PERANCANGAN INTERIOR GEDUNG PERTUNJUKAN SENI DAN BUDAYA DI JAKARTA Samantha Christlee Jurusan Desain Interior Universitas Bina Nusantara,
[email protected]
Sri Rachmayanti Jurusan Desain Interior Universitas Bina Nusantara,
[email protected]
Silvia Meliana Jurusan Desain Interior Universitas Bina Nusantara,
[email protected]
ABSTRACT Performing arts and culture can be used as a way to present Indonesia. Jakarta needs a theater which support these activities. Currently, there are theaters in Jakarta that are less able to facilitate these activities and have not met international standards. This design goal is to present a theater with complete facilities and as a container of the artists works, as well as to attract local and foreign tourists. The research methods are survey, observation, and literature. With the concept of "Monologue", this theater include Betawi culture elements into the interior design of a modern-contemporary style. Keywords : Performing arts, theater, Betawi, Jakarta, facility
ABSTRAK Pertunjukan seni dan budaya dapat dijadikan cara untuk mempresentasikan Indonesia. Jakarta membutuhkan sebuah gedung pertunjukan yang menunjang kegiatan tersebut. Saat ini gedung-gedung yang ada kurang mampu memfasilitasi kegiatan tersebut dan belum memenuhi standar internasional. Tujuan perancangan ini adalah untuk menghadirkan sebuah gedung pertunjukan yang memiliki fasilitas lengkap dan mejadi wadah karya para seniman, serta mampu menarik wisatawan lokal maupun asing. Metode penelitian dilakukan secara survei, observasi, dan literatur. Dengan konsep "Monologue", gedung pertunjukan ini memasukan unsur budaya Betawi ke dalam desain interiornya yang bergaya modern-kontemporer. Kata kunci : Seni pertunjukan, gedung pertunjukan, Betawi, Jakarta, fasilitas
Pendahuluan Secara universal, seni pertunjukan adalah karya seni yang melibatkan aksi individu maupun kelompok di tempat dan waktu tertentu, biasanya memiliki empat unsur, yakni waktu, ruang, tubuh si seniman, dan interaksi seniman dengan penonton. Dalam seni modern, seni pertunjukan bisa mempertunjukan seni tari, seni teater, seni musik, seni sastra, dan film. Di negara-negara berkembang, seni pertunjukan dapat dijadikan sebagai presentasi estetis yang disuguhkan kepada para wisatawan, khususnya wisatawan asing. Pagelaran seni yang rutin digelar dalam kurun waktu tertentu atau mungkin pertunjukan seni khas budaya Jakarta dan Indonesia yang dapat dipentaskan setiap hari, tentu dapat sangat menunjang pembangunan sektor pariwisata. Kalah dengan negara-negara tetangga seperti Thailand dan RRC, Jakarta yang merupakan etalase Indonesia belum mempunyai tempat wisata seperti itu saat ini. Selain itu, pertunjukan seni sering kali mengangkat tema-tema yang lekat dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, seni pertunjukan dapat dikatakan sebagai potret kehidupan sosial budaya suatu bangsa yang dapat disuguhkan kepada masyarakat lokal untuk berkaca karena dinilai mampu merefleksikan kondisi bangsa dengan kritis dan jujur. Sayangnya, antusiasme masyarakat dalam negeri terhadap seni pertunjukan masih bisa dikatakan kurang. Masyarakat sekarang ini lebih menyukai rekreasi di tempat lain yang bersifat serba ada dan santai, seperti pusat perbelanjaan misalnya. Untuk mengakomodir seni pertunjukan, dibutuhkan suatu bangunan yang berfungsi sebagai gedung pertunjukan, dan mampu memfasilitasi kegiatan pertunjukan yang digelar di dalamnya. Sebagai salah satu kota megapolitan dan ibukota negara, Jakarta memiliki beberapa gedung pertunjukan dengan berbagai macam ukuran dan kapasitas. Namun gedung-gedung pertunjukan yang ada saat ini menurut saya belum mampu memfasilitasi seniman-seniman untuk dapat berkarya dengan maksimal. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan minat masyarakat untuk menyaksikan pertunjukan seni. Selain seniman yang melakukan pertunjukan, perancangan interior gedung juga memegang peranan penting dalam menarik minat pengunjung. Perancangan interior yang terencana dengan baik dapat memberi perubahan agar tercipta nuansa yang lebih segar dan menarik sehingga dapat meningkatkan daya tarik bagi masyarakat, khususnya masyarakat kota Jakarta. Tujuan dari perancangan ini adalah menciptakan suatu gedung pertunjukan yang dapat dinikmati oleh masyarakat luas, sehingga masyarakat tidak hanya datang untuk menikmati pertunjukan, namun dapat menikmati tempatnya juga; menghadirkan gedung pertunjukan di Jakarta, sehingga dapat menarik minat masyarakat lokal dan wisatawan asing untuk ikut menikmati gedung ini sebagai alternatif tempat wisata edukatif dan rekreasi; serta memberikan dan menciptakan ruang gerak yang nyaman bagi suatu pertunjukan sesuai dengan kegiatan pertunjukan, sehingga dapat meningkatkan kinerja para crew dan penampil, demi menghadirkan pertunjukan yang sempurna. Manfaat dari perancangan ini adalah mengakomodasi kebutuhan masyarakat kota Jakarta akan hiburan edukatif melalui seni pertunjukan; melestarikan budaya Indonesia melalui bidang seni dengan memberikan suatu desain gedung pertunjukan sebagai wadah berkarya; meningkatkan pariwisata budaya kota Jakarta dengan menyediakan sarana dan prasarana untuk menyaksikan pertunjukan budaya Indonesia; serta mengangkat seni budaya Indonesia ke kancah internasional.
Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah metode penelitian secara langsung melalui survei lapangan, wawancara, observasi lapangan, kuisioner, serta metode penelitian secara tidak langsung melalui studi literatur. Survei lapangan dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi secara langsung dari sumbernya untuk mendukung perancangan. Survei lapangan dilakukan ke beberapa gedung pertunjukan, yakni Gedung Kesenian Jakartam Graha Bhakti Budaya, dan Teater Kecil. Data survei yang dibutuhkan mencakup foto, aktivitas pertunjukan, aktifitas produksi dan persiapan pertunjukan, aktifitas penanganan properti pertunjukan, dan flow activity dalam gedung. Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai gedung pertunjukan yang disurvey. Informasi seperti sejarah gedung, peraturan gedung dan data-data internal mengenai gedung dapat diperoleh dari pihak pengelola gedung. Sedangkan data-data mengenai proses produksi pertunjukan hingga penampilan pertunjukan dapat diperoleh dengan mewawancarai pihak penampil yang pernah melakukan pertujukan di gedung tersebut. Observasi dilakukan untuk mengamati secara langsung aktivitas yang biasa dilakukan di dalam gedung pertunjukan, seperti interaksi antara pengelola, penampil, dan penonton. Observasi juga dilakukan untuk mengamati kondisi fisik gedung secara langsung dan berbagai permasalahan yang dihadapi. Kusioner diserbar melalui media sosial secara acak dan diisi untuk mengetahui seberapa besar minat
dan ketertarikan masyarakat terhadap pertunjukan seni dan budaya di Indonesia, serta perbandingannya dengan ketertarikan menonton pertunjukan budaya di luar negeri. Studi literatur merupakan bentuk pencarian data-data yang berhubungan dengan gedung pertunjukan dan seni pertunjukan, mulai dari sejarah, fungsi, tata cahaya, tata suara, tata letak furnitur, bentuk ruangan, dan semua hal yang akan dapat membantu dalam proses perancangan gedung pertunjukan. Data-data tersebut dapat diperoleh dari sumber-sumber literatur, seperti buku referensi, majalah, dan internet.
Hasil dan Bahasan Gedung Teater Jakarta terletak di Jalan Cikini Raya no.73, Jakarta Pusat. Gedung Teater Jakarta merupakan bangunan baru yang selesai dibangun pada tahun 2009. Gedung ini berdiri di atas lahan seluas hampir 2 hektar, dengan luas bangunan sebesar 46.500 m2, terdiri dari 5 lantai dan 2 lantai basement. Gedung ini memiliki 2 auditorium, Grand Theater dengan kapasitas 918 kursi dan Teater Kecil dengan kapasitas 244 kursi. Selain auditorium, terdapat pula restaurant, lounge, ruang pameran, dan fasilitasfasilitas pendukung lainnya. Konsep pada perancangan interior yang dikembangkan berjudul "Monologue". Di dalam dunia pertunjukan seni peran, monolog berarti hanya ada satu orang untuk melakukan semua adegan atau sketsa (peran sendirian) pada petunjukan tersebut. Kata monolog diambil sebagai analogi dari konsep desain yang akan diterapkan pada gedung pertunjukan ini. Gedung ini berikut dengan desain interiornya diharapkan mampu menceritakan sendiri kebudayaan Indonesia, khususnya budaya Betawi yang ada di Jakarta. Penerapan simbol-simbol dari kebudayaan Betawi dengan cara yang unik bertujuan untuk mengeksplorasi budaya ini menjadi lebih mudah diterima masyarakat dan menjauhkan kesan kuno. Dalam kebudayaan Betawi, bentuk-bentuk geometris sangat kental terasa. Bentuk-bentuk segitiga, segiempat, dan lingkaran selalu diterapkan pada elemen dekorasinya. Bangun geometris akan membentuk citra ruang yang tegas, tajam, unik, namun tetap elegan. Penggunaan garis-garis yang lurus, bersudut, hingga zigzag, dan permainan layer membangkitkan keunikan desain, sedangkan sifat elegan akan dihadirkan melalui pencahayaan dan pemanfaatan material. Sesuai dengan judul perancangan "Monologue", maka konsep warna yang akan digunakan adalah akromatik hitam, abu-abu, putih, dan menggunakan warna analogus dari oranye (red-orange, orange, yellow-orange) sebagai aksen. Akromatik hitam-putih dipilih karena dapat mewakili sisi modern dan elegan dari sebuah desain. Warna-warna ini juga tergolong netral dan akan menjadi latar yang baik untuk aksen-aksen yang diberikan pada ruangan, selain itu warna ini dapat menciptakan efek-efek psikologis dan ilusi mata. Warna oranye dipilih sebagai aksen karena menurut psikologi warna, oranye merupakan warna yang mewakili semangat, menyenangkan, extrovert, optimisme, sosialisasi, percaya diri, dan antusiasme. Sifat-sifat ini sangat dibutuhkan para seniman dalam menunjukan karya mereka.
Gambar 1 Moodboard Konsep
Gambar 2 Color Scheme
Gambar 3 Perspektif Lobby 1
Gambar 4 Perspektif Lobby 2
Gambar 5 Perspektif Lounge 1
Gambar 6 Perspektif Lounge 2
Gambar 7 Perspektif Auditorium 1
Gambar 8 Perspektif Auditorium 2
Gambar 7 Perspektif Galeri 1
Gambar 7 Perspektif Galeri 1
Simpulan dan Saran
Kesimpulan Sebagai ibukota negara, Jakarta merupakan etalase Indonesia di mata dunia. Jakarta harus bisa merepresentasikan kebudayaan yang dimiliki Indonesia, salah satunya melalui sektor pariwisata. Pertunjukan budaya dapat menjadi ujung tombak bagi pariwisata Indonesia dalam memperkenalkan kekayaan dan keragaman budaya yang dimiliki negara ini pada dunia. Jakarta membutuhkan sebuah gedung pertunjukan yang tidak hanya dapat mengakomodasi kegiatan pertunjukan saja, namun juga dapat menjadi icon bagi kebudayaan Indonesia itu sendiri. Dengan konsep "Monologue", Gedung Teater Jakarta dirancang dengan memasukan unsur-unsur kebudayaan Betawi sebagai wakil dari citra Indonesia pada penerapan desain interior bergaya moden-kontemporer. Penggunaan simbol-simbol budaya akan memudahkan siapapun yang datang ke gedung ini untuk langsung melihat tema budaya lokalnya. Para wisatawan dan juga masyarakat Jakarta diajak untuk menyaksikan pertujukan budaya sambil menikmati fasilitas-fasilitas gedung yang akan menunjang pengalaman mencicipi budaya Indonesia. Jadi bukan hanya pertunjukannya saja yang menampilkan presentasi estetis, tetapi gedungnya pun dapat mengisahkan kekayaan budaya Betawi yang merupakan suku lokal di Jakarta. Gedung teater ini juga dapat menjadi wadah berkesenian yang nyaman dan sesuai dengan kebutuhan, bagi para seniman dan budayawan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dengan demikian, perancangan interior ini dimaksudkan sebagai usaha untuk menyediakan sebuah gedung pertunjukan yang sesuai dengan karakteristik budaya Indonesia, khususnya budaya Betawi, serta sesuai dengan kebutuhan dan kegunaan di bidang pariwisata.
Saran Jakarta memiliki beberapa gedung pertunjukan, namun dengan kondisi yang ada sekarang ini gedung-gedung tersebut memerlukan perhatian yang lebih. Berikut ini saran-saran yang ingin disampaikan penulis terkait dengan pemeliharaan fasilitas gedung-gedung pertunjukan di Jakarta : 1. Gedung-gedung pertunjukan sebaiknya dilengkapi dengan fasilitas tambahan yang memadai, misalnya seperti toilet yang cukup banyak dan terjaga kebersihannya. 2. Gedung-gedung pertunjukan yang sudah berusia puluhan tahun, bahkan ratusan tehun seperti GKJ, memerlukan perawatan dan pemeliharaan yang lebih pada struktur dan kosntruksinya, sehingga tidak membahayakan keselamatan penggunanya. 3. Pertunjukan biasanya dilangsungkan pada malam hari. Saat siang hari, gedung pertunjukan sama sekali tidak menarik, terlihat seperti gedung kosong yang tidak terpakai. Perlu dipikirkan pemanfaatan gedung sehingga tetap menarik pengunjung meskipun tidak sedang melakukan pertunjukan.
Referensi Ambarwati, Dwi Retno Sri. (2010). Tinjauan Akustik Perancangan Interior Gedung Pertunjukan, Jurnal Imaji. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Cole, Edward C. and Harold Burris-Meyer. (1949). Theatres and Auditoriums. New York: Reinhold Publishing Corporation. Doelle, Leslie E. (1990). Akustik Lingkungan. Jakarta: Erlangga. Filmer, Andrew Robert. (2006). Backstage Space: The Place of Performer. Postgraduate Theses, The Sydney eScholarship Theses Repository, diakses 4 Maret 2013 dari http://ses.library.usyd.edu.au/handle/2123/1415 Ham, Roderick. (1987). Theatre Planning ABTT. London: The Architectural Press. Kusalamani. (2012). Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Berita Budaya, diakses 28 Februari 2013 dari http://www.tembi.net Mediastika, Christina E. (2005). Akustika Bangunan Prinsip-prinsip dan Penerapannya di Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga. Mills, Edward D. (1976). Planning. London: Newness-Butterworth.
Neufert, Ernst. (2002). Data Arsitek Edisi 33 Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. Panero, Julius dan martin Zelnik. (2003). Dimensi Manusia dan Ruang Interior. Jakarta: Penerbit Erlangga. Presiden Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang RI. Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. Roberts, Nicholas W. (2004). Building Type Basics for Places of Worship. New Jersey: John Wiley & Sons,inc. Schmolke, Birgit. (2011). Construction and Design Manual Theatres and Concert Halls. Singapore: Pageone Publishing Pte Ltd. Suptandar, J. Pamudji. (2004). Faktor Akustik dalam Perancangan Disain Interior. Jakarta: Djambatan. Yin, Qiang. (2012). Endless Performance, Building for Performing Arts. Hong Kong: Design Media Publishing Limited.