DIFFERENCE EMOTIONAL INTELLIGENCE (EQ) BETWEEN COLLEGE STUDENTS WITH HOMESCHOOLER TEDDY BAGUS HERNOWO Undergraduate Program, Faculty of Psychology Gunadarma University http://www.gunadarma.ac.id
Keywords: Emotional Intelligence, Line of education, formal school students, schoolers.
ABSTRACT Formal education channels such as schools and homeschooling (non-formal) can be used as the path to develop students' intelligence. Along with the development of the age, the researchers found that intelligence is not just the only one that can be used as a benchmark that will succeed in their studies, but emotional intelligence into a form of intelligence
that
actually
determines
one's
success
in
learning.
The purpose of this study was to examine whether there are differences in emotional intelligence (EQ) between the formal school students with home schoolers. This research was conducted on 30 students of formal schools and 30 high schoolers with a criterion level, ages 14 to 20 years. The collection of data on research using questionnaires and sampling techniques used in this study was purposive sampling. To measure the emotional intelligence scale using measuring instruments used to live is because of existing measuring devices have proven validity and reliable by previous researchers. Based on research results can be concluded that there is emotional intelligence (EQ), a significant correlation between students' formal schooling and schoolers. It can be known from the value of sig. at 0044 (p <0.05). Data analysis by using independent sample t test. It shows that the research hypothesis accepted, which means there are differences in emotional intelligence (EQ) is significant between the formal school students with schoolers where emotional intelligence (EQ) more high schoolers than formal school student.
PERBEDAAN KECERDASAN EMOSIONAL (EQ) ANTARA SISWA SEKOLAH FORMAL DENGAN HOMESCHOOLER TEDDY BAGUS HERNOWO FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GUNADARMA ABSTRAKSI Jalur pendidikan seperti sekolah formal dan homeschooling (non formal) dapat dijadikan jalur untuk mengembangkan kecerdasan para siswa. Seiring dengan perkembangan zaman, para peneliti menemukan bahwa kecerdasan intelektual bukan hanya satu-satunya yang dapat dijadikan tolak ukur bahwa seorang akan berhasil dalam studinya, namun kecerdasan emosional menjadi sebuah bentuk kecerdasan yang justru sangat menentukan keberhasilan seseorang dalam belajar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah ada perbedaan kecerdasaan emosional (EQ) antara siswa sekolah formal dengan homeschooler. Penelitian ini dilakukan terhadap 30 siswa sekolah formal dan 30 homeschooler dengan kriteria tingkat SMA, usia 14 sampai dengan 20 tahun. Pengumpulan data pada
penelitian menggunakan kuesioner dan teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Untuk pengukuran skala kecerdasan emosional menggunakan alat ukur yang tinggal dipakai ini dikarenakan alat ukur yang ada telah teruji validitas dan keterandalannya oleh peneliti terdahulu. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat kecerdasan emosional (EQ) yang signifikan antara siswa sekolah formal dan homeschooler. Hal ini dapat diketahui dari nilai sig. sebesar 0.044 (p<0.05). Analisis data dengan menggunakan independent sample t test. Hal tersebut menunjukkan bahwa hipotesis penelitian diterima yang artinya ada perbedaan kecerdasan emosional (EQ) yang signifikan antara siswa sekolah formal dengan homeschooler dimana kecerdasan emosional (EQ) homeschooler lebih tinggi jika dibandingkan siswa sekolah formal. Kata kunci : Kecerdasan emosional, Jalur pendidikan, Siswa sekolah formal, Homeschooler.
pendidikan adalah membentuk manusia
PENDAHULUAN
Indonesia seutuhnya yaitu hati sebagai Tujuan pendidikan dalam UU NOMOR
20
TAHUN
2003
telah
dirumuskan, bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan rumusan bahwa
tujuan yang
pendidikan ingin
dicapai
tampak oleh
media untuk menuju manusia yang beriman
dan
bertakwa,
berahlak
manusia, pribadi yang mantap dan mandiri, serta menjadi warga Negara yang bertanggung jawab, tangan sebagai media
menciptakan
manusia
yang
memiliki keterampilan, kepala sebagai media
menciptakan
menguasai
ilmu
manusia
yang
pengetahuan
dan
teknologi, dan kesehatan sebagai media menciptakan
manusia
yang
sehat
jasmani dan rohani (Anonim, 2003).
Tampaknya pendidikan
di
rumusan
atas
masih
tujuan
pendidikan sebagai akibat munculnya
belum
tolak
ukur
yang
tidak
dipahami
terealisasi sepenuhnya, menurut Hendra
masyarakat, sehingga menjadi kurang
Sugiantoro seorang aktivis pendidikan
jelas apa sesungguhnya yang ingin
mengatakan bahwa disadari atau tidak,
diukur atau dibandingkan. Sementara
belajar di sekolah hanya untuk mendapat
asumsi yang berkembang, pendidikan itu
lembaran
menjadikan
bermutu tinggi apabila suatu lembaga
siswa cerdas, mandiri, dan berakhlak.
pendidikan melahirkan tamatan, dimana
Sekolah
ijazah,
bukan
formal
pendidikan
untuk
sebagai
ruang
nilai
peserta
didiknya
mendidik
siswa
dengan kata lain pendidikan masih hanya
tinggi-tinggi,
seakan-akan dilupakan fungsinya. Kasus
menitikberatkan
pada
aspek
tawuran yang banyak terjadi di berbagai
intelektual semata (Nyoman, 2004).
daerah turut memberi bukti bahwa mutu
Pengalaman telah memberikan
pendidikan di Indonesia belum seusai
pelajaran ketika dominasi penekanan
dengan
hingga
hasil pendidikan pada aspek intelektual
yang
(intelligence Quotient), semua seakan
dilakukan oleh masyarakat (Sugiantoro,
diperbudak oleh pikiran bahwa anak
2007).
harus cerdas. Maka pelajaran yang
tujuan
muncullah
pendidikan,
berbagai
Semarak
tuntutan
tuntutan
masyarakat
terkait seperti matematika, IPA, fisika,
terhadap mutu pendidikan tidak terlepas
dan sebagainya ditambah, baik secara
dari fakta yang berkembang. Pertama,
formal di sekolah maupun di les privat.
masyarakat menilai apa yang dicapai
Risiko yang ditanggung ternyata harus
dunia pendidikan sekarang ini tidak
dibayar mahal. Anak mulai kehilangan
mampu
yang
keseimbangan kehidupannya. Kepekaan
dengan
mereka terhadap dunianya yang lain
melahirkan
berkualitas
jika
generasi
dikaitkan
tersedianya lapangan kerja, dimana hasil
yaitu
pendidikan makin jauh tertinggal dari
dangkal.
tuntutan
apalagi
penyalahgunaan obat-obat terlarang, dan
SDM
berbagai bentuk kriminalitas yang lain.
dikaitkan memasuki
pasar
yang
dengan pasar
ada,
persaingan global.
Kedua,
kekhawatiran terhadap merosotnya mutu
Karena
“nilai-nilai Maraklah
itu
sosial”,
menjadi
kasus
tawuran,
hendaknya
tolak
ukur
penilaian dan pengukuran tidak hanya
melihat dari satu aspek saja yaitu IQ,
atau seberapa tinggi sukses yang mampu
namun perlu dilihat sebuah bentuk
dicapai. Tentunya kecerdasan emosional
kecerdasan
dari
membuka wawasan sekaligus merubah
yang dikenal
paradigma masyarakat bahwa penekanan
dengan kecerdasan emosional (Nyoman,
kualitas pendidikan di dalam diri seorang
2004).
siswa tidak hanya mutlak dilihat dari
yang
terpisah
kecerdasan intelektual
Daniel
Goleman
menjadi
aspek IQ namun EQ juga turut berperan
penggagas sebuah bentuk kecerdasan
penting bagi masa depan anak-anak
yang dia kembangkan dari teori multiple
mereka.
intelligence
disebut
Ternyata perubahan paradigma
dengan kecerdasan emosional (EQ).
tidak hanya pada aspek pengukuran
Dalam buku yang ia tulis berjudul
kecerdasan
“Emotional
pendidikan sebagai sarana siswa juga
2001)
Gardner
yang
Intelligence”
keberhasilan
(Goleman,
namun
model
tidak
diberi perhatian lebih oleh masyarakat
mutlak ditentukan oleh faktor IQ semata,
terutama para orang tua dan para
namun IQ hanya berperan sebesar 20%,
pemerhati pendidikan. Maka, muncullah
justru
lembaga
keberhasilan
seseorang
semata,
seseorang
lebih
pendidikan
alternatif
di
disebabkan oleh faktor EQ sebesar 80%.
Indonesia yang dikenal dengan istilah
Menurut makalah McCleland tahun 1973
homeschooling.
berjudul Testing for competence Rather
merupakan pendidikan berbasis rumah,
than intelligence, seperangkat kecakapan
yang memungkinkan anak berkembang
khusus seperti : empati, disiplin diri, dan
sesuai dengan potensi diri mereka
inisiatif
masing-masing (Sumardiono, 2007).
akan
membedakan
antara
mereka yang sukses sebagai bintang
Homeschooling
Homeschooling
kinerja dengan yang hanya sebatas
sebuah
bertahan di lapangan pekerjaan (dalam
Indonesia. Tidak sedikit orang tua yang
Ginanjar, 2007). Kemampuan akademik,
memilih
nilai
anaknya
rapor,
predikat
kelulusan
model
merupakan
untuk
pendidikan
baru
mendaftarkan
kepada
di
anak-
lembaga-lembaga
pendidikan tinggi tidak bisa menjadi
homeschooling
yang
kini
mulai
satu-satunya tolak ukur seberapa baik
bermunculan. Ada sejumlah figur publik
kinerja seseorang dalam pekerjaannya
yang juga memilih model pendidikan ini
seperti Kak Seto yang dikenal sebagai
(Sumardiono, 2007). Banyak alasan
tokoh pendidikan anak yang melakukan
orang tua memilih homeschooling bagi
homeschooling pada ke 3 orang putrinya.
anak-anaknya, menurut riset di Amerika
Selain
seperti
dan Kanada, salah satu faktor pemicu
Dominique (model) dan Nia Ramadhani
utamanya adalah ketidakpuasan terhadap
(artis sinetron) yang turut meramaikan
sistem pendidikan yang ada, karena
percakapan
homeschooling
sekolah umum dinilai kurang berkualitas
dengan pilihannya. Di samping ketiga
dan sekolah swasta yang baik sangat
orang itu, ada artis Dewi Hughes yang
mahal, maka homeschooling menjadi
juga
pilihan atau alternatif yang rasional bagi
itu,
ada
artis-artis
mengenai
giat
mempromosikan
homeschooling dan aktif sebagai salah seorang
pengurus
(Asosiasi
Sekolah
ASAH
para orang tua (Anonim, 2008).
PENA
Rumah
dan
Menurut Direktur
Ella
Yulaelawati
Pendidikan
Kesetaraan
Pendidikan Alternatif) yang mewadahi
Depdiknas (2007), ada sekitar 1.000 –
para praktisi homeschooling. Beberapa
1.500 siswa homeschooling. Di Jakarta
orang
memilih
ada sekitar 600 siswa sebagian besar
homeschooling mulai berinteraksi dan
diantaranya (sekitar 500 orang) adalah
membentuk
siswa
tua
yang
jaringan
telah
(networking).
homeschooling
majemuk
Sebagian praktisi homeschooling juga
(Homeschooling majemuk adalah salah
telah
komunitas
satu bentuk homeschooling). Jumlah
homeschooling lokal bersama para orang
sebenarnya tidak dapat diketahui dengan
tua (Anonim, 2006).
pasti, tapi diperkirakan masih besar lagi.
membentuk
Homeschooling
terus
Saat
ini
informasi
mengenai
berkembang dengan berbagai alasan.
homeschooling disebarluaskan melalui
Selain karena alasan keyakinan (beliefs),
seminar
pertumbuhan
Media massa juga turut berperan penting
homeschooling
juga
dan
pertemuan-pertemuan.
banyak dipicu oleh ketidakpuasan atas
dalam
sistem pendidikan di sekolah. Keadaan
keingintahuan mengenai homeschooling.
pergaulan sosial di sekolah yang tidak
Selain
sehat
homeschooling juga berkembang melalui
juga
memberikan
kontribusi
terhadap pertumbuhan homeschooling
membangun
itu,
kesadaran
informasi
dan
mengenai
sarana yang ada di dunia maya yaitu
Pendidikan Nasional pasal 27 ayat (1)
internet (Anonim, 2008).
yang berbunyi : kegiatan pendidikan
Menurut data dari sekolah rumah
informal yang dilakukan oleh keluarga
mayoritas homeschooler (71%) memilih
dan
sendiri materi pengajaran dan kurikulum
belajar secara mandiri. Pemerintah tidak
dari yang tersedia, kemudian melakukan
mengatur
standar
penyesuaian
pelayanan
informal
kebutuhan anak-anak, keadaan keluarga,
penilaian
apabila
dan prasyarat dari pemerintah. Selain itu,
dengan pendidikan jalur formal dan non
24% diantaranya menggunakan paket
formal sebagaimana yang dinyatakan
kurikulum lengkap yang dibeli dari
pada UU No. 20/23, pasal 27 ayat (2).
agar
sesuai
dengan
lembaga penyedia kurikulum dan materi
lingkungan
berbentuk
isi
kegiatan
dan
proses
kecuali
standar
akan
Homeschooling
disetarakan
sebagai
suatu
ajar. Sekitar 3% menggunakan materi
jalur pendidikan informal diharapkan
dari
(patner
mampu untuk mendidik generasi muda
homeschooling) atau program khusus
yang tidak hanya berkembang secara
yang dijalankan oleh sekolah swasta
intelektual,
setempat (Anonim, 2008).
kecerdasan emosional yang berkembang.
anak
sekolah
satelit
namun
juga
memiliki
Berdasarkan riset di AS anak-
Masyarakat banyak beranggapan bahwa
homeschooling
anak-anak
juga
memiliki
yang
didik
dengan
tingkat prestasi yang lebih tinggi dari
homeschooling memiliki sosialisasi yang
rata-rata prestasi pendidikan di sekolah.
kurang, namun anggapan itu justru keliru
Rata-rata para homeschooler unggul 30-
homeschooling
37 % point dibandingkan para murid
mereka tidak hanya untuk duduk dikelas
sekolah umum untuk seluruh bidang
mendengarkan
studi. Selain itu, homeschooling terbukti
seperti pada sekolah-sekolah formal,
dapat dijalankan oleh orang tua dengan
para
berbagai
mengenal
latar belakang pendidikan,
justru
mengajarkan
pelajaran
homeschooler
setiap
diajak
lingkungan
hari
untuk sekitar,
strata sosial, dan strata pendapatan
bermasyarakat, bergaul dengan lintas
(Anonim, 2008).
usia (Sumardiono, 2007).
Keberadaan homeschooling telah diatur dalam UU 20/2003 tentang Sistem
Dalam sistem sekolah formal, tanggung
jawab
pendidikan
siswa
didelegasikan orang tua kepada guru dan
para guru seperti dalam perbuatan
sekolah. Pada homeschooling, tanggung
menjewer kuping, ini disebabkan juga
jawab anak sepenuhnya berada ditangan
karena tekanan dialami oleh guru yang
orang tua (Sumardiono, 2007).
harus bisa mengontrol banyaknya siswa
Peran orang tua dan guru dalam
dalam satu kelas. Hal ini mempengaruhi
sistem sekolah formal relatif minimal,
perkembangan
karena
pendidikan
para siswa.
sistem
sekolah
dijalankan dan
guru.
oleh
kecerdasan
emosional
Pada
Pada Model belajar di sekolah,
homeschooling, peran orang tua dan
sistem yang ada sudah mapan. Orang tua
anak sangat vital dan menentukan
tinggal memilih sebuah model sekolah
keberhasilan
Walaupun
yang diminati dan kemudian mengikuti
orang tua tidak harus mengajarkan
proses pendidikan yang dijalankan untuk
sendiri
anaknya.
pendidikan.
kepada
homeschooling,
inisiatif
anak-anak dan
arah
Pada
homeschooling,
dibutuhkan komitmen dan kreativitas
pendidikan ditentukan oleh kebijakan
orang
orang
homeschooling. Keluarga homeschooling
tua
bersama
anak-anak
homeschooling (Sumardiono, 2007). Dalam sebuah artikel majalah teachers
guide
volume
II
(2008)
disebutkan bahwa cara mengajar guru
tua
untuk
melaksanakan
dapat memilih sebuah paket pendidikan tertentu atau melakukan penyesuaian menurut
kebutuhan
homeschooler
(Sumardiono, 2007).
walaupun pada sekolah yang sudah
Pada sekolah formal, jadwal
berpredikat sekolah berstandar nasional
belajar telah ditentukan dan seragam
masih menggunakan cara lama yaitu
untuk
mendikte
pelajaran
homeschooling jadwal belajar fleksibel
padahal seharusnya siswa dimotivasi
tergantung kesepakatan antara orang tua
untuk melakukan diskusi didalam kelas,
dan anak (Sumardiono, 2007).
serta
mencatat
seluruh
siswa.
Pada
sehingga memacu keinginan para siswa
Sistem disekolah terstandarisasi
untuk lebih mengetahui materi yang
untuk memenuhi kebutuhan anak secara
diajarkan dan tidak membuat para siswa
umum,
menjadi bosan. Selain itu juga terjadi
homeschooling
tindak kekerasan yang dilakukan oleh
sementara
sistem
disesuaikan
pada menurut
kebutuhan anak dan kondisi keluarga
pada siswa itu disebabkan oleh beban
(Sumardiono, 2007).
yang
Pengelolaan disekolah terpusat, antara
lain
kurikulumnya
berat
untuk
mencapai
target
pendidikan dan penerapan gaya belajar
telah
yang tidak cocok oleh guru disekolah
ditetapkan seragam untuk seluruh siswa.
tersebut, sehingga pada akhirnya siswa
Pengelolaan
tersebut memutuskan untuk berhenti dari
homeschooling
terdesentralisasi
tergantung
keluarga
homeschooling. Keluarga homeschooling
bangku sekolah formal dan pindah ke homeschooling.
memilih sendiri kurikulum dan materi ajar untuk homeschooler (Sumardiono, 2007).
TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk
Menurut Abe saputra seorang
menguji
secara
empiris
perbedaan
pengamat pendidikan sekaligus guru di
kecerdasan emosional (EQ) antara siswa
sebuah sekolah menengah di Medan
sekolah formal dengan homeschooler.
(2007)
menjelaskan
bahwa
dengan
adanya target kurikulum yang harus
TINJAUAN PUSTAKA
diselesaikan siswa dalam jangka waktu tertentu menyebabkan tidak ada waktu untuk guru memberikan perhatian lebih kepada
perbedaan-perbedaan
potensi
kecerdasan yang dimiliki para siswa sehingga akhirnya para siswa merasa terbebani, sehingga proses dalam belajar
karyawan
Agustina
majalah
tempo
Menurut kecerdasan kemampuan sendiri,
dan
Goleman
(2006)
emosional untuk
adalah
memotivasi
bertahan
(2007) yang
melakukan wawancara terhadap seorang bapak yang anaknya merasa tertekan
menghadapi
frustrasi, mengendalikan dorongan hati,
mengatur suasana hati dan menjaga agar beban
stres
tidak
melumpuhkan
kemampuan berpikir, berempati dan berdoa.
bersekolah di salah satu SMP Negeri Favorit
daerah
Jakarta
diri
dan tidak melebih-lebihkan kesenangan,
menjadi kurang menyenangkan. Menurut
Kecerdasan Emosional
Selatan,
menjelaskan bahwa kondisi tertekan
Wilayah Kecerdasan Emosional
Salovey (dalam Goleman, 2006) membagi
kecerdasan
emosional
ke
dalam lima wilayah utama, yaitu
dipercayai, untuk memaafkan dan dimaafkan.
a. Mengenali Emosi Diri Kesadaran
kapasitas untuk mempercayai dan
e. Membina Hubungan
diri,
mengenali
Mengatur
emosi
melalui
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi
komunikasi berdasarkan empati dan
merupakan
pemahaman,
dasar
kecerdasan
emosional.
untuk
membangun
perasaan saling percaya, skill sosial,
b. Mengelola Emosi Menangani
termasuk perasaan
mengatasi
agar
ketidaksepakatan secara konstruktif,
perasaan dapat terungkap dengan pas
kemampuan untuk menciptakan dan
adalah kecakapan yang bergantung
mempertahankan persahabatan, serta
pada kesadaran diri.
kepemimpinan yang efektif.
c. Memotivasi Diri Sendiri Menyalurkan untuk
mencapai
keterbukaan kemampuan
energi tujuan
pada
emosi tertentu,
ide-ide
untuk
Jalur Pendidikan
baru,
Jalur pendidikan adalah wahana yang
dilalui
peserta
didik
untuk
menemukan
mengembangkan potensi diri dalam
solusi dan membuat keputusan tepat,
suatu proses pendidikan yang sesuai
keuletan
dengan tujuan pendidikan (Anonim,
yang penuh
optimisme
berdasarkan kompetensi, perasaan
2007).
bertanggung jawab, dan kekuatan pribadi untuk mengerjakan sesuatu
Jalur Pendidikan terdiri dari :
menurut apa yang dibutuhkan dan
a. Pendidikan formal
diinginkan.
Merupakan pendidikan yang
d. Mengenali Emosi Orang Lain
diselenggarakan di sekolah-sekolah
Sensifitas kepada perasaan dan
pada umumnya. Jalur pendidikan ini
perhatian orang lain serta kemauan
mempunyai jenjang pendidikan yang
untuk
menghargai
pandangan
jelas, mulai dari pendidikan dasar,
mereka,
menghormati
perbedaan
pendidikan
dalam apa yang dirasakan seseorang,
menengah,
pendidikan tinggi.
sampai
b. Pendidikan non formal
jelas, dalam arti memiliki program
Pendidikan non formal meliputi
pendidikan yang telah direncanakan
pendidikan dasar dan pendidikan
dengan teratur dan ditetapkan secara
lanjut. Pendidikan dasar mencakup
resmi,
pendidikan
rencana pelajaran, jam pelajaran dan
keaksaraan
keaksaraan
dasar,
fungsional,
dan
misalnya
pengaturan
disekolah
lain
ada
yang
keaksaraan lanjutan paling banyak
menggambarkan
ditemukan dalam pendidikan usia
program sekolah secara keseluruhan,
dini (PAUD). Taman Pendidikan AL
lebih
Quran (TPA), maupun Pendidikan
menerangkan bahwa sekolah formal
Lanjut Usia. Pemberantasan Buta
bersifat hierarkis dan berhaluan pada
Aksara (PBA) serta program paket A
falsafah
(setara SD), paket B (sertara SMP)
nasional.
lanjut
bentuk
Hasbullah
serta
tujuan
dari
(2008)
pendidikan
adalah merupakan pendidikan dasar. Pendidikan
lanjutan
meliputi
program paket C (setara SLTA),
Tujuan Pengadaan Lembaga Pendidikan Formal
kursus, pendidikan vokasi, latihan
Menurut Ahmadi dan Uhbiyati
keterampilan lain baik dilaksanakan
(2003) tujuan pengadaan sekolah formal
secara terorganisir maupun tidak
(pendidikan formal) yaitu
terorganisir.
a. Tempat sumber ilmu pengetahuan.
c. Pendidikan informal Pendidikan jalur
b. Tempat
informal
pendidikan
lingkungan berbentuk
keluarga
adalah
Bangsa.
dan
c. Tempat
kegiatan
untuk
untuk
menguatkan
bahwa
pendidikan
belajar secara mandiri. Contoh :
penting guna bekal
kehidupan di
homeschooling
masyarakat sehingga siap pakai.
Sekolah Formal Hasbullah (2008) menjelaskan
masyarakat
mengembangkan
Homeschooling Menurut
Komariah
(2007)
bahwa sekolah formal adalah suatu
homeschooling adalah proses layanan
lembaga yang memiliki bentuk yang
pendidikan yang secara sadar, teratur
dan terarah dilakukan oleh orang tua /
kepada
keluarga di rumah atau tempat-tempat
masing-masing homeschooler (Mulyadi,
lain, dimana proses belajar mengajar
2007).
dapat
berlangsung
dalam
Dinas
Pendidikan
di
kota
suasana
kondusif dengan tujuan agar setiap potensi
anak
yang
unik
dapat
berkembang secara maksimal. Orang yang
bersekolah
di
METODE PENELITIAN Untuk mengumpulkan data yang
homeschooling
diperlukan
disebut dengan homeschooler.
dalam
penelitian
ini
menggunakan metode kuesioner yaitu satu set pertanyaan yang membahas
Legalitas Homeschooling Menurut
sistem
pendidikan
Indonesia, keberadaan homeschooling adalah legal karena memiliki dasar hukum yang jelas di dalam UUD 1945 maupun
didalam
UU
No.20/2003
mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Sekolah disebut jalur pendidikan formal, sementara homeschooling adalah jalur pendidikan
informal.
homeschooling memiliki
ijazah
Siswa
(homeschooler)
dapat
sebagaimana
siswa
sekolah dan dapat melanjutkan sekolah ke
perguruan
tinggi
manapun
jika
menghendakinya (Saputra, 2007). Ijazah Resmi
dapat
diperoleh
oleh
para
homeschooler dari pemerintah dengan terlebih dahulu mengikuti ujian nasional kesetaraan paket C untuk tingkat setara SMA dimana hasil ujian dan kegiatan para homeschooler kemudian dilaporkan
suatu topik tunggal atau satu set topik yang
saling
berkaitan,
yang
harus
dijawab oleh subjek (Chaplin, 2004). Kuesioner diberikan secara langsung kepada subjek penelitian. Jenis kuesioner yang
digunakan
adalah
kuesioner
tertutup dimana jawaban yang diberikan oleh subjek adalah sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Pada kuesioner juga terdapat
lembar
isian
yang
berisi
identitas diri subjek seperti nama, usia, jenis kelamin, kelas, pendidikan. Untuk mengukur tingkat kecerdasan emosional pada
siswa
homeschooler
sekolah
formal
digunakan
dan skala
kecerdasan emosional dimana skala tersebut berbentuk skala likert. Skala kecerdasan emosional diadaptasi dari Lekatompessy
(2005)
berdasarkan
wilayah kecerdasan emosional. Skala
test) yaitu independent sampel t test,
kecerdasan emosional yang digunakan
diperoleh signifikansi sebesar 0,044
adalah skala kecerdasan emosional yang
(p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
sudah teruji kehandalannya. Skala ini
ada perbedaan yang signifikan dalam
disusun pertama kali dengan koefisien
tingkat kecerdasan emosional antara
reliabilitas sebesar 0,9267.
siswa sekolah formal dan homeschooling Hasil tersebut menunjukkan bahwa
HASIL DAN ANALISA
hipotesis yang berbunyi ada perbedaan kecerdasan
Uji Normalitas Berdasarkan pengujian normalitas pada variable kecerdasan emosional,
emosional
(EQ)
yang
signifikan antara siswa sekolah formal dengan homeschooler diterima.
siswa sekolah formal mempunyai nilai statistik
sebesar
0,123
dengan
Pembahasan
signifikansi sebesar 0,200 (p>0,05) dan
Perbedaan kecerdasaan emosional
siswa homeschooling (homeschooler)
antara
mempunyai nilai statistik sebesar 0,127
homeschooler dapat dipengaruhi oleh
dengan
beberapa faktor. Menurut Mubayidh
signifikansi
sebesar
0,200
siswa
sekolah
(2007)
distribusi skor kecerdasan emosional
mempengaruhi perbedaan kecerdasan
pada
emosional dalam bidang pendidikan
yang
diambil
adalah
normal.
yaitu
Uji Homogenitas
pembelajaran
Dari hasil pengujian homogenitas diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,044 (p<0,05), menunjukkan mempunyai
hasil
pengujian bahwa
varians
yang
ini
proses
faktor
dan
(p>0,05). Secara umum dikatakan bahwa
sampel
beberapa
formal
sosialisasi, baik
yang
aktivitas
internal
maupun
diluar kelas, cara guru mengajar, dan lingkungan pendidikan. Berdasarkan
proses
sosialisasi,
keduanya
homeschooling biasanya lebih matang
berbeda
secara sosial karena mereka terbiasa
(heterogen).
berkomunikasi dan berinteraksi dengan
Uji Hipotesis
orang-orang beragam usia. Jaring-jaring
Berdasarkan analisa data yang
sosial (social networking) anak-anak
dilakukan dengan menggunakan uji t (t-
homeschooling pun tidak terbatas pada
teman-teman sebaya, tetapi ragam usia
mengadakan bakti sosial dan lainnya
sebagaimana realitas di tempat kerja dan
(Mulyadi, 2008). hal tersebut sesuai
masyarakat.
siswa
dengan apa yang dikemukakan oleh
sekolah yang terbiasa dengan sosialisasi
Mubayidh (2007) bahwa keadaan yang
sebaya sebenarnya justru terisolasi dari
menyenangkan
dunia nyata karena mereka tidak terbiasa
keinginan para siswa untuk belajar
dalam sosialisasi lintas usia. Sosialisasi
sehingga para siswa bebas dari rasa takut
vertikal baru mulai dipelajari setelah
dan tertekan hal ini meningkatkan
mereka menyelesaikan pendidikannya
motivasi mereka.
Sebaliknya,
para
(Sumardiono, 2007). Proses sosialisasi
dapat
Berdasarkan
merangsang
lingkungan
ini dapat dilihat dari aktivitas belajar
pendidikan pada homeschooling jumlah
yang dilakukan oleh para homeschooler
siswanya pun tidak banyak dalam satu
dikomunitas homeschooling berkemas
ruang sehingga memungkinkan para
dimana
pengajar
mereka
sering
berinteraksi
untuk
lebih
dapat
dengan lingkungan masyarakat disekitar
memperhatikan kondisi perasaan dan
mereka, hal ini sesuai dengan semboyan
emosi
mereka
homeschooling
yaitu
anytime
we
learn,
siswa
(Agustinus, juga
2008),
memberikan
anywhere our class, anyone our teacher.
kenyamanan dan keamanan untuk para
Berdasarkan aktivitas pembelajaran
homeschooler sehingga para siswa tidak
seperti
yang
dapat
pada
takut akan terkena pelecehan jiwa atau
Komunitas Homeschooling Berkemas
emosi, bebas dari ancaman, paksaan,
pimpinan Ibu Yayah Komariah, mereka
tekanan, hinaan dan tindakan yang
mengadakan berbagai kegiatan baik
membuat malu (Anonim, 2007). Hal ini
seperti study wisata, acara-acara diskusi
sesuai dengan kondisi yang ada di
yang
pembicara-
Homeschooling Berkemas, berdasarkan
pembicara dari pihak luar, outbound, dan
narasumber langsung yaitu Ibu Yayah
aktivitas yang mendukung lainnya, jadi
Komariah dan fakta dilapangan, dimana
belajarnya tidak hanya dikelas saja.
para guru homeschooling melihat potensi
mendatangkan
dilihat
Komunitas Homeschooling Kak
anak didiknya karena bagi mereka semua
Seto juga sering melakukan kunjungan-
anak tidak ada yang bodoh, namun
kunjungan ke panti sosial, studio musik,
mereka memiliki kepintaran masing-
masing yang berbeda-beda, ada anak
melakukan permainan bersama di kelas,
yang pandai di musik, maka selain
seperti
belajar mata pelajaran utama, mereka
membisikkan telinga teman yang duduk
juga diasah kemampuan bermusiknya.
di depannya hal-hal yang baik dan
Para guru dapat melakukan itu memang
positif. Misalnya, ”tulisanmu bagus”,
karena jumlah siswa tidak banyak
”daya hafalmu luar biasa”, kamu jago
sehingga dapat fokus. Pada saat tryout
sekali dalam bermain bola tadi saat jam
ujian pun, suasananya tidak tegang
olahraga” (Mubayidh, 2007). Dimasa
seperti suasana sedang ujian, sesuai
lalu, para siswa yang menjadi biang
dengan
kerok
lokasi
dan
waktu
yang
setiap
disuruh
siswa
diminta
menghadap
kepala
ditentukan para guru, homeschooler
sekolah untuk mendapatkan hukuman.
dapat mengerjakan try out ujian di alam
Sekarang dengan menggunakan metode
terbuka seperti yang dilakukan para
pengembangan kecerdasan emosional,
homeschooler
para siswa dianjurkan untuk memikirkan
Homeschooling
Komunitas Berkemas
yang
faktor-faktor
yang
menyebabkan
mengerjakan tryout ujian di Perkemahan
peristiwa gaduh di dalam kelas. Setelah
Ragunan, dengan beralas terpal plastik
mengetahui faktor tersebut, para siswa
mereka duduk bersama, orang tua murid
dimotivasi
pun boleh hadir melihat dan mengontrol
permasalahan yang dihadapinya. Dengan
para homeschooler pada saat mereka
cara ini siswa lebih mampu menganalisa
sedang melakukan tryout ujian.
perilakunya dan belajar dari kesalahan
Berdasarkan cara guru mengajar dapat emosional
mempengaruhi siswa
kecerdasan
melalui
memikirkan
solusi
atas
dan pengalaman. Cara ini jauh lebih baik daripada jika guru memberikan hukuman
banyak
atau mengeluarkan dari sekolah. Hal ini
aktivitas dan pengarahan yang mendidik
sesuai dengan cara guru yang mengajar
murid dengan nilai-nilai luhur, seperti
di Homeschooling Berkemas, jika ada
mengajar murid agar menjadi orang
murid yang mengalami kesulitan dalam
penyayang dan pelembut. Kelembutan
belajar, maka para guru memotivasi
ini dapat dimanfaatkan dalam proses
mereka dan mendengarkan apa kesulitan
pembelajaran, pendidikan dan pelatihan.
mereka untuk diambil solusinya.
Siswa sekolah dapat diminta untuk
Berdasarkan
kurva
distribusi
perempuan. Hasil penelitian ini sesuai
normal diketahui bahwa rata-rata tingkat
dengan penelitian yang dilakukan oleh
kecerdasan
Rosemary
emosional
pada
siswa
(2008)
dimana
hasilnya
sekolah formal dan homeschooler berada
kecerdasan emosional pria lebih tinggi
pada taraf sedang atau rata – rata.
dari pada wanita. Hasil penelitian ini
Artinya
hasil
menunjukkan bahwa pada laki-laki lebih
penelitian ini siswa sekolah formal dan
berkembang dalam wilayah mengenali
homeschooler
subjek
emosi diri sendiri, mengelola emosi,
kecerdasan
memotivasi diri sendiri, dan empati.
emosional berada pada taraf sedang,
Sedangkan perempuan lebih berkembang
dimana homeschooler memiliki rata-rata
pada
kecerdasan
lebih
Menurut Mubayidh (2007) ada orang
berkembang dibandingkan siswa sekolah
yang mengatakan bahwa perempuan
formal.
kecerdasan
“lebih sensitif” daripada laki-laki, karena
emosional pada siswa sekolah formal
beratus-ratus penelitian menunjukkan
juga
tidak
bahwa secara umum perempuan lebih
semaksimal pada homeschooler, hal ini
mampu berempati dengan orang lain dan
dikarenakan pada metode pengajaran di
lebih mampu merasakan perasaan orang
sekolah kurang memaksimalkan potensi
lain. Meski secara umum dinyatakan
kecerdasan emosional yang dimiliki
demikian, tentu saja ada pengecualian-
siswa. Menurut Melianawati, Prihanto
pengecualian
dan Tjahjoanggoro (dalam Anima :
penelitian ini dimana wilayah empati
Indonesian Psychology Journal Vol. 17
pada laki-laki lebih berkembang dari
Tahun 2001) bangku pendidikan formal
pada perempuan.
apabila
penelitian
dilihat
yang
ini
menjadi
rata-rata
emosional
Sebenarnya
berkembang,
dari
yang
namun
masih berfokus untuk menghasilkan orang-orang yang pintar secara kognitif. Hasil
data
deskripsi
subjek
wilayah
membina
seperti
Perkembangan
hubungan.
hasil
empati
dalam
menurut
Suyanti, Setiasih dan Mangunhardjana (dalam Anima : Indonesian Psychology
berdasarkan jenis kelamin diketahui
Journal,
Vol.
17
Tahun
2002)
bahwa mean kecerdasan emosional pada
dipengaruhi oleh keluarga, kemampuan
kelompok sampel laki-laki lebih tinggi
berempati telah dibentuk sejak kecil
dibandingkan dengan kelompok sampel
(dalam keluarga) melalui interaksi anak
dan ibu. Sehingga, belum tentu jenis
mampu untuk menghargai jati diri dan
kelamin perempuan selalu memiliki
potensi
empati yang lebih tinggi dari laki-laki.
menghadapi kesulitan maksudnya laki-
Hal
laki
ini
sesuai
dengan
apa
yang
yang
lebih
dimiliki,
mampu
kemampuan
menghadapi
dijelaskan oleh Anshar dan Alshodiq
kemungkinan adanya peristiwa buruk,
(2005)
kesulitan, dan ketegangan tanpa harus
bahwa
merupakan
kehidupan
sekolah
keluarga
pertama
untuk
kehilangan
kendali
mempelajari emosi, dimana salah satu
sedangkan
hubungan
karakteristik perilaku anak prasekolah
maksudnya perempuan lebih mampu
adalah
belajar
membangun hubungan timbal-balik yang
berempati. Menurut Goleman (2006)
saling menguntungkan, mereka mampu
dalam
berjudul
melestarikan hubungan itu yang ditandai
bahwa
dengan sifat kasih sayang, dalam hal
emosi
tanggung
kemampuan
untuk
bukunya
“emotional
yang
intelligence”
perbedaan
dalam
didikan
menghasilkan keterampilan
keterampilanyang
sangat
jawab
dan
inisiatif,
antar
sosial
sesama
perempuan
mampu menunjukkan kerja sama dengan
berbeda
orang lain, mereka lebih mampu menjadi
diantara dua jenis kelamin yaitu laki-laki
anggota yang memberikan peran baik
dan perempuan. Menurut Mubayidh
dalam berhubungan dengan anggota-
(2007) perbedaan emosional laki-laki
anggota yang lain dalam kelompoknya,
dan perempuan sangat dipengaruhi oleh
dan dalam hal empati dengan orang lain,
keluarga.
perempuan lebih mampu mengenali,
Menurut Mubayidh (2007) pada umumnya laki-laki lebih berkembang dalam
hal
perasaan
kemampuan
dalam
kesulitan Sedangkan,
(mengelola pada
jati
diri
sendiri).
perempuan
dirasakan oleh orang lain.
dan
menghadapi diri
merasakan dan menghargai apa yang
Hasil
data
deskripsi
subjek
berdasarkan usia diperoleh data bahwa rata-rata kecerdasan emosional yang
lebih
paling tinggi terdapat pada subjek yang
berkembang dalam hal hubungan antar
berusia 18 tahun, sedangkan kecerdasan
sesama, tanggung jawab sosial dan
emosional yang paling rendah terdapat
empati dengan orang lain. Perasaan jati
pada subjek yang berusia 14 tahun. Hasil
diri sendiri maksudnya laki-laki lebih
ini
menunjukkan
bahwa
perbedaan
tingkat usia mempengaruhi kecerdasan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat
emosional, menurut Mubayidh (2007)
ditarik
kecerdasan emosional manusia akan
penelitian diterima yang artinya ada
bertambah
dengan
perbedaan kecerdasan emosional yang
umur.
signifikan antara siswa sekolah formal
tinggi
bertambahnya
seiring
bertambahnya
Puncak kecerdasan emosional terjadi pada akhir usia 40 tahun, sedangkan pada
kecerdasan
intelektual
(IQ)
kesimpulan
Dilihat dari perbandingan antara mean empirik dan hipotetik diketahui bahwa
setelah
homeschooler
kecerdasan
usia
50
intelektual
tahun,
seseorang
menjadi menurun. Penurunan ini tidak
hipotesis
dan homeschooler.
mencapai puncaknya pada usia puber, melewati
bahwa
siswa
sekolah
formal
mempunyai
dan
tingkat
kecerdasan emosional yang sedang atau rata-rata.
terjadi pada kecerdasan emosional (EQ), lebih
lanjut
Mubayidh
(2007)
menjelaskan bahwa ada sebagian orang
Saran 1. Bagi
subjek (siswa) agar lebih
yang kecerdasan emosionalnya stabil
mengetahui
dan
dengan
emosional serta manfaat yang dapat
perjalanan waktu. Seseorang mungkin
ditimbulkan dari penerapan metode
sangat rajin di usia 16 tahun dan masih
belajar dengan kecerdasan emosional
stabil bahkan saat sudah berusia 40
sehingga
tahun. Sementara itu, ada pula orang
termotivasi dan memiliki kepekaan
yang kecerdasan emosionalnya berubah
yang tinggi.
tidak
berubah
sesuai
secara drastis karena pengaruh keadaan dan peristiwa yang dialami.
mengenai
siswa
kecerdasan
dapat
lebih
2. Bagi sekolah formal agar penerapan metode kecerdasan emosional lebih dimaksimalkan, jadi tidak hanya
PENUTUP
pada saat pelajaran BK (bimbingan
Simpulan
konseling) saja, namun dapat juga
Penelitian menguji
apakah
kecerdasan sekolah
ini
bertujuan ada
emosional
formal
dan
untuk
perbedaan
antara
siswa
homeschooler.
diterapkan
pada
mata
pelajaran
lainnnya, salah satunya dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan memasukkan
soal
cerita
yang
mengandung
unsur
kecerdasan
emosional
serta
aktivitas
pembelajaran diluar kelas seperti menyelenggarakan
kegiatan
bakti
unsur games yang bersifat educative dalam penerapannya. 4. Bagi
penelitian
diharapkan
selanjutnya,
menambah
sampel
sosial, sehingga potensi kecerdasan
penelitian untuk mendapatkan hasil
emosional
yang maksimal sehingga faktor-
para
siswa
dapat
berkembang lebih maksimal. 3. Bagi
homeschooling,
faktor metode
yang
terhadap
sangat
berpengaruh
kecerdasan peran
keluarga
emosional
kecerdasan emosional yang telah
seperti
terutama
diterapkan dibuat lebih semenarik
dalam bidang pendidikan dapat lebih
mungkin, dapat dengan memasukan
diketahui.
Jakarta : PT Tempo Inti Media Tbk. Akbarona, A.D. (2005). Kecerdasan orang-orang hebat. Jakarta : Hda. Ali, M. & Asrori, M. (2008). Psikologi Remaja. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : Bumi Aksara. Anonim. (2008). Bagaimana keadaan homeschooling di Indonesia. Diperoleh 23 Juni, 2008. Dari http://www.sekolahrumah.com/ind ex.php?option = comcontent&task = view&id = 151&itemid=65 DAFTAR PUSTAKA
Agustinus, S. (2008). Kerja keras vs kerja cerdas. Diperoleh 7 Juli, 2008. Dari http://www.heartline.co.id/success 11.html Agustina, W. (2007). Mencocokan bingkai untuk sekolah rumah. Dalam Tempo. Edisi 16 Juli 2007.
Anonim. (2008). Bagaimana prestasi anak-anak yang menempuh homeschooling. Diperoleh 23 Juni, 2008. Dari http:// www.sekolahrumah.com/index.php ? option=comcontent&tasks=view&i d=151&itemid=58 Anonim. (2006). Homeschooling Nia ramadhani. Diperoleh 23 Juni, 2008. Dari
www.sumardiono.com/index.php?o ption=com_content&task=view&i d=571&Itemid=79 Anonim. (2007). Lebih jauh tentang homeschooling. Diperoleh 23 Juni, 2008. Dari http://usahamulia.net/?cat=8 Anonim. (2008). Mengapa pertumbuhan homeschooling sangat pesat. Diperoleh 23 Juni, 2008. Dari http://www.sekolahrumah.com/ind ex.php? option= com_content&task=view&id=150 &Itemid=62 Anonim. (2007). Pendidikan. Diperoleh 23 Juni, 2008. Dari http://id.wikipedia.org/wiki/pendidi kan Anonim. (2003). Undang-undang sistem pendidikan nasional. Diperoleh 23 Juni, 2008. Dari http://www.inherentdikti.net/files/sisdiknas.pdf Anshar, Ulfa, M, Alshodiq & Mukhtar (2005). Pendidikan & pengasuhan anak dalam perspektif jender. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Elfindri, dkk. (2010). Soft skills untuk pendidik. Padang : Baduose Media. Elisabeth, S. (2006). “Bullying” kekerasan yang harus hilang dari pendidikan. Diperoleh 23 Juni, 2008. Dari http://www.sinarharapan.co.id/berit a/0605/12 /nas07.html Ginanjar. (2007). Emotional spiritual quotient. Jakarta : Arga Publishing. Goleman, D. (2006). Emotional intelligence. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Hasbullah. (2008). Dasar-dasar ilmu pendidikan. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Kembara, M.D. (2007). Panduan lengkap homeschooling. Bandung : Progressio. Komariah, Y. (2007). Homeschooling : anytime we learn anywhere our class anyone our teacher. Jakarta : Sakura.
Azwar, S. (2005). Tes prestasi. Yogyakarta : Pustaka pelajar.
Lekatompessy, A.L. (2005). Perbedaan tingkat kecerdasan emosional pada remaja berdasarkan urutan tingkat kelahiran. Skripsi. Depok : Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Budi, Imam. (2008). Referensi maya majalah teachers guide ”apa bedanya sekolah negeri dan swasta”. Diperoleh 10 Juni, 2010. Dari http://www.mailarchive.com/referensi_maya@yaho ogroups.com/msg01522.html
Melianawati, P, F.X. Sutyas & Tjahjoanggoro, A.J. (2001). Hubungan antara kecerdasan emosional dengan kinerja karyawan. Indonesian Psychological Journal ”Anima”. 17, 57-62.
Chaplin, J.P. (2004). Kamus lengkap psikologi. Jakarta : Rajawali pers.
Mubayidh, M. (2007). Kecerdasan dan kesehatan emosional anak. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Mulyadi, S. (2007). Homeschooling keluarga kak Seto. Bandung : Kaifa. Nuraini. (2008). Kecerdasan emosional. Diperoleh 7 Juli, 2008. Dari http://www.fedus.org/download/ke cerdasanemosi.pdf Nyoman. (2004). Menyiasati UAN 2004. Diperoleh 23 Juni, 2008. Dari http://www.balipost.co.id/BaliPost cetak/2004/1/26/bd2.htm Oktaviani, E. (2008). Homeschooling sebagai pendidikan alternatif. Diperoleh 27 Juni, 2008. Dari http://ikaviani.multiply.com/journa l Prabowo, H. (2002). Teknik penulisan usulan penelitian dan skripsi. Jakarta : Universitas Gunadarma. Ritandiyono. (2004). Peranan dan kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar siswa program percepatan belajar dan program regular SMUN 81 dan SMU Lab School Jakarta. Tesis. Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Rosemary, A. (2008). Perbedaan kecerdasan emosional antara siswa sekolah menengah atas dengan siswa Madrasah Aliyah di Pondok Pesantren. Skripsi. Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Sagala, S. (2007). Manajemen strategik dalam peningkatan mutu pendidikan. Bandung : AlfaBeta. Santoso, S. (2007). Menguasai statistik di era informasi dengan SPSS 15.
Jakarta : PT Komputindo.
Elex
Media
Saputra, A.A. (2007). Rumahku sekolahku. Yogyakarta : Grha Pustaka. Shapiro, L.E. (1997). Mengajarkan emotional intelligence pada anak. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Sugiantoro, H (2007). Sebuah renungan untuk sekolah. Diperoleh 23 Juni, 2008. Dari http : // www . kabarindonesia.com / berita.php ? pil= 20 & dn = 20070 814200525 Sugiyono. (2008). Metode penelitian pendidikan. Bandung : Alfabeta. Sumardiono. (2007). Lompatan cara belajar : a leap for better learning. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. Suryabrata, S. (2005). Pengembangan alat ukur psikologis. Yogyakarta : Andi. Suyanti, Valentina E., Setiasih & Mangunhardjana, A. (2002). Pengaruh Pelatihan Emotional Literacy Terhadap Kecerdasan Emosional Remaja. Indonesian Psychological Journal ”Anima”. 17, 243-256. Uhbiyati, N. & Ahmadi, A. (2003). Ilmu pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta. Young, R. (2010). Emotional Intelligence ”Basic History”. Diperoleh 21 Juli, 2010. Dari http://www.coachingtogrow.com/ei _history.pdf