Perempuan dalam Partai Politik: Potret Pelaksanaan Affirmative Action dalam Kepengurusan DPW Partai Aceh Lhokseumawe (Women in Political Party: the Picture of Affirmative Action Implementation in Lhokseumawe Partai Aceh Officials)
Oleh: Nanda Amalia1 Dara Quthni Effida2
Abstract Legislation has provided a confirmation of equal opportunities between men and women in various fields, including participating in politics. Previous studies have analyzed the involvement of women in the political sphere, in particular the fulfillment of the 30% quota for women in Parliament. The results show that - despite some affirmative action policies but still not touching the desired equation as substantively. In a more specific context, the study found that – in the management of the Aceh Party DPW Lhokseumawe - affirmative policy has been implemented in the management structure, although the party has not reached the optimal value of 30%, only in the execution there are many obstacles and barriers, in which case is strong culture of patriarchy that indirectly cause women can not occupy the higher leadership. In addition, the aspect of cadre - which have not been systematically applied and only involve those based on kinship – brought a big impact on the quality of the women which were involved in the political party official.
Keywords: Women, Political Party Official, Affirmative Action
1 2
Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Alumni Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh dan Pemerhati bidang Hukum Tata Negara 58
Perempuan dalam Partai Politik... (Nanda Amalia dan Dara Quthni Effida) A.
PENDAHULUAN
Studi tentang perempuan dalam politik telah dilakukan oleh banyak pihak, diantaranya membahas tentang persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUDNRI 1945) yang memberikan pengaturan atas persamaan setiap warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa membedakan suku, agama, ras dan jenis kelamin. Pasal 28 UUDNRI 1945 juga menyebutkan bahwa: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang”. Kedua ketentuan ini, pada dasarnya memberikan pengaturan hukum terhadap kebebasan bagi setiap orang, laki-laki maupun perempuan untuk berorganisasi, berserikat dan berkumpul. Menurut Suharizal dan Delfina Gusman, meskipun perempuan Indonesia adalah mayoritas penduduk negeri ini, dan telah telah banyak memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat dan perekonomian, namun representasi mereka di lembagalembaga politik masih amat sangat rendah. Di parlemen nasional, jumlah total politisi perempuan hanya 9.2% dari seluruh anggota parlemen - ini jauh lebih kecil dari persentase mereka pada periode terdahulu yakni 12.5%. Sejarah mencatat bahwa representasi perempuan di lembaga-lembaga legislatif selalu di bawah 10%. Tingkat keterwakilan tertinggi pernah dicapai antara tahun 1987-1992, manakala jumlah politisi perempuan di parlemen mencapai 13%.3 Rendahnya tingkat keterwakilan perempuan akibat terbatasnya kesempatan perempuan untuk memperoleh pendidikan politik dan konstruksi budaya patriarki diduga menjadi faktor yang menyebabkan kondisi keterwakilan perempuan yang minim. Pendidikan politik terhadap perempuan sangat dibutuhkan dalam peningkatan keterwakilan perempuan di partai politik, karena perempuan relatif pendatang baru di bidang politik, namun parpol masih nimim dalam memfasilitasi hal ini. Pengaturan tentang keterlibatan perempuan dalam politik dan pemerintahan sendiri telah diatur dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 yang
3Suharizal
dan Delfina Gusman, “Suatu KajianAtas Keterwakilan Perempuan di DPRD Propinsi Sumatera Barat”, Unand Repository, 2008, halaman 18. 59
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
menggantikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik4 (selanjutnya disebut UU Parpol) serta Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah5(selanjutnya disebut UU Pemilu). Kedua Undang-Undang ini mensyaratkan adanya keterwakilan perempuan pada Partai Politik.6Keterwakilan perempuan melalui affirmative action7 berupa kuota 30% perempuan dalam partai politik baik dalam pembentukan maupun kepengurusan membuka kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk turut andil dalam perpolitikan, sehingga keterwakilan perempuan dalam partai politik diharapkan dapat mewakili kepentingan dan memperjuangkan keadilan bagi setiap warga negara, khususnya perempuan. Meskipun perangkat yuridis tidak membedakan hak dan kewajiban warga negara berdasar jenis kelamin, tetapi perangkat yuridis tersebut tidak memiliki efek yang signifikan terhadap realitas sehari-hari, termasuk dalam bidang politik.8 Untuk konteks Aceh sendiri, secara khusus juga mendapatkan pengaturan dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (untuk selanjutnya disebut UUPA), pada Pasal 83 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Keanggotaan partai 4
5
6
7
8
60
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, UU No.2 tahun 2011, LN No.8 Tahun 2011, TLN No.5189. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU No.10 Tahun 2008, LN No.51 Tahun 2008, TLN No.4836. Lihat lebih lanjut Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa “Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan” dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008, Pasal 8 ayat (1) poin d “Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”. Sebagaimana juga yang dinyatakan dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 ayat (1) Nama-nama calon dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 disusun berdasarkan nomor urut. (2) Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon. Affirmative actions mendapatkan pengaturan pada Pasal 4 CEDAW yang diartikan sebagai langkah-langkah khusus sementara (temporary special measures) yang dilakukan untuk mencapai persamaan perlakuan dan kesempatan antara lelaki dan perempuan. Luky Sandra Amalia, Antisipasi Perjuangan Perempuan Dalam UU Pemilu, http://www.politik.lipi.go.id diakses pada tanggal 11 Oktober 2012.
Perempuan dalam Partai Politik... (Nanda Amalia dan Dara Quthni Effida) politik lokal bersifat sukarela, terbuka, dan tidak diskriminatif pada setiap warga negara Republik Indonesia yang berdomisili tetap di Aceh yang menyetujui anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik lokal yang bersangkutan”.9 Ketentuan ini lebih lanjut ditindaklanjuti dalam Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2008 tentang Partai Lokal Peserta Pemilihan Umum, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (selanjutnya disebut Qanun Parpol Lokal)10 Beberapa studi sebelumnya menunjukkan adanya kecenderungan di pihak partai politik lokal untuk lebih tertarik merekrut politisi laki-laki di sejumlah daerah. Selama ini, kalaupun ada perempuan yang diajak bergabung, umumnya hanya mereka yang telah matang berpolitik atau telah muncul kiprahnya di masyarakat melalui aktivitas sosial atau akademisi. Partai cenderung menempuh cara-cara yang mudah, yaitu dengan menghubungi aktivis-akivis atau akademisi perempuan yang sudah punya nama untuk diajak bergabung di dalam partai mereka. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut, namun dari sini kita bisa melihat bahwa partai lokal belum memiliki konsep dalam pengkaderan politisi perempuan sehingga dominasi laki-laki dalam pengkaderan lebih menonjol.11 Berbeda dengan studi-studi yang telah dilakukan sebelumnya yang banyak membahas tentang keterwakilan perempuan pada parlemen, maka studi ini secara khusus akan membahas pengaturan hukum keterwakilan perempuan dan mengeksplorasikondisi keterwakilan perempuan pada kepengurusan DPW Partai Aceh Lhokseumawe.Kepengurusan DPW Partai Aceh Lhokseumawe dipilih secara purposive dengan mempertimbangkan keberadaannya yang membawahi beberapa di DPC di tingkat Kota Lhokseumawe.
9 10
11
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, UU No.11 Tahun 2006, LN. No.62 Tahun 2006, TLN No.4633, Pasal 83 ayat (2). Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun tentang Partai Lokal Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota, Qanun No.3 Tahun 2008, LD. No.03 Tahun 2008, TLD No.13. www.idlo.int/DOCNews/262DOC1.pdf. Posisi Perempuan dalam Qanun dan UU Pemilu, kerjasama Harian Serambi INDONESIA dengan IDLO, diakses pada tanggal 01 Oktober 2012. 61
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengaturan Hukum tentang Keterwakilan Perempuan
ISSN 2302-6219
Merujuk pada sejarah perpolitikan di Indonesia, catatan keterwakilan perempuan dalam parlemen menunjukan bahwa keterlibatan perempuan masih rendah.12 Siti Lailatus Sofiyah dalam tulisannya “Partisipasi dan Keterwakilan Perempuan Sebagai Upaya Demokratisasi di Indonesia” menyebutkan keterwakilan perempuan dalam partai politik nampaknya masih jauh dari harapan yang diinginkan. Kecilnya peluang perempuan untuk bisa terwakili 30% pada Pemilu 2004, keterwakilan perempuan tidak mungkin lagi hanya mengandalkan sekedar komitmen partai politik. Oleh karena itu selain komitmen partai politik, keterwakilan perempuan harus didukung oleh perangkat undang-undang yang lebih tegas berpihak kepada masalah kuota perempuan ini. Perangkat pengaturan kuota masih diperlukan untuk membantu keterlibatan perempuan dalam pengambil kebijakan dan keputusan. Sebaliknya pengaturan kuota ini tidak diperlukan lagi ketika semua komponen aktor politik, aktor demokrasi, dan kalangan masyarakat luas sudah menyadari bahwa keterlibatan perempuan dalam semua aspek merupakan suatu kebutuhan yang alamiah, tetapi bukan paksaan.13 Pengaturan hukum terkait dengan persamaan kedudukan antara laki-laki dan permpuan dapat ditemukan pada Pasal 27 ayat (1) UUDNRI 1945 yang menetapkan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam wilayah hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Ketentuan ini pada dasarnya memberikan jaminan keterlibatan perempuan dalam politik. Perempuan diberi ruang dalam meningkatkan keterwakilannya di bidang pemerintahan, dan untuk aktif dibidang pemerintahan seperti menjadi anggota legislatif, penghubungnya adalah partai politik.
12
13
62
Hasil pemilu tahun 2004 untuk periode 2004 – 2009, baru mampu mengakomodasi kursi perempuan sebanyak 10, 7 % atau hanya 28 orang dari 550 anggota parlemen yang menjadi wakil rakyat di DPR RI. Sedangkan keterwakilan perempuan di DPR periode 20092014 mengalami peningkatan sebesar enam persen dibanding periode sebelumnya.sebanyak 101 orang di antaranya adalah perempuan. Jumlah tersebut adalah setara dengan 18.03%. Siti Lailatus Sofiyah, Partisipasi Dan Keterwakilan Perempuan Sebagai Upaya Demokratisasi di Indonesia, ejournal.uin-malang.ac.id., diakses pada tanggal 13 Oktober 2012.
Perempuan dalam Partai Politik... (Nanda Amalia dan Dara Quthni Effida) Senada dengan UUDNRI 1945, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 menggantikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol juga menjamin keterwakilan perempuan di partai politik dengan mencantumkan kuota sebesar 30% baik dalam pembentukan maupun dalam kepengurusan. Hal ini juga diperkuat dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang mensyaratkan partai politik peserta pemilu adalah partai yang menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partainya. Pemberian kuota 30 % ini lazimnya dikenal sebagai tindakan affirmatif (affirmative action) yang dapat diartikan sebagai “A policy or a program that seeks to redress past discrimination through active measures to ensure equal opportunity, as in education and employment.”14 (Kebijakan atau program yang berusaha untuk memperbaiki tindakan diskriminasi yang terjadi pada masa lalu melalui tindakan aktif untuk menjamin kesempatan yang sama, seperti dalam pendidikan dan pekerjaan). Affirmative action adalah merupakan kebijakan diskriminatif positif, dibolehkan oleh hukum sebagaimana bunyi Pasal 28H ayat (2) UUDNRI 1945 menetapkan, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan” hal ini menjadi dasar hukum terhadap affirmative action, yang bukan merupakan bentuk diskriminasi yang dilarang oleh Undang-Undang melainkan dijamin perlindungannya oleh konstitusi. Pasal 4 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan juga menegaskan bahwa: “Penggunaan langkah sementara yang dilakukan pemerintah untuk memacu kesetaraan laki-laki dan perempuan secara de facto tidak dianggap diskriminasi. Tetapi hal itu tidak boleh dilanggengkan karena sama dengan memelihara ketidaksetaraan dan standar yang berbeda. Langkah itu harus segera dihentikan ketika tujuan dari kesetaraan, kesempatan dan tindakan telah tercapai”. Affirmative action merupakan sub wacana dibidang politik dari usaha Pengarusutamaan Gender (selanjutnya disebut PUG) yang menjadi agenda utama untuk menciptakan kesetaraan gender. PUG adalah strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Kesetaraan dan keadilan gender sendiri berarti
14
http://www.answers.com/topic/affirmative-action.diakses pada tanggal 11 Oktober 2012. 63
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
adanya perubahan baik yang tangible (kasat mata) maupun yang intangible (tidak kasat mata) dalam kondisi dan relasi antara laki-laki dan perempuan. PUG telah diadopsi secara resmi di Indonesia sejak tahun 2000 dengan diterbitkannya Instruksi Presiden atau Inpres Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Dasar hukum ini merupakan satu bentuk komitmen pemerintah Indonesia untuk mengikuti kesepakatan internasional, serta desakan masyarakat sipil agar pemerintah melakukan tindakan-tindakan konkrit dan sistematis dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.15 Pranata hukum nasional sebagaimana telah disampaikan di atas, pada dasarnya merujuk pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (International Convenant on the Elimination of Diskrimination Against Women selanjutnya disebut CEDAW) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 dan Konvensi Hak-hak Politik Perempuan (International Covenant on the Political Rights of Women) melalui Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958. Pasal 7 Konvensi Hak-hak Politik Perempuan mengatur ketentuan mengenai politik bagi kaum wanita yang antara lain memuat : a.
Jaminan persamaan hak memilih dan dipilih.
b.
Jaminan untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya.
c.
Memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat.
d.
Berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan.
e.
Berpartisipasi dalam perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara.
Ratifikasi dan pengundangan terhadap CEDAW tersebut diharapkan menjadi sebuah intervensi yang mampu mengubah tatanan politik nasional karena mempertimbangkan keterlibatan perempuan, pihak yang selama ini tidak mendapat kesempatan untuk terlibat dalam menjalankan institusi politik, sesuatu yang mempengaruhi kehidupan seluruh warga negara. Perubahan yang diharapkan bukan semata pada jumlah perempuan yang terlibat dalam sistem pengambil keputusan, 15
64
Hartian Silawati, Jurnal Perempuan 50: Pengharusutamaan Gender, Halaman 19.
Perempuan dalam Partai Politik... (Nanda Amalia dan Dara Quthni Effida) akan tetapi juga pada kepentingan perempuan yang menjadi perihal dalam penyelenggaraan politik. Pengaturan tentang keterwakilan perempuan dalam ranah lokal dimuat dalam UUPA, UUPA bukan hanya mengamanahkan pembentukan partai lokal di Aceh tetapi juga mengatur tentang keterwakilan perempuan, sehingga menjadi alasan kuat bagi kaum perempuan untuk berpartisipasi aktif sebagai duta politik di lembaga legisltaif. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah telah memberikan payung hukum yang cukup untuk terciptanya keterwakilan perempuan dibidang politik, baik di legistatif maupun di tingkat partai politik, melalui Undang-Undang yang memberi pengaturan tentang kuota keterwakilan perempuan. Sejalan dengan pengaturan dalam Undang-Undang, Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilihan Umum, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota memberi peluang kepada perempuan Aceh khususnya untuk terlibat baik dalam partai politik maupun dalam legislatif dengan menyediakan pengaturan berupa kuota 30% bagi keterwakilan perempuan, pada Pasal 4 huruf (d) menyebutkan: “kepengurusan partai politik lokal harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.” Selanjutnya Pasal 6 huruf (d) menyatakan:“Surat keterangan dari pengurus partai politik lokal tingkat Aceh tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurangkurangnya 30 persen sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Pasal 16 menyebutkan “daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan”. Pengaturan mengenai kerterlibatan perempuan dalam ranah politik juga diatur melalui Piagam Hak-hak Perempuan di Aceh, yang merupakan langkah dari pemerintah Aceh untuk merespon kompleksitas persoalan perempuan melaui berbagai kebijakan khususnya melaui produk hukum yang berpihak pada keadilan, sebagai upaya perlindungan, pemajuan, pengakuan dan pemenuhan negara terhadap hak-hak perempuan serta menjadi landasan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang berkeadilan dengan mendeklarasikan piagam Hak-hak Perempuan di Aceh.16Piagam hak-hak perempuan di Aceh mengatur kehidupan berpolitik perempuan Aceh pada pasal 5 ayat 1 yang menyatakan bahwa perempuan di Aceh berhak atas perlakuan yang adil, non diskriminatif, dan setara dengan laki-laki untuk
16
Piagam Hak-hak Perempuan di Aceh, Banda Aceh, 2008. 65
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
mendapatkan kesempatan, peluang, pengakuan dan penghargaan dalam berbagai bidang kehidupan tanpa membedakan suku, agama, ras, kelas, dan pilihan politik”.17 2.
Kondisi Keterwakilan Perempuan pada Kepengurusan
Partai Aceh merupakan Partai Politik yang dibentuk berdasarkan Nota Kesepahaman bersama antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, yang lebih lanjut dijabarkan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, dan diimplementasikan pada Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh.18 Studi lapangan terkait dengan fokus kajian ini menemukan bahwa pada kepengurusan DPW Partai Aceh Kota Lhokseumawe belum mencapai sepenuhnya dari kuota 30 % yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini terlihat dari struktur susunan kepengurusan DPW Partai Aceh Kota Lhokseumawe periode 2008-2013. Keseluruhan pengurus berjumlah 16 (enam belas) orang, terdiri dari: 1 (satu) orang ketua, 6 (enam) orang wakil ketua, 1 (satu) orang sekretaris, 4 (empat) orang wakil sekretaris, 1 (satu) orang bendahara dan 3 (tiga) orang wakil bendahara. 12 (dua belas) orang dari jumlah keseluruhan pengurus partai terdiri dari pengurus laki-laki. Jumlah ini setara dengan 75% dan sisanya 4 (empat) orang pengurus perempuan setara dengan 25%. Terkait dengan keterwakilan perempuan dalam kepengurusan DPW Partai Aceh Kota Lhokseumawe dari internal PA menganggap sudah memenuhi kuota 30%, dalam hal mana merujuk pada hasil verifikasi KIP Kota Lhokseumawe. Walaupun diakui oleh Junaidi Arrahman19 bahwa “... ditingkat kepengurusan masih sedikit jumlah 17
18 19
66
Selanjutnya Pasal 11 Hak atas Perlindungan dan persamaan didepan hukum: (1) Perempuan di Aceh berhak atas perlindungan dan persamaan didepan hukum. (2) Perempuan di Aceh berhak dipandang dan diperlakukan sama dengan laki-laki didepan hukum, baik berkaitan dengan akses, kesempatan maupun hasil. Pasal 13 Hak politik: (1) Perempuan di Aceh berhak memperoleh jaminan untuk berpartisipasi dalam bidang legislative, eksekutif dan yudikatif sebagai wujud pemenuhan hak politiknya tanpa ada hambatan/tekanan. (2) Perempuan di Aceh berhak dan dijamin untuk memperoleh pendidikan politik dalam upaya peningkatan kualitas dan partisipasinya dalam bidang politik. (3) Perempuan di Aceh berhak dan dijamin untuk memilih dan dipilih sebagai kandidat dan pengambil keputusan ditingkat eksekutif dan legislative serta mendapat upaya khusus sementara untuk memastikan partisipasinya. Bab I Angka 1 Ketentuan Umum, Undang-Undang Partai Aceh Nomor 008/ DPA/PA/IV/2008 Tentang Pemerintahan Partai Aceh,Banda Aceh, 2008. Junaidi Arrahman, Ketua Partai Aceh DPC Muara I (satu), Wawancara 8 Januari 2013.
Perempuan dalam Partai Politik... (Nanda Amalia dan Dara Quthni Effida) perempuan tetapi partai ini mendapat dukungan yang banyak dari perempuanperempuan anggota inong bale20 ketika terbentuknya Partai Aceh maka dengan otomatis pasukan inong bale menjadi bagian dari Partai Aceh, sehingga jika berbicara mengenai keterwakilan perempuan dalam Partai Aceh, pasukan inong bale dengan sendirinya telah menjadi kader partai. Merujuk pada Surat Keputusan Struktur dan susunan kepengurusan Dewan Pimpinan Wilayah Partai Aceh Kota Lhokseumawe21 terlihat bahwa masing-masing pengurus perempuan memiliki jabatan seperti wakil ketua, wakil sekretaris dan wakil bendahara, dan bagian-bagian tersebut masih subordinasi dari jabatan laki-laki yang ada pada DPW Partai Aceh Kota Lhokseumawe namun dalam kegiatan-kegiatan partai pengurus perempuan dilibatkan sama dengan pengurus laki-laki. Menurut Rita Hastarika22 seluruh pengurus perempuan terlibat secara aktf dalam kegiatan kepartaian sebagaimana halnya dengan pengurus laki-laki. Kegiatankegiatan ini diantaranya adalah sosialisasi mengenai Partai Aceh pada masyarakat, dan kegiatan-kegiatan santunan atas nama partai, pengurus perempuan bekerja beriringan dengan pengurus laki-laki tanpa membeda-bedakan. Kondisi yang sama mengenai keterwakilan perempuan dijelaskan oleh Aminah yang merupakan kader Partai Aceh bahwa dalam kepengurusan partai DPW Partai Aceh Kota Lhokseumawe telah memenuhi kuota perempuan dan menempatkan perempuan pada posisi yang berdampingan dengan laki-laki.23 Hal ini menunjukkan bahwa walaupun secara internal pengurus partai menganggap telah dipenuhinya ketentuan perimbangan keberadaan perempuan pada kepengurusan Partai Aceh, namun pengurus partai perlu melakukan berbagai hal yang secara subtantif benar-benar dapat mempromosikan keterlibatan perempuan di dalam kepengurusan partai. Secara langsung maupun tidak, sangat disadari bahwa terdapat berbagai kendala maupun hambatan untuk dapat memenuhi upaya affirmative action ini. 20 21 22 23
Inong Bale adalah Sebuah kesatuan dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh yang seluruh anggotanya terdiri dari para perempuan-perempuan Aceh. Lihat lebih lanjut pada Lampiran 1.Struktur dan Susunan Kepengurusan Dewan Pimpinan Wilayah Partai Aceh Kota Lhokseumawe Periode 2008-2013. Rita Hastarika, Pengurus DPW Partai Aceh Kota Lhokseumawe, Wawancara, 8 Januari 2013. Aminah, Kader Partai Aceh, Wawancara, 8 Januari 2013. 67
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
Kendala dimaksud diantaranya adalah masih adanya penerapan budaya patriarkhi yang kental di dalam struktur kepengurusan. Sebagai contoh, penempatan jabatan pengambil keputusan atau ketua pada DPW Partai Aceh Kota Lhokseumawe dan jabatan penting lain seperti sekretaris dan bendahara partai ditempati oleh pengurus laki-laki, sementara pengurus perempuan ditempatkan pada subordinasi laki-laki seperti wakil ketua, wakil sekretaris dan wakil bendahara, hal ini menunjukkan ditingkat kepengurusan partai, Partai Aceh secara sadar atau pun tidak menerapkan patriarki dalam partainya. Proses kaderisasi juga perlu dilakukan secara sistematis dan terkonsep. Saat ini, terlihat bahwa perekrutan anggota yang dilakukan oleh PA terkesan hanya melibatkan sanak famili ataupun kerabat terdekat saja. Sebagaimana yang diakui oleh Rita Hastarika, bahwa keterlibatannya pada keanggotaan maupun aktif di dalam kepengurusan tidak lain dikarenakan keberadaan suaminya yang mantan GAM. 24 Hambatan-hambatan lain dari luar partai adalah kondisi sosiologis perempuannya sendiri, ketika perempuan masuk dalam partai dengan pemahamannya yang kurang tentang seluk beluk partai, pengkaderan, platform, dan program partai. Hal ini menjadi hambatan luar yang cukup berpengaruh terutama bagi perempuan-perempuan yang mereka bisa dikatakan tidak punya pilihan lain selain mengurusi keluarga atau bahkan menjadi tulang punggung keluarga karena suaminya tidak bekerja sehingga mereka memiliki keterbatasan waktu atau bahkan tidak punya waktu untuk untuk memahami seluk beluk partai.25 Penyebab lain kurangnya keterwakilan perempuan dalam Partai politik lokal adalah pendidikan perempuan dibidang politik rendah yang mengakibatkan minimnya akses informasi dan kurangnya pengetahuan dibidang politik.26 Salah seorang akademisi Unimal serta pengamat gerakan perempuan – Cut Sukmawati mengungkapkan bahwa “…susah mengajak perempuan dalam kegiatankegiatan partai, misalnya rapat-rapat partai yang pada umumnya dilaksanakan pada malam hari, perempuan tidak bisa hadir, karena malam hari kan anggapan akan tidak baik ketika perempuan keluar malam-malam untuk duduk rapat dengan anggota lain
24 25 26
68
Rita Hastarika, Pengurus DPW Partai Aceh Kota Lhokseumawe, 8 Januari 2013. Bisma Yadhi Putra, Penulis Opini Politik dan Masyarakat Kota Lhokseumawe, Wawancara, 19 Desember 2012. Ahmad Refki Bintara, Kader Partai Aceh, Wawancara, 4 Oktober 2012.
Perempuan dalam Partai Politik... (Nanda Amalia dan Dara Quthni Effida) yang kebanyakan laki-laki, atau perempuannya tidak dapat menghadiri rapat karena perannya dalam rumah tangga, menjaga anak dan sebagainya..”27 Ideologi ibuisme seperti ini tampaknya masih berkembang dalam pandangan beberapa anggota masyarakat termasuk dalam internal partai sehingga mempersempit ruang gerak perempuan dalam ruang politik. Partai Aceh idealnya bergerak menuju partai Modern dengan ciri tidak memilih kader berdasarkan jenis kelaminnya, melainkan dari kualitasnya serta kapabilitas masing-masing kader yang akan menjadi wakil di partai atau bahkan wakil dalam parlemen, tetapi pada kenyataannya Partai Aceh masih lebih memfokuskan pada aspek historis kaderkadernya yang notabenenya adalah mantan kombatan dan mengenyampingkan kualitas dan kapabilitas masing-masing kader partai.28 Untuk menangani keterwakilan perempuan yang rendah pada DPW Partai Aceh Kota Lhokseumawe, Partai Aceh telah melakukan pendidikan politik, Partai Aceh itu banyak pendukungnya ibu-ibu, mereka diberikan pendidikan politik melalui suatu wadah, kader partai dimasukkan dalam LSM tersebut, misalnya LSM Srikandi, kader dan pengurus partai bahkan beliau caleg dulunya dari PA, beliau yang mengkoordinir para inong bale, mereka didata, jadi kaderisasinya ada.29 Partai politik maupun partai politik lokal di Aceh memiliki fungsi yang sangat baik secara teori, apabila penerapan fungsi ini dimaksimalkan dalam kehidupan berpartai tanpa ada diskriminasi dalam penerapannya, maka akan tercipta kaderkader partai yang kompeten tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan, sehingga keterwakilan perempuan di partai akan meningkat, minimal kuota keterwakilan perempuan yang diamanatkan UU dan Qanun berupa 30% keterwakilan perempuan tersebut dapat terpenuhi. C.
PENUTUP
Studi ini menyimpulkan bahwa kondisi keterwakilan perempuan dalam Partai Aceh belum sepenuhnya memenuhi kuota minimum perempuan yang diatur dalam Undang-Undang dan Qanun sebesar 30%. Dalam kepengurusan DPWPartai Aceh Kota Lhokseumawe terdapat sejumlah 25% keterwakilan perempuan, dan 75% adalah 27 28 29
Cut Sukmawati, Dosen FISIP Universitas Malikussaleh, Wawancara 8 November 2012. Bisma Yadhi Putra, Penulis Opini Politik dan Masyarakat Kota Lhokseumawe, Wawancara, 19 Desember 2012. Ahmad Refki Bintara, Kader Partai Aceh, Wawancara, 4 Oktober 2012. 69
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
laki-laki. Perempuan yang terlibat di dalam kepengurusan Partai Aceh DPW Lhokseumawe sudah ditempatkan pada jabatan-jabatan tertentu namun belum sepenuhnya memiliki peranan ataupun posisi strategis yang dapat mengambil keputusan. Secara organisasi, internal partai juga belum memberi pengaturan dalam AD/ART partai mengenai kuota keterwakilan perempuan sehingga affirmative action hanya sebatas formalitas yang diatur dalam peraturan perundang-undangan namun dalam pelaksanaannya belum terlaksana secara maksimal. Studi ini dengan dilandaskan pada kenyataan faktual bahwa affirmative actions ternyata dalam prakteknya belum dapat diimplementasikan secara utuh, untuk itu upaya revisi atas berbagai peraturan terkait perlu dilakukan.Perlu adanya peraturan yang mengatur secara tegas tentang keterwakilan perempuan, artinya aturan yang ada masih mempunyai kekuatan hukum yang lemah dengan hanya menyertakan dan memperhatikan keterwakilan perempuan dalam partai paling rendah 30% tanpa mengenakan sanksi hukum terhadap partai yang tidak memenuhi ketentuan tersebut. Proses kaderisasi harus dilaksanakan dengan baik, dengan demikian - seiring berjalannya waktu - maka kader-kader perempuan memiliki kualitas yang sebanding dengan kualitas laki-laki dalam berpolitik, sehingga anggapan bahwa politik merupakan ruang khusus laki-laki itu tidak ada lagi. Pemanfaatan dalam proses kaderisasi ini artinya perempuan harus belajar berkomunikasi dengan banyak orang dengan argument yang berkualitas, belajar menjual citra diri yang pada akhirnya dapat membuat perempuan menjadi pilihan dalam pemilu legislatif bukan karena dia perempuan, tetapi memang karena apa yang disampaikannya, apa yang menjadi visi misinya terhadap daerah ketika dia terpilih.
Daftar Pustaka Amalia,Luky Sandra Antisipasi Perjuangan Perempuan Dalam UU Pemilu, http://www.politik.lipi.go.id diakses pada tanggal 11 Oktober 2012. Siti Lailatus Sofiyah, Partisipasi Dan Keterwakilan Perempuan Sebagai Upaya Demokratisasi di Indonesia, ejournal.uin-malang.ac.id., diakses pada tanggal 13 Oktober 2012.
70
Perempuan dalam Partai Politik... (Nanda Amalia dan Dara Quthni Effida) Suharizal dan Delfina Gusman, “Suatu Kajian Atas Keterwakilan Perempuan di DPRD Propinsi Sumatera Barat”, http://repository.unand.ac.id, diakses pada tanggal 09 Oktober 2012. http://www.answers.com/topic/affirmative-action.Diakses pada tanggal 11 Oktober 2012. http://www.idlo.int/DOCNews/262DOC1.pdf. Posisi Perempuan dalam Qanun dan UU Pemilu, kerjasama Harian Serambi INDONESIA dengan IDLO, diakses pada tanggal 01 Oktober 2012. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, UU No.2 tahun 2011, LN No.8 Tahun 2011, TLN No.5189. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Undang-Undang No.10 Tahun 2008, LN No.51 Tahun 2008, TLN No.4836. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, UU No.11 Tahun 2006, LN. No.62 Tahun 2006, TLN No.4633, Pasal 83 ayat (2). Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun tentang Partai Lokal Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota, Qanun No.3 Tahun 2008, LD. No.03 Tahun 2008, TLD No.13.
71