MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA MTs MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK
Sigid Edy Purwanto E-mail:
[email protected] ABSTRACT: The idea that mathematics should be close to the child and relevant to everyday life are shown with Realistic Mathematic Education (RME). Learning to solve problems is the principal reason for studying mathematics. With the increasing ability to think and be more active and creative after attending realistic mathematics education, students can be encouraged to be able to monitor the process of learning and thinking he was doing during learning. This will help them become better problem solvers and thinkers certainly good for all math assignments and other tasks. Keywords: realistic mathematics education, problem solving
Hasil belajar matematika siswa Indonesia pada kurun terakhir ini mengalami peningkatan, hal ini seiring dengan makin berkembangnya kurikulum yang makin disempurnakan dan berkembangnya metode pengajaran matematika yang bermakna bagi siswa. Menurut Laporan Hasil Ujian Nasional Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, nilai rata-rata ujian nasional Matematika untuk jenjang SMP/MTs adalah 6,58. Capaian ini menunjukkan bahwa prestasi rata-rata matematika siswa di Indonesia cukup bagus. Namun demikian hasil tes Trends in International Mathematics and Sciences Study (TIMSS) (Mullis, et.al., 2003) yang diselenggarakan International Association for Evaluation of Educational Achievement (IEA) yang diumumkan secara internasional pada 14 Desember 2004 menunjukkan bahwa kemampuan matematika siswa kelas dua Sekolah Menengah Pertama (SMP) Indonesia masih cukup memprihatinkan, yaitu berada di peringkat ke-35 dari 46 negara. Tes yang diselenggarakan TIMSS empat tahun sekali tersebut menempatkan Singapura
menduduki peringkat tertinggi dalam ratarata pencapaian nilai TIMSS bidang matematika, dan Malaysia di peringkat ke10. Kemampuan siswa SMP kelas dua Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal tidak rutin (masalah matematis) sangat lemah, namun relatif baik dalam menyelesaikan soal-soal tentang fakta dan prosedur. Kedua fakta tersebut di atas menunjukkan fenomena yang seakan bertolak belakang. Hal ini memunculkan pertanyaan bagaimanakah sebenarnya posisi yang tepat yang menggambarkan prestasi belajar matematika siswa di Indonesia. Dan bagaimanakah sebaiknya pembelajaran matematika itu diberikan agar mempunyai dampak positif bagi perkembangan siswa yang sedang mengenyam pendidikan untuk menghadapi masa depannya. Menarik untuk disimak adalah adanya wacana revolusi paradigma dalam pembelajaran matematika. Wacana ini didasarkan pada kondisi di mana belajar matematika saat ini bukanlah sekedar aktivitas berhitung, namun merupakan aktivitas manusia dalam menjalani
731
Purwanto, Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, 732
kehidupannya sehari-hari. Menurut Zamroni (2006), perkembangan ilmu pengetahuan terjadi ketika ada revolusi paradigma, contoh dalam perkembangan keilmuan matematika dinyatakan bahwa matematika adalah aktivitas manusia; dan matematika bukan hanya tentang bilangan, tetapi tentang kehidupan. Hal ini menyiratkan bahwa dengan belajar matematika berarti manusia juga belajar tentang kehidupan. Disadari atau tidak, pembelajaran matematika yang sudah ada masih belum mampu memberikan kebermaknaan. Siswa gagal untuk memahami apa sebenarnya yang sudah dia pelajari, antara kehidupan nyata dengan aktivitas belajarnya seolah tidak mempunyai hubungan. Padahal siswa diharapkan mampu memecahkan masalah dalam kehidupan yang dijalaninya sebagai suatu bentuk konsekuensi bahwa mereka telah belajar matematika. Upaya menerapkan pendekatan pembelajaran yang baru perlu terus dilakukan sebagai wujud optimalisasi peran guru dan pemerhati pendidikan untuk memajukan prestasi belajar siswa. Untuk itu dalam penerapan model pembelajaran yang baru tersebut perlu diperhatikan tingkat penerimaan siswa, apakah siswa benar-benar siap dengan bentuk belajar baru yang diterapkan, apakah daya terima siswa mendukung upaya penerapan tersebut. Penerapan model pembelajaran yang baru tersebut juga perlu memperhatikan kharakteristik inovasi yang dikemukakan oleh Rogers (Ibrahim, 1988: 46-48), yaitu: a. Keuntungan relatif, yaitu sejauh mana inovasi dianggap menguntungkan bagi penerimanya; b. Kompatibilitas (Compatibility), ialah tingkat kesesuaian inovasi dengan nilai (values), pengalaman lalu, dan kebutuhan dari penerima; c. Kompleksitas (Complexity), ialah tingkat kesukaran untuk memahami
dan menggunakan inovasi bagi penerima; d. Trialabilitas (Trialability), ialah dapat dicoba atau tidaknya suatu inovasi oleh penerima; e. Dapat diamati (Observability), ialah mudah tidaknya diamati suatu hasil inovasi. Maka untuk memudahkan dalam mengukur tingkat penerimaan siswa tersebut salah satunya dapat dilihat dari sisi pengelompokan siswa. Menurut Garrett (dalam Soemanto, 1990: 134) inteligensi atau kepandaian setidaknya mencakup kemampuankemampuan yang diperlukan untuk pemecahan masalah-masalah yang memerlukan pengertian serta menggunakan simbol-simbol. Senada dengan Garrett, Bischof (dalam Soemanto, 1990: 134) mempertegas bahwa inteligensi atau kepandaian adalah kemampuan untuk memecahkan segala jenis masalah. Pengelompokan siswa menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan dalam pengembangan model pembelajaran baru karena optimalisasi peran siswa diperlukan untuk memperlancar proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang berpusat pada siswa menuntut karakteristik tertentu dari siswa dan hal ini harus menjadi perhatian utama guru. Diperlukan antisipasi dari guru berupa intervensi terhadap latar belakang kemampuan siswa. Heidenrich (dalam Soemanto, 1990: 134) menegaskan bahwa inteligensi menyangkut kemampuan untuk belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha penyesuaian terhadap situasi-situasi yang kurang dikenal, atau dalam pemecahan masalahmasalah. Telah menjadi rahasia umum, bahwa belajar matematika bagi sebagian besar anak merupakan masalah, padahal dengan belajar matematika siswa dilatih untuk akrab dengan masalah, yang pada akhir proses pembelajaran nantinya diharapkan mereka menjadi terampil dalam
733, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
memecahkan beragam masalah, tidak hanya masalah matematika. Menurut Reitman (dalam Wilson, Fernandez, & Hadaway, tanpa tahun) masalah merupakan suatu keadaan di mana ketika diberikan deskripsi tentang sesuatu hal namun belum mempunyai sesuatu yang memenuhi deskripsi tersebut. Untuk belajar matematika seseorang harus mempunyai tujuan, yang berbeda-beda bagi setiap orang. Ada yang belajar matematika karena ingin mempergunakan keterampilan dalam matematika untuk kepentingan pekerjaan seperti berwirausaha misalnya, ada juga yang mempelajari matematika karena tuntutan, di mana dirinya adalah seorang pengajar matematika yang dituntut agar mempunyai kemampuan yang cukup memadai dalam matematika. Sehingga motivasi seseorang untuk belajar matematika dapat ditumbuhkan karena percaya dan butuh dengan kemampuan matematis. Di Amerika Serikat NCTM memformulasikan mathematical power sebagai tujuan sentral pendidikan matematika, yaitu (Verkage & Lange, 1995:1): 1. Aplikasi pengetahuan untuk memecahkan masalah dengan matematika dan dalam disiplin lain. 2. Menggunakan bahasa matematika untuk mengkomunikasikan ide. 3. Kemampuan memberikan alasan dan menganalisa. 4. Pengetahuan dan pemahaman konsep dan prosedur matematika. 5. Watak positif ke arah matematika. Seide dengan NCTM yang menempatkan pemecahan masalah di urutan pertama dari tujuan sentral pendidikan matematika, dalam sebuah papernya yang berjudul Essential st Mathematics for the 21 Century (Posamentier dan Stepelmen, 1990), NCSM menempatkan pemecahan masalah sebagai urutan pertama dari 12 komponen
esensial matematika. Paper ini menyatakan bahwa belajar menyelesaikan masalah adalah alasan prinsipil untuk mempelajari matematika. Lebih lanjut NCTM (2000) juga mengatakan bahwa pemecahan masalah bukanlah sekedar tujuan dari belajar matematika tetapi merupakan alat utama untuk melakukan atau bekerja dalam matematika. Terkait dengan hal ini, Wahyudin (2003:3) mengatakan bahwa pemecahan masalah bukan sekedar keterampilan untuk diajarkan dan digunakan dalam matematika tetapi juga merupakan keterampilan yang akan dibawa pada masalah-masalah keseharian siswa atau situasi-situasi pembuatan keputusan, dengan demikian kemampuan pemecahan masalah membantu seseorang secara baik dalam hidupnya. Walaupun pemecahan masalah telah lama menjadi perhatian utama dalam pendidikan matematika, namun siswa tetap memperoleh skor yang relatif rendah pada tes kemampuan pemecahan masalah (Zambo & Cleland, 2001). Hasil penelitian yang dilakukan baru-baru ini telah mengindikasikan bahwa pengajaran pemecahan masalah yang meningkatkan pemahaman konseptual dapat secara signifikan membantu siswa yang mempunyai kelemahan dalam belajar untuk mengikuti tantangan di pendidikan umum (Jitendra, 2002: 34). Lester (Gartmann & Freiberg, tanpa tahun) mendefinisikan tujuan utama pengajaran pemecahan masalah bukanlah memperlengkapi siswa dengan sekumpulan keterampilan dan proses, namun lebih kepada membantu mereka untuk berfikir secara mandiri, membantu siswa berfikir dalam konteks matematika. Menurut Branca (Sumarmo, 1994:8) kemampuan pemecahan masalah merupakan tujuan umum dalam pengajaran matematika, bahkan sebagai jantungnya matematika artinya kemampuan peme-
Purwanto, Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, 734
cahan masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar matematika. Dengan mengajarkan siswa untuk menyelesaikan masalah menurut Cooney (Hudojo, 1979:161) akan memungkinkan siswa itu menjadi lebih analitis dalam mengambil keputusan dalam kehidupan. Leeuw (Sudjimat, 1995:28) berpendapat bahwa belajar pemecahan masalah pada hakekatnya adalah belajar berpikir (learning to think) atau belajar bernalar (learning to reason), yaitu berpikir atau bernalar mengaplikasikan pengetahuanpengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya untuk memecahkan masalahmasalah baru yang belum pernah dijumpai. Selain itu Christensen & Martin (Killen, 1998:10) mengatakan bahwa keuntungan dari pemecahan masalah adalah dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis dan juga dapat mengembangkan kemampuan mereka dalam beradaptasi terhadap situasi belajar mereka yang baru. Beberapa keuntungan penyelesaian masalah dibandingkan pendekatan penyelesaian yang lain menurut Bell (Yushau & Wessels, tanpa tahun) adalah bahwa penyelesaian masalah matematika dapat meningkatkan kreatifitas dan kemampuan analitis siswa, dan dapat membantu mereka dalam mengaplikasikan kemampuan ini dalam situasi yang berbeda. Selain itu menyelesaikan masalah membantu siswa memperdalam pemahaman mereka akan fakta-fakta matematika, keterampilan, konsep, dan prinsipprinsip dengan mengilustrasikan aplikasi objek-objek matematik. Peme-cahan masalah juga merupakan aktivitas yang menarik bagi sebagian besar siswa, karenanya, memecahkan masalah dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan motivasi dan menjadikan matematika semakin penting.
Salah satu tujuan pendidikan matematika adalah membantu siswa agar dapat menulis dan membaca secara matematik. Hal ini berarti bahwa seseorang dapat berurusan dengan matematika termasuk dalam masalah dunia nyata (ilmu alam, sosial, budaya—termasuk matematik) sebagaimana diperlukan untuk kehidupan saat ini dan akan datang (Lange, 1999). Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu kompetensi matematika. Berdasarkan kerangka kerja Literasi Matematika yang diterbitkan oleh Program OECD untuk Asesmen Siswa Internasional (PISA) kompetensi matematika disebutkan terdiri atas: berfikir matematis, argumentasi matematis, pemodelan, problem posing dan problem solving, representasi, simbol-simbol dan bahasa formal, komunikasi, bantuan dan alat-alat (Lange, 1999). Kompetensi tersebut diperingkat dalam tiga tingkatan, yaitu: 1. Reproduksi, definisi, komputasi 2. Koneksi dan integrasi untuk pemecahan masalah 3. Matematisasi, berfikir matematik, generalisasi, dan kecakapan Kaitan antara matematika dengan pemecahan masalah cukup besar, sejarah mencatat bahwa matematika diajukan oleh Pythagoras sekitar tahun 500 SM sebagai dasar utama pemecahan masalah (Wegner & Goldin, 2006: 27). Konsep penyelesaian masalah sebagai bentuk berfikir yang menjawab pertanyaan telah dipelajari secara luas oleh banyak penulis yang percaya bahwa berfikir merupakan mekanisme utama bagi seseorang untuk memahami dan memperbaiki dunia (Wegner & Goldin, 2006: 27). Yang lebih penting lagi, pemecahan masalah berpusat pada siswa. Siswa tidak hanya secara aktif terlibat namun juga sebagai pemeran utama ketika guru memerankan diri sebagai fasilitator
735, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
(Yushau & Wessels, tanpa tahun). Dalam pembelajaran matematika realistik Streefland (1991) menyatakan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal. Selain itu interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam pembelajaran matematika realistik. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan maupun refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa. Terkait dengan pembelajaran matematika, Jennings & Dunne (1999) memberikan pendapatnya bahwa, kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan real. Hal lain yang menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah karena dalam pelaksanaannya pembelajaran matematika kurang bermakna. Guru dalam pembela-jaran yang dilakukan di kelas tidak mengaitkan skema yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika. Mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di kelas penting dilakukan agar tercapai pembelajaran bermakna (Soedjadi, 2000; Price,1996; Zamroni, 2000). Dalam sebuah makalah penelitian yang berjudul “Pendidikan Matematika Tradisional melawan Pendidikan Matematika Realistik: Harapan untuk Perubahan” (Fauzan, Slettenhaar, & Plomp, tanpa tahun) dinyatakan bahwa pem-
belajaran matematika realistik telah dievaluasi sebagai sebuah pendekatan penting baik bagi mahasiswa calon guru dalam pendidikan guru maupun siswa di sekolah menengah. Menurut Fauzan, Slettenhaar, & Plomp (tanpa tahun), banyak rintangan yang ditemukan ketika siswa yang mendapatkan pengajaran tradisional, diperlakukan dengan pendekatan baru (matematika realistik), seperti sikap sangat kebergantungan siswa, siswa tidak terbiasa bekerja dalam kelompok, kemampuan berfikir yang rendah, dan pemahaman konsep-konsep dasar yang rendah. Namun demikian, program percontohan dengan matematika realistik ini mempunyai banyak dampak positif dalam proses belajar-mengajar. Perubahan dalam kebiasaan belajar siswa dijumpai dari hari ke hari yang menunjukkan bahwa matematika realistik merupakan pendekatan yang potensial untuk belajar dan mengajar matematika. Wawancara dengan sejumlah siswa menunjukkan bahwa mereka menyukai pendekatan baru. Mereka menyatakan bahwa ada banyak perubahan positif pada diri mereka khususnya dalam berfikir, dan menjadi lebih aktif dan kreatif. Guru sendiri, yang juga bertindak sebagai peneliti merasakan perubahan positif pada kebiasaan siswa setelah berinteraksi dengan pelajaran berbasis matematika realistik. Dalam matematika realistik, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (dunia nyata), sehingga memungkinkan siswa menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Dalam menggunakan konteks dunia nyata ini dikembangkan konsep-konsep matema-tis seperti kemampuan numerik, geometrik, aljabar, dan statistik sebagai bagian dari prioritas proses dalam kerangka pemecahan masalah matematika. Kemudian siswa membuat model sendiri dan menggunakan produksi dan konstruksi
Purwanto, Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, 736
dalam menyelesaikan masalah. Penggunaan model dan produksi siswa akan meningkatkan kemampuan proses dalam pemecahan masalah terkait dengan penggunaan strategi menyeluruh untuk merumuskan masalah dalam hal penggunaan diagram, bekerja lamban, menyederhanakan masalah, mencari pola, serta membuat daftar yang sistematis. Kemampuan memantau berfikir diri, memeriksa cara alternatif menampilkan tugas, dan memeriksa kemasuk-akalan jawaban sebagai bentuk metakognisi dalam pemecahan masalah juga akan muncul. Siswa juga akan menemukan kesenangan dalam mengerjakan matematika, mengapresiasi keindahan dan kekuatan matematika, menunjukkan kepercayaan diri dalam menggunakan matematika, dan tekun dalam menyelesaikan masalah. Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa keterampilan pemecahan masalah merupakan bagian penting bagi semua program matematika. Dengan meningkatnya kemampuan berfikir dan menjadi lebih aktif dan kreatif setelah mengikuti pembelajaran matematika realistik, siswa dapat didorong untuk mampu memonitor proses belajar dan berfikir yang dilakukannya selama pembelajaran. Menurut Gartmann & Freiberg (tanpa tahun) dengan memberi kesempatan siswa untuk memonitor proses belajar dan berfikir yang dilakukannya maka dapat secara efektif membantu mereka menjadi pemecah masalah yang baik dan tentunya pemikir yang baik untuk semua tugas matematika, juga tugas-tugas yang lain. PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK DI INDONESIA Gagasan bahwa matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan sehari-hari ditunjukkan dengan Realistic Mathematic Education (pendidikan matematika realistik) yang merupakan teori pengajaran matematika. Teori
matematika realistik pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal dan dinyatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika adalah merupakan aktivitas manusia (Suharta, 2005). Di Indonesia, penerapan matematika realistik (PMRI/ Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) tergolong masih baru. PMRI telah dicoba di beberapa Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) di Indonesia dan sejauh ini telah menunjukkan hasil yang baik bagi kemajuan kegiatan pembelajaran matematika, salah satunya seperti diakui sendiri oleh Ratini, guru kelas III MIN Yogyakarta II yang menyatakan bahwa lewat pembelajaran pecahan dengan pendekatan PMRI yang dilakukannya siswa dapat memahami matematika, jiwa seni dan kreatifitasnya berkembang (Ratini, 2005). Untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah belum ada program yang dikhususkan untuk menerapkan pembelajaran matematika realistik, namun upaya ke arah sana telah dicoba salah satunya adalah dengan yang dilakukan oleh IndoMath dengan program pelatihan kepada guru-guru SMP (Hadi, et.al., 2001). Pembelajaran matematika realistik mempunyai karakteristik tertentu. Pada dasarnya, karakteristik matematika realistik terkait dengan level belajar matematika Van Hiele. Dalam Van Hiele (Zulkardi, tanpa tahun) proses belajar berjalan melalui tiga level: (1) siswa menggapai level berfikir pertama segera setelah ia dapat memanipulasi pola karakteristik yang sebelumnya telah diketahui; (2) segera setelah siswa belajar memanipulasi interrelasi karakteristik ia akan menggapai level kedua; (3) siswa akan menggapai level berfikir ketiga ketika
737, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
ia mulai memanipulasi karakteristik hubungan intrinsik. Karakteristik matematika realistik adalah menggunakan konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment) (Treffers,1991; Panhuizen, 1998). Konteks “Dunia Nyata” Dalam matematika realistik, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (dunia nyata), sehingga memungkinkan siswa menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses penyarian (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata ini dinyatakan oleh Lange (1987) sebagai matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi yang dilakukan siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Selanjutnya siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh sebab itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisasi dari pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari (Bonotto, 2000). Dalam menggunakan konteks dunia nyata siswa akan mengembangkan konsepkonsep matematis sebagai bagian dari prioritas proses dalam kerangka pemecahan masalah matematika. Penggunaan konteks dunia nyata ini juga akan menumbuhkan rasa senang dalam mengerjakan matematika yang akan mendorong ketekunan dalam menyelesaikan masalah (Ginsburg dkk, 2005). Model-model (Matematisasi) Istilah model dalam hal ini terkait dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi
abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah, pertama adalah model situasi (situational model) yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi referential level/ model-of masalah. Kemudian melalui penalaran matematik model-of akan bergeser menjadi general level / model-for masalah yang sejenis. Dan pada akhirnya, akan menjadi model matematika formal / level of formal mathematics. Penggunaan model akan mengembangkan konsep-konsep matematis dalam pemecahan masalah seperti kemampuan numerik, geometrik, aljabar, dan statistik. Selain itu penggunaan model juga akan mendorong munculnya “keterampilan memanipulasi topik-terkait yang diharapkan seseorang ketika memecahkan masalah” (Ginsburg dkk, 2005). Keterampilan ini meliputi kemahiran prosedural dalam mengestimasi dan mengaproksimasi, kalkulasi mental, komunikasi, penggunaan alat-alat matematika, manipulasi aritmetika, manipulasi aljabar, dan penggunaan data. Penggunaan model juga akan meningkatkan kemampuan proses dalam pemecahan masalah terkait dengan penggunaan semua strategi untuk merumuskan masalah, yaitu dalam hal penggunaan diagram, bekerja lamban, menyederhanakan masalah, mencari pola, serta membuat daftar yang sistematis. Kemampuan memantau apa yang dipikirkan, memeriksa cara alternatif menampilkan tugas, dan memeriksa kemasuk-akalan jawaban sebagai bentuk metakognisi dalam pemecahan masalah juga dapat muncul pada tahap penggunaan model. Siswa juga akan menemukan kepercayaan diri dalam menggunakan matematika (Ginsburg dkk, 2005).
Purwanto, Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, 738
Produksi dan Konstruksi Glasersfeld menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat secara sederhana ditransfer dalam bentuk sudah jadi dari orangtua ke anak atau dari guru ke siswa tetapi harus secara aktif dibangun oleh setiap siswa di (dalam) pikirannya (Zulkardi, tanpa tahun). Pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivistik adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi, dalam hal ini guru berperan sebagai fasilitator (Suharta, 2005). Streefland (1991) menyatakan bahwa dengan mengedepankan “produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal. Interaktivitas Menurut Slavin, ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky, yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding (Suharta, 2005). Vygotsky menyatakan bahwa Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya dari seseorang yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah secara mandiri dengan tingkat perkembangan potensialnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu (Cheyne & Tarulli, 1999). Kemudian Slavin menerangkan bahwa scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan dari guru kepada siswa selama tahap-tahap
awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan pada siswa kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Suharta, 2005). Scaffolding merupakan bantuan terbatas yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri (Suharta, 2005). Dalam pembelajaran matematika realistik ZPD dan scaffolding tersebut muncul pada saat terjadi interaksi yang berkualitas. Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam matematika realistik. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan maupun refleksi yang digunakan untuk menuju ke bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa. Dalam teori motivasi ditekankan pentingnya penghargaan kelompok dalam pembelajaran kooperatif untuk memotivasi belajar, usaha kooperatif dikendalikan oleh motivasi ekstrinsik untuk mencapai penghargaan. Dalam penerapannya, pemberian penghargaan kelompok menciptakan struktur penghargaan kooperatif yang mendorong anggota kelompok saling mendorong untuk belajar, saling memperkuat upaya-upaya akademik, dan menerapkan norma yang menunjang pencapaian hasil belajar yang tinggi (Sisworini, 2008). Siswa berinteraksi dengan guru, dengan siswa lainnya dan berda-sarkan pada pengalaman informalnya siswa kemudian mengembangkan strategistrategi untuk merespon masalah yang diberikan. Karakteristik ini disebut
739, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
pendekatan konstruktivis sosio, karakteristik ini sesuai dengan ka-rakteristik matematika realistik. Konsep ZPD dan scaffolding dalam pendekatan konstruktivis sosio, di dalam pembelajaran matematika realistik disebut dengan penemuan kembali terbimbing (guided reinvention). Namun demikian walaupun kedua pendekatan ini mempunyai kesamaan tetapi kedua pendekatan ini dikembangkan secara terpisah (Suharta, 2005). Keterkaitan (Intertwinment) Menurut Ausubel, informasi baru dapat dipelajari secara bermakna dan tidak mudah dilupakan kalau dapat dihubungkan dan dikaitkan dengan konsep yang sudah ada pada siswa (Sisworini, 2008). Dalam matematika realistik pengintegrasian unitunit matematika merupakan hal yang esensial. Apabila dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmetika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang-bidang lain. PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA Motivasi seseorang untuk belajar matematika dapat ditumbuhkan karena percaya dan butuh dengan kemampuan matematis. Di Amerika Serikat NCTM memformulasikan mathematical power sebagai tujuan sentral pendidikan matematika yang menempatkan pemecahan masalah di urutan pertama dari 5 tujuan sentral pendidikan matematika (Verkage & Lange, 1995:1). NCSM menempatkan pemecahan masalah sebagai urutan pertama dari 12 komponen esensial matematika, belajar menyelesaikan masalah adalah alasan prinsipil untuk mempelajari matematika (Posamentier dan Stepelmen, 1990). Lebih lanjut NCTM
(2000) juga mengatakan bahwa pemecahan masalah bukanlah sekedar tujuan dari belajar matematika tetapi merupakan alat utama untuk melakukan atau bekerja dalam matematika. Terkait dengan hal ini, Wahyudin (2003:3) mengatakan bahwa pemecahan masalah bukan sekedar keterampilan untuk diajarkan dan digunakan dalam matematika tetapi juga merupakan keterampilan yang akan dibawa pada masalah-masalah keseharian siswa atau situasi-situasi pembuatan keputusan, dengan demikian kemampuan pemecahan masalah membantu seseorang secara baik dalam hidupnya. Walaupun pemecahan masalah telah lama menjadi perhatian utama dalam pendidikan matematika, namun siswa tetap memperoleh skor yang relatif rendah pada tes kemampuan pemecahan masalah (Zambo & Cleland, 2001). Hasil penelitian yang dilakukan baru-baru ini telah mengindikasikan bahwa pengajaran pemecahan masalah yang meningkatkan pemahaman konseptual dapat secara signifikan membantu siswa yang mempunyai kelemahan dalam belajar untuk mengikuti tantangan di pendidikan umum (Jitendra, 2002: 34). Lester (Gartmann & Freiberg, tanpa tahun) mendefinisikan tujuan utama pengajaran pemecahan masalah bukanlah memperlengkapi siswa dengan sekumpulan keterampilan dan proses, namun lebih kepada membantu mereka untuk berfikir secara mandiri, membantu siswa berfikir dalam konteks matematika. Menurut Branca (Sumarmo, 1994:8) kemampuan pemecahan masalah merupakan tujuan umum dalam pengajaran matematika, bahkan sebagai jantungnya matematika artinya kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar matematika. Dengan mengajarkan siswa untuk menyelesaikan masalah menurut Cooney (Hudojo,
Purwanto, Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, 740
1979:161) akan memungkinkan siswa itu menjadi lebih analitis dalam mengambil keputusan dalam kehidupan. Leeuw (Sudjimat, 1995:28) berpendapat bahwa belajar pemecahan masalah pada hakekatnya adalah belajar berpikir (learning to think) atau belajar bernalar (learning to reason), yaitu berpikir atau bernalar mengaplikasikan pengetahuanpengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya untuk memecahkan masalahmasalah baru yang belum pernah dijumpai. Selain itu Christensen & Martin (Killen, 1998:10) mengatakan bahwa keuntungan dari pemecahan masalah adalah dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis dan juga dapat mengembangkan kemampuan mereka dalam beradaptasi terhadap situasi belajar mereka yang baru. Beberapa keuntungan penyelesaian masalah dibandingkan pendekatan penyelesaian yang lain menurut Bell (Yushau & Wessels, tanpa tahun) adalah bahwa penyelesaian masalah matematika dapat meningkatkan kreatifitas dan kemampuan analitis siswa, dan dapat membantu mereka dalam mengaplikasikan kemampuan ini dalam situasi yang berbeda. Selain itu menyelesaikan masalah membantu siswa memperdalam pemahaman mereka akan fakta-fakta matematika, keterampilan, konsep, dan prinsip-prinsip dengan mengilustrasikan aplikasi objek-objek matematik. Pemecahan masalah juga merupakan aktivitas yang menarik bagi sebagian besar siswa, karenanya, memecahkan masalah dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan motivasi dan menjadikan matematika semakin penting. Kaitan antara matematika dengan pemecahan masalah cukup besar. Sejarah mencatat bahwa matematika diajukan oleh Pythagoras sekitar tahun 500 SM sebagai dasar utama pemecahan masalah (Wegner
& Goldin, 2006: 27). Konsep penyelesaian masalah sebagai bentuk berfikir yang menjawab pertanyaan telah dipelajari secara luas oleh banyak penulis yang percaya bahwa berfikir merupakan mekanisme utama bagi seseorang untuk memahami dan memperbaiki dunia (Wegner & Goldin, 2006: 27). Yang lebih penting lagi, pemecahan masalah berpusat pada siswa. Siswa tidak hanya secara aktif terlibat namun juga sebagai pemeran utama ketika guru memerankan diri sebagai fasilitator (Yushau & Wessels, tanpa tahun). Dalam pembelajaran matematika realistik Streefland (1991) menyatakan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal. Selain itu interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam pembelajaran matematika realistik. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan maupun refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa. Terkait dengan pembelajaran matematika, Jennings & Dunne (1999) memberikan pendapatnya bahwa, kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan real. Hal lain yang menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah karena dalam pelaksanaannya pembelajaran matematika kurang bermakna. Guru dalam pembelajaran yang dilakukan di kelas tidak mengaitkan skema yang telah dimiliki oleh
741, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika. Mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di kelas penting dilakukan agar tercapai pembelajaran bermakna (Soedjadi, 2000; Price,1996; Zamroni, 2000). Copley (Haji, 2005) menyatakan bahwa ada empat jenis pengetahuan yang dikembangkan melalui pemecahan masalah, yaitu: (1) declarative knowledge; (2) procedural knowledege; (3) schematic knowledge; (4) metacognitive knowledge. Sedangkan Hudojo (Haji, 2005) membagi masalah dalam matematika menjadi enam bagian, yaitu: a. Rutin, b. Non-rutin, c. Rutin terapan, d. Rutin non-terapan, e. Non-rutin terapan, f. Non-rutin nonterapan. Masalah rutin adalah masalah yang prosedur penyelesaiannya sekedar mengulang, misalnya secara algoritmik. Masalah non-rutin adalah masalah yang prosedur penyelesaiannya memerlukan perencanaan penyelesaian, tidak sekedar menggunakan rumus, teori atau dalil. Masalah rutin terapan adalah masalah rutin yang dikaitkan dengan dunia nyata/ kehidupan sehari-hari yang prosedur penyelesaiannya standar sebagaimana yang sudah diajarkan. Masalah rutin non-terapan adalah masalah rutin lebih ke matematikanya daripada dikaitkan dengan dunia nyata/kehidupan sehari-hari. Masalah non-rutin terapan adalah masalah yang penyelesaiannya menuntut perencanaan dengan mengaitkan dunia nyata/kehidupan sehari-hari dan penyelesaiannya tersebut mungkin saja open-ended. Masalah nonrutin non-terapan adalah masalah yang berkaitan murni tentang hubungan matematika. Ada fenomena menarik terkait dengan kemampuan pemecahan masalah.
Siswa Singapura berhasil menempati peringkat pertama di dunia dalam matematika pada Tren Studi Matematika dan Sains Internasional (TIMSS) 2003, sementara siswa Amerika Serikat (AS) berada di peringkat 16 di antara 46 negara peserta yang mempertemukan kelas 8 (Ginsburg, et.al., 2005). Karena terlihat agak kurang masuk akal bagi kalangan pendidikan matematika Amerika mengasumsikan bahwa siswa Singapura memiliki kemampuan matematis lebih baik daripada siswa Amerika, maka tentu ada sesuatu terkait dengan sistem yang dikembangkan Pemerintah Singapura untuk mengajarkan matematika yang lebih baik dibandingkan sistem yang digunakan di Amerika. Siswa Singapura lebih berhasil dalam matematika dibandingkan Amerika karena diklaim bahwa Singapura memiliki sistem matematika kelas-dunia dengan komponen berkualitas (Ginsburg, et.al., 2005). Komponen tersebut di antaranya adalah kerangka kerja matematika, buku teks matematika berbasis masalah, asesmen tantangan matematika, dan guru matematika berkualitas yang mengajar berpusat pada pedagogy menuju ketuntasan. Singapura juga menyediakan bagi siswa berkemampuan matematika lambat sebuah kerangka kerja alternatif dan asisten khusus dari guru yang berpengalaman.
Purwanto, Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, 742
Gambar 1. Mathematical Problem Solving Frameworks (Ginsburg, et.al., 2005)
Kerangka kerja untuk membangun kemampuan pemecahan masalah siswa Singapura diidentifikasi atas lima kategori: konsep (yakni, isi) dan empat prioritas proses. Prioritas proses tersebut adalah keterampilan, proses (yakni, strategi pemecahan masalah), metakognisi, dan sikap (Ginsburg, et.al., 2005). Keterampilan (skills) didefinisikan sebagai “keterampilan memanipulasi topik-terkait yang diharapkan seseorang ketika memecahkan masalah” (Ginsburg, et.al., 2005). Keterampilan ini juga meliputi kemahiran prosedural dalam mengestimasi dan mengaproksimasi, kalkulasi mental, komunikasi, penggunaan alat-alat matematika, manipulasi aritmetika, manipulasi aljabar, dan penggunaan data. Proses (processes) didefinisikan sebagai strategi pemecahan masalah, memuat cara berfikir terhadap masalah (misalnya, induksi dan deduksi) dan strategi menyeluruh untuk merumuskan masalah (misalnya, menggunakan diagram atau model, bekerja lamban, menyederhanakan masalah, mencari pola, membuat daftar yang sistematis). Heuristic (menyelidiki sendiri) merupakan saran atau strategi umum, independen dari pokok masalah, yang membantu pendekatan pemecah masalah, memahami, dan/atau secara efisien menyusun sumber-sumber
dalam memecahkan masalah. Beberapa heuristic yang diteliti dalam penelitian pemecahan masalah matematika adalah: membaca masalah, menggambar diagram, menentukan masalah yang serupa, dan mengecek hasil (Writt, 1987:3-4). Metakognisi (metacognition) didefinisikan juga termasuk kemampuan memantau berfikir diri, memeriksa cara alternatif menampilkan tugas, dan memeriksa kemasuk-akalan jawaban. Sikap (attitudes) didefinisikan sebagai hal-hal terkait menemukan kesenangan dalam mengerjakan matematika, apresiasi keindahan dan kekuatan matematika, menunjukkan kepercayaan diri dalam menggunakan matematika, dan tekun dalam menyelesaikan masalah (Ginsburg, et.al., 2005). Sementara kerangka kerja NCTM mengidentifikasi lima inti proses matematik (Ginsburg, et.al., 2005). Prioritas proses NCTM adalah pemecahan masalah, alasan dan bukti, komunikasi, koneksi, dan representasi. Pemecahan masalah (problem solving) adalah kemampuan untuk “mengaplikasikan dan mengadaptasi beragam strategi yang diberikan”. Dalam sebuah makalah penelitian yang berjudul “Pendidikan Matematika Tradisional melawan Pendidikan Matematika Realistik: Harapan untuk Perubahan” (Fauzan, Slettenhaar, & Plomp, tanpa tahun) dinyatakan bahwa pembelajaran matematika realistik telah dievaluasi sebagai sebuah pendekatan penting baik bagi mahasiswa calon guru dalam pendidikan guru maupun siswa di sekolah menengah. Menurut Fauzan, Slettenhaar, & Plomp (tanpa tahun), banyak rintangan yang ditemukan ketika siswa yang mendapatkan pengajaran tradisional, diperlakukan dengan pendekatan baru (matematika realistik), seperti sikap sangat kebergantungan siswa, siswa
743, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
tidak terbiasa bekerja dalam kelompok, kemampuan berfikir yang rendah, dan pemahaman konsep-konsep dasar yang rendah. Namun demikian, program percontohan dengan matematika realistik ini mempunyai banyak dampak positif dalam proses belajar-mengajar. Perubahan dalam kebiasaan belajar siswa dijumpai dari hari ke hari yang menunjukkan bahwa matematika realistik merupakan pendekatan yang potensial untuk belajar dan mengajar matematika. Wawancara dengan sejumlah siswa menunjukkan bahwa mereka menyukai pendekatan baru. Mereka menyatakan bahwa ada banyak perubahan positif pada diri mereka khususnya dalam berfikir, dan menjadi lebih aktif dan kreatif. Guru sendiri, yang juga bertindak sebagai peneliti merasakan perubahan positif pada kebiasaan siswa setelah berinteraksi dengan pelajaran berbasis matematika realistik. Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa keterampilan pemecahan masalah merupakan bagian penting bagi semua program matematika. Dengan meningkatnya kemampuan berfikir dan menjadi lebih aktif dan kreatif setelah mengikuti pembelajaran matematika realistik, siswa dapat didorong untuk mampu memonitor proses belajar dan berfikir yang dilakukannya selama pembelajaran. Menurut Gartmann & Freiberg (tanpa tahun) dengan memberi kesempatan siswa untuk memonitor proses belajar dan berfikir yang dilakukannya maka dapat secara efektif membantu mereka menjadi pemecah masalah yang baik dan tentunya pemikir yang baik untuk semua tugas matematika, juga tugas-tugas yang lain. Walaupun matematika realistik merupakan pendekatan pendidikan matematika yang dikembangkan di Belanda, namun berdasarkan hasil penelitian eksploratori yang telah dila-kukan menun-
jukkan bahwa pendekatan ini memungkinkan untuk digunakan di Indonesia. Namun untuk mewujudkannya, usaha yang keras dibutuhkan dalam pengembangan kurikulum, latihan asesmen, dan pelatihan guru, semua ini didukung dengan fokus penelitian pengembangan dan evaluasi formatif untuk memastikan relevansi dengan kondisi lokal dapat tercapai (Fauzan, Slettenhaar, & Plomp, tanpa tahun). PEMECAHAN MASALAH MELALUI ASESMEN MATEMATIKA REALISTIK Menurut Lange (1995:26) tingkat aktivitas matematika yang berbeda-beda membutuhkan perangkat asesmen yang berbeda yang sulit dalam pembuatannya dan membutuhkan banyak penelitian dan tes. Lebih lanjut Lange mengatakan, bahwa menginterpretasikan strategi dan proses berbeda di mana siswa akan menunjukkan asesmen terbuka yang lebih akan menjadi hal yang sulit bagi guru. Pelatihan guru dengan tujuan khusus pada asesmen tidak hanya dibutuhkan namun akan betul-betul membuat guru paham masalah yang kita hubungkan. Sehingga dapat dikatakan bahwa asesmen adalah penilaian yang dilakukan oleh guru terhadap siswa yang dilaksanakan selama berjalannya kegiatan pembelajaran (Anonymous, tanpa tahun) yang tidak hanya mengukur hasil belajar siswa namun juga mengukur proses belajar siswa untuk memperoleh informasi yang akurat tentang hasil belajar, minat dan kebutuhan siswa (Rusoni, 2001:1). Heuvel-Panhuizen (1996: 84) mengatakan bahwa sebagaimana pendidikan, asesmen juga harus menempatkan matematika sebagai aktivitas manusia. Jika asesmen bersesuaian dengan matematika realistik, maka harus dikhususkan pada tiga pilar matematika realistik, yaitu: sudut pandang pada pokok materi, pada
Purwanto, Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, 744
bagaimana pembelajaran harus diberikan, dan pada cara di mana terjadi kemajuan proses belajar. Kesemua hal tersebut akan menentukan apa, mengapa, dan bagaimana penilaian terjadi. Ada lima prinsip penilaian sebagai panduan dalam melakukan asesmen dalam matematika realistik (Lange, 1995: 4), yaitu: 1. Tujuan pertama dan utama melakukan tes adalah untuk meningkatkan belajar dan mengajar. 2. Metode penilaian harus memungkinkan para siswa untuk memperlihatkan apa yang mereka ketahui lebih dari apa yang mereka tidak ketahui. 3. Asesmen harus menerapkan semua tujuan pendidikan matematika. 4. Kualitas asesmen matematika tidak ditentukan oleh daya terimanya terhadap penyekoran obyektif. 5. Perangkat penilaian harus praktis. Sedangkan kharakteristik soal-soal asesmen yang baik menurut HeuvelPanhuizen (1996:105-107) adalah: 1. Soal-soal harus imbang. Tugas-tugas harus merefleksikan isi dan proses matematika yang penting dan harus menyediakan refleksi yang baik dari pengetahuan dan keterampilan sesuai tuntutan kurikulum. Soal-soal yang digunakan untuk asesmen harus menyangkut keterampilan tingkat rendah dan tinggi. 2. Soal-soal harus bermakna dan bermanfaat. 3. Soal-soal harus melibatkan lebih dari satu jawaban dan kemampuan berfikir tingkat tinggi. 4. Soal-soal harus menghadirkan pengetahuan untuk dinilai. Lange (Heuvel-Panhuizen, 1996:137) membedakan tiga tingkat masalah dalam hubungannya dengan
beragam tujuan yang diharapkan oleh pendidikan matematika, yaitu: 1. Tugas tingkat-rendah. Tingkat ini mencakup kemampuan dasar, seperti pengetahuan fakta-fakta bilangan dan definisi, kemampuan teknis dan algoritma standar (misalnya, menyelesaikan sebuah persamaan). Tugas tingkat-rendah biasanya terjadi dalam bentuk pertanyaan jawaban singkat dan sebagian besar ditemukan pada tes tulis tradisional restrictedtime. 2. Tugas tingkat-menengah. Tingkat ini memuat masalah di mana siswa itu sendiri harus membuat kaitan yang jelas, informasi berbeda yang terintegrasi, dan memikirkan strategi penyelesaian. 3. Tugas tingkat-tinggi. Soal-soal pada tingkat tertinggi lebih dituntut. Pada tingkat ini, matematisasi benar-benar ditampilkan, hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa: analisis dan interpretasi merupakan hal yang penting; kreativitas dan konstruksi diri dibutuhkan; refleksi, pembentukan model dan generalisasi juga harus terjadi; lebih lagi, menerima tingkatan ini juga berarti siswa mempunyai kemampuan mengkomunikasikan pendekatan yang diambil dan mampu mengendalikan kecenderungan yang kritis. Tugas tingkat-tinggi menuntut produksi, integrasi dan ekspresi ideide, di mana kebutuhan respon bebas yang dapat terealisasi lebih baik dalam bentuk pertanyaan terbuka dengan respon-luas, seringkali dijumpai pada tes essay. Selanjutnya, bentuk asesmen matematika realistik yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika adalah sebagai berikut (diadaptasi dari HeuvelPanhuizen, 1996:136-137):
745, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
1. Tes essay Pada metode asesmen ini, siswa diminta, misalnya, menulis reaksi atas artikel koran atau memberikan saran mereka pada soal yang diambil dari kehidupan sehari-hari. Dengan pemberian tes ini diharapkan siswa dapat menjadi lebih analitis dalam mengambil keputusan dalam kehidupan. 2. Tes take-home Siswa mengerjakan tes (biasanya essay) di rumah, dikerjakan secara individu atau berkelompok, boleh menggunakan buku teks, dan dapat meminta bantuan orang lain. Dengan tes ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis dan juga dapat mengembangkan kemampuan mereka dalam beradaptasi terhadap situasi belajar yang berbeda-beda dan baru. 3. Tes dua-langkah Metode asesmen seperti ini menggabungkan beragam bentuk tes. Misalnya, tes tulis yang telah diselesaikan di sekolah, setelah diperiksa dan diberi komentar oleh guru, dikembalikan kepada siswa untuk kemudian diberikan perbaikan di
rumah. Tes jenis ini memungkinkan siswa untuk menerapkan pemecahan masalah yaitu proses menerima masalah dan berusaha menyelesaikan masalah tersebut. 4. Tes produksi Siswa membuat tesnya sendiri. Dengan tes ini diharapkan pemecahan masalah sebagai proses muncul dari interpretasinya sebagai proses dinamik dan terus menerus. 5. Tes penggalan informasi Siswa diberikan penggalan informasi, kemudian diminta untuk mencari informasi lain yang relevan, kemudian menggabungkan, dan jika memungkinkan memperkaya dengan informasi lain, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang diberikan. Dengan tes ini, pemecahan masalah sebagai proses diharapkan akan muncul di saat siswa menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi baru. Dalam hal ini, metode, prosedur, strategi, dan heuristik yang siswa gunakan dalam memecahkan masalah akan menjadi pertimbangan utama.
DAFTAR RUJUKAN Anonymous. tanpa tahun. Formative and Summative Assessment http://www.provost.cmich.edu/asse ssment/toolkit/formativesummativ e.htm (diakses 20 Februari 2007) Fauzan, A., Slettenhaar, D., & Plomp, T. tanpa tahun. Traditional Mathematics Education vs. Realistic Mathematics Education: Hoping for Changes. http://www.mes3.learning.aau.dk/P rojects/Fauzan.pdf (diakses 19 Juni 2007).
Gartmann & Freiberg. tanpa tahun. The Mathematics Educator Volume 6 Number 1. http://math.coe.uga.edu/tme/v06n1 /3gartmann.pdf (diakses 5 November 2007). Hadi, S., Plomp, T., & Suryanto. 2001. Introducing Realistic Mathematics Education to Junior Highschool Mathematics Teachers in Indonesia. http://www.math.uoc.gr/~ictm2/Pr
Purwanto, Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, 746
oceedings/pap279.pdf (diakses 30 Maret 2007). Hudojo, H. 1979. Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Depan kelas. Surabaya: Usaha Nasional. Jennings, S. & Dunne, R. 1999. Math Stories, Real Stories, Real-life Stories. www.ex.ac.uk/telematics/T3/maths /mathfram.htm. Jitendra. 2002. Teaching Problem-Solving Using the Graphic Representational Strategy. Teaching Exceptional Children. Vol. 34, No. 4. March/April 2002. Killen, R. 1998. Effective Teaching Strategies. Lessons from Research and Practice. Second Edition. Australia: Social Science Press. Lange, J. 1995. Assessment: No Change Without Problems. Standards for Mathematics Education. Universiteit Utrecht. Mullis, I.V.S., et.al. 2003. TIMSS 2003 International Mathematics Report. Lynch School of Education. Boston College. http://timss.bc.edu/PDF/t03_downl oad/T03INTLMATRPT.pdf (diakses 6 Maret 2007) NCTM (National Council of Teachers of Mathematics). 2000. Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM. Panhuizen, M.H. 1996. Assessment and Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal Institute. Posamentier, A.S & Stepelman, J. 1990. Teaching Secondary School Mathematics, Tecniques and Enrichment Units, 3rd edition. Ohio: Merrill Publishing Company Columbus. Price, J. 1996. “President’s Report: Bulding Bridges of Mathematical
Understanding for All Children” . Journal for Research in Mathematics Education. Vol.27. No.5 November 1996. hal. 603608 Ratini. 2005. Pembelajaran Pecahan dengan PMRI Lebih Bermakna. Buletin PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia). Edisi VI – Februari 2005. Rusoni, E. 2001. Portofolio dan Paradigma Baru Dalam Penilaian Matematika, (online), (http://www.pdk.go.id/publikasi/B uletin/Pppg_Tertulis/08_2001/ Portofolio_&_Paradigma_Baru.ht m, diakses 18 November 2002) Slettenhaar. 2000. Adapting Realistic Mathematics Education in the Indonesian Context. Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional Matematika X ITB, 17-20 Juli 2000 Soedjadi. 2000. Nuansa Kurikulum Matematika Sekolah Di Indonesia. Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konferensi Nasional Matematika X ITB, 17-20 Juli 2000) Streefland, L. 1991. Realistic Mathematics Education in Primary School. Utrecht: Freudenthal Institute. Sudjimat, D.A. 1995. Pembelajaran Pemecahan Masalah: Tinjauan Singkat Berdasarkan Teori Kognitif. Journal Pendidikan Matematika dan Sains Malang: IKIP Malang Suharta, I.G.P. 2005. Matematika Realistik Apa dan Bagaimana. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi 38, Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Balitbang - Depdiknas Sumarmo, U. 1994. Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah
747, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
pada Guru dan Siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian. IKIP Bandung: Tidak Diterbitkan. Verkage, H. & Lange, J. 1995. Mathematics Education and Assessment. Goffree, F. & Dolk, M. (eds.). Standards for Mathematics Education. Universiteit Utrecht. Wahyudin. 2003. Peranan Problem Solving. Makalah Seminar Technical Cooperation Project for Development of Mathematics and Science for Primary and Secondary Education in Indonesia. August 25, 2003. Wegner, P. & Goldin, D. 2006. Principles of Problem Solving. Communications of the acm July 2006/vol. 49, no. 7
Yushau, B. & Wessels, D. C. J. tanpa tahun. Analysis of problem-solving in mathematics teaching and learning. Mathematics Papers. Zambo, R. & Cleland, L. 2001. Contextual Images in Mathematics Problem Solving.http://www.thefreelibrary. com/Contextual+images+in+mathe matics+problem+solvinga0121714121 (diakses 5 Februari 2008). Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing Zamroni. 2006. Pergeseran Paradigma Pembelajaran Matematika Sekolah. Makalah Direktorat Profesi Pendidik. Direktorat Jenderal Penajaminan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.