MENGURANGI PERILAKU MORAL HAZARD MELALUI MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE

MENGURANGI PERILAKU MORAL HAZARD MELALUI MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE Nur Sayidah Program Studi Akuntansi Universitas Dr. Soetomo Surabaya [email protected]

Abstrak–Moral hazard adalah perilaku tidak jujur dengan mengorbankan kepentingan pihak lain. Moral hazard dalam perspektif teori keagenan terjadi akibat konflik kepentingan dan asimetri informasi antara principal dan agen. Perilaku moral hazard ini dapat dikurangi melalui mekanisme corporate governance yang mencakup kepemilikan managerial, struktur of dewan komisaris dan audit committee. Melaui kepemilikan manajerial kepentingan antara manajer dan pemegang saham menjadi lebih sejajar sehingga mengurangi konflik kepentingan. Kepentingan pemegang saham adalah kepentingan manajer. Hal ini akan menjadi motivasi manajer untuk tidak mengorbankan kepentingan pemegang saham karena dia sendiri adalah pemegang saham. Sementara itu dewan komisaris dan komite audit merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap efektifitas pengendalian internal dan kualitas pengungkapan. Pengendalian internal yang baik akan membatasi setiap tindakan manajer sehingga mengurangi perilaku moral hazard. Pengungkapan yang luas dan detail memaksa manajer menjelaskan konsekuensi dari setiap keputusannya sehingga mengurangi moral hazard.

“immaterial” misapplications of accounting principles, and the premature recognition of revenue (Lambert dan Sponem, 2005). Moral hazard merupakan tindakan agen dalam memaksimasi utilitasnya dengan mengorbankan yang lain, dalam situasi dimana mereka tidak menanggung semua konsekuensi atau tidak menikmati secara penuh manfaat dari tindakan tersebut (Kotovitz 1987 seperti dikutip oleh Padilla). Moral hazard dalam konteks perusahaan dapat dijelaskan melalui teori keagenan. Teori Keagenan menyatakan bahwa perusahaan merupakan sebuah kontrak antara principal dan agen (Jensen and Menckling, 1976). Prinsipal (pemilik) merupakan pihak yang mendelegasikan wewenangnya kepada agen (manajer) untuk mengelola kepemilikannya dalam sebuah hubungan kontrak kerja (Jensen dan Smith, 1985). Pemisahan antara fungsi kepemilikan dan pengelolaan ini memunculkan asimetri informasi dan konflik kepentingan antara prinsipal dengan agen (manajer). Asimetri informasi merupakan ketidakseimbangan informasi antara pihak yang dapat memperoleh dan memanfaatkan informasi untuk kepentingannya dengan pihak lain yang tidak dapat memperoleh informasi yang sama (Scott, 2000). Asimetri informasi menciptakan masalah bahaya moral (moral hazard) ketika manager mempunyai insentif untuk mengejar kepentingannya sendiri atas biaya pemegang saham (Asbahbaugh, 2004). Manajer mempunyai kepentingan untuk mengejar kemakmurannya melalui penerimaan bonus/insentif atas kinerja yang telah dicapai yang diatur dalam sebuah program yang disebut dengan bonus plan (Watts dan Zimmerman,1990). Sementara itu prinsipal mempunyai harapan bahwa dana yang ditanamkan dalam perusahaan dapat dikelola secara baik oleh manajer sehingga dapat memaksimumkan kekayaannya. Konflik kepentingan antara manajer dan principal terjadi ketika manajer mempunyai motivasi untuk

Kata-kata kunci: moral hazard, prinsipal, agen, mekanisme corporate governance

I. PENDAHULUAN Di Indonesia kasus moral hazard atau skandal keuangan hampir terjadi sepanjang waktu. Bailout Bank Century, mafia pajak, proyek hambalang dan penipuan investasi merupakan beberapa contoh dari kasus ini. Di bidang akuntansi fenomena moral hazard dapat dilihat dari adanya manipulasi laba yang terjadi di beberapa perusahaan besar (skandal Enron dan Worldcom). Jauh sebelum skandal perusahaan ini terjadi pimpinan SEC Arthur Levitt (1998) dalam pidatonya di Universitas New York telah mengutuk adanya “game of nods and winks (permainan anggukan dan kedipan)”. Ada beberapa yang diidentifikasi menjadi praktek yang paling popular diantaranya big bath, restructuring charges, creative acquisition accounting, “cookie jar reserves”,

94

agen karena ada biaya untuk mengawasi tindakan agen dan tidak dapat menyimpulkan tindakan agen dengan melihat hasilnya karena tidak secara lengkap dapat direpresentasikan. Lalu prinsipal menghadapi dua kesulitan. Pertama, tidak dapat mendesain kontrak berdasarkan observasinya pada tindakan agen karena secara umum biaya pengawasan menjadi hambatan. Kedua, prinsipal tidak dapat mendasarkan kontrak pada hasil karena ketidakpastian antara tindakan agen dan hasil serta agen merupakan pihak yang netral terhadap risiko. Prinsipal tidak dapat secara kontraktual memberi tugas kepada agen dengan segala konsekuensi atas tindakannya. Akibatnya mungkin agen membuat keputusan yang berlawanan dengan kepentingan principal.

memakmurkan dirinya dengan mengabaikan kepentingan pemegang saham. Manajer cenderung mengejar laba jangka pendek untuk mendapatkan bonus/insetif dengan mengabaikan kinerja jangka panjang, sehingga terjadilah moral hazard. Moral hazard yang dilakukan oleh manajer ini akan merugikan pemegang saham. Salah satu alasannya karena laba yang dilaporkan belum tentu dalam bentuk aliran kas, tetapi kompensasi (bonus) yang dibayarkan jelas merupakan aliran kas keluar. Kejadian seperti ini dalam perusahaan perlu dicegah atau diperkecil. Salah satu alat yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan ini adalah menerapkan sistem good corporate governance. Artikel ini akan membahas bagaimana sistem GCG dapat mencegah atau memperkecil adanya moral hazard.

B. Corporate Governance Terminologi corporate governance muncul sebagai alat, mekanisme dan struktur yang dipakai untuk mengecek perilaku managerial yang selfserving menguntungkan diri sendiri (John dan Senbet, 1998), membatasi perilaku manajer yang oportunis, memperbaiki kualitas informasi perusahaan (Asbahbaugh, 2004) dan menata hubungan antara semua pihak agar kepentingannya dapat terakomodasi secara seimbang (Tim BPKP, 2005). Interaksi kepentingan yang tertata dalam suatu perusahaan juga memerlukan niat, kepercayaan, integritas dan upaya yang sungguh-sungguh serta kemauan dari seluruh penyelenggara perusahaan. Tujuan mengecek perilaku self-serving adalah untuk meningkatkan efisiensi operasional perusahaan. Alat yang digunakan untuk mengurangi perilaku self-serving dan memperbaiki akuntabilitas tidak dapat efisisen, jika alat tersebut menghambat perbaikan kinerja perusahaan. Selain itu corporate governance bertujuan untuk meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders yang lain (Swa sembada, 2005). Berdasarkan argumen yang dikembangkan oleh Keasey dan Wright (1993) corporate governance dipandang mempunyai dua dimensi besar. Pertama monitoring terhadap kinerja manajemen dan meyakinkan akuntabilitas manajemen terhadap pemegang saham yang menekankan pertanggungjawaban dan dimensi akuntabilitas dari corporate governance. Kedua, struktur, mekanisme dan proses governance yang memotivasi perilaku manajerial untuk meningkatkan kemakmuran bisnis dan perusahaan. Kedua perspektif tersebut perlu dipertimbangkan ketika ada usaha untuk menciptakan struktur dan prosedur governance yang mengarah ke perbaikan kinerja. Kerangka corporate governance yang efektif harus melibatkan seperangkat aktivitas

II. PEMBAHASAN A. Moral Hazard Moral hazard dapat didefinisikan menjadi empat berdasarkan kondisi yang berbeda (Mitnick, 1996). Pertama, moral hazard terjadi karena kondisi monitoring disability (hidden action). Prinsipal dalam kondisi ini tidak dapat mengamati atau memonitor perilaku agen. Hal ini secara konseptual menunjukkan ketidakpastian mengenai hubungan antara tindakan agen dengan hasil untuk prinsipal, adanya ketidaksamaan informasi antara kedua belah pihak, kebutuhan untuk melakukan kesepakatan mengenai masalah insentif untuk agen, ketidakmampuan membuat kontrak untuk menghilangkan masalah (tanpa kemampuan untuk memonitor perilaku agen, kontrak yang dibuat tidak dapat dilaksanakan). Kedua, moral hazard terjadi karena adanya undesirable behavior production (perilaku yang tidak diinginkan) dipandang dari perspektif prinsipal. Agen tidak cukup menjamin bahwa tindakannya akan menguntungkan prinsipal atau bisa mengurangi kerugian yang mungkin terjadi. Moral hazard diidentifikasi sebagai hasil dari perilaku agen yang berisiko. Ketiga, moral hazard terjadi karena undesirable outcome (impact) production. Moral hazard merupakan bentuk oportunisme pasca penandatanganan kontrak. Konsekuensi atas tindakan ini tidak dapat diobservasi secara bebas sehingga seseorang bisa memenuhi kepentingan pribadinya atas biaya pihak lain. Keempat, moral hazard sebagai bentuk dari morals disability. Moral hazard terjadi karena kecenderungan perilaku-perilaku yang tidak bermoral seperti ketidakjujuran, ketidakpedulian, ketidaktahuan atau ketidaktabahan hati. Masalah moral hazard atau perilaku oportunistik yang dilakukan oleh agen muncul ketika prinsipal tidak dapat mengetahui tindakan

95

multi-faceted yang melibatkan investor institusional, dewan direksi insider dan outsider, eksekutif dengan gaji berbasis insentif, board committees,, auditing, pasar untuk kontrol perusahaan dan lainnya. Corporate governance yang efektif dapat meningkatkan probabilitas bahwa manager berinvestasi dalam proyek proyek-proyek yang mempunyai net present value positif. Perusahaan yang better-governed governed mempunyai kinerja operasional yang lebih baik (Brown dan Caylor, 2004). Sementara itu goodd corporate governance (GCG) merupakan praktek terbaik yang biasa dilakukan oleh suatu perusahaan yang berhasil yang mengacu pada bauran antara alat, mekanisme dan struktur yang menyediakan kontrol dan akuntabilitas yang dapat meningkatkan economic enterprises dan kinerja perusahaan (Tim BPKP, 2003) serta mendorong perusahaan melakukan penciptaan nilai yang diproksi dengan kinerja masa depan (Kelley dkk, ). Praktek terbaik ini mencakup praktik bisnis, aturan main, struktur proses dan prinsip yang dimiliki. GCG merupakan syarat bagi perusahaan untuk mendapatkan kepercayaan bagi investor di pasar modal. Perusahaan dengan corporate governance yang baik akan dapat meningkatkan nilai perusahaan bagi pemegang saham. Hal ini karena visi, misi dan strategi perusahaann dinyatakan secara jelas, nilai nilai-nilai perusahaan serta kode etik disusun untuk memastikan adanya kepatuhan seluruh jajaran perusahaan, terdapat kebijakan untuk menghindari benturan kepentingan dan transaksi dengan pihak ketiga yang tidak tepat, risiko perusahaan usahaan dikelola dengan baik dan terdapat sistem pengendalian dan monitoring yang baik (PriceWaterhouse Coopers, 2000). Penerapan GCG di PT. Adhi Karya membuktikan hal tersebut. Dalam periode satu tahun pencatatan di bursa, kekayaan pemegang sahamnya naik sampai 613%. Angka ini jauh lebih tinggi daripada pencapaian return yang didapat dari pasar secara keseluruhan. Secara rata rata-rata sahamsaham di Bursa Efek Jakarta membukukan return sebesar 56% (Siauw Hong, 2005).

GAMBAR 1. Model Tata Tat Kelola

Struktur dalam teori organisasi bisa diartikan sebagai pola koordinasi dan pengendalian, aliran kerja, otoritas dan komunikasi yang menghubungkan aktivitas anggota anggota-anggota organisasi (Bedeian dan Zammuto, 1991). Struktur merupakan kerangka dii dalam organisasi bagaimana prinsip governance dapat dibagi, dijalankan dan dikendalikan. Struktur tata kelola didesain untuk mendukung berjalannya aktivitas organisasi secara bertanggung jawab dan terkendali. Penekanan terhadap pengendalian sangat penting g karena tata kelola berkaitan dengan jawaban atas who control whom yang muncul dari pentingnya pemisahan antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang mengontrol kepentingan (Syakhroza, 2005). Struktur tata kelola menggambarkan secara detail mengenai tingkat atau lapisan komite dan menggambarkan peran utamanya. Sementara itu mekanisme governance merupakan aturan main, prosedur dan hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang mengontrol keputusan. Mekanisme governance nance diarahkan untuk menjamin dan mengawasi berjalannya sistem tata kelola dalam organisasi (Syakhroza, 2005).

C. Moral Hazard dan Mekanisme Corporate Governance Mekanisme kunci dari kerangka corporate governance meliputi struktur dewan direksi, kompensasi direksi dan kepemilikan manajerial, pemegang saham institusional, auditor, informasi akuntansi dan auditing serta pasar untuk pengendalian perusahaan (Short dkk, 1999). Mekanisme ini diharapkan dapat mengurangi perilaku oportunistik manajer ini (Short, dk dkk, 1999) dan memotivasi manajer untuk melakukan pengungkapan guna mengurangi asimetri informasi dan patuh terhadap monitoring (Kelton dan Young, 2007). Bagaimana mekanisme corporate governance tersebut dapat mencegah atau mengurangi moral hazard dijelaskan di bagian berikut ini. Mekanisme corporate governance yang digunakan meliputi kepemilikan

Model (sistem) governance mencakup sstruktur, mekanisme dan prinsip tata kelola (Syahkroza, 2005). Ketiganya yang disebut juga perangkat tata kelola akan berjalan sebagai suatu kesatuan. Jika digambarkan model (sistem) tata kelola akan nampak seperti gambar 1 berikut ini:

96

manajerial, struktur dewan komisaris dan komite audit. C.1 Mengurangi Moral Hazard Mekanisme Kepemilikan Manajerial

Jumlah anggota dewan komisaris independen yang besar membantu monitoring yang lebih baik dan mengendalikan perilaku eksekutif serta menjaga kepentingan investor yang membutuhkan informasi yang lebih akurat dan tepat waktu. Informasi ini diharapkan akan disediakan oleh manajemen melalui pengungkapan secara tepat waktu. Studi Ezat dan Masry (2008) menemukan bahwa proporsi dewan komisaris independen yang lebih tinggi mendorong perusahaan untuk mengungkapkan informasi secara tepat waktu di web sites. Temuan ini konsisten dengan Adam et al (1998) dan Chen dan Jaggi (2000) yang menunjukkan bahwa proporsi dewan komisaris independen yang lebih tinggi berhubungan dengan pengungkapan keuangan yang lebih komprehensif (Ezat dan Masry, 2008). Independensi dan keahlian di bidang industri diantara anggota dewan komisaris menentukan kualitas pelaporan keuangan. Hasil penelitian menunjukkan jumlah anggota komisaris yang lebih besar meminta pengungkapan yang lebih luas. Dewan komisaris yang kurang independen memberikan pengungkapan yang lebih sedikit (Webb, et al, 2008). Jumlah dewan komisaris yang besar dan independen serta ahli di bidang industrinya akan memaksa manajer melakukan pengungkapan yang lebih luas. Permintaan pengungkapan yang lebih luas akan membatasi manajer dalam melakukan tindakan moral hazard. Manajer akan kesulitan dalam menyembunyikan informasi atas tidakannya yang merugikan pihak lain. C.3 Mengurangi Moral Hazard Melalui Mekanisme Karakteristik Komite Audit Komite audit berfungsi antara lain untuk meyakinkan kualitas dari akuntansi keuangan dan sistem pengendalian. Keberadaan audit komite dapat memperbaiki pengendalian internal dan lalu menjadi alat monitoring yang efektif untuk memperbaiki kualitas pengungkapan (Sharma et al, 2009). Teori keagenan memprediksi keberadaan dari komite audit dapat memperkecil biaya keagenan karena pengungkapan sukarela yang dilakukan semakin luas (Ho dan Wong, 2001). Stock Exchange Commission percaya bahwa komite audit yang ahli di bidang keuangan dapat meningkatkan tanggung jawab pengawasan keuangan. Kepercayaan ini didukung oleh hasil studi akhir-akhir ini yang menunjukkan bahwa keahlian keuangan dari komite audit berhubungan dengan manajemen laba yang lebih kecil (Krisnan dan Lee, 2009) dan meningkatkan kualitas pelaporan keuangan. Selain terkait dengan keahliannya di bidang keuangan, efektifitas pengawasan dari komite ini berhubungan dengan tingkat kerajinan komite

Melalui

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa tingkat kepemilikan manajerial yang lebih tinggi akan membantu mensejajarkan kepentingan antara pemegang saham dan manajer, menurunkan biaya keagenan dan meningkatkan nilai perusahaan. Pandangan ini seperti dikutipdari Baek dkk (2009) didukung oleh temuan Mehran (1995) dan Davidson (2003). Mereka menemukan bahwa peningkatan kepemilikan manajerial akan meningkatkan kinerja perusahaan yang diukur dengan Tobins Q dan mengurangi biaya keagenan. Menurunnya biaya keagenan menunjukkan bahwa manajer semakin dapat dipercaya tanpa melakukan monitoring yang ketat. Hal ini terjadi karena manajer merasa kepentingannya semakin sejajar dengan kepentingan pemegang saham. Kesejajaran ini akan mengurangi konflik kepentingan. Manajer merasa bahwa kepentingan pemegang saham adalah kepentingannya juga. Manajer tidak lagi mementingkan laba jangka pendek demi untuk memaksimasi bonus dan mengorbankan kepentingan jangka panjang, karena nilai perusahaan dalam jangka panjang adalah kepentingannya juga. Manajer tidak hanya berkepentingan terhadap bonus, tetapi seperti pemegang saham juga berkepentingan terhadap dividen dan kelangsungan hidup perusahaan. Manajer akan berhenti melakukan berbagai bentuk tindakan oportunis (moral hazard) yang merugikan pemegang saham, karena dia sendiri adalah pemegang saham. C.2 Mengurangi Moral Hazard Melalui Mekanisme Struktur Dewan Komisaris Dewan komisaris merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk menentukan strategi pelaporan informasi keuangan termasuk kemungkinan menghasilkan laporan keuangan yang tidak bias. Hal ini dilakukan untuk memonitor perilaku manajer yang mungkin mementingkan kebutuhan sendiri disamping karena pelaporan keuangan mempunyai dampak terhadap komunikasi dengan kelompok pemegang kendali/stakeholder (Gaa, 2009). Bukti dari Perancis mengenai hubungan antara mekanisme corporate governance dan manajemen laba yang dilakukan oleh Benkreiem (2009) menunjukkan persentase komisaris independen dapat mengurangi manajemen untuk melakukan manajemen laba. Peran ini lebih efektif ketika jumlah anggota komisaris independen paling sedikit sepertiga dari anggota board of director.

97

dalam menjalankan tanggungjawabnya. Tingkat kerajinan komite dapat dilihat dari frekuensi pertemuan komite dalam suatu periode (Sharma dkk, 2009). Bukti empiris menunjukkan persentase yang lebih besar dari komite audit yang ahli di bidang keuangan serta pertemuan komite yang lebih sering lebih mungkin untuk melakukan transparansi pengungkapan (Kelton dan Young, 2008). Keberadaan komite audit akan meningkatkan pengendalian dan tansparansi informasi. Sistem pengendalian yang baik akan membatasi perilaku moral hazard manajer. Selain itu manajer harus mempertanggungjawabkan konsekuensi dari setiap tindakannya kepada komite ini. Perilaku moral hazard manajer akan sulit dilakukan apalagi di hadapan komite audit yang ahli di bidang keuangan. Komite ini akan meminta pengungkapan yang lebih banyak sehingga keahliannya dalam membaca laporan keuangan dan keahliannya dalam membaca setiap celah yang mungkin dimanipulasi manajer.

laba masa depan perusahaan. Manajer berkepentingan terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Dewan komisaris merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk menentukan strategi pelaporan informasi keuangan dan memonitor perilaku manajer yang mungkin mementingkan kebutuhan sendiri. Jumlah dewan komisaris yang besar dan independen serta ahli di bidang industrinya akan memaksa manajer melakukan pengungkapan yang lebih luas. Permintaan pengungkapan yang lebih luas akan membatasi manajer dalam melakukan tindakan moral hazard. Manajer akan kesulitan dalam menyembunyikan informasi atas tidakannya yang merugikan pihak lain. Keberadaan audit komite dapat memperbaiki pengendalian internal dan lalu menjadi alat monitoring yang efektif untuk memperbaiki kualitas pengungkapan (Sharma et al, 2009). Pengendalian internal yang efektif akan memperkecil kesempatan manajer untuk melakukan tindakan moral hazard karena sistem dan pengungkapan yang detail telah membatasinya.

III. KESIMPULAN Moral hazard merupakan perilaku yang tidak jujur dengan tujuan memenuhi kepentingannya sendiri dan merugikan kepentingan pihak lain. Dalam pandangan teori keagenan moral hazard ini timbul karena adanya konflik kepentingan dan asimetri informasi antara manajer (agen) dan pemegang saham (prinsipal). Konflik kepentingan terjadi karena manajer menginginkan memaksimasi laba untuk tujuan bonus dengan mengorbankan kinerja jangka panjang yang merupakan kepentingan pemegang saham. Sementara asimetri informasi merupakan ketidakseimbangan informasi akibat pemisahan fungsi pengelolaan yang dipegang manajer dan fungsi kepemilikan yang ada di tangan pemegang saham. Mengurangi perilaku moral hazard oleh karena itu dapat dilakukan dengan mempersempit kesenjangan kepentingan antara manajer dan pemegang saham serta mengurangi asimetri informasi dengan melakukan pengungkapan informasi yang lebih banyak. Salah satu sistem yang dapat digunakan untuk tujuan ini adalah mekanisme corporate governance yang mencakup kepemilikan manajerial, struktur dewan komisaris dan komite audit. Kepemilikan manajerial akan mengurangi konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham, karena manajer merasa memiliki perusahaan. Kepentingan pemegang saham untuk mempertahankan kinerja jangka panjang adalah kepentingannya juga. Manajer tidak akan melakukan tindakan oportunis (moral hazard) dengan tujuan bonus yang bisa mengorbankan

REFERENSI Ashbaugh, Hollis dkk, 2004, Corporate Governance and Cost of Equity Capital, www.ssrn.com Baek, Young dkk, 2009, Managerial Ownership, Corporate Governance and Voluntary Disclosures, Journal of Bussiness and Economic Studies, Vol. 15, No. 2, pp 44-66. Bedeian, Arthur dan Raymond F. Zammuto, 1991, Organization: Theory and Design, The Dryden Press, Chicago. Gaa, James, 2009, Corporate Governance and the Responsibility of the Board of Directors for Strategic Financial Reporting, Journal of Business Ethics, 90:179–197 Jensen, Michael C dan Smith, Clifford W. Jr, 1985, Stockholder, Manager and Creditor Interest: Aplication of Agency Theory, Working Paper , www.ssrn.com Kelley, dkk, no date, Accountability and Value Creation Roles of Corporate Governance, Working Paper, www.ssrn.com Kelton, A dan Yang, Ya Wen (2008) The Impact of Corporate Governance on Internet Financial Reporting, Journal of Accounting and Public Policy, 27, hal 62-87. Lambert, C dan Sponem, S, 2006, Corporate governance and profit manipulation: a French field Study, Critical Perspectives on Accounting, 16: 717–748 Mitnick, Barry, 1996, The Hazard of Agency, Working Paper. Padilla, Alexandre, no date, Property Economics of Agency Problems,Working Paper PriceWaterhouse Coopers, 2000, Prinsip-prinsip Penerapan Good Corporate Governance di BUMN, Makalah Pelatihan, Disampaikan di PT. Krakatau Steel pada tanggal 7 November

98

Scott, William, 2000, Financial Accounting Theory, Second Edition, Prentice Hall Canada. Syakhroza, Akhmad, 2005, Corporate Governance: Sejarah dan Perkembangan, Teori, Model dan Sistem Governance serta Aplikasinya pada Perusahaan BUMN, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta Sharma, Vinceta dkk, 2009, Determinant of Audit Committee Meeting Frequency: Evidence from Voluntary Governance System, Accounting Horizaon, Vol. 23, No. 3, pp. 245-263 Short, Helen dkk., 1999, Corporate Governance: From Accountability to Enterprise, Accounting and Business Research, Vol. 29, No. 4, Hal. 337-352. Siauw Hong, 2005, Rahasia Sukses Value Creation Adhi Karya, Jakarta: Ray Indonesia. Swa-sembada, 2005, Edisi 09 / XXI / 28 April – 11 Mei. Syakhroza, Akhmad, 2005, Corporate Governance: Sejarah dan Perkembangan, Teori, Model dan Sistem Governance serta Aplikasinya pada Perusahaan BUMN, Pidato Guru Besar, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta Tim Corporate Governance BPKP, 2003, Modul I GCG: Dasar-Dasar Corporate Governance, Penerbit BPKP Webb,et al, 2008,A Survey of Governance Disclosures Among U.S. Firms, Journal of Business Ethics (2008) 83:543–5

99