PERDIDIKAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI
SANUSI FATTAH
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
PENDIDIKAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI (Suatu Studi Data Panel di Indonesia Periode 1987-2003)
Abstract We present a growth model by combine new growth model and source of growth model with five level of education (TS, SD, SMTP, SMTA, and PT). We find that the growth of SMTP, SMTA, and PT attainment have positive and significant influence to the interregional economic growth, menwhile the growth of TS worker and SD attainment have not significance impact. We olso find that the growth of SMTA attainment has bigger and the more significant impact to the interregional growth in Indonesia.
1. PENDAHULUAN Di era globalisasi dewasa ini, pengembangan sumberdaya manusia merupakan penentu keberhasilan dalam persaingan internasional, dimana kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi harus didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi dengan kuantitas yang memadai. Untuk menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi, maka pendidikan merupakan kata kuncinya1. Sumber daya manusia merupakan modal dasar kekayaan suatu bangsa. Modal fisik dan sumber daya alam hanyalah faktor produksi yang bersifat pasif; di sinilah manusia berperan sebagai agen-agen aktif yang akan mengumpulkan modal, mengeksploitasi sumber-sumber daya alam, membangun berbagai macam
1
Radi A. Gany (2001), Menyongsong Abad Baru dengan Pendekatan Pembangunan Berbasis Kemandirian Lokal. Makasar, Hasanuddin University Press, hal. 21. Lihat pula Jong-Wha Lee (2000), “Education”, Background Paper Examining the State of Andean Region for the Andean Competitiveness Project, p. 8.
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
organisasi sosial, ekonomi dan politik, serta melaksanakan pembangunan nasional. Jelaslah, bahwa jika suatu negara tidak segera mengembangkan keahlian dan pengetahuan rakyatnya serta tidak memanfaatkan potensi mereka secara efektif dalam pembangunan dan pengelolaan ekonomi nasional, maka untuk selanjutnya negara tersebut tidak akan dapat mengembangkan apapun (Harbison, 1975)2. Pendidikan sebagai salah satu unsur pembentuk modal manusia (human capital) telah menarik perhatian banyak ahli ekonomi, yang kemudian memunculkan berbagai model pertumbuhan ekonomi yang mengintroduksi pendidikan sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi dalam model-model mereka, antara lain Barro (1991); Mankiw, Romer & Weil (1992); Barro & Lee (1994); Benhabib & Spiegel (1994); Islam (1995); Pritchett (1995); Caselli, et. al (1996); Krueger & Lindhal (2001); Cohen & Soto (2001); Bassanini & Scarpetta (2001); serta de la Fuente & Domenech (2000, 2002). Bila dibandingkan dengan negara-negara maju (Organization for Economic Co-operation and Development, OECD), maka di negara-negara yang sedang berkembang (non-OECD) perhatian terhadap pendidikan sebagai upaya pengembangan sumberdaya manusia relatif kurang, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai sarana pengembangan sumber daya manusia; (2) peralatan dan fasilitas pendidikan serta sarana pendukung lainnya masih relatif terbatas baik kuantitas maupun kualitasnya; (3) masih terbatasnya tenaga-tenaga ahli pendidikan dan 2
Dalam Michael P. Todaro (2000), Economic Development (7th edition). New York, AddisonWesley, p. 326.
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
pengembangan sumberdaya manusia; (4) bersifat jangka panjang, karena hasilnya baru bisa dilihat setelah satu atau dua dasawarsa kemudian, sehingga cenderung diabaikan; dan (5) terbatasnya dana yang dialokasikan untuk anggaran pendidikan. Di antara beberapa negara ASEAN, Indonesia merupakan negara yang paling tertinggal dalam hal pengeluaran pemerintah pusat untuk pendidikan. Kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut ini:
% CENTRAL GOV. EXPENDITIRE
1995
2003
30.0 25.5
24.2 23.0
25.0 21.0 20.0
18.3
17.9 16.6
15.0 10.6 10.0
9.4 8.5
5.0 0.0 Kamboja
Indonesia
Malaysia
Pilipina
Thailand
ASEAN-5
Gambar 1.1 Rasio Pengeluaran untuk Pendidikan terhadap Total Pengeluaran Pemerintah Pusat Beberapa Negara Asia, Periode 1995-20033 Dari Gambar 1.1 tampak, bahwa persentase pengeluaran pemerintah pusat yang dialokasikan untuk pendidikan tahun 1995 hanya sebesar 9,4%; pada tahun 2003 menurun menjadi 8,5%. Angka itu jauh lebih kecil bila dibandingkan
3
Lihat Key Indicator 2004. Regional Tabel. Asian Development Bank (ADB); lihat pula Indonesia Human Development Report (2001), Towards a New Consensus: Democracy and Human Development in Indonesia, BPS-Statistics Indonesia-Bappenas-UNDP, p. 41.
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
dengan rata-rata pengeluaran pemerintah pusat untuk pendidikan di beberapa negara Asia, yakni sebesar 16,1% pada tahun 1995 dan 18.9% pada tahun 2003. Sebagai konsekuensinya dapat dilihat pada lampiran-1 bahwa tingkat pendidikan penduduk Indonesia usia 25 tahun ke atas relatif lebih rendah (bila dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand), berikut perbandingannya: Tidak sekolah (Indonesia 44%, Malaysia 17%, dan Thailand 20%); Pendidikan dasar (Indonesia 33%, Malaysia 34%, Thailand 62%); Pendidikan menengah (Indonesia 10%,
Malaysia 24%, Thailand 4%); dan Pendidikan tinggi (Indonesia 4%,
Malaysia 7%, dan Thailand 9%); realitas ini akan menjadi penghambat bagi pengembangan
sumberdaya
manusia
sehingga
menyebabkan
tidak
berkelanjutannya pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta rapuhnya perekonomian dari hantaman krisis. Tabel 1.1 Perbandingan Pertumbuhan GDP Negara-Negara ASEAN, Periode 1996-2002 (dalam %) Negara Brunei Kamboja Indonesia Laos Malaysia Mianmar Pilipina Singapura Thailand Viet Nam
1996 1,01 4,60 7,82 6,89 10,0 6,44 5,85 7,71 5,90 9,34
1997 3,60 4,29 4,71 6,91 7,32 5,74 5,19 8,54 -1,37 8,15
1998 -3,99 2,15 -13,13 3,99 -7,36 5,77 -0,59 -0,09 -10,51 5,83
Tahun 1999 2,56 6,86 0,79 7,28 6,14 10,92 3,41 6,93 4,45 4,71
2000 2,83 7,66 4,92 5,74 8,33 13,7 4,38 25,5 4,65 6,76
2001 2002 1,47 6,28 3,44 3,66 6,40 0,45 4,21 10,5 3,22 4,56 -2,32 2,20 1,94 6,84 7,04
Sumber: www.aseansec.org (2003)4
4
Sekretariat Asean (2003), http//: www.aseansec.org/asean survellance coordinating unit/database.
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Hal itu terlihat dari perbandingan beberapa negara anggota ASEAN yang mengalami krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, Indonesia merupakan negara yang terparah dan yang paling lambat mengalami pemulihan, sebagaimana dapat dilihat perbandingannya pada Tabel 1.1. Nampak bahwa krisis ekonomi yang bermula pada pertengahan tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998, dimana pertumbuhan GDP Indonesia –13,13%; Malaysia –7,36%; dan Thailand –10,51%. Pada tahun 1999, Malaysia dan Thailand sudah dapat melakukan pemulihan yang ditandai dengan pertumbuhan GDP yang cukup tinggi masing-masing 6,14% dan 4,45% sedangkan Indonesia hanya sebesar 0,79%. Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, sepintas lalu pembangunan ekonomi di Indonesia cukup berhasil yang ditandai dengan tingkat pendapatan perkapita yang tinggi dengan laju pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) rata-rata 5% - 8% pertahun, tapi kondisi ini tidak berkelanjutan karena adanya hantaman krisis ekonomi.
2. MODEL Untuk mengetahui pengaruh pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia, akan digunakan Model Modal Manusia (Human Capital Model)5 yang dirumuskan sebagai berikut:
Y (t ) = K (t )α E (t ) β [A(t ) L(t )]
1−α − β
………..……………………………..(2.1)
Bila persamaan (2.1) dibagi dengan AL akan diperoleh persamaan dalam bentuk per tenaga kerja efektif berikut6:
5
David Romer (1996), op.cit. p. 126
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
y (t ) = k (t )α e(t ) β ………………………………………………….……(2.2) dimana
y(t) =
Y ; AL
k(t) =
K ; AL
dan e(t) =
E AL
Dengan mengikuti Sources of Growth Model7, maka persamaan (2.2) dapat dinyatakan kembali dalam bentuk fungsi produksi berikut:
y = f (k , e, t ) ………………………………..………………………..(2.3) dimana: Y
= PDRB per tenaga kerja
K
= Modal per tenaga kerja
E
= Pendidikan per tenaga kerja
T
= waktu yang menunjukkan perubahan teknologi dalam hubungannya dengan fungsi produksi yang mengalami perubahan sesuai dengan waktu
Selanjutnya terhadap persamaan (2.3) dapat dilakukan diferensiasi total terhadap t sebagai berikut: dy ⎛ ∂f dk ⎞ ⎛ ∂f de ⎞ ⎛ ∂f dt ⎞ =⎜ ⋅ ⎟+⎜ ⋅ ⎟+⎜ ⎟ …………………….............…(2.4) dt ⎝ ∂k dt ⎠ ⎝ ∂e dt ⎠ ⎝ ∂t dt ⎠
Bila persamaan (2.4) dibagi dengan y dan sisipkan k dan e, maka akan diperoleh:
1 dy 1 ⎛ ∂f dk 1 ∂f de 1 ∂f ⎞ ⋅ = ⎜ ⋅ ⋅ k. + ⋅ ⋅ e + ⎟ ……………...…….....(2.5) y dt y ⎝ ∂k dt k ∂e dt e ∂t ⎠ Persamaan (2.5) dirumuskan kembali menjadi:
6
Mankiw et al (1992), Op.cit, p. 407-437; David Romer (1996), op.cit, p. 128; Knowles et al (2002), op.cit. p. 124. 7 Ahmadi Rilam (1993), op.cit, hal. 20; dan Nury Effendi & Femmy M. Sumantri (2003), op.cit, p. 6.
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
dy / dt ⎛ (∂f / ∂k )k (dk / dt ⎞ ⎛ (∂f / ∂e)e (de / dt ) ⎞ ⎛ ∂f / ∂t ⎞ ⎟+⎜ ⎟+⎜ ⎟ ....(2.6) = ⎜⎜ ⋅ ⋅ y y k ⎟⎠ ⎜⎝ y e ⎟⎠ ⎜⎝ y ⎟⎠ ⎝ dimana: = Tingkat pertumbuhan PDRB per tenaga kerja
dy / dt y dk / dt k de / dt e (∂f / ∂k )k y (∂f / ∂e)e y
= Elastisitas PDRB terhadap pendidikan (per tenaga kerja)
(∂f / ∂t ) y
= Perubahan output yang tidak disebabkan oleh perubahan modal dan Pendidikan
= Tingkat pertumbuhan modal per tenaga kerja
= Tingkat pertumbuhan pendidikan per tenaga kerja = Elastisitas PDRB terhadap modal (per tenaga kerja)
Berdasarkan persamaan (2.6) dapat dilihat hubungan antara modal, pendidikan dan PDRB. Dengan demikian dapat dimengerti adanya hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan variabel-variabel yang mempengaruhinya. Model tersebut dapat pula dinyatakan dalam formulasi berikut:
gy = α 0 + α 1 gk + α 2 ge ……………………………………….....….(2.7) Dimana: gy =
dy / dt y
: Tingkat pertumbuhan PDRB per tenaga kerja
α0 =
(∂f / ∂t ) y
: Penambahan output yang bukan akibat penambahan
(∂f / ∂k )k y
: Elastisitas PDRB terhadap modal (per tenaga kerja)
α1 =
modal dan pendidikan
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
gk =
dk / dt k
: Tingkat pertumbuhan modal per tenaga kerja
α2 =
(∂f / ∂e)e y
: Elastisitas PDRB terhadap pendidikan (per tenaga kerja)
ge =
de / dt e
: Tingkat pertumbuhan pendidikan per tenaga kerja
Dengan inspirasi Barro and Lee (2001)8, kami juga membagi pendidikan menjadi 5 jenjang, yang terdiri atas9 (1) TS; (2) SD; (3) SMTP; (4) SMTA; (5) PT. Sehingga persamaan (2.7) dapat disusun kembali menjadi: 5
gy = α 0 + α1 gk + ∑α e ge ……………………………….…………..(2.8) e=2
Selanjutnya dengan memasukkan variabel dummy krisis (dcrises) sebelum krisis dan setelah krisis; dan Error Term (ε), maka model akhir selengkapnya dapat dirumuskan sebagai berikut: 5
gyit = α 0 + α 1 ginvest it + ∑ α e geducit +α 7 dcrisisit + ε it ..…..….…..(2.9) e=2
α1>0; α2>0; α3>0; α4>0; α5>0; α6>0; α7>0; ceteris paribus. Dimana: gy = ginvest = geduc =
8 9
Pertumbuhan PDRB per pekerja Pertumbuhan investasi per pekerja Pertumbuhan pendidikan per pekerja (e=1,2,3,…5) 1. = gts 2. = gsd 3. = gsmtp 4. = gsmta
Robert J. Barro and Jong Wha Lee (2001), Op.cit, p. 541-563. Sesuai dengan pembagian jenjang pendidikan yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) Indonesa.
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
dcrises
=
αj i t ε
= = = =
5. = gpt Variabel dummy yang menunjukkan setelah krisis ekonomi (1998, 1999, 2000, 2001, 2002 = 1 dan lainnya = 0) Parameter (j = 1,2,3,…,7) Daerah i (i = 1,2,3,…,26) Tahun ke-t (t = 1986-2003) Error term
3. DATA DAN ESTIMASI
3.1. Data
Data yang diperlukan untuk mengetahui pengaruh pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia, antara lain sebagai berikut: a. Tingkat pendidikan pekerja (jenjang pendidikan tertinggi yang dapat ditamatkan oleh pekerja di daerah yang bersangkutan, yang terdiri atas (1) Tidak Sekolah, TS; (2) Sekolah Dasar, SD; (4) Sekolah Menengah Tingkat Pertama, SMTP; (5) Sekolah Menengah Tingkat Atas, SMTA; (6) Perguruan Tinggi, PT dan pertumbuhannya menurut provinsi, periode 1987-2003 b. Investasi dan pertumbuhannya menurut provinsi, periode 1987-2003 c. Jumlah Pekerja dan pertumbuhannya menurut provinsi, periode 1987-2003 d. Produk Domestik Regional Bruto, PDRB dan pertumbuhannya, periode 1987-2003 (harga konstan 1993).
3.2. Estimasi
Berdasarkan hasil estimasi model pertumbuhan yang menggunakan pendekatan fixed effect model dengan metode SUR with PCSE nampak bahwa pertumbuhan investasi (ginvest) dan pertumbuhan pendidikan yang di proksi
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
dengan pertumbuhan pendidikan, terdiri atas (1) gts; (2) gsd; (3) gsmtp; (4) gsmta; dan (5) gpt berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia. Perbandinga nilai koefisien estimasi model pertumbuhan antar daerah, selengkapnya disajikan pada tabel 4.1. Koefisien regresi hasil estimasi menunjukkan bahwa jika terdapat kenaikan 1 unit dari variabel bebas, maka pengaruhnya terhadap variabel terikat (gy) masing-masing sebesar 0.131725 unit dari ginvest, 0.023719 unit dari gts, 0.122975 unit dari gsd, 0.165092 unit dari gsmtp, 0.746883 unit dari gsmta, 0.115141 unit dari gpt, dan 0.058246 unit dari dcrises. Koefisien konstanta (intercept) sebesar –0.030873 adalah nilai rata-rata intercept dari data panel. Tabel 4.1 Hasil Estimasi Model Pertumbuhan dengan Metode OLS dan SUR with PCSE VARIABEL C ginvest? gts? gsd? Gsmtp? Gsmta? gpt?
SUR with PCSE-B -0.030873** (0.0493) 0.131725*** (0.0000) 0.023719ns (0.4566) 0.122975ns (0.1118) 0.165092*** (0.0010) 0.746883*** (0.0000) 0.115141** (0.0143) 0.058246** (0.0109) 0.323411 0.270475
Dcrises R-Square Adj. R-Square Sumber : Hasil Perhitungan Keterangan : Angka dalam kurung adalah probabilitas. A = Tanpa dummy crises B = Dengan dummy crises * Significance at α = 10% ** significance at α = 5% *** Significance at α = 1% ns Not Significance
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Probabilitas parameter dari masing-masing variabel bebas, baik secara parsial maupun secara serempak menunjukkan nilai yang rendah (kecuali untuk variabel gts dan gsd). Hal ini berarti jika dilakukan pengujian, maka variabelvariabel bebas berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi secara statistik pada tingkat keyakinan 1-10%. Sedangkan secara serempak variabel-variabel bebas berpengaruh secara statistik pada tingkat keyakinan 1%. Pengujian parameter yang signifikan baik secara parsial maupun secara serempak tersebut menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas memenuhi kriteria uji statistik. Selain itu juga, besaran hasil estimasi dan tandanya juga sesuai dengan kriteria teori ekonomi.
4. PENGARUH PENDIDIKAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI
Hasil pengujian terhadap hasil estimasi model pertumbuhan dengan metode regresi panel data yang menggunakan kombinasi Seemingly Unrelated Regression (SUR) dengan Panel Corrected Standard Error (PCSE) menunjukkan bahwa pertumbuhan investasi dan pertumbuhan pendidikan (terdiri atas TS, tamat SD, tamat SMTP, tamat SMTA, tamat PT) berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini membuktikan bahwa keterkaitan antara premis-premis penelitian dengan hipotesis yang sudah diuji secara empirik akan melahirkan model yang baru, yakni model pertumbuhan ekonomi yang memasukkan pendidikan sebagai determinan pertumbuhan ekonomi.
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
4.1. Intercept (C)
Berdasarkan hasil estimasi model pertumbuhan diperoleh nilai koefisien intercept 26 provinsi di Indonesia yang selengkapnya dapat disimak pada lampiran-2. Nilai koefisien intercept antar provinsi secara statistik berbeda, baik tanda maupun besarnya. Beberapa daerah mempunyai koefisien intercept bernilai negatif seperti
Sumut, Sumbar, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, DKI
Jakarta, Jateng, DIY, Jatim, Bali, NTB, NTT, Kalteng, Kalsel, Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra, Maluku, dan Papua; sedangkan yang lain bernilai positif antara lain NAD, Riau, Jabar, Kalbar, dan Kaltim. Sejumlah provinsi mempunyai nilai koefisien intercept di atas rata nasional seperti NAD, Jambi, Lampung, Jabar, Jateng, DIY, Bali, Kalbar, dan Kaltim; sedang yang lain di bawah rata-rata nasional, yaitu sebesar -0.030873. Perbedaan nilai koefisien intercept antar daerah tersebut menunjukkan adanya perbedaan kapasitas produksi masing-masing daerah, perbedaan kepemilikan faktor endowmen, perbedaan kemampuan dalam upaya dan kemampan untuk menggali sumber-sumber pertumbuhan ekonomi, serta perbedaan dalam gaya kepemimpinan daerah dan pengelolaan sumberdaya daerah.
4.2. Pertumbuhan Investasi (ginvest)
Hasil estimasi menunjukkan bahwa pada periode 1987-2003, variabel pertumbuhan investasi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia dengan koefisien estimasi sebesar 0,131725 pada tingkat signifikansi 1%. Artinya, setiap terjadi kenaikan pertumbuhan investasi sebesar 1% akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
sebesar
0,131725%. Dengan demikian selama lebih kurang 17 tahun
pembangunan, pertumbuhan investasi memperlihatkan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini sejalan dengan kaidah teori pertumbuhan ekonomi Neo-Classic, khususnya model pertumbuhan ekonomi Solow (1956) dimana pertumbuhan investasi akan meningkatkan stok modal yang selanjutnya akan berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi karena dengan bertambahnya stok modal maka jumlah stok alat-alat modal dan teknologi juga akan meningkat, pada akhirnya berimplikasi terhadap kemampuan untuk berproduksi sehingga pendapatan nasional meningkat dari waktu ke waktu yang menghasilkan peningkatan dalam pertumbuhan ekonomi. Hasil ini juga sejalan dengan beberapa penelitian empirik tentang hubungan antara investasi dan pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh Alfranca et al (2003); Pina & Aubyn (2003); Mosino (2002); Knowles (2002), McDonald & Roberts (2002);
dan Neira et al (2000). Perbandingan hasil
penelitian dengan hasil penelitian sebelumnya selengkapnya dapat dilihat pada lampiran-3. Perbandingan posisi relatif suatu daerah dalam pertumbuhan investasi dan pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia, dapat disimak pada gambar berikut :
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
15.0
18 10.0
20
4 1 0.0
1.0
2.0
16
12
5.0 3
3.0 13
4.0
6
11 9
24
23
21
8
15
26
17 2 10 7
14
19
22
5.0 5
6.0
7.0
0.0
-5.0 25
-10.0 GPD R B
Gambar 4.1 Perbandingan Posisi Relatif Daerah dalam Pertumbuhan Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi Antar daerah di Indonesia Periode 1987-2003
Pertumbuhan investasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
antar daerah di Indonesia. Meskipun demikian
sebagaimana dapat dilihat pada gambar 4.1 nampak bahwa ada beberapa daerah yang mempunyai pertumbuhan investasi yang tinggi dengan pertumbuhn ekonomi yang rendah, seperti Riau dan Kaltim; beberapa daerah yang lain dengan pertumbuhan investasi yang rendah mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, misalnya
Jambi dan Bengkulu. Namun secara umum terlihat bahwa
pertumbuhan investasi serah dengan pertumbuhan ekonomi, artinya semakin tinggi tingkat pertumbuhan investasi, maka semakin tinggi pula tingkat pertumbuhan ekonomi dengan koefisien korelasi Pearson sebesar 0.496063;
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
namun sayangnya pertumbuhan investasi di beberapa daerah di Indonesia melambat, bahkan ada daerah yang pertumbuhan investasinya selama periode penelitian mengalami penurunan yang cukup drastis. Untuk mengatasi pertumbuhan investasi yang cendrung menurun tersebut, maka ada beberapa hal yang harus diupayakan; pertama, perlu ada kebijakan terpadu untuk menarik dan mempertahankan bahkan meningkatkan jumlah investasi. Kebijakan tersebut paling kurang harus meliputi kepastian hukum, kemudahan berinvestasi, dan keamanan serta penyediaan sarana dan prasarana yang memadai; kedua, komposisi investasi juga harus dipilih, yakni yang paling menguntungkan masyarakat, oleh karenanya ada beberapa kriteria investasi10 yang perlu dipertimbangkan, yaitu (1) produktivitas marginal sosial; (2) overhead ekonomi dan sosial; (3) pertumbuhan berimbang; (4) pilihan teknologi; dan (5) rasio modal output. Ada beberapa kriteria untuk mengarahkan investasi guna menghasilkan produktivitas marginal sosial yang tinggi11, antara lain sebagai berikut (a) investasi harus diarahkan pada penggunaan yang paling produktif sehingga rasio output-uang (current output) terhadap investasi menjadi maksimum atau sebaliknya rasio modal-output menjadi minimum; (b) investasi harus dilakukan terhadap proyek yang memanfaatkan buruh secara maksimum, dalam hal ini rasio buruh-investasi maksimum; (c) proyek investasi itu harus diseleksi sehingga menghasilkan barang yang memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan meningkatkan ekonomi eksternal lebih luas; (d) proyek investasi adalah proyek 10 11
M.L. Jhingan (1994), Op.cit, hal. 64. Ibid, hal. 65
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
yang dirancang paling banyak menggunakan bahan baku dalam negeri dan berbagai suplai lain; (e) proyek investasi tersebut harus diseleksi sehingga dapat memperbaiki distribusi pendapatan nyata; dan (f) investasi harus diarahkan pada industri yang menghemat devisa, mengurangi beban neraca pembayaran dan memaksimumkan rasio barang ekspor terhadap investasi.
4.3. Pertumbuhan Pendidikan (geduc)
Hasil estimasi menunjukkan bahwa pertumbuhan pendidikan yang ditamatkan oleh pekerja pada umumnya berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, kecuali variabel pertumbuhan pekerja TS dan pertumbuhan tamatan SD. Hal ini sesuai dengan kaidah teori pertumbuhan baru (New Growth Theory), dimana pertumbuhan tingkat pendidikan pekerja akan meningkatkan produktivitas modal fisik dan tenaga kerja yang selanjutnya akan berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi, selain itu peningkatan pertumbuhan tingkat pendidikan pekerja erat kaitannya dengan tingkat penguasaan dan pengembangan teknologi yang pada akhirnya berimplikasi terhadap kemampuan untuk berproduksi dan pendapatan nasional. Hasil ini juga sejalan dengan beberapa penelitian empirik tentang hubungan antara tingkat pendidikan dan pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh Barro (2003), Breton (2003), Alfranca et al (2003), Pina & Aubyn (2003), Knowles (2002), Mosino (2002), McDonald & Roberts (2002), dan Neira et al (2000). Perbandingan hasil penelitian dengan hasil penelitian sebelumnya, selengkapnya dapat dilihat pada tabel lampiran-4.
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Pertumbuhan Pekerja TS (gts)
Hasil estimasi menunjukkan bahwa pada periode 1987-2003 variabel pertumbuhan pekerja TS berpengaruh secara positif tetapi tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia dengan koefisien estimasi sebesar 0,023719 pada tingkat signifikansi yang sangat rendah, yakni hanya 45,66%. Artinya, setiap terjadi kenaikan pertumbuhan pekerja TS sebesar 1% akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar
0,023719%. Dengan
demikian pertumbuhan pekerja TS tetap memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, hanya saja pengaruhnya tidak signifikan Tentu saja hal ini sangat beralasan karena pekerja yang tidak berpendidikan pada umumnya mempunyai produktivitas yang sangat rendah serta kebanyakan bekerja di sektor informal. Selain itu, pekerja yang tidak berpendidikan pada umumnya juga tidak mempunyai kemampuan dalam penguasaan teknologi produksi, yang pada akhirnya berimplikasi terhadap rendahnya produktivitas dan kemampuan untuk berproduksi. Perbandingan posisi relatif suatu daerah dalam pertumbuhan pekerja TS dan pertumbuhan ekonomi dapat disimak pada gambar berikut :
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
20.0 26
4
10.0 7
25
3
0.0 11
0.0
1.0 1
2.0
20
4.0
12
9-10.0
22 24
10
18 16
3.0 6
19 23
8 14
17 5.0 5
15
6.0
7.0
21
2
-20.0
-30.0 13
-40.0 GPD R B
Gambar 4.2 Perbandingan Posisi Relatif Daerah dalam Pertumbuhan Pekerja TS dan Pertumbuhan Ekonomi Antar daerah di Indonesia Periode 1987-2003
Pertumbuhan pekerja TS tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian, pada gambar 4.2 terlihat bahwa beberapa daerah mempunyai pertumbuhan pekerja TS yang tinggi diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula, seperti NTB dan Papua. Pertumbuhan pekerja TS agak berbeda dengan variabel lain dalam penelitian ini, karena sebahagian besar daerah mempunyai pertumbuhan pekerja TS yang negatif, kecuali beberapa provinsi seperti Sumbar, Riau, Bengkulu, Jabar, Kalsel, Sulteng, Sulsel, Sultra, Maluku, dan Papua. Selain itu sebahagian besar daerah memiliki pertumbuhan pekerja TS yang semakin menurun bahkan minus walaupun masih ada daerah yang mempunyai pertumbuhan pekerja TS positif bahkan menglami peningkatan dari tahun ke tahun, misalnya Riau, bengkulu,
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Sulteng, Sultra, dan Papua. Koefisien korelasi Pearson antara pertumbuhan pekerja TS dengan pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 0.278036. Kondisi ini merupakan akibat langsung dari kurangnya kesadaran dan kemampuan orang tua untuk menyekolahkan anak serta kegagalan pemerintah dalam menyadarkan dan menyediakan pendidikan kepada masyarakat, sehingga jumlah masyarakat TS yang masuk ke dalam dunia kerja (untuk beberapa daerah) semakin meningkat dari tahun ke tahun. Tantangan yang dihadapi dalam usaha mengurangi pertumbuhan pekerja TS adalah (a) pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi dan sulitnya masuk pendidikan dasar telah memperbesar jumlah orang dewasa yang TS; (b) terdapat beberapa masalah kebijakan yang menyangkut biaya program, dimana biaya program melek huruf relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan program pendidikan yang lain; dan (c) masalah ekonomi juga dapat menjadi salah satu penyebab dari tingginya pertumbuhan pekerja TS, karena sebagian masyarakat ingin segera mendapatkan hasil, sedangkan sekolah justru harus mengeluarkan biaya. Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi kenaikan tingkat pertumbuhan pekerja TS, antara lain (1) peningkatan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi; (2) peningkatan kampanye pendidikan untuk menyadarkan para orang tua supaya bersedia menyekolahkan anak-anak mereka sebagai investasi masa depan; (3) perbaikan desain dan konstruksi program pendidikan; dan (4) penilaian tingkat melek huruf sebagai alat untuk memberantas buta huruf.
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Sebenarnya konferensi internasional tentang pendidikan, yaitu konferensi Jomtien di Thailand tahun 1990 demikian pula konferensi Dakar di Senegal tahun 2000 telah mengakui bahwa melek huruf merupakan hak azasi manusia, dan merupakan salah satu tujuan dari EFA (Education For All), yaitu untuk menaikkan tingkat melek huruf bagi orang dewasa sebesar 50% sebelum 2015, namun pelaksanaannya dibeberapa negara terutama negara-negara yang sedang berkembang masih memprihatinkan; dan yang lebih memprihatinkan lagi bahwa bila dibandingkan dengan kaum pria, kaum wanita mempunyai tingkat buta huruf yang lebih tinggi padahal wanita memegang peranan yang sangat penting dalam mempersiapkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Salah satu kemungkinan penyebabnya ialah adanya diskriminasi pendidikan terhadap kaum wanita pada masa yang lalu.
Pertumbuhan Tamatan SD (gsd)
Hasil estimasi menunjukkan bahwa pada periode 1987-2003 variabel pertumbuhan tamatan SD berpengaruh secara positif tapi tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia dengan koefisien estimasi sebesar 0,122975 pada tingkat signifikansi yang rendah, yakni sebesar 11,18%. Artinya, setiap terjadi kenaikan pertumbuhan tamatan SD 1% akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar
0,122975%. Dengan demikian pertumbuhan
tamatan SD tetap memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, meskipun pengaruhnya tidak signifikan. Hasil ini menunjukkan bahwa pendidikan dasar saja belum mampu meningkatkan kualitas Sumber daya manusia (SDM), hal ini tidak mengejutkan
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
mengingat SD memang hanya merupakan pendidikan untuk pondasi bagi tingkat pendidikan selanjutnya dan sama sekali tidak dipersiapkan sebagai pendidikan untuk masuk ke dalam dunia kerja. Pendidikan dasar pada intinya merupakan pelaksanaan dari The world Declaration on Education for All yang sekaligus juga merupakan pelaksanaan dari tujuan pembangunan nasional Meskipun demikian, pendidikan dasar harus tetap ditingkatkan baik jumlah maupun kualitasnya karena (1) dalam jangka panjang, merupakan syarat pokok yang diperlukan untuk dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas SDM dimasa yang akan datang; dan (2) dalam jangka pendek, untuk memenuhi permintaan tamatan SD yang masih cukup tinggi. Oleh karena itu pendidikan dasar harus tetap mendapat perhatian dari para pengambil kebijakan di bidang pendidikan. Sebagai ilustrasi, perbandingan posisi relatif suaru daerah dalam pertumbuhan tamatan SD dan pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia, dapat disimak pada gambar 4.3 yang memperlihatkan bahwa fluktuasi pertumbuhan pekeja tamat SD yang sangat tajam tidak diikuti dengan fluktuasi yang tajam dalam pertumbuhan ekonomi, hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tamatan SD tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
20.0 4 15.0
7
1
22
10
18 10.0
20
11
0.0
1.0
2.0
3 5.0 4.0
3.0 6
8
16
15
19
17 23
5 14
5.024 2
6.0
7.0
21
0.0 12 25
9
26
-5.0
-10.0 13 -15.0
-20.0 GPD R B
Gambar 4.3 Perbandingan Posisi Relatif Daerah dalam Pertumbuhan Tamatan SD dan Pertumbuhan Ekonomi Antar daerah di Indonesia Periode 1987-2003
Meskipun
demikian
terdapat
beberapa
daerah
yang
mempunyai
pertumbuhan tamatan SD yang tinggi diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula, seperti NTB, Sulteng, Kalbar, dan Kalsel. Beberapa daerah yang lain memiliki pertumbuhan tamatan SD yang rendah dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah pula, antara lain Sumsel, DIY, Jatim, dan Maluku. Koefisien korelasi Pearson antara pertumbuhan tamatan SD dengan pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 0.077293. Ada beberapa tantangan yang dihadapi untuk meningkatkan jumlah dan kualitas pendidikan dasar, antara lain (1) tekanan penduduk, tingginya tingkat pertumbuhan penduduk memberikan tekanan tersendiri terhadap anggaran
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
pemerintah untuk menyediakan lebih banyak sarana dan prasaranan pendidikan; (2) peningkatan kualitas, untuk meningkatkan kualitas pendidikan dasar diperlukan keterlibatan banyak pihak mulai dari kurikulum, strategi pengajaran, materi pengajaran, para guru, pengawas, para pembuat kebijakan serta para orang tua dan tentu saja dana yang memadai; dan (3) pemerataan pendidikan, meliputi pemerataan kesempatan mendapatkan pendidikan bagi semua kelompok masyarakat; dan pemerataan dari sisi gender sebagai sarana dasar pembentukan modal manusia.
Pertumbuhan Tamatan SMTP (gsmtp)
Hasil estimasi menunjukkan bahwa pada periode 1987-2003 variabel pertumbuhan tamatan SMTP berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah dengan koefisien estimasi sebesar 0,165092 pada tingkat signifikansi 1%. Artinya, setiap terjadi kenaikan pertumbuhan tamatan SMTP 1% akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,165092%. Dengan demikian pertumbuhan tamatan SMTP memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Perbandingan posisi relatif suatu daerah dalam pertumbuhan tamatan SMTP dan pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut :
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
25.0
10 20.0
4 1 20
3 15.0
11
7
8 14
5 19
16
21 24
18 0.0
1.0
2.0
3.0
4.0 10.0
6
15
17
2
5.022
6.0
7.0
25 23
12
26
5.0 9
0.0 13 -5.0 GPD R B
Gambar 4.4 Perbandingan Posisi Relatif Daerah dalam Pertumbuhan Tamatan SMTP dan Pertumbuhan Ekonomi Antar daerah di Indonesia Periode 1987-2003
Pertumbuhan Tamatan SMTA (gsmta)
Hasil estimasi menunjukkan bahwa pada periode 1987-2003 variabel pertumbuhan investasi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia dengan koefisien estimasi sebesar 0,746883 pada tingkat signifikansi 1%. Artinya, setiap terjadi kenaikan pertumbuhan investasi sebesar 1% akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,746883%. Dengan demikian pertumbuhan investasi memperlihatkan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini sejalan dengan kaidah teori pertumbuhan ekonomi New Growth Theory dimana pertumbuhan tamatan SMTP dan SMTA akan meningkatkan stok
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
modal manusia berkalitas yang selanjutnya akan berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi karena dengan bertambahnya stok modal manusia yang berkualitas maka jumlah stok modal secara keseluruhan juga akan meningkat, pada akhirnya berimplikasi terhadap kemampuan untuk berproduksi dan peningkatan dalam pertumbuhan ekonomi. Sebagai ilustrasi, perbandingan posisi relatif suatu daerah dalam pertumbuhan tamatan SMTA dengan pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia, dapat disimak pada gambar berikut : 25.0 4 20.0 1 10 20
15.0
14 17
5
GSMTA
24
2
10.0 6 0.0
1.0
2.0
11
3.0 12
25
7 9 4.0 18 16 5.0 3
19
8
26
15 22
5.0 21
6.0
7.0
23
0.0 13 -5.0 GPDRB
Gambar 4.5 Perbandingan Posisi Relatif Daerah dalam Pertumbuhan Tamatan SMTA dan Pertumbuhan Ekonomi Antar daerah di Indonesia Periode 1987-2003
Pertumbuhan tamatan SMTP dan SMTA memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antara daerah, sebagaimana dapat dilihat pada gambar 4.4 dan gambar 4.5 nampak bahwa pertumbuhan tamatan
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
pendidikan menengah (SMTP dan SMTA) pada umumnya searah dengan pertumbuhan ekonomi dengan koefisien korelasi Pearson masing-masing sebesar 0.059678 dan 0.06784. Namun sayangnya pertumbuhan tamatan pendidikan menengah
sangat
fluktuatif dan cendrung menurun pada bagian akhir periode pengamatan. Hal ini cukup menghawatirkan karena tamatan pendidikan menengah telah memberikan pengaruh positif dan merupakan sumber pekerja yang lebih berkualitas bila dibandingkan dengn pekerja yang TS atau tamatan pendidikan dasar. Pertumbuhan tamatan pendidikan menengah sangat ditentukan oleh besarnya tingkat pertumbuhan tamatan pendidikan dasar, sehingga tantangan yang dihadapi dalam pendidikan menengah serupa dengan tantangan yang dihadapi dalam pendidikan dasar, meskipun masalah pemerataan lebih berat pada tingkat pendidikan ini, karena untuk menciptakan pemerataan pada tingkat pendidikan menengah jauh lebih sulit bila dibandingkan dengan pendidikan dasar, karena pendidikan menengah mempunyai variasi yang lebih banyak; hal ini memberikan implikasi penting terhadap pemerataannya. Kondisi dilematis di atas semakin menjadi krusial mengingat tingkat pendidikan menengah merupakan level kritis dalam dunia pendidikan untuk (1) pembentukan modal manusia dan kesempatan untuk masuk dalam dunia kerja; dan (2) memberikan suplai terhadap pendidikan tinggi yang menjadi simbol kualitas dalam pemebentukan SDM. Sehingga kegagalan dalam menciptakan pemerataan menjadi masalah dalam pembentukan modal manusia dan penyediaan pekerja yang berkualitas di masa yang akan datang.
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam pendidikan menengah; pertama, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi telah memberikan tekanan tersendiri terhadap penyedian sarana dan prasarana pendidikan dasar, artinya pemerintah harus menaikkan pengeluaran untuk mendanai pengadaan fasilitas pendidikan dasar. Selain itu, pemerintah juga harus melakukan sejumlah pengeluaran untuk mendanai kampanye untuk memberikan kesadaran kepada para orang tua untuk memasukan anak-anak mereka ke sekolah. Kedua, meningkatkan pemerataan pendidikan menengah di Indonsia merupakan tantangan yang berat, misalnya terhadap berbagai kelompok masyarkat (antara miskin, menengah, dan kaya); gender (antara laki-laki dan perempuan); antar provinsi; antara pulau Jawa dan luar pulau Jawa; demikian pula antar kawasan. Ketiga, meningkatkan kualitas pendidikan menengah jauh lebih berat bila dibandingkan dengan pendidikan dasar, karena pada pendidikan menengah bersifat ‘multifaceted’ artinya pendidikan menengah itu mempunyai berbagai macam bentuk dan variasi sehingga lebih sulit untuk menetapkan standar mutunya. Keempat,
kemampuan untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi pada pasar tenaga kerja di satu sisi, terutama menyangkut keterampilan yang diperlukan dunia kerja yang semakin mengglobal dewasa ini; di sisi lain harus mempersiapakan para pelajar untuk masuk pada pendidikan tinggi.
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Pertumbuhan Tamatan PT (gpt)
Hasil estimasi menunjukkan bahwa pada periode 1987-2003 variabel pertumbuhan investasi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia dengan koefisien estimasi sebesar 0,115141 pada tingkat signifikansi 1%. Artinya, setiap terjadi kenaikan pertumbuhan investasi sebesar 1% akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,115141%. Dengan demikian pertumbuhan tamatan PT memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini sejalan dengan kaidah teori pertumbuhan ekonomi New Growth Theory dimana pertumbuhan tamatan PT akan meningkatkan stok modal manusia berkalitas yang selanjutnya akan berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi karena dengan bertambahnya stok modal manusia yang berkualitas maka jumlah stok modal secara keseluruhan juga akan meningkat, pada akhirnya berimplikasi terhadap kemampuan untuk berproduksi dan peningkatan dalam pertumbuhan ekonomi. Perbandingan posisi relatif suatu daerah dalam pertumbuhan tamatan PT dan pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia, dapat disimak pada gambar berikut :
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
40.0
35.0
1
30.0 7 25.0
15 18
20.0
4 20
0.0
1.0
25 2.0
3.0 12
6
11
9
10
3
19
24
17 14 8
22
23
15.0 4.0
5.0
21
16 10.0
2
6.0
26
7.0
5
5.0 13 0.0 GPD R B
Gambar 4.6 Perbandingan Posisi Relatif Daerah dalam Pertumbuhan Tamatan PT dan Pertumbuhan Ekonomi Antar daerah di Indonesia Periode 1987-2003
Sebagaimana dengan tamatan jenjang pendidikan lainnya, tamatan PT memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia. Hal tersebut juga diperkuat dengan nilai koefisien korelasi Pearson antara pertumbuhan tamatan PT dengan pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 0.05101. Mengamati kecendrungan era globalisasi dewasa ini, diperkirakan pendidikan tinggi akan memainkan peranan penting dalam mempersiapkan angkatan kerja di masa yang akan datang. Beberapa ahli menyatakan bahwa ‘economic return’ pendidikan tinggi meningkat bukan hanya karena pergeseran ‘science-based’ industri dan jasa di seluruh dunia, tetapi juga karena fundamental
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
ekonomi dan ekspansi pendidikan tinggi. Bahkan tingkat ‘economic return’ tenaga kerja berpendidikan tinggi, terutama di negara-negara yang industrinya relatif maju, meningkat bila dibandingkan dengan investasi pada pendidikan dasar dan menengah (Mingat and Tan, 1996; Ryoo et al, 1994)12. Ekspansi pendidikan tinggi di Indonesia meningkat secara tajam pada era tahun 1980-an dan 1990-an, meskipun demikian persentase tenaga kerja yang berpendidikan tinggi terhadap total tenaga kerja nasional masih relatif rendah, sementara arus globalisas ekonomi semakin kuat dengan tradisi investasi pada pendidikan tinggi yang masih rendah di satu sisi, sedang di sisi lain juga harus berusaha meningkatkan kualitas pendidikan menengah untuk menyediakan tenaga kerja produktif dalam pertumbuhan ekonomi merupakan tantangan tersendiri. Pendidikan tinggi termasuk yang non universitas, seperti institut, politeknik, dan sebagainya telah meningkat dengan sangat tajam selama dasawarsa terakhir.
Bahkan dewasa ini juga telah berkembang institusi
pendidikan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan jarak jauh yang telah memberikan kemudahan dan
sangat membantu bagi kalangan masyarakat
tertentu. Pola ‘horizontal differentiation’ pendidikan tinggi seperti itu telah meningkatkan rasio tamatan PT dalam total pekerja di Indonesia. Ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan PT, antara lain13: 1. Kualitas Pendidikan tinggi
12 13
Lihat Key Indicators (2003), Volume 34, Asian Development Bank, p. 29. Ibid, p. 32
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Permintaan global terhadap tipe skill tertentu telah meningkatkan tekanan terhadap pendidikan tinggi di seluruh dunia, khusus dalam menempatkan perekonomian dalam proses globalisasi secara lebih tepat. Beberapa penelitian yang dilakukan pada tahun 1970-an, 1980-an, dan 1990-an menunjukkan bahwa tingkat pengembalian pendidikan tinggi meningkat secara relatif terhadap tingkat pengembalian pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Sedangkan tingkat pengemabalian investasi pada pendidikan tinggi lebih rendah dibandingkan dengan tingkat pengembalian investasi pada pendidikan dasar dan menengah. Peningkatan tingkat pengembalian universitas memberikan tekanan pada universitas untuk menampung lebih banyak pelajar, untuk meningkatkan daya tampung universitas maka harus dilakukan perluasan baik secara intensifikasi maupun ekstensifikasi. Namun, yang muncul kemudian ialah masalah pembiyaan dari perluasan pendidikan tinggi yang juga sangat tinggi. 2. Peningkatan Daya Saing Ekspansi dan reformasi pendidikan tinggi akan membantu dalam meningkatkan daya saing, terutama dalam menghadapi perubahan globalisasi ekonomi yang sangat cepat. Dari perspektif ini, pendidikan tinggi akan berfokus pada (a) melakukan kaderisasi ilmuan; (b) meningkatkan pengetahuan dan prestasi dalam bahasa dan matematika bagi angkatan kerja; dan (3) sebagai tempat kegiatan research and development dalam program pembangunan ekonomi regional, dan perusahaan-perusahaan negara dan swasta. Selain itu pendidikan tinggi juga memainkan peranan yang penting dalam transfer teknologi dan pembangunan dalam dua hal; pertama, mempunyai
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
kemampuan untuk membangun keterampilan manajemen dan produksi untuk memanfaatkan dan mengorganisir teknologi baru, dengan demikian pendidikan tinggi sangat penting dalam proses transfer teknologi dalam industri-industri yang menggunakan dan memproduksi teknologi informasi; kedua, pengembangan industri yang berabsis ilmu pengetahuan, maka universitas menjadi tempat yang dapat mengkombinasikan penelitian dasar yang diperlukan untuk kemajuan industri yang bersangkutan dengan latihan peneliti dan mengaplikasikan hasil penelitian untuk mengembangkan suatu industri tertentu. Paling kurang ada dua hambatan yang harus diatasi; pertama, universitas tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus bekerjasama dengan industri yang mempekerjakan sejumlah orang; untuk memberikan pengetahuan yang berbasis pada penelitian. Oleh kerena itu, pemerintah harus mulai membangun hubungan dengan universitas yang berbasis penelitian, memberikan dukungan terhadap pusat-pusat penelitian dan industri swasta; kedua, hasil penelitian dasar tidak dapat segera diaplikasikan perusahaan-perusahaan baik negara maupun swasta, sehingga perlu ada pelatihan-pelatiahan yang dapat menjembatani gap tersebut. 3. Masalah Pemerataan Pendapatan Semakin tinggi tingkat pengembalian pendidikan tinggi berarti bahwa orang yang berpendidikan tinggi akan memperolah manfaat yang lebih besar dari investasi dalam bidang pendidikan dibandingkan dengan orang yang hanya berpendidikan dasar atau menengah, sehingga dapat terjadi bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi pula latar belakang sosial ekonominya.
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Para ahli masih memperdebatkan hubungan antara distribusi pendapatan dan tingkat pendidikan, dalam perdebatan dewasa ini juga sudah dimasukkan pengaruh teknologi terhadap permintaan relatif untuk tenaga kerja terampil dan tenaga kerja tidak terampil serta konsekuensinya dalam distribusi pendapatan. Kebanyakan ahli ekonomi menganggap bahwa teknologi baru meningkatkan permintaan keterampilan, dan hal itulah yang menyebabkan kesenjangan baik di negara maju maupun di negara terbelakang. Tapi argumentasi tandingan yang menyatakan bahwa banyak dari peningkatan kesenjangan dalam dua puluh tahun terakhir di beberapa negera seperti AS dan Inggeris lebih disebabkan oleh kebijakan pendapatan yang telah menstimulasi peningkatan pendapatan yang cepat terhadap kelompok yang memiliki pendapatan tinggi, sementara tetap mempertahankan upah minimum relatif rendah dan memberikan tekanan politik kepada serikat pekerja untuk membatasi kenaikan upah Dengan demikian kesenjangan distribusi pendapatan dapat saja dipengaruhi oleh peningkatan persaingan global dalam hal keterampilan dan kebijakan pendapatan. Peningkatan persaingan global dan perubahan teknologi dalam dua dekade terakhir telah memberikan pengaruh terhadap meningkatnya tingkat pengembalian pendidikan tinggi, demikian pula kebijakan pendapatan yang disertai dengan kebijakan neo-liberal telah memberikan pengaruh dalam meningkatnya kesenjangan distribusi pendapatan. Dalam hal ini lebih tingginya tingkat pengembalian pendidikan tidak menyebabkan peningkatan kesenjangan distribusi pendapatan, tetapi pada hasil kesenjangan yang lebih besar. Mungkin
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
dapat dikatakan bahwa tingkat pengembalian yang lebih tinggi terhadap pendidikan tinggi disertai dengan distribusi pendapatan yang timpang.
4. Pembiayaan Pendidikan Tinggi Pada dasarnya ada dua sumber pokok pembiayaan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, yaitu pemerintah dan swasta. Meskipun demikian ada beberapa model pembiayaan pendidikan14, antara lain Model Tradisional, siswa/mahasiswa yang berprestasi mendapat perioritas untuk mendapatkan pembiayaan dan masuk pada universitas negeri yang terbaik;
Model Korea/Jepang, siswa/mahasiswa
yang berprestasi pada umumnya masuk pada universitas negeri dengan biaya yang relatif lebih tinggi; Model Cina, semua universitas adalah negeri, tapi siswa/mahasiswa harus meningkatkan pembayarannya dan universitas mendorong mereka untuk terjun ke usaha swasta guna mendapatkan uang secara langsung; dan Model Filipina, sebahagian besar siswa/mahasiswa (paling kurang 80%) membayar untuk pendidikan tinggi mereka secara langsung kepada institusiinstitusi swasta dengan perbedaan kualitas yang luas. Setiap model mempunyai kelebihan dan keterbatasan. 5. Masalah Keadilan Gender Untuk meningkatakan tingkat pengembalian pendidikan tinggi, maka pendidikan wanita merupakan salah satu alternatif. Di beberapa negara tingkat pengembalian pendidikan wanita lebih tinggi bila dibandingkan dengan tingkat
14
Ibid, p.35
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
pengembalian pendidikan pria (Ryoo et al., 1994; Psacharopoulos, 1989)15. Alasan atas meningkatnya partisipasi kaum wanita dalam pasar tenaga kerja sangat kompleks, tapi ada dua alasan utama (1) meningkatnya permintaan tenaga kerja murah dengan skill sedang pada pabrik-pabrik elektronik dan industri perakitan lainnya. (2) meningkatnya legitimasi pendidikan wanita.
Variabel Dummy Krisis (dcrises)
Hasil estimasi menunjukkan bahwa pada periode 1987-2003 variabel dummy krisis berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia dengan koefisien estimasi sebesar 0,058246 pada tingkat signifikansi 5%. Artinya, setiap terjadi perubahan krisis sebesar 1% akan berdampak pada perubahan pertumbuhan ekonomi sebesar
0,058246%.
Dengan demikian krisis ekonomi yang mulai terjadi pada bulan Juli 1997, berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi. Hasil ini cukup beralasan mengingat bahwa dalam penelitian ini perhatian ditujukan pada pertumbuhan bukan level, sehingga pada saat terjadi krisis perekonomian sangat terpuruk yang ditandai dengan pendapatan nasional dan pendapatan perkapita yang rendah serta pertumbuhan ekonomi yang negatif. Tetapi setelah puncak krisis yang terjadi pada akhir tahun 1997, maka mulailah terjadi recovery yang meskipun sangat lambat, telah terjadi pertumbuhan ekonomi yang positif.
15
Ibid, p. 36
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil estimasi dan pengujian hipotesis diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaruh pertumbuhan tingkat pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia adalah sebagai berikut (a) TS dan SD tidak berpengaruh secara signifikan; dan (b) SMTP, SMTA, dan PT berpengaruh secara signifikan. 2. Dengan asumsi ceteris paribus dan besarnya nilai R-Square, besarnya pengaruh pertumbuhan tingkat pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah adalah setiap terjadi kenaikan 1% pertumbuhan tingkat pendidikan, maka pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia masing-masing sebesar 0,023719% dari pekerja TS; 0,122975% dari tamatan SD; 0,165092% dari tamatan SMTP; 0,746883% dari tamatan SMTA; dan 0,115141% dari tamatan PT. 3. Dengan demikian tampak bahwa sampai pada tingkat pendidikan SMTA, semakin tinggi pertumbuhan tingkat pendidikan semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia, periode 1987-2003.
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
6. DAFTAR BACAAN
Alfranca, Oscar, et. al. 2003. “Economic Growth and Income Distribution in The OECD Countries”, www.apfress.com/book2/pdf_files/15.pdf. Baltagi, Badi H. 2001. Econometric Analysis of Panel Data, England: John Wiley & Sons. Barro Robert J. and Jong Wha Lee. 2001. “International Data on Educational Attainment: Updates and Implications”, Oxford Economics Papers 3: Oxford University Press. Barro, Robert J. and Sala-i-Martin. 1995. Economic Growth. New York: McGraw-Hill. Barro, Robert J. 2003. “Education as a Determinant of Economic Growth”, www.oecd.org/dataoecd/5/49/1825455.pdf Breton, Theodore R. 2003. “Education: How Its Distribution Affects A Nation’s Income”, JEL Codes: H520, 1280, O150. De la Fuente, Angel. 2003. “Human Capital and National Competitiveness: The State of the Evidence”. Instituto de Analisis Economico, CSIC. Dowrick, Steve. 2002. “The Contribution of Innovation and Education to Economic Growth”. Melbourne Institute Economic and social Outlook Conference. Dufour, Jean-Marie and Lynda Khalaf. 2000. “Exact Test for Contemporaneous Correlation of Distrubance in Seemingly Unrelated Regressions”, Scientific Series CIRANO. Green, William H. 2000. Econometric Analysis (4th Edition), New Jersey: Prentice-Hal, Upper Saddle River. Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometrics (4th edition). New York: McGraw-Hill Higher Education. Gylfason, Thorvaldur and Gylfi Zoega. 2001. “Education, Social Equality and Economic Growth: A View of the Landscape”. CEPR. Hsiao, Ceng. 1999. Analysis of Panel Data, New York: Econometrical Society Monographs. Indonesia Human Development Report. 2001. Towards a New Consensus: Democracy and Human Development in Indonesia, Jakarta: BPS-Statistics Indonesia-Bappenas-UNDP. Jhingan, M.L. 1994. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Terjemahan D. Guritno. Jakarta: Rajawali Pers. Jhonson, Paul (2004), “Cross Sectional Time Series: The Normal Model and Panel Corrected Standar Errors”,
[email protected]
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Jong-Wha Lee. 2000. “Education”. Background Paper Examining the State of Andean Region for the Andean Competitiveness Project. Key Indicators 2003. Education for Global Participation (Volume 34), Asian Development Bank (ADB). Knowles, Stephen, Paula K. Lorgelly, and P. Dorian Owen. 2002. “Are Educational Gender Gaps on Economic Development? Some CrossCountry Empirical Evidence”, Oxford Economic Paper 54: Oxford University Press. Mankiw N.G., and D. Romer, D.N. Weil. 1992. “A Contribution to the Empirics of Economic Growth”, Quarterly Journal of Economics. McDonald, Scott and Jennifer Roberts. 2002. “Growth and Multiple Form of Human Capital in An Augmented Solow Model: A Panel Data Investigation”, Economics Letter 74, Elsevier. Nury Effendi dan Femmy M Soemantri. 2003. “Foreign Direct Investment and Regional Growth in Indonesia: A Panel Data Study”. The 5th IRSA International Conference. Radi A. Gany. 2001. Menyongsong Abad Baru dengan Pendekatan Pembangunan Berbasis Kemandirian Lokal. Makassar: Hasanuddin University Press. Romer, David. 1996. Advanced Macroeconomics (1st edition). Singapore: McGrraw-Hill Higher Education. Romer, David. 2001. Advanced Macroeconomics (1st edition). Singapore: McGraw-Hill Higher Education. Sekretariat Asean. 2003. http//: www.aseansec.org/asean survellance coordinating unit/database. Todaro, Michael P. 2000. Economic Development (7th edition). New York: Addison-Wasley Logman, Inc. Tulus H.T. Tambunan. 1996. Perekonomian Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Lampiran-1 : PerbandinganTingkat Pendidikan di Negara-negara OECD dan non-OECD (Penduduk berusia 25 tahun ke atas) Negara OECD: - Australia - Austria - Belgia - Kanada - Ceko - Denmark - Finlandia - Prancis - Jerman - Yunani - Iceland - Irlandia - Italia - Jepang - Luxsemburg - Korea - Belanda - Selandia Baru - Norwegia - Portugal - Spanyol - Swedia - Swiss - Turki - Inggris - Amerika Serikat non-OECD: - Argentina - Brasil - India - Indonesia - Malaysia - Paraguay - Thailand
Tidak Sekolah
Tingkat Pendidikan Pendidikan Pendidikan Dasar Menengah
Rata-rata tahun
Pendidikan Tinggi
Bersekolah
2 1 5 2 1 0 0 1 4 6 2 3 14 0 9 3 0 1 14 4 2 5 31 3 1
25 32 49 20 35 34 31 48 28 52 48 35 43 31 18 32 34 12 61 56 18 26 47 41 8
21 31 10 13 22 39 35 22 23 24 16 20 12 17 36 14 9 44 6 13 44 31 7 13 24
24 12 16 49 9 19 19 15 15 11 13 16 12 22 21 19 39 21 10 12 21 15 7 16 47
10,3 8,4 8,6 11,2 9,3 9,9 9,8 7,9 9,6 8,1 8,4 8,8 6,6 9,4 10,1 9,0 11,3 11,8 4,5 6,6 11,2 10,2 4,6 9,0 12,2
6 22 52 44 17 10 20
53 59 28 33 34 64 62
10 5 6 10 24 10 4
16 8 5 4 7 8 9
8,1 4,3 4,2 4,0 7,7 5,7 5,7
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
- Urugay
3
54
9
10
Sumber : Robert J. Barro and Jong Wha Lee
Lampiran-2 : Koefisien Intercept Hasil Estimasi Model Pertumbuhan Periode 1987-2003 NO
PROVINSI
1 NAD 2 SUMUT 3 SUMBAR 4 RIAU 5 JAMBI 6 SUMSEL 7 BENGKULU 8 LAMPUNG 9 DKI JKT 10 JABAR 11 JATENG 12 DIY 13 JATIM 14 BALI 15 NTB 16 NTT 17 KALBAR 18 KALTENG 19 KALSEL 20 KALTIM 21 SULUT 22 SULTENG 23 SULSEL 24 SULTRA 25 MALUKU 26 PAPUA Sumber : Hasil Pengolahan
INTERCEPT -0.088940 -0.026717 -0.005235 -0.181897 -0.031137 -0.025379 -0.022352 -0.039896 -0.011135 -0.074640 -0.034853 -0.044066 0.105901 -0.046334 -0.027601 -0.016637 -0.064084 -0.018593 -0.030293 -0.064493 -0.003843 -0.014053 -0.020713 -0.024180 -0.017773 0.026324
6,9
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Lampiran-3 : Perbandingan Hasil Penelitian dengan Penelitian Sebelumnya No 01
Peneliti & Tahun Oscar Alfranca et al (2003)
Judul Penelitian Economic Growth and Income Distribution in OECD Countries
02
Alvaro M. Pina dan Miguel St. Aubyn (2003)
Public Capital, Human Capital and Economic Growth: Portugal 1977-2001
03
Alejandro Mosino (2002)
Education, Human Capital Accumulation and Economic Growth
04
Scott McDonald dan Jennifer Roberts (2002)
Growth and Multiple Form of Human Capital in An Augmented Solow Model: A Panel Data Investigation
05
Stephen Knowles et al (2002)
06
Isabel Neira et al (2000)
Are Educational Gender Gaps a Brake on Economic Development? Some Cross Country Empirical Evidence The Role of Education in
Hasil penelitian Sebelumnya Teknologi, modal fisik, pendidikan, distribusi pendapatan stabilitas politik dan iklim berpengaruh secara positif terhadap pertumbuhan ekonomi Modal fisik, pengeluaran publik, pendidikan, dan tenaga kerja berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Pertumbuhan penduduk, investasi rill, dan pendidikan tinggi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Berbagai bentuk modal (modal fisik, modal pendidikan, dan modal kesehtan) mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap proses pertumbuhan ekonomi (GDP per tenaga kerja efektif) Modal fisik, pendidikan wanita, pendidikan pria, dan kesehatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan per tenaga kerja efektif
Modal fisik dan pendidikan menegah ke
Hasil Penelitian ini Pertumbuhan Investasi (modal fisik) berpengaruh secara positif dan signifkan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia Pertumbuhan Investasi (modal fisik) berpengaruh secara positif dan signifkan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia Pertumbuhan Investasi (modal fisik) berpengaruh secara positif dan signifkan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia Pertumbuhan Investasi (modal fisik) berpengaruh secara positif dan signifkan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia
Pertumbuhan Investasi (modal fisik) berpengaruh secara positif dan signifkan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia
Pertumbuhan Investasi (modal fisik)
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Development and European Cooperation with Latin America
atas berpengaruh secara positif terhadap GDP per kapita
berpengaruh secara positif dan signifkan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia
Sumber : Hasil studi pustaka dan hasil penelitian
Lampiran-4 : Perbandingan Hasil Penelitian dengan Penelitian Sebelumnya No
Peneliti & Tahun Robert J. Barro (2003)
Judul Penelitian Education as a Determinant of Economic Growth
02
Oscar Alfranca et al (2003)
Economic Growth and Income Distribution in OECD Countries
03
Theodore R. Breton (2003)
04
Alvaro M. Pina dan Miguel St. Aubyn (2003)
Education: How Its Distribution Affects A Nation’s Income Public Capital, Human Capital and Economic Growth: Portugal 19772001
05
Alejandro Mosino (2002)
01
Education, Human Capital Accumulation and Economic Growth
Hasil penelitian Sebelumnya Tingkat pendidikan menengah dan tinggi (Pria) dan kualitas pendidikan berpengaruh kuat dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Teknologi, modal fisik, pendidikan, distribusi pendapatan stabilitas politik dan iklim berpengaruh secara positif terhadap pertumbuhan ekonomi Distribusi pendidikan pada tenaga kerja menjadi penentu yang signifikan terhadap pendapatan nasional Modal fisik, pengeluaran publik, pendidikan, dan tenaga kerja berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi •
•
Pertumbuhan penduduk, investasi rill, dan pendidikan tinggi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Konsumsi pemerintah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan ratarata bersekolah berpengaruh positif
Hasil Penelitian ini Tamatan SMTP, SMTA dan PT memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah. Modal manusia (pendidikan) berpengaruh secara positif terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia Tamatan SMTA memberikan pengaruh yang lebih besar dan lebih signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Semua jnjang pendidikan berpengaruh secara positif dan signifkan terhadap pertumbuhan ekonomi antara daerah, kecuali TS dan SD tidak signifikan. • PT memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah • SD memberikan pengaruh positif tapi tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antara daerah
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
06
Scott McDonald dan Jennifer Roberts (2002)
Growth and Multiple Form of Human Capital in An Augmented Solow Model: A Panel Data Investigation
07
Stephen Knowles et al (2002)
08
Isabel Neira et al (2000)
Are Educational Gender Gaps a Brake on Economic Development? Some Cross Country Empirical Evidence The Role of Education in Development and European Cooperation with Latin America
terhadap pertumbuhan ekonomi Berbagai bentuk modal (modal fisik, modal pendidikan, dan modal kesehtan) mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap proses pertumbuhan ekonomi (GDP per tenaga kerja efektif) Modal fisik, pendidikan wanita, pendidikan pria , dan kesehatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan per tenaga kerja efektif
Modal fisik dan pendidikan menegah ke atas berpengaruh secara positif terhadap GDP per kapita
Sumber : Hasil studi pustaka dan hasil penelitian
Pendidikan (per tenaga kerja efektif) berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah.
Pendidikan (tanpa membedakan pria dan wanita) berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah
Tamatan SMTP, SMTA dan PT memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar daerah. Tamatan SD positif tapi tidak signifikan.
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Daftar Riwayat Hidup Data Pribadi:
Nama Lengkap NIP Tempat/Tgl. Lahir Alamat Jakarta
Makassar
: Dr. Sanusi Fattah, S.E., M.Si. : 132 086 816 : Mendahara, 13 April 1969 : Jl. Swasembada Barat 9 No. 47 Tanjung Priok, Jakarta Utara, 14320. Hp: 081931450941 : Jl. Taman Pahlawan, Komp. BBD No. 14 Makassar 90233
Riwayat Pendidikan:
1. Sekolah Dasar di SD Negeri No. 71 Sungai Itik Jambi, 1976-1982; 2. Sekolah Menengah Pertama, di SMP “Jayakarta” Jakarta Utara, 19821985; 3. Sekolah Menengah Atas, di SMA Negeri 13 Jakarta Utara, 1985-1988; 4. Strata-1 di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar, 19881993; 5. Strata-2 di Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 1995-1997; 6. Strata-3 di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2002-2005 Prestasi/Penghargaan/Beasiswa:
1. Diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan), tahun 1988; 2. Menerima Beasiswa Supersemar, tahun (1989/1990-1990/1991); 3. Memperoleh Tunjangan Ikatan Dinas (TID), tahun 1991/1992-1992/1993; 4. Diterima sebagai staf pengajar di Fakultas Ekonomi Univesitas Hasanuddin melalui jalur TID, tahun 1994; Penelitian/ Makalah 5 Tahun Terakhir:
1. Alternatif Kebijakan untuk Mengatasi Krisis Ekonomi di Indonesia, 2003; 2. Aplikasi Metodologi Ekonometrika (Studi Kasus Penanaman Modal dan Tenaga Kerja terhadap Produk Domestik Bruto Periode 1983-2001; 3. Perubahan Struktur Ekonomi dan Perbedaan Kemajuan Pembangunan Ekonomi Antar Daerah di Indonesia, 2000; 4. Tingkat Pendidikan, Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Antar Daerah di Indonesia, 2000; 5. Peranan Tenaga Kerja Sektor Pertanian terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Periode 1982-2001;
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
6. Pengaruh Pertumbuhan Tingkat Pendidikan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Antar Daerah di Indonesia, 2005; 7. Pengaruh Pertumbuhan Tingkat Pendidikan Terhadap Distribusi Pendapatan Antar Daerah di Indonesia, 2005; 8. Tingkat Kesenjangan Distribusi Pendapatan Antar Daerah di Indonesia, 2005. 9. Ilmu Pengetahuan & Teknologi (IPTEK) dan Pertumbuhan Ekonomi, 2005. Kursus/Pelatihan:
1. Pelatihan Metodologi Penelitian Empirik, Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar, 1997; 2. Pelatihan Ekonometrika Terapan Model Dinamik, PAU-UGM, Yogyakarta, 1999; 3. Legislative Drafting Training of Trainer, kerjasama UniversitasUdayana dan San Fransisco University School of Law, Bali, 2000; 4. Editor Training Program in Legislative Drafting, ELIPS-USAID, Jakarta, 2001; 5. Kursus Bahasa Inggeris di English First (EF), Makassar,2001-20021; 6. Kursus Bahasa Inggeris di Lembaga Administrasi Negara (LAN), Bandung, 2003; Pengalaman Kerja:
1. Dosen tetap pada Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, 1994Sekarang; 2. Konsultan pada Center for Empowering for Commercial Law and Economics (CCLE) Bali, 2000-200216; 3. Konsultan pada Center for Empowering Legislative Drafting (CELD) Makassar, 2000-20021; 4. Konsultan pada Center for Local Government Innovation (CLGI), Jakarta, 2001-20021; 5. Pelatih dalam Legislative Drafting Training (khususnya dalam memberikan pertimbangan ekonomi dalam perancangan PERDA/UU), 2000-20021 antara lain di: a. Jakarta, kepada staf Sekertariat Jenderal DPR-RI, staf Sekertariat Kabinet RI, Staf Departemen Kehakiman dan HAM-RI; b. Bandung, kepada staf Pemda, Anggota DPRD, dan LSM; c. Bali, kepada peserta Training of Trainers d. Makassar, kepada staf Pemda, Anggota DPRD, dan LSM; e. Manado, kepada staf Pemda, Anggota DPRD, dan LSM; Mata Kuliah yang pernah diajarkan: 16
Sejak September 2002, melanjutkan studi pada Program Doktor di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Matematika Ekonomi Perekonomian Indonesia Pengantar Ekonomi Mikro Teori Ekonomi Mikro Pengantar Ekonomi Makro Teori Ekonomi Makro Ekonometrika Statistik Pembangunan Berkelanjutan Masyarakat Perkotaan
Demikianlah Daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenarnya untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Bandung, 26 September 2005 Yang Membuat,
Sanusi Fattah