PERENCANAAN LINTASAN MENGGUNAKAN DUBINS GEOMETRY PADA PESAWAT UDARA NIR AWAK ( PUNA ) Nama Mahasiswa NRP Jurusan Dosen Pembimbing
: : : :
Norma Kumala Dewi 1206 100 006 Matematika FMIPA-ITS Subchan, Ph.D
Abstrak Masalah utama dalam penerbangan pesawat udara nir awak (PUNA) atau yang dikenal dengan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) adalah navigasi, control, dan panduan. PUNA membutuhkan panduan yang mampu mengarahkan pergerakan pesawat untuk sampai pada tujuan. Sehingga dibutuhkan perencanaan yang tepat untuk memodelkan lintasan agar pesawat dapat dikendalikan sesuai tujuan dan dapat melewati lintasan yang optimal. Dalam hal ini perencanaan lintasan dikenal dengan path planning. Dalam tugas akhir ini dibahas algoritma model lintasan optimal dan implementasinya dalam sistem perangkat lunak MATLAB 7.6 dengan menggunakan metode geometri Dubins (Dubins Geometry). Kata kunci : Pesawat udara nir awak (PUNA), Lintasan Dubins Geometry, Perencanaan lintasan (path planning).
koordinasi dari perencanaan (planning), penginderaan (sensing), dan pengendalian (control) [9]. Permasalahan navigasi yang paling sederhana adalah menemukan jalan (path) dari posisi awal ke target dan melewatinya tanpa terjadi tabrakan dan menghindari halangan (obstacle) yang ada. Berdasarkan posisi atau lokasi tersebut, panduan menghasilkan trayektori yang harus di ikuti. Sedangkan kendali terdiri dari actuator sehingga PUNA dapat mengikuti lintasan yang diinginkan. Oleh karena itu, perencanaan lintasan sangat penting dalam navigasi, panduan, dan kontrol penerbangan. Dalam perencanaan lintasan pesawat udara nir awak dapat digunakan berbagai metode. Algoritma dari perencanaan lintasan akan menghasilkan lintasan yang aman dan merupakan lintasan dengan panjang minimal serta terlepas dari segala kendala yang menghalangi. Sehingga dapat dihasilkan waktu dan biaya yang optimal pula dalam proses penerbangannya[1]. Model perencanaan lintasan pesawat udara nir awak telah banyak diteliti dengan berbagai metode salah satunya dengan metode Geometri Dubins (Dubins Geometry). Seperti yang telah dikembangkan oleh S. Subchan dkk [8] yang merupakan aplikasi dari perencanaan
1. PENDAHULUAN Pengawasan udara merupakan salah satu penyelesaian yang efektif untuk menjaga dan memonitor keadaan lingkungan secara geografis. Satelit dan pesawat terbang berawak merupakan peralatan pengawasan yang efektif namun sering mengalami kendala operasional terutama infrastruktur pendukung. Unmanned Aerial Vehicle (UAV) atau pesawat udara nir awak (PUNA) bisa menjadi penyelesaian alternatif yang memiliki kemampuan untuk menjalankan fungsi yang sama dengan pesawat berawak dengan tingkat keadaan operasional yang lebih kecil dan untuk meminimalisir kecelakaan dan jatuhnya korban jiwa. Kemampuan PUNA yang dapat dikendalikan dari jarak jauh atau bahkan bisa di program sendiri dengan lintasan tertentu akan sangat memberikan keuntungan dengan biaya dan waktu yang lebih efektif dan efisien [7]. Pesawat udara nir awak (PUNA) membutuhkan sistem navigasi, panduan, dan kendali yang mampu mengarahkan pesawat bergerak sampai ke tujuan. Navigasi penerbangan adalah proses mengarahkan posisi pesawat dari satu titik ke titik yang lain dengan selamat dan lancar untuk menghindari rintangan penerbangan. Proses Navigasi penerbangan merupakan
1
lintasan. Penelitian yang berbeda dilakukan oleh Reeds dan Shepp, Boissonnat dkk dalam Shkel, A.M., Lumelsky, V., [6] membuktikan metode Dubins menunjukkan lintasan yang optimal. Kelebihan metode Dubins Geometry karena dapat menggeneralisasi kelengkungan garis dengan interpolasi kekontinuannya. Dalam tugas akhir ini dibahas tentang algoritma perencanaan lintasan menggunakan metode Dubins geometry serta implementasi dan simulasi dalam perangkat lunak MATLAB yang akan dapat membantu mengarahkan pergerakan PUNA. Sehingga dapat memudahkan kontrol lintasan penerbangan pesawat udara nir awak dengan melalui lintasan yang optimal dan feasible. Tujuan dari penelitian ini adalah membangun algoritma model lintasan PUNA dan mengimplementasikan algoritma tersebut dalam bentuk simulasi untuk diterapkan dalam sistem PUNA dengan metode Dubins Geometry pada perangkat lunak MATLAB. Sedangkan manfaat yang diharapkan dari hasil Tugas Akhir ini antara lain adalah Model lintasan dengan Dubins geometry dapat digunakan secara efektif untuk keamanan penerbangan dalam sistem pengawasan udara, dan hasil implementasi sistem dapat membantu pihak-pihak terkait terutama pengambil keputusan untuk menangani masalah lingkungan.
observasi udara. Selain itu PUNA telah diterapkan untuk kepentingan sipil, misalnya mitigasi bencana, pencurian pasir laut, pemantauan kebakaran hutan , dan lain-lain [2]. pesawat udara nir awak (PUNA) bisa menjadi penyelesaian alternatif yang memiliki kemampuan untuk menjalankan fungsi yang sama dengan satelit dan pesawat berawak dengan tingkat keadaan operasional yang lebih kecil dan untuk meminimalisir kecelakaan dan jatuhnya korban jiwa. Kemampuan PUNA yang dapat dikendalikan dari jarak jauh atau bahkan bisa di program sendiri dengan lintasan tertentu akan sangat memberikan keuntungan dengan biaya dan waktu yang lebih efektif dan efisien. PUNA umumnya didesain dengan ukuran yang tidak besar. Selain menghemat bahan bakar penggerak PUNA, ini juga memudahkan maneuver dari PUNA itu sendiri. Berdasarkan ukurannya, PUNA dapat dikelompokkan kembali menjadi PUNA secara umum, MAV (Micro Aerial Vehicle), NAV (Nano Aerial Vehicle), dan HLUAV (High Level Unmanned Aerial Vehicle). PUNA dilengkapi dengan sistem navigasi dan kendali terbang jarak jauh yang akurat, sistem komunikasi data-link yang mampu terus mengirimkan data status pesawat, target dan informasi penginderaan dengan format gambar digital secara real-time. PUNA memiliki bobot yang ringan sehingga mudah bermanuver dan praktis digunakan untuk berbagai tugas. Untuk peran pengintaian PUNA dapat menjangkau jarak 50 km hingga 200km dan bisa bertahan hingga lebih dari 15 jam.
Dalam upaya mendapatkan suatu hasil yang efektif, batasan permasalahan diberikan sebagai berikut: 1. Ketinggian UAV terbang dianggap konstan dengan lintasan coplanar.
2.2 Perencanaan Lintasan (Path Planning) Path planning adalah perencanaan lintasan yang akan dilalui oleh robot, atau pesawat dari posisi awal menuju target untuk mendapatkan lintasan yang optimal. Lintasan optimal merupakan lintasan terpendek dan merupakan lintasan yang terbebas dari halangan. Path planning secara umum dapat ditulis sebagai berikut [2]: Ps (xs , ys , s) Pf (xf , yf , f)
2. Lintasan terbebas dari halangan (obstacle) 3. Simulasi dalam tugas akhir ini dikerjakan dengan menggunakan perangkat lunak MATLAB 7.6 2. DASAR TEORI 2.1 Pesawat Udara Nir Awak Pesawat udara nir awak (PUNA) atau yang di kenal dengan UAV ( Unmanned Aerial vehicles) adalah pesawat udara yang dikendalikan tanpa menggunakan awak manusia. Pesawat juga dapat diperlengkapi dengan kamera, sensor, radar, dan peralatan – peralatan lainnya dengan bobot yang bergantung pada bobot pesawat. PUNA dapat dimanfaatkan antara lain untuk peran pengintaian dan pengumpulan data intelejen termasuk untuk misi pertempuran, pemetaan, dan
Keterangan: Ps
: Posisi awal pesawat
Pf
: Posisi akhir Pesawat
xs , xf : Posisi awal dan akhir koordinat pada sumbu absis
2
ys, yf
s,
f
:
Posisi awal dan akhir koordinat pada sumbu ordinat
lintasan CLC, sedangkan differential geometri menggunakan CCC [5].
: Sudut pesawat menghadap
2.3.2 Lintasan Dubins Geometry Dalam geometri analitik, lintasan Dubins dihasilkan oleh gambar antara garis singgung dua buah busur lingkaran. Secara umum garis singgung menghubungkan antara busur eksternal dan busur internal ( diagonal ). Kemungkinan Lintasan Dubins Geometry yang terbentuk ada empat macam lintasan yaitu LSL, LSR, RSR, dan RSL dengan keterangan L adalah left (kiri) dan R adalah Right (kanan). Salah satu bentuk lintasan CLC yang berbentuk RSR dapat di gambarkan sebagai berikut :
Secara sederhana algoritma path planning meliputi data input yang merupakan data dua koordinat yaitu posisi awal dan posisi akhir dan data output merupakan lintasan (path) Yang mungkin di antara titik posisi awal dan posisi akhir. Adapun skema umum perencanaan lintasan sebagai berikut [9]:
Penandaan gerakan awal dan akhir dapat ditentukan dengan menggambarkan masingmasing putaran kea rah kanan atau kiri. Dengan memperhatikan masig-masing posisi, perputaran positif atau negatif akan didefinisikan dengan garis lengkung masing-masing gerakan. Parameter input dalam lintasan Dubins adalah sebagai berikut [5]: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Gambar 2.1 Skema umum path planning
Posisi awal pesawat Ps (xs, ys,) Posisi akhir pesawat Pf (xf, yf,) Penentuan jari-jari posisi awal Penentuan jari-jari posisi akhir Sudut hadap pesawat awal Sudut hadap pesawat awal
Adapun proses menghitung panjang lintasan dubins geometry sebagai berikut:
2.3 Metode Dubins 1. Menentukan parameter input yang diharapkan yaitu posisi awal dan akhir pesawat. 2. Menentukan koordinat titik pusat lingkaran awal Os ( xcs , ycs ) dan pusat lingkaran akhir Of ( xcf , ycf ) dengan :
Dubins adalah salah satu metode dalam merancang model lintasan yang merupakan jalur terpendek yang menghubungkan dua konfigurasi dalam pesawat di bawah kendala yang terikat pada kelengkungan lintasan. Garis merupakan jarak terpendek antara dua titik dan sebuah busur lingkaran yang merupakan pergantian kelengkungan terpendek. Dubins path planning dibentuk dengan rangkaian dua busur lingkaran dengan garis singgung atau dengan tiga garis tangensial busur lingkaran.
(
)=
,
,
=
± ±
( cos
± ±
2), 2 ,
± ±
( sin
± ±
2) 2
Jarak anatara pusat lingkaran Os dan Of dihubungkan dengan garis yang disebut dengan garis pusat c yang dapat di hitung dengan geometri Euclidean. 3. Menentukan posisi koordinat tangent entri ( , ) dan tangent exit ( , ). Tangen exit adalah titik
Dalam membangun model lintasan dubins ada dua pendekatan yaitu dengan geometri analitik dan differential geometri. Pada pendekatan geometri analitik lebih di fokuskan untuk bentuk
3
keluar dari lintasan bujur lingkaran dan awal dari lintasan garis. Sedangkan tangent entry adalah titik dari akhir lintasan garis dan awal dari busur lingkaran kedua yang akan dibentuk. Sebelum menentukan koordinat perlu dilakukan perhitungan sudut entry dan sudut exit . 4. Dari di atas dapat dihitung panjang lintasan Dubins sebagai berikut :
2.3.3 Eksistensi Lintasan Dubins Geometry Sebelum menghitung panjang lintasan, sangat penting untuk mengetahui lintasan yang mungkin untuk dilalui oleh pesawat. Ini akan menyimpan waktu dalam komputasi sistem. Eksistensi lintasan antara dua karakter lintasan Dubins ditentukan oleh adanya garis singgung antara busur. Garis singgung eksternal dan tangent exit menentukan keberadaan lintasan RSR dan LSL, sedangkan keberadaan lintasan RSL dan LSR ditentukan oleh Garis singgung internal. Tangen eksternal hilang ketika lingkaran utama sudah termasuk satu sama lain. Tangen internal hilang ketika lingkaran utama berpotongan satu sama lain. Kedua kondisi ditentukan oleh jarak pusat c dan jari-jari-balik dan . Namun pusat lingkaran utama ditetapkan oleh jari-jari dan kelengkungan. Oleh karena itu lintasan Dubins bergantug pada sebuah fungsi dari jari – jari sebagai berikut: Garis singgung luar : Garis singgung dalam:
4. PEMBAHASAN DAN IMPLEMENTASI 4.1 Analisis Model 4.1.1
Lintasan RSR (Right – Straight – Right) Lintasan RSR merupakan lintasan yang terbentuk karena pesawat berbelok ke arah kanan (se arah dengan jarum jam) dan membentuk busur lingkaran yang selanjutnya disebut dengan lingkaran pertama dan akan keluar melalui sebuah titik pada busur lingkaran. Selanjutya akan membentuk lintasan garis yang berujung pada sebuah titik pada busur lingkaran kedua yang terbentuk menuju posisi akhir pesawat dengan sudut hadap pesawat yang di inginkan. Sehingga lintasan yang terbentuk adalah lingkaran kanan– garis – lingkaran kanan (RSR). Adapun proses hitung lintasan RSR sebagai berikut:
Gambar 4.1 Contoh lintasan CLC 1.
3. METODOLOGI PENELITIAN Metode yang digunakan pada tugas akhir dalam menyelesaiakan permasalahan yang ada adalah 2. 1. 2. 3. 4.
Studi literatur. Analisa model perencanaan lintasan. Perancangan algoritma perencanaan lintasan. Implementasi model perencanaan lintasan pada perangkat lunak 4.1 Perancangan desain antarmuka sistem 4.2 Membuat program 4.3 Simulasi 4.4 evaluasi 5. Penarikan kesimpulan dan penulisan laporan.
3.
Menentukan posisi awal Ps dan posisi akhir pesawat Pf terhadap sumbu x dan y pada koordinat kartesius (x,y), sudut hadap pesawat θ, dan jari-jari mínimum lingkaran ρ yang akan dibentuk. Ps = [ xs , ys , θs , ] dan Pf = [ xf , yf , θf , ]. Menentukan pusat lingkaran yang akan di bentuk dengan batas jari-jari mínimum dengan berbelok ke arah kanan posisi pesawat (searah jarum jam) pada lingkaran awal dan lingkaran akhir dengan rumus sebagai berikut: Menghitung jarak pusat lingkaran dengan geometri Euclidean:
∥ 4.
5.
∥=
−
+
−
Menganalisa kondisi eksistensi lintasan Dubins yang berbentuk RSR dengan syarat batas : Jika | − | < dan | − | < Maka lintasan yang akan terbentuk tidak feasible.akan tetapi, jika syarat tersebut tidak terpenuhi maka lintasan feasible. Menentukan Sudut dari kemiringan garis yang dibentuk oleh jarak pusat lingkaran yang selanjutnya disebut dapat dihitung sebagai berikut :
9.
=
|
∅ =
+
,
,
LIntasan LSL ( Left – Straight – Left ) Proses hitung lintasan LSL hampir sama dengan proses lintasan RSR, namun yang membedakan adalah penentuan pusat lingkaran yang dibentuk yaitu:
| |
, ,
|
∅
=∅
+ +
∅
=∅
+ +
=( =(
+ +
− −
2 , 2 ,
− −
( − 2) ( − 2)
∅
=∅
− +
∅
=∅
− +
dan
Proses hitung panjang lintasan RSL sebagai berikut: 1. Menentukan pusat lingkaran yang akan di bentuk dengan batas jari – jari mínimum lingkaran dengan berbelok ke arah kanan posisi pesawat (searah jarum jam) dan arh belok ke kiri pada lingkaran kedua dengan rumus sebagai berikut: ,
+ sin(∅ )) + sin (∅ ))
,
2.
Selanjutnya menghitung panjang lintasan garis atau jarak titik tangen entry dan tangen exit dengan euclidean geometri ) −( ) | |= ( − − Kemudian menghitung panjang lintasan busur lingkaran awal dan lingkaran akhir =
− −
Selanjutnya perhitungan yang lain sama dengan perhitungan lintasan RSR. 4.1.3 Lintasan RSL (Right – Straight – Left)
dan
cos(∅ ) , cos(∅ ) ,
= =
Dan perhitungan sudut tangen entry ∅ dan sudut tangent exit ∅ yaitu:
Menentukan titik akhir dari busur lingkaran awal yang selanjutnya disebut dengan tangen exit sebelum membentuk lintasan garis dan titik akhir dari lintasan garis yang terbentuk sebelum membentuk lintasan busur lingkaran akhir yang selanjutnya disebut tangen entry. Namun sebelum menentukan titik maka harus ditentukan terlebih dulu sudut entry ∅ dan sudut exit ∅ dari sudut hadap pesawat ketika melalui titik tersebut.adapun perhitungannya sebagai berikut:
Sehingga dalam menentukan koordinat tangen entry dan tangen exit adalah:
8.
+
∗
4.1.2
Kemudian menentukan sudut yang dibentuk oleh garis c dan selisih jari – jari lingkaran
7.
∗
+
,
=
=
6.
2 −∅ 180° Untuk panjang busur lingkaran akhir : + 2 −∅ = ∗ ∗ , 180° .panjang lintasan total dapt dirumuskan sebagai berikut : =
,
∗
untuk panjang busur lingkaran awal:
5
= =
− −
cos cos
+ −
2 , 2 ,
− −
sin sin
+ 2 − 2
Menganalisa kondisi eksistensi lintasan Dubins yang berbentuk RSL dengan syarat batas: Jika | + |> Maka lintasan yang akan terbentuk tidak feasible. Akan tetapi, jika syarat tersebut tidak terpenuhi maka lintasan feasible. Dengan adanya syarat batas tersebut maka dipastikan jari-jari lingkaran awal dan akhir tidak beririsan.
3.
Kemudian menentukan sudut yang dibentuk oleh garis c dan selisih jari – jari lingkaran |
∅ =
|
|
|
∅ = ∅ − + dan ∅ = ∅ + + Untuk perhitungan yang lain sama seperti yang telah dijelaskan pada lintasan RSR. 4.1.4 LIntasan LSR (Left – Straight – Right) Proses hitung panjang lintasan RSL sebagai berikut: 1. Menentukan pusat lingkaran yang akan di bentuk dengan batas jari – jari mínimum lingkaran dengan berbelok ke arah kanan posisi pesawat (searah jarum jam) dan arh belok ke kiri pada lingkaran kedua dengan rumus sebagai berikut : = =
, ,
2.
3.
− −
− +
2 , 2 ,
− −
( − 2) ( + 2)
Menganalisa kondisi eksistensi lintasan Dubins yang berbentuk RSL dengan syarat batas: Jika | + |> Maka lintasan yang akan terbentuk tidak feasible.akan tetapi, jika syarat tersebut tidak terpenuhi maka lintasan feasible. Dengan adanya syarat batas tersebut maka dipastikan jari – jari lingkaran awal dan akhir tidak saling beririsan. Kemudian menentukan sudut yang dibentuk oleh garis c dan selisih jari – jari lingkaran |
∅ = ∅
=∅ −
|
+
Gambar 4.2 Algoritma perencanaan lintasan
Adapun rincian penjelasan flowchart dalam algoritma perencanaan lintasan Dubins geometry sebagai berikut: 1. Tahap pertama adalah menentukan peta area yang akan dilintasi oleh pesawat. 2. Inisialisasi input. Data masukan dari algoritma perencanaan lintasan ini adalah koordinat awal dan koordinat akhir posisi pesawat yang diinginkan terhadap sumbu absis dan ordinat, jari-jari lingkaran awal dan akhir, sudut hadap pesawat awal dan sudut pesawat akhir. 3. Selanjutnya dilakukan analisa model lintasan yang mungkin terbentuk untuk dilalui oleh pesawat (feasible path) dari input yang di inisialisasikan dengan kemugkinan lintasan LSL, RSR, LSR, RSL dan dihitung panjang lintasannya masing-masing. Panjang lintasan di hitung berdasarkan metode Dubins Geometry yaitu:
| |
dan ∅
=∅ +
+
Untuk perhitungan yang lain sama seperti yang telah dijelaskan pada lintasan RSR. 4.2 Algoritma perencanaan lintasan Langkah-langkah yang akan dilalui dalam proses perencanaan lintasan mulai dari awal hingga akhir tentang lintasan yang akan dilalui oleh pesawat udara tanpa awak (PUNA) digambarkan dalam sebuah algoritma. Sesuai dengan metode yang digunakan yaitu Dubins Geometry maka algoritma yang digunakan sebagai berikut:
= = =
+
,
∅
+
+ +
,
∅
,
4. Dari kemungkinan lintasan yang terbentuk, maka selanjutnya dilakukan perbandingan panjang lintasan yang mungkin dilewati .
6
5. Setelah melakukan perbandingan, maka dilakukan pemilihan terhadap ke empat lintasan dengan memilih lintasan yang memiliki panjang lintasan terpendek atau lintasan yang optimal. 6. Hasil perhitungan panjang lintasan optimal kemudian akan di plot kurva lintasan yang akan dilalui pesawat (flyable path) 7. Jika ingin menentukan jalan yang akan dilintasi lagi maka kembali ke langkah pertama. 8. Namun jika tidak ingin menentukan posisi baru maka proses dapat di akhiri atau berakhir. 4.4
Implementasi Perangkat Lunak
Percobaan pertama yaitu lintasan RSR dengan menginputkan parameter sebagai berikut: Posisi awal, dengan koordinat titik x = 4; titik y = 0, Sudut hadap pesawat = 0, dan Jarijari awal = 1. Posisi akhir, dengan koordinat titik x = 0, titik y = 0, sudut hadap pesawat = 30, dan jari-jari akhir = 1. Maka dilakukan perhitungan panjang lintasan dengan hasil Panjang lintasan RSR = 9.2621, panjang lintasan LSL = 11.3088, panajang lintasan RSL = 12.8811, dan panjang lintasan LSR = 15.4680. Karena panjang lintasan terpendek adalah lintasan RSR maka lintasan yang akan ditempuh adalah lintasan RSR dengan hasil plot kurva sebagai berikut: Simulasi lintasan pesawat 1
Perangkat keras
Perangkat lunak
Notebook Acer Aspire 4315 Intel Celeron Processor 560 (2,13 GHz) Memory 512 MB DDR2. Monitor 14,1” Wide Crystal Brite Harddisk 120 Gb Microsoft Windows Xp MATLAB 7.6 (R2008a)
Dari lingkungan pengujian tersebut, dapat dilihat bahwa uji coba hanya dapat dilakukan pada sistem operasi dimana bahasa pemrograman MATLAB telah terinstal di dalamnya, karena perangkat lunak yang dihasilkan dalam Tugas Akhir ini tidak dapat di-package (dipaketkan) menjadi sebuah perangkat lunak portable yang dapat di-instal di sebarang sistem operasi. 4.4.2 Simulasi dan Evaluasi Dalam simulasi ini akan dilakukan beberapa percobaan yang menggambarkan masing – masing bentuk lintasan dubins yaitu lintasan RSR, LSL, LSR, dan RSL.
0.5 0 Sumbu y
Setelah dilakukan analisa model rancangan lintasan yang akan dibuat dan proses perhitungan masing – masing bentuk lintasan dari kelompok lintasan Dubins dan algoritma telah dibangun maka dalam sub bab ini dibahas mengenai implementasi sistem yang di bangun dalam perangkat lunak dan bahasa pemrograaman MATLAB yang meliputi: 4.4.1 Lingkungan implementasi sistem Lingkungan implementasi model rancangan lintasan dalam perangkat lunak yang di bangun dalam tugas akhir ini meliputi perangkat lunak dan perangkat keras yang selanjutnya akan disajikan dalam tabel berikut:
-0.5 -1 -1.5 -2 -2.5 -3 0
1
2
3
Gambar 4.3 Sumbu Lintasan x RSR
4
Percobaan kedua yaitu lintasan LSL dengan menginputkan parameter sebagai berikut: Posisi awal, dengan koordinat titik x = 3; titik y = 3, Sudut hadap pesawat = 60, dan Jarijari awal = 1. Posisi akhir, dengan koordinat titik x = 0, titik y = 1, sudut hadap pesawat = 30, dan jari-jari akhir = 1. Maka setelah dilakukan perhitungan panjang lintasan di dapatkan hasil sebagai berikut : Panjang lintasan RSR = 10.9212, panjang lintasan LSL = 8.8592, panajang lintasan RSL = 12.4390, dan panjang lintasan LSR = 20.2170. Karena panjang lintasan terpendek adalah lintasan LSL maka lintasan yang akan ditempuh adalah lintasan LSL dengan hasil plot kurva dapat digambarkan:
Simulasi lintasan pesawat 4.5 4
Sumbu y
3.5 3 2.5 2 1.5 1 -1
0
1 Sumbu x
2
3
Percobaan keempat yaitu lintasan LSR dengan menginputkan parameter sebagai berikut : Posisi awal, dengan koordinat titik x = 5; titik y = 0, Sudut hadap pesawat = 90, dan Jarijari awal = 1. Posisi akhir, dengan koordinat titik x = 0, titik y = 0, sudut hadap pesawat = 30, dan jari-jari akhir = 1. Maka setelah dilakukan perhitungan panjang lintasan di dapatkan hasil sebagai berikut : Panjang lintasan RSR =12.8981, panjang lintasan LSL = 9.8186, panajang lintasan RSL = 15.5074, dan panjang lintasan LSR = 8.8499. Karena panjang lintasan terpendek adalah lintasan LSR maka lintasan yang akan ditempuh adalah lintasan LSR dengan hasil plot kurva sebagai berikut:
Gambar 4.4 Lintasan LSL Simulasi lintasan pesawat
Simulasi lintasan pesawat 0 -0.5 -1
Sumbu y
-1.5 -2 -2.5 -3 -3.5 -4 -4.5 0
1
2
3 Sumbu x
4
Gambar 4.6 Lintasan RSL
5
1.5 1 0.5 Sumbu y
Percobaan ketiga yaitu lintasan RSL dengan menginputkan parameter sebagai berikut : Posisi awal, dengan koordinat titik x = 0; titik y = 0, Sudut hadap pesawat = 0, dan Jarijari awal = 1. Posisi akhir, dengan koordinat titik x = 5, titik y = -3, sudut hadap pesawat = 135, dan jari-jari akhir = 1. Maka setelah dilakukan perhitungan panjang lintasan di dapatkan hasil sebagai berikut : Panjang lintasan RSR = 9.7787, panjang lintasan LSL = 15.0101, panajang lintasan RSL = 8.9560, dan panjang lintasan LSR = 21.6305. Karena panjang lintasan terpendek adalah lintasan RSL maka lintasan yang akan ditempuh adalah lintasan RSL dengan hasil plot kurva dapat digambarkan:
0 -0.5 -1 -1.5 -2 -2.5 0
1
2 Sumbu x
3
4
5
Gambar 4.5 Lintasan LSR Percobaan ke-lima dengan posisi awal koordinat titik x = 0, titik y = 0, Sudut hadap pesawat = 45, dan Jari-jari awal = 1. Posisi akhir, dengan koordinat titik x = -3, titik y = -3, sudut hadap pesawat = 45, dan jari-jari akhir = 1. Maka setelah dilakukan perhitungan panjang lintasan di dapatkan hasil Panjang lintasan RSR =10.5258, panjang lintasan LSL = 10.5258, panajang lintasan RSL = 12.2879, dan panjang lintasan LSR = 21.3302. Karena panjang lintasan terpendek adalah lintasan LSL dan lintasan RSR maka lintasan yang mungkin akan ditempuh adalah kedua lintasan tersebut namun jika dalam program maka yang akan di plot adalah yang fungsinya dipanggil pertama kali. Karena pada program yang di inisialisasikan pertama adalah fungsi lintasan RSR maka hasil plot kurva sebagai berikut:
Simulasi lintasan pesawat
Adapun implementasi perencanaan lintasan dalam sistem GUI dapat dibangun lebih dari satu lintasan dengan proses hitung yang sama seperti lintasan yang telah dijelaskan di atas. Namun pada implementasi ini parameter input dari posisi pesawat berdasarkan koordinat pixel dari peta area yang digunakan. Sehingga panjang lintasan yang dihasilkan memilki panjang dengan satuan pixel. Sebagai contoh:
0 -0.5 -1
S um bu y
-1.5 -2 -2.5 -3 -3.5 -4 -4.5 -3
-2
-1 0 Sumbu x
1
2
Gambar 4.7 Lintasan RSR / lintasan LSL Percobaan ke-enam. Percobaan ini menjelaskan ketika lintasan yang terbentuk adalah lintasan yang tidak feasible akan tetapi flyable. Jadi, walaupun lintasan yang terbentuk adalah lintasan dengan jarak terpendek namun lintasan ini tidak layak untuk dilalui pesawat karena tidak efisien dari segi waktu dan buntuk lintasan.sebagai contoh yaitu: Posisi awal, dengan koordinat titik x = 0; titik y = 0, Sudut hadap pesawat = 0, dan Jarijari awal = 1. Posisi akhir, dengan koordinat titik x = 0, titik y = 0, sudut hadap pesawat = 270, dan jari-jari akhir = 1. Berdasarkan hasil perhitungan maka panjang lintasan yang dihasilkan adalah panjang lintasan RSR = 9.2682, panjang lintasan LSL = 12.4098, panajang lintasan RSL = 6.8690, dan panjang lintasan LSR = 19.4353. Karena panjang lintasan terpendek yang dihasilkan adalah lintasan RSL namun lintasan tersebut tidak feasible dikarenakan tidak memenuhi syarat eksistensi dubins maka lintasan tersebut flyable namun tidak feasible. Adapun plot kurvanya sebagai berikut:
Simulasi pertama, misalkan diinginkan pesawat melintasi 5 buah lintasan pada enam buah titik untuk lintasan pertama = , dan jari-jari minimum = 100, posisi sudut hadap kedua = . Untuk lintasan kedua dengan sudut hadap = dan jari-jari minimum = 100, posisi sudut hadap = dan jari-jari minimum =100, lintasan ketiga posisi sudut hadap = dan sudut hadap akhir = dan jari – jari minimum = 100, posisi sudut hadap = = dan jari – jari minimum =100, dan untuk lintasan terakhir = dan sudut hadap akhir = .
Lint asan ke-
Posisi awal
Posisi akhir
xs
ys
xf
yf
1
699.692
563.455
143.587
201.149
RSR=1189.11 LSL=1395.12 RSL=1478.58 LSR= 1824.67
2
143.587
201.149
499.426
535.033
RSR=1084.73 LSL=1258.85 RSL=534.554 LSR=1985.87
3
499.426
535.033
801.813
331.124
RSR=660.264 LSL=1355.22 RSL=1262.17 LSR= 1715.54
4
801.813
331.124
138.768
501.645
RSR=1190.38 LSL=1449.14 RSL=938.891 LSR=1981.61
180.506
RSR=1783.23 LSL=613.154 RSL=1240.85 LSR=1408.86
Simulasi lintasan pesawat 0.8
Panjang LIntasan
0.6
Sumbu y
0.4 0.2
5
0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 0
0.5
1 Sumbu x
1.5
2
Gambar 4.8 Lintasan RSL tidak feasible
138.768
501.645
603.575
Berdasarkan hasil perhitungan panjang lintasan pada tabel diatas lintasan yang dihasilkan merupakan lintasan yang feasible dan flyable Adapun hasil ploting lintasan dalam sistem perhitungan dapat dilihat sebagai berikut :
3. Dubins Geometry juga dapat dikembangkan jika lintasan terdapat obstacle atau halangan.
DAFTAR PUSTAKA [1] [2]
[3] Gambar 4.9 Hasil Simulasi path planning 5. PENUTUP 5.1.Kesimpulan Dari analisis dan pembahasan yang telah dilakukan pada perencanaan lintasan menggunakan Dubins Geometry diperoleh kesimpulan bahwa : 1. Perencanaan lintasan dengan metode ini dapat dinamis untuk semua sudut di semua kuadran baik di titik awal maupun di titik akhir. 2. Lintasan Dubins lebih optimal terhadap waktu dan karena dapat mengeneralisasi kelengkungan lintasan. 3. Lintasan yang dihasilkan dari metode Dubins terlihat lebih halus, sehingga PUNA dapat mengikuti rencana lintasan sesuai keinginan user/pengguna.
[4] [5]
[6]
[7]
[8]
[9] Namun perencanaan lintasan menggunakan metode Dubins Geometry ini masih memiliki kekurangan yaitu, Walaupun Lintasan tidak feasible tetapi memiliki panjang lintasan terpendek maka akn tetap terplot sehingga PUNA dimungkinkan tidak dapat mengikuti lintasan tersebut. 5.2. Saran Saran yang diajukan dari Tugas Akhir ini untuk penelitian selanjutnya adalah : 1. Simulasi pada Tugas Akhir ini masih berupa dua dimensi. Bisa dikembangkan lagi dengan menambahnya menjadi tiga dimensi. 2. Perencaan lintasan Dubins Geometry dapat dikembangkan dengan menggunakan lebih dari satu puna sehingga menjadi cooperative PUNA yang direncanakan agar lintasan tidak bertabrakan
Chitsaz, H.,Lavalle, M., Time-optimal Paths for a Dubins airplane. Fahimi, F., 2008. Autonomous Robots : Modeling, Path Planning, and Control. Canada : Mechanical Engineering Department University of Alberta. Hota, S., Ghose, D., 2009, “A Modified Dubins Method for Optimal Path Planning of a Miniature Air Vehicle Converging to a Straight Line Path”, USA; American Control Conference Lavalle, S. M., 2010. Dubins Curve. Shanmugavel,M., 2007,”Path Planning of Multiple Autonomous Vehicles”, Cranfield University. Shkel, A.M., Lumelsky, V., 2001, “Classification of the Dubins set”,University of california Subchan, S., White, B A.,Tsourdos, A., Ashokaraj, I., Zbikowski, R.,2008,”Contaminant Cloud Boundary Monitoring Using Network of UAV Sensors. Subchan, S., White, B A.,Tsourdos, A., Zbikowski, R.,Shanmugavel, M., 2008, “ Dubins path planning of multiple UAVs for tracking contaminant could”, Cranfield University. Suryadhi, 2007, “Path planning system navigasi autonomos mobile robot menggunakan ant system algorithm”.Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.