PERBEDAAN PENGARUH TEPUNG TEMPE DAN TEPUNG TAHU TERHADAP ESTROGEN SERUM, BETA AMILOID SERUM DAN FUNGSI KOGNITIF PADA TIKUS BETINA DENGAN OVARIEKTOMI
ATIK KRIDAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengaruh Tepung Tempe dan Tepung Tahu terhadap Estrogen Serum, Beta Amiloid Serum, dan Fungsi Kognitif pada Tikus Betina dengan Ovariektomi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013 Atik Kridawati NIM I 162080021
ABSTRACT ATIK KRIDAWATI. Difference Effects of Tempe and Tofu Flours on Serum Estrogen, Serum Amyloid Beta as well as on Cognitive Function of Ovariectomized Female Rats. Supervised by HARDINSYAH, AHMAD SULAEMAN, M. RIZAL M. DAMANIK, TRI BUDI W. RAHARDJO, EEF HOGERVORST. The aims of this study were to measure the content of isoflavone, vitamin B6, vitamin B12, folic acid, and protein in tempe and tofu flours, to analized the effect of tempe and tofu flours on serum estrogen and amyloid beta level, and cognitive function in ovariectomized female rats. Seventy two (72) white female Sprague Dawley strain rats, aged 12 months use for this study. Before the intervention all rats had ovariectomy (OVx) surgical treatments and were grouped into 5 intervention groups (each 4 rats): tempe flour, tofu flour, estradiol, casein; and non ovariectomy. Analysis of estrogen serum is using Elisa Reagents Estradiol/ ELISA EIA-2693. Analysis of serum beta amyloid by Elisa Reagent Amyloid Beta Peptide 1-40 (AB1-40) (E90864Ra). Cognitive function was measured using a labyrin. Processing and data analysis, to see the average and the average difference between the treatment groups used One-Way ANOVA with Polynomial Contrass Post Hoc LSD. Analysis of the correlation between variables is done using correlation test. Analysis of the variables that influence cognitive function by Multiple Linear Regression. The results showed that isoflavone content (genestein) in tempe flour (50.558 mg/100 g) two times higher than tofu flour (19.923 mg/100 g). Nutrient content (vitamin B6, vitamin B12, folic acid, and protein) of tempe flour more higher than tofu flour. Nutrient content in soybean flour as follows: vitamin B6 (0.28 mg/100 g), vitamin B12 (0.97 mcg/100 g), folic acid (0.0251 mg/100 g). Nutrient content of tofu flour is vitamin B6 (0.19 mg/100g). Tofu flour not contains vitamin B12 and folic acid. Protein of tempe flour content (41.5%) lower than the tofu (47.4%). Tempe flour group had a significant (P<0.05) increase compared to after OVx (baseline 2), while the increase in serum estrogen of tofu flour group were not significant (P>0.05). Tempe flour group compared with baseline 2 showed a significant decrease (P<0.05), while in the tofu flour group was not significant (P>0.05). Based on the difference test between the tempe flour group with baseline 2 show an increase score in cognitive function significantly (P<0.05), while the tofu group not significantly different (P>0.05). Multiple Linear Regression test results showed that the most variables associated with cognitive function is amyloid beta (P<0.05). Conclusions this study is the content of nutrients and isoflavones (genistein) on tempe flour higher than tofu flour. Intervention by tempe flour can increase serum estrogen and may decrease beta amyloid, abdominal fat and body weight in female rats with ovariectomy. Beta amyloid serum is the variable most associated with cognitive function. Suggested for further research is to measure cognitive function of other aspects such as memory, the content of serotonin, dopamine, plaque on brain. Keywords: tempe flour, tofu flour, estrogen, amyloid beta, cognitve function, ovariectomized female rats
RINGKASAN ATIK KRIDAWATI. Perbedaan Pengaruh Tepung Tempe dan Tepung Tahu Terhadap Estrogen Serum, Beta Amiloid Serum, dan Fungsi Kognitif pada Tikus Betina dengan Ovariektomi. Dibimbing oleh HARDINSYAH, AHMAD SULAEMAN, M. RIZAL M. DAMANIK, TRI BUDI W. RAHARDJO, EEF HOGERVORST. Gangguan fungsi kognitif pada lanjut usia bukan penyakit tetapi dapat dianggap sebagai keadaan praklinis Penyakit Alzheimer (PA), salah satu jenis demensia yang paling banyak terjadi pada lanjut usia. Hasil penelitian pada tempe dan tahu menunjukkan adanya efek pada fungsi kognitif yang berbeda. Perbedaan pengaruh konsumsi tempe dan tahu pada penelitian di atas mungkin karena adanya isoflavon dan kandungan zat gizi lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan isoflavon dan zat gizi (vitamin B12, vitamin B6, asam folat) pada tepung tempe dan tepung tahu, mengetahui pengaruh pemberian tempe dan tahu pada estrogen serum, beta amiloid serum, dan fungsi kognitif. Penelitian diawali dengan pembuatan tepung tempe dan tepung tahu. Tepung tempe dibuat dengan menggunakan tempe segar dengan masa fermentasi 36 jam berasal dari pabrik tempe di daerah Kramat Jati, Jakarta. Tepung tahu dibuat dengan tahu segar dari pabrik tahu di daerah Dramaga, Bogor. Proses pembuatan tepung tempe dan tepung tahu menggunakan metoda freeze drying. Dan tahap kedua dilakukan analisis kandungan gizi (vitamin B6, vitamin B12, asam folat) dan isoflavon (genestein) tepung tempe dan tepung tahu sebelum digunakan sebagai bahan intervensi. Analisis kandungan zat gizi meliputi: analisis vitamin B6, vitamin B12, dan asam folat menggunakan metode High Performance Liquid Cromatography (HPLC). Analisis protein menggunakan metode Kjedahl. Analisis isoflavon (genestein) menggunakan metode High Performance Liquid Cromatography (HPLC). Selanjutnya dibuat ransum untuk intervensi hewan coba. Ransum dibuat dalam bentuk tepung dengan komposisi ransum sesuai dengan rekomendasi the American Institute of Nutrition (AIN-93M) untuk ransum tikus dewasa. Komposisi terdiri dari: protein 14%, mineral 5%, lemak 4%, vitamin 1%, serat 5%, pati 66%, dan air 5%. Kelompok estradiol diberi penambahan etinilestradiol (estrogen sintetik) sebanyak 9x10-3 mg/hari/200 g BB. Tahap pengujian dilakukan dengan desain eksperimental menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pada tikus betina galur Spargue Dawley usia 1 tahun sebanyak 72 ekor. Tikus dikelompokkan menjadi lima yaitu: kelompok tikus yang diberi tepung tempe, tepung tahu, estradiol, kasein, dan non ovariektomi. Pada tikus dilakukan pembedahan ovariektomi sebelum intervensi. Masing-masing kelompok diambil secara random dengan jumlah empat ekor. Titik pengamatan dilakukan saat sebelum pembedahan ovariektomi disebut baseline 1, tiga bulan pasca ovariektomi (baseline 2), dua minggu setelah intervensi, lima minggu setelah intervensi, dan delapan minggu setelah intervensi. Parameter yang diukur pada tikus selama intervensi adalah estrogen dan beta amiloid serum, berat badan, lemak abdominal, dan fungsi kognitif. Pengukuran berat badan dilakukan setiap minggu dengan menggunakan
timbangan digital presisi 0.01 g. Lemak abdominal diambil pada saat post mortem. Pengukuran dilakukan dengan menimbang lemak abdominal dengan timbangan digital presisi 0.0001 g. Analisis estrogen serum dengan menggunakan metode Elisa Reagen Estradiol ELISA EIA-2693. Analisis beta amiloid serum dengan metode Elisa Reagent Amyloid Beta Peptide 1-40 (Ab1-40)(E90864Ra). Fungsi kognitif diukur dengan menggunakan labirin. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara bertahap yang diawali dengan pengumpulan dan entri data. Analisis rata-rata dan perbedaan rata-rata antara kelompok perlakuan digunakan One Way ANOVA dengan Polynomial Contrass Post Hoc LSD. Analisis korelasi antar variabel dilakukan menggunakan uji korelasi dan analisis variabel yang berpengaruh terhadap fungsi kognitif dengan Uji Regresi Linier Berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan isoflavon (genestein) dalam tepung tempe (50.558 mg/100 g) dua kali lebih tinggi dari tepung tahu (19.923 mg/100 g). Kandungan gizi (vitamin B6, vitamin B12, asam folat, dan protein) tepung tempe lebih tinggi dari tepung tahu. Kandungan gizi pada tepung tempe sebagai berikut: vitamin B6 (0.28 mg/100 g), vitamin B12 (0.97mcg/100g), asam folat (0.0251 mg/100 g) dan kandungan gizi tepung tahu adalah vitamin B6 (0.19 mg/100 g). Tepung tahu tidak mengandung vitamin B12 dan asam folat. Kandungan protein tepung tempe (41.5%) lebih rendah dari tepung tahu (47.4%). Analisis estrogen serum memperlihatkan bahwa tepung tempe memiliki peningkatan estrogen serum paling tinggi dibandingkan kelompok intervensi lainnya (tepung tempe, tepung tahu, estradiol, dan kasein). Kenaikan estrogen serum pada kelompok tepung tempe berbeda nyata dengan kelompok intervensi tepung tahu dan kelompok tepung tempe dua kali lebih tinggi kadar estrogen serum dibanding kelompok tepung tahu. Kelompok tepung tempe mengalami kenaikan yang signifikan bila dibandingkan baseline 2 (P<0.05), tetapi kenaikan estrogen serum pada kelompok tepung tahu tidak signifikan (P>0.05). Pengukuran berat badan memperlihatkan bahwa pada kelompok dengan intervensi tepung tempe terjadi penurunan berat badan dan secara uji statistik terlihat berbeda nyata dengan kelompok tepung tahu (P<0.05). Kelompok intervensi tepung tahu menunjukkan peningkatan berat badan yang signifikan. Peningkatan berat badan kelompok tepung tahu 1.2 kali lebih besar dari kelompok tepung tempe. Uji beda antara kelompok tepung tempe dan kelompok tepung tahu dengan baseline 2 menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05), walaupun pada kelompok tepung tempe terjadi penurunan berat badan dan kelompok tepung tahu terjadi peningkatan berat badan. Lemak abdominal pada kelompok intervensi tepung tempe terlihat menurun secara signifikan pada minggu kedelapan. Kelompok intervensi tepung tahu memiliki lemak abdominal paling tinggi diantara kelompok intervensi lain. Peningkatan lemak abdominal kelompok intervensi tepung tahu 3.6 kali dari kelompok intervensi tepung tempe (P<0.05). Kelompok tepung tempe dibandingkan dengan baseline 2 terjadi penurunan lemak abdominal walaupun tidak nyata (P>0.05), sedangkan kelompok tepung tahu memperlihatkan kenaikan lemak abdominal yang signifikan (P<0.05). Kelompok intervensi tepung tempe memiliki kadar beta amiloid serum paling rendah diantara kelompok intervensi lainnya (tepung tahu, estradiol, kasein). Kelompok tepung tahu memiliki 1.1 kadar beta amiloid lebih tinggi dari
kelompok tepung tempe, walaupun tidak berbeda nyata (P>0.05). Kelompok tepung tempe bila dibandingkan dengan baseline 2 memperlihatkan penurunan yang signifikan (P<0.05), tetapi pada kelompok tepung tahu tidak signifikan (P>0.05). Fungsi kognitif kelompok intervensi tepung tempe paling tinggi diantara kelompok intervensi tepung tahu, estradiol, kasein, dan non ovariektomi. Tetapi perbendaannya tidak signifikan. Pada minggu kedelapan, kelompok tepung tempe memiliki skor rata-rata fungsi kognitif 3.75 sedangkan kelompok tepung tahu 3.5. Berdasarkan uji beda antara kelompok tepung tempe dengan baseline 2 memperlihatkan kenaikan skor fungsi kognitif yang nyata (P<0.05), tetapi pada kelompok tepung tahu tidak berbeda nyata (P>0.05). Berdasarkan uji korelasi, variabel yang signifikan berhubungan dengan fungsi kognitif adalah estrogen serum (P<0.05), lemak abdominal (P<0.05), dan beta amiloid (P<0.01). Hasil Uji Regresi Llinier Berganda menunjukkan variabel yang paling dominan berhubungan dengan fungsi kognitif adalah beta amiliod (P<0.05). Simpulan penelitian ini adalah kandungan zat gizi dan isoflavon (genestein) pada tepung tempe lebih tinggi dari tepung tahu. Intervensi dengan tepung tempe dapat meningkatkan estrogen serum dan dapat menurunkan beta amiloid, lemak abdominal dan berat badan pada tikus betina dengan ovariektomi. Pengaruh tepung tempe terhadap fungsi kognitif berdasarkan baseline 2 meningkat secara signifikan, tetapi pada kelompok tepung tahu tidak. Beta amiloid serum merupakan variabel yang paling berhubungan dengan fungsi kognitif. Disarankan untuk peneliti selanjutnya adalah mengukur fungsi kognitif dari aspek lain misalnya memori, kandungan serotinin, dopamin, populasi postif neuron, pembentukan plak pada otak. Kata kunci: beta amiloid serum, estrogen serum, fungsi kognitif, tikus betina dengan ovariektomi.
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERBEDAAN PENGARUH TEPUNG TEMPE DAN TEPUNG TAHU TERHADAP ESTROGEN SERUM, BETA AMILOID SERUM, DAN FUNGSI KOGNITIF PADA TIKUS BETINA DENGAN OVARIEKTOMI
ATIK KRIDAWATI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Gizi Manusia
Penguji pada Ujian Tertutup: SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS Dr. Ir. Sri Ana Marliyati, MS
Penguji pada Ujian Terbuka:
Dr. dr. Saptawati Bardosono, MSc Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2010 ini ialah manfaat tepung tempe dan tepung tahu, dengan judul Perbedaan Pengaruh Tepung Tempe dan Tepung Tahu terhadap Estrogen Serum, Beta Amiloid Serum, dan Fungsi Kognitif pada Tikus Betina dengan Ovariektomi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS, Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, Ibu Prof. Dr. drg. Tri Budi W. Rahardjo, MS, Bapak drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD, Ibu Prof. Dr. Eef Hogervorst selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Yayasan Respati khususnya Pak Widodo Suparno dan Ibu Tiwi Nurhastuti, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Universitas Indonesia yang telah memberikan dana penelitian. Bapak Dr. drh. Adi Winarto,MS dan Ibu Dr. drh. Ekowati, MS yang telah membantu pemeliharaan dan penanganan hewan coba. Terima kasih kepada Loughborough University khususnya kepada Professor Barry Sharp, Dr. Helen Griffiths dan Dr. Brenden Theaker sebagai pembimbing selama penulis mengikuti Program Sandwich. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda Djoko Pramsudiro, ibunda Sukati, suami Muhammad Irsan, anak-anak Khadijah Zharifah dan Ahmad Muhammad Fahmi, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman, seluruh staf pengajar dan staf administrasi Program Studi Ilmu Gizi Manusia yang telah membantu selama penulis melakukan penelitian Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2013 Atik Kridawati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tegal pada tanggal 22 Pebruari 1974 dari ayah Djoko Pramsudiro (alm) dan ibu Sukati. Penulis adalah putri kedelapan dari sembilan bersaudara. Tahun 1997 penulis lulus dari Jurusan Teknik Nuklir Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Tahun 2004 lulus dari Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Pascasarjana Universitas Respati Indonesia. Pada tahun 2008 penulis lulus seleksi masuk Program Doktor Institut Pertanian Bogor (IPB) di Program Studi Ilmu Gizi Manusia Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Respati. Penulis bekerja sabagai staf pengajar Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Respati Indonesia di Jakarta. Fokus penelitian penulis mengenai gizi dan lanjut usia. Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti Horiba-APRU Research Confernce tahun 2008 di Tokyo University, Jepang. Pada tahun yang sama, penulis menjadi anggota peneliti dari Hibah Kolaborasi Laboratorium Internasional yang didanai oleh Departemen Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia. Tahun 2009 mengikuti Junior Gerontology Asia Pacific Rim Countries Conference yang diselenggarkan oleh Horiba-APRU, Tokyo University dan Seoul National University (Program paparan hasil penelitian dan kompetisi pembuatan proposal penelitian). Penulis juga mendapat kesempatan mengikuti Program Sandwich ke Loughborough University, United Kingdom pada tahun 2010. Penulis tahun 2012 mendapat dana penelitian berupa Hibah Doktor dari Kementerian Pendidikan. Salah satu bagian penelitian tentang pengaruh tepung tempe dan tepung tahu pada estrogen serum tikus betina dengan ovariektomi submit ke Jurnal Universa Medicina, Universitas Trisakti. Bagian penelitian tentang pengaruh tepung tempe dan tepung tahu pada beta amiloid serum submit ke Journal of Alzhaimer Disease. Dan bagian penelitian tentang pengaruh tepung tempe dan tepung tahu terhadap fungsi kognitif tikus lanjut usia lolos seleksi untuk oral presentation pada acara International Congress of Nutrition yang diselenggarakan di Granada Spanyol pada bulan September 2013.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN ………………………………………………………….. Latar Belakang ……………………………………………………….. Tujuan ………………………………………………………………… Manfaat .................................................................................................. Hipotesis …………………………………………………………….. Ruang Lingkup ......................................................................................
1 1 4 5 5 6
2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ Fungsi Kognitif dan Faktor-Faktor Risiko yang Mempengaruhi pada Lanjut Usia..…………………………………………………….. Pengaruh Estrogen terhadap Kognitif ....…………………………..... Patogenesis Penyakit Alzheimer……………………………………... Pengaruh Estrogen Terhadap Beta Amiloid…………………………. Pengaruh Estrogen Terhadap Berat Badan dan Lemak Abdominal Wanita Menopause............…………………………………………... Terapi Sulih Hormon (TSH)………………………………………..... Fitoestrogen dan Isoflavon…………………………………………... Pengaruh Vitamin B6, Asam Folat, Vitamin B12, dan isoflavon terhadap Fungsi Kognitif.....…………………………………………. Tempe dan Tahu…………………………………………………….... Kerangka Pemikiran dan Kerangka Konsep………………………….
7
3 METODE.................................................................................................. Tahapan Penelitian …………………………………………………… Pembuatan Tepung Tempe dan Tepung Tahu ……………………….. Analisis Kandungan Gizi dan Isoflavon ……………………………… Pengujian Tepung Tempe dan Tepung Tahu pada Hewan Coba Tikus........................................................................................... 4 HASIL …………………………………………………………………… Kandungan Isoflavon dan Zat Gizi pada Tepung Tempe dan Tepung Tahu …………………………………………………….. Pengaruh Ovariektomi terhadap Kadar Estrogen Serum, Berat Badan, Lemak Abdominal, Beta Amiloid Serum dan Fungsi Kognitif ……… Pengaruh Tepung Tempe dan Tepung Tahu terhadap Kadar Estrogen Serum ……………………………………………….. Pengaruh Tepung Tempe dan Tepung Tahu terhadap Berat Badan dan Lemak Abdominal Serum ………………………….. Pengaruh Tepung Tempe dan Tepung Tahu terhadap Kadar Beta Amiloid Serum ………………………………………….. Pengaruh Tepung Tempe dan Tepung Tahu terhadap Fungsi Kognitf ……………………………………………………......
7 9 11 14 15 16 18 21 26 28 30 30 31 32 34 43 43 43 47 46 52 54
Pengaruh Estrogen Serum, Berat Badan, Lemak Abdominal, dan Beta Amiloid terhadap Fungsi Kognitif………………………… 57 5 PEMBAHASAN………………………………………………………… 58 Perbedaan Kadar Kandungan Isoflavon dan Zat Gizi pada Tepung Tempe dan Tepung Tahu …………………………………………………….. 58 Perbedaan Pengaruh Tepung Tempe dan Tepung Tahu terhadap Estrogen Serum………........................................................................................ 62 Perbedaan Pengaruh Tepung Tempe dan Tepung Tahu terhadap Beta Amiloid Serum ……………………………..............………….. 66 Efektivitas Tepung Tempe dan Tepung Tahu dalam Memperlambat Penurunan Fungsi Kognitif dibandingkan dengan Estradiol dan Kasein ............................……………………………………….. 68 Pengaruh Lama Pemberian Tepung Tempe dan Tepung Tahu dalam Memperlambat Penurunan Fungsi Kognitif ..........…………………. 72 6 SIMPULAN DAN SARAN……………………………………………… 74 Simpulan ……………………………………………………………… 74 Saran …………………………………………………………………. 75 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………… 76 LAMPIRAN…………...…………………………………………………… 85
DAFTAR TABEL Halaman BAB 3 3.1 Komposisi pakan intervensi………………………………………... 37 3.2 Definisi operasonal………………………………………………….. 40 BAB 4 4.1 Kandungan gizi dan isoflavon tepung tempe dan tepung tahu…….. 43 4.2 Rata-rata±SD (95%CI) kadar estrogen serum, berat badan, lemak abdominal, beta amiloid, dan fungsi kognitif………………. 44 4.3 Rata-rata±SD (95%CI) kandungan estrogen serum (pg/ml) pada kelompok intervensi…………………………………. 45 4.4 Rata-rata±SD (95%CI) selisih kandungan estrogen serum (pg/ml) antara kelompok tepung tempe dengan tepung tahu dan kontrol……………………………………………. 46 4.5 Rata-rata±SD (95%CI) selisih kandungan estrogen serum (pg/ml) antara kelompok tepung tahu dengan kontrol……………... 46 4.6 Rata-rata±SD (95%CI) selisih estrogen serum (pg/ml) antara lama pemberian dengan baseline 2…………………………. 47 4.7 Rata-rata±SD (95%CI) berat badan (g) pada kelompok perlakuan………………………………………….. 48 4.8 Rata-rata±SD (95%CI) selisih kandungan berat badan (g) antara kelompok tepung tempe dan tepung tahu terhadap kontrol……………………………………………………. 49 4.9 Rata-rata±SD (95%CI) selisih berat badan (g) antara lama pemberian dengan baseline 2 perlakuan...…………………… 49 4.10 Rata-rata±SD (95%CI) lemak abdominal (g) pada kelompok intervensi………………………………………….. 50 4.11Rata-rata±SD (95%CI) selisih kandungan lemak abdominal (g) antara kelompok tepung tempe dan tepung tahu terhadap kontrol………………………………………. 51 4.12 Rata-rata±SD (95%CI) selisih lemak abdominal (g) antara waktu intervensi dengan baseline 2……………………….... 51 4.13 Rata-rata±SD (95%CI) beta amiloid (pg/ml) pada kelompok intervensi…………………………………………. 52 4.14 Rata-rata±SD (95%CI) selisih kandungan beta amiloid (pg/ml) antara kelompok tepung tempe dan tepung tahu terhadap kontrol... 53 4.15 Rata-rata±SD (95%CI) selisih lemak abdominal (g) antara waktu intervensi dengan baseline 2……………………….... 54 4.16 Rata-rata±SD (95%CI) sklor fungsi kognitif pada kelompok perlakuan……………………………………….. 55 4.17 Rata-rata±SD (95%CI) selisih kandungan fungsi kognitif antara kelompok tepung tempe dan tepung tahu terhadap kontrol... 56 4.18 Rata-rata±SD (95%CI) selisih lemak abdominal (g) antara waktu intervensi dengan baseline 2……………………….... 56 4.19 Hubungan antara variabel penelitian (estrogen, berat badan, lemak abdominal, beta amiloid dan fungsi kognitif)……… 57
BAB 5 5.1. Kandungan Isoflavon (Daidzein dan Genestein) mg/100 g pada Tempe dan Tahu (mentah, digoreng, direbus)……………………...
60
DAFTAR GAMBAR Halaman BAB 2 2.1 Model regulasi transpor dan klirens beta amiloid di otak………….. 2.2 Interaksi antara risiko usia yang berkaitan dengan usia Hormon seks dan risiko Penyakit Alzheimer………………………. 2.3 Klasifikasi fitoestrogen…………………………………………….. 2.4 Kerangka pemikiran.....………………………………………….... 2.5 Kerangka konsep……………………………………………………. BAB 3 3.1 Tahapan penelitian…………………………………………………. 3.2 Jumlah sampel dari awal sampai akhir penelitian………………….. 3.3 Alat untuk mengukur fungsi kognitif (Labirin................................... BAB 4 4.1 Estrogen serum (pg/ml) kelompok perlakuan menurut waktu…….... 4.2 Berat badan (g) kelompok perlakuan menurut waktu……………… 4.3 Lemak abdominal (g) kelompok perlakuan menurut waktu……….. 4.4 Beta amiloid (pg/ml) kelompok perlakuan menurut waktu……….... 4.5 Fungsi kognitif kelompok perlakuan menurut waktu………………
12 13 19 28 29 30 36 39 45 48 50 53 55
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Gangguan fungsi kognitif pada lanjut usia bukan penyakit tetapi dapat dianggap sebagai keadaan praklinis Penyakit Alzheimer (PA), salah satu jenis demensia yang paling banyak terjadi pada lanjut usia. Beberapa kondisi yang termasuk gangguan kognitif adalah Age Associated Memory Impairment (AAMI), Mild Cognitive Impairment (MCI), dan Vascular Cognitive Impairment (VCI). Sebagian besar pasien MCI (80%) dan VCI (50%) akan berkembang menjadi demensia dalam 5-6 tahun kemudian (Pattersen 1994). Studi yang dilakukan Pettersen dalam deteksi awal demensia menyatakan bahwa angka progresive MCI menjadi demensia adalah antara 6-25% pertahun (Pattersen 1994). Untuk itu perlu adanya penanganan untuk memperlambat penurunan kognitif pada lanjut usia dan perlu adanya deteksi dini dan penatalaksanaan faktor risiko sehingga dapat memperlambat dan mencegah manifestasi demensia. Penderita demensia, 40% berusia di atas 65 tahun dengan angka insiden 187/100.000 orang/tahun. Untuk demensia tidak ada perbedaan antara pria dan wanita sedangkan untuk Demensia Alzheimer lebih banyak wanita dengan rasio 1:6. Insiden Demensia Alzheimer sangat berkaitan dengan usia, 5% dari populasi berusia di atas 65 tahun di Amerika dan Eropa merupakan penderita Alzheimer. Pada usia 80 tahun terdapat 50% penderita Penyakit Alzheimer (Rasyid dan Dahlan 2000). Penyakit Alzheimer merupakan gangguan neurodegeneratif yang ditandai oleh kerusakan di berbagai bagian otak seperti neokorteks, area entorinal, hipokampus, amigdala, nukleus basalis, talamus anterior, dan tonjolan monoaminergik dari nuklei batang otak (Hoogendijk et al. 1999). Tanda patologik yang khas Alzheimer adalah plak neuritik ekstraseluler dengan komponen utama peptida β-amiloid (Aβ) fibrilar dan neurofibrillary tangles intraneural. Komponen utama plak neuritik adalah peptida β-amiloid fibrilar, sedangkan neurofibrillary tangles terdiri dari pasangan filamen-filamen helikal protein yang mengalami hiperfosforilasi tau.
2
Proses penuaan pada manusia terjadi karena adanya perubahan-perubahan destruktif akumulatif pada sel-sel dan jaringan tubuh (Harman 2001). Salah satu hal yang terkait dengan proses penuaan adalah kondisi fungsi-fungsi protektif yang tidak dapat menghadapi berbagai stresor sehingga timbul kekacauan fungsi saraf yang mengakibatkan timbulnya penurunan kinerja sensorik, motorik, dan kognitif serta masalah perilaku (Joseph dan Farley 2004). Faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan gangguan kognitif dan demensia adalah faktor genetik, diabetes mellitus, merokok, depresi, tekanan darah tinggi, kolesterol total tinggi, obesitas, penyakit kardiovaskuler, kurangnya aktivitas fisik dan sosial, hilangnya estrogen dan menopause akibat operasi, defisiensi asam folat dan vitamin B12 (Seriana 2012). Faktor perilaku yaitu merokok, minum alkohol, sedangkan faktor-faktor yang dapat meningkatkan fungsi kognitif adalah vitamin B6, vitamin B12, folat, isoflavon, pendidikan, hormon replacement therapy (HRT), dan aktivitas fisik/olahraga cukup (Lee 2010, La Rue 2000). Wanita yang telah menopause memiliki proporsi lemak tubuh cenderung meningkat. Produksi estrogen menurun dan testosteron meningkat. Hal ini sebagai faktor utama terbentuknya lemak (Imke et al. 2009). Penurunan tingkat estrogen pada saat menopause dapat meningkatkan cortisol, hormon stress yang dapat meningkatkan akumulasi lemak abdominal. Obesitas sentral dan peningkatan indeks massa tubuh dapat menurunkan fungsi kognitif dan meningkatkan risiko Penyakit Alzheimer pada lanjut usia wanita (Han et al. 2009; Beydoun et al. 2008). Pemberian HRT dimaksudkan untuk meningkatkan kadar hormon estrogen pada wanita postmenopause. Hal ini dilakukan karena estrogen dapat mempengaruhi dan
membantu mengatur fungsi tubuh yang meliputi sistem
reproduksi, otak dan sistem syaraf pusat, tulang, hati, dan saluran urin. Terapi HRT telah memperlihatkan berbagai keuntungan pada proses penuaan, tetapi penggunaan terapi hormon ini memiliki resiko (Kreijkamp-Kaspers et al. 2005). Berbagai zat alami maupun buatan telah ditemukan memiliki aktivitas bersifat mirip estrogen (Fang et al. 2001). Zat buatan yang bersifat seperti estrogen disebut xenoestrogen, sedangkan bahan alami dari tumbuhan yang memiliki
3
aktivitas seperti estrogen disebut fitoestrogen. Salah satu bahan makanan yang mengandung fitoestrogen dan banyak dikonsumsi di Indonesia adalah tempe dan tahu. Beberapa penelitian tempe dan tahu pada lanjut usia telah dilakukan. Lanjut usia di atas 60 tahun yang mengonsumsi tempe 75 g dan tahu 150 g setiap hari memiliki fungsi kognitif baik (Aryani 2010; Hogervorst et al. 2008). Tetapi efek pada usia diatas 68 tahun yang mengkonsumsi tahu dua kali sehari atau lebih memiliki memori lebih rendah dibandingkan yang mengkonsumsi tempe. Penelitian yang dilakukan oleh White et al. (2000) menyatakan bahwa lanjut usia diatas 71 tahun yang mengonsumsi tahu lebih dari dua kali seminggu memiliki risiko lebih tinggi demensia, atrofi otak dan penurunan fungsi kognitif daripada yang kurang mengkonsumsi tahu. Perbedaan efek konsumsi tempe dan tahu pada penelitian di atas mungkin karena adanya perbedaan cara pembuatan, cara pengolahan, adanya bahan toksin yang ditambahkan, dan kandungan gizi. Hal ini bisa memberikan efek meningkatkan atau menurunkan fungsi kognitif. Pembuat atau pedagang tahu ada yang menambahkan formalin ke dalam tahu bertujuan agar tahu bisa tahan lama. Adanya penambahan bahan toxin formalin dalam tahu bisa mengakibatkan kerusakan oksidatif di jaringan cortex dan hippocampal, sehingga menyebabkan masalah memori pada lanjut usia. Cara pengolahan tempe dan tahu yang kurang baik misalnya digoreng juga bisa menurunkan kandungan isoflavon (Aryani 2010). Proses pembuatan yang kurang bersih
yaitu
dengan
menggunakan
peralatan
yang
kurang
baik
akan
mempengaruhi hasil kandungan gizi dalam tempe dan tahu. Pada dasarnya pemberian tempe dan tahu pada usia sebelum 60 tahun akan memberikan efek positif yaitu meningkatkan aktivitas kognitif yang meliputi memori dan konsentrasi karena adanya kandungan isoflavon yang memiliki efek estrogenik. Isoflavon merupakan fitoestrogen yang dominan, secara struktural merupakan estrogen-like subtances dan secara fungsional mirip dengan 17βestradiol. Hormon estrogen didistribusikan ke seluruh tubuh termasuk sistem syaraf pusat atau central nervous system (CNS). Reseptor estrogen (ER) terlibat
4
dalam proses kognitif seperti pembelajaran dan memori, pembentukan hippocampus (HF), amygdala, dan cerebral cortex (Anna et al. 2009). Efek pemberian isoflavon sama dengan pemberian estrogen pada wanita menopause usia 60 dengan Penyakit Alzheimer. Lanjut usia yang mengonsumsi tempe lebih baik fungsi kognitifnya karena kemungkinan adanya vitamin B12 dan asam folat dalam tempe (Eusen et al. 2006). Untuk mengetahui perbedaan pengaruh pemberian tempe dan tahu pada estrogen serum, beta amiloid serum, dan fungsi kognitif yang terkait dengan risiko Penyakit Alzheimer pada wanita lanjut usia, maka diperlukan penelitian ini. Tujuan dan Manfaat 1.
Tujuan
Tujuan Umum: Menganalisis perbedaan pengaruh pemberian tepung tempe dan tepung tahu terhadap estrogen serum, beta amiloid, dan fungsi kognitif tikus betina dengan ovariektomi. Tujuan khusus: 1. Manganalisis perbedaan kadar isoflavon
dan zat gizi (Vitamin B6,
Vitamin B12, asam folat) antara tepung tempe dengan tepung tahu. 2. Menganalisis perbedaan pengaruh pemberian tepung tempe dan tahu terhadap estrogen dan beta amiloid serum tikus betina. 3. Menguji efektivitas tepung tempe dan tepung tahu dalam memperlambat penurunan fungsi kognitif dibandingkan dengan estradiol dan kasein. 4. Menganalisis pengaruh lama pemberian tepung tempe dan tepung tahu dalam memperlambat penurunan fungsi kognitif
5
2.
Manfaat Diharapkan hasil riset ini dapat memberikan bukti ilmu pengetahuan tentang
manfaat tepung tempe dan tepung tahu terhadap estrogen serum, beta amiloid serum, dan fungsi kognitif pada wanita lanjut usia. Selain itu juga memicu peningkatan konsumsi tempe untuk menurunkan risiko Penyakit Alzheimer sehingga akan menguntungkan bagi masyarakat dan pemerintah karena biaya pengobatan lanjut usia akibat Penyakit Alzheimer semakin rendah.
Hipotesis Hipotesis Mayor: Pengaruh
tepung tempe
lebih
baik
dibandingkan
tepung
tahu
dalam
memperlambat penurunan fungsi kognitif tikus betina dengan ovariektomi. Hipotesis Minor: 1. Kadar isoflavon dan zat gizi (Vitamin B6, Vitamin B12, asam folat) tepung tempe lebih tinggi dibandingkan tepung tahu. 2. Kadar estrogen serum tikus betina yang mengonsumsi tepung tempe lebih tinggi dari yang mengonsumsi tepung tahu. 3. Kadar beta amiloid serum tikus betina yang mengonsumsi tepung tempe lebih rendah dibanding yang mengonsumsi tepung tahu. 4. Tepung tempe memiliki efektivitas lebih tinggi dalam memperlambat penurunan fungsi kognitif dibandingkan dengan tepung tahu. 5. Semakin lama pemberian tepung tempe dan tepung tahu, semakin memperlambat penurunan fungsi kognitif.
6
Ruang Lingkup Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup ilmu gizi manusia. Substansi penelitian mengenai fungsi kognitif dan risiko terhadap Penyakit Alzheimer pada lanjut usia. Dilakukan analisis terhadap estrogen serum, beta amiloid serum, dan fungsi kognitif pada tikus dengan ovariektomi. Selain itu dianalisis pula kandungan isoflavon dan zat gizi dalam tepung tempe dan tepung tahu sebagai bahan intervensi. Penyajian disertasi disusun menggunakan pola umum. Semua bab adalah sebagai berikut: Bab 1 tentang latar belakang, tujuan, manfaat, dan ruang lingkup. Bab 2 tentang tinjauan pustaka yang meliputi fungsi kognitif dan faktor-faktor risiko yang mempengaruhi pada lanjut usia, pengaruh estrogen pada fungsi kognitif, berat badan dan lemak abdominal, beta amiloid serum, kerangka pemikiran, dan
kerangka konsep. Bab 3 tentang tahapan penelitian, disain,
tempat, waktu penelitian, dan analisis data. Bab 4 tentang hasil penelitian yang meliputi kandungan isoflavon dan zat gizi (vitamin B6, vitamin B12, dan asam folat) pada tepung tempe dan tepung tahu, pengaruh tepung tempe dan tepung tahu terhadap estrogen serum, berat badan dan lemak abdominal, beta amiloid serum, dan fungsi kognitif pada tikus betina dengan ovariektomi. Bab 5 tentang pembahasan penelitian mengenai kandungan isoflavon dan zat gizi (vitamin B6, vitamin B12, dan asam folat) pada tepung tempe dan tepung tahu, pengaruh tepung tempe dan tepung tahu terhadap estrogen serum, beta amiloid serum, dan fungsi kognitif pada tikus betina dengan ovariektomi. Bab 6 tentang simpulan dan saran, diakhiri dengan daftar pustaka.
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
Fungsi Kognitif dan Faktor-Faktor Risiko yang Mempengaruhi pada Wanita Lanjut Usia Fungsi kognitif merupakan proses mental yang meliputi persepsi, memori, bahasa, berfikir pemecahan suatu masalah dan kreativitas. Penurunan fungsi kognitif, termasuk Mild Cognitive Impairment (MCI), umumnya ditandai dengan belum adanya gangguan pada aktivitas keseharian. MCI dengan gangguan memori (MCI amnestik) berisiko tinggi menjadi demensia, terutama tipe Alzheimer. MCI adalah keadaan transisi dari kognisi normal pada Penyakit Alzheimer. Pengaruh gangguan pada fungsi kognitif berdampak serius, bersifat tetap (ireversible), dan mengganggu kesehatan (Haan 2003). Penurunan kognitif bagi lanjut usia mengakibatkan lanjut usia mengalami ketidakberdayaan dalam melakukan berbagai aktivitas fisik harian. Ketidakmampuan lanjut usia didefinisikan oleh International Clsssification of Impairments, Dissabilites and Handicaps (ICIDH) sebagai menurunnya atau terbatasnya kemampuan seseorang untuk melakukan kegiatan-kegiatan normal sehari-hari (Deschamps et al. 2002). Berdasarkan data epidemiologi, prevalensi MCI pada populasi usia di atas 65 tahun di negara industri sekitar 10-25%. Sementara, rerata perjalanan MCI menjadi demensia sekitar 5-10% per tahun. Sehingga diperlukan strategi pencegahan dengan mengidentifikasi faktor risiko dan prediktor pasien dengan penurunan fungsi kognitif cepat (MCI-plus). Dengan demikian, perlu adanya deteksi dini dan penatalaksanaan faktor risiko yang dapat memperlambat dan mencegah manifestasi demensia (Patterson 1994). Perbedaan proses penurunan kognitif berhubungan dengan waktu atau masa munculnya ketidaknormalan neuropatologis pada bagian-bagian otak yang berbeda. Munculnya kejadian atrofi sel otak pada saat seseorang mulai masuk ke dalam dekade kelima kehidupannya. Perubahan yang terjadi pada lobus medial temporal akan terjadi pada saat seseorang mulai memasuki dekade ketujuh atau kedelapan kehidupannya. Perubahan neurotrasmiter seperti berkurangnya produksi dopamin, berlangsung saat seseorang masuk dalam dekade ketujuh
8
kehidupannya dan akan terus berlangsung seiring bertambahnya usia (Kensinger et al. 2002). Gangguan kognitif terjadi tidak hanya akibat proses penuaan, namun lebih disebabkan oleh onset penyakit. Mereka yang mengalami gangguan kognitif terbukti mengalami gangguan fungsi saraf yang menjadi awal munculnya Penyakit Alzheimer. Gangguan kognitif lebih disebabkan oleh kombinasi antara ketidaknormalan neurotransmiter dan perubahan struktur dan fungsi otak (Kensinger et al. 2002). Perubahan fisik yang terjadi akan diikuti dengan kesulitan berbahasa, pengambilan keputusan, perhatian dan area lain pada fungsi mental dan perubahan kepribadian (Lumbantobing 2006). Faktor-faktor risiko yang dapat meningkatkan gangguan kognitif adalah genetik, diabetes, merokok, depresi, tekanan darah tinggi, obesitas, dan aktivitas sosial rendah. Upaya untuk menjaga agar memori tetap eksis adalah otak harus senantiasa digunakan secara terus menerus dan tidak dibuat menganggur atau diistirahatkan. Oleh sebab itu, membaca, mendengar berbagai berita atau cerita melalui berbagai media menjadi sangat penting bagi lanjut usia. Latihan untuk mengasah
otak,
seperti
memecahkan
masalah
yang
sederhana,
tetap
menggerakkan anggota tubuh secara wajar, mengenal tulisan, angka, simbol, dan sebagainya merupakan cara-cara untuk mempertahankan fungsi memori pada lanjut usia. Lanjut usia yang mengistirahatkan diri atau terpaksa untuk istirahat tanpa kegiatan apapun, akan semakin mempercepat kemunduran fungsi ingatan dan fungsi mentalnya (Kuntjoro 2002). Kegiatan melatih otak perlu dilakukan sejak usia 25 tahun. Hal ini disebabkan sebelum usia tersebut, aktivitas otak dan fisik sudah terpenuhi melaui kegiatan sekolah, kuliah serta berbagai macam kegiatan dan permainan. Ketika usia bertambah, manusia mulai merangsang perkembangan otak secara seimbang. Pada orang dewasa, aktivitas mental seperti: mengisi teka-teki silang, membaca, mendengarkan musik, mengambil kursus ketrampilan, mempelajari bahasa asing, bahkan menonton film dapat dilakukan untuk melatih ketajaman otak (Nasrun 2007). Pencegahan agar tidak terjadi penurunan kognitif secara drastis pada saat lanjut usia dilakukan dengan memberikan makanan yang mengandung vitamin
9
B12, folat, antioksidan dan zat aktif (isoflavon), melakukan aktivitas fisik yang cukup, dan pemberian terapi hormon (Lee 2010; Hogervorst 2000a).
Pengaruh Estrogen terhadap Kognitif Estrogen adalah hormon yang didistribusikan ke seluruh tubuh termasuk ada dalam sistem syaraf pusat atau central nervous system (CNS). Peran estrogen pada fungsi kognitif dan mood dapat dijelaskan adanya pengaturan modulator yang dikeluarkan oleh estrogen pada beberapa sistem neurotransmitter (meliputi: asetilkolin, catecholamines, serotinin, dan GABA) yang terdapat pada hewan dan manusia. Alasan lain adalah adanya reseptor estrogen (ER) dibeberapa tempat yang terlibat dalam proses kognitif seperti pembelajaran dan memori, pembentukan hippocampus (HF), amygdala, dan cerebral cortex (Gasbarri et al. 2011). Hilangnya folikel-folikel ovarium pada wanita menopause adalah perubahan pola sekretorik ovarium yang berhubungan dengan penuaan ovarium. Hal tersebut mengubah hubungan umpan balik antara ovarium dan unit hipotalamus hipofisis yang mempengaruhi fungsi otak-hipofisis. Pada tikus, perubahan
tersebut
memulai
terjadinya
suatu
perubahan
neurosekresi,
ketidakseimbangan neurotransmiter, variasi kadar steroid di otak dan perubahan perilaku. Proses menua pada sistem reproduksi, berkaitan dengan pengaruh kuat steroid-steroid ovarium terhadap hipothalamus dan hipofisis (Ferin 1993). Estrogen mempengaruhi dan membantu mengatur fungsi pada otak dan sistem saraf pusat yang bisa mengakibatkan menurunnya fungsi kognitif. Berbagai penelitian pada hewan coba dan in vitro sel telah menunjukkan bahwa estrogen merupakan senyawa yang dapat memberikan efek perlindungan yang sangat kuat di otak dan bertanggung jawab adanya proses penuaan pada hampir semua umur dan terlibat dalam mekanisme yang berkaitan dengan penurunan kognitif dan Penyakit Alzheimer (Gibbs 2006; Henderson 2004; Hogervorst 2000b; 2006). Penelitian dengan terapi berdasarkan conjugated equine estrogens (CEE) pada fungsi kognitif wanita usia 65 tahun atau lebih menghasilkan bahwa pertama, terapi hormon berdasarkan CEE tidak dapat melindungi fungsi kognitif untuk wanita usia 65 tahun atau lebih. Kedua, terapi berdasarkan CEE
10
berpengaruh negatif pada kognitif bila digunakan pada waktu yang lebih lama. Secara umum bahwa risiko demensia, gangguan kognitif ringan dan stroke secara signifikan meningkat; artinya terjadi penurunan fungsi kognitif secara global, dan kejadian brain atrophy lebih cepat. Ketiga, penurunan brain atrophy terjadi lebih dari dua tahun sesudah terapi. Sehingga penelitian ini secara jelas memperlihatkan bahwa terapi CEE akan meningkatkan risiko stroke khususnya ischemic stroke (Mark et al. 2009). Hasil
penelitian
dengan
kontrol
wanita
Penyakit
Alzheimer
mengindikasikan bahwa terapi hormon meningkatkan risiko Penyakit Alzheimer dan tidak dapat mencegah penurunan fungsi kognitif. Beberapa wanita menghentikan terapi ini karena terapi ini berhubungan dengan beberapa risiko yaitu kanker payudara, stroke, dan thromboembolism. Meskipun belum jelas apakah kelompok wanita yang terkena risiko ini selanjutnya berisiko dengan gangguan fungsi kognitif ketika menggunakan terapi hormon, atau apakah kelompok lanjut usia wanita postmenopause yang menggunakan terapi hormon mungkin pasti terindikasi gangguan fungsi kognitif (Henderson dan Hogervorst 2009). Pada Women’s Helath Initiative Memory Study (WHIMS), menggunakan kombinasi terapi hormon conjugated equine estrogens (CEE) dan medroxy progeteron acetate (MPA) pada 4000 wanita usia 65 tahun atau lebih yang tidak terdiagnosa demensia, diikuti selama empat tahun. Diperoleh hasil bahwa terapi hormon dapat menimbulkan demensia pada 23 kasus per 10 000 wanita per tahun dan berisiko meningkat dua kali. Risiko ischemic stroke juga 1.5 kali lebih tinggi pada wanita dengan terapi hormon dan disarankan bahwa silent infarcts mungkin sebagai mediasi meningkatkan risiko demensia (Shumaker 2003). Faktor risiko untuk penyakit cerebro vascular hampir sama dengan Penyakit Alzheimer dan penurunan kognitif (Hogervorst 2002). Intervensi hanya dengan estrogen pada WHIMS memperlihatkan kecenderungan yang sama meningkatkan risiko demensia dan secara signifikan meningkatkan risiko stroke. Hasil penelitain WHIMS tidak sesuai secara biologi yaitu tentang pengaruh terapi hormon untuk melindungi fungsi otak seperti yang terjadi untuk percobaan pada hewan dan jaringan sel, dan sebagian besar penelitain secara
11
observasional, yang memperlihatkan adanya hubungan positif antara penggunaan terapi hormon dan penurunan risiko demensia (Hogervorst 2000a). Penelitian kohort yang dilakukan pada wanita tanpa demensia dengan status sosioekonomi dan pendidikan rendah dilaporkan lebih tinggi dalam memperoleh manfaat terapi hormon untuk fungsi kognitif (Stern et al. 1998).
Patogenesis Penyakit Alzheimer Beta amiloid (βA) adalah suatu oligopeptida kecil berukuran 4 kDa yang merupakan komponen utama plak neuritik (Glenner dan Wong 1984).
βA
dihasilkan dari proses proteolitik molekul yang berukuran jauh lebih besar (100130 kDa) yaitu amyloid precursor protein (APP) produk dari suatu gen kromosom 21 (Johnson et al. 1997; Kang et al. 1987). APP berperan penting dalam membantu pertumbuhan dan kelangsungan hidup neuron-neuron serta membantu membantu neuro-neuron yang rusak memulihkan dirinya sendiri, terutama setelah cedera otak (Roddgers 2003). Peptida βA42 banyak ditemukan di dalam plak amiloid otak penderita Penyakit Alzheimer (PA) dan mungkin merupakan tahap awal terbentuknya plak amiloid. Protein-protein amiloidogenik ini bersifat tidak larut dalam air dan kaya akan struktur β-sheet sekunder serta cenderung lebih mudah beragregasi atau berpolimerisasi. Oleh karena itu, βA42 beragregasi lebih toksid terhadap neuron (neurotoksik) dibandingkan βA40 (Kowalska 2003). Amiloid tidak selalu bersifat patologis, tetapi dapat juga bersifat fungsional dan berperan pada fisiologi sel normal. Pembentukan amiloid diduga berkaitan dengan sifat intrinsik polipeptida atau protein yang memerlukan struktur konformasi β-sheet misalnya fungsi penyimpan informasi atau molecular memory. Oleh karena sifatnya tahan terhadap enzim protease, maka memori tersebut dapat tersimpan dalam waktu lama (Maury 2009). Peran fisiologis βA di otak masih merupakan misteri. Belum diketahui pasti apakah βA merupakan produk buangan metabolisme APP yang sangat toksik sehingga perlu segera dikeluarkan dari otak, atau sebaliknya, βA adalah molekul regulator di otak. Bagaimanapun, kenyataannya terdapat sejumlah mekanisme untuk memelihara homeostasis βA di dalam tubuh dalam sistem saraf pusat yang
12
tampaknya terorganisasi dengan baik dalam keadaan fisiologis normal, tetapi menjadi berantakan pada keadaan patologis yang terkait dengan demensia dan timbunan βA di sistem saraf pusat (Wahjoepramono 2009). Homeostasis βA di otak dikendalikan oleh sejumlah mekanisme yang saling berinteraksi dan akhirnya menyebabkan akumulasi dan/atau deposisi βA di otak. Mekanisme tersebut meliputi: 1) produksi βA sistemik dan otak serta mekanisme pembuangan sistemiknya, 2) regulasi cepat soluble βA di cairan interstitial otak dengan cara pengangkutan yang diperantarai reseptor melintasi sawar darah otak dari otak ke darah, yaitu melalui low density lipoprotein receptor related protein-1 (LRP1), atau pada kondisi patologi tertentu, dari darah ke otak melalui receptor advanced glycation end products (RAGE), 3) pengendalian soluble βA di cairan tubuh ekstraseluler dan plasma, cairan interstitial otak dan cairan serebrospinal melalui protein pengikat βA, misalnya apolipoprotein E (apoE), apoJ, α2-makroglobulin, transtiretin, dan albumin, yang juga dapat mengatur pertukaran transport kompleks protein-protein tersebut dengan βA melalui sawar darah otak dan sawar darah cairan serebrospinal, 4) metabolisme βA oleh berbagai enzim-enzim sistemik dan otak, termasuk neprilysin, enzimenzim koagulasi (seperti plasmin dan tissue plasminogen activator), atau matrix metalloproteinase, 5) pembuangan deposit βA oleh sel-sel otak lain, seperti astrosit yang tergantung pada ko-lokalisasi apoE, dan mikroglia; 6) pembuangan βA yang perlahan-lahan melalui aliran cairan interstistial cairan serebrospinal dan 7) oligomerisasi dan agregasi βA dan/atau dengan protein-protein pengikutnya (Sagare et al. 2007; Zlokovic et al. 2005).
Sumber: Zlokovic (2004) Gambar 2.1. Model regulasi transpor dan pembuangan beta amiloid di otak
13
Gambar 2.1 menunjukkan pengeluaran βA melalui blood brain barier (BBB) dan melalui rute interstitial fluid (ISF)/cerebrospinal fluid (CSF). Lowdensity lipoprotein receptor-related protein (LRP) memerantarai transpor βA melalui BBB keluar dari otak. Soluble βA diangkut perlahan-lahan melaui aliran ISF ke dalam CSF dan kemudian ke aliran darah. receptor advancced glycation end products (RAGE) memerantarai influks βA bebas yang tidak terikat melintasi BBB ke dalam otak. Zat anti pengikatan βA seperti anti IgG, gelsolin dan/atau GMI, atau soluble RAGE (sRAGE) dapat menangkap βA dalam plasma dan mengurangi influks melintasi BBB (Zlokovic 2004).
Sumber: Brinton (2008) Gambar 2.2. Interaksi antara risiko usia yang berkaitan dengan usia hormon seks dan risiko Penyakit Alzheimer Patogenesis Penyakit Alzheimer adalah proses multifaktorial. Gambar 2.2 menyatakan deplesi estrogen dan testosteron dapat memicu pengembangan Penyakit Alzheimer, karena hormon sex ini ditetapkan sebagai regulator beberapa peristiwa yang terlibat dalam penyakit, termasuk akumulasi beta amiloid, tau fosforilasi, kematian neuronal, penurunan kepadatan tulang belakang dan gangguan kognitif. Intervensi dini menggunakan terapi berbasis testosteron, estrogen, dan hormon sintesis atau mimetics disebut estrogen modulator reseptor (SERM) dan reseptor androgen modulator (SARMs) dapat mengembalikan kehilangan fungsi pelindung untuk mencegah Penyakit Alzheimer (Brinton 2008).
14
Pengaruh Estrogen terhadap Beta Amiloid Estrogen mengurangi risiko Penyakit Alzheimer (PA) pada wanita postmenopause, masalah beta amiloid pada hewan model dengan PA, dan sekresi βA dari jaringan neuronal (Jeffrey et al. 2002). Pemberian Hormone Repalcement Therapy (HRT) dapat meningkatkan kognisi sehingga menunda berkembangnya PA. Mekanisme biologi estrogen sebagai neuroprotective belum diketahui. HRT dapat memperlambat terjadinya PA dengan cara mengurangi pelepasan βA, komponen utama plak amiloid, ke otak parenkim (Brinton 2008). Fenomena ini pertama digambarkan dalam non-neuronal dan neuronal jaringan sel. Pada hewan model marmut dan tikus transgenik menghasilkan bahwa pemberian estrogen pascaoperasi dapat menurunkan βA. Adanya hubungan terbalik antara 17β-E2 dan βA42 dalam cairan serebrosfinal pada pasien wanita dengan PA (Schonknecht et al. 2001). Penelitian pada manusia menunjukkan bahwa penurunan E2 dan testosteron dapat meningkatkan beta amiloid (βA) dalam neural dan plasma. Mekanisme estrogen dan androgen yang mengatur beta amiloid belum sepenuhnya dijelaskan, meskipun kedua jenis hormon seks ini telah terlibat dalam mengatur produksi dan βA clearance. Beta amiloid merupakan hasil produksi dari proteolitik pembelahan protein induknya, yaitu protein perkursor amiloid (APP). Mayoritas APP dimetabolisme oleh dua jalur yaitu jalur amyloidogenic dan nonamyloidogenioc. Di jalur amyloidogenic, APP dibelah oleh beta secretase dan gamma secretase, membebaskan βA peptida yang sebagian besar pada rantai asam amino 40 dan 42. Jalur non-amyloidogenic, APP dibelah dalam domain βA oleh alpha secretase, mencegah pembentukan full-length βA pepetida, tetapi melepaskan larutan dalam bentuk pelindung APP yang disebut alphaAPP (Zhang et al. 2011). Penelitian kultur sel menunjukkan bahwa estradiol dan testosteron dapat meningkatkan pengolahan APP dengan jalur non-amyloidogenic, sehingga mengurangi produksi βA. Estradiol pertamakali dilakukan untuk meningkatkan sekresi alphaAPP neurotropik dan penurunan produksi βA pada kultur non-saraf (Jaffe et al. 1994).
15
Pengaruh Estrogen terhadap Berat Badan, Lemak Abdominal dan Fungsi Kognitif Wanita Menopause Wanita yang telah memasuki menopause akan mengalami gejala yang sama yaitu kenaikan berat badan dan perubahan bentuk tubuh. Sekitar 90% wanita usia 35-55 tahun akan mengalami kenaikan berat badan. Berdasarkan penelitian mengatakan bahwa kenaikan berat badan selama menopause disebabkan oleh adanya perubahan hormon dan bukan karena terlalu banyak makan. Kenaikan berat badan ini berkisar antara 5 sampai 8 kg selama menopause. Untuk wanita dengan menopause dini, kenaikan berat badan akan lebih cepat (Winter et al. 2008). Saat ovarium memproduksi estrogen dalam jumlah sedikit, tubuh akan berusaha mencari tempat lain untuk memproduksi estrogen. Sel lemak dapat menghasilkan estrogen sehingga tubuh akan bekerja keras untuk mengkonversi kalori dalam lemak untuk meningkatkan kadar estrogen. Sayangnya sel lemak tidak untuk membakar kalori tetapi untuk membentuk sel otot sehingga terjadi penumpukan lemak (Hye et al. 2006). Penambahan berat badan terjadi disekitar perut yang disebut bentuk apel yang merupakan faktor risiko penyakit jantung, diabetes, dan masalah kesehatan lain. Indeks masa tubuh (IMT) yang lebih besar mungkin juga berhubungan dengan meningkatnya risiko hot flashes. Disamping risiko masalah kesehatan di atas, beberapa penelitian menyebutkan bahwa obesitas sentral tidak berhubungan dengan penurunan kognitif pada lanjut usia pria, tetapi berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif pada lanjut usia wanita (Han 2009). Penelitian lain mengatakan bahwa antara Waist Circumference (WC) dan Waist-Hip Ratio (WHR) tidak berhubungan dengan fungsi kognitif pada lanjut usia pria dan wanita (Dore et al. 2008). Beberapa data menyatakan bahwa naiknya berat badan dan obestias sentral pada lanjut usia wanita berhubungan dengan meningkatnya risiko Penyakit Alzheimer (Beydoun et a.l 2008). Saat menopause, produksi estrogen menurun dan testosteron meningkat. Hal ini sebagai faktor utama terbentuknya lemak (Imke 2009). Beberapa peneliti lain juga mengemukakan bahwa penurunan tingkat estrogen pada saat menopause
16
juga berhubungan dengan meningkatkan cortisol, yang merupakan hormon stress yang dapat meningkatkan akumulasi lemak abdominal. Progesteron juga menurun selama menopause seperti estrogen. Hormon ini bertanggung jawab terhadap beberapa gejala yang disebabkan oleh menopause termasuk penambahan berat badan (Hye et al. 2006).
Penyimpanan air ini
menyebabkan kenaikan berat badan meskipun tidak secara nyata meningkatkan berat badan. Penyimpanan air ini biasanya terjadi hanya beberapa bulan. Andorgen bertanggung jawab terhadap pengiriman lemak ke bagian tengah perut. Sehingga saat menopause, androgen meningkat yang menyebabkan penumpukan lemak di abdominal. Testosteron membantu tubuh untuk membuat massa otot dan membakar kalori sehingga meningkatkan metabolisme. Saat menopause hormon testorteron menurun yang menyebabkan hilangnya otot. Sehingga menurunkan metabolisme tubuh untuk membakar kalori (Hye et al. 2006). Estrogen memainkan peranan sebagai perkursor jaringan adiposa, khususnya wanita postmenopause (Hye et.al. 2006). Pada tikus yang diovariektomi meningkat lemak tubuh, dan terapi estrogen dapat menghambat peningkatan lemak tubuh (Wade dan Bartness 1985; Louet et al. 2004). Pada wanita pascamenopause estradiol dan estron berasal dari konversi androgen adrenal di hati, ginjal, otak, kelenjar adrenal dan jaringan adipose. Proses aromatisasi yang terjadi di perifer berhubungan positif dengan berat badan wanita. Wanita yang gemuk mempunyai kadar estrogen yang lebih tinggi dibandingkan wanita yang kurus karena meningkatnya aromatisasi di perifer (Gruber et al. 2002). Pada wanita pascamenopause kadar estradiol menjadi 1318pg/ml dan kadar estron 30-35 pg/ml (Speroff and Fritz 2005).
Terapi Sulih Hormon (TSH) Terapi estrogen meningkatkan keseimbangan posturografi dinamik, hal ini mengindikasikan adanya efek menguntungkan dari estrogen terhadap risiko fraktur pascamenopause dan pada sistem saraf pusat yang memberikan efek keseimbangan postural. Dalam penelitian epidemiologi “Jantung dan Sulih Estrogen/progestin” menyatakan estrogen dapat bekerja sebagai proteksi sekunder melawan penyakit kardiovaskuler. Pemakaian Fem Seven (17 β-estradiol patch)
17
pada wanita pascamenopause di Indonesia menunjukkan 90% mampu menurunkan keluhan klimakterik terutama keluhan vasomotor berupa gejolak panas (Sidabutar dan Baziad 2000). Pada dasarnya ada dua regimen pengobatan yaitu: estrogen yang diberikan secara kotinyu ditambah progestin (medroksiprogesteron asetat, 5-10 mg/hari selama 10-12 hari) yang diberikan secara interval bulanan. Regimen ini merangsang siklus ovulatori sehingga wanita akan mengalami pendarahan bulanan kembali. Regimen TSH biasanya adalah estrogen konjugat oral yang mempunyai toleransi baik. Dosis standar untuk preventif osteoporosis adalah 0,625 mg/hari. Pada umumnya dosis ini berhasil mengontrol gejolak panas serta gejala lainnya (Nananda et al. 1999). Persoalan utama pada terapi sulih estrogen jangka panjang adalah hubungan antara estrogen dan kanker. Estrogen memiliki khasiat proliferatif yang kuat pada endometrium, sehingga meningkatkan risiko terkena karsinoma endrometrium. Suatu titik kecil kanker, pada awalnya tidak terdeteksi dan dapat berkembang cepat dengan terapi estrogen. Penambahan progestin secara siklusiti bertujuan untuk mencegah stimulasi estrogen pada hiperplasia endrometrium. Hal tersebut dilakukan terutama pada wanita yang masih memiliki rahim. Pemberian TSH setelah 9 tahun ternyata meningkatkan risiko kanker payudara menjadi dua kali lipat. Dianjurkan pada pemberian TSH perlu diikuti dengan pemeriksaan fisik dan mammografi secara tahunan atau setengah tahunan, sehingga risiko kanker menjadi minimal (Ferin 1993). Mekanisme Estrogen Reseptor Modulators adalah senyawa-senyawa yang menunjukkan efek yang spesifik, yaitu efek estrogenik (agonis) di beberapa jaringan dan efek antiestrogenik (antagonis) di jaringan lain. Sebagai contoh, ligan-ligan non steroid seperti tamoxifen dan raloxifene, pada wanita pascamenopause aksi agonis estrogeniknya terangsang di tulang untuk menjaga densitas dan di dalam sistem kardiovaskulaer serta otak untuk menjaga fungsinya, tetapi tidak di kelenjar mammae atau endrometrium. Di dalam otak, raloxifene lebih bekerja sebagai antagonis estrogen (Gruber et al. 2002). Mekanisme selektif senyawa tersebut pada jaringan adalah kompleks. Pada kedua reseptor estrogen α
18
dan reseptor estrogen β, penyesuaian ikatan domain-ligan dapat melalui jalur yang berbeda baik terhadap estradiol, raloxifene atau genestein (Gruber et al. 2002).
Fitoestrogen dan Isoflavon Fitoestrogen merupakan hormon yang terdapat pada tumbuhan, yang terkandung dalam kedelai. Hormon alami merupakan senyawa kimia yang terdapat pada tumbuhan, yang memiliki struktur molekul mirip (identik) dengan struktur molekul hormon pada tubuh manusia yang disebut bio-identical hormone (Karahalil 2006). Satu tanaman dapat mengandung lebih dari satu gugus fitoestrogen. Kedelai mempunyai gugus yang terbanyak dikandungnya adalah isoflavon. Kacang tanah merupakan sumber coumerstrol dengan gugus utamanya adalah coumestans, disamping adanya gugus lain. Lignans dijumpai pada tanaman dan tumbuhan yang biasa dimakan. Perubahan lignans dalam tubuh berlangsung pada saluran pencernaan sebagai dampak dari mekanisme bakteri. Biji bunga matahari merupakan sumber utama dari lignans. Sumber lignans yang menjadi makanan sehari-hari adalah sayuran tertentu seperti buncis dan cereal (Karahalil 2006). Fitoestrogen mempunyai struktur kimia serupa dengan 2 penilnaptalen yang menyerupai rumus bangun estrogen. Keberadaannya dapat bersifat agonis (bekerja sejalan) dan atau antagonis (mempunyai sifat bertentangan) tergantung pada faktor-faktor metabolisme, konsentrasi estrogen endogen, jenis kelamin serta keadaan menopause (Biben 2001). Penelitian epidemiologis memberi dugaan kuat bahwa penggunaan fitoestrogen dalam diet seperti pada umumnya pada orang Asia, berkaitan dengan rendahnya risiko penyakit western seperti: kanker payudara, prostat, penyakit jantung dan pembuluh darah (Rishi 2006; Karahalil 2006). Fitoestrogen secara signifikan meningkatkan performa kognitif. Keterlibatan estrogen pada induksi sinaptogenesis di hippocampus yang berpengaruh pada asam amino dan pada saraf cholinergic. Reseptor estrogen terlokalisir pada sel glial, yang mempengaruhi fungsi hormon, misalnya: pada regulasi konsentrasi ion ekstraseluler dan pada hormon penyedia glukosa. Pada keadaan menopause dimana terjadi pengurangan tingkat estrogen, pada usia lanjut biasanya terjadi
19
gangguan fungsi kognitif yang dapat memicu penyakit Alzheimer. Oleh karena itu diet fitoestrogen sangat berguna pada keadaan ini. Fitoestrogen dapat meningkatkan fungsi serotonergik. Penelitian pada wanita postmenopause ditemukan manfaat protein kedelai pada tes fungsi kognitif setelah satu tahun (fungsi serotonergik). Penelitian pada tikus menunjukkan genestein menurunkan sintesa DNA di otak dan menghambat proliferasi sel-sel otak. Proliferasi sel otak menyebabkan kemungkinan berkurangnya reseptorreseptor estrogen pada otak (Vander et al. 2001; ACME 2006). Walaupun banyak khasiat yang ditujukkan oleh fitoestrogen dari kedelai, namun peningkatan konsumsi fitoestrogen sehari-hari yang tinggi di atas normal perlu memperhatikan efek toksik yang ada, terutama pada infertil dan pubertas yang lebih cepat (Karahalil 2006).
Estrogen Alami
Ovarium
Sintetik Fitoestrogen
flavonoid
Non-flavonoid
Isoflavonoid Isoflavon: Genestein Daidzein
Xenoestrogen
Coumestan: Coumestrol
Lignans: Matairesinol Secoisolariciresimol Enterolactone Enterodiol
Sumber: Karahalil (2006)
Gambar 2.3. Klasifikasi Fitoestrogen
Isoflavon banyak terdapat di dalam biji-bijian dan kacang-kacangan, yang utama adalah pada kedelai dan hasil olahannya. Kandungan isoflavon dalam kedelai sangat bervariasi tergantung cara mengolah atau tehniknya dan pengaruh
20
lingkungan, yang dapat mengurangi atau menambah unsur isoflavon yang ada di dalamnya (Dixon 2004; Gultekin dan Yildiz 2006). Karahalil (2006) menjelaskan bahwa potensi antioksidan dari isoflavon dimungkinkan karena adanya struktur yang erat dengan gugus hidroksil pada posisi empat dan posisi lima cincin aromatik. Isoflavon memiliki struktur difenolik yang mempunyai potensi sebagai estrogen sintesis dietilstilbestrol dan heksestrol. Dua komponen dari isoflavon yaitu daidzein dan genestein banyak dijumpai dalam tubuh. Kedua unsur ini merupakan hasil metabolisme biochanin A dan hormononetin. Isoflavon dalam tanaman bersifat inaktif dan berada dalam ikatan glikoside yang apabila residu gula ini dilepaskan maka unsur isoflavon menjadi aktif. Unsur tanaman ini mengalami fermentasi oleh mikro flora usus yang kemudian dengan proses metabolit dan non-fermentasi (aglikon) yang memungkinkan untuk diabsorpsi dalam tubuh untuk kemudian mengalami rekonjugasi menjadi glukoronida. Dalam usus oleh mikro flora daidzein mengalami metabolisme menjadi equol atau O-DMA dan genestein mengalami metabolisme menjadi p-etifenol. Isoflavon dapat ditemukan dalam berbagai jenis tanaman termasuk sayur dan buah-buahan, yang utama dalam kacang-kacangan. Unsur fenol dari kacang kedelai, tepung kedelai dan isolat kedelai lainnya mempunyai efek antioksidan serupa dengan β karoten. Wei et al. (1995) menunjukkan bahwa genestein memiliki khasiat mencegah produksi hidrogen peroksida, superoksida, dan inhibitor superoksidasi anion yang kuat, sedangkan daidzein menunjukkan efek yang lemah. Genestein memperlihatkan peningkatan aktivitas enzim antioksidasi seperti katalase, superoksidasa dismutase, glutation peroksidase reduktase. Aktivitas enzim antioksidan seperti superoxide dismutase, catalase, dan ghlutathione peroxidase secara signifikan meningkat dengan adanya genestein. Lebih jauh lagi, genestein dapat meningkatkan aktivasi enzim antioksidan pada sel murine dengan supresi promotor tumor akibat H2O2. Isoflavon juga dapat mengurangi oksidasi LDL. Selain itu, isoflavon berperan dalam menghambat agregasi platelet. Agregasi platelet berhubungan dengan produksi H2O2, menstimulasi phospolipase C pathway dan metabolisme arachdonic (Rimbach et al. 2005).
21
Penelitian File et al (2001) menggunakan 100 mg total isoflavon yang diberikan setiap hari kepada subyek selama 10 minggu, menunjukkan peningkatan fungsi kognitif pada subyek wanita. Menurut Biben (1998), 100 mg total isoflavon setara dengan 125 mg tempe (4-5 potong sedang) dan 200 g tahu (4 potong). Diet isoflavon kedelai mempengaruhi aspek struktrual otak, proses belajar, ingatan dan kecemasan sepanjang metabolisme enzim androgen pada otak di lobus frontal. Isoflavon mempunyai efek yang positif pada performa kognitif dan mood (Rishi 2006). Dalam kedelai terdapat tiga jenis isoflavon, yaitu daizein, genestein dan glicetein. Pada tempe, disamping ketiga jenis isoflavon tersebut juga terdapat antioksidan faktor II (6,7,4 trihidroksi isoflavon) yang mempunyai sifat antioksidan paling kuat dibandingkan dengan isoflavon dalam kedelai (Purwantyastuti, 2000; Karmini, 1997) serta mengandung asam amino essensial (Hermana, Mahmud dan Karyadi 1999).
Pengaruh Vitamin B6, Asam Folat (Vitamin B9), Vitamin B12, dan Isoflavon terhadap Fungsi Kognitif Vitamin B6, vitamin B12, dan asam folat merupakan zat gizi yang mempunyai peran penting dalam
menjaga kesehatan
saraf.
Lansia dengan
asupan vitamin B6 tinggi menunjukkan skor kognitif yang baik (La Rue 2000). Suplementasi asam folat dengan dosis tertentu pada lansia dapat mencegah penurunan fungsi kognitif, namun pada penelitian lain didapatkan hasil yang berlawanan bahwa asupna tinggi asam folat mempercepat penurunan fungsi kognitif (Eussen 2006). Vitamin B12 dan asam folat melindungi pembuluh darah arteri dari kerusakan akibat pengaruh homosistein dengan cara mengubah homosistein menjadi sistein yang akhirnya dikeluarkan melalui urin (Clarke 1998). Homosistein merupakan asam amino sulfur yang terbentuk sebagai hasil demetilasi metionin. Kadar homosistein yang tinggi berhubungan dengan meningkatnya risiko serangan jantung, stroke, Penyakit Alzheimer dan menurunnya funsi kognitif (Clarke 1998; Tucker 2005; Ravaglia 2003; Kang 1992). Vitamin B6 berperan sebagai koenzim berupa piridoksal fosfat (PLP) dalam keadaan difosforilasi, dan piridoksamin fosfat (PMP) dalam reaksi transaminasi,
22
dekarboksilasi, dan reaksi lainnya yang berkaitan dengan metabolisme protein. Dekarboksilasi dari piridoksal fosfat menghasilkan berbagai bentuk amina seperti epinefrin, neropinefrin, dan serotonin yang penting untuk fungsi otak (Suter 2006). Vitamin B6 juga berperan dalam metabolisme homosistein yaitu dalam jalur transsulfurasi, homosistein bergabung dengan serin membentuk sistationin pada suatu reaksi yang dikatalisa oleh vitamin B6, dan bergantung pula pada keberadaan enzim sistation β sintase. Sistationin ini akhirnya mengalami hidrolisa membentuk sistein, yang dapat pula diubah menjadi glutation atau dimetabolisme lebih lanjut sehingga menghasilkan sulfat dan dieksresikan melalui urin (Suter 2006). Defisiensi vitamin B12 umum terjadi pada lansia akibat ketidakmampuan untuk melepaskan vitamin B12 dari protein makanan, malabsorpsi usus, atau kurangnya asupan vitamin B12 dari makanan sehari-hari (Suter 2006). Vitamin B12 sangat penting untuk aktifitas sel saraf secara normal, replikasi DNA dan produksi sel darah merah, darah putih serta platelet darah. Secara teori vitamin B12 bersama asam folat dan vitamin B6 berperan mengubah folat menjadi bentuk aktif, dan dalam fungsi normal metabolisme semua sel, terutama sel-sel saluran cerna, sumsum tulang, dan jaringan saraf (Suter 2006). AKG vitamin B12 berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) tahun 2004 yaitu 1 µg untuk lansia baik laki-laki maupun perempuan. Hasil penelitian Triantari (2011) secara analisis statistik menunjukkan hubungan bermakna asupan vitamin B12 dengan status kognitif. Hal ini sesuai teori, vitamin B12 terlibat dalam satu-karbon metabolisme, dimana vitamin B12 berperan dalam transfer kelompok metil dan reaksi metilasi yang penting untuk sintesis dan metabolisme neurotransmitter dan fosfolipid dalam sistem saraf pusat. Selain itu, vitamin B12 diperlukan untuk sintesis asam nukleat, hematopoesis, metabolisme asam lemak, dan asam amino dalam siklus asam sitrat di mitokondria. Asupan vitamin B12 rendah menyebabkan tingginya kadar homosistein darah sehingga dapat mempercepat penurunan status kognitif pada lansia (Clarke et al. 1998; 2007).
23
Angka kecukupan asam folat berdasarkan WKNPG tahun 2004 adalah sebesar 400 µg perhari bagi lansia. Asam folat berperan sebagai koenzim penting yang berguna dalam berbagai macam metabolisme. Fungsi utama koenzim folat adalah memindahkan atom karbon tunggal dalam bentuk gugus formil, hidroksimetil dan metil dalam reaksi-reaksi penting metabolisme asam amino dan asam nukleat. Asam folat bersama vitamin B6 dan B12 berperan dalam menekan kadar homosistein total dalam darah. Remetilasi dari homosistein dikatalisis oleh metionin sintase, dan bergantung pada folat sebagai metiltetrahidrofolat (MTHF) dan vitamin B12 (metilkobalamin) yang merupakan kofaktor enzim 5-metilen tetrahidrofolat reduktase (5-MTHFR) yang berperan dalam produksi 5tetrahidrofolat (5-THF) (Suter 2006). Isoflavon adalah unsur utama yang mengandung khasiat serupa estrogen dalam diet fitoestrogen. Peran kedua unsur ini terhadap mekanisme kerja hormon didasari oleh adanya persamaan struktur rumus bangun dengan estrogen alamiah walaupun kekuatannya lebih lemah. Rumus bangun ini juga hampir sama dengan zat anti estrogen yaitu tamoxifen. Penyebab utama proses penuaan berhubungan dengan radikal bebas dan spesies oksigen reaktif (reactive oxygen species, ROS). Teori radikal bebas menyatakan bahwa tanda-tanda fisik menua diseluruh tubuh termasuk otak, sebagian disebabkan kerusakan sel yang terjadi karena radikal bebas, yaitu molekul tidak stabil yang bereaksi dengan oksigen di dalam tubuh. Jika radikal bebas bereaksi dengan oksigen, maka radikal bebas menimbulkan kerusakan (Muchtadi 2009) oksidatif atau oksidasi, yang dapat dibandingkan dengan pengaratan suatu logam. Oksidasi merusak mitokondria, pabrik energi di dalam sel. Persoalan menjadi lebih buruk, karena mitokondria mengeluarkan lebih banyak radikal bebas ketika menghasilkan energi (Aswin 2007). Di dalam mitokondria, oksigen direduksi menjadi air (H2O). Hidrogen peroksida (H2O2) dan radikal bebas (HO) merupakan intermediet dalam proses reduksi oksigen menjadi air di dalam tubuh. Sekitar 1% sampai 5% oksigen yang digunakan oleh mitokondria direduksi dan diubah menjadi ROS tersebut (Muchtadi 2009). Organel, struktur dan substansi intrasel neuron yang terdapat di dalam badan
24
(stoma) sel syaraf merupakan sasaran perubahan-perubahan terkait umur akibat kerusakan (stress) oksidatif (Aswin 2007). Pada otak menua terjadi mekanisme yang ditujukan untuk memelihara integritas sirkuit sel syaraf, memfasilitasi terjadinya respon terhadap kebutuhan lingkungan dan mendorong terjadinya pemulihan pasca jejas. Mekanisme neuroprotektf ini didukung oleh diet (restriksi kalori dan sumpelemntasi folat dan antioksidan) serta memodifikasi perilaku (baik aktivitas intelektual maupun fisik ) (Aswin 2007). Muchtadi (2009) mengungkapkan hal senada, dimana kerusakan akibat oksidasi dapat dicegah dengan cara mengonsumsi makanan yang kaya antioksidan. Antioksidan mempunyai pengertian secara kimia dan biologis. Dalam pengertian kimia, senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donors). Menurut Suryohudoyo (2000) dalam pengertian biologis antioksidan mempunyai pemahaman yang lebih luas, yaitu sebagai senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzim dan protein pengikat logam. Kemampuan senyawa antioksidan dalam meredam dampak negatif oksidan, sistem hayati menerapkan strategi dua lapis, yaitu mencegah terhimpunya senyawa-senyawa oksidan secara berlebihan dan mencegah reaksi rantai berlanjut. Atas dasar makanisme tersebut, antioksidan dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu: antioksidan pencegah (preventive antioxidants) dan antioksidan pemutus rantai (chain-breaking antioxidants) (Taher 2003). Karahalil (2006) menjelaskan bahwa potensi antioksidan dari isoflavon dimungkinkan karena adanya struktur yang erat dangan gugus hidroksil pada posisi empat dan posisi lima cincin aromatik. Isoflavon memiliki struktur difenolik yang mempunyai potensi estrogen sintesis dietilstilbestrol dan heksestrol. Dua komponen dari isoflavon yaitu daidzein dan genestein banyak dijumpai dalam tubuh. Kedua unsur ini merupakan hasil metabolisme biochanin A dan hormononetin. Isoflavon dalam tanaman bersifat inaktif dan berada dalam ikatan glikoside yang apabila residu gula ini dilepaskan maka unsur isoflavon menjadi aktif. Unsur tanaman ini mengalami fermentasi oleh mikro flora usus yang kemudian dengan proses metabolit dan non-fermentasi (aglikon) yang memungkinkan untuk diabsorpsi dalam tubuh untuk kemudian mengalami
25
rekonjugasi menjadi glukoronida. Dalam usus oleh mikro flora daizein mengalami metabolisme menjadi equol atau O-DMA dan genestein mengalami metabolisme menjadi p-etifenol. Isoflavon dapat ditemukan dalam berbagai jenis tanaman termasuk sayur dan buah-buahan, yang utama dalam kacang-kacangan. Unsur fenol dari kacang kedelai, tepung kedelai dan isolat kedelai lainnya mempunyai efek antioksidan serupa dengan β karoten. Wei (1995) menunjukkan bahwa genestein memiliki khasiat mencegah yang sangat potensial terhadap produksi hidrogen peroksida sedangkan daidzein menunjukkan efek yang lemah dan biochanin A sama sekali tidak berdampak. Genestein juga merupakan inhibitor yang kuat pada superoksida sedangkan daidzein menunjukkan efek yang lemah dan biochanin A sama sekali tidak berdampak. Genestein juga merupakan inhibitor yang kuat pada superoksidasi anion dari antioksidasi. Genestein memperlihatkan peningkatan aktivitas enzim antioksidasi seperti katalase, superoksidasa dismutase, glutation peroksidase reduktase. Aktivitas hidroperoksidasi dalam hati meningkat pada konsumsi isoflavon kedelai dalam diet selama seminggu. Isoflavon kedelai dapat berperan sebagai antioksidan baik langsung maupun tidak langsung melalui perubahan aktiivitas enzim antioksidan (Wei 1995). Aktivitas enzim antioksidan seperti superoxide dismutase, catalase, dan ghlutathione peroxidase secara signifikan meningkat dengan adanya genestein. Lebih jauh lagi, genestein dapat meningkatkan aktivasi enzim antioksidan pada sel murine dengan supresi promotor tumor akibat H2O2. Isoflavon juga dapat mengurangi oksidasi LDL. Selain itu, isoflavon berperan dalam menghambat agregasi platelet. Agregasi platelet berhubungan dengan produksi H2O2, menstimulasi phospolipase C pathway dan metabolisme arachdonic (Rimbach et al. 2005).
26
Tempe dan Tahu Isoflavon banyak terdapat dalam kedelai dan produk olahannya. Produk fermentasi kedelai (tempe, oncom dan tauco) telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan yang murah karena mempunyai fungsi primer dan tersier. Mutu bahan makanan tempe (hasil fermentasi kedelai) lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai (Hermana, Mahmud dan Karyadi 1999). Bahan makanan kedelai yang tidak difermentasi seperti tahu mengandung lebih banyak glukosida, sedangkan yang mengalami fermentasi seperti tempe mengandung lebih banyak aglukosida sebagai hasil hidrolisis enzim selama fermentasi (Biben 1998). Perkembangan konsumsi tempe dan tahu di Indonesia tidak menunjukkan fluktuasi yang tinggi dari tahun ke tahun. Data Susenas (2007) mencatat konsumsi tempe sedikit lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi tahu pada tahun 2005 dan 2007. Tetapi tahun 2009 konsumsi tempe sedikit lebih tinggi dibanding tahu. Tempe merupakan salah satu makanan tradisional Indonesia yang saat ini menjadi makanan populer di dunia (Silitonga dan Djanuardi 1999). Mengingat banyak manfaat yang dapat diambil dari tempe, produsen tempe di Indonesia perlu mengembangkan standar produksi sehingga bisa bersaing dengan tempe yang diproduksi negara lain. Tempe merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral dan isoflavon. Tempe juga mengandung lemak tidak jenuh dan tanpa kolesterol. Proses fermentasi membuat kedelai menjadi lebih mudah dicerna (Hermana, Mahmud dan Karyadi 1999). Tempe yang dibuat dari kedelai dengan proses fermentasi dapat menghasilkan zat bioaktiof yang berperan sebagai antioksidan (Pawiroharsono 1999). Aktivitas antioksidan dari tempe yang tertinggi pada lama fermetasi ke 48 dan 60 jam. Selama proses fermentasi, daidzein berkurang 0.07 mg/ml sedangkan kandungan genestein meningkat sebanyak 0.26 mg/ml. Proses pemanasan pada 100oC selama 25 menit, tidak berpengaruh secara signifikan terhadap aktivitas antioksidan (Susanto et al. 1998). Jenis starter tempe memberikan efek aktivitas isoflavon. Tempe yang dihasilkan dengan ragi pasar maupun ragi LPIP mempunyai kandungan daidzein dan genestein yang meningkat dengan lamanya
27
inkubasi, dan pada kedua tempe dari ragi tersebut mempunyai peningkatan kandungan daidzein yang lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan genestein (Wuryani et al. 1997). Sifat tempe dipertimbangkan sebagai potential food karena isi atau zat gizi dan bahan aktif yang dikandungnya. Tempe mengandung protein 40%, kaya akan CHO (carbohydrate), lipid, vitamin C, vitamin E dan mineral. Selain itu tempe juga mengandung bahan aktif seperti isoflavon, asam lemak tidak jenuh, ergosterol, carotene dan vitamin yang menguntungkan untuk kesehatan. Berdasarkan isinya tempe dibutuhkan untuk melengkapi makanan pada keadaan kurang gizi dan bisa digunakan sebagai functional food. Penelitian yang dilakukan di Universty of North Carolina, Amerika Serikat menemukan bahwa genestein dan fitoestrogen yang terdapat pada tempe dapat mencegah kanker prostat, payudara dan penuaan (Anderson dan Sanforrd 1997). Tempe juga mengandung superoksida dismutase yang dapat menghambat kerusakan sel dan proses penuaan. Dalam sepotong tempe terkandung berbagai unsur yang bermanfaat bagi kesehatan. Seperti hidrat arang, lemak, protein, serta vitamin, enzim, daidzein, genistein, serta isoflavon tipe 2 yang dapat berikatan dengan reseptor hormon estrogen dalam tubuh dapat mengurangi keluhan psikovasomotor khususnya semburan atau hentakan panas di dada sebagaimana yang dialami perempuan saat memasuki masa menopause (Biben 2001). Tempe mengandung antioksidan SOD (superoksida dismutase) yang mempunyai efek pada mekanisme pertahanan yang melawan oksidasi lipid. Keadaan ini dapat diaplikasikan pada pencegahan yang berhubungan dengan penyakit yang disebabkan oleh oksidasi (Astuti 1999; Utari 2011).
28
Kerangka Pemikiran dan Kerangka Konsep Berdasarkan uraian kepustakaan yang ada, maka disusun suatu kerangka pemikiran faktor determinan kejadian gangguan fungsi kognitif pada lanjut usia, sebagai berikut:
Faktor- faktor risiko
Wanita Menopause
Genetik
Faktor karakteristik: Usia Jenis kelamin Pendidikan Budaya
Faktor kesehatan: Obesitas Diabetes mellitus Penyakit jantung Tekanan darah tinggi Estrogen depletion Menonapuse surgical
Faktor-faktor Protektif
Aktivitas fisik dan sosial ↑ Faktor gizi: Folat ↑ Vit. B12 ↑ Fungsi Kognitif: •Dopamin •Beta amiloid •Serotinin •Kolin
Vit B6 ↑ Antioksidan ↑
Terapi sulih hormon (TSH): - Sintetik (etinil estradiol) - Alami (fitoestrogen: isoflavon)
Faktor perilaku: Merokok Alkohol Kopi Teh
Gambar 2.4 Kerangka pemikiran faktor-faktor yang berhubungan dengan fungsi kognitif pada lanjut usia
29
Kerangka Konsep Variabel Independen
Tepung Tempe: • Isoflavon • Vitamin B6, • Vitamin B12, • Asam folat (vitamin B9)
Variabel Dependen
FUNGSI KOGNITIF (Kreativitas tikus untuk mencapai finis dalam waktu 5 menit)
Tepung Tahu: • Isoflavon • Vitamin B6 • Vitamin B12, • Asam folat (vitamin B9) Mekanisme: - Estrogen serum? - Beta Amiloid Serum? Variabel Antara Gambar 2.5 Kerangka konsep pengaruh tepung tempe dan tepung tahu terhadap fungsi kognitif
30
3 METODE Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahapan awal adalah pembuatan tepung tempe dan tepung tahu. Kemudian tahap analisis kandungan gizi yang meliputi vitamin B6, vitamin B12, asam folat, dan protein. Tahap selanjutnya adalah pengujian tepung tempe dan tepung tahu pada hewan coba tikus. Tahap pengujian dilakukan pengukuran estrogen serum, berat badan, lemak abdominal, dan fungsi kognitif. Gambaran tahapan penelitian disajikan dalam gambar 3.1 di bawah ini.
Pembuatan tepung tempe dan tepung tahu
Analisis kandungan gizi dan isoflavon tepung tempe dan tepung tahu
Pengujian tepung tempe dan tepung tahu pada hewan coba tikus
Analisis berat badan
Analisis lemak abdominal
Analisis estrogen serum
Analisis beta amiloid serum
Gambar 3.1. Tahapan penelitian
Analisis fungsi kognitif
31
Pembuatan Tepung Tempe dan Tepung Tahu Tahap pertama penelitian adalah membuat tepung tempe dan tepung tahu di laboratorium Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology Center (SEAFAST Center) IPB. Bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung tempe dan tepung tahu adalah tempe segar dari pabrik tempe di Kramat Jati Jakarta Timur dan tahu segar dari pabrik tahu di Dramaga Bogor. Alat yang dipakai adalah alat freezed dry untuk menghindari pengaruh panas terhadap kandungan gizi dan isoflavon yang ada dalam tempe dan tahu. Proses pembuatan tempe pada penelitian ini menggunakan 50 kg kedelai varietas americana dengan mengikuti tahapan sebagai berikut: perebusan dilakukan selama 4 sampai 5 jam, pemisahan kulit, pencucian, peragian dengan menggunakan ragi dicampur onggok dengan perbandingan satu banding sepuluh. Pemberian ragi 50 gram tiap 50 kg kedelai. Ragi yang dipakai adalah inokulum Rhyzopus oryzae produksi PT Aneka Fermentasi Industri (AFI) Bandung (BPOM RI MD 262628001051). Tempe kemudian dikemas dan didiamkan selama 36 jam. Untuk 50 kg kedelai setelah proses fermentasi akan menghasilkan ±75 kg tempe. Proses pembuatan tepung tempe sebagai berikut: pengirisan
tempe (1x2x0.5
cm3), penggilingan, pengeringan dengan metode freeze drying selama 2 hari. Metode ini digunakan karena tidak menggunakan suhu tinggi sehingga diharapkan kandungan gizi dalam tempe tidak hilang. Kapasitas untuk sekali proses adalah 2 kg tempe dan akan menghasilkan rendemen berupa tepung tempe ±30%. Tahu dibuat dengan proses pembuatan sebagai berikut: 40 kg kedelai dicuci bersih kemudian direndam selama 2 jam agar kedelai mekar buang kulit kedelai dan ditiriskan. Selanjutnya dimasukkan dalam mesin penggiling sehingga hasilnya berupa bubur kedelai. Kemudian merebus bubur kedelai tersebut selama 15-30 menit dengan suhu 1500C. Kemudian sari kedelai dicampur dengan pengental seperti batu tahu selama 5-10 menit sampai mengendap. Mencetak endapan tersebut sesuai dengan kebutuhan. Pembuatan tepung tahu dilakukan dengan metode freeze drying selama 2 hari. Untuk sekali proses yaitu 2 kg tahu menghasilkan rendemen berupa tepung tahu ±14%.
32
Analisis Kandungan Gizi dan Isoflavon Analisis ini meliputi kandungan gizi tepung tempe dan tepung tahu (vitamin B6, vitamin B12, asam folat, protein) dan isoflavon. Analisis protein dan vitamin B6 dilakukan di Balai Besar Industri Agro Bogor, Kementrian Pertanian. Analisis isoflavon, vitamin B12 dan asam folat di Balai Besar Pasca Panen Bogor, Kementrian Pertanian. Analisis protein menggunakan
metode Kjedahl dan
analisis isoflavon (genestein), vitamin B6, vitamin B12, dan asam folat menggunakan metode High Performance Liquid Cromatography (HPLC).
Analisis Protein (McClements 2007) Proses Destruksi: dilakukan dengan menimbang ±1 g bahan yang telah dihaluskan, dimasukkan dalam labu Kjeldahl. Kemudian ditambahkan 7.5 g kalium sulfat dan 0.35 g raksa (II) oksida dan 15 ml asam sulfat pekat. Kemudian dipanaskan semua bahan dalam labu Kjeldahl dalam lemari asam sampai berhenti berasap dan diteruskan pemanasan sampai mendidih dan cairan menjadi jernih. ditambahkan pemanasan kurang lebih 30 menit, dimatikan pemanasan dan dibiarkan sampai dingin. Selanjutnya ditambahkan 100 ml aquadest dalam labu Kjeldahl yang didinginkan dalam air es dan beberapa lempeng Zn, tambahkan 15 ml larutan kalium sulfat 4% (dalam air) dan akhirnya ditambahkan perlahanlahan larutan natrium hidroksida 50% sebanyak 50 ml yang telah didinginkan dalam lemari es. Proses Destilasi: Labu Kjeldahl dipasang pada alat destilasi. Kemudian labu Kjeldahl dipanaskan perlahan-lahan sampai dua lapis cairan tercampur, selanjutnya dipanaskan dengan cepat sampai mendidih. Destilat ditampung dalam Erlenmeyer yang telah diisi dengan larutan baku asam klorida 0.1 N sebanyak 50 ml dan indicator merah metil 0.1% b/v (dalam etanol 95%) sebanyak 5 tetes, ujung pipa kaca destilator dipastikan masuk ke dalam larutan asam klorida 0.1 N. Proses destilasi selesai jika destilat yang ditampung lebih kurang 75 ml. Proses Titrasi: Sisa larutan asam klorida 0.1 N yang tidak bereaksi dengan destilat dititrasi dengan larutan baku natrium hidroksida 0.1 N. Titik akhir titrasi tercapai jika terjadi perubahan warna larutan dari merah menjadi kuning. Lakukan titrasi blanko.
33
Rumus penentuan kadar protein kasar : Protein Kasar (%) = (y-z) x titar NaOH x 0.014 x 6.25(gram) x 100% Berat Sampel (gram)
Analisis Vitamin B6 (Amidzic et al. 2005) Larutan Standar. Standar dari USP ditimbang yang setara dengan 800 µg vitamin B6 dalam 100 ml. Kemudian ditambahkan air sampai 100 ml sampai tercampur sempurna. Campuran ini dibuat dalam keadaan gelap dan simpan selama satu minggu. Setelah satu minggu larutan diambil 10 ml, dimasukkan dalam gelas ukur 100 ml dan dicampur dengan air. Larutan standar ini mengandung 0,8 µg/ml vitamin B6. Larutan untuk sampel. Sampel ditimbang 2 g dalam 125 ml labu erlenmeyer. Lalu ditambahkan air 25 ml dan digoyangkan selama satu menit. Kemudian disaring dengan miliphore 0.45 µ dan diinjek ke HPLC.
Analisis Asam Folat (Amidzic et al. 2005) Pembuatan Asam Folat Standar: Asam
folat ditimbang 0.005 g dan
dimasukkan ke dalam labu erlemeyer, lalu ditambah aquadest sampai 50 ml dan diberi NaOH 0.04 N sebanyak 15 tetes untuk menetralisir pH. Selanjutnya larutan tersebut diambil 5 ml dan diencerkan sampai 50 ml. Hasil pengenceran diambil sebanyak 0.1 ml, 0.3 ml, 0.5 ml, 1 ml, 3 ml, dan 5 ml. Masing-masing supernatan diambil 0.5 ml untuk HPLC. Ekstraksi: Tepung tempe dan tepung tahu masing-masing 1 g, masing-masing dimasukkan dalam tiga tabung reaksi. Selanjutnya ditambah acetonitrile CH3CN 4 ml kemudian digoyangkan sampai bercampur rata. Larutan ditambah dengan KOH 3 ml, Buffer Phospat 2 ml. Tabung reaksi pertama untuk tepung tempe dan tepung tahu ditambah asam folat standar 0.5 ml (10 ppm). Tabung reaksi lainnya ditambah dengan TCA 0.5 ml dan buffer sampai volume 10 ml. Larutan disaring. Supernatan diambil 0.5 ml untuk HPLC.
34
Analisis Isoflavon (Mantovani et al. 2009) Sampel sebanyak 2 g dikeringkan pada suhu 400C selama 5 jam. Sampel diekstrak dengan MeOH absolute 2 kali, masing-masing 100 ml disaring. Selanjutnya didiamkan di ruang pada suhu 00C selama 1 jam untuk menggumpalkan lemak. Kemudian lemak dipisahkan dengan disentrifuse pada 2000 rpm selama 20 menit. Supernatan diambil dan diuapkan pada suhu 70 oC. Residu dilarutkan dalam 10 ml MeOH 60% dan disentrifuse pada 4000 rpm selama 20 menit. Keringkan pada rotavapor pada suhu 700C. Selanjutnya dilarutkan dengan MeOH grade HPLC 10 ml dan dilewatkan pada Cartride Shepak C18. Saring dengan miliphore 0.2 mikron dan diinjek ke HPLC.
Analisis Vitamin B12 (Amidzic 2005) Larutan Standar. Standar dari USP ditimbang yang setara dengan 800 µg vitamin B6 dalam 100 ml. Kemudian ditambahkan air sampai 100 ml sampai tercampur sempurna. Campuran ini dibuat dalam keadaan gelap dan simpan selama satu minggu. Setelah satu minggu larutan diambil 10 ml, dimasukkan dalam gelas ukur 100 ml dan dicampur dengan air. Larutan standar ini mengandung 0,8 µg/ml vitamin B12. Larutan untuk sampel. Sampel ditimbang 2 g dalam 125 ml labu erlenmeyer. Lalu ditambahkan air 25 ml dan digoyangkan selama satu menit. Kemudian disaring dengan miliphore 0.45 µ dan diinjek ke HPLC.
Pengujian Tepung Tempe dan Tepung Tahu pada Hewan Coba Tikus Desain dan Tempat Penelitian ini dilakukan dengan desain ekperimental menggunakan pendekatan rancangan acak lengkap (RAL). Tikus yang digunakan adalah tikus betina galur Spraque Dawley. Pada dua minggu setelah masa adaptasi disebut kelompok baseline 1. Tikus diovariektomi dan diberikan pakan standar selama 3 bulan sebagai model hewan coba tikus betina tua (Safrida 2013). Variabel independen meliputi konsumsi tepung tempe dan tepung tahu. Konsumsi estradiol sebagai kontrol positip dan kasein sebagai kontrol negatip. Variabel dependen adalah fungsi kognitif. Variabel antara meliputi: kadar estrogen serum dan kadar
35
beta amiloid serum. Variabel confounding meliputi: berat badan dan lemak abdominal. Perawatan, analisis berat badan, dan analisis fungsi kognitif pada hewan coba tikus dilakukan di Instalasi Rawat Inap Hewan; analisis lemak abdominal di Laboratorium Histologi; analisis estrogen serum dan beta amiloid serum dilakukan di Laboratorium Hormon, Unit Rehabilitasi dan Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Dalam rancangan ini hewan coba dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok tepung tempe, tepung tahu, kelompok estradiol, kelompok kasein, dan kasein non OVx. Pembagian kelompok ini berdasarkan fungsi kognitif yang dimiliki masing-masing tikus. Pertama dengan mengelompokkan tikus dengan fungsi kogitif sangat baik, baik, kurang baik dan tidak baik. Kemudian melakukan randomisasi sehingga masing-masing tikus masuk ke kelompok intervensi sesuai hasilnya. Masing-masing kelompok intervensi terdiri dari 12 ekor tikus. Jumlah tikus betina yang digunakan dalam penelitian ini adalah 72 ekor tikus. Satu minggu setelah masa adaptasi, empat ekor tikus sebagai kelompok awal untuk diambil darah dari jantung, kemudian dibedah untuk diambil lemak abdominal. Sebanyak 68 sampel diambil secara acak dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok ovariektomi sebanyak 52 ekor dan kelompok tanpa ovariektomi berjumlah 16 ekor. Setelah 3 bulan pasca operasi ovariektomi, masing-masing kelompok diambil empat ekor untuk dilakukan pembedahan sebagai kelompok ovariektomi dan non ovariektomi.
Sisa sampel yaitu
ovariektomi berjumlah empat puluh delapan ekor dibagi menjadi empat kelompok intervensi yang meliputi kelompok intervensi tepung tempe, tepung tahu, estradiol, kasein. Satu kelompok berjumlah 12 ekor sebagai kelompok non ovariektomi (NO). Masing-masing kelompok terdiri dari dua belas ekor tikus. Setiap titik pengamatan, empat ekor tikus dari masing-masing kelompok dilakukan pembedahan. Sebelum pembedahan, tikus tersebut dibius total menggunakan ketamin 10% (10-20 mg/kg BB) dan xylazine 2% (2 mg/kg BB). Pelaksanaan pembedahan dilakukan oleh dokter hewan. Intervensi dilakukan selama dua bulan dengan tiga titik pengamatan pada minggu kedua, minggu kelima dan minggu kedelapan. Pada setiap titik
36
pengamatan dilakukan pembedahan untuk diambil darah, lemak abdominal dengan jumlah masing-masing kelompok empat ekor. Bagan pelaksanaan perlakuan terhadap tikus bisa dilihat pada gambar 3.2.
Baseline 1 (BS1)
n=72
BS1
Baseline 2 (BS2) (12 minggu)
OVx
Non OVx
n=52
n=16
BS2
BS2
n=48
(-4 )
Intervensi (8 minggu)
n=68
(-4 )
(-4 )
n=12)
Tepung Tempe n=12
Tepung Tahu n=12
Estradiol
Kasein
n=12
n=12
Intervensi 2 minggu (-4)
Intervensi 2 minggu (-4)
Intervensi 2 minggu (-4)
Intervensi 2 minggu (-4)
Intervensi 2 minggu (-4)
Intervensi 5 minggu (-4)
Intervensi 5 minggu (-4)
Intervensi 5 minggu (-4)
Intervensi 5 minggu (-4)
Intervensi 5 minggu (-4)
Intervensi 8 minggu (-4)
Intervensi 8 minggu (-4)
Intervensi 8 minggu (-4)
Intervensi 8 minggu (-4)
Intervensi 8 minggu (-4)
Kasein(NO) n=12
Gambar 3.2. Jumlah sampel dari awal sampai akhir penelitian
Pakan tikus dalam bentuk pelet diberikan saat masa adaptasi sampai tiga bulan setelah operasi ovariektomi. Pakan berasal dari PT Japis Comfeed Indonesia. Komposisi pelet berupa protein kasar 18-20%, lemak kasar minimal 40%, serat kasar maksimal 7%, kalsium maksimal 2%, phospor maksimal 2%, abu maksimal 13%, air maksimal 10%.
Lingkungan kandang dibuat tidak
lembab, ventilasi yang cukup serta penyinaran yang cukup dimana lamanya terang 14 jam dan lama gelap 10 jam.
37
Intervensi dilakukan selama 2 bulan, pakan dalam bentuk tepung. Komposisi pakan sesuai dengan AIN-93M terdiri dari protein 14%, mineral 5%, lemak 4%, vitamin 1%, serat 5%, air 5% dan pati 66%. Jumlah konsumsi pakan ditentukan dengan fair feeding yaitu dengan memberikan jumlah paling minimal yang bisa habis dikonsumsi oleh tikus yaitu 15 g per ekor tikus. Metode ini diharapkan masing-masing tikus mengkonsumsi protein dalam jumlah yang sama. Tikus dikelompokkan berdasarkan jenis konsumsi protein yaitu: kelompok tepung tempe dengan ovariektomi, kelompok tepung tahu dengan ovariektomi, kelompok estradiol dengan ovariektomi dan konsumsi protein kasein, kelompok kasein dengan ovariektomi, kelompok kasein tanpa ovariektomi. Pada kelompok estradiol diberi penambahan etinilestradiol (estrogen sintetik) sebanyak 9x10-3 mg/hari/200g berat badan. Pemberian estradiol ini dilakukan dengan cara dicekok menggunakan sonde. Komposisi pakan masing-masing kelompok untuk setiap ekor tikus per hari sebagai berikut: Tabel 3.1 Komposisi pakan selama intervensi
Komposisi nutrisi berdasarkan AIN-93M
Kadar (%)
Berat bahan per hari per ekor kelompok tepung tempe (gram) Bahan
Berat bahan per hari per ekor kelompok tepung tahu (gram)
Berat bahan per hari per ekor kelompok estradiol, kasein, non ovariektomi (gram)
Protein
14
Tepung Tepung Kasein
Tempe/ Tahu/ 5.1
4.4
2.4
Lemak
4
Minyak jagung
0
0
0.6
Mineral
5
Mineral Mix
0.4
0.6
0.7
Vitamin
1
Vitamin
0.2
0.2
0.2
Serat
5
Serat pangan/cmc
0.8
0.8
0.8
Pati
66
Tepung Maezena
8.5
9
10.3
Air
5 15
15
15
JUMLAH
Alat dan Bahan Tikus betina dari Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pemeliharaan tikus ditempatkan dalam kandang plastik dengan tutup terbuat dari kawat ram dan dialasi sekam, dan air minum diberikan ad libitum.
38
Alat yang digunakan untuk menimbang berat badan adalah timbangan digital dengan presisi 0.01 g. Pengukuran lemak abdominal dilakukan dengan cara menimbang lemak abdominal yang diambil dengan menggunakan timbangan digital presisi 0.0001 g pada saat post mortem. Pengujian fungsi kognitif menggunakan labirin ukuran 63x123 cm. Pengujian ini dilakukan dengan cara meletakkan tikus dalam labirin pada posisi start sampai ke finish. Pengukuran dilakukan maksimum lima menit dengan pengamatan terhadap perilaku pemecahan masalah//kreativitas agar bisa sampai finish dalam waktu lima menit. Penilaian katagori fungsi kognitif dibagi dalam 4 katagori dengan memberikan skor 1-4 yaitu sangat baik = 4; baik = 3; kurang baik = 2 dan tidak baik = 1. Definisi operasinal masing-masing katagori sebagai berikut: Sangat baik
: Setelah di masukkan ke dalam labirin melakukan aktivitas membaui dan berjalan, memanjat dinding, dan mencapai titik finish kurang dari 5 menit.
Baik
: Setelah dimasukkan ke dalam labirin secara terus menerus melakukan aktivitas membaui dan berjalan, memanjat dinding, namun tidak mencapai finish.
Kurang baik : Setelah di masukkan ke dalam labirin secara terus menerus melakukan aktivitas membaui dan berjalan berkisar 0.5 menit, memanjat dinding jarang dilakukan, selanjutnya diam tidak mencapai finish. Tidak baik
: Setelah di masukkan ke dalam labirin secara terus menerus melakukan aktivitas membaui dan berjalan berkisar 0.5 menit, memanjat dinding tidak dilakukan, selanjutnya diam tidak mencapai finish (Mirza 2012).
39
Gambar 3.3 Alat untuk mengukur fungsi kognitif (Labirin)
Analisis estrogen serum
dengan menggunakan Metode Elisa Reagent
Estradiol ELISA EIA-2693. Analisis beta amiloid serum dengan Metode Elisa Reagent Amyloid Beta Peptide 1-40 (Ab1-40)(E90864Ra). Metoda Elisa pada estrogen serum dan beta amiloid serum disajikan dalam
Lampiran
2
dan
Lampiran 3. Prosedur Analisis Data Setiap data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara statistik dengan kaidah yang telah ditetapkan untuk menjawab pertanyaan dan tujuan. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara bertahap yang diawali dengan pengumpulan dan entri data. Untuk melihat rerata dan selisih perbedaan antar kelompok perlakuan pada masing-masing variabel digunakan one way ANOVA dengan polynomial contrass post hoc LSD dengan SPSS 16.0. Analisis terhadap hubungan antar variabel menggunakan Uji Korelasi. Analisis dalam menentukan variabel yang paling berhubungan dengan fungsi kognitif dilakukan dengan Uji Regresi Linier Berganda. Uji korelasi dan uji regresi linier berganda dilakukan dengan menggunakan SPSS 16.0.
40
Definisi Operasional Definisi operasonal berisi definisi dari setiap variabel yang diukur disertai dengan alat ukur yang digunakan, cara mengukur dan hasil ukurnya. Selengkapnya disajikan pada Tabel berikut: Tabel 3.2 Definisi operasional
41
Variabel Dependen Fungsi Kognitif
Variabel Independen Tepung Tempe
Tepung Tahu
Definisi Operasonal Proses mental kreativitas untuk mencapai finish dalam waktu 5 menit.
Tempe yang berasal dari pabrik tempe Kramat Jati, diproses menjadi tepung tempe dengan metode freezed dry. Kandungan zat gizi tepung tempe yang dianalisis: -Isoflavon
Alat Ukur
Cara Ukur
Hasil Ukur
Labirin ukuran 63x 123 cm
Memasukkan tikus dalam labirin pada posisi start, dan memantau kreativitas yang dilakukan selama 5 menit.
4=sangat baik 3=Baik 2= Kurang baik 1= Tidak baik
Analisis laboratorium
Pengambilan sampel tepung tempe dan dianalisis dengan metode HPLC Pengambilan sampel tepung tempe dan dianalisis dengan metode HPLC Pengambilan sampel tepung tempe dan dianalisis dengan metode HPLC Pengambilan sampel tepung tempe dan dianalisis dengan metode HPLC
Rasio
Pengambilan sampel tepung tahu dan dianalisis dengan metode HPLC
Rasio
Vitamin B6
Analisis laboratorium
Vitamin B12
Analisis laboratorium
Asam folat
Analisis laboratorium
Tahu segar dari pabrik tahu di Dramaga yang diproses menjadi tepung tahu dengan metode freezed dry. Kandungan zat gizi tepung tahu yang dianalisis: -Isoflavon
Analisis laboratorium
Rasio
Rasio
Rasio
42
Variabel Antara Estrogen Serum
Beta serum
amilod
Variabel Pengganggu (confounding) Berat badan
Lemak abdominal
-Vitamin B6
Analisis laboratorium
Pengambilan sampel tepung tahu dan dianalisis dengan metode HPLC Pengambilan sampel tepung tahu dan dianalisis dengan metode HPLC Pengambilan sampel tepung tahu dan dianalisis dengan metode HPLC
Rasio
-Vitamin B12
Analisis laboratorium
-Asam folat
Analisis laboratorium
Kadar estrogen dalam serum darah
Analisis laboratorium
Pengambilan darah lewat jantung dan dianalisis dengan metode Elisa Pengambilan darah lewat jantung dan dianalisis dengan metode Elisa
Rasio
Kadar beta amiloid 1-40 dalam serum darah
Analisis laboratorium
Hasil pengukuran berat badan yang dilakukan satu kali dalam seminggu Hasil pengukuran lemak abdominal yang diambil pada saat post mortem
Timbangan digital presisi 0,01 g
Mengukur berat badan
Rasio
Timbangan digital dengan presisi 0,0001 g
Mengukur lemak abdominal
Rasio
Rasio
Rasio
Rasio
Variabel yang dikendalikan adalah protein (14%), diukur pada semua jenis pakan intervensi. Estradiol (estrogen sintetis) digunakan efektivitas isoflavon
untuk mengukur
dari tepung tempe atau tepung tahu bila dibandingkan
dengan estrogen sintetis. Kasein digunakan sebagai kontrol negatif, bahan yang tidak mengandung isoflavon.
43
4 HASIL Kandungan Isoflavon dan Zat Gizi pada Tepung Tempe dan Tepung Tahu Kandungan isoflavon yang dianalisis pada tepung tempe dan tepung tahu adalah genestein. Hasil analisis isoflavon, viatmin B6, asam folat (vitamin B9), dan vitamin B12 dalam tepung tempe dan tepung tahu dengan metode HPLC ditampilkan dalam Tabel 4.1. Analisis protein dengan metode Kjedahl disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Kandungan gizi dan isoflavon tepung tempe dan tepung tahu No 1 2 3 4 5
Zat Gizi Isoflavon (genestein) (mg/100 g) Asam folat (mg/100 g) Vitamin B6 (mg/100 g) Vitamin B12 (mcg/100 g) Protein (g/100 g)
Tepung Tempe 50.558 0.0251 0.28 0.97 41.5
Tepung Tahu 19.923 0.19 47.4
Dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa isoflavon (genestein) dalam tepung tempe (50.558 mg/100 g) dua kali lebih tinggi dibanding tepung tahu (19.923 mg/100 g). Tepung tempe mengandung asam folat (0.0251 mg/100 g) dan vitamin B12 (0.97 mcg/100 g), tetapi tepung tahu tidak mengandung kedua vitamin tersebut. Kadar vitamin B6 dalam tepung tempe 1.5 kali lebih banyak dari tepung tahu. Pengaruh Ovariektomi terhadap Kadar Estrogen Serum, Berat Badan, Lemak Abdominal, Beta Amiloid Serum dan Fungsi Kognitif Pada tahap penelitian pengujian hewan coba, digunakan sebanyak 72 ekor tikus Spraque Dawley usia satu tahun. Pengukuran baseline 1 dilakukan setelah masa adaptasi pada empat ekor tikus yang dipilih secara acak. Tahap selanjutnya dilakukan ovariektomi pada 52 ekor tikus, dan 16 ekor tikus non ovariektomi yang digunakan sebagai kontrol. Tiga bulan setelah ovariektomi, dilakukan pengukuran baseline 2 pada kelompok ovariektomi dan non ovariektomi. Masingmasing kelompok diambil empat ekor secara acak.
44
Tabel 4.2 Rata-rata±SD (95%CI) kadar estrogen serum, berat badan, lemak abdominal, beta amiloid serum, dan fungsi kognitif Baseline 2 Non Ovariektomi Ovariektomi a b Estrogen serum (pg/ml) 12.75±4.12 24.05± 2.52 9.99±1.24a a a Beta amiloid (pg/ml) 119.22±20.27 114.22± 33.95 172.40± 30.71b Berat badan (g) 204.3± 3.23a 213.4±6.41b 231.6±14.45b Lemak abdominal (g) 5.13±0.39a Tidak terdeteksi 1.93±0.80b Skor fungsi kognitif 2.25±0.96a 2.75±1.5a 1.75±0.5a Keterangan. Angka pada baris sama yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf 5% (Uji ANOVA). Variabel
Baseline 1
Tabel 4.2 memperlihatkan tidak ada perbedaan kadar estrogen pada kelompok baseline 1 dan tiga bulan setelah ovariektomi pada kelompok ovariektomi, tetapi berbeda signifikan dengan kelompok non ovariektomi. Penurunan
estrogen
pada
kelompok
ovariektomi
menunjukkan
adanya
peningkatan berat badan yang signifikan. Namun lemak abdominal terjadi penurunan signifikan pada kelompok ovariektomi ini. Penurunan estrogen pada kelompok ovariektomi juga disertai dengan peningkatan beta amiloid serum yang signifikan dibandingkan kelompok awal. Fungsi kognitif pada kelompok awal, ovariektomi dan non ovariektomi setelah tiga bulan menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna. Namun demikian, kelompok ovariektomi memiliki fungsi kognitif paling rendah diantara kelompok baseline 1 dan non ovariektomi.
Pengaruh Tepung Tempe dan Tepung Tahu terhadap Kadar Estrogen Serum Penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan estrogen pada kelompok dengan intervensi tepung tempe, tepung tahu, dan estradiol terjadi kenaikan sampai minggu kedua. Pada minggu kelima kelompok tepung tempe dan estradiol masih meningkat dan pada saat minggu kedelapan mengalami penurunan. Kelompok tepung tahu pada minggu kelima kadar estrogen mulai turun sampai minggu kedelapan. Pada kelompok dengan intervensi kasein kadar estrogen mangalami penurunan dari mulai ovariektomi sampai pada intervensi selama 8 minggu. Sedangkan pada kelompok tanpa ovariektomi, kadar estrogen hampir
45
sama dengan kelompok intervensi tepung tahu, tetapi penurunan saat minggu kedelapan lebih tinggi dari kelompok tahu (Tabel 4.3 dan gambar 4.1) Tabel 4.3 Rata-rata±SD(95%CI) kandungan estrogen serum (pg/ml) pada kelompok tepung tempe, tepung tahu, estradiol, kasein, non ovariektomi Lama pemberian Intervensi 2 minggu
Tepung tempe 15.47±4.75 (7.91-23.04)
Intervensi 5 minggu Intervensi 8 minggu
Kelompok Intervensi Tepung tahu Estradiol Kasein 14.22±1.59 (11.68-16.77)
16.15±4.84 (8.44-23.86)
20.4±4.71 (12.9-27.89)
10.54±1.57 (8.04-13.06)
19.54±11.44 (1.33-37.75)
9.47±1.99 (6.29112.65) 0.0±0.0 (0.0-0.0)
17.99±3.44 (12.5-23.47)
9.27±2.53 (5.24-133)
13.47±2.49 (9.51-17.44)
0.0± 0.0 (0.0-0.0)
Non Ovariektomi 13.27±4.09 (6.76-19.79) 13.67±4.09 (10.2917.06) 6.9± 1.45 (4.58-9.21)
P Value 0.150
0.001
0.000
Berdasarkan hasil Uji ANOVA menunjukkan bahwa pada intervensi minggu kedua tidak signifikan perbedaan kadar estrogen serum antar kelompok. Pada intervensi minggu kelima dan kedelapan menunjukkan perbedaan yang signifikan (P<0,05).
Estrogen serum (pg/ml)
30 25 20
Tempe
15
Estradiol
10
Tahu NON OVX
5 0
Kasein Baseline 1
Baseline 2
2 minggu
5 minggu
8 minggu
Gambar 4.1 Estrogen serum pada kelompok tepung tempe, tepung tahu, estradiol, non ovariektomi menurut waktu Hasil uji lanjut Post Hoc LSD dapat dilihat pada Tabel 4.4 di bawah yang menunjukkan bahwa setelah intervensi dua minggu, kelompok tepung tempe hanya berbeda nyata dengan kelompok kasein. Pada minggu kelima, kelompok
46
tepung tempe berbeda signifikan dengan kelompok tepung tahu dan kasein. Setelah intervensi minggu kedelapan, kelompok tepung tempe berbeda nyata dengan semua kelompok intervensi yang lain dan memiliki kandungan estrogen paling tinggi. Berdasarkan tabel 4.3 memperlihatkan kelompok tikus yang mengonsumsi tepung tempe memiliki kandungan estrogen serum paling tinggi 17.987 pg/ml, kelompok tikus yang mengonsumsi tepung tahu 9.275 pg/ml. Sehingga dapat dikatakan bahwa peningkatan estrogen serum dalam tikus yang mengonsumsi tepung tempe dua kali lebih tinggi dari yang mengonsumsi tepung tahu.
Tabel 4.4. Rata-rata±SD (95%CI) selisih kandungan estrogen serum (pg/ml) antara kelompok tepung tempe dan tepung tahu dengan kelompok estradiol, kasein, non ovariektomi Lama pemberian 2 minggu
Tp-Th
Tp-E
Tp-K
Tp-NO
1.25±2.63 -0.67±2.63 6±2.63a 2.2±2.63 (-4.36-6.86) (-6.29-4.94) (0,38-11.61) (-3.41-7.81) 5 minggu 9.85±4b 0.86±4 20.40±4c 6.72± 4 (1.32-18.38) (-7.67-9.39) (11.87-28.93) (-1.81-15.26) 8 minggu 8.71±1.63d 4.51±1.63e 17.99±1.63f 11.09±1.63g (5.23-12.19) (1.03-7.99) (14,51-21,47) (7.61-14.57) Keterangan: Huruf yang menyertai angka merupakan P value yaitu: a=0.038; b=0.026; c=0.00; d=0.00; e=0.014; f=0.00; g=0.00. Kelompok tepung tempe (Tp), kelompok tepung tahu (Th), kelompok estradiol (E), kelompok kasein (K), kelompok non ovariektomi (NO).
Kelompok tepung tahu pada intervensi minggu kedua, tidak berbeda nyata dengan semua kelompok intervensi lain. Pada intervensi minggu kelima dan kedelapan, tepung tahu berbeda signifikan dengan kelompok intervensi tepung tahu, estradiol dan kasein (Tabel 4.4 dan Tabel 4.5).
Tabel 4.5 Rata-rata±SD (95%CI) selisih kandungan estrogen serum (pg/ml) antara kelompok tepung tahu dengan kontrol Lama Th-E Th-K Th-NO pemberian 2 minggu -1.92±2.63 (-7.54-3.69) 4.75±2.63 (-0.86-10.36) 0.95±2.63 (-4.66-6.56) 5 minggu -8.99±4a (-17.52-(-0.45)) 10.55±4b (2.02-19.08) -3.13±4 (-11.66-5.40) 8 minggu -4.2±1.63c (-7.68-(-0.72)) 9.28±1.63d (5.79-12.75) 2.37±1.63 (-1.1-5.85) Keterangan: Huruf yang menyertai angka merupakan P value yaitu: a=0.04; b=0.19; c=0.021; d=0.00. Kelompok tepung tempe (Tp), kelompok tepung tahu (Th), kelompok estradiol (E), kelompok kasein (K), kelompok non ovariektomi (NO).
47
Tabel 4.6 memperlihatkan hasil analisis uji beda antara waktu intervensi dengan baseline 2. Kelompok tepung tempe berbeda nyata dengan baseline 2 pada saat intervensi minggu kelima dan kedelapan. Kelompok tepung tempe berbeda signifikan dengan baseline 2 pada intervensi minggu kedua. Kelompok estradiol berbeda nyata dengan baseline 2 pada intervensi minggu kelima. Pada intervensi minggu kelima dan kedelapan, kelompok kasein berbeda nyata dengan baseline 2.
Tabel 4.6 Rata-rata±SD (95%CI) selisih estrogen serum (pg/ml) antara lama pemberian dengan baseline 2 Intervensi Intervensi Intervensi 2 minggu -baseline 2 5 minggu -baseline 2 8 minggu -baseline 2 Tepung Tempe 5.49±2.74 10.41±2.74a 8±2.74b (-0.35-11.33) (4.57-16.25) (2.16-13.84) Tepung Tahu 4.24±1.73c 0.56±1.73 -0.71±1.73 (0.55-7.93) (-3.12-7.93) (-4.4-2.98) Estradiol 6.16±4.23 9.55±4.23d 3.49±4.23 (-2.86-15.18) (0.53-18.57) (-5.53-12.51) Kasein -0.51±1.49 -9.99±1.49e -9.99±1.49f (-3.71-2.68) (-13.18-(-6.79)) (-13.18-(-6.79)) Non -10.77±2.16g -10.37±2.16h -17.15±2.16i Ovariektomi (-15.38-(-6.17)) (-14.98-(-5.77)) (-21.75-(-12.54)) Keterangan: Huruf yang menyertai angka merupakan P value yaitu: a=0.002; b=0.01; c=0.027; d=0.039; e=0.00; f= 0.00; g=0.00; h=0.00; i=0.00
Pengaruh Tepung Tempe dan Tepung Tahu terhadap Berat Badan dan Lemak Abdominal Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada intervensi 2 minggu sampai intervensi 5 minggu berat badan
tikus yang konsumsi tepung tempe terus
meningkat, namun pada saat intervensi sampai 8 minggu berat badan turun. Demikian halnya dengan tikus yang diberi intervensi tahu pada saat intervensi 2 minggu berat badan naik kemudian sampai intervensi 5 minggu turun tetapi pada saat intervensi 8 minggu berat badan kembali meningkat. Pada kelompok intervensi estradiol dan kasein, minggu kedua sudah menunjukkan penurunan berat badan. Kelompok kasein tanpa ovariektomi saat minggu kedua sampai minggu kelima terjadi kenaikan berat badan, namun minggu ke delapan sudah turun (Tabel 4.7 dan gambar 4.2).
48
Tabel 4.7 Rata-rata±SD (95%CI) berat badan (g) kelompok tepung tempe, tepung tahu, estradiol, kasein, non ovariektomi Lama pemberian 2 minggu
5 minggu
8 minggu
Tepung tempe 221.63±8.14 (208.68234.57) 226.47± 22.39 (190.84262.11) 213.21±22.09 (178.05248.36)
Kelompok Intervensi Tepung Estradiol tahu 232±9.53 230.95±25.68 (216.84(190.08247.16) 271.82) 237.32± 212.05± 6.08 14.82 (202.37(213.74221.73) 260.9) 254.1±22. 172.95±12.64 12 (152.83(218.9193.07) 289.29)
P Value Kasein 217±0.99 (216.36219.53) 197.55±2.3 9 (193.74201.37)
Non ovariektomi 208.55±5.65 (199.56217.55) 198.78± 7.34 (187.09210.47)
184.79±12. 99 (164.11205.48)
206.61±11.19 (188.8224.41)
0.116
0.002
0.000
270 Tahu
Berat Badan (g)
250 230
Tempe NON OVX
210 190
Kasein Estradiol
170 150 Baseline 1 Baseline 2 2 minggu
5 minggu
8 minggu
Gambar 4.2 Berat badan (g) kelompok tepung tempe, tepung tahu, estradiol, kasein, non ovariektomi menurut waktu Hasil uji ANOVA (Tabel 4.7) menunjukkan bahwa pada intervensi minggu kedua tidak berbeda nyata antara kelompok perlakuan. Uji lanjut dilakukan dengan Post Hoc LSD. Tabel 4.8 menunjukkan bahwa berat badan kelompok tepung tempe berbeda signifikan dengan kelompok tepung tahu dan kelompok estradiol pada intervensi minggu kedelapan. Selisih rerata berat badan pada kelompok tepung tempe juga berbeda signifikan dengan kelompok kasein pada intervensi minggu kelima dan kedelapan. Tetapi dengan kelompok non ovariektomi berbeda signifikan pada minggu kelima (Tabel 4.8). Kelompok tepung tahu, memiliki berat badan lebih besar dari kelompok non ovariektomi. Perbedaan rerata berat badan kelompok tepung tahu terlihat
49
signifikan dengan kelompok estradiol dan kasein pada intervensi minggu kelima. Kelompok tepung tahu memiliki perbedaan yang signifikan selama intervensi dengan kelompok non ovariektomi (Tabel 4.8). Tabel 4.8 Rata-rata±SD (95%CI) selisih berat badan (g) antara kelompok tepung tempe dan tepung tahu terhadap kelompok estradiol, kasein, non ovariektomi Lama Tp-Th pemberian 2 minggu -10.37±9.22 (-30.02-9.27) 5 mingu -10.85±9.04 (-30.12-8.42) 8 minggu -40.89±11.96j (-66.4-(-15.4))
Tp-E -9.32±9,22 (-28.97-10.32) 14.42±9.04 (-4.85-33.7) 40.25±11.96k (14.75-65.76)
Tp-K 3.67±9.22 (-15.97-23.3) 28.92±9.04c (-30.23-8.43) 28.41-11.96g (2.91-53.91)
Tp-NO 13.07±9.22 (-6.57-32.72) 27.69±9.04d (8.42-46.97) 6.59±11.96 (-18.9-32.09)
Th-E
Th-K
1.05±9.22 (-18.59-20.7) 25.27±9.04b (5.99-44.55) 81.15±11.96l (55.64-106.6)
14.05±9.22 (-5.59-33.69) 39.77±9.04e (20.49-59.05) 69.30±11.96h (43.80-94.8)
Th-NO 23.45±9.22a (3.8-43.09) 38.54±9.04f (19.27-57.78) 47.49±11.96i (21.99-72.99)
Keterangan: Huruf yang menyertai angka merupakan P value yaitu: a=0.022; b=0.014; c=0.006; d=0.08; e=0.001; f=0.001; g=0.031; h=0.00; i=0.001; j =0.004; k=0.004; l=0.00. Kelompok tepung tempe (Tp), kelompok tepung tahu (Th), kelompok estradiol (E), kelompok kasein (K), kelompok non ovariektomi (NO).
Kelompok tepung tempe dan tepung tahu tidak berbeda nyata dengan baseline 2 selama intervensi. Kelompok estradiol, pada intervensi minggu kedelapan berbeda nyata dengan baseline 2. Kelompok kasein, selama intervensi terlihat lebih rendah berat badannya dibanding baseline 2 (Tabel 4.9). Tabel 4.9 Rata-rata±SD (95%CI) selisih berat badan (g) antara lama pemberian dengan baseline 2 Intervensi Intervensi Intervensi 2 minggu -baseline 2 5 minggu -baseline 2 8 minggu -baseline 2 Tepung Tempe -5.9±12.22 -1.05±12.22 -14.31±12.22 (-31.95-20.15) (-27.09-24.99) (-40.37-11.73) Tepung Tahu -3.95±10.96 1.37±10.96 18.15±10.96 (-27.31-19.41) (-21.97-24.76) (-5,21-41,51) Estradiol -0.55±14.43 -0.55±14.43 -58.55±14.43a (-31.31-30.21) (-31.31-30.21) (-89.31-(-27.79)) Kasein -13.65±6.22d -34.05±6.22 c -46.8±6.22d (-26.92-(-0.38)) (-47.32-(-20.78)) (-60.07-(-33.53)) Non -4.85±5.03 -14.62±5.03e -6.79±5.03 Ovariektomi (-15.56-5.87) (-25.33-(-3.9)) (-17.51-3.92) Keterangan: Rerata±SD (95%CI). Huruf yang menyertai angka merupakan P value yaitu: a=0.001; b=0.045; c=0.00; d=0.00; e=0.011
Kelompok intervensi tepung tempe dan tepung
tahu,
minggu kedua
sampai minggu kelima mengalami peningkatan lemak abdominal dan setelah intervensi 8 minggu terjadi penurunan.
Tikus dengan intervensi estradiol
menunjukkan hasil yang sama dengan intervensi tepung tempe dan tepung tahu
50
sampai minggu kedua. Saat minggu kelima sudah mulai terjadi penurunan lemak abdominal (Tabel 4.10 dan gambar 4.3). Pada kelompok kasein terlihat penurunan lemak abdominal selama intervensi. Untuk kelompok non ovariektomi jumlah lemak abdominal masih fluktuasi.
Berdasarkan Uji ANOVA, semua waktu
intervensi menunjukkan perbedaan yang nyata. Tabel 4.10 Rata-rata±SD (95%CI) lemak abdominal (g) terhadap kelompok tepung tempe, tepung tahu, estradiol, kasein, non ovariektomi Lama pemberian Tepung tempe 2 minggu 5 minggu 8 minggu
221.63±8.14 (208.68-234.5) 226.47± 22.39 (190.8-262.1) 213.21±22.09 (178.05-248.4)
Tepung tahu
Estradiol
Kasein
232±9.53 (216.8-247.2) 237.32± 14.8 (213.7-260.9) 254.1±22.12 (218.9-289.3)
230.95±25.68 (190.1-271.8) 212.05± 6.08 (202.4-221.7) 172.95±12.64 (152.8-193.1)
217±0.99 (216.4-219.5) 197.55±2.39 (193.7-201.4) 184.79±12.99 (164.1-205.5)
Non ovariektomi 208.55±5.65 (199.56-217.55) 198.78± 7.3 (187.09-210.47) 206.61±11.19 (188.8-224.41)
P Value 0.001 0.000 0.000
Lemak Abdominal (g)
6 5 Tempe
4
Tahu
3
Estradiol
2
Kasein
1
NON OVX
0 Baseline 1 Baseline 2 2 minggu
5 minggu
8 minggu
Gambar 4.3 Lemak abdominal (g) kelompok tepung tempe, tepung tahu, estradiol, kasein, non ovariektomi menurut waktu Selisih rerata (Tabel 4.11) dengan menggunakan uji LSD pada intervensi dua minggu terlihat, kelompok tepung tempe dan tepung tahu berbeda signifikan dengan kelompok kasein. Pada intervensi minggu kelima kelompok tepung tempe berbeda signifikan dengan kelompok estradiol dan non ovariektomi. Sedangkan kelompok tepung tahu berbeda signifikan dengan kelompok estradiol, kasein dan non ovariektomi. Setelah intervensi delapan minggu, kelompok tepung tempe berbeda signifikan dengan kelompok tepung tahu.
51
Tabel 4.11 Rata-rata±SD (95%CI) selisih lemak abdominal (g) antar kelompok tepung tempe dan tepung tahu terhadap kelompok estradiol, kasein, non ovariektomi Lama
Tp-Th
Tp-E
Tp-K
Tp-NO
Th-E
Th-Ks
Th-NO
0.49±0.58
0.61±0.58
3.12±0.58b
0.88±0.58
0.11±0.58
2.62±0.58c
0.38±0.58
(-0.73-1.72)
(-0.62-1.83)
(1,89-4,35)
(-0.35-2.11)
(-1.11-1.34)
(1.39-3.85)
(-0.84-1.61)
0.74±0.75
3.45±0.78k
4.8±0.78e
4.68±0.75g
4.19±0.75l
5.42±0.75f
5.42±0.75h
(-2.34-0.85)
(1.85-5.04)
(3.08-6.27)
(3.08-6.27)
(2.59-5.79)
(3.83-7.01)
(3.83-7.02)
-3.89±0.84a
1.47±0.84
0.03±0.84
0.03±0.84
5.36±0.84d
5.36±0.84i
3.92±0.84j
(-5.69-
(-0.32-3.27)
(-0.33-3.27)
(-1.77-1.83)
(3.56-7.16)
(3.56±7.16)
(2.12-5.72)
pemberian 2 minggu
5 minggu
8 minggu
(-2.09))
Keterangan: Huruf yang menyertai angka merupakan nilai P value yaitu: a=0.00; b=0.00; c=0.00; d=0.00; e=0.00; f=0.00; g=0.00; h=0.00; i=0.00; j=0.00; k=0.00; l=0.00. Kelompok tepung tempe (Tp), kelompok tepung tahu (Th), kelompok estradiol (E), kelompok kasein (K), kelompok non ovariektomi (NO).
Tabel 4.12 menunjukkan, lemak abdominal kelompok tepung tempe pada saat intervensi minggu kelima lebih tinggi dari baseline 2 (P<0,05). Kelompok tepung memiliki lemak abdominal lebih tinggi dari baseline 2 pada minggu kelima dan kedelapan. Lemak abdominal kelompok estradiol dan kasein, pada intervensi minggu kedelapan lebih rendah dari baseline 2 (P<0,05).
Tabel 4.12 Rata-rata±SD (95%CI) selisih lemak abdominal (g) antara lama perlakuan dengan baseline 2
Tepung Tempe Tepung Tahu Estradiol Kasein
Intervensi 2 minggu - baseline 2 1.19±0.93 (-0.79-3.17) 0.69±0.84 (-1.09-2.48) 0.58±0.46 (-0.41-1.58)
Intervensi 5 minggu - baseline 2 2.75±0.93a (0.76-4.73) 3.49±0.84b (1.71-5.28) -0.69±0.46 (-1.69-0.29)
-1.93±0.28e (-2.53-(-1.32)) 2.24±0.27h (1.65-2.83)
-1.93±0.28f (-2.53-(-1.32))
Intervensi 8 minggu - baseline 2 -0.45±0.93 (-2.43-1.53) 3.44±0.84c (1.71-5.28) -1.93±0.46d (-2.92-(-0.93)) -1.93±0.28g (-2.53-(-1.32)) 1.44±0.27i (0.85-2.03)
Non 0.00±0.27 (-0.58-0.58) Ovariektomi Keterangan: Rerata ± SD (95%CI). Huruf yang menyertai angka merupakan nilai P value yaitu: a=0.01; b=0.001; c=0.001; d=0.00; e=0.00; f=0.00; g=0.00; h=0.00; i=0.00
52
Pengaruh Tepung Tempe dan Tepung Tahu terhadap Beta Amiloid 1-40 Serum Hasil penelitian ini (Tabel 4.13 dan gambar 4.4) menunjukkan bahwa kelompok intervensi tepung tempe setelah minggu kedua sampai minggu kelima menunjukkan penurunan yang signifikan pada tingkat beta amiloid dalam serum dan penurunannya di bawah kelompokintervensi lainnya. Setelah delapan minggu itu mulai naik sedikit lagi, meskipun tetap secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kasein. Hasil analisis tepung tahu menunjukkan penurunan kadar beta amiloid setelah dua minggu sampai setelah delapan minggu intervensi. Namun, kandungan beta amiloid dalam serum masih lebih tinggi dibandingkan tikus yang mengonsumsi tepung tempe. Kelompok intervensi estradiol juga mengalami penurunan beta amiloid. Dalam kelompok kasein, beta amiloid cenderung terus meningkat pada dua, lima dan delapan minggu setelah intervensi. Hal ini berbeda dengan kelompok non ovariektomi yang menunjukkan kandungan beta amiloid cenderung tetap sama.
Tabel 4.13 Rata-rata±SD (95%CI) beta amiloid (pg/ml) kelompok tepung tempe, tepung tahu, estradiol, kasein, non ovariektomi P Value Lama Tepung tempe pemberian
Tepung tahu
Estradiol
Kasein
2 minggu 85.9±16.4 (59.79-112.0)
105.57±35.24 (49.49-161.65)
102.52±20.39 129±28.03 (70.09-134.96) (84.89-174.11)
109.85±37.88 (49.57-170.12)
0.358
5 minggu 76.52±34.14 (22.19-130.85)
104±24.26 108.52±28.27 163.82±95.8 102.77±5.07 (65.67-142.88) (63.54-153.51) (11.39-316.26) (94.69-11085)
0.193
8 minggu 93.37±22.31 (57.88-128.87)
103.82±24.32 (65.12-142.53)
0.107
111.1±28.93 142.35±34.07 (65.06-157.14) (88.14-196.56)
Non ovariektomi
101.7±4.96 (93.81-109.59)
Beta Amiloid (pg/ml)
53
200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
Tempe Tahu Estradiol Kasein NON OVX Baseline Baseline 2 minggu 5 minggu 8 minggu 1 2
Gambar 4.4 Beta amiloid (pg/ml) kelompok tepung tempe, tepung tahu, estradiol, non ovariektomi menurut waktu Berdasarkan hasil uji ANOVA, tidak ada perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan pada setiap titik pengamatan dengan kadar beta amiloid serum (Tabel 4.13). Kelompok intervensi yang diberi tepung tempe dan tepung tahu pada minggu kedelapan memiliki kadar beta amiloid serum yaitu berturutturut 93.38
pg/ml dan 103.83 pg/ml. Maka dapat terlihat kelompok yang
mengonsumsi tepung tahu 1.11 lebih tinggi dari kelompok yang mengonsumsi tepung tempe (Tabel 4.13). Tabel 4.14 Rata-rata±SD (95%CI) selisih beta amiloid (pg/ml) antar kelompok tepung tempe dan tepung tahu terhadap kelompok estradiol, kasein, non ovariektomi Lama pemberian 2 minggu 5 minggu 8 minggu
Tp-Th
Tp-E
Tp-K
Tp-NO
Th-E
Th-Ks
Th-NO
-19.6±20.4 (-63.1-23.7) -27.7±34.3 (-100.8-45)
-16.6±20.4 (-60-26.78) -32±34.29 (-105.1-41)
-43.6±20.4a (-87-(-0.19) -87.3±34.28b (-160.4-(-14.2))
-23.9±20,4 (-67.3-19.46) -26.25±34.28 (-99.3-46.8)
3.0±20.36 (-40.4-46.5) -4.25±34.3 (-77.3-68.8)
-23.9±20.36 (-67.3-19.5) -59.5±34.28 (-132.6-13.5)
-4.27±20.36 (-47.7-39.1) 1.5±34.28 (-71.6-74.6)
-10.4±17.6 (-48-27.1)
-17.7±17.6 -48.97±17.6c (-55.3-19.9) (-86.57-(-11,4))
-8.32±17.6 (-45.9-29.27)
-7.27±17.6 (-44.9-30.3)
-38.52±17.6d (-76.1-(-0.9))
2.12±17.6 (-35-39.72)
Keterangan: Huruf yang menyertai angka merupakan nilai P value yaitu: a=0.049; b=0.022; c=0.014; d=0.045. Kelompok tepung tempe (Tp), kelompok tepung tahu (Th), kelompok estradiol (E), kelompok kasein (K), kelompok non ovariektomi (NO).
Kelompok tepung tahu memiliki kandungan beta amiloid lebih tinggi dari tepung tahu selama intervensi, walaupun tidak signifikan. Kelompok tepung tempe memiliki kandungan beta amiloid lebih rendah dari kelompok kasein selama intervensi (P<0.05). Kelompok tepung tahu hanya pada memiliki
54
kandungan beta amiloid lebih rendah dari kelompok kasein dengan nilai P<0,05 hanya pada intervensi minggu kedelapan (Tabel 4.14).
Tabel 4.15 Rata-rata±SD (95%CI) selisih beta amiloid (pg/ml) antara lama perlakuan dengan baseline 2 Intervensi Intervensi Intervensi 2 minggu - baseline 2 5 minggu - baseline 2 8 minggu - baseline 2 Tepung Tempe -33.32±19,87 -23,12±19,87 -42,7±19,87a (-75,68-9,03) (-19,23-65,48) (-85,06-(-0,34) Tepung Tahu -13,65±19,43 -14,95±19,43 -15±19,43 (-55,09-27,77) (-56,37-26,47) (-56,82-26,02) Estradiol -10,27±34,25 -44,6±34,25 -16,7±34,25 (-62-83,29) (-28,41-117,61) (-89,71-56,31) Kasein -5,0±20,35 -10,7±20,35 -8,12±20,35 (-48,38-38,38) (-54,08-32,68) (-51,51-35,26) Non -16,47±17,11 -9,4±17,11 -8,32±17,11 Ovariektomi (-19,96-52,94) (-27,06-45,86) (-26,14-44,79) Keterangan: Huruf yang menyertai angka merupakan P value yaitu: a=0.048.
Kelompok tepung tempe memiliki selisih kandungan beta amiloid paling besar pada intervensi minggu kedelapan (P<0.05). Kandungan beta amiloid paling rendah pada kelompok tepung tempe. Selisih kelompok tepung tahu, estradiol, dan kasein terhadap baseline 2 tidak signifikan (Tabel 4.15). Pengaruh Tepung Tempe dan Tepung Tahu terhadap Fungsi Kognitif Hasil penelitian fungsi kognitf menunjukkan bahwa rataan tikus dengan intervensi tepung tempe minggu kedua menunjukkan efek sangat baik karena bisa mencapai finish kurang dari lima menit dan aktif bergerak sampai minggu kelima (Tabel 4.16 dan gambar 4.5). Tetapi mulai menurun pada minggu kedelapan. Pada intervensi tepung tahu terlihat pada intervensi kedua minggu mulai naik fungsi kognitfinya sampai minggu kedua, minggu kelima sudah mulai menurun. Tikus dengan intervensi estradiol menunjukkan kenaikan pada intervensi minggu kelima dan pada minggu kedelapan mulai turun. Tikus dengan intervensi kasein memiliki fungsi kognitif paling rendah dibanding intervensi tepung tempe, tepung tahu, estradiol, dan non ovariektomi.
55
Tabel 4.16 Rata-rata±SD (95%CI) fungsi kognitif kelompok tepung tempe, tepung tahu, estradiol, kasein, non ovariektomi Lama pemberian 2 minggu 5 minggu 8 minggu
Tepung tempe 4.00±0.00 (4.00-4.00) 4± 0 (4-4) 3.75±0.5 (2.95-4.54)
Tepung tahu 3.75±0.5 (2.95-4.54) 3.25± 0.5 (2.45-4.05) 3.5±0.58 (2.58-4.4)
Kelompok Intervensi Estradiol Kasein 2.75±0.96 (1.23-4.3) 3.75± 0.5 (2.95-4.5) 3.0±0.0 (3.0-3.0)
2.5±1.0 (0.91-4.09) 2.75± 0.96 (1.23-4.27) 2.75±0.96 (1.23-4.27)
Non ovariektomi 2.75±1.50 (0.36-5.14) 3.75± 0.5 (2.95-4.54) 2.75±0.5 (1.95-3.54)
P Value 0.136 0.053 0.100
Skor Fungsi Kognitif
5 4 Tepung Tempe
3
Tepung Tahu
2
Estradiol Kasein
1
NON OVX
0 Baseline Baseline 2 5 8 1 2 minggu minggu minggu Gambar 4.5 Skor Fungsi kognitif pada kelompok tepung tempe, tepung tahu, estradiol, kasein, non ovariektomi menurut waktu Pada Tabel 4.16 menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0.05) antara kelompok perlakuan dengan fungsi kognitif pada setiap titik pengamatan. Tabel 4.16 juga memperlihatkan pengaruh pemberian tepung tempe terhadap fungsi kognitif pada minggu kedelapan memiliki skor 3.75 sedangkan pada kelompok yang diberi tepung tahu memiliki skor 3.5. Sehingga dapat dikatakan kelompok yang diberi tepung tempe memiliki fungsi kognitif dengan skor 1.1 cenderung lebih tinggi dibanding kelompok yang diberi tepung tahu.
56
Tabel 4.17 Rata-rata±SD (95%CI) selisih fungsi kognitif antara kelompok tepung tempe dan tepung tahu terhadap estradiol, kasein, non ovariektomi Lama Tp-Th pemberian 2 minggu 0.25±0,66
Tp-E 1.25±0.66
(-1.17-1.7) (-0.172.67) 5 minggu 0.75±0.41 0.25±0.41 (-0.12-1.6) (-1.370.37) 8 minggu 0.25±0.42 0.75±0.42 (-0.6-1.14) (-0.14-1.6)
Tp-K 1.5±0.66
Tp-NO
a
Th-Ks
Th-NO
1.25±0.66
1±0.66 1.25±0.66 1±0.66 (-0.17-2.67) (-0.42-2.4) (-0.17-2.67) (-0.42-2.42)
(0.8-2.91) 1.25±0.41
Th-E
b
0.25±0.41
-0.5±0.41 0.5±0.41 -0.5±0.41 (-0.62-1.12) (-1.37(-0.37-1.37) (-1.37-0.37) 0.37) c d 1±0.42 1±0.42 0.5±0.42 0.75±0.42 0.75±0.42 (0.11-1.89) (0.11-1.89) (-0.39(-0.14-1.64) (-0.14-1.64) 1.39) Keterangan: Huruf yang menyertai angka merupakan nilai P value yaitu: a=0.039; b=0.008; c=0.03; d=0.03. Kelompok tepung tempe (Tp), kelompok tepung tahu (Th), kelompok estradiol (E), kelompok kasein (K), kelompok non ovariektomi (NO).
(0.38-2.12)
Tabel 4.17 memperlihatkan, selama waktu intervensi kelompok tepung tempe memiliki fungsi kognitif lebih tinggi dibanding kelompok tepung tahu dan estradiol walaupun tidak signifikan. Kelompok tepung tempe memiliki fungsi kognitif lebih tinggi dari kelompok kasein pada semua titik pengamatan (P<0.05). Kelompok tepung tahu pada intervensi minggu kelima memiliki fungsi kognitif lebih rendah dari kelompok estradiol dan non ovariektomi meskipun tidak signifikan (P>0.05).
Tabel 4.18 Rata-rata±SD (95%CI) selisih fungsi kognitif antara lama perlakuan dengan baseline 2 Intervensi 2 minggu -baseline 2 1.25±0.46a (0.28-2.24) 0.5±0.63 (-0.85-1.85) 0.75±0.56 (-0.45-1.95) 0.25±0.73 (-1.31-1.81) 0.0±0.84 (-1.78-1.78)
Intervensi 5 minggu -baseline 2 1.25±0.46b (0.26-2.24) 0.00±0.63 (-1.35-1.35) 1.75±0.56d (0.55-2.95) 0.5±0.73 (-1.06-2.06) 1.0±0.83 (-0.78-2.78)
Intervensi 8 minggu -baseline 2 1.0±0.46c (0.01-1.99) 0.25±0.63 (-1.09-1.59) 1.0±0.56 (-0.19-2.19) 0.5±0.73 (-1.06-2.06) 0.00±0.84 (-1.78-1.78)
Tepung Tempe Tepung Tahu Estradiol Kasein Non Ovariektomi Keterangan: Huruf yang menyertai angka merupakan P value yaitu a=0.017; b=0.017; c=0.048; d=0.007
Fungsi kognitif kelompok tepung tempe memiliki fungsi kognitif lebih tinggi pada seluruh titik pengamatan dibandingkan dengan baseline 2 (P<0.05). Kelompok tepung estradiol, pada intervensi minggu kelima memiliki fungsi kognitif paling tinggi diantara kelompok intervensi lainnya (P<0.05).
57
Pengaruh Estrogen Serum, Berat Badan, Lemak Abdominal dan Beta Amiloid Serum terhadap Fungsi Kognitif Analisis terhadap variabel yang paling berpengaruh terhadap fungsi kognitif dilakukan dengan menggunakan uji korelasi. Dalam uji ini juga melihat korelasi antara variabel estrogen serum, berat badan, lemak abdominal, beta amiloid serum terhadap fungsi kognitif. Hasil analisis uji korelasi pada Tabel 4.19 memperlihatkan korelasi antara variabel estrogen serum dengan fungsi kognitif adalah korelasi positif (r = 0.295) dengan nilai α = 0.05. Variabel berat badan tidak memiliki hubungan fungsi kognitif. Lemak abdominal menunjukkan korelasi positif dengan fungsi kognitif, tetapi korelasi ini lebih rendah dari estrogen terhadap fungsi kognitif. Variabel yang memiliki korelasi paling besar terhadap fungsi kognitif adalah beta amiloid (-0.359) dengan nilai α = 0.01. Korelasi ini merupakan korelasi negatif artinya semakin rendah beta amiloid maka semakin tinggi fungsi kognitifnya (Tabel 4.19).
Tabel 4.19. Hubungan antara variabel penelitian (estrogen, berat badan, lemak abdominal, beta amiloid dan fungsi kognitif) Variabel
Estrogen Berat Badan Serum
Lemak Abdominal
Fungsi Kognitif
0.084 0.508** 1 -0.194
Beta Amiloid Serum -0.257* -0.099 -0.194 1
Estrogen Serum Berat Badan Lemak Abdominal Beta Amiloid Serum Fungsi Kognitif
1 0.249* 0.084 -0.257*
0.249* 1 0.508** -0.099
0.295*
0.180
0.252*
-0.359**
1
0.295* 0.180 0.252* -0.359**
Keterangan: *Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tail); **Korelasi signifikan pada tingkat 0.01 (2-tail)
Berdasarkan Tabel 4.19 di atas juga memperlihatkan estrogen memiliki korelasi positif dengan dengan berat badan (0.249) dan memiliki korelasi negatif dengan beta amiloid (-0.257). Variabel berat badan berhubungan positif dengan estrogen dan dengan lemak abdominal (0.508). Penentuan variabel yang paling mempengaruhi fungsi kognitif dilakukan dengan uji regresi linier berganda. Berdasarkan Tabel 4.20, variabel independen yang dapat masuk dalam model analisis Regresi Linier Berganda (P value<0.25)
58
dengan variabel dependen fungsi kognitif adalah estrogen, lemak abdominal dan beta amiloid. Setelah dilakukan dengan Metode Backward, ternyata variabel independen yang masuk model regresi adalah beta amiloid dan estrogen serum. Variabel lemak abdominal dikeluarkan dari model karena memiliki korelasi parsial terkecil dengan variabel fungsi kognitif (P>0.1). Koefisien determinasi R (R square) menunjukkan nilai 0.173 artinya, persamaan garis regresi yang diperoleh dapat menerangkan 17.3% variasi fungsi kognitif (tabel 4.20). Pada tabel ANOVA, hasil Uji F menunjukkan nilai P (signifikan F) sebesar 0.001, berarti pada alpha 5% dapat dinyatakan kedua variabel (beta amiloid dan estrogen) secara signifikan dapat untuk memprediksi variabel fungsi kognitif (Lampiran 4). Pada tabel koefisien (Lampiran 4) dapat diperoleh koefisien regresi masing-masing variabel, sehingga persamaan regresi yang diperoleh adalah:
Fungsi kognitif = 3.571+0.29*Estrogen – 0.007*Beta Amiloid
Kolom beta dapat digunakan untuk mengetahui variabel yang paling besar pengaruhnya dalam menentukan variabel fungsi kognitif. Pada hasil peneltian ini terlihat bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap fungsi kognitif adalah beta amiloid (Lampiran 4). Persamaan regresi di atas menyatakan bahwa semakin tinggi estradiol, semakin rendah beta amiloid maka fungsi kognitif semakin besar.
5 PEMBAHASAN Perbedaan Kadar Isoflavon dan Zat Gizi (Vitamin B6, Vitamin B12, dan Asam Folat) antara Tepung Tempe dengan Tepung Tahu Tempe yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari produsen tempe yang ada di Kramat Jati, Jakarta Timur. Tahu yang dipakai berasal dari produsen tahu di Dramaga, Bogor. Terpilihnya kedua produsen ini karena menggunakan alat yang terbuat dari stainless steal dan prosedur pembuatan sesuai dengan standar Koperasi Tempe dan Tahu Indonesia (KOPTI) tahun 2010 sehingga diharapkan tidak ada kontaminan pada saat proses pembuatan.
59
Tempe produk olahan kedelai melalui proses fermentasi menyebabkan meningkatnya isoflavon total khususnya dari aglikon yang jauh lebih tinggi dibanding tahu (Wang dan Murphy 1994). Metode proses produksi makanan, jenis ragi, dan jenis kedelai juga bisa mempengaruhi kandungan gizi dan isoflavon tempe. Di samping itu, isoflavon dapat ditranformasi dalam konjugasi yang berbeda, yang memiliki efek yang berbeda berdasarkan tekstur makanan, bioavailabilitas dan pharmacokinetics pada isoflavon (Villares 2011; Cai dan Chang 1999; Mujoo et al 2003). Tempe mengandung protein, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, dan vitamin B (DKBM 2005). Tahu diproduksi dengan memanfaatkan sifat protein, yaitu akan menggumpal bila bereaksi dengan asam. Penggumpalan protein oleh asam cuka akan berlangsung secara cepat dan serentak di seluruh bagian cairan sari kedelai, sehingga sebagian besar air yang semula tercampur dalam sari kedelai akan terperangkap di dalamnya. Pengeluaran air yang terperangkap tersebut dapat dilakukan dengan memberikan tekanan. Semakin besar tekanan yang diberikan, semakin banyak air dapat dikeluarkan dari gumpalan protein. Gumpalan protein itulah yang kemudian disebut sebagai tahu. Kandungan gizi tahu meliputi protein, kalsium, fosfor, vitamin B dan mineral (Poysa dan Woodrow 2002). Tahu menganduing lebih banyak glukosida, sehingga isoflavon totalnya lebih rendah dari tempe (Biben 1998). Penelitian ini menggunakan tempe dan tahu yang dibuat dalam bentuk tepung dengan metode freezed dry. Pemilihan bentuk tepung ini adalah untuk meningkatkan kandunga gizi dan mempermudah homogenisasi pencampuran bahan pakan lainnya.
Isoflavon Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tepung tempe memiliki kandungan isoflavon yaitu genestein (50.558 mg/100g) dua kali lebih tinggi dari tepung tahu (19.923 mg/100 g). Hasil ini hampir sama dengan hasil penelitian Rahardjo et al. (2010) yang menunjukan bahwa kandungan Isoflavon (genestein) sebanyak 55.409 mg/100 g pada tepung tempe dan 26.68 mg/100 g tepung tahu. Isoflavon pada penelitian memiliki nilai lebih besar dari hasil penelitian Safrida (2008),
60
kandungan genestein dalam tepung tempe adalah 25.065 mg/100 g bk. Hasil penelitian Aryani (2009) kandungan isoflavon (genestein) tempe adalah 38.9 mg/100 g dan tahu 20.8 mg/100 g. Penelitian Utari (2011), kandungan genestein tempe 30.8 mg. Kandungan isoflavon tahu lebih rendah daripada tempe karena pada proses pembuatan tahu, sebagian isoflavon terikat dalam air. Hal ini dibuktikan pada air asam cuka yaitu air dari pemisahan gumpalan tahu (air tahu) mengandung senyawa isoflavon. Isoflavon dalam ekstrak susu kedelai pada pembuatan tahu kebanyakan dalam keadaan terikat (glikon) dan lebih mudah larut dalam air (Petterson dan Kiessling 1984; Taher 2003). Sementara pada tempe isoflavon yang dominan adalah aglikon dengan tingkat absorbsi sebesar 20% hingga 55% (Wang dan Murphy 1994B). Analisis isoflavon (genestein dan daidzein) tahu dengan menggunakan metode HPLC pada 23 sampel tahu antara 0.07 sampai 0.34 mg/g untuk genestein dan 0.1 sampai 0.24 mg/g berat basah untuk daidzein/glycitein (Hui et al. 2001). Untuk konsumsi harian 30 g produk kedelai, asupan isoflavon bervariasi antara 5.4 sampai 17.1 mg/hari (Hui et al. 2001). Penelitian Aryani (2009) menyatakan bahwa proses pemasakan juga akan berpengaruh terhadap kandungan isoflavon dalam tempe atau tahu. Tempe dan tahu mentah memiliki isoflavon paling tinggi diikuti direbus dan digoreng. Penurunan isoflavon dengan proses pemasakan yang berbeda terdapat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Kandungan Isoflavon (Daidzein dan Genestein) mg/100g pada Tempe dan Tahu (mentah, digoreng, direbus)
Tempe Tahu -
Daidzein
Genestein
Isoflavon
Penurunan (%)
Mentah Goreng Rebus
44.8 26.6 36.7
38.9 22.3 32.7
83.7 48.9 69.3
41.6 17.2
Mentah Goreng Rebus
29.7 11.9 10.7
20.8 8.1 7.8
50.5 20.0 18.5
60.4 63.4
Sumber: Aryani (2009)
61
Protein Kadar protein tepung tahu (47.4%) lebih tinggi dibanding tepung tempe (41.5%). Nilai cerna tahu sekitar 95%, tahu aman dikonsumsi oleh semua golongan umur (Kusbiantoro 1993). Tahu merupakan gel protein kedelai sehingga kualitas tahu, terutama rendemen sangat ditentukan oleh jumlah protein yang dapat terekstrak dalam susu kedelai sebelum digumpalkan (Poysa dan Woodrow 2002). Meskipun kandungan protein tempe lebih rendah daripada tahu, namun terjadi peningkatan asam amino bebas sebesar 30 hingga 35 kali kedelai (Kiers 2001) dan hasil penelitian Hermana dan Karmini (1997) peningkatan asam amino bebas sebesar 7.3 % hingga 12%. Hal tersebut karena selama fermentasi oleh Rhizopus dan bakteri menghasilkan enzim protease sehingga protein diurai menjadi asam amino dan peptida (Wang dan Murphy 1994A). Jumlah asam amino yang dibebaskan mencapai puncaknya setelah fermentasi selama 24 jam hingga 72 jam (Stilings 1965; Wang dan Murphy 1994A). Meningkatnya pelepasan asam amino akan memperbaiki nilai gizi tempe, dimana protein digestibility corrected amino acid score (PDCAAS) 0.8-0.9 atau 80% - 90% dari protein hewani. Selama fermentasi Rhizopus menghaslikan empat grup enzim yaitu: lipase, protease, anilase dan fitase. Enzim ini menguntungkan bagi individu dengan masalah pencernaan, serta membantu pencernaan protein, lemak dan karbohidrat (Hermana dan Karmini 1997). Fitase juga berguna untuk menurunkan asam fitat dari sayuran yang dikonsumsi sehingga menurunkan mineral yang terikat pada sam fitat dan dapat meningkatkan bioavailabilitas mineral.
Vitamin B6, Vitamin B12, dan Asam Folat Kandungan gizi pada tepung tempe sebagai berikut: vitamin B6 (0.28 mg/100 g), vitamin B12 (0.97 mcg/100 g), asam folat (0.0251 mg/100 g). Kandungan gizi tepung tahu adalah vitamin B6 (0.19 mg/100 g). Tepung tahu tidak mengandung vitamin B12 dan asam folat. Tepung tempe mengandung vitamin B12 dan asam folat karena adanya proses fermentasi pada tempe. Penelitian ini menggunakan metode freezed dry sehingga kandungan gizi tidak banyak yang hilang.
62
Tepung tempe memiliki kandungan gizi yang lebih tinggi dari tepung tahu karena pada saat pembuatan tempe yaitu tahap perendaman dan fermentasi menyebabkan kondisi asam sehingga terjadi pertumbuhan bakteri untuk sintesa vitamin B2, vitamin B6, vitamin B12, niacin, biotin, asam folat, dan asam pantotenat (Hermana dan Karmini 1999; Pawiroharsono 2007). Vitamin B12 pada umumnya didapat dari protein hewani. Proses fermentasi pada kedelai dapat menghasilkan vitamin B12 akibat adanya bakteri kontaminan yaitu bakteri klebsiela pneumoni pada proses fermentasi asam laktat. Proses fermentasi asam laktat, tidak terdapat pada tempe yang diproduksi di Amerika atau tempat lain. Proses asam laktat pada pembuatan tempe di Amerika dilakukan dengan cara menambahkan asam laktat, sehingga pada keadaan ini diduga kandungan vitamin B12 tidak terdapat dalam tempe. Perlu penelitian lebih lanjut untuk menghasilkan vitamin B12 yang bukan berasal dari bakteri klebsiela pneumoni sehingga kelompok vegetarian dapat memenuhi kebutuhan vitamin B12 dengan konsumsi tempe.
Perbedaan Pengaruh Tepung Tempe dan Tepung Tahu terhadap Estrogen Serum Hasil penelitian terhadap rata-rata kadar hormon estrogen serum pada tikus yang diovariektomi mengalami penurunan bila dibandingkan pada kondisi awal (baseline 1), walaupun tidak signifikan. Ovariektomi yang dilakukan pada penelitian
ini
merupakan
model
tikus
pascamenopause.
Ovariektomi
menyebabkan hilangnya ovarium dan kadar estrogen menjadi rendah sehingga proliferasi dan kornifikasi sel-sel epitel vagina terganggu dan menyebabkan tidak terjadinya fase estrus pada tikus ovariektomi. Kadar estrogen serum pada saat awal pemeliharaan (baseline 1) yaitu setelah masa adaptasi lebih tinggi walaupun tidak berbeda signifikan dengan kelompok yang mengalami pembedahan ovariektomi dan masa tenggang tiga bulan. Tetapi pengukuran estrogen serum pada kelompok non ovariektomi mengalami peningkatan yang signifiakan dibanding kelompok awal dan kelompok ovariektomi. Hal ini mungkin terjadi karena tidak dilakukan ulas vagina untuk melihat siklus estrusnya (proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus).
63
Tepung tempe digunakan sebagai alternatif sulih hormon karena memiliki kandungan isoflavon cukup tinggi. Penelitian ini memperlihatkan kelompok dengan intervensi tepung tempe memiliki kandungan estrogen dalam serum paling tinggi dibanding dengan tepung tahu, estradiol, dan kasein. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa isoflavon yang terdapat pada tepung tempe dan estradiol paling optimal akan memberikan keseimbangan hormon estrogen sampai minggu kelima. Sedangkan pada tepung tahu hanya sampai minggu kedua. Karena pada minggu kelima cadangan estrogen dalam tubuh sudah mulai habis dan penambahan isoflavon dalam tahu tidak memberikan efek yang memadai untuk meningkatkan kadar estrogen dalam tubuh. Kandungan estrogen dalam tubuh apabila masih cukup, maka dengan penambahan fitoestrogen yang berasal dari tempe dan tahu dapat berfungsi zat antiestrogen.
Bioaktif utama Isoflavon adalah genestein dan daidzein, yang
diturunkan menjadi prekursor biochanin A dan formonetin secara berurutan (Bhantena et al. 2002). Genestein dapat aktif membangkitkan estrogen dan dapat menghambat estrogen atau antagonist tergantung pada jaringan dan ketersediaan komponen endogenous estrogen (Barnes 1995). Efek isoflavon secara fisiologis seperti estrogen tergantung pada respon yang terjadi, dapat besifat agonis (menstimulir) atau antagonis (menghambat) terhadap reseptor dalam sel target. Tubuh memiliki dua reseptor yaitu reseptor estrogen beta dan reseptor estrogen alfa.
Dua reseptor memainkan peran,
distribusi dalam jaringan, dan afinitas binding yang berbeda dengan ligan yang berbeda. Reseptor estrogen beta terdistribusi dalam jaringan otak, tulang, kandung kemih dan epitel pembuluh darah. Reseptor alfa terdistribusi dalam jaringan uterus, payudara, liver, dan ginjal (Kuiper et al. 1998). Tikus yang diovariektomi, mengalami peningkatan berat badan yang signifikan dibandingkan dengan kondisi awal. Hal ini karena fungsi estrogen dalam tubuh bukan hanya untuk reproduksi, tetapi juga diperlukan untuk kesehatan terutama pada hewan menopause. Estrogen memiliki efek menurunkan kolesterol plasma secara bermakna, ikut berperan menurunkan kejadian infark miokardium
dan
menurunkan
kejadian
penyakit
kardiovaskular
setelah
menopause (Ganong 2003). Lemak abdominal pada tikus yang diovariektomi
64
mengalami penurunan bila dibandingkan pada kondisi awal (baseline 1), walaupun terjadi peningkatan berat badan. Hal ini terjadi karena penumpukan lemak tidak hanya pada bagian abdominal saja. Pengaruh tepung tempe terhadap berat badan dan lemak abdominal menunjukkan bahwa tikus yang mengonsumsi tepung tempe mengalami penurunan berat badan selama masa intervensi. Sedangkan tikus yang mengkonsumsi tahu masih terus meningkat berat badannya sampai minggu kedelapan. Tikus dengan konsumsi kasein dan konsumsi kasein estradiol pada minggu kedua sudah memperlihatkan penurunan berat badan, hal ini karena tikus yang mengonsumsi kasein tidak habis makanannya seperti pada tikus yang mengonsumsi tepung tempe dan tepung tahu. Sehingga asupan lemak dan protein juga berbeda. Penurunan lemak abdominal pada tikus tidak sama dengan penurunan berat badan pada tikus. Hal ini memperlihatkan bahwa kenaikan berat badan tidak hanya di daerah abdominal saja, tetapi bisa terjadi penimbunan lemak di organ tubuh lainnya. Pada saat minggu kedepalan, tikus yang mengonsumsi tepung tempe mengalami penurunan lemak abdominal. Sehingga dapat dikatakan tepung tempe berpotensi untuk menurunkan berat badan dan lemak abdominal. Perubahan berat badan tikus disebabkan oleh keadaan fisiologi tikus berubah menjadi menopause akibat ovariektomi (Safrida 2013). Mathew et al (1999) menyatakan korelasi menopause atau hipoestrogenik pada tikus menyebabkan penurunan kecepatan metabolisme basal yang diikuti kenaikan massa lemak yang signifikan. Akumulasi jaringan lemak terletak di area kolumna vertebralis dan intra-abdominal. Tetapi hasil penelitian ini berbeda bahwa tikus usia 1 tahun pada saat 3 bulan setelah ovariektomi mengalami penurunan lemak abdominal. Estrogen memainkan peranan penting pada pengaturan jaringan lemak, khususnya wanita postmenopause (Hye 2006). Pada tikus yang diovariektomi meningkat lemak tubuh, dan terapi estrogen dapat menghambat peningkatan lemak tubuh (Wade dan Bartness 1985, Imke et al. 2009). Hasil ini sama dengan hasil penelitian padawanita postmenopause (Louet et al. 2004). Beberapa peneliti lain juga mengemukakan bahwa penurunan tingkat estrogen pada saat menopause
65
juga berhubungan dengan meningkatkan cortisol, yang merupakan hormon stress yang dapat meningkatkan akumulasi lemak abdominal. Salah satu akibat kekurangan estrogen adalah gangguan sensitivitas leptin pusat dan kelebihan produksi Neuroipeptide Y (NPY) yang dapat menyebabkan kelebihan akumulasi lemak. Penelitian pada mencit dengan estrogen rendah reseptor-α menunjukkan peningkatan massa lemak dan fakta pada mencit dan manusia yang kekurangan aromatase, enzim yang bertanggung jawab terhadap biosintesis estrogen, meningkatkan risiko obesitas dan hiperlipidemia (Ainslie 2001). Estrogen dengan kadar rendah sesudah ovariektomi bisa mempengaruhi regulasi berat badan pada tingkat pusat. Kedua reseptor estrogen yaitu reseptor α dan β yang terdapat dalam hypothalamus otak, pada mencit dengan defisiensi estrogen-reseptor α meningkatkan massa jaringan adiposa. Hal ini mungkin terjadi karena estradiol dapat berperan dalam berat badan yaitu dengan meningkatkan penyerapan glukosa dalam otak atau meningkatkan resptor insulin. Ovariektomi juga bisa meningkatkan ekspresi hypothalamic neuropetide Y (NPY) dan menurunkan hypothalamic corticotropin releasing hormone (CRH), keduanya dapat menyebabkan hyperphagia (Ainslie 2001). Struktur fitoestrogen hampir sama dengan endogenous estrogen. Isoflavon menimbulkan efek estrogenik lemah dan bersaing dengan 17β-estradiol (E2) untuk mengikat reseptor estrogen (ERs) intranuklear dan memberikan efek estrogenik atau antiestrogenik. Genestein adalah salah satu jenis isoflavon yang paling banyak kandungannya dalam kedelai dan bisa menurunkan kondisi obesitas pada manusia (Orgaard 2008). Jaringan adiposa dapat berkurang dengan aadanya isoflavon. Pada penelitian in vivo menunjukkan, pengurangan ini disebabkan oleh apoptosis adiopcyte dan berkurangnya ukuran adipocyte individu (Nazz et al. 2003). Genestein menyebabkan penurunan ukuran adipocyte pada tikus remaja yang diovariektomi. Hal ini disebabkan adanya penurunan mRNA LPL di jaringan adiposa. Seperti pada estrogen, efek genestein pada jaringan adiposa disebabkan oleh penghambatan LPL lipogenik yang mengatur penyerapan lipid adipocyte. Lovati
66
et al. (2000)
juga melaporkan bahwa isoflavon dapat secara signifikan
mengurangi lingkar adipocyte. Penelitain ini menggunakan hewan model tikus putih betina galur Spargue Dawley yang diovariektomi dengan usia 12 bulan dan masa tenggang 3 bulan sebelum intervensi (dikondisikan mengalami menopause), sehingga perlu melakukan penelitian lanjutan untuk hewan yang benar-benar tua yaitu usia 3 tahun yang setara dengan usia 60 tahun pada manusia. Pemberian tepung tempe dan tepung tahu pada tikus betina dengan usia yang berbeda akan memperlihatkan kadar estrogen dalam serum yang berbeda. Tikus betina yang diovariektomi pada usia 3 bulan memperlihatkan kenaikan estrogen dalam serum lebih tinggi dibanding tikus betina usia 6 bulan (Rahardjo et al. 2010). Pengaruh tempe terhadap variasi usia, dapat dilakukan dengan penelitian yang konprehensif dari usia muda sampai usia tua sebelum melakukan uji klinis pada wanita lanjut usia. Hal ini membuktikan bahwa tempe akan lebih efektif apabila diberikan pada usia sebelum postmeopause.
Perbedaan Pengaruh Tepung Tempe dan Tepung Tahu terhadap Beta Amiloid Kadar beta amiloid serum pada kelompok ovariektomi terjadi peningkatan yang signifikan dari keadaan baseline 1. Peningkatan beta amiloid, akibat ovariektomi menyebabkan hilangnya umpan balik negatif estrogen terhadap gonadotropin lutein hormone (LH), sehingga menyebabkan peningkatan kadar LH dan secara in vitro terbukti meningkatkan produksi beta amiloid melalui jalur amiloidogenik (Brinton 2008). HRT dapat memperlambat terjadinya PA dengan cara mengurangi pelepasan βA, komponen utama plak amiloid, ke otak parenkim (Brinton 2008). Fenomena ini pertama digambarkan dalam non-neuronal dan neuronal jaringan sel. Pada hewan model marmut dan tikus transgenik menghasilkan bahwa pemberian estrogen pascaoperasi dapat menurunkan βA. Adanya hubungan terbalik antara 17β-E2 dan βA42 dalam cairan serebrosfinal pada pasien wanita dengan PA (Schonknecht et al. 2001).
Penelitian pada manusia menunjukkan bahwa
67
penurunan E2 dan testosteron dapat meningkatkan beta amiloid (βA) dalam neural dan plasma. Pemberian tepung tempe pada tikus memperlihatkan dapat menurunkan beta amiloid serum. Pada intervensi minggu kedelapan, kelompok tepung
tahu
memiliki kandungan beta amiloid serum 1.11 kali lebih rendah dari kelompok tepung tahu. Dibandingkan dengan kelompok estradiol dan kasein terhadap kelompok tepung tempe memiliki hasil berturut-turut sebagai berikut: 1.2 dan 1.5 kali lebih tinggi. Beta amiloid kelompok tepung tahu hampir sama dengan kelompok tepung non ovariektomi. Mekanisme estrogen yang mengatur beta amiloid belum sepenuhnya dijelaskan, meskipun hormon seks ini terlibat dalam mengatur produksi βA. Beta Amiloid merupakan hasil produksi pembelahan proteolitik protein induknya, protein prekursor amiloid (APP). Mayoritas APP dimetabolisme oleh dua jalur. Pada jalur amyloidogenic, APP yang dibelah oleh beta-secretase dan gamma secretase, βApeptide membebaskan sebagian besar pada rantai asam amino 40 dan 42. Pada jalur non-amyloidogenic, APP dibelah dalam domain βA oleh alpha secretase, mencegah pembentukan full-length βApeptide, tapi melepaskan hasinya dalam bentuk APP pelindung yang disebut alpha APP (Zhang dan Suzanne 2005). Penelitian kultur sel menunjukkan bahwa estradiol dan testosteron dapat meningkatkan pengolahan APP dengan mempromosikan jalur non-amyloidogenic, sehingga mengurangi produksi βA (Jaffe et al. 1994, Zhang dan Suzanne 2005). Dalam penelitian kadar estrogen menurun secara signifikan setelah ovariektomi yang diikuti oleh peningkatan kadar serum βA 1-40. Peningkatan jeda waktu tidak dapat dijelaskan dengan mempertimbangkan βA-40 dari otak yang terjadi dalam waktu singkat atau beberapa menit (Zhang dan Suzanne 2005). Regulasi cepat soluble βA di cairan interstitial otak dengan cara pengangkutan yang diperantarai reseptor melintasi sawar darah otak dari otak ke darah, yaitu melalui low density lipoprotein receptor related protein-1 (LRP1), atau
pada kondisi patologi tertentu, dari darah ke otak melalui receptor
advancced glycation end products (RAGE). Klirens βA melalui blood brain barier (BBB) dan melalui rute interstitial fluid (ISF)/cerebrospinal fluid (CSF). Low-density lipoprotein receptor-related protein (LRP) memerantarai transpor βA
68
melalui BBB keluar dari otak. Soluble βA diangkut perlahan-lahan melaui aliran ISF ke dalam CSF dan kemudian ke aliran darah. receptor advancced glycation end products (RAGE) memerantarai influks βA bebas yang tidak terikat melintasi BBB ke dalam otak. Zat anti pengikatan βA seperti anti IgG, gelsolin dan/atau GMI, atau soluble RAGE (sRAGE) dapat menangkap βA dalam plasma dan mengurangi influks melintasi BBB (Zlokovic 2004). Vitamin B12 (cobalamin) dan folat merupakan kofaktor penting pada beberapa reaksi biokimia, termasuk konversi homosistein menjadi metionin dan sintesis S-adenosylmethionine (SAMe). Reaksi ini dapat memelihara kesehatan otak (Miller 2002). Pada studi manusia tidak memperlihatkan hubungan antara vitamin B dan serum beta amiloid 1-40 (Gu et al. 2012), tetapi penelitian lain menyatakan bahwa defisiensi vitamin B dapat meningkatkan beta amiloid pada hippokampus dan korteks pada tikus yang dibuat terkena Alzheimer (Zhuo 2010). Penelitian Zhang et al. (2009) juga menyatakan bahwa hyperhomocysteinemia (defisiensi vitamin B) meningkatkan produksi beta amiloid melalui peningkatan ekspresi gamma secretase dan phosporilasi APP, yang menyebabkan memori berkurang. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tepung tempe dapat mengurangi beta amiloid pada tikus yang telah diovariektomi. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsumsi tepung tempe pada tikus betina tua (3 tahun) dan perlu analisa histologi untuk mengetahui adanya plak yang terjadi di otak.
Efektivitas Tepung Tempe dan Tepung Tahu dalam Memperlambat Penurunan Fungsi Kognitif dibandingkan dengan Estradiol dan Kasein Kelompok tikus yang mengonsumsi tepung tempe memiliki fungsi kognitif tertinggi dibandingkan yang mengkonsumsi tepung tahu, estradiol, dan kasein, meskipun perbedaannya tidak signifikan. Pengukuran fungsi kognitif dilakukan dengan menggunakan labirin dengan melakukan pengukuran hanya pada kreativitas untuk mencapai finish dalam waktu lima menit. Proses pengukuran dilakukan tanpa adanya latihan untuk mencapai finish. Hasil ini mungkin akan
69
berbeda apabila dilakukan dengan pengukuran fungsi kognitif lain, misalnya dengan mengukur memori. Pemberian tepung tempe memiliki kecenderungan skor fungsi kognitfi lebih tinggi dari konsumsi tepung tahu. Hal ini mungkin terjadi karena tepung tempe memiliki kandungan isoflavon, vitamin B6, vitamin B12 dan asam folat lebih tinggi dari tepung tahu. Berdasarkan penelitian Hogervorst et al. (2008) menunjukkan lanjut usia yang mengonsumsi tempe memiliki fungsi kognitif lebih tinggi dibandingkan yang mengonsumsi tahu. Berbeda dengan penelitian Aryani (2009) yang mengatakan lanjut usia wanita yang mengonsumsi tempe (75 gram) dan tahu (150 g) memiliki fungsi kognitif yang lebih baik 10.94 kali lebih besar dibandingkan dengan lanjut usia yang hanya mengonsumsi tahu saja (7.48 kali) atau tempe saja (1.45 kali). Selisih skor fungsi kognitif kelompok yang mengonsumsi tepung tempe lebih tinggi dari keoompok estradiol,walaupun tidak signifikan. Hasil ini berbeda bila tepung tempe dibandingkan dengan kelompok kasein. Selama waktu intevensi, kelompok tepung tempe memiliki skor fungsi kognitif lebih tinggi dari kelompok kasein (P<0.05). Kelompok tepung tahu memiliki skor fungsi kognitif lebih tinggi dari kelompok kasein, walaupun tidak signifikan (P>0.05). Kasein tidak mengandung isoflavon, vitamin B12 dan asam folat. Tempe mempunyai manfaat yang lebih baik dibandingkan dengan kedelai dan tahu, sebagai akibat dari proses fermentasi. Dengan proses fermentasi kacang kedelai lebih mudah dicerna dan meningkatkan kandungan zat gizi antara lain: asam amino, asam lemak bebas, vitamin B1, vitamin B12, dan protein (Hermana, Mahmud, dan Karyadi 1999). Aktivitas antioksidan tepung tempe dalam bentuk tidak terikat yaitu aglikon seperti genestein, daidzein, glycetein dan faktor 2 dibanding bentuk glukosida seperti genistin dan daidzin dalam tepung tahu (Pratt dan Birac 1979 ; Kurzer dan Xu 1997). Genestein mampu mengikat reseptor β-estrogen yang ditemukan di sistem syaraf pusat, tulang, dinding vaskular dan saluran urogenital (Nahas dan Jorge 2006). Genestein merupakan inhibitor sangat kuat terhadap produksi hidrogen peroksida dan menghambat pembentukan anion superoksida. Genestein juga menunjukkan kemampuan meningkatkan aktivitas enzim yang
70
berperan dalam antioksidan seperti SOD, katalase, glutathion peroksidase dan glutathione reductase (Wei et al. 1995), serta memakan radikal, mengikat logam dan menghambat tirosin kinase (Kiriakidis et al. 2005). Faktor perbedaan kandungan isoflavon inilah yang berpengaruh terhadap fungsi kognitif sehingga tikus intervensi tepung tempe lebih tinggi dari tikus intervensi tepung tahu. Pada saat intervensi selama 5 minggu setara dengan usia di atas 65 tahu pada manusia masih ada kenaikan fungsi kognitif pada tikus dengan intervensi tepung tempe tetapi pada tikus intervensi tepung tahu mengalami penurunan. Hasil ini sesuai dengan penelitian pada manusia, pemberian HRT pada usia di atas 65 tahun akan meningkatkan risiko demensia (Hogervorst et al. 2008). Pada kelompok intervensi tepung tempe masih terlihat sangat baik karena adanya kandungan asam folat dan vitamin B12 sedangkan pada tahu tidak ada asam folat dan vitamin B12. Asam folat berperan dalam sintesa DNA dalam memproduksi sel baru (Sizer dan Whitney 2006). Asam folat berfungsi sebagai pembawa 1-karbon pada siklus metilasi. Dalam siklus ini, metil kelompok metionin diaktifkan oleh adenosin trifosfat untuk membentuk S-adenosylmethionine (SAM atau AdoMet). SAM adalah metil donor universal yang banyak terlibat dalam reaksi metil transfer beberapa organ penting yaitu saraf pusat, sintesis membran sel komponen fosfatidilkolin dari phosphatidylethanolamine. Melalui transfer kelompok metil, SAM diubah menjadi S-adenosylhomocysteine (SAH), yang dihidrolisis menjadi homosistein. Homosistein dapat meregenerasi metionin untuk siklus metilasi tambahan
dengan
mengakuisisi
kelompok
metil
baru
dari
asam
5-
methyltetrahydrofolic dalam reaksi yang dikatalisis dalam semua jaringan oleh metionin sintase (Selhub 1999). Dalam hati dan ginjal, kolin dapat menghasilkan kelompok metil labil untuk regenerasi metionin dari homosistein oleh betainehomosistein methyltransferase (BHMT). Jalur alternatif ini merupakan cara penting untuk mempertahankan kapasitas metilasi dalam kondisi folat, vitamin B12, dan metionin defisiensi (Park dan Garrow 1999). Vitamin B12 diperlukan untuk mengubah asam folat menjadi betuk aktif dan dalam fungsi normal metabolisme semua sel, terutama sel-sel saluran cerna, sumsum tulang dan jaringan saraf. Defisiensi vitamin B12 mempengaruhi kognisi
71
yaitu adanya atrofi otak dan kerusakan berupa white matter pada spinal cord dan otak. Terjadinya atrofi otak sebagai faktor yang menyebabkan penurunan kognitif dan demensia (Vogiatzoglou
et al. 2008). Penelitian Johnson
et al. (2003)
mengatakan bahwa rendahnya vitamin B12 berhubungan dengan penurunan proses mengingat (recall memory) dan lanjut usia dengan defisiensi vitamin B12 cenderung memiliki fungsi kognitif yang buruk. Penelitian pada laki-laki di Boston oleh Tucker et al. (2005) mendapatkan bahwa rendahnya konsetrasi plasma vitamin B12 dapat digunakan untuk memprediksi penurunan fungsi kognitif. Penelitian ini memperlihatkan bahwa variabel estrogen serum memiliki korelasi postif dengan fungsi kognitif (r =0.295) yang artinya semakin tinggi estrogen, maka semakin tinggi fungsi kognitifnya. Beta amiloid serum memiliki korelasi negatif (r = -0.359) yang berarti semakin rendah beta amiloid, maka semakin tinggi fungsi kognitif (Tabel 4.19). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu bahwa estrogen mempengaruhi dan membantu mengatur fungsi pada otak dan sistem syaraf pusat sehingga berpengaruh terhadap fungsi kognitif (Gibbs 2006; Henderson 2004; Hogervorst 2000a; 2006; Maki 2006). Pemberian tepung tempe, dengan kandungan isoflavon dua kali tepung tahu memiliki kadar estrogen serum 1.2 kali lebih tinggi. Beberapa penelitian membuktikan bahwa isoflavonda dapat meningkatkan fungsi kognitif pada lanjut usia (Gleason et al. 2008; Pan et al. 2010). Peningkatan estrogen serum berdampak pada penurunan beta amiloid serum. Penurunan beta amiloid akan meningkatkan fungsi kognitif . Aromatisasi otak menunjukkan bahwa diferensiasi seksual pada otak- yaitu kemampuan estrogen untuk menyebabkan pelepasan sekresi gonadotropin pada wanita tergantung pada konversi lokal androgen menjadi estrogen. Rata-rata aromatisasi androgen menjadi estrogen pada otak rendah jika dibandingkan dengan jaringan-jaringan lainnya, tetapi setidaknya, produksi estrogen lokal dipercaya memiliki aksi penting. Salah satu contoh dari aksi sinergistis estrogen ini dengan neurotrofins yang direfleksikan pada regulasi reseptor resiprokal atau jalur-jalur sinyal berpasangan (Guyton 1994; Cunningham 1995; O’Malley 1991; Gruber 2002).
72
Estrogen diduga memiliki aksi neuroprotektif. Pada jaringan otak dari tikus dewasa, estrogen menginduksi pembentukan ulang dendrit dan sinaptik dan menyebabkan aktivasi glial. Pada saraf-saraf hippokampus, suatu area yang melibatkan memori, estrogen meningkatkan densitas dari reseptor N-metil-D-aspartat dan meningkatkan sensitivitas saraf untuk masukan yang dimediasi oleh reseptorreseptor ini (Guyton 1994; Gruber 2002). Pada kultur sel-sel neuroblastoma manusia, estrogen memiliki efek neuroprotektif dan mereduksi generasi peptida beta-amiloid. Beberapa data epidemiologis mendukung bahwa pada wanita-wanita postmenopause, defisiensi estrogen berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif dan meningkatkan risiko penyakit Alzheimer. Bagaimanapun, pada uji terandomisasi, pemberian estrogen memiliki efek menguntungkan pada wanita-wanita yang menderita penyakit Alzheimer (Guyton 1994; Cunningham 1995; O’Malley 1991; Gruber 2002).
Pengaruh Lama Pemberian Tepung Tempe dan Tepung Tahu dalam Memperlambat Penurunan Fungsi Kognitif Pengukuran fungsi kognitif dilakukan berdasarkan kreativitas tikus untuk mencapai finish dalam waktu 5 menit dengan menggunakan labirin. Hasilnya dikelompokkan menjadi empat skor katagori. Tabel 4.18 memperlihatkan, ratarata selisih fungsi kognitif antara lama pemberian dengan baseline 2, terlihat bahwa kelompok tepung tempe memiliki skor lebih tinggi dari baseline 2 pada semua titik lama pemberian. Rata-rata selisih keduanya menunjukkan signifikan (P<0.05). Pada kelompok yang diberi tepung tahu, rata-rata selisih antara lama pemberian dan baseline 2 menunjukkan tidak signifikan (P>0.05). Intervensi dilakukan selama dua bulan dengan tiga titik pengamatan pada minggu kedua, minggu kelima dan minggu kedelapan. Lama pemberian ini bila dikonversi pada manusia adalah 10 bulan, 25 bulan, dan 40 bulan. Pemberian tepung tempe sampai minggu kelima masih menunjukkan skor fungsi kognitif tertinggi (skor = 4), kemudian pada minggu kedelapan mengalami penurunan (Tabel 4.16). Pada kelompok tepung tahu masih menunjukkan skor fungsi kognitif yang fluktuatif yaitu pada minggu kelima turun, kemudian minggu kedelapan kembali meningkat walaupun skor masih lebih rendah dibanding kelompok
73
tepung tempe. Sehingga tepung tempe lebih efektif dalam memperlambat penurunan fungsi kognitif dibanding tepung tahu. Hasil penelitian ini adalah lama pemberian tepung tempe yang paling efektif sampai pada minggu kelima atau setara 25 bulan pada manusia. Pada minggu kelima terlihat kadar estrogen serum paling tinggi (20.4 pg/ml) dan kadar beta amiloid terendah (76.52 pg/ml). Meskipun pada minggu kedelapan terjadi penurunan estrogen dan peningkatan beta amiloid, namun pemberian tepung tempe masih lebih baik karena memiliki skor korgnitif lebih tinggi dibanding yang diberi tepung tahu, estadiol, dan kasein. Pemberian tepung tempe 5.1 gram yang mengandung 2.5784 mg isoflavon (genestein). Dan tepung tahu 4.4 gram setara mengandung 0.8766 mg isoflavon (genestein). Pemberian tepung tempe dan tepung tahu sesuai dengan penelitian Whiitten (2001) yang menyebutkan bahwa pemberian dosis fitoestrogen yang akan memiliki efek biologi adalah 10-100 mg/kg berat badan/hari. Apabila dikonversi untuk manusia, maka dosis pada tepung tempe 2.578 mg dikalikan dengan 56 sehingga hasilnya 144.368 mg Isoflavon. Banyaknya tepung tempe yang diberikan 285.549 g, setara dengan 856.647 g tempe basah (Lampiran 5). Hasil ini sesuai dengan penelitian Whitten (2001) yaitu pemberian fitoestrogen akan memberikan efek biologi pada manusia adalah 0.4-10 mg/kg berat badan/hari. Tepung tempe dan tepug tahu yang diberikan kepada tikus diberikan berdasarkan banyaknya kandungan protein sehingga jumlah tepung tahu (4.4 g) yang diberikan lebih sedikit dari tepung tempe (5.1 g) yang mengakibatkan dosis isoflavon yang diberikan pada kelompok tepung tempe dan kelompok tepung tahu berbeda. Sehingga perlu ada penelitian lanjut yang membandingkan antara tepung tempe dan tepung tahu pada kondisi isoflavon yang sama dan diberikan dalam jangka panjang untuk melihat apakah ada toksisitas yang ditimbulkan. Keterbatasan penelitian ini adalah hanya memberikan gambaran dini pengaruh tepung tempe dalam memperlambat penurunan fungsi kognitif. Penelitian ini dilakukan pada tikus yang diovariektomi yang mungkin hasilnya akan berbeda apabila dilakukan pada tikus yang berusia tua (3 tahun). Diperlukan penelitian pada hewan coba tikus yang lebih tua (3 tahun) sehingga menyerupai
74
kasus penyakit Alzheimer di manusia. Perlu ada uji klinis sebelum hasil penelitian ini diterapkan pada lanjut usia wanita. Di samping keterbatasan, penelitian ini memiliki kelebihan yaitu pemberian tempe dalam bentuk tepung sehingga dapat dibuat untuk minuman, makanan (kue), mudah dikemas, lebih awet, dan berpotensi untuk diajukan paten.
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Tepung tempe memiliki kandungan zat gizi lebih tinggi dari tepung tahu. Perbedaan kandungan zat gizi tepung tempe dan tepung tahu sebagai berikut: 1) vitamin B6 (0.28 mg/100 g) pada tepung tempe sekitar dua kali lebih tinggi daripada vitamin B6 (0.19 mg/100 g) pada tepung tahu. 2)Vitamin B12 (97 mcg/100g) pada tepung tempe, sedangkan pada tepung tahu tidak mengandung vitamin B12. 3) Asam folat (0.0251 mg/100 g) pada tepung tempe, tetapi pada tepung tahu tidak mengandung asam folat. 4) Kandungan isoflavon pada tepung tempe (50.558 mg/100 g) dua kali lebih tinggi dari kandungan isoflavon pada tepung tahu (19.923 mg/100 g). Pengujian pada
hewan coba tikus dengan parameter estrogen serum
menggunakan intervensi tepung tempe dengan
nilai isoflavon dua kali lebih
tinggi dari tepung tahu memiliki hasil meningkatkan lebih tinggi estrogen serum daripada intervensi dengan tepung tahu. Peningkatan estrogen serum ini berdampak pada perubahan berat badan dan lemak abdominal. Pada akhir intervensi delapan minggu rata-rata berat badan kelompok intervensi tepung tempe 1.2 kali lebih rendah dari kelompok intervensi tepung tahu. Lemak abdominal pada kelompok intervensi tepung tahu 3.6 kali lebih tinggi dari kelompok intervensi tepung tempe. Estrogen serum pada kelompok yang diberi tepung tempe dengan lama pemberian 5 minggu dan 8 minggu meningkat (P<0.05) bila dibandingkan dengan baseline 2 yaitu 3 bulan setelah ovariektomi. Hal ini berdampak pada penurunan beta amiloid yang signifikan bila dibandingkan dengan baseline 2 pada lama pemberian 8 minggu (P<0.05). Akibat dari penurunan beta amiloid ini,
75
meningkatkan skor fungsi kognitif bila dibandingkan dengan baseline 2 selama waktu intervensi yaitu 2 minggu, 5 minggu dan 8 minggu (P<0.05). Variabel estrogen serum, lemak abdominal, dan beta amiloid serum memiliki korelasi yang signifikan dengan fungsi kognitif. Beta amiloid merupakan variabel yang paling berhubungan signifikan terhadap fungsi kognitif. Simpulan penelitian ini adalah tepung tempe dengan kandungan zat gizi dan isoflavon yang lebih tinggi dapat meningkatkan estrogen serum dan menurunkan beta amiloid serum, sehingga dapat memperlambat penurunan fungsi kognitif pada tikus betina dengan ovariektomi.
Saran Fungsi kogniitif dalam penelitian ini mengukur kreativitas tikus untuk mencapai finish dalam waktu lima menit tanpa ada latihan, sehingga perlu adanya penelitian lanjut dengan menggunakan parameter lain misalnya mengukur memori, serotinin, dopamin, kolin, populasi positip neuron. Intervensi dilakukan hanya sampai delapan minggu, sehingga perlu adanya penelitian lanjutan dengan lama pemberian yang lebih panjang untuk uji toksid. Pemberian tepung tempe pada dosis yang berbeda juga perlu dilakukan untuk mendapatkan dosis optimum. Untuk pencegahan terhadap demensia dan penyakit lainnya akibat penurunan estrogen, perlu dilakukan penelitian pada tikus pada usia yang lebih
muda
(premenopause) dan lebih tua (3 tahun). Penelitian lanjutan juga diperlukan untuk melihat efek tempe terhadap usia remaja dan anak-anak. Penelitian ini menjelaskan efek antara konsumsi tepung tempe dan tepung tahu terhadap estrogen serum, beta amiloid serum dan fungsi kognitif pada tikus betina dengan ovariektomi. Untuk membuktikan lebih lanjut pengaruh intervensi tepung tempe dan tepung tahu pada otak diperlukan uji histologi pada otak sehingga terlihat apakah terjadi timbunan beta amiloid di otak setelah intervensi. Hasil penelitian ini sangat bermanfaat bagi perkembangan ilmu Gizi Masyarakat khususnya clinical nutrition and dietetics dan bidang geriatric nutrition dari aspek makanan sehat dan bergizi (healthy eating) untuk lanjut usia wanita. Tempe dalam bentuk tepung memiliki kandungan isoflavon lebih tinggi dari tempe segar. Apabila akan diterapkan pada manusia yaitu pada wanita lanjut
76
usia maka dosis yang diberikan sangat besar. Sehingga perlu diberikan dalam bentuk tepung agar takaran sesuai untuk konsumsi lanjut usia. Sehingga perlu ada uji penerimaan rasa tepung tempe pada manusia agar produk ini bisa diterima sebagai makanan yang dapat dikonsumsi manusia terutama untuk lanjut usia.
Daftar Pustaka ACME. 2006. Effect of estrogen in cognition and mood. ACME Slide Library from the Council on Hormone Education. Ainslie DA, Morris MJ, Wittert G, Turnbull H, Proietto J, Thorburn AW. 2001. Estrogen deficiency causes central leptin insensitivity and increased hypothalamic neuropeptide Y. Int J Obes Relat Metab Disord. 25 (11):1680-8. Amidzic Rada, Abrboric J. Jasmin, ^Udina Olivera and Vladimirov Sote. 2005. RP-HPLC Determination of vitamins B1, B3, B6, folic acid and B12 in multivitamin tablets. J. Serb. Chem. Soc. 70 (10):1229–1235. Anderson,John, J.B. and Sanforrd C. Garner. 1997. Effects of phytoestrogens on Bone. Nutrition Research. 17(10):1617-1632. Aryani M.F. 2009. Hubungan Antara Konsumsi Tempe dan Tahu dengan Fungsi Kognitif Lanjut Usia [Desertasi]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Astuti, Marry. 1999. Compotition and Nutritional value of tempe Its role in the improvement of the nutritional value of food in the complete handbook of tempe. The American Soybean Association, Singapore. Aswin S. 2007. Otak menua, implikasinya dan peran terapi stem cells. In truth about aging and anti aging: Scientific perspective. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Penyusunan data sosial ekonomi Daerah Provinsi Jawa Barat. Jawa Barat (ID): BPS. Barnes S, Peterson TG. 1995. Biochemical Targets of the Isoflavone Genistein in Tumor Cell Illess. Proc Soc Exp Biol Med. 208:103-8 Bhanthena, Manual T Velasquez. 2002. Beneficial Role of Dietary Phytoestrogen in Obesity and Diabetes. Am j Clin Nutr. 76:1191-1201 Beydoun MA, Kaufman JS, Sloane PD, Heiss G, Ibrahim J. 2008. n-3 fatty acids, hypertension and risk of cognitive decline among older adults in the Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC) study. Public Health Nutr. 11:17–29 Biben A. 2001. Pengaruh suplementasi diet tempe formula terhadap farmasi dan resorpsi tulang pada wanita pra dan pasca menopause [Disertasi]. Bandung (ID): Universitas Padjajaran. Brinton, RD. 2008. The Healthy Cell Bias of Estrogen Action: Mitochondrial Bioenergetics and Neurological Implications. Trends Neurosci. 31(10): 52937. Cai, T. and K.C. Chang. 1999. Processing effect on soybean storage proteins and their relationship with tofu quality. J. Agric. Food Chem. 47: 720−727.
77
Clarke R, Smith AD, Jobs KA, Refsum H, Sutton L, Ueland PM. 1998. Folate, vitamin B12, and serum total homocysteine levels in confirmed Alzhaimer disease. Arch Neurol. 55 1449-55. Clarke R, Birks J. Nexo E, Ueland PM, Schneede J, Scott J et al. 2007. Low vitamin B12 status and risk of cognitive decline in older adults. Am J Clin Nutr. 86:1384-91. Cunningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, Williams. Obstetri. 1995. Edisi ke-18: 1097-1099. Jakarta (ID): EGC. Deschamps V, Astier M, Ferry M, Rainfray JP. 2002. Nutritional status of healthy person livinbg in Dordogne, France, and Relation with mortality and cognitive or functional decline. European Journal of Clinical Nutrition. 56(4): 305-312. Dixon R A. 2004. Phytoestrogen. Center for Novel Agricultural Product, University of York, United Kingdom. Dore GA, Elias MF, Robbins MA, Budge MM, Elias PK . 2008. Relation between central adiposity and cognitive function in the Maine-Syracuse Study: attention by physical activity. Ann Behav Med. 35: 341-50. Eussen SJ, Lisette C. De Groot, Liesbeth W J, Rubia JB. 2006. Effect of oral vitamin B12 with or withou folic acid on cognitive function in older people with mild vitamin B12 deficiency: a randomized, placebo-con trolled trial. American Society for Nutrition. 84(2): 361-370. Fang Z, Carlson SH, Chen YF, Oparil S, and Wyss JM. 2001. Estrogen depletion induces NaCl-sensitive hypertension in female spontaneously hypertensive rats. Am J Physiol Regulatory Integrative Comp Physiol. 281:1934–9. Ferin, M. 1993. Neuropeptides, the stress response, and the hypothalamopituitarygonadal axis in the female rhesus monkey. Annals of the New York Academy of Sciences. 697: 106-1 16. File, Sandra E, Nicholas Jarret, Emma F, Rosanna Duffy, Karen Casey, Helen Wiseman. 2001. Eating soya improves human memory. Psychopharmacology. 157: 430-436. Gasbarri Antonella, Assunta Pompili1, Benedetto Arnone1, Alessandra Cavicchio, Enrico Patrono1, Mario D’Amico1, Maria Clotilde Tavares and Carlos Tomaz. 2011. Sex Steroid Hormone Estrogen and Cognition. Neurobiologia. 74(2): 121-138. Gibbs. 2006. In: Rasgon NL (ed). The Effects of Estrogen on Brain Function. In N Rasgon (editor) John Hopkins Press. Baltimore, MD. Glenner GG and Wong CW. 1984. Alzheimer’s disease: Initial report of the purification and characterization of novel cerebrovascular amyloid protein. Biochem Biophys Res Commun. 120:885-90. Gleason C, Carlsson C, Barnet JH, Meade SA, Setchell KDR, Atwood CS, et al. 2009. A preliminary study of the safety, feasibility and cognitive efficacy of soy isoflavone supplements in older men and women. Age and Ageing. 38: 86–93. Gruber CJ, Tschugguel W, Schneeberger C, Huber JC. 2002. Production and actions of estrogens. N Engl J Med. 346(5):340-52.
78
Gu Y, Schupf N, Cosentino SA, Luchsinger JA, Scarmeas N. 2012. Nutrient intake and plasma b-amyloid. Neurology. 78:1832. DOI 10.1212/ WNL.0b013e318258f7c2 Gultekin E, and Fatih Yildiz. 2006. Introduction to phytoestrogens. CRC Press: 3-18 Guyton A. Fisiologi kedokteran. 1994. Edisi ke-7: 330-3.. Jakarta (ID): EGC. Haan Marry N. 2003. Can vitamin suplements prevent cognitive decline and dementia in old age. American Journal of Clinical Nutrition. 77: 762-3. Han C, Jo SA, Seo JA, Kim BG, Kim NH, et al. 2009. Adiposity Parameters and Cognitive Function in Elderly: Application of “Jolly Fat” Hypothesis too Cognition. Arch Gerontol Geriartry. 49(2): 33-8. Harman D. 2001. Aging: Overview. Ann NY Acad Sci. 928: 1-21. Hermana , Mien Mahmud dan Darwin Karyadi. 1999. The complete handbook of tempe: compotition and nutritional value of tempe: it’s role in the improvement of the nutritional value. The American Soybean Association, Indonesia. Hermana and Karmini M. 1999. The development of tempe technology. Dalam “The complete handbook of tempe”.The American Soybean Association. Henderson VW. 2004. Hormone therapy and Alzheimer’s disease: benefit or harm? Expert Opin Pharmacother. 5:389-406. Henderson VW, Hogervorst E. 2009. Testosteron and Alzheimer’s disease.Is it men’s turn now? (Editorial). Neurol. 62: 170-1. Hogervorst E, Barnetson L, Jobst KJ, Combrinck M, Nagy ZS, & Smith AD. 2000a. Diagnosing dementia: interrater-reliability assessment and accuracy of the NINCDS/ARDA criteria versus CERAD histopathological criteria for Alzheimer’s Disease. Dement Geriatr Cogn Disord. 11 (2):107-113 (IF 2.80) Hogervorst E. & McShane R. 2000b. Editorial on Mulnard RA et al. Estrogen replacement therapy for treatment of mild to moderate Alzheimer disease: a randomised controlled trial. JAMA. 283: 1007-15. Hogervorst E., Lehmann DJ, Warden DR, McBroom J, Smith AD. 2002. Apolipoprotein E ε4 and testosterone interact in the risk of Alzheimer’s disease in men. Int J Geriatr Psychiatry. 17: 938-940 Hogervorst E. 2006. The Short-Live Effects of Hormone Replacement Theraphy on Cognitive Function dalam Rasgon N.L (ed). The Effect on Brain Function and Women Dementia and Geriatric Cognitive Disorder. 26 (1), 50-57 Hogervorst E, Sadjimin T, Yesufu A, Rahardjo T. 2008. High Tofu Intake is Associated with Worse Memory in Indonesian Elderly Men and Women. Dementia. 26:50-57 Hoogendijk WJ, Feenstra MG, Botterblom MH, Gilhuis J, Sommer IE, Kamporst W, et al. 1999. Increased activity of surviving locus ceruleus neurons in Alzheimer’s disease. Ann Neurol. 45: 82-91. Howard MJ. 2003. An explanation of brain aging and midlife tofu consumption. Fayetteville, Arkansas, U.S.A.
79
Hui E, Susanne M. Henning1, Nam Park, David Heber, and Vay Liang W. Go. 2001. Genistein and Daidzein/Glycitein Content in Tofu. Journal of Food Composition and Analysis. 14, 199. 206. doi:10.1006/jfca.2000.0941. Hye-Kyeong Kim, Cassandra Nelson-Dooley, Mary Anne Della-Fera, Jeong-Yeh Yang, Wei Zhang,y Jiuhua Duan, Diane L. Hartzell, Mark W. Hamrick, and Clifton A. Baile y. 2006. Genistein Decreases Food Intake, Body Weight, and Fat Pad Weight and Causes Adipose Tissue Apoptosis in Ovariectomized Female Mice. J. Nutr. 136: 409–414, Hye We JC. 2006. Postprandial response of calcium metabolism in post menopausal women to meals varying in protein level/source. Metabolism. 39:1246-52 Imke Janssen, Lynda H. Powell, Rasa Kazlauskaite and Sheila A. Dugan. Testosterone and Visceral Fat in Midlife Women: The Study of Women's Health Across the Nation (SWAN) Fat Patterning Study. Obesity 18, 604610 (March 2010) | doi:10.1038/oby.2009.251 Jaffe AB, Toran-Allerand CD, Greengard P, Gandy SE. 1994. Estrogen regulates metabolism of Alzheimer’s amyloid beta precursor protein. J Biol Chem. 269: 13065–68. Jeffrey P. Greenfield, Lawrence W. Leung, Dongming Cai, Krista Kaasik, Rachel S. Gross, Enrique Rodriguez-Boulan, Paul Greengard, and Huaxi Xu. 2002. Estrogen Lowers Alzheimer _-Amyloid Generation by Stimulating transGolgi Network Vesicle Biogenesis. The Journal of Biological Chemistry. 277(14): 12128–12136 Johnson, M.A., W.R. Brackett, N.A. Hawthorne, J.G. Fischer, E.W. Gunter, R.H. Allen, and S.P. Stabler. 2003. Hyperhomocysteinemia and vitamin B12 deficiency in elders using Title IIIc nutrition services. American Journal of Clinical Nutrition. 77:211-220 Joseph, J. E., & Farley, A. B. 2004. Cortical regions associated with different aspects of performance in object recognition. Cognitive, Affective and Behavioral Neuroscienc., 4(3), 364-378 Kang J, Lemaire HG, Unterbeck A, et al. 1987. The precursor of Alzheimer’s disease amyloid A4 protein resembles cell-surface receptor. Nature. 325:733-6. Kang SS, Wong PW, Malinow MR. 1992. Hyperhomocyst(e)inemia as a risk factor for occlusive vascular disease. Ann Rev Nutr. 12: 279-98. Karahalil B. 2006. Benefit and risks of phytoestrogen. Fatih Yildiz. Phytoestrogen in functional foods. USA: CRC Press. P.09-239. Karmini M, et al. 1997. The inhibitory effect of tempe on Escherichia coli infection. Reinventing the hidden miracle of tempe. Proceedings International Tempe Symposium, Juli 1997 Kesinger EA, Growdon JH, Brierley B, Medford N, Corkin S. 2002. Effects of normal Aging and Alzheimer Disease on Emotional Memory. Emotion. 2(2): 118-134. Kiers Jeroen L. 2001. Effects of fermented soya bean on digestion, absorption and diarrhea [Disertation]. Wageningen: Wageningen Universiteit , Netherland.
80
Kiriakidis Serafim, Oliver Ho¨gemeier, Susanne Starcke, Frank Dombrowski, Jens Claus Hahne, Michael Pepper, Hem Chandra Jha and Nicolas Wernert. 2005. Novel tempeh (fermented soyabean) isoflavones inhibit in vivo angiogenesis in the chicken chorioallantoic membrane assay. British Journal of Nutrition. 93: 317–323 Kowalska A. 2003. Amyloid precursor protein gene mutation responsible for early-onset autosomal dominant Alzheimer’s disease. Folia Neuropathol. 41:35 -40. Kreijkamp-Kaspers S, Kok L, Grobbee DE, de Haan EH, Aleman A, Lampe JW, van der Schouw YT. 2005. Effect of Soy Protein Containing Isoflavones on Cognitive Function, Bone Mineral Density, and Plasma Lipids in Postmenopausal Women: A Randomized, Controlled Trial.Obstet Gynecol Surv. 60(1):41-43. Kuiper GG, Shughrue PJ, Merchenthaler I, gustafsson JA, 1998. The estrogen receptor beta subtype: a novel mediator of estrogen action in neuroendrocrine systems. Frontiers in neuroendocrinology. 19:253-286. Kuntjoro ZS. 2002. Pengenalan dini demensia (Predemensia). Kurzer M and Xu X. 1997. Dietary phytoestrogens. Annual Reviews in Nutrition. 17:353-381 Kusbiantoro. 1993. Physlochemical properties and protein characteristics of soybean related to quality of produced tofu. La Rue A, Koehler KM, wayne JS, Chiulli JS, Haaland KY, Garry PJ. 2000. Nutritional status and cognitive functioning in a normally aging sample: a 6y reassessment. Am J Clin Nutr. 65:20-9. Laurie T. Butler. 2009. Flavonoids and cognitive function: a review of human randomized controlled trial studies and recommendations for future studies. Genes Nutr. 4:227–242 . Lee Y. 2012. Systematic review of health behavioral risks and cognitive health in older adults. International psychogeriatrics. 22(02):174 Louet JF, LeMay C, Mauvais-Jarvis F. 2004. Antidiabetic Actions of Estrogen: Insight from Human and Genetic Mouse Models. Curr Atheroscler Rep. 6:180-5 Lovati MR, Manzoni C, Gianazza E, Arnoldi A, Kurowska E, Carroll KK, Sitori CR. 2000. Soy protein peptides regulate cholesterol homeostatis in Hep G2 cells. J Nutr. 130(10): 2543-9. Lumbantobing SM. 2006. Demensia, dalam Seminar Lokal SRUPN CM. Maki PM. 2006. Hormone therapy and cognitive function: is there a critical period for benefit? Neuroscience. 138: 1027–1030 Mantovani D, Cardozo Filho L, Santos LC, de Souza VL, Watanabe CS. 2009. Chromatographic quantification of isoflavone content from soy derivates using HPLC technique. J Chromatogr Sci.47(9):766-9. Mark Dawn B, Allan D Marks and Colleen M. Smith. 2009. Basic medical biochemistry: a clinical approach. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Matthews K, Cauley, Yaffe K, et al. 1999. Estrogen replacement therapy and cognitive decline in older community women. J Am Geriatr Soc. 47:518-23. Maury CPJ. 2009. The emerging concept of functional amyloid. J Intern Med. 265:329-34.
81
McClements D. Julian. 2007. Analysis of Proteins. University of Massachusetts Amherst. Miller, Joshua W. 2002. Vitamin B12 deficiency, tumor necrosis factor-alpha and epidermal growth factor: a novel function of vitamin B12?. Nutrition Review.460: 142-51. Mirza Iskandar. 2012. Pengaruh Penggunaan Ekstrak Daun Pegagan (Centella asiatica(L.) Urban) Terhadap Fungsi Kognitif Tikus [Desertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Muchtadi D. 2009. Gizi anti penuaan dini. Alfabeta, Bandung. Mujoo R, Trinh DT, Ng PKW. 2003. Characterization of storage protein in different soybean varieties and their relationship to tofu yield and texture. Food Chem. 82(2): 265-73. Nahas Eliana Eguiar Petri and Jorge Nahas-Neto. 2006. The Effects of Soy Isoflavones in Postmenopausal Women: Clinical Review. Current Drug Therapy. 1:31-36. Nananda F. Col, MD, MPP, MPH; Stephen G. Pauker, MD; Robert J. Goldberg, PhD; Mark H. Eckman, MD; Richard K. Orr, MD, MPH; Elizabeth M. Ross, MD; John B. Wong, MD. 1999. Individualizing Therapy to Prevent Long-term Consequences of Estrogen Deficiency in Postmenopausal Women. Arch Intern Med. 159:1458 1466. Nasrun MWS. 2007. Mengatasi gangguan perilaku pada demensia. Dalam buku menyayangi otak: menjaga kebugaran, mencegah penyakit dan memilih makanan oleh Hendrawan Nadesul. PT. Kompas Media Nusantara. Naaz A, Yellayi S, Zakroczymski MA, Bunick D, Doerge DR, Lubahn DB, Helferich WG, Cooke PS. 2003. The Soy Isoflavone Genistein Decreases Adipose Deposition in Mice. Endocrinology. 144:3315-20 th
O’Malley B, Straat CA. Yen Jaffe. 1991. Reproductive endocrinology. 3 ed, Philadelpia: WB Saunders Company. 156-168 Orgaard A, Jensen L. 2008. The effects of soy isoflavones on obesity. Exp Biol Med. 233(9): 1066-1080. Pan M, Li Z, Yeung V, Xu RJ. 2010. Dietary supplementation of soy germ phytoestrogens or estradiol improves spatial memory performance and increases gene expression of BDNF, TrkB receptor and synaptic factors in ovariectomized rats. Nutrition & Metabolism. 7:75 Park EI and Garrow TA. 1999. Interaction between dietary methionine and methyl donor intake on rat liver betaine-homocysteine methyltransferase gene expression and organization of the human gene. J Biol Chem. 274(12): 7816-24. Pawiroharsono S. 1999. Microbiological Aspects of Tempe. The complete handbook of tempe, the unique fermented soy food of Indonesia. The American Soybean Association. Pawiroharsno S. 2007. Prospek dan Manfaat Isoflavon untuk Kesehatan. Jakarta: Direktorat Teknologgi Bioindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Petterson Christopher. 1994. Screening for CognitiveImpairment in the Elderly. Chapter 75. Petterson H and Kiessling KH .1984. Liquid chromatographic determination of the plant estrogens coumesterol and isoflavones in animal feed. Journal of the Association of Official Analytical Chemists. 67:503-506
82
Poysa, V. and L. Woodrow. 2002. Stability of soybean seed composition and its effect on soymilk and tofu yield and quality. Food Res. Intern. 35: 337−345. Pratt DE and Birac PM. 1979. Source of antioxidant activity of soybeans and soy products. J.Food Scr. 44:1720-22. Purrwantyastuti. 2000. Relation of lipid peroxides to food habits, selected coronary heart disease risk factors and vitamin E supplementation the elderly [Disertation]. Jakarta (ID): University of Indonesia. Rahardjo TB, Atik K, Hardinsyah, Hogervorst, Yudarini, Fatmah. 2010. The Effect of Tempeh and Tofu Flours on Delaying Cognitive Function of Elderly Rats. Laporan Penelitian UI. Rasyid A dan Dahlan P. 2000. Penyakit Alzhaimer: prevalensi dan insiden. B. NeuroSains. 2(1): 221-225. Ravaglia G, Maioli F, Muscari A, Saccahetti L, Amone G, Nativio V et al. 2003. Homocysteine and cognitive function in healthy elderly communjty dwellers in Italy. Am J Clin Nutr. 77: 668-73. Rimbach G, Jurgen F, and Lester. 2005. Nutrigenomics. Taylor and Francis CRC Press. USA. Rishi Rakes Kumar. 2006. Chemistry and mechanism of action of phytoestrogens. Fatih Yildis. Phytoestrogen in functional foods. USA: CRC Press. P.81-95. Rodger AB. 2003. Alzheimer’s disease: Unravelling the mystery. US departement of Health and Human Service, National Institute of Health. Safrida. 2008. Perbuhana Kadar Hormon Estrogen pada Tikus yang Diberi Tepung Kedelai dam Tepung Tempe [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Safrida. 2013. Potensi ekstrak Tempe Sebagai antiaging pada Tikus Betina Sebagai Hewan Model [Desertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sagare A, Deane R, Bell RD, Johnson B, Hamm K, Pendu R, et al. Clearance of amyloid-β by circulating lipoprotein receptors. Nature Med. 13:1029-31. Schonknecht P, Pantel J, Klinga K, Jensen M, Hartmann T, salbach B, et al. 2001. Reduced cerebrospinal fluid estradiol levels are associated with increased βamyloid level in female patients with Alzheimer’s disease. Neurosci Lett. 307:122-4. Selhub J, Jacques PF, Boston AG, Wilson PW, Roseberg IH. 1999. The effect of folic acid fortification on plasma folate and total homocysteine concentration. New England Journal of Medicine. 340: 1449-1454. Seriana van den Berg MD. 2012. Policy brief - Risk factors for dementia Alzheimer’s Disease International . www.alz.co.uk Sidabutar TP and Baziad A. 2000. Tolerance and acceptance of the use of Patch l7-beta Estrtadiol in postmenopausal women in Indonesia. Maj Obstet Ginekol Indonesia. 24:179-87 Silitonga C dan Djanuardi B. 1999. Tempe consumption pattern, in the complete handbook of tempe. The American Soybean Association, Singapore. Sizer F and Whitney E. 2006. Nutrition: concepts and controversies. USA: Thompson Learning, Inc. Speroff L and Fritz M. 2005. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. Editor Weinberg, R. Lippincott, Williams, and Wilkins, ISBN 07817-4795-3, Philadelphia
83
Stamatina K. 2006. Wine Antioxidant/Phytoestrogens. dalam Yildiz, F. Phytoestrogen in Functional Foods. (pp. 265-289). USA:CRC Press Stern Y, Tang MX, Jacobs DM, Sano M, Marder K, Bell K, Dooneief G, Schofield P, Côté L. 1998. Prospective comparative study of the evolution of probable Alzheimer's disease and Parkinson's disease dementia. J Int Neuropsychol Soc. 4(3):279-84 Suryohudoyo P. 2000. Kapita kedokteran molekular. Infomedika, Jakarta. Susanto T, Zubaidah E, dan Wijanarko SB. 1998. Studi tentang aktivitas antioksidan pada tempe (tinjauan terhadap lama fermentasi, jenis pelarut, dan ketahanan terhadap proses pemanasan). Makalah seminar nasional Teknologi Pangan dan Gizi. Yogyakarta. Suter P. 2006. Vitamin metabolism and requirements in elderly: selected aspect. In: Geriatric nutrition: the health professional’s handbook. 3nd edition. Canada: Jones and Barlett Publisher. p.31. Taher, A. 2003. Peran Fitoestrogen Kedelai sebagai Antioksidan dalam Penanggulangan Ateroklerosis [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. The American Soybean Assiciation. 1999. The complete handbook of tempe, the unique fermented soyfood of Indonesia, in collaboration with The Indonesian Tempe foundation. Triantari R. 2011. Hubungan asupan vitamin B6, vitamin B12, asam folat, aktifitas fisik dan kadar homosistein dengan status kognitif lansia. [Skripsi]. Program Studi Ilmu Gizi fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Tucker KL, Hannan MT, Qiao N, Jacques PF, Selhub J, Cupples LA, Kiel DP. 2005. Low plasma vitamin B12 is associated with lower BMD: the Framingham Osteoporosis Study. J Bone Miner Res. 20(1):152-8. Tucker KL, Qiao N, sxott T, Rosenberg I, Spiro A. 2005. High homocysteine and low B vitamins predict cognitive decline in aging men: the Veterans affairs normative aging study: Am J Clin Nutr. 82: 627-35. Utari DM. 2011. Efek intervensi tempe terhadap profl lipid, superoksida dismutase, LDL teroksidasi dan malondialdehyde pada wanita menopause [Desertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Vogiatzoglou A, Refsum H, Johnston C, Smith SM, Bradley KM, de Jager C, Budge MM, Smith AD. 2008. Vitamin B12 status and rate of brain volume loss in community-dwelling elderly. Neurology. 71(11):826-32. Vander, Arthur, James Sherman, Dorothy Luciano. 2001. Human physiology the mechanisms of body function. Eight ediition, McGraw-Hill. New York. Villares A, Rostagno MA, Lafuente AG, Guillamon E, Martinez JA. 2011. Content and profile of isoflavones in soy- based foods as afunction of the production process. Food and Bioprocess Technology [serial on the Internet]. January [cited 2013 Feb 26]; 4 (1): p. 27-38. Wade GN, Gray JM, Bartness TJ. 1985. Gonadal Influences on Adiposity. Int J Obes. 9(l):83-92 Wahjoepramono EJ. 2009. Efek kastrasi dan suplementasi testosteron pada metabolisme beta amiloid di cairan serebrospinal pada marmot [Desertasi]. Makasar (ID): Universitas Hasanudin. Wang H-J and Murphy PA. 1994. Isoflavone composition of American and Japanese soybeans in Iowa: Effects of variety, Crop year, and location. J. Agric. Food Chem. 42:1674-1677.
84
Wei H, Bowen R, Cai Q, Barnes S, Wang Y. 1995. Antioxidant and antipromotional effect of the soybean genistein. Proc Soc Exp Biol Med. 208(1): 124-130. White, L.R., Petrovich, H., Ross, G. W., Kamal, M., Hardman, J., Nelson, J., Davis, D., & markesbery, W. 2000. Brain Ageing and Midlife Tofu Consumption-Original Research. American Journal of Clinical Nutrition. 19 (2): 242-255 Winter Yaroslav, Sabine Rohrmann, Jakob Linseisen, Oliver Lanczik, Peter A. Ringleb, et al. 2008. Contribution of Obesity and Abdominal Fat Mass to Risk of Stroke and Transient Ischemic Attacks. Stroke. 39:3145-3151. Whitten PL, HB Patisaul. 2001. Cross-species and interassay comparisons of phytoestrogenaction. environHHealthPPerspect. 109 (l1): 5–20. Wuryani W. 1997. Reinventing the hidden miracle of tempe. Indonesian Tempe Foundation. Jakarta. Zhan S and Suzanne CH. 2005. Meta-analysis of the effects of soy protein containing isoflavones on the lipid profile. Am J Clin Nutr. 81:397-408 Zhang Y W, Thompson R, Zhang H, Huaxi Xu. 2011. APP processing in Alzheimer’s disease Molecular Brain. 4:3 Zhuo, J.M. and Pratico, D. 2010. Acceleration of brain amyloidosis in an Alzheimer's disease mouse model by a folate, vitamin B6 and B12-deficient diet. Exp. Gerontol. 45(3): 195-201 Zlokovic BV. 2004. Clearing amyloid trhough the blood-brain barrier. J. Neurochem. 89: 807-811.
85
LAMPIRAN
86
Lampiran 1. Ethical Clearance
87
Lampiran 2. Prosedur Laboratorium Sandwich ELISA untuk Estradiol Regensia 1.
Microtiterwells, 12 x 8 strip, 96 sumur. Sumur dilapisi dengan antibodi anti-Estradiol (poliklonal)
2.
Standard (standar 0-6), 7 botol, 1 mL, siap untuk digunakan; Konsentrasi: 0; 25; 100; 250, 500, 1000, 2000 pg / mL 0,03% Konversi: 1pg/mL = 3,67 pmol / L Mengandung: 0,03% Procilin 300 + 0,005% gentacimin sulfat sebagai pengawet.
3.
Enzim konjugat, 1 vial, 14 mL, siap pakai Konjugat Estradiol dengan horseradish peroksidase Berisi: 0,03 Procilin 300; 0,015% dan 0,010% BND MIT sebagai pengawet.
4.
Larutan penyangga, 1 vial, 14 mL, siap pakai Tetramethylbenzidine (TMB).
5.
Larutan penghenti reaksi, 1 vial, 14 mL, siap untuk digunakan, Mengandung 0,5 H2SO4 Hindari kontak dengan larutan penghenti reaksi karena dapat menyebabkan iritasi kulit dan luka bakar
6.
Larutan pencuci, 1 vial, 30 mL (40X konsentrat) Tambahkan air deionisasi dengan larutan pencuci (40X konsentrat). Encerkan 30 mL larutan pencuci konsentrat dengan 1170 mL air deionisasi dengan volume akhir 1200 mL. Larutan pencuci yang sudah diencerkan stabil selama 2 minggu pada suhu kamar.
Prosedur 1.
Serum hewan diambil dari darah yaitu merupakan bagian cair kemudian disentrifuse selama 5 menit dan masukkan dalam micro tube.
2.
Serum dicairkan dari stok beku di atas es (slow thawing)
3.
Mengambil 25 uL setiap standar, kontrol dan sampel , masukkan ke dalam sumur yang sesuai dengan menggunakan p[pet yang berbeda
4.
Menambahakan 200 uL enzim konjugat ke setiap sumur sehingga benarbenar tercampur selama 10 detik.
88
5.
Campuran dikeram selama 120 menit pada suhu kamar (tanpa menutupi pinggan).
6.
Larutan dalam sumur. Bilas sumur 3 kali dengan larutan pencuci encer (400 uL per sumur). Gunakan kertas penyerap untuk menghapus tetesan sisa. Catatan penting: Sensitivitas dan presisi dari pengujian ini adalah dipengaruhi oleh kinerja yang benar dari prosedur pencucian ini.
7.
Tambahkan 100 uL larutan subtrate untuk setiap sumur dan dikeram selama 15 menit pada suhu kamar.
8.
Menghentikan reaksi enzimatik dengan menambahkan 50 uL larutan penghenti reaksi pada setiap sumur.
9.
Tentukan absorbansi (OD) masing-masing baik di 450 ± 10 nm dengan pembaca plat mikrotiter. Direkomendasikan: sumur dibaca 10 menit setelah menambahkan larutan pemghenti reaksi.
89
Lampiran 3. Prosedur Laboratorium Sandwich ELISA untuk Beta Amiloid Reagensia 1.
50 mM/L larutan penyangga karbonat/bikarbonat (pH 9,6)
2.
Coating antibody solution (antibodi primer untuk beta amiloid tikus E9086Ra dengan
pengenceran
1:200
dalam
50
mM
larutan
penyangga
NaHCO3/Na2CO3) 3.
Larutan penyangga PBST (pH 7,4)
4.
Larutan penyangga untuk blocking (1% bovine serum albumin dalam PBST pH 7,5)
5.
Standar beta amiloid
6.
Antibodi sekunder untuk beta amiloid (R208)
7.
Larutan antibodi deteksi (PBST pH 7,4 dengan antibodi sekunder)
8.
Larutan neutravidin HRP
9.
Larutan TMB/KGP
10. Lariutan penyangga penghenti reaksi 1M H3PO4 Prosedur 1.
Serum hewan diambil dari darah yaitu merupakan bagian cair kemudia disentrifuse selama 5 menit dan masukkan dalam micro tube.
2.
Serum dicairkan dari stok beku di atas es (slow thawing)
3.
Pinggan ELISA dilapisi dengan 100 µL larutan antibodi di setiap sumur, pinggan ditutup dan dikeram pada suhu 4oC selama satu malam.
4.
Pinggan kemudian dicuci dengan PBST (pH 7,4) sebanyak tiga kali dengan menggunakan plate washer dan diberi larutan blocking buffer sebanyak 200 µL per sumur.
5.
Selanjutnya pinggan dikeram pada suhu kamar selama satu jam dan dicuci sebanyak tiga kali dalam PBST (pH 7,4).
6.
Sampel dan standar (100 µL) dimasukkan ke dalam setiap sumur.
7.
Pinggan ditutup, dikeram selama du ajam pada suhu ruang dan pada suhu 4oC selama semalam.
8.
Hari berikutnya, pinggan dicuci sebanyak tiga kali dengan PBST (pH 7,4) lalu diberi larutan antibodi deteksi sebanyak 100 µL per sumur.
90
9.
Setelah itu, pinggan ditutup dan dikeram selama 1,5 jam pada suhu ruang.
10. Pinggan dicuci kembali dengan PBST (pH 7,4), kemudian ditambahkan larutan neutravidin HRP (100 µL per sumur) ke dalam setiap sumur dan dikeram selama satu jam pada suhu ruang. 11. Sesudah itu, pinggan dicuci dengan PBST (pH 7,4). 12. Ditambahkan reagen TMB/KGP ke dalam setiap sumur dan pinggan dihindarkan dari cahaya sampai sumur-sumur D1/D2 dan E1/E2 tidak dapat dibedakan (10-15 menit). 13. Ditambahkan stop buffer untuk menghentikan aktivitas reagen TMB/KGP. 14. Pinggan kemudian dibaca pada Bio-RAD Microplate Reader pada panjang gelombang 450 nm untuk menghitung kadar beta amiloid-40.
91
Lampiran 4. Hasil Uji Regresi Linier Berganda Model Summary
Model
R
R Square
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
1
.452
a
.205
.170
.85378
2
.416
b
.173
.149
.86432
a. Predictors: (Constant), BETA AMILOID, LEMAK ABDOMINAL, ESTROGEN b. Predictors: (Constant), BETA AMILOID, ESTROGEN c
ANOVA Model 1
2
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
12.751
3
4.250
Residual
49.568
68
.729
Total
62.319
71
Regression
10.774
2
5.387
Residual
51.546
69
.747
Total
62.319
71
F
Sig.
5.831
.001
a
7.211
.001
b
a. Predictors: (Constant), BETA AMILOID, LEMAK ABDOMINAL, ESTROGEN b. Predictors: (Constant), BETA AMILOID, ESTROGEN c. Dependent Variable: FUNGSI KOGNITIF
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
2
B (Constant)
Std. Error 3.362
.432
ESTROGEN
.028
.015
LEMAK ABDOMINAL
.009
BETA AMILOID (Constant)
Coefficients Beta
t
Sig.
7.789
.000
.210
1.878
.065
.005
.182
1.647
.104
-.007
.003
-.270
-2.372
.021
3.571
.418
8.549
.000
.029
.015
.217
1.915
.060
-.007
.003
-.303
-2.676
.009
ESTROGEN BETA AMILOID a. Dependent Variable: FUNGSI KOGNITIF
92
Lampiran 5. Konversi Konsumsi Tepung Tempe Kandungan isoflavon tepung tempe = 50.558 mg/100 g. 1 gram tepung tempe mengandung = 0.50558 mg Konsumsi 5.1 g tepung tempe mengandung isoflavon = 5.1 g x 0.50558 mg/g = 2.578 mg Konversi pada manusia: Isoflavon = 2.578 mg x 56 (nilai konversi dari tikus ke manusia) = 144,368 mg Banyaknya tepung tempe yang dikonsumsi per hari = 144,368 mg x (1/0.50558 g/mg) = 285,549 g Banyaknya tempe yang dikonsumsi per hari = 285,549 g x 3 = 856,647 g
93
Lampiran 6. TEMPE AND TOFU FLOUR MAY HAVE POSITIVE EFFECT ON COGNITIVE FUNCTION
20 June 2013 Ref: 3085 Tempe And Tofu F Atik Kridawati University Of Respati Indonesia Jl. Bambu Apus I No.3 Cipayung JAKARTA TIMUR 13890 INDONESIA Dear Tempe And Tofu F Kridawati, th
On behalf of the Scientific Committee of the 20 International Congress of Nutrition (Granada, September 15-20, 2013) we would like to provide you with important information of your oral presentation. Please check the details below:
Oral Presentation Paper Details Title: Paper Reference: Paper Status: Presentation Type:
TEMPE AND TOFU FLOUR ON COGNITIVE FUNCTION O112 Accepted Oral Communication
Presentation Time: Session Details:
MAY
HAVE
POSITIVE
1530 - 1540 Session 2 - Track 6 17/09/2013 1430 - 1600 Room: ROOM C There will be a Speaker Room for you to download your presentation, please do so 2 hours prior to your scheduled presentation time at the latest. IMPORTANT: Please remember that each work to be presented will required a registration. If you have any questions, please feel free to contact us. We are looking forward to welcoming you to Granada! Kind regards, Barceló Congresos IUNS 20th ICN - Technical Secretariat Barcelona - SPAIN Phone: +34 93 706 35 78
[email protected]
EFFECT
94
95
96
97