PERBANDINGAN HUKUM TENTANG GANTI RUGI MASYARAKAT ADAT DI AUSTRALIA DAN DI INDONESIA Sulistyo Pribadi, SH, MH Doscn Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta Abstract Compensation for a person who has land which was taken by government project between Australian traditional society (aborigin people) and Indonesian traditional society are different in many ways. The first, aborigin people will get compensaton as much as regulated by Native Right Act. Indonesian will get compensation as much as government decided, because Indonesian agrarian law (Undang-undang Pokok Agraria) has not clear regulated about this. The second, through the social function of land paradigm, people as member of society have to support government program which belong to public interests. That’s why, the compensation value of land was decided by own government policy. The logical consequence of this situation, quality life of the people to has land becoming lower than before. Key words : Compensation, Indonesian Law, Australian Law, quality life. A. PENDAHULUAN Menurut Brian Keon-Kohen bahwa prinsip-prisip apakah para pemilik tradisional seharusnya diberi ganti rugi untuk hilangnya atau terganggunya hak dan kepentingan pribumi karena tindakan-tindakan Kerajaan atau pihak-pihak ketiga, tetap tinggal tak ada pemecahannya. Mengganti rugi pemegang hak pribumi atas hilang dan terganggunya hak-hak dan kepentingan pribumi mereka tetap tinggal problematis. Para penaksir harga tanah telah mengemukakan, secara luas, dua isu yang dipacu oleh fenomin hak pribumi ketika menilai harga tanah (Bryan Horrigan, 1997: 375). Pertama, apakah itu nilai tanah dan penggunaan alternatif tanah, di mana hak pribumi berlaku terus atau berada bersama dengan hak-hak lain ? Kedua, apakah itu harga untuk terganggu atau hilangnya hak pribumi demi kepentingan ganti rugi ? Hanya pertanyaan kedua akan dibahas di sini. Di sini saya akan memfokus cara-cara pokok di mana UU Hak Pribumi (UUHP) 1993 memicu klaim hak-hak ganti rugi; ciri-ciri penting skema peraturan itu, khususnya persyaratan ‘istilah adil’ untuk pelanggaran hak; hak-hak ganti rugi akibat penyerahan wajib merujuk legislasi Victoria; dan bagaimana hilangnya hak-hak itu mungkin dinilai dalam pemberian ganti rugi, dengan referensi pengalaman USA. Perhatian pokok saya di sini adalah mengenai persoalan yang sampai kini belum terjawab : bagaimana ciri-ciri unik hak pribumi yang dikenal secara baik - khususnya aspek budaya dan spiritual - untuk dikuantifikasi demi tujuan mengganti rugi para pemilik tradisional atas hilangnya aspek-aspek itu ? Orang hendaknya mulai dengan menyebut dua hal. Pertama, common law dan legislasi yang relevan di Australia - khususnya UUHP - yang secara berarti membatasi kemungkinan pemilik hak tradisional mendapatkan ganti rugi atas hilang atau terganggunya hak dan kepentingan pribumi mereka yang terjadi sejak 1788, dan pada waktu mendatang. Seperti menurut common law, Pengadilan Tinggi telah berulang-ulang memandang bahwa atas dasar kedaulatannya pemerintah mungkin dianggap syah menurut hukum bila mengambil atau mengganggu hak pribumi tanpa ganti rugi, oleh tindakan legislatif atau eksekutif yang nyata
tidak konsisten dengan pelestarian hak-hak pribumi (Lihat Mabo v. Queesland, 1992, 175 CLR 1, 15, 63; Newcrest Mining (WA) Ltd v The Commonwealth , 1997, 190 CLR 513, 613; Fejo v. Nothern Territory, 1.998, 195 CLR 96, 130-1) sekurang-kurangnya sampai tiba pemberlakuan UU Diskriminasi Rasial 1975, yang berlaku sejak tanggal 31 Oktober 1975. Seperti menurut UU, penyerahan UUHP dan ketentuan pengambilan hak, dirangkaikan hukum negara dan negara bagian yang bersifat komplementer, secara ringkasnya memperoleh `muatan-muatan pengambilan hak’ yang dijanjikan wakil Perdana Menteri 1998. Hukum-hukum ini menyatakan bahwa tidak tersedia ganti rugi bagi para pemilik tradisional atas hilangnya hak pribumi, sesuai dengan common law, untuk tindakan-tindakan Kerajaan sebelum 1 Oktober 1975. Tetapi bahwa sesudah itu, hak-hak terbatas akan ganti rugi disediakan, asalkan mereka yang mengklaim dapat menunjukkan bukti hak pribumi pertama-tama di tanah yang bersangkutan. Demi mencapai imbalan ganti rugi untuk hilangnya hak pribumi merupakan perjalanan demikian panjang dan melelahkan-membosankan. Barangkali ini satu alasan mengapa, seperti pada 3 Desember 2001 di seluruh Australia terdapat 622 penuntutan `aktif untuk penentuan hak pribumi berdasarkan UUHP, namun hanya 23 (tambahan) klaim `aktif untuk ganti rugi (Lihat 5 (6) Native Title News, Desember, 109). Kedua, seperti pada waktu menulis (Maret 2002) berbagai Hakim Pengadilan Federal, yang menghadapi klaim-klaim kepada mereka, sementara menghitung hak dan kepentingan pribumi khusus mendapatkan kejelasan atau di antara pihak-pihak menyetujui maksud menentukan adanya hak pribumi menyangkut bidang tanah yang diklaim (Lihat UUUHP s 225, Native Title Service, Vol.2,130,000-140,060). Tetapi gambaran yurisprudensi mengenai apakah hak pribumi itu pada dasarnya - menjadi faktor penting, ketika antara lain memecahkan persoalan ganti rugi atas hilang atau terganggunya hak pribumi - seharusnya tidak dimaknakan pemecahan secara otoritatif Pada satu ekstrim ada deklarasi di Mabo oleh Pengadilan Tinggi hak-hak yang sederhananya ganti rugi sama dengan uang bayaran untuk membeli tanah (Lihat 1992, 175 CLR 1, p.217). Pada ekstrim yang lain (tergantung pada kejelasannya), hak dan kepentingan tradisional ditentukan oleh Hakim-hakim yang disebut di atau berada pada klaimklaim khusus mungkin hanya termasuk hak-hak kurang berarti untuk memanfaatkan tanah dan sumber-sumber daya alaminya untuk maksud-maksud tradisional saja misalnya untuk mencari ikan dan untuk mengumpul hasil hutan, atau untuk menjalankan upacara. Atas dasar hukum mungkin hak pribumi terbilang - yaitu bisa diakui oleh hukum Australia sebagai - suatu hak atas tanah itu sendiri, yang sama dengan uang pembayaran untuk membeli tanah, sebagaimana didapatkan ada di Mabo. Suatu hak demikian akan mendatangkan ganti rugi seolah-olah ini secara luas sama dengan hak yang paling ekstensif yang dikenal hukum Australia - sederhanya adalah uang pembayaran untuk membeli tanah. Jika Pengadilan Tinggi (atau parlemen) memutuskan yang lain, dernikian sebagai masalah hukum bahwa hak pribumi tidak mungkin termasuk kepentingan tanah, maka ganti rugi untuk kehilangan bentuk hak yang makin berkurang ini akan dinilai sehubungan hak-hak tradisional khusus untuk menggunakan dan menikmati bidang yang dipersoalkan keberadaannya dan ganti rugi kehilangan atau terganggunya dinilai atas dasar kasus per kasus. B. PEMBAHASAN 1. Suatu Preseden : Geita Sebea Satu preseden Pengadilan Tinggi yang berguna mengenai hukum penyerahan wajib di Wilayah Papua Australia, dimana hak-hak tanah tradisional pribumi menjadi isu perlu dicatat di sini - Geita Sebea - yang diputuskan pada 1943. Dalam 1937 sernentara pribumi Papua yang
diberikan ‘hak komunal menguasai tanah-tanah tertentu, menyewakan tanah ini kepada Kerajaan. Kerajaan membangun lapangan udara di tanah itu pada 1939, dibuatkan undang-undang Peraturan Penyerahan Tanah (Lapangan Terbang Kila Kila) 1939, yang menetapkan penyerahan tanah ini secara wajib. Persoalan muncul seperti mengenai ciri kepentingan pemilik tradisional dan bagaimana kepentingan-kepentingan itu mungkin dihargai bila diserahkan. Proses Pengadilan dimulai di mana para pemilik tradisional menyatakan bahwa harga tanah mereka adalah 4,549 poundsterling, plus 10% dari angka itu untuk pembelian wajib dan 150 poundsterling untuk potongan. Starke J menetapkan bahwa masyarakat yang mengklaim mempertahankan ‘hak menikmatinya dalam... tanah yang diserahkan : itu bersifat komunal atau penguasaan pemanfaatan hasilnya dengan hak abadi memiliki dalam masyarakat’ (Lihat J. Starke pada Geita Sabea v The Territory of Papua, 1943, 67 CLR 544, 551). Akan tetapi, William J berpendapat bahwa ‘para penuntut hak tanah adalah hak pemanfaatan hasilnya secara komunal yang sama’, dengan pemilikan tanah sepenuhnya demikian sehingga mereka diberikan hak ganti rugi sepenuhnya’ (Lihat 557, Williams J, Rich ACJ concurring). Penilaian hak itu dalam pandangan Yang Mulia adalah sukar, karena tanah berada di `negeri yang belum beradab dan penilaian demikian paling baik hanya dapat diperkirakan secara kasar (Lihat Geita Sabea v The Territory of Papua, 1943, CLR 552). Yang Mulia melanjutkan : Itulah tak bermanfaat mempertimbangkan apakah yang akan dihasilkan tanah dengan perkembangan-perkembangan dan struktur-struktur di atasnya dalam pasar terbuka atau pasar apa pun, karena tidak ada pasarnya. Metode buatan harus diajukan, dan yang paling meniuaskan menurut saya adalah mengambil harga pertanian tanah itu seperti yang ditetapkan hakim di pengadilan Papua, plus suatu tambahan yang diukur akan berapakah biaya untuk... mengadakan perkembangan dan struktur di atasnya dan membangun bagian tanah pada harga tanggal itu, tetapi dipertimbangkan keusangan atau turunnya harga (Lihat Geita Sabea v The Territory of Papua, 1943, CLR 552). 2. Hubungan Tradisional dengan Tanah Tumpah Darah Semua catatan berulang-ulang menyebutkan ada unsur rohani khusus dalam hubungan pemilikan tradisional dengan kampung halamannya. Dikenal baik bahwa orang Aborigin mempunyai kelekatan yang besar sekali dengan tanahnya, Mereka merangkum bumi di mana mereka berjalan. Jika menyebut kata ‘tanah’ bagi mereka itu berarti home, hati, sumber dan tempat hidup, dan keabadian roh. Secara umum UUHP menyatakan bahwa pemberian hak mendapatkan ganti rugi adalah ‘suatu pemberian hak dalam istilah adil untuk ganti rugi atas hilangnya, pengurangan, terganggunya atau akibat lain dari tindakan pada hak dan kepentingan para pemegang hak pribumi itu (NTA s 51 (1); dan lihat. ss 17, 18, 20, 51A, 53). Pemberian hak ini secara umum ada dalam beberapa kualifikasi. Pertama (tetapi tunduk pada ‘istilah adil’) seluruh ganti rugi yang patut dibayarkan menurut Bagian 2 Butir 5 (Lihat NTA ss 48-54), setiap tindakan yang menghilangkan semua hak pribumi, tidak dapat melebihi jumlah yang akan patut dibayarkan jika kegiatan yang dikeluhkan digantikan pemberian wajib tanah bebas (NTA ss 51 A, 1). Kedua, jika semua atau setiap hak dan kepentingan pribumi di tanah yang bersangkutan wajib diserahkan, maka ganti rugi dipersyaratkan berdasar `istilah yang adil’, dan mungkin ditentukan dengan memperhatikan tiap kriteria penentuan ganti rugi yang ditetapkan hukum (biasanya dari negara atau negara bagian) di mana penyerahan wajib terjadi (NTA s 51, 2). Ketiga, jika tindakan yang melanggar hak pribumi bukanlah ‘penyerahan wajib’, Yaitu suatu
tindakan masa lampau, tindakan periode perantara, atau tindakan mendatang (Lihat NTA s 240) dan jika `percobaan kepentingan serupa yang patut diganti rugi’ (Lihat NTA s 240 didiskusikan di bawah pada nomer 149) terlaksana memenuhi undangundang, ganti rugi harus ditentukan oleh penerapan prinsip atau kriteria ganti rugi dalam istilah adil yang dikemukakan dalam hukum yang bersangkutan (NTA s 51 (3) dan NTA ss 51 A (2), 53). Akhirnya hendaknya dicatat, bahwa ganti rugi para penuntut tidak dapat ‘diturunkan menjadi setengahnya’: jika ganti rugi apa pun dibayarkan secara lain daripada menurut UUHP untuk tindakan yang secara hakiki sama, maka jumlah itu harus diperhitungkan ketika menentukan tiap ganti rugi untuk diberi imbalan menurut UUHP. Peraturan ini tampak untuk merenungkan bahwa tiap ganti rugi bagi hal-hal budaya atau rohani perlu diupayakan imbalan di atas harga pasar, dalam rangka memenuhi persyaratan istilah adil. 3. Pengertian Adil UUHP mensakralkan `istilah adil’ sebagai kriteria pengaturan yang amat penting untuk ketentuan ganti rugi dari tindakan masa lalu, sekarang dan masa datang oleh Kerajaan yang mungkin menghilangkan atau mengganggu hak pribumi. Sampai sejauh itu, Parlemen menyarankan pada common law, dan demikian perlu mempunyai pengertian persyaratan yang memadai. Guna menarik berlakunya s 51 (xxxi) maka harus ada penyerahan hak milik untuk tujuan dalam hal mana Parlemen Commonwealth memiliki kuasa untuk membuat hukumnya. Peluang bukan menjadi jaminan konstitusi: tidak memberi hak pada individu untuk mengklaim istilah adil. Seksi ini, jika bertentangan, lebih tidak membenarkan hukum yang memungkinkan penerimaan hak milik oleh Commonwealth pada yang lain daripada istilah adil. Untuk tujuan sekarang isu penting bukan apakah hak milik telah diserahkan, tetapi apakah pedoman, jikalau ada, keperluan lebih penting akan arti adil memungkinkan kuantifikasi ganti rugi atas hilang atau terganggunya hak dan kepentingan pribumi. Kirby J, ketika mendiskusikan arti kata ini baru-baru ini menulis: Di mana Konstitusi mendua arti, hendaknya pengadilan mengangkat arti itu yang menyesuaikan diri dengan prinsip-prinsip hak mendasar daripada justru menginterpretasi yang akar, menjauh dari hak demikian (Lihat Newcrest Mining (WA) Ltd v Commonwealth (1997) 147 ALR 42, 147) dan berlanjut mendiskusikan norma-norma internasional sebagai sumber pedoman, khususnya Deklarasi Sejagad Hak-hak Asasi Manusia (Lihat Universal Declaration of Human Rights, fs 17: ibid 147-50). Lagi ‘istilah adil’ telah dipikirkan untuk mengacu pada ‘apa yang fair dan adil di antara masyarakat dan pemilik hak yang diambil alih’ (J. Dixon pada Nelungaloo Pty Ltd v Commonwealth (1947) 75 CLR 495, 569) dan bahwa Proses mengevaluasi makna penyerahan hak memerlukan penarikan keseimbangan antara kepentingan individu yang hak miliknya diambil dan kepentingan masyarakat misalnya dalam menjamin siapnya pemasokan sumber daya dasar (Halsbury’s Laws of Australia Vol 5, 90, 1720). Dalam konteks hak pribumi, ‘hukum’ yang dipersoalkan mungkin berupa campuran hukum-hukum Commonwealth yang adalah UUHP dan hukum penyerahan tanah; atau lebih sering UUHP dan hukum Negara dan Negara bagian yang ada hubungannya, demikian seperti penyerahan tanah wajib atau hukum-hukum lain. Dalam kasus tertentu, tepatnya apa itu ‘fair dan adil’ seperti antara kelompok yang menuntut di satu pihak yang menderita dampak akhir kolonialisme (misalnya penyerahan wajib), dan di lain pihak pemerintah yang bertanggung jawab dalam konteks 200 tahun lebih kolonialisme yang menyengsarakan merupakan persoalan yang menarik. Orang mungkin juga, mengantisipasi bahwa jika perdebatan diperluas dalam cara ini, dan mengingat alasan meneruskan antipati seluruh pemerintahan kepada kebanyakan hal yang
berhubungan dengan hak pribumi, (khususnya dampak keuangannya), lalu pemerintah mungkin berusaha memperhitungkan, dengan cara ‘memberitahukan’, biaya-biaya berbagai pelayanan pemerintah yang diherikan kepada masyarakat yang susah selama bertahun-tahun. Tepatnya periode masa ketakadilan ini berlangsung di AS sejak 1850an dalam Komisi Klaim-klaim orang Indian, yang didiskusikan di bawah. Sebagaimana kebutuhan keadilan alamiah di daerah ini, pemecahan legislatif yang khusus mungkin bersifat ‘adil’ dan secara konstitusional bukannya tidak akan syah bahkan jika istilah-istilah lain telah akan menjadi lebih ‘fair atau memadai’ (J. Deane, Kasus Bendungan-bendungan (1983) 158 CLR 1, 289). Akan tetapi untuk menjadi ‘adil’, skema perundangundangan harus sesuai dengan hak ‘langsung’ menuju ganti rugi - atau sekurang-kurangnya tidak melibatkan skema yang demikian berkepanjangan dan tertunda-tunda pada proses birokrasi yang membuat keputusan, seperti mengenai jumlahnya, yang berakibat suatu penolakan keadilan alami (Lihat Nelungaloo Pty Ltd v The Commonwealth (1948) 75 CLR 495, 569; Butterworths, Halsbury’s Law of Australia, Vol 22 Real Property). Suatu sistem, di mana ia yang mengklaim dipaksa menunggu selama bertahun-tahun, bukanlah pemberian hak untuk ganti rugi ‘langsung’ dan mungkin diatur menjadi tidak fair dan ‘tidak adil’. Dalam Kasus Bendungan-bendungan, dalam mengamati prosedur prosedur birokratis pembuatan-keputusan yang ditetapkan dalam hukum Tasmania yang bersangkutan Deane J menyatakan: Ketentuan-ketentuan yang tidak mempertimbangkan hak langsung mana pun untuk dibayarkannya ganti rugi atas pengambilan hak milik. Semua yang mereka pikirkan adalah hak untuk menyiapkan prosedur. Jika Menteri membela bahwa telah ada pengambilalihan, Commonwealth tidak berkewajiban membayar, jika tidak ada dan sampai pihak yang mengklaim sudah bertindak sampai di Pengadilan Tinggi dan mendapatkan maklumat bahwa benar berlangsung pengambilalihan. Tak terelakkan sampai dijatuhkannya maklumat mengalami perjalanan waktu.... Memang tak ada sesuatu pun yang tidak fair dalam Parlemen menciptakan prosedur untuk menentukan jumlah ganti rugi di luar proses pengadilan yang biasa. Akan tetapi, ada sesuatu yang secara intrinsik tidak fair dalam suatu prosedur yang akibatnya menjamin bahwa jika pengklaim tidak sepakat menerima apa yang ditawarkan Commonwealth, ia akan dipaksa menunggu bertahun-tahun sebelum dibolehkan bahkan maju ke pengadilan, tribun atau badan lain bisa secara berwewenang menentukan jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan Commonwealth. Dalam kasus ini ketidakfairan intrinsik dibuat meningkat lagi karena tidak dibuatnya ketentuan dalam pembayaran bunga selama masa antara waktu penyerahan hak dan waktu pemilik yang haknya diambil akhirnya dapat menyelesaikan klaim ganti rugi secara efektif (J. Deane, Kasus Bendungan-bendungan (1983) 158 CLR 1, 290). Apakah ‘istilah adil’ membutuhkan komponen bunga, tampaknya bukan hanya menantang masalah hukum melainkan juga pelaksanaan praktisnya. Sebagaimana Deane J menunjukkan di atas dalam keadaan penundaan, jikalau hukum yang bersangkutan tidak menetapkan pemberian hak bunga, maka pengambil-alihan mungkin tidak ‘adil’ di bawah s 51, xxxi (Lihat Bank of New South Wales v The Commonwealth (1948) 76 CLR 1, 301 (Kasus Nasionalisasi Bank). Dalam Kasus Bendungan-bendungan Deane J menyimpulkan sehubungan dengan skema undang-undang ganti rugi di depan pengadilan dalam kasus ini : Sistem menetapkan... demi menegaskan apakah ganti rugi harus dibayar dan jika ya, jumlah yang hendaknya dibayar adalah sangat tidak dapat diterima dan tidak fair menurut standar biasa urusan ‘fair antara bangsa Australia dan Negara Australia sehubungan dengan pengambilalihan hak milik untuk suatu maksud dalam kompetensi Legislatif nasional’ (Lihat
Kasus Bendungan.-bendungan (1983) 158 CLR 1, 289, yang mencatat Nelungaloo Pty Ltd v The Commonwealth (1952) 85 CLR 545, 600).
4. Pilihan Untuk Ganti Rugi Berdasarkan UUHP a. Aturan ganti rugi secara umum Isu dapat timbul dalam berbagai cara. Bicara secara luas UUHP mengontrol kegiatankegiatan di tanah yang tunduk pada hak pribumi atau klaim-klaim hak pribumi dengan memasukkan aturan-aturan yang mengontrol kegiatan-kegiatan masa lalu dan mendatang dan yang mengamanatkan dampak hukum atas kegiatan-kegiatan itu. Misalnya apakah campur tangan Kerajaan di zaman kolonial atas kepentingan menyangkut tanah : menghilangkan, mengganggu, atau meninggalkan tak terusik tiap hak pribumi yang pada waktu itu ada di tanah itu. Dan jikalau dampak ada, apakah itu dan hak apa untuk diganti rugi, seandainya ada, mengalir dari sana dan terhadap siapa. Peraturan yang kompleks ini tidak dibahas di sini, kecuali mengatakan bahwa UUHP menetapkan antara lain : • Ketentuan ganti rugi untuk berbagai jenis tindakan yang secara luas adalah ‘tindakan niasa lampau’, ‘tindakan masa antara’, ‘tindakan pemilikan eksklusif sebelumnya’, ‘tindakan pemilikan noneksklusif sebelumnya’ dan tindakan mendatang’ ; • Pengesahan berbagai tindakan historis ini ada pada Commonwealth, Negara • Tindakan-tindakan mendatang terjadi melalui kesepakatan dengan pemegang hak pribumi atau secara tindakan syah yang wajib atau tindakan melalui pengadilan. Apabila suatu tindakan dalam salah satu kategori ini menyebabkan pemberian hak ganti rugi, maka ganti rugi demikian harus dibayarkan sesuai Pilahan 5 dari UUHP 48. UUHP menetapkan agar penerapan ketentuan ganti rugi mungkin dibuat oleh Pengadilan Federal atas pengajuan orang-orang yang mengklaim merupakan pemilik hak tradisional, atau diajukan korporasi demi kepentingan mereka, yang diketahui terdaftar sebagai badan korporasi hak pribumi (UUHP s 61, ayat 1). b. Ganti Rugi untuk Tindakan Mendatang UUHP berisikan peraturan kompleks ‘tindakan mendatang’, mencakup ketetapan ‘hak berunding’ untuk beberapa ‘tindakan mendatang’ yang diusulkan yang mengenai tanah subyek hak’ pribumi atau hak pribumi yang diklaim. Peraturan ini sekali sudah memuaskan menjamin bahwa tindakan mendatang sekali dilakukan bersifat syah, tetapi tidak menetapkan hak perundangan atas ganti rugi : para pihak dimungkinkan berunding untuk dapat mempengaruhi demikian seperti pihak lain mungkin mengikuti kepentingannya. Pembuat saran yang ingin mengambil manfaat dari tindakan mendatang (misalnya perusahaan tambang yang mencari hak penambangan) dan para pemegang hak pribumi mungkin merundingkan istilah dan keadaan menyangkut pelaksanaan tindakan mendatang, mencakup pemberian ‘ganti rugi’. Munculnya perhatian yang memicu proses penyerahan wajib merupakan satu kategori kegiatan yang dipandang ‘tindakan mendatang’ di mana hak-hak ganti rugi tersedia bagi pemegang hak pribumi yang terkena.
C. GANTI RUGI DI INDONESIA 1. Hukum dan Kebijakan Pertanahan Nasional di Indonesia Hukum Nasional yang didasarkan pada hukum kolonial Belanda adalah hukum pokok tanah yang harus ditegakkan. Akan tetapi, ini dilengkapi - dan seringkali bertentangan - dengan sistem hukum informal, khususnya hukum adat. 2. Hukum Pokok Agraria UU Pokok Agraria 1960 (UUPA) dimaksudkan untuk menyatukan seluruh hukum tanah Indonesia menjadi suatu sistem tunggal (Timothy Lindsey, 1998. 700). Sejak itu ini dilengkapi dengan UU Pokok Kehutanan (1967 dan 1999) dan UU Tata Ruang (1992). UUPA mengambil dari hukum sipil Barat dan adat. Empat hak dasar tanah diakui dalam UUP A: a. Hak kepemilikan yang bebas dan jelas b. Hak mengusahakan tanah milik negara untuk jangka sampai 35 tahun dan dapat diperpanjang selama 25 tahun lagi c. Hak guna bangunan d. Hak pakai hasil-hasil tanah negara atau perorangan, untuk jangka waktu khusus atau selama tanah digunakan untuk tujuan khusus. Di samping itu, UUPA mengakui beberapa hak tradisional, meliputi hak untuk membuka tanah, menangkap dan membudidayakan ikan, mengambil air, dan memungut hasil-hasil hutan. Sementara ketetapan ini timbul untuk melindungi sejumlah hak-hak adat dasar, namun hukum Indonesia tidak mengupayakan mekanisme untuk pengakuan dan pendaftaran hak-hak tertentu ini, maka hak-hak ini tidak dapat ditegakkan secara efektif. Dalam beberapa corak sebenarnya UUPA juga menyerupai Agrarische Wet 1970. Seperti pendahulunya, UUPA menekankan pendaftaran hak tanah. Sebaliknya, hukum adat kebiasaan senantiasa didasarkan atas pengetahuan kepernilikan dan hak guna setempat, tanpa kebutuhan adanya surat hak. Konflik-konflik menyangkut hak diselesaikan lebih dengan proses demokratis dalam Masyarakat adat daripada mengikuti penelusuran suratnya (Timothy Lindsey, 1998: 706). Oleh karena itu, hak-hak penduduk pribumi yang berasal dan diakui dari tradisi lisan terus-menerus mundur berhadapan klaim-klaim kelompok-kelompok lain atau industri-industri yang didukung UUPA. Pasal 5 UUPA secara jelas mengakui syahnya berlaku adat, tetapi menetapkan agar adat harus dibuat menyesuaikan kepentingan dan kebutuhan bangsa dan rakyat Indonesia sebagai keseluruhan. UUPA memperbolehkan adat tetap berlaku hanya jikalau empat syarat terpenuhi : a. Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional negara b. Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan Sosialisme Indonesia c. Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan UUPA dan perundangan lainnya d. Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan hukum agama. Tak satu pun dari konsep yang tersurat dalam pasal-”kepentingan nasional,” “Sosialisme Indonesia,” atau “hukum agama”-pernah didefinisikan atau dibatasi dalam UUPA atau di tempat lain, yang membuat garis pedoman pada hakikatnya menjadi tak berarti (T Mulya Lubis, ?: 13). Masyarakat adat juga mempunyai beban terus-menerus harus membuktikan; yaitu mereka harus menunjukkan bahwa hak adat mereka masih ada dan tidak lenyap. Karena hak-hak adat selalu didasarkan pada tradisi lisan daripada bukti tertulis, hampir tak mungkin bagi banyak penduduk pribumi memberikan bukti-bukti demikian.
Sebagai akibatnya, UUPA memuat lip service (mengibuli) kepada hukum adat sambil menjamin bahwa ia dapat digantikan semau-maunya oleh kepentingan pemerintah yang paling ringan pun. Sementara hak-hak dan hukum pribumi diperlemahkan, pemerintah nasional memperoleh kemampuan yang terus-menerus makin besar untuk merampasi penduduk pribumi dari tanah-tanah mereka. Hebatnya, pemerintah Indonesia menggunakan kata-kata lebih “pelepasan hak,” daripada “pengambilalihan hak tanah” atau “aneksasi” untuk menyebut pengambilan tanah kesukuan berarti (T Mulya Lubis, ?: 17). Dalam arti ini, penguasaan penduduk pribumi atas tanahnya di bawah pemerintah Indonesia sekurang-kurangnya selemah seperti di bawah penjajahan Eropa, jika tidak maka lebih. Hukum dan kebijakan tanah pemerintah Indonesia mendorong terjadinya penggusuran dan penderitaan penduduk-penduduk pribumi di kepulauan. UUP Agraria, UUP Kehutanan, dan UU Tata Ruang semuanya memperbolehkan pengambilalihan tanah-tanah orang pribumi yang dahulunya dikelola di bawah sistem hukum adat. Apalagi, kebijakan pemerintah pusat tentang transmigrasi - pemindahan penduduk dari pulau-pulau padat penduduk Jawa, Bali dan Madura ke pulau-pulau lainnya hanya menambah tertekannya ekonomi dan budaya penduduk pribumi di pulau-pulau lain itu. Keputusasaan dan kemarahan yang diakibatkan marginalisasi masyarakat adat mengobarkan dan mengeraskan pertentangan antar suku, di mana suku-suku seperti Dayak Kalimantan menuntut pengusiran para transmigran dan kepentingan perkayuan dan pertambangan diperuntukkan haknya bagi tanah-tanah tradisional Dayak (Stefanus Laksanto Utomo, 2007: 33). Ribuan orang telah terbunuh dan tergusur sebagai akibat pertentangan keras ini. Pemerintah Indonesia perlu membaharui hukum pertanahannya dan menghormati prinsip-prinsip adat dalam penggunaan tanah, sebelum tindak kekerasan yang lebih jauh meledak. Pertaruhan terakhir kerusuhan berdarah merupakan arah dapat bertahannya kehidupan penduduk pribumi (Kallie Szczepanski, adalah editor pada Pacific Rim Law & Policy Journal University of Washington). 3. Kasus Ganti rugi dan Tinjauan yuridis Mengutip www.hukumonline.com, 31/07/2007, permasalahan ganti rugi di Indonesia acap kali menjadi permasalahan yang berlarut-larut (lihat kasus Kedung Gombo, Pembebasan Taman Mini, Penebangan Hutan, dll). Pemerintah dan investor dengan tidak menghormati kebijakan lokal dan mengesampingkan hajat hidup serta tidak tanggap atas sikap penolakan masyarakat adat setempat, berarti mereka telah jelas-jelas melanggar konvensi ILO 169 tahun 1989, pasal 18 B ayat 2, pasal 28 I ayat 3 dan pasal 33 UUD 1945, UUPA No.5/1960, UU No. 11/2005 dan UU No. 12/2005. Demikian seperti diuraikan oleh Sulistiono dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam siaran pers nya. Di sisi lain dalam Permen Kehutanan No. P.I4/MENHUT-II/2006, tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, mengenal perijinan pinjam pakai kawasan hutan yang dilaksanakan atas dasar persetujuan menteri (dalam pasal 2). Namun pemakaian kawasan hutan ini dibatasi dengan ketentuan pasal 3, dan pasal 5 terutama ayat 2 huruf c dan ayat 5 huruf b, yang memuat hal penambangan. Penambangan itu pun, hanya diperbolehkan dengan pertambangan tertutup, maka penambangan terbuka dilarang. Dalam penambangan marmer ini, jelas sifatnya adalah penambangan terbuka. Hasil wawancara hukumonline dengan Siti Maimunah, Koordinator Nasional JATAM, ia menjelaskan untuk penambangan ini, tidak mungkin tidak terbuka. Berarti berdasarkan ketentuan ini PT. SAM melanggar aturan main pertambangan di kawasan hutan lindung. Dan di UU No.41/1999 tentang Kehutanan, tambang terbuka tidak diperbolehkan di hutan lindung.
Disinggung tentang kompensasi. Maimunah tidak sepakat, menurutnya itu tidak seimbang, kalau kerusakan alam dijamin penyelesaiannya dengan kompensasi, berupa uang atau ganti rugi tanah. Itu akal-akalan. “Masak bisa diganti dengan uang. Padahal alam semakin rusak, Sehingga paradigma tentang hubungan lingkungan dengan ekosistem itu tidak dianggap, yang ada hanya komoditas ekonomi saja. Bagaimana ukurannya koq bisa dengan kompensasi sepihak, tanpa memperhitungkan kelangsungan hidup makhluk hidup disekitarnya. Berarti tidak memanusiakan manusia,” tegasnya. Pemerintah hanya mengeluarkan produk kebijakan yang tidak menyelesaikan persoalan, malah memperparah kerusakan hutan ke depan. Kebijakan yang tidak memproteksi, namun hanya sekedar mengatur yang belum tentu bisa membuat alam dan makhluk hidup yang tinggal menjadi teratur. Ironis memang. Demikian Maimunah menambahkan dan menutup pembicaraan. 4. Ganti Rugi di Jakarta (Lurah Menjarah Ganti Rugi Tanah Wakaf) Mengutip www.hukumonline.com, 31/07/2007, korupsi tidak mengenal mangsa. Lurah yang seharusnya mengayomi masyarakat, malah menyikat duit ganti rugi tanah wakaf warganya. Uang korupsi itu dibagi-bagi ke atasan dan pejabat RW. Pejabat makin kaya, rakyat makin sengsara. Masalah dugaan korupsi yang dilakukan oleh birokrat kembali mencuat. Kali ini, seorang Ketua LKMD Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara, di laporan warganya. Oknum ini diduga melakukan korupsi uang pembayaran ganti rugi pengadaan tanah untuk keperluan proyek jalan tol Harbour Road di kelurahan tersebut sebesar Rp 248,34 juta. Beberapa pejabat lingkungan di Pemda Jakarta Utara diduga terlibat korupsi ini. Kasus ganti rugi tanah wakaf ini terindikasi dengan adanya praktek KKN yang berlanjut penjarahan uang rakyat yang dilakukan oleh elite-elite pemerintah lokal. Hal ini terjadi karena memang lemahnya kontrol dari masyarakat. Sementara kontrol dari atas terbukti tidak berjalan sama sekali. Korupsi memang selalu terjadi dalam struktur masyarakat yang tidak memiliki mekanisme kontrol yang efektif. Dalam struktur masyarakat yang tidak demokratis dan otoritarian semacam inilah korupsi seringkali terjadi. Dari korupsi yang berskala kecil sampai skala besar. “Tapi korupsi tidak bisa dipandang dari besarannya saja. Pemberantasan korupsi harus menempatkan semua kasus korupsi sebagai sasaran tembak,” tegas Donny Ardyanto dari Indonesian Corruption Watch (ICW). 5. Ganti Rugi Harbour Road di Indikasi Banyak Kasus Korupsi ? Pada Desember 1996, proyek pembinaan jalan tol yang diwakili Ir. Hardjono Dwijowiharto dan Sucino telah mengeluarkan daftar pembayaran ganti kerugian tanah guna keperluan proyek jalan tol Harbour Road. Ganti rugi tersebut ditujukan bagi pembebasan tanah wakaf dan fasilitas umum di lingkungan Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. Dengan mengatasnamakan masyarakat Kelurahan Penjaringan, Abu Subagyo selaku Ketua Umum LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) Kelurahan Penjaringan yang juga Lurah Penjaringan, menerima uang ganti rugi tersebut. Namun, permasalah kemudian timbul karena uang ganti rugi tersebut tidak sampai ke tangan masyarakat. Tanah yang digusur tersebut meliputi tanah dari beberapa RW di Kelurahan Penjaringan. Setidaknya ada 8 RW yaitu: RW 04, 05, 10, 11, 12, 13, 14, dan 16. Sedianya, uang ganti rugi tersebut dibagikan kepada masing-masing RW untuk dikelola guna kepentingan masyarkat masing-masing RW tersebut.
Namun menurut Diding Ireng Chairudin, Wakil Solidarita Kerakyatan Penjaringan alias Sorak, sampai sekarang masyarakat Penjaringan sama sekali tidak tahu menahu mengenai penggunaan uang ganti rugi tersebut. “Sewaktu kami tanyakan kepada pihak Kelurahan Penjaringan, dijawab bahwa uangnya sudah habis,” tutur Diding. 6. Banyak Pembebasan Dilakukan Secara rahasia Data tulisan ini kami ambil dari beberapa sumber dan berita dari hukumonline tentang Pembebasan di Kelurahan Penjaringan Jakarta Pusat. Menurut wakil ketua RW di kelurahan Penjaringan, ketika meminta konfirmasi kepada pihak LKMD, Ketua I LKMD waktu itu mengatakan bahwa LKMD hanya menerima 40% dari dana tersebut. Sementara sisanya sebesar 60% diserahkan kepada Walikota Jakarta Utara saat itu. Pembagian 40% dan 60% tersebut, menurutnya, sudah atas persetujuan lurah atau Ketua LKMD kelurahan Penjaringan saat itu. Dari 40% tersebut, menurut Diding, telah dibagi-bagikan secara rahasia di antara ketua-ketua RW yang wilayahnya terkena pembebasan tanah tersebut. Selain ketua-ketua RW tersebut, juga ikut serta Ketua I LKMD dan bagian Ekonomi dan Pembangunan Kelurahan Penjaringan. Dari temuan Diding, diperoleh informasi dan bukti bahwa ada ketua RW yang menerima Rp 2,5 juta dan ada pula ketua RW yang menerima Rp 4,5 juta. Sementara ketua I LKMD sendiri sebagai fasilitator memperoleh “jatah” Rp 32 juta. “Kami ingin agar kasus penyimpangan dana pembayaran ganti kerugian pembebasan lahan fasilitas umum ini diusut. Sebentar lagi kami akan mengajukan langkah litigasi,” ujar Diding. Langkah yang ditempuh Diding dan kawan-kawannya mengusut kasus korupsi di kelurahannya itu tepat. Partisipasi masyarakat memang dimungkinkan sesuai dengan pasal 41 dan 42 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tampaknya, korupsi di negeri ini sudah merambah ke mana-mana. Zaman memang telah berganti menjadi reformasi, tetapi korupsi jalan terus. Elite di tingkat pusat berebut uang negara miliran rupiah. Sementara pejabat lokal menyikat duit rakyat yang hanya puluhan juta rupiah. Untungnya, masyarakat makin kritis untuk melawan monster ganas bernama korupsi. D. KESIMPULAN Dalam perbandingan hukum sangat terlihat jelas bagaimana peraturan Undang Pribumi Aust tentang pemberian ganti rugi bagi masyarakat pribumi, dengan adanya definisi secara jelas hubungan tradisional dengan tanah tumpah darah, serta pengertian Adil , serta pemberian ganti rugi secara umum dan ganti rugi untuk mendatang, tentunya tulisan ini juga menjawab bahwa selama ini masyarakat Australia pendatang sangat memarjinalkan masyarakat pribumi dapat terjawab. Demikian juga untuk pengertian tanah pada masyarakat Adat di Indonesia, khususnya pengertian tanah menurut masyarakat Jawa: “sedumuk batuk senyari bumi den lakoni” (pengertian kepemilikan tanah dipertahankan sampai jiwa raga). Namun pengertian tanah milik masayarakat adat dan. kedudukan masyarakat adat sangat dikerdilakan dengan berlakunya UUPA demikian juga dengan berlakunya UU tentang Kehutanan sehingga banyak menyebabkan konflik masyarakat. Pemerintah Indonesia kedepan harus memberikan porsi lebih banyak tentang kedudukan masyarakat adat dan tanah kepemilikan Adat. Serta konsep pemberian ganti seharusnya dirubah secara harfiah : “Ganti Untung”, pembafaatan tanah untuk kepentingan proyek dan kepentingan masayarakat lebih banyak harus lebih menghargai budaya masayarakat, memberikan kesempatan penggantian, dapat lebih mensejahterakan masayarakat yang terkena proyek atau pembangunan kepentingan Negara atau Pemerintah.
E. DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Anggota Pengacara Victoria, QC; Principal Legal Officer, Mirimbiak Nations Aboriginal Corporation. drafnya karangan ini mula-mula dipresentasikan pada Konperensi Hukum Nasional Badan Perwakilan Hak Pribumi, Townville, 28-30 Agustus, 2001. Bryan Horrigan, ‘The Legal, Political and Commercial implications of the High Court’s Wik Decision - the Way Ahead’ in B Horrigan & Young (eds) Commercial Implications of Native Title (1997) 375-412,401. Native Title Service, Vol 2 [130,000 - 140,060]. NTA s 51 (3) Meskipun demikian ini tampak bahwa standar minimum ‘istilah adil’ harus menerapkan: lihat NTA ss 51 A (2), 53. ‘Hukum’ adalah hukum Negara, Wilayah, Persemakmuran di bawah otoritas dart mana tindakan lampau, tingkat menengah atau mendatang telah dilakukan. Halsbury’s Laws of Australia Vol 5, [90(1720] Nelungaloo Pty Ltd v The Commonwealth (1948) 75 CLR 495, 569; Butterworths, Halsbury’s Law of Australia, Vol 22 Real Property, Kasus Bendungan-bendungan (1983) 158 CLR 1, 290 (Deane J). Bank of New South Wales v The Commonwealth (1948) 76 CLR 1, 301 (Kasus Nasionalisasi Bank): ‘Istilah adil ... mencakup seperti soal fairness dasar, pembayaran ... bunga pada harga hak milik yang dipastikan sampai saat pembayaran’. Nelungaloo Pty Ltd v The Commonwealth (1952) 85 CLR 545, 600. Native Title Service Vol 2 [130,000], Butterworths Timothy Lindsey, Square Pegs and Round Holes: Fitting Modern Title into Tradisional Societies in Indonesia, 7 Pac. Rim L. & Pol’y J. hal. 700 (1998). T Mulya Lubis, “ Pelepasan Hak Milik Tanah di Indonesia, Pembangunan untuk siapa? “ Budi Harsono, UUPA dan Penjelasannya, Jamestan ; 2003. Stefanus Laksanto Utomo, “Kebijakan Tanah dan Hukum Adat di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Usahid Jakarta, II, Mei 2007. Kallie Szczepanski, adalah editor pada Pacific Rim Law & Policy Journal University of Washington. 2. Internet www.hukumonline.com, 31/07/2007
www.hukumonline.com, 31/07/2007 3. Daftar Putusan Mabo v. Queesland, 1992, 175 CLR 1, 15, 63; Newcrest Mining (WA) Ltd v The Commonwealth, 1997, 190 CLR 513, 613; Fejo v. Nothern Territory, 1998, 195 CLR 96, 130-1. Geita Sabea v The Territory of Papua (1943) 67 CLR 544, 551 (Starke J) Geita Sabea v The Territory of Papua (1943) CLR 552 Newcrest Mining (WA) Ltd. V Commonwealth (1997) 147 ALR 42, 147 Nelungaloo Pty Ltd v Commonwealth (1947) 75 CLR 495, 569 (Dixon J)