STRATEGI KESANTUNAN BERBAHASA POLITISI INDONESIA MENJELANG PEMILU LEGISLATIF 2014 Fadhlia Najmiya, Nitrasattri Handayani Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskrispsikan strategi kesantunan berbahasa para politisi Indonesia. Penelitian ini berada dalam ruang lingkup pragmatik. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus. Data dikumpulkan untuk kemudian disifatkan menjadi penelitian eksploratif, dapat menjawab rumusan masalah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tuturan politisi Indonesia dalam surat kabar harian Kompas. Kompas merupakan salah satu media cetak yang memuat kolom politik dan hukum yang memberikan informasi seputar pemilu. Data diambil dari artikel-artikel tentang pemilu selama masa kampanye terbuka berlangsung, yaitu 16 Maret—5 April 2014. Data dianalisis menggunakan teori kesantunan Brown dan Levinson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tuturan politisi mengancam citra negatif petutur. Ancaman dilakukan dengan menggunakan strategi ditutupi kesantunan positif. Keuntungan dari strategi tersebut adalah penutur dapat meningkatkan citra positif dirinya dan citra negatif petutur. Kata kunci: pola komunikasi, citra positif, citra negatif, strategi kesantunan.
Politeness Strategy Indonesian Politicians Ahead of Legislative Election 2014
Abstract This study aims to desbcribe politeness strategy Indonesian politicians. This research is within the scope of pragmatics. The research method used in this research is the case study method. Data were collected for later attributed become explorative research, can answer the problem formulation. The data used in this study are the utterances of politicians Indonesian newspaper, Kompas. Kompas is one of the print media which includes political and legal fields that provide information about the election. The data is taken from the articles on the election took place during the campaign opened, namely 16 March to 5 April 2014, Data were analyzed using the theory of Brown and Levinson's politeness. The results showed that the utterances of politicians threaten negative image addressees. Threats performed using positive politeness strategies covered. The advantage of such a strategy is the speaker himself can enhance the positive image and negative image of the addressees.
Keywords: pattern of communication, positive image, negative image, politeness strategy.
1 Strategi kesantunan..., Fadhlia Najmiya, FIB UI, 2014
Pendahuluan A.
Latar Belakang Masalah Manusia memiliki bahasa sebagai alat berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama.
Menurut Kridalaksana (2009: 3), bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang disepakati untuk digunakan oleh kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Dengan kata lain, bahasa merupakan sebuah tanda yang dapat menimbulkan reaksi yang sama apabila orang menanggapi (melihat, mendengar, dan sebagainya) apa yang diwakilinya tersebut. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam berkomunikasi. Wijana (1996, 46— 52) menyebutkan bahwa kerja sama merupakan salah satu syarat keberhasilan sebuah komunikasi. Adanya kesepahaman antara penutur dan mitra tutur menunjukkan adanya kerja sama yang baik. Hal lain yang juga penting dalam berkomunikasi adalah (1) kesantunan berbahasa, (2) kesopanan berbahasa, dan (3) etika dalam berbahasa (Chaer, 2010: 6). Kesantunan adalah tentang bagaimana penutur menjaga keharmonisan hubungan dengan mitra tutur. Brown dan Levinson (1987) merupakan salah satu ahli yang membahas masalah kesantunan. Brown dan Levinson menekankan prinsip face ‘citra’. Menurutnya, citra merupakan citra diri yang bersifat umum dan ingin dimiliki oleh setiap warga masyarakat. Ada dua jenis citra, yaitu citra positif dan citra negatif. Akan tetapi, tidak dipungkiri bahwa terdapat berbagai tuturan yang cenderung merupakan tindakan yang tidak menyenangkan atau disebut FTA, Face Threatening Act ‘tindak mengancam citra’, yang terjadi secara alamiah. Brown dan Levinson (1987: 65—68) mengatakan bahwa konsep tentang citra bersifat universal. Artinya, setiap orang dari berbagai kalangan ingin memiliki citra positif, tidak terkecuali politisi. Berbeda dengan masyarakat pada umumnya, politisi memiliki sifat khas yang membuatnya menjadi sorotan, baik dari segi perilaku maupun bahasa yang digunakannya. Bahasa yang digunakan politisi menjelang pemilu telah menarik perhatian penulis. Dalam penelitian ini, penulis menyoroti penggunaan bahasa dari sudut kesantunan. Indonesia memiliki sebuah pesta pemilihan umum. Rakyat diberi hak untuk memilih salah satu calon politisi yang dianggap dapat mewakili suaranya di parlemen. Sebagai orang yang dipercaya, politisi tersebut bukan merupakan warga masyarakat biasa, melainkan ia memiliki fungsi dan kedudukan khusus. Kegiatan pemilu yang berkaitan langsung dengan komunikasi adalah kampanye dan pemungutan suara (Arifin, 2003: 27). Dalam komunikasi tersebut terdapat sebuah interaksi 2 Strategi kesantunan..., Fadhlia Najmiya, FIB UI, 2014
antara partai dengan partisipan. Menurut Gudykunst (2002: 10), a communication campaign is an organized communication activity, directed at a particular audience, for a particular period of time, to achieve a particular goal ‘kampanye adalah serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu untuk mencapai sebuah tujuan’. Sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2013 Pasal 1 ayat 17 bahwa, “Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu”. Berkampanye merupakan salah satu upaya politisi untuk merebut hati rakyat. Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk memiliki citra diri positif. Mereka akan berusaha mengomunikasikan gagasan dan pemikiran secara jelas. Mereka juga diharapkan dapat menyampaikan gagasannya tanpa melukai perasaan mitra tutur. Bagi kebanyakan masyarakat, seorang politisi yang dapat berkampanye dengan sehat, tidak saling mencela lawan, menjadi nilai tambah bagi politisi tersebut dan meningkatkan citra mereka. Pada masa berkampanye, citra positif menjadi hal yang sangat penting karena menjadi nilai tambah bagi politisi di hati rakyat. Akan tetapi, masa berkampanye juga dapat menghilangkan citra positif. Hal tersebut biasanya terjadi karena lawan politik. Risiko tersebut disebabkan oleh tuduhan, tudingan, keluhan, kritik, penyataan tidak setuju, dan lainlain yang dilontarkan oleh seseorang terhadap lawan politiknya. Tidak menutup kemungkinan bahwa seseorang kehilangan citra positif akibat tuturannya sendiri. Hal tersebut biasanya disebabkan oleh ungkapan minta maaf, ungkapan rasa tanggung jawab yang dilontarkan oleh seseorang. B.
Permasalahan Konsep tentang citra bersifat universal. Setiap orang ingin memiliki citra positif. Akan
tetapi, ada tindakan ancaman citra (FTA) yang terjadi secara alamiah dalam setiap pertuturan, tidak terkecuali oleh politisi. Kampanye menjadi ajang untuk mencari dukungan dan suara dari masyarakat. Politisi menyampaikan visi dan misi yang secara tidak langsung telah mengancam citra lawan tutur. Atas dasar hal itu, masalah dalam penelitian ini dirumuskan menjadi dua. a. Bagaimana strategi kesantunan yang digunakan oleh para politisi Indonesia dalam rangka kampanye Pemilu Legislatif 2014? 3 Strategi kesantunan..., Fadhlia Najmiya, FIB UI, 2014
b. Bagaimana hubungan antara pemilihan strategi kesantunan dan tindakan komunikasi yang berlangsung? C.
Tujuan Berdasarkan rumusan masalah di atas, ada dua tujuan penulisan. Pertama,
mendeskripsikan penggunaan strategi kesantunan yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson. Kedua, mendeskripsikan kaitan antara pemilihan strategi kesantunan dan tindakan komunikasi yang terjadi.
Tinjauan Teoretis Berikut adalah penjabaran teori yang terkait dalam penelitian ini. A.
Komunikasi Politik Sama halnya dengan berkomunikasi, berpolitik adalah proses penyampaian pesan
kepada khalayak atau melibatkan pembicaraan. Mark Roelofs (dalam Dan: 1993: 8) mengatakan bahwa berpolitik adalah berbicara. Cholisin, dkk (2007: 114) mengatakan bahwa komunikasi politik ialah proses penyampaian informasi politik dari pemerintah kepada masyarakat dan sebaliknya. Ada sejumlah cara yang lazim dipergunakan untuk melakukan komunikasi politik. Kampanye merupakan salah satu bentuk dari komunikasi politik. Kampanye politik merupakan bentuk komunikasi politik yang dilakukan oleh kelompok dalam waktu tertentu untuk memperoleh dan memperkuat dukungan dari pemilih (Hikmat, 2010: 37-38). Mengenai isi pesan dalam kampanye, David V. J. Bell (dalam Dan Nimmo, 1993: 75) menjelaskan tiga jenis pembicaraan politik. a. Pembicaran kekuasaan berarti mempengaruhi orang lain dengan ancaman atau janji. b. Pembicaraan pengaruh berarti mempengaruhi orang lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu dalam bentuk nasihat, dorongan, peringatan, dan permintaan. c. Pembicaraan autoritas. Pembicaraan autoritas lebih merupakan bentuk perintah daripada bentuk bersyarat. Berdasarkan pembagian tersebut, kampanye termasuk ke dalam jenis pembicaraan kekuasaan
dan
pembicaraan
pengaruh.
Pembicaraan
kekuasaan
bertujuan
untuk
mempengaruhi orang dengan cara janji atau ancaman, sedangkan pembicaraan pengaruh bertujuan untuk mempengaruhi orang lain dengan cara nasihat, dorongan, permintaan, dan peringatan. 4 Strategi kesantunan..., Fadhlia Najmiya, FIB UI, 2014
Sebagai bentuk komunikasi, kampanye memiliki pola. Hamad (2004) membagi pola komunikasi dalam kampanye menjadi empat, yaitu. a. Pola komunikasi vertikal, dari pemimpin kepada yang dipimpin. Contoh nyata dari tindak komunikasi ini adalah komunikasi antara pemimpin dengan yang dipimpin. Tindak komunikasi ini juga menekankan adanya perbedaan status antara yang memimpin dan dipimpin. Sebagai pengikut, orang yang akan dipimpin, akan menafsirkan simbol-simbol, baik verbal maupun nonverbal. b. Pola komunikasi horizontal. Komunikasi ini terjadi antarindividu. Dalam komunikasi ini, biasanya terdapat satu topik khusus yang menjadi sebuah pembahasan. c. Pola komunikasi formal, melalui jalur formal. Realisasi dari tindak komunikasi ini
adalah interaksi yang terjadi dalam rapat, musyawarah, dan sebagainya. d. Pola komunikasi informal. Berbeda dengan formal, komunikasi ini terjadi di dalam
kelompok yang lebih kecil, seperti organisasi. Dalam hal ini, kampanye yang terjadi di Indonesia termasuk ke dalam pola komunikasi vertikal dan horizontal. B.
Prinsip Kesantunan Berbahasa Ruang lingkup penelitian ini adalah pragmatik. Kesantunan berbahasa merupakan salah
satu bidang kajian dalam pragmatik. Menurut Bruce Faster, seperti yang dikutip oleh Rahardi (2005: 38—40), kajian mengenai kesantunan (politeness) dapat dibedakan menjadi empat kelompok. Pertama, pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma-norma sosial. Kedua, pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan dan sebagai upaya penyelamatan citra. Ketiga, kesantunan sebagai tindakan untuk memenuhi persyaratan terpenuhinya sebuah kontrak percakapan. Keempat, kesantunan sebagai sebuah indeks sosial. Topik dalam penelitian ini termasuk ke dalam pandangan kedua, yaitu pandangan kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan dan upaya penyelamatan citra. Berdasarkan pandangan tersebut, kesantunan dapat dibagi menjadi dua, kesantunan sebagai maksim percakapan dan kesantunan sebagai upaya penyelamatan citra. Penelitian ini fokus pada strategi kesantunan sebagai upaya penyelamatan citra. C.
Konsep Citra dan Pelanggaran Citra Menurut Brown dan Levinson (1987: 65—68), konsep citra bersifat universal. Secara
alamiah, terdapat berbagai tuturan yang cenderung merupakan tindakan yang tidak menyenangkan yang disebut Face Threatening Act ‘Tindakan Mengancam Citra’, kemudian disingkat menjadi FTA. Tindakan yang mengancam citra kemudian dibedakan menjadi dua. 5 Strategi kesantunan..., Fadhlia Najmiya, FIB UI, 2014
1.
Tindakan mengancam citra negatif petutur. Hal ini terjadi karena penutur ingin membatasi kebebasan petutur dalam bertindak. Berikut ini adalah tindakan-tindakan yang dapat melanggar citra negatif. a. ungkapan berupa perintah, permintaan, saran, nasihat, peringatan, ancaman, peringatan, dan tantangan. b. ungkapan berupa tawaran dan janji. c. ucapan syukur, ekspresi kesungguhan, pujian, dan ungkapan perasaan negatif seperti kebencian dan kemarahan terhadap lawan tutur.
2.
Tindakan yang mengancam citra positif petutur. Hal ini terjadi karena keinginan petutur tidak sama dengan penutur. Berikut ini adalah tindakan-tindakan yang dapat melanggar citra positif. a. ungkapan
mengenai
ketidaksetujuan,
kritik,
tindakan
merendahkan
atau
mempermalukan, keluhan, kemarahan, dakwaan, penghinaan, b. ungkapan mengenai pertentangan, ketidaksetujuan atau tantangan, c. ungkapan mengenai emosi yang tidak terkontrol yang membuat lawan tutur merasa dipermalukan, d. ungkapan yang tidak sopan, penyebutan hal-hal yang bersifat tabu. e. ungkapan kabar buruk mengenai lawan tutur, atau menyombongkan berita baik. f. ungkapan mengenai hal-hal yang membahayakan serta topik yang bersifat memecah belah pendapat, seperti masalah politik, ras, agama, dan pembebasan wanita. g. ungkapan yang tidak kooperatif dari penutur terhadap lawan tutur. h. ungkapan mengenai sebutan atau ataupun hal-hal yang menunjukkan status lawan tutur pada perjumpaan pertama. Dalam situasi ini mungkin penutur membuat identifikasi yang keliru mengenai lawan tuturnya yang melukai perasaannya atau mempermalukannya baik secara sengaja atau tidak. D.
Strategi Kesantunan Menurut Brown dan Levinson Terkait dengan tindak mengancam citra, seorang peserta tutur menghadapi sejumlah
pilihan sebelum melakukan tuturan, yaitu melanggar citra positif lawan tutur atau melanggar citra negatif lawan tutur. Ada strategi kesantunan untuk memperbaiki komunikasi. Berikut adalah pembagian strategi kesantunan menurut Brown dan Levinson (1987). 1. Strategi Melakukan Tindak Mengancam Citra Strategi ini dapat berhasil apabila penutur dan petutur memiliki pemahaman tentang tujuan komunikasi yang akan dicapai. Peserta tuturan juga memahami pengetahuan 6 Strategi kesantunan..., Fadhlia Najmiya, FIB UI, 2014
bersama tentang kegiatan komunikasi yang sedang berlangsung. Strategi ini terbagi menjadi menyatakan tindak mengancam citra (on record) dan tidak menyatakan tindak mengancam citra (off record). a. Menyatakan tindak mengancam citra Strategi menyatakan tindak mengancam citra dibagi menjadi dua. 1. Menyatakan tindak mengancam citra tanpa ditutup-tutupi (without redressive action). Realisasi dari strategi mengancam citra tanpa ditutup-tutupi adaah bertutur terus terang (on record). Strategi ini dilakukan apabila penutur akan bertanggung jawab terhadap apa yang telah dituturkan. Penutur tidak terlalu mengkhawatirkan balasan dari lawan tutur. Hal tersebut disebabkan, misalnya penutur memiliki status sosial yang lebih tinggi daripada lawan tutur. 2. Menyatakan tindak mengancam citra dengan ditutup-tutupi (wtih rederessive action). Strategi ini dilakukan karena penutur merasa ingin menjaga keberlangsungan hubungan yang harmonis dengan petutur. Strategi ini terbagi menjadi dua. (a) Ditutupi dengan kesantunan positif (positive politeness) Pada hakikatnya, kesantunan positif ditujukan terhadap keselamatan citra positif lawan tutur, yaitu citra positif yang dianggap dimiliki oleh lawan tutur. Realisasi tindakan dalam strategi ini adalah (1) Menyatakan kesamaan-kesamaan antara penutur dan petutur. Penutur menyatakan persamaan keinginan dan tujuan dengan petutur dan mengakui bahwa mereka berasal dari satu kelompok tertentu. Strategi ini dilakukan dengan memuji, bersimpati, menyetuji, menanyakan pendapat petutur, menghindari ketidaksetujuan, membuat lelucon, bergosip atau basa-basi. (2) Membuat pernyataan yang menunjukkan adanya kerja sama antara penutur dan petutur. Biasanya kalimat ini berupa tawaran atau janji meskipun tidak sungguh-sungguh dan ditunjukkan dengan pemakaian kata kita, walaupun yang dimaksud hanya anda, aku, atau kami. (b) Ditutupi dengan kesantunan negatif (negative politeness) Berlawanan dengan kesantunan positif, kesantunan negatif merupakan cara bagaimana memenuhi atau menyelamatkan citra negatif lawan tutur, yaitu mempertahankan apa yang dia anggap sebagai wilayah dan keyakinan dirinya. Realisasi tindakan dalam strategi ini adalah (1) Menggunakan tindak tutur tidak langsung dalam meminta. 7 Strategi kesantunan..., Fadhlia Najmiya, FIB UI, 2014
(2) Menggunakan kata yang menimbulkan praanggapan negatif terhadap petutur. Strategi ini biasanya ditandai dengan kata mungkin, rasanya, kiranya. (3) Menggunakan kata maaf dan permisi. b.
Tidak menyatakan tindak mengancam citra Strategi bertutur secara samar-samar (off record) ini dilakukan apabila penutur ingin
melakukan ancaman citra terhadap lawan tutur, tetapi tidak bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Biasanya, penutur membuat sebuah tuturan yang memiliki lebih dari satu interpretasi. Realisasi linguistik dari tindakan off record ini adalah (1) Menggunakan petunjuk yang dapat membuat petutur memberikan banyak interpretasi. (2) menggunakan metafor, ironi, dan pertanyaan retoris. (3) menggunakan kalimat ambigu, samar-samar, dan generalisasi. 2.
Strategi Tidak Melakukan Tindak Mengancam Citra Penutur tidak melakukan suatu tuturan apa pun. Ini menjadi pilihan terakhir dalam
pertuturan. Penutur memilih menyimpan ujaran di dalam hati karena menghindari dirinya menyakiti lawan tutur melalui tuturan yang mungkin akan melukai lawannya. Secara ringkas, pembagian strategi kesantunan menurut Brown dan Levinson dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Strategi Kesantunan
Melakukan tindak mengancam citra Menyatakan tindak mengancam citra Menyatakan tanpa ditutup-tutupi
Tidak melakukan tindak mengancam citra
Tidak menyatakan tindak mengancam citra
Menyatakan dengan kesantunan negatif
Menyatakan dengan kesantunan positif Gambar Pembagian Strategi Kesantunan Menurut Brown dan Levinson
8 Strategi kesantunan..., Fadhlia Najmiya, FIB UI, 2014
Brown dan Levinson mendasari pembagian tersebut di atas berdasarkan tiga faktor, yaitu a. Jarak sosial antara penutur dengan petutur. Faktor ini dilatarbelakangi oleh perbedaan usia dan latar belakang sosial antara penutur dan petutur. Penutur dengan usia yang jauh lebih tua dibanding petutur akan cenderung menggunakan strategi kesantunan dengan kerusakan citra yang tinggi. Begitu pula dengan latar belakang sosial. Penutur yang memiliki status sosial lebih tinggi dibanding petutur akan menggunakan strategi kesantunan dengan tingkat kerusakan citra yang tinggi. b. Kekuasaan tidak mutlak antara penutur dan petutur. Faktor ini sangat bergantung pada jenis komunikasi yang dilakukan. Berkaitan dengan kekuasaan, Thomas (1995: 127) membagi tiga macam kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi: 1. Kekuasaan yang sah, seseorang mempunyai hak untuk mengutarakan atau meminta sesuatu karena faktor usia, peran, dan status yang dimiliki, 2. Kekuasaan referensi, seseorang mempunyai kekuasaan atas orang lain karena orang lain mengagumi dan ingin menjadi seperti dirinya, dan 3. Kekuasaan ahli, seseorang mempunyai keahlian atau pengetahuan di bidang tertentu yang dibutuhkan orang lain. c. Derajat mutlak dari peraturan budaya yang bersangkutan. Faktor ini bergantung pada skala tindak komunikasi yang didasarkan kedudukan relatif suatu tindak komunikasi dengan tindak komunikasi yang lain. Misalnya, dalam sebuah situasi, penutur dapat menggunakan strategi kesantunan dengan kerusakan citra yang tinggi dan tidak dapat menggunakannya di lain situasi.
Metode Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang dibuat oleh Vredenbregt (1978: 35), penelitian ini termasuk ke dalam penelitian deskriptif dan eksploratif. Termasuk ke dalam penelitian deskriptif karena ingin memberikan deskripsi mengenai strategi kesantunan yang digunakan oleh politisi serta melihat kaitan antara pemilihan strategi tersebut dengan tindakan komunikasi yang terjadi, sedangkan penelitian eksploratif karena ingin menjawab semua pertanyaan yang terdapat pada rumusan masalah.
9 Strategi kesantunan..., Fadhlia Najmiya, FIB UI, 2014
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Menurut Vredenbregt (1978: 38) sifat dari penelitian studi kasus adalah mempertahankan keutuhan dari objek penelitian. Metode penulisan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. A. Pemerolehan Data Sumber data yang merupakan artikel yang bertemakan Pemilu 2014. Kompas memiliki rubrik untuk berita politik dan hukum. Data yang diambil berupa ujaran para politisi yang terdapat pada artikel di dalam rubrik tersebut. Saya juga mempersempit ruang lingkup berita yang digunakan hanya berita tentang politik yang berhubungan dengan pemilihan umum. Koran yang digunakan adalah Kompas tanggal 16 Maret—5 April 2014 karena pada tanggal tersebut sedang berlangsung kampanye terbuka menuju Pemilihan Umum 2014. Hal tersebut sesuai dengan Surat Keputusan dari Komisi Pemilihan Umum nomor 267/Kpts/KPU/Tahun 2014 tentang tanggal dan tempat pelaksanaan kampanye rapat umum dalam pemilihan umum 2014 yang menyatakan bahwa kampanye dimulai pada tanggal 16 Maret—5 April 2014. Alasan pemilihan Kompas adalah didasarkan pada kenyataan bahwa Kompas merupakan salah satu media yang cukup banyak memuat berita mengenai pemilihan umum. `B. Langkah-langkah Menganalisis Data Hal pertama yang dilakukan terhadap data adalah menemukan pola komunikasi dalam kampanye sebagai bentuk komunikasi politik. Selanjutnya, dari pola umum yang muncul, analisis dilanjutkan dengan menganalisis tuturan berdasarkan pola umum tersebut dengan menentukan jenis strategi kesantunan dari tiap data beserta citra yang diancam dalam setiap tuturan. Analisis dilanjutkan dengan mendesksipsikan hubungan antara pemilihan strategi kesantunan dan tindakan komunikasi yang berlangsung. Kesimpulan dapat ditarik dari serangkaian analisis tersebut. Hasil Penelitian dan Pembahasan Berdasarkan rumusan masalah, pembahasan terbagi menjadi dua. Pertama, analisis mengenai strategi kesantunan berbahasa. Kedua, pembahasan mengenai pemilihan strategi kesantunan dan tindak komunikasi. A.
Strategi Kesantunan Berbahasa Dalam bukunya, Cholisin, dkk (2007: 114) menyampaikan bahwa komunikasi politik
ialah proses penyampaian informasi politik dari pemerintah kepada masyarakat dan 10 Strategi kesantunan..., Fadhlia Najmiya, FIB UI, 2014
sebaliknya. David V. J. Bell menjelaskan tiga jenis pembicaraan politik, di antaranya adalah pembicaran kekuasaan, pembicaraan pengaruh, dan pembicaraan autoritas (dalam Dan Nimmo, 1993: 75). Sebagai bentuk dari komunikasi politik, kampanye termasuk ke dalam jenis pembicaraan kekuasaan dan pembicaraan pengaruh. Pembicaraan kekuasaan bertujuan untuk mempengaruhi orang dengan cara janji atau ancaman, sedangkan pembicaraan pengaruh bertujuan untuk mempengaruhi orang lain dengan cara nasihat, dorongan, permintaan, dan peringatan. Berdasarkan pola kampanye yang diungkapkan oleh Hamad (2004), ada dua pola komunikasi yang ditemukan dalam data, yaitu a. Komunikasi vertikal. Bentuk komunikasi ini biasanya terjadi antara pemimpin atau calon pemimpin yang berinteraksi dengan yang akan dipimpin, dalam hal ini rakyat. Pola ini menekankan pada posisi seorang politisi atau partai sebagai pemimpin dan partisipan atau rakyat sebagai kelompok yang akan dipimpin dan akan menafsirkan segala simbol yang dikeluarkan oleh pemimpin, baik dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Dengan demikian, petutur dalam tindak komunikasi vertikal adalah partisipan atau rakyat. Di bawah ini adalah contoh tindak komunikasi secara vertikal. WIN: “Partai Hanura ingin menawarkan kepada masyarakat bahwa kami ingin membangun kembali kepercayaan publik. Kami partai yang tulus, ikhlas, menempatkan hati nurani sebagai pedoman kerja”. (Kompas, 17 Maret 2014 hlm. 1) Tuturan tersebut disampaikan oleh Calon presiden sekaligus Ketua Umum Partai Hanura saat menghadiri kampanye perdana pemilihan anggota legislatif di lapangan Desa Bagelen, Blitar, Jawa Timur. Petutur dalam tuturan tersebut adalah partisipan. Ketua Hanura menjelaskan kepada partisipan bahwa partainya dapat mengembalikan kepercayaan publik. Partainya pula yang akan bekerja dengan hati nurani, sesuai dengan nama partainya, yaitu Hati Nurani Rakyat (Hanura). Tindak komunikasi di atas termasuk ke dalam tindak vertikal karena komunikasi yang berlangsung adalah antara calon pemimpin dan rakyat. Selain itu, tidak ada topik yang secara khusus dibicarakan dalam tuturan tersebut. b. Komunikasi horizontal. Komunikasi ini terjadi antarindividu. Pembicaraan dalam jenis komunikasi ini biasanya memiliki sebuah topik khusus yang menjadi bahan diskusi. Ada beberapa tuturan dalam data yang memiliki topik khusus, seperti HAM, pemberantasan korupsi, dan pembangunan infrastruktur. Dengan demikian, petutur dalam tindak komunikasi horizontal adalah mereka yang setara dengan penutur, seperti 11 Strategi kesantunan..., Fadhlia Najmiya, FIB UI, 2014
lawan politik atau pemerintah. Di bawah ini adalah contoh tindak komunikasi horizontal. PEW: “Saya ingin mendorong transportasi massal yang modern, layak, dan terjangkau”. (Kompas, 22 Maret 2014 hlm. 4) Tuturan tersebut disampaikan oleh Anggota Dewan Pembina PD saat menjawab pertanyaan soal target pembangunan infrastuktur dalam lima tahun ke depan. Menurutnya, hal yang juga perlu didorong adalah penyediaan jalan untuk pemerataan ekonomi. Akan tetapi, penyediaan jalan juga harus penuh pertimbangan, jangan sampai mengorbankan lahan pertanian. Topik pembicaraan mengenai infrastruktur dan bentuk komunikasi berupa diskusi menjadikan tuturan tersebut dikategorikan sebagai tindak horizontal. Sesuai dengan syarat-syarat yang telah dibuat oleh KPU, partai politik yang telah terverifikasi untuk menjadi peserta Pemilu Legislatif 2014 berjumlah 15 partai, 3 di antaranya adalah partai lokal Aceh. Yang menjadi data dalam penelitian ini adalah partai nasional berjumlah 12 partai. Untuk memudahkan, 12 partai tersebut kemudian dibagi berdasarkan asas dari pemikiran tiap partai politik, yaitu partai berbasis nasionalis dan partai berbasis agama. Hal yang menjadi dasar pembagian dua kelompok besar tersebut adalah asas. Secara garis besar, partai di Indonesia memiliki dua asas yang menonjol, yaitu Pancasila dan agama. Adapun partai yang termasuk ke dalam Partai Nasionalis adalah PDI-P, Golkar, Nasdem, PKPI, Gerindra, Hanura, dan Demokrat. Partai Agama diisi oleh PKS, PKB, PBB, PPP, dan PAN1. Ditemukan 81 tuturan politisi pada saat kampanye terbuka. Dari 81 tuturan tersebut, 57 di antaranya dituturkan oleh politisi yang berasal dari Partai Nasionalis dan 24 lainnya dituturkan oleh politisi dari Partai Agama. 1. Partai Nasionalis Dalam data ditemukan 57 tuturan yang diucapkan oleh politisi partai nasionalis. Dari jumlah tersebut, sebanyak 34 tuturan termasuk ke dalam jenis tindak komunikasi vertikal, dan 23 lainnya termasuk ke dalam tindak komunikasi horizontal. Tabel 1 Penggunaan Strategi Kesantunan Komunikasi Vertikal Partai Nasionalis
Nomor Tuturan 2, 4, 5, 6
Strategi Kesantunan yang Digunakan
Jumlah
Menyatakan ancam citra tanpa ditutupi
4
1 Informasi didapat dari laman www.indonesia-2014.com , diakses pada 4 Juli 2014 pk. 09. 53 12 Strategi kesantunan..., Fadhlia Najmiya, FIB UI, 2014
3, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 25, 26, 27, 28, 29, 33, 34
Menyatakan dengan ditutupi kesantunan positif
23
1
Menyatakan dengan ditutupi kesantunan negatif
1
Tidak menyatakan tindakan ancam citra
6
7, 23, 24, 30, 31, 32
Data di atas menunjukkan bahwa dalam komunikasi vertikal yang dilakukan oleh partai nasionalis lebih banyak menggunakan strategi kesantunan positif. Dalam hal tindak komunikasi vertikal, politisi sebagai pemimpin berinteraksi dengan rakyat yang akan dipimpin. Selain itu, di dalam komunikasi vertikal tidak ada topik khusus yang dibicarakan. Penutur hanya membicarakan seputar janji, visi, dan misi partai di hadapan rakyat. Dalam melontarkan visi dan misinya, penutur menggunakan kesantunan positif. Meskipun penutur memiliki kedudukan lebih tinggi dari petutur, tidak berarti bahwa penutur akan melakukan tingkat ancaman citra tanpa ditutupi-tutupi. Hal ini menunjukkan bahwa penutur masih ingin menyelamatkan citra positif petutur, yaitu menghargai kebebasan individu dalam bertindak. Tabel 2 Penggunaan Strategi Kesantunan Komunikasi Horizontal Partai Nasionalis
Nomor Tuturan 2, 3, 5, 9, 20, 21, 23 1, 4, 7, 10, 11, 14, 15, 17, 18, 19, 22 6, 8, 12, 13, 16,
Strategi Kesantunan yang Digunakan
Jumlah
a. Menyatakan ancam citra tanpa ditutupi
7
b. Menyatakan positif
11
dengan
ditutupi
kesantunan
Tidak menyatakan tindakan ancam citra
5
Tabel di atas memperlihatkan penggunaan strategi kesantunan dalam tindak komunikasi horizontal. Telah disebutkan sebelumnya bahwa tindak komunikasi horizontal adalah tindakan yang memiliki topik khusus di dalamnya. Petutur di dalam tindakan komunikasi horizontal adalah orang-orang yang sederajat atau bahkan lebih tinggi dari kedudukan penutur. Isi dalam tuturan tidak jauh berbeda dari tindakan komunikasi vertikal, masih seputar janji partai. Perbedaan terletak pada petutur.
13 Strategi kesantunan..., Fadhlia Najmiya, FIB UI, 2014
2. Partai Agama Dalam data, ditemukan 24 tuturan yang diucapkan oleh politisi agama. Dari jumlah tersebut, 8 di antaranya termasuk ke dalam tindak komunikasi vertikal dan 16 lainnya termasuk ke dalam tindak komunikasi horizontal. Tabel 3 Penggunaan Strategi Kesantunan Komunikasi Vertikal Partai Agama
Nomor Tuturan 6 3, 4, 5, 7, 8 1, 2
Strategi Kesantunan yang Digunakan
Jumlah
a. Menyatakan ancam citra tanpa ditutupi
1
b. Menyatakan dengan ditutupi kesantunan positif
5
Tidak menyatakan tindakan ancam citra
2
Sama halnya dengan partai nasionalis, data di atas menunjukkan bahwa dalam komunikasi vertikal yang dilakukan oleh partai agama lebih banyak menggunakan strategi kesantunan positif. Dalam melontarkan visi dan misinya, penutur menggunakan kesantunan positif. Meskipun penutur memiliki kedudukan lebih tinggi dari petutur, tidak berarti bahwa penutur akan melakukan tingkat ancaman citra tanpa ditutupi-tutupi. Hal ini menunjukkan bahwa penutur masih ingin menyelamatkan citra positif petutur, yaitu menghargai kebebasan individu dalam bertindak. Tabel 4 Penggunaan Strategi Kesantunan Komunikasi Horizontal Partai Agama
Nomor Tuturan
Strategi Kesantunan yang Digunakan
Jumlah
1, 2, 3, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16
Menyatakan dengan ditutupi kesantunan positif
14
Tidak menyatakan tindakan ancam citra
2
4, 6,
Data di atas menunjukkan bahwa dalam komunikasi horizontal yang dilakukan oleh partai agama lebih banyak menggunakan strategi kesantunan positif. Dalam hal tindak komunikasi horizontal, ada tema dalam sebuah pembicaraan. Dari segi isi, pokok pembicaraan dalam tindak komunikasi horizontal masih seputar janji-janji partai politik. Dalam melontarkan visi dan misinya, penutur menggunakan kesantunan positif. Meskipun penutur memiliki kedudukan lebih tinggi dari petutur, tidak berarti bahwa penutur akan melakukan tingkat ancaman citra tanpa ditutupi-tutupi. Hal ini menunjukkan bahwa penutur masih ingin menyelamatkan citra positif petutur, yaitu menghargai kebebasan individu dalam bertindak.
14 Strategi kesantunan..., Fadhlia Najmiya, FIB UI, 2014
B.
Pemilihan Strategi Kesantunan dan Tindak Komunikasi Pemilihan strategi kesantunan dapat dilihat dari dua faktor, yaitu faktor kesantunan dan
faktor keuntungan dan tujuan dari tindak komunikasi. Faktor kesantunan terbagi lagi menjadi tiga, yaitu faktor jarak sosial antara penutur dan petutur, faktor kekuatan tidak mutlak antara penutur dan petutur, dan faktor derajat mutlak dari peraturan budaya. 1. Jarak sosial antara penutur dan petutur Faktor ini dilatarbelakangi oleh perbedaan usia dan latar belakang sosial penutur dan petutur. Penutur dengan usia jauh lebih tua dibandingkan petutur akan cenderung menggunakan strategi kesantunan dengan kerusakan citra yang tinggi. Hal yang sama terjadi apabila penutur memiliki status sosial lebih tinggi dari petutur. Sebaliknya, penutur dengan usia yang lebih muda dan status sosial lebih rendah dibanding petutur akan menggunakan strategi kesantunan dengan tingkat kerusakan citra yang rendah. Faktor usia dalam hal ini tidak dapat dijadikan sebagai tolak ukur pemilihan strategi kesantunan yang digunakan dalam data. Hal tersebut karena tidak adanya identitas jelas mengenai usia dari segi penutur maupun petutur. Data menunjukkan bahwa, dari segi status sosial, sebagian besar penutur memiliki status sosial lebih tinggi dibanding petutur. Dengan demikian, penutur dapat memilih strategi kesantunan dengan tingkat kerusakan citra yang tinggi. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah tindak komunikasi vertikal dibanding tindak komunikasi horizontal. 2. Kekuatan tidak mutlak antara penutur dan petutur Faktor ini sangat bergantung pada jenis komunikasi yang dilakukan. Dalam data, tindak komunikasi yang terjadi adalah komunikasi satu arah. Penutur menyampaikan suatu tuturan tanpa perlu balasan dari petutur. Salah satu faktor yang melatarbelakanginya adalah kekuasaan. Para politisi calon petinggi negara memiliki kekuasaan lebih tinggi dibanding petutur. Berdasarkan pembagian macam kekuasaan oleh Thomas (1995: 127), kekuasaan yang dimiliki oleh politisi termasuk ke dalam kekuasaan yang sah dan kekuasaan ahli, yaitu seseorang yang memiliki hak untuk mengutarakan sesuatu karena memiliki status sosial dan keahlian di suatu bidang tertentu. Penggunaan strategi kesantunan dalam data merupakan contoh dari faktor kekuasaan mutlak. Dari 81 tuturan, 65 tuturan menggunakan strategi menyatakan tindak mengancam citra. Sebagian besar citra yang diancam adalah citra negatif petutur. Penutur membuat 15 Strategi kesantunan..., Fadhlia Najmiya, FIB UI, 2014
tuturan berupa tawaran atau janji yang membatasi kebebasan petutur dalam bertindak. Dengan demikian, tujuan dari komunikasi yang dimaksud, dalam hal ini kampanye, dapat terwujud karena penutur menyampaikan visi dan misi yang dapat meyakinkan petutur. 3. Derajat mutlak dari peraturan budaya Faktor ini bergantung pada skala tindak komunikasi yang didasarkan kedudukan relatif suatu tindak komunikasi dengan tindak komunikasi lain. Dalam kasus kampanye, faktor ini tidak dapat dijadikan sebagai faktor pemilihan strategi kesantunan. Sebagai seorang politisi, yang sejatinya hanya ingin meningkatkan citra dirinya di mata masyarakat, ia akan bertutur dengan tingkat ancaman terhadap citra petutur yang tinggi karena ia memiliki kekuatan lebih tinggi dibanding petutur. Dari ketiga faktor di atas, faktor yang paling berpengaruh terhadap pemilihan strategi kesantunan adalah faktor kekuatan (kekuasaan) tidak mutlak antara penutur dan petutur. Hal tersebut berkaitan dengan kedudukan politisi yang memiliki kekuasaan dan keahlian lebih dalam suatu bidang dibanding petutur. Faktor kedua yang memiliki pengaruh cukup besar adalah faktor jarak sosial antara penutur dan petutur. Jarak sosial tercipta karena adanya perbedaan status sosial antara penutur dan petutur. Faktor derajat mutlak dari peraturan budaya tidak dapat digunakan sebagai faktor yang mempengaruhi pemilihan strategi kesantunan. Faktor lain yang mempengaruhi pemilihan strategi kesantunan adalah berdasarkan keuntungan dan tujuan dari tindak pertuturan. Setiap pertuturan memiliki tujuan yang ingin dicapai. Contohnya adalah pesan dari komunikasi tersebut dapat diterima petutur dengan baik. Untuk mencapai tujuan tersebut, ada berbagai macam cara, yaitu menyampaikan secara lugas atau dengan petunjuk-petunjuk. Ada keuntungan dari setiap pemilihan cara tersebut. Berikut merupakan analisis hubungan antara pemilihan strategi kesantunan dan tujuan dari tindak komunikasi. 1. Menyatakan Tindakan Mengancam Citra Salah satu alasan penggunaan strategi menyatakan tindak mengancam citra adalah efisiensi. Salah satu jenis dari strategi ini adalah menyatakan ancaman tanpa ditutup-tutupi. Tuturan disampaikan secara lugas. Contohnya sebagai berikut. MSP: “Kalau sampai (Jokowi) tidak jadi presiden, itu bukan salah saya. Itu salah kalian semua karena apa yang diminta sudah saya berikan, tapi tidak dijaga. Saya kasih si kerempeng ini. Biar kerempeng, dia itu banteng. Jadi sekarang bantu dia” (Kompas, 18 Maret 2014: 2) 16 Strategi kesantunan..., Fadhlia Najmiya, FIB UI, 2014
Tuturan tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum PDI-P pada saat kampanye terbuka, di Lapangan Pancasila, Surabaya. Kalimat perintah yang disampaikan secara lugas tersebut telah mengancam citra negatif petutur. Hal ini disampaikan melalui sebuah permintaan penutur. Ancaman berupa perintah tersebut secara tidak langsung membatasi petutur untuk bebas dari segala kewajiban, termasuk mengikuti kehendak penutur. Penutur melakukan ancaman tanpa ditutup-tutupi. Penutur tidak mengkhawatirkan adanya balasan dari petutur karena penutur, dalam hal ini, memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding petutur. Selain itu, penutur memiliki dukungan luas untuk melakukan tindakan tersebut tanpa takut kehilangan citranya sendiri Menurut penutur, ada hal lain yang lebih penting dari menjaga citra petutur, yaitu pesan yang ingin disampaikan dapat diterima petutur dengan baik tanpa ada keambiguitasan. Hal tersebut terbukti bahwa penutur menyatakan tindak mengancam citra karena dukungan masyarakat lebih penting daripada menjaga citra petutur. Dengan menyatakan tindakan mengancam citra, petutur menganggap bahwa penutur meyakini bahwa penutur memiliki keseriusan terhadap apa yang dituturkan. Strategi lain adalah menyatakan dengan ditutup-tutupi kesantunan positif dan kesantunan negatif. Hal tersebut dilakukan karena penutur masih ingin menyelamatkan citra positif dan negatif petutur. Keuntungan dari pemilihan strategi tersebut adalah citra positif penutur meningkat di mata petutur. Penutur memodifikasi ancaman dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan adanya kerja sama di antara penutur dan petutur dan menghindari ketidaksetujuan dari petutur, walaupun itu hanya sebagai alat untuk mendapatkan suara.
Simpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, didapatkan beberapa hasil. Pertama, ditemukan dua pola umum dalam kampanye, yaitu komunikasi vertikal dan komunikasi horizontal. Komunikasi vertikal merupakan bentuk komunikasi antara pimpinan atau calon pemimpin dan yang akan dipimpin, sedangkan komunikasi horizontal merupakan bentuk komunikasi yang memiliki topik khusus di dalamnya. Dalam data, konteks tuturan dapat menentukan sebuah tuturan termasuk ke dalam tindak komunikasi vertikal atau horizontal. Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa petutur dalam komunikasi vertikal adalah partisipan atau rakyat, sedangkan petutur dalam komunikasi horizontal adalah mereka yang sederajat dengan penutur, seperti lawan politik atau pemerintah. Perbedaan antara partai nasionalis dan 17 Strategi kesantunan..., Fadhlia Najmiya, FIB UI, 2014
agama adalah tindak komunikasi yang dilakukan. Partai nasionalis lebih banyak melakukan tindak komunikasi vertikal, sedangkan partai agama lebih banyak melakukan tindak komunikasi horizontal. Ada 81 tuturan politisi yang menjadi data dalam penelitian ini. Dari jumlah tersebut, 57 di antaranya dituturkan oleh Partai Nasionalis dan 24 lainnya dituturkan oleh politisi Partai Agama. Terdapat perbedaan pola komunikasi yang terjadi di antara keduanya. Partai Nasionalis lebih banyak melakukan tindak komunikasi vertikal, sedangkan Partai Agama lebih banyak melakukan tindak komunikasi horizontal. Selain perbedaan, keduanya memiliki persamaan, yaitu jumlah ancaman terhadap citra negatif petutur lebih banyak dilakukan daripada ancaman terhadap citra positif petutur. Dari 81 tuturan politisi Indonesia pada masa kampanye terbuka, ada 60 tuturan yang mengancam citra negatif petutur dan 27 tuturan mengancam citra positif petutur. Citra negatif berorientasi pada kebebasan individu dalam bertindak. Dengan demikian, tuturan yang dibuat oleh politisi Indonesia telah membatasi kebebasan petutur. Ancaman terhadap citra negatif petutur antara lain dilakukan dengan cara menawarkan janji, perintah, saran, nasihat, dan ancaman. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari tindak komunikasi yang ingin dicapai, yaitu mendapatkan perhatian dari masyarakat agar mendapat suara pada pemilihan umum yang akan datang. Kedua, dari pola komunikasi yang ditemukan, tidak ada perbedaan yang cukup berarti mengenai strategi yang digunakan. Keduanya sama-sama menggunakan strategi kesantunan positif. Terkait dengan asas partai, nasionalis dan agama, juga tidak ada perbedaan yang berarti dalam penggunaan strategi kesantunan Keduanya sama-sama lebih banyak menggunakan strategi kesantunan positif. Hal tersebut menunjukkan bahwa penutur tidak ingin bertanggung jawab sepenuhnya atas tuturannya. Di sisi lain, penutur juga ingin menyelamatkan muka petutur. Tuturan disampaikan dengan menunjukkan kerja sama antara penutur dan petutur dan menghindari ketidaksetujuan dari petutur. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari tindakan komunikasi, yaitu mendapat perhatian dari masyarakat agar mendapat suara pada Pemilihan Umum. Kelima, berdasarkan faktor-faktor pemilihan strategi kesantunan yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson, faktor yang sangat berpengaruh terhadap pemilihan strategi kesantunan adalah kekuasaan tidak mutlak antara penutur dan petutur. Ancaman yang dilakukan sesuai dengan faktor yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson. Politisi 18 Strategi kesantunan..., Fadhlia Najmiya, FIB UI, 2014
memiliki kekuasaan ahli karena ia memiliki hak untuk mengutarakan sesuatu karena status sosial yang dimilikinya. Berdasarkan faktor keuntungan dan tujuan yang hendak dicapai dari tindak komunikasi, masing-masing dari tindakan mengancam citra memiliki keuntungan. Pertama, menyatakan tindak mengancam citra tanpa ditutup-tutupi. Dengan menggunakan strategi tersebut, petutur dapat menangkap maksud penutur dengan mudah, tanpa keambiguitasan. Kedua, mengancam citra ditutupi dengan kesantunan positif. Dengan menggunakan strategi tersebut, citra positif penutur dapat terjaga karena ia menunjukkan kerja sama antara penutur dan petutur. Ketiga, mengancam citra ditutupi dengan kesantunan negatif. Dengan menggunakan strategi tersebut, penutur dapat meminta secara tidak langsung kepada petutur. Dengan demikian, penutur ingin meningkatkan citra negatif petutur karena memberinya sedikit kebebasan dalam bertindak. Dari ketiga macam strategi tindak mengancam citra, sebagian besar tuturan politisi menggunakan tindak mengancam citra dengan ditutupi kesantunan positif berupa penggunaan kata “kita” sebagai bentuk kerja sama, pernyataan-pernyataan yang menunjukkan persamaan keinginan dengan petutur, dan menghindari ketidaksetujuan dari petutur. Data juga menunjukkan adanya penggunaan strategi tidak menyatakan tindakan mengancam citra. Dengan menggunakan strategi tersebut, penutur ingin mengambil suara masyarakat dengan cara mengkritik pihak lain. Dengan demikian, penutur secara tidak langsung ingin menunjukkan bahwa dirinya lebih baik dari pihak lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa penutur ingin menaikkan derajat citra negatif petutur dengan memberinya kebebasan. Selain itu, penutur juga tidak ingin bertanggung jawab sepenuhnya terhadap apa yang ia tuturkan. Daftar Referensi Arifin,
Anwar.
2006.
Pencitraan
dalam
Politik
(Strategi
Pemenangan
Pemilu
dalam Perspektif Politik). Jakarta: Pustaka Indonesia. Brown, Penelope dan Stephen Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press. Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta. Cholisin, dkk. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: UNY Press. Gudykunst, William B. 2003. Cross-cultural and Intercultural Communication. New York: The Guilford Press. 19 Strategi kesantunan..., Fadhlia Najmiya, FIB UI, 2014
Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa (Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik). Jakarta: Penerbit Granit. Kushartanti, dkk (ed.). 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kunjana, Rahardi. 2002. Pragmatik Kesantunan Imoperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga. Mahi, Hikmat. 2010. Komunikasi Politik; Teori dan Praktik dalam Pilkada. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Nimmo, Dan. 1993. Komunikasi Politik (Komunikator, Pesan, dan Media). Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Thomas, Jenny. 1995. Meaning in Interaction: An Introduction to Pragmatics. London: Longman. Vredenbregt, Jacob. 1981. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi. Sumber Internet Komisi Pemilihan Umum. Jadwal Kampanye Rapat Umum Pemilu 2014. 17 Mei 2014. http://www.kpu.go.id/index.php/post/categories/MTA0/berita Indonesia 2014. Partai Terverifikasi Pemilu 2014. 4 Juli 2014. www.indonesia2014.com/partai
20 Strategi kesantunan..., Fadhlia Najmiya, FIB UI, 2014