i
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM GERAKAN HIJAU DI INDONESIA
SUSIANAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kepemimpinan Perempuan Dalam Gerakan Hijau di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Susianah NIM : I353100041
i
RINGKASAN SUSIANAH. Kepemimpinan Perempuan Dalam Gerakan Hijau di Indonesia. Dibimbing oleh EKAWATI SRI WAHYUNI dan SOERYO ADIWIBOWO. Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) menganalisis sejauh mana SIKIB dan Muslimat NU yang terlibat dalam gerakan penanaman pohon dapat digolongkan sebagai bagian dari gerakan hijau; (2) menganalisis gerakan menanam pohon yang dilakukan oleh SIKIB dan Muslimat NU serta faktor-faktor sosial yang mempengaruhinya merupakan aksi kesadaran terhadap developmentalism atau reaksi simbolis-politik; dan (3) menganalisis peran kepemimpinan perempuan (SIKIB dan Muslimat NU) dalam gerakan penanaman pohon. Jenis penelitian ini adalah studi kasus kepemimpinan perempuan dalam gerakan menanam pohon Organisasi SIKIB (Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu) dan organisasi Muslimat NU. Pengumpulan data kualitatif diperoleh dengan dua cara yakni pertama penelitian kelembagaan dilakukan di Pimpinan Pusat Muslimat NU di DKI Jakarta, Pimpinan Cabang Muslimat NU Jombang Propinsi Jawa Timur dan SIKIB di Jakarta. Kedua, penelitian lapangan dilakukan di empat tempat yakni lahan gerakan tanam di Jombang, lahan gerakan tanam di Desa Tunjung Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar, lahan gerakan tanam di Kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang dan lahan gerakan tanam di desa Hargotirto Kabupaten Kulonprogo Propinsi Jogjakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2011-Juli 2012. Penelitian ini melibatkan 31 orang informan dari jajaran Pimpinan Pusat Muslimat NU, pengurus SIKIB, LPPM UGM, Tenaga Pendamping Program Indonesia Hijau dan Desa Sejahtera Kulon Progo Jogjakarta, Kelompok Wanita Tani Desa Hargotirto Kulon Progo Jogjakarta, Ketua dan anggota Muslimat NU Jombang Jawa Timur, Pengurus KOWANI dan masyarakat yang terlibat dalam gerakan penanaman pohon Muslimat NU dan SIKIB. Hasil penelitian ini memperlihatkan gerakan hijau saat ini menjadi isu utama dalam kehidupan sehari-hari selain isu HAM dan demokratisasi. Gerakan hijau menjadi gerakan rakyat karena gerakan ini dipandang sebagai gerakan sadar umat manusia terhadap bahaya ekspolitasi lingkungan. Namun di balik pemikiran tersebut, kelompok kritis melihat gerakan hijau sebagai gerakan politik Negara barat yang saat ini tengah terancam adanya bahaya pemanasan global dan berharap Negara-negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki hutan luas dapat berkontribusi dalam mencegah bahaya perubahan iklim tersebut. Kaum perempuan dianggap sebagai kelompok strategis dalam upaya mencapai target pelestarian lingkungan karena secara gender dekat dengan alam sekitarnya, banyak menghabiskan waktunya di ladang, sawah dan menjadi penopang kebutuhan pangan keluarga. Organisasi Muslimat NU dan SIKIB didirikan dengan tujuan berbeda, memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan kepemimpinan laki-laki di organisasi induk masing-masing organisasi tersebut. Muslimat NU didirikan oleh organisasi Nahdlatul Ulama. Tujuan berdirinya Muslimat NU adalah untuk mengoptimalkan peran Ibu dalam ikut mentradisikan ajaran Islam ahlussunnah wal jama‟ah. SIKIB didirikan oleh Ani Yudhoyono dengan tujuan Mensukseskan program Kabinet Indonesia Bersatu. Muslimat NU dan SIKIB sejak berdirinya tidak memfokuskan bidang gerakannya hanya pada gerakan hijau.
ii
Muslimat NU memiliki struktur dari tingkat pusat sampai tingkat desa sedangkan SIKIB hanya ada di tingkat pusat, tidak memiliki hierarkhi kepengurusan sampai tingkat desa. Muslimat NU memiliki anggota atau pengikut sedangkan SIKIB tidak beranggota. Sistem rekrutmen kepemimpinan dalam Muslimat NU berdasarkan pada sistem kekerabatan melalui hubungan antar keluarga pesantren, keluarga pengurus NU, saudara dan sistem kaderisasi melalui IPPNU, Fatayat NU dan PMII Putri. SIKIB tidak memiliki sistem rekrutmen kepemimpinan. Kepengurusan SIKIB melekat dengan jabatan suami dalam jajaran Kabinet Indonesia Bersatu. Perbedaan sistem rekrutmen kepemimpinan, keanggotaan dan struktur organisasi antara Muslimat NU dengan SIKIB membawa dampak pada perbedaan gaya kepemimpinan dalam gerakan penanaman pohon di Indonesia. Muslimat NU menggunakan kekuatan strukturnya dari pusat sampai tingkat desa (pengurus ranting). Kepemimpinan SIKIB yang tidak memiliki anggota dan struktur kepengurusan di tingkat bawah, dalam menjalankan program penanaman pohon (di lokasi penelitian ini) bekerjasama dengan LPPM UGM, Pemda Kabupaten Kulon Progo Jogjakarta, Kelompok Wanita Tani (KWT) dan dunia usaha. Kepemimpinan dalam penanaman pohon SIKIB tersebut memperlihatkan betapa besarnya kekuasaan (power) yang dimiliki oleh pemimpin meskipun tidak memiliki otoritas (kewenangan) atas pribadi atau kelompok yang dipimpin. SIKIB juga memperlihatkan dengan tegas posisinya dalam koridor kepemimpinan transaksional di mana kepemimpinan dijalankan berdasarkan transaksi antara pemimpin dengan pihak yang dipimpin. Kepemimpinan perempuan dalam penanaman pohon Muslimat NU dan SIKIB merupakan bagian dari reaksi simbolis-politis atas permasalahan pemanasan global yang telah menjadi isu dunia internasional sebagaimana dirumuskan dalam MDGs. Jadi dari sini terlihat bagaimana Muslimat NU secara organisatoris hanya memanfaatkan kekuatan naluri perempuan (anggota Muslimat NU) yang dekat dengan lingkungannya untuk mensukseskan program penanaman pohon Pemerintah. Muslimat NU sendiri beserta kekuatan strukturnya di desadesa dimanfaatkan oleh Pemerintah untuk mensukseskan program pelestarian lingkungan. Dalam hal manfaat-memanfaatkan anggota masyarakat dalam gerakan penanaman pohon, jika Muslimat NU hanya memanfaatkan anggotanya (internal), SIKIB memanfaatkan pihak lain dan justru tidak hanya memanfaatkan namun juga melakukan “klaim” sepihak terhadap gerakan penanaman pohon yang dilakukan oleh pihak lain di luar SIKIB. Kepemimpinan Perempuan dalam Gerakan Hijau menuai konflik internal (konflik laten) baik itu kepemimpinan dalam Muslimat NU maupun SIKIB. Konflik laten dalam gerakan penanaman pohon di Muslimat NU berdampak pada program layanan pendidikan yang terwadai dalam Yayasan Pendidikan Muslimat NU (YPM NU). YPM NU mengalami kevakuman selama 4 tahun lamanya. Konflik laten dalam gerakan penanaman pohon SIKIB dengan organisasi yang tergabung dalam GPTP (Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara) berdampak pada kaburnya kepemilikan atas pohon yang telah ditanam. Konflik laten dalam SIKIB juga berdampak pola interaksi antar pemimpin dalam organisasi GPTP. Kata kunci : Kepemimpinan Perempuan, Gerakan Hijau, Muslimat NU, SIKIB
iii
SUMMARY SUSIANAH. The Women Leadership in Indonesian Green Movement. Guided by EKAWATI SRI WAHYUNI and SOERYO ADIWIBOWO. The purpose of this study are : (1) analyze the extent to which SIKIB and Muslimat NU in the tree planting movement can be classified as part of the green movement; (2) analyzing the tree planting undertaken by SIKIB and Muslimat NU and social factors that influence the awareness action against developmentalism or symbolic-political reaction; and (3) analyze the role of women's leadership (SIKIB and Muslimat NU) in a tree-planting movement. This research is case study of women's leadership in the movement to plant trees SIKIB Organization (Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu) and Muslimat NU organization. The collection of qualitative data is obtained in two ways: first, institutional research conducted in Pimpinan Pusat Muslimat NU at Jakarta, Pimpinan Cabang (Branch Manager) Muslimat NU Jombang East Java and SIKIB at Jakarta. Second, field research conducted in four places namely land planting movement in Jombang, land planting movement in Udanawu Blitar, land planting movement in District Pasirian Lumajang and land planting movement in Desa Hargotirto Kulon Progo Regency of Yogyakarta Province. This study was conducted in August 2011 to July 2012. The study involved 31 informants from Pimpinan Pusat Muslimat NU, SIKIB management, LPPM, Consultan Program of Indonesia Hijau Desa Hargotirto Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta, Women Farmers Group (Kelompok Wanita Tani) Desa Hargotirto Kulon Progo Yogyakarta , Chairman and members of the Muslimat NU Jombang East Java, Board KOWANI and communities involved in tree planting and SIKIB Muslimat NU. The results of this study show that green movement has becomes a major issue in daily life, beside of human rights and democratization issues. Green movement has becomes people‟s movement due to this movement seems as an awareness of mankind on the danger of exploitating environment. However, regardless to those rationale mentioned above, critic groups are seeing this green movement as a Western political movement which are currently are threathen by global warming and expectively for developing contries such as Indonesia that has very wide forests so they can contribute to prevent climate changes. Women are deemed as a strategic group in order to reach its targets on environment conservation, because they are really close to their vicinnity natures, they are often spend more times in farms, fields and become a buttress for family food needs. Organizations of Muslimat NU and SIKIB were founded with different objectives, these have a solid tie on men leadership at relevant main organizations. Muslimat NU was founded by Nahdlatul Ulama that pioneered by religious and very charismatic clerics/ulamas/Kyais in its communities : KH Moh Dahlan, KH Wahab Hasbullah and KH Saifuddin Zuhri. The purpose of Muslimat NU establishment was to optimize maternal roles as well as to preserve Traditional Islamic methods of ahlussunnah wal jama‟ah. SIKIB was founded by Mrs. Ani Yudhoyono, its main objective is to make success any programs of Indonesian
iv
Cabinet. Since its establishment, Muslimat NU and SIKIB were not focused on green movement. Muslimat NU has structures from central level to rural levels, and SIKIB is only in the central level, it has no organization hierarchy to rural levels. Muslimat NU has members or followers, and SIKIB has no members whatsoever. Leadership recruitment systems in Muslimat NU is based on kinship relationship between pesantren families, families of NU managements, relatives as well as cadre systems by IPPNU, Fatayat NU and Young Female PMII. SIKIB has no recruitment systems in leadership. Management of SIKIB is attached to their spouses‟ positions in the Indonesian Cabinet. The different between leadership recruitment, membership and organization structure between Muslimat NU and SIKIB have made different style of leaderships in tree planting movement in Indonesia. Muslimat NU is using their influences in its structure from central to rural levels. Leadership on SIKIB which has no members nor management structure in grass-root level to carry out tree planting programs (in the site of this study) are cooperating with LPPM UGM, the Regional Government of Kulon Progo Yogyakarta, Kelompok Wanita Tani (KWT/Women Farmer Groups) and entrepreneurs. Leadership in planting trees in SIKIB showed the huge power of the leaders, however, it has not authorization on any personal or groups that it leaded. SIKIB is also shown its solid position in transactional leadership corridor, where its leadership is carried out that based on transactions between leader and those who are being leaded. Women leadership in tree plantings Muslimat NU and SIKIB are part of reactions of political symbolic on issues of global warming which has become world‟s issue as being formulated in MDG. So, we can see here that Muslimat NU in its organization is only use their women instinct (members of Muslimat NU) who are very close to its environment in order to make tree planting program become successful. Muslihat NU and its structures in rural areas are being used by the government to make programs of tree planting movement become successful. In using members of community to plant trees, Muslimat NU is only use their internal members. SIKIB has used other parties that claimed unilaterally on tree planting movement that made by other parties beside of SIKIB. Women leadership in Green Movement has a latent internal conflict both in leaderships on Muslimat NU and SIKIB. This latent conflict in planting tree movement in Muslimat NU has its effect on its educational service programs that coordinating Educational Foundations of Muslimat NU (YPM NU). YPM NU has been hibernated for four years. This latency conflict in tree planting movement between SIKIB and organizations that grouped into GPTP (Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara/Women Movement to Plant and Raise) has been biased on the ownership of planted trees. This latency conflict in SIKIB has also impacted to interaction pattern between the leaders in organization of GPTP. Keywords : Women Leadership, Green Movement, Muslimat NU, SIKIB
v
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vi
vii
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM GERAKAN HIJAU DI INDONESIA
SUSIANAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Rilus A Kinseng, MA
1
2
PRAKATA Alhamdulillah, segala puja dan puji hanya kepada Allah SWT karena atas berkat rahman dan rahim-Nya penulis dapat merampungkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB. Penelitian berjudul “Kepemimpinan Perempuan Dalam Gerakan Hijau di Indonesia” ini berangkat dari kesadaran penulis sebagai aktifis gerakan perempuan yang melihat dengan kasat mata bagaimana ideology gerakan perempuan di pedesaan mulai mengalami tarik menarik kepentingan, baik kepentingan elit di internal gerakan perempuan maupun kepentingan elit nasional bahkan kepentingan internasional. Bagaimanapun isu hijau di kalangan gerakan perempuan sampai saat ini tetap menjadi isu yang revelan karena kaum perempuan khususnya di pedesaan secara gender banyak menghabiskan waktunya di lahan, sawah, hutan dan pantai di saat yang sama kelompok laki-laki banyak memasuki ruang publik. Rampungnya penelitian dan penulisan tesis ini bagi penulis tidak menjadi penanda akan akhir dari perjalanan studi karena seyogyanya upaya memperoleh ilmu pengetahuan dilakukan sampai akhir hayat. Dalam hal pencarian ilmu pengetahuan sendiri, Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB berhasil mendoktrin penulis bahwa jika kita ingin dapat menikmati isi dunia ini maka kita harus mengikuti tahapan berfikir ilmiah. Tahapan berfikir ilmiah yang sampai saat ini penulis ingat adalah : “Jika kita dapat merumuskan masalah dengan baik maka kita akan dapat menyelesaikannya dengan efektif. Jika kita dapat menyelesaikan masalah dengan efektif maka kita akan dapat melihat dunia dengan lebih baik, dan kemudian ketika kita melihat dunia lebih baik maka kitapun akan dapat menikmatinya lebih banyak”. Proses belajar di IPB memberi keberkahan pada penulis tidak sekadar perolehan gelar akademik semata, namun yang lebih jauh itu IPB telah membawa penulis masuk pada epistemologis kritis. Proses belajar di program studi Sosiologi Pedesaan IPB telah membawa penulis pada tradisi berfikir ilmiah-kritis, berpihak kepada kelompok mayarakat yang mengalami marginalisasi oleh dampak pembangunan, bervisi kemanusiaan di manapun dan kapanpun. Penulis sangat berhutang budi kepada seluruh jajaran sivitas akademika IPB yang telah memberikan pelayanan yang sangat baik mulai dari pelayanan pendidikan, pelayanan administrasi, pelayanan publik yang mendukung proses belajarmengajar dan lain sebagainya. Penulis menghaturkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Bapak Dr. Arya Hadi Dharmawan Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB yang telah mencurahkan waktu, pikiran dan tenaganya untuk melayani penulis baik yang berkaitan dengan bidang studi yang penulis kaji selama proses belajar di IPB maupun dalam pelayanan birokrasi dan administrasi akademik 2. Bapak Dr. Rillus Kinseng, Sekretaris Program Studi Sosiologi Pedesaan yang juga pengampu mata kuliah Perubahan Sosial yang dengan sabar melayani diskusi penulis 3. Ibu Dr. Ekawati Sri Wahyuni Ketua Komisi Pembimbing yang di awal proses pembimbingan telah menumbuhkan semangat penulis untuk tetap yakin bahwa proses belajar ini akan dapat dilalui dengan baik.
3
Terimakasih penulis haturkan kepada Ibu Ekawati yang di akhir proses bimbingan meneguhkan komitmen penulis dengan prinsip “Jika kita berani mengawali satu pekerjaan, maka kita juga harus bisa mengakhirinya dengan baik”. Waktu jua yang bicara tentang hikmah di balik semua proses studi ini karena ternyata studi ini pula yang menghantarkan saya menjadi aktifis Muslimat NU yang sebenarnya jauh dari yang pernah saya mimpikan bahkan berfikirpun juga tidak. 4. Bapak Dr. Soeryo Adiwibowo selaku Komisi Pembimbing yang berhasil memberi stimulasi “ideology hijau” melalui proses pembelajaran mata kuliah “Ekologi Manusia”. Bersama Pak Bowo, saya jadi mengenal siapa itu Rappaport, Julian Steward, Arne Naess, Jim Ife, Peluso dan lain sebagainya. Pertanyaan agak menggelitik di awal studi dari Pak Bowo adalah apakah kita hendak memposisikan diri sebagai ilmuwan atau peneliti atau aktifis-peneliti? Memilih posisi tentu beresiko, apalagi jika yang dipilih itu adalah menjadi aktifis-peneliti. 5. Ibu Nurmala K Pandjaitan dan Bapak Djuara Lubis yang telah mengantarkan penulis pada pemahaman tentang Filsafat Ilmu khususnya tentang Metode Penelitian. Penulis memahami bahwa penelitian kualitatif pun memiliki kekhasan validasi sendiri yang itu berbeda dengan validasi pada metode penelitian survey yang sangat kuantitatif. 6. Kepada dosen-dosen program studi Sosiologi Pedesaan IPB yang telah setia menemani proses belajar memahami realitas sosial pedesaan. 7. Kepada Mbak Anggra dan Mbak Hety yang setia melayani semua mahasiswa khususnya penulis dalam berproses di Sosiologi Pedesaan sehingga semua berjalan baik-baik saja. 8. Bapak Prof. Dr. Nahrowi Ramli yang dengan tulus memberikan pelayanan kepada penulis dalam melalui setiap tahapan penyelesaian studi di IPB 9. Bapak Prof. Dr. Said Agil Siradj Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang telah memberikan dukungan moral, material dan spiritual kepada penulis sehingga sampai di sini. 10. Ibu Khofifah Indar Parawansa Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU yang dengan kemurahan hatinya menerima penulis menjadi bagian dari jajaran PP Muslimat NU (meski usia penulis saat itu masih 33 tahun). Muslimat NU sebagai obyek studi ini penulis kaji dengan menggunakan metode partisipatori riset yakni penulis menjadi bagian dari Muslimat NU. Artinya selama proses studi ini berlangsung penulis menempatkan diri sebagai aktifis-peneliti. Terakhir, semoga hasil studi yang penulis paparkan dalam tesis ini memberi manfaat bagi masyarakat.
Bogor, Juli 2014 Susianah
4
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xv DAFTAR GAMBAR xvi I PENDAHULUAN Latar Belakang Pemikiran 1 Rumusan Masalah 5 Tujuan Penelitian 8 Kegunaan Penelitian 8 Aspek Teoritis 8 Aspek Praktis 8 II TINJAUAN PUSTAKA Teori Perilaku Kepemimpinan Pemimpin 9 Sumber Lahirnya Pemimpin 11 Gaya Kepemimpinan 12 Teori Kepemimpinan Perempuan 13 Kepemimpinan Formal dan Informal 13 Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional 14 Kekuasaan dan Otoritas Dalam Kepemimpinan 16 Gerakan Hijau 18 Etika Lingkungan 18 Gerakan Hijau sebagai Ideologi Politik 19 Gerakan Hijau Sebagai Perilaku 20 Kerangka Pemikiran 21 Hipotesis Pengarah 22 III METODE PENELITIAN Metode dan Pendekatan Penelitian 22 Tempat dan Waktu Penelitian 25 Metode Pengumpulan Data 25 Metode Analisis Data 25 IV KEPEMIMPINAN MUSLIMAT NU DALAM GERAKAN PENANAMAN POHON Sejarah dan Kepemimpinan Perempuan 26 Sejarah Perkembangan Organisasi Muslimat NU 26 Pelayanan Masyarakat Sebagai Ibadah (Nilai Altruistik) 30 Sumber Lahirnya Pemimpin Muslimat NU 34 Ciri-ciri anggota dan Pola Kepemimpinan 36 Kasus Penanaman Pohon di Jombang Jawa Timur 39 Manajemen Penanaman Pohon 41 Distribusi Bibit 43 Pola Kepemimpinan 47 Konflik Laten dalam Gerakan Penanaman Pohon 50 V KEPEMIMPINAN SIKIB DALAM DALAM GERAKAN PENANAMAN POHON Sejarah Perkembangan dan Kepemimpinan Perempuan 53 Sejarah Perkembangan SIKIB 53 Sumber Lahirnya Pemimpin 55
5
Ciri-ciri Anggota 61 Kasus Penanaman Pohon di Hargotirto Jogjakarta 61 Manajemen Penanaman Pohon 61 Pola Kepemimpinan 63 Konflik Laten dalam Gerakan Penanaman Pohon 72 VI TINJAUAN KRITIS TERHADAP KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM GERAKAN PENANAMAN POHON Gerakan Simbolik-Politis 78 Kepentingan Politik Internasional 81 Penanaman Pohon dan Ketidak Adilan Sosial Kasus Penanaman Pohon Anggota Muslimat NU 86 Makna Pohon Bagi Muslimat NU 86 Pohon dan Ketidak Adilan Sosial 89 KWT Ngudi Lestari dan Gerakan Hijau di Desa Hargotirto 91 VII KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
96 97 98 102
6
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
Daftar Usulan Bibit Yang dibutuhkan anggota Muslimat NU Daftar Penerimaan dan Distribusi Bibit dari Kementrian Kehutanan Partisipasi Dalam Program Penanaman Pohon Muslimat NU Pihak-pihak Yang Berkepentingan Dalam Gerakan Menanam SIKIB Hasil Monitoring dan Evaluasi Gerakan Tanam SIKIB dan GPTP Distribusi Bibit
44 45 47 71 78 94
7
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6
Jalinan hubungan antar komponen dari kepemimpinan (Luthans, 1981) Model pola interaksi antara pemimpin, perilaku pemimpin dan lingkungannya (Luthans, 1981) Latar Belakang Berdirinya Muslimat NU Distribusi Program Penanaman Pohon Aktor Gerakan Tanam Berbasis Masyarakat Peristiwa yang Melatari Gerakan Menanam dan Pelihara Pohon SIKIB
10 11 29 46 62 86
8
DAFTAR LAMPIRAN
1
.
Daftar informan penelitian Kepemimpinan Perempuan Dalam Gerakan Hijau di Indonesia
102
1
I PENDAHULUAN Latar Belakang Pemikiran Indonesia bersama negara-negara berkembang menandatangani perjanjian mencapai tujuan pembangunan yang terumuskan dalam program Millenium Development Goals (MDGs). Ada delapan target yang ingin dicapai dalam program MDGs tersebut antara lain memberantas kemiskinan dan kelaparan, pendidikan dasar untuk semua, kesetaraan gender, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan Ibu, mengurangi penyakit menular, meningkatkan kelestarian lingkungan hidup dan mengembangkan kemitraan global (Claessens dan Feijen 2006). Sebagaimana tercantum dalam penandatangan MDGs, batas waktu pencapaian ke delapan program pembangunan pada tahun 2015. Meningkatkan kelestarian lingkungan hidup selain menjadi salah satu issu utama dalam pencapaian target pembangunan milenium, kelestarian lingkungan di Indonesia juga merupakan program yang mendapat perhatian banyak pihak selama 10 tahun terakhir. Kita bisa melihat bagaimana komitmen pemerintah terhadap gerakan menanam sejuta pohon dan sejenisnya diselenggarakan tak hanya bertopang pada satu Kementrian Kehutanan namun juga melibatkan intansi lain di jajaran pemerintah. Pemerintah juga secara tegas mewajibkan BUMN dan sector swasta agar memperhatikan aspek pembangunan sosial menjadi bagian dalam perencanaan perusahaan seperti tertuang dalam tiga Undang-undang yakni UU No 19 tahun 2003 tentang BUMN, UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Supomo 2004) Upaya pelestarian lingkungan di Negara-negara sedang berkembang yang kini menjadi salah satu target pembangunan millenium berangkat dari kesadaran adanya degradasi lingkungan yang disebabkan ulah manusia. Kesalahan perilaku manusia kepada lingkungannya berakar dari kesalahan cara pandangnya tentang dirinya sendiri, alam dan hubungan manusia dan lingkungannya. Oleh karena itu menurut Keraf (2010), untuk mengatasi dan melestarikan lingkungan hidup saat ini harus dimulai dari perubahan cara berfikir atau cara pandang dan perilaku manusia kepada lingkungannya. Kesadaran menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial dengan upaya melestarikan lingkungan hidup sebenarnya sudah ada di Indonesia sejak akhir tahun 1970. Ketika itu pemerintah Indonesia bersama dengan negara-negara berkembang dalam forum PBB menandatangani kesepakatan bersama untuk menyelenggarakan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan yang dimaksud adalah pembangunan yang tidak berdampak pada eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan secara besarbesaran hanya untuk kepentingan ekonomi politik (Affandy 2010). Dalam perjalanannya, pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi menjadi kendala serius dalam menjaga komitmen dan menyelenggarakan pembangunan berkelanjutan. Ambisi untuk mengekspolitasi alam berwajah pembangunan adalah faktor utama yang menenggelamkan komitmen untuk menyelenggarakan pembangunan berkelanjutan. Penerapan teori modernisasi dalam kebijakan di negara-negara berkembang (Dunia Ketiga) menyebabkan terbukanya peluang bagi negara-negara kapitalis mengembangkan usahanya di Ibu
2
pertiwi ini melalui beroperasinya perusahaan-perusahaan multinasional. Dan sumber daya alam adalah komponen berkembangnya kapitalisme yang di poles oleh negara barat dengan wajah ”pembangunan” selain komponen lain yakni sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi (Affandy 2010). Akibatnya dari berbagai evaluasi upaya pelestarian lingkungan melalui gerakan hijau di Indonesia, seringkali hanya dimanfaatkan oleh para elit khususnya elit politik untuk mengkampanyekan partai dan golongannya sebagai gerakan pro rakyat. Gerakan hijau menjadi sebuah gerakan yang populis karena gerakan ini menentang upaya-upaya eksploitasi lingkungan untuk berbagai kepentingan, termasuk kepentingan pembangunan ekonomi. Gerakan hijau juga dikenal sebagai gerakan yang menjunjung tinggi keadilan sosial karena meletakkan keberpihakan kepada rakyat sebagai asasnya. Gerakan hijau yang terpusat pada kaum laki-laki sebagai leading sector di daerah-daerah tanah air banyak yang berakhir sia-sia. Gerakan hijau tidak menuai hasil karena hanya mengedepankan sisi seremonial dan bersifat sporadis. Gerakan hijau yang dimotori pemerintah melalui Kementrian Kehutanan RI ini kemudian mengundang praduga para aktivis sosial sebagai gerakan yang hanya bertujuan untuk menarik simpati masyarakat karena seringkali selesai pada proses tanam tanpa dibarengi kegiatan perawatan tanaman. Banyak sekali tanaman yang mati sia-sia karena tidak mendapat perawatan. Program hijau juga seringkali berakhir dengan dipenjarakannya penanggung jawab proyek yang telah terbukti memanipulasi data dan laporan keuangan yang banyak mendapat mark up. Sejak tahun 2007, bersamaan dengan pencanangan penamanan 1 milyar pohon untuk dunia oleh Presiden RI, kelompok perempuan menghimpun diri dalam organisasi sosial kemasyarakatan bernama ”Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon” atau disingkat GPTP. Organisasi yang terfokus pada gerakan menanam dan memelihara pohon berbasis perempuan pedesaan ini beranggotakan tujuh organisasi yang memiliki struktur kepengurusan dari tingkat desa sampai tingkat pusat antara lain SIKIB, KOWANI, Dharma Wanita, TP PKK, Bhayangkari, Dharma Pertiwi dan APPB1. Pembentukan GPTP berangkat dari kesadaran akan kekuatan naluri perempuan dalam ”merawat dan melestarikan” lingkungan dalam berbagai penelitian hasilnya lebih tinggi daripada laki-laki. Kaum perempuan yang sebagian besar tinggal di pedesaan dan banyak menghabiskan waktunya di sawah-sawah, ladang, kebun, pegunungan serta hutan dipandang memiliki potensi kuat mensukseskan gerakan hijau yang saat ini menjadi prioritas negara-negara berkembang dalam menyelamatkan lingkungan. Di antara 7 organisasi anggota GPTP yang intens melakukan gerakan hijau dan secara bersamaan juga melaksanakan program pengembangan masyarakat adalah SIKIB (Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu). Sebagaimana kepanjangan nama SIKIB, organisasi ini merupakan perkumpulan para isteri Menteri Kabinet Indonesia Bersatu yang pembentukannya diinisiasi atas 1
Masing-masing organisasi tersebut memiliki kepengurusan dari tingkat kecamatan sampai tingkat pusat kecuali organisasi SIKIB (Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu) dan APPB (Aliansi Perempuan Untuk Pembangunan Berkelanjutan) yang hanya memiliki kepengurusan di Jakarta sebagai Ibu Kota Indonesia. KOWANI sendiri merupakan federasi organisasi perempuan yang memiliki 70-an anggota organisasi perempuan di tingkat pusat. Dengan kekuatan struktur yang hiarkhi dari pusat sampai tingkat kecamatan ini memudahkan untuk mewujudkan ”gerakan hijau” berbasis keadilan gender
3
keprihatinan Ibu Ani Bambang Yudoyono terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. SIKIB menggariskan pengabdiannya pada bidang sosial dan pendidikan. Secara garis besar kegiatan SIKIB bertumpu pada visi untuk mewujudkan tatanan kehidupan dan penghidupan masyarakat dan bangsa Indonesia yang cerdas, sehat dan sejahtera. Sedangkan misi SIKIB antara lain membantu mensukseskan pelaksanaan program Kabinet Indonesia Bersatu, membantu mencerdaskan kualitas pendidikan masyarakat, membantu meningkatkan kesadaran terhadap kesehatan, membantu menciptakan lingkungan yang hijau dan bersih, menumbuhkan kreatifitas seni dan budaya masyarakat, peduli dalam meningkatkan rasa nasionalisme, kesetia kawanan dan solidaritas korban bencana alam serta pemberdayaan ekonomi (Said 2008) Dalam melaksanakan gerakan tanam 1 milyar pohon beserta program Desa Sejahtera, SIKIB menjalin kerjasama dengan banyak stake holder. Stake holder dari jajaran pemerintah yang bekerja sama dengan SIKIB antara lain Kementrian Kehutanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Kementrian Lingkungan Hidup, Kementrian Pekerjaan Umum, Kementrian UKM, Kementrian Perdagangan, Kementrian Kesehatan, Kementrian Sosial, Kementrian Perumahan Rakyat, BKKBN, KASAL, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Propinsi. Stake holder dari unsur masyarakat dan perusahaan meliputi Universitas YARSI, YKKSJ, Artha Graha Peduli, PT Adaro, PT Sinar Mas, PT Bogasari, PT Teh Sosro dan lain sebagainya (http://indonesiahijau.or.id/) Dalam merealisasikan pelestarian lingkungan, selain membentuk SIKIB pemerintah juga bekerja sama dengan organisasi kemasyarakatan berbasis perempuan. Salah satu organisasi yang secara massif menjalankan program menanam pohon adalah Muslimat NU. Dalam visi dan misi organisasinya, Muslimat NU memposisikan dirinya sebagai organisasi layanan sehingga semua kegiatannya juga terfokus pada ruang pengabdian kepada bangsa dan negara melalui kegiatan-kegiatan sosial, pendidikan, pengembangan ekonomi mikro, kesehatan dan kependudukan serta lingkungan hidup. Muslimat NU memiliki kepengurusan dari tingkat desa (pengurus ranting) sampai tingkat nasional di Jakarta (pengurus pusat). Sejak tahun 1956 Muslimat NU tergabung dalam organisasi KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) yakni federasi organisasi perempuan yang memiliki kepengurusan di tingkat pusat (Muslimat NU 1996). Kehadiran Muslimat sebagai organisasi perempuan memiliki kekhasan di bandingkan dengan organisasi perempuan lain di Indonesia. Pertama, secara struktural Muslimat memiliki kepengurusan dari tingkat pusat (Jakarta) sampai tingkat ranting (desa atau kelurahan). Jumlah kepengurusan Muslimat sampai Kongres XVI yang diselenggarakan 15-18 Juli 2011 menyebar di 445 Kabupaten/Kota di Indonesia memiliki kekuatan sebagai penggerak perubahan dalam masyarakat karena organisasi ini memiliki basis kader yang solid di akar rumput. Kedua, anggota Muslimat NU merupakan anggota masyarakat pedesaan (tanpa pandang bulu asal beragama Islam) secara organisatoris menjadikan Muslimat memiliki “keterlekatan” dengan struktur sosial pedesaan (Affandy 2011). Dengan posisi yang melekat tersebut menjadikan Muslimat juga sangat dekat dengan permasalahan bahkan “lekat” dengan beragam potensi pedesaan yang kemudian menjadi sumber modal sosial. Ketiga, sebagai organisasi masyarakat keagamaan kehadiran Muslimat NU bagi anggotanya mampu
4
memberikan pijakan nilai sebagai dasar atau motivasi dalam berperilaku sosial. Nilai-nilai agama yang menjadi pijakan berorganisasi Muslimat NU ini pada masa Orde Baru telah mencipta opini bahwa Muslimat NU sering kali “dianggap” seperti “pengajian Ibu-Ibu” pedesaan, bukan organisasi yang memiliki sistem dan struktur di dalamnya. Hal ini tidak selamanya bermakna negatif karena kita juga bisa memaknai hadirnya Muslimat NU di masa lalu telah diakui banyak pihak berhasil mengisi “ruang nilai (agama)” dalam masyarakat. Kekhasan organisasi Muslimat NU tersebut di atas telah membawa organisasi kaum Ibu-Ibu ini memiliki modal sosial yang besar sehingga berhasil eksis dalam melalui semua zaman. Ketiga sumber modal sosial yang dimiliki Muslimat NU antara lain, pertama jaringan. Posisi Muslimat NU yang melekat dalam struktur sosial pedesaan membuat organisasi ini memiliki jaringan kuat di masyarakat. Secara garis besar, jaringan-jaringan tersebut meliputi antara lain jaringan pesantren. Sebagian besar pengurus Muslimat NU adalah pengasuh pesantren. Mereka memiliki santri yang juga kelak menjadi kader-kader dalam menjalankan misi dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Dalam tradisi pesantren, para santri yang telah lulus mengemban amanah untuk mendakwahkan Islam di kampung halamannya. Para santri di kemudian hari menjadi panutan dan pemimpin masyarakat mulai dari pemimpin majlis ta‟lim, pemimpin pesantren, pemimpin kelembagaan formal dan nonformal. Dengan keasadaran akan kekuatan modal sosial tersebut, pemerintah berharap kepada Muslimat ikut serta mensukseskan gerakan hijau di Indonesia. Partisipasi perempuan dalam gerakan menanam pohon di Indonesia dianggap memiliki peran besar dalam mengembalikan degradasi hutan dan kerusakan lingkungan sehingga gerakan tersebut layak disebut sebagai bagian dari gerakan hijau sebagaimana gerakan hijau yang ada di negara-negara sebagai reaksi terhadap developmentalis. Laporan Kementrian Kehutanan sebagai pilot project memberikan ”klaim” terhadap gerakan tanam yang dilakukan perempuan sebagai gerakan berdampak positif karena telah berhasil menjadikan degradasi hutan menurun dari 2,83 juta hektar pertahun menjadi 1,08 juta hektar (data per Agustus 2008) atau menurun sampai angka 60%. Penurunan tersebut sangat cepat sebab pada tahun 2005, Indonesia memiliki lahan kritis dari kerusakan 59, 2 juta hektar per tahuan dan pada tahun 2006 menurun menjadi 30 juta hektar. Prestasi tersebut diraih setelah pemerintah melakukan gerakan hijau dengan menjadikan perempuan sebagai penggerak selama kurun waktu 2004-2007 (Kementerian Kehutanan RI 2008). Partisipasi perempuan dalam gerakan menanam pohon yang dikoordinasikan oleh Kementrian Kehutanan RI bersama Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI mewujud dalam berbagai kegiatan yang terpolakan dalam program antara lain ”Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), Indonesia Menanam dengan semboyan ”Kecil Menanam, Besar Memanen”, ”Tebang Satu Tanam Seribu”, serta ”Santri Menanam, Kyai Memanen, Anak dan Cucu Memanen”, ”Duta Tanam Sekolah” (Jurnal Pena, edisi 2, 2005). Gerakan menanam pohon di Indonesia yang awal mulanya hanya memiliki target 10 juta pohon, namun antusiasme masyarakat dalam berpartisipasi yang sangat tinggi membuat pencapaian target tersebut meningkat 14, 1 juta pohon (Kementerian Kehutanan RI 2008).
5
Rumusan Masalah Dinamika kehidupan perempuan di pedesaan, khususnya dalam mahzab Bogor, telah banyak dilakukan dan dirintis oleh Pudjiwati Sajogyo melalui disertasinya mengenai peranan perempuan dalam perkembangan masyarakat desa (Wahyuni dan Kolopaking. editor. 2010). Dalam kajian yang dilakukan Kolopaking et al (2010) menyajikan data penganut mahzab Bogor memiliki ketertarikan yang lumayan tinggi terhadap kajian gender. Selama 24 tahun (19812005), dalam lingkup penganut mahzab Bogor telah menghasilan sebanyak 51 judul tesis dan disertasi bertemakan peranan perempuan, gender dan keluarga yang akar keilmuannya terkait langsung dengan sosiologi pedesaan. Dari berbagai studi perempuan yang ada memperlihatkan bahwa kepemimpinan perempuan dalam menggerakkan partisipasi perempuan pedesaan belum banyak dilakukan dalam mahzab Bogor. Kajian kepemimpinan perempuan sendiri banyak dilakukan terutama yang berkaitan dengan kepemimpinan politik sedangkan kepemimpinan perempuan dalam gerakan hijau di Indonesia belum pernah diungkap dalam kajian akademis. Partisipasi perempuan dalam gerakan hijau di Indonesia berbeda dengan gerakan hijau di negara lain yang banyak dipelopori oleh kelompok kiri. Sejarah gerakan hijau di dunia dapat dilihat dari karya J.R.R Tolkiens (1987) pada tahun 1970-an di mana di benua Eropa ketika itu banyak muncul kaum hippies anti perang yang terhimpun dalam komunitas hijau. Gerakan hijau yang kemudian berkembang menjadi ideologi hijau jika ditelusuri ke akarnya, gerakan ini menganut paham demokrasi partisipatori dan berlandaskan pada prinsip ”think globally, act locally”. Partai hijau pertama kali muncul pada tahun 1972 dari sebuah gerakan bernama ”United Tasmanian Group” di kota Hobart, Australia (Walker 1986). Dari negeri Kanguru ini lalu menyebar ke Kanada dan New Zealand hingga parlemen Inggris dengan terbentuknya ”Ecology Party”. Kemunculan partai hijau membawa ideologi yang fundamental dalam menempatkan lingkungan lepas dari kerangka pikir tradisional dalam sosiokultural dan politik (Keil 1998). Munculnya ideologi hijau di Eropa merupakan wujud kesadaran akan adanya kesenjangan antara kebutuhan dan kualitas hidup masyarakat. Empat pilar ideologi hijau yang terumuskan di Jerman membuktikan ideologi ini sangat menentang kapitalisme. Keempat pilar inilah yang menjadi dasar dalam pendirian partai hijau antara lain ; (1) ekologi yang seimbang, (2) keadilan sosial, (3) demokrasi rakyat, dan (4) anti kekerasan. Gerakan hijau yang spesifik dimotori oleh gerakan perempuan juga menjadi bagian dari pemberontakan terhadap ketidak adilan sosial. Gagasan ecofeminism misalnya dilontarkan pertama kali tahun 1974 oleh seorang feminis Francis dalam buku Le Feminisme ou La Mort. Buku tersebut menggugah kesadaran manusia khususnya kaum perempuan akan potensi untuk melakukan revolusi ekologis dalam menyelematkan lingkungan hidup (Armstrong 1993) Salah satu tokoh ekofeminisme adalah Vandana Shiva, seorang doktor fisika dan filsafat ilmu, lahir pada 5 November 1953 di Dehradun, di kaki pegunungan Himalaya. Aksi memeluk pohon khejri di desa Bishnoi Rajastan India yang terjadi 300 tahun silam ketika Raja Abhay Singh memerintahkan menebang pohon tersebut sebagai wujud protes masyarakat telah menginspirasi Vandana Shiva
6
untuk melakukan kajian tentang hubungan antara logika dominasi dengan krisis ekologi yang terjadi di belahan dunia. Kritik terbesarnya terhadap paham neoliberalisme yang kapitalistik berasal dari analisisnya terhadap sejarah ilmu pengetahuan modern yang ditulang punggungi cara berpikir maskulin (Shiva 1988). Ilmu pengetahuan modern yang maskulin telah melahirkan “dualisme” dan “reduksionisme”. Prinsip dualisme menempatkan secara diametral antara obyeksubyek, manusia-alam semesta, akal-rasa, dan lelaki-perempuan. Shiva menemukan jejak darah yang ditinggalkan reduksionisme di mana-mana. Pada abad ke-16 misalnya, di Eropa terjadi pembantaian besar-besaran terhadap perempuan berkemampuan kebidanan, pengobatan, dan astrologi. Mitos nenek sihir yang jahat lahir dari sana. Mitos dan kearifan tradisional pun diberangus dengan alasan manifestasi pengetahuan yang sesat, irasional, takhayul, dan tidak ilmiah (Shiva 1988). Gerakan hijau dengan ideologi ecofeminism di banyak negara telah memperhadapkan aktivis perempuan dengan negara, perempuan dengan pihak kapitalis dan juga perempuan dengan strutur sosial beserta budayanya. Kritikan penganut paham ecofeminism terhadap ideologi hijau di luar „ideologi ekofeminisme‟ membuat gerakan ini kerap dituding sebagai gerakan yang tidak membumi. Bagi ekofeminisme, krisis lingkungan tidak semata disebabkan oleh perilaku yang dihasilkan dari cara pandang antroposentrisme. Krisis lingkungan yang mendasar juga disebabkan oleh cara pandang dan perilaku yang androsentris yakni cara pandang dan perilaku yang menempatkan dominasi, manipulasi, eksploitasi terhadap alam. Menurut Karren J Warren dalam Keraf (2010) kerangka konseptual androsentris yang menindas memiliki tiga ciri utama yakni : (a) berfikir tentang “nilai-secara-hierarkis”, yang menempatkan nilai dan status yang lebih tinggi pada pihak yang dianggap lebih tinggi; (b) dualisme nilai, yang melakukan penilaian moral dalam kerangka dualistik (laki-laki dilawankan dengan perempuan, manusia di lawankan dengan alam) untuk memberi nilai lebih tinggi pada satu sambil menilai rendah pada yang lain; (c) logika dominasi yaitu struktur berfikir yang cenderung membenarkan dominasi dan sub ordinasi. Di Indonesia, partisipasi perempuan dalam gerakan menanam pohon justru di “drive” oleh pemerintah. Kehadiran SIKIB sendiri jika dirunut pembentukannya juga bersifat “top down”, yang konon ketika itu Ibu Ani Yudhoyono dalam rapat persiapan pencanangan “penanaman 1 milyar pohon untuk dunia” pada tahun 2007 mengajukan protes mengapa program kelestarian lingkungan di Indonesia tidak melibatkan kaum perempuan2 yang justru banyak menghabiskan waktu dan aktifitasnya di sawah-sawah, ladang, hutan dan pegunungan. Kehadiran SIKIB dalam GPTP serta Muslimat NU telah menyatukan gerakan perempuan Indonesia yang tergabung dalam organisasi kemasyarakatan dengan dasar ideologi yang beragam (nasionalis, sosialis dan religius). Dalam pandangan penulis, kepemimpinan penanaman pohon berbasis perempuan dalam wadah SIKIB dan Muslimat NU inilah yang menarik untuk dikaji secara mendalam. Sebab ditelisik dari sejarah perkembangan bangsa Indonesia, gerakan perempuan “nyaris” susah bertemu dan melakukan aksi secara bersama-sama 2
Diskusi dengan Sukma Taroniarta, Penyuluh Fungsional Kementrian Kehutanan Pusat, 10 April 2011
7
dalam satu tujuan. Gerakan perempuan Indonesia pernah melakukan perjuangan bersama-sama ketika melawan penjajah. Setelah itu, gerakan perempuan justru memilih berjalan sendiri-sendiri mewujudkan visi dan misinya yang sebenarnya sama yakni menjunjung harkat dan martabat perempuan Indonesia. Namun antara satu gerakan perempuan dengan gerakan perempuan lain sering kali saling “menghakimi”. Kelompok sosialis dan nasionalis melihat ketertindasan perempuan karena salah satunya disebabkan oleh bias tafsir agama. Sehingga mereka mengecam gerakan perempuan berbasis agama yang terkesan tidak kritis terhadap teks-teks agama dan bahkan ikut melegitimasi poligami (terselubung) dalam UU No 1 tahun 1974. Gerakan perempuan berbasis agama sendiri juga kerap kecewa dan curiga dengan gerakan perempuan berpaham sosialis dan nasionalis yang cenderung menggunakan pola pikir dan tindakan yang kebaratbaratan. Gerakan perempuan berbasis agama selama ini curiga dengan program “gender equality” sebagai corong para kapitalis yang ingin menjadikan masyarakat Indonesia mengikuti gerak “pasar”. Hubungan antara gerakan perempuan berhaluan sosialis dan religius sempat menegang saat pembahasan RUU Pornografi dan Pornoaksi di DPR-RI. Dalam kajian kepemimpinan perempuan dalam gerakan menanam pohon melalui SIKIB dan Muslimat NU ini juga tak bisa dilepaskan dari akar sejarah gerakan perempuan Indonesia yang tentunya berbeda dari pengalaman gerakan perempuan negara lain sehingga teori feminisme (ecofeminism) yang cenderung mengedepankan “konflik” seringkali tidak pas di pasang dalam bingkai keIndonesiaan. Dalam gerakan perempuan untuk misi yang berbeda, pada tahun 1980-an juga berhasil mensukseskan program Keluarga Berencana. Hambatan program KB seperti dialami negara-negara lainnya adalah pertentangan dari kaum agamawan yang menganggap program ini sebagai bentuk menolak takdir. Ketika pemerintah Indonesia mengambil inisiatif merangkul agawaman maka program KB pun berhasil cemerlang. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Dr. KH Idham Khalid ketika itu diangkat pemerintah menjadi Menteri Kesejahteraan Rakyat. Melalui tangan-tangan ormas perempuan underbow NU seperti Muslimat, Fatayat, IPPNU yang memiliki kepengurusan sampai tingkat desa membuat program KB menjadi program yang populis. Gerakan perempuan Islam bekerja secara bersama-sama bersama TP PKK, Dharma Wanita, Bayangkari dan lainnya mensukseskan KB. Ada kemungkinan romantisme masa lalu ini menjadi pertimbangan pemerintah menyatukan gerakan perempuan untuk merealisasikan gerakan pelestarian lingkungan di Indonesia. Dari gaya kepemimpinan perempuan dalam gerakan hijau di Indonesia yang berbeda dengan kepemimpinan penganut ecofeminis di Negara lain, diduga kepemimpinan gerakan menanam pohon SIKIB maupun Muslimat NU menganut paradigma transaksional yakni kepemimpinan merupakan kontrak sosial (baik itu antara pemerintah dengan organisasi perempuan maupun di antara pemimpin dengan para anggotanya. Pemerintah, pemimpin dan anggota dalam kepemimpinan gerakan menanam pohon di Indonesia merupakan pihak-pihak yang independen yang masing-masing mempunyai tujuan dan hubungan di antara ketiganya didahului oleh transaksi, negosiasi dan tawar menawar. Melalui kajian kepemimpinan ini, agenda penting lain adalah mengetahui aspek-aspek kelembagaan dari organisasi kemasyarakatan SIKIB dan Muslimat NU, ciri-ciri anggota atau pengikut di masyarakat, bagaimana gaya kepemimpinan
8
yang dijalankan untuk merealisasikan tujuan dalam pelestarian lingkungan. Berangkat dari permasalahan tersebut, pertanyaan penelitian yang diangkat dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah gerakan menanam pohon SIKIB dan Muslimat NU di era kepemimpinan Kabinet Indonesia Bersatu dapat digolongkan sebagai bagian dari gerakan hijau? 2. Apakah kegiatan penanaman pohon yang dilakukan SIKIB dan Muslimat NU merupakan reaksi sadar terhadap developmentalism melalui diskursus “perempuan dan hijau” atau sekedar merupakan reaksi simbolik-politik? 3. Bagaimana peran kepemimpinan perempuan (SIKIB dan Muslimat NU) dalam gerakan penanaman pohon Tujuan Penelitian 1. Menganalisis sejauh mana SIKIB dan Muslimat NU yang terlibat dalam gerakan penanaman pohon dapat digolongkan sebagai bagian dari gerakan hijau. 2. Menganalisis gerakan menanam pohon yang dilakukan oleh SIKIB dan Muslimat NU serta faktor-faktor sosial yang mempengaruhinya merupakan aksi kesadaran terhadap developmentalism atau reaksi simbolis-politik. 3. Menganalisis peran kepemimpinan perempuan (SIKIB dan Muslimat NU) dalam gerakan penanaman pohon Kegunaan Penelitian Aspek Teoritis Penelitian ini memberikan kontribusi dalam khazanah kajian teori kepemimpinan dalam sosiologi. Aspek-aspek kepemimpinan yang dikaji dalam interaksi pemimpin, gaya kepemimpinan dalam mencapai tujuan, gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional adalah jabaran dari teori elit dan kepemimpinan yang menjadi fokus kajian sosiologi seperti telah dirumuskan oleh Max Weber dalam teori kepemimpinan kharismatik dan kepemimpinan birokrasi yang ada dalam setiap masyarakat di dunia. Selain yang termaktub dalam teori sosial, penelitian ini memberi kontribusi dalam kajian teori-teori dalam gugus di luar ilmu sosiologi seperti ilmu komunikasi, ilmu psikologi sosial, ilmu manajemen, ilmu administrasi yang memiliki keterkaitan langsung dengan bahasan kepemimpinan sebagai bagian dari unit kajian. Penelitian ini juga memperkaya khazanah kajian analisis gender di mana penelitian dilakukan tidak hanya untuk meneliti tentang perempuan namun juga untuk perempuan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang menempatkan peneliti sebagai bagian dari kaum perempuan yang memiliki pengalaman yang sama dengan pihak yang diteliti. Aspek Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam menjawab permasalahan pencapaian tujuan gerakan menanam pohon di Indonesia khususnya yang dilakukan oleh gerakan perempuan ditinjau dari sisi kepemimpinannya.
9
Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi oleh para praktisi sosial baik itu di kalangan ormas, LSM, OKP, organisasi perempuan dan lain sebagainya untuk melakukan refleksi dan evaluasi terhadap kepemimpinan perempuan di masing-masing organisasi. Penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi program pemberdayaan perempuan dengan mengangkat aspek struktural daripada hal teknis berupa infastruktur sehingga perbaikan hidup perempuan yang telibat langsung dalam gerakan sosial di masyarakat dapat tercapai.
II TINJAUAN PUSTAKA
Teori Perilaku Kepemimpinan Pemimpin Apakah kehadiran pemimpin dalam suatu masyarakat bersifat ”natural” atau ”by design” telah menjadi kajian sosiologi sejak masa-masa kelahirannya yang kemudian juga populis dalam studi ekonomi terapan seperti manajemen. Berbeda dengan studi ekonomi, posisi pemimpin di masyarakat tak bisa dilekatkan secara otomatis pada posisi pimpinan. Dalam studi kepemimpinan yang hendak penulis angkat ini berbeda teori dan konsep dengan pemimpin yang merujuk pada konsep studi ekonomi manajemen. Luthans (1981) mengklasifikasi kepemimpinan dalam lima pendekatan. Pertama, pendekatan “sifat bawaan”, kedua pendekatan “kelompok”, ketiga pendekatan situasi, keempat pendekatan “tujuan terjalin”, dan terakhir kelima pendekatan “partisipatori (sosial learning)”. Pendekatan “sifat bawaan” menurut Luthans (1981) mengambil asumsi bahwa hadirnya pemimpin di masyarakat karena “takdir” seseorang yang dilahirkan sebagai pemimpin dan dianggap dapat menjalankan fungsi kepemimpinan. Menurut penganut cara pandang teori ini, seseorang yang dilahirkan sebagai pemimpin sejak kecilnya sudah memperlihatkan karakter dan kepribadian sebagai panutan masyarakat. Karakter, pembawaan dan sifat-sifat kepemimpinan yang dimiliki seseorang dapat diturunkan ke anak-cucunya. Pemimpin yang muncul atas dasar “takdir” biasanya di masyarakat memiliki kelebihan-kelebihan dan kharisma sehingga menjadikannya sebagai pribadi superior di antara warga masyarakat lainnya. Kelebihan dan kharisma yang dimiliki pemimpin yang lahir karena “takdir” ini dapat berupa fisik dan non fisik. Kelebihan fisik antara lain memiliki ilmu bela diri, memiliki bakat retorika dan berpenampilan yang dapat memikat orang lain. Sedangkan kelebihan yang bersifat non fisik pemimpin antara lain dapat membaca jiwa orang lain, mampu meramal masa depan, dan kemampuan lainnya. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan ”kelompok”. Menurut penganut teori ini, kehadiran pemimpin di masyarakat adalah hasil interaksi dalam suatu kelompok di mana pemimpin tersebut berada. Dalam suatu kelompok atau komunitas secara alamiah akan terjadi interaksi yang dinamis dan saling mempengaruhi di antara para anggota kelompoknya. Kelompok atau kerap disebut organisasi di dalamnya menurut Luthans (1981) minimal memiliki dua tugas yakni mencapai tujuan bersama dan memelihara atau mempertahankan kehidupan kelompok tersebut. Tugas pemimpin dalam perspektif ini adalah bersama-bersama anggota kelompok mencapai dua tujuan tersebut. Di sinilah kahadiran pemimpin
10
diharuskan memiliki kewibawaan bisa mempengaruhi anggota kelompoknya untuk mewujudkan tujuan kelompok. Pendekatan ketiga adalah pendekatan situasi. Asumsi yang digunakan oleh teori ini adalah efektifitas kepemimpinan sangat tergantung pada situasi, hubungan pemimpin dan anggotanya bersifat situasional. Pemimpin diharapkan memiliki sikap yang ”luwes” sesuai dengan situasi dan kondisi. Pemimpin diharapkan dapat mengidentifikasi situasi kondisi secara tepat dan mempergunakan hasil identifikasinya tersebut sebagai dasar bersikap dalam memimpin. Luthans (1981) memerinci situasi dan kondisi yang dimaksud ke dalam delapan kerangka antara lain (1) pengetahuan pemimpin, (2) pola interaksi antara pemimpin-anggota, (3) mengetahui ciri-ciri anggota, (4) hubungan kerjasama antar pemimpin, (5) posisi kekuasaan yang melekat pada pemimpin, (6) struktur kelompok, (7) tuntutan, hubungan kerja atau harapan dan hubungan pemimpin dengan supra struktur serta tempat dan waktu. Pendekatan keempat adalah pendekatan ”tujuan-terjalin (path goal). Pendekatan ini dilandasi oleh teori motivasi. Kehadiran pemimpin di masyarakat diharapkan menjadi motivasi bagi masyarakatnya. Robert J House, pencetus teori ini menyatakan bahwa agar kehadiran pemimpin di masyarakat dapat memotivasi masyarakat mensyaratkan dua hal yang harus diindentifikasi yang bersifat situasional yakni (1) situasi di mana perilaku kepemimpinan dapat diterima dan dikehendaki masyarakat, (2) situasi di mana perilaku pemimpin dapat memberi dampak pada meningkatnya motivasi masyarakat (gambar 1). Situasi pertama akan menciptakan kondisi yang menguntungkan. Sedangkan situasi kedua dapat mendorong masyarakat mengikuti sang pemimpin dalam merealisasikan tujuan bersama. Gambar 1. Jalinan hubungan antar komponen dari kepemimpinan (Luthans, 1981) Pemimpin (Diagnosa) Ciri pengikut dan situasi lingkungan
Perilaku pemimpin
Pelaksanaan kerja
Hasil
Pendekatan kelima adalah pendekatan ”partisipatori, saling belajar (social learning)”. Penganut teori ini berasumsi bahwa perilaku manusia merupakan hasil interaksi yang berlangsung terus-menerus. Masyarakat hidup tidak di ruang kosong tanpa nilai. Masyarakat hidup dengan situasi lingkungan yang tidak berdiri sendiri melainkan bersama-sama dengan perilaku kepemimpinan dengan latar belakang pengetahuan dan faktor lingkungan yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi (gambar 2).
11
Gambar 2 Model pola interaksi antara pemimpin, perilaku pemimpin dan lingkungannya (Luthans, 1981) Pemimpin dengan ciri dan latar belakang pengetahuannya
Perilaku kepemimpinan
Lingkungan
Sumber Lahirnya Pemimpin Kajian kepemimpinan dalam struktur ilmu pengetahuan di abad 20 mengundang banyak peminat seiring dengan masuknya paham liberalisme yang salah satunya mengusung misi demokratisasi dan Hak Asasi Manusia. Banyak orang menaruh minat pada studi kepemimpinan dengan tujuan untuk menelaah sumber-sumber lahirnya pemimpin, sumber munculnya pengaruh pada pribadi seorang pemimpin dan bagaimana mendapatkan anggota dalam kepemimpinannya. Haiman (1951) dalam kajian kepemimpinan yang digelutinya menyebutkan setidaknya ada tujuh sumber yang mendorong munculnya pemimpin dalam sistem sosial antara lain (1) ciri-ciri pribadi, (2) kekuatan majik (magical power), (3) tradisi yang berlaku dalam sistem, (4) munculnya peristiwa tertentu, (5) kehormatan (prestige) yang dimiliki seseorang, (6) kebutuhan situasional dan (7) ketrampilan atau kecakapan tertentu. Pertama, ciri pribadi yang dimaksud sebagai sumber munculnya pemimpin adalah ciri pribadi yang dapat menunjang kepemimpinan seseorang. Ciri pribadi yang dimaksud di sini bukan ciri pribadi yang didasarkan pada teori sifat yakni pemimpin lahir karena ”takdir”. Seorang pemimpin lahir dari pribadi yang memiliki ciri-ciri antara lain rasa sosial, aktif-kreatif dan banyak inisiatif, memiliki keteguhan hati, memiliki kepercayaan diri, memiliki kemampuan membaca situasi, dapat bekerja secara tim, populis, mudah menyesuaikan diri, memiliki kemampuan verbal dalam beretorika dan mengemukakan ide di depan publik, memiliki pengetahuan dan sebagainya. Kedua, kekuatan magik. Dalam banyak komunitas seperti di pedesaan, semua ciri-ciri sebagaimana digambarkan di atas sangat sulit ditemukan ada pada diri pemimpin. Meski para pemimpin pedesaan tidak melekat dalam pribadinya ciri-ciri tersebut, namun pemimpin ini memiliki pengaruh dan kewibawaan dan dianut oleh masyarakat karena dianggap memiliki kekuatan magik. Dalam pandangan determinan kultural munculnya pemimpin seperti ini karena situasi kultural masyarakat memang membutuhkan kehadirannya sehingga masyarakat sangat menghormatinya. Ketiga, sumber tradisi yang berlaku dalam sistem sosial. Pandangan teori ini hampir mirip dengan teori sifat di mana seorang pemimpin muncul karena ”takdir”. Hanya saja teori ini memandang kepemimpinan tradisi muncul karena dorongan norma-norma yang berlaku dalam sistem sosial. Salah satu tradisi yang dianut oleh kebanyakan masyarakat adalah adanya anggapan bahwa faktor keturunan sangat penting dalam menentukan status pemimpin. Seseorang yang
12
masih kanak-kanak pun seringkali oleh masyarakat sudah diprediksi akan menjadi pemimpin karena nenek moyangnya memiliki status sebagai pemimpin. Yang termasuk dalam determinan ”sumber tradisi” adalah faktor senioritas, baik dalam umur maupun pengalaman. Keempat, sumber munculnya pemimpin adalah adanya suatu peristiwa tertentu. Menurut pandangan teori ini pemimpin muncul terkait dengan kejadian tertentu seperti adanya kekosongan pemimpin karena terjadi kudeta atau peristiwa lainnya. Dalam kondisi kebingungan masyarakat mencari figur pemimpin pengganti, seringkali secara tiba-tiba muncul pemimpin yang diharapkan. Kelima, sumber kehormatan yang melekat pada diri seseorang. Dalam suatu komunitas, banyak masyarakat menempatkan seseorang sebagai pemimpin karena dianggapnya memiliki kewibawaan dan kehormatan. Pemimpin tersebut dihormati dan memiliki pengaruh kuat di masyarakat. Keenam, sumber dorongan situasional. Dalam menghadapi suatu permasalahan di suatu komunitas yang tidak ada seorangpun dalam sistem sosial berani untuk maju menjadi pemimpin, munculnya pemimpin dianggap karena dorongan situasional. Ketujuh, sumber ilmu pengetahuan, ketrampilan atau kecakapan tertentu. Dalam sistem sosial yang heterogen lahirnya pemimpin biasanya berdasarkan pada kapasitas yang ada pada seseorang dan munculnya pemimpin pun juga melalui mekanisme formal seperti pemilihan ketua partai politik. Dengan demikian meski dalam sistem sosial, seseorang yang tidak memiliki “ciri-ciri fisik” atau kepribadian, tidak memiliki kekuatan magis, tidak memiliki kehormatan akan tetapi ia memiliki kapasitas ilmu pengetahuan atau ketrampilan yang dibutuhkan maka ia akan dipilih atau diangkat menjadi pemimpin. Gaya Kepemimpinan Studi tentang gaya kepemimpinan jika ditelusuri dari literatur telah dimulai sejak F.W Taylor (1911) mengutarakan konsep tentang ”scientific management”. Pada tahun 1945 seorang sosiolog bernama Elton Mayo merangkum hasil penelitiannya menjadi ”Human Relation”. Dalam perkembangan selanjutnya studi gaya kepemimpinan menjadi kajian dinamis seiring dengan lahirnya negara bangsa yang melepaskan diri dari etika protestan. Robert Tanembaum dan Warren Scmidt pada tahun 1957 mengajukan teori tentang gaya kepemimpinan dari model otoriter sampai demokratis. Blake dan Mouton (1964) dengan konsep ”managemen grid”, Friedler (1967) dengan ”3D Management Style Theory”, mengurai panjang lebar tentang gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan menurut Hersey dan Banchard (1977) dan Luthans (1977) adalah pola perilaku yang ditampilkan oleh seorang pemimpin dalam upayanya mempengaruhi kegiatan orang lain sebagai apa yang menjadi dipikirkan, dirasakan dan menjadi tujuan pemimpin tersebut. Luthans (1977) membagi gaya kepemimpinan menjadi empat antara lain (1) direktif, (2) suportif, (3) partisipatif dan (4) perilaku yang berorientasi pada prestasi kerja (achiement oriented behavior). Dari semua gaya kepemipinan, tidak satupun teori secara umum dapat digunakan secara efektif di semua situasi dan kondisi. Keefektifan kepemimpinan menurut Hersey dan Banchard (1977) tidak terletak pada gaya kepemimpinan seseorang namun sangat tergantung pada pemimpin, anggota dan lingkungan.
13
Luthans (1977) menyebut ketiga hal tersebut dapat berjalan efektif jika terjadi proses saling kebergantungan satu sama lain dan disebut dengan model sistem pengaruh (influence – sistem model) antara pemimpin, kelompok dan situasi yang saling mempengaruhi dalam proses kepemimpinan. Teori Kepemimpinan Perempuan Kepemimpinan Formal Dan Informal Konsepsi kepemimpinan formal banyak merujuk pada model kepemimpinan yang di perankan oleh lembaga birokrasi. Kartono (1983) memerinci karakteristik pemimpin formal yakni orang yang ditunjuk sebagai pemimpin berdasarkan keputusan resmi untuk memangku jabatan yang ada dalam struktur organisasi. Kata di “tunjuk” memiliki makna yang sama dengan “diangkat”. Artinya pemimpin formal lahir dari satu proses pengangkatan oleh otoritas yang lebih di tinggi dalam sebuah struktur organisasi di mana pemimpin formal berada. Mekanisme pengangkatan tersebut bertolak belakang dengan mekanisme pemilihan yang secara umum melibatkan banyak orang. Ciri-ciri pemimpin formal menurut Kartono (1983) sebagaimana ada pada ciri pemimpin jajaran birokrasi Pemerintah yakni, ditunjuk oleh pihak yang berwenang, memperoleh dukungan dari organisasi formal, memiliki atasan, memenuhi syarat yang diberlakukan oleh organisasi formal, dapat kenaikan pangkat, dapat dimutasikan, atas posisi kepimpinannya memperoleh imbalan jasa baik itu material maupun immaterial, jika melakukan kesalahan maka akan mendapatkan sanksi atau hukuman dan selama menempati posisi sebagai pemimpin berhak mengatur sepenuhnya organisasi yang dipimpinnya. Merujuk pada literatur yang sering digunakan secara turun temurun (dalam ini juga dirujuk oleh Kartono 1983), pemimpin informal adalah seorang yang tidak secara resmi diangkat sebagai pemimpin, tetapi merupakan wujud kehormatan anggota masyarakat karena dianggap memiliki kelebihan dari anggota masyarakat lainnya. Konsepsi pemimpin informal di atas juga dilekatkan pada organisasi sosial kemasyarakatan (baca : Ormas) seperti organisasi Muhammadiyah yang berdiri pada tahun 1912 dan Nahdlatul Ulama yang berdiri pada 1926. Kedua organisasi massa keagamaan tersebut lahir jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Muhammadiyah dan NU memiliki sistem dan struktur organisasi yang baku sebagai hasil kesepakatan para anggota melalui forum Kongres (untuk Muhammadiyah) dan Muktamar (untuk organisasi NU). Maka lahirnya pemimpin dalam dua organisasi ini juga dihasilkan melalui sistem dan proses, bukan sematamata penunjukan oleh anggota karena dianggap memiliki kelebihan dari anggota lainnya. Meskipun penulis tidak seluruhnya sepakat terhadap konsepsi pemimpin informal yang diberlakukan secara merata kepada semua jenis kepemimpinan di luar pemimpin birokrasi, namun dalam hal ciri-ciri yang dimiliki oleh pemimpin informal hampir semua ciri ada dalam diri pemimpin di luar organisasi birokrasi. Ciri-ciri pemimpin informal antara lain masyarakat atau kelompok mengakui dirinya sebagai pemimpin, tidak ada pengangkatan resmi sebagai pemimpin, tidak dapat dimutasikan, tidak punya atasan, jika seorang pemimpin melakukan kesalahan maka kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepadanya berkurang. Ciri umum yang dimiliki pemimpin informal di organisasi apapun
14
adalah mereka tidak memperoleh balas jasa atas kepemimpinannya (Kartono 1983). Kepemimpinan Tranformasional dan Transaksional Teori kepemimpinan perempuan yang sering dirujuk kalangan akademis dalam berbagai penelitian sosial berasal dari tesis yang diajukan oleh Max Weber (seperti penetian di India oleh Khankhoje 2004).Weber sebagaimana dikutip oleh Sashkin and Marshall et al (2003) memerinci tesisnya tentang kepemimpinan menjadi tiga jenis antara lain : kepemimpinan birokrasi, kepemimpinan kharismatik dan kepemimpinan tradisional. Seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya, Weber mencatat dua peradigma yang digunakan pemimpin tersebut yakni paradigma transaksional dan paradigma transformasional. Kepemimpinan transaksional menurut Weber biasanya dilakukan oleh mereka yang bekerja dalam sebuah sistem dan pengorganisasian yang memiliki target. Weber mencontohkan, pemimpin yang menjalankan paradigma transaksional ini dapat ditemui dalam lingkungan birokrasi (kepemimpinan birokrasi). Pemimpin dalam lembaga birokrasi dapat disebut efektif jika mereka menggunakan pengetahuannya atau menjalankan otoritasnya untuk mencapai hasil yang telah ditetapkan oleh sistem birokrasi. Dalam kepemimpinan transformasional menurut Weber diisi oleh pemimpin kharismatik. Kepemimpinan transformasional lahir dari alam dan menyatu dengan alam (lingkungan). Pemimpin transformasional kerap disama artikan dengan keberadaan para pahlawan yang telah berjuang bagi bangsa dan negaranya tanpa pamrih. Para pemimpin jenis ini menggunakan pendekatan yang sama sekali berbeda dengan pemimpin transaksional karena lebih condong dengan kharisma pribadinya (personal charm of charisma) untuk membantu masyarakat menyelesaikan masalahnya dan mencapai tujuan masyarakat di mana pemimpin tersebut berada. Tesis Weber tentang dua paradigma kepemimpinan di masyarakat yakni kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional disempurnakan dan bahkan dipopulerkan oleh John Mc Gregor Burns (1978) dan Bass (2006). Melalui kajian tentang kepemimpinan yang sangat intensif dan kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul “Leadership”, mengantarkan Burns mendapat penghargaan Pilitzer Prize dan National Book Award. Kepemimpian perempuan di masyarakat lebih condong pada paradigma yang kedua yakni kepemimpinan transformasional (Khankhoje, 2004). Dengan menggunakan paradigma trasformasional, menurut Khankhoje (2004), kepemimpinan perempuan tampil dengan inspirasi, stimulasi intelektual, pendekatan individu dan kharisma kepada para anggotanya. Kharisma yang dimiliki oleh pemimpin perempuan sangat efektif dalam menggerakkan visi dan membangun komitmen di antara anggotanya menuju cita-cita bersama. Dalam penelitian tentang kepemimpinan perempuan yang dirilis oleh Vaishali dan Kumar (2001) memberi data bahwa kepemimpinan transformasional dapat membangkitkan kesadaran dan menciptakan kepentingan bersama dalam sebuah kelompok atau organisasi, meningkatkan kepercayaan diri para anggotanya, memperkuat fokus pengabdian para anggotanya untuk mencapai prestasi dan pertumbuhan yang mengarah pada pengembangan kompetensi.
15
Selaras dengan penelitian Khankhoje di India yang mengukur dua paradigma kepemimpinan dalam organisasi non pemerintah, sebanyak 80% pemimpin perempuan menggunakan paradigma transformasional (Khankhoje, 2004). Penelitian Khankhoje dan juga penelitian kepemimpinan lainnya menguatkan tesis yang telah dirumuskan Burns tentang ciri-ciri kepemimpinan transformasional yang sebagian besar ada pada diri pemimpin perempuan seperti dikutip oleh Wirawan (2003) yang meliputi antara lain : 1. Antara pemimpin dan anggota memiliki tujuan bersama dan dapat merumuskan secara bersama-sama tentang nilai-nilai, motivasi, keinginan, kebutuhan, aspirasi dan harapan di antara keduanya. Dalam menjalankan kepemimpinannya, seorang pemimpin dengan paradigma transformasional memegang komitmen dan tujuan yang telah dirumuskan secara bersamasama dengan anggota dan bertindak atas namanya sendiri dan atas nama para anggotanya. 2. Meskipun di antara pemimpin dan anggota memiliki tujuan yang sama namun terdapat perbedaan dalam hal motivasi dan potensi di antara mereka dalam mencapai tujuan. Di sinilah pemimpin transformasional saling memotivasi dengan para anggotanya 3. Kepemimpinan transformasional berusaha mengembangkan sistem yang telah dirumuskan secara bersama-sama dengan anggota dengan mengemukakan visi yang dapat mendorong berkembangnya masyarakat baru. Visi ini menghubungkan pemimpin dan anggota dan kemudian menyatukannya. Baik pemimpin maupun anggota, keduanya saling mengangkat ke level yang lebih tinggi, menciptakan moral yang makin lama makin tinggi sehingga kepemimpinan transformasional sering dianggap sebagai kepemimpinan moral yang meningkatkan perilaku manusia 4. Pada taraf yang lebih tinggi, kepemimpinan tranformasional mengajarkan kepada para anggotanya bagaimana menjadi pemimpin dengan melaksanakan peran aktif dalam perubahan yang terjadi di masyarakat. Keikutsertaan dan peran aktif para anggotanya menjadi dasar berjalannya proses kaderisasi sehingga membuat para anggotanya di kemudian hari menjadi pemimpin. Dalam kajian kepemimpinan transformasional Bass (2006) dan Avolo (1999) terdapat empat ciri yang menonjol di bandingkan dengan kepemimpinan transaksional yakni : 1. Individual consideration. Pemimpin lahir untuk membangun karakter dan moral masyarakat di sekelilingnya dengan menciptakan lingkungan yang mendukungnya 2. Intelectual simulation. Pemimpin menstimulasi para anggotanya dan masyarakat agar menjadi pribadi yang kreatif, aktif dan inovatif. Pemimpin transformasional senantiasa mendorong para anggotanya menggunakan imajinasi mereka serta mengajak para anggotanya melakukan hal-hal yang produktif bagi masyarakat sekitarnya sesuai dengan sistem sosial 3. Inspiration motivation. Pemimpin menciptakan atau merancang masa depan secara optimis dan dapat dicapai serta mendorong anggota untuk senantiasa meningkatkan harapan dan mengikatkan diri kepada visi
16
4. Idealized influence. Pemimpin transformasional bertindak sebagai role model atau panutan bagi pada anggotanya. Dengan kharisma yang dimiliki, kepemimpinan transformasional senantiasa mengambil tanggung jawab sepenuhnya untuk tindakannya, memiliki keteguhan dan ketetapan hati dalam mencapai tujuan dan menunjukkan percaya diri yang tinggi terhadap visi yang akan diraihnya. Dalam penelitian ini penulis ingin menganjukan sintesis antara data empiris dengan kajian teori kepemimpinan perempuan seperti dipaparkan di atas. Mengingat obyek kajian ada dua yakni kepemimpinan perempuan dalam gerakan menanam pohon berbasis akar rumput (dengan studi kasus Muslimat NU) dan berbasis kekuatan elit dengan studi kasus organisasi GPTP dengan kerangka sampling SIKIB (Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu) maka uraian kepemimpinan transaksional agaknya juga perlu dipertimbangkan. Wirawan (2003) menguraikan teori Kepemimpinan Transaksional (Transactional Leadership Theory) berdasarkan pada asumsi bahwa kepemimpinan merupakan kontrak sosial antara pemimpin dan para anggotanya. Pemimpin dan para anggotanya merupakan pihak-pihak yang independen yang masing-masing mempunyai tujuan, kebutuhan dan kepentingan sendiri. Sering tujuan, kebutuhan dan kepentingan tersebut saling bertentangan sehingga mengarah ke situasi konflik. Misalnya, di perusahaan sering tujuan pemimpin perusahaan dan tujuan karyawan bertentangan sehingga terjadi perselisihan industrial. Dalam teori kepemimpinan ini hubungan antara pemimpin dan para anggotanya merupakan hubungan transaksi yang sering didahului dengan negosiasi tawar menawar. Jika para anggota memberikan sesuatu atau melakukan sesuatu untuk pemimpinnya, pemimpin juga akan memberikan sesuatu kepada para anggotanya. Jadi seperti ikan lumba-lumba di Ancol yang akan meloncat jika pelatihnya memberikan ikan. Jika pelatihnya tidak memberikan ikan, lumbalumba tidak akan meloncat. Prinsip dasar teori kepemimpinan transaksional (Wirawan 2003) adalah: 1. Kepemimpinan merupakan pertukaran sosial antara pemimpin dan para anggotanya. 2. Pertukaran tersebut meliputi pemimpin dan anggota serta situasi ketika terjadi pertukaran 3. Kepercayaan dan persepsi keadilan sangat esensial bagi hubungan pemimpin dan para anggotanya. 4. Pengurangan ketidak pastian merupakan benefit penting yang disediakan oleh pemimpin. 5. Keuntungan dari pertukaran sosial sangat penting untuk mempertahankan suatu hubungan sosial. Kekuasaan dan Otoritas Dalam Kepemimpinan Thoha (2003) menguraikan definisi kekuasaan berdasarkan pendapat para ilmuwan sosial antara lain pertama, Max Weber yang melihat kekuasaan sebagai suatu kemungkinan yang membuat seseorang dalam suatu hubungan sosial berada dalam suatu jabatan untuk melaksanaan keinginannya sendiri dan yang menghilangkan halangan. Kedua, Walter Nord merumuskan kekuasaan sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi aliran, energi dan dana yang tersedia untuk mencapai tujuan yang berbeda secara jelas dari tujuan lainnya. Ketiga,
17
Russel mendefinisikan kekuasaan sebagai suatu produk dari akibat yang diinginkan. Keempat, Bierstedt mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan untuk mempergunakan kekuatan. Kelima, Daehl mencontohkan jika orang A mempunyai kekuasaan atas orang B maka A dapat meminta B untuk melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh B terhadap A. Jadi menurut Daehl orang A termasuk dalam golongan orang yang memiliki kekuasaan. Keenam, Rogers menyebutkan bahwa kekuasaan sebagai suatu potensi dari suatu pengaruh. Winardi (1990) dalam bukunya mengutip pendapat Bertrand Russel tentang definisi kekuasaan sebagai : “the ability to produce intended effects”. Dalam definisi tersebut kekuasaan merupakan bagian dari keahlian atau bakat yang dimiliki oleh pemimpin untuk mempengaruhi masyarakat yang menjadi pengikutnya. Kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin menunjukkan dua hal dalam kepemimpinan, pertama kemampuan (baik kemampuan tersebut digunakan atau tidak) untuk menciptakan satu kondisi atau kejadian tertentu. Kedua, kekuasaan melahirkan pengaruh dalam diri seorang pemimpin melalui alat bernama organisasi untuk menggerakkan orang lain sesuai dengan apa yang diinginkan pemimpin tersebut. Bagaimana memperoleh kekuasaan, Thoha (2003) menyebut sumber kekuasaan terbagi atas : Pertama, kekuasaan legitimasi (legitimate power). Kekuasaan ini bersumber pada jabatan yang dipegang oleh pemimpin. Semakin tinggi posisi dan jabatan seorang pemimpin, maka semakin besar kekuasaan legitimasinya. Seorang pemimpin yang tinggi kekuasaan legitimasinya mempunyai kecenderungan untuk mempengaruhi orang lain, karena pemimpin tersebut merasakan bahwa ia mempunyai hak atau wewenang yang diperoleh dari jabatan organisasinya. Kedua, kekuasaan keahlian (expert power). Kekuasaan ini bersumber dari keahlian, kecakapan, atau pengetahuan yang dimiliki oleh seorang pemimpin yang diwujudkan melalui rasa hormat dan pengaruhnya terhadap orang lain. Seorang pemimpin yang tinggi kekuasaan keahliannya ini akan memberikan fasilitas terhadap perilaku kerja orang lain. Ketiga, kekuasaan penghargaan (reward power). Kekuasaan ini bersumber atas kemampuan untuk menyediakan penghargaan atau hadiah bagi orang lain, misalnya gaji, atau penghargaan jasa. Jadi kekuasaan ini bergantung pada seseorang yang dapat memberikan penghargaan atau memberikan hadiah. Seorang pemimpin yang mempunyai potensi untuk memberikan penghargaan, maka menurut teori ini ia sudah dianggap memiliki kekuasaan atas bawahannya. Keempat, kekuasaan referensi (referent power). Kekuasaan ini bersumber pada sifat-sifat pribadi dari seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang tinggi kekuasaan referensinya ini pada umumnya disenangi dan dikagumi oleh orang lain karena kepribadiannya. Pemimpin yang selalu tampil dengan kepribadiannya yang jujur, konsisten, taat pada agama, sederhana, sopan dan santun tutur katanya, komitmen pada bekerja untuk kepentingan banyak orang di atas kepentingan pribadi, maka pemimpin seperti ini mempunyai kekuasaan referensi yang tinggi. Kelima, kekuasaan informasi (information power). Kekuasaan ini karena adanya akses informasi yang dimiliki pemimpin yang oleh pengikutnya di nilai sangat berharga. Pemimpin merupakan sumber informasi. Kekuasaan yang bersumber
18
pada upaya mempengaruhi orang lain karena mereka membutuhkan informasi yang ada pada pimpinan, maka kekuasaan ini termasuk pada kekuasaan informasi. Keenam, kekuasaan hubungan (connection power). Kekuasaan ini bersumber pada hubungan yang dijalin oleh pemimpin dengan orang-orang penting dan berpengaruh baik di luar atau di dalam organisasi. Pemimpin yang tinggi kekuasaan hubungannya ini cenderung meminta saran-saran dari orang lain dalam pengambilan keputusannya. Pada organisasi formal seperti birokrasi, kekuasaan dilembagakan sebagai otoritas. Max Weber (Binus 2008) membagi otoritas dalam tiga macam antara lain : pertama otoritas tradisional yakni wewenang tradisional yang dapat dimiliki oleh orang-orang yang menjadi anggota kelompok, yang sudah lama sekali mempunyai kekuasaan di dalam suatu masyarakat, sehingga wewenang itu menjadi lembaga dan dipercayai oleh masyarakat. Dalam masyarakat, wewenang tradisional tidak memiliki batas yang tegas antara wewenang dengan kemampuan pribadi. Dalam hal ini sering kali hubungan keluarga memainkan peranan yang penting, di mana dipercayai oleh masyarakat dapat memberikan ketenangan kepada masyarakat dan oleh karena itu masyarakat akan selalu mengikatkan diri pada wewenang ini. Kedua, otoritas legal rasional yakni otoritas yang didasarkan pada sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat. Sistem hukum di sini dipahami sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui serta ditaati masyarakat dan bahkan yang telah diperkuat oleh Negara. Ketiga, otoritas kharisma didefinisikan oleh Weber sebagai berikut : “power legitimated through extraordinary personal abilities that inspire devotion and obedience”. Wewenang kharismatik menurut Weber (Binus, 2008), tidak diatur oleh kaidah-kaidah baik yang tradisional maupun yang rasional. Sifatnya cenderung irasional. Adakalanya kharisma dapat hilang karena masyarakat sendiri yang berubah dan mempunyai paham yang berbeda. Wewenang karismatis merupakan wewenang yang didasarkan atas kharisma yaitu kemampuan khusus yang ada pada diri seseorang. Konsep otoritas kharisma yang dicetuskan Weber tersebut di atas berbeda dengan pemahaman yang berkembang sesudah tokoh Sosiologi Jerman tersebut memperkenalkannya. Dalam konsep otoritas kharisma ini, Weber (Poloma, 1989; Ritzer 2004) tidak membahas adanya para pemimpin yang secara personal memiliki kelebihan baik fisik maupun non fisik yang sangat menonjol di bandingkan dengan anggota masyarakat. Bagi Weber konsep pemimpin kharismatik dimiliki oleh para pengikut tentang bagaimana mereka mendefinisikan pemimpin kharismatik itu sendiri. Jika para pengikut mendefinisikan pemimpin mereka sebagai seorang yang berkharisma, maka pemimpin tersebut cenderung menjadi pemimpin kharismatik terlepas apakah benar dalam dirinya memiliki kelebihan yang menonjol atau tidak. Pengikut bahkan seringkali memisahkan pemimpin dari orang biasa dan diperlakukan seolah-olah ia memiliki kekuatan supranatural atau kekuatan yang tidak lazim dimiliki orang biasa. Gerakan Hijau Etika Lingkungan Penggunaan istilah ”eco” atau ”green” secara meluas dalam kehidupan sehari-hari dapat dimaknai adanya komitmen di masyarakat akan adanya kesadaran terhadap kerusakan lingkungan atau krisis ekologi baik itu berupa
19
pencemaran air dan udara, pencemaran B3, degradasi hutan dan Kehati, pemanasan bumi maupun penipisan ozon sebagai akibat ulah manusia sehingga memperbaiki alam harus berbanding lurus dengan memperbaiki ulah manusia khususnya dalam hubungannya dengan alam. Di masa lalu masyarakat beradaptasi dan memperlakukan lingkungan semata-mata berlandaskan pada ideologi antroposentrisme melalui praktek industrialisasi sebagai upaya pemenuhan pasar yang mengedepankan pertumbuhan (Affandy 2011). Cara pandang antroposentrisme inilah yang mempengaruhi manusia untuk meng-eksploitasi alam dan lingkungan atas nama pembangunan. Berdasar pada ideologi antroposentrisme pula menjadikan kekuatan pikir manusia tumbuh melahirkan teknologi dan industri yang maha dasyat, namun di sisi lain mengorbankan alam. Alam dan lingkungan tidak lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan manusia, namun sudah mengarah pada pemuasan keinginan hidup manusia. Manusia yang dulunya di zaman purba memanfaatkan alam dan lingkungannya untuk pemenuhan kebutuhan ”fungsional” dan dengan ideologi antroposentrisme ini bergeser untuk memenuhi kebutuhan ”sosial”. Kesadaran manusia terhadap kerusakan alam sebagai akibat perbuatan manusia yang awalnya menganut antroposentrisme dalam dua dekade terakhir ini menjadi sebuah gerakan yang disebut aliran hijau atau ”Green Response”. Dalam gerakan ini, krisis ekologi dipahami menjadi permasalahan tak hanya dapat dipecahkan hanya dengan mengedepankan kekuatan teknologi dengan langkah modernisasi ekologi namun juga harus di atasi melalui perubahan yang menyeluruh dan menyentuh struktur sosial, ekonomi dan politik. Gerakan Hijau sebagai Ideologi Politik Dari penelusuran pustaka, gerakan hijau kemunculannya bermula dari Eropa. Gerakan ini memiliki kesamaan makna dengan gerakan politik hijau atau green party. Ideologi hijau hadir di Eropa untuk mengkonter pembangunan ekonomi yang dibawa oleh modernisasi yang praktek di lapangan sangat anthroposentris. Sifat pembangunan dan modernisasi sangat bergantung pada tiga hal yakni ilmu pengetahuan, teknologi dan sumber daya manusia. Dengan pendekatan modernisasi membuat ide-ide pembangunan bebas melakukan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besarnya. Ideologi hijau muncul sejak tahun 1972 di kota Hobart Australia. Saat itu sekumpulan anggota masyarakat mendeklarasikan partai bernama “United Tasmanian Group”. Lahirnya ideologi hijau di Australia tersebut dengan cepat tersosialisasi meluas sehingga tak lama kemudian lahirlah green party di Kanada dan New Zealand hingga menjadi perbincangan serius di parlemen Inggris dengan lahirnya Ecology Party (www.hpli.org 2010). Munculnya Green Party di tahun 1970-an oleh banyak kalangan dilihat sebagai aksi-refleksi terhadap kejenuhan masyarakat dunia akibat perang urat syaraf yang dilakukan oleh negara dunia pertama dalam perang dunia II yang tak hanya menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial namun juga merusak lingkungan. Perilaku ekonomi yang secara kapital didominasi oleh dunia pertama dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di kawasan dunia ketiga (Negara berkembang) telah melahirkan kesadaran baru dalam memandang hubungan manusia dan alam dan selanjutnya lahirlah konsep etika lingkungan hidup yang sebagian besar mengkritik etika antroposentrisme dan biosentrisme.
20
Etika lingkungan hidup yang populis adalah ekosentrisme (deep ecology) dan ecofeminism (Keraf 2010). Dalam perkembangan selanjutnya ideologi hijau banyak disumbang oleh berbagai ilmu pengetahuan antara lain sosiologi lingkungan, ekologi, ekosophy, eko-sosialism, feminisme, keadilan sosial dan hukum. Di banyak Negara ideologi hijau sangatlah populis karena selain ideologi ini menjaga keberlanjutan pembangunan, paham ini juga sangat merakyat karena menempatkan rakyat sebagai bagian dari prasyarat keseimbangan ekologi dalam pembangunan itu sendiri. Sebagai ideologi yang menganut paham demokrasi partisipatori dengan menekankan pada prinsip utama “think globally, act locally”, ideologi hijau terbangun di atas empat pilar utama. Pertama, keadilan sosial. Menurut pilar ini pembangunan bertujuan untuk kesejahteraan semua manusia bukan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Hukumpun berlaku untuk semua. Kedua demokrasi akar rumput (demokrasi kerakyatan). Konsep demokrasi akar rumput ini menekankan pada nilai-nilai kerakyatan dengan dipandu oleh ideologi sustainability di mana mekanisme penguatan civil society sangat memperhatikan kesinambungan ekologi. Ketiga, anti Kekerasan. Semangat anti kekerasan ini bermakna dua hal. Pertama, penganut ideologi hijau menentang adanya peperangan yang dapat merusak lingkungan dan perilaku sosial. Kedua, anti kekerasan ditujukan kepada perempuan. Selama ini pembangunan sangat mengeksploitasi sumber daya alam membawa resiko besar kepada kehidupan perempuan. Perempuan yang banyak tinggal di ladang, hutan, gunung dan pantai sangat rentang terhadap kekerasan. Dan pilar keempat adalah ekologi yang seimbang. Ideologi hijau menempatkan manusia sebagai aktor yang dapat mengatasi kesenjangan antara pembangunan dengan degradasi lingkungan (Affandy 2010). Dengan berpijak pada empat pilar di atas, Green Party di Eropa bekerja dengan mengangkat isu lokalitas (seperti kasus di pedesaan) dan menyebar secara regional lalu menjadi masalah nasional bahkan internasional. Dengan sistem kerja lokalitas seperti ini, Green Party di Eropa telah berhasil mengurangi kesenjangan antara kebutuhan dan kualitas hidup masyarakat. Gerakan Hijau Sebagai Perilaku Masalah degradasi lingkungan mengundang perhatian para intelektual lintas disiplin ilmu. Mengatasi degradasi tidak bisa hanya ”sekadar berwacana” namun harus menjadi gerakan nyata di masyarakat. Para pakar yakni pakar ilmu sosial, ekonomi dan dunia usaha, politik dan budayawan serta masyarakat lokal harus menyatukan diri menjadi pelopor dalam mengatasi krisis lingkungan. Sebagai wujud gerakan moral terhadap pelestarian lingkungan maka saat ini muncul istilah-istilah ”eco” atau ”green” yang kerap kita jumpai di masyarakat sebagai gaya hidup baru. Munculnya penggunaan istilah ”eco” atau ”green” dalam gerakan hijau secara meluas dalam kehidupan masyarakat dunia dapat digolongkan sebagai bagian dari deep ecology way of life seperti yang telah di gagas oleh Arne Naess, seorang filsuf Nowergia tahun 1973. Dalam deep ecology ini menuntut suatu etika baru yang tidak terpusat pada manusia, namun berpusat pada makhluk hidup secara keseluruhan dalam kaitannya dengan upaya mengatasi persoalan
21
lingkungan. Etika baru ini menurut Keraf (2010) sama sekali tidak mengubah hubungan antara manusia dengan manusia. Yang baru dalam deep ecology adalah pertama, manusia dan kepentingannya bukan lagi dijadikan sebagai ukuran bagi segala sesuatu yang lain. Manusia bukan lagi pusat dari dunia moral. Deep ecology memusatkan perhatian pada semua spesies, termasuk spesies bukan manusia. Deep ecology juga tidak hanya memfokuskan perhatian pada kepentingan jangka pendek, namun memiliki kepedulian jangka panjang. Prinsip moral yang dikembangkan oleh deep ecology menyangkut kepentingan seluruh komunitas ekologi. Kedua, etika lingkungan hidup yang dikembangkan oleh deep ecology dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah etika praktis, sebagai sebuah gerakan. Keraf (2010) mengutip pemikiran Arne Naess (1973) bahwa prinsipprinsip moral etika lingkungan hidup harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkret. Etika baru ini berkaitan dengan gerakan yang jauh lebih dalam dan komprehensif dari sekedar sesuatu yang instrumental dan ekspansionis sebagaimana ditemukan pada antroposentrisme. Dengan demikian, deep ecology lebih tepat disebut sebuah gerakan di antara orang-orang yang mempunyai sikap dan keyakinan yang sama, mendukung suatu gaya hidup yang selaras dengan alam, dan sama-sama memperjuangkan isu lingkungan hidup dan politik. Suatu gerakan yang menuntut dan didasarkan pada perubahan paradigma secara mendasar dan revolusioner, yaitu perubahan cara pandang, nilai dan perilaku atau gaya hidup. Gerakan hijau sebagai gaya hidup terbagi menjadi gerakan langsung dan gerakan tidak langsung. Gerakan langsung merupakan aksi yang memiliki dampak laangsung dalam upaya mengurangi gas karbondioksida atau metana. Dalam gerakan langsung ini harus mengedepankan aspek-aspek antara lain pencegahan (preventif), penanganan (kuratif), advokatif dan rehabilitif terhadap lingkungan secara sistematis (Surwandono, 2010). Gerakan hijau secara langsung dapat dilaksanakan dengan beragam kegiatan antara lain gerakan pembibitan pohon, gerakan menanam pohon dan gerakan memelihara pohon. Kerangka Pemikiran Mengacu pada kajian pustaka atau tinjauan teoritis di atas yang dimaksud dengan kepemimpinan perempuan dalam penelitian ini adalah kepemimpinan perempuan yang tergabung dalam organisasi SIKIB dan Muslimat NU dalam gerakan penanaman pohon ditinjau dari pengetahuan pemimpin, interaksi di antara pemimpin dan anggota, ciri anggota, hubungan dan kerjasama antar pemimpin serta posisi kekuasaan yang melekat pada pemimpin. Dalam hubungan antara pemimpin dengan anggotanya, kepemimpinan perempuan dalam penelitian ini meliputi antara lain pola interaksi, pola pengaruh dan pola pengambilan keputusan sedangkan dalam hubungan antara pemimpin perempuan dengan supra struktur meliputi pola orientasi pemimpin dalam menanggapi dan menerima pengaruh dari supra struktur. Jadi perilaku kepemimpinan perempuan dalam penelitian ini meliputi aspek-aspek pola interaksi antara pemimpin-anggota, pola pengaruh, pola pengambilan keputusan dan pola orientasi terhadap supra struktur. Dalam satu sistem sosial, tidak hanya didapatkan seorang pemimpin namun terdapat beberapa orang pemimpin yang berpengaruh meski kadar pengaruhnya
22
berbeda. Untuk mencapai tujuan bersama, peranan dan kerjasama beberapa pemimpin tersebut sangat diperlukan dalam mencapai tujuan bersama. Dalam menentukan tindakan dan pengambilan keputusan, seorang pemimpin harus memperhatikan ciri dan sifat anggotanya. Demikian juga halnya dengan anggota. Anggota dalam melaksanakan tindakannya tentu akan memperhatikan perilaku pemimpinnya. Keserasian hubungan antara pemimpin dengan anggotanya akan menentukan keberhasilan tujuan bersama. Untuk mengetahui keefektifan kepemimpinan perempuan dalam gerakan hijau di Indonesia akan dihubungkan dengan program gerakan penanaman pohon yang dijadikan parameter keefektifan perilaku kepemimpinan tersebut. Mengingat program gerakan hijau sangat luas, penelitian ini membatasi pada tiga pelaksanaan gerakan antara lain gerakan pembibitan pohon, gerakan menanam pohon dan gerakan memelihara pohon. Penelitian ini ingin mengeksplorasi paradigma kepemimpinan yang digunakan dalam gerakan menanam pohon. Dalam paradigma kepemimpinan transformasional (Bass 2006) memiliki empat ciri antara lain (1) individual consideration di mana kehadiran pemimpin bertujuan untuk membangun karakter dan moral masyarakat atau anggotanya, (2) intelektual stimulation. Pemimpin hadir dengan semangat memberi motivasi dan stimulus kepada anggotanya agar menjadi pribadi yang aktif, kreatif dan inovatif, (3) inspiration motivation. Hadirnya pemimpin bertujuan untuk merancang masa depan dengan selalu mendorong para anggotanya untuk meningkatkan harapan dan mengikatkan diri pada visi dan terakhir (4) idealized influence yakni pemimpin menjadi suri tauladan yang mengambil tanggung jawab dengan kharismanya. Paradigma kepemimpimpinan transaksional menekankan pada empat prinsip antara lain : (1) kepemimpinan merupakan pertukaran sosial, (2) pertukaran terjadi antara pemimpin dan anggota serta situasi saat terjadinya pertukaran, (3) kepercayaan dan persepsi keadilan menjadi ukuran antara pemimpin dan anggotanya dan (4) keuntungan yang didapatkan oleh pemimpin dan anggotanya merupakan landasan dipertahankannya hubungan di antara keduanya. Hipotesis Pengarah Dari gaya kepemimpinan perempuan dalam gerakan menanam pohon di Indonesia yang berbeda dengan kepemimpinan penganut ecofeminis di Negara lain, diduga kepemimpinan gerakan menanam pohon oleh SIKIB maupun Muslimat NU menganut paradigma transaksional dan merupakan gerakan simbolik. III METODE PENELITIAN
Metode dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan paradigma kritis. Yang dimaksud paradigma dalam penelitian ini mengacu pada konsepsi Thomas Kuhn (Basuki 2006) yakni seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik dalam kegiatan keseharian maupun
23
dalam kegiatan penelitian. Paradigma kritis dalam penelitian ini mengacu pada pandangan terhadap suatu realitas yang diteliti sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai namun penuh muatan ideologi. Manusia sebagai subyek dan obyek dibentuk oleh kondisi sosialnya saat itu, dengan kata lain human nature bukanlah sesuatu yang fixed; individu bisa dikelompokkan menjadi kelompok identitas yang memiliki kepentingan yang sama. Dalam pandangan paradigma kritis tidak ada fakta dalam dunia ini, yang membentuk persepsi seseorang adalah nilai yang dimilikinya. Penggunaan paradigma kritis dalam penelitian ini akan membawa peneliti pada epistemologis yang didasarkan pada kaedah kualitatif dan secara metodologi menggunakan cara-cara seperti dialog, menghilangkan asumsi yang salah serta memudahkan proses transformasi/perubahan dalam pencarian data di lapangan. Dengan menggunakan paradigma kritis, peneliti meminjam istilah Robert Cox (1999) mencoba melihat fakta secara terpisah dari tata dunia yang ada, mempertanyakan bagaimana tata dunia terbentuk dan tidak begitu saja menerima institusi dan hubungan-hubungan sosial dan politik yang ada. Paradigma kritis dalam penelitian ini berupaya untuk membicarakan perubahan dan membebaskan perempuan sebagai tema kajian dari hambatan-hambatan sosial. Dengan menggunakan paradigma kritis diharapkan penelitian dapat memahami sesuatu di balik fakta dengan menekankan pada dialog antara peneliti dan tineliti mencakup antara lain (1) pengetahuan pemimpin, (2) pola interaksi antara pemimpin-anggota, (3) mengetahui ciri-ciri anggota, (4) hubungan kerjasama antar pemimpin, (5) posisi kekuasaan yang melekat pada pemimpin, (6) struktur kelompok, (7) tuntutan, hubungan kerja atau harapan dan hubungan pemimpin dengan supra struktur serta tempat dan waktu (Luthans, 1981) dalam gerakan hijau di Indonesia. Penelitian ini juga ingin mengeksplorasi paradigma kepemimpinan yang digunakan dalam gerakan menanam pohon. Dalam paradigma kepemimpinan transformasional memiliki empat ciri antara lain (1) individual consideration di mana kehadiran pemimpin bertujuan untuk membangun karakter dan moral masyarakatnya atau anggotanya, (2) intelektual stimulation. Pemimpin hadir dengan semangat memberi motivasi dan stimulus kepada anggotanya agar menjadi pribadi yang aktif, kreatif dan inovatid, (3) inspiration motivation. Hadirnya pemimpin bertujuan untuk merancang masa depan dengan selalu mendorong para anggotanya untuk meningkatkna harapan dan mengikatkan diri pada visi dan terakhir (4) idealized influence yakni pemimpin menjadi suri tauladan yang mengambil tanggung jawab dengan kharismanya. Paradigma kepemimpinan transaksional menekankan pada empat prinsip antara lain : (1) kepemimpinan merupakan pertukaran sosial, (2) pertukaran terjadi antara pemimpin dan anggota serta situasi saat terjadinya pertukaran, (3) kepercayaan dan persepsi keadilan menjadi ukuran antara pemimpin dan anggotanya dan (4) keuntungan yang didapatkan oleh pemimpin dan anggotanya merupakan landasan dipertahankannya hubungan di antara keduanya. Validasi hasil penelitian dilakukan dengan menggunakan metode triangulasi yakni melakukan penelusuran mendalam secara berulang-ulang terhadap data atau informasi dari tiga aspek antara lain pertama, data primer hasil observasi lapangan atau wawancara mendalam dengan obyek penelitian secara langsung; kedua, data sekunder dari kajian pustaka, ketiga, analisis data yang dilakukan oleh peneliti
24
dengan menggunakan metode analisis yang telah dipilih. Dengan menggunakan perpaduan wawancara mendalam, pengamatan dan analisis dokumen diharapkan diperoleh data yang saling melengkapi dan menutup kekurangan sehingga diperoleh gambaran atas realitas sosial menjadi valid (Sitorus 1998). Secara rinci dalam menggunakan metode triangulasi peneliti merujuk pada petunjuk yang ditulis oleh Norman K. Denzin (1994) yang mendefinisikan triangulasi sebagai gabungan atau kombinasi berbagai metode yang dipakai untuk mengkaji fenomena yang saling terkait dari sudut pandang dan perspektif yang berbeda. Untuk validasi data, penelitian ini akan menggunakan triangulasi metode dan sumber data. Triangulasi metode dilakukan dengan membandingkan informasi atau data dengan cara atau metode yang berdeda. Triangulasi sumber data dilakukan dengan membandingkan informasi atau data dengan berdasarkan sumber data ataun informan yang berbeda. Dalam mengkaji tentang kepemimpinan perempuan dalam gerakan hijau di Muslimat NU, peneliti menggunakan metode partisipatori riset atau penelitian berperan serta di mana peneliti menjadi bagian dari aktifitas atau kehidupan yang diteliti. Metode ini digunakan untuk memudahkan interaksi antara peneliti dengan tineliti khususnya untuk memahami peta pemikiran dan gerakan serta apa yang ada di balik fakta sebagaimana pedoman dalam paradigma kritis. Metode partisipatori riset digunakan selain bertujuan untuk mencari data primer melalui keterlibatan langsung, juga dimaksudkan untuk melakukan pemberdayaan secara bersamaan. Validasi data kepemimpinan perempuan dalam gerakan menanam pohon di Muslimat NU dilakukan dengan menggunakan triangulasi metode yakni kajian pustaka, observasi dan deep interview. Kajian tentang kepemimpinan perempuan dalam gerakan hijau dengan studi kasus SIKIB peneliti menggunakan metode observasi, studi lapangan, deep interview dan kajian pustaka. Penggabungan metode dipakai dengan tujuan untuk mendapatkan data dari perspektif yang berbeda. Penggabungan metode dalam pencarian data di lapangan juga dilakukan untuk memperoleh kebenaran informasi yang handal dan gambaran yang utuh mengenai informasi tertentu. Selain itu, peneliti juga menggunakan informan yang berbeda untuk mengecek kebenaran informasi tersebut. Melalui berbagai perspektif atau pandangan diharapkan diperoleh hasil yang mendekati kebenaran. Alasan penggunaan metode yang berbeda antara penelitian di Muslimat NU dengan penelitian di SIKIB berdasarkan pada kondisi sosiologis di dua organisasi tersebut. Penggunaan metode penelitian berperan serta pada Muslimat NU karena organisasi ini lebih condong sebagai organisasi yang gerakannya dimotivasi oleh nilai altruistik atau nilai-nilai keagamaan menjadi dasar dalam setiap gerakannya. Para pengurus dan anggota organisasi Muslimat NU tunduk (istilah NU : ta‟dzim) pada pemimpin organisasi karena diyakini sebagai ulama’ul warasatul a’biya’ (orang berilmu sebagai pewaris para nabi) berakibat pada kepemimpinan di organisasi yang menempatkan figur di posisi sentral sehingga menyulitkan penulis ketika menggunakan metode selain penelitian berperan serta3. 3
Pada saat penulis hendak melakukan wawancara mendalam di Muslimat NU mengalami kendala karena hampir semua pengurus mengaku dirinya tidak memiliki otoritas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diberikan. Studi dokumentasi juga akan sulit dilakukan jika penulis menempatkan diri sebagai peneliti karena dianggap sebagai pihak luar yang memiliki konotasi hendak “mengambil data” yang dikwatirkan untuk kepentingan yang tidak
25
Tempat dan Waktu Penelitian Jenis penelitian ini adalah studi kasus kepemimpinan perempuan dalam gerakan menanam pohon yang diorganisir oleh SIKIB (Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu) yang dalam hal ini dimotori oleh kalangan elit kekuasaan, sedangkan organisasi kemasyarakatan yang akan dijadikan sebagai obyek studi kasus adalah organisasi Muslimat NU. Pemilihan SIKIB dan Muslimat NU sebagai obyek kajian didasarkan pada pertimbangan kedua organisasi tersebut memperoleh penghargaan dalam gerakan menanam pohon di Indonesia. Dalam rangka mengumpulkan data kualitatif tentang kepemimpinan perempuan dalam gerakan menanam pohon, data di peroleh dari penelitian yang dilakukan dengan dua cara yakni pertama penelitian kelembagaan dilakukan di Pimpinan Pusat Muslimat NU di DKI Jakarta, Pimpinan Cabang Muslimat NU Jombang Propinsi Jawa Timur dan Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu di Jakarta. Kedua, penelitian lapangan dilakukan di empat tempat yakni lahan gerakan tanam di Jombang, lahan gerakan tanam di Desa Tunjung Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar, lahan gerakan tanam di Kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang dan lahan gerakan tanam di desa Hargotirto Kabupaten Kulonprogo Propinsi Jogjakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2011-Juli 2012. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan menggunakan catatan harian, wawancara mendalam, pengamatan berperan serta, round table discussion, observasi dan kajian pustaka. Metode penetapan informan agar valid dilakukan dengan menggunakan metode snowball yakni penentuan informan berdasar pada referensi informan sebelumnya sampai kebutuhan akan data penelitian terpenuhi. Proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan prosedur top down dari kepemimpinan SIKIB dan Muslimat di tingkat pusat, sistem dan managemen mendapatkan program menanam pohon, pelaksanaan gerakan menanam pohon pada kepemimpinan SIKIB dan Muslimat NU, bagaimana gerakan menanam pohon di distribusikan ketingkat propinsi sampai akar rumput di masyarakat, bagaimana gerakan menanam pohon dilaksanakan di akar rumput dan bagaimana partisipasi masyarakat dalam gerakan tersebut. Metode Analisis Data Kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional (Burns 1978 and Bass 2006) dalam kepemimpinan perempuan dalam gerakan hijau di Indonesia di analisis dengan menggunakan tiga tahapan (Overholt 1988). Tahap pertama, profil kepemimpinan perempuan dan kegiatan tanam pohon yang meliputi siapa mengerjakan apa di dalam rumah tangga dan masyarakat, sesuai dengan kepentingan Muslimat NU. Metode penelitian berperan serta penulis lakukan dengan terlebih dahulu menjadi bagian dari Muslimat NU yakni masuk dalam jajaran pengurus bidang Litbang Pimpinan Pusat Muslimat NU (Periode 2011-2016). Jadi interaksi dan komunikasi penulis dengan organisasi Muslimat NU selama pengumpulan data ini dilakukan oleh sebagian besar jajaran Pimpinan Pusat Muslimat NU dan Pimpinan Cabang Muslimat NU Kab. Jombang dipahami karena terkait dengan posisi penulis dalam kepengurusan di bidang Litbang PP Muslimat NU bukan posisi penulis yang tengah menyusun tugas akhir studi Pascasarjana IPB (tesis).
26
produktif, reproduktif dan pengelolaan/layanan komunitas, kapan pekerjaan itu dilakukan (dirumah, desa, pasar), bagaimana cara atau dengan apa mencapai tempat tujuan. Tahap kedua, profil akses dan kontrol yang meliputi antara lain siapa yang mempunyai akses terhadap sumberdaya produktif seperti tanah, hutan, peralatan, pekerja, kapital/kredit, pendidikan/pelatihan, siapa yang mengontrol sumberdaya produktif dan siapa yang memperoleh manfaat dari penggunaan sumberdaya tersebut. Tahap ketiga, analisis faktor-faktor dan kecenderungan yang meliputi kecenderungan-kecenderungan sosial, budaya, agama, ekonomi, politik, lingkungan dan demografi dan faktor hukum kelembagaan yang akan menghambat atau mendukung program Secara teknis ada tiga jalur analisis data dalam penelitian ini antara lain reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Miles and Huberman 1992). Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan harian di lapangan. Proses ini berlangsung terus menerus selama penelitian berlangsung, bahkan sebelum data benar-benar terkumpul sebagaimana terlihat dari kerangka konseptual penelitian, permasalahan studi dan pendekatan data yang dipilih peneliti. Reduksi data yang akan dilakukan dalam penelitian ini meliputi antara lain meringkas data, mengkode, menelusur tema dan membuat gugus-gugus. Dalam reduksi data ini diharapkan adanya penajaman data dengan dibuangnya data yang dianggap tidak perlu dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat diambil. Dalam penyajian data penulis melakukan pengumpulan infomasi yang selanjutnya disusun sehingga memberi kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Bentuk menyajian data dalam penelitian ini meliputi teks naratif atau deskriptif berbentuk catatan lapangan dan tabel dan bagan. Upaya penarikan kesimpulan dilakukan peneliti secara terus-menerus selama berada di lapangan, dari permulaan pengumpulan data peneliti mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan pola-pola (dalam catatan teori), penjelasan-penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan proposisi.
IV KEPEMIMPINAN MUSLIMAT NU DALAM GERAKAN PENANAMAN POHON Sejarah dan Kepemimpinan Perempuan Sejarah Perkembangan Muslimat NU Muslimat Nahdlatul Ulama (disingkat Muslimat NU) merupakan badan otonom organisasi masyarakat Islam Nahdlatul Ulama yang didirikan pada 29 Maret 1946 di Purwokerto Jawa Tengah. Ada dua faktor yang mendorong berdirinya Muslimat NU yakni faktor internal dan faktor eksternal (gambar 3). Faktor internal yang mendorong Nahdlatul Ulama sebagai organisasi induk mendirikan badan otonom Muslimat NU karena melihat posisi strategis kaum Ibu
27
dalam ikut mentradisikan ajaran Islam ahlussunnah wal jama‟ah4 dalam kehidupan sehari-hari (Ahmad 1996). Dalam tradisi ajaran Islam Ahlussunnah wal jama‟ah yang dianut oleh warga Nahdliyin (warga NU), amaliah sehari-hari didasarkan pada ajaran salah satu madzhab 4 yakni madzhab Imam Hanafi, Maliki, Syafi‟ie dan Imam Hanbali. Dalam teologi, ajaran ahlusunnah wal jama‟ah yang dianut NU mengikuti Paham Abu Hasan Al-Asy‟ari, Al-Maturidi serta Junaid Al-Baghdadi. Dalam bidang akhlak5 warga NU mengikuti ajaran Imam Al-Ghazali. NU memandang bahwa kaum perempuan, kaum Ibu memiliki posisi dan peran yang sangat strategis dalam mengajarkan putra-putrinya untuk menjalankan ajaran agama ahlussunnah wal jama‟ah selain akidah Islamiyah tersebut di ajarkan di pesantren, madrasah dan diniyah. Kesadaran untuk mengikutsertakan kaum perempuan aktif mengembangkan ajaran Islam ahlussunnah wal jama‟ah dalam sebuah organisasi otonom tidak serta merta berjalan mulus. Ide perlunya membentuk organisasi perempuan NU sudah mengemuka pada Muktamar NU ke-13 di Menes Banten pada tahun 1938. Pada Muktamar ke-13 tersebut, para peserta masih banyak yang menolak (resisten) terhadap usulan pembentukan organisasi perempuan NU. Pada Muktamar ke-13 ini, wacana pembentukan organisasi perempuan NU mengalami perdebatan di antara para ulama yang hadir antara pihak yang setuju dengan pihak yang tidak setuju. Pada Muktamar NU ke-14 di Magelang pada tahun 1939, rumusan pembentukan organisasi perempuan NU dibahas kembali. Pada pelaksanaan Muktamar NU ke-14 dibentuk komisi bidang perempuan yang dipimpin oleh Ny Djuaesih. Pada Muktamar NU ke-14 mulai banyak dihadiri oleh perwakilan perempuan dari Muntilan, Sukoharjo, Kroya, Wonosobo, Surakarta, Magelang, Parakan dan Bandung. Utusan Muktamar perempuan masuk komisi bidang perempuan yang membahas rumusan lengkap AD/ART organisasi perempuan NU yang akan didirikan meskipun Muktamar ke-14 di Magelang dan juga Muktamar NU ke-15 di Surabaya belum menyetujui berdirinya organisasi perempuan NU. Dinamika pemikiran di kalangan Nahdlatul Ulama terhadap pembentukan organisasi perempuan tak terbendung lagi ketika NU menyelenggarakan Muktamar ke-16 pada 29 Maret 1946 di Purwokerto Jawa Tengah. Dalam forum tertinggi organisasi ulama tradisional tersebut mensahkan berdirinya organisasi Muslimat NU yang waktu itu bernama Nahdlatul Oelama Muslimat (NOM). Berdirinya organisasi Muslimat NU ini tak terlepas dari dinamika pemikiran ulama kharismatik yang menjadi promotor dan memiliki pengaruh yang besar dalam mendinamisasi semua peserta muktamar yang ketika itu masih pro dan kontra terhadap keberadaan organisasi perempuan. Para ulama yang menjadi promotor berdirinya Muslimat antara lain KH Moh Dahlan6, KH Wahab Hasbullah7 dan KH Saifuddin Zuhri8. Muktamar NU ke-16 selain mensahkan 4
Ahlussunnah wal jama‟ah adalah salah ideology dalam Islam yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia. Selain ahlussunnah wal jama‟ah, ideology Islam lainnya antara lain Syi‟ah, Khawarij, Mu‟tazilah, Wahabi dan lain sebagainya. 5 Bidang akhlak ini mengatur tata cara etika seorang manusia (hamba) kepada Allah (hablum minnallah), hubungan manusia dengan manusia (hablumminannas) dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. 6 Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 1954-1956 7 KH Wahab Hasbullah adalah salah satu pendiri organisasi Nahdlatul Ulama, dikenal memiliki pemikiran yang moderat. KH Wahab Hasbullah memperkenalkan pertama kali media
28
terbentuknya organisasi Muslimat NU juga mengangkat Ibu Nyai Chodijah Dahlan dari Pasuruan Jawa Timur menjadi Ketua Umum Muslimat NU. Dinamika pemikiran pembentukan organisasi perempuan NU juga dipengaruhi faktor ekternal sebagaimana gambar 3. Sejak tahun 1917 di Indonesia telah muncul organisasi perempuan seperti Aisyiyah, Persistri (Wanita Persatuan Islam), Wanita Syarikat Islam Indonesia PSII) maupun Wanita Al-Irsyad. Dari sejarah berdirinya Muslimat NU di atas dapat kita analisis bahwa lahirnya pemimpin perempuan NU tak bisa dilepaskan dari situasi dan kondisi di mana perempuan tersebut berada. Muslimat NU pada awal berdirinya merupakan kepanjang tanganan organisasi NU dalam memurnikan ajaran Islam ahlussunnah wal jama‟ah. Wal hasil proses berdirinya pun tak luput dari campur tangan para ulama dalam empat kali muktamar NU. Bahkan ketika organisasi Muslimat NU berdiripun, di masa awal kepemimpinan Ketua Umum Muslimat ditunjuk oleh tim formatur NU. Posisi Muslimat NU tersebut di atas berada dalam posisi sub-ordinat dari organisasi NU. Posisi tersebut juga dialami oleh organisasi perempuan lain di Indonesia9. Kepemimpinan perempuan dalam organsiasi Muslimat NU sejak berdirinya juga tak lepas dari ikatan struktur sosial dan politik mengitarinya. massa di lingkungan NU dnegan adanya Harian Umum “Soeara Nahdlatul Oelama” dan Koran Berita Nahdlatul Ulama. Pada masa awal kemerdekaan KH Wahab Hasbullah telah mendorong partisipasi perempuan terlibat dalam kegiatan sosial politik. Di lingkungan keluarga, KH Wahab Hasbullah sangat tekun dalam mendidik anak-anak dan santri agar kaum perempuan NU aktif dalam kegiatan sosial sebagai manifestasi ibadah kepada Allah SWT. Ketika istrinya memimpin Muslimat NU Cabang Jombang, KH Wahab Hasbullah mengambil peran sebagai juru tulis dan pembuat konsep pidato sambutan pengajian acara Muslimat NU 8 Menteri Agama masa jabatan 1962-1967 9 Di Indonesia ada 86 organisasi massa perempuan yang merupakan sub ordinat dari organisasi laki-laki. Meski di kalangan banyak anggota masyarakat tidak mengenal organisasi tersebut, namun 86 organisasi massa perempuan masih eksis sampai saat ini dan memiliki kepengurus dari tingkat pusat sampai tingkat Kabupaten. Di antara organisasi perempuan tersebut antara lain Aisyiah adalah organisasi perempuan sayap Muhammadiyah berdiri tahun 1917, Wanita Taman Siswa adalah organisasi perempuan yang merupakan sayap Perguruan Taman Siswa, berdiri tahun 1922. Pada tahun 1924 berdiri organisasi Wanita Katolik Republik Indonesia. Enam tahun kemudian pada 1930 berdiri organisasi Pasundan Istri yakni organisasi sayap dari Paguyupan Pasundan bertujuan untuk mengurus pemberdayaan perempuan. Paguyupan Pasundan sendiri telah berdiri para tahun 1913. Pada tahun 1945 berdiri organisasi perempuan Perwari. Perwari merupakan kepanjangan dari Persatuan Wanita Republik Indonesia, semacam Dharma Wanita di zaman Orde Baru. Pada tahun 1931 berdiri organisasi Putri Narpowandono yakni organisasi perempuan sayap dari organisasi kraton (Narpowandowo). Pada tahun 1946 berdiri organisasi Persatuan Wanita Kristen Indonesia. Tahun 1947 berdiri organisasi Budi Istri. Tahun 1930 berdiri organisasi Wanita Perti yang merupakan sayap dari Ormas Persatuan Tarbiyatul Islam. Pada tahun 1917 berdiri organisasi Pikat yang merupakan kepanjangan dari Percintaan Ibu Kepada Anak Turunnya, bergerak di bidang pendidikan perempuan. Meskipun organisasi ini awalnya berdiri di Minahasa, namun PIKAT memiliki cabang di daerah-daerah antara lain Gorontalo, Sangir Talaud, Poso, Ujung Pandang, Bogor, Malang, Surabaya, Bandung, Cimahi, Magelang dan Pula Kalimantan. Pada tahun 1951 organisasi Perwarnas (Persatuan Wanita Nasional) berdiri. Organisasi massa perempuan lain yang bentuknya sub ordinat adalah Persatuan Wanita Keluarga Universitas Gajah Mada (berdiri tahun 1951), Persatuan Istri Kartika Chandra Kirana (berdiri tahun 1946), Bayangkari (berdiri tahun 1949), Wanita Sahati (berdiri 1928), Wanita Syarikat Islam (berdiri tahun 1953), Rukun Wanita Indonesia (berdiri tahun 1950), Persatuan Istri Tehnisi Indonesia (berdiri tahun 1952), Gerakan Wanita Sejahtera (berdiri tahun 1952), Dharma Wanita PT Kereta Api Indonesia (berdiri tahun 1955), PIA Ardhya Garini (berdiri tahun 1956), POWSA (berdiri tahun 1956), Dharma Wanita Dept. Dalam Negeri (berdiri tahun
29
Gambar 3 Latar Belakang Berdirinya Muslimat NU
Sumber : Data Primer di olah
Dalam menjalankan kepemimpinannya, Muslimat NU sebagaimana organisasi perempuan Indonesia lainnya juga menjalin kerjasama dengan para pimpinan organisasi lainnya. Hubungan antar pemimpin perempuan Indonesia ini terwadai dalam ferederasi organisasi perempuan di tingkat pusat yakni Kongres Wanita Indonesia (KOWANI)10. Pola hubungan antar pemimpin organisasi 1953), JALASENASTRI (berdiri tahun 1946), Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia (berdiri tahun 1961), Ikatan Istri Dokter Indonesia (berdiri tahun 1954), Wanita PERSAHI (berdiri tahun 1961), Dharma Wanita Parpostel (berdiri tahun 1953), Wanita Islam (berdiri tahun 1962), KOHATI PB HMI (berdiri tahun 1966), Dharma Wanita Dept. Luar Negeri (berdiri tahun 1955), PIVERI (berdiri tahun 1964), Wanita KOSGORO (berdiri tahun 1957), Wanita Satya Praja (berdiri tahun 1965), Wanita MKGR (berdiri tahun 1960), Kerta Werdatama (berdiri tahun 1978), IWAPI (berdiri tahun 1975), PERWATI (berdiri tahun 1928), Persatuan Istri Insinyur Indonesia (berdiri tahun 1951), Keluarga Widuri (berdiri tahun 1951), Wanita Swadiri (berdiri tahun 1963), KOWAVERI (berdiri tahun 1979), Himpunan Wanita Karya (berdiri tahun 1981), Departemen Wanita PEPABRI (berdiri tahun 1959), AMPI – Wanita (berdiri tahun 1981), Wanita PGRI (berdiri tahun 1984), Wanita HKTI (berdiri tahun 1979), Al Hidayah (berdiri tahun 1978), Wanita Budhis Indonesia (berdiri tahun 1984), FKPPI Bag. Wanita (berdiri tahun 1978), IKASFI (berdiri tahun 1971), IKKT (berdiri tahun 1966), Fatayat NU (berdiri tahun 1950), Wirawati Catur Panca (berdiri tahun 1983), Wanita Shufiah (berdiri tahun 1966), Perwita Wana Kencana (berdiri tahun 1945), Wanita Pemuda Panca Marga (berdiri tahun 1981), Korp Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (berdiri tahun 1960), Wanita GUPPI (berdiri tahun 1950), Persatuan Istri Dokter Hewan Indonesia (berdiri tahun 1954), Wanita Pembangunan Indonesia (berdiri tahun 1991), Wanita Pelopor Penerus Kemerdekaan Bangsa Indonesia (berdiri tahun 1997), Korps Wanita MDI (berdiri tahun 1998), Yatnawati Kertini (berdiri tahun 1963) dan DIAN KEMALA (berdiri tahun 1999) 10 KOWANI adalah pederasi organisasi perempuan yang memiliki kepengurusan sampai tingkat pusat (berpusat di Jakarta). Kowani berdiri pada 22 Desember 1928 beranggotakan 79 organisasi
30
perempuan ini bersifat emosional-kekerabatan. Para pengurus KOWANI yang merupakan perwakilan organisasi perempuan, ketika tergabung dalam kepengurusan KOWANI menjadi melekat (ambeded) di dalam struktur sebagai satu kesatuan. Setiap bidang kepengurusan KOWANI memiliki program kerja yang dijalankan oleh para pengurusnya (yang merupakan perwakilan dari organisasi anggota KOWANI). KOWANI sebagai organisasi federasi dalam perjalanannya menjalankan tugas dan peran sebagai organisasi mandiri yakni menjalankan program kerja yang seharusnya secara teknis dijalankan oleh organisasi anggota KOWANI. Selain menjalin hubungan kerjasama dengan organisasi perempuan dalam ferederasi KOWANI, Muslimat NU juga bekerjasama dengan Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI), sebuah organisasi yang dibentuk oleh pemerintah Orde Baru bersama-sama dengan KOWANI dan Kesatuan Alsi Wanita Indonesia (KAWI) pada tahun 1968. Dalam rangka mencapai tujuan membumikan ajaran Islam, Muslimat NU menjadi pemrakarsa berdirinya Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Islam (BMOIWI) pada tahun 1967. BMOIWI beranggotakan organisasi Islam Wanita Indonesia. Kerjasama Muslimat NU juga terjalin bersama LSM luar negeri seperti UNDP, UNICEF, UNESCO, The Asia Foundation, Ford Foundation dan lain sebagainya. Pelayanan Masyarakat Sebagai Ibadah (Nilai Altruistik) Bagi masyarakat pedesaan, berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial yang digerakkan Muslimat NU merupakan bagian dari ibadah. Pergerakan perempuan dalam wadah Muslimat NU mengalami pasang surut dan dinamika yang tak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik pada setiap masanya. Ketika Negara Indonesia tengah mengalami pergolakan pemberontakan PKI, pada tahun 1964-1965 anggota Muslimat NU bergabung dalam perjuangan dengan mengambil peran sebagai kurir, mengelola dapur umum di pesantren, mengumpulkan bahan makanan, pakaian dan obat-obatan bahkan mengangkat senjata dalam barisan Hizbullah, Sabilillah, Palang Merah Indonesia (Muslimat NU 1996). Aksi melawan penjajah bagi Muslimat NU adalah ibadah11. Pemilu 1955 yang dinilai sebagai Pemilu pertama yang demokratis pasca kemerdekaan dengan diikuti oleh multi partai, Muslimat NU mengantarkan 5 wakilnya sebagai anggota parlemen. Kelima anggota parlemen tersebut antara lain Ibu Mahmudah Mawardi dan Ibu Maryam Kantasumpena dari daerah pemilihan Jawa Tengah, Ibu Maryam Djunaidi dan Ibu Hadiniyah dari Jawa Timur dan Ibu Asmah Syahruni dari Kalimantan Selatan. Partisipasi politik perempuan NU di parlemen tersebut tak bisa dipisahkan dari kebijakan organisasi induknya dalam Muktamar NU ke-19 di Palembang tahun 1952 yakni memposisikan Muslimat NU sebagai Badan Otonom. Berjuang di parlemen, memperjuangkan kesejahteraan dan menganjurkan kebaikan serta melarang kemungkaran yang implikasinya tertuang menjadi UU bagi Muslimat NU adalah ibadah12. Heroik ikut serta perempuan NU dalam melawan penjajah dan ikut serta melawan pemberontakan PKI hanya sesaat karena setelah G30S/PKI berlalu dan 11
Dalam pandangan Islam mencintai tanah air merupakan bagian daripada iman Dalil yang digunakan Muslimat NU dalam melakukan pelayanan sosial adalah AlQur‟an surat Ali Imran ayat 110 12
31
Negara kembali dalam kondisi normal, pemerintah Orde Baru sangat phobia dengan kehadiran Ormas dan Pesantren. Pemerintah Orde Baru membatasi gerak masyarakat dengan mengelompokkan pilihan politik masyarakat ke dalam kekaryaan, nasionalis dan agama. Ada tiga parpol yang dibolehkan ikut sebagai konstentan Pemilu yakni Golongan Karya, PDI (fusi PNI, Partai Katolik, Partai Kristen dan sebagainya) dan Partai Persatuan Pembangunan (fusi Partai NU, Masyumi dan sebagainya). Situasi sosial-politik tanah air di Indonesia di masa orde baru membawa dampak yang sangat serius bagi perkembangan Muslimat NU. Kecurigaan pemerintah terhadap aktifitas yang dilakukan oleh kelompok akar rumput di luar kelompok kekaryaan (Golkar dan organisasi sayapnya) membawa Muslimat mengatur strategi kepemimpinannya di masyarakat. Ketika itu semua guru, istriistri yang suaminya bekerja di BUMN, BUMD dan sebagainya dilarang menggabungkan diri dalam organisasi kemasyarakatan termasuk Muslimat NU meski tidak ada peraturan tertulis tentang hal tersebut. Pemerintah Orde Baru mencurigai Muslimat NU sebagai sayap Partai Politik NU (pada Pemilu 1955) dan juga sayap PPP (saat fusi pada tahun 1977). Aisyah Hamid Baidlowi (Mantan Ketua Umum PP Muslimat NU 1995-2000) menyatakan: “Waktu dulu di masa Orde Baru, jika Ibu-Ibu dari Pimpinan Pusat Muslimat NU hendak melakukan kunjungan kerja ke daerah, banyak sekali kita mendapat pesan agar tidak mampir ke rumahnya. “Ibu, saya dan keluarga cinta Muslimat namun mohon jangan mampir ke rumah saya. Anak saya menjadi Kepala Desa. Kalau Ibu mampir, nanti akan mendapat teguran dari Camat”
Mensiasati langkah pemerintah dalam membatasi kegiatan organisasi perempuan, Muslimat NU mendirikan Yayasan Kesejahteraan Muslimat, mulamula tanpa NU, baru kemudian setelah keadaan kondusif ditambahkan kata NU. Hubungan Muslimat NU dengan pemerintah tidak harmonis. Kepengurusan Muslimat NU mengalami kekosongan karena adanya penarikan diri “orangorang” yang bekerja sebagai PNS dan guru. Keadaan vakum terjadi sampai tahun 1979 dan kemudian di tahun tersebut diselenggarakan Kongres Muslimat NU di Semarang. Sejak akhir tahun 1979 ketika Pemerintah mencanangkan Rencana Pembangunan Lima Tahun pertama, Pemerintah mulai melibatkan perempuan dalam pembangunan. Partisipasi perempuan dalam pembangunan di Indonesia tak lepas dari tuntutan PBB dalam program pengentasan kemiskinan seperti terpotret dalam program global Women In Development. Pemerintah Indonesia menggerakkan istri-istri PNS, BUMN, BUMD, Gubernur, Bupati, Camat, Kepala Desa sampai istri Ketua RT. Partisipasi istri-istri dalam program pembangunan terwadai dalam organisasi PKK, Dharmawanita dan organisasi istri di semua instansi birokrasi. Di luar organisasi PKK dan Dharmawanita, pemerintah tetap melakukan pembatasan-pembatasan kepada organisasi perempuan. Pada saat organisasi PKK, Dharmawanita dan organisasi istri underbow pemerintah aktif terlibat dalam program pembangunan, Muslimat NU mengambil posisi sebagai sebagai organisasi layanan pendidikan dan sosial. Orientasi berhidmat pada bidang pendidikan sudah dirumuskan pada Kongres III di Jakarta pada 30 April – 3 Mei 1950. Kebijakan berhidmat pada bidang pendidikan ini menimbulkan dinamika pemikiran dan tarik menarik dengan Lembaga Pendidikan Ma‟arif (badan otonom NU yang menangani bidang pendidikan). Konferensi
32
Besar LP Ma‟arif di Surabaya pada 30 Agustus 1969 menyepakati bahwa Muslimat NU hanya boleh mengelola pendidikan taman kanak-kanak. Muslimat melepaskan pengelolaan pendidikan selain TK seperti Akademi Dakwah, Madrasah Aliyah, Madrasah Ibtidaiyah, Akademi Perawat dan lain sebagainya ke LP Ma‟arif. Mekanisme penyelenggaraan pendidikan oleh Muslimat NU baru dikukuhkan dalam SKB PBNU-Muslimat NU No. 88/1041-A/SK/VII/1993 dan No. 115/SK/P/PPM/VII/1995. Dinamika kebijakan pemerintah dalam mengkooptasi organisasi perempuan dan juga dinamika organisasi induk di mana organisasi perempuan bernaung telah mengintervensi jalannya organisasi perempuan tidak hanya terjadi dalam tubuh organisasi Muslimat. Di Muhammadiyah (Natsir, Lies Marcoes, 1996) misalnya, jika Muhammadiyah mengambil suatu kebijakan, maka Aisyiyah membawanya langsung kepada umat melalui pengajian. Ketika Majlis Tarjih Muhammadiyah, yakni majlis yang mengeluarkan fatwa-fatwa yang menyangkut persoalan hukum, bersidang dan merumuskan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Lalu Aisyiyahlah yang bekerja mensosioalisasikan di masyarakat meski kadang-kadang berbeda dengan yang dikehendaki pemerintah. Menghadapi tarik menarik kepentingan politik dan ideologi gerakan perempuan pada level global, Kongres XVI Muslimat NU tahun 2011 kembali menegaskan bahwa organisasi perempuan pedesaan ini memfokuskan diri sebagai organisasi layanan yang tidak terikat dengan berbagai kepentingan politik praktis. Kongres XVI menegaskan bahwa Muslimat NU adalah wadah pengabdian atau media ibadah bagi para kader yang telah menjalani proses kaderisasi di IPPNU, Fatayat NU dan PMII. Muslimat NU memposisikan para individu yang ada di dalamnya sebagai pelayan masyarakat13. Muslimat NU memiliki lima layanan antara lain layanan sosial, layanan kesehatan, layanan di bidang dakwah, layanan di bidang pendidikan dan layanan ekonomi. Layanan di bidang sosial, Muslimat NU memiliki 104 tempat panti asuhan. Layanan di bidang kesehatan, Muslimat NU memiliki 103 Rumah Sakit/Rumah Bersalin atau Poli Klinik. Layanan di bidang pendidikan, Muslimat NU memiliki 9800 TK/RA, 14.350 TPQ, 14.350 tempat Pendidikan Anak Usia Dini, 1500 PKBM (Pusat Kelompok Belajar Masyarakat) dan 2223 Kelompok Bermain. Layanan di bidang ekonomi, Muslimat NU memiliki 104 koperasi primer, 355 Tempat Pelayanan Anggota Koperasi, 11 Balai Latihan Kerja, dan 146 KBIH. Optimalisasi layanan Muslimat NU di masyarakat bertujuan untuk merealisasikan visi Muslimat NU yakni terwujudnya masyarakat sejahtera yang dijiwai ajaran Islam Ahlusunnah wal jamaah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkemakmuran dan berkeadilan yang diridloi Allah SWT. Masyarakat sejahtera merupakan kata kunci dalam setiap kegiatan dan program yang dijalankan oleh Muslimat NU baik kegiatan layanan pendidikan, sosial, agama dan ekonomi14. 13
Dasar yang digunakan Muslimat NU dalam menempatkan setiap individu adalah pelayan masyarakat adalah berdasarkan pada firman-Nya dalam Qur‟an Surah Adz Dzaariyaat : 56 14 Dasar pencapaian visi Muslimat NU berdasar pada nilai Islam diciptakannya manusia di bumi adalah sebagai khalifah yakni mengurus bumi beserta isinya untuk kemakmuran semesta alam. Perintah Allah SWT kepada manusia sebagai khalifah berdasarkan pada firman-Nya dalam Qur‟an Surah Al-An‟am : 165 : Artinya : dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa
33
Motivasi melayani atau pengabdian yang dilakukan anggota dan pengurus Muslimat NU adalah karena mengharap ridho Allah SWT. Tanpa adanya motivasi untuk mencapai ridho Allah seperti di atas menurut Nottingham (1997) boleh jadi tingkah laku keagamaan tidak akan dilaksanakan oleh anggota Muslimat NU. Para sarjana sosiologi melihat tingkah laku keagamaan masyarakat seperti di atas memiliki akibat-akibat positif bagi pemeliharaan masyarakat yang tidak disadari seringkali menurut Nottingham (1997) lebih penting dari tujuan mereka yang disadari. Fungsi yang tidak disengaja dari perilaku keagamaan masyarakat oleh para sarjana sosiologi disebut sebagai fungsi laten. Besarnya animo anggota masyarakat pedesaan menggabungkan diri dalam organisasi Muslimat NU dalam pandangan penulis karena selain motivasi agama juga adanya kesadaran di antara masyarakat akan besarnya kompleksitas permasalahan hidup yang harus disikapi dengan efektif dan efesien. Kehidupan pedesaan yang semakin kompleks dan selalu berubah menjadi motivasi seseorang untuk ikut dalam proses perubahan tersebut. Dalam hal ini Himes (1976) dalam tesisnya menggambarkan bahwa masyarakat pedesaan cenderung mengalami empat hal yakni memudarnya sistem kekerabatan, masyarakat semakin mengenal spesialisasi dalam pemenuhan kebutuhan hidup, cenderung mengembangkan sekularisasi kehidupan dan mengunggulkan rasionalitas dan dengan perubahan yang terjadi secara dramatis di pedesaan seperti tersebut di atas membuat masyarakat semakin terdorong akan kebutuhan organisasi. Dengan berorganisasi meminjam tesisnya Etzioni (1982) masyarakat pedesaan memiliki harapan yang besar agar organisasi seperti Muslimat NU menjadi wadah yang ampuh dalam mengikat sumberdaya dan sumber manusia dari berbagai latar belakang keluarga, kekerabatan, suku sehingga organisasi seperti ini dapat mengikatkan anggota dengan pemimpinnya, menggabungkan kelompok (group), dan juga menggabungkan sarana produksi dan bahan mentah menjadi suatu hasil yang bernilai bagi kehidupan. Dari hasil penelitian ini mengambil kesimpulan bahwa masyarakat pedesaan menaruh kepercayaan yang besar terhadap organisasi sebagai wadah pelayanan berbagai kebutuhan masyarakat dengan lebih efektif dan efesien dibandingkan dengan pengelompokan lainnya seperti keluarga, kekerabatan dan persabahatan. Ketika kaum perempuan pedesaan bergabung dengan organisasi Muslimat NU, banyak isu yang sebelumnya dilihat sebagai kepedulian pribadi dan domestik seperti kesehatan Ibu, pendidikan anak, pendapatan keluarga dan gizi menjadi isu publik dan politik. Anggota masyarakat yang dulunya sebelum bergabung dengan organisasi Muslimat NU memiliki anggapan bahwa masalah domestik adalah hal tabu dibicarakan di ruang publik seperti kekerasan dalam rumah tangga, masalah kesehatan reproduksi, hak dan kewajiban suami istri, setelah bergabung di organisasi Muslimat sebagian besar dari mereka menjadi pionir baik itu sebagai ustadzah majlis taklim maupun sebagai guru di madrasah untuk mensosialisasikan masalah tersebut dengan bingkai nilai-nilai agama.
di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
34
Sumber Lahirnya Pemimpin Muslimat NU Haiman (1951) mengemukakan tujuh sumber munculnya pemimpin dalam sistem sosial di masyarakat antara lain ciri-ciri pribadi, kekuatan magij (magical power), tradisi yang berlaku dalam sistem, munculnya peristiwa tertentu, kehormatan (prestige) yang dimiliki seseorang, kebutuhan situasional dan keterampilan atau kecakapan tertentu. Dalam pandangan penulis15, tesis Haiman tersebut di atas dalam pandangan penulis tidak bisa berdiri sendiri. Di Muslimat NU, sumber lahirnya pemimpin tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal dari tujuh sumber yang dipaparkan oleh Haiman (1951), namun juga dibarengi dengan faktor-faktor lain. Khofifah16 hadir sebagai pemimpin Muslimat NU tidak semata karena faktor kehormatan (prestige) yang dimilikinya ketika pada saat bersamaan ia menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Kepala BKKBN. Dalam posisinya yang terhormat tersebut, anggota Muslimat NU melalui Kongres ke-14 tahun 2000 memilih Khofifah sebagai pemimpin organisasi Ibu-Ibu Nahdliyin karena dianggapnya memiliki kewibawaan dan kehormatan meski ketika itu usianya baru menginjak 34 tahun17. Terpilihnya Khofifah sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU bisa jadi karena faktor kehormatan, namun jika kita analisis secara mendalam munculnya Khofifah sebagai pemimpin tak bisa dilepaskan dari situasi sosial yang antara satu faktor dengan faktor lainnya tali-temali. Sejak Balita, Khofifah telah menunjukkan “ciri pribadinya” sebagai pemimpin. Khofifah kerap memimpin murid TK menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Duduk di kelas 3 Sekolah Dasar, Khofifah didaulat oleh para pengurus dibaiyah IPPNU yang nota bene murid Madrasah Aliyah (setingkat SMA) menjadi bendahara. Meski usia masih terbilang kecil, Khofifah telah menunjukkan bakat kepemimpinannya. Khofifah kecil memiliki bakat dalam melakukan perencanaan keuangan organisasi dan manajemen organisasi. Saat duduk di bangku kuliah ia didaulat memimpin IPPNU dan PMII Cabang Surabaya18. Pada saat Khofifah memimpin PB PMII periode 1988-1991, PPP meminangnya sebagai calon Anggota DPR-RI mewakili unsur organisasi kemahasiswaan. Pemilu tahun 1992 Khofifah menjadi Anggota DPRRI dari PPP, usianya masih 26 tahun. Di DPR-RI, walaupun usianya masih muda dan berjenis kelamin perempuan19, diangkat pimpinan Fraksi dan Pimpinan DPR15
Pandangan penulis ini berdasarkan hasil observasi terlibat dalam organisasi Muslimat NU sejak 2004 sampai sekarang (2012) 16 Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU Periode 2000-2005, periode 2005-2010 dan periode 2011-2016 17 Dalam tradisi organisasi Nahdlatul Ulama terdapat klasifikasi usia yang menjadi standar atau persyaratan seseorang tergabung dalam organisasi badan otonom. Usia 34 tahun merupakan usia yang masuk dalam klasifikasi anggota organisasi Fatayat NU. Seseorang dalam kisaran usia 12 tahun – 20 tahun masuk dalam klasifikasi anggota IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama). Usia 20 tahun – 40 tahun adalah usia bagi anggota Fatayat NU. Dan terminal organisasi terakhir adalah Muslimat NU yang tidak memiliki batasan usia. 18 Pada tahun 1980-an perempuan masih belum lazim memimpin organisasi (menjabat Ketua Umum) kader seperti PMII (di mana terdapat organisasi otonom perempuan Korp PMII Putri), HMI (terdapat Korp HMI Putri/KOHATI), IMM (terdapat IMMAWATI) dan lain sebagainya 19 Di masa lalu PPP dikenal sebagai partai politik konservatif, dalam istilah kelompok Islam menyebut bahwa PPP adalah partainya orang tua dan dianggap tidak senstif gender. Pada saat Khofifah diangkat menjadi pimpinan fraksi, di usianya yang 26 tahun, tidak sedikit para
35
RI, juga menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan di usianya ke-34 tahun. Dari pemaparan di atas dapat memberi gambaran bahwa lahirnya pemimpin tidak semata disebabkan satu faktor kehormatan seperti dikemukakan Haiman (1951). Khofifah telah menunjukkan bakat kepemimpinannya sejak ia masih balita. Ciri-ciri pemimpin telah ada pada diri Khofifah sejak ia duduk di bangku Sekolah dasar. Di antara ciri-ciri pemimpin yang ada pada diri Khofifah tersebut antara lain pertama memiliki rasa sosial. Jiwa sosial Khofifah tertanam dalam keluarga. Semua anggota keluarganya adalah abdi masyarakat dan aktifis organisasi Nahdlatul Ulama. Ayahnya juru dakwah yang banyak menghabiskan waktu untuk mengabdi dan berjuang bersama NU baik pada saat NU menjadi partai politik maupun ketika NU menyatakan diri kembali ke khittah 192620 pada Muktamar NU tahun 1984. Ibunda Khofiah aktif dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan Muslimat NU. Kakaknya yang perempuan aktif di Fatayat NU dan kakak laki-lakinya aktif dalam gerakan Pemuda Anshor. Lingkungan keluarga dengan semangat perjuangan yang kuat ini memiliki pengaruh besar dalam diri Khofifah sejak ia masih Balita. Khofifah kecil sering melihat keluarganya sibuk mengurus masyarakat tanpa kenal lelah. Ayah, ibu dan kakak-kakaknya sering memberi contoh kepada masyarakat bagaimana menjalani ajaran ahlussunnah wal jamaah di masyarakat sehingga masyarakat di sekitar rumahnya tidak setengah-setengah dalam menjalankan agama, tidak hanya rajin dalam masalah ibadah mahdhoh yakni ibadah yang menghubungkan seorang hamba dengan Tuhannya seperti sholat lima waktu namun juga dalam hal hablum minannas-nya pun juga baik. Warga masyarakat terbiasa bekerja secara bergotong royong dengan semangat kebersamaan yang sangat tinggi. Pemandangan seperti inilah yang Khofifah saksikan. Efek sosial yang Khofifah terima sejak kecil ia sudah tergugah memikirkan dan terlibat dalam masalah sosial kemasyarakatan. Kedua, aktifkreatif dan banyak inisiatif. Pengalaman Khofifah tinggal di tengah-tengah keluarga aktifis sosial membuatnya memiliki sensitifitas sosial yang tertuangkan dalam ide, gagasan dan inisiatif dalam menggerakkan masyarakat. Sejak kanakkanak, Khofifah memiliki keteguhan hati, memiliki kepercayaan diri, memiliki kemampuan membaca situasi, dapat bekerja secara tim, populis, mudah menyesuaikan diri, memiliki kemampuan verbal dalam beretorika dan mengemukakan ide di depan publik dan memiliki pengetahuan yang luas. Faktor lain yang menjadi sumber lahirnya jiwa pemimpin dalam diri Khofifah adalah sumber tradisi yang berlaku dalam sistem sosial. Menjadi aktifis sosial dalam organisasi Nahdlatul Ulama memiliki kandungan nilai ibadah dan perjuangan untuk Umat Islam. Dalam tradisi NU nilai perjuangan inilah yang
politisi tua sebenarnya menolak. Di antara para anggota DPR-RI Fraksi PPP menyatakan kepada Khofifah “Kalau saya mengikuti bisikan setan, mana mungkin saya dipimpin oleh orang muda, apalagi kamu perempuan”(Hasan, Millah, 2010, Khofifah Indar Parawansa, Melawan Pembajakan Demokrasi : Pelajaran Dari Tragedi Pilkada Jawa Timur”, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat) 20 Khittah 1926 adalah pernyataan tujuan berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama pada tahun 1926 sebagai organisasi sosial keagamaan, bukan organisasi politik atau partai politik
36
diturunkan dari orang tua kepada anak21. Sumber tradisi menjadi salah satu faktor lahirnya pemimpin22 dalam organisasi Nahdlatul Ulama di mana seseorang yang masih kanak-kanakpun kerap diprediksi akan menjadi pemimpin karena nenek moyangnya memiliki status pemimpin. Kecakapan dalam memimpin organisasi para pemimpin Muslimat NU tidak diperoleh dari pendidikan formal namun diperoleh dari pengalaman berorganisasi. Sumber ilmu pengetahuan23 dalam organisasi Muslimat NU merupakan prasyarat wajib yang harus di miliki oleh seorang pemimpin. Ciri-ciri anggota dan Pola Kepemimpinan Anggota Muslimat NU adalah anggota masyarakat yang memiliki kesepahaman ideologi dalam menjalankan syari‟at agama yakni ahlussunnah wal jama‟ah. Untuk menjadi anggota Muslimat tak ada prasyarat lain, selain keterikatan paham agama dalam menjalankan syari‟at Islam. Secara organisatoris siapapun bisa menjadi anggota Muslimat namun untuk menjabat sebagai pengurus terdapat prasyarat lainnya yakni minimal berusia 35 tahun atau dapat juga berusia di bawah 35 tahun dengan syarat telah menikah. Prasyarat ini diberlakukan untuk mengindari overlapping dalam organisasi badan otonom Nahdlatul Ulama seperti Fatayat NU dan IPPNU. Sistem rekrutmen pengurus Muslimat NU berdasarkan pada sistem kekerabatan dan kaderisasi. Sejak awal berdirinya, masyarakat memiliki pemahaman bahwa Muslimat NU merupakan wadah para istri pengurus NU atau para istri pimpinan Pondok Pesantren. Anggapan seperti itu tidak seluruhnya salah dan juga tidak seluruhnya benar. Meminjam istilah Chitambar (1973) dalam Kolopaking (2003) salah satu faktor pendorong berkumpul dan bekerjasamanya para istri pengurus NU dan pimpinan Pondok Pesantren dalam organisasi Muslimat NU karena adanya motivasi altruistik. Motivasi ini terlihat dari semangat pengabdian atau ibadah kepada Allah SWT melalui aksi kemanusiaan. Semangat pengabdian tersebut membawa para pengurus Muslimat terpanggil melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan tanpa pamrih. Hj. Masruroh Wahid (Ketua Pimpinan Wilayah Muslimat NU Propinsi Jawa Timur) menyatakan : “Di Muslimat itu wadah layanan untuk menegakkan syari‟at Islam, lewat pendidikan, ekonomi itukan layanan saja. Endingnya kan agar syariat berjalan dengan baik. Sebenarnya payung besar kegiatan Muslimat kan “dakwah”. Dakwah ini kemudian dilewatkan sapaan kesehatan, pendidikan, sosial, 21
Internalisasi nilai-nilai perjuangan dalam Islam dikenal dengan konsep dakwah. Banyak ayat dan hadist yang menyerukan kewajiban berdakwah bagi seorang Muslim, salah satunya surat Ali Imran ayat 104 yang artinya “dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. 22 Islam menyerukan dalam hadist Nabi Muhammad SAW bahwa masing-masing pribadi adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawabannya. Kesadaran pemahaman inilah yang memotivasi lahirnya pemimpin secara turun temurun dari nenek-moyangnya kepada generasi setelahnya. 23 Warga NU yang pernah mengenyam pendidikan di Pesantren atau diniyah memahami posisi ilmu pengetahuan adalah pondasi utama sebagai dasar seseorang berperilaku di masyarakat. Pentingnya ilmu pengetahuan tersurat dalam hadist nabi “Man arad dunya fa‟alaihi bi‟ilmi. Waman arado akhiroh fa‟alaihi bi ilmi. Wama arada huma, fa‟alaihi bi ilmi (Siapa yang mengharapkan dunia maka syaratnya dengan ilmu. Siapa yang berharap Akhirat, syaratnya ilmu dan siapa yang mengharapkan keduanya syaratnya juga dengan ilmu)
37
ekonomi-koperasi. Endingnya kan mengajak mereka sejahtera, mengajak mereka taat kepada Allah, mengajak mereka mengenal ahlussunnah”.
Hubungan sosial di antara para pengurus Muslimat NU dan juga hubungan antara pengurus dengan anggota sangat intim. Jika ditelisik secara seksama sebagian besar pengurus Muslimat memiliki keterikatan kerabat antara satu pengurus dengan pengurus lainnya. Hubungan kekerabatan ini ada yang saudara kandung, famili dan juga kekerabatan yang diikat dengan sistem perjodohan. Misalnya seorang pengurus Muslimat A bersepakat melakukan besanan dengan pengurus Muslimat B sehingga anak perempuan di antaranya akan menjadi pengurus Muslimat meneruskan kiprah orang tuanya. Aisyah (Ketua Pimpinan Cabang Muslimat NU Jombang) menyatakan : “Saya mulai tangi melek, sudah kenal NU. Bapak saya Ketua cabang NU. Ibu saya ketua Muslimat. Semua berjuang mulai kecil, ikut-ikutan ngaji. Ikut Ibu dan bapak. Kayaknya dari sononya. Yang saya lihat Ibu-Ibu ketua cabang juga begitu semangatnya. Orang tuanya dulu, Ibunya aktif sebagai ketua ranting, anak cabang. Ya memang tempatnya di situ”.
Dalam upaya menciptakan kader penerus di masyarakat, kaderisasi dilakukan di internal keluarga. Khofifah misalnya, sejak duduk di taman kanakkanak ia berada di lingkungan keluarga yang aktif berjuang di masyarakat. Ayahnya juru dakwah yang banyak menghabiskan waktu untuk mengabdi dan berjuang bersama NU baik pada saat NU menjadi partai politik maupun ketika NU menyatakan diri kembali ke khittah 1926. Ibunda Khofifah aktif di Muslimat. Kakaknya perempuan aktif di Fatayat NU dan kakak laki-lakinya aktif dalam gerakan Pemuda Anshor. Lingkungan keluarga dengan semangat juang yang kuat ini memiliki pengaruh besar dalam diri Khofifah sejak ia masih balita. Kecintaan Khofifah pada perjuangan di masyarakat juga hasil stimulasi lagu-lagu perjuangan yang kerap didendangkan guru-gurunya di bangku TK. Seperti halnya Khofifah, sebagian besar pengurus Muslimat NU berangkat dari keluarga pejuang dan juru dakwah di masyarakat. Semangat berjuang terinternalisasi dari keluarga. Ada semacam tradisi dalam keluarga Kyai NU, anak-cucunya harus meneruskan perjuangan nenek-moyangnya. Tak ada pilihan lain bagi anak-anak Kyai NU pengasuh pesantren selain mengabdikan diri di masyarakat, mengajar ngaji santri di pondok. Di luar pondok pesantren, para Kyai mengenalkan putra-putrinya bahwa tempat pengabdian dan dakwah melalui wadah NU dan Muslimat NU. Bagi putra-putri Kyai NU pengasuh pesantren yang misalnya ingin memilih jalur di luar dakwah Islam, maka tidak diijinkan tinggal di lingkungan Pondok Pesantren. Lilik Maslihah (Pengasuh Pondok Pesantren AnNisa Jember Jawa Timur) menyatakan : “Semua bangunan pondok pesantren ini sudah di wakafkan. Jadi semua putra-putri kami tidak berhak memperoleh hak waris. Mereka bisa tinggal di sini jika mereka bersedia mengajar dan mengabdi di Pondok Pesantren (tanpa gaji).
Sebagai calon juru dakwah dan pejuang umat di masyarakat, para Kyai NU pengasuh pesantren memberikan contoh (suri tauladan) bagaimana berinteraksi dengan masyarakat, bagaimana bertata krama dan juga pelajaran akhal lainnya melalui tindakan. Nilai baik dan buruk telah didefinisikan melalui tindakan nyata oleh anggota keluarga Kyai. Dalam tradisi pesantren, ketika anak menginjak usia
38
dewasa biasanya keluarga Kyai mengirimnya belajar di pesantren lain yang jaraknya lumayan jauh. Seperti misalnya alm KH Wahab Hasbullah24 mengirim dua putrinya ke pesantren Mualimat Solo Jawa Tengah. Tradisi mengirim anak ke pesantren lain dapat bermakna dua hal, pertama menjalin hubungan yang harmonis antar pesantren. Kerjasama antar pesantren di Nusantara tak luput dari tradisi jalinan emosional, kekerabatan (melalui tradisi perjodohan) dan persamaan ideologi keagamaan. Kedua, tradisi mengirimkan anak ke pesantren lain untuk mengindari subyektifitas dalam memberlakukan aturan pengajaran antara anak kandung dengan santri di lingkungan pondok pesantren. Hubungan antara orang tua sebagai pengasuh pondok pesantren dan anak sebagai santri dalam dunia pendidikan dianggap menyulitkan orang tua berlaku adil manakala sistem dan aturan pesantren harus diterapkan. Ibu Mahfudhoh Aly Ubaid, (Ketua I Pimpinan Pusat Muslimat NU, anggota DPR-RI Fraksi PPP Periode 1986-1991, 1997-1999, 1999-2004 dan 2004-2009) menyatakan : “Waktu sekolah di Muallimat, saya ingin ikut kegiatan tari namun dilarang oleh Pak Kyai. Kata Pak Kyai, ayah saya (alm KH Wahab Hasbullah) telah menitipkan saya ke beliau. Ya, inilah tidak enaknya menjadi anak Kyai. Kita selalu dipantau oleh masyarakat, kita tidak boleh melakukan ini dan itu. Namun setelah saya dewasa dan berjuang di masyarakat, saya baru menyadari rupanya karena saya anaknya KH Wahab Hasbullah maka memudahkan saya berdakwah. Sebab kalau kita turun ke masyarakat, agar apa yang kita sampaikan diterima masyarakat, itu sudah satu pekerjaan yang sulit sendiri. Namun kalau kita ini anak Kyai, tokoh NU maka kita tinggal meneruskan.
Hubungan intim di antara pengurus juga terjalin karena memiliki keterikatan dengan almamater sama-sama alumnus pesantren. Dalam presantren juga lazim dengan tradisi perjodohan. Anak Kyai pemimpin Pondok Pesantren biasanya menikah dengan anak Kyai yang juga memimpin pondok pesantren di tempat lain. Santripun juga demikian. Tidak sedikit Kyai yang menjodohkan santrinya menikah dengan santri lainnya. Kyai yang saat ini memimpin pondok pesantren biasanya juga merangkap pengurus NU di mana ia tinggal, sedangkan istrinya menjadi pengurus Muslimat NU. Tradisi ini diteruskan ke anak (biasanya dalam tradisi Pesantren di sebut Gus), kelak akan memimpin pesantren dan menjadi pengurus NU sedangkan istrinya menjadi pengurus Muslimat NU. Muslimat NU ibarat rumah besar yang menyatukan para istri pengurus NU dan pimpinan pondok pesantren sehingga hubungan intim antar pengurus terjalin harmonis. Dinamika organisasi yang menciptakan ketegangan dan konflik dengan cepat akan segera terselesaikan dengan sendirinya karena di antara pengurus memiliki keterikatan emosional dan kekerabatan. Sistem rekrutmen pengurus dan kepemimpinan Muslimat selain menggunakan jalur kekerabatan juga menggunakan jalur kaderisasi. Kaderisasi yang dimaksud adalah kaderisasi yang dilakukan oleh organisasi perempuan badan otonom NU dan organisasi yang memiliki keterikatan emosional dengan NU yakni Fatayat NU, IPPNU dan PMII. NU memiliki Badan Otonom yang didirikan sebagai wadah kaderisasi anak-anak NU menjadi kader penerus dan kader pejuang ahlussunnah wal jama‟ah. Bagi anak-anak perempuan NU yang 24
KH Wahab Hasbullah adalah salah satu pendiri organisasi NU tahun 1926, menjabat sebagai Rais „Am PBNU periode 1947-1971
39
duduk di bangku sekolah setingkat SMP dan SMU, mereka terwadahi dalam organisasi kader IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama). Pada tahapan ketika anak-anak ini lulus SMA dan melanjutkan ke perguruan tinggi, orang tua dan guru mereka mengarahkan aktif dalam organisasi PMII25 (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan Fatayat NU. Selama aktif dalam organisasi kader (IPPNU, PMII dan Fatayat), seorang kader akan menjalani proses kaderisasi formal, informal dan non formal. Kaderisasi formal dilakukan melalui pelatihan berjenjang (tingkat dasar, menengah dan lanjut). Kaderisasi nonformal dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pendampingan (advokasi) korban kekerasan dalam rumah tangga, pendampingan anak jalanan, bakti sosial, pendampingan desa sejahtera dan lain sebagai. Kaderisasi informal dilakukan melalui fasilitasi kelompok studi, komunitas pemberdayaan di masyarakat. Kader penggerak dan kader penerus perjuangan ahlussunnah wal jama‟ah yang telah berproses di IPPNU, PMII dan Fatayat NU kemudian direkrut masuk jajaran pengurus Muslimat. Entah kebetulan atau tidak, ada semacam tradisi para kader yang posisinya naik jenjang dari IPPNU ke PMII atau Fatayat NU adalah mereka memiliki pengalaman memimpin atau minimal menjadi pengurus harian di organisasi kader, misalnya sebelum masuk jenjang PMII, kader perempuan pernah memimpin di IPPNU. Sebelum masuk jenjang Fatayat NU, kader perempuan NU pernah memimpin PMII atau IPPNU26. Meskipun tiga organisasi kader perempuan NU yakni IPPNU, Fatayat NU dan PMII tidak memiliki hubungan struktur dengan Muslimat NU namun output kaderisasi di tiga organisasi tersebut terwadahi dalam Muslimat NU. Sistem kaderisasi berjenjang tersebut merupakan ciri khas dari model kepemimpinan transformasional di mana terdapat ikatan antara anggota dengan pemimpinnya. Kepemimpinan tranformasional menjunjung tinggi prinsip transformasi di mana pemimpin senantiasa hadir membawa inspirasi dalam proses kaderisasi sehingga kepemimpinan berjalan ke depan dan berkelanjutan. Kasus Penanaman Pohon di Jawa Timur Dari pemaparan kepemimpinan Muslimat NU pada sub bab sebelumnya, organisasi ini tidak memfokuskan gerakan menanam pohon secara spesifik sebagai program utama yang diorganisir secara formal dan struktural. Aktifitas 25
PMII adalah organisasi mahasiswa yang memiliki keterikatan pemahaman dan pemikiran Islam dengan NU yang mengedepankan tawasuth, tasamuh dan tawazun. Ketika didirikan PMII adalah salah satu badan otonom NU, namun sejak Kongres Murnajati tahun 1972, PMII mendeklarasikan diri sebagai organisasi independen. Pilihan independensi tersebut memiliki keterkaitan erat dnegan situasi sosial pada saat itu di mana NU yang merupakan Partai Politik (kembali ke Khittah 1926 sebagai organisasi sosial-keagamaan tahun 1984) kebijakan dan dampaknya ikut merembet ke PMII 26 Dari observasi terlibat penulis mendapati data para pemimpin di Muslimat memiliki latar kepemimpinan di organisasi sebelumnya. Seperti Aisyah Hamid Baidlowi (Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU Periode 1995-2000) sebelum masuk Muslimat menjabat sebagai Ketua Pucuk Pimpinan Fatayat NU, sebelumnya Ketua Umum IPPNU. Mahfudhoh Aly Ubaid (Ketua I Pimpinan Pusat Muslimat NU), sebelumnya pernah menjadi Ketua Umum PP Fatayat NU. Machsanah Asnawi Latif (Ketua Pimpinan Pusat Muslimat NU), sebelum masuk Muslimat NU pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP IPPNU. Khofifah Indar Parawansa (Ketua Umum PP Muslimat NU Periode 2000-2005, periode 2005-2010 dan periode 2011-2016), sebelum masuk Muslimat menjadi Ketua Umum PB Korp PMII Putri, Ketua Umum IPPNU.
40
menanam pohon menjadi bagian dari aktifitas sehari-hari anggota Muslimat NU namun tidak menjadi kegiatan rutin organisasi Muslimat NU sehingga bersifat personal. Pola kepemimpinan gerakan menanam pohon di masyarakat dilakukan secara pribadi, informal dan berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan seharihari. Ada perbedaan signifikan gerakan penanaman pohon yang dilakukan individual (anggota Muslimat NU) dengan gerakan penanaman pohon yang dilakukan oleh organisasi Muslimat NU mulai dari asal bibit, motivasi gerakan, indikator yang digunakan, manfaat dan posisi kepemimpinan. Muslimat NU sebagai organisasi massa perempuan dalam gerakan menanam pohon yang di lakukan oleh anggota secara langsung di masyarakat, para pemimpinnya memposisikan diri sebagai motivator, bukan eksekutor yang bersifat struktural. Pemimpin Muslimat di kabupaten (Pimpinan Cabang) dan di kecamatan (Pimpinan Anak Cabang) yang nota bene Ibu Nyai Pondok Pesantren dan Ustadzah majlis taklim dalam setiap acara syi‟ar agama menyampaikan materi yang berisi dorongan atau motivasi agar para jama‟ah yakni anggota Muslimat NU menjalankan hidup sesuai dengan kaidah Islam ahlussunnah wal jama‟ah yakni menjaga keseimbangan hubungan antara manusia sebagai seorang hamba kepada sang Khaliq Allah SWT, keseimbangan hubungan antara hamba yang satu dengan hamba yang lain dan juga menjaga keseimbangan hubungan antara hamba dengan alam sekitarnya. Materi dakwah majlis taklim yang terakhir inilah yang memotivasi anggota Muslimat bertanggung jawab menjaga keseimbangan alam untuk kemaslahatan dan keberlangsungan hidup layak anak cucu di kemudian hari. Muslimat NU secara struktural menjalankan program penanaman pohon pertama kali pada tahun 2006 melalui program Kecil Menanam Dewasa Memanen (KMDM) bekerjasama dengan Kementrian Kehutanan. Kronologis program KMDM bermula dari program sosialisasi sosialisasi MDGs (Millenium Development Goals) oleh Muslimat NU bekerjasama dengan UNICEF dan UNDP. Salah satu target di antara delapan target MDGs adalah peningkatan pelestarian lingkungan hidup yang merupakan target ketujuh dari MDGs. Bagi Muslimat NU, program pelestarian lingkungan hidup merupakan program yang sangat mudah disosialisasikan dan memiliki manfaat nyata terhadap kehidupan anggota masyarakat di pedesaan. Atas dasar pemikiran tersebut, pada tahun 2006 Muslimat NU menjalin komunikasi dalam bentuk audiensi dengan Menteri Kehutanan Kabinet Indonesia Bersatu MS Kaban terkait program hijau KMDM. Kementrian Kehutanan memberikan apresiasi terhadap usulan Muslimat NU di bawah kepemimpinan Khofifah untuk melaksanakan program KMDM berbasis majlis taklim dan lembaga pendidikan anak usia dini. Khofifah (Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU) menyatakan : “Isu pelestarian lingkungan ini menjadi salah satu materi sosialisasi MDGs di lingkungan majlis taklim binaan Muslimat NU. Ketika pemerintah melalui kementrian Kehutanan memiliki program Kecil Menanam Dewasa Memanen, Muslimat NU terpanggil ikut mensukseskan program tersebut. Muslimat NU memiliki 9800 TK dan 14.350 Pendidikan Anak Usia Dini se-Indonesia yang bisa disinergikan upaya mencapai target pelestarian lingkungan”.
Motivasi untuk menggerakkan anggota Muslimat NU dalam program KMDM adalah motivasi agama dan ekonomi. Motivasi agama diambil dari salah satu rukun Islam ke lima yakni naik haji. Setiap umat Islam yang memiliki
41
kemampuan ekonomi wajib atasnya menjalankan ibadah haji. Muslimat NU melalui pengajian majlis taklimnya menyeru kepada anggotanya bahwa dalam rangka melaksanakan rukun Islam kelima, maka salah satu rukunnya adalah memiliki persiapan yang matang, materi dan immateri. Menanam pohon seperti pohon jati dan sengon adalah salah satu upaya untuk menabung haji. Motivasi kedua adalah motivasi ekonomi. Pohon memiliki nilai ekonomi yang dapat digunakan untuk biaya sekolah khususnya beaya pendidikan tinggi di universitas. Khofifah menyadarkan anggota Muslimat di pedesaan yang ingin naik haji maka harus bisa berhitung dan menabung jauh-jauh hari sebelumnya. Khofifah memberikan motivasi bagi anggota majlis taklim khususnya anggota yang memiliki anak-anak di TK bahwa dengan mensukseskan program KMDM ini maka tumbuhnya pohon-pohon kayu di kemudian hari akan menjadi jaminan pendidikan ketika anak-anak tersebut masuk Perguruan Tinggi. Khofifah (47 tahun) menyatakan : “Dalam pengajian di majlis taklim saya sampaikan jika kita ingin naik haji maka kita harus bisa ngitung biaya yang akan digunakan untuk itu. Kalau njenengan27 nabung kayu jati, maka di masa depan akan bisa naik haji. Saya sampaikan ke Pak Ka‟ban (Menteri Kehutanan) bahwa kita memiliki 9800 TK/RA, 14.350 TPQ dan 4600 PAUD se-Indonesia yang bisa digandeng sebagai mitra untuk mensukseskan program KMDM (Kecil Menanam, Dewasa Memanen). Pak Ka‟ban merespon bagus dan akhirnya Muslimat menjalin kerjasama.
Dalam program KMDM seperti halnya program-program kerjasama dengan pemerintah lainnya, posisi Pimpinan Pusat Muslimat NU hanya sebagai inisiator, fasilitator dan mediator yang mengkomunikasikan program-program Muslimat NU dengan pihak kementrian. Pelaksanaan operasional program adalah pimpinan cabang (di tingkat Kabupaten), pimpinan anak cabang (di tingkat Kecamatan) dan pimpinan Muslimat Ranting (tingkat desa). Kerjasama Muslimat NU dengan Kementrian Kehutanan dalam program menanam pohon merupakan kerjasama yang setara. Pemerintah yang memiliki kebijakan pembangunan tak bisa menjalankannya sendiri dan membutuhkan partisipasi masyarakat pedesaan yang merupakan anggota Muslimat NU. Model kerjasama seperti ini menurut Chitambar (1973) dalam Kolopaking (2003) dimotivasi oleh faktor kepentingan umum sebagai pendorongnya. Khofifah (Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU, 47 tahun) menyatakan : “Pimpinan Pusat Muslimat NU hanya membuka kran dan melakukan MoU dengan kementerian. Pelaksana program secara operasional langsung anggota Muslimat di bawah termasuk yang membuat proposal juga langsung dari bawah”.
Manajemen Penanaman Pohon Setelah menjalin audiensi dengan Kementrian Kehutanan Republik Indonesia, Khofifah menugaskan Mahsusoh Tosari Widjaja (saat itu menjabat Ketua I PP Muslimat NU) untuk menyusun tim pelaksana program Kecil Menanam Dewasa Memanen dan dalam tim tersebut Mahsusoh menjabat sebagai ketua. Penunjukan Mahsusoh Tosari Widjaja sebagai ketua tim berdasarkan pada posisinya ketika itu sebagai anggota DPR-RI Komisi IV yang membidangi 27
Njenengan atau lengkapnya panjenengan adalah kata ganti orang kedua dalam tatanan bahasa krama inggil (tata bahasa Jawa yang digunakan untuk menghormat orang yang sudah tua atau memiliki status sosial yang tinggi).
42
masalah pertanian, perkebunan, kehutanan, keulatan, perikanan dan pangan. Salah satu mitra kerja komisi IV DPR RI adalah Kementrian Kehutanan sehingga dengan menempatkan Mahsusoh yang merupakan anggota DPR sebagai ketua tim program menanam pohon memudahkan Muslimat NU dalam merealisasikan kerjasama program menanam pohon dengan Kementrian Kehutanan RI. Jaringan politik komisi IV DPR-RI beserta lobi Mahsusoh menghasilkan kesepakatan Muslimat NU sebagai pelaksana program KMDM. Pelaksanaan program hijau KMDM kerjasama Kementrian Kehutanan dengan Muslimat NU ini dilakukan dengan penyerahan bibit secara simbolis bersamaan dengan perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) dan Tahlil Kubro Pimpinan Cabang Muslimat NU Jombang Jawa Timur pada 9 Desember 2006. Dalam kegiatan tersebut juga dilaksanakan penyerahan bibit secara simbolis kepada anggota Muslimat dari Kabupaten lain di luar Kabupaten Jombang yakni Madiun, Kediri, Mojokerto dan Lumajang oleh Menteri Kehutanan. Dalam pandangan penulis ada tiga alasan mengapa Jombang dipilih sebagai tempat launching program hijau KMDM di Jawa Timur, pertama Jombang sebagai kota santri basis NU dianggap memudahkan dalam melakukan mobilisasi massa Islam. Kedua, para pendiri NU berlatar belakang dari kota santri Jombang sehingga menjadi legitimasi organisatoris kultural yang masih dipegang teguh masyarakat. Dan ketiga, Ketua Muslimat Jombang yakni Munjidah Wahab merupakan anak kandung KH Wahab Hasbullah, pendiri NU yang juga menjabat sebagai anggota DPRD Propinsi Jawa Timur merupakan posisi strategis dalam membangun komunikasi dengan jajaran elit birokrasi untuk suksesnya acara. Mahsusoh (Jurnal Pena 2006) menyatakan : “Kami (Panitia daerah) hanya punya waktu dalam hitungan hari untuk menyiapkan secara teknis acara ini. Namun ternyata sukses besar,” Indikator sukses besar dalam kegiatan penyerahan simbolis bibit dalam program KMDM kerjasama Kementrian Kehutanan dengan Muslimat NU tersebut di atas dalam pandangan pengurus Muslimat dilihat dari tiga hal, pertama jumlah masa yang hadir. Acara launching program KMDM di Jombang secara simbolis dan juga penyerahan bibit kepada pengurus Muslimat dari empat Kabupaten lain di hadiri kurang lebih 14.000 anggota Muslimat di alun-alun Jombang. Kedua, nara sumber yang hadir. Dalam setiap kegiatan Muslimat NU, posisi narasumber tak pernah luput dalam jadwal kegiatan. Para narasumber ini ada dua pertama dari kalangan birokrasi atau tokoh politik nasional yang mengisi acara sambutan seremonial. Narasumber kedua dari kalangan alim ulama pimpinan Pondok Pesantren yang mengisi acara tausiyah (ceramah agama). Dan indikator ketiga yang dijadikan sebagai tolok ukur suksesnya acara adalah hadirnya tamu VIP (Very Important Person) yakni tamu yang diundang dari kalangan pimpinan pesantren, tokoh masyarakat, elit politik dan elit birokrasi. Kegiatan launching di hadiri oleh Menteri Kehutanan beserta jajarannya, Bupati Jombang, anggota DPRD, pimpinan Partai Politik tingkat Kabupaten dan pimpinan pondok pesantren di Jombang. Melihat tiga indikator tersebut di atas, secara teknis seremonial kegiatan serah terima bibit secara simbolis oleh Menteri Kehutanan RI H.MS Kaban kepada Muslimat NU dapat dikategorikan sukses. Jumlah massa yang hadir sebanyak 14.000 orang yang merupakan anggota Muslimat NU dengan menggunakan seragam sehingga bak lautan hijau Ibu-Ibu Muslimat NU. Acara
43
serah terima bibit secara simbolis juga dimeriahkan parade drumb band murid MTsN Tambak Beras Jombang. Bagi Kementerian Kehutanan tujuan memasukkan program menanam pohon di komunitas Muslimat NU adalah sebagai upaya rehabiltasi hutan dan lahan rakyat yang sangat memprihatinkan akibat illegal loging. Dengan kekuatan jaringan kelompok basis yang dimiliki Muslimat NU dan juga memperhatikan naluri kaum perempuan dalam perawatan, kementrian Kehutanan meyakini program “Kecil Menanam, Dewasa Memanen” pada masa yang akan datang dapat mengembalikan hutan-hutan yang selama ini mengalami kegundulan. Program KMDM mengajak anak-anak belajar memahami bahwa hutan gundul dapat memancing erosi serta tanah lonsor dan pada lingkup yang paling berbahaya dapat mengakibatkan bencana alam sepanjang tahun 2005-2006 dengan banyak korban jiwa. Kementrian Kehutanan memiliki target memasukkan program menanam pohon menjadi bagian dari kegiatan ormas agar program pelestarian lingkungan beserta permasalahannya menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab pemerintah begitupun sebaliknya masyarakat juga dapat memperoleh manfaat langsung dari pelestarian lingkungan bukan hanya pihak pemerintah dan pihak swasta. Distribusi Bibit Pimpinan Pusat Muslimat NU melakukan komunikasi dan koordinasi secara langsung dengan Pimpinan Cabang (tingkat kabupaten) Muslimat NU yang mendapat bantuan bibit tanpa melalui mekanisme musyawarah dengan Pimpinan Wilayah (tingkat Propinsi) Muslimat NU Jawa Timur. Setelah acara seremonial penyerahan bibit dilakukan oleh Menteri Kehutanan dengan dihadiri 14.000 anggota Muslimat, beberapa hari kemudian bibit di datangkan dari Surabaya. Pengadaan bibit dilakukan oleh perusahaan yang ditunjuk (sesuai mekanisme pengadaan barang) oleh Kementrian Kehutanan. Bibit tiba di kantor Muslimat Jombang dengan mobil truck. Bibit-bibit yang bermacam-macam jenis ini diturunkan dengan menggunakan jasa anak asuh Sekretaris Umum Muslimat Jombang. Pendistribusian bibit ke pengurus anak cabang (tingkat kecamatan) dan di bagikan kepada pengurus ranting (tingkat desa), bibit terlebih dahulu di rawat, di siram dan diberi pupuk oleh anak asuh Sekretaris Umum di Kantor Muslimat selama seminggu. Banyak bibit yang berumur masih kecil mati dan patah. Tibanya bibit di Kantor Cabang terlebih dahulu dipilah-pilah bibit yang kecil-kecil, patah dan tidak sehat ke tempat tersendiri. Aisyah (Ketua Pimpinan Cabang Muslimat Jombang) menyatakan : “Banyak Ibu-ibu komplain mengapa bibitnya banyak kecil-kecil dan alom (tidak segar). Namun saat saya tanyakan hal tersebut ke pihak yang mengatar bibit, katanya justru itulah bibit yang bagus. Sebab kalau bibitnya berusia dewasa kita tanam maka kanya akan cepat mati”.
44
Tabel 1 Daftar Usulan Bibit Yang dibutuhkan anggota Muslimat NU No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Total
PAC Megaluh PGTKM Perak Kesamben Diwek Fatayat Plandan Kabuh Jombang Kota Kudu Jogoroto Bareng Wonosalam Mojoagung Tembelang Peterongan Ngoro Gudo Budar KM Ngusikan Mojowarno Sumobito Ploso Pondok Pes
Jeruk Nipis
200
Jati
Ram butan
500 200 1000
250 500
Sengon
Sawo
200
400 500 200 300 100
Nangka
Jambu Air
100
200 50 200 100 200
1000 1000
1000 400 500
200 200 1000 200 400 200 500 100 500 9000 2750 20.00 0 Sumber : Data Primer diolah
100
300 400
500
100 200
750
500 100 1300
1300
500 200 500 200 200
100 200 200
200
50 200 100 100 100 200 100 100
50 200 100
50 200 100
100 100
200 200 200 50
200 200 200 200 100
100 200 100
2450
1450
2200
6200
2350
200
100 200 100 4250
500 400 500
250
500 500 100 200 500 50 200 100 200
Jambu Biji
300
1300 500 200 300
Mangga
50 100
Jenis bibit beserta jumlah bibit yang diterima Muslimat telah ditentukan oleh pihak Kementrian Kehutanan RI. Muslimat tak bisa memilih jenis bibit apa saja yang diperlukan oleh anggotanya meskipun dalam mekanisme pengajuan bibit Muslimat NU diberi kewenangan oleh Kementrian Kehutanan untuk mengusulkan bibit yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi tanah di mana bibit akan ditanam. Tabel 1 daftar usulan bibit yang dibutuhkan oleh anggota Muslimat NU berbeda dengan jenis bibit yang disediakan Pemerintah sebagaimana tabel 2. Dalam kegiatan pengajian, pimpinan Muslimat NU Jombang mensosialisasikan kepada anggota agar mengusulkan bibit yang dibutuhkan beserta besaran jumlah bibit yang diajukan.
45
Tabel 2 Daftar Penerimaan dan Distribusi Bibit dari Kementrian Kehutanan
Sumber : Laporan distribusi bibit Pimpinan Cabang Muslimat NU Jombang
Mekanisme distribusi bibit dilakukan secara bertahap (gambar 4). Setelah melalui proses perawatan bibit selama satu minggu, Muslimat NU Jombang menyewa truk beserta supir dan kulinya untuk mengantar bibit-bibit tersebut ke masing-masing kantor Pimpinan Anak Cabang yang terdiri dari 21 kecamatan seKabupaten Jombang. Jumlah bibit dibagikan berdasarkan luas wilayah anak cabang (kecamatan). Jenis bibit dibagikan berdasarkan struktur tanah masingmasing kecamatan. Lokasi yang tanahnya merupakan dataran tinggi, pegunungan maka Muslimat mengirimkan bibit buah. Di daerah tandus, Muslimat mengirimkan bibit jati. Aisyah (Ketua Pimpinan Cabang Muslimat Jombang) menyatakan : “Kami (Pimpinan Cabang) yang memilih. Cabang yang membagi berdasarkan besarnya luas anak cabang. Dulu saya ingin membagi rata. Di bagian utara, anak cabangnya kan kecil (tidak luas), mosok dipadakno (masa di samakan dengan anak cabang yang daerahnya luas)”
Setelah bibit-bibit pohon tiba di masing-masing kantor pimpinan anak cabang (kecamatan), bibit tersebut didistribusikan kepada pimpinan ranting (desa). Mekanisme distribusi bibit menggunakan sistem jemput bola yakni masing-masing pengurus ranting (desa) mengambil bibit dengan menggunakan sepeda motor di kantor anak cabang (kecamatan). Mekanisme pendistribusian seperti ini dalam pandangan Pimpinan Cabang Muslimat NU Jombang merupakan cara yang efektif dan efesien sehingga menghemat biaya, tenaga dan waktu distribusi karena adanya partisipasi langsung pengurus ranting (tingkat desa). Dalam satu kecamatan terdapat antara 10 sampai 20 desa. Jumlah pimpinan
46
ranting (desa) yang aktif dalam kegiatan Muslimat sebanyak 287 ranting (desa) dari 304 pengurus ranting. Jarak tempuh dari satu desa ke desa lainnya membutuhkan waktu 1-2 jam perjalanan. Banyak desa yang terletak di pegunungan dan desa yang sulit terjangkau oleh transportasi dan akses jalan sehingga mekanisme jemput bola dalam distribusi sangatlah tepat, efektif dan efesien. . Bibit-bibit yang telah terdistribusi di pengurus ranting dibagikan kepada anggota Muslimat dengan mekanisme masing-masing anggota masyarakat (anggota Muslimat NU) yang memiliki lahan kosong mengambil sendiri bibitbibit tersebut. Masing-masing anggota Muslimat bebas mengambil bibit yang dikehendakinya. Bibit juga didistribukan kepada sekolah-sekolah, masjid dan pesantren yang memiliki lahan kosong cukup luas. Penerima bibit menuliskan tanda terima dengan tulis tangan. Gambar 4 Distribusi Program Penanaman Pohon
Pembagian jenis bibit berdasarkan keinginan masing-masing anggota (bebas memilih bibit) mengakibatkan ketersediaan jenis bibit tertentu dalam jumlah banyak karena tidak dipilih atau tidak diminta oleh masyarakat seperti bibit jati. Bibit-bibit yang tidak dipilih tersebut sebagian besar di drop di rumah-rumah Ketua Ranting Muslimat atau pengurus atau ibu Nyai pesantren yang memiliki lahan cukup luas. Seperti misalnya penanaman pohon di pekarangan rumah ketua Ranting Muslimat Diwek, semua jenis tananam berasal dari bibit yang tidak dipilih oleh anggota Muslimat. Setiap anggota Muslimat NU yang telah menerima bibit kemudian menanamnya di lahan kosong. Bibit-bibit yang telah ditanam tersebut perawatannya menjadi tanggung jawab masing-masing penanam dan jika tiba waktunya panen maka hasilnya juga menjadi hak milik penerima bibit atau anggota Muslimat NU. Keterangan seorang informan kepada penulis yakni Ketua Muslimat NU Ranting Diwek menyebutkan bahwa proses penanaman dan perawatan bibit menjadi pohon di lahan belakang rumahnya dilakukan dengan sistem warnen yakni penggunaan jasa buruh lepas. Ketua Muslimat NU Ranting Diwek menyatakan : “Kita menanam bibit dan merawatnya dengan menggunakan
47
warnen” Tabel 3 menggambarkan bagaimana partisipasi perempuan dalam program penanaman pohon. Tabel 3 Partisipasi Dalam Program Penanaman Pohon Muslimat NU No
Kegiatan Perempuan Dewasa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pengadaan benih/pembibitan Distribusi dari Kementrian ke Kantor PC Muslimat Jombang Merawat bibit yang rusak/lemah Distribusi bibit dari PC Muslimat ke PAC Muslimat Distribusi bibit dari PAC ke Pengurus Ranting Distribusi bibit dari pengurus ranting ke anggota Muslimat Membebaskan lahan belukar padat Membebaskan belukar jarang Menanam pohon Menyiram Memangkas Menyiangi
Pelaksana Laki-laki Anak Dewasa Perempuan
Anak Lakilaki
Ketika penelitian ini dilakukan, penulis melakukan observasi terhadap pohon yang telah ditanam 8 tahun silam. Pohon-pohon tersebut kini tumbuh subur di lahan yang dahulunya hanya ditumbuhi rumput belukar. Kementrian Kehutanan melalui BP DAS Propinsi Jawa Timur telah melakukan monitoring dan evaluasi program hijau Muslimat NU dan hasilnya Muslimat NU mendapat penghargaan sebagai Organisasi Masyarakat Perempuan yang telah menanam dan merawat pohon dalam jumlah banyak. Aisyah (Ketua PC Muslimat Jombang) menyatakan : “Masyarakat pedesaan antusias dengan program hijau dari pemerintah karena program ini memiliki nilai ekonomi dan tidak ribet. Bagi anggota Muslimat, program hijau bukanlah program ribet, karena yang dibutuhkan hanya proses tanam dan sesekali menyiram tanaman, kemudian pohon akan tumbuh sendiri tanpa biaya pemeliharaan yang membutuhkan banyak biaya”.
Pola Kepemimpinan Program Hijau yang “state driven” di masyarakat dalam studi ini mengambil kasus di Kabupaten Jombang tak bisa dipungkiri telah memanfaatkan kekuatan basis dan gaya kepemimpinan Muslimat NU. Dalam studi ini penulis melakukan kajian kepemimpinan lokal yang dilakukan oleh Ketua Pimpinan Cabang Muslimat Jombang bernama Munjidah Wahab di mana gerakan penanaman pohon dilakukan. Studi perjalanan hidup menjadi penting untuk memposisikan bahwa studi ini tidak sekadar mengkaji tentang perempuan namun juga untuk perempuan. Studi riwayat hidup juga menjadi penting untuk memahami pengalaman perempuan dengan meneliti persepsinya dan pengalaman pribadinya. Kepemimpinan Muslimat NU di cabang-cabang sebagian besar menggunakan kepemimpinan kharismatik, termasuk dalam hal ini kepemimpinan Muslimat NU Jombang. AD/ART Muslimat NU yang membatasi masa jabatan Ketua hanya 3 periode membawa dilemma bagi anggota Muslimat yang tetap
48
menginginkan seorang figure untuk memimpin Muslimat. Dilema tersebut juga dialami Munjidah ketika ia pamit untuk meninggalkan kepemimpinannya dari Muslimat karena telah menjabat selama 3 periode, justru ditanggapi dengan tangisan oleh para anggotanya. Mereka merasa bahwa pemimpinnya di dholimi oleh sistem sehingga tidak boleh memimpin Muslimat kembali meski semua anggota masih menghendakinya. Dirunut sejarahnya, bakat kepemimpinan Munjidah di masyarakat menurun dari kedua orang tuanya. Ayahnya KH Wahab tertulis dalam sejarah sejarah sebagai seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama dengan pemikiran moderat. Media dakwah berupa surat kabar dan media massa diperkenalkan pertama kali oleh KH Wahab Hasbullah. Di bawah kepemimpinannya, NU ketika itu mendirikan media massa bernama harian umum “Soeara Nahdlatul Oelama” atau Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama. Dalam kesaksian Munjidah, alm ayahnya dikenal putra-putrinya sebagai aktifis sosial-politik dan pendidik masyarakat yang ulet. Pada masa awal kemerdekaan, KH Wahab Hasbullah telah mendorong partisipasi perempuan terlibat dalam kegiatan sosial politik. Bahkan kronologis berdirinya Muslimat sebagai sayap organisasi perempuan NU juga tak lepas dari pemikiran KH Wahab Hasbullah. Di lingkungan keluarga KH Wahab Hasbullah sangat tekun dalam mendidik kaum perempuan NU aktif dalam kegiatan sosial sebagai manifestasi ibadah kepada Allah SWT. Ketika Ibu Nyai Wahab memimpin Muslimat NU Jombang, KH Wahab mengambil peran sebagai juru tulis dan pembuat konsep pidato pada acara pengajian Muslimat. Bahkan ketika NU menggelar Muktamar, KH Wahab Hasbullah mengikut sertakan semua putra-putrinya hadir di arena. Dengan keterbatasan fasilitas Muktamar, KH Wahab sekeluarga membawa karpet yang digunakan sebagai alas tidur bagi semua putra-putrinya. Interaksi sosial KH Wahab yang dekat dengan medan perjuangan inilah yang kemudian turut mendekatkan putra-putrinya dengan masyarakat. Munjidah mulai terlibat aktif dalam kegiatan sosial ketika masih duduk di bangku mualimat. Ketika kepengurusan IPPNU mengalami kefakuman, Munjidah mengambil alih kepemimpinan IPPNU Jombang. Kebijakan organisasi pertama yang dilakukan Munjidah adalah mendirikan kepengurusan IPPNU dari tingkat kecamatan (Pengurus Anak Cabang) sampai tingkat desa (Pengurus Ranting). Sukses di IPPNU membawa Nyai Munjidah memperoleh amanah memimpin Fatayat NU dan kemudian secara berturut-turut selama tiga periode memimpin Muslimat NU Cabang Jombang. Performance Nyai Munjidah yang ramah dan budi pekertinya yang halus membuatnya mudah masuk ke dalam masyarakat pedesaan di Jombang. Masyarakat desa sebagai basis Muslimat NU merasakan perhatiannya yang tulus. Hampir semua program dan kegiatan Muslimat NU yang dipimpinnya adalah kegiatan yang menjawab permasalahan masyarakat. Masyarakat miskin misalnya tersentuh dengan adanya kegiatan rutin bakti sosial dan pelayanan BKIA secara cuma-cuma. Semua kegiatan sosial dan pendidikan yang dilakukan oleh Munjidah di masyarakat menggunakan medium pengajian. Pengajian juga menjadi medium yang dapat mensukseskan program KB di pedesaan ketika banyak masyarakat Islam saat itu sangat resisten karena menganggap KB sebagai anti natalitas yang bertentangan dengan sunnatullah.
49
Kegiatan rutin keagamaan selain pengajian mingguan, bulanan, hari besar Islam, juga terdapat pengajian tahunan yang secara rutin di gerakkan Muslimat di bawah kepemimpinan Munjidah. Di antara pengajian tahunan adalah tahlil qubro. Kegiatan ini lazimnya istighosah bersifat pengerahan massa. Ribuan warga nahdliyin berkumpul dan kirim doa kepada arwah yang telah berpulang ke rahmatullah. Untuk kegiatan tersebut, Nyai Munjidah mengumpulkan dana dari iuran anggota. Besaran iuran tahun 1990-an adalah Rp. 500/anggota. Dari dana iuran yang terkumpul digunakan untuk sewa kursi, sedangkan sisanya ketika itu sebesar Rp. 18 juta dimanfaatkan untuk pendirian Panti Asuhan. Kesuksesan dalam menggerakkan partisipasi anggota didasarkan oleh besarnya motivasi yang disampaikan Munjidah kepada para anggotanya. Motivasi yang sifatnya transenden bahwa di dalam iuran yang dikeluarkan oleh masingmasing anggota (untuk kegiatan) terdapat doa para jama‟ah tahlil qubro kepada para arwah leluhur jama‟ah itu sendiri. Selain itu iuran anggota yang besarannya tidak seberapa itu juga memiliki nilai ibadah karena digunakan untuk kegiatan sosial keagamaan. Animo besar para anggota dalam setiap kegiatan pengajian karena didasarkan niat ibadah sehingga ngajinya mendapat pahala, dan iurannya pun juga merupakan amal jariyah untuk kemaslahatan umat. Gerakan sosial yang transenden di atas secara otomatis menggerakkan warga masyarakat meski tanpa iming-iming gaji dan bentuk reward lainnya. Mereka tergerak aktif dalam kegiatan sosial dengan niat ibadah. Ketika para anggota dan pengurus Muslimat lemah motivasinya, Munjidah tidak memberikan sangsi namun justru menyegarkan semangat para anggotanya. Dilihat dari gaya kepemimpinannya, Munjidah lebih condong kepada gaya kepemimpinan transformasional. Gaya kepemimpinan transformasional terlihat dari bagaimana Munjidah memotivasi para pengurusnya untuk “ibda‟ bin nabsi” dalam melakukan pengabdian di masyarakat. Pembangunan karakter dan moral masyarakat terlihat dari misi dakwah Munjidah. Dakwah sebagai kewajiban setiap hamba beriman (ballighu anni walau ayyah) telah terinternalisasi dalam diri dan menjiwai Munjidah dalam setiap aktifitasnya sejak masa kanak-kanak. Internalisasi nilai dakwah ini terjawantahkan dalam kepemimpinannya yang selalu membangun karakter dan nilai-nilai agama masyarakat. Misi dakwah pertama kali di sampaikan Munjidah kepada para pengurus Muslimat agar senantiasa memberi contoh teladan kepada anggota Muslimat. Penekanan “ibda‟ bin nabsi” (suri tauladan) ini adalah kata kunci dalam menjalankan kegiatan Muslimat di Masyarakat. Munjidah memberi contoh kepada para pengurusnya bagaimana caranya memberi contoh kepada anggota Muslimat di masyarakat. Dengan ibda‟ binnabsi partisipasi aktif anggota dalam setiap kegiatan Muslimat dengan sendirinya tercipta karena dua hal. Pertama, para anggota merasa rugi tidak mendapat pahala ibadah ngaji (menuntut ilmu) jika mereka tidak hadir dalam kegiatan Muslimat. Kedua, para anggota merasa malu tidak aktif berpartisipasi karena hal tersebut dicontohkan oleh para pemimpin mereka di Muslimat. Dengan berpegang pada pemahaman “ibda binabsi” tersebut, kehadiran Munjidah di masyarakat telah menstimulasi para anggota Muslimat menjadi pribadi yang selalu sadar untuk beramal sholeh sebagai bekal kelak di hari akhir. Dalam konteks sosial dengan menerapkan ibda binnabsi, kehadiran Munjidah telah menstimulasi pengurus dan anggota menjadi pribadi yang aktif, kreatif, dan
50
inovatif dalam menghadapi permasalahan sosial yang mengglobal. Munjidah mendorong para pengurus di tingkat Pimpinan Anak Cabang (Kecamatan) dan Pimpinan Ranting (desa) menjadi pribadi yang senantiasa mengoptimalkan anugerah Allah berupa akal budi yang produktif. Dari upayanya menggerakkan partisipasi anggota masyarakat dalam kegiatan sosial terlihat bagaimana besarnya cita-cita Munjidah terhadap keberlangsungan organisasi dalam upayanya mensejahterakan rakyat. Iuran anggota dalam acara tahlilan qubro tiap tahun digunakan untuk membangun fasilitas publik. Belum lama ini pada tahun 2010 Muslimat di bawah kepemimpinan Munjidah membangun rumah sakit NU. Layanan Muslimat selain bidang kesehatan yang selama ini sudah ada di masyarakat antara lain bidang pendidikan anak usia dini (melalui TK, TPA dan RA/BA), bidang dakwah (pengajian, majlis taklim dan bimbingan ibdah haji) serta bidang ekonomi melalui sentra koperasi pedesaan. Munjidah berencana membangun kantor Muslimat tingkat PAC secara permanen. Pembangunan kantor tersebut juga diambilkan dari iuran anggota dan wakaf tanah anggota. Dengan gaya transformasi dalam kepemimpinan Munjidah menjadikan pemerintah dan Pimpinan Pusat Muslimat NU menunjuk Pimpinan Cabang Muslimat Jombang sebagai pilot project gerakan Penanaman Pohon dalam program Kecil Menanam, Dewasa Memanen. Munjidah mengoptimalkan peran layanan Muslimat seperti majlis taklim dan pondok pesantren dalam menggerakkan anggota Muslimat yang nota bene adalah masyarakat pedesaan. Muslimat NU Jombang memiliki kegiatan rutin (disebut rutinan) setiap minggu yakni menyelenggarakan pengajian. Pengajian ini ada di setiap desa dan dusun. Di antara pengajian tersebut antara lain Jam‟iyah Yasinan, Jam‟iyah Khotmil Qur‟an, Jam‟iyah Sholawat Nariyah, Jam‟iyah Berjanji, Jam‟iyah Fida‟, Jam‟iyah Manakib, Pengajian Muslimat NU dan Pengajian Kitab Tafsir. Masingmasing pengajian memiliki ustadz dan diselenggarakan di hari yang berbeda sehingga bisa dihadiri oleh semua anggota Muslimat. Dalam kegiatan pengajian selain diisi oleh tausiyah atau ceramah agama dan pelajaran agama juga digunakan oleh Munjidah dan pengurus Muslimat Jombang untuk mensosialisasikan program Penanaman Pohon. Munjidah motivasi agar anggota Muslimat ikut berpartisipasi aktif dalam gerakan menanam karena pohon memiliki nilai ekonomi dan sumber oksigen. Jika pohon-pohon ini besar maka pohon tersebut dapat digunakan untuk biaya sekolah anak. Konflik Laten Dalam Program Penanaman Pohon Program Penanaman Pohon kerjasama Muslimat NU dengan Kementrian Kehutanan telah menciptakan konflik laten dalam organisasi Muslimat NU. Dari observasi dan penelitian terlibat penulis dalam Muslimat NU, akar konflik berasal dari timpangnya koordinasi antara pelaksana program Penanaman Pohon dengan pimpinan pusat Muslimat NU dalam hal ini antara Mahsusoh dengan Khofifah. Mahsusoh sebagai pelaksana program Penanaman Pohon dalam struktur Pimpinan Pusat Muslimat NU merupakan Ketua 1 yang membidangi pendidikan, merangkap juga sebagai Ketua Yayasan Pendidikan Muslimat NU. Posisi Mahsusoh sebagai Ketua Yayasan Pendidikan Muslimat NU (YPM NU) membawa implikasi pada kebijakan dalam penyusunan tim gerakan Penanaman
51
Pohon sehingga wajah program yang ditampilkan berbentuk eksklusifitas kelompok YPM NU sehingga menimbulkan semacam “sub kekuasaan” dalam tubuh Muslimat NU. Kiprah dan gerakan YPM NU yang sangat dinamis sebagai pelaksana gerakan Penanaman Pohon membawa kesenjangan pada Pimpinan Pusat Muslimat NU sebagai organisasi induk yang kemudian “terkesan” minim program. Apalagi posisi Mahsusoh sebagai Anggota DPR-RI Komisi IV memudahkannya dalam melakukan jejaring dengan Kementrian maupun lembaga Negara non Kementrian dalam menyerap aspirasi yang secara operasional berbentuk program pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Sebagai pribadi wakil wakyat dan juga sebagai istri pimpinan MPR RI ketika itu (Bapak Tosari Widjaja), memposisikan Mahsusoh memiliki akses yang besar terhadap program kemitraan yang menggunakan dana APBN di bandingkan dengan Ketua Yayasan lain28 dalam organisasi Muslimat NU. Program-program kemitraan dengan pemerintah diadopsi dalam wadah YPM NU. Dari pemaparan di atas, ada dua variabel konflik muncul di Muslimat NU. Varibel pertama diangkatnya Mahsusoh sebagai ketua tim program Penanaman Pohon Muslimat NU yang semula diharapkan dapat mensinergikan antara posisi Mahsusoh sebagai Pengurus Muslimat NU dengan posisinya sebagai DPR RI, rupanya dua posisi yang melekat tersebut justru menimbulkan “kekuasaan baru” di tubuh Muslimat NU yakni menjadikan YPM NU pimpinan Mahsusoh lebih dinamis ketimbang Pimpinan Pusat Muslimat NU itu sendiri. Kesimpulan ini agaknya sepihak berasal dari sudut pandang Pimpinan Pusat Muslimat NU dan pada posisi ini penulis kesulitan melakukan triangulasi sumber data karena pada saat penelitian berlangsung Mahsusoh telah meninggal dunia dan tidak ada satupun pengurus YPM NU yang bersedia memberikan keterangan tentang akar konflik dalam tubuh Muslimat. Variabel kedua, adanya perpecahan di tubuh Muslimat NU yakni antara Pimpinan Pusat Muslimat NU dengan YPM NU sebagai perangkat kerja Muslimat NU. Perpecahan yang terjadi di pimpinan pusat membawa implikasi pada perpecahan di tingkat cabang (Kabupaten) dan anak cabang (kecamatan) khususnya dalam organisasi Muslimat NU yang memiliki layanan pendidikan seperti TK/RA, TPA, TPQ dan Pendidikan Anak Usia Dini Lainnya. Di balik konflik yang terjadi antara YPM NU pimpinan Mahsusoh dengan Pimpinan Pusat Muslimat NU sebenarnya akarnya adalah soal akses dan kontrol terhadap pohon yang bibitnya diperoleh dari pemerintah. Tidak adanya ketentuan baku dari Kementrian Kehutanan tentang distribusi bibit sehingga penentuan distribusi hanya berdasarkan luas lahan milik pribadi membawa kecemburuan di antara anggota Pimpinan Pusat Muslimat NU. Mahsusoh yang banyak mendistribusikan bibit di Madiun yakni Daerah Pemilihan asal Mahsusoh menjadi anggota DPR RI melahirkan bibit-bibit kecemburuan di antara para pimpinan Muslimat NU. Pada ranah ini penulis melihat adanya bias pemahaman para pimpinan Muslimat NU terhadap “kekuasaan” yang melekat pada Mahsusoh sebagai bagian kepemimpinan Muslimat NU di satu sisi, dan juga “kekuasaan” yang melekat dalam diri Mahsusoh sebagai anggota DPR-RI yang memiliki tugas 28
Muslimat NU memiliki perangkat kerja berupa 5 yayasan berbada hukum antara lain Yayasan Pendidikan Muslimat NU, Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU, Yayasan Haji Muslimat NU, Yayasan Himpunan Dai‟yah dan Majlis Taklim Muslimat NU serta Induk Koperasi An-Nisa
52
dan fungsi untuk menyerap aspirasi dari daerah pemilihan. Para pimpinan Muslimat NU menilai bahwa Mahsusoh telah melangkah terlalu jauh dari kewenangannya sebagai ketua tim program Penanaman Pohon Muslimat NU dan dianggap telah menyalah gunakan kewenangan tersebut untuk kepentingan pribadi (di daerah pemilihannya) dan juga kepentingan kelompok (YPM NU). Padahal sebagai anggota DPR RI, apa yang dilakukan Mahsusoh di daerah pemilihannya bukanlah suatu kesalahan, justru kiprah Mahsusoh di masyarakat dengan adanya program penghijauan merupakan bukti ia telah bekerja untuk konstituen dari daerah pemilihannya. Yies Sa‟diyah Ma‟sum (Sekretaris Umum PP Muslimat NU periode 2005-2010) menyatakan “Ibu Khofifah pernah cerita kalau kita jalan-jalan ke Madiun maka sepanjang jalan akan kita dapati jati emas. Itulah milik bu Susi (panggilan Mahsusoh)” Penyulut konflik dalam pandangan penulis sebenarnya berasal dari hal-hal sepele seperti adanya anggota Pimpinan Muslimat NU yang merasa “tidak diorangkan” oleh tim gerakan Penanaman Pohon pada saat kegiatan seremonial Launching Program Kecil Menanam, Dewasa Memanen pada tahun 2006 di Jombang Jawa Timur. Kronologisnya, ketika tim pimpinan Muslimat tiba di Bandar Udara Juanda Surabaya tidak ada satu tim program Penanaman Pohon yang menjemput. Mobil jemputan milik Ketua Pimpinan Cabang Muslimat NU Jombang digunakan untuk mengantar jemput tim program Penanaman Pohon ke lokasi acara sehingga rombongan pimpinan Muslimat (yang bukan anggota tim) merasa ditelantarkan sehingga berakibat tidak harmonisnya komunikasi antara anggota tim dengan pimpinan Muslimat yang bukan anggota tim. Sebagai bagian dari Muslimat NU, pengurus Yayasan Pendidikan Muslimat dianggap telah menjadi kelompok yang tidak lagi setia dengan organisasi induk dengan tidak memberikan penghormatan kepada jajaran Pimpinan Pusat Muslimat NU ketika acara seremonial gerakan penanaman pohon tersebut dilakukan. Imbas konflik dalam kegiatan Launching Program Kecil Menanam, Dewasa Memanen pada tahun 2006 di Jombang tersebut berlangsung selama 8 tahun lamanya (2006-2012). Konflik yang awal mulanya bersifat sepele dan sangat pribadi antara Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU yang merasa tidak adanya koordinasi Ketua Tim Gerakan Penanaman Pohon dengan Ketua YPM NU itu kemudian merembet pada konflik organisasi yakni keluarnya YPM NU dalam organisasi Muslimat NU29. Hubungan tidak harmonis antara dua pimpinan Muslimat NU berpengaruh kepada kinerja YPM NU yang memiliki layanan 9800 TK/RA, 14.350 TPQ, 14.350 tempat Pendidikan Anak Usia Dini, 1500 PKBM (Pusat Kelompok Belajar Masyarakat) dan 2223 Kelompok Bermain yang tersebar seluruh Indonesia. Pada saat Rapat Tahunan Yayasan pada tanggal 5 September 2012, banyak satuan kerja YPM NU di daerah yang vakum. Ketika hasil 29
Keluarnya YPM NU dari organisasi Muslimat NU hanya berjalan 1 tahun dengan diterbitkannya akta perubahan dari Yayasan Pendidikan Muslimat NU Bina Bakti Wanita Pusat menjadi Yayasan Bina Bakti Wanita Pusat pada tahun 2010. Tidak tercantumnya “Pendidikan Muslimat NU” yang berarti bahwa yayasan tidak lagi menginduk pada organisasi Muslimat NU membawa dinamika di tubuh dewan penasehat sehingga pada tahun 2011 dengan fasilitasi Dewan Penasehat Muslimat NU (yang merupakan Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU) dirumuskan kembali pencarian solusi dari konflik yang terjadi. Pada tahun 2011, pengurus YPM NU melakukan perubahan akta notaries dengan mengembalikan nama seperti semula. Kembalinya nama “pendidikan Muslimat NU” dalam akta perubahan tidak membuat hubungan kembali harmonis. Situasi ini berlangsung sampai Mahsusoh meninggal dunia di Maroko.
53
penelitian ini ditulis, pihak Pimpinan Pusat Muslimat NU dan pihak YPM NU tengah melakukan koordinasi merumuskan hubungan Muslimat NU dengan yayasan dalam acara Rapat Kerja Pimpinan Pusat Muslimat NU dengan Yayasan pada 19-20 Oktober 2012. Dalam acara tersebut, pihak-pihak yang diundang tak hanya Badan Pengurus YPM NU namun juga melibatkan YKM NU, YHM NU dan Yayasan Hidmat NU.
V KEPEMIMPINAN SIKIB DALAM GERAKAN PENANAMAN POHON
Sejarah Perkembangan dan Kepemimpinan Perempuan Sejarah Perkembangan SIKIB Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB) adalah sebuah organisasi yang beranggotakan istri para menteri dan pejabat tinggi Negara dalam kabinet yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Organisasi ini berdiri pada 28 Desember 2004 sebagai wujud kepedulian Ani Yudhoyono terhadap kondisi bangsa Indonesia yang ketika itu tengah dilanda bencana tsunami di Propinsi Banda Aceh.Sebagaimana tertuang dalam dokumen kelembagaan, SIKIB berdiri sebagai wujud tanggung jawab sosial para istri menteri dan pejabat tinggi Negara yang melihat posisi perempuan sebagai kelompok strategis, harus memiliki peran di berbagai sektor kehidupan sosial berbangsa dan bernegara. Wujud dan kiprah SIKIB dalam turut serta dalam pembangunan tercantum dalam lima pilar SIKIB yakni Indonesia Pintar, Indonesia Peduli, Indonesia Hijau, Indonesia Kreatif dan Indonesia Sehat. Kelima pilar tersebut bermuara pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Kelahiran SIKIB memiliki keterkaitan dengan kepemimpinan nasional NKRI di bawah komando Susilo Bambang Yudhoyono. Nama “Kabinet Indonesia Bersatu” yang melekat dalam nama organisasi SIKIB membatasi organisasi ini menjadi semacam organisasi paguyuban, perkumpulan dan organisasi primordial yang eksklusif dan menutup kaum perempuan di luar lingkungan istri menteri dan pejabat tinggi negara sebagai anggota30. Sebagai sub ordinat dari jabatan para suami, SIKIB menjalankan misi utama mensukseskan pelaksanaan program Kabinet Indonesia Bersatu. Kegiatan-kegiatan SIKIB terpolakan dalam lima pilar antara lain Pilar Indonesia Pintar, Indonesia Peduli, Indonesia Hijau, Indonesia Kreatif dan Indonesia Sehat. Pilar Indonesia Pintar SIKIB pada tahun 2010 tepatnya pada 7 Juli 2010 bersama-sama dengan UNESCO menyelenggarakan Sidang Umum Pertama Forum Parlemen Asia Pasifik untuk Pendidikan. Tujuan adanya forum 30
Menempatkan SIKIB sebagai sub ordinat organisasi Negara yakni sub ordinat dari Kabinet Indonesia Bersatu dalam pandangan penulis kurang tepat karena di satu sisi Kabinet Indonesia Bersatu merupakan lembaga eksekutif yang menjalankan roda pemerintahan Negara kesatuan Republik Indonesia, di biayai oleh APBN sedangkan SIKIB di sisi lain menjadi semacam NGO yang tidak memiliki keterkaitan dengan pemerintahan meskipun tak bisa dipungkiri dalam menjalankan roda organisasi SIKIB juga banyak menggunakan anggaran APBN. Seperti misalnya SIKIB berkantor di Jalan Teuku Umar No 10-12 Menteng Jakarta Pusat yang merupakan asset Sekretariat Negara Republik Indonesia.
54
dan rangkaian program Pilar Indonesia Pintar SIKIB kelihatan berpihak kepada masyarakat dengan membuka akses pendidikan yang murah, bermutu dan merata bagi rakyat miskin namun jika ditelaah secara mendalam dari upaya yang dilakukan SIKIB dalam mencapai tujuan tersebut ibarat jauh panggang daripada api.Jika dilihat dari kegiatan-kegiatan SIKIB semua polanya memiliki keterkaitan dengan pencapaian pembangunan milinium (MDG‟s), terlebih Indonesia kini mendapat giliran sebagai pemimpin Negara-negara ASEAN. Semua kegiatan pilar Indonesia Pintar SIKIB bersifat seremonial seperti program mobil pintar, motor pintar, rumah pintar dan kapal pintar. Dari hasil penelusuran studi literature yang penulis lakukan, kegiatan SIKIB yang tersistem di mana pelaksanaannya mengedepankan sisi seremonial adalah program Pilar Indonesia Pintar sedangkan program pilar-pilar lainnya dilakukan bersamaan dengan kegiatan masyarakat (sub kegiatan) dan kegiatan tersebut di klaim sebagai kegiatan SIKIB. Program Pilar Indonesia Sehat dilakukan bersama dengan LPPM UGM di mana perannya di lapangan banyak dilakukan oleh mahasiswa UGM yang tengah menjalankan KKN. Kegiatan yang telah dilaksanakan dalam Pilar Indonesia Sehat antara lain mengembangkan Posyandu Balita, Posyandu Lansia, Pengobatan Keliling dengan Mobil Sehat, Pelayanan KB, Penyuluhan Kesehatan, Bina Keluarga Balita, pengembangan peran PKK dan penanggulangan Pasca Cikungunya. Pilar Indonesia Kreatif SIKIB bersama LPPM UGM dijalankan dengan mengembangkan program Pendampingan Kerajinan Bambu, Pengolahan Gula Kelapa, Pengolahan Kakao, Pengolahan Temulawak, Kerajinan Pande Besi, Koperasi Simpan Pinjam, Pendampingan dan Pengembangan Teknologi Tepat Guna dan Kewirausahaan. Pilar Indonesia Hijau SIKIB bersama LPPM UGM dijalankan melalui Reboisasi dengan penanaman tanaman produksi, pendampingan Kelompok Wanita Tani (KWT), pendampingan Kelompok Tani (KT Sukatani I dan II, Sumber Mulyo, Andini, Ngupoyo Bugo), Kelompok Pembibitan, Pendampingan Kelompok Pengelola Kolam Ikan (Mina Tirta) dan program pengelolaan kompos dan sampah organik. Pilar Indonesia Peduli SIKIB bersama LPPM UGM mengembangkan Desa Tangguh, Pelatihan Keselamatan Kerja Penderes Nira, Penguatan Karang Taruna, Pengembangan Seni Budaya Lokal “Gamelan, Jathilan, Kethoprak” dan pengembangan budaya rebana atau hadroh atau qosidahan. Sebagai kepanjang tanganan lembaga eksekutif, kepemimpinan perempuan dalam organisasi SIKIB dengan sendirinya cenderung pada tipe kepemimpinan transaksional.Dalam analisis kepemimpinan transaksional, kegiatan-kegiatan SIKIB dianggap efektif jika dapat memenuhi target sebagaimana ditetapkan oleh lembaga birokrasi dalam hal ini Kabinet Indonesia Bersatu. SIKIB menjadi kepanjang tanganan program Kabinet Indonesia Bersatu yang secara sistemik dan structural memiliki mekanisme yang baku dalam menyusun, melaksanakan dan mengevaluasi program-program pembangunan dan SIKIB terikat dalam transaksi di dalamnya. Terbentuknya SIKIB jelas merupakan kontrak atau transaksi sosial dalam hal ini antara Ani Yudhoyonoyang posisinya melekat sebagai istri Presiden dengan para istri menteri (Kabinet Indonesia Bersatu) untuk turut berperan serta dalam mensukseskan program pembangunan Kabinet Indonesia
55
Bersatu.Hubungan di antara Ibu Ani sebagai pelopor terbentuknya SIKIB dengan para anggota SIKIB terikat oleh adanya transaksi untuk mensukseskan programprogram pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu.Sebelum pembentukan SIKIB, masing-masing anggota dan pengurus SIKIB merupakan pribadi yang memiliki tujuan, kebutuhan dan kepentingan sendiri. SIKIB memiliki struktur pengurus hanya di tingkat pusat Negara Kesatuan Republik Indonesia, di daerah SIKIB tidak memiliki struktur dan juga tidak memiliki anggota.Dalam menjalankan program kerja dan untuk dapat bersinergi dengan masyarakat di tingkat akar rumput atau kelompok masyarakat seperti Ormas, SIKIB berkoordinasi dengan Kementrian Dalam Negeri melalui istri Menteri Dalam Negeri.Koordinasi dengan Kementrian Dalam Negeri bagi SIKIB memiliki efektifitas karena Kementrian tersebut punya jalur instruksi kepada pemerintahan di tingkat propinsi, Kabupaten/Kota sampai tingkat kecamatan.Dalam rangka memudahkan koordinasi dengan Kementrian Dalam Negeri, SIKIB menempatkan Istri Menteri Dalam Negeri sebagai Ketua SIKIB.Murniati Widodo AS, Ketua Umum SIKIB (Istri Menteri Dalam Negeri) menyatakan : “Meskipun organisasi kami berada di pusat namun kami tetap memiliki akses ke daerah. Dengan demikian kami tetap dapat memberi motivasi kepada pimpinan daerah untuk berbagai kegiatan termasuk lebih concern kepada kegiatan penyelamatan dan pemeliharaan lingkungan hidup”
Mengacu pada konsepsi kepemimpinan transaksional di mana anggota dapat digerakkan dengan adanya transaksi bernama “reward atau imbalan” yang sebagian besar berupa “upah” kerja atau “status sosial”, dalam kepemimpinan SIKIB justru keduanya tidak berlaku. Transaksi antara anggota dan pemimpinnya tidak berdasarkan pada dua hal tersebut.Anggota dalam hal ini yang juga merangkap menjadi pengurus SIKIB turut berperan serta karena memiliki ikatan pernikahan dengan posisi suami sebagai menteri Kabinet Indonesia Bersatu.Keterlibatan seseorang dalam organisasi SIKIB karena memiliki keterkaitan dalam posisinya sebagai istri Menteri dan pejabat tinggi Negara dalam Kabinet Indonesia Bersatu.Dengan demikian transaksi dan kontrak sosial dalam kepemimpinan SIKIB lebih berdasarkan pada posisi pengurus SIKIB yang bersifat subordinat dengan posisi suami yang menjabat dalam struktur Kabinet Indonesia Bersatu.Para menteri dan pejabat tinggi Negara dalam pandangan penulis terlebih dahulu melakukan transaksi dan kontrak sosial dengan pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu dan kemudian dilanjutkan dengan kontrak sosial para istri menteri Kabinet. Sumber Lahirnya Pemimpin SIKIB Jika di Muslimat NU kepemimpinan dipegang oleh figur yang menjabat sebagai Ketua Umum yakni Khofifah Indar Parawansa yang pemilihannya melalui sistem dan mekanisme organisasi Kongres, di SIKIB justru sebaliknya, posisi Ani Yudhoyono sebagai Ibu Negara dijadikan simbol dalam gerakan tanam. Posisi Ani Yudhoyono dalam gerakan menanam pohon hanya sebatas simbol.Ani Yudhoyono hanya ditampilkan sebagai simbol gerakan penanaman pohon yang dilaksanakan secara serentak se-Indonesia setiap tanggal 1 desember. Simbolitas Ani Yudhoyono tidak melekat pada kelembagaan SIKIB semata, namun melekat pada Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara (GPTP) Pohon
56
yang di nahkodai oleh 7 organisasi perempuan di mana SIKIB menjadi bagian di dalamnya, antara lain SIKIB, KOWANI, Dharma Wanita, TP PKK, Bhayangkari, Dharma Pertiwi dan APPB. Gerakan penanaman pohon SIKIB berada di dalam koordinasi Pilar Indonesia Hijau. Penyusunan struktur kepengurusan SIKIB juga berada dalam kewenangan Ani Yudoyono. Kepemimpinan program Indonesia Hijau yang memiliki fungsi sebagai pelaksana gerakan hijau SIKIB strukturnya juga dibentuk atas usulan dan persetujuan Ani Yudoyono. Setelah pembentukan SIKIB, posisi sebagai ketua Indonesia Hijau SIKIB dipegang oleh Erna Witoelar sebagaimana dinyatakannya : “Jadi kedekatan suami saya dengan SBY-JK waktu kampanye membuat saya dekat dengan Ibu Ani.Ketika terbentuk kabinet, saya sebagai istrinya Bapak termasuk anggota SIKIB sehingga kalau urusan lingkungan bu Ani langsung tunjuk saya.Waktu di Aceh (belum ada SIKIB), waktu itu hancur-hancuran semuanya, ya pertaniannya, ya bakaunya jadi kami memprioritaskan penanaman bakau.Kemudian bu Ani menunjuk saya sebagai Koordinator Indonesia Hijau SIKIB”.
Terbentuknya SIKIB beserta struktur kepengurusan SIKIB tak lepas dari posisi dan peran Ani Yudhoyono sebagai Ibu Negara.Dalam struktur SIKIB, Ani Yudhoyono menempati posisi sebagai Pembina.Gerakan penanaman pohon dilaksanakan oleh manajemen Pilar Indonesia Hijau SIKIB yang diketuai oleh Erna Witoelar.Dalam gerakan penanaman pohon, posisi Ani Yudhoyono tidak hanya melekat pada SIKIB namun juga menjadi symbol dari Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara (GPTP) Pohon yang dilaksanakan oleh tujug organisasi. Atas dasar pemikiran itulah, dalam studi ini Ani Yudhoyono tidak dibahas secara detil tentang kiprah kepemimpinannya dalam gerakan penanaman pohon SIKIB. Pembahasan kepemimpinan penanaman pohon SIKIB dalam studi ini difokuskan pada kepemimpinan Erna Witoelar. Posisi Erna Witoelar sebagai istri Menteri Lingkungan Hidup Kabinet Indonesia Bersatu masa bakti 2004-2009 dalam pernyataan di atas seolah-olah menjadi pertimbangan utama dalam pengangkatannya sebagai ketua Indonesia Hijau SIKIB. Faktor kedekatan secara emosi yang dalam kasus ini kedekatan antara Ani Yudoyono dan Erna Witoelar juga menjadi pertimbangan dalam menentukan posisi pemimpin Indonesia Hijau SIKIB. Dari keterangan Erna Witoelar, persahabatan antara suaminya Rahmat Witoelar dengan Susilo Bambang Yudoyono sudah terjalin pada saat keduanya bertugas di Moscow di mana ketika itu Rahmat Witoelar menjabat sebagai Duta Besar Indonesia.Saat pencalonan Susilo Bambang Yudoyono sebagai Presiden pada Pemilu 2004, Rahmat Witoelar menjadi penasehat SBY yang ikut serta dalam menentukan Calon Wakil Presiden. Proses pengangkatan Rahmat Witoelar sebagai Menteri Lingkungan Hidup pertama kali diusulkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan pertimbangan bahwa urusan lingkungan hidup yang kini rusak tidak hanya urusan teknis mikro biologi yang berkaitan dengan ilmu hayat, namun juga urusan politik yang permasalahannya banyak diselesaikan melalui keputusan politik. Jusuf Kalla ketika itu sebagai Ketua Golkar melihat Rahmat Witoelar yang pernah menjabat sebagai Sekjend Golkar memiliki kemampuan komunikasi dan loby politik yang dapat dioptimalkan untuk menyelesaikan masalah lingkungan. Erna Witoelar (Ketua Indonesia Hijau SIKIB) menyatakan :
57
“Beliau (Rahmat Witoelar) dekat dengan SBY sehingga menjadi semacam penasehat waktu jadi Capres, ditugaskan mencari calon Wapres.Sempat Caknur dan sebagainya.Dan akhirnya bapak (Rahmat Witoelar) yang menyambungkan SBY dengan JK.Jadi beliau memang dalam sistem politik itu. Ketua tim suksesnya SBY-JK ya otomatis jadi menteri di kabinet".
Dalam rekam jejak kehidupan Erna Witoelar, ia bukan tokoh baru dalam gerakan lingkungan. Sejak kuliah di ITB, Erna aktif dalam kegiatan sosial.Erna merupakan perempuan pertama yang terpilih sebagai Ketua Perhimpunan Mahasiswa ITB. Bakat kepemimpinan dan tanggung jawab sosial Erna telah terasah sejak ia masih kecil di mana kedua orang tuanya memberi tanggung jawab untuk mengelola keuangan keluarga. Sejak kelas 1 SD, Erna mendapat tugas rutin dari orang tuanya untuk membayar listrik dan tagihan air.Sejak kelas 1 SD sampai SMA Erna selalu menempati posisi sebagai ketua kelas. Ayah Erna seorang hakim yang sering ditempatkan dinas di berbagai kota. Kepindahan dinas sang ayah dari satu kota ke kota lain seperti Surabaya, Bandung, Makasar dan Jakarta membuat Erna tumbuh dalam lingkungan sosial yang heterogen sehingga membentuk jiwa dan kepemimpinannya yang luwes dengan beragam situasisocial (tabel 7). Hobi Erna ketika kecil adalah menyelam di dasar laut.Dari hobinya tersebut Erna memiliki keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan dasar laut yang banyak dipenuhi oleh sampah.Lulus kuliah dari jurusan Teknologi Kimia ITB, Erna bergabung dengan Lembaga Konsumen. Sebelum aktif dalam lembaga konsumen, Erna sempat menjadi kerja di Biro Konsultan namun karena banyaknya data yang dimanipulasi, jiwanya memberontak.Bergabungnya Erna di lembaga konsumen telah menciptakan konsep baru di bidang penelitian, survey barang dan jasa.Pada tahun 1978 Erna di angkat sebagai Ketua Lembaga Konsumen di mana ketika itu animo masyarakat sebagai konsumen sangat tinggi dalam melaporkan pencemaran lingkungan akibat industrialisasi. Pengaduan konsumen terhadap pencemaran lingkungan mendorong lembaga konsumen membentuk kelompok 7 yang membahas tentang pengembangan lingkungan sebagai bagian dari bidang kerja Lembaga Konsumen di mana Erna menjadi salah satu anggota kelompok tersebut.Pada tahun 1980 Erna bersama 10 organisasi mendirikan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI). Kepedulian Erna pada persoalan lingkungan sebagai masalah yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengedepankan sisi teknis-teknokratis namun juga harus mempertimbangkan faktor sosial-politik kian terasah ketika ia menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif WALHI dan juga Direktur Eksekutif WALHI selama dua periode 1980-1986. Pada fase ini kepemimpinan Erna dipengaruhi oleh pemikiran kiri-marxis dengan banyak mempermasalahkan pihak perusahaan yang banyak mengeksploitasi lingkungan.Gerakan lingkungan di bawah kepemimpinannya banyak melakukan advokasi lingkungan.Erna menjalin kerjasama dengan organisasi lingkungan di tingkat lokal untuk menggerakkan partisipasi masyarakat dalam upaya penyelematan lingkungan.Erna memahami dalam sebuah gerakan sosial harus bekerja secara bersama-sama semua unsur di masyarakat. Ketika LSM lingkungan di akar rumput mendapat kesulitan masalah dana dalam menggerakkan roda organisasi, Erna bersama WALHI memfasilitasi terbentuknya organisasi Dana Mitra Lingkungan. Organisasi tersebut berfungsi sebagai wadah untuk mendukung LSM lingkungan yang letaknya jauh dari akses pemerintah dan
58
dunia usaha serta minimnya kualitas sumberdaya manusia di LSM tersebut dalam merumuskan program lingkungan dalam bentuk proposal. Pada fase tahun 80-an, kepemimpinan Erna dalam gerakan lingkungan banyak dipengaruhi oleh interaksinya dengan kelompok akademis dan aktifis sosial.Seperti program pengembangan perlindungan konsumen pedesaan, Erna menjalin kerjasama dengan (alm) KH Abdurrahman Wahid masuk lingkungan pesantren. Erna membangun kesadaran warga masyarakat akan pentingnya memelihara lingkungan bagi kehidupan yang berkelanjutan melalui pendekatan kepada para “patron” di masyarakat seperti Kyai dan tokoh masyarakat. Erna mengembangkan pemikiran bahwa kerusakan lingkungan sebagian besar disebabkan oleh ulah manusia. Lingkungan yang rusak dalam pandangan Erna sangat susah dan membutuhkan waktu, tenaga dan dana yang besar untuk mengembalikannya seperti semula seperti dalam penuturannya sebagai berikut : “Saya memang peduli mengenai kerusakan yang terjadi pada lingkungan yang tidak mudah mengembalikannya seperti semula.Sekali kita menebang pohon, untuk menanam dan memeliharanya perlu (waktu) belasan tahun. Dampak dari kerusakan lingkungan jauh lebih susah memperbaikinya. Manusia itu sangat mudah merusak lingkungan.Setiap hari semua orang merusak lingkungan, kita menghasilkan sampah, kita pakai bahan bakar, kita pakai listrik.Karena kebutuhan manusia, lingkungan dirusak.Jadi manusia yang mesti tanggung jawab”.
Pada saat menjadi Presiden Organisasi Konsumen Se-dunia, di bawah kepemimpinan Erna lembaga konsumen mengembangkan konsep Gerakan Konsumen Hijau yakni suatu gerakan kesadaran berkosumsi yang tidak hanya mempertimbangkan mutu, penampilan atau gaya hidup namun juga mempertimbangkan masalah ekologi, etika dan lingkungan hidup. Gerakan konsumen hijau dalam pemikiran Erna adalah sebuah gerakan di mana konsumen bertanggung jawab terhadap lingkungannya.Adanya kerusakan alam disebabkan oleh industrialisasi memiliki hubungan yang linier dengan adanya permintaan konsumen terhadap barang-barang yang dihasilkan dari industrialisasi tersebut.Erna Witoelar (Ketua Indonesia Hijau SIKIB) menyatakan : “Tahun 1986, gerakan konsumen hijau mendorong supaya konsumen bertanggung jawab terhadap lingkungan.Kami kampanye anti sterophon, anti plastik untuk hemat air, hemat energi.Kemudian beralih selain pemerintah dan dunia usaha, orang-perorang mesti tanggung jawab.Kami lakukan edukasi plastik itu jelek melalui siaran televisi dan sebagainya”.
Pada tahun Pemilu 1997 Erna didaulat mewakili Lembaga Konsumen menjadi anggota MPR Fraksi Utusan Golongan bersama-sama dengan (alm) KH Abdurrahman Wahid dari unsur Ormas NU.Kedekatan Erna dengan para aktifis sosial menjadi legitimasi bagi dirinya didaulat sebagai Ketua Fraksi Utusan Golongan.Jabatan politis sebagai pimpinan fraksi tersebut memudahkan Erna untuk mensosialisasikan pemikiran dan konsepnya dalam gerakan lingkungan. Kepemimpinan Erna dalam gerakan lingkungan memiliki dampak yang besar dalam peletakan konsep pembangunan berkelanjutan di Indonesia yang prasyaratnya harus mempertimbangkan lingkungan sekitarnya. Gaya kepemimpinan partisipatif yang dimiliki Erna menjadi dasar pertimbangan bagi (alm) KH Abdurrahman Wahid untuk menempatkannya sebagai bagian dari
59
anggota Kabinet Persatuan dengan jabatan sebagai Menteri Pemukiman dan Pengembangan Wilayah di bawah kepemimpinan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Pemikiran dan gerakan lingkungan Erna terungkap dari pemaparannya sebagai berikut : “Waktu Gus Dur menjadi presiden beliau meminta saya membantu sebagai Menteri Pemukiman dan Pengembangan Wilayah.Benang merah lingkungan tetap saya pelihara.Di Kementrian saya kembangkan tiga hal yakni pro poor, pro lingkungan dan pro gender.Karena saya melihat seringkali solusi PU tidak menjangkau orang miskin.Misalnya (pembangunan) jalan lebih fokus (pembangunan) jalan besar daripada jalan desa.Bendungan lebih fokus bendungan besar daripada embung yang tidak merusak lingkungan.Banyak program-program yang sekarang menjadi program PNPM itu saya rintis di PU seperti program penanggulangan kemiskinan perkotaan, infrastruktur pedesaan”.
Pemikiran dan gerakan Erna di bidang lingkungan sejak tahun 2003 mengalami evolusi. Jika di tahun 1980-an Erna memiliki sikap yang keras terhadap pihak swasta dan pemerintah yang telah mengeksploitasi lingkungan untuk tujuan kepentingan ekonomi politik nasional dengan mengabaikan kepentingan lokal, sejak tahun 2003 pemikiran Erna berubah menjadi lunak. Gerakan lingkungan dibawah pimpinan Erna di tahun 80-an yang banyak condong ke arah gerakan advokasi dengan keberpihakan kepada masyarakat akar rumput, sejak tahun 2003 juga berubah menjadi gerakan transformasi yakni sebuah gerakan lingkungan dengan melibatkan pihak-pihak yang telah merusak lingkungan. Adanya evolusi pemikiran dalam gerakan lingkungan di akui Erna Witoelar seperti dalam pernyataannya : “Jadi waktu mula-mula saya getol di organisasi lingkungan dan banyak melakukan advokasi, menyalahkan pemerintah, pemerintah kok tidak berbuat apa-apa atau dunia usaha yang mencemarkan.Demonstrasi menuntut Presiden.Di masa yang lalu saya advokasi sebagai bentuk perjuangan saya, sepuluh tahun terakhir saya lebih banyak mendorong semua pihak bertanggung jawab.Jadi memang ada evolusi dalam aktifitas saya dalam lingkungan”.
Kepemimpinan Erna yang awalnya berbentuk advokasi berubah menjadi gerakan sosial yang melibatkan pihak-pihak perusak lingkungan dalam pandangan penulis disebabkan oleh faktor sosial di mana Erna berinteraksi dalam gerakan lingkungan. Dalam rekam jejak kehidupan Erna, sejak tahun 1999 ia banyak terlibat dalam interaksi loby politik di tingkat nasional dan internasional dalam penyelesaian masalah lingkungan. Posisinya sebagai Menteri digunakannya untuk merealisasikan cita-citanya dalam membangun insfastruktur yang memiliki keterkaitan langsung dengan lingkungan. Interaksi dengan para pengambil keputusan di negeri ini, juga interaksi dengan para stake holder dan share holder dalam dunia industry memberinya warna pemikiran yang kompleks di bandingkan ketika ia masih menjadi aktifis yang pemikirannya cenderung homogen dalam hal pemberdayaan masyarakat. Erna menjabat Menteri Pemukiman dan Pengembangan Wilayah hanya dua tahun namun komunikasi dan jaringan nasional dan internasional di bidang pelestarian lingkungan telah ia rajut baik dengan kelompok swadaya masyarakat, pemerintah maupun dunia industri. Pada tahun 2003 dalam sebuah pertemuan internasional di India, Erna berjumpa dengan rekan kerjanya sesama mantan
60
menteri di Negara Belanda yang saat itu tengah aktif dalam kegiatan kampanye MDG‟s.Dalam pertemuan tersebut Erna melakukan kritik kepada PBB tentang pencapaian MDG‟s di Negara berkembang.Dalam pemikiran Erna, strategi PBB dalam kampanye pencapaian MDG‟s tidak tepat sasaran dan tidak memenuhi target disebabkan karena kampanye tersebut dilakukan oleh pihak di luar Negara berkembang. Program MDG‟s yang capaiannya ditargetkan pada tahun 2015 memiliki 8 tujuan antara lain memberantas kemiskinan dan kelaparan, pendidikan dasar untuk semua, kesetaraan gender, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan Ibu, mengurangi penyakit menular, meningkatkan kelestarian lingkungan hidup dan mengembangkan kemitraan global (Claessens dan Feijen, 2006). Selama menjabat sebagai Duta Besar MDG‟s, Erna menjalin loby-loby politik dengan perdana menteri, Presiden, wakil Presiden beserta Bappenas-nya, LSM, media massa dan dunia usaha di 49 negara Asia Pasifik untuk mensosialisasikan MGD‟s sebagai bagian prioritas pembangunan yang harus dirumuskan di Negara masing-masing Asia Pasifik. Erna Witoelar (Ketua Indonesia Hijau SIKIB) menyatakan : “MDGs itu dilaunching tahun 2000 namun tahun 2003 belum banyak di dengar makanya Koffi Anan membuat (program) Milenium Kampanye agar semua orang sadar. Saya kritik PBB, “kalian PBB jangan wara-wiri ke Negara berkembang, seolah-olah MDGS itu program PBB. Kalian meski tumbuhkan kepemilikan mengenai MDGS.Laporan MDGs jangan dibuatkan.Kalian mesti dukung Negara-negara berkembang”.Besok paginya (saat) sarapan pagi PBB bilang “tolong kami deh karena kamu dari Negara berkembang. Kami susah kampanye di Negara berkembang”.
Hubungan Erna dengan dunia internasional dalam kapasitasnya sebagai Duta Besar MDG‟s berpengaruh besar dalam pemikiran dan gerakannya di bidang lingkungan hidup. Sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah dan aksi protesnya kepada pihak industry ketika ia masih menjadi aktifis berubah menjadi kompromi dengan menjadikan keduanya mitra dalam mengembalikan kerusakan alam. Pertanyaan siapakah yang memberi pengaruh terhadap kebijakan lingkungan global, apakah Erna sebagai Duta Besar MDG‟s atau justru Erna sendiri telah masuk dalam agenda global MGD‟s di mana isu pelestarian lingkungan sangat dominan untuk mencegah terjadinya perubahan iklim yang akan mengancam kehidupan manusia di dunia sebagai akibat dari eksploitasi lingkungan secara besar-besaran untuk kepentingan ekonomi politik? Berdasarkan dokumen dan arsip SIKIB (2008), tercatat bahwa loby-loby dunia internasional berkaitan dengan isu gerakan hijau dan pelestarian lingkungan yang melibatkan pemerintah Indonesia sudah dilakukan sejak diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Johanerburg pada tahun 2002, satu tahun sebelum Erna terlibat sebagai Duta Besar MDG‟s tahun 2003. Usai diselenggarakannya KTT yang membahas tentang pemanasan global tersebut, Pemerintah Indonesia secara maraton merampungkan bahasan RUU tentang BUMN yang kemudian diundangkan pada tahun 2003 menjadi UU No 19 tentang BUMN. Dalam UU No 19/2003 Pemerintah mewajibkan BUMN untuk memperhatikan pelestarian lingkungan dalam kegiatan produksinya dan memasukkan kegiatan sosial dalam perencanaan perusahaan sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Sosial Responsibilityatau
61
CSR).Pada tahap selanjutnya pemerintah juga “memaksa” perusahaan di luar BUMN untuk menempatkan pelestarian lingkungan sebagai pertimbangan dari kegiatan produksi dalam program yang sama sebagai tanggung jawab sosial perusahaan seperti tertuang dalam UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Jadi dari data-data tersebut kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa keterlibatan dunia usaha dalam kegiatan pelestarian lingkungan merupakan agenda global sebagai reaksi atas pemanasan global yang mengancam kehidupan manusia di dunia.Erna adalah salah satu aktor yang ikut menjadi pionir dalam gerakan hijau, namun bukan satusatunya yang mempengaruhi kebijakan nasional dan internasional tentang pelestarian lingkungan. Ciri-ciri anggota Organisasi SIKIB dilihat dari strukturnya masuk dalam kategori paguyupan atau perkumpulan para istri Menteri Kabinet Indonesia Bersatu.SIKIB tidak memiliki anggota dan juga tidak memiliki cabang di Kabupaten/Kota.SIKIB mengidentifikasi diri sebagai asosiasi kalangan profesional. Indentifikasi ini tidak tepat jika melihat gerakan sosial yang dilakukan SIKIB menempatkan para pengurusnya di lingkaran simbol sedangkan secara gagasan dan pelaksanaan teknis di lapangan justru dilakukan oleh pihak lain yakni mitra di mana program gerakan sosial dilakukan. Simbol gerakan sosial yang dilakukan SIKIB terlihat dari semua kegiatan SIKIB yang hanya mengedepankan seremonial, sedangkan secara subtansi SIKIB terkesan lepas tanggung jawab.Kegiatan simbolis nampak pada kegiatan iring-iringan Ibu Negara beserta para istri Menteri dan pejabat terkait dalam setiap acara sampai acara simbolis di panggung seperti penanaman pohon secara simbolis. Dalam melakukan gerakan sosial di masyarakat, SIKIB tidak terjun secara langsung karena organisasi ini tidak memiliki pengikut atau anggota.SIKIB yang pengurusnya adalah para istri Menteri Kabinet Indonesia Bersatu memiliki keterikatan erat dengan Kabinet Indonesia Bersatu. SIKIB menjadi kepanjang tanganan Kabinet Indonesia Bersatu dalam mensukseskan program pembangunan khususnya dalam mengejar pencapaian MDGs. Setiap program SIKIB melibatkan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk kegiatan di tingkat desa, kecamatan dan Kabupaten/Kota sedangkan kegiatan di Propinsi melibatkan Pemerintah Daerah Propinsi setempat. Kegiatan SIKIB yang melibatkan Pemerintah Daerah menggunakan pola hubungan antara Kabinet Indonesia Bersatu, dalam hal ini Kementerian terkait dengan Dinas Pendidikan di Kabupaten di mana kegiatan tersebut diselenggarakan. Kegiatan penanaman pohon dalam program Pilar Indonesia Hijau, SIKIB menggunakan garis intruksi Kementerian Pertanian dan Kementerian Kehutanaan kepada Dinas Pertanian dan Dinas Kehutanan di masing-masing Pemerintah Daerah di mana program tersebut dilaksanakan.
Kasus Penanaman Pohon di Desa Hargotirto Jogjakarta
62
Manajemen Penanaman Pohon Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara (GPTP) 10 Juta Pohon merupakan sebuah gerakan yang dimotori oleh SIKIB dan GPTP.Deklarasi gerakan tanam dan pelihara pohon dilaksanakan di akhir acara Konferensi Kearifan Lokal Perempuan Indonesia Dalam Perubahan Iklim Global pada 28 November 2007.Dalam naskah deklarasi secara tekstual menunjukkan posisi gerakan ini sebagai reaksi dari perubahan iklim dan dukungan atas himbauan Presiden Republik Indonesia. “Kami perempuan Indonesia, menyadari pentingnya mengurangi dampak negatif perubahan iklim, bersama ini menyatakan dukungannya terhadap upaya-upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim khususnya melalui upaya tanam dan pelihara pohon. Sejalan dengan ajakan Presiden Republik Indonesia, kami perempuan Indonesia mencanangkan dan melaksanakan Gerakan Tanam dan Pelihara Pohon (Naskah Deklarasi 2007)”
Proses pencetusan gerakan tanam dan pelihara pohon oleh Ibu Negara pada tahun 2007 dalam pandangan penulis memiliki keterkaitan erat dengan posisi suami yang menjabat sebagai Presiden Indonesia. Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon (GPTP) di mana SIKIB menjadi motor penggerak bagi 6 organisasi yakni Tim Penggerak PKK, KOWANI, Dharma Wanita Persatuan, Dharma Pertiwi, Bayangkari dan APPB (Aliansi Perempuan Untuk Pembangunan Berkelanjutan) memiliki keterkaitan erat dengan program pemerintah dalam mengantisipasi perubahan iklim. Tahun 2006 bertepatan dengan hari bumi tanggal 22 April Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Indonesia Menanam.Pedoman pelaksanaan kampanye Indonesia menanam termuat dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.68/Menhut-II/2006.Gerakan penanaman pohon di Indonesia juga melibatkan sektor swasta atau dunia usaha (Gambar 5). “Kemudian Indonesia juga diminta untuk menjadi tuan rumah pada bulan Desember untuk Konferensi PBB tentang climate change di Bali. Gagasan untuk membuat sesuatu ini saya sampaikan kepada Bapak Presiden bahwa saya ingin mengajak kaum perempuan sebelum konferensi Bali tersebut di mana semua daerah harus bisa menanam.Sehingga, dunia akan melihat bahwa Indonesia tidak main-main dalam menghadapi perubahan iklim dan pemanasan global.”
Gambar 5 Aktor Gerakan Tanam Berbasis Masyarakat
Sumber : Data Primer di olah
Ani Yudhoyono dalam gerakan sosial ini seperti halnya sejarah pergerakan perempuan lain (berbasis ormas) di Indonesia embedded (melekat) dengan posisi dan peran suami sehingga bersifat subordinat dari apa yang dilakukan oleh suami
63
sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Pembentukan Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara (GPTP) untuk memperkuat gerakan tanam di masyarakat yang tidak akan efektif jika hanya dilakukan oleh SIKIB sendirian. Ani Yudhoyono menyatakan : “Kebetulan KOWANI dan organisasi kaum perempuanlain, ingin mengadakan seminar lingkungan hidup di Bali. Dalam bincang-bincang saya katakan, “jangan di Bali, jangan mengganggu kegiatan para Bapak.Mari kita lakukan sendiri, kalau bisa di Jakarta.Tapi bukan hanya seminar saja tetapi dengan tindakan nyata dengan melakukan penanaman”.Akhirnya, teman-teman dari 7 organisasi ini berkumpul bersama-sama.Semua bersepakat untuk melakukan penanaman pohon, serentak dari Sabang sampai Merauke untuk pertama kalinya”.
Pelaksanaan Gerakan Tanam dan Pelihara Pohon pada tahun 2007 dilakukan serentak se-Indonesia dengan menggerakkan Kementrian Dalam Negeri yang memiliki garis intruksi dengan Pemerintah Propinsi sampai tingkat kecamatan, Kementrian Kehutanan sebagai penyedia bibit, Kementrian Pertanian, Lembaga Tinggi Negara dan 7 organisasi yang tergabung dalam GPTP. Target pohon yang ditanam SIKIB dan GPTP adalah 10 juta pohon. Ani Yudhoyono menyatakan : “Mengenai jumlah 10 juta itu memang keputusan bersama, termasuk dengan Kementrian Kehutanan sebagai penyedia bibit pohon.Kementrian Kehutanan dan Kementrian Dalam Negeri, dalam hal ini berarti pemerintah turut aktif merencanakan gerakan menanam pohon. Tercetus target 10 juta. Darimana?Saya yakin dari pemikiran bersama teman-teman.Berapa jumlah penduduk perempuan di Indonesia?Sekitar 50% dari seluruh penduduk Indonesia, atau sekitar 115 juta orang.Lalu yang dewasa itu berapa?Asumsinya sekitar 50%-nya.Dari situ kita mengambil angka paling realistis yaitu 10 juta”.
Pola Kepemimpinan SIKIB memiliki program desa binaan dan desa sejahtera di desa Hargotirto Kabupaten Kulonprogo Propinsi DI Jogkakarta. Di desa tersebut, SIKIB menjalankan program lima pilar antara lain pilar Indonesia Pintar, pilar Indonesia Sehat, pilar Indonesia Hijau, Indonesia Peduli dan Pilar Indonesia Peduli. Tujuan akhir program desa binaan SIKIB adalah terwujudnya Desa Sejahtera. Kronologis program desa binaan Hargotirto dimulai dari program kerjasama SIKIB dengan Fakultas Kedokteran UGM dalam melaksanakan program kesehatan masyarakat di desa Hargotirto Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Jogjakarta. Setiap tiga bulan sekali Fakultas Kedoteran UGM menurunkan mahasiswanya ke masyarakat dalam program KKN. Program KKN tersebut di koordinasi oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM), yakni salah satu unit usaha di bawah UGM. Selamamelaksanakan program KKN, mahasiswa didampingi tim kedokteran dalam melakukan pelayanan kesehatan di masyarakat. Program KKN Fakultas kesehatan UGM merupakan program pertama kerjasama dengan pilar Indonesia Sehat SIKIB di desa binaan Hargotirto.Adi (Kepala Program Kerjasama LPPM UGM) menyatakan : “Kegiatan kerjasama SIKIB itu diinisiasi oleh fakultas kedokteran yakni oleh Pak Ghufron yang sekarang menjadi Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Tim kedokteran punya desa binaan yang dapat dikembangkan
64
dengan bekerjasama Pilar sehat SIKIB. Lalu muncul pemikiran untuk mengembangkan pilar selain kesehatan, ada pilar pendidikan (pilar Indonesia Pintar). Lalu desa binaan itu diluaskan ke fakultas lain diluar Fakultas Kedokteran. SIKIB itu kanada 5 pilar, bagaimana caranya 5 pilar tersebut bisa mengisi di desa tersebut. Makanya kemudian dengan SIKIB mendesighn namanya program desa sejahtera.Kita kenal ada rumah pintar di satu tempat maka ini kita kenal ada 5 pilar di satu desa. Mungkin kalau sekarang ini di sana (desa Hargotirto) baru ada 3 pilar SIKIB”
Dalang rangka merealisasikan program desa sejahtera, SIKIB dengan bantuan fasilitasi LPPM UGM mengembangkan komunikasi dan kerjasama dengan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta, Pemerintah Daerah Kabupaten Kulonprogo. Program desa sejahtera termanifestasikan dalam lima pilar SIKIB antara lain pilar Indonesia Pintar, Indonesia Hijau , Indonesia Peduli, Indonesia Kreatif dan Indonesia Sehat. Peresmian Desa Sejahtera di desa Hargotirto Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Jogjakarta dilaksanakan pada 29 September 2010. Dalam pengembangan desa sejahtera tersebut, stake holder yang terlibat ada 4 yang terangkum dalam konsep ABGA (Akademik, Bisnis, Government dan Asosiasi Profesional). Di posisi unsur akademik terdapat UGM yang memiliki tenaga dosen sebagai pendamping masyarakat dan mahasiswa yang menjalankan program Kuliah Kerja Nyata. Dalam unsur bisnis terdapat BRI yang memberikan pelayanan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat seperti pelayanan kredit usaha mikro dan menengah. Dalam unsur government, desa binaan Hargotirto mendapat pembinaan dari Dinas-dinas terkait seperti Dinas kesehatan, Dinas Perhubungan, Dinas Pendidikan dan Dinas Sosial. SIKIB merupakan unsur asosiasi profesional dalam stake holder desa binaan Hargotirto yang menjalankan fungsi sebagai perencana dan pelaksana program lima pilar Indonesia Sejahtera.Adi (Kepala Program Kerjasama LPPM UGM) menyatakan “Mulai tahun 2010 awal tim SIKIB selalu mempersiapkan maintenance program termasuk dengan pemerintah propinsi, kabupaten, LPPM, kita punya mahasiswa KKN, selama hampir 2 tahun ini kita selalu menerjunkan mahasiswa tiap 2 bulan. Tahun 2010, pada 29 September launching desa sejahtera oleh Ibu Negara di Hargotirto.Posisi LPPM sebagai pendamping, kemitraan ada LPPM, Pemerintah Propinsi, Pemerintah kabupaten, SIKIB”.
UGM dalam memujudkan desa sejahtera yang dirancang SIKIB di desa Hargotirto menempati peran kunci.UGM melalui program kekaryaan mahasiswa telah menjalin hubungan emosional dan hubungan sosial dengan tokoh masyarakat desa Hargotirto.Kerjasama antara UGM dan masyarakat di desa Hargotirto telah terjalin sejak lama sebelum konsep desa sejahtera dirancang bersama SIKIB. Kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan KKN mahasiswa di desa Hargotirto sudah diselenggarakan sejak tahun 1990-an. Wagimin (pendamping program Indonesia Hijau SIKIB) menyatakan : “Awal bersentuhan dengan masyarakat, kita hubungan dulu dengan tokohtokohnya.Kita kumpulkan mereka.Hubungan emosional.Kita terjun ke kampungkampung lewat KKN.Kita mengumpulkan kepala desa, aparat desa”.
Konsep desa sejahtera secara akademis dirancang oleh UGM. SIKIB hanya mendompleng UGM karena posisi SIKIB di Jakarta yang letaknya jauh
65
dari desa Hargotirto secara teknis terdapat banyak kendala dalam melakukan interaksi langsung dengan masyarakat. Kegiatan SIKIB yang banyak mengedepankan seremonial di masyarakat sebenarnya dengan sendirinya menempatkan SIKIB sebagai simbol dalam program desa sejahtera yang dirintis UGM yakni simbol Negara yang memiliki program pembangunan dengan pola gerakan para istri menteri.Adi (Kepala Program Kerjasama LPPM UGM) menyatakan : “Di LPPM UGM itu kan ada kemitraan pentahelic.Jadi dalam pengembangan desa, ada yang mengembangkan cuma ABG (Akademic, Busines, Governance), kemudian ada yang mengembangan Universitas Industri Community, tapi kita tambah lagi.Untuk mengembangkan wilayah tidak cukup dengan 3 pilar ABG, makanya ada 5 pilar kemitraan.Ada asosiasi professional, di sini termasuk SIKIB.Yang kerjasama dengan SIKIB juga BRI. Dalam konsep pengembangannya, LPPM kan punya dosen pengabdian dan mahasiswa KKN, mereka membantu dan mengabdi di sana. Kalau KKN, hampir 4 kali dalam setahun. Konsep dosen binaan seperti ini, ini desa, ada 5 pilar SIKIB, menyatukan antara program pemerintah (sanimas, taman lalu lintas, program yang melalui dinas), program SIKIB, program KKN, program desa. Mahasiswa KKN melalukan pendampingan.Kita mengembangkan dengan asosiasi professional, perguruan tinggi, pemerintah daerah dan kementrian.Konsepnya seperti itu”.
Indonesia Hijau merupakan salah satu program SIKIB di desa binaan Hargotirto. Program Indonesia Hijau dijalankan oleh anggota masyarakat desa Hargotirto melalui kelembagaan Kelompok Tani dan Kelompok Wanita Tani. Struktur kepengurusan Indonesia hijau juga diisi oleh anggota Kelompok Tani. Adi (Kepala Program Kerjasama LPPM UGM) menyatakan : “Desa sejahtera kita buat kelembagaannya, ada pengurus, ketua.Ada pengurus di masing-masing pilar ini, ada tutornya juga.Indonesia hijau ada peternakan, pertanian, herbal.Desa peduli, ada desa tangguh, ada BRI peduli, gotong royong.Pengurusnya orang lokal situ.UGM dalam bentuk pendampingan.Setiap dua bulan sekali. Pak wagimin ini memang di sana. Dengan Indonesia hijau juga ada mobil hijaunya. Indonesia Hijau ada Pak Ratman (sebagai Ketua Indonesia hijau), bu Sapardi (Ketua KWT), di dinas ada Pak Basith, di dinas Pertanian ada Pak Bambang, operasional mobil hijau ada Mas Prast. Monggo mulainya dari hulu ke hilir atau dari lapangan”
Program Indonesia Hijau SIKIB di desa Hargotirto dilaksanakan pada tahun 2010. Kegiatan menanam didahului oleh kegiatan seremonial yang pelaksanaannya diselenggarakan di halaman depan rumah pintar yakni sebuah bangunan berukuran 36 m2 yang berfungsi sebagai ruang bertemunya anggota warga masyarakat untuk kegiatan penyuluhan baik dari Dinas-dinas terkait maupun dengan tenaga pendamping dari UGM. Di arena rumah pintar dibangun fasilitas publik antara lain taman mini lalu lintas yakni sebuah tanam yang dibangun oleh Dinas Perhubungan Pemda Kulonprogo dengan fungsi sebagai pembelajaran bagi anggota masyarakat terhadap peraturan lalu lintas. Dalam taman mini tersebut, lazimnya miniatur jalan raya juga terdapat jalanan beserta bangunan mini dan rambu-rambu lalu lintas di setiap perempatan atau pertigaan jalan. Di sudut taman mini terdapat papan yang bertuliskan tentang penjelasan tentang rambu-rambu lalu lintas.
66
Di sebelah kiri rumah pintar terdapat bangunan-bangunan ruko berjejer berjumlah 8 toko namun ketika penelitian dilaksanakan di antara toko-toko yang tersedia hanya satu toko yang beroperasi, lainnya tutup. Tujuan dibangunnya toko-toko tersebut sebagai fasilitas publik yakni pasar tradisional. Di depan tokotoko tersebut terdapat BRI yang juga dibangun untuk memenuhi kebutuhan transaksi perbankan warga desa yang aksesnya jauh dari kota Kulonprogo. Desa Hargotirto terletak di daerah pegunungan dengan jarak tempuh 45 menit dari Kecamatanyang padat penduduk. Di depan toko terdapat pendopo terbuka dengan diapit oleh tiga bangunan yang mirip dengan balai desa dengan fungsi sebagai kantor dan ruang administrasi. Ketika penelitian ini dilakukan, kantor-kantor tersebut juga sunyi dari aktifitas, hanya ruang kantor Indonesia Hijau yang terbuka. Sebelah kiri pendopo terdapat dua bangunan toko namun hanya satu yang menjalankan usaha. Meskipun yang membangun rumah pintar, pertokohan mini, pendopo, perkantoran dan taman mini lalu lintas adalah pemerintah daerah, namun anggota masyarakat menganggap fasilitas tersebut adalah pemberian SIKIB. fasilitas bangunan diadakan atas prakarsa SIKIB bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat yang memiliki anggaran terkait dengan fungsi bangunan tersebut. Pada hari-hari biasa, lokasi rumah pintar beserta bangunan lainnya sunyi oleh aktifitas penduduk. Gambaran sebagai desa yang dinamis di mana di dalamnya terdapat aktifitas penduduk berproduksi hasil-hasil pertanian, jual beli antara pedagang dengan konsumen di pasar rakyat yang juga difasilitasi dalam area rumah pintar beserta kegiatan belajar masyarakat di hari-hari biasa tidak nampak. Ketika penulis melakukan studi lapang di lokasi rumah pintar, terlihat satu dua warga masyarakat yang lalu lalang. Bangunan yang digunakan sebagai kantor masing-masing pilar SIKIB dikunci. Pemandangan ini berbeda dengan penjelasan pendamping lapangan di rumah pintar yang menyatakan bahwa di lokasi desa sejahtera Hargotirto tersebut terdapat kegiatan masyarakat yang sangat dinamis termasuk kegiatan belajar mengajar dengan adanya fasilitas perpustakaan. Wagimin (pendamping program Indonesia Hijau SIKIB) menyatakan “Perpustakaan buka, rutin, keliling ke dusun-dusun. Ada pasien ke sana. Ada jadwal, nggak ada jadwal kesana”. Pada saat SIKIB menjalankan program tanam, kegiatan seremonial diselenggarakan di lokasi rumah pintar yang lokasinya agak berjauhan dengan lahan di tempat penanaman pohon. Kegiatan seremonial yang dihadiri para pejabat pemerintah daerah, anggota SIKIB dan anggota masyarakat diramaikan dengan pertunjukan seni lokal seperti wayang kulit, reog dan juga diramaikan pasar rakyat dan pameran hasil kerajinan masyarakat. Nunuk K (ketua KWT Ngudi Lestari) menyatakan “Ibu-Ibu itu lamanya ya di Rumah Pintar itu bu. Di sini (di lahan tempat penanaman pohon) hanya sebentar” Kegiatan tanam pohon SIKIB di desa Hargotirto secara operasional dilaksanakan oleh pengurus dan anggota SIKIB di mana masing-masing orang menanam satu pohon dari jenis pohon yang berbeda-beda. Jumlah pohon yang ditanam sebanyak 30 bibit. Bibit-bibit pohon tersebut datang bersamaan dengan kedatangan rombongan SIKIB ke lokasi penanaman sehingga tidak jelas dari mana asal bibit, apakah di suplai oleh Dinas Pertanian atau Dinas Kehutanan, atau disediakan oleh bagian pengadaan pembibitan pohon yang dilaksanakan oleh
67
perusahaan yang ditunjuk oleh Dinas Kehutanan sebagaimana program gerakan menanam pohon lainnya.Adi (Kepala Program Kerjasama LPPM UGM) menyatakan : “Untuk program tanam, bibitnya dari dinas. Mekanisme bantuan dari departemen, kementerian, dinas. Dari propinsi turun ke Kabupaten.Tidak pernah melalui LPPM.Kita hanya mendampingi di lapangan.Di mana habis bantuan, sudah. Bantuan Kakao, di sana ada pendampingan, dibuatkan tempat kakao, ada binaan, bersinergi.
Sebelum proses tanam dilakukan oleh pengurus SIKIB, tanah di mana pohon akan ditanam terlebih dahulu dilakukan penggemburan dengan dilubangi untuk bibit. Kegiatan ini dilakukan oleh anggota Kelompok Tani yang anggotanya kaum pria dewasa. Warga menyediakan peralatan tanam-menanam secara swadaya seperti cangkul, arit (digunakan untuk memangkas rumput), ember (untuk menampung air). Para informan dalam Fokus Group Discussion (FGD) menyatakan : “Dengan SIKIB kita punya kegiatan holtikultur berbentuk tanaman (apa ya...). Cuma Ibu-ibu SIKIB hanya menanam 30 pohon, matoa, manggis, duren. Pertama kali ada Ibu-Ibu menteri rawuh (datang berkunjung) kesini mereka masingmasing menanam satu pohon, ada jambu. Mereka cuma sebentar, lamanya mereka di rumah pintar sana. Kalau macam-macam kegiatan SIKIB kan di rumah pintar itu. Di kompleks Rumpin itu ada tanaman herbal.Di tanam secara simbolis.Kita tidak tahu SIKIB dapat benih darimana, tiba-tiba siap di lokasi, Ibu ini yang menanam sudah ada tulisannya, satu lobang satu ember, satu gayung, satu pacul, satu tanaman.Yang menyiapkan pacul, arit, ember ya kami-kami. Pacul dari rumah-rumah kami”
Dalam kegiatan penanaman pohon SIKIB, partisipasi pengurus SIKIB bersifat simbolis yang perangkat teknisnya seperti proses penggemburan tanah, penyediaan cangkul, air dan pupuk telah disiapkan oleh kelompok tani (beranggotakan laki-laki dewasa) warga desa Hargotirto. Kegiatan upacara seremonial berupa sambutan kedatangan, pidato sambutan panitia, pidato sambutan oleh SIKIB dan Pemerintah Daerah dilaksanakan di lokasi rumah pintar yang jaraknya 2 KM dari lahan tempat kegiatan penanaman pohon. Peran kelompok perempuan di desa Hargotirto pada prosesi penanaman pohon dalam pandangan penulis nihil selain berposisi sebagai pihak luar yang menonton para istri menteri menuruni jalan setapak dan masyarakat membantu membawa payung untuk melindungi anggota SIKIB dari terik matahari. Kegiatan pemeliharaan pohon yang telah di tanam SIKIB dibebankan kepada anggota Kelopok Wanita Tani (KWT) Ngudi Lestari tanpa adanya dukungan dana pemeliharaan. Anggota KWT Ngudi Lestari kurang memiliki minat dan harapan yang besar terhadap manfaat pohon yang telah di tanam SIKIB sebab diangap tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, selain sedikitnya jumlah pohon yang ditanam SIKIB (sebanyak 30 bibit). Motivasi anggota KWT merawat pohon pasca tanam lebih disebabkan karena faktor “kasihan” terhadap nasib pohon jika disia-siakan. Usai menanam pohon di desa Hargotirto, kegiatan pengurus SIKIB adalah melakukan kunjungan ke lokasi tersebut untuk memantau perkembangan pohon-pohon yang telah mereka tanam. Alasan terakhir inilah yang juga memotivasi anggota dan pengurus KWT dalam
68
melakukan pemeliharaan pohon.Meskipun KWT beserta anggotanya tidak mendapat penghargaan atas upaya yang mereka lakukan dalam pemeliharaan pohon dari SIKIB, namun motivasi pemeliharaan didasarkan pada penghormatan kepada SIKIB yang dianggap kepanjang tanganan Menteri yang melekat pada jabatan para suami anggota SIKIB.Pengurus KWT Ngudi Lestari dalam Fokus Group Discussion (FGD) menyatakan : “Kami rawat karena eman-eman (kami merawat tanaman karena sayang jika ditelantarkan).Lek maringi sak monten lha pripun (ya memberi bibitnya cuma segitu (30 pohon), lalu bagaimana).Kirang katha (kurang banyak).Mereka mengunjungi tanamannya beberapa kali.Habis menanam ya dada-dada (pergi dengan melambaikan tangan). Makan siangpun kami tidak dapat, malah kita yang repot. Kita tidak diberi dana perawatan”.
Kegiatan menanam pohon SIKIB yang tidak melibatkan partisipasi perempuan pedesaan secara langsung baik itu warga masyarakat maupun kaum perempuan yang tergabung dalam KWT menjadikan program ini hanya untuk memenuhi target SIKIB sebagai kepanjang tanganan pemerintah. Anggota dan pengurus KWT yang kesehariannya memproduksi gula aren menganggap kegiatan SIKIB sebagai kegiatan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka dan tak dapat memenuhi kebutuhan dasar warga masyarakat. Kaum perempuan di desa Hargotirto menilai tanaman buah-buahan yang ditanam SIKIB sebagai tanaman yang tumbuhnya memakan waktu lama dan membutuhkan perawatan.Sikap pesimis kaum perempuan terhadap manfaat pohon buah-buahan yang ditanam pengurus SIKIB di desa Hargotirto karena pohon-pohon ini juga ditanam di lahan kelompok dari hasil sewa sehingga masing-masing anggota KWT maupun masyarakat tak punya akses secara langsung terhadap pohon dan buah-buahan yang nantinya dihasilkan dari pohon tersebut. Para informan yang mengikuti Fokus Group Discussion menyatakan : “Program SIKIB yakni penanaman buah ya, bagi kami biasa-biasa saja. Kegiatan tersebut di tanam di kebun kelompok.Untuk perawatannya kami menggunakan biaya sukarela.Panen tahun berapa ya, mungkin KWT ini sudah bubar31”.
SIKIB sebagai pelaksana program tanam tak memiliki hubungan cultural dan structural organisasi dengan KWT maupun anggota masyarakat di desa Hargotirto baik itu hubungan structural, emosional maupun hubungan sosiologis.SIKIB juga tidak melakukan pendampingan, penyuluhan atau kerjasama secara langsung dengan anggota dan pengurus KWT di desa Harotirto.Posisi para pendamping dan tenaga lapangan LPPM UGM berada di antara SIKIB dan KWT dan masyarakat sekitar. Kegiatan pendampingan masyarakat di desa Hargotirto jauh sebelum program Indonesia Hijau masuk desa tersebut sudah dilaksanakan secara kontinyu baik melalui kegiatan yang telah terprogram dalam agenda akademis seperti KKN maupun melalui program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan alumni dan dosen UGM. Ketika LPPM UGM menjalin kerjasama dengan SIKIB dalam pelaksanaan program 5 pilar di desa binaan Hargotirto, maka pada saat tersebut LPPM UGM menempati 31
Pada saat mengikuti diskusi terfokus (FGD), wajah para pengurus KWT Ngudi Lestari kelihatan murung dan tidak bersemangat.
69
posisi sebagai penyambung antara SIKIB dengan masyarakat di desa Hargotirto. Jika SIKIB berencana menyelenggarakan kegiatan seremonial maupun kunjungan di desa binaan Hargotirto, maka komunikasi yang terjadi bukan antara SIKIB dengan anggota masyarakat namun SIKIB dengan LPPM UGM.LPPM UGM melakukan koordinasi dengan masyarakat di desa Hargotirto terhadap rencana kegiatan SIKIB di desa tersebut. Persiapan teknis kegiatan penanaman pohon di desa Hargotirto di bagi menjadi dua yakni persiapan panitia oleh LPPM UGM dan persiapan kepanitiaan yang dibentuk pengurus 5 pilar di desa Hargotirto. LPPM UGM bertugas menyiapkan kebutuhan acara seremonial antara lain berkoordinasi dengan Pemerintah daerah beserta dinas-dinas terkait yang memiliki kerjasama dengan SIKIB, mengundang stake holder, melakukan koordinasi teknis dengan panitia di desa Hargotirto, menyiapkan peralatan seperti tenda, kosumsi, akomodasi serta proses sambutan kedatangan para pejabat Negara dari Jakarta beserta rombongan anggota dan pengurus SIKIB. Pengurus 5 pilar SIKIB desa Hargotirto bertugas menyiapkan hal-hal teknis terkait dengan penyambutan seremonial gebyar seni seperti wayang kulit, pagelaran seni budaya dan pasar rakyat dalam rangka menyemarakkan kegiatan SIKIB di desa tersebut. Panitia desa Hargotirto menyiapkan perangkat teknis didampingi oleh pejabat dinas Kehutanan dan Dinas Pertanian serta pemerintah daerah Kabupaten Kulonprogo. Wagimin (Pendamping Program Indonesia Hijau SIKIB) menyatakan : “Secara teknis kalau ada kegiatan SIKIB (di desa Hargotirto), mereka (pengurus SIKIB) lapor ke sini (UGM) lalu kita yang meneruskan ke sana (desa Hargotirto).Besok kunjungan secara seremonial, kita menyiapkan masyarakat untuk menyambut dengan perlombaan. Kalau datang kan tidak sekedar datang, ingin meresmikan apa. (Jika) ada kunjungan yang mendadak, ada kunjungan resmi, ada pemberitahuan dari protokol Bupati”
Dari struktur pilar Indonesia Hijau di mana kegiatan penanaman pohon SIKIB dilaksanakan di desa Hargotirto sebagian besar formasinya di isi oleh kaum laki-laki dewasa.Dalam struktur Pilar Indonesia Hijau tersebut, posisi perempuan tidak begitu dominan meski kegiatan penanaman pohon melibatkan kaum perempuan seperti tertera dalam nama Gerakan Perempuan tanam dan Pelihara Pohon. Tabel 4 menjelaskan pihak-pihak yang berkepentingan dengan gerakan menanam pohon SIKIB dan peran serta masing-masing pihak. Kepemimpinan perempuan dalam gerakan penanaman pohon SIKIB di desa Hargtirto dijalankan dengan model kepemimpinan transaksional antara SIKIB yang merupakan kepanjang tanganan Kabinet Indonesia Bersatu dengan struktur Pemerintah Daerah, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, BRI, LPPM UGM dan Kelompok Wanita.SIKIB sebagai organisasi yang tidak berbasis anggota di masyarakat jika mengacu pada pandangan Weber (Poloma 1989 and Ritzer 2004), para pemimpin di dalamnya memiliki kekuasaan (power) yang sangat besar dibandingkan dengan otoritas legal yang disandangnya.Otoritas legal sebagaimana dikemukakan oleh Weber (Binus 2008) berdasarkan pada sitem hukum.Sistem hukum di sini dipahami sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui serta ditaati masyarakat dan bahkan yang telah diperkuat oleh Negara.Artinya SIKIB hadirnya di masyarakat bukan membawa mandat otoritas yang diberikan
70
Negara sebagaimana pemimpinan dalam organisasi birokrasi karena SIKIB itu sendiri bukan menjadi bagian dari system birokrasi. Sebagai organisasi yang bukan menjadi bagian dari sistem birokrasi secara hukum harusnya SIKIB tidak memiliki kewenangan mengintruksikan jajaran birokrasi di tingkat Pemerintah Daerah untuk melaksakan dan bahkan mensukseskan program kerja SIKIB. Dalam lingkup yang lebih luas bahkan SIKIB harus diakui memiliki kekuasaan (power) untuk menggerakkan mahasiswa, dosen dan pemimpin tergabung dalam LPPM UGM dalam mensukseskan program Indonesia Sehat di desa Hargotirto Kulonprogo Jogjakarta. LPPM UGM bahkan oleh SIKIB dijadikan sebagai kader penggerak di lapangan.Motivasi LPPM UGM melakukan gerakan sosial sebagaimana digariskan SIKIB karena mendapatkan manfaat baik itu bersifat materil maupun immaterial.Sumber kekuasaan seperti ini menurut Thoha (2003) sejalan dengan model kepemimpinan transaksional, yakni kekuasaan yang bersumber atas kemampuan untuk menyediakan penghargaan atau hadiah bagi orang lain, misalnya gaji, atau penghargaan jasa. Dalam hal ini SIKIB sebagai bagian dari kumpulan pemimpin perempuan mempunyai potensi memberikan penghargaan, maka menurut teori ini ia sudah dianggap memiliki kekuasaan atas bawahannya. Meskipun SIKIB bukan menjadi bagian dari organisasi birokrasi yang memiliki mandat birokrasi dalam hal ini otoritas legal, juga bukan bagian dari organisasi massa yang memiliki mandat dari anggota namun jika dilihat dari model gerakan SIKIB dalam menggerakkan masayarakat, mengacu pada sumber otoritas yang dipaparkan Weber (Binus 2008), SIKIB memiliki otoritas jenis tradisional. Otoritas model ini menurut Weber dapat dimiliki oleh siapa saja yang menjadi anggota masyarakat asal anggota masyarakat lain mempercayai bahwa mereka memiliki kekuasaan di masyarakat. Otoritas tradisional sebagaimana paparan Weber ada pada diri SIKIB karena masing-masing anggota SIKIB memiliki keterikatan hubungan keluarga dengan anggota Kabinet Indonesia Bersatu.Anggota SIKIB adalah para istri jajaran Kabinet Indonesia Bersatu (baca Menteri). Otoritas tradisional yang dimiliki SIKIB dapat menggerakkan para pimpinan di jajaran Pemerintah Daerah, BUMD, Perguruan Tinggi dalam mensukseskan program penanaman pohon meskipun masing-masing institusi tersebut tidak memiliki keterikatan keanggotaan dengan SIKIB. Anggota masyarakat memberikan kepercayaan kepemimpinan SIKIB sama persis dengan kepercayaan yang mereka berikan kepada para suami pengurus SIKIB yang menjabat sebagai pemimpin di lembaga birokrasi. Ikatan pernikahan di antara pengurus SIKIB dengan pemimpin birokrasi (baca Menteri) telah melahirkan pemahaman kepada masyarakat bahwa para istri ini secara otomatis memiliki kharisma sebagaimana definisi yang diberikan oleh Weber (Poloma 1989 and Ritzer 2004). Kharisma yang dimiliki para pengurus SIKIB sebagaimana definisi Weber, tidak membahas apakah dalam diri pemimpin terdapat kelebihan baik fisik maupun non fisik yang sangat menonjol di bandingkan dengan anggota masyarakat.Definisi tentang siapa itu pemimpin kharismatik dimiliki oleh para pengikut.Jika para pengikut mendefinisikan pemimpin mereka sebagai seorang yang berkharisma, maka pemimpin tersebut cenderung menjadi pemimpin kharismatik terlepas apakah benar dalam dirinya memiliki kelebihan yang
71
menonjol atau tidak.SIKIB ditempatkan dalam ruang masyarakat yang khusus karena dianggap oleh anggota masyarakat memiliki kharisma oleh akibat hubungan pernikahannnya dengan Menteri Kabinet Indonesia Bersatu.Dengan demikian, kharisma yang dimiliki SIKIB menjadikan organisasi ini dapat menggerakkan Pemerintah Daerah, BUMD, Perguruan Tinggi untuk mensukseskan gerakan penanaman pohon.Jadi walaupun SIKIB tidak mempunyai otoritas legal tapi karena kapasitasnya sebagai istri kabinet, maka para menteri, Pemerintah Daerah (gubernur, Bupati dan segenap jajarannya, termasuk juga kalangan perusahaan) sulit menolak „perintah‟ SIKIB untuk merealisasikan program gerakan hijau. Tabel 4 Pihak-pihak Yang Berkepentingan Dalam Gerakan Menanam SIKIB No Nama Instansi atau Bentuk Kepentingan dan Peran Serta dalam Kelompok Kepentingan Gerakan Hijau SIKIB 01
Pemerintah Daerah (PEMDA) Kabupaten Kulon Progo
02
LPPM UGM
KWT Ngudi Lestari
Bentuk Kepentingan 1. Mensukseskan program pelestarian lingkungan Pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu 2. Pemda memiliki garis instruksi dengan Kementrian Dalam Negeri di mana program SIKIB bersinergi Peran Serta 1. Memfasilitasi Koordinasi antara SIKIB dengan BP DAS dan Dinas Kehutanan sebagai pilot project gerakan tanam di tingkat Kabupaten 2. Mensukseskan acara teknis seremonial SIKIB di wilayah Kabupaten Kulon Progo seperti misalnya mempermudah jalur protokoler dengan pihak Pemda dan dinas-dinas terkait Bentuk Kepentingan Pelaksana program akademik KKN Peran Serta 1. Mitra kerja SIKIB yakni sebagai pendamping masyarakat di desa binaan 2. Memfasilitasi SIKIB (komunikator atau pihak ketiga) untuk melakukan interaksi dengan pemerintah daerah dan stake holder lain dalam upaya menyambungkan kepentingan SIKIB 3. Bersama masyarakat melakukan hal-hal teknis dalam rangka kesuksesan acara seremonial SIKIB di desa binaan Kepentingan : Patuh pada intruksi Dinas dan Penyuluh Pertanian (yang merupakan istri Ketua KWT) untuk mensukseskan gerakan hijau Peran Serta : 1. Menyiapkan perangkat teknis penanaman di
72
lahan milik kelompok 2. Merawat tanaman yang pengurus SIKIB
telah
ditanam
Sumber : Data primer diolah Konflik Laten Dalam Program Penanaman Pohon Menyatunya program penanaman pohon SIKIB dengan GPTP secara konseptual memiliki keterkaitan dengan kesejarahan gerakan taman berbasis perempuan sebagai respon kaum perempuan (di motori oleh Ibu Ani Yudoyono dan para istri menteri) terhadap ancaman global warming. Bersatunya gerakan perempuan dalam menjalankan program tanam pohondi balik fakta yang ada rupanya terdapat konflik lanten di dalam antara SIKIB dengan KOWANI. Penulis mengalami kesulitan akses informasi di internal SIKIB terkait konflik kepentingan antara SIKIB dengan KOWANI. Pengurus SIKIB beserta staff SIKIB tidak mau menceritakan detil konflik yang terjadi yang dalam pandangan penulis hal tersebut untuk menjaga harmonisasi di antara kedua lembaga tersebut. Pada saat penulis melakukan triangulasi sumber data tentang adanya konflik tersembunyi kepada KOWANI secara ekspisit awalnya keberatan menceritakan hal ihwal konflik32.Konflik tersebunyi dalam gerakan tanam pohon sudah nampak sejak pertama kali gerakan tersebut dirumuskan oleh Ani Yudhoyono. Dalam pandangan KOWANI, Ani Yudhoyono telah melakukan gerakan politik “atas nama” perempuan untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia mempunyai komitmen kuat dalam mengantisipasi ancaman pemanasan global. Program tanam berbasis perempuan yang kemudian dikukuhkan menjadi “Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon” dalam pandangan KOWANI merupakan program inti yang dirumuskan oleh KOWANI.Dari sinilah awal-mula bibit konflik muncul karena KOWANI menganggap program menanam pohon adalah ide dan gagasannya namun diambil alih oleh Ani Yudhoyono. Rumusan program penanaman pohon di internal KOWANI menjadi bahasan utama dalam Rakernas KOWANI pada bulan Juni 2007.Sebagai organisasi perempuan yang memiliki system dan mekanisme organisasi, 32
Penulis gagal mendapatkan data secara langsung dari sumber inti pihak yang oleh SIKIB disebut sebagai pemicu konflik tersembunyi dalam gerakan taman pohon yakni Dewi Motik (Ketua Umum Dewan Pimpinan KOWANI). Dewi Motik bersedia menjawab pertanyaan yang sifatnya normative dan ketika ditanyakan hubungannya dengan SIKIB perihal penghargaan penanaman pohon, Dewi Motik berujar “Apa anda ingin mengadu domba kami.Ingat, saya tidak kenal anda tapi saya mau menerima anda”. Karena gagal mendapatkan data tentang konflik tersembunyi dari Dewi Motik akhirnya dalam rangka mengumpulkan data tentang konflik tersembunyi ini, penulis menggunakan pendekatan emosional dengan salah satu pengurus KOWANI yang menjadi Penanggung Jawab Program Penanaman pohon yakni Ibu Leoni Ahmad (sekarang menjabat sebagai Wakil Sekjend KOWANI). Leoni Ahmad masuk dalam jajaran Dewan Pimpinan KOWANI dari unsur Pengajian Al-Hidayah (Ormas Keagamaan atau Organisasi Sayap Partai Golkar) yang waktu itu di pimpin oleh Hj. Aisyah Hamid Baidlowi (Mantan Ketua Umum PP Muslimat NU). Ketika penulis bekerja sebagai Tenaga Ahli Hj. Aisyah Hamid Baidlowi (Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Periode 2004-2009) membuat penulis sering berkomunikasi dan bekerjasama dengan Leoni Ahmad sehingga hubungan emosional tersebut menjembatani dalam memudahkan mendapatkan data-data terkait dengan konflik tersembunyi dalam gerakan tanam pohon SIKIB-KOWANI.
73
KOWANI memiliki tradisi “audiensi” dengan Ibu Negara yang dalam struktur KOWANI masuk jajaran Dewan Pelindung. Acara audiensi dengan Ibu Negara bertujuan untuk menyampaikan agenda kegiatan organisasi KOWANI yang akan dibahas dalam forum Rakernas. Kegiatan audiensi seperti ini juga dilakukan oleh organisasi massa perempuan lainnya seperti Muslimat NU dan organisasi massa keagamaan. Kegiatan audiensi pimpinan Ormas kepada Kepala Negara dan Ibu Negara (bagi organisasi perempuan subordinat Ormas) yang telah ditradisikan sejak masa Pemerintah Orde Baru dalam pandangan penulis menjadi semacam “pamit”, permohonan ijin dan dukungan Pemerintah untuk suksesnya acara. Pertanyaannya jika semua pimpinan Ormas di tingkat pusat melakukan tradisi tersebut, apakah bisa kita simpulkan bahwa Ormas-ormas di Indonesia secara yuridis memposisikan diri sebagai organisasi independen namun dalam pelaksanaannya di lapangan masih terkooptasi oleh Pemerintah. Leoni Ahmad (Wakil Sekjend KOWANI) menyatakan : “Pada tahun 2007, KOWANI ingin melaksanakan suatu gerakan tanam dan pelihara.Itu gagasan keluar dari Ibu Linda (Ketua Umum DP KOWANI). Kalau gerakan nasional itu kan harus disetujui Ibu Negara, karena pelindung KOWANI kan Ibu Negara. Waktu itu kita ingin mengadakan seminar, dan waktu itu belum ada 7 organisasi. KOWANI kan harus lapor ke Ibu Negara. Kami berangkat ke istana 8 orang. Sebelumnya kita mengajukan surat audiensi. Setelah Ibu Negara mendengarkan rencana Ibu Linda, lalu Ibu Negara mengatakan “Kalau begitu atas nama kita saja”.Waktu itu beliau habis telah membentuk SIKIB”.
Aksi wajib lapor KOWANI kepada Ibu Negara terhadap rencana program tanam pohon tersebut menjadi bibit awal konflik tersembunyi dalam gerakan tanam berbasis perempuan. Ani Yudhoyono dalam pandangan KOWANI telah mengambil alih program tanam menjadi program SIKIB, meski juga secara simbolik Ani Yudhoyono membentuk organisasi masyarakat bernama GPTP (Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara) yang melibatkan 7 organisasi antara lain : SIKIB, PKK, KOWANI, Darma Wanita Persatuan, Darma Wanita Pertiwi, APPB dan Bayangkari. Pernyataan Leoni Ahmad berbeda dengan pernyataan Dewi Motik (Tahun 2007 menjabat sebagai Ketua Lingkungan Hidup KOWANI) tentang tujuan audiensi kepada Ani Yudhoyono. Menurut Dewi Motik tujuan audiensi KOWANI adalah mengajak Ibu Ani membuat gerakan tanam secara nasional sebagaimana yang telah dirumuskan KOWANI. Dewi Motik menyatakan : Saya waktu itu ketua bidang lingkungan hidup (KOWANI). Saya mengatakan alangkah indahnya jika program KOWANI mengajak Ibu Negara untuk menggerakkan seluruh kaum wanita, sesuatu yang sederhana sekali, kita menanam dari Indonesia bagian Timur jam 7, jam 8 di Indonesia bagian tengah dan jam 9 di Indonesia bagian barat. Dalam satu pertemuan saya laporkan hal tersebut dan itulah yang diterima oleh bu Ani.
Pernyataan Dewi Motik dalam pandangan penulis adalah pernyataan yang normatif dengan situasi dan kondisi ketika penelitian ini dilakukan sedang menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan KOWANI sedangkan pada saat program tanam di canangkan masih menjabat salah satu Wakil Ketua. Jika pernyataan Dewi Motik tersebut benar bahwa ia yang mengajak Ibu Ani Yudhoyono untuk merencanakan gerakan tanam secara nasional secara
74
organisatoris bertentangan dengan AD/ART KOWANI di mana Ketua Umum (Ibu Linda Agum Gumelar) yang bertanggung jawab mewakili organisasi kecuali jika Ketua Umum berhalangan. Bukti lain bahwa Dewi Motik melakukan “klaim” kepemimpinan gerakan tanam di internal KOWANI adalah keterlibatannya pada saat gerakan tanam di rumuskan ia justru mewakili APPB (Aliansi Perempuan Untuk Pembangunan Berkelanjutan), sedangkan KOWANI diwakili oleh Linda Agum Gumelar (sebagai Ketua Umum). Dewi Motik menyatakan “Saya mendirikan APPB (Aliansi Perempuan Untuk Pembangunan Berkelanjutan) dan menjadi anggota GPTP”. Terhadap posisi APPB sendiri, Leoni Achmad (wakil Sekjend KOWANI) menyatakan : “APPB itu yang membentuk Ibu Dewi.Sebenarnya APPB itu kecil sekali, hanya berada di Jakarta.Ibu Nila teman sekelas Ibu Dewi.Ibu Erna juga teman sekelas Ibu Dewi.Jadi mereka tidak mau ramai, tidak mau bersitegang sesama teman”.
Peryataan Leoni Achmad tersebut membenarkan bahwa terdapat keterikatan antara pendirian APPB “yang terkesan mendadak” dengan proses perjalanan diluncurkannya GPTP di mana kemudian APPB menjadi anggota di dalamnya. Konflik perebutan eksistensi dalam gerakan tanam di internal KOWANI jika dilihat dari proses demi proses sebenarnya sangat kelihatan yakni antara Linda Agum Gumelar sebagai Ketua Umum KOWANI yang mewakili organisasi dalam gerakan tanam dan Dewi Motik yang posisinya di KOWANI secara structural terhambat dengan struktur di atas untuk menjadi icon gerakan tanam maka didirikanlah APPB meski hanya dengan dukungan 2 orang kawan dekatnya yakni Erna Witoelar dan Nila Muluk. Dewi Motik (Ketua APPB dan Ketua Umum KOWANI) menyatakan : “Dr. Sumitri (salah satu pengurus di KOWANI) mengatakan semua dunia punya aliansi seperti ini, Kok Indonesia tidak punya sih, malu-maluin banget kita.Beliau pengurus KOWANI.Saya bilang, sini saya buatin.Kebetulan ketua DarmaWanita Ibu Nila F Muluk teman saya sekelas, teman sebangku. Nil, saya butuh ruangan nih. Nil, kamu kan bini nya menteri, tolong dong. Tiga perempuan berfikir jadi (Erna Witular, Dewi Motik dan Nila F Muluk)”.
Dewi Motik menjadi icon APPB dalam gerakan tanam, dan baru sejak tahun 2009 ia menjadi icon gerakan tanam KOWANI setelah terpilih menjadi Ketua Umum. Pertanyaannya bagaimana dengan kepemimpinan APPB setelah Dewi Motik menjabat sebagai Ketua Umum KOWANI khususnya dalam kaitannya dengan gerakan tanam pohon nasional GPTP?Masalah rangkap jabatan dalam organisasi anggota GPTP rupanya tidak hanya dialami oleh Dewi Motik.Rangkap jabatan juga dilakukan oleh Nila Muluk (menjabat sebagai Ketua Umum Darma Wanita dan APPB) dan Erna Witoelar (menjabat sebagai Ketua GPTP, SIKIB dan juga menjabat di APPB).Penulis belum melakukan triangulasi sumberdata dari organisasi PKK dan Bayangkari tentang adanya rangkap jabatan di organisasi anggota GPTP.Rangkap jabatan seperti ini dalam pandangan penulis dapat bermakna bahwa gerakan tanam hanya diisi oleh kelompok-kelompok kecil di lingkaran kekuasaan. Hubungan emosional dan kroni yang kuat dalam gerakan tanam GPTP menjadi perekat soliditas “palsu” dan menutup erat-erat konflik tersebunyi dalam pelaksanaan gerakan tanam.Perekat soliditas dalam gerakan tanam mendasarkan pada distribusi kekuasaan dalam gerakan perempuan di bawah kendali kekuasaan
75
sentral Negara. Kekuasaan Negara telah mengikat harmonisasi “palsu” karena sejak awal sebenarnya KOWANI kecewa dengan adanya ambil alih program tanam KOWANI menjadi program Ani Yudhoyono yang identik dengan SIKIB. Berdasarkan keterangan Erna Witolar, konflik laten dalam gerakan menanam bukanlah konflik kelembagaan namun lebih mengarah pada konflik personal pimpinan organisasi anggota GPTP. Erna Witoelar menyatakan : “Kita mesti pisahkan organisasi dengan bawaan (karakter) orang yang menjadi pimpinannya. Beda organisasi, beda tingkat kepeduliannya sehingga aksinya masing-masing organisasi berbeda-beda. KOWANI waktu mulai (ketika GPTP didirikan) ketuanya kan Linda Gumelar, tak pakai marah-marah begitu malah kerjasamanya baik. Waktu itu Dewi Motik menjadi ketua APPB.Waktu itu yang bagian marah-marah APPB. Dewi motik menjadi KOWANI, yang suka marahmarah jadi KOWANI”
Ani Yudhoyono dalam pandangan KOWANI telah “menjual” isu perempuan ke dunia internasional.Perempuan yang banyak tinggal di pedesaan, lahan dan sawah-sawah serta menjadi tulang punggung keluarga di pedesaan dianggap oleh Ani Yudhoyono sebagai kelompok strategis dalam ikut serta mencegah pemanasan global sebagaimana menjadi agenda pembahasan Negaranegara barat. Leoni Achmad (Wakil Sekjend KOWANI) menyatakan : “Beliau (Ibu Ani) mengambil alih (ide gerakan tanam KOWANI).Itu yang saya puji Ibu Linda.Beliau itu sarjana Politik yang langsung bisa menerima (meski sebenarnya kecewa).Saya saja tidak menerima.Saya yang mengatakan “Bu, gagasan dari kita kok dia yang mau maju ke Internasional”. Akhirnya Ibu Ani Yudhoyono yang maju di Konrefensi di Bali masalah climate change dan Ibu Ketua Umum KOWANI ditinggalkan. Saya kerja yang menyiapkan seminar itu dari pagi ke pagi lagi karena kita harus well done.Kita laksanakan di Borobudur hotel”.
Konflik tersembunyi dalam gerakan tanam selain konflik eksistensi yang mengedepankan pencitraan pribadi di atas, juga konflik manajerial dalam gerakan tanam.KOWANI menganggap konsep Ani Yudhoyono dan SIKIB dalam gerakan tanam lebih memprioritaskan unsur simbolik dan seremonial daripada ensensi gerakan tanam itu sendiri. Aksi simbolik dan seremonial dalam pandangan KOWANI telah memakan banyak anggaran Negara hanya untuk menyambut kedatangan Presiden dan Wakil Presiden yang disebut sebagai “ring pertama” dan “ring kedua” dalam acara puncak Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara yang diadakan setiap tahun pada 1 Desember. Leoni Achmad (Wakil Sekjend KOWANI) menyatakan : “Saya terus terang banyak kontranya dengan program yang diadakan 7 organisasi ini (GPTP).Karena agak tidak masuk di akal saya. Namun kalau yang tidak setuju hanya saya, sedangkan mereka setuju kan jalan terus. Apalagi (saya) istri para militer itu (harus) setia.Saya bilang ini uang keluar mubadzir. Macam PKK, kalau di tanya terus terang mereka tidak setuju. Tapi di bawahnya kan istri menteri dalam negeri. Pohon yang ditanam tidak jelas kepemilikannya.Yang memelihara itu siapa? Tahun 2010, saya tidak kuat dan saya ngomong (bu Dewi tidak datang) “Bagaimana upacara seremonial yang menghadirkan Ibu Ani ini kita tiadakan.Karena inilah memakan biaya. Ring satu dan ring dua, sudah berapa ratus juta memakai biaya. Belum lagi ekstra kosumsinya.Bagaimana uang ratusan juta ini kita berikan pada daerah yang menanam pohon”.Mereka menjawab “wah tidak bisa kalau begitu.Itu tanggung jawabnya Gubernur
76
setempat.Tanggung jawabnya pejabat setempat”. Kegiatan semuanya simbolis dan seremonial.Istilah kata menaman pohon (maaf) tahi kucing saja, pakai segala macam upacara. Pejabat ring 1, pejabat ring 2 segalam macam, umbul-umbul itu kan mengeluarkan uang. Mendingan uangnya kita berikan para pemilihara untuk membeli pupuk.”
Orientasi simbolik dan gerakan seremonial serta tuntutan “pencitraan” menanam pohon sebagaimana ditargetkan SIKIB mengakibatkan buruknya manajerial dalam menyediaan bibit-bibit tanaman.Pada tahun 2009 banyak bibit yang tak bisa di tanam dengan baik. Bibit-bibit yang di tanam juga tidak memiliki kejelasan siapa yang akan memeliharanya dan siapa pula yang akan memanennya kelak. Leoni Achmad (Wakil Sekjend KOWANI) menyatakan : “Tahun 2009 kita sangat miss dengan tanaman. Karena dari laporan SIKIB, sekian juta tanaman.Padahal saya bilang “jangan kita bersombong-sombong dalam jumlah.Marilah kita walapun 1000 asal pasti hidup (di tanam dan dipelihara). Sehingga apa yang terjadi, Kementerian Pertanian dan Kementrian Kehutanan di minta menyiapkan ribuan bahkan jutaan pohon. Apa yang terjadi? Setelah kita cabut tanamannya dari tanah karena mati semua, tidak ada akar.Rupanya mereka hanya “nyetek”.Mereka hanya asal potong.Jadi ini akhirnya show of Force, seremonial saja.Rupanya bukan bibit namun tanaman yang di “setek”.Kalau tidak ada akar, setiap hari harus di siram.Kalau langsung di tancap lalu kita pulang, kita tinggal, ya mati.Karena itu kita dibohongi oleh penjual tanaman, oleh penjual bibit.Belum keluar akar karena SIKIB menentukan sekian juta pohon.Di mana ada sekian juta pohon, kalau setiap tahun harus di babat”.
Besarnya kekecewaan KOWANI terhadap manajerial gerakan tanam pohon GPTP yang hanya fokus pada pencitraan, kegiatan seremonial dan simbolik secara eksplisit memang tidak diungkapkan secara langsung khususnya oleh organisasi anggota KOWANI.Kepemimpinan Perempuan di sini terlihat begitu kuatnya terkooptasi Negara yakni antara pihak yang berkuasa dengan pihak lemah.Kooptasi tersebut tercemin juga dari sikap para individu pengurus yang memiliki sikap kritis tak mampu berbuat apa-apa ketika organisasi dicerminkan dari sikap dan keputusan pimpinannnya. Leoni Achmad (Wakil Sekjend KOWANI) menyatakan : Kalau saya protes, saya protesnya ke bu Dewi. Saya bilang : “Bu kok saya tidak setuju”. Bu Dewi bilang “sudahlah bu Leoni. Ikut saja. Mereka kan punya kuasa kok. Kita kan NGO, tidak punya kekuatan. Mereka kan istri menteri. Mereka punya kekuasaan”. Jadi menurut saya, saya katakan sama bu Dewi “Ibu bilang kalau Ibu tidak suka bermain politik. Tapi kalau rapat 7 organisasi (GPTP) Ibu berpolitik juga.Ibu setuju-setuju saja dengan gagasan mereka. Kalau saya kan tidak boleh menentang di depan (GPTP). Saya menentangnya ke Ibu karena Ibu membawahi KOWANI. Saya muncul ke sana karena KOWANI. Saya ada apaapapun, yang saya protes Ibu dulu, jangan di depan forum karena itu akan mencoreng muka Ibu (sebagai Ketua Umum KOWANI)”. Ibu Dewi mengatakan “biarin saja bu Leoni. Mereka lagi punya kuasa.Kita ikut saja”.
Dampak konflik laten dalam gerakan tanam menjadikan KOWANI menggeser sedikit posisinya dengan SIKIB (meskipun dilakukan tidak secara terang-terangan). KOWANI menganggap SIKIB telah melakukan pemalsuan laporan dengan banyaknya jumlah pohon yang ditanam. SIKIB dianggap telah
77
melakukan “klaim” atas kepemilikan pohon dan SIKIB bisa melakukan hal tersebut dalam pandangan KOWANI karena ia telah menetapkan dirinya sendiri sebagai pihak yang berprestasi, seakan-akan tidak ada keterlibatan pihak lain dalam gerakan tanam. Leoni Achmad (Wakil Sekjend KOWANI) menyatakan : “Mengapa SIKIB mendapat penghargaan, karena Ibu Ani telah mengangkat dirinya sendiri sebagai pimpinan dari 7 organisasi ini (GPTP).Mau tidak mau SIKIB yang maju.SIKIB yang menerima penghargaan, itu saya tidak tahu.Itu politik.Laporan palsu.Kalau melihat fisiknya tidak sebanyak yang dilaporkan, berjuta-juta pohon. Saya menanam 2 pohon, saya laporkan dua pohon, saya ngomong apa adanya. Dan sudah berhasil, dua kali panen.Mungkin Ibu Dewi punya uneg-uneg, tapi Ibu Dewi bisa menyusaikan diri.Sekarang bu Ani mencanangkan gerakan hidup bersih, kita tidak sepakat.Tumpang tindih kegiatan dengan KOWANI.Saya tidak cocok dengan gerakan hidup bersih yang digalakkan SIKIB.Yang saya tahu itu Sinar Mas.CSR itu yang diperas semuanya.Sikap KOWANI itu menyesuaikan saja”.
Konflik laten gerakan tanam pohon membawa dampak bagi klaim atas kepemilikan pohon yang telah di tanam oleh SIKIB.SIKIB menyebutkan kegiatan menanam pohon yang benar-benar menjadi binaan SIKIB adalah penanaman pohon yang dilakukan bersamaan dengan program desa sejahtera di desa Hargotirto Kabupaten Kulon Progo sebanyak 30 pohon. Dinamika konflik tersembunyi dalam gerakan tanam GPTP di mana SIKIB menjadi bagian di dalamnya mengakibatkan pohon-pohon yang telah ditanam perawatannya tidak dapat dikontrol dengan baik karena masing-masing pihak memperebutkan eksistensi.Yono (Asisten Program Indonesia Hijau SIKIB) menyatakan : “Kepemilikan pohon dan desa binaan di mana SIKIB berkiprah tak bisa di atas namakan SIKIB karena program tersebut dilaksanakan oleh SIKIB bersama-sama dengan GPTP. Program hijau dan desa binaan yang dilaksanakan oleh SIKIB hanya satu yakni Desa Binaan Hargotirto di Kabupaten Kulon Progo Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta”
Data ini berbeda dengan data yang dilaporkan SIKIB kepada Pemerintah dari hasil monitoring dan evaluasi. Evaluasi hasil penanaman pohon dilakukan dengan tiga cara. Pertama, Kementrian Kehutanan memfasilitasi adanya pusat data “Gerhan Net” di 31 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bisa diakses oleh SIKIB dan organisasi anggota GPTP.Kedua, Kementrian Dalam Negeri memfasilitasi berdirinya posko-posko hingga tingkat kecamatan.Melalui poskoposko tersebut informasi gerakan tanam disebarkan dalam bentuk radiogram dari tingkat pusat.Ketiga, panitia pusat menyediakan sarana pelaporan menggunakan system SMS dan Kartu Pos yang disebarkan ke seluruh peserta dan masyarakat dengan layanan perangko berlangganan (bebas biaya) dan di tujukan langsung kepada Ibu Negara. Dari hasil evaluasi secara swadaya SIKIB telah menanam sebanyak 275.413 pohon pada tahun 2007.Dari jumlah pohon yang ditanam tersebut, ada evaluasi perawatan pohon di bulan pertama jumlah pohon yang hidup sebanyak 268.533 pohon, dan pohon yang mati sebanyak 3.235 pohon. Tabel 5 Hasil Monitoring dan Evaluasi Gerakan Tanam SIKIB dan GPTP No
NAMA ORGANISASI
JUMLAH REALISASI TANAMAN
KONDISI TANAMAN
78
1 2 3 4 5 6 7 8
SIKIB KOWANI DHARMA PERTIWI DHARMA WANITA PERSATUAN TP PKK BHAYANGKARA APPB SWASTA DAN UMUM TOTAL
SUBSIDI 1.026.304 1.486.365 1.316.475
SWADAYA 275.413 2.229 1.343.527
TOTAL 275.413 1.026.304 1.488.594 2.660.002
BULAN KE-1 J.HIDUP J.MATI 268.533 3235 999.893 26.411 1.448.087 40.507 1.466.795 31.590
271.768 1.026.304 1.488.594 1.436.797
6.396.023 177.642 38.695
91.511 42.748 21.500 3.376.222 5.153.150
6.487.534 220.390 60.195 3.376.222 15.594.654
5.057.993 184.329 59.810 3.376.222 12.861.662
5.200.799 220.390 60.195 3.376.222 13.142.657
10.441.504
142.806 36.061 385 280.995
Sumber : Indonesia Hijau SIKIB, 2008
VI TINJAUAN KRITIS KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM GERAKAN PENANAMAN POHON
Gerakan Simbolik-Politis Pola kepemimpinan dalam gerakan menanam pohon di Muslimat NU berbeda dengan pola kepemimpinan dalam gerakan menanam pohon di SIKIB. Pendekatan kharismatik mendominasi dalam kepemimpinan Muslimat NU. Pendekatan kharismatik juga yang menjadikan gerakan penanaman pohon secara struktural di Muslimat NU menjawab pertanyaan gerakan tersebut berangkat dari kesadaran masyarakat terhadap kelestarian lingkungan untuk menopang kehidupan umat manusia di muka bumi meskipun di sisi lain gerakan penanaman pohon oleh anggota Muslimat juga dimotivasi oleh pengaruh kharisma pemimpin yang memiliki kebijakan penanaman pohon secara serentak di Indonesia, termasuk dalam studi ini dilakukan secara serentak di 21 kecamatan dan 287 desa se-Kabupaten Jombang. Kebijakan politik internal organisasi Muslimat NU di tingkat pusat dalam gerakan penanaman pohon menjadi landasan bagi gerakan penanaman pohon oleh anggota Muslimat NU di Kabupaten Jombang. Gerakan penanaman pohon melalui garis instruksi organisasi menghasilkan sebuah gerakan yang berbeda dengan gerakan penanaman pohon oleh adanya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kelestarian lingkungan untuk menopang kebutuhan manusia sebagaimana ajaran Al-Qur‟an dan hadist. Dalam gerakan penanaman pohon secara structural organisasi Muslimat NU di sebagian kelompok masyarakat yang memiliki status sosial sebagai pemimpin seperti para Ibu Nyai Pondok Pesantren, para Ketua Muslimat NU tidak memberikan contoh kepada anggota Muslimat NU bagaimana menanam pohon secara tepat, merawat pohon dengan efektif, mekanisme panen dan system pemasaran hasil panen. Para ketua Muslimat NU di tingkat ranting dan anak cabang sebagian besar tidak melakukan penanaman pohon secara langsung. Penanaman pohon dilakukan dengan mekanisme warnen yakni penanaman bibit menggunakan jasa buruh lepas. Proses perawatannya juga menggunakan system warnen. Motivasi para pimpinan Muslimat NU di tingkat ranting dan anak cabang menggunakan
TOTAL
79
system warnen adalah untuk mempermudah proses penanaman dengan menggunakan jasa buruh lepas dengan bayaran yang terjangkau. Meskipun system warnen seperti ini tidak mendidik dalam memberikan suri tauladan kepada lingkungan sekitarnya tentang adanya gerakan cinta penanam pohon, namun masyarakat memaklumi karena kondisi fisik pimpinan Muslimat NU yang sebagian besar usianya di atas 45 tahun menjadi kendala dalam melakukan gerakan penanaman secara langsung. System warnen digunakan oleh pimpinan Muslimat NU dan pengasuh pondok pesantren karena posisinya dalam strata sosial yang harus dilayani. Seperti kita ketahui Kyai dan keluarga Kyai (Ibu Nyai dan Gus-gus putra-putri Kyai) dalam kehidupannya kerap dilayani kebutuhan sehari-harinya. Pelayan ini dalam tradisi pesantren di sebut khadam 33. Sistem warnen ini bisa jadi karena mengikuti tradisi dan kebiasaan hidup Ibu Nyai Pesantren yang dilayani. Posisi pimpinan Muslimat NU Ranting (desa) dan Anak Cabang (Kecamatan) yang secara struktural di masyarakat dilayani kebutuhannya berimbas pada pelayanan yang sama dalam gerakan penanaman pohon (tidak dilakukannya secara langsung namun menggunakan system warnen) dalam pandangan penulis tidak bisa kita jadikan referensi bahwa pelaksanaan program penanaman pohon Muslimat NU di Kabupaten Jombang disebut gagal. Indikator sukses dan gagal yang telah dibuat oleh Kementerian Kehutanan dilihat dari banyaknya pohon yang berhasil tumbuh karena tidak semata ditanam namun juga adanya perawatan atas pohon oleh anggota masyarakat. Dari indikator banyaknya pohon yang tumbuh tersebut, Kementerian Kehutanan memberikan penghargaan kepada Muslimat NU. Jadi tidak berperannya pemimpin Muslimat NU di tingkat Ranting dan Anak Cabang dalam penanaman pohon secara langsung, tidak mengurangi semangat para anggota Muslimat NU dalam melakukan gerakan penanam pohon. Pola kepemimpinan dalam gerakan penanaman pohon Muslimat NU berbeda dengan pola kepemimpinan dalam gerakan penanaman pohon SIKIB. Jika posisi pemimpin dalam Muslimat NU tidak turun ke sawah dan ladangladang untuk kepentingan penananam pohon sebagaimana kegiatan para petani dan buruh tani pedesaan, maka para pemimpin SIKIB justru sebaliknya. Mereka melakukan penanaman pohon secara langsung dan simbolik. Artinya di hari yang telah ditentukan yakni biasanya dilakukan setiap tanggal 1 Desember sebagai pencanangan gerakan perempuan tanam dan pelihara pohon serentak seluruh Indonesia, para pemimpin SIKIB melakukan aksi penanaman pohon secara simbolik. Makna simbolik dalam gerakan tanam SIKIB bahwa pada setiap tanggal 1 Desember para istri Menteri menanam 1 pohon sebagai simbol penanaman 10 juta pohon. Simbol dalam penanaman dalam pandangan penulis tersirat makna agar diikuti dengan penanaman pohon secara serentak oleh masyarakat. Penanaman pohon secara simbolik juga dilakukan oleh Menteri Kehutanan Bapak MS Kaban pada 2006 pada acara launching program Kecil Menanam Dewasa Memanen (KMDM). Gerakan penanaman pohon secara simbolik tersebut dilakukan di depan 14.000 anggota Muslimat. Gerakan menanam pohon dalam 33
Istilah khadam ini diambil dari bahasa Arab “Khodam” yang artinya pelayan atau pembantu. Dalam tradisi pesantren terdapat konsep barakah yang diyakini sebagai bagian dari proses menuntut ilmu. Dalam upaya mendapatkan barakah ilmu tersebut, tidak sedikit para santri mengabdikan dirinya untuk melayani kehidupan Kyai/pengasuh pesantren
80
program KMDM Muslimat NU dilakukan satu minggu setelah acara penanaman simbolik oleh Menteri Kehutanan. Bagi masyarakat desa di Hargotirto di mana SIKIB melakukan gerakan menanam pohon, makna simbolik tidak mendapat penafsiran dari masyarakat. Ketika SIKIB menanam pohon yakni masing-masing istri menteri menanam 1 pohon dan jumlah keseluruhan ada 30 pohon (30 istri menteri), masyarakat sekitar hanya menonton. Masyarakat tidak melakukan penafsiran bahwa dibalik simbol penanaman pohon oleh para istri menteri harus diikuti oleh penanaman pohon oleh masyarakat sebagaimana gerakan menanam Muslimat NU. Masyarakat dalam posisi ini dalam pandangan penulis tidak melakukan kesalahan karena Dinas Pertanian hanya menyediakan jumlah bibit sebanyak jumlah yang di tanam oleh para istri menteri yakni 30 bibit. Hal ini berbeda dengan gerakan menanam pohon Muslimat NU yang juga secara teknis bekerjasama dengan Pemerintah. Gerakan penanaman simbolik dilakukan pada acara seremonial launching program KMDM sedangkan gerakan menanam pohon serentak dilakukan satu minggu usai acara. Model gerakan menanam yang berorientasi simbolik-politis dalam pandangan penulis berdampak pada efektfitas kepemimpinan perempuan baik SIKIB maupun Muslimat NU. Posisi pemimpin yang seharusnya diharapkan mampu mengidentifikasi situasi dan kondisi sosial sebagai dasar dalam sikap kepemimpinan dalam pandangan teranulir dengan adanya orientasi simbolispolitik gerakan menanam pohon. Kepemimpinan perempuan dalam gerakan menanam pohon kemudian terbelah menjadi dua yakni gerakan menanam swadaya masyarakat dan gerakan menanam struktural atau gerakan politik internal organisasi. Dalam studi kepemimpinan perempuan ini terlihat adanya jebakan struktur organisasi baik Muslimat NU maupun SIKIB dalam gerakan menanam pohon. Kepemimpinan perempuan di dua organisasi tersebut meskipun memiliki motivasi yang berbeda namun orientasi simbol pada karakteristik gerakannya dalam program menanam pohon berdampak konflik laten adanya “perang eksistensi” pada diri masing-masing pemimpin baik di SIKIB maupun Muslimat NU. Pola interaksi antara pemimpin dan anggota atau anggota mengedepankan simbol seperti yang ada dalam acara-acara seremonial gerakan tanam. Kondisi struktur SIKIB yang tidak memiliki anggota di masyarakat menyebabkan organisasi ini menerapkan gaya kepemimpinan yang cenderung transaksional. Kondisi kepemimpinan SIKIB berbeda dengan kepemimpinan Muslimat NU yang secara struktur memiliki anggota sehingga ciri-ciri anggotanya teridentifikasi termasuk motivasi (altruism) yang merekatkan gerakan di masyarakat. Model Struktur dan motivasi gerakan Muslimat NU (altruism) dipahami sepenuhnya oleh pemerintah sebagai kekuatan untuk mensukseskan gerakan tanam dan gerakan-gerakan lainnya dalam mencapai tujuan pembangunan millennium. Penulis melihat kemitraan antara Muslimat NU dan Pemerintah berdampak pada pola interaksi antar pemimpin di internal organisasi Muslimat NU yang kemudian menciptakan konflik laten di internal Muslimat NU antara Khofifah sebagai Ketua Umum PP Muslimat NU dengan Mahsusoh Tosari Wijaja sebagai Ketua Tim Gerakan Hijau. Gerakan menanam yang selama bertahuntahun menjadi tradisi rutin anggota Muslimat NU berubah menjadi gerakan simbolik-politik.
81
Dampak orientasi simbolis-politik dalam gerakan menanam pohon menyebabkan hubungan dan kerjasama antar pemimpin di internal maupun eksternal organisasi mengalami disharmoni. Konflik laten dalam gerakan menaman pohon (GPTP) menempatkan SIKIB sebagai musuh bersama meskipun di permukaan hubungan dan kerjasama antar pemimpin dalam GPTP terlihat harmonis. Konflik laten dalam gerakan menanam pohon menyebabkan posisi pemimpin tampil dengan bargaining yang lemah dengan pihak Pemerintah atau antar pemimpin organisasi perempuan yang tergabung dalam GPTP. Hal ini terlihat dari kebijakan masing-masing organisasi anggota GPTP dalam gerakan menanam pohon bersifat “mengamini” pemerintah yang terpotret dalam kebijakan SIKIB. Kepentingan Politik Internasional Program menanam pohon yang digalakkan Pemerintah dengan menggerakkan partisipasi perempuan dalam pandangan penulis selain merupakan respon terhadap tuntutan dunia internasional, program ini merupakan wujud kesadaran masyarakat terhadap kerusakan lingkungan akibat modernisasi dalam pembangunan. Perempuan yang memiliki pengalaman dalam menghabiskan waktunya di lahan, hutan, sawah dan gunung digunakan oleh Pemerintah untuk mensukseskan tuntutan dunia internasional sebagaimana tertuang dalam MDG‟s. Indonesia yang memiliki hutan paling luas diharapkan oleh PBB dapat mengantisipasi dampak pemanasan global. Dalam catatan sejarah, gerakan penanaman pohon merupakan gerakan lama sejak zaman Pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Gerakan penanaman pohon yang dikenal dengan reboisasi dilaksanakan pertama kali sejak tahun 1976 melalui program bantuan Reboisasi dan Penghijauan sebagaimana Instruksi Presiden (Inpres). Dalam perkembangannya, sejak tahun anggaran 1994/1995, kebijakan Reboisasi dan Penghijauan dibebankan pada DIPDA tingkat Kabupaten (saat itu disebut dengan tingkat II). Sebagaimana gerakan penanaman pohon yang dicanangkan Susilo Bambang Yudhoyono, gerakan reboisasi di masa Orde Baru juga memiliki tujuan yang sama yakni menghutankan kembali kawasan hutan lindung kritis di wilayah daerah aliran sungai dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Gerakan penanaman pohon dari catatan sejarah tersebut bukanlah hal baru. Bahwa sekarang ini dilakukan gerakan penanaman oleh SIKIB yang terkait dengan climate change, itu adalah suatu “penguatan” bahwa gerakan penanaman yang dilakukan sejak lama (sejak Orde Baru) relevan dengan situasi kekinian (climate change). Motivasi utama gerakan menanam pohon dalam studi ini tidak lebih hanya sebagai respon tuntutan global di mana kelompok perempuan dianggap sebagai kelompok utama (major group) dalam pembangunan berkelanjutan seperti dalam pembahasan KTT di Johanerburg pada tahun 2002 (http://www.menlh.go.id). Pada posisi ini kelompok perempuan menjadi “pihak lain” yang disadarkan perannya untuk berperan serta dalam program pelestarian lingkungan yang telah rusak oleh dampak pembangunan ekonomi yang nota bene dijalankan laki-laki di sektor publik. Naluri merawat dan memelihara yang dimiliki perempuan dikombinasikan dengan tuntutan dunia internasional kepada Indonesia untuk melestarikan lingkungan. Pemerintah melalui SIKIB melakukan sosialisasi peran
82
yang “harus” dilakukan oleh perempuan untuk mengatasi permasalahan lingkungan. Murniati Widodo AS, Ketua Umum SIKIB menyatakan : “Perempuan semakin hari “harus” semakin memperhatikan lingkungan, yang bisa dimulai dari dalam rumahnya sendiri. Adalah anugerah bila perempuan memiliki sifat alamiah yang melekat yakni senang memelihara atau kata orang Jawa, open (tekun). Sifat ini “harus” dianggap sebagai keunggulan dan modal utama untuk melakukan, memberi contoh lalu mengajak semua anggota keluarga untuk bersama-sama menjaga kebersihan, pengelolaan sampah sampai penanaman pohon”.
Dari studi dokumentasi dan observasi lapangan, dalam pandangan penulis program menanam dan memelihara pohon SIKIB bukanlah program yang berdiri sendiri, juga bukan program yang seutuhnya digerakkan oleh kesadaran kaum perempuan yakni para istri Menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Program menanam dan melelihara pohon SIKIB memiliki keterkaitan erat dengan program pelestarian lingkungan yang dicanangkan oleh PBB dan dunia internasional dalam menghadapi ancaman bahaya perubahan iklim. Tuntutan dunia agar Indonesia berpartisipasi dalam memperlambat perubahan iklim karena melihat potensi Indonesia yang memiliki lahan hutan yang luas sehingga diharapkan dengan mengatasi kerusakan hutan dan melakukan upaya pelestarian lingkungan maka masalah perubahan iklim dunia tidak akan membawa dampak yang lebih luas. Berbagai pertemuan antar Negara yang membahas tentang perubahan iklim mengambil sebuah kesimpulan bahwa upaya mengatasi masalah ini harus dilakukan oleh semua elemen masyarakat termasuk kelompok perempuan yang juga diperkuat dalam KTT tentang Pembangunan Berkelanjutan pada tahun 2002 di Johanerburg bahwa perempuan merupakan kelompok utama (major group). Perbincangan para pemimpin Negara yang juga dihadiri Ibu Negara dalam pertemuan IPTEK di New York ditindak lanjuti oleh Ani Yudhoyono di Indonesia. Pertemuan internasional “memaksa” perempuan turut ambil bagian dalam program penyelamatan lingkungan melalui gerakan tanam dan pelihara pohon tanpa menjelaskan keuntungan apa saja yang akan diperoleh oleh kaum perempuan jika lingkungan terselamatkan. Pertemuan di New York sebagaimana diceritakan oleh Ani Yudhoyono terfokus pada dampak perubahan iklim yang mengancam semua sektor kehidupan mulai dari ketahanan pangan sampai masalah kesehatan masyarakat. Ani Yudhoyono menyatakan : “Dari situlah kemudian terpikir bahwa kita ini memang harus melakukan sesuatu untuk lingkungan. Misalnya dengan penanaman kembali. Ditambah lagi, bersamasama Bapak Presiden ke pertemuan IPTEK, di New York. Mereka membicarakan tentang climate change”
Tuntutan dunia internasional agar Indonesia berperan aktif dalam mengembalikan kerusakan lingkungan direspon oleh Pemerintah dengan keluarnya kebijakan tentang kegiatan tanam-menanam pohon antara lain Peraturan Menteri Kehuatanan nomor : P.68/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Kampanye Indonesia Menanam. Pertaturan Menteri Kehutanan tersebut dikeluarkan atas himbauan Presiden RI dalam acara Pencanangan Indonesia Menanam bertepatan dengan Hari Bumi pada 22 April 2006 di Kota Baru Bandar Kemayoran Jakarta.
83
Pemerintah Indonesia menyusun ruang lingkup kampanye Indonesia Menanam fokus pada lima kegiatan kampanye penanaman dengan berbagai program yang sifatnya “state driven”. Pertama, Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 89 tahun 2007. GERHAN merupakan kegiatan koordinasi yang mendayagunakan segenap kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam merehabilitasi hutan dan lahan pada wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS). Dalam kegiatan GERHAN inilah program menanam dan memelihara pohon dalam Indonesia hijau SIKIB menjadi bagian di dalamnya. Kementrian Kehutanan sebagai penyedia bibit dan Indonesia Hijau SIKIB dan organisasi perempuan lainnya termasuk Muslimat NU bertugas melakukan sosialisasi dan melakukan melakukan gerakan tanam dan pelihara pohon di masyarakat. Pemerintah Indonesia merespon secara serius tuntutan internasional dalam upaya pelestarian lingkungan dengan mengerahkan semua sumber daya manusia dan juga sumber daya alam. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 89 tahun 2007 mengatur aktor-aktor yang menjadi bagian dalam kegiatan kampanye GERHAN. Pasal 6 dalam Peraturan Presiden tersebut menyebutkan struktur GERHAN diisi oleh 14 Menteri (Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat sebagai Ketua, Menteri Kehutanan sebagai Ketua Harian, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Pertanian, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Hukum dan Ham Azasi Manusia, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Negara Riset dan Teknologi), Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia dan Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika. Kedua, Gerakan Bakti Penghijauan Pemuda (GBPP) yakni sebuah gerakan untuk membangkitan kepeloporan pemuda dalam melaksanakan penghijauan dan konservasi alam sehingga timbul minat dan kepedulian serta memiliki kesadaran dan kemauan untuk secara swadaya melakukan penyelamatan sumber daya alam, hutan dan air. Ketiga, Kecil Menanam Dewasa Memanen (KMDM) adalah kegiatan penyuluhan kehutanan yang merupakan gerakan moral bagi murid-murid sekolah dasar dalam rangka menumbuh kembangkan minat dan rasa cinta terhadap pohon dan lingkungan sekitarnya melalui kegiatan pembelajaran, penyemaian, penanaman, pemeliharaan sampai pemanenan. Dalam pelaksanaan teknis penanaman pohon program KMDM ini juga melibatkan kaum perempuan pedesaan. Selain mengeluarkan regulasi tentang pelestarian lingkungan dan gerakan tanam pohon, pemerintah juga mendorong keterlibatan para Istri Menteri Kabinet Indonesia Bersatu dalam kegiatan Konferensi Kearifan Lokal Perempuan Indonesia Dalam Perubahan Iklim Global (Adaptasi dan Mitigasi) yang diselenggarakan di Jakarta pada 26-28 November 2007. Dalam kegiatan ini pemerintah berharap besar terhadap peran perempuan dalam ikut serta menanggulangi perubahan iklim yang mengancam tidak hanya Indonesia namun juga ancaman bagi Negara-negara lain di dunia. Dari catatan kronologis kegiatan Konferensi ini terselenggara juga menjadi bagian dari rangkaian kegiatan dan
84
jadwal pertemuan Negara-negara anggota PBB pada Konferensi PBB tentang Climate Change di Bali pada bulan Desember 2007. Dari rangkaian pertemuan mulai di Johaneburg, New York, konferensi PBB tentang Climate Change di Bali tahun 2007 dan terbitnya regulasi dalam pandangan penulis hal tersebut menegaskan bahwa kepentingan dunia internasional akan ancaman perubahan iklim lebih mendominasi dan menjadi motivasi bagi Indonesia dalam melakukan gerakan menanam pohon. Pemerintah Indonesia sangat berkepentingan untuk tampil kepada dunia sebagai Negara yang peduli terhadap pelestarian lingkungan. Tabel 8 menjelaskan rangkaian peristiwa, pertemuan internasional, pertemuan nasional dan terbitnya regulasi tentang gerakan penanaman pohon saling terkait satu sama lain di mana kepentingan internasional lebih dominan daripada melihat perempuan sebagai pihak yang banyak dikorbankan dari kerusakan lingkungan. Ani Yudhoyono menyatakan “Indonesia diminta menjadi tuan rumah pada bulan Desember 2007 untuk penyelenggaraan Konferensi PBB tentang Climate Change di Bali. Kebetulan KOWANI dan organisasi kaum perempuan lainnya ingin mengadakan seminar lingkungan hidup di Bali. Dalam bincang-bincang saya katakan, jangan di Bali. Mari kita lakukan sendiri, kalau bisa di Jakarta. Tapi bukan hanya seminar saja tetapi dengan tindakan nyata (yakni) dengan melakukan tindakan nyata dengan melakukan penanaman”
Konferensi Kearifan Lokal Perempuan Indonesia Dalam Perubahan Iklim Global dalam pandangan penulis merupakan pintu masuk SIKIB (Pemerintah) untuk mensosialisasikan adanya bahaya pemanasan global kepada para aktifis perempuan. Dampak yang diharapkan dari adanya sosialisasi tentang bahaya pemananasan global adalah tumbuhnya kesadaran pribadi dan kelompok perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan tanam dan pelihara pohon sehingga akan membawa kesan bahwa gerakan tanam dan pelihara pohon adalah gerakan rakyat tanpa adanya intervensi dari pemerintah dan dunia internasional. Dalam laporan tertulisnya, kegiatan Konferensi ini bertujuan untuk menambah wawasan perempuan tentang dampak, upaya adaptasi dan mitigasi akibat perubahan iklim, memberikan motivasi berbasis kearifan lokal kepada perempuan untuk ikut serta aktif melakukan perubahan perilaku dalam menghadapi perubahan iklim. Misi yang hendak disampaikan dalam penyelenggaraan Konferensi ini adalah membangun kesadaran perempuan dalam penyelematan lingkungan berbasis kearifan lokal, meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan perempuan dalam penyelamatan lingkungan, meningkatkan sikap dan perilaku perempuan yang peduli lingkungan berdasarkan naluri alamiah untuk melindungi dan memelihara, memotivasi dan mendorong perempuan dalam pelaksanaan aksi nyata eko-efesiensi menghadapi perubahan iklim dan membangun jejaring kemitraan dengan seluruh lapisan masyarakat dan organisasi/lembaga lainnya secara berkesinambungan. Ani Yudhoyono menyatakan : “Dulu kita mengenal Indonesia memiliki dua musim, hujan dan kemarau. Boleh dikatakan selalu pasti, bila musin kemarau dimulai dari April sampai September, September ke Maret itu musim hujan. Sekarang ini ternyata sangat berbeda, kadang-kadang panas yang dikatakan sebagai panas tiba-tiba hujan. Yang seharusnya hujan ternyata belum datang hujan. Berarti memang sudah ada perubahan iklim. Ketika gagasan ini saya sampaikan pada Bapak Presiden, beliau
85
menantang, karena yang ada selama ini hanya perorangan yang cinta lingkungan atau sebuah lembaga Negara mungkin belum pernah ada. Jadi, saya sampaikan kepada Ibu-Ibu jangan sampai kita gagal. Kebetulan pula kita sedang memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional. Jadi apa yang akan dilakukan kaum perempuan? Apa kita hanya….maaf ya, hanya sebagai pelengkap saja. Tentu kita tidak mau, kita juga ingin dicatat kalau kita bisa berbuat sesuatu untuk bangsa. Akhirnya gagasan besar tadi terwujud dan terlaksana dengan baik. Saya mengucapkan terima kasih karena tanpa bantuan dari kaum perempuan mana mungkin gerakan tersebut dapat terjadi.”.
Materi sosialisasi dalam Konferensi Kearifan Lokal Perempuan Indonesia Dalam Perubahan Iklim Global sama persis dengan materi konferensi PBB tentang Climate Change di Bali pada Desember 2007. Isu perempuan sebagai pihak yang paling dirugikan dan mendapat dampak yang besar akibat adanya perubahan iklim menjadi bahasan utama dalam konferensi tersebut. Perubahan iklim yang antara lain disebabkan oleh ulah manusia telah menimbulkan berbagai dampak negative, bahkan kondisi perekomian Indonesia ikut berpengaruh. Turunnya ketahanan pangan menyebabkan perekonomian rumah tangga yang sangat menggatungkan hidup dari sektor pangan ikut terpuruk. Kemiskinan di Indonesia tidak terhindarkan dan akibat kemiskinan lebih banyak ditanggung oleh perempuan. Konferensi Kearifan Lokal Perempuan Indonesia dalam pandangan penulis hendak menggiring adanya “sosialisasi peran” kepada para aktifis perempuan agar memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan karena upaya apapun tidak dapat mengembalikan dan memulihkan kondisi seperti keadaan sebelum terjadi perubahan iklim. Upaya yang dapat dilakukan oleh kaum perempuan adalah dengan memperlambat proses perubahan iklim, mengurangi dampak melalui mitigasi sehingga perubahannya tidak ekstrim dan melakukan upaya adaptasi terhadap perubahan-perubahan alam, yang terjadi akibat perubahan iklim. Perempuan sebagai manusia yang mempunyai tanggung jawab sosial dan kepedulian terhadap alam, yang merupakan “Ibu” yang memberi dan melindungi kehidupan dalam pandangan pemerintah dan Ani Yudhoyono harus memikul tanggung jawab untuk peduli pada perubahan iklim yang terjadi dan ikut berperan aktif mengurangi laju perubahan iklim. Jadi landasan pemikiran gerakan menanam pohon seperti dijelaskan di atas bukan bentuk kesadaran terhadap kerusakan lingkungan oleh akibat ekspolitasi pembangunan namun hanya sebagai pemenuhan terhadap kepentingan dunia internasional (Tabel 6). Tabel 6 terlihat bagaimana kerusakan lingkungan sangat mengkwatirkan dunia internasional yang banyak menggunakan energy dengan adanya pertemuan internasional di mana Indonesia menjadi bagian di dalamnya. Pertemuan internasional tersebut ditindak lanjuti dengan pertemuan nasional dan juga Indonesia menjadi tuan rumah dalam Konferensi PBB tentang Climate Change pada 2007 (Tabel 6)
Gambar 6 Peristiwa yang Melatari Gerakan Menanam dan Pelihara Pohon SIKIB
86
Sumber : data primer diolah
Penananam Pohon dan Keadilan Sosial Kasus Penanaman Pohon Anggota Muslimat NU Makna Pohon Bagi Muslimat NU Tradisi menanam bagi anggota Muslimat NU di pedesaan merupakan kebiasaan turun temurun. Seorang perempuan dewasa di pedesaan memiliki tanggung jawab membantu Ibunya bercocok tanam, merawat kebun dan pekarangan. Pembagian tugas dalam dunia pertanian berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki dewasa, bapak dan anak laki-laki bertugas menggemburkan tanah34 34
Sejak tahun 1990-an pekerjaan menggemburkan tanah pasca panen di pedesaan banyak dikerjakan oleh mesin sehingga tenaga manusia berkurang fungsinya. Pekerjaan ini juga banyak di serahkan kepada buruh-buruh tani upahan
87
pertanian pasca panen sebelum ditanami. Perempuan dewasa, Ibu dan anak perempuan bertanggung jawab menanam, merawat tanaman dan juga memanennya. Perempuan pedesaan memiliki kebiasaan menanam untuk pemenuhan kebutuhan pangannya seperti padi, juga menggunakan sisa-sisa lahan di belakang rumah, samping rumah dan tegalan untuk tanaman jenis apotek hidup dan sayursayuran. Jenis tanaman yang gemari oleh perempuan desa adalah tanaman sayursayuran seperti bayam, lombok, teladak (selada air) dan apotek hidup seperti kunyit, lengkuas, jahe, temu-kunci dan lain sebagainya. Tradisi menanam dan merawat tanaman biasanya dilakukan di pagi hari usai kegiatan domestik memasak, membersikan rumah dan mencuci pakaian. Semua kegiatan domestik tersebut dilakukan perempuan dewasa, Ibu dan anak perempuan. Masyarakat yang tinggal jauh dari akses pasar tradisional memanfaatkan hasil pertanian di pekarangan35 untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Kebutuhan selain pangan seperti biaya sekolah, bayar listrik dan lain sebagainya diambilkan dari menjual hasil panen padi dengan menyisakan padi hasil panen untuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. Sisa padi disimpan dalam gudang yang terletak di belakang rumah namun masih menjadi bagian dari bangunan rumah. Padi-padi yang disimpan tersebut digiling menjadi beras ketika persediaan beras untuk kebutuhan anggota rumah tangga sudah mulai menipis. Tradisi memanfaatkan hasil panen sesuai kebutuhan tersebut membuat padi-padi seringkali tersisa sampai masuk masa panen selanjutnya. Mbok Sumi (warga desa Tunjung Kecamatan Udanawu Blitar) menyatakan “Aku iki wong mlarat, ndak duwe opo-opo. Lek gawe mangan ae yo ono beras dan janganan kari njupuk di mburi omah” Perempuan pedesaan memiliki tanggung jawab yang besar dalam melakukan kegiatan tanam-menanam, merawat dan juga memanennya di lahan milik keluarga. Kegiatan yang tidak berbayar ini kelihatan sepele, namun kegiatan rutin inilah yang mampu mempertahankan pangan keluarga. Kaum perempuan khususnya anggota Muslimat NU memiliki pemahaman tersendiri tentang makna pohon dan tanaman di lingkungan sekitarnya. Bagi warga NU, kegiatan menanam dan memelihara pohon merupakan bagian dari cara mensyukuri karunia Allah SWT. Melalui pengajian di majlis taklim36, para 35
Dalam penelitian ini, penulis melakukan observasi terlibat di desa Tunjung Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar pada Juli 2011-Pebruari 2012. Desa Tunjung merupakan salah satu desa di kecamatan Udanawu Kabuapten Blitar yang sangat jauh dari akses transportasi, akses fasilitas public dan juga akses pasar. 36 Pada masa pemerintah Orde Baru, para pengurus Muslimat NU melakukan aksi social di masyarakat dalam bingkai dakwah majlis taklim. Kebijakan pemerintah orde baru yang menerapkan asas tunggal berimplikasi pada kepemimpinan perempuan dalam Muslimat NU. Sebagai organisasi perempuan, hubungan Muslimat NU dengan pemerintah tidak mesra. Para pengurus Muslimat NU di daerah takut bergerak dengan baju Muslimat-nya. Teguran dan ancaman tidak naik pangkat membuat pengurus Muslimat lebih memilih ikut meleburkan diri dan berpartisipasi dalam organisasi perempuan bentukan pemerintah seperti PKK dan Dharmawanita. “Bu saya berharap kalau ke daerah kami, tidak usah mampir ke rumah saya. Suami saya kepala desa” ujar pengurus Cabang Muslimat di Jawa Timur seperti dituturkan Aisyah Hamid Baidlowi (Ketua Umum PP Muslimat NU periode 1995-2000) kepada penulis pada 1 Juni 2012. Wal hasil para pengurus Muslimat NU yang notabene ustadzah kampung melakukan internalisasi nilai-nilai agama dan social tidak menggunakan baju Muslimat sebagai organisasi namun menggunakan medium majlis taklim
88
ustadzah yang juga pengurus Muslimat NU selalu menyerukan kepada anggota masyarakat bahwa sebagai seorang hamba Allah selain kita diwajibkan menjalankan ibadah mahdhah, ubudiyah (beribadah kepada Allah sesuai syari‟at Islam), manusia juga diwajibkan untuk menjaga keseimbangan hubungan dengan manusia dan alam sekitarnya. Kegiatan menyampaikan pentingnya menjaga keseimbangan alam oleh para ustadzah Muslimat NU tak hanya dilakukan di majelis taklim namun juga disampaikan dalam kegiatan-kegiatan seperti arisan PKK dan Dharma Wanita. Setiap minggu anggota masyarakat diajak kerja bakti membersikan selokan dan penyuluhan mengelola sampah rumah tangga. Setiap bulan ada kegiatan bersih desa. Dan setiap tahun ada kegiatan lomba rumah sehat37. Ajaran Islam menjadi pijakan bagi kaum perempuan pedesaan untuk melestarikan alam dan memanfaatkannya. Keberadaan manusia dan alam sekitarnya memiliki hubungan ketergantungan. Manusia menggantungkan hidupnya dari alam sekitarnya dan alam menggantungkan pelestariannya pada manusia. Melalui internalisasi nilai dalam pengajian dan majlis taklim, masyarakat pedesaan memahami bahwa Tuhan telah menciptakan bumi beserta segala isinya untuk kemaslahatan manusia38. Bagaimana menikmati hasil bumi ciptaaan Allah, warga NU dan juga masyarakat menggunakan pedoman firman Allah “makan dan minumlah, dan jangan berlebihan”. Ajaran menikmati hasil bumi yang tidak berlebih-lebihan merupakan ajaran yang juga disosialisasikan tidak hanya melalui majlis taklim, pengajian namun juga melalui medium pendidikan diniyah, pesantren maupun pendidikan formal di Madrasah. Dalam konsep “tidak berlebihan” ini mengandung makna selain untuk tidak meng-eksploitasi alam, juga harus senantiasa memperhatikan keseimbangan alam yakni dipanen sedikit, di tanam banyak. Pada ranah ini kepemimpinan perempuan dalam melestarikan lingkungan melalui gerakan tanam dalam pandangan penulis didorong oleh dua faktor yakni nilai-nilai agama dan solidaritas sosial. Pemimpin hadir di masyarakat sebagai motivator penggerak masyarakat. Dengan mendasarkan kekuatan nilai agama, pemimpin menstimulasi masyarakat dan para anggotanya menjadi pribadi yang aktif, kreatif dan inovatif. Dalam konteks ini pemimpin berhasil membawa anggotanya menjadi pribadi yang dapat menggunakan imajinasinya untuk melestarikan lingkungannya dan memanfaatkannya untuk kemaslahatan ummat. Pohon dan Ketidak Adilan Sosial
37
Pemilihan rumah sehat mendasarkan pada indikator rumah yang menyediakan lahan pekarangan untuk tumbuhnya tanaman rumput, apotek hidup. Pemilihan rumah sehat pada seleksi awal biasanya dilakukan oleh ketua PKK yang dalam pandangan penulis sangat subyektif karena hanya mendasarkan pada rumah yang mewah, rumah dengan bahan bangunan mahal, lebar dan pekarangan yang luas bukan rumah-rumah penduduk biasanya yang memang memiliki tradisi hidup sehat dalam kesehariannya. Sebab rumah yang ditunjuk menjadi rumah sehat dan diikut sertakan lomba biasanya melakukan kegiatan tanam secara mendadak untuk kepentingan keikutsertaan lomba. 38 Dasar pelesatrian lingkungan yang menjadi pijakan anggota Muslimat NU sebagaimana tertuang dalam Qur‟an Surat Al-Baqarah 2:29, Qur‟an Surat Al-Jatsiyah 45 : 13, Qur‟an Surat Al-Isra 17:70), Qur‟an Surat Al-An‟am 6:141-142
89
Kegiatan penanaman pohon di desa-desa39 banyak dilakukan oleh kaum perempuan. Kegiatan menanam menjadi bagian dari kegiatan rutin dan tradisi perempuan pedesaan untuk memenuhi kebutuhan dan bertahan hidup40. Kaum perempuan memanfaatkan “galengan41” untuk ditanami jenis sayur yang merambat, pohon sengon. Galengan yang posisinya ada di sawah paling ujung biasanya berukuran lebih lebar. Galengan inilah digunakan oleh kaum perempuan untuk menanami pohon kelapa. Motivasi menanam pohon kelapa oleh kaum perempuan pedesaan juga untuk memenuhi kebutuhan anak turunnya. Mbah Tuwut (almarhum warga desa Condro Kecamatan Pasirian Lumajang Jawa Timur) menyatakan : “Rumah Suwarno (anaknya) iku kabeh kayune teko sawah wetan. Tak ketok dhewe (rumah milik Suwarno semua bahan kayunya dari sawah di bagian selatan. Semua (kayu tersebut) saya sendiri yang memanennya”.
Perempuan desa Pasirian Kabupaten Lumajang, desa Tunjung Kabupaten Blitar di mana penelitian ini dilakukan memiliki kedekatan dengan sawah dan ladang. Dalam kesehariannya perempuan dewasa; Ibu dan anak perempuan menghabiskan waktunya di sawah dan ladang. Namun demikian pembagian kerja pertanian di pedesaan masih mendasarkan pada perbedaan jenis kelamin. Akses dan control atas lahan dan pohon juga mendasarkan juga pada jenis kelamin. Dalam lokus penelitian yang penulis lakukan, proses pengadaan benih pohon seperti sengon dan jati dilakukan oleh perusahaan yang menggunakan jasa tenaga laki-laki. Kegiatan membebaskan lahan belukar padat juga dilakukan oleh lakilaki dewasa. Tujuh proses lainnya dilakukan oleh perempuan dewasa antara lain membebaskan belukar jarang, menanam pohon, menyiram, memangkas, menyiangi, memanen dan mengeringkan. Pada tahapan kayu hasil panenan telah kering, proses penjualan dilakukan oleh laki-laki dewasa. Hasil penjualannya juga menjadi milik laki-laki dewasa sepenuhnya. Akses atas hasil penjualan dimiliki sepenuhnya oleh laki-laki mendasarkan pada argumentasi bahwa laki-laki adalah kepala keluarga. Dalam kasus yang penulis amati di lapangan terdapat ketimpangan akses atas pohon. Desa-desa yang ada di Kecamatan Pasirian42 memiliki budaya patriakhi yang sangat kental. Laki-laki dewasa memiliki akses yang besar terhadap sumberdaya alam dan materi. Meskipun perempuan dewasa yang melakukan tujuh tahapan dalam kegiatan pertanian, namun hasil pertanian sepenuhnya menjadi milik laki-laki. Makanya memiliki anak laki-laki bagi masyarakat di Kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang merupakan sebuah kesempurnaan.
39
Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi di desa Condro, desa Pasirian, desa Bago, Desa Kali Welang kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang dan desa Tunjung Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar Jawa Timur 40 Banyak anak-anak perempuan di desa-desa tidak ingin menjadi petani. Kegiatan “nandur” (menanam benih padi) dilakukan generasi tua. Sedangkan anak-anak perempuan sebagian besar hijrah ke luar kota dan luar negeri untuk mempertahankan hidupnya (wawancara dengan Mbok Asih, Desa Lumajang 24 Maret 2012) 41 Jalan setapak di samping sawah yang menjadi pembatas antara sawah satu dengan sawah lainnya. 42 Penulis melakukan observasi terlibat di 10 desa yang di wilayah administrasi Kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang Jawa Timur pada Juli 2011-Maret 2012
90
Dalam sebuah kasus yang penulis amati, ketika Kepala Keluarga meninggal dunia dan anak laki-laki dianggap belum cukup dewasa untuk menerima harta waris dengan serta merta hak waris diambil alih oleh adik almarhum laki-laki. Beberapa hari meninggalnya Bapak Suwarno43, adik lakilakinya memanen semua pohon sengon yang ditanam oleh istri Suwarno. Tak ada perlawanan maupun klarifikasi dari peristiwa tersebut baik oleh ahli waris Bapak Suwarno maupun oleh masyarakat. Dalam kasus pohon-pohon sengon yang ditanam oleh Muriati di atas galengan tersebut pada awalnya diniatkan sebagai tabungan dan akan dipanen saat kebutuhan uang untuk menutupi biaya kematian suaminya. Muriati (istri Suwarno rarga desa Gondoruso Kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang Jawa Timur) menyatakan : “Saya sudah menduga sejak pertama kali menikah dulu akan begini jadinya. Saya masih bersyukur di karunia anak oleh Allah sebab jika saya tak punya anak maka semua harta ini akan diambil oleh adik-adik suami saya. Saya dianggap orang lain meskipun selama hidup dengan almarhum saya juga bekerja mencari nafkah”
Kondisi seperti yang ada dalam kasus yang menimpa Muriati di atas dianggap oleh masyarakat tak ada kaitannya dengan kejahatan, diskriminasi dan ketidak adilan yang dapat dituntut secara hukum. Masyarakat desa Pasirian dalam kasus ini lebih menyerahkan kasus seperti ini sebagai urusan pribadi sehingga mengangkatnya ke ranah publik dianggap sebagai aib. Ketika penelitian ini dilakukan, keluarga ipar Muriati (dari pihak suaminya) tengah membahas perebutan hak atas tanah. Muriati dalam kasus ini diposisikan oleh keluarga suaminya sebagai orang luar yang tidak punya kewenangan apa-apa terhadap tanah dan pohon-pohon sengon yang telah di tanamnya. Ketidak berdayaan kaum perempuan pedesaan yang tidak memiliki akses dan control atas tanah dan pohon yang telah ditanamnya menjadi penyebab kemiskinan kaum perempuan tatkala mereka berusia lanjut. Dalam tradisi di mana penelitian ini dilaksanakan, ketika seseorang telah menginjak usia 55 tahun ke atas maka semua tanah dan pohon yang ada di atasnya dipindah tangankan kepada anak dengan mekanisme hibah maupun waris. Mereka yang usianya telah menua, semua kebutuhannya diserahkan kepada anak laki-lakinya. Permasalahan muncul tatkala sistem perawatan para orang tua yang jompo sangat minimalis, hanya terpenuhi kebutuhan pangan ala kadarnya. Makanya tidak heran jika kita temui di desa-desa mereka yang mudanya rajin (kecuali mereka yang berprofesi sebagai PNS) berada di sawah, menanam pohon jati, sengon namun diusia tuanya dalam kondisi kemiskinan. Kasus seperti ini tidak sendirian. Di banyak tempat kaum perempuan semakin kehilangan akses dan kontrolnya terhadap tanah yang sebenarnya merupakan satu-satunya sumber kehidupan utama. Jika dalam kasus penelitian ini, perebutan tanah dilakukan secara personal oleh anggota keluarga laki-laki justru di banyak tempat perebutan dan pemindah tanganan tanah dilakukan oleh sistem Negara beserta koorporasi. Seperti yang dialami oleh kaum perempuan yang menempati hutan-hutan, sebagai pengumpul makanan, merawat tanaman obatobatan dan semua waktu dalam kesehariannya dihabiskan di hutan terpaksa terusir dari hutan dimana mereka menggantungkan hidupnya oleh kebijakan 43
Penulis melakukan observasi terlibat dalam keluarga Suwarno yang meninggal dunia akibat kanker, desa Pasirian Kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang Jawa Timur
91
pemberlakuan taman nasional. Di Papua misalnya (Rahayu, 2011), sebagian besar kaum perempuan yang sebelumnya bergantung pada tanaman bahan baku sagu mesti menderita akibat kebijakan perluasan Merauke Industri Makanan dan Energi Estate (MIFEE). Dalam situasi seperti kasus di atas, pemimpin perempuan yang terdiri atas ustadzah majlis taklim Muslimat NU mengambil peran nihil. Hal ini bisa dimaklumi karena sampai saat ini dominasi tafsir agama di daerah dimana penulis melakukan penelitian ini masih dipegang oleh laki-laki. Keterbatasan akses ke institusi hukum juga menjadi bagian dari permasalahan kepemimpinan perempuan dalam membela hak-hak warga masyarakat yang hak-haknya diserobot oleh orang lain. Dalam kondisi demikian biasanya para pemimpin mengambil peran sebagai pemberi motivasi dalam kesabaran. Nilai agama menjadi landasan yang mumpuni dalam mengajak anggota masyarakat untuk bersabar dan menerima kondisi yang ada. Soal hukum, pemiliknya adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Hilangnya sumber kehidupan untuk dikelola dalam kasus yang menimpa Muriati dalam kajian studi ini berujung pada hilangnya mata pencaharian perempuan bahkan berdampak pada bertambahnya beban kerja perempuan. Dalam keseharian para perempuan seperti Muriati ini harus mengasuh cucu dan bekerja mencari uang. Aktifitas pertanian yang dulunya bertumpu pada panen pohonpohon, seiringnya dengan hilangnya akses dan control atas pohon membuat kaum perempuan harus bekerja serabutan yang dalam kasus Muriati ini ia menjalani hidup dengan membuat kue dan menjajakannya keliling desa khususnya pada saat menjelang hari raya idul fitri. KWT Ngudi Lestari dan Gerakan Hijau di Desa Hargotirto Studi terhadap Kelompok Wanita Tani (KWT) Ngudi Lestari dalam gerakan hijau menjadi bagian dari penelitian ini karena kelembagaan KWT diakui oleh SIKIB sebagai mitra yang menjalankan program Pilar Indonesia Hijau SIKIB di Hargotirto Kulonprogo Jogjakarta. Dari studi ini terlihat bagaimana KWT Ngudi Lestari tidak memiliki hubungan kelembagaan dengan SIKIB. SIKIB dalam laporannya melakukan “klaim” telah menanam berjuta-juta pohon, padahal kegiatan tanam-menanam tersebut dilakukan oleh pihak lain yakni KWT Ngudi Lestari. SIKIB juga melaporkan telah melakukan pembinaan kepada KWT Ngudi Lestari, padahal pembinaan yang dimaksud dilakukan oleh LPPM UGM. Dalam melakukan interaksi kelembagaan dan melakukan operasional kegiatan di desa Hargotirto, SIKIB tidak melakukan komunikasi langsung44 dengan KWT Ngudi Lestari. Kegiatan pilar Indonesia Hijau SIKIB di desa Hargotirto Kulonprogo Jogjakarta dilaksanakan dengan LPPM UGM. Jika di desa Hargotirto hendak ada acara seremonial, SIKIB menghubungi LPPM UGM. Selanjutnya LPPM UGM lah yang melakukan komunikasi dengan Pemerintah Daerah dan juga KWT sebagai pelaksana teknis di lapangan. Kelompok Wanita Tani Ngudi Lestari dibentuk pada tahun 2003. Pada proses pembentukan KWT Ngudi Lestari, peran penyuluh Dinas Pertanian 44
Ketua KWT Ngudi Lestari menyatakan bahwa SIKIB pernah menghubunginya secara langsung via telpon ketika meminta laporan kegiatan pembibitan. Padahal program pembibitan Kebun Bibit Rakyat (KBR) bukanlah program SIKIB namun program Kementerian Kehutanan bekerjasama dengan KWT. Data-data pohon dalam program KBR di klaim menjadi kegiatan SIKIB
92
memegang kendali sebagai motivator dan masyarakat dalam hal ini kaum perempuan dewasa sebagai penggerak. KWT dibentuk sebagai wadah kaum perempuan tani untuk melakukan kegiatan pertanian secara kelompok di lahan milik kelompok untuk meningkatkan kesejahteraan anggota. KWT Ngudi Lestari memiliki struktur kepengurusan terdiri atas Pelindung, Ketua, Sekretaris, Bendahara, Seksi Pengolahan, Seksi Pemasaran, Seksi Usaha dan Seksi Humas. Ketua KWT dipilih langsung oleh anggota yang pada saat pembentukannya berjumlah 31 orang anggota dari dua RT dalam satu dusun. Ketika penelitian ini dilaksanakan di desa Hargotirto terdapat 5 (lima) KWT, sedangkan Kelompok Tani (KT) berjumlah 28 kelompok. Meskipun berbentuk paguyuban kaum perempuan, KWT memiliki peraturan organisasi sebagai hasil kesepakatan anggota melalui proses permusyawaratan. Para anggota KWT menamakan aturan dengan istilah AD/ART yang berfungsi sebagai dasar dan landasan anggota dalam menjalankan program kerja kelompok. Jika ada anggota yang melanggar AD/ART maka akan dikenakan sangsi sesuai dengan bentuk pelanggaran seperti misalnya bagi anggota yang tidak hadir dalam satu pertemuan akan dikenakan sangsi berupa denda sebesar Rp. 5000,. Kegiatan KWT adalah berkebun di lahan kelompok hasil sewa. Hasil panen tanaman kelompok kemudian diproduksi secara tradisional menjadi bahan pangan antara lain produksi gula semut, minyak WCO, produksi jamu hasil tanaman herbal. Laba penjualan dibagikan kepada semua anggota kelompok. Kegiatan tanam-menanam KWT tersebut di bawah pembinaan penyuluh Dinas Pertanian Kabupaten Kulonprogo. Nunuk K (Ketua KWT Ngudi Lestari) menyatakan : “Tahun 2003 KWT ini di bentuk. Saya dipilih sebagai ketua. Semua anggota berhak dipilih. Anggota kami ada 31 waktu itu. Dihadiri oleh dinas pertanian. Pemilihannya di sini. Tidak ada yang mencalonkan diri sebagai ketua. Yang jadi anggota adalah dua RT. Sampai sekarang anggotanya tinggal 28 orang, yang dua orang meninggal dunia dan 1 orang pindah tempat. Kami punya AD/ART. Anggota harus mentaati peraturan. Kegiatannya, berkebun, kita punya produk gula semut, kita memproduk WCO. Kita di bina penyuluh”
Pada tahun 2010 KWT Ngudi Lestari mendapatkan bantuan program Kebun Bibit Rakyat (KBR) dari Dinas Pertanian Pemerintah Daerah Kabupaten Kulonprogo. Harapan dan semangat anggota dan pengurus KWT terhadap program KBR ini sangat besar di bandingkan dengan program penanaman pohon yang dilakukan SIKIB. Ada dua alasan tingginya harapan dan motivasi anggota KWT terhadap program KBR, pertama bagi anggota KWT yang ikut berpartisipasi melaksanakan program tersebut mendapatkan upah harian sebesar Rp. 25.000 dan dipotong sebesar Rp. 5000,- untuk kas KWT, sisanya sebesar Rp. 20.000,- dibayarkan kepada anggota KWT. Alasan kedua adalah masing-masing bibit yang telah dibenihkan selama empat bulan lamanya dibagikan kepada anggota masyarakat dan menjadi milik pribadi, bukan milik kelompok seperti pohon yang ditanam SIKIB. Program KBR dari dinas pertanian kepada KWT Ngudi Lestari berbentuk bantuan uang sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Uang tersebut diperuntukkan untuk pengadaan benih dan biaya operasional anggota KWT dalam pemeliharaan benih selama 4 bulan dan biaya distribusi bibit kepada anggota
93
masyarakat. Setelah proses pencairan dana bantuan, Dinas Pertanian memberikan pengarahan kepada KWT Ngudi Lestari untuk membeli 60.000 benih dari perusahaan pengadaan benih yang telah ditunjuk oleh Dinas Pertanian. Informan (pengurus KWT Ngudi Lestari) dalam Fokus Group Discussion (FGD) menyatakan : “Tahun 2010 kami dipercaya oleh Dinas untuk melakukan pembibitan, sengon, jabon sejumlah 60.000. Yang melakukan pembibitan kelompok wanita tani. Setelah (bibit) berumur 4 bulan lalu dibagi-bagikan. Kami yang melakukan pembibitan, lalu dibagikan ke anggota Kelompok Tani yang sebagian besar laki-laki. Dari dinas bentuknya uang. Lalu kita membeli bibit di pihak yang ditunjuk dinas (dinas yang membelikan). Hibahnya untuk beli bibit, biaya pemeliharaan dan distribusi bibit. Saat beli alit-alit (kecil-kecil). Selama 4 bulan Ibu-Ibu yang merawat dengan sistem gilir. Sehari 4 orang, untuk menyiangi, memupuk. Sehari 4 orang dengan honor 25000/orang/hari. Kita masukkan kas ke KWT 5000 jadi diterimakan kepada buruh tani sebesar Rp. 20.000. Bibit di antar dari dinas. Kami menerima uang sebesar Rp. 50 juta. Penjual bibitnya, dia bukan orang dinas. Dinas hanya memberi tahu kalau mau membeli bibit ke sana”.
Benih yang telah berumur 4 bulan didistribusikan kepada masyarakat khususnya para anggota Kelompok Tani (beranggotakan petani laki-laki) dan Kelompok Wanita Tani. Kondisi bibit yang telah dipelihara selama empat bulan tidak semuanya dapat hidup segar sebanyak jumlah benih pada saat diterima oleh KWT Ngudi Lestari dari perusahaan pembihan. Kelompok Tani penerima bibit membagikan bibit-bibit yang diterimanya kepada anggota yang jumlah bibitnya ditentukan oleh besarnya luas lahan milik masing-masing anggota. Pada tahapan ini, KWT Ngudi Lestari sebagai pelaksana program KBR lepas tanggung jawab terhadap nasib bibit-bibit yang selama empat bulan di bawah pemeliharaannya. Bibit-bibit yang kepemilikannya diserahkan kepada masing-masing anggota Kelompok Tani dan Kelompok Wanita Tani ini tak bisa dikontrol apakah ditanam dan dipelihara dengan baik atau tidak. Informan (pengurus KWT Ngudi Lestari) dalam Fokus Group Discussion (FGD) menyatakan : “Setelah di tanam kendalanya ada yang mati, di drop sekian, yang mati berapa. Yang rajin ya di siram. Kalau masih kecil-kecil. Orang kan beda-beda, ada yang rajin ada yang tidak. Kami tidak ngecek satu persatu. Itu nge-drop nya juga di kelompok-kelompk. Bibit dibangikan ke anggota, ajenge di rawat nggih monggo (hendak dipelihara ya silahkan). Sudah lepas dari tanggung jawab kami (KWT)”.
Distribusi bibit yang dihasilkan dari program KBR oleh KWT Ngudi lestari dibagikan kepada enam kelompok, lima kelompok di antaranya adalah Kelompok Tani yang beranggotakan laki-laki dan hanya satu Kelompok Wanita Tani (Tabel 8). Bibit yang dibagikan kepada Kelompok Tani (KT) Andini dengan anggota 60 petani laki-laki sebanyak 9.200 bibit dan biaya pemeliharaan sebesar Rp. 4.600.000,-. Kelompok Tani Sumber Mulyo dengan anggota 50 petani lakilaki memperoleh bibit sebanyak 8.700 bibit dengan biaya pemeliharaan Rp. 4.350.000,-. Kelompok Tani Ngudi Rejeki memperoleh bibit sebanyak 8600 untuk 50 petani laki-laki dengan biaya pemeliharaan sebesar Rp. 4.300.000,-. Kelompok Tani Ontorejo dengan jumlah anggota 50 petani laki-laki mendapat 8500 bibit dengan biaya pemeliharaan sebesar Rp. 4.250.000,- Kelompok Wanita Tani
94
(Ngudi Lestari) yang melakukan pembibitan dan pelaksana program KBR mendapatkan 7500 bibit untuk 50 petani perempuan dengan biaya pemeliharaan sebesar Rp. 3.750.000,-. Dan terakhir Kelompok Tani Wira Merapi mendapatkan bibit sebanyak 50.000 untuk 50 petani laki-laki dengan biaya pemeliharaan sebesar Rp. 3.750.000,0. Dari distribusi bibit tersebut terlihat adanya ketimpangan atas kepemilikan bibit antara laki-laki dan perempuan. Warga laki-laki yang tergabung dalam Kelompok Tani mendapatkan bibit lebih banyak daripada warga perempuan yang justru melakukan pembibitan. Nunuk K (Ketua KWT Ngudi Lestari) menyatakan : “Ini catatannya bu45. Masing-masing orang dapat bibit berdasarkan lahan yang dimilikinya. Orang tak bisa mengaku berlahan luas karena masing-masing orang dapat mengontrol. Yang nanam bibit adalah Bapak-bapak. Kalau Ibu kan ndamel lubang-lubang kirang saget (Ibu-Ibu tidak bisa membuat lubang untuk pembenihan).”.
Di luar kegiatan pembibitan KBR, anggota KWT Ngudi Lestari memiliki kegiatan rutin sebagai pengrajin gula, menanam sayur mayur di lahan kelompok dan hasil panennya dibagikan kepada semua anggota KWT Ngudi Lestari. Kegiatan rutin yang mengikatkan masing-masing anggota KWT Ngudi Lestari adalah arisan beras dan arisan uang. Dalam kegiatan rutin seperti arisan, acara diisi dengan pemberian materi penyuluhan dari Dinas Pertanian. Dari semua kegiatan rutin KWT, program KBR dianggap oleh anggota KWT sebagai program yang memberi menfaat langsung kepada anggota masyarakat. Nunuk K (Ketua KWT Ngudi Lestari) menyatakan : “Kita senang dengan program KBR karena kita kerja di bayar, biar sedikit ada pemasukan. Untuk hasil pembenihan KBR menjadi milik sendiri. Urusan di tanam dan diperihara, itu sudah menjadi urusan masing-masing”
Tabel 6 Distribusi Bibit Kelompok Tani/ Kelompok Wanita Tani KT Andini KT Sumber Mulyo KT Ngudi Rejeki KT Ontorejo KWT Ngudi Lestari KT Wira Merapi
Jumlah anggota 60 orang 50 orang 50 orang 50 orang 50 orang 50 orang
Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Laki-laki laki-laki Perempuan Laki-laki
Jumlah bibit 9.200 8.700 8.600 8.500 7500 7500
Bantuan Biaya Pemeliharaan Rp. 4.600.000,Rp. 4.350.000,Rp. 4.300.000,Rp. 4.250.000,Rp. 3.750.000,-. Rp. 3.750.000,
Sumber : Data primer diolah Kegiatan penanaman pohon SIKIB tidak hanya dilakukan oleh KWT Ngudi Lestari. Di desa Hargotirto terdapat 28 Kelompok Tani dan 5 Kelompok Wanita Tani (KWT). Keberadaan kelompok Tani ada di pemerintah dusun, namun dari 28 dusun yang ada baru lima dusun yang ada KWT nya antara lain dusun Sekendal, dusun Segajih, dusun Keji dan dusun Segatan. SIKIB juga memiliki binaan di KWT Melati dalam program pengembangan tanaman herbal. 45
Bu Sapardi Ketua KWT Ngudi Lestari memberikan data satu bundel daftar penerima bibit kepada penulis
95
Ketika melakukan penelitian lapangan di desa Hargotirto, penulis melakukan observasi ke lahan yang ditanami tanaman herbal. Pada saat penelitian, di desa Hargotirto tengah mengalami musim kemarau menjadikan desa Hargotirto yang letaknya berada di atas gunung kesulitan akses air. Pohon-pohon yang ditanam SIKIB sebagian besar banyak yang mati. Kondisi memprihatinkan juga terjadi pada nasib tanaman herbal yang ditanam di lahan-lahan milik kelompok KWT Melati yang letaknya bersebelahan dengan rumah pintar SIKIB. Lahan berjumlah tiga petak itu tidak terlihat adanya tanaman apapun di atasnya, kering dan mati. Ada juga kemungkinan matinya pohon-pohon karena tidak adanya pemeliharaan yang intensif terhadap pohon-pohon yang ditanam oleh anggota dan pengurus KWT Melati. Kondisi lapangan ini menjadi anti tesis dengan laporan pengurus Pilar Indonesia Hijau dan para pendamping dari LPPM UGM bahwa lahan tanaman herbal tersebut pernah meraih juara III tingkat nasional. Fakta di lapangan membuktikan bahwa anggota KWT Melati bersemangat melakukan pemeliharaan tanaman herbal karena adanya penghargaan yang menjadi imingiming SIKIB. Tanpa adanya iming-iming penghargaan, anggota dan pengurus KWT tidak memiliki kontrol dalam pemeliharaan tanaman. Adi (Kepala Program Kerjasama LPPM UGM) menyatakan “Kita pernah lomba toga juara 3 tingkat nasional. Kalau di sana, medannya gunung, satu lahan herbal semua. Daerah yang tidak ada sawahnya”. Partisipasi perempuan di antara satu KWT dengan KWT lainnya di desa Hargotirto sangat berbeda cara dan strateginya. KWT Ngudi Lestari terlihat sangat dinamis dan guyup di antara para anggota dan pengurusnya. KWT Ngudi Lestari memiliki sekretariat yakni dengan memanfaatkan ruang tamu rumah salah satu pengurus yang digunakan sebagai tempat berkumpul para anggota untuk kegiatan rutin arisan, menerima kunjungan dari luar daerah maupun untuk kegiatan pembinaan atau penyuluhan dari dinas pertanian. Ketika penulis melakukan studi lapang ke KWT Ngudi Lestari, semua pengurus berkumpul membawa data-data pohon dan produk yang telah dihasilkan KWT tersebut. Teras depan rumah terpampang papan nama KWT Ngudi Lestari beserta dua stiker tentang pemberdayaan masyarakat dari Kementrian Sosial. Struktur kepengurusan KWT Ngudi Lestari tertulis dalam papan triplek warna putih berukuran 1x2 meter dan ditempelkan di tembok ruang pertemuan. Kondisi KWT Ngudi Lestari yang dinamis dan pengurusnya terlihat bersemangat didorong oleh adanya kesadaran untuk berkumpul dan bercocok tanam secara bersama-sama. Dorongan dan motivasi penyuluh pertanian yang juga merupakan suami Ketua KWT Ngudi Lestari yakni Bapak Supardi dalam pandangan penulis juga memiliki peran besar dalam mendinamisir gerakan perempuan dalam kegiatan pertanian. Informan (para pengurus KWT Ngudi Lestari) dalam Fokus Group Discussion (FGD) menyatakan : “Kami semangat (aktif dalam kegiatan KWT) karena telah menjadi kesepakatan dalam AD/ART. Kalau tidak berangkat (tanpa keterangan) ya didenda 5000 dan masuk kas. Kalau tidak begitu kan tidak menghormati yang aktif dan agar organisasi berwibawa. Bagaimana mengumpulkan anggota KWT ya bu?. Ya berdasarkan kesepakatan tanggal sekian kita (ada) pertemuan, getok tular, sudah tidak pakai undangan lagi. Kita di samping pertemuan, juga menimba ilmu dari bapak penyuluh, juga mengadakan arisan beras dan uang. Itu yang juga bisa mengikat. Yang mengajari Ibu-Ibu adalah penyuluh yang kebetulan adalah suami
96
saya. Dulu di kelompok ini yang juga mengajari pembukuan oleh bapak penyuluh pertanian. Juga banyak penyuluh yang datang ke desa ini bergantian”
Tingginya partisipasi perempuan dalam gerakan tanam melalui kelembagaan KWT Ngudi Lestari juga tak bisa dipungkiri karena adanya sistem bantuan pemerintah yang peruntukannya tidak untuk individu namun melalui kelompok. Kepemimpinan perempuan seperti ini sangat jelas sifatnya mengarah kepada kepemimpinan transaksional yakni adanya transaksi antara pemerintah sebagai pemberi bantuan kepada KWT sebagai pelaksana program gerakan tanam. Wagimin (Pendamping Program Indonesia Hijau SIKIB) menyatakan : “Setiap bantuan kan jatuhnya ke Kelompok Tani tidak perorangan. Masingmasing dusun harusnya memiliki Kelompok Wanita Tani, namun di desa Hargotirto ini hanya ada 5 kelompok tani”
Partisipasi perempuan dalam kegiatan KWT di desa Hargotirto sebenarnya tak memiliki keterkaitan langsung dengan kegiatan SIKIB kecuali untuk program pemeliharaan 30 pohon yang ditanam pengurus SIKIB pada tahun 2010. Kegiatan-kegiatan KWT di luar pemeliharaan pohon seperti berkebun sayur mayur, berkebun tanaman herbal, program Kebun Bibit Rakyat merupakan kegiatan kemitraan KWT dengan Dinas Pertanian sebagai penyedia anggaran serta pendampingan oleh penyuluh pertanian. Kegiatan KWT tersebut semuanya di klaim sebagai kegiatan dan program kerja SIKIB sehingga pengurus KWT bertanggung jawab memberikan laporan kegiatannya kepada SIKIB. Nunuk K (Ketua KWT Ngudi Lestari) menyatakan “Ada datanya. Kami mengirimkan laporan via Compact Disk ke SIKIB”. VII KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Kajian kepemimpinan perempuan SIKIB dan Muslimat NU dalam gerakan penanaman pohon di Indonesia menghasilkan kesimpulan yang dapat ditindak lanjuti dalam pengembangan sosiologi pedesaan di Indonesia khususnya dalam program pengembangan masyarakat. 1. Muslimat NU dan SIKIB tidak menjadikan isu hijau sebagai gerakan utamanya. Program penanaman pohon yang dilaksanakan SIKIB dan Muslimat NU sejak tahun 2006 tidak lebih sebagai wujud dukungan politik kepada Pemerintah Indonesia yang ikut serta menandatangani MDGs sehingga gerakan penanaman pohon di dua organisasi tersebut tidak dapat disebut sebagai gerakan hijau yang memegang prinsip-prinsip demokrasi kerakyatan, keadilan sosial, penguatan civil society yang sangat memperhatikan kesinambungan ekologi dalam pembangunan. Gerakan penanaman pohon SIKIB dan Muslimat NU tidak dapat dikategorikan dalam gerakan hijau sebagai kesadaran gerakan dan perilaku yang menjunjung tinggi keseimbangan ekologi. Gerakan penanaman pohon SIKIB dan Muslimat NU hanya sebatas gerakan “proyek” yang state driven. Muslimat NU secara organisatoris hanya memanfaatkan kekuatan
97
naluri perempuan (anggota Muslimat NU) yang dekat dengan lingkungannya untuk mensukseskan program penanaman pohon milik Pemerintah. Muslimat NU sendiri beserta kekuatan strukturnya di desadesa dimanfaatkan oleh Pemerintah untuk mensukseskan program pelestarian lingkungan. Kepemimpinan Perempuan dalam Muslimat NU di tingkat akar rumput berparadigma transformasional dengan motivasi altruistik meskipun di tingkat pusat (Pimpinan Pusat Muslimat NU) para pengurusnya mengamini developmentalism dan cenderung transaksional. Model kepemimpinan penanaman pohon yang digerakkan para elit Muslimat NU yang cenderung transaksional mengakibatkan terjadinya konflik laten. Konflik laten dalam gerakan penanaman pohon di Muslimat NU berdampak pada program layanan pendidikan yang terwadai dalam Yayasan Pendidikan Muslimat NU (YPM NU). YPM NU mengalami kevakuman selama 4 tahun lamanya. 2. SIKIB secara organisatoris gerakannya berbeda dengan Muslimat NU. Dalam konteks gerakan penanaman pohon, Muslimat NU memobilisasi hanya memanfaatkan anggotanya yang terikat dalam jaringan organisasi NU dan ikatan primordial sementara SIKIB cenderung memanfaatkan pihak lain dan juga melakukan “klaim” sepihak terhadap gerakan penanaman pohon yang dilakukan oleh pihak lain di luar SIKIB. Dalam studi kasus di desa Hargotirto Kabupaten Kulon Progo,SIKIB hanya menanam simbolis 30 tanaman sedangkan penanaman ratusan pohon lainnya di lakukan oleh LPPM UGM, Pemerintah Daerah Kulonprogo, Kelompok Wanita Tani (KWT) dan juga pihak swasta. Kegiatan tersebut di atas di atas namakan SIKIB. Kepemimpinan SIKIB berparadigma transaksional, dimana kepemimpinan merupakan transaksi sosial, masing-masing pemimpin dan anggotanya adalah independen. SIKIB merupakan organisasi yang tidak memiliki anggota sehingga dalam gerakan penanaman pohon memanfaatkan pihakpihak lain yang tidak memiliki hubungan dengan SIKIB, yang hanya diikat oleh adanya transaksi sosial. Konflik laten dalam gerakan penanaman pohon SIKIB dengan organisasi yang tergabung dalam GPTP (Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara) berdampak pada kaburnya kepemilikan atas pohon yang telah ditanam. Konflik laten dalam SIKIB juga berdampak pola interaksi antar pemimpin dalam organisasi GPTP. 3. Kepemimpinan perempuan dalam gerakan penanaman pohon di Indonesia dengan studi kasus Muslimat NU dan SIKIB sebagaimana dalam rumusan hipotesis pengarah dapat disimpulkan bahwa gerakan tersebut dilakukan secara simbolis-politis bukan sebagai wujud kesadaran atas degradasi lingkungan. Kepentingan internasional sangat mendominasi kebijakan Pemerintah Indonesia dalam mensuksesan gerakan penanaman pohon. Saran 1. Gerakan penanaman pohon yang dicanangkan pemerintah seharusnya tidak ditempatkan sebagai gerakan politik-simbolik apalagi jika gerakan tersebut juga dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menaikkan pencitraan
98
kepada dunia internasional sebagai gerakan pro rakyat. Gerakan penanaman pohon harus ditempatkan sebagai gerakan sadar manusia terhadap bahaya degradasi lingkungan bagi menurunnya kualitas hidup manusia. Jika gerakan kesadaran ini menjadi titik pangkal dari gerakan penanaman pohon, maka pemerintah harus melibatkan elemen masyarakat dan partisipasi anggota masyarakat secara langsung untuk menyusun strategi aksi hijau di masyarakat, tidak hanya mengedepankan program yang bersifat top down 2. Dalam melibatban partisipasi perempuan dalam gerakan penanaman pohon, pemerintah seharusnya arif dan bijaksana dalam menyusun perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program yakni dengan memperhatikan nilai-nilai, kearifan lokal dan sistem jaringan dalam gerakan perempuan. Jika pemerintah mengabaikan hal tersebut, maka gerakan penanaman pohon sesungguhnya tidak kalah berbahaya dari revolusi hijau yang telah menggerus struktur sosial beserta nilai-nilai yang ada di dalamnya melalui konflik laten yang diakibat gerakan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Buku : Armstrong SJ, Richard GB. editor. 1993. Enviromental Ethics; Divergence and Convergence. New York. (US): Mc Graw Hill Avolio BJ. 1999. Full Leadership Development : Building The Vital Forces In Organization. California (US): Sage Publication Inc Basuki Heru. 2006. Penelitian Kualitatif Ilmu-ilmu Kemanusiaan dan Budaya. Jakarta (ID): Gunadarma Press Bass BM. 2006. Transformational Leadership 2nd Ed. United Stated of America (US): Lawrence Erlbaum Associates Bell Mayerfeld, Michael. 1998. An Invitation To Environmental Sociology. California (US): Pine Forge Press Binus. 2008. Kekuasaan Dan Otoritas dalam Modul Mata Kuliah Ilmu Sosial Untuk Psikologi Bourdieu P. 1986. The Form of Capital. In John Richardson, editor. Hand Book of Theory and Research for the Sociology of Education. New York (US): Greenwood Press. Casson M, Godley A. 2000. Cultural Factors in Economic Growth. Germany (DE): Springer-Verlag Berlin – Heidelberg Claessens, Stijn, Feijen, Erik. 2006. Financial sector development and the Millennium Development Goals. (US): The International Bank For Reconstruction dan Development Chitambar. 1973. dalam Kolopaking. 2003. Sosiologi Umum. Bogor (ID): Fakultas Pertanian IPB, Jurusan Sosial Ekonomi Denzin NK, Yvonna SL. editor. 1994. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks (US): SAGE Publications Des J. 1993. Enviromental Ethics : An Introduction to Enviromental Philoshopy. Bhelmon (US): Wadsworth Pub Company Etzioni. 1982. Organisasi-Organisasi Modern. Jakarta (ID): UI Press Fukuyama F. 1995. Trust: The Sosial Virtues and the Creation of Prosperity. New York (US): The Free Press,
99
Gilligan C. 1996. Dalam suara yang Lain. diterjemahkan oleh Sonny Keraf, Jakarta (ID): Mitra Utama Glaser BG, Strauss AL. 2009. The discovery of grounded theory: strategies for qualitative research, New Jersey (US): A Division of Transaction Publisher, Rutgers The State University Handayani dkk. 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang (ID): UMM Press Hersey P, Kenneth HB. 1977. Management of Organizational Behavior : Utilizing Human Resourses. New Jersey (US): Prentice Hall, Inc, Englewood Clifft Himes. 1976. The Study of Sociology An Introduction. Illinois (US): Scott, Foresman and Co Haiman FS. 1951. Group Leadership and Democratic Action Hennessey R, Ingraham C. editor. 1997. Materialist Feminism : A Reader In Class, Difference and Women‟s Lives. New York (US): Routledge Ife J. 2002. Community Development – Community Based Alternatives in a Age of Globalisation. Australia (AU): Longman John Mc, Gregor Burns. 1978. Leadership, dalam John Storey. 2004. Leadership in Organization : Current Issues dan Key Trends. New Fetter Lane : London EC4P 4EE Tolkiens J.R.R. 1987. Lord of The Rings. Boston (US): Houghton Mifflin Kartono K. 1983. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta (ID): CV Rajawali Keil R. 1998. Political Ecology : Global and Local. London : Routledge Luthans F. 1977. Organizational Behavior, 2nd Ed. Tokyo (JP): Mc Graw Hill Kogakusha, Ltd Luthans. F. 1981. Organizational Behavior, Mc Grew Hill. Tokyo (JP): International Book Company, International Student Edition Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung (ID): Remadja Karya Mellor M. 1997. Feminism and Ecology. Cambridge (US): Polity Press Miles MB, Huberman AM. 1992. Qualitative Data Analysis : A Sourcebook of New Method. Sage. Beverly Hills Mitchell, Bruce dkk. 2007. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Jogjakarta (ID): Gajah Mada University Press Natsir LM. 1996. Antara Amal dan tuntutan Profesional di Aisyiyah dalam Gardiner. 1996. Perempuan Indonesia Dulu dan Kini. Jakarta (ID): PT Gramedia Donnel OM. 1981. A New Introduction to Sociology (2nd Edition). Surrey-UK (GB): Thomas Nelson & Sons, Ltd Overholt CA, Cloud K, Austin JE. 1988. Gender Roles in Development Olson M. 1982. The Rise and Decline of Nation. New Haven (US): Yale University Press. Poloma MM. 1989. The Assemblies of God at The Crossroads : Charisma and Institutional Dilemmas. University of Tennessee Press Putman, RR, Leonardi, Nenenti R. 1993. Making Democracy Work; Civic Tradition in Modern Italy. Princenton New Jersey (US): Princenton University Pers
100
Rahayu J. 2011. Integrating The Issu Of Violance Against Woman Within The Enviromental Advocacy Of FOEI Ritzer G. 2003. Teori Sosiologi Modern. Mc Graw Hill Robert C. 1999. dalam Martin Griffith, The Fifty Key Thinkers In International Relation, London (GB): Routledge Said T. 2008. Indonesia Hijau Menuju Indonesia Sejahtera : Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara 10 juta Pohon. Jakarta (ID): Solidaritas Istri Indonesia Bersatu (SIKIB) Sashkin M, Sashkin MG. 2003. Leadership that matters: the critical factors for making a difference in People Leaves and Organization Succes, Sans Fransisco (US): Berrett-Koehle Publisher Sessions G. 1995. Deep Ecology for the 21 Century : Reading on The Philosophy and practice of the New Enviromentalism. Boston (US): Shambala Shiva V. 1988, Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India, New Delhi (IN): Zed Press Silvan R, David B. 1994. The Green of Ethics, Cambridge (US): The White Horse Press Sitorus MTF. 1998. Penelitian Kualitatif : Suatu Perkenalan. Bogor (ID): Dokis Spradley JP. 1980. Participant Observation, The United State (US): Rinehart and Winston Thoha M. 2003. Kepemimpinan Dalam Suatu Manajemen : Suatu Pendekatan Perilaku. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada Wahyuni ES, Kolopaking L. 2010. Pemberdayaan Perempuan Pedesaan. Bogor (ID): Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB Walker P. 1986. The United Tasmania Group, Theses University of Tasmania; Dept. of Political Science Winardi. 1990. Kepemimpinan dalam Manajemen. Bandung (ID): Rineka Cipta Wirawan. 2003. Kapita Selekta Teori Kepemimpinan : Pengantar Untuk Praktek dan Penelitian Jilid 1. Jakarta (ID): Yayasan Bangun Indonesia dan UHAMKA Artikel dan Jurnal : Affandy S. 2011. Kriminalisasi Akses Sumberdaya Alam. Rubrik Opini Harian Seputar Nusantara; edisi 31 Juli 2011 Affandy S. 2011. Gerakan Hijau; Ideologis atau Simbolis Rubrik Opini Harian Seputar Nusantara; edisi 23 Juli 2011 Affandy S. 2011. Modal Sosial Muslimat NU, Rubrik Opini Anda Detik.Com; edisi 15 Juli 2011 Affandy S. 2011. Perilaku Hijau, Rubrik Opini Majalah Intisari; edisi 7 Juni 2011 Affandy S. 2011. Politik Lingkungan Versus Ekologi Politik, Rubrik Opini Harian Duta Masyarakat; edisi 7 Juni 2011 Affandy S. 2011. Antara Ekonomi Politik dan Pelestarian Lingkungan, Rubrik Opini Anda Detik.Com; edisi 5 Juni 2011 Affandy S. 2011. Ketika Menjadi Green Party, Rubrik Opini Kabar Indonesia; edisi 15 Maret 2011 Granovetter MS. 1973. The Strength of Weak Ties. American Journal of Sociology; 78, 1360 – 80.
101
Hasan M. 1997. Mengawali Penelitian. [Internet]. [diunduh 28 Januari 2012 pukul 10.57]. tersedia pada : http//home.unpar.ac.id/~hasan/mengawalipenelitian.rtf diakses pada
Khankhoje D. 2004. Advances In Women‟s Leadership Styles : Implication On Subordinates‟ Competencies In An NGO –An Empirical Investigation Naskah Deklarasi Gerakan Tanam dan Pelihara Pohon, 28 Nopember 2007 Supomo S. 2004. Corporate Sosial Responsibility (CSR) dalam Prinsip GCG. Harian Umum Republika; 20 Oktober Woolcock M. 2000. Why should we care about sosial capital?. Canberra Bulletin of Public Administration; No. 98 http://indonesiahijau.or.id/, diakses pada 20 Desember 2011 pukul 14:35 http://wwwnew.menlh.go.id/home/index.php?option=com_content&view=article &id=1801:Pengembangan-Peran-MUSLIMAT-NU-Dalam-PelestarianLingkungan&catid=43:berita&Itemid=73&lang=en Diakses pada 15 Pebruari 2012 pukul 10.56 http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=4621, diakses pada 23 Mei 2013 pukul 20.47 WIB
102
Daftar Informan Penelitian Kepemimpinan Perempuan Dalam Gerakan Hijau di Indonesia Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB No 1
Nama Ani Yudhoyono
Pendiri SIKIB
Jabatan
2
Murniati Widodo AS
Ketua Umum SIKIB
3
Adi Wibowo
Koordinator Program Pelayanan Masyarakat LPPM UGM
4
Wagimin
Tenaga Pendamping Desa Sejahtera SIKIB di Hargotirto Kulon Progo Jogjakarta
5
Erna Witoelar
Ketua Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara (GPTP) Ketua Program Indonesia Hijau SIKIB
6
Yono
Staff Program Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon
7
Febri
Staff Program Indonesia Hijau SIKIB
8
Nunuk
Ketua Kelompok Wanita Tani
9
Martini
Sekretaris 1 Kelompok Wanita Tani
10
Sarinem
Bendahara 2 Kelompok Wanita Tani
11
Ponijem
Sekretaris 1 Kelompok Wanita Tani
12
Mbok Sumi
Warga Desa Mbakung Udanawu Blitar
13
Mbok Asih
Warga Desa Lumajang Jawa Timur
14
Muriati
Warga desa Gondoruso Kecamatan Pasirian Lumajang Jawa Timur
15
Munjidah Wahab
Mantan Ketua PC Muslimat Jombang
16
Aisyah
Ketua PC Muslimat Jombang
17
Mien Maemunah
Ketua PC Muslimat Kulon Progo Jogjakarta
18
Masruroh Wahid
Ketua PW Muslimat Jawa Timur
103
19
Ismawati
Ketua PW Muslimat Jawa Tengah
20
Hizbiyah Rochim
Ketua PW Muslimat DKI Jakarta
21
Yies Sa‟diyah Ma‟shum
Mantan Sekretaris Umum PP Muslimat NU
22
Siti Aniroh SEY
Sekretaris Umum PP Muslimat NU
23
Khofifah Indar Parawansa
Ketua Umum PP Muslimat NU, Ketua Umum PP Muslimat NU, Penanggung Jawab Program Kecil Menanam, Dewasa Memanen
24 25
Mahfudhoh Aly Ubaid Ety Sukaesih
Ketua I PP Muslimat NU Staff Administrasi PP MUslimat NU
26
Nur Rif‟ah Masykur
Sekretaris PP Muslimat NU, anggota tim program penghijaun Muslimat
27
Najmia Razak
Anggota Tiem Gerakan Hijau Kerjasama dengan Kementrian Kehutanan PP Muslimat NU
28
Suratman
Ketua Indonesia Hijau Desa Hargotirto
29
Sarinem
Ketua Kelompok Wanita Tani Desa Hargotirto Kulon Progo Jogjakarta
30
Dewi Motik Pramono
Ketua Umum Dewan Pimpinan KOWANI
31
Leoni Achmad
Wakil Sekjend Dewan Pimpinan KOWANI
104
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan sebagai anak pertama dari dua bersaudara pada 29 Desember 1978 dari pasangan Suwarno (alm) dan Muriati di Kabupaten Lumajang Jawa Timur. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan lulus tahun 2002. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan formal di Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB. Penulis bekerja sebagai konsultan pada program pengembangan masyarakat. Ideologi hijau sebagaimana tertuang dalam studi ini mengantarkan penulis sebagai Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Periode 2013-2016 mewakili unsur Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Penulis bekerja di bidang komunikasi dan edukasi konsumen dengan tujuan meningkatkan kesadaran konsumen dalam memilih barang dan jasa serta terlindung dari segala bentuk akibat dari pola konsumsi. Selama mengikuti program S2, penulis terlibat aktif dalam kegiatan sosialkemasyarakatan Pimpinan Pusat Muslimat NU sebagai bagian dari konsekwensi metode ilmiah “penelitian berperan serta” dalam penyusunan tesis ini. Penulis menjadi bagian dari aktifitas obyek yang penulis teliti. Penulis terpilih sebagai penyaji poster terbaik pada Seminar Internasional “Food, Energy And Water” yang di selenggarakan atas kerjasama IPB dan Kasetsart University di Vachiranusort Building, Faculty of Agricultural Kasetsat University Bangkok Thailand pada 11 Pebruari 2011. Karya Ilmiah berjudul “Kepemimpinan Perempuan Dalam Gerakan Hijau di Indonesia” ini juga pernah pernah penulis presentasikan dalam ajang penerimaan penghargaan “Kartini Next Generation 2014” yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi RI. Artikel berujudul Konsumen Hijau ; Ideologi dan Gerakan Konsumen Peduli Lingkungan yang diterbitkan oleh BPKN RI pada Oktober 2013 merupakan bagian dari isi tesis penulis. Semua aktifitas tersebut di atas merupakan bagian dari tanggung jawab ilmiah penulis sebagai peserta S2 Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB.