Perkara Voluntair dan Kompetensi Absolut Pengadilan Agama (Sebuah Kajian Hukum Islam) oleh Erfani, S.HI (CPNS/Cakim Pengadilan Agama Kelas I-A Pontianak)
A. Pendahuluan Sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana disebut dalam pasal 10 Undang-Undang nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengadilan Agama memikul tanggung jawab besar menyelesaikan berbagai macam permasalahan rakyat yang beragama Islam atau peristiwa hukum yang terjadi berdasarkan hukum Islam. UndangUndang nomor 7 tahun 1989 yang diubah dengan Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, menyebutkan beberapa bidang perdata yang menjadi wewenang Pengadilan Agama. Beberapa bidang wewenang itu selanjutnya disebut sebagai kompetensi absolut Pengadilan Agama. Berdasarkan Undang-Undang Peradilan Agama tersebut, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) perkawinan; (b) waris; (c) wasiat; (d) hibah; (e) wakaf; (f) zakat; (g) infaq; (h) shadaqah; dan (i) ekonomi syariah. Dalam praktiknya, berbagai bidang wewenang itu akan dilaksanakan dalam dua bentuk/jenis perkara, yaitu gugatan (kontentius) dan permohonan (voluntair). Perkara di bidang-bidang itu, jika terjadi sengketa di dalamnya, atau ada dua pihak atau lebih yang berselisih, maka diselesaikan dalam bentuk gugatan, yang produk dari perkara ini adalah putusan. Adapun yang tergolong dalam kotergori ini misalnya ; a) Gugat Cerai, b) Cerai Talak, c) Gugat Waris, d) Gugat Harta Bersama (Gono-Gini), e) Izin Poligami, f) Itsbat Nikah Mati, g) Sengketa Perbankan Syariah dll. Sementara jika permasalahan yang diajukan ke Pengadilan Agama tidak terdapat sengketa di dalamnya, maka permasalahan itu akan menjadi perkara permohonan, yang selanjutnya menghasilkan produk berupa penetapan. Adapun yang tergolong dalam kategori ini, misalnya ; a) Permohonan Penetapan Ahli Waris, b) Permohonan Itsbat Nikah, c) Permohonan Dispensasi Nikah, d) Permohonan Wali Adhal, e) Permohonan Pengangkatan Wali, dll. Secara materiil, dalam menyelesaikan berbagai-macam perkara tersebut, Pengadilan Agama dibekali beberapa landasan Peraturan Perundangan. Adapun ketentuan perundangan tersebut seperti, Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf atau Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Undang-Undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dll. Selain beberapa peraturan perundangan tersebut, Pengadilan Agama secara khusus juga dibekali pedoman berupa Kompilasi Hukum Islam, yang diberlakukan berdasarkan Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991. Dalam praktiknya, hakim-hakim Pengadilan Agama juga akan merujuk putusan dan penetapan mereka langsung kepada landasan normatif al Quran dan al
Sunnah, dan beberapa pendapat fuqaha` dari berbagai mazhab. Dalam kalimat lain, dapat pula dikatakan bahwa Pengadilan Agama dalam praktiknya, menerapkan perpaduan dua sistem hukum, Civil Law dan Common Law. Secara khusus, tentang Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman penyelesaian perkara di Pengadilan Agama, dianggap penting untuk ditegakkan sebagai landasan materiil yang berlaku bagi masyarakat Islam di Indonesia1. Hal ini selain Kompilasi Hukum Islam merupakan satu-satunya pedoman penyelesaian permasalahan keluarga/perdata berdasarkan hukum Islam yang komprehensif, juga karena rumusan yang ada di dalamnya dibangun dengan mengakomodir pandangan para pakar hukum Islam nusantara, serta pendapatpendapat fuqaha yang tersebar dalam banyak kitab-kitab fikih berbagai mazhab. Selain aturan-aturan materiil, pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Pengadilan Agama juga diawasi oleh rambu-rambu formil, bagaimana seharusnya beracara di Pengadilan Agama. Sejauh ini, berdasarkan pasal 54 Undang-Undang nomor 7 tahun 1989, hukum acara yang berlaku pada Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 1989. Kendati demikian, sebagai lembaga yang mengusung asas personalitas keislaman, Pengadilan Agama secara implisit, jelas harus pula membangun dasar-dasar beracara yang disarikan dari konsep-konsep peradilan yang pernah dipraktikkan baik oleh Muhammad saw sendiri sebagai Rasul, juga para Sahabat, yang dapat diperoleh dari berbagai kajian dalam banyak sumber ilmiah tentang peradilan Islam. Para pemikir muslim yang tergolong kualifikasi fuqaha, sesungguhnya telah melakukan kegiatan merumuskan konsep beracara di pengadilan. Terbukti dalam kitab-kitab fikih, kajian seputar peradilan (uqdhiyah, qadha`) itu memuat permasalahan bukti (bayyinat), sumpah (yamin), saksi (syahadah), pengakuan (iqrar), tuntutan/tuduhan/dakwaan (da’aawa), dll. Kesemua hal itu, adalah bagian fundamental kaitannya dengan hukum acara yang umumnya dijadikan acuan beracara di Pengadilan Agama. Hanya saja, dalam praktiknya, pelaksanaan hukum acara itu tidak lantas menyebut bahwa hal itu adalah implementasi dari konsep-konsep beracara yang termuat dalam hukum Islam dalam hal ini fikih. Hal ini disebabkan, Pengadilan Agama belum sampai pada taraf independen kaitannya dengan kepemilikan hukum acara perdata Islam sendiri secara yuridis. Kondisi yang demikian ini, tentu bukan alasan mengenyampingkan konsep-konsep fikih dalam ikut serta membangun ketentuan beracara di Pengadilan Agama. Kaitannya dengan kompetensi absolut pengadilan agama yang menjadi tema tulisan ini, adalah menarik mengungkap relevansi kompetensi obsolut itu dengan konsep peradilan dalam hukum Islam dalam hal ini fikih. Pasalnya, jika dilihat secara eksplisit, konsep peradilan dalam fikih, sangat identik dengan lembaga yang sejatinya hanya mewenangi penyelesaian perkaraperkara yang terdapat sengketa di dalamnnya, atau hanya mengadili perkara yang tergolong kontentius saja. Kalimat „mengadili‟, secara fikih agaknya hanya tertuju kepada kegiatan menyelesaikan sebentuk sengketa antara dua orang atau lebih. Sehingga dalam literatur fikih,
pihak berperkara itu kerap disebut „khashm‟, yang mengandung arti orang yang bersengketa, yang tentu berlawanan dengan pihak lain (kontentius). Sementara, kompetensi absolut pengadilan Agama, dalam realitanya, juga merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang diamanatkan menyelesaikan perkara-perkara yang tidak terdapat sengketa di dalamnya sebagaimana diutarakan sebelumnya. Untuk itu, personalitas keislaman Pengadilan Agama, harus sebisa mungkin dilestarikan dengan membangun keterdukungan legitimatif Islam di semua aspeknya, baik materiil maupun formil. Atau setidaknya, mengupayakan adanya deskripsi tentang legitimasi wewenang-wewenang ekstra Pengadilan Agama itu berdasarkan hukum Islam, sehingga dalam menjalankan tugasnya, Pengadilan Agama dapat merealisasikan segala kewenangan itu dalam mekanisme dan teknis yang sebenarnya. B. Penyelesaian Perkara Permohonan Perspektif Hukum Islam Dalam literatur fikih, kompetensi absolut pengadilan dapat dipahami dari susunan kalimat seperti“ma yuqdha fihi” dan kalimat-kalimat lain yang semakna. Ibnu Rusyd dalam Bidayah_nya, menyebutkan bahwa kompetensi absolut pengadilan itu meliputi segala bentuk permasalahan hak baik dalam konteks horizontal (manusia dengan manusia), maupun vertikal (manusia dengan Tuhan). Karenanya, pelaku kekuasaan kehakiman itu (hakim/qadhi), hanya boleh ada satu orang saja dalam sebuah komunitas masyarakat (wilayah negara/propinsi/kabupaten/kota). Hal ini karena hakim merupakan representasi atau pengganti imam besar (presiden/gubernur/walikota/bupati) dalam bidang penyelesaian sengketa hukum/hak2. Universalitas wewenang peradilan juga terlihat dalam banyak definisi atas peradilan itu sendiri. Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah_nya, juga mengutarakan hal yang sama tentang kompetensi lembaga peradilan, yang memang meliputi seluruh aspek hukum (hak) baik yang horizontal maupun vertikal. Secara khusus, Sayyid Sabiq memberikan definisi qadha` secara etimologis sebagai kegiatan menyempurnakan pelaksanaan suatu hal, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Sedangkan secara terminologis (syara’), qadha` berarti kegiatan memutus/memisah dan atau menyelesaikan segala bentuk sengketa (khushumat) di antara manusia guna mengakhiri perselisihan dan menghilangkan perdebatan (di antara mereka) berdasarkan ketentuan hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah swt3. Definisi peradilan sebagaimana diutarakan di atas, juga dianut oleh banyak ahli hukum Islam (fuqaha`). Karenanya, tulisan ini tidak lagi akan mengutarakan definisi-definisi itu dalam banyak versinya. Yang ingin dipertegas dari pengertian qadha` (peradilan) itu dalam hukum Islam, adalah bahwa karakteristik lembaga peradilan yang dikenal dalam tradisi hukum Islam, hanya menempatkan peradilan sebagai lembaga yang secara khusus dibentuk (ditunjuk keberadaan qadhi/hakim) hanya dalam kaitannya untuk menyelesaikan permasalahan yang terdapat sengketa di dalamnya. Dengan pemahaman ini, maka akan sempurna dan utuhlah pengertian sekaligus fungsi „mengadili‟. Bagaimana bisa suatu tindakan dikatakan mengadili jika yang dihadapi bukan sengketa dan hanya ada seorang saja yang mengutarakan tuntutannya sementara tidak ada pihak yang diposisikan sebagai lawan.
Karenanya, pada prinsipnya lembaga peradilan yang dikenal dalam Islam dihadirkan hanyalah dalam kapasitasnya sebagai penyelesai perkara-perkara kontentius saja. Dengan kata lain, wewenang menyelesaikan sengketa adalah fungsi utama (ashalatan) dari lembaga peradilan dalam Islam. Kendati wewenang peradilan yang dikemukakan sebelumnya menghendaki pengertian yang sangat universal, namun universalitas itu sejatinya terbatas pada aspek-aspek yang hanya terdapat sengketa di dalamnya, dan bukan dalam pengertian totalitas. Melihat mayoritas dasar-dasar yang dijadikan acuan oleh fuqaha` dalam membahas masalah peradilan yang diambil dari sumber-sumber al Sunnah, jelas menyebutkan bahwa yang diinginkan dari pengertian peradilan adalah memang permasalahan seputar sengketa antar dua pihak, atau mungkin lebih. Yang paling sederhana, ketika Nabi untuk pertama kalinya meraup kepercayaan dari pemuka-pemuka kaum Quraisy dan dikukuhkan gelar „al amin‟-nya, dari peristiwa peletakan hajar aswad yang saat itu disengketakan di antara mereka. Nabi diminta memberikan solusi bagaimana agar mereka dapat secara bersama berkontribusi meletakkan batu hitam itu. Nabi pun lantas membentang sebuah rida` dan memerintahkan agar di tiap ujungnya dipegang oleh masing-masing pemuka. Solusi itu ternyata jitu dan mampu menyelesaikan masalah yang sebelumnya disengketakan. Kendati contoh di atas tidak berkaitan langsung dengan materi peradilan, namun nilainilai penyelesaian sengketa, begitu jelas dipraktikkan Nabi. Nilai-nilai itu selanjutnya semakin tampak ketika dalam banyak persoalan hukum, kembali mendapat tempat. Salah satunya ketika Nabi berpesan kepada Ali ra., “Wahai Ali, jika ada dua orang yang bersengketa hadir di hadapanmu, maka janganlah engkau memutus sebelum engkau mendengarkan (jawaban/sanggahan) dari pihak kedua sebagaimana engkau telah mendengar dari pihak pertama, karena jika hal ini dapat engkau lakukan, maka itu berarti engkau telah berperan (membangun) peradilan yang sebenarnnya” 4 . Yang ingin digarisbawahi dari hadis ini adalah bahwa tindakan menyelesaikan sengketa yang terjadi antar dua pihak itulah yang disebut sebagai qadha`. Hal yang sama juga akan ditemui dalam dasar-dasar lain yang digunakan sebagai landasan pembahasan tentang qadha`. Sejauh yang Penulis ketahui, tidak terdapat dasar yang akurat dari hadis Nabi, yang mengindikasikan keterkaitan lembaga peradilan dalam hal ini qadha`, dengan wewenang menyelesaikan perkara yang hanya ada satu pihak saja (voluntair). Terkait penyelesaian perkara yang hanya ada satu pihak, memang akan ditemui dalam pembahasan qadha`, namun hal ini kaitannya dengan perkara ghaib yang memang dikenal dalam sistem peradilan Islam. Kendati legalitas mengadili perkara yang salah satu pihaknya ghaib masih diperselisihkan keabsahannya di kalangan fuqaha`, namun agaknya Pengadilan Agama menganut pendapat yang membenarkan, sehingga perkara ghaib dikenal penerapannya di Pengadilan Agama. Selain sumber utama kedua hukum Islam berupa Sunnah, sumber utama berupa al Quran pun secara implisit menyatakan konsep peradilan itu kaitannya dengan penyelesaian suatu jenis perkara. Jika dicermati, redaksi al Quran tentang perintah melakukan kegiatan „mengadili‟ selalu disanding dengan kata “baina” (di antara) yang berdiri sendiri. Redaksi itu tidak menggunakan kata itu sepasang (digunakan berulang, seperti “bainakum wa bainannaas” yang akan berarti satu sama lain atau saling berhadapan). Penggunaan kata
“baina” yang hanya berdiri sendiri, memberikan pengertian bahwa posisi qadhi/hakim berada di tengah di antara dua pihak yang bersengketa. Hal ini berarti, berdasarkan al Quran sekalipun, lembaga peradilan memang hanya dimaksudkan dalam kaitannya menyelesaikan perkara kontentius dan tidak untuk perkara voluntair. Di antara ayat-ayat al Quran yang berisi perintah melakukan kegiatan „mengadili‟ itu seperti ;
...
... ...
...
...
Dengan demikian, dari segala sisi dalam hukum Islam, lembaga peradilan yang diperkenalkan dalam Islam pada prinsipnya berperan dan berwenang hanya dalam kaitan menerima, memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang terdapat sengketa di dalamnya, atau permasalahan yang akan mempertemukan dua pihak yang saling berlawanan, atau dikenal sebagai perkara yang tergolong klasifikasi kontentius saja. Kesimpulan tersebut, tentu tidak bermaksud membatasi praktik Peradilan Agama saat ini yang memang selain berwenang menyelesaikan perkara kontentius, juga akan menangani perkara voluntair di bidang-bidang tertentu seputar hukum keluarga (ahwal syahshiyah) sebagai kompetensi absolutnya, sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Peradilan Agama. Hanya saja, Peradilan Agama dituntut mampu memberikan klarifikasi legitimatif tentang jatidirinya, atau jika perlu merumuskan konsep baru yang memiliki relevansi utuh tentang maksud peradilan yang sesungguhnya. Kenisbian status perkara permohonan sebagai wewenang badan peradilan sesungguhnya telah pula mendapat respon dari beberapa kalangan. Salah satunya, apa yang disinggung Mukti Arto dalam bukunya. Ia mengatakan bahwa pada prinsipnya perkara permohonan tidak dapat diterima, kecuali kepentingan Undang-Undang menghendaki demikian. Selain itu, Ia juga menyebut bahwa keberadaan badan peradilan yang juga menyelesaikan perkara permohonan, dapat dianggap sebagai proses peradilan yang bukan sebenarnya 5 . Amanat kepada badan peradilan untuk ikut pula menyelesaikan perkara voluntair memang diberikan Undang-Undang nomor 14 tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman sebagaimana tersebut dalam penjelasan pasal 2 Undang-Undang tersebut. Namun sejauh ini, selain karena kepentingan Undang-Undang yang menghendaki demikian, Penulis belum mendapati alasan-alasan lain yang relevan mengapa dalam kenyataannya Pengadilan Agama juga menangani perkara permohonan, dan yang juga perlu diperjelas, adalah bagaimana sikap Peradilan Agama terhadap hal ini. Banyak sesungguhnya dalil syara’ yang digunakan Pengadilan Agama dalam memberikan penetapan atas perkara-perkara permohonan. Dalil-dalil itu jika dicermati, hanya mengarah kepada materiil perkara. Sementara tidak didapati adanya informasi tentang kompetensi peradilan dalam kapasitasnya sebagai lembaga qadha`, terkait penyelesaian perkara-perkara tersebut. Benar bahwa sebuah akad nikah akan ditetapkan (dinyatakan) sah
jika ternyata pelaksanaannya memenuhi rukun dan syarat. Dan benar pula bahwa seorang ibu adalah ahli waris anak kandungnya yang telah meninggal, ketika tidak ada halangan secara syara’. Tetapi benarkah wewenang untuk penetapan itu dilakukan pula dalam acara sidang atas nama peradilan dan lembaga qadha`? Dalam rangka itulah, Penulis memandang perlu mengutarakan permasalahan ini dengan keterbatasan pemahaman yang dimiliki. Wewenang Pengadilan Agama menangani perkara permohonan tidak akan selesai pembahasannya jika hanya berkutat seputar qadha`. Apa yang dihadapi masyarakat muslim saat ini, tentu banyak pula yang pernah dihadapi oleh umat yang hidup semasa Nabi sebagai qadhi, atau di masa-masa Sahabat. Nabi beserta para Sahabat, bahkan teramat sering menjadi tempat mengadu bagi rakyat dalam masalah-masalah yang tidak bernuansa sengketa. Umat Islam kala itu sering mengajukan dan meminta kepastian dari Nabi dan Sahabat terhadap peristiwa-peristiwa baik yang tergolong hukum atau yang hanya berupa persoalan biasa. Dalam sebuah riwayat, seorang kakek datang kepada Nabi seraya mengadu tentang statusnya sebagai ahli waris atau bukan dari mendiang cucu laki-laki dari anak laki-lakinya. Nabi lantas menetapkan, bahwa ia adalah ahli waris dan berhak atas bagian 1/6 dari tirkah6. Demikianlah, bahwa bentuk-bentuk permohonan yang menghasilkan penetapan itu sejatinya bukan sesuatu yang asing dalam tradisi hukum Islam. Hanya saja hal-hal demikian itu, tidak diatur dalam fikih seraya melibatkannya dalam pembahasan qadha`. Hal ini dengan demikian merupakan penegasan secara empirik, bahwa perkara permohonan tidaklah perlu diadili untuk sekadar sampai pada sebuah kesimpulan hukum. Karenanya, segala masalah seputar permohonan ini, tidak akan ditemukan dalam pembahasan qadha` yang berarti lembaga untuk kegiatan “adil-mengadili‟. Akan tetapi, kesemuanya akan sangat gamblang tergambarkan dalam pembahasan seputar fatwa atau ifta`, dan bahasan-bahasan tentang ijtihad. Atau dalam kata lain, Nabi menyampaikan informasi hukum dalam sebuah permohonan, tidak dalam kapasitasnya sebagai qadhi/hakim, namun dalam kapasitasnya sebagai Rasul yang berkewajiban menyampaikan risalah syariat semua aspek kehidupan umat manusia. Sepeninggal Nabi, maka tidak dikenal lagi adanya sumber utama syariat yang dapat memproduksi hukum sebagai landasan (ashl). Yang ada adalah rangkaian-rangkaian ijtihad para sahabat dan para mujtahid setelahnya. Saat mana mereka diminta menentukan status hukum sebuah permohonan, maka di saat itu mereka sedang berperan sebagai mujtahid yang naungan lembaganya adalah lembaga ifta` bukan qadha`. Maka Pengadilan Agama yang diamanatkan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan bidang-bidang keperdataan umat Islam yang terangkum dalam kompetensi absolutnya, tentu tidak boleh menolak jika ada pihak yang mengajukan perkara-perkara yang terkait dengan bidang-bidang itu. Sementara perkara-perkara yang diajukan itu tidak selamanya berupa kontentius, melainkan ada pula yang berupa voluntair. Kenyataan yang sedemikian ini menjadikan Pengadilan Agama berfungsi dan memiliki peran ganda, yaitu selain sebagai lembaga Qadha` (peradilan) perdata, juga merupakan lembaga Ifta` (fatwa/Ijtihad di luar sengketa) perdata.
Terhadap dua fungsi yang berbeda secara substansi itu, tentu perlu pula membedakan teknis pelaksanaannya. Khusus terhadap perkara permohonan, maka proses sidang sebagai simbol kegiatan mengadili, agaknya tidaklah relevan jika harus pula diikutkan di dalamnya. Ada baiknya, jika proses penetapan permohonan itu, di lakukan di luar sidang atau tidak dalam kalimat atau kegiatan mengadili. Badan Peradilan Agama dapat membuat divisi atau satuan kerja tersendiri yang khusus menangani perkara permohonan, atau dalam kaitan menjalankan fungsi sekunder (taba’an) Pengadilan Agama sebagai lembaga Ifta`. Keberadaan lembaga Ifta` sebagai fungsi ekstra Pengadilan Agama dengan kekhususan proses dan mekanismenya, sejatinya dapat dicarikan perlindungan secara yuridis formal. Jika dilihat dalam Undang-Undang Peradilan Agama, penguasaan wewenang absolut di bidang-bidang tertentu itu, tidak merinci keharusan mengadili semua perkaranya dalam bentuk kontentius atau voluntair. Maka redaksi pasal 49 Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan Agama yaitu “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam ...” masih membuka ruang untuk adanya perincian sebagai enterpretasi yang sesuai dengan fungsi peradilan dalam Islam. Dalam kaitan itu, maka tugas Pengadilan Agama jika perkara di bidang-bidang tertentu itu bentuknya kontentius adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikannya dalam sebuah acara sidang sebagai implementasi kegiatan mengadili. Sementara jika perkara-perkara itu bentuknya permohonan, maka tugas Pengadilan Agama adalah hanya memeriksa dan menyelesaikannya, dalam hal ini memberikan penetapan, tanpa melalui proses persidangan, atau tidak dalam tindakannya mengadili perkara sehingga menghasilkan putusan. Perkara permohonan sebagaimana yang dikemukakan di atas, dapat diperiksa dan diselesaikan dalam naungan satuan kerja khusus di internal Pengadilan Agama dengan teknis yang komprehensif, dan tetap menjunjung tinggi pelayanan prima yang akurat dan cermat. Selain atas landasan itu, bahwa kewajiban Pengadilan Agama sejatinya adalah pemberian layanan hukum dalam perkara-perkara di bidang-bidang kompetensinya. Pelayanan hukum dimaksud tentu tidak menjadikan persidangan sebagai satu-satunya cara untuk mencapainya. Sehingga pemeriksaan perkara permohonan tidak perlu dipaksakan dilakukan pula dalam bentuk persidangan, karena konteksnya memang tidak demikian. Kecuali jika dari penetapan itu ada pihak yang keberatan, maka pihak yang keberatan itu dapat mengajukan gugatan untuk membatalkan/mempermasalahkan penetapan yang telah dicapai tadi, melalui agenda persidangan perkara kontentius. C. Penutup 1. Kesimpulan a. Hukum Islam dalam hal ini fikih, sejatinya telah meletakkan pondasi-pondasi penting tentang sistem peradilan yang berkeadilan. Pondasi-pondasi itu memuat sekian prinsip yang menggiring pengertian pengadilan sebagai lembaga yang luhur dalam mewujudkan keterpenuhan hak dan/atau mengembalikan hak seseorang dari sebuah penyelewengan oleh pihak lain. Segala yang termuat dalam kitab (bahasan) qadha` (peradilan Islam),
baik dari dasar normatifnya maupun isi yang meliputi hukum materiil dan formil, dalam perspektif hukum Islam menghendaki pengertian peradilan yang sesungguhnya yaitu sistem peradilan dan lembaga pengadilan yang diadakan dalam upaya mengejawantahkan hak yang dipersengketakan oleh dua pihak atau lebih. Dalam kata lain, lembaga peradilan dalam Islam hanya pada kapasitasnya menyelesaikan perkaraperkara kontentius. b. Regulasi tentang Kekuasaan Kehakiman dan Peradilan Agama yang menguasakan Pengadilan Agama sebagai penyelesai perkara-perkara permohonan/voluntair, lebih pada pelaksanaan peran pengadilan sebagai lembaga Ifta`. Dengan demikian, eksistensi kedua jenis perkara tersebut dalam wewenang Pengadilan Agama, adalah informasi bahwa Pengadilan Agama, selain sebagai lembaga Qadha` yang merupakan fungsi primernya (ashalatan), juga merupakan lembaga Ifta` yang menjadi fungsi sekundernya (taba’an). Pengadilan Agama dalam perannya sebagai lembaga Ifta` bertugas memberikan pelayanan hukum berupa penetapan/memperjelas hak seseorang yang menghadap untuk sebuah permohonan tertentu yang tidak terdapat sengketa di dalamnya. c. Agar kesimpulan ini tidak bertendensi destruktif atas mekanisme yang berlaku dan amanat Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang menghendaki badan peradilan juga menyelesaikan perkara voluntair, serta tidak pula mengaburkan fungsi peradilan yang sebenarnya dalam hukum Islam yang memang tidak melibatkan perkara voluntair sebagai wewenang, maka Pengadilan Agama dapat mengakomodir kedua maksud tersebut dengan tetap melakukan amanat mulia itu di bawah naungan Pengadilan Agama namun dalam teknis di luar acara persidangan dengan cara membentuk satuan kerja khusus penanganan permohonan rakyat yang beragama Islam dalam perkara-perkara perdata sesuai kompetensi absolut Pengadilan Agama. 2. Saran Dengan adanya mekanisme khusus, cermat dan akuntabel dalam menerima dan menyelesaikan perkara permohonan (voluntair), berarti Pengadilan Agama telah melaksanakan amanat Kekuasaan Kehakiman dengan baik sehingga perlidungan yuridis formil atas mekanisme itu akan tetap menjamin pelaksanaannya. Dengan kata lain, kehadiran konsep dan rumusan baru tentang penanganan perkara voluntair sebagaimana digagas dalam tulisan ini, sesungguhnya bukan merupakan tindakan yang kontra-regulasi, sehingga tidak ada salahnya jika selanjutnya dilakukan kajian-kajian komprehensif tentang permasalahan perkara voluntair sebagai wewenang absolut Pengadilan Agama serta mekanisme penyelesaiannya.
Catatan Kaki 1
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Cet ke-VIII, Pustaka
Pelajar ; Yogyakarta, h. 2 2
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz II, h. 849
3
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, juz III, al Fath lil I‟lam al „Araby ; Mesir, tt., h. 215 (dalam
catatan kaki) 4
HR. Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi
5
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Cet ke-VIII, Pustaka
Pelajar ; Yogyakarta, h. 39 dan 41 6
HR. Ahmad dan Arba‟ah
Sumber Rujukan -
Al Quran Al Karim
-
Musnad Ahmad bin Hambal
-
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman
-
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
-
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan Pertama UU PA
-
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Perubahan kedua UU PA
-
Kompilasi Hukum Islam
Identitas Penulis Nama
:
Erfani
TTL
:
Nusapati (Pontianak), 20 Oktober 1985
Pendidikan
:
S1 Syariah-Ahwal Syakhshiyah- IKAHA Jombang S2 Konsentrasi Pemikiran Hukum Islam IKAHA (tidak selesai)
Pekerjaan
:
CPNS/Cakim Agama angkatan 2009