BAB II HAK ISTRI KE-2 DAN SETERUSNYA ATAS HARTA PERKAWINANNYA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BILA PERKAWINANNYA PUTUS A. Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pada dasarnya dilakukannya suatu perkawinan adalah bertujuan untuk selamalamanya. Tetapi ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan. Menurut Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu : 1. Kematian. 2. Perceraian, dan 3. Atas Keputusan Pengadilan. 50
1. Putusnya Perkawinan Karena Kematian Kematian suami/istri tentunya akan mengakibatkan perkawinan putus sejak terjadinya kematian. Apabila perkawinan putus disebabkan meninggalnya salah satu pihak maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan akan beralih kepada keluarga yang ditinggalkan dengan cara diwariskan.
50
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
42 Universitas Sumatera Utara
Dengan putusnya perkawinan karena kematian maka terbukanya hak mewaris dari ahli waris. Masalah kewarisan merupakan aspek yang sangat penting dalam ajaran agama islam, banyak mempengaruhi kehidupan seseorang dengan orang lain, seperti yang terjadi dalam budaya jahiliyah, hukum waris yang dipedomani tidak memenuhi unsur keadilan, hasilnya juga banyak membawa bencana dan persengketaan dengan para penerima waris, karena itu agama islam membawa perubahan budaya dan mengatur hukum waris dengan jelas dalam Al-Qur’an dan hadist-hadist Rasul. Kewarisan adalah ilmu yang berhubungan dengan harta milik, jika dalam pembagiannya tidak transparan dan hanya berdasarkan kekuatan hukum yang tidak jelas, maka dikhawatirkan kemudian hari akan menimbulkan sengketa diantara ahli waris. 51 Sementara harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris. Harta itu merupakan sisa atau hasil bersih, setelah harta yang ditinggalkan itu diambil untuk berbagai kepentingan, seperti biaya perawatan jenazah, hutang-hutang dan penunaian wasiat. 52 Penambahan kalimat “setelah harta yang ditinggalkan itu diambil untuk berbagai
kepentingan”
menunjukkan
adanya
penyempitan
definisi,
yang
dipergunakan untuk membedakan harta warisan dengan harta peninggalan. Harta peninggalan bersifat lebih umum sedangkan harta warisan lebih khusus karena harta 51
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin, UII Press, Yogyakarta, Tahun 2005, hal. 39 52 Ibid, hal. 21
Universitas Sumatera Utara
warisan juga dapat disebut dengan harta benda jika tidak dipotong dengan dengan tiga kepentingan seperti biaya perawatan jenazah, hutang-hutang dan penunaian wasiat. Dalam Hukum Islam tata cara melaksanakan pembagian waris mempedomani beberapa prinsip, yaitu : 1). Hukum waris Islam menempuh jalan tengah, memberikan kebebasan penuh kepada seseorang yang memindahkan harta peninggalan dengan jalan wasiat, kepada orang yang dikehendaki. 2). Warisan merupakan ketetapan hukum. 3). Pembagian warisan terbatas hanya pada lingkungan keluarga. 4). Tata cara yang dipergunakan hukum waris Islam adalah membagikan harta warisan kepada sebanyak mungkin para ahli warisnya secara merata dan memberikan bagian-bagian atau porsi-porsi tertentu kepada setiap ahli waris disesuaikan dengan hubungan yang lebih dekat; 5). Hukum waris Islam tidak membedakan hak anak atau diskriminasi atas harta warisan; 6). Perbedaan besar atau kecilnya bagian atau porsi yang akan didapatkan para ahli waris atas harta warisan yang ditinggalkan pewaris diselaraskan pada kebutuhan dalam hidup sehari-hari dari ahli waris dengan memandang juga kedekatan hubungan para ahli waris dengan pewaris. 53 Hukum waris Islam tidak menghendaki serta sepenuhnya melarang tata cara seperti yang berlaku dalam kapitalisme/individualisme dan pembagian harta peninggalan memakai prinsip komunisme yang tidak mengakui hak milik perseorangan atau dengan sendirinya tidak mengenal sistem warisan; Pewaris tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta warisan yang ditinggalkan dan ahli waris juga berhak atas harta warisan yang ditinggalkan
53
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Kewarisan Islam, UII Press, Yogyakarta, Tahun 2001, hal.
10
Universitas Sumatera Utara
pewaris tanpa perlu adanya pernyataan menerima harta warisan dengan sukarela atau melalui keputusan hakim. Adanya hubungan perkawinan atau hubungan nasab atau keturunan yang sah (melalui hubungan darah) disebut sebagai keluarga. Sedangkan keluarga yang diutamakan mendapatkan harta warisan adalah keluarga yang memiliki hubungan yang lebih dekat dan lebih kuat dengan pewaris. Unsur-unsur kewarisan beserta syarat-syaratnya sangat perlu dipahami. Dalam kewarisan Islam terdapat tiga unsur (rukun), yaitu : a. Maurus. b. Muwaris. c. Waris. 54 Maurus atau miras adalah harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat. Dalam hal ini yang dimaksudkan hal tersebut adalah : a. Kebendaan yang sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya benda-benda tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang si mati, diyat wajibah (denda wajib) yang dibayarkan kepadanya. b. Hak-hak kebendaan, seperti monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan lalu lintas, sumber air minum, irigasi dan lain sebagainya. c. Benda-benda yang bukan kebendaan, seperti hak khiyar dan hak syuf’ah, hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan dan sebagainya. d. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, seperti benda yang sedang digadaikan, benda yang telah dibeli oleh si mati sewaktu masih hdup yang sudah dibayar tetapi barang belum diterima. 55
54 55
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, PT. Al- Ma’arif, Bandung, Tahun 1975, hal. 35 Ibid, hal. 36-37
Universitas Sumatera Utara
Muwaris yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya dan waris adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan muwaris karena mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan atau akibat memerdekakan hamba sahaya. 56 Kemudian syarat-syarat terjadinya pembagian harta warisan dalam Islam adalah : a. Matinya muwaris. b. Hidupnya waris. c. Tidak adanya penghalang-penghalang mewarisi. 57 Matinya muwaris kematian muwaris dibedakan kepada tiga macam yaitu : a. Mati haqiqy. b. Mati hukmy. c. Mati taqdiry (menurut dugaan). 58 Mati haqiqy, ialah kematian seseorang yang dapat disaksikan oleh panca indra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian. Mati hukmy, ialah suatu kematian disebabkan adanya vonis hakim. Misalnya orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak diketahui domisilinya, maka
56
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 1998, hal. 25 OK, Suhairi Yusuf, Unsur-Unsur dan Syarat Kewarisan http://blogsuhairiok.blogspot.com/2008/02/unsur-unsur-dan-syarat-kewarisan.html, diakses tanggal 26 Desember 2009 58 Fatchur Rahman, Op.Cit, hal. 79 57
Universitas Sumatera Utara
terhadap orang yang sedemikian hakim dapat memvonis telah mati. Dalam hal ini harus terlebih dahulu mengupayakan pencarian informasi keberadaannya secara maksimal. Mati taqdiry, yaitu orang yang dinyatakan mati berdasarkan dugaan yang kuat. Semisal orang yang tenggelam dalam sungai dan tidak diketemukan jasadnya, maka orang tersebut berdasarkan dugaan kuat dinyatakan telah mati. Contoh lain, orang yang pergi kemedan peperangan, yang secara lahiriyah mengancam jiwanya. Setelah sekian tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka dapat melahirkan dugaan kuat bahwa ia telah meninggal. Dalam hal hidupnya waris, para ahli waris yang benar-benar hiduplah disaat kematian muwaris, berhak mendapatkan harta peninggalan. Berkaitan dengan bayi yang masih berada dalam kandungan akan dibahas secara khusus. Tidak ada penghalang kewarisan, dalam hal ini ahli waris tidak mempunyai halangan sebagai ahli waris sesuai dengan ketentuan-ketentuan tentang penghalang kewarisan yang telah ditentukan.. Kemudian sebab-sebab terjadinya warisan adalah sebagai berikut : a. Hubungan nasab atau kerabat, seperti ayah, ibu, anak, cucu saudarasaudara kandung baik seayah maupun seibu atau kedua-duanya dan sebagainya; b. Hubungan perkawinan, yaitu antara suami dengan istri, meskipun belum pernah berkumpul atau telah bercerai tetapi masih dalam ‘iddah, talaq, raj’i; c. Hubungan walak, yaitu hubungan antara bekas budak dengan orang yang memerdekannya apabila budak tersebut tidak mempunyai ahli waris ataupun yang berhak mewarisi; d. Adanya tujuan Agama Islam atau jihatul Islam. Penyalurannya dapat dilakukan melalui Baitul Maal atua perbendaharaan negara yang
Universitas Sumatera Utara
menampung harta warisan dari orang-orang yang meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris sama sekali dengan sebab-sebab tertentu seperti tidak memiliki keturunan atau tidak mempunyai kerabat dan sebagainya. 59
2. Putusnya Perkawinan karena Perceraian Dalam kenyataannya prinsip-prinsip berumah tangga kerapkali tidak dilaksanakan, sehingga suami dan isteri tidak lagi merasa tenang dan tenteram serta hilang rasa kasih sayang dan tidak lagi saling cinta mencintai satu sama lain, yang akibat lebih jauh adalah terjadinya perceraian. Kepada mereka yang mengakhiri perkawinannya akan diberikan akta perceraian sebagai bukti berakhirnya perkawinan mereka. Akta perceraian ditandatangani oleh panitera kepala. Pasal 221 KUH Perdata yang menetukan setiap salinan putusan perceraian yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus didaftarkan pada instansi berwenang guna dicatatkan oleh Pejabat Pencatat pada buku register perceraian. Pentingnya pencatatan ini adalah untuk memenuhi Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menentukan bahwa perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibat hukumnya terhitung sejak pendaftaran, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap.
59
Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit, hal. 18
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan batasan mengenai istilah perceraian. Pengertian perceraian dalam istilah figh disebut “talak” atau “furqah”. Adapun arti dari talak membuka ikatan membatalkan perjanjian, sementara furqah artinya bercerai yaitu lawan dari berkumpul. Selanjutnya kedua kata ini dipakai oleh para ahli figh sebagai satu istilah yang berarti perceraian antara suami isteri. 60 Ketentuan mengenai perceraian diatur dalam Bab VIII Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengenai putusnya perkawinan serta akibatnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Perkawinan ditentukan bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak yang mana untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri. Menurut Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Perkawinan terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan perceraian, yaitu: a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun beturutturut.tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat selama perkawinan berlangsung; 60
Ny. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, Tahun 2004, hal. 103
Universitas Sumatera Utara
d. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; e. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain; f. antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga. 61 Selanjutnya dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan disebutkan beberapa hal akibat hukum putusnya perkawinan yang dikarenakan oleh perceraian : a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut. c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. 62 Pasal di atas memberikan pengertian bahwa : a. Mantan suami atau isteri berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak , Pengadilan memberikan keputusan. b. Mantan suami bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana dalam kenyataan suami tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa isteri ikut memikul biaya tersebut;
61 62
Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/ atau menentukan kewajiban bagi bekas isteri. Sementara menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 199, 200-206b, 207-232a dan 233-249. Pasal 199 menerangkan putusnya perkawinan disebabkan: a. karena meninggal dunia b. karena keadaan tidak hadirnya salah seorang suami isteri selama sepuluh tahun diikuti dengan perkawinan baru sesudah itu suami atau isterinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ke lima bab delapan belas; c. karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur dan pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian kedua bab ini; d. karena perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga bab ini. 63 Kemudian dalam Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan beberapa alasan yang mengakibatkan terjadinya perceraian, yaitu: a. zinah, b. meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat c. penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan. d. melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si isteri terhadap isteri atau suaminya, yang demikian sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau sehingga mengakibatkan lukaluka yang membahayakan. Kemudian dalam ajaran agama islam perceraian hanya diperbolehkan apabila dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan asas-asas hukum islam atau sebagai jalan keluar dari perselisihan keluarga yang sudah tidak mungkin lagi ada penyelesaiannya . 63
Pasal 199 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
Perceraian dapat terjadi karena talak dan gugatan perceraian. Mengenai Talak telah diatur dalam Pasal 117-122 KHI yang menentukan talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Cerai talak diajukan oleh pihak suami yang petitumnya memohon untuk diizinkan menjatuhkan talak terhadap istrinya. Cerai talak yang diajukan oleh suami yang telah, riddah (keluar dari agama Islam), produk putusannya bukan memberikan izin kepada suami untuk mengikrarkan talak, akan tetapi talak dijatuhkan oleh Pengadilan Agama. Cerai gugat diajukan oleh istri yang petitumnya memohon agar Pengadilan Agama memutuskan perkawinan Penggugat dengan Tergugat. Gugatan hadhanah, nafkah anak, nafkah istri, mut'ah, nafkah iddah dan harta bersama suami istri, dapat diajukan bersama-sama dengan cerai gugat. Selama proses pemeriksaan cerai gugat sebelum sidang pembuktian, suami dapat mengajukan rekonvensi mengenai penguasaan anak dan harta bersama. Dalam perkara cerai gugat, istri dalam gugatannya dapat mengajukan gugatan provisi, begitu pula suami yang mengajukan rekonvensi dapat pula mengajukan gugatan provisi tentang hal-hal yang diatur dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Hal lain yang juga dapat menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya adalah Li`an. Mengenai li’an telah diatur dalam Pasal 126 Kompilasi Hukum Islam. Pemeriksaan dan penyelesaian cerai talak yang
Universitas Sumatera Utara
diajukan suami atas dasar alasan istri berzina, dapat dilakukan berdasar hukum acara sebagaimana tersebut di atas atau dengan cara li'an. Pemeriksaan dan penyelesaian cerai gugat yang diajukan istri atas dasar alasan suami zina, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku pada gugat cerai biasa, yaitu dilakukan pembuktian dengan saksi atau sumpah pemutus, atau atas dasar putusan Pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap bahwa suaminya melakukan tindak pidana zina. Proses pemeriksaan cerai talak dengan li'an, setelah pemohon dan termohon melakukan jawab menjawab, dilakukan proses pembuktian. Bila tidak diketemukan alat bukti yang diatur dalam Pasal 164 HIR jo Pasal 284 R.Bg selain bukti sumpah, Pengadilan Agama menanyakan suami apakah akan melakukan sumpah li'an. Apabila suami menghendaki untuk mengucapkan sumpah li' an, maka Pengadilan Agama memerintahkan suami mengucapkan sumpah li'an sebanyak empat kali yang berbunyi "Demi Allah saya hersumpah hahma istri saya telah berbuat zina", dan setelah itu dilanjutkan dengan ucapan : "Saya siap menerima laknat Allah bila saya berdusta". Setelah suami disumpah, Pengadilan Agama menanyakan kepada istri apakah ia bersedia mengangkat sumpah nukul (sumpah balik), bila istri bersedia mengangkat sumpah nukul (sumpah balik), Pengadilan Agama memerintahkan istri uiituk mengucapkan sumpah sebanyak empat kali yang berbunyi "Demi Allah saya bersumpah bahwa saya tidak berbuat zina", dan setelah itu dilanjutkan dengan ucapan "Saya siap menerima laknat Allah apabila saya berdusta".
Universitas Sumatera Utara
Akhirnya Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.
3. Putusnya Perkawinan karena Putusan Pengadilan Putusnya perkawinan atas putusan pengadilan adalah putusnya perkawinan karena adanya permohonan dari salah satu pihak suami atas istri atau para anggota keluarga yang tidak setuju dengan perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua calon mempelai. Atas permohonan ini pengadilan memperbolehkan perkawinan yang telah berlangsung dengan alasan bertentangan dengan syara’ atau perkawinan tidak sesuai dengan syarat yang telah ditentukan baik dalam Undang-Undang perkawinan maupun menurut hukum agama. Putusnya Perkawinan dapat terjadi karena adanya putusan Pengadilan bagi apabila dilakukan di depan Pengadilan Agama, baik itu karena suami yang menjatuhkan cerai (talak), ataupun karena isteri yang menggugat cerai atau memohon hak talak sebab sighat taklik talak. Meskipun dalam agama Islam, perkawinan yang putus karena perceraian dianggap sah apabila diucapkan seketika oleh suami, namun harus tetap dilakukan di depan pengadilan. Tujuannya adalah untuk melindungi segala hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat hukum perceraian itu. Peradilan Agama adalah salah satu dari empat lingkungan peradilan negara yang dijamin kemerdekaannya dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang. Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan
Universitas Sumatera Utara
keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Dalam pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Walaupun perceraian itu adalah urusan pribadi baik atas kehendak bersama maupun kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu adanya campurtangan dari Pemerintah, namun demi menghindarkan tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran lembaga Pengadilan. Sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi mereka yang beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan sidang Pengadilan namun karena ketentuuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak maka sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib mengikuti ketentuan ini.
B. Hak Istri Ke-2 Dan Seterusnya Atas Harta Perkawinannya Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 3. Hak Istri Ke-2 Dan Seterusnya Atas Harta Bersama Setiap perkawinan tidak terlepas dari adanya harta benda baik yang ada sebelum perkawinan maupun yang ada setelah perkawinan. harta yang diperoleh
Universitas Sumatera Utara
masing-masing suami dan isteri sebelum perkawinan berlangsung serta harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan disebut dengan harta bawaan. Sedangkan harta yang diperoleh bersama selama perkawinan disebut harta bersama. Mengenai terbentuknya harta bersama dalam perkawinan telah diatur dan disebutkan dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan "harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama". Ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di atas memberi pengertian bahwa terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan itu bubar (putus). Dengan demikian harta apa saja (berwujud atau tidak berwujud) yang diperoleh terhitung sejak saat dilangsungkan perkawinan (aqad nikah) sampai saat perkawinan terputus baik oleh karena salah satu pihak meninggal dunia maupun karena perceraian, maka seluruh harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. Kemudian Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Pengertian yang dapat diambil atas ketentuan Pasal di atas bahwa mengenai hak istri ke-2 dan seterusnya atas harta perkawinannya telah
Universitas Sumatera Utara
mendapat pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Perkawinan telah menentukan bahwa Semua Isteri dalam perkawinan poligami mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 65 ayat (1) huruf c. Pasal 65 ayat (1) huruf c di atas memberi penjelasan bahwa setiap istri dalam perkawinan poligami oleh undang-undang telah diberikan perlindungan atas hak harta bersamanya yang diperoleh selama perkawinannya. Dengan ketentuan istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya itu terjadi. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 65 ayat (1) huruf b. Ketentuan dalam Pasal 65 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya itu terjadi memberikan pengertian bahwa dalam perkawinan poligami akan timbul beberapa harta bersama, yaitu: 1. Harta bersama perkawinan pertama yang timbul antara suami dengan isteri pertamanya, dihitung sejak perkawinan suami dengan isteri pertama sampai perkawinan kedua. 2. Harta bersama perkawinan kedua yang timbul antara suami dengan isteri pertama dan isteri kedua dihitung sejak perkawinan suami dengan isteri kedua yang
Universitas Sumatera Utara
dibatasi oleh perkawinan suami dengan isteri ketiga, apabila suami memiliki isteri ketiga. 3. Harta bersama perkawinan ketiga yang timbul antara suami dengan isteri pertama, kedua dan ketiga, dihitung sejak perkawinan antara suami dengan isteri ketiga sampai dengan perkawinan suami dengan isteri keempat (jika ada) dan seterusnya. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa jumlah isteri yang dinikahi oleh seorang suami yang melakukan perkawinan poligami merupakan jumlah harta bersama yang ada dalam perkawinan poligami. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak hanya mengatur mengenai hak istri kedua atas harta bersamanya, namun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga telah mengatur kewajiban suami untuk memberikan jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya. Hal mana seperti tercantum dalam ketentuan Pasal 65 ayat (1) huruf a yang berbunyi ”Dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang baik berdasarkan pasal 3 ayat 2 Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut: a. suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua istri dan anaknya. Tidak sampai disitu bahwa dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga telah mengatur mengenai kewenangan bertindak atas harta bersama. Dalam undang-undang perkawinan ditentukan bahwa suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
Makna yang dapat ditarik dari ketentuan Pasal 36 ayat (1) tersebut di atas adalah sepanjang dalam ikatan perkawinan dan antara suami/istri (baik suami/istri dalam perkawinan monogami maupun poligami) tidak ada perjanjian mengenai pemisahan harta (perjanjian harta terpisah), suami atau istri tidak dibenarkan secara hukum melakukan perbuatan hukum mengalihkan hak kepemilikannya dalam bentuk apapun. Jika ketentuan pasal di atas diabaikan, maka tindakan atau perbuatan hukum tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum yang tidak sah menurut hukum, yang artinya perbuatan hukum dimaksud dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Selama perkawinan berlangsung, harta bersama dikelola secara bersama-sama oleh suami istri. Bila salah satu pihak ingin melakukan perbuatan hukum terhadap harta tesebut maka ia harus mendapat persetujuan pihak lainnya. Jadi mengenai harta yang diperoleh oleh suami isteri selama dalam ikatan perkawinan adalah harta milik bersama, baik masing-masing bekerja pada satu tempat yang sama maupun pada tempat yang berbeda-beda, baik pendapatan itu terdaftar sebagai penghasilan isteri atau suami, juga penyimpanannya didaftarkan sebagai simpanan suami atau isteri tidak dipersoalkan, baik yang punya pendapatan itu suami saja atau isteri saja, atau keduanya mempunyai penghasilan tersendiri selama dalam perkawinan. Kembali pada konteks tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau istri yang harus mendapat persetujuan suami istri tersebut dimana tanpa adanya persetujuan dapat mengakibatkan batalnya perbuatan hukum suami atau istri terhadap
Universitas Sumatera Utara
harta bersama, sedikit banyaknya telah memperangkap dan mematikan hak-hak kenikmatan suami atau istri terhadap harta yang diperolehnya. Berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan, maka pengertian harta bersama menurut KUH Perdata berdasarkan Pasal 119 dikemukakan bahwa terhitung sejak mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum terjadilah persatuan bulat harta kekayaan suami dan isteri sejauh tidak diadakan perjanjian perkawinan tentang hal tersebut, jadi disini dapat kita artikan bahwa yang seluruhnya secara bulat baik itu meliputi harta yang dibawa secara nyata (aktiva) maupun berupa piutang (pasiva), serta harta kekayaan yang akan diperoleh selama dalam perkawinan. Sedang mengenai pengurusan harta persatuan (gemeenschap van goederen) itu sepenuhnya berada di tangan suami, isteri sama sekali kehilangan haknya untuk pengurusan harta tersebut meski isteri membawa harta yang lebih banyak sebelum terjadinya perkawinan, terkecuali bila sebelum perkawinan dilakukan suatu perjanjian perkawinan (huwelijksvoorwarden) seperti tercantum dalam Pasal 139 KUH Perdata dan pengecualian lain ialah bila suami dalam keadaan tidak mampu mengurus harta kekayaan persekutuan atau suami dalam keadaan tidak hadir (afwezig), menurut Pasal 125 KUH Perdata. Apabila dikaitkan dengan hutang (perjanjian hutang) maka ketentuan Pasal 35 tersebut juga dapat
dipahami, bahwa perjanjian utang yang dilakukan sejak
terjadinya ikatan perkawinan akan menjadi utang bersama. Sedangkan utang yang dilakukan sebelum perkawinan adalah utang pribadi suami atau isteri yang membuat perjanjian utang.
Universitas Sumatera Utara
Namun demikian, bentuk dan harta (uang) pembayaran utang harus pula diperhatikan. Utang dalam bentuk rumah, misalnya, yang pembayarannya secara angsuran atau kredit pemilikian rumah (KPR), meskipun perjanjian kredit dilakukan sebelum perkawinan, tetapi jika uang pembayarannya kemudian berasal dari uang (harta) bersama maka utang atau rumah tersebut akan jatuh menjadi utang bersama dengan perhitungan secara proporsional. Yang dimaksud secara proporsional adalah dengan memisahkan atau memperhitungkan jumlah uang yang telah dikeluarkan sebelum perkawinan berlangsung, yang merupakan harta pribadi, dengan jumlah uang (harta) bersama untuk pembayaran cicilan sejak terjadinya perkawinan, yang menjadi harta bersama. Oleh karena itu, saat transaksi utang dilakukan penting untuk diperhatikan dalam menentukan utang keluarga. Dalam Pasal 93 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam disebutkan, bahwa : Pertanggungjawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama. Dari bunyi pasal tersebut menunjukkan, bahwa penggunaan utang dalam perkawinan penting diperhatikan guna menentukan agar utang yang dilakukan menjadi utang bersama. Penggunaan utang untuk yang bukan kepentingan keluarga atau utang untuk kepentingan pribadi suami atau isteri, dengan demikian bukan utang bersama. Kepentingan pribadi suami atau isteri dalam hal tersebut dapat berupa untuk kepentingan memperbaiki rumah pribadi suami atau isteri dan lain sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan khusus untuk suami, harus diperhatikan lebih lanjut mengenai bentuk kepentingan keluarga dimaksud. Hal itu disebabkan karena suami memikul tanggung jawab dan mempunyai kewajiban untuk memenuhi keperluan dalam rumah tangga. Sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan : Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Kemudian dalam Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam disebutkan, bahwa sesuai dengan penghasilannya suami menanggung : a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri. b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak, dan c. biaya pendidikan bagi anak. 64 Dengan ketentuan tersebut, maka jika konsisten dengan kewajiban yang dibebankan kepada suami, maka utang seorang suami dengan tujuan untuk memenuhi kewajibannya dalam keluarga, tidak dapat dimasukkan sebagai utang bersama. Sebab seorang suami yang berutang untuk memberi makan isteri dan anaknya, berarti ia sedang melaksanakan kewajibannya. Maka jika utang tersebut dianggap sebagai harta bersama, berarti pula isteri juga turut melaksanakan kewajiban suami. Dari ketentuan umum tentang ruang lingkup harta bersama, maka utang piutang yang dapat dikategorikan sebagai harta bersama antara lain adalah sebagai berikut : 64
Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam
Universitas Sumatera Utara
1. Semua utang untuk keperluan keluarga. 2. Kredit pemilikan rumah atau barang yang belum lunas pembayarannya. 3. Segala bentuk dana asuransi, yaitu Taspen, Asabri, Asuransi Tenaga Kerja Astek), dana kecelakaan lalu lintas, dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang, dana asuransi jiwa, yang pembayaran preminya dari harta bersama. 4. Bunga deposito. 5. Hasil sewa suatu barang harta bersama yang disewakan. 6. Saham-saham dan keuntungan saham atas suatu perusahaan. 65 Penghitungan semua utang piutang sebagai harta bersama tersebut harus dengan memperhatikan saat terjadinya perjanjian dan peruntukannya serta asal uang pembayarannya. Lebih lanjut Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang menentukan, untuk membuat suatu perjanjian dalam perkawinan harus atas persetujuan bersama suami isteri, maka jika suatu perjanjian tidak atas persetujuan bersama, perjanjian itu hanya berlaku dan sah bagi yang membuat perjanjian. Hal itu menentukan pula status utang tersebut. Jika suatu perjanjian utang tidak terpenuhi syarat Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu kesepakatan para pihak, maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian perjanjian yang tidak sah akan dianggap tidak ada perjanjian. Dalam perkawinan tidak sahnya suatu perjanjian bukan berarti sama sekali dianggap tidak ada perjanjian, namun karena dalam perkawinan satu pihak yang mengadakan perjanjian terdiri dari dua orang, yaitu suami dan isteri, maka tidak sahnya perjanjian hanya terhadap suami atau isteri yang tidak setuju adanya perjanjian itu.
65
M. Amin, Utang Piutang Dalam Rumah Tangga Dan Pembagiannya Akibat Perceraian, http://pa-lubukpakam.net/artikel/194-hartakeluarga.html, diakses tanggal 2 Desember 2009.
Universitas Sumatera Utara
Hal itu berarti dengan tidak adanya persetujuan bersama suami isteri ketika membuat suatu perjanjian utang, maka perjanjian itu hanya berlaku bagi salah satu pihak yang membuat perjanjian itu, yaitu suami atau isteri. Sehingga perjanjian itu bukan perjanjian bersama, tetapi perjanjian pribadi. Karena perjanjian utang pribadi, maka utang tersebut adalah utang pribadi dan pembebanan pertanggungjawabannya menjadi beban pribadi atau harta pribadi. Dengan kata lain, utang yang dilakukan oleh pribadi, suami atau isteri, tidak termasuk harta bersama dan tidak dapat dibebankan kepada harta bersama. Hal itu juga sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata. Namun demikian bahwa perkawinan adalah merupakan suatu perjanjian yang kuat (mitsaqan gholidzan) dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang mengikatkan diri (akad nikah), menjadi satu dalam kehidupan rumah tangga. Sehingga masing-masing pihak terutama suami, dapat melakukan perbuatan hukum tanpa memerlukan persetujuan pihak lain (isteri) dalam rangka membangun keluarga (rumah tangga), sekaligus sebagai memenuhi kewajibannya terhadap keluarga, dan bentuk persetujuan isteri dapat diketahui dengan tidak ada bantahan atau menurut kebiasaan yang dilakukan oleh suami dan isteri dalam pergaulan rumah tangga. Oleh karena itu, meskipun persetujuan oleh isteri terhadap perjanjian utang yang dilakukan oleh suami secara yuridis adalah sesuatu yang penting, namun secara filosofis, sebagai pasangan suami isteri yang diikat dengan akad perkawinan, yang menjadi pokok dalam menentukan utang suami menjadi utang bersama adalah
Universitas Sumatera Utara
peruntukan utang tersebut. Sedangkan persetujuan isteri lebih bersifat kasuistis dan fleksibel atau dengan memperhatikan kondisi utang dan tujuannya. Selanjutnya mengenai pertanggungjawaban atau pembayaran utang telah diatur dalam Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut : (1). Pertanggungjawaban terhadap utang suami atau isetri dibebankan pada harta masing-masing. (2). Pertanggung jawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama. (3). Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami. (4). Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri. 66 Ketentuan tersebut pada intinya menentukan, bahwa utang pribadi suami dan isteri dipertanggungjawabkan kepada harta masing-masing suami dan isteri, sedangkan utang untuk kepentingan bersama dalam keluarga dibebankan kepada harta bersama, dan jika harta bersama tidak mencukupi untuk membayar utang bersama, maka dibebankan kepada harta suami dan seterusnya kepada harta isteri. Oleh karena utang isteri dianggap sebagai utang bersama, dimana penggunaannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, maka pertanggungjawabannya juga dibebankan kepada harta bersama. Selanjutnya jika terjadi perceraian harta bersama dalam bentuk utang maupun piutang dibagi bersama masing-masing mendapat setengah, baik utang maupun piutang. Dari ketentuan Pasal 93 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam sebagaimana tersebut di atas terlihat bahwa penanggung jawab utama terhadap utang keluarga adalah pada suami. Harta pribadi suami yang pertama sekali dibebani untuk 66
Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam
Universitas Sumatera Utara
pembayaran
utang
bersama,
jika
harta
bersama
tidak
mencukupi
untuk
pembayarannya, maka harta isteri dibebani hanya setelah harta bersama dan harta suami tidak ada atau tidak mencukupi.
4. Hak Istri Ke-2 Dan Seterusnya Atas Harta Bawaan Seseorang boleh jadi telah mempunyai harta benda yang diperolehnya sebelum menikah, harta benda mana diperolehnya dari hadiah, hibah ataupun warisan yang diterima dari pihak ketiga sebelum ia melakukan perkawinan. Harta ini biasa disebut dengan harta bawaan apabila harta ini dibawa masuk kedalam sebuah perkawinan. Seorang laki-laki atau perempuan, ketika belum menikah mereka mempunyai hak dan kewajiban yang utuh. Hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kehidupannya, hak dan kewajiban akan harta miliknya dan sebagainya. Kemudian setelah mereka mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan, maka mulai saat itulah hak kewajiban mereka menjadi satu. Pengertian menjadi satu tersebut bukan berarti hak dan kewajiban masing-masing pihak akan meleburkan diri, melainkan hak dan kewajiban mereka tetap utuh walaupun mereka telah bersatu dalam kehidupannya. Untuk itulah mereka harus memahami dan menghormati satu sama lain. Tidak merasa salah satu sebagai penguasa dan lainnya menjadi budak, tidak merasa salah satu dari mereka paling berjasa dan lainnya menumpang. Pemahaman tentang hak dan kewajiban ini menjadi sangat penting dan sangat mendasar, apabila kita akan mengkaji lebih dalam tentang konsekuensi-konsekuensi
Universitas Sumatera Utara
dari kehidupan perkawinan. Salah satu konsekwensi penting yang harus dikaji adalah mengenai harta bawaan masing-masing suami ataupun istri. Meskipun pasangan yang menikah sudah dibekali dengan Undang-Undang Perkawinan, namun tidak sedikit yang hanya sekedar menyimpan undang-undang tersebut tanpa membacanya, tetapi hanya sebatas pelengkap buku nikah, sehingga banyak pasangan suami istri tidak terlalu memahami aturan yang ada di dalamnya. Akibat belum adanya pemahaman yang benar tentang harta bawaan ini, maka biasanya nasib harta bawaan sering menjadi sengketa setelah harta warisan akan dibagikan. Terlebih lagi bagi seorang isteri, ketika suaminya lebih dahulu meninggal dunia daripada dirinya, para istri banyak yang tidak memahami hak-hak yang seharusnya diperoleh sebagai warisan dari suaminya. Secara garis besar pemahaman tentang kepemilikan harta antara suami dan isteri secara umum dipahami oleh masyarakat, namun belum ada penguatan tentang pemahaman tersebut. Sehingga akan menjadikan satu kesulitan jika konflik keluarga terjadi, terkait pembagian harta warisan. ketika salah satu dari suami atau isteri meninggal dunia. Banyak warga yang belum bisa membedakan mana harta bawaan dan harta bersama. Mengenai harta bawaan suami atau istri dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah ditentukan aturan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang
Universitas Sumatera Utara
para pihak tidak menentukan lain. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dari klausul yang diatur Pasal 35 tersebut dapat diartikan bahwa sejak dimulainya tali perkawinan dan selama perkawinan berlangsung, secara hukum, berlaku percampuran harta kekayaan suami dan istri, baik harta bergerak dan tak bergerak, baik yang sekarang maupun yang kemudian ada. Adapun kedudukan harta bawaan yang merupakan perolehan dari pewarisan atau hibah tetap berada dibawah penguasaan masing-masing pihak, sepanjang suami istri dimaksud tidak mengaturnya secara tegas. Akan tetapi kondisi ini dapat saja berubah jika pasangan suami isteri, sebelumnya telah membuat sebuah janji perkawinan yang menyebutkan posisi harta bawaan mereka. Akan tetapi, membuat janji perkawinan ini masih sangat jarang dilakukan masyarakat kita, meskipun hal ini telah diatur dalam perundang-undangan. Janji perkawinan dibuat untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti perseteruan ketika pembagian warisan dilakukan. Sebelum aqad nikah berlangsung, kedua calon pasangan suami-isteri biasanya akan menyepakati tentang hal-hal tertentu secara tertulis, yang kemudian disebut sebagai janji perkawinan. harta bawaan juga sering disebut sebagai harta asal, yang dimiliki seseorang sebelum melangsungkan perkawinan. Harta bawaan ini akan menjadi bagian harta warisan dan berhak diwarisi oleh pasangan jika pasangannya meninggal dunia. Namun harta bawaan tidak berhak diwarisi jika suami-isteri berpisah dengan bercerai.
Universitas Sumatera Utara
Namun dalam prakteknya yang sering menjadi masalah adalah ketika harta bawaan tersebut dijual dimana hasil penjualannya dibelikan suatu barang yang kemudian atas barang tersebut tercampur dalam harta bersama, apakah hukum menganggap barang tersebut sebagai harta bersama dalam perkawinan ? Menjawab permasalahan dimaksud pada akhirnya ditemukan suatu pertanyaan, apakah dalam perkawinan tersebut terdapat perjanjian pemisahan harta? Jika memang ada perjanjian pemisahan harta maka barang tersebut tetap berada pada penguasaan masing-masing pihak (suami atau istri). Jika ternyata tidak ada maka barang tersebut dianggap sebagai harta bersama dalam perkawinan. Klausul dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur tentang harta bersama dan harta bawaan dalam prakteknya memang memberatkan bagi suami atau istri untuk menikmati hak milik atas harta yang jelas-jelas merupakan hasil perolehannya sendiri. Ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut tentunya dapat merugikan hak-hak suami atau istri yang beritikad baik atas harta bersama karena pada umumnya dalam suatu perkawinan, harta yang diperoleh melalui usaha dan jerih payahnya suami atau istri dimasukkan begitu saja dalam perkawinannya. Kebanyakan, entah itu karena norma ketimuran atau memang didasarkan pada sifat untuk mengagungkan tali perkawinan, mereka (suami-istri) beranggapan tabu untuk membicarakan pemisahan harta yang diperoleh atas usaha dan jerih payah pasangannya. Mereka memahami jika dalam perkawinan terdapat
Universitas Sumatera Utara
perjanjian mengenai pemisahan harta maka sesungguhnya mereka tidak percaya dengan pasangan hidupnya. Terdapat banyak kasus dimana pihak isteri atau pihak perempuan sering menderita kerugian, karena tidak mendapatkan hak apapun dari peninggalan suaminya, terlebih lagi jika pasangan suami-isteri ini tidak memiliki anak. Besarnya peran dari pihak keluarga suami sering kali mengaburkan hak-hak isteri yang ditinggalkan. Meski dalam posisi hukum, kaum perempuan sudah disetarakan haknya, tetapi dalam pelaksanaan sehari-hari masih banyak kasus yang bertolak belakang. Padahal dari harta bawaan yang mereka miliki sebelumnya harta itu sudah dipakai oleh suami untuk keperluan mereka selama berumah tangga. Hak dan kewajiban antara suami dengan isteri haruslah seimbang, keduanya berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dalam melaksanakan kewajiban maka seorang suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, sementara isteri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Bagi suami yang memiliki isteri lebih dari seorang maka ia memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada masing-masing isterinya secara adil. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Universitas Sumatera Utara