PERBEDAAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA MENGGUNAKAN PEMBELAJARAN MODEL M-APOS MELALUI SIKLUS ACE DENGAN PEMBELAJARAN KONVENSIONAL
ARTIKEL SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh
ANITA MULYANI 1206461
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR KAMPUS CIBIRU UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2016
Antologi, Volume …, Nomor …, Juni 2016
PERBEDAAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA MENGGUNAKAN PEMBELAJARAN MODEL M-APOS MELALUI SIKLUS ACE DENGAN PEMBELAJARAN KONVENSIONAL Anita Mulyani 1, Husen Windayana2 , Margaretha Sri Y.3 Jurusan S-1 PGSD, Kampus Cibiru, Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pembelajaran matematika yang masih didominasi oleh aktivitas-aktivitas yang ditujukan untuk pencapaian mathematical basics skills semata. Pembelajaran seperti ini menyebabkan kegiatan belajar matematika hanya sekedar menghafal rumus tanpa disertai keterampilan berpikir dan memecahkan masalah yang pada akhirnya mengakibatkan rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Hal tersebut juga dikuatkan dengan adanya hasil studi yang dilakukan PISA (Programme for International Student Assesment) tahun 2012 menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 65 negara peserta dengan skor rata-rata 375, sedangkan skor rata-rata internasional 500. Dalam memecahkan masalah matematika, suatu ide tidak dapat muncul secara tiba-tiba. Ide-ide terjadi setelah berbagai macam simbol diolah sehingga dapat dikatakan bahwa dalam proses berpikir akan melewati beberapa tahap pengkontruksian mental seperti action, process, object, dan scheme. Tahap-tahap pengkonstruksian mental tersebut terdapat dalam model pembelajaran MAPOS yang pada pembelajaran menggunakan siklus ACE (Activities, Class discussion, Exercises). Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen dengan populasi siswa kelas IV SD di Kabupaten Bandung semester genap tahun ajaran 2015/2016 pada pokok bahasan pecahan. Berdasarkan hasil pengolahan data tes pemecahan masalah matematis, diperoleh rata-rata skor pretest kelompok kontrol sebesar 31,37 dan kelompok eksperimen sebesar 32,09. Setelah mendapat perlakuan berbeda, maka diperoleh rata-rata skor posttest kelompok kontrol sebesar 63,11 dan kelompok eksperimen sebesar 72,70. Pada kelas eksperimen nilai index gain yang diperoleh sebesar 0,6021 dan pada kelas kontrol sebesar 0,4746. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa melalui pembelajaran dengan menggunakan model M-APOS lebih baik dari pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa melalui pembelajaran konvensional. Model pembelajaran M-APOS melalui siklus ACE ini dapat dijadikan salah satu alternatif pembelajaran dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Kata kunci: M-AP0S, Pemecahan Masalah Matematis, SD
1) Mahasiswa PGSD Kampus Cibiru, NIM 1206461 2) Dosen Pembimbing I, Penulis Penanggung Jawab 3) Dosen Pembimbing II, Penulis Penanggung Jawab
Antologi, Volume …, Nomor …, Juni 2015
DIFFERENCES IN ABILITY TO RESOLUTION MATHEMATICAL MODEL STUDENT LEARNING USING MAPOS LEARNING THROUGH CYCLES ACE WITH CONVENTIONAL LEARNING Anita Mulyani 1, Husen Windayana2 , Margaretha Sri Y.3 Jurusan S-1 PGSD, Kampus Cibiru, Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] ABSTRACT This research is backgrounded by the learning of mathematics which is still dominated by activities aimed at achieving the basics mathematical skills alone. Learning like this causes learning math just memorize formulas without thinking and problem solving skills which ultimately resulted in poor students' mathematical problem solving ability. It corroborated by the results of studies conducted PISA(Programmefor International Student Assessment) in 2012 shows that Indonesia is ranked 64th out of 65 participating countries with an average score of 375, while the international average score of 500. In solving math problems, an idea can not appear suddenly. The ideas came after various kinds of symbols processed so that it can be said that in the thought process going through several stages contruc such mental action, process, object and scheme. The stages of construction of these mental contained in the learning model M-APOS. The method used is an experiment with a population of fourth grade students in Bandung Regency second semester of the 2015/2016 academic year on the subject of fractions. Based on the test mathematichal problem solving, obtained an average score of pretest in control group 31,37 and in the experimental group 32,09. After receiving a different treatment, then obtained an average score of posttest control group 63,11 and experimental group 72,70. The increase was indicated by an index value of the gain. In the experimental group index value of the gain obtained at 0.602 and the control group is 0.4746. The results showed that the increase in mathematical problem solving ability of students through learning by using a model M-APOS better than on improving students' mathematical problem solving ability through conventional learning.M-APOS learning through cycle ACE can be used as an alternative to improve the ability of mathematical problem solving. Keywords: M-APOS, Mathematical Problems Solving, Elementary School
1) Mahasiswa PGSD Kampus Cibiru, NIM 1206461 2) Dosen Pembimbing I, Penulis Penanggung Jawab 3) Dosen Pembimbing II, Penulis Penanggung Jawab
Anita Mulyani, Husen Windayana, Margaretha Sri Y., Pembelajaran Matematika Menggunakan Model M-APOS melalui Siklus ACE Kondisi pembelajaran yang sering ditemukan pada umumnya hanya berorientasi pada kegiatan pengajaran saja, sehingga guru cenderung menjadi pusat pembelajaran. Dalam hal ini, siswa dipandang sebagai penerima pasif yang tidak memiliki pengetahuan. Pembelajaran tersebut sering disebut dengan pembelajaran konvesional. Kendali pembelajaran sepenuhnya ada pada guru. Padahal kegiatan pembelajaran yang baik seharusnya dapat memfasilitasi siswa untuk membangun dan menemukan pengetahuan sendiri agar pengetahuan yang didapat menjadi bermakna. Pembelajaran matematika pun masih didominasi oleh aktivitas-aktivitas yang ditujukan untuk pencapaian mathematical basics skills semata. Pembelajaran seperti ini menyebabkan kegiatan belajar matematika hanya sekedar menghafal rumus tanpa disertai keterampilan berpikir dan memecahkan masalah yang pada akhirnya mengakibatkan rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Dengan demikian, guru harus menciptakan kondisi pembelajaran yang mampu merangsang dan memotivasi siswa untuk bekerja secara aktif dalam kegiatan pembelajaran dan menjadikan siswa sebagai pusat pembelajaran. Kondisi tersebut menuntut adanya perubahan paradigma pembelajaran, dari peran guru yang hanya sebagai pengajar menjadi seorang fasilitator, mediator, motivator dan evaluator bagi siswa. Keterampilan yang harus dimiliki guru salah satunya adalah keterampilan dalam memilih model pembelajaran. Model pembelajaran hendaknya dipilih dengan mempertimbangan seluruh aspek yang terlibat di dalam pembelajaran, seperti aspek kurikulum, aspek siswa sebagai sasaran belajar, dan aspek lingkungan. Pemilihan model pembelajaran juga harus mampu mengembangkan kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif. Penggunaan model pembelajaran yang tepat
[Type here]
akan mampu meminimalisir kesulitankesulitan yang dialami siswa. Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (BSNP, 2006) dijelaskan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama. Kemampuankemampuan tersebut akan menjadi modal bagi siswa dalam mempelajari konsep matematika pada jenjang yang lebih tinggi lagi. Tujuan utama mata pelajaran matematika menurut kurikulum 2006 adalah agar siswa dapat mengenal konsep matematika dan menggunakan penalaran dalam memecahkan masalah, dapat mengkomunikasikannya dalam berbagai media, sehingga siswa memiliki sikap menghargai dan menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada lima standar kemampuan dalam pelajaran matematika yang harus dimiliki oleh siswa menurut National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) yaitu, kemampuan pemecahan masalah (problem solving), kemampuan komunikasi (communication), kemampuan penalaran (reasoning), kemampuan pemecahan masalah (connection), dan kemampuan representasi (representation) (Van de Walle, J. A., 2008, hlm. 4). Kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi sehingga penting untuk dimiliki siswa. Hasil studi yang dilakukan PISA (Programme for International Student Assesment) tahun 2012 menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 65 negara peserta dengan skor rata-rata 375, sedangkan skor rata-rata internasional 500. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa Indonesia masih sangat rendah, karena soalsoal PISA menuntut adanya kemampuan penalaran dan pemecahan masalah. Di dalam soal-soal PISA terdapat delapan ciri kemampuan kognitif matematika yaitu
Antologi, Volume …, Nomor …, Juni 2016
thingking and reasoning, argumentation, communication, modelling, problem posing and solving, representation, using symbolic, formal and technical language and operations, and use of aids and tools (Silva, E. Y., 2010). Oleh karena itu, soal-soal PISA bukan hanya menuntut kemampuan dalam penerapan konsep saja, tetapi lebih menuntut praktik konsep-konsep tersebut ketika diterapkan dalam berbagai macam situasi yang mampu memudahkan dalam hal pemecahan masalah. Bertemali dengan permasalahan tersebut, maka diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat membantu proses berpikir tingkat tinggi siswa. Salah satu model pembelajaran yang dapat dijadikan sebagai alternatif adalah model M-APOS. Menurut Nurlaelah, E. (2009), model pembelajaran M-APOS yaitu model pembelajaran yang memanfaatkan tugas resitasi sebagai pengganti aktivitas siswa dalam kerangka model pembelajaran APOS. Penerapan model pembelajaran MAPOS ini dilakukakan dengan menggunakan sisklus ACE (Activities, Class discussion, Exercises). Pada tahap activities, siswa diberi tugas sebelum suatu materi diajarkan. Pemberian tugas ini bertujuan agar siswa dapat mengeksplorasi suatu materi yang hendak diajarkan untuk melatih kesiapan siswa dalam belajar. Selanjutnya pada fase class discussion, siswa mengerjakan soal-soal melalui diskusi kelompok berdasarkan konsep yang telah dikaji dalam tugas. Pada fase exercises, siswa mengerjakan latihan soal untuk mengasah penguasaannya terahadap materi. Melalui model pembelajaran MAPOS ini, selain menuntut siswa untuk memecahkan masalah, siswa juga terbiasa berpikir kritis, kreatif, dan inovatif. Selain itu juga, siswa dilatih untuk memiliki rasa tanggung jawab, berkomunikasi, dan memiliki sikap tenggang rasa terhadap perbedaan pendapat dari temannya. Model pembelajaran M-APOS ini sejalan dengan pendekatan berbasis masalah, teori
kontruktivis, teori Piaget, teori belajar bermakna Ausubel, teori Polya, dan teori interaksi sosial Vigotsky. 1. Berdasarkan semua uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa sebelum dan sesudah mendapatkan pembelajaran menggunakan model M-APOS melalui siklus ACE? 2. Apakah terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa sebelum dan sesudah mendapatkan pembelajaran konvensional? 3. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada kemampuan pemecahan masalah matematis siswa antara yang mendapatkan pembelajaran menggunakan model M-APOS melalui siklus ACE dengan yang mendapatkan pembelajaran konvensional? Penelitian ini bertujuan untuk menjawab ketiga rumusan masalah penelitian tersebut. METODE Populasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV sekolah dasar pada semester genap tahun ajaran 2015/2016 di Kabupaten Bandung. SDN Majakerta 2 dan SDN Loa 2 ditetapkan sebagai sampel penelitian oleh peneliti. Pemilihan sampel dilakukan tidak secara random. Sampel dipilih berdasarkan teknik sampling purposive. Berdasarkan hasil observasi pada guru bidang studi matematika dan guru wali kelas, informasi yang didapatkan menyatakan bahwa kedua kelas yang akan dijadikan sampel memiliki kemampuan matematis yang sama, sehingga penentuan kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dapat dilakukan terhadap kelas IV SDN Majakerta 2 dan kelas IV SDN Loa 2. Pada penelitian ini, peneliti menetapkan kelas IV SDN Majakerta 2 sebagai kelompok eksperimen dan kelas IV SDN Loa 2 sebagai kelompok kontrol.
Anita Mulyani, Husen Windayana, Margaretha Sri Y., Pembelajaran Matematika Menggunakan Model M-APOS melalui Siklus ACE Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen. Menurut Sugiyono (2012) “studi eksperimen dengan desain kelompok kontrol Non-Ekuivalen merupakan bagian dari bentuk kuasi eksperimen. Pada desain ini kelompok eksperimen dan kelompok kontrol tidak dipilih secara random”. Oleh karena itu, desain penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah desain yang memiliki rancangan pretest dan posttest yang tidak ekuivalen atau nonequivalent control group design. Pretest diberikan diawal sebelum pembelajaran, sedangkan posttest diberikan diakhir setelah semua pembelajaran selesai diberikan. Pada penelitian ini kelas eksperimen memperoleh pembelajaran menggunakan Model M-APOS memalui siklus ACE dan kelas kontrol memperoleh pembelajaran secara konvensional. Berikut ini merupakan gambaran desain penelitian kuasi eksperimen nonequivalent kontrol group design (Ruseffendi, E.T., 2010, hlm. 23). O X O O O
Keterangan: O : Pretest = Posttest (tes kemampuan pemecahan masalah matematis) X : Perlakuan berupa pembelajaran matematika dengan model M-APOS siklus ACE Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen tes. Instrumen tes dalam penelitian ini berupa tes berbentuk uraian untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Sebelum digunakan sebagai instrumen penelitian, terlebih dahulu peneliti membuat kisi-kisi instrumen untuk selanjutnya dilakukan uji coba. Instrumen yang diujicobakan merupakan instrumen yang telah dikonsultasikan dengan dosen pembimbing. Uji coba soal dilakukan untuk mengetahui validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda tiap butir soal yang akan digunakan dalam penelitian. Hasil uji coba tes kemampuan komunikasi matematis ini dianalisis menggunakan program dan software SPSS (Statistic Product and Servive Solution) versi 17.0 for Windows.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL Hasil Pretest Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, perolehan rata-rata skor pretest dan posttest kelompok eksperimen dan kelompok kontrol adalah sebagai berikut.
Tabel 1 Rata-rata Skor Pretest dan Posttest Kelompok Pretest Posttest Eksperimen 32,09 72,70 Kontrol 31,37 63,11 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada deskripsi data skor pretest dalam Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2 Deskripsi Skor Pretest Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Kelompok
N
Eksperimen Kontrol
33 35
Descriptive Statistics Minimum Maximum Sum Mean 20 20
50 47
Std. Variance Deviation 1059 32,09 8,521 72,460 1098 31,37 7,971 63,534
Anita Mulyani, Husen Windayana, Margaretha Sri Y., Pembelajaran Matematika Menggunakan Model M-APOS melalui Siklus ACE Berdasarkan Tabel 2 di atas, dapat dilihat bahwa kemampuan awal siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak berbeda jauh. Hal ini dapat dilihat dari perolehan rata-rata skor pretest kelas eksperimen sebesar 32,09 dan rata-rata skor pretest kelas kontrol 31,37. Selisih rata-rata skor pretest kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah 0,72. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa rata-rata skor pretest kelas kontrol sedikit lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata skor pretest kelas eksperimen. Namun, secara keseluruhan kedua kelas penelitian memiliki kemampuan pemecahan masalah matematis yang sama. Untuk melihat persamaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, maka dapat dilihat dari analisis explore berupa boxplot nilai pretest kelas eksperimen dan kelas kontrol. Berikut adalah gambar diagram output boxplot yang diperoleh.
Gambar 1 Boxplot Pretest Berdasarkan gambar 1 di atas, dapat kita lihat bahwa area kotak untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki tendensi sentral yang relatif sama, atau titik tengah kelas eksperimen relatif sama dengan kelas kontrol. Hal ini menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol pada saat pretest adalah setara. Uji normalitas terhadap dua kelompok tersebut dilakukan dengan uji Shapiro-Wilk untuk data > 30 dengan menggunakan program SPSS 17.0 for Windows. Hipotesis dalam uji normalitas ini adalah sebagai berikut.
H0 : Data berasal dari populasi berdistribusi normal Ha : Data tidak berasal dari populasi berdistribusi normal Dengan mengambil taraf signifikansi sebesar 𝛼=5% kriteria pengambilan keputusan dalam pengujian ini adalah H0 diterima jika nilai signifikansi (sig.) ≥ 0,05 dan H0 ditolak jika nilai signifikansi < 0,05. Berikut adalah hasil perhitungan uji normalitas Shapiro-Wilk dengan menggunakan program SPSS versi 17.0 for Windows. Tabel 3 Normalitas Distribusi Skor Pretest Kelompok Shapiro-Wilk Statistic Df Sig. Eksperimen .953 33 .167 Kontrol .942 35 .065 Berdasarkan tabel 3 di atas, nilai signifikansi kedua kelompok lebih dari 0,05, maka H0 diterima. Hal ini dapat dikatakan bahwa distribusi kedua sampel adalah normal. Uji Homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah dua atau lebih kelompok data sampel berasal dari populasi yang memiliki variansi sama. Berikut adalah hipotesis untuk uni homogenitas. Ho : tidak terdapat perbedaan varians antara kedua kelompok sampel Ha : terdapat perbedaan varians antara kedua kelompok sampel Dengan mengambil taraf signifikasni sebesar 𝛼=5% kriteria pengambilan keputusan ini adalah H0 diterima jika signifikasni (sig.) ≥ 0,05 dan H0 ditolak jika nilai signifikasni (sig) < 0,05. Setelah dilakukan pengolahan data, tampilan output dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini. Tabel 4 Homogenitas Dua Varians Skor Pretest Test of Homogeneity of Variance Levene Statistic df1 df2 Sig. .037 1 66 .848 6
Anita Mulyani, Husen Windayana, Margaretha Sri Y., Pembelajaran Matematika Menggunakan Model M-APOS melalui Siklus ACE Berdasarkan tabel 4 di atas, dapat dilihat bahwa tingkat signifikansi uji Levene Statistic berada di atas 0,05 yaitu 0.848. Berdasarkan hasil uji Levene Statistic tersebut maka dapat disimpulkan bahwa H0 diterima, artinya tidak terdapat perbedaan varians antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Karena uji normalitas dan uji homogenitas memenuhi kriteria untuk dilakukan uji t, maka berikut adalah hipotesis yang digunakan untuk mengetahui perbedaan rerata skor pretest kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yaitu: H0 : 𝜇1 = 𝜇2 , Kemampuan konesi matematis siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada pretest tidak berbeda secara signifikan. Ha : 𝜇1 ≠ 𝜇2 , Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada pretest berbeda secara signifikan.
Hasil Posttest Postest dilakukan untuk melihat kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah mendapatkan
Kriteria pengambilan keputusan yang digunakan adalah sebagai berikut: a) Jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05, maka H0 diterima. b) Jika nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05, maka H0 ditolak. Tabel 5 Independent Sampel Test Pretest Independent Sampel Test T
df
.360
66
Sig (2- Mean Std. tailed) Differ Error ence Difference .720
.719
1.999
Lower
Upper
-3.271
4.710
Berdasarkan tabel 5 di atas, , terlihat bahwa t hitung untuk pretest dengan equal variance assumed adalah 0,360 dengan probabilitas 0,720. Karena perolehan probabilitas uji dua sisi lebih besar dari 0,05 (0,720 > 0,05), maka H0 diterima. Hal ini dapat diasumsikan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis kedua kelompok pada pretest tidak berbeda secara signifikan, artinya kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memiliki kemampuan pemecahan masalah yang sama sebelum kedua kelompok tersebut mendapat perlakuan yang berbeda.
perlakuan yang berbeda. Berikut adalah analisis data skor posttest kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang disajikan pada tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6 Deskripsi Skor Posttest Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Kelompok
N
Eksperimen Kontrol
33 35
Descriptive Statistics Minimum Maximum Sum Mean 50 42
92 90
Berdasarkan tabel 6 di atas, dapat dilihat skor minimum pada kelompok eksperimen diperoleh sebesar 50 dan skor maksimum diperoleh sebesar 92. Skor minimum pada kelompok kontrol diperoleh sebesar 42 dan skor maksimum diperoleh
Std. Variance Deviation 2399 72,70 11,447 131,030 2209 63,11 13,713 188,045
sebesar 90. Setelah kelompok eksperimen dan kelompok kontrol mendapat perlakuan yang berbeda, maka diperoleh rata-rata skor posttest kelompok eksperimen sebesar 72,70 dan rata-rata skor posttest kelompok kontrol sebesar 63,11. 7
Anita Mulyani, Husen Windayana, Margaretha Sri Y., Pembelajaran Matematika Menggunakan Model M-APOS melalui Siklus ACE Dengan demikian, terlihat bahwa rata-rata skor posttest kelompok eksperimen lebih besar dibandingkan dengan rata-rata skor posttest kelompok kontrol. Perbedaan nilai posttest kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol dapat dilihat lebih jelas dari hasil analisis explore berupa boxplot nilai posttest kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Berikut adalah diagram output boxplot yang diperoleh.
Gambar 2 Boxplot Posttest Berdasarkan gambar 2 di atas, dapat kelompok kontrol. Dengan demikian, maka kita lihat bahwa terdapat perbedaan letak dapat disimpulkan bahwa kemampuan garis median pada kelompok eksperimen pemecahan masalah matematis siswa pada dan kelompok kontrol. Median tertinggi kelompok eksperimen lebih baik dari siswa terdapat pada area kelompok eksperimen pada kelompok kontrol setelah mendapat dan median terendah terdapat pada area perlakuan yang berbeda.
Kualitas Pembelajaran Perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol dapat diketahui melalui analisis data menggunakan uji gain, yaitu dengan membandingkan skor pretest dan posttest. Pada tahap ini akan dilihat perubahan atau peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis setiap siswa pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Berdasarkan perhitungan gain, peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis pada kelompok eksperimen secara keseluruhan diperoleh sebesar 0,6021. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis pada kelompok kontrol secara keseluruhan diperoleh sebesar 0,4746. Nilai gain tersebut berada pada rentang 0,3< x ≤ 0,7, atau pada kategori sedang. Dengan demikian, terlihat bahwa terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah
matematis antara siswa yang mengikuti kegiatan pembelajaran pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis tersebut dapat terlihat dari selisih perolehan gain ternormalisai antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yaitu sebesar 0,13. Dari uraian diatas, dapat ditarik sebuah benang merah bahwasanya peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran model M-APOS lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Uji normalitas terhadap data skor posttest dua kelompok penelitian dilakukan dengan uji Shapiro-Wilk untuk data > 30 menggunakan program SPSS 17.0 for Windows. Hipotesis dalam uji normalitas ini adalah sebagai berikut. H0 : Data berasal dari populasi berdistribusi normal 8
Antologi, Volume …, Nomor …, Juni 2016
Ha : Data tidak berasal dari populasi berdistribusi normal Dengan mengambil taraf signifikansi sebesar 𝛼=5% kriteria pengambilan keputusan dalam pengujian ini adalah H0 diterima jika nilai signifikansi Tabel 7 Normalitas Distribusi Skor Posttest Kelompok Shapiro-Wilk Statistic Df Sig. Eksperimen .947 33 .111 Kontrol .946 35 .087 Berdasarkan tabel 7 di atas, dapat dilihat bahwa hasil output uji normalitas varians dengan menggunakan uji ShapiroWilk menunjukkan nilai signifikansi data skor posttest untuk kelompok eksperimen adalah 0,111 dan kelompok kontrol adalah 0,087. Karena nilai signifikansi kedua kelompok lebih dari 0,05, maka H0 diterima. Hal ini dapat diasumsikan bahwa distribusi data dari kedua kelompok sampel adalah normal. Uji Homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah dua atau lebih kelompok data sampel berasal dari populasi
Statistic berada di atas 0,05 yaitu 0.208. Berdasarkan hasil uji Levene Statistic tersebut maka dapat disimpulkan bahwa H0 diterima, artinya tidak terdapat perbedaan varians antara kelompok eksperimen dan Selanjutnya dilakukan uji t, berikut merupakan hipotesis yang digunakan untuk mengetahui perbedaan rerata skor posttest kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yaitu: Kriteria pengambilan keputusan yang digunakan adalah sebagai berikut: a) Jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05, maka H0 diterima. b) Jika nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05, maka H0 ditolak. Pada tahap ini akan dilakukan uji t (T-Test Sample Independent) dengan asumsi data berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Hasil uji perbedaan
(sig.) ≥ 0,05 dan H0 ditolak jika nilai signifikansi < 0,05. Berikut adalah hasil perhitungan uji normalitas Shapiro-Wilk dengan menggunakan program SPSS versi 17.0 for Windows. yang memiliki variansi sama. Berikut adalah hipotesis untuk uji homogenitas. Ho : tidak terdapat perbedaan varians antara kedua kelompok sampel Ha : terdapat perbedaan varians antara kedua kelompok sampel Dengan mengambil taraf signifikasni sebesar 𝛼=5% kriteria pengambilan keputusan ini adalah H0 diterima jika signifikasni (sig.) ≥ 0,05 dan H0 ditolak jika nilai signifikasni (sig) < 0,05. Setelah dilakukan pengolahan data, tampilan output dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini. Tabel 8 Homogenitas Dua Varians Skor Posttest Test of Homogeneity of Variance Levene Statistic df1 df2 Sig. 1.618 1 66 .208 Berdasarkan tabel 8 di atas, dapat dilihat bahwa tingkat signifikansi uji Levene kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa data skor posttest pemecahan masalah matematis untuk kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol tidak terdapat perbedaan varians. H0 : 𝜇1 = 𝜇2 , tidak terdapat perbedaan rata-rata pada kedua kelompok Ha : 𝜇1 ≠ 𝜇2 , terdapat perbedaan rata-rata pada kedua kelompok rerata dari posttest kedua sampel tersaji pada tabel 9.
Tabel 9 Independent Sampel Test Postest Independent Sampel Test
Anita Mulyani, Husen Windayana, Margaretha Sri Y., Pembelajaran Matematika Menggunakan Model M-APOS melalui Siklus ACE T
3.11 8
df
66
Sig (2- Mean Std. tailed) Differen Error ce Differenc e .003
9.583
3.073
Lower
3.447
Upper
15.71 8
Berdasarkan tabel 9 di atas, terlihat bahwa t hitung untuk posttest dengan equal variance assumed adalah 3,118 dengan probabilitas 0,003. Karena perolehan probabilitas uji dua sisi lebih kecil dari 0,05 (0,003 < 0,05), maka H0 ditolak. Rata-rata
B. PEMBAHASAN Berdasarkan perhitungan dan statistic data rata-rata skor pretest kemampuan menyelesaikan soal pemecahan masalah matemati siswa yang diperoleh sebelum treatment menunjukkan hasil skor 32,09 untuk kelas eksperimen dan 31,37 untuk k dr45dewn mxelas kontrol. Perbedaan rataratanya adalah 0,72. Selain itu, berdasarkan uji statistik terhadap skor kedua kelas tersebut menunjukkan bahwa data berasal dari populasi yang berdistribusi normal (berdasarkan uji Shapiro-Wilk), dengan signifikansi diatas 0,05. Selanjutnya karena data berasal dari data yang berdistribusi normal makan dilanjutkan dengan uji Levene statistic. Hasilnya menunjukkan data pretest kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki signifikansi 0,848 dan menunjukkan bahwa nilai signifikansinya lebih besar dari 0,05. Berdasarkan data tersebut maka disimpulkan bahwa H0 diterima, maka varians antara kelas eksperimen dan kelas kontrol dinyatakan sama sehingga kedua sampel dikategorikan homogen. Untuk melihat ada tidaknya kemampuan awal siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol, maka dilakukan uji t dengan taraf signifikansi 0,05. Hasil perhitungan menunjukkan hasil 0,720 yang lebih besar dibandingkan taraf signifikansinya yaitu 0,05, sehingga H0 diterima. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan awal siswa sebelum diberikan
skor posttest kelompok eksperimen dan kelompok kontrol adalah berbeda. Dari semua uraian diatas, dapat ditarik sebuah benang merah bahwasanya terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa antara kelompok siswa eksperimen yang menggunakan pembelajaran Model M-APOS melalui siklus ACE dengan kelompok kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional.
perlakuan terhadap kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak jauh berbeda. Setelah dilakukan pretest, tahap selanjutnya pemberian perlakuan terhadap kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen kegiatan pembelajarannya menggunakan model M-APOS siklus ACE dan kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvensional. Setelah kedua kelas, menyelesaikan Sembilan kali pembelajaran, selanjutnya dilakukan posttest terhadap dua kelas tersebut. Posttest diberikan untuk mengukur seberapa besar peninhkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Berdasarkan hasil posttest yang dilakukan diperoleh skor rata-rata posttest kelas eksperimen sebesar 72,70 dan kelas kontrol 63,11. Setelah mendapatkan hasil posttest di kelas eksperimen dan kelas kontrol maka dapat diketahui seberapa besar peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa di kelas eksperimen yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan model M-APOS melalui siklus ACE dan kelas kontrol yang memperoleh pembelajaran konvensional. Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan tersebut, maka dilakukan uji gain berdasarkan uji gain yang dilakukan peningkatan kemampuan siswa menyelasaikan soal pemecahan masalah matematis pada kelas ekperimen adalah
Antologi, Volume …, Nomor …, Juni 2016
sebesar 0,6021 dan pada kelas kontrol sebesar 0,4746. Artinya peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa di kelas eksperimen setelah diberikan pembelajaran menggunakan model MAPOS melalui siklus ACE lebih besar dibanding pada kelas kontrol yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran model M-APOS siklus ACE mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa secara Hal ini sesuai dengan teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Piaget (dalam Siregar dan Nara, 2010 hlm.39) mengemukakan bahwa “Pengetahuan merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalamannya, proses pembentukan berjalan terus menerus dan setiap kali terjadi rekonstruksi karena adanya pemahaman yang baru”. Pembelajaran Model M-APOS siklus ACE mampu melatih kematangan berpikir siswa melalui tiga fase pembelajaran. Pada pembelajaran ini, pengetahuan awal siswa menjadi kemampuan dasar yang akan diperkuat melalui fase activities, class discussion, dan exercise. Kegiatan pembelajaran secara berkelompok mampu menciptakan interaksi sosial yang baik di antara siswa. Dengan setting cooperative pada fase class discussion, memberikan kesempatan bagi siswa untuk berbagi informasi atau pengetahuan yang dimiliki. Setiap fase pada Model M-APOS melalui siklus ACE sangat mempengaruhi kematangan berpikir yang diperoleh siswa untuk mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang berbanding lurus dengan fokus permasalahan penelitian, dapat ditarik sebuah benang merah mengenai pembelajaran matematika dengan Model Pembelajaran M-APOS siklus ACE dan pembelajaran konvensional pada materi
pecahan kelas IV SD. Adapun kesimpulannya yaitu: 1. Terdapat perbedaan dalam kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah menggunakan Model M-APOS siklus ACE di kelas IV SDN Majakerja 2 Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung dalam materi pecahan. Ditandai dengan meningkatnya hasil rata-rata nilai pretest sebesar 32,09 dan posttest sebesar 72,70 terjadi peningkatan secara signifikan. Selanjunya berdasarkan rekapitulasi indeks gain pada kelas eksperimen memiliki rata-rata gain sebesar 0,60 yang berkisar pada 0,3< x ≤ 0,7 yang masuk dalam kategori sedang. Hal itu disebabkan karena adanya pengaruh Model M-APOS siklus ACE dalam pembalajaran matematika terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. 2. Terdapat perbedaan dalam kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah menggunakan pembelajaran konvensional di kelas IV SDN Loa 2 Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung dalam materi pecahan. Ditandai dengan meningkatnya hasil rata-rata nilai pretest sebesar 31,37 dan posttest sebesar 63,11 terjadi peningkatan namun tidak telalu signifikan. Selanjunya berdasarkan rekapitulasi indeks gain pada kelas kontrol memiliki rata-rata gain sebesar 0,47 yang berkisar pada 0,3< x ≤ 0,7 yang masuk dalam kategori sedang. Terdapat perbedaan kemmapuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan model M-APOS siklus ACE dan pembelajaran konvensional di SDN Majakerta 2 dan SDN Loa 2 Kab Bandung dalam materi pecahan. Kemampuan pemecahan matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model M-APOS siklus ACE lebih baik jika dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran
Anita Mulyani, Husen Windayana, Margaretha Sri Y., Pembelajaran Matematika Menggunakan Model M-APOS melalui Siklus ACE konvensional.Hal itu disebabkan karena adanya pengaruh model M-APOS siklus ACE dalam pembelajaran matematika terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. hal ini terlihat dari nilai signifikansi pada uji perbedaan dua rerata dengan taraf signifikansi sebesar 0,05. Nilai signifikansi pada uji perbedaan dua rerata sebesar 0,003 yang lebih kecil dari taraf signifikansi (0,003<0,005). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang diajukan diterima yaitu peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran MAPOS siklus ACE lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
DAFTAR PUSTAKA Arnawa, M.I. (2009). Mengembangkan Kemampuan Mahasiswa dalam Memvalidasi Bukti pada Aljabar Abstrak melalui Pembelajaran Berdasarkan Teori APOS. Jurnal Matematika dan Sains. 14, (2), 7682. BSNP. (2006). Panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan
menengah. Jakarta: Badan Sandar Nasional Pendidikan. Dahar, R. W. (2006). Teori-teori belajar & pembelajaran. Bandung: Erlangga. Nurlaelah, E. (2009). Pencapaian Daya dan Kreativitas Matematik Mahasiswa Calon Guru Melalui Pembelajaran Berdasarkan Teori APOS. (Disertasi). Doktor Pendidikan dalam Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Ruseffendi, E. T. (2010). Dasar-dasar penelitian pendidikan dan bidang non eksakta lainnya. Bandung: Tarsito Silva, E. Y. (010). Pengembangan soal matematika model PISA pada konten uncertainty untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematika siswa sekolah menengah pertama. Makalah. Universitas Sriwijaya, Palembang. Siregar, E. dan Nara, H. (2010) Teori belajar dan pembelajaran. Bogor: Ghalia Indonesia. Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D). Bandung: Alfababeta.
13