ASPEK HUKUM BANK SYARIAH DALAM KAITANNYA DENGAN KOMPETENSI ABSOLUT PENGADILAN AGAMA Oleh: Cholidul Azhar, SH. M.Hum (Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Makassar) 1. Pendahuluan Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009, dihubungkan pula dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, merupakan perubahan yang sangat signifikan, terkait dengan kewenangan absolut yang tercantum dalam pasal 49 huruf i, yaitu ekonomi syariah. Penambahan kewenangan baru tersebut merupakan lompatan jauh ke depan dalam kurun waktu yang relatif singkat, mengingat upaya untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama di Jawa Madura terkait dengan perkara waris bagi orang Islam, yang berdasarkan
Stbl. 1882 memang
merupakan kompetensi absolut Pengadilan Agama, kemudian oleh pemerintah kolonial Belanda telah dihapus dengan Stbl. 1937, baru berhasil dikembalikan menjadi kewenangan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura setelah melalui kurun waktu yang cukup lama (52 tahun), yakni dengan diundangkannya UndangUndang nomor 7 tahun 1989, meskipun pada awalnya kewenangan untuk menyelesaikan perkara waris tersebut masih “dibatasi” dengan hak opsi. Dari segi hukum Islam, ekonomi syariah yang berbasis fiqh muamalah secara teoritis bukan barang baru bagi hakim Pengadilan Agama, yang notabene pernah mempelajarinya di bangku kuliah fakultas syari’ah, karena merupakan bagian dari kajian fiqih, namun ekonomi syariah (ekonomi Islam) dalam tataran aplikasi dewasa ini
baik domestik maupun global merupakan kegiatan
2 perekonomian yang relatif baru, yang dipandang bisa lebih memberikan harapan, karena perekonomian konvensional, baik sistem kapitalis/liberal maupun sosialis dipandang telah gagal.
Hal tersebut menjadi “lebih baru” lagi bagi lingkungan
Peradilan Agama, yang selama ini kewenangannya hanya terbatas pada masalah sengketa perkawinan, waris, harta bersama, hibah, wasiyat dan shodaqah. Sehingga tidak aneh bila terdengar komentar miring dari banyak pihak yang mempertanyakan kapabilitas hakim pengadilan agama dalam menangani kewenangan baru tersebut. Bahkan Mulia Siregar, Ketua Tim Regulasi dan Pengembangan
Perbankan
Syariah
Bank
Indonesia
pada
waktu
baru
diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, meminta agar UndangUndang itu dikoreksi dan ditunda dulu pelaksanaannya, karena dalam pembahasannya di DPR tidak dilakukan konsultasi dengan pihak yang mempunyai otoritas mengatur perbankan maupun dengan stakeholder ekonomi syariah.1. Terlepas dari berbagai komentar miring tersebut, kewenangan baru untuk menangani sengketa di bidang ekonomi syariah merupakan tantangan yang harus dihadapi bagi hakim di lingkungan Peradilan Agama. Untuk itu diperlukan kerja keras dan sungguh-sungguh dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan di bidang hukum ekonomi/bisnis khususnya bidang ekonomi syariah. Dalam kaitannya sebagai upaya untuk mengenal dan mendalami lebih lanjut tentang aspek hukum ekonomi syariah, penulis mencoba membahas salah satu bagian dari ekonomi syariah tersebut, yakni perbankan syariah, yang di Indonesia merupakan
kegiatan ekonomi syariah yang lahir lebih dahulu dan
merupakan lokomotif kegiatan ekonomi syariah lainnya (asuransi syariah,
3 reksadana syariah, gadai syariah, obligasi syariah, sekuritas syariah, dan pasar modal syariah). Dalam pembahasan ini penulis membatasi diri pada: bank syariah sebagai bank bebas bunga/riba, dasar hukum bank syariah (hukum positif dan hukum Islam/syariah), aspek hukum kelembagaan dan operasional, dan penyelesaian sengketa perbankan syariah dalam kaitannya dengan tambahan kewenangan absolut Pengadilan Agama berdasarkan pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-Undang nomor 50 tahun 2009.
2. Bank syariah sebagai bank bebas bunga/riba Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat yang kelebihan
dana
(surplus
spending
unit)
dalam
bentuk
simpanan
dan
menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan dana (deficit spending unit) dalam berbagai alternatif investasi.2 Transaksi usaha bank senantiasa berkaitan dengan uang. Dari kegiatan menghimpun dana dan menyalurkan dana tersebut bank mengambil keuntungan dari selisih bunga yang diambil dari dana pinjaman dengan bunga yang diberikan pada dana simpanan. Dari sisi permintaan, bunga atau interest adalah biaya atas pinjaman, yakni merupakan sejumlah uang yang dibayarkan sebagai imbalan atas penggunaan uang yang dipinjam, sehingga disini bunga mirip
sebagai sewa atau harga dari uang.
Sedangkan dari sisi penawaran, bunga merupakan pendapatan atas pemberian kredit, yaitu pemilik dana akan menggunakan atau mengalokasikan dananya pada jenis investasi yang menjanjikan pembayaran bunga yang lebih tinggi. Sebagai contohnya apabila dana yang dipinjamkan sebesar Rp 1.000.000,00 dan pada
4 akhir tahun harus dikembalikan Rp 1.100.000,00, maka bunga yang dipungut dalam transaksi tersebut adalah Rp 100.000,00, dengan demikian tingkat bunga tersebut adalah Rp 100.000,00/Rp 1.000.000,00 = 0,1 atau 10 %, dan selalu dinyatakan secara tahunan (annual), sehingga perhitungan bunga tersebut dikenal dengan 10% p.a. (per annum).3 Penentuan bunga dalam praktek perbankan konvensional selalu ditetapkan di muka, yakni ketika transaksi penyimpanan atau peminjaman dilakukan, maka sekaligus ditetapkan berapa tingkat bunga yang harus dibayar. Dengan demikian menurut prinsip syariah, suatu pinjaman yang ditetapkan lebih dahulu diambil manfaatnya berupa tambahan pembayaran pengembaliannya, dikategorikan sebagai riba, dan dilarang untuk dilakukan (haram). Al Jurjani mengartikan riba sebagai berikut:
sç P× °ÎÛ¯Pº¨Û ÊRÄ ÉuÌsÌ Ü°¼oZÕuá ÍRVÛ¯æÕ °±RÛ¯ (Riba secara syar’iy adalah kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ada ganti atau imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad atau transaksi).4 Pengertian yang hampir sama diberikan oleh al Aini sebagai berikut:
Ïç °C´ PjÌ RvÐ sÝ Ü°pÛ¯ oÆ § ænÌ ³ ¾ °ç SÛ¯ uá ÍRVÛ¯ æÕ °±RÛ¯ (Riba secara syar’iy adalah penambahan atas harta pokok tanpa adanya aqad atau transaksi jual beli yang riil) 5 Menurut Saeed, istilah riba pertama kali diintrodusir berdasarkan wahyu yang diturunkan pada masa awal risalah kenabian Muhammad di Makkah, pada tahun ke 4 atau 5 Hijriyah (614/615M).6 Pembicaraan riba untuk kedua kalinya dipertajam pada periode kehidupan Madinah, tepatnya setelah peristiwa perang
5 Uhud, yakni hampir 11 tahun setelah larangan riba untuk pertama kalinya diperkenalkan pada periode Makkah.7 Ungkapan (al Qur’an 3:130) “janganlah memakan riba” mengindikasikan bahwa sebelum turun ayat tersebut riba merupakan hal yang biasa dalam perniagaan bangsa Arab pra Islam, yakni dengan cara mengenakan tambahan pembayaran bagi pihak yang berutang (debitor) yang tidak mampu mengembalikan hutangnya pada waktu jatuh tempo, sehingga hutang lama ditambah dengan tambahan tersebut menjadi hutang baru. Keadaan tersebut bisa berulang lagi ketika kemudian ternyata debitur kembali tidak mampu membayar utangnya pada saat jatuh tempo. Bila debitor tidak dapat membayarnya, maka hutang tersebut dapat berlipat ganda lagi, umpamanya hutang 100 dalam satu tahun dapat meningkat menjadi 200, jika tidak dibayar pada tahun berikutnya, hutang akan meningkat lagi menjadi 400. Jelasnya keterlambatan hutang akan bertambah berlipat ganda setiap tahun. Inilah yang disebut dengan riba yang berlipat ganda, yang dianggap memberatkan debitur. 8 Ayat-ayat al Al Qur’an tentang riba tidak diturunkan sekaligus, melainkan secara bertahap. di tempat dan masa yang berlainan, sebagaimana ayat-ayat yang melarang mengkonsumsi minuman keras (khamer). Ada empat ayat dalam Al Qur’an tentang riba, salah satunya diturunkan di Mekkah dan tiga lainnya diturunkan di Madinah. Ayat pertama ialah surat Ar Rum 39, yang tidak langsung melarang riba, tetapi hanya mengemukakan bahwa riba itu tidak disenangi dan Allah tidak akan memberikan berkah pada riba. Berbeda dengan harta yang dikeluarkan zakatnya maka Allah akan memberikan berkahnya dan akan melipat gandakannya. Ayat kedua, surat an Nisa’ 160 dan 161, juga masih belum menyebutkan larangan riba tetapi
hanya membangkitkan
perhatian dan
mempersiapkan mental untuk menerima adanya ide larangan riba. Kemudian
6 datang
ayat ketiga, surat Ali Imran 130, yang tidak mengharamkan secara
keseluruhan, melainkan hanya riba tertentu yang diharamkan, yakni riba dalam bentuk berlipat ganda. Terakhir turun ayat yang ke empat, surat al Baqarah 275279, yang secara tegas mengharamkan memakan riba, agar mata manusia terbuka melihat kenyataan berpindahnya kekayaan dari pemiliknya kepada orang yang mengeksploitasi kebutuhan orang dan menyedot harta mereka. Ayat ini dengan tuntas mengharamkan riba secara keseluruhan. Penetapan haramnya riba secara total ini menurut ahli fiqih terjadi pada akhir tahun ke 8 atau awal tahun ke 9 Hijriyah. 9 Ketentuan tentang haramnya riba tersebut juga dinyatakan dalam beberapa hadits, di antaranya dari Abu said ia berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda:
¾¯Á spÕ Pv±¯Pç oHp±zHÝ MnpÛ °± MnpÛ¯ä RCÛ°±RCÛ¯ä EZhÛ°± EZhÛ¯ä Dá QÛ°± Dá QÛ¯ ¤ ¯u ædÎpÛ¯ä Q¼ ¯ألæ±À § PjÕ ¾¯SF¯ä (Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum dan garam dengan garam sama-sama dari tangan ke tangan. Maka barangsiapa yang menambahkan atau minta ditambahkan sungguh ia telah berbuat riba. Pengambil dan pemberi sama saja). 10
Al Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. bersabda:
UhrÛ¯oF×ä RLTÛ¯ä tnÛ°± ÚRVÛ¯Ü°× tnÛ¯ÜuÂÀ °ç sá °Ýä ¯uÛ°× µ°j±upÛ¯ÏCTÛ¯¯uCrF¸¯ Ö P×ä iºSÛ¯ Þuç æÛuFÛ¯ä qvFvÛ¯ Ü°Ý oÙ¯ä °±RÛ¯ oÙ¯ä kLÛ¯°± í¯ tnÛ¯ ÞRº æFÛ¯ µ°rÝApÛ¯ µzÕ °ÒÛ¯ µ°rXLpÛ¯ (Tinggalkanlah tujuh hal yang dapat membinasakan. Orang-orang bertanya: Apa itu wahai Rasulullah. Beliau menjawab: syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri waktu datang serangan musuh dan menuduh wanita mukmin yang suci tetapi lalai” 11 Daruquthni meriwayatkan dari Abdullah bin Hanzalah, bahwa Nabi bersabda:
7
EBvdNÛ¯æÕ Evß Á sv¶z¶ä GÂsÝ æ۰δtnÛ¯PrÌPÄ §°±À qáÀPÛ (Untuk satu dirham riba di sisi Allah lebih berat dari tiga puluh enam kali berzina menurut ukuran kesalahan) 12 Juga Nabi bersabda:
tÝ°± o¸Rۯ洨ç à¨Ù°á °ß¾§ °±°± suδä Eδ °±RnÛ (Untuk riba ada 99 pintu dosa, yang paling rendah (derajatnya) seperti seseorang yang menzinahi ibunya.13 Berdasarkan dalil-dalil yang qath’iy tersebut, jumhur ulama telah sepakat bahwa hukum riba adalah haram. Akan halnya riba pada bunga bank, para fuqaha telah berselisih pendapat, sejak praktek perbankan konvensional dilakukan. karena praktek bunga bank secara institusional tidak pernah terjadi pada zaman Rasulullah, tetapi belakangan menjadi tradisi di dunia perekonomian yang meluas di seluruh dunia, non muslim maupun muslim, sehingga tidak ada dalil hukum Islam yang qath’iy mengenai praktek bunga bank, dan hal tersebut telah membuka peluang dilakukannya ijtihad oleh para ahli hukum Islam, dan oleh karena itu berakibat timbulnya perbedaan pendapat. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa bunga bank adalah riba (nasiah), oleh karena itu haram, sedangkan sebagian fuqaha lainnya berpendapat bahwa tidak semua bunga bank termasuk riba (nasiah). Yang termasuk riba nasiah adalah bunga bank yang masuk kategori usury (bunga berbunga) sedangkan bunga bank yang dikategorikan interest, yakni dalam batas-batas kewajaran, tidak dianggap riba, sehingga tidak haram. 14 Para ahli fiqih (perorangan atau kelompok) yang berpendapat bahwa bunga bank adalah riba antara lain: Yusuf al Qardhawy, berpendapat:
8
Þ¯RLÛ§°±RÛ§ æá ÚurCÛ¯ P¦¯uÕ (Bunga bank adalah riba yang haram). 15 Pendapat ini senada dengan al Zuhaily yang menyatakan:
EBvTrÛ¯ °±À æá ÚurCÛ¯P¦¯uÕä§ÖÀ°XpÛ¯°±Àä Þ¯RºÞ¯RºÞ¯Rº (ÚurCÛ¯) ÖÀ°XpÛ§P¦¯uÕ É¯RF× ì¯ä ɯR× ì¯ ænÆ ë¯ ÚurCÛ¯opÌ àë ECÙ¯RÝ Þ¯ EcvT± ³P¦ °hÛ¯ Gß°Ù¤¯u °±RÛ¯°Ù Þ¯Rº Þ¯Rº Þ¯Rº æáä °Ý°Ý´ EjjLFÝ ÚurCÛ¯ P¦¯uÕ æÕ °±RÛ¯ À°ZÝ à ªä tp¶«Ù °ãp¶¯ä (Bunga pinjaman/kredit bank adalah haram, haram haram yaitu termasuk riba nasiah baik bunga dipungut sekali atau berkali-kali, karena pada asalnya transaksi bank adalah pinjam meminjami …….. dan apabila bunga benar-benar memberatkan nasabah, maka haram, haram, haram, seperti riba dan dosanya bunga bank sama dengan dosa riba)
16
Pusat Riset Islam (Majma’ al Buhuts al Islamiyah/Institute of Islamic Research) Al Azhar, Mesir,
dalam Muktamar Ulama Islam sedunia yang
berlangsung pada bulan Muharam 1385 H/Mei 1965 dan dihadiri utusan dari 35 negara, yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Islam al Azhar di Kairo, telah memutuskan bahwa (a) Bunga dari berbagai jenis pinjaman adalah riba, yang diharamkan, baik pinjaman konsumtif maupun pinjaman produktif, (b) Banyak dan sedikitnya riba adalah haram (Ali Imran 130); (c) Meminjamkan sesuatu dengan bunga (riba) hukumnya haram, walaupun karena darurat atau keperluan. Bahkan meminjam dengan bunga diharamkan
juga. (d) Aktifitas bank seperti giro,
membayar cek, LC draft (bill of exchange) dalam negeri yang bebas bunga, yang merupakan dasar hubungan dengan pengusaha dalam negeri, merupakan praktek-praktek kegiatan usaha bank yang boleh. Uang yang diambil sebagai fee jasa perbankan di atas bukanlah riba; (e) Deposito berjangka, membuka giro dengan memakai bunga, merupakan bentuk muamalah riba;
9 Adapun Majelis Majma’ Fiqih Islami (Lembaga Fiqih Islam), Konferensi OKI II, 22-28 Desember 1985, di Jeddah, Arab Saudi dalam Keputusan no. 10, memutuskan bahwa setiap tambahan atas hutang yang telah jatuh tempo dan orang yang berhutang tidak mampu membayarnya, dan sebagai imbalan atas penundaannya itu, demikian pula tambahan atas pinjaman yang ditetapkan di awal perjanjian, adalah riba yang diharamkan..17 Namun begitu tidak setiap kelebihan dalam pengembalian pinjaman adalah riba. Menurut Qardhawi, para fuqaha membolehkan pinjaman yang bertambah dengan ketentuan jika tidak disyaratkan sebelumnya dalam perjanjian, dimana tambahan tersebut hanya sebagai kebijaksanaan dan kebaikan hati si peminjam yang diberikan pada waktu pembayaran kembali sebagai tanda terima kasih belaka kepada kreditor.
18
Hal tersebut didasarkan pada beberapa hadits, di
antaranya yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim serta Ashabus Sunan dari Abu Rafi’ berkata:
æZק ৠæßRÝ¨Õ E×PXÛ¯ o± ª t´ ¤°JÕ¯Rl± o¸À sÝ qn ä tvnÌ tnÛ¯ ænÆ tnÛ¯ ÜuÂÀ inF¯ qn ä tvnÌ tnÛ¯ ænÆ æCrÛ¯ Ü °jÕ °vÌ °±À ¯À °v¼zp¸íª o± ì¯ æÕ P¸§ qÛ GnjÕ ¯Rl± o¸RÛ¯ ¤°Z× qlrTº§ qÙRv¼ à°Õ â °çª tḑ (Rasulullah pernah meminjam unta muda kepada seseorang, kemudian datanglah unta-unta sedekah, kemudian beliau memerintahku agar membayar piutang orang tersebut yang diambil dari unta sedekah itu. Lalu aku katakan, Aku tidak mendapatkan unta muda di dalamnya kecuali unta pilihan yang sudah berumur enam tahun masuk ketujuh. Lalu Nabi bersabda: Berikanlah kepadanya, sesungguhnya orang yang paling baik di antaramu adalah orang yang paling baik dalam membayar hutang) 19 dan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, yang mengatakan:
æß ¾ ¯Áä æß °ZjÕ kº tnÛ¯ ÜuÂÀ ænÌ æÛ à°Ù (Aku pernah mempunyai hak (piutang) kepada Rasulullah. Beliau lalu membayarku dan beliau melebihkan untukku”) 20
10
Hal tersebut di atas tentunya tidak bisa diterapkan dalam kegiatan dunia usaha/bisnis yang bersifat profit oriented, karena tidak bisa mengharapkan perolehan revenue yang pasti, kecuali untuk segi kegiatan sosialnya (misalnya al qardhul hasan). Ijtima Ulama Komisi Fatwa se Indonesia yang merupakan organ dari Majelis Ulama Indonesia, dalam sidangnya di Jakarta, pada tanggal 22 Syawal 1424H/16 Desember 2003M, telah mengambil keputusan fatwa tentang bunga bank. Dinyatakannya bahwa bunga bank termasuk riba nasiah, karena terjadi disebabkan
adanya
penangguhan
dalam
pembayaran
yang diperjanjikan
sebelumnya, dengan demikian praktek pembungaan uang tersebut termasuk salah satu bentuk riba dan hukumnya haram. Bahkan bunga uang dari pinjaman/simpanan yang berlaku di atas lebih buruk dari riba yang diharamkan oleh Allah dalam al Qur’an, karena riba hanya merupakan tambahan yang dikenakan pada saat si peminjam tidak mampu mengembalikan pinjaman pada saat jatuh tempo, sedangkan bunga bank sudah langsung dikenakan tambahan sejak terjadinya transaksi. Oleh karena itu untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan syariah, tidak diperbolehkan melakukan transaksi yang didasarkan pada perhitungan bunga, sedangkan untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan syariah diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dlarurat/hajat.21 3. Beda bank syariah dengan bank konvensional Perbedaan mendasar operasional bank syariah dengan bank konvensional, antara lain: Pertama, dalam sistem pendapatan, bank syariah tidak menerapkan bunga (free interest based) untuk seluruh kegiatan transaksi perbankan yang
11 dilaksanakan. Sebagai alternatifnya pendapatan bank syariah
diperoleh dari
keuntungan nisbah bagi hasil, margin jual beli dan pendapatan jasa (fee). Kedua, hubungan antara bank dengan nasabah adalah hubungan
kerjasama investasi
(dalam kegiatan mudharabah), yaitu antara pengelola dana (mudharib)
dan
pemilik dana (shahibul maal), dan hubungan antara penjual dan pembeli (dalam transaksi jual beli: murabahah, salam, istishna dan lain-lain), serta hubungan antara pemberi jasa dan menerima jasa. Ketiga, dalam penyaluran dana bank syariah membatasi diri hanya untuk
pembiayaan yang dibolehkan menurut
dengan prinsip syariah. Pembiayaan
yang dilarang oleh syariah, seperti
pembiayaan produk makanan atau minuman yang diharamkan, kegiatan yang terkait dengan perjudian, produk yang merusak lingkungan dan lainnya sebagainya. Keempat, dalam struktur organisasi bank syariah terdapat Dewan Pengawas
Syariah
direkomendasi
oleh
sebagai
lembaga
Dewan
Syariah
pengawas Nasional
yang
untuk
pembentukannya
mengawasi
aspek
pelaksanaan syariah dalam kegiatan usaha bank, sehingga kepatuhan pada prinsip syariah tetap terjaga. Kelima, yang sebenarnya sangat penting adalah pendekatan
falah
dalam
kegiatan
usaha
bank
syariah,
yaitu
adanya
keseimbangan dalam mengoptimalkan kemakmuran dan kebahagiaan hidup di dunia dan keselamatan dan kebahagiaan hidup di akhirat. Keenam, , perkembangan terkini ternyata standard akuntansi bank syariah juga berbeda karena lebih banyak menyajikan transaksi investasi baik dari sisi aktiva maupun passiva.22 Salah satu perbedaan prinsipiil yang mendasari operasional bank syariah dengan bank konvensional adalah adanya keyakinan bahwa transaksi dalam perbankan syariah mempunyai pertanggung jawaban berdimensi ganda, yakni
12 duniawi dan ukhrowi karena dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sehingga parameter untuk menentukan sah tidaknya suatu transaksi tidak semata-mata berdasarkan hukum positif saja, tetapi harus sesuai dengan ketentuan syariah. Perbedaan status hukum menurut syariah dan mekanisme perhitungan dan pemungutan bunga dengan keuntungan/nisbah antara bank konvensional dengan bank syariah bisa dilihat pada Tabel berikut: Tabel : Perbedaan sistem bunga dengan sistem bagi hasil (Muhamad, 2004) HAL Status hukum Islam
Penentuan besarnya hasil/untung Yang ditentukan sebelumnya
SISTEM BUNGA Berlawanan dengan Qur’an S Luqman 34 (haram/syubhat), karena menggunakan system bunga Sebelum realisasi kredit, tidak terpengaruh dengan hasil usaha debitur Bunga, dalam bentuk prosentase (%) tertentu dari pokok pinjaman
Jika terjadi kerugian
Ditanggung debitur sendiri
Dihitung dari mana? Titik perhatian usaha
Dari pokok pinjaman (sudah pasti) Besarnya bunga yang harus dibayar debitur/pasti diterima bank
SISTEM BAGI HASIL Melaksanakan Qur’an S Luqman 34 (halal), menggunakan system bebas bunga
Sebelum realisasi pendanaan, dan tergantung pada hasil/untungnya nasabah Nisbah, dalam bentuk perbandingan porsi pembagian untung antara bank dengan nasabah, misalnya 50:50, 40:60, 35:65 dst. sesuai kesepakatan Ditanggung kedua belah pihak: kreditur (shaibulmaal) menanggung dananya dan nasabah (mudharib), tidak mendapat keuntungan Dari untung yang bakal diperoleh, (belum pasti besarnya) Keberhasilan proyek/usaha jadi perhatian bersama: Nasabah dan Bank
4. Dasar hukum bank syariah a. Hukum Positif Ketika pertama kali bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah didirikan, yaitu BPR Mardhatillah dan BPR Berkah Amal Sejahtera pada tanggal 15 Juli 1991 di Bandung serta Baitul Mal wat Tamwil Muhammadiyah, belum ada peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar hukumnya, dengan demikian pendirian bank-bank tersebut , menurut Hefner, secara teknis adalah illegal.23 Yang berlaku pada waktu itu adalah Undang-Undang Nomor 14 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, yang tidak mengatur bank syariah.
13 Undang-Undang yang pertama kali memberi peluang beroperasinya bank syariah adalah Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, (pasal 1 angka 12)
yang diundangkan berlakunya pada tanggal 25 Maret 1992, yang
menentukan bahwa pengembalian pinjaman bank oleh nasabah mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian keuntungan. Meskipun tidak secara tegas dinyatakan bolehnya perbankan dengan prinsip syariah beroperasi, tetapi dari frasa “pembagian keuntungan” dalam sistem kredit perbankan waktu itu, dimungkinkan untuk mendirikan perbankan dengan sistem pembagian keuntungan yang lebih lazim dengan sebutan sistem “bagi hasil” (profit and loss sharing), yang dalam syariah dikenal dengan mudharabah. Ketentuan tersebut membuka peluang didirikannya bank dengan sistem bagi hasil, yang tidak lain adalah bank dengan prinsip syariah. Berdasarkan Undang-Undang Perbankan tersebut kemudian Pemerintah membuat Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, dimana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan syariat.24. Kegiatan prinsip bagi hasil berdasarkan syariat tersebut dilakukan baik dalam penghimpunan dana maupun pembiayaan, serta kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan bank dengan prinsip bagi hasil. Kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil tersebut diperluas dengan memasukkan usaha jual beli yang dilakukan oleh bank (pasal 2 ayat (2).
Peraturan Pemerintah ini melarang bank umum maupun BPR
konvensional untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil (pasal 6 ayat 2).
14 Setelah berlaku selama 6 tahun, karena dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan perekonomian nasional yang semakin kompetitif serta sistem keuangan yang semakin maju, disamping itu juga untuk menyesuaikan dengan telah diratifikasinya
beberapa
perjanjian
internasional
di
bidang
perdagangan barang dan jasa, maka Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan dipandang perlu diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, yang secara tegas telah mencantumkan ketentuan tentang “prinsip syariah” dan “pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”, dan membolehkan bank umum konvensional membuka unit usaha syariah. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, tidak khusus mengatur perbankan syariah tetapi juga perbankan konvensional (dual banking system). Dengan Undang-Undang tersebut eksistensi perbankan syariah di Indonesia telah memiliki dasar hukum kuat yang dapat dijadikan landasan bagi pendirian dan kegiatan
usahanya.
Namun
begitu
pengaturan
operasional
perbankan
konvensional dan perbankan syariah dalam satu undang-undang dianggap mempunyai banyak kelemahan. Salah satu alasan diantaranya adalah, karena pengaturan tentang perbankan syariah di dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 masih sangat sumir dan mengandung aturan yang tidak tegas bahkan ada yang menimbulkan kontradiksi. Hal itu terjadi karena antara perbankan syariah dan perbankan konvensional memiliki karakteristik yuridis yang sangat berbeda, sehingga sebenarnya tidak mungkin diatur hanya dalam satu undang-undang saja. Keadaan tersebut menimbulkan kesan bahwa perbankan syariah dianaktirikan dalam pengaturannya, karena ternyata pasal-pasal yang mengatur perbankan syariah masih terlalu sedikit dibanding dengan pasal-pasal yang
15 mengatur perbankan konvensional. Produk dan jasa perbankan syariah dijelaskan secara terbatas dan tidak komprehensif karena hanya mengikuti ketentuan umum perbankan konvensional. Hal yang seharusnya menjadi dasar operasional perbankan syariah bahkan menjadi core bisnisnya malah dilarang, sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 (yang tidak diubah dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 1998). Baru kemudian dengan Undang-Undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, kegiatan usaha bank syariah telah diatur lebih khusus, lebih luas dan lebih rinci. b. Hukum Islam Hukum Islam atau sering disebut juga syariah merupakan serangkaian norma agama yang bersifat imperatif bagi pemeluknya untuk melaksanakan ajarannya secara menyeluruh, integral dan komprehensif (kaffah), sehingga implementasinya mencakup seluruh aspek kehidupan, baik dalam kaitannya dengan hubungan makhluk dengan Maha Pencipta (hablum minallah), maupun hubungan antara sesama manusia (hablum minannas), yang lazim disebut muamalah, di mana di dalamnya termasuk aspek ekonomi dan industri perbankan. Menurut Anderson, bahwa Hukum Islam memasukkan seluruh perbuatan manusia ke dalam cakupannya, meliputi lapangan hukum publik, hukum privat, hukum nasional dan hukum internasional sekaligus.25 Diberlakukannya hukum Islam, in casu prinsip-prinsip syariah dalam bidang perbankan, didasarkan pada UndangUndang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (pasal 1 butir 12 jo. pasal 6 butir m ) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, ( pasal 1 angka 1 butir 12 dan 13 jo. angka 3) tentang perubahan Undang-Undang nomor 7 tahun 1992, dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 (pasal 2 ayat (1) dan penjelasan pasal 1 ayat (1)) tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
16 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan syariat. Menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008, pasal 1 angka 12, bahwa yang dimaksud dengan prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Berbicara masalah muamalat berdasarkan syariat, maka pertama kali yang terbayang dalam benak adalah serangkaian ayat-ayat al Qur’an dan Hadits serta aplikasinya yang menjadi kajian ilmu fiqih. Namun begitu dalam tataran praktisnya prinsip-prinsip hukum Islam/syariah yang bersumber pada al Qur’an dan Hadits serta kitab-kitab fiqih tersebut telah dirumuskan sedemikian rupa oleh lembaga yang berwenang untuk itu di lingkungan perbankan syariah. Adalah Dewan Pengawas Syariah untuk pertama kali yang berwenang menentukan boleh tidaknya suatu produk/jasa perbankan dipasarkan atau suatu kegiatan dilakukan ditinjau dari sudut syariah setelah berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), (berdasarkan pasal 5 ayat (3) dan penjelasannya Peraturan Pemerintah nomor 72 Tahun 1992). Dalam perkembangan selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/33/KEP/DIR, tentang Bank Umum (pasal 1 butir j) yang kemudian diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/27/PBI/2000 (pasal 1 butir 8), kewenangan tersebut kemudian dialihkan ke Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia yang mempunyai otoritas menetapkan fatwa berkaitan dengan produk atau kegiatan lembaga keuangan syariah berdasarkan prinsip-prinsip syariah bidang fiqih muamalah.
17 Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk memastikan kesesuaian antara produk, jasa, dan kegiatan usaha bank dengan prinsip syariah.
26
Ketika
pada tahun 1991 untuk pertama kalinya di Indonesia berdiri bank syariah (Bank Muamalat Indonesia), maka otoritas memberikan rekomendasi pembentukan Dewan Pengawas Syariah (DPS) ditangani langsung oleh Majelis Ulama Indonesia, sedangkan penetapan fatwa terhadap produk perbankan syariah yang bisa dipasarkan ditetapkan oleh DPS, dimana personilnya juga para ulama dari MUI, karena pada waktu itu Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia belum terbentuk . Dengan semakin berkembangnya lembaga-lembaga keuangan syariah, yang memerlukan pembentukan Dewan Pengawas Syariah pada setiap lembaga keuangan tersebut, maka MUI merasa perlu membentuk lembaga tersendiri, yang kelak diberi nama Dewan Syariah Nasional (DSN), yakni Dewan yang merupakan bagian dari MUI, dengan tugas mengawasi dan mengarahkan lembaga-lembaga keuangan syariah untuk mendorong penerapan nilai-nilai ajaran Islam dan kegiatan perekonomian dan keuangan. Pembentukan DSN merupakan langkah efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menangani isu-isu yang berhubungan dalam masalah ekonomi/keuangan. DSN diharapkan dapat berfungsi untuk mendorong penerapan ajaran Islam dalam kehiduan ekonomi. Kalau kita amati dengan seksama fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia terkait dengan kegiatan perbankan dan perekonomian syariah, dalam pertimbangannya selalu didasarkan pada ketentuan Al Qur’an, Al Hadits, kaidah fiqh, dan sebagian dilengkapi dengan ijma dan pendapat ulama.
18 Sehingga tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa fatwa DSN MUI terkait dengan kegiatan usaha perekonomian syariah merupakan hasil ijtihad di bidang tersebut. 5. Kegiatan Usaha Kegiatan perbankan syariah semula berdasarkan pasal 28, 29 dan 30 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR, tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, Ketentuan tersebut kemudian diperbaharui dengan pasal 36 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004, tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Selanjutnya dalam pasal 37 ditambahkan bahwa selain melakukan kegiatan usaha lainnya meliputi kegiatan dalam valuta asing berdasarkan akad sharf; penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain dibidang keuangan berdasarkan prinsip syariah seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan; penyertaan modal sementara berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan dana pensiun yang berlaku. Bank syariah dalam melaksanakan fungsi sosial dapat bertindak sebagai penerima dana sosial antara lain dalam bentuk zakat, infaq, shadaqah, waqaf, hibah dan menyalurkannya sesuai syariah atas nama Bank atau lembaga amil zakat yang ditunjuk oleh pemerintah. Dalam Undang-Undang nomor 21 tahun 2008, kegiatan usaha perbankan syariah diatur dalam pasal 19, 20 dan 21.
19 6. Aspek hukum kelembagaan. Menurut pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008, bentuk badan hukum bank syariah adalah perseroan terbatas. Sebagai badan hukum berupa Perseroan Terbatas (PT), maka pendiriannya tunduk pada ketentuan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1985 tentang Perseroan Terbatas yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Berdasarkan Undang-Undang ini, kewenangan untuk menangani sengketa aspek hukum kelembagaan perseroan terbatas antara pemegang saham dengan dewan direksi dan dewan komisaris ini merupakan kewenangan pengadilan negeri, (termasuk perseroan terbatas bank syariah), misalnya yang ditentukan dalam pasal 80, 81, (terkait dengan pemangglan RUPS), pasal 86, (terkait dengan RUPS yang tidak mencapai kuorum), pasal 114 ayat (6) (tentang pemegang saham menggugat dewan komisaris), pasal 138, 139, 140, 141 (terkait dengan pemeriksaan terhadap perseroan), pasal 142 (terkait dengan pembubaran perseroan), pasal 146 (terkait dengan kewenangan pengadilan negeri membubarkan PT), pasal 150 (terkait dengan gugatan kreditor yang ditolak oleh likuidator). Demikian pula bila terjadi kepailitan bank syariah, maka status hukum dan proses penyelesaiannya utang-utangnya di kalangan dunia usaha, yang semula dilakukan berdasarkan Undang-Undang tentang Kepailitan (FaillissementsVerordening, Stbl 1905 no. 217 jo. Stbl. 1906 no. 3481), kemudian diubah dengan Perppu no. 1 tahun 1998 dan disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998, dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan
dan
berdasarkan
Penundaan
pasal
1 angka
Kewajiban 7
Pembayaran
Undang-Undang
ini,
Utang,
yang
mana
kewenangan
untuk
menyelesaikan masalah kepailitan tersebut merupakan kewenangan Pengadilan
20 Niaga yang ada di lingkungan Peradilan Umum, meskipun perseroan terbatas tersebut berupa bank syariah atau pelaku usaha perekonomian syariah lainnya.
7. Aspek hukum operasional Operasional perbankan syariah diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 dan Peraturan Bank Indonesia yang dibuat berdasarkan UndangUndang Nomor 23 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004. Dari dimensi syariah, operasional bank syariah didasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia. Dewan ini dibentuk oleh MUI yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk memastikan kesesuaian antara produk, jasa dan kegiatan usaha perbankan dengan prinsip syariah.27 Fatwa DSN selama ini dibuat dengan 2 macam prosedur. Yang pertama, atas usulan Dewan Pengawas Syariah melalui bank syariah yang bersangkutan, sebagai tindak lanjut usulan bagian/divisi bank syariah yang melakukan inovasi suatu produk perbankan dan telah dibahas di tingkat direksi.
Yang kedua,
sebagai respon terhadap masukan dari berbagai pihak (masyarakat maupun BI) tentang adanya suatu produk bank syariah yang ditengarai tidak atau kurang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Masalah tersebut pertama kali dibahas oleh Badan Pelaksana Harian DSN, yang selanjutnya pembahasannya dimatangkan dan disahkan dalam rapat pleno. Itulah sebabnya urutan terbit dan jenis fatwa DSN tidak sistematis sebagaimana suatu peraturan perundang-undangan, karena fatwa tersebut dibuat sebagai respon situasional atas timbulnya permasalahan yang terkait dengan praktek perbankan syariah, yang produknya dilaunching lebih dulu.
21 Sejak dibentuk sampai sekarang DSN telah mengeluarkan sebanyak 86 fatwa yang terkait dengan operasional ekonomi
syariah, (perbankan, gadai,
asuransi, pasar modal, dan bisnis syariah lainnya) sebagai berikut: Tabel: DAFTAR FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Nomor Fatwa 01/DSN-MUI/IV/2000 02/DSN-MUI/IV/2000 03/DSN-MUI/IV/2000 04/DSN-MUI/IV/2000 05/DSN-MUI/IV/2000 06/DSN-MUI/IV/2000 07/DSN-MUI/IV/2000 08/DSN-MUI/IV/2000 09/DSN-MUI/IV/2000 10/DSN-MUI/IV/2000 11/DSN-MUI/IV/2000 12/DSN-MUI/IV/2000 13/DSN-MUI/IX/2000 14/DSN-MUI/IX/2000 15/DSN-MUI/IX/2000 16/DSN-MUI/IX/2000 17/DSN-MUI/IX/2000 18/DSN-MUI/IX/2000
Tentang GIRO TABUNGAN DEPOSITO MURABAHAH JUAL BELI SALAM JUAL BELI ISTISHNA' PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH) PEMBIAYAAN MUSYARAKAH PEMBIAYAAN IJARAH WAKALAH KAFALAH HAWALAH UANG MUKA DALAM MURABAHAH
19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
19/DSN-MUI/IV/2001 20/DSN-MUI/IV/2001 21/DSN-MUI/X/2001 22/DSN-MUI/III/2002 23/DSN-MUI/III/2002 24/DSN-MUI/III/2002 25/DSN-MUI/III/2002 26/DSN-MUI/III/2002 27/DSN-MUI/III/2002 28/DSN-MUI/III/2002 29/DSN-MUI/VI/2002 30/DSN-MUI/VI/2002 31/DSN-MUI/VI/2002 32/DSN-MUI/IX/2002 33/DSN-MUI/IX/2002 34/DSN-MUI/IX/2002 35/DSN-MUI/IX/2002 36/DSN-MUI/X/2002 37/DSN-MUI/X/2002 38/DSN-MUI/X/2002 39/DSN-MUI/X/2002 40/DSN-MUI/X/2003
AL-QARDH PEDOMAN PELAKSANAAN INVESTASI UNTUK REKSA DANA SYARI'AH PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARI’AH JUAL BELI ISTISHNA' PARALEL POTONGAN PELUNASAN DALAM MURABAHAH SAFE DEPOSIT BOX RAHN RAHN EMAS AL-IJARAH AL-MUNTAHIYAH BI AL-TAMLIK JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF) PEMBIAYAAN PENGURUSAN HAJI LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH PEMBIAYAAN REKENING KORAN SYARI’AH PENGALIHAN UTANG OBLIGASI SYARI’AH OBLIGASI SYARI’AH MUDHARABAH LETTER OF CREDIT (L/C) IMPOR SYARI’AH LETTER OF CREDIT (L/C) EKSPOR SYARI’AH SERTIFIKAT WADI’AH BANK INDONESIA ( S W B I ) PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARI’AH
41 42 43 44 45 46 47
41/DSN-MUI/III/2004 42/DSN-MUI/V/2004 43/DSN-MUI/VIII/2004 44/DSN-MUI/VIII/2004 45/DSN-MUI/II/2005 46/DSN-MUI/II/2005 47/DSN-MUI/II/2005
OBLIGASI SYARI’AH IJARAH SYARI’AH CHARGE CARD GANTI RUGI (TA’WIDH) PEMBIAYAAN MULTIJASA LINE FACILITY (AT-TASHILAT) POTONGAN TAGIHAN MURAHABAH.
48 49 50 51
48/DSN-MUI/II/2005 49/DSN-MUI/II/2005 50/DSN-MUI/III/2006 51/DSN-MUI/III/2006
PENJADWALAN KEMBALI TAGIHAN MURABAHAH. PENJADWALAN KEMBALI TAGIHAN MURABAHAH. AKAD MUDHARABAH MUSYTARAKAH MUDHARABAH MUSYTARAKAHPADA ASURANSI SYARIAH
SISTEM DISTRIBUSI HASIL USAHA DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARI'AH PRINSIP DISTRIBUSI HASIL USAHA DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARI'AH.
DISKON DALAM MURABAHAH SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN PENCADANGAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARI'AH
SERTIFIKAT INVESTASI MUDHARABAH ANTARBANK (SERTIFIKAT I.M.A.)
ASURANSI HAJI PASAR MODAL DAN PEDOMAN UMUM BIDANG PASAR MODAL
PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI
PENYELESAIAN PIUTANG MURABAHAH BAGI NASABAH TIDAK MAMPU MEMBAYAR.
22 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78
52/DSN-MUI/III/2006 53/DSN-MUI/III/2006 54/DSN-MUI/X/2006 55/DSN-MUI/V/2007 56/DSN-MUI/V/2007 57/DSN-MUI/V/2007 58/DSN-MUI/V/2007 59/DSN-MUI/V/2007 60/DSN-MUI/V/2007 61/DSN-MUI/V/2007 62/DSN-MUI/XII/2007 63/DSN-MUI/XII/2007 64/DSN-MUI/XII/2007 65/DSN-MUI/III/2008 66/DSN-MUI/III/2008 67/DSN-MUI/III/2008 68/DSN-MUI/III/2008 69/DSN-MUI/VI/2008 70/DSN-MUI/VI/2008 71/DSN-MUI/VI/2008 72/DSN-MUI/VI/2008 73/DSN-MUI/XI/2008 74/DSN-MUI/I/2009 75/DSN-MUI/VII/2009 76/DSN-MUI/VI/2010 77/DSN-MUI/V/2010 78/DSN-MUI/IX/2010
WAKALAH BIL UJRAH PADA ASURANSI SYARIAH TABARRU' PADA ASURANSI SYARI'AH SYARIAH CARD PEMBIAYAAN REKENING KORAN SYARIAH MUSYARAKAH KETENTUAN REVIEW UJRAH PADA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH LETTER OF CREDIT (L/C) DENGAN AKAD KAFALAH BIL UJRAH HAWALAH BIL UJRAH OBLIGASI SYARIAH MUDHARABAH KONVERSI PENYELESAIAN PIUTANG DALAM EKSPOR PENYELESAIAN UTANG DALAM IMPOR AKAD JU’ALAH SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH ( S B I S ) SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH JU’ALAH ( SBIS JU’ALAH ) HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU (HMETD) SYARIAH WARAN SYARIAH ANJAK PIUTANG SYARIAH RAHN TASJILY SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA METODE PENERBITAN SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA SALE AND LEASE BACK
79 80
79/DSN-MUI/III/2011 80/DSN-MUI/III/2011
QARDH DENGAN MENGGUNAKAN DANA NASABAH PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DALAM MEKANISME PERDAGANGAN EFEK BERSIFAT EKUITAS DI PASAR REGULER BURSA EFEK
81
81/DSN-MUI/III/2011
82
82/DSN-MUI/VIII/2011
83 84
83/DSN-MUI/VI/2012 84/DSN-MUI/XII/2012
PENGEMBALIAN DANA TABARRU’ BAGI PESERTA ASURANSI YANG BERHENTI SEBELUM MASA PERJANJIAN BERAKHIR PERDAGANGAN KOMODITI BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DI BURSA KOMODITI PENJUALAN LANGSUNG BERJENJANG SYARIAH JASA PERJALANAN UMRAH METODE PENGAKUAN KEUNTUNGAN Al-TAMWIL BI AL-MURABAHAH (PEMBIAYAAN MURABAHAH) DI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
85 86
85/DSN-MUI/XII/2012 86/DSN-MUI/XII/2012
SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA IJARAH SALE AND LEASE BACK
MUSYARAKAH MUTANAQISAH PENJAMINAN SYARIAH PEDOMAN PENJUALAN LANGSUNG BERJENJANG SYARIAH (PLBS) SBSN IJARAH ASSET TO BE LEASED JUAL-BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI MEKANISME DAN INSTRUMEN PASAR UANG ANTAR BANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
JANJI (WA'D) DALAM TRANSAKSI KEUANGAN DAN BISNIS SYARIAH HADIAH DALAM PENGHIMPUNAN DANA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Pengawasan atas pelaksanaan fatwa DSN tersebut dilakukan oleh DPS dan Bank Indonesia, serta DSN sendiri. Pelanggaran/penyimpangan terhadap prinsip-prinsip syariah yang telah difatwakan oleh DSN bisa berakibat diambilnya tindakan administratif oleh Bank Indonesia, berdasarkan pasal 52 UU no. 10 tahun 1998, mulai dari teguran tertulis, penurunan tingkat kesehatan, penggantian pengurus, sampai dengan sanksi pembekuan kegiatan usaha.
Bahkan untuk
kasus-kasus yang lebih fatal, yakni dalam hal bank syariah mengalami penurunan kegiatan usaha yang dapat membahayakan kepentingan masyarakat pemilik dana, atau membahayakan sistem perbankan secara keseluruhan serta sudah
23 tidak dapat lagi diupayakan langkah-langkah penyehatan bank, maka dapat dicabut izin usahanya. 28 Kegiatan
usaha
perbankan
syariah,
secara
teknis
operasional
sebagaimana bank konvensional, sepenuhnya diatur dengan regulasi Bank Indonesia. Pasal 8 huruf c Undang-Undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang nomor 3 tahun 2004, serta pasal 29 – 37 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, telah mendudukkan Bank Indonesia sebagai institusi yang mempunyai otoritas mengatur dan mengawasi kegiatan perbankan yang beroperasi di Indonesia, termasuk bank syariah. Sejak berlakunya UU nomor 7 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 sampai sekarang, Bank Indonesia telah membuat beberapa regulasi yang mengatur secara rinci teknis operasional bank syariah, meliputi semua aspek kegiatan perbankan, dalam bentuk Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia maupun Peraturan Bank Indonesia serta berbagai Surat Edaran dan buku pedoman. Di antara regulasi perbankan syariah tersebut sebagian murni menyangkut teknis manajemen perbankan, dan sebagian lainnya merupakan aplikasi prinsip-prinsip syariah yang terkait, yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional. Berdasarkan pasal 50 Undang-Undang nomor 21 tahun 2008, pembinaan dan pengawasan bank syariah menjadi kewenangan Bank Indonesia.
8. Penyelesaian Sengketa Bank Syariah Hubungan kerja bank dengan nasabah selalu didasarkan pada perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh kedua belah pihak, baik dalam penghimpunan
24 dana maupun dalam pembiayaan. Perjanjian antara pihak bank dengan nasabah, sebagaimana di lingkungan perbankan konvensional, didasarkan pada asas kebasan
berkontrak
(freedom
of
contract),
dimana
para
pihak
bebas
memperjanjikan apa saja yang dikehendaki, baik mengenai syarat-syarat maupun isi perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kepatutan dan ketertiban umum. Pasal 1338 KUH Perdata menentukan bahwa perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya, dan tidak tidak dapat ditarik kembali oleh salah satu pihak, tanpa adanya persetujuan pihak lainnya, atau karena alasan-alasan tertentu menurut undang-undang. Namun begitu untuk perbankan syariah, selain berdasarkan asas kebebasan berkontrak juga didasarkan pada prinsip-prinsip syariah yang tidak boleh disimpangi, salah satunya sebagaimana yang tercantum dalam Hadits yang tercantum dalam kitab Subulus Salam, juz III, halaman 59:
qãb äRÄ ænÌ s upnTpÛ¯ä °Ý¯Rº oº¯ä¯ í zº ÞRº°LnÆ í ª svpnTpÛ¯ sv±S¬°¸ MnXÛ¯ °Ý¯Rº oº¯ä¯ í zº ÞRº°bRÄí ª artinya: “Perdamaian dapat dilakukan di antara orang Islam kecuali perdamaian yang yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan orang Islam terikat dengan syarat-syarat/perjanjian mereka kecuali syarat/perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”. . Prinsip-prinsip syariah terkait dengan praktek perbankan syariah telah dirumuskan dalam fatwa Dewan Syariah Nasional, dan seharusnya wajib diikuti dan dipatuhi oleh segenab stakeholder bank syariah. Semula ketentuan tentang akad syariah itu tidak diatur secara rinci oleh Bank Indonesia, namun begitu DSN telah memfatwakan prinsip-prinsip syariah terkait dengan akad bank syariah dengan nasabah. Dalam prakteknya, dengan alasan multi tafsir terhadap ketentuan DSN, telah terjadi disparitas akad untuk
25 satu jenis kegiatan yang sama antara satu bank syariah dengan bank syariah lainnya. Dan terhadap keaneka-ragaman akad tersebut, Bank Indonesia tidak bisa melakukan penindakan, karena belum adanya regulasi yang dikeluarkan. Baru pada tanggal 14 Nopember 2005, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005, tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang berlaku mengikat bagi bank syariah dalam membuat akad dengan nasabahnya. Berdasarkan pasal 2, 21 dan 22 PBI tersebut, bank syariah wajib melaksanakan ketentuan PBI tersebut dalam membuat akad dengan para nasabahnya, dan bila hal tersebut diabaikan, Bank Indonesia berwenang memberi sanksi, berupa teguran tertulis, penurunan tingkat kesehatan, dan penggantian pengurus (bagi BUS), teguran tertulis dan pencabutan izin usaha UUS (bagi Unit Usaha Syariah Bank Umum Konvensional). Sebagaimana perjanjian pada umumnya, dalam akad perbankan syariah tidak bisa dihindari terjadinya hal-hal yang melanggar ketentuan dalam akad, sehingga ada pihak yang merasa dirugikan, karena hak-haknya tidak terpenuhi. Ketentuan penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 maupun Undang-Undang nomor 10 tahun 1998. Hal itu barangkali pembuat undang-undang pada waktu itu menganggap bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah bisa dilakukan ke Pengadilan Negeri sebagaimana sengketa perbankan konvensional pada umumnya. Dalam prakteknya selama ini para stakeholder perbankan syariah sendiri merasa penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui pengadilan dianggap tidak menguntungkan, karena di samping penyelesaiannya bisa berlarut-larut
26 sebagaimana proses litigasi lainnya dengan adanya upaya hukum (banding dan kasasi), pula tidak sesuai dengan karakteristik perbankan syariah yang sarat dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Oleh karena itu kemudian mereka berpendapat bahwa penyelesaian sengketa tersebut semestinya dilakukan dengan cara musyawarah (non litigasi) melalui ADR (alternative dispute resolution): mediasi dan arbitrase. Mediasi dilakukan dengan cara musyawarah untuk menyelesaikan sengketa dengan tuntas atas kesepakatan kedua belah pihak. Dan bila tidak berhasil, maka alternative lainnya adalah melalui lembaga arbitrase. Pada awal berdirinya bank syariah yang pertama (1991) telah ada lembaga arbitrase yang bernama Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang didirikan pada 3 Desember 1977 atas prakarsa KADIN, tetapi penyelesaian perbankan syariah juga tidak dilakukan melalui BANI, oleh karena itu kemudian para stakeholder perbankan syariah bekerja sama dengan Majelis Ulama Indodnesia mendirikan lembaga arbitrase baru yang diberi nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) pada tahun
1992, khusus untuk menyelesaikan sengketa
perbankan/ekonomi syariah. Lembaga tersebut kemudian pada tahun 2003 diubah namanya menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Sejak itu atas kesepakatan kedua belah pihak yang dituangkan dalam akad, penyelesaian sengketa di antara pihak bank syariah dengan nasabah selalu dinyatakan akan diselesaikan secara musyawarah melalui BAMUI, yang belakangan disebut BASYARNAS. Sebagai badan arbitrase di Indonesia, baik BANI maupun BASYARNAS, pelaksanaan kegiatannya (hukum acaranya) semula didasarkan pada ketentuan mengenai arbitrase yang tercantum dalam pasal 615 – 651 Rv dan pasal 377
27 HIR/705 RBg. Namun sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (12 Agustus 1999), maka acara pemeriksaannya dilakukan mengikuti ketentuan undang-undang tersebut. Putusan lembaga arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa (pasal 60 dan 61). Di samping itu para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan arbitrase diduga mengandung unsur-unsur tertentu sebagaimana dirinci pada pasal 70. Permohonan pembatalan juga diajukan ke Pengadilan Negeri secara tertulis. (pasal 71). Dengan diubahnya Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 dan Undang-Undang nomor 50 tahun 2009 yang memberi kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, yang kemudian dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, kiranya perlu ada penyesuaian beberapa pasal Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase, sehingga tindak lanjut dari keputusan BASYARNAS apabila salah satu pihaknya tidak mau melaksanakan dengan sukarela, atau adanya permohonan pembatalan dari salah satu pihak terhadap keputusan BASYARNAS terkait dengan sengketa ekonomi syariah, berdasarkan SEMA nomor 8 tahun 2008 dapat diajukan
penyelesaiannya lebih lanjut
di Pengadilan Agama. Tetapi
kemudian SEMA tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi dengan SEMA nomor 8 tahun 2010, yang didasarkan pada pasal 59 ayat (1) Undang-Undang
28 Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi: “ Dalam hal
para
putusan
pihak
tidak
melaksanakan
dilaksanakan berdasarkan
putusan arbitrase
perintah
secara
ketua pengadilan
sukarela,
negeri atas
permohonan salah satu pihak yang bersengketa”; dan dalam penjelasan pasal 59 ayat (1) dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “arbitrase” dalam ketentuan ini termasuk juga arbitrase syariah, dengan demikian eksekusi putusan Basyarnas juga menjadi kewenangan pengadilan negeri. Kewenangan absolute Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah berdasarkan pasal 49 Undang-Undang nomor 3 tahun 2006, pada awalnya “direduksi” dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 55, dimana dalam penjelasan ayat (2) disebutkan bahwa apabila dikehendaki para pihak di dalam akadnya, maka pengadilan negeri berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Sehingga berdasaakan pasal ini bisa terjadi choice of forum penyelesaian sengketa ekonomi syariah oleh para pihak yang membuat akad perjanjian perekonomian syariah, untuk memilih apakah peneleseianan sengketanya akan dilakukan di pengadilan agama atau pengadilan negeri. Akan tetapi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, tanggal 29 Agustus 2013, penjelasan ayat (2) pasal 55 tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal ini berarti tidak ada lagi choice of forum dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah secara litigasi, karena sepenuhnya telah menjadi kewenangan pengadilan agama. Menjadi pertanyaan, apakah kewenangan sengketa ekonomi syariah lainnya selain perbankan syariah juga sepenuhnya menjadi kewenangan pengadilan agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006? Hal ini perlu kajian lebih lanjut tentang peraturan perundang-
29 undangan terkait ekonomi syariah selain bank syariah (misalnya: peraturan perundang-undangan tentang pasar modal, asuransi dan reasuransi, pegadaian, obligasi, surat berharga, securitas, dana pensiun dan bisnis syariah, lembaga keuangan mikro syariah). 9. Kompetensi absolut Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa dan mengadili sengketa di bidang ekonomi syari’ah tercantum dalam pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Alinea 1 dan 2 penjelasan pasal 49 berbunyi: Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syariah, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya. Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan pasal ini. Selanjutnya huruf i penjelasan pasal tersebut menyatakan : Yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: a. bank syari’ah; b. lembaga keuangan mikro syari’ah; c. asuransi syari’ah; d. reasuransi syari’ah; e. reksadana syari’ah; f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syar’iah; g. sekuritas syari’ah; h. pembiayaan syari’ah; i. pegadaian syari’ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan k. bisnis syari’ah. Bertitik tolak syariah
dengan
dari
penjelasan tersebut, maka badan hukum perbankan
sendirinya
menjadi
kewenangan
Peradilan
Agama.
Pertanyaannya: Apakah kewenangan tersebut meliputi seluruh kegiatan badan
30 hukum tersebut sejak proses berdirinya sampai dengan bubar?
Sebagaimana
diketahui, kalau badan hukum tersebut berbentuk Perseroan Terbatas, maka proses pendiriannya selama ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor
1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007, di mana di dalamnya terdapat beberapa pasal yang memberikan kewenangan Pengadilan Negeri
29
terkait dengan proses pendirian,
sengketa manajerial dan pembubarannya. Demikian pula ketika kemudian dalam operasinya bank syariah mengalami kepailitan, maka menjadi kewenangan Pengadilan Niaga untuk menyelesaikannya (Perppu no. 1 tahun 1998/UU Nomor 4 tahun 1998, dan telah diubah dengan UU Nomor 37 tahun 2004). Bahkan kewenangan untuk menyelesaikan tindak lanjut dalam sengketa ekonomi syariah yang diselesaikan melalui lembaga arbitrasepun, berdasarkan Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Kalau demikian halnya, maka kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah tersebut bisa jadi sebatas sengketa yang terjadi karena tidak dipenuhinya akad oleh pihak-pihak apabila tidak ada klausul penyelesaian melalui badan arbitrase. Sebab selama masih ada klausul penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase, maka penyelesaian selanjutnya apabila ada pihak yang tidak mau melaksanakan putusan arbitrase dengan sukarela, tunduk pada Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 jo. Undang-Undang Nonor 48 tahun 2009, yang nota bene menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Klausula penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase bagi bank syariah dan nasabahnya, bukanlah ketentuan yang bersifat imperative, sebagaimana dimaksud oleh pasal 20 PBI Nomor 7/46/PBI/2005:
31 (1)
(2)
Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana diperjanjikan dalam Akad atau terjadi perselisihan di antara Bank dan Nasabah maka upaya penyelesaian dilakukan melalui musyawarah; Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian lebih lanjut dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa atau badan arbitrase Syariah;
Ketentuan tersebut (ayat 2) memberi alternatif bagi pihak-pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui Pengadilan Agama, sesuai dengan pasal 49 UU nomor 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan UU nomor 3 tahun 2006 dan pasal 55 UU no. 21 tahun 2008. Dengan demikian untuk menentukan suatu kasus sengketa perekonomian syariah, antara lain sengketa bank syariah dengan nasabahnya, bank syariah dengan bank syariah, bank syariah dengan bank Indonesia, bank syariah dengan badan perekonomian syariah lainnya, dan nasabah dengan lembaga perekonomian syariah yang akadnya didasarkan pada prinsip syariah, adalah ditinjau dari akadnya; apabila akadnya berdasarkan prinsip syariah maka sengketa yang timbul menjadi kewenangan absolute pengadilan agama. Terkait dengan akad bank syariah sebagai dasar kewenangan bagi Peradilan Agama untuk memeriksa dan mengadili sengketanya, menurut penulis yang perlu dicermati hal-hal yang terkait dengan pihak-pihak yang membuat akad. Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005, dalam penghimpunan dana akad bisa berupa: (1). Akad Wadi’ah untuk penghimpunan dana dalam bentuk giro atau tabungan, antara pihak Bank sebagai penerima dana titipan dengan Nasabah pemilik dana titipan.
32 (2). Akad Mudharabah untuk penghimpunan dana dalam bentuk giro, antara Nasabah sebagai pemilik dana (shahibul maal) dengan Bank sebagai pengelola dana (mudharib). (3). Akad Mudaharab untuk penghimpunan dana dalam bentuk tabungan atau deposito, antara Bank sebagai pengelola dana (mudharib) dengan Nasabah sebagai pemilik dana (shahibul maal); Sedangkan untuk penyaluran dana, akad bisa berupa: (1). Akad Mudharabah untuk penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan, antara Bank sebagai pemilik dana (shahibul maal) dengan nasabah sebagai pengelola dana (mudharib). (2). Akad Mudharabah muqayyadah (restricted investment) untuk penyaluiran dana dalam bentuk pembiayaan, antara Bank sebagai agen penyalur dana investor (channelling agent) dengan nasabah sebagai pengelola dana (mudharib), dan investor sebagai pemilik dana (shahibul maal). (3). Akad Musyarokah untuk penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan, antara Bank dengan Nasabah, masing-masing sebagai mitra usaha, bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk membaiya i suatu kegiuatan usaha tertebtu; (4). Akad Murabahah, Salam dan Istishna’ untuk penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan, antara bank sebagai penyedia dana berdasarkan perjanjian jual beli dengan nasabah sebagai pembeli. (5). Akad Ijarah, Ijarah Muntahiyah bit tamlik, untuk penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan sewa menyewa, antara bank sebagai penyedia biaya pengadaan obyek sewa dengan nasabah penyewa barang;;
33 dan sewa-menyewa bisa diakhiri dengan pindahnya kepemilikan barang kepada penyewa (ijarah muntahiya bittamlik). (6). Akad Qardh, untuk penyaluran dana dalam bentiuk pinjaman dana, antara bank sebagai pihak yang memberikan pinjaman dengan nasabah sebagai pihak yang menerima pinjaman. Baik dalam penghimpunan dana maupun penyaluran dana, mitra akad bank dapat berupa perorangan atau badan hukum. Perorangan bisa muslim dan bisa non muslim, demikian pula badan hukum bisa badan hukum ekonomi syariah atau badan hukum ekonomi konvensional. Semua akad yang dilakukan oleh bank syariah dengan mitra-mitranya wajib mematuhi akad-akad syariah sebagaima tersebut di atas. Bagi non muslim maupun badan hukum ekonomi konvensional yang melakukan akad dengan bank syariah, dengan sendirinya dipandang telah menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam sepanjang hal-hal yang tercantum dalam akad dengan segala konsekuensi yuridisnya. Dengan demikian sengketa yang terjadi dalam pelaksanaan akad tersebut merupakan sengketa ekonomi syariah, dan menjadi wewenang absolut Pengadilan Agama untuk memeriksa dan mengadillinya.
10. Hukum Materiil dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah Pasal 55 ayat (3) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 menentukan bahwa Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Adapun yang dimaksud dengan prinsip syariah dalam Undang-undang ini adalah sebagaimana yang ditetentukan dalam pasal 1 angka 12, adalah “Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
34 kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah”. Dalam hal ini sebagaimana telah dibahas di atas adalah Fatwa Dewan Syariah Nasional yang diaplikasikan kedalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) untuk lingkungan perbankan syariah, dan oleh lembaga yang mempunyai otoritas untuk kegiatan perekonomian syariah lainnya. Kalau diamati lebih mendalam substansi fatwa DSN-MUI terkait dengan perekonomian syariah, maka sumber hukum yang menjadi rujukannya adalah hukum Islam berdasarkan al Qur’an dan Hadits, ijma, kaidah fiqh, dan pendapat ulama yang berkaitan dengan muamalat lainnya. Oleh karena hukum materiil terkait dengan ekonomi syariah belum dikodefikasi sebelumnya, maka Mahkamah Agung merasa perlu mengambil jalan pintas menyusun kompilasi hukum ekonomi syariah sebagai hukum materiil terapan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di lingkungan peradilan agama. Hal itu akhirnya terwujud dengan Peraturan Mahkamah Agung R.I. Nomor 02 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), yang dalam pasal 1 ayat (1) ditentukan bahwa Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip syariah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
Pasal 1 ayat (2) Perma Nomor 2 tahun 2008 menentukan bahwa mempergunakan sebagai pedoman prinsip syariah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak mengurangi tanggung jawab hakim untuk menggali dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar. Ini berarti hakim tidak hanya terpaku pada ketentuan-
35 ketentuan KHES belaka, tetapi tetap harus menemukan hukum dengan mengkaji sumber-sumber hukum lainnya. Meskipun dalam KHES tersebut tidak dirinci lebih lanjut tentang sumber hukum lainnya, maka dapatlah difahami bahwa salah satunya adalah hukum yang mengatur regulasi perekonomian syariah antara lain fatwa
DSN-MUI,
perekonomian
Peraturan
Bank
Indonesia,
dan
peraturan
keuangan/
lainnya yang terkait dengan ekonomi syariah, juga tidak kalah
pentingnya: yurisprudensi putusan Mahkamah Agung R.I. dalam perkara-perkara perbankan syariah maupun perbankan konvensional.
11. Kesimpulan Kegiatan perekonomian syariah di Indonesia secara formal ditandai dengan berdirinya bank syariah (Bank Muamalat Indonesia) pada 1 Nopember 1991, yang diikuti dengan kegiatan ekonomi syariah lainnya (takaful, gadai syariah, pasar modal syariah, obligasi syariah, reksadana syariah dan lain-lain). Sejak adanya geliat ekonomi syariah tersebut sampai sekarang, dalam kurun waktu hampir 23 tahun, perekonomian syariah di Indonesia telah berkembang dengan pesat, baik dari segi kuantitas
kelembagaan maupun asset. Selama itu penyelesaian
sengketa dalam transaksi perkonomian syariah relatif sepi dari publikasi, baik penyelesaian melalui melalui litigasi maupun non litigasi/ADR, oleh karena itu di lingkungan lembaga yudikatif masih sangat miskin yurisprudensi penyelesaian sengketa perekonomian syariah yang bisa dijadikan rujukan. Kewenangan baru Peradilan Agama sebagaimana ditentukan pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 yang diubah dengan UndangUndang Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009, dan terkait pula dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan
36 Syariah dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, tanggal 29 Agustus 2013, menjadi semakin jelas, dan hal tersebut merupakan beban berat bagi Peradilan Agama, yang tidak ada pillihan lain kecuali harus melaksanakan dengan sebaik-baiknya. Maka untuk menjawab tantangan kewenangan baru dibidang ekonomi syariah tersebut, di satu sisi mutlak bagi aparat Peradilan Agama in casu Hakim untuk
bekerja lebih keras lagi menambah pengetahuan, meningkatkan
ketrampilan
di
bidang
ilmu
hukum
ekonomi
syariah
dan
mengenali
operasionalisasi kegiatan ekonomi syariah, dan disisi lain merupakan tanggung jawab Mahkamah Agung untuk mengadakan pelatihan peningkatan teknis yustisial bidang ekonomi syariah bagi hakim dan panitera Pengadilan Agama secepatnya. Dan bagi pihak yang memegang otoritas penyusunan perundangundangan, perlu melakukan sinkronisasi produk perundang-undangan yang terkait dengan kewenangan baru Peradilan Agama tersebut, sehingga bisa dihindari terjadinya tumpang tindih dalam pelaksanaannya. Megamendung, 5 September 2013
Cholidul Azhar, SH, M.Hum. Hakim Tinggi PTA Makassar Peserta Pelatihan Sertifikasi Ekonomi Syariah Hakim Pengadilan Agama Seluruh Indonesia, 2013 DAFTAR CATATAN KAKI 1
Majalah Berita Ekonomi & Bisnis Trust, Edisi 27 Tahun IV, 17-23 April 2006, artikel: ”Tak Sekedar Menangani Kawin Cerai” hal. 70: 2 Hasibuan, H. Malayu SP,2002. Dasar-Dasar Perbankan, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 2 3 Siamat, Dahlan, 1995. Manajemen Lembaga Keuangan, Intermedia, Jakarta, hal. 66 dan 455 4 Al Jurjani, Ali bin Muhammad al Syarif. 1990, Kitab al Ta’rifat, Maktabah Libnan, Beirut, h. 114. 5
Al Aini, Badr al Din Abi Muhammad, (tanpa tahun). Umdah al Qari’: Syarh Shahih al Bukhari, Jilid II, Darul Fikri, Beirut, hal. 11.
37
6
Saeed, Abdullah. 1996. Islamic Banking and Interest, A Study of Prohibiting of Riba and its Contemporary Interpretation, E.J.Brill Leiden – New York – Koln. Mubin, Muhammad, Ufuqul dan Huda, Nurul dan Sahidah, Ahmad (para penterjemah). 2003. Bank Islam dan Bunga, Study Kritis dan Interpretasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga, Cet. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. hal. 34 7 Ibid. hal. 36, 8 Saeed. op.cit. hal. 37-38 9 Ibid. hal. 14-15 10
Sayyid Sabiq, op.cit. hal. 179 Ibid. hal. 177 12 Ibid. 13 Ibid. hal. 178. 14 Syafi’i Antonio, Muhammad, 2001. Bank Syariah Dari Teori ke Praktek, Cet. V, Gema Insani Press, Jakarta, hal. 56 15 Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se Indonesia tentang Fatwa Bunga Bank Terorisme, dan Penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, tertanggal 22 Syawal 1424 H/16 Desember 2003M. 16 Al Zuhaily, Wahbah, 1989M/1409H. Al Fiqh al Islamiy wa ‘Adillatuhu, Juz IV, Darul Fikri, Damaskus, hal. 682 17 Mufti, Aries, 2004, Bunga Bank: Maslahat atau Muslihat?, Pustaka Quantum, Jakarta. Hal. 2326 18 Ibid. 19 Sayid Sabiq, op.cit. hal. 185 20 Ibid 21 Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se Indonesia MUI tentang Fatwa Bunga Bank, Terorisme, dan Penetapan Awal Ramadhan, Syawal dan Dulhijjah, tanggal 22 Syawal 1424 H/16 Desember 2003. 22 Bank Indonesia, op.cit. hal. 7-8 11
23
Hefner, Robert W., 1998, Market and Justice for Moslem Indonesians in Market Cultures: Society and Morality in the New Asian Capilatism, Westview Press; Amiruddin dan Asyhabuddin (penterjemah), 2000, Islam, Pasar, Keadilan, Artikulasi Lokal, Kapitalisme dan Demokrasi, LKIS Yogyakarta, hal. 262) 24 Pasal 2 ayat (1) dan penjelasan pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah no. 72 tahun 1992 25 Anderson, James Norman Dalrymple, 1959. Islamic Law in the Modern World, New York University Press, reprint, Westport, CT:Greenwood Press Inc. Husein, Machnun (penterjemah). 1991. Hukum Islam di Dunia Modern, Cet. I, Amarpress, Surabaya, hal. 4 26 Pasal 1 butir j Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia no. 32/34/KEP/DIR, tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah yang kemudian diubah dan dinyatakan tidak berlaku dengan Peraturan Bank Indonesia nomor : 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dalam pasal 1 butir 9 menyebutkan: “Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah” 27 Pasal 1 butir 9 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah menentukan: “Dewan Syariah Nasional adalah Dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank yang melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah”. Ketentuan ini sebelumnya telah tercantum dalam pasal 1 butir I Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia nomor 32/34/KEP/DIR yang kemudian dinyatakan tidak berlaku oleh PBI tersebut. 28 Direktorat Perbankan Syariah BI, 2003. Tanya Jawab Seputar Bank Syariah, Bank Indonesia, hal. 24-25 29 Soeryono, H, SH, 1996, Kata Sambutan, dalam Pustaka Peradilan Jilid XIII, Proyek Pembinaan Tehnis Yustisial Mahkamah Agung RI, Jakarta, hal. iii-iv
38