PERJUANGAN KOMANDO DAERAH MURIA TAHUN 1948 SEBAGAI PENGEMBANGAN MATERI PEMBELAJARAN IPS SEJARAH DI SMP WILAYAH KABUPATEN KUDUS
TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajad Magister Program Studi Pendidikan Sejarah
Disusun Oleh: Nanik Purwaningsih NIM : S 860208009
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
Perjuangan komando daerah muria tahun 1948 sebagai pengembangan materi pembelajaran IPS Sejarah di SMP Wilayah Kabupaten Kudus
Disusun oleh: Nanik Purwaningsih NIM : S860208009
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing
Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Tanggal
Pembimbing I Prof.H.B.Sutopo, M.Sc, M.Sc, Ph.D
__________
______
Pembimbing II Drs. Saiful Bachri, M.Pd
__________
______
Mengetahui Ketua Prodi Pendidikan Sejarah
Dr. Warto, M.Hum NIP. 131633898
PERJUANGAN KOMANDO DAERAH MURIA TAHUN 1948
SEBAGAI PENGEMBANGAN MATERI PEMBELAJARAN IPS SEJARAH DI SMP WILAYAH KABUPATEN KUDUS
Disusun oleh: Nanik Purwaningsih NIM : S 860208009
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji
Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Tanggal
Ketua
Dr. Warto, M.Hum (NIP 131633898)
__________
_______
Sekretaris
Dr. Suyatno Kartodirdjo (NIP 130324012)
__________
_______
Anggota Penguji: 1. Prof.H.B.Sutopo, M.Sc, M.Sc, Ph.D __________ (NIP
_______
2. Drs. Saiful Bachri, M.Pd (NIP
__________
Mengetahui
Surakarta,
Direktur PPS UNS
Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah
Prof. Drs.Suranto, M.Sc.,Ph.D NIP 131472192
Dr. Warto, M.Hum NIP 131633898
_______
PERJUANGAN KOMANDO DAERAH MURIA TAHUN 1948 SEBAGAI PENGEMBANGAN MATERI PEMBELAJARAN IPS SEJARAH DI SMP WILAYAH KABUPATEN KUDUS
Disusun oleh: Nanik Purwaningsih NIM : S 860208009
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing
Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Tanggal
Pembimbing I Prof.H.B.Sutopo, M.Sc, M.Sc, Ph.D
__________
______
Pembimbing II Drs. Saiful Bachri, M.Pd
__________
______
Mengetahui Ketua Prodi Pendidikan Sejarah
Dr. Warto, M.Hum NIP. 131633898
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Nanik Purwaningsih
NIM
: S. 860208009
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis berjudul Perjuangan Komando Daerah Muria Tahun 1948 Sebagai Pengembangan Materi Pembelajaran Sejarah di SMP Wilayah Kabupaten Kudus, adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari ternyata pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Mei 2009 Yang membuat pernyataan
Nanik Purwaningsih
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah bahwa atas limpahan rahmat dan karunia dari Allah SWT, penulis dapat menyusun tesis ini. Penulis menyadari bahwa selama proses penyusunan tesis ini banyak bantuan, bimbingan dan masukan atau pun saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1.
Prof. Dr. H. Much. Syamsulhadi, dr. Sp. KJ (K), Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program Pascasarjana.
2.
Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D., Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan prasarana pendidikan sehingga memperlancar penyelesaian tesis ini.
3.
Dr. Warto, M.Hum., Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang banyak memberikan pengarahan dan persetujuan atas permohonan penyusunan tesis ini.
4.
Dra. Sutiyah, M.Pd, M.Hum, Sekretaris Program Studi Pendidikan Sejarah yang banyak memberi petunjuk dan arahan atas penyusunan tesis ini.
5.
Dr. Suyatno Kartodirdjo, selaku Penasehat Program Studi Pendidikan Sejarah yang banyak memberi petunjuk dan arahan atas penyusunan tesis ini.
6.
Prof. H.B. Sutopo, M.Sc, M.Sc, Ph.D, Pembimbing I yang telah berkenan memberikan bimbingan dan masukan yang sangat berharga dalam penulisan tesis ini.
7.
Drs. Saiful Bachri, M.Pd, Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan.
8.
Dewan Penguji Tesis yang telah menguji dan memberi penilaian secara objektif serta masukan yang sangat berharga demi kesempurnaan tesis ini.
9.
Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kudus beserta unit instansi terkait yang telah memberikan ijin penelitian guna mempermudah pengumpulan data di lapangan.
10. Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) beserta para guru IPS Sejarah di lingkungan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kudus yang telah bersedia diwawancarai dan memberikan masukan pada tesis ini. 11. Ucapan terima kasih secara pribadi disampaikan kepada Bapak (Soekemi), Ibu (Hj. Soekanah), Hadi Saptana (suami), Hendra, Yudha, Hendy (anak), serta saudara-saudara penulis yang selalu mendoakan, memberikan bantuan, dan dorongan semangat untuk keberhasilan studi ini. Penulis mohon maaf apabila dalam penulisan tesis ini banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca.
Surakarta, Mei 2009 Penulis
DAFTAR ISI Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.............................................
ii
PENGESAHAN TESIS ...............................................................................
iii
PERNYATAAN ...........................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................
v
DAFTAR ISI ................................................................................................ vii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xii DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. xiii ABSTRAK ................................................................................................... xiv ABSTRACT ................................................................................................ xv BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................
1
A. Latar Belakang .........................................................................
1
B. Rumusan Masalah ...................................................................
8
C. Tujuan Penelitian .....................................................................
9
1.
Tujuan Umum ...................................................................
9
2.
Tujuan Khusus...................................................................
9
D. Manfaat Penelitian.................................................................... 10 1.
Manfaat Teoretis................................................................ 10
2.
Manfaat Praktis.................................................................. 10
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR ............................ 11 A. Kajian Teori ............................................................................. 11 1.
Perjuangan Untuk Memperoleh Kemerdekaan ................... 11 a.
Pengertian Perjuangan ................................................ 11
b.
Perjuangan Mencapai Kemerdekaan ........................... 11
c.
Kemerdekaan.............................................................. 16
d.
Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan................ 18
e.
Sistem Pertahanan Negara........................................... 24 1) Pengertian Pertahanan Negara.............................. 24 2) Peran dan Tanggung Jawab Daerah dalam Mempertahankan kemerdekaan............................ 28
2.
Pembelajaran Sejarah......................................................... 29 a.
Tujuan Pembelajaran Sejarah...................................... 32
b.
Fungsi Pembelajaran Sejarah ...................................... 33
c.
Pengembangan Materi Pembelajaran........................... 36 1) Pengertian Materi Pembelajaran........................... 36 2) Cara Mengembangkan Materi Pembelajaran ........ 37 3) Kriteria Pemilihan................................................ 40
B. Penelitian yang Relevan .......................................................... 45 C. Kerangka Pikir ......................................................................... 47 BAB III METODOLOGI PENELITIAN................................................. 50 A. Lokasi Penelitian ...................................................................... 50 B. Bentuk dan Strategi Penelitian.................................................. 50
C. Sumber Data ............................................................................. 51 D. Teknik Pengumpulan Data........................................................ 52 E. Teknik Cuplikan ....................................................................... 53 F. Validitas Data............................................................................ 54 G. Teknik Analisis Data ................................................................ 55 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN........................... 58 A. Hasil Penelitian ........................................................................ 58 1.
2.
Deskripsi Latar .................................................................. 58 a.
Sekilas Daerah Kudus ................................................. 58
b.
Pertahanan di Kudus Menjelang Agresi Militer II ....... 60
c.
Perkembangan Pendidikan di Kudus............................ 63
Sajian Data ........................................................................ 67 a.
Upaya Memasukkan Sejarah Perjuangan Komando Daerah Muria ke Dalam Pembelajaran Sejarah di SMP Wilayah Kabupaten Kudus.......................................... 67
b.
Aspek-aspek dari Perjuangan Komando Daerah Muria yang Bisa Diajarkan Kepada Siswa ............................. 70
c.
Tanggapan Guru IPS di SMP dan Pejabat Dinas Pendidikan Terhadap Upaya Memasukkan Sejarah Perjuangan Komando Daerah Muria ke Dalam Pembelajaran Sejarah........................................................................ 73
d.
Cara Guru Mempersiapkan/Menyusun Materi Pembelajaran dengan Memasukkan Sejarah
Perjuangan Komando Daerah Muria ........................... 76 B. Pokok-Pokok Temuan .............................................................. 77 1. Upaya Memasukkan Sejarah Perjuangan Komando Daerah Muria ke Dalam Pembelajaran Sejarah di SMP Wilayah Kabupaten Kudus ................................................................. 77 2. Aspek-aspek dari Perjuangan Komando Daerah Muria yang Bisa Diajarkan Kepada Siswa....................................... 79 3. Tanggapan Guru IPS di SMP dan Pejabat Dinas Pendidikan Terhadap Upaya Memasukkan Sejarah Perjuangan Komando Daerah Muria ke Dalam Pembelajaran Sejarah................................. 79 4. Cara Guru Mempersiapkan/Menyusun Materi Pembelajaran dengan Memasukkan Sejarah Perjuangan Komando Daerah Muria.................................................................................. 80 C. Pembahasan.............................................................................. 80 BAB V
PENUTUP ................................................................................... 91 A. Simpulan .................................................................................. 91 B. Implikasi .................................................................................. 92 C. Saran ........................................................................................ 93
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 96 LAMPIRAN ……………………………………………………………... .. 100 DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1: Kerangka Pikir............................................................................ 49
Gambar 2: Trianggulasi Sumber................................................................... 55 Gambar 3: Model Analisis Interaktif ............................................................ 56 Gambar 4: Wawancara dengan Bapak H. Abdul Madjid (Kusnadi)………… 118 Gambar 5: Wawancara dengan Bapak Aida Mustofa ……………………… 118 Gambar 6: Wawancara dengan Kepala Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan Kabupaten Kudus ……………………………………………...
119
Gambar 7: Wawancara dengan Guru-guru IPS di SMP Negeri 2 Gebog ….. 119 Gambar 8: Wawancara dengan Kepala Sekolah dan Guru IPS di SMP Negeri 2 Gebog ………………………………………………… 120 Gambar 9: Wawancara dengan Guru IPS di SMP Negeri 1 Gebog ……….. 121 Gambar 10: Peta Aksi Gerilya Komando Daerah Muria …………………… 148 Gambar 11: Struktur Organisasi Pasukan Macan Putih ……………………
151
Gambar 12: Struktur Organisasi Resimen 28 Pati ………………………….
152
Gambar 13: Mayor Kusmanto .……………………………………………..
153
Gambar 14: Para Komandan dari Pasukan STM Pati ...…………………….
153
Gambar 15: Monumen Komando Daerah Muria …………………………..
154
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1: Keadaan Guru IPS di SMP 1 Gebog Menurut Latar Belakang Pendidikan .................................................................................... 106 Tabel 2: Keadaan Siswa SMP Negeri 1 Gebog............................................ 106 Tabel 3: Keadaan Guru IPS di SMP 2 Gebog Menurut Latar Belakang Pendidikan .................................................................................... 107 Tabel 4: Keadaan Siswa SMP Negeri 2 Gebog............................................ 107 Tabel 5: Kompetensi Dasar, Indikator dan Materi Pokok Kelas IX SK.2 ..... 108
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1: Pedoman Wawancara .............................................................. 100 Lampiran 2: Daftar Informan/Nara Sumber ................................................. 105 Lampiran 3: Keadaan Guru IPS dan Peserta Didik di SMP Negeri 1 Gebog
106
Lampiran 4: Keadaan Guru IPS dan Peserta Didik di SMP Negeri 2 Gebog
107
Lampiran 5: Kompetensi Dasar, Indikator dan Materi Pokok Kelas IX SK.2 108 Lampiran 6: Silabus .................................................................................... 109 Lampiran 7: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ........................................ 111 Lampiran 8: Dokumentasi Kegiatan Wawancara .........................................
118
Lampiran 9: Contoh Materi (bahan Ajar) Sejarah Perjuangan Komando Daerah Muria Tahun 1948 ...................................................... 121 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Proses sejarah perjuangan bangsa Indonesia, berlangsung dari masa ke masa dalam kondisi yang berbeda. Dari masa yang penuh dengan kesengsaraan dan penderitaan akibat penindasan penjajahan Belanda yang kemudian dilanjutkan oleh Jepang, sampai ke masa revolusi Indonesia, sehingga menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa Indonesia dapat hidup kembali menurut kepribadian dan identitasnya di dalam alam kemerdekaan, hanya dengan perjuangan bangsa Indonesia sendiri. Setelah proklamasi kemerdekaan diumumkan, perjuangan bangsa Indonesia memasuki tahapan yang baru, yaitu perjuangan membela dan mempertahankan
kemerdekaan terhadap ancaman kembalinya penjajahan. Berbagai cara dan usaha telah dilakukan oleh Belanda agar dapat kembali menguasai Indonesia. Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda menyerang dari segala jurusan dan menduduki kota Yogyakarta (Soejitno Hardjosoediro,1992: 163). Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal
19
Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI Yogyakarta yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer II Belanda telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai “Aksi Polisional”. (http://id.wikipedia.org/wiki/AgresiMiliterBelandaII). Setelah penyerangan terhadap bandar udara Maguwo pasukan Belanda bergerak menuju istana negara. Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno, Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta dan beberapa menteri ditangkap dan diasingkan. Para pemimpin militer RI kemudian meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya dari luar kota. Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia, Jenderal Soedirman memimpin perjalanan gerilya selama tujuh bulan dengan menempuh jarak lebih kurang 1000 km dalam kondisi
sakit keras, sehingga harus ditandu atau
digendong. Ternyata serangan Belanda tidak hanya ditujukan ke ibukota negara, tetapi ke seluruh wilayah Republik Indonesia di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kudus yang merupakan wilayah RI berdasarkan perjanjian Renville mendapat serbuan Belanda dari arah kota Semarang (Moechdi, 1960: 16), pasukan darat melaju cepat menyusuri
jalan utama Semarang-Demak-Kudus, sedangkan pasukan udara terbang cepat menuju udara daerah Kudus. Mereka melakukan pemboman terhadap beberapa tempat penting. Selanjutnya dikisahkan oleh M. Moechdi (1984: 33), pada tanggal 19 Desember 1948 jam tujuh pagi sebuah pesawat
terbang cocor merah milik
Belanda terbang rendah di atas udara kota Kudus. Seperempat jam kemudian muncul tiga pesawat Yogger dengan gencar memuntahkan serentetan tembakan metraliur dan granat ke arah bukan saja basis militer, tetapi juga ke sasaran umum seperti stasiun kereta api, pabrik gula Rendeng, pabrik rokok di Kudus Wetan dan Kudus Kulon. Pemboman pesawat-pesawat tempur Belanda menimbulkan kehancuran dan kebakaran di gedung-gedung tersebut. Kepulan asap membubung di udara. Rakyat panik dan berlari tak tentu arah untuk menyelamatkan diri. Tempat lain yang juga menjadi sasaran pemboman adalah Masjid Besar yang terletak di sebelah barat alun-alun, instalasi listrik negara di Jati, rumah kepala desa Pasuruhan yang disangka markas militer Batalyon Basuno dan beberapa sarana transportasi seperti mobil, sepeda motor, dan sepeda yang berada di tepi-tepi jalan kota Kudus. Pemboman itu berlangsung dari jam tujuh pagi hingga jam duabelas siang. Ada beberapa faktor yang menyebabkan Belanda menyerang Kudus pada saat Agresi Militer II Belanda yaitu: 1. Kudus merupakan pintu gerbang masuk ke wilayah Karesidenan Pati, oleh karena itu Belanda yang ingin menguasai wilayah tersebut harus menduduki daerah Kudus terlebih dahulu, baru menyusul daerah lain seperti Jepara, Pati, Rembang, dan Blora.
2. Wilayah Kudus berdasarkan perjanjian Renville berbatasan dengan garis Demarkasi Van Mook, yaitu sepanjang sungai Serang di sebelah selatan kota. Dengan demikian, maka berarti Kudus merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan wilayah pendudukan Belanda. Kudus wilayah Republik Indonesia dan Demak wilayah pendudukan Belanda. 3. Secara ekonomis Kudus saat itu sudah makmur, perkembangan ekonominya tinggi, karena berkembangnya beberapa perusahaan yang cukup besar seperti perusahaan rokok cap Bal Tiga, perusahaan rokok cap Menakjinggo, dan perusahaan batik. Selain itu perkebunan tebu peninggalan Belanda di Kudus Utara masih luas. Penguasaan daerah produktif sangat berarti, karena ini merupakan faktor penunjang kehidupan tentaranya di Indonesia. Setelah mengetahui adanya serangan udara Belanda, Mayor Kusmanto selaku Komandan Batalyon Kudus memimpin seluruh TNI untuk melakukan pencegatan di sebelah utara jembatan Tanggul Angin. TNI bersiap-siap untuk menggempur musuh bila melewati jembatan tersebut, dengan mengerahkan dan menyatukan seluruh pasukan Batalyon Kusmanto dan sebagian pasukan Batalyon Basuno (Aida Mustofa, 1995: 40). Pasukan Belanda yang mempunyai persenjataan lengkap dan modern menyebabkan TNI mengambil siasat mundur bergerak ke Gunung Muria. Pasukan Belanda yang bertugas di Kudus terus mengadakan pembenahan dan menduduki beberapa tempat penting seperti stasiun kereta api, pom bensin, pabrik gula Rendeng, mendirikan markas militer di gedung bekas pabrik rokok cap Bal Tiga, Markas Inlichting Vereniging Gebied atau markas organisasi mata-mata Belanda dan
memusatkan kekuatan militernya di gedung Asisten Residen, Rendeng (Lisiyas, 1994: 38). Sementara di kota Pati dan Jepara setelah mendapat telegram pemberitahuan dari TNI di Kudus tentang adanya Agresi Militer II Belanda segera melakukan persiapan pembumihangusan terhadap gedung-gedung yang diperkirakan akan dipakai oleh Belanda serta melakukan persiapan pencegatan di tempat-tempat yang strategis. Menurut A.H. Nasution (1979: 107), waktu tentara Belanda masuk ke Pati, pegawai polisi Republik tidak ada di tempatnya. Pegawai pamongpraja juga tidak seorang pun yang tinggal di tempatnya. Dikabarkan bahwa bupati, patih, dan residen lari ke Telogowungu dan dari sana mereka menuju Gunung Muria. Pendudukan Belanda atas Karesidenan Pati memunculkan strategi baru bagi Komandan Sub Teritorial Militer atau STM Pati, Letkol dr. Gunawan untuk melaksanakan Perintah Siasat No.1 Panglima Besar Jendral Sudirman yaitu tentang pembentukan kantong gerilya di pegunungan atau tempat pengasingan (Team Penyusun Sejarah Perjuangan dan Pembuatan Monumen Glagah, Kudus,1973: 8). Letkol dr Gunawan yang sedang berada di tempat pengungsian di Desa Bageng, Gembong Pati kemudian membentuk organisasi perjuangan yang bernama Komando Daerah Muria atau Komando Muria Kompleks. Komando perjuangan ini merupakan wadah organisasi TNI dan laskar-laskar perjuangan rakyat yang berada di Jepara, Kudus, dan Pati bagian Utara. Organisasi ini merupakan pecahan dari Sub Teritorial Militer atau STM Karesidenan Pati. Organisasi inilah yang telah memberikan andil besar dalam rangka perjuangan menentang pendudukan Belanda di daerah Kudus pada masa Agresi Militer II Belanda.
Perjuangan Komando Daerah Muria yang dilakukan oleh TNI bersama rakyat di Kudus tentu merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dengan perjuangan pada umumnya di Indonesia untuk mengusir kolonial Belanda. Makna perjuangan tersebut antara lain (1) mempertahankan basis-basis sektor ekonomi; (2) membatasi ruang gerak militer Belanda; dan (3) mempertahankan garis komando secara militer. Peristiwa yang bersejarah itu, meskipun sifatnya lokal dan sangat penting untuk diketahui masyarakat Kudus khususnya, namun belum pernah diperhatikan dan diterangkan dalam proses sejarah nasional. Sartono Kartodirdjo (1982: 27) menjelaskan bahwa: “ Sejarah nasional bukan jumlah dari sejarah lokal tetapi peristiwa-peristiwa/kejadian-kejadian pada tingkat sejarah lokal perlu diterangkan dalam hubungannya dengan proses nasional”. Sebenarnya
apa
yang
dikemukakan
oleh
Sartono
Kartodirdjo
itu
penekanannya pada adanya derajad interdependensi antara unit tertentu, sehingga lebih tampak integrasi suatu bangsa. Kudus merupakan bagian yang integral dari daerah-daerah di Indonesia, ikut berperan dan sekaligus memberi bukti historis atas perjuangannya melawan kolonialisme Belanda. Pentingnya perjuangan Komando Daerah Muria sebagai bagian integral dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1948, memiliki nilai historis yang perlu dipahami terutama oleh guru-guru sejarah, kemudian dapat diajarkan kepada siswa/generasi muda sebagai pengembangan materi pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah, agar generasi penerus bangsa dapat merefleksi perjuangan dari para tokoh pejuang yang telah mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada umumnya siswa kurang mengenal sejarah daerahnya. Generasi muda
Kudus tidak boleh diasingkan dari sejarah daerahnya sendiri. Mereka perlu tahu bahwa banyak pahlawan besar dari Kudus yang terbukti memberikan kontribusi yang signifikan bagi tegaknya harga diri, kedaulatan bangsa dan negara ini. Jika tidak maka generasi muda/siswa sekarang dan mendatang akan buta dengan sejarah daerahnya, buta dengan nilai-nilai luhur yang sepatutnya dilestarikan, sehingga akan sukar mengenal identitas dirinya. Generasi muda saat ini telah berada sangat jauh dari rentang waktu peristiwa perjuangan tersebut. Seiring dengan mengentalnya arus globalisasi,
identitas
kebangsaan dan kecintaan terhadap tanah air terus memudar. Bahkan pengembangan pendidikan makin meninggalkan ruh moral dan nilai-nilai kebangsaan. Kedua hal tersebut tergantikan oleh kebutuhan globalisasi dan pasar industri dari negara-negara kaya, akibatnya kemudian membuat generasi muda tidak terlalu peduli dengan semangat kepahlawanan, patriotisme dan nasionalisme yang seharusnya dilestarikan. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk membangkitkannya kembali, selanjutnya menanamkan semangat kepahlawanan, patriotisme dan nasionalisme tersebut sejak dini melalui sesuatu yang lebih menarik dan lebih dekat dengan keberadaan generasi muda. Dengan demikian diharapkan generasi muda dapat merefleksikannya dalam realitas kehidupannya. Apalagi dengan adanya perubahan paradigma, dimana kurikulum yang tersentralisasi telah diubah menjadi terdesentralisasi dengan berlakunya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang sangat memberi peluang terhadap masuknya kearifan lokal. Dalam KTSP guru diberi wewenang yang lebih luas untuk mengembangkan kurikulum. Pengembangan kurikulum tersebut dimulai dengan
menjabarkan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) ke dalam sejumlah indikator yang relevan dengan konteks tempat guru mengajar. Indikator dalam SK dan KD sangat tergantung dari kemampuan guru sejarah dalam menjabarkannya. Termasuk dalam memilih materi ajar sejarah yang akan digunakan, guru juga diberi kebebasan asal standar minimal terpenuhi. Berdasarkan uraian-uraian tersebut maka sejarah perjuangan Komando Daerah Muria di daerah Kudus pada masa Agresi Militer II Belanda sangat menarik untuk dikaji. Dalam materi pembelajaran Sejarah Nasional Indonesia, deskripsi tentang perjuangan organisasi tersebut belum diuraikan secara rinci, sehingga perlu disusun sebagai materi pembelajaran sejarah, supaya dapat digunakan untuk pengembangan materi pembelajaran sejarah di sekolah khususnya dan diketahui oleh masyarakat Kudus secara umum. . B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka masalah pokok yang dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Mengapa sejarah perjuangan Komando Daerah Muria tahun 1948 menjadi
bagian dari materi pembelajaran
belum
IPS sejarah di SMP wilayah
Kabupaten Kudus? 2. Aspek-aspek manakah dari sejarah perjuangan Komando Daerah Muria yang perlu diajarkan kepada siswa?
3. Bagaimana tanggapan guru-guru IPS di SMP dan pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Kudus terhadap upaya memasukkan sejarah
perjuangan Komando
Daerah Muria ke dalam pembelajaran sejarah? 4. Bagaimana guru mempersiapkan/menyusun materi pembelajaran sejarah dengan memasukkan sejarah perjuangan Komando Daerah Muria? C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan-permasalahan yang disebutkan di atas, maka dalam penelitian ini dapat dikemukakan tujuan penelitian sebagai berikut: Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami perjuangan
Komando Daerah Muria di daerah Kudus dalam mempertahankan
kemerdekaan Indonesia pada
masa Agresi Militer II Belanda tahun 1948, dan
pentingnya dijadikan pengembangan materi pembelajaran IPS Sejarah di SMP.
Tujuan Khusus Sebagai tujuan khusus penelitian ini adalah untuk menjelaskan: 1. Perlunya
sejarah perjuangan Komando Daerah Muria menjadi bagian dari
materi pembelajaran IPS Sejarah di SMP wilayah Kabupaten Kudus. 2. Aspek-aspek dari sejarah perjuangan Komando Daerah Muria yang perlu diajarkan kepada siswa.
3. Mengetahui tanggapan guru-guru IPS di SMP dan pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Kudus terhadap upaya memasukkan sejarah
perjuangan Komando
Daerah Muria ke dalam pembelajaran sejarah. 4. Mengetahui cara guru mempersiapkan/menyusun materi pembelajaran sejarah dengan memasukkan sejarah perjuangan Komando Daerah Muria.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat baik secara teoretis maupun praktis bagi guru dan siswa SMP di Kabupaten Kudus khususnya dan masyarakat pada umumnya. Manfaat teoretis Secara teoretis manfaat penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi yang telah ada, sehingga dapat memberikan sumbangan terhadap teori mengenai pengembangan materi pembelajaran di SMP yang berkaitan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Manfaat Praktis: Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Menambah pengetahuan tentang sejarah lokal Kudus yang berhubungan dengan perjuangan rakyat Kudus, khususnya perjuangan Komando Daerah Muria pada masa Agresi Militer II Belanda tahun 1948. b. Memberikan kesadaran historis bahwa daerah Kudus memiliki sejarah yang bermakna yang perlu dipahami oleh masyarakat, khususnya generasi muda
dalam rangka menumbuhkan kesadaran sejarah. c. Menjadi bahan kajian dan perbandingan bagi penulis-penulis sejarah lokal khususnya sejarah lokal Kudus. d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi lembaga pendidikan khususnya sekolah-sekolah untuk dijadikan pengembangan materi pembelajaran sejarah.
BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian teori 1. Perjuangan Untuk Memperoleh Kemerdekaan a. Pengertian Perjuangan Susanto Tirtoprojo (1982: 7) menjelaskan bahwa perjuangan mempunyai arti yang luas, sehingga apa yang dilaksanakan oleh pahlawan-pahlawan seperti, Diponegoro, Tengku Umar, Imam Bonjol, Hasanuddin, dan sebagainya itu merupakan peristiwa-peristiwa dalam perjuangan nasional Indonesia. Perjuangan berarti pula suatu usaha untuk meraih sesuatu yang diharapkan demi kemuliaan dan kebaikan. Pada masa penjajahan, perjuangan adalah segala usaha yang
dilakukan dengan pengorbanan, peperangan dan diplomasi untuk
memperoleh atau mencapai kemerdekaan, sedangkan pada awal kemerdekaan perjuangan dilakukan untuk mempertahankan kemerdekaan.
b. Perjuangan Mencapai Kemerdekaan Hadirnya golongan asing yang memiliki kebudayaannya sendiri menimbulkan kesadaran akan perbedaan-perbedaan yang makin lama makin terasa karena diskriminasi di semua bidang-bidang kehidupan. Dengan adanya diskriminasidiskriminasi ini rakyat menjadi sadar akan keadaan mereka yang terbelakang serta tidak adanya persamaan hak. Kehadiran kolonial di bumi Indonesia menyebabkan rakyat Indonesia sadar bahwa mereka telah dikuasai (Sartono Kartodirdjo, 1967: 45).
Sebagai reaksi dari kesadaran tersebut, salah satunya adalah timbulnya semangat
nasionalisme.
Ruslan
Abdulgani
(1964:
6)
menjelaskan
bahwa
“Nasionalisme Indonesia sebagai reaksi terhadap kolonialisme”, karena apa yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia adalah melenyapkan bentuk kekuasaan penjajah. Menurut Sartono Kartodirdjo (1967: 20), nasionalisme adalah aktivitas dari pergerakan di semua lapangan penghidupan yang mempunyai tujuan yang sama yaitu berjuang melawan kekuasaan kolonial. Sedangkan Benedict Anderson (2001: 7-8), berpendapat bahwa nasionalisme adalah suatu kesetiakawanan, persaudaraan yang bersedia dan berani mati demi kepentingan bangsanya dalam perjuangan ke arah pembentukan Indonesia. Menurut Suhartono (2001: v), nasionalisme Indonesia mempunyai ciri khas yang berbeda dengan nasionalisme mana pun di penjuru dunia ini. Nasionalisme Indonesia murni merupakan bentuk perlawanan terhadap kolonialisme. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa semangat nasionalisme dapat dikaitkan dengan suatu perang atau revolusi. Mengingat sejarah Indonesia pada masa lalu, tidak ada satu suku bangsa pun di Indonesia yang tidak pernah
melakukan
pemberontakan
melawan
kolonialisme
namun
belum
menunjukkan keberhasilan, karena belum adanya persatuan sebagai modal perjuangan. Keadaan ini merupakan salah satu faktor yang mempercepat dan memperkuat keinginan untuk bersatu di antara suku bangsa di Indonesia. Menurut Suhartono (2001: 8), situasi kolonial menjadi tantangan bagi rakyat tanah jajahan untuk secara kolektif mempersatukan diri guna mengubah situasi sosiopolitik kolonial ke arah kebebasan secara global. Keadaan ini mendorong timbulnya
kesadaran nasional, perasaan nasional dan kehendak nasional yang dinyatakan dengan berbagai cara Menurut Sartono Kartodirdjo (1998: 29) bahwa prinsip nasionalisme adalah kesatuan, maka teknologi sosial diarahkan untuk memicu integrasi. Oleh karena itu nasionalisme
menuntut
kesetiaan
atau
penyerahan
diri
seseorang
kepada
masyarakatnya dan lebih luas lagi kepada bangsa dan negaranya. Akira Nagazumi (1989: 94) menjelaskan bahwa Budi Utomo sebagai awal bangkitnya Nasionalisme Indonesia. Dengan demikian menjelang dan awal kemerdekaan bangsa Indonesia telah memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dalam (1) menghadapi musuh bersama (common enemy) yaitu penjajahan. Akibat musuh bersama ini telah membentuk rasa solidaritas yang tinggi untuk menghadapi dan mengusir musuh; (2) bangsa Indonesia mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin mandiri sebagai sebuah bangsa yang merdeka, dan (3) bangsa Indonesia merasa senasib sepenanggungan, semua merasa tertindas dan teraniaya oleh bangsa asing. Secara konseptual nasionalisme adalah suatu paham kebangsaan yang mendorong bangkitnya semangat untuk mencapai cita-cita nasional. Secara harfiah nasionalisme berasal dari dua kata “nation” atau bangsa dan “ism” atau paham. Dengan demikian nasionalisme dapat diartikan sebagai paham kebangsaan atau keinginan untuk menjadi satu bangsa. Berkaitan dengan keinginan untuk membentuk suatu bangsa menurut konsep nasionalisme, terdapat beberapa teori tentang pembentukan nation seperti dikemukakan oleh Suhartono ( 2001: 7) sebagai berikut:
1) Teori kebudayaan (Culture), suatu bangsa adalah sekelompok manusia dengan persamaan kebudayaan. 2) Teori negara (Staat), menurut teori ini yang menentukan terbentuknya suatu negara lebih dahulu adalah penduduk yang ada di dalamnya disebut bangsa. 3) Teori kemauan (wills), menurut teori ini syarat mutlak untuk menjadi satu bangsa adalah adanya kemauan
bersama dari sekelompok manusia untuk
bersama
ikatan, tanpa memandang perbedaan kebudayaan,
dalam
suatu
hidup
suku, dan agama. Beberapa teori tentang terbentuknya nation yang disebut di atas, yang cocok bagi Indonesia adalah teori berdasar keinginan (wills). Semangat kebangsaan yang merupakan psychological state of mind harus selalu dibangkitkan dan dihidupkan. Karena itulah nasionalisme harus dipupuk setiap saat (Suhartono, 1994: 8) Sejalan dengan konsep dan teori tersebut, jelas bahwa tumbuhnya suatu bangsa tidak terlepas dari proses perjalanan panjang sejarah. Setiap individu yang cinta bangsanya akan memiliki motivasi dan kehendak untuk mempelajari proses tumbuh dan berkembangnya bangsa sebagai titik tolak bagi diri dan bangsa menuju ke proses selanjutnya. Konsep nasionalisme menjadi arah bagi tumbuhnya suatu bangsa yang berorientasi lebih luas ke depan yaitu suatu negara yang dapat berdiri kokoh. Bersama-sama dengan berbagai bentuk kesadaran berbangsa dalam menghadapi situasi kolonial, bangsa Indonesia masih dapat menunjuk jawaban psikologis sebagai akibat dari kondisi-kondisi sosial di dalam masyarakat kolonial, tetapi yang tidak berhubungan langsung dengan kecerdasan, perasaan rendah diri,
takut, benci, kebutuhan akan keamanan, perlindungan, perasaan kekeluargaan dan sebagainya. Faktor-faktor emosional ini menjadi semangat yang membentuk tenaga pendorong bagi perjuangan. Sartono Kartodirdjo (1967: 48), menunjuk sebagai faktor afektif ialah reaksi-reaksi emosional yang biasanya ditandai oleh: simpati, antipati, benci, takut, marah, sayang dan sebagainya. Menurut Suhartono (1994:7), “nasionalisme timbul karena kombinasi dua faktor, yaitu subjektif berupa kemauan, sentimen, apirasi, dan lain-lain, dan faktor objektif karena kondisi ekonomi, geografi, historis dan lain-lain”. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan yang dikehendaki oleh nasionalisme di Indonesia pada prinsipnya sama, yaitu cita-cita mencapai kemerdekaan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo (1984: II), bahwa ada tiga prinsip nasionalisme yaitu: (1) kemerdekaan (kebebasan); (2) kesatuan dan (3) kesamaan. Kemerdekaan memang sudah menjadi prinsip nasionalisme bangsa Indonesia. Bangsa mana pun di dunia ini
tetap
menginginkan suatu kemerdekaan bangsanya. Tetapi untuk memperoleh/mencapai kemerdekaan itu, tentu harus berjuang melepaskan diri dari keterkaitan dengan bangsa lain sepanjang bangsa itu dinilai sebagai penjajah. Syarat mutlak untuk mendukung pencapaian itu adalah adanya rasa persatuan dan kesatuan,
juga
kesamaan langkah dalam mewujudkan cita-cita mencapai kemerdekaan, harus menjadi prinsip yang perlu ditanamkan pada jiwa bangsa. Di sini prinsip nasionalisme memberi peluang terhadap upaya pencapaian tujuan tersebut. c. Kemerdekaan
Kemerdekaan merupakan hak asasi manusia, salah satu hak asasi manusia yang paling asasi adalah kemerdekaan. Kemerdekaan pada hakekatnya merupakan kemerdekaan yang dimiliki setiap individu dan juga merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula bagi bangsa atau negara di seluruh dunia, karena tidak ada satu pun bangsa atau negara yang mau dijajah bangsa lain. Dalam Pembukaan Universal Declaration of Human Rights memuat kalimatkalimat antara lain sebagai berikut: Mengingat bahwa pengakuan terhadap martabat yang melekat pada setiap umat dan terhadap hak-hak yang sama dan yang tidak boleh dirampas dari setiap orang adalah dasar dari kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia; Mengingat bahwa sikap acuh tak acuh dan sikap mencela terhadap hak asasi telah menghasilkan perbuatan-perbuatan biadab yang melukai hati nurani umat manusia dan bahwa kebangkitan satu dunia di mana orang akan menikmati kemerdekaan berbicara dan kemerdekaan keyakinan serta kemerdekaan dari ketakutan dan kekurangan disambut sebagai idaman tertinggi rakyat biasa; (dalam Aryo Kartono dkk, 2004: 50). Kemerdekaan merupakan cita-cita yang harus diperjuangkan oleh seluruh rakyat dengan menggunakan berbagai bentuk, corak dan sifat perjuangan sebagai reaksi terhadap kolonialisme. Bangsa Indonesia dengan tegas menentang segala bentuk penjajahan seperti yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea pertama yang berbunyi, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Pernyataan tersebut
memuat penegasan pendirian bangsa Indonesia
menghadapi masalah kemerdekaan melawan penjajah. Juga mengandung pernyataan objektif yaitu penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, sehingga harus ditentang dan dihapuskan, serta pernyataan subjektif bahwa aspirasi
bangsa Indonesia sendiri membebaskan diri dari penjajahan. Pernyataan itu juga merupakan landasan pokok politik luar negeri Indonesia. Kemerdekaan Indonesia diperoleh melalui perjuangan yang panjang untuk melepaskan diri dari dominasi etnik lain. Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaannya. Dengan berbagai cara dan upaya akhirnya perjuangan itu memperoleh hasil. Hal ini tertuang pada alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur (dalam Aryo Kartono, 2004 : 149). Dalam pernyataan tersebut, menunjukkan bahwa perjuangan itu telah sampai pada tingkat yang menentukan. Momentum yang telah dicapai tersebut harus dimanfaatkan untuk menyatakan kemerdekaan. Kemerdekaan tersebut bukan merupakan tujuan akhir, tetapi masih harus diisi untuk mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Kemerdekaan mempunyai arti penting bagi setiap negara, karena dengan kemerdekaan berarti negara mempunyai kekuatan atau kedaulatan. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Adanya negara yang berdaulat berarti negara itu telah memiliki kemerdekaan. Negara yang merdeka mempunyai kekuasaan untuk mengatur rumah tangganya sendiri tanpa adanya campur tangan negara lain. Negara yang merdeka mempunyai kekuasaan atau hak untuk mengadakan hubungan atau kerjasama dengan negara lain. d. Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan
Dalam sejarah perjuangan bangsa, tampaknya bahwa penderitaan terhadap penjajahan Belanda seperti tidak pernah selesai. Sejak permulaan awal abad ke-17 sampai akhir abad ke-20 kerap kali timbul perjuangan, pemberontakan dan peperangan.
Bahkan
setelah proklamasi kemerdekaan
Republik
Indonesia,
perjuangan masih harus dilanjutkan untuk mempertahankan bangsa dan negara dengan pengorbanan dan peperangan untuk menghadapi berbagai bentuk ancaman yang dapat meniadakan eksistensi negara yang baru berdiri. Himawan Soetanto (2006: 363) menjelaskan bahwa, mengingat pengalaman pahit ketika TNI demikian mudah dikalahkan oleh Belanda dalam agresi militer pertama, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan Perintah Siasat No. 1 Panglima Besar, dan memerintahkan seluruh jajaran TNI untuk menyiapkan diri menghadapi agresi militer Belanda berikutnya yang setiap saat dapat terjadi. Ketika Belanda kembali melakukan agresi terhadap wilayah negara Republik Indonesia pada tanggal 19 Desember 1948, maka bangsa Indonesia berhak dan wajib membela serta mempertahankan kemerdekaan, kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman tersebut, sesuai dengan prinsip yang dianut dalam hal mempertahankan kemerdekaan/negara. Pembelaan negara diwujudkan dengan keikutsertaan dalam upaya pertahanan negara. Dalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948, Presiden menyampaikan amanatnya
antara lain: “Kemerdekaan kita yang telah kita proklamirkan pada
tanggal 17 Agustus 1945 dan yang telah meresap pada jiwa kita, mustahil dapat ditindas dengan kekerasan”. Sementara itu Wakil Presiden juga menyampaikan pesan antara lain:
Rakyat harus berjuang terus dan saya percaya seluruh rakyat Indonesia bersedia meneruskan perjuangan kita ini. Perjuangan kita adalah perjuangan untuk kemerdekaan dan jangan putus-putus berjuang sebelum tercapai kemerdekaan itu, sebab kita berjuang dengan keyakinan bahwa perjuangan kita itu ialah perjuangan yang adil (Nasution, 1977: 186). Menurut Reid (1974: 150), saling curiga diperkuat pada pihak Republik oleh kekhawatiran akan adanya ofensi Belanda yang kedua, dan pada pihak Belanda oleh kegiatan terus menerus kesatuan-kesatuan bersenjata Republik pada sisi garis Renville. Sedangkan Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1993: 158), menjelaskan bahwa gejala-gejala akan datangnya suatu serangan militer telah dirasakan oleh pimpinan Angkatan Perang, sejak Belanda mencoba mengulurulur waktu mengenai perundingan pelaksanaan Persetujuan Renville. Di beberapa tempat tentara Belanda melakukan pemindahan pasukan ke dekat garis demarkasi. Sebagai tanggapan atas tindakan Belanda ini, pimpinan Angkatan Perang merencanakan pelaksanaan pertahanan Republik Indonesia dengan konsepsi Pertahanan Rakyat Semesta (total people’s defence), artinya pelaksanaan perang bukan hanya oleh Angkatan Perang melainkan oleh seluruh rakyat dengan Angkatan Perang sebagai intinya. Pimpinan Angkatan Perang menjabarkan konsepsi pertahanan semesta yang mudah dipahami dan dilaksanakan. Penjabarannya diterangkan di dalam Perintah Siasat No. 1 dari Panglima Besar Angkatan Perang yang berisi: (1) tidak akan melakukan pertahanan linier; (2) tugas memperlambat kemajuan dan serbuan musuh, pengungsian total serta bumihangus total; (3) tugas membentuk kantong-kantong di tiap-tiap onderdistrik militer yang mempunyai pemerintahan gerilya yang totaliter (Wehrkreis) dan mempunyai pusat di beberapa kompleks pegunungan; (4) tugas
pasukan-pasukan yang berasal dari daerah federal untuk ber-wingate (menyusup ke kantong-kantong), sehingga seluruh pulau Jawa akan menjadi satu medan perang gerilya yang besar. Perintah Siasat No. 1 menegaskan bahwa strategi pertahanan baru harus dilaksanakan. Strategi pertahanan secara linier konvensional, melakukan pertahanan mati-matian, tidak lagi dipersiapkan. TNI harus dapat menghindarkan diri dari serangan-serangan dahsyat Belanda, mundur ke daerah-daerah pangkal perlawanan dan kemudian menggelar perang gerilya jangka panjang. Pasukan-pasukan yang berasal dari daerah federal (daerah yang diduduki Belanda), seperti Divisi Siliwangi, harus melakukan Aksi Wingate- infiltrasi jarak jauh kembali ke daerah wehrkreis semula untuk menggelar perlawanan gerilya. Dalam Perintah Siasat No. 1 ditetapkan lebih lanjut bahwa, perang gerilya dalam rangka perang rakyat semesta digelar di seluruh Jawa dari Banten sampai Banyuwangi, untuk sepanjang masa (Himawan Soetanto, 2006: 354). Perang gerilya adalah suatu taktik dalam pertahanan, yang dilakukan dengan cara maju untuk menghancurkan musuh dan mundur agar jangan dihancurkan musuh, yang dilakukan sekaligus, serentak dan dengan gerakan yang cepat. Dinamis dalam arti berpindah-pindah dengan mobilitas yang tinggi, tidak bersifat statis, bergerak dalam kelompok-kelompok kecil, berada di bawah satu kendali dan komando. Untuk itu harus ada daerah gerilya yang dipimpin oleh seorang komandan yang menghubungkan gerakan satu dengan lainnya, sehingga tidak merupakan perang liar, karena mempunyai susunan tertentu dengan rencana dan garis beleid yang tertentu pula (Nasution, 1979: 261-262).
TNI telah mempersiapkan diri dengan baik bagi apa yang diperkirakannya sebagai serangan Belanda yang tak terhindarkan. Sewaktu pasukan payung Belanda mendarat di Yogyakarta, Jenderal Soedirman bangkit dari ranjang di mana ia terbaring sakit, untuk menyampaikan pesan melalui siaran radio (Reid, 1974: 152). Menurut Himawan Soetanto (2006: 292), Panglima Besar Jenderal Soedirman mengeluarkan Perintah Kilat No.1 tahun 1948, yang berisi instruksi kepada segenap jajaran Angkatan Perang RI untuk melaksanakan rencana operasi yang telah ditetapkan masing-masing kesatuan TNI berdasarkan Perintah Siasat Nomor 1 Panglima Besar. Bunyi Perintah Kilat No.1: 1. Kita telah diserang. 2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo. 3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata. 4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda. Dikeluarkan di: Tempat Tanggal: 19 Desember 1948 Jam: 08.00 (dto) Panglima Besar Angkatan Perang Letnan Jendral Sudirman Menurut rencana tersebut, akan dilakukan pengunduran strategis dari pusatpusat utama, bumi hangus, dan suatu perjuangan gerilya yang berkepanjangan di kedua sisi bekas garis Renville. Walaupun sama seperti pada tahun 1947 terjadi kekacauan organisasi dan kegagalan komunikasi, sebagian besar kesatuan-kesatuan rupanya telah menuju ke posisi-posisi yang telah ditunjukkan sebelumnya (Reid, 1974: 152). Sedangkan maksud pokok dari perintah tersebut adalah mengadakan perlawanan dengan perang gerilya yang agresif yang dilakukan oleh tentara dan rakyat untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan
sekaligus memenangkan perang. Hal ini perlu dicapai dengan: (1) pimpinan totaliter, artinya dibentuk suatu pemerintahan militer gerilya yang dipegang oleh lurah sampai kepada pimpinan tertinggi dalam hal ini Panglima Besar Soedirman; (2) politik nonkooperasi dan non-kontak yang tegas. Semua aparat pemerintah dilarang melakukan kebijaksanaan lain dalam hubungannya dengan musuh; (3) organisasi TNI dengan 3 macam tugas: a) pasukan mobil, yang bertugas tempur dengan perbandingan senjata dan personil 1:1; b) pasukan teritorial, yang bertugas melaksanakan pembinaan teritorial dan perlawanan statis; c) melaksanakan wingate (menyusup) ke daerah kekuasaan musuh, yang pernah ditinggalkan karena hijrah untuk diisi dengan kekuatan gerilya sehingga menciptakan kantong di daerah tersebut (Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993: 159). Ofensi Belanda berjalan cepat dan berhasil sama seperti pada tahun 1947. Semua kota besar di Jawa jatuh ke tangan mereka dalam seminggu, dan semua kota besar di Sumatera kecuali beberapa pada akhir bulan Desember. Hanya Aceh tetap merupakan benteng yang kuat bagi Republik. Namun tidak satu pun tujuan Belanda tercapai. Sassen dan Beel telah berharap bahwa Republik akan lenyap, dan bahwa tokoh-tokoh terkemuka dari bekas Republik akan muncul untuk mewakili wilayahwilayah yang baru diduduki dalam suatu struktur federal berdasarkan syarat-syarat Belanda seperti pada tahun 1947 tidak terjadi. Intervensi segera pihak Dewan Keamanan yang gusar memastikan bahwa Republik hidup terus sebagai suatu kesatuan internasional. Diterimanya oleh Belanda tuntutan Dewan Keamanan tentang gencatan senjata yang berlaku di Jawa mulai 31 Desember, merupakan permulaan bukan akhir peperangan. Pihak Belanda terus menyerang konsentrasi pasukan
Republik di mana saja mereka menemukannya, begitu juga gerilyawan Republik mengganggu pasukan Belanda dan kolaborator-kolaborator Indonesia. Baik bagi pasukan reguler TNI maupun pasukan tidak reguler yang mirip gerombolan perampok, alternatifnya sekarang hanya perang gerilya atau menyerah (Reid, 1974: 152-153). Satu-satunya tokoh militer dengan status yang memadai untuk mengerahkan dan mempersatukan tentara adalah Jenderal Soedirman, yang dipindah-pindahkan di atas sebuah tandu di daerah Pacitan sebelah timur Yogya, selama masa perlawanan gerilya (Reid, 1974: 155). Meskipun dalam keadaan sakit keras, Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia Jenderal Soedirman memimpin perang gerilya secara total. Selama tujuh bulan Jenderal Soedirman menjadi pegangan bagi seluruh rakyat yang melaksanakan pergulatan dahsyat untuk kelangsungan hidup Negara Republik Indonesia. Di saat-saat yang paling gelap dalam perjuangan bangsa, Soedirman merupakan obor yang memancarkan sinar ke sekelilingnya (Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993: 161). Menurut Reid (1974: 155), dari segi perasaan persamaan antara orang kota elit dan rakyat di pedesaan, zaman gerilya merupakan titik puncak seluruh proses revolusi. Perwira-perwira militer, politisi-politisi, pejabat-pejabat dan pengungsi yang berbagai ragam dari kota yang diduduki, harus bergantung pada sikap ramah tamah orang desa yang tidak berpendidikan. Hubungan tersebut tidak selalu tanpa ketegangan, namun dampaknya bagi kedua pihak sangat mendalam. Bagi banyak orang desa hadirnya pengungsi-pengungsi ini dan pertemuan kucing-kucingan dengan patroli Belanda merupakan pengalaman nyata pertama tentang revolusi.
Orang kota menyelenggarakan sekolah-sekolah, proyek-proyek pembangunan di desa, dan bahkan mendorong pembagian tanah desa atau perkebunan kepada petanipetani miskin untuk memperkuat komitmen pada perjuangan Republik. Bagi orang kota sendiri gerilyawan merupakan lambang tertinggi penderitaan, rasa kebersamaan, dan kesetiakawanan perjuangan bersama. Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka Komando Daerah Muria termasuk di dalamnya, merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dengan perjuangan pada umumnya di Indonesia. Perjuangan Komando Daerah Muria di wilayah Karesidenan Pati bagian utara, di mana Kudus sebagai pusat perjuangannya, merupakan bagian dari perjuangan rakyat semesta dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia menghadapi Agresi Militer II Belanda.
d. Sistem Pertahanan Negara 1) Pengertian Pertahanan Negara Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah sebuah negara dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri. Pertahanan negara dilakukan oleh pemerintah dan dipersiapkan secara dini dengan sistem pertahanan negara (http://id.wikipedia.org/wiki/). Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat menetapkan bahwa Pemerintah Negara Republik Indonesia berkewajiban untuk melindungi bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat ditarik simpulan, bahwa melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari setiap bentuk ancaman dari luar dan/atau dari dalam negeri, pada hakikatnya merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara. Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyebutkan bahwa: Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup negara tersebut. Tanpa mampu mempertahankan diri terhadap ancaman dari luar negeri dan/atau dari dalam negeri, suatu negara tidak akan dapat mempertahankan keberadaannya. Bangsa Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 bertekad bulat untuk membela, mempertahankan, dan menegakkan kemerdekaan, serta kedaulatan negara dan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ( dalam http://www.tempointeraktif.com,17 Januari 2009). Yang dimaksud dengan ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Di Indonesia, sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai "komponen utama" dengan didukung oleh "komponen cadangan" dan "komponen pendukung". Sistem Pertahanan Negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah diluar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur unsur lain dari kekuatan bangsa (http://id.wikipedia.org/wiki/PertahananNegara).
Yang dimaksud dengan ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Menurut penjelasan UU RI No 3 Tahun 2002, ancaman militer dapat berbentuk: (a) Agresi berupa penggunaan kekuatan bersenjata oleh negara lain terhadap kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa atau dalam bentuk dan cara-cara, antara lain: (1)
Invasi berupa serangan oleh
kekuatan bersenjata negara lain terhadap wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) Bombardemen berupa penggunaan senjata lainnya yang dilakukan oleh angkatan bersenjata negara lain terhadap wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) Blokade terhadap pelabuhan atau pantai atau wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh angkatan bersenjata negara lain; (4) Serangan unsur angkatan bersenjata negara lain terhadap unsur satuan darat atau satuan laut atau satuan udara Tentara Nasional Indonesia; (5) Unsur kekuatan bersenjata negara lain yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan perjanjian yang tindakan atau keberadaannya bertentangan dengan ketentuan dalam perjanjian; (6) Tindakan suatu negara yang mengizinkan penggunaan wilayahnya oleh negara lain sebagai daerah persiapan untuk melakukan agresi terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia; (7) Pengiriman kelompok bersenjata atau tentara bayaran oleh negara lain untuk melakukan tindakan kekerasan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau melakukan tindakan seperti tersebut di atas.
b. Pelanggaran wilayah yang dilakukan negara lain, baik yang menggunakan kapal maupun pesawat nonkomersial. c. Spionase yang dilakukan oleh negara lain untuk mencari dan mendapatkan rahasia militer. d.
Sabotase untuk merusak instalasi penting militer dan objek vital nasional yang membahayakan keselamatan bangsa.
e.
Aksi teror bersenjata yang dilakukan oleh jaringan terorisme internasional atau yang bekerja sama dengan terorisme dalam negeri atau terorisme dalam negeri yang bereskalasi tinggi sehingga membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa.
f.
Pemberontakan bersenjata.
g.
Perang saudara yang terjadi antara kelompok masyarakat bersenjata dengan kelompok masyarakat bersenjata lainnya. Upaya bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh
kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Upaya bela negara, selain sebagai kewajiban dasar manusia, juga merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa (UU RI No 3 Tahun 2002). Komponen utama adalah Tentara Nasional Indonesia, yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas tugas pertahanan. Komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna
memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama. Komponen pendukung adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan. Sumber daya nasional terdiri dari sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya buatan. Sumber daya alam adalah potensi yang terkandung dalam bumi, air dan dirgantara yang dalam wujud asalnya dapat didayagunakan untuk kepentingan pertahanan negara. Sumber daya buatan adalah sumber daya alam yang telah ditingkatkan daya gunanya untuk kepentingan pertahanan negara.
2) Peran dan Tanggung Jawab Daerah dalam Mempertahankan Kemerdekaan Untuk menghadapi ancaman militer Belanda, persiapan tidak hanya dalam bentuk dukungan politis yang berupa peraturan pemerintah tetapi juga dalam bentuk nyata. Dalam sidang kabinet, Departemen Dalam Negeri bersama Markas Besar Angkatan Perang telah mengatur untuk menghapuskan jabatan gubernur sipil di masa perang. Para gubernur diangkat menjadi penasehat Gubernur Militer ( Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993: 160). Bentuk pemerintahan militer di Jawa disusun sebagai berikut: Panglima Besar Angkatan Perang membawahi Panglima Tentara dan Teritorium Jawa. Selaku Panglima Tentara membawahi 4 divisi, sedangkan selaku Panglima Teritorium membawahi 4 orang gubernur militer. Jabatan gubernur militer se Jawa dirangkap oleh Panglima Divisi. Gubernur Militer membawahi pasukan teritorial, yang instansinya disusun mulai dari Sub Teritorial Commando (STC) atau Sub Teritorium Militer (STM) untuk wilayah karesidenan, Komando Distrik Militer (KDM) untuk
wilayah kabupaten, Komando Onder Distrik Militer (KODM) untuk wilayah setingkat kecamatan, dan akhirnya para lurah. Para lurah akan membentuk desa sebagai pelaksana pemerintah militer yang terendah. Sedangkan Panglima Divisi membawahi pasukan mobil, yang disusun mulai dari brigade dan batalion. Tugas pasukan mobil ini di samping bertempur melawan musuh juga melindungi dan memperluas daerah kekuasaan pemerintah militer. Berdasarkan bentuk dan susunan pemerintahan militer tersebut, maka daerah memiliki
peran
dan
tanggung
jawab
dalam
usaha
mempertahankan
kemerdekaan/negara, karena bentuk pertahanan negara bersifat semesta, dalam arti melibatkan seluruh rakyat dan segenap sumber daya nasional, sarana dan prasarana nasional, serta seluruh wilayah negara sebagai satu kesatuan pertahanan.
2. Pembelajaran Sejarah Sejarah adalah mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga kini (Depdiknas, 2003: 6). Pembelajaran sejarah memberikan wawasan yang berkenaan dengan peristiwa-peristiwa dari berbagai periode (Puskur, 2006: 7) Menurut Nugroho Notosusanto (1982: 2), ada dua pengertian sejarah yaitu: (1) Sejarah sebagai peristiwa atau dengan kata lain sejarah dapat berarti peristiwa; (2) Sejarah sebagai kisah dari peristiwa masa lampau. Peristiwa-peristiwa sejarah menurut Nugroho Notosusanto (1982: 3) adalah “sejarah dalam arti kedua yaitu sejarah sebagai kisah”. Pengertian sejarah dalam arti pertama sudah tidak ada lagi,
karena itu tak mungkin dapat diamati atau disaksikan. Yang selalu dihadapi adalah sejarah sebagai kisah, yaitu pelukisan peristiwa sejarah. Sejarah sebagai kisah tersusun dari hasil karya para sejarawan yang telah menuliskan berdasarkan hasil penelitiannya. Sejarawan menyimpulkan berdasarkan pada peristiwa jejak-jejak sejarah yang menjadi sumber sejarah sebagai kisah. Sumber-sumber sejarah itu ada yang berbentuk benda, tulisan, dan dapat juga berbentuk keterangan lisan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo (1992: 16), bahwa setiap peristiwa meninggalkan bekas yang kemudian digunakan sebagai saksi dan bukti. Kondisi yang dihadapi saat ini, prospek serta tantangan di masa depan merupakan bagian integral dari proses perkembangan yang telah terjadi sejak masa lalu. Berdasarkan pemahaman bahwa sejarah merupakan ilmu yang mempelajari proses perubahan dan keberlanjutan dalam dimensi waktu, maka pengajaran sejarah di sekolah perlu dilaksanakan untuk membangun pemahaman keilmuan berperspektif waktu, memori bersama, dan kesadaran terhadap nilai inti bangsa (Depdiknas, 2003: 5). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dengan mempelajari masa lalu, manusia dapat berpijak lebih mantap pada masa sekarang, manusia tidak akan mengulang kesalahan yang sama, dan dapat menatap masa depan secara lebih mantap. Dari pengertian tersebut menunjukkan bahwa sejarah sangat penting untuk dipelajari dan perlu diajarkan melalui proses pendidikan, yaitu pembelajaran sejarah yang memperhatikan aspek-aspek didaktis. Dalam kurikulum SMP,
sejarah
merupakan salah satu bidang kajian Ilmu Pengetahuan Sosial. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di tingkat Sekolah Menengah
Pertama (SMP) meliputi bahan kajian: sosiologi, sejarah, geografi, dan ekonomi. Mata pelajaran IPS bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat (Nursid Sumaatmaja dalam Puskur Depdiknas, 2006: 4) Dalam pelaksanaan pembelajaran IPS di SMP, masing-masing bahan kajian dilaksanakan secara terpisah. Pencapaian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran IPS dilakukan sesuai dengan bidang kajian masing-masing ( sosiologi, sejarah, geografi, dan ekonomi). Hal ini disebabkan antara lain: (1) kurikulum IPS itu sendiri tidak menggambarkan satu kesatuan yang terintegrasi, melainkan masih terpisah-pisah antarbidang ilmu sosial, (2)latar belakang guru yang mengajar merupakan guru dengan disiplin ilmu seperti geografi, sejarah, ekonomi, dan sosiologi ( Puskur Depdiknas, 2006: 4) Ditinjau dari Ilmu Pengetahuan Sosial secara menyeluruh, sejarah mempunyai kedudukan yang khas, khususnya sebagai ilmu sosial yang menghubungkan dengan masa lampau. Sejarah menampilkan perkembangan dan perubahan dalam perikehidupan di masa lampau, maksudnya merupakan salah satu cabang Ilmu Pengetahuan Sosial yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa lampau, beserta segala kejadian-kejadiannya, dengan maksud untuk menilai secara kritis seluruh penelitian dan penyelidikan, dan akhirnya dapat dijadikan perbendaharaan pedoman
bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah perkembangan masa depan (Depdiknas, 2004: 6).
a. Tujuan Pembelajaran Sejarah Pembelajaran sejarah di sekolah bertujuan agar siswa memperoleh kemampuan berpikir historis dan pemahaman sejarah. Melalui pembelajaran sejarah siswa mampu mengembangkan kompetensi untuk berpikir secara kronologis dan memiliki pengetahuan tentang masa lampau yang dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan proses perkembangan dan perubahan masyarakat serta keragaman sosial budaya dalam rangka menemukan dan menumbuhkan jati diri bangsa di tengah-tengah kehidupan masyarakat dunia (Depdiknas, 2003: 6). Pembelajaran sejarah juga bertujuan agar siswa menyadari adanya keragaman pengalaman hidup pada masing-masing masyarakat dan adanya cara pandang yang berbeda terhadap masa lampau untuk memahami masa kini dan membangun pengetahuan serta pemahaman untuk menghadapi masa yang akan datang. Menurut Depdiknas (2006: 9), pada tingkat SMP pelajaran sejarah bertujuan agar peserta didik memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat. Tidak pernah ada suatu bangsa yang melupakan sejarah bangsanya, asal-usul, dan perjuangan mereka untuk hidup dan merdeka. Tujuan yang luhur dari sejarah untuk diajarkan pada semua jenjang sekolah adalah menanamkan semangat kebangsaan, cinta tanah air, bangsa dan negara serta mereka sadar untuk apa mereka dilahirkan. Pelajaran sejarah merupakan salah satu unsur pertama pendidikan politik
bangsa. Lebih jauh lagi pengajaran sejarah merupakan sumber inspirasi terhadap hubungan antar bangsa dan negara. Siswa memahami bahwa mereka merupakan bagian masyarakat negara di dunia.
b. Fungsi Pembelajaran Sejarah Pembelajaran sejarah berfungsi untuk menyadarkan siswa akan adanya proses perubahan dan perkembangan masyarakat dalam dimensi waktu dan untuk membangun perspektif serta kesadaran sejarah dalam menemukan, memahami, dan menjelaskan jati diri bangsa di masa lalu, masa kini, dan masa depan di tengahtengah perubahan dunia (Depdiknas, 2003: 6). I Gede Widja (1989: 45) menjelaskan bahwa, menyadari guna edukatif dari sejarah berarti menyadari makna sejarah sebagai gambaran peristiwa masa lampau yang penuh arti, yang selanjutnya berarti bahwa kita bisa memungut dari sejarah nilai-nilai berupa ide-ide mau pun konsep-konsep kreatif sebagai sumber motivasi bagi pemecahan masalah-masalah masa kini dan selanjutnya untuk merealisasikan harapan-harapan di masa yang akan datang. Menurut Sartono Kartodirdjo (1989: 20), pengajaran sejarah berfungsi untuk: (1) Membangkitkan perhatian dan minat terhadap sejarah tanah air; (2)Mendapatkan inspirasi dari cerita sejarah; (3) Memupuk alam pikiran
ke
arah historical
mindedness; (4) Memberi pola pikir ke arah yang rasional dan kritis dengan faktual; (5) Mengembangkan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Selanjutnya Sartono Kartodirdjo (1989: 22) mengemukakan bahwa “fungsi pengajaran sejarah di sekolah yaitu menjadi sumber inspirasi dan aspirasi generasi
muda dengan pengungkapan model-model tokoh sejarah dan berbagai bidang pendidikan”. Melalui materi tersebut perbendaharaan suri tauladan, berkorban untuk tanah air, berdedikasi tinggi, tanggung jawab sosial yang besar, kewajiban serta keterlibatan penuh dalam hal ihwal bangsa dan tanah air, mengutamakan kepentingan umum, dan tak kenal lelah dalam usaha untuk berprestasi. Semangat perjuangan yang dikobarkan para generasi pendahulu diharapkan dapat memberi inspirasi generasi sekarang dalam menghadapi tugas membangun daerah, bangsa dan negara Indonesia. Sartono Kartodirdjo, (1989: 22) menyebutkan bahwa “ pelajaran sejarah di sekolah tidak dapat mengabaikan fungsi didaktik terutama untuk menopang pertumbuhan wawasan kebangsaan yang begitu fundamental bagi pembangunan bangsa”. Hal ini menjadi penting karena para siswa adalah pewaris-pewaris negara dan bangsa. Mereka akan menjadi generasi yang bijak dan luas pandangannya apabila mendapat pembekalan. Kesadaran sejarah yang kritis perlu sekali dimiliki oleh siswa, agar mereka menjadi bangsa yang menghargai hasil perjuangan dan nilai budaya warisan nenek moyangnya. Siswa harus mengenal masa lampaunya dengan baik, karena masa lampau manusia sangat penting untuk menghadapi masa kini dan masa yang akan datang. Semua itu diharapkan akan bermuara pada terbentuknya sikap, nilai, pengertian, penguasaan, serta ketrampilan memahami nilai perjuangan bangsa, sehingga siswa memiliki peluang untuk memperdalam lebih lanjut pengetahuan yang telah mereka peroleh. Dalam konteks penerapan kurikulum yang memberikan keleluasaan masuknya muatan lokal, pengenalan tokoh-tokoh pelaku sejarah lokal itu bisa disisipkan
sebagai
pengembangan
materi pembelajaran
sejarah.
Termasuk
mentransformasikan nilai-nilai positif yang terkandung di balik peristiwa sejarah tersebut. Perhatian kepada aspek sejarah lokal bukanlah sebagai bentuk euforia otonomi atau pun kebangkitan kesadaran tentang lokalitas. Namun, lebih sebagai usaha mendekatkan generasi muda dengan sejarah lokalnya sendiri sehingga mereka bisa lebih mudah memaknai arti perjuangan bangsanya di masa lalu. (Sumatika: 2008) Sejalan dengan penjelasan tersebut, maka aspek-aspek heroisme, patriotisme dan nasionalisme dari perjuangan Komando Daerah Muria apabila diajarkan kepada siswa dapat berfungsi sebagai salah satu upaya penanaman nilai kepahlawanan, semangat patriotisme dan nasionalisme, sehingga siswa dapat merasakan semangat perjuangan, besarnya pengorbanan dan sulitnya para pahlawan ketika merebut kemerdekaan. Jika mereka dapat merasakan hal ini, maka semangat patriotisme dan jiwa nasionalisme siswa akan terwujud. Pada tahap berikutnya jiwa dan semangat nasionalisme tersebut direvitalisasi dalam upaya mempersiapkan masyarakat Indonesia menghadapi globalisasi yang diikuti oleh dampak kemajuan iptek. Secara khusus semangat nasionalisme diperlukan untuk menseleksi pilihan kita dalam mempertahankan kepribadian bangsa. Dari beberapa uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa melalui pembelajaran sejarah dengan memahami makna yang terkandung di dalamnya, dapat menjadi dasar bagi penanaman sikap kebangsaan, cinta tanah air, sehingga memiliki sikap yang kuat dalam mempertahankan kemerdekaan dan mengisinya dengan pembangunan bangsa serta Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Pengembangan Materi Pembelajaran 1) Pengertian Materi Pembelajaran Materi pembelajaran (instructional materials) atau bahan ajar adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan (Depdiknas, 2006). Materi pembelajaran tersebut disusun secara sistematis oleh guru, selanjutnya digunakan dalam proses pembelajaran. Keberhasilan pembelajaran secara keseluruhan sangat tergantung pada keberhasilan guru dalam merancang materi pembelajaran. Materi pembelajaran pada hakekatnya merupakan bagian tak terpisahkan dari Silabus, yakni perencanaan, prediksi dan proyeksi tentang apa yang akan dilakukan pada saat kegiatan pembelajaran. Materi pembelajaran menempati posisi yang sangat penting dari keseluruhan kurikulum, yang harus dipersiapkan agar pelaksanaan pembelajaran dapat mencapai sasaran. Sasaran tersebut harus sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus dicapai oleh peserta didik. Artinya, materi yang ditentukan untuk kegiatan pembelajaran hendaknya materi yang benar-benar menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta tercapainya indikator Agar guru dapat membuat persiapan yang berdaya guna dan berhasil guna, dituntut memahami berbagai aspek yang berkaitan dengan pengembangan materi pembelajaran, baik berkaitan dengan hakikat, fungsi, prinsip, maupun prosedur pengembangan materi serta mengukur efektivitas persiapan tersebut.
2) Cara Mengembangkan Materi Pembelajaran Pengembangan merupakan suatu kegiatan berupa pencanangan, perencanaan atau rekayasa yang dilakukan dengan berdasarkan metode berpikir ilmiah guna memecahkan permasalahan yang nyata-nyata terjadi, sehingga hasil kerja pengembangan berupa pengembangan ilmiah dan teknologi dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut (Depdikbud, 1998: 4). Dalam PP nomor 19 tahun 2005 Pasal 20, diisyaratkan bahwa guru diharapkan mengembangkan materi pembelajaran, yang kemudian dipertegas melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses, yang antara lain mengatur tentang perencanaan proses pembelajaran yang mensyaratkan bagi pendidik pada satuan pendidikan untuk mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Salah satu elemen dalam RPP
adalah
sumber
belajar.
Dengan
demikian,
guru
diharapkan
untuk
mengembangkan materi pembelajaran sebagai salah satu sumber belajar dan acuan pembelajaran (http:/awan965.wordpress.com/2008/12/20). Penjabaran SK dan KD sebagai bagian dari pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dilakukan melalui pengembangan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Silabus merupakan penjabaran secara umum dengan mengembangkan SK-KD menjadi indikator, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber belajar dan penilaian. Sebagai bagian dari langkah pengembangan silabus, pengembangan indikator merupakan langkah strategis yang berpengaruh pada kualitas pembelajaran di kelas. Kemampuan guru dan sekolah
dalam mengembangkan indikator berpengaruh pada kualitas kompetensi peserta didik di sekolah tersebut. Mulyasa (2007: 225) menjelaskan bahwa, guru sebagai manajer kurikulum di sekolah diharapkan dapat memilih dan mengembangkan materi pembelajaran sesuai dengan
kebutuhan,
perkembangan
jaman,
minat
perkembangan peserta didik. Oleh karena itu guru
dan
kemampuan
serta
dituntut inovatif dan kreatif
mampu menguasai dan mengembangkan materi, serta menerapkan berbagai variasi metode dalam proses belajar mengajar, sehingga dapat mencapai tujuan yang dirumuskan. Pengembangan materi pembelajaran pada hakekatnya adalah mencari dan menentukan pokok materi formal, memperkaya dan menyempurnakan materi pengajaran dari bahan informal, juga menentukan pokok isi pelajaran dan mengorganisasikannya berdasar pendekatan dan ketentuan bidang studi serta tuntutan formal (Kosasih Djahiri, 1980: 15). Banyak referensi yang dapat digunakan sebagai bahan pengembangan materi pembelajaran, namun yang diambil hendaknya yang bersifat pedagogis dan relevan dengan tujuan pembelajaran. Dalam
pengembangan
materi
pembelajaran
guru
harus
mampu
mengidentifikasi Materi Pembelajaran dengan mempertimbangkan hal-hal berikut ini: (a) potensi peserta didik; (b) relevansi dengan karakteristik daerah; (c) tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spritual peserta didik; (d) kebermanfaatan bagi peserta didik; (e) struktur keilmuan; (f) aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran; (g) relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan; dan (h) alokasi waktu (Depdiknas, 2006).
Sebelum
menentukan
materi
pembelajaran
terlebih
dahulu
perlu
diidentifikasi aspek-aspek keutuhan kompetensi yang harus dipelajari atau dikuasai peserta didik. Aspek tersebut perlu ditentukan, karena setiap standar kompetensi dan kompetensi dasar memerlukan jenis materi yang berbeda-beda dalam kegiatan pembelajaran. Harus ditentukan apakah standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik termasuk ranah kognitif, psikomotor ataukah afektif. Cara yang paling mudah untuk menentukan jenis materi pembelajaran yang akan diajarkan adalah dengan cara mengajukan pertanyaan tentang kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik. Dengan mengacu pada kompetensi dasar, kita akan mengetahui apakah materi yang harus kita ajarkan berupa fakta, konsep, prinsip, prosedur, aspek sikap, atau keterampilan motorik.
3) Kriteria Pemilihan Materi pembelajaran dipilih seoptimal mungkin untuk membantu peserta didik dalam mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pemilihan materi pembelajaran adalah jenis, cakupan, urutan, dan perlakuan (treatment) terhadap materi pembelajaran tersebut. Prinsip-prinsip dalam pemilihan materi pembelajaran meliputi: (a) prinsip relevansi artinya kesesuaian, materi pembelajaran hendaknya relevan memiliki keterkaitan dengan pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar; (b) konsistensi artinya keajegan, adanya keajegan antara bahan ajar dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. Misalnya, kompetensi dasar yang harus dikuasai
siswa empat macam, maka bahan ajar yang harus diajarkan juga harus meliputi empat macam; dan (c) Adequacy artinya kecukupan, artinya materi yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam membantu siswa menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu banyak. Jika terlalu sedikit akan kurang membantu mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak maka akan mengakibatkan keterlambatan dalam pencapaian target kurikulum yaitu pencapaian keseluruhan SK dan KD (http:/akhmadsudrajadwordpress.com, download 13 Januari 2009). Materi pembelajaran yang dipilih untuk diajarkan oleh guru dan harus dipelajari siswa hendaknya berisikan materi atau bahan ajar yang benar-benar menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar. Secara garis besar langkah-langkah pemilihan bahan ajar meliputi : (a) mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar yang menjadi acuan atau rujukan pemilihan bahan ajar, (b) mengidentifikasi jenis-jenis materi bahan ajar, (c) memilih bahan ajar yang sesuai atau relevan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah teridentifikasi tadi., dan (d) memilih sumber bahan ajar (Depdiknas: 2006). Secara lengkap, langkah-langkah pemilihan bahan ajar dapat dijelaskan sebagai berikut: (a)
Mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebelum menentukan materi pembelajaran terlebih dahulu perlu diidentifikasi aspek-aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar yang
harus dipelajari atau dikuasai siswa. Aspek tersebut perlu ditentukan, karena setiap aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar memerlukan jenis materi yang berbeda-beda dalam kegiatan pembelajaran. (b) Identifikasi jenis-jenis materi pembelajaran. Sejalan dengan berbagai jenis aspek standar kompetensi, materi pembelajaran juga dapat dibedakan menjadi jenis materi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Materi pembelajaran aspek kognitif secara rinci dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu: fakta, konsep, prinsip dan prosedur. (c) Memilih jenis materi yang sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Materi yang akan diajarkan perlu diidentifikasi apakah termasuk jenis fakta, konsep, prinsip, prosedur, afektif, atau gabungan lebih daripada satu jenis materi. Dengan mengidentifikasi jenis-jenis materi yang akan diajarkan, maka guru akan mendapatkan kemudahan dalam cara mengajarkannya. Setelah jenis materi pembelajaran teridentifikasi, langkah berikutnya adalah memilih jenis materi tersebut yang sesuai dengan standar kompetensi atau kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. Identifikasi jenis materi pembelajaran juga penting untuk keperluan mengajarkannya. Sebab, setiap jenis materi pembelajaran memerlukan
strategi
pembelajaran
atau
metode,
media,
dan
sistem
evaluasi/penilaian yang berbeda-beda. (d) Memilih sumber bahan ajar. Setelah jenis materi ditentukan langkah berikutnya adalah menentukan sumber bahan ajar. Materi pembelajaran atau bahan ajar dapat kita temukan dari berbagai sumber seperti buku pelajaran, majalah, jurnal, koran, internet, media audiovisual, hasil penelitian dan sebagainya.
Tidak semua bahan dari berbagai sumber tersebut dapat dijadikan sebagai bahan ajar mau pun pengembangan bahan ajar, karena ada kriteria-kriteria yang perlu dipertimbangkan.
Menurut
Dakir
(2004:
14),
kriteria-kriteria
yang
perlu
dipertimbangkan adalah: (a) Bahan hendaknya bersifat paedagogis, artinya bahan hendaknya berisikan hal-hal yang normatif; (b) Bahan hendaknya bersifat psikhologis, artinya bahan yang disusun memperhatikan kejiwaan peserta didik yang mempergunakannya. Bahan disesuaikan dengan perhatian, minat, kebutuhan, dan perkembangan jiwa anak; (c) Bahan hendaknya disusun secara didaktis, artinya bahan yang dipilih tersebut dapat diorganisir sedemikian rupa sehingga mudah untuk diajarkan; (d) Bahan hendaknya bersifat sosiologis, artinya bahan jangan sampai kontroversal dengan keadaan masyarakat sekitar; (e)
Bahan hendaknya bersifat
yuridis, artinya bahan yang disusun jangan sampai bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945, GBHN, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah mau pun peraturan-peraturan yang lain. Di samping kriteria-kriteria yang telah disebutkan, penyusunan bahan ajar atau materi pembelajaran juga harus disesuaikan dengan tingkatan kelas peserta didik. Materi pembelajaran untuk sekolah dasar kriterianya akan lebih ketat daripada materi pembelajaran untuk sekolah menengah. Menurut Kochhar (dalam Wasino, 2009: 3), ada tiga tingkatan kemampuan peserta didik dalam penerimaan materi kesejarahan berdasarkan tingkat berpikirnya, yaitu: (a) anak-anak pada tingkatan sekolah dasar ditekankan pada materi pembelajaran tentang tokoh; (b) anak-anak pada Sekolah Menengah Pertama ditekankan pada materi pembelajaran tentang peritiwa sejarah; (c) anak-anak pada tingkatan SLTA pada materi pembelajaran yang
menekankan gagasan atau pemikiran. Standar Isi IPS Sejarah 2006 memberi ruang gerak kepada guru untuk mengembangkan materi ajar sesuai dengan tingkat berpikir peserta didik dan jenjang pendidikannya. Sesuai dengan uraian tersebut, guru juga harus mempertimbangkan indikator dalam proses pengembangan bahan ajar berikut ini: (a) Materi pembelajaran adalah sarana yang digunakan dan bermanfaat bagi pencapaian tujuan pembelajaran. (b) Materi pembelajaran adalah sarana yang yang membawa siswa ke arah tujuan yang mempunyai aspek jenis perilaku dan isi. (c) Materi pembelajaran
bersifat lebih luas daripada aspek isi dalam tujuan
pembelajaran. (d) Materi pembelajaran yang sama dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang berbeda, dan sebaliknya. (e) Materi pembelajaran harus sesuai dengan kepentingan dan taraf kemampuan siswa untuk menerima dan mengolah materi. (f)
Materi pembelajaran harus dapat melibatkan siswa secara aktif dalam berpikir dan melakukan kegiatan.
(g)
Materi pembelajaran harus diberikan tepat waktu untuk dibelajarkan sesuai dengan perkembangan ilmu dan kebutuhan masyarakat.
(h) Materi pembelajaran harus sesuai dengan prosedur. (i)
Materi pembelajaran harus sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan masyarakat serta kebijakan pemerintah.
(j) Materi pembelajaran harus relevan dengan pembangunan nasional.
(k) Materi pembelajaran harus benar-benar dikuasai oleh guru (Depdikbud, 1996: 9-10).
B. Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian yang relevan dengan judul permasalahan penelitian ini adalah: 1. Darwin Une (2006) dalam tesis yang berjudul “Organisasi Pergerakan Nasional Cabang Gorontalo Tahun 1908 -1942 Sebagai Materi Muatan Lokal di SMA Negeri Gorontalo” yang menjelaskan hasil penelitiannya sebagai berikut,
(a)
peranan rakyat Gorontalo dalam membebaskan diri dari kolonialisme Belanda pada abad ke- 17 banyak tergantung pada raja-raja Gorontalo, meski demikian rakyat tidak pernah patah semangat mendukung perjuangan fisik tersebut; (b) peranan berbagai Organisasi Pergerakan Cabang Gorontalo seperti Sinar Budi, Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) dan lainnya sangat berpengaruh pada perjuangan 23 Januari 1942, menyebabkan pemerintah Kolonial Belanda terpaksa keluar dari bumi Gorontalo, yang selanjutnya para pemimpin pergerakan berhasil mendirikan pemerintahan yang dikenal dengan Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG); (c) materi muatan lokal khususnya sejarah perjuangan rakyat Gorontalo belum dimasukkan pada pengajaran sejarah di SMA Gorontalo; (d) Baik guru-guru pengajar di SMA maupun pihak Dinas Pendidikan Nasional Gorontalo, menyambut baik atas kehadiran hasil penelitian tentang sejarah perjuangan rakyat Gorontalo menentang kolonialisme Belanda untuk dijadikan materi muatan lokal pada pengajaran sejarah.
Relevansinya dengan penelitian ini adalah dalam hal upaya memasukkan peristiwa sejarah lokal sebagai pengembangan materi pembelajaran IPS Sejarah. 2. Emerita Wagiyah (2008) dalam tesis yang berjudul “Pelestarian Nilai-Nilai Sumpah Pemuda Melalui Pengajaran Sejarah Sebagai Sarana Mewujudkan Sikap Nasionalisme”. Dari hasil penelitiannya diperoleh simpulan (1) Kurikulum Sekolah Menengah Pertama 2004 pengajaran sejarah terpadu dengan Geografi dan Ekonomi dalam mata pelajaran Pengetahuan Sosial, tetapi pelaksanaan pembelajaran dilakukan secara terpisah. Materi yang berkaitan dengan nilai-nilai Sumpah Pemuda dan sikap nasionalisme terdapat pada kelas VIII semeter II; (2) Pelaksanaan pembelajaran sejarah bersifat konvensional, media dan sumber yang dimiliki tidak dimanfaatkan secara optimal, sehingga pelajaran monoton, kurang variatif dan keterlibatan siswa dalam pembelajaran sangat kurang; (3) nilai-nilai Sumpah Pemuda sangat mendukung terhadap
semangat nasionalisme, inti
pelaksanaan Sumpah Pemuda adalah cinta tanah air, bahasa dan nation yaitu Indonesia. Pengembangan nilai-nilai Sumpah Pemuda dan semangat nasionalisme dilakukan melalui kegiatan terstruktur, Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), Palang Merah Remaja (PMR), Polisi Sekolah, latihan baris berbaris, kepramukaan dan kerja bakti sosial. Pembelajaran sejarah belum dapat menginternalisasikan nilainilai Sumpah Pemuda dalam diri siswa; (4) Tanggapan guru terhadap kegiatan yang mengandung nilai-nilai Sumpah Pemuda dan pengembangan semangat nasionalisme secara umum positif dan mendapat dukungan dari pihak sekolah.
Relevansinya dengan penelitian ini adalah pada aspek-aspek penanaman nilai-nilai kepahlawanan, patriotisme dan nasionalisme melalui pembelajaran IPS Sejarah. C. Kerangka Pikir
Dalam pembelajaran sejarah di SMP, apabila pada Standar Kompetensi: “Memahami usaha mempertahankan kemerdekaan”, dan Kompetensi Dasar: “Mengidentifikasi usaha perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia” di mana
“Bentuk
dan
proses
perjuangan
bangsa
Indonesia
dalam
usaha
mempertahankan kemerdekaan Indonesia” menjadi materi pembelajaran pokok, maka perjuangan Komando Daerah Muria pada tahun 1948 yang merupakan bukti historis dari perjuangan rakyat di Kudus dalam mempertahankan kemerdekaan perlu menjadi bagian dari materi pembelajaran sejarah, dalam arti sangat relevan bila dimasukkan sebagai pengembangan materi, karena berkisar pada materi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Aspek-aspek heroisme, patriotisme dan nasionalisme dari perjuangan Komando Daerah Muria perlu diajarkan kepada siswa, karena dapat berfungsi sebagai salah satu upaya penanaman nilai kepahlawanan, semangat patriotisme dan nasionalisme, sehingga siswa dapat merasakan semangat perjuangan, besarnya pengorbanan dan sulitnya para pahlawan ketika merebut kemerdekaan. Jika mereka dapat merasakan hal ini, maka semangat patriotisme dan jiwa nasionalisme siswa akan terwujud. Pada tahap berikutnya jiwa dan semangat nasionalisme tersebut direvitalisasi dalam upaya mempersiapkan masyarakat Indonesia menghadapi
globalisasi yang diikuti oleh dampak kemajuan iptek. Secara khusus semangat nasionalisme diperlukan untuk menseleksi pilihan kita dalam mempertahankan kepribadian. Nilai
perjuangan
yang
menyangkut
apek-aspek
tersebut
dapat
dikembangkan menjadi materi pembelajaran sejarah. Diperlukan tanggapan positif dari para guru sejarah di SMP, Kepala Sekolah dan pejabat Dinas Pendidikan di Kabupaten Kudus, berkaitan dengan upaya memasukkan sejarah perjuangan Komando Daerah Muria sebagai pengembangan materi pembelajaran sejarah di SMP wilayah Kabupaten Kudus. Sebagai realisasi dari tanggapan positif tersebut, ditunjukkan dengan pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran atau RPP. Dalam penyusunan Rencana
Pelaksanaan
Pembelajaran
(RPP),
diintegrasikan
dengan
materi
pembelajaran pokok agar pelaksanaan pembelajaran menjadi lebih bermakna. Dengan demikian tujuan yang diharapkan pada Standar Kompetensi tersebut bisa tercapai secara lebih optimal.
Adapun alur dari kerangka pikir ini dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:
SK dan KD
Tujuan
Aspek Sosial
Materi Pembelajaran Pokok
Bentuk dan proses perjuangan bangsa Indonesia dlm usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia
Pembelajaran Sejarah
Pengembangan Materi Pembelajaran Sejarah Perjuangan Komando Daerah Muria
Aspek Heroisme
Aspek Patriotisme Aspek Persatuan Aspek Nasionalisme
Tanggapan Guru IPS di SMP dan Pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten
Penyusunan RPP dengan memasukkan sejarah perj. Komando Daerah Muria
Gambar 1. Kerangka pikir
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kudus yang merupakan salah satu daerah sasaran penyerangan oleh Belanda pada masa Agresi Militer II Belanda ketika menduduki wilayah karesidenan Pati. Kudus merupakan pusat perjuangan dan markas Komando Daerah Muria yang dijadikan sumber materi pembelajaran dalam penelitian ini. Dua Sekolah Menengah Pertama di Kudus telah dipilih menjadi lokasi penelitian yaitu SMP Negeri 1 Gebog dan SMP Negeri 2 Gebog. Hal ini didasarkan pada pertimbangan efektivitas, yaitu salah satu guru IPS di SMP Negeri 2 Gebog pernah melakukan penelitian sejarah perjuangan Komando Daerah Muria, dan guru IPS di SMP Negeri 1 Gebog ada yang menjadi pengurus MGMP IPS. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pengumpulan data, mendapatkan gambaran mengenai materi pembelajaran yang diajarkan dan pelaksanaan pembelajaran IPS Sejarah di SMP Kabupaten Kudus.
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
Oleh karena permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bidang pendidikan sejarah yang berhubungan dengan keterlibatan manusia, maka bentuk penelitian yang cocok digunakan adalah deskriptif kualitatif. Tujuannya melukiskan kondisi yang ada pada situasi tertentu saat penelitian dilakukan dan tidak melakukan
uji hipotesis (Ary, 1982: 32). Sedangkan menurut Sutopo (2006:136)” Jenis penelitian kualitatif
mampu mengungkap berbagai informasi kualitatif dengan
deskripsi teliti dan penuh nuansa yang lebih berharga daripada sekadar pernyataan jumlah maupun frekuensi dalam bentuk angka.” Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus tunggal, artinya penelitian dilakukan pada satu sasaran/objek yang karakteristiknya secara umum sama. Mengingat permasalahan dan fokus penelitian sudah ditentukan dalam proposal sebelum peneliti terjun dan menggali permasalahan di lapangan, maka jenis penelitian kasus ini secara lebih khusus disebut studi kasus terpancang atau embedded case study research ( Sutopo, 2006: 180)
C. Sumber Data
Menurut Sutopo (2006:56) bahwa : “ Sumber data merupakan bagian yang sangat penting bagi peneliti karena ketepatan memilih dan menentukan jenis sumber data akan menentukan ketepatan dan kekayaan data atau kedalaman informasi yang diperoleh”. Sedangkan Lofland dan Lofsand ( dalam Moleong, 1990 : 112), “ sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain”. Berdasarkan uraian tersebut maka data yang diperlukan dalam penelitian ini digali dari sumber-sumber sebagai berikut: 1. Informan, terdiri dari pelaku sejarah, orang yang pernah melakukan penelitian sejarah perjuangan Komando Daerah Muria, guru IPS, Kepala Sekolah, dan pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten.
2. Arsip, dokumen, surat-surat penting yang relevan dengan objek penelitian termasuk hasil-hasil penelitian yang pernah ditulis oleh peneliti terdahulu. 3. Proses pembelajaran di kelas.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik sebagai berikut: 1. Wawancara Wawancara dilakukan secara mendalam sifatnya lentur dan terbuka, tidak ketat dan tidak dalam suasana formal. Terbuka berarti mengikuti selera informan, tetapi menuntut kemampuan khusus bagi peneliti di dalam pengumpulan data. Menurut Moleong (1990: 137) dalam penelitian kualitatif sebaiknya digunakan wawancara terbuka yang para subjeknya tahu bahwa mereka sedang
diwawancarai dan
mengetahui pula apa maksud wawancara itu. Berdasarkan uraian tersebut maka wawancara dilakukan dengan Kepala Seksi Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah Kabupaten Kudus, Kepala Sekolah, dan guru-guru IPS Sejarah di SMP Kudus. 2. Mengkaji dokumen dan arsip (content analysis) Mencatat dokumen, arsip, serta tulisan-tulisan yang relevan dan
penting untuk
mendukung data penelitian seperti, silabus, RPP, materi pembelajaran, sumber belajar dan sebagainya. Teknik mencatat dokumen ini oleh Yin (dalam Sutopo, 2006:81) disebut content analysis, sebagai cara untuk menemukan beragam hal sesuai kebutuhan dan tujuan penelitiannya. Dalam melakukan teknik ini perlu
disadari bahwa peneliti bukan sekadar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip, tetapi juga tentang maknanya yang tersirat. Oleh karena itu dalam menghadapi beragam arsip dan dokumen tertulis sebagai sumber data, peneliti harus bisa bersikap kritis dan teliti. 3. Observasi Observasi dilakukan dengan menempuh prosedur formal dan tidak formal. Observasi dilakukan di SMP Kudus terutama untuk mengamati proses pembelajaran sejarah di sekolah. Dalam melakukan observasi peneliti tidak sebagai partisipan melainkan berperan pasif (Spradley dalam Sutopo, 2006:75), Untuk keperluan ini peneliti melakukan observasi terhadap kelengkapan materi yang dipersiapkan oleh guru, pengembangan bahan pengajaran yang sesuai atau relevan, buku sumber yang digunakan oleh guru dan siswa, proses pembelajaran, pelaksanaan penilaian hasil belajar, serta kelengkapan administrasi.
E. Teknik Cuplikan ( Sampling )
Teknik cuplikan yang digunakan dalam penelitian ini bukanlah cuplikan statistik atau probability sampling, seperti dalam penelitian kuantitatif. Bentuk penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang samplingnya lebih bersifat selektif dengan menggunakan beberapa pertimbangan berdasarkan konsep teoretis yang digunakan, keinginan pribadi, karakteristik empiris dan lain-lain. Teknik cuplikan yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan tujuan atau pertimbangan-pertimbangan tertentu cenderung ke “Purposive Sampling”. Ini berarti
bahwa informan dipilih berdasarkan posisi dan akses tertentu yang dianggap memiliki informasi yang berkaitan dengan permasalahannya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data. Hal ini sesuai dengan pendapat Patton (dalam Sutopo, 2006: 64), pada penelitian yang menggunakan teknik purposive sampling, informan yang dipilih dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data serta mengetahui masalah secara mendalam. Dengan kriteria tersebut, maka informan dipilih berdasarkan tingkatannya yaitu, (1) pelaku sejarah; (2) peneliti sejarah (pernah melakukan penelitian sejarah); (3) para guru IPS; dan (4) pejabat Dinas Pendidikan.
F. Validitas Data
Untuk lebih menjamin kemantapan data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, perlu dikembangkan teknik validitas data yang biasa digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu teknik trianggulasi. Dalam penelitian ini menggunakan
teknik
trianggulasi data atau sumber yaitu sebagai berikut: Trianggulasi data atau sumber meliputi sumber lisan dan sumber tertulis, hal ini dimaksudkan agar peneliti bisa mendapatkan data dari beberapa narasumber (manusia) yang berbeda-beda posisinya dengan teknik wawancara mendalam, untuk membandingkan informasi dari narasumber yang satu dengan informasi dari narasumber lain. Dalam penelitian ini pengumpulan data melalui sumber lisan sangat berarti dan dapat mengungkap secara langsung data-data yang dibutuhkan dari informan.
Adapun sumber tertulis berupa dokumen atau arsip merupakan bahan tertulis yang berkaitan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Modelnya berupa rekaman tertulis, gambar dan juga berupa benda peninggalan yang berkaitan dengan suatu aktivitas peristiwa itu. Untuk jelasnya dapat dilihat penampilan gambar trianggulasi sumber menurut Sutopo ( 2006: 94) sebagai berikut:
data
wawancara
informan
content analisys
dokumen/ arsip
observasi
aktivitas/ perilaku
Gambar 2. Trianggulasi Sumber (Sutopo, 2006: 94)
G. Teknik Analisis Data
Analisis data menurut Patton (dalam Moleong, 1999 : 103), adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Menurut Miles & Huberman (dalam Sutopo 2006 : 113), dalam proses analisis kualitatif, terdapat tiga komponen utama yang harus benar-benar dipahami oleh setiap peneliti kualitatif. Tiga komponen utama analisis tersebut adalah (1) reduksi data, (2) sajian data, dan (3) penarikan simpulan serta
verifikasinya. Ketiga komponen ini merupakan rangkaian yang tidak bisa dipisahkan dan saling berinteraksi dalam hal pengumpulan data. Proses analisis dalam bentuk interaktif ini dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:
(1) reduksi data
pengumpulan data
(3) penarikan simpulan/verifikasi
(2) sajian data
Gambar 3. Model Analisis Interaktif (Sutopo, 2006:120)
Dalam penelitian ini, langkah-langkah analisis interaktif yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Mengumpulkan data dari berbagai sumber, termasuk dari informan yang telah ditetapkan dengan berbagai pertimbangan, Kemudian begitu data diperoleh tanpa menunggu data berikutnya langsung menganalisis data dimaksud. Ini artinya analisis data dimulai pada saat pertama data-data masuk kemudian disusul analisis data setiap kali data diperoleh. Dengan kata lain bahwa analisis dilaksanakan bersamaan dengan pengumpulan data di lapangan.
2
Mengolah dan menyusun data yang diperoleh, pengertian singkatan dengan pemahaman arti segala peristiwanya yang disebut reduksi data.
3. Menyusun sajian data secara sistematis dengan memperhatikan semua catatancatatan yang diperoleh dari lapangan. 4. Menarik simpulan dengan verifikasinya yang berdasarkan semua hal
yang
terdapat dalam reduksi data dan sajian datanya. 5. Apabila simpulan dianggap kurang mantap, maka data digali lagi dari
fieldnote.
6. Melakukan pengumpulan data ulang terhadap kasus data yang dianggap kurang memadai atau data yang meragukan. 7. Pengumpulan data, reduksi data, penyajian data serta verifikasi atau penarikan simpulan ini akan dilakukan secara bersambung dan berlanjut terus menerus dilakukan sehingga diperoleh simpulan yang matang. 8. Siklus pengumpulan data sampai verifikasi untuk data-data tersebut tetap dilakukan oleh peneliti selama data yang diperoleh meragukan atau diragukan kesahihannya.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Latar a. Sekilas Daerah Kudus Secara geografis Kudus terletak pada garis bujur 1100 Bujur Timur dan garis lintang antara 60 5! dan 706! Lintang Selatan. Terletak pada ketinggian rata-rata 55 meter di atas permukaan laut, dengan iklim tropis dan temperatur sedang. Curah hujan relatif rendah rata-rata di bawah 300mm/tahun dan lama waktu hujan 150/tahun. Suhu udara tertinggi terjadi pada bulan September yaitu 29,40 C, dan suhu terendah pada bulan Juli 17,60 C (Lembaga Sosial Mubarot Kudus, 1990: 1). Luas wilayah lebih kurang 425,15 kilometer persegi, memiliki 130 desa yang tersebar di dalam 9 Kecamatan, yaitu Kecamatan Kota, Kecamatan Gebog, Kecamatan Dawe, Kecamatan Bae, Kecamatan Jekulo, Kecamatan Mejobo, Kecamatan Jati, Kecamatan Kaliwungu dan Kecamatan Undaan. Kudus adalah sebuah kota yang terletak di pesisir utara Jawa Tengah. Batasbatas wilayah Kabupaten Kudus adalah: Sebelah barat Kabupaten Jepara dan Demak, sebelah utara Kabupaten Jepara dan Pati, sebelah timur Kabupaten Pati, sebelah selatan Kabupaten Purwodadi dan Demak. Kota ini merupakan wilayah administratif kabupaten sekaligus otonomi tingkat II di Jawa Tengah yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 (Sejarah Singkat Hari Jadi Kota Kudus, 1993: 1). Letaknya yang strategis, berada di persimpangan jalan antara Semarang-
Surabaya dan Semarang-Jepara, menjadikan Kudus cepat berkembang sebagai kota maju, terutama di bidang industri. Kudus mempunyai sejarah pertumbuhan yang panjang. Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Kudus mengalami kemajuan yang pesat di berbagai bidang kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Perusahaan dengan berbagai hasil produksi seperti, sulam bordir, pakaian jadi, tenun, ubin, jenang dan rokok bermunculan. Beberapa pabrik rokok besar seperti Jarum, Sukun dan lainnya terdapat di Kudus. Perusahaan rokok paling banyak menyerap tenaga kerja, yaitu sekitar 75% dari seluruh tenaga kerja di Kudus. Sehingga tidak mengherankan apabila Kudus mendapat sebutan kota kretek. Keadaan sosial ekonomi masyarakat Kudus pada tahun 1948-1949 hampir sama dengan kota lain sejamannya, masih sederhana dan belum ada pembangunan yang berarti, karena masih dalam suasana perang. Masyarakat Kudus sebagian besar hidup sebagai petani di pedesaan, tanah pertanian masih sangat luas. Di perkotaan masyarakatnya hidup sebagai pedagang, buruh pabrik dan pegawai pemerintahan. Ditinjau dari segi geografis, Kudus terdiri atas tiga bagian daerah dengan kondisi yang berbeda yaitu: (1) Sebelah selatan merupakan daerah dataran rendah, pada tahun 1948-1949 sebagian besar masih berupa rawa-rawa, belum kering seperti sekarang. (2) Bagian tengah merupakan daerah perkotaan yang menjadi pusat pemerintahan, perindustrian dan perdagangan. (3) Sebelah utara merupakan daerah pedesaan dan pegunungan Muria. Daerah ini sangat subur dan sangat cocok untuk ditanami padi, palawija, dan tebu, sehingga
wilayah ini pada tahun 1948-1949 merupakan gudang beras Kudus. Di lereng gunung Muria hutannya masih tebal cocok sekali untuk bergerilya. Kedua faktor ini pula yang menyebabkan Komandan Batalyon Kudus pada saat itu yaitu Mayor Kusmanto memilih daerah ini sebagai medan gerilya dan sekaligus pusat perlawanan terhadap Belanda. Desa Glagah yang terletak di lereng Gunung Muria adalah markas Bupati Militer Kudus yang kemudian menjadi markas besar Komando Daerah Muria (Aida Mustofa, 1995: 24).
b. Pertahanan Kudus Menjelang Agresi Militer II Belanda Untuk mengetahui kondisi pertahanan Kudus menjelang Agresi Militer II Belanda, terlebih dahulu perlu melihat pertahanan Karesidenan Pati karena Kudus masuk dalam struktur tersebut. Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia merdeka. Selanjutnya pemerintah RI yang baru saja berdiri itu membentuk Badan Keamanan Rakyat atau BKR dengan tujuan untuk melindungi rakyat akibat peperangan. Pada tanggal 1 September 1945 tentara sekutu yang diboncengi tentara NICA telah mendarat di berbagai kota di Indonesia, dengan demikian kemerdekaan telah mendapat tantangan. Untuk mengantisipasi hal itu, maka tujuan berdirinya BKR diperluas, tidak hanya melindungi
keselamatan rakyat tetapi juga untuk mempertahankan negara dari
serangan musuh baik itu dari dalam maupun dari luar negeri. Sementara itu rakyat yang tahu akan terancamnya kemerdekaan kemudian mendirikan badan-badan perjuangan seperti Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) yang dipimpin oleh Bung Tomo, Hizbullah dan lainnya. Tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah
membentuk tentara kebangsaan dengan nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan mengeluarkan Maklumat Pemerintah yang berbunyi sebagai berikut: ”Untuk memperkuat perasaan keamanan umum, maka diadakan Tentara Keamanan Rakyat”. Tentara Republik Indonesia (TRI) yang beranggotakan para perwira TKR terbentuk pada tanggal 23 Pebruari 1946 sebagai hasil rapat Panitia Besar Penyelenggaraan Organisasi Tentara Dalam Negeri. Selanjutnya mengadakan pembenahan organisasi, semula Jawa terdiri dari 10 Divisi dijadikan 7 Divisi. Karesidenan Pati, Bojonegoro dan Madiun tergabung dalam Divisi V yang berkedudukan di Mantingan Rembang dengan komandan Jenderal Mayor GPH Djatikoesoemo (Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe, 1984: 95-96) Pada tanggal 5 Oktober 1946, Presiden Soekarno memberikan nama bagi setiap divisi. Divisi V diberi nama Divisi Ronggolawe, terdiri atas beberapa resimen yaitu, Resimen 28 yang berkedudukan di Pati, Resimen 29 berkedudukan di Blora, Resimen 30 berkedudukan di Bojonegoro dan Resimen 31 berkedudukan di Madiun. Daerah operasi pasukan mobil berada di dua tempat, yaitu Lamongan dengan nama Front Ronggolawe I, dan di Kudus dengan nama Front Ronggolawe II. Kudus termasuk dalam Resimen 28 di bawah pimpinan Letkol Sunandar. Pada bulan Maret 1947 kedudukan Divisi V/Ronggolawe dipindahkan ke Cepu Blora. Resimen 29 dihapuskan, sebagian anggotanya digabungkan ke dalam Resimen 28, sebagian lainnya bergabung langsung di bawah Staf Divisi V/ Ronggolawe. Di Karesidenan Pati, Pasukan Teritorial masuk dalam organisasi pertahanan Sub Teritorial Militer (STM) yang dipimpin oleh mantan Komandan Resimen 28 Letkol Sunandar. Kemudian pemerintah mengisi kekosongan Pasukan Tempur di
kota Jepara, Kudus dan Pati dengan Pasukan Tempur dari Divisi VI/Panembahan Senopati Surakarta, sedangkan di kota Rembang untuk sementara masih di bawah Batalyon 17, sebuah batalyon lepas yang berasal dari Jawa Timur dipimpin oleh Mayor Abdullah. Batalyon lepas adalah batalyon tempur yang tidak menetap dalam satu kota., berpindah-pindah sesuai dengan keadaan dan situasi perang (Sejarah Militer Cabang 073 Korem Makutarama: 77). Di Karesidenan Pati pada waktu itu selain terdapat pasukan dari Brigade Ronggolawe dan Brigade VI Divisi Panembahan Senopati, juga terdapat pasukan Divisi Siliwangi yang sedang berhijrah dari Jawa Barat. Pasukan Divisi Siliwangi ini terutama dari Batalyon Daeng, yang pada akhirnya nanti dapat menumpas pemberontakan PKI di Karesidenan Pati. Setelah peristiwa pemberontakan PKI, pemerintah melakukan reorganisasi Brigade VI agar bebas dari unsur-unsur PKI, dengan susunan sebagai berikut: Kmd STM Pati
: Letkol dr. Gunawan
Kepala Staf STM Pati : Kapten Ali Machmudi Kmd KDM Pati
: Kapten Sunardi
Kmd KDM Blora
: Kapten Darno
Kmd KDM Rembang : Kapten Partono Kmd KDM Kudus
: Kapten Marwoto
Kmd KDM Jepara
: Kapten Iskak
Berdasarkan uraian tersebut, maka di Kudus menjelang Agresi Militer II Belanda terdapat dua kesatuan TNI yaitu Pasukan Teritorial yang dipimpin oleh Kapten Marwoto, dan Pasukan Mobil di bawah pimpinan Mayor Kusmanto. Pasukan
inilah yang menghadapi serangan Belanda dari Demak pada hari Sabtu tanggal 19 Desember 1948.
c. Perkembangan Pendidikan di Kudus Beberapa sekolah yang sudah ada sejak jaman penjajahan antara lain, Sekolah Rakyat (SR) terdapat di beberapa tempat, sekarang menjadi SD, sedangkan HIS hanya ada 3 buah yaitu HIS Netral School sekarang menjadi SMP Al Islam, HIS Pemerintah sekarang menjadi SMP Negeri 1 Kudus dan HIS Muhammadiyah sekarang menjadi Madrasah Ibtidaiyah dan Aliyah Muhammadiyah Kudus. Pendidikan keagamaan berkembang dengan pesat
ditandai dengan munculnya
beberapa pondok pesantren seperti pondok pesantren yang dipimpin oleh K.H.R. Asnawi di Desa Kajeksan, pondok pesantren di desa Langgar Dalem yang dipimpin oleh Kyai Arwani, pondok pesantren di Desa Padurenan yang dipimpin oleh Kyai Mawardi dan lain-lain. Perkembangan pendidikan di Kudus setelah merdeka sampai sekarang cukup pesat. Hal ini dapat dilihat dari bertambah banyaknya jumlah sekolah mulai dari tingkat TK/RA sampai dengan Perguruan Tinggi, baik negeri maupun swasta.
1) Gambaran Umum Keadaan SMP di Kudus Di daerah Kudus terdapat sejumlah SMP, di samping itu banyak juga sekolah yang sederajad seperti Madrasah Tsanawiyah, baik negeri maupun swasta. Secara umum fasilitas pembelajaran yang dimiliki SMP di Kudus adalah sebagai berikut: (a) Fasilitas di Sekolah
(1) Ruang Kepala Sekolah (2) Ruang Guru (3) Ruang Tata Usaha (4) Ruang Belajar (5) Ruang Laboratorium (6) Ruang Perpustakaan (7) Ruang Komputer (8) Ruang Kesenian (9) Ruang Ketrampilan (10) Kamar Mandi Guru dan Siswa (11) Ruang Ibadah/Musholla (12) Lapangan Olahraga
(b) Fasilitas di Luar Sekolah Berbagai koleksi peninggalan sejarah diharapkan mampu menjadi sarana komunikasi antar generasi dan dapat mengaktualisasikan dinamika kehidupan masa lampau umat manusia. Komunikasi antar generasi menjadi satu hal yang penting karena sebagai sarana nation building dan character building, juga sebagai sarana pewarisan dan pelestarian nilai-nilai luhur budaya bangsa. Adapun peninggalanpeninggalan yang sangat besar manfaatnya sebagai sumber pembelajaran sejarah antara lain: Masjid Menara Kudus, Musium Kretek, Situs Patiayam, Makam Sunan Muria, Monumen Komando Daerah Muria dan lain-lain
(c) Tenaga Pengajar
Tenaga Pengajar untuk masing-masing sekolah di Kabupaten Kudus dapat dikatakan tercukupi, terdiri dari guru PNS, guru Bantu dan guru Wiyata Bakti. Khusus untuk guru IPS yang berlatar belakang pendidikan IPS belum ada, sehingga guru IPS yang mengajar di SMP memiliki latar belakang pendidikan yang bervariasi, yaitu berasal dari jurusan pendidikan sejarah, pendidikan geografi, dan pendidikan ekonomi.
2). Keadaan Sekolah yang Dijadikan Objek Penelitian Sekolah yang dipilih untuk dijadikan objek penelitian ini adalah SMP Negeri 1 Gebog, dan SMP Negeri 2 Gebog, dengan pertimbangan bahwa guru-gurunya khususnya guru-guru IPS bisa mewakili dalam memberikan informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan permasalahan penelitian. Bila dilihat dari segi kuantitas maupun kualitas, keberadaan guru di kedua sekolah tersebut cukup menunjang proses belajar mengajar yang sangat diharapkan oleh semua pihak. Apalagi di SMP Negeri 2 Gebog terdapat guru yang penah melakukan penelitian sejarah tentang perjuangan Komando Daerah Muria. Sedangkan di SMP Negeri 1 Gebog terdapat guru yang menjadi pengurus MGMP IPS Kabupaten Kudus. Guru IPS yang mengajar di kedua sekolah masih berlatar belakang pendidikan yang bervariasi yaitu berasal dari jurusan pendidikan sejarah, pendidikan geografi,
dan pendidikan
ekonomi, dalam arti bukan berlatar belakang pendidikan IPS terpadu, tentu sedikit banyak tetap ada kendala dalam pembelajaran. Sementara itu dari segi peserta didik di setiap sekolah secara kuantitas menunjukkan jumlah yang banyak, dengan perbandingan yang hampir seimbang.
Keadaan jumlah siswa pada masing-masing sekolah menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang menyolok, karena hanya selisih beberapa siswa, meskipun SMP Negeri 1 Gebog sudah merupakan Sekolah Berstandar Nasional (SSN) sejak tahun pelajaran 2006/2007. Ada anggapan dari masyarakat bahwa SMP Negeri 1 Gebog sejak dulu dalam penyelenggaraan pendidikan menunjukkan kualitas yang bagus, sehingga animo masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke SMP tersebut cukup besar meskipun dengan seleksi yang cukup ketat, maka dapat dipastikan peserta didik yang diterima di sekolah tersebut memiliki kompetensi yang bagus. Untuk SMP Negeri 2 Gebog, mulai tahun pelajaran 2008/2009 juga sudah memasuki proses untuk menjadi Sekolah Berstandar Nasional. Sarana dan fasilitas yang tersedia di sekolah tersebut cukup menunjang proses pembelajaran, baik yang berupa sarana pembelajaran maupun fasilitas penunjang seperti laboratorium, perpustakaan, sarana untuk olahraga, kesehatan maupun tempat ibadah. Khusus untuk perangkat pembelajaran seperti media cukup tersedia berupa unit-unit computer, OHP, dan VCD, sedangkan
LCD belum ada karena belum
mampu dalam hal pengadaannya. Semua media yang tersedia tersebut disiapkan oleh sekolah agar dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh guru-guru pengajar dalam proses pembelajaran, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang diharapkan oleh semua pihak. 2. Sajian Data a. Upaya Memasukkan Sejarah Perjuangan Komando Daerah Muria ke Dalam Pembelajaran Sejarah di SMP Wilayah Kabupaten Kudus.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa proses pembelajaran sejarah di SMP terpadu dengan bidang kajian lain seperti geografi, sosiologi dan ekonomi, di dalam mata pelajaran IPS. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru IPS yang berlatar belakang pendidikan sejarah, mengatakan bahwa sudah mengajar IPS terpadu selama tiga tahun berjalan, sebenarnya tidak ada kendala yang berarti meskipun keempat bidang kajian tersebut dipadukan dalam satu mata pelajaran, karena pada dasarnya bidang-bidang tersebut memang dapat dipadukan. Selanjutnya karena guru sudah dipercaya untuk mengajar IPS yang terdiri dari beberapa bidang kajian tersebut, maka tetap akan berusaha untuk melaksanakan pembelajaran dengan sebaik-baiknya, agar apa yang dikehendaki dalam tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Tetapi semua itu kembali kepada kreativitas dan kemampuan guru pengajar dalam menyampaikan materi pembelajaran (wawancara dengan Sutrisno, 2009) Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang guru IPS di SMP Negeri 2 Gebog, berhubungan dengan proses pembelajaran sejarah dan pengembangan materi pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah dengan memasukkan sejarah lokal, diperoleh informasi bahwa sejarah merupakan salah satu bidang kajian dari mata pelajaran IPS. Bidang kajian lain yang masuk dalam mata pelajaran IPS adalah geografi, ekonomi dan sosiologi. Dalam pembelajaran guru sudah mengaitkan sejarah lokal meskipun tidak mendetail. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menarik perhatian dan minat siswa terhadap pembelajaran sejarah (wawancara dengan Aida Mustofa, 2009). Ini berarti
sejarah lokal yang cocok untuk
pengembangan materi pembelajaran dan relevan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar diberikan secara terintegrasi dalam proses pembelajaran.
Permasalahan yang dihadapi di sekolah-sekolah yang menjadi temuan dari penelitian ini, seperti yang dikatakan oleh seorang guru IPS di SMP Negeri 1 Gebog adalah kebanyakan para guru mempersoalkan tidak tersedianya sumber materi yang akan digunakan sebagai pengembangan bahan ajar, cakupan materi pokok yang sudah cukup luas dibanding waktu yang tersedia. Tidak tersedianya bahan ajar atau sumber materi tentang sejarah perjuangan lokal menyebabkan guru tidak menguasai betul tentang sejarah lokal itu sendiri, akibatnya guru hanya memberikan contohcontoh kecil saja, sedangkan jalannya perjuangan menentang kolonial secara kronologis tidak dijelaskan secara mendetail. Di samping itu terbatasnya waktu juga menjadi kendala, sehingga untuk target penyelesaian materi, guru berupaya mengkondisikan dengan pemanfaatan waktu sebaik-baiknya. Pengelolaan waktu yang dilakukan biasanya dengan menganalisis tingkat kesulitan materi, keluasan, kedalaman, dan tingkat kepentingan kompetensi dasar, agar waktu yang tersedia bisa mencukupi, selain itu juga memberikan pelajaran tambahan di luar jam belajar (wawancara dengan Sutrisno, 2009). Seorang guru IPS di SMP Negeri 2 Gebog mengatakan bahwa sejarah lokal yang berhubungan dengan materi pokok sebenarnya sangat baik apabila disisipkan dalam pembelajaran. Dengan menyisipkan sejarah lokal yang relevan, siswa akan semakin tertarik dengan materi yang disampaikan oleh guru, serta merasa bahwa sejarah sebenarnya tidak asing dengan kehidupannya, karena ternyata daerahnya juga memiliki sejarah, dan pada akhirnya bisa memberikan kesan yang mendalam sebagai hasil dari proses pembelajaran tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa sudah pernah mengusulkan agar sejarah perjuangan Komando Daerah Muria bisa dijadikan sebagai
pengembangan materi pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah berkaitan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia menghadapi Agresi Militer II Belanda, karena banyak hal yang bisa dipetik dari peristiwa perjuangan tersebut khususnya semangat kepahlawanan, jiwa patriotisme dan nasionalisme dari para pejuang untuk dijadikan teladan bagi siswa, agar selanjutnya dapat dilestarikan. Menurutnya, merosotnya rasa nasionalisme akhir-akhir ini adalah akibat dari kurangnya keteladanan. Namun apa yang telah diusulkan tersebut belum ada tindak lanjut, sehingga sampai sekarang belum dapat terealisasi (wawancara dengan Aida Mustofa, 2009). Dari hasil wawancara tanggal 15 Januari 2009 dengan beberapa guru IPS di SMP Kabupaten Kudus, bahwa tujuan yang tertuang dalam Standar Kompetensi mata pelajaran IPS dinilai belum sesuai dan kurang proporsional dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme, hal ini terjadi karena lebih menekankan pada kuantitas isi materi, sehingga porsi materi lebih besar secara kuantitas dibandingkan pada aspek penekanan penanaman nilai-nilai nasionalisme. Sementara itu alokasi waktu yang diberikan tidak sebanding dengan materi yang harus diajarkan. Meskipun demikian seorang guru harus tetap berusaha memberikan dan menyampaikan materi, serta menanamkan nilai-nilai nasionalisme kepada peserta didik. Untuk itu semua kembali kepada kreativitas dan kompetensi guru. Sedangkan menurut beberapa guru IPS yang lain, diperoleh jawaban bahwa muatan materi dalam Standar Kompetensi IPS Sejarah sudah memaparkan nilai-nilai kepahlawanan, namun dari segi kuantitas materi yang harus diajarkan dinilai masih terlalu banyak dibandingkan dengan alokasi waktu yang tersedia. Struktur materi
dalam Standar Kompetensi IPS dinilai sederhana dan tidak terjadi materi ganda. Dengan materi yang banyak dan ketersediaan waktu yang terbatas, dalam pembelajaran perlu menerapkan metode yang variatif. Pemanfaatan sumber belajar seperti museum dan tempat-tempat terjadinya peristiwa perlu dilakukan dalam pembelajaran sejarah. Di Kabupaten Kudus banyak terdapat tempat terjadinya peristiwa sejarah yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar, termasuk lokasi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang merupakan tempat yang sangat membantu dalam pemahaman nilai-nilai kepahlawanan dan nasionalisme.
b. Aspek-aspek dari Perjuangan Komando Daerah Muria yang Bisa Diajarkan Kepada Siswa
Para guru IPS dan Kepala Sekolah di SMP yang berhasil diwawancarai berpendapat bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan memiliki nilai historis sebagai sumber motivasi untuk mewujudkan cita-cita masa depan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Menurut Aida Mustofa, sejarah perjuangan Komando Daerah Muria memiliki peranan strategis untuk disampaikan kepada siswa, karena di dalamnya terdapat nilai-nilai perjuangan seperti, nilai sosial, jiwa dan semangat kepahlawanan, patriotisme, persatuan maupun nasionalisme yang dapat dijadikan teladan bagi siswa. Beberapa contoh dari aspek-aspek tersebut yang terdapat dalam perjuangan Komando Daerah Muria antara lain: 1) Aspek sosial dalam perjuangan Komando Daerah Muria dapat ditunjukkan oleh sikap rakyat di kawasan Gunung Muria yang sangat mendukung perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Mereka menerima kehadiran para pejuang/
tentara maupun pengungsi, menyediakan bantuan pangan, tempat tinggal bahkan tenaga untuk ikut berjuang. 2) Aspek heroisme (kepahlawanan) dalam perjuangan Komando Daerah Muria dapat ditunjukkan oleh sikap para pejuang yang berani dan rela berkorban demi membela tanah air dan bangsanya sebagai berikut, (a) Pada suatu pertempuran yang berlangsung seru di daerah Bregat Gembong dan sekitarnya pada tanggal 20 Juli 1949, Kapten Ali Machmudi sebagai Komandan Komando Daerah Muria berani berjibaku dalam usaha menggempur musuh, sampai akhirnya gugur dalam pertempuran tersebut; (b) Para pejuang yang tertangkap oleh Belanda seperti H. Hasyim, H. Zaeni, Reksodikromo, Nurhadi dan lainnya, meskipun diinterogasi dan disiksa agar mau menunjukkan kedudukan/markas pejuang Republik namun mereka tetap bungkam tidak mau membuka rahasia sampai akhirnya dipenjara atau ditembak mati oleh Belanda. 3) Aspek patriotisme dalam perjuangan Komando Daerah Muria dapat ditunjukkan oleh sikap para pejuang yang teguh pada pendirian, tidak mau menyerah apalagi bekerja sama dengan Belanda, demi membela tanah air dan bangsanya. Sebagai contoh pada peristiwa pertempuran di desa Bremi, Letkol Gunawan tertangkap oleh Belanda dan menerima bujukan untuk bekerja sama, kemudian menyerukan kepada seluruh gerilyawan agar mengikuti jejaknya. Tetapi para pejuang tetap tegar, tidak menanggapi seruan itu, bahkan memperkuat pasukan dengan menambah personil dari pemuda-pemuda pedesaan. Belanda selalu membujuk para pejuang untuk bekerja sama, meskipun dengan imbalan diberi kedudukan atau jabatan, namun para pejuang tidak tertarik dengan tawaran tersebut dan lebih
memilih
berjuang
mempertahankan
kemerdekaan
meskipun
harus
mempertaruhkan nyawa. 4) Aspek persatuan maupun nasionalisme dalam perjuangan Komando Daerah Muria dapat ditunjukkan bahwa, para pejuang berasal dari unsur tentara dan rakyat. Dari unsur tentara terdiri dari berbagai kesatuan yaitu Divisi Ronggolawe, Divisi Panembahan Senopati, dan Divisi Siliwangi yang berasal dari berbagai daerah. Namun karena merasa senasib sepenanggungan sehingga terbentuk rasa solidaritas yang tinggi, bersatu dalam menghadapi musuh, dan berjuang untuk mencapai tujuan yang sama yaitu mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Nilai- nilai perjuangan yang terkandung dalam aspek-aspek tersebut perlu ditanamkan kepada peserta didik, ditumbuhkembangkan dalam pribadi mereka, agar mereka dapat menjadikannya sebagai teladan serta mewarisinya, sehingga mereka dapat merasakan semangat perjuangan, besarnya pengorbanan dan sulitnya para pahlawan ketika merebut kemerdekaan. Jika mereka dapat merasakan hal ini, maka kepekaan sosial, jiwa dan semangat kepahlawanan, patriotisme, persatuan dan nasionalisme peserta didik akan terwujud. Lebih lanjut dikatakan bahwa pada era globalisasi, di mana perkembangan teknologi demikian pesatnya, serta arus informasi yang begitu cepat, maka jiwa dan semangat nasionalisme sangat diperlukan untuk mempertahankan kepribadian bangsa. Hal ini disampaikan karena keprihatinan melihat situasi yang berkembang pada masyarakat akhir-akhir ini, di mana jiwa dan semangat nasionalisme, identitas kebangsaan dan kecintaan terhadap tanah air terus memudar, karena digantikan oleh
kebutuhan globalisasi, dampak kemajuan iptek, dan pasar industri dari negara-negara kaya. Semua itu sangat berpengaruh pada menurunnya kepekaan sosial, akibatnya kemudian membuat generasi muda tidak terlalu peduli dengan kehidupan sosial, semangat kepahlawanan, patriotisme dan nasionalisme yang seharusnya dilestarikan.
c. Tanggapan Guru-Guru IPS di SMP dan Pejabat Dinas Pendidikan terhadap Upaya Memasukkan Sejarah Perjuangan Komando Daerah Muria ke Dalam Pembelajaran Sejarah Para guru IPS di SMP Kabupaten Kudus banyak yang beranggapan bahwa mengajar sejarah merupakan beban yang berat, karena cakupan materinya yang sangat luas dan saling berkaitan antara peristiwa satu dengan peristiwa lain. Contohnya, kalau bahan ajar menyangkut sejarah nasional Indonesia, maka harus terkait dengan sejarah lokal. Sejarah lokal tidak bisa terlepas dari sejarah nasional karena sejarah lokal merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dengan sejarah nasional. Artinya bahwa setiap peristiwa-peristiwa di daerah atau di tingkat lokal dapat berhubungan dengan peristiwa-peristiwa penting di tingkat nasional. Oleh guru IPS di SMP persoalan materi sejarah lokal yang tidak siap diajarkan kepada peserta didik ini yang menjadi hambatan mereka dalam memasukkan sejarah lokal sebagai pengembangan materi pembelajaran sejarah. Beberapa guru IPS di SMP yang sempat diwawancarai tentang pemahaman mereka pada peristiwa-peristiwa penting bersejarah di Kudus khususnya mengenai perjuangan Komando Daerah Muria menghadapi Agresi Militer II Belanda, menyatakan bahwa mereka pernah mendengar tetapi belum pernah membaca tulisantulisan yang rinci tentang perjuangan tersebut
Sehubungan dengan pernyataannya itu, ketika guru tersebut diberikan pertanyaan kalau misalnya sejarah perjuangan Komando Daerah Muria dijadikan sebagai pengembangan materi pembelajaran sejarah, maka secara terbuka guru tersebut menyatakan kesiapannya apabila ada referensi yang dapat dijadikan sebagai sumber bahan pembelajaran. Kepala Sekolah yang berhasil diwawancarai berpendapat bahwa peserta didik harus mengenal sejarah daerahnya sendiri, sebelum mereka tahu tentang sejarah nasional dan selanjutnya sejarah dunia. Apalagi dengan berlakunya kurikulum 2006 sangat memberi peluang terhadap masuknya potensi daerah di mana sekolah berada. Berlakunya kurikulum tersebut disambut baik karena memberi peluang untuk mengkaji materi yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar. Namun porsi pembelajaran sejarah dirasa belum proporsional untuk penanaman dan pelestarian nilai-nilai nasionalisme, hal ini disebabkan kurangnya lingkup materi yang mengarah kepada penanaman nilai nasionalisme, meskipun hal itu dapat diberikan juga pada mata pelajaran yang lain seperti Pendidikan Kewarganegaraan, pada kegiatan kepramukaan maupun upacara bendera. Oleh sebab itu jika melihat Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran IPS Sejarah perlu dikembangkan untuk memperkaya wawasan siswa. Kaitannya dengan itu maka peristiwa sejarah di tingkat lokal yang relevan bisa disisipkan dalam pembelajaran sejarah, dan sangat setuju apabila sejarah perjuangan Komando Daerah Muria dijadikan sebagai pengembangan materi pembelajaran sejarah di SMP Kabupaten Kudus. Di lain pihak, Kepala Seksi Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten yang sempat ditemui berkaitan
dengan upaya pengembangan materi pembelajaran sejarah dengan memasukkan sejarah lokal, menyatakan sangat setuju dan mendukung upaya tersebut, agar generasi muda Kudus lebih mengetahui dan memahami perjuangan di daerahnya sendiri, dan agar mereka tahu bahwa banyak pahlawan besar dari Kudus yang memberikan kontribusi yang signifikan dalam mempertahankan kemerdekaan, kedaulatan bangsa dan negara Indonesia. Lebih lanjut disampaikan bahwa perjuangan
rakyat
Kudus
dalam
mempertahankan
kemerdekaan,
dengan
pengorbanan harta benda bahkan nyawa patut dijadikan teladan bagi generasi muda, agar generasi muda bisa menghargai jasa para pahlawan, dan selanjutnya bisa membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme dalam jiwa mereka. Menyikapi hal-hal tersebut di atas, maka pada prinsipnya semua sekolah dan tenaga pengajarnya siap
memasukkan sejarah perjuangan daerah sebagai
pengembangan materi pembelajaran sejarah apabila ada referensi yang bisa dijadikan acuan. Bagi guru IPS di SMP baik yang berlatarbelakang pendidikan sejarah atau pun tidak, karena sudah dipercaya untuk mengajarkan bidang tersebut tetap akan berupaya untuk menguasai materi pembelajaran dengan sebaik-baiknya agar bisa mengajarkannya kepada peserta didik dengan baik pula. Bertolak dari pernyataan-pernyataan guru-guru tersebut dapat ditarik suatu simpulan bahwa kebanyakan guru tidak berani memasukkan materi sejarah lokal sebagai pengembangan materi pembelajaran sejarah, baik diajarkan secara tersendiri maupun secara terintegrasi dengan materi pokok karena beberapa alasan antara lain (1) tidak tersedianya bahan ajar atau referensi; (2) alokasi waktu; (3) tenaga pengajar yang tidak berlatarbelakang pendidikan sejarah.
d. Cara Guru Mempersiapkan/Menyusun Materi Pembelajaran Sejarah dengan Memasukkan Sejarah Perjuangan Komando Daerah Muria Berdasarkan tanggapan positif guru-guru IPS di SMP Kudus terhadap upaya memasukkan sejarah perjuangan Komando Daerah Muria sebagai pengembangan materi pembelajaran, maka mereka juga menyatakan siap menyusun perencanaan pembelajarannya apabila tersedia bahan ajar atau referensinya. Hasil diskusi dengan beberapa guru IPS dapat disimpulkan sebagai berikut, penyusunan materi dimulai dari pengembangan silabus pada Standar Kompetensi “Memahami
usaha
mempertahankan
kemerdekaan”,
Kompetensi
Dasar
“Mengidentifikasi usaha perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia”, Materi Pokok “Bentuk dan proses perjuangan bangsa Indonesia
dalam usaha
mempertahankan kemerdekaan Indonesia”. Kemudian materi tersebut diperluas dengan materi sejarah perjuangan Komando Daerah Muria, merumuskan kegiatan pembelajaran, mengembangkan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian dan teknik evaluasinya, menentukan strategi pembelajarannya, serta alokasi waktu dan sumber belajar. Tahap selanjutnya adalah menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
B. Pokok-pokok Temuan
Beberapa pokok temuan dalam penelitian mengenai upaya untuk memasukkan sejarah perjuangan Komando Daerah Muria dalam mempertahankan
kemerdekaan menghadapi Agresi Militer II Belanda di daerah Kudus, sebagai pengembangan materi pembelajaran sejarah di SMP adalah sebagai berikut:
1. Upaya Memasukkan Sejarah Perjuangan Komando Daerah Muria ke Dalam Pembelajaran Sejarah di SMP Wilayah Kabupaten Kudus.
Materi sejarah lokal Kudus khususnya sejarah perjuangan Komando Daerah Muria sampai saat ini belum dimasukkan sebagai pengembangan materi pembelajaran sejarah di SMP wilayah Kabupaten Kudus karena beberapa alasan: a. Alokasi waktu yang sangat terbatas untuk mata pelajaran IPS khususnya sejarah. Dengan materi yang sangat luas cakupannya itu tidak memungkinkan dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat, sehingga tidak bisa untuk secara leluasa mengembangkan materi ajar dalam proses pembelajaran. Akibatnya upaya untuk mengembangkan materi pembelajaran masih terkendala. b. Kebanyakan kemampuan guru dalam penguasaan materi pembelajaran sejarah masih terbatas pada materi pokok yang perlu dijelaskan kepada peserta didik, kurang pengembangan ke arah pengetahuan yang lebih luas seperti peristiwa yang aktual termasuk mengaitkan dengan materi sejarah lokal. Sebagai temuan dalam penelitian ini adalah kebanyakan tenaga pengajar IPS tidak berlatar belakang pendidikan sejarah. Dengan kondisi guru seperti ini, maka upaya untuk memperluas materi pembelajaran sampai kepada peristiwa-peristiwa sejarah di tingkat lokal sulit dilakukan.. Namun di lain pihak mereka optimis mampu menjalankan tugasnya mengajar IPS khususnya sejarah apabila ada materi yang
bisa dipelajari sebagai bahan ajar, karena bagi mereka mengajar merupakan tugas harian, apabila bahan ajarnya tersedia maka tugas tersebut akan lebih mudah untuk dijalankan. c. Tidak tersedianya bahan ajar tentang sejarah perjuangan Komando Daerah Muria yang tersusun secara lengkap dan sistematis menjadi salah satu hambatan, sehingga belum bisa disampaikan sebagai pengembangan materi pembelajaran. Untuk itu diperlukan referensi yang tersusun secara sistematis dan kronologis yang disesuaikan dengan daya pikir peserta didik di SMP.
2. Aspek-aspek dari Perjuangan Komando Daerah Muria yang Bisa Diajarkan Kepada Siswa Setiap peristiwa perjuangan untuk mengusir kolonial, terkandung semangat kepahlawanan, patriotisme maupun nasionalisme yang dapat dijadikan teladan bagi peserta didik, agar mereka bisa menghargai jasa para pahlawan, dan bisa membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme dalam jiwa mereka yang selanjutnya sangat diperlukan untuk mempertahankan kepribadian bangsa.
3. Tanggapan Guru-Guru IPS di SMP dan Pejabat Dinas Pendidikan terhadap Upaya Memasukkan Sejarah Perjuangan Komando Daerah Muria ke Dalam Pembelajaran Sejarah Upaya untuk memasukkan sejarah perjuangan Komando Daerah Muria Tahun 1948 dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia menghadapi Agresi Militer II Belanda mendapat tanggapan yang positif dari para guru dan pejabat Dinas
Pendidikan di Kabupaten Kudus, karena banyak hal yang bisa dipetik dari peristiwa perjuangan
tersebut
khususnya
semangat
kepahlawanan,
patriotisme
dan
nasionalisme untuk dijadikan teladan bagi peserta didik. agar mereka bisa menghargai jasa para pahlawan, dan selanjutnya bisa membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme dalam jiwa mereka. Namun hal itu perlu pemikiran karena terkait dengan kemampuan profesionalitas guru dan pengelolaan waktu yang ada, kesiapan bahan ajar yang dibutuhkan mengingat referensi yang menjadi pegangan guru belum tersedia, dan rata-rata belum memiliki modal pengetahuan tentang sejarah perjuangan rakyat di Kudus. 4. Cara Guru Mempersiapkan/Menyusun Materi Pembelajaran Sejarah dengan Memasukkan Sejarah Perjuangan Komando Daerah Muria
Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dimulai dari pengembangan silabus pada SK “Memahami usaha mempertahankan kemerdekaan”, memperluas materi pokok dengan materi sejarah perjuangan Komando Daerah Muria, merumuskan kegiatan pembelajaran, mengembangkan indikator pencapaian kompetensi untuk
penilaian dan teknik
evaluasinya,
menentukan strategi
pembelajarannya, serta alokasi waktu dan sumber belajar.
C. Pembahasan
Materi pembelajaran menempati posisi yang sangat penting dari keseluruhan kurikulum, yang harus dipersiapkan agar pelaksanaan pembelajaran dapat mencapai sasaran. Sasaran tersebut harus sesuai dengan Standar Kompetensi
dan Kompetensi Dasar yang harus dicapai oleh peserta didik. Artinya, materi yang ditentukan untuk kegiatan pembelajaran hendaknya materi yang benar-benar menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta tercapainya indikator. Dalam paradigma baru yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, sekolah diberi wewenang yang luas untuk mengembangkan kurikulum, yang dimulai dengan menjabarkan SK dan KD dalam sejumlah indikator yang relevan dengan konteks tempat guru mengajar. Indikator dalam SK dan KD sangat tergantung dari kemampuan guru dalam menjabarkannya. Termasuk di dalamnya untuk memilih bahan ajar yang akan digunakan, guru diberi kebebasan asal standar minimal terpenuhi. Dalam penyusunan bahan ajar, sekolah diberi kewenangan sebab sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran termasuk mempersiapkan atau menyusun bahan ajar. Bahan ajar yang disusun hendaknya yang dapat mengembangkan nilai, sikap, dan keterampilan. Bahan ajar ini harus dipersiapkan oleh guru dengan sebaik-baiknya, agar dalam penyampaiannya pada siswa tidak terjadi hambatan.
Menurut
Wasino
(2009: 2) mengemukakan bahwa dalam pengolahan materi kesejarahan, guru merupakan skenario, produser, sekaligus sebagai salah satu aktor dalam pembelajaran sejarah di kelas. Pengembangan materi pembelajaran pada hakekatnya adalah mencari dan menentukan pokok materi formal, memperkaya dan menyempurnakan materi pengajaran dari bahan informal, juga menentukan pokok isi pelajaran dan
mengorganisasikannya berdasar pendekatan dan ketentuan bidang studi serta tuntutan formal (Kosasih Djahiri, 1980: 15). Banyak referensi yang dapat digunakan sebagai bahan pengembangan materi pembelajaran, namun yang diambil hendaknya yang bersifat paedagogis dan relevan dengan tujuan pembelajaran. Bahan kajian sejarah pada hakekatnya memuat kajian yang mencakup penjelasan tentang pengetahuan faktual (apa, siapa, di mana, dan kapan/bilamana), pengetahuan prosesual (bagaimana) dan pengetahuan problematik (mengapa). Dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, bahan kajian sejarah diajarkan dengan tiga pendekatan, yaitu (a) pendekatan faktual; (b) pendekatan prosesual; (c) pendekatan kausal. Pendekatan faktual bertujuan untuk
memberikan fakta dari berbagai
peristiwa-peristiwa sejarah, sebagai bagian dari pengetahuan tentang peristiwa sejarah. Pendekatan ini sangat berguna untuk memperkaya pengetahuan kesejarahan, menambah kesadaran dan wawasan sejarah serta untuk menjawab pertanyaan tentang apa, siapa, di mana, kapan/bilamana. Sedangkan untuk menjawab pertanyaan “mengapa” dapat dirunut melalui penelusuran terjadinya peristiwa dengan penjelasan kausalitas. Persoalan yang muncul berkenaan dengan pengembangan bahan ajar adalah adanya keragu-raguan dari para guru sejarah berkaitan sumber dan bahan ajar. Adanya beberapa buku sejarah yang dilarang oleh Mahkamah Agung terutama yang berkaitan dengan sejarah kontemporer cukup membuat guru kebingungan. Sedangkan kemampuan para guru dalam hal menulis buku, sekali pun untuk keperluan sendiri sampai saat ini masih dirasakan berat. Hal ini berkaitan dengan kemampuan, ketersediaan sumber, kemauan, dan dana untuk menerbitkan.
Posisi pembelajaran sejarah sangat penting bagi pengembangan identitas bangsa. Namun perlu disadari bahwa arti penting pembelajaran sejarah tidak dapat berkembang sendiri tanpa usaha seorang guru untuk mewujudkannya pada peserta didik. Diperlukan suatu perjuangan dan upaya yang terus menerus untuk menumbuhkan suatu kesadaran yang disebut kesadaran sejarah. Menumbuhkan suatu kesadaran sejarah merupakan landasan bagi timbulnya tanggung jawab sejarah yang merupakan tanggung jawab generasi untuk menjawab tuntutan jaman pada saat generasi tersebut hidup. Untuk itu diperlukan pendukung-pendukung yang sanggup menunjang usaha-usaha ke arah pengembangan kesadaran serta tanggung jawab sejarah. Pendukung yang punya posisi sangat menentukan adalah guru sejarah, sebab mereka berhadapan langsung dengan peserta didik yang merupakan salah satu sasaran utama bagi penanaman nilai-nilai historis yang diinginkan, seperti nilai-nilai kepahlawan, nasionalisme, dan patriotisme. Sejarah sebagai pengalaman kolektif kehidupan manusia berdasarkan perspektif time and space. Dengan pembelajaran sejarah diharapkan peserta didik dapat menghargai dan mengambil makna dari peristiwa-peristiwa masa lampau secara bijak. Mempelajari sejarah berarti pula melakukan penelusuran kehidupan umat manusia, selalu tumbuh dan berkembang secara dinamis. Dengan penelaahan yang baik, maka tidak hanya mengetahui peristiwa masa lampau saja yang bermakna, tetapi juga peristiwa masa kini, dan mampu memprediksi kejadian-kejadian yang akan datang. Makna peristiwa masa lampau yang mampu diserap akan memunculkan semangat kebangsaan dan kepribadian yang akhirnya bangga sebagai warga bangsa Indonesia. Secara filosofis, sejarah merupakan ajaran kebijakan yang dipantulkan
sinyal dan nuansa masa silam. Oleh sebab itu melalui pembelajaran sejarah memiliki peran yang cukup strategis dalam pembangunan bangsa. Pembelajaran sejarah dapat melatih kepekaan nurani peserta didik. Misi pembelajaran sejarah yang berhasil juga akan melahirkan generasi muda yang berhati nurani tajam, unggul secara intelektual, santun secara moral dan diharapkan akan kaya dengan amal perbuatan. Karakteristik ini tidak dimiliki oleh mata pelajaran yang lain. Untuk
menumbuhkan
dan
melestarikan
nilai-nilai
kepahlawanan,
nasionalisme, dan patriotisme, karakteristik pembelajaran sejarah menyangkut tiga ranah, yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Pada ranah kognitif dan afektif, pembelajaran harus menghasilkan perubahan pada diri peserta didik berupa perkembangan perilaku ke arah lebih positif. Dengan materi pembelajaran sejarah, peserta didik diajarkan tentang dinamika dan perkembangan kehidupan bangsa dari perjuangan yang bersifat kedaerahan ke perjuangan yang bersifat nasional. Materi ini kaya akan nilai-nilai persatuan, kesatuan, bela negara, rela berkorban, solidaritas, gotong royong dan sebagainya. Diberlakukannya kurikulum 2006 tentang KTSP, di mana materi ajar harus mengangkat kompetensi yang ada di lingkungan siswa untuk dimasukkan dalam pembelajaran, maka guru harus berupaya memilih materi yang sesuai. Adanya masukan kepada mereka berupa materi sejarah perjuangan di Kudus, yang relevan dengan Standar Kompetensi dapat disisipkan ke dalam pembelajaran sejarah, maka pada prinsipnya mereka siap melaksanakan yang penting bahan ajarnya tersedia. Sementara itu pihak pejabat Dinas Pendidikan mengatakan setuju dan sangat mendukung upaya tersebut, namun yang perlu dipertimbangkan adalah kesiapan guru
pengajar dan alokasi waktu. Penguasaan materi pembelajaran merupakan salah satu kompetensi guru, berdasarkan hasil wawancara tampaknya guru belum siap memahami materi sejarah lokal Kudus. Kebanyakan penguasaan materi ajar sejarah masih terbatas pada yang perlu dijelaskan kepada peserta didik, dalam arti kurang pengembangan ke arah pengetahuan yang lebih luas misalnya ke peristiwa yang aktual termasuk mengaitkan dengan materi sejarah lokal. Konsekuensi kesiapan guru sebagai tenaga pengajar adalah harus memiliki kompetensi khususnya dalam mata pelajaran yang diampunya. Secara umum terdapat beberapa kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang guru sebagaimana yang dikemukakan oleh Winarno Surakhmad (dalam Gede Widja, 1989: 14) yaitu: (1) guru harus mampu mengenal setiap murid yang dipercayakan kepadanya; (2) guru harus memiliki kecakapan untuk memberi bimbingan; (3) guru harus memiliki dasar pengetahuan yang luas tentang pendidikan yang hendak dicapai;
(4)
guru
harus
memiliki pengetahuan yang luas tentang ilmu yang diajarkan. Khusus dalam hubungan dengan pembelajaran sejarah, seorang guru sejarah dituntut untuk bisa memenuhi kemampuan-kemampuan atau kompetensi khusus di bidang ilmunya. Kompetensi guru sejarah sebagaimana yang dikemukakan oleh C. Hill (dalam Gede Widja, 1989: 17) yaitu sebagai berikut, pertama, seorang guru sejarah hendaknya memiliki kualitas prima dalam masalah kemanusiaan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari hakikat sejarah, di mana bahan baku dari sejarah itu tidak lain manusia itu sendiri. Kedua, guru sejarah hendaknya adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan luas tentang kebudayaan, atau guru sejarah yang “messenger of man’s cultural inheritance” (penyampai dari warisan budaya
manusia). Ketiga, guru sejarah hendaknya adalah juga pengabdi perubahan. Ini berarti bahwa guru sejarah harus selalu menyadari salah satu watak utama sejarah, yaitu perubahan. Berpikir historis adalah berpikir bahwa segala sesuatu akan bergerak atau berubah, cepat atau lambat. Dengan demikian seorang guru sejarah selalu peka dan tanggap terhadap permasalahan masyarakat. Cara guru mengajar sejarah yang hanya berkisar di lingkungan kelas dan dengan materi dari buku teks saja akan menyebabkan murid-murid terasing dari permasalahan masyarakat. Konsekuensinya adalah tuntutan kemampuan atau kualitas mengajar merupakan bagian dari kualifikasi pendidikan yang harus dipenuhi oleh guru sejarah. Kualitas guru sejarah yang demikian tidak mungkin sepenuhnya di dapat di bangku kuliah. Cara yang paling sederhana untuk mengembangkan kemampuan adalah dengan memupuk kesenangan membaca tentang peristiwa-peristiwa serta tokohtokoh sejarah. Untuk memahami peristiwa-peristiwa yang bersejarah baik di tingkat nasional maupun lokal, sebenarnya modalnya adalah banyak membaca. Membaca merupakan upaya mengembangkan kualitas dan kemampuan guru dalam persiapan mengajar di depan peserta didik. Tanpa banyak membaca berarti guru pengajar akan miskin dengan demensi kemanusiaan dari peristiwa sejarah. Seorang guru yang kaya akan pengetahuan dan luas pemahamannya, akan cenderung mengembangkan suasana pembelajaran. Menurut Harries (dalam Gede Widja, 1989: 16), menyatakan bahwa: “Tanpa arah pengajaran hanya berkisar antara kapur, bicara dan buku pelajaran, merupakan informasi yang kering dan tanpa arti”. Pendapat Harries ini
menjadi salah satu acuan bahwa dalam pembelajaran sejarah tanpa dibekali pengetahuan yang jelas, pembelajaran tidak akan terarah dan bermakna apa-apa. Melalui bacaan referensi kesejarahan, kemampuan penguasaan materi para guru menjadi meningkat. Peningkatan penguasaan materi akan menambah kepercayaan para guru ketika menghadapi peserta didik di depan kelas. Selain itu juga memungkinkan banyak ilusterasi yang bisa dikembangkan sehingga ketika ada dialog dengan peserta didik tentang persoalan materi-materi kesejarahan suasana kelas menjadi hidup. Apabila hal ini dapat berlangsung, maka akan menumbuhkan kesenangan dan kemampuan peserta didik dalam mempelajari sejarah. Sesuai dengan jalan pikiran di atas, maka guru sejarah yang profesional adalah guru sejarah yang memiliki keahlian khusus dalam bidang pelajaran sejarah. Kemampuan ini didapatnya dari lembaga pendidikan guru sejarah, ditambah dengan usaha terus menerus untuk menyempurnakan apa yag didapat selama pendidikan dengan pengalaman baru sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat. Menurut Wasino (2009: 9), guru sejarah harus terus mengikuti wacana yang berkembang dalam dunia keprofesionalannya. Pertama, harus selalu menyegarkan pengetahuan
kesejarahan.
Dalam
pengertian
mengikuti
perkembangan-
perkembangan temuan kesejarahan. Kalau perlu juga menjadi bagian penemu fakta sejarah. Kedua, guru harus mengembangkan inovasi-inovasi pembelajarannya supaya siswa sebagai konsumen senang dalam mempelajari sejarah dan dapat mengambil manfaat dari belajar sejarah. Inovasi dapat dilakukan mulai dari perancangan kurikulum, pengembangan bahan ajar, proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas, dan akhirnya mengadakan penilaian terhadap bahan-bahan yang diajarkan.
Alokasi waktu dan materi sejarah lokal termasuk tenaga pengajar yang memiliki kemampuan menjadi kendala dalam memasukkan materi sejarah lokal melalui pembelajaran sejarah di SMP. Persoalan alokasi waktu terutama untuk mata pelajaran
IPS
khususnya
sejarah
dirasa
sangat
terbatas,
sehingga
tidak
memungkinkan untuk secara leluasa mengembangkan materi ajar dalam proses pembelajaran. Dengan kondisi alokasi waktu yang sangat terbatas ini, maka materi sejarah yang sangat luas cakupannya itu tidak memungkinkan dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat, sehingga upaya untuk mengembangkan materi pembelajaran masih terkendala. Dalam proses pembelajaran, dengan materi yang sangat luas dan alokasi waktu yang terbatas membuat guru dalam mengajar terjebak pada target penyelesaian materi, sehingga sering melupakan tujuan utama pembelajaran sejarah. Kondisi yang kemudian terjadi adalah target penyelesaian materi tercapai, tetapi tujuan pembelajaran sejarah tidak tercapai. Perencanaan yang matang dapat memfasilitasi komunikasi dan partisipasi, mengakomodasi kepentingan dan nilai-nilai serta dapat membantu pembuatan keputusan secara tertib maupun keberhasilan implikasi perencanaan tersebut. Dalam pencapaian Standar Kompetensi, penyusunan perencanaan pembelajaran
dan
penggunaan perangkat pembelajaran seperti Program Tahunan, Program Semester, Analisis Materi Pelajaran, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran adalah sangat penting, tetapi dalam praktik sering dianggap sebagai rutinitas formal. Padahal perencanaan pembelajaran sebenarnya dapat dipandang sebagai perencanaan yang strategis. Agar dapat membuat perencanaan yang baik diperlukan pengumpulan data, materi dan
informasi secara luas, eksplorasi alternatif dan menekankan pada implikasi masa depan dari keputusan sekarang yang dibuat. Kecenderungan para guru dalam pembuatan perangkat pembelajaran banyak ditentukan oleh kebijakan masing-masing sekolah. Artinya jika program penyusunan perangkat pembelajaran itu ditradisikan oleh sekolah pada awal tahun pelajaran atau awal semester, maka akan dapat tersusun dengan baik. Dari hasil wawancara dengan para guru, bahwa perangkat pembelajaran sudah disiapkan sejak awal tahun pelajaran. Ada pula yang beranggapan bahwa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran merupakan rutinitas formal. Sebab menurutnya yang terpenting dalam pembelajaran bukan terletak pada perangkat pembelajaran yang dibuat selengkap-lengkapnya, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana pembelajaran itu dapat terlaksana dan diserap dengan baik oleh peserta didik. Dalam pelaksanaan pembelajaran diperlukan strategi pembelajaran, yaitu serangkaian tindakan yang efektif dan efisien, terencana dan terarah agar dapat mencapai sasaran maupun tujuan dari kegiatan belajar mengajar di kelas. Unsurunsur pokok yang terdapat dalam strategi pembelajaran adalah guru, peserta didik dan materi yang telah dirancang dalam perangkat pembelajaran. Guru merupakan penanggung jawab dalam proses pembelajaran, sedangkan perangkat pembelajaran merupakan komponen yang ikut menentukan dalam proses alih pengetahuan (transfer of knowledge) yang dilakukan oleh guru terhadap peserta didik. Peserta didik sebagai subjek belajar melakukan proses pembelajaran bersama guru dengan mempelajari materi pembelajaran. Ketiga komponen tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya dan harus terpadu dalam suatu strategi (Suryosubroto, 1996:31)
Untuk mendukung produktivitas pembelajaran sejarah perlu digunakan media pendidikan yang sesuai. Media pendidikan adalah alat, metode dan teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan peserta didik dalam pembelajaran (Oemar Hamalik, 1989: 23). Dari hasil wawancara dengan para guru IPS di SMP, pada umumnya berpendapat bahwa penggunaan alat peraga dalam pembelajaran sejarah banyak manfaatnya, dan sangat efektif membantu siswa dalam menyerap dan memahami materi pembelajaran. Baik atau buruknya suatu media pembelajaran dapat dilihat dari segi kemanfaatan dari media tersebut. Metode mengajar
pada dasarnya
merupakan
langkah kerja
yang
dikembangkan berdasarkan pertimbangan rasional, terencana dan tepat sasaran. Dalam pengelolaan proses pembelajaran, para guru masih berorientasi pada penyelesaian target materi, sehingga metode yang menjadi andalan adalah metode ceramah bervariasi, karena dianggap cocok untuk semua materi, tidak memerlukan persiapan yang rumit, mudah dilaksanakan dan fleksibel. Proses pembelajaran yang menggunakan metode ceramah membuat pembelajaran menjadi searah, guru mendominasi jalannya pembelajaran. Hal ini bertentangan dengan Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan (PAKEM) yang sedang dikembangkan dewasa ini.
BAB V PENUTUP
A. Simpulan
Berdasar pada sajian data, pokok temuan, dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut: Sejarah perjuangan Komando Daerah Muria tahun 1948 selama ini belum dapat dijadikan sebagai pengembangan materi pembelajaran IPS sejarah berkaitan dengan materi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, disebabkan oleh beberapa hal antara lain, terbatasnya alokasi waktu, kurangnya kesiapan tenaga pengajar karena belum tersedianya bahan ajar tentang sejarah perjuangan rakyat Kudus tersebut. Sejarah perjuangan Komando Daerah Muria tahun 1948, merupakan bagian integral dari perjuangan bangsa Indonesia
dalam usaha
mempertahankan
kemerdekaan Indonesia menghadapi Agresi Militer II Belanda. Di dalamnya terkandung nilai-nilai, jiwa dan semangat heroisme (kepahlawanan), patriotisme, dan nasionalisme, yang merupakan modal perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Aspek-aspek tersebut dapat dijadikan teladan bagi peserta didik, ditanamkan dan ditumbuhkembangkan dalam pribadi mereka, agar mereka bisa mewarisinya, sehingga mereka dapat merasakan semangat perjuangan dan besarnya pengorbanan para pahlawan. Dengan demikian kepekaan sosial, semangat kepahlawanan, patriotisme dan nasionalisme peserta didik akan terwujud, karena hal
itu sangat diperlukan untuk mempertahankan kepribadian bangsa Indonesia ketika menghadapi era globalisasi. Upaya untuk memasukkan sejarah perjuangan Komando Daerah Muria ke dalam pembelajaran IPS Sejarah di SMP, mendapat tanggapan yang positif dari para guru, Kepala Sekolah dan pejabat Dinas Pendidikan. Mereka setuju dan sangat mendukung upaya tersebut apabila bahan ajar yang diperlukan tersedia. Untuk merealisasikannya diupayakan penyusunan contoh bahan ajar, dan selanjutnya para guru akan siap membuat/menyusun perangkat pembelajaran yang berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), di mana untuk pelaksanaan pembelajarannya diintegrasikan dengan materi pembelajaran pokok, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara lebih optimal.
B. Implikasi
Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian, maka akan timbul konsekuensi logis yang berupa implikasi dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut: Pengajaran IPS Sejarah di SMP wilayah Kabupaten Kudus, selama ini belum memanfaatkan materi sejarah lokal khususnya Perjuangan Komando Daerah Muria pada masa Agresi Militer II Belanda tahun 1948 untuk dimasukkan sebagai pengembangan materi pembelajaran. Dengan tersedianya bahan ajar tentang perjuangan rakyat Kudus tersebut, yang sebagian berasal dari hasil penelitian ini, maka selanjutnya akan dimanfaatkan dalam pembelajaran dengan mengaitkannya pada standar kompetensi dan kompetensi dasar yang relevan.
Materi pembelajaran yang dipilih untuk diajarkan oleh guru dan harus dipelajari siswa hendaknya berisikan materi atau bahan ajar yang benar-benar menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar (Depdiknas, 2006). Hal ini sesuai dengan uraian dalam PP nomor 19 tahun 2005 Pasal 20, diisyaratkan bahwa guru diharapkan mengembangkan materi pembelajaran, yang kemudian dipertegas melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses, yang antara lain mengatur tentang perencanaan proses pembelajaran yang mensyaratkan bagi pendidik pada satuan pendidikan untuk mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Salah satu elemen dalam RPP
adalah
sumber
belajar.
Dengan
demikian,
guru
diharapkan
untuk
mengembangkan materi pembelajaran sebagai salah satu sumber belajar dan acuan pembelajaran. Dalam peristiwa sejarah terdapat nilai edukatif yang terkandung di dalamnya. Menyadari nilai edukatif dari peristiwa sejarah, berarti menyadari makna sejarah sebagai masa lalu yang penuh arti. Dalam hal ini berarti sejarah harus ditafsirkan dengan objektif agar dapat dipahami oleh masyarakat luas. Dalam tafsiran tersebut tentu terdapat contoh-contoh, nilai-nilai, serta ide-ide yang dapat memberi inspirasi bagi mayarakat. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk memotivasi usaha memecahkan masalah-masalah masa kini dan merealisasi harapan-harapan di masa yang akan datang dengan pendekatan historis. Sebagai contoh, pada masa kini nilai-nilai kepahlawanan,
nasionalisme,
dan
patriotisme
sangat
diperlukan
untuk
mempersiapkan masyarakat Indonesia menghadapi globalisasi yang diikuti oleh
dampak kemajuan iptek. Secara khusus nilai-nilai tersebut diperlukan untuk menseleksi pilihan dalam mempertahankan kepribadian bangsa Indonesia. Kaitannya dengan pembelajaran sejarah di SMP wilayah Kabupaten Kudus, akan sangat tergantung pada guru-guru IPS Sejarah dalam menyusun perencanaan pembelajaran, sehingga guru dapat menanamkan nilai-nilai edukatif yang terkandung dalam sejarah perjuangan rakyat Kudus sebagai bagian dari perjuangan bangsa Indonesia, ke dalam diri peserta didik.
C. Saran
Berdasarkan simpulan dan implikasi dari hasil penelitian ini, ada beberapa saran yang dapat diajukan, sebagai berikut: 1. Saran bagi guru a. Peristiwa-peristiwa sejarah di tingkat lokal yang berhubungan dengan materi pokok hendaknya bisa dimanfaatkan sebagai pengembangan bahan ajar, sebagai contoh sejarah perjuangan Komando Daerah Muria dimasukkan pada Standar Kompetensi: Memahami usaha mempertahankan kemerdekaan; Kompetensi Dasar: Mengidentifikasi usaha perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia; pada Kelas IX, Semester I. b. Pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran hendaknya
dikembangkan
dengan memasukkan peristiwa-peristiwa sejarah di tingkat lokal untuk memperkaya materi pokok.
c. Upaya penulisan sejarah lokal yang mempunyai nilai edukatif di dalamnya perlu ditingkatkan, agar dapat digunakan untuk pengayaan bahan ajar. d. Kudus sebagai daerah yang mempunyai banyak peninggalan sejarah, dapat dimanfaatkan sebagai sumber, media, dan materi pembelajaran sejarah yang baik untuk penanaman nilai-nilai dan semangat nasionalisme.
2. Saran bagi sekolah Idealnya pembelajaran IPS terpadu dilaksanakan oleh guru yang berlatar belakang pendidikan IPS. Belum tersedianya tenaga tersebut, maka pembelajaran IPS terpadu dapat dilaksanakan secara team teaching agar masing-masing bidang kajian dapat diajarkan oleh guru yang sesuai dengan bidang keahliannya, sehingga hasil yang dicapai bisa lebih optimal.
3. Saran bagi Dinas Pendidikan Kabupaten Hendaknya bisa menerbitkan buku materi (bahan ajar) tentang peristiwa sejarah di tingkat lokal seperti sejarah perjuangan Komando Daerah Muria tahun 1948, agar bisa digunakan sebagai pengembangan materi pembelajaran IPS Sejarah di sekolah-sekolah, khususnya di SMP wilayah Kabupaten Kudus. Untuk itu sumbangan pikiran dari para narasumber/sejarawan/informan dalam bentuk tulisan secara kronologis dan sistematis tentang sejarah perjuangan di Kudus tersebut sangat diharapkan untuk melengkapi hasil penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Aida Mustofa. 1995. Perjuangan Komando Daerah Muria Melawan Agresi Militer Belanda II Di Daerah Kudus. Skripsi. Semarang: IKIP Semarang. Anderson, Benedict. 2001. Imagined Comunities: Komunitas-komunitas Terbayang. Terjemahan Omi Intan Naomi. Yogyakarta: INSIST Ary, Donald. 1982. Terjemahan Arief Furchon. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional 1982. Aryo Kartono, dkk. 2004. Kewarganegaraan SMA Kelas X. Kudus: Pemerintah Kabupaten Kudus. Dakir. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta. Darwin Une, 2006. Organisasi Pergerakan Nasional Cabang Gorontalo Tahun 19081942 sebagai materi muatan lokal di SMA Negeri Gorontalo. Tesis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Depdikbud. 1996. Kurikulum SMU. Petunjuk Teknis Mata Pelajaran Sejarah Nasional Indonesia dan Umum. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikdasmen Direktorat SMU. ________. 1998. Pendidikan Penyusunan Karya Tulis Ilmiah di Bidang Pendidikan dan Angka Kredit Pengembangan Profesi Guru. Jakarta: Ditjen Dikdasmen Depdikbud. Depdiknas. 2003. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sejarah SMA & MA . Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. ________. 2004. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Depdiknas. ________. 2006. Model Pembelajaran IPS Terpadu. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. ________ . 2006. Pedoman Memilih dan Menyusun Bahan Ajar. Jakarta Wagiyah, Emerita. 2008. Pelestarian Nilai-Nilai Sumpah Pemuda Melalui Pengajaran Sejarah Sebagai Sarana Mewujudkan Sikap Nasionalisme. Tesis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Gede Widja, I. 1989. Dasar-Dasar Pengembangan Strategi Serta Metode Pengajaran Sejarah. Jakarta: Depdikbud ________ 1989. Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah. Jakarta: Depdikbud Himawan Soetanto. 2006. Yogyakarta 19 Desember 1948. Jendral Spoor (Operatie Kraai) versus Jendral Sudirman (Perintah Siasat No.1). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Iskandar Jayusman. 1984. Catatan-catatan yang Berserakan (Peristiwa-peristiwa Nyata Selama Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia Periode 19451950). Semarang: Aneka Ilmu. Karsan Ali Muhson. 2003. “Sejarah Singkat Perjuangan Gerilya di Daerah Muria”. Kudus: Tidak Diterbitkan. Kosasih Djahiri. 1980. Pendekatan Teknik Pengembangan Materi dan Program Pengajaran IPS. Jakarta: P3G Depdikbud. Lisiyas, Mayor, BcHk. 1993. Sejarah Perjuangan TNI di Kudus Pada Masa Agresi Militer Belanda II. Kudus: Kodim 0722 Kudus Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka Miles, Matthew B and A. Michail Huberman, 1984 Analisis Data Kualitatif. Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Jakarta University Press. Moehdi, M. 1960. “Riwayat Singkat Perjuangan Pada Clash II di Daerah Kudus”. Kudus: Tidak diterbitkan ________.1984. “Dalam Kancah Perang Kemerdekaan II”. Surakarta: Tidak diterbitkan. Mohammad Roem. 1973. Bunga rampai Sejarah. Jakarta: Bintang Moleong, Lexy J. , 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Sebuah Panduan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Nagasumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 19081918. Jakarta: Putaka Utama Grafity.
Nasution, A.H. 1977. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid IX . Bandung: Angkasa. _______ . 1979. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid X. Perang Gerilya Semesta. Bandung: Angkasa. Nugroho Notosusanto. 1977. Sejarah Nasional Indonesia jilid III dan IV. Jakarta: Dep.Pend & Kebudayaan RI _______. 1982. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta : Idayu Press. Reid, Anthony J.S. 1974. Indonesian National Revolution 1945-50. Australia: Longman Australia Pty Limited. Roeslan Abdulgani. 1964. Penggunaan Ilmu Sejarah. Bandung: Prapanca Sartono Kartodirdjo. 1967. Kolonialisme dan Nasionalisme Indonesia Abad XIX-XX. Yogyakarta: Seksi Penelitian Sejarah Jurusan Sejarah Fak. Sastra UGM. ________. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif. Jakarta: PT. Gramedia. ________. 1984. Pemikiran Perkembangan Sejarah. Jakarta: Gramedia. ________. 1989. Fungsi Pengajaran Sejarah dalam Pembangunan Nasional Historika No.I. Surakarta: BPD KPK UNS. Sejarah Militer Cabang 073 Korem Makutarama Soejitno Hardjosoediro.1987. Dari Proklamasi ke Perang Kemerdekaan. Jakarta: Balai Pustaka. Suhartono. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional. Dari Budi Utomo sampai Proklamasi (1908-1945). Jakarta: Pustaka Pelajar. Suryosubroto B. 1999. Proses Belajar Mengajar di Sekolah.Jakarta: Rineka Cipta. Susanto Tirtoprojo. 1982. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta: PT Pembangunan. Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Dasar teori dan terapannya dalam penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Team Penyusun Sejarah Perjuangan dan Pembuatan Monumen Glagah , Kudus. 1973. “Sejarah Komando Muria”. Kudus: Tidak diterbitkan.
Wasino. 2009. Pembelajaran Sejarah yang Inovatif. (Makalah Seminar Nasional Peningkatan Kompetensi Penelitian untuk Pengajaran Sejarah di Era Sertifikasi dan Otonomi Daerah) Kudus.
B. Internet http://id.wikipedia.org/wiki/AgresiMiliterBelandaII. Diakses tanggal 13 Mei 2008 http://www.balipost.co.id/ . Diakses tanggal 16 Desember 2008 http://akhmadsudrajadwordpress.com/PengembanganBahanAjar . Diakses tanggal 13 Januari 2009. http://awan965.wordpress.com/2008/12/20/ktsp-pengembangan-materipembelajaran/. Diakses tanggal 13 Januari 2009. http://www.tempointeraktif.com/SistemPertahananNegara. Januari 2009.
Diakses
tanggal
http://id.wikipedia.org/PertahananNegara Diakses tanggal 17 Januari 2009
17
Lampiran: 1 PEDOMAN WAWANCARA
A. Pokok Kajian
: Sekitar Sejarah Perjuangan Komando Daerah Muria (Untuk kelengkapan penyusunan contoh materi/bahan ajar)
Informan: Pelaku sejarah, saksi sejarah (apabila masih ada), peneliti sejarah. Permasalahan: 1. Bagaimana reaksi rakyat Kudus ketika terjadi Agresi Militer II Belanda? 2. Bagaimana perjuangan menentang pendudukan Belanda di daerah Kudus pada waktu itu? Bagaimana peran rakyat dalam perjuangan? 3. Siapa saja pemimpin perjuangan pada waktu itu? 4. Strategi apa yang digunakan oleh para pemimpin perjuangan? 6. Bagaimana sikap masyarakat saat ini terhadap sejarah perjuangan tersebut? 7. Apa harapan Bapak/Ibu terhadap sejarah perjuangan tersebut?
B. Pokok Kajian: Keberadaan SMP Negeri di Kudus Informan: Kepala Sekolah Permasalahan: 1.
Kapan Bapak mulai bertugas sebagai Kepala Sekolah?
2.
Bagaimana kondisi pembelajaran di sekolah yang Bapak pimpin?
3.
Bagaimana kesiapan guru pengajar baik dari segi kualifikasi pendidikan maupun latar belakang pendidikannya?
4.
Hal-hal apa yang Bapak lakukan dalam meningkatkan SDM yang berkualitas?
5.
Bagaimana memotivasi guru agar bersemangat dalam melaksanakan tugasnya?
6.
Usaha apa yang biasa Bapak lakukan dalam pembinaan program pembelajaran?
7.
Khusus untuk pembelajaran IPS, apa latar belakang pendidikan guru IPS?
8.
Bagaimana keberadaan laboratorium, perpustakaan dan media pembelajaran khususnya untuk mata pelajaran IPS?
9.
Apa saja usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran khususnya untuk mata pelajaran IPS?
10. Menurut pendapat Bapak, bagaimanakah sikap nasionalisme generasi muda saat ini? Apakah upaya yang bisa dilakukan untuk membangkitkan/ menanamkan sikap nasionalisme pada generasi muda? 11. Bagaimana tanggapan Bapak berkaitan dengan diberlakukannya KTSP? 12. Apakah porsi pembelajaran sejarah dalam kurikulum SMP sudah proporsional untuk penanaman dan pelestarian nilai-nilai nasionalisme? 13. Jika melihat Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran IPS sejarah di SMP apakah ada peluang untuk dikembangkan sebagai usaha penanaman nilai-nilai nasionalisme? 14. Layakkah apabila peristiwa sejarah di tingkat lokal yang bisa membangkitkan semangat nasionalisme dan relevan dengan Standar Kompetensi maupun Kompetensi Dasar disisipkan dalam pembelajaran sejarah? 15. Bagaimana tanggapan Bapak tentang sejarah perjuangan Komando Daerah Muria pada masa Agresi Militer II Belanda? 16. Setujukah Bapak apabila sejarah perjuangan Komando Daerah Muria pada masa Agresi Militer II Belanda dijadikan sebagai pengembangan materi pembelajaran sejarah di SMP?
C. Pokok Kajian: Pengembangan Materi Pembelajaran Informan: Guru IPS Permasalahan 1.
Sudah berapa lama Bapak/Ibu mengajar IPS di SMP dan bagaimana kesan berkaitan dengan pengajaran IPS sejarah?
2. Hambatan apa saja yang Bapak/Ibu alami selama mengajar IPS sejarah? 3.
Bagaimana daya dukung sarana prasarana berupa laboratorium, perpustakaan dan media dalam menunjang pembelajaran sejarah?
4.
Apakah siswa merasa tertarik dengan mata pelajaran IPS khususnya sejarah?
5.
Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu berkaitan dengan diberlakukannya KTSP?
6.
Apakah dalam pembelajaran sejarah Bapak/Ibu terikat dengan kurikulum ataukah ada kebebasan untuk memasukkan unsur sejarah lokal?
7.
Menurut pendapat Bapak/Ibu bisakah sejarah lokal dimasukkan dalam pembelajaran sejarah sebagai pengembangan materi?
8.
Menurut pendapat Bapak/Ibu apakah ada manfaat yang bisa diambil dari pengajaran sejarah lokal?
9.
Apakah dalam pembelajaran sejarah Bapak/Ibu sering mengaitkan dengan sejarah lokal? Bagaimana respon siswa bila diberikan materi sejarah lokal?
10. Menurut pendapat Bapak/Ibu, bagaimanakah sikap nasionalisme generasi muda saat ini? 11. Apakah upaya yang bisa dilakukan untuk membangkitkan/menanamkan sikap nasionalisme pada generasi muda?
12. Apakah porsi pembelajaran sejarah dalam kurikulum SMP sudah proporsional untuk penanaman dan pelestarian nilai-nilai nasionalisme? 13. Jika melihat Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran IPS Sejarah di SMP apakah ada peluang untuk dikembangkan sebagai usaha penanaman nilai-nilai nasionalisme? 14. Layakkah
apabila
sejarah
lokal
yang
bisa
membangkitkan
semangat
nasionalisme dan relevan dengan Standar Kompetensi maupun Kompetensi Dasar disisipkan dalam pembelajaran sejarah? 15. Bagaimana tanggapan Bapak tentang sejarah perjuangan Komando Daerah Muria pada masa Agresi Militer II Belanda? 16. Apakah sejarah perjuangan Komando Daerah Muria pada masaAgresi Militer II Belanda relevan bila dijadikan sebagai pengembangan materi pembelajaran sejarah di SMP? 17. Aspek-aspek apa saja dari sejarah perjuangan Komando Daerah Muria yang bisa diajarkan kepada siswa? 18. Bila guru memasukkan sejarah lokal, bagaimana guru dalam menyusun program pembelajaran?
D. Pokok Kajian: Kurikulum dan Pengembangan Materi Pembelajaran Sejarah di SMP Informan : Kepala Seksi Kurikulum Pendidikan Dasar Kabupaten Kudus.
Permasalahan: 1. Menurut pendapat Bapak, bagaimanakah sikap nasionalisme generasi muda saat ini? 2. Apakah upaya yang bisa dilakukan untuk membangkitkan/menanamkan sikap nasionalisme pada generasi muda? 3. Apakah porsi pembelajaran sejarah dalam kurikulum SMP sudah proporsional untuk penanaman dan pelestarian nilai-nilai nasionalisme? 4. Jika melihat Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran IPS Sejarah di SMP apakah ada peluang untuk dikembangkan sebagai usaha penanaman nilai-nilai nasionalisme? 5. Layakkah apabila sejarah lokal yang bisa membangkitkan semangat nasionalisme dan relevan dengan Standar Kompetensi maupun Kompetensi Dasar disisipkan dalam pembelajaran sejarah? 6. Bagaimana tanggapan Bapak tentang sejarah perjuangan Komando Daerah Muria pada masa Agresi Militer II Belanda? 7. Setujukah Bapak apabila sejarah perjuangan Komando Daerah Muria pada masa Agresi Militer II Belanda dijadikan sebagai pengembangan materi pembelajaran sejarah di SMP?
Lampiran: 2 Daftar Informan/Nara Sumber
1. H. Abdul Majid (Kusnadi) : Pelaku Sejarah 2. Drs. Suharyono
: Kepala SMP Negeri 1 Gebog
3. Suprapto, S.Pd
: Kepala SMP Negeri 2 Gebog
4. Drs. Sutrisno
: Guru IPS SMP Negeri 1 Gebog
5. Sumiyati, S.Pd
: Guru IPS SMP Negeri 1 Gebog
6
: Guru IPS SMP Negeri 1 Gebog
Soeharto
7. Tenti Anita Aries, S.Pd
: Guru IPS SMP Negeri 1 Gebog
8. Fery Rosyidah, S.Pd
: Guru IPS SMP Negeri 1 Gebog
9. Aida Mustofa
: Guru IPS SMP Negeri 2 Gebog
10. Mahfud, S.Pd
: Guru IPS SMP Negeri 2 Gebog
11. Dyah Susanti, S.Pd
: Guru IPS SMP Negeri 2 Gebog
12. Fitriani Ning, S.Pd
: Guru IPS SMP Negeri 2 Gebog
13. Drs. Jumadi, MM
: Kepala Seksi Kurikulum Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kabupaten Kudus.
Lampiran: 3
KEADAAN GURU IPS DAN PESERTA DIDIK DI SMP NEGERI KUDUS Tabel 1
Keadaan Guru IPS di SMP Negeri 1 Gebog Menurut Latar Belakang Pendidikan No
Nama/ NIP
L/ P
Pendidikan/ Jurusan
Mulai Mengajar
Gol
1
Soeharto
L
D1 / P. Sejarah
1 Maret 1973
IV/a
2
Sumiyati, S.Pd
P
S1 / P. Geografi
1 April 1986
IV/a
3
Drs. Sutrisno
L
S1 / P. Sejarah
1 April 1995
III/b
4
Tenti Anita A.,Spd
P
S1 / P. Sejarah
1 Januari 2007
III/a
5
Fery Rosyidah
P
S1 / P. Ekonomi
1 Januari 2008
III/a
Tabel 2 Keadaan Siswa SMP Negeri 1 Gebog No
Kelas
Jumlah Siswa
Jumlah Kelas Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1
VII
6
96
136
232
2
VIII
6
94
145
239
3
IX
6
106
133
239
18
296
414
710
Jumlah
Sumber: Data Laporan Keadaan Sekolah Januari 2009
Lampiran: 4 KEADAAN GURU IPS DAN PESERTA DIDIK DI SMP NEGERI KUDUS
Tabel 3 Keadaan Guru IPS di SMP Negeri 2 Gebog Menurut Latar Belakang Pendidikan No
Nama/
L/
Pendidikan/
Mulai
Gol
NIP
P
Jurusan
Mengajar
1
Aida Mustofa, S.Pd
L
S1 / P.Sejarah
1 Desember1994
III/d
2
Mahfud, S.Pd
L
S1 / P. Sejarah
2 Januari 2007
III/a
3
Dyah Susanti, S.Pd
P
S1 / P. Ekonomi
1 Januari 2008
III/a
4
Fitriani Ning, S.Pd
P
S1 / P. Ekonomi
1 Nopember 2007
III/a
Tabel 4 Keadaan Siswa SMP Negeri 2 Gebog No
Kelas
Jumlah Kelas
Jumlah Siswa Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1
VII
6
119
121
240
2
VIII
6
141
105
246
3
IX
6
124
118
242
18
385
344
728
Jumlah
Sumber: Data Laporan Keadaan Sekolah Januari 2009
Lampiran: 5 Tabel 5 Kompetensi Dasar, Indikator dan Materi Pokok Kelas IX
Standar Kompetensi: 2, Memahami usaha mempertahankan kemerdekaan. KOMPETENSI
INDIKATOR
MATERI POKOK
* Mendeskripsikan faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda.
* Faktor-faktor penyebab konflik IndonesiaBelanda
* Mendeskripsikan bentuk dan proses perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan
* Bentuk dan proses perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.
* Mendeskripsikan peran dunia internasional dalam menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda.
* Peran dunia internasional dalam menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda.
DASAR 2.1. Mengidentifikasi usaha perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Lampiran: 7.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Mata Pelajaran
: IPS Sejarah
Satuan Pendidikan
: SMP Negeri Gebog
Kelas/Semester
: IX / I
Alokasi Waktu
: 6 X 40 menit
Standar Kompetensi 2. Memahami usaha mempertahankan kemerdekaan
Kompetensi Dasar 2.1 Mengidentifikasi usaha perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Indikator - Mendeskripsikan faktor-faktor penyebab konflik Indonesia-Belanda.. - Mendeskripsikan pengaruh konflik Indonesia-Belanda terhadap keberadaan NKRI - Mendiskripsikan bentuk dan proses perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan * Mendeskripsikan perjuangan rakyat dan pemerintah di berbagai daerah, di antaranya perjuangan Komando Daerah Muria (pengembangan materi). - Melacak aktifitas diplomasi Indonesia di dunia internasional. - Mendeskripsikan peran dunia internasional dalam penyelesaian konflik Indonesia – Belanda. - Mengidentifikasi faktor-faktor yang memaksa Belanda keluar dari Indonesia.
A. Tujuan Pembelajaran Setelah selesai melakukan kegiatan pembelajaran, siswa dapat: 1. Menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya konflik Indonesia-Belanda. 2. Mendeskripsikan pengaruh konflik Indonesia-Belanda terhadap keberadaan NKRI. 3. Mendeskripsikan bentuk dan proses perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. 4. Mendeskripsikan perjuangan rakyat dan pemerintah di berbagai daerah, di antaranya perjuangan Komando Daerah Muria (pengembangan materi). 5. Menjelaskan aktifitas diplomasi Indonesia di dunia internasional.
6. Mendeskripsikan peran dunia internasional dalam konflik Indonesia-Belanda. 7. Menyebutkan faktor penyebab Belanda keluar dari Indonesia.
B. Materi Pembelajaran 1. Faktor-faktor penyebab terjadinya konflik Indonesia-Belanda. 2. Pengaruh konflik Indonesia-Belanda. 3. Bentuk dan proses perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. 4. Perjuangan rakyat dan pemerintah, di antaranya perjuangan Komando Daerah Muria (pengembangan materi). 5. Aktifitas diplomasi Indonesia di dunia internasional. 6. Peran dunia internasional terhadap konflik Indonesia-Belanda. 7. Faktor penyebab Belanda keluar dari Indonesia
C. Metode Pembelajaran 1. Ceramah bervariasi 2. Diskusi 3. Inquiri 4. Tanya jawab 5. Tugas
D. Langkah-Langkah Pembelajaran 1. Pertemuan Ke-1 a. Kegiatan Awal (pendahuluan) 1) Menciptakan lingkungan: - Salam pembuka dan berdoa. - Menyampaikan tujuan pembelajaran.
2) Apersepsi:
- Memberi pertanyaan dan pretest yang berkaitan dengan faktor-faktor yang menyebabkan pecahnya konflik Indonesia-Belanda dan proses perjuangan bangsa Indonesia secara fisik dalam mempertahankan kemerdekaan. 3) Motivasi: -
Guru menjelaskan pentingnya mengetahui fakta-faktasejarah tentang perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.
b. Kegiatan Inti (pembentukan kompetensi) Prosedur Pembelajaran: 1) Guru menjelaskan materi tentang: -
Faktor-faktor penyebab konflik Indonesia-Belanda dan proses perjuangan bangsa Indonesia secara fisik dalam mempertahankan kemerdekaan, termasuk perjuangan Komando Daerah Muria di dalamnya.
- Memberi contoh bentuk sikap-sikap kepahlawanan dari para pejuang ketika berusaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia. 2) Pengorganisasian: kelompok kecil dengan tugas: * Tanya jawab mengenai perjuangan mempertahankan kemerdekaan. *
Diskusi kelompok membahas faktor-faktor penyebab konflik IndonesiaBelanda dan proses perjuangan mempertahankan kemerdekaan, termasuk perjuangan Komando Daerah Muria di dalamnya.
* Perwakilan kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompok. * Kelompok yang lain menanggapi. c. Kegiatan Akhir (penutup) 1) Setiap kelompok mengumpulkan laporan hasil diskusi kelompok. 2) Guru memberikan komentar, penguatan dan kesimpulan hasil tanya jawab dan diskusi. 3) Guru membimbing peserta didik untuk memberikan refleksi. 4) Guru memberikan gambaran umum tentang materi untuk pertemuan yang akan datang. 2. Pertemuan ke-2 a. Kegiatan Awal (pendahuluan)
1) Apersepsi: guru memberikan pretest yang berkaitan dengan proses perjuangan
bangsa
Indonesia
dalam
mempertahankan
kemerdekaan melalui jalur diplomasi. 2) Motivasi:
guru menampilkan contoh gambar-gambar usaha keras bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan melalui jalur diplomasi.
b. Kegiatan Inti (pembentukan kompetensi) 1) Guru menjelaskan materi tentang proses perjuangan diplomasi bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. 2) Pengorganisasian: kelompok kecil dengan tugas: *
Mendiskusikan proses perjuangan diplomasi bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.
* Perwakilan kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompok. * Kelompok yang lain menanggapi. c. Kegiatan Akhir (penutup) 1) Setiap kelompok mengumpulkan laporan hasil diskusi kelompok. 2) Guru memberikan komentar, penguatan dan kesimpulan hasil tanya jawab dan diskusi. 3) Guru membimbing peserta didik untuk memberikan refleksi. 4) Guru memberikan gambaran umum tentang materi untuk pertemuan yang akan datang.
2. Pertemuan ke-3 a. Kegiatan Awal (pendahuluan) 1) Apersepsi: guru memberikan pretest yang berkaitan dengan kronologi peristiwa-peristiwa penting antara tahun 1945-1949, keluarnya Belanda dari Indonesia, dan peran dunia internasional dalam membantu menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda. 2) Motivasi: guru menampilkan fakta-fakta sejarah yang menunjukkan berbagai kerugian dan penderitaan bangsa Indonesia akibat tindakan Belanda yang ingin kembali berkuasa di Indonesia.
b. Kegiatan Inti (pembentukan kompetensi) 1) Guru menjelaskan materi tentang kronologi peristiwa-peristiwa penting antara tahun 1945-1949, keluarnya Belanda dari Indonesia, dan peran dunia internasional dalam membantu menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda. 2) Pengorganisasian: kelompok kecil dengan tugas: * Mendiskusikan tentang kronologi peristiwa-peristiwa penting antara tahun 1945-1949, keluarnya Belanda dari Indonesia, dan peran dunia internasional dalam membantu menyelesaikan konflik IndonesiaBelanda. *
Perwakilan kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompok.
*
Kelompok yang lain menanggapi.
c. Kegiatan Akhir (penutup) 1) Setiap kelompok mengumpulkan laporan hasil diskusi kelompok. 2) Guru memberikan komentar, penguatan dan kesimpulan hasil tanya jawab dan diskusi. 3) Guru membimbing peserta didik untuk memberikan refleksi. 4) Guru memberikan tugas rumah berupa tugas kelompok kepada peserta didik.
Sumber dan Media Pembelajaran 1. Dokumen Sejarah 2. Buku IPS Sejarah Kelas IX SMP 3. Buku-buku sejarah yang relevan 4. Atlas Sejarah 5. Foto atau gambar sejarah Penilaian 1. Teknik Penilaian a. Tes tertulis b. Diskusi c. Tes Penugasan 2. Bentuk Instrumen a. Tes Pilihan Ganda
Berilah tanda silang (x) pada huruf a, b, c atau d di depan jawaban yang paling tepat! 1) Faktor-faktor penyebab terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda di antaranya ialah … . a. Belanda membonceng NICA. b. Belanda ingin berkuasa kembali. c. Sekutu membantu Belanda. d. Belanda berhasil mengalahkan Jepang. 2) Misi pendahuluan yang dikirimkan ole SEAC dipimpin oleh … . a. Mayor A.G. Greenhalgh b. Letjen Sir Philip Christison c. Laksamana Muda W.R Peterson d. C.H.O. Van der Plas 3) Berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan, pasukan Inggris yang tergabung dalam AFNEI akan mendarat di … . a. Kalimantan dan Sulawesi b. Maluku dan Nusa Tenggara c. Kalimantan dan Nusa Tenggara d. Jawa dan Sumatera 4) Tugas utama pasukan Sekutu di Indonesia adalah … . a. membantu Belanda berkuasa kembali di Indonesia b. mempertemukan Indonesia dengan Jepang di meja perundingan c. melucuti senjata tentara Jepang dan memulangkan ke negaranya d. mengambil alih kekuasaan Jepang di Indonesia 5) Tindakan Belanda yang menyebabkan terjadinya insiden bendera di Surabaya adalah … . a. menurunkan bendera Merah Putih dari puncak hotel Yamato b. melarang pengibaran bendera Merah Putih di Surabaya c. melakukan perobekan terhadap bendera Merah Putih d. mengibarkan bendera merah putih biru di hotel Yamato b. Tes uraian:
Jawablah pertanyaan di bawah ini secara singkat dan tepat! 1. Sebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya konflik Indonesia-Belanda! 2. Jelaskan tanggapanmu tentang gambar-gambar perundingan Linggarjati ! 3. Sebutkan pengaruh konflik Indonesia-Belanda terhadap keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ! 4.
Berilah contoh aktifitas
Indonesia
di dunia Internasional untuk
mempertahankan kemerdekaan! 5. Sebutkan faktor-faktor yang memaksa Belanda keluar dari Indonesia ! c. Tugas rumah Perintah tugas: 1. Buatlah kronologi berbagai peristiwa penting yang terjadi di Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan, mulai dari tingkat daerah hingga tingkat pusat! 2. Carilah gambar peran dunia internasional dalam konflik dalam konflik Indonesia-Belanda, dan berikan tanggapanmu!
Tindak lanjut - Siswa dinyatakan berhasil jika tingkat pencapaian 75% atau lebih. - Memberikan program remedial untuk siswa yang tingkat pencapaian kurang dari 75%. - Memberikan program pengayaan.
Contoh Materi (bahan ajar)
SEJARAH PERJUANGAN KOMANDO DAERAH MURIA PADA MASA AGRESI MILITER II BELANDA TAHUN 1948 DI KUDUS
1. Perpindahan Pasukan Batalyon Kusmanto Pada tanggal 11 Desember 1948 Batalyon Kusmanto yang semula berkedudukan di Surakarta tiba di Kudus untuk menggantikan Batalyon Sutarno yang mendapat tugas baru di Surakarta. Batalyon tersebut dipimpin oleh Mayor Kusmanto selaku komandan batalyon yang baru. Di Surakarta Batalyon Kusmanto
termasuk dalam Divisi Panembahan
Senopati yang dipimpin oleh Mayor Jendral Sutarto. Pada waktu terjadi rasionalisasi dan reorganisasi Angkatan Perang tanggal 15 Mei 1948 batalyon ini masih tetap berada di Surakarta. Perpindahan pasukan Batalyon Kusmanto dari Surakarta ke Kudus menggunakan kereta api dengan jalur Purwodadi, Blora, Rembang, Pati. Karena sulitnya transportasi perpindahan pasukan tidak dapat dilakukan secara serentak . Akibatnya ketika Belanda benar-benar melakukan agresi militer di kota Kudus pada tanggal 19 Desember 1948, Batalyon Kusmanto yang berkekuatan dua kompi, pasukan yang sampai di Kudus baru sebanyak satu kompi. Batalyon Kusmanto mendapat tugas utama
untuk mempertahankan kota
Kudus dari Agresi Militer kedua Belanda yang diramalkan akan bergerak dari Semarang ke Pati melalui jembatan Tanggul Angin. Ketika sampai di Kudus Mayor
Kusmanto memerintahkan pasukannya bertugas di front Tanggul Angin. Selanjutnya Mayor Kusmanto mengadakan koordinasi dengan pejabat setempat untuk membahas strategi yang akan ditempuh apabila Belanda benar-benar melakukan agresi militernya ke Kudus. Hasil koordinasi tersebut diperoleh kesepakatan bahwa apabila Belanda menyerbu, maka pemerintah sipil memberikan kekuasaan kepada militer untuk mendirikan pemerintahan militer di pengasingan, sedangkan para pejabat sipil tetap berada di dalam kota. Meskipun para pejabat sipil tidak ikut bergerilya, namun tetap berjuang melawan Belanda dan membantu TNI. Pada akhirnya mereka bergabung dalam suatu wadah perjuangan dalam kota yang disebut Komando Staf Kota.
2. Agresi Militer II Belanda di Kudus Kudus yang merupakan wilayah RI berdasarkan perjanjian Renville mendapat serbuan Belanda dari arah kota Semarang, pasukan darat melaju cepat menyusuri jalan utama Semarang-Demak-Kudus, sedangkan pasukan udara terbang cepat menuju udara daerah Kudus. Kemudian melakukan pemboman terhadap beberapa tempat penting. Pada tanggal 19 Desember 1948 jam tujuh pagi sebuah pesawat terbang cocor merah milik Belanda terbang rendah di atas udara kota Kudus. Seperempat jam kemudian muncul tiga pesawat Yogger dengan gencar memuntahkan serentetan tembakan metraliur dan granat ke arah bukan saja basis militer, tetapi juga ke sasaran umum seperti stasiun kereta api, pabrik gula Rendeng, pabrik rokok di Kudus Wetan dan Kudus Kulon. Pemboman pesawat-pesawat tempur Belanda menimbulkan
kehancuran dan kebakaran di gedung-gedung tersebut. Kepulan asap membubung di udara. Rakyat panik dan berlari tak tentu arah untuk menyelamatkan diri. Tempat lain yang juga menjadi sasaran pemboman adalah Masjid Besar yang terletak di sebelah barat alun-alun, instalasi listrik negara di Jati, rumah kepala desa Pasuruhan yang disangka markas militer Batalyon Basuno dan beberapa sarana transportasi seperti mobil, sepeda motor, dan sepeda yang berada di tepi-tepi jalan kota Kudus. Pemboman itu berlangsung dari jam tujuh pagi hingga jam duabelas siang. Ada beberapa faktor yang menyebabkan Belanda menyerang Kudus pada saat Agresi Militer II Belanda yaitu: 1. Kudus merupakan pintu gerbang masuk ke wilayah Karesidenan Pati, oleh karena itu Belanda yang ingin menguasai wilayah tersebut harus menduduki daerah Kudus terlebih dahulu, baru menyusul daerah lain seperti Jepara, Pati, Rembang, dan Blora. 2. Wilayah Kudus berdasarkan perjanjian Renville berbatasan dengan garis Demarkasi Van Mook, yaitu sepanjang sungai Serang di sebelah selatan kota. Dengan demikian, maka berarti Kudus merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan wilayah pendudukan Belanda. Kudus wilayah Republik Indonesia dan Demak wilayah pendudukan Belanda. 3. Secara ekonomis Kudus saat itu sudah makmur, perkembangan ekonominya tinggi, karena berkembangnya beberapa perusahaan yang cukup besar seperti perusahaan rokok cap bal tiga, perusahaan rokok cap Menakjinggo, dan perusahaan batik. Selain itu perkebunan tebu peninggalan Belanda di Kudus
Utara masih luas. Penguasaan daerah produktif sangat berarti sekali, karena ini merupakan faktor penunjang kehidupan tentaranya di Indonesia. Setelah mengetahui adanya serangan udara Belanda, Mayor Kusmanto selaku Komandan Batalyon Kudus memimpin seluruh TNI untuk melakukan pencegatan di sebelah utara jembatan Tanggul Angin. TNI bersiap-siap untuk menggempur pasukan Belanda bila melewati jembatan tersebut, dengan mengerahkan dan menyatukan seluruh pasukan Batalyon Kusmanto dan sebagian pasukan Batalyon Basuno. Pada hari Sabtu tanggal 19 Desember 1948 pukul 14.00 Belanda menyerbu kota Kudus dari arah Demak. Setelah berada di jembatan Tanggul Angin mereka mendapat perlawanan dari TNI, tembak menembak dengan gencar terjadi. Tetapi karena jumlah pasukan Belanda jauh lebih banyak dan bersenjata lengkap, maka Mayor Kusmanto segera memerintahkan pasukannya mundur. sehingga Belanda akhirnya berhasil menduduki kota Kudus.
3. Belanda Menduduki Kota Kudus Pasukan Belanda yang mempunyai persenjataan lengkap dan modern menyebabkan TNI mengambil siasat mundur bergerak ke Gunung Muria.
Ada
beberapa faktor lain yang menyebabkan jatuhnya pertahanan TNI di Kudus, yaitu: a. Pada waktu itu pasukan Balalyon Kusmanto yang berpindah dari Surakarta ke Kudus belum seluruhnya tiba termasuk sarana persenjataan dan sarana lainnya. b. Jarak antara Kudus dengan garis demarkasi Van Mook yaitu sepanjang sungai Serang di mana jembatan Tanggul Angin berada kurang lebih hanya 5 km.
c. Hubungan antara masyarakat Kudus dengan Batalyon Kusmanto belum begitu akrab, karena masih ada rasa curiga mencurigai sebagai akibat dari peristiwa merah 18 September 1948. Siasat mundur yang dilakukan Mayor Kusmanto juga disebabkan karena mentaati Perintah Siasat Nomor 1 dari Panglima Besar Jendral Sudirman yang memerintahkan kepada seluruh TNI untuk memberikan perlawanan ringan dengan tujuan menghambat gerakan musuh bila ternyata Belanda melakukan Agresi Militer. Kemudian mengundurkan diri ke luar kota untuk membentuk kantong-kantong gerilya. Hal ini dilakukan mengingat
pasukan musuh
berjumlah besar dengan
perlengkapan senjata modern sulit untuk ditahan, sehingga usaha yang dilakukan adalah memperlambat gerakan musuh
agar dapat mengungsikan alat-alat
pemerintah, pegawai dan rakyat ke kantong-kantong gerilya, selanjutnya melakukan perlawanan secara gerilya. Gerakan mundur pasukan TNI terbagi dalam kelompok-kelompok. Mayor Kusmanto memimpin pasukannya untuk mundur ke gunung Muria, dengan menempuh jalur dari Tanggul Angin menuju ke utara melewati alun-alun kota Kudus. Di desa Purworejo pasukannya mendapat serangan mortir dari serdadu Belanda, untuk menghindarinya maka diambil jalan ke timur menuju desa Gondangmanis. Selanjutnya bergerak ke Gondosari melalui Dawe. Lettu Karno memimpin kelompok pasukan dengan mengambil rute desa Prambatan, Klumpit, Karangmalang, Besito, kemudian berhenti di desa Gondosari. Pasukan yang dipimpin oleh Lettu Muhadi mengambil rute Tanggul Angin, Bareng, Tanjung Mojo,
mendaki Gunung Pati Ayam dan akhirnya bertemu Kepala Staf Komando Daerah Muria Kapten Ali Machmudi di desa Bageng Gembong Pati. Lettu Suyitno, seorang anggota Pelajar Pejuang Bersenjata dari Sekolah Taman Dewasa memimpin seluruh pelajar Kudus untuk berjuang melawan pendudukan Belanda. Dalam aksi mundur melalui Barongan berhasil menyerang sebuah jip Belanda yang ditumpangi 5 serdadu, selanjutnya bergerak ke desa Mlati Lor, Bacin, Pedawang, akhirnya bertemu pasukan Mayor Kusmanto di desa Gondang Manis. Lettu Sucipto memimpin pasukan bergerak dari Tanggul Angin, Bareng, Tanjungrejo, ketika sampai di Hadiwarno bertemu dengan pasukan TNI yang gagal menyelamatkan senjata ke Pati karena lokomotif kereta api yang ditumpangi hancur diserang pesawat tempur Belanda. Pasukan Belanda yang bertugas di Kudus terus mengadakan pembenahan dan menduduki beberapa tempat penting seperti stasiun kereta api, pom bensin, pabrik gula Rendeng, mendirikan markas militer di gedung bekas pabrik rokok cap Bal Tiga, Markas Inlichting Vereniging Gebied atau markas organisasi mata-mata Belanda dan memusatkan kekuatan militernya di gedung Asisten Residen, Rendeng. Setelah berhasil menguasai kota Kudus kemudian mendirikan pemerintahan militer yang dipimpin kapten Brijjle dan menduduki tempat-tempat penting seperti gedung pemerintah, dan tempat penting lainnya. Selain itu juga mendirikan basis pertahanan di berbagai tempat. antara lain: a. Markas Koedoesche Radio Vereeniging (KRV) yaitu markas pemerintahan kolonial Belanda di Kudus yang dilengkapi sebuah stasiun radio sebagai sarana
komunikasi. Markas ini menempati bekas pabrik rokok cap “Bal Tiga”. Gedung ini sekarang menjadi markas KODIM 0722 Kudus. b. Mendirikan markas Inlichting Vereeniging Gebied (IVG) yaitu organisasi matamata Belanda yang anggotanya terdiri orang-orang Indonesia asli dan Belanda totok. Rumah seorang pengusaha Cina yang terletak di sebelah timur KRV dirampas untuk dijadikan markas IVG ini. Sekarang gedung ini menjadi Kantor Telkom Kudus. c. Menempatkan armada perang di gedung Asisten Residen di desa Rendeng. Gedung tersebut sekarang menjadi Gedung Wanita Ngasirah. Belanda juga mendirikan pos-pos penjagaan di beberapa tempat seperti di Dawe, Barongan, Jember dan Tanjungrejo dengan tujuan untuk memperkuat pertahanan dan menjaga perkebunan tebu di daerah Kudus utara.
4. Reaksi Masyarakat Kudus Terhadap Pendudukan Belanda Pendudukan Belanda atas kota Kudus mendapat reaksi dari semua lapisan masyarakat. Reaksi yang timbul sebagai akibat dari pendudukan Belanda adalah terpecahnya masyarakat menjadi beberapa kelompok yaitu: a. Masyarakat yang bergabung bersama TNI mengungsi ke luar kota untuk mendirikan kantong-kantong gerilya dan pertahanan di desa. Mereka umumnya terdiri dari para pejabat pemerintah daerah, para pelajar dan anggota suatu organisasi kelaskaran.
b. Masyarakat yang tetap berada di dalam kota membentuk organisasi perjuangan khusus yaitu Komando Staf Kota. Dalam perjuangannya mereka berpura-pura bekerja sama dan masuk dalam pemerintahan militer Belanda. c. Masyarakat yang mau bekerja sama dengan Belanda. Mereka dijadikan pegawai, antek dan mata-mata. d. Masyarakat keturunan Cina sebagian bersikap netral, sebagian menjadi antek Belanda dan sebagian lagi membantu TNI. Mereka yang ikut berjuang bersama TNI dipelopori oleh Ang Sing Djiang, pedagang beras di desa Panjunan Kulon. e. Masyarakat keturunan Arab dan India yang berada di Pekojan banyak yang membantu TNI meskipun secara sembunyi-sembunyi. Masyarakat Kudus yang sudah merdeka harus kembali mengangkat senjata untuk mempertahankan kemerdekaannya. Masyarakat yang tidak senang dengan adanya pendudukan Belanda memilih berjuang, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Mereka inilah pejuang-pejuang bangsa yang tangguh.
5. Aksi Gerilya Batalyon Kusmanto di Gunung Muria Untuk menambah kekuatan daya tempur, TNI merekrut pemuda-pemuda desa yang sehat jasmani dan rohani untuk menjadi anggota TNI. Mereka mendapat latihan kemiliteran. Setelah benar-benar terlatih, kemudian dibagi menjadi 2 kelompok: a. Mereka yang terampil, cerdas, ulet, tangkas dan siap tempur, bergabung menjadi anggota pasukan mobil.
b. Mereka yang kurang memenuhi syarat seperti tersebut di atas, ikut bergabung dalam Pasukan Gerilya Desa atau Pager Desa, yang bertugas membantu kegiatan para asisten wedana militer, kepala desa dan pamong praja lainnya. Setelah cukup kuat dan terkoordinasi dengan baik, pada pertengahan bulan Januari 1949 Mayor Kusmanto berunding dengan Mayor Basuno selaku Jepara Tevens Troepen Comandant untuk merencanakan serangan umum terhadap kedudukan Belanda di kota, hasil perundingan tersebut adalah: a. Sasaran utama serangan umum terhadap Belanda di dalam kota adalah kompleks pabrik gula Rendeng, pos penjagaan di Jember dan Barongan, stasiun kereta api dan pom bensin. b. Perincian pembagian tugas: 1) Mayor Kusmanto dan Mayor Basuno memimpin langsung penyerbuan terhadap komplek pabrik gula Rendeng. 2) Lettu Karno memimpin pasukan untuk melucuti senjata para opsir yang bertugas di pos penjagaan Jember. 3) Kapten Kahartan memimpin pasukan yang bertugas melucuti senjata opsir Belanda di pos penjagaan Barongan. 4) Lettu Muhadi memimpin pasukan yang bertugas menyerbu stasiun kereta api. 5) Lettu Suhardiman bertugas membakar pom bensin Jati. c. Penyerbuan segera dilaksanakan bersama-sama pada keesokan harinya. Rencana tersebut terlaksana dengan baik, seluruh pasukan TNI bergerak menuju sasaran yang telah ditetapkan. Penyerbuan terhadap kompleks pabrik gula Rendeng merupakan perjuangan terberat, karena kompleks tersebut merupakan pusat
kegiatan Belanda dan IVG, di sebelahnya pusat penyimpanan senjata yang penjagaannya lebih ketat dibanding tempat lainnya. Dengan semangat juang dan jiwa patriotisme yang tinggi, TNI berhasil melakukan penyusupan, perlucutan senjata, dan serangan yang hebat terhadap posisi lawan, hanya pembakaran pom bensin yang menemui kegagalan. Namun secara keseluruhan serangan umum tersebut berhasil dan merupakan prestasi bagi TNI. Belanda terkejut dan melakukan serangan balasan, namun hal itu sudah diperkirakan sebelumnya oleh TNI, sehingga Belanda gagal menemukan TNI karena sudah menyingkir ke gunung Muria, dan sebagian berhasil menyusup berbaur dengan penduduk dan menyamar sebagai petani. Belanda kemudian menambah pos-pos penjagaan yang dilengkapi opsir-opsir bersenjata, penjaga perkebunan tebu bersenjata, mata-mata yang direkrut dari orang Indonesia, dan penjara. Dari tempat tersebut Belanda melakukan aksi penggeledahan, patroli, serangan dan menyebar mata-mata. Markas TNI berpindah-pindah tempat kedudukannya untuk menghindari penggeledahan oleh Belanda. Ketika berada di desa Ternadi, pasukan Republik ini semakin terorganisir, hubungan dengan sesama pejuang di kompleks Gunung Muria semakin erat. Akhirnya TNI terbiasa dengan medan gerilya di Gunung Muria karena mereka telah lama tinggal dan bergerilya di tempat tersebut bersama rakyat. Kesetiaan rakyat terhadap pemerintah RI menumbuhkan rasa senasib dan sepenanggungan untuk bersama-sama berjuang mempertahankan kemerdekaan. Bantuan rakyat adalah sesuatu yang penting bagi perjuangan suatu bangsa, tanpa bantuan rakyat perjuangan sulit untuk mencapai keberhasilan. Setiap mengetahui
bahwa Belanda akan menggempur markas TNI, maka markas tersebut segera dipindahkan, sehingga Belanda selalu gagal menemukan markas TNI. Untuk melampiaskan kemarahannya, Belanda kemudian membakar rumah yang dicurigai dan memenjarakan pemiliknya. Setelah gugurnya Lettu Wiyotomulyo saat mempertahankan Bangsri dari serbuan Belanda, banyak pejuang dari Jepara yang bergabung dengan pasukan Batalyon Kusmanto. Hal ini justru makin memperkuat kedudukan TNI di Kudus, sehingga strategi perang diubah dari pasif defensif menjadi aktif agresif, tidak hanya menunggu serangan atau melakukan pencegatan patroli musuh, tetapi juga menggempur musuh beserta sarana militernya. Sebagai contoh, ketika markasnya berada di desa Japan Lor, TNI melakukan serangan besar-besaran ke pos penjagaan Dawe, dan berhasil menewaskan
2 orang Onder Nemenwacht atau penjaga
perkebunan tebu dan 6 orang Leger Oscht Indische Compagnie atau prajurit penjaga pos. Belanda melakukan serangan balasan dengan menggempur pesanggrahan Colo dan rumah-tumah yang disangka markas TNI yang berakibat melukai beberapa penduduk. TNI berhasil melakukan strategi perang gerilya, Belanda tidak dapat mengetahui markas pejuang, mata-matanya selalu tertangkap berkat kesigapan TNI dan rakyat. Belanda sering kehilangan tentaranya akibat serangan mendadak maupun pencegatan-pencegatan yang dilakukan oleh para pejuang. Hal ini membuat Belanda marah dan mengeluarkan ultimatum agar para gerilyawan mau menyerah. 6. Pasukan Macan Putih
Pada bulan Pebruari 1949, Mayor Kusmanto membentuk pasukan tempur khusus atau Mobil Troep yang bernama Pasukan Macan Putih. Pasukan ini berkekuatan satu seksi atau 40 orang terdiri dari 4 regu, masing-masing regu dipimpin oleh seorang komandan regu. Komandan Regu I adalah Sersan Sumaryo Komandan Regu II Sersan Sutoyo, Komandan Regu III Sersan Sugimin, Komandan Regu IV Sersan Wasimin. Mayor Kusmanto sebagai Panglima Tertinggi pasukan itu dan Kapten Kahartan sebagai Bupati Militer Kudus merangkap Komandan Seksi. Anggota Pasukan Macan Putih ini adalah pejuang TNI pilihan, sudah berpengalaman di berbagai medan pertempuran, seperti di Gunung Kapur yang tandus daerah Pati Selatan maupun hutan belantara di Purwodadi, Blora dan Gunung Lawu Karanganyar. Sebagai Mobil Troep atau pasukan tempur, kesatuan Pasukan Macan Putih mempunyai tugas yang berat. Mereka harus menghadapi pasukan Belanda yang berjumlah banyak dan bersenjata lengkap. Hanya dengan semangat juang yang tinggi serta jiwa pengorbanan yang tebal telah menumbuhkan patriot-patriot bangsa yang siap mati untuk membela negara. Sejak pembentukannya, Pasukan Macan Putih selalu berhasil dalam setiap gerakan dan aksinya seperti: a. Serangan umum terhadap pos-pos Belanda Serangan ini paling sering dan hampir setiap saat dilakukan dengan tujuan: (1) untuk mendapat senjata; (2) untuk membebaskan kawan seperjuangan yang dipenjara; (3) menculik beberapa orang Belanda atau orang kepercayaannya untuk dijadikan sandera.
Aksi penyergapan dan perlucutan senjata merupakan cara yang yang lebih mudah dan resikonya lebih ringan dibandingkan pencegatan atau penyerbuan. Para pejuang melakukan aksinya pada malam hari, pada saat musuh lengah. Serangan kilat yang tiba-tiba akan membuat mereka panik dan tidak dapat berbuat banyak. Pasukan Macan Putih menggunakan kesempatan yang baik ini untuk mendapatkan senjata, dan membebaskan rakyat atau kawan seperjuangan yang berada dalam penjara. Pos-pos penjagaan Belanda yang sering menjadi sasaran adalah pos penjagaan Dawe, Jember, dan Tanjungrejo. Di antara ketiga pos tersebut yang paling sering diserang adalah pos penjagaan Dawe karena selain letaknya paling dekat dengan markas, juga karena di pos ini paling banyak rakyat dan TNI yang dipenjara.
b. Mengadakan penculikan terhadap mata-mata Belanda Dalam usaha menanamkan kembali kekuasaannya di Indonesia, Belanda memiliki pasukan yang tangguh bersenjata lengkap, dan menyebarkan mata-mata di seluruh wilayah pendudukan. Mata-mata tersebut bertugas untuk mendapatkan keterangan mengenai kekuatan, kedudukan dan aktivitas TNI. Mata-mata Belanda ini hampir seluruhnya adalah orang Indonesia yang mau menjadi anteknya. Para pengkhianat bangsa ini lebih berbahaya daripada orang Belanda asli. Untuk lebih mengoptimalkan kerjanya, Belanda mempersatukan mereka dalam sebuah organisasi yang bernama Inlichting Veilling Gebied. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, Pasukan Macan Putih melakukan pembersihan. Beberapa orang TNI yang tindakannya mencurigakan
akhirnya ketahuan, seperti Sutedjo seorang anggota Komando Onder Distrik Militer (KODM) Kecamatan Jekulo, yang kemudian melarikan diri dan bergabung dengan pasukan Belanda Koninklij Indie Leger (KNIL). Pasukan Macan Putih juga melakukan upaya agar rakyat bebas dari pengaruh Belanda, dengan cara memberikan ceramah dan pengarahan-pengarahan tentang bahaya mata-mata Belanda, selain itu juga menyebar anggota TNI yang bertugas sebagai mata-mata untuk mengawasi orang-orang yang dicurigai berpihak kepada Belanda. Usaha ini sangat berhasil, hampir setiap hari datang informasi dari rakyat mengenai orang-orang yang bekerja sama dengan musuh, dan TNI segera melakukan tindakan. Akhirnya TNI berhasil menciptakan suasana aman, sehingga rakyat semakin percaya akan kemampuan dan kekuatan para pejuang.
c. Pencegatan terhadap pasukan Belanda Pasukan Macan Putih yang hanya beranggota 40 orang dikenal tangguh, berkat ketangkasan dan pengalamannya di berbagai medan pertempuran sehingga selalu berhasil dalam setiap pencegatan atau penghadangan patroli Belanda. Pasukan tempur Kudus tersebut dapat memporak-porandakan konvoi pasukan Belanda antara lain di hutan Trowelo, Dukuh Waringin, Gunung Bedah, desa Klaling, dan Tanjungrejo. Keberhasilan pencegatan di Dukuh Waringin merupakan prestasi tersendiri bagi Pasukan Macan Putih. Pada waktu itu pasukan Belanda yang berkekuatan satu seksi sedang bergerak dari Dawe menuju Glagah. Baru sampai di desa Japan Lor, mata-mata TNI
telah melihatnya dan segera memberi tahu Mayor Kusmanto.
Setelah mendapat laporan Mayor Kusmanto langsung memberikan komando kepada seluruh pasukan agar bergerak melingkar menuju sebuah bukit yang strategis di pinggir timur sungai Dukuh Waringin. Begitu konvoi Belanda memasuki jalan yang terletak di pinggir
barat
sungai tersebut, Pasukan Macan Putih segera
menggempurnya. Pasukan Belanda yang tidak mengetahui serta tidak menyangka akan datangnya serangan, membalas dengan sekenanya. Dalam pertempuran tersebut Belanda kehilangan 16 orang serdadu, dan 8 orang luka-luka, sedangkan yang masih hidup melarikan diri. Di pihak Pasukan Macan Putih tidak ada satu pun yang terluka. Sampai dengan saat pembubarannya tanggal 27 Desember 1949, Pasukan Macan Putih tetap utuh beranggota 40 orang dengan personil yang sama seperti pada saat pembentukannya.
7. Komando Staf Kota Pada saat Belanda menduduki kota Kudus, seluruh TNI dan orang-orang yang setia kepada Pemerintah Republik Indonesia bergerak ke Gunung Muria untuk membentuk kantong pertahanan dan Pemerintah Militer Kudus, serta berjuang secara fisik dalam arti mengangkat senjata melawan Belanda. Sementara di dalam kota beberapa orang yang setia kepada Pemerintah RI dan tidak ikut bergerilya, segera menyusun kekuatan untuk membentuk barisan perjuangan. Mula-mula mereka terdiri dari para mantan pejabat sipil pemerintah, kemudian banyak rakyat biasa yang bergabung, akhirnya semua lapisan masyarakat dari berbagai keturunan ikut berjuang melawan pendudukan Belanda di dalam kota.
Selanjutnya Norhadi menemui Mayor Kusmanto untuk melaporkan keberadaan para pejuang di kota beserta organisasi yang akan disusun. Sebagai tanggapan, Bupati Militer Kudus lalu menamakan organisasi perjuangan tersebut Komando Staf Kota yang secara resmi berdiri pada bulan Pebruari 1949. Sebagai pemimpinnya semula ditunjuk Lettu Eling Harjono, namun karena kesibukannya sebagai kurir luar kota, akhirnya Norhadi ditunjuk untuk menggantikannya. Sebagai langkah awal dan konsolidasi organisasi, adalah melakukan pembenahan dan menyusun struktur organisasi sebagai berikut: Pemimpin Komando Staf Kota : Norhadi Seksi Hubungan Masyarakat
: Sunarto, Djamil, Soediro, Wiryorejo, Kusnadi.
Seksi Mata-Mata
: Dahlan, Koesnin
Seksi Suplai Pangan
: Zaelani Syakur, Saleh Sakur, Ang Sing Djiang, Hadi Mulyono.
Seksi Kesehatan
: dr. Ramelan, dr. Soeroto, Soepaat, Soepardjo
Seksi Kurir
: Nasripah, Soeradi, Mariah, Badiah, Saleh Dja’far, H. Mohamad, Karnen.
Selain pejuang-pejuang yang tersebut di atas masih banyak lagi pejuangpejuang lain dari berbagai macam profesi, misalnya Marsono seorang guru Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Sri Hadi, Wirasmi dan Rahmah guru Sekolah Rakyat (SR), Soeparno dan Abdul Rakhim pegawai DPU Kudus. Ada suatu kebanggaan bersama dalam perjuangan ini karena aktifnya beberapa orang keturunan Cina yang masuk dalam seksi suplai pangan.
Perjuangan Komando Staf Kota berbeda dengan Pasukan Macan Putih. Komando staf kota mengutamakan menghimpun informasi tentang keadaan musuh, melayani kebutuhan pasukan TNI dan merawat para pejuang yang terluka Dalam aksinya, sehari-hari bekerja seperti biasa sesuai dengan profesi masingmasing untuk menghindari kecurigaan pihak Belanda. Namun perjuangan tidak bisa lepas dari pengorbanan. Kegiatan mereka diketahui oleh mata-mata Belanda sehingga Norhadi, Suryadi, Zaeni Syakur, Sasmito, Karyono dan Koesnin ditangkap oleh KNIL dengan tuduhan menjadi mata-mata TNI. Meskipun diinterogasi dan disiksa, jiwa heroisme dan semangat patriotisme mereka tidak padam, dan tetap tidak mau memberikan informasi apa pun, sampai akhirnya dimasukkan dalam penjara. Sampai pada saat pembubarannya tanggal 27 Desember 1949, Komando Staf Kota tetap berdiri kokoh, meskipun harus kehilangan beberapa anggotanya. Mereka yang gugur antara lain Marboko, Partono dan Darmo. Organisasi perjuangan sipil ini telah memberikan andil besar dalam rangka mengenyahkan penjajah dari bumi Nusantara.
8. Komando Daerah Muria Pendudukan Belanda atas Karesidenan Pati memunculkan strategi baru bagi Komandan Sub Teritorial Militer atau STM Pati, Letkol dr. Gunawan untuk melaksanakan Perintah Siasat No.1 Panglima Besar Jendral Sudirman yaitu tentang pembentukan kantong gerilya di pegunungan atau tempat pengasingan Letkol dr.
Gunawan berada di tempat pengungsian di Desa Bageng, yang terletak di lereng timur gunung Muria, termasuk ke dalam wilayah kecamatan Gembong kabupaten Pati. Letaknya sangat strategis, tidak jauh dari jalan utama menuju pusat kota, tetapi tersembunyi di balik hutan Gembong dan Trowelo sehingga Belanda sulit untuk melacaknya. Penduduk desa ini adalah penyokong dan pejuang sejati yang selalu membantu TNI. Lerkol dr. Gunawan kemudian membentuk organisasi perjuangan yang bernama Komando Daerah Muria atau Komando Muria Kompleks. Komando perjuangan ini merupakan wadah organisasi TNI dan laskar-laskar perjuangan rakyat yang berada di Jepara, Kudus, dan Pati bagian Utara. Organisasi ini merupakan pecahan dari Sub Teritorial Militer atau STM Karesidenan Pati. Organisasi inilah yang telah memberikan andil besar dalam rangka perjuangan menentang pendudukan Belanda di daerah Kudus pada masa Agresi Militer II Belanda. Adapun susunan organisasi Komando Daerah Muria ketika dibentuk adalah sebagai berikut Letkol dr Gunawan sebagai Komandan, Kapten Ali Machmudi sebagai Kepala Staf merangkap Bupati Militer Pati, Mayor Kusmanto sebagai Bupati Militer Kudus dan Kapten Iskak sebagai Bupati Militer Jepara. Pada tanggal 26 Desember 1948 Komando Daerah Muria mengadakan rapat pertama kali yang dihadiri oleh perwakilan dari 3 golongan yaitu, Mochtar HS (golongan sipil), Kapten Ali Machmudi (golongan militer), dan Kyai Isran (golongan rakyat). Rapat tersebut menghasilkan keputusan: a. Semua gerilyawan baik TNI, Sipil maupun rakyat tidak boleh berkumpul dalam satu desa, tetapi harus berpencar di beberapa desa.
b. Suplai pangan bagi para pejuang dibebankan kepada masyarakat semampunya. c. Berhubung belum mendapat bantuan persenjataan dari pemerintah, maka dalam perjuangan menggunakan senjata seadanya yang telah dimiliki. Kedudukan TNI di desa Bageng akhirnya diketahui oleh Belanda yang kemudian mengadakan operasi terus menerus. Setiap ada patroli atau operasi, para pejuang telah keluar dari perkampungan menuju ke tempat-tempat yang strategis untuk melakukan pencegatan apabila pasukan Belanda yang berpatroli kembali, selanjutnya TNI dengan mudah dapat menggempurnya. Namun ketika pada bulan Mei 1949 Belanda melakukan operasi besar-besaran, Letkol dr. Gunawan tertangkap di desa Bremi. Selanjutnya Letkol dr Gunawan menerima bujukan Belanda agar mau bekerja sama, dan menyerukan kepada seluruh gerilyawan agar mengikuti jejaknya. Tetapi para pejuang tetap tegar, tidak menanggapi seruan itu, bahkan memperkuat pasukan dengan menambah personil dari pemuda-pemuda pedesaan. Kepemimpinan Komando Daerah Muria kemudian diambil alih oleh Kapten Ali Machmudi. Pada masa kepemimpinannya koordinasi antargerilyawan di Gunung Muria semakin baik. Untuk memperlancar komunikasi menggunakan jasa kurir. Dalam melaksanakan tugasnya, para kurir menyamar sebagai pedagang, petani atau profesi lain sesuai dengan situasi dan kondisi saat itu. Pasukan Belanda terus melakukan operasi, TNI selalu dapat menghindar dari penyergapan, namun pada tanggal 23 Juni 1949 seorang pejuang besar yaitu Haji Zaeni tertangkap oleh Belanda. Beliau gugur sebagai kusuma bangsa setelah ditembak oleh pasukan Belanda karena tidak mau menunjukkan tempat kedudukan TNI. Kegagalan demi kegagalan dalam setiap operasi membuat pasukan Belanda
marah, lalu melampiaskannya dengan menembaki penduduk, merusak dan membakar rumah penduduk, serta mengeluarkan ultimatum. Komando Daerah Muria berhasil menggunakan strategi perang gerilya semesta, sehingga meskipun TNI selalu mendapat tekanan dan sulit melakukan komunikasi antar gerilyawan, namun perlawanan tidak pernah berhenti. Melihat kenyataan seperti itu, Komandan STM Pati Selatan mengirimkan bantuan pasukan berkekuatan satu seksi yang dipimpin oleh Iskandar Jayusman. Seluruh pasukan itu berasal dari kesatuan Brigade Ronggolawe. Kedatangan pasukan tersebut disambut gembira oleh Kapten Ali Machmudi, para gerilyawan dan seluruh masyarakat Gembong. Mereka kemudian mengadakan koordinasi untuk menentukan strategi. Pada hari Rabu tanggal 20 Juli 1949 pukul 05.00, Asisten Wedana Gembong, Mochtar HS mendapat laporan bahwa pasukan Belanda bergerak menuju Gembong. Kemudian Mochtar HS melapor kepada Kapten Ali Machmudi dan menyarankan kepadanya agar hari itu menyingkir ke hutan Muria, tidak usah ikut menghadang musuh, tetapi saran itu tidak diterima. Sementara itu Letda Iskandar Jayusman beserta pasukannya segera menuju ke hutan Trowelo untuk melakukan pencegatan. Di hutan Trowelo mereka bertemu dengan Pasukan Macan Putih dipimpin oleh Mayor Kusmanto yang bertujuan sama. Mereka kemudian berkoordinasi dan membagi tugas. Pada saat iring-iringan pasukan Belanda memasuki jaringan pertempuran dan telah terkepung, TNI dengan gencar menggempurnya. Pertempuran ini berlangsung seru, posisi TNI sangat menguntungkan karena berada di atas bukit yang berhutan lebat, sehingga pasukan Belanda sulit melakukan serangan balasan.
Dua truk Belanda hancur, 30 serdadu Belanda tewas dan 19 lainnya terluka, sedangkan sebuah jip dan scout car dapat meloloskan diri. Pasukan yang lolos ini setelah sampai di dukuh Bregat dihadang oleh pasukan Co. I yang dipimpin oleh Kapten Ali Machmudi yang kemudian dibantu oleh pasukan Letda Iskandar Jayusman. Jip berhasil ditembak dan menewaskan serta melukai beberapa orang yang berada di dalamnya, sedangkan scout car masih dalam posisi siap tembak. Ketika tembak menembak berhenti, Kapten Ali Machmudi bermaksud berjibaku dengan menarik bambu disertai pelemparan granat untuk mengusir scout car. Ternyata granat tidak meledak dan pada saat yang bersamaan pasukan Belanda memuntahkan serentetan tembakan yang tepat mengenai tubuhnya. Beberapa saat kemudian Kapten Ali Machmudi menghembuskan nafas terakhir, gugur sebagai kusuma bangsa. Perjuangan memerlukan pengorbanan, gugurnya para pahlawan tidak melunturkan keberanian dalam menjalankan tugas. Demikian pula halnya dengan gugurnya Kapten Ali Machmudi, makin mengobarkan semangat heroisme dan patriotisme para pejuang untuk tetap melanjutkan perjuangan merebut kembali kemerdekaan yang pernah teraih. Serangan yang dilakukan oleh Belanda pada tanggal 20 Juli 1949 tersebut merupakan serangan besar-besaran yang disebabkan oleh: (a) kegagalan pasukan Belanda menemukan TNI dalam setiap operasi yang dilakukan; (b) ketegaran hati TNI dan rakyat yang tidak mau menyerah sesuai ultimatum mereka; (c) Belanda mengetahui datangnya bala bantuan dari STM Pati Selatan; (d) Belanda ingin
melakukan pengejaran terhadap Pasukan Macan Putih yang telah melakukan penyerangan terhadap pasukan Belanda dan segala fasilitasnya di pusat kota. Pada tanggal 23 Juli 1949, Mayor Kusmanto secara resmi menjadi Komandan Komando Daerah Muria menggantikan Kapten Ali Mahmudi. Kemudian Mayor Kusmanto memindahkan markas besar Komando Daerah Muria ke desa Glagah untuk memudahkan komunikasi, administrasi, koordinasi serta pengorganisasian dalam segala gerakan atau tindakan. Selanjutnya markas di desa Glagah dijadikan sebagai markas besar perjuangan di Gunung Muria. Dipilihnya desa Glagah sebagai markas besar adalah karena daerahnya sangat subur, sehingga bahan pangan cukup melimpah, berada di sebuah bukit yang terlindung oleh dua sungai, hutannya masih tebal, selain itu penduduknya setia kepada pemerintah Republik Indonesia. Pada saat bermarkas di desa Glagah, Mayor Kusmanto melakukan koordinasi dan konsolidasi pasukan serta menerapkan konsep perjuangan aktif agresif. Bupati Militer Jepara Letda Paulus diperintahkan untuk terus menerus melakukan penekanan yang berupa pencegatan patroli, penyerangan terhadap pos-pos penjagaan dan instalasi militer serta sarana-sarana milik Belanda. Selain itu juga menghidupkan kembali kantong gerilya di desa Sirahan yang berada di lereng utara Gunung Muria. Komandan Daerah Operasi Pati Utara, Letda Iskandar Jayusman diberi tugas untuk memperkuat pertahanan TNI di Kecamatan Tlogowungu, terutama di perkebunan kopi Jolong, Dalam melaksanakan tugas tersebut Letda Iskandar Jayusman bekerja sama dengan Pasukan Macan Putih Kudus. Hasilnya, pasukan Belanda tidak berani lagi mengganggu perkebunan kopi di Jolong.
Kapten Kahartan selaku Bupati Milter Kudus mendapat tugas untuk menyempurnakan Pasukan Macan Putih dan Komando Staf Kota baik dalam aktivitas, senjata maupun strategi perang. Aktivitas berarti mempersering melakukan serangan, senjata berarti menambah persenjataan dengan cara sering melakukan penyergapan dan perlucutan senjata di pos-pos penjagaan. Senjata hasil rampasan tersebut dipergunakan untuk memperkuat TNI dalam menjalankan perang gerilya. Sedangkan strategi perang berarti TNI menggunakan strategi perang gerilya dengan taktik serang menghilang, yaitu serangan cepat, mendadak, dalam waktu singkat, setelah berhasil segera bergerak ke tempat aman. Dengan strategi ini TNI semakin kuat, baik dari segi persenjataan maupun moril pasukan. Di pihak Belanda turun mentalnya dan merasa terancam. Dengan strategi perang tersebut, ternyata TNI berhasil memenangkan pertempuran di seluruh wilayah Gunung Muria. Strategi perang gerilya semesta yang telah dicanangkan oleh Panglima Tentara dan Teritorium Jawa Kolonel A.H. Nasution terbukti berhasil. Strategi perjuangan tersebut melibatkan seluruh warga negara dari semua lapisan. Baik rakyat maupun aparat pemerintahan saling bahu membahu dalam perjuangan. Mereka sadar bahwa tanpa persatuan dan perjuangan, maka kemerdekaan tidak mungkin dapat dipertahankan. Para gerilyawan TNI kebanyakan bukan asli daerah, namun perasaan senasib, seperjuangan, sebangsa dan setanah air telah menumbuhkan persatuan dan semangat nasionalisme di antara mereka. Masa perjuangan Komando Daerah Muria benar-benar penuh pengorbanan Hambatan, rintangan dan tantangan baik fisik maupun nonfisik setiap saat menghadang. Segala daya upaya, jiwa dan raga dipertaruhkan demi organisasi dan
tetap tegaknya negara Republik Indonesia. Organisasi perjuangan Komando Daerah Muria telah berhasil mengemban tugas sucinya yaitu menyatukan gerak langkah seluruh gerilyawan TNI dan rakyat di kawasan Gunung Muria dalam melawan pendudukan Belanda. Koordinasi yang baik, dilandasi rasa persatuan dan sikap nasionalisme yang tinggi, serta jiwa patriotisme dan semangat kepahlawanan telah mendukung dalam setiap perjuangan merebut kembali kemerdekaan.
9. Pembubaran Komando Daerah Muria Belanda telah salah perhitungan, agresi militernya yang kedua tidak dapat melumpuhkan TNI maupun menghapus Republik Indonesia dari peta dunia, tetapi justru menambah semangat juang bangsa Indonesia. TNI telah mempersiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi, termasuk Agresi Militer II berdasar pengalaman pada agresi yang pertama termasuk langkah antisipasinya. Berlakunya pemerintahan militer untuk seluruh Jawa, keberhasilan sistem perang gerilya semesta, sikap nonkooperatif rakyat kepada Belanda,telah
menjadi
bukti kegagalan pemerintahannya di Indonesia. Melihat kenyataan demikian, pada tanggal 6 Agustus 1949, Residen Militer Belanda di Pati mengirimkan surat kepada Mayor Kusmanto selaku pemimpin TNI di Gunung Muria yang berisi ajakan mengadakan perundingan perdamaian. Namun Mayor Kusmanto tetap waspada, dia menyusun strategi berdasar kenyataan bahwa tidak satu pun orang Belanda atau anteknya yang mengetahui pasti tentang dirinya karena belum ada yang pernah melihat wajahnya
Mayor Kusmanto menunjuk Dwi Totok, salah seorang anggota pasukannya untuk menjadi ketua delegasi, dengan pertimbangan apabila Belanda mengkhianati perundingan, maka yang ditangkap ketua delegasi yang disangka Mayor Kusmanto. Perundingan dilaksanakan tanggal 8 Agustus 1949 dengan hasil: (a) Belanda harus mengakui daerah Republik di Muria Kompleks dengan garis status sebelah timur desa Serut, sampai ke barat daerah Kudus utara, dan Jepara bagian Tenggara; (b) Apabila Belanda memasuki daerah Republik harus ijin kepada TNI; (c) kedua belah pihak tidak akan mengadakan tembak menembak; (d) semua rakyat yang ditawan Belanda harus dibebaskan. Kedua belah pihak menyetujui hasil perundingan itu, tetapi ternyata Belanda sering melakukan pelanggaran seperti tetap mamasuki wilayah Republik tanpa ijin, menggeledah rumah, menangkap dan memenjarakan penduduk. Mayor Kusmanto memerintahkan menangkap serdadu Belanda yang berpatroli di wilayah Republik. Sehingga perundingan kedua diadakan dengan hasil: (a) kedua belah pihak harus membebaskan tawanannya; (b) Peraturan tukar menukar tawanan 1 : 10, dalam arti 1 orang Belanda harus diganti dengan 10 rakyat. Setelah itu keadaan relatif tenang, TNI dan rakyat dapat menikmati suasana damai sambil terus memantau perkembangan nasional dengan mendengarkan beritaberita radio. Pada tanggal 3 Nopember 1949 radio menyiarkan tentang hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag, salah satunya adalah Belanda akan mengakui kedaulatan Republik Indonesia selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 1949.
Setelah mengetahui hal itu Mayor Kusmanto memanggil seluruh pejabat tinggi di lingkungan Komando Daerah Muria untuk membahas rencana kegiatan TNI berkaitan dengan pengakuan kedaulatan. Rapat menghasilkan kesepakatan: a. Upacara pengakuan kedaulatan dari pihak Republik diwakili oleh Bupati Militer dari masing-masing kota. b. Pada waktu upacara tersebut, Mayor Kusmanto akan membubarkan secara resmi Komando Daerah Muria. c. Selama masa damai bulan Nopember dan Desember TNI tidak boleh lengah, tetap waspada untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Pada tanggal 26 Desember 1949, Mayor Kusmanto mendapat surat dari Komandan Militer Kudus Overste Van Ohl, yang berisi bahwa pengakuan kedaulatan RI secara resmi pada tanggal 27 Desember 1947, untuk kota Kudus upacara dilaksanakan di Markas Besar tentara Belanda di sebelah timur alun-alun. Keesokan harinya Mayor Kusmanto diiringi seluruh TNI bergerak dengan mengambil rute Gembong, hutan Trowelo, Kaliampo, Margoyoso, Bareng, Jekulo, Rendeng, menuju ke Markas Tentara Belanda tempat upacara diadakan. Setelah menerima ucapan pengakuan atas keberadaan Republik Indonesia, Mayor Kusmanto menyampaikan amanat, antara lain pembubaran secara resmi Komando Daerah Muria, termasuk di dalamnya adalah Pasukan Macan Putih, dan Komando Staf Kota. Setelah upacara selesai seluruh pejuang TNI bergerak menuju pendopo kabupaten untuk bertemu dengan teman-teman seperjuangan dan mantan pejabat sipil. Keesokan harinya di tempat yang sama, Bupati Militer Kudus Kapten Kahartan mengembalikan kekuasaan kepada Bupati Sipil R. Ahmad Djojosoedarmo.
Keterangan: Contoh materi (bahan ajar) ini disusun/dikembangkan dari beberapa sumber yaitu: 1. Hasil wawancara dengan seorang pelaku sejarah yaitu Bapak H. Abdul Majid (Kusnadi). 2. Aida Mustofa. 1995. Perjuangan Komando Daerah Muria Melawan Agresi Militer Belanda II Di Daerah Kudus. Skripsi. Semarang: IKIP Semarang. 3. Iskandar Jayusman. 1984. Catatan-catatan yang Berserakan (Peristiwa-peristiwa Nyata Selama Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia Periode 1945-1950). Semarang: Aneka Ilmu. 4. Karsan Ali Muhson. 2003. “Sejarah Singkat Perjuangan Gerilya di Daerah Muria”. Kudus: Tidak Diterbitkan.