PERBAIKAN WAKTU PENANGANAN TERHADAP KELUHAN TENANT GEDUNG GAA MELALUI PERANCANGAN PENJADWALAN TEKNISI BM KPAA Kania Intan Ayu; Trialisa Ayu Larasati; Sandra Putri Salzani; Rida Zuraida Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Bina Nusantara Jl. K. H. Syahdan No. 9, Kemanggisan, Palmerah , Jakarta 11480
[email protected];
[email protected];
[email protected]
ABSTRACT The final project discusses about the performance of maintenance and tenant’s complaint handling of Grha Asuransi Astra Building Management Department which located at Kawasan Perkantoran Asuransi Astra (KPAA). It is aimed for increasing the maintenance building performance and work efficiency of tenant’s complaint handling in order to achieve the applied Service Level Agreement (SLA). The research is done through determining the priority of complaint handling that should be handled first using Analytical Hierarchy Process (AHP) according to tenant’s opinion. The prioritized complaints are observed using service gap to discover the difference of actual handling time compared to SLA time, which the result showed negative scors (the complaint handling hasn’t fulfilled SLA). Fishbone diagram is used to discover the causes of complaint handling that hasn’t fulfilled the applied SLA. The result showed the influence of engineer’s availability for complaint handling (people factor). Next analysis is using workload analysis to discover required engineer based on availability time and monte carlo simulation is used for knowing complaint handling’s waiting time. The result showed that the recent engineer’s availability hasn’t been optimal, so it is concluded to propose 2 scheduling design alternative, which are 13 engineers and 17 engineers through integer linear programming calculation. Daily assignment logbook is also proposed to control the application of scheduling design as an engineer’s activity record that hasn’t been recorded well recently. Kata kunci: Analytical Hierarchy Process (AHP), Service Gap, Diagram Fishbone, Workload Analysis, Simulasi Monte Carlo, Workshift Scheduling, Logbook
ABSTRAK Laporan tugas akhir ini membahas mengenai kinerja dari Departemen Building Management dalam melakukan pemeliharaan dan penanganan keluhan tenant yang menggunakan gedung Grha Asuransi Astra pada Kawasan Perkantoran Asuransi Astra (KPPA) yang bertujuan untuk meningkatkan performa pemeliharaan gedung dan efisiensi kerja dalam menangani keluhan tenant sehingga mencapai Service Level Agreement (SLA) yang berlaku. Untuk mengetahui hal tersebut, maka dilakukan penentuan prioritas penanganan keluhan yang harus ditangani menurut tenant utama dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Setelah itu, prioritas keluhan diobservasi dengan menggunakan service gap untuk mengetahui perbedaan waktu penanganan aktual dengan waktu SLA, dimana nilai yang dihasilkan negatif (penanganan keluhan belum memenuhi SLA). Diagram fishbone digunakan untuk mengetahui penyebab penanganan keluhan tidak memenuhi SLA yang berlaku. Hasilnya menunjukan adanya pengaruh ketersediaan teknisi dalam menangani keluhan (faktor people). Analisis selanjutnya dilakukan dengan workload analysis untuk mengetahui kebutuhan teknisi berdasarkan waktu ketersediaan dan simulasi monte carlo untuk mengetahui waktu tunggu penanganan keluhan. Hasil penelitian menunjukan bahwa ketersediaan teknisi saat ini belum optimal, sehingga diusulkan 2 alternatif perancangan penjadwalan melalui perhitungan integer linear
programming dengan hasil 13 dan 17 teknisi. Untuk mengontrol penerapan usulan penjadwalan, maka dirancang daily assignment logbook sebagai alat pencatatan aktifitas teknisi yang saat ini belum tercatat dengan baik. Kata kunci: Analytical Hierarchy Process (AHP), Service Gap, Diagram Fishbone, Workload Analysis, Simulasi Monte Carlo, Workshift Scheduling, Logbook
PENDAHULUAN Kantor KPAA (Kawasan Perkantoran Asuransi Astra) merupakan kawasan perkantoran yang ditempati oleh PT. Asuransi Astra Buana serta beberapa perusahaan lain yang menyewa gedung Menara FIF. Dibawah kepemilikan PT. Asuransi Astra Buana dan PT. Samadista Karya, kawasan perkantoran ini bekerja sama dengan PT. Jakarta Land Management untuk mengelola Kantor KPAA dan melakukan pemeliharaan gedung sebagai departemen building management. Kegiatan pemeliharaan yang dimaksudkan adalah pemeliharaan secara berkala dan kegiatan pemeliharaan berdasarkan keluhan dari tenant. Untuk menentukan performa dari Building Management Kantor KPAA, diberlakukan service level agreement (SLA) yang menentukan batas frekuensi serta durasi kegiatan pemeliharaan, dan penanganan keluhan tenant. SLA adalah sebuah kontrak negosiasi berupa dokumen berdasarkan tujuan perusahaan yang ingin dicapai, dengan melihat aspek antara perusahaan penyedia pelayanan dan pelanggan. SLA memberikan sebuah pandangan yang memudahkan pelanggan untuk memahami mengenai keuntungan, kerugian, jenis pelayanan, dan dari sisi keamanan, keamanan, dan pertanggungjawaban dari pelayanan yang diberikan (Dash, Saini et al, 2014, p. 2900). Penelitian dilakukan untuk mengetahui performa kerja dan kualitas pelayanan building management sekarang ini, dilakukan pengamatan terhadap aktifitas kerja yang dilakukan pada building management. Berdasarkan pengamatan dan pengolahan data, didapatkan data bahwa performa kerja teknisi dalam menanggapi keluhan tenant belum dapat memenuhi SLA yang diberlakukan. Hal itu dapat dilihat melalui banyaknya keluhan tenant yang tidak terselesaikan tepat waktu dan melewati batas SLA yang diberlakukan. Untuk itu, pengamatan dilakukan kembali untuk mencari cara meningkatkan waktu penanganan keluhan agar memenuhi SLA yang berlaku.
METODE PENELITIAN Penelitian pertama kali dilakukan dengan menentukan prioritas penanganan keluhan dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP), yang kemudian tipe penanganan keluhan yang telah diprioritaskan dihitung apakah waktu penanganan aktual sudah memenuhi SLA yang berlaku menggunakan service gap analysis. Hasil dari analisis tersebut menunjukan bahwa kesenjangan waktu bernilai negatif atau belum menenuhi SLA yang berlaku, sehingga dilakukan penyebab pencarian terjadinya hal tersebut dengan menggunakan diagram fishbone. Hasil diagram fishbone menunjukan bahwa faktor people (manusia) dianggap sebagai faktor yang paling mempengaruhi, sehingga dilakukan perhitungan workload analysis untuk mengetahui apakah waktu kerja teknisi yang tersedia sudah memenuhi beban kerja yang ada dan simulasi menggunakan Monte Carlo untuk mengetahui waktu tunggu keluhan pada antrian pada kondisi aktual. Berdasarkan hasil tersebut menunjukan bahwa waktu kerja teknisi sudah mencukupi beban kerja namun saat dilakukan simulasi kondisi aktual menggunakan konsep Monte Carlo terdapat waktu tunggu pada keluhan yang akan ditangani. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dilakukan workshift scheduling untuk mengtahui kebutuhan teknisi menggunakan Integer Linear Programming (ILP) dan mengatur sistem penjadwalan teknisi yang optimal serta penyaranan daily assignment logbook sebagai alat pengawasan kondisi usulan yang disarankan serta sebagai alat kontrol dan pengawasan teknisi.
HASIL DAN BAHASAN Penelitian difokuskan dengan batasan masalah lokasi penelitian difokuskan pada salah satu gedung utama, yaitu Grha Asuransi Astra serta pengambilan data work order dan helpdesk diambil dari bulan Oktober 2014 hingga bulan Maret 2015. Pengumpulan data yang dilakukan dikategorikan menjadi data sekunder antara lain data work order dan helpdesk, jadwal shift teknisi, dan jadwal maintenance dan inspeksi., serta data primer antara lain kuesioner expert judgment, serta waktu kerja inspeksi dan maintenance. Berikut adalah tahap penelitian yang dilakukan penulis pada penelitian ini:
Penentuan Prioritas Penanganan Keluhan Menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) Langkah penentuan prioritas dilakukan dengan cara menyebar kuesioner kepada 3 orang responden terpilih dalam menilai setiap tipe penanganan sebagai alternatif terhadap kriteria yang ditentukan. Responden yang dipilih dianggap dapat mewakili seluruh tenant pada Gedung GAA dikarenakan responden tersebut merupakan perwakilan yang paling sering menyampaikan keluhan kepada building management, sehingga dianggap hasil kuesioner tersebut sudah cukup reliabel dan dapat mewakili mayoritas tenant yang ada. Untuk menentukan bentuk pertanyaan kuesioner, dilakukan penentuan tujuan, kriteria, dan alternatif yang selanjutnya akan diubah menjadi pertanyaan. Alternatif dipilih berdasarkan keluhan yang diajukan oleh tenant dengan data yang dikumpulkan sejak bulan Oktober 2014 sampai dengan Maret 2015. Berikut adalah diagram analytical hierarchy process (AHP) untuk menentukan prioritas penanganan keluhan:
Gambar 1. Diagram AHP Hasil penyebaran kuesioner tersebut dikumpulkan dan dilakukan perhitungan AHP dengan hasil akhir sebagai berikut:
Kriteria Lampu
Tabel 2. Perhitungan Akhir AHP dan Hasil Matrix Row Row Average Row Average Kepentingan Average Kepuasan Kriteria 0,0978 0,1142
Hasil Perhitungan 0,1087
Stop Kontak Kabel & Arus Listrik AC
0,0426
0,0341
0,0369
0,1261
0,0734
0,0909
0,1768
0,1346
Toilet
0,0855
0,1275
=
x 0,3333
0,1487 0,1135
Lift
0,0393
0,1013
Security
0,1202
0,2124
Housekeeping
0,1005
0,0497
0,0667
Furniture
0,0711
0,0474
0,0553
Ruangan
0,0566
0,0319
0,0401
Pintu
0,0833
0,0735
0,0768
0,6667
0,0806 0,1817
Berdasarkan hasil perhitungan AHP, didapatkan urutan prioritas penangangan keluhan yang harus didahulukan, yaitu yang menjadi prioritas utama adalah penanganan security (18,17%), selanjutnya penanganan AC (14,87%), penanganan toilet (11,35%), penanganan lampu (10,87%), penanganan kabel & arus listrik (9,09%), penanganan lift (8,06%), penanganan pintu (7,68%), penanganan housekeeping (6,67%), penanganan furniture (5,53%), penanganan ruangan (4,01%), dan yang terakhir adalah penanganan stop kontak (3,69%). Prioritas penanganan tersebut akan digunakan sebagai fokus pembahasan masalah dan penentuan solusi yang akan dilakukan.
Service Gap Analysis Service gap analysis digunakan agar dapat melihat perbandingan apakah waktu penanganan yang dilakukan telah sesuai dengan SLA yang berlaku. Perbandingan dilakukan dengan pengelompokan keluhan yang diterima berdasarkan tipe penanganan yang dibandingkan dengan SLA yang berlaku. Pengumpulan data dilakukan dengan mengelompokan keluhan yang masuk ke dalam tipe penanganan masing-masing serta service level agreement (SLA) yang diberlakukan. Selain mengelompokkan keluhan, dihitung pula waktu penanganan setiap keluhan berdasarkan waktu masuk dengan waktu diselesaikan. Langkah selanjutnya adalah membandingkan dengan SLA yang berlaku. Berikut adalah hasil service gap yang didapatkan berdasarkan urutan prioritasnya, antara lain: Tabel 4.5 Service Gap Analysis
Prioritas
Tipe Penanganan
SLA (Menit) [a]
Rentang Waktu Penanganan (Menit) Min
Maks
Rata-Rata Waktu Penanganan (Menit) [b]
Time Gap (Menit) [a-b]
1
Security
30
5
2.924
244
-214
2
AC
60
3
15.592
465
-405
3
Toilet
60
10
28.520
788
-728
4
30
2
7.470
217
-187
60
5
5.625
470
-410
6
Lampu Kabel & Arus Listrik Lift
7
Pintu
60
5
19.132
630
-570
8
Housekeeping
15
80
360
223
-208
9
Furniture
60
8
10.105
246
-186
10
Ruangan
60
5
28.991
1223
-1.163
11
Stop Kontak
60
10
1.640
589
-529
5
60
170
-110
Melalui hasil tersebut, dilakukan analisis dan pengamatan untuk hasil time gap berdasarkan prioritasnya, lalu kondisi tipe penanganan tersebut akan menggunakan brainstorming dan diagram fishbone untuk dicari penyebab permasalahan.
Diagram Fishbone Berdasarkan hasil dari service gap berdasarkan tipe penanganan keluhan yang diprioritaskan, setelah mendapatkan kondisi apa saja yang perlu dicari penyebab keterlambatan penanganan, berikut adalah permasalahan yang akan digunakan diagram fishbone, antara lain: 1. Penanganan security 10. Penanganan pintu 2. Penanganan security melewati 24 jam 11. Penanganan housekeeping 3. Penanganan kabel dan arus listrik 12. Penanganan kerusakan floor drain 4. Penanganan plafond 13. Penanganan jet shower 5. Penanganan furniture 14. Penanganan urinoir 6. Penanganan dinding 15. Penanganan kloset 7. Penanganan lampu 16. Penanganan keran wastafel 8. Penanganan AC 17. Penanganan lift 9. Penanganan stop kontak Dari 17 diagram fishbone, dapat disimpulkan bahwa penyebab penanganan keluhan mengalami keterlambatan dikarenakan hal-hal berikut:
Gambar 1. Diagram Fishbone Gambaran Umum Seluruh Kondisi Permasalahan Melihat penyebab dari permasalahan diatas, faktor people (teknisi) merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam keterlambatan penanganan. Sehingga untuk penelitian lebih lanjut, akan dilihat apakah kesenjangan antara SLA dan waktu penanganan dikarenakan jumlah ketersediaan teknisi pada departemen building management.
Workload Analysis Workload analysis digunakan untuk mengetahui apakah jumlah teknisi yang tersedia sudah mencukupi aktifitas kerja yang dilakukan. Untuk menghitung analisis beban kerja, dikumpulkan data mengenai aktifitas yang dilakukan teknisi beserta waktu yang dibutuhkan. Setelah mengumpulkan aktifitas kerja yang dilakukan teknisi, berikut adalah langkah perhitungan persentase beban kerja teknisi: • Perhitungan waktu kerja tersedia teknisi dalam 1 bulan berdasarkan jadwal shift teknisi dalam bulan tersebut yang dikonversi ke dalam menit (b). • Perhitungan aktifitas kerja yang dilakukan teknisi dalam 1 bulan, yaitu: • Inspeksi reguler, data waktu diambil berdasarkan hasil pengamatan dan pengumpulan data jadwal inspeksi reguler (c). • Inspeksi malam, data waktu diambil berdasarkan pengumpulan data jadwal inspeksi malam (d). • Penanganan keluhan dari bulan tersebut berdasarkan pengumpulan data work order & helpdesk building management dan perhitungan waktu penanganan (e). • Kegiatan pemeliharaan berdasarkan jadwal maintenance harian, mingguan, serta bulanan dari hasil pengumpulan data (f). • Perhitungan total waktu aktifitas kerja, dilakukan dengan cara menjumlahkan seluruh aktifitas kerja yang terlampir (g=c+d+e+f). • Perhitungan persentase beban kerja dengan cara pembagian total waktu aktifitas kerja dengan waktu kerja yang tersedia (g/b). Berdasarkan langkah-langkah tersebut, didapatkan bahwa persentasi beban kerja teknisi pada bulan Oktober 2014 sebesar 32,49%, November 2014 sebesar 31,32%, Desember 2014 sebesar 80,85%, Januari 2015 sebesar 60,21%, Februari 2015 sebesar 54,78%, dan Maret 2015 sebesar 34,21%. Hasil persentase tersebut menunjukkan bahwa beban kerja teknisi terhadap ketersediaan waktu dengan aktifitas kerjanya sudah mencukupi dengan persentase rata-rata 48,97%. Melalui rata-rata tersebut, terdapat 3 bulan yang melewati rata-rata tersebut dengan persentase tertinggi 80,85%. Diasumsikan meskipun mencapai 80,85%, hal tersebut mengartikan bahwa waktu ketersediaan teknisi masih mencukupi untuk melakukan aktifitas yang diperlukan karena tidak mencapai 100% atau melebihi waktu ketersediaannya. Berdasarkan workload analysis tersebut, didapatkan bahwa ketersediaan teknisi sudah mencukupi kebutuhan. Meskipun keberadaan teknisi sudah mencukupi secara umum, diperlukan analisis lebih lanjut lagi mengenai kecukupan jumlah teknisi berdasarkan jadwal shift teknisi.
Simulasi Monte Carlo Kondisi Aktual Simulasi Monte Carlo digunakan untuk dapat mengetahui apakah ketersediaan jumlah teknisi pada waktu tertentu sudah mencukupi dalam menangani keluhan yang masuk serta waktu menunggu keluhan yang terjadi. Data yang digunakan dalam melakukan simulasi Monte Carlo adalah data aktual jadwal shift teknisi GAA dan data work order & helpdesk building management. Berdasarkan pengamatan, didapatkan bahwa total teknisi yang standby maksimal sebanyak 5 orang untuk menangani keluhan yang datang pada pukul 08:00-09:00 dan 15:00-16:00. Hal tersebut menentukan bahwa pada tabel data pengamatan akan diberlakukan jumlah operator sebanyak 5 orang. Untuk melihat kondisi antrian terhadap penanganan keluhan oleh teknisi, dilakukan perhitungan interarrival, waktu menunggu dilayani, waktu pelayanan, serta waktu proses menggunakan tabel data pengamatan. Tanggal dan waktu kedatangan serta tanggal selesai dan waktu pelayanan selesai didapat dari data work order dan helpdesk building management. Selanjutnya waktu masuk pelayanan 1-5 diartikan sebagai waktu keluhan yang masuk diterima oleh teknisi dengan keterbatasan jumlah teknisi yang tersedia pada jam tersebut. Apabila teknisi yang tersedia sedang sibuk sedangkan tidak ada lagi teknisi yang stand by, maka keluhan akan ditunda hingga teknisi stand by dan memasuki waktu menunggu dilayani. Waktu pelayanan didapatkan dari lama waktu yang diperlukan sejak keluhan diterima oleh teknisi hingga diselesaikan. Sedangkan waktu proses adalah lama waktu keluhan diselesaikan sejak keluhan masuk, yaitu total dari waktu pelayanan dan waktu menunggu dilayani. Sedangkan nilai interarrival didapatkan dari selisih waktu antar keluhan masuk. Melalui tabel data pengamatan yang terlampir pada lampiran 5, Dapat diamati waktu menunggu keluhan dalam antrian. Dapat disimpulkan dari pengamatan bahwa rata-rata waktu keluhan menunggu dalam antrian adalah sebagai berikut: Tabel 4.14 Rata-Rata Waktu Keluhan Menunggu dalam Antrian Okt Nov Des Jan Feb (menit) (menit) (menit) (menit) (menit) 15 10 931 28 17 Rata-Rata 172
Mar (menit) 29
Melalui tabel diatas, didapat bahwa rata-rata waktu menunggu dalam antrian selama 6 bulan adalah selama 172 menit atau sama dengan 2 jam 52 menit. Lamanya keluhan pada bulan Desember selama 931 menit atau sama dengan 15 jam 31 menit menunjukkan bahwa keluhan tertunda dalam jangka waktu yang cukup lama.
Workshift Scheduling Untuk dapat mengurangi waktu menunggu keluhan dengan cara memaksimumkan jumlah teknisi yang tersedia, dilakukan workshift scheduling usulan dengan cara mengamati permintaan jumlah keluhan berdasarkan waktu shift dan dibagi menjadi 2 pemodelan untuk penjadwalan teknisi dengan jumlah optimal dan jumlah teknisi aktual.
Pemodelan untuk Penjadwalan Teknisi dengan Jumlah Optimal Untuk dapat melakukan pemodelan ILP, langkah yang diperlukan adalah dengan menentukan variabel, constraint, dan objective function dari kebutuhan jumlah teknisi berdasarkan tabel 4.16. Berikut adalah variabel yang digunakan dalam ILP: X1 = Jumlah Teknisi Pada Shift D (08:00 – 17:00) X2 = Jumlah Teknisi Pada Shift A1 (08:00 – 13:00) X3 = Jumlah Teknisi Pada Shift A (06:00 – 14:00) X4 = Jumlah Teknisi Pada Shift B (14:00 – 21:00) X5 = Jumlah Teknisi Pada Shift C (21:00 –06:00) X6 = Jumlah Teknisi Pada Shift O (Libur/Off) Setelah menentukan variabel diatas, ditentukan objective function dari pemodelan ILP, yaitu meminimalkan kebutuhan jumlah teknisi untuk setiap shift per harinya. Sedangkan yang menjadi
constraints adalah jumlah teknisi yang dibutuhkan untuk setiap jam kerja. Untuk variabel, digunakan fungsi @GIN atau general integer variables untuk mendapatkan hasil berupa integer. Berikut adalah pemodelan ILP yang dilakukan pada software LINGO:
Gambar 4.5 Model ILP untuk Penjadwalan Berdasarkan pemodelan tersebut, didapatkan bahwa untuk memenuhi keluhan yang datang berdasarkan frekuensi keluhan yang masuk, dibutuhkan teknisi sebanyak 17 orang dengan kebutuhan shift D sebanyak 8 orang, shift A1 sebanyak 1 orang, shift A sebanyak 2 orang shift B sebanyak 2 orang, shift C sebanyak 2 orang, dan shift off sebanyak 2 orang. Berdasarkan diskusi dengan chief engineering, terdapat beberapa ketentuan dan pertimbangan untuk melakukan penjadwalan. Setelah melakukan review, dilakukan pola penjadwalan sebagai berikut: • Teknisi dengan jadwal reguler (D), hari senin hingga jumat masuk shift reguler (D) dengan sabtu shift (A1), dan hari libur pada hari minggu. • Teknisi dengan sistem shift A-B-C diberlakukan jadwal shift yang sama setiap orangnya, yaitu AA-B-B-C-C-O-O, namun untuk memenuhi kebutuhan pada shift pagi (A1), terdapat 1 teknisi yang memakai pola A-A1-A1-A-A-B-B-C-C-O-O yang dirotasi setiap teknisi, • Untuk setiap bulannya, akan ada rotasi antara teknisi jadwal reguler dengan teknisi jadwal shift sebanyak 2 orang. Melalui pola penjadwalan tersebut, berikut adalah sistem penjadwalan baru dengan jumlah 17 teknisi:
Gambar 4. Sistem Penjadwalan Teknisi dengan Jumlah 17 Orang
Pemodelan Untuk Penjadwalan Dengan Jumlah Teknisi Aktual Selain mengusulkan untuk menambah jumlah teknisi dan mengganti penjadwalan teknisi, dilakukan juga upaya optimalisasi terhadap jumlah teknisi yang sudah ada, yaitu sebanyak 13 orang dengan mengganti sistem penjadwalan. Digunakan variabel yang sama untuk pemodelan ILP dengan jumlah teknisi aktual. Dikarenakan terdapat batasan jumlah teknisi sebanyak 13 orang, maka ditambah constraints untuk keterbatasan jumlah teknisi. Selain itu, jumlah teknisi yang dibutuhkan setiap jamnya juga tidak dapat dipenuhi secara optimal seperti pemodelan dengan 17 teknisi. Sehingga, total kebutuhan teknisi setiap jamnya hanya bisa memenuhi 75% dari jumlah optimal yang dibutuhkan. Berikut adalah pemodelan ILP tanpa penambahan teknisi:
Gambar 4.8 Model ILP dengan Batas 13 Teknisi Berdasarkan pemodelan ILP diatas, dihasilkan bahwa dalam sehari dibutuhkan 4 orang teknisi pada shift reguler (D), 1 orang teknisi pada shift A1, 2 orang pada shift A, 2 orang pada shift B, 2 orang pada shift C, serta 2 orang pada shift off. Untuk melakukan penjadwalan, dilakukan pula diskusi dengan chief engineering untuk membuat pola penjadwalan baru seperti pola yang diberlakukan pada penjadwalan 17 teknisi. Berdasarkan hasil tersebut, berikut adalah penjadwalan untuk teknisi berdasarkan pola penjadwalan baru:
Gambar 4. Sistem Penjadwalan Teknisi dengan Jumlah 13 Orang
Hasil penjadwalan teknisi usulan dengan jumlah 13 teknisi dan 17 teknisi tersebut akan berjalan optimal apabila adanya pengawasan dalam pengerjaan teknisi melalui pencatatan aktifitas kerja teknisi. Bentuk pengawasan tersebut harus dilakukan secara langsung oleh chief engineering teknisi agar pencatatan dapat diawasi secara efektif. Dikarenakan belum adanya sistem yang mencatat aktifitas teknisi, maka diusulkan adanya daily assignment logbook sebagai alat pengawasan kinerja teknisi setiap hari yang dilakukan oleh chief engineering.
Daily Assignment Logbook Daily assignment logbook merupakan salah satu alat kontrol dan pengawasan bagi performa teknisi. Logbook tersebut digunakan untuk mengetahui permasalahan yang terjadi dalam pengerjaan teknisi. Bentuk pengawasan dari logbook adalah dengan mengetahui penugasan teknisi yang tersedia terhadap pengerjaan yang dilakukannya. Hal ini dapat menghindari penumpukan kerja kepada beberapa teknisi saja, sementara terdapat teknisi lain yang menganggur. Dengan adanya logbook tersebut, dapat diketahui pula jumlah ketersediaan teknisi setiap jam untuk menangani keluhan yang masuk. Berikut adalah bentuk logbook yang diusulkan, antara lain:
Gambar 4.13 Daily Assignment Logbook 13 Teknisi Sedangkan berikut adalah logbook untuk usulan penambahan teknisi sejumlah 17 orang:
Gambar 4.14 Daily Assignment Logbook 17 Teknisi
Setelah dilakukan pengusulan penjadwalan dengan jumlah 13 teknisi dan 17 teknisi dan dilanjutkan oleh pengusulan daily assignment logbook untuk dapat mengawasi pekerjaan teknisi, selanjutnya akan dilakukan simulasi terhadap kondisi usulan, baik dengan jumlah 13 teknisi maupun 17 teknisi agar dapat melihat perbedaan nilai service gap serta waktu menunggu keluhan dalam antrian pada kondisi aktual dengan kondisi saat dilakukan usulan.
Analisis Simulasi Monte Carlo Simulasi Monte Carlo digunakan agar dapat melihat seberapa optimal sistem penjadwalan yang diusulkan. Melalui simulasi tersebut, dapat terlihat apakah jumlah ketersediaan teknisi yang diusulkan apakah sudah memenuhi kebutuhan berdasarkan keluhan yang masuk serta waktu menunggu yang kemungkinan akan terjadi. Simulasi menggunakan data distribusi probabilitas berdasarkan data pengamatan dengan nilai yang sudah terkendali melalui daily assignment logbook yang diusulkan.
Simulasi Monte Carlo Usulan (17 Teknisi) Berdasarkan data pengamatan simulasi selama 5 hari pengamatan, tidak terdapat keluhan yang tertunda. Hal ini dapat diartikan bahwa 100% keluhan diterima langsung tanpa menunggu teknisi tersedia, dimana hanya menggunakan 4 dari 9 teknisi yang tersedia sehingga teknisi yang lain dapat melakukan penanganan lain apabila terdapat keluhan yang lebih banyak. Sedangkan waktu pelayanan yang memenuhi SLA 60 menit berdasarkan data pengamatan simulasi tersebut terdapat sekitar 70%. Rata-rata waktu pelayanan adalah sebesar 43 menit setelah dibulatkan, maka nilai service gap dari waktu penanganan dengan kondisi usulan adalah:
Hasil service gap bernilai positif yang mengartikan bahwa kegiatan penanganan sudah memenuhi ekspektasi penanganan (SLA) sehingga kondisi usulan berjalan optimal.
Simulasi Monte Carlo Usulan (13 Teknisi) Berdasarkan data pengamatan simulasi selama 5 hari pengamatan, hanya terdapat 2 keluhan yang tertunda dengan lama waktu 44 menit dan 21 menit. Hal ini dapat diartikan bahwa sekitar 95,8% keluhan diterima langsung tanpa menunggu teknisi tersedia. Sedangkan waktu pelayanan yang memenuhi SLA 60 menit berdasarkan data pengamatan simulasi tersebut terdapat sekitar 74%. Rata-rata waktu pelayanan adalah sebesar 52 menit setelah dibulatkan, maka nilai service gap dari waktu penanganan dengan kondisi usulan adalah:
Hasil service gap bernilai positif yang mengartikan bahwa kegiatan penanganan sudah memenuhi ekspektasi penanganan (SLA) sehingga kondisi usulan berjalan optimal.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil dan bahasan, dapat disimpulkan bahwa: 1.Penanganan keluhan yang sudah harus diprioritaskan dan diurutkan berdasarkan kepentingan dan kepuasan tenant untuk segera ditangani adalah penanganan security, AC, toilet, lampu, kabel & arus listrik, lift, pintu, housekeeping, furniture, ruangan, dan stop kontak. 2.Dengan menghitung service gap antara waktu rata-rata penanganan keluhan yang diprioritaskan dan waktu SLA yang berlaku, didapatkan hasil kesenjanganan bernilai negatif yang menunjukan seluruh penanganan keluhan dari prioritas pertama hingga terakhir belum memenuhi SLA yang berlaku. Kemudian dilakukan pencarian penyebab masalah tersebut dengan menggunakan diagram fishbone dimana faktor people menjadi faktor yang paling berpengaruh. 3.Melalui workload analysis, didapatkan bahwa dengan merata-ratakan beban kerja sejumlah 13 teknisi selama 6 bulan adalah sebesar 48,97%, dan hasil persentase maksimal sebanyak 80,85% pada bulan Desember. Kemudian dengan menggunakan analisis simulasi Monte
Carlo, didapatkan bahwa rata-rata waktu menunggu keluhan ditangani adalah selama 172 menit atau 2 jam 52 menit. Melihat jumlah teknisi masih dianggap optimal, maka dilakukan improvement berupa sistem penjadwalan baru (17 teknisi dan 13 teknisi), dan pengadaan daily assignment logbook untuk mengawasi pengerjaan teknisi secara individu dan melakukan evaluasi kinerja teknisi.
Saran Adapun saran yang dapat diajukan kepada Building Management KPAA berdasarkan penelitian yang dilakukan, antara lain memprioritaskan keluhan yang telah diurutkan menggunakan AHP apabila ada keluhan yang menumpuk secara bersamaan. Kemudian melakukan penambahan teknisi menjadi 17 teknisi dengan pola jadwal sebagai berikut: 8 orang teknisi pada shift reguler (08:00-17:00), 1 orang pada shift A1 (08:00-13:00), 2 orang pada shift A (06:00-14:00), 2 orang pada shift B (14:00-21:00), 2 orang pada shift C (21:00-06:00), dan jika penambahan teknisi belum memungkinkan dilakukan, maka melakukan sistem penjadwalan baru dengan jumlah 13 teknisi yaitu sebagai berikut: 4 orang teknisi pada shift reguler (08:00-17:00), 1 orang pada shift A1 (08:00-13:00), 2 orang pada shift A (06:00-14:00), 2 orang pada shift B (14:00-21:00), 2 orang pada shift C (21:0006:00), dan untuk mengawasi pengerjaan teknisi oleh chief engineering diberikan pengadaan daily assignment logbook, sehingga dapat dilakukan pengendalian kinerja teknisi dan memberikan rasa tanggung jawab teknisi dalam melakukan pekerjaannya.
REFERENSI Dash, B. S., Saini, H., Panda, T. C., & Mishra, A. (2014). Service Level Agreement Assurance in Cloud Computing: Atrust Issue. International Journal of Computer Science and Information Technologies , 5, 2900. De Feo, J. A. (2015). Juran's Quality Management and Analysis (Sixth Edition193-194 ed.). New York: McGraw-Hill. Dieter, G. E., & Schmidt, L. C. (2013). Engineering Design. New York: McGraw-Hill. Ewuuk Lomo-David, M. D. (2014). Evaluation of Retail Service Quality using Analytical Hierarchy Process. International Journal of Retail and Distribution Management, 528-530. Evans, J. R., & Lindsay, W. M. (2011). The Management and Control of Quality, Eighth Edition. South Western. Fatmayanti, P. R., Rispianda, Bakar, A., & Arijanto, S. (2013). Usulan Peningkatan Kompetensi Pekerja pada Bagian Water Based di PT. X berdasarkan Gap Kompetensi. Jurnal Online Institut Teknologi Nasional. Fitzsimmons, J. A., & Fitzsimmons, M. J. (2011). Service Management. New York: McGraw-Hill. Jacobs, C. (2011). Operation and Supply Chain Management. New York: McGraw-Hill. LINGO: The Modeling Language and Optimizer. (2013). Chicago: Lindo Sytem Inc. Montgomery, D. C. (2009). Introduction to Statistical Quality Control. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Pastor, R., & Corominas, A. (2010). A Bicteria Integer Programming Model for the Hierarchial Workforce Scheduling Program. Journal of Modelling in Management, 5(1), 56-57. Prakash, A., Jha, S. K., & Mohanty, R. P. (2012). Scenario planning for service quality: a Monte Carlo simulation study. Journal of Strategy and Management, 5(3), 331-352. Pyzdek, T., & Keller, P. (2013). The Handbook for Quality Management. New York: McGraw-Hill. Sallis, E. (2006). Total Quality Management in Education. Yogyakarta: IRCiSoD. Sekaran, U. (2002). Research Methods for Business: A Skill Building Approach. New York: John Wiley & Sons, Inc. Shivam, S., Roy, R. N., & Dasgupta, S. (2014). Nursing Personnel Planning for Rural Hospital in Burdwan District, West Bengal, India, Using Workload Indicators of Staffing Needs. International Centre for Diarrhoeal Disease Research Bangladesh, 659-660. Taha, H. A. (2007). Operation Research. Upper Saddle River: Pearson International. Usman, K., & Winandi, R. (2009, Agustus). Kajian Manajemen Pemeliharaan Gedung (Building Maintenance) di Universitas Lampung. Jurnal Sipil dan Perencanaan, 13, 157-166. Yamit, Z. (2010). Manajemen Kualitas Produk dan Jasa. Yogyakarta: EKONISIA Yogyakarta.