PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERBANDINGAN BIOAVAILABILITAS TABLET PYREXIN® DAN TABLET PROGESIC® DENGAN TABLET PARASETAMOL (GENERIK) PADA KELINCI PUTIH JANTAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh : Clara Jeviana Sri Widyarini NIM : 038114007
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERBANDINGAN BIOAVAILABILITAS TABLET PYREXIN® DAN TABLET PROGESIC® DENGAN TABLET PARASETAMOL (GENERIK) PADA KELINCI PUTIH JANTAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh : Clara Jeviana Sri Widyarini NIM : 038114007
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Jika kita tidak dibimbing oleh Roh Allah, kita bekerja hanya demi kesia-siaan belaka, tanpa makna, terasa hambar apapun yang kita kerjakan… (St. Yohanes Maria Vianney)
Karya ini kupersembahkan untuk : My Jesus Christ..... Terima kasih Tuhan atas penyertaan-Mu, Kau selalu menguatkanku saat ku lemah, Kau selalu mencukupkan kebutuhanku saat ku kekurangan, Kau selalu mengangkatku saat kujatuh....
Papa & Mama tercinta Kakakku tersayang
Almamaterku…. Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Untuk segala sesuatu ada masanya, Untuk apapun di bawah langit ada waktunya .................................................. .......................... Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya.
(Pengkhotbah 3)
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PRAKATA
Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kasih atas berkat yang selalu diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana farmasi dari Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama proses pembuatan dan penyelesaian skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan baik materi maupun dorongan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Papa dan Mama yang senantiasa mendoakan dan memberikan dorongan kepada penulis. 2. Ibu Rita Suhadi, M. Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 3. Bapak Drs. Mulyono, Apt., selaku dosen pembimbing I dan penguji yang telah banyak membantu, mengarahkan dan memberi motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Ibu Christine Patramurti, M. Si., Apt., selaku penguji yang memberikan saran dan masukan kepada penulis. 5. Ibu C. M. Ratna Rini Nastiti, S. Si., Apt., selaku penguji yang memberikan saran dan masukan kepada penulis. 6. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si., Apt., yang telah memberikan saran-saran yang positif dan membangun kepada penulis.
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7. Para laboran : Mas Heru, Mas Parjiman, Mas Kayat (Laboratorium Farmakokinetika-Biofarmasetika), Pak Musrimin (Laboratorium Formulasi dan Teknologi Sediaan Padat), Mas Wagiran (Laboratorium Farmakognosi Fitokimia), Pak Mukmin (Laboratorium Kimia Analisis Instrumental) yang telah banyak mendampingi dan membantu kelancaran selama penulis melakukan penelitian. 8. Mas Robert di Jakarta atas bantuannya memberikan bahan penelitian. 9. Kakakku Ardiatmoko yang selalu memberi motivasi agar penulis tidak patah semangat dan atas pinjaman laptopnya. 10. Untuk Vincilia “Yeyen” Indriyani atas segala kerja sama, pengetahuan, dan pemikiran selama menempuh pendidikan dan menyelesaikan skripsi ini serta kebersamaan perjuangan menyelesaikan PKM. 11. Kepada teman-teman Farmasi 2003 USD yang telah berjuang bersama, terutama kepada Arnie, Marga, Vita, Mita, Nanda, Raya, Eta, Ria, Galuh, Tina, Adi, dan Andhika “Ble-q”. 12. Untuk Surya, Angga, Galih, Fanny dan Essy atas kebersamaan kita selama melaksanakan penelitian di laboratorium. 13. Untuk Alfons, Dewi, Erlisa, Teddy, dan teman-teman KKN (Abit, Mas Bayu, Titin, Jane, Ratna, Iis, Vicky, “Nyak” Alfonsa, dan Nani). 14. Dan untuk kawan-kawanku, Acay, Dhamet, Indra, Eci, Rinto, Punto, Poke, Beny, Bowo, Angga “Too-cool” serta semua teman dari SMU Pangudi Luhur Van Lith Muntilan gen. X, terima kasih untuk dukungan dan dorongannya.
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kepada seluruh pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu per satu, penulis dengan tulus mengucapkan terima kasih. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, maka kritikan dan saran atas skripsi ini merupakan sesuatu yang berharga bagi penulis dan bagi perkembangan pengetahuan di bidang farmasi. Terima kasih.
Penulis
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
INTISARI
Obat yang beredar di pasaran dapat dibagi menjadi obat generik dan obat merk dagang. Kedua jenis obat tersebut harus terjamin keamanan dan khasiatnya. Dalam penelitian ini, dilakukan perbandingan antara obat merk dagang dan obat generik dengan pendekatan farmakokinetika. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan bioavailabilitas obat merk dagang dan obat generik pada kelinci putih jantan. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan eksperimental silang. Sampel yang digunakan adalah tablet parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic® yang diberikan kepada kelinci putih jantan dengan desain cross over. Metode yang digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol adalah metode Chafetz et al. (1971) yang telah dimodifikasi. Hasil yang diperoleh diolah menjadi parameter bioavailabilitas menggunakan program STRIPE (Johnston and Woolard, 1983, yang telah dimodifikasi oleh Jung), kemudian dianalisis statistik dengan metode ANOVA taraf kepercayaan 90%. Hasil penelitian ini adalah nilai AUC(0-inf) (μg.menit/ml) tablet parasetamol generik : 21029,077 + 3336,122; tablet Pyrexin® : 16666,110 + 1456,821; dan tablet Progesic® : 33823,687 + 5640,811. Nilai Cmax (μg/ml) tablet parasetamol generik : 179,743 + 21,631; tablet Pyrexin® : 116,717 + 10,018; dan tablet Progesic® : 236,037 + 15,762. Nilai tmax (menit) tablet parasetamol generik : 24,733 + 1,943; tablet Pyrexin® : 46,433 + 3,353; dan tablet Progesic® : 33,600 + 3,637. Jadi dapat disimpulkan bahwa bioavailabilitas tablet parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic® tidak sama.
Kata kunci : bioavailabilitas, parasetamol, farmakokinetika
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT
The medicine could be classified as generic and brand-name medicine. The safety and efficacy of those tablets should be guaranteed. In this research, brandname and generic medicine were compared by pharmacokinetics approach. The purpose of this research was comparing bioavailability of brand-name tablets to generic tablet on male-white rabbits. This research was pure cross experimental research. The samples used in this research were generic paracetamol tablet, Pyrexin® tablet and Progesic tablet®. Those tablets were given to male-white rabbits. This research used cross over design and Chafetz et al. (1971) method to determine concentration of drug in the blood. The result was converted to bioavailability values by STRIPE (Johnston and Woolard, 1983, modified by Jung) program, then the bioavailability values were analyzed by ANOVA method with 90% confidence intervals. The result showed that AUC(0-inf) (μg.minute/ml) of generic paracetamol tablet : 21029,077 + 3336,122; Pyrexin® tablet : 16666,110 + 1456,821; and Progesic®tablet : 33823,687 + 5640,811. Cmax (μg/ml) of generic paracetamol tablet : 179,743 + 21,631; Pyrexin® tablet : 116,717 + 10,018; and Progesic® tablet : 236,037 + 15,762. tmax (minute) of generic paracetamol tablet : 24,733 + 1,943; Pyrexin® tablet : 46,433 + 3,353; and Progesic® tablet : 33,600 + 3,637. So, it can be concluded that the bioavailability of generic paracetamol tablet, Pyrexin® tablet, and Progesic® tablet was different.
Key words : bioavailability, paracetamol, pharmacokinetics
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................ ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... iii HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................... v PRAKATA ........................................................................................................ vi PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................................... ix INTISARI ......................................................................................................... x ABSTRACT ........................................................................................................ xi DAFTAR ISI ..................................................................................................... xii DAFTAR TABEL ............................................................................................. xvi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xviii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xx BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang ............................................................................................ 1 1. Permasalahan ........................................................................................ 2 2. Keaslian Penelitian.................................................................................. 2 3. Manfaat ................................................................................................. 3 B. Tujuan ......................................................................................................... 3 1. Tujuan Umum ....................................................................................... 3 2. Tujuan Khusus ...................................................................................... 3 BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Bioavailabilitas dan Bioekivalensi .............................................................. 4 1. Definisi .................................................................................................. 4 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Bioavailabilitas ............................ 8 3. Bioavailabilitas dan Disolusi In Vitro ................................................... 18 4. Obat ....................................................................................................... 19 B. Parasetamol ................................................................................................. 19
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C. Farmakokinetika ......................................................................................... 23 1. Definisi .................................................................................................. 23 2. Strategi Penelitian Farmakokinetika ..................................................... 25 D. Nasib Obat di Dalam Tubuh ....................................................................... 27 1. Absorpsi ................................................................................................ 27 2. Distribusi ............................................................................................... 29 3. Biotransformasi ..................................................................................... 29 4. Ekskresi ................................................................................................. 30 E. Dasar-Dasar Perhitungan Farmakokinetika ................................................ 31 1. Model Kompartemen ............................................................................ 31 2. Parameter Farmakokinetika .................................................................. 32 F. Darah ........................................................................................................... 36 1. Plasma Darah ........................................................................................ 36 2. Denaturasi Protein Plasma .................................................................... 37 G. Kolorimetri .................................................................................................. 38 1. Definisi .................................................................................................. 38 2. Metode Penetapan Kadar Parasetamol secara Kolorimetri ................... 39 H. Desain Cross Over ...................................................................................... 42 I. Keterangan Empiris .................................................................................... 42 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian .................................................................. 43 B. Variabel dan Definisi Operasional .............................................................. 43 1. Variabel Penelitian ................................................................................ 43 2. Definisi Operasional ............................................................................. 45 C. Bahan Penelitian ......................................................................................... 45 D. Alat Penelitian ............................................................................................. 46 E. Tata Cara Penelitian .................................................................................... 46 1. Uji Pendahuluan Tablet ......................................................................... 46 2. Pembuatan Larutan ............................................................................... 49 3. Pembuatan Larutan Parasetamol ........................................................... 50
xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4. Cara Perolehan Plasma Darah ............................................................... 50 5. Optimasi Metode ................................................................................... 51 6. Orientasi Dosis dan Waktu Pengambilan Sampel Darah ...................... 53 7. Perlakuan Hewan Uji ............................................................................ 54 F. Analisis Hasil .............................................................................................. 56 1. Kesahihan Metode ................................................................................ 56 2. Perhitungan Parameter Bioavailabilitas ................................................. 57 3. Cara Penafsiran dan Penyimpulan Hasil Penelitian .............................. 57 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Uji Pendahuluan Tablet ............................................................................... 58 1. Uji Keseragaman Bobot ........................................................................ 59 2. Uji Kekerasan ........................................................................................ 60 3. Uji Kerapuhan ....................................................................................... 61 4. Uji Waktu Hancur ................................................................................. 62 5. Uji Disolusi ........................................................................................... 63 B. Cara Perolehan Plasma Darah ..................................................................... 67 C. Optimasi Metode ......................................................................................... 68 1. Penentuan Operating Time (OT) ......................................................... 72 2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum ......................................... 74 3. Pembuatan Kurva Baku ........................................................................ 75 4. Penentuan Nilai Perolehan Kembali, Kesalahan Sistematik, dan Kesalahan Acak .................................................................................... 76 D. Orientasi Dosis dan Waktu Pengambilan Sampel Darah ........................... 78 E. Perbandingan Bioavailabilitas .................................................................... 79 1. Kadar Parasetamol dalam Plasma ......................................................... 79 2. AUC(0-inf) ............................................................................................... 83 3. Cmax ....................................................................................................... 84 4. tmax ......................................................................................................... 86 5. Kriteria Bioekivalen .............................................................................. 87
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ................................................................................................. 93 B. Saran ........................................................................................................... 94 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 95 LAMPIRAN ...................................................................................................... 100 BIOGRAFI PENULIS ...................................................................................... 133
xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR TABEL Tabel I
Konsep Desain Cross Over .................................................
54
Tabel II
Parameter-Parameter Farmakokinetika ...............................
57
Tabel III
Hasil Uji Keseragaman Bobot Tablet .................................
59
Tabel IV
Hasil Uji Kekerasan Tablet .................................................
61
Tabel V
Hasil Uji Kerapuhan Tablet ................................................
61
Tabel VI
Hasil Uji Waktu Hancur Tablet ..........................................
62
Tabel VII
Data Persamaan Kurva Baku Disolusi ...............................
64
Tabel VIII
Data Disolusi Tablet ...........................................................
65
Tabel IX
Kemiripan Profil Disolusi ...................................................
66
Tabel X
Data Persamaan Kurva Baku ..............................................
76
Tabel XI
Nilai Perolehan Kembali, Kesalahan Sistematik, dan Kesalahan Acak ...................................................................
Tabel XII
Kadar Parasetamol dalam Plasma Setelah Pemberian Produk Obat .....................................................................................
Tabel XIII
77 80
ln Kadar Parasetamol dalam Plasma Setelah Pemberian Produk Obat ........................................................................
80
Tabel XIV
Nilai Parameter Bioavailabilitas ..........................................
82
Tabel XV
Uji Post-Hoc Nilai AUC(0-inf) .....................................................
83
Tabel XVI
Uji Post-Hoc Nilai C(max) ...........................................................
85
Tabel XVII
Uji Post-Hoc Nilai t(max) .............................................................
86
Tabel XVIII
Perbandingan Parameter Bioavailabilitas ...........................
88
Tabel XIX
Hasil Penimbangan Tablet ..................................................
100
Tablet XX
Seri Kadar Larutan Intermediet Parasetamol dalam Pembuatan Kurva Baku Uji Disolusi ..................................
101
Tabel XXI
Hasil Perhitungan Disolusi Tablet Parasetamol Generik ....
102
Tabel XXII
Hasil Perhitungan Disolusi Tablet Parasetamol Pyrexin® ..
102
Tabel XXIII
Hasil Perhitungan Disolusi Tablet Parasetamol Progesic® .
102
Tabel XXIV
Perhitungan Persentase Kumulatif Obat Terlarut ...............
105
Tabel XXV
Konversi Perhitungan Dosis antar Jenis Hewan .................
107
xvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tabel XXVI
Seri Kadar Larutan Intermediet Parasetamol dalam Pembuatan Kurva Baku ......................................................
110
Tabel XXVII
Seri Kadar Larutan Intermediet Parasetamol dalam Plasma
110
Tabel XXVIII
Konsentrasi Larutan Parasetamol untuk Penentuan Nilai Perolehan Kembali, Kesalahan Sistematik, dan Kesalahan Acak ....................................................................................
112
Tabel XXIX
Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Generik 1 ............
114
Tabel XXX
Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Generik 2 ............
115
Tabel XXXI
Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Generik 3 ............
116
Tabel XXXII
Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Pyrexin® 1 ..........
117
Tabel XXXIII
Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Pyrexin® 2 ..........
118
Tabel XXXIV
Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Pyrexin® 3 ..........
119
®
Tabel XXXV
Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Progesic 1 .........
120
Tabel XXXVI
Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Progesic® 2 .........
121
Tabel XXXVII
Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Progesic® 3 .........
122
Tabel XXXVIII
Harga Rata-Rata Parameter Farmakokinetika .....................
125
Tabel XXXIX
Perhitungan Rata-Rata Parameter Bioavailabilitas untuk Penentuan Bioekivalensi .....................................................
xvii
126
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR GAMBAR Gambar 1
Proses Laju Bioavailabilitas Obat ..............................................
7
Gambar 2
Struktur Parasetamol .................................................................
20
Gambar 3.
Metabolisme Parasetamol .........................................................
22
Gambar 4
Proses Obat dalam Tubuh untuk Menimbulkan Efek ...............
24
Gambar 5
Proses Farmakokinetika Obat di dalam Tubuh .........................
27
Gambar 6
Reaksi Parasetamol dengan Asam Nitrat ..................................
39
Gambar 7
Reaksi Hidrolisis Parasetamol menjadi p-aminofenol ..............
40
Gambar 8
Reaksi Pembentukan Warna pada Metode Chafetz et al. (1971)
41
Gambar 9
Kurva Hubungan antara Kadar Parasetamol dengan Serapan pada Uji Disolusi .......................................................................
65
Gambar 10
Profil Disolusi ...........................................................................
66
Gambar 11
Reaksi antara Asam Klorida dengan Natrium Nitrit Membentuk Ion Nitrosonium ........................................................................
Gambar 12
69
Reaksi antara Parasetamol dengan Ion Nitrosonium Membentuk 2-nitro-4-asetamidofenol Beserta Gugus Kromofor dan Auksokromnya ..........................................................................
69
Gambar 13
Mekanisme Reaksi antara Parasetamol dengan Ion Nitrosonium
70
Gambar 14
Reaksi antara Asam Nitrit dengan Asam Sulfamat ...................
71
Gambar 15
Reaksi Penetralan Asam dan Pembentukan Ion Fenolat dalam Suasana Basa .............................................................................
Gambar 16
Mekanisme Reaksi antara 2-nitro-4-asetamidofenol dengan Natrium Hidroksida ..................................................................
Gambar 17
73
Pengukuran Operating Time (OT) Larutan Parasetamol dalam Plasma Kadar 400 μg/ml ...........................................................
Gambar 19
72
Pengukuran Operating Time (OT) Larutan Parasetamol dalam Plasma Kadar 100 μg/ml ...........................................................
Gambar 18
71
73
Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum Larutan Parasetamol dalam Plasma Kadar 100 μg/ml ...........................
xviii
74
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 20
Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum Larutan Parasetamol dalam Plasma Kadar 400 μg/ml ...........................
75
Gambar 21
Kurva Hubungan antara Kadar Parasetamol dengan Serapan ..
76
Gambar 22
Kurva Kadar Parasetamol dalam Plasma (Cp) terhadap Waktu (t) ...............................................................................................
Gambar 23
Kurva ln Kadar Parasetamol dalam Plasma (ln Cp) terhadap Waktu (t) ...................................................................................
Gambar 24
81
Profil Disolusi Tablet Paraseamol (Generik) (A), Tablet Pyrexin® (B), dan Tablet Progesic® (C) ....................................
Gambar 25
81
104
Kurva Kadar Parasetamol dalam Plasma (Cp) vs. Waktu (t) pada Tablet Parasetamol Generik (A), Tablet Pyrexin® (B), dan Tablet Progesic® (C) .................................................................
Gambar 26
123
Kurva ln Kadar Parasetamol dalam Plasma (ln Cp) vs. Waktu (t) pada Tablet Parasetamol Generik (A), Tablet Pyrexin® (B), dan Tablet Progesic® (C) ..........................................................
xix
124
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
Hasil Penimbangan Tablet untuk Uji Keseragaman Bobot ......
100
Lampiran 2
Data Kurva Baku Disolusi Tablet .............................................
101
Lampiran 3
Hasil Uji Disolusi Tablet ..........................................................
102
Lampiran 4
Contoh Cara Perhitungan Data Disolusi Tablet ........................
103
Lampiran 5
Grafik Uji Disolusi Tablet ........................................................
104
Lampiran 6
Contoh Cara Perhitungan Faktor Kemiripan Profil Disolusi ....
105
Lampiran 7
Contoh Perhitungan Pembuatan Larutan Obat .........................
106
Lampiran 8
Tabel Konversi Perhitungan Dosis Antar Jenis Hewan dan Perhitungan Dosis Awal untuk Orientasi Dosis ........................
Lampiran 9
107
Operating Time Larutan Parasetamol dalam Plasma dengan Kadar 100 μg/ml (A) dan 400 μg/ml (B) ..................................
108
Lampiran 10 Panjang Gelombang Maksimum Larutan Parasetamol dalam Plasma dengan Kadar 100 μg/ml (A) dan 400 μg/ml (B) .........
109
Lampiran 11 Data Kurva Baku Parasetamol ..................................................
110
Lampiran 12 Kurva Baku ...............................................................................
111
Lampiran 13 Pembuatan Larutan untuk Penentuan Nilai Perolehan Kembali, Kesalahan Sistematik, dan Kesalahan Acak .............
112
Lampiran 14 Sertifikat Analisis Parasetamol .................................................
113
Lampiran 15 Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Generik .....................
114
Lampiran 16 Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Pyrexin® ...................
117
Lampiran 17 Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Progesic® ..................
120
Lampiran 18 Kurva Kadar Parasetamol dalam Plasma (Cp) vs. Waktu (t) ....
123
Lampiran 19 Kurva ln Kadar Parasetamol dalam Plasma (ln Cp) vs. Waktu (t) 124 Lampiran 20 Harga Rata-Rata Parameter Farmakokinetika ...........................
125
Lampiran 21 Perhitungan Rata-Rata Parameter Bioavailabilitas untuk Penentuan Bioekivalensi ...........................................................
126
Lampiran 22 Analisis Statistik (SPSS 14.0) ...................................................
127
xx
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Obat yang beredar di pasaran dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu obat generik dan obat bermerk dagang. Obat generik merupakan obat jadi yang dipasarkan dengan nama umum (nama generik) bahan aktifnya sedangkan obat bermerk dagang merupakan obat jadi yang dipasarkan dengan nama dagang yang dipakai oleh masing-masing produsen (Anonim, 2000). Setiap produsen pasti melakukan promosi untuk masing-masing produknya sehingga harga obat bermerk dagang umumnya lebih mahal daripada obat generik (Anonim, 2000). Fenomena yang sering terjadi adalah dokter jarang meresepkan obat generik yang harganya lebih murah, sedangkan pasien cenderung untuk memilih obat bermerk dagang dengan anggapan bahwa harga yang lebih mahal akan memberikan efek terapeutik yang lebih baik. Semua obat, baik obat generik maupun obat bermerk dagang, harus terjamin keamanan dan khasiatnya. Hal tersebut dapat diuji secara farmakokinetika dan farmakodinamika. Pendekatan farmakokinetika membicarakan tentang nasib obat tersebut di dalam tubuh, meliputi proses absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi sedangkan pendekatan farmakodinamika membicarakan tentang efek yang ditimbulkan obat tersebut di dalam tubuh. Selama ini, kebanyakan pasien dan tenaga kesehatan memandang obat hanya dari sisi farmakodinamika tanpa mengetahui sisi farmakokinetikanya. Padahal farmakokinetika suatu obat juga penting untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2
diketahui sebab proses farmakokinetika berpengaruh terhadap keseluruhan aksi obat, termasuk efek terapeutik yang dihasilkan. Dalam penelitian ini, dilakukan perbandingan antara obat bermerk dagang terhadap obat generik secara farmakokinetika, yaitu dengan membandingkan parameter-parameter bioavailabilitas obat bermerk dagang terhadap obat generik pada kelinci putih jantan. Sampel yang digunakan adalah beberapa tablet yang mengandung parasetamol sebagai zat aktif tunggal, yaitu tablet parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic®. Penulis memilih parasetamol sebab parasetamol banyak digunakan dalam obat bebas dan obat bebas terbatas sebagai analgesik-antipiretik yang dapat diperoleh dengan mudah oleh pasien.
1.
Permasalahan Masalah yang diangkat dari latar belakang tersebut adalah apakah tablet
parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic® memiliki bioavailabilitas yang sama ?
2.
Keaslian penelitian Sejauh yang penulis ketahui, masalah tersebut belum pernah diteliti dalam
penelitian di lingkungan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3
3.
Manfaat Manfaat teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang bioavailabilitas tablet parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic® pada kelinci putih jantan.
B. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Tujuan umum Untuk mengetahui bioavailabilitas tablet parasetamol (generik), tablet
Pyrexin®, dan tablet Progesic® pada kelinci putih jantan.
2.
Tujuan khusus Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan bioavailabilitas antara tablet
parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic® pada kelinci putih jantan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA
Berkaitan dengan penelitian Perbandingan Bioavailabilitas Tablet Pyrexin® dan Tablet Progesic® dengan Tablet Parasetamol (Generik) pada Kelinci Putih Jantan, maka dalam bab ini ditelaah tentang Bioavailabilitas dan Bioekivalensi, Parasetamol, Farmakokinetika, Nasib Obat di Dalam Tubuh, Dasar-Dasar Perhitungan Farmakokinetika, Darah, Kolorimetri, dan Desain Cross Over.
A. Bioavailabilitas dan Bioekivalensi 1. Definisi Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) merupakan persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif setelah pemberian produk obat tersebut. Bioavailabilitas dapat diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin (Anonim, 2004b). Terdapat dua macam bioavailabilitas, yaitu bioavailabilitas absolut dan bioavailabilitas
relatif.
Bioavailabilitas
absolut
merupakan
perbandingan
bioavailabilitas obat yang diberikan secara ekstravaskular terhadap bioavailabilitas obat yang diberikan secara intravaskular, sedangkan bioavailabilitas relatif merupakan perbandingan bioavailabilitas produk obat terhadap pembanding (selain intravaskular) (Anonim, 2004b).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 5
Istilah ekivalensi atau kesetaraan digunakan dalam perbandingan suatu produk obat dengan produk obat lainnya. Ada beberapa istilah ekivalensi menurut Malinowski (2000). a. Ekivalensi kimia. Jika dua atau lebih bentuk sediaan mengandung obat seperti yang tertera pada etiket. b. Ekivalensi klinik. Jika obat yang sama dalam dua atau lebih bentuk sediaan memberikan efek in vivo yang identik, yang dapat dilihat dari respon farmakologi atau kontrol terhadap gejala atau penyakit. c. Ekivalensi terapeutik. Ekivalensi terapeutik berarti bahwa dua merk obat diharapkan menghasilkan efek klinik yang sama. d. Bioekivalensi. Jika obat dalam dua atau lebih bentuk sediaan yang sejenis mencapai sirkulasi sistemik dengan jumlah dan kecepatan yang relatif sama. e. Ekivalensi farmasetik. Jika dua produk obat mengandung zat aktif yang sama dalam bentuk sediaan dan kekuatan yang sama.
Bioekivalensi merupakan perbandingan bioavailabilitas dari dua atau lebih produk obat. Dua produk atau formulasi yang mengandung zat aktif sama dikatakan bioekivalen jika kecepatan dan jumlah yang diabsorpsi sama (Chereson, 1999).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6
Menurut Pedoman Uji Bioekivalensi Badan POM RI, dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi farmasetik atau merupakan alternatif farmasetik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama, baik dalam hal efikasi maupun keamanan. Dua produk obat mempunyai ekivalensi farmasetik jika keduanya mengandung zat aktif yang sama dalam jumlah dan bentuk sediaan yang sama. Dua produk obat merupakan alternatif farmasetik jika keduanya mengandung zat aktif yang sama tetapi berbeda dalam bentuk kimia (garam, ester, dsb.) atau bentuk sediaan atau kekuatan. Studi bioavailabilitas digunakan untuk menunjukkan efek sifat fisika kimia komponen obat dan bentuk sediaan terhadap farmakokinetika obat. Studi bioekivalensi digunakan untuk membandingkan bioavailabilitas obat dengan zat aktif yang sama dari berbagai produk obat. Apabila produk obat tersebut bioekivalen maka efikasi dan profil keamanan produk-produk obat tersebut dapat dianggap sama dan dapat digantikan satu dengan yang lain (Shargel, Wu-Pong, and Yu, 2005). Respon farmakologis pada umumnya terkait dengan konsentrasi obat pada reseptor sehingga ketersediaan obat dari bentuk sediaan merupakan faktor yang penting dalam menentukan efikasi obat. Konsentrasi obat pada tempat aksi biasanya tidak dapat diukur secara langsung sehingga kebanyakan studi bioavailabilitas melibatkan pengukuran konsentrasi obat di dalam darah atau urin. Hal ini berdasarkan pada suatu anggapan bahwa obat pada tempat aksi berada dalam kesetimbangan dinamis dengan obat di dalam darah (Chereson, 1999).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 7
Obat dalam bentuk sediaan padat yang ditujukan untuk penggunaan sistemik umumnya mengalami absorpsi melalui suatu rangkaian proses, yaitu disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat, pelarutan obat dalam media aqueous, dan absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik (Shargel et al., 2005). Di dalam proses tersebut, kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi ditentukan oleh tahap yang paling lambat. Tahap yang paling lambat di dalam rangkaian proses kinetik disebut tahap penentu kecepatan (rate limiting step). Bentuk sediaan padat
disintegrasi
Disolusi obat
deagregasi
Granul Disolusi obat
Partikel kecil Disolusi obat
Larutan obat Absorpsi
Obat dalam darah Gambar 1. Proses laju bioavailabilitas obat (Malinowski, 2000)
Untuk obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan biasanya merupakan tahap yang paling lambat sehingga menjadi penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat (Shargel et al., 2005). Studi bioavailabilitas dilakukan terhadap bahan obat aktif yang telah disetujui maupun obat dengan efek terapeutik yang belum disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk dipasarkan. Dalam menyetujui suatu produk obat untuk dipasarkan, FDA harus memastikan bahwa produk obat tersebut aman dan efektif sesuai label indikasi penggunaan. Selain itu, produk obat juga harus memenuhi seluruh standar yang digunakan dalam identitas, kekuatan, kualitas dan kemurnian (Shargel et al., 2005).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8
Untuk meyakinkan bahwa standar-standar tersebut telah dipenuhi, FDA menghendaki studi bioavailabilitas/farmakokinetika dan bila perlu persyaratan bioekivalensi untuk semua produk (Shargel et al., 2005). Akibat perkembangan studi bioavailabilitas dan bioekivalensi, maka diperlukan suatu kepastian bahwa produk generik bioekivalen terhadap produk dagang sehingga produk generik tidak perlu diragukan lagi jika diresepkan oleh dokter (Chereson, 1999).
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas Bioavailabilitas sangat dipengaruhi oleh proses absorpsi. Obat-obat yang diberikan secara oral harus diabsorpsi terlebih dahulu sebelum memberikan efek terapeutik. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses absorpsi adalah sebagai berikut. a. Rute dan cara pemberian. Obat yang diberikan secara oral, subkutan, intramuskular, intradermal, hipodermal atau intraperitoneal memerlukan proses absorpsi. Beberapa
obat
yang diberikan secara oral akan termetabolisme pada saluran pencernaan dalam jumlah yang besar sehingga hanya sedikit obat yang dapat mencapai sirkulasi sistemik. Kebanyakan obat yang diberikan secara oral juga mengalami first- pass effect sehingga tidak semua obat yang diberikan akan diabsorpsi (Wagner, 1975). b. Dosis dan aturan dosis. Dosis yang diberikan harus diperhatikan agar konsentrasi obat dalam darah dapat berada dalam jendela terapi (Wagner, 1975).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 9
c. Efek bentuk sediaan. Bentuk sediaan obat dapat mempengaruhi laju dan jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik. 1) Sifat fisika kimia obat. a) Faktor yang mempengaruhi kelarutan. Laju pelarutan obat dijelaskan dengan persamaan Noyes-Whitney (Proudfoot, 1990) : dm D A = (C s - C) dt h
(1)
Keterangan :
dm = laju disolusi partikel obat dt D A h Cs C
= = = = =
koefisien difusi luas permukaan efektif tebal lapisan difusi kelarutan jenuh obat pada lapisan difusi konsentrasi obat pada cairan gastrointestinal
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan adalah sebagai berikut. (1) Bentuk kristal, amorf, polimorfi, solvate. Polimorfi. Banyak obat memiliki lebih dari satu bentuk kristal. Hal ini disebut dengan istilah polimorfi, sedangkan masing-masing bentuk kristal disebut dengan istilah polimorf. Bentuk polimorf metastabil memiliki kelarutan dalam air paling besar (Proudfoot, 1990). Amorf bentuk amorf biasanya lebih larut dan laju disolusinya lebih cepat daripada bentuk kristal (Proudfoot, 1990).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 10
Solvate solvate adalah bentuk kristal yang terbentuk ketika obat berikatan dengan molekul pelarut (solvent). Jika pelarutnya air, maka bentuk solvate dinamakan hidrat. Biasanya semakin besar solvation pada kristal, maka kelarutan dan laju disolusinya akan menurun (Proudfoot, 1990). (2) Asam bebas, basa bebas, atau bentuk garam. Bentuk asam bebas, basa bebas dan bentuk garam dapat mempengaruhi kelarutan obat. Sebagai contoh : garam logam alkali dari asam organik lemah (misal : natrium atau kalium warfarin) akan terdisolusi lebih cepat daripada bentuk asam lemahnya. Serupa dengan itu, garam asam mineral dari basa lemah (misal : amina atau sulfat) akan terdisolusi dengan lebih cepat daripada basa lemahnya (Wagner, 1975). (3) Nilai pKa. Pengaruh nilai pKa dalam kelarutan obat dapat dijelaskan dalam persamaan Krebs & Speakman : untuk asam monobasa : SpH = S0 (1+10(pH-pKa))
(2)
untuk basa monoasam : SpH = S0 (1+10(pKa-pH))
(3)
Keterangan : SpH = kelarutan pada pH tertentu S0 = kelarutan intrinsik (kelarutan bentuk tak terion) yang berarti kelarutan asam pada pH mendekati 0 atau kelarutan basa pada pH mendekati 14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 11
(4) Kompleksasi, solid solution, eutectics. Laju dan jumlah obat yang diabsorpsi tergantung pada konsentrasi efektif obat. Kompleksasi dapat mempengaruhi konsentrasi efektif obat pada cairan gastrointestinal. Contoh kompleksasi yang terjadi adalah antara mucin dengan obat-obat tertentu (misal streptomisin) yang membentuk kompleks yang tidak dapat diabsorpsi (Proudfoot, 1990). (5) Surfaktan. Surfaktan memiliki efek yang bervariasi pada laju disolusi dan absorpsi. Biasanya surfaktan menurunkan tegangan permukaan sehingga laju disolusi akan meningkat. Namun jika konsentrasi surfaktan sudah di atas critical micelle concentrations, maka surfaktan akan membentuk micelle dengan obat sehingga laju absorpsi obat akan menurun sebab obat yang dapat diabsorpsi hanya obat dalam bentuk bebas (Wagner, 1975).
b) Faktor yang mempengaruhi transport obat. (1) Nilai pKa dan pH. Banyak obat mengandung substituen lipofilik dan hidrofilik. Obatobat yang lebih larut dalam lemak akan lebih mudah melewati membran sel daripada obat yang kurang larut lemak. Bagi obat yang bersifat sebagai elektrolit lemah, besarnya ionisasi mempengaruhi laju transport obat (Shargel et al., 2005).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 12
Ionisasi suatu elekrolit lemah tergantung pada nilai pKa dan pH yang dijelaskan dalam persamaan Handerson-Hasselbach : untuk asam lemah :
untuk basa lemah :
[ A- ] (pH-pKa) = 10 [HA]
[ B] +
[HB ]
(pH-pKa)
= 10
(4)
(5)
Keterangan : A- = fraksi terion dari obat asam lemah HA = fraksi tak terion dari obat asam lemah B = fraksi tak terion dari obat basa lemah HB+ = fraksi terion dari obat basa lemah pH = nilai pH media pKa = nilai pKa obat
(2) Ada tidaknya muatan. Muatan pada obat dapat mempengaruhi transport obat menembus membran. Berdasarkan penelitian Benet dkk., ternyata bentuk ion dari obat juga dapat menembus membran (Wagner, 1975). (3) Koefisien partisi. Semakin besar koefisien partisi obat antara membran dan lumen, maka laju absorpsi akan semakin besar pula (Wagner, 1975). (4) Molal volume, monomeric atau micellar, dan difusivitas. Laju difusi micelle lebih lambat daripada laju difusi monomeric (Wagner, 1975). (5) Stagnant water layer (aqueous diffusion layer). Perpindahan obat melewati aqueous diffusion layer antara luminal dan permukaan membran dapat menjadi rate limiting step dalam proses absorpsi (Wagner, 1975).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 13
2) Faktor farmasetika dan pembuatan bentuk sediaan padat. a) Ukuran partikel dan luas permukaan spesifik. Laju disolusi obat berbanding langsung dengan luas permukaan spesifik (Wagner, 1975). Penurunan ukuran partikel akan menyebabkan peningkatan luas permukaan spesifik (York, 1990). Laju disolusi, laju absorpsi, keseragaman kandungan dalam bentuk sediaan dan stabilitas bentuk sediaan tergantung pada ukuran partikel dan ukuran distribusinya. b) Static electrification. Beberapa proses seperti pencampuran dan penyalutan dapat menghasilkan static electrification. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya agregasi partikel dan terjadinya unmixing (tidak tercampurnya) obat. Agregasi menyebabkan penurunan luas permukaan sehingga laju disolusi menjadi lebih lambat (Wagner, 1975). c) Tipe bentuk sediaan. Pada umumnya, urutan laju absorpsi obat dalam bentuk sediaan dari yang tercepat hingga terlambat adalah larutan, suspensi, tablet, tablet salut gula, dan tablet salut enterik. Namun urutan tersebut dapat berubah jika obat terdegradasi oleh asam di lambung (Wagner, 1975). d) Tipe dan jumlah bahan tambahan. Secara umum, penggunaan bahan tambahan yang tidak larut air akan menyebabkan laju disolusi dan absorpsi obat menjadi lebih lambat dibandingkan dengan penggunaan bahan tambahan yang larut air. Hal ini karena partikel obat akan diselubungi oleh bahan tambahan yang tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 14
larut air sehingga obat menjadi lebih hidrofob. Penambahan garam netral akan meningkatan disolusi obat (Wagner, 1975). e) Ukuran granul dan distribusi ukurannya. Granulasi merupakan salah satu proses dalam pembuatan tablet. Proses disintegrasi tablet diasumsikan melalui 2 tahap, yaitu tablet menjadi granul dan granul menjadi partikel kecil. Oleh karena itu, ukuran granul dan distribusi ukurannya menjadi penting untuk diperhatikan (Wagner, 1975). f) Tipe dan jumlah bahan penghancur. Bahan penghancur akan mengembang oleh adanya air dan mendesak tablet untuk hancur. Semakin banyak jumlah bahan penghancur yang digunakan, maka tablet semakin mudah hancur (Wagner, 1975). g) Waktu pencampuran. Dalam proses pencampuran terdapat waktu optimum, di mana setelah waktu optimum terlewati, obat menjadi tidak tercampur lagi (Wagner, 1975). h) Tekanan dan kecepatan kompresi. Tekanan kompresi merupakan faktor penentu waktu hancur dan laju disolusi obat dari tablet (Wagner, 1975). i) Penyalutan (salut film, salut gula, salut enterik). Tablet salut film terdisolusi lebih cepat daripada tablet salut gula. Tablet salut gula biasanya lebih tebal daripada tablet salut film. Tablet salut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 15
enterik tidak larut pada lambung, namun larut pada usus halus (Wagner, 1975). j) Efek matriks. Dalam tablet lepas lambat, obat dicampur dengan wax atau polimer sintetik yang inert dan tidak dapat diabsorpsi di saluran pencernaan, yang disebut dengan matriks. Saat tablet tersebut diberikan secara oral, cairan akan masuk ke dalam matriks dan dengan perlahan akan melarutkan obat dari matriks (Wagner, 1975). k) Tipe dan jumlah surfaktan. Surfaktan dapat menurunkan tegangan antarmuka antara obat dengan media disolusi sehingga dapat meningkatkan laju disolusi (Wagner, 1975). l) Kondisi lingkungan selama pembuatan. Jika obat mudah terhidrolisis, maka stabilitas bentuk sediaan dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan selama pembuatan (Wagner, 1975). m) Kondisi saat penyimpanan dan lama penyimpanan. Stabilitas obat dalam bentuk sediaan tertentu dapat diuji dengan uji stabilitas bentuk sediaan dengan peningkatan temperatur (Wagner, 1975). d. Faktor fisiologis. 1) Waktu transit obat. Semakin lama obat berada di usus halus, maka semakin banyak obat yang diabsorpsi dengan asumsi bahwa obat stabil pada cairan intestinal (Proudfoot, 1990).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 16
2) Laju pengosongan lambung. Kebanyakan obat diabsorpsi secara optimal pada usus halus. Penurunan laju pengosongan lambung akan menurunkan laju absorpsi obat dan menunda waktu onset obat. Laju pengosongan lambung juga penting untuk obat yang mudah terdegradasi di lambung. Semakin lama obat berada di lambung, maka semakin banyak obat yang terdegradasi sehingga bioavailabilitasnya akan menurun. Adanya makanan akan menurunkan laju pengosongan lambung sehingga absorpsi obat akan tertunda (Proudfoot, 1990). 3) Luas permukaan area efektif pada tempat absorpsi. Usus halus memiliki luas permukaan area efektif terbesar karena adanya vili dan mikrovili. Oleh karena itu, mayoritas obat akan diabsorpsi secara maksimum pada usus halus, meskipun pH cairan intestinal bukan merupakan kondisi optimum untuk absorpsi obat-obat asam lemah/basa lemah. Sebaliknya, luas permukaan lambung dan usus besar relatif kecil karena tidak memiliki vili dan mikrovili (Proudfoot, 1990). 4) Laju aliran darah. Aliran darah pada saluran pencernaan merupakan faktor yang penting untuk membawa obat ke sirkulasi sistemik kemudian ke tempat kerja. Di dalam usus terdapat pembuluh-pembuluh darah mesentrika. Obat dilepaskan ke hati melalui vena porta hepatika dan kemudian menuju ke sirkulasi sistemik. Jika laju aliran darah mesentrika menurun, maka bioavailabilitas obat juga akan menurun (Shargel et al., 2005).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 17
5) Nilai pH cairan pada saluran pencernaan. Nilai pH cairan bervariasi di sepanjang saluran pencernaan. pH lambung 13,5; pH usus halus 5-8 (pH duodenum 5-6, pH ileum 8); pH usus besar 8. Derajat ionisasi obat dipengaruhi oleh nilai pH. Bentuk tak terion akan diabsorpsi lebih cepat daripada bentuk terion. Perubahan nilai pH pada saluran pencernaan (karena adanya makanan atau faktor lain) dapat menyebabkan perubahan jumlah bentuk tak terion sehingga dapat mempengaruhi absorpsinya (Proudfoot, 1990). 6) Aktivitas enzimatik. Obat yang diberikan secara oral dan ditujukan untuk sirkulasi sistemik biasanya mengalami first pass effect, di mana obat akan termetabolisme sebelum mencapai sirkulasi sistemik.
First pass effect menyebabkan
penurunan bioavailabilitas (Proudfoot, 1990). 7) Mukus dan glycocalyx. Molekul obat harus melalui unstirred aqueous layer, lapisan mukus, dan glycocalyx untuk mencapai mikrovili. Glycocalyx adalah bagian yang menyatu dengan mikrovili, berfungsi sebagai penyalut bagi mikrovili dan tersusun atas mukopolisakarida (Proudfoot, 1990). 8) Ada tidaknya makanan pada saluran pencernaan. Makanan dapat mempengaruhi absorpsi obat dengan beberapa mekanisme, di antaranya mengubah laju pengosongan lambung, memacu sekresi asam dan enzim pada saluran pencernaan, berkompetisi dengan obat dalam hal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 18
absorpsi, membentuk kompleks dengan obat, meningkatkan viskositas pada saluran pencernaan (Proudfoot, 1990). 9) Lain-lain : konsentrasi elektrolit, tegangan permukan dan tegangan antarmuka, emulsifying agents dan complexing agents (misal : garam empedu), posisi anatomi tubuh dan aktivitas relatif, suhu tubuh, integritas membran gastrointestinal, tekanan hidrostatik dan intralumenal, kapasitas buffer, tonisitas (Wagner, 1975).
3. Bioavailabilitas dan disolusi in vitro Disolusi adalah proses di mana bahan obat padat larut dalam pelarut. Uji disolusi dapat menentukan bioavailabilitas suatu obat jika terdapat korelasi yang baik antara uji in vitro dan in vivo. Korelasi in vitro dan in vivo yang dimaksud adalah hubungan antara karakteristik biologi obat (efek farmakodinamika atau konsentrasi obat dalam plasma) dan karakteristik fisika kimia produk obat (Shargel et al., 2005). Korelasi in vitro dan in vivo ini penting untuk diketahui agar dalam menentukan bioavailabilitas suatu obat cukup dengan uji in vitro saja, tidak perlu dengan uji in vivo. Selama ini, uji bioavailabilitas secara in vivo memerlukan waktu yang lama, biaya yang relatif tinggi, serta terdapat beberapa masalah dalam pemberian obat kepada subjek uji sehat/pasien (Chereson, 1999). Parameter
uji
in
vitro
yang
paling
dekat
hubungannya
dengan
bioavailabilitas adalah laju disolusi. Obat yang masuk ke dalam tubuh dapat diabsorpsi jika sudah dalam bentuk larutan sehingga kecepatan obat untuk larut dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 19
bentuk sediaannya (laju disolusi) akan menentukan kecepatan dan atau jumlah obat yang terabsorpsi (Chereson, 1999).
4. Obat Menurut S. P. Menkes R. I. No. 193/Keb/VII/71, obat adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan dalam menetapkan diagnosa, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka, atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan, memperelok badan atau bagian badan manusia (Lestari, Rahayu, Rya, Suhardjono, Maisunah, Soewarni, dkk., 2002). Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Nama generik adalah nama obat berdasarkan International Nonproprietary Name (I.N.N.) yang ditetapkan WHO. Nama generik berlaku di negara manapun dan boleh diproduksi oleh setiap industri, sedangkan obat paten yaitu obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar atau nama pembuat atau yang dikuasakannya dan dijual dalam bungkus asli dari pabrik yang memproduksinya. Nama dagang adalah nama khas yang dilindungi hukum yaitu merk terdaftar atau Proprietary Name (Lestari dkk., 2002).
B. Parasetamol Parasetamol memiliki beberapa sinonim, di antaranya asetaminofen, pacetamidophenol, dan N-acetyl-p-aminophenol (Connors, Amidon, and Stella, 1986). Parasetamol mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0%
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 20
C8H9NO2 dihitung terhadap zat anhidrat. Parasetamol berupa serbuk hablur, putih, tidak berbau, berasa sedikit pahit. Tablet parasetamol mengandung parasetamol (C8H9NO2) tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket (Anonim, 1995).
HO
NHCOCH3
Parasetamol BM = 151,16
Gambar 2. Struktur parasetamol (Anonim, 1995)
Kelarutan parasetamol adalah mudah larut dalam etanol (95%) P dan dalam propilenglikol P; larut dalam air mendidih, dalam natrium hidroksida 1N, dan dalam aseton P; agak sukar larut dalam air dan dalam gliserol P (Anonim, 1979; Anonim 1995). Parasetamol tidak larut dalam benzen dan eter (Connors et al., 1986). Titik lebur parasetamol adalah 169°C-172°C. Dalam larutan jenuh, pH parasetamol adalah sekitar 5,3-6,5. Parasetamol memiliki nilai pKa 9,51. Parasetamol sangat stabil dalam larutan air dan stabil dalam larutan dengan nilai pH 5-7. Parasetamol dapat membentuk kompleks dengan polyethyleneglycol (PEG) 4000 dan polyvynylpyrrolidone (PVP). Kompleks ini akan meningkatkan kelarutan parasetamol dalam air dan kecepatan disolusi parasetamol. Parasetamol akan menghasilkan efek terbaik dalam campuran parasetamol dan PEG dengan perbandingan parasetamol : PEG = 1 : 2 b/b (Connors et al., 1986; Hanson, 2000). Parasetamol diabsorpsi secara cepat dan lengkap melalui saluran pencernaan. Absorpsi parasetamol menurun jika asupan parasetamol diikuti dengan makanan berkarbohidrat tinggi (Lacy, Armstrong, Goldman, and Lance, 2003;
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 21
Anonim, 2005a). McGilveray dan Mattok (1972) menemukan bahwa adanya makanan akan menurunkan absorpsi parasetamol. Pemberian makanan bersama 1 gram parasetamol ternyata menurunkan kecepatan absorpsi menjadi lima kali lebih lambat daripada pemberian parasetamol pada manusia puasa. Makanan yang mengandung karbohidrat dan pektin dapat menurunkan kecepatan absorpsi parasetamol. Sebaliknya, keadaan puasa ternyata meningkatkan kecepatan absorpsi parasetamol walaupun tidak mempengaruhi jumlah total yang diabsorpsi. Waktu onset parasetamol kurang dari 1 jam dengan durasi 4-6 jam (Lacy et al., 2003). Parasetamol memiliki tmax 0,5-2 jam. Parasetamol terdistribusi hampir ke seluruh cairan tubuh (Anonim, 2004a). Di dalam plasma, sebanyak 20-50% parasetamol akan terikat oleh protein plasma (Lacy et al., 2003). Volume distribusi parasetamol menurut Melmon & Morelli (1992) adalah 0,94 l/kg. Besarnya konsentrasi efektif minimum (KEM) parasetamol adalah 10-20 μg/ml, sedangkan konsentrasi toksik minimum (KTM) adalah 300 μg/ml (Benet, 1992). Sebanyak 90-95% parasetamol dimetabolisme oleh hati, dalam reaksi konjugasi glutation, konjugasi glukuronida, dan konjugasi sulfat. Metabolit hasil konjugasi tersebut merupakan metabolit yang tidak aktif secara farmakologis (Gibson and Skett, 1991). Proses metabolisme parasetamol dapat dilihat pada gambar 3. Sebagian lainnya dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 menjadi metabolit toksik yang berbahaya bagi sel hati (Anonim, 2004a). Glutation di dalam tubuh dapat berikatan dengan metabolit ini dan membuatnya menjadi tidak toksik. Namun jumlah glutation yang terdapat di dalam tubuh sangat terbatas sehingga jika
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 22
dosis parasetamol terlalu tinggi tetap bersifat toksik (Bowman and Rand, 1990; Stringer, 2001).
HO
N H
COCH3
Parasetamol (aktif)
Metabolisme dan konjugasi glutation Konjugasi glukuronida
Sistein dan konjugasi asam merkapturat (tidak aktif)
Konjugasi sulfat
HO
OH
O HO
S O
O
N H
COCH3
O
HO
N H
COCH3
O
(tidak aktif)
urin
HOOC
(tidak aktif)
urin
urin
Gambar 3. Metabolisme parasetamol (Gibson and Skett, 1991)
Waktu paruh eliminasi parasetamol sekitar 1-4 jam (Anonim, 2005a). Jalur eliminasi parasetamol melalui ginjal. Sebanyak 90-100% obat ditemukan dalam urin sebagai metabolit tidak aktif, sedangkan 2% diekskresi dalam bentuk utuh (Anonim, 2004a). Nilai klirens parasetamol adalah 350 + 100 ml/menit (Benet, 1992). Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1893. Fenasetin telah diganti oleh parasetamol dalam banyak sediaan. Namun sampai sekarang tidak dijamin sempurna bahwa pemberian parasetamol dalam waktu lama lebih kurang toksik terhadap ginjal dibandingkan dengan fenasetin (Mutschler, 1999; Wilmana, 2003).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 23
Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat (Wilmana, 2003). Parasetamol memiliki efek analgesik antipiretik yang sama dengan aspirin. Parasetamol merupakan obat pilihan bagi pasien yang memerlukan efek analgesik sedang atau antipiretik dan bagi pasien yang kontraindikasi dengan aspirin, yaitu pasien yang hipersensitif terhadap aspirin, pasien yang mempunyai riwayat ulcer, pasien dengan penyakit gout, anak yang terinfeksi virus, dan pasien yang sedang mengkonsumsi antikoagulan (Anonim, 2001a).
C. Farmakokinetika 1. Definisi Proses yang berawal dari pemberian obat hingga efek yang ditimbulkan oleh obat dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase farmasetika, farmakokinetika, dan farmakodinamika. Tahap-tahap tersebut dapat dilihat pada gambar 4. Fase farmasetika meliputi hancurnya bentuk sediaan obat dan larutnya bahan obat. Oleh karena itu, fase ini terutama ditentukan oleh sifat-sifat galenik obat (Mutschler, 1999). Fase farmakokinetika meliputi proses invasi (absorpsi, distribusi) dan proses eliminasi (biotransformasi, ekskresi) (Mutschler, 1999). Farmakokinetika merupakan ilmu yang menggambarkan rentang waktu perpindahan obat masuk ke dalam tubuh, selama di dalam tubuh, dan keluar dari tubuh (Clark and Smith, 1993). Menurut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 24
Shargel et al. (2005), farmakokinetika mempelajari kinetika absorpsi, distribusi dan eliminasi obat. obat dalam bentuk sediaan pemberian Disintegrasi bentuk sediaan Disolusi obat
Fase farmasetika
Obat tersedia untuk diabsorpsi (availabilitas farmasetika) absorpsi, distribusi, metabolisme, ekskresi
Fase farmakokinetika
Obat tersedia untuk aksi (availabilitas farmakologi) interaksi obat-reseptor
Fase farmakodinamika
efek Gambar 4. Proses obat dalam tubuh untuk menimbulkan efek (Bowman and Rand, 1990)
Farmakokinetika dipengaruhi oleh faktor-faktor biologi, fisiologi, dan fisikakimia. Dalam banyak kasus, aksi farmakologi dan aksi toksikologi obat terkait dengan konsentrasi obat di dalam plasma. Oleh karena itu, dengan mempelajari farmakokinetika, farmasis akan mampu memberikan terapi yang tepat kepada pasien (Makoid and Cobby, 2000). Fase farmakodinamika merupakan interaksi obat-reseptor dan juga merupakan proses-proses yang menjadi akhir dari efek farmakologi (Mutschler, 1999).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 25
2.
Strategi penelitian farmakokinetika Definisi dari strategi penelitian farmakokinetika (SPF) adalah rencana yang
disusun sebelum meneliti tahap farmakokinetika obat untuk memperoleh informasi tentang nasib obat dalam tubuh secara kuantitatif. Objek penelitian farmakokinetika adalah tahap farmakokinetika obat dengan parameter farmakokinetika sebagai tolok ukurnya. Parameter farmakokinetika adalah besaran yang diturunkan secara matematik dari hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya di dalam darah atau urin (Suryawati dan Donatus, 1998). SPF meliputi tahap-tahap sebagai berikut. a.
Pemilihan rancangan uji coba.
b.
Pemilihan subjek uji dan jumlahnya.
c.
Pemilihan cuplikan hayati.
d.
Pemilihan metode analisis penetapan kadar. Metode analisis ini memiliki syarat-syarat sebagai berikut. 1)
Selektivitas Selektivitas adalah kemampuan metode analisis untuk membedakan suatu obat dengan metabolitnya, obat lain dan kandungan endogen cuplikan hayati.
2)
Sensitivitas Sensitivitas berkaitan dengan kadar terendah yang dapat diukur dengan metode analisis yang digunakan. Hal ini diperlukan karena dalam menghitung parameter farmakokinetika suatu obat diperlukan sederetan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 26
data kadar obat dari waktu ke waktu atau dari kadar tertinggi sampai kadar terendah dalam cuplikan hayati yang digunakan. 3)
Ketelitian dan ketepatan Ketelitian dan ketepatan ini akan menentukan kesahihan hasil penetapan kadar. Ketepatan (akurasi) ditunjukkan oleh kemampuan metode memberikan hasil pengukuran sedekat mungkin dengan nilai yang sesungguhnya.
Ketelitian
(presisi)
menunjukkan
kedekatan
hasil
pengukuran berulang pada cuplikan hayati yang sama. e.
Pemilihan takaran dosis dan bentuk sediaan obat. Takaran dosis yang diberikan harus menjamin dapat diukurnya kadar obat atau metabolitnya pada rentang waktu tertentu sehingga diperoleh data yang cukup memadai untuk analisis farmakokinetika.
f.
Pemilihan lama dan banyaknya waktu pengambilan cuplikan hayati. Apabila menggunakan cuplikan darah, sebaiknya pengambilan dilakukan sebanyak 3-5 kali t½ eliminasi obat yang diuji. Hal ini disebabkan karena pada kondisi tersebut, 99,2%-99,9% obat telah diekskresi. Frekuensi pengambilan cuplikan obat sebaiknya dilakukan setidaknya 3 kali pada tahap absorpsi, 3 kali di sekitar puncak, 3 kali pada tahap distribusi, dan 3 kali pada tahap eliminasi.
g.
Analisis dan evaluasi hasil. Langkah-langkah ini meliputi analisis sederetan kadar obat utuh atau metabolitnya dalam darah atau urin, analisis statistika dan evaluasi. (Suryawati dan Donatus, 1998)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 27
D. Nasib Obat di Dalam Tubuh Obat yang masuk ke dalam tubuh umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian, dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh (Setiawati, Zunilda, dan Suyatna, 2003). Seluruh proses ini disebut sebagai proses farmakokinetika seperti terlihat pada gambar 5. tempat aksi “reseptor” terikat
absorpsi
jaringan bebas
terikat
bebas
sirkulasi sistemik
ekskresi
obat bebas obat terikat
metabolit
biotransformasi Gambar 5. Proses farmakokinetika obat di dalam tubuh (Setiawati dkk., 2003)
1. Absorpsi Kebanyakan obat harus dipindahkan ke tempat aksi oleh darah. Obat yang diberikan secara ekstravaskular membutuhkan proses absorpsi (Shargel et al., 2005). Absorpsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan (Setiawati dkk., 2003). Absorpsi menggambarkan laju obat meninggalkan tempat pemberian dan jumlah obat yang tersedia. Oleh karena itu, menurut para ahli klinis parameter bioavailabilitas lebih tepat daripada absorpsi. Bioavailabilitas adalah istilah yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 28
digunakan untuk menggambarkan jumlah obat yang mencapai tempat aksi atau cairan tubuh. Sebagai contoh, obat yang diberikan per oral harus diabsorpsi terlebih dahulu dari lambung dan usus halus. Absorpsi ini dipengaruhi oleh sifat bentuk sediaan dan sifat fisika kimia obat. Obat juga akan mengalami metabolisme di hati sebelum akhrinya mencapai sirkulasi sistemik. Akibatnya, sejumlah obat yang diberikan dan diabsorpsi akan menjadi tidak aktif atau berubah bentuk. Jika kapasitas metabolisme di hati besar, maka bioavailabilitas akan berkurang (disebut sebagai first-pass effect) (Wilkinson, 2001). Mekanisme absorpsi dapat terjadi secara difusi pasif, difusi terfasilitasi, transpor aktif atau pinositosis, fagositosis dan persorpsi. Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi pasif. Absorpsi mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan mudah larut dalam lemak. Mekanisme difusi pasif dijelaskan dengan Hukum Fick (Proudfoot, 1990) : dQ D A K = (C GI - C B ) dt h
(6)
Keterangan :
dQ dt
= laju difusi
D A K h CGI - CB
= = = = =
B
koefisien difusi luas permukaan membran koefisien partisi tebal membran perbedaan konsentrasi obat dalam saluran cerna dan dalam darah
Konsentrasi obat di dalam darah jauh lebih kecil daripada konsentrasi obat dalam saluran cerna (CGI >> CB). Kondisi ini disebut dengan kondisi “sink” yang memastikan bahwa perbedaan konsentrasi tetap terjaga selama proses absorpsi sehingga difusi pasif dapat terus berlangsung (Proudfoot, 1990).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 29
2. Distribusi Organ target bagi obat biasanya bukan darah sehingga obat harus dapat menembus jaringan untuk dapat memberi efek yang diharapkan (Clark and Smith, 1993). Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisika kimianya (Setiawati dkk., 2003). Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik, misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak secepat organ di atas misalnya otot, visera, kulit dan jaringan lemak (Setiawati dkk., 2003). Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut lemak akan sulit menembus membran sehingga distribusinya terbatas terutama di cairan ekstrasel. Selain itu, distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma dan hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat pada protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya (Setiawati dkk., 2003).
3. Biotransformasi Biotransformasi atau metabolisme obat adalah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 30
molekul obat diubah menjadi lebih polar sehingga lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat (Setiawati dkk., 2003). Reaksi biokimia yang terjadi dapat dibedakan menjadi reaksi fase I dan fase II. Proses yang termasuk reaksi fase I adalah oksidasi, reduksi, dan hidrolisis. Reaksi fase I ini mengubah obat menjadi metabolit yang lebih polar. Reaksi fase II yang disebut juga reaksi sintetik merupakan konjugasi obat atau metabolit hasil reaksi fase I dengan substrat endogen misalnya asam glukuronat, sulfat, asetat, atau asam amino. Hasil konjugasi ini bersifat lebih polar dan lebih mudah terionisasi sehingga lebih mudah diekskresi (Setiawati dkk., 2003). Sebagian besar biotransformasi obat dikatalis oleh enzim mikrosom hati, demikian pula biotransformasi asam lemak, hormon steroid, dan bilirubin. Untuk itu obat harus larut lemak agar dapat melintasi membran, masuk ke dalam retikulum endoplasma dan berikatan dengan enzim mikrosom (Setiawati dkk., 2003).
4. Ekskresi Ekskresi suatu obat dan metabolitnya menyebabkan penurunan konsentrasi bahan berkhasiat dalam tubuh. Ekskresi dapat terjadi tergantung pada sifat fisika kimia (bobot molekul, harga pKa, kelarutan, tekanan uap) senyawa yang diekskresi (Mutschler, 1999). Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 31
metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru (Setiawati dkk., 2003). Organ ekskresi yang terpenting adalah ginjal. Ekskresi meliputi 3 proses berikut : filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan reabsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal (Setiawati dkk., 2003). Selain melalui ginjal, ekskresi obat juga dapat terjadi melalui empedu dan usus (feses), kulit (keringat), air liur, air mata, air susu, paru-paru (udara ekspirasi) dan rambut (Mutschler, 1999; Setiawati dkk., 2003). Ekskresi obat melalui kulit dan turunannya tidak begitu penting. Pada ibu menyusui, eliminasi obat dan metabolitnya dalam air susu dapat menyebabkan intoksikasi yang membahayakan bagi bayi (Mutschler, 1999).
E. Dasar-Dasar Perhitungan Farmakokinetika 1. Model kompartemen Tubuh terdiri dari banyak kompartemen. Masing-masing sel tubuh dan bagian-bagian dari sel merupakan kompartemen yang kecil. Dalam farmakokinetika, yang disebut dengan kompartemen adalah organ-organ dan jaringan di mana kecepatan absorpsi dan klirens obat adalah sama (Clark and Smith, 1993). Model kompartemen adalah suatu hubungan matematika yang menggambarkan perubahan konsentrasi terhadap waktu dalam sistem tubuh (Mutschler, 1999). a. Model satu kompartemen. Pada model satu kompartemen, obat akan segera terdistribusi ke dalam ruang distribusi secara merata setelah pemakaian. Jika proses eliminasi mungkin terjadi, maka model satu kompartemen disebut terbuka (Mutschler, 1999).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 32
b. Model dua kompartemen. Pada model dua atau lebih kompartemen, distribusi obat ke dalam ruang distribusi terjadi dengan kecepatan yang berbedabeda. Dengan demikian dapat dibedakan menjadi kompartemen pusat, yang secara kinetika bersifat seperti darah (organ transpor) dan kompartemen perifer. Bila pertukaran zat antara suatu kompartemen perifer dan kompartemen pusat sangat lambat, maka disebut kompartemen dalam (Mutschler, 1999).
2. Parameter farmakokinetika Parameter farmakokinetika diperoleh dari perubahan konsentrasi obat dan metabolitnya dalam cairan darah (darah, plasma, dan serum) dan dalam urin terhadap waktu. Kedua cairan tersebut mudah dilewati dan konsentrasi dalam darah, yaitu alat transpornya, mencerminkan proses kinetika dalam organisme (Mutschler, 1999). Untuk memperoleh kurva konsentrasi terhadap waktu sebagai hasil dari berbagai bagian proses farmakokinetika yang berbeda-beda perlu dilakukan penentuan konsentrasi obat berulang-ulang (Mutschler, 1999). Dalam membuat kurva konsentrasi terhadap waktu untuk suatu obat, suatu bentuk sediaan tertentu akan diberikan kepada sekelompok pasien dan sampel darah pasien itu akan diambil pada periode waktu yang telah ditentukan. Jumlah obat dalam sampel darah ini kemudian akan dianalisis dan dibuat grafik konsentrasi darah terhadap waktu (Ansel and Prince, 2006). Kurva konsentrasi darah terhadap waktu dapat digunakan untuk menentukan atau membuat parameter-parameter berikut (Ansel and Prince, 2006; Mutschler, Derendorf, Schäfer-Korting, Elrod, and Estes, 1995) :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 33
a. Area Under the Curve (AUC). Nilai AUC biasanya dihitung dari profil kurva konsentrasi plasma terhadap waktu. Nilai AUC menggambarkan jumlah obat di dalam tubuh dan dapat dihitung dengan aturan trapezoid. Luas area trapezoid = (tn+1 – tn) . (Cn + Cn+1) / 2
(7)
Keterangan : tn+1 = waktu saat n+1 (menit) tn = waktu saat n (menit) Cn = konsentrasi pada waktu tn (μg/ml) Cn+1 = konsentrasi pada waktu tn+1 (μg/ml)
Jumlah semua area trapezoid merupakan nilai AUC(0-t). Untuk menghitung total AUC (AUC(0-∞)), maka dilakukan ekstrapolasi bagian akhir area setelah titik akhir pengukuran (AUC(t-∞)). Prosedur ini sahih jika bagian ekstrapolasi area lebih kecil dari 10% AUC(0-t) dan sebaiknya data tidak dipakai jika bagian ekstrapolasi lebih besar dari 20% AUC(0-t). b. Volume distribusi (Vd). Volume distribusi adalah volume hipotetis cairan tubuh yang akan diperlukan untuk melarutkan jumlah total obat pada konsentrasi yang sama seperti yang ditemukan dalam darah. Vd =
D Cp
(8)
Keterangan : Vd = volume distribusi (ml) D = dosis (mg) Cp = kadar obat dalam plasma (μg/ml)
Volume distribusi dapat dianggap sebagai volume plasma, cairan ekstraseluler, atau cairan tubuh total. Jumlah total obat dalam tubuh dapat dihitung dari konsentrasi obat dan volume distribusi. Nilai volume distribusi yang besar menunjukkan bahwa obat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 34
yang terdistribusi ke jaringan juga besar atau dapat juga obat terkonsentrasi pada jaringan tertentu. c. Klirens (Cl). Klirens merupakan volume darah atau plasma yang dapat dibersihkan dari obat per satuan waktu. Klirens total diperoleh dari hasil kali tetapan laju eliminasi (kel) dan volume distribusi (Vd) Cl = Vd . kel
(9)
atau dari hasil bagi dosis (D) dengan AUC. Cl =
D AUC
(10)
Keterangan : Cl = klirens (ml/menit) Vd = volume distribusi (ml) kel = tetapan laju eliminasi (menit-1) D = dosis (mg) AUC = Area Under the Curve (μg.menit/ml)
Jika obat hanya dieliminasi oleh satu organ, maka klirens total sama dengan klirens organ tersebut. Namun biasanya nilai klirens total melibatkan beberapa jalur yang terdiri dari beberapa organ klirens juga. Jalur terpenting adalah hepatik (ClH) dan ginjal (ClR) sehingga rumus klirens total menjadi : Cl = ClH + ClR + Clx
(11)
Keterangan : Cl = klirens total (ml/menit) ClH = klirens hepatik (ml/menit) ClR = klirens ginjal (ml/menit) ClX = klirens organ lain (ml/menit)
d. Waktu paruh eliminasi (t½ eliminasi). Nilai t½ eliminasi merupakan waktu kadar obat dalam darah atau plasma menjadi setengah dari kadar awal. t1 = 2
0,693 k el
(12)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 35
Keterangan : t½ = waktu paruh eliminasi (menit) kel = tetapan laju eliminasi (menit-1)
Waktu paruh eliminasi adalah parameter farmakokinetika dan tidak sama dengan waktu paruh efek farmakologi. Waktu paruh eliminasi merupakan parameter farmakokinetika yang penting. Dengan parameter ini, obat dapat dikelompokkan menjadi short-acting, medium-acting, atau long-acting. e. Tetapan laju eliminasi (kel). Tetapan laju eliminasi adalah laju pengeluaran per satuan waktu. Tetapan laju eliminasi dapat dihitung sebagai :
k el =
ln 2 t1
(13)
2
Keterangan : kel = tetapan laju eliminasi (menit-1) t½ = waktu paruh eliminasi (menit)
f. Bioavailabilitas. Bioavailabilitas ditentukan secara tidak langsung dengan pengukuran kadar obat dalam plasma atau urin sebab biasanya tidak mungkin untuk mengukur langsung kadar obat pada tempat aksi. Faktor-faktor yang menentukan bioavailabilitas adalah laju dan jumlah obat yang dilepaskan dari bentuk sediaan, laju dan jumlah obat yang diabsorpsi dan besarnya first-pass effect. Jumlah obat yang diabsorpsi dapat ditentukan dengan membandingkan AUC setelah pemberian secara intravena (AUCi.v) dengan AUC setelah pemberian non-sistemik (AUCx). Besarnya bioavailabilitas absolut (F) dapat dihitung sebagai :
F=
AUC x x 100% AUCi.v
(14)
Selain itu, dapat pula ditentukan bioavailabilitas relatif (Frel) yaitu dibandingkan dengan AUC standar (selain intravena, misal solution).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 36
Frel =
AUC x x 100% AUCstandar
(15)
F. Darah 1. Plasma darah Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas 2 bagian, yaitu bahan interseluler berupa cairan yang disebut plasma dan di dalamnya terdapat unsur-unsur padat yaitu sel darah. Volume darah secara keseluruhan kira-kira seper-dua belas berat badan. Sekitar 55% adalah cairan (plasma) dan sisanya (45%) adalah sel darah (Pearce, 2002). Saat darah membeku (mengalami koagulasi), fase cair yang tertinggal dinamakan serum. Serum sudah tidak mengandung faktor-faktor pembekuan (termasuk fibrinogen) yang normalnya terdapat di dalam plasma sebab sudah terpakai dalam proses koagulasi. Jika darah diberi antikoagulan kemudian disentrifugasi, fase cairnya dinamakan plasma. Di dalam plasma masih terdapat faktor-faktor pembekuan. Selain itu, protein di dalam plasma tidak ikut mengendap (Murray, Granner, Mayes, and Rodwell, 2000; Chamberlain, 1995). Konsentrasi suatu obat dalam plasma, yang disebut dengan kadar dalam darah (lebih tepatnya : kadar obat dalam plasma) merupakan ukuran pengenal yang penting sebab angka kadar dalam darah dapat ditentukan secara tepat dengan metode analitik modern (Mutschler, 1999). Plasma darah manusia mengandung sekitar 90-92% air. Fungsi air selain sebagai pelarut senyawa organik dan inorganik, juga sangat penting untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 37
pengaturan suhu dan pertukaran secara osmotik antarkompartemen tubuh (Frissel, 1992). Pengikatan molekul kecil pada protein dapat dituliskan dengan persamaan umum berikut : [P] + [A]
[PA]
[P] adalah kadar protein yang tidak dapat membentuk kompleks dengan molekul kecil, [A] adalah kadar molekul kecil yang tidak terikat protein dan [PA] adalah kadar kompleks protein-protein kecil (Montgomery, Conway, and Spector, 1993). Metode yang sederhana dalam mempersiapkan plasma untuk analisis adalah dengan mengendapkan protein dan mengisolasi filtratnya. Protein dapat didenaturasi dengan cara diendapkan. Jika protein terdenaturasi, maka kemampuan protein untuk berikatan dengan obat menjadi rusak sehingga obat yang terikat akan dibebaskan ke filtratnya. Reagen-reagen asam yang sering digunakan untuk mengendapkan protein adalah asam trikloroasetat, asam perklorat, dan asam tungstat. Namun asam kuat dapat merusak obat yang diisolasi dari protein sehingga perlu dilakukan uji beberapa pereaksi tersebut (Chamberlain, 1995).
2. Denaturasi protein plasma Denaturasi diartikan sebagai perubahan atau modifikasi terhadap struktur sekunder, tersier, dan kuartener terhadap molekul-molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovalen. Terdapat dua macam denaturasi protein, yaitu pengembangan rantai polipeptida dan pemecahan protein menjadi unit yang lebih kecil tanpa disertai pengembangan molekul (Bruice, 1998).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 38
Beberapa metode yang biasa digunakan untuk mendenaturasi protein adalah (Bruice, 1998). a. Mengubah pH. Misalnya dengan penambahan asam kuat seperti asam trikloroasetat (TCA). Mekanisme denaturasi protein akibat perubahan pH oleh asam trikloroasetat adalah dengan mengubah muatan anion-kation pada berbagai ikatan protein sehingga terjadi gangguan elektrostatik dan rusaknya ikatan hidrogen protein. b. Reagen-reagen khusus seperti urea dan guanidin hidroklorida akan membentuk ikatan hidrogen dengan protein yang bersifat lebih kuat daripada ikatan antarprotein dalam molekul tersebut sehingga protein terdenaturasi. c. Detergen-detergen seperti natrium dodesil sulfat dan pelarut-pelarut organik berikatan dengan gugus non polar sehingga mengganggu ikatan hidrofobik normal. d. Panas dapat mendenaturasi protein dengan meningkatkan pergerakan molekul protein yang mengganggu gaya tarik menarik antarmolekul protein.
G. Kolorimetri 1. Definisi Kolorimetri merupakan teknik pengukuran serapan cahaya yang diabsorpsi oleh zat berwarna, baik warna dari zat asal maupun warna yang terbentuk akibat reaksi dengan zat lain (Khopkar, 1990). Pada kolorimetri, dibuat kadar larutan dengan kadar yang semakin meningkat serta membandingkan warnanya dengan senyawa yang hendak dianalisis. Menurut Roth and Blaschke (1981), kolorimetri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 39
juga mencakup pengubahan senyawa yang tidak berwarna menjadi berwarna dan penentuan fotometrinya dilakukan pada panjang gelombang sinar tampak (400-800 nm). Pemilihan prosedur kolorimetri didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut (Bassett, Denney, Jeffery, and Mendham, 1991) : 1. Metode kolorimetri memberikan hasil yang lebih akurat pada konsentrasi rendah daripada titrimetri atau gravimetri. 2. Metode kolorimetri sering digunakan pada kondisi di mana metode titrimetri atau gravimetri tidak dapat dilakukan. 3. Metode kolorimetri memiliki beberapa keuntungan untuk penentuan sejumlah komponen dalam sampel yang sama.
2. Metode penetapan kadar parasetamol secara kolorimetri Ada beberapa macam cara yang dapat digunakan pada metode kolorimetri untuk penetapan parasetamol. a. Teknik asam nitrat. Parasetamol dilarutkan dengan metanol dan ditambah dengan larutan asam nitrat sehingga menghasilkan warna kuning kemerahan (Connors, 1982). NHCOCH3
NHCOCH3
HNO3
NO2 OH
OH
Gambar 6. Reaksi parasetamol dengan asam nitrat (Connors, 1982)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 40
b. Teknik hidrolisis menjadi p-aminofenol. Pembentukan senyawa berwarna dari parasetamol umumnya diawali dengan hidrolisis parasetamol menjadi p-aminofenol. Hasilnya lalu direaksikan dengan o-nitroanilin terdiazotasi, vanilin, p-dimetilaminobenzaldehid atau 2-naftol yang dalam suasana basa akan membentuk senyawa berwarna (Belal, Elsayed, ElWaliely, and Abdine, 1979). NHCOCH3
NH2
+
H / H2O
OH
parasetamol
+
CH3COOH
OH
p-aminofenol
asam asetat
Gambar 7. Reaksi hidrolisis parasetamol menjadi p-aminofenol (Belal et al., 1979)
Penetapan kadar parasetamol dalam plasma dengan metode ini tanpa disertai dengan pemisahan parasetamol dari konjugatnya akan memberikan hasil yang tidak sesuai dengan kadar yang sebenarnya (Belal et al., 1979). c. Metode Chafetz et al. (1971). Parasetamol yang telah dilarutkan aquadest ditambah dengan larutan asam klorida 6N, natrium nitrit 10%, asam sulfamat 15% dan NaOH 10% akan menghasilkan warna kuning. Cincin aromatis dari parasetamol akan dinitritasi oleh asam nitrit menjadi 2-nitro-4-asetamidofenol. Dalam suasana basa, larutan akan memiliki kromofor yang yang lebih panjang sehingga serapan dapat terbaca
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 41
pada panjang gelombang 430 nm (Chafetz, Daly, Schriftman, and Lomner, 1971). OH
O
OH NO2
NO2
-
NaNO2
OH
HCl
NHCOCH3
NHCOCH3
NHCOCH3
Gambar 8. Reaksi pembentukan warna pada metode Chafetz et al. (1971)
Metode ini sangat spesifik untuk parasetamol meskipun dipengaruhi oleh salisilat (Chamberlain, 1995). Asam salisilat akan memberikan reaksi yang mirip dengan parasetamol, tetapi di dalam plasma, asam salisilat baru akan memberi intensitas warna yang mirip dengan 20 μg/ml parasetamol jika kadar asam salisilat di dalam plasma 1000 μg/ml (Widdop, 1986). d. Penetapan kadar parasetamol dalam plasma. Sebanyak 2,0 ml asam trikloroasetat ditambahkan ke dalam 1,0 ml plasma lalu disentrifugasi dan diambil supernatannya. Kemudian supernatan dicampur dengan 1,0 ml asam klorida 6N dan 2,0 ml natrium nitrit 10% dan didiamkan selama 2 menit. Lalu ditambahkan 2,0 ml asam sulfamat secara hati-hati dan 5,0 ml natrium hidroksida 10%. Serapan diukur pada panjang gelombang 430 nm dengan air tanpa reagen sebagai blangkonya. Reaksi ini spesifik untuk parasetamol dan tidak dipengaruhi oleh konjugat sulfat dan konjugat glukuronida parasetamol (Glynn and Kendal, 1975).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 42
H. Desain Cross Over Studi bioavailabilitas biasanya dilakukan pada subjek yang sama (dengan desain menyilang) untuk menghilangkan variasi biologik antarsubjek sehingga dapat memperkecil jumlah subjek yang dibutuhkan. Pemberian produk obat yang pertama harus dilakukan secara acak agar efek urutan (order effect) maupun efek waktu (period effect) menjadi seimbang (Anonim, 2004b). Perlakuan pertama dan kedua dipisahkan oleh periode washout yang cukup untuk eliminasi produk obat yang pertama diberikan (biasanya lebih dari 5 kali waktu paruh obat). Jika obat mempunyai kecepatan eliminasi yang sangat bervariasi antarsubjek,
maka
diperlukan
periode
washout
yang
lebih
lama
untuk
memperhitungkan kecepatan eliminasi yang lebih rendah pada beberapa subjek. Oleh karena itu, untuk obat dengan waktu paruh eliminasi lebih dari 24 jam, dapat dipertimbangkan penggunaan desain 2 kelompok paralel (Anonim, 2004b).
I. Keterangan Empiris Terdapat dua macam obat yang dikenal oleh masyarakat, yaitu obat generik dan obat bermerk dagang. Selama ini, obat bermerk dagang dianggap lebih baik daripada obat generik. Semua obat, baik obat generik maupun obat bermerk dagang harus terjamin keamanan dan khasiatnya. Penelitian ini membandingkan nilai parameter bioavailabilitas antara tablet parasetamol bermerk dagang (Pyrexin® dan Progesic®) terhadap tablet parasetamol generik secara statistik. Selain itu, penelitian ini juga menguji apakah tablet Pyrexin® dan Progesic® bioekivalen dengan tablet parasetamol generik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian Perbandingan Bioavailabilitas Tablet Pyrexin® dan Tablet Progesic® dengan Tablet Parasetamol (Generik) pada Kelinci Putih Jantan termasuk ke dalam jenis penelitian eksperimental murni, rancangan eksperimental silang dengan desain cross over.
B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian a. Variabel utama 1) Variabel bebas Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tiga jenis tablet parasetamol. Dalam hal ini adalah tablet parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic®. 2) Variabel tergantung Variabel tergantung merupakan hasil pengamatan penelitian ini, yaitu parameter-parameter bioavailabilitas : a) AUC(0-inf) merupakan area di bawah kurva kadar obat dalam plasma terhadap waktu dari waktu ke-0 sampai waktu tidak terhingga. b) Cmax merupakan kadar puncak obat dalam plasma. c) tmax merupakan waktu sejak pemberian obat sampai mencapai Cmax.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 44
Selain itu, ditentukan pula parameter farmakokinetika lainnya, yaitu : a) ka merupakan tetapan laju absorpsi. b) Cl (klirens) merupakan volume darah yang dapat dibersihkan dari obat per satuan waktu. c) Vd (volume distribusi) merupakan volume penyebaran obat dalam tubuh. d) AUC(0-t) merupakan area di bawah kurva kadar obat dalam plasma terhadap waktu dari waktu ke-0 sampai waktu terakhir kadar obat diukur. e) t½ merupakan waktu paruh obat dalam plasma. f) kel merupakan tetapan laju eliminasi.
b. Variabel pengacau 1) Variabel pengacau yang dapat dikendalikan a) galur spesies hewan uji
: lokal
b) jenis kelamin hewan uji
: jantan
c) umur hewan uji
: 2-3 bulan
d) berat badan hewan uji
: 1,7-2 kg
e) status puasa hewan uji
: terhadap makanan dan minuman selama 18 jam sebelum diberi perlakuan
2) Variabel pengacau yang tidak dapat dikendalikan a) keadaan patologis hewan uji b) ukuran partikel parasetamol dalam larutan obat yang diberikan kepada hewan uji
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 45
2. Definisi operasional Definisi operasional pada penelitian ini yaitu : a.
Bioavailabilitas adalah persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik, dalam bentuk utuh/aktif setelah pemberian produk obat tersebut, yang diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu pada kelinci putih jantan.
b.
Bioekivalensi adalah perbandingan bioavailabilitas dari dua produk obat, yaitu tablet Pyrexin® terhadap tablet parasetamol generik dan tablet Progesic® terhadap tablet parasetamol generik.
c.
Dua produk disebut bioekivalen jika : -
0,800 <
-
0,800 <
-
0,800 <
rata - rata geometrik AUC merk dagang rata - rata geometrik AUC generik
rata - rata geometrik C max merk dagang rata - rata geometrik C max generik
rata - rata geometrik t maxmerk dagang rata - rata geometrik t max generik
< 1,250
< 1,250
< 1,250
C. Bahan Penelitian Asam trikloroasetat kualitas proanalisis (E. Merck, Darmstadt, Germany), larutan asam klorida pekat kualitas proanalisis (E. Merck, Darmstadt, Germany), natrium nitrit kualitas proanalisis (E. Merck, Darmstadt, Germany), asam sulfamat kualitas proanalisis (Sigma), natrium hidroksida kualitas proanalisis (E. Merck, Darmstadt, Germany), kalium dihidrogen fosfat kualitas proanalisis (E. Merck, Darmstadt,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 46
Germany), parasetamol kualitas farmasetis (Changshu Huagang Pharmaceutical), tablet parasetamol (generik Indofarma) (no. batch sama), tablet Pyrexin® (Meprofarm-no. batch sama), dan tablet Progesic® (Metiska Farma-no. batch sama).
D. Alat Penelitian Spektrofotometer (Genesys 6 v1.001), spektrofotometer UV/Vis (Lambda 20, Perkin Elmer), sentrifuge (berdiameter 18 cm, Hettich EBA 85), degassing ultrasonic, vortex (MSI Minishaker IKA), neraca elektrik (Mettler Toledo, model AB 204, made in Switzerland), mikropipet, hardness tester (Kiya seisakustio, Ltd. Tokyo Japan No. 174886), atrition tester (ATMI Surakarta), disintegration tester (ATMI Surakarta), disolution tester (Satox), dan alat-alat gelas (Pyrex).
E. Tata Cara Penelitian 1. Uji pendahuluan tablet a. Uji keseragaman bobot Dua puluh tablet ditimbang satu-persatu lalu dihitung bobot rata-ratanya. Untuk tablet yang bobotnya lebih besar dari 300 mg, tidak boleh lebih dari 2 tablet yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih besar dari 5% dan tidak ada 1 tablet pun yang bobotnya menyimpang lebih besar dari 10% (Anonim, 1979). b. Uji kekerasan tablet Tablet diletakkan pada alat hardness tester kemudian mesin dijalankan. Kekerasan tablet terbaca pada layar alat (Kottke and Rudnic, 2002).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 47
c. Uji kerapuhan tablet Dua puluh tablet dibebas-debukan dari partikel halus yang menempel kemudian ditimbang. Tablet dimasukkan ke dalam atrition tester (alat penguji kerapuhan tablet), diputar selama 4 menit dengan laju 25 rpm. Kemudian tablet dibebas-debukan dan ditimbang kembali. Setelah itu dihitung persen (%) kehilangan bobot tablet dari bobot keseluruhan tablet semula. Menurut The United States Pharmacopeia 28 (2005), tablet memenuhi syarat uji kerapuhan jika angka persentase kerapuhan tidak lebih dari 1%. d. Uji waktu hancur Masukkan 5 tablet ke dalam keranjang, kemudian keranjang disisipkan di tengah-tengah tabung kaca yang berisi air pada suhu antara 36°C-38°C. Tabung dinaik-turunkan 30 kali setiap menit. Tablet dinyatakan hancur jika tidak ada bagian tablet yang tertinggal di atas jaring keranjang. Tablet dinyatakan memenuhi syarat uji waktu hancur jika kelima tablet hancur dalam waktu kurang dari 15 menit (Anonim, 1979). e. Uji disolusi 1) Pembuatan media disolusi (larutan dapar fosfat pH 5,8) a) Larutan kalium dihidrogen fosfat 0,2M Sejumlah lebih kurang 27,218 g kalium dihidrogen fosfat dilarutkan dengan aquadest sampai volume 1000,0 ml. b) Larutan natrium hidroksida 0,2M Sejumlah lebih kurang 0,8 g natrium hidroksida dilarutkan dengan aquadest sampai volume 100,0 ml.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 48
c) Larutan dapar fosfat pH 5,8 Campur 50,0 ml larutan kalium dihidrogen fosfat 0,2M dengan 3,66 ml larutan natrium hidroksida 0,2M, kemudian encerkan menjadi 200,0 ml (Vogel, 1990). 2) Pembuatan larutan parasetamol dalam larutan dapar fosfat pH 5,8 a) Pembuatan larutan persediaan parasetamol Lebih kurang 50 mg parasetamol yang ditimbang seksama dilarutkan dengan larutan dapar fosfat pH 5,8 sampai volume 50,0 ml. b) Pembuatan larutan intermediet I parasetamol Sebanyak 1,0 ml larutan persediaan parasetamol dimasukkan ke dalam labu ukur 50,0 ml kemudian diencerkan dengan larutan dapar fosfat pH 5,8 sampai tanda sehingga diperoleh larutan parasetamol dengan kadar 20 μg/ml. c) Pembuatan seri kadar larutan intermediet II parasetamol Sebanyak 1,5; 2,0; 2,5; 3,0; 3,5; 4,0; dan 4,5 ml larutan intermediet I parasetamol dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml kemudian diencerkan dengan larutan dapar fosfat pH 5,8 sampai tanda sehingga diperoleh larutan parasetamol dengan kadar 3,0; 4,0; 5,0; 6,0; 7,0; 8,0; dan 9,0 μg/ml. 3) Penentuan panjang gelombang maksimum Serapan larutan parasetamol dalam larutan dapar fosfat pH 5,8 dengan kadar 6,0 μg/ml dibaca dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 200 nm sampai dengan 300 nm. Panjang gelombang maksimum merupakan panjang gelombang di mana serapannya maksimum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 49
4) Pembuatan kurva baku Tiap-tiap kadar larutan intermediet II parasetamol dibaca serapannya dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 243,1 nm (hasil penentuan panjang gelombang maksimum). Kemudian dibuat persamaan kurva baku dengan analisis regresi linier antara kadar parasetamol dalam media disolusi dengan serapan. 5) Uji disolusi parasetamol Masukkan 900 ml media disolusi pada alat disolusi tipe 2. Setelah itu tablet dimasukkan dan alat dijalankan dengan kecepatan 50 rpm. Suhu dijaga tetap 37°C. Ambil 5,0 ml cuplikan pada menit ke-10, 20, dan 30. Setelah mengambil 5,0 ml cuplikan, tambahkan 5,0 ml larutan dapar fosfat pH 5,8 ke dalam tabung. Ukur serapan dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 243,1 nm. Kadar terukur dihitung dengan menggunakan persamaan kurva baku. Dalam waktu 30 menit, parasetamol harus larut tidak kurang dari 80% jumlah yang tertera pada etiket (Anonim, 1995).
2. Pembuatan larutan a. Larutan asam trikloroasetat 20% Sejumlah lebih kurang 20 g asam trikloroasetat dilarutkan dengan aquadest sampai volume 100,0 ml. b. Larutan asam klorida 6N Pipet lebih kurang 59,88 ml asam klorida 10,02N diencerkan dengan aquadest sampai volume 100,0 ml.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 50
c. Larutan natrium nitrit 10% Sejumlah lebih kurang 10 g natrium nitrit dilarutkan dengan aquadest sampai volume 100,0 ml. d. Larutan asam sulfamat 15% Sejumlah lebih kurang 15 g asam sulfamat dilarutkan dengan aquadest sampai volume 100,0 ml. e. Larutan natrium hidroksida 10% Sejumlah lebih kurang 10 g natrium hidroksida dilarutkan dengan aquadest bebas CO2 sampai volume 100,0 ml.
3. Pembuatan larutan parasetamol a. Pembuatan larutan persediaan parasetamol Lebih kurang 100 mg parasetamol yang ditimbang seksama dilarutkan dengan aquadest sampai volume 100,0 ml. b. Pembuatan seri kadar larutan intermediet parasetamol Sebanyak 1,0; 2,0; 3,0; 4,0; 5,0; 6,0; 7,0; dan 8,0 ml larutan persediaan parasetamol dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml kemudian diencerkan dengan aquadest sampai tanda sehingga diperoleh larutan parasetamol dengan kadar 100, 200, 300, 400, 500, 600, 700, dan 800 μg/ml.
4. Cara perolehan plasma darah Darah kelinci diambil dari vena marginalis salah satu telinga dan ditampung pada tabung effendorf yang telah diberi 2 tetes heparin. Darah tersebut lalu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 51
disentrifugasi selama 10 menit pada laju 3000 rpm untuk memperoleh plasma darah, yaitu bagian yang bening.
5. Optimasi metode a. Penentuan operating time Larutan intermediet parasetamol dengan kadar 200 μg/ml dan 800 μg/ml diambil 0,5 ml lalu ditambahkan ke dalam tabung sentrifuge yang berisi 0,5 ml plasma. Pada tabung sentrifuge tersebut ditambahkan 2,0 ml larutan asam trikloroasetat 20%, kemudian dicampur dan disentrifugasi selama 10 menit pada laju 3000 rpm. Semua supernatan yang bening dipindahkan ke dalam labu ukur 10,0 ml, lalu secara berturut-turut ditambahkan 0,5 ml HCl 6N; 1,0 ml NaNO2 10% dan didiamkan selama 15 menit. Selanjutnya, dengan hati-hati ditambahkan 1,0 ml asam sulfamat (H2NSO3H) 15% lewat dinding tabung, lalu ditambahkan 3,2 ml NaOH 10% dan aquadest sampai tanda. Setelah itu di-degassing selama 10 menit. Serapan kemudian dibaca dengan spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 430 nm (panjang gelombang teoritis) sampai diperoleh serapan yang stabil pada rentang waktu tertentu. b. Penentuan panjang gelombang maksimum parasetamol Larutan intermediet parasetamol dengan kadar 200 μg/ml dan 800 μg/ml diambil 0,5 ml lalu ditambahkan ke dalam tabung sentrifuge yang berisi 0,5 ml plasma. Pada tabung sentrifuge tersebut ditambahkan 2,0 ml larutan asam trikloroasetat 20%, kemudian dicampur dan disentrifugasi selama 10 menit pada laju 3000 rpm. Semua supernatan yang bening dipindahkan ke dalam labu ukur 10,0 ml,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 52
lalu secara berturut-turut ditambahkan 0,5 ml HCl 6N; 1,0 ml NaNO2 10% dan didiamkan selama 15 menit. Selanjutnya, dengan hati-hati ditambahkan 1,0 ml asam sulfamat (H2NSO3H) 15% lewat dinding tabung, lalu ditambahkan 3,2 ml NaOH 10% dan aquadest sampai tanda. Setelah itu di-degassing selama 10 menit. Serapan kemudian dibaca dengan spektrofotometer sinar tampak pada waktu operating time yang telah diperoleh pada panjang gelombang 380 nm sampai 580 nm. c. Pembuatan kurva baku Dari tiap-tiap kadar larutan intermediet parasetamol diambil 0,5 ml lalu masing-masing ditambahkan ke dalam 8 tabung sentrifuge yang berisi 0,5 ml plasma. Pada tabung sentrifuge tersebut ditambahkan 2,0 ml larutan asam trikloroasetat 20%, kemudian dicampur dan disentrifugasi selama 10 menit pada laju 3000 rpm. Semua supernatan yang bening dipindahkan ke dalam labu ukur 10,0 ml, lalu secara berturut-turut ditambahkan 0,5 ml HCl 6N; 1,0 ml NaNO2 10% dan didiamkan selama 15 menit. Selanjutnya, dengan hati-hati ditambahkan 1,0 ml asam sulfamat (H2NSO3H) 15% lewat dinding tabung, lalu ditambahkan 3,2 ml NaOH 10% dan aquadest sampai tanda. Setelah itu di-degassing selama 10 menit. Serapan kemudian dibaca dengan spektrofotometer sinar tampak pada waktu operating time yang telah diperoleh pada panjang gelombang 433 nm (hasil penentuan panjang gelombang maksimum). Kemudian dibuat persamaan kurva baku dengan analisis regresi linier antara kadar dengan serapan. d. Penentuan nilai perolehan kembali, kesalahan sistematik, dan kesalahan acak Larutan intermediet parasetamol dengan kadar 200 μg/ml dan 800 μg/ml diambil 0,5 ml lalu ditambahkan ke dalam tabung sentrifuge yang berisi 0,5 ml
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 53
plasma. Pada tabung sentrifuge tersebut ditambahkan 2,0 ml larutan asam trikloroasetat 20%, kemudian dicampur dan disentrifugasi selama 10 menit pada laju 3000 rpm. Semua supernatan yang bening dipindahkan ke dalam labu ukur 10,0 ml, lalu secara berturut-turut ditambahkan 0,5 ml HCl 6N; 1,0 ml NaNO2 10% dan didiamkan selama 15 menit. Selanjutnya, dengan hati-hati ditambahkan 1,0 ml asam sulfamat (H2NSO3H) 15% lewat dinding tabung, lalu ditambahkan 3,2 ml NaOH 10% dan aquadest sampai tanda. Setelah itu didegassing selama 10 menit. Serapan kemudian dibaca dengan spektrofotometer sinar tampak pada operating time yang telah diperoleh pada panjang gelombang 433 nm (hasil penentuan panjang gelombang maksimum). Kadar terukur dihitung dengan menggunakan persamaan kurva baku.
6. Orientasi dosis dan waktu pengambilan sampel darah a. Pengambilan sampel darah Darah kelinci diambil dari vena marginalis salah satu telinga sebagai blangko (menit ke-0). Kemudian kelinci diberi larutan parasetamol dengan dosis awal sebesar 10% LD50 parasetamol yaitu 625 mg/kgBB secara per oral dengan bantuan mouth block. Dosis berikutnya adalah dosis awal yang dikalikan dengan faktor tertentu. Kemudian darah kelinci diambil dari vena marginalis salah satu telinga pada menit-menit yang telah ditentukan dan ditampung pada tabung effendorf yang telah diberi 2 tetes heparin. Darah tersebut lalu disentrifugasi selama 10 menit pada laju 3000 rpm untuk mendapatkan plasma darah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 54
b. Penetapan kadar parasetamol Dari tiap-tiap plasma diambil 0,5 ml lalu masing-masing dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge. Lalu ditambahkan 2,0 ml larutan asam trikloroasetat 20%, kemudian dicampur dan disentrifugasi selama 10 menit pada laju 3000 rpm. Semua supernatan yang bening dipindahkan ke dalam labu ukur 10,0 ml, lalu secara berturut-turut ditambahkan 0,5 ml HCl 6N; 1,0 ml NaNO2 10% dan didiamkan selama 15 menit. Selanjutnya, dengan hati-hati ditambahkan 1,0 ml asam sulfamat (H2NSO3H) 15% lewat dinding tabung, lalu ditambahkan 3,2 ml NaOH 10% dan aquadest sampai tanda. Setelah itu di-degassing selama 10 menit. Serapan kemudian dibaca dengan spektrofotometer sinar tampak pada operating time yang telah diperoleh pada panjang gelombang 433 nm (hasil penentuan panjang gelombang maksimum).
7. Perlakuan hewan uji a. Pengelompokan hewan uji Penelitian ini menggunakan desain cross over sehingga hanya digunakan 1 kelompok hewan uji. Sebelum perlakuan pemberian parasetamol, hewan uji dipuasakan selama 18 jam dari makanan dan minuman. Periode ke1 2 3
Tabel I. Konsep Desain Cross Over Kelinci A Kelinci B Generik Progesic® Pyrexin® Generik ® Progesic Pyrexin®
Kelinci C Pyrexin® Progesic® Generik
Setiap selang perlakuan, hewan uji diistirahatkan selama 1 minggu sebelum mendapatkan perlakuan berikutnya (periode wash out).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 55
b. Pengambilan sampel darah Darah kelinci diambil dari vena marginalis salah satu telinga sebagai blangko (menit ke-0). Kemudian kelinci diberi larutan parasetamol dengan dosis 1200 mg/kgBB (hasil orientasi dosis) secara per oral dengan bantuan mouth block. Kemudian darah kelinci diambil dari vena marginalis telinga pada menit ke-5, 10, 15, 20, 25, 35, 45, 60, 90, 120, 150, 180, 210 dan ditampung pada tabung effendorf yang telah diberi 2 tetes heparin. Darah tersebut lalu disentrifugasi selama 10 menit pada laju 3000 rpm untuk mendapatkan plasma darah. c. Penetapan kadar parasetamol Dari tiap-tiap plasma diambil 0,5 ml lalu masing-masing dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge. Lalu ditambahkan 2,0 ml larutan asam trikloroasetat 20%, kemudian dicampur dan disentrifugasi selama 10 menit pada laju 3000 rpm. Semua supernatan yang bening dipindahkan ke dalam labu ukur 10,0 ml, lalu secara berturut-turut ditambahkan 0,5 ml HCl 6N; 1,0 ml NaNO2 10% dan didiamkan selama 15 menit. Selanjutnya, dengan hati-hati ditambahkan 1,0 ml asam sulfamat (H2NSO3H) 15% lewat dinding tabung, lalu ditambahkan 3,2 ml NaOH 10% dan aquadest sampai tanda. Setelah itu di-degassing selama 10 menit. Serapan kemudian dibaca dengan spektrofotometer sinar tampak pada operating time yang telah diperoleh pada panjang gelombang 433 nm (hasil penentuan panjang gelombang maksimum).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 56
F. Analisis Hasil 1. Kesahihan metode a. Nilai perolehan kembali Nilai perolehan kembali dapat dihitung dengan cara sebagai berikut : nilai perolehan kembali =
kadar terukur x 100% = P% kadar diketahui
Jika nilai perolehan kembali berada pada rentang 80-120%, maka metode ini memiliki akurasi yang baik (Mulja dan Suharman, 1995).
b. Kesalahan sistematik Kesalahan sistematik dapat dihitung dengan cara sebagai berikut : kesalahan sistematik = 100% - P% Jika nilai kesalahan sistematik kurang dari 10%, maka metode ini sahih (Mulja dan Suharman, 1995).
c. Kesalahan acak Kesalahan acak dapat dihitung dengan cara sebagai berikut : kesalahan acak =
Keterangan : SD X xxxxxxx
SD x 100% X
= simpangan baku = kadar rata-rata
Jika kesalahan acak kurang dari 10%, maka metode ini dikatakan sahih (Mulja dan Suharman, 1995).
2. Perhitungan parameter bioavailabilitas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 57
Nilai serapan yang terbaca pada spektrofotometer diolah menjadi kadar parasetamol dalam plasma dengan menggunakan persamaan kurva baku. Kadarkadar
tersebut
lalu
diolah
menjadi
parameter-parameter
bioavailabilitas
menggunakan program STRIPE (Johnston and Woolard, 1983, yang telah dimodifikasi
oleh
Jung).
Selain
itu,
juga
diperoleh
parameter-parameter
farmakokinetika lainnya.
Tabel II. Parameter-Parameter Farmakokinetika Parameter Persamaan Satuan AUC(0-t) Diolah dengan program STRIPE μg.menit/ml AUC(0-∞) Diolah dengan program STRIPE μg.menit/ml Cmax Diolah dengan program STRIPE μg/ml tmax Diolah dengan program STRIPE menit t½ Diolah dengan program STRIPE menit ka Diolah dengan program STRIPE menit -1 Cl Diolah dengan program STRIPE ml/menit Vd Diolah dengan program STRIPE liter kel Diolah dengan program STRIPE menit-1
3. Cara penafsiran dan penyimpulan hasil penelitian Parameter-parameter bioavailabilitas dibandingkan secara analisis statistik (metode ANOVA) dengan taraf kepercayaan 90% menggunakan program SPSS 14.0 untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan nilai parameter bioavailabilitas. Selain itu, tablet parasetamol bermerk dagang dikatakan bioekivalen dengan tablet parasetamol generik jika (Anonim, 2004b; Chereson, 2000) : a. 0,800 <
rata - rata geometrik AUC merk dagang rata - rata geometrik AUC generik
< 1,250
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 58
b. 0,800 <
c. 0,800 <
rata - rata geometrik C max merk dagang rata - rata geometrik C max generik rata - rata geometrik t max merk dagang rata - rata geometrik t max generik
< 1,250
<1,250
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Uji Pendahuluan Tablet 1. Uji keseragaman bobot Uji keseragaman bobot dilakukan untuk mengetahui apakah tablet yang diuji tersebut memiliki keseragaman kandungan atau tidak. Tablet yang diuji memiliki zat aktif parasetamol sebagai bagian terbesar dari tablet sehingga uji keseragaman bobot dianggap cukup mewakili keseragaman kandungan tablet. Menurut Farmakope Indonesia Edisi III (1979), tablet dengan bobot lebih besar dari 300 mg dikatakan memenuhi syarat keseragaman bobot jika tidak lebih dari 2 tablet yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih besar dari 5% dan tidak ada 1 tablet pun yang bobotnya menyimpang lebih besar dari 10%. Hasil penimbangan tablet dapat dilihat pada lampiran 1. Tabel III. Hasil Uji Keseragaman Bobot Tablet
Tablet
X ± SD
(mg)
Penyimpangan 5% Batas Batas Bawah Atas (mg) (mg)
Penyimpangan 10% Batas Batas Bawah Atas (mg) (mg)
Generik
602,515 + 4,875
572,389
632,641
542,263
662,767
Pyrexin®
655,570 + 8,130
622,791
688,349
590,013
721,127
Progesic®
614,165 + 5,670
583,461
644,879
552,753
675,587
Keterangan Tidak terjadi penyimpangan bobot Î memenuhi syarat FI III Tidak terjadi penyimpangan bobot Î memenuhi syarat FI III Tidak terjadi penyimpangan bobot Î memenuhi syarat FI III
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 60
Hasil uji keseragaman bobot terlihat pada tabel III. Tablet parasetamol generik memiliki bobot rata-rata 602,515 + 4,875 mg, tablet Pyrexin® memiliki bobot rata-rata 655,570 + 8,130 mg, dan tablet Progesic® memiliki bobot rata-rata 614,165 + 5,670 mg. Dari keduapuluh tablet yang ditimbang dalam masing-masing jenis tablet, tidak ada satu pun tablet yang bobotnya menyimpang dari bobot rataratanya lebih besar dari 5% dan lebih besar dari 10%. Dengan demikian ketiga tablet parasetamol tersebut memenuhi keseragaman bobot menurut Farmakope Indonesia Edisi III (1979) dan dapat dianggap memiliki keseragaman kandungan zat aktif.
2. Uji kekerasan Uji kekerasan tablet dilakukan untuk mengetahui stabilitas fisik tablet terhadap pengaruh luar, misalnya benturan mekanik. Kekerasan tablet dapat mempengaruhi waktu hancur dan disolusi tablet. Alat yang digunakan untuk menguji kekerasan tablet adalah hardness tester (Kiya seisakustio, Ltd. Tokyo Japan No. 174886) di mana hasil uji kekerasan akan tampak pada layar alat. Hasil uji kekerasan tablet dapat dilihat pada tabel IV. Tablet Pyrexin® memiliki nilai kekerasan terbesar (17,315 + 1,202 KP) yang diikuti dengan tablet parasetamol generik (16,275 + 1,197 KP), sedangkan tablet Progesic® memiliki nilai kekerasan terkecil (9,100 + 1,073 KP). Syarat uji kekerasan tablet tidak tercantum dalam Farmakope Indonesia maupun The United States Pharmacopeia. Menurut Ansel (1969), tablet dikatakan memenuhi syarat uji kekerasan jika tablet hancur pada tekanan minimum 4 kg, namun hal itu tidak dapat dijadikan acuan karena tidak tercantum dalam buku standar resmi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 61
Tabel IV. Hasil Uji Kekerasan Tablet
Tablet 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 X ± SD
Tekanan (KP) Pyrexin®
Generik 14,6 15,5 14,7 17,2 15,0 17,8 15,3 15,6 16,9 17,1 18,2 15,1 17,0 15,9 18,1 17,7 17,0 14,8 15,8 16,2 16,275 + 1,197
17,9 17,1 18,4 16,9 16,0 15,7 18,1 16,6 16,8 17,2 17,6 17,8 18,1 18,1 18,4 17,2 15,3 14,8 18,9 19,4 17,315 + 1,202
Progesic® 10,5 7,3 8,5 9,1 8,9 9,9 11,1 8,3 7,8 7,8 7,9 8,9 8,9 10,4 9,8 8,9 10,4 8,0 9,8 9,8 9,100 + 1,073
3. Uji kerapuhan Tujuan dari uji kerapuhan tablet adalah untuk melihat seberapa besar angka kerapuhan tablet yang menggambarkan stabilitas fisik tablet terhadap pengaruh gesekan pada saat pembuatan, pengepakan, distribusi, penyimpanan hingga saat tablet akan digunakan oleh pasien. Alat yang digunakan dalam uji kerapuhan tablet adalah atrition tester (ATMI Surakarta). Tabel V. Hasil Uji Kerapuhan Tablet
Tablet
Bobot Awal (g)
Bobot Akhir (g)
Kerapuhan (%)
Keterangan
Generik Pyrexin® Progesic®
11,99 13,24 12,29
11,97 13,23 12,25
0,167 0,076 0,325
Memenuhi syarat Memenuhi syarat Memenuhi syarat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 62
Dari tabel V tersebut dapat dilihat bahwa tablet generik memiliki angka kerapuhan 0,167%, tablet Pyrexin® memiliki angka kerapuhan 0,076%, dan tablet Progesic® memiliki angka kerapuhan 0,325%. Menurut The United States Pharmacopeia 28 (2005), tablet memenuhi syarat uji kerapuhan jika angka persentase kerapuhan tidak lebih dari 1%. Dengan demikian, tablet parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic® dinyatakan memenuhi syarat uji kerapuhan tablet.
4. Uji waktu hancur Uji waktu hancur tablet dilakukan untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan tablet untuk hancur menjadi partikel-partikel kecil setelah masuk ke dalam tubuh. Uji waktu hancur penting dilakukan karena merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi absorpsi obat. Alat yang digunakan dalam uji ini adalah disintegration tester (ATMI Surakarta). Menurut Farmakope Indonesia Edisi III (1979), tablet tidak bersalut dinyatakan memenuhi syarat waktu hancur jika tablet hancur dalam waktu tidak lebih dari 15 menit. Tabel VI. Hasil Uji Waktu Hancur Tablet
Tablet
Waktu Hancur
Generik Pyrexin® Progesic®
6 menit 1 detik 7 menit 26 detik 2 menit 23 detik
Dari tabel VI dapat disimpulkan bahwa semua tablet memenuhi syarat uji waktu hancur tablet. Tablet Progesic® memiliki waktu hancur paling cepat dibandingkan dengan tablet generik dan tablet Pyrexin®. Hal ini mungkin berkaitan dengan bahan penghancur yang digunakan dalam masing-masing tablet. Bahan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 63
penghancur yang digunakan dalam tablet Progesic® mungkin lebih besar jumlahnya sehingga tablet Progesic® dapat hancur dengan cepat. Selain itu, hal ini mungkin juga dipengaruhi oleh kekerasan tablet. Tablet Progesic® yang memiliki nilai kekerasan terkecil ternyata waktu hancurnya paling singkat. Demikian pula dengan tablet Pyrexin® yang memiliki nilai kekerasan terbesar ternyata waktu hancurnya paling lama.
5. Uji disolusi Uji disolusi dilakukan untuk mengetahui jumlah zat aktif yang terlepas dari bentuk sediaan dan tersedia untuk diabsorpsi. Uji disolusi juga penting dilakukan sebab disolusi menentukan proses absorpsi sehingga dapat mempengaruhi bioavailabilitas obat. Media disolusi yang digunakan adalah larutan dapar fosfat pH 5,8. Tablet dikatakan memenuhi syarat uji disolusi jika jumlah zat aktif yang terlarut dalam waktu 30 menit tidak kurang dari 80% jumlah yang tertera pada etiket. a) Penentuan panjang gelombang maksimum Penentuan panjang gelombang maksimum merupakan tahap pertama dalam uji disolusi. Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, pengukuran zat aktif terlarut dilakukan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 243,0 nm. Hasil penentuan panjang gelombang maksimum pada larutan parasetamol dalam dapar fosfat pH 5,8 dengan kadar 6 μg/ml adalah 243,1 nm. Oleh karena itu, pada uji disolusi tablet ini digunakan panjang gelombang maksimum 243,1 nm.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 64
b) Pembuatan kurva baku Pembuatan kurva baku dilakukan untuk memperoleh persamaan kurva baku yang dapat berguna dalam perhitungan kadar parasetamol dalam media disolusi. Persamaan kurva baku ini diperoleh melalui pengukuran serapan seri kadar larutan baku parasetamol dalam dapar fosfat pH 5,8 pada panjang gelombang 243,1 nm (hasil penentuan panjang gelombang maksimum), kemudian dibuat persamaan garis regresi antara kadar parasetamol dalam larutan dapar fosfat pH 5,8 sebagai variabel bebas dan serapan sebagai variabel tergantung. Hasil pengukuran serapan larutan parasetamol dan persamaan garis regresi dapat dilihat pada tabel VII sedangkan kurva baku disajikan pada gambar 9. Tabel VII. Data Persamaan Kurva Baku Disolusi Seri Baku Kadar (μg/ml) Serapan 1 3,02 0,288 2 4,03 0,342 3 5,04 0,429 4 6,05 0,500 5 7,06 0,597 6 8,07 0,716 7 9,08 0,768 Slope (B) 0,08331 Intercept (A) 0,01598 Corr.coeff (r) 0,99550 Persamaan garis Y = 0,08331 X + 0,01598 regresi
Persamaan kurva baku yang diperoleh, yaitu Y = 0,08331 X + 0,01598 selanjutnya digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol yang terlarut dalam media disolusi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 65
Serapan
KURVA BAKU DISOLUSI 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
Y=0,08331 X + 0,01598 r = 0,99550
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Kadar Larutan Parasetamol (μg/ml)
Gambar 9. Kurva hubungan antara kadar parasetamol dengan serapan pada uji disolusi
c) Hasil uji disolusi Hasil uji disolusi menunjukkan bahwa ketiga tablet memenuhi syarat uji disolusi yaitu bahwa dalam waktu 30 menit, jumlah parasetamol yang terlarut dalam media disolusi tidak kurang dari 80% jumlah yang tertera pada etiket (80% x 500 mg = 400 mg). Hal ini dapat dilihat pada tabel VIII dan gambar 10. Tablet yang terdisolusi paling cepat adalah tablet Pyrexin® kemudian tablet Progesic® dan tablet generik.
Waktu 10 20 30
Tabel VIII. Data Disolusi Tablet Qkum ( X ± SD ) (mg) Generik Pyrexin® 378,720 + 13,436 448,680 + 5,856 396,486 + 9,880 457,473 + 5,140 414,277 + 3,674 459,700 + 3,190
Progesic® 406,680 + 34,085 434,140 + 17,424 448,239 + 3,567
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 66
PROFIL DISOLUSI
Qkum (mg)
500 450 400 350 300 0
10
20
30
40
Waktu (menit) Generik
Pyrexin
Progesic
Gambar 10. Profil disolusi
Profil disolusi ketiga tablet dapat dibandingkan dengan menggunakan faktor kemiripan f2 yang dapat dihitung dengan persamaan berikut (Anonim, 2004b) : ⎡ ⎢ ⎢ 100 f2 = 50 log ⎢ t =n ⎢ ∑ (R t - Tt )2 ⎢ ⎢ 1 + t =1 n ⎣
⎤ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦
(16)
Keterangan : Rt = persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling dari produk pembanding Tt = persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling dari produk uji
Jika nilai f2 lebih besar atau sama dengan 50, maka hal ini menunjukkan bahwa terdapat kesamaan atau ekivalensi kedua kurva, yang berarti kedua produk obat memiliki kemiripan profil disolusi. Tabel IX. Kemiripan Profil Disolusi Tablet
Nilai f2 terhadap Tablet Generik
Pyrexin®
46,14
Progesic®
58,56
Keterangan Tidak memiliki kemiripan profil disolusi dengan tablet generik Memiliki kemiripan profil disolusi dengan tablet generik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 67
Tablet Pyrexin® memiliki nilai f2 46,14 sedangkan tablet Progesic® memiliki nilai f2 58,56. Hal ini berarti tablet Progesic® memiliki kemiripan profil disolusi dengan tablet generik sedangkan tablet Pyrexin® tidak memiliki kemiripan profil disolusi dengan tablet generik. Hal tersebut juga dapat dilihat pada kurva profil disolusi, di mana kurva profil disolusi tablet generik lebih dekat dengan tablet Progesic® daripada tablet Pyrexin®.
B. Cara Perolehan Plasma Darah Dalam penelitian ini digunakan darah kelinci sebab kelinci memiliki volume darah yang lebih banyak dan darahnya lebih mudah diambil dibandingkan dengan tikus dan mencit. Darah kelinci diambil melalui bagian vena marginalis salah satu telinganya. Pengambilan darah dilakukan melalui vena sebab darah yang keluar dari vena berupa tetesan sehingga mudah ditampung. Penelitian ini menggunakan plasma sebab parasetamol bersifat asam lemah dan dapat berikatan dengan protein plasma secara reversibel. Sebagian besar parasetamol dalam darah akan terikat pada protein plasma, bukan pada darah utuh. Dalam peneliian ini juga tidak menggunakan serum sebab pada serum, sebagian besar protein sudah mengendap. Plasma darah yang dibutuhkan dalam penelitian adalah bentuk cairnya. Plasma darah bila dibiarkan akan membeku sehingga diperlukan suatu antikoagulan yang berfungsi untuk mencegah terjadinya pembekuan darah. Antikoagulan yang digunakan dalam penelitian ini adalah heparin. Plasma diperoleh dengan cara melakukan sentrifugasi pada darah yang telah ditampung dan telah diberi heparin. Proses sentrifugasi berfungsi untuk memisahkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 68
komponen-komponen sel darah dengan plasma sehingga dapat diperoleh plasma dengan mudah, yaitu bagian yang berwarna bening.
C. Optimasi Metode Metode Chafetz et al. (1971) pada awalnya digunakan untuk penetapan kadar parasetamol dalam bentuk sediaan. Setelah itu, metode tersebut dimodifikasi oleh Glynn & Kendal (1975) untuk menetapkan kadar parasetamol dalam plasma. Dalam penelitian ini, dilakukan optimasi dan modifikasi metode sehingga diperoleh metode yang sesuai dengan kondisi percobaan. Selain itu, metode yang digunakan menjadi sama untuk setiap langkah dalam penetapan kadar parasetamol dalam plasma yang dilakukan dalam penelitian ini. Untuk mendapatkan larutan parasetamol bebas perlu dilakukan denaturasi protein plasma dengan penambahan asam trikloroasetat (TCA) 20%. Penambahan TCA akan merusak struktur tersier dan kuartener protein plasma sehingga protein plasma tidak dapat berikatan lagi dengan parasetamol. Pada saat dilakukan sentrifugasi selama 10 menit dengan laju 3000 rpm terhadap larutan plasma yang telah diberi larutan TCA, protein plasma akan terendapkan dan semua parasetamol akan terlepas ke dalam fase air. Fase air yang diperoleh diperlakukan dengan metode Chafetz et al. (1971) untuk memperoleh larutan berwarna. Prosedur ini diawali dengan penambahan larutan asam klorida (HCl) 6N dan larutan natrium nitrit (NaNO2) 10%. Campuran antara HCl dan NaNO2 akan menghasilkan asam nitrit (HNO2) yang dengan kelebihan asam akan menyebabkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 69
asam nitrit menjadi ion nitrosonium. Reaksi yang terjadi dapat dilihat pada gambar 11. HCl >>>
+
HNO2
+
NaNO2
HNO2
+
+
H
+
NaCl
+ NO H2O ion nitrosonium Gambar 11. Reaksi antara asam klorida dengan natrium nitrit membentuk ion nitrosonium
Ion nitrosonium tersebut akan menyebabkan substitusi aromatik elektrofilik pada posisi ortho dari gugus hidroksil parasetamol. Reaksi tersebut dapat terjadi karena gugus hidroksil parasetamol lebih kuat sebagai pengarah ortho yang memiliki lebih banyak elektron bebas daripada gugus asetamida. OH
O
OH
N
+
NO+
O
[O]
+
O HN
O
C
HN CH3
parasetamol
H+
C CH3
ion nitrosonium
2-nitro-4-asetamidofenol berwarna kuning muda
= kromofor = auksokrom Gambar 12. Reaksi antara parasetamol dengan ion nitrosonium membentuk 2-nitro-4asetamidofenol beserta gugus kromofor dan auksokromnya
Reaksi antara parasetamol dengan ion nitrosonium akan membentuk senyawa 2-nitroso-4-asetamidofenol yang kemudian teroksidasi oleh udara membentuk senyawa 2-nitro-4-asetamidofenol yang berwarna kuning muda. Perubahan sruktur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 70
parasetamol menjadi 2-nitro-4-asetamidofenol tersebut menyebabkan energi yang dibutuhkan untuk melakukan transisi elektron ke tingkat eksitasi menjadi lebih kecil. Oleh karena itu, panjang gelombang menjadi lebih panjang dan intensitas warna meningkat. Mekanisme reaksi antara parasetamol dengan ion nitrosonium dapat dilihat pada gambar 13. OH
OH
O H
+
N
NO O
O HN
HN
C
C CH3
CH3
H
OH
O
OH
O
N
N O
[O]
O
O HN
HN
C
C
CH3
CH3
Gambar 13. Mekanisme reaksi antara parasetamol dengan ion nitrosonium
Kelebihan asam nitrit perlu dihilangkan sebab asam nitrit yang berlebih dapat mengganggu kestabilan serapan senyawa 2-nitro-4-asetamidofenol. Hal ini dilakukan dengan penambahan asam sulfamat (H2NSO3H) 15% yang harus ditambahkan secara hati-hati (melalui dinding tabung) dan pelan-pelan karena reaksinya bersifat eksotermis (melepas panas).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 71
Selain itu, penambahan asam sulfamat yang terlalu cepat dapat menyebabkan larutan tumpah akibat dorongan gas nitrogen yang dihasilkan. Reaksinya dapat dilihat pada gambar 14. HNO2
+
HSO3NH2
asam nitrit
N2
+
H2SO4
+
H2O
asam sulfamat Gambar 14. Reaksi antara asam nitrit dengan asam sulfamat
Tahap selanjutnya dari metode Chafetz et al. (1971) adalah pembentukan suasana basa dengan penambahan natrium hidroksida (NaOH) 10%. Suasana basa ini diperlukan untuk menetralkan sisa asam yang ada dari pereaksi sebelumnya dan untuk membentuk ion fenolat. Reaksi dapat dilihat pada gambar 15. OH-
H+
+
O
OH
H2O
O
O
N
N
+
OH
+ H2O O HN
CH3
2-nitro-4-asetamidofenol berwarna kuning muda
O
-
O C
N
O
O
HN
O
O
C
O HN
CH3
C CH3
ion 2-nitro-4-asetamidofenolat berwarna orange
= kromofor = auksokrom
Gambar 15. Reaksi penetralan asam dan pembentukan ion fenolat dalam suasana basa
Ion 2-nitro-4-asetamidofenolat yang terbentuk akan mengakibatkan penambahan panjang gugus kromofor. Oleh karena itu, serapan maksimum ion 2nitro-4-asetamidofenolat berada pada panjang gelombang yang lebih panjang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 72
daripada senyawa 2-nitro-4-asetamidofenol sehingga intensitas warna juga meningkat dari kuning muda menjadi orange. Mekanisme
reaksi
antara
2-nitro-4-asetamidofenol
dengan
natrium
hidroksida dapat dilihat pada gambar 16.
H
O
O
O
O N
N O
+
N O
O
OH
O
O HN
O
O
HN
C CH3
C
O HN
CH3
+ H2O
C CH3
Gambar 16. Mekanisme reaksi antara 2-nitro-4-asetamidofenol dengan natrium hidroksida
Untuk menghilangkan gelembung yang terdapat dalam larutan berwarna orange tersebut maka dilakukan degassing. Gelembung harus dihilangkan sebab gelembung dapat membiaskan dan memantulkan sinar sehingga serapan yang terbaca pada detektor menjadi lebih besar dari yang seharusnya.
1. Penentuan operating time (OT) Penentuan operating time adalah tahap pertama yang harus dilakukan dalam optimasi metode kolorimetri. Penentuan operating time dilakukan untuk mengetahui rentang waktu di mana senyawa memberikan serapan yang stabil, yang berarti semua parasetamol di dalam larutan telah bereaksi dengan semua pereaksi pada metode Chafetz et al. (1971) secara optimal membentuk ion 2-nitro-4-asetamidofenolat. Dalam penelitian ini, penentuan OT dilakukan setelah larutan di-degassing, sehingga total waktu yang diperlukan setelah penambahan larutan natrium hidroksida
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 73
sampai larutan akan diukur adalah + 25 menit. Penentuan OT ini menggunakan larutan parasetamol dalam plasma dengan kadar 100 μg/ml (mewakili larutan kadar rendah) dan 400 μg/ml (mewakili larutan kadar tinggi).
Gambar 17. Pengukuran operating time (OT) larutan parasetamol dalam plasma kadar 100 μg/ml
Gambar 18. Pengukuran operating time (OT) larutan parasetamol dalam plasma kadar 400 μg/ml
Pada gambar 17 dan 18 ditunjukkan bahwa serapan yang stabil dimulai dari menit ke-0 sampai menit ke-60. Namun adanya pemakaian waktu selama + 25 menit untuk proses setelah penambahan larutan natrium hidroksida 10% menyebabkan OT pada penelitian ini dimulai dari menit ke-25 sampai menit ke-85.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 74
2. Penentuan panjang gelombang maksimum Panjang gelombang maksimum adalah panjang gelombang saat senyawa memberikan serapan yang maksimum. Pada penelitian ini, penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan dengan mengukur serapan ion 2-nitro-4asetamidofenolat pada daerah panjang gelombang sinar tampak, yaitu pada panjang gelombang 380-580 nm. Penentuan panjang gelombang maksimum ini dilakukan pada dua kadar yang berbeda, yaitu larutan parasetamol dalam plasma dengan kadar 100 μg/ml dan 400 μg/ml. Hal ini dilakukan supaya hasil yang didapat lebih meyakinkan bahwa panjang gelombang tersebut memang memberikan serapan yang maksimum. Menurut Chafetz et al. (1971), panjang gelombang maksimum berada pada 430 nm. Panjang gelombang maksimum yang diperoleh dalam penelitian ini, baik untuk kadar 100 μg/ml maupun 400 μg/ml adalah 433 nm.
Gambar 19. Pengukuran panjang gelombang maksimum larutan parasetamol dalam plasma kadar 100 μg/ml
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 75
Gambar 20. Pengukuran panjang gelombang maksimum larutan parasetamol dalam plasma kadar 400 μg/ml
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, panjang gelombang maksimum yang diperoleh dalam optimasi dapat digunakan jika selisihnya dengan panjang gelombang teori tidak lebih dari 3 nm. Oleh sebab itu, pengukuran serapan larutan baku dan sampel dilakukan pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh yaitu 433 nm.
3. Pembuatan kurva baku Pembuatan kurva baku dilakukan untuk memperoleh persamaan kurva baku yang dapat berguna dalam perhitungan kadar sampel parasetamol. Persamaan kurva baku ini diperoleh melalui pengukuran serapan seri kadar larutan baku parasetamol pada panjang gelombang 433 nm, kemudian dibuat persamaan garis regresi antara kadar sebagai variabel bebas dan serapan sebagai variabel tergantung. Hasil pengukuran serapan larutan parasetamol dan persamaan garis regresi dapat dilihat pada tabel X sedangkan kurva baku disajikan pada gambar 21.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 76
Tabel X. Data Persamaan Kurva Baku Seri Baku Kadar (μg/ml) Serapan 1 50,1 0,101 2 100,2 0,202 3 150,3 0,344 4 200,4 0,486 5 250,5 0,560 6 300,6 0,669 7 350,7 0,794 8 400,8 0,919 Slope (B) 0,00231 Intercept (A) - 0,01214 Standar Deviasi 0,018 Corr.coeff (r) 0,9983 Persamaan garis Y = 0,00231 X – 0,01214 regresi
Hasil persamaan kurva baku yaitu Y = 0,00231 X – 0,01214 selanjutnya digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol dalam plasma. KURVA BAKU PARASETAMOL 1.2
Serapan
1
Y = 0,00231X - 0,01214
0.8
r = 0,9983
0.6 0.4 0.2 0 0
50
100
150
200
250 300
350
400
450
500
Kadar Larutan Parasetamol (μg/ml)
Gambar 21. Kurva hubungan antara kadar parasetamol dengan serapan
4. Penentuan nilai perolehan kembali, kesalahan sistematik, dan kesalahan acak Penentuan nilai perolehan kembali, kesalahan sistematik, dan kesalahan acak dilakukan dengan mengukur serapan larutan parasetamol di dalam plasma pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 77
panjang gelombang 433 nm menggunakan spektrofotometer sinar tampak. Pada pengukuran ini digunakan 2 larutan parasetamol di dalam plasma, yaitu kadar 101,2 μg/ml dan 404,8 μg/ml. Serapan yang diperoleh kemudian diolah menjadi kadar parasetamol di dalam plasma menggunakan persamaan kurva baku. Pengukuran masing-masing larutan dilakukan replikasi 3 kali. Nilai perolehan kembali untuk kadar 101,2 μg/ml adalah 97,31 + 1,78%, sedangkan untuk kadar 404,8 μg/ml adalah 99,97 + 0,91%. Nilai perolehan kembali merupakan tolok ukur akurasi metode analisis. Karena nilai perolehan kembali berada pada rentang 80-120%, maka metode ini dinyatakan memiliki nilai akurasi yang baik.
Tabel XI. Nilai Perolehan Kembali, Kesalahan Sistematik, dan Kesalahan Acak Kadar Perolehan Kesalahan Kesalahan Sesungguhnya Kadar Terukur Kembali (%) Sistematik (%) Acak (%) (μg/ml) 101,2 97,03 95,88 4,12 1,83 101,2 97,90 96,74 3,26 101,2 100,49 99,30 0,70 98,47 + 1,80 97,31 + 1,78 2,69 + 1,78 X ± SD
404,8 404,8 404,8 X ± SD
407,42 400,49 406,12 404,68 + 3,68
100,65 98,94 100,33 99,97 + 0,91
0,65 1,06 0,33 0,68 + 0,37
0,91
Kesalahan sistematik merupakan tolok ukur inakurasi penetapan kadar. Nilai kesalahan sistematik untuk kadar 101,2 μg/ml adalah 2,69 + 1,78%, sedangkan untuk kadar 404,8 μg/ml adalah 0,68 + 0,37%. Kesalahan acak merupakan tolok ukur impresisi suatu metode analisis. Nilai kesalahan acak untuk kadar 101,2 μg/ml adalah 1,83%, sedangkan untuk kadar 404,8 μg/ml adalah 0,91%. Ditinjau dari nilai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 78
kesalahan sistematik dan nilai kesalahan acak yang diperoleh, maka metode penetapan kadar parasetamol di dalam plasma menurut Chafetz et al. (1971) memiliki ketepatan dan ketelitian yang baik.
D. Orientasi Dosis dan Waktu Pengambilan Sampel Darah Orientasi dosis dilakukan dengan tujuan agar diperoleh dosis yang tepat sehingga kadar parasetamol di dalam plasma dapat berada di atas KEM (Kadar Efektif Minimum) dan di bawah KTM (Kadar Toksik Minimum). Pada rentang kadar tersebut, obat dapat memberikan efek terapi tanpa menimbulkan efek toksik. Selain itu, orientasi dosis juga berguna untuk menentukan dosis yang digunakan agar nilai serapannya memenuhi Hukum Lambert-Beer yaitu berada di antara 0,2-0,8 (Mulja dan Suharman, 1995). Orientasi dosis ini diawali dengan dosis sebesar 10% dari LD50 yaitu 625 mg/kgBB. Dosis selanjutnya diperoleh dari dosis awal yang dikalikan dengan faktor tertentu. Hasil orientasi dosis yang diperoleh adalah 1200 mg/kgBB. Dosis tersebut kemudian
digunakan
untuk
penetapan
kadar
selanjutnya,
yaitu
untuk
membandingkan bioavailabilitas tablet parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic®. Selain itu, tahap orientasi dosis ini juga sekaligus sebagai tahap orientasi waktu pengambilan sampel darah. Orientasi waktu pengambilan sampel darah ini bertujuan untuk dapat memperkirakan saat pengambilan sampel yang tepat, yaitu minimal 3 titik pada fase absorpsi, 3 titik pada fase distribusi, 3 titik pada sekitar kadar puncak, dan 3 titik pada fase eliminasi. Menurut Pedoman Uji Bioekivalensi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 79
Badan POM, waktu pengambilan sampel darah minimal 3 kali waktu paruh eliminasi obat dalam plasma. Pada saat orientasi waktu pengambilan sampel darah, beberapa titik waktu dicoba dan hasil pengukuran kadar dalam darah dianalisis menggunakan program STRIPE (Johnston and Woolard, 1983, yang telah dimodifikasi oleh Jung). Dari program tersebut, dapat diketahui nilai-nilai parameter farmakokinetika. Dalam menentukan waktu pengambilan sampel darah yang tepat, nilai-nilai yang menjadi acuan adalah AIC dan waktu paruh eliminasi. Nilai AIC yang kecil menunjukkan tingkat kesalahan yang kecil sehingga dalam tahap ini dicari nilai AIC yang terkecil. Dari waktu paruh eliminasi dapat ditentukan seberapa lama waktu pengambilan sampel darah, apakah sudah cukup atau masih harus mengambil sampel lagi. Selain itu, persen AUC bagian ekstrapolasi (AUC(t-∞)) juga sebaiknya tidak lebih dari 20%. Hasil dari orientasi waktu pengambilan sampel darah ini adalah darah diambil pada menit ke-5, 10, 15, 20, 25, 35, 45, 60, 90, 120, 150, 180, dan 210 dengan menit ke-0 sebagai blangko.
E. Perbandingan Bioavailabilitas 1. Kadar parasetamol dalam plasma Hasil serapan pada spektrofotometer kemudian diubah menjadi kadar parasetamol dalam plasma menggunakan persamaan kurva baku yang telah diperoleh. Tabel XII menunjukkan kadar parasetamol dalam plasma sedangkan tabel XIII menunjukkan ln kadar parasetamol dalam plasma setelah pemberian produk obat kepada kelinci putih jantan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 80
Waktu (menit) 0 5 10 15 20 25 35 45 60 90 120 150 180 210
Tabel XII. Kadar Parasetamol dalam Plasma Setelah Pemberian Produk Obat Kadar Parasetamol dalam Plasma (μg/ml) X ± SD Progesic® Generik Pyrexin® 0+0 0+0 0+0 54,21 + 16,56 33,79 + 11,65 155,30 + 34,40 137,34 + 24,53 55,80 + 8,86 188,81 + 37,25 167,25 + 25,95 74,35 + 19,40 218,57 + 20,08 179,18 + 21,63 85,85 + 18,22 228,79 + 17,73 189,10 + 11,22 93,04 + 8,16 241,30 + 11,78 164,65 + 22,30 109,44 + 6,36 231,95 + 18,59 147,83 + 12,96 127,12 + 27,32 225,05 + 23,07 124,25 + 25,06 109,58 + 11,44 210,67 + 25,55 94,34 + 16,39 97,50 + 7,52 168,82 + 36,75 75,64 + 7,85 63,85 + 12,73 148,40 + 35,89 48,18 + 12,24 55,37 + 17,92 102,10 + 38,75 32,50 + 5,40 39,12 + 15,32 74,77 + 20,33 28,90 + 8,20 20,28 + 2,62 35,66 + 1,74
Tabel XIII. ln Kadar Parasetamol dalam Plasma Setelah Pemberian Produk Obat ln Kadar Parasetamol dalam Plasma (μg/ml) Waktu X ± SD (menit) Progesic® Generik Pyrexin® 0 0+0 0+0 0+0 5 3,96 + 0,29 3,48 + 0,36 5,03 + 0,24 10 4,91 + 0,19 4,01 + 0,16 5,23 + 0,21 15 5,11 + 0,16 4,28 + 0,28 5,38 + 0,09 20 5,18 + 0,12 4,44 + 0,22 5,43 + 0,08 25 5,24 + 0,06 4,53 + 0,09 5,49 + 0,06 35 5,10 + 0,14 4,69 + 0,06 5,44 + 0,,08 45 4,99 + 0,09 4,79 + 0,13 5,41 + 0,11 60 4,81 + 0,22 4,69 + 0,10 5,35 + 0,13 90 4,54 + 0,17 4,58 + 0,08 5,11 + 0,24 120 4,32 + 0,11 4,14 + 0,20 4,98 + 0,26 150 3,85 + 0,24 3,98 + 0,33 4,57 + 0,45 180 3,47 + 0,17 3,61 + 0,42 4,26 + 0,28 210 3,33 + 0,31 3,00 + 0,13 3,57 + 0,05
Setelah itu, dibuat kurva kadar parasetamol dalam plasma (Cp) terhadap waktu (t) dan kurva ln kadar parasetamol dalam plasma (ln Cp) terhadap waktu (t). Kedua jenis kurva tersebut dapat dilihat pada gambar 22 dan gambar 23.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 81
Cp (μg/ml)
300 250 200 150 100 50 0 0
20
40
60
80 100 120 140 160 180 200 220 240
t (menit) Generik
Pyrexin
Progesic
Gambar 22. Kurva Kadar Parasetamol dalam Plasma (Cp) terhadap Waktu (t)
ln Cp (μg/ml)
6 5 4 3 2 1 0 0
20
40
60
80 100 120 140 160 180 200 220 240
t (menit) Generik
Pyrexin
Progesic
Gambar 23. Kurva ln Kadar Parasetamol dalam Plasma (ln Cp) terhadap Waktu (t)
Dari kurva pada gambar 22 dan gambar 23 dapat dilihat bahwa proses absorpsi obat terjadi lebih cepat daripada proses eliminasi obat. Selain itu, kurva ln Cp vs. t memberikan profil yang lebih seragam daripada kurva Cp vs. t. Hal ini disebabkan karena kinetika obat mengikuti proses kinetika orde satu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 82
Kadar obat dalam plasma dari waktu ke waktu kemudian diolah dengan program STRIPE (Johnston and Woolard, 1983, yang telah dimodifikasi oleh Jung) menjadi parameter-parameter bioavailabilitas. Parameter Bioavailabilitas AUC(0-inf) (μg.menit/ml) Cmax (μg/ml) tmax (menit)
Tabel XIV. Nilai Parameter Bioavailabilitas X ± SD Generik Pyrexin® Progesic® 21029,077 + 16666,110 + 33823,687 + 3336,122 1456,821 5640,811 179,743 + 21,631 116,717 + 10,018 236,037 + 15,762 24,733 + 1,943 46,433 + 3,353 33,600 + 3,637
Parameter terpenting dalam membandingkan bioavailabilitas adalah AUC(0-inf), Cmax, dan tmax. Parameter bioavailabilitas tersebut dianalisis secara statistik menggunakan program SPSS 14.0 dengan metode ANOVA. Parameter AUC(0-inf) dan Cmax harus diubah menjadi bentuk ln terlebih dahulu sebelum dilakukan analisis statistik karena kinetika obat mengikuti kinetika orde satu sehingga dalam skala logaritmik akan diperoleh distribusi yang normal dan varians yang homogen. Ada kemungkinan absorpsi obat setelah pemberian obat dosis tunggal tidak terjadi dengan segera. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor fisiologi seperti waktu pengosongan lambung dan motilitas usus. Keadaan ini dikenal dengan istilah lag time. Jadi lag time merupakan penundaan waktu absorpsi. Dalam penelitian ini, pada tablet generik dan tablet Pyrexin® terdapat lag time. Berarti parasetamol dalam tablet generik dan Pyrexin® tidak diabsorpsi dengan segera setelah pemberian obat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 83
2. AUC(0-inf) Nilai AUC(0-inf) menggambarkan jumlah obat yang tersedia di dalam darah. Nilai AUC(0-inf) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
AUC(0-inf) = Keterangan : AUC(0-inf) = D = fa = Vd = = kel Cl =
D x fa D x fa atau AUC(0-inf) = Vd x k el Cl
(17)
luas area di bawah kurva (μg.menit/ml) dosis (mg) fraksi obat yang diabsorpsi (bernilai 0-1) volume distribusi (ml) tetapan laju eliminasi (menit-1) klirens (ml/menit)
Nilai AUC dapat dijadikan sebagai parameter bioavailabilitas sebab proses eliminasi obat di dalam tubuh dianggap tidak berubah (nilai Vd dan kel dianggap tetap). Dosis yang digunakan dalam penelitian ini sama untuk setiap perlakuan sehingga besar kecilnya nilai AUC dianggap disebabkan oleh nilai fa (fraksi obat yang diabsorpsi). Oleh karena itu, nilai AUC dapat digunakan sebagai ukuran bioavailabilitas obat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara tablet Progesic® dengan tablet generik sedangkan antara tablet Pyrexin® dengan tablet generik berbeda tidak bermakna. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji statistik pada tabel XV.
Obat (I)
Obat (J)
Generik
Progesic® Pyrexin®
Tabel XV. Uji Post-Hoc Nilai AUC(0-inf) 90% Confidence Interval Mean Std. Error Sig Difference Lower Upper (I-J) Bound Bound - 0,474254 0,1221413 0,019 - 0,781580 - 0,166928 0,226170 0,1221413 0,232 - 0,081156 - 0,533496
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 84
Uji ini menggunakan taraf kepercayaan 90% sehingga dua obat disebut berbeda tidak bermakna (“sama”) jika nilai Sig lebih besar dari 0,100. Berdasarkan hasil uji tersebut, nilai Sig antara tablet Progesic® dan tablet generik adalah 0,019 sedangkan antara tablet Pyrexin® dan tablet generik adalah 0,232. Dengan demikian, tablet Progesic® berbeda bermakna dengan tablet generik, namun tablet Pyrexin® berbeda tidak bermakna dengan tablet generik. Tablet Progesic® memiliki nilai AUC(0-inf) terbesar, diikuti oleh tablet generik dan tablet Pyrexin®. Hal ini berarti jumlah parasetamol dari tablet Progesic® yang tersedia di dalam tubuh lebih besar dibandingkan dengan tablet generik dan tablet Pyrexin®. Jumlah yang cukup besar tersebut membuat nilai AUC(0-inf) Progesic® berbeda bermakna bila dibandingkan dengan tablet generik dan tablet Pyrexin®. Hal tersebut didukung oleh data Vd. Berdasarkan persamaan di atas, AUC(0-inf) berbanding terbalik dengan Vd. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tablet Pyrexin® memiliki nilai Vd terbesar, diikuti oleh tablet generik dan tablet Progesic®. Selain itu, nilai AUC(0-inf) juga berbanding terbalik dengan Cl. Tablet Pyrexin® mempunyai nilai klirens terbesar, diikuti oleh tablet generik dan tablet Progesic®.
3. Cmax Cmax adalah konsentrasi maksimum obat dalam plasma. Pada sebagian besar obat, terdapat suatu hubungan antara efek farmakologi dengan konsentrasi obat dalam plasma. Nilai Cmax dapat menjadi petunjuk bahwa obat diabsorpsi dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 85
jumlah yang cukup untuk memberi efek terapeutik dan juga memberi petunjuk dari kemungkinan adanya kadar toksik obat. Nilai Cmax tergantung pada laju distribusi obat dan volume distribusi. Hal ini dapat dijelaskan dari persamaan berikut :
C max = Keterangan : Cmax = fa = ka = D = Vd = kel = tmax =
f a .k a .D e -k el .t max Vd(k a - k el )
(18)
konsentrasi maksimum obat dalam plasma (μg/ml) fraksi obat yang diabsorpsi (bernilai 0-1) tetapan laju absorpsi (menit-1) dosis (mg) volume distribusi (ml) tetapan laju eliminasi (menit-1) waktu tercapainya Cmax (menit)
Hasil analisis statistik pada tabel XVI menunjukkan bahwa nilai Cmax antara ketiga tablet tersebut berbeda bermakna sebab nilai Sig lebih kecil dari 0,100. Dosis obat yang digunakan dalam penelitian ini sama, yaitu 1200 mg/kgBB, namun ternyata ketiga tablet mempunyai nilai Cmax yang berbeda.
Obat (I)
Obat (J)
Generik
Progesic® Pyrexin®
Tabel XVI. Uji Post-Hoc Nilai Cmax 90% Confidence Interval Mean Std. Error Sig Difference Lower Upper (I-J) Bound Bound - 0,275989 0,0787822 0,030 - 0,474217 - 0,077761 0,429264 0,0787822 0,004 - 0,231037 - 0,627492
Nilai Cmax tablet Progesic® merupakan nilai Cmax terbesar dibandingkan dengan tablet generik dan tablet Pyrexin® sedangkan nilai Vd tablet Progesic® merupakan nilai Vd terkecil dibandingkan dengan tablet generik dan tablet Pyrexin®. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa nilai Cmax berbanding terbalik dengan nilai Vd.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 86
4. tmax Nilai tmax menunjukkan waktu ketika konsentrasi obat dalam plasma mencapai konsentrasi maksimum (Cmax). Pada saat tmax laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Setelah tmax tercapai, absorpsi masih berjalan meskipun dengan laju yang lebih lambat. Nilai tmax tidak tergantung pada dosis namun tergantung pada tetapan laju absorpsi (ka) dan tetapan laju eliminasi (kel). Dalam membandingkan produk obat, nilai tmax dapat digunakan untuk memperkirakan laju absorpsi obat sebab proses eliminasi obat di dalam tubuh dianggap tidak berbeda.
tmax =
ln
ka k el
(k a - k el )
(19)
Keterangan : tmax = waktu tercapainya Cmax (menit) ka = tetapan laju absorpsi (menit-1) = tetapan laju eliminasi (menit-1) kel
Nilai tmax antara ketiga tablet berbeda bermakna. Hal ini dapat dilihat pada tabel XVII yang menunjukkan bahwa nilai Sig lebih kecil dari 0,100. Berarti laju absorpsi ketiga tablet tersebut dapat dikatakan berbeda. Dari ketiga tablet, ternyata tablet generik memiliki nilai tmax paling kecil, kemudian tablet Progesic® dan Pyrexin®.
Obat (I)
Obat (J)
Generik
Progesic® Pyrexin®
Tabel XVII. Uji Post-Hoc Nilai tmax 90% Confidence Interval Mean Std. Error Sig Difference Lower Upper (I-J) Bound Bound - 8,8667 2,50540 0,028 - 15,1706 - 2,5627 - 21,7000 2,50540 0,000 - 28,0040 - 15,3960
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 87
Hal ini berarti tablet generik paling cepat mencapai konsentrasi maksimum dibandingkan dengan tablet Progesic® dan Pyrexin®. Selain itu, laju absorpsi tablet generik lebih cepat dibandingkan dengan tablet Progesic® dan Pyrexin®.
5. Kriteria bioekivalen Untuk menentukan apakah dua produk obat bioekivalen atau tidak, maka dilakukan perbandingan terhadap ketiga parameter bioavailabilitas. Menurut Pedoman Uji Biekivalensi Badan POM RI, dua produk dikatakan bioekivalen jika : a) 0,800 <
b) 0,800 <
rata - rata geometrik AUC merk dagang rata - rata geometrik AUC generik
rata - rata geometrik C max merk dagang rata - rata geometrik C max generik
< 1,250
< 1,250,
sedangkan nilai tmax dilakukan perbandingan hanya jika ada klaim yang relevan secara klinik tentang pelepasan atau kerja yang cepat atau adanya tanda-tanda yang berhubungan dengan efek samping obat. Namun, karena dalam penelitian ini tidak dilakukan uji klinik, maka tetap dilakukan perbandingan nilai tmax. Menurut Chereson dalam Basic Pharmacokinetics (2000), syarat bioekivalen untuk nilai tmax adalah 0,800 <
rata - rata geometrik t max merk dagang rata - rata geometrik t max generik
< 1,250.
Parameter-parameter bioavailabilitas tablet Pyrexin® dan tablet Progesic® dibandingkan dengan parameter bioavailabilitas tablet generik. Hasil perbandingan tersebut disajikan pada tabel XVIII. Dari hasil perhitungan pada tabel XVIII, terlihat bahwa semua perbandingan parameter bioavailabilitas kedua tablet parasetamol
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 88
bermerk dagang terhadap tablet parasetamol generik ternyata di luar rentang nilai 0,800–0,125. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kedua tablet merk dagang yang diuji, yaitu tablet Pyrexin® dan tablet Progesic®, ternyata tidak bioekivalen dengan tablet parasetamol generik. Tabel XVIII. Perbandingan Parameter Bioavailabilitas ® Generik Progesic® Pyrexin Rata-rata geometrik 20840,628 16622,120 33487,027 AUC(0-inf) Rata-rata geometrik 178,836 116,420 235,676 Cmax Rata-rata tmax 24,733 46,433 33,600
rata - rata geometrik AUC merk dagang rata - rata geometrik AUC generik
rata - rata geometrik C max merk dagang rata - rata geometrik C max generik rata - rata geometrik t max merk dagang rata - rata geometrik t max generik Bioekivalen dengan generik ?
0,798
1,607
0,651
1,318
1,878
1,356
TIDAK
TIDAK
Selain itu, dengan melihat hasil uji disolusi (in vitro) dan hasil uji in vivo, dapat dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang baik antara uji in vitro dengan uji in vivo dalam penetapan bioavailabilitas ini sebab kemiripan profil disolusi belum dapat menunjukkan apakah kedua produk obat bioekivalen atau tidak. Nilai parameter bioavailabilitas yaitu AUC(0-inf), Cmax, dan tmax sangat tergantung pada proses absorpsi obat di dalam tubuh. Dalam penelitian ini, faktor rute dan cara pemberian tidak menjadi faktor yang menyebabkan perbedaan bioavailabilitas sebab rute dan cara pemberian sudah dibuat sama, yaitu per oral. Selain itu, dosis dan aturan dosis juga sudah dibuat sama, yaitu dosis tunggal 1200
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 89
mg/kgBB. Oleh karena itu, faktor dosis dan aturan dosis juga tidak dapat dianggap sebagai penyebab terjadinya perbedaan bioavailabilitas. Proses absorpsi obat diawali dengan hancurnya bentuk sediaan tablet. Waktu hancur tablet dipengaruhi oleh kekerasan tablet. Tablet Progesic® dengan nilai kekerasan terkecil ternyata memiliki waktu hancur paling cepat, sedangkan tablet Pyrexin® dengan nilai kekerasan terbesar ternyata memiliki waktu hancur paling lama. Selain itu, waktu hancur juga sangat dipengaruhi oleh bahan penghancur yang digunakan dalam masing-masing tablet tersebut. Jika jumlah bahan penghancur yang digunakan besar, maka tablet akan semakin mudah hancur sehingga waktu hancurnya menjadi singkat. Mungkin jumlah bahan penghancur dalam tablet Progesic® lebih banyak daripada dalam tablet generik dan Pyrexin®. Proses selanjutnya adalah disolusi zat aktif dari bentuk sediaan. Zat aktif parasetamol dari tablet Pyrexin® terdisolusi paling banyak dibandingkan dengan tablet Progesic® dan tablet generik. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh ukuran partikel obat. Ukuran partikel parasetamol dalam tablet Pyrexin® mungkin lebih kecil daripada parasetamol dalam tablet Progesic® dan tablet generik sehingga luas permukaan efektif dari parasetamol dalam tablet Pyrexin® menjadi besar. Oleh karena itu, meskipun tablet Pyrexin® hancur paling lama, parasetamol dalam tablet Pyrexin® dapat terdisolusi lebih cepat daripada parasetamol dalam tablet Progesic® dan tablet generik. Selain itu, disolusi juga dapat dipengaruhi oleh bahan-bahan tambahan yang digunakan dalam tablet. Mungkin zat aktif dapat membentuk kompleks dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 90
bahan tambahan dalam tablet sehingga zat aktif menjadi sulit lepas dari bentuk sediaan dan disolusi zat aktif menjadi lambat. Tahap selanjutnya adalah perpindahan obat menembus membran menuju ke sirkulasi sistemik. Tablet generik memiliki nilai tmax terkecil, yang berarti bahwa Cmax cepat tercapai, sedangkan tablet Pyrexin® memiliki nilai tmax terbesar yang berarti bahwa Pyrexin® paling lama mencapai Cmax. Dalam hal ini, kemungkinan faktor yang berpengaruh adalah pH dalam saluran pencernaan yang dapat menentukan derajat ionisasi parasetamol. Jika nilai pH berubah menjadi lebih asam, maka bentuk tak terion menjadi lebih banyak sehingga lebih mudah menembus membran mencapai sirkulasi sistemik. Perubahan nilai pH dapat disebabkan oleh sekresi asam lambung yang berlebihan ataupun keadaan psikologis dari hewan uji. Kemampuan menembus membran menjadi rate limiting step pada tablet Pyrexin® sebab disolusi Pyrexin® berjalan dengan cepat namun absorpsi berjalan dengan lambat, yang ditandai dengan besarnya nilai tmax. Tablet Progesic® memiliki nilai AUC(0-inf) dan Cmax paling besar, diikuti oleh tablet generik dan tablet Pyrexin®. Hal ini mungkin berkaitan dengan adanya lag time pada tablet generik dan tablet Pyrexin®. Karena adanya penundaan absorpsi obat, mungkin obat mengalami degradasi di dalam saluran pencernaan sehingga jumlah yang diabsorpsi menjadi kecil. Degradasi tersebut dapat disebabkan oleh akivitas enzim di dalam saluran pencernaan. Faktor-faktor lain yang juga dapat mempengaruhi besar kecilnya nilai parameter bioavailabilitas adalah faktor fisiologis hewan uji, seperti waktu pengosongan lambung, waktu transit pada usus, motilitas usus, dan keadaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 91
psikologis hewan uji. Jika waktu pengosongan lambung lama, maka absorpsi obat akan tertunda sehingga tmax menjadi besar. Jika waktu transit pada usus hanya sebentar atau motilitas usus cepat, maka proses absorpsi obat tidak terjadi dengan sempurna yang dapat mengakibatkan nilai AUC dan Cmax menjadi kecil. Jika hewan uji dalam keadaan stres, maka waktu pengosongan lambung, aliran darah, dan nilai pH juga dapat berubah sehingga mengakibatkan perubahan nilai parameter bioavailabilitas. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah parameter Cmax dan tmax antara ketiga tablet berbeda bermakna, sedangkan parameter AUC(0-inf) antara tablet Progesic® dengan tablet generik berbeda bermakna dan antara tablet Pyrexin® dengan tablet generik berbeda tidak bermakna. Hasil perbandingan parameter bioavailabilitas tidak memenuhi syarat yang ditentukan sehingga kedua tablet bermerk dagang, yaitu tablet Progesic® dan tablet Pyrexin® yang diuji tidak dapat dikatakan bioekivalen dengan tablet generik. Perbedaan secara statistik ini bukan berarti bahwa tablet tersebut benarbenar berbeda dalam hal efek terapeutiknya (segi farmakodinamika) meskipun segi farmakokinetika obat memang mempengaruhi efek yang ditimbulkan oleh obat. Selain itu, penelitian ini juga belum sampai menentukan apakah kedua produk obat mempunyai ekivalensi terapeutik atau tidak sebab hal itu harus ditunjukkan dalam uji klinik Penulis menyadari adanya keterbatasan dalam penelitian ini. Tablet yang diberikan ke hewan uji sudah digerus dan dilarutkan ke dalam aquadest. Dalam penggerusan tersebut, tidak diketahui apakah ukuran partikel sudah homogen atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 92
belum karena dalam penelitian tidak dilakukan uji keseragaman ukuran partikel. Ukuran partikel tersebut sebenarnya dapat menentukan disolusi obat dan mempengaruhi nilai parameter bioavailabilitas yang dihasilkan. Selain itu, uji keseragaman bobot yang dilakukan juga masih berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi III meskipun sebenarnya uji keseragaman bobot juga terdapat pada Farmakope Indonesia Edisi IV. Seharusnya uji keseragaman bobot ini dilakukan berdasarkan acuan yang terbaru, yaitu Farmakope Indonesia Edisi IV. Dalam penelitian ini, juga tidak dilakukan penetapan kadar zat aktif di dalam tablet. Padahal data tersebut mungkin dapat menjelaskan tentang pengaruh jumlah zat aktif dalam tablet terhadap disolusi dan bioavailabilitas obat. Hal-hal inilah yang menjadi keterbatasan peneliti dalam melakukan penelitian ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah : 1. Bioavailabilitas tablet parasetamol generik, tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic® tidak sama. a. Nilai AUC(0-inf) (μg.menit/ml) tablet parasetamol generik sebesar 21029,077 + 3336,122; tablet Pyrexin® sebesar 16666,110 + 1456,821; dan tablet Progesic® sebesar 33823,687 + 5640,811. Nilai AUC(0-inf) tablet Pyrexin® berbeda tidak bermakna terhadap tablet generik, sedangkan tablet Progesic® berbeda bermakna terhadap tablet generik. b. Nilai Cmax (μg/ml) tablet parasetamol generik sebesar 179,743 + 21,631; tablet Pyrexin® sebesar 116,717 + 10,018; dan tablet Progesic® sebesar 236,037 + 15,762. Nilai Cmax tablet Pyrexin® dan tablet Progesic® berbeda bermakna terhadap tablet generik. c. Nilai tmax (menit) tablet parasetamol generik sebesar 24,733 + 1,943; tablet Pyrexin® sebesar 46,433 + 3,353; dan tablet Progesic® sebesar 33,600 + 3,637. Nilai tmax tablet Pyrexin® dan tablet Progesic® berbeda bermakna terhadap tablet generik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 94
2. Tablet Pyrexin® dan tablet Progesic® yang diuji tidak bioekivalen dengan tablet parasetamol generik.
B. Saran Dari hasil penelitian ini, penulis menyarankan 1. Dilakukan pengujian klinik dengan tablet tersebut agar diketahui apakah produk tersebut memiliki ekivalensi terapeutik atau tidak. 2. Dilakukan penelitian serupa dengan uji pendahuluan tablet yang lebih tepat, sesuai dengan yang tercantum dalam buku acuan resmi terbaru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 95
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III, 6, 37, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 649, 650, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 2000, IONI : Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000, 2, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 2001a, Professional’s Handbook of Drug Therapy for Pain, 40, Springhouse Corporation, Springhouse Anonim, 2001b, The Merck Index, 13th Edition, 10, Merck & Co.Inc., Whitehouse Station, New Jersey Anonim, 2004a, A to Z Drug Facts, 5th Edition, 7-8, Facts and Comparisons, Missouri Anonim, 2004b, Pedoman Uji Bioekivalensi, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 2005a, Drug Information for The Health Care Professional, Volume I, 25th Edition, 10, Thomson MICROMEDEX, USA Anonim, 2005b, The Official Compendia of Standards 2005 : The United States Pharmacopeia 28 - The National Formulary 23, 2411-2412, 2745, United States Pharmacopeia Convention Inc., USA Ansel, H. C., 1969, Introduction to Pharmaceutical Dosage Forms, 296-297, Lea & Febiger, USA Ansel, H. C., and Prince, S. J., 2006, Pharmaceutical Calculations : The Pharmacist’s Handbook, diterjemahkan oleh Cucu Aisyah dan Ella Elviana, 121-131, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Bassett, J., Denney, R. C., Jeffery, G. H., and Mendham, J., 1991, Vogel’s Textbook of Quantitative Analysis Including Elementary Instrumental Analysis, diterjemahkan oleh A. Hadyana Pudjaatmaka dan L. Setiono, Edisi IV, 847, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Belal, S., Elsayed, M. A-H., El-Waliely, A., and Abdine, H., 1979, Colorimetric Acetaminophen Determination in Pharmaceutical Formulations, Journal of Pharmaceutical Sciences, 68, 750-752
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 96
Benet, L. Z., 1992, Farmakokinetik : 1. Absorpsi, Distribusi dan Ekskresi, dalam Katzung, B. G., 1992, Basic and Clinical Pharmacology, diterjemahkan oleh Binawati H. Kotualubun dkk., Edisi 3, 29, 448-449, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Bowman, W. C., and Rand, M. J., 1990, Textbook of Pharmacology, 2nd Edition, 26.34, 26.35, 40.1, Oxford Blackwell Scientific Publications, Cambridge Bruice, P. Y., 1998, Organic Chemistry, 2nd Edition, 947-948, Prantice-Hall Inc., New Jersey Chafetz, U., Daly, R. E., Schriftman, H., and Lomner, J. J., 1971, Selective Colorimetric Determination of Acetaminophen, Journal of Pharmaceutical Science, 60, 463-466 Chamberlain, J., 1995, The Analysis of Drugs in Biological Fluids, 2nd Edition, 3840, CRC Press Inc., USA Chereson, R., 1999, Bioavailability, Bioequivalence, and Drug Selection, in Makoid, M. C., Vuchetich, P. J., and Banakar, U. V. (Eds.), Basic Pharmacokinetics, 1st Edition,2-4,15-18,20,29-30, Available from http://kiwi.creighton.edu/pkinbook/ Clark, B., and Smith, D. A., 1993, An Introduction to Pharmacokinetics, Revised 2nd Edition, 1-2, 26-33, Oxford Blackwell Scientific Publications, USA Connors, K. A., 1982, A Textbook of Pharmaceutical Analysis, 3rd Edition, 540-567, Interscience Publisher, John Wiley & Sons, New York Connors, K. A., Amidon, G. L., and Stella, V. J., 1986, Chemical Stability of Pharmaceuticals : A Handbook for Pharmacists, 2nd Edition, 163, 167, John Wiley & Sons, New York Frisell, W. R., 1982, Human Biochemistry, 423-427, McMillan Publishing Inc., USA Gibson, G. G., and Skett, P., 1991, Introduction to Drug Metabolism, diterjemahkan oleh Iis Aisyah B., 189-190, Universitas Indonesia Press, Jakarta Glynn, J. P., and Kendal, S. E., 1975, Paracetamol Measurement, The Lancet, 7916, Volume I, 1147 Hanson, G. R., 2000, Analgesic, Antipyretic, and Anti-Inflammatory Drugs, in Gennaro, A. R., et al. (Eds.), Remington : The Science and Practice of Pharmacy, 20th Edition, 1455, Philadelphia College of Pharmacy and Science, Philadelphia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 97
Johnston, A., and Woolard, R. C., 1983, STRIPE : A Computer Program for Pharmacokinetics, J. Pharmacol. Math., 9, 193-199 Khopkar, S. M., 1990, Basic Concepts of Analytical Chemistry, diterjemahkan oleh A. Saptoraharjo, 193, 204, Universitas Indonesia Press, Jakarta Kottke, M. K., and Rudnic, E. M., 2002, Tablet Dosage Forms, in Banker, G. S., and Rhodes, C. T., (Eds.), Modern Pharmaceutics, 4th Edition, 287-330, Marcell Dekker Inc., New York Lacy, C. F., Armstrong, L. L., Goldman, M. P., and Lance, L. L., 2003, Drug Information, 11th Edition, 25, Lexi-Comp, Ohio Lestari, C. S., Rahayu, S., Rya, H., Suhardjono, Maisunah, Soewarni, S., dkk., 2002, Seni Menulis Resep : Teori dan Praktek, 27-36, P.T. Perca, Jakarta Makoid, M., and Cobby, J., 2000, Introduction, in Makoid, M. C., Vuchetich, P. J., and Banakar, U. V. (Eds.), Basic Pharmacokinetics, 1st Edition, 1-2, Available from http://pharmacy.creighton.edu/pha443/pdf/ Malinowski, H. J., 2000, Bioavailability and Bioequivalence Testing, in Gennaro, A. R., et al. (Eds.), Remington : The Science and Practice of Pharmacy, 20th Edition, 995, Philadelphia College of Pharmacy and Science, Philadelphia McGilveray, I. J., and Mattok, G. L., 1972, Some Factors Affecting the Absorption of Paracetamol, J. Pharm. Pharmac., 24, 615-619 Melmon, K. L., and Morelli, H. F., 1992, Melmon and Morelli’s : Clinical Pharmacology Basic Principles in Therapeutics, 3rd Edition, 1032-1033, McGraw-Hill, USA Montgomery, R., Conway, T. W., and Spector, A. A., 1993, Biochemistry : A CaseOriented Approach, diterjemahkan oleh Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Edisi I, Jilid 1, 89-91, Binarupa Aksara, Jakarta Mulja, M., dan Suharman, 1995, Analisis Instrumental, 35, Airlangga University Press, Surabaya Murray, R. K., Granner, D. K., Mayes, P. A., and Rodwell, V. W., 2000, Harper’s Biochemistry, 25th Edition, 737, McGraw-Hill, New York Mutschler, E., Derendorf, H., Schäfer-Korting, M., Elrod, K., and Estes, K. S., 1995, Drug Actions : Basic Principle and Therapeutic Aspects, 33-35, Medpharm Scientific Publishers, Stuttgart
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 98
Mutschler, E., 1999, Dinamika Obat, diterjemahkan oleh Mathilda B. Widianto dan Anna Setiadi Ranti, Edisi ke-5, 5-6, 9-47, 167, 200-201, Penerbit ITB, Bandung Pearce, E. C., 2002, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, diterjemahkan oleh Sri Yuliani Handoyo, 133, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Proudfoot, S. G., 1990, Factors Influencing Bioavailability : Factors Influencing Drug Absorption from The Gastrointestinal Tract, in Aulton, M. E. (Ed.), Pharmaceutics : The Science of Dosage Form Design, 135-170, ELBS with Churchill Livingstone, UK Roth, H. J., and Blaschke, G., 1981, Pharmaceutical Analysis, diterjemahkan oleh Sarjoko Kisman dan Slamet Ibrahim, 359-361, 373, Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta Setiawati, A., Zunida, S. B., dan Suyatna, F. D., 2003, Pengantar Farmakologi, dalam Ganiswarna, S. G., Setiabudy, R. (Eds.), Farmakologi dan Terapi, Edisi 4 (Dengan Perbaikan), 5-10, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Shargel, L., Wu-Pong, S., and Yu, A. B. C., 2005, Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics, 5th Edition, 3, 456-458, 465-468, McGraw-Hill, Singapore Stringer, J. L., 2001, Basic Concepts in Pharmacology : A Student’s Survival Guide, 2nd Edition, 254-255, McGraw-Hill, Singapore Suryawati, S. dan Donatus, I. A., 1998, Ketersediaan Hayati Obat pada Manusia, Kursus Penelitian, Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Vogel, 1990, Textbook of Macro and Semimicro Qualitative Inorganic Analysis, diterjemahkan oleh Setiono, L., dan Pudjaatmaka, A. H., Edisi V, Bagian I, 55, PT. Kalman Media Pusaka, Jakarta Wagner, G. J., 1975, Fundamentals of Clinical Pharmacokinetics, 1st Edition, 7-20, Drug Intelligence Publications Inc., Hamilt on, Illnois 62341 Widdop, B., 1986, Hospital Toxicology and Drug Abuse Screening, in Moffat, A. C, et al. (Eds.), Clarke’s Isolation and Idenification of Drugs in Pharmaceuticals, Body Fluids, and Pos Mortem Material, 2nd Edition, 23, The Pharmaceutical Press, London Wilkinson, G. R., 2001, Pharmacokinetics : The Dynamics of Drug Absorption, Distribution, and Elimination, in Goodman & Gilman’s : The Pharmacological Basis of Therapeutics, 10th Edition, 3-24, McGraw-Hill, USA
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 99
Wilmana, P. F., 2003, Analgesik-Antipiretik : Analgesik Anti-inflamasi Nonsteroid dan Obat Pirai, dalam Ganiswarna, S. G. Setiabudy, R. (Eds.), Farmakologi dan Terapi, Edisi 4 (Dengan Perbaikan), 214, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta York, P., 1990, The Design of Dosage Forms, in Aulton. M. E. (Ed.), Pharmaceutics : The Science of Dosage Form Design, 1-12, ELBS with Churchill Livingstone, UK
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 100
Lampiran 1. Hasil Penimbangan Tablet untuk Uji Keseragaman Bobot
Tablet 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 X ± SD
Tabel XIX. Hasil Penimbangan Tablet Bobot (mg)
Generik
Pyrexin®
Progesic®
604,2 603,3 599,7 606,1 600,2 605,0 604,2 601,8 600,1 600,9 594,0 603,3 612,4 599,9 602,6 590,9 607,8 601,9 610,4 601,6 602,515 + 4,875
645,4 654,3 641,2 652,7 661,5 661,0 667,0 648,1 647,0 649,3 670,1 669,0 661,6 647,8 656,6 654,5 655,6 663,1 650,6 655,0 655,570 + 8,130
610,5 626,1 614,9 618,5 618,0 614,5 614,9 612,4 615,8 617,1 605,2 606,8 615,8 614,3 619,7 610,9 603,7 622,3 607,0 615,0 614,165 + 5,670
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 101
Lampiran 2. Data Kurva Baku Disolusi Tablet Penimbangan parasetamol Kertas Kertas + zat Kertas + sisa Zat
: 0,3932 g : 0,4436 g : 0,3932 g : 0,0504 g = 50,4 mg
1. Pembuatan larutan persediaan parasetamol Sebanyak 50,4 mg parasetamol dilarutkan dalam 50 ml larutan dapar fosfat pH 5,8 sehingga konsentrasi larutan persediaan parasetamol adalah 50,4 mg = 1,008 mg/ml = 1008 μg/ml 50 ml
2. Pembuatan larutan intermediet I parasetamol Pipet 1 ml larutan persediaan parasetamol, masukkan ke dalam labu ukur 50,0 ml dan tambahkan larutan dapar fosfat pH 5,8 sampai tanda. 1 ml x 1008 μg/ml = 20,16 μg/ml Konsentrasi larutan intermediet I adalah : 50 ml
3. Pembuatan seri kadar larutan intermediet parasetamol Pipet x ml larutan intermediet I parasetamol, masukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml dan tambahkan larutan dapar fosfat pH 5,8 sampai tanda.
Tabel XX. Seri Kadar Larutan Intermediet Parasetamol dalam Pembuatan Kurva Baku Uji Disolusi X (ml) Serapan C (μg/ml) 1,5 3,02 0,288 2,0 4,03 0,342 2,5 5,04 0,429 3,0 6,05 0,500 3,5 7,06 0,597 4,0 8,07 0,716 4,5 9,08 0,768
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
Lampiran 3 : Hasil Uji Disolusi Tablet Tabel XXI. Hasil Perhitungan Disolusi Tablet Parasetamol Generik Replikasi
I
II
III
Waktu (menit) 10 20 30 10 20 30 10 20 30
A 0.433 0.443 0.476 0.453 0.454 0.468 0.425 0.465 0.470
C
C0
Q5
(μg/ml) 5.006 5.126 5.522 5.246 5.258 5.426 4.910 5.390 5.450
(μg/ml) 417.167 427.167 460.167 437.167 438.167 452.167 409.167 449.167 454.167
(mg) 2.086 2.136 2.301 2.186 2.191 2.261 2.046 2.246 2.271
Q900 (mg) 375.480 384.480 414.180 393.480 394.380 406.980 368.280 404.280 408.780
Qkum (mg) 375.480 386.566 418.402 393.480 396.566 411.357 368.280 406.326 413.072
Tabel XXII. Hasil Perhitungan Disolusi Tablet Pyrexin® Replikasi
I
II
III
Waktu
A
C
C0
Q5
Q900
Qkum
(menit) 10
0.521
(μg/ml) 6.062
(μg/ml) 505.167
(mg) 2.526
(mg) 454.680
(mg) 454.680
20 30
0.523 0.518
6.086 6.026
507.167 502.167
2.536 2.511
456.480 451.980
459.006 457.042
10 20 30 10 20 30
0.508 0.515 0.525 0.514 0.526 0.520
5.906 5.990 6.110 5.978 6.122 6.050
492.167 499.167 509.167 498.167 510.167 504.167
2.461 2.496 2.546 2.491 2.551 2.521
442.980 449.280 458.280 448.380 459.180 453.780
442.980 451.741 463.237 448.380 461.671 458.822
Tabel XXIII. Hasil Perhitungan Disolusi Tablet Progesic® Replikasi
I
II
III
Waktu (menit) 10
0.510
C (μg/ml) 5.930
C0 (μg/ml) 494.167
Q5 (mg) 2.471
Q900 (mg) 444.780
Qkum (mg) 444.780
20 30
0.486 0.513
5.642 5.966
470.167 497.167
2.351 2.486
423.180 447.480
425.651 452.302
10 20 30 10 20 30
0.437 0.483 0.506 0.456 0.518 0.507
5.054 5.606 5.882 5.282 6.026 5.894
421.167 467.167 490.167 440.167 502.167 491.167
2.106 2.336 2.451 2.201 2.511 2.456
379.080 420.480 441.180 396.180 451.980 442.080
379.080 422.586 445.622 396.180 454.181 446.792
A
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
Lampiran 4. Contoh Cara Perhitungan Data Disolusi Tablet
Persamaan kurva baku : Y = 0,08331 X + 0,01598 Pada menit ke-10, diambil sampel sebanyak 5,0 ml. Kemudian dilakukan pengenceran. Ambil 1 ml, masukkan ke labu ukur 25,0 ml, tambahkan larutan dapar hingga tanda. (larutan A). Kemudian dilakukan pengenceran lagi. Ambil 3,0 ml larutan A, masukkan ke labu ukur 10,0 ml, tambahkan larutan dapar hingga tanda. Ukur serapan pada panjang gelombang 243,1 nm. Pada tabung uji disolusi ditambah 5,0 ml larutan dapar. Pada menit ke-20, diambil sampel sebanyak 5 ml. Kemudian dilakukan pengenceran dengan cara yang sama. Pada tabung uji disolusi ditambah 5,0 ml larutan dapar. Pada menit ke-30, diambil sampel sebanyak 5 ml. Kemudian dilakukan pengenceran dengan cara yang sama. Generik Replikasi I Menit ke-10 : Serapan (Y) = 0,433 X=
0,433 - 0,01598 = 5,006 μg/ml 0,08331
Kadar sebelum pengenceran = 5,006 μg/ml x
10 25 x = 417,167 μg/ml. 3 1
Dalam 5 ml sampel terdapat parasetamol sebanyak = 417,167 μg/ml x 5 ml = 2,086 mg Dalam media 900 ml (Q900) terdapat parasetamol sebanyak = 2,086 mg x = 375,480 mg
Menit ke-20 : Serapan (Y) = 0,443 Dengan cara yang sama diperoleh Q900 sebesar 384,480 mg Qkum = 384,480 mg + 2,086 mg = 386,566 mg Menit ke-30 : Serapan (Y) = 0,476 Dengan cara yang sama diperoleh Q900 sebesar 414,180 mg Qkum = 414,180 mg + 2,086 mg + 2,136 mg = 418,402 mg
900 5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Lampiran 5. Grafik Uji Disolusi Tablet A
PROFIL DISOLUSI TABLET GENERIK
Qkum (mg)
440.000 420.000 400.000 380.000 360.000 0
10
20
40
30
Waktu (menit) Replikasi I
Qkum (mg)
B
Replikasi II
Replikasi III
PROFIL DISOLUSI TABLET PYREXIN
®
465.000 460.000 455.000 450.000 445.000 440.000 435.000 0
10
20
30
40
Waktu (menit) Replikasi I
C
Replikasi II
Replikasi III
PROFIL DISOLUSI TABLET PROGESIC
®
Qkum (mg)
470.000 450.000 430.000 410.000 390.000 370.000 0
10
20
30
40
Waktu (menit) Replikasi I
Replikasi II
Replikasi III
Gambar 24. Profil Disolusi Tablet Parasetamol (Generik) (A), Tablet Pyrexin® (B), dan Tablet Progesic® (C)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Lampiran 6. Contoh Perhitungan Faktor Kemiripan Profil Disolusi
Tabel XXIV. Perhitungan Persentase Kumulatif Obat Terlarut Persentase Kumulatif Obat Terlarut (%) Waktu Replikasi Generik Pyrexin® Progesic® 1 75,096 90,936 88,956 2 78,696 88,596 75,816 10 3 73,656 89,676 79,236 75,816 + 2,596 89,736 + 1,171 83,336 + 6,817 X ± SD 1 77,313 91,801 85,130 2 79,313 90,348 84,517 20 3 81,265 92,334 90,836 79,297 + 1,976 91,494 + 1,028 86,828 + 3,486 X ± SD 1 83,680 91,408 90,460 2 82,271 92,647 89,124 30 3 82,614 91,764 89,359 82,855 + 0,735 91,940 + 0,638 89,648 + 0,713 X ± SD
Nilai f2 Pyrexin®
=
=
=
=
=
⎡ ⎤ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ 100 ⎥ 50 log ⎢ t =n ⎢ 2 ⎥ ∑ (R t - Tt ) ⎥ ⎢ t =1 ⎢ 1+ ⎥ n ⎣ ⎦ ⎡ ⎢ 100 50 log ⎢ ⎢ 1 + (75, 816−8 9, 736)2 +(79,297 −91,496 )2 +(82,855 −91,940 )2 3 ⎣⎢ ⎡ 100 ⎢ 50 log ⎢ 193,766 +148,816 +82,537 ⎢ 1+ 3 ⎣ ⎡ ⎤ 100 ⎢ ⎥ 50 log ⎢ 425,119 ⎥ ⎢ 1+ ⎥ 3 ⎣ ⎦ ⎤ ⎡ 100 50 log ⎢ ⎥ ⎣⎢ 1 + 141,706 ⎦⎥
= 50 log 8,371 = 46,14
⎤ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦
⎤ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦⎥
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Lampiran 7. Contoh Perhitungan Pembuatan Larutan Obat
Penimbangan tablet : 1. 2. 3. 4. 5.
654,3 mg 645,4 mg 641,2 mg 652,7 mg 661,5 mg
Rata-rata =
6. 661,0 mg 7. 667,0 mg 8. 648,1 mg 9. 647,0 mg 10. 649,3 mg
11. 654,7 mg 12. 647,9 mg 13. 662,7 mg
8392,8 = 645,6 mg 13
Akan dibuat larutan dengan konsentrasi 240mg/ml sebanyak 25 ml. Berarti parasetamol yang dibutuhkan = 240mg/ml x 25 ml = 6000 mg Seluruh tablet tersebut digerus halus. Setiap tablet mengandung 500 mg parasetamol, maka serbuk yang setara dengan 6000 mg parasetamol adalah 6000 = × 645,6 = 7747,2 mg 500 Penimbangan serbuk : Kertas = 0,4406 g Kertas + zat = 8,1914 g Kertas + sisa = 0,4448 g Zat = 7,7466 g = 7746,6 mg
Parasetamol yang ditimbang =
7746,6 mg × 6000 mg = 5999,53 mg 7747,2 mg
Konsentrasi larutan tersebut =
5999,53 mg = 239,981 mg/ml 25 ml
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Lampiran 8. Tabel Konversi Perhitungan Dosis Antar Jenis Hewan dan Perhitungan Dosis Awal untuk Orientasi Dosis
Tabel XXV. Konversi Perhitungan Dosis antar Jenis Hewan Mencit 20 g Tikus 200 g Marmot 400 g Kelinci 1,5 kg Kera 4 kg Anjing 12 kg Manusia 70 kg
Mencit 20 g
Tikus 200 g
Marmot 400 g
Kelinci 1,5 kg
Kera 4 kg
Anjing 12 kg
Manusia 70 kg
1,0 0,14 0,08 0,04 0,016 0,008 0,0026
7,0 1,0 0,57 0,25 0,11 0,06 0,018
12,25 1,74 1,0 0,44 0,19 0,10 0,031
27,8 3,9 2,25 1,0 0,42 0,22 0,07
64,1 9,2 5,2 2,4 1,0 0,52 0,16
124,2 17,8 10,2 4,5 1,9 1,0 0,32
387,9 56,0 31,5 14,2 6,1 3,1 1,0
LD50 pada mencit = 338 mg/kgBB (Anonim, 2001b) Faktor konversi mencit ke kelinci = 27,8 LD50 pada kelinci 1,5 kg = 338 mg/kgBB x 27,8 = 9396,4 mg/1,5 kg = 6264,27 mg/kgBB Dosis awal untuk orientasi dosis = 10% x LD50 10 x 6264,27 mg/kgBB = 100 = 626,427 mg/kgBB ~ 625 mg/kgBB Misal : BB kelinci = 1,9 kg Konsentrasi larutan obat = 109,992 mg/ml Volume obat yang diberikan ke kelinci = =
D x BB C
625 mg/kg x 1,9 kg = 10,80 ml 109,992 mg/ml
Dosis kedua
= 625 mg/kgBB x 1,2
= 750 mg/kgBB
Dosis ketiga
= 750 mg/kgBB x 1,2
= 900 mg/kgBB
Dosis keempat = 900 mg/kgBB x 1,2 Dosis kelima
= 1080 mg/kgBB
= 1080 mg/kgBB x 1,2 = 1296 mg/kgBB ~ 1200 mg/kgBB Î dosis yang digunakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
Lampiran 9. Operating Time Larutan Parasetamol dalam Plasma dengan Kadar 100 μg/ml (A) dan 400 μg/ml (B)
(A) 100 µg/ml
(B) 400 µg/ml
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
Lampiran 10. Panjang Gelombang Maksimum Larutan Parasetamol dalam Plasma dengan Kadar 100 μg/ml (A) dan 400 μg/ml (B)
(A) 100 µg/ml
(B) 400 µg/ml
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Lampiran 11. Data Kurva Baku Parasetamol
Penimbangan parasetamol Kertas Kertas + zat Kertas + sisa Zat
: 0,4259 g : 0,4766 g : 0,4265 g : 0,0501 g = 50,1 mg
1. Pembuatan larutan persediaan parasetamol Sebanyak 50,1 mg parasetamol dilarutkan dalam 50 ml aquadest sehingga konsentrasi larutan persediaan parasetamol adalah 50,1 mg = 1,002 mg/ml = 1002 μg/ml 50 ml 2. Pembuatan seri kadar larutan intermediet parasetamol Pipet x ml larutan persediaan parasetamol, masukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml dan tambahkan aquadest sampai tanda. Tabel XXVI. Seri Kadar Larutan Intermediet Parasetamol dalam Pembuatan Kurva Baku X (ml) C (μg/ml) 1,0 100,2 2,0 200,4 3,0 300,6 4,0 400,8 5,0 501,0 6,0 601,2 7,0 701,4 8,0 801,6
3. Pembuatan seri kadar larutan parasetamol dalam plasma Sebanyak 0,5 ml plasma ditambah dengan 0,5 ml larutan parasetamol (untuk tiap-tiap seri kadar) sehingga kadar parasetamol dalam plasma menjadi : Tabel XXVII. Seri Kadar Larutan Intermediet Parasetamol dalam Plasma Serapan C (μg/ml) 50,1 0,101 100,2 0,202 150,3 0,344 200,4 0,486 250,5 0,560 300,6 0,669 350,7 0,794 400,8 0,919
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
Lampiran 12. Kurva Baku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
Lampiran 13. Pembuatan Larutan untuk Penentuan Nilai Perolehan Kembali, Kesalahan Sistematik, dan Kesalahan Acak
Penimbangan parasetamol Kertas Kertas + zat Kertas + sisa Zat
: 0,4464 g : 0,4716 g : 0,4463 g : 0,0253 g = 25,3 mg
1. Pembuatan larutan persediaan parasetamol Sebanyak 25,3 mg parasetamol dilarutkan dalam 25 ml aquadest sehingga konsentrasi larutan persediaan parasetamol adalah 25,3 mg = 1,012 mg/ml = 1012 μg/ml 25 ml 2. Pembuatan larutan intermediet parasetamol Tabel XXVIII. Konsentrasi Larutan Parasetamol untuk Penentuan Nilai Perolehan Kembali, Kesalahan Sistematik, dan Kesalahan Acak
Pipet (ml) 2,0 8,0
Konsentrasi yang Diharapkan (μg/ml) 200 800
Konsentrasi Sesungguhnya (μg/ml) 202,4 809,6
3. Pembuatan larutan parasetamol dalam plasma Sebanyak 0,5 ml plasma ditambah dengan 0,5 ml larutan intermediet parasetamol sehingga kadar parasetamol dalam plasma menjadi 101,2 μg/ml dan 404,8 μg/ml
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
Lampiran 14. Sertifikat Analisis Parasetamol
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
Lampiran 15. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Generik Tabel XXIX. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Generik 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 N(3) : 5 Slope Intercept R Value Half Life N(1) : 4 N(2) : 4 N(3) : 5
Menit ke-
C
C koreksi
Residual
Residual
0 5 10 15 20 25 35 45 60 90 120 150 180 210
80.73 129.05 238.20 268.40 277.02 280.91 258.90 235.61 218.35 168.31 162.70 142.86 113.09 111.79
48.32 157.47 187.67 196.29 200.18 178.17 154.88 137.62 87.58 81.97 62.13 32.36 31.06
- 181.09 - 60.74 - 19.89 - 1.14 12.39 8.27 116 5.33 -
- 197.77 - 74.88 - 31.86 - 11.28 -
N(2) : 4 Slope Intercept R Value Half Life
: - 0,010 : 241,180 : - 0,952 : 69,253 A(1) : A(2) : A(3) : 232,411
: - 0,033 : 19,697 : - 0,478 : 20,902
B(1) : B(2) : B(3) : - 0,010
r(1) : - 0,999 r(2) : - 0,478 r(3) : - 0,952
AIC SS
: 91,15 : 440,726
Vd(ss) Total clearance
Lag time
: 3,70
Calculated Cmax : 195,82 Tmax : 22,60
Absorption half life Half life (2) Elimination half life
: - 3,669 : 20,902 : 69,253
AUC(0-Tn) : %19530,55 AUC(0-inf) : %22633,76 AUC(Tn-inf) is 13,71% of AUC(0-inf) AUMC MRT
: %2461030,00 : 108,73
: 5764,805 : 53,01814
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
Tabel XXX. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Generik 2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 N(3) : 5 Slope Intercept R Value Half Life N(1) : 3 N(2) : 5 N(3) : 5
Menit ke-
C
C koreksi
Residual
Residual
0 5 10 15 20 25 35 45 60 90 120 150 180 210
81.16 154.07 225.69 257.18 267.53 270.55 258.04 236.90 220.94 194.19 159.25 124.31 119.13 116.97
72.91 144.53 176.02 186.37 189.39 176.88 155.74 139.78 113.03 78.09 43.15 37.97 35.81
- 165.19 - 81.88 - 39.27 - 18.36 - 5.29 0.85 - 3.44 2.91 -
- 176.42 - 91.37 - 47.30 -
N(2) : 5 Slope Intercept R Value Half Life
: - 0,010 : 250,386 : - 0,945 : 68,858 A(1) : A(2) : A(3) : 245,148
: - 0,034 : 13,294 : - 0,486 : 20,598
B(1) : B(2) : B(3) : - 0,010
r(1) : - 1,000 r(2) : - 0,486 r(3) : - 0,945
AIC SS
: 88,48 : 358,876
Vd(ss) Total clearance
Lag time
: 2,10
Calculated Cmax : 188,26 Tmax : 25,20
Absorption half life Half life (2) Elimination half life
: - 5,266 : 20,598 : 68,858
AUC(0-Tn) : %19702,25 AUC(0-inf) : %23259,63 AUC(Tn-inf) is 15,29% of AUC(0-inf) AUMC MRT
: %2613375,00 : 112,36
: 5796,653 : 51,59153
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
Tabel XXXI. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Generik 3
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 N(3) : 6 Slope Intercept R Value Half Life N(1) : 4 N(2) : 3 N(3) : 6
Menit ke-
C
C koreksi
Residual
Residual
0 5 10 15 20 25 35 45 60 90 120 150 180 210
75.56 116.97 185.57 213.61 230.43 253.30 214.47 208.43 170.90 157.96 142.42 114.81 102.74 95.40
41.41 110.01 138.05 154.87 177.74 138.91 132.87 95.34 82.40 66.86 39.25 27.18 19.84
- 159.92 - 80.40 - 42.04 - 15.45 16.66 - 5.18 3.99 -
- 219.71 - 122.23 - 71.30 - 35.92 -
N(2) : 3 Slope Intercept R Value Half Life
: - 0,011 : 212,874 : - 0,986 : 62,159 A(1) : A(2) : A(3) : 205,183
: - 0,071 : 85,489 : - 0,939 : 9,698
B(1) : B(2) : B(3) : - 0,011
r(1) : - 0,999 r(2) : - 0,939 r(3) : - 0,986
AIC SS
: 101,03 : 942,266
Vd(ss) Total clearance
Lag time
: 3,30
Calculated Cmax : 155,15 Tmax : 26,40
Absorption half life Half life (2) Elimination half life
: - 5,803 : 9,698 : 62,159
AUC(0-Tn) : %15414,65 AUC(0-inf) : %17193,84 AUC(Tn-inf) is 10,35% of AUC(0-inf) AUMC MRT
: %1700020,25 : 98,87
: 6900,644 : 69,79244
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
Lampiran 16. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Pyrexin® Tabel XXXII. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Pyrexin® 1 Menit ke-
C
C koreksi
Residual
0 5 10 15 20 25 35 45 60 90 120 150 180 210
86.77 108.77 140.27 165.72 176.51 176.94 189.02 192.47 195.92 180.82 138.11 124.74 110.50 108.34
22.00 53.50 78.95 89.74 90.17 102.25 105.70 109.15 94.05 51.34 37.97 23.73 21.57
- 198.13 - 153.87 - 116.40 - 94.29 - 83.19 - 51.59 - 30.82 -
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 N(2) : 6 Slope Intercept R Value Half Life N(1) : 7 N(2) : 6
: - 0,012 : 233,676 : - 0,985 : 58,038 A(1) : - 231,171 A(2) : 230,901
B(1) : - 0,045 B(2) : - 0,012
r(1) : - 0,998 r(2) : - 0,985
AIC SS
: 91,27 : 605,205
Vd(ss) Total clearance
Lag time
: 1,00
Calculated Cmax : 105,21 Tmax : 43,00
Absorption half life Half life (2)
: - 15,355 : 58,038
AUC(0-Tn) : %13178,10 AUC(0-inf) : %14984,20 AUC(Tn-inf) is 12,05% of AUC(0-inf) AUMC MRT
: %1613842,62 : 107,70
: 8625,325 : 80,08437
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
Tabel XXXIII. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Pyrexin® 2 Menit ke-
C
C koreksi
Residual
0 5 10 15 20 25 35 45 60 90 120 150 180 210
73.40 118.70 121.72 126.46 139.40 160.11 185.13 231.29 171.76 165.72 150.19 147.17 127.76 90.66
45.30 48.32 53.06 66.00 86.71 111.73 157.89 98.36 92.32 76.79 73.77 54.36 17.26
- 281.78 - 259.20 - 236.08 - 205.85 - 168.88 - 114.21 - 41.84 - 67.64 -
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 N(2) : 5 Slope Intercept R Value Half Life N(1) : 8 N(2) : 5
: - 0,012 : 347,879 : - 0,870 : 56,214 A(1) : - 342,077 A(2) : 341,925
B(1) : - 0,034 B(2) : - 0,012
r(1) : - 0,912 r(2) : - 0,870
AIC SS
: 116,62 : 4253,150
Vd(ss) Total clearance
Lag time
: 1,40
Calculated Cmax : 121,44 Tmax : 49,70
Absorption half life Half life (2)
: - 20,548 : 56,214
AUC(0-Tn) : %16080,60 AUC(0-inf) : %17480,37 AUC(Tn-inf) is 8,01% of AUC(0-inf) AUMC MRT
: %1904148,00 : 108,93
: 7477,920 : 68,64845
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
Tabel XXXIV. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Pyrexin® 3 Menit ke-
C
C koreksi
Residual
0 5 10 15 20 25 35 45 60 90 120 150 180 210
74.69 108.77 140.27 165.72 176.51 176.94 189.02 192.47 195.92 180.82 138.11 129.05 113.95 96.70
34.08 65.58 91.03 101.82 102.25 114.33 117.78 121.23 106.13 63.42 54.36 39.26 22.01
- 255.05 - 206.59 - 165.18 - 139.37 - 124.80 - 86.87 - 60.51 - 27.50 -
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 N(2) : 5 Slope Intercept R Value Half Life N(1) : 8 N(2) : 5
: - 0,012 : 307,142 : - 0,983 : 57,350 A(1) : - 360,256 A(2) : 305,660
B(1) : - 0,039 B(2) : - 0,012
r(1) : - 0,995 r(2) : - 0,983
AIC SS
: 88,43 : 486,291
Vd(ss) Total clearance
Lag time
: 0,40
Calculated Cmax : 123,50 Tmax : 46,60
Absorption half life Half life (2)
: - 17,967 : 57,350
AUC(0-Tn) : %15712,70 AUC(0-inf) : %17533,76 AUC(Tn-inf) is 10,39% of AUC(0-inf) AUMC MRT
: %1884151,25 : 107,46
: 7354,393 : 68,43939
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
Lampiran 17. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Progesic® Tabel XXXV. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Progesic® 1 Menit ke-
C
C koreksi
Residual
0 5 10 15 20 25 35 45 60 90 120 150 180 210
75.56 191.17 221.37 270.98 283.93 303.34 286.08 274.00 256.75 201.96 182.55 132.93 126.89 109.64
115.61 145.81 195.42 208.37 227.78 210.52 198.44 181.19 126.40 106.99 57.37 51.33 34.08
- 205.94 - 158.77 - 93.08 - 64.90 - 31.07 - 21.72 -
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 N(2) : 7 Slope Intercept R Value Half Life N(1) : 6 N(2) : 7 AIC SS
: - 0,011 : 339,469 : - 0,990 : 63,911 A(1) : - 315,110 A(2) : 339,469 : 95,66 : 848,137
Vd(ss) Total clearance
There is no lag time Absorption half life Half life (2)
r(1) : - 0,984 r(2) : - 0,990 : 4559,931 : 43,91736
Calculated Cmax : 217,88 Tmax : 29,40 : - 8,566 : 63,911
AUC(0-Tn) : %24181,75 AUC(0-inf) : %27324,05 AUC(Tn-inf) is 11,50% of AUC(0-inf) AUMC MRT
B(1) : - 0,081 B(2) : - 0,011
: %2837051,00 : 103,83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
Tabel XXXVI. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Progesic® 2 Menit ke-
C
C koreksi
Residual
0 5 10 15 20 25 35 45 60 90 120 150 180 210
72.54 248.98 283.93 303.77 312.83 321.89 316.28 311.97 299.03 263.65 242.94 198.08 160.11 110.07
176.44 211.39 231.23 240.29 249.35 243.74 239.43 226.49 191.11 170.40 125.54 87.57 37.53
- 331.88 - 269.54 - 223.78 - 190.19 - 157.93 - 120.82 - 86.90 -
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 N(2) : 6 Slope Intercept R Value Half Life N(1) : 7 N(2) : 6 AIC SS
: - 0,011 : 537,281 : - 0,939 : 62,555 A(1) : - 374,341 A(2) : 537,281 : 111,43 : 2853,673
Vd(ss) Total clearance
There is no lag time Absorption half life Half life (2)
r(1) : - 0,998 r(2) : - 0,939 : 3365,325 : 32,05073
Calculated Cmax : 246,21 Tmax : 35,70 : - 21,088 : 62,555
AUC(0-Tn) : %34053,63 AUC(0-inf) : %37440,65 AUC(Tn-inf) is 9,05% of AUC(0-inf) AUMC MRT
B(1) : - 0,033 B(2) : - 0,011
: %3931267,00 : 105,00
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
Tabel XXXVII. Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Progesic® 3 Menit ke-
C
C koreksi
Residual
0 5 10 15 20 25 35 45 60 90 120 150 180 210
75.99 249.84 285.22 305.06 313.69 322.75 317.58 313.26 300.32 264.94 243.81 199.37 161.41 111.36
173.85 209.23 229.07 237.70 246.76 241.59 237.27 224.33 188.95 167.82 123.38 85.42 35.37
- 341.17 - 277.36 - 230.65 - 196.64 - 163.61 - 124.72 - 89.71 -
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 N(2) : 6 Slope Intercept R Value Half Life N(1) : 7 N(2) : 6 AIC SS
: - 0,011 : 545,112 : - 0,937 : 61,029 A(1) : - 385,298 A(2) : 545,112 : 111,80 : 2935,272
Vd(ss) Total clearance
There is no lag time Absorption half life Half life (2)
r(1) : - 0,998 r(2) : - 0,937 : 3378,412 : 32,69188
Calculated Cmax : 244,02 Tmax : 35,70 : - 21,157 : 61,029
AUC(0-Tn) : %33592,18 AUC(0-inf) : %36706,36 AUC(Tn-inf) is 8,48% of AUC(0-inf) AUMC MRT
B(1) : - 0,033 B(2) : - 0,011
: %3793171,00 : 103,34
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
Lampiran 18. Kurva Kadar Parasetamol dalam Plasma (Cp) vs. Waktu (t)
Cp (μg/ml)
A
GENERIK 300 270 240 2 10 18 0 15 0 12 0 90 60 30 0 0
20
40
60
80
10 0 12 0 14 0 16 0 18 0 2 0 0 2 2 0 2 4 0
Waktu (m enit) G e ne rik 1
Cp (μg/ml)
B
G e ne rik 2
PYREXIN
G e ne rik 3
®
300 270 240 2 10 18 0 15 0 12 0 90 60 30 0 0
20
40
60
80
10 0 12 0 14 0 16 0 18 0 2 0 0 2 2 0 2 4 0
Waktu (m enit) P yre xin 1
PROGESIC
C
Cp (μg/ml)
P yre xin 2
P yre xin 3
®
300 270 240 2 10 18 0 15 0 12 0 90 60 30 0 0
20
40
60
80
10 0 12 0 14 0 16 0 18 0 2 0 0 2 2 0 2 4 0
Waktu (m enit) P ro ge s ic 1
P ro ge s ic 2
P ro ge s ic 3
Gambar 25. Kurva Kadar Parasetamol dalam Plasma (Cp) vs Waktu (t) pada Tablet Parasetamol Generik (A), Tablet Pyrexin® (B), dan Tablet Progesic® (C)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
Lampiran 19. Kurva ln Kadar Parasetamol dalam Plasma (ln Cp) vs. Waktu (t)
A
GENERIK
ln Cp (μg/ml)
10
5
0 0
20
40
60
80
10 0
12 0
14 0
16 0
18 0
200 220 240
Waktu (m enit) G e ne rik 1
B
G e ne rik 2
G e ne rik 3
PYREXIN®
ln Cp (μg/ml)
10
5
0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
220
240
220
240
Waktu (menit) Pyrexin 1
C
Pyrexin 2
Pyrexin 3
PROGESIC®
ln Cp (μg/ml)
10
5
0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
Waktu (menit) Progesic 1
Progesic 2
Progesic 3
Gambar 26. Kurva ln Kadar Parasetamol dalam Plasma (ln Cp) vs Waktu (t) pada Tablet Parasetamol Generik (A), Tablet Pyrexin® (B), dan Tablet Progesic® (C)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
Lampiran 20. Harga Rata-Rata Parameter Farmakokinetika
Tabel. XXXVIII. Harga Rata-Rata Parameter Farmakokinetika Parameter X ± SD Farmakokinetika Generik Pyrexin® Progesic® AUC(0-inf) 21029,077 + 16666,110 + 33823,687 + (μg.menit/ml) 3336,122 1456,821 5640,811 AUC(0-Tn) 18215,817 + 14990,467 + 30609,187 + (μg.menit/ml) 2427,400 1580,298 5571,103 Cmax (μg/ml) 179,743 + 21,631 116,717 + 10,018 236,037 + 15,762 tmax (menit) 24,733 + 1,943 46,433 + 3,353 33,600 + 3,637 -1 ka (menit ) 0,147 + 0,037 0,039 + 0,006 0,049 + 0,028 Vd (ml) 6154,034 + 646,779 7819,213 + 700,841 3767,8893 + 685,959 Cl (ml/menit) 58,134 + 10,122 72,391 + 6,664 36,220 + 6,674 -1 kel (menit ) 0,010 + 0,00006 0,012 + 0 0,011 + 0 t½ eliminasi (menit) 66,757 + 3,987 57,201 + 0,921 62,498 + 1,442
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
Lampiran 21. Perhitungan Rata-Rata Parameter Bioavailabilitas untuk Penentuan Bioekivalensi
Tabel XXXIX. Perhitungan Rata-Rata Parameter Bioavailabilitas Parameter Replikasi Generik Pyrexin® Progesic® I 22633,76 14984,20 27324,05 II 23259,63 17480,37 37440,65 AUC(0-inf) III 17193,84 17533,76 36706,36 (μg.menit/ml) Rata-rata 20840,628 16622,120 33487,027 geometrik I 195,82 105,21 217,88 II 188,26 121,44 246,21 Cmax (μg/ml) III 155,15 123,50 244,02 Rata-rata 178,836 116,420 235,676 geometrik I 22,60 43,00 29,40 II 25,20 49,70 35,70 tmax (menit) III 26,40 46,60 35,70 Rata-rata 24,681 46,352 33,463 geometrik
Contoh cara perhitungan rata-rata geometrik : Rata-rata geometrik AUC(0-inf) tablet parasetamol generik =
3
22633,76 × 23259,63 × 17193,84
= 3 9,052.1012 = 20840,628
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
Lampiran 22. Analisis Statistik (SPSS 14.0)
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors obat
Value Label generik progesic pyrexin
1,00 2,00 3,00
N 3 3 3
Descriptive Statistics Dependent Variable: AUC_0_inf obat generik progesic pyrexin Total
Mean 9,944660 10,418913 9,718490 10,027354
Std. Deviation ,1671401 ,1764198 ,0898527 ,3355834
N 3 3 3 9
Levene's Test of Equality of Error Variances
a
Dependent Variable: AUC_0_inf F 1,547
df1
df2 2
Sig. ,287
6
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: Intercept+obat
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: AUC_0_inf Source Corrected Model Intercept obat Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares ,767a 904,930 ,767 ,134 905,831 ,901
df 2 1 2 6 9 8
Mean Square ,383 904,930 ,383 ,022
a. R Squared = ,851 (Adjusted R Squared = ,801)
F 17,130 40438,839 17,130
Sig. ,003 ,000 ,003
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
Estimated Marginal Means obat Dependent Variable: AUC_0_inf obat generik progesic pyrexin
Mean 9,945 10,419 9,718
90% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound 9,777 10,112 10,251 10,587 9,551 9,886
Std. Error ,086 ,086 ,086
Post Hoc Tests obat Multiple Comparisons Dependent Variable: AUC_0_inf Tukey HSD
(I) obat generik
Mean Difference (I-J) -,474254* ,226170 ,474254* ,700424* -,226170 -,700424*
(J) obat progesic pyrexin generik pyrexin generik progesic
progesic pyrexin
Std. Error ,1221413 ,1221413 ,1221413 ,1221413 ,1221413 ,1221413
Sig. ,019 ,232 ,019 ,003 ,232 ,003
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the ,1 level.
Homogeneous Subsets AUC_0_inf a,b
Tukey HSD
Subset obat pyrexin generik progesic Sig.
N 3 3 3
1 9,718490 9,944660 ,232
2
10,418913 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,022. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,1.
90% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -,781580 -,166928 -,081156 ,533496 ,166928 ,781580 ,393098 1,007750 -,533496 ,081156 -1,007750 -,393098
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors obat
Value Label generik progesic pyrexin
1,00 2,00 3,00
N 3 3 3
Descriptive Statistics Dependent Variable: Cmax obat generik progesic pyrexin Total
Mean 5,186471 5,462460 4,757207 5,135379
Std. Deviation ,1246083 ,0681429 ,0880860 ,3189199
N 3 3 3 9
Levene's Test of Equality of Error Variances
a
Dependent Variable: Cmax F 1,176
df1
df2 2
Sig. ,371
6
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: Intercept+obat
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Cmax Source Corrected Model Intercept obat Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares ,758a 237,349 ,758 ,056 238,163 ,814
df 2 1 2 6 9 8
Mean Square ,379 237,349 ,379 ,009
a. R Squared = ,931 (Adjusted R Squared = ,908)
F 40,699 25494,149 40,699
Sig. ,000 ,000 ,000
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
Estimated Marginal Means obat Dependent Variable: Cmax obat generik progesic pyrexin
Mean 5,186 5,462 4,757
90% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound 5,078 5,295 5,354 5,571 4,649 4,865
Std. Error ,056 ,056 ,056
Post Hoc Tests obat Multiple Comparisons Dependent Variable: Cmax Tukey HSD
(I) obat generik
Mean Difference (I-J) -,275989* ,429264* ,275989* ,705253* -,429264* -,705253*
(J) obat progesic pyrexin generik pyrexin generik progesic
progesic pyrexin
Std. Error ,0787822 ,0787822 ,0787822 ,0787822 ,0787822 ,0787822
Sig. ,030 ,004 ,030 ,000 ,004 ,000
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the ,1 level.
Homogeneous Subsets Cmax a,b
Tukey HSD obat pyrexin generik progesic Sig.
N 3 3 3
1 4,757207
Subset 2
3
5,186471 1,000
1,000
5,462460 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,009. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,1.
90% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -,474217 -,077761 ,231037 ,627492 ,077761 ,474217 ,507026 ,903481 -,627492 -,231037 -,903481 -,507026
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors obat
Value Label generik progesic pyrexin
1,00 2,00 3,00
N 3 3 3
Descriptive Statistics Dependent Variable: Tmax obat generik progesic pyrexin Total
Mean 24,7333 33,6000 46,4333 34,9222
Std. Deviation 1,94251 3,63731 3,35311 9,81514
N 3 3 3 9
Levene's Test of Equality of Error Variances
a
Dependent Variable: Tmax F
df1 ,780
df2 2
Sig. ,500
6
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: Intercept+obat
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Tmax Source Corrected Model Intercept obat Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 714,202a 10976,054 714,202 56,493 11746,750 770,696
df 2 1 2 6 9 8
Mean Square 357,101 10976,054 357,101 9,416
a. R Squared = ,927 (Adjusted R Squared = ,902)
F 37,927 1165,736 37,927
Sig. ,000 ,000 ,000
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
Estimated Marginal Means obat Dependent Variable: Tmax obat generik progesic pyrexin
Mean 24,733 33,600 46,433
90% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound 21,291 28,176 30,157 37,043 42,991 49,876
Std. Error 1,772 1,772 1,772
Post Hoc Tests obat Multiple Comparisons Dependent Variable: Tmax Tukey HSD
(I) obat generik
Mean Difference (I-J) -8,8667* -21,7000* 8,8667* -12,8333* 21,7000* 12,8333*
(J) obat progesic pyrexin generik pyrexin generik progesic
progesic pyrexin
Std. Error 2,50540 2,50540 2,50540 2,50540 2,50540 2,50540
Sig. ,028 ,000 ,028 ,005 ,000 ,005
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the ,1 level.
Homogeneous Subsets Tmax a,b
Tukey HSD obat generik progesic pyrexin Sig.
N 3 3 3
1 24,7333
Subset 2
3
33,6000 1,000
1,000
46,4333 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 9,416. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = ,1.
90% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -15,1706 -2,5627 -28,0040 -15,3960 2,5627 15,1706 -19,1373 -6,5294 15,3960 28,0040 6,5294 19,1373
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BIOGRAFI PENULIS Penulis yang memiliki nama lengkap Clara Jeviana Sri Widyarini adalah putri kedua dari pasangan Drs. Johanes Stefanus Sriyanto dan Maria Magdalena Sri Astuti yang lahir di Purwokerto pada tanggal 16 Januari 1986. Pendidikan formal ditempuh di beberapa kota karena penulis sering mengikuti orang tua berpindah tugas ke luar kota, yaitu TK Bhayangkari Kebumen, TK Santa Maria Magelang, SD Santa Maria Magelang, SD Tarakanita I Jakarta, SD Baleharjo II Pacitan, SLTP Negeri I Pacitan, SLTP Santo Yosef Surabaya dan SLTP Santo Fransiskus Tanjung Karang Bandar Lampung. Setelah tamat SLTP, penulis melanjutkan pendidikan di sekolah berasrama SMU Pangudi Luhur Van Lith Muntilan angkatan 10. Kemudian penulis tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta angkatan 2003. Selama kuliah, penulis pernah menjadi asisten dosen pada praktikum Kimia Organik. Selain itu, penulis juga menjadi salah satu anggota kelompok yang ikut serta pada Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) DIKTI tahun 2007.