, karena dibedakan mana harta warisan yang berasal dari barang bawaan (goni), yang berasal dari barang bersama (gono gini), dibedakan pula berdasarkan wujudnya, dan dibedakan pula atas dasar ketentuan yang mengatur beralihnya warisan tersebut dari pewarisan kepada ahli waris. 3. Ahli Waris Menurut Hukum Adat Pengertian tentang ahli waris menurut hukum adat adalah mereka yang berhak menerima bagian dari harta warisan yang ditinggalkan oleh si pewaris. Ahli waris menurut hukum adat dibedakan menjadi lima golongan, menurut hierarkinya. Lima golongan tersebut: a. Anak-anak pewaris atau keturunanya; b. Orangtua pewaris; c. Saudara-saudara sekandung pewaris; d. Nenek atau kakek pewaris; e. Paman atau bibi pewaris atau anak-anaknya. 4. Proses Pewarisan Menurut Hukum Adat Proses pewarisan menurut hukum adat atau jalannya pewarisan adalah suatu cara bagaimana pewaris melakukan pewaris untuk meneruskan atau mengalihkan harta kekayaan yang akan ditinggalkan kepada ahli waris ketika pewaris masih hidup dan bagaimana cara agar warisan diteruskan pengusaan dan pemakaiannya kepada ahli waris baik bagaiman cara melaksanakan pembagian warisan kepada ahli waris setelah meninggal dunia. Proses pewarisan pada saat pewaris masih hidup dilakukan dengan cara penerusan atau pengalihan, penunjukan, dengan cara berpesan atau berwasiat. Sedangakn ketika pewaris telah meninggal dunia proses-proses pewaris bisa dilakukan dengan cara penguasaan, sedangkan cara pembagian dapat dilakukan berimbang, berbanding atau menurut hukum islam. a. Proses pewarisan sebelum pewaris meninggal dunia. 1) Penerusan atau pengalihan
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Soemali, SH., M.Hum.: Perkawinan Adat Sumbawa dan Permasalahan Hak Waris bila ditinjau menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
114
Ketika pewaris masih hidup pewaris telah melakukan penerusan atau pengalihan kedudukan atau jabatan, adat, hak dan kewajiban dan kekayaan pada pewaris, terutama kepada anak lakilaki tertua menurut garis kebapakan, kepada anak perempuan tertua menurut garis keibuan, kepada anak tertua anak laki-laki atau tertua perempuan menurut garis ke ibu bapakan. 2) Penunjukan Proses pembagian waris dalam penerusan atau pengalihan harta warisan berarti telah pindah terhadap ahli waris meskipun pewaris belum meninggal dunia. Beda dengan proses pembagian waris dengan cara penunjukan di mana ahli waris belum berhak dan berwenang menguasai harta warisan yang ditunjuk oleh pewaris kepada ahli waris. Dan seseorang yang mendapat penunjukan atas hak tertentu sebelum pewaris meninggal dunia belum dapat berupa apa-apa. Selain hak pakai dan menikmati, karena harta tersebut masih dikuasai oleh pewaris. 3) Pesan atau hibah wasiat Proses pembagian waris dengan cara pesan atau hibah wasiat adalah cara berpesan pewaris pada saat masih hidup yang diucapkan dengan jelas dan disaksikan oleh para waris. Anggota keluarga, tetangga, dan tua-tua desa (pamong desa) karena pewaris merasa tidak ada harapan untuk hidup lama karena sakit yang terlalu parah. Hibah adalah suatu perbuatan atau tindakan dalam rangka hukum waris bila pewaris melakukan pengoperan atau pembagian, maupun pembekalan dari harta benda warisnya yang tertentu kepada seseorang tertentu atau ahli waris, umpamanya harta waris seorang bapak dibagikan kepada anaknya. Hibah wasiat adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan agar bagian tertentu dari kekayaannya diberikan kepada salah seorang ahli waris anaknya atau oarng lain yang dikehendaki pewaris-pewaris. Dapat juga dikatakan bahwa hibah wasiat merupakan suatu jalan bagi pemilik harta kekayaan (pewaris) untuk semasa hidupnya menyatakan keinginannya yang terakhir tentang pembagian harta peninggalannya kepada ahli waris yang akan berlaku setelah ia meninggal dunia. b. Proses pewarisan setelah pewaris meninggal dunia. Pada saat pewaris meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan atau harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli waris atau tidak dibagi-bagikan kepada ahli waris, jika harta warisan tidak dibagi-bagikan maka siapa yang akan menguasai dan memiliki harta warisan itu, dan jika harta warisan dibagi-bagi maka siapa yang akan mendapatkan bagian dan bagaimana pembagian itu dilaksanakan. Penguasaan atas harta warisan berlaku apabila harta warisan tidak dibagi-bagi. Karena harta warisan milik bersama yang disediakan untuk kepentingan bersama para anggota keluarga pewaris. Dengan demikian, jika pewaris telah meninggal dunia maka harta warisan yang tidak dibagi pembagiannya kemungkinan bisa
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Soemali, SH., M.Hum.: Perkawinan Adat Sumbawa dan Permasalahan Hak Waris bila ditinjau menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
115
dikuasai janda, anak, anggota keluarga lainnya atau oleh orangtua kerabat dan yang menjadi penguasa atas harta warisan adalah orang yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan segala sangkut paut utang-piutang pewaris ketika hidupnya dan pengurusan para waris yang ditinggalkan guna kelangsungan hidup para waris. Sama halnya dengan pembagian warisan, dalam hukum waris adat tidak dikenal cara pembagian dengan perhitungan matematis, melainkan selalu didasarkan pada pertimbangan mengingat wujud benda ataupun kebutuhan waris yang bersangkutan. c. Orang yang tidak patut menjadi ahli waris dalam hukum adat Semua ahli waris yang ada belum tentu mendapat hak mewaris. Agar seseorang bisa mewaris, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1) Ia harus sudah ada pada saat warisan terbuka. 2) Ia termasuk sebagai seorang ahli waris. 3) Ia bersikap menerima warisan. 4) Ia tidak termasuk golongan yang tak patut menjadi ahli waris. Dalam mencari jalan penyelesaian mengenai permasalahan harta warisan pada umumnya masyarakat hukum adat Sumbawa menghendaki adanya penyelesaian yang rukun dan damai tidak saja terbatas pada para pihak yang berselisih tetapi juga termasuk semua anggota keluarga almarhum pewaris. Jadi, masyarakat Sumbawa tidak menghendaki adanya suatu keputusan menang atau kalah. Tidak menginginkan salah satu pihak tetap merasakan bahwa keputusan itu tidak adil dan hubungan keluarga menjadi renggang atau putus karena perselisihan tidak menemukan penyelsaiannya. Yang dikehendaki perselisihan berhasil diselesaikan dengan damai sehingga keseimbangan yang merusak kerukunan keluarga itu dapat dikembalikan menjadi utuh dan rukun seperti sedia kala. Jalan penyelesaian damai itu dapat ditempuh dengan cara bermusyawarah, baik musyawarah terbatas dalam lingkungan anggota keluarga sendiri atau musyawarah kerabat atau jika dipandang perlu dimusyawarahkan dalam musyawarah perdamaian adat yang disaksikan oleh tua-tua adat Sumbawa setempat. Selama kepentingan kerukunan dan rasa kekeluargaan masih ideal di dalam kehidupan masyarakat bersangkutan, maka selama itu betapa besarnya perselisihan umum pada akhirnya dapat juga diselesaikan dengan cara rukun dan damai. Kelemahan dalam penyelesaian permasalahan warisan sering terjadi apabila anggota keluarga bersangkutan sudah lebih banyak dipengaruhi faktor kepentingan pribadi dan kebendaan. Apabila segala sesuatu usaha menempuh jalan damai di muka keluarga. Kerabat dan peradilan adat Sumbawa mengalami kegagalan, maka barulah kemudian perkaranya dibawa ke pengadilan agama atau pengadilan negeri.
PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya bahwa UU Perkawinan sama sekali tidak mengatur perkawinan adat di antara masing-masing suku.
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Soemali, SH., M.Hum.: Perkawinan Adat Sumbawa dan Permasalahan Hak Waris bila ditinjau menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
116
Dasar yang kuat dalam pelaksanaan perkawinan adat adalah sesuai dengan hukum adatnya masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun demikian, untuk kepentingan ketertiban dan tata cara keadministrasian negara, masalah perkawinan tersebut memerlukan suatu peraturan, perundang-undangan ataupun ketentuan hukumnya, tanpa meniadakan atau mengurangi hukum adat masing-masing suku maupun hukum masing-masing agama yang berlaku. Adapun kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Di dalam pelaksanaan perkawinan adat Sumbawa harus memenuhi syaratsyarat yang telah ditentukan. Apabila sudah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, maka perkawinan tersebut adalah sah. 2. Di dalam mencari jalan penyelsaian mengenai permasalahan hak waris pada umumnya masyarakat hukum adat sumbawa menghendaki adanya penyelesaian yang rukun dan damai. B. Saran 1. Kepada orangtua dan para masyarakat adat Sumbawa dalam rangka melestarikan dan menjadikan adat istiadat selain sebagai tuntutan juga untuk memotivasi generasi muda agar lebih mencintai dan mempunyai rasa memiliki adat istiadat, maka hendaknya para orang tua dan masyarakat adat Sumbawa tidak segan-segan dan tertutup untuk meneruskan ilmu pengetahuan mereka tentang adat istiadat kepada generasi muda. 2. Sesegera mungkin dirumuskan adanya pola penyempurnaan UU Perkawinan tentang Perkawinan, terkait dengan perkawinan adat di mana tidak mengurangi ketentuan hukum adat maupun agamanya dan kepercayaan masing-masing.
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Soemali, SH., M.Hum.: Perkawinan Adat Sumbawa dan Permasalahan Hak Waris bila ditinjau menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
117
DAFTAR PUSTAKA BUKU Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta, Akademika Pressindo, 1985. Abdurrahman, Sedikit Masalah Pencatatan Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974, Bandung, Akademika Pressindo, 1978. Hadikusuma Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Bandung, Officet Alumni, 1977. Prawirohamdjojo Soetojo, Pertumbuhan hukum Keluarga Indonesia, 1991. ____________________, Pluralisme dalam Perundang–Undangan Perkawinan di Indonesia. Surabaya, Airlangga University Press, 1986. Syabudin Mangandaralam, Indonesia, Negara terbesar dalam lingkup Asean, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1993. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Soemali, SH., M.Hum.: Perkawinan Adat Sumbawa dan Permasalahan Hak Waris bila ditinjau menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011 Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
118