21
manusia untuk memilih perbuatan dan sikap mana yang baik dan buruk, dapat pula memilih ana yang benar dan mana yang salah. Karena itu manusia dapat memilih dan menentukan sikap dan tingkah laku mana yang baik dan buruk serta mana yang benar dan salah dalam pembentukana watak pribadi seseorang.
Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. Perilaku moral dikendalikan konsep-konsep moral, peraturan yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya, dan yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dari seluruh anggota. Santrock (2003 : 441) menyatakan bahwa kunci dalam memahami konsep perkembangan moral adalah internalisasi perubahan perkembangan dari perilaku yang kontrol secara eksternal menjadi perilaku yang kontrol oleh standar dan prinsip internal. Remaja dikatakan bermoral jika mereka memiliki kesadaran moral yaitu dapat menilai hal-hal yang baik dan buruk, hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta hal-hal yang etis dan tidak etis. Remaja yang bermoral dengan sendirinya akan tampak dalam penilaian atau dalam penalaran moralnya serta pada perilakunya yang baik, benar, dan sesuai dengan etika (Selly Tikan,1999). Artinya ada kesatuan antara penalaran moral dengan perilaku moralnya. Dengan kata lain, bermanfaat sekali suatu perilaku moral terhadap nilai kemanusiaan, namun jika perilaku tersebut tidak disertai dan didasarkan pada penalaran moral, maka prilaku tersebut belum dapat dikatakan sebagai perilaku moral yang mengandung nilai moral.
22
Dengan demikian suatu perilaku moral dianggap memiliki nilai moral jika perilaku tersebut dilakukan secara sadar atas kemauan sendiri dan bersumber dari pemikiran atau penalaran moral yang bersifat otonom (Kohlberg, 1971). Menurut Blasi (1980) : “Perilaku moral akan begitu sempit jika hanya dibatasi pada perilaku moral yang dapat dilihat saja. Perilaku moral meliputi hal-hal yang tidak dapat dilihat. Penalaran moral untuk membuat suatu keputusan dalam melakukan suatu tindakan moral adalah perilaku moral yang tidak dapat dilihat, tetapi dapat ditelusuri dan diukur.”
Menurut Kohlberg (1977) penalaran atau pemikiran moral merupakan faktor penentu yang melahirkan perilaku moral. Oleh karena itu, untuk menemukan perilaku moral yang sebenarnya tidak sekedar mengamati perilaku moral yang tampak, tetapi harus melihat pada penalaran moral yang mendasari keputusan perilaku moral tersebut. Dengan mengukur tingkat penalaran moral akan dapat mengetahui tinggi rendahnya moral tersebut. Pengertian atau pemahaman moral adalah kesadaran moral, rasionalitas moral atau alasan mengapa seseorang harus melakukan hal itu, suatu pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai moral. Ini sering kali disebut dengan penalaran moral atau pemikiran moral, atau pertimbangan moral, yang merupakan segi kognitif dari nilai moral. Tindakan moral atau kemampuan untuk melakukan keputusan dan perasaan moral ke dalam perilaku-perilaku nyata. Tindakantindakan moral ini perlu difasilitasi agar muncul dan berkembang dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari. Lingkungan sosial yang kondusif untuk memunculkan tindakan-tindakan moral, ini sangat diperlukan dalam pembelajaran
23
moral. Ketiga unsur tersebut yaitu: penalaran, perasaan dan tindakan moral harus ada dan dikembangkan dalam pendidikan moral. Walupun Kohlberg menyatakan bahwa perkembangan moral merupakan suatu yang bersifat universal, tidak tergantung pada kebudayaan (Mischel, 1971;Cremers, 1995 C) dan hal tersebut telah dibuktikan melalui penelitian pada beberapa negara, namun ia juga mencatat bahwa faktor kebudayaan mempunyai peran penting dalam perkembangan moral, yaitu pada tempo atau kecepatan perkembangannya. Kebudayaan akan mempengaruhi cepat lambatnya pencapaian tahap-tahap perkembangan moral dan juga mempengaruhi batas tahap perkembangan yang dicapai. Dengan kata lain, bahwa individu yang mempunyai latar belakang budaya tertentu dapat berbeda perkembangan moralnya dengan individu lain yang berasal dari kebudayaan lain (White, dkk. 1978) atau perkembangan moral dipengaruhi oleh faktor kebudayaan (Mantani dalam Pratidarmanastiti, 1991). 1. Komponen-komponen utama moralitas Menurut William M. Kurtines dan Jacob L. Gerwitz ( Moralitas, perilaku moral, dan perkembangan moral : 37) dalam moralitas terdapat 4 komponen utama diantaranya : a. Menginterpretasi situasi dan mengidentifikasi permasalahan moral (mencakup empati, berbicara selaras dengan perannya, memperkirakan bagaimana masing-masing pelaku dalam suatu situasi tertentu terpengaruh oleh berbagai tindakan tertentu,
24
b. Memperkirakan
apa
yang
seharusnya
dilakukan
oleh
seseorang,
merumuskan suatu rencana tindakan yamg merujuk kepada suatu standar moral atau sustu ide tertentu (mencakup konsep kewajaran dan keadilan, pertimbangan moral, penerapan nilai moral sosial); c. Mengevaluasi berbagai perangkat tindakan yang berkaitan dengan bagaimana caranya orang memberikan penilaian moral atau yang bertentangan dengan moral, serta memutuskan apa yang secara aktual akan dilakukan seseorang (mencakup proses pengambilan keputusan, model integrasi nilai, perilaku mempertahankan diri) d. Melaksanakan serta mengimplementasikan rencana tindakan
yang
berbobot moral (mencakup “ego-strength” dan proses pengaturan diri) Komponen pertama menafsirkan tentang situasi dan mambayangkan rangkaian tindakan yang mungkin timbul serta menelusuri kemungkinan konsekuensinya, artinya seberapa jauh tindakan-tindakan tersebut mampu mnelusuri perasaan sejahtera yang mungkin timbul pada mereka yang terlibat dalam situasi yang bersangkutan. Menurut William M. Kurtines dan Jacob L. Gerwitz ( Moralitas, perilaku moral, dan perkembangan moral : 37) Ada empat temuan dari penelitian psikologi yang berkaitan dengan komponen pertama ini : a. Temuan pertama menyatakan bahwa banyak orang merasa sangat sulit untuk menafsirkan situasi yang sangat sederhana sekalipun. Penelitian menganai bagaimana reaksi seseorang yang melihat sustu peristiwa gawat, manunjukan kesulitan yang dirasakan orang dalam menafsirkan situasi itu.
25
Misalnya penelitian yang dilakukan Staub (1978), menjelaskan bahwa perilaku menolong bertautan dengan ambiguitas atau sifat ganda dari situasi yang bersangkutan; apabila seseorang tidak menagkap secara jelas apa yang sebenarnya terjadi, maka ia tidak akan turun tangan untuk memberikan pertolongan. b. Penelitian kedua menunjukan, bahwa terdapat perbedaan yang menonjol diantara berbagai orang dalam kepekaannya, berkaitan dengan kebutuhan dan kesejahteraan orang lain. Hal ini misalnya terungkap dalam penelitian yang dilakukan oleh Schwartz (1997) dalam variabel yang disebutkannya “kesadaran akan konsekuensi”. c. Penelitian ketiga menyikapkan bahwa kemampuan untuk menyikap kebutuhan atau kemauan orang lain serta bagaimana tindakan seseorang mungkin mempengaruhi orang lain, merupakan suatu fenomena yang berkembang; artinya bahwa dengan bertambah usianya akan dapat lebih memahami orang lain. Adanya pemunculan bidang “kognisi sosial” dalam penelitian tersebut cukup relevan dan terdokumentasi. d. Temuan keempat dari berbagai penelitian itu mengungkapkan bahwa situasi sosial dapat melahirkan berbagai perasaan yang cukup kuat, bahkan sebelum muncul secara jelas dalam kognisi yang bersangkutan. Suatu perasaan dapat menjadi sangat aktif sebelum orang yang bersangkutan menyadari situasi yang dialaminya itu (Zajonc, 1980). Misalnya Hoffman (1977) menekankan peranan empati dalam kaitan dengan moralitas dan ia memandang lahirnya empati sebagai proses primer yang tidak memerlukan
26
perantara kognisi yang serba kompleks. Pandangan Hoffman ini terutama menarik perhatian dalam hal bagaimana respons primer yang berupa afeksi ini bertautan serta dimodifikasi oleh perkembangan kognisi sehingga dapat melahirkan empati dalam bentuk yang lebih kompleks. Akan tetapi yang menjadi persoalan pokok di sini bahwa afeksi atau perasaan yang timbul itu merupakan bagian dari apa yang sebenarnya harus ditafsirkan dalam situasi yang bersangkutan, dan karena itu merupakan bagian dari apa yang diproses. Dalam komponen kedua di dalamnya mencakup persoalan penentuan perangkat tindakan manakah yang paling memenuhi, moral yang ideal, apa yang seharusnya dilakukan dalam situasi yang bersangkutan. Ada dua tradisi penelitian pokok yang memberikan deskripsi mekanisme yang tercakup dalam dua komponen diantaranya adalah : a. Tradisi pertama berasal dari postulat psikologi sosial yang menyatakan bahwa norma-norma sosial menentukan bagaimana suatu perangkat tindakan itu hendaknya didefinisikan. Norma-norma sosial itu tersikap dalam bentuk “dalam suatu situasi dengan keadaan X, seseorang harus melakukan Y. Ada berbagai norma sosial yang dijadikan sebagai postulat : pertanggungjawaban sosial, keadilan, perasaan timbal balik, dan norma pemberian. Sebagai contoh, norma pertanggungjawaban sosial (Berkowitz dan Daniels, 1963) menuntut bahwa apabila Anda menangkap kebutuhan yang dirasakan orang lain sedang ia tergantung pada Anda, maka Anda berkewajiban untuk menolongnya. Menurut ungkapan norma sosial,
27
manakala seseorang dihadapkan pada suatu masalah moral, maka ia akan menafsirkan situasi tersebut dan dalam tafsiran itu, ia akan menagkap suatu konfigurasi keadaan selaras dengan suatu konfigurasi dalam selaras dengan suatu norma sosial tertentu. Berkenaan dengan keadaan itu, maka “berlakulah” suatu norma sosial. Demikianlah pendekatan “norma sosial” itu menjelaskan bagaimana seseorang menentukan perangkat tindakan mana yang hendak diambil dalam situasi tertentu. Sejalan dengan pendekatan norma sosial, perkembangan moral hanya merupakan suatu cara bagaimana mendapatkan sejumlah norma sosial tertentu, dan bagaimana norma-norma itu menjadi aktif dengan situasi khusus serta bagaimana pemunculannya. b. Tradisi penelitian pokok kedua yang bersangkutan dengan komponen dua ialah penelitian perkembangan kognisi, yang ternyata pendekatan “norma sosial” yang memusatkan perhatiannya dengan cara kognisi memfokuskan pada peningkatan pemahaman akan tujuan, fungsi serta esensi penataan sosial. Pusat perhatiannya tertuju pada alasan pemantapan penataan bersama, khususnya bagaimana masing-masing peserta dalam perbuatan bersama itu dapat bekerjasama dan saling menguntungkan. Komponen ketiga yaitu tentang persoalan pengambilan keputusan mengenai apa saja yang sebenarnya diharapkan seseorang dengan menyeleksi berbagai perangkat nilai yang dihadapi serentak. Menarik perhatian bahwa seseorang mungkin menyadari kemungkinan apa yang dapat timbul sebagai hasil rangkaian perbuatannya, dan masing-masing perbuatannya itu mewakili perangkat nilai dan motif tertentu. Dan tidak jarang pula bahwa suatu nilai yang tidak sejalan
28
dengan kaidah moral, dengan demikian kuat dan menarik, sehingga orang memilih-milih apakah ia hendak melakukan perangkat tindakan yang tetap menaati citra moralnya atau memilih untuk mengadakan komfromi dengan nilai tersebut. Misalkan seseorag menyadari bahwa sejumlah perangkat tindakan dalam suatu situasi tertentu, maka masing-masing yang membawa kapada jenis hasil atau tujuan yang berbeda, persoalan mengapa orang memilih alternatif yang berbobot moral, lebih-lebih apabila tindakan tersebut bersangkutan dengan penghalusan perhatian seseorang atau ketahanan menghadapi tekanan, apakah yang memotivasi perilaku moral itu. Di bawah ini diajukan beberapa teori tentang motivasi moral secara singkat, diantaranya : a. Orang berlaku secara moral, karena evolusi telah menelorkan sikap altruisme ke dalam gen keturunan kita (misalnya, E. Willson, 1975). b. “kesadaran telah membuat kita jadi pengecut” itu adalah sifat-sifat pemalu, rasa bersalah, perasaan negatif yang telah dikondisinisasikan, dan ketakutan terhadap Tuhan (misalnya, Aronfreed, 1968; 1976). c. Tidak ada motivasi khusus untuk menjadi manusia yang bermoral; manusia hanya memberikan respons terhadap berbagai penguatan (reinforcement) atau kesempatan untuk meniru serta mempelajari prilaku sosial (Bandura, 1997, Goldiamond, 1968). d. Pemahaman sosial tentang bagaimana kebersamaan berfungsi dan pengorbanan orang untuk memungkinkan hal tersebut terlaksana, menuntun kepada motivasi moral (misalnya, Dewey, 1959; Piaget, 1932/1965; “pencerahan liberal”)
29
e. Motivasi moral dijabarkan dari rasa kagum atau takut dan mengabdikan diri kepada sesuatu yang dirasakan atau dipandang lebih besar dari dirinya sendiri, mengidentifikasikan diri dengan sikap berkorban atau dedikasi terhadap negara dan masyarakat, ataupun sikap hormat dan memuja kepada yang dipandang suci (misalnya Durkheim, 1992/1961; Erikson, 1958) f. Empati merupakan dasar dari motivasi altruistik (misalnya, Hoffman 1977) g. Pengalaman hidup dalam keadilan dan masyarakat yang menunjukan kepedulian, dapat membewa kita kepada pemahaman tentang kemungkinan timbulnya masyarakat yang kooperatif dan hal ini selanjutnya dapat membawa kepada kesetiaan terhadap moral (misalnya, Rawis, 1971) h. Yang memotivasi tindakan moral ini adalah kepedulian terhadap integrasi diri dan integritas orang sebagai suatu perantara moral. Kedelapan teori tentang motivasi moral ini menunjukan terdapatnya keragaman pandangan mengenai masalah ini diantara berbagai ahli. Komponen
keempat
mengimplementasikan
suatu
yaitu
mengambil
rencana
kegiatan
keputusan mencakup
serta persoalan
memperkirakan urutan langkah atau tindakan yang kongkret yang harus diambil, memperkirakan bagaimana mengatasi hambatan serta kesulitan yang tidak terduga, menghindarkan rasa jemu dan frustasi, menolak penyimpangan dan berbagai bujukan, serta tidak melepaskan diri dari wawasan dan tujuan. Para psikolog ada kalanya merujuk kepada anggapan bahwa hal-hal tersebut diatas mencakup persoalan ego-strength atau keterampilan mengetur diri. Penelitian mengenai hal ini mencakup penelitian Mischel dan Mischel (1976), yang
30
termasuk memiliki anggapan seperti itu menunjukan tentang adanya perbedaan individual dalam ego-strength dan penurunan dalam keputusan serta keterampilan pengaturan diri. Krebs (catatan 1) melaporkan bahwa orang-orang yang tergolong kepada tahapan 4 dari pola Kohlberg, yang termasuk tinggi ukuran ego-strength nya, menunjukkan kurang perilaku serongnya dibanding dengan orang-orang yang tergolong ke dalam tahapan 4 yang termasuk rendah ego-strength nya, hal ini menimbulkan dugaan bahwa mereka tinggi ego-strength nya itu memiliki pula rasa bersalah yang lebih kuat, sedang mereka yang tergolong kepada tahapan 4 dengan ego-strength yang rendah mempunyai pula rasa bersalah tersebut, akan tetapi ia tidak menuangkannya ke dalam tindakan. Berbagai jalur penelitian mengandung juga anggapan bahwa suatu kekuatan batin tertentu, suatu kemampuan untuk memaksakan diri bertindak, merupakan suatu faktor dari lahirnya perilaku moral. 2. Kesadaran Moral dan Unsur Kesadaran Moral Kehidupan manusia dari waktu ke waktu tidak terlepas dari turan –aturan yang tentunya mengikat, untuk hidup sesuai dengan aturan tersebut manusia memerlukan kesadaran hakiki yang melandasi setiap sikap dan gerak dalam kehidupanny. Seperti halnya dalam kehidupan di masyarakat, dimana normanorma atau aturan moral harus dijalankan maka manusia dapat dikatakan bermoral jika manusia tersebut memiliki kesadaran moral. Kesadaran merupakan suatu hal yang bersifat fundamental, menyangkut hati nurani manusia. Pada prinsipnya manusia memiliki kesadaran yang berbedabea, karena kesadaran yang dimilikinya berdasarkan pada tingkat kematangan
31
manusia itu sendiri. Beberapa sarjana mengamukakan sejumlah tingkat kesadaran yang dimiliki manusia. Seperti yang diutarakan oleh N.Y Bull (dalam A. Kosasih Djahiri, 1985:24) menunjukan tingkat kesadaran sebagai berikut : a. Kesadaran yang bersifat Anomus, kesadaran atau kepatuhan yang tidak jelas dasar dan alasan orientasinya. Tentunya ini yang paling rendah dan sangat labil. b. Yang bersifat Heteronomus, yaitu kesadaran/kepatuhan yang berlandaskan dasar/orientasi/motivasi yang beraneka ragan atau bergantiganti. Inipun kurang mantap sebab mudah berubah oleh kesadaran atau suasana. c. Kepatuhan yang bersifat Sosionomus, yaitu yang berorientasi kepada kiprah umum karena khalayak ramai. d. Kesadaran yang bersifat Autonomus, adalah terbaik karena didasari oleh konsep atau landasan yang ada dalam diri sendiri.
Keempat tingkat kesadaran tersebut jika kita pahami ari sifat dan pengertiannya maka dapat dibedakan berdasarkan tingkat kematangan individu. Tentunya dalam hal ini kesadaran bersifat Autonomus merupakan tingkatan yang paling tinggi dan baik karena individu melakukan tindakan dalam kehidupannya didasarkan atas kesadaran yang datang dari dirinya sendiri. Jika dilihat dari segi kesadaran moral, maka kesadaran yang bersifat Autonomus inilah yang dikatakan sebagai kesadaran moral. Sementara itu A. Kosasih Djahiri (1985:25) mengemukakan bahwa beberapa sarjana membagi tingkat kesadaran menjadi tujuh tingkatan, yaitu sebagai berikut: a. Patuh/sadar karena takut pada orang/kekuasaan/paksaan (Authority Oriented) b. Patuh karena ingin dipuji (Good boy-Nice girl) c. Patuh karena kiprah umum/masyarakat (Contract Legality) d. Taat atas dasar adanya aturan dan hukum serta untuk ketertiban (Law & Order Oriented) e. Taat atas dasar keuntungan dan kepentingan (Utilitis=Hedonis)
32
f. Taat karena hal tersebut memuaskan baginya g. Patuh karena dasar prinsi ethis yang layak universal (Universal Ethical Priciple)
Tingkatan
kesadaran
tersebut
mendeskripsikan
bahwa
kesadaran
didasarkan pada beberapa situasai dimana individu berada yang tentunya menjadi motivasi untuk mengambil tindakan moral yang harus dilakukan. Kesadaran moral pada dasarnya dapat dikatakan sebagai hati nurani yang dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah conscience diambil dari Bahasa Yunani yang merupakan terjemahan dari Suneidesis yang ditujukan kepada kesadaran akan perbuatannya sendiri. Selain dikatakan sebagai hatu nurani, kesadaran dapat dikataan pula sebagai suara hati. Kesadaran moral/suara hati menurut F. Magnis. S (1990:53) adalah kesadaran moral kita dalam situasai kongkret, dimana secara moral kita akirnya harus memutukan sendiri apa yang akan kita lakukan. Dalam hal ini kesadaran moral/suara hati menjadi tolaik ukur kesadaran individu, dimana individu dapat dinilai bermoral. Dengan kata lain manusia yang memiliki kesadaran moral adalah manusia yang yang menggunakan suara hatinya dalam melakukan setiap tindakan dengan menggunakan keyakinan hati tanpa adanya motivasi untuk mendapat pujian dari orang lain. Pada dasarnya suara hati memuat anasir positif, dimana seseorang dituntuk untuk selalu berbuat baik, jujur, wajar, dan adil serta semua yang bersifat baik. Suara hati memberikan suatu penilaian moral seperti yang telah diutarakan sebelumnya bahwa apa yang dilakukan seseorang mencerminkan suara hatinya, sehingga menentukan pula sejauhmana kesadaran moral yang dimilikinya.
33
Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh F. Magnis. Suseno, seorang pakar yaitu W. Poespoprodjo (1999:242) mengartikan kesadaran moral sebagai hati nurani. Menurutnya hatu nurani adalah intelek sendiri dalam suatu fungsi istimewa, yaitu fungsi memutuskan kebenaran dan kesalahan perbuatanperbuatan individu kita sendiri. Hati nurani adalah suatu fungsi intelek. Fungsi intelek sendiri mengandung arti bahwa dalam mengambil suatu keputusan atau tindakan moral yang berdasarkan kesadaran/hati nurani, harus bertolak dari pemikiran atau akal. Moral yang berkembang di masyarakat harus diikuti oleh kesadaran moral setiap individu dalam menjalankan kehidupan yang berdasar atas norma dan moral yang berkembang di masyarakat. Hati nurani (kesadaran moral) dapat diberi batasan sebagai keputuan praktis akal budi yang mengatakan bahwa suatu perbuatan individual adalah baik yang harus dikerjakan atau suatu perbuatan buruk maka harus dihindari. Tiga hal tercakup dalam hati nurani adalah pertama
intelek sebagai
kemampuan yang membentuk keputusan-keputusan tentang perbuatan-perbuatan individual yang benar dan salah. Kedua, proses pemikiran yang ditempuh intelek guna mencapai keputusan semacam itu. Ketoga, keputusannya sendiri yang merupakan kesimpulan proses pemikiran ini. Hati nurani sebenarnya hanya mengatakan yang paling akhir itu, tetapi memuat kedua hal lainnya diatas. Maka hati nurani bisa berati tiga hal tersebut diatas (W Poesporodjo, 1999:243). Pada prinsipnya hati nurani dengan kenyataan menimbulkan pertentangan dalam individu. Dalam kehidupan manusia kebebasan sosial dibatasi oleh masyarakat yang disatu sisi dibatasi ula oleh moral, sehingga kesadaran moral
34
diperlukan sebagai jembatan bagi dua kenyataan yang bertolak belakang serta untuk
mempertanggungjawabkan
sikap
dan
tindakan
setiap
individu.
Pembentukan kesadaran moral sangatlah penting karena awal pembelajaran bagi setiap individu untuk hidup (berinteraksi) di masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat A. Charris Zubair (1990:51) bahwa: Kesadaran moral merupakan faktor pnting untuk memungkinkan tindakan manusia selalu bermoral, berperilaku susila, lagi pula tindakan akan sesuai dengan norma yang berlaku. Kesadaran moral didasarkan atas nilai-nilai yang benar-benar esensial, fundamental. Perilaku manusia yang berdasarkan atas kesadaran moral, perilakunya akan selalu direalisasikan sebagaimana seharusnya, kapan saja dan dimana saja. Perkembangan kesadaran moral setidaknya dilakukan pada tiga lemabaga normativ. Keluarga merupakan gerbang pertama bagi pembentukan kesadaran moral setiap individu. Menurut Frans Magnis Suseno (1990:49-50) didalam keluarga untuk pertama kalinya kita belajar apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang harus dianggap baik dan apayang tidak baik. Yang kedua adalah agama yang menurut kepercayaan, tindakan-tindakan tertentu dan sikap-sikap amat dasariah bagi individu dan masyarakat. Sedangkan yang ketiga adalah Negara yang menetapkan norma-norma hukum dan peraturan –peraturan yang wajib ditaati. Menurut Frans Magnis (dalam Endang Soemantri 1993:31) menyebut tiga unsur kesadaran moral yaitu: a. Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan moral, melakukan tindakan moral itu ada dan terjadi di dalam setiap hati sanubari manusia. b. Rasional, karena beraku umum, lagipula terbuka bagi pembenaran dan pengangkalan.
35
c. Kebebasan, atas kesadaran moralnya seseorang bebas untuk menaatinya. Bebas dalam menentukan perilakunya dan di dalam penentuan itu sekaligus terpampang nilai manusia itu sendiri.
Sedangkan Poedjawijatna (dalam Endang S. 1993:31) berpendapat kata hati (istilah lain bagi kesadaran moral) bertindak sebagai berikut: a. Index atau petunjuk Memberi petunjuk tentang baik buruknya suatu tidakan yang mungkin akan dilakukan seseorang. b. Iudex atau hakim Sesudah tindakan dilakukan, kata hati menentukan baik buruknya tindakan. c. Vindex atau menghukum Jika ternyata tindakan itu buruk, maka dikatakan dengan tegas dan berulangkali bahwa buruklah itu. Sementara Prof. Notonegoro (dalam Endang S. 1993:32) menguraikan unsur kesadaran moral menjadi dua bagian yaitu: a. Sebelum Sebelum melakukan tindakan, kata hai sudah memutuskan suatu diantara empat hal, yaitu memerintahkan, melarang, menganjurkan, dan atau membiarkan. b. Sesudah Sesudah melakukan tindakan, bila bermoral diberi penghargaan, bila tidak bermoral dicela atau dihukum. Vernon J Bourke (dalam A. H. Zubair, 1990:57) menampilkan bagan tentang petunjuk rasional mengenai proses penalaran praktis dalam tindakan manusia yaitu pada tahap conscience (kesadaran kata hati), tahap mana merupakan prinsip keempat dari norma dasar bagi pertimbangan moral, dilihat atas kedudukan akal manusia di dalam konteks semesta lainnya, yaitu dalam urutan jenjang mahluk alami yang paling rendah sampai pda suatu yang tertinggi,
36
dari mahluk alami sampai akal abadi Tuhan. Dengan melihat bagan tersebut, ternyata kesadaran mora memuat adanya kewajiban, rasional, objektif dan adanya kebebasan. Dari ketiga pendapat diatas dapat ditari kesimpulan bahwa kesadaran moral lahir dari jiwa setiap individu dimana setiap tindakan yang bermoral atau tidak ditentukan oleh hati nurani, maka tindakan yang bermoral akan muncul apabila manusia sebagai mahluk individu memiliki kesadaran moral untuk melakukan tindakan tersebut. Selain memiliki kesadaran moral, individu harus pula memiliki rasa empati dalam dirinya. Karena dengan adanya rasa empati, maka individu dapat mengontrol tindakannya sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. BAGAN
Skema Kesadaran Moral Venon J Burke
37
3. Perkembangan Moralitas Pada dasarnya perkembangan moral di dominasi oleh perilaku prososial yaitu suatu perilaku yang positif, perilaku yang menguntungkan orang lain. (Wiliam M. Kurtines dan Jacob. L.G, 1992:677). Perkembangan moral manusia terjadi melalui bberapa tahapan, tahapan perkembangan moral menurut Lawrence Kohlberg (dalam Ceppy.H, 1995:231) dibagi kedalam tiga tahapan yaitu: a. Tingkat Pra Konvensional, pada tahap ini anak tanggap terhadap aturanaturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini inti dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran kebaikan). Terdapat dua tahap pada tingkat ini yaitu : Tahap 1 orientasi hukuman dan kepatuhan Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya tanpa menghiraukan arti dan nilai-nilai manusiawi dari akibat tersebut. Tahap II orientasi relativis instrumental Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan dipasar terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. b. Tingkat Konvensional, pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa dan dipandang sebagai al yang bernilai dalam dirinya sendiri tanpa mengindahkan akibat yang segara dan nyata. Sikapnya bukan saja konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib itu serta mengidentifikaskan diri dengan orang atau kelompok yang terlibat. Tingkat ini mempunyai suatu harapan yaitu: Tahap III : orientasi keepakata antara pribadi atau orientasi anak manis dimana perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui mereka. Tahap IV : orientasi hukum dan ketertiban Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata tertib sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan
38
kewajiban sendiri. Menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri . c. Tingkat pasca konvensional, otonom atau yang berlandaskan prinsip. Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsipprinsip itu dan terlepas pula identifikasi individu itu sendiri. Ada dua tahap pada tingkatan ini yaitu: Tahap V : orintasi kontak sosial legalitas Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi bersesuaian dengannya, terdapat suatu penekanan atas aturan apa yang telah disepakati. Tahap VI : orientasi prinsip etika universal Hak ditentukan oleh keputusan suara batin sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universal, konsistensi dan logis. Dengan teori ini terlihat baha kohlberg lebih menitikberatkan pada tingkat kognitif individu akan mempengaruhi pada kematangan moral. Hal ini didasarkan bahwa perkembangan moral melalui tingkat kognitif berjaln tahap demi tahap. Sedangkan tingkah laku individu tidak akan mempengaruhi perkembangan moral individu. Bebeda halnya dengan Piaget yang lebih menitikberatkan perkembangan pertimbangan moral pada usia permulaan. Menurut Piaget (Cheppy Haricahyono, 1995:266) ada dua tahapan yang harus dilewati setiap individu yaitu: a.
b.
Heteronomus atau realisme moral. Dalam tahap ini anak cenderung menerima begitu saja aturan-aturan yang diberikan oleh orang-orang yang dianggap kompeten untuk itu. Autonomous Morality atau indenpendensi moral. Dalam tahap ini anak sudah mempunyai pemikiran dan perlunya memodifikasi aturan-aturan untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Adapun tahap perkembangan moral menurut Piaget tersusun berdasarkan
usia-usia permulaan anak (dalam Ceppy H. 1995:266) :
39
a. Tahap pertama Anak yang paling muda daru usia kira-kira 0-2 tahun. Dalam usia ini tidak ada aturan yang mengendalikan aktivitas mereka, semata-mata hanyalah aktivitas motorik yang tidak dikendalikan oleh tujuan akal manapun. Jadi dari segi pelaksanaan peraturan kita dapati bahwa pada tahapan ini hanyalah aktivitas motorik dan tidak ada kesadaran akan peraturan yang harus diataati. b. Tahap kedua Antara usia 2-6 tahun dia mulai menirukan tata cara yang diamatinya. Sekarang dia sadar bahwa ada aturan-aturan yang mengatur kegiatan ini, dan walaupun pengetahuannya mengenai aturan ini masih sangat kurang lengkap. Ia menganggap bahwa aturan suci dan tidak dapat diganggu gugat. Pelaksanaan peraturannya bersifat egosentris artinya dia menirukan apa yang dilihatnya untuk tujuan sendiri, tanpa sadar bahwa ia terpisah dari permainan itu sebagai suatu aktivitas bersama. c. Tahap ketiga Antara umur 7-10 tahun, anak-anak beralih dari kesenangan psikomotorik murni ke arah kesenangan yang didapatkan dari persaingan dengan teman-temannya sesuai dengan peraturan yang disetujui. Anakanak yang lebih muda dalam tahap ini masih dipengaruhi oleh kepatuhan heteronomy kepada peraturan, tetapi berbeda dari tahap egisentris peraturan di sini dianggap esensial untuk mengatur permainan sebagai suatu aktivitas sosial. Teori Piaget ini didasarkan pada kesadaran manusia untuk memenuhi peraturan dan pelaksanaan peraturan tersebut. Hal ini disesuaikan dengan tingkat umur seta orientasi masing-masing individu. Orientasi tersebut berkembang dari sikap heteronom (bahwa peraturan berasal dari luar seseorang) ke sikap yang otonom (bahwa peraturan ditentukan pula ole subjek yang bersangkutan). Dengan demikian bagi seorang anak semua peraturan adalah sama, sehingga perkembangan rasa hormat pada peraturan moral sama dengan perkembangan rasa hormat pada peraturan bemain anak-anak. Dari kedua teori diatas, tahap perkembangan moral menuju kematangan moral ditentukan oleh faktor usia serta pendidikan moral di lingkungan keluarga.
40
4. Pendidikan Moral Pendidikan meupakan suatu dimensi dalam kehidupan manusia yang sangat penting, dikatakan penting karena dimensi tersebut mempengaruhi kelangsungan hidup manusia. Pendidikan memuat makna universal dan memiliki nilai untuk mancerdaskan umat manusia. Beberapa pakar memberikan definisi menganai pendidikan secara berbeda salah satunya pendapat yang dikemukakan oleh A. Kosasi Djahiri (1985:3) bahwa “pendidikan adalah merupakan upaya yang terorganisir, berencana dan berlangsung kontinyu (terus menerus sepanjang hayat) ke arah membina manusia/anak didik menjadi insan paripurna, dewasa dan berbudaya (Civilized).” Dalam pengertian ini, pendidikan dijadikan sebagai suatu proses hidup manusia, dimana manusia tersebut dibina dan mendapatkan pengalaman yang berbeda. Proses tersebut dilakukan sepanjang hayat, yang didalamnya memuat perubahan ke arah yang lebih positif. Pendidikan moral di zaman modern menjadi sebuah fenomena kemasyarakatan untuk menangkal pengikisan nilai-nilai budaya serta normanorma yang ada di masyarakat sebagai dampak globalisasi. Pendidikan moral ditempatkan sebagai bagian integral dari sistem kepandidikannya. Latar belakang timbulnya pendidikan moral pada masyarakat modern (Haricahyono, 1995:2-3) antara lain : 1. Sulitnya menemukan satu model moral yang boleh dikatakan kohern yang dengan mudah dapat di imitasi oleh anak-anak 2. Adanya kecenderungan masyarakat masyarakat modern untuk mulai memisahkan kehidupan keagamaannya dari aktivitas hidup sehariharinya.
41
Proses pengembangan sistem nilai antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain bervariasi, sebab setiap masyarakat biasanya akan mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan polanya sendiri-sendiri, sesuai dengan situasi kondisi yang dimilikinya. Ilustrasi tersebut tentunya akan mempengaruhi pada upaya pengembangan moral. Pada abad ke-21 ini atau zaman globalisasi dan modernisasi menjadi tantangan bagi dunia pendidikan termasuk pendidikan nilai dan moral. Pendidikan nilai dan moral diperlukan sebagai upaya mempertahankan jati diri bangsa serta melastarikan nilai-nilai budaya dan norma-norma yang berlaku di masyrakat. Pendidikan nilai moral sangat diperlukan oleh generasi muda sebagai penerus bangsa dan perangkat efek negatif dari globalisasi. Hal ini sependapat dengan A. Kosasih Djahiri (1995:21) bahwa : Pengajaran nilai moral menghendaki lahirnya generasi muda yang memiliki sejumlah bekal sistem nilai bku yang positif sebagai landasan dan barometer kehidupan yang lebih jauh lagi sebagai generasi penerus dan pembaharuan nilai/moral menuju nilai dan moral yang diinginkan, yitu nilai dan moral pancasila. Sejalan dengan hal tersebut terdapat pendapat yangg dikemukakan oleh Numan Somantri (2001:220-225) bahwa : Pendidikan moral di Indonesia adalah suatu pogram pendidikan (Sekolah dan Luar Sekolah) yang mengorganisasikan dan menyederhanakan sumber-sumber moral dan disajikan dengan memperhatikan pertimbangan psikologis untuk tujuan pendidikan. Pendidikan moral harus memuat public culture dan privat culture yang tidak bisa dilepaskan dari upaya meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dalam pendidikan moral, isi harus memuat latihan moral, pengkondisian moral, ditambah bahan pengetahuan dan masalah sosial agar terjadi moral reasoning dan cognitif moral develpment, dengan metode field psychology
42
melalui pendekatan problem solving dan inquiry. Sehingga keberhasilan dalam pendidikan moral merupakan tanggung jawab bersama. Dari pernyataan diatas, maka pandidikan nilai dan moral meliputi seluruh aspek dari pengetahuan (kognotif), baik dan buruk (afektif), ikap (psikomotor) dengan melibatkan lingkungan kehidupan fisik dan nonfisik. Oleh karenanya apabila tujuan pendidikan moral akan mengarahkan seseorang menjadi bermoral maka yang penting ialah bagaimana agar seseorang dapat menyesuaikan diri dengan tujuan hidup di masyarakat (Dreeben, dalam Numan S. 2001:220). Pendidikan nilai moral dapat dilakukan di tiga lingkungan yakni lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. 5. Pendidikan Nilai Moral dalam Keluarga Keluarga sebagai tempat berkumpul dan tempat berkumpul dan tempat curahan kasih sayang menjadi alat yang utamadalam menambahkan nilai dan norma pada anak. Namun, saat ini pendidikan nilai moral dalam keluarga tergerus. Menurut A Kosasih Djahiri (2006:4) mengungkapkan bahwa : Proses emoting-minding, spritualizing, valuing dan mental round trip dikalahkan oleh proses thinking dan rationalizing. Pmbelajaran berlanskan nilai moral yang normative/luhur/suci/religius kalah oleh pembelajaran theoritic-conceptual based dan perhitungan untung rugi rasional-keilmuan dan atau yuridis formal. Potret ini sudah nampak dalam pendidikan informal dalam keluarga, pembinaan dan pendidikan anak (termasuk agama dan budi luhur) mulai kurang diperdulikan dan sudah diserahkan kepada instansi lain yakni guru dan sekolah. Rumah dan keluarga mulai tererosi dari status dan role behaviour bakunya (agama & cultural) dan hanya menjadi “symbol terminal berkumpul dan sumber status sosial-ekonomi.” Dengan demikian, fungsi pendidikan keluarga mulai berkurang yang berimbas pada perilaku generasi muda. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan ajaran agama islam, sebagaimana yang diungkapkan oleh M.A Priyatno
43
(1996: 51) bahwa perlu disadari maju mundurnya suatu negara, tenag tentramnya suatu negara atau aman tidaknya suatu negara pada hakikatnya adalah terletak pada aman dan tidaknya tiap-tiap ruma tangga. Maka, kasus dekandensi moral pada remaja/ generasi muda terkait dengan lingkungan keluarga menurut Sudarsono (dalam W. Poespoprodjo, 1999:23) yakni menanamkan dasar pendidikan moral dan memberikan dasar pendidikan sosial. Pembinaan moral pertama kali harus dilakukan di rumah, sekolah hanya menambahan pemahaman moral yang kurang dalam keluarga. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa keluarga merupakan gerbang pertama dalam penanaman pendidikan nilai terhadap anak. Di dalam keluarga pembelajaran pendidikan nilai moral ditanamkan melalui aturan-aturan moral yang disepakati. Tentunya hal ini akan membuat pengalaman bagi anak berupa interaksi sosial serta menentukan pola tigkah laku pada anak di masa yang akan datang
A. Konsep Etika Pergaulan 1. Pengertian etika Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah "Ethos", yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu "Mos" dan dalam bentuk jamaknya "Mores", yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk.
44
Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilainilai yang berlaku. Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu: a. Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). b.
Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.
Terminius Techicus mengemukakan pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia.
Manner dan Custom membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian "baik dan buruk" suatu tingkah laku atau perbuatan manusia. Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya, antara lain :
Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak (The principles of morality, including the science of good and the nature of the right). Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari kegiatan manusia (The rules of conduct, recognize in respect to a particular class of human actions). Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai individual (The science of human
45
character in its ideal state, and moral principles as of an individual). Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty).
Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya. Termasuk di dalamnya membahas nilai-nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika, terdapat dua macam etika (Keraf: 1991: 23), sebagai berikut:
Etika deskriptif adalah etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya.
Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.
Etika Normatif adalah etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika Normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar manusia
46
bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat. Dari berbagai pembahasan definisi tentang etika tersebut di atas dapat diklasifikasikan menjadi tiga (3) jenis definisi, yaitu sebagai berikut:
a.
Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia.
b. Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan
yang
membicarakan baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologi c.
Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup informasi, menganjurka dan merefleksikan. Definisi etika ini lebih bersifat informatif, direktif dan reflektif.
2. Etika Pergaulan
Dalam buku Pedoman Perilaku Mahasiswa (Keputusan SA No.002/SenatAkd./UPI-SK/VIII/2007)
47
BAB IV
Sikap dan Perilaku mahasiswa
Bagian Pertama
Bagian Umum
Pasal 6
(1) Mahasiswa sebagai anggota sivilitas akademik Universitas menaati norma umum yang berlaku. (2) Mahasiswa memelihara dan menjaga kebersihan, keindahan, ketertiban, serta keamanan sarana dan prasarana di lingkungan Universitas (3) Mahasiswa mempunyai kepedulian dan kepekaan terhadap kehidupan kampus yang edukatif, ilmiah, dan religius (4) Mahasiswa menaati tata tertib, baik dalam kegiatan akademik maupun non akademik Bagian Kedua Sikap Hidup Pasal 7 (1) Mahasiswa selalu berorientasi pada kebermaknaan dan kebermanfaatan dengan yang memandang hidup sebagai kesempatan melakukan pengabdian diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
48
(2) Mahasiswa memiliki sikap hidup optimis, aktif kreatif, positif dan terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (Ipteks), serta senantiasa memperluas jejaring keilmuannya. (3) Mahasiswa sebagai calon pendidik yang ilmuwan dan calon ilmuwan yang pendidik memiliki integritas pribadi dalam performansi, hangat dalam berinteraksi, menghargai waktu, memiliki sikap simpati dan empati kepada kehidupan orang lain, serta komunikatif dalam bertutur kata. (4) Mahasiswa senantiasa mengendalikan diri dan tidak mementingkan diri sendiri. (5) Mahasiswa menjauhkan diri dari sikap perasaan rendah diri, tidak percaya diri, sombong dan angkuh (arogan), apriori pada pendapat orang lain, serta pesimistik dalam memandang keadaan, kehidupan, dan masa depan.
Bagian Ketiga Etika Penampilan Pasal 8
Sesuai dengan motto Universitas sebagai kampus yang Edukatif, ilmiah, dan religius, etika penampilan mahasiswa di dalam kampus sebagai berikut :
(1). Berbusana dan berdandan yang bersih, rapi, sopan, dan serasi sesuai dengan martabatnya sebagai calon pendidik dan/atau ilmuwan, dengan memperhatikan situasi dan kondisi, serta budaya dan agama.
49
(2). Tidak diperbolehkan menggunakan sandal, selop, kaos oblong, dan/atau pakaian yang kurang sopan dalam proses pembelajaran dan/atau kegiatan akademik lainnya.
(3). Mahasiswa perempuan dalam berbusana tidak diperbolehkan menggunakan busana yang mini, ketat, dan tembus pandang, serta menggunakan perhiasan dan ber-make up berlebihan.
(4). Mahasiswa laki-laki tidak diperbolehkan menggunakan perhiasan seperti perempuan dan berambut panjang.
Bagian Keempat Perilaku Bertutur Kata, Memanggil, dan berpendapat Pasal 9 (1) Mahasiswa dalam bertutur kata menggunakan bahasa yang memiliki makna dan pesan yang jelas, serta menghindari bahasa yang menyindir, melecehkan, mengejek, dan menyinggung perasaan orang lain. (2) Mahasiswa dalam bertegur sapa, memanggil, dan bercengkrama menggunakan bahasa dan cara yang sopan, wajar dan menyenangkan. (3) Mahasiswa dalam memanggil perlu memperhatikan jarak yang wajar dengan menggunakan bahasa dan cara yang santun. (4) Mahasiswa dalam berpendapat bersikap terbuka dengan memperhatikan kebenaran hakiki, kebenaran ilmiah, dan kebenaran umum.
50
Bagian kelima Perilaku Berkreasi Pasal 10 (1) Mahasiswa dalam berkreasi menjaga kebersihan, kaindahan, ketertiban, dan keamanan. (2) Mahasiswa dapat berkreasi tidak mengganggu proses pembelajaran dan kegiatan akademik lainnya.
Bagian keenam Perilaku Mobilitas Pasal 11 (1) Mahasiswa dalam berkendaraan di kampus a. Kecepatan maksimum 20 km/jam b. Mematuhi rambu-rambu lalu lintas dan marka jalan yang telah ditentukan c. Menjaga ketertiban, keselamatan, dan kemanan d. Memarkir kendaraan dengan tertib pada tempat yang telah disediakan e. Tidak menimbulkan polusi suara dan/atau udara (2) Mahasiswa di kampus : a. Berjalan di pinggir jalan dan tidak bergerombol sehingga menutupi badan jalan; b. Tidak berbincang-bincang dengan kawan di tengan pintu, koridor, atau jalan; c. Tidak duduk-duduk di pintu, tangga, jalan, dan koridor
51
Etika dalam berperilaku mahasiswa dalam rangka menciptakan kehidupan ilmiah yang kondusif di dalam dan di luar lingkungan kampus, maka perlu diketahui etika perilaku sebagai mahasiswa adalah sebagai berikut :
1). Etika Pergaulan di Lingkungan Kampus a. Berpakaian dan bersepatu rapi di lingkungan kampus; b. Menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah; c. Mengetahui, memahami dan melaksanakan peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan kampus dan berusaha tidak melanggar; d. Memberi contoh yang baik dalam berperilaku kepada adik tingkat, teman setingkat dan kakak tingkat; e. Saling menghormati dan menghargai terhadap sesama mahasiswa; f. Berperilaku dan bertutur kata yang sopan, baik di dalam kelas dan di luar kelas yang mencerminkan perilaku sebagai mahasiswa dan dijiwai oleh nilainilai agama / kepercayaan yang dianut; g. Tidak berperilaku asusila atau tidak bermoral; h. Bersedia menerima sanksi yang ditetapkan atas pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku sebagai bagian dari pendidikan disiplin. 2). Etika Pergaulan di Luar Kampus a. Menjadi contoh yang baik di lingkungan dimana mahasiswa tersebut berada b. Berperilaku dan bertutur kata yang baik yang mencerminkan sebagai mahasiswa
52
c. Berupaya mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dipelajarinya di masyarakat sebagai wujud pengabdian d. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi di luar kampus. Tata krama dalam pergaulan merupakan aturan kehidupan yang mengatur hubungan antar sesama manusia. Tata krama pergaulan berkaitan erat dengan etiket atau etika. Kata etiket berasal dari bahasa perancis Etiquette yang berarti tata cara bergaul yang baik, dan etika berasal dari bahasa latin Ethic merupakan pedoman cara hidup yang benar dilihat dari sudut Budaya, Susila dan Agama. Dasar - dasar etiket terdiri dari :
1. Bersikap sopan dan ramah kepada siapa saja. 2. Memberi perhatian kepada orang lain. 2. Berusaha selalu menjaga perasaan orang lain. 3. Bersikap ingin membantu. 4. Memiliki rasa toleransi yang tinggi. 5. Dapat menguasai diri, mengendalikan emosi dalam situasi apapun.
Jadi pada prinsipnya dalam etiket anda harus ' Selalu berusaha untuk menyenangkan orang lain. Manfaat etiket dalam kehidupan seorang manusia adalah :
a. Membuat anda menjadi disegani, dihormati, disenangi orang lain. b. Memudahkan hubungan baik anda dengan orang lain (Better Human Relation). c. Memberi keyakinan pada diri sendiri dalam setiap situasi.
53
d. Menjadikan anda dapat memelihara suasana yang baik dalam berbagai lingkungan, baik itu lingkungan keluarga, pergaulan, dan tempat dimana anda bekerja. 3. Pergaulan bebas Moralitas remaja saat ini, tampak nya terus menjadi fakta yang layak disesali. Berbagai aksi penyimpangan dari kalangan remaja telah menjadi wacana mengerikan, mulai dari tawuran, free seks, narkoba, perampokan, sampai para pemerkosaan yang dilakukan oleh kalangan remaja kita semakin membenarkan akan begitu parahnya kondisi moralitas remaja kita saat ini. Remaja telah mulai kehilangan kekuataan moralitasnya, sehingga degradasi moralitas di kalangan mereka sangat sulit untuk diselesaikan. Masalah tersebut, sebenarnya tidak bisa terlepas akibat faktor yang tidak asing lagi di telinga kita, yaitu pergaulan bebas yang tidak lagi terkontrol. Pergaulan bebas yang biasanya terjadi di kalangan remaja, mudah dilakukan, karena pada masa ini, para remaja memiliki kondisi mental dan pemikiran yang sangat labil, sehingga mudah terjebak pada hal-hal yang tidak baik dilakukan. Kondisi labil tersebut, sangat berpengaruh terhadap kehidupan remaja, sehingga mereka sangat mudah terjebak dengan arus kehidupan yang dihadapinya, sekalipun arus tersebut akan membuat dirinya menyesal di hari kemudian, termasuk melakukan hal-hal yang abnormal sekalipun. Remaja cenderung tidak pernah menyadari bahwa setiap perilaku asosial dan tanpa etika, akibat dari pergaulan yang dilakukan tanpa kontrol.
54
Oleh karenanya, ketika pergaualan yang menjadi akar masalah, perlu diupayakan agar remaja dapat menjauhi perbuatan-perbuatan yang tidak baik, sehingga akan tercipta satu model pergaulan yang bahkan akan dapat memberikan dampak nyata terhadap pergaulan. Untuk memutus masalah pergaulan yang tidak baik, yang harus dilakukan adalah mengarahkan kembali pola pergaulan remaja dari pola pergaulan yang tidak berorientasi pada basis moralitas ke arah pergaulan yang sesuai dengan etika pergaulan, yaitu dengan cara menghindarkan remaja dari pola pergaulan tanpa moral, dengan pola pergaulan dirnana nilai-nilai moral dapat menjadi pegangan pergaulan mereka. 4. Akibat pergaulan bebas Pengertian pergaulan bebas itu adalah salah satu bentuk perilaku menyimpang, yang mana “bebas” yang dimaksud adalah melewati batas-batas norma ketimuran yang ada. Masalah pergaulan bebas ini sering kita dengar baik di lingkungan maupun dari media massa. Remaja adalah individu labil yang emosinya rentan tidak terkontrol oleh pengendalian diri yang benar. Masalah keluarga, kekecewaan, pengetahuan yang minim, dan ajakan teman-teman yang bergaul bebas membuat makin berkurangnya potensi generasi muda Indonesia dalam kemajuan bangsa. Dampak-dampak dari pergaulan bebas pergaulan bebas identik sekali dengan yang namanya “dugem” (dunia gemerlap)
yang menurut aturan hukum dan
norma tidak ada hal positifnya karena dari situlah akan muncul berbagai perbuatan negatif seperti minum minuman keras, mengkonsumsi narkoba, bahkan bisa melakukan free sex dan semua itu bisa berawal dari dugem.
55
Mengkonsumsi minuman keras tidak ada manfaatnya dari segi agama dan kesehatan, sudah sangat jelas bahwa minuman keras banyak sekali dampak negatifnya dilihat dari segi kesehatan, diantaranya bisa menyebabkan berat badan menjadi naik, tekanan darah tinggi, sistem kekebalan tubuh menurun, kangker, penyakit jantung, gangguan pernafasan dan gangguan hati, dan dalam ajaran agama islam pun minuman keras diharamkan karena banyak sekali dampak negatifnya dan diterangkan dalam Q.S Al baqarah ayat 219, dan Q.S Al Maa-idah ayat 90. Dalam kedua surat tersebut khamar (minuman keras) didalamnya terdapat dosa besar dan tidak bernanfaat bagi manusia dan termasuk perbuatan yang keji perbuatan syaitan. Sex bebas atau zina, adalah perbuatan yang dilarang agama, hukum dan kesehatan. Agama menjelaskannya dalam Q.S Al israa’ janganlah sekali-kali mendekati zina karena zina adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. Dari segi kesehatan free sex atau sex bebas bisa memimbulkan berbagai penyakit diantaranya penyakit kelamin dan HIV AIDS. Dalam hal berpakaian pula islam menganjurkan menutup rapat-rapat aurat bagi laki-laki maupun perempuan yang fungsinya untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan dan menjaga pandangan seseorang terhadap perbuatan jahat. Dengan memakai pakaian yang sopan dan menutup aurat maka akan terjaga perbuatan jahat seperti perkosaan, karena yang sering terjadi saat ini seseorang tidak bisa menahan hawa nafsunya ketika melihat seorang perempuan memakai pakaian yang sangat minim atau kurang sopan dan tidak menutup auratnya. Disini dijalaskan dalam Q.S Annur beriman
hendaklah
mereka
dan Q.S Al a’raf yang intinya kepada wanita menahan
pandangannya
dan
memelihara
56
kemaluannya, serta hendaklah menutup auratnya, kecuali pada suami, ayah, ataupun putera puteri suami mereka,atau saudara laki-laki mereka, dan allah telah menurunkan pakaian untuk menutupi aurat dan pakaian indah untuk perhiasan, dan pakaian taqwalah yang paling baik.
C. Pendekatan Mengenai Konsep diri 1. Definisi konsep diri Bentuk kepribadian anak menurut Hurlock (1999) bahwa dukungan khususnya keluarga atau kurangnya dukungan akan mempengaruhi kepribadian anak melalui konsep diri yang terbentuk, disamping itu menurut Brehm & Kassin (1989) konsep diri dianggap sebagai komponen kognitif dari diri sosial secara keseluruhan, yang memberikan penjelasan tentang bagaimana individu memahami perilaku, emosi, dan motivasinya sendiri. Secara lebih rinci Brehm dan Kassin mengatakan bahwa konsep diri merupakan jumlah keseluruhan dari keyakinan individu tentang dirinya sendiri. Pendapat senada diberikan oleh Gecas (dalam Albrecht, Chadwick & Jacobson, 1987) bahwa konsep diri lebih tepat diartikan sebagai persepsi individu terhadap diri sendiri, yang meliputi fisik, spiritual, maupun moral. Sementara Calhoun & Cocella (1995) mengatakan bahwa konsep diri adalah pandangan kita tentang diri sendiri, yang meliputi dimensi: pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan mengenai diri sendiri, dan penilaian tentang diri sendiri. Menurut Shavelson & Roger (1982), konsep diri terbentuk dan berkembang berdasarkan pengalaman
57
dan inteprestasi dari lingkungan, penilaian orang lain, atribut, dan tingkah laku dirinya. Sejalan dengan pendapat Brooks (dalam Rakhmat, 2002) konsep diri disini dimengerti sebagai pandangan atau persepsi individu terhadap dirinya, baik bersifat fisik, sosial, maupun psikologis, dimana pandangan ini diperolehnya dari pengalamannya berinteraksi dengan orang lain yang mempunyai arti penting dalam hidupnya. Konsep diri ini bukan merupakan faktor bawaan, tetapi faktor yang dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman individu berhubungan dengan orang lain, sebagaimana dikatakan oleh Grinder (1976) bahwa persepsi orang mengenai dirinya dibentuk selama hidupnya melalui hadiah dan hukuman dari orang-orang di sekitarnya. Partosuwido, dkk (1985) menambahkan bahwa konsep diri adalah cara bagaimana individu menilai diri sendiri, bagaimana penerimaannya terhadap diri sendiri sebagaimana yang dirasakan, diyakini dan dilakukan, baik ditinjau dari segi fisik, moral, keluarga, personal dan sosial. Konsep diri mempunyai arti yang lebih mendalam dari sekedar gambaran deskriptif. Konsep diri adalah aspek yang penting dari fungsi- fungsi manusia karena sebenarnya manusia sangat memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan dirinya, termasuk siapakah dirinya, seberapa baik mereka merasa tentang dirinya, seberapa efektif fungsi- fungsi mereka atau seberapa besar impresi yang mereka buat terhadap orang lain (Kartikasari, 2002). Batasan pengertian konsep diri dalam Kamus Psikologi adalah keseluruhan yang dirasa dan diyakini benar oleh seorang individu mengenai dirinya sendiri (Kartono & Gulo, 1987).
58
Berzonsky (1981) menyatakan bahwa konsep diri yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan moral tersebut adalah gambaran mengenai diri seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian berdasarkan harapannya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah pandangan atau penilaian individu terhadap dirinya sendiri, baik yang bersifat fisik, sosial, maupun psikologis, yang didapat dari hasil interaksinya dengan orang lain. 2. Pembentukan Konsep Diri Pembentukan konsep diri dimulai dari bayi kemudian terus berkembang sesuai pertumbuhan seorang individu yang berawal pada konsep-konsep pengertian disekitarnya. Walaupun awalnya terbentuk pengertian samar-samar, yang merupakan pengalaman berulang-ulang, yang berkaitan dengan kenyamanan atau ketidaknyamanan fisik, sehingga pada akhirnya akan membentuk konsep dasar sebagai bibit dari konsep diri (Asch dalam Calhoun & Cocella, 1990). Seperti dicontohkan bila anak diperlakukan dengan kehangatan dan cinta, konsep dasar yang muncul mungkin berupa perasaan positif terhadap diri sendiri, sebaliknya jika anak mengalami penolakan, yang tertanam adalah bibit penolakandiri di masa yang akan datang (Coopersmith dalam Calhoun & Cocella, 1990). Selain itu dijelaskan oleh Taylor, Peplau, & Sears (1994), bahwa pengetahuan tentang diri dapat berasal dari berbagai sumber, antara lain praktek sosialisasi, umpan balik yang diterima dari orang lain, serta bagaimana individu merefleksikan pandangan orang lain terhadap dirinya. Sementara itu, Cooley (dalam Albrecht dkk, 1987) mengatakan bahwa konsep diri seseorang
59
berkembang melalui reaksi orang lain, dalam artian bahwa konsep diri individu terbentuk melalui imajinasi individu tentang respon yang diberikan orang lain. Maka bila respon dari sesorang positif maka individu akan menerima respon positif menjadi perilaku yang positif sedangkan responnya negatif, individu tersebut akan menerima respon tersebut menjadi perilaku negatif. Albrecht, dkk (1987) yang mengatakan bahwa umpan balik terhadap perilaku individu yang didapat dari orang-orang yang cukup berarti (significant others) akan menjadi sangat penting, baik itu berupa hadiah maupun hukuman. Dalam perkembangannya, significant others dapat meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan kita (Rakhmat, 2002). Lebih lanjut dijelaskan, pada masa kanak-kanak, orangtualah yang berperan sebagai significant others. Pada masa selanjutnya, masa sekolah sampai remaja, peran teman sebaya menjadi lebih penting, dan ketika individu berada pada masa dewasa serta telah mencapai kemandirian secara ekonomi, peran orangtua secara berangsur-angsur menurun, dan digantikan oleh teman, rekan kerja, dan pasangan hidup (Albrecht dkk, 1987). Sedangkan Andayani & Afiatin (1996) menjelaskan bahwa konsep diri terbentuk melalui proses belajar individu dalam interaksinya dengan lingkungan sekitarnya. Interaksi tersebut akan memberikan pengalamanpengalaman atau umpan balik yang diterima dari lingkungannya, sehingga individu akan mendapatkan gambaran tentang dirinya. Begitu pentingnya penilaian orang lain terhadap pembentukan konsep diri ini, sehingga Allport
60
(dalam Helmi & Ramdhani, 1992) mengemukakan bahwa seorang anak akan melihat siapa dirinya melalui penilaian orang lain terhadap dirinya. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas disimpulkan bahwa mekanisme psikologis yang terjadi pada permasalahan tersebut adalah bagaimana remaja yang mempersepsi keluarganya harmonis cenderung mempunyai konsep diri yang positif. Selain itu konsep diri terbentuk melalui proses berkembang melalui interaksi individu dengan lingkungan sekitarnya yang diterima dari orang-orang yang berarti bagi individu dan bukan merupakan faktor bawaan. 3. Aspek-aspek Konsep Diri Berzonsky (1981) mengemukakan bahwa aspek-aspek konsep diri meliputi: a. Aspek fisik (physical self) yaitu penilaian individu terhadap segala sesuatu yang dimiliki individu seperti tubuh, pakaian, benda miliknya, dan sebagainya. b. Aspek sosial (sosial self) meliputi bagaimana peranan sosial yang dimainkan oleh individu dan sejauh mana penilaian individu terhadap perfomannya. c. Aspek moral (moral self) meliputi nilai- nilai dan prinsip-prinsip yang member arti dan arah bagi kehidupan individu. d. Aspek psikis (psychological self) meliputi pikiran, perasaan, dan sikap-sikap individu terhadap dirinya sendiri.
Sementara itu melengkapi pendapat di atas, Fitts (dalam Burns, 1979) mengajukan aspek-aspek konsep diri, yaitu : a. Diri fisik (physical self). Aspek ini menggambarkan bagaimana individu memandang kondisi kesehatannya, badannya, dan penampilan fisiknya.
61
b. Diri moral-etik (moral-ethical self). Aspek ini menggambarkan bagaimana individu memandang nilai-nilai moral-etik yang dimilikinya. Meliputi sifatsifat baik atau sifat-sifat jelek yang dimiliki dan penilaian dalam hubungannya dengan Tuhan. c. Diri sosial (sosial self). Aspek ini mencerminkan sejauhmana perasaan mampu dan berharga dalam lingkup interaksi sosial dengan orang lain. d. Diri pribadi (personal self). Aspek ini menggambarkan perasaan mampu sebagai seorang pribadi, dan evaluasi terhadap kepribadiannya atau hubungan pribadinya engan orang lain. e. Diri keluarga (family self). Aspek ini mencerminkan perasaan berarti dan berharga dalam kapasitasnya sebagai anggota keluarga. Dari uraian di atas dapat disimpulkan dalam menjelaskan aspek-aspek konsep diri, tampak bahwa pendapat para ahli saling melengkapi meskipun ada sedikit perbedaan, sehingga dapat dikatakan bahwa aspek-aspek konsep diri mencakup diri fisik, diri psikis, diri sosial, diri moral, dan diri keluarga. 4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri a. Usia
Grinder (1978) berpendapat bahwa konsep diri pada masa anak-anak akan mengalami peninjauan kembali ketika individu memasuki masa dewasa. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa konsep diri dipengaruhi oleh meningkatnya faktor usia. Pendapat tersebut diperkuat oleh hasil penelitiannya Thompson (dalam Partosuwido, 1992) yang menunjukkan bahwa nilai konsep diri secara umum berkembang sesuai dengan semakin bertambahnya tingkat usia.
62
b. Tingkat Pendidikan
Pengetahuan merupakan bagian dari suatu kajian yang lebih luas dan diyakini sebagai pengalaman yang sangat berarti bagi diri seseorang dalam proses pembentukan konsep dirinya. Pengetahuan dalam diri seorang individu tidak dapat datang begitu saja dan diperlukan suatu proses belajar atau adanya suatu mekanisme pendidikan tertentu untuk mendapatkan pengetahuan yang baik, sehingga kemampuan kognitif seorang individu dapat dengan sendirinya meningkat. Hal tersebut didasarkan pada pendapat Epstein (1973) bahwa konsep diri adalah sebagai suatu self theory, yaitu suatu teori yang berkaitan dengan diri yang tersusun atas dasar pengalaman diri, fungsi, dan kemampuan diri sepanjang hidupnya. c. Lingkungan
Shavelson & Roger (1982) berpendapat bahwa konsep diri terbentuk dan berkembang berdasarkan pengalaman dan interpretasi dari lingkungan, terutama dipengaruhi oleh penguatan-penguatan, penilain orang lain, dan atribut seseorang bagi tingkah lakunya.
D. Kajian Tentang Remaja/mahasiswa 1. Definisi Remaja Secara umum masa usia mahsiswa terentang dari 18/19 tahunn sampai 24/25 tahun. Rentang usia tersebut masih dapat dibagi-bagi atas periode 18/19 tahun sampai 20/21 tahun, yaitu mahasiswa dari semester 1 sampai dengan semester IV; dan periode usia 21/22ntahun sampai 24/25 tahun yaitu mahasiswa dari semester V sampai dengan smester VII (Winkel, 2004 : 175).
63
Pada rentangan umum yang pertama (18/19 tahun sampai 20/21 tahun) pada umumnya menampakan ciri-ciri : a) Stabilitas dalam kepribadian mulai meningkat; b) Pandangan yang relistik tentang diri sendiri dan lingkungan hidupnya; c) Keterampilan untuk menghadapi segala macam permasalahan secaralebih matang; d) Gejolak-gejolak dalam alam perasaan mulai berkurang (Winkel, 2004:178) Rentang umur yang kedua (21/22 tahun sampai 24/25 tahun) pada umumnya tampak ciri-ciri: a) Usaha memantapkan diri dalam bidang keahlian yang telah dipilih dan dalam menbina hubungan percintaan; b) Memutarbalikan pikiran untuk mengatasi aneka ragam masalah, seperti kesulitan ekonomi, kesulitan mendapat kepastian tentag bidang pekerjaan kela, kesulitan membegi perhatian secara simbang antara tuntutan akademik dan tuntutan kehidupan perkawinan (jika sudah menikah); c) Ketegangan atau stres karena belum berhasil memecahkan berbagai persoalan mendesak secara memuaskan (Winkel, 2004:178). Mahasiswa merupakan individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan, kedewasaan atau kemandirian yang terkait dengan pemaknaan dirinya sebagai mahluk yang berdimensi biopsikososiospiritual. Selain dituntut untuk mampu menyalesaikan tugas-tugas akademis, mahasiswa yang berada dalam rentang usia
64
sebagai sosok remaja akhir menuju dewasa awal, dituntut untuk mampu menyalesaikan tugas-tugas perkembangannya. Berikut penjelasn mengenai karakteristik mahasiswa dan tugas-tugas perkembangannya. a. Karakteristik perkembangan mahasiswa 1) Perkembangan fisik Perubahan-perubahan fisik merupakan gejala primer dalam pertumbuhan masa remaja, yang berdampak pada perubahan-perubahan psikologis (Sarwono, 1994). Perkembangan fisik mencakup aspek-aspek anatomis dan fisiologis. Perkembangan anatomis ialah perubahan kuantitatif pada struktur tulang-belulang. Diantaranya indeks tinggi dan berat bada, proporsi tinggi kepala dengan tinggi garis kaajengan badan secara keseluruhan. Pada usia remaja akhir menjelang dewasa tulang belulang menjadi 200 integrasi, persenyawaan dan pergeseran; berat badan dan tinggi badan kepesatan perubahan berkurang bahkan menjadi mapan; proporsi tinggi kepala dan badan pada masa remaja akhir menjelang dewasa menjadi 1:8 atau 1:10. Perkembangan fisiologis ialah perubahan-perubahan secara kuantitatif, kualitatif dan fungsional dari sitem-sistem kerja hayati seperti konstraksi otot peredaran darah dan pernafasan, persyarafan, sekresi kelenjar dan pencernaan. Otot sebagai pengontrol motorik, proprsi bobotnya 2:5 pada masa remaja akhir menjelang dewasa; frekuensi denyut jantung 72; persentase tingkat kesempurnaan perkembangan secara fungsional dari cortex (bagian otak) sebgai pusat susunan saraf yang mempunyai fungsi pengontrol kegiatan organism infragranular
65
(peengontrol reflex) mencapai 80% supragranular (erat hubungannya dengan intelegensi) baru 50%. Perkembangan fisik berlangsung mengikuti prinsip-prinsip cepalocaudal (mulai dari bagian kepala menuju ekor atau kaki) dan proximodistal (mulai dari bagian tengah ke tepi atau tangan). Laju perkembangan berjalan secara berirama, pada masa remaja akhir menjelang dewasa laju perkembanagn fisik menurun sangat lambat. 2) Perkembangan kognitif Ditinjau dari kurva perkembangan intelegensi, laju perkembangan intelegensi berangsur menurun. Dimana puncak perkembangan pada umumnya dicapai di penghujung masa remaja akhir menjelang dewasa (Syamsudin, 2007: 101). Sedangkan ditinjau dari perspektif teori kognitif Piaget, maka pemikiran masa remaja akhir menjelang telah mencapai tahap pemikiran operasional formal yang sempurna. Pada remaja akhir, banyak yang mulai memantapkan pemikiran operasional formalnya, dan menggunakan lebih konsisten. Pemikiran operasional formal cenderung dipakai remaja akhir dalam menghadapi masalah , bila remaja cukup memiliki pengalaman atau pengetahuan tentang bidangtersebut (Santrock, 2003:111). 3) Perkembangan moral Individu menyadari bahwa ia merupakan bagian anggota dari kelompoknya, secepat itu pula pada umumnya individu menyadari bahwa terdapat aturan-aturan perilaku yang boleh, harus atau terlarang melakukannya.
66
Proses penyadaran tersebut berangsur tumbuh melalui interaksi dengan lingkungannya di mana ia mungkin mendapat larangan, suruhan, pembenaran atau persetujuan, kecaman atau celaan, atau merasakan akibat-akibat tertentu yang mungkin menyenangkan atau memuaskan mungkin pula mengecewakan dari perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. Berdasarkan teori Kohlberg, remaja akhir menjelang dewasa pada tingkat perkembangan moral pasca-konvensional dan tahap orientasi control sosial– legalistik. Artinya pada tingkat perkembangan pasca-konvensional ini yaitu aturan dan institusi dari masyarakat tidak dipandang sebagai tujuan akhir, tetapi diperlukan sebagai subjek. Individu manaati aturan untuk menghindari hukuman kata hati. Pada tahap orientasi kontrol sosial-legalistik yaitu artinya ada semacam perjanjian antara dirinya dan lingkungan sosial. Perbuatan dinilai baik apabila sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. 4) Perkembangan emosi Emosi adalah setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu serta keadaan mental yang hebat dan meluap-luap. Masa remaja merupakan puncak emosinalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Pada remaja akhir sudah mampu mengendalikan emosiny. Emosi remaja seringkali sangat kuat, tidak terkendali dan tampaknya irasional, tetapi pada umunya dari tahun ke tahun terjadi pengabaikan perilaku emosional. Pada emosi masa remaja adalah sama dengan pola emosi masa kanakkanak. Perbedaanya terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan derajat, khususnya pada pengendalian latihan individu terhadap ungkapan emosi
67
mereka. Misalnya, perlakuan sebagai “anak kecil” atau secara “tidak adil” akan membuat remaja sangat marah dibandingkan dengan hal-hal lain. Karakteristik perkembangan emosi remaja sejalan dengan perkembangan masa remaja itu sendiri, yaitu sebagai berikut: a) perubahan fisik terhadap awal pada periode praremaja disertai sifat kepakaan terhadap rangsangan dari luarmenyebabkan respons berlebihan sehingga mereka mudah tersinggung dan cengeng, tetapi juga cepat merasa senang atau bahkan meledak-ledak; b) Perubahan fisik yang semakin jelas pada periode remaja awal menyebankan mereka cenderung menyendiri sehingga tidak jarang merasa terasing, kurang perhatian dari orang lain, atau bahkan merasa tidak ada orang yang mau mempedulikannya; c) Periode remaja sudah semakin menyadari pentingnya nilainilai yang dapat dipegang teguh sehingga jika melihat fenomena yang terjadi di masyarakat yang menunjukan adanya kontradiksi dengan nilai-nilai moral yang mereka ketahui menyebabkan remaja seringkali secara emosional ingin membentuk nilai-nilai mereka sendiri yang mereka anggap benar, baik, dan pantas untuk dikembangkan di kalangan mereka sendiri. Lebih-lebih jika orang tua atau orang dewasa di sekitarnya ingin memaksimalkan nilai-nilainya; d) Periode remaja akhir mulai memandang dirinya sebagai orang dewasa dan mulai mampu menunjukan pemikiran, silkap, dan perilaku yang semakin dewasa. 5) Perkembangan sosial Perkembangan sosial berkaitan erat dengan sosialisasi. Sosialisasi merupakan atau proses di mana individu melatih kepekaan individu terhadap rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan
68
(kelomponya); belajar bergaul dengan dan bertingkah laku seperti orang lain, bertingkah laku di dalam lingkungan sosio-kulturalnya. Dengan demikian, perkembangan sosial yaitu rangkaian dari perubahan yang bersimanbungan dalam perilaku individu untuk menjadi mahluk sosial yang dewasa. Perkembangan sosial pada remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya disbanding orang tua (Conger. 1999; Papali & Olds, 2001). Pada masa remaja berkembang keterampilan untuk memehami orang lain, keterampilan ini mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial dengan teman sebaya. Masa remaja juga ditandai dengan berkembangnya konformitas dan akan mengalami penurunan kembali pada masa akhir renaja, yaitu kecenderungan untuk meniru, mengikuti opini dan pendapat, nilai-nilai kebiasaan dan keinginan orang lain. Perkembangan sosial pada masa remaja ditandai dengan kuatnya pengaruh kelompok teman sebaya. Remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman sebaya sebagai kelompok, sehingga dapat dipahami bahwa pengeruh teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar dari pada pengaruh keluarga (Hurlock, 1980:213). Karena keremajaan itu selalu berkembang, maka pengaruh kelompok teman sebaya pun mulai berkurang. Adapun faktor penyebabnya adalah pertama karena sebagian besar remaja ingin menjadi dan dikenal sebagi individu yang mandiri. Kedua timbul karena pemilihan sahabat. Pada masa remaja ada kecenderungan untuk mengurangi jumlah teman meskipun sebagian besar remaja menginginkan menjadi anggota kelompok sosial yang lebih besar dalam kegiatankegiatan sosial. Karena kegiatan sosial kurang berarti dibandingkan dengan
69
persahabatan pribadi yang lebih erat., maka pengaruh kelompok sosial yang besar menjadi kurang menonjol dibandingkan pengaruh sahabat. Perubahan yang paling menonjol dalam sikap dan perilaku remaja adalah mulai berkembangnya hubungan heteroseksual. Dalam waktu singkat remaja menjadi lebih menyukai lawan jenis untuk dijadikan sebagai teman meskipun tetap masih melanjutkan persahabatan dengan beberapa teman sejenis. Kemudian geng pada masa kanak-kanak berangsur bubar pada masa puber dan awal masa remaja ketika minat individu beralih dari kegiatan bermain menjadi minat pada kegiatan sosial yang lebih formal, maka terjadi pengelompokan sosial baru. Pengelompokan sosial anak laki-laki biasanya lebih besar dan tidak terlampau akrab dibandingkan pengelompokan sosial anak perempuan yang lebih kecil terumus lebih pasti. Remaja tidak lagi memilih teman berdasarkan kemudahannya baik di sekolah, ataupun di lingkungan tetangga sebagaimana halnya pada masa kanakkanak, dan kegemarannya pada kegiatan-kegiatan yang sama tidak lagi menjadi factor penting dalam pemilihan teman. Remaja menginginkan teman yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti dan membuatnya merasa aman, dan kepadanya ia dapat mempercayakan masalahmasalah dan membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orang tua maupun guru. Remaja akhir sudah memandang dirinya dan orang lain atau hubungan subjektif-objektif berbeda pada objektif, artinya remaja sudah memulai memandang dirinya dan orang lain objektif.
70
6) Perkembangan religi Perkembangan religi pada periode remaja disebut sebagai periode keraguan religi. Maksudnya yaitu banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan emosional dan intelektual. Para remaja ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak igin menerimanya secara begitu saja. Mereka mergukan agama buka karena ingin menjadi agnostic atau atheis, melainka karena ingin menerima agama sebagai suatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan keputusankeputusan mereka sendiri. Sejalan dengan perkembangan moralitas, perkembangan penghayatan keagamaan erat hubungannya dengan perkembangan kematangan intelektual disamping emosional dan psikomotorik yang mengalami perkembangan pesat. Pada masa aremaja, penghayatan keagamaanterbagi menjadi dua tahap berdasarkan tingkatan usia remajanya yaitu : 1) Masa remaja awal, ditandai antara lain oleh: (a) sikap negatif yang disebabkan oleh daya pikirnya yang kritis melihat kenyatan orang-orang beragama hanya pura-pura tentang pengakuan dan ucapannya tidak selaras dengan perbuatanya; (b) pandangan dalam hal ke-Tuhannya menjadi kacau karena ia banyak membaca dan mendengar berbagai konsep dan pemikiran tentang paham aliran yang tidak cocok dan bertentangan satu sama lain;
71
(c) penghayatan ronhaniah cenderung skeptic (diliputi waswas) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya karena kepatuhan. 2) Masa remaja akhir ditandai antara lain oleh: (a) sikap kembali, pada umumnya ke arah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya ketika dewasa; (b) pandangan dalam hal ke-Tuhanannya dipahamkan dalam konteks agama yang dianut dan pilihannya; (c) penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses identifikasi, iamungkin dapat membedakan agama sebagai doktrin ajaran dan individu penganutnya, yang shaleh dan yang tidak.ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogianya diterima sebagai kenyataan dalam hidup. b. Karakteristik Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolescence, yang dipergunakan saat ini, memiliki arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, social dan fisik. Masa remaja merupakan suatu periode dalam perkembangan yang dijalani seseorang yang terbentuk sejak berakhirnya masa kanak-kanak sampai datangnya
72
awal masa dewasanya. Secara tentatif rentangan masa remaja berkisar 11-13 tahun sampai 18-20 tahun. (Makmum, 2002:130). Hurlock (1994:2070 mengungkapkan remaja dalam perkembangannya memiliki cirri-ciri yang membedakannya dengan rentang kehidupan lainnya, yaitu: (a) masa remaja merupakan masa yang penting. Masa remaja merupakan masa yang penting karena akibat perubahan fisik yang cepat dan disertai dengan perkembangan psikologis yang cepat sehingga perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru. (b) masa remaja merupakan masa peralihan. Pada periode peralihan ini, status individu tidaklahjelas dan terdapat keraguan terhadap peran yang harus dijalaninya. Remaja bukanlah seorang anak dan juga bukan seorang dewasa. Karenaya sangat penting bagi remaja untuk menemukan gaya hidup yang berbeda dan menyesuaikan sifat dan nilai-nilai yang sesuai dengan dirinya; (c) masa remaja merupakan masa perubahan. Tingkat perubahan dalam sikap dan prilaku remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Terdapat beberapa perubahan yang terjadi pada diri remaja diantaranya perubahan emosi, perubahan bentuk tubuh, perubahan minat, perubahan peran social; (d) masa remaja sebagai usia bermasalah. Dimana pada masa kanakkanak, permasalahan mereka bias diselesaikan oleh orang-orang tua ataupun gurunya, sehingga banyak remaja yang tidak berpengalaman dalam menyalesaikan masalah yang mereka hadapi, dan cenderung menolak
73
bantuan dari orang dewasa. Karena ketidakmampuan mereka dalam menyalesaikan masalahnya sendiri, banyak remaja menemukan bahwa penyelesaian masalahnya tidak sesuai dengan yang mereka harapkan; (e) masa remaja sebagai masa mencari identitas. Sangat penting dimasa remaja , yang mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-teman sebayanya, identitas yang dimaksus adalah upaya untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranan dalam masyarakat; (f) masa remaja sebagai masa menimbulkan ketakutan. Banyak anggapan popular tentang remaja yang memiliki banyak nilai dan arti yang bersifat negative yang tidak pantas dan cenderung berprilaku merusak. Hal ini banyak menimbulkan ketakutan pada remaja akankah mereka bias diterima di masyarakat atau tidak, karena dalam mengatasi segala permasalahan yang dihadapinya sering kali menimbulkan pertentangan dengan orang dewasa; (g) masa remaja merupakan masa yang tidak realistic. Remaja cenderung melihat segala sesuatu sebagaimana yang ia cita-citakan dan bukan sebagaimana adanya, dan menyababkan emosi yang meninggi dan kecewa karena tidak realistiknya harapan yang remaja inginkan, dan jika tidak mampu mencapai tujuan yang diharapkannya. Dengan bertambahnya pengalaman pribadi dan sosial dan dengan meningkatnya kemampuan berfikir rasional. Remaja yang lebih besar akan mampu memandang dirinya,
74
keluarga dan teman-teman dan kehidupan pada umunya secara lebih realistic; dan (h) masa remaja sebagai masa ambang dewasa. Dengan semakin mendekatnya usia kematangan, remaja mulai memusatkan diri pada prilaku yang dihubungkan dengan status dewasa dalam hal berpakaian dan berprilaku c. Kosep Tugas-Tugas Perkembangan Tugas perkembangan merupakan patokan suatu perkembangan individu yang menyatakan kesamaan
sifat dan hakikat dalam setiap tahapan
perkembangan, hal tersebut dapat mempengaruhi kematangan individu di kemudian hari. Havigrust (Arlizon, 1995:29) mengemukakan tentang tugas perkembangan yaitu “Tugas perkembangan individu dengan sendirinya akan melalui ke arah kematangan yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin, tetapi apabila potensi yang ada tidak dapat dimanfaatkan, tidak dilatih dan dikuasai sebaik mungkin oleh individu yang bersangkutan maka akan menimbulkan kegoncangan dan timbul berbagai kesulitan dalam proses perkembangan di kemudian hari”. James C. Coleman (Arlizon, 1995:30) membagi tujuh cirri-ciri tugas-tugas perkembangan dalam perkembangan yang normal, yaitu : (a) dari arah dependensi kea rah kebebasan (b) dari prinsip kenikmatan ke arah prinsip kenyataan; (c)dari inkompetensi menjadi kompetensi (d) dari otoplastik kea rah aloplastik
75
(e) dari non-produktif manjadi produktif (f) dari non diferensial kea rah diferensiasi (g) dari serba tidak sadar ke serba sadar. Labih lanjut, Havighurst (Arlizon, 1995:31) mengemukakan bahwa pelaksanaan tugas-tugas perkembangan berdasarkan tiga hal yaitu : a. Dasar biologis, yang berkaitan dengan kematangan jasmani seseorang misalnya sisten syaraf individu tumbuh semakin kompleks sehingga kemungkinan untuk melakukan panalaran dan mengerti matematika, ataupun ketika individu belajar bertingkah laku dengan lawan jenis yang dapat diterima pada masa remaja karena kematangan organ-organ seksual; b. dasar psikologis, yaitu perkembangan mental seseorang yang dihubungkan dengan tugas-tugas perkembangan, nilai-nilai dan cita-cita individu mempengaruhi pencapaian tugas-tugas perkembangan, kemajuan dan kegagalan dalam tugas tersebut akan mempengaruhi kepribadian individu; dan c. dasar budaya, yaitu tugas perkembangan berbeda dalam suatu kultur dan kultur lainny, maka pelaksanaan tugas perkembangan berdasar pada ketentuan yang ada dalam masyarakat. Menurut Hurlock, tugas perkembangan memiliki tiga tujuan yaitu (a) sebagai petunjuk bagi individu untuk mengetahui apa yang diharapkan masyarakat dari mereka pada usia-usia tertentu; (b) member motivasi kepada setiap individu untuk melakukan apa yang diharapkan dari mereka oleh kelompok social pada usia tertentu sepanjang kehidupan mereka; dan (c) menunjukan
76
kepada setiap individu tentang apa yang mereka hadapi dan tindakan apa yang diharapkan dari mereka ketika sampai tingkat perkembangan selanjutnya (Arlizon, 1995:33) Factor-faktor yang dapat membantu pencapaian tugas-tugas perkembangan menurut Hurlock (Arlizon, 1995:33) adalah tingkat perkembangan yang normal, kesempatan-kesempatan untuk mempelajari tugas-tugas dalam perkembangan dan bimbingan untuk menguasainy, memotivasi, kesehatan yang baik dan tidak ada cacat tubuh, tingkat kecerdasan dan kreatifitas. Havighurst mengungkapkan tentang tugas perkembangan yang harus dilalui oleh seorang remaja (Makmum, 2002: 113) yaitu: a. mencapai hubungan yang lebih dewasa dengan teman sebaya, laki-laki dan wanita; b. mencapai peran jenis kelamin sebagai laki-laki atau perempuan, c. menerima keadaan jasmaninya dan menggunakan jasmaninya secara efektif; d. mencapai kemandirian secara emosional dan ketergantungan kepada orang tua atau orang dewasa lainnya; e. mencapai keyakinan akan kemandirian secara ekonomi pada masa mendatang; f. memilih dan mempersiapkan diri untuk menjalankan sustu pekerjaan tertentu; g. menyiapkan diri untuk perkawinan dan berkeluarga; h. mengembangkan keterampilan dan konsep intelektual sebagai warga masyarakat; i. menginginkan dan melakukan tindakan-tindakan secara social bertanggung jawab; dan j. memilih seperangkat system tata nilai dan tata karma yang menuntun perilakunya. 2. Gaya Hidup remaja Dengan konsep gaya hidup (style of life) ini, Adler menjalaskan keunikan manusia. Setap orang mempunyai tujuan, merasa inferior, berjuang menjadi superior, dan dapat mewarnai atau tidak mawarnai usaha superiornya dengan
77
minat sosial. Namun setiap orang melakukannya dengan gaya hidup yang berbeda-beda. Gaya hidup adalah cara unik dari setiap orang dalam berjuang mencapai tujuan khusus yang telah ditentukan orang itu dalam berjuang mencapat tujuan khusus yang telah ditentukan orang itu dalam kehidupan tertentu dimana ia berada. Gaya hidup telah terbentuk pada usia 4-5 tahun. Gaya hidup itu tidak hanya ditentukan oleh kemampuan intristik (hereditas) dan lingkungan objektif, tetapi dibentuk oleh anak melalui pengamatannya dan interpretasi terhadap keduanya. Terutama hidup ditentukan oleh inferioritas-inferioritas khusus yang dimiliki seseorang (bisa khayalan dan nyata) yakni konvensasi dari inferioritas itu. Dalam hal ini, secara umum mahasiswa menyandang tiga fungsi strategis, yaitu :
1. sebagai penyampai kebenaran (agent of social control) 2. sebagai agen perubahan (agent of change) 3. sebagai generasi penerus masa depan (iron stock) Mahasiswa dituntut untuk berperan lebih, tidak hanya bertanggung jawab sebagai kaum akademis, tetapi diluar itu wajib memikirkan dan mengembang tujuan bangsa. Dalam hal ini keterpaduan nilai-nilai moralitas dan intelektualitas sangat diperlukan demi berjalannya peran mahasiswa dalam dunia kampusnya untuk dapat menciptakan sebuah kondisi kehidupan kampus yang harmonis serta juga kehidupan diluar kampus.
78
Peran dan fungsi mahasiswa dapat ditunjukkan :
1.
Secara santun tanpa mengurangi esensi dan agenda yang diperjuangkan.
2.
Semangat mengawal dan mengawasi jalannya reformasi, harus tetap tertanam dalam jiwa setiap mahasiswa.
3.
Sikap kritis harus tetap ada dalam diri mahasiswa, sebagai agen pengendali untuk mencegah berbagai penyelewengan yang terjadi terhadap perubahan yang telah mereka perjuangkan. Menurut Arbi Sanit ada empat faktor pendorong bagi peningkatan peranan
mahasiswa dalam kehidupan politik.
1. sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horison yang luas diantara masyarakat. 2. sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara angkatan muda. 3. kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Di Universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa dan agama terjalin dalam kegiatan kampus sehari-hari. 4. mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda.
79
E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecenderungan Perubahan Moral Pada Mahasiswa Urban 1. Pembentukan dan Perubahan Sikap Menurut Sherif & Sherif (1956) sikap menentukan keajegan dan kekhasan perilaku seseorang dalam hubungan dengan stimulus manusia atau kejadiankejadian tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku. Pada dasarnya sikap bukan merupakan suatu pembawaan, melainkan hasil interaksi antara individu dengan lingkungan sehingga sikap bersifat dinamis. Faktor pengalaman besar peranannya dalam pembentukan sikap. Sikap dapat pula dinyatakan sebagai hasil belajar, karenanya sikap dapat mengalami perubahan. Sesuai yang dinyatakan oleh Sherif & Sherif (1956) bahwa sikap dapat berubah karena kondisi dan pengaruh yang diberikan. Olah karena itu, hasil dari belajar sikap tidaklah terbentuk dengan sendirinya karena pembentukan sikap senantiasa akan berlangsung dalam interaksi manusia berkenaan dengan objek tetantu. Lebih tegas, menurut Bimo Walgito (1980) bahwa pembentukan dan perubahan sikap akan ditentukan oleh dua faktor, yaitu: 1) Faktor internal (individu itu sendiri), yaitu cara individu dalam menanggapi dunia luarnya dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima atau ditolak. 2) Faktor eksternal, yaitu keadaan-keadaan yang ada di luar individu yang merupakan stimulus untuk membentuk atau mengubah sikap.
80
Sementara itu, Mednick, Higgins & Kirschenbaum (1975) menyebutkan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: a) Pengaruh sosial, seperti norma dan kebudayaan b) Karakter kepribadian individu c) Informasi yang selama ini diterima individu Ketiga faktor ini akan berinteraksi selama pembentukan sikap. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan dan perubahan sikap pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor yang ada dalam diri individu dan faktor luar dari individu yang keduanya saling berinteraksi. Proses ini akan berlangsung selama perkembangan individu. Dalam paparan berikutnya akan dibahas teori-teori yang menjalaskan bagaimana sikap itu dibentuk dan diperoleh. 2. Pengaruh Interaksi Sosial Interaksi sosial merupakan suatu hubungan antara individu satu dengan individu yang lainnya dimana individu yang satu dapat mempengaruhi individu yang lainnya sehingga terdapat hubungan yang saling timbalbalik (Bimo Walgito, 1990). Sementara Soekanto (1997) yang mendefinisikan interaksi sosial sebagai hubungan antar orang per orang atau dengan kelompok manusia. Interaksi social tak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu: (1) adanya kontak social, dan (2) adanya komunikasi. Kontak sosial dapat terjadi antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok. Kontak juga dapat bersifat primer jika itu terjadi secara langsung atau face-to-face, dan sekunder jika hubungan itu melalui perantara orang atau media lainnya. Sementara komunikasi baik verbal ataupun
81
nonverbal merupakan saluran untuk menyampaikan perasaan ataupun ide/pikiran dan sekaligus sebagai media untuk dapat menafsirkan atau memahami pikiran atau perasaan orang lain. Menurut Soekanto (1997) ada empat pola interaksi social, yaitu kerjasama (cooperation), persaingan (competition), pertentangan (conflict), dan akomodasi (accommodation). Menurut Gillin & Gillin (dalam Soekanto, 1997) : “Ada dua macam proses social yang timbul sebagai akibat adanya interaksi social, yaitu proses asosiatif dan proses disosiatif. Proses asosiatif terdiri dari akomodasi, asimilasi dan akulturasi, sedangkan proses disosiatif meliputi persaingan dan pertentangan atau pertikaian yang mencakup kontropersi dan konflik.”
Dengan demikian interaksi social akan menjadi daser bagi perilaku sosial akan menjadi dasar bagi perilaku sosial yang lebih mendalam dengan berbagai bentuknya. a. bentuk-bentuk dasar interaksi sosial Terdapat beberapa bentuk interaksi sosial yang terjadi seperti dikemukakan oleh beberapa tokoh yang dirangkum sebagai berikut: a. imitasi Gabriel Trede menyatakan bahwa seluruh kehidupan sosial manusia didasari oleh faktor-faktor imitasi. Imitasi dapat mendorong individu atau kelompok untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik. Dalam lapangan pendidikan dan perkembangan kepribadian individu, imitasi mempunyai peranan yang sangat penting karena dengan mengikuti suatu contoh yang baik akan merangsang seseorang untuk melakukan perilaku yang baik pula. Apabila seseorang telah
82
dididik untuk mengikuti sustu tradisi tertentu yang melingkupi segala situasi sosial maka orang tersebut akan memiliki kerangka tingkah laku dan sikap moral yang dapat menjadi pokok pangkal guna memperluas perkembangan perilaku yang positif (Gerungan, 1996). Sedangkan dampak negatif dari pola imitasi dalam interaksi sosial adalah apabila perilaku yang imitasi adalah perilaku yang salah, baik secara moral maupun hokum, sehingga diperlukan upaya yang kuat untuk menolaknya. Adapun syarat-syarat terjadinya imitasi adalah sebagai berikut: 1) Terjadinya minat, perhatian yang cukup besar terhadap sesuatu yang ingin diimitasi 2) Adanya sikap yang minjungjung tinggi atau mengagumi hal-hal yang hendak diimitasi 3) Individu yang melakukan imitasi suatu pandangan atau tingkah laku, biasanya karena hal tersebut mempunyai penghargaan sosial yang tinggi. b. Sugesti Sugesti dan Imitasi dalam hubungannya dengan interaksi sosial mempunyai arti yang hampir sama. Keduanya merupakan suatu proses saling pengaruh antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lainny; initasi merupakan sustu proses peniruan terhadap sesuatu yang berasal dari luar dirinya, sedangkan sugesti merupakan suatu proses pemberian pandangan atau sikap dari diri seseorang kepada orang lain di luar dirinya (Gerungan, 1998). Artinya sugesti dapat dilakukan dan diterima oleh individu lain tanpa adanya kritik terlebih dahulu. Hal ini didukung oleh Soekanto (1990) yang menyatakan bahwa proses sugesti dapat
83
terjadi apabila individu yang memberikan pandangan tersebut adalah orang yang berwibawa atau karena sifatnya yang otoriter. Terdapat beberapa keadaan yang mempermudah terjadinya sugesti dapat diterima oleh individu lain: 1). Sugesti karena hambatan berfikir Dalam proses sugesti terjadi gejala bahwa individu yang dikenai mengambil
alih
pandangan-pandangan
dari
individu
lain tanpa
memberikan prtimbangan kritis terlebih dahulu (tanpa disertai proses evaluasi informasi). Sugesti akan lebih mudah terjadi apabila individu yang dikenai berada dalam kondisi yang lelah karena dalam kondisi lelah kemampuan berfikir kritis individu menjadi terhambat. 2). Sugesti karena pikiran terpecah (disosiasi) Sugesti akan lebih mudeh terjadi apabila individu yang dikenal berada dalam kondisi berfikir yang terpecah, misalnya sedang mengalami konflik. Dalam kondisi yang sedang kebingungan untuk menentukan pilihan terhadap sustu hal, maka akan mudah bagi individu tersebut untuk dipengaruhi. 3). Sugesti karena otoritas Individu cenderung akan dengan mudah menerima pandangan atau sikap tertentu dari individu lain yang dianggap ahli dalam bidangny. Misalnya pejabat, ilmuwan atau individu yang memiliki prestise sosial yang tinggi akan lebih mudah memberikan pengaruhnya kepada orang lain.
84
4). Sugesti karena mayoritas Pada umumnya individu akan lebih mudah untuk menerima pendapat atau pandangan yang didukung oleh mayoritas kelompok atau anggota masyarakat. 5). Sugesti karena will to believe Diterimanya suatu pandangan atau pendapat yang diberikan oleh individu lain karena individu yang bersangkutan telah memiliki pendapat yang sama sebelumnya. Dengan demikian individu tersebut akan lebih mudah dengan sadar bersedia untuk menerima pandangan karena telah meyakini pandangan yang diterimanya itu sebelumnya. c. Identifikasi Identifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi identik (sama) denganorang lain, baik secara lahiriah maupun batiniah (Ahmadi, 1990). Proses identifikasi pertama-tama berlangsung secara tidak sadar, dan selanjutnya irrasional. Artinya, identifikasi dilakukan berdasarkan perasaan-perasaan atau kecenderungan dirinya yang tidak diperhitungkan secara rasional dimana identifikasi akan berguna untuk melengkapi sistem norma, cita-cita dan pedoman bagi yang bersangkutan. Identifikasi memungkinkan terjadinya pengaruh yang lebih mendalam daripada proses imitasi dan sugesti walaupun ada kemungkinan bahwa mulanya identifikasi diawali oleh adanya imitasi maupun sugesti. d. Simpati Simpati merupakan suatu betuk inetraksi yang melibatkan adanya ketertarikan individu terhadap individu lainnya. Simpati timbul tidak berdasarkan
85
pada pertimbangan yang logis dan rasional, melainkan berdasarkan penilaian perasaan. Soekanto (1990) menyampaikan behwa dorongan utama pada simpati adalah adanya keinginan untuk memahami pihak lain dan bekerjasama. Smith (1996) membedakan dua bentuk dasar simpati, yaitu : 1). Simpati yang menimbulkan respon secara cepat (hampir seperti refleks) 2). Simpati yang sifatnya lebih intelektal, artinya seseorang dapat bersimpati pada orang lain sekalipun dia tidak dapat merasakan apa yang dirasakan. 3. Kurangnya pendidikan agama Agama merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa aspek. Daradjad (1993) mengemukakan bahwa agama meliputi kesadaran beragama dan pengalaman beragama. Kesadaran beragama adalah aspek yang terasa dalam pikiran yang merupakan aspek mental dan aktivitas beragama, sedangkan penagalaman beragama adalah perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan. Hurlock (1973) mengatakan bahwa religi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur keyakinan terhadap ajaran agama dan unsur pelaksanaan ajaran agama. Spinks (1963) mengatakan bahwa agama meliputi adanya keyakinan, adat, tradisi, dan juga pengalaman-pengalaman individual. Pembagian-pembagian dimensi-dimensi religiusutas menurut Glock dan Stark (dalam Shaver dan Robinson, 1975; Subandi, 1998; Afiatin, 1997) terdiri dari lima dimensi, diantaranya :
86
a). Dimensi keyakinan (the ideological dimension) Dimana keyakinan adalah tingakatan sejauh mana sesorang menerima dan mengakui hal-hal yang dogmatik dalam agamanya. Misalnya keyakianan adanya sifat-sifat Tuhan, adanya Malaikat, Surga, para Nabi, dan sebagainya. b). Dimensi peribadatan atau praktik (the ritualistic dimension) Dimensi ini adalah tingkatan sejauh mana seseorang menunaikan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya. Misalnya, alam ajaran islam menunaikan shalat, zakat, puasa, haji, dan segainya. c). Dimensi feeling atau penghayatan (the experiencal dimension) Dimensi penghayatan adalah perasaan-perasaan keagamaan yang pernah dialami dan dirasakan seperti merasa dekat dengan Tuhan, tentram saat berdo’a, tersentuh mendengar ayat kitab suci, merasa takut berbuat dosa, merasa senang do’anya dikabulkan, dan sebagainya. d). Dimensi pengetahuan agama (the intellectual dimension) Dimensi ini adalah seberapa jauh seseorang mengetahui dan memahami ajaran-ajaran agamanya terutama yang ada dalam kitab suci, hadist, pengetahuan tentang fikih, dan sebagainya. e). Dimensi effect atau pengalaman (the consequential dimension) Dimensi pengalaman adalah sejauh mana implikasi ajaran agama mempengaruhi
perilaku
seseorang
dalam
kehidupan
sosial.
Misalnya
mendermakan harta untuk keagamaan dan sosial, menjenguk orang sakit, mempererat silaturahmi, dan sebagaimya
87
Pendapat tersebut sesuai dengan lima aspek dalam pelaksanaan ajaran agama islam tentang aspek religiusitas, yaitu aspek iman sejajar dengan religious belief; aspek islam sejajar dengan roligious practice; aspek ihsan sejajar dengan religious feeling; aspek ilmu sejajar dengan religious knowledge; dan aspek Amal sejajar dengan religious effect (Subandi, 1998). Nashori (1997) menjelaskan bahwa orang religius akan mencoba patuh terhadap ajaran-ajaran agamanya, selalu berusaha mempelajari pengetahuan agama, menjalankan ritual agama, meyakini doktrin-doktrin agamanya, dan selanjutnya merasakan pengalaman-pengalaman beragama. Dapat dikatakan bahwa seeoramg religius jika mampu melaksanakan dimensi-dimensi religiusitas tersebut dalam perilaku dan kehidupannya. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa religiusitas mempunyai lima dimensi, yaitu dimensi keyakinan (the ideologikal dimension), dimansi peribadatan praktik agama (the ritualistic dimension), dimensi feeling atau penghayatan (the experiencal dimension), dimensi pengetahuan agama (the intellectual dimension), dan dimensi effect atau pengalaman (the consequential dimension). a. Kehidupan religiusitas pada remaja Manusia
lahir
mambawa
fitrah
keagamaan.
Akan
tetapi,
dalam
perkambangan selanjutnya dipengaruhi oleh pengalaman keagamaan, struktur kepribadian serta unsur kejiwaaan lainnya. Manusia religius adalah manusia yang struktur mental secara keseluruhan dan secara tetap diarahkan kepada pencipta nilai mutlak, memuaskan, dan tertinggi, yaitu Tuhan. Pemahaman terhadap ajaran
88
agama bersifat khas untuk setiap orang yang dipengaruhi oleh lingkungan serta perkembangan internal. Pada tahap ini terdapat tiga tipe, yaitu pemahaman secara konvensional dan konservatif, pemahaman yang murni dan bersifat personal, dan memahami konsep tuhan secara Humanis. Keberagamaan pada remaja adalah keadaan peralihan dari kehidupan beragama anak-anak menuju ke arah kemantapan beragama. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul pada masa remaja. Mereka mulai menemukan pengalaman dan penghayatan ketuhanan yang bersifat individual. Keislaman mulai otonom, hubungan dengan Tuhan semakin disertai kesadaran dan kegiatannya dalam masyarakat semakin diwarnai oleh rasa keagamaan. Daradjat (1993) mengemukakan bahwa pada masa remaja mulai akan raguragu terhadap kaidah-kaidah ahlak dan ketentuan-ketentuan agama. Mereka tidak mau lagi menerima ajaran-ajaran agama begitu saja seperti pada masa kanakkanak. Powel dan Subandi (1988) menyatakan bahwa agama dapat menstabilkan perilaku dan menerangkan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia serta menawarkan perlindungan dan rasa aman. Muthahhari (1992) mengatakan bahwwa tanpa keyakinan dan keimanan, mausia tidak dapat meyakini kehidupan yang baik terhadap suatu yang bermanfaat baginya. Ditambahkan pula oleh Nash (1983) bahwa manusia sangat membutuhkan agama, tanpa agama belum menjadi manusia yang utuh. Streng mengemukakan bahwa remaja membutuhkan agama sebagai suatu yang bersifat personal dan penuh makna tidak hanya ketika mereka mendapatkan kesulitan. Remaja memerlukan agama sebagai sumber pegangan dalam
89
kehidupannya bagi optimalisasi perkembangan dirinya sebagai sumber kekuatan dan keberanian yang mutlak bagi diriny. Kebutuhan beragama pada remaja bervariasi antara satu dengan lainnya. Kehidupan
religiusitas
pada remaja dipengaruhi
oleh
pengalaman
keagamaan, struktur kepribadian serta unsur kepribadian lainnya. Pada masa remaja, perkembangan keagamaan ditandai dengan adanya keragu-raguan terhadap kaidah ahlak dan ketentuan-ketentuan agama. Namun pada dasarnya sebagai manusia remaja tetap membutuhkan agama sebagai pegangan dalam kehidupan, terutama pada saat menghadapi kesulitan. 4. Lingkungan keluarga dan lingkungan sekitar Dalam hal ini yang dimaksud lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar kita dan mempengaruhi kehidupan kita yang berpa benda mati atau hidup. Lingkungan sosial meliputi manusia-manusia kian yang berbeda, misalnya teman, tetangga atau orang lain yang tidak kita kenal sekalipun. Lingkungan sosial berkaitan dengan hubungan antara manusia-manusia yang berbeda dalam kehidupan mereka sehari-hari, baik yang berhubungan dengan masalah sosial secara umum, budaya, politik, dan sebagainya. i. Lingkungan Masyarakat Masyarakat merupakan lingkungan tersier (ketiga) dan lingkungan yang terluas bagi remaja serta sekaligus paling banyak menawarkan pilihan yang tidak jarang menimbulkan pertentangan batin di dalam diri remaja itu sendiri. Sarlito Wirawan Sarwono (2004:131) mengungkapkan bahwa: ”Pengaruh lingkungan
90
pada tahap yang pertama diawali pergaulan dengan teman. Kuatnya pengaruh teman sering dianggap sebagai pemicu dari perilaku remaja yang buruk”. Sebagai contoh, hasil penelitian yang dilakukan oleh Arswendo dkk., (dalam Sarlito Wirawan Sarwono, 2004:132) menyimpulkan bahwa terdapat faktor-faktor perkelahian remaja di sekolah yaitu lawan yang mulai (31,18%) dan solider (setia) pada kawan (24,75%). Sedangkan mengenai faktor yang paling mempengaruhi perkelahian adalah faktor teman, pacar dan sahabat (47,4%). Selain dari teman, dampak yang diberikan juga datang dari gaya hidup dan gaya berpakaian masyarakat yang sudah kebarat-baratan. Pengaruh lain dari lingkungan pada diri remaja juga tampak dalam aspek kehidupan beragama. a. Keharmonisan Keluarga. Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak. Sedangkan lingkungan sekitar dan sekolah ikut memberikan nuansa pada perkembangan anak, karena itu baik buruknya struktur keluarga dan masyarakat sekitar memberikan pengaruh baik atau buruknya pertumbuhan kepribadian anak (Kartono, 2008:57). tetapi menurut Hawari (1997) keharmonisan keluarga itu akan terwujud apabila masing-masing unsur dalam keluarga itu dapat berfungsi dan berperan sebagimana mestinya dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama kita, maka interaksi sosial yang harmonis antar unsur dalam keluarga itu akan dapat diciptakan. Selain itu Simandjuntak (1984) berpendapat bahwa secara garis besar munculnya perilaku delinkuen pada remaja disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Pertama, faktor internal
91
yang dimaksud meliputi karakteristik kepribadian, nilai-nilai yang dianut, sikap negatif terhadap sekolah, serta kondisi emosi remaja yang labil. Pola terbentuknya konsep diri pada seorang individu bukan merupakan bawaan dari lahir, tetapi konsep diri terbentuk melalui proses, dan proses pembentukan konsep diri tidak dapat terlepas dari peran keluarga. Konsep diri yang positif dan keluarga yang harmonis ditengarai akan mampu mencegah seorang remaja untuk cenderung melakukan kenakalan atau perbuatan yang negatif. Sedangkan yang kedua, faktor eksternal mencakup lingkungan rumah atau keluarga, sekolah, media massa, dan keadaan sosial ekonomi. Berdasarkan pendapat tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa terbentuknya pola diri seorang individu berasal dari lingkungan keluarga, hasil bentuk kepribadina individu tergantung dengan pola didikan yang diajarkan oleh setiap keluarga. Sedangkan Basri (1999) menyatakan bahwa setiap orangtua bertanggung jawab juga memikirkan dan mengusahakan agar senantiasa terciptakan dan terpelihara suatu hubungan antara orangtua dengan anak yang baik, efektif dan menambah kebaikan dan keharmonisan hidup dalam keluarga, sebab telah menjadi bahan kesadaran para orangtua bahwa hanya dengan hubungan yang baik kegiatan pendidikan dapat dilaksanakan dengan efektif dan dapat menunjang terciptanya kehidupan keluarga yang harmonis. Selanjutnya, Hurlock (1973) menyatakan bahwa anak yang hubungan perkawinan orangtuanya bahagia akan mempersepsikan rumah mereka sebagai tempat yang membahagiakan untuk hidup karena makin sedikit masalah antar orangtua, semakin sedikit masalah yang dihadapi anak, dan sebaliknya hubungan
92
keluarga yang buruk akan berpengaruh kepada seluruh anggota keluarga. Suasana keluarga ynag tercipta adalah tidak menyenangkan, sehingga anak ingin keluar dari rumah sesering mungkin karena secara emosional suasana tersebut akan mempengaruhi masing-masing anggota keluarga untuk bertengkar dengan lainnya. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan pengaruh keharmonisan keluarga, terhadap situasi dan kondisi dalam keluarga bagi anak dimana di dalamnya tercipta kehidupan beragama, suasana keluarga yang hangat, saling menghargai, saling pengertian, adanya keterbukaan dalam keluarga dan anak, saling menjaga dan adanya kasih sayang dan rasa saling percaya sehinga akan membentuk anak untuk tumbuh kembang secara seimbang dan baik. 2. Pengaruh kendali kontrol orang dewasa Kondisi sosial telah menyebabkan kontrol orang dewasa terhadap para remaja dan adolesens jadi semakin menurun. Karena itu norma, control dan sanksi sosial menjadi semakin melemah, yang membawa akibat anak-anak dan para remaja menjadi binal tidak terkontrol dan tidak terkendali. Dalam situasi social yang menjadi semakin longgar anak-anak muda kemudian menjauhkan diri dari keluarganya untuk kemudian menegakkan eksistensi dirinya yang dirasakan sebagai tersisih dan terancam. Mereka lalu memasuki satu unit keluarga baru dengan subkultur baru yang delinkuen sifatnya. Selain itu remaja yang memiliki konsep diri yang tinggi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, yaitu spontan, kreatif dan orisinil, menghargai diri sendiri dan orang lain, bebas dan dapat
93
mengantisipasi hal negatif serta memandang dirinya secara utuh, disukai, diinginkan dan diterima oleh orang lain (Combs Snygg dalam Shiffer dkk., 1977). Anak-anak muda itu kemudian melakukan pemberontakan dengan jalan menggabungkan diri dalam gang-gang delinkuen karena mereka merasa tidak mempunyai peranan social yang berarti, bahkan merasa tidak dimanusiakan oleh orang dewasa, sehingga hidupnya menjadi kosong tidak berarti. Pemberontakan yang dilakukan anak-anak muda tersebut merupakan “keputusasaan mereka sering menjadi anteseden atau pendahulu bagi kecenderungan rebeli (melakukan pemberontakan) serta kriminal” (Simcombe, 1964; Toby & Toby, 1961). Maka dalam
masyarakat modern sekarang pendidikan merupakan
mekanisme vital untuk mengalokasikan remaja dan anak muda ke dalam posisiposisi individu, terutama dalam sector pekerjaan dan jabatan. Selain hubungan emosional antara orang tua dan anak sangat diperlukan dalam menjamin hubungan yang nyaman dan harmonis dengan orang tua, memiliki harga diri dan kesejahteraan emosional yang baik. Tetapi bila sebaliknya maka “ketidakdekatan (detachment) emosional dengan orang tua berhubungan dengan perasaan-perasaan akan penolakan oleh orang tua yang sendiri”(Santrock, 1995lebih besar serta perasaan lebih rendahnya daya tarik sosial dan romantik yang dimiliki diri). 5. Pengaruh globalisasi,teknologi dan informasi Salah satu ciri masyarakat indonesia tempat sebagian besar remaja kita tinggal adalah masyarakat transisi yang sedang beranjak dari keadaan yang tradisional menuju kondisi yang lebih modern. Hanya sebagian kecil remaja tinggal di masyarakat yang belum terjangkau prasarana komunikasi (misal di
94
kalangan suku terasing atau pedesaan yang terisolasi). Sebagian besar remaja yang lain, apalagi yang tinggal di kota-kota besar, sudah jelas harus berhadapan dengan masyarakat yang sedang dalam masa transisi. Masyarakat transisi ini dalam istilah J. Useem dan R.H Useem (1968) dinamakan modernizing society. Masyarakat seperti ini berbeda dari tradition oriented society (masyarakat tradisional) dan modern society (masyarakat modern). Dikatakan bahwa ciri masyarakat tradisional adalah mencoba melegalkan nilai-nilai dari masa lalunya ke masa depan dengan cara mempraktikan terus adat istiadat, upacara-upacara, dan kebiasaan-kebiasaan yang sudah berlaku sejak zaman nenek moyang mereka. Masyarakat transisi, menurut Useem dan Useem adalah masyarakat yang sedang mencoba untuk membebaskan diri dari nilai-nilai baru atau hal-hal baru. Masa transisi di Eropa ditandai dengan mulai dikenalnya teknologi mesin uap, alat fotografi dan listrik, yang bersamaan terjadinya dengan dikenalnya sistem demokrasi yang menggantikan monarki. Dalam masyarakat indonesia, tenologi merupakan hal yang baru, yang ulai dikenal masyarakat walaupun bukan langsung merupakan hasil ciptaan sendiri. Bersaaan dengan itu, adat istiadat mulai ditinggalkan orang dan digantikan dengan tata cara yang lebih bebas, sesuai dengan kondisi yang berlaku sekarang dan di masa depan. Misalnya, kartu Lebaran atau Natal digantikan dengan SMS atau Facebook
95
Bergesernya tatanan masyarakat itu menurut Allan Schneiberg (1980 : 114) disebabkan oleh teknologi itu sendiri, yang pada hakikatnya menagandung sifat menimbulkan masalah pada lingkungannya jika digunakan secara meluas. Masyarakat tidak dapat mengubah dirinya dengan cepat untuk mengimbangi dampak lingkungan yang timbul oleh teknologi.