PERBANDINGAN PEMODELAN DAN PERAMALAN HARGA GULA BERDASARKAN MODEL SPACE TIME ARIMA DAN GENERALIZED SPACE TIME ARIMA
DANIA SIREGAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perbandingan Pemodelan dan Peramalan Harga Gula Berdasarkan Model Space Time ARIMA dan Generalized Space Time ARIMA adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015
Dania Siregar NIM G151130111
RINGKASAN DANIA SIREGAR. Perbandingan Pemodelan dan Peramalan Harga Gula Berdasarkan Model Space Time ARIMA dan Generalized Space Time ARIMA. Dibimbing oleh MUHAMMAD NUR AIDI dan I MADE SUMERTAJAYA. Model STARIMA dan GSTARIMA adalah model yang digunakan untuk memodelkan data deret waktu dan lokasi yang mengandung ketergantungan spasial antar lokasinya. Perbedaan pokok antara model STARIMA dan GSTARIMA adalah pada parameter model yang dihasilkan. GSTARIMA menghasilkan parameter yang berbeda untuk setiap lokasi dan lag waktunya, sedangkan STARIMA menghasilkan parameter yang sama untuk setiap lokasi. Model yang lebih kompleks tidak menjamin hasil peramalan akan lebih akurat. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah memodelkan serta mengkaji ketepatan peramalan dari model STARIMA dan GSTARIMA. Kedua model ini diaplikasikan terhadap data deret waktu harga gula pada delapan ibukota provinsi di Pulau Sumatera pada tahun 2008 sampai 2014 menggunakan dua jenis pembobot lokasi yaitu pembobot kebalikan jarak, dan pembobot normalisasi korelasi silang. Pengaruh interaksi spasial yang berkaitan dengan fenomena harga gula antar provinsi dapat dilihat dari efek biaya tataniaga gula. Besaran biaya tataniaga ini sangat bergantung pada jenis komoditas, panjang rantai tataniaga serta lokasi/daerah produsen. Rantai tataniaga inilah yang diduga memberikan pengaruh ternjadinya interaksi spasial antar provinsi. Berdasarkan penelitian ini, harga gula antar ibukota provinsi memiliki korelasi spasial. Dengan demikian, harga gula bervariasi bergantung pada waktu dan lokasi. Model yang layak digunakan adalah model STIMA dan GSTIMA dengan ordo deret waktu MA (2) dan ordo spasial satu. Pemodelan menggunakan pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang menghasilkan nilai ramalan harga gula yang cenderung sama baik untuk model STIMA dan GSTIMA. Selain itu, model STIMA juga lebih akurat untuk meramalkan harga gula pada delapan ibukota provinsi di Pulau Sumatera dibandingkan model GSTIMA, baik untuk peramalan jangka panjang maupun jangka pendek. Namun demikian, model yang dihasilkan lebih baik digunakan untuk peramalan jangka pendek. Kata kunci: STARIMA, GSTARIMA, pemodelan, peramalan.
SUMMARY DANIA SIREGAR. A Comparison of Sugar Price Modeling and Forecasting Based on Space Time ARIMA and Generalized Space Time ARIMA. Supervised by MUHAMMAD NUR AIDI and I MADE SUMERTAJAYA. STARIMA and GSTARIMA are the models used to model the time series and location data containing spatial dependence between its location. The fundamental difference between these models are the resulting model parameters. GSTARIMA produce different parameters for each location and time lag, while STARIMA produce the same parameters for each location. More complex models do not guarantee the forecast results will be more accurate. Therefore, the aims of this study are to model and assess the accuracy of forecasting of the STARIMA and GSTARIMA. It was applied to the sugar price data in the eight capital provinces in Sumatra Island in 2008 to 2014 using two types of space weights: inverse distance, and normalization of cross correlation. The spatial interaction effects associated with the sugar price phenomenon of inter-provincial can be seen from the effects of the sugar business administration costs. The magnitude of the cost of this trading system is very dependent on commodities, the long chain of business administration and the location/area manufacturers. This trading system chain allegedly influence the existing of spatial interaction between provinces. Based on this study, the price of sugar between the provincial capital had a spatial correlation. Thus, the price of sugar varies depending on time and location. The fitted model used were STIMA and GSTIMA with the order of time series MA (2) and order of spatial equal to one. Modeling using inverse distance and normalization of cross correlation as the space weights produced forecast values of sugar price that tend to similar for STIMA model or GSTIMA model. In addition, the STIMA model also more accurate to forecast the price of sugar on the eight provincial capital in Sumatra Island than GSTIMA model, both for forecasting long-term and short-term. However, the resulting models were better used for short-term forecasting. Keywords: STARIMA, GSTARIMA, modeling, forecasting.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERBANDINGAN PEMODELAN DAN PERAMALAN HARGA GULA BERDASARKAN MODEL SPACE TIME ARIMA DAN GENERALIZED SPACE TIME ARIMA
DANIA SIREGAR
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Statistika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Farit Mochamad Afendi, MSi
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Subhanahu wa ta‟ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga Beliau, para Sahabat, serta para penerus perjuangan Beliau hingga akhir zaman. Penelitian ini berjudul “Perbandingan Pemodelan dan Peramalan Harga Gula berdasarkan Model Space Time ARIMA dan Generalized Space Time ARIMA”. Penulisan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih khususnya kepada: 1. Dr Ir Muhammad Nur Aidi, MS selaku pembimbing I dan Dr Ir I Made Sumertajaya, MS selaku pembimbing II yang dengan kesabaran telah banyak memberi bimbingan, arahan, serta saran kepada penulis selama penyusunan tesis ini. 2. Dr Farit Mochamad Afendi, MSi selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan arahan yang sangat membangun dalam penyusunan tesis ini. 3. Seluruh staf pengajar pascasarjana Departemen Statistika IPB yang telah banyak memberikan ilmu dan arahan selama perkuliahan sampai dengan penyusunan karya ilmiah ini. 4. Teman-teman statistika angkatan 2013 atas kebersamaan, kekompakannya, bantuan dan masukannya selama bersama-sama menempuh kuliah. 5. Kedua orang tua serta seluruh keluarga atas do‟a, dukungan, dan kasih sayang yang diberikan. 6. Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) sebagai sponsor pemberi beasiswa BPPD yang mendukung kelanjutan studi S2 penulis. 7. Prof Dr Ir Achmad, MS selaku pembina spiritual atas nasehat dan perhatiannya dalam meluruskan tujuan penulis selama menuntut ilmu agar mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. 8. Seluruh pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu. Atas segala bantuan yang diberikan, penulis hanya bisa berdoa dengan harapan semoga semua kebaikan yang penuh keikhlasan tersebut dicatat sebagai amal ibadah dan mendapatkan balasan berupa pahala disisi Allah Subhanahu wa ta‟ala. Aamiin Ya Rabbal „Alamin. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat serta dapat menambah wawasan bagi para pembaca.
Bogor, Agustus 2015 Dania Siregar
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Model Vector Autoregressive Integrated Moving Average (VARIMA) Model Space Time Autoregressive Integrated Moving Average (STARIMA) Model Generalized Space Time Autoregressive Integrated Moving Average (GSTARIMA) Kestasioneran Uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) Uji Levene Pembobot Kebalikan Jarak Pembobot Normalisasi Korelasi Silang Indeks Moran Identifikasi Model Ruang Waktu (Space Time) Matriks Fungsi Korelasi Silang Contoh (MACF) Matriks Fungsi Korelasi Parsial Contoh (MPACF) Kriteria Informasi Akaike Terkoresi (AICC) Pendugaan Parameter Pemeriksaan Kelayakan Model METODE PENELITIAN Data Metode Analisis HASIL DAN PEMBAHASAN Interaksi Spasial pada Fenomena Harga Gula di Pulau Sumatera Identifikasi Keheterogenan Struktur Data Deret Waktu Pembentukan Model STARIMA dan GSTARIMA untuk data harga gula Identifikasi Model Pembentukan Matriks Pembobot Hasil Pendugaan Parameter Pemeriksaan Asumsi Sisaan Kajian Perbandingan Performa Peramalan STIMA dan GSTIMA Peramalan Jangka Panjang Peramalan Jangka Pendek Pengaruh Struktur Data Deret Waktu terhadap Hasil Ramalan Pengaruh Penggunaan Jenis Pembobot terhadap Hasil Ramalan SIMPULAN DAN SARAN
vi vi vii 1 3
4 5 5 6 6 7 8 9 9 10 10 12 13 14 15 16 16
19 22 24 24 27 29 31 35 35 40 44 44
Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
46 46 47 49 73
DAFTAR TABEL Statistik deskriptif harga gula (Rp/Kg) pada 8 ibukota provinsi di Pulau Sumatera periode 2008-2014 2 Matriks korelasi harga gula antar 8 ibukota provinsi di Pulau Sumatera 3 Statistik Indeks Moran 4 Struktur data pembangun harga gula di 8 ibukota provinsi Pulau Sumatera 5 Nilai AICC dari model sementara 6 Penduga parameter model STIMA dengan pembobot kebalikan jarak dan pembobot normalisasi korelasi silang 7 Penduga parameter model GSTIMA dengan pembobot kebalikan jarak dan pembobot normalisasi korelasi silang 8 Selisih nilai penduga parameter antara model GSTIMA dengan pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang 9 Perbandingan nilai RMSE dan MAPE ramalan jangka panjang pada model yang menggunakan pembobot kebalikan jarak 10 Perbandingan nilai RMSE dan MAPE ramalan jangka panjang pada model yang menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang 11 Perbandingan nilai RMSE dan MAPE ramalan jangka pendek pada model yang menggunakan pembobot kebalikan jarak 12 Perbandingan nilai RMSE dan MAPE ramalan jangka pendek pada model yang menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang 1
20 20 21 23 26 29 30 30 39 39 43 43
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8
Denah delapan ibukota provinsi di Pulau Sumatera Diagram alir analisis Pola spasial harga gula yang cenderung mengelompok Plot data deret waktu harga gula untuk Kota Banda Aceh dan Kota Medan Plot data deret waktu harga gula dengan pembedaan orde satu untuk Kota Banda Aceh dan Kota Medan Skema fungsi korelasi silang contoh (MACF) Skema fungsi korelasi parsial contoh (MPACF) Matriks pembobot kebalikan jarak
8 18 21 22 23 25 26 27
9 Matriks pembobot normalisasi korelasi silang pada lag 1 10 Matriks pembobot normalisasi korelasi silang pada lag 2 11 Skema MACF sisaan dari model STIMA dengan pembobot kebalikan jarak 12 Skema MACF sisaan dari model GSTIMA dengan pembobot kebalikan jarak 13 Skema MACF sisaan dari model STIMA dengan pembobot normalisasi korelasi silang 14 Skema MACF sisaan dari model GSTIMA dengan pembobot normalisasi korelasi silang 15 Plot nilai prediksi dari fitted model dan nilai aktual (in model) untuk STIMA dengan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Banda Aceh, Kota Medan, Kota Padang dan Kota Pekanbaru 16 Plot nilai prediksi dari fitted model dan nilai aktual (in model) untuk GSTIMA dengan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Banda Aceh, Kota Medan, Kota Padang dan Kota Pekanbaru 17 Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka panjang menggunakan pembobot bagi model GSTIMA dan model STIMA menggunakan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Aceh dan kota Medan 18 Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka panjang menggunakan pembobot bagi model GSTIMA dan model STIMA menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang untuk Kota Aceh dan kota Medan 19 Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka pendek menggunakan pembobot bagi model GSTIMA dan model STIMA menggunakan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Aceh dan kota Medan 20 Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka pendek menggunakan pembobot bagi model GSTIMA dan model STIMA menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang untuk Kota Aceh dan kota Medan
28 28 32 32 32 33
34
34
37
38
41
42
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
3 4 5 6
Plot data deret waktu harga gula untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru, Kota Jambi, Kota Palembang, Kota Bengkulu, dan Kota Bandar Lampung Plot data deret waktu harga gula dengan pembedaan orde satu untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru, Kota Jambi, Kota Palembang, Kota Bengkulu, dan Kota Bandar Lampung Hasil Uji Dicky Fuller untuk data harga gula dengan pembedaan 1 Uji Levene Identifikasi struktur data yang membangun harga gula pada setiap lokasi (8 ibukota provinsi) Sintak Pemodelan
49
50 51 52 53 56
7 8
9
10
11
12
13
14
15
Uji kenormalan ganda dari sisaan Plot nilai prediksi dari fitted model dan nilai aktual model STIMA dengan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru, Kota Bengkulu, Kota Jambi, Kota Palembang, Kota Bandar Lampung Plot nilai prediksi dari fitted model dan nilai aktual model GSTIMA dengan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru, Kota Bengkulu, Kota Jambi, Kota Palembang, Kota Bandar Lampung Plot nilai prediksi dari fitted model dan nilai aktual (in model) untuk model GSTIMA dengan pembobot normalisasi korelasi silang untuk Kota Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Bengkulu, Jambi Palembang, Bandar Lampung Plot nilai prediksi dari fitted model dan nilai aktual (in model) untuk model STIMA dengan pembobot normalisasi korelasi silang untuk Kota Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Bengkulu, Jambi Palembang, Bandar Lampung Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka panjang bagi model GSTIMA dan model STIMA menggunakan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru, Kota Bengkulu, Kota Jambi, Kota Palembang, Kota Bandar Lampung Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka panjang bagi model GSTIMA dan model STIMA menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru, Kota Bengkulu, Kota Jambi, Kota Palembang, Kota Bandar Lampung Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka pendek bagi model GSTIMA dan model STIMA menggunakan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru, Kota Bengkulu, Kota Jambi, Kota Palembang, Kota Bandar Lampung Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka pendek bagi model GSTIMA dan model STIMA menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru, Kota Bengkulu, Kota Jambi, Kota Palembang, Kota Bandar Lampung
64
65
66
67
68
69
70
71
72
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemodelan dan peramalan menggunakan metode deret waktu dapat dilakukan baik terhadap data univariat maupun multivariat. Data deret waktu multivariat misalnya dapat berupa data yang saling berkaitan seperti volume penjualan, harga, dan biaya iklan pada interval waktu tertentu yang digunakan untuk studi tentang penjualan. Namun, data deret waktu multivariat juga dapat berupa data deret waktu dan lokasi, misalnya data tingkat inflasi di beberapa daerah pada interval waktu tertentu. Data deret waktu multivariat ini dapat dimodelkan dengan model VARMA (vector autoregressive moving average) yang merupakan perluasan dari model ARMA. Suatu bentuk khusus dari model VARMA adalah model yang menggabungkan interdependensi waktu dan lokasi yang dikenal dengan model STARMA (space time autoregressive moving average) yang pertama kali dikenalkan oleh Pfeifer dan Deutsch (1980). Jika model VARMA mengakomodir pengaruh dari peubah lainnya terhadap suatu peubah tertentu, maka model STARMA juga melakukan hal yang sama namun dapat mengakomodir konfigurasi spasial yang terwakili dengan penambahan pembobot spasial pada modelnya. Namun demikian, model STARMA terkadang dianggap tidak realistis karena parameter diasumsikan sama untuk semua lokasi, asumsi ini dianggap tidak memiliki landasan teori yang kuat serta kurang dapat mengakomodir keheterogenan lokasi. Borovkova et al. (2002) mengusulkan model yang juga dapat menggabungkan interdependensi waktu dan lokasi yaitu model GSTARMA (generalized space time autoregressive moving average), model ini dianggap lebih realistis karena menghasilkan parameter yang berbeda untuk setiap lokasi. Seperti halnya model umum pada ARIMA, model STARI dan GSTARI merupakan model STARIMA dan GSTARIMA dengan orde moving average nol, serta mengalami pembedaan (differencing), sedangkan STIMA dan GSTIMA merupakan model STARIMA dan GSTARIMA dengan orde autoregressive nol, serta mengalami pembedaan (differencing). Model GSTAR telah banyak diterapkan pada berbagai penelitian, diantaranya Nurani (2002) menerapkan model ini pada data produksi minyak bumi, Nurhayati et al. (2012) menerapkan model GSTAR pada data produk domestik bruto negara-negara di Eropa Barat, serta Min et al. (2010) menggunakan model GSTARIMA dengan pemakaian matriks pembobot kedekatan lokasi (contiguity) untuk meramal aliran lalu lintas. Adanya pembobot lokasi pada model STARIMA dan GSTARIMA menjadikan kedua model ini berbeda dengan model VARIMA, pembobot ini mencirikan adanya pengaruh interaksi spasial/lokasi. Penentuan pembobot lokasi yang tepat sangat bergantung pada fenomena yang dimodelkan. Fenomena harga gula merupakan salah satu fenomena yang dapat dimodelkan menggunakan STARIMA dan GSTARIMA. Pengaruh interaksi spasial yang berkaitan dengan fenomena harga gula antar provinsi dapat dilihat dari efek
2 biaya tataniaga gula. Besaran biaya tataniaga ini sangat bergantung pada jenis komoditas, panjang rantai tataniaga serta lokasi/daerah produsen (Manik 2007 mengacu Daniel 2002). Rantai tataniaga inilah yang diduga memberikan pengaruh ternjadinya interaksi spasial antar provinsi. Jika dilihat dari bahan baku industri gula, yaitu tebu, menurut BPS (2013), selama periode tahun 2011 sampai tahun 2013 areal perkebunan tebu tersebar di sembilan provinsi yakni Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur, Gorontalo dan Sulawesi Selatan. Kontribusi ini menempatkan Pulau Sumatera sebagai pulau penghasil gula terbesar kedua di Indonesia setelah pulau Jawa. Meskipun terdapat tiga provinsi produsen gula, pulau Sumatera juga merupakan pulau terbesar ketiga di Indonesia, sehingga memungkinkan adanya rantai tataniaga yang cukup panjang yang mempengaruhi harga gula di provinsi lainnya. Gula termasuk produk pangan yang diawasi dan diatur oleh pemerintah karena berpengaruh terhadap perekonomian nasional dan menjadi salah satu indikator pengukuran inflasi. Konsumsi langsung rumah tangga masih mendominasi permintaan gula nasional yaitu 70% (Supriyati 2011 mengacu Susila dan Sinaga 2005), sementara itu pemenuhan konsumsi langsung rumah tangga ini diutamakan berasal dari gula domestik/lokal. Harga gula juga dapat merupakan indikator kelangkaan gula tersebut, maka peramalan terhadap harga gula domestik/lokal ini akan bermanfaat untuk merancang sistem yang akan dibangun baik oleh pihak pemerintah maupun pihak industri makanan dan minuman yang menjadikan gula sebagai salah satu bahan utama/penolong produknya. Penelitian ini akan memodelkan fenomena harga gula pada delapan ibukota provinsi di Pulau Sumatera menggunakan model STARIMA dan GSTARIMA. Model GSTARIMA dianggap lebih teoritis dan kompleks dibandingkan model STARIMA, namun demikian apakah model GSTARIMA lebih baik dari model STARIMA dalam meramalkan harga gula pada ibukota provinsi-provinsi di Pulau Sumatera masih menjadi suatu pertanyaan tersendiri. Penelitian ini juga akan mengkaji perbandingan model dan ketepatan peramalan model STARIMA dan GSTARIMA dalam memodelkan dan meramalkan harga gula menggunakan dua jenis pembobot lokasi yaitu pembobot kebalikan jarak dan pembobot normalisasi korelasi silang. Pembobot kebalikan jarak dapat menggambarkan pengaruh jarak antar lokasi terhadap peramalan sedangkan pembobot normalisasi korelasi silang tidak menekankan pengaruh jarak atau kedekatan antar lokasi melainkan pada korelasi silang pada lag waktu tertentu antar lokasi. Adanya kajian ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai model ruang waktu (space time) yang sesuai untuk digunakan pada kasus peramalan data harga bahan makanan pokok.
3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini, yaitu : 1. Memodelkan dan meramalkan deret waktu harga gula domestik/lokal pada delapan ibukota provinsi di Pulau Sumatera menggunakan model STARIMA dan GSTARIMA. 2. Mengkaji ketepatan peramalan harga gula dari model STARIMA dan GSTARIMA dengan menggunakan dua jenis pembobot lokasi yaitu pembobot kebalikan jarak, dan pembobot normalisasi korelasi silang.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Model Vector Autoregressive Integrated Moving Average (VARIMA)
Model VARIMA (p,d,q) dimana p, d, dan q masing-masing merupakan orde regresi diri (autoregressive), pembedaan (differencing) dan rataan bergerak (moving average). Model ini merupakan perluasan dari model deret waktu autoregressive moving average univariat ke model deret waktu autoregressive moving average multivariat yang telah mengalami pembedaan (differencing) agar data menjadi stasioner. Model VARIMA ini menjelaskan keterkaitan antar pengamatan dan kesalahan berurutan pada peubah tertentu pada suatu waktu dengan pengamatan dan kesalahan berurutan pada peubah itu sendiri pada waktuwaktu sebelumnya, dan juga keterkaitannya dengan pengamatan dan kesalahan berurutan pada peubah lain pada waktu-waktu sebelumnya. Misalnya , dengan m dimensi peubah, dimana merupakan deret yang tidak stasioner, maka model VARIMA orde p, d dan q dirumuskan sebagai berikut (Wei 2006) ( ) ( ) ( )
dimana
-
-
-
-
( ) dan
adalah matriks nonsingular berukuran
, dengan asumsi
dan
-
( ) [
-
]
dengan operator shift mundur B penggunaannya sebagai berikut , sehingga ketika q=0 maka menjadi model VARI(p) dituliskan dalam bentuk
-
, dan dapat ( )
dan ketika p=0 maka menjadi model VIMA(q) dapat dituliskan dalam bentuk
5 Model Space Time Autoregressive Integrated Moving Average (STARIMA)
Model space time ARIMA atau STARIMA merupakan model STARMA dengan diterapkannya pembedaan (differencing) pada data asli, model STARMA pertama kali dikenalkan oleh Pfeifer dan Deutsch (1980) sebagai model yang dapat mengakomodir pengaruh lokasi pada suatu data deret waktu. Model STARIMA merupakan perluasan dari model VARIMA yang telah dimodifikasi dengan perbedaan utamanya terdapat pada penambahan matriks pembobot lokasi. Misalnya , dengan m dimensi peubah, dimana merupakan deret yang tidak stasioner, sehingga deret yang stasioner adalah dengan , maka model STARIMA didefinisikan sebagai berikut: ∑
dengan
∑
()
∑
∑
()
( )
{
serta
dimana dan menunjukkan orde spasial ke-k dari autoregressive dan moving parameter autoregressive pada lag waktu ke-k dan lag spasial ke-l, average, parameter moving average pada lag waktu ke-k dan lag spasial ke-l serta ( ) adalah matriks pembobot lokasi berukuran pada lag l = .
Model Generalized Space Time Autoregressive Integrated Moving Average (GSTARIMA)
Model GSTARMA merupakan perkembangan dari model STARMA. Pada model STARMA parameter diasumsikan sama untuk setiap lokasi, asumsi ini menjadikan model STARMA lebih sederhana karena memiliki parameter yang lebih sedikit. Namun demikian asumsi ini menjadikan STARMA dianggap tidak fleksibel dan tidak realistis dalam menggambarkan karakteristik lokasi yang sangat mungkin tidak homogen. Borovkova et al. (2002) mengusulkan model lebih lanjut dari STARMA yaitu GSTARMA. Perbedaan mendasar dari kedua model ini terletak pada parameternya, dimana pada model STARMA dan merupakan konstanta, sedangkan pada model GSTARMA berupa matriks dan . Hal inilah yang menjadikan GSTARMA lebih sulit dalam penghitungan parameternya. Model GSTARMA yang mengalami pembedaan disebut model (GSTARIMA) didefinisikan sebagai berikut: ∑ dimana,
∑
()
∑
∑
()
( )
6 ( )
(
( )
( )
)
*
( )
+
( ) ( )
( )
*
( )
+,
Perubahan ini menjadikan adanya sedikit perbedaan pada pendugaan parameter model GSTARIMA dibandingkan model STARIMA. Borovkova et al. (2008) telah menunjukkan sifat asimtotik kenormalan serta konsistensi penduga parameter GSTAR menggunakan metode kuadrat terkecil.
Kestasioneran
Kestasioneran pada data menjadi syarat utama pada peramalan menggunakan konsep ARMA. Penggunaan deret yang tidak stasioner akan menyulitkan dalam pengambilan kesimpulan. Konsep peluang yang berubahubah akan menyebabkan tidak efisien dan tidak konsistennya pendugaan yang dihasilkan. Stasioneritas berarti tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada data. Data secara kasarnya harus horizontal sepanjang sumbu waktu. Fluktuasi data berada disekitar suatu nilai rata-rata yang konstan, tidak tergantung pada waktu. Selain itu ragam dari fluktuasi tersebut pada pokoknya tetap konstan setiap waktu. Secara eksplorasi pemeriksaan stasioneritas ini dapat dilihat dari plot antara nilai observasi dan waktu. Jika penggunaan plot ini dirasa belum cukup meyakinkan maka dapat dilakukan uji formal menggunakan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) untuk memeriksa kestasioneran rataan dan uji Levene untuk memeriksa kestasioneran ragam.
Uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) Dickey and Fuller (1979) dalam SAS (2011) menggunakan prinsip akar unit (unit root) dengan hipotesis: H0 : (data mengandung unit root) | | H1 : (data tidak mengandung unit root) dimana adalah koefisien regresi diri dari deret waktu: (6)
-
untuk model nilai tengah nol (zero mean) -
(7)
7 untuk model nilai tengah konstan (single mean) (8)
-
untuk model trend. Sedangkan diasumsikan white noise. Uji statistik menggunakan t konvensional: ̂ ̂ Stasioner tidaknya data didasarkan pada perbandingan nilai statistik yang diperoleh dari nilai t hitung koefisien dengan nilai kritis statistik Mackinnon. Jika nilai absolut statistik ADF lebih besar dari nilai kritis Mackinnon maka data stasioner dan jika sebaliknya maka data tidak stasioner. Jika data tidak stasioner terhadap rataan maka perlu dilakukan pembedaan (differencing) terhadap data asli agar data menjadi stasioner. Sedangkan jika data tidak stasioner terhadap ragam maka perlu dilakukan transformasi terhadap data.
Uji Levene Uji Levene merupakan metode pengujian homogenitas ragam. Uji ini tidak harus menggunakan data yang berdistribusi normal, namun harus kontinu. Selain itu uji ini juga bersifat robust untuk data berukuran kecil karena menggunakan jarak amatan terhadap median sampel bukan terhadap nilai tengah sampel. Data deret waktu setiap lokasi dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok berdasarkan perbedaan ragam yang terlihat lebih mencolok secara eksplorasi pada plot observasi dan waktu. Selanjutnya melakukan pengujian kehomogenan ragam terhadap kelompok-kelompok tersebut. Pengujian hipotesis yaitu : H0 : (data homogen) yang tidak sama (data tidak homogen). H1 : paling sedikit ada satu Statistik uji: (
̅̅̅ ̅̅̅
)∑ ∑
∑
dimana -̃ , i { } i dan ̃ dengan N adalah banyaknya keseluruhan amatan, k adalah banyaknya kelompok, ni adalah banyaknya amatan pada sampel (kelompok) ke-i, Z i. adalah median data pada kelompok ke-i, Z .. adalah median untuk keseluruhan data. Pengambilan kesimpulan adalah H0 ditolak jika W F ( , k 1, N k ) .
8 Pembobot Kebalikan Jarak
Pembobot dengan menggunakan metode kebalikan jarak dilakukan berdasarkan jarak sebenarnya antar lokasi, penghitungan jarak antar lokasi ini dapat menggunakan koordinat lintang dan bujur dari titik pusat lokasi wilayah yang diamati. Berikut ini adalah ilustrasi dari pembobot kebalikan jarak, dimana merupakan lambang misalkan terdapat m lokasi sehingga lokasi ke-i, dengan dan u, v masing-masing menunjukkan koordinat lintang dan koordinat bujur lokasi tersebut, merupakan jarak antar lokasi ke-i terhadap lokasi lainnya misalkan lokasi ke-j, dan adalah nilai kebalikan dari , sehingga ( )
dan pembobot kebalikan jarak dapat dihitung menggunakan rumus di bawah ini
, ∑
Denah delapan ibukota provinsi yang menjadi pengamatan dalam penelitian ini terdapat pada Gambar 1.
No Scale
Gambar 1 Denah delapan ibukota provinsi (
) di Pulau Sumatera
9 Pembobot Normalisasi Korelasi Silang
Suhartono dan Subanar (2006) mengenalkan pembobot normalisasi korelasi silang untuk model GSTAR dan Wutsqa et al. (2010) menggunakan pembobot ini terhadap data simulasi. Pembobot normalisasi korelasi silang ini tidak mensyaratkan aturan tertentu, seperti bergantung pada jarak antar lokasi. Secara umum korelasi silang antar lokasi ke-i dan ke-j pada lag waktu ke-k, () ( - ) didefinisikan sebagai ( )
( )
dimana ( ) adalah kovarian silang antar amatan pada lokasi ke-i dan lokasi ke-j pada lag waktu ke-k, dan adalah simpangan baku dari amatan pada lokasi ke-i dan lokasi ke-j. Penduga korelasi silang pada data contoh adalah sebagai berikut: ∑ () ̅ ( ) ̅ ( ) ∑ () ̅ ∑ () ̅ Selanjutnya, penentuan pembobot lokasi dapat diselesaikan dengan menormalisasikan korelasi silang antar lokasi pada lag yang sesuai. Proses ini secara umum menghasilkan pembobot lokasi sebagai berikut ( )
dimana
∑ | ( )|
dan pembobot ini memenuhi ∑ |
|
Indeks Moran
Indeks Moran merupakan teknik dalam analisis spasial untuk menghitung hubungan spasial yang terjadi dalam ruang unit. Uji ini dapat digunakan untuk mengetahui apakah terdapat efek ketergantungan spasial pada harga gula antar kedelapan ibukota provinsi tersebut. Indeks Moran diformulasikan sebagai berikut (Moran 1950 diacu Sawada [tahun tidak diketahui]): ∑ ∑
∑
∑ ∑
̅
̅
̅
dengan n adalah banyaknya pengamatan (lokasi). Nilai Indeks Moran dinyatakan sebagai berikut : 1. I0 = -1/n-1 mendekati nol berarti tidak ada autokorelasi spasial. 2. I > I0 berarti bahwa terdapat autokorelasi spasial positif.
10 3. I < I0 bararti bahwa terdapat autokorelasi spasial negatif. Nilai Indeks Moran (I) mempunyai nilai harapan dan variansi sebagai berikut: -
-
-
()
;
-
( - )
dimana, ∑
∑
,
∑
∑
∑
,
∑
-̅
∑
-̅
-
,
√
∑
∑
,
.
Hipotesis : H0: I = 0 (tidak terdapat efek ketergantungan spasial pada harga gula di 8 ibukota) H1: f h 8 b kota) Pengambilan keputusan dilakukan jika |zhitung|>z maka tolak H0.
Identifikasi Model Ruang Waktu (Space Time)
Identifikasi model pada model ruang waktu (space time) meliputi identifikasi terhadap orde waktu dan orde spasial. Orde spasial pada umumnya dibatasi pada orde satu karena semakin tinggi orde akan semakin sulit dalam menginterpretasikan. Orde lag waktu dapat ditentukan dengan melihat hasil lag yang signifikan dengan pola tertentu yaitu terpangkas (cutoff) setelah lag ke-k pada MACF (matrix autocorrelation function), hal ini mengindikasikan struktur data deret waktu yang dibangun berasal dari model MA(k), dan terpangkas (cutoff) setelah lag ke-k pada MPACF (matrix partial autocorrelation function) berarti mengindikasikan struktur data yang dibangun dari model AR(k). MACF juga dikenal dengan istilah matriks korelasi silang contoh sedangkan MPACF dikenal juga dengan istilah matriks korelasi parsial contoh (Wei 2006).
Matriks Fungsi Korelasi Silang Contoh (MACF) Diberikan
deret
waktu
multivariat yang stasioner , dimana , T dengan m dimensi peubah, Matriks korelasi silang contoh (matrix autocorrelation function) pada lag waktu ke-k dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Wei 2006) ̂( )
-
̂
-
(18)
dimana, D adalah matriks diagonal yang dapat diperoleh dari matriks kovarian contoh ̂ ( ) dengan k = 0, yang tidak lain isi dari diagonal ini adalah nilai ragam dugaan dari masing-masing peubah/lokasi.
11 ( )
[
( )
( )]
dan ̂( ) ∑
̅
̅
̅ dimana ̅ ̅ ̅ adalah vektor nilai tengah contoh. Sebagai contoh, misalkan untuk lag 1 berarti k = 1, dengan m = 3 sebagai peubah (lokasi), dan n = 4 sebagai panjang deret waktu.
̂
∑ (
̅ ̅ )( ̅
̅
̅ )
̅
untuk t = 1, ̅ ̅ ) ( ̅
(
̅
̅
̅ ) (
+
untuk t = 2, ̅ ̅ ) ( ̅
(
̅
̅
̅ ) (
+
untuk t = 3,
(
̅ ̅ ) ( ̅
̅
̅
(
̅ ) (
+
+ (
+
̂( ) (
+
[
] ̂( ) (
̂( )
)
̂
12 dengan demikian, maka ( ) ( )
(
( ) ( ) ( )
,( ( )
̂( )
( )
) )) )
, ( )
[
(
( ( (
( ) (
̂( )
( ) ( ) ( )
]
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
sehingga ̂( )
,
̂ ( ) dapat ditulis dalam bentuk sebagai berikut: ̂ ( )
∑ ∑
̅
̅
̅
∑
̅
Matriks yang dihasilkan akan semakin kompleks ketika dimensi vektor semakin meningkat. Angka yang semakin banyak terkadang menyebabkan kesulitan pada pengenalan pola. Untuk mengatasi hal ini Tiao dan Box (1981) dalam Wei (2006) mengenalkan metode yang tidak menyulitkan dalam meringkas hal ini. Metode ini adalah dengan memberi simbol +, - , · pada posisi ke (i,j) dari matriks seperti pada contoh dibawah ini: Variabel Peubah 1 Peubah 2 Peubah 3
Lag 1 +++ --+ -.+
dimana + menunjukkan nilai yang lebih dari 2 kali dugaan simpangan baku sisaan (signifikan), - menunjukkan nilai yang kurang dari -2 kali dugaan simpangan baku sisaan (signifikan), dan · menunjukkan nilai antara 2 kali dugaan simpangan baku sisaan (tidak signifikan).
Matriks Fungsi Korelasi Parsial Contoh (MPACF) Tiao dan Box (1981) dalam Wei (2006) mendefinisikan matriks fungsi korelasi parsial contoh pada lag ke-k dinotasikan dengan ̂ ( ) sebagai koefisien matriks terakhir jika data diterapkan untuk suatu proses vektor regresi diri pada orde ke-k, hal ini merupakan pengembangan definisi fungsi parsial contoh untuk deret waktu univariat yang dikemukakan oleh Box dan Jenkins. Matriks fungsi korelasi parsial contoh (matrix partial autocorrelation function) mempunyai properti terpangkas (cutoff) pada model AR (p), hal ini karena ( ) untuk | | , sehingga MPACF sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi orde dari
13 struktur AR pada data multivariat. Matriks fungsi korelasi parsial contoh ̂ ( ) didefinisikan sebagai berikut: ̂( )
{
̂( ) ̂( )̂ ( )- ( ) ( )
( )
-
̂ ( )- ( )
( )
̂( ) ̂( )
̂(
)
̂(
)
( )
-
-
dengan, ( )
̂( ) ̂( ) [̂(
̂(
)
̂( ) ]
)
̂( - ) ( )
̂( - ),
( )
̂( ) ̂( ) [ ̂ ( - )]
[ ̂( ) ]
Dugaan dari ( ) di atas dapat diperoleh dengan menghitung ̂ ( ) yaitu matriks kovarian contoh terlebih dahulu dengan formulasi sebagai berikut: ̂ dimana ̅
̅ ̅
̅
∑
̅
̅
adalah vektor nilai tengah contoh.
Kriteria Informasi Akaike Terkoreksi (AICC) Secara teoritis penentuan model menggunakan lag signifikan pada MACF dan MPACF ini akurat namun tidak praktis karena sangat bergantung pada pengalaman dalam pemodelan. Kriteria uji alternatif untuk menentukan panjang lag yang sesuai dapat menggunakan AICC (akaike information criterion corrected). AICC merupakan ukuran relatif dari kualitas model statistik yang diberikan dari suatu set data. Nilai AICC memberikan dugaan relatif dari informasi yang hilang sehingga kriteria pemilihan lag optimal adalah pada nilai AICC terkecil. AICC disarankan digunakan sebagai kriteria utama pada pemilihan orde dari model deret waktu ARMA. Formula dari kriteria AICC ini adalah sebagai berikut (SAS 2011) (|∑
|*
∑ ̂ ̂ adalah matriks nilai dugaan bagi kovarian sisaan dari dimana ∑ model menggunakan penduga kemungkinan maksimum, k adalah banyaknya
14 peubah, r adalah banyaknya parameter yang diduga dan T adalah banyaknya pengamatan.
Pendugaan Parameter
Pendugaan parameter untuk model STARIMA dan GSTARIMA dapat dilakukan dengan meminimumkan sisaan kuadrat
dimana
untuk model GSTARIMA dengan ∑
()
∑
∑
()
∑
cara yang sama juga digunakan untuk model STARIMA. Namun karena adanya komponen persamaan moving average, maka S menjadi tidak linier sehingga S dapat diminimumkan menggunakan algoritma Gauss-Newton (Zhou dan Buongiorno 2006 dan Min et al. 2010). Berikut ini dijabarkan pendugaan parameter model GSTARMA dengan orde MA nol sehingga menjadi model ) (Wutsqa et al. 2010). GSTAR (p () ∑
()
∑
()
(
)
()
(
()
)
(
)
untuk , i = 1,2,..., N, dimana untuk i = j dan nol untuk () ( ), selainnya. Diasumsikan bahwa h dimana () ( () () ( )) Penduga dari metode kuadrat terkecil untuk parameter autoregresif telah diturunkan oleh Borovkova et al. (2008). Mereka mendefinisikan notasi baru ()
() ∑
()
( ) untuk l ≥ 1 dan
( ) ( )
( ) ( )
(
( )
( ) ( )
)
()
()
( ) (
( )
)
( )
(
, ( )
dan
()
( )
()
()
(
()
( )
) ()
(
)
(
)
(
)
()
Jika diekspresikan untuk semua lokasi secara simultan seperti pada model linier
15 , dimana
(
(23)
)
Dengan demikian, penduga kuadrat terkecil ̂ adalah bentuk dari ̂
Pemeriksaan Kelayakan Model
Setelah ditemukan model sementara, maka tahap terakhir dari pemodelan adalah memeriksa asumsi sisaan. Dikatakan memenuhi asumsi jika sisaan yang terbentuk dari model tidak lagi berkorelasi serta menyebar dengan sebaran normal ganda. Sisaan yang telah menyebar acak mengindikasikan bahwa model telah mengandung informasi yang optimal dalam menggambarkan proses pembentukan data. Sedangkan sisaan yang menyebar normal ganda menjadi penting ketika akan dilakukan uji signifiansi dari penduga parameter yang dihasilkan, yaitu menggunakan uji t. Secara simultan, pemeriksaan diagnostik terhadap kebebasan sisaan dapat dilakukan secara eksplorasi dengan melihat skema plot MACF dari sisaan, jika tanda titik (.) sudah mendominasi skema berarti bahwa sisaan sudah mendekati asumsi white noise, asumsi ini merupakan asumsi yang paling penting agar dapat terpenuhi. Selain uji kebebasan sisaan, pengujian apakah sisaan telah menyebar normal dilakukan dengan menggunakan uji normal ganda Mardia.
16
METODE PENELITIAN
Data
Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Kementrian Perdagangan Republik Indonesia. Data ini berupa data deret waktu harga gula pada delapan ibukota provinsi di Pulau Sumatera yaitu Banda Aceh, Medan, Padang, Jambi, Pekanbaru, Bengkulu, Palembang, dan Bandar Lampung. Pulau Sumatera saat ini memiliki 10 ibukota provinsi, namun dalam penelitian ini hanya mengambil 8 ibukota provinsi, provinsi Kepulauan Riau dan provinsi Bangka Belitung dengan ibukota masing-masing yaitu Tanjung Pinang dan Pangkal Pinang, tidak diikutsertakan karena data yang dibutuhkan untuk penelitian ini tidak tersedia. Data deret waktu tersebut merupakan data harga mingguan yang diperoleh dari rataan harian per pekan dimulai Januari 2008 sampai Desember 2014, dengan panjang deret waktu 335. Data harga gula tersebut merupakan data hasil survei harga gula domestik/lokal per kilogram di pasar induk pada kota-kota tersebut.
Metode Analisis
Langkah-langkah analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Melakukan eksplorasi data menggunakan statistika deskriptif serta menghitung nilai korelasi harga antar lokasi. 2. Membentuk matriks pembobot kebalikan jarak dan matriks pembobot normalisasi korelasi silang. 3. Melakukan pengecekan terhadap hubungan ketergantungan spasial antar lokasi menggunakan uji indeks Moran. 4. Memeriksa kestasioneran data terhadap ragam dan rataan, dengan menggunakan uji formal Augmented Dickey Fuller (ADF) untuk kestasioneran rataan dan uji Levene untuk kestasioneran ragam. Jika data tidak stasioner maka akan dilakukan pembedaan (differencing) untuk ketidakstasioneran rataan dan transformasi jika mengalami ketidakstasioneran dalam ragam. 5. Menentukan struktur data deret waktu untuk setiap lokasi secara terpisah menggunakan plot ACF dan PACF untuk mengetahui keragaman struktur data deret waktu yang dibangun di setiap lokasi secara terpisah. 6. Membagi data menjadi dua set data yaitu 300 data awal sebagai set data pemodelan (data training) dan 35 data akhir sebagai data untuk menguji model (data testing). 7. Mengindentifikasi lag MACF dan MPACF yang nyata untuk mendapatkan orde lag waktu tentatif dari model sementara.
17 8. Menghitung AICC kemudian memilih AICC terkecil untuk mendapatkan model deret waktu terbaik dengan mempertimbangkan skema MACF dan MPACF. 9. Melakukan pemodelan STARIMA dengan orde lag waktu sesuai hasil identifikasi pada langkah (8) dan menggunakan orde satu untuk lag spasial serta menggunakan matriks pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang yang telah diperoleh pada langkah (2). 10. Menduga parameter model STARIMA dengan meminimumkan sisaan menggunakan metode kuadrat terkecil nonlinear dengan pendekatan numerik Gauss-Newton. 11. Menguji kelayakan model STARIMA dengan eksplorasi MACF dan uji normal ganda Mardia terhadap sisaan. 12. Melakukan pemodelan GSTARIMA dengan orde lag waktu sesuai hasil identifikasi pada langkah (8) dan menggunakan orde satu untuk lag spasial serta menggunakan matriks pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang yang telah diperoleh pada langkah (2). 13. Menduga parameter model GSTARIMA dengan meminimumkan sisaan menggunakan metode kuadrat terkecil nonlinear dengan pendekatan numerik Gauss-Newton. 14. Menguji kelayakan model GSTARIMA dengan eksplorasi MACF dan uji normal ganda Mardia terhadap sisaan. 15. Melakukan peramalan menggunakan model STARIMA dan model GSTARIMA yang telah terbentuk. 16. Melakukan pembandingan ketepatan ramalan antara model STARIMA dan model GSTARIMA, Nurhayati (2012) menggunakan MSE sebagai ukuran ketepatan ramalan, namun pada penelitian ini menggunakan root mean of square error (RMSE) dan mean absolute percentage error (MAPE), RMSE digunakan agar dapat memperlihatkan besar penyimpangan nilai ramalan dari nilai aktualnya sedangkan MAPE digunakan agar dapat mengetahui persentase tingkat kesalahannya. Semakin kecil nilai RMSE dan MAPE menunjukkan semakin akurat peramalan yang dihasilkan. -
∑
dimana N banyaknya lokasi,
-
∑
)̂(
(
∑ -
∑
|
(
) (27)
)- ̂ ( (
)
)
| x 100.
(28)
untuk d adalah ukuran data yang digunakan untuk pengujian model dengan j=1,2, … ,35, dan T adalah ukuran data yang dimodelkan yaitu 300 amatan. Diagram alir analisis data dapat dilihat pada Gambar 2. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak SAS 9.3 menggunakan prosedur PROC VARMAX dan PROC MODEL.
18 Data Harga Gula
Eksplorasi Data
Pembentukan matriks pembobot spasial kebalikan jarak
Uji efek ketergantuangan spasial Indeks Moran
Pembedaan/ transformasi
Pengecekan Stasioneritas data deret waktu
Tidak
Ya
Pengecekan struktur data deret waktu untuk setiap lokasi set data uji (35 data akhir)
Membagi data
Ya
set data yang dimodelkan (300 data awal)
Penentuan orde lag waktu dan lag spasial
Menghitung dua matriks pembobot lokasi: kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang
Pembentukan dan pendugaan parameter model GSTARIMA
Pembentukan dan pendugaan parameter model STARIMA
Pengecekan asumsi sisaan model
Pengecekan asumsi sisaan model
Peramalan harga gula dengan model GSTARIMA
Peramalan harga gula dengan model STARIMA
Menghitung RMSE dan MAPE dari peramalan GSTARIMA
Menghitung RMSE dan MAPE dari peramalan STARIMA
Perbandingan Model dengan RMSE dan MAPE terkecil sebagai yang terbaik
Kesimpulan
Gambar 2 Diagram alir analisis
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Interaksi Spasial pada Fenomena Harga Gula di Pulau Sumatera
Gula merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok. Semua lapisan masyarakat membutuhkannya sehingga harga gula harus dicapai oleh semua orang dan masih memberikan keuntungan bagi petani. Dengan demikian gula termasuk produk pangan yang diawasi dan diatur oleh pemerintah karena berpengaruh terhadap perekonomian nasional dan menjadi salah satu indikator pengukuran inflasi. Menurut Maria (2010) harga gula domestik secara nyata dipengaruhi oleh kebijakan tataniaga. Tataniaga merupakan pemasaran atau distribusi, yaitu kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan barang dari produsen ke konsumen. Biaya tataniaga terbentuk sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan fungsi-fungsi tataniaga. Komponen biaya tataniaga terdiri dari semua jenis pengeluaran yang dikorbankan oleh setiap middleman/lembaga tataniaga (produsen, tengkulak, pedagang pengumpul, eksportir, importir) atas jasa modalnya dan jasa tenaganya dalam menjalankan aktivitas pemasaran tersebut. Biaya tataniaga yang tinggi akan membuat tataniaga kurang/tidak efisien (Manik 2007 mengacu Ull dan Kohl 1980). Komoditi pertanian yang menyangkut kepentingan orang banyak, seperti gula, maka kebijaksanaan harga diatur oleh pemerintah, namun pemerintah hanya menetapkan harga dasar (floor price) dan harga atap (ceiling price) untuk menjaga stabilitas harga. Dengan demikian, biaya tataniaga akan tetap ada sebagai konsekuensi logis dari fungsi-fungsi tataniaga meliputi: pembelian, penjualan, transportasi, penyimpanan, pembiayaan, penanggungan resiko, standarisasi, dan informasi pasar. Biaya tataniaga ini menjadi bagian tambahan harga pada barangbarang yang harus ditanggung oleh konsumen (Manik 2007 mengacu Gultom 1996). Besarnya biaya tataniaga berbeda satu sama lain, tergantung pada (1) macam komoditas yang dipasarkan, (2) macam dan peranan lembaga niaga, semakin banyak lembaga niaga maka semakin panjang rantai tataniaga dan semakin besar biaya tataniaganya (3) lokasi/daerah produsen (Manik 2007 mengacu Daniel 2002). Jika dilihat dari dari bahan baku industri gula, yaitu tebu, menurut BPS (2013), selama periode tahun 2011 sampai tahun 2013 areal perkebunan tebu tersebar di sembilan provinsi yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur, Gorontalo dan Sulawesi Selatan. Kontribusi ini menempatkan Pulau Sumatera sebagai pulau penghasil gula terbesar kedua di Indonesia setelah pulau Jawa. Pulau Sumatera juga merupakan pulau terluas ketiga setelah pulau Papua dan Pulau Kalimantan yaitu seluas 443.065 km2, sehingga perbedaan harga antar ibukota provinsi yang disebabkan oleh biaya tataniaga dapat terjadi. Tabel 1 memperlihatkan statistik deskriptif harga gula, dimana antar ibukota memiliki rataan yang cukup berbeda serta nilai minimum dan maksimum yang beragam.
20 Tabel 1 Statistik deskriptif harga gula (Rp/kg) pada 8 ibukota provinsi di Pulau Sumatera periode 2008-2014 Minimum
Maksimum
Rataan
Banda Aceh Medan Padang Pekanbaru Jambi Palembang Bengkulu
7000 6350 6500 6375 6000 5800 6200
14000 13500 13900 14800 12900 13000 13000
10719 10185 10389 10675 10032 9834 10012
Simpangan baku 1867 1855 2002 2141 1969 2014 1953
Bandar Lampung
5900
13000
9990
2073
Kota
Diantara delapan provinsi di Pulau Sumatera, Provinsi Lampung, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi produsen gula nasional sedangkan kelima provinsi lainnya bukan merupakan provinsi produsen gula. Pengaruh interaksi spasial yang berkaitan dengan fenomena harga gula antar ibukota provinsi dimungkinkan berasal dari pengaruh kedekatan suatu provinsi dengan provinsi produsen gula, maupun yang disebabkan oleh pengaruh biaya tataniaga. Matriks korelasi harga gula antar ibukota provinsi pada Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang tinggi pada harga gula antar ibukota, yaitu lebih dari 0.9 untuk setiap antar pasangan ibukota.
Tabel 2 Matriks korelasi harga gula antar 8 ibukota provinsi di Pulau Sumatera Banda Aceh
Medan
Padang
Pekanbaru
Jambi
Palembang
Bengkulu
Banda Aceh
1.000
Medan
0.971
1.000
Padang
0.977
0.972
1.000
Pekanbaru
0.953
0.942
0.956
1.000
Jambi
0.975
0.966
0.984
0.957
1.000
Palembang
0.970
0.965
0.981
0.943
0.985
1.000
Bengkulu
0.972
0.967
0.982
0.952
0.987
0.981
1.000
Bandar Lampung
0.976
0.966
0.986
0.958
0.989
0.986
0.985
Bandar Lampung
1.000
Korelasi harga gula antar ibukota provinsi sangat tinggi, namun demikian informasi ini belum cukup membuktikan bahwa terdapat pengaruh interaksi spasial/lokasi antar ibukota tersebut. Dengan demikian, perlu dilakukan pengujian untuk mengetahui apakah terdapat efek ketergantungan spasial pada harga gula antar kedelapan ibukota provinsi tersebut. Indeks Moran merupakan teknik dalam analisis spasial untuk menghitung hubungan spasial yang terjadi dalam ruang unit. Uji ini dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan efek ketergantungan
21 spasial. Penggunaan uji ini memerlukan adanya matriks pembobot spasial, pada kasus ini pengujian Indeks Moran menggunakan matriks pembobot kebalikan jarak yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian selanjutnya. Hasil pengujian menggunakan Indeks Moran dengan matriks pembobot kebalikan jarak diberikan pada Tabel 3. Nilai peluang = 0.02581 menunjukkan bahwa kesimpulan yang diambil adalah tolak H0 yang berarti terdapat pengaruh ketergantungan spasial pada harga gula di 8 ibukota provinsi. Selain itu nilai I = 0.0589 menandakan bahwa terdapat korelasi spasial positif walaupun nilainya sangat kecil, dengan kecenderungan pola harga gula yang mengelompok yaitu harga gula tinggi, harga gula sedang dan harga gula rendah. Ibukota provinsi dengan interval harga gula 9834 -10129 (rendah) adalah Bengkulu, Jambi, Palembang dan Bandar Lampung, ibukota provinsi dengan interval 10129-10424 (sedang) adalah Medan dan Padang, sedangkan ibukota provinsi dengan interval 10424-10719 (tinggi) adalah Banda Aceh dan Pekanbaru. Kecenderungan harga gula yang mengelompok ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Tabel 3 Statistik Indeks Moran I 0.05891811
Nilai harapan (I) -0.1428571
Simpangan baku (I) 0.09052292
Nilai peluang 0.02581415
No Scale
Gambar 3 Pola spasial harga gula yang cenderung mengelompok
22 Dengan demikian, telah dapat dikatakan bahwa selain berdasarkan teori biaya tataniaga, harga gula di suatu ibukota provinsi dipengaruhi oleh harga gula di ibukota provinsi lainnya, dimana secara statistik dapat dikatakan harga gula di Pulau Sumatera memiliki pengaruh ketergantungan spasial.
Identifikasi Keheterogenan Struktur Data Deret Waktu
Setelah mengetahui bahwa terdapat pengaruh spasial pada data harga gula, maka selanjutnya untuk membangun model deret waktu berdasarkan model STARIMA dan GSTARIMA, diperlukan informasi mengenai kondisi keheterogenan struktur data deret waktu yang dibangun oleh masing-masing 8 ibukota provinsi tersebut. Hal ini didasarkan pada informasi bahwa model GSTARIMA dikembangkan dari model STARIMA karena dianggap mampu mengakomodir pengaruh struktur data deret waktu lokasi yang berbeda-beda karena menghasilkan parameter-parameter yang berbeda-beda untuk setiap lokasi. Identifikasi model ARIMA mensyaratkan proses data deret waktu yang stasioner sehingga perlu dilakukan pengecekan terhadap kestasioneran data deret waktu harga gula untuk setiap lokasi. Plot data deret waktu harga gula untuk Kota Banda Aceh dan Kota Medan dapat dilihat pada Gambar 4, sedangkan untuk ke enam kota lainnya tersedia pada Lampiran 1. Plot tersebut memperlihatkan bahwa data belum stasioner terhadap rataan sehingga perlu dilakukan pembedaan (differencing). Misalkan merepresentasikan harga gula untuk setiap ibukota ke-i, dimana i=1,2,..,8 dan pada wakut ke-t, dimana t=1,…,335. Pembedaan orde satu dari dinotasikan adalah sebagai berikut: sebagai ()
(
)
(a) (b) Gambar 4 Plot data deret waktu harga gula untuk Kota Banda Aceh (a) dan Kota Medan (b).
Gambar 5 memperlihatkan data yang telah dilakukan pembedaan orde satu untuk Kota Banda Aceh dan Kota Medan, sedangkan untuk ke enam kota lainnya
23 dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil dari penerapan teknik ini menunjukkan bahwa data sudah memenuhi asumsi stasioneritas terhadap rataan, untuk meyakinkan hal ini maka dilakukan uji kestasioneran menggunakan uji formal Augmented Dickey-Fuller. Hasilnya menunjukkan bahwa setiap data deret waktu di masing-masing lokasi telah stasioner, dengan nilai peluang < alfa (0.05) yang berarti data stasioner, hasil dari uji ini dapat dilihat pada Lampiran 3.
(a) (b) Gambar 5 Plot data deret waktu harga gula dengan pembedaan orde satu untuk Kota Banda Aceh (a) dan Kota Medan (b)
Pengecekan terhadap kestasioneran ragam, dapat dilakukan menggunakan uji kehomogenan ragam univariat yaitu uji Levene untuk setiap lokasi. Berdasarkan uji Levene pada Lampiran 4 dihasilkan bahwa data harga gula hasil pembedaan satu kali untuk setiap lokasi telah stasioner, sehingga pemodelan sementara untuk mendapatkan struktur data pembangun harga gula di setiap lokasi dapat dilakukan. Tabel 4 dibawah ini adalah ringkasan dari struktur data deret waktu yang membangun data harga gula di masing-masing ibukota menggunakan teknik eksplorasi dengan melihat skema autocorrelation function (ACF) dan partial autocorrelation function (PACF) pada Lampiran 5. Pada kota Jambi dan Bandar Lampung sulit ditentukan model sementaranya secara eksploratif, namun demikian informasi ini dianggap sudah cukup untuk mengambil kesimpulan bahwa harga gula antar lokasi tidak dibangun oleh stuktur data deret waktu yang sama sehingga dapat dikatakan terdapat pengaruh keheterogenan struktur data pembangun deret waktu pada harga gula di 8 ibukota provinsi Pulau Sumatera.
Tabel 4 Struktur data pembangun harga gula di 8 ibukota provinsi Pulau Sumatera
Struktur data deret waktu
B. Aceh
Medan
Padang
Pekanbaru
Bengkulu
Jambi
Palembang
B.Lampung
IMA (1,2)
ARIMA (1,1,1)
IMA (1,2)
ARIMA (3,1,2)
ARIMA (1,1,1)
Tidak jelas
ARIMA (1,1,1)
Tidak jelas
24 Dengan struktur data deret waktu harga gula yang heterogen ini, maka tahap selanjutnya akan dibentuk model STARIMA yang menghasilkan parameterparameter yang sama untuk setiap lokasi serta model GSTARIMA yang menghasilkan parameter-parameter yang berbeda untuk setiap lokasi. Perbedaan parameter yang dihasilkan inilah yang dianggap akan mampu mengakomodir efek struktur data deret waktu yang berbeda antar lokasi, sekalipun penentuan struktur data deret waktu pada kedua model ini dilakukan secara simultan dengan pendekatan VARIMA. Tahap akhirnya, untuk tujuan peramalan akan dievaluasi model apa yang lebih akurat dalam melakukan peramalan terhadap kondisi data harga gula di 8 ibukota provinsi Pulau Sumatera.
Pembentukan Model STARIMA dan GSTARIMA untuk Data Harga Gula
Setelah data memenuhi asumsi kestasioneran, selanjutnya untuk tujuan peramalan, maka data dikelompokkan menjadi dua set data, yaitu set data pemodelan (training data set) dan set data uji (test data set). Data yang dimodelkan adalah 300 data awal (Januari 2008 sampai Maret 2014) dan data yang digunakan untuk pengujian ketepatan ramalan adalah 35 data akhir (Maret 2014 sampai Desember 2014). Set data untuk pengujian ini digunakan sebagai nilai aktual yang akan dibandingkan dengan nilai hasil ramalan dari model yang telah dibangun dari 300 data awal.
Identifikasi Model Setelah set data pemodelan ditentukan maka tahap selanjutnya adalah mengidentifikasi orde model yang dibangun oleh data harga gula untuk semua lokasi secara simultan. Seperti pada pemodelan deret waktu Box-Jenkins, tahap ini mengidentifikasi model sementara yaitu model dengan karakteristik orde waktu ARI, IMA atau ARIMA, selain itu juga tahap ini menentukan orde spasial yang akan digunakan pada pembentukan model. Orde deret waktu dapat diidentifikasi dengan pendekatan VARIMA menggunakan plot MACF dan MPACF, sama halnya seperti pada identifikasi orde pada data univariat menggunakan ACF dan PACF. Pada data univariat identifikasi dapat dilakukan dengan panduan apabila plot ACF terpangkas (turun dengan cepat) setelah lag keq maka data dibangun berdasarkan proses MA (moving average) dengan orde q, jika plot PACF terpangkas (turun dengan cepat) setelah lag ke-p maka data dibangun berdasarkan proses AR (autoregressive) dengan orde q, namun jika kedua plot ACF dan PACF terpangkas maka kemungkinan data dibangun dari proses AR dan MA sekaligus. Identifikasi menggunakan MACF dan MPACF juga identik seperti pada ACF dan PACF, cukup akurat namun kurang praktis karena membutuhkan pengalaman yang baik pada pemodelan, karena itu untuk meyakinkan identifikasi struktur data yang membangun data secara simultan dapat dilakukan dengan melihat nilai AICC. Semakin kecil nilai AICC berarti semakin baik model tersebut, dengan mengombinasikan metode pengenalan
25 melalui plot MACF dan MPACF serta nilai AICC diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih akurat dan praktis. Gambar 6 dan Gambar 7 memperlihatkan plot MACF dan MPACF dari data, terlihat bahwa pada plot MACF dimulai dari lag ke-1 sudah terlihat banyak tanda (+) yang berarti korelasi positif signfikan secara statistik juga terdapat sedikit tanda (-) yang berarti korelasi negatif signifikan secara statistik, selanjutnya pada lag ke-2 juga masih cukup banyak korelasi yang signifikan baik postif atau negatif, sedangkan pada lag ke-3 sudah mulai didominasi oleh tanda (.) yang berarti tidak signifikan berkorelasi, atau dapat dikatakan mulai terpangkas setelah lag ke-2. Sementara itu dari plot MPACF terlihat tanda (+) dan (-) secara sporadis tersebar di hampir semua lag, namun juga lebih didominasi dengan tanda (.) yang berarti tidak signifikan berkorelasi. Dengan demikian, struktur data deret waktu yang membangun harga gula secara bersamaan dapat dikatakan berasal dari proses MA (2), untuk meyakinkan hal ini dapat dilihat pula pada nilai AICC yang paling kecil pada Tabel 5, proses MA(2) menghasilkan nilai AICC yang paling kecil. Skema MACF dapat memberikan gambaran mengenai hubungan antar peubah, misalnya untuk harga gula di Banda Aceh berdasarkan Gambar 6 dapat dikatakan bahwa harga gula di Banda Aceh berkorelasi dengan harga gula di Banda Aceh sendiri, namun tidak berkorelasi dengan harga gula di Banda Aceh pada pekan sebelumnya. Harga gula di Banda Aceh berkorelasi dengan harga gula pada 1 pekan sebelumnya dari Medan, Pekanbaru dan Bengkulu, serta berkorelasi dengan harga gula pada dua pekan sebelumnya dari Banda Aceh, Medan dan Jambi.
Variable/Lag
0
Banda_aceh
++++++++ .+.++...
-+...+.. .......+
.-...... ..+.+... ........
Medan
+++.++++
..+....+
.-+..+.. ....+...
.-...... ..+.....
........
Padang
+++.++++
.-.+....
.+...+.. ....+...
........
........
........
Pekanbaru
+..+.+..
.++.++++
...-....
....+... ........
-..-....
Bengkulu
+++.++++
...+.+..
.....+.+ ........
........
........
........
Jambi
++++++++ ++++++++ .......+
....+...
........
........
..+.....
Palembang
+++.++++
Bandar_Lampung +++.++++
1
2
3
........
4
5
6
...+..-.
.....+..
....+..+ ........
........
........
...++.+.
.....+..
........
........
..+.....
........
+ is > 2*std error, - is < -2*std error, . is between
Gambar 6 Skema fungsi korelasi silang contoh (MACF)
26 Variable/Lag
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Banda_aceh
.+......
-+......
........
........
........
........
........
........
........
Medan
..+....+
.-+.....
........
.-...... ..+..... ......+.
........
....-... .......+
Padang
.-......
..-.....
........
..-..... .-......
........
....-...
.....-.. ........
Pekanbaru
.+.-...+ ...-....
...-....
....+... .......+ ...-....
........
........
Bengkulu
-..+....
Jambi
.+.+...+ ........
.......+
Palembang
......-.
......-.
....+..+ ........
Bandar_Lampung ......+.
........
.......-
....-+.+ ........
....-.+. ..+.-... ........
+.......
........
........
........
........
..-.+... ..+....+ ........
........
........
......-.
......-.
.......+ ........
.......- .......-
..+.....
........
.+...... ........
...+..+.
+ is > 2*std error, - is < -2*std error, . is between
Gambar 7 Skema fungsi korelasi parsial contoh (MPACF)
Tabel 5 Nilai AICC dari model sementara Lag MA 0 MA 1 MA 2 AR 0 88.021 87.790 87.636 AR 1 87.837 87.904 87.799 AR 2 87.721 87.834 88.007 AR 3 87.938 88.063 88.297 AR 4 88.182 88.329 88.657 AR 5 88.464 88.560 88.868
MA 3 87.864 88.043 88.287 88.645 88.997 89.290
MA 4 88.087 88.339 88.713 88.974 89.365 89.614
MA 5 88.283 88.596 88.956 89.199 89.587 89.813
Melalui pendekatan VARIMA telah diperoleh struktur yang membangun data deret waktu harga gula adalah proses IMA(1,2), dengan demikian model yang akan dibangun adalah model STIMA dan GSTIMA. Selanjutnya adalah penentukan orde spasial yang digunakan untuk membangun model ditetapkan pada orde 1, karena semakin tinggi orde spasial maka akan semakin sulit dalam menginterpretasikan. Dengan demikian, model yang akan dibentuk adalah sebagai berikut: model STIMA () -∑ ∑ , (30) model GSTIMA () ( ) -∑ ∑ dimana, ( ) ( )
( )
*
( )
+
27 Orde spasial pada model ruang waktu (space time) sangat ditentukan oleh pemilihan matriks pembobot. Pada awalnya model ruang waktu dikembangkan menggunakan matriks pembobot contiguity (kedekatan spasial) dimana dapat ditentukan akan mengambil lag 1, lag 2 dan seterusnya berdasarkan hubungan tetangga terdekat ke-1 untuk lag 1 dan seterusnya. Namun demikian, matriks pembobot juga mengalami perkembangan jenisnya, bukan hanya yang mengandalkan hubungan tetangga pada lag ke-1 dan seterusnya, melainkan juga terdapat matriks pembobot spasial kebalikan jarak, serta matriks pembobot normalisasi korelasi silang.
Pembentukan Matriks Pembobot Pada penelitian perbandingan ketepatan peramalan antara STIMA dan GSTIMA ini akan dilihat pula pengaruh aplikasi pembobot kebalikan jarak dan pembobot normalisasi korelasi silang. Alasan memilih pembobot kebalikan jarak adalah informasi bahwa harga gula tidak lepas dari biaya tataniaga sebagai konsekuensi logis dari fungsi-fungsi tataniaga meliputi: pembelian, penjualan, transportasi, penyimpanan, pembiayaan, penanggungan resiko, standarisasi, dan informasi pasar. Besaran biaya tataniaga ini sangat bergantung pada jenis komoditas, panjang rantai tataniaga serta lokasi/daerah produsen (Manik 2007 mengacu Daniel 2002). Rantai tataniaga ini tidak dapat diidentifikasi dengan akurat, sehingga dengan memperhatikan jarak sesungguhanya antar ibukota diharapkan mampu mengakomodir informasi tentang rantai tataniaga ini. Selain itu mengapa pembandingnya menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang adalah karena fleksibilitas pembobot yang tidak bergantung pada jarak antar lokasi, namun hanya mengandalkan pada hubungan korelasi antar lokasi pada lag waktu tertentu. Pembobot ini cukup bermanfaat digunakan saat berhadapan dengan kasus yang tidak secara langsung secara geografis dapat dilihat pengaruh spasialnya namun sesungguhnya terdapat interaksi spasial secara implisit. Gambar 8 merupakan hasil dari penghitungan pembobot kebalikan jarak menggunakan rumus (13), sedangkan Gambar 9 dan Gambar 10 merupakan hasil dari pembobot normalisasi korelasi silang berdasarkan rumus (16). Gambar 9 merupakan pembobot pada lag ke-1 sedangkan Gambar 10 merupakan pembobot pada lag ke-2. Hal ini dikarenakan orde dari struktur data deret waktu adalah MA(2), berarti lag yang bersesuaian adalah lag 1 dan lag 2.
Gambar 8 Matriks pembobot kebalikan jarak
28
Gambar 9 Matriks pembobot normalisasi korelasi silang pada lag 1
Gambar 10 Matriks pembobot normalisasi korelasi silang pada lag 2
Jika pembobot normalisasi pada Gambar 9 dimisalkan W1 dan pembobot normalisasi pada Gambar 10 adalah W2, maka model STIMA dan GSTIMA yang akan dibangun adalah sebagai berikut: model STIMA ( ) ( ) (32) - - - model GSTIMA
( )
( )
dimana, ( ) ( )
( )
*
( )
+
29 Hasil Pendugaan Parameter Model umum STIMA dan GSTIMA yang akan dibangun telah diperoleh selanjutnya adalah menduga parameter-parameter pada masing-masing model menggunakan metode kuadrat terkecil nonlinier dengan penyelesaian menggunakan algoritma Gauss-Newton. Sintak yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Lampiran 6. Metode kuadrat terkecil yang digunakan pada hal ini tidak dapat diperlakukan seperti metode kuadrat terkecil pada regresi biasa, hal ini dikarenakan asumsi dasar mengenai kebebasan (independensi) dari unsur galat (nilai sisa) dapat dengan mudah dilanggar, karena peubah-peubah bebas (ruas kanan) dalam persamaan (32) dan (33), biasanya mempunyai hubungan ketergantungan yang sudah ada (built-in). Parameter-parameter yang dihasilkan oleh GSTIMA lebih banyak dari STIMA, sehingga dalam penghitungan parameter GSTIMA lebih rumit dibandingkan STIMA. Hasil dugaan parameter STIMA menggunakan matriks pembobot kebalikan jarak serta menggunakan matriks pembobot normalisasi korelasi silang dapat dilihat pada Tabel 6. Keempat penduga parameter pada model STIMA menggunakan pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang menghasilkan nilai dugaan yang cenderung tidak berbeda, hal ini dapat dilihat dari nilai selisih yang kecil yaitu untuk nilai dugaan parameter senilai 0.0225, senilai 0.0154, senilai 0.0017 dan senilai 0.0006. Dengan demikian, Tabel 6 menunjukkan bahwa penggunaan matriks pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang menghasilkan nilai dugaan parameter yang cenderung tidak berbeda terhadap pembentukan model STIMA.
Tabel 6 Penduga parameter model STIMA dengan pembobot kebalikan jarak dan pembobot normalisasi korelasi silang KJa Parameter
a
NKSb
Nilai dugaan
Nilai-t
Nilai dugaan
Nilai-t
Selisih nilai dugaan KJ dan NKS
-0.2303
-10.38
-0.2078
-9.91
0.0225
0.4743
14.46
0.4897
15.92
0.0154
-0.2393
-10.91
-0.2376
-11.09
0.0017
0.2341
6.97
0.2347
7.32
0.0006
Menggunakan pembobot kebalikan jarak Menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang
b
Berdasarkan Tabel 7 dan Tabel 8 dapat dilihat bahwa selisih antara nilai dugaan parameter model GSTIMA dengan menggunakan pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang juga cenderung tidak berbeda. Pada Tabel 8 terlihat bahwa untuk semua lokasi selisih nilai dugaan parameter cenderung kecil. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan matriks pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang cenderung menghasilkan pendugaan parameter yang tidak berbeda pula.
30 Tabel 7
Penduga parameter model GSTIMA dengan pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang ̂
̂
̂
̂
Lokasi ke- i
KJa
NKSb
KJa
NKSb
KJa
NKSb
KJa
NKSb
Banda Aceh
1
-0.135
-0.135
0.349
0.358
-0.284
-0.236
0.225
0.205
Medan
2
-0.220
-0.172
0.422
0.349
-0.259
-0.337
0.273
0.424
Padang
3
-0.245
-0.302
0.499
0.499
-0.135
-0.237
0.104
0.395
Pekanbaru
4
-0.230
-0.220
0.753
0.966
-0.323
-0.309
0.055
-0.111
Bengkulu
5
-0.155
-0.120
0.400
0.424
-0.213
-0.213
0.250
0.262
Jambi
6
0.085
0.051
0.079
0.202
-0.114
-0.209
0.188
0.291
Palembang
7
-0.390
-0.303
0.582
0.441
-0.030
-0.094
0.119
0.333
Bandar Lampung
8
-0.332
-0.236
0.597
0.615
-0.327
-0.244
0.417
0.368
Kota
a
Menggunakan pembobot kebalikan jarak b Menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang
Tabel 8 Selisih nilai penduga parameter antara model GSTIMA dengan pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang Kota Banda Aceh
̂
Lokasi ke- i
̂
̂
̂
1
0.000
0.009
0.048
0.020
Medan
2
0.048
0.073
0.078
0.151
Padang
0.057
0.000
0.102
0.291
Pekanbaru Bengkulu
3 4 5
0.010 0.035
0.213 0.024
0.014 0.000
0.166 0.012
Jambi
6
0.034
0.123
0.095
0.103
Palembang
7
0.087
0.141
0.064
0.214
8
0.096
0.018
0.083
0.049
Bandar Lampung
Berdasarkan nilai dugaan parameter STIMA pada Tabel 6, maka model STIMA untuk lokasi ke-i, dengan i=1,2, … ,8 dan j=1,2, … ,8 adalah sebagai berikut: ()
(
)
∑
8
(
)
(
)
∑
8
(
)
()
sedangkan berdasarkan Tabel 7, maka model GSTIMA untuk lokasi ke-i, dengan i=1,2, … ,8 dan j=1,2, … ,8 adalah sebagai berikut: ()
()
(
)
()
∑
8
(
)
()
(
)
()
∑
8
(
)
()
Sebagai contoh model STIMA untuk lokasi Aceh dengan menggunakan pembobot kebalikan jarak berdasarkan rumus (32) adalah sebagai berikut: () (
) (
) (
)∑
8
(
)
31 ( karena
()
) (
( )-
() (
(
)
∑
8
(
)
()
( - ), maka ) ( ) (
) ( )
)( ∑
8
)∑ (
)
8
(
)
()
Model untuk lokasi Aceh tersebut memberikan informasi bahwa harga gula di Aceh ( ) dibangun dari harga gula sebelumnya di Aceh disimbolkan dengan serta dibangun dari model erornya yaitu (- ) 8 8 ( ) ( - )-( )∑ ) ( - )∑ ( - ) ( ( ) yang berarti bahwa harga gula di Aceh dibentuk oleh akumulasi ( - ) efek dari berbagai faktor diluar harga gula itu sendiri dengan formulasi seperti pada model tersebut. Berdasarkan pengetahuan tentang biaya tataniaga, harga gula domestik/lokal juga dipengaruhi oleh rendahnya produksi dalam negeri, penentuan harga patokan petani (HPP) yang ditetapkan pemerintah, biaya distribusi, harga gula dipasar internasional, nilai tukar rupiah, tarif impor, struktur pasar serta alih konsumsi industri makanan dan minuman. Sedangkan pengaruh spasial/lokasi dari model ditandai dengan melekatnya matriks pembobot pada vektor eror lokasi.
Pemeriksaan Asumsi Sisaan Model yang telah terbentuk akan menjadi model yang baik (layak) jika telah memenuhi asumsi sisaan (white noise) yaitu sisaan tidak saling berkorelasi secara multivariat (keacakan sisaan) dan menyebar normal ganda. Makridakis et al. (1999) menggunakan teknik eksplorasi skema ACF untuk mengetahui keacakan dari nilai sisaan pada pemodelan ARIMA univariat. Secara simultan, pemeriksaan diagnostik terhadap kebebasan sisaan dapat dilakukan secara eksplorasi dengan melihat skema plot MACF dari sisaan. Hasil skema MACF sisaan untuk model STIMA dan GSTIMA dengan matriks kebalikan jarak serta untuk model STIMA dan GSTIMA dengan matriks normalisasi korelasi silang secara berurutan ditampilkan oleh Gambar 11, Gambar 12, Gambar 13 dan Gambar 14. Gambar skema MACF dibawah ini memperlihatkan tanda titik (.) yang sudah lebih dominan serta tanda (+) dan (-) yang berpencar secara sporadis artinya sisaan cenderung tidak saling berkorelasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sisaan telah mendekati terpenuhinya asumsi keacakan sisaan (kebebasan sisaan). Asumsi kebebasan sisaan untuk setiap model yang dibentuk baik dari model STIMA maupun GSTIMA dapat dikatakan mendekati white noise.
32 Variable/Lag 1
2
3
4
5
6
7
8
9
B. Aceh1
...+.... ........
........
.-......
..+.+... ........
........ ........
........
Medan1
........
..+.....
........
.-......
..+.....
........
........ ........
.......+
Padang1
.-......
.....++. ........
.-......
........
........
........ ........
........
Pekanbaru1
........
..-..-..
.......+
....+... .......+
-..-.... ........ ........
+.......
Bengkulu1
-..+..-. .......+
........
........
........
........
........
Jambi1
...+.... ........
....+..+ ........
....+...
..+..... ........ ........
......+.
Palembang1
.-...--.
......+.
.......+
........
........
........
........
........
........
........
....+...
..+..... ...-.... .+.-.... .......+
B.Lampung1 .....-..
........ ........
........ ........
+ is > 2*std error, - is < -2*std error, . is between
Gambar 11 Skema MACF sisaan dari model STIMA dengan pembobot kebalikan jarak Variable/Lag
1
2
3
4
5
B. Aceh1
........
........
........
.-......
..+.+... ........
........ ........
........
Medan1
........
..+..... ......+. .-......
..+.....
........
........ ........
.......+
Padang1
.-...... ........
........
........
........ ...-....
........
Pekanbaru1
........
Bengkulu1
......-. ........
........
Jambi1
........
Palembang1
.-.....- ........
B. Lampung1 ........
........
.-......
..-....- .......+ ....+... .......+
........
........
6
7
8
9
-..-.... ........ ........
+.......
........
........
........
....+... ........
....+...
..+..... ........ ........
........
........
........
........
........
.-......
....+..-
..+..... ...-.... .+.-.... .......+
........
........ ........
......+.
........ .......+ ........
+ is > 2*std error, - is < -2*std error, . is between
Gambar 12 Skema MACF sisaan dari model GSTIMA dengan pembobot kebalikan jarak Variable/Lag
1
2
B. Aceh1
.....-..
........ .......+ .-......
..+.+... ........
........ ........
........
Medan1
........
........ ........
.-......
..+.....
........
......-. ........
.......+
Padang1
.-......
........ ........
.-......
........
........
........ ........
........
Pekanbaru1
.....-..
........ .......+ ....+... .......+
-..-.... ........ ......+. +.......
Bengkulu1
-..+....
........ ........
........
........
Jambi1
...+.+.+ ........ .......+ .-......
....+...
..+..... ........ ........
...+..+.
Palembang1
.-......
........ .......+ .-......
........
........
........
........ ........
........
..+..... ........ .+.-.... .......+
B. Lampung1 ........
3
4
........
.-......
5
6
7
8
........ ........
........ ........
9
........
+ is > 2*std error, - is < -2*std error, . is between
Gambar 13
Skema MACF sisaan dari model STIMA dengan pembobot normalisasi korelasi silang
33 Variable/Lag
1
B. Aceh1
2
3
4
5
........ ........ ........
..-.....
....+... ........
........ ........
........
Medan1
........ ........ ........
.-......
..+..... ........
........ ........
.......+
Padang1
.-...... ........ ........
.-......
........
........ ........
........
Pekanbaru1
........ ..-....- ........
....+... .......+ -..-.... ........ ........
+.......
Bengkulu1
........ ........ ........
........
........
........
Jambi1
........ ........ ........
........
....+... ..+..... ........ ........
......+.
Palembang1
.-...... ........ .......+ ........
........
........
B. Lampung1 ........ ........ ........
.-......
6
........
........
........
7
8
........ ........
........ ........
9
....+..- ..+..... ...-.... .+...... ......++
+ is > 2*std error, - is < -2*std error, . is between
Gambar 14 Skema MACF sisaan dari model GSTIMA dengan pembobot normalisasi korelasi silang
Sementara itu berdasarkan uji Mardia (uji kenormalan sisaan) pada Lampiran 7, diperoleh informasi bahwa sisaan tidak menyebar normal ganda. Asumsi sisaan menyebar normal ganda diperlukan karena adanya penggunaan pendekatan uji t untuk mengetahui signifikansi dari penduga parameternya. Namun demikian, hal ini tidak menjadi masalah karena tujuan dari pembentukan model adalah untuk melakukan peramalan, sehingga yang diperlukan adalah nilainilai dari penduga parameternya saja (koefisien penduga parameter), bukan untuk mengetahui pengaruh signifikan dari penduga parameter. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa model yang diperoleh sudah layak untuk melakukan peramalan. Model yang sudah layak ini atau dikenal dengan istilah fitted model juga dapat memberikan informasi tentang nilai prediksi dari model (in model) yang dapat menunjukkan kedekatan nilai antara nilai aktual (in model) dan nilai prediksinya. Plot nilai prediksi dari fitted model dan nilai aktual (in model) dari model STIMA dan GSTIMA dengan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Banda Aceh, dan Kota Medan dapat dilihat pada Gambar 15 dan Gambar 16, sedangkan plot untuk kempat kota lainnya yaitu Kota Padang, Kota Pekanbaru, Kota Bengkulu, Kota Jambi, Kota Palembang, dan Kota Bandar Lampung dapat dilihat pada Lampiran 8 dan Lampiran 9.
34
(a)
(b)
Gambar 15 Plot nilai prediksi ( ) dari fitted model dan nilai aktual ( ) (in model) model STIMA dengan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Banda Aceh (a), dan Kota Medan (b)
(a)
(b)
Gambar 16 Plot nilai prediksi ( ) dari fitted model dan nilai aktual ( ) (in model) model GSTIMA dengan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Banda Aceh (a), dan Kota Medan (b)
Berdasarkan Gambar 15 dan Gambar 16 terlihat bahwa pola dari nilai prediksi telah mengikuti pola nilai aktualnya baik pada model STIMA maupun model GSTIMA dengan menggunakan pembobot kebalikan jarak. Sedangkan Plot nilai prediksi dari fitted model dan nilai aktual (in model) dari model GSTIMA dan STIMA dengan pembobot normalisasi korelasi silang untuk kedelapan Kota dapat dilihat pada Lampiran 10 dan Lampiran 11. Baik menggunakan pembobot kebalikan jarak maupun pembobot normalisasi korelasi silang, keduanya menghasilkan nilai prediksi yang cenderung mengikuti pola nilai aktualnya.
35 Kajian Perbandingan Ketepatan Peramalan STIMA dan GSTIMA
Peramalan Jangka Panjang Peramalan jangka panjang yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah peramalan 35 kedepan (35-step-ahead) secara langsung menggunakan informasi data harga gula terakhir (base time) yaitu harga gula pada t = 300, selanjutnya menggunakan model yang telah diperoleh untuk melakukan peramalan untuk t = 301, t = 302, sampai t = 335. Untuk tujuan peramalan dari model STIMA dengan pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang, maka nilai ramalan h kedepan (h-stepahead) bagi masing-masing lokasi ke-i, dengan i=1,2, …,8 dapat dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini: ̂
̂ ( h)
h) ̂ ∑
(
̂ ∑
8
(
8
h) ̂
(
(
h)
( h)
h)
dimana ̂ ( h) ̂ ( h)-̂ ( h- ), sehingga, nilai ramalan 1 kedepan (1-stepahead) adalah sebagai berikut: ̂(
̂
)
() ̂ ∑ ̂ ∑
̂(
)
̂
() ̂ ∑
8
8
() ̂
8
(
() ̂
)
(
) ̂ ()
(
) ̂ ∑
(
)
8
(
) ̂()
Nilai dari ( h) tidak akan diketahui karena nilai harapan dari sisaan acak pada masa yang akan datang harus bernilai nol. Namun demikian, kita dapat mengganti nilai ( ) ( - ) ( - ) dengan nilai yang diperoleh secara empirik dari model yang telah layak (fitted model) (Makridakis et al. 1999), pada penelitian ini nilai ( ) ( - ) ( - ) diperoleh dari hasil iterasi terakhir menggunakan algoritma Gauss-Newton. Nilai ramalan 2 kedepan (2-step-ahead) diperoleh dari formulasi di bawah ini: ̂(
)
̂
̂ ∑ ̂(
) ̂
) ̂ ∑
( 8
8
()
() ̂ ∑
( (
8
) ̂
()
̂(
)
() ̂(
)
)
36 Nilai ramalan 3 kedepan (3-step-ahead) diperoleh dari formulasi di bawah ini: ̂(
)
̂
) ̂ ∑
(
̂ ∑
8
8
( ̂(
)
) ̂(
) ̂
( (
)
̂(
(
)
)
)
Nilai ramalan 4 kedepan (4-step-ahead) diperoleh dari formulasi di bawah ini: ̂(
)
̂
) ̂ ∑
(
̂ ∑
8
( ̂(
8
)
) ̂(
( (
)
) ̂
(
̂(
)
)
)
Dengan demikian, dimulai dari nilai ramalan 2 ke depan sampai nilai ramalan 35 kedepan akan bernilai sama (konstan). Model GSTIMA dengan pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang dengan nilai ramalan h kedepan (h-step-ahead) bagi masing-masing lokasi dapat dihitung dengan menggunakan cara yang sama seperti pada peramalan dari model STIMA. Perbedaannya hanya terletak pada parameter yang berbeda untuk setiap lokasi, seperti yang ditampilkan pada Tabel 7. Nilai ramalan h kedepan dari model GSTIMA adalah sebagai berikut: ̂ ( h)
̂( ) ( ̂( ) ∑
() h) ̂ ∑ 8
(
8
h)
( ( h)
() ( h) ̂
̂( h )
h) (
)
Plot nilai ramalan dari model STIMA dan GSTIMA dengan menggunakan pembobot kebalikan jarak terhadap nilai aktual untuk Kota Banda Aceh dan Kota Medan disajikan pada Gambar 17, sedangkan untuk keenam kota lainnya tersedia pada Lampiran 12. Plot nilai ramalan dari model STIMA dan GSTIMA dengan menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang terhadap nilai aktual untuk Kota Banda Aceh dan Kota Medan disajikan pada Gambar 18, sedangkan untuk keenam kota lainnya tersedia pada Lampiran 13.
37
(a)
(b)
Gambar 17
Plot nilai aktual ( ) terhadap nilai ramalan jangka panjang bagi model GSTIMA ( ) dan model STIMA ( ) menggunakan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Aceh (a) dan Kota Medan (b)
38
(a)
Gambar 18
(b) Plot nilai aktual ( ) terhadap nilai ramalan jangka panjang bagi model GSTIMA ( ) dan model STIMA ( ) menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang untuk Kota Aceh (a) dan Kota Medan (b)
Berdasarkan Gambar 17 dan Gambar 18 terlihat bahwa plot hasil ramalan menggunakan model STIMA dan GSTIMA berhimpit baik saat menggunakan pembobot kebalikan jarak maupun normalisasi korelasi silang yang berarti hasil ramalan cenderung tidak berbeda, namun tingkat keakuratan dapat diukur menggunakan RMSE dan MAPE yang akan disajikan selanjutnya. Gambar tersebut juga memperlihatkan kecenderungan nilai ramalan yang lebih tinggi dari nilai aktualnya serta bernilai konstan setelah ramalan 2 kedepan. Hal ini dikarenakan struktur data MA mempunyai karakteristik nilai ramalan yang konstan setelah mencapai orde MA yang tertinggi. Sementara itu, nilai aktual pada awal deret waktu untuk semua lokasi cenderung meningkat, dan selanjutnya turun ekstrim kemudian stabil, dan pada periode tertentu kembali naik atau turun dan kembali stabil untuk beberapa periode waktu. Setelah mendapatkan nilai ramalan harga gula untuk delapan ibukota porvinsi di Pulau Sumatera dari kedua model STIMA dan GSTIMA dengan masing-masing menggunakan pembobot kebalikan jarak dan pembobot
39 normalisasi korelasi silang, maka tahap selanjutnya adalah membandingkan ketepatan peramalan dari STIMA dan GSTIMA untuk setiap penggunaan matriks dengan masing-masing kedua pembobot tersebut. Ketepatan peramalan dievaluasi menggunakan akar kuadrat nilai tengah sisaan, RMSE (root mean square error) yaitu formulasi (25) dan (26), RMSE sering disebut juga sebagai RMSD (root mean square deviation). Selain itu juga menggunakan persentase nilai tengah absolut dari sisaan, MAPE (mean absolute percentage eror) yaitu formulasi (27) dan (28). RMSE memberikan informasi besaran penyimpangan nilai ramalan terhadap nilai aktual sedangkan MAPE memberikan informasi persentase tingkat kesalahan dari nilai ramalan, semakin kecil nilai keduanya maka dapat dikatakan hasil ramalan semakin akurat/baik. Tabel 9 dan Tabel 10 masing-masing menunjukkan perbandingan nilai RMSE dan MAPE dari hasil ramalan untuk STIMA dan GSTIMA menggunakan matriks pembobot kebalikan jarak dan matriks pembobot normalisasi korelasi silang. Tabel 9 Perbandingan nilai RMSE dan MAPE ramalan jangka panjang pada model yang menggunakan pembobot kebalikan jarak Lokasi ke- i
Nama lokasi
RMSE (Rp) STIMA
STIMA
GSTIMA
295.39
0.81
0.75 a 3.36 a
1
Banda Aceh
292.99
2
Medan
465.95
465.24 a
3.38
3
Padang
362.64
362.44 a
2.30
2.30
4
Pekanbaru
202.19
201.80 a
0.76
0.72 a
5
Jambi
486.45
475.08 a
4.40
4.28 a
6
Palembang
572.70 a
583.74
4.77 a
4.86
a
846.91
7.46
a
7.67
857.90
7.47 a
8.00
7
Bengkulu
825.80
8
Bandar Lampung
830.79 a a
a
504.94 511.06 3.95 3.99 Hasil peramalan menggunakan model yang bersesuaian terhadap kolom lebih baik berdasarkan kriteria tersebut. Rataan dari model
a
a
MAPE (%)
GSTIMA
Tabel 10 Perbandingan nilai RMSE dan MAPE ramalan jangka panjang pada model yang menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang Lokasi ke- i 1
Nama lokasi Banda Aceh
292.76
MAPE (%)
GSTIMA
STIMA
GSTIMA
292.12
a
0.82
a
0.84
a
3.41
3.37a
2
Medan
466.52
465.07
3
Padang
373.59a
379.21
2.44a
2.51
a
201.97
0.50a
0.73
a
4.42
4.28a
4
Pekanbaru
201.27
5
Jambi
487.61
475.18
6
Palembang
570.72a
575.55
4.75a
4.79
a
867.39
7.81
a
7.88
829.69
7.47a
7.71
7
Bengkulu
860.38
8
Bandar Lampung
805.96a a
a
507.35 510.77 3.95 4.01 Hasil peramalan menggunakan model yang bersesuaian terhadap kolom lebih baik berdasarkan kriteria tersebut. Rataan dari model
a
RMSE (Rp) STIMA
40 Berdasarkan Gambar 17 dan Gambar 18 terlihat bahwa hasil ramalan baik dengan model STIMA maupun GSTIMA untuk peramalan jangka panjang menghasilkan nilai ramalan yang tidak mengikuti pola nilai aktualnya, namun menghasilkan nilai RMSE dan MAPE yang kecil, bahkan nilai MAPE yang dihasilkan kurang dari 5% untuk seluruh model di setiap lokasi, kecuali Kota Bengkulu dan Bandar Lampung. Nilai MAPE yang kurang dari 5% pada umumnya menginformasikan bahwa model yang dibentuk sudah cukup baik dalam melakukan peramalan. Nilai ramalan pada model-model ini konstan setelah h kedepan ketika h sama dengan ordo deret waktu tertinggi pada model yang digunakan yaitu h = 2. Dengan demikian untuk mendapatkan informasi nilai ramalan yang diharapkan lebih representatif terhadap nilai aktualnya akan dilakukan peramalan jangka pendek.
Peramalan Jangka Pendek Peramalan jangka pendek yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah peramalan 2 kedepan (2-step-ahead) menggunakan informasi data harga gula terakhir (base time) yaitu harga gula pada t = 300, selanjutnya menggunakan model yang telah diperoleh dalam melakukan peramalan untuk t = 301 dan t = 302. Selanjutnya untuk meramalkan harga gula pada t = 303 dan t = 304 maka diasumsikan bahwa informasi nilai aktual harga gula pada t = 301 dan t = 302 telah ada, dengan demikian base time yang digunakan berubah menjadi t = 302 untuk meramalkan harga gula pada t = 303 dan t = 304. Sebagai contoh untuk model STIMA pada rumus (36), nilai ramalan 1 kedepan (1-step-ahead) dengan base time t = 302 adalah sebagai berikut: ̂(
̂
) ̂ ∑
8
)̂ ∑
( (
)
8
(
(
)̂
) ̂(
(
)
)
8
) tidak akan diketahui karena nilai harapan dari sisaan acak pada Nilai dari ( ) dan ( ) masa yang akan datang harus bernilai nol. Sedangkan nilai ( ( )-̂ ( ) dan ( )-̂ ( ), sedangkan masing-masing diperoleh dari ̂( ̂ ) dan ( ) adalah nilai ramalan yang telah diperoleh sebelumnya. Selanjutnya nilai ramalan 2 kedepan (2-step-ahead) diperoleh dari formulasi di bawah ini: ̂(
) ̂
(
)̂ ∑
8
(
) ̂(
)
) diperoleh dari nilai ramalan sebelumnya. Proses seperti ini terus dimana ̂ ( berlanjut dengan mengganti-ganti nilai base time untuk melakukan peramalan setiap 2 periode kedepan sampai mencapai nilai ramalan untuk t = 335. Plot hasil ramalan harga gula untuk setiap lokasi menggunakan model STIMA dan GSTIMA dengan pembobot kebalikan jarak disajikan pada Gambar 19 dan Lampiran 14.
41 Sedangkan hasil ramalan harga gula menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang disajikan pada Gambar 20 dan Lampiran 15. Gambar 19 dan Gambar 20 memperlihat fluktuasi nilai ramalan yang mengikuti nilai aktualnya, selain itu nilai ramalan juga terlihat relatif lebih dekat terhadap nilai aktualnya. Hal ini memperlihatkan bahwa model STIMA dan GSTIMA dengan ordo deret waktu satu dan ordo spasial satu merupakan model yang sesuai digunakan untuk melakukan peramalan jangka pendek.
(a)
(b) Gambar 19
Plot nilai aktual ( ) terhadap nilai ramalan jangka pendek bagi model GSTIMA ( ) dan model STIMA ( ) menggunakan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Aceh (a) dan Kota Medan (b)
42
(a)
(b) Gambar 20
Plot nilai aktual ( ) terhadap nilai ramalan jangka pendek bagi model GSTIMA ( ) dan model STIMA ( ) menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang untuk Kota Aceh (a) dan Kota Medan (b)
Seperti halnya pada peramalan jangka panjang, pada peramalan jangka pendek juga dihitung nilai RMSE dan MAPE dari keseluruhan hasil ramalan. Tabel 11 dan Tabel 12 masing-masing menunjukkan perbandingan nilai RMSE dan MAPE dari hasil ramalan untuk STIMA dan GSTIMA menggunakan matriks pembobot kebalikan jarak dan matriks pembobot normalisasi korelasi silang.
43 Tabel 11 Perbandingan nilai RMSE dan MAPE ramalan jangka pendek pada model yang menggunakan pembobot kebalikan jarak Lokasi ke- i
Nama lokasi
STIMA
GSTIMA
STIMA
a
404.53
1.79
1.78 a
694.12
4.29 a
4.37
a
1.50
1.16 a
1.37
1.56
1.53 a
1
Banda Aceh
398.18
2
Medan
684.22 a
a
3
Padang
303.31
302.95
4
Pekanbaru
281.59
265.99 a a
1.49
GSTIMA
5
Jambi
400.88
399.59
6
Palembang
357.35 a
363.23
1.73
1.68 a
7
Bengkulu
323.23 a
340.61
1.77 a
1.86
a
526.53
3.06 a
3.38
8
Bandar Lampung
519.53
a
a
408.54 412.19 2.11 2.19 Hasil peramalan menggunakan model yang bersesuaian terhadap kolom lebih baik berdasarkan kriteria tersebut. Rataan dari model
a
MAPE (%)
RMSE (Rp)
Tabel 12 Perbandingan nilai RMSE dan MAPE ramalan jangka pendek pada model yang menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang Lokasi ke- i
Nama lokasi
STIMA
GSTIMA
STIMA
a
402.63
1.85
1.76 a
700.33
4.24 a
4.64
305.09
1.55
a
1.75
1.12
a
1.47
1
Banda Aceh
400.91
2
Medan
675.50 a
Padang
a
3 4
Pekanbaru
MAPE (%)
RMSE (Rp)
287.33
277.27
GSTIMA
271.84
a a
1.63
1.56 a
5
Jambi
399.17
389.57
6
Palembang
363.89
353.32 a
1.82
1.74 a
7
Bengkulu
308.13 a
350.29
1.66 a
1.92
3.17
3.04 a
8
Bandar Lampung
515.72
484.71
a
403.49 a 407.22 2.13 a 2.23 Hasil peramalan menggunakan model yang bersesuaian terhadap kolom lebih baik berdasarkan kriteria tersebut. Rataan dari model
a
Berdasarkan Tabel 11 dan Tabel 12 terlihat bahwa peramalan jangka pendek menggunakan model STIMA baik dengan pembobot kebalikan jarak maupun pembobot normalisasi korelasi silang menghasilkan nilai RMSE dan MAPE yang lebih kecil dibandingkan peramalan menggunakan model GSTIMA. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa model STIMA lebih akurat untuk meramalkan harga gula di ibukota provinsi Pulau Sumatera dibandingkan model GSTIMA baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek. Peramalan jangka pendek menghasilkan nilai ramalan yang mengikuti pola nilai aktualnya. Selain itu juga peramalan jangka pendek menghasilkan nilai RMSE dan MAPE yang lebih kecil dibandingkan peramalan jangka panjang. Misalnya, untuk model STIMA dengan pembobot kebalikan jarak diperoleh nilai RMSE sebesar 408.54 dan MAPE sebesar 2.11% pada peramalan jangka pendek, sedangkan pada peramalan jangka panjang menghasilkan nilai RMSE sebesar
44 504.94 dan MAPE sebesar 3.95%. Dengan demikian, model STIMA dan GSTIMA yang dibangun merupakan model yang baik digunakan untuk peramalan jangka pendek.
Pengaruh Struktur Data Deret Waktu terhadap Hasil Ramalan Berdasarkan hasil ramalan baik jangka panjang maupun jangka pendek diperoleh hasil bahwa model STIMA konsisten memberikan hasil ramalan yang lebih akurat dibandingkan model GSTIMA baik menggunakan pembobot kebalikan jarak maupun pembobot normalisasi korelasi silang. Dengan demikian, pada kasus peramalan harga gula di Pulau Sumatera pada periode 2008-2014 ini, asumsi bahwa GSTIMA dianggap lebih mampu mengakomodir pengaruh struktur data lokasi yang beragam dengan hasil parameter yang berbeda-beda untuk setiap lokasi tidak menjamin akan dapat meningkatkan keakuratan peramalannya. Namun demikian, jika dilihat dari struktur data harga gula setiap lokasi yang berbeda-beda namun masih dalam kategori tidak terlalu ekstrim berbeda, memungkinkan kurang tampaknya efek dari parameter yang berbeda-beda pada model GSTIMA terhadap nilai ramalannya, sehingga saat kondisi keheterogenan yang seperti apakah GSTIMA akan lebih baik dari STIMA dalam melakukan peramalan masih menjadi bahan kajian yang menarik.
Pengaruh Penggunaan Jenis Pembobot terhadap Hasil Ramalan Secara umum berdasarkan kriteria RMSE penggunaan pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang tidak terlihat kekonsistenannya dalam hal menghasilkan ramalan yang lebih akurat pada model STIMA dan GSTIMA. Misalnya, pada peramalan jangka panjang menggunakan kriteria RMSE, penggunaan pembobot kebalikan jarak pada model STIMA menghasilkan RMSE yang lebih kecil dibandingkan pembobot normalisasi korelasi silang. Sedangkan pada model GSTIMA penggunaan pembobot normalisasi korelasi silang menghasilkan RMSE yang lebih kecil dibandingkan penggunaan pembobot kebalikan jarak. Sementara itu berdasarkan kriteria MAPE, pembobot kebalikan jarak menghasilkan nilai yang konsisten lebih kecil dibandingkan penggunaan pembobot normalisasi korelasi silang. Selain itu selisih nilai RMSE dan MAPE antara kedua pembobot ini cenderung kecil, sehingga dapat dikatakan bahwa performa kedua pembobot ini cenderung sama. Informasi lain yang dapat diperoleh dari penggunaan kedua pembobot ini adalah bahwa matriks pembobot normalisasi korelasi silang meskipun bukan pembobot yang berdasarkan konsep spasial (kedekatan antar lokasi ataupun jarak), hasil ramalannya cenderung sama dengan pembobot yang memang menggunakan konsep spasial atau geografisnya secara langsung. Dengan kata lain pembobot normalisasi korelasi silang yang mengandalkan nilai korelasi antar lokasi pada lag waktu tertentu telah mengandung informasi yang berkaitan dengan kedekatan wilayah secara spasial, bahkan mungkin mengandung informasi tambahan di luar kedekatan antar wilayah. Dengan demikian, berdasarkan kasus pada penelitian ini, pembobot normalisasi korelasi silang dapat dijadikan alternatif
45 pembobot pada model ruang waktu. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Suhartono dan Subanar (2006) dengan menggunakan data simulasi bahwa pembobot korelasi silang menghasilkan parameter yang optimal dibandingkan pembobot spasial lainnya untuk model ruang waktu terampat (generalized space time).
46
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Data deret waktu harga gula pada tahun 2008 sampai 2014 pada delapan ibukota provinsi di Pulau Sumatera, yaitu Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Bengkulu, Jambi, Pelembang dan Bandar Lampung secara simultan dibangun oleh proses MA (moving average) orde 2. Selain itu terdapat pengaruh interaksi spasial pada data harga gula, sehingga pemodelan model STIMA dan GSTIMA dapat dilakukan. Berdasarkan tujuan penelitian maka dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan pendekatan VARIMA: 1. Model ruang waktu (space time) yang terbentuk adalah model STIMA dan GSTIMA berorde 2 untuk lag waktu dan berorde 1 untuk lag spasial. 2. Model STIMA lebih akurat untuk meramalkan harga gula pada 8 ibukota provinsi di Pulau Sumatera dibandingkan model GSTIMA berdasarkan kriteria RMSE dan MAPE. 3. Pemodelan menggunakan pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang menghasilkan nilai ramalan harga gula yang cenderung tidak berbeda baik untuk model STIMA dan GSTIMA. 4. Model STIMA dan GSTIMA yang dihasilkan adalah model yang sesuai digunakan untuk peramalan jangka pendek. 5. Untuk tujuan peramalan, model yang lebih kompleks seperti GSTIMA tidak menjamin keakuratan yang lebih baik dibandingkan model STIMA yang lebih sederhana.
Saran
1. Pembobot normalisasi korelasi silang dapat dijadikan alternatif pemilihan pembobot yang cukup bermanfaat untuk tujuan peramalan jika penggunaan matriks pembobot secara geografis seperti pembobot kebalikan jarak maupun pembobot kedekatan lokasi (contiguity) tidak memungkinkan untuk dilakukan misalnya pada peramalan jumlah wisatawan asing pada beberapa lokasi wisata yang tidak secara langsung berdekatan. 2. Kajian mengenai saat kondisi heterogen yang seperti apakah model GSTARIMA akan lebih baik dari STARIMA merupakan pertanyaan yang masih terbuka untuk dikaji.
47
DAFTAR PUSTAKA Borovkova SA, Lopuhaa HP, Nurani B. 2002. Generalized STAR model with experimental weights. Di dalam: M Stasinopoulos & G Touloumi. Editor. Proceedings of the 17th International Workshop on Statistical Modeling. 139-147. Borovkova SA, Lopuhaa HP, Nurani B. 2008. Consistency and asymptotic normality of least squares estimators in generalized STAR models. Statistica Neerlandica. 62(4):482-508. Makridakis S, Wheelwright SC, McGee VE. 1999. Metode dan Aplikasi Peramalan, Ed ke-2. Suminto Hari, penerjemah; Jakarta: Binarupa Aksara. Terjemahan dari: Forecasting: Methods and Application, Second Edition. Manik OM. 2007. Tataniaga Gula Pasir di Sumatera Utara [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara. Maria. 2010. Kebijakan Tataniaga Gula terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir. [diunduh 2015 Mei 28]. Tersedia pada: http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_MP_02_2010.pdf. Min X, Hu J, Zhang Z. 2010. Urban Traffic Network Modeling and Short-term Traffic Flow Forecasting Based on GSTARIMA Model. 13th International IEEE, Annual Conference on Intelligent Transportation Systems; 2010 September 19-22; Madeira Island, Portugal. Nurani B. 2002. Pemodelan Kurva Produksi Minyak Bumi Menggunakan Model Generalisasi S-TAR. Jurnal Forum Statistika dan Komputasi, IPB, Bogor. Nurhayati N, Pasaribu US, Neswan O. 2012. Application of Generalized SpaceTime Autoregressive Model on GDP Data in West European Countries. Hindawi Publishing Corporation Journal of Probability and Statistics. Pfeifer PE, Deutsch SJ. 1980, A three stage iterative procedure for space-time modeling. Technometrics. 22:35-47. [SAS Inc]. SAS Institute Inc. (US) . 2011. SAS 9.3. Help and Documentation. Sawada M. [tahun tidak diketahui]. Global Spatial Autocorrelation Indices Moran's I, Geary's C and the General Cross-Product Statistic. University of Ottawa. [diunduh 2015 Feb 1]. Tersedia pada: http://www.lpc.uottawa.ca/ publications/moransi/moran.htm Suhartono, Subanar. 2006. The Optimal Determination of Space Weight in GSTAR Model by using Cross-correlation Inference. Journal of Quantitative Methods: Journal Devoted to The Mathematical and Statistical Application in Various Fields. 2(2):45-53. Supriyati. 2011. Kaji Ulang Konsep Neraca Gula Nasional: Konsep Badan Ketahanan Pangan vs Dewan Gula Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian [Internet]. [diunduh 2015 Juni 27]. 9(2):109-124. Tersedia pada: http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/ART9-2a.pdf. Wei W. 2006. Time Series Analysis: Univariate and Multivariate Methods. New york: Addison-Wesley Publishing Co. Wutsqa DU, Suhartono, Sutijo B. 2010. Generalized Space-Time Autoregressive Modeling. Proceedings of the 6th IMT-GT Conference on Mathematics, Statistics and its Applications (ICMSA2010); Kuala Lumpur, Malaysia.
48 Zhou M, Buongiorno J. 2006. Space-Time Modeling of Timber Prices. Journal of Agricultural and Resource Economics. 31(1):40-56.
49 Lampiran 1
Plot data deret waktu harga gula untuk Kota Padang (a), Kota Pekanbaru (b), Kota Jambi (c), Kota Palembang (d), Kota Bengkulu (e), dan Kota Bandar Lampung (f).
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
50 Lampiran 2
Plot data deret waktu harga gula dengan pembedaan orde satu untuk Kota Padang (a), Kota Pekanbaru (b), Kota Jambi (c), Kota Palembang (d), Kota Bengkulu (e), dan Kota Bandar Lampung (f).
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
51 Lampiran 3 Hasil Uji Dicky Fuller untuk data harga gula dengan pembedaan 1 Dickey-Fuller Unit Root Tests Variable
Type
Banda_aceh
Zero Mean
Medan
Padang
Pekanbaru
Bengkulu
Jambi
Palembang
Rho Pr < Rho
Tau Pr < Tau
-410.04
0.0001 -14.27
<.0001
Single Mean -413.26
0.0001 -14.30
<.0001
Trend
-420.36
0.0001 -14.40
<.0001
Zero Mean
-401.91
0.0001 -14.13
<.0001
Single Mean -404.61
0.0001 -14.15
<.0001
Trend
-410.27
0.0001 -14.23
<.0001
Zero Mean
-382.12
0.0001 -13.78
<.0001
Single Mean -385.97
0.0001 -13.82
<.0001
Trend
-391.91
0.0001 -13.91
<.0001
Zero Mean
-458.01
0.0001 -15.08
<.0001
Single Mean -460.13
0.0001 -15.09
<.0001
Trend
-464.76
0.0001 -15.14
<.0001
Zero Mean
-320.57
0.0001 -12.61
<.0001
Single Mean -324.54
0.0001 -12.67
<.0001
Trend
-328.58
0.0001 -12.73
<.0001
Zero Mean
-232.14
0.0001 -10.72
<.0001
Single Mean -236.16
0.0001 -10.79
<.0001
Trend
-240.80
0.0001 -10.89
<.0001
Zero Mean
-360.39
0.0001 -13.38
<.0001
Single Mean -364.85
0.0001 -13.44
<.0001
-368.02
0.0001 -13.48
<.0001
-243.11
0.0001 -10.98
<.0001
Single Mean -246.83
0.0001 -11.04
<.0001
-250.19
0.0001 -11.10
<.0001
Trend Bandar_Lampung Zero Mean
Trend
Hipotesis: H0: Data tidak stasioner H1: Data stasioner
Keputusan: Tolak H0 jika nilai peluang kurang dari alfa = 5%.
52 Lampiran 4 Uji Levene
Hipotesis: H0 : Data homogen. H1 : Data tidak homogen. Tolak H0 jika p-value < alpha.
53 Lampiran 5 Identifikasi struktur data yang membangun harga gula pada setiap lokasi (8 ibukota provinsi)
Aceh: ACF terpangkas setelah lag 2 PACF signifikan setelah lag 2 namun tampak turun perlahan. Kesimpulan: Struktur data yang membangun data deret waktu adalah IMA (1,2)
Medan: ACF terpangkas setelah lag 1 PACF terpangkas setelah lag 1 Kesimpulan: Struktur data yang membangun data deret waktu adalah ARIMA (1,1,1)
Padang: ACF terpangkas setelah lag 2 PACF signifikan pada lag 2 namun tidak signifikan pada lag 1. Kesimpulan: Struktur data yang membangun data deret waktu adalah IMA (1,2)
54
Pekanbaru: ACF terpangkas setelah lag 2 PACF terpangkas setelah lag 3 Kesimpulan: Struktur data yang membangun data deret waktu adalah ARIMA(3,1,2)
Bengkulu: ACF terpangkas setelah lag 1 PACF terpangkas setelah lag 1 Kesimpulan: Struktur data yang membangun data deret waktu adalah ARIMA (1,1,1)
Jambi: ACF dan PACF signifikan pada lag 10 namun tidak signifikan pada awal-awal lag Kesimpulan: Struktur data yang membangun data deret waktu tidak jelas.
55
Palembang: ACF terpangkas setelah lag 1 PACF terpangkas setelah lag 1 Kesimpulan: Struktur data yang membangun data deret waktu adalah ARIMA (1,1,1)
Lampung: ACF turun melambat namun signifikan pada lag 17 dan 26,dan tidak signifikan pada lag-lag awal. PACF turun melambat dan tidak ada yang signifikan. Kesimpulan: Struktur data yang membangun data deret waktu masih tidak jelas. Keterangan: Format stuktur data ARIMA (p,d,q)
56 Lampiran 6 Sintak Pemodelan Sintak Identifikasi Struktur Data Deret Waktu Secara Simultan Menggunakan Pendekatan VARIMA Data Harga_gula; Input Waktu Banda_aceh Medan Padang Pekanbaru Bengkulu Jambi Palembang Bandar_Lampung; DATALINES; 1 7000 6633 6500 6500 6300 6250 6200 5900 2 7000 6700 6500 6500 6300 6200 6000 5900 . . . 334 11000 10917 10500 11000 10500 10500 10333 10967 335 11000 10917 10500 11000 10500 10500 10333 11459 ; PROC PRINT; RUN; Data training; Set Harga_gula; if 1<=waktu<=300 then output training; proc print; run; DATA ANVAR; SET TRAINING; PROC VARMAX DATA=ANVAR; *==== macf dan mpacf dengan pembedaan 1====; MODEL Banda_aceh Medan Padang Pekanbaru Bengkulu Jambi Palembang Bandar_Lampung/ P=5 dify(1) MINIC=(p=5 q=5) DFTEST COINTTEST=(JOHANSEN=(IORDER=1)) LAGMAX=20 MINIC=(P=5 q=5) NOINT NOINT PRINT=(CORRY PCORR); RUN;
Pemodelan dan Peramalan Menggunakan Model STIMA dengan Pembobot Normalisasi Korelasi Silang Data Harga_gula; Input Waktu Banda_aceh Medan Padang Pekanbaru Bengkulu Jambi Palembang Bandar_Lampung; DATALINES; 1 7000 6633 6500 6500 6300 6250 6200 5900 2 7000 6700 6500 6500 6300 6200 6000 5900 . . . 334 11000 10917 10500 11000 10500 10500 10333 10967 335 11000 10917 10500 11000 10500 10500 10333 11459 ; PROC PRINT; RUN; Data stasioner; Set Harga_gula; Aceh1=dif1(Banda_Aceh); Medan1=dif1(Medan); Padang1=dif1(Padang); Pekanbaru1=dif1(Pekanbaru); Bengkulu1=dif1(Bengkulu); Jambi1=dif1(Jambi); Palembang1=dif1(Palembang); Lampung1=dif1(Bandar_Lampung); Drop Banda_aceh Medan Padang Pekanbaru Bengkulu Jambi Palembang Bandar_Lampung; Proc print Data=stasioner; run; Data Modeling; Set stasioner; if 1<=waktu<=300 then output modeling;
57 proc print data=Modeling; run; /* 1=aceh; 2=medan; 3=padang; 4=pekanbaru; 5=bengkulu; 6=jambi; 7=palembang; 8=lampung Akan membangun model GSTIMA (ordo MA=2; ordo spasial=1) Keterangan indeks teta221 (parameter teta untuk lokasi 2, lag waktu 2, lag spasial 1) */ proc model data=modeling; parms teta10 teta11 teta20 teta21; /*identifikasi parameter*/ Aceh1 = -teta10*zlag1(resid.aceh1) teta11*(0.109*zlag1(resid.medan1)+0.065*zlag1(resid.padang1)+ 0.179*zlag1(resid.pekanbaru1)+ 0.079*zlag1(resid.bengkulu1)+ 0.196*zlag1(resid.jambi1)+0.185*zlag1(resid.palembang1)+0.187*zlag1(resid.lam pung1))-teta20*zlag2(resid.aceh1)- teta21*(0.361*zlag2(resid.medan1)+ 0.020*zlag2(resid.padang1)+ 0.119*zlag2(resid.pekanbaru1)+ 0.104*zlag2(resid.bengkulu1)+ 0.228*zlag2(resid.jambi1)+0.046*zlag2(resid.palembang1)+0.121*zlag2(resid.lam pung1)); Medan1 = -teta10*zlag1(resid.Medan1)teta11*(0.195*zlag1(resid.aceh1)+0.163*zlag1(resid.padang1)+0.306*zlag1(resid .pekanbaru1)+0.018*zlag1(resid.bengkulu1)+0.170*zlag1(resid.jambi1)+0.131*zla g1(resid.palembang1)+0.017*zlag1(resid.lampung1))teta20*zlag2(resid.Medan1)teta21*(0.271*zlag2(resid.aceh1)+0.282*zlag2(resid.padang1)+0.013*zlag2(resid .pekanbaru1)+0.055*zlag2(resid.bengkulu1)+0.062*zlag2(resid.jambi1)+0.107*zla g2(resid.palembang1)+0.210*zlag2(resid.lampung1)); padang1 = -teta10*zlag1(resid.padang1) teta11*(0.135*zlag1(resid.aceh1)+0.217*zlag1(resid.medan1)+0.271*zlag1(resid. pekanbaru1)+0.011*zlag1(resid.bengkulu1)+0.188*zlag1(resid.jambi1)+0.061*zlag 1(resid.palembang1)+0.118*zlag1(resid.lampung1))teta20*zlag2(resid.padang1)teta21*(0.256*zlag2(resid.aceh1)+0.386*zlag2(resid.medan1)+0.099*zlag2(resid. pekanbaru1)+0.210*zlag2(resid.bengkulu1)+0.026*zlag2(resid.jambi1)+0.021*zlag 2(resid.palembang1)+0.002*zlag2(resid.lampung1)); pekanbaru1 = -teta10*zlag1(resid.pekanbaru1) teta11*(0.113*zlag1(resid.aceh1)+0.075*zlag1(resid.medan1)+0.137*zlag1(resid. padang1)+0.179*zlag1(resid.bengkulu1)+0.209*zlag1(resid.jambi1)+0.147*zlag1(r esid.palembang1)+0.141*zlag1(resid.lampung1))teta20*zlag2(resid.pekanbaru1)teta21*(0.023*zlag2(resid.aceh1)+0.044*zlag2(resid.medan1)+0.028*zlag2(resid. padang1)+0.386*zlag2(resid.bengkulu1)+0.203*zlag2(resid.jambi1)+0.277*zlag2(r esid.palembang1)+0.038*zlag2(resid.lampung1)); bengkulu1 = -teta10*zlag1(resid.bengkulu1)teta11*(0.190*zlag1(resid.aceh1)+0.006*zlag1(resid.medan1)+0.062*zlag1(resid. padang1)+0.199*zlag1(resid.pekanbaru1)+0.206*zlag1(resid.jambi1)+0.137*zlag1( resid.palembang1)+0.201*zlag1(resid.lampung1))teta20*zlag2(resid.bengkulu1)teta21*(0.152*zlag2(resid.aceh1)+0.05*zlag2(resid.medan1)+0.202*zlag2(resid.p adang1)+0.098*zlag2(resid.pekanbaru1)+0.147*zlag2(resid.jambi1)+0.208*zlag2(r esid.palembang1)+0.142*zlag2(resid.lampung1)); jambi1 = -teta10*zlag1(resid.jambi1)teta11*(0.211*zlag1(resid.aceh1)+0.005*zlag1(resid.medan1)+0.156*zlag1(resid. padang1)+0.283*zlag1(resid.pekanbaru1)+0.222*zlag1(resid.bengkulu1)+0.032*zla g1(resid.palembang1)+0.09*zlag1(resid.lampung1))- teta20*zlag2(resid.jambi1)teta21*(0.189*zlag2(resid.aceh1)+0.146*zlag2(resid.medan1)+0.199*zlag2(resid. padang1)+0.019*zlag2(resid.pekanbaru1)+0.170*zlag2(resid.bengkulu1)+0.137*zla g2(resid.palembang1)+0.140*zlag2(resid.lampung1)); palembang1 = -teta10*zlag1(resid.palembang1)teta11*(0.123*zlag1(resid.aceh1)+0.002*zlag1(resid.medan1)+0.017*zlag1(resid. padang1)+0.328*zlag1(resid.pekanbaru1)+0.069*zlag1(resid.bengkulu1)+0.214*zla g1(resid.jambi1)+0.247*zlag1(resid.lampung1))-teta20*zlag2(resid.palembang1)teta21*(0.292*zlag2(resid.aceh1)+0.178*zlag2(resid.medan1)+0.251*zlag2(resid. padang1)+0.024*zlag2(resid.pekanbaru1)+0.067*zlag2(resid.bengkulu1)+0.167*zla g2(resid.jambi1)+0.023*zlag2(resid.lampung1));
58 lampung1 = -teta10*zlag1(resid.lampung1)teta11*(0.062*zlag1(resid.aceh1)+0.193*zlag1(resid.medan1)+0.101*zlag1(resid. padang1)+0.215*zlag1(resid.pekanbaru1)+0.088*zlag1(resid.bengkulu1)+0.277*zla g1(resid.jambi1)+0.064*zlag1(resid.palembang1))-teta20*zlag2(resid.lampung1)teta21*(0.147*zlag2(resid.aceh1)+0.167*zlag2(resid.medan1)+0.132*zlag2(resid. padang1)+0.067*zlag2(resid.pekanbaru1)+0.287*zlag2(resid.bengkulu1)+0.195*zla g2(resid.jambi1)+0.005*zlag2(resid.palembang1)); FIT Aceh1 medan1 padang1 pekanbaru1 bengkulu1 jambi1 palembang1 lampung1/ OLS OUT=STIMA_parameter OUTRESID OUTEST=Koefisien; Proc Print Data=STIMA_parameter; run; Proc print Data=Koefisien; run; Proc IML; USE STIMA_parameter; READ ALL VAR {aceh1 medan1 padang1 pekanbaru1 bengkulu1 jambi1 palembang1 lampung1} INTO e_duga; T=nrow(e_duga); Q= nrow(e_duga)-1; eT1_1 = e_duga [T,1]; /*e(t) untuk peramalan tiap lokasi */ eT2_1 = e_duga [T,2]; eT3_1 = e_duga [T,3]; eT4_1 = e_duga [T,4]; eT5_1 = e_duga [T,5]; eT6_1 = e_duga [T,6]; eT7_1 = e_duga [T,7]; eT8_1 = e_duga [T,8]; eQ1_1 = e_duga [Q,1]; /*e(t-1) untuk peramalan tiap lokasi */ eQ2_1 = e_duga [Q,2]; eQ3_1 = e_duga [Q,3]; eQ4_1 = e_duga [Q,4]; eQ5_1 = e_duga [Q,5]; eQ6_1 = e_duga [Q,6]; eQ7_1 = e_duga [Q,7]; eQ8_1 = e_duga [Q,8]; CREATE EROR1 VAR {eT1_1 eT2_1 eT3_1 eT4_1 eT5_1 eT6_1 eT7_1 eT8_1}; APPEND; CREATE EROR2 VAR {eQ1_1 eQ2_1 eQ3_1 eQ4_1 eQ5_1 eQ6_1 eQ7_1 eQ8_1}; APPEND; print data=eror1; print data=eror2; QUIT; /* 1=aceh; 2=medan; 3=padang; 4=pekanbaru; 5=bengkulu; 6=jambi; 7=palembang; 8=lampung */ DATA RAMAL_1PERIODE; SET EROR1; SET EROR2; SET Koefisien; Aceh_duga1 = -teta10*eT1_1 teta11*(0.109*eT2_1+0.065*eT3_1+0.179*eT4_1+0.079*eT5_1+0.169*eT6_1+0.185*eT7_ 1+0.187*eT8_1)- teta20*eQ1_1teta21*(0.361*eQ2_1+0.02*eQ3_1+0.119*eQ4_1+0.104*eQ5_1+0.228*eQ6_1+0.046*eQ7_1 +0.121*eQ8_1); Medan_duga1 = -teta10*eT2_1 teta11*(0.195*eT1_1+0.163*eT3_1+0.306*eT4_1 +0.018*eT5_1+0.17*eT6_1+0.131*eT7_1+0.017*eT8_1)- teta20*eQ2_1 teta21*(0.271*eQ1_1+0.282*eQ3_1+0.013*eQ4_1+0.055*eQ5_1+0.062*eQ6_1+0.107*eQ7_ 1+0.21*eQ8_1); padang_duga1 = -teta10*eT3_1 teta11*(0.135*eT1_1+0.217*eT2_1+0.271*eT4_1+0.011*eT5_1+0.188*eT6_1+0.061*eT7_ 1+0.118*eT8_1)- teta20*eQ3_1teta21*(0.256*eQ1_1+0.386*eQ2_1+0.099*eQ4_1+0.21*eQ5_1+0.026*eQ6_1+0.021*eQ7_1 +0.002*eQ8_1); pekanbaru_duga1 = -teta10*eT4_1 teta11*(0.113*eT1_1+0.075*eT2_1+0.137*eT3_1+0.178*eT5_1+0.209*eT6_1+0.147*eT7_
59 1+0.141*eT8_1)- teta20*eQ4_1teta21*(0.023*eQ1_1+0.044*eQ2_1+0.028*eQ3_1+0.386*eQ5_1+0.203*eQ6_1+0.277*eQ7_ 1+0.038*eQ8_1); bengkulu_duga1 = -teta10*eT5_1teta11*(0.19*eT1_1+0.006*eT2_1+0.062*eT3_1+0.199*eT4_1+0.206*eT6_1+0.137*eT7_1 +0.201*eT8_1)-teta20*eQ5_1- teta21*(0.152*eQ1_1 +0.05*eQ2_1+0.202*eQ3_1+0.098*eQ4_1+0.147*eQ6_1+0.208*eQ7_1+0.142*eQ8_1); jambi_duga1 = -teta10*eT6_1teta11*(0.211*eT1_1+0.005*eT2_1+0.156*eT3_1+0.283*eT4_1+0.222*eT5_1+0.032*eT7_ 1+0.09*eT8_1)- teta20*eQ6_1teta21*(0.189*eQ1_1+0.146*eQ2_1+0.199*eQ3_1+0.019*eQ4_1+0.170*eQ5_1+0.137*eQ7_ 1+0.14*eQ8_1); palembang_duga1 = -teta10*eT7_1 teta11*(0.123*eT1_1+0.002*eT2_1+0.017*eT3_1+0.328*eT4_1+0.069*eT5_1+0.214*eT6_ 1+0.247*eT8_1)- teta20*eQ7_1teta21*(0.292*eQ1_1+0.178*eQ2_1+0.251*eQ3_1+0.024*eQ4_1+0.067*eQ5_1+0.167*eQ6_ 1+0.023*eQ8_1); lampung_duga1 = -teta10*eT8_1 teta11*(0.062*eT1_1+0.193*eT2_1+0.101*eT3_1+0.215*eT4_1+0.088*eT5_1+0.277*eT6_ 1+0.064*eT7_1)- teta20*eQ8_1teta21*(0.147*eQ1_1+0.167*eQ2_1+0.132*eQ3_1+0.067*eQ4_1+0.287*eQ5_1+0.195*eQ6_ 1+0.005*eQ7_1); OUTPUT; PROC PRINT DATA=RAMAL_1PERIODE; RUN; DATA RAMAL_2PERIODE; SET EROR1; SET EROR2; SET Koefisien; Aceh_duga2 = -teta20*eT1_1 teta21*(0.361*eT2_1+0.02*eT3_1+0.119*eT4_1+0.104*eT5_1+0.228*eT6_1+0.046*eT7_1+0.1 21*eT8_1); Medan_duga2 = -teta20*eT2_1 teta21*(0.271*eT1_1+0.282*eT3_1+0.013*eT4_1 +0.055*eT5_1+0.062*eT6_1+0.107*eT7_1+0.210*eT8_1); padang_duga2 = -teta20*eT3_1 teta21*(0.256*eT1_1+0.386*eT2_1+0.099*eT4_1+0.21*eT5_1+0.026*eT6_1+0.021*eT7_1+0.0 02*eT8_1); pekanbaru_duga2 = -teta20*eT4_1 teta21*(0.023*eT1_1+0.044*eT2_1+0.028*eT3_1+0.386*eT5_1+0.203*eT6_1+0.277*eT7_1+0. 038*eT8_1); bengkulu_duga2 = -teta20*eT5_1teta21*(0.152*eT1_1+0.05*eT2_1+0.202*eT3_1+0.098*eT4_1+0.147*eT6_1+0.208*eT7_1+0.1 42*eT8_1); jambi_duga2 = -teta20*eT6_1teta21*(0.189*eT1_1+0.146*eT2_1+0.199*eT3_1+0.019*eT4_1+0.17*eT5_1+0.137*eT7_1+0.1 40*eT8_1); palembang_duga2 = -teta20*eT7_1 teta21*(0.292*eT1_1+0.178*eT2_1+0.251*eT3_1+0.024*eT4_1+0.067*eT5_1+0.167*eT6_1+0. 023*eT8_1); lampung_duga2 = -teta20*eT8_1 teta21*(0.147*eT1_1+0.167*eT2_1+0.132*eT3_1+0.067*eT4_1+0.287*eT5_1+0.195*eT6_1+0. 005*eT7_1); OUTPUT; PROC PRINT DATA=RAMAL_2PERIODE; RUN;
60 Pemodelan dan Peramalan Menggunakan Model GSTIMA dengan Pembobot Normalisasi Korelasi Silang Data Harga_gula; Input Waktu Banda_aceh Medan Padang Pekanbaru Bengkulu Jambi Palembang Bandar_Lampung; DATALINES; 1 7000 6633 6500 6500 6300 6250 6200 5900 2 7000 6700 6500 6500 6300 6200 6000 5900 . . . 334 11000 10917 10500 11000 10500 10500 10333 10967 335 11000 10917 10500 11000 10500 10500 10333 11459 ; PROC PRINT; RUN; Data stasioner; Set Harga_gula; Aceh1=dif1(Banda_Aceh); Medan1=dif1(Medan); Padang1=dif1(Padang); Pekanbaru1=dif1(Pekanbaru); Bengkulu1=dif1(Bengkulu); Jambi1=dif1(Jambi); Palembang1=dif1(Palembang); Lampung1=dif1(Bandar_Lampung); Drop Banda_aceh Medan Padang Pekanbaru Bengkulu Jambi Palembang Bandar_Lampung; Proc print Data=stasioner; run; Data Modeling; Set stasioner; if 1<=waktu<=300 then output modeling; proc print data=Modeling; run; /* 1=aceh; 2=medan; 3=padang; 4=pekanbaru; 5=bengkulu; 6=jambi; 7=palembang; 8=lampung Akan membangun model GSTIMA (ordo MA=2; ordo spasial=1) Keterangan indeks teta221 (parameter teta untuk lokasi 2, lag waktu 2, lag spasial 1) */ proc model data=modeling; parms teta110 teta210 teta310 teta410 teta510 teta610 teta710 teta810 teta111 teta211 teta311 teta411 teta511 teta611 teta711 teta811 teta120 teta220 teta320 teta420 teta520 teta620 teta720 teta820 teta121 teta221 teta321 teta421 teta521 teta621 teta721 teta821; /*identifikasi parameter*/ Aceh1 = -teta110*zlag1(resid.aceh1) teta111*(0.109*zlag1(resid.medan1)+0.065*zlag1(resid.padang1)+ 0.179*zlag1(resid.pekanbaru1)+ 0.079*zlag1(resid.bengkulu1)+ 0.196*zlag1(resid.jambi1)+0.185*zlag1(resid.palembang1)+0.187*zlag1(resid.la mpung1))-teta120*zlag2(resid.aceh1)- teta121*(0.361*zlag2(resid.medan1)+ 0.020*zlag2(resid.padang1)+ 0.119*zlag2(resid.pekanbaru1)+ 0.104*zlag2(resid.bengkulu1)+ 0.228*zlag2(resid.jambi1)+0.046*zlag2(resid.palembang1)+0.121*zlag2(resid.la mpung1)); Medan1 = -teta210*zlag1(resid.Medan1)teta211*(0.195*zlag1(resid.aceh1)+0.163*zlag1(resid.padang1)+0.306*zlag1(res id.pekanbaru1)+0.018*zlag1(resid.bengkulu1)+0.170*zlag1(resid.jambi1)+0.131* zlag1(resid.palembang1)+0.017*zlag1(resid.lampung1))teta220*zlag2(resid.Medan1)teta221*(0.271*zlag2(resid.aceh1)+0.282*zlag2(resid.padang1)+0.013*zlag2(res id.pekanbaru1)+0.055*zlag2(resid.bengkulu1)+0.062*zlag2(resid.jambi1)+0.107* zlag2(resid.palembang1)+0.210*zlag2(resid.lampung1)); padang1 = -teta310*zlag1(resid.padang1) teta311*(0.135*zlag1(resid.aceh1)+0.217*zlag1(resid.medan1)+0.271*zlag1(resi d.pekanbaru1)+0.011*zlag1(resid.bengkulu1)+0.188*zlag1(resid.jambi1)+0.061*z
61 lag1(resid.palembang1)+0.118*zlag1(resid.lampung1))teta320*zlag2(resid.padang1)teta321*(0.256*zlag2(resid.aceh1)+0.386*zlag2(resid.medan1)+0.099*zlag2(resi d.pekanbaru1)+0.210*zlag2(resid.bengkulu1)+0.026*zlag2(resid.jambi1)+0.021*z lag2(resid.palembang1)+0.002*zlag2(resid.lampung1)); pekanbaru1 = -teta410*zlag1(resid.pekanbaru1) teta411*(0.113*zlag1(resid.aceh1)+0.075*zlag1(resid.medan1)+0.137*zlag1(resi d.padang1)+0.179*zlag1(resid.bengkulu1)+0.209*zlag1(resid.jambi1)+0.147*zlag 1(resid.palembang1)+0.141*zlag1(resid.lampung1))teta420*zlag2(resid.pekanbaru1)teta421*(0.023*zlag2(resid.aceh1)+0.044*zlag2(resid.medan1)+0.028*zlag2(resi d.padang1)+0.386*zlag2(resid.bengkulu1)+0.203*zlag2(resid.jambi1)+0.277*zlag 2(resid.palembang1)+0.038*zlag2(resid.lampung1)); bengkulu1 = -teta510*zlag1(resid.bengkulu1)teta511*(0.190*zlag1(resid.aceh1)+0.006*zlag1(resid.medan1)+0.062*zlag1(resi d.padang1)+0.199*zlag1(resid.pekanbaru1)+0.206*zlag1(resid.jambi1)+0.137*zla g1(resid.palembang1)+0.201*zlag1(resid.lampung1))teta520*zlag2(resid.bengkulu1)teta521*(0.152*zlag2(resid.aceh1)+0.05*zlag2(resid.medan1)+0.202*zlag2(resid .padang1)+0.098*zlag2(resid.pekanbaru1)+0.147*zlag2(resid.jambi1)+0.208*zlag 2(resid.palembang1)+0.142*zlag2(resid.lampung1)); jambi1 = -teta610*zlag1(resid.jambi1)teta611*(0.211*zlag1(resid.aceh1)+0.005*zlag1(resid.medan1)+0.156*zlag1(resi d.padang1)+0.283*zlag1(resid.pekanbaru1)+0.222*zlag1(resid.bengkulu1)+0.032* zlag1(resid.palembang1)+0.09*zlag1(resid.lampung1))teta620*zlag2(resid.jambi1)teta621*(0.189*zlag2(resid.aceh1)+0.146*zlag2(resid.medan1)+0.199*zlag2(resi d.padang1)+0.019*zlag2(resid.pekanbaru1)+0.170*zlag2(resid.bengkulu1)+0.137* zlag2(resid.palembang1)+0.140*zlag2(resid.lampung1)); palembang1 = -teta710*zlag1(resid.palembang1)teta711*(0.123*zlag1(resid.aceh1)+0.002*zlag1(resid.medan1)+0.017*zlag1(resi d.padang1)+0.328*zlag1(resid.pekanbaru1)+0.069*zlag1(resid.bengkulu1)+0.214* zlag1(resid.jambi1)+0.247*zlag1(resid.lampung1))teta720*zlag2(resid.palembang1)teta721*(0.292*zlag2(resid.aceh1)+0.178*zlag2(resid.medan1)+0.251*zlag2(resi d.padang1)+0.024*zlag2(resid.pekanbaru1)+0.067*zlag2(resid.bengkulu1)+0.167* zlag2(resid.jambi1)+0.023*zlag2(resid.lampung1)); lampung1 = -teta810*zlag1(resid.lampung1)teta811*(0.062*zlag1(resid.aceh1)+0.193*zlag1(resid.medan1)+0.101*zlag1(resi d.padang1)+0.215*zlag1(resid.pekanbaru1)+0.088*zlag1(resid.bengkulu1)+0.277* zlag1(resid.jambi1)+0.064*zlag1(resid.palembang1))teta820*zlag2(resid.lampung1)teta821*(0.147*zlag2(resid.aceh1)+0.167*zlag2(resid.medan1)+0.132*zlag2(resi d.padang1)+0.067*zlag2(resid.pekanbaru1)+0.287*zlag2(resid.bengkulu1)+0.195* zlag2(resid.jambi1)+0.005*zlag2(resid.palembang1)); FIT Aceh1 medan1 padang1 pekanbaru1 bengkulu1 jambi1 palembang1 lampung1/ OLS OUT=GSTIMA_parameter OUTRESID OUTEST=Koefisien; Proc Print Data=GSTIMA_parameter; run; Proc print Data=Koefisien; run; Proc IML; USE GSTIMA_parameter; READ ALL VAR {aceh1 medan1 padang1 pekanbaru1 bengkulu1 jambi1 palembang1 lampung1} INTO e_duga; T=nrow(e_duga); Q= nrow(e_duga)-1; eT1_1 = e_duga [T,1]; /*e(t) untuk peramalan tiap lokasi */ eT2_1 = e_duga [T,2]; eT3_1 = e_duga [T,3]; eT4_1 = e_duga [T,4]; eT5_1 = e_duga [T,5]; eT6_1 = e_duga [T,6]; eT7_1 = e_duga [T,7]; eT8_1 = e_duga [T,8]; eQ1_1 = e_duga [Q,1]; /*e(t-1) untuk peramalan tiap lokasi */ eQ2_1 = e_duga [Q,2];
62 eQ3_1 eQ4_1 eQ5_1 eQ6_1 eQ7_1 eQ8_1
= = = = = =
e_duga e_duga e_duga e_duga e_duga e_duga
[Q,3]; [Q,4]; [Q,5]; [Q,6]; [Q,7]; [Q,8];
CREATE EROR1 VAR {eT1_1 eT2_1 eT3_1 eT4_1 eT5_1 eT6_1 eT7_1 eT8_1}; APPEND; CREATE EROR2 VAR {eQ1_1 eQ2_1 eQ3_1 eQ4_1 eQ5_1 eQ6_1 eQ7_1 eQ8_1}; APPEND; print data=eror1; print data=eror2; QUIT; /* 1=aceh; 2=medan; 3=padang; 4=pekanbaru; 5=bengkulu; 6=jambi; 7=palembang; 8=lampung */ DATA RAMAL_1PERIODE; SET EROR1; SET EROR2; SET Koefisien; Aceh_duga1 = -teta110*eT1_1 teta111*(0.109*eT2_1+0.065*eT3_1+0.179*eT4_1+0.079*eT5_1+0.169*eT6_1+0.185*e T7_1+0.187*eT8_1)- teta120*eQ1_1teta121*(0.361*eQ2_1+0.02*eQ3_1+0.119*eQ4_1+0.104*eQ5_1+0.228*eQ6_1+0.046*eQ 7_1+0.121*eQ8_1); Medan_duga1 = -teta210*eT2_1 teta211*(0.195*eT1_1+0.163*eT3_1+0.306*eT4_1+0.018*eT5_1+0.17*eT6_1+0.131*eT 7_1+0.017*eT8_1)- teta220*eQ2_1 teta221*(0.271*eQ1_1+0.282*eQ3_1+0.013*eQ4_1+0.055*eQ5_1+0.062*eQ6_1+0.107*e Q7_1+0.21*eQ8_1); padang_duga1 = -teta310*eT3_1 teta311*(0.135*eT1_1+0.217*eT2_1+0.271*eT4_1+0.011*eT5_1+0.188*eT6_1+0.061*e T7_1+0.118*eT8_1)-teta320*eQ3_1teta321*(0.256*eQ1_1+0.386*eQ2_1+0.099*eQ4_1+0.21*eQ5_1+0.026*eQ6_1+0.021*eQ 7_1+0.002*eQ8_1); pekanbaru_duga1 = -teta410*eT4_1 teta411*(0.113*eT1_1+0.075*eT2_1+0.137*eT3_1+0.178*eT5_1+0.209*eT6_1+0.147*e T7_1+0.141*eT8_1)-teta420*eQ4_1teta421*(0.023*eQ1_1+0.044*eQ2_1+0.028*eQ3_1+0.386*eQ5_1+0.203*eQ6_1+0.277*e Q7_1+0.038*eQ8_1); bengkulu_duga1 = -teta510*eT5_1teta511*(0.19*eT1_1+0.006*eT2_1+0.062*eT3_1+0.199*eT4_1+0.206*eT6_1+0.137*eT 7_1+0.201*eT8_1)- teta520*eQ5_1- teta521*(0.152*eQ1_1 +0.05*eQ2_1+0.202*eQ3_1+0.098*eQ4_1+0.147*eQ6_1+0.208*eQ7_1+0.142*eQ8_1); jambi_duga1 = -teta610*eT6_1teta611*(0.211*eT1_1+0.005*eT2_1+0.156*eT3_1+0.283*eT4_1+0.222*eT5_1+0.032*e T7_1+0.09*eT8_1)- teta620*eQ6_1teta621*(0.189*eQ1_1+0.146*eQ2_1+0.199*eQ3_1+0.019*eQ4_1+0.170*eQ5_1+0.137*e Q7_1+0.14*eQ8_1); palembang_duga1 = -teta710*eT7_1 teta711*(0.123*eT1_1+0.002*eT2_1+0.017*eT3_1+0.328*eT4_1+0.069*eT5_1+0.214*e T6_1+0.247*eT8_1)-teta720*eQ7_1teta721*(0.292*eQ1_1+0.178*eQ2_1+0.251*eQ3_1+0.024*eQ4_1+0.067*eQ5_1+0.167*e Q6_1+0.023*eQ8_1); lampung_duga1 = -teta810*eT8_1 teta811*(0.062*eT1_1+0.193*eT2_1+0.101*eT3_1+0.215*eT4_1+0.088*eT5_1+0.277*e T6_1+0.064*eT7_1)- teta820*eQ8_1teta821*(0.147*eQ1_1+0.167*eQ2_1+0.132*eQ3_1+0.067*eQ4_1+0.287*eQ5_1+0.195*e Q6_1+0.005*eQ7_1); OUTPUT; PROC PRINT DATA=RAMAL_1PERIODE; RUN; DATA RAMAL_2PERIODE;
63 SET EROR1; SET EROR2; SET Koefisien; Aceh_duga2 = -teta120*eT1_1 teta121*(0.361*eT2_1+0.02*eT3_1+0.119*eT4_1+0.104*eT5_1+0.228*eT6_1+0.046*eT7 _1+0.121*eT8_1); Medan_duga2 = -teta220*eT2_1 teta221*(0.271*eT1_1+0.282*eT3_1+0.013*eT4_1 +0.055*eT5_1+0.062*eT6_1+0.107*eT7_1+0.210*eT8_1); padang_duga2 = -teta320*eT3_1 teta321*(0.256*eT1_1+0.386*eT2_1+0.099*eT4_1+0.21*eT5_1+0.026*eT6_1+0.021*eT7 _1+0.002*eT8_1); pekanbaru_duga2 = -teta420*eT4_1 teta421*(0.023*eT1_1+0.044*eT2_1+0.028*eT3_1+0.386*eT5_1+0.203*eT6_1+0.277*eT 7_1+0.038*eT8_1); bengkulu_duga2 = -teta520*eT5_1teta521*(0.152*eT1_1+0.05*eT2_1+0.202*eT3_1+0.098*eT4_1+0.147*eT6_1+0.208*eT7 _1+0.142*eT8_1); jambi_duga2 = -teta620*eT6_1teta621*(0.189*eT1_1+0.146*eT2_1+0.199*eT3_1+0.019*eT4_1+0.17*eT5_1+0.137*eT7 _1+0.140*eT8_1); palembang_duga2 = -teta720*eT7_1 teta721*(0.292*eT1_1+0.178*eT2_1+0.251*eT3_1+0.024*eT4_1+0.067*eT5_1+0.167*eT 6_1+0.023*eT8_1); lampung_duga2 = -teta820*eT8_1 teta821*(0.147*eT1_1+0.167*eT2_1+0.132*eT3_1+0.067*eT4_1+0.287*eT5_1+0.195*eT 6_1+0.005*eT7_1); OUTPUT; PROC PRINT DATA=RAMAL_2PERIODE; RUN;
Catatan: Sintak ini hanya digunakan untuk model STIMA dan GSTIMA dengan struktur deret waktu MA (2) dan ordo spasial 1 dengan pembobot normalisasi korelasi silang pada kasus ini. Sedangkan sintak untuk pembobot kebalikan jarak cukup dengan menggantikan nilai pembobot pada model yang dibentuk.
64 Lampiran 7 Uji kenormalan ganda dari sisaan Hipotesis: H0 : Sisaan menyebar normal ganda H1 : Sisaan tidak menyebar normal ganda a) Model GSTIMA (kiri) dan STIMA (kanan) dengan pembobot Normalisasi korelasi silang The MODEL Procedure
The MODEL Procedure
Normality Test Equation
Test Statistic
aceh1
Normality Test Value
Prob
Shapiro-Wilk W
0.78
<.0001
medan1
Shapiro-Wilk W
0.92
<.0001
padang1
Shapiro-Wilk W
0.81
<.0001
pekanbaru1 Shapiro-Wilk W
0.88
<.0001
bengkulu1
Shapiro-Wilk W
0.90
<.0001
jambi1
Shapiro-Wilk W
0.80
<.0001
palembang1 Shapiro-Wilk W
0.84
<.0001
lampung1
Shapiro-Wilk W
0.82
<.0001
System
Mardia Skewness
1583
<.0001
Mardia Kurtosis
89.70
<.0001
Henze-Zirkler T
112.4
<.0001
Equation
Test Statistic
Value
Prob
aceh1
Shapiro-Wilk W
0.82
<.0001
medan1
Shapiro-Wilk W
0.92
<.0001
padang1
Shapiro-Wilk W
0.78
<.0001
pekanbaru1 Shapiro-Wilk W
0.87
<.0001
bengkulu1
Shapiro-Wilk W
0.92
<.0001
jambi1
Shapiro-Wilk W
0.84
<.0001
palembang1 Shapiro-Wilk W
0.82
<.0001
lampung1
Shapiro-Wilk W
0.78
<.0001
System
Mardia Skewness
1673
<.0001
Mardia Kurtosis
91.61
<.0001
Henze-Zirkler T
113.2
<.0001
b) Model STIMA (kiri) dan GSTIMA (kanan) dengan pembobot kebalikan jarak The MODEL Procedure
The MODEL Procedure
Normality Test
Normality Test
Equation
Test Statistic
aceh1
Shapiro-Wilk W
medan1 padang1
Value
Prob
Equation
Test Statistic
Value
Prob
0.82 <.0001
aceh1
Shapiro-Wilk W
0.79 <.0001
Shapiro-Wilk W
0.91 <.0001
medan1
Shapiro-Wilk W
0.91 <.0001
Shapiro-Wilk W
0.79 <.0001
padang1
Shapiro-Wilk W
0.78 <.0001
pekanbaru1 Shapiro-Wilk W
0.87 <.0001
pekanbaru1 Shapiro-Wilk W
0.88 <.0001
bengkulu1
Shapiro-Wilk W
0.91 <.0001
bengkulu1
Shapiro-Wilk W
0.89 <.0001
jambi1
Shapiro-Wilk W
0.82 <.0001
jambi1
Shapiro-Wilk W
0.77 <.0001
palembang1 Shapiro-Wilk W
0.80 <.0001
palembang1 Shapiro-Wilk W
0.83 <.0001
lampung1
Shapiro-Wilk W
0.76 <.0001
lampung1
Shapiro-Wilk W
0.82 <.0001
System
Mardia Skewness
1615 <.0001
System
Mardia Skewness
1557 <.0001
Mardia Kurtosis
90.62 <.0001
Mardia Kurtosis
90.40 <.0001
Henze-Zirkler T
113.0 <.0001
Henze-Zirkler T
116.7 <.0001
Lampiran 8
Plot nilai prediksi dari fitted model ( ) dan nilai aktual ( ) (in model) model STIMA dengan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Padang (a), Kota Pekanbaru (b), Kota Bengkulu (c), Kota Jambi (d), Kota Palembang (e), dan Kota Bandar Lampung (f)
(a)
(c)
(e)
(b)
(d)
(f)
Lampiran 9
Plot nilai prediksi dari fitted model ( ) dan nilai aktual ( ) (in model) model GSTIMA dengan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Padang (a), Kota Pekanbaru (b), Kota Bengkulu (c), Kota Jambi (d), Kota Palembang (e), dan Kota Bandar Lampung (f)
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Lampiran 10 Plot nilai prediksi ( ) dari fitted model dan nilai aktual ( ) (in model) untuk model GSTIMA dengan pembobot normalisasi korelasi silang untuk Kota Banda Aceh (a), Medan (b), Padang (c), Pekanbaru (d), Bengkulu (e), Jambi (f), Palembang (g), Bandar Lampung (h)
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
Lampiran 11 Plot nilai prediksi ( ) dari fitted model dan nilai aktual ( ) (in model) untuk model STIMA dengan pembobot normalisasi korelasi silang untuk Kota Banda Aceh (a), Medan (b), Padang (c), Pekanbaru (d), Bengkulu (e), Jambi (f), Palembang (g), Bandar Lampung (h)
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
Lampiran 12 Plot nilai aktual ( ) terhadap nilai ramalan jangka panjang bagi model GSTIMA ( ) dan model STIMA ( ) menggunakan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Padang (a), Kota Pekanbaru (b), Kota Bengkulu (c), Kota Jambi (d), Kota Palembang (e), Kota Bandar Lampung (f)
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Lampiran 13 Plot nilai aktual ( ) terhadap nilai ramalan jangka panjang bagi ) menggunakan model GSTIMA ( ) dan model STIMA ( pembobot normalisasi korelasi silang untuk Kota Padang (a), Kota Pekanbaru (b), Kota Bengkulu (c), Kota Jambi (d), Kota Palembang (e), Kota Bandar Lampung (f)
(a)
(c)
(e)
(b)
(d)
(f)
Lampiran 14 Plot nilai aktual ( ) terhadap nilai ramalan jangka pendek bagi model GSTIMA ( ) dan model STIMA ( ) menggunakan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Padang (a), Kota Pekanbaru (b), Kota Bengkulu (c), Kota Jambi (d), Kota Palembang (e), Kota Bandar Lampung (f)
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Lampiran 15 Plot nilai aktual ( ) terhadap nilai ramalan jangka pendek bagi model GSTIMA ( ) dan model STIMA ( ) menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang untuk Kota Padang (a), Kota Pekanbaru (b), Kota Bengkulu (c), Kota Jambi (d), Kota Palembang (e), Kota Bandar Lampung (f)
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kalianda, Lampung Selatan pada tanggal 27 Februari 1991, sebagai anak kedua dari pasangan Pandeangan Siregar, SPdSD dan Mely Maryati, SPdSD. Pendidikan sekolah menengah ditempuh di SMA Negeri 1 Kalianda dengan Program IPA, lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Statisika Institut Pertanian Bogor dan lulus mendapatkan gelar Sarjana Statistika dengan Minor Ilmu Konsumen pada tahun 2013. Selama jenjang S1 Penulis aktif sebagai pengurus Organisasi Kemahasiswaan yaitu Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB dan Dewan Perwakilan Mahasiswa IPB. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Perancangan Percobaan dan aktif dalam mengolah dan menganalisis data teman-teman sejawat maupun kolega. Penulis pernah melakukan praktik lapang pada Balai Besar Bioteknologi dan Genetika (BB-Biogen) di Bogor pada Februari sampai April 2012. Pada tahun 2013, Penulis melanjutkan jenjang pendidikan S2 di program studi Statistika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis ikut berpartisipasi dalam pembentukan Himpunan Profesi Statistika Pascasarjana pada tahun 2014 sebagai anggota divisi analisis data. Penulis telah menghasilkan karya ilmiah yang telah dipresentasikan dan dipublikasikan pada International Conference on Research, Implementation and Education of Mathematics and Science (ICRIEMS) pada Mei 2015 di Universitas Negeri Yogyakarta.