PERANAN PEREMPUAN DALAM EKONOMI GLOBAL (REFLEKSI TERHADAP GERAKAN GENDER DI INDONESIA) Moh. Ali* Abstrak Female role in traditional sector have involved them and there are many action already being worked but its issue wasn’t observable, evenless one is engaged globalization. Relationship among macro global issue with micro rural female of course far don't appear. Even female gets role and get contribution in increasing export non migas well on manufacturings industrial product and also agricultural product, female issue at economic area was lifted, most more economic issue that is engaged globalization. Eventually good direct and also indirect, globalizations acute ala will knock over rural female. Kata Kunci: Perempuan, ekonomi global, gender Pendahuluan Jumlah penduduk wanita 49.9% (102.847.415) dari total (206.264.595) penduduk Indonesia (Sensus Penduduk 2000) merupakan sumberdaya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif wanita dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Kurang berperannya kaum perempuan, akan memperlambat proses pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri. Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan1. 1
Lihat BPPS Jakarta, Sensus penduduk tahun 2000
232 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009: 231-242
Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik perempuan maupun laki-laki, ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Bahkan belum cukup efektif memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak perempuan memperoleh manfaat secara optimal belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai hasil yang optimal, karena masih belum memanfaatkan kapasitas sumber daya manusia secara penuh. Faktor penyebab kesenjangan gender yaitu Tata nilai sosial budaya masyarakat, umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (ideology patriarki)2; Peraturan perundang-undangan masih berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender; Penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau cenderung tekstual kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial kurang kholistik; Kemampuan, kemauan dan kesiapan perempuan sendiri untuk merubah keadaan secara konsisten dan konsekwen; Rendahnya pemahaman para pengambil keputusan di eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti, tujuan, dan arah pembangunan yang responsif gender3. Adanya kesenjangan pada kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan menyebabkan perempuan belum dapat menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan pembangunan. Dalam program pembangunan sektoral, isu kesetaraan gender masih termarginalkan. Perempuan masih dijadikan sebagai sumber daya manusia yang tidak tampak (invisible). Contohnya di sektor pertanian, terlepas dari keberadaan perempuan tani yang sejak dulu berperan di sektor ini dalam proyek maupun kegiatan rutin pertanian, mereka belum termasuk dalam daftar kelompok sasaran4. 2
Sutjihati Somantri, Kesenjangan Gender dalam Pembangunan Bangsa, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), 103 3 Ismail Adam Patel, Perempuan Feminisme dan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), 68 4 Hizbut Tahrir Indonesia, Kiprah Politik Perempuan, (Jakarta: PT. Gramedia, 1992), 57
Moh Ali, Peranan Perempuan dalam Ekonomi Global 233
Secara normatif, meskipun sudah banyak Negara yang tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan, dan lebih 120 negara meratifikasi konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, marginalisasi perempuan masih banyak terjadi. Isu persamaan status perempuan masih merupakan persoalan dunia dan tetap menjadi topik pembicaraan pada Konferensi Dunia IV tentang peran perempuan dalam pembangunan di Beijing pada bulan September 1995. Karena berstatus lebih rendah dari laki-laki, perempuan dianggap inferior, seringkali eksistensinya terlupakan dan tidak diperhitungkan. Banyak perempuan dengan inisiatif sendiri telah berkerja dan berkontribusi pada pembangunan. Meskipun dasawarsa perempuan sudah dicanangkan PBB tahun 1979-1985, dan gerakan perempuan sudah mendunia, namun hingga saat ini isunya masih tergolong baru. Kebijakan tidak mudah dilaksanakan karena berbagai alasan seperti adaptasi budaya, kekhawatiran, ketidaktahuan, sinisme, serta pandangan rendah kebanyakan orang terhadap perempuan dan isunya. Sebagai negara agraris, jumlah perempuan usia di atas 10 tahun dalam sektor pertanian luas yang berada di wilayah pedesaan mencapai 40 persen. Berbagai penelitian dalam sektor pertanian menunjukkkan bahwa peran perempuan pada kegiatan pertanian sangat substansial. Kesemuanya menyebut adanya pembagian kerja seksual dimana perempuan melakukan kerja selama proses produksi yang meliputi penanaman, penyiangan, pemeliharaan, panen, pasca panen, pemasaran, baik yang bersifat manajerial tenaga buruh, pada komoditi tanaman pangan ataupun tanaman industri yang diekspor. Beberapa pekerjaan malahan dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti halnya menanam bibit, menabur benih dan menyiang. Dalam proses budi-daya , nyaris tak ada benih jatuh ke bumi tanpa sentuhan tangan perempuan. Bahkan dalam pengairan, yang selama ini dianggap kerja laki-laki, perempuan ternyata ikut menentukan kapan pengairan dilakukan, banyaknya kuantitas air, kedalaman air, frekuensi pengairan, termasuk “bagian kerja laki-laki”. Tanpa keterlibatan perempuan, proses produksi tak akan berlangsung, termasuk komoditi ekspor yang diperdagangkan secara internasional.
234 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009: 231-242
Industrialisasi ternyata membuka peluang bagi perempuan pedesaan. Sekarang, sumber pendapatan perempuan pedesaan tidak saja dari sektor pertanian yang secara tradisional mendominasi kerja penduduk pedesaan. Di sektor formal, mereka juga bekerja dalam industri manufaktur yang diekspor, di sektor informal seperti industri rumah tangga, perdagangan dan jasa. Namun akhirnya perempuan pedesaan meninggalkan pola kehidupan tradisional di pedesaan karena kegiatan ekonomi pedesaan dianggap tidak lagi mampu memenuhi harapan-harapan mereka. Mereka tidak hanya bekerja di kota, bahkan juga ke luar negeri, ke negara lain yang belum pernah dikenalnya baik adat, budaya dan bahasanya berbeda jauh. Inipun tidak terbatas pada mereka yang belum menikah5. Yang berkeluarga juga berimigrasi ke luar negeri sebagai tenaga kontrakan pembantu rumah tangga, meninggalkan keluarganya di tanah air. Teori migrasi dan ideologi gender yang meramal bahwa perempuan hanya bekerja tak jauh dari tempat tinggalnya, ternyata tidak relevan. Kontribusi mereka tidak hanya pada rumah tangganya sendiri, tetapi juga dalam pembangunan fisik, pencari devisa, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial negara tempat mereka bekerja karena perempuan majikannya menjadi bekerja, bahkan membebaskan kewajiban pemerintah negara tersebut dari biaya sosial seperti pemeliharaan anak. Sebagai anggota masyarakat perempuan terlibat dalam kerja sosial yang tidak dibayar, misalnya dalam posyandu. Besarnya kontribusi tersebut belum pernah dihitung secara ekonomi, sama halnya dengan kontribusi dalam rumah tangga pada perhitungan GNP dan PDB. Kondisi perempuan Indonesia Secara keseluruhan indeks kualitas hidup manusia digambarkan melalui Indeks Pembangunan Manusia/Human Development Index (HDI) yang berada pada peringkat ke-96 pada tahun 1995 yang kemudian menurun ke peringkat 109 pada tahun 1998 dari 174 negara. Tahun 1999 berada pada peringkat 102 dari 162 negara dan tahun 2002, 110 dari 173 negara. 5
Mahmud S Arief, Pengaruh Industrialisasi Pedesaan Terhadap Perempuan, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 102
Moh Ali, Peranan Perempuan dalam Ekonomi Global 235
Berdasarkan Human Development Report 2003, HDI Indonesia menempati urutan ke-112 dari 175 negara, dibandingkan Negara-negara ASEAN lainnya seperti HDI Malaysia, Thailand, Philippina yang menempati urutan 59, 70 dan 77. Sedangkan Gender related Development Index (GDI) berada pada peringkat ke-88 pada tahun 1995, kemudian menurun ke peringkat 90 (1998) dan peringkat 92 (1999 dari 146 negara). Kemudian pada tahun 2002 pada peringkat 91 dari 144 negara GDI inipun masih tertinggal dibandingkan dengan-negara di ASEAN seperti Malaysia, Thailand, Philippina yang masing-masing berada pada peringkat 54, 60, 63. Berdasarkan hasil Survey Penduduk 2000 (BPS) diketahui jumlah penduduk Indonesia sebesar 206.264.595 orang. Jumlah laki-laki sedikit lebih banyak dibandingkan perempuan, (50,1% diantaranya laki-laki dan 49,9% perempuan). Indeks pembangunan manusia skala internasional dan nasional dilihat dari tiga aspek yaitu politik pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Kondisi dan posisi perempuan meliputi 3 (tiga) aspek tersebut di atas sebagai berikut: Pertama, di bidang politik dan ekonomi, secara umum partisipasi perempuan masih rendah, kemampuan perempuan memperoleh peluang kerja dan berusaha masih rendah, demikian juga dengan akses terhadap 6 sumber daya ekonomi . Hal ini ditunjukkan dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang masih jauh lebih rendah dibandingkan lakilaki, yaitu 45% (2002) sedangkan laki-laki 75,34%, (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2002). Sedangkan ditahun 2003 TPAK laki-laki lebih besar dibanding TPAK perempuan yakni 76,12% berbanding 44,81%7. Kedua, di bidang pendidikan, kaum perempuan masih tertinggal dibandingkan laki-laki. Kondisi ini antara lain disebabkan adanya pandangan dalam masyarakat yang mengutamakan dan mendahulukan lakilaki untuk mendapatkan pendidikan daripada perempuan. Ketertinggalan perempuan dalam bidang pendidikan tercermin dari presentase perempuan buta huruf (14,54% tahun 2001) lebih besar dibandingkan laki-laki (6,87%), dengan kecenderungan meningkat selama tahun 1999-2000. Tetapi pada 6 7
Ibid, 68 Lihat BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat, 2003
236 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009: 231-242
tahun 2002 terjadi penurunan angka buta huruf yang cukup signifikan. Namun angka buta huruf perempuan tetap lebih besar dari laki-laki, khususnya perempuan kepala rumah tangga. Angka buta huruf perempuan pada kelompok 10 tahun ke atas secara nasional (2002) sebesar 9,29% dengan komposisi laki-laki 5,85% dan perempuan 12,69% (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2002). Menurut Satatistik Kesejahteraan Rakyat 2003. Angka buta huruf perempuan 12,28% sedangkan laki-laki 5,84%. Ketiga, di bidang Kesehatan Menurut Gender Statistics and indicators 2000 (BPS), kemajuan di bidang kesehatan ditunjukkan dengan menurunnya angka kematian bayi (dari 49 bayi per 1000 kelahiran pada tahun 1998 menjadi 36 tahun 2000, (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 19992001). Menurunnya angka kematian anak serta meningkatnya angka harapan hidup dari 64,8 tahun (1998) menjadi 67,9 tahun (2000), Berdasarkan estimasi parameter demografi 1998 yang dikeluarkan BPS, angka harapan hidup (eo) pada periode 1998-2000 cenderung meningkat. Usia harapan hidup (life expectancy rate) perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yaitu 69,7 tahun berbanding 65,9 tahun. (Sumber: BPS, Estimasi Parameter Demografi, 1998). Dibidang kesehatan, selama periode 1998-2000 ada penurunan angka kematian bayi, Infant Mortality Rate (IMR). Namun angka kematian bayi laki-laki lebih tinggi dibandingkan angka kematian bayi perempuan. Laki-laki 41, perempuan 318, Sejalan dengan semakin meningkatnya kondisi kesehatan masyarakat, angka kematian anak, Child Mortality Rate (CMR) periode ini juga menunjukkan penurunan, namun demikian angka kematian anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan kematian anak perempuan laki-laki 9,8 sedangkan perempuan 7,99. Di bidang kesehatan dan status gizi perempuan masih merupakan masalah utama, yang ditunjukkan dengan masih tingginya angka kematian ibu (AKI) 390/100.000 (SDKI 1994), 337/100.000 (SDKI 1997), dan menurun 307/100.000 (SDKI 2002). 8
Ibid BPS 1999-2001 Lihat BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2001.
9
Moh Ali, Peranan Perempuan dalam Ekonomi Global 237
Kondisi Ekonomi Global Perdagangan internasional telah menjadi kegiatan ekonomi global yang menjadi perhatian (interest) semua negara di dunia. Trend yang berkembang adalah menuju perdagangan bebas, sebagai realisasi dari kesepakatan GATT (General Agreement on Tarif and Trade) yang telah ditandatangani oleh negara anggotanya di Marakesh. Berbicara mengenai perdagangan internasional tidak membuat banyak orang bertanya tentang relevansinya dengan perempuan di pedesaan. Adanya budaya patriarki dan ideologi gender tersubordinasi membuat peran perempuan tidak tampak. Sebagai tindak lanjut dari penerimaan dokumen akhir GATT Treaty di Marakesh pada 15 April 1994, perdagangan dunia pasca GATT berada di bawah pengelolaan organisasi dagang dunia (World Trade Organization-WTO). Dalam WTO, GATT menjadi peraturan perundangan internal. Negara anggota harus mempunyai peraturan perundangan nasional sesuai dengan WTO. Secara garis besar GATT terdiri dari tiga bagian, yaitu (1) treaty tentang pertanian, (2) treaty tentang hak milik intelektual, (3) treaty tentang jasa-jasa perdagangan. Aspek-aspeknya mencakup tarif, peraturan non-tarif, produk-produk berdasar sumber daya alam, tekstil dan garmen, produk 10 tropis, jasa perdagangan, peraturan terhadap pemberian subsidi . Perdagangan yang disepakati adalah perdagangan yang transparan, tanpa proteksi. Bagi komoditi pertanian termasuk pangan, setiap negara termasuk yang sedang berkembang harus membuka pasar impor pangan dari negara maju. Subsidi langsung kepada petani dilarang, namun subsidi kepada eksportir diijinkan. Pada usaha tani kecil dimana manajemen usaha dan rumah tangga tidak dapat dipisahkan, tentu hal ini berdampak pada petani perempuan yang berperan ganda pada sektor pertanian dan peran gender di rumah tangga. Prinsip WTO tidak memasukkan aspek lingkungan, kesehatan, hak pekerja ataupun tujuan kebijaksanaan kemanusiaan, termasuk kepeduliannya terhadap masalah perempuan. WTO diramalkan menjadi 10
Achmad Djunaidi, Sosok Perempuan Karier Sukses, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2004), 42
238 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009: 231-242
lembaga internasional yang kuat, namun mandatnya terbelakang. Ketika dunia sudah memperhatikan masalah lingkungan dan perempuan, WTO belum memperhitungkannya. Perempuan dan kepedulian masalah gender absen dari proses formulasi kebijakan GATT dan WTO. Memasuki perdagangan bebas dengan persaingan global yang menjanjikan berbagai keuntungan tidaklah muda bagi negara berkembang termasuk Indonesia yang merupakan relatif produsen baru dan pendatang baru dalam perdagangan dunia. Perdagangan bebas yang menghapus barrier dan proteksi dapat memberikan berbagai dampak. Dengan tidak adanya pajak bagi barang impor yang masuk ke negara berkembang. Produksi dalam negeri yang tidak dilindungi pasti tidak mampu bersaing dengan barang impor yang berkualitas lebih bagus dan harganya lebih murah. Produksi dalam negeri yang tidak mampu bersaing akan mati pelahan-lahan. Negara yang sedang berkembang tanpa disadari akan menjadi konsumen produk negara maju, dan tidak jarang perempuan dijadikan obyeknya. Pada akhirnya kesenjangan selalu terjadi. Negara berkembang tidak akan bisa mengejar ketertinggalannya terhadap negara maju. Dalam era globalisasi, perempuan pedesaan juga pergi untuk bekerja ke luar negeri. Hal ini sejalan dengan SAPs dimana komoditi yang diekspor tidak hanya barang. Jasa pun diekspor, termasuk sumber daya manusia dalam sektor informal atomistik sebagai pembantu rumah tangga. Ketika kerja di sektor pertanian tidak memberikan peluang lagi, dengan keterbatasan pendidikan maka pilihan perempuan di pedesaan adalah memenuhi kebutuhan negara lain dan menjadi tenaga kerja domistik. Konstribusi ekspor Buruh Migran untuk mengurangi masalah pengangguran tidak dapat dipungkiri. Pada tingkat makro, sumbangan mereka pada devisi negara tentu sangat membantu. Sementara itu sumbangan di tingkat mikro baik pada keluarga maupun pada masyarakat jelas sangat bermakna. Namun kaum perempuan yang menjadi buruh migran tersebut harus menanggung beban finansial, fisik dan psikologis. Faktanya, ditemukan dalam keseluruhan proses dari tahap registrasi, pemberangkatan, di tempat kerja, dan ketika pulang kembali ke rumah mereka mengalami perlakuan rendah,
Moh Ali, Peranan Perempuan dalam Ekonomi Global 239
pelecehan seksual, tindakan kekerasan dan eksploitasi. Berbagai peraturan dalam rangka memproteksi mereka belum dilaksanakan, sementara perlindungan sosial belum menjangkau kelompok buruh migran. Akhirnya, kaum perempuan yang harus menanggung beban pembangunan ekonomi rumah tangga bahkan sebuah negara. Sedangkan pola yang digunakan negara dalam penyelesaian problem sosial seperti; pengangguran selalu sama yaitu dengan pengiriman Buruh Migran Indonesia. Sehingga yang terjadi pemiskinan secara struktural kaum perempuan di pedesaan. Kesetaraan dan Keadilan gender Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman11. Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada 11
Saifuddin, Gerakan Gender di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 74
240 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009: 231-242
pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan12. Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen tersebut. Upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), di Indonesia dituangkan dalam kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999, UU No. 25 th. 2000 tentang Program Pembangunan Nasional-PROPENAS 20002004, dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Pemberdayaan Ekonomi bagi Perempuan di Era Globalisasi Zaman neoteknologi dari masa ke masa terutama pada masyarakat modern sekarang ini mengalami perkembangan yang cukup pesat. Terutama setelah ditemukannya teknologi komunikasi yang semakin canggih. Teknologi komunikasi dengan bantuan satelit dan komputer telah melahirkan era globalisasi. Era globalisasi yaitu suatu era (masa) di mana Dunia relatif semakin sempit karena komunikasi antar negara semakin cepat, juga menjadi semakin kompleks karena kemajuan Ilmu Pengetahuan dan 12
Hasan, Perspektif Gender dalam Pemberdayaan anak Bangsa, (Jakarta: Gholia Indonesia, 2002), 98
Moh Ali, Peranan Perempuan dalam Ekonomi Global 241
Teknologi (IPTEK) yang amat pesat dan berpengaruh dalam seluruh proses kehidupan manusia. Fenomena globalisasi ini pada Millenium ke-3 telah mampu merasuk pada semua dimensi kehidupan di berbagai belahan Dunia, terutama dalam bidang ekonomi dengan stressing point-nya pada permasalahan liberalisasi ekonomi atau free trade (perdagangan bebas). Satu tahun ke depan di tingkat regional kita akan dihadapkan dengan Asean Fee Trade Area (AFTA), sehingga membutuhkan antisipasi yang lebih kritis terhadap dampak yang akan ditimbulkannya. Pada masa kini perkembangan lingkungan strategis cenderung multikompleks dan interdependensi (saling ketergantungan). Tidak ada satu kawasan atau negara pun yang dapat melakukan kegiatan ekonominya secara sendiri, tanpa mempunyai ketergantungan investasi, factor produksi, dan pasar dari kawasan/negara lainnya. Bergulirnya liberalisasi perdagangan semacam ini akan membawa peluang dan tantangan bagi produk-produk barang dan jasa Indonesia. Peluang ini dapat dimanfaatkan oleh keberadaan usaha kecil dalam bentuk usaha informal –termasuk di dalamnya UP2K-PKK dan laninya, untuk meningkatkan kualitas, kuantitas, dan kontinyutas produknya, sehingga dapat bersaing dengan produk-produk dari luar. Sebab kunci dari globalisasi adalah sebuah persaingan (competitiveness) secara 13 bebas dan dapat memuaskan konsumen . Dalam kondisi percaturan global seperti ini dan badai krisis ekonomi yang belum berakhir menerpa bangsa Indoensia, maka peran UP2K-PKK yang tergolong pada usaha kecil sangat diharapkan eksistensinya14. Hal ini disebabkan model UP2K-PKK akan mampu bertahan terhadap krisis ekonomi dan situasi liberalisasi perdagangan atau percaturan perekonomian global daripada perusahaan-perusahaan besar dan menengah, karena tidak tergantung pada pasar formal dan dana pinjaman yang sangat besar. Di samping itu, UP2K-PKK cenderung menghasilkan kebutuhan pokok (necessities) dan bukan barang mewah (luxuries). Produk UP2K-PKK dapat dikonsumsi oleh semua kalangan masyarakat, sehingga tingkat 13
Taryono, Manajemen Pengembangan Gender di Indonesia, (Yogyakarta: BPFE, 1995), 29 14 Ibid, 103
242 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009: 231-242
perputaran modalnya akan sangat cepat yang sudah barang tentu akan mempercepat juga poses produksinya. Kesimpulan Bahwa status perempuan dalam kehidupan sosial dalam banyak hal masih mengalami diskriminasi haruslah diakui. Kondisi ini terkait erat dengan masih kuatnya nilai-nilai tradisional terutama di pedesaan, dimana perempuan kurang memperoleh akses terhadap ekonomi, politik, sosial, budaya pendidikan, pekerjaan, pengambilan keputusan dan aspek lainnya. Keadaan ini menciptakan permasalahan tersendiri dalam upaya pemberdayaan perempuan, dimana diharapkan perempuan memiliki peranan yang lebih kuat dalam proses pembangunan. Kurangnya keikutsertaan perempuan dalam memberikan konstribusi terhadap program pembangunan menyebabkan kesenjangan yang ada terus saja terjadi. diskriminasi gender ini telah melahirkan ketimpangan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Akibat diskriminasi gender yang telah berlaku sejak lama. Daftar Pustaka Hizbut Tahrir Indonesia, Kiprah Politik Perempuan, Jakarta: PT. Gramedia, 1992. Achmad Djunaidi, 2004, Sosok Perempuan Karier Sukses.: PT. Refika Aditama, Bandung BPPS Jakarta, 2000, Sensus penduduk tahun 2000 Sutjihati Somantri 2006, kesenjangan Gender dalam pembangunan bangsa, PT Refika Aditama, Bandung Ismail Adam Patel, 2004, Perempuan Feminisme dan islam, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung Saifuddin, 1997, Gerakan Gender di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: Hasan, Perspektif Gender dalam Pemberdayaan anak Bangsa, Jakarta: Gholia Indonesia, 2002 Taryono, Manajemen pengembangan gender di Indonesia, Yogyakarta: BPFE, 1995 *Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Datokarama Palu