PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 4 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK REKLAME
Menimbang : a.
b.
c. Mengingat
: 1. 2.
3.
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA AMBON, bahwa Pajak Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan pembangunan dan Pemerintahan Daerah; bahwa Peraturan daerah Kota Ambon Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pajak Reklame Perlu disesuaikan dengan perkembangan kemasyarakatan dan pertumbuhan ekonomi; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pajak Reklame. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 ayat (6); Undang-Undang Nomor 60 Tahun 1958 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 23 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat II Dalam Wilayah Daerah Swatantra Tingkat I Maluku (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 80) sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1645); Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3566) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740); 1
4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3685) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048); 5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang PenagihanPajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987); 6. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4190); 7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 8. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1955 tentang Pembentukan Kota Ambon sebagai Daerah yang berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1955 Nomor 30); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1979 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Ambon (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 4139); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 118; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4138).
2
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA AMBON dan WALIKOTA AMBON MEMUTUSKAN : Menetapkan
: PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK REKLAME BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Kota adalah Kota Ambon; 2. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Ambon; 3. Walikota adalah Walikota Ambon; 4. Dinas adalah Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Aset Ekonomi Kota ; 5. Pejabat yang ditunjuk adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang Pajak Daerah yang mendapat pendelegasian dari Walikota; 6. Badan adalah bentuk badan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama atau bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, bentuk usaha tetap serta bentuk badan usaha lainnya; 7. Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; 8. Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat Pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang secara seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah; 9. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame; 10. Reklame adalah benda, alat, perbuatan atau media yang menurut bentuk dan corak ragamnya untuk tujuan komersial dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memuji suatu barang, jasa atau orang, ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau orang yang diselenggarakan/ditempatkan atau yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar dari suatu tempat oleh umum, kecuali yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah; 11. Reklame megatron atau videotron atau Large Electronic Display (LED) adalah reklame yang menggunakan layar monitor besar berupa gambar dan/atau tulisan berwarna yang dapat berubah-ubah, terprogram dan difungsikan dengan tenaga listrik; 3
12. Reklame Papan atau billboard adalah reklame yang terbuat dari papan, kayu, seng, tinplate, collibrite, vynil, aluminium, fiber glass, kaca, batu, tembok atau beton, logam atau bahan lain yang sejenis, dipasang pada tempat yang disediakan (berdiri sendiri) atau digantung atau ditempel atau dibuat pada bangunan tembok, dinding, pagar, tiang, dan sebagainya baik bersinar, disinari maupun yang tidak bersinar; 13. Reklame Berjalan adalah reklame yang ditempatkan pada kendaraan atau benda yang dapat bergerak, yang diselenggarakan dengan menggunakan kendaraan atau dengan cara dibawa/didorong/ditarik oleh orang, termasuk di dalamnya reklame pada gerobak/rombong, kendaraan baik bermotor ataupun tidak; 14. Reklame Baliho adalah reklame yang terbuat dari papan kayu atau bahan lain dan dipasang pada konstruksi yang tidak permanen dan tujuan materinya mempromosikan suatu even atau kegiatan yang bersifat insidentil; 15. Reklame Kain adalah reklame yang tujuan materinya jangka pendek atau mempromosikan suatu even atau kegiatan yang bersifat insidentil dengan menggunakan bahan kain, termasuk plastik atau bahan lain yang sejenis, termasuk di dalamnya adalah spanduk, umbul-umbul, bendera, flag chain (rangkaian bendera), tenda, krey, banner, giant banner dan standing banner; 16. Reklame Selebaran adalah reklame yang berbentuk lembaran lepas, diselenggarakan dengan cara disebarkan, diberikan, atau dapat diminta dengan ketentuan tidak untuk ditempelkan, dilekatkan, dipasang, digantung pada suatu benda lain, termasuk di dalamnya adalah brosur, leafleat, dan reklame dalam undangan; 17. Reklame Melekat atau stiker adalah reklame yang berbentuk lembaran lepas, diselenggarakan dengan cara ditempelkan, dilekatkan, dipasang atau digantung pada suatu benda dengan ketentuan luasnya tidak lebih dari 200 cm2 per lembar; 18. Reklame Film atau slide adalah reklame yang diselenggarakan dengan cara menggunakan klise (celluloide) berupa kaca atau film, ataupun bahan-bahan lain yang sejenis, sebagai alat untuk diproyeksikan dan/atau dipancarkan pada layar atau benda lain yang ada di ruangan; 19. Reklame Udara adalah reklame yang diselenggarakan di udara dengan menggunakan balon, gas, laser, pesawat, atau alat lain yang sejenis; 20. Reklame Suara adalah reklame yang diselenggarakan dengan menggunakan kata-kata yang diucapkan atau dengan suara yang ditimbulkan dari atau oleh perantaraan alat, termasuk di dalamnya reklame radio yang berada di wilayah Kota; 21. Reklame Peragaan adalah reklame yang diselenggarakan dengan cara memperagakan suatu barang dengan atau tanpa disertai suara; 22. Reklame Televisi adalah reklame yang diselenggarakan dengan menggunakan film yang dipublikasikan pada stasiun televisi lokal yang berada di wilayah Kota; 23. Reklame Warta Harian, Warta Mingguan dan Warta Bulanan adalah reklame yang diselenggarakan dengan menggunakan warta harian, warta mingguan dan warga bulanan sebagai media reklame dengan jasa yang disediakan oleh penyedia jasa reklame yang berada di wilayah Kota; 24. Lebar bidang reklame adalah ukuran vertikal media/papan reklame; 25. Panjang bidang reklame adalah ukuran horisontal media/papan reklame; 26. Luas bidang reklame adalah nilai yang didapatkan dari perkalian antara lebar dengan panjang bidang reklame; 4
27. Materi reklame adalah naskah, tulisan, gambar, logo dan warna yang terdapat dalam bidang reklame; 28. Penyelenggara Reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan reklame baik untuk dan atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungannya termasuk yang menyediakan media reklame; 29. Pembongkaran Reklame adalah kegiatan menurunkan, membongkar atau menghapus reklame terpasang, tanpa izin, tidak pada tempatnya atau yang telah habis masa pajaknya dan/atau tidak diturunkan, dibongkar atau dihapus oleh penyelenggara reklame; 30. Reklame dengan menggunakan konstruksi adalah penyelenggaraan reklame yang memiliki atau memerlukan rangka dari besi, baja, beton atau bahan lain yang sejenis dan hanya digunakan sebagai penopang atau penyangga bidang reklame yang bersangkutan; 31. Ketinggian Reklame adalah jarak tegak lurus imaginer antara ambang paling atas bidang reklame dengan permukaan tanah dimana reklame tersebut berdiri; 32. Tinggi Reklame adalah jarak tegak lurus imaginer antara ambang paling bawah bidang reklame dengan permukaan tanah dimana reklame tersebut berdiri; 33. Kawasan Reklame adalah batasan-batasan wilayah tertentu sesuai dengan pemanfaatan wilayah tersebut yang dapat digunakan untuk pemasangan reklame; 34. Kelas Jalan Reklame adalah klasifikasi jalan menurut tingkat strategis dan komersial untuk penyelenggaraan reklame yang ditetapkan oleh Walikota; 35. Nilai Sewa Reklame adalah nilai yang ditetapkan sebagai dasar perhitungan penetapan besarnya pajak reklame; 36. Nilai Jual Objek Pajak Reklame adalah jumlah nilai perolehan harga/biaya pembuatan, biaya pemasangan dan biaya pemeliharaan reklame yang dikeluarkan oleh pemilik dan/atau penyelenggara reklame yang diperoleh berdasarkan estimasi yang wajar dan dapat dipertanggungjawabkan; 37. Nilai Strategis Penyelenggaraan Reklame adalah ukuran/standar nilai yang ditetapkan pada lokasi penyelenggaraan reklame berdasarkan pertimbangan ekonomi dan/atau nilai promotif; 38. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah; 39. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah Pajak yang terutang; 40. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDKB, adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah Pajak yang terutang, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar; 41. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat SKPDKBT, adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan; 42. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang; 5
43. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat SKPDN, adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak; 44. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda; 45. Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang ke Kas Daerah atau ke tempat lain yang ditunjuk oleh Walikota; 46. Sengketa Pajak Daerah adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa; 47. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku; 48. Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku; 49. Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak; 50. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan/atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan pajak reklame; 51. Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disebut Penyidik, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana pelanggaran Peraturan Daerah serta menemukan tersangkanya; 52. Penyidik Pengawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kota yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan terhadap Pelanggaran Peraturan Daerah yang memuat ketentuan pidana. BAB II NAMA, OBJEK DAN SUBJEK PAJAK Pasal 2 Dengan nama Pajak Reklame dipungut pajak atas setiap penyelenggaraan Reklame oleh penyelenggara reklame. Pasal 3 (1) Objek Pajak adalah semua penyelenggaraan Reklame;
6
(2) Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Reklame Megatron; b. Reklame Papan; c. Reklame Berjalan; d. Reklame Kain; e. Reklame Baliho; f. Reklame Selebaran; g. Reklame Melekat; h. Reklame Film; i. Reklame Udara; j. Reklame Suara; dan k. Reklame Peragaan. (3) Dikecualikan dari Objek Reklame adalah: a. Penyelenggaraan Reklame oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; b. Penyelenggaraan Reklame semata-mata untuk kepentingan umum dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Walikota; c. Penyelenggaraan Reklame oleh Perwakilan Diplomat, Konsulat PBB serta badanbadan/atau lembaga-lembaga Organisasi Internasional pada lokasi badan-badan dimaksud; d. Penyelenggaraan oleh organisasi politik atau organisasi sosial politik yang semata-mata mengenai politik; dan e. Penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan yang berskala nasional dan sejenisnya; Pasal 4 (1) Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan atau melakukan pemasangan reklame; (2) Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan reklame. BAB III DASAR PENGENAAN PAJAK, TARIF PAJAK, DAN CARA PERHITUNGAN PAJAK Pasal 5 (1) Dasar Pengenaan Pajak adalah Nilai Sewa Reklame; (2) Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan penjumlahan Nilai Jual Objek Pajak Reklame dan Nilai Strategis Penyelenggaraan Reklame; (3) Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperhitungkan dengan memperhatikan lokasi penempatan, jenis, jangka waktu penyelenggaraan, dan ukuran media Reklame; 7
(4) Hasil perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Walikota; (5) Lokasi penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan dalam kawasan jalan dan kelas jalan; (6) Kawasan jalan dan kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Walikota. Pasal 6 Tarif Pajak ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen). Pasal 7 (1) Besarnya Pajak terhutang dihitung dengan mengalikan Tarif Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 dengan Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 5. (2) Besarnya pajak terhutang penyedia media reklame dihitung dari nilai sewa media reklame.
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Pasal 8 Untuk materi reklame rokok dan minuman beralkohol, besarnya Nilai Sewa Reklame ditambah 25% (dua puluh lima persen); Setiap penambahan ketinggian reklame sampai dengan 15 m (lima belas meter) pertama dan kelipatannya, besarnya Nilai Sewa Reklame ditambah 20% (dua puluh persen); Penetapan Nilai Pajak Reklame dibulatkan ke atas menjadi kelipatan Rp 100,00 (seratus rupiah); Ukuran luas dan ketinggian reklame, dibulatkan ke atas dua digit di belakang koma; Apabila suatu objek pajak reklame dapat digolongkan lebih dari satu jenis reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), maka nilai pajaknya ditetapkan menurut jenis reklame yang tarifnya paling tinggi; Apabila suatu objek pajak reklame dapat digolongkan lebih dari satu kelas jalan reklame, maka nilai pajaknya ditetapkan menurut kelas jalan yang tarifnya paling tinggi; Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan kelas jalan reklame dalam wilayah Kota diatur dengan Peraturan Walikota. BAB IV WILAYAH PEMUNGUTAN DAN PENYELENGGARAAN REKLAME
Pasal 9 (1) Pajak reklame dipungut atas setiap penyelenggaraan reklame di Kota. (2) Penyelenggara reklame yang menyelenggarakan reklame di kota wajib menaati ketentuan penyelenggaraan reklame. (3) Tempat Penyelenggaraan reklame ditetapkan dengan Keputusan Walikota
8
BAB V MASA PAJAK, TAHUN PAJAK, DAN SAAT TERHUTANG PAJAK Pasal 10 Masa Pajak adalah 1 (satu) bulan takwim atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Peraturan Walikota. Pasal 11 Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun takwim, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim. Pasal 12 Pajak terhutang dalam masa Pajak terjadi pada saat menyelenggarakan reklame.
(1) (2) (3) (4)
(1) (2) (3) (4)
(5)
BAB VI PENDAFTARAN, PENGUKUHAN, PERHITUNGAN DAN PENETAPAN PAJAK Bagian Pertama Pendaftaran Dan Pengukuhan Pasal 13 Wajib Pajak wajib mendaftarkan usahanya kepada Walikota melalui Dinas. Pendaftaran dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum dimulainya kegiatan usaha dan telah memiliki Surat Izin Tempat Usaha (SITU). Setelah melakukan pendaftaran, Wajib Pajak dikukuhkan dan diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD). Pengukuhan Wajib Pajak ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala Dinas. Bagian Kedua Kewajiban Pasal 14 Wajib Pajak yang telah memiliki NPWPD setiap awal Masa Pajak wajib mengisi SPTPD. SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas, lengkap, dan benar serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Kuasanya. SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan kepada Walikota melalui Dinas selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya Masa Pajak; Walikota atas permohonan Wajib Pajak dengan alasan yang sah dan dapat diterima dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk jangka waktu tertentu; SPTPD dianggap tidak dimasukkan jika wajib pajak tidak melaksanakan atau tidak sepenuhnya melaksanakan ketentuan pengisian dan penyampaian SPTPD yang telah ditetapkan. 9
(6) Wajib Pajak yang tidak melaporkan atau melaporkan tidak sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan Peraturan Daerah ini; (7) Tata cara pendaftaran Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), (3), (4) di atas, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota. Bagian Ketiga Perhitungan dan Penutupan Pasal 15 (1) Berdasarkan SPTPD yang disampaikan oleh Wajib Pajak, Walikota atau Kepala Dinas menetapkan Pajak Terhutang dengan menerbitkan SKPD; (2) SKPD harus dilunasi oleh Wajib Pajak selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak diterimanya SKPD; (3) Apabila setelah lewat waktu yang ditentukan Wajib Pajak tidak atau kurang membayar Pajak Terhutang dalam SKPD, Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih dengan menerbitkan STPD. Pasal 16 Pemungutan Pajak tidak dapat diborongkan. Pasal 17 (1) Wajib Pajak yang mengisi sendiri SPTPD sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 digunakan untuk menghitung, memperhitungkan dan menetapkan Pajak sendiri yang terhutang; (2) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terhutangnya Pajak, Walikota dapat menerbitkan: a. SKPDKB; b.SKPDKBT; c.SKPDN. (3) SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diterbitkan: a. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terhutang tidak atau kurang di bayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dihitung sejak saat terhutangnya Pajak; b. Apabila SPTPD tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dan telah ditegur secara tertulis, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dihitung sejak saat terhutangnya Pajak; dan c. Apabila kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, Pajak yang terhutang dihitung secara jabatan dan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dihitung sejak saat terhutangnya Pajak. 10
(4) SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diterbitkan apabila ditemukan data baru atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah Pajak yang terhutang, akan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratur persen) dari jumlah kekurangan Pajak tersebut; (5) SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diterbitkan apabila jumlah Pajak yang terhutang sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terhutang dan tidak ada kredit Pajak; (6) Apabila kewajiban membayar Pajak terhutang dalam SKPDKB dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b tidak atau tidak sepenuhnya dibayar dalam jangka waktu ditentukan, ditagih dengan menerbitkan STPD ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) sebulan; (7) Penambahan jumlah Pajak yang terhutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkan sendiri tindakan pemeriksaan. Pasal 18 (1) Walikota dapat menerbitkan STPD apabila: a. Pajak dalam Masa Pajak tidak atau kurang dibayar; b. Hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung. (2) Penerbitan STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 10% (sepuluh persen), dan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir b, Wajib Pajak dikenakan denda. BAB VII PEMBAYARAN Pasal 19 (1) Pembayaran Pajak dilakukan di Kas Daerah atau di tempat lain yang ditunjuk oleh Walikota atau pejabat yang ditunjuk sesuai waktu yang ditentukan dalam SPTPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, dan STPD; (2) Apabila pembayaran Pajak dilakukan di tempat lain yang ditunjuk, hasil penerimaan Pajak harus disetor ke Kas Daerah selambat-lambatnya 1 x 24 jam atau dalam waktu yang ditentukan oleh Walikota atau pejabat yang ditunjuk; (3) Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan SSPD. Pasal 20 (1) Pembayaran Pajak harus dilakukan sekaligus; (2) Walikota dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur Pajak terhutang dalam kurun waktu tertentu, setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan; (3) Angsuran pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan secara teratur dan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari jumlah pajak yang belum atau kurang bayar;
11
(4) Walikota dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk menunda pembayaran Pajak sampai batas waktu yang telah ditentukan dengan bunga 2% (dua persen) dari jumlah Pajak yang belum atau kurang dibayar; (5) Persyaratan untuk dapat mengangsur dan menunda pembayaran serta tata cara pembayaran angsuran dan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Walikota. Pasal 21 (1) Setiap pembayaran Pajak sebagaimana pada Pasal 18 diberikan tanda bukti pembayaran dan dicatat dalam buku penerimaan; (2) Bentuk, jenis, isi, ukuran buku penerimaan dan tanda bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Walikota. BAB VIII PENAGIHAN PAJAK
(1) (2) (3)
(4)
Pasal 22 Apabila Pajak Terhutang tidak dilunasi setelah jatuh tempo pembayaran, Walikota atau Kepala Dinas melakukan tindakan penagihan Pajak; Penagihan Pajak dilakukan terhadap Pajak Terhutang dalam SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, dan STPD yang menyebabkan jumlah Pajak yang harus dibayar bertambah; Penagihan Pajak dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis sebagai langkah awal tindakan penagihan Pajak yang dikeluarkan 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran dan dikeluarkan oleh Kepala Dinas; Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis diterima, Wajib Pajak harus melunasi Pajak yang terhutang.
Pasal 23 (1) Apabila jumlah Pajak yang masih harusdibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran atau Surat lain yang sejenis, jumlah Pajak yang harus dibayar ditagih dengan Surat Paksa; (2) Walikota menerbitkan Surat Paksa segera setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal Surat Teguran atau Surat Peringatan atau Surat lain yang sejenis disampaikan.
Pasal 24 (1) Dalam hal terjadi keadaan di luar kekuasaan pejabat atau sebab lain surat paksa pengganti dapat diterbitkan oleh pejabat karena jabatan. (2) Surat paksa pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan surat paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2). 12
Pasal 25 Apabila Pajak yang harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam sesudah tanggal pemberitahuan Surat Paksa, Walikota segera menerbitkan Surat Perintah melaksanakan penyitaan. Pasal 26 Setelah dilakukan penyitaan dan Wajib Pajak belum juga melunasi Pajaknya setelah lewat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pelaksanaan Surat Perintah melaksanakan Penyitaan, Pejabat mengajukan permintaan penetapan tanggal pelelangan kepada Kantor Lelang Negara. Pasal 27 (1) Setelah Kantor Lelang Negara menetapkan hari, tanggal, jam dan tempat pelaksanaan lelang, juru sita memberitahukan dalam jangka waktu 2 x 24 jam secara tertulis kepada Wajib Pajakl; (2) Hasil pelelangan diberitahukan kepada Wajib Pajak dan disetor ke Kas Daerah; (3) Kelebihan hasil pelelangan dikembalikan kepada Wajib Pajak.
Pasal 28 Bentuk, Jenis, dan Isi Formulir yang digunakan untuk pelaksanaan penagihan Pajak Daerah ditetapkan dengan Peraturan Walikota. BAB IX PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN KETETAPAN DAN PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN SANKSI ADMINISTRASI Pasal 29 (1) Walikota karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat: a. Membetulkan SKPD atau SKPDKB atau SKPDKBT atau STPD yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah; b. Membatalkan atau mengurangkan Ketetapan Pajak; dan c. Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan Pajak yang terhutang dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena bukan kesalahan Wajib Pajak; (2) Permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi atas SKPD, SKPDKB, SKPDKBT dan STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara tertulis oleh Wajib Pajak kepada Walikota selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD dengan memberikan alasan yang jelas; (3) Walikota atau Pejabat paling lama 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima sudah harus memberikan keputusan; (4) Apabila setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Walikota atau Pejabat tidak memberikan keputusan permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi, maka permohonan 13
pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi dianggap dikabulkan.
(1)
(2)
(3) (4)
BAB X KEBERATAN, BANDING, DAN GUGATAN Pasal 30 Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Walikota atas suatu: a. SKPD; b. SKPDKB; c. SKPDKBT; d. SKPDLB; e. SKPDN. Permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia paling lama 3 (tiga) bulan sejak SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN diterima oleh Wajib Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya; Walikota atau Pejabat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Permohonan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima sudah harus memberikan keputusan; Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunda kewajiban membayar Pajak. Pasal 31 a. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Banding kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Walikota atau Pejabat yang berwenang; b. Pengajuan permohonan Banding kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan c. Pengajuan permohonan Banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunda kewajiban membayar Pajak.
Pasal 32 (1) Wajib Pajak dapat mengajukan Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) Pengajuan Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunda kewajiban membayar Pajak. Pasal 33 Wajib Pajak dapat mengajukan Keberatan, Banding dan Gugatan kepada Walikota atau Pejabat atas perbuatan pelanggaran yang dilakukan dalam perhitungan dan penetapan pajak maupun perbuatan melanggar hukum lainnya.
14
Pasal 34 Apabila pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 30, atau Banding sebagaimana dimaksud pada Pasa; 31, atau Gugatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 32 dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. BAB XI PENGURANGAN, KERINGANGAN DAN PEMBEBASAN PAJAK
(1) (2)
Pasal 35 Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Walikota dapat memberikan pengurangan, keringanan, dan pembebasan Pajak; Tata cara pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan Pajak ditetapkan dengan Peraturan Walikota. BAB XII PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Pasal 36 Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak kepada Walikota secara tertulis dengan menyebutkan sekurang-kurangnya: a. Nama dan alamat Wajib Pajak; b. Masa Pajak; c. Besarnya kelebihan Pajak; d. Alasan yang jelas. Walikota dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan keputusan. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampaui Walikota tidak memberikan keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus dikembalikan dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan; Apabila Wajib Pajak mempunyai hutang Pajak atau lainnya, kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) langsung diperhitungkan untuk melunasi hutang Pajak lainnya; Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB dengan menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SKPMKP); Apabila pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan setelah lewat waktu 2 (dua) bulan sejak diterbitkan SKPDLB, Walikota memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan Pajak.
15
Pasal 37 Apabila kelebihan pembayaran Pajak diperhitungkan dengan hutang Pajak lainnya sebagaimana dimaksud pada Pasal 37 ayat (4) pembayarannya dilakukan dengan cara pemindah bukuan juga berlaku sebagai bukti pembayaran. BAB XIII BAGI HASIL PAJAK DAN BIAYA PEMUNGUTAN PAJAK
(1) (2)
(1) (2) (3)
Pasal 38 Hasil penerimaan Pajak disetorkan ke Kas Daerah; Pajak yang dipungut sebagian diperuntukkan bagi Negeri di wilayah Kota tempat pemungutan Pajak sebesar 5% (lima persen); Pasal 39 Kegiatan pemungutan dan pengelolaan Pajak dikenakan biaya pemungutan sebesar 5% (lima persen) dari hasil penerimaan Pajak yang telah disetorkan ke Kas Daerah; Biaya pemungutan adalah biaya yang diberikan kepada aparat pelaksana pemungutan dan aparat penunjang dalam rangka pemungutan Pajak; Alokasi biaya pemungutan Pajak ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
BAB XIV KEDALUWARSA PENAGIHAN PAJAK DAN PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK
(1)
(2)
Pasal 40 Walikota berhak untuk melakukan penagihan Pajak dan kadaluwarsa penagihan Pajak setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terhutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah; Kadaluwarsa penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila: a. Diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa, atau b. Ada pengakuan hutang Pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung.
Pasal 41 (1) Piutang Pajak yang penagihannya sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan. (2) Penghapusan piutang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Walikota berdasarkan permohonan penghapusan piutang Pajak dari Kepala Dinas. (3) Berdasarkan permohonan tersebut, Walikota menetapkan penghapusan piutang Pajak dengan terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari Tim yang dibentuk oleh Walikota.
16
BAB XV PELAKSANAAN DAN PENGAWASAN Pasal 42 (1) Pelaksanaan Peraturan Daerah ini dilaksanakan oleh Dinas yang ditunjuk oleh Walikota. (2) Pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Pengawas Fungsional, Bagian Hukum dan Satuan Polisi Pamong Praja. (3) Tindakan Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat ditindaklanjuti dengan pembongkaran. BAB XVI SANKSI ADMINISTRASI Pasal 43 (1) Setiap pelanggaran terhadap ketentuan dari Peraturan Daerah ini, dikenakan Sanksi Administrasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) Sanksi Administrasi yang dapat dikenakan terhadap perbuatan pelanggaran ketentuan dalam Peraturan Daerah berupa: a. Pengenaan denda dan/atau bunga; b. Teguran, peringatan; c. Surat Paksa, penyitaan, dan pelelangan; d. penutupan tempat usaha untuk sementara; e. Pencabutan izin Usaha untuk sementara; f. Pencabutan izin Usaha. (3) Pengenaan Sanksi Administrasi dapat dilakukan secara bersamaan dengan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini. BAB XVII KETENTUAN PIDANA Pasal 44 (1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan Keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak yang terhutang. (2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan Keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak 4 (empat) jumlah pajak yang terhutang.
17
(3) Pejabat yang ditunjuk atau aparatur pemerintah yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan keterangan tentang Wajib Pajak yang disampaikan kepadanya dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 45 Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terhutangnya Pajak dan berakhirnya Masa Pajak. Pasal 46 Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 adalah pelanggaran.
BAB XVIII KETENTUAN PENYIDIKAN
(1)
(2)
Pasal 47 Penyidik Pengawai Negeri Sipil melakukan penyidikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap tindak pidana di bidang perpajakan daerah; Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. Menerima, mencari, mengumpulkan, dan memiliki keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas; b. Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah tersebut; c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah; d. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah; e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut; f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah; g. Menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan/atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e; h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah; i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
18
(3)
(1) (2)
j. Menghentikan penyidikan; k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. BAB XIX PENEGAKAN HUKUM Pasal 48 Penegakan hukum pelaksanaan Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Dinas bersama-sama dengan Satuan Polisi Pamong Praja serta Dinas/lembaga yang berwenang lainnya; Penegakan Hukum sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi tindakan preventif dan tindakan represif.
Pasal 49 Tindakan Preventif sebagaimana dimaksud Pasal 49 ayat (2) meliputi : (1) Pembinaan, kesadaran hukum aparatur dan masyarakat (2) Peningkatan profesionalisme aparatur pelaksana (3) Peningkatan peran dan fungsi pelaporan
Pasal 50 Tindakan Represif sebagaimana dimaksud Pasal 49 ayat (2) meliputi : (1) Tindakan penertiban terhadap perbuatan-perbuatan orang atau badan hukum yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Peraturan Daerah dan peraturan pelaksanaannya; (2) Penyerahan penanganan pelanggaran Peraturan Daerah dan peraturan pelaksanaannya kepada lembaga yang berwenang.
Pasal 51 Masyarakat dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban Wajib Pajak apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini. BAB XX KETENTUAN PENUTUP Pasal 52 Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pajak Reklame (Lembaran Daerah Kota Ambon Tahun 2001 Nomor 5 Seri A Nomor 3) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. 19
Pasal 53 Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Ambon. Ditetapkan di Ambon pada tanggal, 4 Desember 2009 WALIKOTA AMBON, dto MARCUS JACOB PAPILAJA Diundangkan di Ambon pada tanggal, 4 Desember 2009 SEKRETARIS KOTA AMBON, dto Ny. HESINA JOHANNA HULISELAN/T LEMBARAN DAERAH KOTA AMBON TAHUN 2009 NOMOR 10
Salinan sesuai dengan aslinya. An. Sekretaris Kota Ambon Asisten Pemerintahan Ub. Kepala Bagian Hukum Sekretariat Kota Ambon,
E. SILOOY, SH., MH NIP : 19631204 1999803 1 006
20
PENJELASAN ATAS RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 4 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK REKLAME I.
UMUM Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, memberi keleluasaan kepada Daerah untuk menggali sumber-sumber penerimaan Daerah guna menunjang pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu, diberlakukannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, maka Daerah diberikan wewenang untuk menetapkan jenis pajak lain sebagai Pajak Daerah. Berkaitan dengan itu, Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pajak Reklame yang dalam pelaksanaannya sudah tidak sesuai dengan tuntutan dan perkembangan objek pajak. Apalagi dengan semakin banyaknya aktivitas reklame yang dilakukan di wilayah Kota Ambon yang lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi, maka perlu dirubah Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pajak Reklame. Selain itu juga perlu diatur beberapa hal untuk memperjelas materi muatan Peraturan Daerah ini seliagus memberikan jaminan perlindungan hukum bagi wajib pajak dengan adanya upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak, diantaranya keberatan, banding dan gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
II.
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pasal ini memuat pengertian, singkatan yang dipergunakan dalam peraturan daerah ini. Dengan adanya istilah tersebut dimaksudkan untuk mencegah timbulnya salah tafsir dan pengertian dalam memahami dan melaksanakan pasal-pasal. Pengertian ini diperlukan karena istilah-istilah tersebut mengandung pengertian yang baku dan teknis dalam bidang Pajak. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Cukup Jelas Huruf b yang dimaksud dengan untuk kepentingan umum misalnya untuk pendidikan, keagamaan, dan kemanusiaan seperti palang merah 21
Huruf c Cukup Jelas. Huruf d yang dimaksud dengan yang semata-mata mengenai politik adalah kegiatan-kegiatan yang bersifat politik saja, bukan kegiatan politik/partai yang menyelenggarakan event tertentu seperti olah raga dan kesenian yang bersifat komersial Huruf e Cukup Jelas Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame (NSR), yaitu nilai yang ditetapkan sebagai dasar perhitungan penetapan besarnya Pajak Reklame. NSR diperhitungkan dengan memperhatikan lokasi penempatan, jenis, jangka waktu penyelenggaraan, dan ukuran media reklame. NSR dihitung berdasarkan: a. besarnya biaya pemasangan reklame; b. besarnya biaya pemeliharaan reklame; c. lama pemasangan reklame; d. nilai strategis lokasi; dan e. jenis reklame. Lokasi penempatan reklame ditentukan dalam kawasan dan kelas jalan. Penentuan kawasan dan kelas jalan tersebut ditetapkan dengan Peraturan Walikota. Cara perhitungan NSR ditetapkan dengan peraturan daerah dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri. Hasil perhitungan NSR ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah. NSR dihitung dengan rumus: NSR =
Nilai Jual Objek Reklame (NJOR) + Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR) Nilai Jual Objek Reklame (NJOR) adalah keseluruhan pembayaran/ pengeluaran yang dikeluarkan oleh pemilik dan atau penyelenggara reklame, termasuk dalam hal ini adalah biaya/harga beli bahan reklame, konstruksi, instalasi listrik, pembayaran/ongkos perakitan, pemancaran, peragaan, penayangan, pengecatan, pemasangan dan transportasi pengangkutan, dan lain sebagainya sampai dengan bangunan reklame selesai dipancarkan, diperagakan, ditayangkan dan atau terpasang di tempat yang telah diizinkan. 22
Perhitungan NJOR didasarkan pada besarnya penyelenggaraan reklame, yang meliputi indikator: a. biaya pembuatan/konstruksi; b. biaya pemeliharaan; c. lama pemasangan; d. jenis reklame; e. luas bidang reklame dan f. ketinggian reklame.
komponen
biaya
Besarnya NJOR dihitung dengan rumus: NJOR = (Ukuran Reklame x Harga Dasar Ukuran Reklame) + (Ketinggian Reklame x Harga Dasar Ketinggian Reklame) Nilai Strategis Pemasangan Reklame yang selanjutnya disingkat NSPR adalah ukuran nilai yang ditetapkan pada titik lokasi pemasangan reklame tersebut, berdasarkan kriteria kepadatan pemanfaatan tata ruang kota untuk berbagai aspek kegiatan di bidang usaha. Perhitungan nilai strategis didasarkan pada besarnya ukuran reklame, dengan indikator: Nilai Fungsi Ruang (NFR) lokasi pemasangan; Nilai Fungsi Jalan (NFJ); dan Nilai Sudut Pandang (NSP). Besarnya NSPR dihitung dengan rumus sebagai berikut: NSPR = (NFR + NSP + NFJ) x Harga Dasar Nilai Strategis. NSPR = [{Fungsi Ruang (= Bobot x Skor)} + {Fungsi Jalan (= Bobot x Skor)} + {Sudut Pandang (= Bobot x Skor)}] x Harga Dasar Nilai Strategis. Besarnya Pajak Reklame untuk reklame minuman beralkohol dan rokok ditambah 25% (dua puluh lima persen) dari nilai sewa reklame. Perhitungan di atas berlaku hanya untuk satu sisi saja, sementara apabila terdiri dari dua sisi (dapat dilihat dari sebelah depan maupun belakang), maka dikalikan dua. Untuk menghitung luas reklame sebagai dasar pengenaan pajak dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. reklame yang mempunyai bingkai atau batas, dihitung dari bingkat atau batas paling luar di mana seluruh gambar, kalimat, atau huruf-huruf tersebut berada di dalamnya; b. reklame yang tidak berbentuk persegi dan tidak berbingkai, dihitung dari gambar, kalimat, atau huruf-huruf yang paling luar dengan jalan menarik garis lurus vertikal dan horizontal, sehingga merupakan empat persegi; dan c. reklame yang berbentuk pola, dihitung dengan rumus berdasarkan bentuk benda masing-masing reklame.
23
Ayat (3) Cukup Jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) yang dimaksud dengan penyedia media adalah orang atau badan yang menyediakan media/vendor dan menyewakannya kepada pihak ketiga untuk memasang reklame. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh : Nilai pajak reklame sejumlah Rp. 500.735,- maka dibulatkan menjadi Rp. 500.800,Ayat (4) Contoh : Luas reklame 30,2523 m2, maka dibulatkan menjadi 30,26 m2. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas
24
Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Untuk mendapatkan SITU, Wajib Pajak mengurusnya pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Yang dimaksud dengan tidak dapat diborongkan adalah bahwa seluruh proses kegiatan pemungutan pajak tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Namun demikian dimungkinkan adanya kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka proses pemungutan pajak antara lain, pencetakan formulir perpajakan, pengiriman surat-surat kepada Wajib Pajak, atau penghimpunan data objek dan subjek pajak. Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan perhitungan besarnya pajak yang terhutang, pengawasan penyetoran pajak, dan penagihan pajak. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas 25
Ayat (2) Ayat ini mengatur tentang penerbitan SKPD atas pajak yang dibayar sendiri. Penerbitan SKPD ditujukan kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPTPD atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak. Ketentuan ayat ini memberikan kewenangan kepada Walikota untuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT dan SKPDN, hanya terhadap kasus-kasus tertentu seperti tersebut dalam ayat ini, dengan kata lain hanya terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material. Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Ayat ini mengatur sanksi terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya, yaitu dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) sebulan dari Pajak yang tidak atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan atas Pajak yang tidak atau terlambat dibayar. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak saat terhutangnya Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB. Huruf b Cukup jelas Huruf c Dalam hal kewajiban mengisi SPPD tidak dipenuhi oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (2), maka Walikota karena jabatannya dapat menerbitkan SKPDKB dengan dikenakan sanksi administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB.
26
Ayat (4) Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b yaitu dengan ditemukannya data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yagn berasal dari hasil pemeriksaan sehingga Pajak yang terungkap bertambah, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan Pajak. Sanksi administrasi ini tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkannya sebelum diadakan tindakan pemeriksaan. Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Berkaitan dengan penetapan pajak, setelah adanya penerbitan SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN, dan pelanggaran terhadapnya maka penagihan dapat dilakukan dengan menggunakan STPD. Untuk itu, pengaturan STPD diatur sebagai kelanjutan dari penerbitan SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas 27
Ayat (3) Surat lain yang sejenis yang dimaksud dalam ayat ini adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Dinas yang ditunjuk sebagai Fiskus yang menegur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang Pajak seperti Kwintansi , Nota. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Surat Paksa yang dimaksud dalam ayat ini adalah Surat Perintah Membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak. Ayat (2) Dasar hukum pelaksanaan Surat Paksa didasarkan pada Peraturan perundang-undangan Perpajakan di bidang Penagihan Pajak. Pasal 24 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatur bahwa apabila terjadi keadaan di luar kekuasaan pejabat, misalnya kecurian, kebanjiran, kebakaran, atau gempa bumi yang menyebabkan asli Surat Paksa rusak, tidak terbaca atau oleh sebab lain, misalnya Surat Paksa hilang atau tidak dapat ditemukan lagi. Ayat (2) Pejabat karena jabatannya dapat menebitkan Surat Paksa pengganti yang mempunyai kekuatan dan kedudukan hukum yang sama dengan Surat Paksa. Pasal 25 Penyitaan yang dimaksud pada pasal ini adalah tindakan Juru Sita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melinasi utang paja menurut peraturan perundang-undangan. Pasal 26 Lelang yang dimaksud pada pasal ini adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawargan harga secara lisan dan/atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat dan calon pembeli. Pasal 27 Cukup jelas
28
Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1) Pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak dapat diberikan dengan mempertimbangkan antara lain, kemampuan membayar Wajib Pajak. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Ayat ini memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak maupun Fiskus dalam rangka tertib administrasi oleh karena itu keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak harus diberi keputusan oleh Walikota dalam jangka waktu paling lama dua belas bulan sejak surat keberatan diterima. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 31 Ayat (1) Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak dan Pemungutan Pajak tidak sebagaimana mestinya, maka Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Walikota yang menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah. Keberatan yang diajukan adalah terhadap materi atau isi dari ketetapan dengan membuat perhitungan jumlah yang seharusnya dibayar menurut perhitungan Wajib Pajak. Satu keberatan harus diajukan terhadap satu jenis pajak dan satu tahun pajak. Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas 29
Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan keadan di luar kekuasaannya adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak/kekuasaan Wajib pajak, misalnya karena Wajib Pajak sakit atau terkena musibah bencana alam. Ayat (3) Ayat ini memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak maupun Fiskus dalam rangka tertib administrasi, oleh karena itu keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak harus diberi keputusan oleh Walikota dalam jangka waktu paling lama dua belas bulan sejak Surat Keberatan diterima. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Ketentuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar Wajib Pajak tidak menghindarkan kewajiban untuk membayar Pajak yang telah ditetapkan dengan dalih mengajukan keberatan, sehingga dapat dicegah terganggunya penerimaan daerah. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak didasarkan pada legalitas formal yang melahirkan asas praesumptio iustae causa atau asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid), bahwa setiap tindakan pemerintah selalu harus dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Ayat (3) Ketentuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar Wajib Pajak tidak menghindarkan kewajibannya untuk membayar Pajak yang telah ditetapkan dengan dalih mengajukan permohonan banding, sehingga dapat dicegah terganggunya penerimaan daerah. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak didasarkan pada legalitas formal yang melahirkan asas praesumptio iustae causa atau asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid), bahwa setiap tindakan pemerintah selalu harus dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya. 30
Pasal 33 Ayat (1) Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Ayat (2) Ketentuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar Wajib Pajak tidak menghindarkan kewajibannya untuk membayar Pajak yang telah ditetapkan dengan dalih mengajukan gugatan, sehingga dapat dicegah terganggunya penerimaan daerah. Pengajuan gugatan tidak menunda kewajiban membayar pajak didasarkan pada legalitas formal yang melahirkan asas praesumptio iustae causa atau asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid), bahwa setiap tindakan pemerintah selalu harus dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya. Pasal 34 Dalam pengajuan keberatan, banding, dan gugatan, Wajib Pajak juga dapat mengajukannya berkaitan dengan adanya perbuatan pelanggaran yang dilakukan oleh Walikota atau Kepala Dinas. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan hukum bagi Wajib Pajak. Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Walikota sebelum memberikan keputusan dalam hal kelebihan pembayaran pajak, harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas 31
Ayat (6) Besarnya imbalan bunga atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dihitung dari batas waktu dua bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar sampai dengan dilakukannya pembayaran kelebihan. Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Ayat (1) Hasil penerimaan Pajak Reklame merupakan pendapatan daerah yang harus disetorkan seluruhnya ke kas daerah. Ayat (2) Pajak Reklame yang dipungut oleh Pemerintah Kota sebagian diperuntukkan bagi negeri di wilayah Kota tempat pemungutan Pajak Reklame sebesar 5% (lima persen). Bagian negeri yang berasal dari pajak daerah ditetapkan dengan peraturan daerah dengan memperhatikan aspek dan potensi antarnegeri. Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Ayat (1) Saat kadaluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan utang pajak tersebut dapat ditagih lagi. Ayat (2) Huruf a Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa, kadaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut. Huruf b Yang dimaksud dengan pengakuan utang pajak secara langsung adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Kota. Pasal 42 Cukup jelas
32
Pasal 43 Maksud dimasukkannya rumusan pelaksanaan dan pengawasan ini untuk memperjelas aparatur yang berwenang untuk melakukan penagihan terhadap pungutan retribusi, adanya fungsi pengawasan terhadap pengujian kendaraan tidak bermotor besak yang dilakukan oleh aparatur diantaranya oleh Pengawas Fungsional, Bagian Hukum dan Satuan Polisi Pamong Praja. Pasal 44 Ayat (1) Sanksi Administrasi sebagai instrumen kekuasaan yang bersifat hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam Peraturan Daerah ini. Sanksi administratif bersifat reparatoir diterapkan sebagai reaksi terhadap pelanggaran norma, yang ditujukan untuk mengembalikan pada keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran yang dilakukan dengan paksaan pemerintahan (bestuursdwang) dan pengenaan uang paksa (dwangsom), sedangkan sanksi punitif semata-mata ditujukan untuk memberikan hukuman pada seseorang dengan pengenaan denda administratif (bestuursboete). Selain itu dikenal pula sanksi regresif (refressieve sancties) yang diterapkan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat pada keputusan yang diterbitkan. Sanksi regresif ditujukan pada keadaan hukum semula, sebelum diterbitkannya keputusan yang dilakukan dalam bentuk penarikan dan pencabutan keputusan tersebut. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Ketentuan ini merupakan penerapan sanksi administratif secara kumulatif eksternal. Secara kumulasi eksternal dimana penerapan sanksi administratif secara bersama-sama dengan sanksi lain, seperti sanksi pidana dan sanksi perdata. Untuk sanksi pidana dapat diterapkan bersama-sama dengan sanksi administrasi, dalam hal ini tidak diterapkan prinsip ”ne bis in idem” (tidak dua kali mengenai hal atau perkara yang sama), karena antara sanksi administrasi dengan sanksi pidana ada perbedaan sifat dan tujuan. Sanksi administrasi ditujukan kepada perbuatan, sifatnya reparatoir-condemnatoir dan tanpa melalui peradilan karena dilakukan secara langsung oleh pemerintah, sedangkan sanksi pidana ditujukan kepada pelaku, sifatnya condemnatoir dan melalui peradilan.
33
Pasal 45 Ayat (1) Dengan adanya sanksi pidana diharapkan timbulnya kesadaran Wajib Pajak untuk memenuhi kewajibannya. Yang dimaksud dengan kealpaan berarti tidak sengaja, lalai, tidak berhatihati, atau kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan tersebut menimbulkan kerugian Daerah. Ayat (2) Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yang dilakukan dengan sengaja dikenakan sanksi yang lebih berat dari alpa, mengingat pentingnya penerimaan pajak bagi daerah. Ayat (3) Ketentuan pidana ini dimaksudkan agar Wajib Pajak dan Kepala Dinas atau aparatur pemerintahan lainnya menjalankan hak dan kewajibannya dengan benar. Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Ketentuan ini dimaksudkan guna memberikan suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak, Penuntut Umum dan Hakim. Pasal 48 Ayat (1) Penyidik di bidang perpajakan Daerah adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kota yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas
34
Pasal 49 Ketentuan penegakan hukum merupakan instrumen yang sangat dibutuhkan dalam peraturan daerah ini. Agar Peraturan daerah dapat berjalan dengan baik diperlukan adanya instrumen penegakan hukum agar setiap orang yang diatur dalam peraturan daerah ini harus menaati peraturan daerah ini, sekaligus adanya peran serta masyarakat untuk membantu pemerintah daerah dalam melakukan penegakan hukum peraturan daerah. Penegakan hukum dalam pelaksanaan peraturan daerah ini dilakukan oleh Dinas Pendapatan Kota Ambon bersama-sama dengan Satuan Polisi Pamong Praja serta dinas atau instansi terkait lainnya. Penegakan hukum ini meliputi tindakan preventif dan tindakan represif. Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Yang dimaksud dengan lembaga yang berwenang dalam peraturan daerah ini adalah lembaga yang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana yang bersifat pelanggaran, meliputi Kepolisian dan Kejaksaan. Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR 245
35