1
PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI DALAM PASAR PERSAINGAN TIDAK SEMPURNA DI BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA
Oleh: NUNUNG KUSNADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
2 ABSTRAK NUNUNG KUSNADI. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Dalam Pasar Persaingan Tidak Sempurna di Beberapa Propinsi di Indonesia (BONAR M SINAGA sebagai ketua, MANGARA TAMBUNAN, SRI UTAMI KUNTJORO, HARIANTO dan PANTJAR SIMATUPANG sebagai anggota komisi pembimbing). Rumahtangga petani dan persoalan yang dihadapinya merupakan hal yang cukup menarik bagi para pembuat kebijakan dan para peneliti. Salah satu masalah yang menarik untuk dipelajari dari rumahtangga petani tersebut adalah adanya interaksi yang kompleks antara keputusan produksi dan keputusan konsumsi. Namun demikian, karena kesulitan dalam membuat model ekonometrik untuk menjelaskan persoalan tersebut, para peneliti selama ini banyak menggunakan model rekursif atau model separable. Pada model rekursif, pasar input dan pasar output diasumsikan bersaing sempurna. Oleh karena itu, hubungan simultan antara keputusan produksi dan keputusan konsumsi pada ekonomi rumahtangga petani dapat diselesaikan dengan model separable. Struktur pasar dimana rumahtangga petani berada, sangat penting dalam menentukan respons rumahtangga petani terhadap kebijakan tertentu. Penelitian ini bertujuan membangun model ekonometrik perilaku rumahtangga petani pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna. Adanya ketidak sempurnaan pasar pada penelitian ini ditangkap dengan harga bayangan tenaga kerja dalam keluarga dan lahan. Menggunakan model persamaan simultan yang memasukan harga bayangan tersebut, simulasi model memperlihatkan efek ketidaksempurnaan pasar terhadap keputusan produksi dan keputusan konsumsi rumahtangga petani. Pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna, perubahan harga input atau harga produk menghasilkan efek artikulasi pada ekonomi rumahtangga petani, meingindikasikan adanya hubungan simultan yang kompleks antara keputusan produksi dan keputusan konsumsi. Pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna, perilaku ekonomi rumahtangga petani lebih responsif pada perubahan harga produk dibandingkan terhadap perubahan harga input. Kata Kunci: Harga bayangan input, persamaan simultan, model separable dan non-separable.
3
ABSTRACT NUNUNG KUSNADI. Economic Behavior of Farm Household Under Imperfect Market Competition in Several Indonesian Provinces (BONAR M SINAGA as chairman, MANGARA TAMBUNAN, SRI UTAMI KUNTJORO, HARIANTO and PANTJAR SIMATUPANG as members of the Advisory Committee). The farm household and their problems are of considerable interest for policy maker or researcher. One of the most interesting issues of the farm household is the existence of the complex interactions between consumption and production decision. Econometric difficulties to model and solve such behavior, however, most previous research of farm household behavior have relied on the recursive or separable model. The recursive model assumes perfectly competitive market for input and output. The simultaneous production and consumption decision of the farm household then can be solved by separable model. The structure of the markets in which the farm household is embedded is critical in determining the response to particular policy. The objective of this study is to develop econometric model of farm household behavior under imperfect market competition. The existence of market imperfection for input and output are captured by shadow price of family labor and shadow price of land. Using simultaneous model with shadow price incorporated, the simulation of the model shows the effect of market imperfection on farm household production and consumption decision. Under imperfect market, product or input price changes produce articulate effect on farm household economic, indicating the complex simultaneous relations between production and consumption decision. Under market imperfection, farm household economic behavior is more responsive to product price changes compare to input price changes. Keywords: shadow price of input, simultaneous equation, separable and nonseparable model.
SURAT PERNYATAAN
4
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul :
PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI DALAM PASAR PERSAINGAN TIDAK SEMPURNA DI BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, 2005
Nunung Kusnadi 95503 Tanggal Lulus :
5 ABSTRAK NUNUNG KUSNADI. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Dalam Pasar Persaingan Tidak Sempurna di Beberapa Provinsi di Indonesia (BONAR M SINAGA sebagai ketua, MANGARA TAMBUNAN, SRI UTAMI KUNTJORO, HARIANTO dan PANTJAR SIMATUPANG sebagai anggota komisi pembimbing). Rumahtangga petani dan persoalan yang dihadapinya merupakan hal yang cukup menarik bagi para pembuat kebijakan dan para peneliti. Salah satu masalah yang menarik untuk dipelajari dari rumahtangga petani tersebut adalah adanya interaksi yang kompleks antara keputusan produksi dan keputusan konsumsi. Namun demikian, karena kesulitan dalam membuat model ekonometrik untuk menjelaskan persoalan tersebut, para peneliti selama ini banyak menggunakan model rekursif atau model separable. Pada model rekursif, pasar input dan pasar output diasumsikan bersaing sempurna. Oleh karena itu, hubungan simultan antara keputusan produksi dan keputusan konsumsi pada ekonomi rumahtangga petani dapat diselesaikan dengan model separable. Struktur pasar dimana rumahtangga petani berada, sangat penting dalam menentukan respons rumahtangga petani terhadap kebijakan tertentu. Penelitian ini bertujuan membangun model ekonometrik perilaku rumahtangga petani pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna. Adanya ketidak sempurnaan pasar pada penelitian ini ditangkap dengan harga bayangan tenaga kerja dalam keluarga dan lahan. Menggunakan model persamaan simultan yang memasukan harga bayangan tersebut, simulasi model memperlihatkan efek ketidaksempurnaan pasar terhadap keputusan produksi dan keputusan konsumsi rumahtangga petani. Pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna, perubahan harga input atau harga produk menghasilkan efek artikulasi pada ekonomi rumahtangga petani, meingindikasikan adanya hubungan simultan yang kompleks antara keputusan produksi dan keputusan konsumsi. Pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna, perilaku ekonomi rumahtangga petani lebih responsif pada perubahan harga produk dibandingkan terhadap perubahan harga input. Kata Kunci: Harga bayangan input, persamaan simultan, model separable dan nonseparable.
6 ABSTRACT NUNUNG KUSNADI. Economic Farm Household Behavior Under Imperfect Market Competition in Several Indonesian Provinces (BONAR M SINAGA as chairman, MANGARA TAMBUNAN, SRI UTAMI KUNTJORO, HARIANTO and PANTJAR SIMATUPANG as members of the Advisory Committee). The farm household and their problems are of considerable interest for policy maker or researcher. One of the most interesting issues of the farm household is the existence of the complex interactions between consumption and production decision. Econometric difficulties to model and solve such behavior, however, most previous research of farm household behavior have relied on the recursive or separable model. The recursive model assumes perfectly competitive market for input and output. The simultaneous production and consumption decision of the farm household then can be solved by separable model. The structure of the markets in which the farm household embedded is critical in determining the response to particular policy. The objective of this study is to develop econometric model of farm household behavior under imperfect market competition. The existence of market imperfection for input and output are captured by shadow price of family labor and shadow price of land. Using simultaneous model with shadow price incorporated, the simulation of the model shows the effect of market imperfection on farm household production and consumption decision. Under imperfect market, product or input price changes produce articulate effect on farm household economic, indicating the complex simultaneous relations between production and consumption decision. Under market imperfection, farm household economic behavior is more responsive to product price changes compare to input price changes. Keywords: shadow price of input, simultaneous equation, separable and nonseparable model.
7
© Hak cipta milik Nunung Kusnadi, tahun 2005 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
8 PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI DALAM PASAR PERSAINGAN TIDAK SEMPURNA DI BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA
Oleh : NUNUNG KUSNADI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
9 Judul Disertasi
: Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Dalam Pasar Persaingan Tidak Sempurna Di Beberapa Provinsi Di Indonesia
Nama
: Nunung Kusnadi
NRP
: 95503 Menyetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc Anggota
Dr. Ir. Harianto, MS Anggota
Prof. Dr. Ir. Sri Utami Kuntjoro, MS Anggota
Dr. Ir. Pantjar Simatupang, APU Anggota
Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
Dr. Ir. Bonar M. Sinaga. MA
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, MSc
10
Tanggal Ujian : 13 September 2005
Tanggal Lulus :
11 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Purwakarta, Jawa Barat pada tanggal 8 September 1958 dari pasangan
H. Dju’i dan Hj.
Sopiah.
Penulis adalah putra ke enam dari delapan
bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada Tahun 1971 di SD Purwakarta. Pada Tahun 1974 penulis menyelesaikan Sekolah Menegah Pertama di SMP Purwakarta dan Tahun 1977 penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA Purwakarta.
Pada Tahun 1978, penulis diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur
PMDK (Penelusuran Minat dan Bakat, Proyek Perintis II). Selanjutnya pada Tahun 1985, penulis melanjutkan studi S2 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) Sekolah Pascasarjana IPB atas biaya TMPD (Tim Manajemen Program Doktor IPB) dan lulus Tahun 1990. Tahun 1995, dengan biaya sendiri penulis melanjutkan studi S3 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis adalah staf pengajar di Departemen Sosial Ekonomi Pertanian IPB, Fakultas Pertanian sejak Tahun 1984. Sejak ada penataan departemen, penulis menjadi staf pengajar di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selain mengajar, penulis banyak melakukan penelitian di bidang usahatani dan pengembangan usaha kecil dan menengah. Di samping itu penulis sering mejadi instruktur pelatihan pengembangan usaha kecil dan menengah bidang usaha agribisnis dalam bentuk kerja sama dengan instansi pemerintah atau lembaga penelitian. Dalam keorganisasian di
lingkungan IPB, penulis dari tahun 1990-1995 menjadi
sekretaris Laboratorium Agribisnis dan sejak tahun1998
sampai sekarang menjadi
pengelola Program Studi D-III Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian IPB.
12
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Alloh SWT yang telah memberikan karunia, rahmat dan hidayahNya
dan hanya karena perkenan-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.
Disertasi ini membahas Perilaku Ekonomi Rumahtannga Petani dengan mengunakan data PATANAS Tahun 2000. Namun demikian, hasil analisis dan konsekuensi dari disertasi ini merupakan tanggungjawab penulis sepenuhnya. Kajian ini lebih menekankan pada upaya membangun model ekonomi rumahtangga yang bisa menggambarkan perilaku ekonomi rumahtangga pada kondisi ketidaksempurnaan pasar.
Ketidaksempurnaan pasar pada model ditangkap dengan
menggunakan harga bayangan tenaga kerja dan harga bayangan lahan. Harga bayangan juga berusaha menjelaskan adanya hubungan non-rekursif dalam keputusan produksi dan konsumsi yang masih menjadi perhatian para peneliti ekonomi rumahtangga. Penulis menyadari bahwa disertasi berkat
ini dapat terselesaikan dengan sempurna
arahan dan dorongan berbagai pihak.
Pada kesempatan ini perkenankanlah
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1.
Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing .
2.
Prof. Dr. Ir. Sri Utami Kuntjoro, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing.
3.
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing.
4.
Dr.Ir. Pantjar Simatupang, APU selaku Anggota Komisi Pembimbing.
5.
Dr.Ir. Harianto, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing.
6.
Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec dan Dr. M. Husein Sawit, Magri.Dev.Econ sebagai penguji luar komisi.
13 7.
Bapak H. Dju’i (Alm) dan Ibunda Hj. Sopiah (Alm), orang tua tercinta yang telah membesarkan, mendidik, mendoakan dan memberi restu serta semangat pada penulis sampai akhir hayat beliau.
8.
Istri tercinta Anna Sylviana Kartika yang telah membantu dan memberikan semangat, doa serta dorongan dalam penyelesaian disertasi ini.
9.
Pimpinan Fakultas Pertanian IPB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan Studi di Sekolah Pascasarjana IPB
10.
Pimpinan dan staf Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (PSE) yang telah mengijinkan penulis untuk memanfaatkan data PATANAS Tahun 2000 untuk bahan penelitian pada disertasi ini.
11.
Dr. Ir. Tahlim Sudaryanto, APU,
yang telah mengijinkan penulis untuk
memanfaatkan data PATANAS pada saat menjadi pimpinan PSE. 12.
Pimpinan Departemen Sosial Ekonomi Pertanian IPB yang telah memberi kesempatan untuk menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana IPB
13.
Dr. Ir. Yusman Syaukat MSc yang bersedia menjadi penguji pada tahap ujian tertutup.
14.
Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, MS sebagai Kepala Bagian Agribisnis yang telah memberi banyak dorongan dan semangat serta bantuan literatur yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian disertasi ini.
15.
Ir. Sumaryanto, MS, staf PSE yang banyak membantu penulis memahami data PATANAS untuk keperluan penyusunan disertasi ini.
16.
Pengelola Program Studi D-III Manajemen Agribisnis: Bapak Ir. T Hanafiah, Ir. Dwi Rachmina, MSi, Ir Anna Farianti, MSi, Dra Yusalina, MSi, serta rekan penulis
14 Ir. Wien Kuntari, MSi, Ir. Eva Yolinda, MM, dan rekan-rekan di sekretariat D-III MAB. Mereka telah banyak membantu memperlancar penyelesaian disertasi ini. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu di sini, penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Karya ini merupakan upaya terbaik penulis, namun sudah pasti masih banyak kekurangannya.
Terlepas dari segala kekurangan yang ada, semoga disertasi ini
bermanfaat.
Bogor, September 2005 Penulis
15 DAFTAR ISI Halama n DAFTAR TABEL..............................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................
xii
I. PENDAHULUAN .............................................................................................
1
1.1. Latar Belakang Penelitian.........................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................
9
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian..............................................................
11
1.4. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ……………………………........
12
II. TINJAUAN STUDI EMPIRIK .........................................................................
15
2.1. Model Rekursif.........................................................................................
17
2.2. Model Persamaan Simultan......................................................................
19
2.3. Model Non-rekursif ..................................................................................
23
III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS ...........................................................
31
3.1. Teori Alokasi Waktu Becker ....................................................................
32
3.2. Model Rumahtangga Petani Chayanov ....................................................
37
3.3. Teori Ekonomi Rumahtangga Petani Nakajima .......................................
41
3.4. Model Umum Ekonomi Rumahtangga.....................................................
53
3.4.1. Perilaku Konsumsi Rumahtangga Pertanian................................
60
3.4.2. Penawaran Produk Usahatani.......................................................
64
3.5. Model Ekonomi Rumahtangga pada Pasar Tidak Sempurna ...................
65
3.6. Harga Bayangan .......................................................................................
73
IV. METODE PENELITIAN ..................................................................................
77
4.1. Data Ekonomi Rumahtangga Pertanian....................................................
77
4.1.1. Data Produksi ...............................................................................
78
4.1.2. Data Penggunaan Tenaga Kerja ...................................................
79
16 4.1.3. Data Penggunaan Sarana Produksi Usahatani .............................
81
4.1.4. Pengeluaran Rumahtangga...........................................................
82
4.1.5. Kelengkapan Data ........................................................................
82
4.1.6. Sebaran Rumahtangga Contoh.....................................................
83
4.2. Perumusan Model Ekonometrika .............................................................
84
4.2.1. Harga Bayangan Input Usahatani ................................................
85
4.2.2. Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja ...................................
88
4.2.3. Permintaan Pupuk........................................................................
95
4.2.4. Luas Lahan Garapan....................................................................
97
4.2.5. Produk Usahatani yang Dikonsumsi ............................................
98
4.2.6. Investasi .......................................................................................
99
4.2.7. Konsumsi Rumahtangga ..............................................................
102
4.2.8. Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan ......................................
105
4.2.9. Kredit ...........................................................................................
106
4.2.10. Tabungan......................................................................................
107
4.2.11. Pengeluaran Total Rumahtangga .................................................
108
4.3. Identifikasi Model ....................................................................................
110
4.4. Metode Pendugaan Model ........................................................................
112
4.5. Validasi Model .........................................................................................
118
4.6. Prosedur Analisis......................................................................................
122
V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN ................
124
5.1. Karakteristik Penguasaan Lahan Usahatani .............................................
124
5.2. Karakteristik Petani dan Anggota Keluarga .............................................
126
5.3. Aktivitas Kerja Anggota Rumahtangga Petani.........................................
128
5.4. Penggunaan Input Usahatani ....................................................................
134
5.5. Struktur Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga...............................
141
VI. HASIL PENDUGAAN MODEL RUMAHTANGGA PETANI......................
145
6.1. Hasil Pendugaan Harga Bayangan ...........................................................
145
6.2. Hasil Pendugaan Model Ekonomi Rumahtangga.....................................
150
6.2.1. Penggunaan Tenaga Kerja Dalam Keluarga ................................
152
17 6.2.2. Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga ...................................
157
6.2.3. Penawaran Tenaga Kerja di Luar Usahatani................................
161
6.2.4. Penggunaan Pupuk Kimia............................................................
165
6.2.5. Luas Lahan Garapan ....................................................................
169
6.2.6. Produk Usahatani Dikonsumsi.....................................................
172
6.2.7. Investasi Usahatani ......................................................................
175
6.2.8. Investasi Rumahtangga ................................................................
178
6.2.9. Pengeluaran Pangan dan Non-pangan..........................................
180
6.2.10. Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan ......................................
183
6.2.11. Permintaan Kredit ........................................................................
184
6.2.12. Tabungan......................................................................................
187
VII. IDENTIFIKASI KONDISI PASAR DAN VALIDASI MODEL ....................
191
7.1. Identifikasi Kondisi Pasar Persaingan Tidak Sempurna ..........................
191
7.2. Validasi Model Persamaan Simultan........................................................
201
VIII. EFEK PERUBAHAN HARGA INPUT DAN HARGA OUTPUT PADA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI.........................................................
211
8.1. Kenaikan Harga Produk Usahatani ..........................................................
213
8.2. Kenaikan Harga Pupuk.............................................................................
219
8.3. Kenaikan Upah Buruh Usahatani .............................................................
231
8.4. Kenaikan Upah Buruh di Luar Usahatani ................................................
237
8.5. Kenaikan Suku Bunga Kredit ...................................................................
244
8.6. Penurunan Penguasaan Lahan ..................................................................
250
IX. KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................................
255
9.1. Kesimpulan...............................................................................................
255
9.2. Saran .........................................................................................................
257
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
260
LAMPIRAN.......................................................................................................
266
18
Nomor Halaman
DAFTAR TABEL
1. Jumlah Unit Rumahtangga Di Indonesia Menurut Jenis Usaha Pertanian di Pulau Jawa dan di Luar Pulau Jawa Berdasarkan Hasil Sensus Pertanian Tahun 2003 ............................................................................................................
3
2. Persentase Jumlah Rumahtangga Pertanian Menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai di Pulau Jawa dan di Luar Pulau Jawa Berdasarkan Hasil Sensus Pertanian Tahun 2003 .................................................................................
4
3. Jumlah Responden dan Jumlah Desa Menurut Propinsi Contoh.......................
83
4. Penguasaan Lahan Usahatani Oleh Rumahtangga Petani Menurut Strata Luas Lahan Usahatani ................................................................................................
125
5. Karakteristik Kepala Keluarga dan Anggota Rumahtangga Petani Menurut Strata Luas Lahan Usahatani .............................................................................
127
6. Jumlah Anggota Rumahtangga yang Aktif di Usahatani dan di Luar Usahatani Menurut Strata Luas Lahan ...........................................................................
129
7. Jumlah Anggota Rumahtangga dan Rata-rata Pendidikan Menurut Jenis Kegiatan di Luar Pertanian dan Menurut Strara Luas Lahan .................................... 131 8. Potensi dan Curahan Kerja Keluarga Petani Pada Kegiatan Usahatani dan di Luar Usahatani Menurut Strata Luas Lahan ......................................................
133
9. Penggunaan Input Usahatani dan Nilai Produk Total Per Hektar Lahan GarapAn Menurut Status Luas Lahan ......................................................................... 135 10. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Usahatani dan Produktivitas Lahan pada Rumahtangga Petani Tanaman Pangan..........................................
137
11. Indeks Pengembalian Input Usahatani Setiap Strata Terhadap Nilai Pengembalian Input Total Rumahtangga ........................................................................
138
12. Alokasi Penerimaan Usahatani pada Pengeluaran Usahatani dan Konsumsi Rumahtangga Menurut Strata Luas Lahan.........................................................
140
13. Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani Menurut Strata Luas Lahan ..................................................................................................................... 142 14. Struktur Pengeluaran Rumahtangga Petani Menurut Strata Luas Lahan ...........................................................................................................................
143
19 15. Hasil Dugaan Fungsi Produksi Translog Dengan Metode PLS Pada RumahTangga Petani Tanaman Pangan.......................................................................
147
16. Harga Bayangan dan Harga Pasar Input Usahatani Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Translog Menurut Strata Luas Lahan Garapan...................................
148
17. Analisis Ragam Persamaan Struktural Model Persamaan Simultan pada Rumahtangga Petani Tanaman Pangan ..................................................................
151
18. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Tenaga Kerja Pria dan Wanita Dalam Keluarga di Usahatani................................................................
153
19. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Tenaga Kerja Pria dan Wanita Luar Keluarga di Usahatani ..................................................................
157
20. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Tenaga Kerja Pria dan Wanita di Luar Usahatani ..................................................................................
162
21. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Pupuk Urea dan TSP pada Rumahtangga Petani Tanaman Pangan .....................................................
165
22. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Luas Lahan Garapan pada Rumahtangga Petani Tanaman Pangan .........................................................................
170
23. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produk Usahatani yang Dikonsumsi pada Rumahtangga Petani Tanaman Pangan .....................................................
173
24. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Investasi Usahatani pada Rumahtangga Petani Tanaman Pangan ................................................................................
176
25. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Investasi Rumahtangga pada Rumahtangga Petani Tanaman Pangan........................................................................
173
26. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengeluaran Pangan yang Dibeli dari Pasar dan Non-pangan Pada Rumahtangga Petani Tanaman Pangan ................
181
27. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan pada Rumahtangga Petani Tanaman Pangan.................................................
183
28. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Permintaan Kredit pada Rumahtangga Petani Tanaman Pangan .................................................................................... 186 29. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tabungan pada Rumahtangga Petani Tanaman Pangan ................................................................................................ 30. Harga Bayangan dan Harga Pasar Input Usahatani Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Translog dan Model Ekonomi Rumahtangga Petani Tanaman Pang-
188
20 an Menurut Strata Luas Lahan ..........................................................................
193
31. Indeks Distorsi Harga Pupuk Urea dan Upah Tenaga Kerja Usahatani Menurut Strata Luas Lahan .........................................................................................
199
32. Hasil Pendugaan Regresi Harga Bayangan Input Terhadap Harga Pasar Menurut Strata Luas Lahan ......................................................................................... 201 33. Root Mean Square Percent Error dan Koefisien U-Theil Model Ekonomi Rumahtangga Petani Tanaman Pangan Menurut Strata Luas Lahan...................... 204 34. UM, US dan UC Model Ekonomi Rumahtangga Petani Tanaman Pangan Menurut Strata Luas Lahan ..................................................................................... 206 35. Rata-rata Aktual dan Hasil Simulasi Variabel Endogen Model Ekonomi Rumahtangga Petani Tanaman Pangan Menurut Strata Luas Lahan......................
209
36. Efek Kenaikan Harga Produk 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga PetaniModel Separable dan Non Separable Menurut Strata Luas Lahan ...................
214
37. Efek Kenaikan Harga Urea 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga Petani Model Separable dan Non Separable Menurut Strata Luas Lahan ...................
221
38. Efek Kenaikan Harga TSP 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga Petani Model Separable dan Non Separable Menurut Strata Luas Lahan ...................
225
39. Efek Kenaikan Harga Urea dan TSP 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga Petani Model Separable dan Non Separable Menurut Strata Luas Lahan ........
228
40. Efek Kenaikan Upah Buruh Usahatani Pria 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga Usahatani Model Separable dan Non Separable Menurut Strata Luas Lahan ................................................................................................................. 232 41. Efek Kenaikan Upah Buruh Usahatani Wanita 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga Petani Model Separable dan Non Separable Menurut Strata Luas Lahan .................................................................................................................
235
42. Efek Kenaikan Upah Buruh Usahatani Pria dan Wanita 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga Petani Model Separable dan Non Separable Menurut Strata Luas Lahan ..............................................................................................
237
43. Efek Kenaikan Upah Buruh Pria di Luar Usahatani 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga Petani Model Separable dan Non Separable Menurut Strata Luas Lahan .........................................................................................................
240
44. Efek Kenaikan Upah Buruh Wanita di Luar Usahatani 10 Persen pada Ekono
21 Ekonomi Rumahtangga Usahatani Model Separable dan Non Separable Menurut Strata Luas Lahan ................................................................................
242
45. Efek Kenaikan Upah Buruh Pria dan Wanita Di Luas Usahatani 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga Usahatani Model Separable dan Non Separable Menurut Strata Luas Lahan ................................................................................
244
46. Efek Kenaikan Suku Bunga Kredit 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga Petani Model Separable dan Non Separable Menurut Strata Luas Lahan .........
246
47. Efek Penurunan Luas Lahan yang Dikuasai 10 Persen Pada Ekonomi Rumahtangga Petani Model Separable dan Non Separable Menurut Strata Luas Lahan ..................................................................................................................
251
22 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Efek Perubahan Upah Pada Model Ekonomi Rumahtangga Becker ...............
36
2. Model Keseimbangan Rumahtangga Menurut Chayanov .................................
39
3. Model Dasar Ekonomi Rumahtangga Petani Nakajima ....................................
43
4. Pengaruh Perubahan Harga Produk Pada Keseimbangan Rumahtangga Model Nakajima............................................................................................................
45
5.
Keseimbangan Rumahtangga Petani Kasus Menyewa Tenaga Kerja Luar Keluarga .................................................................................................................
49
6. Keseimbangan Rumahtangga Petani Kasus Menjual Tenaga Kerja Keluarga ..
51
7. Diagram Keterkaitan Antar Variabel Model Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Tanaman Pangan .....................................................................................
109
23 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Jumlah Rumahtangga Pertanian Menurut Jenis Usaha Pertanian di Pulau Jawa dan di Luar Pulau Jawa Hasil Sensus Pertanian Tahun 2003 ............................ 267 2. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Padi dan Palawija Di Indonesia Tahun 1970 – 2003 ........................................................
268
3. Kovarian Residual Hasil Pendugaan Metode 2SLS............................................
269
4. Ringkasan Konstruksi Model Ekonomi Rumahtangga Petani ............................
270
5. Daftar Nama Variabel Pada Model Ekonomi Rumahtangga Petani ...................
276
24 I . PE NDAHUL U AN 1.1. L at ar B elakang Penelit ian Sektor pertanian sampai saat ini, dan juga di masa yang akan datang, akan tetap memegang peranan penting dalam perekonomian I ndonesia. Berbagai alasan mendasar mengapa sektor pertanian perlu mendapat perhatian, antara lain karena sektor pertanian merupakan produsen produk-produk primer utama seperti pangan, serat, kayu, dan lain-lain. Sektor pertanian juga merupakan penyerap tenaga kerja yang dominan, khususnya di perdesaan. Selain itu sektor pertanian sering dilekatkan dengan kemajuan suatu bangsa, karena sektor pertanian umumnya merupakan sektor ekonomi yang dominan di negara-negara sedang berkembang.
T eori pertumbuhan ekonomipun sering
mengacu kepada kondisi sistem ekonomi tradisional agraris sebagai titik awal bergeraknya suatu pertumbuhan ekonomi menuju sistem ekonomi industri modern. Gambaran sektor pertanian di I ndonesia, tidak terlepas dari persoalanpersoalan kemiskinan, tekanan penduduk, tenaga kerja yang tidak terampil, dan penyempitan lahan usahatani, penurunan kualitas lahan.
Resultan dari
persoalan-persoalan tersebut menyebabkan keragaan sektor pertanian selalu tertinggal dibanding sektor non-pertanian. Kemiskinan penduduk menyebabkan kualitas sumberdaya manusia rendah dan kurang mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi baru.
Di sisi lain, tekanan jumlah penduduk dengan
keterampilan rendah menyebabkan sektor pertanian menjadi terbebani dengan
25 tenaga kerja.
Produktivitas
tenaga kerja cenderung rendah, sehingga
menimbulkan pengangguran tidak kentara (disguised unemployment).
Jika
halnya demikian, sektor pertanian sebagai penyerap tenaga kerja yang dominan perlu diinterpretasikan secara hati-hati. Mempelajari sektor pertanian di negara sedang berkembang seperti di I ndonesia, menyangkut karakteristik tiga aspek penting (Nakajima, 1986), yaitu (1) karaktersistik teknologi produksi pertanian, (2) karakteristik rumahtangga petani (farm household) sebagai satu unit ekonomi, dan (3) karakteristik produkproduk pertanian sebagai komoditas.
Aspek rumahtangga petani merupakan
aspek penting untuk dipelajari mengingat sebagian besar produk sektor pertanian di I ndonesia disumbang oleh kegiatan usahatani rumahtangga. Hasil sensus pertanian tahun 2003 (T abel 1) menunjukkan rumahtangga pertanian berjumlah lebih dari 24 juta unit, atau sekitar 47 persen dari total rumahtangga. Di perdesaan, persentase tersebut jauh lebih besar, yaitu lebih dari 70 persen rumahtangga merupakan rumahtangga pertanian (Lampiran 1). Jumlah rumahtangga pertanian di I ndonesia dari hasil sensus ke hasil sensus berikutnya selalu menunjukkan peningkatan. pertanian menurut
Jumlah rumahtangga
Sensus Pertanian tahun 1983 sebanyak 19.5 juta. Jumlah
ini meningkat menjadi 21.5 juta rumahtangga pada Sensus Pertanian tahun 1993.
Pada T abel 1, hasil sensus pertanian tahun 2003, jumlah rumahtangga
pertanian sudah lebih dari 24 juta, atau selama 10 tahun meningkat lebih dari 27 persen.
Pada T abel 1 juga terlihat sebaran rumahtangga pertanian menurut
26 pulau.
T ampaknya sejalan dengan distribusi jumlah penduduk, jumlah
rumahtangga pertanian pun sebagian besar (54.6 persen) terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Rumahtangga pertanian yang ada sebagian besar merupakan
rumahtangga pertanian tanaman pangan padi dan atau palawija. Rumahtangga tanaman pangan tersebut, terlihat juga terkonsentrasi di Pulau Jawa. Ketimpangan distribusi rumahtangga di I ndonesia berimplikasi kepada karakteristik usahatani itu sendiri.
Konsekuensi dari ketimpangan distribusi
tersebut misalnya terhadap penguasaan lahan usahatani per unit rumahtangga, persaingan penggunaan lahan pertanian dengan keperluan pemukiman dan industri
non-pertanian,
yang pada gilirannya akan
berdampak
kepada
pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga. T abel 1. Jumlah Unit Rumahtangga Di I ndonesia Menurut Jenis Usaha Pertanian Di Pulau Jawa dan Di Luar Pulau Jawa Berdasarkan Hasil Sensus Pertanian T ahun 2003 Jenis Usaha Pertanian Padi Palawija Padi atau Palawija Hortikultura Perkebunan Total Rumahtangga Pertanian
P.Jawa Unit Persen 8457724 62.27 6771722 49.86 10834342 79.77 4747004 34.95 1717092 12.64 13582578
100.00
Luar P.Jawa Unit Persen 5312376 47.07 4086536 36.21 7424516 65.78 3710224 32.87 5226071 46.31 11286097
100.00
Total Unit 13770100 10858258 18258858 8457228 6943163
Persen 55.37 43.66 73.42 34.01 27.92
24868675
100.00
Sumber: Badan Pusat Statistik (2004) Pada T abel 2 diperlihatkan sebaran persentase jumlah rumahtangga menurut golongan luas lahan yang dikuasai menurut hasil sensus pertanian tahun 2003.
Dapat diduga bahwa sebagian besar rumahtangga pertanian
menguasai lahan pertanian relatif sempit.
Persentase kumulatif pada T abel 2
27 terlihat jumlah rumahtangga dengan penguasaan lahan kurang dari 0.5 hektar sebanyak 55.6 persen. Di Pulau Jawa jumlah golongan rumahatangga tersebut lebih banyak yaitu 74.7 persen. Badan Pusat Statistik menamakan rumahtangga pertanian golongan ini sebagai
“rumahtangga petani gurem”.
Jumlah
golongan rumahtangga ini cenderung meningkat jika dibandingkan dengan hasil sensus pertanian pada tahun 1983 dan tahun 1993. Menurut sensus pertanian tahun 1983 jumlah rumahtangga dengan penguasaan kurang dari 0.5 hektar sebanyak 40.8 persen, sedangkan menurut sensus pertanian tahun 1993 berjumlah 48.5 persen Seperti
telah
rumahtangga di
disebutkan
Pulau
Jawa,
di
atas,
adanya konsentrasi
menyebabkan
luas
lahan
distribusi
yang dikuasai
rumahtangga di Pulau Jawa jauh lebih sempit dibanding di luar Pulau Jawa. Pada T abel 2 terlihat, rata-rata penguasaan lahan yang dikuasai rumahtangga di Pulau Jawa hanya sekitar sepertiga luas lahan rata-rata yang dikuasai rumahtangga di luar Pulau Jawa. Adanya tekanan jumlah penduduk dan adanya alih fungsi lahan pertanian untuk pemukiman dan industri non-pertanian, di masa mendatang luas penguasaan lahan rumahtangga pertanian di Pulau Jawa dipastikan akan semakin menyempit. T anpa adanya upaya perbaikan teknologi pertanian yang dapat mensubstitusi fungsi lahan, penyempitan penguasaan lahan pertanian oleh rumahtangga pertanian di Pulau Jawa akan identik dengan penurunan kinerja usahatani atau kinerja sektor pertanian di Pulau Jawa. T abel 2.
Persentase Jumlah Rumahtangga Pertanian Menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai Di Pulau Jawa dan Di
28 Luar Pulau Jawa Berdasarkan Hasil Sensus T ahun 2003 Luas Lahan Dikuasai (m2) < 1000 1000 - 4999 5000 - 9999 10000 - 19999 20000 - 29999 • 30000 Jumlah Rata-rata Penguasaan Lahan (Ha/Unit)
P.Jawa (%) 17.84 56.83 17.23 6.15 1.18 0.76 100.00 0.458
Luar P.Jawa (%) 5.87 27.31 22.71 25.00 11.14 7.97 100.00 1.382
Pertanian Total (%) 12.34 43.26 19.75 14.82 5.76 4.07 100.00 0.883
Sumber: Badan Pusat Statistik (2004)
Semakin banyaknya usahatani
berskala kecil
dapat
menimbulkan
persoalan sosial ekonomi yang kompleks. Karakteristik rumahtangga pertanian seperti digambarkan di atas, akan berpengaruh pada aspek teknologi dan aspek produksi sektor pertanian. Dalam konteks pembangunan pertanian, persoalan ini akan menghambat berbagai bentuk upaya modernisasi usahatani.
Berbagai
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan usahatani kecil cenderung resisten terhadap perubahan teknologi karena berbagai alasan, antara lain karena teknologi baru, di samping menjanjikan manfaat tambahan bagi petani, biasanya disertai dengan resiko kegagalan yang tinggi.
Petani kecil akan cenderung
memilih teknologi tradisional dengan resiko kegagalan rendah. Selama lebih dari 50 tahun, pemerintah telah banyak melakukan berbagai program dan proyek guna meningkatkan produksi pertanian, khususnya produksi padi, dimana produsen utamanya adalah usahatani kecil seperti dijelaskan dimuka. Upaya pemerintah tersebut cukup berhasil meningkatkan produksi padi
29 nasional sehingga I ndonesia sempat menjadi negara swasembada beras. Peningkatan produksi padi dilakukan pemerintah sejak tahun 1965 dengan program Bimbingan Masal (Bimas).
Program ini pada dasarnya merupakan
program introduksi teknologi baru budidaya padi dengan memperkenalkan bibit unggul, pupuk, obat-obatan, perbaikan teknik penanaman.
T eknologi ini dari
waktu ke waktu terus diperbaiki, yaitu dengan diperkenalkannya program I ntensifikasi Khusus (I nsus) dan Supra I nsus. I ntroduksi teknologi ini didukung dengan infrastruktur, seperti pembangunan jaringan irigasi, lembaga-lembaga penelitian, lembaga penyuluhan, lembaga perkreditan, dan lain-lain. Dari sisi produksi, gambaran pertanian tanaman pangan dapat dilihat dari perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas padi dan palawija. Perkembangan luas panen dan produksi padi sawah selama tahun 1970-2003 (Lampiran 2) menunjukkan laju peningkatan yang relatif kecil. Demikian halnya dengan produktivitas padi sawah, selama lebih dari 30 tahun tidak banyak bergerak pada empat sampai lima ton per hektar. Walaupun tidak nyata, pada tahun 1998 bahkan terjadi penurunan. Penurunan produktivitas padi tersebut diduga disebabkan oleh penurunan penggunaan pupuk dan kualitas benih akibat krisis ekonomi.
Di samping itu, pada tahun 1998 terjadi kekeringan sebagai
dampak Elnino. Pada masa krisis ekonomi ini harga pupuk dan benih padi unggul di pasar bebas cenderung meningkat sehingga permintaan terhadap pupuk dan benih tersebut menurun.
Namun penurunan penggunaan benih dan pupuk
30 tersebut juga disebabkan oleh menurunnya pendapatan riil petani yang menyebabkan daya beli petani menurun. Gambaran yang sama juga terjadi pada padi ladang.
Luas panen dan
produktivitas padi ladang pada kurun waktu tahun 1970-2003 tidak menunjukkan perkembangan yang berarti.
Produktivitas tanaman selama kurun waktu
tersebut tidak banyak berubah, yaitu sekitar dua ton per hektar. Produktivitas ini hanya setengah dari produktivitas padi sawah. Lambatnya peningkatan produksi dan produktivitas padi sawah dan padi ladang diduga karena produktivitas padi telah mengalami kejenuhan. Penelitian Mulyana (1998) menunjukkan bahwa produktivitas padi sawah di Jawa, Bali, Sumatera,
dan Sulawesi
ternyata tidak responsif terhadap peningkatan
penggunaan pupuk. I ni menunjukkan bahwa produksi beras secara teknis telah mengalami kejenuhan
sehingga peningkatan penggunaan pupuk tidak dapat
meningkatkan produksi padi secara berarti.
Peningkatan penggunaan pupuk
lebih lanjut dikhawatirkan justru akan menurunkan produktivitas padi.
Jika
kondisi seperti ini terjadi maka peningkatan produksi padi hanya dapat ditempuh dengan penemuan teknologi baru berupa rekayasa benih atau perbaikan teknologi budidaya. Lebih lanjut Mulyana (1998) menunjukkan bahwa perkembangan areal panen dan produktivitas padi sawah ternyata tidak elastis terhadap perubahan harga gabah dan harga pupuk. I ni menunjukkan bahwa instrumen kebijakan harga input dan output tidak efektif meningkatkan produksi padi.
Namun areal
31 panen masih responsif terhadap perubahan curah hujan, target produksi, dan penyuluhan. Fenomena ini mengindikasikan bahwa petani padi lebih responsif terhadap faktor-faktor fisik dan insentif teknologi dibanding insentif ekonomi. Melambatnya
laju
peningkatan
produksi
dan
produktivitas
padi
menyebabkan I ndonesia kembali sering melakukan impor beras. Data impor tahun 1996-2003 yang tercatat di Badan Pusat Statistik menunjukkan volume impor beras menunjukkan kecenderungan meningkat. Pada tahun 1996 volume impor beras hanya sekitar 200 ton. Pada tahun 2003 sudah mencapai 1.4 juta ton. Volume impor meningkat drastis sejak tahun 1998, yaitu mencapai 2.9 juta ton. Peningkatan tajam tersebut diduga karena krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 dan adanya musim kering yang relatif panjang pada tahun tersebut. Krisis ekonomi dan kekeringan telah menekan luas areal panen dan produksi padi. Gambaran perkembangan produksi beberapa komoditas palawija penting juga dapat dilihat pada Lampiran 1.
Perkembangannya menunjukkan kondisi
yang tidak jauh berbeda dengan perkembangan padi sawah dan padi ladang. Selama tahun 1970-2003, perkembangan luas panen dan produksi menunjukkan peningkatan yang tidak berarti.
Demikian halnya dengan produktivitas per
hektar tanaman tersebut tidak banyak mengalami perubahan, bahkan kedelai sejak
tahun
2000
terlihat
menggembirakan tersebut
menurun.
dapat
dipahami
terhadap komoditas ini masih minim.
Perkembangan
yang
kurang
karena perhatian pemerintah
Program intensifikasi dan ekstensifikasi
32 memang telah dilakukan tetapi program ini tidak seintensif yang dilakukan pada tanaman padi. Kebijakan harga dasar, seperti pada jagung, pernah dilakukan, tetapi kebijakan ini tidak efektif karena harga jagung di pasar bebas selalu lebih tinggi dibanding harga dasar yang ditetapkan pemerintah. Laju peningkatan produksi palawija yang tidak seimbang dengan peningkatan kebutuhan dalam negeri menyebabkan I ndonesia masih tergantung pada palawija impor, terutama jagung dan kedelai.
Volume impor komoditi
palawija, seperti jagung, kedelai, kacang tanah, selama kurun waktu 1996-2003 secara umum hampir tidak banyak mengalami perubahan, kecuali pada tahun awal setelah krisis ekonomi. Pada masa krisis ekonomi volume impor jenis palawija tersebut mengalami penurunan yang cukup drastis. Pada masa awal krisis ekonomi, perilaku impor palawija memang terlihat berlawanan dengan perilaku impor beras.
Beras, sebagai bahan pangan pokok, pada masa awal
krisis banyak mengandalkan impor, sedangkan palawija, yang umumnya merupakan bahan baku industri, pada masa awal krisis ekonomi justru menurun karena impor menjadi sangat mahal. Dalam rangka mengatasi persoalan ketergantungan impor palawija, dan juga mulai
pada beras,
pemerintah akhir-akhir
ini
melakukan gerakan
peningkatan produksi padi dan palawija yang dikenal dengan Gerakan Mandiri Padi, Kedele dan Jagung T ahun 2001 (Gema Palagung 2001). Dengan gerakan ini diharapkan akan terjadi peningkatan produksi padi dan palawija sehingga dapat menekan impor padi (beras), kedelai dan jagung.
Secara operasional
33 gerakan
ini
menyangkut
upaya
peningkatan
peranan
kelompok
tani,
memperlancar pengadaan dan penyaluran sarana produksi dan permodalan, perbaikan teknologi, perbaikan kinerja penyuluh dan lembaga penyuluh, mengembangkan pola kemitraan di dalam pemasaran hasil, dan peningkatan mutu koordinasi antar instansi yang terkait. Khusus untuk beras, perkembangan impor yang cenderung meningkat
akan mengganggu pihak petani produsen.
Karena itu, khusus untuk beras, pemerintah telah mengintervensi dengan mengeluarkan kebijakan larangan impor sampai dengan waktu tertentu. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa perkembangan tanaman pangan selama ini masih belum mampu mengimbangi kebutuhan konsumsi dalam negeri.
I ni menunjukkan bahwa perkembangan tanaman pangan selama ini
masih belum memuaskan. 1.2. R umusan Masalah Seperti telah dikemukakan di atas bahwa produsen utama tanaman pangan ini adalah unit-unit rumahtangga pertanian yang berciri usahatani kecil, maka persoalan tanaman pangan pada dasarnya merupakan persoalan usahatani kecil.
Pemahaman terhadap usahatani kecil sangat penting
baik dari segi
teoretikal maupun praktikal. Dari segi teoritikal, usahatani kecil masih menyimpan banyak pertanyaan yang
perlu
dijawab
berkaitan
dengan
pemahaman
perilaku
ekonomi
rumahtangga pertanian yang berperan ganda, sebagai konsumen dan sebagai produsen. Penelitian empiris yang berkenaan dengan perilaku ekonomi tersebut
34 sudah banyak dilakukan, namun karena kekompleksan persoalan yang dihadapi pada rumahtangga pertanian, masih banyak tantangan yang harus diatasi terutama dalam hal memilih metode penelitian yang tepat. Dari segi praktikal, pemahaman terhadap perilaku usahatani kecil sangat penting untuk mengantisipasi dampak suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkembangan produksi dan produktivitas tanaman pangan yang kurang menggembirakan menimbulkan banyak pertanyaan.
Apakah kebijakan
pengaturan harga output tidak mampu memberi insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi?. Apakah introduksi teknologi produksi yang selama ini dilakukan dalam berbagai produktivitas
paket intensifikasi
tidak dapat meningkatkan
tanaman pangan?. Sejauh mana pengaturan harga pupuk
menyebabkan disinsentif bagi petani?. Adakah instrumen kebijakan lain yang dapat menggerakan ekonomi petani?. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diperlukan pengetahuan yang cukup tentang perilaku ekonomi rumahtangga petani, karena keputusan produksi sebagian besar sektor tanaman pangan berada pada rumahtangga petani. Perilaku ekonomi rumahtangga petani pada dasarnya merupakan perilaku rasional di dalam mengalokasikan sumberdaya rumahtangga untuk menghasilkan barang dan jasa, serta di dalam menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
rumahtangga.
Perilaku
rasional
rumahtangga
di
dalam
mengalokasikan sumberdaya dapat dikelompokkan menjadi keputusan produksi, sedangkan perilaku rasional di dalam menggunakan barang dan jasa untuk
35 memenuhi kebutuhan rumahtangga dapat dikelompokkan menjadi keputusan konsumsi.
Baik keputusan produksi maupun keputusan konsumsi akan dapat
dijelaskan secara rasional jika harga sumberdaya, barang, dan jasa diketahui dengan baik. I nformasi harga yang tepat adalah harga pasar yang dihasilkan dari struktur pasar persaingan sempurna. Di negara sedang berkembang seperti I ndonesia, pasar yang dihadapi oleh rumahtangga petani umumnya tidak sempurna. Hal ini disebabkan oleh adanya biaya transaksi, tidak adanya pasar, informasi yang asimetrik, kekuatan monopoli dan monopsoni, intervensi pemerintah, dan lain-lain. Manakala asumsi pasar persaingan sempurna tidak dipenuhi, maka perilaku rasional rumahtangga petani akan menyimpang dari yang diharapkan.
Oleh karena itu, di dalam
memahami perilaku ekonomi rumahtangga petani asumsi pasar menjadi penting. Mengingat hal tersebut maka pertanyaan penting yang harus dijawab dalam penelitian ini bukan menguji apakah pasar yang dihadapi rumahtangga petani tidak sempurna, tetapi sejauh mana ketidak-sempurnaan pasar yang dihadapi mempengaruhi perilaku ekonomi rumahtangga petani. Kekeliruan dalam menempatkan asumsi pasar menyebabkan kekeliruan dalam
memahami
perilaku
rumahtangga.
Kekeliruan
mengantisipasi respons rumahtangga terhadap kebijakan. berbeda
menyebabkan
perbedaan
dalam
besaran
terjadi
dalam
Asumsi pasar yang dan
arah
respons
rumahtangga terhadap kebijakan. Demikian pentingnya asumsi pasar tersbut maka kondisi pasar yang dihadapi rumahtangga bukan hanya ditempatkan
36 sebagai asumsi, tetapi perlu ditempatkan menjadi bagian dari kerangka analisis perilaku ekonomi rumahtangga. 1.3. T ujuan dan Kegunaan Penelit ian Ketidaksempurnaan
pasar
yang
menentukan
perilaku
ekonomi
rumahtangga petani pada dasarnya bisa berasal dari berbagai sumber.
Pada
penelitian ini, ketidak-sempurnaan pasar akan dipelajari dari tenaga kerja dalam keluarga dan lahan usahatani.
T enaga kerja dan lahan usahatani merupakan
sumberdaya yang menjadi ciri utama pada rumahtangga petani, terutaman di sektor
tanaman pangan.
Berdasarkan argumentasi ini maka secara umum
tujuan penelitian adalah untuk mempelajari perilaku ekonomi rumahtangga petani pada pasar persaingan tidak sempurna.
Secara khusus penelitian ini
bertujuan: 1.
Menentukan harga bayangan tenaga kerja dan harga bayangan lahan sebagai penduga variabel harga input dalam model ekonomi rumahtangga petani dalam pasar persaingan tidak sempurna.
2.
Membangun model ekonomi rumahtangga petani yang mengintegrasikan harga bayangan tenaga kerja dalam keluarga dan harga bayangan lahan dalam bentuk persamaan simultan..
3.
Menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perilaku
ekonomi
rumahtangga petani pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna. 4.
Mengevaluasi efek perubahan faktor-faktor ekonomi terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna.
37 Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penelitian ekonomi rumahtangga petani.
Pengetahuan empiris mengenai perilaku ekonomi di tingkat
rumahtangga petani, merupakan masukan yang penting bagi para perumus dan pengambil kebijakan.
Efektivitas suatu kebijakan di sektor pertanian akan diukur dengan
pengaruhnya ditingkat rumahtangga atau petani sebagai kelompok sasaran Kompleksitas persoalan di rumahtangga petani, dari segi metodologi merupakan tantangan yang menarik bagi para peneliti. Jenis kegiatan dan jenis komoditi yang diusahakan unit rumahtangga petani sangat beragam antar unit rumahtangga dan di dalam satu unit rumahtangga juga selalu terdapat lebih dari satu jenis komoditi. Rumahtangga petani juga tidak bisa dipandang hanya sebagai unit ekonomi yang mencari keuntungan, tetapi merupakan kompleksitas antara ciri rumahtangga dan ciri perusahaan. Kompleksitas rumahtangga tersebut merupakan tantangan dalam proses pengumpulan dan pengolahan data rumahtangga, serta merupakan tantangan bagi aplikasi atau pengujian teori ekonomi. 1.4. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian 1. Perilaku ekonomi rumahtangga pada penelitian ini didefinisikan sebagai hubungan struktural antara variabel-variabel ekonomi rumahtangga.
Hubungan-hubungan
struktural tersebut dinyatakan dalam bentuk persamaan matematik baik linear maupun non-linear. 2. Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder, yaitu data Panel Petani Nasional (PATANAS) tahun 2000. Karena itu, data tersebut tidak dirancang khusus untuk menjawab tujuan penelitian ini. Konsekuensi dari hal tersebut adalah bahwa model pada penelitian ini perlu disesuaikan dengan kondisi data sekunder
38 tersebut. Di samping itu, walaupun data PATANAS pada penelitian ini dikumpulkan dalam kaitan dengan analisis dampak krisis ekonomi, pada penelitian ini adanya dampak krisis ekonomi pada data tidak dibahas secara khusus. 3. Rumahtangga petani pada penelitian dinamakan rumahtangga petani tanaman pangan. Tanaman pangan yang dimaksud adalah tanaman padi, palawija, dan sayuran. Namun demikian, tidak berarti komoditi yang diusahakan petani hanya tanaman pangan. Selain tanaman pangan diusahakan juga komoditi non-tanaman pangan, termasuk ternak dan ikan. Seluruh komoditi non-tanaman pangan pada penelitian ini dikelompokkan menjadi satu variabel eksogen. 4. Data PATANAS yang tersedia mencakup enam provinsi di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Pada penelitian ini, keenam provinsi tersebut diagregasi. Walaupun pada judul penelitian ini dicantumkan “beberapa provinsi”, di dalam analisis tidak dimaksudkan untuk diperbandingkan. 5. Pendugaan harga bayangan tenaga kerja dalam keluarga pria dan wanita serta harga bayangan lahan diturunkan dari fungsi produksi translog. Variabel output fungsi produksi tersebut dinyatakan dalam nilai rupiah, yang merupakan penjumlahan nilai produksi tanaman pangan selama satu tahun tiap unit rumahtangga petani. Dari fungsi produksi yang sama diturunkan harga bayangan tenaga kerja luar keluarga pria dan wanita dan harga bayangan pupuk urea. 6. Model ekonomi rumahtangga yang dibangun pada penelitian ini menggunakan data agregat seluruh provinsi. Di samping itu, komoiditi yang dihasilkan rumahtangga petani juga diagregasi menjadi tanaman pangan dan produksi lainnya dinyatakan
39 dalam nilai rupiah. Oleh karena itu, perilaku ekonomi rumahtangga pada penelitian ini tidak menspesifikasi jenis komoditi tertentu. 7. Agregasi juga dilakukan pada harga produk tanaman pangan. Harga produk yang dimaksud pada penelitian ini adalah harga komposit produk tanaman pangan. 8. Secara teoritik, ketidak sempurnaan pasar dapat berarti struktural dapat juga berarti perilaku. Ketidak sempurnaan pasar struktural dipelajari dari jumlah pembeli dan penjual yang sering dikenal dengan pasar monopoli, monopsoni, oligopoli, oligopsoni.
Pada penelitian ini, ketidak sempurnaan pasar dilihat dari perilaku
rumahtangga dalam menghadapi pasar, baik pasar input maupun pasar output. 9. Perilaku ekonomi rumahtangga petani dipelajari secara parsial pada setiap persamaan struktural yang dibangun, dan secara simultan pada simulasi model.
Pengaruh
ketidaksempurnaan pasar terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani dipelajari dengan membandingkan antara model separable dan model non-separable. Variabel perilaku ekonomi yang dipelajari mencakup variabel-variabel produksi dan variabelvariabel konsumsi rumahtangga.
II. TINJAUAN STUDI EMPIRIK
40 Kekhususan dalam model ekonomi rumahtangga pertanian secara teoritis adalah adanya hubungan antara keputusan produksi dengan keputusan konsumsi. Pada tataran empirik para peneliti mencoba membuktikan adanya hubungan tersebut dan mempelajari konsekuensi praktis hubungan tersebut. Apabila rumahtangga pertanian diperlakukan atau secara konseptual dipandang sama seperti ekonomi perusahaan yang bertujuan hanya memaksimumkan keuntungan, maka akan menghasilkan antisipasi respons rumahtangga yang keliru terhadap adanya perubahan faktor ekonomi, baik yang berubah karena kebijakan maupun berubah karena proses tertentu. Ada dua terminologi penting yang sering digunakan dalam model-model penelitian ekonomi rumahtangga, yaitu model rekursif dan model non-rekursif. Istilah yang sama juga sering digunakan adalah model separable dan non-separable. Istilah rekursif dan non-rekursif pada model-model ekonomi rumahtangga sering tumpang tindih dengan istilah yang sama yang sering digunakan pada model ekonometrik persamaan simultan. Pengertian yang sama tetapi mempunyai maksud yang berbeda. Oleh karena itu, pada bagian ini juga akan dikemukakan model-model yang secara khusus menamakan model persamaan simultan. Pengertian model rekursif dan non-rekursif pada ekonomi rumahtangga mengacu kepada hubungan antara keputusan produksi dan keputusan konsumsi. Secara teoritik, kekhususan perilaku ekonomi rumahtangga adalah adanya hubungan simultan antara keputusan produksi dan keputusan konsumsi. Istilah rekursif menunjukkan hubungan simultan yang satu arah, dari produksi ke konsumsi, tetapi tidak terjadi sebaliknya. Nonrekursif menunjuk kepada lawan rekursif, yaitu menunjukkan adanya hubungan simultan yang timbal balik antara keputusan produksi dan keputusan konsumsi.
41 Model rekursif dan non-rekursif mengemuka karena adanya koreksi terhadap asumsi pasar input dan pasar output yang dihadapi rumahtangga. Model-model ekonomi yang disebut rekursif didasarkan pada asumsi adanya pasar bersaing sempurna pada pasar input dan pasar output. Mengingat asumsi ini sangat membatasi, maka timbul usaha untuk melonggarkan asumsi pasar bersaing sempurna ini ke asumsi yang lebih realistis, yaitu adanya ketidaksempurnaan pasar yang dihadapi oleh rumahtangga. Kondisi ini merupakan gejala umum yang terjadi di negara-negara sedang berkembang. Adanya asumsi ketidaksempurnaan pasar, sekaligus mengoreksi hubungan simultan satu arah antara produksi dan konsumsi menjadi hubungan simultan timbal balik. Dari segi metodologi, hubungan timbal balik ini menimbulkan tantangan baru bagi peneliti. Model persamaan simultan merupakan model ekonomi rumahtangga yang lebih menekankan pada pemodelan hubungan antar variabel ekonomi rumahtangga. Model ini dikelompokkan tersendiri karena walaupun menggunakan istilah simultan tidak berarti identik dengan model non-rekursif seperti yang dijelaskan di atas. Model-model ini tidak bertujuan mengoreksi asumsi pasar bersaing sempurna yang digunakan oleh model rekursif. Oleh karena itu, bisa terjadi walaupun menggunakan persamaan simultan tetapi menggunakan asumsi pasar bersaing sempurna. Secara teoritik, hubungan keputusan produksi dan konsumsi pada kasus seperti ini sebenarnya masih rekursif.
2.1. Model Rekursif
42 Walaupun secara teoritik ekonomi rumahtangga pertanian digambarkan sebagai unit ekonomi yang kompleks, model-model penelitian ekonomi rumahtangga pertanian banyak yang menggunakan persamaan tunggal tanpa menghilangkan sifat khusus ekonomi rumahtangga. Semakin kompleks hubungan antar variebel yang ingin dipelajari, model persamaan tunggal akan memerlukan metode pendugaan yang semakin rumit. Penelitian ekonomi rumahtangga yang tergolong awal dilakukan oleh Reuben Gronau (1977) yang mempelajari alokasi waktu rumahtangga antara waktu santai, serta kegiatan produksi di dalam dan di luar rumah menggunakan persamaan tunggal. Dengan menggunakan asumsi terjadi substitusi sempurna dalam mengalokasikan waktu tersebut, penelitian ini menunjukkan bahwa alokasi waktu (wanita bersuami) dipengaruhi oleh, umur, pendidikan, upah suami, karakteristik anak, dan karakteristik rumahtangga lainnya. Kenaikan upah suami, misalnya, meningkatkan waktu santai istri dan menurunkan waktu kerja istri. Bagi istri yang tidak bekerja, pendidikan berpengaruh negatif, sebaliknya untuk istri yang bekerja berpengaruh positif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan persamaan tunggal, pada batas tertentu, masih dapat menjelaskan perilaku rumahtangga. Strauss (1984) meneliti surplus pasar (marketed surplus) komoditi pangan pada rumahtangga pertanian di Siera Leone, Afrika Barat. Surplus pasar di dalam penelitian Strauss ini didefinisikan sebagai bagian produk atau tenaga kerja yang dijual ke pasar setelah dikurangi konsumsi rumahtangga. Hasil penelitian ini berhasil menunjukkan elastisitas surplus pasar menurut kelompok pengeluaran rumahtangga. Surplus pasar di semua strata pengeluaran menunjukkan elastisitas positif terhadap harga sendiri. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa karakteristik rumahtanggga dan pilihan teknologi
43 produksi menyebabkan perbedaan surplus pasar dengan arah yang tidak selalu terduga. Perilaku seperti ini menjadi ciri khas perilaku rasional rumahtangga. Model Gronau (1977) dan Strauss (1984) di atas menempatkan variabel harga atau upah sebagai variabel eksogen dan mengasumsikan adanya substitusi sempurna dalam mengalokasikan waktu. Oleh karena itu, model tersebut bersifat rekursif atau separable. Analisis statis komparatif, seperti mengukur elastisitas surplus pasar pada model Strauss (1984) tidak dapat diduga secara langsung. Elastisitas surplus pasar dicari dengan memanfaatkan parameter dugaan dari fungsi produksi dan fungsi permintaan. Pendekatan ini hanya bisa dilakukan jika menggunakan model rekursif atau separable. Pendekatan seperti ini juga dilakukan untuk model ekonomi rumahtangga yang lebih kompleks seperti yang dilakukan Sawit (1993). Sawit membangun model ekonomi rumahtangga untuk petani di Jawa Barat. Model dibangun menggunakan dua komoditas, yaitu padi dan palawija sebagai produksi komposit.
Model ini menekankan bahwa
ekonomi rumahtangga bisa dibangun menggunakan pendekatan multi input dan multi output. Model ekonomi rumahtangga yang dibangun termasuk model rekursif. Oleh karena itu, sisi produksi dan sisi konsumsi bisa diduga dengan model terpisah. Pada sisi produksi didekati dengan fungsi keuntungan, sedangkan sisi konsumsi didekati dengan AIDS (Almost Ideal Demand System). Keduanya diselesaikan dengan menggunakan model SUR. Dengan memanfaatkan parameter-parameter dugaan yang diperoleh, Sawit dapat menjelaskan perilaku ekonomi rumahtangga dengan baik, bahkan dapat membandingkan dengan pendekatan konvensional, di mana sisi produksi dan sisi konsumsi dianalisis secara terpisah. Hasilnya menunjukkan bahwa pendekatan ekonomi rumahtangga multi input dan multi output, jika dibandingkan dengan pendekatan
44 konvensional, memang menghasilkan parameter dugaan yang berbeda dalam besaran dan tanda.
Adanya perbedaan tersebut tentunya mempunyai implikasi yang sangat
penting bagi para penentu kebijakan. Contoh model rekursif lain yang dilakukan sebelum Sawit di Indonesia adalah penelitian J. Brian Hardaker dan kawan-kawan (Hardaker et al. 1985). Sisi produksi diduga dengan fungsi produksi Cobb-Douglas, sedangkan sisi konsumsi diduga dengan sistem pengeluaran linear.
Pendekatan yang dilakukan pada dasarnya merupakan
modifikasi dari pendekatan Barnum dan Squire (1979). Data yang digunakan adalah data rumahtangga petani padi di Desa Cibuyur, Jawa Barat. 2.2. Model Persamaan Simultan Terlepas dari persoalan rekursivitas di atas, beberapa penelitian ekonomi rumahtangga
menggunakan
model
persamaan
simultan.
Model-model
yang
dikembangkan umumnya bertujuan untuk menangkap kompleksitas interaksi antar berbagai
variabel
ekonomi
rumahtangga.
Variabel-variabel
penting
ekonomi
rumahtangga seperti teknologi produksi usahatani, harga input, harga output, dan konsumsi barang, jasa dan waktu, pada model persamaan simultan dapat diformulasikan dalam satu sistem persamaan simultan.
Gagasan menggunakan model persamaan
simultan pada model ekonomi rumahtangga tampaknya dimulai oleh Bagi dan Singh (1974). Dikatakan demikian karena tulisan Bagi dan Singh tersebut belum diuji secara empirik.
Hal yang ingin disampaikan adalah bahwa kompleksitas persoalan pada
ekonomi rumahtangga bisa dijelaskan dengan model persamaan simultan, tanpa meninggalkan kerangka teori yang melandasinya.
Model ekonomi rumahtangga
45 menggunakan persamaan simultan linear mulai diuji secara empirik oleh Evenson (1976), walaupun penelitian ini tidak mengacu kepada gagasan Bagi dan Singh. Model ekonomi rumahtangga menggunakan persamaan simultan berkembang pesat dengan topik
kajian yang beragam.
Pradhan dan Quilkey (1985), misalnya
menggunakan model sejenis ini untuk mempelajari perilaku rumahtangga petani padi dalam mengadopsi tekonologi baru.
Perilaku rumahtangga petani dianalisis dengan
menggunakan simulasi model. Penggunaan persamaan simultan untuk persoalan adopsi teknologi baru juga dilakukan oleh Basit (1995). Basit mempelajari perilaku petani dalam mengadopsi teknologi konservasi lahan kering berlereng. Namun pada penelitian ini, adopsi teknologi diduga secara terpisah menggunakan fungsi persamaan tunggal. Mungkin karena variabel adopsi teknologi konservasi pada penelitian ini berupa variabel kualitatif, sehingga pada saat itu sulit diintegrasikan dalam sistem persamaan simultan yang ada. Perkembangan perangkat lunak komputer saat ini ada yang memungkinkan model persamaan simultan menggunakan variabel kualitatif sebagai variabel endogen. Contoh model ekonomi rumahtangga seperti ini dapat dilihat pada Kimhi dan Lee (1996). Sistem persamaan simultan yang dibangun menggunakan data katagorikal sebagai variabel endogen, yaitu katagori anggota rumahtangga dalam mengalokasikan waktunya untuk bekerja di dalam dan di luar usahatani. Penggunaan model persamaan simultan untuk kasus-kasus rumahtangga di Indonesia juga sudah banyak dilakukan. Beberapa model persamaan simultan yang dibangun umumnya menjelaskan perilaku rumahtangga secara umum, sehingga sistem persamaan yang dibangun mengandung sejumlah kemiripan, yaitu sejumlah persamaan terkait dengan kegiatan produksi usahatani, penggunaan tenaga kerja keluarga dan luar
46 keluarga, pendapatan usahatani, pendapatan luar usahatani, dan sejumlah persamaan tentang konsumsi dan tabungan. Perbedaan khusus terletak pada kelompok rumahtangga yang dianalisis, misalnya strata manajemen dalam agroindustri (Idris, 1999), yaitu lower management dan personal operasi.
Muhammad (2002) membedakan rumahtangga
nelayan menjadi nelayan juragan dan nelayan pandega.
Penelitian sejenis ini juga
dilakukan oleh Rosalinda (2004), Faradesi (2004), tetapi tidak ada disagregasi rumahtangga. Topik penelitian tertentu yang menjadi pokok pembahasan, jika menggunakan model persamaan simultan seringkali hanya dimunculkan dalam satu atau dua persamaan struktural atau identitas. Persamaan lainnya merupakan persamaan standar yang biasa muncul dalam model ekonomi rumahtangga. Perhatikan kembali misalnya model yang digunakan oleh Pradhan dan Quilkey (1985) yang mengkaji adopsi teknologi baru oleh petani. Persamaan yang menjelaskan adopsi teknologi cukup satu persamaan. Namun demikian, melalui simulasi pengaruh simultan seluruh variabel terhadap adopsi teknologi dapat dipelajari. Demikian juga dengan Hardono (2002) yang meneliti ketahanan pangan rumahtangga. Ketahanan pangan diwakili oleh satu persamaan struktural pengeluaran pangan dan kecukupan energi.
Analisis lebih lanjut mengandalkan hasil simulasi
kebijakan. Sejenis dengan Pradhan dan Quilkey, model persamaan simultan pada ekonomi rumahtangga bisa juga bertopik komoditi tertentu, seperti yang dilakukan Dirgantoro (2001). Atau bisa juga memunculkan lebih dari satu komoditi seperti pada Pakasi (1998). Pada model seperti ini, interaksi antar komoditi akan lebih jelas pada saat dilakukan simulasi.
Jumlah produk yang dinyatakan secara spesifik dalam suatu persamaan
47 biasanya ditentukan oleh ketersediaan data komoditi yang bersangkutan. Pada usahatani daerah tropis, rumahtangga pertanian akan cenderung multi komoditi. Muslim (2003) membangun model persamaan simultan untuk ekonomi rumahtangga menggunakan data panel Survey Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS). Data sekunder ini cukup baik untuk membangun persamaan simultan model ekonomi rumahtangga. Di samping itu, adanya panel data yang cukup lengkap, Muslim berkesempatan untuk menguji perilaku ekonomi rumahtangga petani dan buruh tani dalam kondisi krisis ekonomi dibandingkan dengan sebelum krisis ekonomi. Sayangnya model yang dikembangkan tidak banyak mengandung variabel kebijakan yang dapat dijadikan bahan dalam analisis simulasi. Oleh karenanya, penelitian Muslim (2003) tidak melakukan simulasi model. Penggunaan
model
persamaan
simultan
pada
ekonomi
rumahtangga
memungkinkan untuk menganalisis dampak variabel makro terhadap perilaku ekonomi rumahtangga (mikro).
Faradesi (2004), sebagai contoh, menganalisis dampak pasar
bebas terhadap perilaku ekonomi petani padi.
Analisis ini dimungkinkan melalui
simulasi, yaitu melihat perubahan perilaku ekonomi yang terjadi dengan melakukan perubahan-perubahan pada variabel yang dianggap sebagai indikator krisis ekononomi, seperti penurunan harga gabah, peningkatan harga pupuk, peningkatan upah, dan peningkatan harga input usahatani lainnya. Penggunaan model persamaan simultan pada penelitian ekonomi rumahtangga, memungkinkan adanya keterkaitan berbagai perilaku ekonomi rumahtangga. Namun demikian, pada model seperti ini masih memperlakukan harga, harga input dan harga produk, sebagai variabel eksogen. Dengan demikian, sisi konsumsi dan sisi produksi,
48 sebenarnya masih terpisah (separable), artinya model yang dibangun seperti ini secara teoritik termasuk rekursif.
2.3. Model Non-rekursif Perkembangan lebih lanjut mengenai ekonomi rumahtangga tampaknya mengarah kepada upaya mengoreksi beberapa keterbatasan model ekonomi rumahtangga rekursif. Model non-rekursif pada dasarnya mencoba memasukkan peubah harga input menjadi peubah endogen. Oleh karena itu, harga input tidak diukur dengan harga pasar, karena pada model ekonomi rumahtangga, harga pasar merupakan peubah eksogen. Harga input diukur dengan harga implisit, misalnya dengan nilai produk marjinal. Beberapa contoh studi empiris yang menggunakan pendekatan harga implisit atau harga bayangan antara lain adalah
Lambert dan Magnac (1994), Skoufias (1994), Sadoulet, de Janvry dan
Benyamin (1996), Sonoda dan Maruyama (1999), dan Lopez (1986).
Berikut ini
disajikan uraian singkat hasil empiris yang mereka peroleh. Lambert dan Magnac (1994) mencoba mengestimasi harga bayangan tenaga kerja keluarga pertanian di Ivory Coast.
Harga implisit diduga dengan menggunakan
bentuk umum fungsi produksi Leontief.
Hasil penting dari studi ini adalah bahwa
penggunaan harga implisit untuk tenaga kerja keluarga menghasilkan respons tenaga kerja lebih baik jika digunakan di negara sedang berkembang. Skoufias (1994), menggunakan model ekonomi rumahtangga non-rekursif untuk menduga penawaran tenaga kerja rumahtangga pertanian di India. Skoufias mengajukan argumentasi perlunya pendekatan non-rekursif pada model ekonomi rumahtangga karena tidak semua tenaga kerja rumahtangga mempunyai kesempatan bekerja di luar usahatani.
49 Oleh karena itu, opportunity cost tenaga kerja keluarga tidak bisa diukur dengan upah yang berlaku di pasar. Opportunity cost tenaga kerja diukur dengan produktivitas tenaga kerja di usahatani. Hasil empirik menunjukkan bahwa penawaran tenaga kerja keluarga, yang disagregasi menurut gender dan status pernikahan, secara nyata responsif terhadap berbagai variabel ekonomi. Skoufias juga menjelaskan bahwa rekursif non-rekursif menghasilkan perbedaan parameter dugaan dalam tanda dan besaran.
Temuan ini
menunjukkan bahwa asumsi model rekursif dan non-rekursif harus dinyatakan secara tegas. Perhatian para peneliti terhadap model ekonomi rumahtangga non-separable terus berlanjut dengan metode pendugaan yang terus diperbaiki. Pendekatan yang hampir sama dengan Skoufias dilakukan oleh Barrett et al. (2005). Barrett dan kawan-kawan menggunakan harga bayangan tenaga kerja untuk menduga fungsi penawaran tenaga kerja dalam keluarga petani padi di Côte d’Ivoire, Afrika. Fungsi penawaran tenaga kerja diduga dengan nilai produktivitas marjinal tenaga kerja dan harga bayangan tenaga kerja, yang merupakan nilai produktivitas marjinal tenaga kerja yang diboboti dengan indeks efisiensi alokatif.
Fungsi penawaran tenaga kerja menggunakan nilai produktivitas
marjinal tenaga kerja menghasilkan tanda negatif.
Diterjemahkan sebagai gejala
backward bending supply tenaga kerja keluarga. Nilai produktivitas marjinal tenaga kerja diduga dengan fungsi produksi frontier. Kajian ini dilakukan mengestimasi harga bayangan tenaga kerja keluarga digunakan untuk menduga penawaran tenaga kerja. MRPL (marginal revenue product of labor) digunakan juga sebagai indikator inefisiensi alokatif dibandingkan dengan tingkat upah yang berlaku. Nilai produktivitas marjinal tenaga kerja diduga dengan fungsi produksi frontier. Pendugaan fungsi penawaran tenaga
50 kerja dengan nilai produktivitas marjinal bertanda negatif, diterjemahkan sebagai gejala backward banding supply. Namun Barrett et al. (2005) tidak berhenti sampai pada fungsi ini, tetapi mencoba mengoreksi nilai produktivitas marjinal tenaga kerja dengan indeks efisiensi alokatif.
Harga bayangan yang terkoreksi dengan indeks efisiensi alokatif
menghasilkan fungsi penawaran bersudut positif terhadap harga bayangan tersebut. Sejalan dengan model ekonomi rumahtangga Skoufias (1994) dan Barrett et al. (2005), Sadoulet, de Janvry dan Benyamin (1996), mempelajari perilaku rumahtangga pada ketidaksempurnaan pasar tenaga kerja. Adanya biaya transaksi dalam memperoleh tenaga kerja menyebabkan ada perbedaan antara upah yang diterima dengan upah yang harus dibayarkan. Konsekuensi dari adanya diferensiasi upah tersebut, menyebabkan rumahtangga pertanian terkelompok menurut pasar tenaga kerja, rumahtangga pertanian yang menjual tenaga kerja, rumahtangga pertanian yang menyewa tenaga kerja, dan rumahtangga pertanian yang swasembada tenaga kerja. Konsekuensi lebih jauh dari pengelompokkan ini adalah pada konstruksi model ekonomi rumahtangga.
Adanya
rumahtangga pertanian yang tidak menjual tenaga kerjanya, menyebabkan opportunity cost tenaga kerja tersebut tidak dapat diukur dengan tingkat upah yang berlaku di pasar tenaga kerja. Oleh karena itu, diperlukan model non-rekursif, di mana opportunity cost tenaga kerja keluarga diukur dengan tingkat upah internal (internal wage), yaitu harga bayangan tenaga kerja keluarga.
Sadoulet dan kawan-kawan menggunakan model
tersebut untuk mempelajari perilaku rumahtangga pertanian di Meksiko dalam mengalokasikan tenaga kerjanya. Pilihan model non-rekursif tidak semata didasarkan pada asumsi, tetapi dipilih melalui uji statistik. Uji statistik menunjukkan bahwa bagi rumahtangga
yang swasembada tenaga kerja, model yang digunakan non-rekursif,
51 sedangkan rumahtangga yang menyewa atau menjual tenaga kerja, model rekursif. Hasil empirik Sadoulet dan kawan-kawan menunjukkan bahwa keputusan mengalokasikan tenaga kerja rumahtangga pertanian ditentukan oleh banyak faktor, antara lain, posisi aset usahatani, keterampilan relatif tenaga kerja di rumahtangga, dan pilihan komoditas atau teknologi produksi. Sonoda dan Maruyama (1999), mempelajari stuktur penawaran padi yang dilakukan rumahtangga pertanian
di Jepang.
ekonomi rumahtangga non-rekursif.
Model yang digunakan adalah model
Sonoda dan Maruyama berargumentasi bahwa
tenaga kerja keluarga rumahtangga pertanian di Jepang dihadapkan pada kendala tingkat upah. Upah yang dibayarkan di usahatani relatif lebih rendah dibanding dengan tuntutan upah yang diminta tenaga kerja keluarga. Oleh karena itu, jika tenaga kerja diukur dengan tingkat upah yang berlaku di pasar tenaga kerja, jumlah tenaga kerja keluarga yang ditawarkan oleh keluarga lebih kecil dari yang seharusnya.
Argumentasi ini
menjadi alasan bahwa penggunaan tenaga kerja harus diukur dengan harga bayangan. Seperti halnya peneliti lain, Sonoda dan Maruyama menggunakan produk marjinal tenaga kerja di usahatani sebagai pendekatan harga bayangan tersebut. Mereka juga menguji secara statistik untuk meyakinkan efektivitas kendala kerja yang diajukan di dalam model. Hasil yang menarik dari studi Sonoda dan Maruyama adalah bahwa respons penawaran padi terhadap harga sendiri secara total ternyata negatif. Respons tersebut dapat dipisah menjadi dua bagian, yaitu efek langsung dari harga sendiri (positif) dan efek tidak langsung dari adanya perubahan harga bayangan upah tenaga kerja (negatif). Di dalam kasus ini, efek tidak langsung ternyata lebih besar, sehingga respons penawaran
52 secara total negatif. Temuan ini menekankan kembali perlunya memperhatikan pengaruh tingkat upah internal yang berlaku di tenaga kerja keluarga. Model ekonomi rumahtangga non-rekursif bisa dibangun dengan pendekatan dual, contohnya yang dilakukan oleh Lopez (1986). Dengan pendekatan dual, Lopez membangun model yang memungkinkan adanya saling ketergantungan antara sisi konsumsi (maksimisasi utilitas) dan sisi produksi (maksimisasi keuntungan). Model yang dibangun memungkinkan adanya perbedaan preferensi kerja di usahatani sendiri dan di luar usahatani. Pilihan rekursif dan non-rekursif dipilih melalui uji statistik. Dengan menggunakan data rumahtangga di Kanada, studi Lopez menunjukkan bahwa keputusan konsumsi dan produksi memang tidak dapat dipisahkan. Hasil lain yang penting dicatat di sini adalah bahwa elastisitas penawaran tenaga kerja menggunakan model rekursif ternyata sangat berbeda jika menggunakan model non-rekursif.
Model
dual memungkinkan model ekonomi rumahtangga mengkaji adanya restriksi kredit, resiko, dan membangun model dinamik (Coyle, 1994). Pengukuran harga bayangan semakin berkembang ke arah yang lebih umum. Bhattacharyya dan Kumbhakar (1997) menduga harga bayangan input tenaga kerja dan non-tenaga kerja untuk menduga fungsi produksi. Studi ini berangkat dari pemikiran bahwa di negara-negara sedang berkembang, kegiatan usahatani dihadapkan pada keterbatasan ketersediaan modal kerja dan adanya sejumlah distorsi pada pasar input. Keterbatasan modal kerja sudah merupakan masalah yang tidak asing lagi di negara sedang berkembang, namun bagaimana pengaruhnya pada keputusan produksi di tingkat usahatani masih kurang mendapat perhatian. Demikian halnya dengan adanya distorsi pada pasar input. Distorsi ini terjadi bisa berasal dari mekanisme pasar yang memang
53 tidak berjalan dengan sempurna, bisa juga karena adanya sejumlah intervensi dari pemerintah. Bhattacharyya dan Kumbhakar hanya memperhatikan perilaku produksi pada kondisi keterbatasan modal dan distorsi pasar input. Adanya dua pembatas, ketersediaan modal kerja dan distorsi pasar input, menyebabkan alokasi penggunaan input tidak optimal. Bhattacharyya dan Kumbhakar, dalam studinya menggunakan pendekatan fungsi produksi GIPF (General Indirect Production Function) untuk komoditas padi di India. Hasilnya menunjukkan bahwa sejumlah input produksi, seperti tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak, pupuk, memang terdistorsi. Adanya distorsi tersebut menyebabkan penggunaan input menjadi lebih rendah, dan produksi padi tidak optimal (output loss).
Distorsi tersebut, lebih
merugikan usahatani berlahan sempit dibandingkan dengan usahatani berlahan luas. Dari contoh-contoh studi empiris di atas, dapat disimpulkan bahwa model ekonomi rumahtangga non-rekursif diperlukan apabila tidak ada tenaga kerja keluarga yang bekerja di luar usahatani. Artinya, penggunaan tenaga kerja keluarga tidak terkait langsung dengan tingkat upah tenaga yang berlaku di pasar. Dengan demikian, selama harga pasar ditempatkan sebagai peubah eksogen, model ekonomi rumahtangga yang dibangun pada dasarnya adalah model rekursif (Lambert dan Magnac, 1994). Perkembangan kajian tentang ekonomi rumahtangga mengarah kepada analisis alokasi sumberdaya intra rumahtangga (Schultz, 1999; Chiappori, 1988; Aronsson, Daunfeldt, dan Wilkstrom, 1999). Model ekonomi rumahtangga menurut pendekatan ini mengasumsikan fungsi utilitas rumahtangga tidak tunggal, misalnya, dibedakan antara fungsi utilitas istri dan suami. Jika ini dipelajari pada unit rumahtangga, persoalan akan
54 menjadi lebih kompleks, karena untuk memaksimumkan satu fungsi utilitas suami ditentukan juga oleh bagaimana perilaku utilitas istri. Adanya berbagai macam kendala pada lingkungan rumahtangga pertanian dan banyaknya usahatani yang menggunakan tenaga kerja keluarga, seperti Indonesia, peranan pengukuran harga bayangan yang mencerminkan opportunity cost
suatu
sumberdaya usahatani menjadi sangat penting diperhatikan (Huffman, 1996). Model rekursif dibangun berdasarkan asumsi bahwa tenaga kerja keluarga dan luar keluarga adalah homogen dan dapat bersubstitusi secara sempurna. Sharma (1992), telah membuktikan bahwa di Nepal tenaga kerja pada usahatani dalam keluarga dan luar keluarga itu tidak homogen. Di samping itu, juga telah dibuktikan bahwa kedua jenis tenaga kerja tersebut tidak dapat bersubstitusi dengan sempurna. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini, peubah harga bayangan akan dihadirkan guna menangkap karakteristik usahatani keluarga dan adanya berbagai kendala yang dihadapi rumahtangga pertanian, baik kendala yang berasal dari sumberdaya fisik, maupun kendala yang tercipta karena krisis ekonomi dan intervensi pemerintah. Namun, perlu diingat bahwa adanya rumahtangga yang tidak bekerja di luar usahatani, atau lebih umum, tidak berpartisipasi di pasar tenaga kerja, berkonsekuensi bukan hanya pada aspek teoritikal, tetapi juga
pada metodologi pendugaan (Hecman, 1974; Robinson, McMahon, dan
Quiggin, 1982; Kimhi dan Lee, 1996). Dari berbagai hasil kajian empirik di atas, dapat disimpulkan bahwa model-model ekonomi rumahtangga telah banyak berupaya menggambarkan keunikan perilaku ekonomi rumahtangga. Penelitian yang menggunakan model rekursif atau separable terdiri atas model persamaan tunggal dan persamaan simultan. Model persamaan tunggal
55 mencoba menelusuri perilaku rumahtangga yang secara konsisten diturunkan dari model dasar ekonomi rumahtangga seperti yang dikemukakan oleh Singh, Squire, dan Strauss (1986) dan kemudian diperluas oleh Strauss (1986).
Kompleksitas interaksi dalam
keputusan ekonomi rumahtangga banyak diselesaikan dengan model rekursif yang secara bertahap dan parsial menggunakan persamaan tunggal.
Hasil yang diperoleh dalam
bentuk analisis komparatif statik sangat cocok dengan teori yang dibangun, akan tetapi umumnya terbatas pada aspek tertentu. Menggunakan persamaan tunggal dan rekursif masih belum banyak menjelaskan bagian terbesar dari interaksi perilaku ekonomi rumahtangga yang kompleks. Persoalan interaksi yang kompleks ini kemudian dijawab dengan model persamaan simultan. Menggunakan model ini, perilaku ekonomi rumahtangga tergambar dengan utuh. Namun demikian, model ini umumnya tidak bisa secara langsung menghasilkan analisis komparatif statik seperti pada model persamaan tunggal. Kebutuhan analisis ini dipenuhi melalui simulasi model. Pada model persamaan simultan ini, hubungan rekursif atau separable masih melekat pada model. Usaha melepas hubungan rekursif dilakukan dengan mengembangkan model persamaan tunggal, yaitu dengan memasukkan variabel harga endogen di dalam keputusan rumahtangga. Namun demikian, keterbatasan persamaan tunggal tidak dapat meliput sebagian besar kompleksitas perilaku ekonomi rumahtangga. Model yang perlu dikembangkan adalah model yang dapat menangkap sebagian besar kompleksitas perilaku tersebut tetapi dengan melepas hubungan rekursif atau separable. Model yang cocok untuk ini adalah model persamaan simultan yang mengandung harga input atau output endogen. Penelitian pada disertasi ini akan menggunakan model tersebut.
56 III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS Pada tataran konsep, Nakajima (1986) memandang pertanian sebagai industri menjadi tiga katagori utama, yaitu (1) karaktersistik teknologi produksi pertanian, (2) karakteristik rumahtangga petani (farm household) sebagai satu unit ekonomi, dan (3) karakteristik produk-produk pertanian sebagai komoditas.
Mempelajari perilaku
ekonomi rumahtangga petani berarti suatu kajian yang memfokuskan pada karakteristik kedua. Karakteristik tersebut sangat penting dipelajari mengingat sebagian besar sektor pertanian di dunia berkembang, termasuk Indonesia, dikuasai oleh rumahtangga petani tersebut. Sebelum mempelajari rumahtangga petani, perlu melihat konsep rumahtangga sebagai unit ekonomi atau sebagai entitas ekonomi. Secara teoritik rumahtangga dapat dipandang sebagai satu unit ekonomi yang perilakunya dapat dipelajari. Rumahtangga dipandang sebagai unit ekonomi yang mempunyai sejumlah tujuan yang ingin dipenuhi dengan memanfaatkan sejumlah sumberdaya yang tersedia. Analog dengan rumahtangga adalah perusahaan (firm) dalam teori ekonomi, merupakan organisasi ekonomi yang bertujuan memaksimumkan keuntungan dengan menggunakan sejumlah sumberdaya yang dikuasai perusahaan.
Adanya tujuan yang ingin dicapai dan adanya sejumlah
sumberdaya yang tersedia, perilaku rasional organisasi perusahaan dapat dipelajari. Sama halnya dengan unit rumahtangga, perilaku rasionalnya dapat dipelajari jika rumahtangga sebagai satu unit ekonomi mempunyai tujuan yang ingin dicapai dan ada sejumlah sumberdaya, yang tentunya terbatas, yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan tersebut. Pada rumahtangga tujuan yang ingin dicapai adalah memaksimumkan fungsi kegunaan atau fungsi utilitas dengan memanfaatkan sejumlah sumberdaya rumahtangga.
57 Rumahtangga, dengan demikian, harus diasumsikan merupakan unit ekonomi yang mempunyai fungsi utilitas tertentu. Jika demikian, maka perilaku rasional rumahtangga adalah perilaku di dalam menuju titik keseimbangan yaitu maksimum utilitas. Keunikan rumahtangga sebagai unit ekonomi adalah adanya hubungan simultan antara perilaku produksi dan perilaku konsumsi, yang tidak terjadi pada organisasi perusahaan. Perusahaan sebagai suatu unit ekonomi akan dipandang sebagai organisasi yang hanya melakukan kegiatan produksi barang atau jasa untuk mencari keuntungan maksimum. Konsumsi biasa diturunkan dari perilaku individu yang perilaku rasionalnya adalah memaksimumkan kepuasan dengan kendala sejumlah anggaran tertentu, yang kemudian secara agregat melahirkan fungsi permintaan. Adanya hubungan simultan antara produksi dan konsumsi dalam rumahtangga menyebabkan perilaku rumahtangga memerlukan landasan teori ekonomi yang unik. 3.1. Teori Alokasi Waktu Becker Salah satu teori ekonomi rumahtangga dikemukakan oleh Becker (1965) atau Becker (1976). Becker memulai teorinya dengan menyoroti waktu yang tersedia bagi rumahtangga. Waktu menurut Becker merupakan suatu sumberdaya yang bersifat langka bagi rumahtangga. Hampir 50 persen waktu yang tersedia dalam kehidupan rumahtangga digunakan untuk kegiatan rumahtangga dalam bentuk istirahat, memasak, rekreasi, dan lain-lain. Begitu besar bagian waktu rumahtangga yang digunakan untuk kegiatan tersebut, sehingga
persoalan alokasi
dan efisiensi waktu menjadi penting dalam
mempelajari kesejahteraan rumahtangga. Rumahtanga diasumsikan akan mengkombinasikan waktu dengan sejumlah barang untuk menghasilkan suatu produk yang disebut barang Z yang secara langsung
58 akan menghasilkan utilitas tertentu. Konsep ini berbeda dengan teori konsumsi yang akan menghasilkan utilitas secara langsung dengan cara mengkonsumsi barang atau jasa tertentu. Manurut Becker, yang menghasilkan utilitas bukan barang atau jasa tersebut, tetapi suatu produk akhir yang disebut barang Z tersebut. Tentu saja secara praktis mengidentifikasi barang Z tidak semudah mengidentifikasi barang atau jasa yang biasa dihasilkan oleh kegiatan perusahaan.
Misalnya rumahtangga mengkombinasikan
sejumlah barang seperti sayuran dan bumbu dengan sejumlah waktu yang diperlukan untuk memasak dan menyajikan masakan akan menghasilkan barang Z untuk dinikmati rumahtangga. Contoh lain, menggunakan TV sebagai barang elektronik dikombinasikan dengan waktu menonton acara TV akan menghasilkan barang Z yang juga akan menimbulkan utilitas tertentu. Barang Z tersebut sifatnya abstrak, tetapi menimbulkan utilitas tertentu. Memproduksi barang Zi memerlukan tekonologi tertentu, sehingga Becker juga mengajukan bahwa rumahtangga mempunyai fungsi produksi tertentu yang dinyatakan dengan Zi = fi(Xi, Ti). Di sini barang Z ditentukan oleh input dalam bentuk vektor barang Xi, dan vektor waktu Ti. Menggunakan kosep ini, kegiatan rumahtangga dipandang sebagai unit ekonomi yang melakukan dua kegiatan sekaligus, yaitu kegiatan produksi dan kegiatan konsumsi. Fungsi utilitas yang akan dimaksimumkan rumahtangga adalah mengkombinasikan berbagai barang Zi yang dapat dinyatakan dengan U= U(Zi, ..., Zm). Karena Zi = fi(Xi, Ti), maka U=(Xi, …, X m, Ti, …, T m). Di dalam memaksimumkan fungsi utilitas tersebut, rumahtangga dihadapkan pada kendala anggaran g(Zi, ..., Zm)=Z, dimana g adalah fungsi pengeluaran rumahtangga dan Z adalah maksimum sumberdaya rumahtangga.
59 Secara lebih praktis, memaksimumkan fungsi tujuan U=(Xi, …, X m, Ti, …, T m) dibatasi dengan kendala anggaran untuk pembelian barang dan kendala waktu yang tersedia di dalam rumahtangga. Nilai pembelian barang dapat dirumuskan dengan • piXi, dimana pi adalah harga barang ke-i. Nilai barang yang dibeli tersebut tentunya harus sama dengan nilai penerimaan rumahtangga yang diperoleh dari aktivitas kerja Tw*W, dimana W adalah penerimaan per unit T atau upah, dan penerimaan yang bukan karena aktivitas kerja, V. Secara matematik dinyatakan • piXi = I =Tw*W +V, dimana I adalah besaran nilai barang yang sama dengan nilai penerimaan uang rumahtangga. Kendala waktu dinyatakan dengan • T i=Te=T-Tw, dimana Te adalah jumlah waktu yang digunakan untuk kegiatan di dalam rumahtangga, T adalah total waktu yang tersedia di rumahtangga, dan Tw adalah waktu kerja untuk memperoleh pendapatan. Fungsi produksi Zi = fi(Xi, Ti), dapat dinyatakan juga sebagai Ti• tiZi dan Xi• biZi, dimana ti adalah waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit barang Zi, dan bi adalah barang yang diperlukan untuk untuk menghasilkan satu unit Zi.
Memanfaatkan
hubungan T pada kendala waktu, maka kedua kendala tersebut dapat disederhanakan menjadi • piXi +• T iW = T*W +V• S. Di sini S oleh Becker disebut sebagai full income. Untuk menyederhanakan, disini W dianggap konstan. Full income adalah penerimaan rumahtangga jika waktu yang tersedia diukur dengan tingkat upah ditambah dengan penerimaan yang diperoleh dari bukan aktivitas kerja. Full Income dapat dibelanjakan untuk barang Z, baik secara langsung melalui pengeluaran • pibiZi atau secara tidak langsung melalui konsumsi waktu (tidak bekerja mencari pendapatan) • WtiZi. Adanya konsep full income memungkinkan substitusi antara konsumsi barang dan penggunaan waktu, termasuk waktu untuk kegiatan rumahtangga.
Di samping itu,
60 konsep full income juga memungkinkan substitusi antara pendapatan menurut konsep ekonomi dan pendapatan menurut konsep non-ekonomi.
Unit rumahtangga dapat
memilih untuk bekerja memperoleh pendapatan atau tidak bekerja dengan melakukan aktivitas rumahtangga atau bahkan memilih istirahat, dengan tujuan memaksimumkan utilitas.
Jika rumahtangga memang akan memaksimumkan utilitas, maka dapat
dirumuskan kondisi keseimbangan yang akan dicapai yaitu Ui=• U/• Zi= ëði, dimana ð= pibi+Witi dan ë diinterpretasikasebagai utilitas marginal pendapatan. Teori yang dikemukakan Becker dapat diperjelas dengan bantuan grafik seperti telihat pada Gambar1. Pada Gambar 1, sumbu vertikal menunjukkan jumlah barang Z yang dihasilkan oleh rumahtangga. Barang Z tersebut diasumsikan dihasilkan dengan mengalokasikan waktu yang tersedia di dalam rumahtangga. Waktu tersebut dinyatakan dalam sumbu horisontal. Total waktu yang tersedia misalnya sebesar T. Pada sumbu ini waktu rumahtangga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu waktu yang digunakan untuk kegiatan rumahtangga, waktu yang digunakan untuk bekerja memperoleh pendapatan, dan waktu untuk bersantai. Kurva PT adalah kurva produk total menghasilkan barang Z dengan memanfaatkan waktu kegiatan rumahtangga. Garis lurus S menggambarkan nilai tenaga kerja rumahtangga dinilai dengan tingkat upah riil w = W/p. Tingkat upah riil yang berlaku digambarkan dengan garis lurus putus-putus ww. Pada kondisi keseimbangan, yaitu dimana rumahtangga memaksimumkan utilitas, garis upah ww akan akan menyinggung kurva produk total PT dan kurva indiferen I1. Pada kondisi ini, tenaga kerja rumahtangga akan dialokasikan untuk santai sebanyak TT1, untuk kegiatan bekerja memperoleh pendapatan sebanyak T1-T2, dan untuk kegiatan rumahtangga sebanyak T2-O.
61
Z
Z w1
I2
I1 F
G
w B
C
S
PT A
E I w
H D
0
T3
T2
T4
T1
T
Gambar 1. Efek Perubahan Upah Pada Model Ekonomi Rumahtangga Becker Sumber: Ellis,1988 (dimodifikasi) Pada Gambar 1 juga diperlihatkan jika seandainya terjadi perubahan pada tingkat upah.
Perubahan tingkat upah dengan harga produk p konstan, maka akan terjadi
kenaikan upah riil yang ditunjukkan dengan perubahan kurva ww menjadi lebih curam ke w1. Adanya perubahan upah ini direspons oleh rumahtangga dengan merealokasi waktu yang tersedia.
Pada Gambar 1 diperlihatkan, perubahan terjadi dengan mengurangi
kegiatan untuk rumahtangga, dari T2-O menjadi T3-O. Titik keseimbangan diperoleh pada titik persinggungan antara kurva produk total PT dengan garis upah yang baru. Pengurangan kegiatan rumahtangga menambah ketersediaan waktu untuk bekerja memperoleh pendapatan dan waktu santai. Keseimbangan diperoleh pada titik singgung
62 garis upah yang baru dengan kurva indiferen I2. Titik keseimbangan ini tergantung pada bagaimana rumahtangga menilai waktu santai. Jika waktu santai merupakan barang normal, kenaikan pendapatan yang disebabkan oleh kenaikan upah kerja akan menyebabkan waktu santai rumahtangga meningkat.
Sebaliknya, jika waktu santai
dinilai sebagai barang inferior, maka peningkatan pendapatan tersebut akan menyebabkan waktu santai berkurang. Pada Gambar 1, diasumsikan bahwa waktu santai merupakan barang normal, sehingga keseimbangan baru dicapai dengan menambah waktu santai, yang berarti mengurangi waktu yang digunakan untuk bekerja. Kondisi seperti ini akan menghasilkan kurva penawaran tenaga kerja bersudut negatif, atau backward bending supply. 3.2. Model Rumahtangga Petani Chayanov Jika Becker berangkat dari pemikiran rumahtangga secara murni, maka Chayanov sudah mengarahkan pemikirannya pada rumahtangga petani. Ellis (1988) memandang perilaku rumahtangga petani model Chayanov ini sebagai perilaku rumahtangga yang menghindar dari kerja keras yang disebut
drudgery averse.
Pada model ini,
rumahtangga menganggap bekerja adalah sebagai suatu yang harus dihindari karena tidak menyenangkan. Pilihan rumahtangga adalah bekerja di usahatani untuk memperoleh pendapatan tetapi tidak menyenangkan atau bersantai (leisure) memperoleh kepuasan. Bisa juga pilihannya adalah bekerja di usahatani untuk memperoleh pendapatan untuk digunakan dalam memenuhi kebutuhan konsumsi atau tidak bekerja dengan mendapatkan kesenangan waktu bersantai. Di dalam memilih harus ada kriteria tertentu yang menjadi patokan pengambilan keputusan.
Seperti halnya pada teori alokasi waktu yang dijelaskan di atas, model
63 Chayanov juga mengasumsikan bahwa rumahtangga petani berusaha memaksimumkan utilitas. Perbedaan utama dengan teori Becker adalah adanya pertimbangan subjektif rumahtangga didalam menentukan alokasi waktu. Menurut Ellis (1988) faktor utama yang menentukan pilihan alokasi waktu adalah struktur demografi rumahtangga. Struktur demografik tersebut dinyatakan dalam bentuk rasio antara jumlah anggota rumahtangga yang menjadi beban konsumsi dengan jumlah anggota rumahtangga yang bekerja, dinyatakan dengan rasio c/w. Semakin banyak anggota rumahtangga yang menjadi beban konsumsi relatif terhadap yang bekerja, rasio tersebut semakin besar. Ellis (1988) juga mencatat asumsi yang mendasari model Chayanov adalah: (1) tidak ada pasar tenaga kerja, tidak ada upah yang dapat diperoleh anggota rumahtangga yang bekerja di luar rumahtangga, (2) produk yang dihasilkan usahatani dapat digunakan untuk konsumsi atau dijual ke pasar pada tingkat harga pasar yang berlaku, (3) seluruh rumahtangga petani dapat mengakses lahan secara fleksibel untuk digunakan dalam proses produksi usahatani, dan (4) terdapat pendapatan minimum per-orang yang diterima sebagai norma masyarakat, dan konsekuensinya adalah adanya tingkat konsumsi minimum di rumahtangga Perilaku rumahtangga dalam model Chayanov dapat digambarkan sebagai memaksimumkan fungsi utilitas dengan kendala fungsi produksi, pendapatan minimum, dan maksimum waktu kerja. Secara matematik dinyatakan maksimumkan U=f(Y,H), dimana Y adalah pendapatan rumahtangga, dan H adalah waktu santai. Kendala untuk memaksimumkan fungsi tersebut adalah Y=Py.f(L); Y• Y
min;
L• L
maks,
dimana Y adalah
pendapatan, Py adalah harga produk, f(L) adalah fungsi produksi dengan L tenaga kerja sebagai input. Secara mudah, persoalan tersebut dapat diselesaikan dan akan diperoleh
64 keseimbangan (• U/•H)/(• U/•Y)=
(• Y/•H)=NPM
L.
Jadi pada kondisi keseimbangan
diperoleh bahwa substitusi marjinal waktu santai dengan pendapatan sama dengan nilai produk marjinal tenaga kerja rumahtangga. Kondisi ini tercapai jika memang kendala yang diajukan bersifat mengikat atau binding. Pada Gambar 2 disajikan kondisi keseimbangan rumahtangga menurut Chayanov dan juga diperlihatkan efek perubahan faktor demografik pada keseimbangan baru. Pada Gambar 2 terlihat sumbu vertikal menggambarkan nilai produk yang diperoleh dari kegiatan usahatani, sedangkan sumbu horizontal menunjukkan alokasi waktu kerja. Pada model ini jumlah waktu tersedia bagi rumahtangga sebesar L. Namun jumlah waktu yang dapat digunakan untuk bekerja terbatas sebesar Lmaks. Pada gambar tersebut juga terlihat juga fungsi produksi rumahtangga menghasilkan nilai produk total dengan menggunakan input tenaga kerja rumahtangga.
65 Y
I1
I2
NPT
B
Y1 Y2 min
Y
A
Y2 min
Y1 min
Y1 min
0
L1
L2
Lmaks
L
Gambar 2. Model Keseimbangan Rumahtangga Menurut Chayanov Sumber : Ellis,1988 Sesuai dengan asumsi yang dikemukakan di atas, pada model Chayanov terdapat kendala pendapatan minimum, yang pada Gambar 2 dinyatakan dengan garis lurus horizontal pada Y1min.
Adanya kendala pendapatan minimum pada tingkat tersebut
menyebabkan alokasi kerja berada pada keseimbangan di titik A, yaitu titik singgung antara kurva nilai produk total dengan kurva indiferen I1.
Pada kondisi keseimbangan
ini, tenaga kerja yang dialokasikan untuk kegiatan usahatani sebesar O-L1, sisanya L-L1 dialokasikan untuk waktu santai. Selanjutnya diasumsikan terjadi perubahan struktur demografi pada rumahtangga, misalnya adanya tambahan beban konsumsi relatif terhadap jumlah yang bekerja. Perubahan struktur demografik ini meningkatkan pendapatan minimum dari Y1min ke Y2min. Pada rasio c/w, berarti perubahan hanya terjadi pada c. Perubahan tersebut tidak
66 mengubah fungsi produksi, namun menggeser kurva indiferen dari I1 ke I2.
Kurva
indiferen I2 digambarkan lebih landai dibandingkan dengan I1 untuk menggambarkan peningkatan marjinal utilitas pendapatan dan penurunan marjinal utilitas waktu santai. Peningkatan marjinal utilitas pendapatan karena adanya tekanan kebutuhan konsumsi. Keseimbangan baru tercapai pada titik B, yaitu pada titik singgung antara kurva produk total dengan kurva indiferen I2. Tenaga kerja yang dialokasikan untuk kegiatan usahatani menjadi L2-O, lebih besar dibandingkan kondisi sebelumnya. Peningkatan jumlah waktu kerja yang dialoksikan untuk usahatani disebabkan adanya kebutuhan konsumsi yang meningkat. Mengingat kebutuhan ini hanya diperoleh dari kegiatan usahatani, maka setiap peningkatan kebutuhan konsumsi akan diikuti dengan peningkatan penggunaan tenaga kerja.
Di sisi lain, peningkatan penggunaan tenaga kerja untuk usahatani
menurunkan alokasi waktu untuk santai. Dari model Chayanov ini terlihat ada hubungan antara karakteristik demografi dengan perilaku rumahtangga melalui perubahan relatif antara beban konsumsi dan yang bekerja. Implikasi dari model ini adalah bahwa setiap kebijakan yang mempengaruhi beban konsumsi keluarga dapat mempengaruhi keputusan rumahtangga. Keterbukaan terhadap pasar barang konsumsi yang meningkatkan kebutuhan konsumsi rumahtangga, dapat meningkatkan marjinal utilitas pendapatan, yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan alokasi kerja ke usahatani.
Tentu sebaliknya bisa terjadi, dimana
rumahtangga berada di daerah yang kurang menyediakan kebutuhan konsumsi, akan menurunkan marjinal utilitas pendapatan. Rumahtangga akan lebih menghargai waktu santai dibandingkan dengan bekerja, karena marjinal utilitas waktu santai meningkat,
67 Ciri demografik yang mempengaruhi keputusan produksi, sering dijadikan indikator sejauh mana keterpisahan antara keputusan konsumsi dan keputusan produksi. Semakin kuat ciri demografi mempengaruhi keputusan produksi, menunjukkan semakin kuat hubungan antara produksi dan konsumsi. 3.3. Teori Ekonomi Rumahtangga Petani Nakajima Teori Nakajima (Nakajima,1986) tentang perilaku ekonomi rumahtangga petani lebih komprehensif dibanding teori Becker dan Chayanov seperti yang dikemukakan di atas.
Dasar teori yang digunakan adalah teori Becker dan Chayanov, namun
dikembangkan lebih lanjut, yaitu adanya pasar produk dan pasar tenaga kerja dan pasar input lainnya.
Ciri adanya keseimbangan subjektif masih tampak pada teori ini
mengingat perilaku rumahtangga tidak terlepas dari penggunaan tenaga kerja keluarga. Nakajima (1986) mengasumsikan bahwa rumahtangga berusaha memaksimumkan fungsi utilitas U = U(T, M) dengan mengkombinasikan penggunaan tenaga kerja T dan pendapatan uang M. Fungsi utilitas U akan dimaksimumkan dengan kendala fungsi produksi F = F(T,L), yaitu kegiatan produksi usahatani untuk menghasilkan satu jenis produk usahatani dengan memanfaatkan input tenaga kerja T sebagai input variabel dan lahan L sebagai input tetap. Dari kegiatan usahatani tersebut, rumahtangga memperoleh pendapatan uang M = Py.F(T,L), dimana Py adalah harga pasar untuk produk usahatani yang dihasilkan. Berdasarkan fungsi utilitas dan kendala yang ada, keseimbangan rumahtangga petani dapat dicari dan dihasilkan Py(• F/•T ) = -UT/UM, dimana UT = • U/• T , dan U •U/•M. Jika diperhatikan Py(• F/•T ) adalah nilai produktivit
M
=
as marjinal tenaga kerja
keluar, sedangkan -UT/UM merupakan substitusi marjinal tenaga kerja terhadap
68 pendapatan uang atau secara verbal merupakan nilai pendapatan yang dikorbankan setiap satu satuan tambahan tenaga kerja keluarga.
Nakajima menyebut -UT/UM sebagai
penilaian marjinal penggunaan tenaga kerja keluarga (marginal valuation of family labor). Penilaian tersebut bersifat subjektif, sehingga keseimbangan yang diperoleh juga merupakan keseimbangan subjektif. Hal tersebut sedikit berbeda dengan organisasi perusahaan, dimana perusahaan akan mencapai kondisi keuntungan maksimum jika nilai produktivitas marjinal penggunaan input tertentu akan sama dengan harga faktor produksi yang bersangkutan. Jika faktor produksi tersebut adalah tenaga kerja, maka pada tingkat upah W, akan terjadi keseimbangan pada Py(• F/•T )=W. Secara grafis kondisi keseimbangan pada ekonomi rumahtangga petani Nakajima disajikan pada Gambar 3. Pada gambar tersebut terdapat dua gambar utama dimana gambar bagian bawah merupakan turunan dari gambar di atasnya. Setiap kemiringan kurva yang ada di atasnya digambarkan menjadi jarak pada gambar di bawahnya. Pada Gambar 3 sumbu horizontal menunjukkan alokasi tenaga kerja rumahtangga. Diasumsikan rumahtangga mempunyai tenaga kerja maksimum sebesar T. Pilihannya adalah berapa yang dialokasikan untuk kegiatan usahatani dan berapa yang dialokasikan untuk bersantai. Pada model dasar ini, diasumsikan tidak ada pasar tenaga kerja. Dengan demikian rumahtangga tidak dapat menyewa atau menjual tenaga kerja. M
I
H
NPT A
Y1
Y
Mo’
Mo 0
T1
T2
T VMT
69
Sumbu vertikal menggambarkan nilai uang pendapatan rumahtangga yang diperoleh dari kegiatan usahatani Py.F(T,L). Secara implisit diasumsikan bahwa produk usahatani dapat dijual ke pasar dengan harga Py. Pada gambar juga diperlihatkan adanya garis minimum pendapatan untuk memenuhi kebutuhan subsisten keluarga atau disingkat menjadi kebutuhan minimum subsisten Mo-Mo’. Garis Mo-Mo’ bersudut positif untuk menunjukkan bahwa kurva indiferen selalu bersudut positif, sejajar dengan garis MoMo’, atau penilaian marjinal tenaga kerja keluarga selalu positif. Selanjutnya, pada tingkat harga produk usahatani sebesar Py, terdapat kurva penerimaan produk total NPT. Turunan dari kurva ini adalah kurva nilai produktivitas marjinal (NPMT) yang tertera pada gambar dibagian bawah. Kurva ini bersudut negatif, semakin menurun sejalan dengan peningkatan penggunaan tenaga kerja keluarga. Di sisi lain terdapat kurva penilaian marjinal tenaga kerja keluarga (VMT) bersudut positif. Pada kondisi rumahtangga memaksimumkan utilitas U, keseimbangan diperoleh pada titik A, yaitu pada titik singgung antara kurva nilai produk total NPT dengan kurva indiferen I.
70 Pada kondisi ini, terjadi keseimbangan subjektif NPMT=VMT seperti telah dijelaskan di atas. Pada kondisi keseimbangan, tenaga kerja keluarga dialokasikan untuk kegiatan usahatani sebesar OT2. Sisanya T2T dialokasikan untuk waktu santai. Selanjutnya, pada model rumahtangga petani Nakajima dapat dipelajari pula pengaruh perubahan harga produk usahatani Py. Pengaruh perubahan yang terjadi dapat diilustrasikan dengan grafik seperti terlihat pada Gambar 4. Gambar 4 identik dengan Gambar 3. Jika pada kondisi Gambar 3 kemudian diasumsikan terjadi kenaikan harga produk Py, maka yang akan terganggu adalah kurva NPT, karena NPT = Py.F(T,L) = M seperti telah dijelaskan sebelumnya. Harga produk pada kurva NPT menentukan sudut kemiringan kurva dari titik pusat tanpa mengubah bentuk kurva itu sendiri, karena fungsi produksi secara fisik tidak berubah.
Kurva NPT berubah menjadi NPT1 seperti
diperlihatkan pada Gambar 4. Perubahan juga terjadi pada kurva turunannya, yaitu pada kurva nilai produktivitas marjinal tenaga kerja (NPMT) dan kurva penilaian marjinal tenaga kerja keluarga (VMT). Setelah terjadinya kenaikan harga Py, titik keseimbangan baru terjadi pada titik B, yaitu titik singgung antara kurva indiferen I1 dengan kurva NPT1. Tenaga kerja keluarga kemudian dialokasikan untuk usahatani sebesar OT3, dan untuk waktu santai sebesar T3T. Pada kurva turunannya, titik keseimbangan terjadi pada titik potong antara NPMT1 dan VMT1, yaitu suatu titik keseimbangan subjektif baru. H
M
NPT1
I1 B
C
I A
Y Mo
NPT’ NPT
Mo’
71
Sumber: Becker,1986 Seperti halnya pada teori permintaan, efek perubahan harga produk dapat dipilah menjadi efek substitusi dan efek pendapatan. Pada model rumahtangga petani Nakajima, pemilahan yang sama dapat juga dilakukan. Pada Gambar 4 diperlihatkan kurva nlai produk total NPT’ dalam bentuk garis putus -putus sejajar dengan kurva nilai produk total NPT lama. Kurva NPT’ menunjukkan pergeseran nilai produk total yang lama tanpa mengubah sudut kemiringan dari titik pusat dan menyentuh kurva indiferen baru I1.
Perubahan dari NPT ke NPT’ merupakan efek pendapatan.
Sebenarnya,
fenomena ini bisa terjadi juga karena adanya perubahan pendapatan rumahtangga di luar kegiatan kerja, seperti pendapatan yang berasal dari penguasaan aset E, pada NPT = Py.F(T,L)+E = M. Karena E adalah suatu konstanta, maka perubahan E akan menggeser
72 kurva NPT sejajar menjadi NPT’. Karena itu, Nakajima menyebut efek pendapatan ini sebagai efek pendapatan aset (asset income effect). Alokasi tenaga kerja keluarga sebagai efek pendapatan diperlihatkan perubahan dari titik A ke titik C, atau dari sepanjang T4-T2 pada sumbu horizontal. Efek pendapatan pada model Nakajima ini dapat dipastikan menurunkan penggunaan tenaga kerja keluarga di usahatani. Adanya peningkatan harga produk usahatani, pendapatan rumahtangga meningkat dan kesejahteraan rumahtangga meningkat.
Peningkatan kesejahteraan
rumahtangga tersebut menyebabkan rumahtangga mengurangi alokasi tenaga kerja di usahatani dan memperbanyak waktu santai. Efek substitusi bekerja sebaliknya dengan efek pendapatan.
Pada model
Nakajima ini, adanya peningkatan harga produk usahatani menyebabkan peningkatan nilai produk marjinal tenaga kerja keluarga. Tenaga kerja keluarga mempunyai insentif lebih tinggi untuk bekerja di usahatani. Oleh karena itu, peningkatan harga produk akan mendorong rumahtangga mengalokasikan lebih banyak tenaga kerja di usahatani dengan mengurangi alokasi waktu untuk santai. Mengingat adanya arah yang berlawanan antara efek pendapatan dan efek substitusi, maka efek total adanya peningkatan harga produk pada alokasi tenaga kerja tidak dapat dipastikan. Jika efek pendapatan lebih besar dibanding dengan efek substitusi maka efek peningkatan harga produk akan menurunkan alokasi tenaga kerja di usahatani. Sebaliknya, jika efek substitusi lebih dominan dibandingkan dengan efek pendapatan, maka efek peningkatan harga tersebut akan meningkatkan alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani.
Pada Gambar 4, diasumsikan efek substitusi lebih dominan
dibandingkan dengan efek pendapatan, sehingga titik B berada di sebelah kanan titik A.
73 Model ekonomi rumahtangga petani Nakajima dapat diperluas dengan mengasumsikan adanya pasar tenaga kerja.
Rumahtangga petani pada kondisi ini
mempunyai kesempatan untuk menyewa tenaga kerja dari luar keluarga untuk kegiatan usahataninya, atau bisa juga bekerja di luar usahatani sendiri (menjual tenaga kerja) untuk memperoleh sejumlah pendapatan. Pada model ini perlu dipisahkan antara tenaga kerja keluarga yang bekerja di usahatani Tf, dan total tenaga kerja yang tersedia T. Diasumsikan rumahtangga berusaha memaksimumkan utilitas U = U(T,M), dengan kendala fungsi produksi F = F(Tf,L). Jika diasumsikan harga produk usahatani adalah Py dan upah tenaga kerja adalah W, maka rumahtangga akan memperoleh pendapatan berupa uang M = PyF(Tf,L)+W(T-Tf). Jika ternyata Tf < T, berarti seluruh kebutuhan tenaga kerja di dalam usahatani sendiri dipenuhi dari tenaga kerja dalam keluarga, sisa dari tenaga kerja yang tersedia digunakan untuk bekerja di luar usahatani sendiri. W(T-Tf) menjadi pendapatan yang diperoleh dari kegiatan di luar usahatani tersebut. Sebaliknya, jika T < Tf, berarti sebagian kebutuhan tenaga kerja di usahatani sendiri dipenuhi dengan tenaga kerja dari luar keluarga atau tenaga kerja upahan. W(T-Tf) pada kondisi ini menjadi biaya usahatani. Namun di dalam biaya tersebut terhitung juga penggunaan tenaga kerja dalam keluarga yang dinilai dengan tingkat upah yang berlaku. Berdasarkan asumsi di atas,
U maksimum dapat diperoleh dengan pada
keseimbangan Py(• F/•T f) = W, yaitu nilai produtivitas marjinal tenaga kerja di usahatani sama dengan tingkat upah yang berlaku. Keseimbangan ini merupakan kriteria yang sering digunakan pada organisasi perusahaan untuk memaksimumkan keuntungan. Kondisi keseimbangan seperti ini menunjukkan juga bahwa rumahtangga petani yang
74 dibicarakan diasumsikan berperilaku sebagai organisasi perusahaan yang berusaha memaksimumkan keuntungan. Di sisi lain, keseimbangan juga tercapai pada kondisi (• U/•T )/(• U/•M)
= •M/•T
= W. Keseimbangan tersebut menunjukkan bahwa penilaian
marjinal tenaga kerja keluarga sama dengan tingkat upah yang berlaku. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, keseimbangan tersebut merupakan keseimbangan subjektif rumahtangga. Dari dua keseimbangan tersebut menunjukkan bahwa rumahtangga mempunyai dua keputusan penting, yaitu keputusan produksi yang berusaha memaksimumkan keuntungan dan keputusan konsumsi yang berusaha memaksimumkan utilitas. Pada Gambar 5 disajikan grafik model keseimbangan rumahtangga petani untuk kasus menyewa tenaga kerja luar keluarga. Kasus menyewa tenaga kerja luar keluarga terjadi jika jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk kegiatan usahatani lebih banyak dibandingkan dengan jumlah yang tenaga kerja yang tersedia di rumahtangga. Pada Gambar 5 bagian atas diperlihatkan garis upah W dengan sudut kemiringan tergantung tingkat upah yang berlaku. Semakin mahal tingkat upah, sudut kemiringan garis tersebut akan semakin curam karena setiap tambahan satu satuan tenaga kerja tertentu akan memerlukan tambahan biaya tenaga kerja yang lebih mahal.
Garis upah tersebut
menyentuh kurva nilai produk total usahatani NPT pada titik B. Titik ini merupakan titik keseimbangan rumahtangga untuk memaksimumkan keuntungan pada keputusan produksi, yaitu Py(• F/•T f) = W. Di sisi keputusan konsumsi, pada Gambar 5 diperlihatkan garis upah W menyentuh kurva indiferen pada titik A. Pada titik A terjadi keseimbangan subjektif rumahtangga, yaitu terpenuhinya kondisi (• U/•T )/(• U/•M)
= • M/•T
= W.
Alokasi
75 tenaga kerja rumahtangga menurut keseimbangan ini terlihat pada sumbu horizontal, yaitu sebesar OTfk digunakan untuk kegiatan di usahatani sendiri, TfkT digunakan untuk waktu santai.
M
H I
W
B
NPT
A
ð E
C D
W.Tf 0
Tfk
T
Tf
VMT
W NPMT 0
Tfk
T
Tf
Gambar 5. Keseimbangan Rumahtangga Petani Kasus Menyewa Tenaga Kerja Luar Keluarga Kegiatan usahatani sendiri memerlukan tenaga kerja sebanyak OTf, terdiri atas Sumber: Becker,1986 tenaga kerja keluarga sebesar OTfk dan tenaga kerja luar keluarga sebesar OTfkTf. Adanya keseimbangan subjektif pada rumahtangga menyebabkan jumlah tenaga kerja keluarga yang dialokasikan untuk kegiatan usahatani lebih kecil dari jumlah tenaga kerja yang secara potensial tersedia di dalam rumahtangga.
76 Pada kondisi keseimbangan di atas, rumahtangga memperoleh pendapatan uang M dari kegiatan usahatani dan dari penilaian tenaga kerja keluarga yang dialokasikan untuk kegiatan usahatani.
Hasil dari kegiatan usahatani dinyatakan dalam bentuk
keuntungan ð = Py.F(Tf,L) – W.Tf. Pada Gambar 5 ditunjukkan dengan jarak BE, yang merupakan kondisi keuntungan maksimum seperti terjadi pada perusahaan.
Selain
pendapatan yang diperoleh dari keuntungan usahatani, rumahtangga juga memperoleh penerimaan dalam bentuk penilaian tenaga kerja keluarga pada tingkat upah yang berlaku. Jika M didefinisikan sebagai M = PyF(Tf,L)+W(T-Tf), dan ð = Py.F(Tf,L) – W.Tf, maka M = ð + WT.
Pada kondisi Tf > T, berarti terdapat sebagian dari Tf
merupakan tenaga kerja dalam keluarga, misalkan sebesar Tfk, Maka yang sebenarnya besar biaya tenaga kerja yang dibayarkan untuk usahatani sendiri adalah sebesar W(TfTfk).
Nilai penggunaan tenaga kerja dalam keluarga menjadi nilai penerimaan bagi
rumahtangga. Karena itu, M menjadi M = ð + WTfk, dimana WTfk nilai tenaga kerja usahatani yang berasal dari dalam keluarga. Pada Gambar 5, M digambarkan dengan jarak ATfk. Kasus lain dari model rumahtangga Nakajima adalah apabila rumahtangga berkesempatan menjual tenaga kerja di luar usahatani sendiri. Kasus ini terjadi jika penggunaan tenaga kerja di dalam usahatani sendiri ternyata lebih kecil dari jumlah tenaga kerja potensial yang ada di rumahtangga. Pada kondisi ini, rumahtangga dapat bekerja di luar usahataninya sendiri untuk memperoleh upah kerja, dan keperluan tenaga kerja di usahatani sendiri diperoleh dari tenaga kerja dalam keluarga. Kasus ini dapat dilihat pada Gambar 6. M
I B
H
W
77
Pada Gambar 6 diperlihatkan kurva nilai produk total NPT menyinggung garis upah W pada titik A. Pada titik tersebut tercapai keseimbangan Py(• F/•T f) = W, yaitu nilai produktivitas marjinal tenaga kerja keluarga sama dengan tingkat upah yang berlaku.
Pada titik ini pula rumahtangga memperoleh keuntungan maksimum pada
kegiatan produksi di usahatani sendiri.
Pada kondisi ini jumlah tenaga kerja yang
dialokasikan untuk kegiatan usahatani sebesar OTf, lebih kecil dari jumlah tenaga kerja yang tersedia di dalam rumahtangga sebesar OT.
Oleh karena itu, rumahtangga
mempunyai banyak tenaga kerja yang belum digunakan. Diasumsikan pada kasus ini,
78 rumahtangga mempunyai kesempatan untuk menjual tenaga kerjanya di pasar tenaga kerja dengan tingkat upah W. Keputusan ini menghasilkan keseimbangan dimana garis upah menyentuh kurva indiferen I pada titik B. Keseimbangan pada titik B merupakan keseimbangan subjektif rumahtangga, yaitu penilaian marjinal tenaga kerja keluarga sama dengan tingkat upah yang berlaku, atau (• U/•T )/(• U/•M)
= •M/•T
= W.
Berdasarkan titik-titik keseimbangan tersebut, alokasi tenaga kerja untuk kegiatan usahatani sendiri sebesar OTf, untuk kegiatan di luar usahatani sendiri sebesar TfTj, dan sisanya TjT digunakan untuk waktu santai. Keseimbangan di atas juga menghasilkan pendapatan rumahtangga M yang merupakan penjumlahan pendapatan dari kegiatan usahatani dan dari luar usahatani. Pendapatan dari kegiatan usahatani diperoleh sebesar keuntungan usahatani, yaitu ð = Py(• F/•T
f)-WTf,
merupakan keuntungan maksimum.
Namun mengingat Tf adalah
tenaga kerja dalam keluarga, maka WTf kembali menjadi penerimaan rumahtangga. Pendapatan dari luar usahatani sebesar jumlah tenaga kerja yang dijual dikalikan dengan tingkat upah yang berlaku, yaitu W(Tj-Tf). Total pendapatan rumahtangga sekarang menjadi M = Py(• F/•T
f)
+ W(Tj-Tf). Pada Gambar 6 M digambarkan dengan jarak BTj.
Adanya kesempatan rumahtangga menyewa tenaga kerja luar keluarga atau bekerja di luar usahatani sendiri, memungkinkan rumahtangga untuk merespons adanya perubahan upah di pasar tenaga kerja. Asumsi yang perlu diperhatikan adalah bahwa pasar tenaga kerja yang dihadapi rumahtangga adalah pasar tenaga kerja yang bersaing sempurna. Model ekonomi rumahtangga Nakajima akan sangat berbeda jika asumsi pasar tenaga kerja tersebut tidak bersaing sempurna. 3.4 . Model U mum E konomi R umaht angga
79 Model ekonomi rumahtangga petani yang dijelaskan di atas, yang umumnya menggunakan visual grafik, tentunya mempunyai keterbatasan. Salah satu keterbatasannya adalah bahwa rumahtangga hanya menggunakan satu faktor produksi variabel, yaitu tenaga kerja dan menghasilkan satu jenis produk usahatani. Asumsi tersebut bisa dilonggarkan dengan membuka kemungkinan rumahtangga menggunakan lebih dari satu jenis input dan menghasilkan atau mengkonsumsi lebih dari satu jenis produk usahatani.
Kondisi ini setidaknya
lebih mendekati kenyataan bahwa pada rumahtangga petani, terutama usahatani di daerah tropis yang berlahan sempit, umumnya sulit ditemukan rumahtangga petani yang hanya mengusahakan satu jenis komoditi.
Apalagi dalam
penggunaan input, tidak ada rumahtangga petani yang hanya menggunakan satu jenis input variabel.
Membahas model seperti ini tidak praktis jika
menggunakan penyajian grafik. Akan lebih praktis menggunakan penyajian matematik. Model yang dapat menangkap maksud tersebut dikemukakan oleh Strauss (1986). Dimisalkan rumahtangga mengkonsumsi
produk usahatani Xa, produk yang
dibeli dari pasar M, waktu santai anggota keluarga pria Rp, waktu santai keluarga wanita Rw. Jenis-jenis komoditi yang dikonsumsi tersebut bisa diperluas lebih lanjut dengan menganggap bahwa Xa, Rp. Rw, dan M sebagai kelompok komoditi, atau suatu vektor. Berdasarkan konsumsi tersebut, diasumsikan rumahtangga mempunyai fungsi utilitas sebagai berikut: U(Xa, Rp, Rw, M)
(1)
80 Fungsi utilitas di atas mempunyai ciri-ciri quasi-concave dengan turunan parsial positif.
Seperti
biasanya,
diasumsikan
bahwa
rumahtangga
berusaha
untuk
memaksimumkan fungsi utilitas dengan kendala anggaran (budget) yang tersedia. Anggaran rumahtangga didefinisikan sebagai jumlah pengeluaran rumahtangga untuk membeli barang-barang dari pasar M pada harga pm, atau total anggaran yang tersedia sebesar
pmM.
Besarnya pmM ini harus sama dengan seluruh pendapatan tunai
rumahtangga dari berbagai sumber, yang dapat dinyatakan secara sederhana sebagai berikut: pmM = pa(Qa –Xa) + pcQc – pvV – wp(Lp – Fp) – ww(Lw – Fw) + npNp nwNw+E
(2)
dimana Qa dan Qc adalah dua jenis atau kelompok komoditi pertanian yang diproduksi dari usahatani sendiri,
pa dam pc masing-masing adalah harga komoditi pertanian Qa
dan Qc. Diasumsikan bahwa seluruh produk Qc dijual ke pasar (commercial crop). Selanjutnya, pv adalah harga input variabel V; Lp dan Lw adalah penggunaan tenaga kerja pria dan wanita pada usahatani sendiri yang berasal dari dalam dan luar keluarga; Fp dan Fw adalah tenaga kerja keluarga pria dan wanita yang berkerja di sektor pertanian; Np dan Nw adalah tenaga kerja keluarga pria dan wanita yang bekerja di luar sektor pertanian; wp dan ww adalah tingkat upah tenaga kerja pria dan wanita di sektor pertanian; np dan nw adalah upah tenaga kerja pria dan wanita di luar sektor
pertanian; dan E adalah
pendapatan keluarga yang diperoleh dari bukan penggunaan tenaga kerja, misalnya dari sewa, bunga dan sejenisnya. Pada persamaan 2, (L p– Fp) dan (Lw – Fw) merupakan keseimbangan penggunaan tenaga kerja keluarga di sektor pertanian dengan penggunaan tenaga kerja di usahatani
81 sendiri. Jika (Lp – Fp) prositif, atau penggunaan tenaga kerja pria di usahatani sendiri (tenaga kerja keluarga dan luar keluarga) lebih besar dibandingkan dengan penggunaan tenaga kerja keluarga pria di sektor pertanian, berarti pada usahatani sendiri terdapat pengeluaran upah sewa tenaga kerja. Sebaliknya jika (Lp– Fp) negatif, atau penggunaan tenaga kerja keluarga pria di sektor pertanian lebih besar dari penggunaan tenaga kerja pria pada usahatani sendiri, berarti ada penerimaan upah kerja yang diterima keluarga dari sektor pertanian. Hal ini berlaku juga bagi tenaga kerja wanita. Kendala lain yang dihadapi oleh rumahtangga di dalam memaksimumkan fungsi utilitas adalah kendala ketersediaan tenaga kerja keluarga.
Di dalam hal ini bisa
dibedakan menjadi tenaga kerja pria dan wanita. Kendala tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut: Tp = Fp + Np + Rp dan Tw=Fw+Nw+Rw
(3)
dimana Tp danTw, masing-masing adalah jumlah tenaga pria dan wanita potensial yang tersedia pada keluarga, Rp dan Rw masing-masing adalah tenaga kerja pria dan wanita potensial yang digunakan untuk santai. Np, Nw, Fp , dan Fw telah didefinisikan di atas. Jika Fp dan Fw pada persamaan 2 disubstitusikan dengan kendala tenaga kerja pada persamaan 3. pmM + paXa + wpRp + wwRw = Y = (paQa + pcQc – pvV – wpLp – wwLw) + (np-wp)Np+(nw–ww)Nw+wpTp+wwTw + E
(4)
Jika diperhatikan, sisi sebelah kiri persamaan 4 adalah penilaian dari komponenkomponen yang menyusun fungsi utilitas, yaitu terdiri atas nilai konsumsi barang yang dibeli dari pasar, nilai produk pertanian yang dihasilkan dari usahatani sendiri, dan nilai
82 waktu istirahat yang diukur dengan tingkat upah tenaga kerja di sektor pertanian. Di sisi sebelah kanan merupakan full income menurut konsep Becker (Becker, 1965). Pada bagian dalam kurung pertama merupakan nilai produksi dikurangi dengan biaya peubah usahatani atau keuntungan usahatani. Pada bagian di dalam kurung kedua dan ke tiga merupakan selisih nilai penggunaan tenaga kerja keluarga pria dan wanita pada sektor non pertanian jika diukur dengan tingkat upah sektor non-pertanian dan sektor pertanian. Karena sumberdaya waktu keluarga dinilai dengan tingkat upah sektor pertanian, maka jika tingkat upah sektor non pertanian lebih besar dari sektor pertanian, akan menambah besarnya full income, sebaliknya jika upah di sektor pertanian lebih besar dari sektor non pertanian akan mengurangi full income. Selanjutnya antara input dan output dihubungkan dengan suatu fungsi produksi, yang dalam bentuk implisit dinyatakan sebagai berikut: G(Qa,Qc,Lp,Lw,V,K)=0 dimana K adalah input tetap.
(5) Bentuk fungsi produksi ini bersifat umum yang
memungkinkan untuk memisahkan fungsi produksi untuk output yang berbeda, atau untuk produk bersama (joint product). Dari fungsi tujuan dan kendala-kendala yang ada tersebut di atas, jika rumahtangga akan memaksimumkan utilitasnya, maka pilihan rumahtangga dapat dimodelkan dengan model rekursif, walaupun dimensi waktu keputusan tersebut bersifat simultan (Jorgenson and Lau, 1969; Nakajima, 1969). Rumahtangga berperilaku seperti memaksimumkan sisi penerimaan dari full income dengan kendala fungsi produksi, dan kemudian memaksimumkan utilitas dengan kendala full income. Baik nilai waktu yang tersedia maupun pendapatan rumahtangga eksogenus keduanya tidak menjadi peubah
83 pilihan rumahtangga. Oleh karena itu memaksimumkan full income adalah sama dengan memaksimumkan nilai output dikurangi dengan input peubah (yang berarti keuntungan). Fungsi Lagrange yang dapat memaksimumkan fungsi utilitas dengan memperhatikan kendala-kendala yang ada adalah sebagai berikut: £ = U(Xa, Rp, Rw, M) + λ{(paQa + pcQc – pvV – wpLp – wwLw) + (np - wp)Np + (nw – ww)Nw + wpTp + wwTw + E – pmM – paXa – wpRp – wwRw}+ µG(Qa, Qc, Lp, Lw, V, K)
(6)
Syarat pertama yang harus dipenuhi agar fungsi Lagrange tersebut maksimum adalah turunan pertama fungsi tersebut harus sama dengan nol. Turunan parsial fungsi tersebut adalah sebagai berikut: ∂£/∂Xa=Ua-λpa=0
(7.1)
∂£/∂Rp = Up -λwp = 0
(7.2)
∂£/∂Rw = Uw -λww = 0
(7.3)
∂£/∂M = Um -λpm = 0
(7.4)
∂£/∂λ = (paQa + pcQc – pvV – wpLp – wwLw) + (np - wp)Np + (nw – ww)Nw + wpTp + wwTw + E – pmM – paXa – wpRp – wwRw = 0
(7.5)
∂£/∂Qa =λpa + µGa = 0 atau (1/λ)(∂£/∂Qa) = pa + (µ/λ)Ga = 0
(7.6)
∂£/∂Qc =λpc + µGc = 0 atau (1/λ)(∂£/∂Qc) = pc + (µ/λ)Ga = 0
(7.7)
∂£/∂V = – λpv + µGv = 0 atau (1/λ)(∂£/∂V) = – pv + (µ/λ)Gv = 0
(7.8)
∂£/∂Lp = –λwp + µGp = 0 atau (1/λ)(∂£/∂Lp) = – wp + (µ/λ)Gp = 0
(7.9)
∂£/∂Lw = –λww + µGw = 0 atau (1/λ)(∂£/∂Lw) = – ww + (µ/λ)Gw = 0
(7.10)
∂£/∂µ = G(Qa, Qc, Lp, Lw, V, K) = 0
(7.11)
Penyelesaian secara simultan terhadap persamaan 7.1 sampai dengan persamaan
84 7.5 akan diperoleh fungsi permintaan rumahtangga terhadap barang dan waktu santai. Fungsi permintaan rumahtangga terhadap barang dan waktu santai merupakan fungsi dari harga barang dan tingkat upah, yang dapat dinyatakan sebagai berikut: Di = Di(pa, pc, wp, ww, pv, Y); i = Xa, Xc, Rp, Rw, dan M
(8)
Dengan diketahui fungsi permintaan rumahtangga tersebut, dapat juga dirumuskan fungsi penawaran tenaga kerja rumahtangga untuk usahatani dan luar usahatani. Penawaran tenaga kerja dari rumahtangga pada dasarnya merupakan total tenaga kerja keluarga dikurangi dengan waktu santai. Dengan demikian, fungsi penawaran tenaga kerja keluarga merupakan fungsi dari faktor-faktor yang sama dengan fungsi permintaan waktu santai pada persamaan 8, dinyatakan sebagai berikut: Sj =Sj (pa, pc, wp, ww, pv, Y); j = p, w
(9)
Dari persamaan 7.6 sampai dengan persamaan 7.11 akan diperoleh fungsi penawaran produk usahatani dan permintaan input usahatani. Baik fungsi penawaran produk maupun fungsi permintaan input usahatani, merupakan fungsi dari harga produk dan harga input. Fungsi penawaran produk usahatani yang tidak dikonsumsi keluarga dapat dinyatakan sebagai berikut: Qc = Qc(pa, pc, wp, ww, pv)
(10)
Fungsi penawaran produk yang sebagian dikonsumsi keluarga (Qa) merupakan marketed surplus produk tersebut. Fungsi marketed surplus dinyatakan sebagai berikut: MS = MS(pa, pc, wp, ww, pv,Y)
(11)
Fungsi permintaan input usahatani dapat dinyatakan sebagai berikut: Uk = Uk(pa, pc, wp, ww, pv,Y); k = Lp, Lw, V
(12)
Selanjutnya, untuk mengetahui perilaku rumahtangga pertanian akibat adanya
85 perubahan-perubahan peubah eksogen, perlu dilakukan analisis komparatif statik. Diferensial total terhadap persamaan 7.1 sampai dengan persamaan 7.10 akan diperoleh suatu sistem persamaan yang dapat disajikan dalam bentuk matriks seperti terlihat pada persamaan 13. Matriks pada persamaan tersebut membentuk blok diagonal, dimana blok sebelah kiri atas merupakan hasil diferensial total persamaan sisi konsumsi, yaitu persamaan 7.1 sampai dengan persamaan 7.5, sedangkan pada blok kanan bawah merupakan hasil diferensial total sisi produksi, yaitu persamaan 7.6 sampai dengan persamaan 7.10 Uaa Uap Uaw Uam –pa
0
0
0
0
0
0
dXa
λdpa
Upa Upp Upw Upm –wp
0
0
0
0
0
0
dRp
λdwp
Uwa Uwp Uww Uwm –ww
0
0
0
0
0
0
dRw
λdww
Uma Ump Umw Umm –pm
0
0
0
0
0
0
dM
–pa –wp –ww –pm
0
0
0
0
0
0
λdpm
dλ
Ψ
0
0
0
0
0
0
µ/λGaa µ/λGac µ/λGav µ/λGap µ/λGaw Ga
0
0
0
0
0
µ/λGca µ/λGcc µ/λGcv µ/λGcp µ/λGcw Gc
0
0
0
0
0
µ/λGva µ/λGvc µ/λGvv µ/λGvp µ/λGvw Gv
0
0
0
0
0
µ/λGpa µ/λGpc µ/λGpv µ/λGpp µ/λGpw Gp
0
0
0
0
0
µ/λGwa µ/λGwv µ/λGwp µ/λGwp µ/λGww Gw
0
0
0
0
0
Ga
Gc
Gv
Gp
Gw
0
dQa
= –dpa
dQc
–dpc
dV
dpv
dLp
dwp
dLw
dww
d(µ/
0
λ) (13) dimana: Ψ = – (Tp – Np – Lp – Rp)dwp – (Tw – Nw – Lw – Rw)dww – (Qa– Xa)dpa – Qcdpc + Vdpv – (np - wp)dNp– (nw – ww)dNw – Npdnp – Nwdnw – wpdTp – wwdTw – dE + Mdpm – µ/λ(GkdK).
86 Pada persamaan 13 terlihat blok kiri atas dan blok kanan bawah masing-masing terlihat membentuk Bordered Hessian Matrix sebagai konsekuensi dari maksimisasi fungsi utilitas terkendala dengan anggaran, dan maksimisasi fungsi keuntungan dengan kendala fungsi produksi.
Sesuai dengan asumsi bahwa harga-harga input dan harga
output yang berlaku pada model ekonomi rumahtangga ini adalah peubah eksogen, maka sistem persamaan 13 sebenarnya bersifat rekursif. Pada tahap pertama rumahtangga memaksimumkan keuntungan sehingga diperoleh keputusan produksi (input dan output) optimal.
Tahap kedua, setelah diperoleh keputusan produksi optimal, rumahtangga
memaksimumkan fungsi utilitas sehingga diperoleh keputusan konsumsi optimal. Dengan demikian, pada model ekonomi rumahtangga ini keputusan konsumsi sebenarnya terpisah dengan keputusan produksi. Sistem persamaan 13 dapat diselesaikan dengan aturan Cramer (Cramer Rule) dimana penentuan determinan matriksnya menggunakan metode Ekspansi Laplace. Dari penyelesaian sistem persamaan di atas dapat dipelajari perilaku ekonomi rumahtangga di dalam merespon perubahan-perubahan peubah-peubah eksogen, misalnya yang berkaitan dengan adanya kebijakan harga input dan harga output. 3.4.1. Perilaku Konsumsi Rumahtangga Pertanian Dari sistem persamaan 13 dapat dipelajari perubahan konsumsi Xa karena adanya perubahan harga Xa dirumuskan sebagai berikut: dXa/dpa=∂Xa/∂paU+(Qa–Xa)∂Xa/∂Y
(14)
Persamaan 9 menyatakan jika misalnya terjadi peningkatan harga Xa berakibat pada perubahan konsumsi Xa melalui dua komponen, yaitu efek subtitusi, ∂Xa/∂paU, dan efek pendapatan, (Qa– Xa)∂Xa/∂Y. Efek substitusi karena perubahan harga menurut
87 Teorema Slutsky akan selalu bertanda negatif (Koutsoyiannis, 1982), jika terjadi kenaikan harga Xa, untuk mempertahankan utilitas yang sama, konsumsi rumahtangga akan beralih kepada komoditi pengganti dan mengurangi konsumsi Xa. Efek pendapatan bisa bertanda positif atau bertanda negatif.
Jika Xa barang normal, maka kenaikan
pendapatan akan menigkatkan konsumsi Xa. Efek pendapatan pada persamaan 14 di atas dibobot dengan selisih antara yang diproduksi dengan yang dikonsumsi, atau bagian produksi yang dijual (marketed surplus). Jika ada bagian produk tersebut yang dijual (net seller), atau (Qa– Xa) positif, maka efek pendapatan akan bertanda positif, sebaliknya jika sebagian besar produk tersebut dikonsumsi, atau atau (Qa– Xa) negatif, maka efek pendapatan akan bertanda negatif. Hal tersebut berlaku jika Xa adalah barang normal. Adanya efek pendapatan pada persamaan 14 di atas lebih jelas jika dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut: dXa/dpaπ=∂Xa/∂paU–Xa(∂Xa/∂Y)
(15)
dan: dXa/dpa=∂Xa/∂paU–(∂Xa/∂Y)Xa +(∂Xa/∂Y)(∂π/∂pa)
(16)
Persamaan 15 menunjukkan bahwa efek total perubahan harga Xa terhadap konsumsi Xa dapat dinyatakan pada kondisi keuntungan tidak berubah. Pada kondisi seperti ini
kontribusi
efek pendapatan semakin jelas.
Persamaan 15 sebenarnya
merupakan persamaan Slutsky (Intriligator, 1971) yang biasa diturunkan pada teori permintaan rumahtangga konvensional (permintaan murni).
Efek pendapatan pada
persamaan 10 tergantung pada jenis komoditi seperti telah dijelaskan di atas. Jika keuntungan kembali dibiarkan berubah, maka persamaan 14 dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan 16. Di sini tampak bahwa efek total perubahan harga Xa
88 terhadap konsumsi Xa pada model ekonomi rumahtangga dapat dipisahkan menjadi efek substitusi, efek pendapatan, dan efek keuntungan. Ini menunjukkan bahwa persamaan Slutsky pada model ekonomi rumahtangga masih ditambah dengan efek keuntungan. Efek keuntungan timbul karena adanya kenaikan harga Xa menyebabkan petani lebih banyak menjual Qa, yang berakibat pada peningkatan keuntungan usahatani. Menurut persamaan 4, keuntungan merupakan komponen full income.
Dengan demikian, pada
model ekonomi rumahtangga ini kenaikan harga Xa bisa saja akan menyebabkan konsumsi Xa meningkat, walaupun Xa termasuk barang normal. Dari sistem persamaan 13 dapat juga dipelajari perilaku rumahtangga dalam mengkonsumi waktu santai. Perubahan konsumsi waktu santai pria, dirumuskan sebagai berikut: dRp/dwp=∂Rp/∂wpU+(Tp– Np – Lp – Rp)∂Rp/∂Y
(17)
Persamaan 17 menyajikan efek total perubahan upah tenaga kerja pria disektor pertanian terhadap konsumsi waktu santai pria. Efek total tersebut dipecah menjadi efek substitusi dan efek pendapatan. Seperti biasanya, efek subtitusi akan bertanda negatif. Efek pendapatan tampak dibobot dengan
(Tp – Np – Lp – Rp), yaitu selisih penawaran
tenaga kerja dengan permintaan tenaga kerja.
Strouss (1986) menyebutnya sebagai
marketed surplus of labor. Jika waktu santai merupakan barang normal, maka efek pendapatan yang dibobot dengan marketed surplus of labor akan bertanda positif. Jika besaran efek pendapatan ini melebihi efek substitusi, maka akan terjadi backward bending supply, perbaikan upah di sektor pertanian justru akan menyebabkan berkurangnya penawaran tenaga kerja keluarga. Perilaku permintaan keluarga terhadap komoditi yang dibeli di pasar yang diturunkan dari sistem persamaan 8 dirumuskan sebagai berikut:
89 dM/dpm = ∂M/∂pmU + M(∂M/∂Y)
(18)
Persamaan 13 menyajikan perubahan konsumsi barang yang dibeli dari pasar yang disebabkan oleh perubahan harga sendiri. Identik dengan perilaku konsumsi waktu santai yang diuraikan di atas, efek total perubahan konsumsi barang yang dibeli di pasar karena perubahan harga sendiri dibagi menjadi efek substitusi dan efek pendapatan. Karena komoditi M adalah komoditi yang tidak dihasilkan sendiri oleh keluarga, maka persamaan 18 sebenarnya merupakan persamaan Slutsky seperti pada teori permintaan murni.
Menurut persamaan 18, efek substitusi akan selalu negatif sejalan dengan
Teorema Slutsky.
Jika M adalah barang normal, maka efek pendapatan akan positif.
Efek total dari persamaan 18 akan tergantung pada besaran efek substitusi dan efek pendapatan. Perubahan konsumsi M dapat juga dipelajari karena adanya perubahan harga komoditi yang dihasilkan oleh usahatani, pa atau pc.
Perubahan konsumsi M karena
perubahan pa dan pc masing-masing dirumuskan sebagai berikut: dM/dpa = ∂Rp/∂paU + (Qa – Xa)∂M/∂Y
(19)
dM/dpc= Qc(∂M/∂Y)
(20)
dan
Persamaan 19 menyajikan efek total perubahan pa terhadap konsumsi M yang dipecah menjadi efek substitusi silang dan efek pendapatan yang dibobot dengan marketed surplus komoditi Qa. Efek substitusi silang bisa bertanda positif bisa negatif. Jika komoditi M dan Qa merupakan komoditi substitusi, maka efek substitusi silang akan bertanda positif, jika komoditi M dan Q merupakan komoditi komplemen, maka efek
90 substitusi silang akan bertanda negatif. Efek pendapatan, jika komoditi M merupakan komoditi normal, maka akan bertanda positif. Efek total perubahan konsumsi M karena perubahan pc (persamaan 20) sebenarnya identik dengan persamaan 19. Tetapi karena komoditi Qc seluruhnya dijual maka efek substitusi tidak ada. Perubahan konsumsi M seluruhnya terjadi melalui efek pendapatan.
Kenaikan pc menyebabkan keuntungan usahatani meningkat, maka
pendapatan meningkat. Jika M merupakan komoditi normal, efek pendapatan ini akan positif. Perubahan konsumsi M akibat perubahan peubah eksogen selalu terkait dengan perubahan pendapatan. Namun demikian, perubahan tersebut tidak selalu mengandung efek substitusi. 3.4.2. Penawaran Produk Usahatani Penawaran produk usahatani pada model ekonomi rumahtangga di atas bisa dianalisis pada dua komoditi usahatani, yaitu produk usahatani yang sebagian dikonsumsi dan sebagian dijual (Qa) dan produk usahatani yang tidak dikonsumsi atau produk usahatani komersial (Qc). Penurunan fungsi penawaran produk usahatani komersial tidak berbeda dengan fungsi-fungsi penawaran konvensional.
Lain halnya dengan
produk Qa, fungsi penawaran harus memperhatikan konsumsi. Oleh karena itu yang relevan dengan panawaran Qa adalah bagian produk yang tidak dikonsumsi atau marketed surplus (MS). Menurut model ekonomi rumahtangga di atas, fungsi penawaran Qa dapat diturunkan dari kondisi keseimbangan pada persamaan 7.6.
Fungsi penawaran Qa
merupakan fungsi dari harga produk dan harga input, termasuk tenaga kerja, serta peubah
91 penggeser lain, seperti input tetap. Bentuk umum fungsi penawaran pada model ekonomi rumahtangga ini dapat dinyatakan sebagai berikut: Qi = Qi(pa, pc, pv, wp, ww); i = (a, c) Fungsi penawaran Qc
(21)
dapat dievaluasi untuk mengetahui perubahan-perubahan
penawaran yang terjadi akibat perubahan-perubahan pa, pc, wp, ww seperti yang dilakukan pada fungsi penawaran konvensional. Fungsi penawaran Qa harus dinyatakan dalam marketed surplus sebagai berikut: MSa = Qa – Xa
(22)
Berdasarkan persamaan 22 dapat dilakukan evaluasi perilaku penawaran Qa yang dilakukan rumahtangga pertanian dengan mempelajari perubahan Qa akibat perubahanperubahan faktor eksogen. Perubahan Qa karena adanya perubahan harga Qa (pa) dapat dinyatakan sebagai berikut: dMSa/dpa = ∂MS/∂paU + (∂π/∂pa)(∂MSa/∂Y) – Xa(∂MSa/∂Y)
(23)
Menurut persamaan 23 sisi sebelah kanan, marketed surplus produk Qa akan berespons positif terhadap pa. Namun besaran ini masih ditambah dengan perubahan MS melalui perubahan keuntungan dan pendapatan rumahtangga. Menarik untuk diperhatikan perubahan pa juga berakibat pada konsumsi Xa yang ditransmisi melalui perubahan pendapatan. Perubahan Xa akibat perubahan pendapatan tergantung pada jenis barang Xa. Perubahan MS dapat juga dievaluasi dengan adanya perubahan-perubahan peubah eksogen lainnya, seperti pc, pv, wp, ww, np, nw, dan K. 3.5. Model Ekonomi Rumahtangga pada Pasar Tidak Sempurna Sesuai
dengan
tujuan
penelitian,
yaitu
mempelajari
perilaku
ekonomi
rumahtangga pada kondisi ketidaksempurnaan pasar, maka perlu dirumuskan model dasar
92 yang menggambarkan adanya ketidaksempurnaan pasar tersebut. Ketidaksempurnaan pasar yang dihadapi oleh rumahtangga petani sangat mungkin terjadi karena berbagai sebab. Pada pasar tenaga kerja, ketidaksempurnaan pasar bisa terjadi karena adanya biaya transaksi, biaya supervisi, atau biaya mencari tenaga kerja, dan biaya tambahan dalam bentuk pelayanan di luar upah. Adanya biaya tersebut menyebabkan upah kerja yang dibayarkan tidak sama dengan upah kerja yang diterima. Adanya biaya supervisi dan biaya pelayanan tenaga kerja menyebabkan penilaian tenaga kerja dalam keluarga lebih besar dibandingkan dengan upah tenaga kerja yang berlaku. Dengan demikian, walaupun dalam kegiatan kerja terdapat pilihan antara menggunakan tenaga kerja dalam keluarga dan luar keluarga, pada dasarnya kedua jenis tenaga kerja tersebut tidak dapat bersubstistusi secara sempurna. Selain pada tenaga kerja, ketidaksempurnaan pasar bisa juga terjadi pada lahan. Fungsi lahan di negara sedang berkembang seperti Indonesia dengan tekanan jumlah penduduk yang tinggi mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai faktor produksi usahatani, sebagai areal industri dan pemukiman. Nilai ekonomi lahan tidak dapat diukur dari nilai faktor produksi usahatani, tetapi dilihat dari opportunity cost lahan dalam fungsi yang lebih luas. Oleh karena itu, harga lahan tidak lagi mencerminkan harga faktor produksi. Pada kondisi seperti ini, rumahtangga petani tidak mudah untuk memasuki pasar lahan, terutama rumahtangga petani berlahan sempit. Adanya ketidaksempurnaan dalam pasar tenaga kerja dan pasar lahan tersebut, secara teoritik akan mempengaruhi perilaku ekonomi rumahtangga. Secara teoritik dapat dijelaskan sebagai berikut: diasumsikan rumahtangga berusaha memaksimumkan fungsi utilitas U dengan mengkonsumsi produk usahatani Ca, produk yang dibeli dari pasar Cm,
93 produk yang dihasilkan dari kegiatan rumahtangga Cz, waktu santai pria dan wanita Lp dan Lw. Diasumsikan juga di dalam fungsi utilitas terdapat sejumlah faktor karakteristik rumahtangga A yang menjadi faktor penggeser. Secara matematik fungsi utilitas dinyatakan sebagai berikut: Maksimumkan U(Ca,Cm, Cz , Lp, Lw;A)
(24)
Di dalam memaksimumkan fungsi utilitas tersebut, rumahtangga dihadapkan pada kendala ketersediaan tenaga kerja keluarga dan anggaran. kegiatan usahatani dan kegiatan di luar usahatani.
Anggaran diperoleh dari
Tenaga kerja dalam keluarga
dialokasikan ke dalam empat kegiatan, yaitu untuk kegiatan di dalam usahatani sendiri Fp dan Fw, di luar usahatani sendiri Mp dan Mw, kegiatan produktif di dalam rumah Rp dan Rw, dipisah menurut pria dan wanita sebagai berikut: Tp= Lp + Fp + Rp+ Mp
(25.1)
Tw= Lw + Fw + Rw+ Mw
(25.2)
Kegiatan anggota keluarga pria dan wanita di dalam rumah dan sejumlah faktor lain B diasumsikan menghasilkan produksi komposit Cz sebagai berikut: Cz= Cz(Rp, Rw;B)
(26)
Produksi dinyatakan dalam bentuk fungsi produksi, menghasilkan produk usahatani Qa, input variabel V, tenaga kerja keluarga pria dan wanita Fp dan Fw, tenaga kerja luar keluarga Hp dan Hw, luas lahan garapan Lg, ketersediaan modal (capital stock) K, dan sejumlah faktor tetap D. Luas garapan dianggap variabel atau semi variabel dengan asumsi bahwa luas lahan garapan bisa diperluas dengan meningkatkan intensitas penggunaan lahan yang dikuasai per tahun. Luas lahan yang dikuasai dianggap tetap. Asumsi ini untuk menjelaskan bahwa pada usahatani perluasan lahan yang dikuasi relatif
94 sulit dan merupakan keputusan jangka panjang. Pada jangka pendek diasumsikan petani masih bisa memperluas lahan garapan dengan pengaturan pola tanam sepanjang tahun. Secara matematik dinyatakan sebagai berikut: Qa=G(Fp, Fw, Hp, Hw, V, Lg, K; D)
(27)
Diasumsikan kondisi kesempatan kerja di luar usahatani terbatas sehingga rumahtangga tidak dapat dengan leluasa memasuki lapangan kerja di luar usahatani. Ini berarti ada kendala dalam mengalokasikan tenaga kerja keluarga ke luar usahatani. Mp• 0, M w• 0 dan L g• 0
(28)
Kendala-kendala tersebut di atas dapat disederhanakan sebagai berikut: Kebutuhan konsumsi Cm memerlukan anggaran sebesar pmCm dimana pm adalah harga barang yang dibeli dari pasar.
Besar anggaran tersebut diperoleh rumahtangga dari
kegiatan usahatani dan kegiatan di luar usahatani. pmCm= pa(Qa-Ca) – pvV– hpHp–hpHp–lgLg–rK+mpMp+mwMw+E atau pmCm=paG(Fp,Fw,Hp,Hw,V,Lg,K;D)–paCa–pvV–hpHp–hpHp–lgLg– rK+mpMp+mwMw+E
(29)
dimana pa, pv, hp, hw, lg, r, mp dan mw masing-masing adalah harga produk Ca, harga input variabel, upah tenaga kerja pria, upah tenaga kerja wanita, sewa lahan, suku bunga modal, upah kerja di luar usahatani untuk tenaga kerja pria dan untuk tenaga kerja wanita. E adalah pendapatan lain di luar aktivitas tenaga kerja. Berdasarkan kendala-kendala di atas, maka dapat disusun fungsi Lagrange yang akan dimaksimumkan sebagai berikut: £ =U(Ca,Cm, Cz(Rp, Rw;B), Tp–Fp–Rp–Mp,Tw–Fw–Rw–Mw;A)+ ë{ paG(Fp,Fw,Hp,Hw,V,Lg,K;D)–paCa+pcQc–pvV–hpHp–hpHp–lgLg– rK+mpMp+mwMw+E– pmCm} + ì 1Mp+ ì 2Mw+ ç(L g)
(30)
95 dimana ë, ì 1, ì 2 dan ç masing-masing sebagai pengganda Langrange untuk masingmasing kendala. Syarat pertama yang harus dipenuhi agar fungsi Lagrange tersebut maksimum adalah turunan pertama fungsi tersebut harus sama dengan nol. Turunan parsial fungsi tersebut adalah sebagai berikut: • £/•C a =• U/•C
– ëpa =0
(31.1)
• £/•C m=•U/•C m– ëpm=0
(31.2)
a
• £/•R p=(• U/•C z)(•C z/•R p)–• U/• L • £/•R p=• U/•R p=•U/• L
w=• U/• L
atau (31.3)
p
• £/•R w=(• U/•C z)(• C z/•R w)–• U/• L • £/•R w=• U/•R
p=0
w=0
atau (31.4)
w
• £/•F p= –• U/• L
p+ ëpa(•G/• F
p)=0
• £/•F w= –• U/• L
w+ ëpa•G/• F
w
atau ëpa(• G/•F
=0 atau ëpa• G/•F
p)=• U/• L
w=• U/• L
w
p
(31.5) (31.6)
• £/•H p =pa(• G/•H p) –hp =0 atau pa(• G/•H p) =hp
(31.7)
• £/•H w=pa(• G/•H
(31.8)
w)–hw=0
atau pa(• G/•H
w)
=hw
• £/•V = pa(• G/• V)–pv=0 atau pa(• G/• V) =pv • £/• Mp= – • U/• L
p+
ëmp + ì 1=0 atau • U/• L
• £/• Mw= – • U/• L
w+
p=
ëmw + ì 2=0 atau • U/• L
• £/•K = pa(• G/•K) – r =0 atau pa(• G/•K) = r • £/•L g = ëpa(• G/• L pa(• G/• L
g) = lg
g) –ël g
(31.9) ëmp + ì
w=
(31.10)
1
ëmw + ì
2
(31.11) (31.12)
+ ç=0 atau
– ç/ë=l g*
(31.13)
Hasil turunan pertama di atas menghasilkan beberapa kondisi optimum keputusan konsumsi dan alokasi sumberdaya rumahtangga.
Pada sisi konsumsi terlihat pada
96 persamaan 31.1 dan 31.2 bahwa substitusi marjinal antara konsumsi Ca dan Cm ditentukan oleh rasio harga pasar masing-masing. Artinya, jika informasi harga kedua komoditi tersebut diperoleh maka perilaku rasional rumahtangga akan berusaha menyamakan rasio utilitas marginal masing-masing komditi dengan rasio harga komoditi tersebut. Prinsip ini berlaku seperti pada teori konsumsi biasa. Pada persamaan 31.3 dan 31.4 diperlihatkan pada kondisi optimum marjinal utilitas waktu santai pria dan wanita sama dengan nilai marjinal utilitas waktu untuk kerja di kegiatan rumahtangga. Keseimbangan ini tercapai tanpa adanya informasi harga atau upah kerja, yang menunjukkan adanya keseimbangan subjektif di dalam rumahtangga dalam mengalokasikan kegiatan rumahtangga dengan waktu santai. Pada kondisi optimum, keputusan rumahtangga dalam menggunakan tenaga kerja upahan terlihat pada persamaan 31.7 dan 31.8.
Menurut persamaan tersebut,
rumahtangga akan menggunakan tenaga kerja upahan sampai pada kondisi nilai produk marjinal tenaga kerja sama dengan nilai upah yang dibayarkan.
Kondisi ini juga
mengikuti prinsip maksimisasi keuntungan yang biasa terjadi pada perusahaan yang menghadapi pasar tenaga kerja bersaing sempurna. Hal ini berbeda dengan keputusan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga yang tidak mengacu kepada upah tenaga kerja yang berlaku. Hal yang sama juga terjadi pada persamaan 31.9 untuk penggunaan input variabel V usahatani. Pada kondisi optimal, nilai produktivitas input variabel akan sama dengan harga input tersebut. Dari persamaan 31.5 , 31.6 , 31.10 dan 31.11 dapat diperoleh hubungan sebagai berikut: pa• G/•F
p=
mp+ì 1/ë=mp*
(33.1)
97 pa• G/•F
w=
mw+ì 2/ë=mw*
(33.2)
Persamaan 33.1 dan 33.2 menunjukkan bahwa pada kondisi optimum nilai produktivitas marjinal tenaga kerja dalam keluarga untuk kegiatan usahatani tidak sama dengan tingkat upah yang berlaku dikegiatan luar usahatani sendiri, tetapi sama dengan harga bayangan tenaga kerja mp* atau mw*. Harga bayangan atau upah bayangan tenaga kerja dalam keluarga lebih besar dibandingkan dengan upah yang berlaku.
Menurut
kaidah slack komplementer (complementary slackness), harga bayangan tersebut akan muncul apabila rumahtangga tidak bekerja di luar usahatani (kendala tenaga kerja binding). Pada saat rumahtangga memutuskan untuk bekerja di luar usahataninya sendiri (berarti ì
1
atau ì
2
sama dengan nol), maka keseimbangan tercapai pada kondisi nilai
produk marjinal sama dengan upah yang berlaku. Memperhatikan kembali persamaan 31.3 dan 31.4 dapat disimpulkan bahwa pada kondisi optimum, nilai marjinal utilitas bekerja di rumahtangga sama dengan nilai marjinal utilitas waktu santai dan sama dengan harga bayangan bekerja di usahatani sendiri. Hal ini menunjukkan adanya hubungan simultan antara keputusan produksi dan keputusan konsumsi. Di samping itu, secara praktis ini memudahkan dalam menilai waktu santai dan waktu untuk bekerja di rumahtangga, yaitu dengan cara menduga nilai produktivitas tenaga kerja di kegiatan usahatani. Catatan kegiatan di rumahtangga dan untuk waktu santai biasanya sulit diperoleh. Penggunaan modal kerja dapat dilihat pada persamaan 3.11, yaitu nilai produktivitas modal kerja di usahatani sama dengan tingkat suku bunga modal. Keseimbangan ini juga mengacu kepada prinsip maksimisasi keuntungan yang biasa digunakan oleh perusahaan. Pada model ini diasumsikan rumahtangga tidak terkendala
98 dalam memperoleh modal kerja, misalnya melalui pasar kredit.
Secara teoritik,
rumahtangga akan menggunakan kredit dimana nilai produktivitas marjinal modal yang diperoleh melalui kredit sama dengan tingkat suku bunga kredit yang berlaku. Hal lain yang menarik untuk diperhatikan adalah persamaan 31.13 yang menunjukkan hubungan nilai produktivitas lahan sama dengan harga bayangan lahan, bukan sama dengan nilai sewa lahan sebagai cerminan harga lahan.
Seperti telah
dikemukakan sebelumnya bahwa rumahtangga menghadapi kendala dalam mengakses pasar lahan, karena pasar lahan yang tersedia tidak hanya untuk faktor produksi tetapi untuk kepentingan yang lebih luas. Dengan adanya kendala dalam memasuki pasar lahan, maka pada kondisi optimum, penggunaan lahan akan mengacu kepada harga bayangan lahan, yaitu nilai produktivitas lahan. Dari persamaan 31.12 dapat diduga bahwa harga bayangan atau nilai produktivitas lahan usahatani lebih rendah dari harga sewa lahan yang berlaku. Hal ini untuk menjelaskan bahwa penilaian lahan pada pasar lahan lebih mahal dibandingkan dengan nilai lahan sebagai faktor produksi usahatani. Pada kondisi seperti ini, semakin terkendala rumahtangga dalam memperoleh lahan, akan cenderung meningkatkan penggunaan lahan dengan mengintensifkan penggunaan input non-lahan. Oleh karena itu, semakin sempit luas lahan yang dikuasai oleh rumahtangga, harga bayangan lahan akan semakin tinggi. Berdasarkan kondisi optimum di atas, selanjutnya dapat diturunkan permintaan dan penawaran rumahtangga terhadap produk yang dikonsumsi dan tenaga kerja, dan terhadap input usahatani. Dari persamaan 31.1 dan 31.2 dapat diturunkan fungsi permintaan rumahtangga terhadap Ca, Cm, yaitu komoditi yang dihasilkan dari usahatani dan yang dibeli dari pasar. Permintaan terhadap kedua komoditi tersebut dipengaruhi
99 oleh harga masing-masing komoditi, pendapatan dan karakteristik rumahtangga A dan B. Dalam bentuk matematik dinyatakan sebagai berikut: Ca =Ca(pa, pm, Y*;A)
(34.1)
Cm=Cm(pa, pm, Y*;A)
(34.2)
dimana Y* = ë*+E. Di dalam hal ini ë* merupakan keuntungan usahatani dengan memperhitungkan nilai tenaga kerja dalam keluarga yang dinilai dengan harga bayangan. Selanjutnya, dapat juga diturunkan fungsi penawaran tenaga kerja dalam keluarga untuk kegiatan usahatani dari persamaan 31.5, 31.6. Keistimewaan fungsi penawaran ini adalah bahwa penawaran tenaga kerja keluarga dipengaruhi oleh harga bayangan tenaga kerja seperti dirumuskan pada persamaan 33.1 dan 33.2. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah pendapatan yang dimana nilai tenaga kerja keluarga diukur juga dengan harga bayangan, harga produk, harga input variabel, dan karakteristik rumahtangga. Bentuk umum fungsi penawaran tenaga kerja dalam keluarga untuk pria dan wanita dinyatakan sebagai berikut: Fp=Fp(mp*,mw*,pa,pm,pv,Y*:A)
(35.1)
Fw=Fw(mw*, mp*, pa,pm,pv,Y*:A)
(35.1)
Fungsi permintaan rumahtangga terhadap tenaga kerja luar keluarga dapat diturunkan dari persamaan 31.7 dan 31.8. Fungsi permintaan rumahtangga terhadap input variabel V dapat diturunkan dari persamaan 31.9.
Ketiga fungsi permintaan
tersebut dipengaruhi oleh harga masing-masing input, harga produk, dan faktor tetap. Bentuk umum fungsi tersebut dinyatakan sebagai berikut: Hp=Hp(hp, hw, pa,pv,r, lg,Y*;D)
(36.1)
Hw=Hw(hp, hw, pa,pv,r,lg,Y*;D)
(36.2)
100 V =V(hp, hw, pa,pv,r,lg,Y*;D)
(36.3)
Selanjutnya permintaan rumahtangga terhadap lahan garapan dapat diturunkan dari persamaan 31.13. Melalui persamaan ini dapat diketahui fungsi permintaan lahan garapan merupakan fungsi harga bayangan lahan, harga produk, dan harga input lain, serta faktor tetap di usahatani. Bentuk umum fungsi permintaan lahan garapan dinyatakan sebagai berikut: Lg=Lg(lg*, pa, hp, hw, pv, r; D)
(37)
Model ekonomi rumahtangga yang diuraikan di atas, secara empirik masih perlu dikembangkan lebih lanjut. Model yang dikemukakan merupakan dasar pemikiran dalam membangun model empirik yang akan dipaparkan pada bagian metode dan konstruksi model.
Model empirik yang akan digunakan adalah model persamaan simultan.
Tujuannya adalah agar setiap hubungan yang terjadi antara variabel-variabel ekonomi yang menentukan perilaku ekonomi rumahtangga dapat diduga menggunakan model ekonometrika. 3.6. Harga Bayangan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa asumsi kondisi pasar sangat menentukan perilaku ekonomi rumahtangga.
Asumsi pasar terkait dengan harga
diperlukan manakala rumahtangga dihadapkan pada pilihan menggunakan sumberdaya atau memilih komoditi untuk diproduksi atau dikonsumsi.
Jika misalnya tidak ada
pilihan, seperti dalam mengkonsumsi atau memproduksi komoditi tunggal, maka asumsi pasar menjadi tidak penting. Sebaliknya, jika rumahtangga dihadapkan pada lebih dari satu faktor produksi atau lebih dari satu jenis output untuk diproduksi atau dikonsumsi, maka pilihan yang rasional akan dapat dilakukan jika ada informasi harga. Pilihan seperti
101 ini terjadi misalnya pada prinsip biaya minimum (least cost) pada penentuan komposisi input, penerimaan maksimum pada kurva kemungkinan produksi (production possibility curve), dan pilihan kombinasi konsumsi barang pada kurva indiferen. Pilihan itu hanya bisa dilakukan jika terdapat informasi harga, dan harga yang dimaksud adalah harga pasar bersaing sempurna. Perbedaan antara kondisi pasar bersaing sempurna dengan kondisi pasar tidak sempurna pada perilaku ekonomi rumahtangga adalah dalam menentukan harga input dan harga output. Pada asumsi pasar bersaing sempurna, rumahtangga menjadi price taker. Harga input dan harga output merupakan faktor eksogen yang besarannya ditentukan oleh mekanisme pasar.
Pada pasar tidak sempurna, harga input atau harga output yang
dihadapi rumahtangga tidak lagi mengacu kepada harga pasar, tetapi ditentukan secara internal oleh rumahtangga sebagai harga bayangan (Sadoulet and de Janvry, 1995). Harga bayangan input atau faktor produksi bisa diartikan sebagai biaya yang diperhitungkan (imputed cost) atau bisa juga sebagai opportunity cost (Koutsoyiannis, 1980). Pada persoalan optimasi terkendala, seperti pada Linear Programming, harga bayangan input mempunyai arti berapa nilai tambahan fungsi tujuan setiap tambahan satu satuan input.
Pada optimasi terkendala, besaran pengganda Langrange (Lagrange
multiplier) juga diartikan sebagai harga bayangan, atau imputed cost (Silberberg, 1990, Sadoulet and de Janvry, 1995). Di dalam hal ini harga bayangan diartikan sebagai nilai satu unit sumberdaya diukur dengan kontribusinya terhadap tambahan nilai fungsi tujuan. Semakin langka ketersediaan sumberdaya relatif terhadap jumlah yang dibutuhkan, harga bayangan sumberdaya tersebut semakin tinggi.
Sebaliknya, semakin berlimpah
ketersediaan sumberdaya relatif terhadap kebutuhan, harga bayangan sumberdaya
102 tersebut semakin rendah. Pada kondisi ketersediaan yang berlebihan, harga bayangan tersebut menjadi nol. Pada teori ekonomi produksi, tambahan nilai output yang disebabkan oleh tambahan satu satuan sumberdaya disebut nilai produktivitas marjinal yaitu P*Fi, dimana P adalah harga produk dan Fi adalah produktivitas marjinal input ke-i. Merujuk kepada pengertian harga bayangan di atas, nilai produktivitas marjinal ini juga dapat diartikan sebagai harga bayangan faktor produksi. Oleh karena itu, pendugaan terhadap harga bayangan faktor produksi, termasuk tenaga kerja, bisa dilakukan dengan menduga nilai produktivitas marjinal. Pendugaan seperti ini dilakukan oleh Skoufias (1994), Sonoda and Maruyama (1999),
Rahr (2002), dan Barrett, Sherlund, and Adesina (2005).
Berdasarkan pendugaan ini, besarnya harga bayangan ditentukan oleh penggunaan input , produk dan harga produk. Nilai produktivitas marjinal juga tergantung pada bentuk fungsi produksi yang digunakan. Pendugaan harga bayangan yang lebih umum dilakukan oleh Bhattacharyya and Kumbhakar (1997). Harga bayangan pada model ini merupakan fungsi dari harga input dan harga output. Mengacu kepada pengertian harga bayangan input sebagai nilai produktivitas input, maka harga bayangan dapat dibandingkan dengan harga pasar yang berlaku, atau harga aktualnya.
Pada teori ekonomi produksi, panggunaan input pada kondisi
keuntungan maksimum akan diperoleh keseimbangan nilai produktivitas marjinal input (NPM) sama dengan biaya korbanan marjinalnya (BKM) atau harga pasar input itu sendiri.
Kondisi keseimbangan ini sering digunakan untuk memeriksa sejauh mana
produsen telah menggunakan input secara efisien, dalam hal ini efisiensi alokatif atau efisiensi ekonomi.
103 Indikator NPM dan BKM dapat juga diartikan sebagai indikator ketidak sempurnaan pasar yang dihadapi produsen atau di dalam penelitian ini rumahtangga petani. Agar rumahtangga petani dapat memutuskan penggunaan input secara efisien, petani memerlukan informasi harga input dan harga output, serta teknologi produksi, seperti yang disyaratkan pada kondisi pasar persaingan sempurna. Manakala informasi tersebut tidak diperoleh karena berbagai sebab, menyababkan rumahtangga petani tidak dapat mengalokasikan penggunaan inputnya secara efisien menurut harga pasar yang berlaku. Oleh karena itu, Bhattacharyya dan Kumbakar (1997) mencatat bahwa setiap ada perbedaan harga bayangan dengan harga pasar atau tingkat upah yang berlaku, dapat digunakan sebagai indakator adanya distorsi penggunaan sumberdaya yang disebabkan oleh berbagai kendala.
Pada penelitian ini, diasumsikan petani secara ekonomi
berperilaku rasional, jika terdapat perbedaan antara harga bayangan dengan harga pasar diterjemahkan sebagai adanya restriksi dalam penggunaan input.
Retriksi bisa
disebabkan oleh ketidak sempurnaan pasar yang dihadapi rumahtangga petani.
.
104 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Data Ekonomi Rumahtangga Pertanian Penelitian ini memanfaatkan data Panel Petani Nasional (PATANAS) dari Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (PSE), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, di Bogor, berdasarkan surat ijin pimpinan PSE No LB.120.0005.5.561, tanggal 17 Mei 2000. Data tersebut merupakan hasil survey pada tahun 1999 dalam rangka mempelajari dampak krisis ekonomi terhadap dinamika perekonomian perdesaan di enam Propinsi, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. Data yang digunakan pada penelitian ini mencakup 1152 rumahtangga yang merupakan data rumahtangga petani tanaman pangan. Bagi penelitian ini, data di atas merupakan data sekunder, dengan pengertian bahwa data yang tersedia dikumpulkan bukan dirancang secara khusus untuk keperluan penelitian ini. Oleh karena itu di dalam penggunaan data tersebut memerlukan beberapa penyesuaian agar data yang ada sejalan dengan kepentingan penelitian. Data rumahtangga yang tersedia mencakup (1) data karakteristik rumahtangga, (2) data penguasaan lahan dan produksi usahatani, (3) data penggunaan sarana produksi, (4) data penggunaan tenaga kerja luar keluarga, (5) data penguasaan alat-alat pertanian, (6) penguasaan, produksi, biaya ternak dan kolam atau tambak, (7) biaya penguasaan ternak, serta produksi, (8) kegiatan anggota rumahtangga di dalam usahatani sendiri, (9) kegiatan anggota rumahtangga di luar usahatani sendiri, (10) anggota rumahtangga yang bekerja di luar sektor pertanian, (11) pengeluaran rumahtangga, (12) pinjam meminjam dan investasi, dan (13) data dampak krisis dan upaya mengatasinya. Kelompok data yang
105 disebut terakhir merupakan kumpulan data opini rumahtangga terhadap krisis ekonomi dan upaya mengatasinya. Seluruh data yang tersedia tersebut secara maksimal digunakan dalam penelitian ini, kecuali kelompok data yang disebut terakhir. Data yang tersedia sangat kompleks dan sangat rinci. Di satu sisi data seperti ini sangat informatif dalam menggambarkan fakta di lapangan, namun di sisi lain perlu upaya keras dalam pengelompokan data, terutama apabila ditujukan untuk analisis ekonometrik. 4.1.1. Data Produksi Salah satu kelompok yang cukup kompleks penyajiannya adalah data produksi usahatani. Data produksi ini sangat beragam antar unit rumahtangga, baik dari jenis komoditi, jenis dan kualitas produksi pada satu jenis komoditi yang sama, dan berbagai jenis satuan, baik yang konvensional (kilogram, kuintal, ton) maupun yang tidak konvensional (ikat, keranjang, kaleng, pikul, dan lain sejenisnya).
Produksi dengan
satuan yang tidak konvensional tersebut pada akhirnya dikonversi menjadi kilogram dengan memanfaatkan berbagai informasi yang tersedia. Pada penelitian ini informasi yang diutamakan untuk keperluan konversi adalah kesetaraan dalam nilai rupiah. Data produksi tersebut di atas akan digunakan pada penelitian ini untuk mengukur produk usahatani.
Mengingat sangat beragamnya komoditi yang dihasilkan setiap
rumahtangga, maka produk usahatani pada penelitian ini dinyatakan dalam nilai rupiah. Pada analisis selanjutnya, data produk usahatani ini dikelompokan menjadi tanaman pangan dan non-pangan. Nilai produk tanaman pangan akan digunakan sebagai peubah tak bebas (independent variable)
pada pendugaan fungsi produksi dan sebagai
penerimaan usahatani dari tanaman pangan dalam model persamaan simultan.
106 Penggunaan nilai produksi agregat sebagai peubah tak bebas dalam pendugaan fungsi produksi usahatani sering digunakan para peneliti, antara lain oleh Tampubolon (1988) dan Skoufias (1994). Pendugaan fungsi produksi menggunakan variabel tak bebas seperti ini memang tidak ideal.
Banyak aspek penting dari fungsi produksi tidak dapat
dijelaskan dengan sempurna. Namun demikian, terlepas dari banyak kekurangannya, pendugaan fungsi produksi menggunakan pendekatan tersebut masih berguna dalam menjawab persoalan-persoalan penelitian yang diajukan. Masih terkait dengan nilai agregat produk usahatani tersebut di atas, pada penelitian ini perlu juga dicari peubah harga produk usahatani. Harga yang dimakud adalah harga agregat atau harga komposit tanaman pangan. Pada penelitian ini dicari dengan menggunakan harga rata-rata tertimbang.
Misalkan harga per unit produk ke-i
adalah Pi dengan jumlah satuan Qi unit, maka harga komposit sejumlah tanaman pangan adalah • Pi (Vi/V), dimana Vi= PiQi dan V=• Vi. dengan pendekatan Laspeyres atau Paasche.
Idealnya, harga komposit diturunkan Namun, kedua pendekatan tersebut
memerlukan konsistensi komposisi komoditi antar petani. Manakala komoditi antar petani berubah jenisnya, pendekatan tersebut menjadi tidak bisa diterapkan. 4.1.2. Data Penggunaan Tenaga Kerja Data penggunaan tenaga kerja yang tersedia merupakan bagian yang paling kompleks. Data yang tersedia terdiri atas penggunaan tenaga kerja keluarga di dalam usahatani sendiri, penggunaan tenaga kerja keluarga di usahatani petani lain, penggunaan tenaga kerja keluarga di luar sektor pertanian, baik pada usaha keluarga sendiri maupun usaha bukan keluarga sendiri., dan penggunaan tenaga kerja luar keluarga pada usahatani sendiri. Penggunaan tenaga keluarga pada usahatani sendiri diartikan sebagai curahan
107 tenaga keluarga pada usahatani sendiri. Pada model persamaan simultan, data curahan kerja tersebut sebenarnya bisa dipandang sebagai permintaan tenaga kerja oleh usahatani sendiri atau sebagai penawaran tenaga kerja keluarga pada usahatani. Skoufias (1994) menggunakan data sejenis ini untuk menduga fungsi penawaran tenaga kerja keluarga pada usahatani.
Pada penelitian ini data tersebut cenderung lebih dekat kepada
permintaan tenaga kerja oleh usahatani sendiri, mengingat metode pengumpulan data tenaga keluarga tersebut didasarkan kepada pendekatan kebutuhan tenaga kerja usahatani, atau sebagai salah satu faktor produksi usahatani. Penggunaan tenaga kerja keluarga ke luar usahatani sendiri, dan ke luar sektor pertanian, pemahamannya lebih jelas kepada penawaran tenaga kerja keluarga ke dua sektor kegiatan tersebut.
Di sisi lain, penggunaan tenaga kerja luar keluarga untuk
kegiatan usahatani sendiri, dipahami sebagai permintaan tenaga kerja luar keluarga. Dilihat dari jenis tenaga kerja yang digunakan terdiri atas tenaga kerja pria, tenaga kerja wanita, tenaga kerja ternak, dan tenaga kerja traktor. Tenaga kerja ternak dan traktor terbagi lagi menurut status operator, operator dari dalam keluarga dan operator dari luar keluarga. Pada penelitian ini, tenaga kerja hanya dibagi menjadi tenaga kerja pria dan tenaga kerja wanita untuk tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar keluarga di masing-masing sektor kegiatan seperti telah disebutkan di atas. Tenaga kerja lainnya dimasukkan ke dalam pengeluaran lain dinyatakan dalam nilai rupiah. Upah kerja dihitung dengan membagi nilai upah total (tunai dan natura) dengan jumlah hari kerja dibedakan menjadi upah pria dan wanita. Nilai yang diperoleh dengan cara ini lebih tepat disebut sebagai nilai per unit atau unit value bukan sebagai harga atau upah (Deaton, 1998).
Pendekatan seperti ini menghasilkan upah kerja yang
108 bervariasi untuk setiap rumahtangga, sehingga upah kerja memungkinkan untuk digunakan dalam model ekonometrik. Keterbatasan pendekatan seperti ini adalah bahwa upah kerja sangat sensitif terhadap kesalahan pengukuran penggunaan tenaga kerja. Jika pendugaan penggunaan tenaga kerja bias ke atas dari yang seharusnya, tingkat upah akan cenderung lebih kecil, sehingga sering menyebabkan hubungan upah dengan curahan kerja menjadi negatif, padahal harapannya positif. Pengukuran upah kerja tersebut semakin kompleks manakala data upah dibedakan menjadi upah harian, upah borongan, ceblokan, dan lain-lain. Pada penelitian ini, upah kerja disetarakan sebagai upah harian. 4.1.3. Data Penggunaan Sarana Produksi Usahatani Sarana produksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pupuk kimia, pupuk kandang, obat-obatan, dan bibit atau benih. Pupuk kimia disederhanakan menjadi pupuk Urea dan TSP.
Jenis pupuk kimia lain, dikonversikan menjadi Urea atau TSP
berdasarkan kesetaraan kandungan hara kedua jenis pupuk tersebut. Jika ada jenis pupuk lain yang tidak mengandung hara yang dimaksud, maka jenis pupuk tersebut hanya diperhitungkan dalam biaya input lain. Pupuk kandang tidak dijadikan satu variabel khusus, tetapi diperhitungkan dalam nilai input lain.
Obat-obatan jenisnya sangat
beragam, terdiri atas obat berbentuk padat dan cair. Mengingat sangat beragamnya jenis obat-obatan ini, di dalam penelitian ini juga dijadikan satu menjadi nilai input lain. Demikian halnya dengan bibit atau benih, jenisnya sangat beragam sehingga dinyatakan sebagai nilai benih dalam rupiah, yang pada akhirnya masuk ke dalam kelompok input lain. Berdasarkan pengelompokkan data seperti di atas, data harga yang dapat diidentifikasi dengan baik adalah harga Urea dan TSP. Jika ada jenis pupuk lain yang
109 dikonversi ke Urea atau TSP, harga yang dimaksud diartikan sebagai nilai setara harga Urea atau TSP. 4.1.4. Pengeluaran Rumahtangga Data yang paling lengkap tersedia dengan baik dan dapat langsung dimanfaatkan adalah data pengeluaran rumahtangga. Pada penelitian ini pengeluaran rumahtangga dinyatakan dalam nilai rupiah pengeluaran per tahun. Jenis pengeluaran rumahtangga yang tersedia sebenarnya sangat rinci, namun pada penelitian ini data tersebut dikelompokkan menjadi (1) konsumsi pangan, (2) konsumsi kesehatan, (3) konsumsi pendidikan, dan (4) pengeluaran investasi rumahtangga. Pengeluaran konsumsi pangan dapat dikelompokkan lebih lanjut yaitu konsumsi pangan yang dibeli dari pasar dan pangan yang disediakan sendiri oleh rumahtangga dari berbagai sumber termasuk yang berasal dari usahatani sendiri. Pengeluaran investasi rumahtangga meliputi jenis pengeluaran untuk barang-barang atau peralatan rumahtangga jangka panjang, termasuk di dalamnya pengeluaran perbaikan atau rehabilitasi rumah.
Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa pengeluaran rumahtangga cenderung lebih besar dibandingkan dengan penerimaan rumahtangga. Kondisi ini akan mempengaruhi penentuan model ekonometrik, dimana menyeimbangkan antara pengeluaran dan penerimaan rumahtangga tidak dapat dilakukan. 4.1.5. Kelengkapan Data Data rumahtangga yang tersedia pada akhirnya akan digunakan untuk membangun model ekonometrik, terdiri atas model fungsi produksi dan model persamaan simultan. Pata tahap ini, kelengkapan data sangat menentukan, karena aturan umum dalam komputasi ekonometrik adalah bahwa setiap data yang hilang
110 (missing value) akan menyebabkan observasi yang mengandung data tersebut dianggap tidak ada. Pada penelitian ekonomi rumahtangga yang menggunakan data sekunder seperti pada penelitian ini, peluang satu observasi memiliki data yang hilang sangat besar. Artinya peluang satu observasi dihilangkan dalam komputasi ekonometrik juga sangat besar. Program SAS menawarkan alternatif pilihan metode mengisi data hilang, yaitu dengan Transreg, dan Multi-imputation. Kedua metode tersebut memang dapat mengisi data yang hilang, namun hasil yang diperoleh kurang memuaskan. Pada penelitian ini data yang hilang, dilakukan dengan mengisi angka kecil kepada seluruh observasi atau angka minimum yang ada pada keseluruhan amatan yang tidak mengganggu keseluruhan data. 4.1.6. Sebaran Rumahtangga Contoh Berdasarkan pendekatan pengukuran data di atas, jumlah rumahtangga petani yang memenuhi syarat berkurang menjadi 952 unit. Jumlah tersebut masih tersebar di 25 desa, di enam Propinsi seperti telah disebutkan di atas. Secara lengkap sebaran jumlah rumahtangga menurut Propinsi disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah Responden dan Jumlah Desa Menurut Propinsi Contoh. No.
Propinsi
1 Lampung 2 Jawa Tengah 3 Jawa Timur 4 Nusa Tenggara Barat 5 Sulawesi Utara 6 Sulawesi Selatan Total
Jumlah Desa 4 7 3 3 2 4 25
Jumlah Responden 178 223 147 155 74 175 952
Selanjutnya dari data rumahtangga yang tersedia dilakukan stratifikasi menurut luas lahan yang dikuasai. Rata-rata luas lahan yang dikuasai adalah 1.1660 hektar dengan
111 standard deviasi 1.4411. Strata dilakukan berdasarkan angka rata-rata ditambah atau dikurangi dengan setengah standard deviasi. Berdasarkan ketentuan tersebut diperoleh tiga strata yaitu strata rumahtangga petani berlahan sempit • 0.440 hektar berjumlah 322 unit, rumahtangga petani berlahan sedang > 0.440 hektar dan • 1.165 hektar berjumlah 317 unit, serta rumahtangga petani berlahan
luas >
1.165 hektar berjumlah 313 unit. Strata rumahtangga petani ditentukan berdasarkan luas lahan
yang dikuasai
dengan alasan bahwa luas lahan pada usahatani yang masih berbasis pada lahan akan mencerminkan banyak hal. Secara ekonomi luas lahan usahatani mencerminkan tingkat penguasaan aset dan skala usaha, yang mempunyai arti penting dalam menentukan penggunaan input usahatani, aksesibilitas pada pasar input dan pasar output, aksesibilitas pada informasi pasar dan teknologi, pendapatan rumahtangga, serta pada akhirnya bisa mencerminkan tingkat kesejahteraan ekonomi petani.
Luas penguasaan lahan juga
merupakan masalah (issues) penting dalam konteks pembangunan ekonomi perdesaan. 4.2. Perumusan Model Ekonometrika Model ekonomi rumahtangga yang telah diuraikan di muka masih perlu dikembangkan lebih lanjut untuk menangkap perilaku ekonomi rumahtangga yang kompleks. Model ekonomi yang dibangun dalam penelitian ini adalah model ekonomi rumahtangga menggunakan sistem persamaan simultan.
Model persamaan simulltan
dipilih karena dianggap dapat menggambarkan kompleksitas keterkaitan antar variabel ekonomi yang ada pada ekonomi rumahtangga petani. Secara teoritik jumlah variabel yang menggambarkan perilaku ekonomi rumahtangga petani tersebut tidak terbatas.
112 Namun demikian, karena keterbatasan data, model dibangun dengan menyeleksi data yang relevan dengan tujuan penelitian. Pada bagian ini akan diuraikan rumusan sejumlah persamaan struktural dan persamaan identitas. Setiap persamaan yang dibangun, disamping mempertimbangkan aspek teori, juga telah mempertimbangkan karakteristik data yang tersedia. Apabila secara teoritik suatu persamaan memerlukan variabel tertentu, tetapi data yang tersedia tidak memadai, maka diganti dengan variabel sejenis sebagai suatu bentuk pendekatan (proxy). Jika dalam pemilihan variabel-variabel penjelas ada ketidakcocokan dengan teori ekonomi, maka dilakukan transformasi, seperti transformasi dalam bentuk logaritma, pangkat, atau rasio. Dengan pendekatan seperti ini, model yang dibangun pada bagian ini sebenarnya adalah model persamaan simultan yang telah mengalami respesifikasi dan dianggap paling cocok dengan kondisi data yang tersedia. 4.2.1. Harga Bayangan Input Usahatani Seperti telah dijelaskan pada kerangka pemikiran bahwa harga bayangan pada penelitian ini dinyatakan dengan nilai produktivitas marjinal input usahatani.
Nilai
produktivitas marginal input usahatani diturunkan dari fungsi produksi usahatani. Oleh karena itu, untuk menduga harga bayangan input memerlukan pendugaan fungsi produksi usahatani. Secara teoritik, besaran harga bayangan di dalam pengertian ini akan sangat tergantung pada teknologi produksi yang dipilih, atau tergantung pada bentuk fungsi produksi yang dibangun. Banyak pilihan bentuk produksi yang dapat dibangun, namun pada penelitian ini perlu dicari bentuk fungsi produksi yang menghasilkan harga bayangan, dimana harga bayangan tersebut tergantung dari tngkat penggunaan input sendiri dan seperangkat penggunaan input lainnya. Oleh karena itu perlu dicari bentuk
113 fungsi produksi yang fleksibel tetapi masih tetap memenuhi kaidah-kaidah fungsi produksi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kegiatan produksi usahatani tanaman pangan sangat beragam, sehingga diperlukan agregasi produksi dalam bentuk nilai produk total.
Fungsi produksi yang paling mungkin dibentuk berupa fungsi
produksi komposit. Bentuk fungsi produksi yang paling fleksibel adalah ini adalah fungsi produksi Translog. Produksi tanaman pangan diduga dipengaruhi oleh penggunaan tenaga kerja, pupuk, dan input lain. Tenaga kerja dibagi menurut tenaga kerja pria dan wanita, serta tenaga kerja dalam dan luar keluarga. Pupuk merupakan pupuk kimia. Semula terdiri atas pupuk Urea dan TSP. Namun dalam pengolahan mengharuskan penggabungan pupuk TSP dengan nilai input lain. Nilai input lain terdiri atas nilai pupuk TSP, benih, obat-obatan, dan berbagai input pupuk lain dinyatakan dalam nilai rupiah. Dengan demikian, fungsi produksi translog terdiri atas tujuh variabel. Untuk memudahkan penyajian, fungsi produksi transog tersebut disajikan sebagai berikut:
LnY=SA0 + dimana :
7
• SAi(LnXi) i=1
7
7
+ ½ • • SAij(LnXi)(LnXj) + ç1 i=1 j=1
Y =VPROD : Nilai produk total tanaman pangan (ribuan rupiah) X1=TKPD : Tenaga kerja pria dalam keluarga (hari kerja) X2=TKWD : Tenaga kerja wanita dalam keluarga (hari kerja) X3=TKPL : Tenaga kerja pria luar kelurga (hari kerja) X4=TKWL : Tenaga kerja wanita luar keluarga (hari kerja) X5=PURE : Pupuk Urea (kg) X6=LGARP : Lahan garapan (ha) X7=INPL : Nilai input lain (ribuan rupiah) SA=Koefisien fungsi produksi ç = Variabel pengganggu Retriksi simetri: SAij=SAji
114 Harga bayangan input (nilai produk marginal) diturunkan dari fungsi produksi di atas.
Nilai produktivitas marjinal adalah perkalian antara harga produk dengan
produktivitas marjinal. Tetapi karena fungsi produksi translog dinyatakan dalam nilai rupiah, maka produktivitas marjinal sekaligus menggambarkan nilai produktivitas marjinal input atau harga bayangan input. Harga bayangan input ke-i dihitung dengan rumus • Y/•X i=Fi(Xi/Y), dimana Fi merupakan turunan pertama fungsi translog terhadap input ke-i, Y merupakan dugaan nilai Y pada setiap observasi. Harga bayangan input terdiri atas harga bayangan tenaga kerja pria dan wanita dalam keluarga, tenaga kerja pria dan wanita luar keluarga, pupuk Urea, dan lahan garapan. Harga bayangan untuk input lainnya tidak dihitung mengingat variabel tersebut dinyatakan dalam satuan rupiah. Secara matematik harga bayangan input tersebut dinyatakan sebagai berikut: SWP =(SA1+SA11*Ln(TKPD)+SA12*Ln(TKWD)+SA13*Ln(TKPL)+ SA14*Ln(TKWL)+SA15*Ln(PURE)+SA16*Ln(LGARP)+ SA17*Ln(INPL))*(VPROD)/(TKPD) SWW =(SA2+SA12*Ln(TKPD)+SA22*Ln(TKWD)+SA23*Ln(TKPL)+ SA24*Ln(TKWL)+SA25*Ln(PURE)+SA26*Ln(LGARP)+ SA27*Ln(INPL))*(VPROD)/(TKWD) SWPL=(SA3+SA13*Ln(TKPD)+SA23*Ln(TKWD)+SA33*Ln(TKPL)+ SA34*Ln(TKWL)+SA35*Ln(PURE)+SA36*Ln(LGARP)+ SA37*Ln(INPL))*(VPROD)/(TKPL) SWWL=(SA4+SA14*Ln(TKPD)+SA24*Ln(TKWD)+SA34*Ln(TKPL)+ SA44*Ln(TKWL)+SA45*Ln(PURE)+SA46*Ln(LGARP)+ SA47*Ln(INPL))*(VPROD)/(TKWL)
115 SPU =(SA5+SA15*Ln(TKPD)+SA25*Ln(TKWD)+SA35*Ln(TKPL)+ SA45*Ln(TKWL)+SA55*Ln(PURE)+ SA56*Ln(LGARP)+ SA57*Ln(INPL))*(VPROD)/(PURE) SPL =(SA6+SA16*Ln(TKPD)+SA26*Ln(TKWD)+SA36*Ln(TKPL)+ SA46*Ln(TKWL)+SA56*Ln(PURE)+SA66*Ln(LGARP)+ SA67*Ln(INPL))*(VPROD)/(LGARP) dimana: SWP
= Harga (upah) bayangan tenaga kerja pria dalam keluarga (ribu rupiah/hari kerja) SWW = Harga (upah) bayangan tenaga kerja wanita dalam keluarga (ribu rupiah/hari kerja) SWPL = Harga (upah) bayangan tenaga kerja pria luar keluarga (ribu rupiah) SWWL = Harga (upah) bayangan tenaga kerja wanita luar keluarga (ribu rupiah) SPU = Harga bayangan pupuk Urea (ribu rupiah/kg) SPL = Harga bayangan lahan (ribu rupiah/ha) Variabel lain telah didefinisikan di atas. Pada kerangka pemikiran telah dikemukakan bahwa ketidaksempurnaan pasar dinyatakan dalam pasar tenaga kerja dalam keluarga dan lahan garapan. Terkait dengan itu, sebenarnya harga bayangan yang diperlukan dalam penelitian ini hanya harga bayangan tenaga kerja dalam keluarga (pria dan wanita) dan harga bayangan lahan. Namun demikian, harga bayangan lainnya yang dapat diturunkan dari fungsi produksi translog tersebut di atas, tetap dihitung untuk menganalisis harga bayangan itu sendiri dibandingkan dengan harga pasar. 4.2.2. Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja Pada bagian ini dirumuskan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga untuk usahatani, permintaan tenaga kerja luar keluarga, dan penawaran tenaga kerja di luar usahatani.
116 Masing-masing dibedakan menurut tenaga kerja pria dan tenaga kerja wanita. Pada model ekonomi rumahtangga petani, tenaga kerja dalam keluarga bisa dilihat sebagai curahan kerja keluarga pada usahatani atau penggunaan tenaga kerja keluarga pada usahatani. Secara teoritik curahan kerja keluarga merupakan penawaran tenaga kerja keluarga pada kegiatan usahatani sendiri, sedangkan penggunaan tenaga kerja dipandang sebagai permintaan usahatani sendiri terhadap tenaga kerja keluarga. Pada penelitian ini, fungsi penggunaan tenaga kerja dalam keluarga yang diduga lebih banyak berciri sebagai permintaan tenaga kerja keluarga, karena data yang ada diukur berdasarkan kebutuhan usahatani terhadap tenaga kerja keluarga. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga pada usahatani sendiri secara tegas dapat dinyatakan sebagai permintaan rumahtangga terhadap tenaga kerja luar keluarga. Demikian halnya dengan tenaga kerja keluarga yang bekerja di luar usahatani dapat dinyatakan dengan tegas sebagai penawaran tenaga kerja rumahtangga di luar usahatani. Seperti telah disebutkan di muka bahwa variabel yang diduga berpengaruh pada permintaan dan penawaran tenaga kerja merupakan hasil respesifikasi berulang kali. Masing masing dirumuskan sebagai berikut: a. Penggunaan Tenaga Kerja Pria Dalam Keluarga Penggunaan tenaga kerja keluarga pria di dalam usahatani diduga dipengaruhi oleh harga bayangan tenaga kerja pria dalam keluarga, luas garapan, tenaga kerja pria luar keluarga, pupuk Urea, pupuk TSP dan indeks diversifikasi.
Kehadiran harga
bayangan dalam penggunaan tenaga kerja dalam keluarga ini merupakan spesifikasi khusus model persamaan simultan pada penelitian ini, yaitu untuk menangkap adanya ketidaksempurnaan pasar tenaga kerja yang dihadapi rumahtangga.
Variabel luas
117 garapan dibuat rasio dengan variabel tenaga kerja luar keluarga.
Secara matematik
persamaan penggunaan tenaga kerja pria dinyatakan sebagai berikut : TKPD = A10+A11*SWP+A12*(LGARP/TKPL)+A13*PURE+A14*PTSP+ A15*DIVE + ç8 dimana: DIVE adalah indeks diversifikasi tanaman pangan. Indeks diversifikasi dihitung menggunakan rumus 1- • (V i/VT), dimana VT=• V i. Vi adalah nilai produk tanaman pangan ke-i. Rumus tersebut dikenal dengan Indeks diversifikasi Simpson. Sebagai fungsi permintaan tenaga kerja, koefisien harga bayangan tenaga kerja A11 diduga akan bertanda negatif. A12 diharapkan akan bertanda positif, karena semakin luas lahan garapan, kebutuhan tenaga kerja pria dalam keluarga akan semakin banyak. Sebaliknya, semakin banyak penggunaan tenaga kerja pria dari luar keluarga, angka rasio akan semakin kecil, karenanya penggunaan tenaga kerja pria dalam keluarga akan semakin sedikit. Koefisien A13 diharapkan akan bertanda positif, karena penggunaan pupuk Urea diduga akan meningkatkan kebutuhan tenaga kerja keluarga. Hal yang sama juga diharapkan terjadi pada A14 untuk penggunaan pupuk TSP. Indeks diversifikasi menggambarkan variasi sumber penerimaan usahatani menurut jenis komoditi yang diusahakan. Pada rumahtangga petani tanaman pangan, jenis komoditi yang diusahakan sangat beragam.
Keragaman komoditi diduga
merupakan bagian dari upaya menekan resiko produksi. Jika satu komoditi gagal, maka rumahtangga petani masih bisa memperoleh pendapatan dari komoditi lain. Pengaruh indeks diversifikasi secara teoritik tidak dapat diduga.
Apabila secara empirik
diversifikasi menyebabkan penggunaan tenaga kerja pria dalam keluarga lebih efisien, maka tanda A14 akan negatif, sebaliknya akan positif.
118 b. Penggunaan Tenaga Kerja Wanita Dalam Keluarga Penggunaan tenaga kerja wanita dalam keluarga diduga dipengaruhi oleh variabel harga bayangan tenaga kerja wanita dalam keluarga, luas garapan, penggunaan pupuk Urea, penggunaan pupuk TSP, penggunaan tenaga kerja wanita luar keluarga, dan indeks diversifikasi.
Secara matematik persamaan penggunaan tenaga kerja wanita dalam
keluarga dinyatakan sebagai berikut: TKWD = A20+A21*SWW+A22*(LGARP/TKWL)+A23*PURE+A24*PTSP +A25*DIVE + ç9
Dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa variabel-variabel yang diduga mempengaruhi penggunaan tenaga kerja wanita dalam keluarga identik dengan variabel yang diduga mempengaruhi penggunaan tenaga kerja pria dalam keluarga.
Dengan
demikian, tanda koefisien setiap variabel juga diharapkan sama, yaitu A21 diharapkan bertanda negatif, sedangkan A22, A23, A22, dan A24 diharapkan bertanda positif. A26 secara teoritik tidak dapat diduga. c. Permintaan Tenaga Kerja Pria Luar Keluarga Penggunaan tenaga kerja luar keluarga untuk kegiatan usahatani pada ekonomi rumahtangga petani secara tegas dapat dipandang sebagai permintaan rumahtangga terhadap tenaga kerja luar keluarga. Pada penelitian ini permintaan tenaga kerja pria luar keluarga dipengaruhi oleh upah buruh pria di usahatani, luas garapan, penggunaan tenaga kerja pria dalam keluarga, total penerimaan usahatani, dan kredit. Secara matematik persamaan permintaan tenaga kerja pria luar keluarga dinyatakan sebagai berikut: TKPL = A30+A31*UHP+A32*(LGARP/TKPD)+A33*TFRET
119 +A34*CREDIT+ ç10 dimana: TFRET = VPROD+PTERN TFRET = Penerimaan total usahatani VPROD = Nilai produk total tanaman pangan CREDIT = Kredit. Variabel lain sudah dijelaskan di atas. Permintaan tenaga kerja pria luar keluarga diharapkan akan dipengaruhi oleh upah buruh usahatani pria yang dibayarkan oleh keluarga. Secara teoritis, semakin mahal upah yang harus dibayarkan, semakin sedikit jumlah permintaan tenaga kerja tersebut. Oleh karena itu A31 diharapkan bertanda negatif. Penggunaan tenaga kerja pria dalam keluarga merupakan substitut tenaga kerja luar keluarga. Semakin banyak jumlah tenaga kerja pria dalam keluarga yang digunakan, permintaan tenaga kerja pria luar keluarga akan semakin sedikit. Sebaliknya, penggunaan tenaga kerja pria luar keluarga akan semakin banyak jika luas garapan semakin luas. Hubungan ini menyebabkan tanda A32 pada persamaan di atas diharapkan positif. Nilai penerimaan total usahatani merupakan sumber dana yang dapat digunakan rumahtangga untuk keperluan membayar tenaga kerja luar keluarga. Semakin besar penerimaan total usahatani, dana yang tersedia bagi rumahtangga untuk menyewa tenaga kerja luar keluarga semakin besar.
Dengan demikian A33 pada persamaan di atas
diharapkan bertanda positif. Seperti halnya penerimaan usahatani, kredit merupakan sumber dana bagi rumahtangga. Semakin besar kredit, jumlah dana yang tersedia semakin besar, sehingga keluarga mempunyai kesempatan lebih banyak untuk menggunakan tenaga kerja luar
120 keluarga. Dengan demikian A34
pada persamaan di atas juga diharapkan bertanda
positif. d. Permintaan Tenaga Kerja Wanita Luar Keluarga Permintaan rumahtangga petani terhadap tenaga kerja wanita luar keluarga diduga dipengaruhi oleh upah buruh usahatani wanita, penggunaan tenaga kerja wanita dalam keluarga, luas lahan garapan, dan kredit.
Secara matematik persamaan permintaan
tenaga kerja wanita luar keluarga dinyatakan sebagai berikut: TKWL = A40+A41*UHW+A42*(LGARP/TKWD)+A43*TFRET +A44*CREDIT + ç11 Dengan pemikiran yang sama seperti pada perumusan persamaan permintaan tenaga kerja pria luar keluarga di atas, tanda A41, A42, A43 dan A44 diharapkan akan bertanda negatif. e. Penawaran Tenaga Kerja Pria di Luar Usahatani Aktivitas keluarga di luar usahatani sendiri dapat dipandang sebagai penawaran tenaga kerja rumahtangga petani. Pada penelitian ini, aktivitas keluarga di luar usahatani sendiri meliputi seluruh kegiatan di sektor pertanian (bekerja di usahatani orang lain) dan kegiatan di luar sektor pertanian. Di luar sektor pertanian meliputi kegiatan kerja di usaha milik sendiri dan milik orang lain. Penggabungan seperti ini mengalami kesulitan terutama untuk menentukan upah untuk kegiatan keluarga pada usaha milik sendiri yang tidak dibayar. Pendekatan tingkat upah pada kasus seperti ini dilakukan dengan ukuran return to family labor sebagai nilai setara upah. Penawaran tenaga kerja pria di luar sektor pertanian diduga dipengaruhi oleh upah tenaga kerja pria di luar sektor pertanian, penggunaan tenaga kerja pria diluar usahatani
121 sendiri, angkatan kerja pria dalam rumahtangga, penerimaan usahatani, dan indeks pendidikan anggota keluarga pria.
Indeks pendidikan diukur dengan rata-rata tahun
belajar anggota keluarga, dimana tahun belajar Sekolah Dasar (SD) diberi bobot satu, tahun belajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan yang sederajat diberi bobot pangkat dua, Sekolah Menengah Umum (SMU) dan yang sederajat diberi bobot pangkat tiga, dan tahun belajar di perguruan tinggi diberi bobot pangkat empat. Persamaan penawaran tenaga kerja pria di luar usahatani disajikan sebagai berikut: KPNFF = A50+A51*UPNFF+A52*TKPD+A53*TKRTP+A54*TFRET+ A55*IPAKP + ç12 dimana: KPNFF = Kerja pria di luar usahatani (hari kerja) UPNFF = Upah buruh di luar usahatani sendiri (ribu rupiah/hari kerja) TKRTP = Angkatan kerja pria dalam rumahtangga (orang) TFRET = Penerimaan total usahatani (ribu rupiah) IPAKP = Indeks pendidikan angkatan kerja pria Variabel lain sudah dijelaskan di atas. Jika persamaan di atas benar merupakan penawaran tenaga kerja pria di luar usahatani sendiri, maka semakin tinggi tingkat upah tenaga pria, penawaran tenaga kerja akan semakin tinggi. Karena itu tanda A51 pada persamaan di atas diharapkan bertanda positif. Penggunaan tenaga kerja pria dalam keluarga pada usahatani akan mengurangi penawaran tenaga kerja pria di luar usahatani sendiri.
Oleh karena itu A52 pada
persamaan di atas diharapkan akan bertanda negatif. Sebaliknya jumlah angkatan kerja pria di dalam rumahtangga akan menjadi sumber tenaga kerja potensial. Tanda A53 pada persamaan di atas diharapkan positif. Penerimaan dari usahatani sendiri merupakan sumber alternatif pendapatan bagi keluarga. Makin tinggi penerimaan keluarga dari
122 usahatani sendiri, ketergantungan pendapatan dari luar usahatani sendiri akan semakin berkurang. Oleh karena itu tanda A54 diharapkan negatif. Indeks pendidikan anggota rumahtangga menggambarkan tingkat pendidikan keluarga secara agregat.
Pengaruh
pendidikan tersebut terhadap penawaran tenaga kerja keluarga di luar sektor pertanian sebenarnya tidak bisa diduga. Namun jika diasumsikan bahwa lapangan kerja di luar usahatani sendiri memerlukan keahlian dan pendidikan lebih tinggi, maka tanda A55 diharapkan positif. f. Penawaran Tenaga Kerja Wanita di Luar Usahatani Formulasi persamaan penawaran tenaga kerja wanita di luar usahatani sendiri identik dengan persamaan penawaran tenaga kerja pria di luar usahatani sendiri seperti telah dijelaskan di atas. Perbedaan terletak pada jenis kelamin tenaga kerja tersebut. Secara matematik persamaan penawaran tenaga kerja wanita di luar usahatani sendiri disajikan sebagai berikut: KWNFF = A60+A61*UWNFF+A62*TKWD+A63*TKRTW+A64*TFRET+ A65*IPAKW + ç13 dimana: KWNFF = Kerja wanita di luar usahatani (hari kerja) UWNFF = Upah buruh wanita di luar usahatani sendiri (ribu rupiah/hari kerja) TKRTW = Angkatan kerja wanita dalam rumahtangga (orang) IPAKW = Indeks pendidikan angkatan kerja wanita Variabel lain sudah dijelaskan di atas. Dari persamaan di atas dapat dihipotesiskan bahwa A61, A63, dan A65 diharapkan bertanda positif, sedangkan A62 dan A64 diharapkan bertanda negatif. Argumentasi terhadap hipotesis ini telah dijelaskan di atas. 4.2.3. Permintaan Pupuk
123 Jenis pupuk yang digunakan pada kegiatan usahatani pada penelitian ini sebenarnya sangat banyak, berupa pupuk kimia padat dan cair, serta pupuk organik. Namun demikian, untuk keperluan analisis perilaku ekonomi rumahtangga akan disoroti dua jenis pupuk yang dianggap penting secara ekonomi yaitu pupuk Urea dan TSP. Kedua jenis pupuk ini penting dipelajari mengingat sering menjadi instrumen kebijakan pemerintah. Permintaan kedua jenis pupuk tersebut dirumuskan sebagai berikut: a. Permintaan Pupuk Urea Permintaan
pupuk Urea dalam penelitian ini diduga dipengaruhi oleh harga
pupuk Urea, penerimaan usahatani, luas lahan garapan, ivestasi usahatani dan kredit. Secara matematik persamaan penggunaan pupuk Urea dinyatakan sebagai berikut: PURE = B10+B11*HURE+B12*TFRET+B13*LGARP+B14*CREDIT+ C15*INVUT + ç14 dimana: PURE = Penggunaan pupuk Urea (kg) HURE = Harga Urea (ribu rupiah/kg) INVUT = Investasi pada usahatani (ribu rupiah) Variabel lain sudah dijelaskan di atas. Persamaan di atas merupakan permintaan rumahtangga terhadap pupuk Urea. Dengan demikian, semakin tinggi harga pupuk Urea, permintaan pupuk Urea akan semakin sedikit. Secara teoritik berarti tanda B11 diharapkan negatif. Faktor penting lain yang menentukan permintaan pupuk Urea adalah penerimaan usahatani. Penerimaan usahahatani merupakan proksi dari pendapatan. Semakin tinggi penerimaan usahatani, permintaan pupuk Urea semakin besar. Dengan demikian, secara teoritik B12 diharapkan bertanda positif. Hal yang sama juga untuk B13 diharapkan bertanda positif, karena
124 semakin luas lahan yang digarap akan semakin banyak membutuhkan pupuk Urea. Kredit diposisikan sebagai sumber dana untuk membeli pupuk Urea. Semakin besar kredit semakin besar dana yang tersedia di rumahtangga dan semakin besar permintaan pupuk Urea. Oleh karena itu B14 diharapkan bertanda positif. Investasi pada usahatani (INVUT) dalam model ekonomi rumahtangga yang menggunakan data kerat lintang merupakan bentuk pengeluaran usahatani untuk keperluan jangka panjang. Investasi usahatani dalam bentuk pengeluaran akan berhubungan negatif dengan penggunaan pupuk Urea. Oleh karena itu, C15 diharapkan akan bertanda negatif. b. Permintaan Pupuk TSP Searah dengan permintaan pupuk Urea, permintaan pupuk TSP diduga dipengaruhi oleh harga pupuk TSP, penerimaan usahatani, luas lahan garapan, investasi usahatani dan kredit. Secara matematik permintaan persamaan pupuk TSP disajikan sebagai berikut: PTSP = B20+B21*HTSP+B22*TFRET+B23*LGARP+B24*CREDIT + B25*INVUT+ ç15 dimana: PTSP = Permintaan pupuk TSP (kg) HTSP = Harga pupuk TSP (ribu rupiah/kg) Variabel lain sudah dijelaskan di atas. Hipotesis apriori yang menyertai fungsi permintaan pupuk TSP identik dengan hipotesis apriori yang dijelaskan pada persamaan permintaan pupuk Urea di atas. Menurut persamaan di atas B21 dan B25 diharapkan bertanda negatif, sedangkan B22, B23, dan B24, diharapkan akan bertanda positif. 4.2.4. Luas Lahan Garapan
125 Luas lahan garapan mencerminkan intensitas pemanfaatan lahan yang dikuasai petani selama satu tahun. Semakin tinggi luas lahan garapan artinya lahan yang dikuasai petani dimanfaatkan secara intensif untuk pengusahaan tanaman pangan. Luas lahan garapan ini tentunya bisa lebih luas dari luas lahan yang dikuasai. Jika misalnya satu tahun lahan usahatani yang dikuasai digarap dua kali atau dua musim tanam, maka luas lahan garapan akan dua kali luas lahan yang dikuasai. Pada penelitian ini luas lahan garapan diduga akan dipengaruhi oleh harga bayangan lahan, harga produk, penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, luas lahan yang dikuasai, dan nilai pupuk kimia. Kehadiran harga bayangan pada luas lahan garapan merupakan spesifikasi khusus model persamaan simultan pada penelitian ini, seperti pada penggunaan tenaga kerja dalam keluarga,
yaitu untuk menangkap adanya kendala
rumahtangga dalam mengakses pasar lahan. Secara matematik persamaan luas lahan garapan dinyatakan sebagai berikut: LGARP = B30+B31*SPL+B32*HPROD+B33*TKD+B34*LTOTA+ B35*NPKIM+ ç16 dimana: LGARP = Luas lahan garapan (hektar) TKD = TKPD + TKWD NPKIM = PURE*HURE+PTSP*HTSP HPROD = Harga produksi komposit (rupiah/kilogram) TKD = Tenaga kerja dalam keluarga pria dan wanita (hari kerja) LTOTA = Total lahan yang dikuasai (Ha) Variabel lain sudah dijelaskan di atas. Harga produk merupakan harga komposit produk tanaman pangan yang dihitung dengan rata-rata tertimbang.
Tenaga kerja dalam keluarga merupakan penjumlahan
penggunaan tenaga kerja pria dan wanita dalam keluarga. Dari persamaan di atas, harga
126 bayangan lahan diharapkan akan berpengaruh negatif terhadap luas lahan, sehingga B31 diharapkan akan bertanda negatif. Sebaliknya tanda B32 sampai dengan B35 diharapkan akan positif. 4.2.5. Produk Usahatani yang Dikonsumsi Produk usahatani yang dikonsumsi merupakan bagian produk usahatani yang tidak dijual dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Pada penelitian ini, produk usahatani yang dikonsumsi diduga dipengaruhi oleh penerimaan usahatani, jumlah anggota rumahtangga, dan konsumsi pangan yang dibeli dari pasar.
Secara
matematik persamaan yang dimaksud dinyatakan sebagai berikut: KONPT = B40+B41*TFRET+B42*ARTOT+B43*CPANB + ç17 dimana: KONPT = Produk usahatani yang dikonsumsi (ribu rupiah) ARTOT = Anggota rumahtangga pria dan wanita (orang) CPANB = Nilai konsumsi pangan yang dibeli di pasar (ribu rupiah) Variabel lain sudah dijelaskan di atas. Besar produk usahatani yang dikonsumsi akan dipengaruhi oleh penerimaan usahatani. Semakin besar nilai penerimaan usahatani diharapkan produk usahatani yang dikonsumsi akan semakin besar pula. Dengan demikian, tanda B41 diharapkan akan positif. Jumlah anggota rumahtangga juga akan berpengaruh positif terhadap produk usahatani yang dikonsumsi, karena dengan meningkatnya jumlah anggota rumahtangga, maka kebutuhan konsumsi rumahtangga akan meningkat, sehingga bagian konsumsi yang dipenuhi dari produk usahatani sendiripun diperkirakan akan meningkat. Oleh karena itu, B42 diharapkan akan bertanda positif. Sebaliknya, konsumsi pangan yang dibeli dari pasar merupakan barang pengganti produk usahatani yang dikonsumsi. Semakin banyak
127 kebutuhan konsumsi pangan yang dipenuhi dari pasar akan menekan jumlah produk usahatani yang dikonsumsi. Dengan demikian B43 diharapkan akan bertanda negatif. 4.2.6. Investasi Investasi merupakan pengeluaran rumahtangga untuk keperluan pengadaan atau perbaikan barang-barang berjangka panjang. Di dalam penelitian ini investasi dibedakan menjadi investasi pada usahatani dan investasi untuk keperluan rumahtangga. Barang yang terbentuk dari investasi tersebut terakumulasi dalam bentuk barang modal atau aset rumahtangga. Kedua investasi tersebut dirumuskan sebagai berikut: a. Investasi Usahatani Investasi usahatani merupakan pengeluaran usahatani dalam bentuk pembelian alat-alat pertanian, perbaikan lahan, dan perbaikan atau pembuatan bangunan pertanian. Investasi ini sangat diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan nilai aset tetap usahatani.
Investasi usahatani diduga dipengaruhi oleh total penerimaan usahatani,
pengeluaran usahatani yang terdiri atas pengeluaran upah untuk tenaga kerja luar keluarga dan pengeluaran tunai usahatani di luar upah, dan investasi untuk rumahtangga. Secara matematik dinyatakan sebagai berikut: INVUT = C10+C11*TFRET+C12*NTKL+C13*CASHI+C14*INVRT + ç18 dimana: NTKL = TKPL*UHP + TKWL*UHW CASHI = PURE*HURE + INPL INPL = PTSP*HTSP + NINL INVUT = Investasi usahatani (ribu rupiah) NTKL = Nilai tenaga kerja luar keluarga (ribuan rupiah) CASHI = Nilai input usahatani tunai di luar upah (ribu rupiah) INVRT = Nilai pengeluaran untuk investasi rumahtangga (ribu rupiah) INPL = Nilai input lain selain Urea (ribu rupiah) NINL = Nilai input lain selain Urea dan TSP (ribu rupiah) Variabel lain sudah dijelaskan di atas.
128
Penerimaan total usahatani sengaja dipilih bukan pendapatan bersih usahatani, dengan pemikiran bahwa keputusan investasi pada usahatani dilakukan dengan cara menyisihkan sebagian penerimaan usahatani, bersama-sama dengan penyisihan dana untuk pengeluaran rutin usahatani. Penerimaan total usahatani diharapkan akan berpengaruh positif terhadap investasi usahatani, sehingga C11 diharapkan bertanda positif. Sebaliknya pengeluaran usahatani, dalam bentuk pengeluaran upah tenaga kerja luar keluarga dan pengeluaran tunai di luar tenaga kerja merupakan pengeluaran rutin usahatani dalam kegiatan sehari-hari. Semakin besar pengeluaran-pengeluaran tersebut, menyebabkan dana yang disisihkan untuk investasi usahatani akan semakin kecil. Dengan demikian C12 diharapkan bertanda negatif.
Investasi untuk keperluan
rumahtangga diharapkan berpengaruh negatif pada investasi usahatani, karena investasi untuk keperluan rumahtangga seharusnya bersaing dengan investasi untuk keperluan usahatani, dengan asumsi jumlah dana yang tersedia di rumahtangga terbatas. Dengan demikian C13 diharapkan bertanda positif, sedangkan C14 diharapkan bertanda negatif. b. Investasi Rumahtangga Selain investasi usahatani, investasi penting lain yang perlu dipelajari adalah investasi rumahtangga. Investasi ini berupa pengeluaran rumahtangga untuk membeli barang-barang tahan lama, seperti peralatan rumahtangga, dan perbaikan rumah tempat tinggal keluarga tani. Investasi rumahtangga ini diduga dipengaruhi oleh pendapatan dari luar usahatani, penerimaan tunai usahatani, kredit, dan investasi usahatani.
Secara
matematik persamaan investasi rumahtangga tersebut dinyatakan sebagai berikut: INVRT = C20+C21*NFINC+C22*CASHO+C23*CREDIT+C24*INVUT + ç19
129 dimana: CASHO = TFRET – KONPT NFINC = Pendapatan luar usahatani sendiri (ribuan rupiah) CASHO = Nilai produk usahatani yang dijual (ribuan rupiah) KONPT = Produk usahatani yang dikonsumsi (ribu rupiah) Variabel lain sudah dijelaskan di atas. Pendapatan dari luar usahatani dan penerimaan tunai usahatani merupakan sumber dana yang masuk ke rumahtangga petani. Diharapkan ada sebagian dana yang berasal dari kedua sumber dana tersebut yang disisihkan untuk investasi rumahtangga. Semakin besar dana yang tersedia dari sumber dana tersebut, investasi rumahtangga akan semakin besar. Oleh karena itu, C21 dan C22 diharapkan bertanda positif. Kredit yang dipinjam rumahtangga diharapkan berpengaruh positif terhadap investasi rumahtangga, karena kredit merupakan salah satu sumber dana yang dapat digunakan untuk membiayai investasi tersebut. Dengan demikian, C23 diharapkan bertanda positif. Di sisi lain, jika rumahtangga juga memutuskan untuk investasi di usahatani, maka pengeluaran rumahtangga untuk investasi di usahatani ini akan berlawanan dengan investasi di rumahtangga. Oleh karena itu, dengan asumsi total dana yang tersedia di rumahtangga terbatas, maka C24 diharapkan akan bertanda negatif. 4.2.7. Konsumsi Rumahtangga Konsumsi rumahtangga merupakan penggunaan beragam barang pangan dan nonpangan untuk keperluan sehari-hari. Kebutuhan barang-barang tersebut dipenuhi dengan membeli dari pasar atau yang dihasilkan sendiri oleh rumahtangga melalui kegiatan produksi di usahatani sendiri.
Secara umum, jenis konsumsi ini dapat dikelompokkan
menjadi konsumsi pangan dan konsumsi non-pangan. Konsumsi pangan meliputi beras atau makanan pokok sejenisnya, bumbu dapur, sayuran, daging, dan beragam lauk-pauk lainnya. Konsumsi non-pangan meliputi bahan bakar, sabun cuci, sabun mandi, dan lain-
130 lain. Pada penelitian ini yang dapat dirumuskan sebagai persamaan struktural adalah konsumsi pangan yang dibeli dari pasar dan konsumsi non-pangan. Kedua persamaan tersebut dirumuskan sebagai berikut: a. Konsumsi Pangan yang Dibeli Dari Pasar Konsumsi pangan yang dibeli dari pasar mencerminkan kebutuhan rumahtangga terhadap uang tunai untuk belanja kebutuhan pangan.
Pada penelitian ini, konsumsi
pangan yang dibeli dari pasar diduga dipengaruhi oleh pendapatan luar usahatani, pengeluaran rumahtanggga untuk pendidikan dan kesehatan, penerimaan tunai usahatani, investasi rumahtangga, dan anggota rumahtangga.
Secara matematik, persamaan
konsumsi pangan yang dibeli dinyatakan sebagai berikut: CPANB = C30+C31*(NFINC/CPKES)+C32*CASHO/INVRT+C33*ARTOT + ç20 dimana: CPANB = Konsumsi pangan yang dibeli (ribu rupiah) CPKES = Pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan (ribuan rupiah) Pendapatan dari luar usahatani merupakan sumber dana bersama-sama dengan penerimaan tunai usahatani. Semakin besar sumber dana tersebut, secara teoritik rumahtangga akan semakin mampu memenuhi kebutuhan konsumsi pangan yang dibeli dari pasar. Pengeluaran rumahtangga untuk pendidikan dan kesehatan akan berpengaruh negatif terhadap konsumsi pangan yang dibeli dari pasar, karena dengan asumsi ada keterbatasan dana pada rumahtangga, semakin banyak pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan akan menekan pengeluaran untuk konsumsi pangan yang dibeli. Berdasarkan pemikiran tersebut, C31 diharapkan bertanda positif.
131 Penerimaan tunai usahatani diharapkan akan berpengaruh positif terhadap pengeluaran rumahtangga untuk pangan yang dibeli dari pasar, karena penerimaan tunai usahatani merupakan sumber dana bagi rumahtangga. Sebaliknya, investasi untuk rumahtangga merupakan bentuk pengeluaran lain yang bersaing dengan kebutuhan konsumsi pangan yang dibeli dari pasar. Kedua variabel tersebut dinyatakan dalam bentuk rasio. Dengan demikian, diharapkan C32 diharapkan bertanda positif. Hal yang sama juga untuk jumlah anggota rumahtangga diharapkan bertanda positif, karena semakin banyak jumlah anggota rumahtangga, kebutuhan konsumsi pangan akan semakin meningkat. Jika pangan yang disediakan dari usahatani sendiri terbatas, maka peningkatan konsumsi pangan tersebut akan menyebabkan peningkatan konsumsi pangan yang dibeli dari pasar. Dengan demikian C33 diharapkan bertanda positif. b. Konsumsi Non-pangan Pada penelitian ini, konsumsi non-pangan diduga dipengaruhi oleh pendapatan rumahtangga total, tabungan, dan jumlah anggota rumahtangga. Respesifikasi model menghasilkan dua variabel yang disebutkan pertama disajikan dalam bentuk rasio. Secara matematik persamaan konsumsi non-pangan dinyatakan sebagai berikut: CNPAN = C40+C41*(HHINC/TABNG)+C42*ARTOT + ç21 HHINC = NFFIN+NFINC+SWP*TKRTP*300+SWW*TKRTW*300 NFFIN = TFRET–CASHI–NTKL–SWP*TKPD–SWW*TKWD dimana: CNPAN = Konsumsi non-pangan (ribu rupiah) HHINC = Pendapatan rumahtangga total (ribu rupiah) NFFIN = Pendapatan bersih usahatani (ribu rupiah)
132 TKRTP = Angkatan kerja pria dalam rumahtangga (orang) TKRTW = Angkatan kerja wanita dalam rumahtangga (orang) Variabel lain sudah dijelaskan di atas. Pendapatan rumahtangga total merupakan pendapatan rumahtangga yang diperoleh dari seluruh sumber pendapatan, baik dalam bentuk aktivitas kerja maupun bukan aktivitas kerja. Di samping itu, pada penelitian ini dimasukkan juga penilaian tenaga kerja dalam keluarga yang diukur dengan nilai harga bayangan tenaga kerja pria dan wanita. Pada konsep Becker (1976) identik dengan Full Income. Oleh karena itu, pada penelitian ini tidak didefinisikan konsep pendapatan siap dibelanjakan atau disposeable income yang merupakan nilai pendapatan dikurangi dengan pajak. Semakin besar pendapatan rumahtangga total, konsumsi non-pangan akan semakin besar pula. Di sisi lain, tabungan rumahtangga berperan sebagai pengeluaran alternatif rumahtangga disamping pengeluaran untuk pangan.
Di dalam hal ini, tabungan merupakan
pengeluaran rumahtangga yang ditunda untuk konsumsi di waktu yang akan datang. Semakin besar tabungan, semakin besar bagian dana yang disisihkan untuk konsumsi yang akan datang. Mengingat kedua variabel tersebut disajikan dalam bentuk rasio, maka C41 diharapkan akan bertanda positif.
Jumlah anggota rumahtangga juga diduga akan
berpengaruh positif terhadap konsumsi non-pangan. Semakin besar jumlah anggota rumahtangga, kebutuhan konsumsi non-pangan juga akan semakin besar. Oleh karena itu C42 diharapkan bertanda positif. 4.2.8. Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan Pengeluaran pendidikan dan kesehatan dalam penelitian ini dipisah dari pengeluaran konsumsi seperti telah dijelaskan di atas, dengan pemikiran bahwa pengeluaran ini merupakan pengeluaran investasi untuk peningkatan kualitas sumberdaya
133 manusia dalam keluarga. Pengeluaran pendidikan dan kesehatan di dalam penelitian ini diduga dipengaruhi oleh pendapatan rumahtangga total, pengeluaran non-pangan, rasio pendidikan keluarga, dan tabungan rumahtangga. Secara matematik konsumsi kesehatan dinyatakan sebagai berikut: CPKES = C50+C51*HHINC +C52*INPRT+C53*ARTOT + ç22 dimana: CPKES = Pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan (ribuan rupiah) INPRT = Indeks pendidikan keluarga Variabel lain sudah dijelaskan di atas. Pendapatan rumahtangga total secara teoritik berpengaruh positif terhadap pengeluaran pendidikan dan kesehatan, maka tanda C51 diharapkan positif. Demikian halnya dengan indeks pendidikan rumahtangga dan jumlah anggota rumahtangga diharapkan berpengaruh positif pada pengeluaran pendidikan dan kesehatan. Pengaruh positif indeks pendidikan disebabkan oleh dua hal. Pertama, jika anggota rumahtangga masih aktif menjalani pendidikan, menunjukkan beban pendidikan biaya yang meningkat sejalan dengan meningkatnya tingkat pendidikan.
Kedua, menunjukkan adanya
kesadaran rumahtangga akan pentingnya pendidikan dan kesehatan sejalan dengan peningkatan pendidikan anggota rumahtangga. Dengan demikian, C52 diharapkan bertanda positif. Jumlah anggota rumahtangga juga diharapkan berpengaruh positif, sehingga C53 diduga bertanda positif. 4.2.9. Kredit Kredit merupakan pinjaman rumahtangga ke pihak luar, baik yang bersumber dari lembaga formal maupun lembaga informal. Sumber kredit formal adalah kredit yang berasal dari lembaga formal, seperti bank atau lembaga keuangan formal sejenisnya.
134 Sumber kredit informal adalah kredit yang berupa pinjaman dari keluarga, saudara, pedagang, atau pihak-pihak lain yang memberikan pinjaman tanpa dilandasi prosedur formal. Kredit di dalam penelitian ini diduga dipengaruhi oleh tingkat suku bunga, pengeluaran tunai usahatani di luar upah, luas lahan garapan, dan frekuensi pinjaman. Tingkat suku bunga di dalam hal ini merupakan suku bunga efektif, yaitu persentase bagian yang dibayarkan peminjam di atas pokok pinjaman dalam satu tahun. Persamaan kredit dinyatakan sebagai berikut: CREDIT = D10+D11*INT+D12*CASHI+D13*LGARP+D14*FPINJ+ ç23 dimana: CREDIT = Kredit (ribuan rupiah) TABNG = Tabungan (ribuan rupiah) FPINJ = Frekuensi pinjaman Variabel lain sudah dijelaskan di atas. Secara teoritik dapat diharapkan tingkat suku bunga akan berpengaruh negatif terhadap besarnya kredit.
Karena itu, D11 diharapkan akan bertanda negatif.
Pengeluaran tunai usahatani di luar upah, merupakan bentuk kebutuhan usahatani terhadap uang tunai. Kredit itu sendiri merupakan salah satu sumber dana yang dapat digunakan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan uang tunai tersebut. Semakin tinggi pengeluaran tunai usahatani di luar upah, rumahtangga akan semakin memerlukan kredit. Dengan demikian, D12 diharapkan akan bertanda positif. Demikian halnya dengan D13 dan D14, diharapkan bertanda positif. memerlukan biaya semakin besar.
Semakin luas lahan yang digarap, usahatani Karena kredit merupakan salah satu sumber
pembiayaan usahatani, maka semakin besar luas lahan garapan akan memerlukan kredit semakin besar. Di samping itu, pemberi kredit, baik formal maupun informal, sering
135 mempertimbangkan luas lahan dalam pemberian kredit kepada nasabahnya.
Hal ini
semakin memperkuat hubungan positif antara luas lahan garapan dengan besarnya kredit. Frekuensi kredit berpengaruh positif terhadap besarnya kredit, karena alasan prosedur pemberi kredit yang sering mempertimbangkan pengalaman pemberian pinjaman sebelumnya. Bagi nasabah yang berhasil mengembalikan kredit sebelumnya, akan lebih mudah menerima kredit berikutnya. 4.2.10. Tabungan Tabungan rumahtangga adalah berbagai bentuk simpanan uang tunai, yang disimpan dalam bentuk tabungan di bank atau di rumah, atau dalam bentuk arisan. Seperti telah dikemukaan di atas, tabungan merupakan sumber dana penting di rumahtangga.
Pada penelitian ini, besarnya tabungan diduga dipengaruhi oleh
pendapatan usahatani, pendapatan di luar usahatani, dan konsumsi atau pengeluaran rumahtangga untuk pengeluaran rutin.
Pengeluaran rutin merupakan penjumlahan
konsumsi pangan, konsumsi non-pangan, pendidikan dan kesehatan. Secara matematik, persamaan tabungan dinyatakan sebagai berikut: TABNG = D20+D21*NFFIN+D22*NFINC/CRUTN + ç24 dimana: CRUTN = CPANB+CPANS+CPKES+CNPAN CRUTN = Pengeluaran rutin rumahtangga (ribu rupiah) CPANS = Konsumsi pangan yang disediakan sendiri (ribu rupiah) Seperti telah dijelaskan di atas, tabungan rumahtangga dapat terjadi dengan menyisihkan sebagian pendapatan rumahtangga yang diperoleh dari berbagai sumber setelah pengeluaran rumahtangga lainnya terpenuhi. Dengan pemikiran seperti ini, maka pendapatan usahatani dan pendapatan di luar usahatani secara teoritik akan berpengaruh
136 positif terhadap besarnya tabungan. Pengeluaran rutin rumahtangga, di sisi lain, akan berpengaruh negatif terhadap tabungan. Semakin besar pengeluaran tersebut, semakin kecil bagian dana yang tersedia di rumahtangga yang dapat ditabung. Dua variabel terakhir dinyatakan dalam bentuk rasio. Dengan demikian, D21 dan D22 diduga akan bertanda positif. 4.2.11. Pengeluaran Total Rumahtangga Pengeluaran total rumahtangga pada penelitian ini disajikan dalam bentuk persamaan identitas. Walaupun variabel ini tidak masuk pada salah satu persamaan struktural yang dirumuskan di atas, besaran pengeluaran total rumahtangga penting dihitung
sebagai ukuran kesejahteraan rumahtangga. Semakin besar pengeluaran
rumahtangga, kesejahteraan rumahtangga semakin baik. Secara matematik pengeluaran total rumahtangga dinyatakan sebagai berikut: HHEXP = CRUTN + INVRT +PAJAK dimana: PAJAK = Nilai pajak yang dibayarkan rumahtangga (ribu rupiah) Persamaan simultan yang dibangun di atas dapat juga disajikan dalam bentuk diagram keterkaitan antar variabel seperti terlihat pada Gambar 7. Pada gambar tersebut dibedakan antara variabel eksogen dan variabel endogen.
Variabel eksogen
dilambangkan dengan segi empat dengan sudut oval, sedangkan variabel endogen
137
LEMBAR GAMBAR
138 dengan kotak segi empat biasa. Setiap panah dibaca sebagai pengaruh satu atau lebih variabel ke satu atau lebih variabel lainnya. Panjang panah dan ukuran kotak tidak mempunyai arti khusus. 4.3. Identifikasi Model Sebelum dilakukan pendugaan terhadap parameter dalam persamaan simultan, perlu dilakukan proses identifikasi.
Proses ini dilakukan dengan tujuan untuk
mempelajari apakah sistem persamaan yang dibangun secara matematik dapat menduga parameter yang ada pada setiap persamaan struktural dalam sistem tersebut. Proses identifikasi juga akan mengarahkan metode penyelesaian model yang dapat diterapkan. Terdapat dua syarat identifikasi, yaitu syarat keharusan (necessary conditions) dan syarat kecukupan (sufficiency conditions). Syarat keharusan disebut juga syarat ordo (order conditions) diperoleh dengan menghitung variabel yang dimasukkan dan dikeluarkan dalam satu persamaan tertentu dengan prosedur sebagai berikut (Koutsoyiannis, 1977): Underidentified
: (K – M) < (G – 1)
Exactly identified
: (K – M) = (G – 1)
Overidentified
: (K – M) > (G – 1)
dimana K adalah jumlah variabel di dalam model, M adalah jumlah variabel yang masuk dalam persamaan, dan G adalah jumlah persamaan di dalam model atau jumlah variabel endogen. K-M merupakan jumlah variabel yang tidak ada dalam satu persamaan, struktural tetapi terdapat pada persamaan struktural lainnya. Syarat ordo terkait dengan ukuran matriks segi yang berukuran (G-1) x (G-1) yang berunsur parameter dugaan dalam sistem persamaan simultan.
Suatu sistem
139 persamaan simultan dapat diselesaikan secara matematik jika (K – M) • (G – 1). Tentu saja syarat ordo tersebut
belum menjamin bahwa matriks segi yang terbentuk
mempunyai pangkat penuh (full rank). Oleh karena itu, dalam proses identifikasi masih diperlukan syarat kecukupan yang disebut syarat pangkat (rank conditions). pangkat dicari dengan menghitung determinan matriks segi berukuran
Syarat
(G-1) x (G-
1) pada matriks berukuran (G-1) x (K-M). Suatu persamaan struktural dapat dikatakan teridentifikasi (identified) jika dan hanya jika paling sedikit ada satu matriks segi (G1)x(G-1) yang nilai determinannya tidak nol atau berpangkat penuh. Setiap persamaan diidentifikasi dengan mengeliminir baris yang berisi persamaan yang akan diidentifikasi dan mengeliminir sebanyak M kolom pada matriks berukuran G x K. M adalah variabelvariabel yang menjadi penduga pada setiap persamaan yang dieliminir. Persamaan simultan yang dibangun di atas mengandung fungsi produksi yang memerlukan bentuk khusus agar memenuhi syarat fungsi produksi. Salah satu syarat praktis yang harus dipenuhi adalah bahwa fungsi produksi tersebut menghasilkan harga bayangan input positif, setidaknya untuk sebagian besar rumahtangga yang masuk dalam pendugaan model. Adanya syarat bentuk khusus fungsi produksi tersebut menyebabkan pendugaan sistem persamaan simultan tidak bisa dilakukan secara utuh. Khusus untuk fungsi produksi dan harga bayangan sebagai turunan dari fungsi produksi, diduga secara terpisah dari sistem persamaan. Dengan demikian, identifikasi terhadap sistem persamaan simultan dilakukan dengan mengeluarkan persamaan fungsi produksi dan persamaan harga bayangan input. Setelah fungsi produksi dan harga bayangan input dikeluarkan dari sistem persamaan simultan, persamaan simultan terdiri atas 17 persamaan struktural dan 14
140 persamaan identitas, atau terdapat 31 variabel endogen. Menurut rumus identifikasi di atas dapat diketahui K = 56 dan G = 31. Jika M diambil dari jumlah maksimum variabel yang menyusun persamaan, maka M = 5.
Menurut syarat ordo, seluruh
persamaan simultan yang dibangun termasuk overidentified.
Selanjutnya, untuk
mengidentifikasi syarat pangkat perlu menghitung pangkat matriks yang dibentuk oleh koefisien dugaan pada sistem persamaan seperti telah dijelaskan di atas. Matriks yang terbentuk dalam model persamaan simultan ini cukup besar, yaitu (ukuran minimum) 30 x 50. Proses identifikasi syarat pangkat secara manual untuk model dengan ukuran matriks tersebut sangat tidak praktis.
Oleh karena itu pada penelitian ini, proses
perhitungan dibantu dengan Program SAS Versi 8.02 menggunakan prosedur IML (Interactive Matrix Language). Berdasarkan prosedur tersebut dapat disimpulkan bahwa seluruh persamaan pada model di atas teridentifikasi (identified). 4.4. Metode Pendugaan Model Sistem persamaan simultan yang dibangun memerlukan dua tahap pendugaan. Tahap pertama menduga fungsi produksi translog. Dari fungsi produksi translog ini akan didapat diturunkan harga bayangan input, yaitu diukur dengan nilai produk marginal masing-masing input. Hasil dugaan nilai produk total dan dugaan nilai produk marginal input kemudian dijadikan variabel eksogen dalam tahap kedua, yaitu pendugaan model persamaan simultan. Fungsi produksi translog merupakan model persamaan tunggal dengan bentuk fungsi yang memungkinkan adanya interaksi antar variabel penjelas seperti telah disajikan di atas. Pendugaan model persamaan tunggal dapat dilakukan dengan metode kuadrat terkecil atau OLS (Ordinary Least Squares). Salah satu persoalan penting yang
141 sering dihadapi dalam menduga fungsi produksi translog adalah adanya kolinearitas ganda (multicollinearity) antar variabel.
Kolinearitas ganda terjadi karena sejumlah
variabel diformulasikan berinteraksi satu dengan lainnya, sehingga variabel yang sama bisa muncul lebih dari satu kali. Pada fungsi produksi usahatani, kolinearitas ganda semakin mungkin terjadi karena seringkali penggunaan satu input terkait dengan penggunaan input lainnya. Kolinearitas ganda dapat dideteksi dengan variance inflation factor (VIF). VIF pada prinsipnya menguji hubungan antar variabel bebas dengan cara meregresikan satu variabel bebas dengan sejumlah variabel bebas lainnya. Dari regresi ini akan diperoleh koefisien determinasi (R2).
Semakin besar
Biasanya VIF dalam komputer
R2, kolinearitas ganda semakin serius.
diukur dengan 1/(1-R2).
Gejala kolinearitas ganda
dianggap serius jika angka VIF lebih besar dari 10. Salah satu cara untuk mengatasi adanya kolinearitas ganda adalah dengan metode regresi komponen utama atau Principal Component Regression (PCR).
Metode ini
kemudian berkembang menjadi metode regresi kuadrat terkecil bagian atau PLS (Partial Least Squares).
Metode PCR pada dasarnya mereduksi sejumlah variabel yang
mempunyai korelasi tinggi menjadi satu variabel buatan, yang disebut komponen utama, Pi, yang merupakan kombinasi linear variabel-variabel bebas.
Sifat dari komponen
utama (Koutsoyiannis, 1977) adalah (a) satu dengan lainnya orthogonal, (b) komponen utama yang pertama, misalnya P1, menyerap proporsi variasi gugus variabel bebas paling tinggi, kemudian P2 menyerap proporsi variasi gugus variabel lebih kecil dari P1, dan seterusnya.
Jumlah P maksimum sama dengan jumlah variabel bebas.
Karena Pi
merupakan gugus variabel yang orthogonal, maka pendugaan OLS menggunakan
142 variabel ini akan bebas dari kolinearitas ganda. Pendugaan model awal dilakukan dengan memilih sejumlah P tertentu, tentunya lebih kecil dari jumlah variabel bebas aslinya. Pada metode PCR, pengelompokan variabel menjadi komponen utama tanpa memperhatikan variasi variabel tak bebas. Identifikasi terhadap Pi pada metode PCR sebenarnya berusaha menjelaskan kelompok variabel bebas dengan baik, tetapi tidak bermaksud menjelaskan variasi variabel tak bebas, kecuali dijelaskan melalui regresi. Metode PLS merupakan pengembangan lebih lanjut dari PCR (Abdi, 2004). Metode PLS berusaha mencari satu gugus komponen (vektor laten) yang menangkap sebanyak mungkin kovarian antara variabel bebas dan variabel tak bebas. Selanjutnya dilakukan prediksi variabel tak bebas menggunakan hasil dekomposisi variabel bebas tersebut. Langkah penting yang perlu dilakukan dalam metode PLS adalah menentukan jumlah komponen Pi yang akan dijadikan penduga variabel tak bebas. Pada penelitian ini jumlah kompnen Pi yang dipilih ditentukan dengan kriteria PRESS (Predicted Residual Sum of Squares).
Prosedur PRESS mencari kombinasi variabel bebas yang akan
diguanakan dalam model regresi yang mampu meramal dengan kesalahan terkecil. Misalkan terdapat n pengamatan (observasi), kemudian disusun suatu model regresi menggunakan n-1 pengamatan dengan memilih semua kombinasi variabel bebas. Setiap regresi yang dibangun digunakan untuk meramal amatan yang dihilangkan secara bergantian sampai seluruh amatan dapat diramalkan (Draper dan Smith, 1992). PRESS memilih jumlah kuadrat kesalahan ramalan (predictive discrepancy sum of squares) yang terkecil dari semua kombinasi variabel bebas. Pada metode PLS kombinasi komponen Pi akan teratur berutan mulai dari P1, P2, dan seterusnya, karena seperti telah dijelaskan di atas, P1 menyerap proporsi variasi variabel bebas dan tak bebas paling besar, P2 lebih
143 kecil, dan seterusnya. Di samping itu, antara komponen yang satu dengan lainnya bersifat orthogonal. Jumlah kuadrat kesalahan ramalan dinyatakan sebagai berikut:
∑
n i =1
(Yi a − Yipd ) 2
Baik metode PCR maupun metode PLS, menghasilkan parameter dugaan untuk masing-masing variabel asal secara tidak langsung.
Karena itu, metode ini tidak
menghasilkan sebaran parameter dugaan, sehingga tidak dapat dilakukan uji statistik terhadap parameter dugaan tersebut. Namun demikian, sebaran parameter dugaan dapat diketahui dengan Metode Bootsrap.
Sebaran parameter dugaan diperoleh dengan
melakukan resampling, atau pengambilan contoh ulang pada contoh yang sudah ada. Dari contoh yang diambil dilakukan pendugaan parameter yang sedang dicari. Demikian selanjutnya
dilakukan berulang-ulang untuk gugus contoh yang berbeda.
Apabila
sebaran parameter dugaan telah diketahui, maka selanjutnya dapat dilakukan uji statistik seperti biasa. Jika bentuk fungsi produksi translog di atas tidak memenuhi syarat,
dicari
alternatif bentuk lain yang lebih sederhana, misalnya Cobb-Douglas. Pilihan bentuk fungsi mana yang akan dipilih didasarkan pada uji F seperti terlihat pada persamaan di bawah. Pada persamaan tersebut ET adalah nilai kesalahan regresi fungsi translog, EA adalah kesalahan fungsi alternatif, DFT dan DFA, masing-masing derajat bebas fungsi translog dan fungsi alternatif. ET − E A Fh = A T DF − DF
÷ ( E T / DF T )
144 Setelah dilakukan pendugaan fungsi produksi translog, selanjutnya dilakukan pendugaan model persamaan simultan. Terdapat beberapa kemungkinan metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan simultan, yaitu metode Limited Information Maximum Likelihood (LIML), Full Information Maximum Likelihood (FIML), Two Stage Least Squares (2SLS), dan Three Stage Least Squares (3SLS). Metode-metode tersebut digunakan dengan tujuan utama adalah untuk menekan sedikit mungkin terjadi simutaneous-equation bias, yang disebabkan oleh adanya variabel endogen dalam gugus variabel penjelas, sehingga variabel pengganggu (error) yang terdapat pada setiap persamaan akan berkorelasi dengan variabel penjelas pada persamaan tersebut.
Oleh karena itu, penyelesaian dengan metodel OLS akan
menghasilkan dugaan yang bias. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa sistem persamaan simultan di atas termasuk overidentified. Sistem persamaan simultan yang overidentified dapat diduga dengan metode 2SLS atau 3SLS. Penggunaan metode 2SLS dapat menghindari adanya simutaneous-equation bias. Metodel 2SLS pada dasarnya menduga sistem persamaan simultan dengan menduga setiap persamaan struktural secara parsial (Koutsoyiannis, 1977). Metode ini dimulai dengan menduga bentuk terreduksi (reduced form) setiap persamaan struktural menggunakan metode OLS.
Bentuk terreduksi persamaan struktural diperoleh dengan
manipulasi matematik sehingga setiap variabel endogen diregresikan
hanya dengan
variabel eksogen. Dari proses pendugaan ini akan diperoleh dugaan terhadap variabel endogen.
Langkah selanjutnya, setiap persamaan struktural yang sebenarnya diduga
dengan dengan metode OLS dimana setiap variabel endogen yang menjadi variabel penduga diganti dengan nilai dugaan variabel tersebut hasil dari proses pertama. Dari
145 hasil pendugaan ini akan diperoleh parameter dugaan untuk masing-masing persamaan struktural. Metode 2SLS yang dijelaskan di atas pada dasarnya belum memperhatikan adanya informasi besaran hubungan variabel pengganggu pada satu persamaan struktural dengan variabel pengganggu pada persamaan struktural lainnya. Jika misalnya variabel pengganggu di satu persamaan struktural ternyata tinggi, maka variabel pengganggu di persamaan struktural yang lainnya kemungkinan juga tinggi. Jika pada metode 2SLS mempertimbangkan adanya hubungan ini, maka pendugaan parameter akan lebih efisien. Oleh karena itu, pada metode 3SLS, informasi hubungan antar variabel pengganggu tersebut dimanfaatkan kembali untuk menduga parameter dugaan yang menyusun setiap persamaan struktural.
Variabel pengganggu tersebut diperoleh dari dugaan pada tahap
2SLS, yang dinyatakan dalam bentuk kovarian. Kovarian tersebut digunakan dalam menduga persamaan struktural dengan menggunakan pendekatan seperti pada metode GLS (General Least Squares) (Koutsoyiannis, 1977). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pilihan terhadap metode 3SLS adalah apabila diyakini adanya hubungan yang kuat antar variabel pengganggu yang dihasilkan oleh metode 2SLS. Jika hubungan tersebut lemah, penggunaan metode 3SLS tidak berbeda dengan 2SLS. Di samping itu, adanya pemanfaatan kovarian variabel pengganggu, penggunan metode 3SLS menghendaki jumlah observasi yang cukup besar. Pada penelitian ini, model persamaan simultan mengandung variabel harga bayangan yang merupakan hasil pendugaan, yang berarti merupakan variabel endogen. Di samping itu, pilihan variabel penjelas pada setiap persamaan struktural sangat sedikit, sehingga hubungan antar variabel pengganggu akan semakin kuat. Dilihat dari jumlah observasi
146 pada penelitian ini cukup memadai. Pendugaan menggunakan metode 2SLS ternyata menghasilkan kovarian variabel pengganggu yang sangat tinggi, yang menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang serius antara variabel pengganggu (Tabel Lampiran 3). Pada kondisi seperti ini, penggunaan metode 3SLS akan lebih efisien dibanding 2SLS. Oleh karena itu, dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut penelitian ini akan menggunakan metode 3SLS. Penyelesain metode ini menggunakan bantuan komputer dengan program Statistical Analysis System (SAS) versi 8.02. 4.5. Validasi Model Tahapan penting berikutnya dalam metode ekometrik adalah validasi model. Validasi dimaksudkan untuk mengukur sejauh mana model yang dibangun mampu menjelaskan fenomena yang sebenarnya.
Walaupun suatu model hanya merupakan
penyederhanaan dari kejadian sebenarnya, tetapi model yang baik harus mampu menggambarkan kejadian nyata. Jika model persamaan simultan yang dibangun pada penelitian ini dianggap syah (valid), maka terhadap model tersebut dapat dilakukan berbagai macam peramalan dan simulasi.
Pada penelitian ini, perilaku ekonomi
rumahtangga petani tanaman pangan akan banyak dijelaskan melalui simulasi. Validasi model pada penelitian ini menggunakan beberapa kriteria.
Namun
secara umum, validasi pada dasarnya membandingkan antara data aktual dengan dugaan. Semakin dekat hasil dugaan dengan data aktual menunjukkan model yang dibangun valid. Kriteria yang digunakan pada peneltian ini dikelompokkan menjadi dua yaitu kriteria statistik pengepasan (statistics of fit) dan kriteria statistik Theil.
Statistik
pengepasan meliputi Mean Error, Mean Percent Error, Mean Absolute Error, Mean
147 Absolute Percent Error, Root Means Square Error, Root Mean Square Percent Error, dan R2. Rumus matematik masing-masing kriteria tersebut adalah sebagai berikut: 1. Mean Error
2. Mean % Error
3. Mean Absolute Error
4. Mean Absolute % Error
1 n
:
n
∑
j =1
100 : n
:
n
∑ (Yjd - Yja)/Yja j =1
1
:
n
∑
n
j =1
100
n
n
j =1
:∑ |Yjd - Yja|
100
6. Root Mean Squares % Error :
1 n d (Y j − Y ja ) 2 / Y ja ∑ j n
: 1 - SSE/(Yja - Yjr) n
8. Sum Squares Error
|Yjd - Yja|
1 n a ∑ (Y j − Y jd ) 2 n j
5. Root Mean Squares Error:
7. R-squares
(Yjd - Yja)
:
∑
(Yjd - Yja)2
j =1
Rumus di atas, Yjd adalah nilai Yj dugaan, Yja adalah nilai Yj aktual, dan Yr adalah nilai Yj rata-rata. Ukuran-ukuran di atas menunjukkan sejauh mana nilai dugaan yang dihasilkan oleh model persamaan simultan cocok dengan nilai yang sebenarnya. Kecuali R2, semua ukuran di atas semakin kecil semakin baik.
148 Kriteria statistik Theil yang sering digunakan adalah Theil’s inequality coefficient (Pindyck dan Rubinfeld, 1985). Kriteria ini biasa digunakan dalam peramalan data deret waktu (time series) menggunakan data historis. Data historis pada data deret waktu identik dengan data aktual pada data kerat lintang (cross section). Oleh karena itu, kriteria ini masih bisa diterapkan pada simulasi data kerat lintang seperti pada penelitian ini.
Secara matematik rumus koefisien Theil tersebut dinyatakan sebagai berikut:
1
U =
∑ n
1
∑ n
n j
n
(Y jd − Y ja ) 2
(Y jd ) 2 + j
1
∑ n
n j
(Y ja ) 2
Rumus di atas akan menghasilkan koefisien Theil antara nol dan satu. Jika U=0 maka data hasil dugaan persis sama dengan data aktual atau keadaan sebenarnya. Dengan kata lain, jika U=0 berarti model persamaan simultan yang dibangun sangat baik. Sebaliknya, jika U=1 berarti model yang dibangun sangat jelek dan kondisi yang dihasilkan dalam simulasi sebenarnya tidak mungkin terjadi. Secara matematik, U=1 artinya data simulasi selalu bernilai nol untuk setiap data aktual yang lebih besar dari nol, atau sebaliknya. Jika data aktual negatif maka hasil simulasi positif atau sebaliknya. Koefisien U didekomposisi menjadi tiga bagian, yitu proporsi bias (UM), proporsi varian (US) dan proporsi kovarian (UC). Karena ketiganya merupakan proporsi dari U maka UM+US+UC=1. Masing-masing proporsi secara matematik dirumuskan sebagai berikut: (Yrd – Yra)2 UM = MSE
149
US =
UC =
(ód – óa)2 MSE 2(1 – ñ)ódóa
MSE =
ñ=
MSE 1 n
n
∑
(Yjd - Yja)2
j = 1
Cov(Ya,Yd)
óa ód
dimana ñ adalah koefisien korelasi, óa, dan ód masing-masing adalah standard deviasi nilai aktual dan dugaan. Proporsi bias UM mengandung selisih antara rata-rata data aktual dengan nilai simulasi. UM mengindikasikan adanya bias dalam bentuk kesalahan yang sistematis. Model yang baik diharapkan menghasilkan UM mendekati nol.
Proporsi US berisi
selisih standar deviasi data aktual dan nilai hasil simulasi. Apabila variasi data aktual dapat diikuti persis oleh variasi data simulasi, maka selisih kedua nilai standar deviasi tersebut akan nol. US menggambarkan kemampuan model dalam mengikuti variasi data aktual.
Proporsi terakhir adalah proporsi kovarian UC. Proporsi ini untuk menangkap
adanya kesalahan yang tidak sistematis, atau adanya sisa kesalahan setelah kesalahan sistematis diketahui.
Model yang baik akan menangkap sekecil mungkin proporsi
kesalahan sistematis dan dan menangkap proporsi kesalahan yang tidak sistematis sebesar
150 mungkin.
Menurut Pindyck dan Rubinfeld
(1985), idealnya validasi menghasilkan
UM=US=0 dan UC=1. Pada program SAS, di samping adanya ukuran statistik Theil di atas, juga disajikan beberapa indikator lain yang masih relevan dengan validasi model, yaitu proporsi regresi (UR), varian residual (UD), dan ukuran statistik ketepatan peramalan U1. Rumusan matematik UR, UD, dan U1 disajikan sebagai berikut:
UR =
(ód – ñóa)2 MSE
UD = (1 – ñ2) ód óa/MSE MSE U1=
1 n
∑
n j
(Y
a j
)2
4.6. Prosedur Analisis Penelitian ini akan melakukan beberapa tahapan analisis yang berguna untuk mempelajari secara mendalam perilaku ekonomi rumahtangga petani tanaman pangan. Pada tahap pertama, analisis dilakukan pada hasil pendugaan fungsi produksi translog dan harga bayangan yang dihasilkannya. Pada tahap kedua, dilakukan interpretasi hasil pendugaan model persamaan simultan. Tahap ini merupakan analisis perilaku ekonomi rumahtangga petani tanaman pangan secara keseluruhan. Tahap selanjutnya, dilakukan simulasi model persamaan simulatan.
Hasil
simulasi dasar diperoleh harga bayangan input usahatani yang merupakan harga bayangan dugaan menurut model persamaan simultan. Hasil dugaan harga bayangan ini
151 akan dibandingkan dengan harga bayangan hasil pendugaan persamaan tunggal fungsi produksi translog.
Di samping itu, harga bayangan yang diperoleh juga akan
dibandingkan dengan harga pasar masing-masing input. Pada tahap ini akan diperoleh sejauh mana harga bayangan input menyimpang dari harga pasar. Penyimpangan yang terjadi merupakan indikator adanya kondisi pasar persaingan tidak sempurna. Simulasi model persamaan simultan dilakukan untuk mengetahui dampak perubahan beberapa variabel yang dianggap relevan dengan kebijakan atau sebagai variabel yang dianggap penting diketahui dampaknya terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani.
Variabel-variabel tersebut bisa berupa variabel eksogen atau
variabel endogen yang diubah menjadi variabel eksogen.
Pada penelitian ini akan
dilakukan simulasi sebagai berikut: 1. Harga produk naik 10 persen 2. Harga pupuk Urea naik 10 persen 3. Harga pupuk TSP naik 10 persen 4. Harga pupuk Urea dan TSP naik 10 persen 5. Upah buruh usahatani pria naik 10 persen 6. Upah buruh usahatani wanita naik 10 persen 7. Upah buruh usahatani pria dan wanita naik 10 persen 8. Upah buruh pria di luar usahatani naik 10 persen 9. Upah buruh wanita di luar usahatani naik 10 persen 10. Upah buruh pria dan wanita di luar usahatani naik 10 persen 11. Suku bunga naik 10 persen 12. Luas lahan yang dikuasai turun 10 persen
152 Simulasi kebijakan di tersebut dibedakan menurut strata luas lahan, yaitu lahan sempit, lahan sedang, lahan luas, serta total rumahtangga. Di samping itu, simulasi juga dilakukan pada model persamaan simultan dengan mengubah harga bayangan tenaga kerja dalam keluarga (pria dan wanita) dan harga bayangan lahan sebagai variabel eksogen. Simulasi ini disebut simulasi model separable, sedangkan simulasi sebelumnya disebut simulasi model non-separable. Melalui simulasi ini dapat diketahui pengaruh endogenitas harga bayangan input pada perilaku ekonomi rumahtangga petani.
153
V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi rumahtangga pertanian yang menjadi objek penelitian ini. Variabel-variabel yang akan dimunculkan merupakan bagian dari variabel yang akan masuk dalam model ekonometrik, sehingga deskripsi statistik yang akan disajikan ini juga akan memberikan gambaran perilaku ekonomi rumahtangga petani tanaman pangan, walaupun dalam gambaran kasar. Seluruh deskripsi dibedakan menurut strata luas lahan yang dikuasai. 5.1. Karakteristik Penguasaan Lahan Usahatani Bagian pertama yang perlu dijelaskan di sini adalah penguasaan lahan usahatani karena akan menjadi landasan analisis pada bagian selanjutnya. Seperti telah diuraikan pada bagian metodologi, penguasaan lahan dijadikan dasar untuk stratifikasi rumahtangga petani. Pada Tabel 4 disajikan secara lebih rinci hasil stratifikasi tersebut. Pada tabel tersebut terlihat penguasaan lahan dirinci menurut jenis lahan, status penguasaan, dan intensitas pemanfaatan lahan. Rata-rata luas lahan antar strata secara statistik berbeda nyata (á=0.001), artinya pengelompokan rumahtangga petani menurut penguasaan lahan secara statistik cukup baik. Dari total lahan yang dikuasai, terdiri atas lahan sawah dan lahan darat atau lahan kering.
Baik lahan sawah maupun lahan kering keduanya semakin luas pada strata
rumahtangga yang lebih tinggi. Namun secara proporsional, lahan sawah di ketiga strata tidak banyak berbeda, secara keseluruhan sebesar 36 persen dari total luas lahan yang dikuasai. Dilihat dari status penguasaan lahan, dapat diidentifikasi menjadi dua status, yaitu lahan milik dan lahan bukan milik. Lahan bukan milik ditemui dalam berbagai jenis, seperti sewa, gadai, bagi hasil atau sakap. Porsi luas lahan bukan milik ini di
154 seluruh strata rumahtangga relatif kecil, secara keseluruhan hanya sebesar 20 persen. Dengan demikian, lahan usahatani yang dikuasai sebagian besar adalah lahan milik. Tabel 4. Penguasaan Lahan Usahatani Oleh Rumahtangga Petani Menurut Strata Luas Lahan Usahatani Uraian Lahan Kering (Ha) Lahan Sawah (Ha)
Lahan Sempit RataStd rata Dev 0.12 0.12 0.10 0.12
Lahan Sedang RataStd rata Dev 0.47 0.32 0.28 0.32
Lahan Luas RataStd rata Dev 1.69 1.57 0.87 1.38
Total RataStd rata Dev 0.75 1.14 0.41 0.88
Total Lahan (Ha)
0.22
0.12
0.75
0.21
2.56
1.79
1.17
1.44
Lahan Milik (Ha)
0.14
0.14
0.55
0.34
2.14
1.69
0.94
1.31
Lahan Bukan Milik (Ha) Luas Garapan (Ha/Th) Intensitas Tanam (%/Th)
0.07 0.40 186
0.11 0.28 91
0.20 1.36 183
0.29 0.75 84
0.42 4.02 164
1.16 3.11 82
0.23 1.91 178
0.70 2.39 86
Pada Tabel 4 juga disajikan luas lahan yang digarap, yaitu luas lahan yang diukur berdasarkan luas tanaman selama satu tahun. Luas lahan garapan ini bisa lebih kecil dari luas lahan yang dikuasai bila petani kurang intensif memanfaatkan lahannya untuk kegiatan usahatani. Sebaliknya bisa juga lebih besar dari luas lahan yang dikuasai jika petani mengusahakan lahannya lebih dari sekali musim tanam. Pada Tabel tersebut terlihat luas lahan garapan lebih luas dibandingkan dengan dengan luas lahan yang dikuasai untuk seluruh strata rumahtangga.
Lebih jelas dapat dilihat pada besaran
intensitas tanam (dalam persen) selama satu tahun.
Besaran intensitas tanam untuk
seluruh strata rata-rata lebih dari 100 persen, tetapi lebih kecil dari 200 persen. Artinya petani hanya memanfaatkan lahannya rata-rata hanya dua kali musim tanam.
Jika
dibandingkan dengankan antar strata, strata rumahtangga lahan sempit dan lahan sedang secara statistik intensitas tanamnya tidak berbeda nyata. Tetapi perbedaan cukup nyata (á=0.001) antara rumahtangga lahan sempit dengan rumahtangga lahan luas. Intensitas tanam pada rumahtangga lahan sempit lebih tinggi dibandingkan dengan dengan intensitas tanam pada lahan luas. Ini menunjukkan bahwa pada usahatani lahan sempit,
155 pemanfaatan lahan cenderung lebih intensif. Argumentasi terhadap fenomena ini akan dijelaskan di belakang setelah memperhatikan variabel-variabel lain. 5.2. Karakteristik Petani dan Anggota Keluarga Pada Tabel 5 disajikan beberapa variabel karakteristik petani dan keluarganya menurut strata luas lahan usahatani. Rata-rata umur kepala keluarga (KK) termasuk usia produktif, yaitu sekitar 50 tahunan. Pembedaan menurut strata luas lahan tampak tidak menghasilkan perbedaan umur rata-rata, karena memang tidak ada hipotesis apriori yang mengharuskan adanya perbedaan usia KK menurut strata luas lahan. Pendidikan KK, menurut jumlah tahun pendidikan yang dijalaninya, berkisar antara empat sampai dengan lima tahun. Ini menunjukkan rata-rata pendidikan KK tidak tamat sekolah dasar atau yang sederajat. Pada tabel terlihat ada konsistensi antara strata luas lahan dengan ratarata lama pendidikan. Pada rumahtangga petani dengan lahan yang lebih luas, tingkat pendidikan cenderung lebih tinggi. Kecenderungan ini secara kasar mengindikasikan bahwa luas penguasaan lahan berhubungan positif terhadap kesempatan petani mengikuti pendidikan. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada pendidikan anggota rumahtangga (tidak termasuk KK). Pada rumahtangga petani berlahan lebih luas, tingkat pendidikan rata-rata anggota rumahtangga cenderung lebih tinggi, baik pria maupun wanita. Fenomena ini menunjukkan bahwa penggolongan rumahtangga menurut luas penguasaan lahan dapat membedakan tingkat pendidikan.
Jika kegiatan pendidikan merupakan
keputusan keluarga yang memerlukan sejumlah dana, maka lahan usahatani
masih
merupakan faktor penting dalam kegiatan ekonomi rumahtangga di pedesaan. Hal lain yang menarik adalah rata-rata pendidikan pria selalu lebih tinggi dibandingkan dengan
156 wanita di semua strata.
Tidak ada landasan teori ekonomi yang bisa menjelaskan
fenomena ini, tetapi diduga karena ada budaya di pedesaan yang cenderung memprioritaskan pendidikan pada anggota rumahtangga pria. Pada Tabel 5 juga disajikan komposisi jumlah anggota keluarga (termasuk KK) menurut jenis kelamin dan umur.
Angka-angka yang tersaji menunjukkan ukuran
keluarga di setiap strata rumahtangga petani. Ukuran keluarga bisa dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai besaran ketersediaan tenaga kerja keluarga dan sebagai beban tanggungan keluarga.
Dilihat dari jumlah dan komposisi anggota keluarga tersebut, tampak
rumahtangga petani termasuk keluarga kecil, sekitar empat sampai lima orang per unit rumahtangga, walaupun ditemui juga rumahtangga yang secara ekstrim mempunyai lebih dari sepuluh anggota. Namun secara umun, rata-rata terdiri atas suami, istri, dan dua orang anak. Tabel 5. Karakteristik Kepala Keluarga dan Anggota Rumahtangga Petani Menurut Strata Luas Lahan Usahatani Uraian Umur KK (Th) Pendidikan KK (Th) Pendidikan ART Pria (Th) Pendidikan ART Wanita (Th) Jumlah ART Pria (org) Jumlah ART Wanita (org) Total ART (org) Juml ART Dewasa Pria (org) Juml ART Dewasa Wanita (org) Total ART Dewasa (org)
Lahan Sempit Rata- Std rata Dev 48.77 15.29 3.90 3.25 4.95 3.10 4.15 2.66 2.15 1.18 2.00 1.00 4.15 1.62 1.40 0.80 1.22 0.71 2.63 1.18
Lahan Sedang Rata- Std rata Dev 47.02 16.43 4.48 3.57 5.28 3.19 4.76 2.65 2.40 1.22 2.28 1.12 4.68 1.63 1.57 0.87 1.41 0.80 2.97 1.28
Lahan Luas Ratarata 47.96 5.02 6.40 5.51 2.70 2.50 5.20 1.82 1.63 3.45
Std Dev 12.24 3.41 3.58 2.59 1.38 1.23 1.92 0.99 0.90 1.47
Total Rata- Std rata Dev 48.12 14.47 4.48 3.43 5.56 3.36 4.82 2.69 2.41 1.28 2.26 1.14 4.67 1.78 1.60 0.90 1.42 0.82 3.01 1.36
Jika dibandingkan antar strata, tampak tidak ada konsistensi hubungan antara golongan luas lahan dengan jumlah anggota rumahtangga. Namun jika diperhatikan,
157 komposisi anggota keluarga dewasa terlihat lebih banyak pada rumahtangga berlahan sedang dan berlahan luas. Uji statistik terhadap rata-rata jumlah anggota pria dan wanita dewasa di tiga strata menyimpulkan bahwa jumlah anggota rumahtangga dewasa pria dan wanita pada rumahtangga berlahan sempit lebih kecil dibandingkan dengan rumahtangga berlahan sedang (á=0.001). Demikian halnya antara rumahtangga lahan sedang secara statistik (á=0.001) lebih kecil dibandingkan dengan rumahtangga lahan luas baik pria maupun wanita. Jumlah anggota rumahtangga dewasa dapat dijadikan ukuran potensi ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga.
Dari Tabel 5 dapat disimpulkan bahwa
semakin tinggi strata rumahtangga petani rata-rata potensi tenaga kerja keluarga semakin besar. 5.3. Aktivitas Kerja Anggota Rumahtangga Petani Aktivitas anggota rumahtangga dalam berbagai kegiatan ekonomi merupakan bagian penting dalam ekonomi rumahtangga. Pada Tabel 6 disajikan jumlah anggota rumahtangga yang aktif di kegiatan usahatani dan luar usahatani. Pada rumahtangga, di samping kegiatan tersebut, juga terdapat kegiatan lain yang juga penting diamati, yaitu kegiatan di dalam rumahtangga itu sendiri. Kegiatan ini sayangnya tidak tercatat dengan baik. Kalaupun mau diukur bisa dilakukan dengan pendekatan waktu yang tersisa dari aktivitas usahatani dan di luar usahatani. Pada Tabel 6 terlihat bahwa jumlah orang yang berpartisipasi di setiap kegiatan melebihi jumlah orang yang tersedia di dalam rumahtangga. Ini menunjukkan bahwa orang yang sama di dalam keluarga bekerja pada pekerjaan yang berbeda. Kondisi ini penting diketahui untuk menjelaskan bahwa keputusan anggota rumahtangga untuk bekerja di suatu kegiatan akan mempengengaruhi keputusan kerja di kegiatan lain.
158 Pada Tabel 6 ditunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang berpartisipasi pada kegiatan usahatani cenderung meningkat lebih tinggi pada rumahtangga petani dengan strata lebih tinggi, baik pria maupun wanita. Ini kemungkinan sejalan dengan jumlah anggota rumahtangga dewasa yang juga rata-rata lebih tinggi pada rumahtangga strata lebih tinggi. Jika jumlah orang yang berpartisipasi di usahatani sendiri dibandingkan dengankan dengan jumlah tenaga kerja dewasa, untuk tenaga kerja pria menunjukkan paling rendah (82 persen) pada rumahtangga berlahan sempit, dan paling tinggi pada rumahtangga berlahan sedang (90 persen). Pada tenaga kerja wanita persentasenya lebih rendah, yaitu terendah (66 persen) pada rumahtangga berlahan sempit, dan tertinggi (76) juga terjadi pada rumahtangga berlahan sedang.
Dari besaran persentase ini
menunjukkan tidak seluruh potensi tenaga kerja dalam keluarga berpartisipasi pada kegiatan usahatani sendiri. Perbandingan antar strata menunjukkan bahwa rumahtangga berlahan sempit partisipasinya pada usahatani sendiri cenderung lebih kecil dibandingkan dengan dengan strata yang lebih tinggi. Tabel 6. Jumlah Anggota Rumahtangga yang Aktif di Usahatani dan Luas Usahatani Menurut Strata Luas Lahan Uraian ART Pria di Usahatani ART Wanita di Usahatani Total ART di Usahatani ART Pria Berburuh Tani ART Wanita Berburuh Tani Total ART Berburuh Tani ART Pria di Luar Pertanian ART Wanita di Luar Pertanian Total ART di Non Farm ART Pria di Luar Usahatani ART Wanita di Luar Usahatani Total ART di Luar Usahatani
Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas Total Rata- Std Rata- Std Rata- Std Rata- Std rata Dev rata Dev rata Dev rata Dev 1.15 0.74 1.41 0.78 1.58 0.90 1.38 0.83 0.81 0.60 1.08 0.80 1.16 0.87 1.02 0.78 1.96 1.04 2.49 1.19 2.74 1.40 2.39 1.26 0.59 0.69 0.50 0.77 0.41 0.70 0.50 0.73 0.45 0.60 0.29 0.60 0.20 0.51 0.32 0.58 1.04 1.11 0.79 1.14 0.61 1.01 0.82 1.10 1.02 0.68 0.96 0.86 0.92 0.80 0.96 0.78 0.75 0.68 0.61 0.75 0.45 0.65 0.60 0.71 1.76 1.05 1.56 1.22 1.36 1.16 1.56 1.16 0.72 0.66 0.65 0.75 0.63 0.68 0.67 0.70 0.39 0.61 0.36 0.63 0.30 0.53 0.35 0.59 1.11 0.96 1.01 1.04 0.92 0.97 1.02 0.99
159 Jumlah anggota rumahtangga yang berpartisipasi di kegiatan berburuh tani tampak pada Tabel 6 paling tinggi terjadi pada rumahtangga berlahan sempit, demikian secara konsisten menurun pada strata rumahtangga berlahan lebih luas. Ini terjadi baik pada tenaga kerja pria maupun tenaga kerja wanita.
Perhitungan lebih lanjut
menunjukkan persentase terhadap jumlah anggota rumahtangga dewasa paling tinggi terjadi pada rumahtangga berlahan sempit, yaitu 42 persen pria dan 37 persen wanita, paling rendah terjadi pada rumahtangga berlahan luas yaitu 23 persen pria dan 12 persen wanita. Partisipasi tenaga kerja di luar sektor pertanian (di luar usahatani sendiri dan di luar buruh tani), menunjukkan fenomena yang serupa, yaitu semakin tinggi strata rumahtangga, partisipasi anggota rumahtangga pada kegiatan di luar sektor pertanian semakin rendah. Persentase terhadap jumlah anggota dewasa tertinggi terjadi pada rumahtangga berlahan sempit, yaitu 42 persen pada pria dan 37 persen pada wanita, terendah terjadi pada rumahtangga berlahan luas, yaitu 23 persen pada pria dan hanya 12 persen pada wanita. Pada Tabel 6 juga disajikan partisipasi anggota rumahtangga di luar usahatani yang merupakan penjumlahan partisipasi di buruh tani dan di luar pertanian. Dengan demikian kecenderungan yang diperoleh akan menghasilkan kesimpulan yang sama seperti telah diuraikan di atas. Kegiatan di luar pertanian lebih jauh dapat dilihat pada Tabel 7. Pada tabel tersebut diperlihatkan sebaran jumlah anggota rumahtangga dan rata-rata tingkat pendidikan menurut jenis kegiatan di luar pertanian dan strata luas lahan bagi tenaga kerja pria dan wanita. Jenis kegiatan di luar pertanian sebenarnya sangat beragam, tetapi pada Tabel 7 dikelompokkan menjadi tujuh jenis kegiatan, yaitu usaha industri, buruh
160 industri, pekerja bangunan, pekerja bidang angkutan, pedagang atau tenaga penjualan, berbagai macam pekerja jasa, dan tenaga profesional di berbagai bidang. Berdasarkan pengelompokan kegiatan tersebut dapat dilihat bahwa ada perbedaan konsentrasi jenis pekerjaan antara pria dan wanita, sedangkan antar strata luas lahan pola distribusinya hampir sama. Tabel 7. Jumlah Anggota Rumahtangga dan Rata-rata Pendidikan Menurut Jenis Kegiatan Di Luar Pertanian dan Menurut Strata Luas Lahan Lahan Sempit
Lahan Sedang
Tenaga Kerja Laki-laki Usaha Industri Buruh Industri Bangunan Angkutan Perdagangan Pekerja Jasa Profesional Total Tenaga Kerja Wanita Usaha Industri Buruh Industri
Juml Pend ART (Thn) (%) (n=200) 2.0 6.0 10.0 6.4 49.0 4.8 8.0 5.7 8.5 5.8 12.5 4.8 10.0 10.7 100.0 5.7 (n=60) 3.3 3.0 40.0 5.4
Juml Pend ART (Thn) (%) (n=36) 1.5 6.0 3.7 5.2 44.1 5.0 16.2 6.8 1.5 6.0 16.2 6.4 16.9 10.7 100.0 6.5 (n=37) 2.4 1.0 10.8 6.0
Lahan Luas Juml Pend ART (Thn) (%) (n=111) 2.7 6.0 6.3 9.7 29.7 4.2 13.5 6.2 4.5 5.8 14.4 9.6 28.8 10.8 100.0 7.6 (n=33) 3.0 6.0 0.0 0.0
Total Juml Pend ART (Thn) (%) (n=447) 2.0 6.0 7.2 6.9 42.7 4.7 11.9 6.3 5.4 5.8 14.1 6.6 16.8 10.7 100.0 6.4 (n=130) 3.1 3.3 21.5 5.5
Angkutan Perdagangan Pekerja Jasa Profesional Total
0.0 11.7 30.0 8.3 100.0
2.7 24.3 24.3 27.0 100.0
0.0 24.2 15.2 48.5 100.0
0.8 18.5 24.6 23.8 100.0
Jenis Pekerjaan
Bangunan
6.7
2.0
0.0 4.6 3.3 12.6 4.89
8.1
4.0
12.0 6.8 5.3 11.7 7.4
9.1
8.0
0.0 7.1 6.6 12.9 9.89
7.7
4.4
12.0 6.3 4.4 12.5 6.85
Tenaga kerja pria terbanyak bekerja di kegiatan bangunan, di dalamnya terdapat pengusaha bangunan, mandor bangunan, berbagai tukang, atau pembantu tukang bangunan. Sebaran ini konsisten di semua strata luas lahan. Pada tenaga kerja wanita, sebaran konsentrasi jenis pekerjaan bervariasi antar strata luas lahan.
Pada strata
rumahtangga lahan sempit, jenis pekerjaan yang terbanyak dimasuki anggota rumahtangga adalah buruh industri, kemudian di kegiatan jasa.
Kegiatan industri
161 meliputi kegitan manufaktur yang mengolah bahan baku jenis makanan atau non makanan menjadi bahan jadi, yaitu mengolah makanan, minuman, tekstil, plastik, pandai besi, dan lain-lain. Bidang kegiatan jasa meliputi pembantu rumahtangga, tukang cuci, tukang cukur, bengkel kendaraan bermotor, dan kegiatan jasa lain baik formal maupun informal. Pada strata lahan sedang, kegiatan di luar pertanian yang banyak dilakukan tenaga kerja wanita adalah kegiatan tenaga profesional, kemudian dengan persentase hampir sama terdapat pada perdagangan dan kegiatan jasa.
Jenis pekerjaan profesional yang
dimaksud adalah meliputi tenaga kesehatan, guru, pegawai negeri, pamong, dan lain-lain. Kegiatan di bidang profesional ini juga terlihat menonjol pada
strata rumahtangga
berlahan luas. Pada Tabel 7 dapat dilihat pola yang konsisten terjadi pada kegiatan profesional. Semakin luas strata lahan garapan, persentase jumlah anggota rumahtangga yang bekerja di kegiatan ini cenderung semakin besar. Kondisi ini diduga terkait dengan tingkat pendidikan yang dimiliki anggota rumahtangga. Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa pada rumahtangga dengan strata lahan lebih lua, tingkat pendidikannya relatif lebih tinggi. Pada Tabel 7 terlihat rata-rata pendidikan anggota rumahtangga yang bekerja di kegiatan profesional paling tinggi, baik di tenaga kerja pria maupun tenaga kerja wanita serta berlaku untuk semua strata. Hal tersebut diduga bahwa lapangan kerja profesional yang teridentifikasi pada penelitian ini memerlukan tingkat pendidikan tertentu yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bidang-bidang lainnya.
Jika diperhatikan,
kegiatan yang bercirikan buruh, rata-rata pendidikannya relatif lebih rendah.
162 Jika pada Tabel 6 disajikan gambaran partisipasi anggota rumahtangga pada berbagai aktivitas kerja, pada Tabel 8 disajikan besar curahan kerja anggota rumahtangga pada kegiatan yang sama. Curahan kerja menggambarkan lebih rinci berapa hari kerja anggota keluarga mencurahkan tenaganya pada berbagai aktivias selama satu tahun. Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa jumlah hari kerja rata-rata mempunyai kecenderungan yang sama dengan jumlah anggota yang partisipasi seperti pada Tabel 6.
Namun
demikian, secara keseluruhan jumlah hari kerja yang tercurah tiap strata rumahtangga petani tampak masih relatif sedikit dibandingkan dengankan dengan jumlah hari kerja potensial yang tersedia. Curahan kerja tertinggi terdapat pada rumahtangga berlahan luas untuk tenaga kerja pria. Kegiatan yang mendapat curahan kerja tertinggi adalah kegiatan di dalam usahatani sendiri. Tetapi curahan kerja di luar usahatani tertinggi ada pada rumahtangga berlahan sempit untuk tenaga kerja pria. Tabel 8.
Potensi dan Curahan Kerja Keluarga Petani Pada Kegiatan Usahatani dan Di Luar Usahatani Menurut Strata Luas Lahan Lahan Sempit
Uraian TK Pria di Usahatani TK Wanita di Usahatani TK Pria Berburuh Tani TK Wanita Berburuh Tani TK Pria di Luar Pertanian TK Wanita di Luar Pertanian TK Pria di Luar Usahatani TK Wanita di Luar Uahatani Total Curahan Kerja Pria Total Curahan Kerja Wanita * Potensi Tenaga Kerja Pria Potensi Tenaga Kerja Wanita* Intensitas Curahan Kerja Pria (%) Intenstias Curahan Kerja Wanta (%)
Lahan Sedang
Lahan Luas
Total
Rata- Std rata Dev 85.8 97.2 35.9 49.1 34.0 85.2 15.6 47.4 76.0 119.5 45.0 111.0 110.0 141.1 60.6 116.2 195.8 159.0 96.5 121.8 391.96 216.9 351.74 199.1
Rata- Std Ratarata Dev rata 124.7 133.2 84.1 64.6 78.6 38.8 23.4 64.0 34.2 11.6 47.5 17.7 94.4 155.0 88.7 39.2 102.0 46.8 117.8 159.9 122.9 50.7 109.6 64.6 242.5 191.2 207.0 115.3 133.3 103.4 455.27 246.8 398.9 406.55 226.1 354.3
Ratarata 43.0 16.6 44.7 25.8 95.8 56.1 140.5 81.9 183.5 98.5 350.9 305.9
Std Dev 53.0 21.3 78.6 48.7 138.2 118.5 145.9 121.8 148.1 122.5 200.04 176.45
Std Dev 105.0 58.1 76.9 48.2 138.4 110.9 149.5 116.6 168.6 126.1 225.73 205.32
54.8
43.5
54.4
42.4
59.2
46.4
56.1
44.1
28.6
36.9
26.8
37.5
29.1
35.8
28.2
36.7
163 * Satu tahun diasumsikan setara dengan 250 hari kerja dikalikan jumlah anggota Rumahtangga dewasa.
Besarnya curahan kerja juga bisa diukur secara relatif terhadap potensi tenaga kerja anggota rumahtangga dewasa. Ukuran ini dapat disebut sebagai intensitas curahan kerja. Tampak pada Tabel 8 bahwa intensitas curahan kerja pria dan wanita di semua strata rumahtangga relatif rendah.
Maksimum hanya 60 persen dari tenaga kerja
potensial di rumahtangga. Pada tabel juga dapat dipelajari bahwa intensitas curahan kerja wanita lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja pria. Fenomena yang dijelaskan di atas mengindikasikan rendahnya kesempatan kerja di pedesaan, baik di usahatani sendiri maupun di luar usahatani.
Pada rumahtangga
petani berlahan sempit, kesempatan kerja di dalam usahatani sendiri terkendala oleh sempitnya lahan, sehingga tenaga kerja keluarga cenderung bekerja lebih banyak di luar usahatani di berbagai kegiatan. Pada rumahtangga berlahan luas, curahan kerja keluarga ternyata lebih banyak di dalam usahatani sendiri.
Artinya, peranan usahatani pada
rumahtangga berlahan luas ternyata masih cukup penting dalam menyediakan lapangan kerja. Lapangan kerja di luar usahatani untuk rumahtangga strata ini juga ternyata tidak terlalu banyak berperan. 5.4. Penggunaan Input Usahatani Keragaan usahatani sebenarnya tidak terlepas dari karakteristik keseluruhan rumahtangga petani. Namun dalam penelitian ini usahatani ditempatkan sebagai fokus kegiatan ekonomi rumahtangga. Oleh karena itu, secara khusus pada bagian ini disajikan gambaran singkat usahatani sebagai kegiatan ekonomi yang memanfaatkan sejumlah sumberdaya dan menghasilkan produk usahatani.
Pada Tabel 9 disajikan penggunaan
164 input dan nilai produk total usahatani per hektar. Analisis per hektar sengaja dilakukan agar dapat membandingkan keragaan usahatani menurut strata luas lahan. Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa penggunaan input usahatani per hektar pada strata lahan sempit paling tinggi, kemudian secara konsisten menurun pada strata lahan yang lebih luas. Tingginya penggunaan input per hektar pada rumahtangga lahan sempit diikuti dengan tingginya nilai produk total (dalam ribuan rupiah). Nilai produk total per hektar pada strata lahan sempit paling tinggi, kemudian secara konsisten pula menurun pada strata lahan yang lebih luas.
Fenomena seperti ini menunjukkan adanya
produktivitas usahatani yang terbalik pada usahatani yang lebih luas atau sering disebut inverse farm size productivity, disingkat IP. Tabel 9. Penggunaan Input Usahatani dan Nilai Produk Total Per Hektar Lahan Garapan Menurut Strata Luas Lahan Jenis Input Usahatani dan Nilai Produk Total Pupuk Urea (Kg) Pupuk TSP (Kg) Input lain (Rp.000) TK Pria Dalam Kelg (HK) TK Wanita Dalam Kelg (HK) TK Pria Luar Kelg (HK) TK Wanita Luar Kelg (HK) Nilai Produk Total (Rp.000)
Lahan Sempit RataStd rata Dev 192 185 39 109 1127 2277 125 163 72 203 175 369 143 329 12937 37510
Lahan Lahan Luas Total Sedang Rata- Std Rata- Std RataStd rata Dev rata Dev rata Dev 164 148 129 117 162 155 32 68 38 69 36 84 581 1135 433 976 717 1606 77 95 42 45 82 118 34 61 21 26 42 126 127 188 88 125 130 253 91 121 73 103 103 214 5595 8729 3749 5642 7471 22946
Gejala IP masih menjadi perdebatan para ahli tentang apa penjelasan rasional terhadap kondisi tersebut. Fan dan Kang (2003) dan Toufique (2000) menyimpulkan bahwa IP terjadi karena perbedaan kelimpahan faktor (factors endowments) antara usahatani luas dan usahatani sempit. Usahatani berlahan sempit menggunakan tenaga kerja keluarga, sedangkan usahatani berlahan luas menggunakan tenaga kerja upahan.
165 Perbedaan penggunaan tenaga kerja menimbulkan perbedaan dalam biaya transaksi. Kesimpulan lain menyebutkan penyebab IP adalah adanya perbedaan kualitas lahan dan adanya ketidak sempurnaan pasar tenaga kerja (Lamb, 2001). Namun Heltberg (1996) tetap berkesimpulan bahwa memang ada gejala IP secara kuat walaupun faktor kualitas lahan telah dikoreksi. Hubungan produktivitas lahan yang negatif dan adanya ketidak sempurnaan pasar tenaga kerja juga dibahas oleh Holden, Shiferaw, dan Pender (2001).
Mereka
menyimpulkan tidak dapat menunjukkan secara nyata adanya gejala IP seperti banyak diperdebatkan para ahli. Temel dan Albersen (2000) juga menyimpulkan bahwa IP tersebut lebih disebabkan oleh pola geografik bukan karena tidak terukurnya variabel kualitas lahan. Pada penelitian ini gejala IP dapat dipelajari dengan model yang lebih sederhana, yaitu Ln (Y)= á + âln(L ) + å, di mana Y adalah nilai produk usahatani, dan L adalah lahan. Bentuk persamaan tersebut menunjukkan bahwa â adalah elastisitas produksi terhadap lahan. Jika memang terdapat hubungan IP maka â<1. Persamaan tersebut juga bisa juga dinyatakan dalam bentuk produksi per hektar (Y/L). Apa bila demikian maka hubungan IP terjadi jika â<0. Hasil pendugaan dengan metode OLS (ordinary least squares) dapat dilihat pada Tabel 8.
Hasil pendugaan model regresi tersebut
menunjukkan bahwa koefisien luas lahan garapan untuk produk total lebih kecil dari satu, dan uji statistik terhadap dugaan â diperoleh nilai F sebesar 3395, yang berarti tidak cukup bukti untuk menolak bahwa â<1. Hal ini menunjukkan apabila terjadi kenaikan luas lahan satu persen, maka akan diikuti kenaikan produk (dinyatakan dalam ribu rupiah) kurang dari satu persen.
Hasil yang sama dapat juga dilihat dengan
166 menggunakan produksi per hektar atau produktivitas lahan. Hasilnya menunjukkan koefisien regresi negatif. Kesimpulannya adalah bahwa pada usahatani tanaman pangan yang dikaji pada penelitian ini ada kecenderungan kuat terdapat hubungan IP. Kekhawatiran adanya faktor kualitas lahan yang menyebabkan gejala IP, dikoreksi dengan memisahkan antara lahan sawah dan lahan darat, dengan asumsi perbedaan lahan darat dan lahan sawah dalam model agregat di atas menjadi sumber perbedaan kualitas lahan. Lahan sawah umumnya lebih produktif dibandingkan dengan lahan darat setidaknya karena ketersediaan air yang lebih baik pada lahan sawah, sehingga untuk menghasilkan sejumlah produk yang sama pada lahan darat diperlukan luas lahan yang lebih kecil pada lahan sawah.
Karena itu hubungan IP ada yang
membantah dengan alasan karena adanya kesalahan spesifikasi model dengan tidak memasukan faktor kualitas lahan.
Data kualitas lahan pada penelitian rumahtangga
petani memang seringkali sulit diperoleh. Upaya yang dilakukan para peneliti antara lain dengan merekayasa model sehingga variabel kualitas lahan dicari sebagai variabel yang tak terobservasi, tetapi pengaruhnya dapat didetekksi (Lamb, 2001). Lahan Sawah Tabel 10. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Usahatani 9.36300 Ln(Ys) dan Produktivitas Lahan Pada Rumahtangga Petani 0.18902 2 (0.05793) (0.03798) (R =0.20) Tanaman Pangan. 9.36300 -0.81098 Ln(Ys/L) (0.05793) (0.03798) (R2=82) Parameter Dugaan Persamaan â Angka dalam tanda ( ) adalah standard errorá Total 9.32951 0.24366 Ln (Y) (R2=0.27)
Ln (Y/L)
(R2=0.78)
Lahan Darat Ln(Yd) (R2=0.27)
Ln(Yd/L)
(R2=0.79)
(0.01676) 9.32951 (0.01676)
(0.01298) -0.75634 (0.01298)
9.35991 (0.24065) 9.35991 (0.02884)
0.02884 (0.0192) -0.75935 (0.01920)
167
Pada Tabel 10 di atas ditunjukkan hasil pendugaan yang diperoleh dengan memisahkan lahan darat dari lahan sawah. Hasil pendugaan terhadap koefisien regresi menunjukkan hasil yang sama bahwa produktivitas lahan pada lahan usahatani berlahan luas cenderung lebih rendah dibandingkan dengan dengan usahatani berlahan sempit, baik di lahan sawah maupun di lahan darat. Konsekuensi dari adanya hubungan IP pada penelitian ini dapat dipelajari pada simulasi model persamaan simultan.
Seperti telah dirumuskan di muka, model
persamaan simultan pada penelitian ini memperhatikan harga bayangan input, yang merupakan variabel endogen.
Besar kecilnya harga bayangan terkait dengan
produktivitas input, termasuk di dalamnya produktivitas lahan usahatani.
Dengan
demikian, simulasi model ekonomi rumahtangga pada penelitian ini diharapkan akan menghasilkan perilaku ekonomi yang berbeda pada setiap strata luas lahan. Tingginya intensitas penggunaan input pada rumahtangga petani lahan sempit pada tingkat tertentu bisa menjadi tidak efisien, yang ditandai dengan rendahnya produktivitas input.
Sebagai gambaran kasar pada Tabel 10 disajikan indeks
pengembalian input (return to farm input) per unit masing-masing input usahatani. Nilai pengembalian terhadap input usahatani biasanya bisa dibandingkan dengankan dengan harga pasar masing-masing input. Namun metode ini sangat tergantung pada komponen biaya yang dimasukkan pada analisis. Dikhawatirkan ada bias dalam perhitungan biaya usahatani, nilai pengembalian input pada Tabel 11 disajikan dalam bentuk indeks relatif masing-masing input di masing-masing strata rumahtangga terhadap nilai masing-masing pengembalian input seluruh rumahtangga petani.
168 Tabel 11. Indeks Pengembalian Input Usahatani Setiap Strata Terhadap Nilai Pengembalian Input Total Rumahtangga Jenis Input Usahatani Pupuk Urea Pupuk TSP Nilai Input Lain Tenaga Kerja Pria Dalam Keluarga Tenaga Kerja Wanita Dalam Keluarga Tenaga Kerja Pria Luar Keluarga Tenaga Kerja Wanita Luar Keluarga Lahan Garapan
Lahan Sempit 92.63 57.60 70.98 39.29 20.73 61.19 66.78 188.35
Lahan Sedang 93.81 142.42 116.39 50.95 72.24 156.91 159.14 68.66
Lahan Luas 113.86 100.66 113.25 212.12 209.67 82.29 74.28 40.85
Total 100 100 100 100 100 100 100 100
Menggunakan ukuran indeks pengembalian masing-masing input, dapat dilihat pada Tabel 11 bahwa pada rumahtangga berlahan sempit produktivitas input usahataninya relatif lebih rendah dibandingkan dengan pada rumahtangga lahan sedang dan lahan luas, kecuali untuk input lahan (return to land).
Relatif rendahnya nilai
pengembalian pupuk urea, pupuk tsp, dan tenaga kerja dalam dan luar keluarga pada rumahtangga lahan sempit diduga karena penggunaan input usahatani tersebut relatif lebih intensif dibandingkan dengan rumahtangga lahan sedang dan lahan luas seperti telah ditunjukkan pada Tabel 9 di atas.
Tingginya nilai pengembalian lahan pada
rumahtangga lahan sempit memang konsisten dengan gejala IP seperti telah dijelaskan di atas. Setelah mempelajari penggunaan input usahatani, selanjutnya pada Tabel 12 disajikan alokasi penerimaan usahatani untuk keperluan pengeluaran usahatani dan konsumsi rumahtangga. Alokasi penerimaan ini penting dipelajari untuk mengetahui bagaimana rumahtangga petani memanfaatkan penerimaan usahataninya untuk berbagai keperluan. Pada Tabel 11 diperlihatkan pengeluaran usahatani dalam bentuk biaya tunai untuk keperluan sarana produksi, seperti pupuk, benih, bibit, dan obat-obatan. Pada tabel tersebut terlihat porsi pengeluaran tunai untuk sarana produksi terbesar (20 persen dari
169 total penerimaan) terdapat pada rumahtangga berlahan sempit. Kondisi sebaliknya untuk pengeluaran tunai tenaga kerja luar keluarga, porsi terbesar terjadi pada rumahtangga berlahan luas.
Kedua jenis pengeluaran ini memerlukan uang tunai, sehingga sering
dijadikan ukuran kemampuan usahatani dalam memenuhi kebutuhan uang tunai. Di samping pengeluaran total usahatani, pada Tabel 12 tercantum juga pengeluaran investasi usahatani. Jika pengeluaran total usahatani merupakan pengeluaran rutin, maka pengeluaran investasi adalah pengeluaran tidak rutin.
Di dalamnya
terkandung pengeluaran pembelian peralatan usahatani, perbaikan bangunan usahatani, dan perbaikan lahan. Pada tabel terlihat porsi pengeluaran investasi ini relatif kecil dan tidak ada konsistensi besar proporsi dengan strata luas lahan. Bagian yang dialokasikan untuk investasi ini merupakan upaya rumahtangga dalam mempertahankan dan meningkatkan modal usahatani. Oleh karena itu sering disebut kemampuan usahatani dalam pembentukan modal dari dalam usahatani. Tabel 12. Alokasi Penerimaan Usahatani Pada Pengeluaran Usahatani dan Konsumsi Rumahtangga Menurut Strata Luas Lahan Uraian Pengeluaran Saprodi Tunai Tenaga Kerja Luar Keluarga Total Pengeluaran Usahatani Investasi Usahatani Produk Usahatani Dikonsumsi Produk Usahatani Dijual Penerimaan Total Usahatani
Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas Rata% Rata-rata % Rata-rata % rata 599.2 20 1038.9 15 2272.0 17 844.2 28 2155.5 32 4869.2 35 1443.4 49 3194.4 47 7141.2 52 226.6 8 813.6 12 1044.0 8 844.2 28 1675.6 25 2562.2 19 2118.3 72 5107.8 75 11393.7 83 2962.4 100 6783.4 100 13779.8 100
Total Ratarata 1295.6 2604.1 3899.8 690.8 1685.9 6163.3 7849.2
% 17 33 50 9 21 79 100
Bagian lain dari Tabel 12 adalah produk usahatani yang dikonsumsi dan yang dijual ke pasar.
Produk usahatani yang dikonsumsi adalah bagian dari penerimaan
usahatani yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga. Besarnya porsi ini menunjukkan peran usahatani dalam memenuhi kebutuhan rumahtangga,
170 sehingga sering digunakan sebagai ukuran subsistensi. dikonsumsi, semakin bersifat subsisten.
Semakin besar bagian yang
Sebaliknya produk usahatani yang dijual
merupakan bagian produk usahatani yang dialokasikan untuk memperoleh uang tunai. Semakin besar bagian produk yang dijual, usahatani yang bersangkutan semakin komersial. Pada Tabel 11 diperlihatkan, bagian produk yang dijual
relatif lebih besar
dibandingkan dengan bagian produk yang dikonsumsi. Hal yang menarik adalah bahwa fenomena ini terjadi di seluruh strata luas lahan dengan kecenderungan makin besar. Jika ini dijadikan indikator tingkat komersial usahatani, dapat disimpulkan bahwa semakin luas lahan yang dikuasai, usahatani semakin komersial. 5.5. Struktur Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Rumahtangga yang menjadi objek penelitian adalah rumahtangga petani tanaman pangan. Oleh karena itu, sumber pendapatan utama diharapkan berasal dari tanaman pangan.
Pada Tabel 12 diperlihatkan pendapatan rumahtangga petani dari berbagai
sumber.
Pada tabel tersebut terlihat tanaman pangan memang merupakan sumber
penerimaan paling besar di seluruh strata rumahtangga.
Menarik untuk diperhatikan
bahwa peranan tanaman pangan tersebut semakin besar pada rumahtangga yang berlahan sedang dan lahan luas. Komposisi tanaman pangan berasal dari tanaman padi sawah dan padi ladang, berbagai macam palawija, dan berbagai macam sayuran. Tanaman palawija, sayuran dan berbagai jenis tanaman pangan lainnya, pada Tabel 13 dikelompokkan pada tanaman non padi. Antara kedua jenis penerimaan tersebut, tampak penerimaan yang berasal dari padi lebih besar dibandingkan dengan dengan non padi. Peranan padi tampak semakin besar
171 pada rumahtangga petani yang berlahan sedang dan lahan luas. Hal ini menunjukkan bahwa komoditi padi pada rumahtangga tanaman pangan masih merupakan komoditi penting, dan selalu ada dalam komposisi tanaman pangan. Di samping tanaman pangan, bagian lain dari penerimaan usahatani adalah penerimaan yang berasal dari ternak, ikan, dan berbagai jenis penerimaan non pangan lainnya. Kontribusi sumber penerimaan ini relatif kecil di seluruh strata rumahtangga yang diteliti. Pada Tabel 13 juga diperlihatkan konstribusi pendapatan dari usahatani dan dari luar usahatani. Pendapatan bersih dari usahatani lebih tinggi dibandingkan dengan dari luar usahatani. Pada rumahtangga lahan sedang dan lahan luas, kontribusi pendapatan usahatani semakin besar.
Fenomena ini menunjukkan bahwa dilihat dari besarnya
pendapatan rumahtangga, pendapatan usahatani memegang peranan penting di seluruh strata rumahtangga. Pendapatan dari luar usahatani berasal dari berbagai aktivitas di dalam rumahtangga dan di luar rumahtangga. Di daerah penelitian, kesempatan kerja di luar usahatani ini tampaknya tidak banyak tersedia. Tabel 13. Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani Menurut Strata Luas Lahan Jenis Pendapatan Padi Non Padi Tanaman Pangan Penerimaan Total Usahatani Pendapatan Bersih Usahatani Pendapatan Luar Usahatani Pendapatan Rumahtangga
Lahan Sempit Rata% rata 1084 36.59 978 33.01 2062 69.60 2962 100.00 1942 50.75 1884 49.25 3826 100.00
Lahan Sedang Rata% rata 2690 39.66 2311 34.07 5002 73.73 6783 100.00 3463 69.78 1500 30.22 4963 100.00
Lahan Luas Rata% rata 6299 45.71 5301 38.47 11600 84.18 13780 100.00 6186 86.43 971 13.57 7157 100.00
Total Rata% rata 3360 42.81 2866 36.51 6226 79.31 7849 100.00 3870 72.60 1460 27.40 5330 100.00
Pada Tabel 14 disajikan struktur pengeluaran rumahtangga selama satu tahun menurut strata luas lahan.
Besaran mutlak setiap jenis pengeluaran rumahtangga
172 tampaknya berbanding lurus dengan luas lahan.
Semakin tinggi strata rumahtangga
menurut luas lahan, pengeluaran rumahtangga semakin besar. Sudah dapat diduga bahwa porsi pengeluaran rumahtangga paling besar adalah untuk pangan.
Proporsi pengeluaran pangan hampir sama untuk seluruh strata
rumahtangga, yaitu sekitar 42 persen.
Jika dilihat dari sumber perolehannya, sebagian
besar pengeluaran pangan tersebut dibeli dari pasar, sisanya disediakan sendiri dari berbagai sumber, termasuk dari usahatani sendiri. Tingginya porsi pengeluaran pangan yang berasal dari pasar mengindikasikan tingginya permintaan rumahtangga terhadap uang tunai. Proporsi ini berlaku di semua strata. Hal tersebut berarti perbedaan luas lahan usahatani tidak mempengaruhi proporsi kebutuhan pangan dari pasar, atau peranan usahatani sendiri sebagai penyedia pangan tidak dipengaruhi oleh luasan lahan. Pengeluaran rumahtangga untuk pendidikan dan kesehatan menempati porsi yang relatif kecil di seluruh strata rumahtangga dengan kecenderungan porsi pengeluaran pada rumahtangga lahan sempit lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran pada rumahtangga lahan sedang dan lahan luas.
Pengeluaran pendidikan dan kesehatan
merupakan bagian dari upaya rumahtangga dalam mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di rumahtangga. Keterbatasan pendapatan keluarga diduga akan menekan pengeluaran untuk jenis ini. Pengeluaran barang-barang rumahtangga merupakan pengeluaran untuk membeli dan atau memelihara barang-barang rumahtangga, termasuk memelihara atau perbaikan rumah tempat tinggal.
Pada Tabel 14 terlihat pengeluaran jenis ini relatif kecil
dibandingkan dengan pengeluaran lainnya. Tabel 14. Struktur Pengeluaran Rumahtangga Menurut Strata Luas Lahan Jenis Pengeluaran
Lahan Sempit
Lahan Sedang
Lahan Luas
Total
173
Pangan dibeli dari pasar Pangan disediakan sendiri Total pangan Pendidikan Kesehatan Nonpangan Barang-barang rumahtangga Total Pengeluaran
Ratarata 2562 1102 3664 136 40 512 538 8553
% 29.95 12.88 42.83 1.59 0.47 5.99 6.29 100
Ratarata 3104 1380 4484 140 54 763 541 10467
% 29.65 13.19 42.84 1.34 0.52 7.29 5.17 100
RataRata% rata rata 4092 26.19 3263 2551 16.32 1682 6643 42.51 4944 289 1.85 189 120 0.77 71 1088 6.96 790 842 5.39 643 15625 100 11581
% 28.17 14.52 42.69 1.63 0.62 6.82 5.55 100
Pada Tabel 14 juga diperlihatkan besar total pengeluaran rumahtangga. Besaran ini dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan rumahtangga. Makin tinggi pengeluaran total, dapat disimpulkan kesejahteraan keluarga makin baik.
Total pengeluaran
rumahtangga rata-rata secara konsisten meningkat pada strata rumahtangga lahan sedang dan lahan luas. Fenomena ini menunjukkan bahwa luas penguasaan lahan usahatani dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan petani, atau setidaknya,
luas penguasaan
lahan masih merupakan indikator yang baik dalam mengidentifikasi tingkat kesejahteraan keluarga.
VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI 6.1. Hasil Pendugaan Harga Bayangan Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa harga bayangan diturunkan dari fungsi produksi usahatani.
Idealnya, setiap strata rumahtangga pada penelitian ini
mempunyai fungsi produksi masing-masing, sehingga dibutuhkan tiga fungsi produksi translog. Namun hasil yang diperoleh ternyata tidak memuaskan sehingga pada akhirnya dipilih satu fungsi produksi. simulasi.
Perbedaan strata akan tetap dipertahankan pada saat
174 Fungsi produksi translog pertama kali diduga dengan metode OLS, dimana seluruh variabel terlebih dahulu ditransfer ke dalam bentuk logaritma natural. Hasil pendugaan menunjukkan adanya gejala kolinearitas ganda yang serius, yang ditunjukkan dengan nilai VIF yang sangat besar. Hal ini sudah diduga sebelumnya, bahwa dalam model fungsi produksi translog, terdapat interaksi antar variabel, sehingga satu variabel dapat muncul beberapa kali.
Akibatnya
sejumlah antar variabel penjelas sangat
berkorelasi tinggi. Di samping adanya pelanggaran asumsi serius dalam fungsi produksi ini, juga hasil yang diperoleh tidak menghasilkan harga bayangan input seperti yang diharapkan. Sebagian besar dugaan harga bayangan berdasarkan fungsi dugaan tersebut bernilai negatif. Usaha menghindari adanya kolinearitas ganda pada fungsi translog, dilakukan dengan mencari bentuk fungsi produksi yang lebih sederhana.
Mengingat translog
sebenarnya adalah pengembangan dari fungsi produksi Cobb-Douglas, pada penelitian ini juga dicoba menggunakan bentuk fungsi ini.
Hasil yang diperoleh juga kurang
memuaskan. Beberapa koefisien fungsi produksi yang diperoleh bertanda negatif, sehingga harga bayangan input yang dihasilkan bertanda negatif. Upaya berikutnya adalah kembali ke fungsi produksi translog dengan cara mengoreksi adanya kolinearitas ganda. Salah satu metode yang cukup efektif menekan adanya kolinearitas ganda adalah metode PLS seperti telah dijelaskan pada metodologi. Pada metode PLS tahapan yang kritis adalah penentuan jumlah komponen utama yang akan digunakan untuk mewakili variabel aslinya. Hasil metode PLS menunjukkan bahwa jumlah rata-rata akar nilai PRESS minimum terjadi dengan mempertahankan 4 komponen, atau sampai dengan P4. Fungsi produksi yang diperoleh disajikan pada Tabel
175 15. Pada tabel tersebut terlihat dari 36 parameter dugaan terdapat lima parameter dugaan bernilai negatif.
Namun demikian nilai negatif tersebut tidak menyebabkan harga
bayangan negatif. Uji statistik terhadap paramater dugaan pada fungsi produksi di atas menggunakan standard error hasil metode bootsrap. Dari 36 parameter dugaan diperoleh 12 parameter dugaan mempunyai taraf nyata(á) kurang atau samadengan 10 persen, atau terdapat 15 parameter dugaan dengan taraf nyata kurang atau sama dengan 20 persen. Hasil dugaan juga menunjukkan fungsi produksi translog di atas mempunyai R2 sebesar 69.10 persen. R2 ini relatif kecil, namun uji statistik menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan fungsi produksi Cobb-Douglas, fungsi produksi translog ini tetap lebih baik dengan taraf nyata kurang dari satu persen. Walaupun uji statistik terhadap fungsi produksi di atas kurang memuaskan, namun fungsi cukup baik dalam menduga harga bayangan input usahatani. Syarat yang perlu diperhatikan adalah kemampuan fungsi produksi tersebut menghasilkan harga bayangan yang bernilai positif. Seperti telah disinggung di atas, walaupun ada beberapa
176 Tabel 15. Hasil Dugaan Fungsi Produksi Translog Dengan Metode PLS Pada Rumahtangga Petani Tanaman Pangan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Variabel* Intercept lx1 lx2 lx3 lx4 lx5 lx6 lx7 lx11 lx12 lx13 lx14 lx15 lx16 lx17 lx22 lx23 lx24 lx25 lx26 lx27 lx33 lx34 lx35 lx36 lx37 lx44 lx45 lx46 lx47 lx55 lx56 lx57 lx66 lx67 lx77
Parameter Dugaan 5.445830 0.040460 0.030880 0.017620 0.012900 0.070460 0.104690 0.073610 0.002090 0.003650 -0.000710 -0.002170 0.002900 0.010850 0.003950 0.001140 -0.002760 -0.004140 0.000060 0.002240 0.003310 0.005030 0.001860 0.002860 0.011100 0.005830 0.004040 0.001690 0.009640 0.005640 0.008120 0.008990 0.005540 -0.111240 0.009330 0.017530
Standard Error** 0.226180 0.026590 0.030800 0.019140 0.017800 0.023560 0.026390 0.018590 0.006400 0.003950 0.004130 0.004530 0.002680 0.012760 0.002620 0.008320 0.003470 0.003760 0.003080 0.013130 0.003390 0.005080 0.001990 0.002250 0.005030 0.001820 0.004750 0.002220 0.005470 0.001990 0.003860 0.006150 0.001310 0.034340 0.007510 0.003600
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5.
t
Pr >| t |
24.08 1.52 1.00 0.92 0.72 2.99 3.97 3.96 0.33 0.92 0.17 0.48 1.08 0.85 1.51 0.14 0.80 1.10 0.02 0.17 0.97 0.99 0.93 1.27 2.21 3.21 0.85 0.76 1.76 2.83 2.11 1.46 4.23 3.24 1.24 4.87
0.000000 0.128430 0.316319 0.357606 0.468883 0.002859 0.000078 0.000081 0.744348 0.355366 0.862925 0.631698 0.280204 0.395270 0.132464 0.891140 0.425658 0.270534 0.983649 0.864497 0.330463 0.321899 0.350757 0.204728 0.027422 0.001381 0.395436 0.448407 0.078268 0.004749 0.035502 0.144030 0.000026 0.001241 0.214592 0.000001
177 ** Diperoleh dengan metode Bootsrap
koefisien fungsi produksi translog yang bertanda negatif, harga bayangan yang dihasilkan tetap positif. Dari fungsi produksi translog di atas dapat dihasilkan harga bayangan tenaga kerja dalam keluarga pria dan wanita, harga bayangan tenaga kerja luar keluarga pria dan wanita, harga bayangan pupuk Urea, dan harga bayangan lahan. Harga bayangan input lain tidak dapat dicari karena dalam fungsi produksi dinyatakan dalam bentuk variabel komposit nilai rupiah. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel
16.
Variabel* SWP SWW SWPL SWWL SPU SPL UHP UHW HURE
Harga Bayangan dan Harga Pasar Input Usahatani Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Translog Menurut Strata Luas Lahan Garapan
Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas Total (n=322) (n=317) (n=312) (n=951) Rata-rata St dev Rata-rata Stdev Rata-rata Stdev Rata-rata Stdev 4.15 7.41 3.92 5.64 5.15 10.93 3.06 5.50 0.81 1.42 1586.30 1211.55 8.21 2.37 5.22 1.77 0.81 0.25
7.28 9.29 8.09 6.42 1.20 947.80 9.36 6.50 0.82
9.73 20.78 13.26 14.50 1.85 853.97 2.85 2.64 0.29
16.62 23.41 9.14 7.04 1.48 682.22 10.47 7.56 0.83
36.50 145.80 16.17 11.66 1.14 821.32 2.58 2.61 0.29
9.29 12.12 7.44 5.49 1.16 1075.79 9.34 6.42 0.82
22.69 84.83 13.69 11.31 1.53 1050.12 2.76 2.55 0.28
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5.
Walaupun fungsi produksi yang digunakan hanya satu, namun harga bayangan yang dihasilkan dapat dipelajari menurut strata luas lahan. Sebagai pembanding, pada Tabel 16 juga disajikan rata-rata upah harian buruh usahatani pria dan wanita serta harga rata-rata Urea. Upah harian buruh usahatani pria dan wanita merupakan pembanding harga bayangan tenaga kerja pria dan wanita, baik tenaga kerja dalam keluarga maupun tenaga kerja luar keluarga. Harga pupuk Urea merupakan pembanding harga bayangan
178 pupuk Urea. Evaluasi secara umum pada Tabel 16 menunjukkan bahwa besar harga bayangan input usahatani, kecuali lahan, secara konsisten semakin meningkat pada strata lahan yang semakin luas.
Jika kembali melihat intensitas penggunaan input pada bab
sebelumnya, terdapat indikasi semakin tinggi penggunaan input, harga bayangan semakin input yang bersangkutan semakin rendah. Hubungan ini menunjukkan bahwa fungsi produksi translog yang diduga secara geometrik berbentuk cekung (concave) terhadap titik pusat. Harga bayangan yang positif dan cenderung menurun pada penggunaan input yang lebih tinggi menunjukkan bahwa penggunaan input usahatani berada di daerah produksi II. Harga bayangan lahan mempunyai besaran yang cenderung menurun pada strata lahan yang lebih luas. Kecenderungan tersebut dapat diterjemahkan bahwa semakin luas lahan usahatani produktivitas lahan tersebut semakin rendah.
Kondisi ini konsisten
dengan pembahasan pada bab sebelumnya, yang mengindikasikan adanya gejala IP atau inverse farm size productivity. Perbandingan harga bayangan input usahatani dengan harga pasar pada Tabel 16 menunjukkan hubungan, bahwa semakin luas lahan usahatani, harga bayangan cenderung lebih tinggi dibanding harga pasarnya. Kecenderungan tersebut wajar, karena seperti telah dijelaskan di atas bahwa harga bayangan, tenaga kerja dan pupuk Urea cenderung meningkat pada strata lahan yang lebih luas. Di sisi lain, upah buruh usahatani dan harga pupuk Urea relatif sama di setiap strata luas lahan. Perbedaan harga bayangan dengan harga pasarnya, dapat diterjemahkan dalam dua pengertian. Pengertian pertama, menunjukkan bahwa penggunaan input usahatani tidak efisien.
Menurut teori ekonomi produksi, pada kondisi keuntungan maksimum,
179 penggunaan input optimum terjadi jika harga bayangan input (nilai produk marjinal input) sama dengan nilai korbanan marginalnya (harga pasar per unit input). Pengertian kedua, perbedaan antara harga bayangan input dan harga pasarnya menunjukkan adanya distorsi penggunaan sumberdaya yang disebabkan oleh berbagai kendala (Bhattacharyya dan Kumbakar, 1997). Persoalan ini akan dibahas lebih lanjut pada bab di belakang. 6.2. Hasil Pendugaan Model Ekonomi Rumahtangga Seperti halnya pada pendugaan fungsi produksi di atas, idealnya model ekonomi rumahtangga petani juga diduga menurut masing-masing strata. Namun upaya menduga masing-masing strata tersebut hasilnya tidak memuaskan.
Oleh karena itu pada
penelitian ini, model ekonomi rumahtangga yang berhasil dibangun adalah berdasarkan keseluruhan contoh rumahtangga. Sebelum membahas hasil pendugaan parameter di setiap persamaan struktural, perlu dilihat hasil analisis ragam masing-masing persamaan. Pada Tabel 17 disajikan hasil analisis ragam masing-masing persamaan struktural.
Mengingat penyelesaian
model sumultan pada penelitian ini menggunakan metode 3SLS, maka analisis ragam yang disajikan pada tabel tersebut adalah hasil metode 2SLS. Jumlah persamaan struktural yang perlu diduga sebanyak 17 buah.
Dari 17 persamaan tersebut
menghasilkan R2 minimum 0.10 pada persamaan tabungan rumahtangga (TABNG) dan maksimum 0.68 pada persamaan luas lahan garapan (LGARP). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa variabel-variabel penjelas yang menyusun masing-masing persamaan hanya mampu menjelaskan variasi variabel yang dijelaskan dalam proporsi yang relatif kecil. Pada model yang menggunakan data lintang waktu seperti pada penelitian ini, kondisi ideal yang menghasilkan R2 tinggi sulit diperoleh. Pada Tabel 17
180 juga disajikan nilai F hitung untuk uji statistik terhadap keseluruhan regresi pada setiap persamaan struktural. Nilai F yang dihasilkan minimum 19. Pada derajat bebas masingmasing, uji F tersebut dapat menghasilkan kesimpulan bahwa model regresi yang dibangun secara statistik nyata pada taraf nyata kurang dari satu persen. Tabel 17. Analisis Ragam Persamaan Struktural Model Persamaan Simultan Pada Rumahtangga Petani Tanaman Pangan Persamaan* TKPD TKWD TKPL TKWL KPNFF KWNFF PURE PTSP LGARP INVUT INVRT KONPT CPANB CNPAN CPKES CREDIT TABNG
DF Model
Error
6 6 5 5 6 6 6 6 6 6 5 4 4 3 4 5 3
945 945 946 946 945 945 945 945 945 945 946 947 947 948 947 946 948
SSE
MSE
8698505 9205 2915925 3086 79424980 83959 45367999 47958 17936423 18980 11531387 12203 73353218 77622 22881490 24213 1650 2 1.0.E+09 1078836 7.2.E+09 7578964 1.2.E+10 12206969 4.7.E+09 4965043 8.1.E+08 855450 2.5.E+08 266262 3.4.E+09 3543823 1.1.E+10 11787755
R-Square
Adj R-Sq
0.162 0.109 0.340 0.373 0.157 0.108 0.249 0.119 0.683 0.146 0.129 0.122 0.109 0.104 0.178 0.106 0.100
0.157 0.104 0.337 0.371 0.152 0.103 0.245 0.115 0.681 0.141 0.126 0.119 0.107 0.102 0.176 0.102 0.098
Nilai F
30.34 19.25 97.29 112.65 29.22 19.05 52.25 21.34 339.19 26.86 28.10 32.90 29.08 36.69 51.34 22.34 35.24
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5. Pada model ekonometrik memang seringkali dihadapkan pada persoalan antara kriteria statistik dan kriteria ekonomi. Pada kriteria statistik idealnya, setiap persamaan mempunyai nilai R2 yang tinggi dan standard error pendugaan parameter yang kecil. Namun jika salah satu dari kedua kriteria statistik tersebut tidak terpenuhi, maka perlu dipilih secara bijaksana. Pilihan tergantung pada tujuan akhir yang akan diperoleh. Jika model ekonometrika yang dibangun adalah untuk peramalan, maka lebih tepat menggunakan kriteria R2. Jika tujuannya untuk menjelaskan perilaku maka kriteria yang
181 tepat adalah standard error yang terkecil. Jika kriteria statistik juga tidak terpenuhi, maka kriteria terakhir yang perlu dipertahankan adalah kriteria ekonomi, yaitu memperhatikan arah (sign) dan besaran (size) parameter yang diduga (Koutsoyiannis, 1977).
Pada
penelitian ini, akan lebih banyak menggunakan kriteria ekonomi dibanding kriteria statistik.
6.2.1. Penggunaan Tenaga Kerja Dalam Keluarga Seperti telah disebutkan pada formulasi model, penggunaan tenaga kerja dalam keluarga pada usahatani dapat dilihat dari dua sisi, yaitu
sebagai curahan kerja
rumahtangga di usahatani sendiri atau sebagai permintaan tenaga kerja usahatani sendiri terhadap tenaga kerja keluarga. Sebagai permintaan tenaga kerja dalam keluarga oleh usahatani sendiri berarti penggunaan tenaga kerja dilihat dari sisi kegiatan usahatani. Di sisi lain, sebagai curahan kerja rumahtangga berarti penggunaan tenaga kerja usahatani dalam keluarga dilihat dari sisi rumahtangga sebagai penyedia tenaga kerja. dirumuskan menjadi fungsi permintaan tenaga kerja dalam keluarga untuk usahatani. Pada Tabel 18 dapat disebut sebagai fungsi permintaan tenaga kerja untuk usahatani, dengan alasan faktor-faktor penjelas pada persamaan tersebut merupakan ciri karakteristik usahatani yang menjadi faktor penentu kebutuhan tenaga kerja pada usahatani.
Hasil pendugaan menunjukkan bahwa penggunaan tenaga kerja dalam
keluarga usahatani sendiri ditentukan oleh harga bayangan tenaga kerja (SWP, SWW), lahan garapan (LGARP), penggunaan tenaga kerkja luar keluarga (TKPL, TKWL), penggunaan pupuk (PURE, PTSP), dan indeks diversifikasi (DIVE). Terlihat pada tabel tersebut, seluruh parameter dugaan secara ekonomi telah sesuai dengan yang diharapkan.
182 Uji statistik terhadap masing-masing parameter menunjukkan hasil yang sangat baik. Seluruh parameter dugaan berbeda nyata dari nol pada taraf nyata kurang dari satu persen1. Harga bayangan tenaga kerja keluarga, baik pria maupun wanita, baberpengaruh negatif pada penggunaan tenaga kerja dalam keluarga pria atau wanita.
Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan tenaga kerja dalam keluarga ditentukan secara subjektif oleh nilai penerimaan tenaga kerja itu sendiri. Apabila nilai produktivitas marjinal tenaga kerja menurun, yang berarti harga bayangan menurun, maka untuk memperoleh pendapatan yang sama usahatani akan memerlukan tenaga kerja lebih banyak. Sebaliknya, jika nilai produktivitas marjinal tenaga kerja meningkat, yang berarti harga bayangan tenaga kerja meningkat, maka untuk memperoleh pendapatan
yang sama
usahatani akan memerlukan tenaga kerja lebih sedikit. Tabel 18. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Tenaga Kerja Pria dan Wanita Dalam Keluarga di Usahatani Variabel* Tenaga Kerja Pria Intersep SWP LGARP/TKPL PURE PTSP DIVE Tenaga Kerja Wanita Intersep SWW LGARP/TKWL PURE PTSP DIVE 1
Parameter Dugaan
Std Err
Nilai t
25.66234 -1.70456 83.00048 0.18173 0.13394 76.63761
5.35450 0.14300 15.94870 0.01770 0.03920 13.27980
4.79 -11.92 5.20 10.28 3.42 5.77
<.0001 <.0001 <.0001 <.0001 0.0004 <.0001
-0.177 0.009 0.526 0.094 0.203
21.95642 -0.12566 39.48420 0.02411 0.16711 31.93245
3.16350 0.02160 9.41570 0.00965 0.02380 7.93690
6.94 -5.81 4.19 2.50 7.01 4.02
<.0001 <.0001 <.0001 0.0063 <.0001 <.0001
-0.032 0.011 0.131 0.219 0.159
Pr > |t|
Elasitisitas
Nilai alfa (á) keluaran komputer merupakan hasil uji statistik dua arah. Oleh karena itu, untuk parameter dugaan yang memerlukan uji statistik satu arah, nilai alfa yang dihasilkan komputer harus dibagi dua.
183 * Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5. Fungsi di atas dapat juga dilihat sebagai curahan kerja rumahtangga di usahatani sendiri atau penawaran tenaga kerja rumahtangga di usahatani sendiri. Jika halnya demikian, maka hasilnya menunjukkan bahwa semakin tinggi harga bayangan curahan kerja keluarga di usahatani semakin kecil. Penjelasan rasional terhadap hasil ini adalah bahwa pada rumahtangga petani tanaman pangan, pendapatan usahatani merupakan sumber pendapatan utama (perhatikan kembali Tabel 13).
Adanya keterbatasan
kesempatan kerja di luar usahatani menyebabkan ketergantungan rumahtangga terhadap sumber pendapatan dari usahatani semakin besar.
Karena itu, semakin rendah nilai
produktivitas marginal tenaga kerja dalam keluarga di usahatani, atau semakin rendah harga bayangan tenaga kerja tersebut, rumahtangga akan cenderung meningkatkan curahan kerjanya. Sebaliknya, peningkatan nilai produktivitas marjinal tenaga kerja cenderung mengurangi curahan kerja dan meningkatkan waktu santai (leisure). Skoufias (1993) menyebutkan bahwa pada kondisi seperti ini berarti waktu santai bagi rumahtangga petani merupakan barang normal. Semakin tinggi pendapatan, konsumsi waktu santai semakin meningkat. Hasil perhitungan elastisitas pada fungsi ini menunjukkan bahwa harga bayangan tenaga kerja dalam keluarga tidak elastis, atau permintaan tenaga kerja pria dalam keluarga tidak responsif terhadap harga bayangan. Penjelasan rasional terhadap hasil ini adalah bahwa harga bayangan tenaga kerja dalam keluarga tersebut ditentukan oleh banyak faktor, selain penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, juga tenaga kerja luar keluarga, lahan garapan, pupuk Urea, pupuk TSP, dan input lain.
Kontribusi
penggunaan tenaga kerja pria dalam keluarga dalam pembentukan harga bayangan itu
184 sendiri, dengan demikian, relatif kecil.
Oleh karena itu,
tidak mengherankan jika
penggunaan tenaga kerja pria dalam keluarga tidak responsif terhadap harga bayangan tersebut. Hasil ini juga menunjukkan adanya ketergantungan pendapatan rumahtangga terhadap kegiatan usahatani. Paramater dugaan berikutnya adalah rasio antara luas garapan dengan penggunaan tenaga kerja pria atau wanita luar keluarga. Hasil yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan, yaitu positif.
Semakin luas luas garapan, permintaan tenaga kerja dalam
keluarga semakin besar.
Sebaliknya, semakin besar penggunaan tenaga kerja luar
keluarga,
permintaan tenaga kerja dalam keluarga semakin kecil.
Dari fungsi
penggunaan tenaga kerja dalam keluarga ini menunjukkan hubungan substitusi antara tenaga kerja luar keluarga..
Adanya parameter dugaan yang nyata secara statistik
mengindikasikan bahwa substitusi antara tenaga kerja dalam keluarga dengan tenaga kerja luar keluarga tidak sempurna, baik di tenaga kerja pria maupun tenaga kerja wanita. Diduga hal ini disebabkan karena adanya biaya transaksi atau kebutuhan tenaga tambahan dari dalam keluarga untuk supervisi penggunaan tenaga kerja luar keluarga. Kualitas tenaga kerja luar keluarga diduga tidak sama dengan tenaga kerja dalam keluarga. Hasil ini memperkuat indikasi adanya ketidak sempurnaan pasar tenaga kerja yang dihadapi rumahtangga petani, di mana asumsi yang harus dipenuhi pada asumsi pasar persaingan sempurna adalah substitusi yang sempurna antara tenaga kerja dalam keluarga dengan luar keluarga. Oleh karena itu, pada peneltian ini, penggunaan tenaga kerja dalam keluarga tidak diduga dengan upah tenaga kerja luar keluarga.. Dari fungsi di atas dapat dilihat bahwa semakin luas luas garapan, penggunaan tenaga kerja dalam keluarga pada usahatani semakin besar. Hal ini diduga karena lahan
185 garapan merupakan sumberdaya utama rumahtangga petani. Keputusan rumahtangga dalam menggunakan tenaga kerja keluarga dan juga input usahatani lainnya, sering berpatokan kepada luas lahan.
Oleh karena itu, pada penelitian ini, lahan garapan
menentukan seluruh penggunaan input usahatani lainnya. Namun demikian, elastisitas penggunaan tenaga kerja keluarga pada penelitian ini tampak tidak elastis terhadap luas lahan garapan. Koefisien penggunaan pupuk Urea (PURE) bertanda positif, dan secara statistik berbeda nyata dari nol pada taraf nyata kurang dari satu persen. Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga bersifat komplemen dengan penggunaan pupuk Urea. Secara teoritik sebenarnya bisa saja bersifat substitusi, dimana penggunaan pupuk Urea sebagai komponen teknologi akan mengurangi penggunaan tenaga kerja. Namun secara empirik ternyata hubungannya bersifat komplementer, karena aplikasi pupuk Urea pada usahatani pada saat ini masih menggunakan tenaga kerja langsung, termasuk di dalamnya tenaga kerja dalam keluarga.
Dilihat dari besaran elastisitas dapat disimpulkan bahwa
permintaan tenaga kerja pria dalam keluarga tidak responsif terhadap penggunaan pupuk Urea. Hasil yang sama terjadi pada pupuk TSP (PTSP). Koefisien dugaan pupuk TSP bertanda positif, yang berarti penggunaan tenaga kerja dalam keluarga pria juga bersifat komplementer dengan penggunaan pupuk TSP.
Sama halnya dengan pupuk Urea,
aplikasi pupuk TSP pada teknologi usahatani saat ini masih memerlukan sejumlah tenaga kerja, sehingga wajar jika terjadi hubungan komplementer dengan penggunaan tenaga kerja.
Hal ini juga mengindikasikan bahwa aplikasi pupuk kimia pada usahatani
tampaknya belum dapat mensubtitusi penggunaan tenaga kerja dalam keluarga.
186 Indeks diversifikasi (DIVE) berpengaruh positif terhadap penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, baik pada tenaga kerja pria maupun tenaga kerja wanita. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin beragam jenis komoditi yang diusahakan semakin banyak memerlukan tenaga kerja pria dalam keluarga. Walaupun tidak ada hipotesis apriori terhadap tanda parameter ini., namun demikian, hasil ini menunjukkan bahwa penganekaragaman jenis komoditi yang diusahakan pada lahan usahatani memerlukan tambahan tenaga kerja, di dalam hal ini tenaga kerja dalam keluarga. Kenyataan ini menunjukkan bahwa diversifikasi tanaman pangan yang dilakukan rumahtangga petani bukan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan tenaga kerja, tetapi diduga berkaitan dengan upaya menekan resiko produksi. 6.2.2. Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga Penggunaan tenaga kerja luar keluarga untuk kegiatan usahatani merupakan fenomena umum pada rumahtangga petani. Keputusan menggunakan tenaga kerja luar keluarga seringkali tidak hanya merupakan perilaku ekonomi tetapi juga mengandung keputusan non-ekonomi.
Perilaku sosial dan budaya di perdesaan diduga juga ikut
menentukan keputusan rumahtangga petani dalam menggunakan tenaga kerja luar keluarga ini. Namun demikian, pada penelitian ini, perilaku rumahtangga yang dianalisis adalah perilaku ekonomi, sehingga keputusan yang diambil rumahtangga pada penggunaan tenaga kerja luar keluarga ini akan dilihat dari rasional ekonomi. Tabel 19. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Tenaga Kerja Pria dan Wanita Luar Keluarga di Usahatani Variabel* Tenaga Kerja Pria Intersep UHP
Parameter Dugaan 51.83649 -8.97806
Std Err
Nilai t
Pr > |t|
Elasitisitas
23.33300 2.02740
2.22 -4.43
0.0265 <.0001
-0.441
187 LGARP/TKPD TFRET CREDIT Tenaga Kerja Wanita Intersep UHW LGARP/TKWD TFRET CREDIT
33.83052 0.01427 0.10017
24.40170 0.00075 0.00925
1.39 18.95 10.83
0.1660 <.0001 <.0001
0.004 0.857 0.302
25.38916 -8.88771 37.51009 0.01125 0.08051
14.54920 1.67620 12.92570 0.00058 0.00710
1.75 -5.30 2.90 19.34 11.33
0.0813 <.0001 0.0038 <.0001 <.0001
-0.387 0.010 0.872 0.313
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5. Pada Tabel 19 dapat dilihat hasil pendugaan parameter persamaan penggunaan tenaga kerja pria dan wanita luar keluarga.
Teori ekonomi memandang persamaan
tersebut sebagai fungsi permintaan tenaga kerja.
Karena itu, perilaku yang terjadi
diterjemahkan sebagai perilaku permintaan rumahtangga petani terhadap tenaga kerja luar keluarga. Hasil pendugaan parameter fungsi ini menunjukkan seluruhnya telah sesuai dengan yang diharapkan.
Jika menggunakan kriteria statistik pada taraf nyata lima
persen, dapat disimpulkan seluruh parameter dugaan berbeda nyata dari nol, kecuali parameter dugaan rasio luas lahan garapan dan tenaga kerja pria
dalam keluarga
(LGARP/TKPD) pada persamaan permintaan tenaga kerja pria. Variabel upah buruh pada usahatani menunjukkan tanda negatif, sesuai dengan harapan fungsi permintaan tenaga kerja. Namun jika diperhatikan besaran elastisitas variabel tersebut menunjukkan permintaan tenaga kerja pria atau wanita luar keluarga tidak responsif terhadap masing-masing upah buruh usahatani. Upah buruh di dalam penelitian ini adalah upah buruh harian atau suatu proksi yang setara dengan upah buruh harian. Seperti telah disebutkan pada metodologi, data upah ada yang didekati dengan nilai per unit kerja.
Pendekatan ini untuk menangkap keputusan rumahtangga
menggunakan tenaga kerja luar keluarga yang tidak dalam bentuk kerja harian, seperti kerja borongan yang sering ditemui di pedesaan.
Pada kerja borongan, keputusan
188 menggunakan tenaga kerja lebih mempertimbangkan hasil kerja dan nilai total yang harus dibayar rumahtangga. Jumlah tenaga kerja yang harus digunakan tidak dipertimbangkan secara langsung.
Sistem borongan jika dikonversi dengan upah harian, seringkali
menghasilkan tingkat upah yang tidak rasional (terlalu tinggi atau terlalu rendah). Pada penelitian ini diasumsikan bahwa rumahtangga mengetahui konsekuensi dari setiap sistem kerja yang dihadapi, sehingga masih relevan dengan konsep elastisitas. Adanya variabel upah buruh usahatani pada fungsi permintaan tenaga kerja luar keluarga mengindikasikan bahwa permintaan tenaga kerja luar keluarga pada rumahtangga petani ditentukan oleh mekanisme pasar tenaga kerja. Permintaan tenaga kerja luar keluarga sangat nyata dipengaruhi tingkat upah yang berlaku, walaupun tidak responsif terhadap upah tersebut. Tidak elastisnya permintaan rumahtangga petani terhadap tenaga kerja luar keluarga meningindikasikan bahwa penggunaan tenaga kerja luar keluarga bukan murni pertimbangan ekonomi yang mengacu pada tingkat upah yang berlaku. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga bisa terjadi karena kebutuhan proses kerja usahatani yang perlu diselesaikan pada waktu tertentu, seperti penanaman, pengolahan lahan, dan panen. Dengan keterbatasan jumlaah tenaga kerja di dalam keluarga, seperti telah dijelaskan di atas, proses kerja tertentu akan selalu membutuhkan tambahan tenaga kerja luar keluarga. Upah buruh usahatani, dengan demikian, bukan merupakan instrumen kebijakan yang akan efektif digunakan untuk menggerakkan ekonomi rumahtangga petani. Efek tidak langsung dari perubahan ini pada variabel ekonomi lainnya juga akan kecil. Parameter dugaan variabel rasio luas lahan garapan dengan tenaga kerja pria atau wanita dalam keluarga bertanda positif sesuai dengan harapan walaupun secara
189 statistik pada fungsi permintaan tenaga kerja pria tidak berbeda nyata dari nol pada taraf nyata 10 persen. Dari fungsi ini dapat diketahui adanya hubungan komplementer antara lahan garapan dengan penggunaan tenaga kerja luar keluarga. Hal yang juga terjadi pada tenaga kerja dalam keluarga. Artinya, penggunaan tenaga kerja luar keluarga atau tenaga kerja dalam keluarga, pada rumahtangga petani searah dengan luas lahan garapan. Besaran elastisitas variabel rasio tersebut juga menunjukkan bahwa permintaan terhadap tenaga kerja pria luar keluarga kurang responsif terhadap perubahan luas lahan garapan atau terhadap penggunaan tenaga kerja dalam keluarga. Namun demikian, sesuai dengan harapan semula bahwa tenaga kerja luar keluarga akan bersubstitusi dengan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, baik pada tenaga kerja pria maupun pada tenaga kerja wanita. Permintaan tenaga kerja luar keluarga dipengaruhi oleh penerimaan total usahatani (TFRET). Penerimaan total usahatani tampak berpengaruh positif terhadap permintaan tenaga kerja pada taraf nyata kurang dari satu persen Hal ini menunjukkan peran penting kegiatan usahatani bagi rumahtangga petani dalam membiayai kegiatan usahataninya sendiri.
Kegiatan usahatani masih bertumpu pada hasil usahatani itu
sendiri. Hal ini juga mengindikasikan masih adanya bagian penerimaan usahatani yang digunakan kembali untuk kepentingan usahatani.
Perilaku seperti ini akan banyak
menentukan sejauh mana rumahtangga petani merespons perubahan faktor ekonomi yang terjadi di luar rumahtangganya. Besaran elastisitas variabel penerimaan usahatani tampak paling besar, yang berarti bahwa permintaan rumahtangga petani terhadap tenaga kerja luar keluarga relatif lebih responsif terhadap pendapatan usahatani dibandingkan dengan terhadap upah.
190 Hasil ini menunjukkan bahwa penerimaan usahatani masih merupakan penggerak utama dalam penggunaan tenaga kerja luar keluarga.
Kecenderungan ini wajar karena
penggunaan tenaga kerja luar keluarga memerlukan sejumlah dana untuk membayar upah. Karenanya semakin tinggi penerimaan total usahatani akan memperbesar penggunaan tenaga kerja luar keluarga. Sejalan dengan penerimaan total usahatani, variabel kredit (CREDIT) juga berpengaruh positif terhadap permintaan tenaga kerja pria luar keluarga pada taraf nyata kurang dari satu persen.
Telah dimaklumi bahwa kredit, bersama-sama dengan
penerimaan usahatani, merupakan sumber dana yang bisa digunakan untuk membayar upah tenaga kerja luar keluarga. Semakin besar rumahtangga dapat memperoleh kredit, jumlah tenaga kerja luar keluarga yang diminta semakin besar, walaupun dengan persentase kenaikan yang lebih kecil karena permintaan rumahtangga petani terhadap tenaga kerja luar keluarga, baik pria maupun wanita, tidak elastis terhadap kredit. Dari hasil pendugaan fungsi permintaan tenaga kerja luar keluarga pria dan wanita tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku rumahtangga tidak responsif terhadap upah buruh tani. Perilaku rumahtangga relatif lebih responsif terhadap variabel bukan harga, yaitu pendapatan usahatani. Artinya, dalam hal permintaan terhadap tenaga kerja luar keluarga, rumahtangga lebih responsif terhadap variabel bukan harga dibandingkan dengan variabel harga.
Ekonomi rumahtangga petani akan efektif
digerakkan jika terdapat perubahan faktor ekonomi yang mampu meningkatkan pendapatan usahatani. 6.2.3. Penawaran Tenaga Kerja di Luar Usahatani
191 Aktivitas kerja rumahtangga petani di luar usahatani dapat dirumuskan sebagai penawaran tenaga kerja keluarga di luar usahatani. Pada Tabel 20 disajikan hasil pendugaan parameter fungsi penawaran tenaga kerja pria dan wanita di luar usahatani. Fungsi penawaran tenaga kerja tersebut menunjukkan seluruh parameter dugaan mempunyai tanda sesuai dengan harapan. Uji statistik pada masing-masing parameter dugaan menunjukkan seluruh parameter dugaan berbeda nyata dari nol pada taraf nyata kurang dari lima persen, Pada fungsi penawaran tenaga kerja, parameter dugaan variabel upah kerja di luar usahatani bertanda positif dan berbeda nyata dari nol pada taraf nyata kurang dari satu persen. Tanda ini sesuai dengan harapan suatu fungsi penawaran tenaga kerja. Namun permintaan tenaga kerja ini tidak elastis terhadap upah kerja di luar usahatani, baik pada fungsi penawaran tenaga kerja pria maupun fungsi penawaran tenaga kerja wanita. Demikian halnya pada fungsi penawaran tenaga kerja wanita, tampak berpengaruh positif pada taraf nyata kurang dari satu persen, namun juga tidak elastis terhadap tingkat upah yang berlaku. Tidak elastisnya penawaran tenaga kerja terhadap tingkat upah yang berlaku ini diduga karena ada hambatan dalam memasuki lapangan kerja di luar usahatani, dalam bentuk persyaratan pendidikan atau keahlian tertentu. Perubahan upah tenaga kerja yang terjadi di luar usahatani tidak banyak direspons, atau setidaknya tidak segera direspons oleh rumahtangga. Peranan tingkat pendidikan dalam penawaran tenaga kerja keluarga di luar usahatani dapat dilihat dari koefisien IPAKP dan IPAKW.
Kedua variabel
tersebut merupakan indeks pendidikan tenaga kerja pria dan tenaga kerja Tabel 20. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penawaran Tenaga Kerja Pria dan Wanita di Luar Usahatani
192 Variabel* Tenaga Kerja Pria Intersep UPNFF TKPD TFRET TKRTP IPAKP Tenaga Kerja Wanita Intersep UWNFF TKWD TFRET TKRTP IPAKW
Parameter Dugaan
Std Err
Nilai t
Pr > |t|
Elasitisitas
7.26425 0.66438 -0.58054 -0.00122 64.43450 0.00243
14.95150 0.18020 0.08030 0.00040 6.19930 0.00051
0.49 3.69 -7.23 -3.04 10.39 4.75
0.6272 0.0002 <.0001 0.0024 <.0001 <.0001
0.088 -0.420 -0.112 1.331 0.054
-20.63770 1.42316 -0.69469 -0.00067 47.06495 0.00257
13.38900 0.47190 0.13540 0.00032 6.06750 0.00057
-1.54 3.02 -5.13 -2.09 7.76 4.49
0.1236 0.0026 <.0001 0.0370 <.0001 <.0001
0.211 -0.505 -0.116 1.669 0.057
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5. wanita.
Keduanya berpengaruh positif, yang berarti tingkat pendidikan memang
menentukan penawaran tenaga kerja di luar usahatani. Berdasarkan hasil ini, setiap adanya upaya memperbaiki pendidikan keluarga akan meningkatkan penawaran kerja di luar usahatani, baik pria maupun wanita. Selanjutnya dapat diperhatikan pada Tabel 20 adanya hubungan kompetitif antara penawaran tenaga kerja di luar usahatani dengan penggunaan tenaga kerja di dalam usahatani sendiri. Peningkatan penggunaan tenaga kerja di dalam usahatani cenderung mengurangi penawaran tenaga kerja di luar usahatani. Hubungan kompetitif ini tampak tidak melalui mekanisme upah kerja, tetapi hubungan kuantitas. Pada penelitian ini pernah dilakukan pendugaan menggunakan upah buruh usahatani, namun menghasilkan dugaan yang tidak memuaskan. Hasil ini menunjukkan bahwa ketersediaan tenaga kerja di dalam rumahtangga petani menjadi faktor pembatas, sehingga rumahtangga petani harus menentukan pilihan bekerja di luar usahatani atau di dalam usahatani sendiri. Secara praktis artinya penawaran tenaga kerja di luar usahatani bergantung pada
193 kemampuan usahatani untuk menyerap tenaga kerja keluarga. Jika di usahatani sendiri mampu menyediakan kesempatan kerja yang cukup, maka penawaran tenaga kerja keluarga di luar usahatani akan berkurang. Hubungan kompetitif bukan hanya ditunjukkan dalam bentuk tenaga kerja, tetapi juga dalam bentuk penerimaan usahatani. Fenomena ini mengindikasikan bahwa aktivitas rumahtangga petani di luar usahatani masih merupakan kegiatan sampingan. Manakala kegiatan di dalam usahatani sendiri meningkat dalam bentuk penggunaan tenaga kerja atau dalam bentuk pendapatan, kegiatan rumahtangga petani di luar usahatani cenderung dikurangi. Kondisi ini sejalan dengan terjadinya hubungan komptitif dalam penggunaan tenaga kerja pada usahatani dan luar usahatani seperti telah dijelaskan di atas. Fenomena ini juga telah dijelaskan pada deskripsi rumahtangga, bahwa tenaga kerja yang sama di rumahtangga melakukan aktivitas yang berbeda secara bersamaan. Oleh karena itu hubungan kompetitif ini sangat mungkin terjadi. Hubungan ini mengindikasikan bahwa dilihat dari alokasi tenaga kerja, aktivitas rumahtangga di luar usahatani merupakan sumber pendapatan alternatif di samping penerimaan usahatani. Bila usahatani memberikan penerimaan yang cukup, aktivitas rumahtangga di luar usahatani, baik tenaga kerja pria maupun wanita akan berkurang. Penawaran tenaga kerja pria di luar usahatani nyata dipengaruhi oleh ketersediaan angkatan kerja pria di dalam rumahtangga. Uji statistik terhadap parameter dugaan menyimpulkan parameter tersebut berbeda nyata dari nol pada taraf nyata kurang dari satu persen. Keadaan ini menunjukkan bahwa keputusan untuk bekerja di luar usahatani ditentukan oleh jumlah ketersediaan sumberdaya manusia di rumahtangga. Hal yang menarik adalah bahwa penawaran tenaga kerja di luar usahatani tersebut responsif
194 terhadap perubahan ketersediaan angkatan kerja di dalam keluarga, baik pria maupun wanita.
Ini menunjukkan bahwa tenaga kerja merupakan faktor pembatas dalam
menentukan pilihan kerja di berbagai kegiatan. Jika seandainya terdapat peningkatan ketersediaan angkatan kerja di dalam keluarga, akan meningkatkan kegiatan kerja di luar usahatani dengan persentase yang lebih besar. Dari hasil analisis terhadap penawaran tenaga kerja di luar usahatani yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa penawaran tenaga kerja di luar usahatani secara nyata ditentukan oleh variabel harga, yaitu upah, dan ciri rumahtangga petani. Menurut fungsi penawaran tenaga kerja ini, perilaku rumahtangga petani lebih responsif terhadap variabel bukan harga dibandingkan dengan variabel harga. Ketersediaan tenaga kerja keluarga menjadi penentu utama penawaran tenaga kerja di luar usahatani.
6.2.4. Penggunaan Pupuk Kimia Pupuk kimia yang akan dianalisis di dalam penelitian ini adalah pupuk Urea dan pupuk TSP. Pada Tabel 21 disajikan hasil pendugaan parameter persamaan penggunaan kedua jenis pupuk tersebut. Secara teoritik persamaan penggunaan pupuk tersebut dapat dipandang sebagai fungsi permintaan. Oleh karena itu seluruh variabel yang menyusun dan parameter dugaan yang dihasilkan diterjemahkan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan pupuk atau penggunaan pupuk. Tabel 21. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Pupuk Urea dan TSP pada Rumahtangga Petani Tanaman Pangan Variabel* Pupuk Urea Intersep HURE TFRET
Parameter Dugaan 109.67570 -132.72300 0.01582
Std Err 22.82030 22.73310 0.00115
Nilai t 4.81 -5.84 13.78
Pr > |t|
Elasitisitas
<.0001 <.0001 <.0001
-0.419 0.696
195 LGARP CREDIT INVUT Pupuk TSP Intersep HTSP TFRET LGARP CREDIT INVUT
55.48348 0.04397 -0.16839
4.50220 0.00771 0.02030
12.32 5.70 -8.30
<.0001 <.0001 <.0001
0.405 0.011 -0.202
194.16820 -184.90600 0.00820 9.66002 0.00348 -0.11906
38.66710 33.53060 0.00073 2.80130 0.00493 0.01300
5.02 -5.51 11.22 3.45 0.71 -9.13
<.0001 <.0001 <.0001 0.0006 0.4806 <.0001
-3.334 1.496 0.293 0.032 -0.592
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil pendugaan parameter fungsi permintaan pupuk Urea dan TSP menunjukkan arah yang sesuai dengan harapan. Uji statistik untuk setiap parameter dugaan pada persamaan penggunaan pupuk Urea menunjukkan seluruh parameter dugaan berbeda nyata dari nol pada taraf nyata kurang dari satu persen.
Namun pada persamaan
penggunaan pupuk TSP parameter dugaan untuk variabel CREDIT tidak berbeda nyata dari nol pada taraf nyata 10 persen. Parameter dugaan lainnya berbeda nyata dari nol pada taraf nyata kurang dari satu persen. Fungsi permintaan pupuk Urea atau TSP dipengaruhi oleh masing-masing harga pupuk tersebut. Menurut fungsi ini, rumahtangga berperilaku rasional, yaitu semakin tinggi harga pupuk, permintaan pupuk semakin rendah. Hal yang menarik pada kedua fungsi permintaan tersebut adalah bahwa permintaan Urea ternyata tidak responsif terhadap harga Urea, sedangkan permintaan pupuk TSP sebaliknya, sangat responsif terhadap harga TSP. Perbedaan elastisitas permintaan antara pupuk Urea dan TSP diduga disebabkan oleh perbedaan sifat teknis kedua jenis pupuk tersebut.
Pada analisis deskripsi
diperlihatkan, penggunaan pupuk Urea jauh lebih tinggi dibanding pupuk TSP. Tingginya penggunaan pupuk Urea diduga karena tehnik budidaya yang diterapkan pada
196 usahatani tanaman pangan intensif pupuk Urea. Dilihat dari sisi kebutuhan pupuk, ada kecenderungan ketergantungan kuat rumahtangga petani terhadap penggunaan pupuk Urea. Unsur hara yang diperlukan tanaman dari Urea yaitu unsur Nitrogen, mempunyai sifat mudah hilang dari tanah karena proses pencucian atau penguapan. Jika petani tidak memupuk Urea pada setiap musim tanam, ketersediaan unsur tersebut di dalam tanah akan cepat berkurang. Ini semua menyebabkan rumahtangga petani tanaman pangan sangat tergantung pada penggunaan pupuk Urea. Karena itu, perubahan harga pupuk Urea tidak akan banyak mengubah permintaan pupuk tersebut. Permintaan pupuk TSP responsif terhadap harga TSP diduga disebabkan karena petani belum banyak tergantung pada kebutuhan TSP seperti halnya terhadap pupuk Urea. Selain itu, secara teknis pupuk TSP mempunyai efek residu yang lebih lama dibanding pupuk Urea yang lebih cepat hilang seperti telah dijelaskan di atas. Adanya efek residu pada pupuk TSP tersebut, kebutuhan pupuk TSP secara teknis tidak seintensif kebutuhan pupuk Urea.
Apabila ada peningkatan harga pupuk TSP, petani dapat
menunda pembelian pupuk tersebut dengan harapan efek pemupukan pada waktu sebelumnya masih berpengaruh pada produktivitas tanaman. Oleh karena itu, setiap ada peningkatan satu persen harga pupuk TSP akan menyebabkan petani beralih ke input lain dan mengurangi penggunaan pupuk TSP dengan persentase yang lebih besar. Permintaan pupuk Urea atau TSP secara nyata dipengaruhi oleh nilai total penerimaan usahatani (TFRET). Semakin besar penerimaan total usahatani, permintaan terhadap kedua jenis pupuk tersebut semakin besar. Secara teoritik hal tersebut logis mengingat penerimaan usahatani merupakan sumber dana yang dapat dibelanjakan rumahtangga untuk membeli kedua jenis pupuk tersebut. Namun demikian, permintaan
197 pupuk Urea ternyata tidak responsif terhadap penerimaan total usahatani, sedangkan permintaan pupuk TSP responsif terhadap penerimaan total usahatani.
Perilaku ini
menunjukkan bahwa apabila ada kenaikan penerimaan dari usahatani, rumahtangga cenderung meningkatkan penggunaan pupuk TSP lebih besar dibandingkan dengan penggunaan pupuk Urea. Dengan kata lain, penggunaan pupuk TSP akan ditingkatkan hanya jika terjadi peningkatan penerimaan usahatani.
Sebaliknya, jika terjadi
pengurangan penerimaan usahatani, rumahtangga petani cenderung mengurangi penggunaan TSP dibandingkan dengan penggunaan Urea. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa hal ini terjadi karena secara teknis Urea mempunyai peran lebih besar dibandingkan dengan TSP. Fungsi permintaan pupuk Urea atau TSP pada Tabel 21 memperlihatkan hubungan komplementer antara pengunaan kedua jenis pupuk tersebut dengan penggunaan lahan.
Akibatnya, peningkatan luas lahan garapan akan meningkatkan
permintaan pupuk Urea atau TSP. Perlu diingat bahwa peningkatan penggunaan pupuk tersebut terkait dengan dosis pupuk yang digunakan setiap satuan luas lahan. Dosis pupuk tersebut tentunya tergantung pada teknologi dan jenis tanaman yang diusahakan. Oleh karena itu, hasil perhitungan elastisitas menunjukkan bahwa permintaan pupuk Urea ini tidak elastis terhadap luas lahan garapan. Secara teknis hal ini menunjukkan bahwa hubungan komplementer yang terjadi antara pupuk dengan lahan garapan tidak bersifat tetap. Diduga ada substitusi antara pupuk Urea dengan input lain pada skala luas lahan yang berbeda. Selanjutnya, variabel kredit (CREDIT) tampak berpengaruh positif pada permintaan pupuk Urea pada taraf nyata kurang dari satu persen, tetapi tidak berpengaruh
198 nyata pada permintaan TSP. Hasil ini menunjukkan bahwa untuk kredit yang dipinjam rumahtangga petani cenderung digunakan untuk membiayai pupuk Urea dibandingkan dengan membiaya pupuk TSP. Alasan logis terhadap hasil ini, seperti telah dijelaskan di atas,
adalah bahwa rumahtangga petani lebih tergantung pada penggunaan Urea
dibandingkan dengan TSP. Kredit mempunyai peran sama seperti penerimaan usahatani dalam permintaan pupuk Urea atau TSP, yaitu sebagai sumber dana yang dapat dibelanjakan untuk membeli pupuk. Karenanya, semakin besar kredit yang dipinjam rumahtangga, semakin besar permintaan terhadap pupuk Urea. Namun demikian, pada Tabel 20 terlihat bahwa bagian kredit yang dialokasikan untuk pembelian pupuk tidak terlalu besar. Setiap 100 ribu rupiah kredit yang dipinjam rumahtangga, hanya dapat meningkatkan permintaan pupuk Urea sekitar lima kilogram, atau jika dinilai dengan harga pupuk yang berlaku, berarti kurang dari 10 persen dari setiap tambahan kredit tersebut.
Hal yang sama juga dapat
dilihat pada permintaan TSP, porsi kredit yang dialokasikan untuk pupuk TSP relatif kecil. Pada kegiatan usahatani, di samping pengeluaran yang bersifat rutin (current input) ada juga pengeluaran yang bersifat jangka panjang dalam bentuk pengeluaran investasi.
Pada fungsi permintaan pupuk Urea atau TSP, variabel investasi usahatani
(INVUT) berpengaruh negatif. Hubungan tersebut sesuai dengan yang diharapkan. Pengeluaran investasi pada usahatani merupakan bentuk pengeluaran atau penggunaan dana yang dimiliki oleh rumahtangga, di samping pengeluaran untuk pupuk, tenaga kerja dan lain-lain.
Dalam kondisi keterbatasan dana yang tersedia di rumahtangga,
pengeluaran investasi pada usahatani harus bersaing dengan pengeluaran untuk pupuk.
199 Perilaku ini juga menunjukkan bahwa pembentukan modal (capital formation) dari dalam rumahtangga untuk usahatani terkendala oleh adanya pengeluaran-pengeluaran rutin dalam bentuk sarana produksi dan tenaga kerja.
Perilaku ini akan juga terlihat pada
persamaan investasi usahatani yang akan dibahas kemudian. 6.2.5. Luas Lahan Garapan Luas lahan garapan merupakan faktor penting dalam ekonomi rumahtangga petani tanaman pangan.
Luas lahan garapan merupakan cerminan seberapa intensif
petani mengusahakan lahan yang dikuasainya.
Seorang petani yang memiliki lahan
sempit, bisa mengolah lahan secara intensif sehingga dalam satuan waktu tertentu luas lahan berlipat ganda. Pada usahatani tanaman pangan pemanfaatan lahan ini penting karena merupakan faktor penggerak utama dalam pemanfaatan input usahatani yang lain. Pada Tabel 22 disajikan hasil pendugaan persamaan luas lahan garapan.
Seluruh
parameter dugaan bertanda sesuai dengan hipotesis awal dan secara statistik seluruh parameter dugaan tidak berbeda nyata dari nol pada taraf nyata kurang dari satu persen. Pendugaan parameter harga bayangan lahan (SPL) bertanda negatif, artinya harga bayangan merupakan biaya internal penggunaan lahan yang dipertimbangkan rumahtangga untuk menggarap lahan. Harga yang setara dengan harga bayangan lahan adalah sewa lahan. Namun sewa lahan hanya relevan jika lahan yang gunakan adalah lahan sewa, bukan lahan milik rumahtangga. Jika yang digunakan adalah lahan sewa, maka akan terjadi hubungan semakin mahal sewa lahan luas lahan garapan semakin berkurang. Penggunaan lahan garapan dipengaruhi oleh harga bayangan lahan (SPL). Semakin tinggi harga bayangan, lahan garapan semakin sempit, walaupun lahan garapan
200 ini tidak elastis terhadap harga bayangannya. Bagi rumahtangga petani, lahan garapan berfungsi sebagai sumber pendapatan. Jika produktivitas lahan menurun, maka untuk memperoleh pendapatan yang sama, dalam jangka waktu yang sama rumahtangga petani akan meningkatkan intensitas penggunaan lahan. Tabel 22. Hasil Pendugaan Persamaan Luas Lahan Garapan Pada Rumahtangga Petani Tanaman Pangan Variabel* Intersep SPL HPROD TKD LTOTA NPKIM
Parameter Dugaan -0.13284 -0.00041 0.00028 0.00240 1.05625 0.00216
Std Err 0.09900 0.00005 0.00005 0.00046 0.05590 0.00018
Nilai t -1.34 -7.84 5.81 5.21 18.88 11.72
Pr > |t| 0.1798 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001
Elasitisitas -0.231 0.175 0.174 0.641 0.311
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil perhitungan elastisitas menunjukkan bahwa luas lahan garapan ternyata tidak responsif terhadap harga bayangan lahan. Seperti telah dijelaskan di muka bahwa harga bayangan lahan, selain ditentukan oleh luas lahan garapan, juga ditentukan oleh penggunaan input-input lain, seperti tenaga kerja, pupuk, dan input-input lain. Tidak elastisnya harga bayangan lahan menunjukkan bahwa kontribusi lahan garapan dalam pembentukan harga bayangan relatif kecil. Oleh karena itu, hubungan sebaliknya bisa terjadi dimana kenaikan satu persen harga bayangan, akan diikuti dengan penurunan luas garapan dengan persentase yang lebih kecil. Parameter harga produk (HPROD) bertanda positif, sesuai dengan harapan, namun angka elastisitas menunjukkan bahwa luas lahan garapan tidak responsif terhadap harga produk. Tidak elastisnya luas lahan garapan terhadap harga produk disebabkan harga produk pada penelitian ini bersifat komposit, sehingga tingkat harga produk yang dimaksud merupakan harga rata-rata seluruh komoditi. Efek harga, dengan demikian,
201 sebenarnya direspon oleh setiap komoditi dengan besaran, atau mungkin arah yang berbeda.
Beragamnya jenis komoditi di dalam harga produk tersebut menyebabkan
elastisitas luas lahan garapan tertekan ke bawah, yang ditunjukkan juga dengan kecilnya koefisien dugaan harga produk. Parameter dugaan tenaga kerja dalam keluarga pria dan wanita (TKD) dan bertanda positif sesuai dengan harapan. Namun demikian, luas lahan garapan terlihat tidak elastis terhadap variabel tersebut. Berbeda dengan harga, penjelasan elastisitas variabel-variabel ini lebih bersifat teknikal. Kecilnya angka elastisitas tersebut diduga disebabkan tenaga kerja (luar dan dalam keluarga) bukan merupakan faktor utama yang menentukan luas lahan garapan. Oleh karena itu satu persen perubahan penggunaan tenaga kerja dalam atau luar keluarga hanya menyebabkan peningkatan luas lahan garapan kurang dari satu persen. Di samping itu, penggunaan tenaga kerja yang relatif menurun pada lahan yang lebih luas, akan menekan angka elastisitas tersebut. Parameter dugaan luas lahan total (LTOTA) bertanda positif. Luas lahan total yang dimaksud di sini adalah luasan lahan yang dikuasai rumahtangga. Luas lahan garapan adalah luas lahan tanaman pangan kumulatif selama satu tahun. Hubungan antara luas lahan total dengan luas lahan garapan ditentukan oleh intensitas pemanfaatan luas lahan total. Luas lahan garapan akan semakin luas dengan bertambahnya luas lahan total, tetapi secara rasional akan dibatasi oleh tingkat intensitas pemanfaatan lahan. Pada persamaan luas lahan garapan terlihat koefisien dugaan lebih besar dari satu, menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan total lebih dari satu kali. Namun angka tersebut masih lebih kecil dari persentase intensitas lahan rata-rata seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Luas lahan garapan juga tidak elastis terhadap luas lahan total. Hal ini
202 menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan luas lahan total, tidak akan diikuti dengan pemanfaatan lahan secara penuh dalam satu tahun. Data deskripsi pada bab sebelumnya menunjukkan bahwa intensitas pemanfaatan lahan pada usahatani berlahan luas cenderung menurun Variabel terakhir pada Tabel 22 adalah nilai total pupuk kimia (NPKIM). Variabel ini merupakan ukuran agregat pupuk Urea dan TSP dinyatakan dalam ribuan rupiah. Hasil pendugaan menunjukkan parameter nilai pupuk kimia bertanda positif. Menunjukkan bahwa penggunaan pupuk Urea dan TSP secara bersama-sama mempengaruhi luas lahan garapan. Nilai elastisitas variabel ini menunjukkan bahwa luas garapan tidak responsif terhadap penggunaan pupuk kimia tersebut. Penyebab pertama adalah karena konstribusi nilai pupuk kimia dalam menentukan luas lahan sebenarnya relatif kecil. Di samping itu, semakin luas lahan garapan, dosis penggunaan pupuk per hektar semakin kecil. Dengan demikian, jika terjadi kenaikan penggunaan pupuk kima (dalam nilai rupiah) satu persen, lahan garapan hanya meningkat kurang dari satu persen. 6.2.6. Produk Usahatani Dikonsumsi Setelah rumahtangga petani berhasil memproduksi produk usahatani, keputusan penting selanjutnya yang harus dilakukan petani adalah bagaimana mengalokasikan produk tersebut untuk berbagai keperluan. Perilaku mengalokasikan produk usahatani ini penting dipelajari dalam rumahtangga petani, karena banyak menyangkut kepentingan pihak-pihak yang ikut memanfaatkan produk usahatani, seperti rumahtangga bukan petani yang tidak menghasilkan produk usahatani sendiri. Pada Tabel 23 disajikan hasil pendugaan parameter persamaan produk usahatani yang dikonsumsi rumahtangga.
Produk usahatani yang dikonsumsi rumahtangga
203 merupakan bagian dari produk total usahatani, atau merupakan bagian yang tidak dijual ke pasar. Besar kecilnya bagian ini akan menentukan besar kecilnya produk usahatani yang ditawarkan ke pasar (penawaran produk usahatani). Konsumsi produk usahatani dipengaruhi oleh penerimaan usahatani (TFRET), jumlah anggota rumahtangga (ARTOT), dan nilai konsumsi pangan yang dibeli dari pasar (CPANB). Hasil pendugaan menunjukkan seluruh parameter mempunyai arah yang sesuai dengan harapan dan seluruh parameter dugaan secara statistik berbeda nyata dari nol pada taraf nyata kurang dari satu persen. Tabel 23. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produk Usahatani yang Dikonsumsi Pada Rumahtangga Petani Tanaman Pangan Variabel*
Intersep TFRET ARTOT CPANB
Parameter Dugaan 2347.50900 0.10670 219.75580 -0.38494
Std Err 324.40000 0.01020 67.39870 0.05330
Nilai t
Pr > |t|
Elasitisitas
7.24 10.48 3.26 -7.22
<.0001 <.0001 0.0012 <.0001
0.365 0.308 -0.376
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5. Konsumsi produk usahatani secara nyata dipengaruhi oleh penerimaan usahatani. Semakin besar penerimaan usahatani, produk usahatani yang dikonsumsi semakin besar. Namun demikian, parameter dugaan variabel ini menunjukkan bahwa setiap 100 ribu rupiah penerimaan usahatani, rumahtangga menyisihkan 11 ribu rupiah atau sekitar 11 persen untuk konsumsi rumahtangga, dengan asumsi variabel lain dianggap konstan. Angka ini relatif kecil, yang berarti juga bahwa hanya sebagian kecil penerimaan usahatani yang dapat langsung digunakan untuk keperluan konsumsi rumahtangga. Berarti kebutuhan pangan lainnya dipenuhi melalui pasar. Hasil perhitungan elastisitas menunjukkan bahwa nilai produk yang dikonsumsi tidak responsif terhadap penerimaan total usahatani. Hal ini menunjukkan bahwa jika
204 terjadi kenaikan penerimaan usahatani, sebagian besar tambahan penerimaan usahatani tersebut tidak ditujukan untuk keperluan konsumsi rumahtangga. Perilaku seperti ini menunjukkan bahwa peran penerimaan usahatani dalam memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga secara langsung relatif kecil. Pada usahatani tanaman pangan, fenomena seperti ini di luar dugaan semula. Hasil ini menunjukkan bahwa perilaku subsiten ternyata sudah bergeser ke perilaku komersial, setidaknya diukur dari dengan proporsi bagian produk yang dijual.
Fenomena ini bisa juga menggambarkan bahwa penerimaan usahatani
mempunyai peran banyak dalam mencukupi kebutuhan rumahtangga lainnya. Konsumsi produk usahatani dipengaruhi oleh jumlah anggota rumahtangga (ARTOT). Parameter dugaan jumlah anggota rumahtangga bertanda positif. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran rumahtangga akan menentukan jumlah bagian produk usahatani yang dikonsumsi.
Namun demikian, dilihat dari besaran elastisitas
menunjukkan bahwa besar nilai produk yang dikonsumsi tidak responsif terhadap jumlah anggota rumahtangga. Hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi tekanan jumlah anggota rumahtangga, kebutuhan konsumsi keluarga tidak hanya dibebankan pada produk usahatani. Variabel nilai pangan yang dibeli dari pasar berpengaruh negatif terhadap nilai produk usahatani yang dikonsumsi. Hubungan ini wajar, karena antara produk usahatani yang dikonsumsi dengan nilai pangan yang disediakan dari pasar atau dibeli bersifat substitusi. Pada rumahtangga petani tanaman pangan ternyata jika ada kesempatan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dari pasar, produk usahatani yang dikonsumsi akan dikurangi. Perilaku ini sebenarnya tidak sesederhana yang tertangkap dalam model. Rumahtangga mengkonsumsi atau menjual sebagian produk usahatani dalam rangka
205 memperoleh sejumlah uang tunai. Uang tunai yang diperoleh digunakan untuk keperluan membeli berbagai keperluan rumahtangga, termasuk di dalamnya kebutuhan pangan. Proses ini akan tertangkap dalam model yang bersifat dinamik dengan menghadirkan variabel waktu. 6.2.7. Investasi Usahatani Investasi rumahtangga pada kegiatan usahatani merupakan perilaku rumahtangga petani yang penting dipelajari.
Besar kecilnya investasi di usahatani menggambarkan
kemampuan usahatani dalam membentuk modal dari dalam usahatani sendiri.
Di
samping itu, juga menunjukkan kedudukan usahatani dalam kegiatan rumahtangga petani. Jika usahatani dianggap sebagai kegiatan ekonomi yang menguntungkan, maka rumahtangga akan tertarik untuk menyisihkan sebagian dananya untuk investasi di usahatani. Pada Tabel 24 disajikan hasil pendugaan parameter faktor-faktor yang diduga mempengaruhi investasi di usahatani. Seluruh paramater dugaan mempunyai arah yang sesuai dengan hipotesis apriori. Sayangnya, terdapat satu paramater dugaan, yaitu variabel penerimaan dari luar usahatani (NFINC) tidak berbeda nyata dari nol pada taraf nyata lebih dari 10 persen. Terlihat pada Tabel 24 bahwa investasi di usahatani dipengaruhi oleh penerimaan usahatani (TFRET) pada taraf nyata kurang dari satu persen. Besaran koefisien variabel tersebut menunjukkan bahwa setiap 1000 rupiah tambahan penerimaan usahatani, disisihkan untuk investasi usahatani sebesar 64 rupiah, variabel lain dianggap konstan. Memperhatikan angka ini kecenderungan rumahtangga untuk investasi di usahatani relatif kecil, yaitu kurang dari 10 persen dari setiap besaran tambahan penerimaan
206 usahatani. Besaran ini mendekati porsi rata-rata dana penerimaan yang diinvestasikan pada usahatani menurut deskripsi rumahtangga pada bab sebelumnya (lihat kembali Tabel 10). Tabel 24. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Investasi Usahatani pada Rumahtangga Petani Tanaman Pangan. Variabel* Intersep TFRET NFINC NTKL CASHI INVRT
Parameter Dugaan -173.41800 0.06362 0.00304 -0.04463 -0.07575 -0.07209
Std Err
Nilai t
49.60920 0.00361 0.00274 0.00916 0.00945 0.01690
-3.50 17.64 1.11 -4.87 -8.01 -4.26
Pr > |t|
Elasitisitas
0.0005 <.0001 0.13415 <.0001 <.0001 <.0001
2.333 0.044 -0.360 -0.316 -0.143
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5. Investasi pada usahatani ternyata sangat responsif terhadap penerimaan total usahatani. Fenomena ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan atau perbaikan pada penerimaan total usahatani, rumahtangga cenderung meningkatkan investasi pada usahataninya dengan persentase yang lebih besar. Semakin besar bagian penerimaan usahatani yang disisihkan untuk keperluan investasi, usahatani tersebut semakin mandiri dalam
pembentukan
modalnya.
Pembentukan
modal
akan
semakin
besar
pertumbuhannya jika penerimaan usahatani mengalami peningkatan. Di samping penerimaan usahatani, investasi usahatani juga bisa berasal dari penerimaan di luar usahatani (NFINC). Pada Tabel 24 terlihat investasi berhubungan positif dengan pendapatan rumahtangga di luar usahatani.
Namun secara statistik,
parameter dugaan variabel tersebut tidak berbeda nyata dari nol pada taraf nyata lebih dari 10 persen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa peranan pendapatan dari luar usahatani dalam pembentukan modal usahatani secara statistik sebenarnya tidak ada.
207 Kalaupun dianggap ada pada tingkat kepercayaan yang rendah, besaran elastisitas variaebel tersebut menunjukkan bahwa perubahan pendapatan dari luar usahatani tidak banyak meningkatkan investasi usahatani. Variabel nilai penggunaan tenaga kerja luar keluarga (NTKL) tampak berpengaruh negatif terhadap besarnya investasi. Hasil tersebut menunjukkan adanya persaingan antara investasi usahatani dengan pengeluaran untuk upah tenaga kerja luar kelurga. Hal yang sama juga terjadi pada variabel nilai input tunai (CASHI), yang merupakan nilai sarana produksi yang dibeli dari pasar meliputi pupuk kimia, benih, dan nilai input usahatani lainnya.
Dua variabel tersebut dalam usahatani termasuk
pengeluaran rutin, atau pengeluaran yang habis terpakai dalam satu kali proses produksi. Secara teoritik, pengeluaran rutin akan berkompetisi dengan pengeluaran untuk investasi. Oleh karena itu wajar jika semakin besar pengeluaran rutin, pengeluaran investasi usahatani semakin kecil. Namun jika dilihat dari nilai elastisitas kedua variabel tersebut, terlihat bahwa investasi usahatani tidak responsif terhadap pengeluran tunai, baik untuk sarana produksi maupun untuk upah tenaga kerja luar keluarga. Investasi untuk kebutuhan rumahtangga (INVRT) berpengaruh negatif terhadap investasi usahatani pada taraf nyata kurang dari satu persen. Pada kondisi keterbatasan dana yang tersedia dalam rumahtangga, sangat wajar jika pengeluaran investasi pada usahatani akan bersaing dengan keperluan investasi untuk keperluan rumahtangga. Fenomena ini menunjukkan juga bahwa keputusan kegiatan produksi (usahatani) pada rumahtangga petani terkait erat dengan keputusan konsumsi (pengeluaran rumahtangga). Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa petani masih menempatkan usahatani sebagai kegiatan ekonomi penting bagi rumahtangga. Rumahtangga masih
208 bersedia menyisihkan sebagian penerimaan usahataninya untuk pengeluaran investasi (pengeluaran jangka panjang) dengan mengurangi sejumlah pengeluaran rutin (pengeluaran jangka pendek). Analisis di atas juga menjelaskan bahwa pada usahatani tanaman pangan, pembentukan modal usahatani dari dalam usahatani sendiri masih terjadi, sehingga kelangsungan usahatani tanaman pangan akan tetap terjaga walaupun misalnya penyediaan modal dari luar terbatas. 6.2.8. Investasi Rumahtangga Selain investasi di bidang usahatani, rumahtangga juga mengeluarkan investasi rumahtangga.
Investasi di bidang ini meliputi pengeluaran rumahtangga untuk
pembelian barang-barang rumahtangga termasuk perbaikan rumah tempat tinggal. Pada Tabel 25 diperlihatkan hasil pendugaan parameter persamaan investasi rumahtangga tersebut.
Seluruh parameter dugaan telah sesuai dengan hipotesis.
Uji statistik
menunjukkan seluruh parameter dugaan berbeda nyata dari nol pada taraf nyata kurang dari satu persen, kecuali variabel pendapatan luar usahatani (NFINC), yang tidak berbeda nyata pada taraf nyata lebih dari 10 persen. Investasi rumahtangga dipengaruhi positif oleh pendapatan bersih dari luar usahatani (NFINC).
Ini berbeda dengan investasi usahatani yang dipengaruhi oleh
penerimaan total usahatani. Sebagai gantinya, investasi rumahtangga dipengaruhi positif oleh penerimaan tunai usahatani (CASHO).
CASHO merupakan bagian produk
usahatani yang dijual ke pasar, atau merupakan penerimaan usahatani dalam bentuk tunai. Penerimaan bersih di luar usahatani dan penerimaan tunai usahatani merupakan sumberdana yang tersedia bagi rumahtangga. Semakin besar pendapatan bersih luar usahatani dan penerimaan tunai usahatani rumahtangga mempunyai kesempatan lebih
209 besar untuk membeli barang atau perbaikan rumah tinggal. Dari fungsi investasi ini menunjukkan bahwa struktur penerimaan usahatani menentukan pilihan investasi. Investasi rumahtangga cenderung ditentukan oleh penerimaan usahatani tunai, sedangkan investasi usahatani ditentukan oleh total penerimaan usahatani. Tabel 25.
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Investasi Rumahtangga Rumahtangga Petani Tanaman Pangan
Variabel* Intersep NFINC CASHO CREDIT INVUT
Parameter Dugaan -239.62800 0.01220 0.11718 0.05701 -1.24525
pada
Std Err
Nilai t
Pr > |t|
Elasitisitas
120.60000 0.01030 0.01170 0.00815 0.21000
-1.99 1.18 10.02 7.00 -5.93
0.0472 0.1182 <.0001 <.0001 <.0001
0.088 1.529 0.053 -0.626
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5. Dari dua sumber dana yang ada, ternyata investasi rumahtangga lebih responsif terhadap penerimaan tunai usahatani dibanding dengan pendapatan dari luar usahatani. Di samping itu, dilihat dari jumlah dana yang dialokasikan untuk setiap tambahan masing-masing sumber dana menunjukkan bahwa investasi rumahtangga lebih banyak berasal dari penerimaan tunai usahatani. Dari kedua hasil tersebut menunjukkan bahwa pada rumahtangga tanaman pangan penerimaan usahatani memegang peranan penting, baik dalam memenuhi kebutuhan investasi pada usahatani itu sendiri maupun dalam memenuhi kebutuhan investasi rumahtangga. Investasi rumahtangga lebih mengutamakan sumber dana yang berasal dari usahatani dibanding dengan luar usahatani. Hal tersebut dikarenakan usahatani merupakan sumber terbesar pendapatan rumahtangga (lihat kembali Tabel 12). Sumber dana lain yang tersedia bagi investasi rumahtangga adalah kredit. Dapat dilihat pada Tabel 25, kredit berpengaruh positif terhadap investasi rumahtangga.
Ini
210 menunjukkan ada sebagian dana kredit yang dialokasikan untuk keperluan investasi rumahtangga. Namun besar dana kredit yang dialokasikan untuk investasi rumahtangga relatif kecil.
Setiap seribu rupiah pinjaman kredit, dialokasikan untuk pengeluaran
investasi rumahtangga sebesar 57 rupiah, atau sekitar lima persen. Investasi usahatani berpengaruh negatif terhadap investasi rumahtangga, yang berarti antara investasi usahatani dan investasi rumahtangga terjadi persaingan. Rumahtangga harus memilih, investasi di usahatani, atau investasi
rumahtangga.
Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam memutuskan investasi di dua bidang tersebut, rumahtangga dihadapkan pada kendala anggaran. 6.2.9. Pengeluaran Pangan dan Non Pangan Pada penelitian ini, pengeluaran rumahtangga untuk pangan dibedakan menjadi pengeluaran pangan yang dibeli dari pasar, dan pengeluaran pangan yang disediakan sendiri. Persamaan yang dibuat adalah persamaan untuk pangan yang dibeli dari pasar. Pengeluaran pangan yang dibeli dari pasar dapat mencerminkan permintaan rumahtangga terhadap uang tunai.
Bagi rumahtangga petani, uang tunai masih sulit diperoleh,
terutama yang masih bercirikan subsisten.
Oleh karena itu, kemampuan memenuhi
kebutuhan tunai menarik untuk dianalisis. Hasil pendugaan persamaan pengeluaran pangan yang dibeli dari pasar disajikan pada Tabel 26. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa seluruh parameter dugaan telah sesuai dengan yang diharapkan. Uji statistik menunjukkan bahwa seluruh parameter dugaan berbeda nyata dari nol pada taraf nyata kurang dari satu persen. Pengeluaran pangan yang dibeli dari pasar dipengaruhi oleh pendapatan bersih dari luar usahatani (NFINC), rasio penerimaan tunai usahatani dan investasi rumahtangga
211 (
CASHO/INVRT), serta oleh total anggota rumahtangga (ARTOT).
parameter dugaan bertanda positif.
Seluruh
Hal tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan
rumahtangga terhadap uang tunai untuk memenuhi kebutuhan pangan ditentukan oleh sumber-sumber pendapatan dari luar usahatani dan dari pendapatan tunai usahatani. CASHO merupakan pendapatan tunai usahatani karena berasal dari bagian produk usahatani yang dijual. Demikian halnya dengan NFINC merupakan pendapatan tunai berupa upah kerja yang diperloleh dari luar usahatani. Dengan demikian, kemampuan rumahtangga petani dalam menghasilkan uang tunai secara nyata menentukan besarnya permintaan uang tunai. Pada Tabel 26 juga dapat dilihat bahwa pengeluaran tunai untuk pangan ini harus bersaing dengan pengeluaran investasi rumahtangga (INVRT). Artinya, rumahtangga petani harus memilih antara pengeluaran tunai untuk konsumsi pangan atau pengeluaran untuk kebutuhan investasi rumahtangga.
Hubungan ini juga menunjukkan bahwa
ketersediaan uang tunai di rumahtangga petani terbatas. Tabel 26. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengeluaran Pangan yang Dibeli Dari Pasar dan Non-pangan Pada Rumahtangga Petani Tanaman Pangan. Variabel* Pangan Dibeli Intersep NFINC CASHO/INVRT ARTOT Non Pangan Intersep HHINC/TABNG ARTOT
Parameter Dugaan
Std Err
880.92380 1.02248 0.86343 407.06000
204.30000 0.33070 0.16420 37.86530
4.31 3.09 5.26 10.75
<.0001 0.0010 <.0001 <.0001
0.005 0.002 0.584
251.88430 0.17591 104.77560
81.23460 0.04040 15.78570
3.10 4.36 6.64
0.0010 <.0001 <.0001
0.003 0.613
Nilai t
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5.
Pr > |t|
Elasitisitas
212 Pengeluaran tunai untuk pangan juga ditentukan oleh jumlah anggota rumahtangga.
Jumlah anggota rumahtangga tersebut merupakan beban konsumsi
rumahtangga. Semakin banyak anggota rumahtangga, jumlah pengeluaran pangan akan semakin meningkat.
Ukuran keluarga, dengan demikian, ikut menentukan perilaku
konsumsi tunai tersebut. Pada Tabel 26 tersebut juga dapat dilihat bahwa pengeluaran pangan yang dibeli relatif lebih respons terhadap jumlah anggota rumahtangga dibandingkan dengan variabel lainnya. Pengeluaran non-pangan pada penelitian ini adalah pengeluaran-pengeluaran rumahtangga untuk bahan bakar, air, listrik, sabun, pakaian dan sejenisnya. Pada Tabel 26 disajikan hasil pendugaan parameter persamaan pengeluaran non-pangan kelompok tersebut. Pengeluaran non-pangan diduga dipengaruhi oleh pendapatan rumahtangga total (HHINC), tabungan (TABNG), dan jumlah anggota rumahtangga (ARTOT). Pada persamaan ini, pendapatan rumahtangga dirasiokan dengan tabungan (HHINC)/TABNG). Hasil pendugaan parameter menunjukkan hasil sesuai dengan harapan. Uji statistik juga menunjukkan bahwa seluruh parameter dugaan berbeda nyata dari nol pada taraf nyata kurang dari satu persen. Pendapatan rumahtangga total berpengaruh positif terhadap pengeluaran nonpangan.
Ini menunjukkan bahwa barang-barang atau jasa yang tergabung dalam
kelompok non-pangan pada penelitian ini termasuk barang normal. Oleh karena itu, peningkatan pendapatan rumahtangga total akan menyebabkan peningkatan pengeluaran non-pangan. Sebaliknya besar tabungan berpengaruh negatif terhadap pengeluaran non pangan. Tabungan merupakan bagian pedapatan yang disisihkan di samping pengeluaran lain untuk keperluan pengeluaran rumahtangga di waktu lain. Semakin besar bagian dana
213 yang tersedia di rumahtangga yang disisihkan untuk tabungan, semakin kecil bagian dana tersebut yang dapat digunakan untuk pengeluaran non pangan. Pendugaan menggunakan rasio dua variabel menghasilkan elastisitas yang hampir nol. Artinya, pengeluaran non pangan tidak responsif terhadap perubahan kedua variabel tersebut. Jumlah anggota rumahtangga (ARTOT) juga berpengaruh positif terhadap pengeluaran non-pangan. Ini fenomena yang wajar, mengingat kelompok non-pangan di dalamnya terkandung pengeluaran-pengeluaran yang besarnya terkait langsung dengan jumlah anggota keluarga, seperti pakaian, air, bahan bakar, dan listrik. Pengukuran elastisitas menunjukkan bahwa pengeluaran non-pangan juga relatif lebih responsif terhadap jumlah anggota rumahtangga dibandingkan dengan variabel lainnya. 6.2.10. Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan Pengeluaran
rumahtangga
untuk
kesehatan
dan
pendidikan
merupakan
pengeluaran untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di dalam rumahtangga petani.
Seperti telah dijelaskan pada bagian konstruksi model,
pengeluaran untuk pendidikan digabung dengan pengeluaran untuk kesehatan. Hasil pendugaan persamaan tersebut disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan pada Rumahtangga Petani Tanaman Pangan. Variabel* Intersep HHINC INPRT ARTOT
Parameter Dugaan -52.48640 0.00068 0.03123 52.82899
Std Err 45.95330 0.00037 0.00305 9.24050
Nilai t -1.14 1.83 10.23 5.72
Pr > |t|
Elasitisitas
0.2537 0.0341 <.0001 <.0001
0.048 0.252 0.889
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5. Secara umum, hasil parameter dugaan pada persamaan pengeluaran kesehatan dan pendidikan sesuai dengan harapan, dan semua parameter dugaan secara statistik berbeda
214 nyata dari nol pada taraf nyata kurang dari satu persen, kecuali variabel pendapatan rumahtangga total (HHINC) yang berbeda nyata pada taraf nyata 5 persen. Pendapatan rumahtangga total (HHINC) terlihat berpengaruh positif pada pengeluaran kesehatan dan pendidikan, yang berarti pengeluaran kesehatan dan pendidikan termasuk barang normal. Implikasinya adalah apabila pada rumahtangga terjadi kenaikan pendapatan total akan dapat meningkatkan kesejahteraan rumahtangga petani di bidang kesehatan dan pendidikan.
Sayangnya, pengeluaran kesehatan dan pendidikan ini ternyata tidak
responsif terhadap pendapatan rumahtangga tersebut. Tingkat pendidikan rumahtangga (INPRT) juga berpengaruh positif pada pegeluaran kesehatan dan pendidikan.
Pengaruh ini merupakan indikasi adanya
hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan beban pendidikan dan kesehatan. Beban pendidikan di dalam hal ini dinyatakan dalam bentuk biaya pendidikan yang umumnya semakin tinggi sejalan dengan makin tingginya tingkat pendidikan. Pengaruh positif juga bisa mengindikasikan
adanya hubungan antara tingkat pendidikan
rumahtangga dengan kesadaran akan pendidikan dan kesehatan. Jika ini terjadi maka hasil tersebut berimplikasi bahwa upaya-upaya perbaikan tingkat pendidikan dapat dijadikan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rumahtangga di bidang pendidikan dan kesehatan. Jumlah anggota rumahtangga (ARTOT) juga berpengaruh positif terhadap pengeluaran pendidikan dan kesehatan. Jumlah anggota rumahtangga ini lebih tepat diterjemahkan sebagai beban keluarga. Semakin banyak anggota rumahtangga, beban rumahtangga untuk pengeluaran pendidikan dan kesehatan semakin meningkat. 6.2.11. Permintaan Kredit
215 Kredit pada penelitian ini merupakan gabungan berbagai jenis pinjaman yang dilakukan rumahtangga pada berbagai sumber, baik formal maupun informal. Idealnya kredit dibagi menjadi dua jenis, yaitu formal dan informal.
Namun karena jumlah
rumahtangga yang melakukan transaksi kredit di masing-masing jenis kredit tersebut terbatas, maka pada penelitian ini digabung menjadi satu variabel. Pada Tabel 28 disajikan hasil pendugaan parameter persamaan permintaan kredit rumahtangga. Permintaan kredit diduga dipengaruhi oleh tingkat suku bunga (INT), pengeluaran usahatani tunai (CASHI), luas lahan garapan (LGARP), dan frekuensi pinjaman (FPINJ).
Arah parameter dugaan secara keseluruhan telah sesuai dengan
harapan, dan uji statistik menunjukkan seluruh parameter dugaan berbeda nyata dari nol pada taraf nyata kurang dari satu persen. Hasil pendugaan menunjukkan bunga kredit (INT) berpengaruh negatif pada permintaan kredit. Pada penelitian ini, bunga kredit tidak selalu diketahui dengan jelas. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menghitung tambahan pengembalian kredit dari nilai pokok pinjaman, termasuk di dalamnya biaya yang harus ditanggung oleh nasabah. Dengan demikian, bunga kredit yang dimaksud di dalam penelitian ini bukan bunga kredit yang ditentukan oleh lembaga perbankan, tetapi merupakan rata-rata beban tambahan yang harus ditanggung oleh peminjam di atas pinjaman pokok. Walaupun demikian, hasil pendugaan parameter menunjukkan hasil yang sesuai dengan harapan. Hal yang menarik adalah hasil perhitungan elastisitas pada bunga pinjaman menunjukkan bahwa permintaan kredit ternyata responsif terhadap bunga kredit. Jika hasil dugaan ini tidak bias, menunjukkan bahwa adanya pelayanan kredit formal dengan suku bunga
216 rendah atau dengan prosedur sederhana sehingga biaya memperoleh kredit menjadi murah, akan efektif meningkatkan permintaan rumahtangga terhadap kredit. Variabel pengeluaran usahatani tunai (CASHI) berpengaruh positif pada permintaan kredit. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan uang tunai untuk biaya usahatani mendorong petani untuk menggunakan kredit. Semakin besar pengeluaran usahatani dalam bentuk tunai akan meningkatkan permintaan rumahtangga terhadap uang tunai. Kebutuhan uang tunai pada usahatani ini dapat dipenuhi melalui dana yang berasal dari kredit. Lebih jauh ini menunjukkan bahwa kebutuhan kredit pada usahatani akan timbul jika usahatani yang bersangkutan telah banyak menggunakan input tunai. Oleh karena itu, program kredit akan menghadapi kendala bila yang dihadapi adalah petani yang tidak atau belum intensif memanfaatkan input tunai. Kesulitan terjadi terutama karena petani tidak dapat mengembalikan pinjaman kreditnya karena kesulitan uang tunai. Tabel 28. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Permintaan Kredit Pada Rumahtangga Petani Tanaman Pangan Variabel* Intersep INT CASHI LGARP FPINJ
Parameter Dugaan 905.91120 -25.01540 0.06654 81.84371 50.14320
Std Err 191.50000 6.66270 0.01720 32.11890 14.30840
Nilai t 4.73 -3.75 3.88 2.55 3.50
Pr > |t|
Elasitisitas
<.0001 0.0001 >.0001 0.0055 0.0003
-1.105 0.151 0.271 0.102
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5. Luas lahan garapan (LGARP) juga berpengaruh positif pada permintaan kredit. Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa luas lahan garapan merupakan faktor utama dalam menciptakan permintaan rumahtangga pada input usahatani.
Demikian halnya pada
permintaan kredit. Semakin luas lahan garapan, usahatani semakin banyak memerlukan input usahatani. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan input usahatani tersebut
217 adalah dengan meminjam kredit. Selain itu, prosedur pinjaman kredit (formal) seringkali menggunakan luas lahan sebagai jaminan atau agunan.
Semakin luas lahan yang
dikuasai, semakin luas lahan garapan, maka rumahtangga petani akan semakin mudah memperoleh kredit. Terkait dengan prosedur peminjaman kredit, variabel frekuensi pinjaman (FPINJ), berpengaruh positif terhadap permintaan kredit. Ini diduga karena lembaga kredit, formal atau informal, lebih mudah memberikan kredit pada rumahtangga yang berpengalaman dalam meminjam kredit.
Semakin sering peminjaman kredit oleh rumahtangga,
menunjukkan bahwa rumahtangga tersebut dapat dipercaya untuk dipinjami kredit. Oleh karena itu wajar jika frekuensi peminjaman kredit berpengaruh positif pada permintaan kredit. 6.2.12. Tabungan Persamaan struktural terakhir dalam model ekonomi rumahtangga petani tanaman pangan pada penelitian ini adalah persamaan tabungan. Tabungan merupakan bentuk simpanan rumahtangga dalam bentuk uang tunai dalam berbagai cara, baik formal maupun informal. Keterbatasan dalam jumlah rumahtangga yang melakukan tabungan formal di lembaga keuangan formal, menuntut agregrasi tabungan untuk seluruh bentuk simpanan informal di rumahtangga. Bentuk tabungan informal dalam hal ini seperti simpanan uang di rumah dan arisan. Oleh karena itu, dalam persamaan tabungan tidak dimunculkan suku bunga simpanan, karena tidak tersedia data. Pada Tabel 29 disajikan hasil pendugaan parameter persamaan tabungan. Tabungan diduga dipengaruhi oleh pendapatan bersih usahatani (NFFIN),
pendapatan
218 dari luar usahatani (NFINC), dan pengeluaran rutin rumahtangga (CRUTN).
Dua
variabel terakhir dinyatakan dalam bentuk rasio (NFINC/CRUTN). Hasil yang diperoleh menunjukkan seluruh parameter dugaan mempunyai tanda sesuai dengan yang diharapkan.
Secara statistik masing-masing parameter dugaan
berbeda nyata dari nol pada taraf nyata kurang dari satu persen. Variabel pendapatan bersih usahatani tampak berpengaruh positif terhadap tabungan, yang menunjukkan bahwa penerimaan usahatani juga mempunyai peran penting dalam tabungan rumahtangga.
Demikian halnya dengan pendapatan dari luar usahatani, tampak
berpengaruh positif terhadap tabungan. Hal sebaliknya terjadi pada pengeluaran rutin rumahtangga. Pengeluaran ini merupakan kegiatan pemanfaatan sejumlah dana yang tersedia di rumahtangga bersama-sama dengan kegiatan menabung. Dengan demikian, keputusan menabung akan berkompetisi dengan keputusan pengeluaran rutin tersebut. Semakin besar pengeluaran rutin akan menyebabkan semakin kecil bagian dana rumahtangga yang dapat ditabung. Tabel 29. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tabungan Pada Rumahtangga Petani Tanaman Pangan. Variabel* Intersep NFFIN NFINC/CRUTN
Parameter Dugaan 1123.96600 0.03310 354.68810
Std Err 167.60000 0.01400 78.05120
Nilai t
Pr > |t|
Elasitisitas
6.71 2.37 4.54
<.0001 0.0045 <.0001
0.137 0.160
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil pendugaan model ekonomi rumahtangga yang telah diuraikan di atas menunjukkan bagaimana respons rumhatangga terhadap berbagai faktor ekonomi, baik faktor endogen maupun faktor eksogen. Hal menarik yang perlu dikemukakan di dalam penelitian ini adalah bahwa rumahtangga petani tanaman pangan tidak responsif terhadap
219 tingkat upah buruh, baik upah buruh usahatani maupun upah buruh di luar usahatani, Rumahtangga petani tanaman pangan juga tidak responsif terhadap harga pupuk Urea dan harga produk. Namun demikian, rumahtangga petani tanaman pangan ternyata responsif terhadap harga pupuk TSP dan tingkat suku bunga kredit. Hasil ini menunjukkan bahwa rumahtangga petani tanaman pangan tidak responsif terhadap sebagian besar harga atau upah sebagai faktor eksogen. Implikasinya adalah bahwa faktor-faktor eksogen tersebut tidak dapat dijadikan sebagai instrumen kebijakan yang efektif untuk menggerakkan ekonomi rumahtangga petani tanaman pangan. Temuan di atas tidak berarti bahwa perilaku ekonomi rumahtangga petani tanaman pangan tidak rasional. Secara parsial perilaku di atas telah dijelaskan di masingmasing persamaan struktural bahwa responsif atau tidak responsif perilaku ekonomi rumahtangga petani terhadap insentif ekonomi tergantung pada banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal.
Faktor teknis proses produksi pada keputusan
produksi, misalnya menentukan respons rumahtangga petani terhadap harga pupuk. Oleh karena itu, respons terhadap harga pupuk berbeda antara Urea dengan TSP. Faktor lingkungan
luar,
seperti
ketersediaan
kesempatan
kerja,
menentukan
respons
rumahtangga terhadap upah tenaga kerja. Perilaku di atas sejalan dengan argumentasi Schultz (1964), bahwa petani yang tradisional sekalipun pada dasarnya berperilaku rasional, mereka bekerja secara efisien tetapi berada pada lingkungan yang serba terbatas. Perilaku ekonomi seperti ini dikenal dalam pemahaman Schultz sebagai efficient but poor. Perilaku ekonomi petani tetap rasional dalam pengertian memaksimumkan keuntungan. Namun demikian, untuk menjelaskan perilaku ekonomi tersebut pada petani kecil atau petani tradisional perlu
220 penjelasan yang bersifat non-ekonomi.
Lipton (1986) menjelaskan perlunya
memperhatikan adanya kendala sosial, agama dan pendidikan.
Lebih jauh Lipton
menjelaskan bahwa adanya berbagai resiko dan ketidak pastian yang dihadapi petani menyebabkan petani berusaha bertahan pada kondisi yang sama selama bertahun-tahun. Sikap seperti ini menyebabkan petani seperti tidak respons terhadap insentif ekonomi. Jika faktor-faktor yang membatasi keputusan petani tersebut dihilangkan maka bisa petani kecil atau petani tradisional pada dasarnya responsif terhadap insentif ekonomi, sehingga terdapat peluang untuk mengubah pertanian tradisional ke pertanian modern.
VII. IDENTIFIKASI KONDISI PASAR DAN VALIDASI MODEL
221
7.1. Identifikasi Kondisi Pasar Persaingan Tidak Sempurna Seperti telah dijelaskan di muka bahwa kekhususan model ekonomi rumahtangga pada penelitian ini didasarkan pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna. Kekhususan tersebut dicirikan dengan adanya variabel harga bayangan tenaga kerja dan lahan pada persamaan struktural model persamaan simultan yang dibangun. Kehadiran harga bayangan pada model sebagai ciri ketidak sempurnaan pasar tersebut masih bersifat ad hoc. Untuk memastikan bahwa perilaku ekonomi rumahtangga yang diteliti adalah perilaku pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna, memerlukan uji tersendiri. Sesuai dengan pemikiran yang dikemukakan pada bab sebelumnya, bahwa ketidak sempurnaan pasar dapat diuji dengan apakah harga bayangan input (nilai produktivitas marjinal)
yang digunakan rumahtangga sama dengan harga pasar (biaya korbanan
marjinal) input tersebut. Oleh karena itu, uji ketidak sempurnaan pasar dapat dilakukan dengan memeriksa apakah rumahtangga menggunakan input pada kondisi keseimbangan tersebut, yaitu harga bayangan sama dengan harga pasar. Pada penelitian ini dapat diturunkan harga bayangan tenaga kerja dalam keluarga pria dan wanita, serta harga bayangan lahan.
Mengingat harga pasar lahan sangat
terbatas, maka uji ketidak sempurnaan pasar juga menggunakan harga bayangan pupuk Urea. Dugaan harga bayangan tersebut dihasilkan dari simulasi dasar model persamaan simultan. Dugaan harga bayangan perlu dibahas secara hati-hati karena pendugaannya dilakukan secara bertahap.
Tahap pertama diduga menggunakan persamaan tunggal
fungsi produksi translog sepert telah dijelaskan di muka.
Tahap kedua, diduga
menggunakan model ekonomi rumahtangga persamaan simultan menggunakan metode
222 simulasi dasar. Metode simulasi yang digunakan adalah metode Gauss-Seidel. Harga bayangan hasil simulasi merupakan harga bayangan yang diduga menggunakan sistem persamaan simultan. Hasil simulasi tersebut dibandingkan dengan data aktualnya. Data aktual harga bayangan pada persamaan simultan adalah harga bayangan hasil dugaan dengan persamaan tunggal fungsi produksi translog. Seperti telah dijelaskan dibagian kostruksi model, kehadiran harga bayangan pada model persamaan simultan ini menunjukkan bahwa model yang dibangun adalah model ekonomi rumahtangga non-separable. Harga bayangan yang menjadi ciri non-separable adalah harga bayangan tenaga kerja dalam keluarga pria dan wanita, serta harga bayangan lahan. Harga bayangan pupuk Urea dan tenaga kerja luar keluarga pada model hanya berperan sebagai pembanding dengan harga pasar yang berlaku. Pada Tabel 30 disajikan rata-rata harga bayangan menurut hasil simulasi model ekonomi rumahtangga dan harga bayangan input yang sama hasil pendugaan persamaan tunggal fungsi produksi translog.
Di samping itu, sebagai pembanding juga disajikan
rata-rata harga pasar masing-masing input usahatani tersebut, kecuali untuk sewa lahan. Harga pasar input tentunya mempunyai nilai rata-rata yang persis sama karena merupakan variabel eksogen.
Hasil pendugaan persamaan tunggal fungsi produksi
tersebut seharusnya sama persis dengan yang disajikan pada Tabel 16 pada bab yang lalu. Perbedaan terjadi karena tidak seluruh observasi (rumahtangga) berhasil disimulasi (perhatikan jumlah observasi pada tabel tersebut).
Agar penyajiannya lebih hemat,
pada Tabel 30 tersebut tidak menyajikan nilai dugaan standard deviasi. Namun dalam membandingkan setiap rata-rata akan dibantu dengan uji statistik beda nilai tengah.
223 Pada Tabel 30 di bawah kolom total rumahtangga terlihat bahwa dua metode pendugaan tersebut di atas ada yang menghasilkan rata-rata yang hampir sama ada juga yang berbeda. Uji statistik menunjukkan bahwa pada total rumahtangga, kedua metode pendugaan tersebut menghasilkan dugaan harga bayangan yang berbeda nyata pada taraf nyata kurang dari satu persen. Harga bayangan tersebut adalah harga bayangan tenaga kerja pria dalam keluarga (SWP), harga bayangan tenaga kerja pria luar keluarga (SWPL), dan harga bayangan tenaga kerja wanita luar keluarga (SWWL). Pada tiga harga bayangan lainnya, yaitu tenaga kerja wanita dalam keluarga (SWW), pupuk Urea (SPU), dan lahan garapan (SPL) kedua metode tersebut menghasilkan dugaan yang sama. Tabel 30. Harga Bayangan dan Harga Pasar Input Usahatani Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Translog dan Model Ekonomi Rumahtangga Petani Tanaman Pangan Menurut Strata Luas Lahan Garapan
Variabel* SWP SWW SWPL SWWL SPU SPL UHP UHW HURE
Lahan Sempit
Lahan Sedang
Lahan Luas
(n=309) (n=314) (n=311) Fn.Prod ERT Fn.Prod ERT Fn.Prod ERT 4.23 2.15 7.29 3.43 15.61 11.87 3.95 2.77 9.31 10.52 19.88 31.41 5.23 3.75 8.08 8.07 9.14 13.64 3.09 2.86 6.43 6.78 7.04 11.56 0.82 0.74 1.21 1.14 1.48 1.48 1600.00 1902.90 949.60 953.00 678.20 429.90 8.236 8.236 9.362 9.362 10.485 10.485 5.230 5.230 6.455 6.455 7.564 7.564 0.804 0.804 0.818 0.818 0.834 0.834
Total Rumahtangga (n=934) Fn.Prod ERT 9.05 5.82 11.06 14.91 7.49 8.50 5.53 7.08 1.17 1.12 1073.60 1091.90 9.365 9.365 6.420 6.420 0.819 0.819
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5. ERT = Model Ekonomi Rumahtangga.
Jika dibandingkan dengan hasil menurut strata dengan hasil menurut total rumahtangga arahnya tidak selalu konsisten. Pada strata lahan sempit, dugaan harga bayangan berbeda hanya terjadi pada tenaga kerja pria dan wanita dalam keluarga. Harga
224 bayangan lainnya menunjukkan nilai yang tidak berbeda.
Artinya dugaan harga
bayangan menurut persamaan simultan ekonomi rumahtangga dengan persamaan tunggal fungsi produksi translog secara statistik sama. Pada strata lahan sedang, harga bayangan yang berbeda terjadi hanya pada tenaga kerja pria dalam keluarga (SWP).
Harga
bayangan lainnya secara statistik kedua metode menghasilkan dugaan yang
tidak
berbeda nyata. Pada strata lahan luas, yang berbeda nyata antara kedua metode tersebut terjadi pada harga bayangan tenaga kerja luar keluarga, baik pria maupun wanita, dan harga bayangan lahan. Harga bayangan lainnya secara statistik tidak berbeda nyata pada taraf nyata kurang dari satu persen. Adanya perbedaan hasil dugaan menggunakan persamaan tunggal dengan fungsi produksi translog dengan model persamaan simultan penyebabnya sangat jelas. Pada persamaan simultan, pendugaan menggunakan proses simulasi, dimana beberapa variabel endogen yang dijadikan penduga pada harga bayangan merupakan variabel endogen yang besarannya diduga secara simultan.
Secara praktis, besaran variabel penduga harga
bayangan sebenarnya ditentukan oleh banyak variabel lain dalam sistem ekonomi rumahtangga secara simultan. Uji terhadap adanya ketidak sempurnaan pasar dapat dilakukan dengan membandingkan harga bayangan dengan harga pasar masing-masing input, baik harga bayangan menggunakan dugaan persamaan tunggal fungsi produksi trasnslog, maupun dugaan menggunakan model persamaan simultan. Mengingat yang dipelajari adalah perilaku rumahtangga, maka akan dibandingkan antara harga bayangan hasil pendugaan model persaman simultan dengan harga pasar masing-masing input. Pada Tabel 30 dapat dilihat bahwa semakin luas usahatani harga bayangan tenaga kerja dalam keluarga
225 dan luar keluarga, pria dan wanita semakin besar. Bisa juga diinterpretasikan semakin luas usahatani, nilai produktivitas marginal tenaga kerja, atau lebih praktis sebagai produktivitas marginal tenaga kerja, semakin meningkat.
Adanya syarat cekung
(concave) fungsi produksi pada daerah keputusan produksi, produktivitas marginal tenaga kerja akan menurun jika terjadi peningkatan penggunaan tenaga kerja per satuan faktor produksi lain yang sama (tetap).
Walaupun fungsi produksi yang dibangun tidak
terkendala oleh faktor tetap, namun pada prakteknya, faktor lahan merupakan faktor yang relatif tetap. Karenanya sangat mungkin penurunan produktivitas marginal tenaga kerja terjadi pada usahatani berlahan sempit sebagai akibat penggunaan tenaga kerja per satuan lahan yang sama yang berlebihan seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Hasil pendugaan harga bayangan tenaga kerja dapat dibandingkan dengan besar rata-rata upah buruh usahatani. Tabel 30 memperlihatkan harga bayangan tenaga kerja pada usahatani lahan sempit lebih kecil dibanding upah buruh usahatani yang dibayarkan, baik untuk tenaga kerja dalam keluarga maupun tenaga kerja luar keluarga, baik pria maupun wanita. Artinya, usahatani berlahan sempit cenderung membayar upah buruh usahatani lebih mahal dari yang seharusnya. Bagi tenaga kerja dalam keluarga, hal tersebut mengindikasikan bahwa bekerja di usahatani sendiri, baik tenaga kerja pria maupun wanita, mempunyai opportunity cost yang tinggi. Banyak argumentasi dengan gejala ini.
Argumentasi yang sering dikemukakan adalah bahwa usahatani kecil
dihadapkan pada keterbatasan kesempatan kerja di luar
usahatani.
Langkanya
kesempatan kerja ini menyebabkan rumahtangga petani berlahan sempit cenderung mencurahkan kerjanya ke usahatani secara berlebihan.
226 Bagi usahatani berlahan sempit, gejala di atas menunjukkan bahwa upah buruh usahatani yang dihadapi relatif mahal.
Kemungkinan hal tersebut disebabkan oleh
adanya kebijakan pemerintah, walaupun tidak ditujukan secara khusus untuk buruh usahatani, yang memberlakukan upah minimum. Pada usahatani lahan sedang, harga bayangan tenaga kerja pria dalam keluarga ternyata juga lebih rendah dari upah buruh usahatani pria yang berlaku. Artinya, gejala yang dialami usahatani berlahan sempit juga terjadi pada usahatani lahan sedang, tetapi hanya pada tenaga kerja pria. Pada tenaga kerja dalam keluarga wanita, harga bayangan yang terjadi lebih tinggi dibanding upah buruh wanita yang berlaku. Ini berarti pada usahatani lahan sedang, opportunity cost tenaga kerja wanita dalam keluarga untuk bekerja di usahatani sendiri relatif lebih kecil dibanding dengan tenaga kerja pria dalam keluarga. Pada usahatani berlahan luas, harga bayangan tenaga kerja dalam keluarga tampak jauh lebih tinggi dibanding rata-rata tingkat upah yang berlaku. Hal ini terjadi karena penggunaan tenaga kerja keluarga pada usahatani lahan luas relatif lebih kecil dibandingkan golongan usahatani lainnya. Kecilnya penggunaan tenaga kerja pria dalam keluarga menyebabkan nilai produk marginal tenaga kerja tinggi. Nilai ini akan menurun jika penggunaan tenaga kerja dalam keluarga meningkat. Hal menarik lain yang bisa dikemukakan di sini adalah membandingkan harga bayangan tenaga kerja pria dan teanga kerja wanita Pada usahatani berlahan sempit untuk tenaga kerja dalam keluarga, harga bayangan tenaga kerja pria lebih besar dibanding harga bayangan tenaga kerja wanita. Artinya, pada strata ini tenaga kerja pria dalam keluarga relatif lebih produktif dibanding tenaga kerja dalam keluarga wanita.
227 Pada usahatani lahan sedang dan lahan luas, harga bayangan tenaga kerja keluarga pria lebih kecil dibanding tenaga kerja wanita Pada tabel juga terlihat harga bayangan tenaga kerja luar keluarga pria lebih besar dibanding tenaga kerja wanita untuk semua strata luas lahan. Hasil ini menunjukkan bahwa untuk tenaga kerja luar keluarga, produktivitas tenaga kerja pria cenderung lebih tinggi dibanding tenaga kerja wanita. Tidak ada argumentasi teoritik yang bisa memandu menjelaskan perbedaan produktivitas tenaga kerja antar jender di atas. Hasil penelitian Rahr (2002) di Vietnam menunjukkan kecenderungan perbedaan produktivitas marginal tenaga kerja pria dan wanita. Rahr menduga nilai produktivitas marginal tenaga kerja sebagai ukuran harga bayangan tenaga kerja menggunakan fungsi produksi translog pada tanaman padi dan tebu. Pada tanaman padi ditemukan produktivitas tenaga kerja wanita lebih tinggi dibanding tenaga kerja pria. Harga bayangan pupuk Urea (SPU) menunjukkan semakin luas strata lahan, semakin besar.
Bisa juga diartikan bahwa produktivitas marginal pupuk Urea pada
usahatani lahan luas relatif lebih tinggi dibanding dengan produktivitas pupuk Urea pada lahan lebih sempit. Kecenderungan tersebut terjadi diduga karena perbedaan intensitas penggunaan pupuk Urea per hektar di setiap strata. Dilihat dari penggunaan pupuk per hektar, penggunaan pupuk Urea pada usahatani lahan sempit memang relatif lebih tinggi dibanding dengan penggunaan pupuk Urea pada usahatani lahan sedang dan lahan luas. Dengan demikian, wajarlah jika produktivitas marginal pupuk Urea pada lahan luas lebih tinggi. Pada Tabel 30 juga diperlihatkan harga bayangan lahan, yang dapat juga diterjemahkan sebagai nilai produktivitas marginal lahan.
Nilai ini sebenarnya bisa
228 dibandingkan dengan nilai sewa lahan yang berlaku di petani. Sayangnya data sewa lahan tidak tersedia dengan lengkap. Dari 952 responden hanya terdapat 90 responden yang mempunyai informasi sewa lahan. Dari jumlah responden tersebut diperoleh ratarata sewa sekitar tiga juta rupiah per hektar per tahun. Besarnya sewa lahan sangat bervariasi, sewa termurah Rp 142.9 ribu dan termahal Rp 25 juta per hektar per tahun. Jika data ini dibandingkan dengan harga bayangan lahan, maka sewa lahan yang dibayarkan petani contoh rata-rata lebih mahal dari yang seharusnya. Diduga hal ini terjadi karena lahan mempunyai fungsi bukan hanya untuk kegiatan usahatani sehingga relatif langka. Kelangkaan lahan ini menyebabkan sewa lahan yang ditawarkan lebih mahal dari nilai produktivitas lahan itu sendiri. Perbandingan antara harga bayangan dengan harga pasar dapat diperluas untuk tenaga kerja dan pupuk Urea. Berdasarkan teori ekonomi produksi, penggunaan input akan optimal jika nilai produk marjinal atau harga bayangan setiap input sama dengan nilai korbanan marjinal masing-masing input, atau harga pasar masing-masing input. Pada penelitian ini, diasumsikan petani secara ekonomi
berperilaku rasional, jika
terdapat perbedaan antara harga bayangan dengan harga pasar diterjemahkan sebagai adanya hambatan atau restriksi yang dihadapi petani untuk menggunakan input (pupuk Urea dan tenaga kerja) secara efisien. Bhattacharyya dan Kumbakar (1997) menyebut perbedaan antara harga bayangan dengan harga pasar untuk mengukur adanya distorsi pasar, yaitu menggunakan rasio antara harga bayangan dengan harga pasar, ID = 1-HB/HP, dimana ID adalah indeks distorsi, HB adalah harga bayangan, dan HP adalah harga pasar. Jika pasar bekerja secara efisien, maka ID akan sama dengan nol. Harga bayangan diduga secara stokastik
229 menggunakan fungsi produksi tidak langsung (indirect production function).
Skoufias
(1997) yang kemudian diikuti oleh Sonoda dan Maruyama (1999) mengukur adanya distorsi pasar tenaga kerja dengan meregresikan harga bayangan dengan harga pasar. Model yang digunakan adalah L HB = á+âL HP+å, dimana L HB dan L HP masing merupakan bentuk logaritma harga bayangan dan harga pasar, å adalah error. Menurut model tersebut, pasar tidak terdistorsi jika á = 0 dan â = 1. Seperti disebutkan di atas, distorsi dapat diukur dengan rasio antara harga bayangan dengan harga pasar.
Menggunakan angka rasio tersebut,
distorsi dapat
diketahui baik arah maupun besarannya dan dapat dibandingkan dengan antar strata luas luas lahan. Untuk memudahkan interpretasi, distorsi dinyatakan dengan indeks Jika harga bayangan lebih besar dari harga pasar, ID akan bernilai negatif. Sebaliknya, jika harga bayangan lebih kecil dari harga pasar, ID akan bernilai positif. Pada Tabel 31 disajikan nilai rata-rata dan standar deviasi indeks distorsi harga pupuk Urea, tenaga kerja pria dan wanita, luar keluarga dan dalam keluarga. Indesk distorsi tersebut dibandingkan dengan hasil penelitian Bhattacharyya dan Kumbakar (1997) relatif lebih besar. Bhattacharyya dan Kumbakar menghasilkan indeks distorsi untuk tenaga kerja sebesar 0.078. Indeks distorsi pada usahatani berlahan sempit (0.021) lebih kecil dibanding pada usahatani lahan luas (0.172). Tabel 31. Indeks Distorsi Harga Pupuk Urea dan Upah Tenaga Kerja Usahatani Menurut Strata Luas Lahan Jenis Input Pupuk Urea TKP Luar Kelg TKW Luar Kelg TKP Dalam Kelg TKW Dalam Kelg
Lahan Sempit RataStd rata Dev -0.06 1.09 0.49 0.55 0.37 0.77 0.74 0.80 0.36 0.93
Lahan Sedang RataStd rata Dev -0.52 0.75 0.04 0.49 -0.14 0.59 0.64 0.31 -0.49 9.35
Lahan Luas RataStd rata Dev -0.97 1.17 -0.48 0.76 -0.72 0.82 -0.55 11.53 -2.62 36.93
Total RataStd rata Dev -0.52 1.09 0.02 0.73 -0.16 0.86 0.28 6.69 -0.92 22.01
230
Pada Tabel 31 terlihat indeks distorsi pupuk Urea menunjukkan hasil negatif, yang berarti harga pupuk Urea rata-rata lebih rendah dibanding dengan harga bayangan pupuk Urea. Distorsi tersebut semakin meningkat pada strata lahan sedang dan lahan luas. Distorsi upah tenaga kerja luar keluarga pria dan tenaga kerja luar keluarga wanita menunjukkan angka positif pada strata lahan sempit,. Namun pada strata lahan luas, indeks distorsi tersebut berubah negatif. Hal ini menunjukkan bahwa harga bayangan tenaga kerja pada lahan sempit cenderung lebih kecil dibanding upah yang berlaku, sebaliknya pada lahan luas, harga bayangan tenaga kerja lebih tinggi dibanding upah yang berlaku.
Penggunaan tenaga kerja yang berlebihan pada strata lahan sempit
cenderung menekan harga bayangan, dan sebaliknya pada strata lahan luas. Identifikasi distorsi dapat juga dilakukan dengan meregresikan harga bayangan dengan harga pasar dengan model seperti telah disebutkan di atas.
Pada Tabel 32
disajikan hasil pendugaan fungsi regresi setiap harga input, kecuali harga bayangan lahan. Hipotesis yang perlu diuji dalam fungsi tersebut adalah bahwa á = 0 dan â = 1. Hasil uji statistik menunjukkan nilai F yang cukup besar, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak cukup bukti untuk menerima hipotesis á = 0 dan â = 1. Hasil tersebut berlaku untuk setiap strata rumahtangga. Artinya antara harga bayangan dan harga pasar memang tidak sama, atau rumahtangga tidak dapat mengalokasikan penggunaan sumberdayanya pada keseimbangan antara harga pasar dan harga bayangan masing-masing input.
Dalam konteks ini, rumahtangga diasumsikan menghadapi
berbagai kendala dalam mengalokasikan sumberdayanya, sehingga harga pasar tidak dapat dijadikan patokan dalam mengalokasikan sumberdaya rumahtangga.
231 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa rumahtangga petani yang dianalisis memang berada pada kondisi persaingan pasar tidak sempurna.
Ketidak
sempurnaan pasar tersebut dapat diidentifikasi menurut strata luas lahan.
Hasilnya
menunjukkan bahwa indikasi adanya pasar persaingan tidak sempurna berlaku baik bagi keseluruhan rumahtangga contoh, maupun menurut strata luas lahan. Implikasi dari hasil uji tersebut adalah bahwa perilaku ekonomi rumahtangga yang akan dibahas pada penelitian ini memang berada pada kondisi persaingan pasar tidak sempurna. Tabel 32. Hasil Pendugaan Regresi Harga Bayangan Input Terhadap Harga Pasar Menurut Strata Luas Lahan Persamaan* Lahan Sempit SPU SWP SWW SWPL SWWL Lahan Sedang SPU SWP SWW SWPL SWWL Lahan Luas SPU SWP SWW SWPL SWWL Total Rumahtangga SPU SWP SWW SWPL SWWL
Dugaan á Koefisien St error
Dugaan â Koefisien St error
**
Nilai F
-0.2212 0.6616 0.2046 -0.4911 -0.7025
0.0457 0.4150 0.2737 0.3549 0.3384
0.8663 -0.3421 0.0552 0.6291 0.7371
0.1101 0.1993 0.1679 0.1705 0.2076
14.6 669.0 406.4 316.8 188.4
0.4705 1.3759 1.2776 0.8910 0.4737
0.0333 0.2858 0.1965 0.2399 0.2099
0.6666 -0.1179 0.0961 0.5505 0.8349
0.0726 0.1294 0.1069 0.1085 0.1142
225.7 316.1 77.7 11.4 10.2
0.6993 4.0014 2.4799 2.4752 1.9079
0.0261 0.3856 0.2358 0.1574 0.1231
0.2353 -0.8789 -0.1116 0.1639 0.4397
0.0567 0.1655 0.1182 0.0676 0.0617
928.6 90.4 71.5 468.7 795.1
0.3054 0.0792 -0.3489 -0.7502 -1.2036
0.0276 0.2683 0.1730 0.2235 0.1806
0.5708 0.4246 0.9360 1.2175 1.6414
0.0621 0.1215 0.0948 0.1012 0.0989
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5. ** Joint test Ho: á = 0 dan â = 1. 7.2. Validasi Model Persamaan Simultan
198.5 449.8 93.3 36.8 22.2
232 Sebelum dilakukan analisis kebijakan, terlebih dahulu perlu dilakukan validasi model.
Model pada hakekatnya adalah suatu representasi dari dunia nyata yang
penyajiannya disederhanakan. Model yang baik adalah model yang mampu menjelaskan fenomena di dunia nyata tersebut. Validasi model dimaksudkan untuk memeriksa sejauh mana model yang dibangun dapat menghasilkan prediksi yang mendekati keadaan sebenarnya.
Oleh karena itu, kriteria yang digunakan dalam validasi model pada
penelitian ini pada dasarnya mengukur sejauh mana besaran hasil prediksi model mendekati besaran yang sebenarnya atau mendekati angka aktual yang dinyatakan dalam besaran error atau kesalahan. Semakin kecil kesalahan, model yang digunakan semakin baik. Ukuran kesalahan dinyatakan dalam selisih antara besaran aktual dengan besaran dugaan, diformulasikan dalam bentuk kuadrat rata-rata (Means Square Error atau MSE) dan berbagai bentuk variasinya. Menurut besaran MSE, model yang baik akan menghasilkan MSE yang kecil. Namun yang perlu diperhatikan adalah besaran MSE tersebut tergantung pada satuan variabel yang dimasukkan dalam model. Oleh karena itu perlu disertai dengan ukuran lain yang menghilangkan pengaruh satuan, yaitu dalam bentuk persentase seperti MPE (Mean Percent Error), MAPE (Mean Absolute Percent Error), RMSPE (Root Mean Square Percent Error). Keterbatasan ukuran yang mengandung persentase adalah sering menghasilkan angka ekstrim karena pembagi yang mendekati nol. Jika menghasilkan angka ekstrim seperti ini, besaran yang mengandung persen ditampilkan dalam bentuk titik. Telah dijelaskan di atas bahwa validasi model pada dasarnya melihat sejauh mana dugaan yang dihasilkan oleh model sesuai dengan kondisi aktualnya. Oleh karena itu,
233 validasi
model banyak menggunakan ukuran kesalahan atau error dalam berbagai
bentuk. Salah satu analisis lebih jauh tentang besarnya kesalahan tersebut adalah dengan menguraikan komponen-komponen yang menyusun besaran kesalahan tertentu. Metode yang sering digunakan adalah metode dekomposisi Theil seperti telah dijelaskan pada bagian metode penelitian. Validasi pada penelitian ini akan menyoroti besaran koefisien U-Theil, dekomposisi MSE, dan Root Mean Squares Percent Error (RMSPE). Pada Tabel 33 disajikan hasil validasi model dalam ukuran RMSPE dan koefisien U-Theil menurut strata luas lahan dan total rumahtangga untuk 39 variabel endogen. Jumlah variabel endogen tersebut termasuk di dalamnya variabel endogen yang diduga di luar sistem persamaan simultan seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Selain pada total rumahtangga, validasi juga dilakukan pada masing-masing strata. Validasi pada masing-masing strata dilakukan karena simulasi model juga akan dilakukan pada masing-masing strata Pada Tabel 33 terdapat dua variabel endogen, yaitu penerimaan tunai usahatani (CASHO) dan produk usahatani yang dikonsumsi (KONPT) diberi tanda titik pada RMSPE. Hal ini menunjukkan setidaknya ada satu observasi yang menghasilkan angka RMSPE ekstrim yang disebabkan oleh pembagi yang mendekati nol. Di sisi lain, nilai RMSPE variabel kredit (CREDIT) menunjukkan RMSPE terbesar, baik pada rumahtangga secara total maupun pada masing-masing strata luas lahan. Artinya, dibanding dengan variabel lain, hasil dugaan terhadap variabel kredit tersebut paling tidak memuaskan karena kesalahan dugaan dibanding dengan data aktual paling besar dibanding variabel lain. RMSPE relatif kecil terdapat pada variabel nilai produk tanaman
234 pangan (PRED) dan dan variabel penerimaan total usahatani (TFRET). Besaran RMSPE untuk variabel lain di atas 100 persen. Besaran RMSPE menggambarkan sejauh mana dugaan yang dihasilkan oleh model menyimpang dari data yang sebenarnya dalam ukuran persentase. Namun demikian, besaran tersebut belum bisa memberi pedoman dalam penggunaan model. Kriteria lain yang sering digunakan dalam validasi adalah koefisien U-Theil seperti telah dijelaskan di muka. Model yang baik akan menghasilkan U-Theil mendekati nol,
235 Tabel 33. Root Mean Squares Percent Error dan Koefisien U-Theil Model Ekonomi Rumahtangga Petani Tanaman Pangan Menurut Strata Luas Lahan Lahan Sempit
Lahan Sedang
Variabel*
Lahan Luas
RMSPE Koefisien RMSPE Koefisien RMSPE Koefisien (%) U-Theil (%) U-Theil (%) U-Theil TKPD 879 0.372 466 0.418 498 0.406 TKWD 840 0.437 807 0.438 455 0.452 TKPL 2293 0.480 2592 0.479 1551 0.374 TKWL 1694 0.489 2065 0.453 1376 0.381 KPNFF 4796 0.386 6080 0.402 6546 0.494 KWNFF 3749 0.510 5211 0.534 5458 0.531 PURE 1280 0.388 429 0.365 227 0.304 PTSP 2200 0.492 4614 0.504 8425 0.476 LGARP 327 0.450 224 0.253 136 0.221 CASHO . 0.320 . 0.233 . 0.142 INVUT 1955 0.699 2623 0.689 4106 0.482 CPANB 257 0.260 71 0.270 76 0.378 CNPAN 561 0.433 150 0.514 127 0.523 CPKES 432 0.424 673 0.429 690 0.564 TABNG 11040 0.564 6766 0.519 5512 0.666 PRED 16 0.061 9 0.041 7 0.029 VPROD 220 0.383 120 0.243 91 0.180 SPU 284 0.549 116 0.512 89 0.265 SWP 603 0.422 108 0.440 86 0.475 SWW 494 0.488 218 0.663 240 0.488 SWPL 477 0.654 419 0.574 399 0.536 SWWL 761 0.567 794 0.619 403 0.523 SPL 121 0.380 114 0.473 139 0.360 KONPT . 0.424 . 0.392 . 0.412 NTKL 1893 0.482 2241 0.478 1377 0.355 CASHT 2450 0.455 2923 0.437 1743 0.356 INVRT 3856 0.692 7940 0.634 9884 0.585 CREDIT 39010 0.622 48067 0.729 85477 0.618 NPKIM 697 0.388 407 0.356 274 0.308 TKD 569 0.332 324 0.383 264 0.374 CRUTN 80 0.181 43 0.193 40 0.153 TFRET 22 0.128 21 0.111 25 0.114 HHINC 289 0.214 68 0.598 3496 0.670 TFEXP 772 0.285 313 0.298 199 0.206 NFFIN 301 0.171 593 0.169 376 0.146 CASHI 308 0.042 70 0.042 79 0.044 NFINC 1647 0.181 3299 0.172 3396 0.251 HHEXP 734 0.232 45 0.226 42 0.179 INPL 296 0.023 79 0.019 136 0.027
* Nama variable dapat dilihat pada Lampiran 5.
Total Rumahtangga RMSPE Koefisien (%) U-Theil 641 0.405 722 0.445 2191 0.408 1737 0.404 5859 0.428 4870 0.524 787 0.321 5692 0.479 242 0.229 . 0.173 3032 0.574 159 0.323 342 0.504 611 0.522 8107 0.610 11 0.043 154 0.195 184 0.446 355 0.469 340 0.497 433 0.564 677 0.562 125 0.405 . 0.409 1873 0.391 2424 0.379 7662 0.605 60929 0.662 491 0.319 407 0.372 57 0.163 23 0.115 2023 0.657 493 0.228 442 0.153 187 0.043 2900 0.205 423 0.194 193 0.025
236 sebaliknya jika mendekati satu, model dianggap kurang bisa menjelaskan data yang sebenarnya. Hasil validasi menggunakan U-Theil akan lebih mudah jika menggunakan besaran minimum dan maksimum serta patokan angka tertentu, misalnya menggunakan besaran • 0.50.
Pada Tabel 33 terlihat koefisien U-Theil pada rumahtangga total berkisar
antara 0.025 sampai dengan 0.693. Dari 39 variabel endogen yang diukur, terdapat 29 variabel dengan nilai koefisien U-Theil • 0.50. Jika diperhatikan pada strata lahan sempit, nilai keofisien U-Theil berkisar antara 0.023 sampai dengan 0.699. Pada strata ini terdapat 31 variabel dengan koefisien • 0.50.
Bergeser pada rumahtangga strata
lahan sedang diperoleh koefisien U-Theil antara 0.019 sampai dengan 0.729. Jumlah variabel yang mempunyai koefisien • 0.50 pada strata ini adalah 2 7 variabel. Pada strata lahan luas, koefisien U-Theil berkisar antara 0.027 sampai dengan 0.670, dan terdapat 30 variabel dengan koefisien U-Theil • 0.50 . Dari angka-angka di atas, validasi model dapat menilai kebaikan model secara relatif. Dilihat dari jumlah variabel yang mempunyai koefisien U-Theil terbesar ditemui pada strata lahan sedang, namun demikian angka tersebut tidak berbeda jauh dari koefisien U-Theil maksimum di strata lain atau di rumahtangga total. Dekomposisi terhadap nilia-nilai U-Theil menunjukkan hasil validasi secara lebih rinci seperti terlihat pada Tabel 34. Model yang baik akan menghasilkan UM dan US mendekati nol, dan UC mendekati satu. Oleh karena itu, agar memudahkan menilai hasil validasi tersebut diperlukan patokan angka tertentu. Jika misalnya menggunakan patokan UM • 0.10, pada total rumahtangga terdapat 37 variabel endogen yang mempunyai besaran angka tersebut.
237 Tabel 34.
Variabel* TKPD TKWD TKPL TKWL KPNFF KWNFF PURE PTSP LGARP CASHO INVUT CPANB CNPAN CPKES TABNG PRED VPROD SPU SWP SWW SWPL SWWL SPL KONPT NTKL CASHT INVRT CREDIT NPKIM TKD CRUTN TFRET HHINC TFEXP NFFIN CASHI NFINC HHEXP INPL
UM, US dan UC Model Ekonomi Rumahtangga Petani Tanaman Pangan Menurut Strata Luas Lahan
Lahan Sempit UM 0.10 0.06 0.15 0.09 0.02 0.02 0.21 0.04 0.08 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.12 0.24 0.08 0.00 0.08 0.05 0.02 0.00 0.03 0.01 0.20 0.44 0.03 0.02 0.15 0.13 0.01 0.08 0.00 0.21 0.02 0.15 0.01 0.00 0.03
US 0.27 0.40 0.24 0.31 0.50 0.58 0.00 0.24 0.30 0.00 0.71 0.47 0.16 0.39 0.28 0.06 0.37 0.07 0.01 0.16 0.40 0.16 0.13 0.81 0.14 0.03 0.61 0.38 0.05 0.19 0.05 0.18 0.01 0.08 0.11 0.01 0.05 0.18 0.02
UC 0.64 0.54 0.61 0.59 0.48 0.40 0.79 0.72 0.62 0.99 0.29 0.53 0.84 0.60 0.60 0.70 0.54 0.93 0.91 0.79 0.59 0.84 0.85 0.18 0.67 0.53 0.36 0.60 0.81 0.68 0.93 0.74 0.98 0.71 0.87 0.84 0.93 0.82 0.95
Lahan Sedang UM 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.00 0.00 0.04 0.05 0.02 0.00 0.03 0.01 0.04 0.04 0.21 0.04 0.00 0.17 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.14 0.00 0.00 0.01 0.00 0.01 0.04 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.01 0.04
US 0.54 0.60 0.51 0.32 0.41 0.46 0.43 0.31 0.03 0.07 0.72 0.42 0.50 0.22 0.56 0.11 0.07 0.61 0.02 0.83 0.46 0.41 0.23 0.68 0.40 0.01 0.39 0.79 0.33 0.52 0.11 0.02 0.70 0.27 0.12 0.06 0.04 0.23 0.00
UC 0.46 0.39 0.49 0.67 0.58 0.54 0.57 0.64 0.93 0.91 0.28 0.55 0.49 0.74 0.40 0.68 0.89 0.39 0.81 0.17 0.54 0.59 0.77 0.32 0.58 0.85 0.61 0.21 0.66 0.48 0.88 0.94 0.29 0.71 0.88 0.93 0.96 0.76 0.96
Lahan Luas UM 0.01 0.03 0.00 0.00 0.01 0.01 0.00 0.01 0.01 0.03 0.02 0.12 0.09 0.01 0.05 0.33 0.06 0.00 0.00 0.00 0.06 0.10 0.18 0.01 0.00 0.13 0.01 0.01 0.00 0.00 0.12 0.06 0.01 0.00 0.08 0.00 0.00 0.04 0.01
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5.
US 0.26 0.52 0.14 0.17 0.32 0.37 0.11 0.60 0.09 0.01 0.06 0.55 0.50 0.49 0.68 0.17 0.02 0.23 0.70 0.96 0.42 0.13 0.59 0.26 0.24 0.05 0.53 0.63 0.22 0.29 0.04 0.13 0.93 0.12 0.02 0.14 0.00 0.11 0.26
UC 0.74 0.46 0.86 0.83 0.68 0.62 0.88 0.39 0.89 0.96 0.92 0.33 0.42 0.50 0.26 0.50 0.91 0.77 0.29 0.04 0.52 0.77 0.23 0.74 0.76 0.81 0.47 0.35 0.78 0.71 0.84 0.80 0.06 0.88 0.91 0.86 1.00 0.85 0.73
Total UM 0.01 0.00 0.01 0.01 0.00 0.00 0.01 0.00 0.02 0.02 0.00 0.04 0.02 0.00 0.00 0.24 0.05 0.00 0.01 0.00 0.00 0.02 0.00 0.01 0.02 0.15 0.00 0.00 0.01 0.00 0.03 0.05 0.00 0.02 0.01 0.01 0.00 0.01 0.00
US 0.27 0.52 0.22 0.20 0.40 0.47 0.12 0.52 0.03 0.00 0.28 0.54 0.46 0.44 0.63 0.07 0.02 0.23 0.61 0.94 0.30 0.17 0.12 0.41 0.24 0.03 0.48 0.63 0.19 0.30 0.07 0.10 0.91 0.14 0.00 0.11 0.01 0.13 0.17
UC 0.72 0.48 0.78 0.79 0.60 0.53 0.87 0.48 0.95 0.98 0.72 0.42 0.52 0.56 0.37 0.68 0.93 0.76 0.38 0.06 0.70 0.81 0.88 0.59 0.74 0.82 0.52 0.36 0.80 0.69 0.91 0.85 0.09 0.84 0.98 0.89 0.99 0.86 0.83
238 Jika diperhatikan menurut strata luas lahan, pada lahan sempit terdapat 31 variabel, pada lahan sedang terdapat 37 variabel, dan pada lahan luas terdapat 35 variabel endogen yang mempunyai UM • 0.10. Berdasarkan kriteria ini, secara keseluruhan konstribusi bias terhadap kesalahan (Root Mean Square Error-RMSE) dugaan relatif kecil, kecuali pada beberapa variabel endogen saja. Nilai bias diukur dengan selisih rata-rata hasil simulasi terhadap rata-rata aktual. Jika hasil simulasi secara rata-rata mendekati rata-rata aktual, tidak terjadi bias atau UM akan nol. Komponen US pada Tabel 34 dapat dipelajari dengan menggunakan angka patokan yang sama seperti pada komponen UM, yaitu US •
0.10.
Jika patokan tersebut
digunakan, maka jumlah variabel endogen yang memenuhi syarat pada total rumahtangga hanya ada 10 variabel. Pada masing-masing strata diperoleh 16 variabel untuk lahan sempit, 7 variabel untuk lahan sedang, dan 10 variabel untuk lahan luas. Indikator ini menunjukkan bahwa model yang dibangun tidak dapat menghasilkan dugaan dengan variasi yang mirip dengan data aktual atau kejadian yang sebenarnya. Hasil seperti ini sudah dapat diduga pada penelitian yang menggunakan data kerat lintang, dimana variasi data tidak mempunyai pola tertentu. Pada data deret waktu (time series), pola variasi data setidaknya akan terlihat dari urutan waktu. Jika komponen UM dan US tergambar seperti di atas, maka komponen UC sudah dapat diduga, karena komponen terakhir ini merupakan bagian dari dua komponen lainnya.
Model yang baik akan menghasilkan UC mendekati satu.
Artinya, UC
menggambarkan bagian kesalahan yang tidak sistematis, atau yang tidak disebabkan oleh model.
239 Berdasarkan kriteria-kriteria yang dikembangkan di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil validasi model secara keseluruhan kurang memuaskan.
Dilihat dari besaran
RMSPE, seperti telah dijelaskan di atas, salah satu penyebab terjadinya keselahan terbesar adalah pada variabel endogen kredit (CREDIT).
Variabel ini pada data
aktualnya banyak yang bernilai nol atau tidak meminjam kredit. Nilai dugaan terhadap variabel ini akan menimbulkan kesalahan (error) yang cukup besar.
Pada model
persamaan simultan, dimana satu variabel endogen akan mempunyai kaitan dengan variabel endogen lainnya, maka besaran kesalahan dugaan pada satu variabel endogen akan menentukan besar kesalahan seluruh sistem. Di samping itu, penyebab lainnya adalah model persamaan simultan yang dibangun tidak diduga dengan metode 3SLS secara utuh. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa fungsi produksi translog, dan turunannya digunakan untuk menduga harga bayangan input, diduga secara terpisah dari sistem persamaan simultan. Dengan demikian, wajar jika dalam pendugaan variabel endogen secara simultan menghasilkan dugaan yang kurang memuaskan. Namun demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa validasi di setiap strata relatif cukup baik, tidak banyak berbeda jika dibandingkan dengan hasil validasi total. Hasil tersebut menunjukkan bahwa walaupun model diduga untuk rumahtangga secara total, model tersebut masih relatif baik jika diterapkan menurut strata luas lahan. Oleh karena itu, pada bagian selanjutnya, simulasi model akan diterapkan berdasarkan strata luas lahan, di samping terhadap rumahtangga total. Prosedur validasi juga menghasilkan dugaan terhadap variabel-variabel endogen, seperti terlihat pada Tabel 35. Pada tabel tersebut rata-rata variabel endogen disajikan berdampingan dengan rata-rata aktualnya.
Pada tabel terlihat besaran rata-rata aktual
240 dan hasil simulasi berbeda. Perbedaan tersebut menunjukkan seberapa tepat hasil dugaan simulasi dibandingkan dengan data aktualnya. Untuk membantu memahami sejauh mana perbedaan tersebut, dapat dibantu dengan uji statistik.
241 Tabel 35. Rata-rata Aktual dan Hasil Simulasi Variabel Endogen Model Ekonomi Rumahtangga Petani Tanaman Pangan Menurut Strata Luas Lahan
Variabel* TKPD TKWD TKPL TKWL KPNFF KWNFF PURE PTSP LGARP CASHO INVUT CPANB CNPAN CPKES TABNG PRED VPROD SPU SWP SWW SWPL SWWL SPL CRUTN KONPT NTKL CASHT INVRT CREDIT NPKIM TKD TFRET HHINC TFEXP NFFIN CASHI NFINC HHEXP INPL
Lahan Sempit (n=308)
Lahan Sedang (n=316)
Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual 49.96 66.65 92.94 92.85 127.30 27.51 36.06 44.22 45.44 72.80 80.12 143.10 180.00 191.00 310.40 68.04 110.20 126.00 146.10 248.10 145.30 126.20 110.90 124.30 119.00 82.46 68.17 61.75 67.84 52.05 96.29 149.10 234.10 236.70 448.70 22.79 33.84 38.47 55.96 129.40 0.40 0.57 1.36 1.54 3.96 4533.10 4781.30 7060.20 7614.60 12524.60 159.30 199.30 397.10 317.00 369.60 2586.30 2625.30 3107.40 2829.20 4130.70 530.80 585.80 774.50 675.60 1104.10 193.20 214.20 213.00 275.10 431.10 864.70 1677.50 1210.60 1685.60 2931.50 6.73 7.15 7.88 8.19 8.68 1374.20 1988.30 3710.00 4299.30 9153.40 0.82 0.74 1.21 1.14 1.48 4.23 2.15 7.29 3.43 15.61 3.95 2.77 9.31 10.52 19.88 5.23 3.75 8.08 8.07 9.14 3.09 2.86 6.43 6.78 7.04 1600.00 1902.90 949.60 953.00 678.20 4401.90 4621.50 5477.30 5230.80 8264.20 2728.10 3094.00 3434.00 3468.90 3850.40 875.30 1663.50 2135.40 2556.90 4552.60 875.30 2344.70 2135.40 3642.40 4552.60 570.60 294.40 551.90 555.60 765.00 358.80 523.10 655.20 643.30 728.60 97.04 144.90 223.10 245.20 506.40 77.47 102.70 137.20 138.30 200.10 7261.20 7875.30 10494.10 11083.40 16375.00 13174.30 13034.80 17235.10 20837.30 25799.30 1695.90 2583.50 3751.70 4204.60 8210.00 5565.30 5300.80 6742.40 6943.50 8165.00 633.40 681.20 1063.40 1085.50 2093.80 4937.30 4480.60 4319.80 4513.30 4349.70 4971.10 4890.80 6029.20 5737.90 9029.20 559.60 571.10 881.80 900.60 1730.00
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5.
Total Rumahtangga (n=934) Simulasi Aktual Simulasi 138.70 90.22 99.47 60.35 48.22 47.31 315.30 190.50 216.60 242.00 147.50 166.20 106.60 124.90 119.00 62.39 65.35 66.14 470.00 260.10 285.50 113.80 63.56 67.92 4.22 1.91 2.11 13625.40 8045.30 8680.60 528.10 309.60 348.50 3033.90 3276.10 2830.10 729.20 803.80 663.90 356.90 279.00 282.30 1722.90 1669.00 1695.30 8.98 7.77 8.11 10633.20 4751.10 5644.80 1.48 1.17 1.12 11.87 9.05 5.82 31.41 11.06 14.91 13.64 7.49 8.50 11.56 5.53 7.08 429.90 1073.60 1091.90 6790.90 6050.00 5549.00 4229.40 3340.00 3598.40 4723.30 2524.30 2983.20 6822.80 2524.30 4272.80 1089.40 629.00 647.10 987.10 582.00 718.10 512.10 275.80 300.90 199.00 138.40 146.80 17854.80 11385.30 12278.90 42310.60 18746.00 25409.50 8410.80 4557.40 5069.70 9444.00 6827.80 7234.10 2099.50 1264.50 1289.60 4344.90 4533.20 4446.50 7977.70 6678.50 6203.90 1712.40 1057.80 1062.10
Lahan Luas (n=311)
242
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa untuk total rumahtangga jumlah variabel yang tidak berbeda nyata pada taraf nyata 10 persen atau lebih, dari 33 variabel endogen yang diduga hanya terdapat 10 variabel.
Artinya, sebagian besar variabel endogen
memiliki rata-rata berbeda antara hasil simulasi dengan data aktualnya. Pada strata lahan sempit, jumlah variabel yang secara statistik nilai rata-ratanya tidak berbeda nyata pada taraf nyata 10 persen atau lebih berjumlah 7 variabel.
Pada strata lahan sedang,
berjumlah 13 variabel, dan pada strata lahan luas sebanyak 17 variabel. Jumlah ini menunjukkan juga bahwa hasil simulasi memang berbeda dengan data aktualnya. Secara keseluruhan menunjukkan hasil yang sama dengan kriteria-kriteria validasi yang telah dijelaskan di atas. Walau hasil validasi ini kurang memuaskan, model yang dibangun akan digunakan untuk simulasi, tentunya dengan menyadari keterbatasan yang ada.
243 VIII. EFEK PERUBAHAN HARGA INPUT DAN HARGA OUTPUT PADA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI Pada bab sebelumnya telah ditunjukkan hasil pendugaan model ekonomi rumahtangga petani tanaman pangan menggunakan model persamaan simultan. Hasil pendugaan tersebut lebih menekankan kepada hubungan struktural antar sejumlah variabel yang dapat diidentifikasi pada ekonomi rumahtangga petani tanaman pangan. Seperti telah dijelaskan pada kerangka teori, salah satu ciri model ekonomi rumahtangga petanian adalah adanya interaksi antara keputusan produksi dan keputusan konsumsi, demikian juga sebaliknya.
Interaksi ini biasanya dipelajari melalui analisis statika
komparatif (comparative static) dengan menghitung elastisitas titik atau elastisitas busur. Pada model persamaan simultan, analisis sejenis ini dapat dilakukan dengan melakukan simulasi, yaitu melakukan perubahan-perubahan pada satu atau beberapa variabel tertentu yang efeknya akan dipelajari. Variabel yang diubah biasanya merupakan variabel kebijakan atau variabel yang karena proses tertentu bisa berubah dan ingin diketahui efeknya terhadap rumahtanga usahatani. Keuntungan menggunakan analisis simulasi antara lain (Smith and Strouss, 1986) dapat mengatasi adanya persamaan non-linear dalam model, rumahtangga mempunyai perangkat variabel eksogen yang berbeda sehingga analisis dengan elastisitas akan menghasilkan besaran yang beragam antar rumahtangga. Di samping itu, simulasi bisa melakukan perubahan beberapa variabel secara bersamaan. Penelitian-penelitian sebelumnya yang menggunakan persamaan simultan menamakan analisis ini sebagai analisis dampak kebijakan. Pada penelitian ini tidak ditujukan untuk menganalisis dampak kebijakan, tetapi lebih bersifat menguji model untuk melihat sejauh mana perubahan yang terjadi dapat menangkap perilaku logis
244 rumahtangga petani tanaman pangan. Walaupun demikian, implikasi praktis dari hasil analisis ini masih relevan untuk mengantisipasi dampak suatu kebijakan atau perubahan suatu variabel karena proses tertentu. Efek perubahan pada penelitian ini dipelajari dengan menggunakan persentase kenaikan dari kondisi awal yang sama untuk seluruh variabel kebijakan, yaitu sebesar 10 persen.
Persentase ini ditentukan secara arbiter dengan tujuan agar besar dan arah
dampak kebijakan dapat lebih mudah diperbandingkan.
Di samping itu, mengingat
simulasi pada model persamaan simultan merupakan algoritma yang memanfaatkan besar dan arah koefisien dugaan pada setiap persamaan struktural, maka arah dan besaran hasil simulasi sebenarnya identik dengan elastisitas. Pada analisis ini juga dilakukan analisis efek perubahan dari kombinasi lebih dari satu variabel kebijakan. Kehadiran variabel harga bayangan sebagai variabel endogen pada model penelitian ini memungkinkan untuk menguji efek perubahan pada dua kondisi. Kondisi pertama, seluruh variabel harga bayangan ditempatkan sebagai variabel endogen, sehingga perubahan yang terjadi pada variabel kebijakan akan menyebabkan perubahan pada harga bayangan. Model ini disebut model non-separable. Kondisi kedua, harga bayangan ditempatkan sebagai variabel eksogen, sehingga perubahan variabel kebijakan tidak mengubah harga bayangan.
Model ini disebut model separable. Analisis
difokuskan pertama kali ke model non-separable sebagai model utama, kemudian diperbandingkan dengan
separable. Secara struktural yang mempengaruhi perilaku
ekonomi rumahtangga pada model separable dan non-separable pada penelitian ini adalah harga bayangan tenaga kerja keluarga dan harga bayangan lahan. Oleh karena itu,
245 perbedaan yang terjadi antara kedua model lebih banyak disebabkan oleh peran variabel harga bayangan tersebut.
8.1. Kenaikan Harga Produk Usahatani Salah satu kebijakan yang sering dilakukan pemerintah adalah mengintervensi pasar dengan menentukan harga produk, misalnya pada sektor tanaman pangan dengan menentukan harga dasar atau harga beli pemerintah.
Pada penelitian ini, harga produk
akan didekati dengan harga komposit produk usahatani tanaman pangan. Penggunaan harga produk komposit ini disadari kurang baik sehingga idealisme efek perubahan harga produk tidak dapat dianalisis dengan sempurna, seperti adanya daya desak marjinal antar produk pada model ini tidak dapat dijelaskan. Penggunaan harga komposit pada penelitian ini mengasumsikan bahwa apabila pemerintah menetapkan harga produk, maka keseluruhan harga tanaman pangan lainnya akan ikut terpengaruh. Efek kenaikan harga produk tersebut pada ekonomi rumahtangga petani dapat dilihat pada Tabel 36. Efek kenaikan harga produk dipilah menurut strata luas lahan dan dibedakan untuk model yang non-separable dan yang separable. Pada Tabel 36 tampak pengaruh kenaikan harga produk secara umum menyebabkan kenaikan hampir seluruh variabel ekonomi rumahtangga di sisi produksi, yaitu kegiatan usahatani.
Ini
menunjukkan bahwa kebijakan memperbaiki harga produk usahatani merupakan kebijakan yang berdampak positif pada kinerja usahatani. Harga produk pada model ekonomi rumahtangga petani ini secara langsung mempengaruhi luas lahan garapan (LGARP). Adanya kenaikan harga produk memberi insentif bagi rumahtangga untuk meningkatkan luas lahan garapan. Peningkatan luas
246 lahan garapan di sini sebenarnya diterjemahkan sebagai peningkatan intensitas tanam selama satu tahun, bukan perluasan penguasaan lahan. Pada usahatani tanaman pangan, intensitas tanam bisa lebih dari 300 persen, yang berarti lahan yang sama diusahakan tiga musim tanam atau lebih dalam setahun.
247 Tabel 36. Efek Kenaikan Harga Produk 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga Petani Model Separable dan Non-Separable Menurut Strata Luas Lahan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Variabel* LGARP PURE PTSP TKPD TKWD TKPL TKWL INPL CASHI VPROD TFRET TFEXP NFFIN KPNFF KWNFF NFINC CASHO KONPT INVUT HHINC CPANB CPKES CNPAN INVRT TABNG CREDIT
CRUTN HHEXP SWP SWW SPL
Model Non-Separable (%) Model Separable (%) Strata 1 Strata 2 Strata 3 Total Strata 1 Strata 2 Strata 3 Total 13.684 4.470 1.917 3.589 9.081 4.073 1.974 3.044 5.541 3.932 3.591 4.018 3.581 3.793 3.512 3.602 5.659 4.213 3.968 4.312 3.811 4.307 3.874 3.985 2.295 1.992 2.513 2.301 1.773 2.221 2.737 2.356 1.394 1.226 1.774 1.502 0.937 1.326 1.727 1.399 5.117 5.346 7.518 6.353 3.592 5.129 7.217 5.802 5.279 5.557 7.744 6.560 3.698 5.314 7.471 5.999 0.361 0.296 0.297 0.308 0.236 0.302 0.282 0.280 1.255 0.943 0.936 0.993 0.800 0.908 0.894 0.882 22.566 15.377 14.976 15.956 18.031 15.235 14.922 15.346 5.744 5.973 8.919 7.356 4.098 5.742 8.577 6.751 4.837 4.277 5.328 4.952 2.777 3.947 5.089 4.397 6.150 6.918 12.117 9.004 4.715 6.334 12.137 8.321 -1.144 -1.434 -2.529 -1.663 -0.775 -1.410 -2.491 -1.526 -0.958 -1.151 -2.049 -1.370 -0.640 -1.171 -1.993 -1.253 -1.036 -0.942 -1.821 -1.260 -0.585 -0.948 -1.759 -1.100 8.410 7.756 10.439 9.279 6.122 7.479 10.125 8.601 1.603 2.049 4.022 2.701 1.073 1.970 3.764 2.415 10.817 9.950 14.871 12.602 7.824 9.143 14.668 11.615 4.199 4.687 5.625 5.126 1.429 1.795 2.477 2.058 -0.116 -0.030 -0.017 -0.052 0.053 -0.087 -0.018 -0.019 0.173 0.240 0.450 0.312 0.068 0.099 0.172 0.122 0.006 0.008 0.006 0.007 0.003 0.004 0.003 0.003 6.306 5.266 6.233 5.964 4.586 5.362 5.964 5.586 0.406 0.753 1.902 1.032 0.334 0.618 1.621 0.863 1.587 1.173 0.962 1.174 0.900 1.023 0.961 0.965 -0.057 -0.003 0.014 -0.010 0.033 -0.042 -0.001 -0.004 0.343 0.500 0.843 0.607 0.312 0.478 0.797 0.570 7.992 2.606 1.664 2.619 0.000 0.000 0.000 0.000 8.622 7.300 6.382 6.736 0.000 0.000 0.000 0.000 -7.101 -5.559 0.911 -5.584 0.000 0.000 0.000 0.000
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5.
248 Pada sistem persamaan yang dibangun, luas lahan garapan mempengaruhi penggunaan tenaga kerja dalam keluarga pria dan wanita (TKPD dan TKWD), permintaan tenaga kerja luar keluarga pria dan wanita (TKPL dan TKWL), permintaan terhadap pupuk Urea dan TSP (PURE dan PTSP), serta permintaan kredit CREDIT. Parameter hasil dugaan variabel luas lahan pada variabel-variabel tersebut bertanda positif, sehingga peningkatan luas lahan garapan secara langsung akan meningkatkan variabel-variabel tersebut. Mengingat variabel yang terpengaruh langsung juga secara simultan mempengaruhi variabel lain, maka peningkatan luas lahan garapan juga secara tidak langsung mempengaruhi variabel lain di seluruh sistem persamaan. Pada Tabel 36 terlihat efek yang ditimbulkan oleh peningkatan luas lahan garapan secara tidak langsung ada yang positif dan ada pula yang negatif.
Efek negatif terlihat
pada penawaran tenaga kerja di luar usahatani, baik tenaga kerja pria (KPNFF) maupun tenaga kerja wanita (KWNFF).
Artinya, sistem persamaan dalam model ini
memungkinkan menjelaskan adanya pergeseran alokasi tenaga kerja rumahtangga dari luar usahatani ke dalam usahatani sebagai efek dari adanya insentif ekonomi pada kegiatan usahatani.
Akibat adanya pengurangan curahan kerja di luar usahatani,
pendapatan di luar usahatani (NFFIN) menurun. Di sisi lain, peningkatan alokasi kerja dan penggunaan pupuk serta input lain di usahatani menyebabkan pendapatan bersih rumahtangga yang berasal dari usahatani mengalami peningkatan.
Peningkatan
pendapatan usahatani disebabkan oleh peningkatan yang sangat tajam pada nilai produk total usahatani (VPROD). Hal ini wajar, karena di satu sisi, adanya peningkatan harga produk menyebabkan peningkatan produksi karena realokasi penggunaan input usahatani. Di sisi lain, peningkatan harga produk juga berdampak langsung pada peningkatan nilai
249 produk total. Artinya, sejumlah produk yang sama akan mempunyai nilai produk yang lebih tinggi karena adanya kenaikan harga produk tersebut. Efek kenaikan harga produk usahatani juga menyebabkan realokasi penggunaan produk usahatani.
Pada Tabel 36 tampak adanya peningkatan produk yang dijual
CASHO dan peningkatan produk usahatani yang dikonsumsi. Persentase peningkatan produk usahatani yang dijual tampak lebih besar dibandingkan dengan persentase peningkatan produk usahatani yang dikonsumsi. Implikasi dari efek ini adalah bahwa secara agregat, perbaikan harga produk usahatani tanaman pangan dapat meningkatkan penawaran rumahtangga terhadap produk usahatani. Realokasi pendapatan usahatani juga terjadi untuk pengeluaran investasi usahatani (INVUT) dan investasi rumahtangga (INVRT). Pada Tabel 36 terlihat kedua variabel investasi tersebut mengalami peningkatan.
Persentase peningkatan investasi pada
usahatani tampak lebih besar dibandingkan persentase peningkatan investasi pada rumahtangga.
Hasil ini menunjukkan bahwa perbaikan harga produk usahatani
berdampak pada peningkatan pendapatan usahatani, sehingga rumahtangga mempunyai kesempatan menyisihkan bagian pendapatan usahatani tersebut untuk keperluan investasi usahatani dan rumahtangga. Tampak juga bahwa kecenderungan marjinal investasi di usahatani relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di rumahtangga. Pada Tabel 36 dapat juga dipelajari efek kenaikan harga produk usahatani menurut strata luas lahan. Secara umum, efek kenaikan harga produk usahatani tersebut cenderung direspons dengan besaran yang berbeda, bahkan dengan arah yang juga berbeda. Persentase perubahan luas lahan garapan tampak jauh lebih besar pada strata lahan sempit, kemudian turun pada strata lahan yang lebih luas. Adanya peningkatan
250 luas lahan garapan yang tinggi pada strata lahan sempit tidak diikuti dengan perubahan yang sama pada variabel lainnya. Nilai produk total tanaman pangan tampak mengalami perubahan paling tinggi di usahatani berlahan sempit, namum variabel lainnya tidak demikian.
Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga pria dan wanita, tampak
perubahannya cenderung lebih kecil pada usahatani berlahan sempit. Demikian halnya dengan perubahan investasi di usahatani, cenderung mengecil pada usahatani berlahan sempit.
Ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan pendapatan dari usahatani
cenderung memberi kesempatan pada usahatani berlahan luas untuk memanfaatkan tenaga kerja dalam keluarga.
Perbaikan pendapatan usahatani juga cenderung
meningkatkan kesempatan pembentukan modal usahatani pada rumahtangga berlahan luas. Hal ini wajar karena surplus tenaga kerja dalam keluarga dan surplus pendapatan usahatani pada rumahtangga berlahan luas lebih besar dibandingkan dengan rumahtangga berlahan sempit. Perubahan yang cenderung menguat pada rumahtangga berlahan luas juga terjadi pada nilai produk usahatani yang dijual dan yang dikonsumsi. Pada usahatani berlahan sempit, perubahan kedua variabel tersebut paling kecil. Ini menunjukkan juga bahwa kenaikan harga produk akan meningkatkan bagian produk yang dijual terutama pada usahatani berlahan luas. Adanya bagian produk usahatani yang dikonsumsi berpengaruh juga pada pengeluaran rutin rumahtangga (CRUTN). Pada rumahtangga berlahan sempit dan berlahan sedang, peningkatan harga produk menyebabkan penurunan pengeluaran rutin. Sebaliknya, walaupun dalam persentase yang kecil, pada rumahtangga berlahan luas, justru meningkat. Pengeluaran rutin rumahtangga adalah pengeluaran untuk pangan yang dibeli dari pasar (CPANB), pengeluaran pangan yang disediakan sendiri (CPANS),
251 pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan (CPKES), dan pengeluaran untuk nonpangan. Jika pengeluaran rutin rumahtangga ditambah dengan pengeluaran investasi rumahtangga dan pajak akan menghasilkan pengeluaran total rumahtangga (HHEXP). Tampak pada Tabel 36, kenaikan harga produk usahatani menurunkan pengeluaran total rumahtangga berlahan sempit dan rumahtangga berlahan sedang. Pada rumahtangga berlahan luas tampak meningkat. Pada Tabel 36 dapat dibandingkan efek kenaikan harga produk menurut model non-separable dan model separable. Efek perubahan harga produk usahatani ditangkap oleh kedua model dengan arah dan besaran yang berbeda, baik di setiap variabel maupun di setiap strata di kedua model. Secara umum terlihat perubahan pada model nonseparable cenderung lebih besar dibandingkan dengan perubahan pada model separable. Misalnya efek langsung yang terlihat pada luas lahan garapan, tampak pada model nonseparable
lebih besar dibandingkan pada model non-separable, terutama pada
rumahtangga lahan sempit. Demikian halnya dengan input usahatani lainnya, seperti pupuk Urea, TSP, dan tenaga kerja luar keluarga pria dan wanita, pada lahan sempit model non-separable lebih tinggi dibandingkan dengan model separable. Pada strata lahan sedang dan strata luas, model non-separable memang lebih tinggi namun tidak sebesar pada strata lahan sempit. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perbaikan harga produk usahatani tanaman pangan dapat meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani serta pendapatan rumahtangga.
Namun efek kebijakan tersebut lebih menguntungkan
rumahtangga berlahan luas. Respons produksi terhadap perubahan harga produk pada rumahtangga lahan sempit lebih besar dibandingkan dengan respons rumahtangga petani
252 berlahan luas.
Namun pada rumahtangga berlahan sempit peningkatan produksi
usahatani tersebut tidak menyebabkan peningkatan pendapatan rumahtangga. Jika dalam prakteknya, rumahtangga petani berlahan sempit tidak akses terhadap kebijakan perbaikan harga produk, maka kebijakan perbaikan harga produk akan semakin bias kepada rumahtangga berlahan luas. Dari uraian di atas dapat dipelajari lebih lanjut bahwa pada model non-separable, perilaku rumahtangga petani cenderung lebih responsif terhadap perubahan harga produk dibandingkan dengan perilaku rumahtangga petani pada model separable. Adanya harga input yang bersifat endogen pada model non-separable, menyebabkan perbaikan harga direspons oleh rumahtangga petani secara simultan dan terartikulasi ke seluruh aktivitas ekonomi rumahtangga, baik keputusan produksi maupun keputusan konsumsi.
Jika
diperhatikan antar strata, menunjukkan bahwa perbedaan respons rumahtangga pada kondisi separable dan non-separable
menjadi lebih kecil pada strata lahan
luas.
Artinya, pengaruh endogenitas harga bayangan tenaga kerja dalam keluarga dan harga bayangan lahan garapan semakin kecil pada rumahtangga berlahan luas. Dengan kata lain, ciri efek ketidaksempurnaan pasar input (tenaga kerja dan lahan) semakin melemah pada rumahtangga berlahan luas. 8.2. Kenaikan Harga Pupuk Efek perubahan harga pupuk dipelajari untuk mengantisipasi perubahan ekonomi pada rumahtangga petani tanaman pangan sebagai akibat adanya kebijakan pemerintah berupa pengaturan harga pupuk.
Kebijakan pemerintah terhadap harga pupuk Urea
misalnya dalam bentuk pengurangan subsidi, sehingga berdampak pada kenaikan harga pupuk di tingkat petani.
Kebijakan pemerintah yang terkait dengan pupuk adalah
253 menaikkan harga eceran pupuk Urea dan TSP. Kebijakan ini sering dilakukan untuk dalam rangka mengurangi beban subsidi pupuk. Pada penelitian ini, dilakukan simulasi meningkatkan harga pupuk Urea dan TSP. Pada tahap ini, simulasi dilakukan secara terpisah untuk masing-masing jenis pupuk tersebut, dengan tujuan mempelajari besar dan arah dari efek kenaikan harga masing-masing pupuk. Pemisahan ini penting karena perilaku permintaan terhadap dua jenis pupuk tersebut ternyata berbeda. Pada Tabel 37 disajikan efek kenaikan harga pupuk Urea 10 persen pada ekonomi rumahtangga petani menurut strata luas lahan dan dibedakan menurut model non-separable dan separable. Efek yang sama juga diperilihatkan pada Tabel 38 untuk jenis pupuk TSP. Pada model persamaan simultan dapat dilihat bahwa kenaikan harga pupuk Urea secara langsung berpengaruh pada permintaan pupuk Urea. Semakin tinggi harga pupuk Urea, permintaan pupuk Urea akan semakin rendah. Menurunnya permintaan pupuk Urea menyebabkan penurunan penggunaan pupuk tersebut di kegiatan usahatani. Secara struktural penurunan penggunaan pupuk Urea akan mempengaruhi secara langsung kepada penggunaan tenaga kerja dalam keluarga pria dan wanita, luas lahan garapan melalui nilai penggunaan pupuk kimia (NPKIM), dan pengeluaran tunai usahatani (CASHI).
Variabel-variabel
yang terpengaruh
langsung tersebut
juga akan
mempengaruhi variabel lain secara simultan. Efek yang ditimbulkannya merupakan efek tidak langsung dari kenaikan harga pupuk Urea tersebut. Hasil simulasi pada model non-separable menunjukkan bahwa proses produksi di usahatani mengalami realokasi penggunaan input. Pengurangan penggunaan pupuk Urea disubstitusi dengan penggunaan lahan, sehingga luas lahan garapan mengalami peningkatan di semua strata luas lahan. Demikian halnya dengan penggunaan pupuk
254 TSP, tampak mengalami peningkatan di semua strata luas lahan, yang menunjukkan adanya substitusi penggunaan pupuk Urea dengan pupuk TSP.
Namun demikian,
peningkatan luas lahan garapan dan pupuk TSP tersebut ini ternyata tidak memberi efek
255 Tabel 37. Efek Kenaikan Harga Urea 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga Petani Model Separable dan Non-Separable Menurut Strata Luas Lahan . No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Variabel* LGARP PURE PTSP TKPD TKWD TKPL TKWL INPL CASHI VPROD
Model Non-Separable (%) Model Separable (%) Strata 1 Strata 2 Strata 3 Total Strata 1 Strata 2 Strata 3 2.057 1.884 1.866 1.887 -0.748 0.706 1.692 -6.339 -3.609 -1.039 -2.669 -7.669 -4.463 -1.273 0.825 1.015 1.263 1.122 -0.324 0.308 1.131 -2.611 -1.714 -0.568 -1.379 -3.219 -2.151 -0.697 -0.505 -0.255 0.190 -0.129 -0.794 -0.477 0.112 0.298 0.478 0.842 0.615 -0.343 -0.079 0.714 0.306 0.515 0.889 0.651 -0.372 -0.086 0.747 0.055 0.072 0.095 0.081 -0.023 0.021 0.082 0.241 0.905 1.667 1.203 -0.065 0.637 1.562 0.994 0.860 0.995 0.960 -1.853 -0.556 0.800
Total 1.260 -3.247 0.669 -1.727 -0.305 0.247 0.253 0.046 1.022 0.150
TFRET TFEXP NFFIN KPNFF
0.251 0.375 0.178 0.782
0.333 0.638 0.149 0.721
0.593 1.079 0.160 0.541
0.442 0.838 0.161 0.689
-0.424 -0.558 -0.350 0.908
-0.209 -0.144 -0.350 0.837
KWNFF NFINC
0.166 0.259
0.097 0.379
-0.081 0.214
0.064 0.286
0.317 0.454
0.246 0.478
-0.033 0.209
0.181 0.380
CASHO KONPT
0.378 0.055
0.435 0.110
0.694 0.267
0.560 0.156
-0.609 -0.147
-0.271 -0.077
0.543 0.202
0.089 0.012
INVUT HHINC CPANB CPKES CNPAN INVRT TABNG CREDIT CRUTN HHEXP SWP SWW SPL
0.014 0.434 0.042 0.018 0.000 0.876 0.065 0.247 0.025 0.068 1.807 0.663 -3.469
0.073 1.123 0.013 0.057 0.002 0.689 0.096 0.562 0.011 0.073 2.111 2.423 -6.219
0.361 0.207 1.667 1.309 -0.002 0.017 0.133 0.080 0.001 0.001 0.809 0.784 0.070 0.077 1.065 0.717 0.006 0.013 0.110 0.088 0.969 1.299 3.206 2.864 -2.764 -4.191
-0.855 0.014 0.104 0.001 0.000 -0.188 0.058 -0.069 0.058 0.035 0.000 0.000 0.000
-0.686 0.026 0.019 0.001 0.000 0.103 0.054 0.240 0.011 0.019 0.000 0.000 0.000
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5.
0.460 0.066 0.775 0.303 0.109 -0.160 0.483 0.751
0.153 -0.305 0.036 0.029 -0.002 0.037 0.003 0.002 0.000 0.000 0.699 0.396 0.061 0.058 0.960 0.498 -0.001 0.019 0.093 0.055 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
256 yang sama pada setiap strata luas lahan. Terlihat pada Tabel 37 bahwa kenaikan harga pupuk Urea berdampak paling buruk pada ekonomi rumahtangga berlahan sempit. Hampir seluruh variabel ekonomi rumahtangga strata ini menunjukkan penurunan. Jika bergeser pada strata rumahtangga lahan sedang dan strata lahan luas, tampak bahwa kenaikan harga pupuk Urea tidak merugikan.
Kenaikan luas lahan garapan dan
penggunaan TSP sebagai efek dari kenaikan harga pupuk Urea pada strata tersebut tampak lebih tinggi dibandingkan dengan strata rumahtangga lahan sempit. Substitusi juga terjadi pada penggunaan tenaga kerja luar keluarga pria dan wanita di strata rumahtangga lahan sedang dan lahan luas. Namun pada strata lahan sempit, tampak tidak terjadi substitusi. Dengan adanya substitusi pada penggunaan input tersebut, nilai produk total tanaman pangan (VPROD) hampir tidak mengalami perubahan di semua strata. Hal ini menunjukkan bahwa realokasi penggunaan input pada strata rumahtangga di semua strata luas lahan mampu mempertahankan nilai produksi. Namun demikian, efek lebih lanjut pada rumahtangga lahan sempit tampak lebih merugikan. Nilai produk total usahatani (TFRET) pada strata rumahtangga berlahan sempit terlihat, walaupun dengan persentase yang sangat kecil, terlihat menurun. Realokasi juga terjadi pada tenaga kerja rumahtangga. Adanya kenaikan harga pupuk Urea, menyebabkan peningkatan penawaran tenaga kerja pria di luar usahatani. Pada tenaga kerja wanita, terlihat perubahannya tidak konsisten. Efek total realokasi tenaga kerja keluarga di luar usahatani menyebabkan sedikit kenaikan pada pendapatan di luar usahatani (NFINC), namun pada strata rumahtangga lahan sempit terlihat perubahannya paling kecil.
Dilihat dari sisi pendapatan, dapat disimpulkan bahwa
adanya tekanan harga pupuk Urea, ada upaya rumahtangga untuk mempertahankan
257 pendapatan, baik pendapatan dari dalam usahatani maupun pendapatan dari luar usahatani. Adanya perubahan dalam struktur pendapatan rumahtangga, tentunya berdampak pula pada alokasi penggunaan hasil usahatani dan struktur
pengeluaran rumahtangga.
Nilai produk usahatani yang dijual pada strata rumahtangga berlahan sempit mengalami penurunan, sedangkan pada strata rumahtangga lahan sedang dan luas masih bertanda positif walaupun dengan angka yang sangat kecil.
Di sisi pengeluaran konsumsi,
pengeluaran rutin rumahtangga pada strata rumahtangga berlahan sempit juga mengalami penurunan, sedangkan pada strata lahan yang lebih luas tampak bertanda positif dengan angka yang juga sangat kecil. Jika dibandingkan dengan model separable menunjukkan dampak yang lebih besar dibandingkan dengan model non-separable.
Hal ini menunjukkan bahwa
adanya
endegenitas harga input dalam bentuk harga bayangan tenaga kerja dalam keluarga dan harga bayangan lahan garapan menyebabkan pendekatan konvensional menjadi berlebihan (over estimate). Pada model separable efek kenaikan harga pupuk Urea berdampak sama pengurangan input usahatani yang berdampak pada penurunan penerimaan total usahatani (strata lahan sempit dan lahan sedang). Efek ini pada model separable berdampak pada struktur konsumsi rumahtangga seperti pada model nonseparable, namum efek yang terjadi hanya searah.
Hal ini menunjukkan bahwa
rumahtangga tidak mempunyai kesempatan untuk mengoreksi alokasi penggunaan input usahatani karena adanya perubahan di struktur pendapatan. Semakin besar penurunan di kegiatan produksi usahatani dan luar usahatani akan semakin besar pula efeknya pada kegiatan konsumsi rumahtangga.
Oleh karena itu wajar jika pada model separable
258 tersebut efek kenaikan harga Urea digambarkan dengan perubahan yang lebih besar dibandingkan dengan model separable. Dampak kenaikan harga pupuk TSP menunjukkan arah dan besaran yang berbeda dengan dampak kenaikan harga pupuk Urea (Tabel 38). Dapat diperhatikan pada model non-separable dampak kenaikan harga TSP menurunkan hampir seluruh variabel ekonomi rumahtangga di semua strata luas lahan. Dari segi besaran, dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan harga TSP jauh lebih besar dibandingkan dengan kenaikan harga Urea. Jika ditelusuri kembali pada hasil dugaan fungsi permintaan kedua jenis pupuk, perbedaan yang mencolok terletak pada elastisitas harga. Telah dibahas pada bagian sebelumnya bahwa permintaan TSP sangat elastis terhadap harga TSP, jauh lebih elastis dibandingkan dengan permintaan Urea. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, TSP diduga mempunyai efek residu jangka panjang, sehingga petani bisa mengurangi penggunaan pupuk ini jika terjadi kenaikan harga. Namun dalam simulasi ini, dimensi jangka panjang tersebut tidak tertangkap dalam model, sehingga reaksi kenaikan harga TSP akan sangat ditentukan oleh besaran elastisitas tersebut. Pada Tabel 38 terlihat penurunan penggunaan pupuk TSP pada strata rumahtangga berlahan sempit ternyata lebih dari 50 persen.
Angka ini memang
berhubungan dengan elastisitas permintaan pupuk TSP yang sangat elastis terhadap harga TSP. Walaupun model yang diduga hanya menghasilkan satu angka elastisitas, tetapi dengan simulasi elastisitas tersebut dapat digambarkan menurut strata luas lahan. Tampak pada Tabel 38, kenaikan harga pupuk pada persentase yang sama (10 persen)
259 menyebabkan penurunan yang semakin mengecil pada strata rumahtangga berlahan sedang dan berlahan luas. Pengurangan pupuk TSP yang besar, secara struktural akan
260 Tabel 38.
No.
Efek Kenaikan Harga TSP 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga Petani Model Separable dan Non-Separable Menurut Strata Luas Lahan.
Model Non-Separable (%) Variabel* Strata 1 Strata 2 Strata 3 Total
Model Separable (%) Strata 1 Strata 2 Strata 3
Total
1. LGARP 2. PURE 3. PTSP
-6.137 -2.689 -51.875
-6.396 -3.655 -40.395
-1.437 -1.149 -19.414
-3.065 -2.109 -30.476
-12.627 -4.162 -55.906
-5.949 -3.926 -42.427
-1.558 -1.236 -20.134
-3.495 -2.477 -32.015
4. TKPD 5. TKWD 6. TKPL 7. TKWL 8. INPL 9. CASHI 10. VPROD 11. TFRET 12. TFEXP 13. NFFIN 14. KPNFF 15. KWNFF 16. NFINC 17. CASHO 18. KONPT 19. INVUT 20. HHINC 21. CPANB
-4.306 -8.542
-4.763 -8.775
-2.826 -6.395
-3.755 -7.693
-5.653 -8.901
-5.551 -9.142
-3.195 -6.478
-4.493 -7.942
-2.364 -2.393 -3.878 -3.835 -9.700 -2.508 -3.718 -1.902 1.528 3.383 1.344 -3.641 -0.725 -3.934 -2.158 0.113
-2.723 -2.782 -2.499 -2.805 -6.491 -2.523 -3.560 -1.870 2.337 4.313 2.008 -3.263 -0.896 -3.292 -0.678 0.112
-1.022 -0.982 -0.888 -0.949 -1.632 -0.972 -1.230 -0.742 2.291 4.258 2.195 -1.135 -0.445 -1.169 1.172 0.028
-1.814 -1.818 -1.877 -1.974 -3.799 -1.760 -2.291 -1.380 2.051 3.992 1.854 -2.208 -0.670 -2.326 0.114 0.082
-2.971 -3.063 -4.155 -4.365 -13.043 -3.008 -4.090 -2.450 1.772 3.419 1.393 -4.502 -0.768 -4.657 -0.399 -0.104
-3.008 -3.155 -2.614 -2.830 -8.024 -3.026 -4.818 -1.266 2.420 4.391 2.010 -3.949 -1.020 -2.763 -0.084 -0.013
-1.111 -1.074 -0.919 -0.989 -1.840 -1.058 -1.816 -0.299 2.110 4.175 2.078 -1.247 -0.472 -1.319 0.219 0.029
-2.079 -2.127 -1.962 -2.082 -4.694 -2.074 -3.022 -1.161 2.104 3.995 1.834 -2.644 -0.733 -2.406 0.005 -0.025
22. CPKES 23. CNPAN 24. INVRT 25. TABNG 26. CREDIT 27. CRUTN 28. HHEXP 29. SWP 30. SWW 31. SPL
-0.090 -0.005 -2.797 0.096 -1.049 0.059 -0.147 -9.757 -5.498 -3.535
-0.035 -0.002 -2.676 0.149 -1.868 0.059 -0.208 -3.519 -0.031 7.001
0.094 0.003 -0.852 0.240 -0.761 0.018 -0.105 -0.350 2.373 -0.568
0.007 -0.001 -1.668 0.163 -1.165 0.042 -0.148 -2.111 1.330 0.053
-0.019 -0.001 -3.419 0.092 -1.596 -0.060 -0.306 0.000 0.000 0.000
-0.005 -0.002 -4.137 0.265 -1.697 -0.008 -0.405 0.000 0.000 0.000
0.015 -0.001 -0.915 0.330 -0.804 0.013 -0.111 0.000 0.000 0.000
0.000 -0.001 -2.211 0.231 -1.260 -0.013 -0.253 0.000 0.000 0.000
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5.
261
262 mengganggu semua variabel ekonomi rumahtangga lainnya. Mekanisme efek perubahan tersebut sama dengan yang terjadi pada efek kenaikan harga pupuk Urea. Perbandingan antar model menunjukkan pada sisi produksi model separable cenderung lebih responsif.
Perhatikan perubahan luas lahan garapan (LGARP),
penggunaan pupuk dan tenaga kerja, serta
nilai produksi (VPROD), persentase
perubahan lebih besar pada model separable. Hal ini menunjukkan jika keterkaitan antara produksi dan konsumsi diperkuat, dampak kenaikan harga pupuk TSP pada variabel ekonomi akan cenderung lebih kecil (lihat Sadoulet dan de Janvry, 1995). Efek pengurangan penggunaan input usahatani secara menyeluruh menyebabkan penurunan produksi tanaman pangan dan penerimaan total usahatani, yang pada giliranya menurunkan pendapatan bersih usahatani. Pada model separable, efek ini secara searah akan mengganggu struktur pengeluaran rumahtangga, tanpa ada koreksi kepada keputusan penggunaan input usahatani yang berkurang tersebut. Efek perubahan yang searah ini menyebabkan dampak kenaikan harga pupuk TSP menjadi terlihat lebih besar dibandingkan dengan jika rumahtangga mempertimbangkan secara simultan keputusan produksi dan konsumsi. Efek kenaikan harga pupuk yang diuraikan di atas dapat dipelajari lebih lanjut dengan menggabungkan efek kenaikan harga pupuk Urea dan harga pupuk TSP. Pada level kebijakan pemerintah, pengurangan subsidi pupuk akan berdampak pada semua harga pupuk yang disubsidi. Baik pupuk Urea maupun pupuk TSP merupakan jenis pupuk yang mengandung subsidi harga. Mekanisme efek kenaikan harga pupuk Urea dan TSP dalam model sama seperti telah diuraikan pada efek kenaikan harga pupuk Urea. Kenaikan harga kedua jenis pupuk akan
263 mempengaruhi secara langsung pada penggunaan kedua jenis pupuk. Kedua jenis pupuk tersebut mempengaruhi secara langsung pada luas lahan garapan dalam bentuk nilai pupuk kimia (NPKIM), penggunaan tenaga kerja dalam keluarga pria dan tenaga kerja dalam keluarga wanita, serta pada pengeluaran tunai usahatani (CASHI).
Variabel-
variabel tersebut juga akan mempengaruhi variabel lain secara simultan yang menimbulkan efek tidak langsung dari kenaikan harga pupuk. Efek kenaikan harga pupuk Urea dan TSP disajikan pada Tabel 39. Memperhatikan uraian sebelumnya, efek kenaikan harga pupuk Urea dan TSP akan lebih buruk dibandingkan dengan masing-masing pupuk. Penurunan penggunaan pupuk TSP tampak jauh lebih besar dibandingkan dengan penurunan penggunaan pupuk Urea. Hal ini semakin mempertegas temuan di atas bahwa elastisitas permintaan terhadap masingmasing jenis pupuk sangat menentukan besaran efek kenaikan harga pupuk. Penurunan kedua jenis pupuk tersebut secara simultan juga menurunkan luas lahan garapan, penggunaan tenaga kerja dan input lain (INPL). Pengeluaran tunai usahatani (CASHI) juga terganggu. Penurunan penggunaan input secara simultan ini menunjukkan bahwa efek kenaikan harga dua jenis pupuk secara bersamaan tidak banyak memberi kesempatan kepada rumahtangga petani untuk mensubstitusi dengan input lain. Substitusi antar input mungkin saja terjadi tetapi efek total dari kenaikan harga kedua jenis pupuk tersebut lebih berdampak kepada pengurangan input lainnya. Pengurangan input di kegiatan produksi usahatani berdampak pada penurunan nilai produksi tanaman pangan (VPROD) dan nilai total penerimaan usahatani (TFRET). Tampak pada Tabel 39 penurunan terbesar selalu pada strata rumahtangga berlahan sempit. Pada strata rumahtangga lahans sempit efek kenaikan harga kedua jenis pupuk
264 berdampak pada peningkatan kegiatan rumahtangga di luar usahatani, sehingga pendapatan dari luar usahatani (NFINC) juga meningkat. Kejadian ini logis,
265 Tabel 39. Efek Kenaikan Harga Urea dan TSP 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga Petani Model Separable dan Non-Separable Menurut Strata Luas Lahan. No.
Model Non-Separable (%) Variabel* Strata 1 Strata 2 Strata 3 Total
1. LGARP 2. PURE 3. PTSP 4. TKPD 5. TKWD
Strata 1 Strata 2 Strata 3
Total
-12.927 -11.698 -55.758
-5.328 -8.366 -42.024
0.110 -2.524 -19.016
-2.223 -5.676 -31.194
-5.455 -9.471 -51.458
-4.213 -7.160 -39.409
-7.083 -9.133
-6.439 -9.026
-3.406 -6.212
-5.153 -7.841
-8.715 -9.555
-7.687 -9.606
-3.904 -6.374
-6.175 -8.206
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
TKPL -2.394 TKWL -2.427 INPL -3.880 CASHI -3.746 VPROD -10.055 TFRET -2.595 TFEXP -3.766 NFFIN -2.005 KPNFF 2.408 KWNFF 3.606 NFINC 1.742 CASHO -3.782 KONPT -0.728 INVUT -4.112 HHINC -1.919 CPANB 0.048
-2.246 -2.263 -2.426 -1.882 -5.721 -2.222 -2.850 -1.819 3.028 4.417 2.341 -2.869 -0.799 -3.161 0.535 0.131
-0.182 -0.093 -0.785 0.699 -0.631 -0.376 -0.155 -0.572 2.842 4.184 2.412 -0.438 -0.176 -0.792 2.863 0.026
-1.267 -1.235 -1.800 -0.801 -3.014 -1.396 -1.503 -1.314 2.763 4.077 2.171 -1.750 -0.532 -2.129 1.433 0.068
-3.121 -3.286 -4.142 -4.438 -14.196 -3.278 -4.520 -2.631 2.619 3.671 1.812 -4.922 -0.827 -5.217 -0.324 -0.135
-3.096 -3.255 -2.583 -2.241 -8.593 -3.243 -4.989 -1.595 3.256 4.630 2.470 -4.229 -1.098 -3.481 -0.060 0.000
-0.399 -0.329 -0.829 0.552 -1.036 -0.596 -1.047 -0.179 2.601 4.149 2.294 -0.701 -0.269 -1.152 0.258 0.027
-1.788 -1.839 -1.901 -1.081 -4.450 -1.970 -2.704 -1.260 2.836 4.155 2.198 -2.512 -0.695 -2.646 0.047 -0.031
22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
CPKES CNPAN INVRT TABNG CREDIT CRUTN HHEXP SWP SWW SPL
0.027 0.001 -2.086 0.225 -1.235 0.072 -0.142 -1.314 2.543 1.452
0.229 0.004 -0.046 0.313 0.292 0.024 0.004 0.647 5.613 -3.322
0.088 0.000 -1.027 0.239 -0.464 0.039 -0.089 -0.873 4.201 -3.380
-0.015 -0.001 -3.537 0.194 -1.622 -0.077 -0.334 0.000 0.000 0.000
-0.003 -0.002 -4.019 0.317 -1.482 0.000 -0.389 0.000 0.000 0.000
0.018 -0.001 -0.220 0.394 0.143 0.012 -0.019 0.000 0.000 0.000
0.003 -0.001 -1.799 0.303 -0.760 -0.016 -0.215 0.000 0.000 0.000
-0.080 -0.005 -2.667 0.174 -0.957 0.023 -0.183 -8.772 -5.795 -5.997
0.406 -1.243 -2.201 -4.807 -18.164 -29.442
Model Separable (%)
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5.
266
267 mengingat kebutuhan konsumsi yang tidak terpenuhi dari dalam usahatani disubstitusi dengan mencari aktivitas di luar usahatani. Kejadian ini tampak berlaku di semua strata rumahtangga. Produk usahatani yang dijual di semua strata mengalami penurunan dan demikian halnya dengan produk usahatani yang dikonsumsi. Secara agregat berarti efek kenaikan harga pupuk Urea dan TSP berdampak pada penurunan penawaran produk usahatani tanaman pangan dari rumahtangga.
Lebih jauh, efek kenaikan harga pupuk juga
mengganggu investasi di usahatani dan investasi di rumahtangga. Pengurangan investasi di usahatani relatif lebih besar dibandingkan dengan penurunan investasi di rumahtangga. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kenaikan harga pupuk menyebabkan menurunnya kemampuan rumahtangga petani untuk membentuk modal sendiri, terutama pembentukan modal di usahatani. Pada Tabel 39 juga tampak bahwa efek kenaikan harga pada model separable cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan efek yang sama pada model non-separable. Perubahan pada lahan garapan (LGARP) pada model separable hampir dua kali lipat perubahan pada model non-separable. Demikian halnya dengan perubahan pada permintaan pupuk, tampak lebih besar pada model non-separable. Secara empirik hal ini bisa menjelaskan jika ada kebijakan yang menyebabkan peningkatan harga pupuk, ternyata pengurangan penggunaan pupuk yang terjadi lebih kecil dari yang diharapkan. Jika halnya demikian, hal tersebut disebabkan karena asumsi yang kurang tepat tentang perilaku rumahtangga. Asumsi bahwa pasar tenaga kerja yang dihadapi rumahtangga adalah bersaing sempurna, perlu ditempatkan secara hati-hati.
268 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa efek kenaikan harga pupuk pada rumahtangga petani sangat ditentukan oleh struktur permintaan setiap jenis pupuk. Semakin elastis permintaan pupuk terhadap harganya, efek yang ditimbulkan akan semakin besar.
Reaksi rumahtangga terhadap kenaikan harga pupuk tersebut juga
ditentukan oleh skala usahatani (luas penguasaan lahan). Realalokasi penggunaan input pada rumahtangga terjadi di semua strata, tetapi efek terhadap variabel ekonomi lainnya tergantung pada strata luas lahan dan kehadiran harga bayangan input. Kesimpulan penting yang diperoleh dari perbandingan antara
model non-
separable dengan model separable adalah bahwa rumahtangga pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna cenderung kurang responsif terhadap perubahan harga pupuk. Kondisi ini bertolak belakang dengan efek kenaikan harga produk usahatani, dimana rumahtangga cenderung lebih responsif pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna. Makna lebih jauh dari kesimpulan ini adalah bahwa pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna, rumahtangga lebih mampu meredam efek negatif sebagai akibat dari kenaikan harga pupuk, dibandingkan dengan pada kondisi pasar persaingan sempurna. Adanya penilaian nilai produktivitas marjinal terhadap sumberdaya rumahtangga menyebabkan rumahtangga bisa mencapai keseimbangan internal lebih tinggi pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna dibandingkan pada kondisi pasar persaingan sempurna. Jika diperbandingkan antar strata, tampak bahwa pengaruh kondisi pasar input lebih besar pada strata rumahtangga berlahan sempit. Semakin luas lahan usahatani yang dikuasai rumahtangga, perbedaan kondisi pasar input semakin melemah. Hal ini menunjukkan bahwa rumahtangga petani berlahan luas lebih terbuka terhadap pasar persaingan sempurna dibandingkan dengan rumahtangga petani berlahan sempit. Namun
269 konsekuensinya adalah bahwa rumahtangga berlahan luas lebih rentan terhadap perubahan harga input. 8.3. Kenaikan Upah Buruh Usahatani Kenaikan upah buruh usahatani dibedakan menjadi tenaga kerja pria dan tenaga kerja wanita. Tujuannya untuk mengantisipasi adanya perbedaan struktur permintaan di kedua jenis tenaga kerja tersebut. Hasil simulasi disajikan pada Tabel 40 dan Tabel 41. Berbeda dengan variabel harga produk dan harga pupuk, kenaikan upah buruh tani bukan merupakan variabel kebijakan pemeritah. Namun dampak perubahan variabel ini penting dipelajari karena banyak faktor yang dapat menggerakkan tingkat upah buruh usahatani secara tidak langsung. Efek kenaikan upah buruh usahatani pria dan wanita pada penelitian ini secara langsung berpengaruh pada penggunaan tenaga kerja luar keluarga (TKPL dan TKWL). Efek kenaikan upah buruh bisa diduga akan mengurangi penggunaan tenaga kerja luar keluarga tersebut. Pengurangan penggunaan tenaga kerja keluarga akan berpengaruh langsung pada penggunaan tenaga kerja dalam keluarga pria dan wanita di usahatani (TKPD dan TKWD), penawaran tenaga kerja rumahtangga di luar usahatani (KPNFF dan KWNFF), dan pengeluaran total usahatani (TFEXP) melalui nilai tenaga kerja luar keluarga (NTKL).
Variabel-variabel tersebut juga mempengaruhi variabel lain secara
simultan. Pengaruh yang diakibatkannya merupakan efek tidak langsung dari kenaikan upah buruh usahatani. Hasil simulasi pada Tabel 40 menunjukkan bahwa kenaikan upah buruh usahatani pria menyebabkan turunnya sebagian besar variabel ekonomi rumahtangga petani tanaman pangan.
Kinerja yang paling buruk terjadi pada ekonomi rumahtangga strata
270 lahan sempit. Pada strata lahan sempit, penurunan terbesar terjadi pada penggunaan tenaga kerja pria luar keluarga. Penurunan ini juga terbesar jika dibandingkan dengan strata lahan sedang dan lahan luas. Pada strata lahan sedang dan
271 Tabel 40. Efek Kenaikan Upah Buruh Usahatani Pria 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga petani Model Separable dan Non-Separable Menurut Strata Lusa Lahan. No.
Variabel*
1. 2. 3. 4.
LGARP PURE PTSP TKPD
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
TKWD TKPL TKWL INPL CASHI VPROD TFRET TFEXP NFFIN KPNFF KWNFF NFINC CASHO KONPT INVUT HHINC CPANB CPKES CNPAN INVRT TABNG CREDIT CRUTN HHEXP SWP SWW SPL
Model Non-Separable (%) Model Separable (%) Strata 1 Strata 2 Strata 3 Total Strata 1 Strata 2 Strata 3 1.551 0.389 0.256 0.403 0.271 0.203 0.213 0.838 0.399 0.496 0.527 0.229 0.292 0.454 1.455 0.862 1.102 1.092 0.615 0.741 1.045 0.452 0.347 0.508 0.445 0.197 0.277 0.486 0.304 -4.754 0.411 0.097 0.226 1.626 0.414 2.085 -0.416 -0.170 -0.144 -0.198 0.599 0.126 -0.570 0.078 -0.040 0.003 0.000 1.532 -0.093 0.191 -0.023 0.074 0.929 1.696 -1.887
0.239 -4.384 0.012 0.060 0.121 -0.084 -0.033 1.812 -1.134 -0.142 -0.099 -0.084 -0.043 -0.009 -1.197 -0.467 -0.005 -0.024 0.000 0.778 -0.171 0.107 -0.004 0.072 -0.400 -0.048 -0.688
0.440 -2.884 0.107 0.082 0.162 0.122 0.073 2.373 -1.976 -0.280 -0.215 -0.197 0.084 0.035 -1.652 -0.269 -0.007 -0.022 -0.001 1.112 -0.389 0.135 -0.004 0.149 -0.225 0.584 -0.636
0.341 -3.734 0.144 0.079 0.162 0.242 0.112 2.167 -1.331 -0.193 -0.151 -0.158 0.139 0.046 -1.311 -0.266 -0.017 -0.016 -0.001 1.078 -0.220 0.140 -0.009 0.106 -0.120 0.500 -1.362
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5.
0.117 -5.338 -0.017 0.039 0.069 -0.164 -0.037 1.418 -0.768 -0.051 -0.039 -0.032 -0.066 0.006 -0.891 -0.275 -0.047 -0.013 0.000 0.593 -0.079 0.032 -0.027 0.010 0.000 0.000 0.000
0.190 -4.539 -0.050 0.050 0.091 -0.218 -0.082 1.628 -1.187 -0.093 -0.073 -0.058 -0.108 -0.026 -1.218 -0.382 -0.006 -0.021 -0.001 0.675 -0.163 0.057 -0.005 0.060 0.000 0.000 0.000
0.406 -3.044 0.072 0.076 0.147 0.068 0.039 2.235 -2.335 -0.231 -0.194 -0.180 0.046 0.019 -1.745 -0.560 -0.007 -0.039 -0.001 1.055 -0.398 0.113 -0.005 0.137 0.000 0.000 0.000
Total 0.215 0.371 0.891 0.355 0.264 -3.990 0.016 0.062 0.118 -0.033 -0.014 1.933 -1.555 -0.121 -0.100 -0.090 -0.021 0.001 -1.416 -0.449 -0.019 -0.027 -0.001 0.876 -0.214 0.077 -0.011 0.080 0.000 0.000 0.000
272 lahan luas, penurunan penggunaan tenaga kerja pria luar keluarga masih bisa disubstitusi oleh input lain, seperti pupuk, tenaga kerja dalam keluarga, tenaga kerja wanita luar keluarga, dan lahan garapan. Pada strata lahan sempit substitusi terbesar terjadi pada luasan lahan garapan, sedangkan pada input lainnya tidak terjadi. Akibatnya, penurunan produksi, penerimaan usahatani, pendapatan usahatani, dan pada akhirnya pendapatan rumahtangga, terbesar terjadi pada strata lahan sempit. Pada model separable, arah perubahan lahan garapan pada strata lahan sempit, tampak berlawanan arah dengan hasil model non-separable. perubahan sama tetapi dengan besaran yang berbeda.
Pada strata lain, arah
Perbedaan mencolok pada
perubahan luas lahan garapan. Pada model non-separable strata rumahtangga lahan sempit meningkat jauh lebih besar dibandingkan dengan peningkatan pada model separable.
Demikian halnya pada strata rumahtangga lahan sedang dan lahan luas,
walaupun tidak terlalu besar, perubahan pada model non-separable
lebih besar
dibandingkan dengan perubahan pada model separable. Kehadiran harga bayangan lahan memungkinkan permintaan rumahtangga terhadap lahan garapan lebih elastis terhadap perubahan upah buruh usahatani pria.
Kenaikan lahan garapan disebabkan oleh
penurunan harga bayangan lahan. Artinya, jika produktivitas lahan menurun, maka untuk mencapai pendapatan yang sama diperlukan tambahan luas lahan.
Pada strata
rumahtangga lahan sempit, penurunan harga bayangan lahan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan strata rumahtangga lahan sedang dan lahan luas. Hasil simulasi kenaikan upah buruh usahatani wanita pada Tabel 41 menghasilkan arah yang hampir sama, namun besaran yang berbeda. Strata rumahtangga berlahan sempit menerima dampak yang paling buruk dibandingkan dengan strata luas lahan yang lain.
273 Efek kenaikan upah buruh usahatani wanita secara langsung menurunkan penggunaan tenaga kerja wanita luar keluarga. Persentase penurunan tenaga kerja wanita ini hampir sama dengan penurunan tenaga kerja pria. Demikian halnya dengan besaran antar strata rumahtangga, semakin luas perubahan semakin kecil.
Implikasinya adalah bahwa
kenaikan upah buruh wanita juga dirasakan paling buruk bagi strata rumahtangga berlahan sempit. Perubahan pada lahan garapan sebagai efek kenaikan upah buruh usahatani wanita, tampaknya tidak sebesar efek yang ditimbulkan oleh kenaikan upah buruh usahatani pria. Pada Tabel 41 terlihat peningkatan luas lahan garapan jauh lebih kecil dibandingkan dengan efek kenaikan upah buruh usahatani pria. Dilihat dari besar perubahan harga bayangan lahan, tampak tidak sebesar yang terjadi pada efek kenaikan upah buruh usahatani pria. Oleh karena itu, wajar jika kenaikan luas lahan garapan tidak sebesar yang pada efek kenaikan upah buruh usahatani pria. Efek kenaikan upah buruh usahatani wanita juga menyebabkan terjadinya substitusi pada tenaga kerja dalam keluarga dan penggunaan pupuk. Substitusi input juga terjadi pada penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, baik pria maupun wanita. Substitusi ini juga tampak lebih kecil dibandingkan yang terjadi pada efek kenaikan upah buruh usahatani pria. Pada model separable, efek kenaikan upah buruh usahatani wanita lebih kecil dibandingkan efek yang sama pada model non-separable. Perbedaan tersebut dipastikan oleh adanya pengaruh harga bayangan tenaga kerja dalam keluarga dan harga bayangan lahan garapan yang secara langsung berpengaruh pada kedua variabel tersebut
274 Implikasi dari temuan ini adalah bahwa adanya keterkaitan timbal balik antara keputusan produksi dan konsumsi menyebabkan efek kenaikan upah menimbulkan tekanan yang lebih besar pada penggunaan input usahatani.
275 Tabel 41. Efek Kenaikan Upah Buruh Usahatani Wanita 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga petani Model Separable dan Non-Separable Menurut Strata Luas Lahan. No.
Model Non-Separable (%) Model Separable (%) Variabel* Strata 1 Strata 2 Strata 3 Total Strata 1 Strata 2 Strata 3 Total
1. LGARP 2. PURE 3. PTSP
0.414
0.237
0.153
0.197
0.174
0.108
0.123
0.123
0.226 0.473
0.223 0.471
0.289 0.641
0.260 0.566
0.146 0.389
0.150 0.389
0.258 0.598
0.209 0.506
4. TKPD 5. TKWD 6. TKPL 7. TKWL 8. INPL 9. CASHI 10. VPROD 11. TFRET 12. TFEXP 13. NFFIN 14. KPNFF 15. KWNFF 16. NFINC 17. CASHO 18. KONPT 19. INVUT 20. HHINC 21. CPANB 22. CPKES 23. CNPAN 24. INVRT 25. TABNG 26. CREDIT 27. CRUTN 28. HHEXP 29. SWP 30. SWW 31. SPL
0.123 0.315 0.025 -4.190 0.031 0.067 0.028 0.007 1.005 -0.475 -0.038 -0.116 -0.047 0.002 0.015 -0.551 -0.150 -0.041 -0.006 0.000 0.414 -0.057 0.049 -0.024 0.006 0.074 0.375 -0.329
0.151 0.266 -0.002 -3.881 0.033 0.067 -0.075 -0.029 1.010 -0.650 -0.059 -0.115 -0.049 -0.039 -0.007 -0.671 -0.220 -0.008 -0.011 0.000 0.413 -0.098 0.064 -0.005 0.036 -0.131 0.077 -0.472
0.265 0.317 0.053 -2.679 0.048 0.095 0.058 0.034 1.385 -1.170 -0.132 -0.160 -0.107 0.040 0.017 -0.976 -0.064 -0.005 -0.005 -0.001 0.642 -0.229 0.080 -0.002 0.086 -0.197 0.575 -0.452
0.198 0.300 0.030 -3.365 0.041 0.082 0.020 0.009 1.216 -0.834 -0.073 -0.130 -0.067 0.010 0.009 -0.802 -0.122 -0.017 -0.007 0.000 0.541 -0.129 0.068 -0.009 0.049 -0.151 0.444 -0.387
0.088 0.167 -0.005 -4.357 0.025 0.045 -0.073 -0.017 0.892 -0.472 -0.023 -0.058 -0.024 -0.046 0.028 -0.543 -0.171 -0.097 -0.008 0.000 0.338 -0.044 0.020 -0.055 -0.031 0.000 0.000 0.000
0.109 0.209 -0.042 -4.025 0.026 0.047 -0.167 -0.063 0.877 -0.660 -0.033 -0.086 -0.031 -0.084 -0.018 -0.687 -0.214 -0.010 -0.012 0.000 0.346 -0.090 0.030 -0.006 0.028 0.000 0.000 0.000
0.248 0.299 0.028 -2.842 0.043 0.085 0.017 0.010 1.280 -1.364 -0.107 -0.148 -0.096 0.011 0.006 -1.030 -0.327 -0.005 -0.023 0.000 0.599 -0.230 0.065 -0.003 0.078 0.000 0.000 0.000
0.167 0.237 0.000 -3.529 0.035 0.067 -0.042 -0.018 1.104 -0.902 -0.052 -0.096 -0.050 -0.028 0.004 -0.828 -0.261 -0.035 -0.015 0.000 0.487 -0.122 0.044 -0.019 0.033 0.000 0.000 0.000
* Nama varariabel dapat dilihat pada Lampiran 5.
276
Selanjutnya, efek kenaikan upah buruh usahatani pria dan wanita disajikan pada Tabel 42. Efek gabungan ini untuk menjelaskan bahwa pada kenyataannya, kenaikan upah buruh di usahatani terjadi secara simultan antara upah pria dan wanita. Efek yang ditimbulkan oleh kenaikan upah buruh usahatani gabungan pria dan wanita ini lebih besar dibandingkan dengan efek masing-masing. Efek langsung dari kenaikan upah tersebut adalah menurunnya penggunaan tenaga kerja pria dan wanita luar keluarga. Secara simultan terlihat penurunan tenaga kerja wanita relatif lebih rendah dibandingkan penurunan tenaga kerja pria. Penurunan ini secara konsisten semakin mengecil pada strata rumahtangga berlahan sedang dan berlahan luas. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan upah buruh usahatani pria dan wanita berdampak paling buruk pada strata rumahtangga lahan sempit. Pada model separable efek kenaikan upah buruh usahatani pria dan wanita mempunyai arah yang sama namun dengan besaran yang lebih kecil dibandingkan dengan penurunan pada model non-separable. Jika dibandingkan dengan efek masing kenaikan masing-masing upah pria dan wanita, perbedaan efek pada kedua model jauh lebih besar. Artinya bahwa adanya keterkaitan timbal balik dalam rumahtangga untuk memutuskan produksi dan konsumsi akan menimbulkan tekanan berlebihan pada penggunaan input usahatani.
Pada lahan garapan misalnya, model non-separable
menjelaskan adanya peningkatan kebutuhan lahan garapan yang jauh lebih tinggi dibandingkan pada model separable.
Secara empririk dapat dilihat dengan adanya
pengusahaan lahan usahatani yang berlebihan sehingga sering menimbulkan lahan kritis.
277 Orientasi rumahtangga yang bukan semata mencari laba tertinggi, tetapi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga, cenderung mengekploitasi sumberdaya milik
278
Tabel 42. Efek Kenaikan Upah Buruh Usahatani Pria dan Wanita 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga Petani Model Separable dan Non-Separable Menurut Strata Luas Lahan. No.
Variabel*
1. LGARP 2. PURE 3. PTSP 4. TKPD 5. TKWD 6. TKPL 7. TKWL 8. INPL
Model Non-Separable (%) Model Separable (%) Strata 1 Strata 2 Strata 3 Total Strata 1 Strata 2 Strata 3 Total 1.967 0.622 0.409 0.599 0.441 0.309 0.337 0.339 1.064 0.620 0.787 0.787 0.372 0.440 0.716 0.580 1.933 1.332 1.747 1.661 0.993 1.123 1.648 1.396 0.575 0.498 0.772 0.643 0.283 0.386 0.733 0.521 0.641 0.502 0.757 0.645 0.285 0.402 0.705 0.501 -4.718 -4.388 -2.818 -3.696 -5.375 -4.576 -3.014 -3.997 -3.762 -3.865 -2.570 -3.213 -4.371 -4.072 -2.775 -3.514 0.128 0.093 0.131 0.119 0.063 0.076 0.120 0.097
9. CASHI 10. VPROD 11. TFRET 12. TFEXP 13. NFFIN 14. KPNFF
0.292 1.659 0.422 3.106 -0.905 -0.208
0.188 -0.160 -0.062 2.820 -1.784 -0.197
0.258 0.244 0.184 0.265 0.110 0.122 3.768 3.392 -3.153 -2.172 -0.408 -0.264
0.113 -0.245 -0.056 2.294 -1.234 -0.073
0.137 -0.389 -0.146 2.500 -1.850 -0.125
0.233 0.089 0.051 3.526 -3.690 -0.339
0.185 -0.074 -0.033 3.038 -2.453 -0.173
15. KWNFF 16. NFINC 17. CASHO 18. KONPT
-0.269 -0.248
-0.213 -0.132
-0.374 -0.283 -0.297 -0.224
-0.097 -0.055
-0.159 -0.088
-0.341 -0.266
-0.196 -0.136
0.614 0.124
-0.083 -0.017
0.127 0.053
0.152 0.050
-0.125 0.049
-0.193 -0.045
0.059 0.026
-0.050 0.009
19. INVUT 20. HHINC 21. CPANB 22. CPKES
-1.133 -0.081 -0.027 -0.003
-1.870 -0.688 -0.013 -0.035
-2.631 -0.330 -0.014 -0.026
-2.118 -0.388 -0.017 -0.024
-1.427 -0.445 -0.194 -0.021
-1.902 -0.596 -0.013 -0.033
-2.771 -0.896 -0.013 -0.062
-2.240 -0.713 -0.068 -0.042
23. CNPAN 24. INVRT 25. TABNG 26. CREDIT 27. CRUTN 28. HHEXP 29. SWP 30. SWW 31. SPL
-0.001 1.961 -0.154 0.238 -0.015 0.111 0.997 2.052 -2.193
0.000 1.189 -0.269 0.170 -0.009 0.108 -0.533 0.026 -1.148
-0.002 1.758 -0.618 0.215 -0.007 0.236 -0.420 1.167 -1.082
-0.001 1.623 -0.351 0.207 -0.010 0.164 -0.272 0.948 -1.735
-0.001 0.911 -0.119 0.052 -0.110 -0.049 0.000 0.000 0.000
-0.001 1.013 -0.253 0.087 -0.009 0.089 0.000 0.000 0.000
-0.001 1.662 -0.626 0.178 -0.009 0.215 0.000 0.000 0.000
-0.001 1.361 -0.335 0.120 -0.037 0.106 0.000 0.000 0.000
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5.
279
keluarga, seperti tenaga kerja keluarga dan lahan yang dikuasai. Perilaku rasional memaksimumkan
keuntungan
tidak
selamanya
mampu
menjelaskan
perilaku
rumahtangga petani. Dengan menggunakan model non-separable terlihat bahwa semakin rendah harga bayangan lahan karena berbagai sebab, rumahtangga bukannya meninggalkan lahan tetapi malah sebaliknya, lahan tersebut digarap semakin intensif. Demikian halnya dengan tenaga kerja dalam keluarga, semakin tidak produktif semakin banyak waktu yang dicurahkan untuk memperoleh tingkat pendapatan tertentu. Perbandingan antara model separable dan non-separable juga mengindikasikan bahwa pada kondisi persaingan pasar tidak sempurna, rumahtangga cenderung mencapai keseimbangan internal lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi pasar persaingan sempurna. Efek kenaikan upah buruh usahatani, secara simultan terartikulasi ke seluruh kegiatan ekonomi rumahtangga, sehingga pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna terlihat kurang responsif terhadap perubahan upah buruh tersebut. Menurut strata dapat dilihat bahwa perbedaan terbesar antara kondisi pasar persaingan tidak sempurna dengan kondisi pasar persaingan tidak sempurna terjadi pada rumahtangga lahan sempit. Hal ini sejalan dengan efek perubahan harga pupuk Urea dan atau TSP. Kesimpulannya adalah bahwa pengaruh ketidaksempurnaan pasar paling tinggi terjadi pada rumahtangga berlahan sempit. 8.4. Kenaikan Upah Buruh Di Luar Usahatani Seperti halnya pada upah buruh usahatani, simulasi upah buruh di luar usahatani dibedakan menjadi upah buruh pria dan upah buruh wanita. Simulasi ini bertujuan untuk mengetes efek perubahan upah buruh di luar usahatani terhadap ekonomi rumahtagga
280 usahatani tanaman pangan. Simulasi dilakukan dengan menaikan upah buruh pria dan wanita 10 persen. Kenaikan upah buruh di luar usahatani bukan bagian langsung dari kebijakan pemerintah, tetapi merupakan efek dari kebijakan lain atau karena perkembangan ekonomi tertentu secara tidak langsung meningkatkan upah buruh di luar usahatani. Efek perubahan upah buruh di luar usahatani secara struktural akan mempengaruhi secara langsung curahan kerja rumahtangga pria dan wanita di luar usahatani (KPNFF dan KWNFF).
Perubahan pada kedua variabel tersebut akan
mempengaruhi secara langsung pada pendapatan luar usahatani NFINC, tabungan rumahtangga (TABNG), pengeluaran konsumsi pangan yang dibeli (CPANB), investasi rumahtangga (INVRT), dan investasi usahatani (INVUT).
Setiap variabel tersebut
mempengaruhi variabel endogen lain. Efek yang ditimbulkan variabel-variabel tersebut bersifat tidak langsung. Terlihat dalam model ini bahwa kegiatan di luar usahatani akan mempengaruhi struktur pengeluaran rumahtangga, yang pada gilirannya akan mempengaruhi keputusan produksi di usahatani. Hasil simulasi disajikan berturut-turut pada Tabel 43 dan 44. Pada Tabel 43 terlihat efek kenaikan upah buru pria di luar usahatani menyebabkan kenaikan curahan kerja rumahtangga di luar usahatani. Perilaku ini wajar karena kegiatan di luar usahatani merupakan sumber pendapatan rumahtangga.
Hal yang menarik untuk diperhatikan
adalah bahwa efek kenaikan upah buruh tersebut semakin menguat pada strata rumahtangga berlahan sedang dan strata lahan luas. Hal ini menunjukkan bahwa adanya perbaikan upah buruh pria di luar usahatani, rumahtangga yang paling diuntungkan adalah rumahtangga berlahan luas. Meningkatnya curahan kerja di luar usahatani
281 menyebabkan meningkatnya pendapatan rumahtangga dari luar usahatani.
Sejalan
dengan kenaikan curahan kerja, kenaikan pendapatan ini pun paling banyak dicapai oleh rumahtangga berlahan luas.
282 Tabel 43.
No.
Efek Kenaikan Upah Buruh Pria di Luar Usahatani 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga Petani Model Separable dan Non-Separable Menurut Strata Luas Lahan.
VariaModel Non-Separable (%) bel* Strata 1 Strata 2 Strata 3 Total
1. LGARP 2. PURE 3. PTSP 4. TKPD
-0.092 -0.126 -0.324 -0.072
-0.056 -0.096 -0.223 -0.062
-0.026 -0.060 -0.135 -0.052
-0.039 -0.081 -0.190 -0.060
5. TKWD 6. TKPL 7. TKWL 8. INPL 9. CASHI 10. VPROD 11. TFRET 12. TFEXP 13. NFFIN 14. KPNFF 15. KWNFF 16. NFINC 17. CASHO 18. KONPT 19. INVUT 20. HHINC 21. CPANB 22. CPKES 23. CNPAN 24. INVRT 25. TABNG 26. CREDIT 27. CRUTN 28. HHEXP 29. SWP 30. SWW 31. SPL
-0.063 -0.023 -0.024 -0.020 -0.040 -0.090 -0.023 -0.037 -0.016 0.796 0.025 7.956 -0.033 -0.006 0.378 2.723 0.000 0.112 0.002 0.979 1.750 -0.013 0.005 0.067 -0.050 -0.037 -0.043
-0.058 -0.054 -0.024 -0.020 -0.025 -0.020 -0.016 -0.010 -0.031 -0.019 -0.058 -0.033 -0.022 -0.020 -0.033 -0.025 -0.016 -0.015 0.875 1.158 0.029 0.040 8.774 10.568 -0.016 -0.019 -0.038 -0.022 0.254 0.181 1.891 1.065 0.095 0.046 0.097 0.085 0.000 0.000 0.654 0.378 1.727 1.758 -0.017 -0.014 0.057 0.025 0.111 0.069 -0.009 -0.001 -0.008 0.002 -0.030 -0.007
-0.058 -0.022 -0.023 -0.013 -0.026 -0.046 -0.021 -0.029 -0.015 0.932 0.031 9.088 -0.020 -0.022 0.240 1.573 0.049 0.096 0.001 0.548 1.745 -0.015 0.030 0.082 -0.009 -0.002 -0.034
Model Separable (%) Strata 1 Strata 2 Strata 3 Total -0.122 -0.068 -0.028 -0.045 -0.138 -0.104 -0.065 -0.088 -0.349 -0.233 -0.145 -0.202 -0.082 -0.071 -0.060 -0.069 -0.066 -0.029 -0.031 -0.021 -0.042 -0.133 -0.030 -0.045 -0.022 0.766 0.026 8.119 -0.049 -0.002 0.380 2.443 -0.018 0.114 0.001 1.072 1.798 -0.015 -0.005 0.062 0.000 0.000 0.000
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5.
-0.060 -0.030 -0.031 -0.016 -0.033 -0.074 -0.028 -0.040 -0.019 0.845 0.031 8.812 -0.031 -0.021 0.251 1.813 0.037 0.100 0.000 0.679 1.795 -0.019 0.025 0.088 0.000 0.000 0.000
-0.057 -0.022 -0.022 -0.010 -0.020 -0.037 -0.021 -0.031 -0.011 1.079 0.040 10.548 -0.021 -0.023 0.205 1.299 0.048 0.091 0.000 0.407 1.869 -0.015 0.026 0.077 0.000 0.000 0.000
-0.060 -0.026 -0.027 -0.014 -0.027 -0.057 -0.025 -0.036 -0.017 0.890 0.032 9.162 -0.029 -0.016 0.253 1.685 0.024 0.100 0.000 0.584 1.821 -0.016 0.017 0.077 0.000 0.000 0.000
283
284 Efek peningkatan curahan kerja di luar usahatani juga mempengaruhi kegiatan rumahtangga di dalam usahatani sendiri. Tampak pada Tabel 43, penggunaan tenaga kerja dalam keluarga dan luar keluarga mengalami penurunan, walaupun dengan dengan penurunan yang sangat kecil. Secara keseluruhan, efek kenaikan upah buruh pria di luar usahatani ini pada akhirnya menaikan pendapatan rumahtangga HHINC. Secara logis, kenaikan pendapatan rumahtangga ini pun semakin menguat pada strata rumahtangga berlahan luas. Efek peningkatan curahan kerja di luar usahatani juga menyebabkan perubahan pada struktur konsumsi rumahtangga. Pada Tabel 43 terlihat adanya penurunan produk usahatani yang dijual (CASHO), dan penurunan produk usahatani yang dikonsumsi rumahtangga (CONPT).
Penurunan ini terjadi di semua strata rumahtangga, karena
memang ada penurunan pada pendapatan rumahtangga dari usahatani (NFFIN). Efek kenaikan upah buruh pria juga meningkatkan bagian pendapatan rumahtangga yang diinvestasikan di rumahtangga dan di usahatani. Tampak bahwa kenaikan investasi di usahatani relatif lebih kecil dibanding kenaikan investasi di rumahtangga.
Hal ini
menunjukkan bahwa pendapatan dari luar usahatani cenderung lebih memacu investasi untuk rumahtangga dibandingkan dengan investasi di usahatani. Jika dibandingkan dengan model separable tampak tidak banyak perbedaan, baik arah maupun besaran perubahan yang terjadi. Hal ini disebabkan karena harga bayangan tenaga kerja keluarga dan harga bayangan lahan tidak banyak terpengaruh oleh kenaikan upah buruh pria di luar usahatani. Kecilnya perubahan tersebut karena memang efek yang diterima pada kegiatan produksi usahatani relatif kecil. Efek yang diterima di kegiatan produksi pada penelitian ini melalui investasi di usahatani.
285
Tabel 44.
No.
Efek Kenaikan Upah Buruh Wanita di Luar Usahatani 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga Petani Model Separable dan Non-Separable Menurut Strata Luas Lahan.
VariaModel Non-Separable (%) bel*l Strata 1 Strata 2 Strata 3 Total
Model Separable (%) Strata 1 Strata 2 Strata 3 Total -0.008 -0.004 -0.002 -0.003 -0.008 -0.006 -0.004 -0.005 -0.019 -0.013 -0.010 -0.012 -0.005 -0.004 -0.004 -0.004 -0.004 -0.003 -0.004 -0.004 -0.002 -0.002 -0.001 -0.002 -0.002 -0.002 -0.002 -0.002 -0.001 -0.001 -0.001 -0.001 -0.002 -0.002 -0.001 -0.002 -0.007 -0.004 -0.003 -0.003
1. LGARP 2. PURE 3. PTSP 4. TKPD 5. TKWD 6. TKPL 7. TKWL 8. INPL 9. CASHI 10. VPROD
-0.007 -0.008 -0.019 -0.004 -0.004 -0.001 -0.002 -0.001 -0.002 -0.006
-0.004 -0.006 -0.013 -0.004 -0.003 -0.002 -0.002 -0.001 -0.002 -0.004
-0.002 -0.004 -0.009 -0.004 -0.004 -0.001 -0.002 -0.001 -0.001 -0.002
-0.003 -0.005 -0.012 -0.004 -0.004 -0.001 -0.002 -0.001 -0.002 -0.003
11. TFRET 12. TFEXP 13. NFFIN 14. KPNFF
-0.001 -0.002
-0.001 -0.002
-0.001 -0.002
-0.001 -0.002
-0.002 -0.002
-0.001 -0.002
-0.001 -0.002
-0.001 -0.002
-0.001 0.001
-0.001 0.002
-0.001 0.003
-0.001 0.002
-0.001 0.001
-0.001 0.002
-0.001 0.003
-0.001 0.002
15. KWNFF 16. NFINC 17. CASHO 18. KONPT 19. INVUT 20. HHINC
1.892 0.443 -0.002 -0.001 0.021 0.151
1.962 0.495 -0.001 -0.002 0.014 0.107
2.347 0.719 -0.001 -0.002 0.012 0.076
2.059 0.551 -0.001 -0.001 0.015 0.097
1.866 0.437 -0.003 0.000 0.021 0.131
1.965 0.486 -0.001 -0.001 0.014 0.100
2.320 0.695 -0.001 -0.002 0.013 0.088
2.043 0.539 -0.002 -0.001 0.015 0.100
21. CPANB 22. CPKES 23. CNPAN 24. INVRT 25. TABNG 26. CREDIT 27. CRUTN 28. HHEXP 29. SWP 30. SWW 31. SPL
0.001 0.006 0.000 0.053 0.101 -0.001 0.001 0.004 -0.003 -0.003 -0.002
0.003 0.005 0.000 0.037 0.103 -0.001 0.002 0.005 -0.001 0.000 0.000
0.004 0.006 0.000 0.026 0.122 -0.001 0.002 0.005 0.000 0.000 0.000
0.003 0.006 0.000 0.033 0.109 -0.001 0.002 0.005 -0.001 0.000 -0.001
-0.002 0.006 0.000 0.055 0.101 -0.001 -0.001 0.003 0.000 0.000 0.000
0.003 0.005 0.000 0.037 0.104 -0.001 0.002 0.005 0.000 0.000 0.000
0.004 0.006 0.000 0.027 0.125 -0.001 0.002 0.005 0.000 0.000 0.000
0.002 0.006 0.000 0.034 0.110 -0.001 0.001 0.005 0.000 0.000 0.000
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5.
286
287 Pada kasus ini, investasi di usahatani meningkat dengan peningkatan yang relatif kecil dan secara struktural akan mengurangi pengeluaran rumahtangga untuk pupuk Urea dan TSP. Selanjutnya efek kenaikan upah buruh wanita di luar usahatani disajikan pada Tabel 44. Hasil simulasi menunjukkan bahwa efek kenaikan upah buruh wanita di luar usahatani mempunyai arah yang sama tetapi dengan besaran yang berbeda dengan efek kenaikan upah buru pria. Efek kenaikan upah buruh wanita di luar usahatani relatif lebih kecil dibandingkan dengan efek kenaikan upah buruh pria. Efek perubahan pada model separable juga sangat kecil, karena efek yang terjadi pada harga bayangan tenaga kerja dan lahan garapan memang sangat kecil. Hal ini berlaku di seluruh strata rumahtangga. Efek kenaikan upah buruh di luar usahatani sedikit menguat pada hasil simulasi kenaikan upah buruh pria dan wanita secara simultan (Tabel 45). Secara langsung efek kenaikan upah buruh tersebut menyebabkan kenaikan pada curahan tenaga kerja di luar usahatani, baik pria maupun wanita. Kenaikan curahan kerja wanita tampak lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan curahan kerja pria. Efek lebih lanjut dari kenaikan upah ini adalah meningkatnya pendapatan dari luar usahatani. Sudah dapat diduga bahwa kenaikan pendapatan terbesar terjadi pada rumahtangga berlahan luas. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan di tingkat upah di luar usahatani tidak banyak mempengaruhi ekonomi rumahtangga petani.
Hal ini
disebabkan karena peranan pendapatan di luar usahatani pada penelitian ini relatif kecil. Sejalan dengan meningkatnya peranan pendapatan di luar usahatani pada strata rumahtangga lahan luas, efek peningkatan upah buruh usahatani juga tampak menguat pada strata rumahtangga tersebut.
288 Tabel 45. Efek Kenaikan Upah Buruh Pria dan Wanita di Luas Usahatani 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga Petani Model Separable dan Non-Separable Menurut Strata Luas Lahan. No.
Model Non-Separable (%) Variabel* Strata 1 Strata 2 Strata 3 Total
1. LGARP 2. PURE 3. PTSP 4. TKPD 5. TKWD 6. TKPL 7. TKWL 8. INPL 9. CASHI 10. VPROD 11. TFRET 12. TFEXP 13. NFFIN 14. KPNFF 15. KWNFF 16. NFINC 17. CASHO 18. KONPT 19. INVUT 20. HHINC 21. CPANB 22. CPKES 23. CNPAN 24. INVRT 25. TABNG 26. CREDIT 27. CRUTN 28. HHEXP 29. SWP 30. SWW 31. SPL
-0.099 -0.133 -0.341 -0.076 -0.067 -0.025 -0.025 -0.022 -0.042 -0.096 -0.024 -0.039 -0.017 0.795 1.916 8.433 -0.036 -0.007 0.401 2.886 0.001 0.118 0.002 1.038 1.857 -0.014 0.006 0.071 -0.053 -0.041 -0.044
-0.060 -0.028 -0.103 -0.065 -0.238 -0.145 -0.066 -0.056 -0.062 -0.058 -0.026 -0.022 -0.027 -0.022 -0.017 -0.010 -0.033 -0.020 -0.062 -0.035 -0.024 -0.021 -0.036 -0.027 -0.017 -0.016 0.878 1.161 1.989 2.387 9.319 11.362 -0.017 -0.020 -0.040 -0.024 0.270 0.194 2.010 1.149 0.100 0.051 0.103 0.092 0.000 0.000 0.694 0.406 1.844 1.892 -0.019 -0.015 0.059 0.028 0.118 0.075 -0.010 -0.001 -0.008 0.003 -0.031 -0.008
Model Separable (%) Strata 1 Strata 2 Strata 3 Total
-0.042 -0.087 -0.203 -0.064 -0.061 -0.024 -0.024 -0.014 -0.028 -0.049 -0.023 -0.031 -0.016 0.934 2.090 9.691 -0.022 -0.024 0.256 1.679 0.052 0.102 0.001 0.584 1.865 -0.016 0.032 0.087 -0.009 -0.003 -0.035
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5.
-0.130 -0.147 -0.370 -0.087 -0.070 -0.031 -0.032 -0.022 -0.045 -0.141 -0.032 -0.048 -0.024 0.769 1.896 8.607 -0.052 -0.003 0.404 2.589 -0.018 0.121 0.001 1.135 1.912 -0.016 -0.004 0.067 0.000 0.000 0.000
-0.072 -0.110 -0.248 -0.076 -0.064 -0.031 -0.033 -0.017 -0.035 -0.079 -0.030 -0.043 -0.020 0.847 1.996 9.347 -0.033 -0.023 0.267 1.924 0.040 0.106 0.000 0.720 1.910 -0.021 0.027 0.094 0.000 0.000 0.000
-0.031 -0.070 -0.156 -0.064 -0.061 -0.024 -0.024 -0.011 -0.021 -0.040 -0.023 -0.033 -0.012 1.082 2.361 11.314 -0.022 -0.025 0.219 1.396 0.052 0.097 0.000 0.437 2.005 -0.016 0.028 0.083 0.000 0.000 0.000
-0.048 -0.094 -0.216 -0.073 -0.065 -0.028 -0.028 -0.015 -0.029 -0.061 -0.027 -0.038 -0.018 0.893 2.078 9.759 -0.031 -0.018 0.270 1.796 0.027 0.106 0.000 0.622 1.943 -0.017 0.019 0.082 0.000 0.000 0.000
289 Pada model separable menunjukkan bahwa efek perubahan upah buruh di luar usahatani .mempunyai pola yang sama dengan yang terjadi pada model non-separable. Perbedaan besaran antara kedua model memang tidak berarti tetapi karena perubahan upah di luar usahatani tidak banyak mengganggu produktivitas di dalam usahatani sehingga harga bayangan tenaga kerja keluarga dan lahan garapan tidak banyak berubah. Walaupun kecil, perbedaan terlihat dari perubahan penggunaan input usahatani, nilai produksi, pendapatan luar usahatani, dan pendapatan rumahtangga. Hal yang sama juga terjadi pada sisi konsumsi, tabungan dan kredit. Walaupun dengan besaran yang relatif kecil, dapat disimpulkan bahwa adanya ketidaksempurnaan pasar menyebabkan rumahtangga kurang responsif terhadap perubahan upah buruh di luar usahatani, terutama pada rumahtangga berlahan sempit. 8.5. Kenaikan Suku Bunga Kredit Suku bunga kredit terkait secara langsung dengan permintaan kredit bagi rumahtangga secara umum. Pada struktur permintaa kredit (CREDIT) suku bunga kredit berpengaruh negatif pada permintaan kredit.
Kenaikan suku bunga kredit, dengan
demikian, diduga akan mengurangi permintaan kredit tersebut. Pada penelitian ini, kredit mempengaruhi penggunaan tenaga kerja luar keluarga pria dan wanita (TKPL dan TKWL), penggunaan pupuk Urea dan pupuk TSP. Seluruh variabel tersebut secara struktural juga berpengaruh pada variabel endogen lainnya. Hasil simulasi kenaikan suku bunga dapat dilihat pada Tabel 46. Kenaikan suku bunga secara langsung menyebabkan penurunan permintaan kredit.
Persentase
penurunan permintaan kredit tersebut relatif besar karena permintaan kredit memang
290 sangat elastis terhadap suku bunga.
Perubahan menurut strata rumahtangga terlihat
semakin sempit strata luas lahan penurunan permintaan kredit semakin besar. Tabel 46. Efek Kenaikan Suku Bunga Kredit 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga Petani Model Separable dan Non-Separable Menurut Strata Luas Lahan. No.
Model Non-Separable (%) Variabel* Strata 1 Strata 2 Strata 3 Total
Model Separable (%) Strata 1 Strata 2 Strata 3 Total
1. LGARP 2. PURE 3. PTSP 4. TKPD
-1.265 -3.143
-0.853 -2.311
-0.406 -1.321
-0.593 -1.911
-2.501 -3.591
-1.221 -2.566
-0.479 -1.406
-0.819 -2.100
-2.820 -1.393
-2.191 -1.168
-1.296 -0.888
-1.795 -1.088
-3.279 -1.688
-2.441 -1.424
-1.368 -1.053
-1.973 -1.314
5. TKWD 6. TKPL 7. TKWL 8. INPL
-0.610 -5.568
-0.534 -4.416
-0.591 -2.894
-0.577 -3.928
-0.799 -5.939
-0.750 -4.616
-0.624 -3.035
-0.709 -4.139
-5.805 -0.188
-4.621 -0.154
-3.011 -0.097
-4.098 -0.129
-6.205 -0.210
-4.838 -0.166
-3.181 -0.099
-4.337 -0.138
9. CASHI 10. VPROD 11. TFRET 12. TFEXP 13. NFFIN 14. KPNFF
-0.721 -1.950 -0.493 -4.169 1.296 0.465
-0.557 -1.705 -0.662 -3.265 0.911 0.576
-0.332 -1.081 -0.644 -2.039 0.600 0.741
-0.463 -1.342 -0.618 -2.739 0.868 0.586
-0.803 -3.048 -0.698 -4.291 1.146 0.510
-0.598 -2.049 -0.772 -3.192 0.953 0.616
-0.342 -1.198 -0.689 -1.993 0.761 0.722
-0.493 -1.626 -0.717 -2.698 0.923 0.612
15. KWNFF 16. NFINC 17. CASHO 18. KONPT
0.261 0.252
0.312 0.323
0.475 0.508
0.346 0.360
0.338 0.292
0.422 0.373
0.484 0.505
0.413 0.391
-0.711 -0.155
-0.853 -0.243
-0.752 -0.296
-0.775 -0.239
-1.064 -0.156
-1.009 -0.257
-0.812 -0.308
-0.917 -0.248
1.307 0.641 19. INVUT 0.401 0.080 20. HHINC 0.064 0.055 21. CPANB 0.016 0.004 22. CPKES 0.001 0.000 23. CNPAN -1.862 -1.769 24. INVRT 0.192 0.186 25. TABNG 26. CREDIT -14.159 -11.475 0.037 0.030 27. CRUTN -0.111 -0.147 28. HHEXP -1.185 -0.620 29. SWP -0.577 -0.663 30. SWW
0.171 0.529 -0.093 0.038 0.020 0.045 -0.007 0.002 -0.001 0.000 -1.179 -1.453 0.194 0.190 -7.573 -10.331 0.009 0.023 -0.154 -0.140 -0.589 -0.667 -0.354 -0.441
1.037 0.482 -0.088 0.023 0.001 -2.254 0.219 -14.574 -0.048 -0.207 0.000 0.000
0.580 0.349 -0.011 0.019 0.001 -1.937 0.198 -11.775 -0.005 -0.193 0.000 0.000
0.169 0.236 0.021 0.017 0.000 -1.228 0.210 -7.751 0.010 -0.156 0.000 0.000
0.464 0.320 -0.023 0.019 0.001 -1.584 0.209 -10.591 -0.011 -0.181 0.000 0.000
31. SPL
-0.990
0.000
0.000
0.000
0.000
-1.481
-1.110
-1.307
291 * Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5.
292 Pada penelitian ini ditunjukkan bahwa adanya kenaikan suku bunga kredit menimbulkan kerugian paling besar pada strata rumahtangga berlahan sempit. Efek lebih lanjut dari penurunan permintaan kredit terlihat pada penggunaan tenaga kerja luar keluarga, baik pria maupun wanita. Hal ini memang secara struktural, permintaan tenaga kerja luar keluarga dipengaruhi langsung oleh kredit. Kredit berperan sebagai sumber dana untuk membiayai penggunaan tenaga kerja luar keluarga baik pria maupun wanita. Pengurangan tenaga kerja luar keluarga itu pun terlihat terbesar terjadi pada rumahtangga berlahan sempit. Efek lainnya terlihat pada penggunaan pupuk Urea dan TSP. Kedua jenis pupuk ini perlu dibeli dari pasar dan rumahtangga memerlukan sejumlah dana. Salah satu sumber dana yang dapat digunakan adalah kredit. Adanya penurunan kredit, dengan demikian, menurunkan permintaan kedua jenis pupuk kimia tersebut. Seperti halnya pada tenaga kerja luar keluarga, penurunan penggunaan pupuk juga semakin menguat pada rumahtangga berlahan sempit. Pada Tabel 46 juga terlihat bahwa pengurangan penggunaan input tertentu pada usahatani tidak selamanya menyebabkan substitusi pada input lain. Adanya pengurangan penggunaan pupuk kimia dan tenaga kerja luar keluarga menyebabkan turunnya penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, baik tenaga kerja pria maupun wanita. Efek simultan dari peningkatan tingkat suku bunga kredit ternyata menekan penggunaan input usahatani, sehingga pada gilirannya menyebabkan penurunan produk usahatani tanaman pangan dan penerimaan total usahatani. Namun jika ditelu-suri lebih lanjut, penurunan penggunaan pupuk kimia dan tenaga kerja luar keluarga juga berdampak pada penurunan pengeluaran tunai usahatani (CASHI) dan akhirnya menurunkan pengeluaran
293 total usahatani (TFEXP). Reslutante dari perubahan ini menyebabkan pendapatan bersih usahatani masih terlihat meningkat.
Peningkatan terbesar justru terjadi pada strata
rumahtangga berlahan sempit. Ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan suku bunga kredit menyebabkan realokasi antara pengeluaran usahatani tunai (pupuk kimia dan tenaga kerja luar keluarga) dengan pengeluaran usahatani tidak tunai (penggunaan tenaga kerja dalam keluarga).
Pada hasil simulasi terlihat pengurangan adanya penurunan
tenaga kerja dalam keluarga, tetapi penurunan tersebut lebih kecil dibanding dengan penggunaan input tunai. Di luar usahatani juga terlihat adanya sedikit peningkatan curahan tenaga kerja, yang berdampak pada sedikit peningkatan tenaga pendapatan luar usahatani. Hasil akhir pada pendapatan rumahtangga terlihat hampir tidak banyak mengalami perubahan. Pada strata rumahtangga lahan sempit terjadi peningkatan yang relatif lebih besar, sedangkan pada strata lahan sedang dan lahan luas hampir tidak mengalami perubahan. Hal menarik lainnya yang perlu dicermati adalah efek pada pengeluaran investasi usahatani dan investasi rumahtangga.
Terlihat pada Tabel 46 kedua jenis investasi
tersebut mengalami perubahan yang berlawanan.
Pada investasi usahatani terlihat
mengalami peningkatan, sedangkan pada investasi rumahtangga justru mengalami penurunan.
Perubahan ini menunjukkan bahwa pada usahatani terjadi realokasi
pengeluaran tunai dari pengeluaran tunai rutin ke pengeluaran tunai tidak rutin atau bersifat jangka panjang. Walaupun pada struktur pengeluaran kredit usahatani tidak terdapat variabel suku bunga, pada model ini dapat diperlihatkan peranan suku bunga pada investasi usahatani.
Pada saat suku bunga kredit menjadi relatif mahal,
rumahtangga cenderung memanfaatkan pendapatan usahataninya untuk pembentukan
294 modal sendiri, yaitu dengan menyisihkan lebih banyak pengeluaran investasi usahatani. Sebaliknya pada investasi rumahtangga, kenaikan suku bunga menyebabkan pengeluaran untuk investasi ini cenderung menurun. Pada model separable terlihat efek kenaikan suku bunga secara umum hampir tidak berbeda dengan model non-separable, baik dari segi arah maupun besaran. Hal ini berawal dari efek kenaikan suku bunga pada model non-separable hampir sama dengan pada model separable. Perubahan yang relatif berbeda terjadi pada luas lahan garapan. Pada model separable tampak penurunan luas lahan garapan relatif lebih besar dibandingkan dengan penurunan pada model non-separable. Hal tersebut disebabkan karena peningkatan suku bunga kredit secara simultan menyebabkan penurunan harga bayangan lahan garapan. Penurunan harga bayangan ini sedikit menahan penurunan penggunaan lahan yang disebabkan oleh turunnya penggunaan tenaga kerja luar keluarga dan pupuk kimia. Hal ini tidak terjadi pada model separable. Hal yang sama juga terjadi pada penggunaan tenaga kerja pria dalam keluarga.
Harga bayangan tenaga dalam
keluarga yang mengalami penurunan relatif besar terjadi pada tenaga kerja pria strata lahan sempit. Oleh karena itu, perbedaan juga relatif besar pada penggunaan tenaga kerja pria dalam keluarga ini. Perbedaan lain yang menarik adalah pada investasi usahatani dan investasi rumahtangga. Walaupun kenaikan suku bunga mempunyai efek berlawanan pada kedua jenis investasi tersebut, tetapi efek yang ditimbulkan pada model non-separable tampak lebih kecil dibandingkan dengan model separable. rumahtangga berlahan sempit.
Perbedaan terbesar terjadi pada
Hal ini mengindikasikan kembali bahwa adanya
295 ketidaksempurnaan pasar menyebabkan rumahtangga kurang responsif terhadap perubahan suku bunga kredit, terutama pada rumahtangga berlahan sempit.
8.6. Penurunan Penguasaan Lahan Persoalan penting yang dihadapi pada rumahtangga petani tanaman pangan adalah semakin menyempitnya luas lahan yang dikuasai rumahtangga, terutama di Pulau Jawa. Penyempitan lahan ini disebabkan oleh berbagai hal, antara lain desakan jumlah penduduk yang menyebabkan tingginya kebutuhan lahan untuk pemukiman, dan desakan sektor non-pertanian yang cenderung mengkonversi lahan pertanian menjadi areal industri non-pertanian.
Adanya kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian ini
menyebabkan rumahtangga tidak dapat bersaing untuk memperloleh lahan garapan dengan harga yang berlaku. Efek adanya penurunan luas lahan yang dikuasai disajikan pada Tabel 47. Penurunan luas lahan yang dikuasai secara langsung mempengaruhi luas lahan gararapan (LGARP). Luas lahan yang dikuasai pada persamaan luas lahan gararapan merupakan variabel eksogen. Hasil pendugaan fungsi ini menunjukkan hubungan positif, yang berarti jika terjadi kenaikan luas lahan yang dikuasai akan menyebabkan penurunan luas lahan garapan tersebut. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, lahan garapan pada penelitian ini mempengaruhi secara langsung bebeberapa variabel endogen lain, yaitu penggunaan tenaga kerja pria dan wanita dalam keluarga, penggunaan tenaga kerja pria dan wanita luar keluarga, penggunaan pupuk Urea dan pupuk TSP, dan permintaan kredit.
Dengan demikian, apabila terjadi perubahan pada penguasaan lahan akan
berdampak secara tidak langsung terhadap variabel-variabel tersebut. Pada variabel-
296 variabel tersebut, lahan berpengaruh positif, sehingga apabila terjadi penurunan luas lahan yang dikuasai akan menurunkan variabel-variabel tersebut.
Hal yang perlu
dipelajari adalah besaran perubahan masing-masing variabel.
Tabel 47. Efek Penurunan Luas Lahan yang Dikuasai 10 Persen pada Ekonomi Rumahtangga Petani Model Separable dan Non-Separable Menurut Strata Luas Lahan. Model Non-Separable (%) Variabel* Strata 1 Strata 2 Strata 3 Total
1. LGARP 2. PURE 3. PTSP 4. TKPD
-8.074 -2.347
-8.933 -4.389
-8.372 -5.465
Model Separable (%) Strata 1 Strata 2 Strata 3 Total -8.483 -5.618 -7.446 -8.394 -7.945 -4.632 -1.488 -4.194 -5.446 -4.429
-2.082 -0.906
-3.897 -1.867
-4.625 -3.708
-4.007 -2.515
-1.388 -0.726
-4.612 -2.457
-4.601 -4.151
-4.090 -2.840
5. TKWD 6. TKPL 7. TKWL 8. INPL 9. CASHI 10. VPROD
-0.558 -1.252 -1.305 -0.140 -0.545 -4.559
-1.294 -2.556 -2.721 -0.274 -1.073 -5.506
-2.476 -3.447 -3.534 -0.346 -1.325 -4.522
-1.615 -2.707 -2.809 -0.289 -1.118 -4.778
-0.377 -0.818 -0.841 -0.088 -0.329 -3.308
-1.511 -2.585 -2.786 -0.321 -0.951 -6.492
-2.487 -3.488 -3.553 -0.333 -1.285 -4.709
-1.642 -2.639 -2.731 -0.287 -1.028 -5.026
11. TFRET 12. TFEXP 13. NFFIN 14. KPNFF
-1.153 -1.479
-2.145 -2.837
-2.693 -3.355
-2.203 -2.897
-0.753 -0.714
-2.447 -3.125
-2.708 -3.282
-2.213 -2.828
-0.992 0.365
-1.741 1.040
-2.103 2.931
-1.719 1.373
-0.770 0.252
-1.246 1.182
-2.049 2.715
-1.458 1.338
15. KWNFF 16. NFINC 17. CASHO 18. KONPT 19. INVUT 20. HHINC 21. CPANB 22. CPKES 23. CNPAN 24. INVRT 25. TABNG 26. CREDIT
0.293 0.211 -1.688 -0.325 -2.098 -1.642 0.034 -0.067 -0.003 -1.249 -0.057 -0.874
0.812 0.655 -2.789 -0.736 -3.037 -4.650 0.021 -0.236 -0.014 -2.248 -0.105 -2.228
1.888 2.084 -3.150 -1.220 -3.524 -2.161 0.025 -0.173 -0.008 -2.388 -0.040 -3.733
0.976 0.976 -2.780 -0.811 -3.108 -2.758 0.026 -0.167 -0.009 -2.176 -0.067 -2.596
0.191 0.150 -1.102 -0.233 -1.303 -0.217 0.099 -0.010 0.000 -0.903 -0.051 -0.536
0.832 0.669 -3.195 -0.825 -2.024 -0.421 -0.007 -0.023 -0.002 -3.628 -0.018 -1.777
1.857 1.967 -3.195 -1.193 -3.639 -0.179 0.024 -0.013 -0.001 -2.374 0.017 -3.652
0.942 0.939 -2.816 -0.801 -2.683 -0.260 0.037 -0.015 -0.001 -2.526 -0.017 -2.346
27. CRUTN
0.016
-0.003
0.001
0.004
0.055
-0.005
0.010
0.018
No.
297 28. HHEXP 29. SWP 30. SWW 31. SPL
-0.067 -0.210 -5.612 -17.696
-0.317 -4.182
-0.219 -7.040
-0.003 0.000
-0.349 0.000
-0.310 0.000
-0.241 0.000
-5.209 -7.696 5.607 13.612
-2.392 6.856
-3.824 8.136
0.000 0.000
0.000 0.000
0.000 0.000
0.000 0.000
* Nama variabel dapat dilihat pada Lampiran 5.
298 Adanya penurunan luas lahan yang dikuasai menyebabkan penurunan luas lahan garapan. Penurunan luas yang paling tinggi terjadi pada strata rumahtangga berlahan sedang. Seperti telah diduga sebelumnya, efek penurunan luas lahan ini menyebabkan penurunan pada penggunaan tenaga kerja dalam dan luar keluarga, baik pria maupun wanita, serta penurunan pada penggunaan pupuk Urea dan TSP. Dengan demikian, pada usahatani terjadi penurunan produksi tanaman pangan (VPROD) dan nilai produk total usahatani (TFRET). Penurunan nilai produk total usahatani terbesar terjadi pada strata rumahtangga lahan luas.
Penurunan juga terjadi pada pendapatan bersih usahatani
(NFFIN), dengan penurunan terbesar juga terjadi pada strata rumah-tangga lahan luas. Efek langsung penurunan luas lahan garapan juga terjadi pada permintaan kredit. Tampak pada Tabel 47 permintaan kredit rumahtangga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan luas lahan garapan merupakan salah satu faktor penentu perminta-an kredit. Hal ini diduga karena prosedur kredit menghendaki adanya jaminan lahan yang di dalam hal ini identik dengan luasan lahan garapan. Di samping itu, kredit juga terkait dengan kebutuhan modal kerja usahatani, sehingga luasan lahan garapan akan ikut menentukan permintaan kredit. Efek pengurangan kredit, seperti telah dijelaskan di atas, berdampak pada pengurangan penggunaan pupuk kima dan tenaga kerja luar keluarga. Penurunan luas lahan yang dikuasai menyebabkan peningkatan kegiatan rumahtangga di luar usahatani, baik untuk tenaga kerja pria maupun tenaga kerja wanita. Peningkatan terbesar terjadi pada strata rumahtangga lahan luas. Peningkatan ini juga menyebabkan peningkatan pendapatan dari luar usahatani. Peningkatan pendapatan dari luar usahatani terbesar juga terjadi pada strata rumahtangga lahan luas.
299 Hal ini menunjukkan bahwa adanya penyempitan lahan di usahatani akan mendorong rumahtangga untuk mencari sumber pendapatan lain di luar usahatani. Perubahan pada struktur pendapatan rumahtangga berakibat pada pengeluaran rumahtangga untuk investasi di usahatani dan di rumahtangga.
Kedua investasi ini
tampak pada Tabel 47 mengalami penurunan. Penurunan terbesar terjadi pada strata rumahtangga lahan luas.
Penurunan investasi pada usahatani tampak lebih besar
dibandingkan dengan penurunan investasi di rumahtangga pada semua strata rumahtangga. Pada model separable terlihat efek penurunan luas lahan yang dikuasai cenderung menghasilkan arah yang sama, namun dengan besaran yang berbeda. Efek pertama yang perlu dilihat adalah akibat peningkatan harga bayangan lahan. Pengurangan luas lahan yang dikuasai menyebabkan penilaian terhadap luas lahan garapan meningkat. Peningkatan harga bayangan lahan ini menyebabkan penurunan permintaan rumahtangga terhadap lahan garapan, karena pendapatan yang sama dapat diperoleh dengan luasan lahan garapan yang lebih sempit. Oleh karena itu, pengurangan luas lahan yang dikuasai menyebabkan penurunan luas lahan garapan pada model non-separable lebih besar dibandingkan dengan penurunan luas lahan garapan yang terjadi pada model separable. Efek penurunan luas lahan yang dikuasai menyebabkan harga bayangan tenaga kerja dalam keluarga pria dan wanita turun. Penurunan harga bayangan tenaga kerja ini menyebabkan peningkatan permintaan tenaga kerja dalam keluarga di usahatani, karena untuk memperoleh pendapatan yang sama, tenaga kerja dalam keluarga memerlukan lebih banyak curahan kerja. Oleh karena itu, adanya penurunan luas lahan yang dikuasai
300 di satu sisi akan menurunkan kebutuhan tenaga kerja dalam keluarga, di sisi lain karena adanya penurunan harga bayangan tenaga kerja akan meningkatkan permintaan tenaga kerja tersebut. Efek total dari arah yang berlawanan ini tergantung dari kekuatan mana yang lebih besar. Pada Tabel 47 terlihat pada strata lahan sempit model separable mengalami penurunan tenaga kerja dalam keluarga lebih kecil dibandingkan pada model non-separable. Tapi pada strata rumahtangga lahan sedang dan lahan luas tampak lebih rendah pada model separable. Dari hasil simulasi model di atas dapat disimpulkan bahwa pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna, pengurangan lahan yang dikuasai mempunyai efek lebih buruk dibandingkan dengan kondisi pasar bersaing sempurna. Hal ini wajar karena persaingan pasar tidak sempurna membatasi rumahtangga untuk memperluas lahan garapan. Dari beberapa simulasi yang dilakukan di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi pasar berpengaruh pada perilaku ekonomi rumahtangga petani.
Adanya ketidak
sempurnaan pasar input menyebabkan rumahtangga petani lebih responsif terhadap perubahan harga output dibandingkan pada kondisi pasar persaingan sempurna, terutama pada rumahtangga petani berlahan sempit.
Pada rumahtangga petani berlahan luas,
pengaruh ketidak sempurnaan pasar tersebut lebih kecil dibandingkan dengan rumahtangga petani berlahan luas. Sebaliknya, ketidaksempurnaan pasar menyebabkan rumahtangga petani kurang responsif terhadap perubahan harga input, terutama pada rumahtangga berlahan sempit. Kesimpulan tersebut dapat menjelaskan adanya ketidak konsistenan dampak suatu kebijakan pada ekonomi rumahtangga petani.
Jika suatu
kebijakan sering dinilai kurang memuaskan, misalnya karena rumahtangga petani kurang
301 responsif terhadap perubahan harga atau perubahan teknologi, hal tersebut bisa disebabkan karena rumahtangga mengahadapi ketidaksempurnaan pasar.
302
IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1. Hasil pendugaan harga bayangan menunjukkan bahwa semakin luas lahan yang dikuasai rumahtangga petani, harga bayangan pupuk, tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar keluarga semakin besar.
Sebaliknya, semakin luas lahan yang
dikuasai rumahtangga petani harga bayangan lahan garapan semakin kecil.
Hal
tersebut menunjunjukkan bahwa lahan bagi rumahtangga petani masih merupakan sumber pendapatan utama. Semakin sempit lahan yang dikuasai, disertai dengan kurangnya
kesempatan
kerja
di
luar
usahatani,
rumahtangga
semakin
mengintensifkan penggunaan lahan. 2. Uji statistik beda nilai tengah dan model regresi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara harga bayangan dengan harga pasar input usahatani. Hasil uji ini memastikan bahwa rumahtangga petani yang dianalisis berada pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna. 3. Model ekonomi rumahtangga yang dibangun menggunakan persamaan simultan mampu mengintegrasikan harga input sebagai variabel endogen sehingga model tersebut mampu menjelaskan dengan baik perilaku ekonomi rumahtangga pada kondisi persaingan pasar tidak sempurna.
Model yang dibangun juga dapat
digunakan untuk simulasi model separable dan non-separable sehingga mampu menjelaskan pengaruh ketidaksempurnaan pasar terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani.
303 4. Perilaku ekonomi rumahtangga petani lebih banyak dipengaruhi oleh keseimbangan internal perilaku di sisi produksi. Keseimbangan internal produksi menjadi lebih kuat manakala rumahtangga menghadapi pasar persaingan tidak sempurna. Oleh karena itu, perilaku ekonomi rumah-tangga petani tidak responsif terhadap sebagian besar variabel harga pasar input atau harga pasar output. Perilaku ekonomi rumahtangga petani hanya responsif terhadap dua variabel harga pasar, yaitu harga pupuk TSP dan tingkat suku bunga kredit.
Di sisi lain, perilaku ekonomi rumahtangga selalu
responsif terhadap karakteristik rumahtangga, seperti penerimaan usahatani dan ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga. 5. Efek perubahan faktor ekonomi terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna mempunyai besaran dan atau arah yang berbeda dengan kondisi pasar persaingan sempurna. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rumahtangga petani pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna responsif terhadap perubahan harga output usahatani. Dengan demikian, pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna, perbaikan harga output secara efektif dapat menggerakan ekonomi rumahtangga petani. Sebaliknya, pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna, rumahtangga tidak responsif terhadap perubahan harga pupuk dan upah tenaga kerja usahatani dan upah tenaga kerja di luar usahatani. Dengan demikian, pada pasar persaingan tidak sempurna, disinsentif ekonomi yang ditimbulkan oleh kenaikan harga input tidak banyak merugikan rumahtangga petani. 6. Semakin luas penguasaan lahan usahatani oleh rumahtangga petani, pengaruh pasar persaingan tidak sempurna semakin melemah. Pada rumahtangga petani berlahan luas, perilaku ekonomi rumahtangga petani cenderung mendekati ciri perilaku
304 ekonomi pada persaingan pasar sempurna. Sebaliknya, pada rumahtangga petani berlahan sempit, perilaku ekonomi rumahtangga petani cenderung mendekati ciri perilaku ekonomi pada pasar persaingan tidak sempurna. Kesimpulan lebih jauh dari fenomena ini adalah bahwa kekuatan posisi kepemilikan sumberdaya rumahtangga pada rumahtangga petani berlahan sempit lebih kuat dibandingkan dengan rumahtangga petani berlahan luas. 7. Pada pasar persaingan tidak sempurna, efek perubahan faktor-faktor ekonomi lebih terartikulasi dibandingkan dengan kondisi pasar persaingan sempurna. Efek suatu perubahan faktor ekonomi terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani pada pasar persaingan tidak sempurna lebih komprehensif dan saling terkait dengan besaran yang relatif lebih tinggi dibandingkan efek yang sama terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani pada persaingan pasar sempurna. 9.2. Saran 1. Adanya hubungan negatif antara harga bayangan input dengan luas lahan yang dikuasai rumahtangga menunjukkan bahwa produktivitas lahan pada rumahtangga petani berlahan luas lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas lahan pada rumahtangga berlahan sempit. Gejala ini timbul karena keterbatasan lapangan kerja di luar sektor pertanian yang dihadapi rumahtangga petani berlahan sempit. Kebijakan pengaturan harga input dan harga output, atau kebijakan perbaikan teknologi produksi, perlu dibarengi dengan perbaikan sarana dan prasana ekonomi. Upaya perbaikan sektor pertanian, tidak hanya memerlukan kebijakan sektor tersebut, tetapi perlu dikaitkan secara komprehensif dengan kebijakan di sektor lainnya.
305 2. Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa rumahtangga petani responsif terhadap kenaikan harga output. Implikasi dari kesimpulan ini jelas, yaitu bahwa upaya perbaikan harga produk usahatani akan efektif meningkatkan kesejahteraan petani, walaupun rumahtangga petani dihadapkan pada pasar persaingan tidak sempurna. Kebijakan harga output tersebut akan lebih efektif jika dibarengi dengan upaya mengoreksi mekanisme pasar yang tidak sempurna tersebut, seperti menghilangkan atau mengurangi sumber-sumber biaya transaksi, menyediakan informasi pasar, dan mengurangi kekuatan-kekuatan monopsoni atau monopoli. Kesimpulan yang diperoleh juga mengisyaratkan bahwa kebijakan yang tepat bagi ekonomi rumahtangga petani adalah yang menyangkut stabilitas pendapatan rumahtangga. 3.
Disimpulkan juga bahwa pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna, rumahtangga petani tidak responsif terhadap perubahan harga input.
Pengaruh
kondisi pasar tersebut menguat pada rumahtangga petani berlahan sempit. Implikasi dari hal tersebut adalah bahwa rasionalisasi harga input perlu dibarengi dengan koreksi terhadap kondisi pasar yang dihadapi rumahtangga. 4. Masih diperlukan temuan model ekonomi rumahtangga dalam pasar persaingan tidak sempurna yang dapat menangkap kondisi rumahtangga petani yang menghasilkan multi komoditi.
Model ekonomi rumahtangga dengan menekankan pada satu
komoditi akan cenderung menyederhanakan perilaku ekonomi rumahtangga yang dipelajari. 5. Harga bayangan yang diduga pada penelitian ini terbatas pada harga bayangan input. Penelitian yang akan datang perlu memikirkan pengukuran harga bayangan produk
306 usahatani. Secara metodologis pendugaan harga bayangan bisa dilakukan dengan banyak cara. Pendugaan menggunakan fungsi produksi seringkali dihadapkan pada masalah teknis bentuk fungsi produksi, terutama jika dimaksudkan untuk menangkap multi input dan multi output. Untuk itu pendekatan dual atau fungsi produksi tidak langsung (indirect production function) bisa menjadi pilihan. 6. Penelitian ini telah menunjukkan pentingnya pengetahuan di tingkat mikro dalam mengembangkan sektor pertanian. Kebijakan pembangunan pertanian yang tidak dilandasi pengetahuan di tingkat petani sulit diharapkan akan efektif.
Dari segi
keilmuan, penelitian ini juga menunjukkan perlunya pengembangan matakuliah di IPB yang mengkaji teori-teori ekonomi rumahtangga petani.
307 DAF T AR PUS T AKA Andriati. 2003. Perilaku Rumahtangga Petani Padi dalam Kegiatan Ekonomi di Jawa Barat. T esis Magister Sains. Program Pascasarjana, I nstitut Pertanian Bogor, Bogor. Aronsson, T ., S.O.Daunfeldt and M. Wikstrom. 1999. Estimating I ntrahousehold Allocation in Collective Model with Household Production. Working Paper. Department of Economics, Umea University. Badan Pusat Statistik. 2003. Survei Pertanian: Produksi T anaman Padi dan Palawija di I ndonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. _________________. 2004. Sensus Pertanian T ahun 2003. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bagi, F.S. and J.I . Singh. 1974. A Microeconomic Model of Farm Decisions in an LDC: A Simultaneous Equation Approach. Economics and Sosiology Occasional Paper No. 207. Departement of Agricultural Economics and Rural Sociology, T he Ohio State University, Columbus. Barnum, H. and L. Squire. 1979. An Economic Application of the T heory of the Farm Household. Household Development Economics, 6:79 –102. Barrett, C.B. 1993. On Price Risk and I nverse Farm Size Productivity Relationship. Staff Paper Series No.369. Department of Agricultural Economics, University of Wisconsin, Madison. __________., S.M.Sherlund and A.A.Adesina. 2005. Shadow Wages, Allocative I nefficiency, and Labor Supply in Smallholder Agriculture. Working Paper. Department of Applied Economics and Management, Cornel University, I thaca. Basit, A. 1995. Analisis Ekonomi Penerapan T eknologi Usahatani Konservasi pada Lahan Kering Berlereng di Wilayah Hulu Das Jratunseluna, Jawa T engah. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, I nstitut Pertanian Bogor, Bogor. Becker, G.S. 1965. A T heory of the Allocation of T ime. Economic Journal, 229(75): 493-517. __________. 1976. T he Economic Approach to Human Behavior. T he University of Chicago Press, Chicago.
308 Bhattacharyya, A. and S.C. Kumbhakar, 1997. Market I mperfections and Output Loss in the Presence of Expenditure Constraint: A Generalized Shadow Price Approach. American Journal of Agricultural Economics, 79:860–871. Chiappori, P.A. 1988. Rational Household Labor Supply. Econometrica, 56:6389. Corsi, A. 1994. I mperfect Labour Markets, Preferences, and Minimum I ncome as Determinants of Pluriactivity Choices. I n: F. Caillavet, H. Guyomard, and R. Lifran (Eds). Agriculture Household Modelling and Family Economics. Elsevier, Amsterdam. Coyle, B. T . 1994. Duality Approaches to T he Specification of Agriculture Household Models. I n: F. Caillavet, H. Guyomard, and R. Lifran (Eds) Agriculture Household Modelling and Family Economics. Elsevier, Amsterdam. Deaton, A. 1998. T he Analysis Of Household Surveys: A Microeconometric Approach to Development Policy. T he Johns Hopkins University Press, Baltimore. Dong, D., J.S. Shonkwiler and O.Capps. 1998. Estimation of Demand Functions Using Cross Sectional Household Data: T he Problem Revisited. American Journal of Agricultural Economics, 80: 466 – 473. Dirgantoro, M. Arief. 2001. Alokasi T enaga Kerja dan Kaitannya dengan Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani Sawi. T esis Magiter Sains. Program Pascasarjana, I nstitut Pertanian Bogor, Bogor. Ellis, F. 1988. Peasant Economics: Farm Households and Agrarian Development. Cambridge University Press, Cambridge. Evenson, R. E. 1978. On the New Household Economics. Journal of Agricultural Economics and Development, 6(1):87–107. Gronau, R. 1977. Leisure, Home Production, and Work: T he T heory of the Allocation of T ime Revisited. I n: H.P. Binswanger, R.E. Evenson, C.A. Florencio, and B.N.F. White (Eds). Rural Household Studies in Asia. Singapore University Press, Singapore. Hardono, G.S. 2002. Dampak Perubahan Faktor-Faktor Ekonomi terhadap Ketahanan Pangan Rumahtangga Pertanian. T esis Magister Sains. Program Pascasarjana, I nstitut Pertanian Bogor, Bogor. Faradesi, E. 2004. Dampak Pasar Bebas terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Padi di Kabupaten Cianjur: Suatu Analisis Simulasi
309 Model Ekonomi Rumahtangga Pertanian. T esis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, I nstitut Pertanian Bogor, Bogor. Hardaker, J.B., T . G. McAulay, M. Soedjono, and C.K.G. Darkey. 1985. A Model of a Padi Farming Household in Central Java. Bulletin of I ndonesian Economic Studies, 21(3). Heckman, J. 1974. Shadow Prices, Market Wages Econometrica, 42:679 - 694.
and Labor
Supply.
Heltberg, R.1996. How Rural Market I mperfections Shape the Relation Between Farm Size and Productivity. A General Framework and an Application to Pakistani Data. DERG Working Paper No 4. Development Economics Research Group. Holden, S., B. Shiferaw. and J.Pender. 2001. Market I mperfections and Land productivity in the Ethiopian Highlands. RPT D Discussion Paper No. 76. I nternational Food Policy Research I nstitute, Washington, D.C. Huffman, W.E. 1996. Farm Labor: Key Conceptual and Measurement I ssues on Route to Better Farm Cost and Return Estimates. Staff Paper 280. I owa State University, I owa. I dris, N. 1999. Alokasi Waktu dan Pendapatan dalam Kegiatan Ekonomi Rumahtangga Karyawan Agroindustri. T esis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, I nstitut Pertanian Bogor, Bogor. I ntriligator, M. D. 1971. Mathematical Optimization and Economic T heory. Prentice-Hall, I nc., Englewood Cliffs, New Jersey. Kazi, A.T . 2000. T he Relationship between Farm Size and Productivity in Bangladesh Agriculture: T he Role of T ransaction Costs in Rural Labor Markes. Bangladesh I nstitute of Development Studies. Kasryno, F., P.Simatupang, E.Pasandaran dan S.Adiningsih. 2001. Reformulasi Kebijakan Perberasan Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 19(2):123. Bogor. Kimhi, A. and M. J. Lee. 1996. Off Farm Work Decisions of Farm Couples: Estimating Structural Simultaneous Equations with Ordered Categorical Dependent Variables. American Journal of Agricultural Economics. 78 : 687 - 698. Koutsoyiannis, A. 1977. T heory of Econometrics: An I ntroductory Exposition of Econometric Methods. Second Edition. T he Macmillan Press Ltd, London.
310 _______________. 1982. Modern Microeconomics. Macmillan Press Ltd, London.
Second Edition.
T he
Lamb, R. L. 2001. I nverse Productivity: Land Quality, Labor Markets, and Measurement Error. Department of Agricultural and Resource Economics Report No. 24. Department of Agriculutural and Resource Economics, North Carolina State University, Raleigh. Lambert, S. and T . Magnac. 1994. Measurment of I mplicit Prices of Family Labour in Agriculture: An Application T o Cote D’I voire. I n: F. Caillavet, H. Guyomard, R. Lifran (Eds). Agriculture Household Modeling and Family Economics. Elsevier, Amsterdam. Lifran, R. 1994. Credit Constraints I n A Life Cycle Model With Self Employment: Empirical Evidence for France. I n: F. Caillavet, H. Guyomard, R. Lifran (Eds). Agriculture Household Modeling and Family Economics. Elsevier, Amsterdam. Lipton, M. (1986). Game against nature: T heories of Peasant Decision-making. I n: J. Harriss (Ed). Rural Development, T heories of Peasant Economy and Agrarian Change. Hutchinson University Library for Africa. Lopez, R. E. 1986. Structural Models of T he Farm Household T hat Allow for I nterdependent Utility and Profit Maximization Decisions. I n: I . Singh, L. Squire, J. Strauss (Eds). Agricultural Household Models: Extensions, Applications, and Policy. T he Johns Hopkins University Press, Baltimore. Muhammad, S. 2002. Ekonomi Rumahtangga Nelayan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Jawa T imur: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, I nstitut Pertanian Bogor, Bogor. Mulyana, A. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras I ndonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas: Suatu Analisis Simulasi. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, I nstitut Pertanian Bogor, Bogor. Muslim. 2003. Alokasi Waktu Kerja dan Kontribusi Anggota Keluarga dalam Perekonomian Rumahtangga Petani dan Buruh T ani Selama Krisis Ekonomi di Provinsi Sumantera Barat. T esis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, I nstitut Pertanian Bogor, Bogor. Nakajima, C. 1969. Subsistence and Commercial Family Farms: Some T heoretical Models of Subjective Equilibrium. I n: C.R.Wharton Jr (Ed). Subsistence Agriculture and Economic Development. Aldine Publishing Company, Chicago.
311 ___________. 1986. Subjective Equilibrium T heory of the Farm Household. Elsevier Science Publishers, Amsterdam. Ongge, J. K. 2001. Analisis Curahan Kerja Wanita dan Konstribusinya terhadap Pendapatan Rumahtangga Petani di Kabupaten Jayawijaya I rian Jaya. T esis Magister Sains. Program Pascasarjana, I nstitut Pertanian Bogor, Bogor. Pakasi, C.B.D. 1998. Ekonomi Rumahtangga dan Pengembangan I ndustri Kecil Alkohol Nira Aren di Kabupaten Minahasa. T esis Magister Sains. Program Pascasarjana, I nstitut Pertanian Bogor, Bogor. Pindyck, R.S and D.L. Rubinfeld. 1985. Econometric Models and Economic Forecasts. Second Edition. McGraw-Hill Book Co, Singapore. Pradhan, J and J.J. Quilkey. 1985. Some Policy I mplications from Modelling Household Farm Decisions for Rice Farmer in Orissa, I ndia. Australian Agricultural Economics Society, Armidale N.S.W. Rahr, M.L. 2002. Household Economics of Agriculture and Forestry in Rural Vietnam. Departemen of Economics. Ph.D.Dissertation. School of Economics and Commercial Law, Goterborg University. Reniati. 1998. Faktor-faktor yang Mempengaruhi dan Keterkaitan Keputusan Kerja, Produksi dan Pengeluaaran Rumahtangga Nelayan. T esis Magister Sains. Program Pascasarjana, I nstitur Pertanian Bogor, Bogor. Robinson, C., P. McMahon and J. Quiggin. 1982. Labour Supply and Off Farm Work By Farmers: T heory and Estimation. Australian Journal of Agricultural Economics, 26(1) : 23-38. Rosalinda. 2004. Kajian Curahan T enaga Kerja, Produksi, dan Konsumsi Rumahtangga Petani Lahan Kering di Kabupaten T asikmalaya dan Kabupaten Sukabumi. T esis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, I nstitut Pertanian Bogor, Bogor. Rusastra, I .W., R.Kustiari dan E.Pasandaran. 1997. Dampak Penghapusan Subsidi Pupuk T erhadap Permintaan Pupuk dan Produksi Padi Nasional. Jurnal Agro Ekonomi, 16(1 & 2, Oktober): 31-41. Sadoulet, E., A. de Janvry and C. Benyamin. 1996. Household Behavior with I mperfect Labor Markets. Working paper 786. California Agricultural Experiment Station. Giannini Foundation of Agricultural Economics.
312 Sawit, M. H. 1993. A Farm Household Model For Rural Household of West Java, I ndonesia. Ph.D.Dissertation. Department of Economics, T he University of Wollongong. Schultz, T .P. 1999. Women’s Role in the Agricultural Household: Bargaining and Human Capital. Center Discussion Paper No. 803. Economic Growth Center, Yale University, New Haven. Schultz, T .W. 1964. T ransforming T raditional Agriculture.Yale University Press, New Haven. Sharma, S.P. 1992. Labour Quality in Farm Production Analysis: A Case Study in Nepal. Ph.D. Dissertation. La T robe University, Armidale N.S.W. Silberberg, E. 1990. T he Structure of Economics A Mathematical Analysis. Second Edition. Mc Graw Hill Publishing Company, New York. Singh, I ., L. Squire and J. Strauss. 1986a. T he Basic Model: T heory, Empirical results, and Policy Conclusions. I n: I . Singh, L. Squire, J. Strauss (Eds). Agricultural Household Models: Extensions, Applications, and Policy. T he Johns Hopkins University Press, Baltimore. _______________. 1986b. Methodological I ssues. I n: I . Singh, L. Squire, J. Strauss (Eds). Agricultural Household Models: Extensions, Applications, and Policy. T he Johns Hopkins University Press, Baltimore. Skoufias, E. 1993. Seasonal Labor Utilition in Agriculture: T heory and Evidence from Agrarian Households in I ndia. American Journal of Agricultural Economics, 75:20-32. Skoufias, E. 1994. Using Shadow Wages to Estimate Labor Supply of Agricultural Households. American Journal of Agricultural Economics, 76:215 - 227. Smith, V.E. and J. Strauss. 1986. Simulating the Rural Economy in a Subsistence Enviroment. I n: I . Singh, L. Squire, J. Strauss (Eds). Agricultural Household Models: Extensions, Applications, and Policy. T he Johns Hopkins University Press, Baltimore. Sonoda, T . and Y. Maruyama. 1999. Effects of the I nternal Wage on Output Supply: A Structural Estimation for Japanese Rice Farmers. American Journal of Agricultural Economics, 81:131-143. Suprapto, T . 2001. Analisis Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani I rian Jaya. T esis Magister Sains. Program Pascasarjana, I nstitut Pertanian Bogor, Bogor.
313 Strauss, J. 1984. Marketed Surpluses of Agricultural Households in Sierra Leone. American Journal of Agricultural Economics, 80:321-331. ________. 1986. T he T heory and Comparative Statics of Agricultural Household Models: A General Approach. I n: I . Singh, L. Squire, J. Strauss (Eds). Agricultural Household Models, Extensions, Applications and Policy. John Hopkins University Press, Baltimore. T emel,T . and P.J.Albersen. 2000. New Facts for an Old Debate: Farm Size, Productivity and Geography. Centre for World Food Studies, Amsterdam. Zairani, D. 2004. Analisis Peluang Kerja dan Keputusan Ekonomi Rumahtangga Pengusaha Kecil di Kota Bogor: Kasus Penerapan Kredit Usaha Kecil. T esis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, I nstitut Pertanian Bogor, Bogor.
314
315
LAMPIRAN
316 Lampiran 4. Ringkasan Konstruksi Model Ekonomi Rumahtangga Petani 1. Harga Bayangan Input Usahatani LnY=SA0 + dimana :
7
• SAi(LnXi) i=1
7
7
+ ½ • • SAij(LnXi)(LnXj) + ç1 i=1 j=1
Y =VPROD : Nilai produk total tanaman pangan (ribuan rupiah) X1=TKPD
: Tenaga kerja pria dalam keluarga (hari kerja)
X2=TKWD : Tenaga kerja wanita dalam keluarga (hari kerja) X3=TKPL
: Tenaga kerja pria luar kelurga (hari kerja)
X4=TKWL
: Tenaga kerja wanita luar keluarga (hari kerja)
X5=PURE
: Pupuk Urea (kg)
X6=LGARP : Lahan garapan (ha) X7=INPL
: Nilai input lain (ribuan rupiah)
SA=Koefisien fungsi produksi ç = Variabel pengganggu Retriksi simetri: SAij=SAji SWP =(SA1+SA11*Ln(TKPD)+SA12*Ln(TKWD)+SA13*Ln(TKPL)+ SA14*Ln(TKWL)+SA15*Ln(PURE)+SA16*Ln(LGARP)+ SA17*Ln(INPL))*(VPROD)/(TKPD) SWW =(SA2+SA12*Ln(TKPD)+SA22*Ln(TKWD)+SA23*Ln(TKPL)+ SA24*Ln(TKWL)+SA25*Ln(PURE)+SA26*Ln(LGARP)+ SA27*Ln(INPL))*(VPROD)/(TKWD) SWPL=(SA3+SA13*Ln(TKPD)+SA23*Ln(TKWD)+SA33*Ln(TKPL)+ SA34*Ln(TKWL)+SA35*Ln(PURE)+SA36*Ln(LGARP)+ SA37*Ln(INPL))*(VPROD)/(TKPL) SWWL=(SA4+SA14*Ln(TKPD)+SA24*Ln(TKWD)+SA34*Ln(TKPL)+ SA44*Ln(TKWL)+SA45*Ln(PURE)+SA46*Ln(LGARP)+ SA47*Ln(INPL))*(VPROD)/(TKWL) SPU =(SA5+SA15*Ln(TKPD)+SA25*Ln(TKWD)+SA35*Ln(TKPL)+ SA45*Ln(TKWL)+SA55*Ln(PURE)+ SA56*Ln(LGARP)+ SA57*Ln(INPL))*(VPROD)/(PURE)
317 SPL =(SA6+SA16*Ln(TKPD)+SA26*Ln(TKWD)+SA36*Ln(TKPL)+ SA46*Ln(TKWL)+SA56*Ln(PURE)+SA66*Ln(LGARP)+ SA67*Ln(INPL))*(VPROD)/(LGARP) SWP
= Harga (upah) bayangan tenaga kerja pria dalam keluarga (ribu rupiah/hari kerja)
SWW = Harga (upah) bayangan tenaga kerja wanita dalam keluarga (ribu rupiah/hari kerja) SWPL = Harga (upah) bayangan tenaga kerja pria luar keluarga (ribu rupiah) SWWL = Harga (upah) bayangan tenaga kerja wanita luar keluarga (ribu rupiah) SPU
= Harga bayangan pupuk Urea (ribu rupiah/kg)
SPL
= Harga bayangan lahan (ribu rupiah/ha)
2. Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja a. Penggunaan Tenaga Kerja Pria Dalam Keluarga TKPD = A10+A11*SWP+A12*(LGARP/TKPL)+A13*PURE+A14*PTSP+ A15*DIVE + ç8 Hipotesis: A11 <0, A12 ,A13, A14>0 dimana: DIVE = Indeks diversifikasi tanaman pangan. b. Penggunaan Tenaga Kerja Wanita Dalam Keluarga TKWD = A20+A21*SWW+A22*(LGARP/TKWL)+A23*PURE+A24*PTSP +A25*DIVE + ç9 Hipotesis: A21 <0; A22 ,A23, A24>0 c. Permintaan Tenaga Kerja Pria Luar Keluarga TKPL = A30+A31*UHP+A32*(LGARP/TKPD)+A33*TFRET +A34*CREDIT+ ç10 Hipotesis: A31 <0; A32 ,A33, A34>0 dimana: TFRET = VPROD+PTERN TFRET
= Penerimaan total usahatani
VPROD
= Nilai produk total tanaman pangan
318 CREDIT
= Kredit.
d. Permintaan Tenaga Kerja Wanita Luar Keluarga TKWL = A40+A41*UHW+A42*(LGARP/TKWD)+A43*TFRET + A44*CREDIT + ç11 Hipotesis: A41 <0; A42 ,A43, A44>0 e. Penawaran Tenaga Kerja Pria di Luar Usahatani KPNFF = A50+A51*UPNFF+A52*TKPD+A53*TKRTP+A54*TFRET+ A55*IPAKP + ç12 Hipotesis: A51,A54 <0; A52 ,A53, A55>0 dimana: KPNFF = Kerja pria di luar usahatani (hari kerja) UPNFF = Upah buruh di luar usahatani sendiri (ribu rupiah/hari kerja) TKRTP = Angkatan kerja pria dalam rumahtangga (orang) TFRET = Penerimaan total usahatani (ribu rupiah) IPAKP = Indeks pendidikan angkatan kerja pria f. Penawaran Tenaga Kerja Wanita di Luar Usahatani KWNFF = A60+A61*UWNFF+A62*TKWD+A63*TKRTW+A64*TFRET+ A65*IPAKW + ç13 Hipotesis: A61,A64 <0; A62 ,A63, A65>0 Dimana: KWNFF = Kerja wanita di luar usahatani (hari kerja) UWNFF = Upah buruh wanita di luar usahatani sendiri (ribu rupiah/hari kerja) TKRTW = Angkatan kerja wanita dalam rumahtangga (orang) IPAKW = Indeks pendidikan angkatan kerja wanita 3. Permintaan Pupuk a. Permintaan Pupuk Urea PURE = B10+B11*HURE+B12*TFRET+B13*LGARP+B14*CREDIT+ B15*INVUT + ç14 Hipotesis: B11,B15 <0; B12 ,B13, B14>0 dimana:
319 PURE = Penggunaan pupuk Urea (kg) HURE = Harga Urea (ribu rupiah/kg) INVUT = Investasi pada usahatani (ribu rupiah) b. Permintaan Pupuk TSP PTSP = B20+B21*HTSP+B22*TFRET+B23*LGARP+B24*CREDIT + B25*INVUT+ ç15 Hipotesis: B21,B25 <0; B22 ,B23, B24>0 dimana: PTSP = Permintaan pupuk TSP (kg) HTSP = Harga pupuk TSP (ribu rupiah/kg) 4. Luas Lahan Garapan LGARP = B30+B31*SPL+B32*HPROD+B33*TKD+B34*LTOTA+ B35*NPKIM+ ç16 Hipotesis: B31 <0; B32 ,B33, B34, B35>0 dimana: LGARP = Luas lahan garapan (hektar) TKD
= TKPD + TKWD
NPKIM = PURE*HURE+PTSP*HTSP HPROD = Harga produksi komposit (rupiah/kilogram) TKD
= Tenaga kerja dalam keluarga pria dan wanita (hari kerja)
LTOTA = Total lahan yang dikuasai (Ha) 5. Produk Usahatani yang Dikonsumsi KONPT = B40+B41*TFRET+B42*ARTOT+B43*CPANB + ç17 Hipotesis: B41 ,B42>0;B43<0. dimana: KONPT = Produk usahatani yang dikonsumsi (ribu rupiah) ARTOT = Anggota rumahtangga pria dan wanita (orang) CPANB = Nilai konsumsi pangan yang dibeli di pasar (ribu rupiah) 6. Investasi a. Investasi Usahatani INVUT = C10+C11*TFRET+C12*NFINC+C13*NTKL+C14*INVRT + ç18
320 Hipotesis: C11,C12 >0; C13 ,C14<0 dimana: NTKL = TKPL*UHP + TKWL*UHW CASHI = PURE*HURE + INPL INPL = PTSP*HTSP + NINL INVUT = Investasi usahatani (ribu rupiah) NTKL = Nilai tenaga kerja luar keluarga (ribuan rupiah) CASHI = Nilai input usahatani tunai di luar upah (ribu rupiah) INVRT = Nilai pengeluaran untuk investasi rumahtangga (ribu rupiah) INPL
= Nilai input lain selain Urea (ribu rupiah)
NINL
= Nilai input lain selain Urea dan TSP (ribu rupiah)
b. Investasi Rumahtangga INVRT = C20+C21*NFINC+C22*CASHO+C23*CREDIT+ C24*INVUT + ç19 Hipotesis: C21,C22 ,C23>0; C24<0 dimana: CASHO = TFRET – KONPT NFINC = Pendapatan luar usahatani sendiri (ribuan rupiah) CASHO = Nilai produk usahatani yang dijual (ribuan rupiah) KONPT = Produk usahatani yang dikonsumsi (ribu rupiah) 7.
Konsumsi Rumahtangga a. Konsumsi Pangan yang Dibeli Dari Pasar CPANB = C30+C31*(NFINC/CPKES)+C32*CASHO/INVRT+ C33*ARTOT + ç20 Hipotesis: C31,C32,C33 >0
dimana: CPANB = Konsumsi pangan yang dibeli (ribu rupiah) CPKES = Pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan (ribuan rupiah) b. Konsumsi Non-pangan CNPAN = C40+C41*(HHINC/TABNG)+C42*ARTOT + ç21 Hipotesis: C41,C42 >0.
321 dimana: HHINC = NFFIN+NFINC+SWP*TKRTP*300+SWW*TKRTW*300 NFFIN = TFRET–CASHI–NTKL–SWP*TKPD–SWW*TKWD CNPAN = Konsumsi non-pangan (ribu rupiah) HHINC = Pendapatan rumahtangga total (ribu rupiah) NFFIN = Pendapatan bersih usahatani (ribu rupiah) TKRTP = Angkatan kerja pria dalam rumahtangga (orang) TKRTW = Angkatan kerja wanita dalam rumahtangga (orang) 8.
Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan CPKES = C50+C51*HHINC +C52*INPRT+C53*ARTOT + ç22 Hipotesis: C51,C52,C53>0
dimana: CPKES = Pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan (ribuan rupiah) INPRT = Indeks pendidikan keluarga 9.
Kredit CREDIT = D10+D11*INT+D12*CASHI+D13*LGARP+D14*FPINJ+ ç23 Hipotesis: D11<0; D12,D13,D14>0
dimana: CREDIT = Kredit (ribuan rupiah) TABNG = Tabungan (ribuan rupiah) FPINJ
= Frekuensi pinjaman
10. Tabungan TABNG = D20+D21*NFFIN+D22*NFINC/CRUTN + ç24 Hipotesis: D21,D22>0 dimana: CRUTN = CPANB+CPANS+CPKES+CNPAN CRUTN = Pengeluaran rutin rumahtangga (ribu rupiah) CPANS = Konsumsi pangan yang disediakan sendiri (ribu rupiah) 11. Pengeluaran Total Rumahtangga HHEXP = CRUTN + INVRT +PAJAK dimana:
322 PAJAK = Nilai pajak yang dibayarkan rumahtangga (ribu rupiah) Lampiran 5. Daftar Nama Variabel Pada Model Ekonomi Rumahtangga Petani
1.
Nama Variabel Y = VPROD
Nilai produk total tanaman pangan (ribuan rupiah)
2.
X1 = TKPD
Tenaga kerja pria dalam keluarga (hari kerja)
3.
X2 = TKWD
Tenaga kerja wanita dalam keluarga (hari kerja)
4.
X3 = TKPL
Tenaga kerja pria luar kelurga (hari kerja)
5.
X4 = TKWL
Tenaga kerja wanita luar keluarga (hari kerja)
6.
X5 = PURE
Pupuk Urea (kg)
7.
X6 = LGARP
Lahan garapan (ha)
8.
X7 = INPL
Nilai input lain (ribuan rupiah)
9.
LXi
LnXi
10.
LXij
(LnXi)(LnXj); i=1,2, . . ., 7; j=1, 2, . . ., 7
11.
SA
Koefisien fungsi produksi translog
12.
ç
Variabel pengganggu
13.
SWP
14.
SWW
15.
SWPL
16.
SWWL
17.
SPU
Harga (upah) bayangan tenaga kerja pria dalam keluarga (ribu rupiah/hari kerja) Harga (upah) bayangan tenaga kerja wanita dalam keluarga (ribu rupiah/hari kerja) Harga (upah) bayangan tenaga kerja pria luar keluarga (ribu rupiah/hari kerja) Harga (upah) bayangan tenaga kerja wanita luar keluarga (ribu rupiah/hari kerja) Harga bayangan pupuk Urea (ribu rupiah/kg)
18.
SPL
Harga bayangan lahan (ribu rupiah/ha)
19.
TKPD
Penggunaan tenaga kerja pria dalam keluarga
20.
TKWD
Penggunaan tenaga kerja wanita dalam keluarga
21.
TKPL
Permintaan tenaga kerja pria luar keluarga
22.
TKWL
Permintaan tenaga kerja wanita luar keluarga
23.
KPNFF
Kerja pria di luar usahatani (hari kerja)
No.
Uraian
323 24.
UPNFF
25.
TKRTP
Upah buruh di luar usahatani sendiri (ribu rupiah/hari kerja) Angkatan kerja pria dalam rumahtangga (orang)
Lampiran 5. Lanjutan. 26.
TFRET
Penerimaan total usahatani (ribu rupiah)
27.
IPAKP
Indeks pendidikan angkatan kerja pria
28.
KWNFF
Kerja wanita di luar usahatani (hari kerja)
29.
UWNFF
30.
TKRTW
Upah buruh wanita di luar usahatani sendiri (ribu rupiah/ hari kerja) Angkatan kerja wanita dalam rumahtangga (orang)
31.
IPAKW
Indeks pendidikan angkatan kerja wanita
32.
PURE
Penggunaan pupuk TSP (kg)
33.
HURE
Harga TSP (ribu rupiah/kg)
34.
INVUT
Investasi pada usahatani (ribu rupiah)
35.
PTSP
Penggunaan pupuk TSP (kg)
36.
HTSP
Harga TSP (ribu rupiah/kg)
37.
LGARP
Luas lahan garapan (hektar)
38.
HPROD
Harga produksi komposit (rupiah/kilogram)
39.
TKD
Tenaga kerja dalam keluarga pria dan wanita (hari kerja)
40.
LTOTA
Total lahan yang dikuasai (Ha)
41.
KONPT
Produk usahatani yang dikonsumsi (ribu rupiah)
42.
ARTOT
Anggota rumahtangga pria dan wanita (orang)
43.
CPANB
Nilai konsumsi pangan yang dibeli di pasar (ribu rupiah)
44.
NTKL
Nilai tenaga kerja luar keluarga (ribuan rupiah)
45.
CASHI
Nilai input usahatani tunai di luar upah (ribu rupiah)
46.
INVRT
47.
INPL
Nilai pengeluaran untuk investasi rumahtangga (ribu rupiah) Nilai input lain selain TSP (ribu rupiah)
48.
NINL
Nilai input lain selain TSP dan TSP (ribu rupiah)
324 49.
NFINC
Pendapatan luar usahatani sendiri (ribuan rupiah)
50.
CASHO
Nilai produk usahatani yang dijual (ribuan rupiah)
51.
KONPT
Produk usahatani yang dikonsumsi (ribu rupiah)
52.
CPANB
Konsumsi pangan yang dibeli (ribu rupiah)
Lampiran 5. Lanjutan. 53.
CPKES
Pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan (ribu rupiah)
54.
CNPAN
Konsumsi non-pangan (ribu rupiah)
55.
HHINC
Pendapatan rumahtangga total (ribu rupiah)
56.
NFFIN
Pendapatan bersih usahatani (ribu rupiah)
57.
INPRT
Indeks pendidikan keluarga
58.
CREDIT
Kredit (ribu rupiah)
59.
TABNG
Tabungan (ribu rupiah)
60.
FPINJ
Frekuensi pinjaman
61.
CRUTN
Pengeluaran rutin rumahtangga (ribu rupiah)
62.
CPANS
Konsumsi pangan yang disediakan sendiri (ribu rupiah)