PENGUJIAN KESESUAIAN INANG PARASITOID Anagyrus lopezi De Santis (HYMENOPTERA: ENCYRTIDAE) TERHADAP KUTU PUTIH YANG BERASOSIASI DENGAN UBI KAYU (Manihot esculenta Crantz)
RANI DESSY KARYANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengujian Kesesuaian Inang Parasitoid Anagyrus lopezi De Santis (Hymenoptera: Encyrtidae) terhadap Kutu Putih yang Berasosiasi dengan Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz), adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2015 Rani Dessy Karyani NIM A351130454
RINGKASAN RANI DESSY KARYANI. Pengujian Kesesuaian Inang Parasitoid Anagyrus lopezi De Santis (Hymenoptera: Encyrtidae) Terhadap Kutu Putih yang Berasosiasi dengan Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz). Dibimbing oleh NINA MARYANA dan AUNU RAUF. Parasitoid Anagyrus lopezi De Santis (Hymenoptera: Encyrtidae) diintroduksikan dari Thailand ke Indonesia pada awal tahun 2014, dengan maksud untuk mengendalikan hama baru pada tanaman ubi kayu yaitu kutu putih Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae). Sebagai bagian dari prosedur karantina terhadap pemasukan agens hayati ke Indonesia, perlu dilakukan uji keamanan hayati agar parasitoid tersebut tidak menimbulkan dampak buruk terhadap spesies bukan sasaran. Penelitian bertujuan mempelajari kesesuaian parasitoid A. lopezi terhadap empat spesies kutu putih yaitu P. manihoti, Paracoccus marginatus Williams-Granara de Willink, Pseudococcus jackbeardsleyi Gimpel-Miller, dan Ferrisia virgata Cockerell (Hemiptera: Psedococcidae). Keempat spesies kutu putih ini umum dijumpai menyerang tanaman ubi kayu di Indonesia. Penelitian mencakup uji kerentanan inang, preferensi inang, dan kesesuaian inang. Pada uji kerentanan inang, seekor imago parasitoid dipaparkan pada 10 ekor nimfa instar III dari setiap spesies kutu putih di dalam cawan petri selama 30 menit. Pada uji preferensi inang, seekor imago betina parasitoid dipaparkan pada 5 ekor nimfa instar III P. manihoti yang dipasangkan dengan 5 ekor nimfa instar III spesies kutu putih bukan sasaran dan diamati selama 30 menit. Pengamatan meliputi frekuensi penemuan inang, penyelidikan ovipositor, pengisapan inang, dan banyaknya telur yang diletakkan pada masing-masing spesies kutu putih. Pada uji kesesuaian inang, tiga ekor imago betina parasitoid dipaparkan pada 30 ekor nimfa instar III dari masing-masing spesies kutu putih selama 24 jam. Masa perkembangan pradewasa parasitoid dan banyaknya parasitoid yang muncul dicatat. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pada uji kerentanan inang, parasitoid A. lopezi lebih sering mengunjungi P. manihoti (13.70±7.18 kali) daripada P. marginatus (9.85±10.24 kali), P. jackbeardsleyi (6.60±3.62 kali), dan F. virgata (5.75±4.09 kali). Begitu pula penyelidikan ovipositor lebih banyak terjadi pada P. manihoti (8.20±5.68 kali), dibandingkan pada P. marginatus (0.70±1.84 kali), P. jackbeardsleyi (0.35±0.68 kali), dan F. virgata (0.10±0.45 kali). Pada uji preferensi, parasitoid lebih banyak melakukan penemuan inang dan penyelidikan ovipositor pada P. manihoti dibandingkan pada spesies kutu putih lainnya. Pada uji kesesuaian inang, dari empat spesies kutu putih yang diuji, hanya P. manihoti yang merupakan inang yang sesuai bagi kehidupan parasitoid, dengan rataan banyaknya imago parasitoid yang muncul 7.40±2.17 individu. Tingkat kekhususan inang yang diperlihatkan oleh parasitoid A. lopezi dapat menghindari terjadinya pengaruh buruk pada spesies kutu putih lain yang menghuni pertanaman singkong. Kata kunci: kekhususan inang, penemuan inang, penyelidikan ovipositor, Phenacoccus manihoti, singkong
SUMMARY RANI DESSY KARYANI. Host Suitability Test of Parasitoid Anagyrus lopezi De Santis (Hymenoptera: Encyrtidae) for Mealybugs Species Associated with Cassava (Manihot esculenta Crantz). Supervised by NINA MARYANA and AUNU RAUF. Parasitoid Anagyrus lopezi De Santis (Hymenoptera: Encyrtidae) was recently introduced from Thailand into Indonesia in early 2014, as an attempt to control a new exotic cassava mealybug Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae). As part of quarantine procedures for importation of biological agents into Indonesia, it is necessary to conduct biosafety test to assure that the introduced parasitoids do not cause detrimental effects on non-target species. Our research objective was to study host susceptibility of A. lopezi on four species of mealybugs, namely P. manihoti, Paracoccus marginatus Williams-Granara de Willink, Pseudococcus jackbeardsleyi Gimpel-Miller, and Ferrisia virgata Cockerell (Hemiptera: Pseudococcidae). These mealybugs are very common attacking cassava in Indonesia. Study was conducted in the laboratory including host susceptibility, host preference, and host suitability tests. For host susceptibility tets, a female parasitoid was exposed to 10 of 3rd instar nymphs of each species in a petri dish for 30 minutes. For host preference test, a female parasitoid was exposed to 5 of 3rd instar nymphs mealybug of P. manihoti paired with five other mealybugs of non target species and observed for 30 minutes. Number of host encounters, ovipositor probings, and eggs deposited on each mealybug species were counted. For host suitability test, three adult female parasitoids was exposed to 30 of 3rd instar nymphs mealybugs of each species for 24 hours. Immature development time of parasitoid and number of parasitoid adults emerged were counted. Our studies revealed that for susceptability test, parasitoid A. lopezi encountered P. manihoti more often (13.70±7.18 times) as compared to P. marginatus (9.85±10.24 times), P. jackbeardsleyi (6.60±3.62 times), and F. virgata (5.75±4.09 times). So did ovipositor probing occurred more on P. manihoti (8.20±5.68 times) than on P. marginatus (0.70±1.84 times), P. jackbeardsleyi (0.35±0.68), and F. virgata (0.10±0.45 times). For preference test, host encounter and ovipositor probing by the parasitoid were more common on P. manihoti as opposed to other mealybug species. For host suitability test, out of four mealybug species tested, P. manihoti was the only suitable host for parasitoid development, with the number of progenies emerged 7.40±2.17 individuals. Host specific exhibited by parasitoid A. lopezi may prevent adverse effect to other mealybug species inhabiting cassava fields. Keywords: cassava, host specific, host Phenacoccus manihoti
encounter,
ovipositor
probing,
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PENGUJIAN KESESUAIAN INANG PARASITOID Anagyrus lopezi De Santis (HYMENOPTERA: ENCYRTIDAE) TERHADAP KUTU PUTIH YANG BERASOSIASI DENGAN UBI KAYU (Manihot esculenta Crantz)
RANI DESSY KARYANI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Antarjo Dikin, MSc
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penelitian karya ilmiah yang berjudul “Pengujian Kesesuaian Inang Parasitoid Anagyrus lopezi De Santis (Hymenoptera: Encyrtidae) terhadap Kutu Putih yang Berasosiasi dengan Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz)”, dapat selesai dengan baik. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Entomologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penelitian merupakan bagian dari proyek CIAT-Asia “Emerging Pests and Diseases of Cassava in Southeast Asia: Seeking eco-efficient solutions to overcome a threat to livelihoods and industries”. Penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Nina Maryana, MSi serta Prof Dr Ir Aunu Rauf, MSc, selaku komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan ilmu, pengarahan, saran, motivasi serta bimbingannya sejak perencanaan penelitian hingga selesainya penulisan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dra Dewi Sartiami, MSi atas kesediaan waktu dan ilmu yang diberikan dalam membantu identifikasi kutu putih, Dr Ir Pudjianto, MSi dan Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSi selaku ketua program studi pascasarjana Entomologi-Fitopatologi, yang selalu memberikan pengarahan dan motivasinya. Terimakasih juga disampaikan kepada Badan Karantina Pertanian atas beasiswa untuk melanjutkan sekolah pascasarjana yang telah diberikan selama ini, kepada keluarga Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon, segenap staf, tenaga pengajar, dan semua laboran Dept. Proteksi Tanaman IPB, serta kepada Dr Ir Antarjo Dikin, MSc selaku penguji tamu yang telah menyediakan waktu dan memberi masukan bermanfaat bagi tesis ini dan penulis. Rasa hormat dan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan pada suami tercinta, Andriyanta atas kasih sayang, kesabaran, dukungan, dan do’a yang tidak pernah putus sehingga perjuangan dalam penyelesaian studi dan penulisan karya ilmiah ini selesai. Teruntuk buah hatiku tercinta, Razania Latisha Qurrota Aini, terimakasih telah menjadi penyejuk hati dalam lelah, penyemangat dalam penat, dan pelengkap kebahagiaan. Rasa hormat dan terimakasih juga disampaikan untuk Ayahanda tercinta (Bapak Djasikin), kakak, adik, serta keluarga besar Bapak Sasmorejo dan Pakde Soemardjono atas dukungan dan do’anya. Tidak lupa pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Wawan Yuandi dan Ibu Aisyah, rekan-rekan Laboratorium Ekologi Serangga (Mbak Nila, Evie, Edwin, Hendri, Mbak Indah, Pak Budi, Ibu Sulaeha, Mbak Uce, Yeni, dan Mba Tutut), rekan-rekan Entomologi/Fitopatologi IPB, khususnya mahasiswa Karantina angkatan ke-3 atas keceriaan dan kekompakannya bersama-sama, serta kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penelitian dan pembuatan tesis ini. Karya ini penulis persembahkan pada Ibunda tercinta, Ibu Mujiasih (almh). Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membutuhkannya serta bagi penulis sendiri. Bogor, Mei 2015 Rani Dessy Karyani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Ubi Kayu Kutu Putih pada Tanaman Ubi Kayu Phenacoccus manihoti Paracoccus marginatus Pseudococcus jackbeardsleyi Ferrisia virgata Pengendalian Hayati Hama Melalui Introduksi Musuh Alami Anagyrus lopezi Prosedur Karantina dan Skrening bagi Introduksi Musuh Alami
4 4 5 5 6 8 9 10 11 12
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Pelaksanaan Persiapan Tanaman Inang bagi Kutu Putih Pengumpulan dan Identifikasi Kutu Putih Perbanyakan dan Pemeliharaan Kutu Putih Perbanyakan dan Pemeliharaan Parasitoid Pengujian Kesesuaian Inang bagi A. lopezi Pengujian Tingkat Kerentanan Kutu Putih sebagai Inang parasitoid (Uji Tanpa Pilihan) Pengujian Preferensi A. lopezi pada Spesies Inang (Uji Dua Pilihan)
14 14 14 14 14 14 14 15 15
HASIL Spesies Kutu Putih Tanaman Ubi Kayu Phenacoccus manihoti Paracoccus marginatus Pseudococcus jackbeardsleyi Ferrisia virgata Kesesuaian Jenis Spesies Inang Kerentanan Spesies Inang (Uji Tanpa Pilihan) Preferensi A. lopezi pada Spesies Inang (Uji Dua Pilihan)
18 18 18 18 19 20 21 23 25
PEMBAHASAN Perilaku A. lopezi dalam Memarasit Kutu Putih Telur dan Larva A. lopezi Perkembangan A. lopezi pada P. manihoti
28 28 31 31
16 16
xii Potensi A. lopezi sebagai Agens Hayati di Indonesia
32
SIMPULAN DAN SARAN
34
DAFTAR PUSTAKA
35
LAMPIRAN
41
RIWAYAT HIDUP
55
xiii
DAFTAR TABEL 1. Perbandingan imago jantan dan betina A. lopezi yang muncul dari inang P. manihoti 2. Pengukuran imago betina A. lopezi yang berhasil berkembang pada P. manihoti 3. Penemuan inang, penyelidikan ovipositor, host feeding, dan oviposisi A. lopezi terhadap empat spesies kutu putih tanaman ubi kayu pada uji tanpa pilihan 4. Penemuan inang, penyelidikan ovipositor, host feeding, dan oviposisi A. lopezi terhadap P. manihoti yang dipasangkan dengan spesies kutu putih bukan sasaran pada uji dua pilihan
22 23
23
26
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Koloni kutu putih P. manihoti Koloni kutu putih P. marginatus Koloni P. jackbeardsleyi Kutu putih F. virgata Mumifikasi P. manihoti yang terparasit Perilaku oviposisi A. lopezi pada P. manihoti Telur A. lopezi Larva A. lopezi
18 19 20 21 22 24 25 25
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Metode pembuatan slide preparat kutu putih Famili Pseudococcidae Morfologi P. manihoti dalam bentuk slide preparat Morfologi P. marginatus dalam bentuk slide preparat Morfologi P. jackbeardsleyi dalam bentuk slide preparat Morfologi F. virgata dalam bentuk slide preparat Imago A. lopezi Hasil pengolahan data analisis statistik uji Kruskal Wallis pada pengujian kerentanan inang (uji tanpa pilihan) 8. Upaya penyelidikan ovipositor A. lopezi 9. A. lopezi yang terjerat lilin F. virgata 10. Hasil pengolahan data analisis statistik uji Mann Whitney pada pengujian preferensi inang (uji dua pilihan)
42 43 44 45 46 47 48 51 51 52
PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya perdagangan antara negara menyebabkan semakin besar pula peluang terjadinya perpindahan tanaman dan hewan ke lingkungan yang baru baik secara sengaja maupun tidak, sehingga tanpa disadari tanaman, hewan atau bahkan organisme pengganggu tumbuhan dapat berpindah dan terbebas dari faktor pembatas alami dari lingkungan aslinya (native). Keadaan seperti demikian dapat menimbulkan terjadinya reproduksi dalam waktu cepat dan berpotensi menjadi masalah yang serius. Serangga atau tanaman yang pindah dari habitat aslinya dapat menjadi hama eksotik atau yang kini lebih dikenal sebagai invasive species. Salah satu contoh hama eksotik yang saat ini menjadi ancaman besar bagi Indonesia adalah hama kutu putih tanaman ubi kayu atau dikenal dengan nama cassava pink mealybug, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae). Status hama kutu putih singkong ini di Indonesia merupakan organisme tumbuhan karantina (OPTK) A1 yang artinya keberdaannya dan penyebarannya sangat dicegah karena belum terdapat di Indonesia (Kementan 2011). Cassava pink mealybug adalah hama penting utama di dunia pada tanaman ubi kayu. Di Afrika serangan terjadi sejak tahun 1970-an, menimbulkan kerusakan parah dan meyebabkan kehilangan hasil yang sangat besar, bahkan hingga masyarakat setempat mengalami kelaparan (Parsa et al. 2012). Keberadaan hama ini di Indonesia pertama kali dilaporkan tahun 2010 oleh Muniappan et al. (2011) dan hasil survei petani di Kabupaten Bogor pada tahun 2012-2013, saat musim kemarau tingkat serangannya dapat mencapai 100% (Wardani 2015) serta kehilangan hasil diperkirakan mencapai 30-50% (Dwianri 2013). Terdapat rekomendasi pengendalian yang menjadi pendekatan utama dan paling banyak diterapkan oleh berbagai negara terhadap kutu putih eksotik ini, yaitu dengan mengoptimalkan keberadaan musuh alaminya. Phenacoccus manihoti merupakan hama native dari Amerika Selatan dan perlu waktu lama untuk mengetahui musuh alami lokal yang dapat bermanfaat, sehingga upaya alternatif pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan praktek klasik pengendalian hayati. Berbagai macam musuh alami diintroduksi dari Amerika Selatan ke Afrika untuk mengendalikan cassava mealybug¸ dan yang paling berhasil diterapkan adalah endoparasitoid, Anagyrus lopezi De Santis (Hymenoptera: Encyrtidae) (Neuenschwander 2001). A. lopezi merupakan parasitoid yang berasal dari Amerika Selatan, dengan inang utamanya adalah kutu putih P. manihoti. Setelah diintroduksi dari negara asalnya ke Afrika pada tahun 1981, parasitoid A. lopezi berhasil menetap di 26 negara di Afrika dan menyebabkan penurunan serangan kutu putih pada pertanaman ubi kayu secara signifikan (Neuenschwander 1994, Neuenschwander 2001). Pada bulan September 2009, A. lopezi diintroduksi dari Benin (Afrika) ke Thailand untuk mengendalikan kutu putih P. manihoti dan hasilnya mampu menurunkan luas area yang terinfestasi dari 500 800 ha di tahun 2009 menjadi 161 ha pada bulan Mei 2013 (Winotai et al. 2010; Winotai 2014). Sementara itu, sejak terdeteksinya P. manihoti di Indonesia pada tahun 2010, hingga kini belum
2 dijumpai musuh alami yang mampu mengendalikan serangan P. manihoti (Rauf 2014). Bedasarkan pertimbangan tersebut, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian – IPB bekerjasama dengan International Center for Tropical Agriculture (CIAT) Vietnam dan FAO mengintroduksi parasitoid A. lopezi dari Thailand ke Indonesia pada bulan Maret 2014 (Wyckhuys et al. 2014). Introduksi musuh alami yang berasal dari luar ke dalam wilayah Indonesia selain mampu memberi keuntungan, tidak menutup kemungkinan berpotensi menimbulkan pengaruh buruk terhadap biodiversitas lokal. Oleh karena itu, introduksi musuh alami perlu disertai analisis resiko tentang kemungkinan munculnya dampak negatif terhadap ekosistem di kemudian hari, seperti diatur dalam International Standards For Phytosanitary Measures (ISPM) Nomor 3 tentang Kode Etik Introduksi dan Pelepasan Agens Pengendalian Hayati (FAO 1996) yang terangkum pada Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor: 411/Kpts/TP.120/6/95 tentang Pemasukan Agens Hayati ke dalam Wilayah Negara Indonesia dan ditindak lanjuti oleh Komisi Agens Hayati Nomor 226/Kpts/OT.160/L/9/06 tentang Pedoman Umum Pemasukan Agens Hayati ke dalam Wilayah Indonesia. Prosedur dalam pedoman tersebut di antaranya adalah harus memiliki izin pemasukan dari menteri pertanian dan telah teraudit melalui serangkaian pemeriksaan dari karantina pertanian sebagai upaya mencegah masuknya organisme yang tidak diinginkan yang berpotensi menjadi organisme yang merugikan, misalnya hama, patogen, hiperparasit atau musuh alami serangga berguna. Walaupun izin pemasukan dan prosedur karantina telah terlaksana, serangkaian pengujian tetap harus dilakukan di bawah pengawasan komisi agens hayati agar kemurnian, efektifitas dan keamanannya dapat terjaga. Hal yang perlu dilakukan untuk memenuhi perundangan tersebut salah satunya adalah perlu dilakukan pengujian kekhususan inang dari parasitoid A. lopezi melalui pengujian kisaran inang ataupun preferensi dan parasitisasi terhadap kutu putih lain yang bukan sasarannya. Penentuan inang bukan sasaran perlu disesuaikan dengan kondisi ekologi Indonesia (Kuhlmann et al. 2006; Hogendoorn et al. 2013). Spesies kutu putih yang diuji dalam penelitian adalah yang umum dijumpai menyerang tanaman ubi kayu, yaitu P. manihoti, Pseudococcus jackbeardsleyi Gimpel and Miller, Paracoccus marginatus Williams and Granara de Wilink, dan Ferrisia virgata (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae). Perumusan Masalah Introduksi parasitoid A. lopezi ke Indonesia dari Thailand dilakukan sebagai upaya menekan, mengendalikan, dan mencegah ancaman penyebaran hama kutu putih invasif pada tanaman ubi kayu, P. manihoti. Selain memberi keuntungan dan manfaat sebenarnya introduksi agens hayati dari luar negeri juga berpotensi memberikan dampak negatif. Berdasarkan upaya introduksi musuh alami tersebut, perlu pengujian awal sebagai bentuk kewaspadaan yang muncul beberapa pertanyaan terhadap keragu-raguan akan keberhasilan dan bagaimana keyakinan musuh alami, A. lopezi yang diintroduksi akan menyerang hama target, P. manihoti. Selain itu apakah terdapat spesies kutu putih lain non target yang beresiko menjadi inang lain dari A. lopezi, bagaimana keefektifan dan
3 keamanannya, preferensinya dan tingkat parasitisasinya serta kesesuaiannya bagi perkembangan hidupnya. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengetahui kesesuaian perkembangan A. lopezi pada empat spesies kutu putih yang menjadi hama ubi kayu di Indonesia, yaitu P. manihoti, P. jackbeardsleyi, P. marginatus, dan F. virgata, beserta kerentanan masing-masing inang dan preferensinya. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang dapat menjadi dasar keyakinan manfaat dari parasitoid yang baru diintroduksi, A. lopezi sebagai parasitoid spesifik inang, yang diketahui dari banyaknya inang terparasit, preferensi inang, dan kesesuaian inang parasitoid. Selain itu juga dapat menjadi data dasar dalam pertimbangan pengendalian hayati klasik terhadap P. manihoti di Indonesia serta dasar pertimbangan penyusunan analisis resiko OPT/OPTK bagi Karantina Pertanian.
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Ubi Kayu Ubi kayu atau yang lebih dikenal dengan nama singkong dan ketela pohon termasuk ke dalam Famili Euphorbiaceae, Subfamili Crotonodeae, Suku Manihotae dan Genus Manihot. Pertama kali tanaman ini dikenal di Amerika Selatan namun lebih berkembang di Brazil dan Paraguay. Di Indonesia tanaman ubi kayu mulai dibudidayakan sejak tahun 1852 dan mulai menyebar hingga ke seluruh wilayah Nusantara tahun 1914-1918 pada saat Indonesia kekurangan bahan pangan beras. Pada tahun 1968 Indonesia menjadi negara penghasil ubi kayu nomor lima di dunia (Rukmana 1997). Manfaat ubi kayu bagi manusia begitu banyak, dan hal ini menjadi alasan begitu tingginya minat dan permintaan masyarakat terhadap komoditas ini. Ubi kayu segar mempunyai komposisi kimiawi yang terdiri atas kadar air sekitar 60%, pati 35%, serat kasar 2.5%, protein 1%, lemak 0.5%, dan kadar abu 1% (BPPP 2011). Walaupun kadar airnya tinggi, bahan kering ubi kayu mengandung 250 – 300 kg karbohidrat dari setiap satu ton ubi kayu segar dan mengandung sejumlah nutrisi lainnya seperti vitamin C, tiamin, riboflavin, dan niasin (FAO 2013). Begitu tingginya nutrisi yang terkandung pada ubi kayu, kini ubi kayu telah banyak mengalami inovasi dalam pengelolaannya sehingga dapat meningkatkan pendapatan negara dan menjadi komoditas yang potensial dalam perdagangan dunia. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh di antaranya adalah umbinya yang banyak diminati sebagai bahan diversifikasi pangan, mengingat ubi kayu merupakan salah satu pangan penghasil sumber karbohidrat tertinggi setelah padi dan jagung. Manfaat ubi kayu lainnya adalah sebagai bahan baku industri makanan seperti gaplek, tepung kasava, dan tapioka serta sebagai produk fermentasi seperti fruktosa, glukosa, bioetanol, dan berbagai asam organik (BPPP 2011). Di Indonesia sentra utama penghasil ubi kayu mulai menyebar di berbagai propinsi seperti Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan, sedangkan sentra dunia terdapat di Negara Thailand dan Suriname (Suherman 2014). Sama halnya dengan tanaman lainnya, tanaman ubi kayu termasuk rentan terhadap serangan hama dan penyakit tumbuhan, terutama apabila menggunakan bibit yang tidak sehat dan dengan praktek pengelolaan budidaya yang kurang tepat. Kehilangan hasil yang berat dapat terjadi akibat meningkatnya intensitas serangan organisme pengganggu tumbuhan pada area pertanaman ubi kayu yang luas, terutama pada areal penanaman ubi kayu yang secara terus menerus sepanjang tahun. Adapun beberapa jenis penyakit yang menjadi masalah di pertanaman ubi kayu di Asia di antaranya adalah hawar bakteri atau cassava bacterial blight (CBB) yang disebabkan oleh Xanthomonas campestris pv. manihoti, serta penyakit virus yang disebabkan oleh cassava mosaic disease (CMD), dan cassava brown streak disease (CBSD) (FAO 2013). Hama tanaman ubi kayu yang utama dan menjadi masalah di Asia hingga saat ini adalah kutu kebul (whiteflies), kutu putih (mealybug) dan tungau merah (red spider mite) (FAO 2013). Kutu kebul hampir menjadi hama yang paling merusak di seluruh wilayah kebun produksi ubi kayu. Selain menjadi hama, perannya sebagai vektor penyakit virus lebih penting dalam menimbulkan
5 kerusakan pada tanaman ubi kayu. Spesies kutu kebul ini adalah Bemisia tabaci (Gennadius) dan B. tuberculata Bondar (Hemiptera: Aleyrodidae) (CABI 2008a). Selain kutu kebul, kutu putih juga menjadi hama utama yang pernah menyerang di sub-Sahara Afrika. Spesies kutu putih tersebut adalah P. manihoti dan Phenacoccus herreni Cox & Williams. Hama lainnya yang selalu menjadi masalah adalah tungau. Tungau masih selalu menjadi masalah utama di saat musim kemarau, umumnya adalah spesies Tetranychus urticae Koch dan T. kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae). Kehilangan hasil akibat serangan dapat berkisar antara 18 sampai 50% (FAO 2013). Kutu Putih pada Tanaman Ubi kayu Phenacoccus manihoti P. manihoti merupakan salah satu hama eksotik yang tergolong invasif bagi Indonesia sejak tahun 2010 (Muniappan et al. 2011). Kutu putih ini menjadi hama penting utama di seluruh dunia pada pertanaman ubi kayu. Sifatnya yang partenogenesis teliotoki (hanya menghasilkan keturunan betina) membuat kutu putih ini mampu berkembang biak sangat cepat terutama pada musim kemarau. Kutu putih P. manihoti berasal dari Amerika Serikat, dan serangan pertama kali dilaporkan terjadi di Kinshasa, Kongo Negara Afrika pada tahun 1973. Selanjutnya kutu putih ini menyebar ke Asia pada tahun 2008 dan mulai pertama kali ditemukan di Negara Thailand, kemudian Kamboja, Laos, Vietnam, dan terbaru di Indonesia (Muniappan et al. 2011; Parsa et al. 2012; CABI 2013a). Koloni P. manihoti umumnya berada di bawah permukaan daun ubi kayu, terutama bagian pucuk daun di sekitar tulang daun dan pada saat populasinya meningkat, kutu putih menyebar ke seluruh bagian tanaman. Selama siklus hidupnya P. manihoti mampu menghasilkan hingga 500 telur dalam satu ovisak. Ovisak adalah kantung lilin berwarna putih seperti kapas. Siklus hidupnya sejak telur hingga dewasa membutuhkan waktu sekitar 21 hari dengan lama stadium telur sekitar 8 hari, nimfa instar I sekitar 4 hari, nimfa instar II sekitar 4 hari, dan nimfa instar III sekitar 5 hari (Calatayud & Le Rü 2006). Imago betina kutu putih ini berwarna merah jambu dengan panjang tubuh 1.25 mm dan lebar 0.63 mm. Perkembangbiakannya bersifat paurometabola dengan tahapan telur, nimfa mencapai III instar lalu imago. Bentuk antara nimfa instar II, III, dan imago, tidak jauh berbeda, hanya imago berukuran lebih besar. Nimfa instar I berukuran panjang 0.41 mm dan lebar 0.17 mm, instar II panjang 0.60 mm dan lebar 0.26 mm, serta instar III panjang 0.86 mm dan lebar 0.39 mm. Baik nimfa maupun imago tubuhnya diselimuti dengan serabut lilin berwarna putih. Nimfa instar I bersifat crawler yang artinya sangat cepat bergerak dan mudah melakukan perpindahan dan penyebaran (Saputro 2013). P. manihoti bersifat monofag atau hanya memakan tanaman dari satu atau beberapa spesies tanaman famili Euphorbiaceae. Kerusakan pada tanaman ubi kayu ditunjukkan pada tanaman ubi kayu dengan gejala serangan berupa keriting pada bagian tunas daun, daun menguning, perubahan bentuk pada batang, roset pada titik tumbuh, dan kematian pada tanaman muda. Pada serangan berat, daun akan gugur dan tanaman menjadi kerdil seperti bunchy top. (Bellotti et al. 2003; Calatayud & Le Rü 2006).
6 Upaya pengendalian terhadap kutu putih singkong ini banyak dilakukan oleh berbagai negara melalui pengendalian hayati klasik. Untuk menghindari serangan baru, petani disarankan untuk tidak menanam ubi kayu di musim akhir penghujan dan awal musim kemarau. Selain itu sebelum mulai penanaman, perendaman bibit ubi kayu dengan larutan insektisida juga mampu mencegah kehadiran hama ini (FAO 2013). Pengendalian hayati klasik menjadi pendekatan utama dan hal yang paling tepat untuk mengatasi masalah hama ini di pertanaman. Upaya tersebut dilakukan dengan cara mengintroduksi musuh alami dari daerah hama/kutu putih berasal. Banyak jenis musuh alami kutu putih P. manihoti, baik dari kelompok predator maupun parasitoid. Beberapa spesies predator yang mampu memangsa P. manihoti adalah kumbang Famili Coccinellidae (Coleoptera), yaitu Hyperaspis spp. Redtenbacher, Exochomus sp. Redtenbacher, dan Diomus sp. Mulsant. Parasitoid yang berperan sebagai musuh alami P. manihoti di antaranya adalah Anagyrus nyombae Boussienguet, A. pseudococci (Girault), dan Epidinocarsis lopezi (De Santis) (CABI 2013a). Afrika menjadi negara pertama yang melakukan introduksi musuh alami untuk mengendalikan P. manihoti. Pada mulanya diintroduksi parasitoid Apoanagyrus diversicornis (Howard) (Hymenoptera: Encyrtidae) dan Allotropa sp. Foerster (Hymenoptera: Platygasteridae), serta predator Sympherobius maculipennis Klimmins (Neuroptera: Hemerobiidae) dari Brazil, namun ternyata belum berhasil dikembangkan (Neuenschwander 1994). Berbagai macam musuh alami lainnya diintroduksi ke Afrika untuk menekan kutu putih ubi kayu, dan dari berbagai macam musuh alami tersebut endoparasitoid Apoanagyrus lopezi asal Amerika Selatan adalah parasitoid yang paling berhasil mengendalikan kutu putih (Neuenschwander 2001). Musuh alami kutu putih yang ditemukan selama terjadi serangan di Bogor adalah predator Scymnus sp. Kugelann dan Chilocorus sp. Leach (Coleoptera: Coccinellinae). Selain itu juga ditemukan larva predator dari family Cecidomyiidae dan larva Plesiochrysa ramburi (Shneider) (Neuroptera: Chrysopidae). P. ramburi adalah musuh alami yang dominan ditemukan, namun keberadaannya meningkat di akhir musim kemarau pada saat populasi kutu putih mencapai puncaknya dan ubi kayu terserang berat (Wardani 2015). Paracoccus marginatus Hama ini disebut juga kutu putih pepaya yang merupakan hama eksotik pepaya di Meksiko dan negara-negara Amerika Tengah. Sejak tahun 1994, hama dilaporkan mulai menyebar dengan cepat ke berbagai negara di dunia. Hama ini dilaporkan masuk ke Indonesia pada tahun 2008 melalui kegiatan importasi tanaman hias dari Amerika. Kerusakan terjadi pertama kali dilaporkan di kota Bogor yang menyebabkan ribuan tanaman pepaya mati karena serangan kutu putih ini (Muniappan et al. 2008). P. marginatus diketahui bersifat polifag, menjadi hama pada berbagai tanaman sayuran, buah, dan tanaman hias tropis. Beberapa tanaman yang menjadi inang utamanya antara lain Carica papaya L. (pepaya), Manihot esculenta Crantz (ubi kayu), Persea americana P. Mill (alpukat), Solanum melongena L. (terung) Hibiscus spp. (kembang sepatu), dan Acalypha spp. (kumis kucing). Inang lain sebagai alternatif di antaranya adalah Ananas comosus (L.) Mer. (nanas), Mangifera indica L. (mangga), dan Citrus spp. L. (jeruk) (Walker et al. 2003; Saengyot & Burikam 2011; CABI 2014). Sifat P.
7 marginatus yang polifag dan memiliki banyak kisaran inang, membantu kutu ini untuk mudah mempertahankan hidupnya. Gejala serangan diketahui dari gumpalan-gumpalan putih pada bagian tanaman yang terserang. Selanjutnya bagian tanaman yang terserang akan mengerut, mengering dan akhirnya pertumbuhan tanaman terhambat. Serangan berat dapat menyebabkan gugur buah dan daun (Walker et al. 2003). Tahap kerusakan dimulai dari bagian daun muda dekat pangkal batang, daun menjadi keriting dan tumbuh tidak normal. Hal tersebut mengakibatkan proses fotosintesis terhambat, tanaman banyak kehilangan energi untuk tumbuh dan akan semakin merana hingga akhirnya buah yang diproduksi tidak maksimal atau bahkan gagal produksi (Ivakdalam 2010). Biologi P. marginatus belum banyak diteliti secara rinci. Spesies ini bereproduksi secara seksual, antara imago betina dan jantan berkembang melalui tahapan fase yang berbeda. Imago betina mengalami metamorfosis paurometabola yang berkembang dari telur kemudian melalui tiga tahapan instar nimfa dan imago betina tanpa sayap. Imago jantan mengalami metamorfosis holometabola, setelah fase telur terdapat dua tahap instar nimfa, setelah itu mengalami fase prapupa, kemudian pupa dan imago dengan sepasang sayap (CABI 2014). Rata-rata lama waktu perkembangan P. marginatus pada tanaman pepaya untuk individu betina adalah 31.8±3.83 hari dan siklus hidup individu jantan adalah 27.0±1.87 hari, dengan perbandingan betina dan jantan 4 : 1. Rata-rata jumlah telur P. marginatus yang dihasilkan sebanyak 490 butir per kantung telur (ovisak) (Pramayudi & Oktarina 2012). Morfologi tubuh imago betina berbentuk oval atau lonjong dan diselubungi oleh lapisan lilin berwarna putih. Sekeliling tepi tubuhnya muncul filamen lilin pendek dengan panjang kurang dari seperempat panjang tubuhnya. Imago betina menghasilkan telur berwarna putih kekuningan, ditutupi dengan ovisak. Penyebaran dilakukan oleh nimfa instar pertama yang bersifat crawler, yaitu aktif bergerak dan berpindah serta dapat bertahan satu atau dua hari tanpa makan (Walker et al. 2003). Suatu pengelolaan hama terpadu (PHT), termasuk praktek budidaya, pengendalian kimia dan pengendalian biologi dapat diterapkan untuk mengelola kutu putih pepaya. Musuh alami yang diketahui sebagai parasitoid kutu putih pepaya di antaranya adalah Acerophagus papayae (Noyes & Schauff), Anagyrus loecki (Noyes & Menezes), Anagyrus californicus Compere, dan Pseudaphycus sp. Timberlake (Hymenoptera: Encyrtidae) (Walker et al. 2003). Di India keempat parasitoid tersebut menyerang nimfa kutu putih pepaya instar II dan III, namun masih belum mampu menurunkan populasi hama dalam waktu singkat. Perpaduan dengan penggunaan predator Spalgis epius Westwood (Lepidoptera: Lycanidae) (Saengyot & Burikam 2011), kemudian C. montrouzieri Mulsant (Coleoptera: Coccinellidae), lalat syrphid, dan lacewings (Walker et al. 2003) cukup dapat membantu karena predator memangsa ovisak, nimfa, dan imago. Selain itu pengendalian insektisida botani menggunakan neem oil dan insektisida berbahan aktif profenofos 500 g/l dapat menjadi alternatif lain (Tanwar et al. 2010).
Pseudococcus jackbeardsleyi
8 Kutu putih ini memiliki nama umum Jack Beardslyei mealybug atau kutu putih Jack Beardslyei. Spesies kutu putih ini adalah hama invasif terbaru yang telah memasuki India dengan nilai infestasi relatif rendah menyerang tanaman pepaya pada tahun 2012. Sebelumnya serangan hama ini banyak terjadi di daerah Neotropical dan negara Asia termasuk Singapura pada tahun 1958, Malaysia pada tahun 1969, Indonesia tahun 1973, Filipina tahun 1975, Brunei pada tahun 1979, Thailand pada tahun 1987, Vietnam dan Maladewa pada tahun 1994 dan Kamboja (Muniappan et al. 2011; Mani et al. 2013). Kutu putih jack beardsleyi menyerang banyak tanaman inang (polifag) dan diketahui mencapai 93 spesies tanaman baik itu tanaman pertanian, hortikultura, maupun tanaman hias (Mani et al. 2013). Sebanyak 22 spesies tanaman juga telah dilaporkan sebagai inang P. jackbeardsleyi di negara-negara Asia, di antaranya tanaman pisang, tomat, kentang, lada, lau, anggrek, dan anthurium (Shylesha 2013). Di India hama ini dilaporkan menyerang tanaman pepaya pada bagian daun, buah dan batang. Gejala kerusakan yang ditimbulkan umumnya sama dengan gejala kerusakan yang disebabkan kutu putih lainnya. Permukaan bawah daun ataupun pada bagian batang tanaman penuh tertutup ovisak dari kutu putih dan menyebabkan distorsi pada daun. Ciri tubuh imago betina berbentuk oval, agak bulat jika terlihat dari bagian lateral dan berwarna keabu-abuan. Seluruh tubuh imago dipenuhi filamen lilin tipis, pada masing-masing bagian lateral terdapat 17 filamen dan pada bagian ujung terdapat sepasang filamen yang panjangnya sekitar setengah dari panjang tubuh dan terkadang tertutup ovisak (Shylesha 2013). Karakter morfologi di dalam slide preparat yaitu antena terdiri atas 8 ruas, tungkai berkembang baik, terdapat pori translusen pada femur dan tibia tungkai belakang. Pori diskoidal terdapat di dekat mata pada bagian sclerotised rim. Serari terdiri atas 17 pasang dan serari lobus anal dengan 2 seta konikal dan terdapat banyak pori trilokular pada sclerotised area. Serari lainnya terdapat pada area membran, kemudian serari anterior dengan seta relatif kecil dengan 2-3 seta tambahan. Serari nomor C7 dan pada bagian kepala dengan 3-4 seta konikal. Permukaan atas tubuh kutu putih dipenuhi secara merata dengan seta berukuran kecil (Mani et al. 2013). Biologi kutu putih ini umumnya memerlukan waktu selama sekitar satu bulan untuk dapat menyelesaikan satu genarasi hidupnya. Imago betinanya mampu meletakkan telur sebanyak 300 sampai 600 telur di dalam ovisak. Dalam kondisi rumah kaca telur dapat menetas sekitar 10 hari. Nimfa yang baru keluar dari telur mulai aktif mencari makanan, dan tubuhnya mulai mengeluarkan lilin putih membentuk filamen untuk menutupi tubuhnya. Pertumbuhan nimfa hingga menjadi imago betina hanya mengalami perubahan pada ukuran tubuhnya saja, sedangkan nimfa yang akan menjadi imago jantan, setelah nimfa instar III, nimfa akan membentuk pupa dan muncul imago jantan. Imago jantan berukuran sangat kecil dan memiliki sepasang sayap (Mau & Kessing 2000). Pengelolaan terhadap hama kutu putih termasuk P. jackbeardsleyi umumnya adalah dengan aplikasi pestisida. Namun terkadang menjadi kurang efektif apabila dilakukan terlambat setelah memasuki musim kemarau karena populasinya sudah begitu meningkat. Bila pengendalian dilakukan ketika mendekati musim hujan, penurunan populasi kutu putih dapat terbantu secara alami oleh air hujan. Upaya pengendalian hayati klasik terhadap P. jackbeardsleyi belum pernah ada yang melakukannya, hal itu karena populasinya masih berada di bawah pengendalian
9 musuh alami lokal dari setiap negara (Muniappan et al. 2011). Musuh alami yang diketahui mampu menekan populasi P. jackbeardsleyi adalah kumbang Coccinelidae, C. montrouzieri. Ferrisia virgata F. virgata memiliki nama umum striped mealybug. Ciri khas imago betina adalah adanya satu pasang filamen dari lilin pada bagian ujung tubuh seperti ekor dengan panjang setengah dari panjang tubuhnya. Ciri khas lainnya permukaan tubuh dilapisi lilin, kecuali pada bagian tengah dorsum gundul tanpa lilin dan terdapat dua strip memanjang seperti garis di bagian sub medial (Weicai Li et al. 2013). Imago berbentuk oval pipih, berwarna abu-abu gelap hingga terang, dengan panjang tubuh 4-4.5 mm, terdapat benang berserabut di bagian venter, lilin yang menutupi tubuhnya dapat menjadi perlindungan diri dari predator (William & Watson 1988). F. virgata adalah salah satu jenis kutu putih polifag, menyerang sekitar 150 genus dari 68 famili tanaman, terutama spesies inang dari Fabaceae dan Euphorbiaceae. Di antara tanaman inangnya yang bernilai ekonomi penting yaitu alpukat, pisang, sirih, lada hitam, ubi kayu, kacang mete, kembang kol, jeruk, kakao, kopi, dan kapas. Di Indonesia F. virgata banyak dilaporkan sebagai hama utama pada tanaman kopi, sedangkan di Sudan menyerang banyak tanaman jambu biji, dan di beberapa negara bagian dunia umumnya sebagai hama kapas. F. virgata, di Afrika Barat dikenal juga sebagai vektor cocoa swollen shoot virus (CSSV) dan di Trinidad sebagai vektor cocoa Trinidad virus (CTV) (CABI 2013b). Gejala serangan pada tanaman yang ditunjukkan hama ini adalah keriput pada awalnya, kemudian bagian tanaman yang terserang menjadi kering dan daunnya gugur. Kutu ini juga berfungsi sebagai vektor virus sehingga bagian tanaman juga dapat menjadi keriting karena terserang virus. Sumber lain menyebutkan gejala infestasi F. virgata tetap berkerumun di sekitar terminal tunas, daun dan buah, mengisap getah yang menyebabkan daun menguning, layu dan kering. Permukaan daun dan buah banyak ditutupi dengan embun madu yang kemudian menjadi media untuk pertumbuhan jamur jelaga hitam. Jamur jelaga dan lilin mengakibatkan penurunan area fotosintesis tanaman hias dan menghasilkan kehilangan nilai pasar (Williams dan Watson 1988; CABI 2013b) Kutu putih ini berkembang secara partenogenesis. Periode hidupnya sejak telur hingga imago mati rata-rata 76.2-154.6 hari pada betina, sedangkan jantan selama 19-47 hari. Imago betina aktif dan mobile sepanjang hidupnya, sampai mereka mulai menghasilkan ovisak dan bertelur. Imago betina mampu menghasilkan rata-rata 64.1-78 telur, dengan jumlah produksi telur per hari setiap imago betina sebanyak 3.4-4.5 telur. Telur diletakkan satu per satu selama periode sekitar 2.11-2.62 jam, dan akan menetas setelah 4-9 hari. Perkembangan nimfa melalu tiga tahapan instar dengan stadium nimfa betina 43.2–92.6 hari dan lama hidup imago mencapai 36-53 hari. Sedangkan stadium nimfa jantan sekitar 25.4 hari dengan lama hidup imago 1-3 hari (Awadallah et al. 1979; CABI 2013b). Seperti kutu putih lainnya, tahap penyebaran utama F. virgata adalah pada instar pertama yang dapat secara alami tersebar oleh angin dan hewan.
10 Pengendalian terhadap stripe mealybug pada awal serangan yang meningkat perlu dilakukan sanitasi kebun dengan pemangkasan dan pemusnahan bagian tanaman yang terserang (CABI 2013b). Pengelolaan secara kimiawi menggunakan insektisida biasanya dinilai masih kurang efektif karena telur, nimfa dan imago ditutupi lapisan lilin yang tebal sehingga cairan insektisida sulit menembusnya. Namun penggunaan insektisida nabati dapat menjadi alternatif yang dapat digunakan karena sifatnya yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan insektisida sintetik. Dilaporkan oleh Indriati dan Khaerati (2008) bahwa ekstrak daun nimba efektif mengendalikan F. virgata dengan tingkat kematian 29.8986.9%. Upaya pengendalian lainnya yang lebih efektif dan aman adalah dengan mengupayakan keberadaan musuh alaminya. Musuh alami dari F. virgata banyak dilaporkan dari kelompok predator, cendawan, dan parasitoid. Umumnya pengendalian dilakukan dengan penggunaan predator C. montrouzieri (CABI 2013b), serta parasitoid dari beberapa genus Aenasius (Noyes & Ren 1995), Acerophagus dan Anagyrus (Noyes & Hayat 1994). Pengendalian Hayati Hama Melalui Introduksi Musuh Alami Pengendalian hayati adalah penggunaan organisme hidup untuk menekan kepadatan populasi atau memberi pengaruh terhadap organisme hama spesifik, yang membuat kepadatan populasi atau kerusakannya menurun bila dibanding dengan tidak tersedianya musuh alami. Musuh alami terdiri atas empat kelompok besar yaitu predator, parasitoid, patogen serangga (entomopatogen) dan agens hayati antagonis. Pengendalian hayati dengan mengoptimalkan kinerja musuh alami saat ini sudah banyak diadopsi oleh petani, namun terbatasnya ketersediaan musuh alami di alam mengharuskan adanya upaya strategi terutama dalam memproduksi musuh alami dalam jumlah besar. Jika tidak ada spesies musuh alami yang mampu secara efektif mengontrol populasi hama maka introduksi atau importasi musuh alami ke daerah yang terserang perlu dilakukan. Upaya demikian sering dikenal dengan istilah pengendalian hayati klasik. Umumnya pendekatan ini digunakan bila terjadi ledakan hama eksotik yang bersifat invasif, dan diharapkan setelah melepaskan musuh alami eksotik ke dalam lingkungan baru, nantinya musuh alami dapat mapan secara permanen dan mampu mengendalikan populasi hama dalam jangka panjang, tanpa perlu intervensi lebih lanjut (Purnomo 2010). Keunggulan dari pengedalian hayati di antaranya meliputi tingkat selektivitas yang tinggi dalam mengendalikan hama, biaya yang dikeluarkan rendah, mampu menyebar sendiri dan tidak ada biaya lagi setelah pelepasan awal, tidak membahayakan manusia dan lingkungan, serta tidak menyebabkan resistensi hama (Johnson 2000). Contoh introduksi musuh alami yang pernah dilakukan di Indonesia di antaranya adalah introduksi Diadegma semiclausum Hellen (Hymenoptera: Ichneumonidae) untuk mengendalikan ulat kubis Plutella xylostella (Linnaeus) (Lepidoptera: Plutellidae) pada tahun 1950-an (Sastrosiswojo & Sastrodihardjo 1986). Pada tahun 1970 dilakukan introduksi kumbang Neochetina eichhorniae Warner (Coleoptera: Curculionidae) untuk mengendalikan eceng gondok, Echornia crassipes (Mart.) Solm (Widayanti et al. 1999). Pada akhir tahun 1980-an diintroduksi Curinus coeruleus Mulsant (Coleoptera: Coccinellidae) dan parasitoid Psyllaephagus yaseeni Noyes
11 (Hymenoptera: Encyrtidae) untuk mengendalikan kutu loncat lamtoro, Heteropsylla cubana Crawford (Hemiptera: Psyllidae) pada tahun 1990-an (Rauf et al. 1988). Introduksi paling akhir pada Maret 2014, yaitu introduksi parasitoid A. lopezi untuk mengendalikan kutu putih singkong P. manihoti (Wyckhuys et al. 2014). Anagyrus lopezi Taksonomi dari A. lopezi memiliki nama sinonim Epidinocarsis lopezi atau sebelumnya dikenal juga dengan Apoanagyrus lopezi. Parasitoid ini tergolong ke dalam Ordo Hymenoptera, Subordo Apocrita, Superfamily Chalcidoidea, Family Encrytidae genus dari Anagyrus. Parasitoid yang tergolong ke dalam Family Encyrtidae umum juga disebut sebagai suku Anagyrini. Perilaku spesies parasitoid anggota Anagyrini sebagian besar memarasit secara endoparasitoid soliter, namun beberapa spesies lainnya diketahui dapat memarasit secara gregarius (Noyes & Hayat 1994). A. lopezi memarasit secara endoparasitoid soliter yang secara alami dapat mengendalikan nimfa dan imago kutu putih singkong P. manihoti. Parasitoid berasal dari Amerika Selatan, pertama kali diintroduksi ke Nigeria melalui International Institute Tropical Agriculture (IITA) untuk mengendalikan cassava mealybug (CMB) (Neuenschwander 1994, Neuenschwander 2001). Parasitoid dilepaskan ke dua lokasi yang salah satunya pada areal seluas 3 000 ha pertanaman ubi kayu di Abeokuta di Ogun State pada tahun 1982 (Odebiyi & Bokonon·Ganta 1986). Informasi mengenai biologi A. lopezi ini masih sangat terbatas, dalam pengujian di laboratorium dalam kisaran suhu yang berfluktuasi antara 24-31°C dan kelembapan 79-90% menunjukkan bahwa perkembangan dari telur hingga imago berkisar antara 11-25 hari, dengan lama setiap tahap perkembangan telur 2 hari, larva instar I 1 hari, instar II 1 hari, instar III 2 hari, instar IV 2 hari, prapupa 4 hari, dan pupa 6 hari. Imago betina yang mampu meletakkan telur setelah melakukan perkawinan, hidup selama 13 hari. Imago betina yang tidak meletakan telur hidup lebih lama yaitu 25 hari. Nisbah kelamin jantan dan betina 1:2.3, atau lebih dominan betina (Odebiyi & Bokonon·Ganta 1986). Hal berbeda dilaporkan oleh Iziquel dan Le Rü (1992) yang menunjukkan hasil peneltiannya terhadap lama hidup dari A. lopezi di laboratorium pada suhu 26 °C rata-rata adalah 41.4 hari dengan kisaran 15-64 hari. Hasil tersebut hampir empat kali lebih besar dari laporan sebelumnya dan imago mampu meletakkan telur sebanyak 230 sampai 853 telur sepanjang hidupnya. Perbedaan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya adalah kepadatan populasi inang yang berbeda, metode pengujian yang berbeda untuk mengukur keperidian, kurangnya pasokan nutrisi makanan bagi imago parasitoid betina, suhu percobaan, tanaman inang, dan keberadaan ekotipe dalam spesies A. lopezi atau dalam P. manihoti. Penyebaran A. lopezi pada awalnya masih terbatas di beberapa negara bagian Afrika dan Amerika Selatan. Umumnya keberadaan A. lopezi di Afrika adalah hasil introduksi dari Amerika sebagai upaya menurunkan kepadatan populasi P. manihoti di berbagai pertanaman ubi kayu. Parasitoid A. lopezi dilaporkan juga sebagai parasitoid dari beberapa genus Phenacoccus, di antaranya P. herreni Cox and William dan P. parvus (Noyes & Hayat 1994). Menurut data CABI (2008b), A. lopezi juga menjadi musuh alami pada P. gossypii yang
12 menyerang tanaman kapas di Paraguay, namun sangat sedikit sekali informasi mengenai ini. Prosedur Karantina dan Skrening bagi Introduksi Musuh Alami Introduksi spesies dari suatu daerah ke daerah lain dapat terjadi secara sengaja maupun tidak. Keberadaan spesies tersebut dapat menjadi ancaman bagi produksi pertanian juga bagi flora dan fauna asli, bahkan juga bagi keselamatan dan kesehatan manusia. Hal-hal tersebut mendorong banyak negara membuat aturan karantina yang ketat untuk mencegah terjadinya introduksi spesies, termasuk juga agens pengendali hayati/musuh alami. Prosedur peraturan terhadap kegiatan pemasukan agens hayati bagi setiap negara yang terikat dalam perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS) – World Trade Organization (WTO) dituang dalam pedoman internasional di bawah naungan International Plant Protection Convention (IPPC) yaitu International Standards For Phytosanitary Measures (ISPM) No.3 mengenai Kode Etik Introduksi dan Pelepasan Agen Pengendali Biologi (Code of Conduct for the Import and Release of Exotic Biological Control Agents) (FAO 1996). Aturan tersebut menjabarkan tuntunan bagi suatu negara untuk memformulasikan aturan-aturan yang dapat membantu dalam melakukan importasi dan pelepasan agen pengendali biologi yang mampu memperbanyak diri (self-replication) (termasuk parasitoid, predator, parasit, nematoda, organisme fitofag, dan patogen), serangga steril dan organisme menguntungkan lainnya (seperti mikoriza dan penyerbuk), termasuk yang dikemas atau yang termasuk sebagai produk komersial. Ketentuan ini juga digunakan untuk impor agens pengendali biologi non-pribumi dan organisme menguntungkan lainnya sebagai penelitian di fasilitas karantina (Nowell & Maynard 2005). Di Indonesia dalam melakukan introduksi musuh alami diatur berdasarkan Surat Keputusan Menteri pertanian No. 411 Tahun 1995 tentang Pemasukan Agens Hayati ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Ijin pemasukan dan pelepasan musuh alami hanya dapat dikeluarkan berdasarkan SK Menteri Pertanian atas rekomendasi Komisi Agens Hayati yang mengacu kepada “Pedoman Umum Pemasukan Agens Hayati ke dalam Wilayah Indonesia”, sebagaimana telah ditetapkan oleh Ketua Komisi Agens Hayati Nomor 226/Kpts/OT.160/L/9/06. Pedoman tersebut penting dilaksanakan sebagai bagian dari petunjuk serangkaian pengujian yang harus dilakukan sebelum agens hayati diusulkan pemasukannya dan diajukan pelepasannya, sehingga agens hayati yang dimasukkan ke daerah yang baru berperan efektif dan bermanfaat. Informasi keseluruhan tentang musuh alami sebelum ditetapkannya keputusan introduksi maupun pelepasan sangatlah diperlukan dan penting diketahui terutama sebagai dasar keputusan program pengendalian hayati. Terdapat syarat karantina bagi musuh alami yang harus dipenuhi, yaitu (1) Musuh alami harus tidak mempunyai potensi untuk merusak, mengganggu, atau mendatangkan resiko bagi pertanian lingkungan lain setelah pemasukannya, dan (2) Musuh alami harus tidak membawa organisme lain yang membahayakan (Purnomo 2010). Syarat pertama berhubungan dengan proses uji sebaran inang, yang menjamin bahwa musuh alami yang diintroduksi bersifat spesifik terhadap hama eksotik dan tidak menyerang spesies lain terutama spesies asli yang bukan sasaran sehingga aman untuk dilepaskan (Sands & Van Driesche 2003), dan
13 syarat kedua dilakukan untuk menjamin bahwa musuh alami yang diimpor tidak membawa bahan material lain seperti hama, patogen, dan musuh alami dari musuh alami yang diintroduksi (Purnomo 2010). Selama proses uji bagi kedua syarat tersebut, potensi musuh alami perlu diuji sebaik-baiknya terutama dalam hal kecenderungannya menyerang sejumlah spesies inang yang bukan sasaran. Seleksi terhadap inang bukan sasaran memerlukan pertimbangan yang cermat serta dikonsultasikan dengan ahli-ahli taksonomi dan biologi. Rekomendasi kriteria dalam memilih daftar spesies inang bukan sasaran menurut Khulmann et al. (2006) adalah berdasarkan tiga kategori yang semuanya perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan inang bukan sasaran. Kategori tersebut adalah: (1) kesamaan ekologi, artinya spesies hidup di habitat yang sama atau menggunakan tanaman inang yang sama dengan spesies sasaran; (2) kemiripan taksonomi atau filogenetik, artinya spesies berkerabat erat dengan spesies sasaran, dapat memiliki nama genus yang sama, famili, atau subfamili yang sama yang sebelumnya tidak dijumpai musuh alami; dan (3) pertimbangan perlindungan, yaitu spesies yang bermanfaat dan keberadaannya langka/hampir punah. Ketiga kategori tersebut membantu memberikan rekomendasi spesies asli mana yang memungkinkan menjadi kisaran inang parasitoid. Dari ketiga kategori tersebut, prioritas harus ditujukan pada spesies yang cocok lebih dari satu kriteria. Umumnya akan diperoleh daftar yang begitu banyak dan menjadi tidak efektif dan tidak mudah untuk dilakukan pengujian, sehingga daftar yang diperoleh perlu disaring kembali dengan dua filter. Filter pertama yaitu dengan menghilangkan spesies yang memiliki sifat tumpang tindih dengan spesies target ataupun dengan agens pengendali hayati, dalam hal ini kriteria spesies yang dikesampingkan adalah yang kebutuhan iklimnya berbeda, fenologi berbeda, dan ukuran inang yang berbeda. Filter selanjutnya adalah memilih spesies yang tersedia dan mudah diperoleh dalam jumlah yang cukup banyak dalam waktu yang wajar serta memungkinkan untuk digunakan dalam pengujian kekhususan inang (Khulmann et al. 2006). Persyaratan tersebut di atas tentunya berlaku bagi introduksi dan pelepasan parasitoid A. lopezi yang baru-baru ini dilakukan sebagai upaya pengandalian hayati bagi kutu putih P. manihoti di Indonesia. Walaupun informasi tingkat keefektifan dan keamanan parasitoid sudah dilaporkan di beberapa negara lain yang juga melakukan introduksi, namun pengujian kekhususan inang dan keamanan terhadap spesies inang bukan sasaran perlu dilakukan demi memastikan bahwa agens hayati yang diuji tidak memakan, memangsa, atau memarasit organisme lokal bukan sasaran, dan hama kutu putih spesies lainnya. Inang bukan sasaran yang menjadi target kemungkinan bagi parasitoid, A. lopezi selain terhadap P. manihoti di Indonesia, berdasarkan kategori yang disebutkan oleh Sands dan Van Driesche (2003) dan Khulmann et al. (2006) yang disesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia, terdapat tiga spesies hama kutu putih bukan sasaran yang sama-sama berasosiasi dengan tanaman ubi kayu yaitu P. marginatus, P. jackbeardsleyi, dan F. virgata. Ketiganya bukan termasuk hama lokal, namun keberadaannya merupakan hama penting di Indonesia yang mempengaruhi nilai ekonomi dan memiliki kisaran inang yang luas.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bionomi dan Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2014 sampai Januari 2015. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman ubi kayu, umbi kentang (Solanum tuberosum L.) yang bertunas, labu parang (Cucurbita maxima Duchesne), dan bibit tanaman jambu biji (Psidium guajava L.). Bahan lainnya adalah parasitoid A. lopezi yang diintroduksi dari Thailand, serangga kutu putih dari spesies P. manihoti, P. marginatus, P. jackbeardsleyi, dan F. virgata. Digunakan pula pupuk cair, madu 10%, kapas, larutan fisiologis (larutan Ringer setara dengan NaCl 0.85%), tabung ependof serta alkohol 70%. Alat yang digunakan terdiri atas kurungan serangga, mikroskop stereo, mikroskop kompound, lampu duduk, kamera digital, kuas, jarum mikro, penggaris mini scale, ember plastik, wadah plastik, tabung mika berkasa, gelas objek, kertas label, tisu, timer, dan alat tulis. Metode Pelaksanaan Persiapan Tanaman Inang bagi Kutu Putih Persiapan tanaman inang dilakukan untuk pemeliharaan dan perkembangbiakkan kutu putih P. manihoti. Persiapan tanaman meliputi penyiapan bibit tanaman ubi kayu berupa stek yang berasal dari petani. Stek ubi kayu ditumbuhkan di dalam ember plastik yang berisi air dengan campuran pupuk cair, selanjutnya stek dipelihara dan diletakkan di tempat yang cukup cahaya hingga tumbuh daun pucuk baru. Setiap tiga hari sekali ember berisi tanaman diisi kembali dengan air yang baru untuk menjaga kesegarannya. Pengumpulan dan Identifikasi Kutu Putih Empat spesies kutu putih yang akan diuji (P. manihoti, P. marginatus, P. jackbeardsleyi, dan F. virgata) dikumpulkan dari berbagai pertanaman di lapangan. Setiap bagian tanaman seperti pucuk daun, batang ataupun buah yang terdapat kutu putih uji dipotong dan dimasukkan ke dalam kotak plastik kecil bertutup kasa. Selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium untuk dilakukan identifikasi, perbanyakan, dan pemeliharaan. Identifikasi mengacu pada kunci identifikasi secara morfologi dari sampel yang hidup dan preparat slide untuk memastikan spesies kutu putih yang akan digunakan dalam pengujian (Williams & Granara de Willink 1992; Williams 2004). Cara pembuatan slide preparat terlampir pada Lampiran 1. Perbanyakan dan Pemeliharaan Kutu Putih Nimfa dan imago P. manihoti, diperbanyak dan dipelihara pada tanaman ubi kayu, P. jackbeardsleyi dipelihara pada labu parang, P. marginatus dipelihara pada umbi kentang yang bertunas dan F. virgata dipelihara pada bibit tanaman
15 jambu biji. Nimfa dan imago dari masing-masing spesies kutu putih yang diperoleh dari lapangan diinfestasikan pada masing-masing tanaman inang dalam pemeliharaan. Cara infestasi kutu putih pada tanaman inang yaitu dengan menempelkan langsung bagian tanaman yang mengandung koloni kutu putih atau dengan memindahkan kutu menggunakan kuas secara hati-hati. Pemeliharaan dan perbanyakan P. manihoti pada tanaman ubi kayu dan F. virgata pada bibit jambu biji, masing-masing dilakukan dalam kurungan serangga yang berbeda pada kondisi suhu lingkungan yang teduh namun hangat. Kurungan sama-sama berukuran 100 cm x 50 cm x 120 cm dengan sisi-sisi berbahan kaca dan kain trikod. Perbanyakan dan pemeliharaan spesies kutu putih lainnya dilakukan menggunakan wadah plastik bertutupkan kain kassa dan dipelihara dalam kondisi gelap di dalam laboratorium. Sekitar tiga sampai empat minggu setelah infestasi awal, instar III dari setiap spesies sudah dapat dikumpulkan dan digunakan untuk pengujian. Perbanyakan dan Pemeliharaan Parasitoid A. lopezi yang diperoleh dari Thailand dalam bentuk imago dilepas ke dalam kurungan yang sudah berisi tanaman ubi kayu yang terinfestasi P. manihoti. Kurungan berukuran 50 cm x 45 cm x 45 cm, dengan pintu berlapis kain kassa berukuran sekitar 15 cm x 15 cm dan dinding terbuat dari kassa dan mika. Dalam kurungan juga digantungkan kapas yang mengandung cairan madu 10%. Setiap dua minggu sekali, tanaman ubi kayu yang sudah mengering akibat serangan kutu putih dan terinfestasi parasitoid dikeluarkan dari kurungan dan diganti dengan tanaman baru yang segar dan sudah terinfestasi P. manihoti. Tanaman ubi kayu yang kering tersebut dipotong-potong dan dimasukan ke dalam kotak plastik berkassa berukuran 20 cm x 25 cm untuk memperoleh imago parasitoid baru. Setiap hari imago yang keluar kembali dimasukkan ke dalam kurungan pemeliharaan menggunakan aspirator dan sebagian yang masih berumur satu hari digunakan dalam pengujian. Pemeliharaan parasitoid dilakukan di laboratorium dalam ruangan khusus, dengan suhu ruang 27 °C dan RH 60%. Kurungan berada di bawah penyinaran dua lampu TL 70 Watt berjarak sekitar 20 cm di atas kurungan dengan lama penyinaran 12 jam gelap dan 12 jam terang. Pengujian Kesesuaian Inang bagi A. lopezi Pengujian kesesuaian inang bagi A. lopezi dilakukan per spesies kutu putih untuk melihat ketertarikan parasitoid terhadap masing-masing inang. Masingmasing spesies kutu putih (P. manihoti, F. virgata, P. jackbeardsleyi, dan P .marginatus) sebanyak 30 ekor diinfestasikan ke umbi kentang yang bertunas dan ditempatkan di dalam wadah plastik berukuran diameter 5-8 cm dan tinggi 12 cm dengan bagian atasnya tertutup kassa. Dalam hal ini 30 ekor kutu putih dari spesies yang sama berada pada satu umbi kentang. Uji kesesuaian inang parasitoid juga dilakukan pada kutu putih yang diinfestasikan ke tanaman ubi kayu berumur dua minggu, dan dilakukan hanya pada P. manihoti. Tanaman ubi kayu kemudian ditempatkan di dalam wadah plastik berukuran diameter bawah 12 cm dan diameter atas 14 cm. Bagian atas wadah ditutup dengan kurungan mika beratapkan kassa berdiameter 14 cm dan tinggi 47 cm. Selanjutnya tiga ekor A.
16 lopezi betina yang berumur satu hari dan sudah kopulasi dipaparkan ke dalam kurungan selama 24 jam dan setelah itu parasitoid dikeluarkan kembali. Pengujian dilakukan terhadap kutu putih fase nimfa instar III dan dilakukan sebanyak 10 ulangan untuk setiap spesies kutu putih. Pengujian dilakukan di dalam ruangan bersuhu 27 oC dan RH 60% dengan pencahayaan atas lampu TL 70 watt berjarak 30 cm dan waktu terang 12 jam dan gelap 12 jam. Kutu putih diamati setiap hari untuk mengetahui kemunculan parasitoid yang baru. Keturunan parasitoid dikumpulkan dan dihitung nisbah kelamin serta ukuran parasitoid. Pengukuran dilakukan pada panjang tibia kiri belakang dan total panjang tubuh (dari kepala sampai ujung abdomen). Kriteria yang digunakan untuk menentukan kesesuaian inang adalah jumlah parasitoid yang muncul per ulangan, nisbah kelamin, waktu perkembangan dan ukuran parasitoid. Pengujian Tingkat Kerentanan Kutu Putih sebagai Inang Parasitoid (Uji Tanpa Pilihan) Pengujian tingkat kerentanan spesies kutu putih dilakukan dengan cara menempatkan sepuluh kutu putih dari setiap spesies berbeda secara berkelompok di dalam cawan petri yang berbeda beralaskan tisu yang terpisah satu sama lain. Dalam hal ini per cawan petri berisi 10 ekor kutu putih dari spesies yang sama. Sebelumnya setiap cawan petri sudah berisi selembar daun ubi kayu sebagai pakan dari kutu putih. Selanjutnya satu ekor parasitoid betina yang berumur satu hari dan sudah berkopulasi dimasukkan ke dalam setiap cawan. Pada setiap cawan, parasitoid dan kutu putih diamati secara terus menerus selama 30 menit untuk diamati dan dicatat jumlah pertemuannya dengan inang (encounter), penyelidikan ovipositor (ovipositor probing) dan pengisapan inang (host feeding) dari parasitoid terhadap inang. Setelah 30 menit pemaparan, parasitoid dikeluarkan dan setelah dua hari pasca pemaparan, seluruh kutu putih yang telah terpapar parasitoid dibedah dalam setetes larutan fisiologis di atas permukaan gelas objek menggunakan jarum mikro. Pembedahan dilakukan di bawah mikroskop stereo dan dilanjutkan menggunakan mikroskop kompound untuk mengamati jumlah telur atau larva parasitoid yang terdapat di dalam tubuh per inang. Pengujian dilakukan terhadap setiap spesies kutu putih fase nimfa instar III dengan masing-masing pengujian dilakukan sebanyak 20 ulangan. Rata-rata suhu harian dan kelembaban relatif selama pengujian berlangsung masing-masing adalah 29.18 °C (kisaran 27.1-30.7 ºC) dan 57.68% (kisaran 32-77%). Jumlah pertemuan, penyelidikan ovipositor, host feeding, inang yang terparasit (host parasitized) oleh imago A. lopezi, jumlah total telur yang diletakkan dan atau larva yang berkembang per parasitoid betina, dan jumlah telur dan atau larva parasitoid per inang, digunakan sebagai kriteria untuk menentukan tingkat kerentanan spesies inang. Hasil dari pengujian ini menjadi kriteria dalam menentukan tingkat parasitisasi dan kerentanan setiap spesies inang. Pengolahan data dilakukan dengan uji Kruskal-Wallis menggunakan progam SPSS 22.0 dan diuji lanjut dengan uji Dunn pada tingkat kepercayaan 95%. Pengujian Preferensi A. lopezi pada Spesies Inang (Uji Dua Pilihan) Pengujian preferensi A. lopezi melalui uji dua-pilihan dilakukan dengan cara menempatkan 5 ekor dari spesies P. manihoti dipasangkan dengan 5 ekor dari salah satu pesies kutu putih uji lainnya, sehingga dalam hal ini satu cawan petri
17 berisi dua spesies kutu putih yang berbeda. Pengujian dilakukan juga terhadap setiap spesies kutu putih lainnya. Setiap cawan petri yang sudah diberi alas tisu, sebelumnya sudah berisi selembar daun ubi kayu. Selanjutnya parasitoid betina yang sudah berumur satu hari dan melakukan kopulasi dimasukkan ke dalam cawan petri untuk mulai dilakukan pengujian. Pada setiap cawan, parasitoid dan kutu putih diamati secara terus menerus selama 30 menit untuk diamati dan dicatat jumlah pertemuannya, penyelidikan ovipositor dan pengisapan inang dari parasitoid terhadap kedua pilihan inang uji. Setelah 30 menit pemaparan, parasitoid dikeluarkan dan dua hari kemudian seluruh kutu putih yang telah terpapar parasitoid dibedah dalam setetes larutan fisiologis di atas permukaan gelas objek. Pembedahan menggunakan jarum mikro, dilakukan di bawah mikroskop stereo dan dilanjutkan menggunakan mikroskop kompound. Pengamatan meliputi jumlah telur atau larva parasitoid yang berkembang dari satu imago parasitoid dan jumlah telur atau larva di dalam tubuh per inang. Masing-masing pengujian dilakukan sebanyak 20 ulangan dan dilakukan terhadap setiap spesies kutu putih fase nimfa instar tiga III. Rata-rata suhu harian dan kelembaban relatif selama pengujian berlangsung masing-masing adalah 29.25 °C (kisaran 27.3-31.6 ºC) dan 59.9% (kisaran 43-79%). Pencatatan data meliputi jumlah pertemuan, penyelidikan ovipositor, host feeding, banyaknya inang yang terparasit, jumlah telur parasitoid yang diletakkan per ulangan, dan jumlah telur parasitoid per diterimanya oleh inang, yang selanjutnya digunakan sebagai kriteria dalam menentukan preferensi parasitoid setelah P. manihoti dipasangkan dengan spesies inang lainnya. Pengolahan data dilakukan dengan uji Mann Whitney menggunakan progam SPSS 22.0.
HASIL Spesies Kutu Putih pada Ubi Kayu Phenacoccus manihoti Ciri morfologi tubuh nimfa dan imago betina P. manihoti yang hidup adalah berwarna merah muda, berbentuk oval, dan peruasan tubuhnya sangat jelas serta dilapisi oleh tepung lilin berwarna putih (Gambar 1). Selain itu mata relatif menonjol dan tungkai berkembang dengan baik dan berukuran sama. Imago jantan kutu putih ini tidak dihasilkan karena P. manihoti berkembangbiak secara partenogenesis teliotoki. Beberapa ciri khusus P. manihotii dari hasil pembuatan slide preparat sesuai dengan kunci yang disusun oleh Williams dan Granara de Willink (1992), yaitu tubuhnya memiliki 18 pasang serari (Lampiran 2a), masing-masing dengan dua seta lankeolat yang membesar tanpa seta auksilari kecuali pada bagian lobus anal. Seta pada bagian dorsal berbentuk seperti jarum dan lankeolat seperti pisau, tanpa kumpulan pori trilokular di sekitar setal collars. Pori quinquelokular banyak terdapat di sekitar kepala bagian anterior hingga ke bagian clypheolabral shield, mencapai 32-68 (Lampiran 2e). Umumnya lempeng pori multilokular banyak terdapat di dorsal sekitar tepi, juga pada bagian toraks (Lampiran 2c). Sekelompok saluran tubular banyak terdapat di sekitar tepi dorsal tubuhnya. Karakter penting lainnya adalah antena yang memiliki 9 ruas dan kadang dengan 7 atau 8 ruas (Lampiran 2d), terdapat dentikel pada kuku, tibia tungkai belakang tanpa pori translusen dan sebuah sirkulus yang berbentuk tanduk (Lampiran 2b).
1 mm
Gambar 1 Koloni kutu putih P. manihoti Paracoccus marginatus Morfologi yang dapat diamati secara langsung terhadap tubuh imago betina P. marginatus adalah tubuhnya yang berwarna kekuningan dilapisi filamen lilin putih pada permukaan dorsal, terlihat seperti kerutan melintang di antara setiap ruas tubuhnya. Tubuh imago betina berbentuk oval berukuran panjang 2-3 mm dan lebarnya 1.4 mm (Gambar 2a). Spesimen P. marginatus jika dimasukkan ke dalam alkohol akan berubah warna menjadi hitam, sehingga penanganan untuk koleksi perlu dimasukkan ke dalam air panas atau direbus sebentar terlebih dahulu sebelum menggunakan alkohol. Imago jantannya memiliki sepasang sayap, panjangnya berukuran sekitar 1 mm dengan toraks yang melebar sekitar 0.3 mm
19 (Gambar 2b). Tubuh imago jantan berwarna coklat, namun seringkali selama fase pra pupa dan pupa berwarna merah muda. Antena terdiri dari 10 ruas dan bagian pori lateral mengeluarkan sepasang filamen lilin seperti ekor berwarna putih, selain itu terdapat tonjolan yang tersklerotisasi pada bagian toraks dan kepala (Walker et al. 2003, Sharma et al. 2013). a
2 mm
b
0.5 mm
Gambar 2 Koloni kutu putih P. marginatus, (a) nimfa dan imago betina, (b) imago jantan Ciri morfologi P. marginatus yang sudah dibuat dalam bentuk slide preparat adalah terdapat pori trilokular dan saluran tulubar pada bagian dorsal tanpa kombinasi (Lampiran 3a). Seta bagian dorsal dengan seta flagel, umumnya lebih tipis dari seta serari. Karakteristik yang menjadi penciri utama adalah serari di bagian anterior dengan sepasang lobus anal, tanpa seta tambahan. Serari berjumlah 18 pasang, umumnya sekitar 8 pasang terdapat pada abdomen dan sebagian di toraks. Panjang antenanya 310-370 µm dengan 8 ruas (Lampiran 3b). Serari lobus anal masing-masing dengan 2 seta konikal yang panjangnya masingmasing 125-130 µm, umumnya dengan 3 seta auksilar dan beberapa pori trilokular, semua dalam ukuran kecil, dengan sklerotisasi area yang lemah (Lampiran 3d). Tidak terdapat lempeng pori multilokular dari tepi ventral lateral hingga toraks. Secara umum oral rim saluran tubular berkembang baik terbatas pada tepi tubuh bagian dorsal (Lampiran 3c). Tungkai berkembang dengan baik dan banyak terdapat pori translusen pada koksa belakang, namun tidak terdapat pada tibia tungkai belakang atau hanya terwakili satu atau dua pada distal (Lampiran 4g) (Williams & Granara de Willink 1992, Parsa et al. 2012). Pseudococcus jackbeardsleyi Karakter khas kutu putih P. jackbeardsleyi secara langsung yang dapat terlihat adalah tubuh oval dan memiliki banyak filamen lilin di seluruh sisi-sisi tubuhnya. Terdapat dua filamen lilin panjang di bagian ujung posterior yang mencapai setengah dari panjang tubuh (Gambar 3a). Tubuh pra dewasa berwarna merah muda kecoklatan dan semakin jelas menjelang imago. Imago betina berwarna keabu-abuan sedangkan yang jantan berwarna orange tua dan memiliki sepasang sayap (Gambar 3b). Calon imago jantan setelah mencapai nimfa instar III akan membentuk pupa terlebih dulu. Imago jantan berukuran sekitar 1.5 mm.
20 b
a
3 mm
1 mm
Gambar 3 Koloni P. jackbeardsleyi, (a) nimfa dan imago betina, (b) imago jantan Pengamatan terhadap ciri P. jackbeardsleyi dalam bentuk slide preparat imago betina adalah ada bagian yang tersklerotisasi di sekitar mata yang dikelilingi dengan 4-9 pori diskoidal (Lampiran 4e) dan terdapat banyak oral-rim tubular duct di sekitar dorsal abdomen (Lampiran 4a). Menurut Mani et al. (2013) dan Williams (2004), karakteristik morfologi yang digunakan dalam identifikasi P. jackbeardsleyi adalah antena betina terdiri dari 8 ruas (Lampiran 4d), tungkai berkembang baik, pori translusen terdapat pada femur dan tibia tungkai belakang dan tidak terdapat pada koksa belakang. Serari dengan 17 pasang dan serari lobus anal dengan 2 seta konikal dengan banyak pori trilokular pada daerah yang tersklerotisasi (Lampiran 4c dan 4g). Serari lainnya terdapat di daerah yang bermembran. Serari bagian anterior dengan seta yang relatif lebih kecil dengan 2 sampai 3 seta auksilar. Serari VII (C7) dan serari di bagian kepala dengan 3-4 seta konikal. Permukaan dorsal dipenuhi pori trilokular dan seta kecil yang tersebar hampir merata, selain itu seluruh serari bagian frontal dengan oral rim tubular duct tepat di bagian belakangnya. Oral rim tubular duct lainnya terdapat di submedian dan submarginal pada bagian toraks dan abdomen. Masing-masing oral rim tubular duct sering dengan 1 atau 2 seta pendek dan 1 atau 2 pori diskoidal berdekatan dengan rim, terdapat satu per satu di belakang setiap serari bagian frontal. Di antara lobus anal dan serari ke-2 dari belakang terdapat oral collar tubular duct (Lampiran 4b). Permukaan ventral dengan seta yang ramping. Lempeng pori multilokular terdapat pada ruas abdomen V sampai VII (Lampiran 4f). Ferrisia virgata Ciri morfologi F. virgata yang sangat khas dan secara langsung dapat terlihat pada kutu putih yang hidup adalah bentuk tubuhnya yang oval memanjang dan sedikit ramping serta permukaan tubuhnya penuh dengan lapisan lilin (Gambar 4a & 4c). Pada imago betina, bagian tengah dorsum terdapat dua stripe memanjang seperti garis di bagian sub medial, gundul tanpa dilapisi lilin (Gambar 4c). Selain itu baik nimfa maupun imago pada ujung posteriornya terdapat sepasang filamen lilin yang panjangnya hampir setengan dari panjang tubuhnya. Imago jantan memiliki sepasang sayap, panjang tubuh sekitar 1.5 mm berwarna cokelat terang dan gelap di bagian toraks (Gambar 4b).
21 c
a
2 mm
2 mm
b
0.5 mm
Gambar 4 Kutu putih F. virgata , (a) nimfa, (b) imago jantan, (c) imago betina Identifikasi pemeriksaan mikroskopis melalui slide preparat imago betina F. virgata (Lampiran 5a) disesuaikan dengan kunci identifikasi menurut Williams dan Granara de Willink (1992) serta Williams (2004). Ukuran tubuh kutu ini relatif besar, yaitu mencapai 5 mm dan umumnya bentuk abdomen lonjong. Ciri utama adalah adanya saluran tubular yang membesar, kemudian setiap lubang dikelilingi oleh lingkaran serta daerah yang tersklerotisasi dengan 2-4 seta yang tumpul dan 1 atau 2 pori diskoidal berbentuk oval didekat tepi (Lampiran 5d). Saluran tubular ini berkelompok sebanyak 2 atau 3 di sekeliling tepi tubuh kutu putih, kecuali pada abdomen ruas VII. Pada permukaan ventral terdapat seta tumpul dan biasanya lebih panjang daripada yang terdapat di dorsum. F. virgata dapat dikenali juga dari serari lobus anal yang masing-masing dengan 2 seta konikal dan lempeng pori multilokular (Lampiran 5b). Ciri ini terdapat pada ruas abdomen VI sekitar vulva dalam satu baris yang jelas dan selalu berjumlah setidaknya 8 lempeng pori multilokular atau lebih (Lampiran 5e). Antena terdiri dari 8 ruas (Lampiran 5c). Oral collar tubular duct kecil ramping dan sedikit, terdapat di antara ruas abdomen V dan ruas posterior serta dalam kelompok kecil di tepi ruas abdomen, satu atau dua juga terdapat pada tepi tubuh di setiap ruas anterior dari lobus anal sampai bagian kepala. Kesesuaian Jenis Spesies Inang Keberhasilan A. lopezi berkembang menyelesaikan hidupnya hingga menjadi imago hanya terjadi pada uji kesesuaian menggunakan inang kutu putih P. manihoti. Selain ditunjukkan dengan kemunculan imago, kesesuaian A. lopezi sebagai inang P. manihoti adalah terjadinya mumifikasi pada kutu putih baik yang diuji pada media tanaman inang ubi kayu maupun kentang bertunas (Gambar 5). Mumifikasi dan kemunculan imago parasitoid tidak terjadi pada P. marginatus, P. jackbeardsleyi, maupun F. virgata yang sengaja dipaparkan tiga ekor parasitoid betina selama 24 jam pada uji kesesuaian ini. Ketiga spesies kutu putih tersebut tetap mampu berkembang biak menghasilkan keturunan yang baru.
22 b
a
0.5 mm
0.5 mm
Gambar 5 Mumifikasi P. manihoti yang terparasit, (a) pada tanaman ubi kayu, (b) pada kentang bertunas Kemunculan imago parasitoid sebagai keturunan A. lopezi yang dipaparkan terhadap 30 ekor P. manihoti menggunakan media tanaman inang kutu putih berupa kentang bertunas, rata-rata setiap ulanganya menghasilkan sebanyak 7.40±2.17 individu, dengan perbandingan rata-rata jantan dan betina 5:2 (Tabel 1). Imago jantan A. lopezi muncul lebih banyak dan lebih dahulu muncul, dengan lama perkembangan A. lopezi sejak infestasi hingga menjadi imago rata-rata kisaran antara 14.9-26.4 hari. Hasil berbeda dan menunjukkan jumlah yang lebih banyak ditunjukkan pada kemunculan imago A. lopezi yang dipaparkan terhadap 30 ekor P. manihoti menggunakan media tanaman inang kutu putih berupa tanaman ubi kayu. Rata-rata kemunculan total imago parasitoid adalah 11.7±5.12 individu, dengan perbandingan rata-rata jantan dan betina 7:5 (Tabel 1). Kemunculan imago jantan juga lebih banyak dibandingkan dengan betina dan jantan muncul lebih dulu daripada betina. Lama perkembangan A. lopezi sejak infestasi hingga menjadi imago rata-rata kisarannya antara 15.5-24 hari. Tabel 1 Perbandingan imago jantan dan betina A. lopezi yang muncul dari inang
P. manihoti
Media inang kutu putih
Jumlah imago parasitoid yang muncul (individu)
Total (Rata-rata±SD)a
Jantan (Rata-rata±SD)
Betina (Rata-rata±SD)
Kentang bertunas
51 (5.10±2.18)
23 (2.30±1.64)
74 (7.40±2.17)b
Tanaman ubi kayu
69 (6.90±6.71)
48 (4.80±3.68)
117 (11.7±5.12)a
120
71
191
Total a
Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata (Uji BNT α = 5%).
Ukuran tubuh A. lopezi betina lebih besar daripada jantan (Lampiran 6), dan pengukuran panjang tubuh dan panjang tibia sebelah kiri betina menjadi kriteria penilaian kebugaran parasitoid. Imago betina yang muncul dari inang, P. manihoti yang diujikan menggunakan kentang bertunas umumnya berukuran relatif lebih kecil dibadingkan dengan parasitoid yang muncul dari inang, P. manihoti yang diujikan menggunakan ubi kayu. Masing-masing panjang tubuhnya rata-rata
23 berturut-turut adalah 1.26±0.32 mm dan 1.75±0.21 mm. Panjang tibia sebelah kirinya rata-rata adalah 0.37±0.14 mm dan 0.47±0.08 mm (Tabel 2). Tabel 2 Pengukuran imago betina A. lopezi yang berhasil berkembang pada P. manihoti Media inang P. manihoti
Kisaran
Rata-rata ± SDc
Jumlah ulangan (n)
Panjang tubuh (mm) Kentang bertunasa
0.75-1.78
1.26±0.32b
23
Tanaman ubi kayub
1.25-2.00
1.75±0.21a
30
Kentang bertunas
0.25-0.75
0.37±0.14b
23
Tanaman ubi kayu
0.28-0.53
0.47±0.08a
30
Panjang Tibia kiri (mm)
a
Imago muncul dari P. manihoti dengan media inang kentang bertunas; b Imago muncul dari P. manihoti dengan media inang tanaman ubi kayu; c Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata (Uji BNT α = 5%).
Kerentanan Spesies Inang (Uji Tanpa Pilihan) Pada percobaan tanpa pilihan terhadap empat spesies kutu putih, parasitoid A. lopezi memperlihatkan respon yang berbeda nyata dalam hal penemuan inang (P=0.002), penyelidikan ovipositor (P<0.001) dan banyaknya inang terparasit (P<0.001) (Tabel 3, Lampiran 7). Tabel 3 Penemuan inang, penyelidikan ovipositor, host feeding dan oviposisi A. lopezi terhadap empat spesies kutu putih tanaman ubi kayu pada uji tanpa pilihan (pengamatan dalam 30 menit) Rata-rata (± SD)a Spesies kutu putih
Penemuan inang (kali)
Penyelidikan ovipositor (kali)
Host feeding (kali)
Inang terparasit (individu)
Telur&larva ditemukan (individu)
P. manihoti
13.70± 7.18b
8.20±5.68b
0.20±0.41a
2.05±1.43b
2.05±1.43b
P. marginatus
9.85±10.24a
0.70±1.84a
0.25±0.55ab
0a
0a
P. jackbeardsleyi
6.60± 3.62a
0.35±0.68a
0.30±0.47b
0a
0a
F. virgata
5.75± 4.09a
0.10±0.45a
0a
0a
0a
41.152
6.388
58.344
58.344
2
χ
14.682
Df
3
P-value
<0.002
a
3 <0.001
3
3
3
0.094
<0.001
<0.001
Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata (Uji Dunn α = 5%).
Urutan kerentanan keempat spesies kutu putih terhadap parasitoid A. lopezi, dimulai dari yang paling rentan, yaitu P. manihoti, P. marginatus, P. jackbeardsleyi, dan F. virgata. Kutu putih P. manihoti lebih sering (13.70±7.18
24 kali) dikunjungi atau ditemukan oleh parasitoid daripada kutu putih P. marginatus (9.85±10.24 kali), P. jackbeardsleyi (6.60±3.62 kali), dan F. virgata (5.75±4.09 kali). Hal serupa terjadi pula pada penyelidikan ovipositor, yaitu lebih banyak pada P. manihoti (8.20±5.68 kali), dibandingkan pada P. marginatus (0.70±1.84 kali), P. jackbeardsleyi (0.35±0.68 kali), dan F. virgata (0.10±0.45 kali) (Tabel 3). Penyelidikan ovipositor terhadap keempat spesies kutu putih berlangsung sekitar 3-5 detik. Upaya penyelidikan ovipositor yang dilakukan parasitoid, adalah untuk menentukan cocok tidaknya inang yang diselidiki tersebut sebagai tempat perkembangan hidup keturunannya. Lampiran 8 menunjukkan upaya penyelidikan ovipositor yang dilakukan parasitoid terhadap P. manihoti, P. marginatus dan P. jackbeardsleyi. Tahap selanjutnya apabila parasitoid merasa cocok dan dapat menerima inangnya, parasitoid akan terstimulasi untuk melakukan peletakan telur di dalam tubuh inangnya, disebut oviposisi (Gambar 6). Keberhasilan oviposisi inilah yang menentukan terparasit atau tidaknya suatu inang. Banyaknya inang yang terparasit oleh A. lopezi dari keempat spesies yang diujikan tanpa pilihan menunjukkan P. manihoti adalah yang paling tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya telur dan atau larva parasitoid yang ditemukan dalam tubuh inang (Gambar 7 dan 8). Rata-rata jumlah inang yang terparasit pada P. manihoti selama 30 menit dipaparkan dengan A. lopezi adalah 2.05±1.43 individu (kisaran 0-4 individu inang).
0.5 mm
Gambar 6 Perilaku oviposisi A. lopezi pada P. manihoti Hasil pengamatan pembedahan pada seluruh tubuh kutu putih yang terparasit ditemukan satu individu telur atau larva parasitoid dalam setiap satu inang. Parasitoid tidak memarasit dan melakukan peletakan telur sama sekali pada ketiga spesies uji lainnya, baik P. marginatus, P. jackbeardslyei, maupun F. virgata. Hal demikian menunjukkan bahwa P. manihoti adalah spesies kutu putih yang paling rentan untuk diparasit A. lopezi. Oviposisi yang dilakukan A. lopezi terhadap P. manihoti dapat berlangsung hanya dalam hitungan detik hingga menit. Pada hasil pengamatan waktu selama oviposisi tercatat A. lopezi melakukan oviposisi terlama sembilan menit satu detik. Terkadang parasitoid perlu melakukan drilling permukaan kutu putih beberapa kali agar berhasil meletakkan telurnya.
25
a
b
0.025 mm
0.025 mm
Gambar 7 Telur A. lopezi, (a) baru diletakkan, (b) siap menetas a 0.01 mm
b 0.01 mm
c 0.02 mm
Gambar 8 Larva A. lopezi, (a) instar I, (b) instar I baru berganti kulit, (c) instar lanjut Tidak ada perbedaan yang nyata dari parasitoid dalam hal frekuensi pengisapan inang (P=0.094). Frekuensi terjadinya pengisapan inang sangat jarang dengan frekuensi rata-rata berkisar antara 0.20 kali hingga 0.35 kali, dengan masa penyengatan berlangsung beberapa detik, dan tidak sampai menimbulkan kematian pada inangnya. Bahkan pada F. virgata tidak teramati adanya pengisapan inang oleh parasitoid. Permukaan tubuh F. virgata yang ditutupi lilin yang lebih tebal dan lengket, tampaknya menyulitkan parasitoid untuk melakukan penemuan inang, penyelidikan ovipositor, dan terutama pengisapan inang. Pada beberapa kesempatan teramati adanya parasitoid yang terjerat lilin, dan parasitoid segera berupaya menjauh dari inang (Lampiran 9). Preferensi A. lopezi pada Spesies Inang (Uji Dua Pilihan) Berdasarkan uji pilihan berpasangan antara P. manihoti dengan P. marginatus, parasitoid A. lopezi memperlihatkan perbedaan yang sangat nyata (P <0.001) dalam hal penyelidikan ovipositor dan banyaknya inang terparasit (Tabel 4, Lampiran 10). Parasitoid lebih sering melakukan penyelidikan ovipositor pada kutu P. manihoti (4.05±3.22 kali) dibandingkan pada P. marginatus (0.50±1.05 kali). Hal ini ditunjukkan pula oleh rataan banyaknya inang terparasit yaitu
26 1.40±0.90 individu pada P. manihoti, sementara tidak ada satu pun kutu P. marginatus yang terparasit. Namun demikian, parasitoid A. lopezi memperlihatkan respon yang tidak berbeda nyata terhadap kutu P. manihoti dan P. marginatus dalam hal penemuan inang (P=0.201) dan pengisapan inang (P=0.648). Tabel 4 Penemuan inang, penyelidikan ovipositor, host feeding dan oviposisi A. lopezi terhadap P. manihoti yang dipasangkan dengan spesies kutu putih bukan sasaran pada uji dua pilihan Rata-rata (± SD) Perlakuan berpasangan
Inang terparasit (individu)
Telur&larva diletakkan (individu)
Penemuan inang (kali)
Penyelidikan ovipositor (kali)
Host feeding (kali)
P. manihoti
8.80±8.21
4.05±3.22
0.06±0.25
1.40±0.90
1.60±1.10
P. marginatus
5.95±6.80
0.50±1.05
0.40±1.10
0
0
0.201
<0.001
0.648
P. manihoti
7.70±4.16
4.25±2.63
0.20±0.70
1.70±1.53
2.00±1.86
P. jackbeardsleyi
5.20±3.04
0.60±0.94
0.20±0.52
0
0
0.056
<0.001
0.820
P. manihoti
6.40±3.40
4.35±2.06
0
1.65±0.88
1.75±0.97
F. virgata
2.85±2.01
0.05±0.22
0
0
0
<0.001
<0.001
P-value
P-value
P-value
1.000
<0.001
<0.001
<0.001
<0.001
<0.001
<0.001
Ket: Pengamatan dalam 30 menit
Perbedaan yang sangat nyata (P<0.001) juga terjadi dalam uji pilihan berpasangan antara P. manihoti dengan P. jackbeardsleyi. Parasitoid lebih sering melakukan penyelidikan ovipositor pada P. manihoti (4.25±2.63 kali) daripada terhadap P. jackbeardsleyi (0.60±0.94 kali). Rataan banyaknya inang terparasit yaitu 1.70±1.53 individu pada P. manihoti dan tidak seekor pun pada P. jackbeardsleyi. Tidak ada perbedaan yang nyata dalam hal penemuan inang (P=0.056) dan pengisapan inang (P=0.820) oleh parasitoid pada P. manihoti dan P. jackbeardsleyi (Tabel 4). Dalam uji pilihan berpasangan antara P. manihoti dengan F. virgata, parasitoid A. lopezi lebih sering melakukan penyelidikan ovipositor pada P. manihoti (4.35±2.06 kali) dibandingkan pada F. virgata (0.05±0.22 kali), dengan rataan banyaknya inang terparasit 1.65±0.88 individu dan tidak sama sekali pada F. virgata. Berbeda dengan uji pilihan berpasangan sebelumnya, parasitoid A. lopezi memberikan respon penemuan yang berbeda nyata (P<0.001). Rataan penemuan inang pada F. virgata (2.85±2.01 kali) jauh lebih sedikit dibandingkan pada P. manihoti (6.40±3.40 kali) (Tabel 4). Semua perbedaan ini diperkirakan terkait dengan benang lilin yang lebih tebal dan lengket yang terdapat pada permukaan tubuh F. virgata seperti disebutkan sebelumnya, sehingga antena parasitoid terjerat kemudian parasitoid berusaha untuk mundur dan tidak lagi mendekati kutu putih (Lampiran 9). Hasil pengamatan pengisapan inang yang dilakukan A. lopezi terhadap
27 ketiga uji berpasangan memperlihatkan hasil yang relatif sama dengan pengujian tanpa pilihan. A. lopezi hanya beberapa kali melakukan host feeding terhadap P. manihoti, P. marginatus, dan P. jackbeardsleyi dengan waktu penyengatan hanya beberapa detik saja dan tidak sampai menimbulkan kematian pada inangnya Hasil pembedahan dari satu individu P. manihoti yang terparasit dapat ditemukan sebanyak 1-3 individu telur atau larva yang berkembang. Spesies P. marginatus, P. jackbeardsleyi dan F. virgata masing-masing tidak dimanfaatkan sama sekali oleh parasitoid betina untuk tempat memarasit dan meletakkan telur saat dipaparkan bersama dengan P. manihoti, walaupun parasitoid betina ada upaya melakukan penyelidikan ovipositor beberapa kali dalam waktu beberapa detik saja. Pada P. jackbeardsleyi sempat dilakukan penyelidikan ovipositor oleh A. lopezi hingga 10 detik, namun saat dilakukan pembedahan tidak ditemukan telur parasitoid yang diletakkan. Hasil pengamatan waktu selama oviposisi A. lopezi yang dilakukan terhadap P. manihoti dapat berlangsung mulai hitungan detik sampai tujuh menit satu detik. Sama halnya pada pengujian kerentanan inang tanpa pilihan, terkadang parasitoid perlu melakukan drilling permukaan kutu putih beberapa kali agar berhasil meletakkan telurnya.
PEMBAHASAN Pemahaman kekhususan inang dari suatu agens pengendalian hayati merupakan salah satu kriteria yang penting diperlukan untuk mengevaluasi potensi penggunaannya dan bentuk kewaspadaan dari resiko kehadirannya menyerang inang bukan sasaran (Van Lenteren et al. 2003). Pengetahuan ini sangat penting terutama bila agens hayati yang digunakan didatangkan dari negeri lain. Salah satu bentuk kewaspadaan yang perlu dilakukan terhadap dampak negatif kehadiran musuh alami baru di suatu lingkungan adalah perlu pengujian terhadap potensi musuh alami dalam hal kecenderunganya menyerang sejumlah spesies inang yang bukan sasaran. Selain itu, keberhasilan parasitisasi suatu parasitoid adalah mengharuskan parasitoid mampu beradapatasi dan melakukan seleksi inang dalam pencarian dan pertahananya pada suatu lokasi habitat, lokasi inang, penerimaan inang, dan kesesuaian inang (Heidari & Jahan 2000). Walaupun informasi tingkat keefektifan dan keamanan A. lopezi sudah dilaporkan di beberapa negara lain yang juga melakukan introduksi, namun pengujian kekhususan inang dan keamanan terhadap spesies inang bukan sasaran perlu dilakukan demi memastikan bahwa agens hayati yang diuji tidak memakan, memangsa, atau memarasit organisme lokal bukan sasaran, dan hama kutu putih spesies lainnya. Kisaran inang adalah sekumpulan spesies inang yang diterima dan digunakan untuk perkembangan hidup suatu spesies parasitoid. Penentuan kisaran inang merupakan langkah pertama yang perlu dilakukan dalam mengevaluasi parasitoid (Van Driesche & Hoodle 1997). Sekumpulan spesies yang dimanfaatkan sebagai inang parasitoid di lapangan disebut kisaran inang ekologis (Onstad & Mc Manus 1996). Kisaran inang fundamental adalah sekumpulan spesies yang diterima oleh parasitoid dan dapat mendukung perkembangan hidupnya di laboratorium (Onstad & Mc Manus 1996). Pemilihan spesies dalam studi kisaran inang fundamental perlu didasarkan pada hubungan filogenetik antara spesies sasaran dengan bukan sasaran (Van Klinken 2000; Khulmann & Mason 2003). Seleksi terhadap inang bukan sasaran memerlukan pertimbangan yang cermat serta dikonsultasikan kepada ahli-ahli taksonomi dan biologi. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian kekhususan inang A. lopezi terhadap tiga spesies inang, kutu putih bukan sasaran selain terhadap P. manihoti yang dilaporkan menjadi inang utamanya. Berdasarkan kategori dalam menentukan inang bukan sasaran yang disebutkan oleh Khulmann et al. (2006) disesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia, terdapat tiga spesies hama kutu putih bukan sasaran yang sama-sama berasosiasi dengan tanaman ubi kayu dan memiliki kemiripan taksonomi yaitu P. marginatus, P. jackbeardsleyi, dan F. virgata. Ketiganya bukan termasuk hama lokal, namun keberadaannya merupakan hama penting di Indonesia yang mempengaruhi nilai ekonomi dan memiliki kisaran inang yang luas. Perilaku A. lopezi dalam Memarasit Kutu Putih Peneletian ini menunjukkan hasil bahwa A. lopezi memiliki kekhususan inang yaitu hanya memarasit kutu putih P. manihoti, baik pada uji tanpa pilihan
29 maupun uji pilihan berpasangan. A. lopezi hanya berkembang baik mencapai imago pada uji kesesuaian menggunakan inang dari spesies P. manihoti. A. lopezi banyak dilaporkan sebagai endoparasit soliter yang secara alami dapat mengendalikan nimfa dan imago P. manihoti (Odebiyi & Bokonon·Ganta 1986; Neuenschwander 1994, Neuenschwander 2001). Tiga spesies kutu putih lainnya yang diuji (P. marginatus, P. jackbeardsleyi, dan F. virgata) sama sekali tidak diparasit. Selama pengamatan ketiga spesies tersebut tampak mempengaruhi daya tarik perilaku pencarian A. lopezi untuk melakukan penemuan inang dan penyelidikan ovipositor, selain terhadap P. manihoti, juga terhadap P. marginatus, P. jackbeardsleyi, dan F. virgata. Perilaku pencarian inang dimulai dengan pergerakan antena ke atas dan ke bawah, kemudian mulai mendekati kutu putih hingga terjadi penemuan inang, dan dilanjutkan melakukan penyelidikan ovipositornya (Lampiran 8). Proses perilaku individu parasitoid di lapangan dalam keberhasilannya memarasit inang, parasitoid perlu melalui beberapa tahapan yang harus dapat dilakukan, yaitu: a) penemuan lokasi habitat, b) penemuan inang, c) penerimaan inang, dan d) kesesuaian inang. Penemuan habitat dan inang bagian dari serangkaian respon yang terjadi pada berbagai skala spasial parsitoid. Penemuan inang pada jarak yang jauh bergantung pada sinyal, berupa kairomon atau synomon semacam bau yang dapat berasal dari inang. Kotoran yang diproduksi inang, proses selama ganti kulit, proses selama makan dapat menjadi kairomon yang menjadi sinyal bagi parasitoid. Selain itu sinyal juga dapat berasal dari tanaman inang yang terserang dan menjadi synomon untuk parasitoid, serta interaksi antara inang dan tanaman inang seperti kerusakan selama proses makan inang menjadi synomon pada parasitoid (Van Alphen & Jervis 1996; Van Driesche et al. 2008; Purnomo 2010). Proses penemuan inang dalam jarak yang pendek bagi parasitoid, dipengaruhi oleh senyawa kimia tertentu yang memberitahukan kepada parasitoid bahwa inangnya sudah dekat. Dalam hal ini parasitoid akan terpengaruh untuk lebih aktif bergerak, berjalan mendekati suatu area tertentu untuk merasakan keberadaan inangnya pada permukaan yang non volatil, melalui sentuhan bukan dengan penciumannya. Parasitoid akan berupaya melakukan penangkapan, pencarian jejak, dan secara intensif menelusuri keberadaan inangnya. Senyawa kimia tersebut dapat berasal dari lokasi makan inang berupa material yang dihasilkan oleh inang ataupun yang dipancarkan dari tanaman yang terinfestasi (kairomon). Material tersebut dapat bersumber dari kotoran inang (embun madu), bagian tubuh (seta tubuh dan filamen tubuh), dan sekresi (sutra, kelenjar ludah, penanda feromon) (Van Driesche et al. 2008). Menurut Heidari dan Jahan (2000), perilaku parasitoid ketika mulai mencari dan menemukan inangnya yang dirasa cocok untuk ditusuk, parasitoid akan berbalik searah jarum jam atau berlawanan dan mulai menekukkan ujung abdomen untuk mulai memposisikan ovipositor dalam posisi yang tepat. Selanjutnya parasitoid mulai melakukan penusukan atau drilling yaitu melubangi tubuh kutu putih selama beberapa detik. Biasanya posisi tubuh inang yang ditusuk mulai dari tepi tubuh inang. Selama penetrasi ovipositor dan penyisipan telur ke dalam tubuh inang, sayap parasitoid direntangkan secara vertikal di atas tubuhnya. Upaya parasitoid setelah melakukan penetrasi adalah oviposisi, yaitu upaya parasitoid memasukkan telur ke dalam tubuh inang melalui ovipositornya
30 (Gambar 6). Keberhasilan parasitoid melakukan oviposisi merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan keberhasilan parasitisasi menjadi efektif. Namun perilaku penetrasi tidak selalu menandakan terjadinya peletakkan telur (Heidari & Jahan 2000). Dalam penelitian ini, kegiatan penyelidikan ovipositor oleh A. lopezi terjadi pada keempat spesies kutu putih yang diuji. Namun demikian, hasil pembedahan tidak ditemukan adanya telur atau larva parasitoid di dalam tubuh P. marginatus, P. jackbearsdsleyi, dan F. virgata. Hal ini berbeda dengan yang berlangsung pada P. manihoti, setelah melakukan penyelidikan ovipositor, parasitoid berulang kali mendatangi dan menusukkan ovipositornya untuk meletakkan telur di dalam tubuh P. manihoti. Kegiatan oviposisi dapat berlangsung hingga beberapa menit. Pada saat parasitoid melakukan penetrasi, inang dapat menunjukkan pertahanannya dengan bergerak cepat menghindari parasitoid atau menekuknekukkan tubuhnya ke atas dan ke bawah. Terkadang setetes eksudat cairan keluar dari tubuh inang. Pada penelitian ini upaya pertahanan ditunjukkan pula oleh keempat spesies kutu putih, terutama F. virgata (Lampiran 9). Tubuh F. virgata dipenuhi lilin-lilin yang lebat, panjang dan lengket, menyebabkan antena, sayap ataupun tungkai parasitoid menjadi terjerat dan menyulitkan A. lopezi untuk mendekati F. virgata. Lilin-lilin yang muncul dari tubuh F. virgata ini seringkali menjadi perlindungan yang baik bagi tubuh F. virgata terhadap beberapa spesies parasitoid, selain sebagai pertahanan dari serangan A. lopezi, juga pernah dilaporkan sebagai pertahanan dari Anagyrus sp. nov. nr. sinope dan Allotropa suasaardi Sarkar & Polazek (Hymenoptera: Platygasteridae) (Chong & Oetting 2007; Sarkar et al. 2014). Walaupun demikian tidak semua parasitoid tidak mampu memarasit F. virgata. Parasitoid utama dari F. virgata yang dilaporkan mampu menyerang F. virgata adalah Aenasius advena Compere (Noyes & Ren 1995), Blepyrus insularis (Cameron) (Attia 2012), dan Anagyrus brevicornis Shamim & Shafee (Hymenoptera: Encyrtidae) (Noyes & Hayat 1994). Selesai melakukan penetrasi dan oviposisi, parasitoid segera menarik ovipositornya kembali dari tubuh inangnya sambil tetap mengetuk-ngetukkan antena dan berpindah meninggalkan inang untuk segera membersihkan berbagai bagian tubuhnya mulai dari antena, sayap, alat mulut dan tungkainnya. Selanjutnya parasitoid akan melakukan pencarian inang baru kembali atau berdiam diri atau beristirahat. Selama hidupnya, keberadaan kutu putih bagi parasitoid A. lopezi tidak saja sebagai tempat peletakan telur untuk kelangsungan hidupnya, tetapi juga berperan sebagai sumber makanan bagi parasitoid. Selain mengisap nektar dan cairan madu A. lopezi juga diketahui dapat mengisap cairan dari tubuh kutu putih atau dikenal dengan istilah pengisapan inang (host feeding). Pada penelitian ini A. lopezi hanya beberapa kali melakukan pengisapan inang terhadap kutu putih P. manihoti, P. marginatus, dan P. jackbeardsleyi dengan waktu penyengatan selama beberapa detik saja dan tidak sampai menimbulkan kematian pada inangnya. Pengisapan inang tidak dilakukan terhadap F. virgata diduga karena pertahanan alami yang dimiliki F. virgata. Menurut Neuenschwander dan Madojemu (1986), A. lopezi memiliki kemampuan mematikan inangnya (P. manihoti) melalui perilaku pengisapan inang sebesar 6-22%. Kemampuan ini masih lebih rendah dibandingkan dengan kemampuannya mematikan inangnya akibat oviposisi dan
31 pemarasitan langsung yaitu sebesar 11-34%. Perilaku pengisapan inang oleh A. lopezi umumnya banyak terjadi terhadap inang stadia muda (Neuenschwander & Sullivan 1987). Telur dan Larva A. lopezi Telur dan larva A. lopezi diamati melalui pembedahan terhadap kutu putih yang terparasit pada uji tanpa pilihan dan dua pilihan. Pada pembedahan terhadap P. manihoti yang dilakukan dua hari setelah infestasi, umumnya parasitoid ditemukan sudah dalam bentuk larva (Gambar 8) dan beberapa masih dalam bentuk telur (Gambar 7). Larva yang ditemukan diperkirakan masih instar I dan beberapa ditemukan mulai memasuki instar II yang terlihat dari eksuvium yang akan ditanggalkan (Gambar 8). Telur yang ditemukannya pun terlihat seperti telur yang berumur muda dan lainnya ditemukan sudah matang dan diperkirakan sudah siap untuk menetas. Telur berbentuk oval dan sedikit cembung serta terlihat memiliki tangkai yang sangat pendek. Tubuh larva agak melekuk dan meruncing di bagian posterior. Ukuran dari telur dan larva parsitoid ini sangat kecil, telurnya berukuran sekitar 0.075 mm sedangkan larvanya berturut-turut dari instar I sampai instar IV adalah 0.0305, 0.0500, 0.0840, dan 0.1453 mm (Odebiyi & Bokonon·Ganta 1986). Telur parasitoid diletakkan secara bebas dalam tubuh inang dan umumnya hanya satu butir telur per inang, namun terkadang juga terdapat dua atau lebih telur. Pada uji tanpa pilihan parasitoid meletakkan satu butir telur per inang, namun pada uji pilihan berpasangan parasitoid meletakkan satu sampai tiga butir telur per inang. Perbedaan ini diduga karena ketersediaan inang yang lebih sedikit pada uji pilihan berpasangan dibanding dengan uji tanpa pilihan, sehingga parasitoid berkesempatan meletakkan telur lagi pada inang yang sebelumnya sudah diletaki telur. Sifat superparasitisme parasitoid A. lopezi juga dilaporkan oleh Odebiyi dan Bokonon·Ganta (1986). Perkembangan A. lopezi pada P. manihoti Parasitoid A. lopezi yang keluar dari P. manihoti yang dipelihara pada tunas kentang berukuran lebih kecil dibandingkan yang dipelihara pada bibit ubi kayu. Panjang tubuh A. lopezi pada kentang dan bibit ubi kayu berturut-turut 1.26±0.32 dan 1.75±0.21 mm, sedangkan panjang tibia 0.37±0.14 dan 0.47±0.08 mm. Sagarra et al. (2001) medapatkan korelasi positif antara panjang tibia belakang dengan berbagai parameter kebugaran parasitoid Anagyrus kamali Moursi (Hymenoptera: Encyrtidae) yang meliputi lama hidup, keperidian, banyaknya keturunan yang muncul, dan nisbah kelamin. Perbedaan hasil perkembangan A. lopezi dari media inang kutu putih dapat terjadi karena kurang sesuainya P. manihoti hidup bertahan dan berkembang pada kentang yang bertunas. P. manihoti dilaporkan lebih mampu berkembang baik pada tanaman inang utamanya berupa ubi kayu. Kualitas tumbuhan inang, bahkan vrietas ubi kayu sebagai inang P. manihoti memegang peranan dalam dinamika populasi hama dan berpengaruh terhadap perkembangan pradewasa dan imagonya (Wardani et al. 2014). Menurut Souisii dan Le Rü (1999), terdapat hubungan ketertarikan bau tanaman ubi kayu yang terinfestasi P. manihoti dengan respon perilaku A. lopezi
32 betina. Menurutnya perubahan fisiologi dari senyawa kimia volatil yang terkandung di dalam ubi kayu akibat infestasi kutu putih terjadi perubahan dan menjadi atraktan bagi A. lopezi. Atraktan tersebut terdeteksi A. lopezi melalui sekresi lilin dan embun madu yang dihasilkan dari P. manihoti. Kualitas dan kuantitas bahan kimia volatil yang dipancarkannya dapat bervariasi sesuai dengan kualitas gizi tanaman inang yang dimakan kutu putih dan mempegaruhi perilaku pencarian parasitoid terhadap inangnya. Hipotesa yang disampaikan Souissi dan Le Rü (1999) tersebut dapat menjadi penjelasan mengapa daya tarik dan perkembangan parasitoid pada uji kesesuaian terhadap P. manihoti yang diinfestasikan ke tanaman ubi kayu lebih banyak dan berukuran lebih bugar daripada pada kutu putih yang diinfestasikan pada kentang bertunas. Nimfa P. manihoti yang terparasit tubuhnya perlahan-lahan semakin melemah dan akan mengeras (mumifikasi). Tubuh semakin kaku, lebih menggembung ke atas dan berwarna coklat keabu-abuan, semakin lama mumi tampak semakin jelas mengandung pupa A. lopezi (Gambar 5). Gejala tubuh kutu putih yang terparasit mulai terlihat pada hari ke delapan pasca infestasi. Lama perkembangan A. lopezi sejak infestasi hingga muncul imago pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian siklus hidup yang dilakukan oleh Odebiyi dan Bokonon·Ganta (1986). Pada penelitiannya siklus hidup paling cepat dari telur diletakkan hingga muncul imago adalah 11 hari dengan rata-rata kisaran 18 sampai 25 hari setelah infestasi. Dalam penelitian ini kemunculan imago pada inang kutu putih di media kentang dan ubi kayu masing masing selama 14.9-26.4 dan 15.5-24 hari. Potensi A. lopezi sebagai Agens Hayati di Indonesia Studi kekhususan inang yang menyeluruh perlu mencakup kisaran inang ekologis dan kisaran inang fisiologis atau fundamental (Strand & Obrycki 1996). Kisaran inang fisiologis umumnya lebih lebar daripada kisaran inang ekologis, karena yang disebut terakhir dipengaruhi oleh ketersediaan inang, perilaku parasitoid dan iklim (Haye et al. 2005). Penelitian ini tidak dilakukan uji kisaran inang terhadap kutu putih yang menyerang tanaman selain ubi kayu. Berdasarkan uji kisaran inang ekologis, yaitu hanya kutu putih P. manihoti yang menjadi inang parasitoid A. lopezi, sedangkan kutu putih lainnya yaitu P. marginatus, P. jackbeardsleyi, dan F. virgata bukan inang parasitoid A. lopezi. Di negeri asalnya dilaporkan bahwa A. lopezi dapat memarasit kutu P. herreni dan P. parvus (Noyes & Hayat 1994) dan P. gossypii (CABI 2008b). Keberhasilan introduksi parasitoid sebagai musuh alami sangat ditentukan oleh kemampuannya beradaptasi terhadap iklim, tanaman inang, serangan musuh alami lokal, dan menemukan inang alternatif di lokasi yang baru (Van Driesche et al. 2008). Keberadaan inang alternatif sangat penting bagi keberhasilan pengendalian hayati karena dapat menjaga populasi pada saat inang utamanya sangat jarang atau tidak ditemukan di lapangan (DeBach & Bartlett 1964). Sifat kekhususan inang A. lopezi menimbulkan resiko terjadinya kepunahan lokal parasitoid pada saat populasi kutu P. manihoti sangat rendah. Bila hal ini terjadi, maka diperlukan upaya augmentasi dengan cara senantiasa melakukan pembiakan massal parasitoid di laboratorium kemudian melepaskan populasi parasitoid ke lapangan. Manley et al. (2001) menyebutkan perlunya konservasi musuh alami
33 dengan menciptakan kondisi yang ideal bagi agens hayati untuk melindungi musuh alami agar tetap dapat bertahan hidup di area target. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan praktek bercocok tanam dan pemakaian pestisida yang selektif. Keefektifan dari suatu musuh alami dalam pengendalian hayati salah satunya adalah mampu mendeteksi populasi hama pada kepadatan yang rendah dan memiliki pertumbuhan populasi lebih cepat dibandingkan hama sasaranya (Manley et al. 2001). Lama perkembangan A. lopezi yang relatif lebih singkat dari P. manihoti dapat mendukung keefektifan dari perannya sebagai musuh alami. Akan tetapi sifat kekhususan inang A. lopezi juga dapat menimbulkan hambatan dalam hal peluang penyediaan inang alternatif untuk keperluan pembiakan massal parasitoid. Pembiakan massal parasitoid A. lopezi hanya dapat dilakukan pada kutu P. manihoti. Seperti kebanyakan kutu putih, P. manihoti dapat diperbanyak pada tunas kentang di laboratorium. Namun demikian, hasil penelitian selama ini menujukkan bahwa media pembiakan inang berpengaruh terhadap perkembangan parasitoid. Dalam penelitian ini, keturunan parasitoid yang muncul dari koloni P. manihoti yang dipelihara pada tanaman ubi kayu hampir dua kali lebih banyak dibandingkan dengan yang dipelihara pada kentang bertunas. Selain itu persentase betina yang muncul lebih banyak pada tanaman ubi kayu. Hal ini memungkinkan bahwa pembiakan massal parasitoid A. lopezi sebaiknya menggunakan tanaman ubi kayu sebagai inang kutu P. manihoti. Selain mudah didapat, harga stek ubi kayu jauh lebih murah daripada kentang bertunas. Hambatan lain yang mungkin terjadi akibat sifat kekhususan inang adalah terbatasnya peluang pemanfaatan parasitoid ini untuk mengendalikan spesies kutu putih yang lain. Namun demikian, dari segi pelestarian biodiversitas, sifat kekhususan inang ini merupakan sesuatu yang menguntungkan karena parasitoid tersebut tidak akan menimbulkan resiko terhadap spesies bukan sasaran. Sifat kekhususan inang yang tinggi seperti A. lopezi ini, menjadikan kehadirannya tidak akan menimbulkan persaingan dengan spesies musuh alami yang sudah ada, parasitoid ini hanya memarasit P. manihoti, sehingga diharapkan dapat memelihara dan meningkatkan keanekaragaman hayati musuh alami di agroekosistem.
SIMPULAN DAN SARAN Parasitoid A. lopezi merupakan parasitoid yang kesesuaian inangnya hanya terhadap hama sasarannya yaitu P. manihoti. Anagyrus lopezi hanya berkembang baik mencapai imago pada uji kesesuaian menggunakan inang dari spesies P. manihoti. Baik inang dari spesies P. marginatus, P. jackbeardsleyi dan F. virgata sama sekali tidak diparasit oleh A. lopezi. Kerentanan inang dan preferensi tertinggi dari A. lopezi terjadi pada P. manihoti dengan jumlah telur yang diinfestasikan ataupun larva parasitoid yang berkembang dalam inang rata-rata terdapat satu individu telur atau satu larva parasitoid dalam setiap satu inang. Pada uji berpasangan, P. manihoti dapat diletaki satu sampai tiga butir telur atau larva parasitoid dalam setiap inang. Perilaku spesifik inang A. lopezi menunjukkan bahwa upaya pengendalian hayati klasik dapat dilanjutkan pada tahap pelepasannya di area pertanaman ubi kayu di Indonesia, terutama pada area yang terserang P. manihoti. Keberadaannya diharapkan mampu berkembang secara menetap, bekerja efektif tanpa mengganggu inang bukan sasaran dan menjadikan keanekaragaman hayati yang ada dalam ekosistem setempat tetap seimbang. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan dalam hal evaluasi terhadap penyebaran dan kelimpahan individu A. lopezi setelah pelepasannya di lapangan dari segi ekonomi. Selain itu perlu juga penelitian lebih lanjut pada tingkat probabilitasnya di berbagai propinsi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Attia AR. 2012. Hymenopterous parasitoids as a bioagents for controlling mealybugs (Hemiptera: Pseudococcidae) in Egypt [review]. J Biolog Sci. 5(3): 183-192. Awadallah KT, Ammar ED, Tawfik MFS, Rashad A. 1979. Life-history of the white mealy-bug Ferrisia virgata (CKLL.) (Homoptera, Pseudococcidae) [abstrak]. Deutsche Entomologische Zeitschrift. [internet]. [diunduh 2014 Jun 15]; 26(1-3): 101-111. Doi: 10.1002/mmnd.19790260111. Tersedia pada:http://onlinelibrary.wiley. com/doi/ 10.1002/mmnd. 19790260111/ abstract;jsessionid=ED4881899D337E78395975AD8098A351.f03t02?denie dAccessCustomisedMessage=&userIsAuthenticated=false. Bellotti AC, Melo EL, Arias B, Herrera CJ, Hernandez MDP, Holguin CM, Guerrero JM, Trujillo H. 2003. Biological control in the neotropics: a selective review with emphasis on cassava. Biologic Contr Arthrop. hlm 206-277. [BPPP] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011. Inovasi Pengolahan Singkong Meningkatkan Pendapatan dan Diversifikasi Pangan. Jakarta (ID): Badan Litbang Pertanian. CABI. 2008a. Data sheet Crop Protection compendium: Manihot esculenta. [diunduh 2014 Jul 01]. Tersedia pada: http://www.cabi.org/cpc/ datasheet /32401. CABI. 2008b. Data sheet Invasive species compendium: Epidinocarsis lopezi. [diunduh 2014 Apr 15]. Tersedia pada: http://www.cabi.org/isc/ datasheet /21498. CABI. 2013a. Data sheet Invasive species compendium: Phenacoccus manihoti. [diunduh pada 2014 Apr 15]. Tersedia pada: http://www.cabi.org/isc/ datasheet /40173. CABI. 2013b. Data sheet Invasive species compendium: Ferrisia virgata. [diunduh 2014 Apr 15]. Tersedia pada: http://www.cabi.org/isc/datasheet /23981. CABI. 2014. Data sheet Invasive species compendium: Paracoccus marginatus. [diunduh 2014 Apr 15]. Tersedia pada: http://www.cabi.org/isc/datasheet /23981. Calatayud PA, Le Rü B. 2006. Cassava Mealybug-Interaction. Paris (FR): IRD Editions. Chong JH, Oetting RD. 2007. Specificity of Anagyrus sp. nov. nr. sinope and Leptomastix dctylopii for six mealybug species. Biocontrol. 52: 289-308. DOI 10.1007/s10526-006-9025-5. DeBach P, Bartlett BR. 1964. Methods of colonization, recovery and evaluation. Di dalam: DeBach P (Eds.), Biological Control of Insect Pests and Weeds. pp. 402-426. London: Chapman & Hall. Dwianri I. 2013. Praktek budidaya dan persepsi petani ubi kayu terhadap hama kutu putih Phenacoccus manihoti di Kabupaten Bogor. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
36 [FAO] Food and Agricultural Organisation of the United Nations. 1996. ISPM Pub. No. 3 Code of Conduct for the Import and Release of Exotic Biological Control Agents. Rome (IT): FAO Published. [FAO] Food and Agricultural Organisation of the United Nations. 2013. Cahpter 6. Pest and disease. Di dalam: Save and Grow: Cassava A Guide to Sustainable Production Intensification. Rome (IT): FAO Published. hlm 7486. pp 130. Haye T, Goulet H, Mason PG, Kuhlmann U. 2005. Does fundamental host range match ecological host range. A restrospective case study of a Lygus plant bug parasitoid. Biological Control 35: 55-67. Heidari M, Jahan. 2000. A study of ovipositional behaviour of Anagyrus pseudococci a parasitoid of mealybugs. J Agr Sci Tech. 2: 49-53. Hogendoorn K, Keller M, Baker G. 2013. Preparedness for Biological Control of High-priority Arthropod Pests. Adelaide (AU): University of Adelaide. hlm 11-12. pp 78. Indriati G, Khaerati. 2008. Pengendalian serangga vektor Ferrisia virgata pada tanaman lada dengan pestisida nabati. Bul Ristri. 1(2): 101-108. Ivakdalam LM. 2010. Dampak Ekonomi Serangan Hama Asing Invasif Paracoccus marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae) pada Usaha Petani Pepaya di Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Iziquel Y, Le Rü B. 1992. Fecundity, longevity, and intrinsic natural rate of increase of Epdinocarsis lopezi De santis) (Hymenoptera :Encyrtidae). Can Ent. 124: 1115-1121. Johnson W. 2000. Nature and scope of biological control [notes]. Biological Control of Pests. ENTO 675: 1-5. [Kementan] Kementerian Pertanian. 2011. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 93 tahun 2011 tentang Jenis Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 6. Jakarta (ID): Kemenkumham. Kuhlmann U, Mason PG. 2003. Use of field host range surveys for selecting candidate non-target species for physiological host specifity testing of entomophagous biological control agents. In: van Driesche RG (Ed.), Proceedings of the 1st International Symposium on Biological Control of Arthropods, Honolulu, Hawaii, 14-18 January 2002. Morgantown (WV): USDA, Forest Service. hlm 370-377. Kuhlmann U, Schaffner U, and Mason PG. 2006. Selection of non-target species for host specificity testing. Di dalam: Bigler F, Babendreir D, Kuhlmann U, editor: Environmental Impact of Invertebrates for Biological Control of Arthropods: Methods and Risk Assessment. Oxon (UK): Cabi Publishing. hlm 15-37. Mani M, Joshi S, Kalyanasundaram M, Shivaraju C, Krishnamoorhy A, Asokan R, Rebijith KB. 2013. A new invasive jack beardsley mealybug, Pseudococcus jackbeardsleyi (Hemiptera: Pseudococcidae) on papaya in India. Florida Entomologist. 96(1): 242-245. Manley DG, Murdock EC, Thompson J, James WR, King DR, Miller RW. 2001. Biological Control of Pest 4-H IPM Project. Cooperative Extension Work in Agriculture and Home Economics; 2001 Feb; Clemson, South
37 Carolina. Clemson (AS): Clemson University. [internet]. [diunduh 2015 Apr 08]. Tersedia pada: http:// www.clemson.edu/psapublishing/pages/4H/4H Man136.pdf. Mau RFL, Kessing JLM. 2000. Crop knowledge master: Pseudococcus jackbeardsleyi Gimpel and Miller [internet]. [diunduh 2014 Jun 01]. Tersedia pada: http:// www.extento.hawaii.edu/kbase/crop/type/p_jackbe. htm. Muniappan R, Shepard BM, Walson GW, Carner GR, Rauf A, Hammig MD, Sartiami D. 2008. First report of the papaya mealybug, Paracoccus marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae), in Indonesia and India. J Urban and Agric Entomol. 25(1): 37-40. Muniappan R, Shepard BM, Watson GW, Carner GR, Rauf A, Sartiami D, Hidayat P, Afun JVK, Goergen G, Rahman AKMZ. 2011. New records of invasive insects (Hemiptera: Sternorrhyncha) in southern Asia and West Africa. J Agric Urban Entomol. 26(4): 167-174. Neuenschwander P. 1994. Control of the cassava mealybug in Africa: Lessons from a biological control project. Af Crop Sci J. 2(4): 369-383. Neuenschwander P. 2001. Biological control of the cassava mealybug in Africa: A review. Biological Control 21: 14–229. Doi: 10.1006/bcon.2001.0937. Tersedia pada: http://www.idealibrary.com. Neuenschwander P, Madojemu E. 1986. Mortality of the cassava mealybug, Phenacoccus manihoti Mat.-Ferr. (Hom., Pseudococcidae), associated with an attack by Epidinocarsis lopezi (Hym., Encyrtidae). Mitt Schweiz Ent Ges. 59: 57-62. Neuenschwander P, Sullivan D. 1987. Interactions between the endophagous parasitoid Epidinocarsis lopezi and its host, Phenacoccus manihoti. Insect Sci. Applic. 8(4): 857-859. Nowell DC, Maynard GV. 2005. International guidelines for the export, shipment, Import, and release of biological control agents and other beneficial organisms (International Standard for Phytosanitary Measures No. 3). Di dalam: Hoddle MS, editor. Second International Symposium on Biological Control of Arthopods; 2005 Sep 12-16; Davos. Davos (CH): FHTET. hlm 726-734. Noyes JS, Hayat M. 1994. Oriental mealybug parasitoids of the Anagyrini (Hymenoptera: Encyrtidae). Oxon (UK): CAB International. Noyes JS, Ren H. 1995. Encyrtidae of Costa Rica (Hymenoptera: Chalcidoidea): the genus Aenasius Walker, parasitoids of mealybugs (Homoptera: Pseudococcidae). Bull Nat Hist Lond (Entomol). 64(2): 117-163. Odebiyi JA, Bokonon·Ganta AH. 1986. Biology of Epidinocarsis {=Apoanagyrus} lopezi (Hymenpotera: Encyrtidae) an exotic parasite of cassava mealybug, Phenacoccus manihoti (Homoptera: Pseudococcidae) in Nigeria. Entomophaga 31(3): 251-260. Onstad DW, Mc Manus ML. 1996. Risks of host range expansion by parasites of insects. BioScience 46: 430-435. Parsa S, Kondo T, Winotai A. 2012. The cassava mealybug (Phenacoccus manihoti) in Asia: first records, potential distribution, and an identification key. Plos One. 7(10):e47675. DOI. 10.1371/journal. pone.0047675.
38 Pramayudi N, Oktarina H. 2012. Biologi hama kutu putih pepaya (Paracoccus marginatus) pada tanaman pepaya. J Floratek. 7: 32-44. Purnomo H. 2010. Pengantar Pengendalian Hayati. Yogyakarta (ID): ANDI OFFSET. Rauf A. 2014. Usuluan pemasukan parasitoid Anagyrus lopezi untuk pengendalian hayati kutu putih singkong, Phenacoccus manihoti. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian-IPB. 6 h. Rauf A, Rasyid S, Nurmansyah A. 1989. laboratory life table of Curinus coeruleus Mulsant (Coleoptera: Coccinellidae), an introduced predator for controling Heteropsylla cubana Crawford (Homoptera: Psyllidae): Di dalam: Napompeth B et al., editor. Leucaena Psyllid: Problems and Management. Proceedings of an International Workshop Held; 1989 Januari 16-21; Bogor. Bangkok (TH): Kasetsart University. hlm 119-121. Rukmana R. 1997. Ubi Kayu: Budidaya dan Pascapanen. Yogyakarta (ID): Kanisius. Saengyot S, Burikam I. 2011. Host plants and natural enemies of papaya mealybug, Paracoccus marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae) in Thailand. Thai J Agric Scie. 44(3): 197-205. Sagarra LA, Vincent C, Stewart RK. 2001. Body size as an indicator of parasitoid quality in male and female Anagyrus kamali (Hymenoptera: Encyrtidae). Bulletin of Entomological Research 91: 363-367. Sands D, Van Driesche RG. 2003. Host range testing techniques for parasitoids and predators. Di dalam: International Symposium on Biological Control of Arthropods; 2003 Juni 03-05; Washington, USA. Washington (US): USDA, Forest Sevice FHTET. hlm 41-53. Saputro AR. 2013. Biologi dan potensi peningkatan populasi kutu putih singkong, Phenacoccus manihoti, Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae): Hama pendatang baru di Indonesia. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sarkar MA, Suasa-ard W, Uraichuen S. 2014. Suitability of different mealybug species (Hemiptera: Pseudococcidae) as host for the newly identified parasitoid Allotropa suasaardi Sarkar & Polazek (Hymenoptera: Platygasteridae). Kasetsart J (Nat Sci.). 48: 17-27. Sastrosiswojo, S, Sastrodihardjo, S. 1986. Status of biological control of diamondback moth by introduction of parasitoid Diadegma eucerophaga in Indonesia. Di dalam: Talekar, N. S, Griggs, TD, editor. Diamondback Moth Management. Proceedings of the first international workshop; 1985 Mar 1115; Shanhua. Tainan (TW): Asian Vegetable Research and Development Center. hlm 186-193. Sharma S, Bhatia S, Sharma J, Androta S, Sudan M, Sharma K. 2013. First record of Paracoccus marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae), an invasive alien species on papaya (Carica papaya l.) In Jammu (j&k), India. Mun Ent Zool 8( 2): 664-671. Shylesha AN. 2013. Host range of invasive Jack Beardsley mealybug, Pseudococcus jackbeardsleyi Gimpel and Miller in Karnataka. Pest Management in Horticultural Ecosystems. 19(1): 106-107.
39 Souissi R, Le Rü B. 1999. Behavioural responses of the endoparasitoid Apoanagyrus lopezi to odours of the host and host’s cassava plants. Entomol Exp Appl. 90: 215–220. Strand MR, Obrycki JJ. 1996. Host specifity of insect parasitoids and predators. Bio Science 46: 422-429. Suherman M. 2014. Kebijakan Pengembangan Ubi Kayu di Indonesia [power point]. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian RI Direktorat Jendral Tanaman Pangan. Tanwar RK, Jeyakumar P, Vennila S. 2010. Papaya Mealybug and its management strategies. Technical Bulletin, 22. New Delhi: National Center for Integrated Pest Management. Van Alphen JMM, Jervis MA. 1996. Foraging behaviour. Di dalam: Jervis MA, Kidd N, editor: Insect Natural Enemies: Practical Approaches to their Study and Evaluation. Cradiff (UK): Springer science. hlm 1-62. pp 491. Van Driesche RG, Hoddle M. 1997. Should arthropod parasitoids and predators be subject to host range testing when used as biological control agents. Agriculture and Human Values 14: 211-226. Van Driesche RG, Hoddle M, Center T. 2008. Control of Pests and Weeds by Natural Enemies: an Introduction to Biological Control. Victoria (AU): Blackwell Publishing. hlm 16-18. pp 473. Van Klinken RD. 2000. Host specifity testing: Why do we do it and how can we do it better. In: van Driesche RG, Heard TA, McClay A, Reardon R (Eds.), Proceedings of Session: Host-Specificity Testing of Exotic Arthropod Biological Control Agents – the Biological Basis for Improvement in Safety. pp. 54-68. Morgantown (WV): USDA, Forest Service, Forest Health Technology Enterprise Team. Van Lenteren JC, Babendreier D, Bigler J, Burgio G, Hokkanen HMT, Kurke S, Loomans AJM, Menzler-Hokkanen HMT, Van Rijn PCJ, Thomas MB, et al. 2003. Environmental risk assessment of exotic natural enemies used in inundative biological control. Biol Control. 48: 3–38. Walker A, Hoy M, Meyerdirk D. 2003. Papaya mealybug (Paracoccus marginatus Williams and Granara de Wilink (Insecta: Hemiptera: Pseudococcidae). Feature Creatures, Gainesville (US): Institute of Food and Agricultural Sciences, Uneversity of Florida. Wardani N. 2015. Kutu putih ubi kayu, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae), hama invasif baru di Indonesia. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wardani N, Rauf A, Winasa IW, Santoso S. 2014. Parameter neraca hayati dan pertumbuhan populasi kutu putih Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae) pada dua varietas ubi kayu. J HPT Tropika. 14(1): 64-70.s Weicai Li, Yan Biao He, Rulin Z, Yicheng W, Shengyou S, Yong Z. 2013. Occurrence and damage of Ferrisia virgata Cockerell on longan (Dimocarpus longgana Lour.) in Guangdong Province of China. Plant Disease and Pest. 4(1): 13-14. Widayanti S, Kasno, Tjitrosoedirdjo SS, Tjitrosemito S. 1999. Efforts in usinga water hyacinth weevils to control water hyacinth in Indonesia. Di dalam:
40 Proceedings Weed Management in Managed and Natural Ecosystem; 1998 Jun 23-25; Bogor. Bogor (ID): BIOTROP Special Publication 61. hlm 163171. Williams DJ. 2004. Mealybugs of Southern Asia. London (GB): The Natural History Museum. Williams DJ, Granara de Willink MC. 1992. Mealybugs of Central and South America. Wallingford (UK): CAB International. Williams DJ, Watson GW. 1988. The Scale Insects of the Tropical South Pacific Region. Part. 2: The Mealybugs (Pseudococcidae). Wallingford (UK): CAB International. Winotai A. 2014. Biological control of pink cassava mealybug, in Thailand [power point]. Tahiland (TH): Plant Protection Research and Development Office Department of Agriculture. [Internet]. [diunduh pada: 2014 Mar 12]. Tersedia pada: http://beta.worldtapiocaconference.com/speaker/ present/ 3.pdf. Winotai A, Goergen G, Tamo M, Neuenschwander P. 2010. Cassava mealybug has reached Asia. Biocontrol News Inf. 31: 10-11. Wyckhuys KAG, Rauf A, Ketelaar J. 2014. Parasitoids Introduced into Indonesia: Part of a Region-wide Campaign to Tackle Emerging Cassava Pests and Diseases. Biocontrol News Inf. 35(4): 35-38.
1
LAMPIRAN
2 Lampiran 1 Metode pembuatan slide preparat kutu putih Famili Pseudococcidae 1. 2. 3. 4. 5.
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Spesimen direbus di dalam alkohol 95% selama 5 menit, kemudian bagian abdomen spesimen ditusuk Spesimen direbus di dalam KOH 10% hingga transparan dan isi tubuh spesimen dibuang Spesimen dicuci dengan aquades sebanyak 2 kali Spesimen direndam dalam acid alkohol 50% selama 10 menit Ke dalam rendaman ditambahkan acid fuchsin dan perendaman dilanjutkan selama 20 menit atau selama satu malam (acid alkohol sebelumnya tidak dibuang) Ke dalam rendaman ditambahkan glacial acetic acid 1 tetes, spesimen direndam selama 5 menit (acid fuchsin tidak dibuang) Spesimen dikeluarkan dari rendaman dan direndam di dalam alkohol 80% selama 5 menit Spesimen direndam di dalam alkohol 95% selama 10 menit Spesimen direndam di dalam alkohol Absolut (100%) selama 10 menit Spesimen direndam di dalam glacial acetic acid selama 5 menit Spesimen direndam di dalam alkohol absolut (100%) selama 10 menit Spesimen direndam di dalam Carboxylene selama 2 menit (sampai lemak larut) Spesimen direndam di dalam alkohol absolut (100%) selama 10 menit Spesimen direndam di dalam minyak cengkeh selama 10 menit Spesimen diletakkan di atas glass objek dan ditetesi media canada balsam atau entelan dan ditutup glass penutup Slide preparat dikeringkan di atas hot plate selama 3 minggu
Keterangan: KOH 10% Acid alkohol Carboxylene Acid fuchsin Hoyer
: 10% potassium hydroxide (distilled) : 20 ml Glacial acetic acid + 80 ml etanol 50% : 0.50 ml kristal phenol + 99.50 ml xylene : 125 ml akuades + 12.5 ml HCl 10% 0.25 gr acid fuchsin : 50 ml akuades + 30 gr gum arabic + 200 gr chloral hydrat +16 gr glycerin (Sumber: Williams & Witson 1988)
3 Lampiran 2 Morfologi P. manihoti dalam bentuk slide preparat, (a) seluruh tubuh, (b) sirkulus, (c) pori multilokular, (d) antena, (e) pori quinqueokular, (f) pori trilokular ventral a
d IX VIII
VII VI V IV III
II
I
0.1 mm
e 0.5 mm
b
0.05 mm
f
0.07 mm
c
0.05 mm
0.05 mm
4 Lampiran 3 Morfologi P. marginatus dalam bentuk slide preparat, (a) seluruh tubuh, (b) antena, (c) oral rim tubular duct, (d) serari lobus anal, (e) tarsal digitule & claw digitules, (f) oral collar tubular duct, (g) pori translusen pada koksa
a
b VIII VII
VI V IV
III
II
I
0.1 mm
c
d
0.5 mm 0.05 mm
e
0.05 mm
0.05 mm
g
f
0.05 mm
0.1 mm
5 Lampiran 4 Morfologi P. jackbeardsleyi dalam bentuk slide preparat, (a) seluruh tubuh, (b) oral collar tubular duct, (c) serari lobus anal, (d) antena, (e) sklerotisasi & pori diskoidal di sekitar mata, (f) lempeng pori multilokular, (g) seta konikal pada serari a
d
VIII VII VI V IV III
II
I
0.125 mm
e
0.07 mm 0.5 mm
f b
0.07 mm
0.07 mm
c
0.125 mm
e
g
0.07 mm
6 Lampiran 5 Morfologi F. virgata dalam bentuk slide preparat: (a) seluruh tubuh, (b) serari lobus anal (b1) & cincin anal (b2), (c) antena, (d) oral rim tubular duct lateral, (e) pori multilokular a
c VII I II
III IV
V
VIII
VI
0.5 mm
d seta pori trilokular
rim
0.5 mm 0.07 mm
b
e
b1 b2
0.2 mm
0.07 mm
Lampiran 6 Imago A. lopezi, (a) betina, (b) jantan
7
a
0.5 mm
b
0.25 mm
8 Lampiran 7 Hasil pengolahan data analisis statistik uji Kruskal Wallis pada pengujian kerentanan inang (uji tanpa pilihan) Ranking Pengamatan
Rata-rata ranking 57.00 38.55 35.65 30.80
Spesies Kutu putih
N
P. manihoti P. marginatus P. jackbreadsleyi F. virgata Total
20 20 20 20
P. manihoti P. marginatus P. jackbreadsleyi F. virgata
20 20 20 20
Total
80
Host feeding
P. manihoti P. marginatus P. jackbreadsleyi F. virgata Total
20 20 20 20 80
41.40 41.75 45.35 33.50
Inang terparasit
P. manihoti P. marginatus P. jackbreadsleyi F. virgata
20 20 20 20
64.50 32.50 32.50 32.50
Total
80
P. manihoti P. marginatus P. jackbreadsleyi F. virgata Total
20 20 20 20 80
Pertemuan inang
Penyelidikan ovipositor
Jumlah telur/larva ditemukan
Hipotesis: H0: Tidak ada perbedaan respon antar spesies kutu putih H1: Terdapat perbedaan respon antar spesies kutu putih
80 64.65 34.98 34.18 28.20
64.50 32.50 32.50 32.50
9 Lampiran 7 (lanjutan) Uji Statistika,b Penemuan inang Chi-Square P-value b
Host feeding
Jumlah telur/larva ditemukan
Inang terparasit
14.682
41.152
6.388
58.344
58.344
3
3
3
3
3
0.002
0.000
0.094
0.000
0.000
Df a
Penyelidikan ovipositor
Kruskal Wallis Test Grouping Variable: spesies
Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis di atas nilai p-value untuk respon penemuan inang, penyelidikan ovipositor, host feeding, inang terparasit, serta jumlah telur/larva yang ditemukan di dalam tubuh kutu putih dari satu imago parasitoid betina, masing-masing adalah 0.002, 0.000, 0.094, 0.000 dan 0.000. Semua p-value berada di bawah alpha 5% (0.05) kecuali host feeding. Hal tersebut berarti dengan menggunakan alpha pada tingkat kepercayaan 95% terdapat perbedaan respon antar keempat spesies kutu putih untuk respon perilaku penemuan inang, penyelidikan ovipositor, inang terparasit, serta jumlah telur/larva yang ditemukan. Perilaku host feeding dari parasitoid terhadap keempat spesies kutu putih tidak berbeda pada alpha 5%. Untuk melihat spesies mana yang berbeda maka dilanjutkan uji lanjut Dunn pada alpha 5%. Hasil analisis uji Dunn adalah sebagai berikut: Penemuan Inang Spesies Rata-rata P. manihoti 13.70 b P.marginatus 9.85 a P. jackbreadsleyi 6.60 a F. virgata 5.75 a Penyelidikan ovopisitor Spesies P. manihoti P.marginatus P. jackbreadsleyi F. virgata
Rata-rata 8.20 b 0.70 a 0.35 a 0.10 a
Host feeding Spesies P. manihoti P.marginatus P. jackbreadsleyi F. virgata
Total 4a 5 ab 6b 0a
10 Lampiran 7 (lanjutan) Inang terparasit Spesies P. manihoti P.marginatus P. jackbreadsleyi F. virgata
Total 41 b 0a 0a 0a
Jumlah telur/larva yang ditemukan Spesies P. manihoti P.marginatus P. jackbreadsleyi F. virgata
Total 41 b 0a 0a 0a
11 Lampiran 8 Upaya penyelidikan ovipositor A. lopezi, (a) terhadap P. manihoti, (b) terhadap P. marginatus, (c) terhadap P. jackbeardsleyi a
b
1 mm
1 mm
c
1 mm
Lampiran 9 A. lopezi yang terjerat lilin F. virgata, (a) pada antena, (b) pada tungkai a
2 mm
b
2 mm
12 Lampiran 10 Hasil pengolahan data analisis statistik uji Mann Whitney pada pengujian preferensi inang (uji dua pilihan) Hasil pengujian berpasangan antara P. manihoti - P. marginatus Ranking Perlakuan berpasangan
N
Penemuan inang
P. manihoti P. marginatus Total Penyelidikan ovipositor P. manihoti P. marginatus Total Host feeding P. manihoti P. marginatus Total Inang terparasit P. manihoti P. marginatus Total Telur/larva ditemukan P. manihoti P. marginatus Total
20 20 40 20 20 40 16 20 36 20 20 40 20 20 40
Rata-rata ranking 22.90 18.10
Jumlah ranking 458.00 362.00
28.23 12.78
564.50 255.50
17.56 19.25
281.00 385.00
28.50 12.50
570.00 250.00
28.50 12.50
570.00 250.00
Uji Statistika Pertemuan inang Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] a b
Penyelidikan ovipositor
Host feeding
Inang Telur/larva terparasit ditrmukan
152.000 362.000 -1.303 0.193
45.500 255.500 -4.363 0.000
145.000 281.000 -.875 0.381
40.000 250.000 -4.933 0.000
40.000 250.000 -4.933 0.000
0.201b
0.000b
0.648b
0.000b
0.000b
Grouping Variable: jenis Not corrected for ties.
Kesimpulan hasil uji terdapat perbedaan antara P. manihoti dengan P. marginatus pada respon penyelidikan ovipositor, inang terparasit dan jumlah telur/larva yang ditemukan di dalam tubuh kutu putih dari satu imago parasitoid betina.
13
Lampiran 10 (lanjutan) Hasil pengujian berpasangan antara P. manihoti - P. jackbeardsleyi Ranking Perlakuan berpasangan
N
Pertemuan inang
P. manihoti P. jackbreadsleyi Total Penyelidikan ovipositor P. manihoti P. jackbreadsleyi Total Host feeding P. manihoti P. jackbreadsleyi Total Inang terparasit P. manihoti P. jackbreadsleyi Total Telur/larva ditemukan P. manihoti P. jackbreadsleyi Total
20 20 40 20 20 40 20 20 40 20 20 40 20 20 40
Rata-rata ranking 24.05 16.95
Jumlah ranking 481.00 339.00
28.18 12.83
563.50 256.50
20.05 20.95
401.00 419.00
28.00 13.00
560.00 260.00
28.00 13.00
560.00 260.00
Uji Statistika Pertemuan inang
Penyelidikan Inang Telur/larva Host feeding ovipositor terparasit ditemukan
Mann-Whitney U
129.000
46.500
191.000
50.000
50.000
Wilcoxon W
339.000
256.500
401.000
260.000
260.000
-1.931
-4.303
-.424
-4.692
-4.697
Asymp. Sig. (2-tailed)
0.053
0.000
0.672
0.000
0.000
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
0.056b
0.000b
0.820b
0.000b
0.000b
Z
a b
Grouping Variable: jenis Not corrected for ties
Kesimpulan hasil uji terdapat perbedaan antara P. manihoti dengan P. marginatus pada respon penyelidikan ovipositor, inang terparasit dan jumlah telur/larva yang ditemukan di dalam tubuh kutu putih dari satu imago parasitoid betina.
14
Lampiran 10 (lanjutan) Hasil pengujian berpasangan antara P. manihoti – F. virgata Ranking Perlakuan berpasangan Penemuan inang
P. manihoti F. virgata
20 20
Total
40
Penyelidikan ovipositor P. manihoti F. virgata Total Host feeding P. manihoti F. virgata Inang terparasit
Telur/larva ditemukan
N
20 20 40 20 20
Total
40
P. manihoti F. virgata Total P. manihoti F. virgata Total
20 20 40 20 20 40
Rata-rata ranking 26.90 14.10
Jumlah ranking 538.00 282.00
30.43 10.58
608.50 211.50
20.50 20.50
410.00 410.00
30.00 11.00
600.00 220.00
30.00 11.00
600.00 220.00
Uji Statistika Pertemuan Penyelidikan Inang Telur/larva Host feeding inang ovipositor terparasit ditemukan Mann-Whitney U
72.000
1.500
200.000
10.000
10.000
282.000
211.500
410.000
220.000
220.000
-3.484
-5.700
0.000
-5.617
-5.632
Asymp. Sig. (2-tailed)
0.000
0.000
1.000
0.000
0.000
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
0.000b
0.000b
1.000b
0.000b
0.000b
Wilcoxon W Z
a b
Grouping Variable: jenis Not corrected for ties.
Kesimpulan hasil uji terdapat perbedaan antara P. manihoti dengan F. virgata pada respon penemuan inang, penyelidikan ovipositor, inang terparasit dan jumlah telur/larva yang ditemukan di dalam tubuh kutu putih dari satu imago parasitoid betina.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat pada tanggal 6 Desember 1985 sebagai putri ke-dua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Djasikin dengan Ibu Mujiasih (almh). Penulis memperoleh pendidikan sekolah lanjutan atas di SMU Pasundan 2 Bandung dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Perguruan Tinggi Negeri Institut Pertanian Bogor di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) dan lulus pada tahun 2007. Tahun 2009 penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil di lingkup Kementerian Pertanian Indonesia dan ditempatkan bekerja di Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon Propinsi Banten sampai sekarang. Pada tahun 2013 penulis menerima beasiswa dari Badan Karantina Pertanian dan berkesempatan melanjutkan pedidikan Program Magister Sains pada program studi Entomologi Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.