Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
2
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Daftar Isi Kata Pengantar
Edo Agustian - Koordinator Nasional Persaudaran Korban Napza Indonesia
5
Kata Pengantar 6 Dr. Endang Budi Hastuti - Direktur Sub-Direktorat HIV AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Ucapan Terima Kasih 7 Ringkasan Eksekutif 9 Latar Belakang 11 HIV dan penggunaan napza di Indonesia 11 Profil kebijakan napza di Indonesia 11 Perempuan pengguna napza 12 Metodologi 13 Pengaturan studi Kriteria kelayakan Pengumpulan data dengan pewawancara sebaya Etika dan keamanan Analisis Data
13 14 14 14 14
Temuan Studi 15 Karakteristik sosial ekonomi dan demografi 15 Perilaku dan praktik 15 Perilaku seksual 15 Perilaku terkait napza 16 Kepolisian dan kontak dengan penegak hukum 16 Penangkapan dan penahanan 16 Pemerasan, penganiayaan dan kekerasan oleh polisi 17 Indikator kesehatan yang dilaporkan sendiri 17 HIV dan infeksi menular seksual 17 Kekerasan pasangan intim 17 Overdosis 18 Trauma dan kesehatan mental 18 Akses pada layanan kesehatan dan dukungan 18 Pengobatan antiretroviral untuk HIV 18 Kesehatan seksual reproduksi 19 Pengobatan antivirus untuk Hepatitis C 19 Program alat suntik 19 Terapi substitusi opioid dan perawatan ketergantungan napza 19 Diskriminasi, eksklusi dan dukungan sosial 19 Kesimpulan 21 Rekomendasi 23 Daftar Pustaka 25
3
4
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Siti sedang bercengkerama dengan anaknya saat kunjungan dari institusi pemulihan adiksi berbasis masyarakat ke rumahnya.
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Kata Pengantar
K
ebutuhan perempuan yang menyuntikkan napza di Indonesia sebagian besar telah terbaikan oleh program bahkan kebijakan yang ada saat ini. Persaudaraan Korban Napza Indonesia telah mendukung studi Perempuan Bersuara yang dilakukan dengan lebih dari 700 perempuan dari beberapa wilayah di propinsi Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Indonesia dalam upaya mengeksplorasi perilaku seksual dan perilaku menyuntik, indikator kesehatan, kekerasan berbasis gender, hubungan dengan penegakan hukum, dan penggunaan layanan kesehatan dan dukungan di antara perempuan yang menyuntikkan napza. Sebagai komunitas pengguna Napza yang merupakan penerima manfaat dari program ini, kami merasakan betul bahwa hal ini sudah seharusnya menjadi perhatian dari semua pihak. Ada kebutuhan yang mendesak untuk penerapan dan peningkatan skala dari program yang menargetkan kelompok perempuan yang menyuntikkan napza, program yang sensitif dan segera serta kebijakan yang berbasis bukti untuk mengatasi kebutuhan yang spesifik dari kelompok ini. Kami dari Persaudaraan Korban Napza Indonesia ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang berkontribusi dan semua dukungan dari semua pihak dalam perjalanan dari pelaksanaan studi ini. Apresiasi tertinggi kami persembahkan khususnya buat teman teman pelaksana program ini dan juga perempuan-perempuan hebat yang bersedia berbagi kisah dan pengalaman hidupnya. Karena kami sadar bahwa butuh keberanian besar untuk dapat melakukan hal tersebut. Besar harapan kami hasil studi ini dapat menjadi perhatian semua pihak, khususnya mereka yang memiliki kuasa untuk dapat melakukan perubahan baik dalam hal kebijakan, layanan, upaya mereduksi stigma dan diskriminasi pada komunitas ini, bagaimana para pihak di atas dapat mempertimbangkan hasil dan rekomendasi dari studi ini sebagai dasar dalam menyusun kebijakan dan juga mengimplementasikannya secara nyata pada layanan yang tersedia untuk komunitas perempuan yang menyuntikkan Napza. Juga tak kalah penting adalah bagaimana kedepannya memastikan pelibatan bermakna komunitas ini dalam proses tersebut. Akhir kata rasa puji sukur kami persembahkan kepada semesta. Tuhan menciptakan alam semesta untuk dijadikan tempat merenung bagi orang-orang yang berfikir karena alam memberikan kita semua pelajaran tentang kehidupan
Edo Agustian Koordinator Nasional Persaudaraan Korban Napza Indonesia
5
6
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Kata Pengantar
K
ami mengucap puji dan syukur atas rahmat dan kekuatan dari-Nya atas selesainya laporan studi kuantitatif Perempuan Bersuara. Metode hingga penyusunan laporan ini dilakukan dengan melibatkan para ahli, lintas program dan lintas sektor yang terkait. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sangat berterima kasih atas studi Perempuan Bersuara dengan cakupan yang cukup besar hingga melibatkan lebih dari 700 perempuan pengguna napza suntik di Indonesia ini. Terlebih hingga saat ini program yang tersedia menargetkan pengguna napza secara umum dan belum secara spesifik menargetkan perempuan pengguna napza. Kami menyadari bahwa program napza dengan pengharusutamaan gender tidak hanya harus tersedia dengan pertimbangan kelompok laki-laki dan perempuan dengan pembedaan berdasarkan jenis kelamin saja. Namun banyak situasi yang mempengaruhi kelompok perempuan, sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda pula dengan kelompok pengguna napza secara umum. Dalam konteks program bagi perempuan pengguna napza, beberapa hal sangat signifikan untuk dipertimbangkan ialah faktor individu seperti pengalaman kekerasan atau trauma di masa lampau, faktor ketimpangan ekonomi, faktor sosial dan lingkungan yang terpengaruh besar dari akar budaya setempat, semua hal ini dapat mempengaruhi motivasi perempuan untuk penggunaan napza serta perilaku mencari dan mengakses perawatan dan pengobatan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dalam hal ini Subdirektorat HIV AIDS dan PIMS mendorong penggunaan hasil studi ini sebagai informasi dasar (baseline) dalam pengembangan program, layanan dan juga kebijakan.
Dr. Endang Budi Hastuti
Kasubdit HIV AIDS dan PIMS Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Ucapan Terima Kasih Penelitian ini dapat terlaksana dengan bantuan dan masukan kolaboratif dari beberapa stakeholder yang membantu peneliti untuk lebih memahami pengalaman dan kebutuhan perempuan penasun di Indonesia. Kami berterima kasih khususnya kepada staf Sekretariat Nasional Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) atas bantuan penyelenggaraan studi dan memberikan kontribusi untuk setiap tahap perkembangan studi. Kami berterima kasih pada Edo Agustian, Suhendro Sugiharto, Meike Tedjasukmana, Sally Atyasasmi, Ferri Zul, Baby Virgarose Nurmaya, dan Ade Soprin. Terima kasih kepada tim peneliti kami yang berdedikasi, membantu perancangan dan uji coba dari kuesioner, melakukan penelitian formatif, menerapkan penelitian, dan menafsirkan hasil temuan studi: Rima Amelia, Dwi Surya, Mumpuni, Merry Christina, Putty Sekar Melati, Mietta Mahanani Mediestya, Putri Tanjung, Mira Febriyanti, dan Ratu Tatiek. Kami juga ingin mengakui bantuan yang sangat berharga dari individu berikut untuk berbagai aspek perkembangan studi: Rika Loretta, Naomi Esteria Tobing, Dyah Ayu Kartika Kusumawardani, Sindy Tan, dan Nadia Irena Firdausya. Kami mengucapkan terima kasih atas masukan yang konstruktif pada tahap awal studi logistik dan implementasi yang disediakan oleh organisasi berbasis masyarakat dan jaringan masyarakat sipil berikut: Kios Atma Jaya, Yayasan Karitas Sani Madani (Karisma), Yayasan Stigma, Rumah Cemara, Yayasan Grapiks, Rumah Singgah Peka, tim lapangan di Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, dan Ikatan Perempuan Positif Indonesia. Terima kasih juga kepada individu dan organisasi, yang memberikan bimbingan wawasan dalam tahap rancangan penelitian: Profesor Irwanto (Pusat Penelitian HIV, UNIKA Atma Jaya), Profesor Lucie D. Cluver (Departemen Kebijakan Sosial dan Intervensi, Universitas Oxford), Anindita Gabriella (Pusat Penelitian HIV, UNIKA Atma Jaya), Gambit Ignatius Praptoraharjo (Pusat Penelitian HIV, UNIKA Atma Jaya), Laura Nevendorf (Pusat Penelitian HIV, UNIKA Atma Jaya) dan Arif Rachman Iryawan (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional). Untuk umpan balik yang konstruktif pada draf awal laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada penelaah sejawat (peer reviewer) berikut: Anindita Gabriella (Pusat Penelitian HIV, UNIKA Atma Jaya), Dr Riza Sarasvita (Badan Narkotika Nasional), Olga Rychkova (Open Society Foundation), Wendy Knerr (Konsultan The Write Effect Limited), dan Evgenia Milman (McGill University). Kami mengucapkan terima kasih yang terdalam untuk perempuan yang berpartisipasi dalam penelitian ini dan berbagi pengalaman mereka dengan kami. ~ Laporan ini didedikasikan untuk mengenang Sekar Wulan Sari ~ Penelitian ini didanai oleh Australian Injecting and Illicit Drug Users League (AIVL), Asian Network of People Living with HIV (APN+), Canadian Institutes of Health Research (CIHR), the Pierre Elliott Trudeau Foundation (PETF), dan UNAIDS Indonesia. Pencetakan laporan ini secara finansial didukung oleh International Network of People Who Use Drugs (INPUD). Peneliti utama dan penulis: Claudia Stoicescu Diterjemahkan oleh: R. Suhendro Sugiharto, Fitri Camelia, Edo Agustian, Arif Rachman Iryawan Logo Perempuan Bersuara oleh: Pham Hoai Thanh Rancangan laporan oleh: Mark Joyce
Diterbitkan: Desember 2016 © Persaudaraan Korban Napza Indonesia. Gambar: © Alexandra Radu untuk Persaudaraan Korban Napza Indonesia. Tampilan individu-individu dalam foto-foto pada publikasi ini tidak menunjukkan yang bersangkutan adalah pengguna napza atau berstatus HIV. Nama asli telah diubah untuk melindungi privasi individu.
7
8
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Gambar atas: Para klien perempuan di fasilitas pemulihan adiksi berbasis masyarakat (PABM) sedang santai ditengah-tengah kegiatan rutin mereka Gambar bawah: Siti sedang menyampaikan pendapatnya saat pertemuan klien di fasilitas layanan pemulihan adiksi berbasis masyarakat (PABM).
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
I
ndonesia adalah tempat tinggal bagi sekitar 74.000 pengguna napza suntik (penasun), 11% di antaranya adalah perempuan1,2. Dibandingkan dengan penasun laki-laki, perempuan penasun mengalami peningkatan risiko HIV dan virus lain yang menular melalui darah, kekerasan pasangan intim dan non-intim yang tinggi, dan pengucilan sosial. Meskipun memiliki kebutuhan khusus dan lebih sering dimarjinalkan, kelompok ini sering diabaikan dalam strategi nasional penanggulangan HIV di Indonesia. Dalam kemitraan dengan University of Oxford, Persaudaraan Korban Napza Indonesia telah mendukung studi Perempuan Bersuara yang dilakukan dengan lebih dari 700 perempuan dari beberapa wilayah di Jawa Barat, Banten, dan Jakarta, Indonesia. Studi ini mengeksplorasi perilaku seksual dan perilaku menyuntik, indikator kesehatan, kekerasan berbasis gender, hubungan dengan penegakan hukum, dan penggunaan layanan kesehatan dan dukungan diantara perempuan yang menyuntikkan napza. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk lebih memahami pengalaman perempuan yang menyuntikkan napza dan untuk memberikan masukan untuk program berbasis bukti yang dapat
mengurangi dampak penggunaan napza dan HIV dan AIDS pada populasi yang rentan ini di Indonesia. Temuan dari penelitian ini memberikan data yang mengonfirmasi bahwa kebutuhan perempuan penasun sebagian besar telah terabaikan oleh program yang tersedia saat ini. Pada saat yang bersamaan, akses yang kurang terhadap pelayanan kesehatan dan dukungan berkontribusi pada rendahnya kesejahteraan perempuan pengguna napza di Indonesia. Ketika para perempuan ini memanfaatkan layanan yang tersedia, mereka sering merasa bahwa mereka tidak diinginkan dan didiskriminasi karena status mereka sebagai pengguna napza. Program pencegahan kekerasan dan pelaporan tidak menargetkan perempuan pengguna napza, dan layanan bantuan hukum sering tidak dapat diakses oleh perempuan yang secara sosial sudah terisolasi dan terpinggirkan. Hal ini mencerminkan adanya kebutuhan yang mendesak untuk penerapan dan peningkatan program yang menargetkan kelompok perempuan pengguna napza, respon sensitif serta kebijakan berbasis bukti untuk mengatasi kebutuhan yang spesifik dari kelompok ini.
Berdasarkan temuan yang disajikan dalam laporan ini, Persaudaraan Korban Napza Indonesia merekomendasikan tindakan mendesak berikut:
Untuk para pembuat kebijakan
Untuk penyedia layanan
Perempuan
Mengarusutamakan
Perempuan penasun harus terlibat secara bermakna
Melakukan program percontohan pendekatan satu
penasun harus diakui sebagai kelompok yang memerlukan perhatian dalam pedoman, strategi dan kebijakan nasional mengenai napza dan HIV/AIDS. dalam pengembangan program ketergantungan napza yang bersifat sukarela dan berbasis pada komunitas, dan kebutuhan spesifik mereka harus diprioritaskan dalam pedoman standar minimum untuk perawatan ketergantungan napza.
Model penyediaan layanan pengurangan dampak buruk napza harus mengintegrasikan pendekatan yang diinisasi oleh rekan sebaya (peer driven) yang ramah dan fleksibel yang dapat memenuhi kebutuhan perempuan penasun.
Data
surveilans nasional harus menyertakan sampel yang besar dari perempuan penasun, dan data harus dipilah berdasarkan gender dan usia.
Sistem
pemantauan dan pelaporan untuk kekerasan yang dilakukan oleh polisi dan pasangan harus tersedia, termasuk bantuan hukum, pelayanan konseling dan dukungan khusus bagi perempuan yang menggunakan dan menyuntikkan napza.
gender ke dalam sistem rujukan (misalnya ke layanan kesehatan seksual dan reproduksi, pengurangan dampak buruk narpza, pencegahan HIV, pencegahan kekerasan). atap melalui rumah singgah, baik yang menetap atau bergerak untuk perempuan menggunakan dan menyuntikkan napza.
Melaksanakan pemantauan dan evaluasi berbasis masyarakat yang melibatkan perempuan yang menggunakan dan menyuntikkan napza dalam menilai kualitas layanan pengurangan dampak buruk napza baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional.
Memobilisasi
dan memberdayakan perempuan yang menggunakan dan menyuntikkan napza untuk memiliki peran yang lebih besar dalam advokasi untuk kebijakan dan program napza yang lebih baik dan disesuaikan dengan kebutuhan khusus mereka.
9
10
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Seorang klien perempuan sedang beribadah di dalam fasilitas pemulihan adiksi berbasis masyarakat (PABM).
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Latar Belakang HIV dan penggunaan napza di Indonesia
Profil kebijakan napza di Indonesia
pidemi HIV di Indonesia terus meningkat, berbanding terbalik dengan kecenderungan epidemi yang telah mengalami stabilisasi di sebagian besar negaranegara di Asia Tenggara3. Antara tahun 2006 dan 2011, Indonesia mengalami peningkatan 10 kali lipat dalam jumlah kumulatif kasus HIV4. Di antara kelompok penasun, 40% di antaranya hidup dengan HIV5, dan penasun tetap menjadi salah satu kelompok yang paling terpengaruh oleh epidemi HIV. Di Jakarta, prevalensi HIV di antara penasun mencapai 55%, dan di beberapa daerah di mana akses layanan pengurangan dampak buruk napza masih terbatas, prevalensi masih terus meningkat. Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Indonesia adalah tempat tinggal bagi sekitar 74.000 orang yang menyuntikkan napza. Dari jumlah tersebut, diperkirakan sekitar 11% adalah perempuan. Pada tahun 2009, satu-satunya tahun di mana data terpilah dilaporkan, prevalensi HIV pada kelompok perempuan penasun lebih tinggi dibandingkan dengan penasun laki-laki (57,1% vs 52,1%)6.
Tanggapan Indonesia terhadap penggunaan napza sangat bergantung pada pendekatan yang menghukum. UU Narkotika no. 35 yang disahkan pada tahun 2009, menyediakan kerangka hukum untuk mengatasi masalah napza. Walaupun kebijakan tersebut memperkenalkan mekanisme untuk mengalihkan pengguna napza dari penjara ke layanan ketergantungan obat, kebijakan tersebut juga mengkriminalisasi keluarga dan masyarakat yang tidak melaporkan orang-orang yang menggunakan napza pada pihak yang berwenang7. Dalam prakteknya, pelaksanaan UU Narkotika no. 35 tidak konsisten dan dirusak oleh korupsi sistemik di kepolisian dan dalam sistem peradilan pidana8. Jumlah yang signifikan dari orang-orang yang menggunakan napza terus mendapatkan hukuman penjara meskipun UU ini telah tersedia. Hingga September 2016, sepertiga dari semua narapidana (33% atau 66,625 orang) dipenjara karena pelanggaran yang berhubungan dengan napza, sebagian besar (63% atau 41.710 orang) didakwa dengan kepemilikan napza untuk penggunaan pribadi9. Keterlibatan perempuan dalam perdagangan napza sebagai pengguna napza dan kurir napza sering termotivasi oleh ketidakadilan sosial yang mereka hadapi, dan sering mengakibatkan hukuman yang tidak proporsional karena keterbatasan para perempuan ini terhadap akses ke layanan bantuan hukum.
E
Untuk mengatasi epidemi HIV yang berkembang, Indonesia memperkenalkan program pengurangan dampak buruk napza pada tahun 2006, termasuk program pertukaran jarum suntik dan terapi substitusi opioid. Pada tahun 2012, program ini mampu menjangkau 64.259 penasun, yang pada saat itu mewakili 87% dari populasi penasun5. Meskipun demikian, tidak ada program khusus yang menargetkan perempuan penasun. Tidak adanya ukuran sampel yang memadai dari perempuan penasun dan data yang terpilah menurut jenis kelamin dalam survei nasional menimbulkan hambatan untuk pengembangan programprogram khusus untuk perempuan. Ketika perempuan dimasukan dalam surveilans nasional, jumlah sampelnya sangat sedikit6, sehingga membatasi kemampuan untuk menarik kesimpulan lebih lanjut yang akurat tentang pengalaman dan kebutuhan dari kelompok ini.
“Sekitar 11% dari 74,000 orang yang menyuntikkan napza di Indonesia adalah perempuan.”
Di bawah pemerintahan presiden Joko Widodo, pemerintah Indonesia menyelenggarakan gerakan “perang melawan narkoba” yang mengutamakan program wajib perawatan ketergantungan napza dan peningkatan pengeluaran untuk pendekatan yang dipimpin oleh penegak hukum, yang berpuncak pada eksekusi 14 orang terkait kasus yang berhubungan dengan napza pada tahun 2015. Para akademisi mengkritik pendekatan ini, dengan alasan bahwa langkahlangkah tersebut mahal dan tidak efektif, dan mendesak pemerintah untuk meningkatkan layanan pengurangan dampak buruk napza berbasis bukti seperti program jarum suntik dan terapi substitusi opioid10. Menurut penelitian awal yang dilakukan oleh Persaudaraan Korban Napza Indonesia, respon keras pemerintah telah menimbulkan hambatan tambahan dalam upaya pencegahan HIV pada orangorang yang menggunakan napza dan telah menghasilkan berbagai konsekuensi yang tidak diinginkan. Konsekuensi ini termasuk peningkatan ketidaknyamanan dan ketakutan dalam mengakses layanan kesehatan di kalangan orangorang yang menggunakan napza, dan munculnya jenis napza baru untuk mengatasi kekurangan di napza yang populer11,12, yang kemudian menyebabkan peningkatan risiko overdosis. Bagi kelompok perempuan pengguna napza, konsekuensi tersebut meningkatkan perilaku berisiko, seperti melakukan kerja seks dengan pasangan berisiko tinggi untuk memenuhi kebutuhan napza mereka dan untuk menyediakan penghasilan bagi keluarga mereka, terutama karena harga napza yang mahal yang didorong oleh “perang melawan narkoba”11.
11
12
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Perempuan pengguna napza Memahami dan merespon kebutuhan perempuan pengguna napza adalah hak kesehatan masyarakat dan hak asasi manusia yang penting. Meskipun perempuan hanya merupakan sebagian kecil dari keseluruhan populasi orang yang menggunakan napza, kelompok ini menghadapi risiko untuk terinfeksi dan menginfeksi HIV melalui risiko perilaku menyuntik dan praktek seksual yang tidak aman. Penelitian yang ada saat ini menunjukkan bahwa dibandingkan dengan laki-laki yang menyuntikkan napza, perempuan yang menyuntikkan napza mengalami tingkat HIV dan kematian yang secara signifikan lebih tinggi13,14.
“Perempuan penasun menghadapi risiko untuk terinfeksi dan menginfeksi HIV melalui risiko perilaku menyuntik dan praktek seksual yang tidak aman.” Penelitian kualitatif dari seluruh kepulauan Indonesia menyoroti peningkatan kerentanan dari perempuan pengguna napza terhadap infeksi HIV15-19. Banyak perempuan melakukan kerja seks untuk menyediakan nafkah bagi keluarga mereka dan untuk memenuhi kebutuhan napza bagi mereka sendiri atau untuk pasangan mereka. Praktek yang dilakukan termasuk turbo (“tukar body”), atau menawarkan jasa seks pada pengedar napza sebagai bayaran untuk mendapatkan obat-obatan tersebut15,16. Praktek ini menyebabkan rendahnya daya negosiasi perempuan, dan sering menyebabkan hubungan seksual berisiko tanpa kondom. Hubungan intim perempuan di Indonesia sangat dibentuk oleh stigma sosial, norma-norma budaya dan perbedaan hubungan kuasa antara laki-laki dan perempuan18. Ketidakseimbangan kuasa tersebut bahkan lebih menonjol di antara pengguna napza perempuan. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perempuan penasun sering menjadi korban dari kekerasan berbasis gender dibandingkan dengan perempuan di populasi umum 20,21. Misalnya, Habsari et al. (2007) dan Sari dan Virgarose (2010)16 mengidentifikasi bentuk-bentuk kekerasan berupa paparan pada hubungan seks paksa, kekerasan fisik dan psikologis yang dilakukan oleh pasangan intim dan non-intim, termasuk oleh aparat penegak hukum dan petugas kesehatan. Korban kekerasan berbasis gender dapat menyebabkan penularan HIV melalui mekanisme biologi (misalnya melalui sobekan dan luka yang mungkin terjadi selama seks paksa) dan mekanisme psikologis. Secara psikologis, kekerasan berbasis gender dapat menurunkan harga diri perempuan dan meningkatkan kerentanan terhadap gangguan kesehatan mental, yang keduanya menghambat kemampuan perempuan untuk menegosiasikan praktek seksual dan menyuntik yang lebih aman. Misalnya, perempuan penasun di Jawa Tengah melaporkan, dengan berat hati mereka menerima keinginan pria untuk berbagi jarum dan untuk berhubungan seks tanpa kondom untuk menghindari konflik dan untuk “mempertahankan” hubungan mereka dengan pasangan intim mereka19. Penelitian yang ada juga menunjukkan bahwa perempuan penasun lebih mungkin untuk terlibat dalam praktek menyuntik tidak aman dibandingkan dengan penasun laki-laki14,22,23. Menurut
data program nasional 2012, 22% dari perempuan penasun dan 7% dari penasun laki-laki HIV-positif di Indonesia melaporkan berbagi jarum suntik dalam satu minggu terakhir, meskipun sudah mengakses layanan pengurangan dampak buruk napza24. Rasa takut akan dilecehkan oleh polisi dan takut akan kekerasan menyebabkan banyak perempuan terburu-buru menyuntik, dan para perempuan ini biasanya menyuntik di tempat yang terisolasi dan dalam kondisi tidak higienis. Tantangan lain dalam mengakses layanan mencakup kurangnya pengetahuan staf kesehatan yang tidak menyadari kebutuhan kesehatan reproduksi dan seksual perempuan saat menggunakan napza, serta kurangnya jam buka layanan yang fleksibel dan akses yang terbatas ke petugas lapangan. Hal-hal ini menimbulkan hambatan bagi perempuan yang bekerja atau memiliki tanggung jawab pengasuhan anak. Selain itu, peningkatan stigma dan diskriminasi dari masyarakat, penegak hukum, dan penyedia layanan kesehatan25 menambah tantangan para perempuan pengguna napza untuk mengakses layanan. Peningkatan risiko dan kerentanan ini memiliki dampak negatif pada kesehatan dan kesejahteraan perempuan, terutama kesehatan seksual dan reproduksi. Penelitian eksplorasi di antara perempuan penasun di Jakarta menunjukkan adanya gejala infeksi menular seksual (IMS), perawatan medis pra dan pasca kelahiran yang tidak sesuai standar dalam kaitannya dengan rumatan metadon dan/atau penggunaan napza suntik aktif selama kehamilan, aborsi yang tidak aman, dan gangguan menstruasi26. Selanjutnya, perempuan penasun sering melaporkan pengalaman penangkapan terkait napza, menjadi tahanan polisi, dan pemenjaraan. Banyak yang juga mengungkapkan kesulitan dalam mengakses bantuan hukum selama proses penangkapan. Tantangan tersebut lebih tinggi di antara perempuan penasun yang juga menjual jasa seks.
“Saat ini tidak ada program pengurangan dampak buruk napza yang secara spesifik mengatasi kebutuhan perempuan pengguna napza di Indonesia.” Meskipun kebutuhan terhadap layanan khusus bagi perempuan pengguna napza ini sangat nyata untuk mengatasi masalah kesehatan perempuan dan hak asasi manusia, saat ini tidak ada program pengurangan dampak buruk atau ketergantungan napza yang secara khusus menangani kebutuhan perempuan di Indonesia. Ketika para perempuan ini mengakses layanan yang ada, mereka sering merasa tak diinginkan dan didiskriminasi16. Program pencegahan dan pelaporan kekerasan tidak menargetkan perempuan yang menggunakan dan menyuntikkan napza, dan layanan bantuan hukum sering tidak dapat diakses oleh perempuan yang secara sosial sudah terisolasi dan termarginalkan27. Ada kebutuhan mendesak untuk lebih memahami pengalaman perempuan yang menyuntikkan napza dan mengembangkan program yang sesuai.
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Metodologi
S
ebuah studi awal dilakukan untuk memperkuat dasar bukti mengenai pengalaman perempuan yang menyuntikkan napza di Indonesia. Penelitian ini dirancang untuk menghasilkan sampel yang representatif dari perempuan penasun. Sebuah kelompok penasehat komunitas (community advisory group) dengan latar belakang perempuan pengguna napza menyediakan panduan dalam semua aspek, mulai dari implementasi studi, termasuk rancangan studi, pengembangan kuesioner instrumen, logistik dan protokol etika. Selain itu, komite peninjau ahli yang terdiri dari peneliti, pembuat kebijakan, dan penyedia layanan melakukan peninjauan terhadap protokol penelitian dan memberikan saran terhadap implementasi studi.
Pengaturan studi Lokasi penelitian yang dipilih dengan mengacu pada data surveilans Kementerian Kesehatan yang mengidentifikasi daerah dengan jumlah penasun dan tingkat HIV yang tinggi di antara para pengguna napza suntik1. Lokasi-lokasi ini adalah Jakarta dan wilayah sekitarnya seperti Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi; dan Bandung, ibukota provinsi Jawa Barat.
Lokasi pelaksanaan studi Perempuan Bersuara
GREATER JAKARTA DEPOK TANGERANG
BEKASI
BOGOR BANDUNG
Bekasi Jakarta Tangerang Depok Bogor Bandung
13
14
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Kriteria kelayakan Kriteria kelayakan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini meliputi: berjenis kelamin perempuan; ≥18 tahun; pernah menyuntikkan napza atau obat-obatan ilegal dalam 12 bulan terakhir; yang berada di salah satu wilayah studi; dirujuk oleh peserta studi lain; dan mampu memberikan persetujuan (informed consent) secara sukarela.
Pengumpulan data dengan pewawancara sebaya Peserta yang memenuhi syarat direkrut menggunakan responden-driven sampling (RDS)28 antara September 2014 dan Mei 2015. RDS adalah bentuk modifikasi dari sampel bola salju yang berbasis kesebayaan yang menyediakan akses ke populasi yang tersembunyi dan/atau populasi sulit dijangkau dan memungkinkan peneliti untuk melakukan analisis secara lebih umum.29 RDS menggunakan prosedur rujukan sistematis dan model statistik yang memberikan bobot pada sampel untuk mengurangi bias yang terkait dengan perekrutan non-acak, sehingga menghasilkan hasil yang akan lebih dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan dan mengembangkan intervensi yang menargetkan kelompok ini30.
Gambar 1: Rantai rujukan teoritis dari respondentdriven sampling
Perekrutan dimulai melalui pemilihan 20 orang yang direkrut sebagai seed (“benih”). Pemilihan benih dilakukan melalui pemetaan dan wawancara informan kunci dengan organisasi non-pemerintah lokal yang bekerja dengan orang-orang yang menggunakan napza dan konsultasi dengan kelompok penasihat komunitas (community advisory group). Untuk meningkatkan keterwakilan sampel yang dihasilkan, benih dipilih berdasarkan keragaman dalam hal geografis lokasi penelitian, usia, pilihan jenis napza yang disuntikkan, tingkat perilaku berisiko, status perkawinan dan tingkat pendidikan. Setiap benih diminta untuk merujuk maksimum tiga rekan sebaya ke dalam studi ini, yang pada gilirannya akan menambahkan rekan sebaya yang lain dalam rantai rujukan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Etika dan keamanan Penelitian ini dilakukan secara anonim. Persetujuan sukarela lisan dan tertulis diperoleh dari masing-masing responden dalam penelitian ini; semua responden didorong untuk menggunakan nama samaran dan diberi kode pengenal unik. Kerahasiaan sangat diutamakan dalam penelitian ini, kecuali ketika responden meminta rujukan layanan atau bantuan. Para peneliti memaksimalkan peluang untuk rujukan dengan memberikan kepada semua responden daftar layanan lokal untuk tes dan konseling HIV, virus hepatitis, infeksi menular seksual (IMS), bantuan dan pencegahan kekerasan layanan hukum. Protokol etika telah disetujui oleh Central University Research Ethics Committee (Komite Etika Penelitian Pusta Universitas Oxford) di Universitas Oxford dan Dewan Etika Universitas Atma Jaya.
Analisis Data Benih
Pewawancara sebaya perempuan dilatih dalam menggunakan kuesioner, mengumpulkan data, etika, penyediaan rujukan, dan kesehatan dan keselamatan kerja di lapangan. Wawancara tatap muka berlangsung sekitar satu jam dan dilakukan di lokasi yang dianggap aman oleh responden, seperti kantor lembaga swadaya masyarakat atau rumah responden. Informasi dikumpulkan menggunakan tablet yang dilengkapi dengan Open Data Kit, sebuah aplikasi sumber terbuka (open source) untuk pengumpulan data dengan menggunakan perangkat genggam31.
Data dianalisis dengan menggunakan Stata 14.1 menggunakan paket RDS untuk Stata32. Untuk memperhitungkan potensi dampak desain RDS pada analisis, perkiraan proporsi penduduk dan tingkat interval kepercayaan 95% dihitung secara terpisah untuk masing-masing variabel menggunakan algoritma data smoothing bootstrap. Analisis deskriptif disesuaikan untuk pembedaan dalam perekrutan serta variasi jumlah peserta per jaringan29. Kecuali diindikasikan lain, digunakan penyesuaian proporsi populasi RDS.
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Temuan Studi Karakteristik sosial ekonomi dan demografi Populasi studi: 731 perempuan berusia 18-46 tahun
yang secara aktif menyuntikkan napza dalam 12 bulan terakhir.
Rerata usia: 31 tahun. 65% perempuan berusia antara
25-34 tahun, 22% berusia 35 atau lebih, dan 14% berusia 24 tahun atau lebih muda.
Status pernikahan: 42% berstatus menikah, 23%
memiliki pasangan tetap, 13% lajang, 15% bercerai, dan 8% janda.
Tanggungan: 59% memiliki anak yang ditanggung dalam rumah tangga atau tanggungan lain yang beban tanggung jawabnya ada pada mereka Tingkat pendidikan tertinggi yang diselesaikan: 18% menyelesaikan pendidikan tinggi
(paska sekolah menengah atas) atau pelatihan kejuruan, 61% menyelesaikan sekolah menengah umum, 17% menyelesaikan sekolah menengah pertama, dan 3% menyelesaikan sekolah dasar.
Tempat tinggal: 45% tinggal dengan orang tua atau kerabat lainnya, 44% tinggal di tempat kos atau tempat yang disewa lainnya, 11% tinggal di tempat milik mereka sendiri, dan 1% adalah tunawisma. Pekerjaan: 47% menganggur, 27% bekerja di sektor informal, 19% memiliki pekerjaan jangka pendek atau sementara, dan 9% memiliki pekerjaan tetap.
Rerata penghasilan bulanan individu: Rp 4,3 juta (sekitar USD $ 330). 56,5% dari perempuan memiliki pendapatan bulanan di bawah dari rata-rata rata-rata nasional Indonesia sebesar Rp 3,8 juta (USD $ 280). Sumber utama dari pendapatan bulanan:
30% tergantung secara finansial pada pasangan mereka, 18% bergantung pada keluarga dan kerabat sebagai sumber pendapatan utama mereka mereka, 37% memperoleh pendapatan mereka dari pekerjaan tetap/sementara, dan 15% mendapat sumber utama pendapatan mereka melalui pekerjaan seks dan transaksi napza (seperti kurir napza, atau dengan menjual napza).
Perilaku dan praktik Perilaku seksual Sebagian besar perempuan hanya memiliki pasangan intim laki-laki (97%), sedangkan 3% memiliki pasangan pria dan/atau perempuan. Perilaku seksual tidak aman yang menempatkan perempuan pada risiko yang lebih tinggi tertular HIV dan infeksi menular seksual lainnya ditemukan umum terjadi dalam kelompok ini. Sebagian besar perempuan memiliki pasangan intim yang terlibat dalam perilaku berisiko atau memiliki karakteristik yang menempatkan mereka pada risiko yang lebih tinggi dari penularan HIV: 50% perempuan memiliki pasangan tetap yang juga menyuntikkan napza, dan 42% melaporkan sengaja berhubungan seks tanpa kondom dengan pasangan yang memiliki HIV. 37% perempuan memiliki beberapa pasangan seksual (dua atau lebih) dalam satu tahun terakhir. Hubungan seks tanpa kondom pada hubungan seksual terakhir dengan semua jenis pasangan dilaporkan oleh hampir duapertiga dari responden. (63%). Hanya 11% yang menggunakan kondom setiap kali mereka berhubungan seks dengan pasangan tetap seperti suami atau pasangan tetap selama 3 bulan atau lebih pada satu tahun terakhir (Gambar 2). Hampir sepertiga (29%) dari perempuan menjual seks dalam satu tahun terakhir dengan imbalan uang atau napza, untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti tempat tinggal dan makanan, atau untuk menafkahi keluarga mereka, namun hanya 28% di antara mereka mengaku selalu menggunakan kondom dalam masing-masing kegiatan kerja seks ini.
Gambar 2: Perilaku seksual dan penggunaan kondom secara konsisten
37% 11%
Menggunakan kondom pada hubungan seksual terakhir
Menggunakan kondom secara konsisten dengan pasangan intim
28%
Menggunakan kondom secara konsisten dengan pasangan seks transaksional
50% 29%
Memiliki penasun sebagai pasangan tetap
Pernah melakukan pekerjaan seks dalam satu tahun terakhir
15
16
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Perilaku terkait napza Inisiasi menyuntik napza Usia rata-rata ketika menyuntik pertama kali adalah 21,2 tahun, dengan beberapa perempuan menyuntikkan napza untuk pertama kalinya di usia 12 tahun. 29% dari responden mulai menggunakan napza suntik pada usia 18 tahun atau lebih muda, dan 74% mulai menyuntik pada usia 24 tahun atau lebih muda. 96% perempuan disuntik oleh orang lain pada saat pertama kali mereka menyuntik napza, sebuah praktik yang telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penularan HIV33,34.
pasangan intim. 20% perempuan melaporkan bahwa mereka biasanya membutuhkan bantuan ketika menyuntik, dan dalam kebanyakan kasus, mereka melaporkan bahwa bantuan menyuntik tersebut diberikan oleh pasangan intim (40%). Meskipun demikian, sebagian besar peserta melaporkan pernah disuntikkan oleh orang lain selain pasangan intim, seperti temanteman pria (34%), teman-teman perempuan (24%), pengedar napza (1%), dan anggota keluarga (1%).
Napza yang disuntik pertama kali oleh para perempuan penasun diperoleh dari berbagai individu dalam jaringan sosial perempuan, termasuk teman-teman pria (34%), teman-teman perempuan (24%), pasangan intim (29%), anggota keluarga (3%), dan pada sejumlah kasus minoritas yang relatif besar, mereka membeli langsung dari pengedar napza (10%).
Gambar 3: Aksesibilitas dan berbagi peralatan suntik
44%
Penggunaan napza dan penyuntikkan napza dalam satu tahun terakhir Zat yang disuntikkan setidaknya sekali dalam satu tahun terakhir termasuk: heroin (95%), buprenorfin (19%), benzodiazepine (3%), kristal metamfetamin (1%), kodein (1%) dan ketamin (0,3%). Sebagian besar peserta (86%) menyuntikkan heroin sebagai obat pilihan mereka, sementara 14% menyatakan bahwa mereka lebih menyukai buprenorfin.1 Meskipun demikian, penggunaan napza lebih dari satu jenis cukup umum: 91% dari perempuan menggunakan setidaknya dua jenis zat pada tahun sebelumnya. Selain napza suntik, responden juga menggunakan beberapa zat non-suntik pada tahun sebelumnya; napza non-suntik termasuk kristal methamphetamine (17%), benzodiazepin, anti-depresan (15%), alkohol (13%), dan ganja (5%). Rata-rata, para perempuan melaporkan menyuntikkan napza selama sekitar 10 tahun (kisaran: 4 bulan sampai 24 tahun). Sekitar 7% dari perempuan penyuntik napza baru, baru menyuntik selama 2 tahun atau kurang. Rata-rata, 63% dari pendapatan perempuan setiap bulan - setara dengan Rp 2,7 juta (sekitar USD $ 210) - dihabiskan untuk membeli napza.
Penggunaan peralatan suntik steril Prevalensi berbagi jarum suntik2 dalam satu bulan terakhir adalah 15% (prevalensi dalam perhitungan statistik yang tidak diberikan bobot menunjukkan hasil yang lebih tinggi, yaitu 21%) (Gambar 3). Lebih dari sepertiga perempuan (37%) melaporkan berbagi perlengkapan suntik seperti kontainer, filter, turniket dan air yang digunakan untuk mempersiapkan napza untuk injeksi, yang mengakibatkan adanya faktor risiko yang signifikanmeski kurang diprioritaskan - untuk penularan hepatitis C dan virus lainnya yang menular melalui darah (prevalensi dalam perhitungan statistik yang tidak diberikan bobot untuk pengalaman berbagi alat suntik mencapai 44%)35.3 Sekitar 41% dari perempuan melaporkan bahwa mereka biasanya menyuntikkan napza bersama-sama dengan
Mengakses LASS melalui Puskesmas dalam satu tahun terakhir
59%
15%
Mengakses LASS melalui petugas penjangkau dalam satu tahun terakhir
Berbagi jarum suntik bekas orang lain dalam satu bulan terakhir
37%
Berbagi peralatan menyuntik (cooker, penyaring, turniket, air) dalam satu bulan terakhir
Kepolisian dan kontak dengan penegak hukum Penangkapan dan penahanan Hampir setengah dari responden (45%) melaporkan riwayat penangkapan; 93% dari kasus penangkapan tersebut adalah karena pelanggaran yang berhubungan dengan napza. Para perempuan melaporkan rata-rata tiga penangkapan selama masa hidup mereka. Ketika ditanyakan mengenai kejadian ketika terakhir kali mereka ditangkap, 77% dari peserta didakwa dengan kepemilikan napza untuk penggunaan pribadi, 14% untuk membantu dalam transaksi narkoba (misalnya sebagai kurir atau membantu membelikan/menjual napza), 7% untuk lainnya tindak pidana yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan napza (misalnya pekerja seks, mencuri), dan 3% ditangkap sebagai bagian dari operasi polisi atau sweeping. 14% dari responden menyatakan pernah dimasukkan ke penjara atau penahanan (prevalensi dalam perhitungan statistik yang tidak diberikan bobot mencapai 23%). Dari angka tersebut, 42% terus menyuntikkan napza selama di penjara atau penahanan.
1. Buprenorphine, yang dijual dengan merek dagang Subutex dan Suboxone, adalah obat/zat substitusi legal yang digunakan untuk menangani ketergantungan pada zat opioid. 2. Menerima dan berbagi jarum suntik diukur dengan menggunakan empat item yang dipilih dari subskala risiko dalam kuesioner Blood-Borne Virus Transmission Risk Assessment Questionnaire (BBV-TRAQ), yang menilai frekuensi keterlibatan penyuntikkan napza dalam satu bulan terakhir. Kuesioner termasuk: perilaku menyuntik dengan orang lain menggunakan jarum/alat suntik; disuntik dengan jarum/jarum suntik setelah orang lain menyuntikkan sebagian isinya; menerima jarum suntik/tusukan dari orang lain dengan jarum/alat suntik yang telah digunakan; dan menggunakan kembali jarum/alat suntik yang diambil dari wadah pembuangan/benda tajam bersama. 3. Berbagi perlengkapan menyuntik diukur dengan menggunakan empat item yang dipilih dari subskala risiko suntik dari BBV-TRAQ. Kueionser termasuk: menyuntikkan napza yang telah disaring melalui filter yang pernah digunakan oleh orang lain; menyuntikkan napza yang disiapkan di sendok atau wadah pencampuran bekas orang lain; menyuntikkan napza yang dibuat dengan air bekas; dan menggunakan turniket orang lain.
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Pemerasan, penganiayaan dan kekerasan oleh polisi Sebagian besar (87%) dari perempuan dengan riwayat penangkapan terkait narkoba melaporkan bahwa mereka dan/ atau keluarga mereka mengalami pemerasan polisi selama proses penangkapan. Dalam kebanyakan kasus, pemerasan melibatkan permintaan sejumlah besar uang oleh polisi sebagai imbalan tuntutan hukum yang lebih rendah, rujukan untuk perawatan ketergantungan napza, atau untuk melakukan pembatalan perkara. Beberapa perempuan dilaporkan dipaksa oleh pihak berwenang untuk “mengadukan” teman-teman mereka yang menggunakan napza untuk dapat mengurangi atau membatalkan tuntutan. Proses ini dikenal di masyarakat sebagai “tukar kepala”. Kami menemukan tingginya tingkat kekerasan dan pelecehan yang dilakukan oleh polisi terhadap perempuan yang menyuntikkan napza (Gambar 4). 60% dari perempuan yang pernah kontak dengan penegak hukum mengalami pelecehan verbal (dihina, dipanggil dengan sebutan tertentu, dimarahi atau dicemooh), 27% mengalami kekerasan fisik (ditampar, ditinju, ditendang, atau dipukul), dan 5% pernah mengalami kekerasan seksual (paksaan untuk melakukan seks vaginal atau anal, melakukan oral seks, atau disentuh/diraba dengan tidak pantas di area intim di luar kehendak mereka).
Gambar 4: Kekerasan dan pelecehan oleh polisi selama proses penahanan
87% 60% 27%
Pemerasan
Pelecehan verbal
Pedoman Konsolidasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengobati dan mencegah infeksi HIV merekomendasikan pengujian setiap 3 bulan untuk individu yang berisiko tinggi terinfeksi HIV36, ada kemungkinan prevalensi HIV yang sebenarnya di antara perempuan penasun lebih tinggi dari yang dilaporkan dalam laporan ini. 90% dari perempuan pernah mendengar tentang gejala infeksi menular seksual (IMS). Sebagian besar (65%) melaporkan memiliki gejala IMS saat ini4. Memiliki IMS memfasilitasi penularan HIV dan meningkatkan penularan HIV di kalangan perempuan yang sudah hidup dengan HIV. Hal ini mencerminkan risiko yang cukup besar bagi perempuan untuk tertular dan menularkan HIV kepada pasangan seksual dan pasangan menyuntik mereka.
Kekerasan pasangan intim 76% perempuan mengalami beberapa bentuk kekerasan pasangan intim dengan pasangan atau mantan pasangan dalam satu tahun terakhir. Agresi psikologis yang parah dan melibatkan ancaman kekerasan dialami oleh 40% dari responden. Setengah dari responden (50%) melaporkan pernah mengalami berbagai bentuk kekerasan fisik, dengan 6% mengalami cedera yang sangat parah, sehingga mereka perlu untuk mengunjungi dokter atau mendapat perawatan di ruang gawat darurat (Gambar 5). Kekerasan seksual dilaporkan oleh 38% dari peserta. 5% dari perempuan melaporkan bentuk yang lebih parah dari seks dengan paksaan, yang melibatkan penggunaan kekuatan seperti memukul, menekan, atau menggunakan senjata untuk memaksa mereka untuk berhubungan seks (pemerkosaan).
Gambar 5: Pajanan pada kekerasan pasangan intim dalam satu tahun terakhir
Kekerasan fisik
76% 5% Kekerasan seksual
71%
Indikator kesehatan yang dilaporkan sendiri HIV dan infeksi menular seksual Prevalensi infeksi HIV yang dilaporkan sendiri dalam sampel adalah 42% (prevalensi HIV pada perhitungan statistik yang tidak diberikan bobot lebih tinggi, yaitu 47%). Satu dari lima perempuan (20%) tidak mengetahui status HIV mereka. Sekitar 84% pernah dites untuk antibodi HIV, 86% di antaranya pernah dites dalam 6 bulan terakhir sebelum survei. Mengingat bahwa
50% 33%
Semua jenis pelecehan oleh pasangan intim
Kekerasan psikologis
Kekerasan fisik
Kekerasan fisik yang mengakibatkan cedera
38%
Pelecehan seksual
4. Gejala IMS saat ini diukur dengan menggunakan pendekatan gejala berdasarkan peserta laporan diri dari gejala yang mudah dikenali. Peserta melaporkan setidaknya dua dari enam gejala berikut pada saat wawancara diberi kode “memiliki gejala IMS saat ini”: perasaan panas dan/atau ketidaknyamanan saat buang air kecil, gatal-gatal, iritasi dan/atau ketidaknyamanan di daerah genital, rasa tidak nyaman dan/atau sakit saat berubungan seksual, luka, lecet dan/atau borok pada vagina, keputihan yang tidak biasa misalnya cairan seperti nanah dan/atau cairan lengket dari daerah genital, dan/atau nyeri perut bagian bawah.
17
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
731
548
Trauma dan kesehatan mental
Akses pada layanan kesehatan dan dukungan Pengobatan antiretroviral untuk HIV Di antara perempuan yang hidup dengan HIV yang mengetahui status positif mereka, sebagian besar (62%) telah memulai pengobatan antiretroviral (ART) (Persentase pada perhitungan statistik yang tidak diberi bobot menunjukkan hasil yang lebih rendah, yaitu 52%). Pada saat survei, 21% dari perempuan ini telah berhenti menggunakan ART (Gambar 6). Alasan untuk menghentikan ART termasuk: lelah minum obat setiap hari atau beberapa kali sehari (62%), mengalami efek samping yang parah (35%), sering lupa minum obat/ khawatir tentang mengalami resistensi virus (45%), tidak memiliki waktu untuk pergi ke klinik/rumah sakit (14%), tidak mampu untuk mengakses klinik/rumah sakit karena jarak geografis (14%), dan perasaan “sehat” tanpa menggunakan ARV (21%). Peserta juga khawatir tentang proses birokrasi yang panjang dan rumit terkait dengan akses ARV setelah pindah ke daerah lain, kendala keuangan, dan kekhawatiran tentang keluarga/kerabat mengetahui status mereka.
366
341 Berkurang 21% **
178
183
149 29
0
Berhenti menggunakan ART
Terdapat kebutuhan untuk layanan kesehatan mental yang luas di kalangan perempuan dalam sampel kami. 65% perempuan melaporkan gejala indikasi depresi klinis.5 Sebuah proporsi yang sama, 63%, memiliki gejala gangguan stres pasca-trauma.6
Berkurang 38% *
Saat ini masih menggunakan ART
Sekitar 1 dari 3 perempuan (32%) mengalami setidaknya satu peristiwa overdosis. Rata-rata, para perempuan ini mengalami dua overdosis dalam hidup mereka. 73% perempuan pernah menyaksikan teman atau kenalan yang mengalami overdosis yang tidak fatal, dan 34% pernah menyaksikan seorang teman yang mengalami overdosis fatal.
Gambar 6: Pengobatan antiretroviral di antara perempuan penasun (n=731)
Pernah mulai menggunakan ART
Overdosis
Didiagnosis dengan HIV dan mengetahui status HIV
18
* Tidak diberi bobot: 48%. ** Tidak diberi bobot: 16%.
38% (pada perhitungan statistik yang tidak diberi bobot, 48%) dari semua perempuan yang hidup dengan HIV dalam sampel tidak pernah memulai ART. Alasan perempuan untuk belum memulai ART termasuk: merasa “sehat” tanpa obat (50%), memiliki angka CD4 yang tinggi (34%), merasa khawatir tentang efek samping (28%), dan menerima saran medis untuk tidak memulai ART (13%). Kendala keuangan (3%) dan jarak geografis yang jauh ke klinik/rumah sakit (5%) memberikan hambatan tambahan untuk penggunaan ARV di kalangan perempuan ini, terutama bagi perempuan yang tinggal di luar wilayah Jabodetabek.
Kesehatan seksual reproduksi 23% perempuan pernah mengakses layanan tes untuk infeksi menular seksual dalam satu tahun terakhir, sekitar sepertiga di antaranya (34%) menerima pengobatan infeksi menular seksual (Gambar 7). Lebih dari seperempat (26%) perempuan melaporkan pernah melakukan aborsi, dengan rata-rata para perempuan ini memiliki jumlah aborsi setidaknya dua kali selama hidup mereka, dan beberapa perempuan pernah mengalami sampai lima kali aborsi. Meskipun aborsi di Indonesia adalah ilegal dan sangat distigma, banyak perempuan mengakhiri kehamilan mereka dengan cara yang tidak aman, yang mengarah ke komplikasi yang serius dan bahkan kematian.
5. 6.
Gejala depresi diukur dengan menggunakan skala 20 item Revised Center for Epidemiologic Studies Depression Scale, dan dinilai menggunakan komponen kunci dari gejala depresi (yaitu perasaan depresi, perasaan bersalah dan tidak berharga, perasaan tidak berdaya dan putus asa, retardasi psikomotor, kehilangan nafsu makan, dan gangguan tidur). Skor dengan ambang batas 16 atau lebih, menunjukkan gejala depresi klinis yang “signifikan” atau “ringan”, digunakan untuk menilai keberadaan gejala depresi. Gangguan stres pasca trauma (PTSD) diukur menggunakan PTSD Checklist Scale dengan 17 item. Peserta diberi kode “memiliki gejala PTSD” jika mereka memenuhi skor ambang batas median Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV).
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Responden menggarisbawahi layanan kesehatan seksual dan reproduksi sebagai kebutuhan prioritas yang sebagian besar masih belum terpenuhi. Ada tantangan khusus untuk mengakses layanan kesehatan seksual dan perawatan pra dan paska kelahiran yang akurat dan berkualitas yang tidak mendiskriminasikan perempuan berdasarkan status penggunaan napza aktif atau status non-pernikahan mereka. Layanan tersebut harus terintegrasi dengan layanan yang ada. Para perempuan ini juga melaporkan gangguan menstruasi, dan kekhawatiran tentang kurangnya informasi yang dapat dipercaya dan pengetahuan yang terbatas dari staf layanan kesehatan mengenai layanan HIV dalam kaitannya dengan isu seksualitas dan kesehatan reproduksi ini.
Gambar 7: Akses kepada layanan kesehatan dalam satu tahun terakhir
23%
Tes IMS
Tes HIV
Tes Hepatitic C
16%
44%
Layanan alat suntik steril (Puskesmas)
59%
7.
Di antara perempuan dengan status antibodi HCV positif yang dilaporkan sendiri, hanya 15% yang pernah mengakses pengobatan antivirus dengan interferon pegilasi dan ribavirin. Pengobatan berhasil (yaitu menghasilkan reaksi virologi tetap [sustained virological response]) pada 64% dari para perempuan ini.7 Alasan untuk tidak memulai pengobatan di antara sisa 88% dari perempuan yang hidup dengan HCV termasuk: perasaan “sehat” tanpa obat (34%), biaya pengobatan yang mahal (32%), biaya tes pendukung yang mahal seperti FibroScan, tes genotipe, viral load (17%), dan takut akan efek samping (6%).
Dalam satu tahun terakhir, sebagian besar perempuan mengakses alat suntik steril melalui petugas lapangan (59%). 44% mengakses alat suntik steril dari layanan tetap di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).
Terapi substitusi opioid dan perawatan ketergantungan napza
Terapi substitusi opioid
25%
70% dari perempuan ini tidak mengetahui status hepatitis C (HCV) mereka. 33% di antaranya mengetahui status antibodi HCV mereka, sementara prevalensi HCV yang dilaporkan sendiri (self-reported) mencapai 43% (prevalensi dalam perhitungan statistik yang tidak diberi bobot adalah 49%).
Program alat suntik 51%
14%
Pengobatan antivirus untuk Hepatitis C
Layanan alat suntik steril (Petugas Penjangkau)
Kelompok dukungan
16% dari perempuan terdaftar dalam terapi substitusi opioid pada saat wawancara; dari angka tersebut 85% di antaranya mengakses metadon dan 15% mengakses buprenorfin (Subutex atau Subuxone). Rata-rata, responden telah menggunakan terapi substitusi opioid selama tiga tahun delapan bulan (dengan rentang waktu mulai satu bulan sampai 144 bulan). 26% responden pernah mengikuti program perawatan ketergantungan napza sebelumnya. Rata-rata, responden mengikuti perawatan ketergantungan obat setidaknya dua kali, dengan beberapa perempuan melaporkan mengikuti program semacam ini sebanyak 20 kali. Ketika ditanya mengenai program perawatan ketergantungan napza terakhir yang pernah mereka ikuti, hanya 36% perempuan yang melaporkan bahwa mereka mendaftarkan diri secara sukarela. Mayoritas (60%) dipaksa untuk menjalani perawatan oleh keluarga mereka, dan hanya 4% yang dirujuk ke tempat perawatan melalui proses hukum seperti sistem peradilan pidana. Ketika ditanyakan mengenai jenis terapi yang paling baik untuk mereka, proporsi terbesar dari perempuan (30%) mengatakan bahwa perawatan ketergantungan napza berbasis masyarakat adalah pilihan yang lebih disukai.
Catatan: Gambar ini berasal dari sampel yang sangat kecil, yaitu dari 14 perempuan yang pernah mengakses pengobatan untuk hepatitis C.
19
20
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Diskriminasi, eksklusi dan dukungan sosial Perempuan penasun cenderung menghadapi diskriminasi yang lebih besar dibandingkan dengan penasun pria. Di Indonesia, penggunaan napza oleh perempuan umumnya dipandang sebagai sesuatu yang “tidak bermoral”, mencerminkan kegagalan pribadi, dan tidak sesuai dengan peran gender yang diharapkan terhadap seorang perempuan sebagai istri dan ibu16. Persepsi ini dikonfirmasi oleh pengalaman perempuan dalam penelitian ini, dimana banyak dari mereka merasa dikucilkan secara sosial dan kurang mendapat dukungan sosial yang mereka butuhkan dari keluarga dan rekan-rekan mereka. 50% perempuan merasa bahwa mereka tidak bisa berbicara tentang masalah mereka dengan keluarga mereka, atau merasa bahwa keluarga mereka tidak memberikan bantuan dan dukungan emosional. Pengucilan dari lingkaran sosial mereka sendiri juga umum terjadi: sekitar 50% dari perempuan merasa bahwa mereka tidak bisa bicara atau mengandalkan teman-teman mereka ketika mereka memiliki masalah. Mengingat tingkat kekambuhan yang tinggi dan akses yang terbatas pada layanan perawatan ketergantungan napza sukarela yang berbasis komunitas, ada kebutuhan khusus dan kebutuhan akan dukungan sosial yang lebih besar untuk memastikan hasil yang
lebih baik bagi perempuan yang menggunakan terapi substitusi opioid dan perawatan ketergantungan napza. Selain masalah yang diidentifikasi oleh penelitian kualitatif sebelumnya mengenai kurangnya kenyamanan perempuan dalam mengakses layanan kesehatan masyarakat karena diskriminasi oleh staf medis16, peserta dalam penelitian ini juga menyatakan kebutuhan akan layanan yang ramah dan terpadu di masyarakat yang mengakomodasi kebutuhan pengasuhan anak dan memberikan “ruang yang aman” yang dikelola oleh perempuan untuk perempuan. Banyak peserta secara khusus menyatakan kebutuhan akan pelayanan kesehatan terpadu untuk mengatasi masalah kesehatan seksual dan reproduksi yang berhubungan dengan penggunaan napza mereka. Mereka membutuhkan layanan yang ramah dan holistik, di mana status penggunaan napza aktif mereka ditangani dengan cara yang tidak menghakimi.
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Kesimpulan
T
emuan penelitian ini menginformasikan bahwa perempuan penasun di Indonesia mengalami berbagai temuan masalah kesehatan dan kerentanan. Tingkat penggunaan kondom yang tidak konsisten, keterlibatan dalam kerja seks, dan berbagi peralatan suntik menyoroti risiko perempuan untuk tertular dan menularkan HIV, HCV dan virus lain yang menular melalui darah melalui praktek seksual dan menyuntik tidak aman. Risiko ganda melalui perilaku seksual dan menyuntik yang berisiko diperparah oleh paparan yang tinggi terhadap kekerasan intim oleh pasangan dan pelecehan yang dilakukan oleh polisi. Indikator kesehatan yang dilaporkan sendiri oleh para responden studi menunjukkan tingginya tingkat HIV dan infeksi menular seksual, overdosis, trauma, dan kebutuhan kesehatan mental. Kesehatan seksual dan reproduksi ditekankan sebagai area utama yang perlu diperhatikan, di mana diperlukan tindakan yang mendesak. Responden penelitian menginformasikan adanya kesenjangan yang signifikan dalam layanan yang ada, di mana dibutuhkan layanan yang sensitif dan sesuai dengan kebutuhan perempuan penasun. Pengucilan sosial, kurangnya dukungan dari keluarga dan rekan-rekan, dan diskriminasi dari penyedia layanan semakin menambah marginalisasi terhadap perempuan penasun.
Deklarasi Politik PBB tahun 2016 tentang HIV dan AIDS: Percepatan untuk Mengakhiri HIV dan AIDS pada tahun 2030 mendorong negara-negara untuk “menjangkau semua perempuan, remaja perempuan dan populasi kunci dengan layanan pencegahan HIV yang komprehensif, termasuk memberikan layanan pengurangan dampak buruk napza, pada tahun 2020”.
Awal tahun ini, Indonesia menjadi salah satu dari 193 negara anggota PBB yang secara utuh mengadopsi Deklarasi Politik PBB tentang HIV dan AIDS tahun 2016: Percepatan untuk Mengakhiri HIV dan AIDS pada tahun 2030. Deklarasi ini mendorong negara-negara untuk “menjangkau semua perempuan, remaja perempuan dan populasi kunci dengan layanan pencegahan HIV yang komprehensif, termasuk pengurangan dampak buruk napza, pada tahun 2020”37. Tujuan ini tidak dapat direalisasikan, khususnya di kalangan populasi yang sangat terdampak seperti penasun, tanpa mengatasi beban yang tinggi atas kerentanan terhadap infeksi HIV yang dihadapi oleh perempuan penasun. Temuan penelitian menunjukkan bahwa Indonesia harus berbuat lebih banyak untuk memenuhi komitmen ini bagi perempuan penasun: pemanfaatan layanan pengurangan dampak buruk napza, program ketergantungan
obat berbasis masyarakat secara sukarela dan penggunaan ARV tetap terbatas di antara kelompok ini. Penjangkauan semua perempuan dan anak perempuan juga harus mencakup upaya untuk mengatasi tingginya tingkat kekerasan yang dilakukan oleh pasangan intim dan non-intim serta mendorong kebijakan yang memungkinkan untuk mendukung, alih-alih mengkriminalisasi pengguna napza perempuan.
Kekuatan dan keterbatasan penelitian Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, karena desain studi ini adalah potong lintang (crosssectional), tidak ada kesimpulan tentang sebab-akibat yang dapat dibuat; penelitian lanjutan dengan menggunakan desain studi longitudinal diperlukan untuk menguji asumsi kausal. Kedua, penggunaan metode wawancara lapor diri (self-reported) dapat menghasilkan bias dalam pelaporan, terutama dalam kaitan dengan informasi yang sensitif tentang perilaku ilegal. Keterbatasan ini diminimalkan dengan menggunakan pewawancara dari rekan sebaya38, yang telah terbukti dapat meningkatkan validitas data laporan diri39. Meskipun dengan keterbatasan ini, studi ini memiliki kekuatan yang penting. Studi ini adalah studi terbesar yang meneliti indikator kesehatan dasar dan karakteristik penting lainnya di antara perempuan penasun di Indonesia. Hal lain yang juga menjadi sorotan adalah sifat kolaboratif dan beragam kemitraan antara lembaga akademik Indonesia dan internasional, jaringan pengguna napza dan organisasi masyarakat sipil setempat memastikan bahwa temuan akan digunakan dalam advokasi kebijakan berbasis bukti dan untuk meningkatkan program yang ada. Secara khusus, keterlibatan aktif dari komunitas perempuan penasun adalah bagian integral hak asasi manusia yang mendasari pendekatan partisipatif, dan memberikan kesempatan penting untuk membangun kapasitas penelitian di kalangan perempuan dengan latar belakang penggunaan napza dan untuk berkolaborasi dengan organisasi berbasis masyarakat.
21
22
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Siti berpartisipasi dalam sebuah pertemuan klien di fasilitas pemulihan adiksi berbasis masyarakat.
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Rekomendasi
M
eskipun ada bukti yang tumpang tindih dari kerentanan di antara perempuan penasun di Indonesia, belum ada respon yang komprehensif untuk mengatasi kebutuhan spesifik mereka. Program yang disesuaikan dengan kebutuhan, program sensitif dan segera, serta kebijakan berbasis bukti harus dilaksanakan untuk meningkatkan skala cakupan untuk mengatasi kebutuhan khusus dari kelompok ini. Kami merekomendasikan tindakan mendesak berikut:
Untuk para pembuat kebijakan 1. Perempuan
yang menggunakan dan menyuntikkan napza harus secara eksplisit disertakan dalam pedoman nasional, strategi penggulangan HIV/AIDS dan napza serta dokumen kebijakan terkait lainnya sebagai kelompok yang memerlukan perhatian khusus.
2. Pedoman nasional untuk terapi substitusi opioid; termasuk
metadon dan buprenorfin harus dikembangkan dengan partisipasi yang berarti dari perempuan penasun. Pedoman harus mencakup:
Instruksi yang jelas bagi dokter dan staf medis lainnya
mengenai ketergantungan napza termasuk dosis dan hak kesehatan seksual dan reproduksi: menstruasi, kehamilan, aborsi, dan kontrasepsi Penyediaan dukungan psikososial bagi perempuan yang menggunakan terapi substitusi opioid. 3. Pedoman standar minimum untuk perawatan ketergantungan napza dan rehabilitasi harus secara bermakna melibatkan perempuan yang menggunakan dan menyuntikkan napza dan memenuhi kebutuhan khusus mereka. Secara khusus, pedoman ini harus meliputi:
Program sukarela, yang berpusat pada klien
perempuan yang menyediakan rencana perawatan individual berbasis bukti dan fleksibilitas mengenai komunikasi dan interaksi dengan anak-anak dan keluarga. Keterlibatan yang bermakna dari perempuan yang menggunakan dan menyuntikkan napza dalam proses penyusunan dan negosiasi yang ada di tingkat nasional. 4. Secara aktif melaporkan dan memilah data surveilans lain yang ada di tingkat nasional dan informasi penelitian lain berdasarkan jenis kelamin dan usia. Secara khusus:
Menyertakan
sampel yang lebih besar dari perempuan yang menggunakan dan menyuntikkan napza dalam surveilans nasional. Memanfaatkan metode perekrutan yang dilakukan oleh rekan sebaya (peer driven) dalam penelitian dan program pengurangan dampak buruk napza 5. Membangun sistem pemantauan dan pelaporan terkait kekerasan terkait polisi dan pasangan intim termasuk layanan bantuan hukum untuk perempuan yang menggunakan dan menyuntikkan napza melalui penyediaan layanan konseling khusus pasca kekerasan untuk perempuan yang menggunakan dan menyuntikkan napza.
Untuk penyedia layanan Diperlukan paket intervensi dan pedoman terkait, termasuk penyesuaian program yang ada, yang membahas bahaya terkait dengan penggunaan napza, seks tidak aman dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM):
1. Mengarusutamakan gender ke dalam sistem rujukan ke
layanan kesehatan seksual dan reproduksi, pengurangan dampak buruk napza, pencegahan HIV, pengobatan dan perawatan HIV, dan pencegahan kekerasan.
2. Melakukan inisiasi pendekatan satu atap melalui layanan
rumah singgah (drop in center), baik layanan yang menetap atau bergerak untuk perempuan menggunakan dan menyuntikkan napza:
Meningkatkan keramahan layanan pengurangan
dampak buruk napza dan layanan pencegahan dan perawatan HIV/AIDS yang ada untuk perempuan yang menggunakan dan menyuntikkan napza dengan menyediakan layanan yang menjamin kerahasiaan, lokasi terpisah untuk layanan khusus perempuan; melibatkan lebih banyak perempuan dalam rancangan, pemantauan dan evaluasi program; menyediakan jam kerja layanan kesehatan yang fleksibel; dan menerapkan layanan bergerak (mobile), layanan berbasis kesebayaan, sebagai pengakuan bahwa banyak perempuan memiliki tanggung jawab untuk pengasuhan anak dan pekerjaan; Melaksanakan penjangkauan berbasis kesebayaan di antara perempuan yang menggunakan dan menyuntikkan napza dalam program penjangkauan yang ada, termasuk dengan memiliki kuota staf perempuan termasuk petugas lapangan, konselor dan rekan-rekan untuk mengelola kasus perempuan; Libatkan keluarga perempuan dan masyarakat lokal dalam program dan kegiatan dengan tujuan mengurangi stigma dan meningkatkan dukungan sosial bagi perempuan pengguna napza dan perempuan penasun. 3. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi berbasis masyarakat yang melibatkan perempuan yang menggunakan dan menyuntikkan napza dalam menilai kualitas layanan pengurangan dampak buruk napza baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional.
4. Memobilisasi
dan memberdayakan perempuan yang menggunakan dan menyuntikkan napza untuk memainkan peran yang lebih besar dalam advokasi untuk kebijakan dam program napza yang lebih baik yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus mereka.
23
24
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Para klien perempuan sedang melakukan pijat tradisional. Hal ini dilakukan sebagai upaya melepaskan ketegangan dan stress.
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Daftar Pustaka 1.
Kementerian Kesehatan. Lembar kerja estimasi. In: Republic of Indonesia, ed. Jakarta, Indonesia 2012. 2. Pinkham S, Stoicescu C, Myers B. Developing effective health interventions for women who inject drugs: key areas and recommendations for program development and policy. Adv Prev Med. 2012;2012:1-10. 3. UNAIDS. The Gap Report. Geneva, Switzerland: Joint United Nations Programme on HIV/AIDS;2014. 4. Indonesian National AIDS Commission. Republic of Indonesia Country Report on the Follow up to the Declaration of Commitment on HIV/AIDS (UNGASS): Reporting period 2010-2011. Jakarta, Indonesia: Indonesian National AIDS Commission;2012. 5. Indonesian National AIDS Commission. Global AIDS Progress Reporting: Indonesia Country Progress Report 2014. Jakarta, Indonesia: Indonesian National AIDS Commission;2014. 6. Indonesian National AIDS Commission. Republic of Indonesia Country Report on the Follow up to the Declaration of Commitment On HIV/AIDS (UNGASS): Reporting Period 2008 - 2009. Jakarta, Indonesia: Indonesian National AIDS Commission;2009. 7. Republic of Indonesia. Narcotics Law No. 35. In: Affairs MoI, ed. Vol 35. Jakarta, Indonesia 2009. 8. Wirya A, Misero Y. The trip to nobody knows where: Examining the effectiveness of Indonesia’s compulsory report program for drug users and its compliance to the International Human Rights Standards. Jakarta, Indonesia: Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat;2016. 9. Online database: number of inmates. Sub-Directorate of Corrections; 2016. Accessed 20 September, 2016. 10. Irwanto I, Wirawan DN, Praptoraharjo I, Irianto S, Mulia SM. Evidence-informed response to illicit drugs in Indonesia. The Lancet. 2015;385:2249-2250. 11. Stoicescu C, Ameilia R. Impact of punitive drug policies and policing on public health research among injecting drug users in Indonesia: A Qualitative Perspective. Poster presented at 24th International Harm Reduction Conference; 19 October, 2015, 2015; Kuala Lumpur, Malaysia. 12. Plamularsih S. Pendokumentasian Dampak Perang terhadap Narkotika di Indonesia. Jakarta, Indonesia: Persaudaraan Korban Napza Indonesia; 2016. 13. Des Jarlais DC, Feelemyer JP, Modi SN, Arasteh K, Hagan H. Are females who inject drugs at higher risk for HIV infection than males who inject drugs: an international systematic review of high seroprevalence areas. Drug Alcohol Depend. 2012;124(12):95-107. 14. Roberts A, Mathers B, Degenhardt L. Women who inject drugs: A review of their risks, experiences and needs. Sydney, Australia: National Drug and Alcohol Research Centre (NDARC), University of New South Wales;2010. 15. Habsari R, Rahardjo T, Rahmah A, Handoyo P. Perempuan-perempuan di langkar Napza: Laporan Kajian Kebutuhan Pengguna Napza Suntik Perempuan di Delapan Kota di Indonesia, 2007. Jakarta, Indonesia: National AIDS Commission;2007. 16. Sari SW, Nurmaya BV. Pengalaman Perempuan Pengguna Narkotika Suntik (Penasun) dalam Mengakses Layanan Harm Reduction: Sebuah Kajian Cepat. Jakarta, Indonesia Yayasan Stigma;2009. 17. Saktiawati AMI, Worth H, Lazuardi E, Spooner C, Subronto YW, Padmawati RS. I Just Trust Him: The Notion of Consideration as a Barrier to Condom Use amongst Women Who Inject Drugs in Central Java. World Journal of AIDS. 2013;03(04):298-304. 18. Lazuardi E, Worth H, Saktiawati AM, Spooner C, Padmawati R, Subronto Y. Boyfriends and injecting: the role of intimate male partners in the life of women who inject drugs in Central Java. Culture, Health & Sexuality. 2012;14(5):491-503. 19. Spooner C, Saktiawati AMI, Lazuardi E, Worth H, Subronto YW, Padmawati RS. Women who inject drugs in central Java and HIV risk. Sydney, Australia: International HIV Research Group, University of New South Wales;2010. 20. Li Y, Marshall CM, Rees HC, Nunez A, Ezeanolue EE, Ehiri JE. Intimate partner violence and HIV infection among women: a systematic review and meta-analysis. J Int AIDS Soc. 2014;17:18845.
21.
22. 23. 24.
25. 26.
27. 28. 29. 30. 31.
32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39.
Gilbert L, Raj A, Hien D, Stockman J, Terlikbayeva A, Wyatt G. Targeting the SAVA (Substance Abuse, Violence, and AIDS) Syndemic Among Women and Girls: A Global Review of Epidemiology and Integrated Interventions. Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes. 2015;69(2):S118-S127. Strathdee SA, Patrick DM, Archibald CP, et al. Social determinants predict needlesharing behaviour among injecting drug users in Vancourver, Canada. Addiction. 1997;92(10):1139-1347. Sherman SG, Latkin CA, Gielen AC. Social Factors Related to Syringe Sharing among Injecting Partners: A Focus on Gender. Substance Use & Misuse. 2009;36(14):21132136. Blogg S. Female Injecting Drug Users: Behaviour and Service Satisfaction Survey among Female Clients of Harm Reduction Services in Bali, Banten, DKI Jakarta, East Java, Central Java, West Java, Yogyakarta. Jakarta, Indonesia: Indonesian National AIDS Commission; 2012. Azim T, Bontell I, Strathdee SA. Women, drugs and HIV. Int J Drug Policy. 2015;26 Suppl 1:S16-21. Stoicescu C, Sari SW, Esteria-Tobing N. Risk and Protective Factors for HIV Transmission Among Women who Inject Drugs in Jakarta, Indonesia: An Exploratory Study. Oral Presentation presented at 10th International Congress on AIDS in Asia and the Pacific (ICAAP). 2011; Busan, South Korea. Afif M, Octavian Y. For Women Swept Up in the Drug Trade, Legal Help That Starts Early. Open Society Foundations Blog: Open Society Foundations; 2016. Heckathorn D. Respondent-driven sampling: a new approach to the study of hidden populations. Social Problems. 1997;44(2):174-199. Heckathorn D. Respondent-driven sampling II: deriving valid populations estimates from chain-referral samples of hidden populations. Social Problems. 2002;49(1):1134. World Health Organization. Introduction to HIV/AIDS and sexually transmitted infection surveillance Module 4: Introduction to respondent-driven sampling. Geneva, Switzerland: World Health Organization;2013. Hartung C, Lerer A, Anokwa Y, Tseng C, Brunette W, Borriello G. Open Data Kit: Tools to Build Information Services for Developing Regions. 4th ACM/IEEE International Conference on Information and Communication Technologies and Development; December 13-15, 2010, 2010; London, United Kingdom. Schonlau M, Liebau E. Respondent driven sampling. The Stata Journal. 2012;12(1):7293. Barnard MA. Needle sharing in context: patterns of sharing among men and women injectors and HIV risks. Addiction. 1993;88:805-812. Tuchman E. Women’s injection drug practices in their own words: a qualitative study. Harm Reduction Journal. 2015;12(1):6. Pouget ER, Hagan H, Des Jarlais DC. Meta-analysis of hepatitis C seroconversion in relation to shared syringes and drug preparation equipment. Addiction. 2012;107(6):1057-1065. World Health Organization. Consolidated guidelines on the use of antiretroviral drugs for treating and preventing HIV infection. Geneva, Switzerland: World Health Organization;2016. United Nations Generaly Assembly. Political Declaration on HIV and AIDS: On the FastTrack to Accelerate the Fight against HIV and to End the AIDS Epidemic by 2030. New York, NY: United Nations General Assembly; 2016. Broadhead RS, Heckathorn D, Weakliem DL, et al. Harnessing Peer Networking as an Instrument for AIDS Prevention: Results from a Peer-Driven Intervention. Public Health Reports. 1998;113(1):42-57. Goodson L, Phillimore J. Recruitment and capacity-building challenges in participatory research involving young people in Northern Ireland. In: MacCartan C, Burns S, Schubotz D, eds. Community Research for Participation: From theory to method. Bristol, United Kingdom: Policy Press; 2012:283.
25
26
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
Perempuan Bersuara: Memahami perempuan pengguna napza suntik di Indonesia
27