Perang-perang atas Laut, Menghitung Tantangan pada Manajemen Sumberdaya Laut di Era Otonomi: Pelajaran dari Kepulauan Kei, Maluku Tenggara1 Dedi Supriadi Adhuri (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Abstract Natural resource management discourse and practice, as in politics but in different level, are shifting from centralized to local autonomy. Consequently, local government has to undertake many tasks. One important task is to formulate natural resource management policy that can contribute to enhance social welfare without disturbing natural resource sustainability. Hence, it is useful to evaluate existing management practices to learn its weaknesses and strengths as the basis in formulating new management policy. This article discussed conflict potential among stakeholders in the exploitation of sea natural resources in Kei islands, Southeast Mollucan. By analysing the conflict, the discussion will identify stakeholders and power relations among them (interests, strategies and resource controls) to reveal challenges in natural resource management practices in the local autonomy era. Key words: conflict; natural resources management; regional autonomy; agency.
Pendahuluan Kritik terhadap praktik pengelolaan laut yang sentralistis sudah lama menjadi bagian dalam diskursus manajemen sumberdaya laut. Berbagai macam kelemahan pemerintah pusat seperti keterbatasan sumberdaya manusia dan finansial untuk mengumpulkan dan menganalisis data tentang sumberdaya, keterbatasan kemampuan 1
Tulisan ini adalah makalah yang disajikan dalam panel “ Reconfiguring the Environment in Decentralizing Indonesia: Towards Multi-layered Resource Management in a Multi-cultural Nation-state” pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke3: “ Rebuilding Indonesia, a Nation of ‘Unity in Diversity’: Towards a Multicultural Society”, Kampus Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002.
300
mengembangkan kebijakan yang efektif dan efisien, keterbatasan untuk memonitor implementasi dari kebijakan-kebijakan tersebut, subordinasi kepentingan lingkungan oleh kepentingan ekonomi, atau kepentingankepentingan politik dan pembangkangan dari pengguna sumberdaya laut yang disebabkan karena tiadanya hubungan yang harmonis antara masyarakat dengan aparat pemerintah adalah beberapa contoh isi kritik tersebut (Balland dan Platteau 1996). Kritik tersebut telah pula ditujukan kepada manajemen sumberdaya laut yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, dalam hal ini rejim Orde Baru (lihat misalnya Bailey 1988; Marlessy 1991; Zerner 2000; Bailley dan Zerner 1992). Untuk menutupi kelemahan ini, diusulkan
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
“devolution of major resource management and allocation decisions to the local level may be more effective than management efforts which distant and understaffed government agencies can provide” (Bailey danZerner 1992:2). Rupanya jawaban terhadap kritikan-kritikan dan saran tersebut harus menunggu runtuhnya rejim Orde Baru. Karena hanya setelah Soeharto, kekuatan utama dari Orde Baru, dipaksa mundurlah konsepsi baru dari manajemen sumberdaya laut menjadi agenda pembicaraan dalam tatanan kehidupan bernegara. Dengan dirancang, disyahkan dan diberlakukannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang sangat populer dengan sebutan Undang-undang Otonomi Daerah (Otoda), angin segar—tidak hanya pada peta hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah tetapi juga pada praktik pengelolaan sumber daya laut—berhembus. Salah satu alasan dari hal ini adalah karena undang-undang ini telah mengalihkan hak pengelolaan wilayah laut dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam undang-undang itu didefinisikan bahwa wilayah propinsi meliputi daratan dan lautan sejauh 12 mil dari garis pantai menuju lautan terbuka (pasal 3). Kemudian, kewenangan untuk mengatur 1/3 wilayah pertama dari wilayah propinsi ada pada pemerintah kabupaten (pasal 10). Dalam konsepsi demikian, maka kabupaten dan propinsi merupakan ‘lokus utama’ dari praktik manajemen sumberdaya pesisir yang dalam banyak hal mungkin bisa disamakan dengan pengelolaan tentang perikanan rakyat (artisanal fishery).2 Meskipun ini menandakan sesuatu yang baik, pendelegasian wewenang pengelolaan perairan pantai atau perikanan rakyat dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, baik 2
Asosiasi pengelolaan wilayah pesisir dengan perikanan rakyat didasari asumsi bahwa perikanan rakyat (artisanal fishery) beroperasi di dalam wilayah 12 mil.
Adhuri, Perang-perang atas Laut
pada level kabupaten maupun provinsi, tentu tidak secara otomatis akan melahirkan pola-pola manajemen yang berkelanjutan dan berkeadilan. Pertama, hal ini disebabkan kalaupun kita menganggap bahwa praktik cooperative management (co-management) sebagai wujud manajemen yang ideal, misalnya, pendelegasian yang didefinisikan oleh Undang-undang Otoda bukanlah pendelegasian seperti yang dimaksudkan dalam konsepsi co-management. Pendelegasian dalam UU Otoda adalah pendelegasian dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sementara dalam diskursus co-management yang dimaksud pendelegasian tersebut adalah pendelegasian dari pemerintah kepada masyarakat (komunitas) atau kepada stake holder atau dalam bahasa Jentoft (1989) “fishermen’s organizations”. Ke dua, kalau pun kita menganggap bahwa pemerintah daerah akan lebih responsif terhadap aspirasi komunitas lokal, seperti akan ditunjukkan pada pada seksiseksi berikut, kebenaran anggapan bahwa pengelolaan sumberdaya laut yang didasari aspirasi dari komunitas lokal akan mendorong terciptanya praktik manajemen yang berkelanjutan dan berkeadilan bisa diragukan. Ke tiga, pada kenyataannya, kita juga bisa melihat bahwa beberapa konflik antara nelayan yang terjadi baru-baru ini justru terjadi dengan mengatasnamakan UU Otoda. Misalnya, konflik yang terjadi antara nelayan Masalembo dengan nelayan pantai utara Jawa (Rakyat Merdeka 2000). Ini berarti, dalam suasana Otoda pun, praktik pengelolaan sumberdaya laut yang berkelanjutan dan berkeadilan adalah sesuatu yang masih harus dicari. Dalam konteks demikianlah, artikel ini ditulis. Dalam proses pencarian ini, tulisan ini ingin memperlihatkan kompleksitas hubunganhubungan di antara kelompok kelompok sosial yang berada dalam ‘wadah’ yang disebut sebagai daerah. Hal ini akan dilakukan dengan mengidentifikasi siapa saja yang berada dalam ‘kotak’
301
daerah yang terlibat atau berkepentingan dengan sumberdaya atau wilayah laut dan bagaimana hubungan di antara mereka. Untuk melihat hal ini, penulis akan mendeskripsikan beberapa konflik atas wilayah laut dan pengeksploitasian terhadap sumberdaya laut yang telah terjadi di kepulauan Kei Maluku Tenggara. Dengan menganalisis konflik-konflik ini akan diperlihatkan bahwa dalam komunitas lokal terdapat beberapa kelompok sosial yang terlibat dalam kontestasi untuk menguasai wilayah laut. Konflik-konflik ini juga akan menunjukkan keterkaitan antara penguasaan sumberdaya laut dengan kepentingan politik dari elit-elit atau kelompok-kelompok sosial yang ada dalam komunitas tersebut. Selanjutnya, di dalam ‘wadah’ daerah itu juga terdapat pengusaha dan birokrat lokal yang juga terlibat dalam kontestasi untuk menguasai wilayah dan sumberdaya laut. Menariknya, karena segmen-segmen dalam komunitas lokal terlibat dalam kontestasi di antara mereka sendiri, pada konteks-konteks tertentu, mereka tidak segan ‘menggadaikan’ hak-hak penguasaan terhadap wilayah laut kepada pihak pengusaha maupun birokrat lokal dengan harapan kedua agen terakhir ini bisa membantu mereka untuk memenangkan kontestasi di antara segmen komunitas lokal tersebut.
Konflik-konflik atas laut: beberapa contoh Konflik terkait masalah penguasaan wilayah laut yang sangat kontroversial di kepulauan Kei adalah konflik atas batas wilayah laut antara penduduk desa Turtrean dan desa Sather di P. Kei Besar. 3 Dianggap kontroversial karena, misalnya konflik ini (a) telah berlangsung 3
Secara agak rinci kasus ini telah didiskusikan pada Adhuri (1998). Masyarakat kepulauan Kei mengenal praktik hak ulayat (communal property rights) atas wilayah laut. Namun demikian, batas wilayah laut dan unit pemegang hak atas wilayah tersebut seringkali menjadi bahan perselisihan.
302
lama, sejak tahun 1935 sampai, paling tidak tahun 1997—mungkin sampai saat ini, (b) terjadi perkelahian hampir setiap tahun—kadangkadang lebih dari sekali dalam setahun, dan (c) telah menelan korban yang tidak sedikit— misalnya pada tahun 1988, tujuh puluh empat (74) buah rumah di desa Sather dibakar. Isu pemicu dari konflik ini adalah sengketa batas wilayah laut dari kedua desa. Penduduk desa Tutrean mengklaim batas wilayah laut mereka adalah suatu titik di mana menurut penduduk Sather telah termasuk ke dalam wilayah laut mereka (lihat gambar). Klaim batas yang berbeda ini seringkali menyulut terjadinya konflik fisik pada setiap saat penduduk dari salah satu desa mengeksploitasi sumberdaya laut, terutama bia lola (Throcus niloticus) pada wilayah yang disengketakan. Analisis penulis terhadap konflik-konflik yang terjadi di antara kedua desa ini dan kegagalan dari usaha-usaha penyelesaiannya4 mengarahkan pada kesimpulan bahwa akar dari masalah ini adalah kontestasi antara ‘kelas’ bangsawan (mel-mel) dengan ‘kelas’ orang merdeka (ren-ren).5 Pada satu pihak, dengan menggunakan sejarah lisan tentang asal-usul mereka dan hubungannya dengan penduduk desa Sather, sebagai kelas bangsawan, penduduk desa Tutrean menganggap bahwa mereka mempunyai kewenangan untuk menguasai wilayah dan penduduk desa Sather yang ren-ren. Bagi orang Tutrean, ini berarti seluruh kehidupan desa Sather secara politik harus ditentukan oleh orang Tutrean. Kepala 4
Usaha penyelesaian terhadap konflik ini dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1936 dan 1939, kemudian atas inisiatif bupati Maluku Tenggara pada tahun 1990, dan melalui putusan pengadilan negeri Maluku Tenggara pada tahun 1993 dan pengadilan tinggi Maluku pada tahun 1996. 5
Pada masyarakat Kei terdapat tiga strata sosial: bangsawan (mel-mel), orang merdeka (ren-ren) dan budak (iri-iri).
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
Peta Kepulauan Kei KEPULAUAN KEI
desa Sather misalnya, haruslah bangsawan dari Tutrean. Begitu pula halnya dengan pengaturan batas dan pemanfaatan wilayah dari desa Sather, orang Tutreanlah yang berhak menentukannya. Pada pihak yang lain, penduduk desa Sather menganggap bahwa sebagai orang merdeka tentu saja mereka bebas untuk mengatur dirinya sendiri. Dengan mengacu pada sejarah lisan, versi mereka sendiri, tentang asal-usul desanya, mereka menolak segala argumen yang menunjukkan superioritas bangsawan dari Tutrean dalam hubungannya dengan pengaturan domain politik dan teritorial di desanya. Isu kontestasi ini tidak pernah diperhatikan dalam usaha-usaha penyelesaian konflik yang terjadi di antara kedua desa ini. Usaha yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1936 dan 1939 ditentang oleh orang Sather karena keputusannya didasari oleh
Adhuri, Perang-perang atas Laut
konsultasi Belanda terhadap dewan adat yang dipimpin oleh penguasa-penguasa tradisional di kepulauan Kei yang semuanya merupakan kaum bangsawan. Demikian pula penyelesaian yang digagas oleh bupati Maluku Tenggara pada tahun 1990. Keputusan tentang penyelesaian konflik pada saat itu didasari sidang adat yang dikuasai oleh pemimpin adat yang bangsawan. Usaha penyelesaian sengketa terakhir melalui keputusan pengadilan negeri Kabupaten Maluku Tenggara dan pengadilan Tinggi Maluku pun ditentang karena dianggap tidak adil. Ketidakadilan ini terkait dengan dasar keputusan-keputusan itu yang lebih didasari bukti-bukti tertulis, yang kebanyakan dikuasai oleh kaum bangsawan. Konflik terkait dengan penguasaan wilayah laut dan pemanfaatannya terjadi juga di antara penduduk kampung Islam (Ohoislam) dengan penduduk kampung Katolik (Ohoisaran ) di
303
desa Sathean yang terletak di P. Kei Kecil.6 Konflik di antara penduduk kedua kampung ini pertama kali terjadi pada tahun 1964, yang dipicu oleh penggunaan bagan oleh salah seorang penduduk kampung Islam yang diprotes oleh penduduk kampung Kristen dengan alasan bahwa penggunaan bagan itu akan menyebabkan ketimpangan distribusi sumberdaya laut. Pada satu pihak mereka yang menggunakan bagan akan mendapatkan ikan lebih banyak, pada pihak yang lain mereka yang tidak menggunakan teknologi ini akan kesulitan mendapatkan ikan. Dihadapkan pada protes ini orang kampung Islam menghentikan pengoperasian bagannya. Konflik antara kedua pihak kembali terjadi pada tahun 1984 saat penduduk kampung Islam kembali mengoperasikan bagan di perairan desa itu. Namun demikian, konflik ini segera dapat terhenti setelah terjadi kesepakatan di antara mereka. Kesepakatan tersebut melingkupi dua hal. Pertama, orang kampung Islam diharuskan membayar uang sewa penggunaan wilayah laut tempat mereka mengoperasikan bagannya. Kedua, orang kampung Islam dilarang mengoperasikan bagannya di wilayah yang menjadi tempat penangkapan ikan dari penduduk kampung Kristen. Kedua kesepakatan ini mengindikasikan bahwa orang kampung Kristen menganggap bahwa orang kampung Islam adalah ‘orang luar,’ atau, paling tidak dianggap tidak mempunyai hak yang sama dengan penduduk kampung Kristen dalam hubungannnya dengan penguasaan dan penggunaan wilayah laut mereka. Setelah ditelusuri lebih mendalam tentang hubungan antara penduduk kedua kampung tersebut, nampaknya penyebab konflik di antara mereka bukanlah hanya perbedaan teknologi penangkapan atau distribusi sumber daya, 6
Secara agak rinci konflik ini didiskusikan dalam Adhuri (1993).
304
melainkan juga terkait dengan asal-usul penduduk kedua kampung ini. Dalam sejarah lisan tentang asal-usul penduduk kedua kampung tersebut disebutkan bahwa penduduk Kristen yang pertama kali datang dan menempati wilayah desa tersebut, sementara itu penduduk kampung Islam adalah keturunan dari seorang laki-laki Bugis yang menikahi seorang wanita dari kampung Kristen yang pada saat itu masih memeluk agama lokal. Jadi, menurut penduduk kampung Kristen, penduduk kampung Islam bukanlah penduduk ‘asli’ Sathean. Penduduk Sathean ‘asli’ dalam anggapan mereka adalah keturunan dari pendiri kampung atau desa itu melalui garis laki-laki. Karena penduduk kampung Islam adalah keturunan dari seorang laki-laki Bugis, maka mereka lebih merupakan orang Bugis dari pada orang Sathean. Dalam bahasa yang lebih halus, mereka sering juga menyebut bahwa penduduk kampung Islam adalah orang ‘Yamlean tempel.’ Yamlean adalah nama keluarga (fam) dari wanita Sathean yang menikah dengan laki-laki Bugis tersebut. Istilah ini mengindikasikan pengakuan terhadap penduduk kampung Islam sebagai setengah Bugis, setengah Sathean. Pengakuan ini, saat diterjemahkan dalam penguasaan terhadap sumberdaya-sumberdaya alam, sumberdaya laut dalam hal ini—berupa pemberian hak yang tidak sama di antara penduduk kedua dusun tersebut. Konflik di antara penduduk kedua dusun itu telah menunjukkan adanya pemilahan penduduk lokal dalam hubungannya dengan akses terhadap wilayah dan sumberdaya laut berdasarkan identitas ‘kelokalan’ atau ‘kesukuan.’ Konflik yang terjadi di perairan wilayah desa Dullah Laut pada tahun 1996 menunjukkan hal ini secara lebih nyata. Pemicu konflik ini mirip dengan konflik yang terjadi di desa Sathean, yakni penggunaan teknologi bagan. Namun demikian masalahnya dianggap lebih
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
serius karena pemilik bagan tersebut bukanlah penduduk Dullah Laut yang pada saat itu sedang mengeksploitasi wilayah yang sama, tetapi dengan teknologi yang lebih sederhana yaitu pancing. Pemilik bagan adalah orang Buton yang menikah dengan seorang wanita penduduk dari sebuah desa di pulau lain, masih di kepulauan Kei. Bagi orang Dullah Laut, kegiatan penangkapan itu tidak hanya mengganggu kegiatan memancing, tetapi merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan mereka atas perairan hak miliknya oleh orang yang berkesukubangsaan lain. Konflik ini berakhir dengan pengusiran bagan-bagan milik orang Buton tersebut dari perairan Dullah Laut. Konflik yang tidak kalah kompleksnya terjadi di desa Dullah Laut pada tahun 1997. Konflik ini tidak hanya berhubungan dengan masalah-masalah lokal tetapi juga dengan perdagangan internasional ikan karang hidup. Perdagangan ikan karang hidup ini, khususnya ikan garopa, terkait dengan kebiasaan makan orang Cina yang menganggap bahwa mengkonsumsi ikan karang yang masih hidup sampai beberapa saat menjelang masuk alatalat memasak meningkatkan vitalitas dan gengsi mereka (Johannes dan Riepen 1995). Meningkatnya tingkat ekonomi orang-orang Cina, terutama di Hongkong, telah menambah permintaan akan pasokan ikan karang hidup. Peningkatan permintaan ini telah mendorong para pengusaha ikan karang hidup untuk melebarkan kegiatan usaha mereka dari sekitar perairan Hongkong, ke Filipina dan Indonesia pada akhir tahun 1980-an. Selain melebarkan wilayah eksploitasi, para pengusaha ikan karang hidup ini juga menggunakan teknologi yang dianggap efektif yakni potasium cianida yang dilarang oleh pemerintah di perairanperairan tempat mereka beroperasi tersebut. Pengusaha ikan karang hidup ini sampai ke perairan Kei pada awal tahun 1990-an. Mereka
Adhuri, Perang-perang atas Laut
juga terlibat dalam penggunaan potasium cianida yang dilarang oleh pemerintah Indonesia melalui undang-undang dan berbagai macam aturan lainnya mengenai lingkungan hidup maupun usaha perikanan. Namun demikian, untuk melindungi usaha mereka yang ilegal ini, para pengusaha tersebut ‘membeli’ aparat militer dan birokrat lokal. Dengan kekuasaannya, aparat militer dan birokrat lokal melindungi, atau paling tidak membiarkan kegiatan ilegal para pengusaha ini. Menariknya, dalam kasus konflik di Dullah Laut pada tahun 1997 ini adalah bahwa kolusi antara pengusaha, aparat militer dan birokrat lokal dimanfaatkan oleh elit lokal sebagai alat untuk memenangkan kontestasi mereka dengan elit lain di desa tersebut berkenaan dengan posisi sebagai kepala desa. Dalam hal ini seorang keturunan pemimpin tradisional desa (orang kaya) yang telah lama mengincar posisi kepala desa, memberikan ijin kepada pengusaha ikan karang hidup, seorang warga negara Taiwan yang beristri orang Jawa, membangun base camp dan menangkap ikan karang di wilayah desa itu. Bagi elit tradisional ini, pemberian ijin tersebut bisa dianggap sebagai upaya untuk mendapatkan sokongan ekonomi dari pengusaha ikan karang hidup dan sokongan politik dari aparat militer dan birokrat lokal yang melindungi usaha ilegal tersebut. Dengan sokongan ini, tentu saja harapan dia adalah pencapaian impiannya untuk menjadi kepala desa. Pada pihak yang lain, bagi kepala desa Dullah Laut perilaku tersebut adalah sebuah rongrongan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu, beliau menentang tegas pendirian base camp dan usaha penangkapan ikan oleh pengusaha yang berasal dari Taiwan itu. Sikap ini ditunjukkan dengan pengusiran terhadap pengusaha Taiwan dari lokasi base campnya, dengan alasan bahwa usaha itu ‘ilegal’ karena tidak meminta ijinnya sebagai
305
pemimpin desa Dullah Laut.7 Pengusiran ini berhasil memberhentikan sementara kegiatan perusahaan ikan karang tersebut, tetapi atas desakan aparat militer, akhirnya mereka membiarkan pihak perusahaan meneruskan usahanya.
Komunitas lokal, aparat militer, birokrat lokal dan pengusaha Jika kita perhatikan diskursus manajemen laut baik yang bersumber pada teori-teori Hardinian yang menganggap pemerintah sebagai kunci utama dari pengelolaan sumberdaya alam yang dalam konsepsinya termasuk sumber daya milik umum (public property resource), sumberdaya laut termasuk di dalamnya (lihat misalnya Hardin 1968), maupun teori-teori yang lahir sebagai kritik terhadap Hardin—yang kemudian mengarahkan pada perdebatan mengenai perlunya melibatkan masyarakat atau komunitas lokal—seringkali diartikan masyarakat adat dan praktik manajemen sumberdaya laut tradisionalnya— dalam perumusan dan pengaplikasian manajemen sumberdaya laut, penyebutan masyarakat seringkali tidak disertai dengan pendefinisian yang jelas mengenai apa itu masyarakat atau komunitas dan atau adat itu. Nampaknya, batasan mengenai masyarakat, komunitas dan atau adat dianggap sesuatu yang given dan oleh karenanya pendefinisiannya tidak bermasalah. Dengan menyimak konflik-konflik yang telah dideskripsikan di atas, kita akan tahu bahwa anggapan ini keliru. Konflik-konflik di atas menunjukkan bahwa komunitas lokal itu terbagi dalam berbagai segmen. Kasus konflik antara penduduk desa 7
Tahun sebelumnya, kepala desa menginginkan perusahaan lain yang juga menggunakan potasium cianida beroperasi di perairan desa itu. Pada saat itu keturunan pemimpin tradisional lah yang menentang pemberian ijin tersebut.
306
Sather dan Tutrean menunjukkan bahwa dalam konteks tradisi saja, komunitas itu terbagi dalam kelompok bangsawan dan orang merdeka— belum lagi kelompok budak yang tidak terlibat secara intens dalam konflik ini—yang berhubungan dalam wujud konflik. Selain itu dengan tidak sepahamnya persepsi mereka tentang batas wilayah laut di antara kedua desa menunjukkan bahwa pemahaman mereka terhadap tradisi—dalam hal sumber dari penetapan batas wilayah di antara dua desa— berbeda pula. Konflik di desa Sathean antara penduduk kampung Islam dan kampung Kristen dan di Dullah Laut antara penduduk desa itu dengan pemilik bagan yang diidentifikasi sebagai orang Buton menunjukkan pula dimainkannya isu etnisitas dalam penguasaan terhadap wilayah laut dan hak-hak atas pengeksploitasian sumberdaya yang ada di dalamnya. Lebih jauh, konflik yang dideskripsikan terakhir yaitu konflik di Dullah Laut yang dipicu oleh kehadiran pengusaha ikan karang warga negara Taiwan, mengajarkan kita paling tidak tentang tiga hal. Pertama, pada tingkat lokal pun terdapat aktor-aktor yang bahkan berkewargaan asing dan diijinkan untuk mengeksploitasi sumberdaya laut yang, pada konflik yang lain kehadiran orang yang masih mempunyai hubungan darah, namun melalui garis wanita (kasus konflik di Sathean), berlainan golongan (mel-mel dan ren-ren d i Tutrean dan Sather), dan suku bangsa (konflik antara penduduk desa Dullah Laut dengan orang Buton)—dipermasalahkan. Ini tidak hanya menunjukkan betapa nisbinya definisi dari ‘we’ and ‘other’ tetapi juga menunjukkan besarnya kekuatan agensi dari lintas batas negara. Dalam konteks ini kita bisa membaca kehadiran orang Taiwan sebagai representasi dirinya sendiri sebagai orang asing dan representasinya sebagai kekuatan pasar internasional. Kedua,
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
kelompok-kelompok sosial di dalam komunitas itu sendiri menarik kekuatan dari luar itu untuk kepentingan kelompoknya dalam berhadapan dengan kelompok lain dalam komunitas mereka. Sudah jelas misalnya, kalaupun dipaksa keturunan pemimpin tradisional atau kepala desa di Dullah Laut akan sulit menolak kehadiran pengusaha ikan dari Taiwan itu karena dia didukung oleh aparat militer dan birokrat lokal—dalam konteks hubungan kekuasaan kedua agensi disebut terakhir berada di atas kepala desa maupun keturunan pemimpin tradisional [lihat Crouch (1979) dan Samego et. all. (1998) tentang kekuasaan militer di Indonesia], tetapi dalam ketidakberdayaannya, keturunan pemimpin informal justru menarik agensi-agensi dari luar komunitasnya untuk mendongkrak kekuasaannya dalam berhubungan dengan kepala desa. Ketiga, pertukaran hak mengakses sumberdaya laut antara keturunan pemimpin tradisional desa dengan pengusaha tersebut dengan uang dan kekuasaan ini, tidak hanya menyebabkan tertindasnya kepala desa—yang dalam konteks lain adalah juga bagian dari komunitas lokal, tetapi juga terabaikannya kepentingan-kepentingan ekonomi jangka panjang dan lingkungan untuk pencapaian tujuan politik. Hal ini terkait dengan pemberian ijin kepada pengusaha ikan karang hidup dari Taiwan dengan kemungkinan menggunakan potasium cianida yang oleh berbagai penelitian telah ditunjukkan menyebabkan kerusakan biota di laut yang terkontaminasi (lihat misalnya Rubec 1986).
Penutup Untuk menutup tulisan ini, penulis ingin mengembalikan apa yang kita pelajari dari kasus-kasus konflik di atas dengan tantangan untuk menciptakan praktik manajemen sumberdaya laut yang berkelanjutan dan berkeadilan di era otonomi. Penulis ingin
Adhuri, Perang-perang atas Laut
menggarisbawahi dua tantangan yang sangat krusial. Tantangan pertama adalah kesadaran— yang ditunjukkan oleh perilaku—akan pentingnya manajemen yang berkelanjutan dan berkeadilan tidak tampak pada agensi yang berada dalam ‘kotak’ daerah. Jika kita perhatikan konflik-konflik di atas, bahkan aparat negara pun, dalam hal ini aparat militer dan birokrat lokal tidak memikirkan masalah ini. Jika demikian halnya, siapa yang harus mengintrodusir kesadaran ini? Kita tahu bahwa sejak tahun 1970-an pemerintah telah menggunakan sloganslogan sustainability dalam program-program ‘pembangunan’ bahkan pada tahun-tahun itu kementrian lingkungan hidup dibentuk, tetapi jika kita lihat realitasnya justru sangat kontradiktif. Mungkin benar beberapa anggapan bahwa penggunaan istilah itu hanya euforia politik pemerintah untuk menarik bantuan-bantuan luar negeri atau kesinambungan hubungan dagang sumberdaya alam. Gerakan-gerakan dengan slogan yang sama dari organisasi non pemerintah sangat gencar juga dilakukan sejak saat itu, tetapi, setidaknya yang penulis lihat di Kepulauan Kei, belum terlalu tampak hasil positifnya untuk tidak mengatakan ada juga efek negatifnya. Tantangan penting yang kedua adalah terdapatnya kontestasi di antara semua kelompok yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya laut. Pada arena kontestasi ini tampaknya masing-masing kelompok cenderung saling mengklaim hak-hak khusus mereka terhadap sumberdaya laut dan menafikan klaim dari pihak-pihak lain. Dalam kondisi demikian akan merupakan tantangan yang besar untuk dapat membangun kerjasama yang bersifat kooperatif dan bukan persaingan. Padahal sifat kooperatif ini merupakan dasar pokok untuk mengelola potensi konflik-konflik kepentingan di antara mereka.
307
Referensi Adhuri, D.S. 1998 Hak Ulayat Laut, Stratifikasi Sosial dan Politik Kepala Desa: Memahami Konteks Sosial Manajemen Tradisional Sumber Daya Laut di Kep. Kei, Maluku Tenggara. Makalah dalam lokakarya Kebijakan dan Masalah Kependudukan dalam Pengelolaan Sumber Daya Kawasan Pesisir Indonesia. Jakarta, Jurusan Antropologi, FISIP Universitas Indonesia, 20–21 April. Bailey, C. 1997 “Lesson from Indonesia’s 1980 Trawler Ban”, Marine Policy 21(3):225–235. Bailey, C. dan C. Zerner 1992 “Community-Based Fisheries Management Institutions in Indonesia”, Maritime Anthropology Studies 5(2):1–17. Balland, J. dan J. Platteau 1996 Halting Degradation of Natural Resources: Is there a Role for Rural Communities? New York: Oxford University Press Inc. Crouch, H. 1979 “Patrimonialism and Military Rule in Indonesia”, World Politics 31(4):571–587. Hardin, G. 1968 “The Tragedy of the Commons”, Science 162:1243–1248. Jentoft, S. 1989 “Fisheries Co-management: Delegating Responsibility to Fishermen’s Organizations”, Marine Policy (April):137–154. Johannes, R. E. dan M. Riepen 1995 Environmental, Economic and Social Implications of the Live Reef Fish Trade in Asia and the Western Pacific. Report to The Nature conservancy and the South Pacific Forum Fisheries Agency, Oct. Hlm. 1–82. Rakyat Merdeka 2000 “Gawat, Laut Indonesia Dikavling”, Rakyat Merdeka 17 November. Hlm. 3. Rubec, P.J. 1986 “The Effects of Sodium Cyanide on Coral Reefs and Marine Fish in the Philippines”, dalam J.L. Maclean, L.B. Dizon and L.V. Hosillos (peny) Proceedings of The First Asian Fisheries Forum. Manila, Philippines: Asian Fisheries Society. Hlm. 297–302. Samego, I., dkk. 1998 Dinamika Politik dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Politik dan Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Zerner, C. 2000 People, Plants and Justice. The Politics of Nature Conservation. New York: Columbia University Press.
308
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005