Manggaro, November 2011 Vol.12 No.2:81-86 PERANAN POLYDNAVIRUS DALAM MENGHAMBAT RESPON ENKAPSULASI PARASITOID Trizelia1) 1)
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas Kampus Limau Manih, Padang 25163 ABSTRACT
Endoparasitoid insects that spend most of their lives in the bodies of other insects, his success was highly dependent on the interaction between host and parasitoid physiology. Parasitoids were able to overcome host defense systems such as encapsulation, then it would have survived. To inhibit the host encapsulation response, one of which one of them is carrying polydnavirus. Polydnaviruses are obligate symbionts of many parasitic wasps in the families Ichneumonidae and Braconidae. They replicate only in specialized cells of the wasp ovary, the calyx cells, and are introduced into the host during oviposition.This virus was injected into the host's body at the time of oviposition. The virus will interfere with the host defense system and protects the eggs from encapsulation. Key Words: Endoparasitoid, host, encapsulation, Polydnaviruses, symbionts PENDAHULUAN Pengendalian hayati secara umum mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam konsep dan teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT), karena berbeda dengan pendekatan konvensional yang mengutamakanpenggunaan pestisida organic sintetik, maka PHT lebih mengutamakan bekerjanya pengendalian alami dalam kaitannya dengan dinamika ekosistem.Salah satu teknik atau bagian dari pengendalian hayati adalah penggunaan parasitoid. Salah satu kendala dalam penggunaan parasitoid untuk pengendalian serangga hama adalah rendahnya tingkat parasitasi dari parasitoid akibat adanya enkapsulasi parasitoid.Seperti pada Erioborus argenteopilosus (Cameron) (Hymenoptera: Ichneumonidae) yang memarasit larva Crocidolomia binotalis Zell. (Lepidoptera; Pyralidae), dimana tingkat parasitasi dari parasitoid ini tidak lebih dari 15% akibat adanya enkapsulasi parasitoid oleh larva C. binotalis (Othman 1982). Enkapsulasi merupakan salah satu jenis mekanisme pertahanan serangga inang dimana sel-sel darah serangga (hemosit) menyelimuti telur atau larva parasitoid sehingga dapat mengakibatkan kematian stadia pradewasa parasitoid. Paraitoid yang dienkapsulasi mati akibat kekurangan oksigen, kelaparan atau terhambatnya perkembangan fisik parasitoid. Pengaruh lain dari enkapsulasi adalah terhambatnya perkembangan embrio,distorsi telurdan mencegah pertumbuhan, memperpanjang masa perkembangan parasitoid dan menurunkan jumlah keturunan parasitoid. Apabila parasitoid hanya dienkapsulasi sebagian maka parasitoid dapat hidup dan melanjutkan perkembangan secara normal. Serangga parasitoid yang mampu mengatasi sistem pertahanan serangga ini, maka parasitoid tersebut akan berhasil berkembang, Ada beberapa cara parasitoid dalam mengatasi reaksi pertahanan serangga. Telur dari beberapa parasitoid mempunyai sifat permukaan yang memberikan perlindungan secara pasif terhadap
enkapsulasi atau menghambat pengenalan oleh inang. Parasitoid lain menghambat respon enkapsulasi dengan suatu faktor yang diinjeksikan oleh imago betina pada waktu oviposisi. Pada beberapa spesies komponen dari kelenjer venom secara selektif menghancurkan atau merubah hemosit yang terlibat dalam enkapsulasi. Pada famili Braconidae dan Ichneumonidae (Hymenoptera) membawa virus (polydnavirus) dalam saluran reproduktif imago betina. Virus diinjeksikan ke dalam tubuh inang pada waktu oviposisi yang kemudian mengganggu sistem pertahanan serangga sehingga melindungi telur dari enkapsulasi. Braconid soliter, Microplitis demolitor Wilkinson membawa polydnavirus yang bisa mempengaruhi respon enkapsulasi dari inangnya, Pseudoplusia includes. Polydnavirus merubah perilaku penyebaran dari plasmatosit inang dan sel granular, mengurangi aktivitas fenoloksidase dalam plasma inang dan menekan enkapsulasi dari telur M. demolitor (Strand dan Noda,1991; Strand dan Wong 1991). Apabila virus ini tidak ada, maka kesempatan parasitoid untuk sukses berkembang secara nyata menurun dan virus senditi juga memperoleh keuntungan apabila parasitoid berhasil berkembang, karena polydnavirus memperbanyak diri terutama dalam tubuh parasitoid. Asosiasi parasitoid dan virus dianggap mutualistik, tetapi juga tergantung pada potensi patogenik dari virus simbiont(Fleming,1992). Dalam memahami interaksi fisologi antara inang dan parasitoid, salah satu aspek penting yang perlu dipelajari adalah bagaimana parasitoid sendiri bisa beradaptasi dan mengatasi pertahanan serangga inang sehingga parasitoid bisa berkembang. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan poydnavirus yang ada dalam tubuh parasitoid untuk menekan respon pertahanan serangga. Akan tetapi studi yang lebih detail terutama dari pendekatan molekuler dan fisiologi tentang bagaimana cara virus mempengaruhi respon pertahanan serangga masih perlu dipelajari. Informasi yang diperoleh
Manggaro, November 2011 Vol.12 No.2:81-86 akan membantu dalam hal pengembangan teknik pengendalian hama yang lebih baik. Dalam makalah ini penulis mencoba membahas tentang mekanisme pertahanan serangga inang terutama dalam hal mekanisme fisiologi yang membunuh telur atau larva parasitoid yang sedang berkembang dengan cara enkapsulasi, proses enkapsulasi,factor-factor yang mempengaruhi enkapsulasi, polydnaavirus dan peranannya dalam menghambat proses enkapsulasi parasitoid. ENKAPSULASI Menurut Gross (1993) serangga inang mempunyai beberapa sistem pertahanan terhadap serangan parasitoid yang dapat dikelompokkan atas tiga kelompok yaitu:1) karakteristik inang yang mengurangi peluang untuk bisa ditemukan oleh parasitoid, 2) pertahanan perilaku dan morfologi yang mengurangi peluang parasitoid untuk melakukan oviposisi, 3) mekanisme fisiologi yang membunuh telur dan larva parasitoid yang sedang berkembang. Salah satu mekanisme fisiologi inang terhadap serangan parasitoid adalah kemampuannya untuk mengenkapsulasi telur dan larva instar awal adari parasitoid. Enkapsulasi merupakan suatu proses dimana parasitoid dianggap sebagai benda asing yang kemudian diselimuti oleh berberapa lapis sel darah inang (hemosit). Enkapsulasi umumnya terjadi apabila partikel, pathogen atau parasit terlalu besaruntuk ditelan oleh satu sel. Oleh karena itu hemosit berkumpul dan mengelilingi partikel yang besar tersebut dan kemudian menempel pada permukaannya membentuk penutup yang tebal. Kemudian terjadi endapan pigmen hitam (melanin) di dlam dan di luar sel. Struktur keseluruhan ini disebut dengan kapsul (Tanada danKaya,1993). Menurut Gillespie et al. (1997) ada dua tipe enkapsulasi pada serangga, yaitu enkapsulasi selluler yang terutama terjadi pada Lepidoptera yang melibatkan sel darah (hemosit) dan enkapsulasi humoral yang terutama terjadi pada Diptera, dimana hemosit tidak terlibat langsung dalam proses pembentukan kapsul dan enkapsulasi humoral ini selalu berasosiasi dengan enzim fenoloksidase. Dalam proses enkapsulasi selluler, ada dua fase yang berbeda, yaitu pertama, hemosit (granulosit dan koagulosit) berkumpul mengelilingi benda asing dan kedua, hemosit lisis dan melepaskan senyawanya dalam hemolimfa. Peristiwa ini terjadi dalam lima menit setelah invasi. Tiga puluh menit kemudian, hemosit lain (terutama plasmatosit) tertarik dan mulai berkumpul mengelilingi benda asing dan melengkapi pembentukan kapsul (Chapman, 1998; Tanada dan Kaya, 1993). Kapsul kemudian mengalami melanisasi yaitu melanin di deposit pada permukaan objek yang di enkapsulasi dan mengeras. Melanin terutama dibentuk selama oksidasi dan polimerisasi dari fenol seperti tyrosin
82 dan dopa oleh enzim fenoloksidase. Melanisasi melibatkan beberapa tahap biokimia, yaitu pertama adalah konversi asam amino, L-tyrosine menjadi LDOPA (3-4 dioxyphenylalanine) oleh enzim fenolosidase di dalam hemolimfa inang. Kemudian L-DOPA diubah menjadi dopaquinone, kemudian menjadi dopachrome dan akhirnya melanin, dimana pada tahap ini juga melibatkan enzim fenoloksidase. Oleh karena itu enzim fenoloksidase mempunyai peranan yang penting dalam proses melanisasi (Quick, 1997 dan Blumberg, 1997) Kapsul yang sudah sempurna terbentuk dan di melanisasi secara normal bisa dilihat melalui dinding tubuh larva inang. Kapsul ini tersusun oleh beberapa tipe hemosit dan terdiri atas beberapa lapisan sel. Lapisan dalam terutama terdiri dari hemosit yang telah mengalami nekrotik dan autolitik, lapisan tengah terdiri dari hemosit yang memipih dan lapisan luar mempunyai sel yang terlihat normal bentuknya dan tidak termodifikasi (Tanada dan Kaya, 1993; Godfray,1994; Chapman,1998). Tipe lain dari enkapsulasi adalah enkapsulasi humoral dimana pembentukan kapsul yang mengelilingi parasitoid tanpa bantuan langsung dari hemosit dan plasma memelanisasi dan mengenkapsulisasi parasitoid. Enkapsulasi humoral terjadi pada serangga yang jumlah hemositnya kecil. Pada enkapsulasi humoral sistem tyrosinfenoloksidae penting dalam proses enkapsulasi. Sistem fenoloksidae mampu mempercepat oksidae senyawa fenolik yang ada dalam plasma, yaitu oksidasi dari tyrosyn menjadi 3,4-dihydroxyphenylalanine dan menyebabkan terjadinya melanisasi. Produk dari reaksi fenoloksidae (melanisasi) termasuk quinine dapat bersifat toksik terhadap parasitoid (Dunn,1986; Tanada dan Kaya,1993; Chapman,1998). Setelah kapsul terbentuk dan parasitoid dihancurkan beberapa sel mungkin meninggalkan lapisan luar dari kapsul yang terlihat dengan menurunnya ukuran (Godfray,1994). Pembentukan kapsul akan membatasi pertumbuhan dan gerakan parasitoid yang akhirnya dapat menyebabkan kematian. Morfologi kapsul bervariasi antar spesies tergantung pada pemipihan dari sel, nekrosis sel, jumlah melanin yang ada dan jumlah material ekstraselluler yang didepositkan(Dunn, 1986). Efek enkapsulasi yang dapat mematikan telur parasitoid disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor termasuk di dalamnya akibat kekurangan makanan dan oksigen dan adanya senyawa yang bersifat toksik yang dilepas ke dalam kapsul. Telur dan larva instar awal beberapa parasitoid sensitive terhadap penurunan konsentrasi oksigen dan oksigen yang tidak mencukupi merupakan masalah yang utama bagi endoparasitoid (Quick,1997).
83
Manggaro, November 2011 Vol.12 No.2:81-86 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ENKAPSULASI
Ada beberapa faktor penting yang mempengaruhi frekuensi enkapsulasi parasitoid, antara lain spesies inang dan parasitoid, umur fisiologi inang, asal inang(strain), kondisi fisiologi dari inang, superparasitisme, temperature dan tanaman inang (Blumberg,1997). a.
Spesies inang dan Parasitoid
Spesies inang dan parasitoid bisa mempengaruhi respon enkapsulasi oleh serangga inang. Telur dari Metaphycus flavus (Howard), M. helvolus (Compere) dan M. swirskii Annecke & Mynhardt (Hymenoptera: Encyrtidae) berbeda dalam persentase enkapsulasi pada dua spesies Serratia, yaitu telur parasitoid ini dienkapsulasi oleh S. coffeae (Walker) antara 64-75%, sedangkan pada S. oleae (Oliver) persentase enkapsulasi tidak pernah lebih dari 1%. Enkapsulasi telur dari M. luteolus (Timberlake) pada Coccus hesperidium adalah 29,2%, sedangkan pada Lecanium corni (Bouche) adalah nol (Blumberg, 1977, Barlett dan Ball 1966 dalam Blumberg, 1977). b.
Umur Fisiologi dari Inang
Kemampuan sistem pertahanan selluler dari inang terhadap serangan parasitoid sering tergantung pada ukuran inang atau umur fisiologi dari inang. Beberapa encyrtids dalam genus Metaphycus dienkapsulasi oleh instar terakhir dari Coccus hesperidium, tetapi tidak dienkapsulasi oleh instar yang muda. Laju enkapsulasi oleh larva Heliothis zea instar pertama terhadap parasitoid Cardiochiles migriceps Viereck (Hymenoptera: Braconidae) adalah rendah. Hal ini disebabkan karena tidak cukupnya jumlah sel yang tersedia untuk enkapsulasi,tidak cukupnya titer enzim yang dibutuhkan untuk penghancuran lapisan pelindung telur dan tidak cukupnya titer dari factor pengenal (Lynn dan Vinson,1977). Enkapsulasi oleh nimfa Coccidae umumnya rendah,tetapi imago betina yang sedang meletakkan telur mampu mengenkapsulasi seluruh parasitoid telur. Stadia inang tertentu tidak tersentuh oleh parasitoid walaupun diparasit tetapi inang mampu bertahan karena adanya enkapsulasi (Blumberg,1977). Imago Phenacoccus herreni kurang berhasil mengenkapsulasi parasitoid Apoanagyrus diversiconis dibandingkan dengan nimfa stadia kedua. c.
Asal inang atau strain
Ras geografik dari serangga inang mungkin memberikan reaksi yang berbeda terhadap parasitoid yang sama dan juga satu inang bereaksi dengan cara yang berbeda terhadap bermacammacam strain dari parasitoid yang sama. Oleh karena itu perlu dipelajari kompatibilitas antara strain inang dan parasitoidnya dalam rangka mengembangkan strategi pengendalian hayati.
Persentase enkapsulasi dari parasitoid Hyphantria cunea bervariasi pada daerah yang berbeda di Kanada dan tidak konsisten dari tahun ke tahun. Variasi ini berhubungan dengan adanya perubahan struktur genetik dari inang yang disebabkan oleh fluktuasi iklim tahunan. Laju enkapsulasi dari Metaphycus luteolus bervariasi menurut asal geografi inangnya yaitu Coccus hesperidium. Laju enkapsulasi Leptopilina boulardi oleh larva Drosophila melanogaster berhubungan dengan asal dari parasitoid dan asal inang (Waage dan Greathead,1986). E. lecaniorum (Hymenoptera:Encyrtidae) yang aslinya diambil dari C. hesperidum di daerah Mediteranean menghasilkan keturunan sebesar 98% dari inang yang sama yang berasal dari Texas, tetapi hanya menghasilkan keturunan sebesar 2% apabila inangnya berasal dari California (Barlett dan Ball,1966 Cit. Blumberg,1977). d.
Kondisi Fisiologi Inang
Kesehatan dan vigor dari inang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya enkapsulasi. Apabila inang diperlakukan dengan suhu yang ekstrim sebelum parasitisasi akan mengurangi kemampuan enkapsulasi inang. Apabila inang Coccus hesperidium dan Serratia Coffeae diperlakukan pada temperatur 40°C selama 24 jam sebelum diparasitisasi oleh Metaphycus swirskii akan menyebabkan terjadinya penurunan laju enkapsulasi dari 100 menjadi 12.8% pada inang C. hesperidium dan dari 83.6 menjadi 6% pada inang S. coffeae (Blumberg,1976 Cit. Blumberg,1977). Penurunan enkapsulasi telur M. swirskii juga dipengaruhi oleh umur fisiologi dari inangnya,C. hesperidium,dimana enkapsulasi tinggi (100%) pada stadia nimfa dan rendah (69%) pada imago betina yang sedang berreproduksi. Laju enkapsulasi telur Encyrtus infelix oleh Protopulvinaria pyriformis berkurang dari 90-100% menjadi 34% apabila inang diperlakukan pada suhu 40°C. Kemampuan C. hesperidum untuk mengenkapsulasi telur M. swirskii bisa terjadi apabila inang dipisahkan dari tanaman inangnya. Penurunan enkapsulasi juga bisa terjadi dengan merubah komposisi makanan inang, memperlakukan inang dengan bahan kimia tertentu atau dengan melaparkan inang. e.
Superparasitisme
Apabila jumlah parasitoid di dalam tubuh inang meningkat, maka reaksi enkapsulasi akan menurun intensitas dan insidensinya. Hal ini disebabkan karena inang menjadi lemah akibat parasitisme yang berlebihan yang akan mengurangi kemampuan inang untuk menghasilkan reaksi yang kompleks. Superparasitisme merupakan salah satu mekanisme atau adaptasi untuk menghindari enkapsulasi. Karena enkapsulasi pada inang yang mengalami superparasitisasi tidak mempengaruhi seluruh telur parasitoid, maka satu atau banyak telur
Manggaro, November 2011 Vol.12 No.2:81-86 bisa terhindar dari reaksi enkapsulasi dan berkembang secara normal (Quick,1997; Blumberg,1997). Pada C. hesperidum yang diparasit oleh E. lecaniorum, dimana superparasitisme terjadi sebesar 84%, maka efisiensi enkapsulasi lebih rendah pada inang yang mengalami superparasitisme yaitu 4.9% dibandingkan dengan inang yang hanya diparasit sendirian yaitu 95.8%. Akibatnya parasitoid yang mampu berkembang dalam inang yang disuperparasitisasi lebih tinggi (95.1%) dari pada inang yang diparasit sendirian (4.2%) (Blumberg dan Goldenberg,1992 Cit. Blumberg,1997). Oviposisi yang berulang-ulang oleh Apoanagyrus diversicornis pada Phenacoccus herreni akan meningkatkan laju parasitisme. f.
Temperatur
Pengaruh berbagai macam temperatur terhadap enkapsulasi telah diperlihatkan oleh berbagai kelompok serangga. Efisiensi enkapsulasi dari parasitoid Pseudeucoila bochei pada Drosophila melanogaster lebih sering terjadi pada temperatur antara 18oC dan 20oC. Dalam interaksi Asobara tabida dengan Drosophila, kemampuan enkapsulasi tergantung pada temperatur yang lebih tinggi. Apabila dipelihara pada temperatur 15oC, kelansungan hidup A. tabida dalam D. melanogaster adalah 65%, tetapi apabila temperatur 20°C maka kelansungan hidup parasitoid hanya 9% (Quick, 1977). Enkapsulasi parasitoid Tetrastichus ceroplastae oleh inangnya, Ceroplastes floridensis lebih sering terjadi pada suhu 20oC (Ben-Dov 1972 dalam Blumberg, 1997). Frekuensi enkapsulasi Apoanagyrus lopezi oleh P. manihoti adalah minimal pada suhu 24°C dan 32°C dan maksimal pada suhu 28°C (Nenon et al., 1988 cit. Blumberg,1997). g.
Tanaman Inang
Interaksi antara tiga tingkat trofik, yaitu tanaman inang, serangga herbivor dan musuh alami bisa mempengaruhi sistem pertahanan serangga terhadap musuh alami. Pengaruh enkapsulasi parasitoid disebabkan oleh pengaruh tanaman inang pada hubungan parasitoid dan inang. Effikasi parasitoid kadang-kadang ditentukan oleh tingkat ketahanan serangga inang yang dipengaruhi oleh tanaman inang (Blumberg,1997). Adanya perbedaan enkapsulasi telur M. stanleyi oleh P. pyriformis yang dipelihara pada tiga tanaman yang berbeda menunjukkan bahwa pengendalian yang paling baik untuk hama ini akan tercapai apabila hama hidup pada tanaman alpokat daripada apabila hama hidup pada tanaman Hedera helix atau Schefflera arboricola, karena pada tanaman alpokat persentase enkapsulasi adalah nol, sedangkan pada tanaman H. helix dan S. arboricola persentase enkapsulasi berturut-turut adalah 15 dan 22% (Blumberg,1997). Salah satu penyebab terjadinya kegagalan introduksi parasitoid A.
84 aurantii dari daerah Orient ke daerah California adalah tanaman inang. POLYDNAVIRUS Polydnavirus telah ditemukan hanya pada parasitoid Hymenoptera pada famili Baconidae dan Ichneumonidae. Virus ini termasuk kedalam golongan Polydnaviridae yang dicirikan oleh adanya genom DNA superhelic,molekul DNA double-strand dan molekul DNA sirkular yang berbeda. Polydnavirus memperbanyak diri dalam epitelium calyx ovarial yang terletak antara ovariol dan oviduct dari wasp dan disimpan di dalam lumen dari ovari dalam oviduct lateral, tidak menimbulkan panyakit pada wasp dan virus ini tidak memperbanyak diri dalam inang. DNA virus diintegrasikan ke dalam genom wasp betina dan jantan dan ditransmisikan secara vertical. Walaupun polydnavirus dihasilkan dalam sel calyx dan imago betina, tetapi mereka tidak mengekspresikan gennya dalam parasitoid (Tanada dan Kaya,1993; Quick,1997). Waktu awal replikasi virus tergantung pada stadia perkembangan parasitoid. Pada Ichneumonid Campoletis sonorensis, replikasi virus mulai terjadi pada stadia pupa. Polydnavirus Ichneumonid dinamakan dengan ichnovirus dan pada braconid dinamakan bracovirus (Tanada dan Kaya,1993; Quick,1997). a.
Ichnovirus
Ichnovirus terutama terdapat pada famili Ichneumonidae, khususnya subfamili Campolegina. Partikel virus berbentuk ovoid, berukuran 130 x 350 nm dan masing-masing mengandung nukleokapsid berbentuk bikonveks, lentikular, sperikal, berukuran 85 x 330 nm. Nuklekapsid dikelilingi oleh dua unit membran lipid bilayer (selubung membran). Selubung bagian dalam terbentuk dalam inti sedangkan selubung bagian luar terbentuk selama pertunasan dalam lumen kaliks. Aktivitas virus tidak tergantung pada venom parasitoid (Fleming, 1992; Tanada dan Kaya,1993; Quick,1997). Masing-masing selubung (envelop) dari polydnavirus mempunyai tonjolan seperti ekor yang berfungsi dalam penetrasi membran dasar dan mungkin terlibat dalam penggabungan membran selanjutnya untuk jalan masuk nukleokapsid ke dalam sitoplasma dari sel kaliks (Fleming, 1992; Tanada dan Kaya,1993). b.
Bracovirus
Kelompok virus ini pertama kali ditemukan dalam daerah kaliks dari braconis Cardiochiles nigriceps (Stoltz dan Vinson, 1972 dalam Tanada dan Kaya,1993). Nukleokapsid berbentuk silindrikal, berukuran 40 nm lebarnya dan panjang bervariasi dari 35-105 nm. Nukleokapsid secara individu atau kelompok dikelilingi oleh satu unit membran lipid bilayer. Struktur nukleokapsid asimetrik, mempunyai
85 embelan yang menempel pada ujung nukleokapsid yang berfungsi dalam penetrasi virus melalui membran dasar dari larva inang yang telah diparasit atau dalam penetrasi melalui lubang inti untuk menginjeksikan DNA vrus ke dalam inti sel inang (Fleming, 1992; Tanada dan Kaya,1993; Quick,1997). Aktivitas virus tergantung pada keberadaan dari venom parasitoid (Quick,1997). Pengaruh fisiologi dari polydnavirus terhadap serangga inang Pengaruh fisiologi dari polydnavirus terhadap serangga inang telah diamati pada beberapa wasp parasitik, seperti pada Campoletis sonorensis, parasitoid Heliothis virescens, kemudian pada genus Cotesia, Microplitis, Chelonus dan Cardiochiles. Pengaruh yang telah diketahui sangat beragam antara lain (Quick,1997) : a. Penurunan secara spesifik dalam respon pertahanan serangga inang terhadap telur atau larva parasitoid b. Penurunan secara umum dalam respon pertahanan serangga inang c. Meningkatkan tingkat dopamine inang d. Menghambat aktivitas fenoloksidase hemolimfa inang e. Terjadinya perubahan bentuk dari hemosit f. Menghambat penyebaran dari hemosit g. Mengurangi jumlah hemosit h. Terjadinya degenerasi dari kelenjar protorak i. Meningkatkan peptida yang dapat menghambat pertumbuhan j. Memperlambat atau menghentikan perkembangan k. Mengurangi viskositas hemolimfa l. Merubah pigmentasi m.Mengurangi host feeding Pada Braconid, Cotesia karayai, venom dan polydnavirus berinteraksi yang menyebabkan kastrasi pada inang melalui sekresi kaliks yang menyebabkan menurunnya ukuran testis (Tanaka et al., 1994 dalam Quick,1997). Polydnavirus C. karayai dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi dopamine dalam hemolimfa dan sistem saraf pusat inang. Dopamin merupakan senyawa yang penting dalam siklus melanisasi dan apabila terbentuk maka akan menghambat siklus yang merubah dopamin menjadi melanin.Adanya peningkatan dopamine juga akan meningkatkan peptida yang menghambat pertumbuhan yang selanjutnya menekan aktivitas juvenil hormon esterase sehingga menunda terbentuknya pupa. Polydnavirus juga bisa mempengaruhi nutrisi inang dan fisiologi endoktrin sehingga menguntungkan bagi virus (Godfray,1994). Virus dari beberapa spesies bisa menginduksi perubahan pertumbuhan, perkembangan, perilaku dan aktivitas hemocitic dalam inang. Pada inang yang telah diparasitisasi akan menyebabkan terjadinya perubahan sitopatologi dalam tubuh lemak dan kelenjar protorak sedangkan jaringan lain kelihatan normal (Fleming,1992).
Manggaro, November 2011 Vol.12 No.2:81-86 Inang yang terparasit juga akan mengalami penurunan berat tubuh, karena infeksi virus bisa berakibat terhadap penurunan pertumbuhan. Kandungan trehalose hemolimfa dan glycogen tubuh lemak meningkatkan pada larva yang terparasit. butiran protein sedikit terakumulasi di dalam tubuh lemak. Menurunnya pertumbuhan larva yang diparasit oleh parasitoid yang mengandung virus disebabkan karena terhentinya perkembangan pada stadia juvenil. Molting di dalam larva mungkin dihambat, titerecdysteroid sering berkurang. Injeksi virus pada larva H.virescens juga berakibat degenerasi kelenjar protorak pada larva instar lima tetapi tidak berpengaruh pada larva instar awal (Fleming,1992). Polydnavirus tidak menyebabkan penyakit pada parasitoid dimana mereka memperbanyak diri. Walaupun virus tidak memperbanyak diri dalam serangga inang, transkripsi virus mungkin terjadi dari DNA circular viral tertentu. Peranan Polydnavirus dalam Menghambat Respon Enkapsulasi Ada hubungan mutualistik antara polydnavirus dan parasitoid, dimana virus dapat menekan respon pertahanan inang sehingga menyebabkan inang gagal mengenkapsulasi telur dan larva parasitoid (Tanada dan Kaya,1993). Produk dari virus penting dalam merubah system pertahanan inang yang meyebabkan parasitoid terhindar dari enkapsulasi. Peranan utama dari polydnavirus pada braconid adalah untuk melindungi telur dari enkapsulasi, apabila telur telah menetas maka peranannya digantikan oleh terratosit (Godfray,1994). Penekanan respon enkapsulasi inang oleh polydnavirus disebabkan karena terjadinya perubahan sifat adesif dari plasmatosit dan sel granular. Hasil penelitian Strand (1994) menunjukkan bahwa Microplitis demolitor polydnavirus akan mempengaruhi morphotypes dari sel granular dan plasmatosit inangnya, Pseudoplusia includens. Sel granular menjadi membulat danvnon adesif sedangkan plasmatosit menjadi memanjang bentuknya dan bipolar serta juga kehilangan kemampuannya menempel pada diri mereka sendiri dan pada benda asing. Kehilangan kemampuan menempel ini akan menganggu kemampuan sel granular dan plasmatosit dalam membantu proses enkapsulasi benda asing sehingga menyebabkan telur atau larva M. demolitor dapat melengkapi perkembangannya. Polydnavirus juga bisa menghambat penyebaran plasmatosit dan adanya perubahan komponen humoral dan adanya protein virus memainkan peranan penting dalam menekan system pertahanan inang selama parasitisme oleh M.demolitor. Polydnavirus juga bisa menyebabkan terjadinya perubahan aktivitas fenoloksodae atau protein hemolimfa dan dari data-data yang diperoleh menunjukkan bahwa terganggunya respon enkapsulasi inang dimediasi terutama oleh
Manggaro, November 2011 Vol.12 No.2:81-86 infeksi langsung dari sel granular dan plasmatosit oleh polydnavirus (Strand,1994). Hasil penelitian Strand dan Noda (1991) juga menunjukkan bahwa polydnavirus dari M.demolitor dapat merubah perilaku penyebaran hemosit, mengurangi aktivitas fenoloksidae yang akhirnya dapat menekan respon enkapsulasi inangnya. Hemolimfa dari larva yang terparasit umumnya tidak menggumpal atau tidak mengalami melanisasi dan hanya 6 % terjadi enkapsulasi pada larva yang diparasitasi oleh parasitoid yang mengandung virus. Kapsul tidak akan terbentuk pada larva yang diparasit oleh parasitoid yang mengandung polydnavirus. Granulosit dan plasmatosit berkurang jumlahnya dan mempengaruhi proses hemositik. Adanya pengaruh sitopatologi pada plasmatosit dapat berpengaruh pada proses enkapsulasi. Lapisan fibrous bagian luar dari chorion telur parasitoid juga berubah di dalam hemokul inang setelah oviposisi dan terjadinya perubahan permukaan telur ini disebabkan karena suatu faktor yang diproduksi akibat adanya perubahan metabolisme inang yang akhirnya dapat menyebabkan inang tidak bisa mengenali benda asing (Fleming, 1992). DAFTAR PUSTAKA Blumberg D. 1977. Encapsulation of parasitoid egss in soft scales (Homoptera: Coccidae). Ecol. Entomol. 2:1396-1397. Blumberg D. 1997. Parasitoid encapsulation as a defense mechanism in the Coccoidea (Homoptera) and importance in biological control. Biological Control 8:225-236 Chapman RF. 1998. The Insect, Structure and Function. 4th Edition. Cambridge University Press. Dunn PE. 1986. Biochemical aspects of insect immunology. Ann. Rev. Entomol. 31:321339
86 Fleming, Jo-An GW. 1992. Polydnavirus mutualistis and pathogens. Ann. Rev. Entomol. 37:401-425 Gillespie JP, Kanost MR, Trenczek T. 1997. Biological mediators of insect immunity. Ann. Rev. Entomol. 42:611-643 Godfray HCJ. 1994. Parasitoids, Behavioral and Evolutionary Ecology. Princeton University Press, Princeton, New Jersey. Gross P. 1993. Insect behavioral and morphological defense against parasitoid. Ann. Rev. Entomol. 38:251-273 Lyon DC, Vinson SB. 1977. Effects of temperature, host age and hormones upon the encapsulation of Cardiochiles nigriceps eggs by Heliothis spp. J. Invertebr. Pathol. 29:50-55 Othman N. 1982. Biology of Crocidolomia binotalis Zell. (Lepidoptera:Pyralidae) and its parasites from Cipanas Area (West Java). Research Report. SEAMEO-BIOTROP. Bogor. Quick DLJ. 1997. Parasitic Wasp. Chapman & Hall. London. 470 hal. Strand MR, Wong EA. 1991. The Growth and role of Microplitis demolitor terratocyts in parasitism of Pseudoplusia includens. J. Insect Physiol. 37:503-515. Strand MR. 1994. Microplitis demolitor polydnavirus infects and expresses in specific morphotypes of Pseudoplusia includens haemocytes. J. Gen. Virology 75:3007-3020. Tanada Y, Kaya HK. 1993. Insect Pathology. Academic Press, INC. Harcourt Brace Jovanovich, Publisher. San Diego. Waage J, Greathead D. 1986. Insect Parasitoids. The Royal Entomological Society of London. London.