JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 1 Februari 2005
PERBANDINGAN SISTEM HUKUM SEBAGAI ALTERNATIF METODE PEMBAHARUAN HUKUM DI INDONESIA Budiman Ginting Dosen Fakultas Hukum USU dan Kandidat Doktor Program Pascasarjana USU Abstract: The National of Indonesian law will adaptation for the global stuation with law reform by way of legal system comparison. The building of law orientation at common law system tendens to aim judicative product, while civil law to legeslative product. The sector of trade in Indonesia, already to adoptie the rule of common law system. Among the rule to regulating in the derivative action (The business claimed on the behalf of a corporation), legal standing or class action or claim right for organization in environment and the consumer sector. Kata Kunci: Sistem hukum, Derivative, Class action Tahap-tahap perkembangan perdagangan dunia internasional turut mempengaruhi kultur bangsa. Dengan perobahan kultur bangsa secara otomatis akan mempengaruhi pula keberadaan dan keberlakukan hukum di suatu negara. Oleh sebab itu demi untuk menyelaraskan hukum suatu negara dengan situasi global maka selayaknya pemerintah masing-masing negara akan melakukan suatu terobosan melalui pembaharuan hukum nasionalnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa bangsa Indonesia tahun 2003 telah memasuki AFTA (Asean Free Trade Area), selanjutnya dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi akan menghadapi APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) tahun 2010. Terakhir yang memerlukan kesiapan yang lebih kokoh adalah menghadapi perdagangan dunia, WTO (World Trade Organization) tahun 2020. Tahun itulah awal dimulainya liberalisasi perdagangan dunia. Untuk mengantisipasi ke depan sesuai dengan tantangan global tersebut, saat ini sedang digiatkan pelaksanaan program legislasi nasional melalui pembaharuan hukum di bidang materi hukum. Dalam pembaharuan hukum di dalamnya terdapat empat aspek yang menjadi perhatian utama (Yusril, 2002). Pertama, pelaksanaan reformasi bidang materi hukum. Kedua, pelaksanaan reformasi di bidang sarana dan prasarana hukum. Ketiga, reformasi terhadap aparatur penegak hukum. Keempat sosialisasi hukum kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan reformasi budaya hukum. Keseluruhan aspek tersebut harus berjalan secara simultan agar perkembangan serta pembaharuan hukum dapat berjalan seiring dengan tuntutan global. Pembaharuan bidang materi hukum dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode. Salah satu metode yang dimaksud adalah metode perbandingan sistem hukum yang berlaku di berbagai negara. Sistem hukum negara-negara di dunia pada umumnya dikelompokkan atas 5 sistem hukum. Pertama, sistem “Common Law”, antara lain dianut oleh negara Amerika Serikat beserta negara-negara pendudukannya, Inggris dan negara-negara bekas jajahannnya misalnya Malaysia, Singapura, Australia, India, dan sebagainya, yang tergabung dalam yang disebut Commonwealth atau negara-negara persemakmuran. Kedua, Sistem hukum “Civil Law”. Kelompok negara penganut civil law ini berasal dari negara Eropa daratan (kontinen) yang lebih dikenal dengan istilah Eropa Kontinental. Yang termasuk negara penganut sistem ini antara lain; Romawi, Jerman, Perancis, Belanda, Swis dan sebagainya. Ketiga, Sistem hukum Islam atau Islamic Law yang dapat kita jumpai di negara-negara Islam di Timur Tengah, antara lain Arab Saudi, Iran, Irak, Mesir, dan sebagainya. Pada sistem hukum Islam (Islamic law) yang dijadikan sebagai sumber hukumnya adalah Al Qur’an, Hadits dan Ijtihad. Keempat, sistem hukum negara-negara sosialis “Socialist Law” atau” Marxist Law”. Sistem ini dianut oleh negara-negara yang berdasarkan pada paham sosialis, komunis dan marxisme misalnya, Sovyet Rusia, Kuba, RRC, Vietnam, Korea Utara dan sebagainya. Dan terakhir, yaitu sistem hukum berdasarkan kebiasaan atau “Costumary Law”. Sistem hukum berdasarkan kebiasaan-kebiasaan pada umumnya dianut oleh negara manapun di dunia ini, termasuk Indonesia seperti hukum adat (Ginting, 2000). SISTEM HUKUM INDONESIA Sistem hukum di Indonesia berdasarkan pada asas konkordansi memperlakukan sistem hukum yang berasal dari daratan Eropa (Eropa Kontinental). Sementara itu selain sistem hukum yang berasal dari Eropa, di Indonesia berlaku hukum adat sebagai hukum yang asli. Di samping itu juga berlaku hukum Islam bagi pemeluknya. Karena agama Islam adalah mayoritas dari agama lainnya di Indonesia, maka penetrasi ajaran Islam dalam kehidupan bangsa Indonesia banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai dari ajaran Islam. Sehingga hukum adat Indonesia turut pula dipengaruhi oleh nilainilai ajaran Islam. Bahkan di Sumatera Barat landasan kehidupan bagi masyarakat Minangkabau yang menyatakan "adat basandi syara', syara' basandi kitabullah", artinya adat itu bersendikan pada syara' (Syariat Islam), dan syara' bersendikan kitab Allah SWT, (Al Qur'an dan Hadits). Al Qur'an dan Hadits itu adalah sumber syariat atau ajaran yang dipedomani bagi orang yang beragama Islam. Hukum adat Indonesia tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan sehari-hari dari masyarakat adat, lalu oleh anggota masyarakat yang bersangkutan bila dilanggar maka akan mendapat kecaman dari anggota masyarakat lainnya. Keadaan ini berlangsung terus menerus diikuti lagi oleh lainnya dan digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi pengetua adat/pemimpin masyarakat adat, ataupun dijadikan sebagai acuan bagi pengetua adat untuk mengkonstituir suatu persoalan lalu dikonstalasikan dalam putusannya oleh pengetua adat atau lewat peradilan adat. 33
Budiman Ginting: Perbandingan Sistem Hukum Sebagai Alternatif Metode Pembaharuan …
Inilah yang dimaksudkan oleh Ter Haar sebagai teori keputusan atau yang disebut dengan "Beslissingenleer Theorie" (Ginting, 2000), lalu kemudian diikuti oleh masyarakat lainnya karena memang dianggap patut, pantas dijadikan sebagai pedoman hidup antarsesamanya, sehingga lama kelamaan menjadi kebiasaan. Dan kebiasaan ini jika tidak dituruti oleh perseorangan atau individual akan dikucilkan dari kehidupan bersama. Kemudian kebiasaan-kebiasaan ini jika dilanggar oleh anggota masyarakat jika dibawa ke forum musyawarah masyarakat (rembug rakyat/rembug desa) yang dipimpin oleh pengetua adat, putusannya ini lalu dijadikan sebagai hukum adat yang hidup dan dijadikan sebagai peraturan kebiasaan dan dipertahankan didalam pergaulan hidup baik di kota maupun di desa-desa (customary law). Terhadap pelanggaran aturan adat istiadat ini oleh masyarakat adat itu sendiri akan memberi suatu sanksi yang tegas, berupa pengucilan dari lingkungannya, dibuang ke daerah lain dan tidak bisa lagi berkomunikasi dengan sanak keluarganya, dan yang terberat dapat dihukum dengan hukuman fisik berupa kerja berat, dan denda berupa penggantian dengan sejumlah harta miliknya berupa ternak-ternak peliharaannya maupun sejumlah uang pengganti malu. Dari kelima sistem hukum seperti disebut di atas bahwa sistem hukum yang mana yang dianut oleh masing-masing negara di dunia ini dapat dilihat atau temukan pada masing-masing dasar falsafah atau pandangan hidup bangsa yang bersangkutan dan bagaimana aturan-aturan hidup mereka dalam menyelesaikan suatu masalah hukum. Setiap negara berbeda-beda dasar falsafah hidupnya ataupun pandangan dan sikap hidupnya serta kultur atau budaya bangsanya, oleh sebab itu hukumnya pun berbeda, sebab hukum itu adalah sebagian besar tumbuh dari kebudayaan suatu bangsa (Soetandyo, 2002). Di Indonesia sistem hukumnya banyak dipengaruhi oleh sistem hukum Belanda. Sistem hukum Belanda sendiri adalah sistem hukum Eropa atau sering disebut sistem hukum Romawi Jerman (Romano Jermania) yang pada awalnya bersumber dari sistem hukum Romawi kuno yang dikembangkan oleh negara-negara Perancis, Spanyol, Portugis, dan lain-lain. Berkembangnya sistem hukum Romawi Jerman adalah berkat usaha dari Napoleon Bonaparte yang berusaha menyusun Code Civil atau Code Napoleon yang bersumber dari Hukum Romawi. Sistem hukum ini pertama kali berkembang dalam hukum perdatanya (private law) atau civil law (Devid, 1978), yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama anggota masyarakat. Oleh karena itu sistem hukum Romawi Jerman ini lebih terkenal dengan sebutan sistem hukum civil law (Devid, 1978). Rene Devid dan John E.C. Brierly, mengatakan selain sistem hukum civil law juga dikenal sistem common law. Dan menurutnya di dunia ini terdapat 3 sistem hukum yang dominan yaitu; pertama, sistem hukum Romawi Jerman atau civil law, kedua, common law system, dan ketiga, socialist law system. Lain pendapat dikemukakan oleh John Henry Merryman (1969) dan Ginting (2000), menyatakan bahwa dalam dunia kontemporer ada tiga tradisi hukum yang utama yaitu tradisi hukum kontinental (civil law), tradisi hukum adat (common law), dan tradisi hukum sosial (socialist law). Dalam perkembangannya sistem socialist law ini banyak dipengaruhi sistem civil law karena banyak dari negara-negara sosial sebelumnya menganut sistem civil law (Devid, 1978). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sistem hukum yang dominan hanya ada dua yaitu sistem hukum civil law dan common law. Bertolak dari gambaran sistem hukum yang berlaku di berbagai negara di dunia ini, maka yang menjadi permasalahan atau pertanyaan adalah, apakah metode perbandingan sistem hukum dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan bagi pembaharuan hukum di Indonesia? Selain itu bagaimanakah perbedaan antara common law dan civil law system dalam mengisi pembangunan hukum Indonesia? Dan apakah sistem common law (case law) turut mewarnai pembaharuan hukum di Indonesia (yang selama ini mendasarkan ajarannya pada sistem civil law). Pertanyaan ini akan melihat pada sisi atau aspek pembangunan sistem hukum nasional di Indonesia, dengan titik tolak pendekatan bahwa pada sistem common law yang orientasi pembangunan hukumnya cenderung berorientasi pada “judikatif product", sedangkan pada sistem “civil law” berorientasi pada “legislative product” (Rajaguguk, 2000) SYSTEM CIVIL DAN COMMON LAW DALAM PRAKTEKNYA Sebelum membahas lebih lanjut tentang hubungan antara sistem common law dan Sistem civil law di Indonesia, perlu kiranya dipertegas bahwa kata sistem pada istilah common law system dan civil law system, adalah suatu cara atau metode untuk melakukan perbandingan hukum antara sistem common law dan civil law yang sesuai pada negaranegara yang menganutnya. Jadi suatu perbandingan sistem hukum bukan merupakan suatu subjek atau mata kuliah tertentu tetapi adalah suatu metode penyelidikan (Rajagugukguk, 2000) untuk mempelajari sistem hukum yang berlaku di negara-negara tertentu. Atau perbandingan hukum dalam hal ini adalah suatu metode penyelidikan dan bukan suatu cabang ilmu hukum. Dan metode yang dipakai adalah membanding-bandingkan salah satu lembaga hukum (legal institution) dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum yang kurang lebih sama dari sistem hukum yang lain untuk menemukan unsur-unsur persamaan dan perbedaan dari kedua sistem hukum itu (Salman, 2004). Dengan metode perbandingan hukum kita dapat melakukannya pada suatu negara yang masyarakatnya bersifat majemuk seperti Indonesia. Di samping itu dengan metode perbandingan hukum dapat dipelajari terhadap sistem-sistem hukum yang berasal dari negara-negara berlainan kultur bangsanya. Demikian juga terhadap sistem hukum yang taraf kepositipannya berbeda, seperti antara hukum negara dan hukum di sektor swasta sebagaimana dilakukan dalam lingkungan suatu perusahaan. Antara sistem civil law dan common law sering dalam praktek dijumpai adanya suatu titik pertautan atau persentuhan antara keduanya terutama akibat seringnya subjek hukum yang satu mengadakan hubungan atau kontak dengan subjek hukum yang lain yang latar belakang budaya, dan falsafah hidupnya berbeda. 34
JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 1 Februari 2005
Pandangan hidup dan sifat atau karakter suatu bangsa tercermin dalam kebudayaan dan hukumnya (Soetandyo, 2002; Romliatmasasmita, 1996). Contoh, misalnya sifat bangsa dapat dilihat dalam ketentuan tentang noodweer atau bela diri dalam pasal 49 KUH Pidana yang berasal dari Belanda, yang mencerminkan sifat Burgerlijk (artinya: menyukai pola kehidupan sederhana dan tenteram), dibandingkan dengan di Jerman pada umumnya kehidupannya mencerminkan sifat militer atau keperwiraan rakyat sehingga pasal 49 KUH Pidana yang menyatakan bahwa “seorang tak dapat dihukum apabila ia menjalankan suatu tindak pidana karena terpaksa untuk membela diri terhadap suatu serangan yang secara langsung mengancam jiwanya”. Ini berarti bahwa apabila orang yang diserang itu masih bisa lari untuk menghindarkan diri dari serangan tersebut, maka undang-undang menghendaki supaya ia lari saja. Berlainan sekali dengan pasal Undang-Undang Hukum Pidana Jerman, yang membebaskan seseorang dari tuntutan hukum apabila ia membela diri terhadap suatu serangan, terpaksa atau tidak terpaksa. Sementara itu perkembangan dari cara berpikir turut menentukan hukum apa yang digunakan oleh suatu bangsa misalnya dalam hukum perdata Belanda (cara berpikir abstrak) dalam pengertian levering (penyerahan) mengenai benda bergerak harus nyata (riil), kemudian mengenal penyerahan simbolis yaitu penyerahan kunci dari gudang tempat barang-barang disimpan sampai pada penyerahan cognosement yang memindahkan kekuasaan dan hak milik atas barang-barang yang sama sekali belum dilihat oleh si pembeli. Pemindahan hak milik (benda tak bergerak) dengan levering berdasarkan sistem kausal (Rusli, 1993), yang menjadi asas hak milik (vide Burgeerlijk wetbooks pasal 584) berasal dari adagium kuno “nemoplus iuris transfere potest quam ipse haberet”, artinya tiada seorang pun dapat memindahkan hak yang lebih daripada yang ia punyai sendiri. Hal ini bertujuan untuk melindungi si pemilik, sedangkan sistem di Jerman cenderung untuk melindungi si pembeli. Dalam keadaan demikian berarti dalam sistem code civil Prancis hak milik atas suatu barang berpindah pada saat perjanjiannya jual beli ditutup, sedangkan dalam sistem BW jual beli itu hanya bersifat obligatoir (belum berpindah hak milik), penyerahan barang adalah perbuatan hukum yang memindahkan hak milik yang sah bila dilakukan berdasarkan titel yang sah (di muka pegawai balik nama/kadaster: bersifat pasif) dan dilakukan oleh orang yang berhak. Sementara itu di Jerman (sistem abstrak) penyerahan dilakukan di muka hakim yang secara aktif memeriksa titelnya yang menjadi dasar dari penyerahan itu. Sedangkan untuk barang bergerak diadakan penyimpangan dari sistem kausal, sebagaimana diatur dalam pasal 1977 ayat (1) bahwa “bezit” berlaku sebagai suatu titel yang sempurna (dianggap sebagai milik). Mulanya pasal 1977 ayat (1) ini juga berasal dari Jerman – dilahirkan sesuai kebutuhan lalu lintas perdagangan ketika itu: pada tiap-tiap transaksi di pasar si pembeli harus meneliti lebih dulu apakah betul si penjual adalah pemilik dari barang yang dijualnya. Apa yang dinyatakan oleh Paul Scholten bahwa dalam hal ini telah terjadi penghalusan hukum (rechtverfijning) atas pasal tersebut dan dibatasi hanya pada perbuatan perdagangan, dalam hal hibah misalnya tidak dapat diterapkan sehingga walaupun si penerima hibah yang beriktikad baik ia tidak diperlindungi. Sementara itu dalam hukum adat dijunjung tinggi asas perlindungan si pembeli beriktikad baik, tanpa mengadakan perbedaan antara barang tetap dan barang bergerak (Soedjono, 2003). Sehingga resiko jual dalam pasal 1460 --diletakkan pada pundaknya si pembeli sejak saat ditutupnya perjanjian jual beli, tidak cocok dengan sistem di mana jual beli itu belum memindahkan hak milik seperti yang dianut oleh BW jual beli hanya bersifat obligatoir---belum memindahkan hak milik. Ketentuan dalam pasal 1460 ini oleh Mahkamah Agung dinyatakan tidak berlaku (SEMA No.3 Tahun 1963). Di berbagai negara di dunia termasuk Indonesia dikenal beberapa strategi pembangunan hukumnya. Dalam dunia kontemporer ada 3 tradisi hukum yang utama, yakni tradisi hukum kontinental (civil law), hukum adat atau hukum kasus (common law) dan hukum sosial (socialist law) (Merryman,1969; Ginting, 2000). Dari sudut perspektif sejarah ada dua model strategi pembangunan hukum yaitu ortodoks dan responsif. Strategi pembangunan hukum yang ortodoks, mengandung ciri-ciri adanya peranan yang sangat dominan dari lembaga-lembaga negara (pemerintah dan parlemen) dalam menentukan arah perkembangan hukum dalam masyarakat. Penganut strategi ini dapat dimasukkan tradisi hukum kontinental (civil law) dan tradisi hukum sosialis (socialist law). Sedangkan strategi pembangunan hukum responsif mengandung ciri-ciri adanya peranan besar lembaga peradilan dan partisipasi luas kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat dalam menentukan arah perkembangan hukum. Hal ini berarti lembaga-lembaga negara (pemerintah dan parlemen) dalam menentukan arah perkembangan hukum menjadi lebih kreatif. Artinya dengan adanya partitisipasi masyarakat yang kreatif dan kedudukannya yang relatif bebas menjadikan lembaga peradilan menjadi lebih kreatif dalam menghadapi berbagai masalah masyarakat yang timbul. Keadaan ini lebih memungkinkan dihasilkannya produk hukum yang lebih responsif terhadap kebutuhan sosial atau individu dalam masyarakat. Dalam pengertian yang demikian maka tradisi hukum adat (common law) dapat dikatakan penganut model responsif dalam arti peranan substansial lembaga peradilan dan partisipasi luas yang kreatif dari berbagai kelompok sosial dan individu turut menentukan arah perkembangan hukum (Ginting, 2000). Menilik kembali pada strategi pembangunan hukum yang responsif, dan jika dihubungkan dengan strategi pembangunan hukum di Indonesia yang cenderung ke arah dogmatis dan pragmatis (Lubis, 1992), dapat menyikapi dan mengantisipasi kebutuhan hukum para pelaku bisnis dalam menyahuti perkembangan zaman terutama pada era globalisasi sekarang ini yang menuntut tidak saja kesiapan sumber daya manusia (SDM), tetapi juga perangkat hukum yang amat penting dalam rangka memberi jaminan kepastian hukum yang berintikan keadilan atas setiap praktek perdagangan yang berskala nasional, regional dan internasional atau global. Pada skala nasional saat ini di Indonesia (civil law) antara sistem hukum common law dan civil law, dapat dikatakan tidak ada lagi perbedaan yang substansial. Hal ini dapat kita lihat dalam rangka pembangunan hukum melalui pembentukan hukum lewat badan peradilan atau hakim. Pada pasal 22 Alegemene Bepalingen disingkat AB, yang telah diintrodusir ke dalam pasal 14 UU No.14 Tahun 35
Budiman Ginting: Perbandingan Sistem Hukum Sebagai Alternatif Metode Pembaharuan …
1970 dan terakhir telah diperbaharui melalui UU No.35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan bahwa “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Dari rumusan pasal di atas bahwa di Indonesia hakimnya bersikap aktif dalam menggali untuk menemukan hukumnya (rechtsvinding dan rechtsvorming). Dengan demikian pengadilan atau hakim merupakan unsur yang cukup penting dalam pembangunan hukum terutama dalam fungsinya membuat hukum yang baru atau creation of new law (Ginting, 2000). Dengan berfungsinya hakim dalam membuat hukum yang baru berarti telah memasuki alam sistem hukum common law, (Rajagukguk, 2000). Selanjutnya dia menyatakan bahwa secara tradisional sumber hukum dari common law adalah keputusan-keputusan pengadilan (case law), sedangkan civil law berpusat pada peraturanperaturan yang dibuat oleh pemerintahan dan parlemen (Legislatif Product). Dalam praktek di Indonesia hakim dalam mencipta hukum telah melakukan pembaharuan hukum lewat putusan Mahkamah Agung RI No.179 K/Sip/1961, dalam perkara antara Sitepu vs Ginting di Tanah Karo Sumatera Utara, yang memutuskan bahwa anak laki-laki dan prempuan harus mendapatkan bagian yang sama atas warisan orangtuanya. Dalam hal ini MA memutuskan berdasarkan prinsip keadilan dan persamaan hak antara wanita dan lakilaki, bukan berdasarkan hukum adat Karo (anak prempuan tidak dapat mendapat hak waris). Dan Mahkamah Agung tetap konsisten dalam menerapkan prinsip keadilan dan kesamaan hak wanita dan laki-laki. Ini dapat dijumpai dalam Putusan MA No.1589 K/Sip/1974, dalam perkara Atimah Cs v. Rasini di Pulau Lombok, yang tetap memberikan kedudukan yang sama antara laki-laki dan wanita atas warisan orangtuanya (Rajagukguk, 2000). Selanjutnya dalam mengantisipasi perkembangan hukum di bidang usaha perdagangan, pemerintah RI dalam berbagai kebijakan politiknya, antara lain tampak dalam UU No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, dalam berbagai pasalnya antara lain Pasal 85 ayat (3), 98 ayat (2), 54 ayat (2), ada mengatur apa yang disebut derivative action (menggugat PT atas nama perusahaan). Di Amerika Serikat atau pada sistem common law, hak pemegang saham minoritas menggugat atas nama perseroan disebut Derivative Action (Rajagukguk, 1995; Chatamarrasjid, 2000; Widjaja, 1996). Di bidang perlindungan konsumen, dikenal apa yang dimaksud dengan gugatan class action dan legal standing (Sidarta, 2000; Sjahdeni, 2000; dan Yusril, 2000). Gugatan class action atau gugatan kelompok atau biasa juga disebut class representative dan legal standing atau hak gugat organisasi, kedua bentuk gugatan ini sebenarnya berasal dari sistem common law. Walaupun demikian di banyak negara termasuk Indonesia (civil law) mengadopsi pranata hukum ini ke dalam hukum nasionalnya. Hal ini dapat kita lihat dalam UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Untuk gugat class action dapat kita jumpai dalam pasal 46 ayat (1) huruf (b), yang menyatakan gugatan dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Pada prinsipnya pasal ini memberi kesempatan pada kelompok konsumen sebagai korban atau bersama-sama dengan konsumen-konsumen lainnya yang diwakilkannya yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum. Sedangkan gugat berdasarkan legal standing ditemukan dalam pasal 46 ayat (1) huruf (c): lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas, tujuan didirikannnya organisasi tersebut untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Demikian juga dalam UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, legal standing ada diatur dalam pasal 38 UU No.23 Tahun 1997. Demikian juga di bidang penanaman modal asing, ada dikenal perjanjian joint venture, franchise agreement, technical assistence agremeent, transfer of technology (Lubis, 1992; Sumantoro, 1999), dan sebagainya yang awalnya berasal dari common law system tetapi ternyata telah diadopsi ke dalam produk politik bangsa Indonesia lewat UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan berbagai peraturan pelaksanaannya. KESIMPULAN DAN SARAN Dari analisis deskriptif sebagaimana diuraikan terdahulu tentang topik bahasan pada tulisan ini bahwa dengan metode perbandingan sistem hukum dapat dijadikan sebagai alternatif untuk membangun kerangka substantif hukum untuk mengantisipasi perkembangan hukum secara global sesuai tuntutan era globalisasi pada masa kini. Di Indonesia sistem common law telah memberi pencerahan warna tersendiri bagi pembaharuan hukum di Indonesia yang selama ini menganut sistem civil law peninggalan Belanda. Antara common law yang berlandaskan pada sumbernya berupa case law, dan civil law yang pada umumnya berdasarkan pada kebijakan politik hukum pemerintah lewat penciptaan dan pembaharuan maupun lewat amandemen peraturan perundangannya. Kiranya hal ini dapat merespon kebutuhan individual maupun kelompok dalam masyarakat untuk mengantisipasi kepentingan masyarakat sesuai dengan perubahan perkembangan masyarakat itu sendiri. Dalam mengantisipasi lajunya dunia perdagangan bebas yang tentunya memerlukan landasan hukum yang kuat untuk memberi kontribusi terhadap perkembangan dunia bisnis di Indonesia. Kita tidak bisa selamanya berdasarkan kepada proses pembentukan hukum melalui politik kebijakan pemerintah lewat produk perundang-undangan secara permanen yang memerlukan waktu dan biaya yang besar. Oleh sebab itu hukum yang tumbuh dan berkembang di masyarakat/dunia bisnis internasional berdasarkan case law dapat dituangkan ke dalam produk politik hukum lewat pembentukan hukum oleh pemerintah (judikatif and legeslative product) maupun pembentukan hukum oleh hakim (jurisprudence law) atau perpaduan keduanya yang berdasarkan kepada perubahan kepentingan masyarakat sesuai dengan era globalisasi perdagangan dunia saat ini dan masa depan. Bahwa Indonesia sebagai penganut civil law dalam pembaharuan hukumnya cenderung mengadopsi commmon law system terutama di sektor perdagangan kita telah mengenal derivative action dan class action dalam UU PT dan UU 36
JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 1 Februari 2005
Perlindungan Konsumen dan UU Lingkungan Hidup sebagai kebutuhan dalam dunia global. Dari segi kemanfaatan secara pragmatis kebijakan pemerintah RI dapat memberi nilai tambah untuk keperluan masing-masing anggota masyarakatnya. Untuk itu agar manfaat secara dogmatis perlu diwaspadai. Gejala-gejala yang mementingkan kelompok tertentu merupakan tendens yang tak bisa dipungkiri oleh sebab itu pembaharuan hukum di Indonesia diharapkan tidak mengorbankan nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berakar pada nilai-nilai kultural bangsa yang bercirikan pada nilainilai kebiasaan hidup secara tradisional (bersifat komunal) dari masyarakat bangsa Indonesia. Dengan demikian gerakan pembaharuan dan pembentukan hukum diharapkan agar tetap mengakar kepada nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan memadukan unsur adanya kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan hukum yang berintikan keadilan bagi semua warga negara Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Chatamarrasjid. 2000. Menyingkap Tabir Perseroan (Pierching The Corporate Veil): Kapita Selekta Hukum Perusahaan. Citra Aditya Bakti. Bandung. Devid, Rene and John E.C. Brierley. 1978. Mayor Legal Systems in the World Today, Second Edition. Steven & Sons. London. Dirdjosisworo, Soedjono. 2003. Kontrak Bisnis (Menurut Sistem Civil Law, Common Law, dan Praktek Dagang Internasional). Mandar Maju. Bandung. Ginting, Budiman. 2000. Perspektif Politik Hukum Indonesia dalam Pembangunan Hukum Nasionalnya (Makalah). Universitas Sumatera Utara - PPS. Medan. Lubis, Mulya T. 1992. Hukum dan Ekonomi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Mahendra, Yusril Iza, 2002. Kata Sambutan, Menteri Kehakiman dan HAM RI dalam: Gagasan dan Pemikiran tentang Pembaharuan Hukum Nasional - Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan HAM RI. Departemen Kehakiman dan HAM RI. Jakarta. Merryman, John Henry. 1969. The Civil Law Tradition. Stanford University Press. California. Radjagukguk, Erman, ed. 2000. Perbandingan Sistem Hukum (Civil Law – Common Law), Book I, Introduction to the Study of Comparative Law, Rahmatullah Khan. Fakultas Hukum UI Program Pascasarjana. Jakarta. Rajagukguk, Erman. 1995. Pembaruan Hukum Perusahaan Menurut UU No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Makalah) dalam: Workshop dan Orientasi UU Perseroan Terbatas, Medan, 30 Juni 1995 (Medan: Komda Perkappen SU – Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Badan Penelitian dan Pengembangan. Rajagukguk, Erman. 2000. Arbitrase dalam Putusan Pengadilan. Candra Pratama. Jakarta. Romliatmasasmita. 1996. Perbandingan Hukum Pidana. Mandar Maju. Bandung. Rudini, Bustanil Arifin, Damciwar, Ichlasul Amal, M. Solly Lubis, Herman Sihombing, eds. 1992. Wawasan Nusantara Indonesia Menghadapi Globalisasi Dunia. Pusat Kajian Kebudayaan Universitas Bung Hatta. Padang. Rusli, Hardijan. 1993. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Salman S. Otje, HR., dan Anton F. Susanto. 2004. Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali. Refika Aditama. Bandung. Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. PT Grasindo. Jakarta. Sjahdeini, Sutan Remy. 2002. Penyelesaian Sengketa dalam Pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dalam Gagasan dan Pemikiran tentang Pembaharuan Hukum Nasional, Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI. Departemen Kehakiman dan HAM RI. Jakarta. Widjaja, I.G. Rai. 1996. Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas: Khusus Pemahaman Atas UU No.1 Tahun 1995. Megapoin – Divisi Kesaint Blanc. Jakarta. Wignjopsoebroto, Soetandyo. 2002. Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. ELSAM dan HUMA. Jakarta. Peraturan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Surat Edaran Surat Edaran MA RI No.3 Tahun 1963.
37