PERJALANAN BERLIKU MENJADI CINA BENTENG Muhammad Reza Zaini
[email protected] Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia ABSTRAK Selama ini banyak orang beranggapan bahwa Cina Benteng adalah seluruh Cina Peranakan yang menetap di daerah pinggiran Tangerang. Namun beberapa anggotanya di Desa Situgadung awalnya justru menolak hal itu, seperti yang diungkapkan salah satu anggotanya –pria kelahiran 1963- justru mengaku sebagai Orang Keturunan, suatu istilah yang mendekatkan ia dan komunitasnya pada kelompok etnik pribumi. Melalui proses yang panjang, sebagai akibat dari perubahan sejarah, infrastruktur, demografis, dan ekonomi, mereka akhirnya mengaku, bahkan bangga sebagai Cina Benteng sejak akhir tahun 1980’an, satu istilah yang mendekatkannya dengan etnik Cina. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini memberikan pemahaman baru tentang konsep identitas etnis di satu pihak, dan di pihak lain perbedaan antara identitas dan etnisitas. Identitas adalah sebuah proses mengidentifikasi kolektivitas yang menjadi acuannya, sedangkan etnisitas merupakan salah satu dari banyak kolektivitas. Jadi, identitas etnis merupakan istilah yang tidak tepat karena mengesankan bahwa kolektivitas yang ada hanya etnis, menisbikan gender, agama, bangsa dan sebagainya. Identitas adalah suatu proses subjektif, individu berperan penting untuk menentukan kolektivitas mana yang merupakan alter ego-nya. Sedangkan etnisitas adalah proses objektif, kelompoklah yang menetapkan keanggotaan seorang individu. Namun bukan berarti definisi objektif lebih dominan ketimbang definisi subjektif. Informan lebih memilih untuk melakukan hal ini karena dinilai rasional, lebih menguntungkan.
Kata kunci: Cina, Cina Benteng, Identitas, Etnisitas.
ABSTRACT It is generally assumed that Cina Benteng is the whole community of Peranakan Chinese living in the countryside of Tangerang. However, some of its communities rejected that notion, as one of its members –man born in 1963- shown, identified themselves as Orang Keturunan, a term which bought him and his community closer to the indigenous identity. Through a long process, as a result of historic, infrastructure, demographic, and economic change, they eventually identified themselves and even proud of being Cina Benteng, a term which bought them closer to the Chinese identity, since the 1980s. Using qualitative method, this research gives a new understanding on ethnic identity, and the differentiation between the concepts of identity and ethnicity. Identity is defined as a process to identify a certain collectivity in which an individual feels he/she belonged to, while ethnicity is one of the manifestations of collectivities. Therefore, the concept of ethnic identity is considered to be inappropriate, considering its ignorance of other collectivities beside ethnicity, such as gender, religion, nationality, and many others. Thus, identity is a subjective process, where each individual plays a significant role in determining his/her collectivity as his/her alter-ego. While ethnicity is an objective process, in which the society determine an individual’s collectivity. But this does not imply whether objective definition or subjective definition dominates one or another. In this case, the informants tend to choose a certain collectivity based on rationality that one definition is more profitable than another.
Keywords: Chinese People, Cina Benteng, Identity, Ethnicity.
Pendahuluan Etnis Cina di Indonesia merupakan salah satu kelompok etnis dengan keberagaman yang relatif tinggi. Diantara kebhinekaannya, terdapat sebuah penggolongan yang paling umum bagi kelompok etnis Cina di Indonesia. Penggolongan yang dipaparkan oleh Suryadinata (1997:9) membagi etnis Cina di Indonesia menjadi dua kelompok, berdasarkan tingkat asimilasi dengan kebudayaan pribumi, yakni Peranakan dan Totok. Secara umum Cina Peranakan mengacu pada kelompok Cina yang telah banyak mengadopsi kebudayaan lokal dan sudah tidak terikat kuat dengan kebudayaan Cina. Sementara Cina Totok mengacu pada kelompok Cina yang masih memegang teguh banyak aspek kebudayaan Cina. Definisi kebudayaan yang dimaksud dalam hal ini mencakup berbagai macam aspek yang luas, seperti adat-istiadat, bahasa, serta berbagai pola interaksi sosial. Dalam kategori Cina Peranakan, terdapat sebuah komunitas yang dikenal sebagai Cina Benteng. Komunitas ini memiliki ciri khas yang membedakannya dengan kelompok Cina lain di Indonesia. Selain latar belakang pertanian dan domisili pedesaan, anggota komunitas Cina Benteng memiliki ciri-ciri fisik dan kebudayaan yang khas pula. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk berbahasa leluhur serta tidak tahu tentang makna ritual tradisional Cina. Lebih lanjut, penampilan fisik mereka yang biasa ditemui di lapangan adalah berkulit gelap dan bermata tidak sipit. Maka Cina Benteng sering dianggap sebagai bagian Cina Peranakan yang memiliki tingkat asimilasi tinggi dengan pribumi (Santosa, 2012:18-19), meski peneliti tidak menjadikan penilaian tersebut sebagai dasar pemikiran di saat penelitian lapangan. Di Desa Situgadung yang terletak di Kecamatan Pagedangan, terdapat sebuah komunitas Cina Benteng yang telah menetap secara turun-temurun di desa tersebut. Secara historis, anggota komunitas tersebut mengidentifikasi diri mereka sebagai Cina Benteng. Namun, mereka selanjutnya menyebut diri mereka sebagai Orang Keturunan, suatu istilah yang mendekatkan mereka dengan pribumi (penilaian ini adalah berdasarkan subjektivitas informan). Istilah ini kemudian menjadi umum digunakan diantara penduduk Cina di Desa Situgadung, sehingga menjadi identik dengan penduduk Cina di desa tersebut. Melalui proses panjang yang disebabkan oleh berbagai perubahan politik dan sosial, mereka memilih untuk mengidentifikasi diri, dan bahkan bangga sebagai Cina Benteng, suatu istilah yang mendekatkan mereka pada kebudayaan Cina Peranakan (penilaian ini adalah berdasarkan subjektivitas informan). Hal ini merupakan sebuah fenomena yang menarik, mengingat fenomena semacam ini jarang terjadi. Lebih jauh,
pada awalnya Orang Keturunan lebih mudah untuk menjadi pribumi, dan pada akhirnya setelah adanya berbagai perubahan sosial tersebut, mereka malah dapat mengidentifikasi diri sebagai Cina Benteng. Untuk mendalami permasalahan penelitian yang diajukan, maka pertanyaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Bagimanakah konsep identitas etnis dalam menjelaskan proses identifikasi atas keanggotaan kolektivitas etnis pada komunitas Orang Keturunan di Desa Situgadung, serta proses yang dilalui mereka untuk dapat mengidentifikasi diri mereka mulai dari Orang Keturunan hingga Cina Benteng? Dalam hal ini peneliti menggunakan dua tinjauan pustraka. Tinjauan pustaka pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah jurnal karya Kanchan Chandra dengan judul “What is Ethnic Identity and Does It Matter?” Meski Chandra menggunakan identitas etnis sebagai konsep sampingan dalam membahas mengenai demokrasi dan politik identitas etnis di Amerika Serikat, namun ia memberikan definisi identitas etnis sebagai sebuah konsep tunggal. Dalam jurnalnya, Chandra menekankan bahwa selama ini terdapat kecenderungan konvergensi antara konsep “Identitas” dan “Etnisitas”. Pada akhirnya, Chandra memberikan definisi identitas etnis yang menekankan bahwa syarat identitas etnis adalah kesamaan dan garis keturunan yang dimiliki secara objektif, seperti yang dijelaskannya sebagai berikut: “[Ethnic identity-Peneliti], a subset of identity categories in which eligibility for membership is determined by attributes associated with, or believed to be associated with, descent”. Dengan kata lain, Chandra menekankan bahwa identitas etnis merupakan konsep yang objektif, serta sebuah konsep tunggal, yang bersifat askriptif (dituruntemurunkan), dan didasarkan atas kesamaan yang dimiliki secara objektif. Studi ini hendak menunjukkan bahwa identitas etnis merupakan dua konsep yang berbeda, yang lebih rumit bila dibandingkan dengan penjelasan yang telah diberikan. Untuk tinjauan pustaka penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian yang dilakukan oleh Ting Su Hie dan Ling Teck Yee dengan judul “Ethnic Identity of Young Malaysian Adolescents in Sarawak”. Penelitian ini dipublikasikan oleh Malaysian Journal of Youth Studies dan disponsori oleh Institut Penyelidikan Pembangunan Belia Malaysia. Jurnal yang ditulis oleh Ting dan Ling membahas megenai identifikasi identitas etnis Cina perantauan. Namun Ting dan Ling meneliti hal tersebut dalam konteks masyarakat Malaysia, tepatnya di Negara Bagian Sarawak. Pada dasarnya penelitian ini berusaha mengetahui dampak penggunaan bahasa dan adat-istiadat Cina terhadap identifikasi etnis para responden sebagai etnis Cina di Malaysia.
Hasil penelitian menunjukkan hal yang menarik. Tingkat praktek kebudayaan yang tinggi diasumsikan akan membuat individu keturunan Cina untuk mengidentifikasi dirinya sebagai etnis Cina. Namun pada kenyataannya, studi Ting dan Ling menunjukkan identitas diri sebagai etnis Cina tidak dibarengi dengan penggunaan atribut kebudayaan Cina secara intensif. Dalam penelitiannya, Ting dan Ling juga mengutip Joshua A. Fishman 1977, mengenai perspektif fenomenologi. Dalam hal identitas etnis, perspektif ini mengungkapkan bahwa aspek apapun dapat menjadi simbol etnis, tidak hanya terbatas pada bahasa dan adat-istiadat. Studi yang dilakukan oleh Ting dan Ling, memberikan landasan analisis bagi fenomena Orang Keturunan yang awalnya lebih dekat dengan pribumi dapat mengidentifikasi menjadi Cina. Selama ini, identitas etnis Cina, ataupun identitas etnis lainnya dianggap sebagai sesuatu yang taken for granted, atau ascribed status dalam terminologi Sosiologi yang ada. Namun, penelitian ini menggambarkan sebuah fakta bahwa menjadi seorang etnis Cina, khususnya Cina Benteng, merupakan sebuah proses yang panjang. Sehubungan dengan itu, temuan penelitian ini berkisar pada penjelasan akan pentingya pembedaan antara konsep identitas dan etnisitas. Dasar analisis teori ini mneyatakan bahwa Cina Benteng dalam hal ini bukan merupakan sebatas identitas etnis saja. Untuk menjelaskannya, diperlukan adanya pembedaan anatara konsep identitas dan etnisitas. Maka itu, Cina Benteng merupakan sebuah istilah yang kontekstual. Dalam konteks tertentu, sebuah konsep seperti Cina Benteng, dapat dijadikan identitas, namun dalam konteks lainnya, Cina Benteng dapat dijadikan sebuah etnisitas. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif yang ditekankan pada konsep grounded. Babbie (1998:283) menjelaskan ini sebagai bentuk penelitian yang tidak dimulai dengan sebuah teori dan hipotesis, untuk mencari validasi teori yang digunakan. Oleh karena itu, penelitian ini diawali dengan usaha menemukan isu khas yang dialami oleh komunitas Cina Benteng di sekitar Serpong, serta mencari tahu lokasi spesifik untuk pengumpulan data. Setelah ini, barulah peneliti dapat melakukan proses pengumpulan data secara intens. Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah membangun relasi dengan tokoh desa. Dalam konteks desa penelitian, maka tokoh desa yang dimaksud adalah Informan IN. Dengan menyatakan diri sebagai seorang kawan Informan IN, warga desa menjadi terbuka dan mempercayai peneliti. Informan IN juga memiliki kerabat tokoh Cina lokal. Jadi, selain dapat
menyatakan diri sebagai seorang kawan Informan IN, peneliti juga dapat menyatakan diri sebagai seorang kenalan tokoh Cina lokal tersebut, yakni Informan SSB. Sehingga, dari Informan SSB, peneliti mendapatkan akses kepada dua informan kunci lainnya, yakni Informan TEH dan Informan A. Berikut adalah penjabaran proses mendapatkan informan dari hasil membangun relasi dengan Informan IN berdasarkan pemaparan yang telah diberikan sebelumnya. Gambar 1. Proses Mendapatkan Informan Kunci dari Perkenalan dengan Informan IN
Peneliti
Relasi Sosial
Informan IN (Tokoh yang Dihormati)
Kepercayaan Warga
Keterbukaan Berbagai Informan Lokal
Gambar 1. memberikan penjelasan bahwa relasi peneliti dengan Informan IN mempertemukan peneliti dengan berbagai informan lain. Sehubungan penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, maka informan dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria utama dalam pemilihan informan pada penelitian ini adalah antara lain, Pengetahuan akan sejarah lokal, Pengalaman informan akan peristiwa tertentu, dan Peranan dan status informan di tengah komunitasnya. Secara spesifik, penelitian ini menggunakan tujuh orang informan. Namun, dari ketujuh informan yang digunakan, empat diantaranya dianggap sebagai informan kunci, antara lain Informan A, Informan IN, Informan SSB, dan Informan TEH. Berdasarkan keempat informan kunci tersebut, tiga informan kunci akan membahas mengenai latar belakang sejarah Orang Keturunan, sementara satu informan kunci khusus menceritakan mengenai proses perubahan identitas dari Orang Keturunan menuju Cina Benteng. Berikut akan dipaparkan mengenai urutan teknik snowballing peneliti dari informan pertama hingga ke-empat. Gambar 2. Sistem Snowball Pencarian Informan Kunci dan Hubungan Antar-Informan
1. Informan IN
2. Informan SSB
(Tokoh Desa)
(Kerabat IN)
3. Informan TEH (Penduduk Cina, kenal SSB)
4. Informan A (Tetangga TEH)
Setelah membangun relasi dengan kedua tokoh masyarakat, barulah peneliti mulai menemukan topik dan lokasi penelitian yang spesifik. Setelah proses ini berakhir, peneliti melakukan pengecekan validitas data lapangan agar data yang peneliti peroleh benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Untuk memperkuat validitas data, peneliti mewawancarai tokoh serta akademisi terkait kebudayaan Cina dan Cina Benteng. Instansi yang peneliti kunjungi antara lain Ang Si Toon Hong Tong (Asosiasi Marga Cina), Jurusan Sastra Cina Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Museum Benteng Heritage, dan Perkumpulan Keagamaan dan Sosial Vihara Boen Tek Bio. Dalam mengumpulkan data, instrumen utama penelitian yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan transkrip wawancara tersebut secara verbatim. Selain wawancara mendalam, peneliti juga menggunakan sumber data lainnya, baik primer maupun sekunder. Data primer yang digunakan selain wawancara mendalam adalah jurnal lapangan, peta sosial, dan informasi publik. Sementara itu, data sekunder yang digunakan antara lain: Dokumentasi Peristiwa Gedoran, Genealogi Nama Marga Orang Keturunan Tahun 1875, Jurnal Lapangan, Konsep Khas Informan, Penjelasan Perbedaan Hakka, Hokkien, dan Teochiu, Peta Peristiwa Lengkong, Tabel Kronologi, Transliterasi Hanyu Pinyin yang Digunakan dalam Penelitian Beserta Maknanya. Kerangka Konsep Pembahasan penelitian ini berkisar pada dua konsep kunci, yakni Cina Benteng dan Identitas Etnis. Santosa (2012: 24), secara umum mendefinsikan Cina Benteng sebagai kelompok Cina Peranakan yang hidup di sekitar Tangerang dan daerah-daerah sekitarnya, terutama di sebagian DKI Jakarta bahkan Bogor. Santosa (2012:17) juga menyatakan bahwa ciri-ciri Cina Benteng lainnya adalah berkulit gelap, tinggal di pedesaan, dengan mayoritas bekerja pada sektor pertanian. Namun, anggota komunitas Cina Benteng masih mempraktekkan kebudayaan leluhur Cina, hanya saja mereka tidak mengtahui makna kebudayaan leluhur yang mereka praktekkan. Menurut Iwan Meulia Pirous dalam Santosa, hal ini dikarenakan tradisi Cina Benteng diturunkan melalui tindakan dari praktek sosial sehari-hari dan kawin campur. Sehubungan dengan asal namanya, anggota komunitas ini disebut demikian karena nenek moyang mereka yang bermukim di sekitar sebuah benteng Belanda di Tangerang. Benteng yang dimaksud dikenal sebagai Benteng Makassar, yang dibangun oleh Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) (Santosa,
2012:17-18). Uniknya, mereka selalu disebut sebagai “Cina Benteng” bukan “Tionghoa Benteng”, atau “China Benteng” dengan tambahan huruf H. Witanto (2005) menjelaskan identitas kultural Cina Benteng sebagai “teladan asimilasi”. Sebab, Cina Benteng dijelaskan sebagai kelompok Cina Peranakan yang memiliki tingkat akulturasi paling baik dengan pribumi. Salah satunya adalah dengan fenomena kawin campur dengan pribumi. Maka, dalam konteks tertentu, beberapa anggota komunitas Cina Benteng juga merupakan hasil kawin campur Cina dan pribumi (Witanto, 2005:3). Namun perkawinan campur secara besar-besaran laki-laki Cina dengan perempuan pribumi tidak terjadi, sebab saat itu sudah ada beberapa perempuan Cina dari Batavia. Nenek moyang komunitas Cina Benteng merupakan pendatang Cina yang memiliki latar belakang suku Hokkien di Provinsi Fujian (Witanto, 2005:11). Keturunan mereka dalam konteks tertentu telah mengalami akulturasi kebudayaan dengan pribumi, sehingga anggota komunitas Cina Benteng menggunakan banyak kebudayaan pribumi dalam adat-istiadat mereka. Di sisi lain, komunitas Cina Benteng tetap mempertahankan praktek kebudayaan dan adatistiadat Cina yang bersifat sakral. Diantaranya adalah Barongsai, Peh Chun (Perayaan 100 hari setelah tahun baru Cina), Sin Tjia (Perayaan tahun baru Cina), Festival Perahu Naga, Upacara Mai Siong (Upacara jenazah, dalam rangkaian posesinya terdapat upacara pemberangkatan jenazah yang disebut Sang Cong, upacara peringatan satu tahun atau Siau Siang, serta upacara peringatan tiga tahun atau Tai Siang). Sejarah munculnya komunitas Cina Benteng dan penamaannya diawali dengan peristiwa Pembantaian Batavia (Batavia Massacre). Meski tidak semuanya, namun kebanyakan kaum Cina Benteng adalah keturunan etnis Cina Batavia yang melarikan diri akibat pembantaian etnis Cina tersebut pada 1740, atau Batavia Massacre. Sejarah peristiwa Batavia Massacre dimulai pada awal abad ke-18. Saat itu laju kedatangan orang-orang Cina di Batavia berkembang dengan pesat sehingga hal ini membuat cemas penduduk Eropa di Batavia dan di pemerintah kolonial di Belanda (Setiono, 2003:107-109). Fenomena tersebut membuat Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier (1695-1751) pada tanggal 25 Juli 1740 memerintahkan semua penduduk Cina yang dicurigai oleh pemerintah harus ditangkap dan diperiksa. Perlakuan pemerintahan kolonial menimbulkan keresahan pada penduduk Cina, sehingga mereka berkumpul dan membentuk berbagai kelompok yang mempersenjatai diri untuk membela diri. Tanggal 7 Oktober 1740, sekelompok orang Cina melawan pasukan VOC yang berusaha menangkap mereka. Pemerintah kolonial melakukan pembalasan dengan mengerahakan seluruh kekuatan militer di Batavia,
sehingga pembantaian terhadap penduduk Cina di Batavia, atau yang dikenal sebagai Batavia Massacre dimulai. Penduduk Cina di Batavia, baik laki-laki maupun perempuan pada akhirnya kabur menyelamatkan diri ke Tangerang. Mereka menetap di wilayah yang berdekatan dengan sebuah benteng tua Belanda, yakni Benteng Makassar. Komunitas pelarian ini mengisolasi diri dan hidup dengan bercocok tanam di wilayah yang jarang dihuni tersebut. Oleh karena kedekatan mereka dengan benteng, keturunan mereka dikenal sebagai Cina Benteng. Meski demikian, terdapat anggapan lain bahwa sifat mereka yang mengisolasi diri atau mem”bentengi” diri dari dunia luar selama beberapa generasi menjadi asal penamaan Cina Benteng. Hingga kini, istilah Cina Benteng menjadi identik dengan penduduk Cina Peranakan yang menetap di daerah sekitar Tangerang. Meski terdapat pula komunitas Cina Benteng yang secara administratif menetap di daerah luar Tangerang, yakni di DKI Jakarta, terutama di daerah Dadap, Cengkareng, Rawa Lele, dan Rawa Bokor (Witanto, 2005:14). Bagian ini akan menjelaskan konsep identitas etnis. Definisi identitas etnis secara khusus dibahas dalam jurnal ilmiah karya Joseph E. Trimble dan Ryan Dickson (2010) dengan judul “Ethnic Identity”. Berdasarkan Trimble dan Dickson, pada dasarnya identitas terdiri atas dua yang memiliki akar bahasa, baik dari bahasa Latin dan Yunani. Berikut adalah penjabaran etimologis-nya. Identitas berasal dari kata identitas (Bahasa Latin), yang memiliki akar kata idem. Dalam Bahasa Latin, idem dapat diartikan sebagai “sama”. Sementara itu, etnis berasal dari kata ethnicus/ethnikas (Bahasa Yunani), yang berarti bangsa. Kata ethnicus/ethnikas memiliki akar kata ethos, yang memiliki arti “adat”. Oleh karena itu, etnis didefinisikan sebagai sekelompok bangsa yang hidup bersama karena adanya kesamaan adat yang dimiliki secara bersama-sama. Secara spesifik, identitas mengacu pada “bentuk kesamaan seorang individu atau sesuatu dalam segala macam situasi; yakni suatu kondisi dimana seseorang atau sesuatu bukan merupakan kelompok lain.” Dengan kata lain, identitas etnis adalah dua kata yang dijadikan sebagai satu konsep. Bila kedua istilah tersebut digabungkan, maka identitas etnis dapat diartikan sebagai suatu bentuk ciri-ciri bersama sebagai sebuah pembeda bagi kelompok lain. Dalam konteks penelitian ini, identitas etnis tercipta sebagai sarana untuk membedakan anggota komunitas dengan non-anggota. Barth (1969:11) juga mengatakan bahwa identitas etnis baru akan ada dalam masyarakat bila identitas tersebut diakui oleh anggota etnis yang bersangkutan, maupun anggota etnis lainnya. Fredrik Barth (1969:9) menjelaskan bahwa identitas etnis timbul oleh karena adanya batasan yang diciptakan.
Bila berbicara mengenai identitas etnis sebagai pembeda dan pemberi petunjuk akan keanggotaan, maka, identitas etnis dalam penelitian ini adalah sebuah kolektivitas sosial. Jurnal yang ditulis oleh Veronika Koller (2012), berjudul How to Analyze Collective Identity in Discourse – Textual and Contextual Parameters secara khusus memberikan gambaran akan kolektivitas sebagai bagian dalam penunjuk jati diri individu dalam masyarakat. Kolektivitas sosial sebagai bagian kehidupan bermasyarakat, adalah sebuah usaha untuk mengidentifikasi diri sebagai bagian dari sebuah kelompok sosial dalam masyarakat yang didasarkan atas kesamaan, serta memiliki norma yang sama. Oleh karena itu, Koller mengatakan dalam jurnalnya bahwa masyarakat dibentuk oleh kolektivitas sosial dalam berbagai tananan, mulai dari yang mikro hingga makro. Selain itu, kolektivitas sosial akan senantiasa dikonstruksikan, dinegosiasikan, dan dirubah lewat interaksi baik antar kelompok maupun sesama anggota kelompok. Hal ini merupakan implikasi kolektivitas sosial sebagai sebuah entitas dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks tertentu, Koller juga menyatakan bahwa kolektivitas sosial merupakan entitas yang dinamis dan fleksibel dan dapat berubah-ubah. Dalam arti kolektivitas sosial bukan hanya sebatas konsepsi individual saja, namun sebuah hasil konstruksi sosial hasil interkasi dengan individu lainnya. Dalam kehidupan bermasyarakat, kolektivitas sosial akan memiliki berbagai basis yang berbeda-beda, seperti gender, politik, agama, dan lain-lain. Berdasarkan definisi ini, maka identitas etnis juga merupakan salah satu kolektivitas dalam masyarakat. Maka, dapat dikatakan bahwa identitas etnis merupakan salah satu manifestasi dari kolektivitas sosial. Temuan dan Analisis Penelitian ini akan membahas mengenai perubahan identifikasi dari Orang Keturunan menjadi Cina Benteng. Dalam prosesnya, individu akan mengidentifikasi dirinya melalui tahapan istilah yang saling berhubungan. Berikut adalah penjabaran dari istilah-istilah yang ditemui di desauntuk identifikasi proses perubahan dari Orang Keturunan menjadi Cina Benteng. Tabel 1. “Cina Benteng” dan Istilah-Istilah Khas Desa Cina Benteng
Penduduk keturunan Cina yang telah beragama Kristen Pantekosta dan bermata pencaharian sebagai pedagang. Kebanyakan ditemui di Desa Situgadung.
Cina Udik
Sebutan yang diberikan penduduk Cina di perkotaan Jakarta bagi penduduk keturunan Cina di desa.
Orang Keturunan
Istilah khas desa yang merujuk bagi penduduk keturunan Cina lokal.
Orang Selam
Penduduk keturunan Cina yang telah beragama Islam. Kebanyakan ditemui di Desa Sampora.
Proses perubahan ini dicerminkan oleh kisah perubahan Informan A, penduduk keturunan Cina di Desa Situgadung, dari Orang Keturunan menjadi Cina Benteng. Sebelum mengetahui alasan bagi Orang Keturunan di Desa Situgadung untuk merubah diri mereka menjadi Cina Benteng, berikut akan dijabarkan alur perubahan istilah Orang Keturunan hingga Cina Benteng. Skema ini didasarkan oleh pemaparan Informan A, guna memberikan gambaran akan ciri-ciri dan proses yang dilalui dalam berbagai tahapan. Dalam hal ini fenomena pergantian identitas Orang Keturunan menuju Cina Benteng adalah fenomena sosiologis. Dimana pihak yang mengalami dan memaknai hal tersebut bukan saja Informan A, namun juga para kerabat dan tetangganya yang mengalami perjalanan hidup yang serupa. Selain itu, mereka yang pertama kali melakukan perubahan identifikasi identitas etnis adalah mereka yang berasal dari generasi Informan A, yakni mereka yang kebanyakan lahir pada tahun 1960’an. Bila dijabarkan, maka berikut adalah kisah hidup Informan A, dalam mengidentifikasi dirinya mulai dari Orang Keturunan hingga Cina Benteng: 1. Lahir pada tahun 1963 dan dibesarkan di Desa Situgadung dari keluarga yang mengidentifikasikan dirinya sebagai Orang Keturunan. Keluarganya merupakan keluarga petani yang menganut ajaran Buddha Tri Dharma. 2. Memulai pendidikan di SD Negeri setempat hingga SMA, pertama kali mendengar istilah Cina, namun, ia tidak merasa bagian darinya. 3. Pada awal 1980’an, beberapa kerabatnya masuk Agama Kristen, dan mengalami perubahan hidup secara ekonomi dan sosial, sehingga Informan A merasa tidak cocok lagi dengan Orang Keturunan, ia pun menjadi penganut Agama Kristen Pantekosta. 4. Perumahan Bumi Serpong Damai selesai dibangun, dan pemukim Cina dari daerah perkotaan mulai menetap dan berhubungan dengan penduduk Cina di Desa Situgadung. Informan A
merantau ke Jakarta untuk mencari kerja, berkat bantuan kerabat Kristen-nya dan misionari. Di Jakarta, ia mendapatkan istilah Cina Udik. 5. Informan A kembali ke Situgadung tahun 1996, ia sekarang berdagang dengan penduduk Cina di Perumahan Bumi Serpong Damai. Ia mulai mengidentifikasi dirinya sebagai Cina. 6. Setelah Reformasi, Informan A menjadi misionari Pantekosta di Desa Situgadung dan tetap menjalankan usahanya yang bergantung dengan penduduk Cina di Bumi Serpong Damai. Ia sudah bangga disebut sebagai Cina Benteng.
Maka, untuk menjelaskan proses yang terjadi diperlukan untuk menjabarkan skema ini secara khusus. Selain itu, penjabaran skema ini juga diperlukan untuk memberikan gambaran mengenai tingkatan perubahan identitas mulai yang bersifat “non-Cina” hingga yang “paling Cina”1, berdasarkan kerangka berpikir informan. Dalam mendefinisikan diri mereka, etnis Cina di Indonesia selalu dipengaruhi oleh berubah-ubanhnya kondisi politik dan sosial di Indonesia (Freedman, 2000: 89). Oleh karena itu, identifikasi diri etnis keturunan Cina di Desa Situgadung sudah pasti tidak lepas dari keadaan dan perubahan kondisi politik dan sosial di Indonesua secara lebih luas. Tabel 2. Daftar Fenomena Sosial dan Politik yang Memiliki Andil dalam Proses Perubahan Fenomena Pendudukan Jepang (Relawan Takasago)
Tahun 1942-1945
Agresi Militer Belanda II
1948
Peristiwa Gedoran
1948
Orde Lama (Peristiwa Repatriasi Penduduk
1959
Keturunan Cina) Orde Baru (G 30 S)
1
Penilaian semacam ini bukan berdasarkan kerangka berpikir peneliti.
1965
Pembangunan Bumi Serpong Damai
1984-sekarang
Misionari Gereja Pantekosta
1984-sekarang
Bermukimnya Penduduk Cina dari Daerah
1984-sekarang
Perkotaan di Bumi Serpong Damai.
Bila digambarkan secara menyeluruh, maka skema perubahan istilah yang digunakan oleh penduduk Desa Situgadung untuk mengidentifikasi diri mereka dapat dijelaskan oleh gambar skema berikut ini. Seperti yang sudah dikemukakan oleh Freedman (2000) dalam Political Participation and Ethnic Minorities, konteks sosial-politik secara luas akan mempengaruhi pembentukan cara identifikasi diri suatu kelompok etnis. Begitupun pula dalam kasus ini. Oleh karena itu, peneliti juga menyertakan deskripsi dalam skema yang akan digambarkan berupa latar sosial-politik yang turut membentuk identifikasi diri penduduk Cina di Desa Situgadung. Gambar 3. Skema Perubahan Identitas dan Faktor Sosial yang Membentuknya
Skema yang telah diberikan merupakan konvergensi atas bermacam-macam aspek dalam proses perubahan menuju Cina Benteng. Bila dilihat dalam kedekatan terhadap identitas Cina dan pribumi, maka keseluruhan proses perubahan dapat digambarkan secara lebih sederhana sebagai berikut. Gambar 4. Gradasi Identitas Kebudayaan Cina-Pribumi
Keseluruhan proses yang dijalani Orang Keturunan untuk menjadi Cina Benteng di Desa Situgadung sudah terangkum dalam gradasi batang yang telah diberikan. Namun, berdasarkan gambar tersebut, kita dapat melihat adanya peningkatan intensitas “ke-Cina-an” berdaasarkan masing-masing istilah. Dengan kata lain, komunitas keturunan Cina di Desa Situgadung memiliki kecenderungan untuk menjadi semakin dekat dengan kebudayaan Cina, atau yang dalam penelitian ini juga disebut sebagai “semakin dekat dengan ke-Cina-an”. Gradasi tersebut tentu berpedoman pada berbagai ciri-ciri yang ada. Fenomena ini menunjukkan sebuah perpindahan dari suatu kelompok sosial kepada kelompok lainnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa fenomena perubahan Orang Keturunan menjadi Cina Benteng merupakan sebuah usaha pergantian identifikasi dari satu kolektivitas sosial kepada kolektivitas sosial lainnya. Koller (2012) dalam Bab 2 telah menyebutkan garis besar mengenai kolektivitas sosial. Selain melihat definisi Koller (2012), merujuk pada apa yang dipaparkan Suparlan (2005), penggunaan kolektivitas sosial sebagai sebuah jati diri merupakan hal yang penting dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Keanggotaan kolektivitas sosial merupakan sebuah sarana untuk membedakan diri individu dengan kelompok lainnya. Dalam konteks ini, anggota komunitas keturunan Cina di Desa Situgadung berusaha menjadi Cina Benteng untuk membedakan diri mereka dengan Orang
Keturunan yang telah mereka anggap sebagai identitas yang inferior. Selain diidentifikasi oleh setiap individu, kolektivitas sosial merupakan entitas yang heterogen dalam suatu masyarakat, seperti yang digambarkan berikut ini. Dalam level masyarakat, individu memiliki kebeasan untuk mengidentifikasi kolektivitas mana yang akan dipilihnya berdasarkan kategori-kategori yang ada. Gambar 5. Skema Kolektivitas Sosial pada Level Masyarakat Kolektivitas Sosial Suku
Gender
Dll.
Agama Individu
Seperti yang sudah dijelaskan, maka kolektivitas dalam konteks penelitian ini juga memiliki beberapa tingkatan, mulai dari yang paling makro hingga yang paling mikro. Jika melihat dalam kolektivitas etnisitas, yakni kolektivitas yang diteliti dalam konteks Desa Situgadung, maka peneliti setidaknya dapat membagi berbagai tingkatan kolektivitas seperti pada Gambar 6.
Gambar 6. Skema Kolektivitas Etnis dalam Konteks Penelitian Ini
Bila dilihat, nampak bahwa terdapat banyak istilah yang mewakili sub-kelompok Cina Peranakan, termasuk di dalamnya adalah Cina Benteng. Namun Cina Benteng juga akan dibagi menjadi banyak sub-kelompok, salah satunya adalah komunitas Cina Benteng di Desa Situgadung. Berdasarkan semua pemaparan yang telah diberikan, terdapat sebuah permasalahan yang tidak dapat dijelaskan oleh teori-teori menyangkut identitas etnis selama ini. Sebab, terdapat komunitas yang secara fisik dan beberapa aspek kebudayaan mirip dengan Cina Benteng, dan dapat dikatakan sebagai bagian dari Cina Benteng yang didefinisikan secara objektif. Namun, mereka menolak disebut sebagai Cina Benteng, bahkan memiliki istilah tersendiri. Sebagai contoh, salah seorang informan penelitian, dalam hal ini adalah Informan A. Secara ojektif, Informan A pada dasarnya merupakan seorang Cina Benteng. Sebab, definisi Cina Benteng adalah penduduk Cina hasil kawin campur dengan perempuan pribumi, yang menetap di Tangerang. Pertama, Informan CB mengatakan bahwa Cina Benteng adalah penduduk Cina di Tangerang yang sudah tidak tahu akan sejarah mereka. Kedua, Informan OTE mengatakan bahwa Teluk Naga, merupakan lokasi persinggahan imigran Cina yang merupakan nenek moyang Cina Benteng. Ditambah lagi dengan penjelasan Informan OTE bahwa Cina Benteng merupakan hasil kawin campur antara Cina-pribumi. Keseluruh definisi serta ciri-ciri
akan Cina Benteng nampak dengan jelas pada komunitas Orang Keturunan. Maka, peneliti merasa perlu untuk memberikan pembedaan antara konsep identitas dan etnisitas. Terdapat hal yang paling mendasar dalam pembedaan kedua konsep ini: Jika kita melihat dari sisi etnisitas, kolektivitas etnis seseorang itu dilihat secara objektif. Namun, ketika pihak dari dalam atau individu sendiri yang menentukan kolektivitasnya secara subjektif, maka hal tersebut adalah definisi akan cara pandang identitas. Untuk lebih jelasnya, definisi ini akan dijelaskan oleh gambar berikut. Gambar 7. Skema Peranan Identitas dan Etnisitas
Bulatan hitam dengan tanda khusus merupakan representasi individu. Dalam kehidupan sosialnya, individu akan digolongkan ke dalam kolektivitas-kolektivitas tertentu, seperti yang ditunjukkan bulatan dengan huruf K (Kolektivitas) pada skema di atas. Namun, seperti yang menjadi dasar perspektif interaksionisme-simbolik Weber, individu memiliki kebebesan untuk memaknai dan mengidentifikasi kolektivitas yang akan dipilihnya. Inilah yang merupakan pengakuan subjektif individu akan kolektivitasnya, seperti yang ditunjukkan oleh anak panah patah-patah pada skema di atas. Sebagai contoh, individu dapat memaknai Kolektivitas 3 (K3) secara subjektif. Di sisi lain, masyarakat sebagai sebuah fakta sosial dapat memberikan definisi akan kolektivitas secara objektif yang sudah ada dari sananya, atau meminjam istilah Durkheim sebagai fakta sosial yang unik (sui generis). Artinya, bila individu memaknai Kolektivitas 3
secara subjektif, namun sejatinya, Kolektivitas 3 sudah memiliki definisi objektif seacara eksternal. Hal ini dapat terlihat dalam konteks Cina Benteng di Desa Situgadung. Individu dapat saja memaknai kolektivitas etnisnya sebagai Cina Benteng versi lokal. Namun, berdasarkan definisi secara objektif, mereka sebenarnya merupakan bagian dari Cina Benteng secara objektif, bukan versi lokal. Seperti yang ditujukkan oleh simbol matematika pada salah satu anak panah, Kolektivitas Subjektif ≈ Kolektivitas Objektif, yang berarti “Kolektivitas Subjektif hampir sama dengan Kolektivitas Objektif”. Maka, dalam konteks Desa Situgadung, individu memaknai kolektivitas etnisnya sebagai Cina Benteng, yang sedikit berbeda dan tidak sama persis dengan Cina Benteng versi objektif. Dalam konteks kolektivitas, etnisitas adalah definisi objektif yang diberikan oleh masyarakat pada kolektivitas yang bersangkutan. Terlepas individu memiliki kebebasan untuk mengidentifikasi atau tidak mengidentifikasi bahwa dirinya adalah bagian dari kolektivitas tersebut, secara objektif ia akan tergolong dalam etnis yang bersangkutan. Sementara identitas ditunjukkan oleh kebebasan individu untuk memilih dan mendefinisikan secara subjektif, kolektivitas manakah tempat ia tergolong. Seperti yang sudah dijelaskan, kedua konsep ini merupakan dua konsep otonom yang memiliki hubungan antara satu dengan yang lainnya. Individu memiliki semacam kebebasan untuk menentukan nama kelompok yg dipilihnya, cakupan besar kelompoknya, dan kadar keetnisan yg dipilihnya. Ini juga termasuk kemampuan individu untuk memaknai kolektivitas yang bersangkutan. Ini merupakan manifestasi akan identitas. Sementara itu, secara objektif, kolektivitas yang mereka maksud sudah didefinisikan oleh masyarakat secara objektif sebagai Cina Benteng secara umum. Ini merupakan manifestasi akan etnisitas. Dalam hal ini, etnisitas merupakan sebuah fakta sosial berdasarkan definisi Durkheim. Etnisitas, meskipun tidak diakui oleh individu yang bersangkutan, akan tetap akan ada sebagai sebuah fakta sosial. Sebagai contoh, seorang keturunan Jawa, secara subjektif ia dapat tidak mengidentifikasi dirinya sebagai orang Jawa. Namun, secara objektif ia tetap merupakan etnis Jawa, salah satunya dapat dilihat berdasarkan asal-usul orang tuanya serta daerah asalnya. Pembedaan selanjutnya, identitas merupakan sesuatu yang diraih oleh individu, atau yang dikenal dengan konsep achieved status. Sementara etnisitas merupakan sesuatu yang bersifat diturun-temurunkan, atau yang dikenal dengan konsep ascribed status. Sebagaimana yang dikutip dari Sunarto (2004:83), Achieved Status adalah status yang diraih oleh individu dari usahanya. Ascribed Status adalah status yang didapatkan oleh individu secara turun-temurun.
Etnistitas bersifat diturun-temurunkan dari generasi ke generasi lain. Demikianlah yang terjadi pada komunitas Cina Benteng pada masyarakat Cina di Tangerang. Penduduk Cina di Tangerang disebut sebagai Cina Benteng karena warisan turun-temurun dari orang tua mereka. Sementara itu, kita sudah mengetahui bahwa anggota komunitas Orang Keturunan di Desa Situgadung dapat menjadi Cina Benteng sebagai hasil akan adanya usaha yang mereka lakukan. Dalam hal ini identitas mengacu kepada keanggotaan kolektivitas. Dengan kata lain, identitas merupakan sebuah proses untuk mendekatkan diri individu kepada kolektivitas tertentu. Sementara itu, etnisitas adalah salah satu bentuk dari kolektivitas. Proses menjadi kolektivitas adalah sebuah proses subjektif, sementara kolektivitas adalah sebuah entitas objektif. Oleh karena itu, peneliti dapat mengakatakan bahwa Cina Benteng dapat menjadi dua hal yang berbeda. Di sini, identitas dan etnisitas menyatu, tapi untuk menganalisisnya harus dilihat secara terpisah. Maka, dalam penelitian ini, Identitas didefinisikan sebagai aspek subjektif suatu kelompok untuk memilih suatu kolektivitas sosial, berdasarkan subjektivitas individu yang dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan. Selain itu, Etnisitas didefinisikan sebagai jati diri objektif suatu komunitas yang bersifat objektif oleh karena definisi dari masyarakat sebagai sebuah fakta sosial. Maka, kesimpulan teori yang dapat peneliti ajukan kepada ilmu sosial, adalah: Berbagai macam identitas etnis dapat dibedakan baik ke dalam konteks identitas maupun etnisitas, tergantung dari perspektif yang bersangkutan; Apakah dilihat berdasarkan subjektivitas individu atau berdasarkan objektivitas definisi sebagai fakta sosial. Meski sebelumnya dinyatakan sebagai dua konsep yang terpisah, identitas dan etnisitas merupakan dua hal yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga, keterhubungan mereka memiliki fungsi, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dalam hal ini, fungsi identitas dapat digambarkan sebagai proses untuk mengidentifikasi kolektivitas. Namun, penting untuk diketahui bahwa kolektivitas itu memiliki banyak manifestasi. Kolektivitas tidak hanya dimanifestasikan dengan kolektivitas etnis saja. Dengan kata lain, etnisitas hanya merupakan bagian kecil dari sebuah identitas. Dalam konteks kehidupan nyata, ketika seseorang ditanya mengenai identitasnya, ia tidak hanya dapat menjawab dari segi etnis saja, namun dapat dijawab berdasarkan agama, gender, dan lain-lain. Dengan kata lain, identitas merupakan entitas yang lebih bersifat makro ketimbang etnisitas. Seperti yang dijelaskan oleh Gambar 8.
Gambar 8. Posisi Etnisitas yang Tergabung dan Terpisah dalam Identitas
Namun, dalam konteks kasus di Desa Situgadung ini, identitas tidak akan memiliki makna khusus ketika ia berdiri sendiri, atau dengan kata lain, bersifat terpisah dengan etnisitas. Seperti yang ditunjukkan oleh gambar kanan. Seorang individu dapat mengidentifikasi identitasnya dengan identitas etnis karena sedang berbicara dalam konteks etnisitas. Seperti dalam kasus Cina Benteng di Desa Situgadung, ketika Informan A berbicara mengenai perubahan identitasnya dalam konteks etnisitas. Bila konteks etnisitas dikesampingkan, maka identitas akan memiliki makna yang berbeda. Konsep identitas etnis menjadi tidak bermakna, karena individu dapat mengidentifikasi dirinya berdasarkan kolektivitas lainnya, entah itu agama, gender, dan lain-lain. Penutup Kunci dari asal mula perubahan komunitas Orang Keturunan di kedua desa terletak pada Peristiwa Gedoran. Sebelum Peristiwa Gedoran, Orang Keturunan pada kedua desa merupakan satu komunitas yang belum terpecah. Berbagai peristiwa yang terjadi dalam sejarah kedua desa menyebabkan Orang Keturunan pada Desa Situgadung menjadi lebih dekat dengan komunitas Cina, dan Orang Keturunan pada Desa Sampora menjadi lebih dekat dengan pribumi. Ketika Orang Keturunan pada Desa Sampora dapat berinteraksi dengan pribumi sehingga mereka dapat memiliki akses terhadap jaringan sosial yang menguntungkan mereka, Orang Keturunan pada Desa Situgadung mencari hal serupa agar mereka dapat melakukan hal yang sama. Berdeda dengan Orang Keturunan pada Desa Sampora, mereka yang menetap di Desa Situgadung,
melakukan hal yang serupa dengan penduduk Cina dari Bumi Serpong Damai. Fenomena yang dinmaksud merupakan manifestasi sebuah dinamika perebutan sumber daya. Dimana sumber daya yang dimaksud adalah jaringan sosial yang diberikan lewat modal sosial. Kedekatan dengan penduduk Cina pada Bumi Serpong Damai juga dipicu oleh ketidakmampuan mereka untuk melakukan hal yang sama dengan pribumi. Terlihat adanya faktor ekslusi/inklusi sosial dalam fenomena ini, sehingga mereka tidak memiliki sebuah modal sosial untuk dapat berinteraksi secara erat dengan pribumi. Maka, Cina Benteng memilih untuk melakukannya dengan penduduk Cina pada Bumi Serpong Damai. Penduduk Cina pada Desa Situgadung memaknai identitas Agama Kristen dan Cina sebagai identitas yang dapat merubah kehidupan ke arah yang lebih baik. Maka, penduduk keturunan Cina di Desa Situgadung melihat Orang Keturunan sebagai sebuah identitas kultural yang identik dengan kemiskinan. Untuk merubahnya, beberapa diantara mereka mulai melakukan kontak dengan penduduk Cina dari daerah perkotaan yang menetap sebagai penduduk baru Bumi Serpong Damai. Secara bersamaan, mayoritas pemukim Cina yang menetap di kota mandiri tersebut beragama Kristen. Kedatangan mereka bersifat konstan mulai dari tahun 1980’an hingga kini. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka timbul gerakan misionari terhadap penduduk sekitar. Fenomena ini memperkenalkan penduduk Desa Situgadung pada ajaran Agama Kristen, terutama Pantekosta. Alhasil, Orang Keturunan pada Desa Situgadung yang telah memeluk Kristen pada akhirnya memaknai bahwa agama tersebut merupakan sebuah sarana yang mempererat kekerabatan mereka dan merubah kehidupan mereka ke arah yang lebih baik. Ketika ditanya mengenai makna menjadi seorang Cina Benteng, anggota komunitas Cina di Desa Situgadung akan mendefinisikannya sebagai “Keturunan Cina yang kabur demi kehidupan yang lebih baik”. Komunitas Cina Benteng pada Desa Situgadung juga mulai menganggap diri mereka sebagai lebih Cina, dan bukan Orang Keturunan. Hal inilah yang menjelaskan mengapa Orang Keturunan pada Desa Situgadung yang berpindah ke Agama Kristen Pantekosta dan beralih profesi menjadi pengusaha dan karyawan menganggap diri mereka sebagai Cina Benteng. Setelah mengetahui proses yang dilalui Orang Keturunan menjadi Cina Benteng versi lokal, maka dapat diketahui alasan yang membuat mereka untuk memilih menjadi Cina Benteng. Dalam penelitian ini, terdapat beberapa peristiwa yang menjadi pemicu atas tiga faktor yang menyebabkan “nilai” Cina benteng sebagai sebuah identitas baru menjadi berharga. Berikut adalah penggambaran pemicu tiga faktor fenomena perubahan identifikasi.
Gambar 9. Fenomena Pemicu Timbulnya Faktor Perubahan Identitas di Desa Situgadung Peristiwa
Perubahan
Perubahan
Perubahan
Sejarah
Infrastruktur
Demografi
Ekonomi
Keputusan untuk Menjadi Cina Benteng Berdasarkan analisis teori yang telah diberikan, maka peneliti dapat memberikan kesimpulan akhir dari analisis ini. Temuan penting penelitian ini dapat dirangkum menjadi dua bagian besar, yakni temuan teoritik dan empirik. Temuan teoritik penelitian ini mengungkapkan bahwa ternyata konsep identitas etnis tidak cukup untuk menjelaskan fenomena transformasi Orang Keturunan menjadi Cina Benteng. Oleh karena itu, harus ada pembedaan antara konsep identitas dan etnisitas, dimana kedua konsep tersebut saling berhubungan antara satu dan yang lainnya. Penelitian ini telah mendefinisikan bahwa identitas adalah proses identifikasi atas keanggotaan suatu kolektivitas yang fleksibel dan dinamis berubah-ubah menurut nama, skala, dan intensitas. Diketahui bahwa identitas dan etnis merupakan dua hal yang berbeda dalam konteks sosial tertentu. Maka, teori yang dibangun dalam penelitian ini dapat memberikan pemetaan bagi masing-masing ciri identitas etnis, untuk dikategorikan sebagai identitas atau etnisitas. Dalam hal ini, Orang Keturunan pada Desa Situgadung dapat menjadi sebuah komunitas Cina Benteng yang berbeda, namun tetap dapat diakui sebagai Cina Benteng. Hal ini menunjukkan erlunya pembedaan antara identitas dan etnisitas. Berdasarkan kasus ini, dapat dilihat bahwa pada awalnya anggota komunitas keturunan Cina di Desa Situgadung memiliki ciri-ciri fisik dan sosio-kultural sebagai suatu sosok yang lebih mendekatkannya sebagai "orang pribumi." Namun ternyata mereka tidak serta merta menjadi orang Cina Benteng. Dibutuhkan sebuah proses panjang dan berliku sampai akhirnya mereka menjadi orang Cina Benteng. Secara fisik dan sosio-kultural, ia di masa lampau mengidentifikasi dirinya sebagai Orang Keturunan, menjadi Cina Udik, "Cina" hingga akhirnya, dalam beberapa tahun terakhir, ia benar-benar menjadi seorang Cina Benteng. Oleh karena itu, istilah Cina Benteng dapat bersifat kontekstual. Pada suatu konteks sosial, Cina Benteng dapat dilihat sebagai identitas, seperti pada Desa Situgadung dan identifikasi mereka sebagai Orang Keturunan. Namun dalam konteks sosial yang
lain, Cina Benteng dapat pula dilihat sebagai etnisitas, seperti Cina Benteng yang didefinisikan secara objektif. Bila dihubungkan dengan tinjauan pustaka, maka penelitian ini memberikan sebuah gambaran baru bagi identitas etnis, teruatama dalam konteks Cina Benteng di Desa Situgadung. Daftar Pustaka Buku Babbie, Earl. 1998. The Practice of Social Research. Belmont: Wadsworth Publishing Company. Barth, Frederik. 1969. Ethnic Groups and Boundaries. Boston: Little, Brown, and Companies. Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann. 1966. The Social Construction of Reality. Garden City: Anchor Books. Brown, David. 1994. The State and Ethnic Politics in South-East Asia. New York City: Routledge. Coppel, Charles. 1994. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Freedman, Amy L. 2000. Political Participation and Ethnic Minorities. New York City: Routledge. Giddens, Anthony, Mitchell Dunier, dan Richard P. Appelbaum. 2005. Introduction to Sociology: Fifth Edition. New York: W.W. Norton & Company, Inc. Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, dan Sonny Wibisono. 1996. Banten Sebelum Zaman Islam: Kajian Arkeologi di Banten Girang 932?-1526. Jakarta: Penerbit Bentang. Hall, Stuart. 1996. Critical Dialogues in Cultural Studies. New York City: Routledge. Hidayah, Zulyani. 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Lee, Kuan Yew. 1998. The Singapore Story. Singapura: Prentice Hall. Malesevic, Sinisa. 2004. The Sociology of Ethnicity. London: SAGE Publications Ltd. Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. 1994. Qualitative data Analysis: An Expanded Sourcebook. Thousand Oaks: Sage Publications Ltd.
Mills, Theodore M. 1967. The Sociology of Small Groups. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall. Neuman, W. Lawrence. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. USA: Allyn and Bacon. Pan, Lynn. 1998. The Encyclopedia of the Chinese Overseas. Singapura: Archipelago Books. Parrillo, Vincent N. 2012. Understanding Race and Ethnic Relations. Boston: Pearson Education Inc. Ritzer, George. 2008. Modern Sociological Theory. New York: McGraw-Hill. Sa’dun, Moch. 1999. Pri dan Nonpri: Mencari Format Baru Pembauran. Jakarta: PT Pustaka CESINDO. Saleh, R.H.A. 1995. Akademi Militer Tangerang dan Peristiwa Lengkong. Jakarta: Yayasan Pustaka Utama-Sebelas Maret University Press. Salmon, Claudine dan Anthony K.K. Siu. 1997. Chinese Epigraphic Materials in Indonesia. Singapura: South Seas Society. Santosa, Iwan. 2012. Peranakan Tionghoa di Nusantara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Sato, Yoshimichi. 2006. Intentional Social Change. Melbourne: Trans Pacific Press. Setiono, Benny G. 2003. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: ELKASA. Silverman, David. 2000. Qualitative Research: A Practical Handbook. London: Sage Publications Ltd. Somekh, Bridget dan Cathy Lewin. 2005. Research Methods in Social Science. London: Sage Publications Ltd. Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Suparlan, Parsudi. 2005. Suku Bangsa dan Hubungan Antar-Suku Bangsa. Jakarta: YPKIK. Suryadinata, Leo. 1997. Ethnic Chinese as Southeast Asians. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. Suryadinata, Leo. 2007. Understanding the Ethnic Chinese in Southeast Asia. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.
Tan, Mely G. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Witanto, Eddy Prabowo. 2005. Akulturasi Budaya Cina Benteng. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Media Online http://amoytainan.wordpress.com/category/hok-kian-oe%E7%A6%8F%E5%BB%BA%E8%A9%B1-hokkien/feed/. Diakses pada Rabu, 29 Mei 2013, pukul 19.54 WIB. http://glosbe.com/hak/yue/k%C3%A2-suk-thu. Diakses pada Rabu, 29 Mei 2013, pukul 19.52 WIB. http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455. Diakses pada Rabu, 29 Mei 2013, pukul 19.52 WIB. http://www.mogher.com/eng/%E5%B0%BC. Diakses pada Rabu, 29 Mei 2013, pukul 19.52 WIB. Jurnal Chandra, Kanchan. 2006. “What is Ethnic Identity and Does It Matter?” Annual Review of Political Science Vol. 9: 397-424. Koller, Veronika. 2012. “How to Analyze Collective Identity in Discourse – Textual and Contextual Parameters”. Critical Approaches to Discourse Analysis across Disciplines Vol. 5 (2): 19-38. Ting, Su-Hie dan Ling Teck Yee. 2011. “Ethnic Identity of Young Malaysian Adolescents in Sarawak.” Malaysian Journal of Youth Studies: 165-175. Trimble, Joseph E. dan Ryan Dickson. 2010. “Ethnic Identity.” Applied Developmental Science: An Encyclopedia of Research, Policies, and Programs: 75-83. Sumber Lain Majalah National Geographic Indonesia. Edisi Juli-Juni 2005.