Proposal Penelitian Karya Akhir
Perbedaan hiperresponsif bronkus antara PPOK dan bukan PPOK perokok
Oleh: Alfian Nur Rosyid
Pembimbing: Daniel Maranatha
Departemen / SMF Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr.Soetomo Surabaya 2015
2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
PPOK atau Penyakit Paru Obstruktif Kronik menjadi masalah kesehatan global dunia dan di Indonesia.1,2,3 Kasus PPOK terus meningkat tiap tahun terkait makin dini dan lamanya pajanan partikel atau gas yang beracun / berbahaya khususnya rokok.3,4,5,6,7 PPOK merupakan penyakit tidak menular, dapat dicegah dan diobati yang menjadi penyebab kesakitan dan kematian seluruh dunia. PPOK menjadi penyebab keenam kematian dunia (1990), meningkat menjadi kelima (2002) dan diperkirakan meningkat menjadi ketiga (2020).1,6,8 Angka mortalitas PPOK sebesar 16,3%.9 Prevalensi PPOK pada laki-laki lebih besar dibanding wanita.8 Perokok berisiko menjadi PPOK sebesar 20-25% dan 90% dari kasus PPOK adalah perokok atau mantan perokok.2 PPOK terjadi karena interaksi antara host dan lingkungan.2 Faktor host yaitu genetika (defisiensi α-1 antitripsin), jenis kelamin, hiperresponsif bronkus, tumbuh kembang paru, riwayat penyakit saat balita dan diet.4,5 Kebiasaan merokok menjadi faktor lingkungan yang menjadi risiko utama terjadinya PPOK dibanding faktor lain seperti polusi udara, debu kerja, kimia, infeksi saluran napas berulang.3,10 PPOK berdampak besar terhadap masyarakat, namun komponen patofisiologi penyakit dan manifestasi klinis yang multipel belum dapat dipahami secara lengkap.11 Merokok merupakan faktor risiko terjadinya PPOK melalui berbagai mekanisme. Keterkaitan rokok terhadap peningkatan risiko hiperresponsif bronkus telah banyak diteliti.12 Hiperresponsif bronkus merupakan faktor risiko gejala pernapasan, penurunan faal paru dan berkembangnya PPOK.13 Patogenesis hiperresponsif bronkus pada PPOK penting namun sampai saat ini belum jelas.11 Hiperresponsif bronkus adalah respons bronkokonstriksi berlebihan terhadap berbagai stimulus.14,15,16,17 Hiperresponsif bronkus merupakan tanda
1
3
kardinal asma karena hampir didapati pada semua penderita Asma, namun pada orang normal, perokok dan PPOK dapat pula ditemukan hiperresponsif bronkus
dengan
hiperresponsif
mekanisme
bronkus
tidak
berbeda.18
yang terkait
faal
Pada
paru
asma,
derajat
baseline18
namun
menggambarkan derajat asma.19 Pada PPOK hiperresponsif bronkus diduga merupakan konsekuensi dari penyempitan saluran napas yang berhubungan dengan
derajat
obstruksi
saluran
napas,18,20,21
sehingga
terjadinya
penyempitan saluran napas menjadi predisposisi hiperaktivitas bronkus pada pasien PPOK4,5 yang dipengaruhi fenotip seseorang.18 Hiperresponsif bronkus pada perokok dan PPOK merupakan hal yang penting untuk dikaji terkait hanya sekitar seperempat saja perokok yang menjadi PPOK. Hiperresponsif bronkus pada perokok menjadi predisposisi terjadinya PPOK.18 Prevalensi hiperresponsif bronkus pada PPOK mantan perokok cukup tinggi (48-94%).18,22,23,24,25
Pada PPOK GOLD 1 dan 2
didapati hiperresponsif bronkus derajat ringan sampai sedang,2,26 sedangkan hiperresponsif bronkus pada perokok prevalensinya 11-14%.23 Pada populasi umum didapati hiperresponsif bronkus asimptomatis (2,2-14,3%) dan simptomatis (6-35%).13,22,27 Hal ini menjadi penting dan menarik karena pada penderita hiperresponsif bronkus asimptomatis yang diikuti selama 11 tahun didapati gejala pernapasan dan kasus PPOK baru terkait bertambahnya usia dan pajanan rokok.28 Merokok memberikan risiko hiperresponsif bronkus28 melalui mekanisme remodeling saluran napas terkait inflamasi kronis dan usia.29,30 Pajanan asap rokok pasif pada tikus terbukti memperantarai terjadinya hiperresponsif bronkus.12 Hiperresponsif bronkus adalah karakter independen yang memberikan informasi tentang heterogenisitas fenotip26,31 dan aktivitas penyakit terkait peningkatan Residual Volume (RV).26,32 Program berhenti merokok 12 bulan memperbaiki hasil tes provokasi bronkus PPOK23,33 dan sebaliknya didapati peningkatan hiperresponsif bronkus pada perokok.34 Steroid menurunkan hiperresponsif bronkus pada PPOK terutama dengan sputum eosinofilik.35 Hiperresponsif bronkus merupakan prediktor kematian pada PPOK.36
4
Uji hiperresponsif bronkus atau provokasi bronkus adalah tes yang aman, cepat dan mudah dilakukan selama mengikuti prosedur dan menghindari kontraindikasi,37 dapat dilakukan di laboratorium faal paru, klinik atau kantor seorang dokter.38 Tes provokasi bronkus cara langsung dengan metakolin merangsang kontraksi otot polos saluran napas.16,22 Tes provokasi bronkus tidak langsung memerlukan jalur intermediet inflamasi untuk terjadinya brokonkontriksi. Metakolin lebih disukai dibandingkan histamin karena tidak menyebabkan inflamasi saluran nafas, eosinofilia, flushing / kemerahan dan efek samping sistemik lainnya.16 Tes metakolin cukup sensitif (Sn=80,3, Sp=65,2)37,39 dengan nilai prediksi negatif (NPV) yang tinggi, artinya tes ini lebih mudah menyingkirkan diagnosis asma dibandingkan mendiagnosis asma.16 Hasil tes positif bila didapati penurunan FEV1 lebih dari 20% pasca inhalasi
metakolin 39
Concentration).
konsentrasi
tertentu
(PC20
–
Provocation
Terdapat dua metode tes metakolin, yaitu tidal breathing
dan five-breathing dengan perbedaan hasil yang tidak bermakna.40
FDA
menyetujui tes metakolin tehnik five-breath dengan konsentrasi 0,0625; 0,25; 1; 4 dan 16 mg/ml.16,37,40 Intepretasi hasil derajat hiperresponsif brokus menurut ATS yaitu PC20 >16mg/ml sebagai hasil negatif, 4-16mg/ml sebagai borderline dan ≤4mg/ml sebagai hasil positif.16,37,39 Pada penelitian ini dilakukan tes provokasi bronkus dengan metakolin pada PPOK GOLD 1 dan 2 dan bukan PPOK perokok untuk menilai perbedaan hiperresponsif bronkus pada keduanya.
1.2 Rumusan Masalah Apakah terdapat perbedaan hiperresponsif bronkus antara PPOK dan bukan PPOK perokok?
1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan umum Membuktikan terdapat perbedaan hiperresponsif bronkus antara PPOK dan bukan PPOK perokok.
5
1.3.2 Tujuan khusus 1.3.2.1. Mengukur hiperresponsif bronkus dengan tes metakolin pada PPOK GOLD 1 dan GOLD 2 1.3.2.2. Mengukur hiperresponsif bronkus dengan tes metakolin pada bukan PPOK perokok 1.3.2.3. Membandingkan hiperresponsif bronkus dengan metakolin pada PPOK GOLD 1 dan GOLD 2 dan bukan PPOK perokok.
1.4 Manfaat 1.4.1 Manfaat terhadap pengembangan ilmu Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan baru tentang gambaran perbedaan hasil tes provokasi bronkus dengan metakolin pada penderita PPOK dan bukan PPOK perokok terkait pajanan rokok. Penelitian ini juga diharapkan dapat dipakai sebagai landasan penelitian lainnya yang berhubungan dengan hiperresponsif bronkus, rokok, PPOK maupun hubungan diantara ketiganya.
1.4.2 Manfaat praktis 1.4.2.1. Manfaat terhadap pelayanan kesehatan Diharapkan dapat digunakan sebagai pemeriksaan terapan hiperresponsif bronkus dengan metakolin pada pasien di Departemen / SMF Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK Unair – RSUD Dr.Soetomo Surabaya. Sehingga diharapakan dapat meningkatkan pelayanan penderita bergejala pernapasan dan obstruksi saluran napas guna menurunkan morbiditas serta mortalitas.
1.4.2.2 Manfaat bagi penderita Diharapkan dengan pemeriksaan ini maka pasien PPOK dan bukan PPOK perokok dapat mengetahui hiperresponsif bronkus pada dirinya sehingga dapat dilakukan pencegahan agar tidak menjadi PPOK bagi perokok dan mencegah kekambuhan dan perburukan bagi penderita PPOK. Diharapkan bahwa pasien bukan PPOK perokok yang memiliki hiperresponsif bronkus mengetahui bahwa
6
dirinya berisiko menjadi PPOK bila melanjutkan merokok. Sedangkan penderita PPOK dengan hiperresponsif bronkus diharapkan dapat mengetahui bahwa risiko eksaserbasi, morbiditas dan mortalitas akan meningkat bila melanjutkan merokok.
7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PPOK 2.1.1 Definisi PPOK PPOK atau Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun / berbahaya. Penyakit ini disertai dengan efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit. Eksaserbasi dan berbagai komorbid berkontribusi terhadap severitas penderita PPOK.1,2,3 PPOK terdiri dari emfisema, bronkitis kronis dan penyempitan saluran napas kecil. Secara anatomis terjadi kerusakan dan pelebaran alveoli yang disebut emfisema. Batuk dan dahak yang kronis secara klinis disebut sebagai bronkitis kronis. Disebut sebagai PPOK bila terdapat obstruksi saluran napas namun kondisi bronkitis kronis tanpa adanya obstruksi saluran napas tidak disebut sebagai PPOK.3,4,5
Kerusakan saluran napas kecil Inflamasi & Fibrosis saluran napas Plug dalam lumen ↓ Peningkatan resistensi saluran napas
Kerusakan parenkim Hilangnya kaitan alveolar ↓ Penurunan elastik recoil
Keterbatasan aliran udara Gambar 2.1 Mekanisme yang mendasari keterbatasan aliran udara pada PPOK.1
6
8
2.1.2 Prevalensi PPOK PPOK merupakan penyakit tidak menular yang masalah kesehatan global di dunia dan di Indonesia. Prevalensinya terus meningkat terkait pajanan faktor risiko serta meningkatnya usia harapan hidup.1, 2, 3 Prevalensinya lebih tinggi pada negara dengan angka kebiasaan merokok yang tinggi.6,7 Pada tahun 1990, WHO menyebutkan prevalensi PPOK dunia sebesar 9,34/1.000 (laki-laki) dan 7,33/1.000 (wanita) serta menempati urutan keenam penyebab kematian di dunia. Pada tahun 2002, PPOK menjadi penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit kardivaskular dan kanker. Di Amerika tercatat 16 juta kasus PPOK dengan lebih 100 ribu kematian. Pada tahun 2006, PPOK di Asia mencapai 56,6 juta dengan prevalensi 6,3%. Di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta kasus PPOK dengan prevalensi 5,6%.2 Jumlah kasus PPOK cenderung meningkat karena makin banyaknya perokok sejak usia dini sehingga sering timbul pada usia pertengahan.2 Kasus PPOK diperkirakan terjadi pada laki-laki 14,2% perokok; 6,9% mantan perokok dan 3,3% pada orang yang tidak pernah merokok. Sedangkan pada wanita 13,6% perokok; 6,8% mantan perokok dan 3,1 % wanita yang tidak pernah merokok.4 Sekitar 20-25% perokok akan menjadi PPOK. Sekitar 90% kasus PPOK adalah perokok atau mantan perokok. Hubungan rokok dengan PPOK merupakan dose-response, makin banyak dan makin lama merokok maka risiko penyakit makin besar.2 BOLD (the Burden of Obstructive Lung Disease) study tahun 2007 (sampel 12 senter, n=9.425 orang) menyebutkan prevalensi PPOK stadium II sebesar 10,1% (laki-laki lebih tinggi 11,8% dibandingkan wanita 8,5%), sedangkan pada bukan perokok sebesar 3-11%.8 Menurut WHO, kematian PPOK pada tahun 2002 menjadi penyebab kelima kematian dunia dan diperkirakan meningkat pada tahun 2030 sebagai penyebab kematian ketiga dunia.6 UPLIFT study mendapatkan kematian karena PPOK sebesar 14,4% (observasi 4 tahun dengan menggunakan tiotropium) dan 16,3% (dengan plasebo).9
9
2.1.3 Faktor risiko PPOK Identifikasi faktor risiko penting dilakukan guna pencegahan dan tatalaksana PPOK. Semua faktor risiko PPOK merupakan interaksi antara lingkungan dan genetik. Faktor risiko terjadinya PPOK di antaranya asap rokok, polusi udara didalam maupun luar ruangan, stres oksidatif, genetik, tumbuh kembang paru dan sosial ekonomi.2
Gambar 2.2 Faktor risiko PPOK terkait inhalasi berbagai zat berbahaya.3 Kebiasaan merokok menjadi satu-satunya penyebab terpenting dibanding faktor yang lain. Risiko tersebut tergantung dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok. Perokok pasif atau Environmental Tobacco Smoke (ETS) juga berkontribusi timbulnya gejala respirasi dan PPOK. Indeks Brinkman dipakai untuk mengukur derajat berat merokok yaitu perkalian rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap setiap hari dengan lama merokok dalam tahun. Perokok dikelompokkan menjadi derajat merokok ringan (0-199), sedang (200-599) dan berat (>600).2 Selain asap rokok, polusi udara dari berbagai partikel dan gas dengan ukuran dan macam partikel berbeda akan memberikan efek yang berbeda terhadap timbul dan beratnya PPOK. Polusi udara dapat berasal dari dalam ruangan / indoor (asap rokok, asap kompor, kayu, serbuk gergaji, batu bara), polusi di luar ruangan (gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan) dan polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun). Polusi udara
10
indoor dengan ventilasi kurang menjadi faktor penting PPOK bukan perokok dengan
prevalensi
lebih
besar
daripada
polusi
kendaraan,
namun
prevalensinya lebih kecil dibanding pajanan asap rokok.2 Infeksi saluran napas bawah yang berulang baik karena virus maupun bakteri berkontribusi terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK. Kolonisasi kuman menyebabkan inflamasi saluran napas dan timbulnya eksaserbasi. Seringnya infeksi saluran napas yang berat pada anak menjadi penyebab dasar timbulnya hiperresponsif saluran napas sebagai faktor risiko PPOK.2 Asap rokok, polusi udara dan infeksi saluran napas merupakan stress oksidatif yang menimbulkan efek kerusakan paru. Selain itu menimbulkan aktifitas molekuler sebagai promotor inflamasi. Hal ini menjadi penyebab ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan yang berperan pada PPOK.2 Tidak semua perokok akan menjadi PPOK, hal ini terkait genetik seseorang. Faktor genetik yang sering terjadi adalah defisiensi α-1 antitripsin, kelainan genetik ini sering dijumpai pada individu di Eropa Utara.1, 2 Dengan adanya defisiensi tersebut maka fungsi inhibisi protease serin terganggu sehingga mudah terjadi kelainan emfisema dan penurunan fungsi paru. Gen yang mengkode MMP-12 (Matrix Mettaloproteinase) berhubungan dengan penurunan fungsi paru.1 Diteliti juga keterlibatan kromosom 2q7, TGF-1, mEPHX1 dan TNF namun belum pasti dalam patogenesis PPOK.2
2.1.4 Patogenesis, patologi dan patofisiologi PPOK Inhalasi partikel berbahaya dari asap rokok dan bahan berbahaya lainnya menyebabkan inflamasi saluran napas dan paru pada pasien PPOK. Respons inflamasi mengalami amplifikasi terkait genetik yang akan menyebabkan kerusakan parenkim yang berakibat emfisema dan fibrosis saluran napas kecil (bronkiolus). Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidatif dan kelebihan proteinase.2 Asap rokok mengandung berbagai zat berbahaya seperti karbon dioksida, karbon monoksida, formaldehid dan lainnya akan mengaktivasi makrofag
11
pada saluran napas sehingga melepaskan berbagai faktor kemotaksis untuk menarik neutrofil dan monosit. Sel tersebut akan melepaskan enzim protease yang memecah jaringan ikat parenkim paru sehingga menyebabkan emfisema serta memicu stimulasi hipersekresi mukus pada PPOK.10 Patofisiologi kelainan paru akibat rokok berupa ganguan saluran napas, gangguan alveoli dan kapiler serta gangguan sistem imunitas.1,10 Rokok mempengaruhi saluran napas besar, kecil (≤2mm) dan alveoli. Perubahan saluran napas besar berupa pembesaran kelenjar mukus dan hyperplasia sel goblet yang menyebabkan batuk dan produksi mukus. Perubahan ini memberi gejala sebagai bronkitis kronis yang tidak terkait dengan obstruksi saluran napas. Perubahan saluran napas kecil berupa metaplasia sel goblet, penggantian sel Clara yang memproduksi surfaktan dengan sel inflamasi mononuklear dan sel yang memproduksi mukus serta terjadi hipertrofi otot polos. Hal ini menyebabkan penyempitan kaliber saluran napas kecil. Berkurangnya surfaktan menyebabkan peningkatan tekanan permukaan saluran napas sehingga mudah menyempit dan kolaps. Fibrosis dinding saluran napas menyebabkan penyempitan saluran napas yang menjadi predisposisi hiperaktivitas bronkus.4 Perubahan patologi terjadi karena inflamasi kronis yang ditandai dengan peningkatan sel inflamasi spesifik pada lokasi yang berbeda tiap bagian paru. Perubahan struktur ini merupakan hasil dari cedera dan perbaikan yang berulang.1 Ketebatasan aliran udara merupakan perubahan patologis yang utama pada PPOK yang disebabkan oleh obstruksi saluran napas kecil dan emfisema.4 Udara terperangkap dalam alveoli dan terjadi keterbatasan aliran udara yang bersifat progresif. Inflamasi dan perubahan struktur saluran napas tersebut berpengaruh pada peningkatan severitas penyakit. Inflamasi tersebut akan menetap meskipun penderita berhenti merokok, mekanismenya tidak diketahui dan diduga pengaruh autoantigen dan mikroorganisme yang menetap berperan pada inflamasi tersebut.1,2 Kelainan patologi pada PPOK akan menyebabkan gangguan pernapasan. Inflamasi, fibrosis, penyempitan saluran napas perifer karena cairan eksudat
12
di lumen saluran napas berkorelasi terhadap penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC. Semakin banyak batang rokok yang dihisap maka semakin besar penurunan FEV1.4,5 Sumbatan saluran napas perifer ini menyebabkan udara terperangkap (air trapping) dan menyebabkan hiperinflasi. Hiperinflasi akan mengurangi kapasitas inspirasi seperti FRC (Functional Residual Capacity) terutama saat latihan, disebut sebagai hiperinflasi dinamis. Gejala yang terjadi adalah sesak napas dan keterbatasan kapasitas latihan. Kerusakan parenkim paru pada emfisema akan menyebabkan penurunan transfer gas. Hal inilah yang menjelaskan patofisiologi gangguan pernapasan pasien PPOK tersebut.2 Penderita PPOK juga memberikan gambaran sistemik terutama pada penyakit yang berat. Gambaran sistemik yang timbul seperti kakeksia, osteoporosis, depresi, diabetes, sindroma metabolik, penyakit jantung iskemia, gagal jantung dan anemia kronis terkait mediator inflamasi termasuk TNF-α, IL-6 dan radikal bebas. Pengaruh sistemik ini akan berdampak pada mortalitas dan penyakit komorbid.1
2.1.5 Diagnosis PPOK Diagnosis klinis penderita PPOK dicurigai pada penderita dengan gejala sesak napas, batuk kronis, produksi sputum dan riwayat terpajan faktor risiko. Gejala tersebut bersifat progresif (makin bertambah seiring waktu dan aktifitas) dan persisten (menetap sepanjang hari). Adanya mengi dan dada terasa berat merupakan gejala yang tidak khas. Mengi bisa terdengar saat inspirasi dan ekspirasi. Tidak terdapatnya mengi dan dada terasa berat tidak menyingkirkan diagnosis PPOK.1,2,3 Pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan kelainan yang jelas dan tanda inflamasi paru. Penderita PPOK awalnya tidak ada kelainan. Pada inspeksi didapati pursed-lips breathing, barrel chest, penggunaan dan hipertrofi otot bantu napas, pelebaran sela iga dan lainnya.2 Pemeriksaan faal paru / spirometri untuk mendukung gejala klinis. Disebut PPOK bila didapati pasca bronkodilator hasil spirometri FEV1/FVC <70% yang menunjukkan keterbatasan aliran udara yang persisten.1,41 Sedangkan
13
FEV1 digunakan untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak bisa dilakukan, pemeriksaan APE (Arus Puncak Ekspirasi) atau PEFR (Peak Expiratory Flow Rate) dapat dipakai sebagai alternatif meskipun kurang tepat. Variabilitas harian pagi dan sore dinilai tidak lebih dari 20%.2 Rekomendasi dari ATS, ERS, ACP (American College of Physicians) dan ACCP (American College of Chest Physicians) menyebutkan perlunya pemeriksaan spirometri pada penderita “at-risk” (berisiko) PPOK tanpa gejala. The COPD Foundation Guide menyarankan pemeriksaan spirometri pada individu at-risk PPOK yang memiliki komorbid terkait PPOK.41 Namun pemeriksaan at-risk tidak lagi dilakukan menurut panduan GOLD terbaru.1 Tabel 2.1 Indikator kunci dalam mendiagnosis PPOK.2 Gejala Sesak
Batuk kronik Batuk kronik berdahak Riwayat terpajan faktor risiko
Keterangan Progresif (sesak bertambah berat seiring berjalannya waktu) Bertambah berat dengan aktivitas Persisten (menetap sepanjang hari) Pasien mengeluh berupa, “perlu usaha untuk bernapas” Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak setiap batuk kronik berdahak dapat mengindikasikan PPOK Asap rokok Debu Bahan kimia di tempat kerja Asap dapur
2.1.6 Penilaian dan klasifikasi PPOK Tujuan penilaian PPOK adalah untuk menilai severitas penyakit sehingga mempengaruhi status penyakit penderita dan risiko dikemudian hari seperti eksaserbasi, rawat inap, dan kematian. Penilaian penderita PPOK berdasarkan pada gejala, derajat obstruksi dengan spirometri, risiko eksaserbasi dan komorbid.1 Gejala PPOK dinilai dengan CAT (COPD Assessment Test), skala sesak mMRC (the Modified British Medical Research Council) atau CCQ (the Clinical COPD Questionnaire). Klasifikasi derajat obstruksi PPOK dinilai
14
dengan spirometri setelah penderita didapati hasil spirometri pasca bronkodilator FEV1/FVC<70%.1 Pembagian sebelumnya menambahkan GOLD 0 sebagai “at risk” yaitu penderita dengan batuk dan dahak kronis namun hasil faal paru yang normal.4 Kriteria spirometri yang berbeda diajukan oleh The COPD Foundation Guide yaitu rasio FEV1/FVC<70% seperti ATS / ERS namun gradingnya berbeda. Derajat ringan (SG-1 / Spirometry Grade-1) bila FEV1≥60% prediksi, derajat sedang (SG-2) bila FEV1 di bawah 60% namun ≥30% prediksi dan derajat berat (SG-3) bila FEV-1 <30% prediksi.41 Tabel 2.2 Derajat obstruksi pada PPOK.1 Kriteria
Derajat
Nilai FEV1
GOLD 1
Ringan
FEV1 ≥ 80% prediksi
GOLD 2
Sedang
50% ≤ FEV1 ≤ 80% prediksi
GOLD 3
Berat
30% ≤ FEV1 ≤ 50% prediksi
GOLD 4
Sangat berat
FEV1 < 30% prediksi
Eksaserbasi PPOK didefinisikan sebagai kejadian akut yang ditandai perburukan gejala pernapasan di antara variasi normal tiap hari. Prediktor untuk menilai frekuensi eksaserbasi adalah serangan dua kali atau lebih tiap
4 3 2 1
(C)
(D)
≥2
(A)
(B)
1 0
Risiko Eksaserbasi (tiap tahun)
Risiko Derajat GOLD
tahun.1
mMRC 0-1 mMRC ≥2 CAT <10 CAT ≥10 Gejala (skor mMRC atau CAT) Gambar 2.3 Penilaian PPOK dengan menggunakan kombinasi tiga faktor yaitu gejala, derajat obstruksi dan tingkat eksaserbasi.1 Komorbid pada penderita PPOK yang dinilai yaitu penyakit kardiovaskuler, depresi, ansietas, disfungsi otot rangka, sindroma metabolik dan kanker paru. Faktor komorbid tersebut berpengaruh terhadap mortalitas dan morbiditas.1
15
2.2 Hiperresponsif Bronkus 2.2.1 Definisi hiperresponsif bronkus Hiperresponsif bronkus didefinisikan sebagai penyempitan bronkus yang berlebihan dan bermanifestasi berupa bronkokonstriksi berlebihan sebagai respons terhadap berbagai stimulus seperti inhalasi agen konstriktor di mana orang normal tidak terjadi. Hiperresponsif bronkus secara historis dikenal berhubungan dengan fenotip asma sehingga dianggap sebagai tanda kardinal pada asma.14,15
Gambar 2.4 Kurva perubahan faal paru terhadap konsentrasi inhalasi metakolin/histamine pada orang normal, asma ringan dan asma berat.14,17 Hiperresponsif bronkus dikenal juga sebagai Airway Hyperresponsiveness (AHR) atau Bronchial hyperresponsiveness (BHR). Hiperresponsif bronkus hampir didapati pada semua penderita asma dengan hasil tes provokasi bronkus yang positif. Derajat Hiperresponsif bronkus bervariasi tiap individu dan berkorelasi dengan derajat asma.14,16 Hal ini menggambarkan regulasi mekanisme yang terjadi dan berkorelasi terhadap penyakit paru yang mendasari. Makin berat derajat hiperresponsif bronkus menggambarkan makin berat derajat asma.19 Hiperresponsif bronkus dikenal mendasari asma dan ditemukan pada anak maupun dewasa. Studi epidemiologi menunjukkan terdapat hubungan antara hiperresponsif bronkus terhadap gejala pernapasan. Prevalensi penderita dengan gejala menyerupai asma seperti mengi, sesak malam hari, dada terasa berat didapati lebih banyak pada penderita dengan hiperresponsif bronkus. Penderita asymptomatic yang memiliki hiperresponsif bronkus lebih memiliki
16
risiko menjadi asma atau gejala serupa asma. Hiperresponsif bronkus merupakan tanda asma dan berhubungan dengan progresifitas penyakit. Bertambahnya usia pada penderita dengan hiperresponsif bronkus akan berpengaruh terhadap penurunan faal paru.20
2.2.2 Dutch hypotesis dan british hypotesis Disebutkan dalam postulat “Dutch hypothesis” tahun 1960 bahwa asma, PPOK, emfisema, bronkitis kronis merupakan satu penyakit yang sama dengan ekspresi yang berbeda, adanya hiperresponsif bronkus menjadi predisposisi berkembangnya kondisi klinis.4 Perokok yang memiliki alergi akan memiliki predisposisi PPOK yang berat. Penyempitan saluran napas berkembang pada individu dengan hiperreaktif bronkus karena efek rokok atau polusi.42 Pada hipotesis tersebut diduga bahwa faktor genetik (hiperresponsif bronkus dan atopi), faktor endogen (kelamin dan usia) dan faktor eksogen (allergen, infeksi, polusi dan rokok) berperan dalam patogenesis penyakit paru kronis. Fenotip seseorang merupakan kombinasi dari genetik dan lingkungan yang dipengaruhi oleh usia dan kelamin. Manifestasi atopi dan hiperresponsif bronkus terdapat pada asma dan PPOK yang diaktifasi oleh stimuli lingkungan.16 Peneliti Amerika dan Inggris memiliki pendapat yang berbeda yaitu bahwa asma dan bronkitis kronis, emfisema, PPOK merupakan penyakit yang berbeda dengan mekanisme kausal yang berbeda.43 “British hypothesis” menyebutkan bahwa asma dipicu oleh alergi sedangkan PPOK disebabkan oleh inflamasi dan kerusakan karena asap rokok.4 Hipersekresi mukus kronis merupakan marker infeksi bronkus berulang yang memicu obstruksi saluran napas.42 Asma dan PPOK menggambarkan dua pola obstruksi saluran napas terkait reversibilitas dan respons terhadap terapi.44 Asma biasanya ditandai dengan episodik serangan terkait alergen, dimulai sejak kecil, tidak progresif dan memberikan respons yang baik terhadap bronkodilator dan steroid. Sedangkan pada PPOK cenderung progresif, sering didapati pada usia tua,
17
dan kurang respons terhadap bronkodilator dan steroid. Terjadi tumpang tindih fenotip antara asma dan PPOK, yaitu penderita PPOK yang reversibel dan membaik dengan pemberian bronkodilator atau steroid atau penderita asma yang progresif dan kurang respons terhadap bronkodilator atau steroid. Pada kondisi ini “Dutch hypothesis” berperan menjelaskan kondisi asma yang menyerupai PPOK dan sebaliknya.43 Penderita penyakit paru dengan karakter obstruksi saluran napas dapat menunjukkan hiperresponsif bronkus dan derajatnya berhubungan dengan derajat obstruksi saluran napas dasarnya. Jadi tidak hanya penderita asma saja yang terdapat hiperresponsif bronkus. Pada asma, hiperresponsif bronkus relatif tidak terkait dengan faal paru baseline. Hal ini berbeda dengan mekanisme
hiperresponsif
pada
PPOK,
sehingga
diduga
bahwa
hiperresponsif bronkus merupakan konsekuensi dari penyempitan saluran napas dan bukan cenderung karena penyakit yang mendasarinya.18
2.2.3 Patogenesis hiperresponsif bronkus Hiperresponsif bronkus diketahui berhubungan dengan inflamasi saluran napas besar dan kecil.20,21 Sebelum membahas tentang hiperresponsif brokus pada orang normal, perokok dan PPOK, ada baiknya dibahas tentang inflamasi dan hiperresponsif bronkus yang mendasari pada asma serta melihat perbedaan inflamasi pada asma dan PPOK. Mekanisme hiperresponsif bronkus pada asma merupakan interaksi antara faktor lingkungan dan faktor genetik. Hipotesa tersebut tampak pada skema di bawah ini. Skema hipotesa hiperresponsif bronkus pada asma ini mungkin serupa pada PPOK.14
18
Gambar 2.5 Skema hipotesis interaksi genetik dan lingkungan terhadap terjadinya hiperresponsif bronkus pada asma.14 Untuk lebih mempermudah pemahanan tentang hiperresponsif bronkus, para peneliti membagi faktor yang berperan menjadi dua komponen, yaitu komponen persisten dan komponen variabel / transient. Komponen persisten terdiri dari perubahan anatomi dan struktur. Sedangkan komponen variabel terkait dengan pengaruh dari luar (lingkungan) dan proses inflamasi. Inflamasi saluran napas yang menetap berkontribusi terhadap perubahan struktur saluran napas.16,45 Efek akut inflamasi berperan pada komponen variabel
sedangkan
kronisitas
penyakit
menggambarkan
komponen
persisten.19 Komponen persisten terdiri dari penebalan subendotel, penebalan subbasemen, hipertrofi otot polos, deposisi matrik, deposisi kolagen (fibrosis) dan perubahan vaskuler. Hal ini yang menyebabkan saluran napas menjadi lebih tebal, kaku dan sempit. Perubahan struktur tersebut tampak pada pemeriksaan histopatologi.45 Komponen persisten hiperresponsif bronkus diperankan oleh kontraksi otot polos saluran napas (airway smooth muscle / ASM), penebalan dinding saluran napas, penyempitan saluran napas dan berbagai mekanisme yang terkait.19 Ada hipotesis yang menyebutkan bahwa terdapat perubahan fenotip otot polos saluran napas (airway smooth muscle / ASM) yang bertanggung jawab terjadinya hiperresponsif bronkus.18
19
Components
AHR
Gambar 2.6 Komponen perubahan saluran napas pada asma yang berkontribusi terhadap hiperresponsif bronkus.45 Penebalan otot polos saluran napas dapat berupa hiperplasi maupun hipertrofi. Terjadi peningkatan jumlah sel otot polos serta fungsinya sehingga kontraktilitasnya juga meningkat. Ini kemungkinan salah satu yang menjelaskan bahwa pada penderita dengan hiperresponsif brokus lebih mudah terjadi bronkonkonstriksi dibandingkan orang normal.19
Gambar 2.7 Faktor yang berpengaruh terhadap komponen persisten dan variabel pada hiperresponsif bronkus.45 Sedangkan komponen variabel sifatnya berubah sesuai dengan pengaruh lingkungan dan inflamasi yang terjadi. Komponen variabel berubah terkait alergen, infeksi pernapasan dan terapi (misalnya pemberian anti inflamasi). Hubungan inflamasi dan hiperresponsif bronkus menurut beberapa peneliti tidak sepenuhnya dipahami secara jelas.45
20
Terdapat tiga karakter klinis yang paling sering ditemui pada Asma, PPOK, dan ACOS yaitu inflamasi saluran napas, obstruksi saluran napas dan hiperresponsif bronkus.28 Chronic inflammation
Airway Obstruction
Airway Remodeling
Airway Edema Mucus Plugging
Airway Hyperrsponsiveness
Bronchospasm
Gambar 2.8 Komponen patofisiologi obstruksi dan hiperresponsif pada asma, PPOK, dan ACOS.46 Inflamasi pada saluran napas menjadi dasar kelainan obstruksi pada Asma dan PPOK namun berbeda dalam hal sel inflamasi dan mediator yang berperan. Inflamasi akut merupakan respons jaringan terhadap jejas yang didesain untuk mempertahankan dan mengembalikan jaringan ke fungsi semula. Pada asma terjadi peningkatan CD4, limfosit Th2, sel mast teraktivasi dan eosinofil pada mukosa saluran napas serta fibrosis subepitel. Sedangkan pada PPOK terjadi peningkatan CD8, limfosit Th1, makrofag di mukosa saluran napas serta neutrofil di lumen tanpa fibrosis subepitel.43,44 Inflamasi saluran napas, remodeling paru dan hiperresponsif bronkus merupakan hal yang penting pada Asma dan PPOK. Respons infamasi terhadap alergen, polusi udara menjadi kunci perubahan struktur saluran napas termasuk otot polos saluran napas dalam hal aksi imunomodulator, kontraktilitas serta terjadinya hiperresponsif bronkus pada asma.47 Pemberian terapi anti inflamasi (kortikosteroid) dan kontrol lingkungan (alergen atau zat toksik lain) akan memperbaiki inflamasi saluran napas dan hiperresponsif bronkus. Pemberian anti inflamasi (steroid) inhalasi dapat mengurangi matrik protein ekstrasel di bawah membran basemen.14
21
Sedangkan komponen persisten cenderung kurang berespon terhadap anti inflamasi dan kontrol lingkungan.19
2.2.4 Airway smooth muscle dan hiperresponsif bronkus Pada Asma dan PPOK yang keduanya terjadi inflamasi kronis didapati penebalan otot polos saluran napas.48 Saat terjadi inflamasi baik karena allergen, infeksi, rokok atau polusi, maka sel akan merilis berbagai mediator seperti histamine dan leukotriens yang akan merangsang kontraksi otot polos saluran napas (Airway Smooth Muscle).47 Kemokine dan sitokin yang dirilis akan menyebabkan remodeling saluran napas. Pada asma, inhalasi allergen akan menyebabkan inflamasi saluran napas terutama inflamasi eosinofilik yang berhubungan dengan peningkatan hiperresponsif bronkus.47 Mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1β dan Growth Factor (TGF, bFGF dan PDGF) yang dirilis pada inflamasi kronis akan memberikan efek mitogeni dan berhubungan dengan remodeling. Efek remodeling tersebut melalui jalur PI3K dan MAPK. Peningkatan proliferasi sel otot polos saluran napas tersebut lebih cenderung pada bronkus dibandingkan pada trakea.48
Gambar 2.9 Peran otot polos saluran napas terhadap remodeling.49 Hiperresponsif bronkus diperankan utama oleh otot polos saluran napas.47 Otot polos saluran napas pada hiperresponsif bronkus mengalami hipertrofi
22
dan hiperplasi yang berakibat peningkatan kuantitas pemendekan maksimal, peningkatan kecepatan pemendekan, dan pengurangan relaksasi.18 Otot polos saluran napas (ASM) berperan dalam remodeling saluran napas penderita dengan inflamasi kronis. Berbagai substansi dapat dihasilkan oleh otot polos saluran napas tersebut, di antaranya adalah kolagen, fibronektin, MMPs (matrix metalloproteinases), TIMPs (Tissue Inhibitors) yang mempengaruhi matriks ekstrasel. ASM juga menghasilkan sitokin pro-anti inflamasi, growth factor (BDNF) dan faktor angiogenesis (VEGF). ASM juga memiliki mekanisme intraselular (STIM1, Orai1, miRNAs) berupa hipertrofi dan hiperplasi yang berpengaruh terhadap peningkatan massa otot.49 INNERVATION
INFLAMMATORY CELLS
Acetylcholine, substance P, etc
AIRWAY SMOOTH MUSCLE Ca2+
Leukotrienes, histamines, cytokines, etc. Endothelin, etc.
Contraction 2+
Ca Rho, ROCK
EPITHELIUM
Gambar 2.10 Skema jalur sinyal kontraksi otot polos saluran napas.50 Inflamasi pada epitel saluran napas akan menghasilkan endothelin yang akan merangsang kontraksi otot polos saluran napas. Sitokin dan mediator inflamasi seperti leukotrien, histamin juga akan merangsang reseptor pada sel otot polos saluran napas untuk berkontraksi. Histamin akan merangsang melalui reseptor H1. Selain itu melalui jalur neurogenik akan merilis substansi P, asetilkolin yang juga merangsang kontraksi otot polos melalui reseptor muskarinik. Rangsangan pada reseptor tersebut akan mengaktifasi kaskade phosphoinositida yang akan menyebabkan influk Calsium ke intrasel dan jalur Rho/Rho Kinase sehingga terjadi kontraksi.5,50 Kontraksi otot polos saluran napas dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatik. Asetilkolin dirilis oleh fiber pasca ganglionik kolinergik dan
23
berikatan dengan reseptor muskarinik (M3) otot polos saluran napas. Rangsangan tersebut akan menyebabkan sinyal intrasel yang memicu aktivasi miosin dan kontaksi otot polos saluran napas.51
2.2.5 Hiperresponsif bronkus pada asma Pajanan terhadap allergen, mikroba, virus dan faktor lingkungan seperti rokok menyebabkan penebalan epitel dengan hiperplasi sel goblet, hipertrofi (peningkatan ukuran sel) dan hiperplasi (peningkatan jumlah sel) otot polos saluran napas (ASM), dan perubahan matrik ekstrasel. Tampak penebalan dan penambahan otot polos saluran napas49, fibroblas menjadi fibrosis. Hal ini menyebabkan penebalan dinding saluran napas dan berakibat penyempitan saluran napas. Saluran napas menjadi kaku dan hiperkontriksi yang berakibat obstruksi saluran napas dan penurunan kapasitas pernapasan.52 Otot polos saluran napas terdapat pada saluran napas sentral dan perifer. Relatif lebih banyak pada saluran napas perifer dengan perbandingan rata-rata sentral:perifer sebesar 2,6:10 (dewasa) dan 2,8:10 (anak-anak). Di saluran napas sentral, otot polos tersebut lebih transversal, sedangkan di perifer lebih longitudinal serta tersusun helik. Otot polos ini akan mengalami hipertrofi dan hiperplasi pada penderita asma.53 Pemeriksaan histopatologi saluran napas pada penderita asma didapati hipertrofi dan hiperplasi otot polos saluran napas dibandingkan penderita bukan asma. Penelitian lebih lanjut mendapati dua tipe hipertrofi yaitu hipertrofi pada saluran napas besar dan hipertrofi pada saluran napas besar dan kecil. Didapati pula kepadatan sel otot polos yang meningkat, sedangkan volume satu sel otot polos makin berkurang ke arah perifer cabang bronchial tree. Selain itu juga didapati peningkatan jumlah sel otot polos pada penderita asma dibandingkan bukan asma.53
24
Epithelium ASM ECM
Thickened Epithelium Immune Cell Infiltration Fibroblasts
ASM Hypertrophy and Hyperplasia
Altered ECM Composition and Deposition
Gambar 2.11 Skematik saluran napas orang normal dan penderita asma. ASM: Airway smooth muscle, ECM: Extracellular Matrix.49 Pada kasus asma akut, terjadi peningkatan respons otot polos terhadap stimuli kontraksi dari luar melalui peningkatan sinyal Calsium. Sedangkan pada asma kronis yang terjadi bukan hanya peningkatan sinyal Calsium untuk berkontraksi saja, namun terjadi hipertrofi dan hiperplasi yang juga meningkatkan rilis sitokin dan kemokin.5 Inflamasi eosinofilik dan neutrofilik yang ditemukan pada sputum penderita asma berperan dalam patogenesis obstruksi saluran napas dengan ditandai penurunan FEV1. Inflamasi eosinofilik cenderung didapati pada asma akut atau eksaserbasi. Inflamasi neutrofil diduga berperan dalam penebalan kaliber saluran napas penderita asma kronis.54 Severitas hiperresponsif bronkus berkorelasi kuat terhadap gejala yang berat dan penurunan FEV1 yang hebat pada pasien Asma. Hiperresponsif bronkus terkait dengan risiko peningkatan gejala pernapasan seperti batuk kronis, dahak, sesak napas, mengi menetap, serangan asma dan bronkitis.28 Pemicu eksaserbasi seperti infeksi virus, pajanan alergen, pajanan inhalasi di tempat kerja dapat meningkatkan hiperresponsif bronkus. Hiperresponsif bronkus pada penderita asma bervariasi tiap waktu, mengalami peningkatan saat eksaserbasi dan berkurang dengan pemberian terapi anti inflamasi. Disisi
25
lain, terapi asma dapat memperbaiki obstruksi saluran napas, mengurangi gejala dan memperbaiki hiperresponsif bronkus.45 Selain itu diyakini bahwa penderita dengan hiperresponsif bronkus terhadap berbagai stimuli akan memberikan respons setelah diberikan terapi brokodilator yang sesuai.28
2.2.6 Hiperresponsif bronkus pada perokok Hiperresponsif bronkus merupakan faktor risiko terhadap penurunan FEV1 dan berperan pada terjadinya asma dan PPOK. Hal ini tidak terkait dengan status atopi penderita. Hiperresponsif bronkus dapat menjadi faktor risiko progresifitas PPOK khususnya penderita tanpa alergi yang dipicu oleh inflamasi saluran napas terkait asap rokok.26,27 Studi epidemiologi menunjukkan bahwa hiperresponsif bronkus lebih banyak pada perokok dibandingkan bukan perokok. Beberapa penelitian menyebutkan prevalensi hiperresponsif bronkus pada perokok berkisar 1114%. Pada perokok aktif menunjukkan keterkaitan yang kuat terhadap hiperresponsif bronkus khususnya populasi usia lebih dari 40 tahun.11,
22
Hiperresponsif bronkus pada perokok tanpa gejala lebih tinggi bila dibandingkan dengan bukan perokok. Perbedaan tersebut lebih terlihat pada penderita usia tua terkait makin lamanya merokok.29 Semakin banyak rokok yang dihisap maka berkorelasi terhadap hiperresponsif bronkus pada perokok.11 Merokok memberikan risiko terjadinya hiperresponsif bronkus.28 Sebuah studi multisenter terhadap perokok didapati obstruksi borderline sampai sedang. Hasil provokasi bronkus didapati dua pertiga positif dengan sampel wanita lebih banyak dibandingkan laki-laki (85% dibanding 59%).23 Penelitian yang lain menyebutkan 14,3% hiperresponsif bronkus pada lakilaki dan 27,7% pada wanita.11 Beberapa
faktor
menjelaskan
efek
rokok
terhadap
terjadinya
hiperresponsif bronkus. Terdapat dua mekanisme terjadinya, yang pertama rokok menyebabkan inflamasi kronis dan kerusakan epitel yang berakhir dengan timbulnya hiperresponsif bronkus. Penyebab kedua yaitu kaliber
26
saluran napas yang makin menyempit pada usia tua sehingga menyebabkan lebih mudah terjadinya hiperresponsif bronkus.29 Rokok
selain
menginduksi
PPOK
juga
berkontribusi
terhadap
hiperresponsif bronkus melalui jalur inflamasi. Induksi inflamasi saluran napas dan perubahan geometrik saluran napas berupa hipertrofi otot polos bronkiolus, hipersekresi mukus dan kerusakan alveoli.30 Pajanan asap rokok memiliki hubungan yang kuat dengan terjadinya hiperresponsif bronkus. Jalur sinyal
MAPK
(Mitogen-activation
Protein
Kinase)
intrasel
diduga
berhubungan dengan kerusakan saluran napas pada hiperresponsif bronkus. Pajanan asap rokok pasif menginduksi upregulasi transkripsi reseptor 5hydroxytriptamine pada otot polos tikus yang memperantarai terjadinya hiperresponsif bronkus.12 Penelitian oleh Dima dkk 2010 terhadap orang sehat, perokok, asma bukan perokok, asma perokok, PPOK dan PPOK yang reversibel memberikan hasil yang menarik. Pada PPOK didapati peningkatan neutrofil sputum, IL-8, TNFα dibandingkan pada asma perokok. Pada PPOK dan asma perokok terjadi peningkatan neutrofil yang berhubungan dengan penurunan FEV1. Inflamasi neutrofilik berkontribusi terhadap obstruksi aliran udara yang irreversibel pada asma perokok.31 Hal ini berakibat terjadi resistensi steroid pada pasien asma perokok dengan peningkatan neutrofil. Disisi lain terdapat penderita PPOK dengan eosinophilia sputum yang membaik dengan steroid.28 Pada asma perokok terjadi penurunan eosinofil, hal ini diduga bahwa nitric oxide (NO) pada rokok dapat meningkatkan apoptotis eosinofil yang teraktifasi. Selain itu nikotin menyebabkan efek imunomodulator sekunder terhadap fungsi eosinofil melalui penghambatan rilis sitokin pro-inflamasi dari makrofag. Hal ini yang menyebabkan peningkatan neutrofil saluran napas pasien asma perokok yang berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang persisten dan penurunan FEV1.31 Program berhenti merokok dapat menurunkan hiperresponsif bronkus. Hal ini karena berkurangnya inflamasi pada saluran napas perokok.23 Penelitian Piccilo dkk tahun 2008 terhadap perokok (yang memiliki rinitis alergi dengan
27
atau tanpa asma, dengan hasil skin tes positif) yang menjalani program berhenti merokok (n=30 orang). Didapati 16 orang berhasil berhenti merokok selama periode pengamatan 12 bulan. Tes provokasi bronkus langsung (metakolin) dan tidak langsung (adenosine 5-monophosphat / AMP) dilakukan pada 6 bulan dan 12 bulan dengan hasil teradapat perbaikan hiperresponsif bronkus pada perokok yang berhasil berhenti. Pada pengamatan 6 bulan, hasil tes provokasi bronkus dengan AMP lebih bermakna dibandingkan dengan metakolin, namun pada pengamatan 12 bulan keduanya terdapat perbaikan yang bermakna.33
Gambar 2.12 Perubahan hiperresponsif bronkus tidak langsung (AMP) dan langsung (Mch) pada perokok yang berhasil dan gagal berhenti merokok, diamati pada 6 bulan dan 12 bulan.33 Hiperresponsif bronkus berhubungan dengan mortalitas pada laki-laki menurut penelitian Becker dkk. 2013 (OR=2,6 CI 95%:1,3-5,3 dengan adjust usia dan BMI). Faktor potensial yang menjelaskan hubungan hiperresponsif bronkus dengan mortalitas adalah rokok, PPOK dan asma. Hal ini mengindikasikan bahwa hiperresponsif bronkus merupakan prediktor tak langsung dari mortalitas tersebut, sedangkan penurunan FEV1 merupakan prediktor independen terhadap semua kasus kematian.11
28
2.2.7 Hiperresponsif bronkus pada PPOK Secara umum hiperresponsif bronkus sering didapati pada penderita asma, namun tidak menutup kemungkinan bahwa penderita PPOK juga didapati hiperresponsif bronkus. Pada sebagian kecil penderita PPOK terdapat hiperresponsif bronkus derajat ringan.2 Peningkatan hiperresponsif bronkus menjadi prediktor bermakna terhadap penurunan fungsi paru sehingga hiperresponsif bronkus merupakan salah satu faktor risiko PPOK.4 Penderita dengan hiperresponsif bronkus dapat berkembang menjadi asma maupun PPOK.11 Hiperresponsif bronkus merupakan karakteristik berbagai penyakit inflamasi paru bukan hanya asma.24 Karakteristik hiperresponsif bronkus pada PPOK tidak sepenuhnya dipahami. Hiperresponsif bronkus pada PPOK ini terkait mekanisme yang bervariasi seperti penurunan fungsi paru dan status merokok yang menyebabkan penyempitan saluran napas.23,25 Beberapa penderita PPOK dan obstruksi saluran napas yang menetap akan menghasilkan tes metakolin yang positif tanpa gejala asma dan tidak memberikan
respons
terhadap
bronkodilator.
Keduanya
dibedakan
berdasarkan riwayat klinis seperti usia penderita, riwayat merokok, alergi dan pemicu.16 Dilaporkan bahwa setengah sampai dua pertiga penderita PPOK memiliki hiperresponsif bronkus.18,23,25 Sebuah studi multisenter penderita PPOK (the Lung Health study) menyebutkan tes metakolin positif sebesar 63% sampel laki-laki dan 87% sampel wanita. Hal ini terkait kaliber saluran napas wanita yang diduga lebih sempit dari laki-laki.22 Penelitian GLUCOLD (Groningen Leiden Universities Corticosteroids in Obstructuive Lung Disease) terhadap 114 subjek PPOK didapati 94% dengan tes metakolin yang positif dan berhubungan dengan jenis kelamin wanita, eosinofilia, penutupan saluran napas (rasio RV/TLC), respons terhadap bronkodilator, dan penurunan faal paru.24
29
Pada penelitian Hantera 2013, dua puluh empat (48%) dari 50 penderita PPOK GOLD 1 atau GOLD 2 didapatkan hasil tes provokasi bronkus dengan metakolin yang positif. Pada penelitian ini dipakai batas PC20 1-4mg/ml sebagai hiperresponsif bronkus sedang.25 Pada sebagian kecil penderita PPOK terdapat hiperresponsif bronkus dengan derajat ringan.2 Hiperresponsif bronkus ringan sampai sedang pada PPOK tersebut terkait pengurangan diameter kaliber saluran napas yang disebabkan pemendekan otot polos saluran napas.26 Pada pasien PPOK bisa didapati hasil uji provokasi bronkus yang positif. Hal ini disebabkan karena secara klinis tidak jarang didapati tumpang tindih antara PPOK dengan dengan penyakit paru lainnya terutama asma. Terdapat penderita PPOK dengan fenotip terkait hiperresponsif bronkus.25 Dan sebaliknya terdapat penderita asma dengan fenotip yang menyerupai PPOK sehingga ada peneliti yang mengistilahkan sebagai “smoking asthmatic” dan PPOK reversible.31 Tumpang tindih tersebut akhir-akhir ini sering diistilahkan sebagai ACOS (Asthma-COPD overlap syndrome) terutama pada pasien tua dengan prevalensi kejadian sekitar 15-25% kasus. Panduan PPOK Spanyol membagi fenotip PPOK menjadi empat untuk kepentingan terapi yaitu non-eksaserbator dengan emfisema dan bronkitis kronis, campuran asma-PPOK, eksaserbator dengan emfisema dan eksaserbator dengan bronkitis kronis.28 Mekanisme yang mendasari hiperresponsif bronkus pada asma berbeda dibandingkan pada PPOK.18,23 Pada asma dan PPOK terdapat obstruksi, remodeling dan inflamasi saluran napas, namun keduanya memiliki klinis, patofisiologi, sel inflamasi dan mediator yang berbeda. Remodeling pada asma dan PPOK berbeda, pada asma dimulai sejak dini dan pada PPOK dimulai pada umur yang lebih tua.44 Remodeling saluran napas mengacu pada perubahan struktur yang kronis dan irreversibel yang didasari oleh inflamasi kronis.19 Remodeling terdiri dari edema mukosa, inflamasi, hipersekresi mukus, pembentukan plug mukus, hipertrofi dan hiperplasi otot polos saluran napas yang berakibat penebalan dinding saluran napas.28
30
PPOK berbeda dengan asma dalam hal terjadinya hiperresponsif bronkus. Penurunan FEV1 merupakan konsekuensi dari pengurangan kaliber saluran napas dan penebalan dinding saluran napas. Penurunan FEV1 pada PPOK cenderung karena penyempitan kaliber saluran napas (komponen persisten). Pada asma pengaruh komponen persisten secara minor mempengaruhi hiperresponsif bronkus dibandingkan pada PPOK. Karakter penderita PPOK kurang berespon terhadap stimulus tidak langsung dalam menghasilkan hiperresponsif bronkus karena stimulus tidak langsung lebih berperan melalui jalur inflamasi.19
Gambar 2.13 Skema mekanisme hiperresponsif bronkus pada PPOK. AHR: Airway hyperresponsiveness, ASM: Airway smooth muscle, AW: Airway wall, DI: Deep inspiration.23 Penelitian oleh van den Berge melaporkan bahwa hiperresponsif bronkus adalah karakter independen pada PPOK yang memberikan informasi tentang heterogenisitas fenotip dan aktivitas penyakit. Hiperresponsif bronkus pada PPOK terkait dengan peningkatan Residual Volume (RV) atau Total Lung Capacity (TLC) sebagai tanda adanya air trapping dan inflamasi saluran napas yang ditunjukkan dengan peningkatan jumlah neutrofil, makrofag dan limfosit pada sputum dan biopsi bronkus.32 Penelitian Walker dkk tahun 2008 terhadap penderita PPOK derajat sedang-berat (n=25 orang) didapati
31
penurunan FEV1 yang bermakna pasca inhalasi metakolin yang diduga karena peningkatan residual volume karena adanya air trapping pada PPOK.26 Hiperresponsif bronkus pada PPOK melalui berbagai mekanisme yang diringkas pada skema di atas. Rokok merupakan faktor inflamasi yang memicu kaskade terjadinya hiperresponsif bronkus. Faktor inflamasi dan genetik berperan dalam patogenesis hiperresponsif bronkus pada PPOK.23 Program berhenti merokok terbukti memperbaiki hasil tes provokasi bronkus baik langsung dan tidak langsung pada penderita PPOK. Program selama 1 tahun menunjukkan perbaikan hiperresponsif bronkus, namun tidak bermakna terhadap inflamasi sputum dan faal paru penderita PPOK. Hal ini terkait berkurangnya stimulasi reseptor iritan, perubahan dinding saluran napas dan hipersekresi mukus. Namun jumlah sel neutrofil tetap meningkat setelah 12 bulan program berhenti merokok.30 Penelitian prospektif 5 tahun the Lung Health Study terhadap pasien PPOK ringan usia 35-60 tahun (n=4.201 orang) didapati peningkatan hiperresponsif bronkus pada penderita yang terus merokok dan hal ini berhubungan dengan penurunan FEV1.34 Tes provokasi bronkus pada PPOK dikontraindikasikan bila obstruksi berat dengan FEV<50% prediksi. Hal ini karena sulit menilai hasil tes provokasi bronkus yang positif bila spirometri dasar menunjukkan obstruksi saluran napas (FEV1/FVC yang rendah dan FEV1 yang rendah). Hal ini disebabkan bahwa hiperresponsif brokus berkorelasi kuat dengan derajat obstruksi dasar pada PPOK.37 Terdapat korelasi positif antara FEV1/FVC dengan PD20 pada pasien PPOK yang tidak didapati pada asma. Hal ini menunjukkan bahwa hiperresponsif pada PPOK tergantung pada kaliber saluran napas.23 Penelitian multisenter terhadap 1.000 penderita PPOK dilaporkan gejala pasca tes metakolin di antaranya batuk (25%), sesak (21%), mengi (10%), pusing (6%), dan sakit kepala (2%). Secara keseluruhan dua pertiga penderita tidak bergejala ketika meninggalkan klinik. Efek samping yang terlambat jarang terjadi, hanya 0,3% penderita mengeluhkan nyeri dada beberapa hari setelah tes metakolin.37
32
Sekitar 25% penderita PPOK memberikan respons yang baik terhadap terapi steroid. Diduga pada penderita PPOK dengan tampilan menyerupai asma didapatkan respons terhadap terapi steroid. Dilaporkan penderita PPOK dengan peningkatan eosinofil pada sputum mendapat manfaat pada pemberian steroid. Penelitian Verhoeven dkk tahun 2002 terhadap penderita PPOK yang diberikan steroid inhalasi dan diamati pada bulan ketiga dan enam didapati penurunan hiperresponsif bronkus dibandingkan placebo meskipun tidak signifikan.35
Gambar 2.14 Persentase kematian pada PPOK dibandingkan tes provokasi bronkus dengan histamin.36 Hiperresponsif bronkus merupakan prediktor kematian pada PPOK. Semakin berat hiperresponsif bronkus pada PPOK semakin tinggi tingkat mortalitasnya. Tingkat mortalitas pada hiperresponsif bronkus pasien PPOK dikaitkan dengan makin banyaknya jumlah rokok yang dikonsumsi.36
2.3 Tes Spirometri 2.3.1 Definisi tes spirometri Tes spirometri atau dikenal sebagai tes faal paru merupakan tes fisiologi untuk mengukur volume inspirasi dan ekspirasi udara seseorang dikaitkan dengan waktu. Pengukuran yang dinilai adalah volume dan flow.55 Pemeriksaan faal paru yang sering dilakukan adalah FVC (Forced Expiratory
33
Capacity) yaitu penderita diminta melakukan inhalasi maksimal lalu ekshalasi pakasa secara cepat dan sekuat mungkin.56 Pemeriksaan spirometri digunakan untuk pemeriksaan volume paru statis dan dinamik. Volume udara di dalam paru pada keadaan statis terdiri dari: 57 1. Tidal volume (TV) yaitu jumlah udara yang dihisap (inspirasi) tiap kali pada pernapasan tenang. 2. Expirasi reserve volume (ERV) yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara maksimal setelah ekspirasi biasa. 3. Inspirasi reserve volume (IRV) yaitu jumlah udara yang bisa dihisap maksimal setelah inspirasi biasa. 4. Residual volume (RV) yaitu jumlah udara yang tertinggal di dalam paru pada akhir ekspirasi maksimal. Gabungan dari beberapa volume paru disebut sebagai kapasitas paru yang terdiri dari:57 5. Vital capacity (VC) yaitu jumlah udara yang bisa dikeluarkan maksimal setelah inspirasi maksimal, yakni gabungan TV + IRV + ERV. 6. Slow vital capacty (SVC) sama dengan VC tapi dilakukan secara pelan. 7. Inspiratory capacity (IC) yaitu jumlah udara yang bisa dihisap maksimal setelah ekspirasi hasil, yakni gabungan TV + IRV.
Gambar 2.15 Grafik faal paru statik volume perwaktu.56 8. Functional residual capacity (FRC) yaitu udara yang ada di dalam paru pada akhir ekspirasi biasa, yakni gabungan ERV + RV.
34
9. Total lung capacity (TLC) yaitu jumlah udara yang ada di dalam paru pada akhir inspirasi maksimal, yakni gabungan IRV + TV + ERV + RV. Sedangkan volume dinamik faal paru terdiri dari:57 1. Forced expiratory volume 1 (FEV1) yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya dalam 1 detik pertama pada waktu ekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal. Dalam 1 detik pertama, sekitar 80% udara yang diinhalasi dapat dikeluarkan. 2. Forced vital capacity ( FVC ) Adalah volume gas yang dapat dikeluarkan dengan sekuat - kuatnya dan secepat-cepatnya setelah suatu inspirasi maksimal. Udara ekspirasi akan habis dalam waktu 4-6 detik. 3. Forced expiratory volume ( FEVT) Forced expiratory volume adalah volume gas yang dikeluarkan selama interval waktu yang ditentukan , diukur pada saat melaksanakan pengukuran forced vital capacity/ FVC. Interval dapat 0.5 , 1 , 2, atau 3 detik sehingga diperoleh FEV 0.5 , FEV1.0 , FEV 2.0 dan FEV 3.0. 4. Forced expiratory flow200-1200 /FEF 200-1200 Adalah flow rate rata - rata untuk liter gas yang dikeluarkan setelah 200 ml gas yang pertama, diukur saat melaksanakan manuver forced expiratory volume dan disebut juga sebagai maximal expiratory flow rate / MEFR
200-
1200.
5. Forced expiratory flow25%-75% / FEF 25%-75% Adalah flow rate rata - rata pada saat pertengahan forced expiratory volume dan disebut juga sebagai maximal mid -flow rate / MMFR. 6. Peak expiratory flow rate / PEFR Peak flow adalah flow rate maksimal yang dapat dicapai selama manuver forced expiratory volume. 7. Maksimal voluntary ventilation / MVV Yaitu jumlah udara yang bisa dikeluarkan sebanyak-banyaknya dalam 1 menit dengan bernapas cepat dan dalam secara maksimal.
35
8. Volume dinamik spirometri biasa hanya dapat mengukur IRV, TV ERV, VC dan IC Untuk pengukuran RV, FRC dan TLC diperlukan spirometer khusus atau dengan pletismograf.
FVC
Gambar 2.16 Grafik faal paru dinamik volume perwaktu dan Flow pervolume.56
2.3.2 Indikasi dan kontraindikasi Pemeriksaan spirometri diindikasikan untuk diagnosis, monitoring, evaluasi, dan surveilens. Indikasi tes spirometri dapat dilihat pada tabel 2.3 di bawah ini.55 Kontraindikasi pemeriksaan faal paru di antaranya adalah infark miokar, angina unstable, pasca operasi torako-abdominal, pasca operasi mata, aneurisma toraks atau abdomen dan pneumotoraks.58 Tabel 2.3 Indikasi tes spirometri.55 Diagnosis - Evaluasi gejala, pemeriksaan fisik, hasil laboratorium dan foto rongsen yang abnormal (misal batuk, mengi, sesak, rongki dan lainnya).58 - Mengukur efek penyakit terhadap fungsi pernapasan - Skrining risiko individu mempunyai penyakit paru - Menilai risiko pre-operatif (misalnya operasi paru, abdomen, kardiotoraks).58 - Menilai prognosis - Menilai status kesehatan sebelum memulai program aktivitas fisik yang berat Monitoring - Menilai progresivitas dan intervensi terapi (misal pada fibrosis interstitial, PPOK, Asma, Penyakit pembuluh darah paru).58 - Menjelaskan perjalanan penyakit yang mempengaruhi fungsi paru - Monitor orang yang terpajan agen berbahaya (misalnya radiasi, terapi,
36
pajanan lingkungan atau pekerjaan).58 - Monitor efek samping obat yang toksik terhadap paru Evaluasi disabilitas - Menilai pasien dalam program rehabilitasi paru - Menilai risiko terkait evaluasi asuransi - Menilai individu untuk alasan hokum Kesehatan masyarakat - Survei epidemiologi - Sumber referensi sebuah persamaan - Penelitian klinis 2.3.3 Pelaksanaan tes spirometri Pemeriksaan spirometri harus dilakukan dengan teknik yang standar. Pemeriksaan spirometri perlu kerja sama antara pasien dan petugas. 2 Berikut adalah skema langkah pemeriksaan spirometri.5 Kriteria alat spirometer Validasi alat Kontrol kualitas Manuver pasien
Prosedur pengukuran Akseptabilitas Repetabilitas Nilai rujukan / intepretasi
Penilaian klinis Penilaian kualitas
Umpan balik untuk tehnisi
Gambar 2.17 Skema alur tes spirometri.53 Untuk mendapatkan spirogram yang baik diperlukan usaha (effort) pasien yang baik, maneuver yang baik (onset cepat dan penuh tenaga), tidak batuk,
37
dan tidak ada terminasi awal waktu ekspirasi (minimal ekshalasi 6 detik dengan tidak ada perubahan volume dalam waktu 1 detik terakhir).59
2.3.4 Intepretasi hasil tes spirometri Sebelum mengintepretasi harus diamati apakah hasil memenuhi salah satu syarat yaitu reprodusibiliti. Reproducible effort harus dalam rentang 5% atau 100ml dibandingkan dengan effort yang lain.59 Pemeriksaan faal paru yang sering dilakukan adalah menilai volume terhadap waktu. Faal paru dinamik yang dinilai adalah FEV1, FVC, rasio FEV1/FVC. Hasil yang didapatkan dibandingkan dengan prediksi.58 Pengukuran spirometri dievaluasi dengan membandingkan hasil pengukuran terhadap nilai prediksi yang tepat berdasarkan usia, tinggi badan, jenis kelamin dan ras. Nilai FEV1 pasca bronkodilator <80% prediksi serta nilai FEV1/FVC <70% memastikan adanya obstruksi saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel.2 Berdasarkan pemeriksaan airflow dan volume paru, kelainan respirasi dapat dikelompokkan menjadi kelainan restriksi, obtruksi atau campuran. Kelainan restriktif adalah setiap keadaan sebagai akibat kemampuan distensi paru sebagian atau seluruhnya berkurang, sehingga pembagian udara yang masuk paru mengalami gangguan. Kelainan restriksi ditandai dengan pengurangan volume paru terutama TLC <80% prediksi. Penurunan TLC menentukan derajat keparahan restriksi. Pada kelainan restriksi, pengurangan volume paru menyebabkan pernurunan airflow FEV1, namun rasio airflow terhadap volume paru meningkat sehingga FEV/FVC normal atau meningkat. Contoh kelainan restriksi adalah fibrosis intra pulmonal, edema paru, kelainan dinding dada (kyphoscoliosis), kelainan neuromuskuler.58,59
38
Tabel 2.4 Kelainan respirasi restriksi dan obstruksi menurut ATS/ERS 2005.60 Abnormalitas
Diagnosis
Obstruksi
FEV1/FVC <5 persentil prediksi Penurunan volume paru karena flow yang rendah tidak spesifik pada penyakit saluran napas kecil Penurunan FEV1 dan VC paling sering disebabkan oleh manuver yang tidak adekuat dan jarang menggambarkan obstruksi aliran udara. Pengukuran volume paru diperlukan untuk mengkonfirmasi obstruksi jalan napas guna membantu diagnosis emfisema, asma bronkial, bronkitis kronis dan hiperinflasi paru Pengukuran resistensi aliran udara dapat digunakan pada pasien yang tidak mampu melakukan manuver spirometri
Restriksi
TLC <5 persentil prediksi Penurunan VC tidak membuktikan kelainan paru restriktif, namun dicurigai terjadi restriksi bila FEV1 / VC normal atau meningkat
Campuran
FEV1/FVC dan TLC <5 persentil prediksi
Gambar 2.18 Skema sederhana untuk menilai faal paru pada penggunaan klinis.60
39
Sedangkan penurunan FEV1 menunjukkan obstruksi saluran napas, dapat juga mencerminkan reduksi TLC (penyakit paru restriksi) dan untuk membedakannya dengan kelainan restriksi dapat digunakan rasio FEV1/FVC. Kelainan obstruktif adalah setiap keadaan sebagai akibat hambatan aliran udara karena adanya sumbatan atau penyempitan saluran pernapasan, contohnya pada asma bronkial, bronkitis, PPOK, emfisema. Rasio FEV1/FVC <70% dengan penurunan
FEV1 menggambarkan kelainan
obstruksi. Tingkat obstruksi dilihat dari persentase FEV1 dibandingkan prediksi.58 Tabel 2.5 Derajat obstruksi berdasarkan FEV1.58 FEV1
Derajat obstruksi
>80%
Ringan
50-79%
Sedang
30-49%
Berat
<30%
Sangat berat
Hasil tes spirometri dapat ditampilkan dalam bentuk grafik volume per waktu atau flow per volume.
2.4 Tes Provokasi Bronkus 2.4.1 Definisi tes provokasi bronkus Uji Provokasi bronkus adalah tes untuk menilai hiperresponsif bronkus. Kebanyakan penderita bergejala asma akan memberikan hasil provokasi bronkus yang positif.37 Tes provokasi bronkus merupakan tes yang sensitif, reliable,
reproducible,
aman,
cepat
dan
mudah
dilakukan
selama
memperhatikan persiapan dan kontraindikasinya. Tes metakolin dapat dilakukan di laboratorium faal paru, klinik atau kantor seorang dokter.38 Tes provokasi bronkus sering digunakan dalam mendiagnosa asma terutama kasus penderita dengan gejala menyerupai asma namun hasil faal paru normal.14,23,40 Hasil tes provokasi bronkus yang positif menunjukkan saluran
napas
yang
lebih
responsif
terhadap
stimulasi
dari
luar.
Hiperresponsif bronkus bermanfaat dalam menentukan dosis steroid inhalasi
40
yang optimal karena terapi berdasarkan gejala dan faal paru saja tidak cukup. Derajat hiperresponsif bronkus pada asma dapat memberikan informasi tentang prognosis. Kejadian eksaserbasi lebih tinggi pada penderita asma dengan hiperresponsif bronkus yang berat.23 Ada dua jenis tes provokasi bronkus yaitu cara langsung dan tidak langsung. Cara langsung dengan menggunakan agen farmakologi seperti histamin dan metakolin (analog asetilkolin). Sedangkan cara tidak langsung dengan stimulus fisik (latihan, hiperventilasi eukapnik, udara dingin, salin hipertonis,
air
suling)
dan
stilmulus
kimiawi
(manitol,
adenosine
seperti
metakolin
monophosphate).22 Stimulus
bahan
tidak
spesifik
pada
bronkus
menyebabkan otot polos bronkus berkontraksi (bronkokonstriksi) secara langsung. Inhalasi metakolin akan berinteraksi dengan reseptor muskarinik M3 otot polos saluran napas sedangkan inhalasi histamin akan merangsang kontraksi melalui reseptor histaminergik H1.19,51 Sedangkan stimulus tidak langsung akan berpengaruh pada sel inflamasi saluran napas yang akan merilis berbagai mediator seperti prostaglandin, leukotriene dan histamine yang berpengaruh pada reseptor otot polos bronkus untuk berkontraksi.16,39 Stimulus tidak langsung tersebut menyebabkan degranulasi dari sel mast.51 Stimulus langsung merefleksikan komponen persisten melalui kontraksi otot polos saluran napas. Sedangkan stimulus tidak langsung merefleksikan komponen variabel hiperresponsif bronkus melalui mekanisme inflamasi.19,38 Hasil penelitian penderita asma menyebutkan sensitivitas dan spesifisitas tes provokasi brokus metakolin lebih tinggi dibandingkan dengan manitol. Metakoline dengan cut point PC20 (mg/ml) memiliki sensitifitas sebesar 80,3 dan spesifisitas sebesar 65,2. Sedangakan manitol dengan cut point PD20 (mg) dengan sensitifitas 78.6 dan spesifisitas 60,2. Disebutkan juga bahwa manitol lebih sensitif dibandingkan latihan dalam menilai hiperresponsif bronkus. Namun penderita asma dengan hasil tes metakolin atau manitol yang negatif, dua puluh persen di antaranya memiliki hasil tes latihan positif, ini dikenal sebagai Exercise-induced bronchoconstriction (EIB) yang merupakan
41
tanda awal asma. Oleh karena itulah beberapa peneliti sering menggunakan tes kombinasi untuk mendiagnosis atau menyingkirkan asma. Tes latihan ini sering digunakan pada atlit, pemadam kebakaran, penyelam, perokok, anak, evaluasi batuk, konfirmasi asma dan menilai terapi (seperti kortikosteroid).39 Tes Provokasi bronkus
Langsung
Tidak Langsung
Latihan Salin Hipertonik Adenosin monophosphat (AMP) Manitol Hiperventilasi Eukapnik Volunter (EVH)
Metakolin Histamin
Gambar 2.19 Diagram tes provokasi bronkus langsung dan tidak langsung.16 Tes provokasi bronkus dengan metakolin atau dikenal dengan Metacholine Challenget Test (MCT) dan kita singkat sebagai tes metakolin merupakan salah satu tipe dari tes provokasi bronkus langsung. Metakolin adalah termasuk
agonis
muskarinik
yang
sangat
sensitif
mengidentifikasi
hiperresponsif bronkus. Tes metakolin lebih dominan menilai kontraksi otot polos bronkus dan komponen terkait remodeling saluran napas.16 Tes Metakolin adalah tes yang sensitif dengan nilai prediksi
negatif
(NPV) lebih tinggi dibanding nilai prediksi positif (PPV), artinya tes ini lebih mudah dalam menyingkirkan diagnosis asma dibandingkan mendiagnosis asma.16,40 Penderita dengan hasil tes metakolin yang negatif akan mendukung diagnosis bahwa penderita bukan asma sedangkan hasil yang positif tidak selalu penderita memiliki asma. Hasil tes metakolin positif menggambarkan adanya jejas saluran napas yang bukan hanya didapati pada penderita asma
42
saja.39 Tes metakolin merupakan tes yang telah terbukti lebih baik dibanding yang lainnya.37 Tes provokasi bronkus dapat digantikan dengan tes bronkodilator khususnya pada obstruksi berat. Penderita dengan obstruksi berat dengan FEV1<50% prediksi merupakan kontraindikasi dilakukan tes provokasi bronkus.46
2.4.2 Indikasi dan kontraindikasi Tes metakolin merupakan salah satu metode pemeriksaan hiperresponsif bronkus. Tes ini diindikasikan untuk pemeriksaan penderita asma dan asma kerja. Namun karena hiperresponsif bronkus bisa didapati secara luas pada berbagai penyakit seperti PPOK (obstruksi yang diinduksi oleh asap rokok), gagal jantung, kistik fibrosis, bronkitis, dan rinitis alergi maka tes provokasi bronkus dengan metakolin dapat dipakai.37 Tampilan klinis asma berupa mengi, batuk, peningkatan total eosinofil darah tidak spesifik sebagai diagnosis asma. Tes metakolin sering dipakai untuk penderita dengan gejala menyerupai asma namun hasil faal paru yang normal / mendekati normal atau tes bronkodilator dengan peningkatan FEV1 tidak melebihi 12% atau 200ml.38 Kontraindikasi tes provokasi brokus terdiri dari kontraindikasi absolut dan relatif yang ditampilkan pada tabel di bawah ini. Tabel 2.6 Kontraindikasi Tes Provokasi Bronkus.37 Kontraindikasi Absolut dan Relatif Absolut - Obstruksi saluran napas berat (FEV1<50% prediksi atau <1 L) - Serangan jantung atau stroke dalam 3 bulan terakhir - Hipertensi tidak terkontrol, tekanan sistol>200 atau diastol>100 - Aneurisma Aorta Relatif - Obstruksi saluran napas sedang (FEV1<60% prediksi atau <1,5 L) - Tidak bisa melakukan pemeriksaan spirometri dengan baik - Hamil / menyusui - Dalam pengobatan Cholineesterase Inhibitor Penderita dengan hiperresponsif bronkus akan didapati hasil provokasi bronkus yang positif yaitu terdapat penurunan FEV1 lebih dari 20% setelah dilakukan tes provokasi. Penurunan FEV1 yang drastis kadang terjadi selama
43
tes provokasi bronkus. Risiko penurunan FEV1 tersebut dapat meningkat pada penderita dengan fungsi paru awal yang rendah. Terdapat perbedaan pendapat batas (cut-off) FEV1 penderita yang diperbolehkan melakukan tes provokasi bronkus. Beberapa peneliti menggunakan batas 80%, 70%, 65% dan 60%.37 Pada penelitian ini dipakai FEV1 baseline >50% yang dapat menjalani tes metakolin. Penderita yang akan menjalani tes provokasi bronkus harus dapat melakukan pemeriksaan faal paru / spirometri dengan baik. Pemeriksaan spirometri harus dapat diterima / acceptable. Bila penderita tidak dapat melakukan spirometri dengan baik maka tes provokasi bronkus ditunda dan dijadwalkan ulang pada waktu yang lain. Sulit untuk menilai hasil tes provokasi bronkus yag positif bila spirometri dasar menunjukkan obstruksi saluran napas (FEV1/FVC yang rendah dan FEV1 yang rendah).37 Penderita dengan hipertensi tak terkontrol, serangan jantung dan stroke tidak dapat dilakukan tes provokasi brokus karena tes ini dapat memicu stres kardiovaskuler. Bronkospasme menyebabkan mismatch perfusi-ventilasi yang akan menyebabkan hipoksemia arteri. Hal ini akan berakibat kompensasi perubahan tekanan darah, cardiac output, dan denyut jantung. Aritmia dapat terjadi saat dilakukan manuver FVC.37 Metakolin merupakan obat dengan kategori C sehingga perlu dihindarkan pada ibu hamil dan menyusui. Metakolin tidak diketahui apakah dapat disekresi melalui ASI sehingga dapat menyebabkan gangguan fetal.37
2.4.3 Kualifikasi tehnisi Tehnisi yang melakukan tes metakolin tidak diperlukan memiliki sertifikasi khusus. Direktur laboratorium paru bertanggung jawab untuk mengevaluasi dan memverifikasi kualifikasi orang yang melakukan tes tersebut. Seorang tehnisi tes metakolin harus mengenal pedoman dan pengetahuan tentang prosedur tes metakolin, mampu mengelola peralatan, verifikasi fungsi, pemeliharaan, dan pembersihan. Selain itu seorang tehnisi harus ahli dalam hal spirometri, mengetahui kontraindikasi tes metakolin,
44
mengetahui prosedur keselamatan dan darurat, mengetahu kapan harus menghentikan tes metakolin serta mahir dalam administrasi bronkodilator inhalasi dan evaluasi respons penderita yang menjalani tes metakolin.37 Disebutkan bahwa persyaratan di atas diperlukan untuk menghasilkan kualitas hasil tes metakolin yang baik dan keselamatan penderita yang menjalani tes. Setidaknya seorang tehnisi baru harus menjalani pelatihan 4 hari dan telah melakukan 20 kali tes yang diawasi oleh supervisor untuk menjadi tehnisi yang mahir.37 Tehnisi yang memiliki asma sebaiknya tidak melakukan tes metakolin karena risiko terhirup metakolin yang menyebabkan bronkokonstriksi. Tehnisi harus membaca instruksi dari perusahaan yang tercantum pada label metakolin. Alat tes metakolin harus juga dilakukan kalibrasi.38
2.4.4 Keamanan tes Tes metakolin telah dipakai lebih dari 30 tahun dan telah dilakukan berbagai penelitian dan publikasi. Pada tahun 1999, ATS mempublikasikan panduan tes metakolin yang kemudian direvisi bersama antara ATS dan ERS. Inhalasi metakolin akan menyebabkan bronkokonstriksi sehingga keamanan bukan hanya ditujukan kepada penderita saja namun juga untuk tehnisi. Hal ini akan mempengaruhi ruang tes metakolin dan prosedur pengujiannya. Pencegahan merupakan tindakan untuk keselamatan penderita yang menjalani tes metakolin.37 Direktur medis laboratorium, dokter lain, atau orang lain yang terlatih untuk menangani bronkospasme akut (termasuk penggunaan peralatan resusitasi) harus cukup dekat untuk merespon dengan cepat keadaan darurat. Pasien tidak boleh ditinggalkan selama prosedur setelah dimulai pemberian metakolin.37,38 Obat dan perlengkapan keselamatan harus tersedia di tempat tes metakolin. Obat untuk mengatasi bronkospasme berat harus tersedia di area pengujian tes metakolin seperti injeksi subkutan epinephrine dan atropine atau inhalasi salbutamol dan ipratropium. Harus tersedia oksigen dan
45
nebulizer untuk pemberian inhalasi bronkodilator. Sebuah stetoskop, sphygmomanometer, dan pulse oksimetri harus juga tersedia.37 Efek samping tes metakolin terkait bronkokonstriksi sehingga seorang tehnisi harus mengetahui dan waspada terhadap gejala yang terjadi. Gejala umum termasuk mengi, batuk, dan sesak napas ringan yang umum pada pasien yang menjalani tes metakolin. Dari laporan tidak diketahui terdapat kematian terkait tes metakolin, namun bronkospasme berat dapat terjadi sehingga harus diminimalisir dengan persiapan yang baik.16,37,38 Pencegahan efek samping kebocoran metakolin yang terhirup tehnisi harus juga diperhatikan. Ruang tes metakolin harus memiliki ventilasi yang memadai. Metode pilihan lain untuk meminimalisir pajanan metakolin adalah menggunakan filter pernapasan, laboratorium lemari asam, ventilasi tambahan lokal atau HEPA (high-efficiency particulate air) filter. Selain itu tehnisi dapat berdiri agak jauh dari pasien saat nebulisasi metakolin. Tehnik dosimeter lebih meminimalisir pajanan metakolin karena hanya 0,6 detik yang dikeluarkan oleh nebuliser tiap inhalasi.37 Berbagai penelitian terdahulu telah mempublikasikan tentang efek samping dan keamanan tes metakolin. Pada tahun 1979, Townly et.al melakukan pemeriksaan 1500 pasien dan tidak didapatkan efek samping yang berat pada awal atau delay yang membutuhkan rawat inap.61 Pada tahun 1982, penelitian oleh Ramsell et al. melaporkan keamanan tes metakolin pada penderita bronkitis kronis obstruktif dengan FEV1 baseline yang rendah (0,45-1,66 liter).62 Pratter et.al tahun 1984 melaporkan hal yang serupa pada penelitian lebih dari 1000 orang. Pada tahun 1993, Pratter et.al melaporkan pada studi prospektif pada 62 sampel dengan FEV1 2,6 liter (93% prediksi), didapati efek samping bronkospasme yang dapat membaik dengan pemberian albuterol MDI atau spacer. Faal paru penderita kembali ke nilai baseline setelah 30 menit pemberian albuterol sehingga tidak diperlukan intervensi lebih lanjut termasuk rawat inap.63 Pada tahun 1997, penelitian oleh R.Martin et al. melakukan penelitian tentang keamanan tes metakolin dengan analisa restrospektif pada 88 sampel dengan FEV1<60% (rentang 22-59%) prediksi,
46
didapati 4 sampel yang FEV1-nya tidak kembali menjadi 90% baseline setelah diberikan beta agonis pasca tes metakolin, namun setelah diberikan beta agonis yang kedua maka didapati FEV1 kembali kenilai baseline. Sehingga pada penelitian ini disebutkan tidak terdapat efek samping lebih lanjut.64 Program Manajemen Asma Anak (CAMP, the Childhood Asthma Management Program) mengevaluasi keamanan tes metakolin selama 11 tahun pada anak dengan FEV1 baseline >70% prediksi. Lebih dari 8000 tes metakolin telah dilakukan pada anak dengan asma ringan – sedang dengan protokol standar, didapati 0,4% penderita tidak kembali FEV1 >90% pasca tes metakolin. Penelitian lain oleh The Lung Health Study melaporkan keamanan tes metakolin pada lebih dari 5000 pasien dengan obstruksi saluran napas ringan sedang. Meskipun begitu, efek samping bronkokonstriksi tetap harus mendapat perhatian sehingga standard operating procedure (SOP) tes metakolin harus menjadi perhatian demi keamanan penderita yang menjalani tes. Selain itu perlengkapan dan respons yang cepat dan tepat untuk menangani efek samping harus dipersiapkan sebelum tes.65
2.4.5 Persiapan penderita Sebelum tes metakolin dilakukan perlu persiapan penderita agar hasil tes maksimal. Ada beberapa faktor yang meningkatkan dan menurunkan tes hiperresponsif bronkus sehingga hasil tes metakolin bisa bias. Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi hasil tes metakolin.37 Tabel 2.7 Beberapa faktor yang mengurangi hiperresponsif bronkus.37 Faktor Obat-obatan Bronkodilator Inhalasi short-acting (isoproterenol, isoetharine, metaproterenol, salbutamol, or terbutaline) Inhalasi medium-acting (ipratroprium) Inhalasi long-acting (salmeterol, formoterol, tiotroprium) Oral: Liquid theophylline 12 h
Waktu minimal sebelum tes
8 jam 24 jam 48 jam*)
12 jam
47
Intermediate-acting theophyllines 24 h Long-acting theophyllines 48 h Tablet standar β2-agonis 12 h Tablet Long-acting β2-agonis Natrium Kromolin Nedokromil Hidroxazin, Cetirizine Leukotrien modifier Makanan Kopi, Teh, Cola, Coklat Keterangan:
24 jam 48 jam 12 jam 24 jam 8 jam 48 jam 3 hari 24 jam Pada hari tes metakolin
*) Untuk tiotropium: 1 minggu Tidak disebutkan bahwa steroid baik oral maupun inhalasi dilarang sebelum pengujian, namun efek anti inflamasi steroid dapat mengurangi hiperresponsif bronkus. Ada laporan lain yang menyarankan penghentian steroid 3 minggu sebelum menjalani tes metakolin.37,38 Tabel 2.8 Beberapa faktor yang meningkatkan hiperresponsif bronkus.37 Faktor Pajanan antigen lingkungan Sensitiser pekerjaan Infeksi pernapasan Polusi udara Asap rokok Iritan kimia
Durasi efek 1-3 minggu Beberapa bulan 3-6 minggu 1 minggu Belum pasti (lebih baik dihindari beberapa jam) Beberapa hari sampai bulan Faktor yang meningkatkan hiperresponsif tersebut akan menyebabkan tes metakolin menjadi positif palsu.16 Sebelum tes dilakukan penderita harus dijelaskan tentang metode tes dan
gejala efek samping ringan seperti batuk dan sesak napas yang dapat terjadi. Kebanyakan penderita tanpa gejala sampingan. Hanya sedikit penderita yang terjadi gejala berat. Penderita diminta menandatangani informed consent sebelum tes. Kuisioner tentang kontraindikasi dan obat-obatan yang digunakan penderita dievaluasi sebelum tes. Penderita diminta buang air kecil sebelum tes.37 Saat tes, penderita harus mengetahui dan memahami prosedur pemeriksaan baik spirometri maupun tes metakolin. Penderita diuji dalam posisi duduk dan
48
dapat dilakukan pemeriksaan fisik dada / pernapasan sebelum tes dimulai. Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah inhalasi metakolin.37
2.4.6 Tes metakolin Metakolin
(acetyl-β-methylcholine
chloride)
adalah
sintetik
dari
neurotrasmiter asetilkoline (parasimpatomimetik) yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus sehingga terjadi bronkokonstriksi. Metakolin tersedia dalam bentuk bubuk kristal kering. FDA (Food and Drug Administration) menyetujui Provocholine sebagai metakolin 100mg yang tersedia dalam bentuk paket vial 20ml tersegel.37,38 Metakolin memiliki onset yang cepat dengan efek puncak 1-4 menit. Durasi kerja metakolin 15-75 menit dan berkurang menjadi 5 menit bila ditambahkan β-agonis.38 Metakolin bentuk bedak sangat higroskopis, sebagai pelarutnya adalah normal salin (NaCl 0,9%) steril. Ada juga yang menggunakan pelarut normal salin ditambah dengan phenol 0,4% untuk mengurangi kontaminasi bakteri. Namun keduanya memberikan hasil yang sama dan tanpa efek samping terkait penambahan phenol. Kadar pH metakolin dalam pelarut normal salin adalah sedikit asam sampai sedang tergantung konsentrasi metakolin.37 Metakolin termasuk substansi yang secara alami terdapat didalam tubuh. Metakolin dimetabolisme dalam tubuh secara lambat oleh kolinesterase dan efeknya dapat dihambat atau diperlambat oleh atropin atau antikolinergik yang serupa. Metakolin lebih dipilih dibandingkan histamin karena histamin menyebabkan efek samping sistemik seperti sakit kepala, kemerahan, dan suara parau. Sehingga pemeriksaan dengan histamin sulit diulang.37 Larutan metakolin harus dicampur oleh tenaga farmasi atau dokter yang terlatih secara steril. Vial larutan harus diberi label konsentrasi metakolin dan tanggal kadaluarsanya. Vial larutan konsentrasi ≥0,125mg/ml yang disimpan pada suhu 40c dapat bertahan selama 3 minggu. Larutan metakolin yang akan dipakai harus dipanasi sesuai suhu ruangan. Metakolin yang tidak terpakai dalam nebulizer harus dibuang.37
49
CMS (The Centers of Medicare and Medicaid Services), sebuah badan asuransi kesehatan pemerintah Amerika, menyebutkan bahwa tes metakolin adalah pelayanan tingkat 2 yang harus mendapat supervisi langsung oleh dokter. Biaya pemeriksaan tes metakolin sebesar $175. Kode pemeriksaan tes metakolin menurut koding CMS adalah 94070 (pemeriksaan faal paru serial), 95070 (inhalasi agen provokasi bronkus) dan J7674 (provocholin 100U).38 2.4.7 Metode pemeriksaan Metode Tes metakolin Napas biasa selama 2 menit (2-min tidal breathing)
Dosimeter 5 kali bernapas (Five-breath dosimeter)
Gambar 2.20 Dua metode pemeriksaan tes metakolin.37 ATS telah mempublikasikan dua metode tes metakolin yaitu tidal breathing dan five-breathing. Keduanya hanya memiliki perbedaan dalam hal pola inhalasi metakolin dan peningkatan dosis metakolin selebihnya tidak ada perbedaan. Keduanya sama dalam hal konsentrasi metakolin yang dipakai, waktu antar inhalasi, pemeriksaan spirometri FEV1, dan cara penghitungan konsentrasi provokasi (PC20).40 Kedua metode di atas adalah yang paling sering digunakan dan keduanya telah diteliti menghasilkan perbedaan yang tidak bermakna.40 Kedua metode paling sering dipakai di Amerika utara dan Eropa. Namun penelitian selanjutnya menyebutkan bahwa metode tidal breathing menghasilkan PC20 yang lebih rendah.16 Metode tidal breating disebutkan lebih sensitif karena jarak peningkatan konsentrasi yang lebih pendek. Sementara metode fivebreathing dengan peningkatan konsentrasi 4 kali lipat lebih menghemat biaya karena penggunaan konsentrasi metakolin yang lebih sedikit.38 FDA menyetujui metakolin produksi Metapharm (Provocholine) dengan tehnik five-breath dan konsentrasi metakolin yang dipakai 0,0625; 0,25; 2,5; 10 dan 25mg/ml. Komite ATS lebih menyukai menggunakan tehnik tidal breathing dengan peningkatan metakolin 10 tingkat konsentrasi.37
50
Ukur spirometri baseline
tidak
FEV1 >70% prediksi? ya beri pengencer atau dosis metakolin pertama, lalu tes spirometri setelah beberapa menit
ya
FEV1 turun >20% tidak beri dosis metakolin selanjutnya, lalu tes spirometri setelah beberapa menit
ya
FEV1 turun >20% tidak tidak
beri dosis 16mg/ml ? ya FEV1 turun >10% tidak
ya
Catat gejala dan tanda, beri salbutamol, tunggu 10 menit dan tes spirometri
Tes selesai Gambar 2.21 Alur pemeriksaan tes metakolin.37
51
Dosis metakolin yang sampai ke saluran napas harus terstandar sehingga bisa dipakai untuk diagnosis maupun penelitian. Perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi aerosol sampai ke paru seperti output nebulizer, ukuran partikel aerosol dan pola pernapasan. Tes ini memerlukan waktu, usaha dan pemahaman.38 Pada penelitian ini digunakan metakolin dengan metode five-breath. Tabel 2.9 Konsentrasi Metakolin dengan metode five-breath.37 Label metakolin
Ambil
Tambah NaCl Larutan yang 0,9% diharapkan 100mg 100mg 6,25 ml E: 16mg/ml 3 ml larutan E 9 ml D: 4mg/ml 3 ml larutan D 9 ml C: 1mg/ml 3 ml larutan D 9 ml B: 0,25mg/ml 3 ml larutan B 9 ml A: 0,0625mg/ml Metode five-breath dosimeter sering dipakai dalam penelitian. Dosis yang digunakan merupakan kelipatan 4 yaitu 0,0625; 0,25; 1; 4; dan 16 mg/ml. Langkah dari metode five-breath dosimeter adalah:37 1. Siapkan dan cek dosimeter 2. Siapkan lima konsentrasi metakolin dalam vial steril dan simpan dalam lemari es suhu 40C 3. Keluarkan vial isi metakolin dari lemari es 30 menit sebelum tes metakolin dimulai 4. Ambil 2ml metakolin dosis terendah dari vial steril dengan menggunakan spuit steril dan masukkan ke dalam nebulizer 5. Pasien dalam posisi duduk saat dilakukan tes 6. Pasien diminta memegang nebuliser dengan mouth piece di mulut dank lip hidup. 7. Pasein diminta menghirup aerosol metakolin secara pelan dan dalam kemudian pasien diminta menahan napas selama 5 detik (napas TLC / Total Lung Capacity) lalu ekshalasi. Langkah 7 ini diulangi sebanyak 5 kali namun tidak boleh melebihi 2 menit. 8. Lakukan tes spirometri setelah 30-90 detik kemudian. Tes spirometri harus adekuat dan dapat diulang 3-4 kali namun tidak boleh melebihi 3 menit. Untuk
52
menjaga efek kumulatif dari metakolin maka jarak tiap inhalasi metakolin sekitar 5 menit. 9. Tiap konsentrasi inhalasi metakolin diberikan harus dilakukan tes spirometri untuk menilai FEV1 10. Jika FEV1 turun >20% FEV1 awal / baseline maka tes metakolin dihentikan, catat gejala dan tanda yang terjadi lalu diberi inhalasi salbutamol. Lakukan tes spirometri 10 menit setelah inhalasi salbutamol untuk melihat peningkatan FEV1 >90% baseline. Penderita dengan hasil tes metakolin positif memiliki kecenderungan terjadi mengi, penurunan saturasi oksigen, takikardi. Tekanan darah dan nadi harus dimonitor selama pemeriksaan. Setelah didapati hasil tes metakolin yang positif harus segera diberikan bronkodilator (misalnya salbutamol) dan diulangi faal paru setelah 10 menit. Bronkospasme segera membaik dengan bronkodilator. Bila hasil faal paru kembali >90% dibandingkan sebelum inhalasi salbutamol, maka tes dinyatakan selesai. Namun bila FEV1 belum melebihi 90% maka inhalasi bronkodilator dapat diulangi lagi untuk meyakinkan fungsi pernapasan kembali seperti semula.38
2.4.8 Nebuliser dan dosimeter Nebuliser untuk tes metakolin masing-masing metode pemeriksaan berbeda. Pada metode tidal breathing, nebuliser harus dapat menghasilkan aerosol dengan diameter partikel (MMD / mass median diameter) 1,0 – 3,6 m. Contoh nebulisernya adalah nebuliser English Wright atau nebuliser lain yang serupa. Flow aerosol dari nebuliser sebesar 0,13ml/menit dalam 10%. Pada metode ini pasien akan mendapatkan aerosol sekitar 90l tiap konsentrasi metakolin.16,37,40
53
Gambar 2.22 Skematis nebuliser dengan dua metode: A.Nebuliser English Wright (napas biasa / tidal breathing selama 2 menit) B. Nebuliser DeVilbiss model 646 (dosimeter 5 kali bernapas). Keduanya memiliki filter ekshalasi.37 Sedangkan pada metode five-breath dosimeter, nebulizer harus dapat menghasilkan 9l (0,00ml) 10% solusi dalam 0,6 detik inhalasi metakolin. Nebuliser untuk metode ini yang sering dipakai adalah DeVilbiss model 646, namun nebuliser yang lain dengan spesifikasi serupa dapat dipakai. Pada metode ini penderita akan mendapatkan aerosol sekitar 45L tiap konsentrasi metakolin.16,37,40
2.4.9 Spirometri dan pengukuran hasil Pada tes metakolin, pemeriksaan spirometri yang perlu dinilai adalah FEV1. Pemeriksaan spirometri harus sesuai dengan panduan ATS. Manuver pemeriksaan spirometri yang baik diperlukan untuk menghindari hasil tes metakolin positif palsu / negatif palsu. Kurva flow per volume harus diperiksa setelah manuver inhalasi metakolin, effort FVC dilakukan sampai 6 detik. Namun bila hanya nilai FEV1 yang dibutuhkan maka effort FVC cukup dilakukan 2 detik saja. Spirometri diperiksa 30-90 detik setelah dilakukan inhalasi metakolin. Hal ini dilakukan agar konsentrasi metakolin terakumulasi sebelum spirometri selanjutnya.37
54
2.4.10 Menampilkan hasil tes dan intepretasinya Penilaian utama hasil tes metakolin adalah PC20 (Provocation consentration) yaitu konsentrasi metakolin yang menyebabkan penurunan FEV1>20% dibandingkan dengan baseline. Tes faal paru dapat juga dilakukan dengan body pletismograf, disebut tes metakolin positif bila didapati sGaw (specific airway conductance) berkurang 35-45% baseline.38 PC20 = antilog [log C1 +
(log C2 − log C1)(20 − 𝑅1) ] 𝑅2 − 𝑅1
Keterangan:37 PC20 : Provocation concentration / konsentrasi provokasi yang menyebabkan penurunan FEV1>20% C1 : konsentrasi metakolin sebelum terakhir (konsentrasi sebelum c2) C2 : konsentrasi metakolin terakhir yang menghasilkan penurunan FEV1 >20% R1 : persentase penurunan FEV1 setelah konsentrasi C1
penurunan FEV1 (% baseline)
R2 : persentase penurunan FEV1 setelah konsentrasi C2
0
-10 -20 -30
PC20= 3,7 AHR ringan
-40 -50 -60 -70
0
0,0625 1 0,25 konsentrasi metakolin (mg/ml)
4
16
Gambar 2.23 Contoh grafik penurunan FEV1 terhadap konsentrasi metakolin.
Terdapat berberapa faktor yang diperhatikan saat mengintepretasi hasil tes metakolin PC20, diataranya pretest probability asma (termasuk gejala akut
55
asma), adanya derajat obstruksi borderline, kualitas manuver spirometri yang adekuat, faktor yang meningkatkan dan mengurangi hasil tes, gejala pada akhir tes, derajat perbaikan setelah pemberian bronkodilator, sensitivitas dan spesifisitas tes, serta tes metakolin ulangan.37 Pada penderita asma, pretes probability asma 30-70% akan menghasilkan tes metakolin yang baik.38 Pada awalnya cut-off yang dipakai untuk menilai hasil tes metakolin positif adalah 8mg/ml, meskipun sensitifitasnya tinggi namun spesifisitasnya rendah. Beberapa peneliti memilih cut-off 8-16mg/ml yang memiliki nilai
prediksi positif dan negatif yang tertinggi berdasarkan analisa kurva ROC sebagai hasil tes metakolin yang positif.16 Hasil tes metakolin disebut negatif bila cut-off 16 mg / ml.14,39 Tabel 2.10 Hasil tes metakolin menurut ATS 1999.37 PC20 (mg/ml)
Intepretasi hasil tes metakolin
>16
Normal
4-16
Hiperresponsif bronkus borderline
1-4
Hiperresponsif bronkus ringan (tes positif)
<1
Hiperresponsif bronkus sedang sampai berat
Sebelum menerapkan skema intepretasi di atas, harus diperhatikan tidak adanya obstruksi saluran napas borderline, kualitas spirometri yang adekuat dan terjadi perbaikan FEV1 pasca tes metakolin yang maksimal.37 2.4.11 Mengatasi efek samping bronkospasme Penderita yang mendapatkan inhalasi metakolin akan mengalami ketidaknyamanan
terkait
bronkokonstriksi
saluran
napas
dan
dapat
mengalami keluhan selama atau pasca inhalasi metakolin. Efek samping yang bronkokonstriksi yang berat dapat terjadi sehingga tes ini tidak boleh dilakukan pada penderita dengan kondisi eksaserbasi akut terutama asma. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah nyeri kepala, iritasi tenggorokan,
gatal,
kepala
terasa
ringan
dan
dapat
menyebabkan
56
vasokonstriksi pembuluh koroner pada penderita sakit jantung. Dari penelitian yang lain dilaporkan bahwa secara keseluruhan dua pertiga penderita tidak bergejala ketika meninggalkan klinik setelah tes provokasi bronkus dengan metakolin. Data penelitian tes metakolin multisenter terhadap 1.000 penderita PPOK dilaporkan terdapat gejala pasca tes metakolin di antaranya batuk (25%), sesak (21%), mengi (10%), pusing (6%), dan sakit kepala (2%). Efek samping yang terlambat jarang terjadi, hanya 0,3% penderita mengeluhkan nyeri dada beberapa hari setelah tes metakolin.37 Keterangan efek samping dan keamanan tes metakolin disebutkan pada materi 2.4.4 Keamanan tes. Sehingga beberapa peneliti menyebutkan bahwa tes metakolin aman dengan sedikit efek samping tes metakolin yang serius bahkan beberapa menyebutkan tanpa gejala efek samping. Meskipun begitu tetap harus diwaspadai terjadinya efek samping pemberian bronkokonstriktor metakolin karena terdapat juga laporan tentang efek bronkokonstriksi yang berat meskipun sedikit kasusnya.37,61,62,63,64 Tatalaksana efek samping pasca inhalasi metakolin adalah terkait bronkokonstriksi sehingga tatalaksana bronkodilator yang optimal harus dipersiapkan sebelum tes metakolin dilakukan. Pemberian bronkodilator yaitu beta agonis kerja cepat seperti salbutamol inhalasi serta antikolinergik ipatroprium bromide inhalasi dipersiapkan sebelum tes dimulai. Terapi suportif seperti pemberian oksigenasi juga dipersiapkan dengan berbagai device (nasal, masker simple, masker non rebreathing, dan jacksen rees). Bila terjadi efek bronkokonstriksi yang berat maka disiapkan juga terapi yang lebih
lanjut
berupa
pemberian
inhalasi
glukokortikoid
(fluticasone
proprionat), injeksi glukokortikoid (metil prednisolone), injeksi xantin (aminofilin). Bila setelah pemberian tatalaksana diatas namun masih didapatkan efek samping maka akan dilakukan pemasangan infus dan rawat inap.37,40 Tatalaksana yang lain yaitu terkait iritasi pemberian inhalasi metakolin berupa iritasi tenggorokan. Selama tes metakolin, sampel penelitian diberikan waktu istirahat 30-90 detik sebelum dilakukan pemeriksaan faal paru. saat
57
istirahat tersebut, sampel diperbolehkan untuk minum untuk mengurangi iritasi yang terjadi pada tenggorokan. Akibat dari efek iritasi tersebut, penderita dapat mengalami batuk dalam 30-60 menit setelah tes, sehingga setelah melakukan tes metakolin, sampel penelitian diminta untuk menunggu maksimal 2 jam sebelum pulang. Efek samping nyeri kepala dan kepala terasa ringan dapat disebabkan oleh hipoksia sesaat selama pemeriksaan sehingga suplementasi oksigen diharapkan dapat memperbaiki kondisi sampel penelitian. Efek samping gatal, jarang terjadi karena metakolin adalah zat yang secara alami terdapat dalam tubuh manusia dan bekerja spesifik pada reseptor M3 otot polos saluran napas, berbeda dengan histamin yang dapat berefek sistemik keseluruh tubuh.19 Namun persiapan efek samping tersebut harus dipersiapkan tatalaksananya dengan pemberian antikolinergik inhalasi serta glukokortikoid baik inhalasi maupun injeksi. Kemungkinan efek samping harus dijelaskan pada penderita atau keluarga sebelum dimulai tes metakolin.37 Penjelasan tersebut tertera dalam information for consent. Detail tatalaksana efek samping pada subjek penelitian dijelaskan lebih detail pada lampiran 9 (tatalaksana efek samping subjek penelitian).
58
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESA PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual
Usia bertambah
Rokok Amplifikasi
Genetik (Fenotip, Atopi)
Inflamasi
Imunitas menurun
Respons imunitas
Respons Th1
Infeksi Mikroba
Inflamasi
Remodeling Saluran Napas Kecil
Edema saluran napas Hipersekresi mukus
Kerusakan Parenkim Paru
Emfisema paru
Aktivasi T-reg
Air trapping Hiperresponsif bronkus
Faktor persisten
Faktor variabel
Obstruksi saluran napas
Inflamasi tanpa amplifikasi
Bronko spasme
Gejala pernapasan
Penurunan Faal Paru
PPOK
Bukan PPOK Perokok
Variabel diteliti Variabel tidak diteliti
57
59
3.2 Keterangan Pajanan asap rokok menyebabkan inflamasi pada paru serta penurunan sistem imunitas seseorang. Terjadinya inflamasi paru terkait rokok dipengaruhi oleh faktor genetik seseorang seperti fenotip dan atopi. Faktor genetik ini mempengaruhi amplifikasi respons inflamasi seseorang. Pada perokok yang suseptibel, maka terjadi amplifikasi yang menyebabkan terjadinya inflamasi berulang. Bertambahnya usia menyebabkan sistem imunitas seseorang cenderung turun. Imunitas yang turun disebabkan faktor pajanan asap rokok dan pertambahan usia mempermudah terjadinya infeksi mikroba (virus dan bakteri) pada paru. Infeksi ini akan memicu terjadinya inflamasi berulang selain faktor pajanan asap rokok. Pada kondisi PPOK, infeksi mikroba akan memicu terjadinya eksaserbasi dengan manifestasi kambuhnya gejala pernapasan. Inflamasi berulang pada paru menyebabkan gangguan pada saluran napas dan parenkim paru. Terjadi perubahan berupa edema saluran napas, hipersekresi mukus, remodeling saluran napas kecil dan kerusakan parenkim paru. Remodeling saluran napas kecil menyebabkan penyempitan kaliber saluran napas kecil yang merupakan faktor persisten hiperresponsif bronkus. Sementara edema saluran napas dan hipersekresi mukus merupakan faktor variabel hiperresponsif bronkus. Adanya remodeling faktor persisten dan variabel ditambah dengan faktor genetik maka
hiperresponsif
bronkus
akan
menyebabkan
lebih
mudah
terjadi
bronkospasme dan hal ini berhubungan dengan faal paru. Faktor variabel akan berperan pada gejala pernapasan kronis pada penderita PPOK. Obstruksi saluran napas yang persisten disebabkan oleh perubahan faktor persiten. Semakin lama merokok maka remodeling akan terus berjalan disertai dengan hiperresponsif yang semakin berat. Kerusakan dinding alveoli dan parenkim paru akan berakibat terjadinya emfisema paru dan air trapping yang menyebabkan terjadinya peningkatan residual volume dan penurunan faal paru. Pada perokok yang tidak terjadi PPOK, inflamasi dapat direspons oleh imunitas tubuh penderita melalui respons Th1 yang akan mengaktivasi sel limfosit T-reg. Inflamasi karena asap rokok yang kronis oleh tubuh masih dapat
60
dikompensasi melalui system imunita penderita. Berbeda halnya dengan perokok PPOK, pada bukan PPOK perokok inflamasi kronis yang jadi karena pajanan asap rokok yang kronis tidak mengalami amplifikasi sehingga tidak terjadi remodeling saluran napas atau minimal sehingga tidak berakibat terjadinya obstruksi saluran napas maupun hiperresponsif bronkus. Hiperresponsif bronkus pada bukan PPOK perokok diduga terkait faktor genetik seseorang dan bukan sebagai konsekuensi dari remodeling saluran napas seperti halnya pada PPOK.
3.3 Hipotesa Penelitian Terdapat perbedaan hiperresponsif bronkus pada PPOK GOLD 1 dan GOLD 2 dibandingkan dengan bukan PPOK perokok.
61
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah studi cross-sectional analitik observasional
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel populasi dilakukan di poli Paru di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan Poli RS Haji Surabaya. Pemeriksaan hiperresponsif brokus dengan metakolin dilakukan dilakukan di Laboratorium Faal Paru lantai 3 RSUD Dr.Soetomo Surabaya. Pengambilan sampel dilakukan sejak bulan Februari 2016 sampai jumlah sampel terpenuhi.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi Populasi penelitian ini adalah perokok yang akan dibagi menjadi dua kelompok: 4.3.1. Kelompok PPOK stabil GOLD 1 atau GOLD 2 adalah penderita rawat jalan di poli Paru RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan poli Paru RS Haji Surabaya baik perokok maupun mantan perokok 4.3.2. Kelompok bukan PPOK perokok adalah perokok aktif tanpa disertai kelainan faal paru obstruktif yang mendukung diagnosis PPOK yang merupakan orang di dalam maupun sekitar rumah sakit
Sampel Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi diambil dari masingmasing kelompok populasi dengan jumlah yang sama. Besar sampel Besarnya sampel pada penelitian ditentukan berdasarkan rumus rumus uji hipotesis terhadap dua proporsi:66 n1 = n2 = ( Z1-α/2 √2PQ + Z1-β √P1Q1 + P2Q2) 2 (P1-P2)2 60
62
Di mana P = P1 + P2 2
Q = Q1 + Q2 2
n = jumlah sampel Interval kepercayaan 95% sehingga tingkat kemaknaan α = 0,05 Z1-α/2= 1,96 Kuat uji (1-β) = 80% sehingga power β=20% Z1-β = 0,842 Proporsi hiperresponsif bronkus pada perokok = 11-14%.22 P1 = 0,11 Q1= 1-P1 = 0,86 Proporsi hiperresponsif bronkus pada PPOK = 48-94%.18 P2 = 0,48 Q2= 1-P2 = 0,52 P = 0,295
Q = 0,205
n1 = n2 = 22,63 ~ 23
Besar sampel 23 untuk masing-masing populasi. Sampel populasi PPOK GOLD 1 atau GOLD 2 sebanyak 23 orang dan sampel populasi bukan PPOK perokok sebanyak 23 orang. Total sampel adalah 46 orang.
Tehnik pengambilan sampel Tehnik
pengambilan
sampel
penelitian
dilakukan
non-probability
sampling secara accidental sampling, artinya populasi yang kebetulan bertemu dengan peneliti akan dipilih menjadi sampel sesuai kriteria.66
4.4 Kriteria Inklusi Semua pasien yang menjadi sampel penelitian harus memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut: 1. PPOK stabil (GOLD 1 atau GOLD 2) dan bukan PPOK perokok 2. Bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani informed consent 3. Laki-laki 4. Usia lebih dari 40 tahun 5. Merokok lebih dari 10 pack years
63
4.5 Kriteria Eksklusi Eksklusi dilakukan pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi namun memiliki keadaan sebagai berikut: 1. Penderita asma, ACOS 2. Penderita TB atau pasca TB 3. Penderita tumor paru 4. Pasien dengan hasil FEV1<50% prediksi atau FEV1<1 liter 5. Sakit jantung (Infark miokard) dalam 3 bulan terakhir 6. Stroke dalam 3 bulan terakhir 7. Infeksi saluran napas atas / bawah dalam 3-6 minggu sebelumnya 8. Hipertensi dengan sistolik >200mmHg atau diastolik >100mmHg 9. Dalam terapi beta bloker atau kolinesterase inhibitor 10. Mantan pekerja pabrik rokok dengan pajanan polusi udara pabrik 11. Mengalami penurunan FEV1>10% setelah inhalasi dengan NaCl 0,9% (dilakukan sebelum mendapat inhalasi metakolin)
4.6 Variabel Penelitian
Variabel penelitian independen yaitu rokok yang dinilai sebagai PPOK dan bukan PPOK perokok. Hasil ditampilkan sebagai data nominal (PPOK dan bukan PPOK perokok).
Variabel dependen yaitu hiperresponsif bronkus. Hasil ditampilkan sebagai:
Rata-rata nilai PC20 tiap kelompok populasi ditampilkan sebagai data interval.
Nilai PC20 tiap kelompok populasi dikelompokkan menjadi empat kriteria hiperresponsif bronkus (normal, borderline, ringan dan sedang-berat) ditampilkan sebagai data ordinal.
Variabel perancu yaitu asma, alergi, infeksi virus maupun bakteri dan pajanan polusi udara pabrik yang telah dieksklusi.
64
4.7 Instrumen Penelitian Penelitian ini menggunakan instrument pemeriksaan faal paru / spirometri dan tes metakolin. Perlengkapan tes tertera dalam lampiran 6 (Perlengkapan dan Obat Penelitian).
4.8 Definisi Operasional 4.8.1.
Penderita PPOK adalah penderita dengan gejala klinis keluhan pernapasan kronis (sesak, batuk, berdahak) disertai adanya faktor risiko (rokok, asap, polusi udara) yang dikonfirmasi hasil faal paru FEV1/FVC <70%. Penderita PPOK yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dengan hasil GOLD 1 dan GOLD 2 yaitu FEV1>50% atau >1 liter. Penderita PPOK adalah perokok aktif atau mantan merokok (pernah merokok dan sudah berhenti merokok sejak kapanpun).
4.8.2.
Bukan PPOK perokok adalah orang yang saat penelitian masih merokok berapapun banyaknya, baik disertai dengan keluhan maupun tanpa keluhan yang bukan termasuk dalam diagnosis PPOK
4.8.3.
10 pack years adalah merokok 1 pak (20 batang rokok) per hari selama 10 tahun atau 2 pak (40 batang rokok) per hari selama 5 tahun. Bila 1 pak isi 12 batang rokok maka membutuhkan waktu 16 tahun. Bila 1 pak isi 16 batang rokok maka membutuhkan waktu 12 tahun.
4.8.4.
4.8.5.
Penderita PPOK stabil adalah2
Tidak dalam kondisi eksaserbasi
Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
Sputum tidak berwarna atau jernih
Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat PPOK
Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
Tidak menggunakan bronkodilator tambahan.
Derajat keparahan PPOK dibagi berdasarkan kategori A, B, C dan D. Dilakukan penilaian derajat keparahan berdasarkan gejala, tes faal paru (FEV1, FVC dan FEV1/FVC), dan riwayat eksaserbasi per tahun.
65
Berdasarkan klasifikasi GOLD 2015, penderita PPOK dibagi menjadi empat kategori, yaitu:
Kategori A : Risiko rendah dan gejala sedikit, pada pasien dengan GOLD 1 atau GOLD 2 dengan derajat obstruksi ringan-sedang, dan/atau 0-1 kali eksaserbasi dalam satu tahun tanpa perawatan rumah sakit dan CAT < 10 atau mMRC 0 - 1.
Kategori B : Risiko rendah dan gejala banyak, pada pasien dengan GOLD 1 atau GOLD 2 dengan derajat obstruksi ringan – sedang, dan/atau 0 – 1 kali eksaserbasi dalam 1 tahun tanpa perawatan rumah sakit dan CAT ≥ 10 atau mMRC ≥2.
Kategori C : Risiko tinggi dan gejala sedikit, pada pasien dengan GOLD 3 atau GOLD 4 dengan derajat obstruksi berat atau sangat berat, dan atau ≥2 kali eksaserbasi per tahun atau ≥1 kali eksaserbasi dengan perawatan rumah sakit dan CAT < 10 atau mMRC 0 - 1.
Kategori D : Risiko tinggi dan gejala banyak , pada pasien dengan GOLD 3 atau GOLD 4 dengan derajat obstruksi berat atau sangat berat, dan ≥2 kali eksaserbasi pertahun atau ≥1 kali eksaserbasi dengan perawatan rumah sakit dan CAT ≥ 10 atau mMRC ≥2.
Pada penelitian ini hanya diambil pasien PPOK kategori A dan B saja (GOLD 1 dan GOLD 2) 4.8.6.
Usia adalah umur seseorang yang dihitung berdasarkan tanggal lahir ditampilkan dalam satuan tahun
4.8.7.
Jenis kelamin hanya laki-laki
4.8.8.
Keluhan pernapasan adalah gejala seperti batuk, berdahak, sesak, mengi, dada terasa berat
4.8.9.
Tes Spirometri / Faal paru adalah pemeriksaan untuk mengukur volume paru dinamik seseorang dengan alat spirometer. Indikator yang dinilai adalah FEV1, FVC, FEV1/FVC.
4.8.10. FEV1 (Force Expiratory Volume) adalah volume udara ekspirasi paksa selama 1 detik pertama
66
4.8.11. FVC (Force Vital Capacity) adalah volume udara paksa maksimal setelah dilakukan inspirasi maksimal 4.8.12. FEV1/FVC adalah rasio volume udara ekspirasi paksa selama 1 detik pertama dengan volume udara paksa maksimal setelah dilakukan inspirasi maksimal yang digunakan untuk menilai derajat obstruksi saluran napas 4.8.13. Tes metakolin adalah tes provokasi bronkus dengan menggunakan metakolin dimulai dengan dosis terendah 0,0625 sampai tertinggi 16mg/ml. Setiap selesai inhalasi metakolin, sampel penelitian dilakukan tes faal paru untuk melihat perubahan terhadap FEV1. Dosis metakolin yang diberikan adalah 0,0625; 0,25; 1; 4; dan 16 mg/ml. Tes metakolin akan dihentikan bila terdapat penurunan FEV1>20% dibandingkan baseline. 4.8.14. PC20 adalah konsentrasi provokasi yang menyebabkan penurunan FEV1 >20% dibandingkan dengan FEV1 baseline. 4.8.15. FEV1 baseline adalah FEV1 dasar yang dihasilkan oleh sampel populasi sebelum diberikan inhalasi metakolin dan setelah diberikan inhalasi pelarut (Normal salin / NaCl 0,9%).
67
4.9 Alur dan Prosedur Penelitian Alur penelitian Populasi: Pasien Poli Paru, poli Asma-PPOK RSUD Dr.Soetomo dan Poli Paru RS Haji Surabaya
- Anamnesa: riwayat penyakit, riwayat aktivitas sehari-hari, riwayat merokok, riwayat alergi, riwayat asma, riwayat pekerjaan, riwayat keluarga - Pemeriksaan fisik penderita (Vital sign, BB, TB, BMI) - Faal Paru (FEV1, FVC, FEV/FVC) - Derajat merokok: Indeks Brinkman Kriteria eksklusi
Kriteria inklusi Menandatangani persetujuan mengikuti penelitian Sampel penelitian
PPOK (GOLD 1, 2)
Bukan PPOK Perokok
Tes dilakukan di Laboratorium Faal Paru RSUD Dr.Soetomo - Tes Faal Paru FEV1, FVC, FEV1/FVC - Tes Metakolin (PC20)
Analisis Data
Karya akhir
Gambar 4.1 Alur penelitian perbedaan hiperresponsif bronkus antara PPOK dan bukan PPOK perokok.
68
Prosedur penelitian Sampel yang terpilih dalam penelitian akan menjalani pemeriksaan faal paru dan tes metakolin. Tes faal paru dilakukan berdasarkan panduan dari ATS dan dinilai FEV1, FVC, rasio FEV1/FVC. Setidaknya dilakukan 3-4 manuver tiap tes faal paru, lalu dinilai akseptabilitas dan reprodusibilitasnya. Sampel akan diberikan inhalasi normal salin (NaCl 0,9%) lalu diuji faal parunya. Hasil faal paru pasca inhalasi normal salin dicatat sebagai FEV1 baseline. Bila terdapat penurunan FEV1>10% dibandingkan sebelum inhalasi normal salin, maka sampel diekslusi dari penelitian. Sampel dengan hasil FEV1 baseline <50% atau <1 liter sebelum pemberian inhalasi metakolin dieksklusi dari penelitian. Penderita akan diberikan inhalasi metakolin bertahap dimulai dengan konsentrasi terendah 0,0625mg/ml sampai tertinggi 16mg/ml. Peneliti menggunakan tehnik five-breathing dalam pemberian inhalasi metakolin. Sampel penelitian diminta menghisap inhalasi metakolin melalui mulut (dengan hidung dijeput klip hidung) secara pelan dan dalam. Lalu sampel diminta untuk menahan napas selama 5 detik kemudian menghembuskan napas secara perlahan. Pola bernapas ini diulang sebanyak 5 kali, namun inhalasi metakolin tidak boleh melebihi 2 menit. Penderita diberi waktu 30-90 detik sebelum dilakukan tes faal paru. Setelah diberikan inhalasi metakolin, sampel akan diuji faal paru lagi dan dinilai perubahan FEV1. Tes faal paru dilakukan 3-4 kali untuk menilai FEV1 dan tidak boleh melebihi 3 menit. Setelah didapati hasil faal paru, penderita istirahat sebentar selama 5 menit sebelum diberikan inhalasi metakolin konsentrasi di atasnya. Hal ini agar terjadi konsentrasi kumulatif metakolin. Tes metakolin dan faal paru diulangi seperti di atas. Tes metakolin akan dihentikan bila terdapat penurunan FEV1>20% dibandingkan dengan FEV1 baseline. Konsentrasi metakolin yang menyebabkan penurunan FEV1>20% tersebut akan dimasukkan rumus untuk menghasilkan nilai PC20. Kemudian dinilai derajat hiperresponsif bronkus sampel tersebut.
69
4.10 Alur pemeriksaan metakolin
ekslusi ya
Faal paru awal FEV1<50?
tidak
Inhalasi NaCl0,9% 2cc 20 menit
Faal paru FEV1 <10% FEV1 awal? ya
dipakai sebagai FEV1 baseline
tidak ekslusi
A
Inhalasi metakolin 0,0625mg/ml 2 menit
Faal paru FEV1 <20% baseline? tidak
B
Inhalasi metakolin 0,25mg/ml 2 menit
Faal paru FEV1 <20% baseline? tidak
C
Inhalasi metakolin 1mg/ml 2 menit
Inhalasi metakolin 16mg/ml 2 menit
AHR sedang -berat
ya
AHR ringan
Faal paru FEV1 <20% baseline?
tidak
E
ya
Faal paru FEV1 <20% baseline?
tidak metakolin D Inhalasi 4mg/ml 2 menit
AHR sedang -berat
ya
ya
AHR borderline
Faal paru FEV1 <20% baseline? tidak
ya
Normal AHR
Normal AHR
Inhalasi Salbutamol
Rawat Inap tidak Tes selesai
ya
Faal paru FEV1 >90% baseline?
Gambar 4.2 Alur pemeriksaan metakolin dengan tehnik five-breath, inhalasi metakolin diberikan 5 kali hisap dan masing-masing ditahan 5 detik, 5 kali inhalasi tidak boleh melebihi 2 menit. Tes Faal paru untuk menilai FEV1<20% baseline dinilai 30-90 detik setelah inhalasi metakolin selesai. Tes faal paru diulang 3-4 kali, tidak melebih 3 menit. Lalu dinilai penurunan FEV1 dan ditentukan langkah selanjutnya. Inhalasi metakolin konsentrasi berikutnya diberikan 5 menit setelah selesai tes faal paru. Tes faal paru setelah inhalasi salbutamol dilakukan setelah 10 menit inhalasi, inhalasi salbutamol dapat diulang 3 kali. Tes metakolin memerlukan waktu sekitar 90 menit tiap orang.
70
4.11 Cara Pengolahan dan Analisa Data Data yang diperoleh dicatat dan dikumpulkan, kemudian diolah secara manual dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Data FEV1 dan PC20 masing-masing sampel penelitian ditampilkan dalam bentuk grafik penurunan FEV1 terhadap peningkatan konsentrasi metakolin. Grafik yang menampilkan penurunan FEV1 terhadap konsentrasi metakolin dapat dilihat pada gambar 2.23. Dengan menggunakan rumus yang ada, hasil PC20 dapat dihitung dan dapat
ditentukan
derajat
hiperresponsif
bronkus.
Data
PC20
dan
Hiperresponsif bronkus masing-masing kelompok ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. Analisa data menggunakan komputer program statistik SPSS. Data PC20 ditampilkan sebagai data interval. Data diuji normalitasnya dengan menggunakan Uji Kolmogrov Smirnov, bila data berdistribusi normal maka data akan dilakukan uji parametrik komparasi antar sampel independen (2 sampel) dengan uji t 2 sampel, bila data tidak berdistribusi normal maka dilakukan uji Wilcoxon 2 sampel. Data sampel dapat juga ditampilkan sebagai data nominal yaitu nilai PC20 diubah menjadi tingkat hiperresponsif bronkus (normal, borderline, ringan dan sedang-berat). Bila data ditampilkan dalam bentuk nominal, tidak perlu dilakukan uji normalitas. Uji statistik yang dipilih adalah uji non-parametrik komparasi antar sampel independen (2 sampel) dengan tes Chi-Square (X2 test). Hipotesa diterima bila nilai signifikan p<0,05.
4.12 Etika Penelitian 4.12.1.
Keamanan subjek penelitian
Pemeriksaan provokasi bronkus dengan metakolin meskipun dalam laporan
penelitian
merupakan
pemeriksaan
yang
aman
dengan
memperhatikan kontraindikasinya namun tetap harus diperhatikan keamanan subjek penelitian. Subjek PPOK yang memiliki gangguan obstruksi saluran napas (FEV/FVC) kurang dari 50% atau kurang dari 1 liter dikeluarkan dari subjek penelitian. Subjek PPOK dengan obstruksi
71
saluran
napas
(FEV1/FVC)
antara
50-70%
yang
mengalami
bronkokonstriksi setelah diberikan metakolin dengan hasil lebih dari 20% akan segera dihentikan pemberian metakolin konsentrasi lanjutan. Subjek akan diberikan bronkodilator short acting (Salbutamol) dan terapi lain sebagai tatalaksana efek samping. Pencegahan penularan infeksi sekunder terkait penggunaan alat spirometri dihindarkan
melalui
penggunaan
mouth
piece
personal
dengan
penggunaan satu subjek penelitian sekali pakai. Penularan Infeksi sekunder melalui alat provokasi bronkus dicegah dengan sterilisasi basah tabung nebulizer dan mouth piece khusus. Hasil pemeriksaan tes metakolin hanya diberitahukan kepada subjek penelitian dan keluarga terdekat. Identitas subjek penelitian tidak dipublikasikan. 4.12.2.
Keamanan teknis peneliti
Metakolin dapat pula terhirup oleh tehnisi pemeriksa sehingga perlu pencegahan guna menghindari efek samping. Tehnisi dapat berdiri agak jauh dari pasien saat nebulisasi metakolin. Ruang tes metakolin harus memiliki ventilasi yang memadai. Tes ini dihindarkan bagi tehnisi yang memiliki asma karena dapat menyebabkan hiperresponsif bronkus saat melakukan tes metakolin. 4.12.3.
Kualitas bahan penelitian
Metakolin tersedia dalam bentuk bubuk / powder. Sebelum dipakai tes, metakolin harus diencerkan terlebih dahulu sesuai dengan konsentrasi yang dibutuhkan. Penyediaan metakolin yang steril dan presisi menjadi prioritas untuk menjaga kualitas dan keamanan penelitian. Penyediaan dan peracikan metakolin dilakukan di laboratorium farmasi rumah sakit, detail dapat dilihat pada lampiran 7. 4.12.4.
Tatalaksana efek samping
Efek samping pemberian inhalasi metakolin terkait bronkospasme yang terjadi dapat akut maupun tipe lambat. Dari penelitian disebutkan bahwa tes metakolin aman dan tanpa efek samping yang serius. Literatur lain menyebutkan tanpa adanya gejala efek samping. Meskipun begitu tetap
72
harus diwaspadai terjadinya efek samping. Lebih detail mengenai efak samping dan tatalaksananya dijabarkan dalam lampiran 9. Berbagai alat dan perlengkapan disiapkan untuk menangani efek samping yang dapat terjadi, detail dijabarkan dalam lampiran 6.
73
DAFTAR PUSTAKA
1.
GOLD Scientific Committee. Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disesase. updated 2015.
2.
PDPI. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik): Diagnosis Penatalaksanaan. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011.
3.
Rabe K, Hurd S, Anzueto A, et al. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (Gold Executive Summary). Am J Respir Crit Care Med, 2007; 176: 532-555.
4.
Reilly J, Silverman E, & Shapiro S. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. In J. Lascalzo, Harrison's Pulmonary and Critical Care Medicine (17th ed.). 2008, pp. 178-189. New York: McGrawHill Medical.
5.
Fishman A, Elias J, Fishman J, Grippi M, Senior R, & Pack A. Fishman's Pulmonary Diseases and Disorders (Fourth edition ed.). 2008, New York: McGrawHill Medical.
6.
Rai IB. Inflamasi Kronik Jalan Napas dan eksaserbasi pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). In Wibisono MJ, Maranatha D, & Marhana IA, Majalah Kedokteran Respirasi. 2012; Vol. 3 Supl: pp. 71-77. Surabaya: PDPI Jatim.
7.
Menezes AM. Chronic Obstructive Lung Disease in five Latin American cities (the PLATINO study): a prevalence study. Lancet, 2005; 366: 18751881.
8.
Buist AS. International variation in the prevalence of COPD (the BOLD study): a population-based prevalence study. Lancet, 2007; 370: 741-750.
9.
Decramer M. Clinical trial design considerations in assesing long-term functional impact of tiotropium in COPD: the UPLIFT trial. J Chronic Obstructive Pulm Dis, 2004; 1: 303-312.
dan
10. PDPI. Berhenti merokok: pedoman penatalaksanaan untuk dokter di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. 11. Becker EC, Wolke G & Heinrich J. Bronchial responsiveness, spirometry and mortality in a cohort of adults. Journal of Asthma, 2013; 504: 427-432. 12. Cao L, Zhang Y, Cao Y, Edvinsson L, & Xu C. Secondhand smoke exposure causes bronchial hyperreactivity via transcriptionally upregulated endothelin and 5-hydroxytryptmine 2A receptors. PLoS ONE, 2012; 78: 1-9.
74
13. Haynes JM. A positive methacholine challenge test in the absence of symptoms. Respiratory Care, 2007; 526: 759-762. 14. O'Byrne PM, & Inman MD. Airway hyperresponsiveness. Chest, 2003; 1233: 411S-416S. 15. Tordera MP, Rio FG, Gutierrez FJ, et al. Guidelines for study of nonspesific bronchial hyperresponsiveness in Asthma. Arch Bronconeumol, 2013; 4910: 432-446. 16. Beckert L, & Jones K. Bronchial challenge testing. In E. Sapey, Bronchial Ashma - Emerging Therapeutic Strategies (pp. 19-36). 2012. Croatia: InTech. 17. O'Byrne PM, Gauvreau GM, Brannan JD. Provoked models of asthma: what have we learn? Clin Exp Allergy, 2009; 392: 181-192. 18. Pascoe C, Wang L, Syyong H, & Pare P. A Brief history of airway smooth muscle's role in airway hyperresponsiveness. Journal of Allergy, 2012; pp. 18. doi:10.1155/2012/768982 19. Cockroft D, & Davis B. Mechanism of airway hyperresponsiveness. J Alergy Clin Immunol, 2006; 118: 551-9. 20. Posma DS, & Boezen HM. Rationale for the Dutch hypothesis. Allergy and airway hyperresponsiveness as genetic factors and their interaction with environment in the development of Asthma and COPD. Chest, 2004; 126: 96S-104S 21. Brannan JD, & Lougheed M. Airway hyperresponsiveness in asthma: mechanisms, clinical significance, and treatment. Frontiers in Physiology, 2012; 3(460): 1-11. 22. Torok S, & Leuppi F. Bronchial hyper-responsiveness and exhaled nitric oxide in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Swiss med wkly, 2007; 137: 385-391. 23. Scichilone N, Battaglia S, La Sala A, & Bellia V. Clinical implication of airway hyperresponsiveness in COPD. International Journal of COPD, 2006; 11: 49-60. 24. Irvin C. Neutrophils, airway hyperresponsiveness and COPD: true, true and related? Eur.Respir.J 2012; 40: 1067-1069. 25. Hantera, M., & Abdel-Hafiz, H. Methacholine chellenge test as indicator for add on inhaled corticosteroids in COPD patients. Egyptian Journal of Chest Diseases and Tuberculosis 2014; 63: 351-354.
75
26. Walker PP, Hadcroft J, Costello RW, & Calverley PM. Lung function changes following methacholine inhalation in COPD. Respiratory Medicine, 2009; 103: 535-541. 27. Brutsche M, Downs S, Schindler C, et al. Bronchial hypperresponsiveness and the development of asthma and COPD in asymptomatic individuals: SAPALDIA Cohort study. Thorax, 2006; 61: 671-677. 28. Papaiwannou A, Zarogoulidis P, Porpodis K, et al. Asthma - chronic pulmonary disease overlap syndrome (ACOS): current literature review. J Thorac Dis, 2014; 6(SI): S146-S151. 29. Scichilone N, Messina M, Battaglia S, Catalano F, & Bellia V. Airway hyperresponsiveness in the elderly: prevalence and clinical implication. Eur Respir J, 2005; 25: 364-375. 30. Willemse B, ten Hacken N, Rutgers B, Lesma-Leegte I, Timens W & Postma D. Smoking cessation improves both direct and indirect airway hyperresponsiveness in COPD. Eur Respir J, 2004; 24: 391-196. 31. Dima E, Rovina N, Gerassimou C, Roussos C, & Gratziou C. Pulmonary fuction tests, sputum induction and brochial provocation tests: diagnostic tools in the challenge of distinguishing asthma and COPD phenotypes in clinical practice. International Journal of Chronic Obstructive Pulmonary Diseases, 2010; 5: 287-296. 32. van den Berge M, Vonk J, Gosman M, et al. Clinical and inflammatory determinants of bronchial hyperresponsiveness in COPD. Eur.Respir.J, 2012; 40: 1098-1105. 33. Piccilo G, Caponnetto P, Barton S, et al. Changes in airway hyperresponsivenss following smoking cessation: comparisons between Mch and AMP. Respiratory Medicine, 2008; 102: 256-265. 34. Wise R, Kenner R, Lindgren P, et al. The effect of smoking intervention and an inhaled bronchodilator on airways reactivity in COPD: the Lung Health Study. Chest, 2003; 1242: 449-58 (Abstract) 35. Verhoeven G, Hegmans J, Bogaard J, Hoogsteden H, & Prins J. Effects of fluticasone proprionate in COPD patients with bronchial hyperresponsiveness. Thorax, 2000; 57: 694-700. 36. Vestbo J, & Hansen E. Airway hyperresponsiveness and COPD mortality. Thorax, 2001; 56 (Suppl II): ii11-ii14. 37. Crapo R, Casaburi R, Coates A, Enright P, Hankinspon J, & Irvin C. Guidelines for methacholie and exercise challenge testing - 1999. Am J Respir Crit Care Med, 2000; 161: 309-329.
76
38. Birnbaum S & Barreiro T. Methacholine challenge testing. Identifying its diagnostic role, testing, coding and reimbursement. Chest, 2007; 131: 19321935. 39. Anderson SD & Brannan JD. Bronchial provocation testing: the future. Curr Opin Allergy Clin Immunol, 2011; 111: 46-52. 40. Cockroft DW. Methacholine challenge methods. Chest, 2008; 1344: 678-680. 41. Thomashow B, Crapo J, Yawn B, et al.. The COPD Foundation pocket consultant guide. J COPD F, 2014; 11: 83-87. 42. Jindal S. Dutch hypothesis. Revisited? Chest, 2004; 1262: 329-331. 43. Barnes PJ. Against the Dutch hypothesis: Asthma and Chronic Obstructive Pulmonary Disease are distinct diseases. Am J Respir Crit Care Med, 2006; 176: 240-243 44. Amin M. Asthma and COPD: Mechanism and differential diagnosis. In Wibisono MJ, Maranatha D, & Marhana IA, Majalah Kedokteran Respirasi (Vol. 1, pp. 25-28). 2010, Surabaya: PDPI Jatim. 45. Busse W. The relation of airway hyperresponsiveness and airway inflammation. Airway hyperresponsiveness in asthma: its measuremen and clinical significance. Chest, 2010; 1382(Suppl): 4S-10S. 46. Nakawah MO, Hawkins C & Barbandi F. Asthma, Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), and the overlap syndrome. J Am Board Fam Med, 2013; 26: 470-477. 47. Camoretti-Mercado B, Karrar E, Nunez L & Bowman MA. S100A12 and the airway smooth muscle: beyond inflammation and constriction. J Allergy Ther, 2012; 1-7. 48. Stamatiou P, Paraskeva E, Gourgoulianis K, Molyvdas P & Hatziefthimiou A. Cytokines and growth factors promote airway smooth muscle cell proliferation. ISRN Inflammation, 2012; 1-13. 49. Prakash Y. Airway smooth muscle in airway reactivity and remodeling: what have we learned? Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol, 2013; 305: L912– L933 50. Janssen LJ & Killian K. Airway smooth muscle as a target of asthma therapy: history and new directions. Respiratory Research, 2006; 7(123): 1-6. 51. Davis BE & Cocroft DW. Past, present and future uses of methacholine testing. Expert Rev.Respir.Med, 2012; 63: 321-329
77
52. Roth M & Tamm M. Airway smooth muscle cells respond directly to inhaled environmental factors. Swiss Med Wkly, 2010; 140: 1-6. 53. JamesA & Carrol N. Airway smooth muscle cells respond directly to inhaled environmental factors. Swiss Med Weekly, 2010; 140: 1-6. 54. Woodruff P, Khashayar R, Lazarus SC, et al. Relationship between airway inflammation, hyperresponsiveness, and obstruction in asthma. A Allergy Clin Immunol, 2001; 108: 753-758. 55. Miller M, Hankinson J, Brusasco V, et al. Standardisation of spirometry. Eur Respir J, 2005; 26: 319-338. 56. Hyatt RE, Scanlon PD, & Nakamura M. Interpretation of pulmonary function test: a practical guide (third ed.), 2009. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins. 57. Grippi MA & Tino G. Pumonary function Test. In A. P. Fishman JA, Elias JA, Fishman MA, Grippi RM, Senior & Pack AI, Fishman's Pulmonary Diseases and Disorders (forth ed., pp. 567-609), 2008. New York: McGrawHill Medical. 58. Ranu H, Wilde M, & Madden B. Pulmonary function tests. Ulster Med J, 2011; 802: 84-90. 59. Maranatha D. Lung function and clinical excercise Test. In M. Wibisono, D. Maranatha, & I. Marhana, Majalah Kedokteran Respirasi (Vols. 3, Supl., pp. 43-54), 2012. Surabaya: PDPI Jatim. 60. Pellegrino R, Viegi G, Brusasco V, et.all. Interpretative strategies for lung function tests. Eur Respir J 2005; 26: 948–968. 61. Townley RG, Bewtra AK, Nair NM, et al. Methacholine inhalation challenge studies. J Allergy Clin Immunol 1979; 64: 569-74. 62. Ramsell JW, Nachtwey F, Moser KM. Bronchial hyperreactivity in chronic obstructive bronchitis. A Rev Respir Dis 1982; 26: 829-32. 63. Pratter MR, Barrter TC, Dubois J. Bronchodilator reversal of bronchospasm and symptoms incurred during methacholine bronchoprovocation challlenge. Documentation of safety and time course. Chest 1993; 104: 1342-1345. 64. Martin RJ, Wanger JS, Irvin CG, et al. Methacholine challenge testing, safety for low starting FEV1. Chest 1997; 112: 53-56. 65. Tashkin DP, Altose Md, Bleecker ER, et al. The Lung Health Study: Airway responsiveness to inhaled methacholine in smokers with mild to moderate airflow limitation. Am Rev Respir Dis 1992; 145: 301-310.
78
66. Dahlan M Sopiyudin. Besar sampel dan cara pengambilan sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika, 2009.
79
Lampiran 1 FORM INFORMATION FOR CONSENT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA DEPARTEMEN / SMF PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI Jl.Mayjen Prof.Dr.Moestopo no.6-8, telp.031-5501661 RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr.SOETOMO SURABAYA 60286 Penjelasan penelitian untuk disetujui (Information for consent)
NamaPeneliti
: dr.Alfian Nur Rosyid
Alamat
:Jl.Simomulyo Baru 6D no 19 Surabaya
Telepon
: 081350125649
Judul Penelitian
: Perbedaan hiperresponsif bronkus antara PPOK dan bukan PPOK perokok
Penelitian tentang respons penyempitan saluran napas secara berlebihan pada pasien PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) dan bukan PPOK perokok
A. Tujuan penelitian dan penggunaan hasilnya Tujuan penelitian ini untuk membuktikan bahwa hiperresponsif bronkus / respons penyempitan saluran napas secara berlebihan yang terjadi pada perokok PPOK lebih besar dibandingkan pada bukan PPOK perokok. Tes metakolin ini akan dilakukan di Laboratorium Faal Paru lantai 3 RSUD Dr.Soetomo Surabaya. Hasil dari penelitian ini akan digunakan sebagai pengetahuan baru tentang gambaran perbedaan hasil tes provokasi bronkus dengan metakolin pada penderita PPOK dan bukan PPOK perokok terkait pajanan rokok serta sebagai landasan penelitian lain tentang hiperresponsif bronkus, rokok dan PPOK.
B. Manfaat bagi peserta penelitian Diharapkan dengan pemeriksaan ini maka pasien PPOK dan bukan PPOK perokok dapat mengetahui hiperresponsif bronkus pada dirinya sehingga dapat dilakukan pencegahan agar tidak menjadi PPOK bagi perokok dan mencegah
80
kekambuhan dan perburukan bagi penderita PPOK. Diharapkan bahwa bukan PPOK perokok dengan hiperresponsif bronkus mengetahui bahwa dirinya berisiko menjadi PPOK bila melanjutkan merokok. Sedangkan penderita PPOK dengan hiperresponsif bronkus diharapkan dapat mengetahui bahwa risiko serangan (eksaserbasi), rawat inap dan kematian akan meningkat bila melanjutkan merokok.
C. Metode dan prosedur kerja penelitian Tujuan dari tes provokasi bronkus dengan metakolin adalah untuk menilai respons penyempitan saluran napas penderita secara berlebihan dibandingkan orang normal terhadap obat inhalasi metakolin.37,38
Persiapan diperlukan
sebelum penderita menjalani tes metakolin diantaranya diminta untuk menghentikan sementara penggunaan beberapa obat dan makanan tertentu sebelum tes dilaksanakan. Saat tes metakolin, penderita diminta untuk menghirup uap dari nebulizer sebanyak lima kali yang terdiri dari beberapa konsentrasi metakolin. Konsentrasi akan dimulai dari yang paling rendah dan akan meningkat berjenjang. Uap metakolin dihasilkan oleh nebulizer yang dan dihirup melalui mouthpiece (pipa mulut) yang baru dan sekali pakai setiap penderita untuk menghindari kontak infeksi dengan penderita lain.37 Sebelum dan sesudah diberikan nebulisasi penderita diperiksakan tes faal paru (tes pernapasan) untuk menilai kapasitas pernapasan dan terjadinya hiperresponsif saluran napas. Penderita diminta untuk melakukan tes faal paru dengan cara menghembuskan napas secara kuat melalui mouthpiece sebanyak 3 kali dengan maneuver pernapasan sesuai yang diinstruksikan oleh petugas. Penderita akan ditutup hidungnya sementara selama dilakukan tes faal paru. Pemeriksaan tes metakolin ini membutuhkan waktu sekitar 1-2 jam tiap orang.37,38
D. Risiko yang mungkin timbul Subjek yang menjalani tes metakolin ini dapat mengalami risiko ketidaknyamanan terkait efek bronkonkonstriksi (penyempitan saluran napas),
81
iritasi saluran napas dan risiko alergi. Risiko efek samping tersebut dapat terjadi saat tes metakolin berlangsung, setelah selesai tes atau dua sampai tiga hari kemudian.
E. Efek samping penelitian Gejala efek samping yang dapat terjadi adalah batuk, sesak, nyeri kepala, kepala terasa ringan, mengi, nyeri telan tenggorokan, gatal alergi. Efek samping tersebut biasanya dapat ditangani dengan pemberian obat-obatan uap pelega saluran napas (bronkodilator salbutamol, ipatroprium bromide dan glukokortikoid fluticasone proprionat). Pada penderita dengan hiperresponsif yang berat dapat terjadi efek samping bronkospasme yang berat dan mungkin membutuhkan perawatan lebih lanjut baik di rawat inap maupun di icu (sampai menggunakan ventilator bila terjadi gagal napas). 37,61,62 Data penelitian tes metakolin multisenter terhadap 1.000 penderita PPOK dilaporkan terdapat gejala pasca tes metakolin di antaranya batuk (25%), sesak (21%), mengi (10%), pusing (6%), dan sakit kepala (2%). Efek samping yang terlambat jarang terjadi, hanya 0,3% penderita mengeluhkan nyeri dada beberapa hari setelah tes metakolin.37 Penelitian di seluruh dunia (lebih dari 30 tahun penelitian) menyebutkan bahwa lebih dari 3000 penderita yang pernah menjalani tes provokasi bronkus didapati keluhan yang ringan dan dapat ditangani dengan baik.61,62 Laporan menyebutkan bahwa kebanyakan penderita yang menjalani tes metakolin ini tidak didapatkan keluhan. Namun pada sebagian kecil penderita yang menjalani tes metakolin dapat mengeluhkan sesak napas ringan, batuk, dada terasa berat, mengi, nyeri dada atau nyeri kepala.37 Bila keluhan tersebut terjadi biasanya bergejala ringan dan dapat hilang sendiri dalam beberapa menit atau hilang setelah pemberian bronkodilator (obat pelega saluran napas). Sangat jarang didapati penyempitan saluran napas yang berat, namun bila terjadi penyempitan saluran napas yang berat akan segera diberikan penanganan yang efektif. Bila didapatkan keluhan yang berat dan sulit ditangani maka subjek bersedia diberikan perawatan inap atau perawatan icu
82
(bahkan sampai menggunakan ventilator) sampai dengan keluhan membaik. Laporan penelitian tidak didapatkan kematian setelah menjalani tes ini.37,61,64
F. Komplikasi tes metakolin Tes metakolin meskipun disebutkan aman namun tidak menutup kemungkinan dapat terjadi komplikasi pasca tes metakolin. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah gagal napas, pneumotoraks (paru-paru bocor), dan pneumonia nosokomial (radang paru karena tertular infeksinya di Rumah Sakit). Komplikasi tersebut jarang terjadi bila dipersiapkan dengan baik sebelum tes.
G. Jaminan kerahasiaan Identitas dan hasil pemeriksaan dari subjek penelitian akan dijamin kerahasiaannya dengan tidak mencantumkan identitas dalam hasil penelitian maupun publikasi ilmiah.
H. Hak menolak menjadi subjek penelitian Setelah mendapatkan penjelasan dari peneliti, subjek penelitian dapat menolak menjadi subjek penelitian sebelum menjalani penelitian disebabkan oleh alasan apapun.
I. Partisipasi berdasarkan kesukarelaan Setelah mendapatkan penjelasan dari peneliti, subjek penelitian diberikan kebebasan memilih untuk berpartisipasi dalam penelitian secara sukarela tanpa adanya paksaan dan tekanan dari siapapun juga.
J. Hak undur diri Setelah mendapatkan penjelasan dari peneliti, subjek penelitian tetap diberikan hak pilihan untuk dapat mengundurkan diri secara sukarela tanpa paksaan dan tekanan dari siapapun juga baik sebelum penelitian atau saat penelitian berlangsung.
83
K. Subjek dapat dikeluarkan dari penelitian Sebelum tes metakolin dilakukan, subjek penelitian diberikan instruksi untuk menghindari beberapa obat dan makanan tertentu guna menghindari hasil tes positif atau negatif palsu. Bila subjek penelitian melanggar instruksi tersebut maka dapat dikeluarkan dari subjek penelitian karena akan menyebabkan bias hasil penelitian. Beberapa obat yang harus dihentikan sementara beberapa saat sebelum menjalani tes metakolin diantaranya salbutamol (8 jam sebelum tes), ipatroprium (24 jam sebelum tes), salmeterol, formoterol, tiotroprium (48 jam sebelum tes), teofilin (12 jam sebelum tes), cetirizine (3 hari sebelm tes) dan beberapa obat lain. Penderita juga dilarang merokok (6 jam sebelum tes), minum kopi, teh, cola, coklat (24 jam sebelum tes).37 Demi keamanan subjek penderita, sesuai dengan kontraindikasi tes metakolin bahwa subjek penelitian dengan hasil faal paru dengan obstruksi sedang berat (FEV1<50%) tidak boleh mengikuti tes metakolin. Selain itu penderita tidak boleh memiliki alergi, asma, ACOS, hipertensi, sakit jantung, riwayat stroke, menggunakan obat tertentu (beta bloker, kolin esterase).37 Pada subjek dengan kontraindikasi diatas maka akan dikeluarkan dari subjek penelitian.
L. Biaya Biaya pemeriksaan metakolin sepenuhnya ditanggung oleh penelitian. Bila terdapat efek samping maka tatalaksana efek samping serta biayanya akan ditanggung oleh peneliti. Subjek penelitian tidak dikenakan biaya apapun untuk tes metakolin. Setelah subjek menjalani tes metakolin sekitar 1-2 jam, maka akan diberikan obat pelonggar saluran napas (bronkodilator inhalasi) guna mengembalikan fungsi faal paru kembali ke kondisi semula. Kemudian dilakukan monitor evaluasi selama 1 jam pasca tes untuk menilai efek samping yang lain. Bila tidak ada efek samping maka penderita diperbolehkan pulang. Penderita atau keluarga diberikan nomor telepon peneliti (dr.Alfian Nur Rosyid 081350125649), bila selama 3 hari kemudian terjadi efek samping saat di
84
rumah. Penderita diminta menghubungi peneliti dan segera ke IRD RSUD Dr.Soetomo Surabaya. Surabaya,………………….. Yang membuat penjelasan
Yang menerima penjelasan
Peneliti
(dr.Alfian Nur Rosyid)
(……………………………..)
Mengetahui, Saksi 1 (dari pihak peneliti)
Saksi 2 (dari pihak subjek penelitian)
(……………………………..)
(……………………………..)
85
Lampiran 2
PERSETUJUAN MENJADI SUBJEK PENELITIAN (Informed consent)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : NamaPeneliti
: ……………………………………………………………..
Umur
: …………….tahun
Alamat
: ……………………………………………………………..
Telepon / Email
: ……………………………………………………………..
Instansi
: ……………………………………………………………..
Setelah mendengarkan penjelasan yang diberikan dan diberi kesempatan untuk menanyakan yang belum dimengerti, dengan ini memberikan: PERSETUJUAN Mengikuti Penelitian sebagai subjek penelitian dengan judul penelitian: “Perbedaan hiperresponsif bronkus antara PPOK dan bukan PPOK perokok” dan sewaktu-waktu saya berhak untuk mengundurkan diri dari penelitian. Demikian persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan. Surabaya,………………….. Yang membuat pernyataan
(……………………………..) Mengetahui, Saksi 1 (dari pihak peneliti)
Saksi 2 (dari pihak subjek penelitian)
(……………………………..)
(……………………………..)
86
PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : NamaPeneliti
: …………………………………………………………..
Umur
: …………….tahun
Alamat
: …………………………………………………………..
Telepon / Email
: …………………………………………………………..
Instansi
: …………………………………………………………..
Setelah mendengarkan penjelasan yang diberikan dan diberi kesempatan untuk menanyakan yang belum dimengerti, dengan ini memberikan: PERSETUJUAN Untuk dilakukan tindakan medis berupa: TES PEMBERIAN INHALASI / UAP METAKOLIN Dengan judul penelitian: “Perbedaan hiperresponsif bronkus antara PPOK dan bukan PPOK perokok” Sewaktu-waktu saya berhak untuk mengundurkan diri dari penelitian ini. Demikian persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan serta tekanan dari siapapun juga. Surabaya,………………….. Yang membuat pernyataan
(……………………………..) Mengetahui, Saksi 1 (dari pihak peneliti)
Saksi 2 (dari pihak subjek penelitian)
(……………………………..)
(……………………………..)
87
PERSETUJUAN PERAWATAN LEBIH LANJUT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : NamaPeneliti
: …………………………………………………………....
Umur
: …………….tahun
Alamat
: ……………………………………………………………
Telepon / Email
: ……………………………………………………………
Instansi
: ……………………………………………………………
Setelah mendengarkan dan memahami penjelasan yang diberikan serta diberi kesempatan untuk menanyakan yang belum dimengerti, dengan ini memberikan: PERSETUJUAN Untuk dilakukan tindakan medis berupa: PERAWATAN LEBIH LANJUT / RAWAT INAP BILA ADA INDIKASI KARENA EFEK SAMPING YANG BERAT Dengan judul penelitian: “Perbedaan hiperresponsif bronkus antara PPOK dan bukan PPOK perokok” Sewaktu-waktu saya berhak untuk mengundurkan diri dari penelitian ini. Demikian persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan serta tekanan dari siapapun juga. Surabaya,………………….. Yang membuat pernyataan
(……………………………..) Mengetahui, Saksi 1 (dari pihak peneliti)
Saksi 2 (dari pihak subjek penelitian)
(……………………………..)
(……………………………..)
88
PERNYATAAN PENGUNDURAN DIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : NamaPeneliti
: …………………………………………………………..
Umur
: …………….tahun
Alamat
: ……………….…………………………………………
Telepon / Email
: ………………..………………………………………..
Instansi
: ………………………………..………………………..
Dengan ini menyatakan MENGUNDURKAN DIRI sebagai subjek penelitian dengan judul penelitian: “Perbedaan hiperresponsif bronkus antara PPOK dan bukan PPOK perokok” Demikian lembar pengunduran diri ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan serta tekanan dari siapapun juga. Surabaya,………………….. Yang membuat pernyataan
(……………………………..) Mengetahui, Saksi 1 (dari pihak peneliti)
Saksi 2 (dari pihak subjek penelitian)
(……………………………..)
(……………………………..)
89
Lampiran 3 Lembar Pengumpul data Penelitian Lembar Pengumpul Data Penelitian Identitas Pasien PPOK / bukan PPOK 1 Nama 2 3 4 5
Usia
Tgl tes:
PPOK / Bukan PPOK
No.RM: Telp:
Tahun (40-65 tahun)
Kelamin: Laki-laki
Asuransi: BPJS / Umum
Alamat Pajanan: debu / asap pabrik / rokok pasif / kayu bakar Mengi Nyeri Batuk Darah dada
Pekerjaan Gejala*)
Dahak (warna)
Sesak
Waktu
6
(hari) (bulan) (tahun) Tambahan keluhan Riwayat Merokok
Batuk
Perokok aktif Sejak usia: thn Rata2: batang/hari Indek Brinkman:
Berhenti (pernah merokok) Sejak usia: Rata2: Kapan berhenti:
thn batang/hari bln/thn tahun
Tidak merokok Perokok pasif (Ya / Tidak)
7
Pack Years
Batang rokok/hari:
Lama merokok:
8
Komorbid **)
DM PJK
Alergi: dingin / panas / debu / asap / makanan / obat Sebutkan:
9
Pemeriksaan Fisik
10 Faal Paru dasar
HT GGK
Stroke Liver
Riw.OAT . Sebutkan kapan: Lain-lain: TD: / N: SatO2: BB: kg Ronki: FEV1=
l
FVC=
RR: TB:
cm
Wheezing: l
FEV1/FVC=
***
11 Riw.Pengobatan
% prediksi=
% prediksi=
Bronkodilator:
Steroid:
t: BMI:
% Antikolinergik:
Ket. Obstruksi Restriksi Xantin:
Symbicort 80 Berotec MDI Seretide Symbicort 160 Ventolin MDI Spiriva Handihaler Nb: *) mohon diisi lama keluhan penderita. Bila tidak ada keluhan berikan tanda minus (-). Pada kolom dahak, dapat ditulis lama dan warna dahaknya (putih, kuning, hijau dll) **) Lingkari bila terdapat komorbid Pemeriksaan Penunjang dasar: Faal paru FEV1/FVC >50% atau > 1liter MEMEHUNI SYARAT: Pengobatan lain
INKLUSI / EKSLUSI
90
Lampiran 4 Lembar hasil pemeriksaan tes metakolin Lembar Hasil Pemeriksaan Tes Metakolin Identitas Pasien Bukan PPOK / PPOK 1 Nama 2
Usia
3 Alamat Penghentian obat
Penghindaran pajanan Khusus sampel PPOK Faal paru
Tgl tes: Kelamin: Laki-laki
Tahun (40-65)
RM: Telp:
Bukan PPOK / PPOK
Asuransi: BPJS / Umum
Inhalasi (beri tanda ): Salbutamol (SABA) >8jam Tiotropium, Salmeterol, Formoterol (LABA) >48 jam Ipatroprium bromide (Antikolinergik) >24 jam Natrium kromolin >3 hari Nedokromil >24 jam Oral (beri tanda ): Teofilin >24 jam Cetirizine >24 jam Monteluksast, Zafirlukast (Leukotrien Modifier) >24 jam Kopi, teh, cola, coklat >1 hari Tidak ada Infeksi pernapasan 3-6 minggu Tidak terpajan asap rokok > 12 jam CAT = Kelompok PPOK= Eksaserbasi: x/tahun mMRC = A/B/C/D Penurunan <20% FVC FEV1 Rasio FEV1/FVC (FEV1/FEV1 baseline) Hentikan tes Awal Baseline
(1)=
X=
X/(1)=
-
Faal paru pasca
0,0625
(2)=
A=
A/(2)=
A/X=
%
inhalasi
0,25
(3)=
B=
B/(3)=
B/X=
%
metakolin
1
(4)=
C=
C/(4)=
C/X=
%
4
(5)=
D=
D/(5)=
D/X=
%
16
(6)=
E=
E/(6)=
E/X=
%
FEF25-75
FEV6
Awal
F=
M=
Penurunan FEF25-75 -
Penurunan FEV6 -
Baseline
G=
N=
G/F=
N/M=
0,0625
H=
O=
H/F=
O/M=
0,25
I=
P=
I/F=
P/M=
1
J=
Q=
J/F=
Q/M=
4
K=
R=
K/F=
R/M=
16
L=
S=
L/F=
S/M=
Penilaian Faal paru tambahan
91 Hiperresponsif bronkus
Kesimpulan PC20 (mg/ml) =
Efek samping pasca tes Tidak ada efek samping
Tindak lanjut pasca tes
<1 Sedang- berat Batuk Sesak napas Mengi
1–4 ringan Pusing Sakit kepala Dada terasa berat
Tidak 4 - 16 bordeline
Nyeri dada Reaksi alergi Anafilaktik
>16 Iritasi tenggorokan Gagal Napas
Onset efek samping:
Durasi efek samping:
……. Menit ……. Jam ……. Hari
……. Menit ……. Jam ……. Hari
Oksigen … lpm Inhalasi antikolinergik Inhalasi (……x) salbutamol (……x) Injeksi steroid iv Inhalasi steroid (……x) Nilai FEV1 terakhir / FEV1 baseline=
Injeksi Aminofilin iv Infus drip Aminofilin
FEV1 post bronkodilator
KRS MRS RPI ICU on Ventilator
FEV1 kembali normal setelah berapa kali inhalasi salbutamol= Kali
Durasi tes metakolin
Keterangan
………………menit
92
Lampiran 5 Aplikasi tes metakolin
Untuk mempermudah penghitungan penurunan FEV1 20% dipakai aplikasi diatas yang menggunakan Microsoft Access. Hasil pemeriksaan tes metakolin tiap sampel penelitian dapat dicetak seperti gambar dibawah.
93
Contoh hasil cetak aplikasi tes metakolin
94
Lampiran 6 Perlengkapan dan obat penelitian No. Alat 1. Tensimeter Air Raksa 2. Stetoskop 3. Saturasi Oksigen 4. Timbang Badan 5. Tinggi Badan 6. Spirometri / Faal Paru + kertas cetak 7. Mouth Piece + penjepit hidung 8. 9. 10.
11.
12. 13. 14.
15.
16.
Nebulizer Provokasi Bronkus Tabung Oksigen Nebuliser Bronkodilator a. Nasal Mikromice b. Masker Mikromice Obat-obatan Bronkodilator a. Inhalasi Salbutamol 2,5mg b. Inhalasi Ipatroprium bromide c. Inhalasi Fluticasone d. Injeksi Metilprednisolon 125mg e. Aminofilin ampul 24mg/ml f. Injeksi Terbutalin 2,5mg/ml Spuit 1, 3, 5, 10 cc Kassa steril beralkohol, plester Alat Oksigenasi a. Nasal kanul b. Masker Simpel c. Masker Non Rebreathing d. Jacksen Rees e. Ambu Bag f. Ventilator Support bekerjasama dengan Anestesi Alat transportasi: a. Brankar Tempat Tidur b. Kursi Roda Perlengkapan Resusitasi a. Infus Set b. Cairan Infus PZ, RL c. Venflon / Surflo no.20F, 22F, 24F
Merk ABN ABN SIMC SIMC Koko Legend
PARI Anekagas Philip
Terumo
Keterangan Satuan mm/Hg Satuan % Satuan kg Satuan cm Dilakukan manuver FVC saja untuk menilai FEV1 Mouth piece sekali pakai tiap subjek Provocation test
95
Lampiran 7 Penyediaan metakolin 1. Peracikan metakolin Metakolin yang digunakan adalah Acetil β-Metil Choline produksi dari Sigma Aldrich 25 gram yang akan diracik menjadi beberapa konsentrasi tertentu. Metakolin ini tersedia dalam bentuk bubuk / powder. Proses peracikan harus steril dan dengan konsentrasi yang tepat. Peracikan akan dilakukan di Unit Produksi
Instalasi
Farmasi
RSUD
Dr.Soetomo
Surabaya.
Untuk
mempermudah pemanfaatan hasil peracikan maka obat metakolin dibagi menjadi lima konsentrasi bentuk bubuk / powder yang akan dimasukkan ke dalam botol steril 10 cc. Saat metakolin akan digunakan perlu diencerkan dahulu dengan pelarut (NaCl 0,9% 10 cc atau sesuai dengan botol sediaan). Pengeceran dilakukan sendiri oleh peneliti saat akan melakukan tes metakolin. Metakolin dengan konsentrasi 16mg/ml tidak bisa disimpan lebih dari 1 hari, sehingga peracikan dilakukan saat hari tes metakolin. Lima botol metakolin diberikan label tersendiri pada masing-masingnya.
96
2. Konsentrasi metakolin Konsentrasi metakolin yang dipakai setiap pemeriksaan makin meningkat. Metakolin yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari lima konsentrasi obat metakolin yaitu: Tabung
Konsentrasi (mg/ml)
A
0,0625
B
0,25
C
1
D
4
E
16
3. Penyimpanan metakolin Metakolin yang sudah diracik dan dibagi dalam bentuk bubuk / powder ke dalam botol steril harus disimpan dalam lemari es dengan suhu 40C. Metakolin yang belum atau sudah diencerkan dengan pelarut NaCl 0,9% harus disimpan dalam lemari es dengan suhu 40c. Metakolin tidak boleh dipakai lagi bila telah diencerkan lebih dari tiga (3) minggu. Khusus metakolin dengan konsentrasi 16 mg/ml hanya boleh diencerkan bila akan dilakukan pemeriksaan.
4. Pemakaian metakolin Metakolin yang akan dipakai, dilarutkan terlebih dahulu dengan pelarut NaCl 0,9% secara steril. Lalu metakolin diambil 2 mililiter tiap sekali pemakaian. Dilakukan inhalasi dengan menggunakan Alat tes Provokasi merk PARI yang tersedia di Laboratorium Faal Paru RSUD Dr.Soetomo.
97
Lampiran 8 Persiapan dan metode pemeriksaan metakolin
Subjek penelitian yang akan menjalani pemeriksaan metakolin harus menghindari beberapa obat bronkodilator, antihistamin, leukotriene dan lainnya sesuai dengan masa kerja obat Disamping itu penderita harus mengindari konsumsi kopi, teh, cola dan coklat pada hari pemeriksaan metakolin. (lihat tabel 2.7 dan tabel 2.8 pada halaman 45 dan 46). Pemeriksaan provokasi bronkus ini dengan menggunakan metode five-breathing. Inhalasi metakolin diberikan 5 kali hisap dan masing-masing ditahan 5 detik, 5 kali inhalasi tidak boleh melebihi 2 menit. Berikut adalah langkah pemeriksaan metakolin. Faal Paru awal Istirahat Inhalasi pelarut (NaCl 0,9% 2cc) Manuver FVC Tehnik Dinilai napas biasa FEV1/FVC Diulang 3-4 kali
Istirahat
≤ 3 menit
30-90 detik
Istirahat
5 menit
20 menit
A.Metakolin konsentrasi 0,0625 mg/ml Teknik five-breathing. 1. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. 2. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. 3. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. 4. Inspirasi dalam lalu tahan
Faal Paru Baseline
Istirahat
Manuver FVC Dinilai FEV1/FVC Diulang 34 kali
≤ 3 menit
Bila terjadi penurunan FEV1 baseline dibanding FEV1 awal ≥10% Hentikan berikan bronkodilator 5 menit
Faal Paru I
Istirahat
Manuver FVC Dinilai FEV1/FVC Diulang 34 kali
Bila terjadi penurunan FEV1 I dibanding FEV1 baseline ≥20% Hentikan
98
napas 5 detik.
berikan bronkodilator
5. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik. ≤ 2 menit
30-90 detik
≤ 3 menit
5 menit
B.Metakolin konsentrasi 0,25 mg/ml Teknik five-breathing. 1. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. 2. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. 3. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. 4. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. 5. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. ≤ 2 menit
Istirahat
Faal Paru II Manuver FVC Dinilai FEV1/FVC Diulang 34 kali
Istirahat
30-90 detik
≤ 3 menit
5 menit
C.Metakolin konsentrasi 1 mg/ml Teknik five-breathing. 1. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. 2. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. 3. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. 4. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. 5. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. ≤ 2 menit
Istirahat
Faal Paru III Manuver FVC Dinilai FEV1/FVC Diulang 34 kali
Istirahat
30-90 detik
≤ 3 menit
5 menit
D.Metakolin konsentrasi 4 mg/ml
Istirahat
Faal Paru IV
Istirahat
Bila terjadi penurunan FEV1 II dibanding FEV1 I ≥20% Hentikan berikan bronkodilator
Bila terjadi penurunan FEV1 III dibanding FEV1 II ≥20% Hentikan berikan bronkodilator
99
Teknik five-breathing. 1. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. 2. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. 3. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. 4. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. 5. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. ≤ 2 menit
E.Metakolin konsentrasi 16 mg/ml Teknik five-breathing. 1. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. 2. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. 3. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. 4. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. 5. Inspirasi dalam lalu tahan napas 5 detik. ≤ 2 menit
Manuver FVC Dinilai FEV1/FVC Diulang 34 kali
Bila terjadi penurunan FEV1 IV dibanding FEV1 III ≥20% Hentikan berikan bronkodilator
30-90 detik
≤ 3 menit
5 menit
Istirahat
Faal Paru V Manuver FVC Dinilai FEV1/FVC Diulang 34 kali
Istirahat
≤ 3 menit
5 menit
30-90 detik
Bila terjadi penurunan FEV1 IV dibanding FEV1 III ≥20% Hentikan berikan bronkodilator
Bila terdapat efek samping, maka akan dilakukan tatalaksana seperti pada lampiran 9.
100
Lampiran 9 Tatalaksana efek samping subjek penelitian 1. Efek samping tes metakolin Tidak ada efek samping tes metakolin yang serius bahkan disebutkan tanpa gejala. Meskipun begitu tetap harus diwaspadai terjadinya efek samping pemberian bronkokonstriktor metakolin. Dari laporan tidak diketahui terdapat kematian terkait tes metakolin, namun bronkospasme berat dapat terjadi. Dua pertiga penderita tidak bergejala ketika meninggalkan klinik. Penelitian melaporkan gejala pasca tes metakolin di antaranya: o batuk (25%) o sesak (21%) o mengi (10%) o pusing (6%) o sakit kepala (2%) o Efek samping lambat jarang terjadi (0,3% penderita), mengeluhkan nyeri dada beberapa hari kemudian Efek samping dapat terjadi bukan hanya pada subjek penelitian, namun juga terhadap tehnisi. Sehingga perlunya pencegahan untuk menghindari kebocoran gas metakolin yang diinhalasikan. 2. Tatalaksana efek samping Efek samping yang terjadi dapat akut atau lambat. Bila gejala akut maka dapat segera ditangani sebelum subjek penelitian pulang. Namun bila setelah inhalasi metakolin tidak didapatkan maka subjek penelitian dapat pulang dan diberitahukan bahwa bila terdapat keluhan seperti batuk, sesak napas, mengi, pusing, sakit kepala dapat segera menghubungi peneliti atau langsung menuju UGD RSUD dr.Soetomo. a. Tatalaksana efek samping akut Metakolin dapat menyebabkan bronkokonstriksi dan memberikan gejala sesak, batuk, pusing, sakit kepala. Tatalaksana efek samping bronkokonstriksi dengan pemberian:
101
1. Pemberian oksigen nasal 3 lpm 2. Inhalasi Bronkodilator kerja pendek (SABA / Short Acting Beta Agonis) Salbutamol 2,5mg dikombinasi dengan Antikolinergik Ipratroprium Bromide yang dapat diulang 3 kali berselang 10 menit 3. Inhalasi Steroid Fluticasone proprionat bila setelah 3 kali pemberian obat no.2 belum ada perbaikan 4. Injeksi Steroid Metil Prednisolon iv 125mg bila setelah pemberian obat no.3 belum ada perbaikan 5. Pemasangan infus dan pemberian injeksi Aminofilin bolus 5mg/kg BB/kali dan maintenans drip Aminofilin 20mg/kg BB/24 jam dalam cairan Normal Salin (Na Cl 0,9%) bila setelah pemberian obat no.4 belum ada perbaikan, dievaluasi dalam 2 jam 6. Rawat inap bila tatalaksana no.5 tidak memberikan perbaikan klinis. Pemeriksaan lengkap darah rutin, fungsi hati, fungsi ginjal, kadar gula, serum elektrolit, pemeriksaan analisa gas darah. 7. Konsul anestesi untuk pemasangan ventilator bila sampai didapatkan indikasi gagal napas b. Tatalaksana efek samping lambat Bila 1 jam setelah pemberian metakolin tidak terdapat keluhan pada subjek penelitian maka subjek penelitian dapat diijinkan pulang dengan diberikan keterangan tentang efek samping tipe lambat yang mungkin terjadi. Keluarga subjek penelitian juga diberikan keterangan yang sama. Subjek penelitian atau keluarga diminta menghubungi peneliti bila terdapat keluhan setelah beberapa hari menjalani tes metakolin. Subjek penelitian diminta menghubungi peneliti dan segera ke UGD RSUD dr.Soetomo bila terdapat keluhan efek samping yang berat.
102
Lampiran 10 Rencana anggaran dana penelitian No 1 2 3 4 5 6 7
Keterangan Penyusunan, penggandaan proposal dan revisi Penyusunan, penggandaan laporan hasil penelitian dan revisi Pemeriksaan Spirometri 46 pasien x @133.000 Pemeriksaan Metakolin 46 pasien x @ 300.000 Pengelolaan Statistik Pembelian peralatan tatalaksana efek samping (1 paket) Pembelian perlengkapan bahan penelitian (1 paket) Total
Biaya Rp 1.500.000,Rp 1.500.000,Rp 6.118.000,Rp 13.800.000,Rp 1.500.000,Rp 3.000.000,Rp
750.000,-
Rp 28.168.000,-