言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 2 2015
PERBANDINGAN KESANTUNAN PENYIAR RADIO BERBAHASA INDONESIA DAN JEPANG
Helmita dan Idrus Prodi Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Ekasakti Jurusan Sastra Jepang FIB Universitas Andalas Abstrak Bahasa sebagai bagian terpenting dalam berkomunikasi yang memerlukan kesantunan berbahasa. Bahasa menunjukkan cerminan pribadi seseorang. Karakter, watak, atau pribadi seseorang dapat diidentifikasikan dari perkataan yang ia ucapkan. Penggunaan bahasa yang lemah lembut, sopan santun, sistematis, teratur, jelas, dan lugas mencerminkan pribadi penuturnya berbudi. Tujuan penulis mengambil bahasan ini unntuk mengetahui seperti apa tuturan atau ujaran yang dilakukan oleh penyiar radio berbahasa Indonesia dan Jepang. Selain itu, makalah ini juga bertujuan mengetahui sejauh manakah tindak tutur tersebut dinilai santun, tanpa menyakiti hati si pendengar setianya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang datanya didapatkan dari percakapan penyiar dan mitra tutur radio di kota Padang dan transkrip percakapan bahasa Jepang penyiar dan mitra tuturnya yang terdapat dalam J Bridge. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyiar radio berbahasa Indonesia selalu menggunakan tuturan yang santun ketika berkomunikasi dengan mitra tuturnya, sementara penyiar radio bahasa Jepang terkadang juga menggunakan tuturan yang kurang santun. Kata kunci: tuturan, kesantunan berbahasa, penyiar radio, bahasa Indonesia, bahasa Jepang Pendahuluan Bahasa sebagai bagian terpenting dalam berkomunikasi yang memerlukan kesantunan berbahasa. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal: (1) kesopansantunan seseorang umumnya dinilai dari bahasanya yang santun, tutur katanya yang lembut atau “budi bahasanya” yang halus, (2) bahasa yang santun akan lebih memeperlancar penyampaian pesan dalam berkomunikasi, (3) bahasa yang kurang santun sering menyakitkan perasaan orang lain sehingga tidak jarang menjadi sumber konflik, baik yang mengemuka maupun yang tidak mengemuka, (4) Masyarakat Indonesia secara historis dianggap sebagai orang yang sopan santun dan yang baik budi bahasanya sehingga hal itu penting dipertahankan (Sibarani (2004: 169). Bahasa menunjukkan cerminan pribadi seseorang. Karakter, watak, atau pribadi seseorang dapat diidentifikasikan dari perkataan yang ia ucapkan. Penggunaan bahasa yang lemah lembut, sopan santun, sistematis, teratur, jelas, dan lugas mencerminkan pribadi penuturnya berbudi. Prinsip kesopanan menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan dengan sopan, yaitu bijaksana, mudah diterima, murah hati, rendah hati, cocok dan simpatik. |1
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 2 2015
Bahasan ini tentunya berkaitan juga dengan teori pragmatik yang merupakan satu-satunya tataran dalam linguistik yang mengkaji bahasa dengan memperhitungkan juga penggunanya. Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Dalam teori percakapan, ada dua prinsip penggunaan bahasa yang wajar alamiah yakni sebagai prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Pada prinsip kerja sama menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan dengan bentuk yang jelas, lugas, isinya yang benar dan relevan dengan konteksnya. Sementara prinsip kesopanan menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan dengan sopan yakni bijaksana, mudah diterima, murah hati, rendah hati, cocok dan simpatik. Saat ini merupakan saat yang tepat untuk mengkampanyekan kembali sopan santun berbahasa, baik dalam media elektronik, media cetak, media massa, atau dalam kehidupan sehari – hari. http://www.gemari.or.id/file/edisi91/gemari9137.pdf Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma – norma budayanya, maka dia tidak jarang dituduh orang yang aneh, egois, sombong, acuh, tidak beradat atau bahkan tidak berbudaya. Dalam berkomunikasi kita juga harus tunduk pada norma – norma budaya. Tata cara berbahasa bertujuan mengatur: (1) Apa yang sebaiknya kita katakan pada waktu dan keadaan tertentu, (2) Ragam bahasa apa yang sewajarnya kita pakai dalam situasi sosiolinguistik tertentu, (3) Kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita dan menyela pembicaraan orang lain, dan yang terakhir (4) Kapan kita harus diam atau jangan berbicara. (Sibarani, 2004: 168). Tata cara berbahasa seseorang dipengaruhi norma – norma budaya suku bangsa atau kelompok tertentu. Misalnya, suara yang begitu keras ketika seseorang berkomunikasi dengan atasannya mungkin dianggap kurang sopan, namun hal ini mungkin bisa dimaklumi apabila orang yang berbicara itu berasal dari suku Batak. Namun kita juga tidak lupa bahwa tata cara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa. Di dalam masyarakat kata bahasa sering digunakan dalam berbagai konteks dengan berbagai macam makna. Selain itu, di kalangan terbatas, terutama di kalangan orang yang membahas soal-soal bahasa, ada yang berbicara tentang bahasa tulisan, bahasa lisan, bahasa tutur dan sebagainya Dalam makalah ini penulis membahas tentang kesantunan berbahasa yang digunakan oleh penyiar radio. Penyiar radio apapun isi materi acaranya memiliki peranan penting dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial. Dalam makalah ini nantinya akan terlihat model – model bahasa kesantunan yang umumnya digunakan oleh penyiar radio, terkadang yang menurut orang lain kalimat tersebut bersifat kurang santun namun bagi penyiar radio tersebut sudah santun, hal ini dikarenakan tergantung dengan siapa lawan bicaranya atau pendengarnya. Dalam teori tindak tutur „speech act’ dikemukakan bahwa suatu interaksi verbal akan menjadi janggal apabila pembicara dan lawan bicara tidak |2
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 2 2015
mengungkapkan hal yang selaras atau yang sesuai dengan konteks. Penulis mengambil bahasan tentang ini dengan alasan karena saat ini sepertinya kesantunan berbahasa itu kurang begitu diperhatikan oleh masyarakat. Yang penting mereka sudah mengutarakan maksud pembicaraannnya, ya sudah terhenti sampai disitu saja, tanpa memperdulikan cara penyampaiannya dan dengan siapa lawan bicaranya. Berdasarkan latar belakang diatas, dalam penelitian ini akan dirumuskan beberapa permasalahan. Permasalahan tersebut adalah: 1. Seperti apa tuturan atau ujaran yang dilakukan oleh penyiar radio berbahasa Indonesia dan Jepang terhadap pendengarnya mulai dari yang usia remaja, dewasa sampai otang tua? 2. Sejauh manakah tindak tutur tersebut dinilai santun, tanpa menyakiti hati si pendengar? Penelitian yang membahas tindak tutur penyiar dan pendengar radio ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui seperti apa tuturan atau ujaran yang dilakukan oleh penyiar radio terhadap pendengarnya mulai dari yang usia remaja, dewasa sampai orang tua. 2. Mengetahui sejauh manakah tindak tutur tersebut dinilai santun, tanpa menyakiti hati si pendengar setianya Penulis mengambil bahasan ini agar masyarakat bisa lebih memperhatikan tindak tutur (speech act) yang lebih santun dalam berkomunikasi dengan orang lain sehingga bahasa yang dihasilkan juga lebih sopan. Selain itu, dengan bahasan ini masyarakat juga bisa lebih membedakan mana bahasa yang sifatnya tidak santun, kurang santun atau lebih santun tergantung kepada siapa lawan bicaranya. Metode Adapun metode penelitian pada penelitian ini adalah kualitatif yang dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut yaitu: a. Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan di daerah Padang karena siaran radio-radio yang ada di kota Padang dapat didengar jelas. Dalam berinteraksi, fenomena yang berkembang saat ini, masyarakat Padang lebih cenderung menggunakan dialek umum yang sering dianggap sebagai dialek standar Bahasa Minangkabau (Nio dkk., 1979:2, Anwar, 1995:174-177). Sementara itu, data tuturan penyiar radio berbahasa Jepang didapatkan dari transkrip percakapan penyiar dan pendengar yang terdapat dalam buku bahasa Jepang J.Bridge yang ditulis Satoru Koyama (2002) Langkah berikutnya, data diperoleh dengan memakai metode simak dan metode simak libat cakap serta teknik simak libat cakap (SLC) dan teknik simak bebas libat cakap (SBLC) (Sudaryanto, 1993:133-136, Djajasudarma, 1993:11). Tuturan yang diperkirakan merupakan tuturan permintaan, pertanyaan atau saran/ kritik direkam dan kemudian ditranskripsikan. Di samping itu, teknik catat ikut dipakai sebagai lanjutan dari teknik rekam. Artinya, data yang tertangkap yang tidak terekam segera dicatat. Apalagi bila data itu mucul di tempat-tempat yang tidak direncanakan (Sudaryanto, 1988:7). b. Analisis data Analisis data terdiri dari beberapa tahap yaitu penyortiran data, pengidentifikasian data, dan menjawab permasalahan. Penyortiran data dilakukan |3
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 2 2015
untuk memudahkan analisis mengingat sumber data cukup banyak, tidak tertutup kemungkinan data yang sama muncul berulangkali dalam konteks yang sama pula. Dengan demikian, penyortiran dilakukan untuk menghindari supaya data yang sama tidak teranalisis dua kali. c. Penyajian hasil analisis data Penyajian hasil analisis data dilakukan dalam bentuk narasi. Penyajian ke dalam bentuk narasi dibagi atas dua jenis yaitu metode formal dan informal (Sudaryanto, 1993:145). Penyajian analisis ini menggunakan metode formal karena dalam menguraikan berbagai fenomena yang berkaitan dengan penolakan dipakai bagan atau lambang. Misalnya, kalimat/ujaran hanya dilambangkan dengan angka. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dan menyederhanakan penganalisisan data ini sehingga hasil analisis dapat dipahami dengan mudah. Metode informal merupakan penyajian analisis dengan memakai kata-kata biasa. Penegertian kesantunan sama dengan tata krama atau etiket. Kesantunan atau etiket adalah tata cara adat atau kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat beradab untuk memelihara hubungan baik antara sesama manusia. Kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi kehidupan dalam pergaulan sehari_hari. (1) Kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. (2) Kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam suatu masyarakat tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat atau situasi lain. (3) Kesantunan selalu bipolar yakni memiliki hubungan dua kutub seperti orang yang masih muda dengan orang yang lebih tua. (4) Kesantunan tercermin dalam cara bertutur kata (berbahasa), cara berbuat (bertindak), dan cara berdandan (berpakaian). Sibarani (2004: 171). Ada tiga kaidah yang perlu diketahui agar ujaran kita terdengar santun oleh pendengar atau lawan bicara. Ketiga kaidah kesantunan itu adalah: formalitas (formality) yaitu jangan memaksa atau jangan angkuh, ketegasan (hesitancy) yaitu buatlah sedemikian rupa sehingga lawan bicara anda dapat menentukan pilihan, persamaan atau kesekawanan (equality of camaraderie) yaitu bertindaklah seolah – olah anda dan lawan bicara anda sama atau dengan kata lain „buatlah ia merasa senang‟, Lakoff (1972). Menurut Lakoff, sebuah ujaran dikatakan santun jika ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, ujaran itu memberi pilihan tindakan kepada lawan bicara, dan lawan bicara itu jadi senang. Beberapa hal mengenai definisi kesantunan menurut Fraser: (1) Kesantunan itu adalah property atau bagian dari ujaran; jadi bukan ujaran itu sendiri. (2) Pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada pada suatu ujaran. (3) Kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban peserta interaksi, Fraser, (1978:11). Diantara hak – hak penutur didalam sebuah percakapan atau interaksi adalah hak untuk bertanya. Namun hak ini bukanlah tanpa batas. Austin (dalam Thomas 1995: 31) berpendapat bahwa salah satu cara untuk membuat pembedaan yang baik bukanlah menurut kadar benar atau salahnya, melainkan melalui bagaimana bahasa dipakai sehari-hari. Melalui hipotesis performatifnya, yang menjadi landasan teori tindak-tutur (speech-act), Austin berpendapat bahwa dengan berbahasa kita tidak hanya mengatakan sesuatu (to make statements), melainkan juga melakukan sesuatu (perform actions). Tindaktutur, seperti dikembangkan lebih jauh oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), |4
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 2 2015
dapat berupa tindak-tutur langsung (direct speech-act) dan tindak-tutur tidak langsung (indirect speech -act) (Gunarwan,2004:9 dan Yule, 1996: 54-55). Selain itu, Searle juga menyebut lima jenis fungsi tindak-tutur, yaitu asertif (assertive), direktif (directive), komisif (comissive), ekspresif (expressive), dan deklarasi (declaration) (Littlejohn 2002: 80; dan Yule 1996: 53-54). Asertif atau representatif merupakan tindak-tutur yang menyatakan tentang sesuatu yang dipercayai pembicaranya benar; direktif merupakan tindak-tutur yang menghendaki pendengarnya melakukan sesuatu; komisif merupakan tindak-tutur yang digunakan pembicaranya untuk menyatakan sesuatu yang akan dilakukannya; ekspresif merupakan tindak-tutur yang menyatakan perasaan pembicaranya; dan deklarasi merupakan tindak tutur yang mengubah status sesuatu. Leech (dalam Eelen 2001: 8) menyebutkan enam bidal kesantunan, yaitu bidal kebijaksanaan (tact maxim), bidal kedermawanan (generosity maxim), bidal pujian (approbation maxim), bidal kerendahhatian (modesty maxim), bidal kesetujuan (aggreement maxim), bidal simpati (sympathy maxim); dan, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004:19), ditambah bidal pertimbangan (consideration maxim). Dalam rumusan Brown dan Levinson (1987) dinyatakan bahwa tingkat kesantunan sebuah pertuturan yang akan dibuat oleh seseorang bergantung pada tiga faktor utama: kekuasaan relatif penutur terhadap mitra tutur (P), jarak sosial penutur dari mitra tutur (D), dan keabsolutan imposisi sebuah tuturan (R), namun pada rumusan itu tidak dinyatakan secara gamblang letak dan variabel usia. Kesantunan juga memiliki jenis yang dapat dibagi atas 3 bagian besar: kesantuan perbuatan (bertindak), kesantunan bahasa (berbahasa), dan kesantunan berpakaian (berdandan). Khusus dalam hal ini penulis hanya mengkaji dalam hal kesantunan bahasa (berbahasa). Kesantunan berbahasa dapat dilakukan dengan lima cara: (1) Dengan menerapkan prinsip kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa yakni sebuah prinsip yang berusaha untuk memaksimalkan kesenangan atau kearifan, keuntungan atau rasa salut atau rasa hormat, pujian, kecocokan dan kesimpatikan kepada orang lain, tetapi sebaliknya meminimalkan hal – hal tersebut kepada diri sendiri. (2) Kesantunan berbahasa harus menghindarkan kata – kata yang tabu (taboo) dalam berkomunikasi. (3) Berkaitan dengan penghindaran kata – kata yang tabu, penggunanaan eufemisme (ungkapan yang halus sebagai pengganti segala yang tabu) perlu dilakukan agar bahasa kita bisa terjaga dan sopan. (4) Kesantuanan juga dapat tercapai dengan menggunakan pilihan kata yang honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain. (5) Kesantunan dapat juga tercapai dengan menerapkan tindak tutur tidak langsung (indirect speech act), yaitu jenis ujaran yang disampaikan dengan menggunakan modus kalimat yang berbeda dari maksud kalimatnya. (6) Penggunaan konstruksi “berpagar”, yaitu konstruksi kalimat yang menggunakan subordinatif atau kelompok kata yang dapat mengurangi paksaan terhadap lawan bicara seperti klausa, kalau boleh, jika tidak keberatan, dsb. (7) Dengan memperhatikan aspek – aspek nonlinguistic (Sibarani (2004; 192). Iori Isao (2008: 502) mengklasifikasikan tuturan dalam bahasa Jepang berdasarkan bentuk kalimatnya atas 3 yaitu desu-masu tai (bentuk desu-masu) dan de aru tai (bentuk de aru) dan da tai (bentuk da). Bentuk desu-masu digunakan sebagai bahasa percakapan, bentuk de aru digunakan dalam menulis karya ilmiah, |5
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 2 2015
sedangkan bentuk da digunakan dalam percakapan di antara orang-orang yang sudah akrab. Bentuk desu-masu disebut juga sebagai bentuk sopan yang digunakan jika ada orang luar ketika percakapan berlansung. Kesantunan bahasa bertujuan untuk memperlancar dan mengharmoniskan komunikasi sehingga suatu pesan bukan hanya dimengerti oleh peserta komunikasi, melainkan juga disenangi dan diikuti sesuai dengan keinginan pembicara. Kesantunan bahasa seseorang akan dapat tercapai dengan baik apabila orang tersebut telah mampu mengendalikan emosinya. Konsep dan istilah budaya konteks rendah (BKR) dan budaya konteks tinggi (BKT) diperkenalkan oleh Hall (1976, dalam Sibarani). Dia mengatakan BKR mengacu kepada kelompok budaya yang menghargai orientasi individu dan sandi – sandi komunikasi yang jelas serta mempertahankan struktur norma yang heterogen dengan aturan budaya yang longgar. Contohnya: bangsa – bangsa Amerika dan Eropa. Sedangkan BKT mengacu pada kelompok budaya yang menghargai orientasi kelompok dan sandi – sandi komunikasi yang samar serta mempertahankan struktur norma yang homogen dengan ciri aturan budaya yang ketat. Contohnya: bangsa –bangsa Asia, seperti Cina, Jepang, Korea dan juga termasuk Indonesia. Jadi bisa dikatakan bahwa orang yang memiliki BKT, biasanya mememulai pembicaraan dengan cara berputar – putar dahulu lalu baru langsung masuk ke inti pembicaraan. Tapi bagi orang yang memiliki BKR, pada saat berbicara dia akan langsung masuk ke inti pembicaraan atau langsung ke pokok permasalahannya. Bila dikaitkan dengan negara kita (Indonesia) hal ini memang sangat cocok dengan BKT, karena masyarakat kita selalu memulai pembicaraan dengan cara berputar – putar terlebih dahulu lalu langsung masuk ke inti pembicaraan. Analisis Kesantunan Berbahasa yang Digunakan Penyiar 2. 1 Tuturan Penyiar Radio di Kota Padang. Dalam menganalisis penelitian tentang kesantunan berbahasa yang digunakan oleh penyiar radio ini, penulis mengambil dari kesantunan berbahasa yang digunakan oleh penyiar radio Classy FM dan Sushi FM. Classy FM memiliki pendengar rata – rata dari yang usia remaja sampai dewasa bahkan orang tua sekalipun. Tapi Sushi FM memiliki pendengar yang biasanya dari kalangan remaja atau ABG (Anak Baru Gede) saja. Kalaupun ada orang dewasa itupun persentasenya hanya sedikit, tidak seperti Classy FM. Hal ini dikarenakan karena masing – masing stasiun radio tersebut telah memiliki pangsa pasar masing – masing dan juga memiliki ciri khas tertentu untuk mendapat tempat dihati para pendengar setianya. Berikut ini penulis menampilkan data – data kesantunan berbahasa dari masing – masing penyiar radio tersebut. Data 1: “Ok, Bapak terimakasih atas pertanyaannya. Berikut akan coba dijawab oleh narasumber kita”. (Program talk show di Classy FM). Dari data di atas kita bisa lihat ujaran ini dilakukan saat si penyiar akan mengakhiri pembicaraan lewat telepon dengan pendengarnya yang akan menanyakan sesuatu kepada narasumber dalam program talk show tersebut. Ujaran yang dilakukan oleh si penyiar tersebut termasuk kepada ujaran yang santun. Selain itu pendengar yang bertanya juga orang yang sudah sangat dewasa. |6
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 2 2015
Data 2: “….. baik bapak, bisa langsung saja ke pertanyaannya karena narasumber kita sudah bisa menangkap maksud dari yang disampaikan diawal tadi”. (Program talk show di Classy FM) Dari data di atas sepertinya penyiar menggunakan giliran berbicara dengan cara memotong pembicaraan si penanya karena ada sedikit masalah dengan suara brisik yang ada pada teleopon si penanya, namun si penyiar tidak mau menggunakan kata – kata brisik tersebut dengan alasan takut menyinggung perasaan si penanya. Tuturan diatas juga termasuk ke dalam bahasa yang santun meskipun si penyiar memotong pembicaraan, namun hal ini dilakukan untuk alasan tertentu. Data 3: “Maaf bapak, karena mengingat durasi, mungkin kita hanya terima satu pertanyaan saja. Silahkan bapak”. (Program talk show di Classy FM) Dari tuturan di atas si penyiar langsung memotong pembicaraan dengan hanya memberi informasi bahwa dia (penyiar) hanya terima satu pertanyaan saja, karena diawal si penelepon sudah mengutarakan bahwa dia akan mengajukan dua pertanyaan, oleh karena itu si penyiar langsung memotongnya. Kalimat ini termasuk kedalam kalimat yang lebih santun karena si penyiar menggunakan kata maaf terlebih dahulu, sebelum si penanya langsung masuk ke pertanyaan yang dimaksudnya. Kalimat diatas juga termasuk kedalam ujaran lengkap. Data 4: “Ya ibuk…pertanyaan ibuk cukup panjang dan sepertinya rada kurang jelas, mungkin karena lagi dijalan ya ibuk…mungkin bisa dipersingkat saja ibuk pertanyaannya atau intinya saja”. (Program talk show di Classy FM) Dari data di atas, kita bisa melihat si ibuk ini memberikan pertanyaan namun dengan cara yang berbelit – belit selain itu intonasinya juga kurang jelas. Oleh karena itu si penyiar langsung saja mengambil tindakan untuk mengatakan kepada si penanya tersebut untuk langsung saja ke pokok permasalahannnya. Kalimat diatas sebenarnya termasuk kedalam kategori kurang santun karena itu sama saja dengan mempersempit ruang gerak seseorang untuk berbicara, namun hal itu terpaksa dilakukan karena bila dibiarkan hal ini akan cukup memakan waktu sementara orang lain banyak yang akan antri untuk menelepon ke line interactive tersebut. Data 5: “Maaf skali classy people kita tidak bisa lagi angkat teleponnya, karena tidak ada waktu lagi jadi mungkin pertanyaannya bisa disimpan saja untuk minggu depan karena minggu depan kita masih dengan narasumber yang sama tentunya dengan topik yang lebih seru lagi. Skali lagi mohon maaf classy people”. (Program talksow di Classy FM) Data di atas termasuk kedalam ujaran lengkap. Tuturan diatas termasuk kedalam bahasa yang lebih santun karena si penyiar memulai dengan kata maaf kepada classy people (sebutan untuk pendengar classy) karena dia (penyiar) sudah tidak bisa lagi menerima pertanyaan dari pendengarnya, namun agar pendengarnya tidak kecewa, si penyiar mengatakan pertanyaannya masih bisa |7
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 2 2015
ditanya kembali minggu depan, jadi harap disimpan dulu pertanyaannnya. Hal ini sangat santun karena penyiar berusaha menutup program dengan cara yang halus yang tidak menyakiti hati para pendengarnya, oleh karena itu alasan buat minggu depan itu merupakan salah satu cara untuk mengatasi / mengobati rasa kecewa pendengar. Data 6: “Ok, Sushi mitra loe semua bisa request di line interactive kita dan juga bisa sms masih di nomor yang sama yach…..buat loe – loe yang requestannya tidak sesuai dengan format Sushi, mohon maaf gw ga’ bisa puterin lagunya mungkin cuma bacain salam –salamnya aja kali yaaa”. (Program request di Sushi FM) Sushi mitra (sebutan untuk pendengar Sushi FM). Ujaran diatas secara tidak langsung menunjukkan kepada kita bahwa pendengar dari Sushi FM ini adalah remaja dan ABG. Mungkin tuturan diatas terkesan kurang santun buat kalangan tertentu namun hal ini termasuk santun bila ditujukan kepada para ABG tersebut. Karena memang itulah format bahasa mereka dengan menggunakan kata loe and gw. Kata maaf disini juga diutarakan agar si pendengar tahu bahwa bila ingin request tolong lagunya yang sesuai dengan format sushi, bila tidak dia (penyiar) hanya membacakan salamnya saja. Hal ini dilakukan agar si pendengar tidak terlalu kecewa, meskipun misalkan ada lagunya yang tidak sesuai dengan format Sushi, namun salamnya tetap dibacakan dari pada tidak dibacakan sama sekali karena itu akan terkesan kurang santun tentunya. Data 7: “Ya….anda mau request kiprah apa dan silahkan mau kirim – kirim salam buat siapa aja.”.(Program request di Classy FM) Kiprah (sebutan untuk istilah lagu dalam radio Classy). Pada ujaran diatas sepertinya penyiar menanyakan langsung ke intinya saja, karena selain untuk mempersingkat waktu, selain itu juga untuk menghindari penelepon yang bertele – tele, terkadang ada penelepon yang memulai pembicaraan yang terkadang bahan candaannya tidak cocok untuk dibicarakan secara on air, dan hal itu tidak sesuai dengan karakter Classy. Kalimat diatas termasuk kepada bahasa santun. Data 8: “Ini vera ya…wah ke mana aja loe, kaga’ ada nelpon – nelpon di program request lagi….kali ini loe mau request lagu apa lagi ne…jangan bilang lagunya yang biasa lagi yak...kalo lagunya itu lagi kaga’ gw puterin lho. ga’ bosen apa loe...itu mulu requestannya…ganti dong…ne gw kasih playlistnya ne…”. (program request di Sushi FM) Dari data terakhir ini, kita bisa melihat bahwa sepertinya si penyiar sudah cukup akrab dengan penelepon setianya yang satu ini. Buktinya si penyiar bisa langsung menebak dengan siapa lawan bicaranya. Bagi orang yang belum biasa dengan kalimat ini mungkin terkesan tidak santun karena belum kenal. Tapi ujaran diatas bisa dikatakan santun karena mereka sudah saling mengenal sehingga tidak masalah untuk menggunakan model bahasa apapun, karena masing – masing mereka sudah saling mengenal. Makanya si penyiar menggunakan tuturan seperti yang terlihat pada data diatas. Penggunaan ujaran seperti data |8
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 2 2015
diatas juga tidak terlepas dari budaya anak muda masa kini yang dinamakan juga budaya “gaul” karena mereka lebih cendrung memilih bahasa gaul dalam bahasa kehidupan mereka sehari – hari. Dari pada bahasa resmi yaitu bahasa Indonesia yang memiliki tata urut kata yang lebih terstruktur dari pada tata urut kata dalam bahasa gaul tersebut. 2.2 Tuturan Penyiar Radio di Jepang Tuturan penyiar radio di Yokohama Jepang ini merupakan percakapan antara penyiar dengan seorang karyawan perusahaan. Perakapan ini berlangsung dalam acara „hitokoto itte ageru‟ yang disiarkan Radio Yokohama Wangan, Jepang. Adapun bentuk tuturan yang digunakan penyiar pada siaran radio tersebut dapat dilihat di bawah ini: Data 9 もしもし。お仕事中、すみません。横浜湾岸ラジオのケリー松本ともうし ますが、森下たかしさんですね。(Koyama 2002: 120) moshimoshi. oshigotochuu, sumimasen. yokohama wangan rajio no kelii matsumoto to moushimasu ga, morishita takashisan desu ne. „Halo, maaf saya menelepon saat anda sedang bekerja. Perkenalkan saya Matsumoto Kelly dari radio Teluk Yokohama, dengan Sdr Takashi Morita kan? Data di atas memperlhatkan bahwa penyiar dan mitra tuturnya tidak saling kenal, tetapi peyiar mengeahui mitra tuturnya. Oleh karena itu, pada percakapan di atas penyiar memperkenalkan dirinya dan memastikan kepada mitra tutunya apakah benar mitra tuturnya itu bernama Takshi Morishita. Pada data ini dapat dilihat bahwa penyiar radio berbicara sangat santun karena menggunakan bentuk hormat (keigo) kepada mitra tutur. Hal ini ditandai dengan penggunaan bentuk „と もうしますが‟ to moushimasu ga yang merupakan salah satu bentuk hormat ketika berbicara dengan orang lain yang termasuk kategori kenjougo. Di sini penyiar merendahkan dirinya sehingga secara otomatis meninggikan posisi mitra tuturnya. Data 10 じゃあ、誕生日にプレゼントぐらい買ってあげなきゃ。最近は花も買って あげないそうですね。(Koyama 2002: 120) Jaa, tanjoubi ni purezento gurai katte agenakya. Saikin wa hana mo katte agenai sou desu ne. „Kalau begitu, harus memberikan bunga di hari ulang tahunnya. akhir-akhir ini katanya tidak memberikan dia bunga ya.‟ Pada tuturan data 10 di atas penyiar tetap santun dalam berbahasa ketika berkomunikasi dengan mitra tuturnya. Penggunaan „じゃあ‟ jaa diawal kalimat merupakan bentuk ajakan yag disampaikan oleh penyiar kepada mitra tutur sehingga „sesuatu hal yang harus dilakukan mitra tutur‟ dalam hal ini harus memberikan hadiah „プレゼントぐらい買ってあげなきゃ‟ purezento gurai katte agenakya tidak terlihat disampaikan sebagai suatu perintah melainkan suatu ajakan. Selain itu, penggunaan shuujoshi ne di akhir kalimat mengharapkan respon dari penutur agar penutur melakukan apa yang disampaikan penyiar tanpa merasa dipaksa melainkan dengan kesadaran sendiri. |9
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 2 2015
Data 11 私に謝らなくてもいいんですよ、ご主人。あなた、奥さんの誕生日、いつ かご存知ですか。(Koyama 2002: 120) watashi ni ayamaranakutemo ii n desu yo, goshujin. anata, okusanno tanjoubi itsuka gozonji desu ka. „Tak perlu minta maaf pada saya, tuan. Kamu, tahu kapan istrimu berulang tahun?‟ Pada data di atas terdapat tuturan yang santun dan tuturan yang kurang santun. Tuturan yang santun ditandai dengan penggunaan kata kerja bantu „です‟ desu di akhir kalimat. Penggunaan kata „あなた‟ anata yang berarti kamu pada percakapan menjadikan tuturan penyiar menjadi kurang santun. Kata „あなた‟ anata yang berarti kamu tidak lazim digunakan dalam percakapan bahasa Jepang. Lagi pula, penyiar tidak mengenal mitra tutur sehingga penggunaan „あなた‟ anata dalam tuturannya tidak seharusnya digunakan. Penyiar dapat mengganti kata „あなた‟ anata dengan nama mitra tutur karena mengetahui nama mitra tuturnya. Kesimpulan Dari analisis diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa fungsi bahasa sebagai media komunikasi dalam konteks tertentu ada kalanya termasuk dalam kesantunan berbahasa namun disisi lain juga ada yang melanggar norma – norma kesantunan tergantung pada konteks dan siapa lawan bicara yang dimaksud. Tuturan yang harus digunakan kepada orang yang sama besar terlihat tidak santun bila digunakan kepada orang yang jauh lebih besar atau orang tua. Begitu juga sebaliknya tuturan yang seharusnya digunakan kepada orang yang jauh lebih tua tidak cocok digunakan untuk anak yang usianya jauh lebih muda karena bisa saja terjadi kesalahpahaman dalam pembicaraan. Jadi cara berbicara (tindakan) dan ujaran (bahasa) yang dikeluarkan sangat memepengaruhi kesantunan seseorang dalam berbahasa. Selain itu kita juga harus menggunakan ujaran yang sesuai dengan lawan bicara kita. Jangan menggunakan ujaran yang terkesan aneh kepada orang yang belum dikenal karena hal itu akan terkesan tidak santun, namun bila ujaran itu digunakan pada orang yang sudah biasa atau orang yang sudah lama dikenal mungkin akan sah – sah saja. Jadi tata cara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi demi lancarnya komunikasi. Keanehan tata cara berbahasa akan memperlambat pesan yang disampaikan dalam komunikasi.
| 10
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 2 2015
Daftar Pustaka Austin, John L. 1962. How to Do Things with Word (edisi kedua). Oxford: Oxfod University Press. Fraser, Bruce. 1978. Acquiring Social Competence in a Second Language. RELC Journal 9.1-21 Gunarwan, Asim. 2004. Dari Pragmatik ke Pengajaran Bahasa (Makalah Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah). IKIP Singaraja. Isao, Iori dkk. 2008. Chujokyu o Oshieru Hito no Tame no Nihongo Bunpo Handobukku. Tokyo: 3a Network Karnita. 2007. Berbahsalah dengan sopan dan santun. http://www.mailarchive.com/
[email protected]/msg05268.html, diunduh pada hari Senin tanggal 11 Januari 2010 jam 13.00 WIB Kompoe. 2009. Pragmatik dan pembelajaran Linguistik. http://kompoe.blogspot.com/ diunduh pada hari Senin tanggal 11 Januari 2010 jam 11.00 WIB Koyama, Satoru. 2002. J Birdge to Intermediate Japanese. Bojinsha: Tokyo Lakoff, Robin. 1973. The Logic of Politeness or Minding Tour p’s and q’s, dalam Papers from the Ninth Regional Meeting of the Chicago Linguistic Society. Chicago: Chicago Lingusitic Society Noor,
Ety. 2008. Pentingnya sopan santun berbahasa. 2008. http://www.gemari.or.id/file/edisi91/gemari9137.pdf diunduh pada hari Senin Tanggal 11 Januari 2010 jam 12.50 WIB
Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan; Poda Tarmini, Wini. 2009. Bahasa Indonesia dan Penyiar Radio. http://winitarmini.blogspot.com/2009/04/bahasa-indonesia-dan-penyiarradio.html diunduh pada hari Senin tanggal 11 Januari 2010 jam 11.00 WIB Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford. Oxford University Press.
| 11