PERBEDAAN KOMPONEN CINTA (INTIMACY, PASSION DAN COMMITMENT) DITINJAU DARI ETNIS
OLEH OKTAVIANA JENNIFER JEANET BRABAR 802010030
TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
PERBEDAAN KOMPONEN CINTA (INTIMACY, PASSION DAN COMMITMENT) DITINJAU DARI ETNIS
Oktaviana Jennifer Jeanet Brabar Chr. Hari Soetjiningsih
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan dalam komponen cinta pada etnis Jawa dan etnis Papua. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan teknik pengambilan data snowball sampling.Penelitian dilaksanakan di Salatiga dan di Biak dengan responden sebanyak 160 orang, 80 pasangan suami istri beretnis Jawa (40 suami, dan 40 istri) dengan 80 pasangan suami istri beretnis Papua (40 suami, dan 40 istri). Dalam penelitian ini, komponen cinta diukur menggunakan Skala Segitiga Cinta Sternberg (The Sternberg Triangular Love Scale(STLS)).Standar diskriminasi item yang digunakan adalah 0,30.Skala dalam penelitian ini mempunyai reliabilitas yang baik. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan teknik Independent Sample T-test dan Mann-Whitney U. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam komponen cinta pada etnis Jawa dan etnis Papua. Kata Kunci : Komponen cinta, etnis.
i
Abstract This study aims to determine whether there are significance
differences in the
component of love at Javanese and Papuans ethnic. This study uses quantitative method with snowball sampling as data collection technique. Research was conducted in Salatiga and Biak with 160 respondents, 80 couples of Javanese ethnic (40 husbands, 40 wives) and 80 couples of Papuan ethnic (40 husbands and 40 wives). The component of love is measured using The Sternberg Triangular Love Scale (STLS). Item discrimination standard is 0,30. This scale have a good reliability. The data obtained is analyzed using Independent Sample T-test technique and Mann-Whitney U technique. The result shows there are no significance differences in component of love at Javanese and Papua ethnic. Keyword : The component of love, ethnic.
ii
1
PENDAHULUAN Cinta bukanlah sesuatu hal yang asing lagi bagi manusia. Manusia juga sejak kecil sudah mulai diajarkan tentang cinta, baik itu cinta pada Tuhan, pada orang tua, pada keluarga, pada teman, pada alam, bahkan pada binatang. Meskipun manusia samasama mengenal cinta, tetapi cara untuk mengaplikasikan cinta itu sendiri berbeda-beda antara manusia satu dengan manusia yang lainnya. Shaver, Morgan, dan Wu (dalam Baron & Byrne, 2005) mendefinisikan cinta sebagai reaksi emosional yang sama dikenalnya dan sama mendasarnya dengan rasa marah, kesedihan, kegembiraan, dan rasa takut. Sternberg (1988) telah mencetuskan teori tentang cinta yang disebut The Triangular Theory of Love atau teori segitiga cinta. Dalam teorinya tersebut, Sternberg menyebutkan bahwa cinta mempunyai tiga komponen dasar, yaitu keintiman (intimacy), gairah (passion), dan komitmen (commitment). Baron & Byrne (2005) menjelaskan ketiga komponen cinta dari teori segitiga cinta sternberg ini sebagai berikut. Keintiman adalah kedekatan yang dirasakan oleh dua orang dan ikatan yang menahan mereka bersama. Pasangan yang memiliki tingkat keintiman yang tinggi, mempedulikan kesejahteraan dan kebahagiaan satu sama lain, dan mereka saling menghargai, menyukai, bergantung, dan memahami satu sama lain. Gairah, didasarkan pada percintaan, ketertarikan fisik, dan seksualitas. Komitmen adalah faktor kognitif seperti keputusan untuk mencintai dan ingin bersama dengan orang lain dan juga komitmen untuk mempertahankan suatu hubungan. Ketika semua komponen sama-sama kuat dan seimbang, hasilnya adalah cinta sempurna (consummate love), cinta ini dinyatakan sebagai bentuk cinta yang ideal, namun sangat sulit untuk dicapai. Sternberg (2009) dalam bukunya, menjelaskan bahwa setiap komponen dalam cinta memiliki sifat yang berbeda-beda. Contohnya, keintiman dan komitmen relatif
2
bersifat stabil, pada hubungan yang dekat, sementara gairah bersifat sebaliknya, relatif kurang stabil dan naik turun tanpa bisa diduga. Selain itu, setiap komponen dalam cinta umumnya memiliki tingkat kepentingan yang bervariasi, tergantung apakah hubungan cinta yang tengah terjalin itu merupakan hubungan yang singkat ataukah berjangka panjang. Dalam hubungan singkat yang bernuansa romatis, gairah yang cenderung berperan besar, keintiman mempunyai peran kecil, sedangkan komitmen nyaris tidak ditemukan. Sebaliknya, hubungan jangka panjang, keintiman dan komitmen biasanya memiliki peran yang sangat besar. Gairah dalam cinta cenderung tercampur aduk dengan perasaan keintiman, dan sering kali saling mendukung. Contohnya, keintiman, sebagian besar merupakan sebuah akibat dari terpenuhinya kebutuhan gairah dalam sebuah hubungan. Gairah dapat dibangkitkan oleh keintiman. Bisa jadi, gairah merupakan hal pertama yang menarik individu
ke
dalam
suatu
hubungan,
tetapi
keintimanlah
yang
membantu
mempertahankan kedekatan dalam hubungan. Terkadang keintiman dan gairah saling bertentangan. Misalnya, saat seorang pria berhubungan dengan seorang wanita tuna susila maka, pria tersebut berusaha memaksimalkan kepuasan gairahnya, dan meminimalkan keintiman (Sternberg, 2009).
Komitmen juga berhubungan dengan
keintiman dan gairah. Keterlibatan yang intim dan penuh gairah dapat mengikuti komitmen misalnya dalam pernikahan (Sternberg, 2009). Menurut Sternberg (2009) ada empat aspek cinta yang biasa dijumpai dalam kebudayaan : (1) orang yang dicintai, (2) perasaan yang diyakini turut menyertai cinta, (3) pikiran yang diyakini turut menyertai cinta, dan (4) tindakan, atau hubungan antara orang yang mencintai dan dicintai. Aspek pertama yaitu, orang yang dicintai. Objek cinta berubah bersamaan dengan periode waktu dan kebudayaan. Aspek kedua, perasaan yang diyakini menyertai
3
cinta. Aspek ketiga adalah, menyinggung masalah pikiran yang dipercaya menyertai cinta, pikiran-pikiran tersebut biasanya mengenai orang yang dicintai, seringkali berfokus pada kekayaan pasangan atau sifat yang dimiliki pasangan. Pikiran lain yang sering ditemukan adalah antisipasi atas kebersamaan bersama pasangannya. Aspek keempat cinta adalah tindakan, atau hubungan antara orang yang mencintai dan dicintai. Cinta terkonseptualisasikan dalam serangkaian tindakan seperti mendukung atau melindungi orang lain dan menunjukan komitmen terhadap orang tersebut. Akan tetapi, perlu diingat bahwa aspek-aspek tersebut mungkin akan berbeda antara kebudayaan satu dengan yang lainnya. Sternberg (2009) menjelaskan salah satu alasan yang menyebabkan perbedaan dalam memandang cinta di berbagai kebudayaan adalah pengalaman cinta yang sebagian bergantung pada faktor eksternal yang didefinisikan oleh kebudayaan. Contohnya, di Afrika, seorang wanita yang berbadan gemuk mempunyai daya tarik tersendiri, bahkan cenderung sebagai tipe ideal para pria, hal ini mungkin berbeda dengan daerah yang lain. Kebudayaan merupakan suatu hal yang paling mendasar dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, bisa dikatakan kebudayaan turut yang memberi identitas pada suatu kelompok. Menurut Keontjaraningrat (dalam Dayaksini & Yuniardi, 2008), kebudayaan diartikan sebagai wujudnya, mencakup keseluruhan dari : (1) gagasan, (2) kelakuan; (3) dan hasil-hasil kelakuan. Banyak pandangan-pandangan yang dipengaruhi oleh kebudayan, salah satunya adalah cinta. Seperti yang sudah di jelaskan diatas, Sternberg (2009) menyatakan bahwa salah satu alasan yang menyebabkan perbedaan dalam memandang cinta di berbagai kebudayaan adalah pengalaman cinta yang sebagian bergantung pada faktor eksternal yang didefinisikan oleh kebudayaan. Berbagai penelitian-penelitian lintas budaya, telah
4
menyatakan bahwa konsep ketertarikan, cinta, dan keintiman berbeda pada tiap-tiap budaya (Dayaksini & Yuniardi, 2008). Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara budaya-budaya tersebut memandang cinta. Umumnya, masyarakat di Amerika merasakan bahwa cinta merupakan hal yang dibutuhkan dan kadang merupakan unsur yang cukup bagi terbentukanya hubungan romantis jangka panjang dan perkawinan, biasanya mereka menikah dengan orang yang yang dicintainya. Dalam budaya lain, seperti Cina, Jepang, dan India, cinta mungkin tidak menjadi hal yang harus dipertimbangkan untuk hubungan jangka panjang dan pernikahan. Biasanya perkawinan tersebut telah dipersiapkan oleh orangtua mereka masing-masing. Mereka meyakini bahwa cinta tumbuh pada saat kehidupan perkawinan mereka berlangsung (Dayaksini & Yuniardi, 2008). Shaver, Wu, dan Schwartz (dalam Hatfield & Rapson, 2011) mewawancarai anak muda di Amerika, Italia, dan Cina mengenai bagaimana mereka memandang cinta. Para peneliti itu menemukan bahwa orang Amerika dan Italia cenderung mengartikan cinta sebagai kebahagiaan dan pengalaman yang menyenangkan, sedangkan siswa di Cina memiliki pandangan yang lebih gelap mengenai cinta. Dalam bahasa Cina ada beberapa kata cinta yang berhubungan dengan kesedihan. Jankowiak & Fischer (dalam Dion & Dion, 1996) mengakui bahwa faktor budaya berkontribusi untuk kemungkinan bahwa anggota suatu masyarakat tertentu akan mengalami cinta romatis. Mereka juga mengungkapkan cerita rakyat dalam kebudayaan adalah cara yang paling bermanfaat dalam mendokumentasikan keberadaan romantisme cinta dalam suatu kebudayaan. Cerita cinta, dan lagu-lagu cinta mungkin muncul dalam semua kebudayaan. Cerita cinta yang telah diceritakan selama bertahuntahun telah membangun harapan pada diri seorang individu dan pasangannya dalam setiap tahap hubungannya. Contohnya dalam cerita The Frog Princes, Beauty and the
5
Beast, dan cerita dari Suku Zuni di Amerika The Serpent of the Sea menyimpulkan bahwa seorang wanita yang mempunyai budi pekerti luhur jatuh cinta pada seorang pria yang buruk rupa, dia jatuh cinta karena karakter yang dimiliki oleh sang pria, bukan karena kekayaan atau fisiknya. Bagaimana dengan pandangan cinta di Indonesia?. Indonesia sendiri sangat kental dengan kebudayaan. Masyarakat sangat menjunjung tinggi norma-norma kebudayaan yang terkandung dari setiap unsur yang ada didalamnya. Keadaan geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang besar pun turut memperkaya kebudayaan di Indonesia. Terdapat lebih dari 300 kelompok etnis yang mendiami Indonesia. Hal ini menambah bukti bahwa Indonesia memang kaya dengan kebudayaan, yang berasal dari setiap etnis. Gordon (dalam Dayaksini & Yuniardi, 2008) mengungkapkan bahwa etnis digambarkan atau didefinisikan atas dasar nasional, agama, dan ras. Atribut yang berhubungan dengan etnis meliputi: (1) Suatu gambaran/image kelompok dan perasaan identitas (sense of identity) yang diperoleh dari pola-pola budaya kontemporer atau saat ini (nilai-nilai, perilaku, kepercayaan, bahasa), (2) minat ekonomi dan politis yang bersama, (3) keanggotaan yang tanpa dipaksa atau sukarela, walaupun identifikasi individu dengan kelompok mungkin adalah pernyataan saja. Dalam penelitian ini peneliti mengangkat etnis Jawa khususnya Salatiga dan etnis Papua khususnya Biak. Etnis Jawa dan etnis Papua mempunyai banyak sekali tradisi yang sampai hari ini masih dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Etnis Jawa, mempunyai budaya yang unik dan prosesinya dianggap sakral dan diajarkan secara turun temurun. Salah satunya adalah prosesi pernikahan adat. Prosesi pernikahan adat
6
Jawa dianggap salah satu prosesi pernikahan yang panjang, rumit, dan sangat sakral. Banyak rangkaian upacara yang harus dilewati oleh calon mempelai seperti : (1) siraman, yang bertujuan untuk membersihkan secara spiritual dan supaya kedua mempelai berhati suci, (2) midodareni, yang bearti bidadari, (3) ijab kabul, (4) kembar mayang, (5) adicara bucalan gantal yang bermakna bahwa kedua mempelai telah menyatukan tekat secara lahir batin untuk menghadapi suka duka kehidupan rumah tangga, (6) ngidak tigan dan wijik kembang setaman, ngidak tigan adalah prosesi dimana sang mempelai pria menginjak telur yang maknanya adalah kewajiban untuk meneruskan keturunan, setelah itu sang mempelai wanita melakukan prosesi wijik kembang setaman yaitu membasuh kaki mempelai pria dengan air bunga, yang bermakna bahwa sang mempelai wanita siap untuk melayani, setia dan menghormati suaminya, (7) adicara sinduran dan kacar kucur, maksudnya adalah walau berbagai permasalahan yang harus dihadapi sangatlah berat maka kedua mempelai harus bersikap malu kalau harus berpisah, atau dengan kata lain mereka tetap mempertahankan bahtera pernikahannya walaupun dalam keadaan sesulit apapun, sedangkan upacara kacar kucur adalah lambang dari sang suami yang mencari nafkah untuk keluarga dengan memberikan hasil jerih payah kepada istrinya, (8) pangkon timbang dan dhahar saklimah, prosesi ini sebagai simbol bahwa kedua orang tua mempelai telah mendudukan pasangan ditempat yang selayaknya, (9) sungkeman, prosesi ini sebagai wujud bahwa kedua mempelai akan berbakti kepada orang tua melalui permintaan doa restu (Octaviana, 2014) Pada etnis Papua, kebudayaan pun menjadi suatu hal yang sangat mendasar bagi berlangsungnya kehidupan. Etnis Papua, khususnya Biak juga mempunyai keunikan budaya adat istiadat marga dan sub marga yang menjadi daya tarik tersendiri, salah satu
7
keunikan budaya tersebut adalah tradisi pemberian mas kawin atau dalam bahasa Biak disebut Iyakyaker yang merupakan salah satu warisan budaya yang masih melekat.Mas kawin dapat berupa hewan babi, manik-manik, guci, piring antik, hasil kebun, hasil laut, hewan hasil buruan, serta beragam harta benda lainnya, Jumlah besarnya mas kawin pun ditentukan oleh status mempelai wanitanya, latar belakang keluarga, kecantikan, keperawanan, dan juga pendidikan (kebudayaan.kemdikbud.go.id, 2013). Menurut Mampioper (dalam Papuasiana, 2011) mas kawin adalah : (1) alat pengabsahan terhadap suatu perkawinan, (2) merupakan media dimana pada satu sisi menuntuk sang istri untuk tetap setia melayani suami dan memelihara anak-anaknya yang lahi, dan disisi lain menuntut suami untuk memperlakukan istrinya dengan baik agar mas kawin yang dibayarkan tidak hilang jika terjadi penyelewengan yang mengakibatkan perceraian, (3) mas kawin merupakan alat pengikat antara dua kelompok kekerabatan, (5) mas kawin menimbulkan hubungan timbal balik antara kelompok-kelompok kekerabatan yang berbeda, karena biasanya seluruh penduduk kampung terlibat dalam mengumpulkan mas kawin, tidak terbatas pada satu marga saja, (5) pembagian mas kawin menimbulkan rasa solidaritas. Seiring dengan berjalannya waktu membuat terkikisnya kebudayaan tersebut, sehingga tatanannya pun menjadi sudah berbeda. Namun, sebagian masyarakat Biak masih mempertahankan nilai-nilai budaya yang merupakan warisan leluhur (kebudayaan.kemdikbud.go.id, 2013). Berdasarkan wawancara dengan beberapa partisipan baik dari etnis Jawa maupun etnis Papua, fenomena yang terjadi dalam etnis Jawa, mereka menganggap cinta merupakan pondasi yang penting dalam terbentuknya keluarga. Pada seorang suami, memberikan nafkah lahir batin merupakan hal yang tidak bisa dihindari, dan menjadi salah satu dari perwujudan cinta. Mereka menganggap bahwa memberikan
8
nafkah lahir batin untuk istrinya, melindungi istri, serta tetap setia pada istri sudah mewakili cinta yang sesungguhnya. Pada seorang istri, bagi mereka cinta adalah jika mereka bisa melayani suaminya dengan baik, selalu menurut dengan suami, bisa selalu berada didekat suami dalam keadaan apapun, dapat mengerti suaminya, dapat membantu perekonomian keluarga, menjaga nama baik diri sendiri maupun nama baik suami, dan menjaga keutuhan rumah tangga. Sedangkan di etnis Papua, memandang cinta tidak terlepas dari standar cinta Allah. Para suami bertanggung jawab seutuhnya kepada istrinya, memberi nafkah untuk keluarga, sang istri mau menghormati dan melayani suami dengan tulus dan ikhlas berdasarkan iman. Dan juga menjaga hubungan pernikahannya sampai dipisahkan oleh kematian. Terlepas dari pandangan standar cinta Allah, ada kriteria tersendiri yang sebenarnya diinginkan oleh sang suami terhadap sang istri yaitu, terkadang sang suami ingin melihat sang istri berpenampilan lebih menarik dan terlihat cantik. Dalam fenomena yang terjadi pada kedua etnis tersebut sudah terlihat dimana letak kettiga komponen cinta. Pada komponen keintiman, dalam etnis Jawa sang suami memberikan nafkah dan sang istri membantu perekonomian keluarga, serta menjaga nama baik suaminya merupakan salah satu wujud dari dukungan kesejahteraan masingmasing, dalam etnis Papua sang suami memberi nafkah untuk keluarga, dan mau bertanggung jawab seutuhnya kepada sang istri, sementara itu sang istri pun juga mau mennghormati dan melayani suami dengan tulus dan iklas, hal ini membuktikan bahwa sang istri bisa mengandalkan suaminya dalam hal pemberian nafkah, sang istripun juga memberikan bentuk penghargaan dengan mau melayani dan menghormati suaminya, karena menghargai pasangan merupakan salah satu elemen dari keintiman.
9
Dalam komponen gairah, pada etnis Jawa sang suami tidak hanya memberikan nafkah secara lahir tetapi secara batin dan sang istri pun selalu ingin dekat dengan suaminya. Pada etnis papua ditunjukkan dengan keinginan sang suami yang ingin melihat istrinya tampil lebih cantik dan menarik. Untuk komponen komitmen, pada etnis Jawa ditunjukkan dengan keinginan sang istri untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Pada etnis Papua, ditunjukkan dengan memandang cinta sesuai dengan stadar Allah, sehingga mereka ingin menjaga rumah tangganya hingga maut memisahkan. Tetapi hal tersebut tidak terjadi pada semua orang. Seperti yang sebutkan dalam Sindonews angka perceraian di Jawa Tengah hingga saat ini masih cukup tinggi, setidaknya hingga saat ini sekitar 1200 kasus perceraian terjadi setiap tahunnya. Di Papua, menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PP dan PA), Yohana Yambise yang dilansir oleh Jogjakartanews di Indonesia, tingkat Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yaitu kekerasan fisik, tertinggi di daerah Papua, dengan korbannya kebanyakan adalah perempuan. Kedua kasus tersebut setidaknya memberikan gambaran bahwa apa yang terjadi di masyarakat khususnya masyarakat dalam kedua etnis ini, sangat berbanding terbalik dengan apa yang telah dipaparkan sebelumnya mengenai pandangan cinta pada etnis Jawa dan etnis Papua. Dengan adanya kasus-kasus tersebut, dan perbedaan kebudayaan pada kedua etnis ini, mungkin tingkat komponen cintanya juga berbeda. Penelitian ini akan berfokus pada pasangan suami istri, karena pada umumnya cinta yang melandasi adanya pernikahan, selain itu di Indonesia sendiri pernikahan merupakan hal yang sangat sakral.
10
Dengan adanya berbagai penelitian yang telah dilakukan dalam kebudayaan luar, membuat peneliti ingin mengetahui tentang bagaimana perbedaan komponen cinta (Intimacy, Passion, dan Commitment) di masyarakat Indonesia khususnya pada etnis Jawa dan etnis Papua. Diperkuat juga karena peneliti belum menemukan penelitian mengenai komponen cinta di Indonesia, yang membuat peneliti semakin tertarik melakukan penelitian ini. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui: “Apakah ada perbedaan yang signifikan pada komponen cinta (keintiman, gairah, dan komitmen) antara etnis Jawa dan etnis Papua?” Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:
“Apakah ada perbedaan yang signifikan pada komponen cinta
(keintiman, gairah, dan komitmen) antara etnis Jawa dan etnis Papua.” Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini, diharapkan dapat menyumbangkan referensi teoritis khususnya di bidang Psikologi Perkembangan dan Sosial. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi peneliti selanjutnya, khususnya mengenai perbedaan komponen cinta dalam teori segitiga sternberg dan usia perkawinan.
11
2.
Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat umum, khususnya para pasangan perkawinan. Penelitian ini juga diharapkan menambah wawasan pemahaman mengenai komponen cinta, terutama untuk dapat dimanfaatkan pihak-pihak terkait untuk penanganan masalah-masalah dalam lingkup psikologis.
TINJAUAN PUSTAKA A. Cinta Menurut Sternberg (dalam Nordlund, 2007) cinta adalah konstruksi sosial yang merefleksikan periode waktu karena itu merupakan suatu hal yang penting dalam fungsi budaya. B. Komponen Cinta Sternberg (1997) menyatakan ada tiga komponen cinta, yaitu : keintiman (intimacy), gairah (passion), dan komitmen (decision/commitment). Berikut, penjelasan dari ketiga komponen tersebut. 1. Keintiman (intimacy) Keintiman mengacu pada perasaan kedekatan, keterikatan, dan ketertarikan dalam hubungan cinta (Sternberg, 1997), keintiman meliputi sepuluh elemen, yaitu: a.
Sangat ingin meningkatkan kesejahteraan orang yang dicintai Seseorang yang dilanda cinta pasti ingin memperhatikan dan meningkatkan kesejahteraan pasangannya, dia mungkin saja mengorbankan
12
diri demi pasangannya, tetapi dengan disertai harapan adanya balasan dari pasangannya. b. Merasakan kegembiraan dengan orang tercinta Menikmati kebersamaan bersama pasangan pasti sesuatu hal yang sangat diinginkan seseorang yang sedang jatuh cinta. Mereka juga berbagi cerita tentang saat-saat yang menyenagkan akan terus menjadikan suatu hubungan lebih baik lagi. c.
Menghargai orang tercinta dengan penuh rasa hormat Seseorang mungkin saja sangat menghargai pasangannya, walaupun bisa jadi dia tahu kekurangan yang dimiliki oleh pasangannya, tetapi hal ini tidak membuat rasa hormatnya pada pasangannya tersebut.
d. Mampu mengandalkan orang yang dicintai saat membutuhkan Seseorang pasti menginginkan pasangannya tersebut berada disisinya saat dibutuhkan, dan dapat mengharapkan bantuannya saat dia sedang kesusahan e.
Saling memahami Sepasang individu yang dilanda cinta berharap bisa saling memahami, mereka mengetahui kelebihan dan kelemahan masing-masing dan dapat memahami pasangannya dengan menunjukkan empati atas kondisi emosi pasangan.
f.
Membagi diri dan harta miliknya dengan orang tercinta Seseorang rela memberikan waktu, diri, dan semua miliknya kepada pasangan. Walaupun semua miliknya tidak perlu dijadikan milik bersama,
13
tetapi dia membagi sesuatu yang menjadi miliknya saat pasangannya membutuhkan. g.
Menerima dukungan emosional dari kekasih Seseorang menerima dukungan dan merasa terobati oleh pasangannya, terutama saat dia merasa dalam keadaan terpuruk sekalipun.
h. Memberikan dukugan emosional kepada yang dicintai Seseorang berempati dan mendukung pasangannya secara emosional disaat pasangannya sedang membutuhkan i.
Berkomunikasi secara lebih intim dengan orang yang dicintai Seseorang dapat berkomunikasi secara mendalam, berbagi perasaan, dan dapat jujur kepada pasangannya.
j.
Menghargai orang yang dicintai Seseorang merasa bahwa keberadaan pasangannya itu merupakan suatu hal yang penting dalam rencana hidupnya.
Kesepuluh hal tersebut merupakan beberapa perasaan yang mungkin dirasakan seseorang sehubungan dengan keintiman cinta, tak perlu merasakan semua perasaan diatas untuk bisa mengalami keintiman. Keintiman dari saling keterkaitan yang kuat dan intens serta beragam bentuknya. Dengan demikian, keintiman pasangan itu dicirikan dengan ikatan yang kuat dan intensitas interaksi yang tinggi dalam berbagai bentuk (Sternberg, 2009). 2.
Gairah (passion) Gairah sebagian besar merupakan ekspersi hasrat dan kebutuhan seperti harga
diri. Pengasuhan, afiliasi, dominasi, kepatuhan, dan kepuasan seksual. Kekuatan kebutuhan-kebutuhan tersebut beragam tergantung pada orangnya, situasi, dan jenis
14
hubungan cinta. Contohnya, kepuasan seksual mungkin berperan penting dalam hubungan romatis, tapi tidak dengan hubungan yang bersifat kanak-kanak (Sternberg, 2009). Gairah dalam cinta cenderung tercampur dengan keintiman. Bisa jadi, gairah merupakan hal pertama yang menarik individu dalam suatu hubungan. Namun keintiman yang membantu mempertahankan kedekatan dalam hubungan. Dalam hubungan dekat, gairah khususnya tertarik dengan daya tarik fisik, berkembang setelah keintiman terbetuk. Terkadang keduanya juga bertentangan, dalam situasi tertentu, gairah bisa meningkat, dan menekan keintiman. Gairah berkembang dipengaruhi juga oleh stimulus masa lalu, yaitu ibu. Seorang anak laki-laki yang sangat bergantung pada ibunya, mencari ibunya unutk mencari sesuatu yang biasa dia dapatkan dari ibunya, tetapi seiring berjalannya waktu hal itu tidak akan ia dapatkan lagi. Sesuatu yang hilang itu akan menjadi sebuah keadaan laten, dan menunggu untuk dibangkitkan kembali setelah beberapa tahun. Prinsip serupa juga terjadi pada seorang wanita, yang dalam hal ini berkaitan dengan respek terhadap sang ayah. 3.
Komitmen (commitment) Komitmen terdiri atas 2 aspek, yaitu jangka panjang dan jangka pendek. Aspek
jangka pendek adalah keputusan untuk mencintai orang lain, sementara aspek jangka panjang adalah komitmen untuk mempertahankan cinta tersebut. Komitmen adalah hal yang membuat seseorang mau terikat pada sesuatu atau seseorang dan bersamanya hingga akhir perjalanan (Sternberg, 2009). Dalam hubungan antar pasangan dapat kehilangan keintiman dan gairah sehingga hubungan cintanya selalu dilanda pasang surut. Selama masa surut, komponen
15
komitmen yang akan menjaga hubungan. Komponen ini membantu untuk melalui masamasa sulit dan dapat mengembalikan masa-masa yang lebih baik. C. Perbedaan Komponen Cinta Ditinjau Dari Etnis Manusia pasti merasakan cinta, mereka menikah dan membentuk sebuah keluarga berdasarkan cinta. Cinta sendiri memiliki tiga komponen seperti keintiman yang mengacu pada perasaan kedekatan, keterikatan, dan ketertarikan dalam hubungan cinta, kemudian Gairah yang berhubungan dengan ekspersi gairah dan kebutuhan seperti harga diri, serta komitmen yang berhubungan dengan keputusan dan komitmen dalam mencitai orang lain. Tiga hal ini sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia. Kebudayaan juga merupakan suatu hal yang mendasar bagi kehidupan manusia. Cinta dipandang berbeda-beda dalam setiap kebudayaan. Sternberg (2009) menjelaskan salah satu alasan yang menyebabkan perbedaan dalam memandang cinta di berbagai kebudayaan adalah pengalaman cinta yang sebagian bergantung pada faktor eksternal yang didefinisikan oleh kebudayaan. Telah banyak penelitian-penelitian mengenai kebudayaan dan cinta. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, dalam Cina, Jepang, dan India, cinta mungkin tidak menjadi hal yang harus dipertimbangkan untuk hubungan jangka panjang dan pernikahan. Biasanya perkawinan tersebut telah dipersiapkan oleh orangtua mereka masing-masing. Mereka meyakini bahwa cinta tumbuh pada saat kehidupan perkawinan mereka berlangsung (Dayaksini & Yuniardi, 2008). Dalam studi lain yang dilakukan oleh Furman (dalam Dayaksini & Yuniardi, 2008) pada tahun 1984 dengan menggunakan survei nilai dari Rokeach terhadap kelompok orang-orang Afrika Selatan, India, dan Eropa, menunjukan hasil bahwa orang
16
eropa memberikan nilai yang lebih tinggi pada cinta daripada orang-orang di Afrika Selatan dan India. Indonesia sendiri, negara yang majemuk dan multikultural, banyak sekali kebudayaan dan etnis-etnis yang ada di Indonesia. Komponen cinta pun juga mempunyai hubungan yang erat terhadap kebudayaan di Indonesia khususnya dalam penelitian ini adalah pada etnis Jawa dan etnis Papua. Komponen keintiman misalnya, dalam berbagai ajaran kebudayaan baik budaya Jawa maupun budaya Papua mengajarkan bahwa kehidupan rumah tangga merupakan suatu hal yang harus dipertanggung jawabkan oleh suami dan istri, suami dan istri harus saling menyayangi, saling menghargai, saling mendukung satu sama lain. Sedangkan dalam komponen gairah, baik dalam budaya Jawa maupun budaya Papua mengajarkan agar sebaiknya suami dan istri saling berhubungan secara biologis supaya mereka dapat meneruskan keturunan dan khususnya pada etnis Papua dapat menurunkan marga, dan pada komponen komitmen, baik etnis Jawa maupun etnis Papua diajarkan untuk selalu menjaga keutuhan rumah tangganya dan setia terhadap pasangan masing-masing. Fenomena yang sudah dipaparkan sebelumnya Etnis Jawa, menganggap cinta merupakan suatu yang penting dalam terbentuknya keluarga. Pada seorang suami, menganggap bahwa memberikan nafkah lahir batin untuk istrinya, melindungi istri, serta tetap setia pada istri sudah mewakili cinta yang sesungguhnya. Pada seorang istri, bagi mereka cinta adalah jika mereka bisa melayani suaminya dengan baik, selalu menurut dengan suami, bisa selalu berada didekat suami dalam keadaan apapun, dan dapat mengerti suaminya. Sedangkan di etnis Papua, memandang cinta tidak terlepas dari standar cinta Allah. Para suami bertanggung jawab seutuhnya kepada istrinya, sang istri mau melayani suami dengan tulus dan ikhlas berdasarkan iman. Tetapi hal tersebut
17
tidak terjadi pada semua orang,dengan meningkatnya kasus perceraian di Jawa Tengah, dan merebaknya kasus KDRT di Papua. Dalam penelitian ini khususnya etnis Jawa dan etnis Papua. Kedua etnis ini masih sangat menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi yang ada di daerah masing-masing. Dengan perbedaan tradisi yang ada, dan juga beberapa kasus yang berkembang mungkin tingkat perbedaan komponen cinta pada pasangan-pasangan dalam kedua etnis ini juga berbeda. Ditinjau dari fenomena yang sudah di paparkan diatas, dan mengingat masih terbatasnya penelitian yang berkaitan dengan komponen cinta dan etnis khususnya di Indonesia, maka peneliti belum bisa menentukan bagaimana perbedaan komponen cinta pada kedua etnis tersebut. D.
Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah : Ada perbedaan signifikan komponen
cinta pada etnis Jawa dan etnis Papua.
METODE PENELITIAN A.
Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, dan merupakan bentuk studi
komparatif dengan pendekatan Independent Sample T-test yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan rata-rata antara dua kelompok sampel. B.
Partisipan Partisipan dalam penelitian ini adalah pasang suami istri yang tinggal di Salatiga
dan Biak. Penelitian ini total melibatkan 80 pasang suami istri atau 160 pasangan dari Salatiga dan dari Biak. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Snowball
18
Sampling karena ingin mendapatkan partisipan yang sesuai dengan kriteria. Kriteria subjek adalah pasangan suami istri yang beretnis Jawa khusunya Salatiga dan beretnis Papua khususnya Biak, tidak pernah tinggal di luar daerah Salatiga dan Biak, tinggal bersama, dan tidak dalam proses bercerai. Pengambilan data ini dilakukan pada tanggal 20 april 2015 sampai 8 mei 2015 untuk wilayah Salatiga, sedangkan untuk wilayah Biak dilakukan pada tanggal 16 Mei 2015 sampai 8 Juni 2015. C.
Metode Pengumpulan Data Penelitian menggunakan alat ukur Sternberg’s Triangular Love Scale (STLS).
Alat ukur ini memiliki 45 pernyataan, yang terbagi dalam 3 komponen. 15 Pernyataan untuk komponen keintiman (intimacy), 15 pernyataan untuk komponen gairah (passion), dan 15 pernyataan untuk komponen komitmen (commitment). Respon partisipan akan dihitung berdasarkan 5 skala respon yaitu, angka 1 untuk respon “sangat tidak sesuai”, angka 2 untuk “tidak sesuai”, angka 3 untuk “netral”, angka 4 untuk “sesuai”, angka 5 untuk “sangat sesuai”. Berikut merupakan contoh item untuk setiap komponennya. Komponen intimasi (Saya mendukung kesejahteraan pasangan saya, Saya mempunyai hubungan baik dengan pasangan saya), komponen gairah (Hanya dengan melihat pasangan saya, membuat saya merasa senang, Saya sangat menyukai kontak fisik dengan pasangan saya), komponen komitmen (Saya berharap cinta saya terhadap pasangan saya berlangsung hingga akhir hidup saya, Saya merasa hubungan saya dan pasangan saya akan kekal). Sebelum dipergunakan, skala diuji coba terlebih dahulu. Dalam penelitian ini digunakan uji coba terpakai. Standar daya diskriminasi yang digunakan pada penelitian ini adalah 0>0,30 (Azwar, 2013). Setelah diuji coba terlebih dahulu, pada komponen
19
keintiman tidak terdapat item yang gugur. Dari 15 item menghasilkan korelasi item total antara 0,392 – 0,700. Pada komponen gairah juga tidak terdapat item yang gugur. Dari 15 item, menghasilkan korelasi item total antara 0,376 – 0,609. Selanjutnya pada komponen komitmen, terdapat 3 item yang gugur, dan menyisakan 12 item yang dapat digunakan dalam penelitian ini dengan korelasi item total antara 0,397 – 0,701. Untuk menguji reliabilitas menggunakan teknik Alpha Cronbach pada setiap komponen. Pada komponen keintiman diperoleh koefisien α = 0,896 pada komponen gairah diperoleh koefisien α = 0,864 dan pada komponen komitmen diperoleh koefisien α = 0,849. Dengan demikian, skala yang digunakan dalam penelitian ini baik skala komponen keintiman, skala komponen gairah, dan skala komponen komitmen reliabel. TEKNIK ANALISIS DATA Penelitian menggunakan pendekatan Independent Sample t-test, namun sebelum melakukan uji beda (t-tes) penulis melakuakan uji asumsi. Uji Asumsi ini bertujuan untuk menentukan jenis satistik parametrik atau statistik non parametrik yang akan digunakan untuk uji beda. A. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data yang dihasilkan memiliki distribusi normal atau tidak, sehingga dapat ditentukan penggunaan statistik parametrik atau statistik non parametrik. Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov dengan kriteria, jika signifikasi p>0,05 maka data berdistribusi normal, jika signifikasi p<0,05 maka data tidak berdistribusi normal. Adapun hasil uji normalitas sebagai berikut:
20
1. Komponen keintiman Berdasarkan uji normalitas yang diperoleh nilai Kolmogorov Smirnov untuk sampel etnis Jawa sebesar 0,002 hal ini berarti untuk signifikasi sampel etnis Jawa < 0,05 maka tidak berdistribusi normal. Sedangkan, untuk sampel Papua sebesar 0,000 hal ini berarti signifikasi sampel Papua < 0,05 maka distribusinya tidak normal. Pada sampel data suami, uji normalitas yang diperoleh sebesar 0,161 untuk etnis Jawa dan untuk etnis Papua sebesar 0,085. Hal ini menunjukan bahwa baik signifikasi sampel suami etnis Jawa dan suami etnis Papua >0.05 maka, data kedua etnis tersebut berdistribusi normal. Sedangkan untuk sampel data istri pada etnis Jawa signifikansinya sebesar 0,037 dan sampel data istri pada etnis Papua sebesar 0,007. Sampel data istri pada etnis Jawa dan etnis Papua signifikasinya <0,05 maka sampel data istri pada etnis Jawa maupun pada etnis Papua tersebut tidak berdistribusi normal. 2. Komponen gairah Uji normalitas pada komponen gairah, untuk sampel etnis Jawa signifikasinya sebesar 0,200 dan etnis Papua signifikasinya sebesar 0,063. Maka, dapat dikatakan bahwa data sampel kedua etnis tersebut berdistribusi normal. Untuk data sampel suami pada etnis Jawa mendapatkan signifikasi sebesar 0,200, sama halnya dengan sampel suami pada etnis Papua yang juga mendapatkan signifikasi sebesar 0,200, karena signifikasinya >0,05 maka, sampel suami pada kedua etnis tersebut berdistribusi normal.
21
Sedangkan untuk sampel istri pada etnis Jawa dan etnis Papua juga mempunyai signifikasi yang sama yaitu sebesar 0,200. Maka data sampel istri kedua etnis tersebut berdistribusi normal. 3. Komponen komitmen Pada sampel komitmen, uji normalitas memperoleh sinifikasi sebesar 0,002 untuk data sampel etnis Jawa, dan 0,001 pada etnis Papua. Baik data pada etnis Jawa dan data pada etnis Papua signifikasinya <0,05, maka data sampel pada kedua etnis tersebut tidak berdistribusi normal. Sementara itu, sampel data suami pada etnis Jawa menunjukan signifikasi sebesar 0,035 dan 0,011 pada etnis Papua, hal ini jelas menunjukan bahwa signifikasi kedua sampel tersebut <0,05 maka, data tidak berdistribusi normal. Setelah itu, uji normalitas juga dilakukan pada data sampel istri, untuk data sampel istri etnis Jawa menghasilkan signifikasi sebesar 0,200 dan data sampel istri pada etnis Papua sebesar 0,043. Dapat dikatakan bahwa data sampel istri pada etnis Jawa berdistribusi normal sedangkan pada etnis Papua tidak berdistribusi normal. B. Uji homogenitas Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang digunakan mempunyai varians yang sama atau tidak. Pengujiannya menggunakan teknik Leven Statistic dengan kriteria pengambilan keputusan signifikasi p>0,05 maka data bersifat homogen. Adapun hasil uji homogenitas sebagai berikut:
22
1. Komponen keintiman Berdasarkan hasil pengujian homogenitas pada komponen keintiman, diketahui bahwa signifikansi sampel etnis Jawa dan etnis Papua bernilai 0,063 yang berarti nilai signifikansinya >0,05 dengan begitu dapat diartikan bahwa sampel penelitian bersifat homogen atau memiliki varians yang sama. Sedangkan pada data sampel suami diketahui nilai signifikasinya sebesar 0,454, yang berarti >0,05 maka data tersebut bersifat homogen. Selain itu pada data sampel untuk istri juga dilakukan pengujian homogenitas yang menghasilkan signifikasi sebesar 0,087 maka, bisa dikatakan bahwa data tersebut signifikasinya >0,05 yang berarti data tersebut bersifat homogen atau mempunyai varians yang sama. 2. Komponen gairah Hasil pengujian homogenitas komponen gairah pada etnis Jawa dan etnis Papua menghasilkan signifikasi sebesar 0,682. Hal ini berarti signifikasi yang dihasilkan >0,05 maka data tersebut bersifat homogen. Sementara itu hasil pengujian homogenitas untuk sampel suami signifikasinya sebesar 0,827, dan pada sampel istri menghasilkan signifikasi sebesar 0,736. Hal ini menunjukan bahwa signifikasi pada sampel data suami dan sampel data istri >0,05, maka dapat dikatakan bahwa kedua data tersebut bersifat homogen. 3. Komponen komitmen Pengujian homogenitas komponen komitmen, pada etnis Jawa dan etnis Papua menghasilkan signifikasi sebesar 0,540 sedangkan pada sampel suami
23
saja menghasilkan signifikasi sebesar 0,097, dan pada sampel istri saja signifikasinya sebesar 1,915. Hal ini berarti ketiga sampel data diatas signifikasinya >0,05, maka dapat dikatakan bahwa ketiganya bersifat homogen. C. Data deskriptif Setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas, peneliti menguji statistik deskriptif. Untuk mengetahui tinggi rendah nilai sampel, maka dilakukan kategorisasi terhadap 43 item valid yang dipakai dalam penelitian ini. Hasil pengukurannya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 Kategorisasi Skala Segitiga Cinta Sternberg Suami Etnis
Komponen
Keintiman
Range
Kategori
Istri
Suami
Istri
F
(%)
F
(%)
F
(%)
15 ≤ x ≤ 27
Sangat rendah
27 ≤ x ≤ 39
Rendah
29 ≤ x ≤ 51
Sedang
5
6,25
2
5
3
7,5
51 ≤ x ≤ 63
Tinggi
31
38,75
16
40
15
37,5
63 ≤ x ≤ 75
Sangat tinggi
44
55
22
55
22
55
15 ≤ x ≤ 27
Sangat rendah
27 ≤ x ≤ 39
Rendah
1
1,25
1
2,5
29 ≤ x ≤ 51
Sedang
7
8,75
5
12,5
3
7,5
51 ≤ x ≤ 63
Tinggi
41
51,25
19
47,5
22
55
63 ≤ x ≤ 75
Sangat Tinggi
31
38,75
16
40
15
37,5
Jawa Gairah
24
Komitmen
Keintiman
Gairah
Papua
Komitmen
13 ≤ x ≤ 23,4
Sangat rendah
23,4 ≤ x ≤ 33,8
Rendah
1
1,25
33,8 ≤ x ≤ 44,2
Sedang
1
1,25
44,2 ≤ x ≤ 54,6
Tinggi
27
33,75
13
54,6 ≤ x ≤ 65
Sangat tinggi
51
63,75
15 ≤ x ≤ 27
Sangat rendah
27 ≤ x ≤ 39
Rendah
29 ≤ x ≤ 51
Sedang
5
51 ≤ x ≤ 63
Tinggi
63 ≤ x ≤ 75
Sangat tinggi
15 ≤ x ≤ 27
Sangat rendah
27 ≤ x ≤ 39
1
2,5 1
2,5
32,5
14
35
26
65
25
62,5
3,75
2
5
3
7,5
29
36,25
14
35
15
37,5
46
60
24
60
22
55
Rendah
2
2,5
1
2,5
1
2,5
29 ≤ x ≤ 51
Sedang
11
13,75
4
10
7
17,5
51 ≤ x ≤ 63
Tinggi
38
47,5
21
52,5
17
42,5
63 ≤ x ≤ 75
Sangat tinggi
29
36,25
14
35
15
37,5
13 ≤ x ≤ 23,4
Sangat rendah
23,4 ≤ x ≤ 33,8
Rendah
33,8 ≤ x ≤ 44,2
Sedang
3
3,75
1
2,5
2
5
44,2 ≤ x ≤ 54,6
Tinggi
20
25
10
25
10
25
54,6 ≤ x ≤ 65
Sangat tinggi
57
71,25
29
72,5
28
70
Dari tabel atas dapat dilihat bahwa baik etnis Jawa maupun Papua frekuensinya berkisar dari kategori sedang sampai sangat tinggi pada komponen keintiman dan komitmen, sementara itu pada komponen gairah berkisar dari kategori rendah sampai sangat tinggi. Pada etnis Jawa, 44 orang (22 suami dan 22 istri) atau 55% berada di
25
kategori sangat tinggi pada komponen keintiman dengan prosentase 55% pada suami dan istri, 41 orang (19 suami dan 22 istri) atau 51,25% menempati kategori tinggi pada komponen gairah dengan masing-masing prosentase 47,5% untuk suami, dan 55% untuk istri. Pada komponen komitmen, 51 (26 suami dan 25 istri) orang atau menduduki kategori sangat tinggi, dengan prosentase suami sebesar 65% dan prosentase istri sebesar 62,5%. Pada etnis Papua 46 orang (24 suami dan 22 istri) atau 60% menduduki kategori sangat tinggi dalam komponen keintiman dengan prosentase untuk suami sebesar 60%, dan untuk istri sebesar 55%, pada komponen gairah, sebangyak 38 orang (21 suami dan 17 istri) atau 47,5% dengan prosentase untuk suami sebesar 52,5% dan 42,5% untuk istri. Untuk komponen komitmen, 57 orang (29 suami dan 28 istri) atau 71,25% berada di kategori sangat tinggi, dengan prosentase untuk suami sebesar 70% dan istri sebesar 72,5%. HASIL A. Uji Independent Sample t-test dan Mann-Whitney U Selanjutnya melalui pengukuran uji-t dengan pendekatan Independent Sample ttest pada sampel yang berdistribusi normal dan menggunakan uji-u dengan pendekatan Mann-Whitney U pada sampel yang tidak berdistribusi normal. Pengukuran ini digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan antara dua sampel. 1. Komponen keintiman Analisis data pada komponen keintiman pada etnis Jawa dan etnis Papua, menggunakan pengujian u, karena data yang dihasilkan tidak berdistribusi
26
normal. Setelah dilakukan pengujian, menghasilkan nilai Z sebesar -1,121 dengan signifikasi sebesar 0,262 (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan komponen keintiman pada etnis Jawa dan Papua. Sedangkan pada sampel data suami baik etnis Jawa dengan Papua menggunakan uji t karena data berdistribusi normal, menghasilkan nilai t sebesar -1,486 dengan signifikasi sebesar 0,141 (p>0,05) dan pada sampel data istri dalam kedua etnis tersebut menggunakan uji u dan menghasilkan nilai Z sebesar -0,014 dengan signifikasi sebesar 0,988 (p>0,05). Hal ini berarti bahwa sampel data suami etnis Jawa dan suami etnis Papua, dengan istri etnis Jawa dan istri etnis Papua tidak terdapat perbedaan pada komponen keintiman. 2. Komponen gairah Pada uji t yang dilakukan untuk komponen gairah, dihasilkan nilai t sebesar 1, 475 dengan signifikansi sebesar 0,142 (p>0,05). Dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan komponen passion pada etnis Jawa dan Papua. Sedangkan pada sampel suami pada etnis Jawa dan etnis Papua menghasilakn nilai t sebesar 1,120 dengan signifikasi sebesar 0,266 (p>0,05), dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan pada komponen gairah pada sampel suami etnis Jawa dan suami etnis Papua. Hasil perhitungan uji t pada sampel istri etnis Jawa dan sampel istri etnis Papua diketahui bahwa nilai t sebesar 0,964 dengan signifikasi sebesar 0,338 (p>0,05), dengan begitu pada sampel data istripun juga tidak ditemukan adanya perbedaan. 3. Komponen komitmen Pada komponen komitmen ini semua sampel tidak berdistribusi normal, oleh karena itu dilakukan pengujian u pada semua sampel. Pada sampel total suami-
27
istri diketahui bahwa nilai Z sebesar -1,080 dengan signifikansi yang didapat sebesar 0,280 (p>0,05). Maka, pada komponen komitmen juga tidak ada perbedaan diantara etnis Jawa dan etnis Papua. Selain itu, sampel suami pada etnis Jawa dan etnis Papua menghasilkan nilai Z sebesar -0,902 dengan signifikasi sebesar 0,367 (p>0,05). Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan pada sampel suami etnis Jawa dan sampel suami etnis Papua dalam komponen komitmen. Pada sampel istri etnis Jawa dan sampel istri etnis Papua, juga dilakukan pengujian u, dan menghasilkan nilai Z sebesar -0,647 dengan signifikasi sebesar 0,518 (p>0,05). Dengan begitu, pada sampel istri pun juga tidak ditemukan adanya perbedaan dalam komponen komitmen. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan bahwa “ada perbedaan signifikan komponen cinta pada etnis Jawa dan etnis Papua” ditolak. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil perhitungan uji-t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan komponen cinta pada etnis Jawa dan etnis Papua. Pada komponen keintiman, baik sampel etnis Jawa dan etnis Papua menempati kategori sangat tinggi. Pada etnis Jawa, terlihat dari prosesi adat pernikahan yaitu upacara wijik kembang setaman dan kacar kucur, diamana dalam upacara wijik kembang setaman dimaksudkan supaya sang istri bisa melayani suaminya dengan baik, dan pada upacara kacar kucur sang suami memberikan nafkah pada istrinya. Kedua hal tersebut merupakan elemen dari keintiman. Mungkin hal tersebut menjadi panutan pada pasangan etnis Jawa untuk memelihara hubungan pernikahannya, sehingga menyebabkan keintiman pada pasangan tersebut berada dalam kategori sangat tinggi. Pada etnis Papua, pemberian mas kawin merupakan sesuatu hal yang wajib, dan mas kawin merupakan suatu media yang
28
menuntut sang istri untuk setia melayani suami dan memelihara anak-anaknya yang lahir dari perkwaninan tersebut, dan menuntut suami untuk memperlakukan istrinya dengan baik (Mampioper, dalam Papuasiana, 2011). Hal ini mungkin menjadi alasan mengapa keintiman dalam etnis Papua sangat tinggi, dengan adanya pemberian mas kawin dalam kebudayaan Papua, maka menuntut pasangan tersebut untuk terus mendukung kesejahteraan satu sama lain. Sementara itu pada komponen gairah, baik etnis Jawa maupun etnis Papua sama-sama berada dalam kategori yang sangat tinggi, Doherty, Hatfield, Thompson, dan Choo (1994) mengungkapkan bahwa ketika dihadapkan dengan emosi yang paling kuat, yaitu gairah cinta, pria dan wanita dari berbagai etnis dan kebudayaan tampaknya memiliki sikap dan perilaku yang sama. Hal ini mungkin sudah mewakili mengapa tidak ada perbedaan pada komponen gairah, baik dari etnis Jawa maupun etnis Papua keduanya memiliki sikap dan mungkin pandangan yang sama terhadap gairah. Pada komponen komitmen, baik etnis Jawa maupun etnis Papua berada dalam kategori sangat tinggi. Pada etnis Jawa, ajaran dari upacara adicara sinduran, yang mengajarkan bahwa harus tetap mempertahankan keutuhan rumah tangga walaupun banyak masalah berat yang menimpa, mungkin membuat pasangan dari etnis Jawa ini menjaga komitmen pernikahannya. Sekali lagi ditekankan bahwa budaya Jawa merupakan suatu yang sangat sakral dan tidak bisa dipungkiri lagi bahwa budaya tersebut masih dipegang teguh oleh masyarakatnya, hal ini mendorong masyarakat untuk selalu bersikap harmonis dengan kebudayaannya, meskipun terjadi pengikisan budaya oleh karena modernisasi, tetapi ajaran-ajaran budaya Jawa masih saja tetap terpelihara dan masih kental. Sementara itu masyarakat Papua termasuk masyarakat Biak sangat memegang teguh ajaran agama Kristen. Injil masuk ke tanah Papua pada
29
tahun 1855, dan pada tahun 1908 wilayah Biak Numfor dijadikan sebagai medan penginjilan. Pada saat itu pula agama norma-norma ajaran Kristen menjadi unsur kebudayaan baru bagi masyarakat Biak (Rumansara, 2003). Agama Kristen mengajarkan bahwa apa yang sudah dipersatukan oleh Allah, janganlah dipisahkan oleh tangan manusia, dengan kata lain, agama Kristen sangat tidak menganjurkan perceraian. Oleh karena itu, karena ajaran agama Kristen yang begitu kental dan dipegang teguh oleh masyarakat Biak dan masyarakat Papua lainnya. Selain itu, pengaruh mas kawin juga sangat kuat disini, mas kawin merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat Papua, sudah dijelaskan sebelumnya bahwa disisi lain, mas kawin menuntut suami untuk memperlakukan istrinya dengan baik agar mas kawin yang dibayarkan tidak hilang jika terjadi penyelewengan yang mengakibatkan perceraian. Oleh karena itu, dengan adanya pengaruh agama dan kebudayaan yang kuat maka wajar saja bila komponen komitmen etnis Papua berada pada kategori yang sangat tinggi. Faktor lain tidak adanya perbedaan komponen cinta ditinjau dari etnis bisa dikarenakan perbedaan antara budaya individualisme dan budaya koletivitis. Doherty, Hatfield, Thompson, dan Choo (1994) mengungkapkan bahwa pada penelitiannya, mereka menemukan beberapa perbedaan cinta pada kebudayaan negara barat dengan negara timur, atau kebudayaan individualisme dengan kebudayaan kolektivisme. Negara dengan kebudayaan individualisme (seperti Amerika, Inggris, Australia, Kanada, serta negara-negara di utara dan barat Eropa) lebih mementingkan keinginan pribadi, sedangkan negara dengan kebudayaan kolektivisme (seperti Cina, Amerika Latin, Yunani, Italia bagian selatan, Kepualuan Pasifik) lebih menekan kepentingan pribadi demi kepentingan bersama (Markus & Kitayama, 1991; Triandis, McCusker, & Hui, 1990, dalam Hatfield & Rapson, 2007).
Ting-Toomey (dalam Matsumoto, 2008)
30
membandingkan rating komitmen cinta, keterbukaan, ambivalensi, dan ungkapan konflik, pada 781 subjek dari perancis, Jepang, dan Amerika Serikat, hasilnya, subjek Amerika dan Perancis mempunyai tingkat komitmen cinta dan keterbukaan secara signifikan lebih tinggi dari subjek Jepang. Sementara itu subjek Amerika dan subjek Jepang memberi rating yang secara signifikan lebih tinggi pada pengungkapan konflik. Simmons, vom Kolke, dan Shimizu (dalam Matsumoto, 2008) meneliti sikap cinta dan romantika pada siswa Amerika, Jerman, dan Jepang. Hasilnya menginidkasikan bahwa cinta romantis lebih dinilai tinggi di Amerika dan Jerman daripada di Jepang. Para peneliti tersebut menduga bahwa perbedaan yang muncul di penelitian mereka karena cinta romantik lebih dihargai di budaya-budaya yang kurang tradisional dengan lebih sedikit ikatan keluarga besar yang kuat, dan kurang dihargai dalam budaya-budaya dimana jaringan kekerabatan punya pengaruh. Indonesia sendiri adalah negara dengan kebudayaan kolektivisme yang sangat kental dengan tradisi. Dalam penelitian cinta ini, yang berfokus pada dua etnis, Jawa dan Papua tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan. Jawa dan Papua yang memang berada di Indonesia, dan terlihat berbeda jika ditinjau dari kebudayaannya, tetapi keduanya berada menganut budaya kolektivisme dan masih sangat kental tradisinya. Tidak hanya tradisi yang masih kental, hubungan kekerabatan keluarga besar pun juga masih terpelihara dengan baik dalam kedua etnis ini. Hal ini terbukti pada saat mereka memutuskan akan menikah, peran keluarga besar sangat mempunyai andil disini, jika keluarga besar tidak menyetujui calon pasangan yang telah dipilih oleh sang anak, maka sangat sulit untuk mengadakan pernikahan, sebaliknya jika keluarga besar menyetujui maka pernikahan dengan mudah bisa dilakukan. Doa restu dari orang tua dan keluarga dinilai sangat penting, selain itu terlihat juga melalui upacara sungkeman
31
pada etnis jawa dan keterlibatan semua kerabat dalam pembayaran mas kawin pada etnis Papua. Hal tersebut sangat sesuai dengan apa yang sudah dipaparkan oleh Doherty, Hatfield, Thompson, dan Choo (1994) bahwa kebudayaan kolektivisme lebih menekan kepentingan pribadi demi kepentingan bersama.. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, tidak ada perbedaan yang signifikan pada komponen cinta yang ditinjau dari etnis. Hal ini disebabkan karena pengaruh budaya dan agama yang masih kental, dan ada pengaruh berbagai faktor lain seperti, etnis Jawa dan etnis Papua yang notabene adalah suku asli dari Indonesia yang merupakan negara dengan kebudayaan kolektif, masih tradisional, dan mempunyai sistem kekerabatan serta kekeluargaan yang sangat erat. KELEMAHAN PENELITIAN Penelitian ini mempunyai kelemahan seperti, skala yang dipakai dalam penelitian ini dirasa masih luas untuk konteks kebudayaan di Indonesia. Perlu dilakukan penyesuaian dan perubahan yang sesuai supaya bisa lebih menyesuaikan keadaan di Indonesia khususnya etnis yang ada didalamnya, tanpa mengubah maksud dan tujuan dari itemnya. Masih lemahnya penggalian data, sehingga masih terdapat ketimpangan antara hasil penelitian dengan realita yang terjadi di masyarakat.
32
SARAN A. Subjek Disarankan agar subjek dari masing-masing etnis mempertahankan keintiman, gairah, dan komitmennya, karena hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa baik subjek dari etnis Jawa maupun etnis Papua berada dalam kategori tinggi sampai sangat tinggi rata-rata tingkat komponen cintanya dengan lebih intens untuk berkomunikasi satu sama lain. Selain itu, dengan adanya komunikasi yang lebih intens dan menjaga cintanya sekiranya bisa mengurangi angka kasus seperti KDRT di Papua dan perceraian di Jawa. B. Penelitian selanjutnya Jika ditinjau lagi kategorisasi pada etnis Jawa dan etnis Papua, kedua etnis ini berada dalam kategori tinggi sampai sangat tinggi rata-rata komponen cintanya, tetapi pada kenyataanya masih banyak sekali kasus KDRT di Papua dan kasus perceraian di Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa adanya ketimpangan antara hasil kategorisasi dan realita yang terjadi di dalam masyarakat. Maka diharapkan untuk peneliti selanjutnya supaya menggali lebih dalam lagi agar terungkap jelas bagaimana perbedaan komponen cinta pada kedua etnis ini. Diharapkan juga penelitian selanjutnya untuk menyesuaikan skala penelitian ini dengan keadaan di Indonesia, khususnya etnis-etnis yang akan dijadikan sampel. Selain itu, penelitian selanjutnya diharapkan untuk mengambil subjek dengan membedakan usia, lama pernikahan, atau tingkat pendidikan.
33
DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. (2013). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Azwar, S. (2013). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Baron & Byrne. (2005). Psikologi sosial. Jakarta: Erlangga. Tradisi Iyakyaker Suku Biak Numfor .(2013, 31 Desember). Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Retrivied from http://kebudayaan.kemdikbud.go.id Dayaksini, T. Yuniardi, S.(2008). Psikologi lintas budaya. Malang: UMM Press Dion, K. K. Dion, K. L.(1996). Cultural Perspectives on Romantic Love. Journal of Personal Relationships. Doherty, R. W. Hatfield, E. Thompson, K. & Choo, P. (1994). Cultural And Ethnic Influences on Love And Attachment. Journal of Personal Relationship 1 (1994) 391-398. Hatfield, E. & Rapson, R. L. (2011). Culture and passionate love. In Fanziska Deutsch, Mandy Boehnke, Ulrich Kühnen, & Klaus Boehnke (Eds.) International Congress of the IACCP. XIXth. Berman, Germany: Internatioanl Academy of Cross Cultural Psychology (IACCP). Hatfield, E. & Rapson, R. L. (2007). Passionate Love and Sexual Desire: Multidisciplinary Perspectives. In J. P. Forgas (Ed.). Personal Relationships: Cognitive, Affective, and Motivational Processes. 10th Sydney Symposium of Social Psychology. Sydney, Australia. Endah, K.(2006). Petung, Prosesi, Dan Sesaji Dalam Ritual manten Masyarakat Jawa. Yogyakarta: Kejawen: Jurnal Kebudayaan Jawa 1 No.2 Matsumoto, D.(2008). Pengantar psikologi lintas budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nordlund, M. (2007). Shakespeare and the nature of love: literature, culture, evolution. USA: Northwestern University Press Octaviana, F. (2014). Implementasi makna simbolik prosesi pernikahan adat jawa tengah pada pasangan suami istri. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah. Rumansara, E. H. (2003). Tramsformasi Upacara Adat Papua: Wpr Dalam Lingkaran Hidup Orang. Biak. Humanoria Volume XV, No. 2/2003. Sternberg, R. J. (1997). Construct Validation of A Triangular Love Scale. Journal of Social Psychology, Volume 27, 313±335.
34
Sternberg, R. J. (2009).Cupid’s arrow panah asmara konsepsi cinta dari zaman ke zaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugiyono. (2013). Metode penelitian kuntitatif, Alfabeta, CV.
Kualitatif,
Dan R&D. Bandung: