NEWSLETTER NO. 02 JANUARI 2015 WWW.INFID.ORG
[email protected]
@infid_id
Infid Jakarta
PEREMPUAN DAN KETIMPANGAN DI DALAM SISTEM KETENAGAKERJAAN:
MERAIH ASA PEREMPUAN INDONESIA DI BIDANG EKONOMI
B
eberapa waktu yang lalu, Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla mengusulkan jam kerja perempuan dikurangi dua jam untuk memberi waktu perempuan mengasuh anak di rumah. Pernyataan ini mengesankan pemerintah tidak memahami masalah yang dialami perempuan di tempat kerja yaitu ketimpangan akibat masih rendahnya partisipasi
NO. 02 JANUARI 2015
perempuan bekerja dibandingkan laki-laki dan adanya diskriminasi yang dialami perempuan di tempat kerja. Di sisi lain, tahun ini merupakan tahun di mana berbagai forum dan lembaga internasional memberikan perhatian terhadap ketimpangan yang dialami perempuan khususnya di bidang ekonomi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang tahun ini sedang membahas 20 tahun
pelaksanaan Deklarasi Beijing, sebuah Deklarasi yang bertujuan mendorong kesetaraan perempuan di berbagai bidang, menyebutkan enam hal penting sebagai syarat mencapai kesetaraan perempuan dan laki-laki di bidang ekonomi meliputi 1) mempromosikan hakhak ekonomi dan kemandirian perempuan, termasuk akses terhadap pekerjaan, kondisi kerja yang layak dan penguasaan atas sumber daya
NEWSLETTER INFID
1
BERITA UTAMA
ekonomi, 2) menfasilitasi akses perempuan yang setara terhadap sumber daya, pekerjaan, pasar dan perdagangan, 3) menyediakan layanan usaha, pelatihan dan akses terhadap pasar, informasi dan tekhnologi terutama bagi perempuan berpendapatan menengah, 4) memperkuat kapasitas ekonomi perempuan dan jaringan usaha, 5) menghilangkan pemisahan jenis pekerjaan dan seluruh bentuk diskriminasi di dalam pekerjaan, dan 6) harmonisasi pekerjaan publik dengan tugas rumah tangga baik untuk perempuan maupun laki-laki. Pada saat yang sama, sebuah laporan global mengenai kesenjangan gender (The Global Gender Gap Report) yang diluncurkan di tahun 2014 menyebutkan Indonesia berada pada posisi 97 dari 142 negara. Khusus di bidang ekonomi dengan menggunakan tiga indikator yaitu 1) jumlah atau tingkat partisipasi perempuan di dunia kerja, 2) upah yang diterima perempuan dibanding laki-laki, dan 3) posisi perempuan di level manajemen dibanding laki-laki; Indonesia berada pada posisi 108. Posisi tersebut jauh dari negara-negara tetangga seperti Philipina dan Thailand. Lima negara tertinggi dengan kesenjangan paling rendah sesuai urutan yaitu Islandia, Finlandia, Norwegia, Swedia, dan Denmark. Sementara posisi terendah diduduki oleh Yaman, Pakistan, dan Republik Chad. Pertanyaannya adalah bagai mana gambaran situasi ketimpangan yang sebenarnya dialami perempuan di dalam sistem ke-
NO. 02 JANUARI 2015
tenagekerjaan di Indonesia? Apa yang menyebabkannya? Serta apa usulan kebijakan yang bisa diberikan kepada pengambil kebijakan untuk mengurangi ketimpangan yang ada?
Gambaran Ketimpangan Perempuan dalam Sistem Ketenagakerjaan Berdasarkan data Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), tingkat partisipasi perempuan bekerja-di luar rumah-di Indonesia mencapai 53,4% , jauh di bawah laki-laki yang mencapai 85% (OECD, 2014). Sementara mengacu pada data International Labour Organization (ILO), dalam sembilan tahun terakhir terdapat kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dengan persentasi ratarata pekerja perempuan sekitar 50an%, sementara laki-laki 80-an%
(ILO, 2013). OECD (2014) juga mencatat, angka pengangguran banyak dialami perempuan yang mencapai 6,3% dibandingkan laki-laki sebesar 5,5%. Selain masih rendahnya partisipasi perempuan di dunia kerja dibandingkan laki-laki, ketimpangan juga dialami perempuan dalam bentuk diskriminasi upah. Tabel di bawah ini adalah hasil kajian yang dilakukan ILO (2013) terhadap rata-rata upah yang diterima buruh perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan strata pendidikan yang sama. Data ini juga menunjukkan perempuan menerima upah lebih rendah dari pada laki-laki. Selain dua hal di atas, kesenjangan antara perempuan dengan laki-laki dapat ditemui di jenis pekerjaan dan posisi perempuan di level pengambil keputusan di sebuah perusahaan atau organisasi. Berbagai data juga menyebutkan
NEWSLETTER INFID
3
BERITA UTAMA
sebagian besar perempuan bekerja di sektor informal seperti menjadi buruh rumahan, buruh perkebunan dan pertanian, dan pekerja rumah tangga (PRT). ILO (2013) mencatat diperkirakan jumlah PRT di Indonesia mencapai 2,6 juta, belum ditambah buruh migran yang sebagian besar perempuan berjumlah sekitar 4,5 juta (Migrant Care, 2014). Belum lagi kondisi yang buruk dialami buruh perempuan di sektor informal. Seperti hasil kajian Sawit Watch (2014) yang menyebutkan rata-rata buruh informal bekerja dalam kondisi yang tidak layak. Sebagian besar perempuan yang bekerja di perkebunan, bekerja sebagai buruh harian lepas yang tidak memiliki kontrak kerja
4
NEWSLETTER INFID
dan menerima upah lebih kecil dibandingkan buruh tetap. Buruh perempuan di perkebunan bekerja dengan resiko tinggi seperti membabat pohon namun tidak memiliki perlindungan yang memadai. Selain itu, para perempuan tersebut juga tidak menerima perlindungan sosial sebagaimana yang diterima buruh formal. Bahkan Sawit Watch juga menemukan perempuan buruh perkebunan rentan mendapatkan pelecehan dari mandor kebun. Senada dengan temuan Sawit Watch, ILO juga menyebutkan kondisi buruh informal kondisi kerjanya lebih sulit. Contohnya PRT yang sekitar 70% bekerja dengan jam kerja berlebihan dengan upah yang rendah (30% PRT menerima upah kurang dari Rp 300.000 per bulan).
Terakhir posisi perempuan di tingkat pengambilan keputusan di sebuah perusahaan atau organisasi ekonomi masih jauh dibandingkan dengan laki-laki. Hingga saat ini belum ada data pasti berapa persen jumah perempuan yang duduk di level pengambil kebijakan di sebuah perusahaan. Namun secara umum bisa dikatakan perempuan masih jauh tertinggal untuk mengambil peran sebagai pemimpin di sebuah perusahaan.
Menggali Sebab Ketimpangan Kondisi di atas menegaskan bahwa perempuan menghadapi berbagai diskriminasi yang terjadi karena berbagai sebab, mulai dari kontruksi sosial budaya, struktur
NO. 02 JANUARI 2015
ekonomi, hingga akibat kebijakan negara. Ke semua itu saling berkelindan sehingga menempatkan perempuan dalam kondisi yang dirugikan. Kontruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai ibu rumah tangga dan laki-laki sebagai kepala rumah tangga, menjadikan tanggung jawab pengasuhan anak dan penyelesaian pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan, sementara laki-laki bekerja di luar rumah. Hal ini kemudian dilegalkan di dalam UU Perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 31 ayat 3 yang berbunyi “Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga”. Baik konstruksi sosial maupun UU Perkawinan menyebabkan perem-
NO. 02 JANUARI 2015
puan memiliki hambatan sosial untuk ikut ambil bagian di sektor publik. Di sisi lain, kontruksi sosial kemudian tidak dipecahkan oleh negara melalui kebijakan sosial yang tepat. Negara menempatkan tanggung jawab pengasuhan anak sebagai urusan privat bukan sebagai urusan publik dan negara mengabaikan perannya dalam tanggung jawab pengasuhan anak. Kebijakan upah yang diserahkan kepada pasar juga berkontribusi terhadap diskriminasi yang diterima perempuan. Mekanisme penetapan upah oleh Dewan Pengupahan di masing-masing daerah yang terdiri atas perwakilan buruh, perwakilan pengusaha dan perwakilan pemerintah sangat bergantung pada negosiasi tiga pihak
tersebut. Akibatnya hampir setiap tahun terjadi negosiasi baru untuk menetapkan upah dan berbedabeda hasilnya antara satu daerah dengan daerah yang lain. Menurut Dina Ardiyanti dari ISEALS (Institute for Social Economy and Labour Studies), “kenaikan upah juga bergantung dengan seberapa kuat organisasi buruh yang ada di daerah tersebut. Semakin kuat organisasi buruhnya, maka peluang untuk mendapatkan upah yang layak akan terwujud dibandingkan dengan daerah yang organisasi buruhnya masih lemah. Selain itu, sistem ini juga menyebabkan energi organisasi buruh terkuras habis hanya untuk menentukan standar upah layak”. Demikian halnya semakin kuat perspektif
NEWSLETTER INFID
5
BERITA UTAMA
organisasi buruh terhadap hak-hak buruh perempuan, maka peluang untuk menghilangkan diskriminasi terhadap buruh perempuan makin kecil. Sementara semakin lemah perspektif hak-hak perempuan di sebuah organisasi buruh, maka peluang adanya diskriminasi makin tinggi. Menurut Thomas Piketty, upah merupakan bagian dari kebijakan politik. Jika negara mampu mengatur upah minimum yang layak dan juga memberi batasan antara upah minimum dengan upah tertinggi dengan skala tertentu, maka ketimpangan bisa dikurangi. Sementara jika negara membiarkan upah diserahkan pada pasar, ketimpangan berpotensi semakin melebar. Sebab lainnya terkait dengan struktur ekonomi adalah corak produksi yang berorientasi pada keuntungan dibandingkan kesejahteraan dan kualitas sumber daya manusia. Aruna Rao Dkk. menguraikan sejarah menunjukkan pekerjaan dan kehidupan sepenuhnya terintegrasi. Ketika seluruh pekerjaan dilakukan dengan model kelompok atau koperasi, perempuan dan laki-laki terlibat di seluruh proses mulai dari tanam, panen, jual hingga menghadiri berbagai kelompok sosial di masyarakat. Namun seiring dengan adanya Revolusi Industri dimana proses produksi berpindah ke pabrikpabrik, terjadilah pemisahan kerja dari keluarga, rumah bahkan komunitas. Lingkungan kerja menjadi dominasi laki-laki dan perempuan bertanggung jawab mengurus kesehatan serta produktifitas laki-laki
6
NEWSLETTER INFID
di tempat kerja dengan memasak, membersihkan rumah, mengasuh anak dan berbagai pekerjaan lainnya yang tidak dinilai-alias tidak layak mendapatkan upah. Semakin pabrik berorientasi kepada keuntungan dan hukum kompetisi, semakin berorientasi menggunakan tenaga buruh terutama laki-laki untuk mempercepat proses produksi. Kalaupun perempuan hadir di dalam proses produksi, sebagian besar perempuan bekerja di sektor-sektor yang dianggap ‘pekerjaan perempuan’ itupun dengan upah di bawah laki-laki. Jika model ekonomi ini ditarik lebih jauh, semakin negara mengejar pertumbuhan dengan mengutamakan investasi dibandingkan penciptaan lapangan kerja, semakin perempuan akan terpinggirkan. Karena semakin terbatasnya lapangan kerja yang tersedia, semakin mengurangi kesempatan perempuan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Menurut Awan Santosa, lima negara teratas yang kesenjangan perempuannya di bidang ekonomi paling rendah adalah negara-negara yang mengembangkan sistem ekonomi koperasi. Lima negara tersebut meliputi Islandia, Finlandia, Norwegia, Swedia, dan Denmark. Sistem yang tidak hanya bertumpu pada akumulasi keuntungan, namun juga sistem ekonomi yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial. Sistem ekonomi inipun telah sesuai dengan konstitusi Republik Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan perekonomian disusun
bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Selain model ekonomi, hal penting lainnya adalah pembangunan manusia.
Usulan Kebijakan Kondisi yang dialami perempuan di bidang ekonomi terutama di dunia kerja menggambarkan ketimpangan yang dalam. Hal ini bisa dilihat mulai dari rendahnya partisipasi perempuan bekerja di luar rumah, adanya diskriminasi upah, pembagian kerja yang diskriminatif terhadap perempuan, hingga minimnya perempuan duduk di pengambil kebijakan. Kesemua ini terjadi akibat berbagai hal mulai dari konstruksi sosial yang bias gender diperkuat dengan struktur
NO. 02 JANUARI 2015
ekonomi yang tidak mendukung perempuan, dan kebijakan upah yang tidak berpihak terhadap pe rempuan. Kenyataan tersebut juga mene gaskan Indonesia masih jauh dari cita-cita yang tertera di Deklarasi Beijing termasuk komitmen bersama di G20. Indonesia memiliki pekerjaan rumah yang tidak sedikit untuk memecahkan masalah ini. Oleh karena itu, penulis meng usulkan berbagai kebijakan sebagai solusi mengatasi ketimpangan yang meliputi: 1. Kebijakan sosial yang tepat yang dapat mengurangi beban ganda perempuan. Selain memastikan program-program sosial yang selama ini sudah
NO. 02 JANUARI 2015
berjalan bisa efektif dan menjangkau masyarakat yang benar-benar membutuhkan, negara seyogyanya juga menyediakan fasilitas penitipan anak dan lansia yang layak dan terjangkau bagi masyarakat terutama masyarakat miskin, dan pemberian insentif berupa upah bagi setiap orang baik perempuan dan laki-laki yang memilih melakukan pekerjaan rumah tangga. Termasuk amandemen UU Perkawinan yang mengakui perempuan sebagai kepala rumah tangga. 2. Pentingya negara mengakui buruh di sektor informal dengan memastikan UU ketenagakerjaan melindungi bukan
saja buruh formal namun juga buruh informal. Oleh karena itu, buruh di sektor informal juga mendapatkan upah yang sama yang diterima buruh formal dan perlindungan sosial setara dengan yang diterima buruh formal 3. Perlunya kebijakan upah nasional yang memberikan kepastian baik dari situasi yang tidak menentu seperti inflasi, menghapus segala bentuk diskriminasi, dan membuat batasa upah minimum dengan upah maksimum. Negara bisa menggunakan kajian hidup layak di masing-masing daerah digabungkan dengan perkiraan inflasi setiap tahun yang akan digunakan sebagai dasar penetapan upah, sehingga tidak perlu lagi upah ditentukan setiap tahun. Jika kebijakan ini diterapkan, energi organisasi buruh tidak terserap untuk negosiasi upah setiap tahun dan organisasi buruh memiliki waktu untuk melakukan pengembangan organisasi dan anggota. Selain itu, kebijakan ini juga mengurangi ketimpangan yang sangat tinggi antara buruh yang mendapatkan upah minimum dengan buruh yang menerima upah tinggi. 4. Negara hendaknya menjalankan amanat konstitusi yaitu menerapkan ekonomi yang berasas kekeluargaan. Kebijakan ini disertai dengan kepastian penciptaan lapangan kerja yang layak bagi semua terutama bagi perempuan. n
NEWSLETTER INFID
7
ANALISIS UTAMA
SISI KELAM PERTUMBUHAN EKONOMI BAGI KEHIDUPAN PEREMPUAN
P
emerintah telah mengesahkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Di dalamnya ada empat program unggulan yaitu kedaulatan pangan, energi, infrastruktur, dan kemaritiman. Selain itu, RPJMN 20152019 menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu indikator kemajuan ekonomi, pemerintah juga menargetkan perekonomian akan tumbuh mencapai 8% di tahun 2019. Tidak hanya Indonesia dan negara- negara lainnya, para ekonom juga ada yang menggunakan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator kemajuan perekonomian. Meskipun begitu, konsep yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi telah mendapat banyak kritik terutama dari para ekonom dan sosiolog. Joseph E. Stiglitz dan Amartya Sen di dalam bukunya berjudul Mis-Measuring Our Lives (2010) mengkritik indikator tersebut. Menurut mereka rata-rata penda-
8
NEWSLETTER INFID
patan, konsumsi dan kekayaan sangat berarti secara statistik. Namun tiga hal tersebut tidak cukup menggambarkan seluruh cerita mengenai standar hidup. Contohnya, bertambahnya pendapatan tidak setara dengan pembagian di kelompok yang mengabaikan kondisi satu keluarga dengan keluarga lainnya karena angka-angka tersebut hanya menggambarkan kondisi seluruhnya. Oleh karena itu, ukuran pendapatan, konsumsi dan kekayaan harus ditambahkan dengan indikator yang menggambarkan distribusinya (Stiglitz dkk; 2010). Kritik tersebut lahir karena kenyataannya pertumbuhan ekonomi tidak serta merta menjawab kebahagiaan, keberlanjutan lingkungan dan kohesi sosial. Bahkan pertumbuhan ekonomi yang berbasis Produk Domestik Bruto (PDB) melahirkan krisis keuangan dan ekonomi yang menyebabkan hilangnya lapangan kerja ribuan orang bahkan jutaan orang di berbagai belahan dunia. Pertumbuhan ekonomi bi-
asanya diukur dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang merupakan output dari kegiatan ekonomi. PDB biasanya berupa angka yang mengukur seluruh proses produksi dan jasa yang dilakukan oleh masyarakat, negara dan pelaku usaha. PDB dihitung dengan menambahkan total pengeluaran
NO. 02 JANUARI 2015
tangga (5,3%), konsumsi pemerintah (4,9%) dan ekspor impor. Sumber utama ekspor nonmigas terdiri atas batubara, minyak kelapa sawit, karet, produk tekstil, serta produk lainnya. Berdasarkan sektornya, pertumbuhan tertinggi disumbang sektor pengangkutan dan komunikasi, diikuti dengan sektor keuangan dan jasa. Sementara sektor yang menyerap angkatan kerja cukup besar sekitar 32% dari total angkatan kerja yaitu pertanian, hanya tumbuh 3,5%. Data di atas menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak serta merta menciptakan lapangan kerja yang layak bagi seluruh masyarakat. Pertumbuhan ekonomi berkisar di sektor-sektor yang minim penyerapan tenaga kerjanya seperti sektor keuangan. Selain itu, pertumbuhan ekonomi berpusat di sektor-sektor yang sebagian besar pengelolaannya dikuasai korporasi seperti perkebunan dan tambang.
Perempuan sebagai penopang pertumbuhan ekonomi
masyarakat, pemerintah, pelaku usaha dan total impor dalam kurun waktu tertentu. Biasanya PDB digunakan untuk menilai kesehatan ekonomi sebuah negara. Jika dalam kurun waktu tertentu PDB bertambah, maka dikatakan ekonomi tumbuh.
NO. 02 JANUARI 2015
Sumber pertumbuhan ekonomi Jika kita menengok bagaimana pertumbuhan ekonomi dihasilkan, mari kita lihat data dari Bank Indonesia berikut di mana pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2013 digerakkan oleh berbagai sektor terutama konsumsi rumah
Dengan alasan menekan biaya produksi, perusahaan menggunakan tenaga perempuan untuk jenis pekerjaan yang padat karya dibandingkan padat modal dan padat teknologi. Hal ini pulalah yang digunakan alasan perusahaan untuk memberikan upah yang lebih rendah kepada perempuan dibandingkan kepada laki-laki. Kondisi ini bisa dilihat dari penelitian yang dilakukan Women Research Insti-
NEWSLETTER INFID
9
ANALISA UTAMA
tute (WRI) berjudul Balada Buruh Perempuan yang menggambarkan kondisi buruh perempuan dengan upah yang rendah dengan kondisi kerja yang tidak layak (Mudayat dkk, 2008). Domestifikasi pekerjaan juga dilakukan perusahaan. Perusahaan memanfaatkan struktur sosial yang patriarki dengan sistem kerja borongan yang dilakukan di rumah buruh. Praktik ini banyak terjadi di pabrik-pabrik sepatu di mana perusahaan memperkerjakan buruh perempuan di rumah dengan model upah borongan. Hal ini memberi alasan perusahaan untuk tidak melakukan kontrak langsung antara perusahaan dengan buruh yang menyebabkan hilangnya tanggung jawab perusahaan untuk menjalankan kewajibannya. Perusahaan hanya memberi upah berdasarkan produksi yang dihasilkan buruh. Pengabaian sektor pertanian juga menjadikan perempuan sulit hidupnya. Perempuan hanya dihadapkan pada realitas bekerja di
10 NEWSLETTER INFID
luar sebagai buruh rumah tangga, buruh migran atau tetap tinggal di desa yang minim lahan pertanian untuk menjadi buruh pertanian. Dua sistem ini tidak memiliki perlindungan sosial yang memadai. Sudah banyak cerita buruh migran mendapatkan perlakuan yang buruk dari majikannya, juga tidak adanya sistem yang dapat melindungi hak-hak sosial buruh-buruh di sektor pertanian. Sampai saat ini, belum ada aturan yang mengatur hak-hak sosial buruh di sektor informal seperti sektor pertanian, rumah tangga, dan pekerja rumahan. Sektor-sektor yang selama ini menjadi andalan Indonesia dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi seperti perkebunan, malah meniadakan pemenuhan hak-hak sosial ekonomi yang layak bagi pekerjanya terutama buruh perempuan. Mereka para perempuan yang menopang terus tumbuhnya sektor perkebunan, namun kondisi ekonomi dan sosialnya terus diabaikan.
Kesimpulan Dari gambaran tersebut bisa dilihat, banyak perempuan yang mendapatkan hambatan menopang pertumbuhan ekonomi. Hambatan tersebut berasal dari berbagai lini seperti kebijakan pemerintah, dari dalam perusahaannya sendiri. Padahal peranan perempuan dalam pertumbuhan perekonomian amatlah nyata adanya. Namun pada kenyataannya, bukan perempuan yang menikmatinya. Pertumbuhan ekonomi tidak memberikan keuntungan bagi perempuan, malah memanfaatkan struktur sosial yang patriarki untuk mendapatkan untung dari perempuan. Oleh karena itu, diperlukan perubahan mendasar dalam menerjemahkan kemajuan ekonomi. Karena seharusnya kemajuan ekonomi adalah kemajuan perempuan di segala bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik.
n
NO. 02 JANUARI 2015
ANALISA UTAMA
G20 DAN PERAN INDONESIA Oleh: Siti Khoirun Ni’mah Program Officer INFID untuk Penurunan Kemiskinan dan Ketimpangan
G
20 dibentuk di tahun 1999, setelah krisis keuangan dan ekonomi melanda Asia termasuk Indonesia. Tujuannya untuk mencegah terjadinya krisis keuangan dan ekonomi dikemudian hari. Sejak tahun 2008, G20
NO. 02 JANUARI 2015
berubah dari forum tingkat Menteri dan Gubernur Bank Sentral menjadi forum tingkat tinggi yang pertemuan puncaknya selalu dihadiri kepala negara dari 20 anggota. Perubahan ini terjadi sejak Presiden George W. Bush mengundang 20 negara anggota G20 untuk bersama-sama mencari cara mengatasi krisis keuangan yang saat itu tengah melanda Amerika Serikat. Perubahan ini juga menandai pergeseran kekuatan ekonomi dan politik global dari G8 menjadi G20.
Sebagai Ketua G20 tahun ini, Australia telah menetapkan pertumbuhan yang kuat sebagai agenda prioritas melalui meningkatnya peran sektor swasta khususnya untuk pembangunan infrastruktur dan penciptaan lapangan kerja, serta membangun ketahanan ekonomi global. Kehadiran G20 memang masih menimbukan keraguan akan efektivitasnya dalam memecahkan masalah keuangan dan ekonomi global. Pun demikian dengan legiti-
NEWSLETTER INFID 11
ANALISIS UTAMA
masinya sebagai forum kerjasama ekonomi utama dunia (The Premier Forum for International Economic Cooperation) yang hanya beranggotakan 20 negara dibandingkan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan keanggota lebih dari 180 negara. Namun di tengah kondisi keuangan dan ekonomi global yang tidak menentu, kehadiran Presiden Jokowi di G20 relevan dengan kepentingan nasional yaitu memperkuat peran Indonesia dalam kerjasama global dan regional seperti yang tertuang di sembilan prioritas Pemerintahan Jokowi-JK (Nawacita). Termasuk meningkatkan kerjasama pembangunan Selatan-Selatan dengan mendukung agenda negara-negara miskin dan berkembang di G20. Relevansi tersebut bisa diihat dari empat agenda yang bisa dimaksimalkan Indonesia di G20. Pertama, berperan aktif mendorong implementasi agenda pembangunan. Pada tahun 2010, Korea Selatan yang menjadi Ketua G20 memasukkan agenda pembangunan sebagai salah satu agenda di G20. Agenda pembangunan dirasa penting untuk memastikan sistem keuangan dan ekonomi global memberi manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Apalagi saat ini Indonesia menghadapi tantangan yang tidak ringan dengan tingginya ketimpangan pendapatan antara yang miskin dan kaya. Terjadi percepatan ketimpangan dalam beberapa dekade terakhir, rasio gini di tahun 1990 sebesar 0,33 menjadi 0,41 di tahun 2013. Sebuah angka tertinggi
12 NEWSLETTER INFID
dalam sejarah Indonesia. Melalui komitmen bersama, Indonesia bisa mendesak G20 untuk memiliki komitmen pembangunan seperti melindungi petani-petani kecil atau petani pemilik lahan kurang dari dua hektar dari permainan spekulasi pangan global, pembiayaan pembangunan infrastruktur dasar terutama sanitasi bagi daerah-daerah terpencil yang selama ini tertinggal dari pembangunan, juga memastikan pembiayaan jangka panjang bagi pelaku ekonomi mikro dan kecil terutama ekonomi yang digerakkan perempuan. Kedua, mengatasi praktik pelarian uang (illicit financial flows) dengan memperkuat kerjasama perpajakan global. Berdasarkan studi Global Financial Integrity (GFI, 2013), diperkirakan pelarian uang dari negara-negara berkembang sebanyak US$946,7 miliar terjadi di tahun 2011. Total uang keluar dari 2002 hingga 2011 mencapai US$5,9 triliun. Indonesia berada pada posisi tujuh dari 15 negara berkembang yang mengalami kerugian paling besar akibat praktik tersebut. Tercatat total pelarian uang keluar dari Indonesia selama 2002 hingga 2011 mencapai US$ 181,827 juta. Salah satu modus pelarian uang adalah penghindaran pajak (tax avoidance) dan pelarian pajak (tax evasion). Guna mendorong agar tidak terjadi terutama bagi negara-negara miskin dan berkembang, masyarakat sipil global menegaskan pentingnya kerjasama untuk meneningkatkan transparansi di semua sektor untuk mengatasi penghindaran dan
pelarian pajak melalui laporan per negara mengenai jumlah pekerja, untung dan rugi, pajak keuntungan, aset dan insentif yang diterima. Sektor minyak, gas, dan tambang harus membuka informasi pembayaran yang dilakukan ke pemerintah ke publik berdasarkan proyek per proyek (Komunike C20, 2014). Peran aktif Indonesia dalam hal ini dapat memperkuat kapasitas fiskal Indonesia juga negara-negara miskin dan berkembang lainnya. Ketiga, memastikan terjadinya reformasi lembaga keuangan internasional. Hingga saat ini upaya mereformasi lembaga keuangan
NO. 02 JANUARI 2015
internasional yaitu International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia masih terkendala. Meskipun berbagai pihak mengakui reformasi lembaga keuangan penting dilakukan mengingat kedua lembaga ini telah gagal dalam mencegah terjadinya krisis keuangan di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Namun pertemuan tahun ini masih dibayangi keraguan akan adanya komitmen negara-negara maju untuk melakukan reformasi lembaga-lembaga keuangan internasional. Padahal, pertemuan G20 sebelumnya yang berlangsung di Washington tahun 2008 telah memandatkan reformasi
NO. 02 JANUARI 2015
kedua lembaga keuangan tersebut. Bahkan G20 Summit di Seoul tahun 2010 telah menyetujui 6% kuota diberikan dari anggota yang melebihi kuota yaitu negara-negara maju terutama Uni Eropa dan Amerika Serikat ke negara-negara yang kurang representasi yaitu negara-negara miskin dan berkembang. Oleh karena itu, Indonesia diharapkan aktif berperan untuk memastikan perbaikan di dalam tata kelola IMF dan Bank Dunia, memastikan adanya transparansi dalam pemilihan Dewan Direktur, dan juga memastikan lembaga keuangan internasional berperan
dalam menata sistem keuangan global dalam mendukung penguatan ekonomi riil. Keempat, mendorong komitmen negara-negara maju dalam menyukseskan putaran perundingan perubahan iklim. Tahun ini masyarakat sipil sangat menyayangkan Pemerintah Australia yang tidak memberikan perhatian terhadap perubahan iklim. Agenda perubahan iklim yang sempat dibahas di G20 Summit sebelumnya seperti G20 Summit di Los Cabos tahun 2012, sama sekali tidak muncul di dalam agenda. Padahal berbagai perundingan perubahan iklim mengalami kebuntuhan akibat sikap keras kepala negara-negara penghasil emisi terbesar. Oleh karena itu peran aktif Indonesia diharapkan dapat mendorong pertemuan tahun ini menghasilkan a climate finance roadmap pada bulan April 2015 sebagai momentum menuju perundingan perubahan iklim yang akan berlangsung di Paris tahun 2015. Peran aktif Indonesia di empat agenda tersebut tentunya akan mendukung agenda pembangunan nasional, sekaligus memperkuat peran aktif Indonesia di tingkat global terutama dalam mendukung kemajuan negara-negara miskin dan berkembangn seperti yang dicita-citakan di dalam Nawacita. Selain itu, kehadiran Presiden Jokowi juga dapat dimanfaatkan untuk memperkuat hubungan bilateral dengan negara-negara anggota G20. Maka, sangat disayangkan jika Presiden Jokowi tidak hadir di pertemuan G20 mendatang. n
NEWSLETTER INFID 13
MEDIA RELEASE
FORUM MASYARAKAT SIPIL INDONESIA UNTUK KEBIJAKAN GLOBAL MERESPOND PERTEMUAN G20 “Pertumbuhan Ekonomi Tidak Menjawab Semua Masalah Sosial, Ekonomi dan Lingkungan”
D
alam dua pertemuan internasional yaitu APEC dan ASEAN di Brisbane, Australia Presiden Jokowi memaparkan visi poros maritim. Apabila dilihat dari agenda dan juga visi yang dibawa Jokowi, pertemuan G20 sepertinya dapat memberikan solusi pembiayaan infrastruktur yang selama
14 NEWSLETTER INFID
ini menjadi kendala pembangunan infrastruktur di dalam negeri. Namun menurut Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Kebijakan Luar negeri (ICFP) hasil tersebut tidak cukup terutama dalam memecahkan masalah ekonomi Indonesia. Bahkan bisa jadi hanya akan menambah masalah di dalam negeri. Menurut
Siti Khoirun Ni’mah, Program Officer INFID “selama ini ekonomi dunia terlalu bertumpu pada pertumbuhan, sementara hasilnya ketimpangan ekonomi kian tinggi. Demikian halnya kondisi di dalam negeri di mana terjadi percepatan ketimpangan selama sepuluh tahun terakhir yang tahun 2013 angka rasio gini mencapai 0,41. Sebuah
NO. 02 JANUARI 2015
angka tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Ini menunjukkan, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir orang saja bukan untuk semua. Oleh karena itu, diharapkan Presiden Jokowi memberikan perhatian terkait dengan masalah tersebut bukan hanya sekedar membangun infrastruktur tetapi mendorong sistem ekonomi yang sanggup mengurangi ketimpangan dengan memberi kesempatan yang lebih besar masyarakat ekonomi lemah”. Pertumbuhan ekonomi dunia juga ditopang komodifikasi buruh murah dengan mengorbankan buruh migran. Komodifikasi buruh migran telah memberi sumbangkan yang tidak sedikit bagi pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain, buruh migran tidak mendapatkan perlindungan yang cukup dan dibebani biaya remitansi yang sangat tinggi. Pertumbuhan juga mengorbankan lingkungan dengan bertumpu pada ekstraktif industri. Atas nama pertumbuhan ekonomi, lingkungan dikorbankan. Eksploitasi sumber daya alam terjadi dimana-mana yang menyebabkan bencana lingkungan karena perubahan iklim. Sementara tahun ini, G20 tidak memasukkan agenda perubahan iklim di dalam proses perundingan. Irhas Ahmady dari WALHI menyesalkan pertemuan G20 tahun ini tidak membahas perubahan iklim.“Padahal salah satu sebab kegagalan perundingan perubahan iklim karena sikap keras kepala negara-negara maju yang tidak mau mengurangi
NO. 02 JANUARI 2015
emisinya. Seharusnya G20 menyusun peta jalan menuju perundingan perubahan iklim yang akan berlangsung di Paris tahun 2015. Namun ini tidak dilakukan”. Sementara itu, Maryati Abdullah, Koordinator Publish What You Pay Indonesia menyerukan agar negara-negara G20 melaksanakan praktek tata kelola yang transparan dan bersih dari korupsi dalam pelaksanaan pembangunan ekonominya. Sebagai negara ASEAN pertama yang telah meraih status “compliant” dalam EITI (Extractive Industries Transparency Initiative), Pemerintah Indonesia diharapkan dapat menyerukan transparansi di sektor penerimaan dan pembayaran pajak di sektor migas, mineral dan batubara. Bukan saja di negara-negara dimana sumberdaya tersebut berada (host country). Namun juga di negara asal dari perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi. Transparansi pajak dan pembayaran sektor migas dan tambang dianggap penting, terlebih ditengarai adanya praktik ekspor ilegal, terutama pada komoditas batubara serta mineral pertambangan dari wilayah Indonesia ke negara-negara tujuan di luar negeri. Sehingga, diplomasi maritim dan infrastruktur yang akan dilancarkan Indonesia seharusnya juga mampu mengatasi problem pengapalan ilegal bahanbahan mineral dan tambang yang terjadi melalui pelabuhan-pelabuhan tikus, maupun melalui dokumen pengapalan yang tidak benar. Pemerintah juga seharusnya
menyuarakan kepentingan perdagangan dari negara-negara miskin dan berkembang. Sekaligus memastikan adanya perlindungan yang cukup bagi pelaku ekonomi kecil seperti nelayan. Bukan hanya mendorong perdagangan bebas tanpa memperhatikan kerugian yang diderita. “Pemerintah harus memperhatikan usulan dari Ibu Susi, Menteri Perikanan dan Kelautan. Sebab selama ini Indonesia dirugikan dari sistem perdagangan yang tidak adil. Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah mempertimbangkan usulan Ibu Susi untuk keluar dari G20” Rachmi Hertanti, Indonesia for Global Justice (IGJ). Ini merupakan kesempatan bagi Presiden Jokowi untuk memberikan arah baru bagi tata ekonomi global dengan tidak hanya mengikuti agenda-agenda negaranegara maju. Namun memiliki posisi yang jelas yaitu menyuarakan kepentingan negara-negara miskin dan berkembang. Jika hal tersebut tidak dimungkinkan maka sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan untuk keluar dari G20.
Jakarta, 15 November 2014 Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Kebijakan Luar Negeri (Indonesia Civil Society Forum on Foreign Policy/ICFP): INFID, IGJ, WALHI, PWYP, WVI, PATTIRO, Migrant CARE, ASPPUK, Koalisi Perempuan Indonesia, Bina Desa, KPA, TII, YAPPIKA, IHCS.
NEWSLETTER INFID 15
ANALISIS UTAMA
KONFERENSI INFID 2014
“RE-DEMOKRATISASI EKONOMI, SOSIAL DAN POLITIK UNTUK PEMBANGUNAN YANG INKLUSIF”
K
onferensi ini diselenggarakan di Jakarta selama dua hari pada tanggal 1415 Oktober 2014 dengan dihadiri oleh organisasi masyarakat sipil, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta perguruan tinggi. Agenda Konferensi ini terbagi menjadi dua tahapan yaitu pembukaan dan paparan kunci, tahapan pleno yang mendiskusikan Perempuan dan Pemban-
16 NEWSLETTER INFID
gunan serta Mengatasi Diskriminasi dan Intoleransi menuju Indonesia yang Berbhineka dan Bersatu yang kemudian terbagi menjadi enam sub-topik. Konferensi INFID 2014 dihadiri oleh 45 anggota INFID mewakili organisasinya masing-masing, tujuh orang anggota Board, dan 83 orang jaringan INFID dari berbagai organisasi. Dalam konferensi ini juga hadir tiga orang pembicara
kunci dalam pembukaan konferensi, 33 orang narasumber dari berbagai bidang dan delapan orang moderator yang memimpin tiap sesi. Konferensi ini diharapkan dapat memberi usulan dan pijakan untuk pembaruan demokrasi sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia, bagi terwujudnya pembangunan yang inklusif. Secara umum, Konferensi ini bertujuan untuk: • Mengkaji dan membahas ur-
NO. 02 JANUARI 2015
•
•
gensi dan kelayakan re-demokratisasi sosial ekonomi dan politik melalui tukar pengalaman dan analisa dari berbagai pemangku kepentingan serta jalan keluarnya. Merumuskan pandangan, analisa serta solusi kebijakan masyarakat sipil dalam memajukan memperkuat re-demokratisasi sosial, ekonomi dan politik dan didukung dengan tata kelola pemerintahan yang terbuka dan melayani. Memperkuat konsolidasi masyarakat sipil Indonesia melalui pemahaman dan pembelajaran bersama tentang isuisu kunci pembangunan dan prioritas pembangunan untuk kurun waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan.
NO. 02 JANUARI 2015
Pada sesi paparan kunci, menghadirkan dua orang narasumber yaitu Bambang Brojonegoro (Wakil Menteri Keuangan) dan Dida Hariyadi (Staff Ahli Hubungan Kelembagaan Nasional Bappenas) yang mewakili Menteri Bappenas. Bambang Brojonegoro memaparkan bahwa pertumbuhan ekonomi tentu saja tidak cukup untuk mencapai kesejahteraan masyarakat apabila tidak diimbangi dengan pemerataan kue ekonomi. Tingginya angka gini rasio di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan pendapatan yang semakin tinggi. Ketimpangan kesempatan juga merupakan persoalan yang harus diatasi Indonesia. Sementara itu Dida Hariyadi dari Bappenas menyampaikan arah pembangunan Indonesia perlu didukung melalui penguatan demokrasi di Indonesia
antara lain melalui mendorong kapasitas organisasi masyarakat sipil dalam melakukan fungsi kontrol terhadap pemerintah, penguatan kelembagaan demokrasi di luar organisasi masyarakat sipil termasuk penguatan partai politik. Kemudian dalam diskusi pleno Perempuan dan Pembangunan menghadirkan beberapa narasumber antara lain Zumrotin K Soesilo (Yayasan Kesehatan Perempuan), Dian Kartikasari (Koalisi Perempuan Indonesia), Khofiffah Indar Parawansa (PP Muslimat NU) dan Yunianti Chuzaifah (Komnas Perempuan). Sesi ini diawali dengan paparan dari Zumrotin K. Soesilo yang menyoroti tingginya angka kematian ibu dan pernikahan usia dini di Indonesia. Angka kematian ibu di Indonesia merupakan yang
NEWSLETTER INFID 17
ANALISIS UTAMA
tertinggi diantara negara-negara di ASEAN sedangkan angka pernikahan usia dini di Indonesia tertinggi kedua setelah Kamboja. Narasumber selanjutnya dalam sesi ini adalah Dian Kartikasari dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI). Dian menyoroti rendahnya keterwakilan perempuan yang tidak mecapai 30%. Penyebab utamanya adalah rendahnya tingkat pendidikan dimana rata-rata anak perempuan hanya mengenyam pendidikan hingga Sekolah Dasar (SD). Khofifah Indar Parawansa (PP Muslimat NU) melihat terdapat beberapa persoalan yang dihadapai oleh perempuan saat ini yaitu antara lain kemiskinan, buta huruf dan angka kematian ibu. Situasi ini menyebabkan banyak perempuan terpinggirkan dan terdiskriminasi. Sedangkan Yuniyanti Chuzaifah dari Komnas Perempuan mencatat bahwa tingkat kekerasan terhadap perempuan terus meningkat baik dari jumlah maupun ragamnya. Untuk mengatasi berbagai persoalan di atas harus ada upaya yang perlu dilakukan antara lain mengkaji ulang UU PKDRT yang selama ini sering digunakan untuk kriminalisasi perempuan korban, mengawal dan mecabut kebijakan yang diskriminatif, reformasi sektor keamanan berbasis HAM dan gender serta optimalisasi rekomendasi mekanisme internasional. Upaya tersebut membutuhkan peran dari kelompok masyarakat sipil, sayangnya hingga saat ini masyarakat sipil dalam konteks menghapuskan kekerasan terhadap perempuan masih terkotak-kotak dalam
18 NEWSLETTER INFID
Khofifah Indar Parawansa (PP Muslimat NU) fokus kerja dan kurang terkonsolidasi meskipun gerakan di akar rumput telah meningkat. Selain itu masyarakat sipil perlu mencari format strategisnya dalam melakukan advokasi. Dilanjutkan diskusi pleno dengan tema Mengatasi Diskriminasi dan Intoleransi Indonesia Menuju Indonesia yang Berbhineka dan Bersatu menghadirkan narasumber Machasin MA. (Kepala badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama), Ahmad Junaidi (Sejuk), Yenny Wahid (Wahid Institute), Maria Ulfa (KPAI), Jona Damanik (Majalah Diffa), dan Lien Maloali (Foker LSM Papua). Dalam paparannya Machasin menyoroti tentang penyebab utama intoleransi di Indonesia di Indonesia yaitu lemahnya atau ketidaktegasan penegak hukum, pendidikan keagamaan dan kewarganegaraan yang kurang, hingga kurangnya pemahaman warga ten-
tang bagaimana menjalankan ajaran agamanya serta persoalan sosial misalnya pengangguran. Yenny Wahid menambahkan apa yang disampaikan oleh Machasin, bahwa penyebab intoleransi lainnya adalah perebutan sumberdaya baik ekonomi, sosial termasuk perebutan identitas di masyarakat. Secara politik di Indonesia ini mudah dilakukan di Indonesia apalagi kalau membawa isu agama. Yang harus dilakukan adalah kita semua harus memberi kesadaran ke masyarakat agar tidak mudah terprovokasi. Ahmad Djunaidi menyoroti tentang peran media dalam konteks intoleransi di Indonesia. Dalam pandangannya kondisi media saat ini merupakan cerminan masyarakat. Survei terbaru saat ini menunjukkan bahwa 60% masyarakat Indonesia intoleran. Hal ini ditunjukkan dengan ketidaksetujuan masyarakat untuk memiliki tetangga yang berbeda agama.
NO. 02 JANUARI 2015
Sugeng Bahagijo (INFID) Menurut Maria Ulfah, keke rasan terhadap anak terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2011 tercatat ada 2.700 kasus, 2012 3.500 kasus dan tahun 2013 lebih dari 4.000 kasus. Sedangkan di tahun 2014 telah terjadi kekerasan seksual terhadap sebanyak 561 kasus. Sayangnya terdapat pembiaran terhadap kekerasan terhadap anak baik oleh masyarakat maupun penegak hukum. Kampanye “Stop Kekerasan terhadap Anak” belum mampu menjawab persoalan di lapangan, sehingga revisi UndangUndang (UU) Perlindungan Anak menjadi penting dilakukan. Jonna Damanik mencoba mencermati persoalan yang dihadapi kelompok difabel selama ini. Dalam pandangannya pendekatan sosial budaya di Indonesia tidak berpihak kepada kelompok difabel, misalnya dalam menentukan pasangan hidup yang harus memperhatikan “bibit, bebet, bobot”. Demikian pula dengan
NO. 02 JANUARI 2015
pendekatan agama yang menyebutkan bahwa manusia adalah mahluk sempurna dan pendekatan sehat atau tidak sehat dimana kelompok difabel sering dikategorikan sebagai tidak sehat. Hal-hal tersebut menjadi cikal bakal praktek diskriminasi terhadap difabel. Lien Maloali menyoroti situasi yang ada di Papua saat ini. Menurutnya Papua adalah masa depan. Banyak sumberdaya alam yang dimiliki Papua. Karenanya kemudian Papua dikeruk habis-habisan dan investasi yang hadir di Papua berkontribusi terhadap kekerasan dan pemaksaan kepada orang dan tanah Papua. Orang Papua sendiri kemudian hanya menjadi “pemadam kebakaran” yang terkadang juga gagal karena wilayah Papua yang luas. Diskusi selanjutnya, yaitu tentang Keadilan dan Kesetaraan sebagai Pilar Pembangunan menghadirkan narasumber Ari
Sunaryati (FSPI Reformasi), Nining Erlina Fitri (Bina Desa), Eva Sundari (PDI-Perjuangan) dan Nesar Ahmad (India). Dalam paparannya Ari Sunaryati menyampaikan bahwa persoalan perburuhan telah menjadi isu nasional sejak Orde Lama. Hal ini bisa dilihat dari UU Kerja No. 12 tahun 1948 yang diberlakukan untuk seluruh Indonesia dengan No. 01 Tahun 1951, yang mengatur tentang jam kerja, istirahat, libur mingguan, cuti tahunan, cuti panjang dan sebagainya. Nining Erlina menyoroti soal ketimpangan struktur agraria di Indonesia yang telah menyebabkan marjinalisi petani dan perempuan di pedesaan. Situasi tersebut pada gilirannya menyebabkan tingginya angka kemiskinan di pedesaan. Jumlah rumah tangga pertanian semakin menurun. Sejak tahun 2003 hingga tahun 2013, rata-rata penurunan jumlah rumah tangga pertanian sebesar 500.000 tiap tahunnya. Eva Sundari menjelaskan mengenai langkah-langkah yang akan dilakukan oleh Pemerintahan Joko Widodo. Persoalan kemiskinan akan diatasi melalui lintas sektor, melalui beragam program yang difokuskan kepada petani, nelayan dan buruh, termasuk juga kelompok perempuan dan difabel. Program seperti jaminan kesehatan, Kartu Indonesia Pintar (KIP) juga akan terus berjalan. Kebijakan subsidi akan dirancang menjadi subsidi langsung kepada warga. Nesar Ahmad berbagi pengalaman tentang situasi ketimpangan di India. Menurutnya, India memi-
NEWSLETTER INFID 19
ANALISIS UTAMA
liki persoalan yang hampir sama dengan Indonesia. Pertumbuhan ekonomi di India sebesar 9% per tahun, namun tidak berarti bahwa pembangunan dirasakan oleh seluruh warga. Ketimpangan terjadi berdasarkan agama, ras dan kasta. Diskriminasi berdasarkan kasta jauh lebih tinggi dibandingkan diskriminasi agama atau ras. Dalam diskusi Kelembagaan Yang Demokratis dan Akuntabel ini menghadirkan narasumber Budiman Sujatmiko (PDI Perjuangan), Inggrid Silitonga (Demos), Dadang Trisasongko (Transparansi Internasional Indonesia) dan Agung Wicaksono (UKP4). Perbedaan utama antara Partai Politik (Parpol) dan masyarakat sipil untuk dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan termasuk mengatasi ketimpangan adalah kekuasaan, demikian disampaikan oleh Budiman Sujatmiko pada sesi ini. Lebih lanjut, Parpol harus berkuasa karena tanpa kekuasaan akan kehilangan fungsi utamanya. Dengan adanya kekuasaan maka ada pertanggungjawaban publik atas apa yang dilakukan oleh parpol. Agung Wicaksono menyatakan bahwa reformasi birokrasi dan tata kelola merupakan prioritas utama dalam Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II). Tema prioritas dari reformasi birokrasi adalah pemantapan tata kelola pemerintahan yang lebih baik melalui terobosan kinerja secara terpadu, penuh integritas, akuntabel, taat kepada hukum dan transparan serta peningkatan kualitas layanan publik yang dito-
20 NEWSLETTER INFID
Zumrotin K Soesilo (Yayasan Kesehatan Perempuan) pang oleh efisiensi struktur pemerintahan baik di pusat dan daerah, kepasitas pegawai yang memadai dan data kependudukan yang baik. Dadang Tri Sasongko memaparkan pentingnya keterbukaan data dan informasi sebagai salah satu prasyarat untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Transparancy International Indonesia (TII) mengenai hukum dan kebijakan tata kelola pemerintah di Indonesia, menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara yang paling maju dalam regulasi bidang transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Dari aspek dimensi Open Governance, kerangka regulasi Indonesia sangat maju dalam mendukung arsitektur kelembagaan pendukung. Fakta lainnya adalah dari 693 badan publik, 39,8% diantaranya belum memiliki PPID. Sengketa informasi yang tercatat sebanyak 818 kasus, 71% dia-
jukan oleh kelompok masyarakat sipil, 25% oleh individu dan sisanya oleh masyarakat, dengan demikian yang sudah paham dengan informasi publik baru kelompok masyarakat sipil, sedangkan masyarakat belum. Inggrid Silitonga memaparkan kondisi demokrasi saat ini berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Demos. Dalam kajian tersebut, ditemukan bahwa demokrasi di Indonesia masih goyah, yang disebabkan karena kebebasan beragama dan berpolitik masih kurang, penegakan hukum juga masih rendah. Jika dibandingkan dengan situasi pada tahun 2003 dimana aktor pro-demokrasi masih bermain di pinggiran dan tidak ingin masuk ke dalam parlemen, situasi saat ini adalah aktor pro-demokrasi sudah masuk ke dalam parlemen namun kemudian lupa untuk melakukan pengorganisasian. Inggrid mengusulkan untuk terus melakukan pen-
NO. 02 JANUARI 2015
Yenny Wahid (Wahid Institute) didikan politik kepada masyarakat dan membentuk forum deliberatif mulai dari tingkat desa. Pada diskusi Masyarakat Sipil Sebagai Aktor Pembangunan ini hadir sebagai narasumber Arie Sujito (Universitas Gadjah Mada), Hilmar Farid (Institut Sejarah Sosial Indonesia) dan Indrajaya (Bappenas). Hilmar Farid menyoroti situasi gerakan sosial di Indonesia saat ini. Dalam pandangannya terdapat dua hal penting terhadap perkembangan gerakan sosial di Indonesia yaitu ekspansi kapital sebagai solusi terhadap krisi global dan perubahan politik setelah Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden tahun 2014. Hal penting pertama bersifat jangka panjang dan membawa pengaruh yang mendalam, sementara hal kedua masih bersifat potensial dan harus dibuktikan pengaruh sesungguhnya. Kedua hal tersebut saling terkait dan akan membentuk konteks bagi gerakan
NO. 02 JANUARI 2015
sosial di Indonesia. Ari Sudjito memaparkan tentang bagaimana membangun kemitraan yang berkualitas di dalam demokrasi dan pembangunan. Menurutnya agenda pembangunan seringkali menghadapi problem serius yang justru berakar dari ketidakmampuan mengkonsolidasi kerja antar pihak saat menangani masalah yang dihadapi. Beberapa penyebab antara lain keterbatasan perspektif, paradigma maupun konseptualisasi yang gagal tersambung dengan dinamika permasalahan di masyarakat yang demikian kompleks. Narasumber selanjutnya Indrajaya memberikan penjelasan tentang ide Democracy Trust Fund (DTF) untuk mendukung peran masyarakat sipil dalam mendorong proses demokratisasi di Indonesia secara berkelanjutan. Pemerintah menyadari bahwa peran positif dari kelompok masyarakat sipil harus
didukung dan difasilitasi. Hal ini juga merupakan bagian dari pembangunan politik yang dilakukan oleh pemerintah. Untuk mewujudkan DTF ini, pemerintah sedang mempersiapkan kerangka regulasi dan kerangka kelembagaannya. DTF akan memobilisasi berbagai sumber daya dari berbagai pihak untuk memfasilitasi upaya yang berkaitan dengan pembangunan demokrasi, khususnya yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil. Narasumber pada diskusi Hak Asasi Manusia dan Pembangunan ini adalah Indri Saptaningrum (ELSAM), Abetnego Tarigan (WALHI), Majda El Muhtaj (PUSHAM UNIMED), Siti Ruhaini Dzuhayatin (IPRHC). Menurut Indri, model pembangunan yang didominasi paradigma pertumbuhan ekonomi dan kepercayaan akan gagasan menetes ke bawah telah berganti dengan gagasan pembangunan berbasis hak, melalui deklarasi hak atas pembangunan pada dekade pertengahan 80-an. Pembangunan berbasis hak memiliki tiga hal penting yang meletakkan dasar bagi kebijakan pembangunan yang berkembang kemudian. Ketiga hal tersebut yaitu, pembangunan yang berpusat pada manusia sebagai subyek (people-centered development), pembangunan sebagai hak asasi manusia dimana semua orang berhak berpartisipasi, berkontribusi dan menikmati manfaat dari pembangunan sebagai jalan memenuhi hak asasi dan kebebasan dasar (rightbased approach to development), serta partisipasi sebagai landasan
NEWSLETTER INFID 21
ANALISIS UTAMA
utama dalam pembangunan. Abetnego Tarigan menyoroti persoalan pelanggaran hak asasi pada isu lingkungan, dimana pemerintah memberikan izin penguasaan lahan kepada perusahaan besar. Pelanggaran terhadap penyalahgunaan fungsi hutan hanya dilakukan dengan denda, atau pemutihan. Petani sawit dipaksa masuk kepada harga global dan tidak dilindungi oleh pemerintah. Persoalan lain yang dihadapi adalah perusahaan ekstraktif industri seringkali menyewa aparat negara TNI dan Polri untuk mengamankan, eksploitasi buruh harian lepas di pabrik-pabrik sawit di Sumatra. Karenanya kerugian lingkungan sangat besar akibat lingkungan yang rusak atau terjadi bencana lingkungan. Majda El Muhtaj, menyampaikan bahwa Proklamasi Teheran, Wina Declaration of Action, bisa menjadi landasan dalam merumuskan acuan kebijakan yang berbasis HAM. Perusahaan international bahkan sudah setuju untuk implementasi UN guidance on HR, tetapi pemernitah indonesia malah segan dan tidak mau mengeluarkan kebijakan atas perusahaan atau bisnis yang berbasis HAM. Pada masa mendatang perlu menetapkan kerangka aksi nasional dan daerah untuk bisnis dan HAM. Melakukan akselerasi kebijakan dan regulasi nasional dan daerah, peningkatan kapasitas aparatur pemerintah termasuk Polri serta membangun dan mengembangkan konsorsium bisnis dan HAM di kalangan akademisi dan aktivis.
22 NEWSLETTER INFID
Sedangkan Siti Ruhaini menjelaskan mengenai situasi kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan. Seringkali kita beranggapan bahwa persoalan telah selesai jika sudah ada aturannya. Pelanggaran terhadap hak-hak perempuan masih dianggap sebagai isu “kedua”. Definisi kekerasan terhadap perempuan kemudian menjadi sangat legalistik dan masalah kekerasan terhadap perempuan dalam ranah domestik jauh lebih besar karena dijustifikasi oleh agama dan budaya. Pada sisi kebijakan, Undang - Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) tidak signifikan mencegah kekerasan terhadap perempuan. Selain itu tidak mendorong perempuan untuk melaporkan kasus-kasus kekerasan tersebut kepada kepolisian. Diskusi Akuntabilitas dan Agenda Pembangunan Pasca-2015 ini menghadirkan narasumber Kholiq Arief (Bupati Wonosobo),
Yunardi (Global Compact Indonesia), Hamong Santono (INFID) dan Michael Bobby Hoelman (Yayasan TIFA). Kholiq Arief memaparkan kesiapan Kota Wonosobo dalam melaksanakan agenda pembangunan Pasca-2015. Wonosobo terus berbenah, dimana kondisi Wonosobo sebelum tahun 2005 cukup mengkhawatirkan. Tingkat kriminalitas tinggi, konflik horisontal tinggi dan kerusakan lingkungan tinggi, perusahaan banyak yang tutup dan pariwisata tidak menggembirakan. Saat ini, Pemerintah Kabupten Wonosobo terus berupaya maksimal mempersiapkan Wonosobo sebagai kabupaten HAM. Tentu saja dengan mewujudkan infrastruktur dasar sesuai basic needs warga, terutama mengarah kepada pelayanan infrastruktur yang ramah terhadap anak, lansia, dan difabel. Selain itu, berupaya maksimal dengan memperbaiki pelayanan publik melalui
NO. 02 JANUARI 2015
Bambang Brojonegoro (Wakil Menteri Keuangan) konsep one roof local government yang merupakan kanal akhir dari rencana besar reformasi birokrasi. Yunardi menjelaskan kesiapan sektor swasta dalam pelaksanaan agenda pembangunan Pasca-2015. Sektor swasta akan memperhatikan HAM, keberlanjutan lingkungan dan anti korupsi sebagai prinsip dalam pembangunan Pasca-2015. Dalam konteks pembangunan Pasca-2015 beberapa isu penting bagi sektor swasta antara lain adalah governance dan penegakan hukum, pendidikan, dan kesehatan. Mekanisme akuntabilitas merupakan salah satu titik lemah dalam pelaksanaan MDGs selama ini, karenanya pembangunan Pasca-2015 harus mempersiapkan mekanisme akuntabilitas ini dengan baik, disampaikan oleh Hamong Santono. Lebih lanjut Hamong menjelaskan bahwa terdapat beberapa dimensi akuntabilitas yaitu answerability, enforcement, dan responsibility.
NO. 02 JANUARI 2015
Modalitas akuntabilitas antara lain vertical, horizontal dan sosial. Selama ini mekanisme akuntabilitas MDGs ada di tiga area yaitu global, regional dan nasional dengan dua model yaitu akuntabilitas horisontal dan vertikal dan hanya berfokus pada hasil bukan pada proses. Selain itu, rekomendasi yang dihasilkan tidak bisa dijalankan. Belajar dari pengalaman MDGs, mekanisme akuntabilitas pembangunan Pasca 2015 seharusnya bisa melakukan monitoring, me-review dan memberikan remedy. Selain itu perlu juga disiapkan kelembagaan, prosedur dan forum yang memungkinkan bagi mekanisme akuntabilitas tersebut. Michael Bobby Hoelman menjelaskan kinerja kemitraan global saat ini terutama dalam konteks MDGs dan pembangunan Pasca-2015. Kemitraan global saat ini ditandai dengan menurunnya komitmen, minimnya efektifitas
ODA, dan tidak terdapat banyak perubahan pada ODA, serta minimnya akuntabilitas. Karenanya dalam pembangunan Pasca-2015 adalah kemitraan politik, dimana pembangunan Pasca-2015 harus lebih demokratis, sehingga pelibatan masyarakat sipil menjadi penting. Narasumber pada diskusi Ketimpangan dan Pembangunan Inklusif ini adalah Sabine Alkire (OPHI), Sugeng Bahagijo (INFID), Bagus Takwin (Universitas Indonesia), dan Mariano de Donatis (GPU Oxfam Mexico). Sabine Alkire menjelaskan tentang Multidimensional Poverty Index (MPI) sebagai sebuah metode baru untuk mengukur kemiskinan. MPI merupakan indeks yang membanding secara internasional mengenai kemiskinan akut pada lebih dari 100 negara. MPI diluncurkan pada tahun 2010 dalam Human Development Report (HDR) dan terus diperbaharui pada tahun 2011, 2013 dan 2014. Berdasarkan MPI diketahui bahwa dari 108 negara dengan total penduduk sebanyak 5,4 milyar, 30% di antaranya adalah miskin. Berdasarkan MPI pula, Indonesia merupakan salah satu negara yang secara signifikan berhasil mengurangi kemiskinan. Mariano memaparkan tentang situasi ketimpangan di Negaranegara BRICSAM (Brazil, Rusia, India, China, Afrika Selatan dan Meksiko). Menurutnya ketimpangan yang terjadi disebabkan oleh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, ketimpan-
NEWSLETTER INFID 23
ANALISIS UTAMA
gan yang terjadi di negara-negara BRICSAM antara lain adalah ketimpangan gender, pendidikan, distribusi pendapatan, spasial dan sebagainya. Ketimpangan pendapatan di negara-negara BRICSAM juga tinggi dibandingkan dengan negara-negara G-20 (seluruh anggota BRICSAM merupakan anggota G-20), dimana Afrika Selatan merupakan negara dengan ketimpangan pendapatan tertinggi. Untuk mengurangi persoalan ketimpangan tersebut, Mariano merekomendasikan beberapa kebijakan yang bisa dilakukan antara lain kebijakan upah minimum, pendidikan untuk mengurangi ketimpangan, universal access untuk kesehatan dan pendidikan, kebihkan redistribusi, serta kebijakan yang bisa mengatasi “polical capture”. Bagus Takwin memperkenalkan salah satu metode yang dapat digunakan untuk melihat sejauh mana kebijakan social sudah berjalan dengan baik. Metode tersebut adalah Indeks Barometer Sosial (IBS), yang diperoleh melalui survei yang mengukur penilaian warga. Berdasarkan IBS yang dilakukan pada tahun 2013, terlihat ketimpangan social masih tinggi di Indonesia, meskipun pemerintah menjalankan beberapa program sosial. Berdasarkan IBS juga terlihat bahwa belum ada standar pelaksanaan program sosial di Indonesia dan seringkali program diselenggarakan tidak didasarkan atas kebutuhan. Pada masa mendatang, program sosial seharusnya dibuat dengan konsep yang jelas, sehingga selain dapat dirasakan dengan baik
24 NEWSLETTER INFID
oleh masyarakat juga proses monitoring dan evaluasinya menjadi lebih mudah. Sugeng Bahagijo memaparkan tentang pentingnya Indonesia untuk mulai memberikan jaminan tunai kepada warganya. Terdapat beberapa alasan yang mendasari usulan tersebut yaitu pertama rendahnya belanja sosial di Indonesia selama ini. Kedua program jaminan tunai bersyarat yang selama ini dilakukan terbukti tidak efektif.Pada sisi lain, Presiden Joko Widodo juga menjanjikan adanya tunjangan sebesar satu juta rupiah per bulan bagi keluarga pra sejahtera. Untuk dapat melakukan hal tersebut terdapat beberapa skenario yang kiranya bisa dilakukan, yaitu pengalihan subsidi BBM, penghematan belanja rutin serta ekstensifikasi dan intensifikasi pajak. Jaminan tunai tersebut bisa difokuskan dengan skema universal namun untuk kelompok masyarakat tertentu yaitu kepala rumah tangga perempuan, difabel dan kelompok lanjut usia (lanjut usia). Alasan yang mendasarinya adalah kepala rumah tangga perempuan dapat berperan memberikan jaminan hidup yang lebih baik bagi generasi selanjutnya, usia perempuan relatif lebih panjang dibanding laki-laki. Konferensi ini dalam penutupannya merekomendasikan agar Negara hadir untuk melindungi seluruh warga negaranya dari segala ancaman dan diskriminasi melalui penegakan hukum; menjalankan program-program ekonomi, sosial, dan budaya yang bisa diakses oleh
semua; menata ulang kebijakan pengelolaan dan distribusi manfaat sumberdaya alam. Untuk mencapai itu semua, pembangunan berbasis hak kiranya akan menjadi model terbaik melalui peningkatan investasi pemerintah dalam pelayanan publik dan jaminan pemenuhan hak dasar, termasuk perlindungan khusus bagi kelompok yang berkebutuhan khusus. Pembangunan berbasis hak kiranya juga akan mampu mewujudkan kesetaraan bagi kelompok perempuan dan kelompok rentan lainnya dalam berbagai bidang baik ekonomi, sosial dan politik. Selain itu mekanisme pertanggungjawaban korporasi sebagai pelanggar HAM juga akan lebih mudah diwujudkan. Pembangunan berbasis hak juga akan mendorong penguatan komunitas di pedesaan dan wilayah pesisir dan dapat memastikan akses masyarakat kepada tanah dan sumberdaya alam. Keterbukaan pemerintah dan reformasi birokrasi juga menjadi bagian yang bisa diwujudkan dengan pembangunan berbasis hak. Agenda pembangunan Pasca-2015, harus menjadi pintu masuk bagi model pengelolaan berbasis hak dan juga memastikan kemitraan yang efektif diantara masyarakat dan pemerintah, mulai dari penyusunan, pelaksanaan dan monitoring. Mekanisme akuntabilitas dan kerangka pembiayaan harus dirancang sedemikian rupa dengan melibatkan kelompok masyarakat sipil. n
NO. 02 JANUARI 2015