perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERBANDINGAN KEJADIAN ANAK Down Syndrome DARI IBU USIA TUA DENGAN IBU USIA MUDA DI SURAKARTA
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
CHARINA SITUMORANG G.0007051
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN
Proposal Penelitian / Skripsi dengan judul: Perbandingan Kejadian Anak Down Syndrome dari Ibu Usia Tua dengan Ibu Usia Muda di Surakarta
Charina Situmorang, G0007051, Tahun 2010 Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Validasi Proposal Penelitian/Tim Ujian Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada Hari
, Tanggal
Pembimbing Utama
2010
Penguji Utama
Abdurrahman Laqif, dr., Sp.OG(K) NIP: 19680121 199903 1 004
Prof. Dr. J.B. Dalono, dr., Sp.OG(K) NIP: 19410504 197004 1 001
Pembimbing Pendamping
Anggota Penguji
Prof. Bhisma Murti, dr., MPH, M.Sc, Ph.D NIP: 19551021 199412 1 001
Slamet Riyadi, dr., M.Kes NIP: 19600418 199203 1 001
Tim Skripsi
Annang Giri Moelyo, dr., Sp.A., M.Kes NIP: 19730410 200501 1 001 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, November 2010
Charina Situmorang NIM. G0007051
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Charina Situmorang, G0007051, 2010. Perbandingan Kejadian Anak Down Syndrome dari Ibu Usia Tua dengan Ibu Usia Muda di Surakarta, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Tujuan Penelitian: Studi mengenai keterkaitan usia ibu terhadap kejadian anak Down Syndrome memang sangat menarik. Data yang didapat memperlihatkan peningkatan kejadian Down Syndrome seiring dengan peningkatan usia ibu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan kejadian anak Down Syndrome dari ibu usia tua dengan ibu usia muda di Surakarta.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik, dengan pendekatan kasus kontrol. Pengambilan sampel dilakukan secara fixeddisease sampling. Penelitian ini menggunakan 60 sampel yang terdiri dari 20 sampel ibu dengan anak Down Syndrome sebagai kelompok kasus dan 40 sampel ibu dengan anak normal sebagai kelompok kontrol. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis regresi logistik ganda.
Hasil Penelitian: Rerata (mean) usia ibu yang melahirkan anak Down Syndrome lebih tinggi daripada yang melahirkan anak normal. Rerata usia ibu dengan anak Down Syndrome adalah 37.8 tahun, sedangkan ibu dengan anak normal adalah 28.6 tahun. Perbedaan rerata usia ibu kedua kelompok secara statistik signifikan (p<0.001). Ibu usia ≥35 tahun memiliki risiko untuk melahirkan anak dengan Down Syndrome sebelas kali lebih besar daripada usia <35 tahun, dan hubungan itu secara statistik signifikan (OR= 11.0; CI95% 3.1 hingga 38.7). Hasil ini telah memperhitungkan pengaruh faktor perancu tingkat pendidikan ibu, pendapatan keluarga, dan lingkungan.
Simpulan Penelitian: Kejadian anak Down Syndrome dari ibu usia tua (≥35 tahun) lebih banyak dibanding dengan ibu usia muda (<35 tahun).
Kata kunci: Down Syndrome; usia ibu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Charina Situmorang, G0007051, 2010. The comparison study of Down Syndrome number from old mothers and young mothers in Surakarta, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.
Objectives: The study about relevance of maternal age and Down Syndrome occurence was very interesting. The data shows that the number of Down Syndrome increases along with the advancing of maternal age. The aim of this research is to know the comparison number of children with Down Syndrome from old mothers with young mothers in Surakarta.
Method: This research is an analytical observational study with case control approach. The samples were collected by fixed-disease sampling technique. This research used 60 samples which consists of 20 samples mothers of child with Down Syndrome as the case-grouped and 40 samples mothers of normal child as the control-grouped. The data was analyzed using regression binary logistic analysis.
Result: Mean score of maternal age at birth of Down Syndrome child is higher than at birth of normal child. Mean score of maternal age with Down Syndrome child is 37.8 years old, while for the mother of normal child is 28.6 years old. The difference of mean score in the two groups was statistically significant (p < 0.001). Mothers aged 35 and over have risk eleven times bigger than aged under 35 to deliver children with Down Syndrome, and this relevance is statisticaly significant (OR= 11.0; CI95% 3.1 to 38.7). This result has considered the ambigous effect of mother’s education level, family income, and environment.
Conclusion: The number of children with Down Syndrome from old mothers are greater than from young mothers.
Keywords: Down Syndrome; maternal age
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PRAKATA Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Perbandingan Kejadian Anak Down Syndrome dari Ibu Usia Tua dengan Ibu Usia Muda di Surakarta”. Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas dukungan baik moril maupun materiil yang telah diberikan selama pelaksanaan dan penyusunan laporan penelitian ini kepada: 1. Prof. DR. AA Subijanto, dr., M.S, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah banyak membantu bagi kelancaran penyusunan skripsi ini. 3. Abdurrahman Laqif, dr., Sp.OG (K) selaku pembimbing utama yang telah berkenan meluangkan waktu untuk mengarahkan serta memberikan masukan kepada penulis. 4. Prof. Bhisma Murti, dr., MPH., M.Sc., Ph.D selaku pembimbing pendamping yang telah memberikan arahan, kritik dan saran demi sempurnanya penulisan skripsi ini. 5. Prof. Dr. J.B. Dalono, dr., Sp.OG (K) selaku penguji utama yang telah berkenan menguji dan memberikan masukan bagi penulis. 6. Slamet Riyadi, dr., M.Kes selaku anggota penguji yang telah berkenan menguji dan memberikan masukan bagi penulis. 7. Staf Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kandungan dan Kebidanan Fakultas Kedokteran UNS/RSUD. Dr. Moewardi Surakarta yang telah membantu penulis dalam memperlancar penyusunan skripsi. 8. Balai Kota Surakarta, DIKPORA Surakarta, SLB C Setya Darma Surakarta, SLB C-1 YSSD Surakarta, SLB C YPSLB Kerten Surakarta, SLB Negeri Surakarta, dan SLB C Karang Anyar. Terima kasih atas ijin dan semua bantuan yang telah diberikan. 9. Ayahanda Oloan Situmorang dan Ibunda Sri Setyaningsih yang senantiasa memberikan dukungan baik moril maupun materiil kepada penulis. 10. Teman-teman penulis yang telah memberi bantuan dalam penyusunan skripsi. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan dalam penyempurnaan skripsi ini di masa yang akan datang. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca serta menjadi sumbangan bagi ilmu kedokteran selanjutnya. Surakarta, November 2010
Charina Situmorang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI PRAKATA .......................................................................................................
vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................
1
B. Perumusan Masalah .......................................................................
3
C. Tujuan Penelitian ...........................................................................
3
D. Manfaat Penelitian .........................................................................
3
BAB II LANDASAN TEORI ..........................................................................
5
A. Tinjauan Pustaka ............................................................................
5
1. Genetika Reproduksi ................................................................
5
2. Fertilisasi dan Terjadinya Kehamilan.......................................
10
3. Down Syndrome .......................................................................
17
4. Hubungan Usia Ibu dengan Kejadian Anak Down Syndrome .
27
B. Kerangka Pemikiran .......................................................................
30
C. Hipotesis.........................................................................................
30
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................
31
A. Jenis Penelitian...............................................................................
31
B. Lokasi Penelitian ............................................................................
31
C. Subjek Penelitian............................................................................
31
D. Teknik Pengambilan Sampel .........................................................
32
E. Rancangan Penelitian .....................................................................
34
F. Identifikasi Variabel .......................................................................
34
G. Definisi Operasional Variabel ........................................................
35
H. Instrumen Penelitian ......................................................................
37
I. Cara Kerja ......................................................................................
37
J. Teknik Analisis Data ...................................................................... commit to user BAB IV HASIL PENELITIAN .......................................................................
38 41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PEMBAHASAN .................................................................................
47
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN...............................................................
57
A. Simpulan ........................................................................................
57
B. Saran...............................................................................................
58
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
59
LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Interpretasi Odds Ratio .................................................................
Tabel 2.
Distribusi Sampel Kasus Berdasarkan Riwayat Usia Ibu Saat
39
Kehamilan dan Pendapatan Keluarga ..........................................
41
Tabel 3.
Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan.....................
42
Tabel 4.
Distribusi Sampel Berdasarkan Lingkungan .................................
42
Tabel 5.
Hasil Uji t Test Beda Mean Usia Ibu antara Anak dengan Down Syndrome dan Tanpa Down Syndrome ..............................
Tabel 6.
43
Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda tentang Perbandingan Kejadian Anak Down Syndrome dari Ibu Usia Tua dengan Ibu Usia Muda dengan Mengontrol Variabel Perancu dan Tanpa Mengontrol Variabel Perancu. ...........................................
commit to user
45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kariotipe Penderita Down Syndrome .........................................
24
Gambar 2. Boxplot Rata-Rata Usia Ibu yang Melahirkan Anak Normal dan Down Syndrome .................................................................
commit to user
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lembar Penjelasan
Lampiran 2
Lembar Persetujuan (Informed Consent)
Lampiran 3
Kuesioner Penelitian
Lampiran 4
Data Primer Hasil Penelitian
Lampiran 5
Penetapan Kriteria Lingkungan Kumuh
Lampiran 6
Skema Proses Mitosis dan Meiosis
Lampiran 7
Skema Proses Trisomi
Lampiran 8
Translokasi Robertsonian
Lampiran 9
Persentase Penduduk menurut Kelompok Umur, Daerah Tempat Tinggal, dan Jenis Kelamin
Lampiran 10 Output SPSS untuk Uji t Tidak Berpasangan (Independent t-Test) dan Uji Homogenitas Varians (Levene’s Test) Lampiran 11 Output SPSS untuk Explore Usia Ibu Saat Mengandung Lampiran 12 Output SPSS untuk Analisis Bivariat antara Usia Ibu dengan Status Penyakit Anak Lampiran 13 Output SPSS untuk Analisis Bivariat antara Pendidikan Terakhir Ibu dengan Status Penyakit Anak Lampiran 14 Output SPSS untuk Analisis Bivariat antara Lingkungan Rumah dengan Status Penyakit Anak Lampiran 15 Output SPSS untuk Analisis Bivariat antara Pendapatan Keluarga dengan Status Penyakit Anak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lampiran 16 Output SPSS untuk Analisis Regresi Logistik (Adjusted Analysis) Lampiran 17 Output SPSS untuk Analisis Regresi Logistik (Crude Analysis) Lampiran 18 Output SPSS untuk Explore dan Frequencies Karakteristik Variabel Penelitian Lampiran 19 Surat Ijin Penelitian Lampiran 20 Surat Keterangan Penelitian Lampiran 21 Surat Kelaikan Etik (Ethical Clearance)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Down Syndrome merupakan bentuk kelainan kongenital yang ditandai dengan berlebihnya jumlah kromosom nomor 21 yang seharusnya dua buah menjadi tiga buah sehingga jumlah seluruh kromosom mencapai 47 buah. Pada manusia normal jumlah kromosom sel mengandung 23 pasangan kromosom. Down Syndrome pertama kali dideskripsikan dan dipublikasikan oleh John Langdon Down pada tahun 1866. Tetapi sebelumnya Esquirol pada tahun 1838 dan Seguin pada tahun 1846 telah melaporkan seorang anak yang mempunyai tanda-tanda mirip dengan Down Syndrome (Soetjiningsih, 1995). Down Syndrome merupakan kelainan kromosom yang paling sering terjadi. Diperkirakan angka kejadiannya terakhir adalah 1,0-1,2 per 1000 kelahiran hidup (Soetjiningsih, 1995). Kothare et al. (2002) melaporkan angka kejadian Down Syndrome sekitar 1 dari 650-1000 kelahiran hidup. Kurang lebih 4.000 anak dilahirkan dengan Down Syndrome setiap tahunnya di Amerika, atau sekitar 1 dari 800-1000 kelahiran hidup (Idris, 2006; Nicolaidis, 1998). Sedangkan di Indonesia prevalensinya lebih dari 300 ribu jiwa. Meskipun orangtua dari segala usia mempunyai kemungkinan untuk mendapat anak yang menderita Down Syndrome, tetapi kemungkinannya lebih besar untuk ibu yang usianya di atas 35 tahun (Idris, 2006). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Studi mengenai keterkaitan usia ibu terhadap kejadian anak Down Syndrome ini memang sangat menarik. Data yang didapat memperlihatkan peningkatan kejadian Down Syndrome seiring dengan peningkatan usia ibu (Beiguelman, 1996; Kothare et al., 2002; Crane, 2006; Girirajan, 2009). Statistik menunjukkan bahwa di antara kaum wanita berusia 20 tahun, hanya 1 dari 2.300 kelahiran yang menderita cacat ini. Pada wanita berusia 30 hingga 34 tahun, rata-rata 1 dari 750, sedangkan pada wanita berusia 39 tahun, angka statistik naik secara drastis sampai 1 dari 280 kelahiran. Pada wanita berusia 40 sampai 44, kembali angka statistik naik hingga 1 dari 13 kelahiran. Akhirnya pada wanita berusia lebih dari 45 tahun, 1 dari 65 kelahiran akan menderita cacat ini (Lidyana, 2004). Walaupun belum diketahui secara pasti pengaruh usia ibu terhadap kejadian Down Syndrome, namun non-disjunction yang terjadi pada oosit ibu yang tua banyak dilaporkan (Kothare et al., 2002; Coad dan Melvyn, 2007; Girirajan, 2009). Menurut penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, setidaknya pada tahun 2010 di Surakarta belum pernah dilakukan penelitian mengenai keterkaitan usia ibu terhadap kejadian anak Down Syndrome. Berdasarkan uraian tersebut, penulis ingin membuktikan keterkaitan usia ibu dengan kejadian anak Down Syndrome dengan membandingkan kejadian anak Down Syndrome dari ibu usia tua dengan ibu usia muda di Surakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Apakah ada perbandingan kejadian anak Down Syndrome dari ibu usia tua dengan ibu usia muda di Surakarta?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk membuktikan adanya hubungan antara usia ibu dengan kejadian anak Down Syndrome. 2. Tujuan Khusus Untuk mengetahui perbandingan kejadian anak Down Syndrome dari ibu usia tua dengan ibu usia muda di Surakarta.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan masukan data bagi peneliti lain dalam bidang kedokteran khususnya bagian Obstetri dan Ginekologi. b. Untuk membuktikan adanya faktor risiko usia ibu terhadap kejadian anak Down Syndrome melalui pendekatan dalam populasi di Surakarta. 2. Manfaat Aplikatif a. Memberi informasi dan wawasan kepada wanita untuk menghindari kemungkinan hamil pada usia yang berisiko melahirkan anak Down commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Syndrome, sehingga kejadian Down Syndrome dalam kaitan usia ibu dapat diturunkan. b. Memberi informasi tambahan kepada masyarakat terutama wanita yang hamil pada usia berisiko tentang pentingnya pemeriksaan antenatal sebagai diagnosis pranatal. c. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi tahap penelitian lebih lanjut untuk melihat pengaruh usia ibu terhadap kejadian anak Down Syndrome secara sitogenetik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Genetika Reproduksi a. Kromosom Kromosom manusia merupakan struktur kompleks yang terdiri atas asam deoksiribonukleat (DNA), asam ribonukleat (RNA), dan protein. Setiap heliks tunggal dari DNA terikat dengan telomer pada masing-masing ujungnya, dan memiliki sentromer di suatu tempat di sepanjang kromosom. Telomer melindungi ujung kromosom selama replikasi DNA. Pemendekan telomer berhubungan dengan penuaan. Sentromer merupakan tempat di mana gelendong mitosis akan melekat dan penting untuk segregasi kromosom yang sesuai selama pembelahan sel. Sentromer membagi kromosom menjadi dua lengan, disebut lengan p (petit) untuk lengan yang pendek dan q untuk lengan yang panjang (Suryo, 2003; Heffner; 2008a). Panjang kromosom ditambah dengan posisi sentromernya digunakan untuk mengidentifikasi kromosom suatu individu dalam 22 autosom dan satu pasang kromosom seks. Kromosom diberi nomor dalam urutan menurun sesuai ukuran; 1 merupakan yang terbesar. Terdapat pengecualian terhadap peraturan ini adalah kromosom 21 dan 22: kromosom 22 lebih besar dari kromosom 21. Hal ini disebabkan oleh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
karena aturan hitoris terhadap Down Syndrome pada trisomi 21, pasangan kromosom ini tidak dinamai ulang saat terjadi perbedaan ukuran (Suryo, 2003; Heffner; 2008a). Kariotipe merupakan gambaran kromosom yang tersusun dari 1 sampai 22 ditambah dengan kromosom seks, dengan setiap kromosom disesuaikan sehingga lengan p berada di atas. Wanita memiliki kariotipe 46XX dan pria kariotipe 46XY (Heffner, 2008a; Suryo. 2003). b. Mitosis dan meiosis Mitosis dan meiosis merupakan dua tipe pembelahan sel yang berbeda, dengan beberapa ciri sama (skema lihat lampiran). Yang pertama adalah perlunya duplikasi seluruh isi kromosom sel sebelum pembelahan. Keduanya juga menggunakan mesin sel dari sel induk untuk membuat DNA, RNA, dan protein-protein baru yang akan terlibat dalam pembelahan sel. Yang terakhir, kedua proses ini bergantung pada penggunaan gelendong mitosis untuk memisahkan kromosom menjadi dua kutub sel yang nantinya akan menjadi turunan dari sel tersebut (Heffner, 2008a; Sadler, 2000; Suryo, 2003). Selama interfase yang terjadi sebelum pembelahan sel, DNA pada setiap kromosom diduplikasi menjadi 4n sehingga setiap kromosom mengandung dua kromatid identik yang bergabung pada sentromer. Pada mitosis, pertama-tama kromosom memendek dan menebal, kemudian nukleolus dan membran nukleus memisahkan diri (profase). Selama metafase, gelendong-gelendong mitosis terbentuk di antara dua commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sentriol sel dan semua kromosom berbaris pada ekuatornya. Sentromer pada setiap kromosom membelah dan satu kromatid dari setiap kromosom berpindah ke ujung kutub gelendong mitosis (anafase). Akhirnya, pada tahap telofase, nukleolus dan membran nukleus yang baru terbentuk, sel induk membelah menjadi dua sel anak, dan gelendong mitosis saling terpisah. Dua sel yang identik secara genetik kini menggantikan sel induk. Mitosis diperkirakan merupakan bentuk reproduksi nonseksual atau vegetatif (Heffner, 2008a; Sadler, 2000; Suryo, 2003). Meiosis meliputi dua pembelahan sel yang berurutan, yang kembali dimulai dengan DNA 4n yang diproduksi pada tahap interfase. Pada tahap profase dari pembelahan yang pertama (profase I), terjadi beberapa peristiwa yang spesifik dan dapat dikenali. Pada tahap leptoten, kromosom menjadi hampir tidak terlihat di sepanjang struktur ini. Pasangan kromosom homolog kemudian terletak berdampingan di sepanjang kromosom, membentuk tetrad (tahap zigoten). Kromosom kemudian menebal dan memendek, seperti yang terjadi pada profase mitosis (tahap pakiten); akan tetapi, pasangan yang terbentuk pada tahap zigoten memungkinkan
terjadinya sinapsis,
pindah silang, dan
pertukaran kromatid. Pada tahap diploten/diakinesis, kromosom semakin memendek (Coad dan Melvyn, 2007). Adanya pasangan kromosom homolog menunjukkan bukti adanya penyilangan dan pertukaran kromatid, yang menggambarkan ciri kiasma commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang bergabung dengan lengan kromosom. Lingkaran dan bentuk yang tidak biasa dalam kromosom dapat tampak pada tahap ini. Pada metafase I dari meiosis, membran nukleus terpisah dan pasangan kromosom homolog yang bergabung berbaris ekuator pada aparatus gelendong. Satu dari setiap pasang kromosom homolog kemudian bergerak ke ujung sel masing-masing di sepanjang gelendong (anafase I). Membran nukleus dapat menghasilkan dua sel anak haploid dengan 23 kromosom 2n pada telofase I. Pada pembelahan meiosis yang kedua, sel-sel haploid ini membelah seperti pada mitosis. Pembelahan kedua ini menghasilkan empat sel haploid yang masing-masing mengandung 23 kromosom 1n. Tidak seperti sel-sel yang diproduksi pada mitosis, sel-sel germinal anak ini secara genetik unik dan berbeda dari sel-sel induk karena adanya pertukaran genetik pada tahap diploten. Sel germinal haploid akan terlibat dalam reproduksi seksual di mana sel sperma dan oosit bersatu membentuk zigot diploid baru (Heffner, 2008a; Sadler, 2000; Suryo, 2003). c. Nondisjungsi Keadaan ini merupakan kegagalan pasangan kromosom untuk memisahkan diri selama meiosis, baik pada meiosis 1 maupun 2, juga bisa terjadi pada fase mitosis (post zygotic non-disjunction) (Heffner, 2008a). Aneuploidi sebagian besar disebabkan oleh nondisjungsi kromosom bivalen pada pembelahan meiosis pertama dan berkaitan dengan keguguran atau retardasi mental apabila janinnya bertahan hidup. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sebagai suatu spesies, manusia memiliki frekuensi aneuploidi yang tinggi dalam produk pembuahannya. Hal ini menghasilkan zigot dan mudigah yang jumlah kromosomnya abnormal, misalnya Down Syndrome dengan 47 kromosom (Coad dan Melvyn, 2007). Down Syndrome adalah salah satu contoh komplemen kromosom yang masih memungkinkan janin bertahan hidup; contoh lain juga sama seringnya, tetapi mungkin menyebabkan kegagalan implantasi atau kegagalan perkembangan in utero (Coad dan Melvyn, 2007). Monosomi X atau sindrom Turner, embrio monosomi biasanya akan mengalami keguguran. Sebagian besar janin trisomi juga akan mengalami keguguran; hanya 3 (trisomi 13, 18 dan 21) yang dilaporkan lahir hidup (Heffner, 2008a). Nondisjungsi pada fase mitosis, tergantung atas fasenya yaitu pada sel pertama zigot atau setelah terjadi mitosis zigot maka jenis kelainan kromosom bisa mosaik sel dengan kromosom trisomi dan monosomi bila terjadi pada sel pertama, atau mosaik sel dengan kromosom normal (diploid) (Heffner, 2008a; Sadler, 2000; Suryo, 2003).
2. Fertilisasi dan Terjadinya Kehamilan Menurut Federasi Obstetri Ginekologi Internasional, kehamilan didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatoza dan ovum dan dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi (Adriaansz, 2008). Untuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terjadi kehamilan harus ada ovum, spermatozoa, pembuahan ovum (fertilisasi), dan nidasi hasil konsepsi (Rachimhadhi, 2008). a. Sel Telur Pertumbuhan embrional oogonium yang kelak menjadi ovum terjadi di genital ridge. Menurut usia wanita, jumlah oogonium adalah (Mochtar, 1998) : Bayi baru lahir
: 750.000
Usia 6-15 tahun
: 439.000
Usia 16-25 tahun : 159.000 Usia 26-35 tahun : 59.000 Usia 35-45 tahun : 34.000 Masa menopause : semua hilang Urutan pertumbuhan ovum (oogenesis) : (1) oogonia, (2) oosit pertama (primary oocytes), (3) primary ovarian follicle, (4) liquor foliculi, (5) pematangan pertama ovum, (6) pematangan kedua ovum pada waktu sperma membuahi ovum (Mochtar, 1998). Oosit primer, yang diploid, memulai meiosis selama janin, tetapi kemudian terhenti setelah beberapa pembelahan meiosis pertama. Hal ini terjadi pada stadium pembelahan meiosis pertama yang disebut “stadium diploten” profase 1. Selama stadium ini terjadi pertukaran bahan inti sel antara kromosom di dalam germinal vessels di nukleus. Hal ini dicapai dengan terbentuknya daerah fusi (disebut kiasmata) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
antara kromosom yang berdekatan. Tahap diploten yang terhenti dikenal sebagai stadium diktiat (Coad dan Melvyn, 2007). Materi genetik yang diduplikasi dalam oosit terdapat dalam bentuk berpasangan dengan kromosom homolognya selama 10-50 tahun sebelum sel tersebut dipanggil untuk pembelahan. Semakin lama oosit mengalami imobilisasi pada profase I, semakin besar kegagalan pemisahan kromosom homolog. Karena alasan ini, sel telur lebih mudah mengalami kelainan kromosom dibandingkan sperma (Suryo, 2003; Coad dan Melvyn, 2007; Heffner, 2008a; Girirajan, 2009). Kelainan genetika sering muncul sebagai bahan genetika tambahan yang dimasukkan ke dalam genom. Apabila terjadi insersi kromosom tambahan, keadaan yang terjadi disebut trisomi (Coad dan Melvyn, 2007). Siklus meiosis dimulai kembali saat terjadi ovulasi setelah pubertas sebagai respon terhadap FSH dan LH serta sekresi dari sel granulosa (Coad dan Melvyn, 2007). Sel telur tertahan pada metafase pembelahan meiosis kedua, kemudian akan dilanjutkan hingga selesai setelah fertilisasi (Girirajan, 2009). Sel telur dikelilingi oleh lingkaran proteinaseosa yang disebut zona pelusida (Guyton, 1997). Sel granulosa yang menempel pada permukaan zona pelusida dan dikeluarkan bersama sel telur dari ovarium tetap menempel sebagai kumulus. Sperma yang akhirnya membuahi sel telur terlebih dahulu harus melewati lapisan-lapisan di commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sekeliling telur sebelum dapat berpenetrasi ke dalam membran sel telur. Oosit akan tetap hidup selama 6-24 jam setelah ovulasi (Heffner, 2008b; Suryo, 2003). b. Sperma Saat koitus, jutaan sperma terdeposit pada vagina bagian atas. Sebagian besar tidak pernah sampai pada tempat fertilisasi. Hanya sebagian kecil sperma yang masuk ke dalam serviks yang akan ditemukan dalam hitungan menit setelah koitus. Di sini sperma dapat bertahan di dalam kriptus epitel selama beberapa jam. Sperma tidak dapat melewati serviks menuju rongga uterus bila mukosa serviks tidak dalam keadaan siap. Keadaan ini didapatkan pada pertengahan siklus ketika kadar estrogen tinggi dan kadar progesteron rendah. Estrogen melunakkan stroma serviks dan membuat sekret serviks menjadi tipis dan encer. Progesteron menimbulkan efek sebaliknya, yaitu suatu keadaan yang tidak cocok untuk spermatozoa (Sadler, 2000; Heffner, 2008b; Rachimhadhi, 2008). Pada kondisi yang paling baik, sperma membutuhkan 2-7 jam untuk bergerak melewati uterus menuju tempat fertilisasi di dalam saluran telur. Transpor sperma ini disebabkan oleh adanya dorongan dari sperma itu sendiri, dibantu oleh cambukan silia pada sel yang melapisi dinding uterus. Biasanya hanya beberapa ratus sperma yang mencapai saluran telur, di mana sperma akan tetap hidup sampai terjadi ovulasi. Setelah ovulasi, spermatozoa akan mengalami reaktivasi dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mulai bergerak menuju sel telur. Spermatozoa manusia dapat bertahan hidup selama 24-48 jam di dalam saluran reproduksi wanita (Guyton, 1997; Heffner, 2008b). c. Fertilisasi Fertilisasi (pembuahan) adalah penyatuan ovum (oosit sekunder) dan spermatozoa yang biasanya berlangsung di ampula tuba. Fertilisasi meliputi penetrasi spermatozoa ke dalam ovum, fusi spermatozoa dan ovum, diakhiri dengan fusi materi genetik. Hanya satu spermatozoa yang telah mengalami proses kapasitasi mampu melakukan penetrasi membran sel ovum (Rachimhadhi, 2008). Untuk mencapai ovum, spermatozoa harus melewati korona radiata (lapisan sel diluar ovum) dan zona pelusida (suatu bentuk glikoprotein ekstraseluler), yaitu dua lapisan yang menutupi dan mencegah ovum mengalami fertilisasi lebih dari satu spermatozoa (Rachimhadhi, 2008). Penetrasi zona pelusida memungkinkan terjadinya kontak antara spermatozoa dan membran oosit. Membran sel germinal segera berfusi dan sel sperma berhenti bergerak. Inti sel sperma kemudian memasuki sitoplasma sel telur (Heffner, 2008b). Setelah masuk ke dalam sel telur, sitoplasma sperma bercampur dengan sitoplasma sel telur dan membran inti (nukleus) sperma pecah. Membran yang baru terbentuk di sekeliling kromatin sperma membentuk pronukleus pria. Membran inti oosit yang baru juga terbentuk di sekeliling pronukleus wanita. Kedua pronukleus dekat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mendekati dan bersatu membentuk zigot yang terdiri atas bahan genetik dari perempuan dan laki-laki (Suryo, 2003; Heffner, 2008b; Rachimhadhi, 2008). Pada manusia terdapat 46 kromosom, ialah 44 kromosom autosom dan 2 kromosom kelamin; pada seorang laki-laki satu X dan satu Y. Sesudah pembelahan kematangan, maka ovum matang mempunyai 22 kromosom autosom serta 1 kromosom X, dan suatu spermatozoa mempunyai 22 kromosom autosom serta 1 kromosom Y. Zigot sebagai hasil pembuahan yang memiliki 44 kromosom autosom serta 2 kromosom X akan tumbuh sebagai janin perempuan, sedang yang 44 kromosom autosom serta 1 kromosom X dan 1 kromosom Y akan tumbuh sebagai janin laki-laki (Suryo, 2003; Heffner, 2008b). d. Pembentukan Kehamilan Setelah
terjadi
fertilisasi,
kehamilan
yang
berhasil
harus
berimplantasi di dalam dinding uterus dan memberikan informasi kepada ibu terhadap terjadinya berbagai adaptasi akibat kehamilan (Heffner, 2008b). Zigot yang terbentuk sebagai hasil dari fertilisasi selanjutnya mengalami pembelahan. Kadangkala, nondisjungsi kromosom 21 terjadi pada mitosis (nondisjunction mitosis) pada sel embrio/zigot tersebut
selama
berlangsungnya
pembelahan-pembelahan
sel
permulaan. Pada kasus-kasus semacam itu terjadilah mosaikisme, yang ditandai dengan beberapa sel mempunyai jumlah kromosom abnormal commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan sel-sel lainnya normal. Individu-individu yang mengalami hal ini mungkin memperlihatkan beberapa atau banyak ciri Down Syndrome, tergantung jumlah sel yang terlibat dan distribusinya (Sadler, 2000). Zigot yang sedang membelah mengapung di dalam saluran telur sekitar 1 minggu, berkembang dari tahap 16 sel melalui tahap morula yang padat menjadi tahap blastokista yang memiliki 32-64 sel. Tahap yang terakhir ini memerlukan pembentukan rongga blastokista yang berisi cairan. Pada tahap blastokista inilah hasil konsepsi akan masuk ke dalam uterus (Heffner, 2008b; Rachimhadhi, 2008). Setelah 2 hari di dalam uterus, blastokista akan melepas dari zona pelusida, dan berdiferensiasi menjadi sel trofoblas. Blastokista menempel dan menginvasi dinding uterus. Endometrium mengalami perubahan biokimia dan morfologis yang hebat yang disebut desidualisasi, suatu proses yang dimulai saat terjadinya penempelan dan menyebar dalam bentuk gelombang konsentris dari tempat implantasi (Sadler, 2000; Heffner, 2008b). Implantasi terjadi sekitar 7-10 hari setelah ovulasi. Jika hasil konsepsi terus bertahan hidup lebih dari 14 hari setelah ovulasi, korpus luteum ovarium akan terus mensekresi progesteron (Sadler, 2000; Rachimhadhi, 2008). Bila dihitung dari saat fertilisasi hingga lahirnya bayi, kehamilan normal akan berlangsung dalam waktu 40 minggu atau 10 bulan lunar atau 9 bulan menurut kalender internasional. Kehamilan terbagi dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3 trisemester, di mana trisemeter kesatu berlangsung dalam 12 minggu, trisemester kedua 15 minggu (minggu ke-13 hingga ke-27), dan trisemester ketiga 13 minggu (minggu ke-28 hingga ke-40) (Adriaansz, 2008).
3. Down Syndrome a. Definisi Dari sudut genetik disebut Mongolis-G trisomi-trisomi 21 dengan jumlah kromosom 47 (Mochtar, 1998). Anak dengan Down Syndrome adalah individu yang dapat dikenali fenotipnya dan mempunyai kecerdasan yang terbatas, yang terjadi akibat adanya jumlah kromosom 21 yang berlebih (Soetjiningsih, 1995). b. Insidensi Sindrom ini ditemukan di seluruh dunia di antara semua suku bangsa (Sutejo, 1981). Diperkirakan angka kejadiannya terakhir adalah 1,0-1,2 per 1000 kelahiran hidup (Soetjiningsih, 1995). Kothare et al. (2002) melaporkan angka kejadian Down Syndrome sekitar 1 dari 650-1000 kelahiran hidup. Ditemukan sebanyak 10% di antara penderita-penderita retardasi mental (Sutejo, 1981). Kurang lebih 4.000 anak dilahirkan dengan Down Syndrome setiap tahunnya di Amerika, atau sekitar 1 dari 800-1000 kelahiran hidup (Idris, 2006; Nicolaidis, 1998). Sedangkan di Indonesia prevalensinya lebih dari 300 ribu jiwa. Meskipun orangtua dari segala commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
usia mempunyai kemungkinan untuk mendapat anak yang menderita Down Syndrome, tetapi kemungkinannya lebih besar untuk ibu yang usianya di atas 35 tahun (Idris, 2006; Sutejo, 1981; Mochtar, 1998). c. Etiologi Down Syndrome disebabkan karena adanya kelebihan jumlah kromosom 21 akibat nondisjungsi, translokasi dan mosaik. Faktorfaktor yang memegang peranan dalam terjadinya kelainan kromosom tersebut, antaralain : 1) Genetik Diperkirakan terdapat faktor predisposisi genetik terhadap nondisjunction. Bukti yang mendukung teori ini adalah berdasarkan atas hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan adanya peningkatan risiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan Down Syndrome (Soetjiningsih, 1995). 2) Radiasi Radiasi dikatakan merupakan salah satu penyebab terjadinya nondisjunctional pada Down Syndrome ini. Uchida 1981 menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan Down Syndrome, pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi. Sedangkan peneliti lain tidak mendapatkan adanya hubungan antara radiasi dengan penyimpangan kromosom (Soetjiningsih, 1995). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Infeksi Infeksi juga dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya Down Syndrome. Sampai saat ini belum ada peneliti yang mampu memastikan bahwa virus dapat mengakibatkan terjadinya nondisjunction (Soetjiningsih, 1995). 4) Autoimun Faktor lain yang juga diperkirakan sebagai etiologi Down Syndrome adalah autoimun. Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid. Penelitian Fialkow 1966 secara konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang melahirkan anak dengan Down Syndrome dengan ibu kontrol yang usianya sama (Soetjiningsih, 1995). 5) Usia ibu Apabila usia ibu diatas 35 tahun, risiko terjadinya kelainan jumlah kromosom akibat nondisjungsi fase miosis tinggi. Beberapa studi telah menjelaskan pengaruh usia ibu terhadap kejadian Down Syndrome. Girirajan (2009) menyatakan peningkatan biological ageing pada ovarium merupakan faktor utama terjadinya kondisi aneuploidi pada wanita. Hal ini mendasari berbagai perubahan yang terjadi pada ibu usia tua, termasuk perubahan hormonal yang
dapat
menyebabkan
nondisjungsi
(Soetjiningsih, 1995; Sutejo, 1981). 6) Usia ayah
commit to user
pada
kromosom
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Selain pengaruh usia ibu terhadap Down Syndrome, juga dilaporkan adanya pengaruh dari usia ayah (Coad dan Melvyn, 2007). Penelitian sitogenetik pada orangtua dari anak dengan Down Syndrome mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya. Tetapi korelasi tidak setinggi usia ibu (Soetjiningsih, 1995). 7) Pemaparan Fluor Kasus Down Syndrome terdapat pula di antara bayi yang dilahirkan ibu-ibu yang meminum air dengan kadar Fluor tinggi. Dilaporkan bahwa kasus Down Syndrome di antara ibu-ibu yang air minumnya mengandung Fluor sebanyak 0,0-0,1 ppm didapat sebanyak 23,6 per 100.000 orang sedangkan mereka yang air minumnya
mengandung
Fluor
sebanyak
1,0-2,6
ppm
menunjukkan kasus Down Syndrome sebanyak 71,6 per 100.000 orang. Selain itu, penelitian di antara penderita Down Syndrome didapat banyak kasus keracunan Fluor (fluorosis gigi), dan relatif terhadap populasi normal, insidens caries dentis di antara mereka sangat rendah (Slamet, 1996). 8) Pengaruh eksternal lain yang dapat mengganggu meiosis, misalnya penyalahgunaan alkohol, kemoterapi, dan merokok (Coad dan Melvyn, 2007).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Gejala klinis Diagnosa klinis Down Syndrome dapat ditegakkan dengan melihat penampilan anak tersebut. Tanda-tanda fisik : tubuh pendek, lengan atau kaki kadang-kadang bengkok, kepala lebar, wajah membulat, lipatan kelopak mata ke atas dan ke luar, lipatan kulit di atas canthus medius, jarak lebar antara kedua mata, iris mata kadang-kadang berbintik yang disebut bintik-bintik “Brushfield”, lingkar kepala kecil, puncak kepala datar, lidah menjulur dan berfisura, ujung lidah besar, hidung lebar dan datar, kedua lubang hidung terpisah lebar, kulit kering, hipotoni otot, tangan dan kaki kelihatan lebar dan tumpul, telapak tangan memiliki garis tangan yang khas abnormal yaitu hanya mempunyai sebuah garis mendatar saja, kelingking kecil dan melengkung ke dalam (Mochtar, 1998; Soetjiningsih, 1995; Speirs, 1992; Suryo, 2003). Mata, hidung, dan mulut biasanya tampak kotor serta gigi rusak. Hal ini disebabkan karena anak Down Syndrome tidak sadar untuk menjaga kebersihan dirinya sendiri. IQ rendah yaitu antara 25-75, kebanyakan kurang dari 40. Biasanya mempunyai kelainan pada jantung dan tidak resisten terhadap penyakit (Suryo, 2003).
e. Diagnosis Diagnosis dari Down Syndrome berdasarkan atas adanya gejalagejala klinis yang khas, serta ditunjang oleh pemeriksaan kromosom. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan radiologi pada kasus yang tidak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
khas. Pada pemeriksaan radiologi, didapatkan brachycephalic, sutura, dan fontanela yang terlambat menutup. Tulang ileum dan sayapnya melebar disertai sudut asetabular yang lebih lebar, terdapat pada 87% kasus (Soetjiningsih, 1995). Pemeriksaan kariotiping pada semua penderita Down Syndrome adalah untuk mencari adanya translokasi kromosom. Kalau ada, maka kedua ayah-ibunya harus diperiksa. Kalau dari salah satu ayah/ibunya karier, maka keluarga lainnya juga perlu diperiksa, hal ini sangat berguna untuk pencegahan. Kemungkinan terulangnya kejadian Down Syndrome yang disebabkan translokasi kromosom adalah 5-15%, sedangkan kalau trisomi hanya 1% (Soetjiningsih, 1995). Diagnosis antenatal dengan pemeriksaan cairan amnion atau vili korionik (Ucar et al., 2005), dapat dilakukan secepatnya pada kehamilan 3 bulan. Pada pemeriksaan cairan amnion didapatkan kadar fetoprotein alfa rendah. Diperkirakan hal ini mungkin disebabkan oleh menetapnya coelom ekstraembrionik atau berkaitan dengan kadar reseptor interferon (Coad dan Melvyn, 2007). Pemeriksaan plasenta berupa pengukuran estriol adalah bagian dari uji Bart (tripel) untuk Down Syndrome. Kadar estron dan estriol meningkat sekitar 100 kali dan kadar estradiol sekitar 1000 kali selama kehamilan (Coad dan Melvyn, 2007). Dengan kultur jaringan dan kariotiping 99% Down Syndrome dapat didiagnosis antenatal. Diagnosis antenatal perlu pada ibu hamil yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berusia lebih dari 35 tahun, atau pada ibu yang sebelumnya pernah melahirkan anak dengan Down Syndrome. Bila didapatkan bahwa janin yang dikandung menderita Down Syndrome, maka dapat ditawarkan terminasi kehamilan kepada orangtuanya. Terminasi kehamilan ini banyak ditawarkan dan dilakukan di beberapa negara lain, sehingga kejadian Down Syndrome cukup mengalami penurunan (Soetjiningsih, 1995). Pemeriksaan Down Syndrome secara klinis pada bayi seringkali meragukan, maka pemeriksaan dermatoglifik (sidik jari, telapak tangan dan kaki) pada Down Syndrome menunjukkan adanya gambaran yang khas. Dermatoglifik ini merupakan cara yang sederhana, mudah dan cepat, serta mempunyai ketepatan yang cukup tinggi dalam mendiagnosis Down Syndrome (Soetjiningsih, 1995). f. Sitologi
Gambar 1. Kariotipe Penderita Down Syndrome (sumber: Department of Health and Senior Services, 2010) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari sudut sitologi, ada tiga macam pola kromosom yang dapat menimbulkan munculnya Down Syndrome (Idris, 2006; Sadler, 2000; Setianingsih, 2008; Suryo, 2003). 1) Trisomi 21 Trisomi
21
(nondisjunction)
disebabkan
oleh
adanya
kesalahan dalam proses pembelahan sel yang mengakibatkan bayi mempunyai 3 kromosom nomor 21 (gambar lihat lampiran). Sebelum atau pada saat pembuahan, sepasang kromosom 21 yang terdapat di sel telur atau sel sperma gagal membelah dengan normal. Kromosom tambahan ini direplikasi di setiap sel dalam tubuh. Sebanyak 95% dari penderita Down Syndrome mempunyai pola ini (Hall, 2000; Sadler, 2000; Suryo, 2003; Idris, 2006; Setianingsih, 2008). 2) Translokasi Pada Down Syndrome translokasi juga didapati 3 buah kromosom nomor 21. Namun, satu dari kromosom 21 tersebut menempel atau tertranslokasi pada kromosom lainnya, biasanya pada kromosom nomor 13, nomor 14, atau nomor 15 (Faradz, 2004) (gambar lihat lampiran). Tiga sampai 4 persen dari anak-anak penderita Down Syndrome memiliki 46, bukan 47 kromosom, disebabkan oleh translokasi Robertsonian (Coad dan Melvyn, 2007) (gambar lihat lampiran). Sekitar satu pertiga sampai separuh dari translokasi diwariskan dari salah satu orang tua. Ketika hal itu terjadi, orang tua pembawa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mempunyai jumlah materi genetik yang normal, meskipun demikian satu dari kromosom nomor 21 menempel ke kromosom lainnya. Sebagai hasilnya, penghitungan jumlah kromosom pada orang tua tersebut adalah 45 bukan 46. Orang tua pembawa sama sekali tidak terkena efeknya karena tidak ada kekurangan maupun kelebihan dari materi genetik (Hall, 2000; Sadler, 2000; Suryo, 2003; Idris, 2006; Setianingsih, 2008). 3) Mosaik Mosaik, digunakan untuk melukiskan adanya lebih dari satu tipe sel pada seseorang, biasanya dalam bentuk persentase, contoh: ketika seorang bayi terlahir dengan Down Syndrome, dokter akan mengambil sampel darah untuk memeriksa kromosomnya. Biasanya, 20 jenis sel yang berbeda akan dianalisis. Bila 5 sel metafase dari 20 sel metafase adalah normal (46 kromosom), sedangkan 15 sel metafase lainnya mempunyai kromosom nomor 21 tambahan (47 kromosom), bayi tersebut akan disebut sebagai penderita Down Syndrome mosaik. Oleh karena persentase sel-sel yang memiliki kromosom tambahan adalah 15 dari 20, tingkat mosaik dari bayi tersebut adalah 75%. Persentase ini dapat berbeda-beda di bagian tubuh yang satu dengan yang lain. Persentase sel yang mengalami trisomi pada otot dapat berbeda-beda di bagian tubuh yang satu dengan yang lain. Persentase sel yang mengalami trisomi pada otot dapat berbeda dengan persentase commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sel yang mengalami trisomi pada otak, atau persentase pada darah atau kulit. Secara klinis, bayi yang dilahirkan dengan Down Syndrome mosaik dapat memiliki ciri-ciri dan masalah kesehatan yang sama dengan bayi lainnya yang dilahirkan dengan trisomi 21 atau Down Syndrome translokasi. Adanya sel-sel yang mempunyai jumlah kromosom yang normal (46) menghasilkan penampakan yang tidak begitu parah, atau lebih sedikit munculnya ciri-ciri dari Down Syndrome yang diderita seseorang, bagian yang penting dari kromosom 21 ada di seluruh atau sebagian sel-sel mereka (Idris, 2006; Hall, 2000; Sadler, 2000; Setianingsih, 2008; Suryo, 2003).
4. Hubungan Usia Ibu dengan Kejadian Anak Down Syndrome Telah lama diketahui bahwa ada hubungan antara usia ibu dengan kejadian Down Syndrome, seperti yang dinyatakan oleh Lionel Penrose pada tahun 1933 dimana risiko untuk melahirkan anak Down Syndrome meningkat seiring dengan peningkatan usia ibu (Penrose, 1933). Banyak studi dan penelitian yang dilakukan selanjutnya juga menguatkan hal tersebut. Data
laporan penelitian menunjukkan hasil yang konsisten
(Irving et al., 2008). Pada wanita usia tua produksi dan fungsi ovum mengalami penurunan tidak seperti pada usia muda. Hal tersebut ikut memberi pengaruh untuk terjadinya nondisjungsi pada kromosom 21 (Kothare et commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
al., 2002). Peningkatan biological ageing pada ovarium merupakan faktor utama terjadinya kondisi aneuploidi pada wanita. Inilah alasan mengapa frekuensi aneuploidi meningkat seiring dengan peningkatan usia ibu (Coad dan Melvyn, 2007). Penuaan ovarium yang terjadi pada usia tua berhubungan dengan keterbatasan kemampuan produksi dan penurunan fungsi oosit untuk fertilisasi (Girirajan, 2009). Penurunan fungsi oosit ini juga berkaitan dengan berapa lamanya siklus meiosis terhenti yang dialami oleh oosit tersebut, yang akhirnya mempengaruhi kualitas dari ovum. Seperti yang telah diketahui bahwa seorang perempuan lahir dengan semua oosit yang pernah dibentuknya. Semua oosit tersebut berada dalam keadaan istirahat pada profase I dari meiosis sejak sebelum seorang perempuan lahir sampai mengadakan ovulasi. Dengan demikian maka suatu oosit dapat tinggal dalam keadaan istirahat untuk 12-45 tahun. Selama waktu yang panjang itu, oosit dapat mengalami nondisjungsi (Suryo, 2003). Pada ibu usia tua, ovum yang dikeluarkan pada saat ovulasi merupakan hasil dari oosit yang cenderung telah berada dalam siklus meiosis yang terhenti cukup lama (Girirajan, 2009). Fase meiosis yang terhenti lama pada ovum memudahkan terjadinya akumulasi berbagai efek toksik sebagai dampak dari lingkungan, juga terjadi degradasi dari mesin meiosis yang menyebabkan kesalahan meiosis I dan meiosis II (Girirajan, 2009). Pengamatan pada pembuahan in vitro membuktikan bahwa gelendong meiosis manusia bersifat tidak stabil dan juga sangat peka commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terhadap pengaruh eksternal. Struktur meiosis yang disebut spindles menjadi semakin rapuh seiring dengan meningkatnya usia ibu yang bersangkutan (Coad dan Melvyn, 2007). Usia ibu yang tua meningkatkan risiko terjadinya nondisjungsi pada ovum (Erickson, 1978; Kothare et al., 2002). Henderson dan Edwards (1968) menyatakan bahwa pada usia tua terjadi penuaan ovarium secara intrinsik yang merupakan faktor predisposisi nondisjungsi. Ovarium yang tidak berfungsi optimal akibat penuaan menyebabkan ketidakseimbangan hormon (Girirajan, 2009). Adanya perubahan hormonal (Penrose, 1954) dan metabolik pada usia tua, seperti penyakit tiroid (Fialkow et al., 1965), juga mempengaruhi kejadian aneuploidi (Kothare et al., 2002). Perubahan hormonal yang terjadi pada ibu usia tua secara umum diperkirakan dapat menyebabkan nondisjungsi pada kromosom. Perubahan endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan peningkatan secara tajam kadar Luteinizing Hormon (LH) dan Follicular Stimulating Hormon (FSH) secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya nondisjungsi (Soetjiningsih, 1995; Sutejo, 1981).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
Usia Ibu
≥ 35 tahun
< 35 tahun 1. Nondisjungsi +/(Free trisomi 21) 2. Translokasi +/3. Mosaik +/sperma
ovum
ovum
sperma
Kehamilan Down Syndrome +/-
Down Syndrome +/-
: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Mempengaruhi
C. Hipotesis Kejadian anak Down Syndrome dari ibu usia tua lebih banyak dibanding dengan ibu usia muda.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan studi kasus kontrol yang menggunakan data retrospektif, untuk mempelajari seberapa jauh faktor risiko mempengaruhi terjadinya efek (Taufiqurrahman, 2004).
B. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di SLB C Surakarta dan lingkungan tempat tinggal penderita.
C. Subjek Penelitian 1. Populasi Penelitian Kasus
: Ibu dengan anak Down Syndrome di SLB C Surakarta
Kontrol
:
Ibu dengan anak sehat tanpa Down Syndrome di
lingkungan tempat tinggal anak Down Syndrome 2. Kriteria Sampel Penelitian Sampel penelitian diambil dari populasi sumber yang memenuhi kriteria-kriteria berikut : commit to user 31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Kriteria Inklusi : 1) Kasus : ibu yang memiliki anak dengan tanda-tanda klinis Down Syndrome (+) Kontrol : a) Ibu yang memiliki anak sehat dengan tanda-tanda klinis Down Syndrome (-) b) Tinggal dalam lingkungan yang sama dengan anak Down Syndrome c) Anak memiliki usia yang sama dengan anak Down Syndrome yang diteliti di daerah tersebut 2) Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani informed consent. b. Kriteria Eksklusi : Tidak bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani informed consent
D. Teknik Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan secara fixed-disease sampling yakni prosedur pencuplikan berdasarkan status penyakit subjek, sedang status paparan subjek bervariasi mengikuti status penyakit subjek yang sudah “fixed”(Murti, 2006). Fixed-disease sampling memastikan jumlah subjek penelitian yang cukup dalam kelompok-kelompok berpenyakit (=kasus) dan tak berpenyakit (=kontrol) (Murti, 2006). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi logistik ganda sehingga ukuran sampel yang digunakan : (15 - 20) x jumlah Confounding Factor = (15 - 20) x 4 = 60 – 80 sampel Berdasarkan penghitungan ukuran sampel di atas, maka pada penelitian ini akan menggunakan 60 sampel yang terbagi atas 20 sampel kasus dan 40 sampel kontrol.
E. Rancangan Penelitian
Populasi anak Down Syndrome
Populasi anak sehat
Sampel anak Down Syndrome di SLB C
Sampel anak sehat tetangga anak Down Syndrome
Status : 1. Usia ibu 2. Pendapatan keluarga 3. Lingkungan keluarga 4. Pendidikan Ibu
Status : 1. Usia ibu 2. Pendapatan keluarga 3. Lingkungan keluarga 4. Pendidikan Ibu
Analisis Regresi Logistik Ganda commit to user
Kesimpulan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
F. Identifikasi Variabel 1. Variabel bebas
: Usia ibu
2. Variabel terikat
: Kejadian anak Down Syndrome
3. Variabel perancu
: Pendidikan ibu, pendapatan keluarga, lingkungan
G. Definisi Operasional Variabel 1. Usia ibu a. Definisi : Usia ibu adalah selisih usia ibu saat ini dengan usia anak saat ini. 1) Kasus : usia ibu saat hamil anak Down Syndrome 2) Kontrol : usia ibu saat hamil anak anak tanpa Down Syndrome b. Sumber data : data primer c. Alat ukur : kuesioner/wawancara d. Skala pengukuran : kategorikal (dikotomi), terdiri dari usia tua ( ≥ 35 tahun ) dan usia muda ( < 35 tahun ). 2. Anak Down Syndrome a. Definisi : anak yang memiliki tanda-tanda klinis Down Syndrome (+), yaitu tubuh pendek, lengan atau kaki kadangkadang bengkok, kepala lebar, wajah membulat, lipatan kelopak mata ke atas dan ke luar, lipatan kulit di atas canthus medius, jarak lebar antara kedua mata, iris mata kadang-kadang berbintik yang disebut bintik-bintik “Brushfield”, lingkar kepala kecil, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
puncak kepala datar, lidah menjulur dan berfisura, ujung lidah besar, hidung lebar dan datar, kedua lubang hidung terpisah lebar, kulit kering, hipotoni otot, tangan dan kaki kelihatan lebar dan tumpul, telapak tangan memiliki garis tangan yang khas abnormal yaitu hanya mempunyai sebuah garis mendatar saja, kelingking kecil dan melengkung ke dalam (Soetjiningsih, 1995; Speirs, 1992; Suryo, 2003). b.
Sumber data : data primer
c.
Alat ukur : pengamatan peneliti
d.
Skala pengukuran : kategorikal (dikotomi), terdiri dari anak Down Syndrome dan anak bukan Down Syndrome (anak sehat).
3. Pendidikan ibu a. Definisi : Jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah dicapai oleh ibu berdasarkan ijazah terakhir. b. Alat ukur : wawancara c. Skala pengukuran : kategorikal (dikotomi), yang terdiri dari : (1) Rendah, jika responden tidak sekolah, tamat SD-SLTP, (2) Tinggi, jika responden tamat SLTA-Akademik/Perguruan Tinggi 4. Pendapatan keluarga a. Definisi : Pendapatan keluarga adalah hasil penjumlahan semua penghasilan yang diperoleh oleh semua anggota keluarga dari commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berbagai jenis sumber, yang dikonversi menjadi per bulan, jadi satuannya adalah rupiah per bulan (Rp/bulan). b. Alat ukur : kuesioner/wawancara c. Skala pengukuran : kategorikal (dikotomi), terdiri dari pendapatan tinggi (≥ median) dan pendapatan rendah (< median). 5. Lingkungan a. Definisi : Lingkungan di mana sampel bertempat tinggal. b. Alat ukur : pengamatan peneliti c. Skala pengukuran : kategorikal (dikotomi), yang terdiri dari lingkungan sehat dan lingkungan kumuh.
H. Instrumen Penelitian a. Informed Consent b. Kuesioner c. Data siswa Down Syndrome dari pihak SLB C
I. Cara Kerja 1. Menghubungi pihak DIKPORA untuk memperoleh data mengenai lokasi SLB C di Surakarta 2. Menghubungi pihak SLB C untuk mendapat data-data siswa Down Syndrome commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Menjelaskan maksud, tujuan, prosedur, serta manfaat penelitian kepada ibu dengan anak Down Syndrome dan mendapat persetujuan keikutsertaan dalam penelitian dengan penandatanganan informed consent. 4. Melakukan wawancara kepada ibu dengan anak Down Syndrome atau mempersilakan ibu untuk mengisi kuesioner. 5. Mencari anak sehat tanpa Down Syndrome yang merupakan tetangga dari anak Down Syndrome dan memiliki usia yang sama. 6. Melakukan cara kerja nomor 4 dan 5 pada ibu dengan anak yang sehat tanpa Down Syndrome yang bertempat tinggal di lingkungan yang sama dengan anak Down Syndrome. 7. Melakukan analisis data yang diperoleh dan menarik simpulan.
J. Teknik Analisis Data Perbandingan kejadian Down Syndrome pada ibu usia tua dengan ibu usia muda dianalisis dengan model analisis regresi logistik berganda menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17 for Windows. Odds Ratio (OR) digunakan untuk menunjukkan kekuatan hubungan antara variabel-variabel. Kemaknaan statistik OR diuji dengan uji Wald (Murti, 1996). Dalam model regresi logistik, rumus OR = exp (β). Interpretasi OR disajikan dalam Tabel 1. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 1. Interpretasi Odds Ratio OR
Interpretasi
1
Tidak ada hubungan
> 1 hingga < 1,5
Terdapat hubungan lemah
> 1,5 hingga < 3
Terdapat hubungan sedang
> 3 hingga > 10
Terdapat hubungan kuat
> 10
Terdapat hubungan yang sangat kuat
Keberadaan kerancuan (confounding) taksiran OR perbandingan kejadian anak Down Syndrome dari ibu usia tua dengan ibu usia muda oleh variabel perancu pendidikan ibu, pendapatan keluarga dan lingkungan ditentukan dengan cara membandingkan hasil estimasi OR yang mengontrol faktor perancu (adjusted estimate) dari analisis regresi logistik ganda dengan hasil estimasi OR yang tidak mengontrol faktor perancu tersebut (crude estimate) dari analisis regresi logistik sederhana. Adapun model analisis regresi logistik berganda dengan persamaan sebagai berikut : Ln
p = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 1-p
Keterangan: p
= Probabilitas untuk Down Syndrome
1-p = Probabilitas untuk tidak Down Syndrome X1 = Usia ibu (0 : < 35 tahun; 1 : ≥ 35 tahun) X2 = Pendidikan ibu (0 : SMA ke atas; 1 : SMP/SD/tidak sekolah) X3 = Pendapatan keluarga (0 : ≥ median; 1 : < median) commit to 1user X4 = Lingkungan (0 : sehat; : kumuh)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ln = Logaritma natural OR = Odds Ratio Apabila terdapat perbedaan antara OR taksiran kasar (crude estimate) dan OR taksiran yang mengontrol kerancuan (adjusted estimate) sebesar 10-20 persen atau lebih, maka taksiran kasar tersebut dikatakan telah mengalami bias. Jika taksiran kasar OR mengandung bias, maka taksiran OR yang digunakan adalah taksiran yang mengendalikan pengaruh faktor perancu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN
Penelitian mengenai Perbandingan Kejadian Anak Down Syndrome dari Ibu Usia Tua dengan Ibu Usia Muda di Surakarta telah dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2010 di SLB C Surakarta dan di lingkungan rumah responden. Sampel sejumlah 60 terdiri dari 20 sampel ibu dengan anak Down Syndrome sebagai kelompok kasus dan 40 sampel ibu dengan anak normal sebagai kelompok kontrol.
A. Karakteristik Sampel Penelitian Tabel 2. Distribusi Sampel Kasus Berdasarkan Riwayat Usia Ibu Saat Kehamilan dan Pendapatan Keluarga Variabel
n
Mean
SD
Min.
Maks.
Usia Ibu (tahun)
60
31.7
7.8
18
46
100,000
15,000,000
Pendapatan Keluarga (rupiah)
60
1,626,700 2,316,000
Sumber : Data primer, 2010.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 3. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan
n
%
Tidak Sekolah
2
3.3
SD
18
30.0
SMP
10
16.7
SMA
18
30.0
D3/PT
12
20.0
Total
60
100.0
Sumber : Data primer, 2010.
Tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dari sampel penelitian paling banyak adalah SD dan SMA dengan jumlah masing-masing 18 orang (30%).
Tabel 4. Distribusi Sampel Berdasarkan Lingkungan Lingkungan
n
%
Sehat
16
26.7
Kumuh
44
73.3
Total
60
100.0
Sumber : Data primer, 2010.
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar sampel penelitian tinggal di lingkungan kumuh sejumlah 44 orang (73.3%).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Hasil Uji t Test Tabel 5. Hasil Uji t Test Beda Mean Usia Ibu antara Anak dengan Down Syndrome dan tanpa Down Syndrome Kelompok
n
Mean
SD
t
p
Normal
40
28.6
6.7
-
-
Down Syndrome
20
37.8
5.9
5.22
< 0.001
Dari Tabel 5 tampak bahwa rata-rata usia ibu yang melahirkan anak Down Syndrome yaitu 37.8 tahun, lebih tua bila dibandingkan dengan rata-rata usia ibu yang melahirkan anak normal yaitu 28.6 tahun. Dari hasil pengolahan data statistik menggunakan independent sample t test diperoleh nilai p = 0.000 atau p < 0.001, sehingga p < 0.05. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara usia ibu yang melahirkan anak Down Syndrome dengan yang melahirkan anak normal. Penyajian data menggunakan gambar disajikan dalam bentuk boxplot yang dapat dilihat pada Gambar 2.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2. Boxplot Rata-Rata Usia Ibu yang Melahirkan Anak Normal dan Down Syndrome
C. Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda Data dalam penelitian ini dianalisis dengan uji Chi Square, dengan uji itu dapat diketahui apakah hubungan yang teramati antara kedua variabel secara statistik bermakna. Penelitian ini mengamati hubungan antara variabel terikat kejadian anak Down Syndrome dengan variabel bebas usia ibu dan variabel perancu pendidikan ibu, pendapatan keluarga, dan lingkungan. Adanya variabel perancu berpengaruh terhadap hasil analisis data yang didapat. Untuk mengendalikannya, dilakukan analisis regresi logistik ganda. Berikut hasil analisis regresi logistik ganda tentang perbandingan kejadian Down Syndrome dari ibu usia tua dengan ibu usia muda dengan dan tanpa mengontrol variabel perancu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 6. Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda tentang Perbandingan Kejadian Anak Down Syndrome dari Ibu Usia Tua dengan Ibu Usia Muda dengan Mengontrol Variabel Perancu dan Tanpa Mengontrol Variabel Perancu Crude Analysis Adjusted Analysis CI 95% CI 95% Variabel OR p OR p Batas Batas Batas Batas bawah Atas Bawah Atas Usia < 35 tahun 1.0 1.0 ≥ 35 tahun 11.0 <0.001 3.1 38.7 12.1 <0.001 2.9 49.2 Pendidikan Tinggi 1.0 Rendah 1.0 0.972 0.2 4.9 Pendapatan ≥ Rp 800.000 1.0 < Rp 800.000 1.0 0.965 0.2 5.9 Lingkungan Sehat 1.0 Kumuh 2.3 0.381 0.4 15.2 N observasi 60 N observasi 60 -2log likelihood 60.2 -2log likelihood 58.9 Nagelkerke R2 32.8% Nagelkerke R2 35% Tabel 6 menunjukkan adanya perbedaan taksiran OR antara crude analysis dan adjusted analysis. Taksiran OR dari crude analysis = 11.0, sedangkan taksiran OR dari adjusted analysis = 12.1. Untuk menentukan ada tidaknya bias oleh variabel perancu digunakan rumus = ((OR crude – OR adjusted) / OR (adjusted)) = ((11.0-12.1)/11.0) x 100% = 9%. Karena terdapat perbedaan OR sebesar <10% yaitu 9%, maka dalam penelitian ini tidak terdapat bias oleh variabel perancu. Jadi digunakan taksiran OR dari crude analysis. Tabel 6 menunjukkan bukti bahwa ibu usia ≥35 tahun memiliki risiko untuk melahirkan anak dengan Down Syndrome sebelas kali lebih besar user 11.0; CI95% 3.1 hingga 38.7). daripada ibu dengan usia <35commit tahun to(OR=
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hubungan tersebut secara statistik signifikan dan menunjukkan hubungan yang sangat kuat. Simpulan ini telah memperhitungkan pengaruh variabel perancu pendidikan ibu, pendapatan keluarga dan lingkungan. -2 log likelihood menunjukkan besar perbedaan antara model analisis regresi yang digunakan dan data sampel. Jika tidak terdapat perbedaan tersebut, maka nilai -2 log likelihood = 0. Jadi makin kecil -2 log likelihood, makin baik model yang digunakan. Hasil analisis dalam penelitian ini memperlihatkan -2 log likelihood sebesar 58.9 menunjukkan bahwa perbedaan antara data sampel yang teramati dengan model analisis regresi logistik yang diprediksi tidak terlalu besar (hampir sama karena nilainya berada pada kisaran antara 0 sampai 100) . Nagelkerke R2 sebesar 35% mengandung arti bahwa model regresi yang melibatkan variabel usia ibu, pendidikan ibu, pendapatan keluarga dan lingkungan secara bersama mampu menjelaskan sebesar tiga puluh lima persen variasi-variasi yang terjadi pada kejadian anak Down Syndrome.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PEMBAHASAN
Down Syndrome merupakan bentuk kelainan kongenital yang ditandai dengan berlebihnya jumlah kromosom nomor 21 yang seharusnya dua buah menjadi tiga sehingga jumlah seluruh kromosom mencapai 47 buah. Penderita kelainan kromosom ini pada umumnya memiliki karakteristik fisik yang khas, di antaranya bagian belakang kepala rata (Flattening of the back of the head), mata sipit, alis mata miring (slanting of the eyelids), telinga lebih kecil, mulut yang mungil, otot lunak, persendian longgar (loose ligament), dan tangan kaki yang mungil (Soetjiningsih, 1995; Speirs, 1992; Suryo, 2003). Usia ibu dilaporkan erat kaitannya dengan kejadian anak Down Syndrome. Penelitian yang berjudul “Perbandingan Kejadian Anak Down Syndrome dari Ibu Usia Tua dengan Ibu Usia Muda di Surakarta” ini dilakukan sejak bulan September sampai Oktober 2010 di SLB C Surakarta dan di lingkungan rumah responden. Sampel sejumlah 60 terdiri dari 20 sampel ibu dengan anak Down Syndrome sebagai kelompok kasus dan 40 sampel ibu dengan anak normal sebagai kelompok kontrol. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbandingan kejadian anak Down Syndrome dari ibu usia tua dengan ibu usia muda. Berdasarkan karakteristik sampel penelitian menurut usia ibu (Tabel 2), dapat dilihat bahwa rata-rata usia ibu dalam penelitian ini adalah 31.7 tahun. Hal ini sesuai dengan distribusi pada populasi di Indonesia bahwa persentase terbesar 47 to user commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(25.73%) penduduk wanita berada pada kelompok umur 30-39 tahun (BPS, 2006) (lihat Lampiran 9). Karakteristik sampel penelitian berdasarkan pendapatan keluarga (Tabel 2) didapatkan rata-rata pendapatan keluarga dalam penelitian ini adalah 1.6 juta. Menurut data Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 2007, maka rata-rata pendapatan keluarga dalam penelitian ini berada di atas garis kemiskinan (LPEM FE UI, 2007). Distribusi ini pun sesuai dengan gambaran populasi Indonesia bahwa sebanyak 83.4% penduduk Indonesia tidak berada di bawah garis kemiskinan/tergolong masyarakat menengah ke atas (Wibowo, 2010). Karakteristik sampel penelitian menurut tingkat pendidikan ibu (Tabel 3) didapatkan bahwa paling banyak adalah SD dan SMA dengan persentase masingmasing 30%. Hasil ini sedikit berbeda dengan gambaran populasi Indonesia bahwa sebagian besar penduduk wanita berada pada tingkat pendidikan SD yaitu 39.92%, sedangkan penduduk dengan tingkat pendidikan SMA hanya 16.26% (BPS, 2006). Karakteristik sampel penelitian berdasarkan lingkungan (Tabel 4) didapatkan bahwa sebagian besar sampel penelitian tinggal di lingkungan kumuh sejumlah 44 orang (73.3%). Hasil ini berbeda dengan gambaran populasi di Indonesia. Data yang diperoleh tahun 2005 menunjukkan bahwa berdasar kepemilikan permukiman tercatat persentase total penghuni permukiman kumuh hanya 15% (Center for Housing and Settlement Studies, 2010). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sebagian besar karakteristik sampel pada penelitian ini hampir mendekati gambaran populasi di Indonesia. Hal ini berarti bahwa hasil pada penelitian ini bisa digunakan pada populasi di Indonesia. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa kejadian anak Down Syndrome dari ibu usia tua lebih banyak dibanding dengan ibu usia muda. Berdasarkan distribusi sampel penelitian berdasarkan usia (Lampiran 12) terlihat bahwa kelompok usia yang paling banyak melahirkan anak Down Syndrome adalah usia ≥35 tahun, berjumlah 14 orang (66.7%) dibandingkan dengan usia <35 tahun yang berjumlah 6 orang (15.4%). Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di beberapa negara bahwa peningkatan kejadian Down Syndrome sebanding dengan peningkatan usia ibu (Beiguelman, 1996; Kothare, 2002; Crane, 2006; Girirajan, 2009). Hasil uji t test beda mean usia ibu menunjukkan perbedaan mencolok antara kelompok kasus (Down Syndrome) dan kelompok kontrol. Tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata usia ibu yang melahirkan anak Down Syndrome yaitu 37.8 tahun, lebih tua bila dibandingkan dengan rata-rata usia ibu yang melahirkan anak normal yaitu 28.6 tahun. Nilai signifikansi dari hasil uji t adalah p = < 0.001. Hal ini berarti perbedaan rerata kedua kelompok bermakna. Hasil ini menunjukkan bahwa ibu usia tua (≥35 tahun) terbukti lebih berisiko untuk melahirkan anak Down Syndrome dibandingkan dengan ibu usia muda (<35 tahun). Simpulan tersebut diperkuat dengan hasil analisis bivariat tentang kejadian anak Down Syndrome antara ibu usia <35 tahun dengan usia ≥35 tahun (Lampiran 12).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Analisis bivariat (Lampiran 12) memperlihatkan bahwa 14 dari 21 sampel pada kelompok ibu usia ≥35 tahun melahirkan anak Down Syndrome, sedangkan 6 dari 39 sampel pada kelompok ibu usia <35 tahun melahirkan anak Down Syndrome. Perbedaan proporsi kasar tersebut menunjukkan bahwa kelompok ibu usia ≥35 tahun lebih banyak melahirkan anak Down Syndrome daripada kelompok ibu usia <35 tahun. Perbedaan ini secara statistik signifikan/bermakna dengan nilai p = <0.001. Selanjutnya, pada penelitian ini dilakukan analisis regresi logistik untuk mengontrol variabel-varibel perancu, sehingga mencegah terjadinya bias. Adapun variabel perancu yang mempengaruhi kejadian anak Down Syndrome dalam penelitian ini yaitu tingkat pendidikan ibu, tingkat pendapatan keluarga, dan lingkungan. Pada kelompok kasus (Down Syndrome) tingkat pendidikan paling banyak adalah pendidikan rendah (tidak sekolah, SD, SMP) berjumlah 13 orang (43.3%) dibandingkan dengan pendidikan tinggi (SMA, D3/PT) yang berjumlah 7 orang (23.3%). Sedangkan pada kelompok kontrol paling banyak pada kategori pendidikan tinggi berjumlah 23 orang (76.7%) dibandingkan pendidikan rendah yang berjumlah 17 orang (56.7%). Dengan membandingkan distribusi berdasarkan tingkat pendidikan antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol (Lampiran 13), terlihat bahwa tingkat pendidikan ibu yang rendah seolah ikut mempengaruhi kejadian Down Syndrome. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan ibu mempengaruhi kesadaran dan pengetahuan ibu selama kehamilan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Rendahnya tingkat pendidikan mencerminkan minimnya pengetahuan ibu tentang
risiko-risiko
kehamilan,
pemeliharaan
kehamilan
(pemeriksaan
kehamilan), pengetahuan tentang gizi dalam kehamilan, dan sebagainya (Adiwiharyanto, 2008), yang dalam hal ini turut memberi pengaruh terhadap kejadian anak Down Syndrome. Namun pengaruh tingkat pendidikan ini secara statistik tidak dapat dibuktikan (p > 0.05) Hasil ini menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara tingkat pendidikan dengan kejadian anak Down Syndrome. Selain pengetahuan atau pendidikan, faktor lain seperti tingkat pendapatan ikut memberi pengaruh terhadap tingkat kesehatan ibu. Keterbatasan ekonomi dapat mendorong ibu hamil tidak melakukan pemeriksaan rutin karena tidak mampu untuk membayarnya (Adiwiharyanto, 2008), juga mempengaruhi pemenuhan nutrisi/gizi yang kurang memadai selama kehamilan. Status gizi ibu akan sangat menentukan kesehatan bayi yang dilahirkan, karena segala keperluan perkembangan dan pertumbuhan janin hanya dapat diperoleh dari ibu (Slamet, 1996). Tingkat pendapatan keluarga dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua berdasarkan nilai median pendapatan dari seluruh sampel, yaitu tingkat pendapatan tinggi (≥ nilai median) dan tingkat pendapatan rendah (< nilai median). Nilai median pendapatan dari seluruh sampel adalah Rp 800.000 (Lampiran 18). Distribusi sampel berdasarkan tingkat pendapatan keluarga (Lampiran 15) memperlihatkan bahwa kelompok kasus paling banyak terdistribusi dalam tingkat pendapatan rendah sebanyak 12 orang (38.7%), sebaliknya kelompok kontrol commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
paling banyak terdistribusi dalam tingkat pendapatan tinggi sebanyak 21 orang (72.4%). Berdasarkan distribusi tersebut, bisa terlihat bahwa tingkat pendapatan keluarga yang rendah seolah ikut memberi pengaruh dalam kelahiran anak Down Syndrome. Namun, pengaruh ini secara statistik tidak dapat dibuktikan (p > 0.05). Hasil ini menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara tingkat pendapatan dengan kejadian anak Down Syndrome. Lingkungan hidup yang sehat sangat penting untuk mendukung pemeliharaan bayi dalam kandungan. Status kesehatan lingkungan sangat menentukan kesehatan bayi, terutama karena bayi melewatkan sebagian besar waktunya di dalam lingkungan tersebut. Penyakit yang diderita bayi biasanya bersumber dari lingkungan sekitarnya (Slamet, 1996). Keberadaan zat kimia maupun fisis di dalam lingkungan memberikan pengaruh/efek terhadap kehidupan janin, terutama efek mutagenik, teratogenik, dan karsinogenik (Slamet, 1996). Adapun faktor predisposisi yang dilaporkan mempengaruhi kelahiran anak Down Syndrome seperti radiasi dan limbah (pencemaran Fluor tinggi) berasal dari faktor lingkungan (Mochtar, 1998; Slamet, 1996). Atas dasar inilah maka dalam penelitian ini, peneliti juga menilai pengaruh faktor lingkungan terhadap kejadian anak Down Syndrome. Distribusi sampel berdasarkan lingkungan memperlihatkan bahwa kedua kelompok (kontrol dan kasus) banyak terdistribusi pada lingkungan kumuh, masing-masing berjumlah 28 orang (63.6%) dan 16 orang (36.4%). Hal ini dikarenakan pengambilan sampel kelompok kontrol didasarkan pada lingkungan di mana kelompok kasus bertempat tinggal. Kejadian anak Down Syndrome di commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lingkungan kumuh menduduki persentase terbesar yaitu 36.4%, dibandingkan dengan di lingkungan sehat yaitu 25% (Lampiran 14). Berdasarkan perbandingan distribusi tersebut, bisa terlihat bahwa lingkungan kumuh seolah ikut memberi pengaruh dalam kelahiran anak Down Syndrome. Namun, pengaruh ini secara statistik tidak dapat dibuktikan (p > 0.05). Hasil ini menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara lingkungan kumuh dengan kejadian anak Down Syndrome. Investigasi lebih lanjut mengenai pendidikan ibu, pendapatan keluarga dan lingkungan telah dilakukan dan dianalisis bersama variabel usia ibu. Hal inilah yang menjadi kelebihan dalam penelitian ini yakni penggunaan analisis regresi logistik ganda sebagai teknik analisis data untuk mengontrol variabel perancu secara statistik. Model analisis regresi logistik dapat mencegah terjadinya bias dalam penelitian. Setelah dilakukan analisis regresi logistik (Tabel 6), pada penelitian ini tidak didapatkan bias, karena perbedaan OR< 10% yakni 9%. Jadi digunakan taksiran OR dari crude analysis. Tabel 6 memperlihatkan bahwa ibu usia ≥35 tahun memiliki risiko untuk melahirkan anak Down Syndrome sebelas kali lebih besar daripada ibu usia < 35 tahun (OR=11.0; CI95% 3.1 s.d. 38.7). Hubungan tersebut secara statistik signifikan dan menunjukkan hubungan yang sangat kuat serta telah mengontrol faktor perancu pendidikan ibu, pendapatan keluarga, dan lingkungan. Hasil analisis dalam penelitian ini menunjukkan keterkaitan yang jelas dan terbukti secara statistik bahwa usia ibu yang tua (≥35 tahun) merupakan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
faktor risiko untuk melahirkan anak Down Syndrome. Data laporan penelitian ini menunjukkan hasil yang sesuai dan konsisten dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan di beberapa negara. Pengaruh usia ibu dengan kejadian anak Down Syndrome dapat dijelaskan dalam uraian berikut. Pada wanita usia tua produksi dan fungsi ovum mengalami penurunan tidak seperti pada usia muda. Hal tersebut ikut memberi pengaruh untuk terjadinya nondisjungsi pada kromosom 21 (Kothare et al., 2002). Peningkatan biological ageing pada ovarium yang terkait dengan peningkatan usia ibu merupakan faktor utama terjadinya kondisi aneuploidi pada wanita (Coad dan Melvyn, 2007). Penuaan ovarium yang terjadi pada usia tua tersebut berhubungan dengan keterbatasan kemampuan produksi dan penurunan fungsi oosit untuk fertilisasi (Girirajan, 2009). Penurunan fungsi oosit ini juga berkaitan dengan berapa lamanya siklus meiosis terhenti yang dialami oleh oosit tersebut, yang akhirnya mempengaruhi kualitas dari ovum. Seperti yang telah diketahui bahwa seorang perempuan lahir dengan semua oosit yang pernah dibentuknya. Semua oosit tersebut berada dalam keadaan istirahat pada profase I dari meiosis sejak sebelum seorang perempuan lahir sampai mengadakan ovulasi. Dengan demikian maka suatu oosit dapat tinggal dalam keadaan istirahat untuk 12-45 tahun. Selama waktu yang panjang itu, oosit dapat mengalami nondisjungsi (Suryo, 2003). Pada ibu usia tua, ovum yang dikeluarkan pada saat ovulasi merupakan hasil dari oosit yang cenderung telah berada dalam siklus meiosis yang terhenti cukup lama (Girirajan, 2009). Fase meiosis yang terhenti lama pada ovum commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memudahkan terjadinya akumulasi berbagai efek toksik sebagai dampak dari lingkungan, juga terjadi degradasi dari mesin meiosis yang menyebabkan kesalahan meiosis I dan meiosis II (Girirajan, 2009). Pengamatan pada pembuahan in vitro membuktikan bahwa gelendong meiosis manusia bersifat tidak stabil dan juga sangat peka terhadap pengaruh eksternal. Struktur meiosis yang disebut spindles menjadi semakin rapuh seiring dengan meningkatnya usia ibu yang bersangkutan (Coad dan Melvyn, 2007). Usia ibu yang tua meningkatkan risiko terjadinya nondisjungsi pada ovum (Erickson, 1978; Kothare et al, 2002). Henderson dan Edwards (1968) menyatakan bahwa pada usia tua terjadi penuaan ovarium secara intrinsik yang merupakan faktor predisposisi nondisjungsi. Faradz (2004) juga mengungkapkan hal yang sama mengenai penuaan sel telur wanita, bahwa ada pengaruh intrinsik maupun ekstrinsik (lingkungan) dalam sel induk, yang menyebabkan pembelahan selama fase meiosis menjadi non disjunction disebabkan oleh faktor-faktor: terputusnya benang-benang spindel atau komponen-komponennya, atau kegagalan dalam pemisahan nukleolus. Ovarium yang tidak berfungsi optimal akibat penuaan menyebabkan ketidakseimbangan hormon (Girirajan, 2009). Adanya perubahan hormonal (Penrose, 1954) dan metabolik pada usia tua, seperti penyakit tiroid (Fialkow et al., 1965), juga mempengaruhi kejadian aneuploidi (Kothare et al., 2002). Perubahan hormonal yang terjadi pada ibu usia tua secara umum diperkirakan dapat menyebabkan nondisjungsi pada kromosom. Perubahan endokrin, seperti meningkatnya
sekresi
androgen, menurunnya commit to user
kadar
hidroepiandosteron,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menurunnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan peningkatan secara tajam kadar Luteinizing Hormon (LH) dan Follicular Stimulating Hormon (FSH) secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause,
dapat
meningkatkan
kemungkinan
(Soetjiningsih, 1995; Sutejo, 1981).
commit to user
terjadinya
nondisjungsi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Berdasarkan penelitian yang berjudul “Perbandingan Kejadian Anak Down Syndrome dari Ibu Usia Tua dengan Ibu Usia Muda di Surakarta” dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Rerata (mean) usia ibu yang melahirkan anak Down Syndrome lebih tinggi daripada yang melahirkan anak normal. Rerata usia ibu dengan anak Down Syndrome adalah 37.8 tahun, sedangkan ibu dengan anak normal adalah 28.6 tahun. 2. Kejadian anak Down Syndrome dari ibu usia tua (≥35 tahun) lebih banyak dibanding dengan ibu usia muda (<35 tahun). Ibu usia ≥35 tahun memiliki risiko untuk melahirkan anak dengan Down Syndrome sebelas kali lebih besar daripada usia <35 tahun, dan hubungan itu secara statistik signifikan (OR=11.0; CI95% 3.1 hingga 38.7). Simpulan ini telah memperhitungkan pengaruh faktor perancu pendidikan ibu, pendapatan keluarga, dan lingkungan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Saran Saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Edukasi terhadap wanita untuk menghindari kemungkinan hamil pada usia ≥ 35 tahun, sehingga kejadian Down Syndrome dalam kaitan usia ibu dapat diturunkan. 2. Edukasi terhadap ibu yang hamil pada usia ≥ 35 tahun tentang pentingnya pemeriksaan antenatal sebagai diagnosis pranatal.
commit to user