PERANAN KREDIT MIKRO DAN KECIL TERHADAP KINERJA USAHA KECIL DAN EKONOMI WILAYAH DI PROVINSI JAWA TENGAH
BAYU NUSWANTARA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:
PERANAN KREDIT MIKRO DAN KECIL TERHADAP KINERJA USAHA KECIL DAN EKONOMI WILAYAH DI PROVINSI JAWA TENGAH
Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor,
Januari 2012
Bayu Nuswantara NRP. A546010081
ABSTRACT BAYU NUSWANTARA. Role of Micro and Small Credits on the Performance of Small Enterprises and Regional Economy in Central Java Province. (Advisory Committee: KUNTJORO as Chairman, D.S. PRIYARSONO and ANNA FARIYANTI as Members) Development of the Indonesian economy can not be separated from the role of micro and small enterprises. This strategic role can be seen from the number of enterprise units, providing employment opportunities, as well as the contribution of the Gross Regional Domestic Product (GRDP). Hence efforts to develop and strengthen the potential of small enterprises at the local level should be able to form strong and independent local economic entity by improving the role of micro and small credits. The objectives of the research were, (1) to analyze the influence of micro and small credits on small enterprises performance, (2) to analyze the influence of micro and small credits from microfinance institutions on the regional economy, and (3) to formulate the policies for development of micro and small credits that can promote the performance of small enterprises. This research used an econometric analysis in the form of simultaneous equation towards two models, (1) the model of small enterprises economic consists of eight behavioral equations and three identity relationships, and (2) the model of credit and regional economy linkage consists of eleven behavioral equations and two identity relationships. Estimation for structural equation parameters used the method of Two Stage Least Squares (2SLS). The research conclusions are as follows: (1) the micro and small credits have an influence on the enterprise revenue, which is the main performance indicator of small enterprises, (2) the micro and small credits taken by these small enterprises will increases with the reduced interest rates, which in turn will increase the enterprise capital, the use of raw materials, fuel and labor, and finally increase the enterprise revenue, (3) the micro and small credits from cooperatives and commercial banks as well as from rural banks have only a little influence each on the GRDP in the manufacturing and trade sector as well as the services sector as a proxy of regional economy. Nevertheless the micro and small credits from rural banks and cooperatives can not be showed significantly influence in GRDP of agriculture sector, and (4) the simultaneous combination of policies with an increased credits taken by small enterprises, increased selling price of product, and expansion of product marketing areas will bring about the greatest increase in a row on: enterprise capital, enterprise revenue, enterprise income, and the use of raw materials. Key Words:
micro and small credits, small enterprise, enterprise performance, gross regional domestic product, econometric model.
RINGKASAN BAYU NUSWANTARA, Peranan Kredit Mikro dan Kecil terhadap Kinerja Usaha Kecil dan Ekonomi Wilayah di Provinsi Jawa Tengah. (Komisi Pembimbing: KUNTJORO sebagai Ketua, D.S. PRIYARSONO dan ANNA FARIYANTI, sebagai Anggota). Perkembangan perekonomian Indonesia tidak terlepas dari adanya peran usaha mikro dan kecil. Peran strategis ini dapat dilihat dari jumlah unit usaha, penyediaan lapangan kerja, serta kontribusi dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Karena itu upaya pengembangan dan penguatan potensi usaha kecil di tingkat lokal harus mampu membentuk pelaku ekonomi lokal yang kuat dan mandiri. Salah satu kebijakan yang dapat dilakukan adalah memperkuat usaha kecil, melalui peningkatan peran kredit mikro dan kecil. Usaha kecil di Indonesia seperti di negara sedang berkembang lainnya, memiliki ciri-ciri: (1) jumlah unit usaha mikro dan kecil sangat besar dan tersebar di seluruh pelosok perdesaan, (2) umumnya bersifat padat karya, sehingga berpotensi besar menumbuhkan kesempatan kerja, (3) menggunakan teknologi yang sesuai terhadap proporsi faktor produksi dan kondisi lokal setempat, yaitu sumberdaya alam dan tenaga kerja berpendidikan rendah, (4) mempunyai kegiatan produksi yang umumnya berbasis pertanian, dan (5) sebagian besar pembiayaan untuk kegiatan produksi adalah tabungan pribadi, ditambah pinjaman atau bantuan dari kerabat, atau dari pemberi kredit informal, pedagang pengumpul, pemasok bahan baku, dan pembayaran di muka dari konsumen. Provinsi Jawa Tengah secara administratif terbagi menjadi 29 kabupaten dan 6 kota, dengan luas wilayah 3 254 412 hektar. Jumlah penduduk pada tahun 2009 tercatat 32.864.563 jiwa, dan secara ekonomi provinsi Jawa Tengah mempunyai potensi sangat besar dalam perkembangan kredit mikro dan kecil, serta upaya pengembangan usaha kecil. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis pengaruh kredit mikro dan kecil terhadap kinerja usaha kecil, (2) menganalisis pengaruh kredit mikro dan kecil dari lembaga keuangan mikro terhadap ekonomi wilayah, dan (3) merumuskan kebijakan pengembangan kredit mikro dan kecil yang mampu meningkatkan kinerja usaha kecil. Untuk mencapai tujuan pertama dan ketiga, dilakukan penelitian dengan mengambil contoh sebanyak 90 responden usaha kecil, yang memproduksi makanan olahan berbasis produk pertanian lokal, di tiga kabupaten yaitu kabupaten: Semarang, Magelang dan Klaten, dimana masing-masing diambil 15 responden, 50 responden dan 25 responden, sehingga didapat data cross-section. Penentuan tiga lokasi kabupaten penelitian dilakukan secara sengaja (purpusive) dengan pertimbangan (1) merupakan daerah dengan sentra produksi usaha kecil makanan olahan yang menonjol di Jawa Tengah, dan (2) merupakan kabupaten dengan tingkat kegagalan pengembalian kredit kecil (non performing loans) yang paling rendah di Jawa Tengah, sehingga dapat menjadi benchmark bagi wilayah lain dalam melihat peranan kredit terhadap kinerja usaha kecil. Sedangkan untuk mencapai tujuan kedua, dilakukan penelitian dengan mengambil data di tingkat kabupaten di seluruh Jawa Tengah yang berjumlah 29 kabupaten, dengan kurun waktu tahun 2000 sampai tahun 2005 selama 6 tahun, sehingga didapat data pool.
Analisis penelitian ini menggunakan model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan digunakan terhadap 2 model, yaitu : (1) model ekonomi usaha kecil terdiri atas 8 persamaan perilaku dan 3 persamaan identitas, dan (2) model keterkaitan kredit dan ekonomi wilayah terdiri atas 11 persamaan perilaku dan 2 persamaan identitas. Pendugaan untuk parameter persamaan struktural digunakan metode Two Stage Least Squares (2SLS). Berdasarkan hasil analisis dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: (1) kredit mikro dan kecil berpengaruh terhadap penerimaan usaha yang merupakan indikator kinerja usaha kecil, penerimaan usaha merupakan komponen utama pendapatan bersih usaha yang akan mendorong peningkatan terhadap pengeluaran untuk pendidikan dan sosial, konsumsi, dan tabungan yang dilakukan oleh usaha kecil, (2) kredit mikro dan kecil yang diambil oleh usaha kecil akan meningkat dengan adanya penurunan suku bunga kredit sehingga akan menambah modal usaha, peningkatan modal usaha ini akan meningkatkan penggunaan bahan baku, bahan bakar dan tenaga kerja sehingga meningkatkan penerimaan usaha, (3) kredit mikro dan kecil yang berasal dari: koperasi simpan pinjam (KSP), dan kredit usaha kecil (KUK) dari bank umum, hanya berpengaruh kecil masing-masing terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) di sektor industri pengolahan, dan sektor perdagangan, demikian pula kredit mikro dan kecil dari BPR dan KUK juga hanya berpengaruh kecil terhadap PDRB di sektor jasa propinsi Jawa Tengah sebagai proksi ekonomi wilayah, sedangkan produk domestik regional bruto di sektor pertanian tidak dipengaruhi secara nyata oleh kredit dari bank perkreditan rakyat (BPR) dan kredit dari koperasi simpan pinjam (KSP), dan (4) kebijakan kenaikan pengambilan kredit oleh usaha kecil akan memberikan dampak kenaikan paling besar berturut-turut pada: modal usaha, penggunaan bahan baku, penerimaan usaha, dan pendapatan usaha, sedangkan kombinasi kebijakan kenaikan pengambilan kredit oleh usaha kecil, kenaikan harga jual produk, dan perluasan wilayah pemasaran hingga mencapai Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya secara bersamaan, akan memberikan kenaikan paling besar berturut-turut pada: modal usaha, pendapatan usaha, penerimaan usaha, dan penggunaan bahan baku. Dari beberapa hasil temuan dalam penelitian ini, ada implikasi kebijakan yang dapat dimunculkan: (1) besarnya respon yang ditunjukkan oleh suku bunga kredit terhadap kredit yang diambil oleh usaha kecil, perlu diikuti dengan kebijakan perbankan antara lain dengan memperbanyak skim kredit terutama kredit modal kerja dan investasi dengan suku bunga yang rendah, sehingga dapat menjadi sumber tambahan modal usaha yang kompetitif bagi usaha kecil, selain itu pemerintah dan perbankan perlu terus mengembangkan berbagai jenis skim kredit yang mampu mengakomodasi kondisi usaha kecil, dengan memberikan kelonggaran atau insentif dari sisi agunan (collateral) dan memperluas jangkauan kredit tersebut hingga mencapai wilayah sentra-sentra usaha kecil yang berada di perdesaan, (2) untuk meningkatkan kinerja usaha kecil terutama usaha kecil yang telah layak usaha (feasible) dan lokasinya berdekatan dengan bank dan sudah memiliki akses yang baik terhadap bank (bankable), perlu didorong dan difasilitasi agar dapat memperoleh skim kredit baru dari bank sehingga mendapatkan pinjaman yang lebih besar, agar dapat memenuhi kebutuhan modal usaha yang semakin meningkat, antara lain dengan mempermudah prosedur pinjaman dan memperbesar plafon kredit, (3) untuk mencapai dan menjaga
pertumbuhan kredit untuk usaha kecil oleh BRI-unit dan bank umum, bank perkreditan rakyat (BPR), dan lembaga koperasi simpan pinjam (KSP), perlu didorong pendirian dan pembukaan kantor bank cabang dan unit bank, dan kantor koperasi simpan pinjam di seluruh kecamatan sehingga mampu menjangkau dan memberikan dampak kepada usaha kecil yang telah feasible tapi belum bankable, serta melayani hingga lapisan masyarakat bawah di perdesaan, (4) untuk usaha kecil yang masih mengandalkan sumber kredit atau pinjaman dari lembaga non bank (koperasi simpan pinjam dan sumber pinjaman lainnya), pemerintah perlu terus mendorong keberadaan dan keberlanjutan lembaga non bank tersebut melalui penguatan sumber dan struktur pendanaan lembaga tersebut, penguatan kelembagaan, dan pengaturan (regulasi) yang jelas, sehingga mampu menjangkau usaha kecil yang telah feasible tapi belum bankable, atau bahkan usaha kecil lainnya yang produktif belum tapi belum feasible, dan (5) saran untuk penelitian lanjutan adalah agar dilakukan penelitian tentang, (a) peranan kredit terhadap peningkatan kinerja usaha kecil, dengan membuat disagregasi berdasarkan: karakteristik wilayah perdesaan dan perkotaaan, dan (b) peranan kredit terhadap peningkatan kinerja usaha kecil di beberapa jenis usaha diluar usaha makanan olahan, seperti: minuman, tekstil dan pakaian (garmen), kerajinan kulit dan kayu, atau pertanian.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang. 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PERANAN KREDIT MIKRO DAN KECIL TERHADAP KINERJA USAHA KECIL DAN EKONOMI WILAYAH DI PROVINSI JAWA TENGAH
BAYU NUSWANTARA
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: 1.
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
2.
Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1.
Dr. Ir. Harianto, MS Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
2.
Dr. Ir. Mat Syukur, MS Sekretaris Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena Kasih-Nya yang tak berkesudahan menyertai penulis sampai selesainya penulisan disertasi ini dengan judul : Peranan Kredit Mikro dan Kecil terhadap Kinerja Usaha Kecil dan Ekonomi Wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Disertasi ini merupakan tugas akhir dari tugas belajar di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik berkat arahan dan dorongan yang besar dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang besar kepada: 1. Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan kuliah ke program doktor. 2. Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Dekan Sekolah Pascasarjana, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program doktor pada Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku ketua Program Studi, yang telah banyak memberikan arahan dan nasihat selama penulis kuliah di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB Bogor, serta atas pertanyaan dan saran untuk perbaikan pada tahap Ujian Tertutup. 4. Bapak Prof. Dr. Ir. Kuntjoro selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, dorongan dan kesempatan untuk terus maju, mulai tahap proposal, pelaksanaan penelitian, penyusunan disertasi, sampai tahap Ujian Tertutup dan Ujian Terbuka.
5. Bapak Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang selalu bersedia meluangkan waktu ditengah kesibukan beliau untuk memberikan bimbingan dan membuka wawasan dalam mengkaji penulisan disertasi ini. 6. Ibu Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan tekun memberikan bimbingan, masukan, dan terus mendorong penulis untuk menyelesaikan studi di IPB. 7. Bapak Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah membimbing dan memberikan wawasan kepada penulis selama penyusunan disertasi ini, namun karena kesibukan beliau sehingga tidak dapat melanjutkan sebagai pembimbing. 8. Bapak Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS dan Ibu Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi selaku Penguji pada tahap Ujian Tertutup, atas segala pertanyaan, masukan, dan saran perbaikan bagi penulis. 9. Bapak Dr. Muhammad Firdaus, SP, MS selaku Pimpinan Sidang pada tahap Ujian Tertutup, atas pertanyaan dan saran perbaikan bagi penulis. 10. Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc selaku Pimpinan Sidang pada tahap Ujian Terbuka, yang telah memberikan pertanyaan, masukan dan saran untuk perbaikan pada tahap Ujian Terbuka. 11. Ibu Dr. Ir. Ratna Winandi Asmarantaka, MS selaku wakil dari Program Studi, yang telah memberikan pertanyaan dan saran untuk perbaikan pada tahap Ujian Terbuka.
12. Bapak Dr. Ir. Harianto, MS selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka yang telah berkenan meluangkan waktu dan memberikan arahan, pertanyaan dan saran perbaikan untuk masukan penulis. 13. Bapak Dr. Ir. Mat Syukur, MS selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka yang telah berkenan memberikan arahan, pertanyaan dan saran perbaikan untuk masukan penulis. 14. Seluruh Dosen dan Staf Administrasi pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 15. Istri tercinta A. Diah Kristianawati dan ananda terkasih Adrian Bless Driyarka, yang selalu memberikan bantuan, semangat, dorongan, serta doa yang tulus dalam menyelesaikan studi doktor di Bogor. 16. Seluruh keluarga, yaitu: Ayahanda Soetito dan Ibunda Sulastri, orangtua tercinta yang ada di Surabaya, yang selama ini telah membesarkan dan mendidik, serta terus mendoakan dan memberi restu. Adik-adik Anung, Dodi, Eri dan Evi, atas bantuan dan doa untuk keberhasilan penulis selama menyelesaikan studi di Bogor. 17. Bapak A. Krismanto dan Ibu B. Diah Swasananingsih, bapak dan ibu mertua tercinta yang selalu mendukung dan mendoakan, adinda Iin sekeluarga atas bantuan selama menyelesaikan studi di Bogor. 18. Teman-teman Angkatan 2001 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB Bogor, atas semua perhatian, bantuan, dan kerjasama selama perkualiahan dan pertemanan selama ini, sehingga tetap menjadi dorongan bagi penulis untuk mencapai kemajuan.
19. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu di kesempatan ini, baik yang berada dalam lingkungan akademik, pekerjaan atau pertemanan selama menyelesaikan studi di Bogor, penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya. Disertasi ini merupakan karya tulis penulis, semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi pembaca.
Bogor,
Penulis
Januari 2012
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Martapura, Kalimantan Selatan pada tanggal 26 Januari 1963 sebagai anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Soetito dan Ibu Sulastri. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1975 di SD Kanisius Pugeran Yogyakarta. Pada tahun 1979 menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri I Manado. Tahun 1982 menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri I Manado. Jenjang pendidikan tinggi ditempuh dengan masuk sebagai mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, hingga pada tahun 1988 lulus dan meraih gelar Sarjana Pertanian di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UKSW Salatiga. Tahun 1992 penulis menyelesaikan jenjang studi master di Bidang Konsentrasi Keuangan dan Perbankan dari Program Magister Manajemen (MM) Angkatan IV di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Selanjutnya dengan beasiswa dari BPPS Departemen Pendidikan Nasional penulis melanjutkan studi doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) Sekolah Pascasarjana, IPB Bogor. Penulis menikah dengan A. Diah Kristianawati dan dikaruniai seorang putra Adrian Bless Driyarka (14 tahun). Saat ini penulis bekerja sebagai dosen tetap Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga dan mengajar di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian UKSW Salatiga.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
…………..…………………………............................. xxvii
DAFTAR GAMBAR
........……………....…………..………............. xxx
DAFTAR LAMPIRAN
........................................................................... xxxi
I.
PENDAHULUAN
..............................................................................
1
1.1. Latar Belakang
....………………………….…..………...............
1
1.2. Perumusan Masalah
…………………………………….......... 8
1.3. Tujuan Penelitian
......……………………......……….......... 14
1.4. Ruang lingkup dan Keterbatasan Penelitian II.
TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
.............................. 14
.................................................................. 17
Kredit dan Usaha Kecil
...................................................... 17
2.1.1. Pengertian dan Peranan Kredit
.............................. 17
2.1.2. Kredit Mikro dan Lembaga Keuangan Mikro 2.1.3. Klasifikasi Kredit Mikro dan Kecil
.............................. 25
2.1.4. Pengertian dan Klasifikasi Usaha Kecil 2.2.
2.3. III.
Pertumbuhan Ekonomi
.................. 25
...................................................... 28
2.2.1. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi
.............................. 29
2.2.2. Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
.............................. 31
Studi Terdahulu
.................................................................. 32
KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 3.1.
...... 21
.......................................... 37
Usaha Kecil dan Pengambilan Kredit
.............................. 37
3.1.1. Perilaku Ekonomi Usaha Kecil
.............................. 39
3.1.1.1. Kegiatan Produksi dan Biaya Produksi 3.1.1.2. Penggunaan Kredit dan Maksimisasi Keuntungan 3.1.2. Permintaan Kredit
...... 40
.............................. 45
...................................................... 50
3.1.2.1. Pendekatan Permintaan Langsung
.................. 51
3.1.2.2. Pendekatan Permintaan Tidak Langsung
...... 54
3.1.2.3. Kondisi Pasar Kredit Mikro dan Kecil
...... 58
xxiv Halaman 3.2.
Kinerja Usaha kecil
................................................................. 63
3.3.
Lembaga Keuangan Mikro dan Ekonomi Wilayah
...... ..... 67
3.3.1. Transmisi Kebijakan Moneter ke Sektor Riil
...... ..... 68
3.3.1.1. Transmisi melalui Jalur Kredit
................. 72
3.3.1.2. Transmisi melalui Jalur Suku Bunga 3.3.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi
IV.
............ 74
............................. 78
3.4.
Lembaga Keuangan Mikro Dan Peningkatan Pendapatan ............................................................................. 80
3.5.
Kerangka Pemikiran Operasional
3.6.
Hipotesis
......................................... 84
............................................................................. 90
METODE PENELITIAN
................................................................. 91
4.1.
Waktu dan Lokasi Penelitian
......................................... 91
4.2.
Metode Pengambilan Contoh
......................................... 92
4.3.
Metode Pengumpulan Data
4.4.
Perumusan Model
..................................................... 93
................................................................. 94
4.4.1. Model Ekonomi Usaha Kecil ...................….................. 94 4.4.2. Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi Wilayah 4.5.
Prosedur Estimasi
..... 99
................................................................ 102
4.5.1. Identifikasi Model
...……......................................... 102
4.5.2. Pendugaan Model
.................................................... 103
4.5.2.1. Model Ekonomi Usaha Kecil
................ 103
4.5.2.2. Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi Wilayah ........................................ 104
V.
4.5.3. Validasi Model
.................................................... 105
4.5.4. Simulasi Kebijakan
.................................................... 107
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
................ 109
5.1.
Keadaan Umum Wilayah Kabupaten Penelitian
................ 109
5.2.
Keadaan Umum Wilayah Provinsi Penelitian
................ 110
5.3.
Keragaan Usaha Kecil
.................................................... 112
5.3.1. Karakteristik Sosial Ekonomi
............................ 113
xxv Halaman 5.3.2. Jenis Usaha Kecil
5.4.
................................................... 114
5.3.3. Karakteristik Kredit Mikro dan Kecil
............... 117
5.3.4. Karakteristik Perijinan dan Pemasaran
............... 121
Perkembangan Indikator Makro Provinsi Jawa Tengah 5.4.1. Kredit KSP
............................................................... 124
5.4.2. Kredit BPR
............................................................... 125
5.4.3. Kredit Kupedes BRI Unit 5.4.4. Kredit Usaha Kecil 5.5. VI.
....................................... 127
................................................... 128
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1.
Sektoral
.... ... 130
................................................... 139
Keragaan Model Ekonomi Usaha Kecil 6.1.1. Pengambilan Kredit
........................... 139
................................................... 139
6.1.2. Penggunaan Bahan Baku
....................................... 144
6.1.3. Penggunaan Bahan Bakar
....................................... 147
6.1.4. Penggunaan Tenaga Kerja
....................................... 150
6.1.5. Penerimaan Usaha
................................................... 152
6.1.6. Tabungan
............................................................... 157
6.1.7. Konsumsi
............................................................... 160
6.1.8. Pengeluaran Pendidikan, dan Sosial 6.1.9. Perilaku Ekonomi Usaha Kecil 6.2.
... 123
............... 162 ........................... 165
Keragaan Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi Wilayah ... 167 6.2.1. Blok Kredit dari Lembaga Keuangan Mikro
..... ... 168
6.2.1.1. Kredit Bank Perkreditan Rakyat
............... 168
6.2.1.2. Kredit Usaha Kecil Bank Umum
............... 169
6.2.1.3. Kredit Kupedes BRI Unit
........................... 172
6.2.1.4. Pinjaman Koperasi Simpan Pinjam ............... 173 6.2.1.5. Jumlah Giro Masyarakat di Bank Umum 6.2.2. Blok PDRB VII.
ANALISIS KEBIJAKAN 7.1.
.... 174
............................................................... 175 ................................................................ 179
Model Ekonomi Usaha Kecil
........................................ 180
xxvi Halaman 7.1.1. Dampak Kebijakan Perubahan Suku Bunga Kredit .... 181 7.1.2. Dampak Perubahan Pengambilan Kredit
................ 183
7.1.3. Dampak Perubahan Sumber Kredit ............................ 184 7.1.4. Dampak Kenaikan Harga Jual Produk
................ 186
7.1.5. Dampak Perubahan Daerah Pemasaran
................ 187
7.1.6. Dampak Kenaikan Pengambilan Kredit, Kenaikan Harga Jual Produk dan Perubahan Daerah Pemasaran .................................................... 190 7.1.7. Rekapitulasi Simulasi Kebijakan 7.2. VIII.
............................ 193
Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi Wilayah
................ 196
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI .................................................... 199
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
............................................................................ 203
.................................................................................................. 211
xxvii
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Besar di Indonesia Tahun 2007-2009 ........................................
2
2.
Indikator Makro Ekonomi Propinsi Jawa Tengah Tahun 2005
..... .... 111
3.
Karakteristik Rumah Tangga Usaha Kecil
4.
Jenis Usaha Kecil yang Dilakukan
5.
Karakteristik Kredit dan Pinjaman yang Diambil Usaha Kecil
6.
Karakteristik Perijinan dan Pemasaran Produk
7.
Jumlah Kredit Koperasi Simpan Pinjam Tingkat Kabupaten di Jawa Tengah Tahun 2001 – 2005 ......................................... 124
8.
Jumlah Penyaluran Kredit BPR Sektoral Tingkat Kabupaten di Jawa Tengah Tahun 2005 .................................................... 126
9.
Jumlah Penyaluran Kredit Kupedes BRI Tingkat Kabupaten di Jawa Tengah Tahun 2002 – 2005 ........................................ 127
10.
Jumlah Penyaluran Kredit Usaha Kecil (KUK) Tingkat Kabupaten di Jawa Tengah Tahun 2002 – 2005 ............................ 129
11.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 di Jawa Tengah Tahun 2003–2005 Sektor Pertanian ............................................................................. 131
12.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 di Jawa Tengah Tahun 2003–2005 Sektor Industri ............................................................................ 132
13.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 di Jawa Tengah Tahun 2003–2005 Sektor Perdagangan ............................................................................ 133
14.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 di Jawa Tengah Tahun 2003–2005 Sektor Jasa-Jasa ............................................................................ 134
15.
Porsi Kredit Mikro dan Kecil serta Nilai PDRB per Sektor Ekonomi Tahun 2005
........................................ 113
.................................................... 114 ..... .... 118
............................ 122
....................................... 135
16.
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengambilan Kredit (PKM) .... 140
17.
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Bahan Baku (PBM) ............................................................................ 146
18.
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Bahan Bakar (PBB) ............................................................................ 148
xxviii Nomor
Halaman
19.
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) ............................................................................ 151
20.
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penerimaan Usaha (PENU) .... 153
21.
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tabungan (TABS)
............. 158
22.
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Konsumsi (PKON)
........ .... 160
23.
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pendidikan (PPKS)
........ .... 163
24.
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kredit dari BPR
........ .... 169
25.
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kredit Usaha Kecil dari Bank Umum
........................................ 171
26.
Hasil Pendugaan Persamaan Kredit Umum Perdesaan (Kupedes) dari BRI Unit ........................................ 173
27.
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam (KKSP) ........................................ 174
28.
Jumlah Giro Masyarakat di Bank Umum (JG)
29.
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sektor Pertanian, Sektor Industri, Sektor Perdagangan, dan Sektor Jasa
............................ 175
................. 178
30.
Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Simulasi Kebijakan Dasar
..... 180
31.
Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Penurunan Suku Bunga Kredit (SBK) sebesar 20 persen
..... 182
32.
Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Kenaikan Pengambilan Kredit sebesar 100 persen
................. 184
33.
Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Perubahan Sumber Kredit dari Non Bank Menjadi Sumber Kredit dari Bank ................................................................. 185
34.
Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Perubahan Sumber Kredit dari Bank Menjadi Sumber Kredit dari Non Bank .................................................... 186
35.
Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Kenaikan Harga Jual Produk sebesar 10 persen
36.
................ 187
Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Perluasan Daerah Pemasaran Produk dari Hanya di Wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah Menjadi Wilayah Pemasaran Mencakup Jatim, Jabar, Jakarta dan Sekitarnya (DPP = 1) .................................................... 189
xxix Nomor
Halaman
37.
Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Perubahan Daerah Pemasaran Produk dari Mencakup Wilayah Jatim, Jabar, Jakarta dan Sekitarnya Menjadi Hanya di Wilayah Pemasaran Yogyakarta dan Jawa Tengah (DPP = 0) ........................................ 190
38.
Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Kombinasi Simulasi 2 dan Simulasi 5 ........................................ 191
39.
Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Kombinasi Simulasi 2 dan Simulasi 6 ........................................ 192
40.
Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Kombinasi Simulasi 2, Simulasi 5, dan Simulasi 6 ............................ 193
41.
Prosentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Beberapa Simulasi Kebijakan .................................................... 194
xxx
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Pengaruh Adanya Kredit terhadap Komposisi Masukan dan Biaya Minimum, serta Jalur Perluasan Usaha ......................................... 44
2.
Pengaruh Tingkat Bunga terhadap Jumlah Pinjaman, Biaya Pinjaman, Output, dan Keuntungan ......................................... 49
3.
Ukuran Kinerja Usaha dalam Suatu Kegiatan Produksi
................. 65
4.
Mekanisme Transmisi Saluran Kredit ke Sektor Riil
................. 73
5.
Mekanisme Transmisi Saluran Suku Bunga ke Sektor Riil
................. 75
6.
Model Ekonomi Usaha Kecil
7.
Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi Wilayah
.................................................................. 86 ............................... 88
xxxi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Program Estimasi Model Ekonomi Usaha Kecil Menggunakan Metode Two-Stage Least Squares (2SLS) dan Prosedur SYSLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ................................................................ 211
2.
Hasil Estimasi Model Ekonomi Usaha Kecil Menggunakan Metode Two-Stage Least Squares (2SLS) dan Prosedur SYSLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ................................................................ 212
3.
Program Validasi Model Ekonomi Usaha Kecil Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ........................................................................................ 218
4.
Hasil Validasi Model Ekonomi Usaha Kecil Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ........................................................................................ 219
5.
Program Simulasi 1. Penurunan Suku Bunga Kredit (SBK) sebesar 20 persen Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ............................ 221
6.
Hasil Simulasi 1. Penurunan Suku Bunga Kredit (SBK) sebesar 20 persen Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ............................ 222
7.
Program Simulasi 2. Kenaikan Pengambilan Kredit (PKM) sebesar 100 persen Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ............................ 223
8.
Hasil Simulasi 2. Kenaikan Pengambilan Kredit (PKM) sebesar 100 persen Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ............................ 224
9.
Program Simulasi 3. Perubahan Sumber Kredit (DSK) dari Non Bank Menjadi Sumber Kredit yang Berasal dari Bank Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ................................................................ 225
10. Hasil Simulasi 3. Perubahan Sumber Kredit (DSK) dari Non Bank Menjadi Sumber Kredit yang Berasal dari Bank Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ................................................................ 226
xxxii Nomor
Halaman
11.
Program Simulasi 4. Perubahan Sumber Kredit (DSK) dari Bank Menjadi Sumber Kredit yang Berasal dari Non Bank Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 .............................................................. 227
12.
Hasil Simulasi 4. Perubahan Sumber Kredit (DSK) dari Bank Menjadi Sumber Kredit yang Berasal dari Non Bank Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 .............................................................. 228
13.
Program Simulasi 5. Kenaikan Harga Jual Produk (PO) sebesar 10 persen Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ........................... 229
14.
Hasil Simulasi 5. Kenaikan Harga Jual Produk (PO) sebesar 10 persen Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ........................... 230
15.
Program Simulasi 6. Perluasan Daerah Pemasaran Produk (DPP) dari Hanya di Wilayah Yogayakarta dan Jawa Tengah Menjadi Wilayah yang Mencakup Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Sekitarnya, Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ........................................ 231
16.
Hasil Simulasi 6. Perluasan Daerah Pemasaran Produk (DPP) dari Hanya di Wilayah Yogayakarta dan Jawa Tengah Menjadi Wilayah yang Mencakup Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Sekitarnya, Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ........................................ 232
17.
Program Simulasi 7. Perubahan Daerah Pemasaran Produk (DPP) dari yang Mencakup Wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Sekitarnya Menjadi Hanya di Wilayah Yogayakarta dan Jawa Tengah, Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ........................................ 233
18.
Hasil Simulasi 7. Perubahan Daerah Pemasaran Produk (DPP) dari yang Mencakup Wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Sekitarnya Menjadi Hanya di Wilayah Yogayakarta dan Jawa Tengah, Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ........................................ 234
19.
Program Simulasi 8. Kombinasi Simulasi 2, dan Simulasi 5 Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ......... .................................................... 235
xxxiii Nomor
Halaman
20.
Hasil Simulasi 8. Kombinasi Simulasi 2, dan Simulasi 5 Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 .............................................................. 236
21.
Program Simulasi 9. Kombinasi Simulasi 2, dan Simulasi 6 Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 .......... .................................................... 237
22.
Hasil Simulasi 9. Kombinasi Simulasi 2, dan Simulasi 6 Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 .......... .................................................... 238
23.
Program Simulasi 10. Kombinasi Simulasi 2, Simulasi 5, dan Simulasi 6 Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ................................................ 239
24.
Hasil Simulasi 10. Kombinasi Simulasi 2, Simulasi 5, dan Simulasi 6 Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 ................................................ 240
25.
Program Estimasi Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi Wilayah Menggunakan Metode Two-Stage Least Squares (2SLS) dan Prosedur SYSLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 .......................... 241
26.
Hasil Estimasi Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi Wilayah Wilayah Menggunakan Metode Two-Stage Least Squares (2SLS) dan Prosedur SYSLIN dengan Software SAS/ETS 9.1 .......................... 242
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pada tahun 2005 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mencanangkan
tahun keuangan mikro (international microfinance year 2005), dimana lembaga keuangan mikro juga telah berkembang sebagai alat pembangunan ekonomi, antara lain bertujuan menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan dengan cara menciptakan dan mengembangkan usaha mikro dan kecil, meningkatkan produktivitas dan pendapatan kelompok yang rentan, mengurangi ketergantungan masyarakat perdesaan terhadap risiko gagal panen karena musim, dan diversifikasi kegiatan usaha yang dapat menghasilkan pendapatan (Arsyad, 2008). Dalam kaitan ini maka peranan kredit terhadap perekonomian menjadi penting, baik dari aspek makro pada pertumbuhan ekonomi maupun aspek mikro pada usaha mikro dan kecil. Perkembangan ini pula sejalan dengan perekonomian Indonesia yang tidak dapat dilepaskan dari adanya peran sektor usaha mikro dan kecil. Keberadaan usaha mikro dan kecil di setiap sektor ekonomi tersebut mencerminkan wujud nyata kehidupan sosial dan ekonomi yang menjadi bagian terbesar dari rakyat. Adapun peranan strategis usaha mikro dan kecil dapat dilihat dari berbagai aspek (Bank Indonesia, 2005), yaitu: 1. Jumlah unit usahanya banyak dan terdapat hampir di setiap sektor ekonomi. 2. Potensinya yang besar dalam penyerapan tenaga kerja. 3. Kontribusi usaha mikro dan kecil dalam Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang cukup besar, serta potensinya dalam perkembangan nilai ekspor non migas.
2 Berdasarkan data Kemenkop dan UKM tahun 2009, tercatat 52 723 470 unit Usaha Mikro dan Kecil (UMK) atau 99 persen lebih dari total pelaku usaha yaitu UMK dan Usaha Besar (UB) di Indonesia, yang tersebar di sembilan sektor ekonomi, dengan urutan terbesar adalah sektor: (1) pertanian 50.49 persen, (2) perdagangan 28.98 persen, (3) industri pengolahan 6.15 persen, (4) pengangkutan dan komunikasi 6.49 persen, dan (5) jasa-jasa 4.32 persen. Ini mengindikasikan usaha mikro dan kecil banyak terkonsentrasi di perdesaan. Tabel 1. Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Besar di Indonesia Tahun 2007-2009 No
Indikator
I 1 2 3 4 II 1 2 3 4 III 1 2 3 4 IV 1 2 3 4
Total Unit Usaha Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah Usaha Besar Total Tenaga Kerja Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah Usaha Besar Total PDB.1) Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah Usaha Besar Total Ekspor Non Migas Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah Usaha Besar
Satuan Unit Unit Unit Unit Unit Orang Orang Orang Orang Orang Rp.Miliar Rp.Miliar Rp.Miliar Rp.Miliar Rp.Miliar Rp.Miliar Rp.Miliar Rp.Miliar Rp.Miliar Rp.Miliar
2007 50 150 263 49 608 953 498 565 38 282 4 463 93 027 341 84 452 002 3 278 793 2 761 135 2 535 411 1 883 549.0 620 864.0 204 395.4 275 411.4 782 878.2 794 872.1 12 917.5 31 619.5 95 826.8 654 508.3
Tahun 2008 51 414 262 50 847 771 522 124 39 717 4 650 96 780 483 87 810 366 3 519 843 2 694 069 2 756 205 1 997 937.9 655 703.8 217 130.2 292 919.1 832 184.8 983 540.4 16 464.8 40 062.5 121 481.0 805 532.1
2009 52 769 280 52 176 795 546 675 41 133 4 677 98 886 003 90 012 694 3 521 073 2 677 565 2 674 671 2 088 292.3 682 462.4 225 478.3 306 784.6 873 567.0 953 089.9 14 375.3 36 839.7 111 039.6 790 835.3
Keterangan: 1) Total PDB Harga Konstan 2000
Sumber: Kemenkop dan UKM, 2009 (diolah)
Besarnya potensi usaha mikro dan kecil, ditunjukkan oleh terus meningkatnya jumlah unit usaha mikro selama kurun waktu tahun 2007–2009 rata-rata sebesar 2.59 persen per tahun, sedangkan jumlah unit usaha kecil meningkat rata-rata 4.82 persen per tahun. Pada tahun 2009 tercatat jumlah usaha
3 mikro sebanyak 52 176 795 unit atau mencapai 98.88 persen dari total jumlah usaha mikro, kecil, menengah dan besar, sedangkan jumlah usaha kecil tercatat sebanyak 546.675 unit atau sekitar 1.04 persen. Perkembangan penyerapan tenaga kerja periode tahun 2007–2009 oleh usaha mikro dan kecil terus menunjukkan peningkatan, penyerapan tenaga kerja usaha mikro meningkat rata-rata 3.29 persen per tahun, sedangkan penyerapan tenaga kerja usaha kecil meningkat rata-rata 3.69 persen per tahun. Dalam hal penyerapan tenaga kerja, peran UMK pada tahun 2009 sebesar 96 211 332 orang atau 94.59 persen dari total penyerapan tenaga kerja UMKM dan UB, tercatat usaha mikro menyerap tenaga kerja 91.03 persen dan usaha kecil menyerap tenaga kerja 3.56 persen, dengan rata-rata penggunaan tenaga kerja per unit usaha untuk usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar masing-masing sebesar 1.7 orang, 6.4 orang, 65 orang, dan 669 orang. Untuk usaha mikro, sektor pertanian tercatat memiliki peran terbesar dalam penyerapan tenaga kerja, yaitu 42 041 979 orang atau 46.71 persen dari total tenaga kerja di usaha mikro. Sedangkan untuk usaha kecil penyerapan tenaga kerja terbesar, tercatat di industri pengolahan, yaitu 966 708 orang atau 27.45 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa penyerapan tenaga kerja sektor primer dan sekunder masih di dominasi usaha mikro dan kecil (Kemenkop dan UKM, 2009). Pada tahun 2009, nilai PDB nasional menurut harga konstan tahun 2000 sebesar Rp 2 088 292.3 miliar, dengan kontribusi usaha mikro sebesar 32.68 persen dari total PDB nasional, kontribusi usaha kecil sebesar 10.80 persen, dan sementara kontribusi usaha menengah sebesar 14.69 persen, sedangkan usaha besar berkontribusi 41.83 persen (Kemenkop dan UKM, 2009). Fenomena ini
4 bisa menggambarkan bahwa kapitalisasi usaha per unit masih rendah di usaha mikro dan kecil. Perkembangan lain di sisi ekspor non migas juga mencatat peningkatan selama periode tahun 2007–2009. Namun demikian pada ekspor non migas sampai tahun 2009 kontribusi paling besar masih dipegang oleh usaha besar yang mencatat sebesar 82.98 persen, sedangkan usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah berturut-turut mencatat 1.51 persen, 3.87 persen, dan 11.65 persen. Masih rendahnya kontribusi usaha mikro dan kecil terhadap total ekspor non migas ini di sisi yang lain memberikan peluang untuk terus menggarap pasar ekspor bagi produk-produk yang dihasilkan oleh usaha mikro dan kecil. Besarnya penyerapan tenaga kerja oleh usaha mikro dan kecil ini juga diikuti dengan intensifnya dalam penggunaan sumberdaya lokal di perdesaan, sehinggga pertumbuhan usaha mikro dan kecil ini akan menimbulkan dampak positif terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja, pemerataan dalam distribusi pendapatan dan pembangunan ekonomi di perdesaan (Kuncoro, 2003). Namun demikian potensi besar yang dimiliki oleh usaha mikro dan kecil terutama dalam upaya penyediaan lapangan kerja, pembentukan unit usaha dan pemerataan pendapatan ternyata belum banyak dimanfaatkan oleh pemerintah. Oleh karena itu perlu diagendakan upaya untuk meningkatkan peran usaha mikro, kecil, dan menengah, terutama dalam mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki pola pertumbuhan ekonomi (Bank Indonesia, 2005). Seperti di negara sedang berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, usaha mikro dan kecil di Indonesia juga berperan sangat penting khususnya dari perspektif kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi kelompok miskin,
5 distribusi pendapatan dan pengurangan kemiskinan, dan pembangunan ekonomi perdesaan. Karena itu menurut Priyarsono (2011), pengembangan industri kecil akan memberikan dampak positif yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi, serta akan mendorong terwujudnya distribusi pendapatan yang lebih merata antara kelompok masyarakat. Secara sektoral sub-sektor industri pengolahan yang berbasis pertanian (agroindustri), menunjukkan kinerja yang lebih baik dari subsektor industri pengolahan lainnya karena mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sekaligus distribusi secara merata. Jika dilihat dari sumbangannya terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional dan ekspor non migas, khususnya produk manufaktur serta inovasi dan pengembangan teknologi, peran usaha mikro dan kecil di negaranegara sedang berkembang masih relatif rendah, dan ini juga yang sebenarnya menjadi perbedaan yang utama dengan usaha mikro, kecil dan menengah di negara-negara maju. Usaha mikro, kecil dan menengah di Indonesia seperti juga negara-negara sedang berkembang lainnya, secara spesifik memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Tambunan, 2009): 1. Jumlah perusahaan, terutama dari kelompok usaha mikro dan kecil sangat besar dan tersebar di seluruh pelosok perdesaan. 2. Umumnya
bersifat
padat
karya,
sehingga
berpotensi
menumbuhkan
kesempatan kerja yang sangat besar. 3. Usaha mikro dan kecil menggunakan teknologi yang lebih sesuai terhadap proporsi faktor produksi dan kondisi lokal setempat, yaitu sumberdaya alam dan tenaga kerja berpendidikan rendah yang jumlahnya berlebih.
6 4. Karena banyak tersebar di perdesaan, usaha mikro dan kecil mempunyai kegiatan produksi yang umumnya berbasis pertanian. 5. Pemilik usaha mikro dan kecil pada umumnya membiayai sebagian besar kegiatan produksinya dengan tabungan pribadi, ditambah pinjaman atau bantuan dari kerabat, atau dari pemberi kredit informal, pedagang pengumpul, pemasok bahan baku, dan pembayaran di muka dari konsumen. Secara spesifik pula sektor usaha mikro dan kecil di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan usaha besar, antara lain terlihat pada kebanyakan usaha mikro dan kecil yang belum berbadan hukum dan merupakan usaha perorangan yang tidak memiliki laporan keuangan yang terpisah antara usaha dan pemiliknya. Manajemen usaha mikro dan kecil umumnya merupakan usaha keluarga yang dikelola secara turun temurun (Bank Indonesia, 2005). Dari sisi modal, kebanyakan usaha mikro dan kecil memulai usahanya dengan modal sendiri dan sebagian kecil yang telah melakukan pendekatan terhadap lembaga keuangan dalam rangka memperoleh pinjaman usahanya. Masih rendahnya tingkat pinjaman usaha mikro dan kecil kepada lembaga keuangan formal disebabkan beberapa permasalahan antara lain: (1) kurangnya aksesibilitas usaha mikro dan kecil kepada lembaga keuangan formal terutama informasi dan persyaratan kredit, (2) tidak adanya agunan kredit, (3) kurangnya kemampuan manajemen keuangan, (4) rendahnya kualitas sumberdaya manusia, dan (5) terbatasnya kompetensi kewirausahaan dan permodalan (Bank Indonesia, 2005). Kredit mikro dan kecil yang diperuntukkan khusus untuk usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah yang difasilitasi atau disubsidi oleh pemerintah sebenarnya telah lama ada sejak awal pemerintahan orde baru di akhir tahun
7 1960-an. Pemberian kredit bersubsidi oleh pemerintah diawali dengan pola kredit bimas (bimbingan massal) dan pada awal tahun 1970-an Bank Indonesia (BI) meluncurkan antara lain dua skema kredit program yang sangat populer yaitu: Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP). Namun kredit program ini setelah diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, kemudian dialihkan ke lembaga khusus yaitu PT. Permodalan Nasional Mandiri (PNM) (Tambunan, 2009). Namun demikian masih banyak usaha mikro dan kecil yang belum terjangkau lembaga keuangan formal termasuk lembaga keuangan mikro, seperti tercermin oleh hasil survei dari Badan Pusat Statistik terhadap usaha mikro dan kecil di industri pengolahan yang menunjukkan bahwa sumber modal usaha mikro dan kecil, terbesar bukan dari lembaga kredit, tetapi dari modal sendiri (BPS, 2006). Karena itu sudah mendesak saatnya bagi perbankan nasional untuk menggarap usaha mikro dan
kecil secara lebih serius, untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional. Selain karena terbukti dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, usaha mikro dan kecil juga mampu menghasilkan produk dalam jumlah besar sekaligus bersaing di dunia internasional, mengingat jumlah unit usahanya yang sangat besar di Indonesia. Data pada tahun 2002 dari sekitar 42 juta unit usaha mikro, kecil dan menengah di Indonesia, ternyata hanya sekitar 22.14 persen yang menikmati akses permodalan dari perbankan maupun lembaga keuangan mikro. Kondisi ini menggambarkan masih besarnya permasalahan yang dihadapi usaha mikro dan kecil dalam akses permodalan. Namun di sisi yang lain hal ini memberikan potensi yang sangat besar dalam penyaluran kredit karena masih terbuka pasar
8 yang luas untuk skim-skim kredit skala mikro dan kecil (Wijono, 2005). Kondisi lainnya juga digambarkan bahwa pasar usaha mikro dan kecil yang digarap oleh perbankan baru sekitar 30 persen saja secara nasional, dan 70 persen sisanya, belum tergarap oleh perbankan nasional (Abdullah, 2006). Hal ini merupakan peluang bagi lembaga keuangan mikro, baik bank maupun non bank untuk terus menggarap usaha mikro dan kecil, terutama usaha yang belum bankable.
1.2.
Rumusan Masalah Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan
jumlah penduduk yang besar. Pada tahun 2009 tercatat 32 864 563 jiwa dengan kepadatan sekitar 1 010 jiwa per km2. Wilayahnya terletak diantara dua provinsi besar, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur, sebelah utara berbatasan dengan laut Jawa dan di sebelah selatan berbatasan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Samudra Hindia. Secara administratif provinsi Jawa Tengah mempunyai luas wilayah 3 254 412 hektar atau sekitar 25.04 persen dari luas pulau Jawa atau 1.7 persen dari luas Indonesia (BPS Semarang, 2009). Angkatan kerja di Jawa Tengah berjumlah sekitar 17 087 649 jiwa atau 51.99 persen jumlah penduduk. Dari total angkatan kerja ini terdapat 15 835 383 jiwa atau 92.67 persen adalah angkatan kerja yang bekerja. Sementara itu dari total angkatan kerja yang bekerja ini, tercatat 2 942 281 jiwa bekerja berusaha sendiri, 3 650 147 jiwa bekerja berusaha dibantu buruh tidak tetap, dan 405 682 jiwa bekerja berusaha dibantu buruh tetap. Kelompok inilah yang akan menjadi basis dari unit usaha dan tenaga kerja pada kegiatan usaha mikro dan kecil di Jawa Tengah (BPS Semarang, 2009).
9 Jumlah 29 kabupaten yang ditetapkan melalui Undang-undang pada tahun 1950 hingga sekarang tidak mengalami pemekaran wilayah, dan dengan jumlah penduduk yang besar mencapai 32 juta jiwa lebih serta kondisi sosial politik yang stabil dalam kurun waktu sekitar tiga dekade terakhir ini maka provinsi Jawa Tengah merupakan wilayah yang sangat potensial bagi upaya pengembangan usaha mikro dan kecil, serta diharapkan bisa memberikan kontribusi yang besar terhadap ekonomi wilayah. Bank Indonesia (BI) Semarang (2008) menyatakan besarnya jumlah dan keberadaan usaha mikro, kecil dan menengah, serta tingginya penyaluran kredit yang diberikan oleh perbankan, membuat Jawa Tengah mendapat sebutan heart of small medium enterprises. Berdasarkan data Sensus Ekonomi BPS (2006), di Jawa Tengah tercatat 3 673 009 unit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), terdiri dari 3 605 499 unit usaha mikro atau 98.16 persen, 63 346 unit usaha kecil atau 1.73 persen, dan 4 164 unit usaha menengah atau 0.11 persen. Sedangkan jumlah tenaga kerja yang terserap oleh UMK ini sebanyak 7 461 797 orang, masingmasing 6 570 731 orang di usaha mikro atau 88.06 persen, 550 222 orang di usaha kecil atau 7.37 persen, dan 340 844 orang di usaha menengah atau 4.57 persen. Rata-rata penggunaan tenaga kerja per unit usaha untuk usha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah masing-masing 1.8 orang, 8.7 orang, dan 81 orang. Angka ini diatas rata-rata nasional. Data Bank Indonesia (2006), mencatat jumlah kantor BRI unit sebanyak 688 kantor dengan 640 255 peminjam dan total pinjaman (outstanding Kupedes) sebesar Rp 3 208.23 miliar. Jumlah bank BPR sejumlah 542 kantor dengan tingkat kinerja, Ratio Pinjaman terhadap Simpanan (LDR) sebesar 90.20 persen dan rata-
10 rata Ratio Kecukupan Modal (CAR) sebesar 18.59 persen. Data jumlah Koperasi Simpan Pinjam (KSP/USP) tercatat 5 920 unit koperasi dengan jumlah anggota koperasi sebanyak 2 553 086 orang (Kemenkop dan UKM, 2006). Posisi kredit mikro, kecil dan menengah yang diberikan bank umum (bank pemerintah, swasta nasional, dan swasta asing) dan BPR, menurut plafond kredit di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009, tercatat Rp 69 148 miliar dengan rincian untuk kredit mikro (sampai dengan Rp.50 juta) sebesar Rp 27 165 miliar atau 39.28 persen, untuk kredit kecil (diatas Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta) sebesar Rp 24 451 miliar atau 35.36 persen, dan untuk kredit menengah (diatas Rp 500 juta sampai dengan Rp 5 miliar) sebesar Rp 17 532 miliar atau 25.35 persen (Bank Indonesia Semarang, 2009). Dari total posisi kredit mikro, kecil dan menengah sebesar Rp 69 148 miliar, sebanyak 92.53 persen disalurkan oleh bank umum (pemerintah maupun swasta) sedangkan sisanya 7.47 persen disalurkan melalui Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Di Jawa Tengah keberadaan unit usaha mikro, kecil dan menengah banyak terkonsentrasi di sektor perdagangan, industri pengolahan, dan pertanian (BPS Semarang, 2006). Sementara kontribusi sektoral terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tercatat sektor industri pengolahan mencapai 30.82 persen, sektor perdagangan 21.50 persen, sektor pertanian 19.89 persen, dan sektor jasa mencapai 10.90 persen (BPS Semarang, 2009). Kondisi ini bisa menggambarkan kontribusi usaha mikro dan kecil terhadap PDRB sektoral sebagai proksi ekonomi wilayah. Apabila kredit mikro dan kecil yang disalurkan oleh bank umum dan BPR dapat terus ditingkatkan, maka akan mampu
11 mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Namun demikian masih ada beberapa kendala bagi usaha mikro dan kecil dalam mengakses kredit dari perbankan. Menggunakan data hasil survei (BPS, 2006), terlihat bahwa kebutuhan modal bagi usaha mikro sebanyak 82.41 persen diperoleh dari modal sendiri, 2.86 persen berasal dari pinjaman, dan 14.73 persen berasal dari gabungan modal sendiri dan pinjaman. Sedangkan untuk usaha kecil kebutuhan sumber modal 68.85 persen berasal dari modal sendiri, 1.75 persen berasal dari pinjaman, dan 29.40 persen diperoleh dari gabungan modal sendiri dan pinjaman. Sedangkan untuk asal pinjaman dari usaha mikro 54.54 persen berasal bank, dan sisanya 45.46 persen berasal dari koperasi, modal ventura, lembaga non bank, keluarga, perorangan, dan lainnya. Untuk usaha kecil pinjaman diperoleh 15.62 persen dari bank, sisanya 84.38 persen berasal dari koperasi, modal ventura, lembaga non bank, keluarga, perorangan, dan sumber lainnya. Sementara itu hasil survei database terhadap pelaku UMKM (Bank Indonesia Semarang, 2008), menunjukkan: (1) aspek keuangan, sekitar 61 persen sumber dana UMKM berasal dari modal sendiri, dan hanya sekitar 39 persen yang berasal dari modal pinjaman. Suku bunga pinjaman paling murah 0.12 persen per bulan dan paling mahal 3 persen per bulan. Sebagian besar sekitar 44 persen agunan berupa tanah dan bangunan, (2) aspek hukum dan manajemen, sekitar 45.71 persen pelaku usaha hanya memiliki satu macam perijinan, dalam arti belum semuanya perijinan dimiliki. Berkaitan dengan pengalaman berwirausaha, sekitar 61.90 persen pelaku usaha telah memiliki pengalaman bekerja sebelumnya sebagai wirausaha dalam jenis usaha yang lain maupun sebagai karyawan. Sebagian besar atau sekitar 48.6 persen pemilik usaha berpendidikan SMA/SMK
12 atau yang setara, dan (3) aspek produksi dan pasar, terdapat 56.52 persen usaha beroperasi sebanding atau lebih besar dari kapasitas produksi. Sistem pembayaran bahan baku yang dilakukan 76.81 persen adalah tunai. Wilayah pemasaran produk sekitar 70.84 persen di wilayah Jawa Tengah, sekitar 27 persen di luar wilayah Jawa Tengah, dan untuk pemasaran ke luar negeri hanya 2.52 persen yang mampu mengaksesnya. Sistem pembayaran penjualan 63.81 persen adalah tunai. Usaha kecil umumnya lebih efisien dibandingkan usaha besar atau usaha menengah, dimana usaha kecil berada pada mekanisme pasar yang kompetitif. Besarnya kontribusi terhadap pendapatan nasional menunjukkan bahwa usaha kecil dapat diandalkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (Tambunan, 2004). Namun demikian dinamika usaha pada kelompok usaha mikro dan kecil cukup tinggi, karena iklim usaha yang sangat kompetitif, hambatan masuk yang rendah, margin keuntungan yang tidak terlalu tinggi, dan perputaran usaha yang cepat, serta tingkat drop-out usaha yang tinggi (Kuncoro, 2003). Hal ini memerlukan perhatian yang lebih serius dalam upaya mengembangkan usaha mikro, kecil dan menengah. Kebutuhan kredit mikro dan kecil bagi usaha kecil selama juga ini dilayani oleh lembaga keuangan mikro. Selain menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan, seperti kredit mikro dan kecil, tabungan, pembayaran, maupun deposito, lembaga keuangan mikro dalam berbagai pendekatannya juga mencakup, (1) pelayanan terhadap kelompok rakyat miskin, seperti kelompok yang terpinggirkan oleh sistem keuangan formal, dan (2) menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel (Ismawan, 2003).
13 Jenis lembaga keuangan mikro sangat bervariasi, baik ditinjau dari sisi kelembagaan, tujuan pendirian, budaya masyarakat, maupun sasaran lainnya. Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu bank dan non bank. LKM bank terdiri dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan BRI Unit, sementara LKM non bank yang formal mencakup Koperasi (Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Unit Desa) dan Pegadaian. Adapun LKM non bank yang informal terdiri dari berbagai Kelompok dan Lembaga Swadaya Masyarakat (KSM dan LSM), Baitul Maal wat Tamwil (BMT), Lembaga Ekonomi Produktif Masyarakat Mandiri (LEPMM), serta berbagai bentuk kelompok lainnya (Ibrahim, 2003). Lembaga-lembaga keuangan mikro ini masih berperan besar bagi masyarakat, terutama yang berada di perdesaan. Dari uraian tersebut diatas terdapat beberapa fakta yang patut dicatat dalam merumuskan permasalahan secara umum: (1) kontribusi perbankan dalam menggarap pasar usaha mikro dan kecil secara nasional, baru mencapai angka sekitar 30 persen ini mengindikasikan adanya kesulitan usaha mikro dan kecil untuk memperoleh kredit atau adanya kesenjangan antara pengetahuan UMKM dengan produk dan prosedur perkreditan perbankan, (2) kontribusi usaha mikro dan kecil dalam penciptaan dan penyerapan tenaga kerja di Jawa Tengah sangatlah besar, hingga mencapai sekitar 95 persen pasar tenaga kerja dan menyerap sekitar 6.9 juta tenaga kerja, dan (3) kemampuan daya tahan usaha mikro dan kecil selama pasca krisis ekonomi menunjukkan bahwa usaha mikro khususnya, sangatlah feasible secara bisnis tetapi belum bankable dalam mengakses kredit.
14 Berdasarkan uraian diatas maka secara spesifik dapat dirumuskan permasalahan dari penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana peranan kredit mikro dan kecil terhadap kinerja usaha kecil? 2. Sejauhmana peranan kredit dari lembaga keuangan mikro terhadap ekonomi wilayah?
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan
sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis pengaruh kredit mikro dan kecil terhadap kinerja usaha kecil. 2. Menganalisis pengaruh kredit mikro dan kecil dari lembaga keuangan mikro terhadap ekonomi wilayah. 3. Merumuskan kebijakan pengembangan kredit mikro dan kecil yang mampu meningkatkan kinerja usaha kecil. Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sebagai bahan masukan dalam pengelolaan kebijakan pengembangan kredit mikro dan kecil untuk meningkatkan kinerja usaha kecil serta kaitannya dengan pengembangan ekonomi wilayah. 2. Sebagai sumbangan akademis dalam penelitian mengenai pengembangan kredit mikro dan kecil dari lembaga keuangan mikro dimasa mendatang, khususnya di Jawa Tengah.
15 1.4.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Jawa Tengah dengan dua fokus utama, yaitu: (1) peranan kredit mikro dan kecil terhadap kinerja usaha kecil, dan (2) peranan kredit mikro dan kecil dari lembaga keuangan mikro yang dikaitkan dengan upaya peningkatan ekonomi wilayah. Adapun lingkup penelitian ini meliputi: 1. Contoh (sampel) adalah pelaku usaha kecil yang bergerak dalam kegiatan usaha produk makanan olahan, yang memperoleh kredit mikro atau kredit kecil, baik yang berasal dari bank maupun dari non bank. 2. Pelaku usaha kecil yang menjadi contoh diambil dari wilayah Kabupaten Semarang, Magelang, dan Klaten. Wilayah ini merupakan sentra kegiatan usaha kecil yang potensial di Jawa Tengah. 3. Kinerja usaha kecil yang diamati adalah dengan melihat indikator utama pada penerimaan usaha kecil, sedangkan indikator kinerja usaha yang juga dilihat adalah pendapatan usaha, penggunaan bahan baku, bahan bakar dan tenaga kerja, serta pengambilan kredit. 4. Usaha kecil yang bergerak dalam makanan olahan ini, masing-masing menghasilkan produk yang tidak selalu sama, baik jenis maupun satuannya. Karena itu digunakan satuan rupiah per tahun, untuk menghitung nilai penggunaan sarana produksi, pengambilan kredit, serta hasil produksi. 5. Untuk melihat peranan kredit mikro dan kecil dari lembaga keuangan mikro terhadap ekonomi wilayah, akan diamati data kredit mikro dan yang disalurkan melalui bank umum, bank perkreditan rakyat, kupedes dari BRI Unit, dan
16 pinjaman dari koperasi simpan pinjam, serta indikator ekonomi wilayah yang mengacu pada PDRB sektor : pertanian, industri, perdagangan, dan jasa-jasa. 6. Untuk keperluan analisis digunakan model ekonometrika menggunakan persamaan simultan, dengan metode Two Stage Least Squares (2SLS), menggunakan data primer (cross section) dari hasil recall data melalui kegiatan survei dan data primer berupa data pool (cross section dan time series), dari model ekonomi usaha kecil, dan model keterkaitan kredit dan ekonomi wilayah. Sedangkan keterbatasan penelitian ini meliputi: 1. Model ekonomi usaha kecil, hanya melibatkan usaha kecil yang bergerak pada kegiatan produksi makanan olahan yang berbasis bahan baku lokal, seperti: ketela pohon, tepung tapioka, tepung aren, pisang, kedelai, dan kulit rambak. 2. Penelitian ekonomi usaha kecil penerima kredit mikro dan kecil yang dilakukan hanya di wilayah Kabupaten Semarang, Magelang, dan Klaten. 3. Model keterkaitan kredit dan ekonomi wilayah merupakan model ekonomi tertutup yang tidak memasukkan data ekspor-impor kabupaten. 4. Penelitian ini menggunakan data kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Tengah yang berjumlah 29 kabupaten, tetapi tidak termasuk 6 (enam) kota yang ada di Jawa Tengah.
17
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Kredit dan Usaha Kecil
2.1.1. Pengertian dan Peranan Kredit Di beberapa literatur disebutkan istilah kredit berasal dari bahasa Latin credo atau credere, yang berarti kepercayaan atau trust. Kredit mengandung pengertian adanya suatu kepercayaan dari pihak pemberi pinjaman kepada penerima pinjaman, bahwa di masa datang akan mampu memenuhi segala kewajiban yang telah diperjanjikan (Rivai dan Veithzal, 2007). Beberapa pengertian tentang kredit secara luas, antara lain: 1. Kredit adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu pembelian atau mengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji pembayarannya akan dilakukan pada suatu jangka waktu yang disepakati (Kohler, 1964). 2. Kredit adalah pertukaran sesuatu yang berharga dengan barang lainnya baik itu berupa uang, barang maupun jasa dengan keyakinan bahwa yang bersangkutan akan bersedia dan mampu untuk membayar dengan harga yang sama dimasa yang akan datang (Firdaus, 2004). 3. Kredit adalah kemampuan pinjaman dan merupakan sebagian dari sumber penting bagi likuiditas, serta merupakan suatu asset yang dapat dikelola bagi usaha produksi suatu perusahaan (Baker, 1968 dalam Kuntjoro,1983). 4. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan).
18 Fungsi kredit pada dasarnya ialah pemenuhan jasa untuk melayani kebutuhan masyarakat dalam rangka mendorong dan melancarkan produksi, perdagangan dan konsumsi, sehingga pada akhirnya akan menaikkan pendapatan masyarakat (Firdaus, 2004). Fungsi-fungsi kredit secara spesifik meliputi: (1) mendorong tukar menukar barang dan jasa, (2) mengaktifkan alat pembayaran yang idle, (3) menciptakan alat pembayaran baru, (4) sebagai alat pengendalian harga, dan (5) meningkatkan kegunaan (utility) potensi-potensi ekonomi yang ada. Adapun jenis-jenis kredit menurut tujuan penggunannya terdiri dari: 1. Kredit Konsumtif yaitu kredit untuk membiayai pembelian barang dan jasa yang dapat memberikan kepuasan langsung terhadap kebutuhan individu. 2. Kredit Produktif yaitu kredit untuk tujuan-tujuan produktif dalam arti dapat meningkatkan kegunaan (utility). Kredit produktif ini terdiri: a. Kredit Investasi : untuk membiayai pembelian barang modal tetap, umumnya berjangka waktu menengah dan panjang. b. Kredit Modal Kerja: untuk membiayai modal lancar bagi proses produksi, umumnya berjangka waktu pendek atau menengah. Fasilitas yang bisa diberikan untuk kredit ini adalah revolving, yaitu dapat diperpanjang setiap periodenya tanpa permohonan kredit baru, dan einmaleg yaitu, harus mengajukan permohonan baru bila menghendaki kredit ini pada periode selanjutnya (Triandaru dan Budisantoso, 2007). 3. Kredit Likuiditas : tidak secara langsung mempunyai tujuan konsumtif dan produktif, tetapi bertujuan untuk membantu perusahaan yang sedang dalam kesulitan likuiditas dalam rangka menjaga kebutuhan minimalnya. Tujuan kredit ini untuk membiayai motif berjaga-jaga (precautionary motive).
19 Tipe atau jenis kredit lainnya menurut jangka waktu terdiri dari, (1) kredit jangka pendek (short-term credit), adalah kredit dengan jangka waktu sampai dengan satu tahun, (2) kredit jangka menengah (intermediate credit), umumnya adalah kredit dengan jangka waktu satu hingga lima tahun, dan (3) kredit jangka panjang (long term credit), merupakan kredit dengan jangka waktu lebih dari lima tahun (Kamerschen, 1984). Kredit dalam perekonomian memegang peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi. Kredit konsumtif awalnya bersifat konsumtif, namun melalui efek multiplier dengan keterkaitan ke depan secara tidak langsung akan bersifat produktif yaitu meningkatkan produksi barang dan jasa yang dibeli konsumen. Sedangkan kredit produktif mendorong pertumbuhan ekonomi, karena kredit ini ditujukan untuk pendirian, modernisasi, rehabilitasi dan ekspansi usaha. Unsur kepercayaan dan jaminan bahwa kredit yang diberikan akan kembali merupakan unsur yang mutlak. Pada lembaga pemberi kredit formal, unsur kepercayaan dinyatakan dalam persyaratan yang diminta dalam menyalurkan kredit kepada nasabah. Persyaratan pemberian kredit secara umum dinyatakan dalam Prinsip 6 C (Rose,1999) untuk mengetahui kelayakan calon peminjam untuk mendapatkan kredit (creditworthiness), dengan rincian sebagai berikut: 1. Character menunjukkan karakter calon peminjam, apakah mempunyai tanggung jawab, kejujuran, kesungguhan dalam mencapai tujuan, dan kesungguhan untuk mengembalikan kredit yang diterima. 2. Capacity menunjukkan persyaratan yang wajib dimiliki oleh kegiatan usaha calon peminjam yang akan diberi kredit. Dilakukan dengan melihat data
20 historis usaha, legalitas, kepemilikan usaha, sifat kegiatan usaha dan produk, konsumen dan pemasok. 3. Cash menunjukkan kemampuan calon peminjam untuk menghasilkan uang tunai dari hasil usahanya. Aspek yang dilihat adalah laporan dan proyeksi arus tunai usaha, ketersediaan aktiva yang likuid, perputaran usaha, dan kualitas manajemen usaha. 4. Collateral menunjukkan bagian modal calon peminjam yang wajib dijadikan sebagai agunan. Agunan dilihat dari aspek kepemilikan, kerentanan terhadap keusangan,
tingkat
kegunaan,
hak
gadai,
tingkat
penguasaan
atau
pengambilalihan. 5. Conditions merupakan persyaratan kelayakan usaha dilihat dari posisi industri atau usaha, prakiraan pangsa pasar, kinerja usaha sejenis, permintaan pasar, serta regulasi, lingkungan usaha dan kondisi politik yang mungkin berpengaruh terhadap peminjam, usaha atau industri tersebut. 6. Control faktor terakhir ini untuk melihat kemampuan dalam hal pengawasan terhadap calon peminjam, sehingga tidak menimbulkan kejadian yang mempunyai efek merugikan. Bila hal ini tidak diperhatikan, bisa menyebabkan terjadinya persengketaan perdata. Faktor pengawasan ini pula dapat menghindarkan dari kemungkinan terjadinya salah pilih. Aspek penting yang diperhatikan adalah bukti dokumen administrasi dan legal. Apabila persyaratan tersebut dianggap telah terpenuhi oleh calon peminjam, maka usaha dan colan peminjam tersebut dianggap bankable, artinya kredit yang akan dibiayai telah memenuhi kriteria safety, yaitu dapat diyakini kepastian pembayaran kembali kredit sesuai jadwal dan jangka waktu kredit, dan
21 kriteria effectiveness, yaitu kredit yang diberikan benar-benar digunakan untuk pembiayaan sebagaimana dicantumkan dalam rencana pengajuan kreditnya (Hasibuan, 2008). Seberapa besar intensitas, penekanan dan kelengkapan persyaratan tersebut, akan bervariasi antar lembaga dan jenis skim kredit yang diberikan. Bagi kredit-kredit program, beberapa persyaratan tertentu bahkan dihilangkan. Contohnya persyaratan Collateral atau agunan untuk kredit usaha kecil yang bisa dalam bentuk lebih ringan.
2.1.2. Kredit Mikro dan Lembaga Keuangan Mikro Istilah kredit mikro (microcredit) erat kaitannya dengan kredit bagi usaha skala mikro dan kecil. Kredit mikro ini merupakan kredit dengan plafon pinjaman kurang dari Rp.50 juta dan terdiri dari kredit modal kerja, kredit investasi dan kredit konsumsi (Bank Indonesia, 2006). Kredit mikro menjadi populer karena “metode kontroversial” dikembangkan di negara-negara miskin dan juga di negara kaya, karena bank komersial sulit untuk memenuhi permintaan kredit dari rakyat miskin yang tidak memiliki agunan fisik (physical collateral) tetapi layak mendapat kredit (creditworthy) (Hollis dan Sweetman, 1998). Konsep kredit mikro merupakan inovasi dari Grameen bank, yaitu pinjaman dalam jumlah minimal tanpa agunan kepada rakyat miskin untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pendapatan keluarga. Sejak dikembangkan tahun 1976 sistem penyaluran kredit ini telah membuat Grameen bank menjadi lembaga penyalur kredit mikro terbesar di Bangladesh. Di tahun 1980-an skim kredit mikro yang diperuntukan bagi kelompok perempuan miskin ini telah berkembang dan populer di seluruh dunia (Rahman, 1999).
22 Pengalaman dari Grameen bank memperlihatkan bahwa pinjaman bagi orang miskin dapat menciptakan wirausaha dan memberi pendapatan. Kemampuan wirausaha itu ternyata universal, hampir setiap orang punya bakat mengenali peluang disekitarnya. Realitas di perdesaan menunjukkan rumahtangga merupakan unit produksi dan wirausaha sebagai cara bagi orang untuk mencari nafkah. Dari pengamatan langsung terhadap perilaku orang yang dipinjami uang, segera diketahui bahwa meminjamkan uang kepada perempuan jauh memberikan manfaat bagi seluruh keluarga. Dengan begitu, meminjamkan kepada perempuan menciptakan efek air terjun (cascading effect) yang bermanfaat bagi seluruh keluarga dan akhirnya kepada seluruh komunitas (Yunus dan Weber, 2008). Penambahan modal dari luar juga akan memberikan pertumbuhan yang tinggi kepada kelompok yang menerima pinjaman dengan adanya snowball effect, sehingga dalam jangka panjang mampu memberi harapan
pada masyarakat
berpenghasilan rendah (Raynor, 2003). Ada tiga karakteristik kredit mikro ini sehingga dapat berkembang dan terus berkelanjutan hingga saat ini, yaitu: (1) ditujukan bagi rakyat miskin dalam rangka meningkatkan aktivitas usaha mikro (produksi dan konsumsi), (2) fokus pada kelompok perempuan yang merupakan kontributor utama dalam keluarga, dan (3) memakai tehnik penyaluran kelompok dan pertemuan kelompok, yang potensial membangun modal sosial ( Anderson et al., 2002 ). Lembaga Keuangan Mikro (microfinance institutionals atau MFIs) adalah institusi yang menyediakan jasa-jasa keuangan kepada penduduk yang berpendapatan rendah dan termasuk dalam kelompok miskin. Lembaga keuangan
23 mikro (LKM) ini bersifat spesifik karena mempertemukan permintaan dana penduduk miskin atas ketersediaan dana. LKM dapat dibedakan tiga jenis, yakni : 1. LKM formal bank : terdiri dari BPR, BRI Unit, dan BKD 2. LKM formal non bank : antara lain Koperasi, LDKP, Pegadaian, dan BKK 3. LKM informal non bank : antara lain BMT, Kelompok Arisan, SimpanPinjam, Pelepas Uang, dll, termasuk lembaga-lembaga yang didirikan atas dasar program pemerintah di departemen teknis (Bintoro, 2003). Ada beberapa pengertian tentang keuangan mikro ( microfinance): 1.
Keuangan mikro merupakan aktifitas yang mengacu pada jasa keuangan skala kecil baik kredit atau simpanan yang ditujukan untuk masyarakat petani atau nelayan atau peternak yang melakukan usaha mikro atau kecil dan yang menghasilkan suatu produk, mendaur-ulang produk, memperbaiki produk; atau berdagang; jasa-jasa; berkerja untuk mendapat upah atau komisi; menyewakan tanah, hewan beban, kendaraan, atau peralatan dan mesin; dan yang dilakukan oleh individu atau kelompok di negara-negara berkembang, baik di perdesaan maupun perkotaan (Robinson, 2001).
2.
Keuangan mikro didefinisikan sebagai penyediaan sejumlah jasa keuangan seperti: simpanan, kredit, jasa pembayaran, transfer uang dan asuransi untuk rumahtangga miskin atau berpenghasilan rendah dan usaha mikro (Asian Development Bank, 2010).
3.
Keuangan mikro secara luas didefinisikan sebagai penyedia jasa keuangan bagi pengusaha mikro dan kecil, serta berfungsi sebagai alat pembangunan bagi masyarakat perdesaan yang mencakup aspek intermediasi finansial dan intermediasi sosial (Ledgerwood, 1999).
24 Pengertian tentang keuangan mikro (microfinance) menurut definisi Robinson (2001), lebih menggambarkan perkembangan dari lembaga keuangan mikro di Indonesia, yang terdiri dari lembaga formal baik bank (BRI Unit dan BPR) maupun non bank (Koperasi, Pegadaian, BKK) dan lembaga informal (BMT, Kelompok Simpan Pinjam, Kelompok Arisan, dll) yang tersebar luas di wilayah perdesaan dan perkotaan di Indonesia dan melayani hampir semua sektor ekonomi, baik pertanian maupun non pertanian. Ada beberapa karakteristik dari lembaga keuangan mikro, yang sebenarnya juga menggambarkan suatu fenomena yang kompleks berdimensi ekonomi dan sosio-kultural, seperti dikatakan Arsyad (2008), yang meliputi: (1) merupakan sebuah kesatuan dari tata-kelola yang dinamis, inovatif, dan lentur (adaptif) yang dibuat sesuai kondisi lingkungan sosial dan ekonomi lokal, kelenturan ini dicapai karena jumlah aturan yang tidak terlalu banyak, ukurannya kecil, beroperasi di wilayah yang relatif terbatas (market niche) sehingga mengenal peminjam secara pribadi, (2) jenis transaksi kecil dan jangka pendek yang didasarkan pada hubungan pribadi atau pengetahuan tentang peminjam secara pribadi, dan (3) biaya transaksi yang relatif rendah karena memiliki: informasi yang cukup tentang peminjam, biaya administrasi yang relatif rendah, tingkat bunga yang fleksibel, dan tidak memiliki kewajiban pencadangan modal (reserve requirement). Menurut Otero (1999) microfinance dapat menjadi strategi pembangunan yang berhasil apabila mampu menjaga: hubungan dengan nasabahnya, kepercayaan pada kelembagaannya, dan kaitan dengan sistem keuangan negaranya. Selain itu microfinance juga perlu untuk tetap menjaga keseimbangan antara aspek jangkauan pelayanan (depth of outreach) kepada
25 masyarakat bawah dan kepentingan komersialisasi yang semata-mata hanya demi menjaga aspek keberlanjutan (sustainability) lembaga (Olivares-Polanco, 2005).
2.1.3. Klasifikasi Kredit Mikro dan Kecil Kredit mikro dan kredit kecil, yang digunakan oleh Bank Indonesia berdasarkan kesepakatan bersama Menko Kesra Tahun 2002 (SK, No.11/KEP /MENKO/KESRA/IV/2002 dan No.4/2/KEP.GBI/2002 tanggal 22 April 2002) yang memberikan batasan kredit mikro dan kredit kecil sebagai berikut: 1. Kredit Mikro adalah kredit yang diberikan kepada nasabah usaha mikro, baik langsung maupun tidak langsung, yang dimiliki dan dijalankan oleh penduduk miskin dengan kriteria penduduk miskin menurut Badan Pusat Statistik, dengan plafon kredit maksimal Rp 50 juta. 2. Kredit Kecil adalah kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih maksimal Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan tempat usaha atau yang memiliki hasil penjualan maksimal Rp 1 miliar per tahun, dengan plafon kredit maksimum sebesar Rp 500 juta. Berdasarkan batasan kredit mikro dan kredit kecil ini, terlihat ada kaitan yang erat mengelompokkan usaha mikro dan kecil dengan penentuan kriteria kredit mikro dan kecil, yang ditetapkan oleh pemerintah selaku regulator dan Bank Indonesia selaku otoritas moneter dalam menggerakkan sektor riil.
2.1.4. Pengertian dan Klasifikasi Usaha Kecil Usaha kecil didefinisikan sebagai usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha, dan tidak terkait dengan secara kepemilikan dengan usaha menengah atau usaha besar (UU No.20 Th 2008
26 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Dalam analisis teori mikroekonomi, usaha kecil sebagai suatu badan yang melakukan kegiatan usaha melalui proses produksi dengan mengubah masukan (input) yang disebut juga faktor produksi termasuk segala sesuatu yang harus digunakannya, menjadi keluaran yang sering disebut produk (output) (Pindyck dan Rubinfeld, 2001). Sebagai contoh sebuah usaha makanan olahan menggunakan masukan yang mencakup tenaga kerja, bahan baku (tepung, gula, bumbu-bumbu lainnya), dan modal yang digunakan (pemanggang, mixer, peralatan lainnya) untuk memproduksi keluaran, berupa keripik, getuk, kerupuk, dan makanan kecil lainnya. Ada beberapa fungsi pengelolaan usaha yang saling terkait, meliputi kegiatan pada: (1) proses produksi, (2) tenaga kerja, (3) pengadaan bahan baku, (4) pemasaran produk, (5) finansial, dan (6) koordinasi dan kepemimpinan (Krause, 1969). Pada usaha kecil, peran kewirausahaan dan fungsi pengelolaan usaha ini seringkali dilakukan oleh satu individu sekaligus sebagai pemilik usaha, karena itu perlu pemahaman terhadap jenis-jenis usaha. Batasan dan kriteria umum tentang usaha kecil biasanya digunakan untuk mengelompokan usaha untuk tujuan pembangunan sesuai dengan program pemerintah untuk menggerakkan sektor riil. Batasan dan kriteria dari pemerintah ini belum tentu sesuai dengan kebutuhan, namun masih dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam menyiapkan produk dan jasa layanan lembaga pemberi kredit kepada masing-masing kelompok usaha tersebut (Nuridin, 2007). Berkaitan dengan pemberlakukan UU No.20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, maka batasan usaha di definisikan sebagai berikut:
27 1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagai mana diatur dalam Undang-Undang. Yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300 juta. 2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian, baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar. Yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50 juta sampai dengan paling banyak Rp 500 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300 juta sampai dengan paling banyak Rp 2.5 miliar. Berdasarkan
pendekatan
umum
yang
banyak
digunakan
secara
internasional, pengertian tentang usaha mikro dan kecil adalah sebagai berikut (Nuridin, 2007) : 1. Usaha Mikro umumnya adalah usaha informal dan tidak memiliki status legal yang formal, dilakukan oleh orang dari kelompok miskin, khusunya wanita, tidak memiliki perencanaan usaha yang formal, tidak ada atau minim entrybarrier, lini usahanya tetap, pertumbuhan tidak cepat, catatan keuangan jarang dilakukan, bahkan biasanya dilakukan oleh orang yang buta huruf. 2. Usaha Kecil umumnya terdaftar dan dijalankan oleh keluarga atau kelompok, pemilik dan pengelola dilakukan oleh orang yang sama, biasanya belum
28 memiliki catatan keuangan dan catatan usaha yang akurat, dan belum memiliki auditor, dalam beberapa hal telah memiliki legalitas hukum. Sedangkan batasan dan kriteria usaha kecil dari aspek penggunaan tenaga kerja, dapat dibedakan berdasarkan kriteria (Tambunan, 2009) dari: 1. Bank Dunia: usaha mikro adalah usaha yang mempekerjakan tenaga kerja kurang dari 10 orang, usaha kecil adalah usaha yang memperkerjakan tenaga kerja antara 10 sampai dengan 49 orang. 2. Badan Pusat Statistik: usaha mikro adalah usaha dengan jumlah tenaga kerja kurang dari 5 orang, sedangkan usaha kecil adalah usaha dengan jumlah tenaga kerja antara 5 sampai dengan 19 orang. Sementara itu yang termasuk usaha menengah adalah bila memiliki jumlah tenaga kerja antara 20 sampai dengan 99 orang. Dari kriteria tersebut, penggunaan tenaga kerja tetap dalam jenis usaha tidak sama jumlahnya, di Indonesia usaha kecil adalah usaha dengan jumlah tenaga kerja kurang dari 20 orang, sedangkan di China kurang dari 300 orang masih dianggap usaha kecil. Namun demikian sebagai indikator kinerja usaha umumnya digunakan penggunaan kriteria hasil penjualan (omset usaha).
2.2.
Pertumbuhan Ekonomi Dalam kaitannya dengan perekonomian Jawa Tengah, pertumbuhan
ekonomi adalah merupakan kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang merupakan pula kenaikan nilai riil output agregat. Berdasarkan pendekatan produksi komponen output agregat ini mencakup 9 (sembilan) sektor, yaitu: pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik gas dan air, konstruksi, angkutan dan telekomunikasi, hotel dan restoran, keuangan dan
29 persewaan, dan jasa-jasa. Sedangkan menurut pendekatan pengeluaran, output agregat mencakup konsumsi, investasi, belanja pemerintah, dan net ekspor.
2.2.1. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi Tujuan dari pengamatan terhadap angka pertumbuhan ekonomi antara lain untuk mengukur kinerja ekonomi suatu wilayah dan memperkirakan dampaknya terhadap kesempatan kerja, tingkat inflasi, dan lainnya. Laju pertumbuhan ekonomi dihitung dari perubahan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu tahun dengan 1 tahun atau beberapa tahun sebelumnya (Yusianto, 2001). Definisi PDB adalah nilai seluruh barang akhir dan jasa yang diproduksi di suatu negara dalam periode waktu tertentu, yang meringkas aktivitas ekonomi dalam nilai uang tunggal selama periode waktu tertentu (Mankiw, 2003). Perhitungan PDB dilakukan dengan menghitung nilai PDB riil berdasarkan nilai tahun dasar tertentu. Secara sederhana apabila diketahui ada PDBt (PDB tahun t) dan PDBt-1 (PDB tahun t-1), maka laju pertumbuhan ekonominya (PDB riil) adalah:
PDBt − PDBt −1 PDBt −1
x 100 persen
Secara konseptual ada tiga pendekatan dalam menentukan PDB, yaitu: 1.
Pendekatan produksi (production approach) : atau pendekatan nilai tambah dimana PDB adalah jumlah nilai seluruh barang akhir dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara dalam satu periode. Misalnya PDB merupakan nilai tambah pertanian + industri + jasa.
2.
Pendekatan penerimaan (income approach) : PDB adalah jumlah pendapatan yang diperoleh produsen yang tinggal di suatu Negara. Contoh perhitungannya: (upah, dll) + sewa + laba + tingkat bunga + (pajak–subsidi).
30 3.
Pendekatan pengeluaran ( expenditure approach ) : menurut pendekatan ini PDB adalah jumlah pengeluaran oleh negara seperti: pengeluaran konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, serta ekspor neto (ekspor – impor).
Perhitungan PDB di Indonesia oleh Badan Pusat Statistik (BPS) hanya dikenal dua pendekatan yaitu: 1.
Pendekatan Produksi atau nilai tambah: PDB ini terdiri dari 9 lapangan usaha yaitu: pertanian; pertambangan dan penggalian; industri pengolahan; listrik, gas dan air bersih; bangunan; perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, jasa perusahaan; dan jasa-jasa.
2.
Pendekatan
pengeluaran:
BPS
mengistilahkan
“penggunaan”
yaitu:
pengeluaran konsumsi rumahtangga; pengeluaran konsumsi pemerintah; Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB); perubahan stok; ekspor; dan impor. Menurut pendekatan ini
komponen investasi pada
dasarnya merupakan dari PMTDB dan perubahan stok. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi antara lain oleh investasi swasta (private investment), konsumsi swasta (private consumption), pengeluaran
pemerintah
(government
expenditure).
Sedangkan
dari
sisi
penawaran, terdapat empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu: jumlah penduduk, jumlah stok barang modal, luas tanah dan kekayaan alam, dan tingkat teknologi yang digunakan (Sukirno, 2004). Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan apabila tingkat kegiatan ekonomi di suatu wilayah atau negara lebih tinggi dari apa yang dicapai pada periode sebelumnya. Menurut Boediono (1996) pertumbuhan ekonomi adalah merupakan proses kenaikan produksi (output) per kapita dalam jangka panjang.
31 2.2.2. Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Dari aspek ekonomi pengertian wilayah adalah ekonomi ruang suatu daerah administratif yang berada di bawah administrasi pemerintahan tertentu seperti propinsi, dan kabupaten. Jadi wilayah disini didasarkan pada pembagian administratif suatu negara. Pengertian ini paling banyak digunakan dalam perencanaan pembangunan ekonomi wilayah karena daerah yang batasannya ditentukan secara wilayah administratif lebih mudah dianalisis. Salah satu keunggulan dari wilayah atas dasar administarsi pemerintahan adalah dapat ditetapkannya batas wilayah secara jelas (Arsyad, 1999; Tarigan, 2003). Pertumbuhan ekonomi wilayah pada dasarnya terkait dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam suatu perekonomian. Pertumbuhan ini menyangkut perkembangan ekonomi berdimensi tunggal dan diukur dengan meningkatnya hasil produksi (output) dan pendapatan. Perekonomian mengalami pertumbuhan jika jumlah barang barang dan jasa yang dihasilkan perekonomian tersebut bertambah besar pada tahun-tahun berikutnya (Setiawan, 2006). Konsep yang paling sering digunakan untuk menggambarkan pendapatan wilayah di suatu daerah adminitrasi (kabupaten atau provinsi) adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yaitu nilai tambah bruto atau gross value
added (output dikurangi intermediate cost) dari seluruh sektor perekonomian yang ada di suatu daerah adimintasi tersebut. Dengan menghitung nilai tambah bruto dari masing-masing sektor dan kemudian menjumlahkannya, maka akan menghasilkan perhitungan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Adapun perhitungan nilai PDRB adalah merupakan nilai PDRB riil yang dihitung berdasarkan nilai dasar tahun tertentu.
32 Secara sederhana apabila diketahui ada PDRBt dan PDRBt-1, maka laju pertumbuhan ekonomi daerah (PDRB riil) adalah:
PDRBt − PDRBt −1 PDRBt −1
x
100 persen
Perhitungan pendapatan daerah per kapita dapat diperoleh dengan cara membagi pendapatan daerah dengan jumlah penduduk daerah pada tahun yang sama.
2.3.
Studi Pustaka Terdahulu Dari
hanya kegiatan kecil nonprofit pada periode tahun 1970-an dan
1980-an, keuangan mikro telah berkembang menjadi kekuatan global dengan peningkatan kegiatan operasional di berbagai sektor keuangan. Lembaga keuangan mikro ini telah berusaha memberikan jasa keuangan kepada kelompok masyarakat miskin dan usaha mikro dalam jumlah sangat besar, yang termasuk dalam pasar jasa keuangan kelompok terbawah dalam piramida masyarakat (the
bottom of the pyramid) (Rhyne, 2009). Indonesia memiliki reputasi yang baik sebagai negara yang telah mengembangkan berbagai jasa keuangan mikro, dengan berbagai bentuk kredit atau pinjaman. Selain itu juga dikenal sebagai
laboratorium pasar keuangan mikro terbesar, yaitu tempat dimana berbgai lembaga keuangan rakyat telah melalui uji coba, dengan menghasilkan pemahaman bahwa lembaga-lembaga tersebut tumbuh dan berkembang mengikuti kebutuhan masyarakat setempat (Chaves dan Gonzales-Vega, 1996). Beberapa penelitian yang membahas tentang kredit mikro dan kecil diantaranya adalah: Penelitian tentang permintaaan kredit pada industri kecil oleh Rachmina (1994), menganalisis permintaan kredit dan mempelajari hubungan pemberian kredit dengan pembentukan modal pada industri kecil di Jawa Barat dan Jawa
33 Timur, menunjukkan bahwa tingkat bunga kredit, omzet usaha, dan jenis bank berpengaruh nyata terhadap permintaan kredit. Masing-masing dengan elastisitas tingkat bunga dan omset usaha terhadap permintaan kredit sebesar -2.2250 dan 0.4307, serta elastisitas variabel dummy jenis bank yang positif, dimana permintaan kredit pada industri kecil nasabah bank pemerintah lebih besar dibandingkan industri kecil nasabah bank swasta. Kredit juga mampu mendorong pembentukan modal usaha (modal sendiri), aset perusahaan, dan aset keluarga. Sedangkan
penelitian
Kusnadi
(1990),
tentang
penyediaan
dan
penggunaan kredit pada usahatani dampak “model farm” menunjukkan hasil bahwa disamping digunakan untuk usahatani, kredit usahatani yang diperoleh juga digunakan untuk kegiatan usaha di luar usahatani dan keperluan konsumtif. Sedangkan kredit yang disalurkan ke sektor non pertanian, penggunaannya relatif lebih mengenai sasaran yaitu untuk membiayai kegiatan usaha dagang. Dari sisi besar pinjaman, ada indikasi bahwa rendahnya efektifitas penggunaan kredit oleh nasabah disebabkan jumlah kredit yang dipinjam belum disesuaikan dengan besar modal kerja usahatani yang dibutuhkan, sebaliknya pemberian kredit yang terlalu kecil menjadi kurang menarik digunakan sebagai tambahan modal kerja sehingga banyak penggunaan kredit untuk digunakan tujuan konsumtif. Penyediaan kredit juga mampu menambah pembentukan modal kerja usahatani. Penelitian di wilayah Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah dan kabupaten Boalemo Gorontalo menunjukkan bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir melalui perbankan mikro akan lebih efektif bila implementasinya menerapkan efisiensi biaya, pelayanan nasabah, dan fokus pada target pasar tertentu, sehingga pendapatan riil masyarakat pesisir dapat meningkat. Agar
34 pelaksanaan micro banking berjalan efektif, disarankan tingkat bunga untuk skim kredit kelompok nelayan maksimum 15 persen per tahun, serta adanya dukungan iklim bisnis dari pemerintah yang mengedepankan komitmen dan keberpihakan kepada kelompok nelayan tanpa mengesampingkan aspek prudential. Selain itu diperlukan pendekatan mitra bisnis dan program pendampingan kepada kelompok nelayan agar pelaksanaan micro banking berjalan baik (Edy, 2004). Penelitian tentang marine banking atau sistem perbankan yang spesifik bagi masyarakat nelayan di wilayah pesisir (Ritonga, 2004), menunjukkan adanya manfaat bagi kesejahteraan nelayan. Hal ini dikarenakan: (1) akan merubah pola hidup konsumtif menjadi pola hidup menabung, (2) meningkatkan kemampuan modal nelayan, dan (3) memperbesar peran Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sebagai pasar tempat menjual hasil tangkapan nelayan. Selain itu didapatkan kesimpulan bahwa bank sebagai lembaga keuangan formal belum berperan dalam menunjang usaha nelayan, sementara lembaga keuangan informal seperti tengkulak dan rentenir sangat berperan dan populer bagi masyarakat nelayan dalam pembiayaan usaha mereka. Operasionalisasi lembaga keuangan yang melayani kelompok nelayan sebaiknya menganut sistem unit banking. Simanjuntak (1993), melakukan penelitian terhadap 173 BPR di wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendapatkan hasil bahwa Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di wilayah tersebut telah melakukan aktivitasnya sebagai lembaga intermediasi di bidang keuangan dan di dalam pasar keuangan perdesaan. Namun demikian BPR ternyata masih beroperasi dalam skala usaha yang increasing
returns to scale, ini menunjukkan bahwa BPR masih kurang responsif terhadap bekerjanya mekanisme pasar lembaga keuangan di daerah perdesaan dan
35 pinggiran perkotaan. Salah satu penyebab kurang responsifnya BPR di dalam merespon bekerjanya sistem pasar diperkirakan karena derajat monetisasi di perdesaan masih rendah. Penelitian tentang kredit Karya Usaha Mandiri (KUM) yang merupakan replika Grameen Bank oleh Syukur (2002) di wilayah Bogor menunjukkan bahwa peserta skim kredit yang semuanya wanita dari rumahtangga miskin memperoleh dampak positif terhadap ekonomi dan kualitas hidup rumahtangganya. Hal ini karena penyaluran kredit KUM berdampak pada peningkatan pendapatan pendapatan, simpanan, modal, dan pengeluaran untuk pendidikan peserta skim kredit. Skim KUM telah membuka akses kredit dan pelayanan tabungan bagi rumahtangga miskin, sehingga berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dan pemupukan modal. Akhirnya dapat mendorong pengembangan pembiayaan mikro yang berkelanjutan bagi rumahtangga miskin di perdesaan. Selain itu perlu dukungan pemerintah dalam bentuk alokasi dana lumpsum transfer kepada skim kredit KUM dengan pengawasan, agar terbentuk lembaga intermediasi kredit yang transparan, bertanggung jawab dan memiliki akuntabilitas yang tinggi. Penelitian microfinance yang komprehensif dilakukan Robinson (2004) di Indonesia, mengamati evolusi kredit mikro di BRI-Unit periode tahun 1970–1996. Ada dua tahap perkembangan kredit mikro, yaitu: 1. Periode tahun 1970–1984: merupakan periode kredit mikro bersubsidi untuk tingkat suku bungan pinjaman yang dananya berasal dari bank sentral, yang dalam kegiatannya menggunakan pendekatan supply-leading terhadap kredit perdesaan berskala besar dengan lebih 350 program kredit bersubsidi dari pemerintah untuk padi, tanaman pangan, ternak, ikan, unggas dan sejenisnya.
36 Hasil dari pendekatan ini adalah pinjaman sering hanya menjangkau kaum elit perdesaan, munculnya masalah dalam pengembalian pinjaman, dan adanya kerugian yang terus bertambah tinggi bagi BRI dan pemerintah. Pada periode ini BRI-Unit bertindak sebagai channeling agent. 2. Periode tahun 1984–1996: merupakan periode yang mengarah pada pasar dengan kredit mikro komersial dan tingkat suku bunga yang ditetapkan sendiri oleh BRI-Unit. Kegiatan yang dilakukan adalah memperkenalkan Kupedes pada tahun 1984 dan disertai mobilisasi simpanan secara aktif, hasilnya adalah jumlah dan nilai pinjaman meningkat tajam, tunggakan pinjaman berkurang dan keuntungan mulai dihimpun sejak tahun 1986, serta semua pinjaman ke masyarakat didanai dari simpanan yang dihimpun secara lokal. Pada periode ini BRI-Unit bertindak sebagai executing agent. Namun demikian masih ada kelemahannya, karena BRI-Unit mulai beralih dari sistem unit banking menjadi sistem branch banking, kemudian kelompok masyarakat yang belum bankable kesulitan untuk memperoleh pinjaman akibat berkurangnya atau tidak adanya lagi kredit bersubsidi atau skim kredit mikro tanpa agunan. Menurut Llanto (2007), untuk mengatasi kompleksitas dan risiko dalam penyaluran kredit, pihak bank harus melakukan inovasi dari sisi disain skim kredit, teknologi penyaluran kredit, dan manajemen risiko. Sedangkan menurut Ashari (2009b), untuk mendorong pembiayaan di perdesaan adalah dengan meningkatkan akses petani terhadap lembaga keuangan formal, salah satunya dengan program sertifikasi tanah agar mudah dijadikan syarat pinjaman ke bank.
37
III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 3.1.
Usaha Kecil Dan Kebutuhan Kredit Di Indonesia usaha mikro dan kecil menjadi penopang utama kegiatan
ekonomi, terutama dilihat dari kontribusi dalam hal penyerapan tenaga kerja dan jumlah unit usaha. Kontribusi usaha mikro dan kecil (UMK) dalam penyerapan tenaga kerja mencapai 94.59 persen dari seluruh pasar tenaga kerja di Indonesia, sedangkan kontribusi usaha mikro dan kecil (UMK) dalam hal jumlah unit usaha di semua sektor ekonomi mencapai 99.91 persen dari total unit usaha di Indonesia (Kemenkop dan UKM, 2009). Secara umum usaha mikro, kecil dan menengah memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian, kondisi yang hampir sama juga terdapat di negara-negara lain bahkan di negara maju sekalipun. Negara-negara maju sering mengatur pola kemitraan tertentu melalui undang-undang anti-trust, untuk menghambat praktek monopoli. Di Amerika Serikat jumlah perusahan berbentuk sole proprietorship mencapai 73.70 persen atau sekitar 14.78 juta unit usaha, perusahaan berbentuk corporation mencapai 18.50 persen atau 3.72 juta unit, dan perusahaan berbentuk partnership mencapai 9.75 persen atau sekitar 1.55 juta unit (Hyman, 1997). Disini terlihat di Amerika Serikat jumlah perusahaan perorangan (sole proprietorship), yang identik dengan perusahan skala kecil juga merupakan mayoritas usaha dan menjadi penopang struktur usaha yang lebih besar diatasnya. Berdasarkan aspek kepemilikan usaha dan legal bisnis, menurut Hyman (1997), terdapat beberapa bentuk perusahaan bisnis, yaitu: (1) sole proprietorship adalah usaha yang dimiliki dan dilakukan oleh perorangan, serta bertanggung jawab atas hutang bisnis, usaha ini merupakan bentuk struktur bisnis legal yang
38 paling dasar dan sederhana, (2) corporation adalah bisnis legal yang didirikan berdasarkan undang-undang negara, dimana ada pemisahan antara kepemilikan pribadi dan kepemilikan perusahaan, korporasi merupakan produk hukum perusahaan, dan ada aturan yang menyeimbangkan kepentingan manajemen yang mengoperasikan perusahaan, kreditur, pemegang saham, dan buruh yang menyumbangkan tenaga, dan (3) partnership adalah bisnis yang dimiliki oleh dua atau lebih, dimana ada pengaturan entitas dan / atau individu yang sepakat untuk bekerja sama untuk memajukan kepentingan mereka. Kemitraan ini terbentuk antara satu atau lebih bisnis di mana mitra (pemilik) bekerja untuk mencapai dan berbagi keuntungan atau kerugian. Perilaku ekonomi dari usaha kecil sebagai perusahaan (firm) memiliki perbedaan dengan perilaku ekonomi dari rumahtangga (household). Perusahaan adalah organisasi ekonomi yang bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan (profit) dengan menggunakan sejumlah sumberdaya yang dikuasainya. Sedangkan pada rumahtangga tujuan yang hendak dicapai adalah untuk memaksimumkan kegunaan (utility) dengan bertindak rasional dalam mengalokasikan modal dan waktu rumahtangga, dan menggunakan pendapatan untuk konsumsi barang dan jasa (Becker, 1965; Evenson, 1976; Kusnadi, 2005; Fariyanti, 2008). Pelaku usaha kecil sebagai produsen dengan asumsi dasar fungsi produksi (Henderson dan Quandt, 1980), memiliki perilaku ekonomi lebih didasarkan pada usaha untuk mencari keuntungan (laba) maksimum, dan untuk memaksimumkan keluaran serta mengoptimumkan penggunaan faktor produksi. Dalam jangka pendek, keuntungan merupakan selisih antara nilai keluaran dengan nilai masukan variabel, sedangkan dalam jangka panjang keuntungan merupakan selisih antara
39 nilai keluaran dengan total biaya masukan. Karena itu menurut Nazar (1980), bagi usaha kecil semua kegiatan produktif tersebut dilakukannya dengan tujuan untuk memaksimumkan keuntungan (laba), dengan tergantung pada harga relatif masukan dan keluaran, dan hubungan teknik dari produksi. Langkah yang dilakukan oleh produsen ini secara teori dikenal sebagai optimisasi. Pada tahap awal kegiatan produksi, usaha kecil akan berusaha memaksimuman produksi dengan kendala anggaran (modal) sehingga dicapai titik keseimbangan produsen. Selanjutnya apabila usaha kecil ingin melakukan perluasan usaha (mencapai titik keseimbangan produsen yang lebih tinggi), maka dibutuhkan tambahan anggaran biaya untuk membeli bahan baku (masukan atau
input). Tambahan anggaran biaya ini bisa didapatkan dengan 2 (dua) cara, yaitu: (1) dari internal berupa akumulasi keuntungan (laba) yang dapat disisihkan, dan (2) dari eksternal berupa kredit atau pinjaman (dari lembaga keuangan atau dari pihak luar lainnya).
3.1.1. Perilaku Ekonomi Usaha Kecil Asumsi ekonomi berupa maksimisasi keuntungan (laba) sangat sering dipakai, karena dapat meramalkan perilaku usaha serta mempermudah dalam analisis yang diperlukan. Untuk kegiatan usaha seperti usaha kecil yang dikelola langsung pemiliknya, keuntungan masih mendominasi hampir seluruh keputusan perusahaan (Pindyck dan Rubinfeld, 2001).
Namun demikian dalam jangka
pendek tujuan lain seperti maksimisasi penerimaan untuk mencapai pertumbuhan pasar, juga sering lebih diprioritaskan oleh pelaku usaha. Hal ini juga didorong oleh kebutuhan manajerial usaha untuk menjaga aspek likuiditas dan aktivitas usaha, sebelum pada akhirnya aspek profitabilitas usaha akan dapat dicapai.
40 3.1.1.1. Kegiatan Produksi dan Biaya Produksi Dalam suatu kegiatan usaha, hubungan antara masukan (input) pada proses produksi dan keluaran (output) digambarkan oleh fungsi produksi. Suatu fungsi produksi (production function) menunjukkan keluaran (y) yang dihasilkan oleh produsen untuk setiap kombinasi masukan (xi) tertentu. Untuk menyederhanakan diasumsikan ada dua masukan, yaitu tenaga kerja (x1) dan modal (x2), sehingga fungsi produksi dapat ditulis sebagai: y = f (x1,x2) ......................................................................................... (01) Pada tingkat teknologi tertentu kombinasi antara masukan x1 dan x2 ini akan menghasilkan keluaran (y) yang sama dan menghasilkan informasi yang disebut isokuan (isoquant). Produsen apabila dimungkinkan oleh garis iso-biaya (isocosts
line), maka akan selalu berusaha mencapai titik keseimbangan produsen (keluaran atau output) yang lebih tinggi pada isokuan yang lebih tinggi atau dikenal dengan istilah maksimisasi keluaran dengan kendala biaya. Hal ini secara rasional dilakukan sebagai upaya untuk mengikuti jalur perluasan usaha (expansion path) yang secara teknologi dimungkinkan. Namun demikian pada umumnya produsen akan terkendala oleh modal dari dalam (modal internal) untuk membiayai masukan (input) produksinya, sehingga memerlukan tambahan modal yang berasal dari luar. Dalam kegiatan produksi, kredit sangat berperan sebagai penambah modal dari luar (eksternal) untuk membiayai masukan produksi sehingga produsen dapat meningkatkan produksi menjadi lebih tinggi. Masukan produksi yang dibiayai dengan kredit mempunyai biaya tambahan yang nilai sebesar tingkat bunga kredit. Dengan adanya kredit maka akan ada tambahan biaya untuk kegiatan produksi,
41 sehingga dapat mempengaruhi komposisi penggunaan input optimum pada jalur perluasan usaha (expansion path). Dengan pendekatan konsep biaya produksi, produsen akan menghadapi fungsi produksi sebagai berikut (Baker, 1968). y = f (x1, x2 | xf) ................................................................................... (02) dimana: y = keluaran; dan f menyatakan fungsi daripada xi = masukan variabel xf = masukan lainnya yang dianggap tetap Berdasarkan fungsi produksi tersebut, persamaan biaya dapat dinyatakan sebagai berikut: c = p1x1 + p2x2 + b
............................................................................. (03)
dimana: c = biaya total yang dikeluarkan pi = harga per satuan masukan variabel xi b = total biaya tetap Apabila saat ini biaya total c diketahui sejumlah modal tertentu, misalnya sebesar co, maka persamaan biaya menjadi: co = p1x1 + p2x2 + b
........................................................................... (04)
Berdasarkan persamaan biaya diatas, maka dapat diperoleh persamaan garis isobiaya, yang menggambarkan permintaan masukan variabel x1 dan x2 pada jumlah modal co tersebut. Persamaan iso-biaya tersebut adalah: x1 =
co − b p 2 x2 ........................................................................... (05) p1 p1
42 x2 =
co − b p1 x1 ........................................................................... (06) p2 p2
Berdasarkan hubungan x1 dan x2 pada sejumlah biaya co, produsen dapat memaksimalkan keluaran y pada kondisi: −
p1 dx 2 = dx1 p 2
dimana –
........................................................................................ (07)
dx 2 menunjukan daya substitusi masukan x1 terhadap masukan x2 dan dx1
juga merupakan sudut kemiringan garis iso-biaya, yaitu merupakan tempat kedudukan titik-titik kombinasi penggunaan masukan x1 dan x2 yang dapat dilakukan dalam batas anggaran yang dimiliki, untuk produksi tertentu (Kuntjoro, 1983). Apabila co meningkat jumlahnya, maka akan diperoleh garis perluasan usaha (expansion path). Dalam melakukan kegiatan produksi produsen masih terkendala oleh modal yang dimilikinya, sehingga penggunaan masukan x1 dan x2 juga terbatas jumlahnya. Dengan asumsi bahwa pelaku usaha kecil masih dalam tahap daerah produksi II yang rasional, yaitu produk marjinal masih positif sehingga masih dapat memperbanyak penggunaan masukan untuk menaikkan produksi, maka tambahan modal dari luar (eksternal) dapat diperoleh melalui kredit. Persamaan produksi diatas masih menggunakan masukan produksi yang tidak dibiayai dengan kredit, sehingga harga masukan yang digunakan adalah harga pasar. Jika masukan x1 dan x2 diperoleh dari kredit, maka harga masukan menjadi lebih mahal, karena terbebani biaya kredit. Apabila r1 dan r2 masingmasing adalah biaya marjinal dari modal yang mempengaruhi penggunaan satu
43 satuan masukan x1 dan x2, yaitu tambahan biaya yang dikeluarkan untuk manambah penggunaan satu satuan masukan x1 dan x2, misalnya tingkat bunga kredit, maka kesimbangan penggunaan masukan menjadi (Baker, 1968):
−
dx 2 = dx1
p1 + r1 p2 + r 2
............................................................................... (08)
Apabila kredit digunakan sebagai tambahan modal untuk membiayai tambahan satu satuan masukan xi yang digunakan, maka harga satu satuan masukan tersebut juga menjadi lebih tinggi dari harga pasar semula. Hal ini tergantung pula pada tingkat bunga yang dibebankan pada masing-masing masukan xi, apakah ada perbedaan tingkat bunga untuk masukan x1 dan x2 ataukah tidak. Apabila ada perbedaan tingkat bunga untuk pinjaman xi sedangkan biayabiaya lainnya tetap, maka akan terjadi perubahan kombinasi penggunaan masukan x1 dan x2. Jika diasumsikan hanya masukan x1 yang dibiayai dari kredit, maka harga satu satuan masukan x1 menjadi p1+r
dimana r adalah biaya kredit yang
dibebankan tiap satu satuan masukan xi yang dibiayai. Sehingga persamaan keseimbangan penggunaan input yang optimal akan mengalami perubahan menjadi (Kusnadi, 1990):
−
dx 2 < dx1
p1 + r p2
................................................................................. (09)
Untuk mengimbangi hal ini, maka produsen harus mengurangi jumlah penggunaan masukan x1. Apabila jumlah keluaran atau isokuan y0 tertentu, tetap dipertahankan seperti keadaan semula, maka kebutuhan modal harus ditambah menjadi c1. Dengan menambah modal menjadi c1, maka akan didapat jalur perluasan usaha (expansion path) yang baru. Tampak jalur perluasaan usaha yang
44 baru setelah mendapat kredit cenderung lebih banyak menggunakan masukan x2, seperti tampak pada gambar berikut ini.
Gambar.1 memperlihatkan penggunaan masukan pada kondisi biaya minimum tanpa adanya biaya kredit diperoleh pada titik A. Sedangkan jalur perluasan usaha tanpa adanya biaya kredit diperlihatkan oleh garis S1. Apabila penggunaan masukan x1 dibiayai dari kredit, maka harga masukan x1 meningkat menjadi lebih mahal sebesar r, sehingga komposisi penggunaan masukan optimum diperoleh pada titik B, selanjutnya jalur perluasan usaha akan berubah menjadi garis S2 dengan menggunakan masukan x2 lebih besar dibanding sebelumnya (Baker, 1968).
45 3.1.1.2. Penggunaan Kredit dan Maksimisasi Keuntungan Peranan kredit terhadap perekonomian dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu makro dan mikro. Dari sisi makro peranan kredit merupakan alat kebijakan untuk pembangunan ekonomi yang antara lain bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi, pengembangan dunia usaha, dan
menciptakan kesempatan kerja.
Sedangkan dari sisi mikro, kredit berperan banyak sebagai penambah modal dari luar usaha (modal eksternal), bahkan seringkali kredit dipandang identik dengan masukan produksi (input). Pada sisi mikro ini pula peranan kredit produksi terhadap usaha kecil menjadi sangat diperlukan, karena sifatnya yang dinamis dan digunakan untuk kegiatan usaha yang dapat meningkatkan pendapatan usaha. Pada prinsipnya peranan kredit bagi kegiatan produksi adalah merupakan penambah modal, sehingga pengusaha dapat meningkatkan produksinya pada tingkat yang lebih tinggi. Namun apabila proses produksi dibiayai dengan kredit, maka harga masukan akan menjadi lebih mahal sebesar biaya kredit (tingkat suku bunga kredit). Proses ini selanjutnya akan menyebabkan adanya perbedaan harga masukan, sehingga pengusaha akan mengubah komposisi penggunaan masukan optimal. Keadaan ini pada akhirnya akan mempengaruhi arah jalur perluasan usaha (expansion path)yang akan dipilih oleh pengusaha. Selanjutnya penggunaan masukan dalam proses produksi dengan memanfaatkan tambahan modal yang berasal dari kredit, akan dapat dilanjutkan untuk menganalisis tingkat keuntungan melalui fungsi keuntungan. Di dalam model neo-klasik, diasumsikan bahwa pengusaha berupaya memaksimumkan keuntungan (π) berdasarkan kondisi biaya produksi tidak melebihi dana yang dimilikinya (Kuntjoro, 1983). Berdasarkan fungsi produksi pada persamaan (1),
46 dimana y adalah besarnya keluaran yang dihasilkan merupakan fungsi dari besarnya masukan x1 dan x2 yang digunakan, dan xf ceteris paribus. Apabila harga per satuan keluaran adalah P0, maka total penerimaan akan menjadi: P0.f(x1,x2 | xf) ..................................................................................... (10) sehingga dengan menggunakan persamaan biaya (3) c = p1x1 + p2x2 + b kemudian akan didapat fungsi keuntungan (π) sebesar:
π = P0.f(x1,x2 | xf) − p1x1 + p2x2 + b
................................................ (11)
Dengan menggunakan kaidah “first order condition”, maka keuntungan (π) maksimum dapat ditentukan, yaitu turunan partial dari keuntungan (π) masingmasing terhadap masukan x1 dan x2, sehingga akan diperoleh:
∂π = P0f1 − p1 = 0 ∂x1 Maka ; P0f1 = p1 .............................................................................. (12)
∂π = P0f2 − p2 = 0 ∂x 2 Maka ; P0f2 = p2 ............................................................................... (13) f1 =
p1 ∂y = PMx1 = ....................................................................... (14) Po ∂x1
f2 =
p2 ∂y = PMx2 = ....................................................................... (15) Po ∂x 2
Dalam keadaan keseimbangan akan diperoleh
P0f1 = p1 , dimana P0
adalah harga per satuan keluaran, f1 adalah produk marjinal penggunaan masukan x1 dan keuntungan (π) maksimum akan tercapai. Atau pada penggunaan masukan yang optimal, apabila untuk setiap masukan yang dipergunakan diperoleh harga
47 per satuan setiap masukan sama dengan nilai produk marjinal setiap masukan. Nilai produk marjinal dari suatu masukan (PMxi) menunjukkan tingkat penambahan penerimaan yang diperoleh pengusaha dengan bertambahnya penggunaan masukan sebanyak satu satuan (Kuntjoro, 1983). Jika pengusaha membiayai kegiatan produksi dengan dana dari pinjaman, maka harga per satuan masukan x1 tersebut akan lebih mahal menjadi p1 (1+λ), di mana nilai λ adalah biaya per satuan pinjaman. Penggunaan sumber produksi dengan biaya yang lebih mahal ini akan menyebabkan produk total dan keuntungan menjadi lebih rendah. Implikasi dari keadaan keseimbangan ini pada alokasi penggunaan sumber produksi akan berpengaruh pada produk total dan nilai produk marjinal dari input x1. Tersedianya kredit produksi dengan tingkat bunga yang rendah (r), dapat meningkatkan penggunaan masukan x1 menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan pinjaman dengan biaya modal sebesar (λ), karena harga p1(1+r) < harga p1(1+λ). Namun demikian penggunaan masukan x1 dalam kegiatan produksi masih lebih rendah atau dibawah penggunaan masukan optimal dengan harga pasar p1(1+0), jika tambahan modal tersebut seluruhnya berasal dari dana sendiri tanpa menggunakan kredit. Implikasi dari adanya bunga kredit terhadap harga masukan seringkali kali kurang diperhitungkan oleh pengambil kebijakan kredit, sehingga diasumsikan harga masukan adalah sama dengan harga pasar. Sehingga besar kemungkinan bahwa pengusaha sesungguhnya tidak menggunakan masukan secara optimal, apabila tingkat bunga untuk memperoleh kredit ternyata fluktuatif dan bervariasi. Penjelasan mengenai hal ini dipertajam oleh uraian dari Ray (1998), yang
48 menampilkan fungsi produksi dari pengusaha yang mengubah modal kerja (L) menjadi keluaran (output). Apabila pengusaha memperoleh sejumlah pinjaman dengan tingkat bunga (i*), maka biaya total pinjaman modal kerja L adalah L(1+i*). Gambar 2. menunjukkan pemberi pinjaman sebenarnya menginginkan garis biaya total pinjaman menjadi securam mungkin dengan membuat tingkat bunga (i) menjadi besar, namun pada saat yang sama pemberi pinjaman tidak dapat mendorong peminjam menerima tingkat bunga (i) melebihi i*. Pemberi pinjaman hanya memiliki kekuatan monopoli terbatas secara lokal dan peminjam akan selalu bisa meminjam dana dari sumber lain setelah tingkat bunga berada diatas i*. Bagi peminjam akan optimal untuk mendapatkan jumlah pinjaman (modal kerja) sebesar L*, karena ini akan memberikan keuntungan maksimum sebesar garis A (perbedaan vertikal tertinggi antara fungsi produksi dan garis biaya adalah pembentuk keuntungan dari kegiatan produktif), kondisi di mana nilai produk marjinal sama dengan biaya marjinal pinjaman. Sehingga pada dasarnya pemberi pinjaman tidak bisa menentukan tingkat bunga (i) begitu tinggi, karena akan mendorong peminjam mencari pinjaman lain dengan tingkat bunga (i) yang lebih murah. Apabila dengan pertimbangan lainnya pemberi kredit melakukan penjatahan kredit (credit rationing) sehingga memberikan jumlah pinjaman sebesar <.L* (kurang dari L*) pada tingkat bunga (i*), maka peminjam hanya akan mendapatkan keuntungan (surplus) sebesar <.A (kurang dari keuntungan tertinggi pada tingkat bunga i*). Kondisi ini menunjukkan pada tingkat bunga i*, peminjam tidak mendapatkan jumlah pinjaman yang optimal, sehingga surplus atau keuntungan maksimal (garis A vertikal) tidak tercapai. Keadaan ini secara
49 tidak langsung dapat mendorong munculnya kredit macet oleh peminjam. Karena itu penting bagi pemberi kredit atau pengambil kebijakan kredit untuk memperhatikan jumlah pinjaman yang optimal pada masing-masing tingkat bunga kredit yang berlaku. Pada daerah produksi rasional di daerah II (penggunaan masukan efisien dan menguntungkan), penurunan tingkat bunga kredit (i) oleh pemberi pinjaman akan mendorong terjadinya peningkatan jumlah pinjaman (L) oleh peminjam.
50 3.1.2. Permintaan Kredit Agar kegiatan usaha kecil dapat terus berlangsung secara terus menerus dan mejadi berkembang, maka yang harus diperhatikan dan dijaga oleh pelaku usaha adalah, (1) likuiditas usaha agar semua kewajiban tunai untuk menjaga kebutuhan modal kerja dan kebutuhan jangka pendek lainnya dapat terpenuhi, (2) aktivitas usaha sehingga efektifitas perputaran usaha dalam menghasilkan barang dan jasa akan selalu terjaga, dan (3) profitabilitas usaha yang merupakan hasil akhir dari sejumlah kebijakan dan keputusan usaha sehingga membentuk tambahan modal secara internal. Ketiga hal ini saling berkaitan satu sama lain, karena itu tingkat likuiditas usaha merupakan langkah awal penting yang harus diperhatikan. Kredit sebagai salah satu pembiayaan usaha non-equity capital yang utama, menurut Kuntjoro (1983) merupakan sumber penting untuk menjaga likuiditas dan sekaligus merupakan suatu kekayaan (asset) yang dapat dikelola untuk kegiatan produksi suatu usaha. Makna lain dari kredit bagi kegiatan usaha adalah kredit merupakan sumber modal dari luar usaha dan sekaligus sebagai barang ekonomi bagi kegiatan usaha. Definisi kredit yang berkembang luas telah menyiratkan pengertian bahwa kredit sangat dibutuhkan oleh semua pengusaha dalam menjalankan aktivitas usahanya. Aktivitas ini membutuhkan keberadaan lembaga keuangan sebagai intermediasi antara pihak yang memiliki kelebihan likuiditas dan pihak yang memiliki kekurangan likuiditas. Peranan lembaga keuangan mikro sebagai pemberi kredit dan pelaku usaha kecil sebagai penerima kredit, juga menyiratkan pengertian bahwa kredit merupakan barang ekonomi. Kebutuhan akan kredit oleh
51 pelaku usaha terjadi karena adanya kebutuhan likuiditas eksternal akibat ketersediaan likuiditas internal yang dimilikinya sendiri tidak mencukupi. Permintaan kredit dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu tingkat suku bunga kredit, skala usaha, tingkat upah, pengeluaran untuk riset, proporsi lahan, tingkat pendidikan, ukuran keluarga, umur kepala keluarga, dan transitory income (Iqbal, 1981). Faktor-faktor tersebut antara lain menggambarkan, perkembangan pasar masukan (input), perubahan teknologi, karakteristik keluarga, dan kondisi sumberdaya yang dimiliki oleh pelaku usaha. Sedangkan permintaan kredit secara tidak langsung merupakan permintaan turunan (derived demand). Fungsi permintaan turunan ini dapat dianalisis berdasarkan dua teori, yaitu (1) kegunaan (utility), teori ini digunakan untuk menganalisis permintaan kredit dari sisi rumahtangga sebagai konsumen sekaligus produsen dan (2) fungsi keuntungan (profit function), teori ini digunakan untuk menganalisis permintaan kredit dari sisi perusahaan (badan usaha) sebagai produsen yang berusaha memaksimumkan keuntungan (profit). Analisis permintaan kredit secara tidak langsung ini, mengasumsikan bahwa kredit sebagai sumber modal bagi kegiatan usaha. Untuk menganalisis permintaan kredit oleh usaha kecil dapat dilakukan dengan pendekatan permintaan langsung dan pendekatan permintaan tidak langsung dengan analisis fungsi keuntungan.
3.1.2.1. Pendekatan Permintaan Langsung Permintaan terhadap suatu barang untuk masukan kegiatan produksi oleh usaha kecil ditentukan oleh beberapa faktor yang dapat dirumuskan dalam suatu
52 fungsi permintaan. Secara matematis fungsi permintaan suatu barang dapat dirumuskan sebagai berikut: qdx
= ƒ (xi ) ................................................................................... (16)
dimana: qdx xi
= jumlah barang yang diminta = faktor-faktor yang diduga turut mempengaruhi permintaan barang tersebut
Teori permintaan menjelaskan tentang karakteristik hubungan antar jumlah permintaan barang dan harga barang tersebut, dimana terdapat hubungan yang negatif. Selain itu permintaan terhadap barang ditentukan juga oleh barang lain, konsumen, dan faktor eksternal lainnya. Dengan demikian permintaan kredit (sebagai barang) akan ditentukan oleh empat variabel utama, yaitu: (1) kredit itu sendiri, meliputi tingkat bunga, biaya transaksi, skim kredit, jenis lembaga kredit, (2) endowments dan karakteristik pelaku usaha (peminjam) antara lain meliputi, aset yang dimiliki, skala usaha, tingkat pendidikan, jenis kelamin, pengalaman usaha, (3) pemberi kredit lainnya (kreditor pesaing) antara lain meliputi tingkat bunga kredit lainnya, jenis skim kredit lainnya, struktur pasar kreditnya, dan (4) faktor lainnya meliputi jumlah peminjam (debitor), musim, regulasi dari pemerintah. Hubungan antara tingkat bunga kredit dan jumlah kredit yang diminta adalah negatif, artinya semakin tinggi tingkat bunga kredit maka jumlah kredit yang diminta akan turun. Tingkat bunga kredit ini meliputi tingkat bunga nominal yaitu bunga yang ditetapkan pemberi kredit, dan tingkat bunga efektif yaitu bunga yang harus ditanggung oleh peminjam dimana tingkat bunga efektif ini meliputi tingkat bunga nominal dan biaya peminjaman. Biaya peminjaman ini meliputi
53 biaya transportasi, biaya transaksi lainnya, dan waktu yang diperlukan untuk pencairan kredit. Selain itu jenis lembaga pemberi pinjaman (kredit) diduga juga berpengaruh terhadap permintaan akan kredit, dimana lembaga bank umumnya memberikan kemungkinan plafon kredit yang lebih besar dibandingkan plafon kredit dari lembaga non bank. Hal ini karena bank umumnya mempunyai skim kredit yang lebih banyak dengan batas pengambilan kredit yang lebih tinggi pula. Permintaan akan kredit dipengaruhi pula oleh kekayaan peminjam. Diduga semakin besar kekayaan yang dimiliki maka akan semakin besar pula permintaan terhadap kredit, hal ini terkait juga dengan kemampuan peminjam untuk memenuhi persyaratan jaminan (collateral atau agunan) yang dipersyaratkan oleh bank. Jumlah aset likuid seperti kendaraan, perhiasan, dan ternak besar, serta saldo tabungan yang dimiliki peminjam juga menggambarkan kekayaan peminjam. Tingkat skala usaha juga turut mempengaruhi permintaan kredit, semakin besar skala usaha maka kebutuhan tambahan modal untuk modal kerja (pembelian bahan baku dan bahan pendamping) dan investasi juga semakin besar sehingga berhubungan positif dengan permintaan kredit. Selain itu tingkat pendidikan dan pengalaman usaha diduga juga berpengaruh terhadap permintaan akan kredit, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin lama pengalaman usaha maka permintaan akan kredit akan semakin meningkat. Sedangkan keberadaan pemberi pinjaman lainnya (jumlah bank dan non bank, jenis skim kredit) juga mempengaruhi permintaan akan kredit. Banyaknya jumlah bank dan jenis skim kredit yang ditawarkan akan membuat pasar kredit menjadi semakin kompetitif, sehingga tingkat bunga kredit diharapkan akan
54 kompetitif pula. Karena itu struktur pasar kredit yang kompetitif akan mendorong penurunan tingkat bunga kredit di suatu wilayah. Jumlah peminjam (debitor) juga akan berpengaruh terhadap permintaan terhadap kredit. Jika jumlah peminjam meningkat yang digambarkan oleh tingginya jumlah usaha kecil disuatu wilayah, maka kebutuhan akan tambahan modal usaha juga akan mampu mendorong peningkatan permintaan akan kredit. Selain itu musim diduga juga turut berpengaruh terhadap permintaan akan kredit, hal ini terjadi karena pada jenis usaha tertentu yang kebutuhan modal kerja untuk bahan baku bersifat musiman sehingga kebutuhan kredit juga meningkat pada saat bahan baku tersedia melimpah dan banyak dibutuhkan oleh pengusaha. Dengan demikian permintaan terhadap kredit melalui pendekatan langsung ini secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut: Qc
= f (rc, Ic, Sc, Ec) ..................................................................... (17)
dimana: Qc
= permintaan kredit
rc
= tingkat bunga kredit
Ei
= skim kredit, jenis lembaga pemberi kredit / pinjaman
Ii
= karakteristik peminjam (umur, pendidikan, pengalaman usaha)
Si
= endowments ( skala usaha, aset yang dimiliki, dll)
3.1.2.2. Pendekatan Permintaan Tidak Langsung Peranan kredit dalam kegiatan produksi dari suatu usaha kecil sebagai tambahan modal usaha menunjukkan bahwa secara tidak langsung kredit mempunyai kaitan dalam kegiatan produksi. Kredit akan digunakan untuk membiayai tambahan penggunaan faktor-faktor produksi (masukan atau input produksi) dalam rangka mencapai titik keseimbangan produsen yang lebih tinggi
55 sesuai jalur perluasan usaha (expansion path). Oleh karena itu untuk menduga permintaan terhadap kredit dapat dilakukan dengan pendekatan tidak langsung (derived approach) melalui fungsi produksi (production function) dan fungsi keuntungan (profit function). Asumsinya adalah penggunaan kredit dalam fungsi produksi akan memberikan tambahan likuiditas untuk membiayai pembelian masukan (input) produksi. Pengusaha memutuskan untuk meningkatkan produksinya dalam rangka untuk memperbesar omset penjualan baik melalui peningkatan skala usaha atau dengan meningkatkan perputaran usaha, karena adanya peluang usaha yang lebih baik pada waktu mendatang. Karena ketersediaan modal sendiri yang dimiliki usaha kecil relatif terbatas, maka alternatif pemenuhan modal akan dapat dipenuhi dari sumber kredit. Fungsi produksi yang menggambarkan hubungan teknis antara masukan dan keluaran secara matematis dirumuskan seperti pada persamaan (2) sebagai berikut: y = f (xi | xf) dimana: y = keluaran; dan f menyatakan fungsi daripada xi = masukan variabel xf = masukan lainnya yang dianggap tetap Karakteristik fungsi produksi menurut Henderson dan Quandt (1980), adalah : (1) merupakan fungsi kontinyu (non discrete) atau limit mendekati nol, (2) bernilai tunggal (single value) yaitu setiap masukan (input) berpasangan dengan keluaran (output) tertentu, (3) derivasi atau turunan pertama dan kedua bersifat kontinyu, (4) nilai yang dipakai positif atau y = f (xi), dimana y dan xi > 0, dan (5) fungsi produksi cembung (convex) terhadap titik nol.
56 Dengan asumsi bahwa pengusaha berusaha memaksimumkan keuntungan, memaksimumkan keluaran (output), serta optimalisasi penggunaan masukan produksi, maka keuntungan dalam jangka pendek yaitu merupakan selisih antara nilai keluaran (total penerimaan) dengan total biaya masukan variabel. Sedangkan dalam jangka panjang, karena semua masukan dianggap variabel, maka keuntungan
adalah
nilai
keluaran
dikurangi
biaya
masukan.
Dengan
memanfaatkan persamaan (2) dan persamaan (11), maka fungsi keuntungan juga dapat dirumuskan secara matematis sebagai berikut : π = P0 . f ( xi | xf ) – ( ∑ ci . xi + b )
................................................... (18)
dimana : π = keuntungan jangka pendek suatu perusahaan P0 = harga keluaran per satuan ci = harga per satuan masukan variabel x Berdasarkan kaidah first order condition maka keuntungan maksimum jangka pendek tercapai pada saat turunan pertama terhadap input xi dari fungsi produksi sama dengan nol. Sehingga produk marjinal masukan xi sama dengan harga per satuan xi , dan secara matematis akan di dapat persamaan :
∂f ( xi; xf ) ∂π − ci = 0 .............................................................. (19) = P0 . ∂xi ∂xi P0 .
∂f ( xi; xf ) = ci ............................................................................. (20) ∂xi
atau ∂f ( xi; xf ) = ∂xi
ci .............................................................................. (21) Po
dari persamaan (21) diketahui bahwa keuntungan maksimum akan tercapai bila nilai produk marjinal sama dengan rasio harga masukan variabel (ci) dengan harga
57 keluaran (P0). Model persamaan ini secara teori dapat digunakan untuk menganalisis beberapa bentuk fungsi produksi, dengan asumsi tersendiri. Kebutuhan tambahan modal bagi kegiatan produksi usaha kecil dapat pula berasal dari pendapatan bersih usaha dari periode-periode sebelumnya. Pendapatan bersih usaha ini merupakan sumber cadangan dana (modal) secara internal sebagai komponen utama pembentukan modal (capital formation) bagi usaha kecil dalam bentuk tabungan, pembelian dan peningkatan alat-alat produksi, serta menjadi sumber dana untuk pengeluaran pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Hal ini terjadi karena usaha kecil yang sebagian besar berada di wilayah perdesaan umumnya belum mampu memisahkan secara tegas pengeluaran untuk kebutuhan produksi, investasi dan konsumsi (Rachmina, 1994). Pada saat yang bersamaan apabila kebutuhan tersebut harus dipenuhi maka prioritas lebih condong untuk membiayai pengeluaran pendidikan dan kesehatan bagi keluarganya, serta pengeluaran untuk kebutuhan sosial kemasyarakatan (sumbangan kematian, hajatan, pembangunan sarana umum dan tempat ibadah), yang sebenarnya juga merupakan investasi jangka panjang menguntungkan bagi pengembangan sumberdaya manusia dan modal sosial di masyarakat. Bagi usaha kecil tambahan modal usaha yang diperoleh dari kredit akan menjadi komponen modal usaha untuk menambah pembelian masukan (input) produksi berupa bahan baku utama dan bahan baku pendamping. Salah satu faktor yang menentukan dalam jumlah penggunaan masukan produksi adalah harga per satuan masukan, apabila harga masukan turun maka jumlah masukan yang digunakan akan bertambah. Selanjutnya penggunaan bahan baku ini dalam proses produksi akan meningkatan kapasitas produksi atau keluaran (produk atau output)
58 sehingga akan penerimaan usaha (total produk) meningkat pula. Penerimaan usaha juga akan meningkat apabila harga jual produk meningkat. Pada proses inilah fungsi produksi, fungsi biaya, dan fungsi penerimaan secara bersama-sama akan menghasilkan fungsi keuntungan yang merupakan keuntungan bersih usaha atau surplus usaha (π), yaitu penerimaan usaha setelah dikurangi biaya produksi. Secara sederhana pembentukan surplus usaha dapat dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut: πt = TRt-1 – TCt-1 ................................................................................ (22) dimana : πt
= surplus usaha pada periode t
TRt-1 = total penerimaan pada periode t sebelumnya TCt-1 = total biaya produksi pada periode t sebelumnya Adanya asumsi bahwa pelaku usaha kecil yang pada umumnya masih belum mampu memisahkan secara tegas antara kebutuhan pribadi dan kebutuhan usaha kecil, serta asumsi bahwa modal usaha yang dimiliki oleh usaha kecil masih terbatas, maka tambahan modal dari luar (non equity capital) berupa kredit sangat diperlukan untuk menciptakan keuntungan usaha (surplus) yang lebih besar.
3.1.2.3. Kondisi Pasar Kredit Mikro dan Kecil
Ada dua macam pasar kredit di perdesaan, yaitu (1) pasar kredit informal yang sangat fleksibel dan mudah diakses, (2) dan pasar kredit formal
yang
mengikuti mekanis pasar (Syukur et al., 2003). Menurut Ray (1998), masih adanya tingkat bunga yang tinggi terutama pada di pasar kredit mikro dan kecil (pasar kredit informal), terjadi karena pemberi pinjaman memiliki kekuatan monopoli eksklusif atas peminjam, sehingga dapat menetapkan tingkat bunga
59 yang lebih tinggi untuk suatu pinjaman dibanding dengan tingkat bunga pada kredit komersial lainnya yang lebih kompetitif. Secara empiris ini terjadi karena pasar kredit ini tersegmentasi dan pihak pemberi pinjaman memiliki “monopoli lokal’ atas peminjam secara terbatas. Selain itu secara teoritis berkaitan dengan risiko dalam kredit. Risiko kredit macet di pasar kredit ini terjadi karena peminjam mungkin macet dalam pembayaran bunga, atau sebagian dan bahkan seluruh jumlah kredit yang dipinjam. Risiko ini bersumber, (1) dari risiko kredit macet yang tidak disengaja, seperti: gagal panen, pengangguran, sakit, atau kematian, sehingga peminjam mungkin tidak memiliki cukup uang saat pinjaman jatuh tempo, (2) ada risiko kredit macet yang mungkin disengaja secara strategis, dimana peminjam mengambil uang itu dan lari, atau bersikeras tetap menolak untuk membayar, terjadi karena hukum tidak kuat atau berfungsi sangat lemah. Selanjutnya secara sederhana dapat dijelaskan, ada probabilitas p eksogen dari kegagalan pada setiap dana yang dipinjamkan. Persaingan antara pemberi pinjaman dalam mengendalikan tingkat bunga kredit ke titik di mana masingmasing pemberi pinjaman, rata-rata memperoleh keuntungan yang diharapkan sama dengan nol (setara kredit komersial bank formal). Diasumsikan pasar kredit adalah kompetitif. Misalkan L adalah jumlah total dana yang
dipinjamkan,
sedangkan r adalah tingkat bunga komersial / formal (opportunity cost), dan i adalah tingkat bunga (kredit mikro dan kecil / informal). Karena hanya sebagian dari p pinjaman akan dilunasi (tidak terjadi kredit macet), maka keuntungan pemberi pinjaman yang diharapkan adalah p (1 + i) L - (1 + r) L. L = jumlah dana yang dipinjamkan (jumlah kredit) p = probabilitas kredit macet (1 adalah tidak terjadi kredit macet) r = tingkat bunga kredit komersial / formal (opprtunity cost pemberi
60 pinjaman) i = tingkat bunga kredit mikro dan kecil / informal Kondisi laba nol menyiratkan nilai ini harus nol dalam keseimbangan, yaitu, p(1 + i)L - (1 + r)L = 0 atau i=
(1 + r ) −1 p
Ketika p = 1, yaitu kondisi tidak ada risiko kredit macet, dimana i = r, tingkat bunga komersial (formal) atau (i) sama dengan tingkat bunga kredit mikro dan kecil (formal) atau (r). Namun, jika p < 1, maka i > r, yaitu tingkat bunga kredit mikro dan kecil akan meningkat lebih tinggi untuk menutupi terjadinya risiko kredit macet (default). Contoh, apabila tingkat bunga kredit komersial / formal (r) sebesar 10 persen per tahun dan peluang terjadinya kredit macet sebesar 20 persen, sehingga p = 0.8. Maka akan menghasilkan nilai tingkat bunga (i) kredit mikro dan kecil / informal sebesar 37.5 persen. Jelaslah, pada kondisi pasar kredit yang kompetitif, maka tingkat bunga kredit mikro dan kecil / informal akan sangat sensitif terhadap risiko kredit macet (default). Seringkali untuk menjaga agar tingkat bunga kredit mikro dan kecil tidak terlalu besar, maka kredit macet diupayakan sebesar 5 persen. Ini merupakan aspek penting dari realitas pasar kredit mikro dan kecil terutama di perdesaan dan adanya risiko kredit macet. Di pasar kredit terutama di negara maju, risiko ini secara substansial menjadi lebih rendah, terutama karena telah berkembangnya dengan baik sistem hukum yang memaksa berlakunya kontrak pinjaman (akad kredit) dan banyak pinjaman yang dijamin. Tidak adanya jaminan hukum (standar yang kuat), akan memunculkan fitur yang membentuk beberapa karakteristik unik dari pasar kredit mikro dan kecil /informal.
61 Karena itu untuk mengatasi adanya kredit macet, terutama pada kredit mikro dan kecil di perdesaan perlu diperhatikan beberapa faktor: 1. Ukuran dan Penggunaan Pinjaman: jumlah kredit yang besar akan menyebabkan risiko kredit macet yang lebih besar pula, karena hal ini berkaitan
dengan
peluang
peminjam
untuk
memperoleh
kesempatan
meninggalkan tempat usaha lama, karena jumlah pinjaman yang besar tadi. Selain itu jenis pinjaman juga berperanan terhadap terjadinya kredit macet, jika pinjaman tersebut bisa digunakan peminjam untuk secara permanen menempatkan dalam situasi, di mana peminjam tidak pernah meminjam lagi, maka risiko kredit macet semakin besar. Misalnya, seorang buruh di perdesaan meminjam sejumlah dana sehingga dapat bermigrasi ke kota dan punya usaha kecil di sana, maka risiko kredit macet akan makin besar. Karena itu seringkali terjadi jumlah kredit mikro dan kecil di wilayah perdesaan yang diberikan relatif kecil dan umumnya hanya diperuntukkan bagi kegiatan usaha rutin (modal kerja) atau konsumsi saja. 2. Agunan (Jaminan): rasa takut akan terjadinya kredit macet juga menciptakan kecenderungan bagi pemberi pinjaman untuk meminta jaminan, selama dimungkinkan. Agunan bisa dalam berbagai bentuk, tanah dapat diagunkan sebagai jaminan ke pemberi pinjaman, dan hak untuk menggunakan hasil dari lahan oleh pemberi pinjaman selama pinjaman berlangsung (ijon). Pada dasarnya, agunan terdiri dari dua jenis, (a) agunan yang oleh kedua belah pihak, yaitu pemberi pinjaman dan peminjam dianggap sangat bernilai, agunan jenis ini (bernilai bagi kedua belah pihak) memiliki keuntungan tambahan guna menutup pemberi pinjaman terhadap standar paksa apabila terjadi kredit macet,
62 (b) agunan yang dianggap oleh peminjam sangat bernilai, tetapi oleh pemberi pinjaman tidak dianggap bernilai tinggi, agunan ini bagi pemberi pinjaman tidak terlalu diperhatikan dan akan dijual dengan harga yang kurang baik jika peminjam gagal membayar pinjaman, sementara bagi peminjam sangat bernilai (historis atau sentimentil) misalnya: tanah warisan, dan karenanya akan berusaha membayar kembali pinjamannya bahkan apabila tingkat bunga yang harus dibayarkan sangat tinggi sekalipun. 3. Penjatahan Kredit (credit rationing): adalah situasi di mana pada tingkat bunga kredit yang berlaku di psar kredit, peminjam ingin memperoleh pinjaman dana lebih banyak, tetapi tidak diijinkan atau disetujui oleh pemberi pinjaman. Penjatahan kredit ini umumnya berkaitan dengan adanya informasi yang asimetris (asymmetric information). Tidak semua peminjam memiliki risiko yang sama, ada peminjam berisiko tinggi dan ada peminjam berisiko rendah. Resiko pinjaman dapat bervariasi secara signifikan dari satu peminjam ke peminjam yang lain. Risiko ini berkorelasi dengan karakteristik peminjam yang diamati pemberi pinjaman (seperti: kepemilikan aset, omset, atau akses pemasaran), namun secara substansial juga tergantung pada kualitas dari karakteristik peminjam lainnya, yang tidak diamati oleh pemberi pinjaman (seperti: keterampilan, ketajaman mental dalam menghadapi krisis, kualitas manajemen, dan sebagainya). Ketika terlihat karakteristik yang diamati itu berisiko tinggi, pemberi pinjaman dapat mengenakan tingkat bunga yang sesuai untuk menutup risiko tersebut. Namun, bila ada karateristik peminjam yang tidak diamati dianggap berisiko tinggi oleh pemberi pinjaman, maka akan ada tambahan dimensi baru untuk transaksi pasar kredit tersebut.
63 Dimensi baru ini mungkin menimbulkan situasi di mana pada tingkat bunga yang ditetapkan, pemberi pinjaman cenderung tidak bersedia untuk memenuhi permintaan dana sebesar yang diinginkan oleh peminjam, sehingga pemberi pinjaman akan cenderung melakukan penjatahan kredit (credit rationing). Kecilnya jumlah pinjaman yang diberikan ini pada akhirnya dapat memperbesar munculnya kredit macet oleh peminjam.
3.2.
Kinerja Usaha Kecil
Dalam
kegiatan
manajemen
produksi
istilah
kinerja
seringkali
dipergunakan secara bergantian dengan efisiensi dan produktivitas. Namun demikian terdapat perbedaan yang cukup mendasar secara teknis. Efisiensi dan produktivitas lebih menunjukkan kepada ratio keluaran (output) terhadap masukan (input), sedangkan kinerja menunjukkan pengertian lebih luas dari efisiensi dan produktivitas (Adam dan Ronald, 1986). Istilah produktivitas berasal dari kata produk yang berarti barang atau jasa, sehingga merupakan ukuran dari seluruh keluaran produksi dibagi masukan produksi. Konsep kinerja merupakan singkatan dari kinetika energi kerja yang padanannya dalam bahasa Inggris adalah performance. Kinerja dapat diartikan sebagai keluaran yang dihasilkan oleh fungsi atau indikator suatu pekerjaan dalam waktu tertentu. Dalam kegiatan usaha kecil, pekerjaan adalah aktivitas memproduksi suatu barang dengan menggunakan bahan baku, tenaga kerja dan ketrampilan tertentu. Suatu pekerjaan mempunyai sejumlah fungsi atau indikator yang dapat digunakan untuk mengukur hasil pekerjaan tersebut (Wirawan, 2009). Karena itu kinerja dari kegiatan usaha kecil dapat diukur secara luas, baik dengan ukuran finansial maupun ukuran non finansial.
64 Menurut (Radnor dan Barnes, 2007), dalam manajemen operasi dari suatu usaha kecil pengukuran kinerja usaha antara lain mengacu pada langkah di tingkat perluasan (broadening) dari unit analisis dan kedalaman (deepening) ukuran kinerja usaha. Hal ini akan memberikan gambaran tidak hanya secara kuantitatif, tetapi juga secara kualitatif dari usaha kecil, sehingga dapat mendukung perkembangan secara kualitatif dan meningkatkan daya saing (competitiveness) dari usaha kecil. Ukuran kinerja usaha ini seringkali merupakan sekumpulan pengharapan yang diekspresikan sebagai sekumpulan sasaran yang dapat dirumuskan dalam bentuk hasil penjualan, keuntungan usaha, pangsa pasar, pengembangan hasil produksi, penurunan biaya, atau sasaran lainnya (Dharma, 2005). Sasaran-sasaran yang merupakan kinerja usaha ini akan diukur dalam jangka waktu tertentu dan mempunyai ukuran kuantitatif yang jelas, sehingga menjadi variabel kinerja yang secara kuantitatif mudah dan dapat diukur. Variabel Kinerja yang merupakan ukuran kinerja usaha dari suatu kegiatan produksi dapat dilihat dari tiga perspektif, (1) keluaran produksi dari kegiatan usaha terdiri dari aspek finansial dan non-finansial, (2) proses internal dari kegiatan usaha terdiri antara lain aspek inovasi produk, proses operasi (produksi), pemasaran produk, dan (3) kemampuan sumberdaya terdiri dari aspek tenaga kerja, teknologi, dan organisasi. Pada perspektif yang pertama yaitu keluaran produksi dari kegiatan usaha, variabel kinerja finansial biasanya diukur dengan indikator : penerimaan usaha, keuntungan usaha, pertumbuhan usaha, pangsa pasar, dan ratio keuangan. Sedangkan variabel kinerja non finansial bisa dilihat dari tiga sisi, (1) konsumen,
65 antara lain terdiri: harga produk, tipe pasar, kualitas produk, distribusi dan waktu antar produk, tingkat pembelian ulang, (2) masyarakat dan pemerintah, terdiri: keterlibatan terhadap komunitas (kepedulian sosial), tingkat limbah, umpan balik masyarakat, dan regulasi pemerintah, dan (3) pemasok bahan baku, terdiri: lokasi pemasok dan ukuran pemasok (Wibisono, 2006).
Perspektif Kinerja Usaha
Indikator Kinerja Usaha Kinerja finansial: - Penerimaan usaha - Keuntungan usaha - Pertumbuhan usaha - Pangsa pasar - Ratio keuangan
Output Produksi
Ukuran Kinerja Usaha
Proses Internal
Kinerja non-finansial: - Konsumen : harga, kualitas, tipe pasar,distribusi - Masyarakat & Pemerintah: tingkat limbah, regulasi - Pemasok : ukuran & lokasi Inovasi Proses Produksi
Tenaga Kerja Kemampuan Sumberdaya
Organisasi Penggunaan Teknologi
Sumber: Wibisono, 2006
Variabel kinerja finansial seringkali menjadi fokus perhatian bagi pihak Gambar 3. Ukuran Kinerja Dalam Suatu Kegiatan Produksi internal perusahaan sebagai ukuran keluaran produksi dari kegiatan usaha.
66 Sedangkan variabel kinerja non finansial biasanya menjadi perhatian pelanggan masyarakat dan pemerintah. Pengelolaan variabel kinerja finansial maupun non finansial
ditujukan
untuk
memenuhi
kebutuhan
pemangku
kepentingan
(stakeholder), dimana kebutuhan tersebut dapat berbeda bahkan seringkali membutuhkan trade-off (memenuhi yang satu dengan mengorbankan yang lain) bagi perusahaan untuk memenuhinya (Wibisono, 2006). Karena itu variabel kinerja yang menjadi indikator kinerja bagi usaha kecil juga bisa berbeda, tergantung kebutuhannya. Terdapat perubahan orientasi dari perusahaan dalam hal indikator kinerja, dimana diketahui bahwa penentuan indikator kinerja bersifat dinamis terutama karena kebutuhan konsumen yang terus berubah. Secara ringkas gambaran tentang perspektif kinerja usaha dalam suatu kegiatan produksi dapat dilihat pada Gambar 3. Beberapa
indikator
yang
digunakan
untuk
mendefinisikan
dan
mengklasifikasikan usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah sering pula dijadikan ukuran untuk menilai kinerja usaha kecil yaitu, (1) undang-undang No.20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menggunakan indikator, nilai kekayaan yang dimiliki usaha kecil (asset) dan hasil penjualan (omset) tahunan untuk menilai usaha kecil, (2) Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan indikator jumlah tenaga kerja, (3) Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) menggunakan indikator, nilai kekayaan yang dimiliki usaha kecil (asset) dan hasil penjualan (omset) tahunan, (4) Bank Indonesia menggunakan indikator, nilai kekayaan yang dimiliki usaha kecil (asset), hasil penjualan (omset) tahunan, pelaku usaha, sifat usaha, tingkat penggunaan sumberdaya lokal, tingkat teknologi dan kemudahan keluar masuk
67 industri (barrier to entry and exit), dan (5) Bank Dunia menggunakan indikator, jumlah tenaga kerja, nilai kekayaan yang dimiliki usaha kecil (asset), dan hasil penjualan (omset) tahunan. Indikator-indikator dari berbagai lembaga nasional dan internasional ini cukup beragam, karena disamping menilai kinerja internal usaha yang meliputi keluaran produksi, proses produksi, dan kemampuan sumber daya, juga bisa digunakan untuk menilai kinerja sektoral usaha tersebut.
3.3.
Lembaga Keuangan Mikro Dan Ekonomi Wilayah
Ekonomi wilayah merupakan salah satu cabang kajian ilmu ekonomi yang dalam pembahasannya memasukkan unsur perbedaan potensi satu wilayah dengan wilayah lain. Kajian ekonomi yang memasukkan unsur-unsur perbedaan potensi wilayah pada dasarnya digunakan untuk mencapai tujuan utama (pokok) kebijakan ekonomi yang menyangkut: (1) pertumbuhan ekonomi, dan (2) full employment (setidaknya terjadi tingkat pengangguran yang rendah) (Tarigan, 2006). Pengertian lebih spesifik dari wilayah dalam ekonomi wilayah ini adalah ekonomi yang berada di bawah suatu daerah administrasi tertentu, misalnya kabupaten. Sehingga wilayah disini merupakan pembagian daerah administratif dalam suatu pemerintahan, atau merupakan wilayah administrasi (Arsyad, 1999). Dalam
kajian utama pada pertumbuhan ekonomi, indikator utama yang
digunakan adalah produk domestik regional bruto (PDRB) sektoral yang terdiri: (1) PDRB pertanian, (2) PDRB pertambangan, (3) PDRB perindustrian, (4) PDRB listrik, air bersih, dan gas, (5) PDRB bangunan, (6) PDRB perdagangan, (7) PDRB angkutan dan komunikasi, (8) PDRB keuangan, dan (9) PDRB jasa-jasa. Karena itu kaitan antara kredit yang berasal lembaga keuangan mikro sebagai salah satu lembaga perbankan yang merupakan bagian dari alat kebijakan
68 moneter, diharapkan dapat turut serta mendorong perekonomian wilayah khususnya dalam hal pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor ekonomi. Peranan lembaga keuangan mikro dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi dapat dilihat sebagai bagian dari peranan kebijakan moneter terhadap kegiatan ekonomi, karena kredit sebagai produk kuangan mikro akan mendorong kegiatan produksi dan konsumsi usaha mikro dan kecil. Mula-mula sistem moneter akan terpengaruh oleh kebijakan moneter yang selanjutnya akan mempengaruhi tingkat bunga, kredit yang disalurkan dan jumlah uang beredar, serta investasi dan konsumsi sehingga produk domestik bruto akan terpengaruh. Pengaruh kebijakan moneter ini akan direspon perbankan dan kemudian ditransfer ke sektor riil melalui kegiatan investasi dan produksi oleh kelompok usaha kecil di berbagai sektor ekonomi. 3.3.1. Transmisi Kebijakan Moneter ke Sektor Riil
Kebijakan moneter yang dilakukan melalui mekanisme transmisi pada akhirnya akan dapat menggeser permintaan agregat, sehingga akan mengubah keseimbangan tingkat pendapatan nasional (Nopirin, 2000). Terdapat beberapa jenis mekanisme transmisi kebijakan moneter, menurut Warjiyo, (2004), meliputi: 1. Saluran Uang (Money Channel): mengacu pada dominasi peranan uang dalam perekonomian oleh Quantity Theory of Money (Fisher,.1911), yang menggambarkan hubungan langsung yang sistematis antara pertumbuhan uang beredar dan inflasi, dalam suatu identitas persamaan: MV = PT , dimana jumlah uang beredar (M) dikalikan dengan tingkat perputaran uang (V) sama dengan jumlah transaksi ekonomi (T) dikalikan dengan tingkat harga (P). Dalam keadaan keseimbangan, jumlah uang beredar yang digunakan oleh
69 seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan jumlah output nominal, dihitung dengan harga yang berlaku, yang ditransaksikan dalam ekonomi (PT). Dalam konteks interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan para pelaku ekonomi seperti diatas, mekanisme transmisi moneter melalui saluran uang merupakan konsekuensi langsung dari proses perputaran uang dalam perekonomian. Kemudian bank sentral melakukan pengendalian uang beredar (M1, M2) melalui pencapaian sasaran operasional uang primer (M2). Disisi lain, bank perlu mengelola likuiditasnya dalam bentuk cadangan dana yang dapat dipergunakan sewaktu-waktu (bank reserves) dari sisi aset dan pendanaan dari simpanan masyarakat dalam bentuk uang beredar (M1, M2) dari
sisi
liabilities.
Selanjutnya
pelaku
ekonomi
menyimpan
dan
menggunakan uang beredar (M1, M2) untuk kegiatan usahanya. 2. Saluran Kredit (Bank Lending Channel): selain dana yang tersedia, perilaku penawaran kredit perbankan juga dipengaruhi oleh persepsi bank terhadap prospek usaha debitur dan kondisi perbankan itu sendiri, seperti: permodalan (CAR), jumlah kredit macet (NPL), dan loan to deposit ratio (LDR). Selain itu, tidak semua permintaan kredit debitur yang dinilai oleh bank tidak feasible, antara lain karena: tingginya ratio utang terhadap modal (leverage), risiko kredit macet, moral hazard, dan sebagainya. Adanya informasi yang tidak simetris (assymetric information) antara bank dengan debitur seperti itu dapat menyebabkan pasar kredit tidak selalu berada dalam keseimbangan. Karena itu, fungsi intermediasi perbankan tidak selalu berjalan normal, dalam arti kenaikan simpanan masyarakat tidak selalu diikuti dengan kenaikan secara proporsional pada kredit yang disalurkan oleh perbankan. Sehingga, yang
70 lebih berpengaruh terhadap ekonomi riil adalah kredit perbankan dan bukanlah simpanan masyarakat yang tercermin dalam jumlah uang beredar. 3. Saluran Tingkat Suku Bunga (Interest Rate Channel): berbeda dengan saluran uang dan saluran kredit yang mementingkan aspek kuantitas dari proses perputaran uang dalam ekonomi, saluran tingkat suku bunga lebih menekankan pentingnya aspek harga di pasar keuangan terhadap berbagai aktivitas ekonomi di sektor riil. Dalam kaitan ini, kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral akan berpengaruh terhadap perkembangan berbagai suku bunga di sektor keuangan dan selanjutnya akan berpengaruh pada tingkat inflasi dan output riil. Dalam kaitan dengan interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan pelaku ekonomi dalam proses perputaran uang, mekanisme saluran suku bunga ada beberapa tahap, (1) kebijakan moneter dari bank sentral akan berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga jangka pendek (SBI dan PUAB) di pasar uang rupiah, selanjutnya akan mempengaruhi suku bunga deposito yang diberikan perbankan pada simpanan masyarakat dan suku bunga kredit yang dibebankan bank kepada para debiturnya, proses trasmisi suku bunga ini biasanya tidak berlangsung secara segera sehingga terdapat tenggat waktu (time lag), terutama karena kondisi internal perbankan dalam manajemen aset dan kewajibannya (asset and liability management), (2) transmisi suku bunga dari perbankan ke sektor riil akan tergantung pada pengaruhnya terhadap permintaan konsumsi dan investasi dalam perekonomian, pengaruh suku bunga terhadap permintaan konsumsi ini terjadi terutama karena bunga deposito merupakan komponen dari pendapatan masyarakat (income effect) dan bunga kredit sebagai
71 pembiayaan konsumsi (substitution effect), sementara itu pengaruh suku bunga terhadap permintaan investasi terjadi karena suku bunga kredit merupakan komponen biaya modal (cost of capital), disamping yield obligasi dan dividen saham, dalam pembiayaan investasi pengaruh melalui investasi dan konsumsi tersebut selanjutnya akan berdampak pada besarnya permintaan agregat sehingga menentukan tingkat inflasi dan output riil dalam perekonomian. 4. Saluran Nilai Tukar (Exchange Rate Channel):
menekankan pentingnya
pengaruh perubahan harga aset finansial dalam bentuk valuta asing terhadap berbagai aktivitas ekonomi. Pengaruhnya juga terjadi pada besarnya aliran dana yang masuk dan keluar suatu negara yang terjadi karena aktivitas perdagangan luar negeri maupun alairan modal investasi dalam neraca pembayaran, selanjutnya perkembangan nilai tukar dan aliran dana luar negeri akan berpengaruh terhadap inflasi dan output riil negara tersebut. Semakin terbuka suatu perekonomian, disertai sistem nilai tukar yang mengambang dan sistem devisa bebas, maka semakin besar pula pengaruh nilai tukar dan aliran modal luar negeri tersebut terhadap inflasi dan output riil negara. 5. Saluran Harga Aset (Asset Price Channel): selain pengaruh melalui nilai tukar terhadap aset valutas asing, kebijakan moneter juga berpengaruh terhadap perkembangan harga-harga aset lain, baik harga aset finansial seperti: yield obligasi dan harga saham, harga aset fisik (properti dan emas). Transmisi ini terjadi karena penanaman dana oleh investor dalam portofolio investasinya tidak saja berupa simpanan di bank dan instrumen investasi lainnya (rupiah dan valuta asing), tetapi juga dalam bentuk obligasi, saham dan aset fisik,
72 sehingga mempengaruhi kekayaan yang dimiliki (wealth effect) maupun tingkat pendapatan yang dikonsumsi (disposible income) yang timbul dari penerimaan aset finansial dan aset fisik yang dimiliki para investor (substitution and income effect). 6. Saluran
Ekspektasi
(Expectation
Channel):
semakin
meningkatnya
ketidakpastian dalam ekonomi dan keuangan, membuat saluran ekspektasi semakin penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter ke sektor riil. Pelaku ekonomi dalam menentukan tindakan bisnisnya, akan mendasarkan pada prospek ekonomi dan keuangan ke depan, dan membentuk persepsi tertentu terhadap kecenderungan perkembangan berbagai indikator ekonomi dan keuangan. Semakin kredibel kebijakan moneter, semakin rendah pula deviasi ekspektasi inflasi masyarakat dari sasaran inflasi yang ditetapkan bank sentral, dan karenanya semakin kecil pula distorsi yang ditimbulkan baik terhadap perkembangan output riil maupun efektivitas kebijakan moneter dalam pencapaian sasaran inflasi tersebut. Dalam konteks penyaluran dan permintaan kredit mikro dan kecil di Indonesia, saluran kredit (bank lending channel) dan saluran tingkat suku bunga (interst rate channel), lebih mengena untuk digunakan melihat transmisi kebijakan moneter dalam mempengaruhi berbagai kegiatan ekonomi khususnya output riil secara sektoral. 3.3.1.1. Transmisi Kebijakan Moneter ke Sektor Riil melalui Jalur Kredit
Transmisi kebijakan moneter ke sektor riil melalui jalur kredit (bank lending channel) dapat digunakan untuk melihat pengaruh kebijakan moneter dalam menggerakkan penawaran kredit (Haryanto, 2007). Generasi pertama dari
73 model pinjaman perbankan di motivasi dari aksioma Modigliani-Miller dengan dasar informasi asimetrik antara peminjam dan pemberi pinjaman tentang karakteristik yang disepakati. Asumsinya pengusaha memiliki informasi pribadi tentang bisnisnya, yang memiliki tingkat pengembalian yang sama tetapi dengan tingkat keberhasilan yang berbeda. Faktor penting dari jalur pinjaman bank ini adalah bank sentral dapat mempengaruhi penawaran kredit yang diberikan oleh lembaga intermediasi keuangan dengan membatasi kuantitas uang, dan peningkatan biaya modal bagi bank tergantung pada peminjam. Jalur kredit akan mempengaruhi konsisi ekonomi dengan mengarahkan pada variasi dalam biaya modal perusahaan dan kesehatan keuangan perusahaan, seperti pada Gambar 4.
Bank Sentral Perbankan
Operasi Pasar Terbuka Pasar Uang Rupiah
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Peningkatan Kegiatan Ekonomi Sektoral
Reserves: Kas Surat berharga
Dana Pihak III (Uang Beredar M1, M2)
Kredit: Modal Kerja & Investasi
Modal Bank
Tambahan Modal Kerja & Investasi Bagi Pelaku Usaha
Sumber: Warjiyo, 2004
Gambar.4. Mekanisme Transmisi Saluran Kredit ke Sektor Riil Terdapat dua literatur yang menggambarkan mekanisme transmisi kebijakan moneter jalur kredit (Haryanto, 2007), yaitu: 1. Jalur pinjaman bank yang menekankan akibat dari kebijakan moneter pada neraca bank, khususnya pada sisi aset bank. Menurut jalur ini, perbankan berpartisipasi dalam transmisi kebijakan moneter tidak hanya ditransmisikan
74 melalui sisi hutang (pasiva) tetapi juga melalui asetnya (aktiva). Dalam kondisi kontraksi moneter cadangan dan deposit perbankan akan menurun. Dua kondisi yang perlu ada pada jalur ini adalah pinjaman bank dan saham harus merupakan substitusi yang tidak sempurna bagi peminjam (bank yang dependen) dan bank sentral harus dapat membatasi penawaran dari pinjaman bank. Kebijakan moneter dapat mempengaruhi penawaran perbankan terhadap kredit, khususnya bank dengan skala usaha kecil dan hal ini tidak berlaku bagi bank dengan skala besar yang dapat melindungi kebutuhan untuk menawarkan pinjaman besar dengan mencari sumber dana murah dari luar negeri. 2. Jalur neraca dengan penekanan pada akibat dari kebijakan moneter di sisi neraca perusahaan dan akses terhadap kredit perbankan. Nilai aset juga akan memainkan peran penting pada jalur kredit dalam arti luas seperti yang dikembangkan Bernarke dan Gertler (1995) dalam Haryanto (2007). Harga aset adalah sesuatu yang penting terutama dalam menentukan nilai dari jaminan (agunan) dari perusahaan atau konsumen yang mengajukan kredit. Dalam pasar kredit, turunnya nilai jaminan akan meningkatkan beban bagi peminjam karena harus membayar lebih tinggi sehingga menambah beban bagi keuangan eksternal, yang pada gilirannya akan mengurangi aktivitas konsumsi dan investasi. Pengaruh kebijakan ini akan mendorong perubahan pada tingkat suku bunga yang memiliki pengaruh akselerator keuangan.
3.3.1.2. Transmisi Kebijakan Moneter ke Sektor Riil melalui Jalur Suku Bunga
Sedangkan transmisi kebijakan moneter ke sektor riil melalui jalur suku bunga (interest rate channel) melengkapi kebijakan moneter dalam menggerakkan
75 penawaran kredit (Warjiyo, 2004). Studi yang dilakukan Kusmiarso et al. (2002), menunjukkan bukti empiris mengenai bekerjanya transmisi saluran suku bunga pada periode sebelum dan sesudah krisis. Secara teoritis mekanisme transmisi saluran suku bunga dapat dilhat pada Gambar 5.
Kebijakan Moneter Bank
Sentral
Suku Bunga: * SBI * Pasar Uang Antar Bank
Suku Bunga Deposito
Transmisi di Sektor Keuangan
Suku Bunga Kredit
Konsumsi
Investasi
Transmisi di Sektor Riil Peningkatan Aktivitas Produksi Pelaku Usaha Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Peningkatan Kegiatan Ekonomi Sektoral
Sumber: Warjiyo, 2004
Gambar 5. Mekanisme Transmisi Saluran Suku Bunga ke Sektor Riil Hal ini dilakukan dengan menganalisis bagaimana biaya modal (cost of capital) serta efek substitusi dan pendapatan (substitution and income effect) mentransmisikan perubahan suku bunga yang terjadi karena kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral, periode sebelum dan sesudah krisis: 1. Periode sebelum krisis: bukti empiris menunjukkan suku bunga riil untuk deposito dan kredit investasi dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Namun demikian pertumbuhan
76 investasi tidak sensitif terhadap perkembangan suku bunga kredit terutama karena relatif mudahnya akses perbankan dan dunia usaha terhadap dana luar negeri pada waktu itu. Demikian pula pertumbuhan konsumsi juga tidak sensitif terhadap perubahan suku bunga deposito, antara lain karena suku bunga yang relatif stabil dan rendah. 2. Periode sesudah krisis: menunjukkan bahwa respon suku bunga deposito dan kredit terhadap suku bunga di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) relatif lebih lemah dibandingkan dengan periode sebelum krisis, antara lain karena kekhawatiran perbankan terhadap risiko kredit macet dan berbagai kondisi internal bank. Penentuan suku bunga kredit perbankan dipengaruhi oleh suku bunga deposito dan kondisi likuiditas bank. Kondisi likuiditas menjadi faktor yang lebih relevan pada bank swasta nasional dan bank pembangunan daerah, tetapi relatif tidak signifikan pada bank persero dan bank asing-campuran. Dari hasil studi Kusmiarso et al. (2002) ini terlihat bahwa saluran suku bunga (bank lending channel) semakin berperan dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter, terutama pengaruhnya terhadap sektor riil melalui perkembangan konsumsi dan investasi, namun demikian transmisi suku bunga di sektor keuangan belum secepat yang diharapkan. Hal ini terutama disebabkan belum berfungsinya secara normal intermediasi perbankan, sehingga respons bank terhadap perubahan suku bunga bank sentral terjadi tenggat waktu (time lag) dan cenderung asimetris, khususnya menjadi relatif lebih cepat reaksinya ketika terjadi kenaikan suku bunga dari bank sentral.
77 Menurut Jhingan (2000), kebijakan moneter di negara-negara berkembang dapat berfungsi untuk: (1) mendapatkan dan mengambil manfaat dari struktur tingkat suku bunga yang paling sesuai, (2) meraih perimbangan yang tepat antara permintaan dan penawaran uang, (3) manajemen utang, (4) pendirian, pelaksanaan dan perluasan lembaga keuangan, dan (5) menyediakan fasilitas kredit yang tepat bagi perekonomian yang sedang berkembang dan menghentikan perkembangan yang tidak semestinya. Ciri-ciri kebijakan moneter di negara berkembang yang berkaitan dengan microcredit dari lembaga keuangan mikro, menurut ( Jhingan, 2000) adalah: 1.
Pendirian dan perluasan lembaga keuangan: tujuannya adalah untuk memperbaiki sistem uang dan sistem perkreditan, serta untuk menyiapkan fasilitas kredit yang lebih besar dan untuk mengalihkan tabungan ke saluran yang produktif. Cabang dan unit perbankan harus diperluas sampai ke daerah perdesaan agar dapat menyediakan kredit kepada para petani dan pedagang kecil. Cengkeraman lintah darat di daerah perdesaan hanya dapat dilepaskan jika bank sentral membentuk lembaga perkreditan baru yang dapat menyediakan kredit jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang kepada petani dengan suku bunga yang lebih rendah.
2.
Pengendalian kredit: tujuannya untuk mempengaruhi pola investasi dan produksi, serta mengendalikan tekanan inflasioner yang timbul di dalam proses pembangunan. Ada dua metode yang efektif untuk mengendalikan kredit, yaitu: (a) metode kuantitatif menggunakan rasio cadangan minimum (reserve requirements), sehingga bank sentral dapat memantau perluasan kredit dengan cara menaikkan rasio cadangan minimum, dan (b) metode
78 kualitatif dengan pengendalian kredit secara selektif melalui: persyaratan pagu jaminan (collateral), pengaturan kredit konsumsi, dan rasionalisasi kredit (credit rationing).
3.3.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan ekonomi wilayah (daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Ada beberapa teori yang secara parsial yang dapat membantu memahami arti penting pembangunan ekonomi wilayah. Teori-teori ini membahas: (1) metoda dalam menganalisis perekonomian suatu daerah, dan (2) faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah tertentu (Arsyad, 1999). Teori Pertumbuhan Neoklasik:
Model yang dikenal sebagai model Solow-Swan ini menggunakan unsur pertumbuhan penduduk, kemajuan teknologi, akumulasi kapital, dan besarnya output yang saling berinteraksi. Model ini menggunakan model fungsi produksi yang memungkinkan terjadinya substitusi antara kapital (K) dan tenaga kerja (L). Sumber pertumbuhan berasal dari: akumulasi modal, bertambahnya penawaran tenaga kerja, dan kemajuan teknologi. Teknologi terlihat dari peningkatan skill, dan dianggap fungsi dari waktu (Tarigan, 2006).
79 Model ini melihat bahwa mekanisme pasar dapat menciptakan keseimbangan sehingga campur tangan pemerintah cukup sebatas kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Karena itu fungsi produksinya adalah: Yi = fi (K,L,t) Dalam kerangka ekonomi wilayah, Richardson merumuskan menjadi: Yi = aiki + (1-ai)ni + T dimana: Yi
= besarnya output
ki
= tingkat pertumbuhan modal
ni
= tingkat pertumbuhan tenaga kerja
T
= kemajuan teknologi
a
= bagian yang dihasilkan dari faktor modal
(1-a)
= bagian yang dihasilkan dari faktor di luar modal
Agar faktor produksi selalu berada pada kapasitas penuh (full employment) perlu mekanisme yang menyamakan investasi (I) dengan tabungan (S). Sehingga pertumbuhan mantap (steady growth) membutuhkan syarat: MPKi = ai (Yi / Ki) = p MPKi adalah marginal productivity of capital. Apabila p sudah tertentu, dan a tetap konstan, maka Y (pertumbuhan pendapatan) dan K (pertumbuhan modal) harus tumbuh dengan tingkat yang sama. Syarat keseimbangan seluruh sistem adalah: ∑i=1 Ii = ∑i=1 Si Suatu wilayah akan mengimpor modal jika tingkat pertumbuhan modalnya lebih kecil dari rasio tabungan domestik terhadap modal. Dalam pasar persaingan sempurna MPL (marginal productivity of labor) adalah merupakan fungsi
80 langsung tetapi memiliki hubungan terbalik dengan MPK (marginal productivity of capital). Hal ini bisa dilihat dari rasio modal dan tenaga kerja (K/L). Teori Neoklasik selalu mengarahkan kepada pasar persaingan sempurna agar perekonomian bisa tumbuh optimal. Kebijakan yang ditempuh adalah meniadakan berbagai hambatan dalam perdagangan, perpindahan orang, barang dan modal. Sarana dan prasarana transportasi dibangun dengan baik dan terjaminnya keamanan, ketertiban dam kestabilan politik (Tarigan, 2006).
3.4.
Lembaga Keuangan Mikro dan Peningkatan Pendapatan
Keuangan mikro telah sejak lama dikembangkan, sehingga hampir setiap negara memiliki sejarah lembaga keuangan mikro. Di Irlandia berdiri lembaga pemberi pinjaman dana (Kreditkassen) di sekitar tahun 1720-an, yang menekankan pada: pemantauan pinjaman yang ketat (peer monitoring), cicilan mingguan (weekly instalments), bebas bunga di awal cicilan, dan sumber dana dari donatur. Serta di Jerman pada sekitar tahun 1778 muncul sistem keuangan mikro, yang bersumber pada simpan pinjam berbasis masyarakat (community-based), dan koperasi kredit dan simpanan (savings and credit cooperatives). Lembaga keuangan mikro ini terus berkembang hingga sekarang ini. Perkembangan ini antara lain menunjukkan bahwa lembaga keuangan mikro yang digerakan oleh simpanan (savings-driven) dapat berkembang di perkotaan dan perdesaan, serta jika diawasi dan diatur sebagaimana mestinya (properly regulated and supervised) akan menjadi potensi yang besar bagi pembangunan dan pengurangan kemiskinan baik di perkotaan atau perdesaan (Seibel, 2003). Keterkaitan antara kredit dari lembaga keuangan mikro dan peningkatan pendapatan rumah tangga merupakan salah satu karakteristik kegiatan produksi di
81 negara-negara berkembang. Keterkaitan ini menunjukkan peran kredit mikro dalam mengurangi kemiskinan terutama di wilayah perdesaan. Peranan lembaga keuangan mikro dalam membantu usaha mikro dan mengentaskan kemiskinan ditandai dengan berkembangnya skim kredit mikro yang dikembangkan oleh Grameen Bank tahun 1976 di Bangladesh. Sejak awal beroperasinya Grameen Bank tetap menjaga mandat untuk mengentaskan kemiskinan di perdesaan. Untuk itu bank tidak hanya mengutamakan kelompok peminjam perempuan, akan tetapi sejak tahun 1980-an bank lebih mengutamakan fokus pada kelompok perempuan. Hal ini karena asumsi bahwa perempuan mempunyai kontribusi besar terhadap kesejahteraan keluarga. Hipotesanya adalah perempuan selalu memprioritaskan investasi yang menguntungkan anak-anaknya, karenanya pinjaman kepada perempuan akan memberikan manfaat kualitatif terhadap keluarga yang lebih dibanding pinjaman kepada kaum laki-laki. Dalam masyarakat yang lebih besar ini merupakan bentuk pemberdayaan sosial-ekonomi (Rahman, 1999). Grameen Bank dikenal sebagai sebuah bank bagi masyarakat miskin, yang dalam operasinalnya tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudential banking), dengan memahami kemampuan sumberdaya masyarakat miskin. Skim kredit bank ini dinilai berhasil membantu masyarakat miskin di wilayah perdesaan di Bangladesh. Grameen Bank tidak mengharuskan masyarakat miskin untuk menyediakan agunan (collateral) yang merupakan syarat utama dalam praktek perbankan konvensional, yang umumnya tidak berpihak pada masyarakat miskin. Ketidakperpihakan perbankan konvensional pada masyarakat miskin disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya (1) keharusan adanya agunan (collateral), sesuatu hal yang hampir pasti sulit dimiliki dan disediakan oleh masyarakat
82 miskin, (2) apabila tidak mungkin untuk menyediakan agunan, maka diperlukan orang (pihak ketiga) yang dapat menjadi penjamin. Pada kenyataannya kaum miskin sangat kecil peluangnya untuk mendapatkan orang yang bersedia menjadi penjamin kredit bagi orang miskin, dan (3) jarak lokasi lembaga bank komersial dengan wilayah perdesaan, sangat tidak memungkinkan kaum miskin untuk hadir ke kantor bank yang seringkali jarak cukup jauh sehingga memerlukan tambahan biaya yang memberatkan. Situasi ini yang antara lain mendorong Muhamad Yunus melakukan pilot proyek bank untuk kaum miskin. Dimulai tahun 1976 dengan pilot proyek selama hampir tujuh tahun, maka pada tahun 1983 berdirilah sebuah bank bagi kaum miskin di Bangladesh yang bernama Grameen Bank, yang artinya bank perdesaan (Syukur, 2002). Sebagai sebuah bank yang melayani kaum miskin, Grameen Bank mengalami perkembangan yang sangat pesat di Bangladesh. Hal ini tidak terlepas oleh adanya beberapa elemen esensial (Syukur, 2002), yaitu: (1) sasaran penerima pinjaman ditentukan secara jelas dengan kriteria tertentu (exclusive targeting), misalnya: memiliki lahan kurang dari 0.5 acre atau memiliki kekayaan tidak lebih dari nilai sebidang lahan yang subur seluas 1.0 acre, (2) menekankan pada peminjam perempuan, yang umumnya lebih disiplin dan hanya menggunakan pinjaman untuk kegiatan produktif, (3) lembaga pelayanannya berada pada tingkat yang paling bawah (grassroot level), dengan membentuk kelompok dengan anggota lima orang dan kemudian membentuk enam kelompok, (4) peminjam dikenakan bunga komersial dan pinjaman hanya boleh digunakan untuk kegiatan produktif (income generating activities) dan pengajuannya tanpa agunan, (5) aplikasi dan prosedur pinjaman yang sederhana, serta jumlah pinjaman yang
83 terkontrol (manageable) dan dibayar mingguan, (6) penyaluran pinjaman baru (first loan) terhadap anggota dalam satu kelompok tersebut dilakukan secara bergiliran dengan pola 2-2-1, (7) terdapat sistem insentif dan pinalti, serta akuntabilitas transaksi pada pertemuan mingguan, (8) mobilisasi tabungan yang juga bertujuan untuk mendidik disiplin anggota, (9) otonomi dalam kegiatan operasional dilapangan, dan (10) pelatihan staf secara praktis, disiplin dan teliti, serta kepemimpinan yang memiliki komitmen yang tinggi. Kredit mikro sebagai produk utama lembaga keuangan mikro diharapkan dapat mengurangi kemiskinan dan memperkuat kapasitas kelembagaan dari sistem keuangan tersebut dalam penyaluran pinjaman kepada rumahtangga miskin. Rumahtangga miskin ini mempunyai corak tersendiri yang berbeda dari yang dikehendaki oleh sistem perbankan komersial dalam hal agunan (collateral), tetapi kredit mikro ini telah mampu menggali kelembagaan baru yang mampu menekan resiko dan biaya menjadi lebih kecil pada pinjaman tanpa agunan (uncollateralized loans). Lembaga ini juga telah mampu melayani lebih banyak masyarakat miskin dibandingkan dengan yang dilayani oleh program-program bersubsidi (Morduch, 2000). Selain itu menurut (Schreiner, 2002) keuangan mikro juga akan memberikan manfaat sosial (social benefits) bagi peningkatan kesejahteraan, jika mampu memperbaiki aspek jangkauan (outreach) dengan bidang yang luas dan lebar (wide breadth), jauh dan lama (long length), serta cukup beragam (ample). Menurut Yaron et al. (1996), untuk meningkatkan kinerja lembaga keuangan ini perlu memperkuat aspek jangkauan (outreach) dan keberlanjutan secra mandiri
84 (self-sustainability),
sehingga
memberikan
dampak
pembangunan
pada
peningkatan pendapatan dan pengurangan kemiskinan. Morduch (2000) mengatakan tentang pentingnya menghindari kesalahan masa lalu dari program-program kredit bersubsidi, dimana lembaga keuangan tersebut pada akhirnya menghadapi masalah : (1) biaya transaksi yang tinggi ketika memberikan pinjaman pada usaha mikro dan kecil, (2) sulit sekali menentukan potensi resiko peminjam dan monitoring perkembangan klien kelompok masyarakat miskin dan bergerak di sektor informal, dan (3) rumahtangga berpendapatan rendah umumnya kekurangan aset untuk dijadikan agunan dalam memperoleh kredit.
3.5.
Kerangka Pemikiran Operasional
Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran diatas, maka dapat dibangun kerangka pemikiran yang meliputi dua aspek, yaitu: aspek usaha kecil, serta aspek ekonomi wilayah, seperti terlihat pada Gambar.6 dan Gambar.7. Adapun uraian dari kerangka pemikiran tersebut adalah sebagai berikut: Model Ekonomi Usaha Kecil (Gambar.6), diawali dengan Pengambilan Kredit (PKM) yang dipengaruhi oleh Suku Bunga Kredit (SBK), Pengeluaran Non Tenaga Kerja (PNTK), Tabungan (TABS), Pengalaman Usaha (LTU), dan Dummy Sumber Kredit (DSK). Pengambilan kredit oleh usaha kecil ini akan menjadi komponen utama Modal Usaha (MOUS) untuk mendorong peningkatan kegiatan usaha, yang dicerminkan dengan kenaikan pengeluaran untuk Penggunaan Bahan Baku (PBM), Penggunaan Bahan Bakar (PBB) dan Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) sehingga berpengaruh terhadap peningkatan Penerimaan Usaha (PENU) yang juga dipengaruhi oleh Harga Jual Produk (PO)
85 dan Dummy Pemasaran Produk (DPP). Peningkatan penerimaan usaha ini akan meningkatkan Pendapatan Usaha (PEND) setelah dikurangi Total Biaya Produksi (TBP), sehingga pada akhirnya akan mampu menaikkan Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (PPKS), Konsumsi (PKON), serta Tabungan (TABS). Data dari model ini adalah data primer yang diambil dari 90 contoh usaha kecil makanan olahan, sehingga merupakan data cross-section. Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi Wilayah (Gambar.7), diawali dengan jumlah kredit mikro dan kecil yang disalurkan melalui tiga lembaga keuangan mikro yaitu: BRI Unit dan bank umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Kredit Kupedes BRI Unit (KBRI) ini dipengaruhi oleh Suku Bunga Kredit Konsumsi (SBPK), Jumlah Unit Kantor BRI Unit (JBRI), Jumlah Nasabah per Kantor BRI Unit (RNU), dan Jumlah Pinjaman per Nasabah BRI Unit (RPN). Kredit Kupedes BRI Unit (KBRI) akan mempengaruhi Kredit Modal Kerja KUK dan Kredit Konsumsi-Investasi KUK (KIKK) yang selanjutnya mempengaruhi Total Kredit KUK dari Bank Umum (KUK). Selanjutnya Total Kredit KUK dari Bank Umum (KUK) bersama Total Kredit dari BPR (KBPR) dan Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam (KKSP) akan mempengaruhi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk Sektor Pertanian (PDRB1), Sektor Industri Pengolahan (PDRB2), Sektor Perdagangan (PDRB3), dan Sektor Jasa (PDRB4). Selanjutnya secara simultan PDRB Sektoral ini juga akan mempengaruhi jumlah kredit mikro dan kecil yang disalurkan oleh lembaga keuangan mikro tersebut. Data pada model ini adalah data primer pada pengamatan di 29 Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah mulai tahun 2000 sampai dengan tahun 2005, data ini merupakan data pool.
86
87 Keterangan Variabel: SBK
= Tingkat Bunga Kredit (persen per tahun)
ALK = Aset Kegiatan Usaha (Rp) PO
= Harga Jual Produk (Rp per satuan)
TP
= Tingkat Pendidikan (skor 1 s/d 6)
JAK
= Jumlah Anggota Keluarga (orang)
JTK
= Jumlah Tenaga Kerja (HOK yg digunakan dalam usaha kecil)
PBBM = Penggunaan Bahan Bakar Minyak (Rp per tahun) PTKP = Penggunaan Tenaga Kerja Perempuan (Rp per tahun) KTK = Konsumsi Tenaga Kerja (Rp per tahun) JAS
= Jumlah Anak Sekolah (anak sekolah yg ditanggung / orang)
DSK = Dummy Sumber Kredit (0 adalah non bank dan 1 adalah bank) DJG
= Dummy Jenis Kelamin (0 adalah perempuan dan 1 adalah laki-laki)
DPP
= Dummy Daerah Pemasaran Produk (0 adalah Yogyakarta dan Jawa Tengah dan 1 adalah mencapai Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya)
PSO
= Pengeluaran Sosial (Rp per tahun)
PNTK = Pengeluaran Untuk Non Tenaga Kerja (Rp per siklus usaha) LTU
= Pengalaman Usaha (tahun)
PI
= Harga Input (harga input utama dalam usaha tsb, Rp per kg)
DJST = Dummy Kelembagaan Tabungan (0 disimpan dirumah / Kelompok, dan 1 disimpan koperasi / bank) PKM = Kredit Yang Diambil Usaha Kecil (Rp) MOUS = Modal Usaha ( Rp per tahun) PBM = Penggunaan Bahan Mentah (Rp per tahun) PBB
= Penggunaan Bahan Bakar (Rp per tahun)
PTK
= Penggunaan Tenaga Kerja (Rp per tahun)
TBP
= Total Biaya Produksi (Rp per tahun)
PENU = Penerimaan Usaha Kecil (Rp per tahun, ukuran kinerja usaha) PEND = Pendapatan Bersih Usaha Kecil (Rp per tahun) TABS = Tabungan (Rp per tahun) PKON = Konsumsi (Rp per tahun) PPKS = Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (Rp per tahun)
88
Blok PDRB Jumlah GIRO di Bank Umum(JG) KREDIT InvestKons BPR (KIKB) Jumlah BPR (JBPR)
Jumlah Penduduk (JP)
Suku Bunga BPR (SBBI)
Jumlah Angkatan Kerja (JAK)
TOTAL KREDIT BPR (KBPR) KREDIT Modal Kerja BPR (KMB)
Suku Bunga BPR (SBBM)
Suku Bunga Modal Kerja (SBPM)
Jumlah Tabungan (JT)
Jml Nasabah BRI-Unit (JNB) Jumlah Kantor KSP (JKSP)
KREDIT Modal Kerja KUK(KMK) Suku Bunga Kons (SBPK)
TOTAL KREDIT KUK (KUK)
Jumlah Pinj/Nasabah
PRODUK DOMESTIK REGIONAL-BRUTO (PDRBi) 1.pert-2.industri-3.perdagangan-4.jasa
KUKi
Suku Bunga Kr.Modal Kerja (SBSM)
KREDIT dari KSP (KKSP)
Jumlah Modal KSP (JMK)
(RPN)
KREDIT Kupedes BRI (KBRI)
Jumlah Nasabah/Kantor BRI-Unit (RNU)
KREDIT Invst Kons KUK (KIKK)
Jumlah Kantor BRI (JBRI)
Jumlah Angg. KSP (JAKO) Jumlah Deposito (JD)
Aset Koperasi (AKO)
Suku Bunga Investasi (SBPI)
Blok Kredit Dari Lembaga Keuangan Mikro
Keterangan:
= Variabel Eksogen = Arah Variabel Penjelas
Gambar 7. Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi Wilayah
= Variabel Endogen
89 Keterangan Variabel SBBM = Suku Bunga Kredit dari BPR untuk Kredit Modal Kerja (persen) SBBI = Suku Bunga Kredit dari BPR untuk Kredit Investasi (persen) JBPR = Jumlah Kantor Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
(unit)
SBPM = Suku Bunga Kredit, Bank Pemerintah untuk KMK (persen) JT
= Jumlah Simpanan Tabungan Masyarakat di Bank Umum (Rp)
JNB
= Jumlah Nasabah Peminjam di BRI-Unit (orang)
SBPI = Suku Bunga Kredit Bank Pemerintah untuk Kredit Investasi (persen) JD
= Jumlah Simpanan Deposito Masyarakat di Bank Umum (Rp)
JBRI = Jumlah Kantor BRI-Unit (unit) SBPK = Suku Bunga Kredit Bank Pemerintah untuk Kredit Konsumen (persen) RPN
= Jumlah Pinjaman per Nasabah BRI Unit (Rp)
RNU = Jumlah Rata-rata Nasabah Peminjam per BRI-Unit (orang) SBSM = Suku Bunga Kredit dari Bank Swasta untuk KMK (persen) JKSP = Jumlah Kantor Koperasi Simpan Pinjam (unit) JAKO = Jumlah Anggota Koperasi Simpan Pinjam (orang) AKO = Aset Koperasi Simpan Pinjam (Rp) JMK = Jumlah Modal Koperasi Simpan Pinjam (Rp) JP
= Jumlah Penduduk (orang)
JAK
= Jumlah Angkatan Kerja (orang)
KMB = Kredit Modal Kerja dari BPR (Rp) KIKB = Kredit Investasi dan Konsumsi dari BPR (Rp) KMK = Kredit Modal Kerja dari KUK (Rp) KIKK = Kredit Investasi dan Konsumsi dari KUK (Rp) KBRI = Kredit Kupedes dari BRI-Unit (Rp) KBPR = Total Kredit dari BPR (Rp) KUK = Total Kredit dari KUK (Rp) KKSP = Kredit / Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam (Rp) JG
= Jumlah Simpanan Giro dari Masyarakat di Bank Umum (Rp)
PDRBi = PDRB sektoral ( PDRB1 = PDRB sektor Pertanian, PDRB2 = PDRB sektor Industri Pengolahan, PDRB3 = PDRB sektor Perdagangan, PDRB4 = PDRB sektor Jasa-jasa ) (Rp)
90 3.6.
Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan kerangka pemikiran teoritis yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Pengambilan kredit oleh usaha kecil diduga akan mempengaruhi, penggunaan bahan baku, penggunaan bahan bakar, penggunaan tenaga kerja, penerimaan usaha, pendapatan usaha, serta konsumsi, tabungan, dan pengeluaran untuk pendidikan dan sosial. 2. Kredit mikro dan kecil yang berasal dari lembaga keuangan mikro ( bank umum, bank perkreditan rakyat, dan koperasi simpan pinjam), diduga akan mempengaruhi produk domestik regional bruto sektor pertanian, industri pengolahan, perdagangan, dan jasa-jasa.
91
IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Tengah dengan pertimbangan wilayah Jawa Tengah merupakan salah satu sentra berbagai kegiatan usaha kecil yang dinamis dan berkembang di Indonesia. Untuk mencapai tujuan penelitian pertama dan ketiga, maka dilakukan survei usaha kecil di tiga Kabupaten yaitu: Kabupaten Semarang, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Klaten. Penentuan tiga kabupaten ini dilakukan secara sengaja (purposive) dan didasarkan pada beberapa pertimbangan: (1) merupakan daerah potensial untuk kegiatan usaha kecil, (2) merupakan daerah dengan sentra produksi usaha kecil makanan olahan (berbasis bahan baku pertanian) yang menonjol di Jawa Tengah (BPS Semarang, 2003), dan (3) merupakan kabupaten dengan tingkat pengembalian kredit kecil yang baik atau memiliki non performing loans yang rendah di Jawa Tengah, sehingga dapat menjadi acuan (benchmark) bagi wilayah lain dalam melihat peranan kredit terhadap kinerja usaha kecil. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari 2007 sampai dengan Agustus 2007. Sedangkan untuk tujuan penelitian yang kedua, dilakukan penelitian menggunakan data sekunder dari instansi pemerintah terkait, dengan mencakup seluruh kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Tengah, meliputi 29 Kabupaten yaitu: Cilacap,
Banyumas,
Purbalingga,
Banjarnegera,
Kebumen,
Purworejo,
Wonosobo, Magelang, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Grobogan, Blora, Rembang, Pati, Kudus, Jepara, Demak, Semarang, Temanggung, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, dan Brebes.
92 4.2.
Metoda Pengambilan Contoh
Untuk keperluan analisis model ekonomi usaha kecil, pengambilan data primer menggunakan data cross-section dengan contoh yang diambil secara acak (random sampling method), sehingga setiap pelaku usaha kecil mempunyai peluang yang sama untuk dipilih sebagai contoh (sampel). Contoh ditarik dari wilayah yang telah dipilih lebih dahulu, dalam hal ini adalah daerah sentra usaha kecil (di wilayah kecamatan). Contoh ditarik dari kelompok populasi sebagai kerangka contoh, tetapi tidak semua anggota kelompok populasi menjadi anggota contoh. Sehingga didapat jumlah contoh usaha kecil sebagai responden antara 9 sampai 15 contoh (sampel) untuk setiap wilayah kecamatan. Pemilihan 3 (tiga) Kabupaten penelitian yaitu: Semarang, Magelang dan Klaten, dilakukan secara sengaja (purposive) . Dari Kabupaten Semarang dipilih wilayah Kecamatan Tuntang sebagai lokasi penelitian, dari Kabupaten Magelang dipilih 4 (empat) wilayah Kecamatan yaitu: Mertoyudan, Tegalrejo, Candimulyo, dan Grabag, sedangkan dari Kabupaten Klaten dipilih 2 (dua) wilayah Kecamatan yaitu: Jogonalan dan Ngawen. Pemilihan kecamatan ini juga dilakukan secara sengaja (purposive). Selanjutnya penarikan contoh dilakukan dengan secara acak (random sampling method)
dan jumlah contoh masing-masing wilayah
kecamatan ditentukan dengan cara alokasi tidak berimbang, sehingga didapat 15 contoh dari Kabupaten Semarang, 25 contoh dari Kabupaten Klaten dan 50 contoh dari Kabupaten Magelang. Jumlah keseluruhan usaha kecil makanan yang dijadikan sampel adalah 90 contoh. Adapun kerangka sampling di 3 (tiga) kabupaten ini didapat dari data jumlah usaha kecil makanan yang ada di Dinas Perindustrian di masing-masing
93 kabupaten dan dari Dinas Perindustrian Provinsi Jawa Tengah. Dari 90 contoh usaha kecil makanan yang ada di 3 (tiga) wilayah kabupaten ini diharapkan dapat diperoleh gambaran keragaan ekonomi usaha kecil yang mengambil kredit mikro dan kecil. Sentra-sentra usaha kecil ini, merupakan industri perdesaan yang menonjolkan resource based industry, yaitu bersifat mendukung serta menimbulkan efek multiplier terhadap sektor pertanian dan industri pengolahan yang berbasis pertanian di perdesaan (White, 1990). Sedangkan untuk analisis model keterkaitan kredit dan ekonomi wilayah, masing-masing blok yaitu: Kredit dari Lembaga Keuangan Mikro dan PDRB, data diperoleh dari data sekunder (time series) untuk kondisi tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 selama 6 (enam) tahun dan data primer (cross-section) dari 29 kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah, sehingga didapat data pool. Model diestimasi dengan metode pendugaan Two Stages Least Square (2SLS).
4.3.
Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer crosssection dari survei yang bersumber dari usaha kecil sebagai contoh, di tiga Kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Tengah yaitu: Semarang, Magelang dan Klaten. Pengumpulan data ini dilakukan melalui wawancara terhadap pelaku usaha kecil menggunakan daftar pertanyaan dengan kuisioner yang dirancang untuk penelitian ini. Dalam pengumpulan data primer ini peneliti dibantu oleh empat orang enumerator, yang telah dilatih mengenai pertanyaan dalam kuisioner sehingga dapat memahami dan menguasai pertanyaan yang dimaksud. Data primer ini meliputi identitas pelaku usaha kecil (umur, jenis kelamin, pendidikan, jumlah anggota keluarga, dll), identitas usaha, penggunaan input produksi, hasil
94 produksi, penggunaan pinjaman,
pengeluaran untuk pendidikan dan sosial,
konsumsi, tabungan, kepemilikian aset, serta permasalahan usaha kecil yang dihadapi. Adapun data primer untuk pool data yang merupakan gabungan data timeseries dan data cross-section di 29 Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah periode tahun 2000-2005, diperoleh dari Badan Pusat Statistik Semarang, Bank Indonesia Semarang, Kantor Wilayah Bank Rakyat Indonesia, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
4.4.
Perumusan Model
Model ekonometrika ini dalam bentuk persamaan simultan terdiri dari persamaan perilaku dan persamaan identitas. Model kuantitatif yang digunakan untuk analisis penelitian ini dibangun dengan langkah-langkah melalui prosedur yang bertahap mulai dari pengidentifikasian masalah, pemilihan pendekatan teknik modeling, spesifikasi model, estimasi atau solusi model, evaluasi dan validasi model, dan aplikasi model, sehingga dapat diperoleh hasil dan kesimpulan penelitian (Sinaga, 1997). Secara garis besar penelitian ini mencakup dua aspek, yaitu (1) ekonomi usaha kecil, dan (2) keterkaitan kredit dan ekonomi wilayah. Model ini dibangun dengan menggunakan persamaan simultan.
4.4.1.
Model Ekonomi Usaha Kecil
Bagian ini menganalisis hubungan simultan variabel-variabel yang mempengaruhi keputusan ekonomi pelaku usaha kecil dengan menggunakan model ekonometrika. Model ini terdiri dari 11 persamaan dengan model
95 persamaan simultan, terdiri 8 persamaan perilaku dan 3 persamaan identitas, yaitu: 1.
Persamaan Pengambilan Kredit (PKM) : Kredit yang diambil oleh usaha kecil diduga dipengaruhi oleh tingkat
bunga kredit, tabungan, pengeluaran non tenaga kerja, lama pengalaman usaha, dan dummy sumber kredit. PKM = a10 + a11SBK + a12TABS + a13PNTK + a14LTU + a15DSK + U1 ................................................. (01) Tanda parameter dugaan yang diharapkan a12, a13, a14, a15 > 0 dan a11 < 0 dimana: PKM = Kredit yang Diambil Usaha Kecil (Rp per tahun) SBK = Tingkat Bunga Kredit (persen per tahun) TABS = Tabungan (Rp per tahun) PNTK = Pengeluaran Non Tenaga Kerja (Rp per tahun) LTU
= Pengalaman Usaha (Tahun)
DSK = Dummy Sumber Kredit ( 0 adalah sumber kredit dari non bank dan 1 adalah sumber kredit dari bank) 2. Persamaan Modal Usaha (MOUS) : Modal usaha merupakan penjumlahan kredit yang diambil oleh usaha kecil dan nilai aset kegiatan usaha (ALK) yang dimiliki usaha kecil. MOUS = PKM + ALK ................................................................. (02) dimana: MOUS
= Modal Usaha (Rp per tahun)
PKM
= Kredit yang Diambil Usaha Kecil (Rp per tahun)
ALK
= Aset Kegiatan Usaha (Rp per tahun)
3. Persamaan Penggunaan Bahan Baku (PBM) : Pengeluaran untuk penggunaan bahan baku diduga dipengaruhi oleh modal usaha, harga input produksi, dan jumlah tenaga kerja.
96 PBM = a20 + a21 MOUS + a22 PI + a23 JTK + U2 ........................... (03) Tanda parameter dugaan yang diharapkan a21,a22, a23, a24 > 0 dimana: PBM = Penggunaan Bahan Baku (Rp per tahun) MOUS= Modal Usaha (Rp per tahun) PI
= Harga Input Produksi (Rp per satuan)
JTK
= Jumlah Tenaga Kerja (HOK)
4. Persamaan Penggunaan Bahan Bakar (PBB): Disamping bahan baku kegiatan usaha juga membutuhkan bahan bakar untuk produksi. Pengeluaran untuk penggunaan bahan bakar diduga dipengaruhi modal usaha dan pengeluaran untuk penggunaan bahan bakar minyak tanah. PBM = a30 + a31 MOUS + a32 PBBM + U3 ..................................... (04) Tanda parameter dugaan yang diharapkan a31,a32 > 0 dimana: PBM = Penggunaan Bahan Baku (Rp per tahun) MOUS= Modal Usaha (Rp per tahun) PBBM = Penggunaan Bahan Bakar Minyak Tanah (Rp per tahun) 5. Persamaan Penggunaan Tenaga Kerja (PTK): Pengeluaran untuk penggunaan tenaga kerja diduga dipengaruhi oleh modal usaha dan pengeluaran untuk penggunaan tenaga kerja perempuan. PTK = a40 + a41 MOUS + a42 PTKP + U4 ..................................... (05) Tanda parameter dugaan yang diharapkan a41,a42 > 0 dimana: PTK = Penggunaan Tenaga Kerja (Rp per tahun) MOUS= Modal Usaha (Rp per tahun) PTKP = Penggunaan Tenaga Kerja Perempuan (Rp per tahun)
97 6. Persamaan Total Biaya Produksi (TBP): Total biaya produksi merupakan penjumlahan antara pengeluaran untuk penggunaan bahan baku, pengeluaran untuk penggunaan bahan bakar, dan pengeluaran untuk penggunaan tenaga kerja. TBP
= PBM + PBB + PTK ................................................... (06)
dimana: TBP
= Total Biaya Prosuksi (Rp per tahun)
PBM = Penggunaan Bahan Baku / Bahan Mentah (Rp per tahun) PBB
= Penggunaan Bahan Bakar (Rp per tahun)
PTK
= Penggunaan Tenaga Kerja (Rp per tahun)
7. Persamaan Penerimaan Usaha (PENU) : Penerimaan usaha kecil diduga dipengaruhi oleh penggunaan bahan baku, penggunaan bahan bakar, penggunaan tenaga kerja, harga jual produk, dan dummy wilayah pemasaran. PENU = a50 + a51 PBM + a52 PBB + a53 PTK + a54 PO + a55 DPP + U5 .............................................................. (07) Tanda parameter dugaan yang diharapkan a51,a52, a53, a54, a55,
>0
dimana: PENU = Penerimaan Usaha (Rp per tahun) PBM = Penggunaan Bahan Baku (Rp per tahun) PBB = Penggunaan Bahan Bakar (Rp per tahun) PTK = Penggunaan Tenaga Kerja (Rp per tahun) PO
= Harga Jual Produk (Rp per satuan)
DPP
= Dummy Pemasaran Produk ( 0 adalah wilayah pemasaran di Jawa Tengah dan Yogyakarta dan 1 adalah wilayah pemasaran yang lebih luas mencapai Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya)
98 8. Persamaan Pendapatan Usaha (PEND) : Pendapatan usaha merupakan selisih antara penerimaan usaha dengan total biaya produksi, ini merupakan pendapatan bersih usaha. PEND = PENU - TBP ............................................................... (08) dimana: PEND = Pendapatan Usaha (Rp per tahun) PENU = Penerimaan Usaha (Rp per tahun) TBP
= Total Biaya Produksi (Rp per tahun)
9. Persamaan Tabungan (TABS) : Tabungan diduga pengaruhi oleh pendapatan usaha, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan dan dummy kelembagaan tabungan. TABS = a60 + a61PEND + a62JAK + a63TP + a64DJST + U6 ........ (09) Tanda parameter dugaan yang diharapkan a61, a63, a64 > 0
dan a62 < 0
dimana: TABS = Tabungan (Rp per tahun) PEND = Pendapatan Usaha (Rp per tahun) JAK
= Jumlah Anggota Keluarga (Jiwa)
TP
= Tingkat Pendidikan (Skor)
DJST = Dummy Kelembagaan Tabungan ( 0 adalah simpanan/tabungan di kelompok atau di rumah dan 1 adalah simpanan/tabungan di bank atau koperasi) 10. Persamaan Konsumsi (PKON) : Pengeluaran untuk konsumsi diduga dipengaruhi oleh pendapatan bersih usaha, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, dan konsumsi tenaga kerja. KONS = a70 + a71PEND + a72JAK + a73TP + a74KTK + U7 ........... (10) Tanda parameter dugaan yang diharapkan a71, a72 a73, a74 > 0 dimana: PKON = Konsumsi (Rp per tahun)
99 PEND = Pendapatan Bersih Usaha (Rp per tahun) JAK
= Jumlah Anggota Keluarga (Jiwa)
TP
= Tingkat Pendidikan (Skor)
KTK = Konsumsi Tenaga Kerja (Rp per tahun) 11. Persamaan Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (PPKS): Pengeluaran untuk pendidikan dan sosial diduga dipengaruhi pendapatan bersih usaha, jumlah anak sekolah, pengeluaran sosial, dan dummy jenis kelamin. PPKS = a80 + a81PEND + a82JAS + a83PSO + a84DJG + U8 .............. (11) Tanda parameter dugaan yang diharapkan a81, a82, a83, a84 > 0 dimana: PPKS = Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (Rp per tahun) PEND = Pendapatan Usaha (Rp per tahun) JAS
= Jumlah Anak Sekolah (Jiwa)
PSO
= Pengeluaran Sosial (Rp per tahun)
DJG
= Dummy Jenis Kelamin ( 0 adalah perempuan dan 1 adalah laki-laki)
4.4.2. Model Keterkaitan Kredit Dan Ekonomi Wilayah
Untuk melihat keterkaitan ini, maka dirumuskan model ekonometrika yang merupakan model simultan dengan persamaan terdiri dari 11 persamaan perilaku dan 2 persamaan identitas, serta dibagi dalam 2 blok, yaitu : Blok Kredit dari Lembaga Keuangan Mikro, dan Produk Domestik Regional Bruto. 4.4.2.1. Blok Kredit Dari Lembaga Keuangan Mikro
1. Kredit Modal Kerja dari Bank Perkreditan Rakyat (KMB) : KMB = a10 + a11 SBBM + a12 JG + a13 JBPR + U1 ........................ (01) 2. Kredit Investasi dan Konsumsi dari BPR (KIKB) : KIKB = a20 + a21 SBBI + a22 JG + a23 JBPR + U2 ........................... (02)
100 3. Kredit Modal Kerja dari KUK (KMK) : KMK = a30 + a31SBPM + a32JT + a33JG + a34KBRI + a35 JNB + U3 .................................................... (03) 4. Kredit Investasi dan Konsumsi dari KUK (KIKK) : KIKK = a40 + a41 SBPI + a42 JD + a43 JBRI + U5 ............................ (04) 5. Kredit Kupedes dari Bank Rakyat Indonesia-Unit (KBRI) : KBRI = a50 + a51 SBPK + a52 RPN + a53 RNU + a54 JBRI + a55 PDRB1 + U5
....................................... (05)
6. Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam (KKSP): KKSP = a60 + a61 SBSM + a62 JKSP + a63 JG + a64 JAKO + a65 AKO + a66 JMK + U6 ............................... (06) 7. Jumlah Giro Masyarakat di Bank Umum : JG
= a70 + a71PDRB2 + a72PDRB3 + a73PDRB4 + U7 ................ (07)
8. Kredit Mikro dari Bank Perkreditan Rakyat : KBPR = KMB + KIKB ................................................................... (08) 9. Kredit Kecil dari Bank Umum: KUK = KMK + KIKK .................................................................. (09) Tanda parameter dugaan yang diharapkan (hipotesis) dalam persamaan (01) hingga (07) adalah a12, a13, a22, a23, a24, a32, a33, a34, a42, a43, a44, a52, a53, a54,a62, a63, a64, a65 a71, a72, a73 > 0 ; a11, a21, a31, a41, a51, a61 < 0 dimana: SBBM = Suku Bunga Kredit Modal Kerja dari BPR (persen) SBBI
= Suku Bunga Kredit Investasi dari BPR (persen).
SBBK
= Suku Bunga Kredit Konsumsi dari BPR (persen)
JG
= Jumlah Simpanan Giro dari Masyarakat di Bank Umum
(Rp)
101 JBPR
= Jumlah Kantor Bank Perkreditan Rakyat (unit)
JRT
= Jumlah Rumah Tangga (unit)
SBPM = Suku Bunga Kredit Modal Kerja dari Bank Pemerintah (persen) SBPI
= Suku Bunga Kredit Bank Pemerintah untuk Kredit Inv. (persen)
JNB
= Jumlah Nasabah Peminjam di BRI-Unit (orang)
JT
= Jumlah Simpanan Tabungan Masyarakat di Bank Umum (Rp)
JD
= Jumlah Simpanan Deposito Masyarakat di Bank Umum (Rp)
JBRI
= Jumlah Kantor BRI-Unit (unit)
RPN
= Jumlah Rata-rata Pinjaman per Nasabah di BRI-Unit (Rp)
RNU
= Jumlah Rata-rata Peminjam per Kantor BRI-Unit (orang)
KKSP
= Kredit / Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam (Rp)
SBSM = Suku Bunga Kredit dari Bank Swasta untuk Kredit Modal Kerja (persen) JKSP
= Jumlah Kantor Koperasi Simpan Pinjam (unit)
JAKO
= Jumlah Anggota Koperasi Simpan Pinjam (orang)
AKO
= Aset Koperasi Simpan Pinjam (Rp)
JMK
= Jumlah Modal Koperasi Simpan Pinjam (Rp)
KBPR
= Total Kredit dari BPR (Rp)
KKSP
= Total Kredit / Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam (Rp)
KUK
= Total Kredit dari KUK Bank Umum (Rp)
4.4.2.2. Blok Produk Domestik Regional Bruto
10. Produk Domestik Regional Bruto sektor Pertanian (PDRB1) : PDRB1= b80 + b81KBPR + b82 KKSP + b83 JP + b84 JAK + U8
............................................................... (10)
11. Produk Domestik Regional Bruto sektor Industri Pengolahan (PDRB2): PDRB2= b90 + b91KKSP + b92 JP + b93 JAK + U9 ........................... (11) 12. Produk Domestik Regional Bruto sektor Perdagangan (PDRB3): PDRB3= b100 + b101KUK + b102 JP + b103 JAK + U10 ........................ (12)
102 13. Produk Domestik Regional Bruto sektor Jasa-jasa (PDRB4): PDRB4= b110 + b111KBPR + b112 KUK + b113 JP + U11 ...................... (13) Tanda parameter dugaan yang diharapkan persamaan (10), (11), (12) adalah : b71, b72, b73, b81, b82, b83, b91, b92 b93, b101, b102, b103 , b111, b112, b113
>0
dimana: JAK
= Jumlah Angkatan Kerja (orang)
JP
= Jumlah Penduduk (orang)
PDRBi= Produk Domestik Regional Bruto sektoral (PDRB1 sektor Pertanian, PDBR2 sektor Industri Pengolahan, PDBR3 sektor Perdagangan, PDBR4 adalah sektor Jasa-jasa) (Rp) KBPR = Total Kredit dari BPR (Rp) KKSP = Total Kredit / Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam (Rp) KUK = Total Kredit dari KUK Bank Umum (Rp) 4.5.
Prosedur Estimasi Model
4.5.1. Identifikasi Model
Sebelum menentukan metode yang digunakan untuk menduga parameterparameter suatu model, maka model perlu diidentifikasi. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan order condition sebagai syarat keharusan, dan metode rank condition sebagai syarat kecukupan. Berdasarkan kriteria rank condition maka suatu persamaan akan teridentifikasi jika dan hanya jika, dimungkinkan untuk membentuk paling sedikit satu determinan bukan nol pada order (G–1) dari parameter struktural, pada variabel yang tidak termasuk dalam persamaan yang bersangkutan (Intriligator, 1996; Lains, 2006; Manurung et al., 2005). Sementara itu berdasarkan kriteria order condition, agar setiap persamaan dapat teridentifikasikan, maka harus dipenuhi beberapa persyaratan. Rumusan
103 identifikasi model menurut Koutsoyiannis (1977) dalam model persamaan struktural berdasarkan order condition ditentukan oleh: (K-M) > (G–1) dimana: K = jumlah total variabel endogen dan predetermined didalam model, M = jumlah variabel endogen dan eksogen dalam suatu persamaan yang sedang diuji dan diidentifikasi, dan G = jumlah persamaan atau jumlah total variabel endogen. Bila sebuah persamaan memperlihatkan kondisi: (K–M) < (G–1), persamaan dikatakan tidak teridentifikasi (under identified), (K–M) = (G–1), persamaan dikatakan teridentifikasi secara tepat (exactly identified), dan (K–M) > (G–1), persamaan dikatakan teridentifikasi berlebih (over identified), sehingga persamaan dapat diduga parameternya. 4.5.2.
Pendugaan Model
4.5.2.1.
Model Ekonomi Usaha Kecil
Model ini dikembangkan untuk mencapai tujuan penelitian yang pertama ini, merupakan model persamaan simultan yang tersusun dari 11 persamaan, yaitu 8 persamaan perilaku dan 3 persamaan identitas. Serta 11 variabel endogen dengan variabel predetermined sebanyak 18 yang terdiri atas variabel-variabel eksogen. Masing-masing jumlah nilai K = 29, M = 5, dan G = 11. Setelah melalui pengujian pada setiap persamaan, semua persamaan struktural memenuhi kriteria identifikasi model, dimana (K-M) > (G-1) sehingga (29 – 5) > (11 – 1) atau 24 > 10. Dengan mempertimbangkan ketersediaan data sampel yang relatif kecil (n
104 responden = 90), maka dipilih metode 2SLS (two stage least squares method) yang relatif kurang sensitif guna menduga parameter struktural (Sinaga, 1989).
4.5.2.2. Model Keterkaitan Kredit Dan Ekonomi Wilayah
Model yang dikembangkan dalam penelitian ini merupakan model persamaan simultan yang tersusun dari 13 persamaan terdiri 2 persamaan identitas dan 11 persamaan perilaku, dengan 13 variabel endogen serta variabel predetermined sebanyak 19 yang terdiri atas variabel-variabel eksogen. Masingmasing jumlah nilai K = 32, M = 6, dan G = 13, dimana (K – M) > (G – 1) sehingga (32 – 6) > (13 – 1) atau 26 > 12. Setelah melalui pengujian setiap persamaan, semua persamaan struktural memenuhi kriteria identifikasi model. Dengan mempertimbangkan ketersediaan data sampel yang relatif kecil (n kabupaten = 29 dan n tahun = 6) dan kemungkinan adanya respesifikasi model ketika dilakukan analisis struktural dan simulasi, maka dipilih metode 2SLS (two stage least squares method) yang relatif kurang sensitif untuk menduga parameter struktural (Sinaga, 1989). Teknik estimasi ini menggunakan program Statistical Analysis System / Econometric Time-Series (SAS/ETS) Versi 9.1.
4.5.3.
Validasi Model
Model perlu diuji apakah cukup valid bila digunakan untuk simulasi kebijakan. Untuk itu digunakan kriteria statistik yaitu. Root Mean Squares Error (RMSE), Root Mean Squares Percentage Error (RMSPE), dan U-Theil. Statistik RMSE dan RMSPE menggambarkan seberapa jauh nilai-nilai dugaan variabel endogen tersebut menyimpang dari nilai-nilai aktual, baik itu dalam angka nominal (RMSE) maupun persentase (RMSPE).
105 0.5
RMSE
2⎤ ⎡ T = ⎢ T1 ∑ (Pt − A t ) ⎥ ⎢⎣ t = 1 ⎥⎦
RMSPE
⎡ T 2⎤ = 100% ⎢ T1 ∑ (Pt − A t ) / A t ⎥ ⎣ t =1 ⎦
(
)
0. 5
dimana : RSME
= Root Mean Squares Root
RSMPE
= Root Mean Squares Root Percentage Error
T
= Jumlah pengamatan dalam simulasi
P
= Nilai dugaan model (predict value)
A
= Nilai pengamatan (actual value)
U – Theil dan UI (modification Theil inequality) U-Theil juga memiliki kelemahan, karena merupakan fungsi dari predictor itu sendiri yang merupakan salah satu unsur didalam penyebutnya, sehingga tidak dapat digunakan sebagai kriteria untuk membandingkan serta meranking model alternatif. Untuk mengatasi hal ini sering kali digunakan juga UI yang merupakan modifikasi dari U-Theil. Nilai koefisien U berkisar antara 0 dan 1, sedangkan UI diantara 0 dan ~ (tak terhingga). Makin kecil nilai ataupun UI, termasuk juga RMSPE, menunjukkan kualitas model yang makin baik. Untuk mengukur U-Theil dan UI adalah sebagai berikut.
∑ (P T
1 T
U-Theil
=
T
1 T
UI
t =1
∑ Pt t =1
=
2
t
+
−At )
2
T
1 T
∑A t =1
2 t
2 T ⎡ ⎛ ⎞⎤ ∑ ⎢⎢ ⎛⎜⎝ Pt − A t ⎞⎟⎠ − ⎜⎜ A t − A t − 1 ⎟⎟ ⎥⎥ ⎝ ⎠⎦ t =1⎣ 2 T ⎛ ⎞ ∑ ⎜⎜ A t − A t −1 ⎟⎟ ⎠ t =1⎝
106 Sementara itu Mean Squares Error dapat didekomposisi atas 3 komponen yaitu : 1. UM atau Biased proportion, mengindikasikan systematic error merupakan deviasi antara rata-rata nilai prediksi dengan nilai aktual. 2. UR atau Regression Component, mengindikasikan deviasi slope dari nilainilai aktual dengan nilai prediksi. 3. UD atau Residual Component, yang menangkap unsystematic error. Jumlah koefisien dari ketiga komponen tersebut adalah sama dengan satu. Nilai UM dan UR yang makin kecil menunjukkan bahwa model makin baik, sedangkan untuk UD bila nilainya makin besar (mendekati 1) berarti model makin baik (Pindyck dan Rubenfeld, 1991). Ketiga komponen tersebut masing-masing dapat dirumuskan sebagai berikut. UM
2 = T T(PM − AM )
∑ (P t =1
UR
−At )
2
2 = T (SP − rSA ) T
∑ (P t =1
UD
t
− At)
2
t
2 2 = T (I - r ) SA T
∑ (P t =1
t
−At)
2
dimana : PM
= rata-rata dari nilai prediksi
AM
= rata-rata dari nilai aktual
SP
= standard deviasi dari nilai prediksi
SA
= standar deviasi dari nilai aktual
r
= koefisien korelasi antara nilai-nilai aktual dengan prediksi
T
= jumlah pengamatan
107 4.5.4. Simulasi Kebijakan
Setelah dilakukan validasi model maka akan dilakukan simulasi kebijakan. Analisis simulasi kebijakan ini dilakukan untuk model ekonomi usaha kecil, sehingga dapat digunakan untuk menganalisis dampak dari perubahan variabel endogen maupun eksogen terhadap variabel endogen yang berjumlah sebelas di dalam model ekonomi usaha kecil. Simulasi kebijakan dalam model ekonomi usaha kecil meliputi: 1.
Penurunan suku bunga kredit sebesar 20 persen.
2.
Kenaikan pengambilan kredit oleh usaha kecil sebesar 100 persen.
3.
Perubahan sumber kredit dari non bank menjadi sumber kredit yang berasal dari bank (dummy = 1).
4.
Perubahan sumber kredit dari bank menjadi sumber kredit yang berasal dari non bank (dummy = 0).
5.
Kenaikan harga jual produk sebesar 10 persen.
6.
Perluasan daerah pemasaran produk dari hanya di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah menjadi wilayah pemasaran mencakup wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya (dummy = 1).
7.
Perubahan daerah pemasaran produk dari mencakup wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya, menjadi hanya di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah (dummy = 0).
8.
Kombinasi simulasi 2 dan simulasi 5.
9.
Kombinasi simulasi 2 dan simulasi 6.
10. Kombinasi simualsi2, simulasi 5, dan simulasi 6.
108 Beberapa pertimbangan dalam melakukan simulasi kebijakan ini adalah: 1. Penurunan suku bunga kredit sebesar 20 persen dari rata-rata suku bunga yang berlaku saat ini, diharapkan akan memberikan insentif bagi usaha kecil karena akan berdampak pada penurunan suku bunga kredit menjadi sekitar 15 persen per tahun. Kebijakan ini bisa dilakukan oleh pemerintah antara lain melalui subsidi bunga kredit atau program penjaminan kredit. 2. Kenaikan pengambilan kredit sebesar 100 persen, diharapkan akan dapat meningkatkan rata-rata jumlah pengambilan kredit oleh usaha kecil menjadi sekitar Rp.30 juta sampai dengan Rp.40 juta sehingga mendekati plafon kredit kecil dari perbankan. Kebijakan ini bisa ditempuh antara lain melalui skimskim kredit usaha kecil baru dengan plafon pinjaman yang lebih besar. 3. Kenaikan harga jual produk sebesar 10 persen, kebijakan ini dapat dilakukan dengan memperbaiki infrastruktur perhubungan, sehingga produsen dapat menjual dengan harga lebih tinggi. 4. Perluasan wilayah pemasaran produk, bagi usaha kecil akan memberikan peluang pasar yang lebih baik karena akan mendorong omset penjualan produk. Kebijakan ini bisa dilakukan melalui kesempatan mengikuti pameran dagang , pelatihan, maupun lokakarya (workshop) di tingkat regional, nasional, atau bahkan internasional sehingga produk menjadi lebih dikenal luas. 5. Perubahan sumber kredit dari non bank ke bank, diharapkan akan memberikan akses lebih baik dalam memperoleh jumlah kredit yang lebih besar bagi usaha kecil. Kebijakan yang bisa ditempuh antara lain mendorong dan mempermudah pendirian kantor bank sampai dengan tingkat kecamatan, sehingga usaha kecil yang telah feasible bisa memperoleh akses perbankan.
109
V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Pada bagian ini akan disajikan gambaran mengenai lokasi penelitian untuk mendapatkan data primer tentang perilaku ekonomi usaha kecil, yang meliputi tiga Kabupaten yaitu: Semarang, Magelang dan Klaten. Serta seluruh Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, yang berjumlah 29 Kabupaten untuk mendapatkan data sekunder tentang peranan lembaga keuangan mikro. Guna memperoleh gambaran umum wilayah penelitian, maka akan disajikan keadaan umum masing-masing wilayah penelitian.
5.1.
Keadaan Umum Wilayah Kabupaten Penelitian
Kabupaten Semarang memiliki luas wilayah 94 686 hektar
secara
administratif terbagi menjadi 18 Kecamatan dan terdiri dari 208 Desa dan 27 Kelurahan. Pada tahun 2006 jumlah penduduk tercatat 894 018 jiwa dengan kepadatan penduduk 944 jiwa per km2. Letak wilayah Kabupaten Semarang, disebelah utara berbatasan dengan Kota Semarang, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Demak dan Grobogan, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Boyolali dan Magelang, dan disebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Temanggung dan Kendal. Kabupaten Magelang memiliki luas wilayah 108 573 hektar yang terbagi menjadi 21 Kecamatan terdiri dari 367 Desa dan 5 Kelurahan. Jumlah penduduk tercatat 1 169 638 jiwa dengan kepadatan penduduk 1 077 jiwa per km2. Wilayah Kabupaten Magelang di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Semarang dan Temanggung, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Boyolali, di
110 sebelah selatan berbatasan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo dan Wonosobo. Sedangkan Kabupaten Klaten memiliki luas wilayah 65 556 hektar yang secara administratif terbagi menjadi 26 Kecamatan terdiri dari 391 Desa dan 10 Kelurahan. Jumlah penduduk 1 139 218 jiwa dengan kepadatan penduduk 1 737 jiwa per km2. Letak wilayah Kabupaten Klaten di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Semarang dan Grobogan, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sragen, Karanganyar dan Sukoharjo, di sebelah selatan dan barat berbatasan dengan Daerah Istimewa Yoyakarta. Tiga kabupaten ini secara topografis sebagian besar terletak di wilayah kaki Gunung Merapi dan Merbabu yang berada di tengah-tengahnya. Sedangkan secara ekonomi tiga kabupaten ini berada dalam wilayah pengembangan kawasan segitiga Jogya-Solo-Semarang (JOGLOSEMAR), dan sering disebut juga kawasan strategis pengembangan ekonomi (Special Economic Growth Zones) yang bertumpu pada potensi pertanian dan industri rakyat.
5.2.
Keadaan Umum Wilayah Provinsi Penelitian
Jawa Tengah secara administratif Provinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 kabupaten dan 6 kota, dengan luas wilayah 3 254 412 hektar (sekitar 25.04 persen dari luas pulau Jawa atau 1.7 persen dari
luas Indonesia). Jumlah
penduduk pada tahun 2006 tercatat 32 908 850 jiwa dengan kepadatan sekitar 1 011 jiwa per km2. Gambaran umum menyangkut aspek kependudukan,geografi, sosial, dan ekonomi, dari 29 Kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
111 Tabel 2. Beberapa Indikator Makro Ekonomi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005
No
Kabupaten
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes
Dearah Tingkat II Lainnya *)
Luas
Jumlah
Wilayah (ha)
Penduduk (jiwa)
PDRB Harga konstan (juta Rp)
213 851 132 759 77 765 106 974 128 274 103 482 98 468 108 573 101 507 65 556 46 666 182 237 77 220 94 649 197 585 179 440 101 410 149 120 42 517 100 416 89 743 94 686 87 023 100 227 78 895 83 613 101 190 87 970 165 773 56 823 3 254 412
1 674 210 1 531 737 863 478 903 919 1 208 486 712 003 779 919 1 169 638 941 624 1 139 218 838 149 1 010 456 834 265 868 036 1 334 380 840 729 588 320 1 213 664 759 267 1 077 586 1 071 487 894 018 717 486 897 560 712 542 858 650 1 371 943 1 471 043 1 814 274 2 810 763 32 908 850
21 729 328.83 3 598 399.16 1 921 653.92 2 321 117.64 2 360 449.90 2 321 543.04 1 570 347.69 3 245 978.82 3 456 062.13 4 160 938.70 3 941 788.46 2 426 197.98 4 188 330.48 2 322 239.43 2 579 283.26 1 731 375.93 1 633 176.71 3 786 140.34 10 630 188.11 3 411 159.47 2 470 777.08 4 484 189.54 1 994 172.89 4 279 793.99 1 972 776.84 2 587 305.96 2 770 157.15 2 808 153.13 4 318 218.90 24 581 418.32 135 602 663.80
Jumlah Sumber: BPS Semarang, 2006 (diolah)
Keterangan:
*) **)
BPR (unit)
Posisi Kredit Bank Umum (juta Rp)
24 30 2 2 24 3 13 24 9 19 24 3 16 8 7 6 3 13 16 4 10 20 8 30 10 12 10 16 9 33 408
1 331 499 1 703 555 572 582 502 358 485 946 496 725 392 208 1 227 831 595 032 1 112 476 1 819 205 567 877 1 799 967 948 336 742 263 545 261 409 844 1 149 769 4 836 906 853 861 766 993 2 733 248 570 709 597 128 506 917 594 918 526 622 1 333 371 918 691 18 245 576 48 887 674
Jumlah
Meliputi Data 6 Kota di Jawa Tengah Data Tahun 2004
Luas wilayah kabupaten di Jawa Tengah rata-rata sekitar 100 000 hektar, Kabupaten Cilacap memiliki wilayah paling luas 213 851 hektar dan Kabupaten Sukoharjo memiliki wilayah paling sempit 46 666 hektar. Jumlah penduduk di Kabupaten Cilacap juga tercatat paling banyak yaitu 1 674 210 jiwa, sedangkan
112 Kabupaten Purworejo tercatat memiliki jumlah penduduk paling sedikit yaitu sebanyak 712 003 jiwa. Untuk angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Cilacap dan Kudus tercatat paling, dua kabupaten ini merupakan daerah industri yang berbasis minyak dan gas, dan industri rokok. Di bidang ekonomi jumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) masing-masing kabupaten jumlahnya sangat bervariasi terendah 2 unit BPR di Kabupaten Purbalingga dan Banjarnegara, dan tertinggi 30 unit BPR di Kabupaten Banyumas dan Kendal. Lokasi kantor dan unit dari BPR umumnya adalah di wilayah kecamatan, yang tingkat aktivitas perekonomian tinggi dan umumnya ditandai dengan aktivitas pasar yang cukup intensif. Posisi kredit yang disalurkan dari bank umum yang disalurkan ke masyarakat, tercatat Kabupaten Wonosobo paling rendah dengan posisi kredit Rp 392.21 miliar dan tertinggi di Kabupaten Semarang sebesar Rp 2 733.25 miliar. Dari tabel diatas variasi jumlah unit BPR dan posisi kredit dari bank umum diantara kabupaten-kabupaten cukup tinggi, hal ini menggambarkan pula adanya tingkat kesenjangan indikator ekonomi antar kabupaten di Jawa Tengah cukup tinggi pula, karena tidak semua kabupaten memiliki kecamatan dengan aktivitas perekonomian yang berkembang maju.
5.3.
Keragaan UsahaKecil
Keadaan keragaan contoh (sampel) usaha kecil dari tiga kabupaten yaitu: Kabupaten Semarang, Kabupaten Magelang dan Kabupaten Klaten ini diharapkan dapat mewakili perilaku ekonomi usaha kecil dari usaha kecil yang ada di Jawa Tengah, terutama yang menyangkut karateristik sosial-ekonomi, jenis usaha kecil, karakteristik kredit kecil, serta pemasaran produk.
113 5.3.1. Karateristik Sosial Ekonomi
Kegiatan usaha kecil yang dilakukan oleh contoh (sampling) di tiga wilayah kabupaten mempunyai keragaan yang cukup tinggi, baik
dari umur
kepala keluarga, jenis kelamin, maupun tingkat pendidikan, seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik Rumah Tangga Usaha Kecil Diskripsi 1. Jumlah Contoh (KK) 2. Umur: 15 - 30 tahun 31 - 45 tahun 46 - 60 tahun 3. Jenis kelamin: Laki-laki Perempuan 4. Pendidikan: SD SMP SMA D3 / Perguruan Tinggi Sumber : Data Primer (diolah)
Semarang 15
Kabupaten Magelang 50
Jumlah Klaten 25
90
1 10 4
4 21 25
2 9 14
7 40 43
9 6
33 17
24 1
66 24
4 5 5 1
16 17 13 4
6 5 13 1
26 27 31 6
Dari Tabel 3. diatas dapat dilihat umur kepala keluarga sebagai pelaku utama, sekaligus pemilik usaha kecil di tiga kabupaten sebagian besar berumur antara 31 – 45 tahun dan 46 – 60 tahun, dimana jumlahnya mencapai 83 contoh dari total 90 contoh (sekitar 92 persen). Untuk Kabupaten Klaten bahkan 14 contoh dari 25 contoh (sekitar 56 persen) berumur antara 46–60 tahun. Sementara pelaku usaha kecil yang berumur antara 15–30 tahun di tiga kabupaten ini hanya tercatat 7 contoh (sekitar 8 persen), hal ini tentu cukup merisaukan apabila dilihat dari aspek upaya pengembangan dam keberlanjutan usaha kecil yang sedang digelutinya. Dilihat dari sisi gender pelaku usaha kecil di tiga kebupaten ini juga sebagian besar adalah laki-laki, dimana jumlahnya mencapai 66 contoh (sekitar 73
114 persen), dan hanya 24 contoh (sekitar 27 persen) adalah perempuan. Sedangkan dari sisi tingkat pendidikan cukup merata, dimana pelaku usaha kecil berpendidikan antara SD, SMP, dan SMA. Hanya ada 6 contoh (sekitar 7 persen) yang berpendidikan D3 / Perguruan Tinggi. Bila dilihat dari sisi wilayah, Kabupaten Klaten memiliki sumber daya manusia yang paling baik karena jumlah contoh (sampel) yang berpendidikan SMA keatas mencapai 14 contoh dari 25 contoh (56 persen), padahal sebagian besar berumur antara 46–60 tahun.
5.3.2. Jenis Usaha Kecil
Walaupun usaha kecil yang menjadi kajian adalah kelompok usaha makanan, namun ternyata jenis-jenis usaha dilakukan 50 contoh (sampel) usaha kecil cukup beragam terutama usaha kecil di wilayah Kabupaten Magelang yang merupakan jumlah terbesar contoh yang diambil. Hal ini dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jenis Usaha Kecil yang Dilakukan Diskripsi 1. Jumlah Contoh (KK) 2. Jenis-jenis Usaha: Krupuk kedelai Kripik tempe Ceriping(pisang,ketela,getuk) Rengginang ketan Slondok ketela Krupuk rambak Soun mie 3. Jenis Produk: Produk jadi (siap konsumsi) Produk setengah jadi (siap olah)
Kabupaten Semarang Magelang 15 50
Jumlah Klaten 25
90
10 15
15 14 13 3 7 23 15
10 15
60 30
15 14 13 3 7 13 50 15
Sumber : Data Primer (diolah)
Dari Tabel 4 diatas terlihat bahwa keragaan jenis usaha yang dilakukan oleh contoh cukup bervariasi. Di kabupaten Semarang 15 contoh merupakan usaha kecil makanan krupuk kedelai, diproduksi di Kecamatan Tuntang yang
115 merupakan sentra usaha krupuk kedelai dan terletak pada jalur jalan raya Solo Semarang. Sentra usaha krupuk kedelai ini sudah ada sejak 30 tahun yang lalu dan saat ini ada sekitar 50 pengrajin usaha kecil makanan krupuk kedelai yang beroperasi. Produk krupuk kedelai ini merupakan makanan setengah jadi, karena krupuk kedelai ini masih mentah dan harus dijemur terlebih dahulu sebelum digoreng untuk dikonsumsi. Di Kabupaten Magelang, jenis usaha kecil yang dilakukan responden jenis usaha yang dilakukan beragam dan tersebar di beberapa desa disekitar Kecamatan Tegalrejo,
Kecamatan
Grabag,
Kecamatan
Candirejo,
dan
Kecamatan
Mertoyudan. Dari 50 contoh usaha kecil, terdapat 14 usaha kecil penghasil kripik tempe, 13 usaha kecil krupuk rambak, 13 usaha kecil ceriping pisang dan ceriping ketela, 7 usaha kecil slondok ketela, 3 usaha kecil penghasil rengginang ketan, dan 2 usaha kecil penghasil marning jagung. Semua usaha kecil ini membuat makanan ringan jadi yang siap untuk dikonsumsi. Untuk Kabupaten Klaten, 25 contoh usaha kecil ada di 2 kecamatan, yaitu: 15 usaha kecil mie soun di Kecamatan Ngawen yang merupakan produk setangah jadi yang siap diolah, dan 10 usaha kecil krupuk rambak di Kecamatan Jogonalan yang merupakan produk jadi siap dikonsumsi. Secara historis usaha kecil makanan olahan berupa krupuk kedelai di wilayah Tuntang Kabupaten Semarang ini telah ada sejak tahun 1970-an akhir, yang berawal dari usaha perorangan oleh seorang pengasuh pesantren yang membuat krupuk kedelai dan kemudian diikuti oleh usaha perorangan lainnya yang sebelumnya juga bekerja di tempat tersebut. Usaha ini semakin berkembang sejak tahun 1980-an yang antara karena kemudahan akses transportasi yang
116 berada di tepi jalan raya nasional dan mengalami pasang surut terutama pada periode krisis moneter tahun 1997, namun demikian usaha ini berhasil melewati masa sulit tersebut dan terus berkembang hingga sekarang. Karena adanya budaya lokal yang lekat dengan pesantren, usaha kecil disini umumnya kurang berinisiatif dan kurang dekat dengan lembaga bank. Namun apabila pihak perbankan cukup aktif untuk melayani kelompok ini, maka alternatif pembiayaan lainnya dari bank masih dapat dilakukan. Untuk wilayah Kabupaten Magelang, usaha kecil yang ada telah berkembang sejak lama. Pada periode tahun 1960-an telah berkembang usaha kecil makanan olahan terutama yang berbasis bahan baku lokal dari ketela pohon (singkong) dan lainnya, mulai dari: getuk, ceriping ketela, ceriping getuk, slondok ketela, ceriping pisang, kripik tempe, krupuk rambak, dan rengginang ketan. Usaha kecil ini tersebar di beberapa perdesaan di wilayah kecamatan, seperti: Tegalrejo, Grabag, Candimulyo, Secang, Mertoyudan, dan Borobudur. Usaha kecil ini terus berkembang hingga sekarang dan telah menjadi salah satu ikon produk makanan khas dari Magelang. Pada awalnya sumber pembiayaan dari bank berupa kredit umumnya diperoleh dari Bank Pasar (BP) yang kemudian diikuti bank umum seperti BRI Unit. Sedangkan usaha kecil lainnya dibawah binaan dinas terkait memperoleh memperoleh pinjaman dari program, yang kemudian berkembang menjadi kredit bergulir (revolving funds) dari program dinas terkait dan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang saat ini sebagian juga telah berkembang menjadi program Corporate Social Responsibility (CSR) dari BUMN.
117 Sedangkan usaha kecil di wilayah Jogonalan dan Ngawen di Kabupaten Klaten juga telah berkembang sejak lama. Untuk produk krupuk rambak di Jogonalan telah ada sejak tahun 1970-an hingga berkembang sekarang ini, karena antara lain diuntungkan dengan lokasinya yang berada di tepi jalan raya Solo – Yogyakarta dan rel kereta api lintas selatan, sehingga pemasaran produk ke Yogyakarta dan daerah lainnya menjadi sangat mudah dan menguntungkan. Untuk produk mie soun di Ngawen telah ada sejak awal tahun 1960-an, yang berawal dari pekerja yang berkerja pabrik soun di Klaten kota. Pabrik soun di kota tutup dan pekerja kemudian merintis usaha mie soun sendiri di wilayah Ngawen dan terus berkembang hingga sekarang ini, terutama sejak krisis moneter tahun 1997. Pada awalnya usaha mie soun yang pemasaran hingga Jawa Timur ini, tidak dilirik sama sekali oleh perbankan bahkan pengusaha mie soun ini sulit sekali untuk mendapat kredit, walaupun usahanya sangat feasible. Namun setelah krisis moneter, beberapa bank mulai mendatangi pengusaha mie soun dan menawarkan kredit, ini dilakukan antara lain karena ketika krisis moneter terjadi usaha ini masih tetap bertahan dan bahkan beberapa usaha kecil justru lebih berkembang.
5.3.3. Karakteristik Kredit Mikro dan Kecil
Karakteristik kredit mikro dan kecil dari contoh (sampel), baik yang berasal dari perbankan, maupun kredit atau pinjaman dari koperasi simpan pinjam, dan sumber-sumber lainnya, masing-masing memiliki keragaan yang cukup tinggi, baik pagu kredit, tingkat bunga, dan jenis agunan seperti terlihat pada Tabel 5.
118 Tabel 5. Karateristik Kredit dan Pinjaman yang Diambil Usaha Kecil Kabupaten Diskripsi Semarang Magelang Klaten 1. Jumlah contoh (KK) 15 50 25 2. Sumber Pinjaman: Bank (BRI, BNI, Mandiri, BPD) 10 13 BPR 10 2 Koperasi 2 9 Sumber lainnya 15 28 1 3. Pengambilan Kredit: ≤ 5 juta rupiah 15 25 9 5 s/d 50 juta rupiah 24 9 > 50 juta rupiah 1 7 4. Tingkat Bunga Pinjaman: ≤ 12 persen per tahun 22 7 12 s/d 18 persen per tahun 5 5 18 s/d 24 persen per tahun 20 13 24 persen per tahun 15 3 5. Jenis Agunan: Sertifikat Tanah 22 15 BPKB 9 Tanpa Agunan 15 19 10
Jumlah 90 23 12 11 44 49 33 8 29 10 33 18 37 9 44
Sumber : Data Primer (diolah)
Terdapat 15 contoh usaha kecil di Kabupaten Semarang, yang merupakan sentra usaha kerupuk kedelai di wilayah Kecamatan Tuntang, belum menggunakan sumber kredit formal dari lembaga keuangan formal, seperti bank umum, bank perkreditan rakyat, ataupun koperasi. Seluruh usaha kecil masih memanfatkan kredit atau pinjaman informal dari perorangan, kelompok, terutama untuk membayar bahan baku terutama tepung terigu, tapioka, kedelai, serta sebagian kecil untuk membayar tenaga kerja dan membeli kayu bakar. Pinjaman informal ini selain berasal dari perorangan dan kelompok, ada pula yang berasal dari pedagang yang mensuplai bahan baku tepung tapioka. Namun pinjamanpinjaman informal ini umumnya bersifat jangka pendek dan tidak berkelanjutan (unsustainable) seperti pada sumber kredit formal dari bank atau koperasi. Usaha kecil di wilayah Tuntang ini walaupun usahanya feasible namun belum bankable.
119 Sedangkan di wilayah Kabupaten Magelang dari 50 contoh usaha kecil, terdapat 10 usaha kecil yang telah memanfaatkan bank umum, seperti BRI dan BPD Jateng untuk mendapatkan kredit dengan agunan sertifikat tanah dan surat BPKB kendaraan bermotor, terutama kendaraan bermotor roda 4 (empat). Selain dari BRI dan BPD, ada pula 10 usaha kecil yang mendapatkan kredit dari BPR, dan umumnya adalah Bank Pasar (BP) milik pemerintah daerah kabupaten Magelang. Disamping itu tercatat sebanyak 22 usaha kecil memanfaatkan kredit bergulir dari dinas perindustrian dan perdagangan (non bank) yang nilai kreditnya masih di bawah Rp 10 000 000. Sedangkan yang lainnya tercatat ada 2 usaha kecil yang memperoleh pinjaman koperasi simpan pinjam, serta ada 6 usaha kecil yang memperoleh pinjaman informal dari perorangan dan kelompok, atau dari Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Usaha kecil di wilayah Kabupaten Magelang walaupun sangat feasible namun sebagian besar masih belum bankable. Untuk wilayah Kabupaten Klaten dari 25 contoh usaha kecil sebagian besar telah memanfaatkan bank umum dan koperasi untuk mendapatkan kredit bagi usahanya. Tercatat 13 usaha kecil produsen mie soun di Kecamatan Ngawen yang memperoleh kredit dari bank umum seperti bank BNI, BRI, dan Mandiri, terdapat 2 usaha kecil yang memperoleh kredit dari bank perkreditan rakyat (BPR), serta ada 9 usaha kecil produsen krupuk rambak di kecamatan Jogonalan yang memperoleh kredit dari koperasi. Disamping itu tercatat 1 usaha kecil yang mendapatkan pinjaman dari lembaga bank dan koperasi. Untuk wilayah Klaten semua usaha kecil telah feasible dan sebagian besar usaha kecil juga telah bankable. Karena itu usaha kecil yang mendapatkan kredit dari bank pemerintah
120 ada pula memanfaatkan kredit komersial, tapi mendapatkan fasilitas pelayan perbankan yang baik. Dari uraian diatas dapat beberapa catatan dalam kaitannya dengan hubungan antara usaha kecil dan bank atau sumber pinjaman lainnya, (1) ada usaha kecil yang telah feasible dan bankable, (2) ada usaha kecil yang telah feasible tapi belum bankable, dan (3) sebenarnya masih terdapat pula usaha kecil
dan mikro lainnya yang belum terlalu feasible, tapi produktif dalam arti mampu memberikan nilai tambah. Pengambilan kredit oleh usaha kecil cukup bervariasi, namun sebagian besar contoh memperoleh kredit di bawah Rp 5 000 000 seperti terlihat di Kabupaten Semarang.
Di Kabupaten Magelang dari 50 contoh usaha kecil,
terdapat 25 usaha kecil yang memperoleh kredit di bawah Rp 5 000 000 dan ada 25 usaha kecil lainnya yang mendapatkan kredit diatas nilai Rp 5 000 000. Kredit dengan nilai di bawah Rp 5 000 000 umumnya merupakan kredit mikro dan berasal dari dana bergulir, lembaga kredit non formal lainnya, dan hanya sedikit yang berasal dari bank umum, bank perkreditan rakyat, atau koperasi simpan pinjam. Untuk Kabupaten Klaten agak berbeda karena dari 15 contoh usaha kecil terdapat 13 usaha kecil produsen mie soun mendapatkan kredit dari bank umum yang nilainya antara Rp 10 000 000 sampai dengan Rp 200 000 000. Jumlah usaha kecil yang mengakses kredit dari bank umum dan BPR tercatat 35 contoh usaha kecil dengan nilai rata-rata pinjaman Rp 28 000 000. Sedangkan usaha kecil yang mengakses kredit atau pinjaman dari koperasi dan lembaga lain non bank tercatat 55 contoh usaha kecil dengan nilai rata-rata pinjaman sekitar Rp 8 827 000.
121 Untuk tingkat bunga kredit, kredit dari lembaga formal seperti bank umum, bank perkreditan rakyat, dan koperasi mengenakan tingkat bunga kredit yang lebih rendah dibandingkan lembaga kredit informal seperti perorangan, kelompok, atau pedagang. Tingkat bunga kredit yang dikenakan oleh lembaga kredit formal (bank dan koperasi) dan lembaga kredit non formal (perorangan, kelompok atau pedagang) sangat bervariasi nilainya. Lembaga kredit formal (bank dan koperasi) mengenakan tingkat bunga kredit antara 6 persen sampai dengan 30 persen per tahun, sedangkan kredit informal mengenakan tingkat bunga pinjaman diatas 30 persen per tahun.
5.3.4. Karakteristik Perijinan dan Pemasaran Produk
Dalam melakukan kegiatan produksi, usaha kecil juga dihadapkan pada persoalan aspek formal usaha yaitu berupa perijinan dari dinas kesehatan, dinas perindustri dan perdagangan. Selain itu karakteristik pemasaran usaha kecil juga cukup menarik untuk disimak. Jenis perijinan yang dimiliki usaha kecil terdiri dari: ijin Depkes, SIUP, TDI dan TDP. Di Kabupaten Semarang dari 15 contoh usaha kecil terdapat 8 usaha kecil yang memiliki ijin Depkes dan ijin dari disperindag (SIUP, TDI, TDP). Di Kabupaten Magelang dari 50 contoh usaha kecil terdapat 20 usaha kecil yang memiliki ijin Depkes dan ijin dari disperindag, namun demikian ada 16 usaha kecil yang sama sekali belum memiliki perijinan usaha. Untuk Kabupaten Klaten dari 25 contoh usaha kecil,
di Kecamatan
Ngawen terdapat 13 usaha kecil yang memiliki ijin dari disperindag (SIUP, TDI dan TDP) dan 12 usaha kecil di Kecamatan Jogonalan yang sama sekali belum memiliki ijin seperti terlihat pada Tabel 6. Perijinan ini dalam jangka panjang akan memberikan keuntungan bagi usaha kecil dalam hal akses pasar, apabila
122 ingin melakukan deversifikasi produk dan menembus pasar nasional dan luar negeri. Tabel 6. Karakteristik Perijinan dan Pemasaran Produk Kabupaten Diskripsi Semarang Magelang 1. Jumlah contoh (KK) 15 50 2. Jenis-jenis Ijin Usaha: Depkes 7 Deperindag 3 7 Depkes dan Deperindag 8 20 Belum ada ijin usaha 4 16 3. Lokasi Pemasaran: Lokal (Jateng dan DIY) 7 25 Jawa Barat 1 7 Jakarta 7 18 Jawa Timur 4. Cara Pembayaran: Secara tunai 12 41 Secara kredit (konsinyasi) 3 9
Jumlah Klaten 25
90
13 12
37 22 28 24
10 1 5 9
42 9 30 9
9 16
62 28
Sumber : Data Primer (diolah)
Dari Tabel 6 terlihat umumnya ijin Depkes hanya dimiliki oleh usaha kecil penghasil makanan jadi yang siap dikonsumsi, sedangkan usaha kecil produsen makanan setengah jadi yang siap diolah hanya membutuhkan ijin dari disperindag seperti terjadi di sentra usaha mie soun di Ngawen Kabupaten Klaten. Karena itu tidak semua usaha kecil penghasil makanan olahan membutuhkan ijin dari Depkes, namun demikian perijinan dari Depkes sangatlah dibutuhkan agar ke depan usaha kecil ini sudah siap untuk melakukan diversifikasi produk, dengan memproduksi makanan olahan jadi yang siap dikonsumsi. Untuk lokasi pemasaran, 8 contoh (sampel) usaha kecil di Kabupaten Semarang memasarkan ke Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya, sedangkan usaha kecil di Kabupaten Magelang 25 contoh usaha kecil memasarkan produknya secara lokal di sekitar Yogyakarta dan Jawa Tengah dan 25 contoh lainnya
123 memasarkan hingga Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya. Di Kabupaten Klaten terdapat 10 contoh usaha kecil yang memasarkan produknya secara lokal di sekitar Yogyakarta dan Jawa Tengah, namun demikian agak berbeda dengan contoh di Kabupaten Semarang dan Magelang, produsen mie soun di Kecamatan Ngawen secara tradisional memiliki pasar di Jawa Timur, tercatat ada 9 contoh usaha kecil. Sementara cara pembayaran produknya yang dijual ke pasar, terdapat 62 contoh usaha kecil memperoleh pembayaran secara tunai dan 28 contoh usaha kecil yang menjual dengan cara non-tunai atau dikenal dengan cara konsinyasi.
5.4.
Perkembangan Indikator Makro di Provinsi Jawa Tengah
Setelah terjadi krisis ekonomi di Indonesia tahun 1998, dalam perkembangannya di Provinsi Jawa Tengah sejak tahun 2000 beberapa indikator ekonomi menunjukkan bahwa proses pemulihan ekonomi yang semakin membaik. Hal menonjol yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah diantaranya adalah berkembangnya peranan lembaga keuangan mikro, baik dari perbankan maupun non perbankan. Pada tahun 2003 jumlah kantor Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit yang ada di 29 kabupaten dan 7 kota, tercatat sebanyak 362 kantor BRI unit atau sekitar 9.1 persen dari 3 982 kantor BRI unit di seluruh Indonesia. Untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) pada tahun 2003 tercatat 580 BPR atau sekitar 17.6 persen dari 3 299 BPR yang ada di seluruh Indonesia. Sedangkan lembaga Non BPR pada tahun 2003 tercatat 3 786 unit yang terdiri dari Badan Kredit Desa (BKD) dan Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP). Untuk memperoleh gambaran tentang peranan lembaga keuangan mikro terhadap perekonomian di Provinsi Jawa Tengah, berikut ini diuraikan gambaran umum perkembangan indikator ekonomi makro yang digunakan dalam penelitian ini.
124 5.4.1. Kredit Koperasi Simpan Pinjam
Kredit atau pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dalam kegiatan operasional sehari-hari dikenal sebagai volume usaha koperasi. Jumlah kredit yang menggambarkan volume usaha koperasi simpan pinjam ini pada umumnya dari tahun ke tahun sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 terus meningkat. Peningkatan ini cukup merata di 29 Kabupaten di Jawa Tengah, lihat Tabel 7. Tabel 7. Jumlah Kredit Koperasi Simpan Pinjam Tingkat Kabupaten di Jawa Tengah Tahun 2001 - 2005 Tahun (Rp. Juta) No Kabupaten 2001 2002 2003 2004
2005 Cilacap 53 022 80 085 88 773 88 773 121 276 Banyumas 65 339 65 739 65 739 151 388 172 659 Purbalingga 19 368 28 074 31 104 55 145 57 478 Banjarnegara 21 192 32 168 36 371 37 354 55 316 Kebumen 42 552 43 352 54 414 77 003 81 176 Purworejo 21 373 34 787 36 490 62 983 82 081 Wonosobo 18 032 37 335 52 657 84 947 84 947 Magelang 28 506 37 457 62 495 62 495 66 782 Boyolali 28 583 43 428 45 553 47 411 80 447 Klaten 28 881 39 238 43 918 59 217 69 719 Sukoharjo 28 319 29 479 45 458 44 179 58 998 Wonogiri 39 652 61 602 60 886 127 001 137 584 Karanganyar 23 151 39 973 40 973 55 950 65 768 Sragen 86 454 61 750 61 750 61 750 110 039 Grobogan 44 305 209 056 223 968 223 968 245 653 Blora 33 015 63 970 53 432 53 432 64 868 Rembang 47 227 96 815 96 815 96 815 104 983 Pati 82 815 98 416 103 404 103 404 144 682 Kudus 36 958 88 076 175 500 175 500 126 224 Jepara 31 835 42 976 42 976 62 871 122 047 Demak 7 486 27 308 28 236 28 232 38 694 Semarang 15 023 34 722 34 722 34 722 45 671 Temanggung 12 126 36 003 41 197 56 971 57 898 Kendal 38 859 41 493 41 493 41 493 42 152 Batang 14 139 18 941 38 781 15 710 43 221 Pekalongan 31 716 28 912 30 296 45 339 48 131 Pemalang 8 826 38 821 41 634 50 325 50 394 Tegal 21 282 34 877 57 225 57 225 71 687 Brebes 29 723 37 065 43 336 48 351 59 923 Jumlah 959 759 1 531 918 1 779 596 2 109 954 2 510 498 Sumber : Dinas Koperasi dan UKM Jawa Tengah, 2007 (data primer diolah) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
125 Di Kabupaten Cilacap yang merupakan salah satu kabupaten dengan penduduk terbanyak dan wilayah terluas di Jawa Tengah, kenaikan volume usaha KSP dari tahun 2001 sampai tahun 2005 meningkat lebih dari 200 persen, dari angka Rp 53.02 miliar naik menjadi Rp 121.28 miliar. Pertumbuhan volume usaha ini juga hampir sama terjadi di wilayah Kabupaten Banyumas yang merupakan kabupaten tetangga. Angka kenaikan volume usaha KSP paling menonjol terjadi di Kabupaten Grobogan, meningkat lebih 500 persen selama kurun waktu 5 (lima) tahun dari Rp 44.31 miliar pada tahun 2001 naik menjadi Rp 245.65 di tahun 2005. Kenaikan ini menunjukkan aktivitas operasional koperasi simpan pinjam di wilayah tersebut sangat dinamis. Kanaikan yang tinggi ini bila disertai dengan tingkat pengembalian pinjaman yang lancar tentu akan membuat kenaikan pada nilai Sisa Hasil Usaha (SHU) yang diterima oleh anggota koperasi.
5.4.2. Kredit Dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Kredit dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dikategorikan sebagai kredit mikro dan kecil kepada masyarakat berdasarkan aktivitas operasionalnya yang berada di wilayah kecamatan-kecamatan di seluruh kabupaten di Jawa tengah. Pada Tabel 8 tersaji data jumlah kredit BPR berdasarkan sektor ekonomi yaitu: pertanian, industri pengolahan, perdagangan, dan jasa-jasa tahun 2005. Jumlah tertinggi penyaluran kredit berada di sektor perdagangan, terjadi di seluruh kabupaten di Jawa Tengah kecuali Kabupaten Grobogan yang penyaluran kredit dari BPR tertinggi berada di sektor pertanian. Angka tertinggi jika dibandingkan dengan keadaan di 28 kabupaten yang lainnya ini, diduga terjadi karena tingginya intensitas penanaman komoditas pangan salah satunya adalah tanaman jagung hibrida.
126 Tabel 8. Jumlah Penyaluran Kredit BPR Sektoral Tingkat Kabupaten di Jawa Tengah Tahun 2005 Tahun 2005 (Rp ribu) No Kabupaten Perdagangan Pertanian Industri Jasa-Jasa Cilacap 769 189 1 910 475 Banyumas 1773 955 1 193 967 Purbalingga 6104 960 12 666 Banjarnegara 20 956 369 691 078 Kebumen 1 484 227 330 712 Purworejo 5 206 403 2 360 Wonosobo 2 889 773 63 276 Magelang 11 366 260 1 402 539 Boyolali 6 811 430 572 346 Klaten 5 293 872 5 779 315 Sukoharjo 9 774 924 6 490 613 Wonogiri 2 123 347 1 388 671 Karanganyar 17 406 310 4 963 519 Sragen 15 719 813 1 113 324 Grobogan 54 142 409 1 787 647 Blora 21 146 940 55 303 Rembang 10 241 173 97 374 Pati 36 103 333 7 445 279 Kudus 5 800 011 3 831 804 Jepara 2 611 229 5 432 974 Demak 3 389 480 407 139 Semarang 3 023 797 1 212 046 Temanggung 4 821 556 567 809 Kendal 25 761 360 1 012 360 Batang 744 914 16 697 Pekalongan 89 957 1 904 529 Pemalang 1 872 357 22 079 Tegal 3 078 241 2 562 354 Brebes 2 475 495 1 882 451 Jumlah 282 983 084 541 527 062 Sumber : BI Semarang, 2007 (data primer diolah) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
30 152 633 60 221 173 51 422 134 86 197 703 37 362 527 19 265 997 35 276 218 85 824 876 52 827 550 52 669 685 73 331 291 34 992 602 101 683 276 60 605 443 40 332 960 17 569 471 34 277 060 83 916 975 33 124 043 36 037 787 34 591 211 76 465 872 44 578 904 73 246 475 18 359 219 17 606 880 13 740 535 31 525 469 46 688 223 1 383 894 192
210 737 10 408 799 958 786 33 045 202 7 647 350 394 435 1 504 551 20 280 683 4 790 831 22 628 263 13 540 731 8 202 267 18 747 550 6 658 938 3 749 136 1 932 393 904 350 5 430 028 6 682 124 3959 465 14 714535 24 278 034 6 872 261 13 159 062 2 686 933 673 552 1 191 850 6 774 989 1 701 112 28 2983 084
Sektor pertanian di Kabupaten Grobogan menunjukkan aktivitas yang tinggi dalam aksesibilitas sumber kredit formal dari perbankan terutama BPR. Jumlah kredit ke sektor pertanian mencapai Rp 54.14 miliar sementara sektor perdagangan menyerap kredit BPR sebesar Rp 40.33 miliar. Hal ini diduga juga karena jumlah BPR di wilayah kecamatan lebih dominan dibandingkan yang ada di ibukota kabupaten, sehingga penyaluran pada kegiatan pertanian baik on farm maupun off farm, seperti komoditi jagung dan olahannya. Angka tinggi untuk
127 penyaluran kredit di sektor pertanian juga terlihat di Kabupaten Kendal, Pati, Blora, dan Banjarnegara. 5.4.3. Kredit Kupedes BRI Unit
Penyaluran kredit Kupedes dari BRI unit ditujukan untuk melayani masyarakat perdesaan yang membutuhkan modal usaha baik untuk kegiatan di pertanian, industri pengolahan, maupun perdagangan seperti terlihat pada Tabel 9. Tabel 9. Jumlah Penyaluran Kredit Kupedes BRI Tingkat Kabupaten di Jawa Tengah Tahun 2002 - 2005 Tahun (Rp ribu) No Kabupaten 2004 2002 2003 Cilacap 69 248 000 7 9643 000 Banyumas 98 183 450 11 6494 000 Purbalingga 47 270 000 5 4289 000 Banjarnegara 62 248 000 6 4867 000 Kebumen 59 496 000 6 4233 000 Purworejo 64 373 000 7 3840 000 Wonosobo 35 126 000 4 2522 000 Magelang 67 706 000 7 1642 000 Boyolali 96 123 000 10 2224 000 Klaten 99 144 000 11 2624 000 Sukoharjo 77 926 000 9 1145 000 Wonogiri 107 935 000 12 1537 000 Karanganyar 91 358 000 10 7090 000 Sragen 121 531 000 14 7615 000 Grobogan 96 921 597 12 2399 000 Blora 74 229 298 8 1899 000 Rembang 36 762 290 4 4101 000 Pati 106 523 779 12 4404 000 Kudus 44 693 818 5 6289000 Jepara 57 720 194 64 396 000 Demak 50 365 055 57 417 000 Semarang 45 599 643 53 538 000 Temanggung 23 927 000 30 014 000 Kendal 48 651 316 57 217 000 Batang 47 481 704 56 565 000 Pekalongan 42 733 699 47 680 000 Pemalang 49 086 407 56 149 000 Tegal 104 797 409 118 015 000 Brebes 71 147 300 84 975 000 Jumlah 1 998 307 959 2 304 823 000 Sumber : BI Semarang, 2007 (data primer diolah) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
97 806 000 138 976 000 67 087 000 72 919 000 68 942 000 90 155 000 47 117 000 94 057 000 110 245 000 125 209 000 105 646 000 145 674 000 122 785 000 172 477 000 149 807 000 96 861 000 55 060 000 141 237 000 64 505 000 73 616 000 62 533 000 65 945 000 32 849 000 71 416 000 67 148 000 56 380 000 65 917 000 139 138 000 98 072 000
2005 105 819 000 170 708 000 77 380 000 85 923 000 81 029 000 108 550 000 51 655 000 111 707 000 120 523 000 146 959 000 121 939 000 161 315 000 141 186 000 199 229 000 184 253 000 125 761 000 70 875 000 160 006 000 79 646 000 91 076 000 73 565 000 79 979 000 35 725 000 94 472 000 82 797 000 70 654 000 84 122 000 173 296 000 118 274 000
2 699 579 000 3 208 423 000
128 Saat ini jangkau (outreach) dari BRI unit adalah yang paling luas diantara lembaga bank yang ada. Di Jawa Tengah pada tahun 2005 tercatat 688 kantor BRI unit atau rata-rata setiap kabupaten terdapat 23 kantor BRI unit. Dengan jumlah 545 kecamatan di seluruh Jawa Tengah, maka ada lebih 100 kecamatan memiliki 2 kantor BRI unit, angka akan memberikan keunggulan bagi BRI unit dalam menyalurkan kredit ke nasabah. Total penyaluran kredit Kupedes di Jawa Tengah tahun 2005 mencapai Rp 3.21 triliun dengan jumlah nasabah 640 255 debitor, sehingga rata-rata per nasabah meminjam sekitar Rp 5 000 000. Angka ini menunjukkan tingkat penetrasi pasar kredit yang kuat dari BRI unit di wilayah perdesaan.
5.4.4. Kredit Usaha Kecil
Penyaluran Kredit Usaha Kecil (KUK) di Provinsi Jawa Tengah yang dilakukan oleh perbankan menunjukkan perkembangan yang pesat sejak tahun 2002 hingga tahun 2005. Sampai dengan tahun 2005 penyaluran KUK tercatat Rp 7.11 triliun, angka ini naik dari tahun 2004 yang mencapai Rp 5.99 triliun atau naik hampir 19 persen. Kredit Usaha Kecil (KUK) meliputi KUK yang disalurkan oleh bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dengan plafon kredit sampai dengan sejumlah Rp 200 juta mempunyai perkembangan yang prospektif terutama jika dibandingkan dengan keadaan perekonomian setelah krisis ekonomi yang pernah terjadi pada tahun 1998 yang lalu. Hal ini juga didukung dengan terus menurunnya tingkat suku bunga kredit dari bank perkreditan rakyat, sejalan dengan membaiknya perekonomian di Jawa Tengah.
129 Tabel 10. Jumlah Penyaluran Kredit Usaha Kecil (KUK) Tingkat Kabupaten di Jawa Tengah Tahun 2002 - 2005 No
Kabupaten
2002
Tahun (Rp juta) 2004 2003
Cilacap 277 928 342 957 Banyumas 255 035 306 402 Purbalingga 136 802 167 737 Banjarnegara 153 083 174 700 Kebumen 139 943 165 501 Purworejo 119 130 134 537 Wonosobo 88 589 116 510 Magelang 379 671 416 331 Boyolali 145 547 192 157 Klaten 262 212 299 550 Sukoharjo 117 010 55 587 Wonogiri 175 377 188 963 Karanganyar 169 105 186 232 Sragen 228 694 285 268 Grobogan 198 892 275 736 Blora 160 977 200 098 Rembang 67 169 92 697 Pati 121 910 129 475 Kudus 116 152 147 682 Jepara 229 420 204 448 Demak 100 898 139 634 Semarang 37 877 31 628 Temanggung 99 874 105 252 Kendal 114 503 153 481 Batang 122 548 126 524 Pekalongan 184 510 221 669 Pemalang 133 844 197 214 Tegal 133 747 225 625 Brebes 174 408 207 236 Jumlah 4 644 855 5 490 831 Sumber : BI Semarang, 2007 (data primer diolah) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
374 477 239 686 195 896 135 705 191 805 115 171 132 671 542 928 226 592 346 927 156 208 251 572 228 501 290 849 339 014 140 485 106 856 188 276 309 932 199 475 52 806 50 859 81 307 171 994 158 118 129 799 186 624 358 645 88 744 5 991 922
2005 379 998 432 521 206 492 127 741 208 013 121 319 149 475 581 704 209 381 395 182 178 895 293 523 267 376 337 031 361 043 283 004 106 793 187 656 256 404 226 663 183 222 53 590 86 195 203 511 187 927 230 927 243 444 286 313 321 480 7 106 823
Perkembangan kredit untuk kegiatan usaha kecil yang terus bertumbuh di Jawa Tengah ini tidak terlepas dari dua kondisi, pertama kegiatan usaha mikro dan kecil relatif stabil dan tahan terhadap gejolak krisis ekonomi, kedua terus berkembangnya lembaga keuangan (perbankan) yang melayani kegiatan usaha mikro dan kecil dan ini ditandai misalnya oleh bertambahnya jumlah jumlah kantor BRI unit dan kantor BPR. Kondisi ini tentu saja diharapkan akan memberikan dampak yang positif terhadap pekembangan perekonomian yang
130 tercermin dari membaiknya indikator-indikator makro ekonomi yang ada di Provinsi Jawa Tengah.
5.5.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sektoral
Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Provinsi Jawa Tengah juga menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik. PDRB tahun 2005 sektor pertanian tercatat Rp 28.85 triliun Stabilitas perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian di propinsi Jawa Tengah ditunjukkan tabel dibawah ini. Secara sektoral pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 didorong oleh kenaikan kinerja sektor primer terutama pertanian, sektor sekunder terutama industri pengolahan (manufacturing), dan sektor tertier terutama perdagangan, pengangkutan, dan jasa-jasa, juga terus mengalami peningkatan, dan merata di semua kabupaten. Untuk tahun 2005 sektor pertanian PDRB tertinggi dicatat oleh Kabupaten Brebes dan Kabupaten Cilacap dengan nilai PDRB masing-masing mencapai Rp 2.55 triliun dan Rp 2.70 triliun. Sedangkan PDRB sektor pertanian tathun 2005 terendah dialami Kabupaten Kudus yang mencatat Rp 356 miliar, sedangkan rata-rata kabupaten lainnya berada pada kisaran Rp 600 miliar sampai dengan Rp 800 miliar. Kabupaten lain yang mencatat angkat PDRB sektor pertanian diatas Rp 1 triliun adalah Kabupaten Magelang, Boyolali, Wonogiri, Grobogan, Pati, Demak, dan Kendal. Secara sektoral pertanian di Jawa Tengah mempunyai kontribusi terhadap total PDRB sekitar 14 persen. Untuk Kabupaten Brebes PDRB sektor pertanian banyak ditopang oleh komoditas pangan dan hortikultura, sedangkan untuk Kabupaten Cilacap banyak ditopang komoditas pangan dan perkebunan.
131 Tabel 11. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 di Jawa Tengah Tahun 2003–2005 Sektor Pertanian Tahun (Rp. Ribu) No
Kabupaten
2003
Cilacap 2 584 061 970 Banyumas 787 619 380 Purbalingga 664 957 930 Banjarnegara 852 506 690 Kebumen 901 935 380 Purworejo 811 620 380 Wonosobo 744 675 560 Magelang 986 624 090 Boyolali 1 214 789 230 Klaten 898 771 870 Sukoharjo 757 823 020 Wonogiri 1 191 544 800 Karanganyar 781 354 130 Sragen 803 047 000 Grobogan 1 021 487 750 Blora 911 217 290 Rembang 882 051 900 Pati 1 207 698 630 Kudus 352 662 260 Jepara 809 671 470 Demak 1 027 740 620 Semarang 609 055 350 Temanggung 618 319 480 Kendal 1 027 499 910 Batang 518 432 690 Pekalongan 539 376 230 Pemalang 763 124 390 Tegal 540 822 090 Brebes 2 361 301 800 Jumlah 27 171 793 290 Sumber : BPS Semarang, 2007 (diolah) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
2004 2 636 952 300 800 977 120 683 446 090 879 834 480 943 303 430 845 048 740 770 044 510 1 007 979 850 1 270 600 780 918 295 980 802 838 940 1 244 637 980 824 366 100 837 968 070 1 074 228 960 941 881 880 899 634 700 1 234 422 100 340 618 200 844 812 030 1 061 200 530 596 026 280 650 067 470 1 027 494 450 528 506 920 572 144 760 778 734 600 543 124 790 2 445 412 490 28 004 604 530
2005 2 694 008 840 814 815 100 704 461 820 904 050 750 964 550 410 877 629 930 795 766 960 1 031 805 690 1 290 672 180 943 060 850 832 383 240 1 298 364 330 858 106 420 863 187 170 1 121 448 200 970 592 710 942 463 410 1 267 468 620 356 087 470 850 186 980 1 099 489 170 616 562 830 659 400 700 1 084 453 830 541 316 970 599 481 870 782 843 740 542 269 450 2 546 227 290 28 853 156 930
Untuk sektor industri pengolahan perkembangan PDRB di semua kabupaten mencatat angka yang terus meningkat dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2005, sektor industri pengolahan (manufacturing) di Kabupaten Kudus pada tahun 2005 mencatat angka Rp 6.69 triliun tertinggi diantara 29 Kabupaten di Jawa Tengah. Hal ini karena Kabupaten Kudus merupakan sentra industri rokok terbesar di Jawa Tengah, juga sentra industri lainnya seperti konveksi dan kerajinan tas banyak terdapat di Kabupaten Kudus, seperti terlihat pada Tabel 12.
132 Tabel 12. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan Th 2000 di Jawa Tengah Tahun 2003–2005 Sektor Industri Pengolahan Tahun (Rp. ribu) 2004 No Kabupaten 2003 2005 Cilacap 1 432 526 430 Banyumas 602 635 190 Purbalingga 178 341 110 Banjarnegara 325 862 770 Kebumen 224 663 320 Purworejo 202 877 810 Wonosobo 171 598 490 Magelang 598 422 750 Boyolali 561 277 890 Klaten 855 226 780 Sukoharjo 1 162 044 500 Wonogiri 103 068 040 Karanganyar 2 065 453 010 Sragen 473 230 440 Grobogan 85 445 750 Blora 99 929 830 Rembang 69 647 750 Pati 686 367 530 Kudus 6 226 357 350 Jepara 901 598 320 Demak 260 160 510 Semarang 2 013 627 490 Temanggung 386 711 140 Kendal 1 641 119 880 Batang 565 348 100 Pekalongan 702 043 120 Pemalang 607 140 320 Tegal 729 093 800 Brebes 403 146 230 Jumlah 24 334 965 650 Sumber : BPS Semarang, 2007 (diolah) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
1 484 045 380 617 386 780 187 909 660 329 889 550 223 916 160 220 886 950 174 839 370 624 775 500 563 954 900 896 705 600 1 202 242 450 107 776 650 2 201 053 310 500 203 790 88 705 550 106 826 320 73 250 200 722 697 350 6 557 621 250 931 381 970 279 777 910 2 108 699 270 400 966 970 1 716 524 190 580 360 540 716 467 960 630 560 330 781 586 480 440 160 170 25 471 172 510
1 540 964 360 637 418 510 199 967 030 338 493 740 233 872 860 233 649 630 179 686 680 653 952 510 582 759 030 841 653 960 1 248 116 200 117 307 140 2 320 190 580 532 376 530 91 130 330 112 851 640 77 118 240 763 160 400 6 689 910 120 977 008 570 283 160 990 2 177 770 350 419 532 730 1 456 426 890 583 043 710 740 214 600 657 076 240 849 310 160 476 796 230 26 014 919 960
Keragaan PDRB sektor perdagangan di Jawa Tengah hampir sama dengan keragaan sektor industri pengolahan (manufacturing), dimana Kabupaten Kudus mencatat nilai PDRB pada tahun 2005 sebesar Rp 2.99 triliun angka ini juga tertinggi diantara kabupaten di Jawa Tengah, kemudian disusul 4 (tiga) kabupaten lain yang mencatat angka PDRB diatas Rp 1 triliun yaitu Kabupaten Cilacap, Klaten, Sukoharjo, dan Semarang, seperti terlihat pada Tabel 13 berikut. Tingginya PDRB di sektor perdagangan di lima kabupaten tadi sebenarnya juga
133 menunjukkan, besarnya jumlah usaha mikro dan kecil di kabupaten tersebut. Hal ini juga sedikit banyak berkaitan dengan PDRB di sektor industri yang ada di lima kabupaten tersebut. Tabel 13. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 di Jawa Tengah Tahun 2003–2005 Sektor Perdagangan Tahun (Rp. ribu) No
Kabupaten
2003
Cilacap 1 470953 880 Banyumas 506 180 250 Purbalingga 338 140 900 Banjarnegara 291 650 610 Kebumen 258 962 780 Purworejo 367 783 060 Wonosobo 176 510 430 Magelang 466 706 360 Boyolali 863 855 670 Klaten 1 083 938 750 Sukoharjo 1 057 987 100 Wonogiri 306 364 060 Karanganyar 416 747 710 Sragen 396 565 230 Grobogan 437 549 780 Blora 236 076 290 Rembang 288 992 420 Pati 676 784 930 Kudus 2 831 449 550 Jepara 721 304 620 Demak 481 847 170 Semarang 949 558 870 Temanggung 316 417 280 Kendal 759 013 360 Batang 321 473 630 Pekalongan 489 425 330 Pemalang 697 179 350 Tegal 703 157 720 Brebes 848 279 250 Jumlah 18 760 856 340 Sumber : BPS Semarang, 2007 (diolah) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
2004 1 526 623 780 525 396 980 350 704 220 298 122 990 268 324 150 390 922 100 182 891 390 486 160 330 897 510 190 1 140 169 480 1 100 398 760 320 939 620 432 760 220 417 946 950 460 263 400 248 814 950 304 631 060 69 9747430 291 5874 160 74 8785 340 50 0715 220 97 5945 490 33 3645 250 78 7077 770 32 9633 500 50 3236 240 74 2903 340 75 0703 650 89 0368 960 1 953 1216 920
2005 1 582 293 680 560 700 320 366 848 030 306 521 120 282 502 480 409 476 490 190 268 790 506 570 020 917 695 400 1 191 778 730 1 148 044 090 332 906 890 451 040 340 441 797 650 483 072 190 261 674 210 322 564 880 728 568 000 2 987 781 040 771 685 930 514 949 190 1 017 185 170 349 645 720 810 089 670 337 360 560 522 413 230 785 627 420 799 383 220 931 282 400 20 311 726 860
Terakhir untuk sektor jasa-jasa yang juga merupakan sektor tertier, keragaan PDRB tahun 2005 di tingkat kabupaten lebih merata, tidak ada kabupaten yang mencapai Rp 600 miliar. Hal ini juga mengindikasikan bahwa sektor jasa-jasa belum merupakan sektor unggulan di kabupaten-kabupaten di
134 Jawa Tengah. Ini juga menunjukkan bahwa basis perekonomian kabupatenkabupaten di Jawa Tengah umumnya masih bertumpu pada sektor primer dan sektor sekunder, sedangkan untuk sektor tertier pada lapangan usaha jasa-jasa belum berkembang dengan baik. Menjadi tugas bersama antara pemerintah dan pelaku usaha, terutama usaha kecil untuk menggali dan memanfaatkan peluang usaha baru di sektor jasa-jasa, terutama dengan mengembangkan usaha kecil pada kegiatan industri kreatif. Tabel 14. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 di Jawa Tengah Tahun 2003–2005 Sektor Jasa-Jasa Tahun (Rp. ribu) 2004 No Kabupaten 2003 2005 Cilacap 577 110 870 Banyumas 541 416 620 Purbalingga 295 770 540 Banjarnegara 347 835 330 Kebumen 451 241 570 Purworejo 412 360 750 Wonosobo 162 176 940 Magelang 457 035 170 Boyolali 237 836 810 Klaten 520 496 090 Sukoharjo 302 817 380 Wonogiri 276 409 370 Karanganyar 319 787 820 Sragen 247 403 680 Grobogan 436 430 390 Blora 125 115 060 Rembang 217 659 820 Pati 259 332 540 Kudus 210 370 040 Jepara 291 192 170 Demak 237 678 650 Semarang 352 317 820 Temanggung 281 015 490 Kendal 334 328 840 Batang 223 150 630 Pekalongan 368 304 300 Pemalang 255 967 700 Tegal 182 989 300 Brebes 164 603 800 Jumlah 9 090 155 490 Sumber : BPS Semarang, 2007 (diolah) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
587 439 750 560 589 880 312 872 390 385 063 670 462 350 860 418 583 040 167 406 220 496 214 620 265 456 400 541 227 360 306 511 300 285 366 530 324 006 650 264 605 480 450 373 300 130 922 170 226 611 490 272 015 730 212 781 250 301 509 830 245 129 930 354 843 470 281 515 480 336 447 630 232 963 630 393 548 110 264 978 030 187 306 940 178 314 260 9 446 955 400
594 641 850 598 156 750 337 378 740 414 431 740 481 544 760 441 505 360 172 668 430 541 448 170 314 005 260 567 326 970 330 749 110 293 431 840 346 592 580 283 940 010 459 633 870 134 306 740 243 577 550 287 031 730 223 751 620 322 648 850 277 358 190 372 811 270 291 903 630 334 616 020 244 412 620 414 400 900 281 309 160 191 238 530 184 727 670 9 981 549 920
135 Sedangkan data mengenai porsi (share) Kredit Usaha Kecil (KUK) dari bank umum, kredit dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk masing-masing sektor yang meliputi: pertanian, industri pengolahan, perdagangan, jasa-jasa, dan sektor lainnya, menunjukkan adanya keragaan yang cukup besar seperti terlihat pada Tabel 15 berikut ini. Tabel 15. Porsi Kredit Mikro dan Kecil serta Nilai PDRB per Sektor Ekonomi Tahun 2005 Porsi Kredit Usaha Porsi Kredit Porsi Sektor Ekonomi Kecil (KUK) Bank dari BPR PDRB Umum (persen) (persen) (persen) Pertanian 22.61 8.38 28.73 Industri Pengolahan 3.11 1.60 25.91 Perdagangan 57.77 40.99 20.23 Jasa-Jasa 7.08 7.22 9.94 *) Sektor Lainnya 9.43 41.81 15.19 Jumlah 100.00 100.00 100.00 *)
Sektor: Pertambangan, Listrik dan Air, Bangunan, Transportasi, dan Keuangan Sumber: BPS Semarang, 2007 (diolah)
Untuk Kredit Usaha Kecil (KUK) dari bank umum dengan menggunakan data tahun 2005, porsi terbesar disalurkan untuk sektor perdagangan sebesar 55.77 persen diikuti sektor pertanian, jasa-jasa, dan industri pengolahan, sedangkan empat sektor lainnya (pertambangan, listrik dan air, bangunan, transportasi dan komunikasi, dan keuangan) menyerap 9.43 persen. Ini juga mengindikasikan bahwa usaha kecil di sektor perdagangan paling siap dan paling tinggi mengakses kredit dari perbankan. Secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa usaha kecil di sektor perdagangan adalah paling bankable. Hal ini juga tidak terlepas dari karakteristik usaha kecil di sektor perdagangan yang pada umumnya memiliki tingkat perputaran usaha (turn over) yang tinggi, sehingga menuntut adanya modal kerja yang lebih tinggi pula.
136 Hal yang hampir sama juga terjadi pada kredit mikro dan kecil dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang disalurkan untuk masing-masing sektor ekonomi jumlah paling besar disalurkan untuk sektor perdagangan sebesar 40.99 persen selanjutnya dikuti sektor pertanian, jasa-jasa, dan industri pengolahan,
serta
sektor lainnya sebesar 41.81 persen. Keberadaan lokasi BPR di Jawa Tengah umumnya berada di kecamatan-kecamatan, sehingga BPR ini keberadaannya adalah menunjang usaha kecil yang bergerak pada lapangan usaha perdagangan yang aktivitasnya banyak dilakukan pasar-pasar di tingkat kecamatan. Saat ini BPR yang ada di kecamatan dengan tingkat perdagangan yang tinggi umumnya cenderung mengumpul, menjadi semacam klaster lembaga keuangan di tingkat kecamatan. Data tentang porsi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektoral untuk kabupaten-kabupaten di wilayah Jawa Tengah tahun 2005 masih di dominasi sektor pertanian dengan 28.73 persen, diikuti sektor industri pengolahan 25.91 persen, sektor perdagangan 20.23 persen, untuk sektor jasa-jasa dan sektor lainnya masing-masing 9.94 persen dan 15.19 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa PDRB Jawa Tengah masih berbasis pada kegiatan sektor primer da sekunder, yaitu pertanian dan industri pengolahan dengan total kontribusi 54.64 persen, karena itu pengembangan usaha kecil termasuk didalamnya usaha mikro perlu terus dilakukan. Sedangkan data mengenai kontribusi dari kegiatan usaha mikro, kecil dan menengah terhadap PDRB untuk kabupaten-kabupaten di wilayah Jawa Tengah belum tersedia datanya. Untuk melihat kontribusi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah terhadap PDRB kabupaten-kabupaten di wilayah Jawa Tengah
137 digunakan data Nasional. Kontribusi nilai Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2007 atas dasar harga konstan 2000 menurut skala usaha, tercatat skala usaha mikro sebesar 32.95 persen, usaha kecil 10.83 persen, dan usaha menengah 14.62 persen, dan sisanya sebesar 41.60 persen adalah kontribusi dari usaha besar (Kemenkop dan UKM, 2009). Berdasarkan data tahun 2007 (Kemenkop dan UKM, 2007), porsi atau kontribusi usaha mikro terhadap PDB, tercatat sebesar 32.95 persen, dengan kontribusi sektor pertanian menempati urutan paling tinggi sebesar 38.00 persen, dikuti sektor perdagangan 29.50 persen, sektor industri pengolahan 9.67 persen, sektor jasa-jasa 10.07 persen, dan sektor-sektor lainnya 12.76 persen. Ini juga mengindikasikan pula bahwa PDB sektor pertanian masih cukup dominan di bentuk oleh usaha mikro, hal ini merupakan kelebihan sekaligus juga kelemahan karena usaha mikro masih menumpuk di sektor pertanian yang umumnya usaha mikro tersebut belum mampu mengakses perbankan dengan baik atau belum bankable.
Sedangkan dari kontribusi usaha kecil terhadap PDB sebesar 10.83 persen, dengan kontribusi sektor pertanian sebesar 0.28 persen, sektor perdagangan memiliki kontribusi paling tinggi 49.30 persen, sektor industri pengolahan 21.00 persen, sektor jasa-jasa 10.85 persen, dan sektor-sektor lainnya 18.57 persen. Ini menunjukkan bahwa PDB sektor perdagangan cukup dominan di bentuk oleh usaha kecil, hal ini menunjukkan kelebihan sektor perdagangan karena umumnya usaha kecil ini telah mampu mengakses sumber kredit dari perbankan atau telah bankable.
138 Sementara dari porsi usaha menengah terhadap PDB sebesar 14.62 persen, dengan kontribusi sektor pertanian sebesar 8.60 persen, sektor perdagangan 15.22 persen, sektor industri pengolahan (manufacturing) memiliki kontribusi paling tinggi 23.60 persen, sektor jasa-jasa 4.40 persen, dan sektor-sektor lainnya 48.18 persen. Ini menunjukkan bahwa PDB sektor industri pengolahan cukup dominan di bentuk oleh usaha menengah. Pada sisi lain, hal ini menunjukkan kelemahan karena sektor industri pengolahan yang seharusnya menjadi batu loncatan untuk “naik kelas” dari usaha mikro ke usaha kecil ternyata masih di dominasi oleh usaha menengah, sehingga usaha mikro dan kecil akan cenderung masih tertahan di sektor primer terutama di pertanian. Secara ringkas dapat dicatat hal yang menarik, (1) untuk skala usaha mikro kontribusi sektoral terhadap PDB relatif di dominasi sektor pertanian dan sektor perdagangan, (2) untuk skala usaha kecil kontribusi sektoral terhadap PDB di dominasi sektor
perdagangan, dan sektor industri pengolahan, tetapi dsangat
timpang di sektor pertanian, dan (3) untuk skala usaha menengah kontribusi sektoral terhadap PDB di dominasi sektor industri pengolahan, dan sektor perdagangan.
139
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini akan disajikan hasil analisis dan pembahasan terhadap penelitian yang telah dilakukan dengan menyajikan keragaan model ekonomi usaha kecil dan keragaan keterkaitan kredit dan ekonomi wilayah.
6.1. Keragaan Model Ekonomi Usaha Kecil
Analisis terhadap model ekonomi usaha kecil akan melihat keragaan dari sejumlah analisis parsial, meliputi keragaan permintaan kredit, modal usaha, penggunaan bahan baku, penggunaan bahan bakar, penggunaan tenaga kerja, penerimaan usaha, tabungan, konsumsi, dan pengeluaran pendidikan dan sosial. Hasil pendugaan parameter model ekonomi usaha kecil menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) dari persamaan-persamaan yang ada dalam model ini cukup beragam. Dari 8 persamaan struktural (perilaku) yang ada, terdapat 6 persamaan dengan nilai koefisien determinasi (R2) di atas 0.50 dan 2 persamaan lainnya memiliki nilai koefisien determinasi (R2) antara 3.0 sampai dengan 0.50. Sedangkan sebagian besar variabel penjelas yang digunakan dalam persamaanpersamaan pada model ini memiliki pengaruh yang nyata, serta menunjukkan tanda yang sesuai dengan yang diharapkan.
6.1.1. Pengambilan Kredit
Pengambilan Kredit (PKM) yang dimaksud adalah besarnya jumlah kredit atau pinjaman yang diambil pelaku usaha kecil dalam satu tahun terakhir ini dan dihitung dalam satuan rupiah. Sedangkan jenis kredit dalam penelitian ini meliputi kredit dari bank dan non bank, terutama kredit modal kerja untuk usaha. Kredit dari bank adalah kredit yang diperoleh usaha kecil dari lembaga kredit formal,
140 seperti bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sedangkan kredit dari non bank adalah kredit yang berasal dari koperasi simpan pinjam dan lembaga kredit atau pemberi pinjaman informal. Dari hasil perhitungan, rata-rata besarnya pengambilan kredit oleh setiap usaha kecil per tahun adalah sekitar Rp 16 280 000,-. Pengambilan kredit oleh usaha kecil ini akan menjadi tambahan modal terutama sebagai modal kerja (modal lancar), dengan asumsi bahwa tambahan modal sendiri dari setiap siklus produksi harian untuk membeli bahan baku masih terbatas jumlahnya. Berbagai variabel ekonomi dari usaha kecil yang meliputi tingkat bunga kredit, tabungan, pengeluaran non tenaga kerja, pengalaman usaha dan dummy sumber kredit diduga akan mempenguruhi pengambilan kredit dari usaha kecil. Tabel 16. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengambilan Kredit (PKM) No Variabel Parameter Prob > Elastisitas Dugaan │t│ 1 Intersep 15 104 932 0.0601 2 Tingkat Bunga Kredit (SBK) -1 071 138 0.0001 * -1.2531 3 Tabungan (TABS) 2.6830 0.0145 * 0.8028 4 Pengel. Non Tenaga Kerja (PNTK) 2.5544 0.2239 0.1658 5 Pengalaman Usaha (LTU) -49 707 0.8314 -0.0405 6 Dummy Sumber Kredit (DSK) 16 640 364 0.0003 * R2 = 0.4090 F Hitung = 11.63 Prob > F = 0.0001 Keterangan: * = Parameter dugaan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0.10 Hasil pendugaan parameter persamaan Pengambilan Kredit (PKM), menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.4090. Ini menunjukkan 40.90 persen variasi dari variabel endogen PKM dijelaskan oleh variabel-variabel penjelas yang meliputi Tingkat Bunga Kredit (SBK), Tabungan (TABS), Pengeluaran Non Tenaga Kerja (PNTK), Pengalaman Usaha (LTU), dan Dummy Sumber Kredit (DSK), dan signifikan pada taraf uji (α) 10 persen yang ditunjukkan oleh nilai Prob > F sebesar 0.0001.
141 Tingkat Bunga Kredit (SBK) berpengaruh nyata terhadap Pengambilan Kredit (PKM) dengan nilai elastisitas sebesar -1.2531. Ini berarti bahwa setiap penurunan tingkat bunga kredit sebesar 1 persen akan meningkatkan pengambilan kredit sebesar 1.2531 persen. Besarnya nilai elastisitas ini mengindikasikan bahwa tingkat bunga kredit masih merupakan faktor yang penting dalam mendorong pengambilan kredit usaha kecil, oleh karena itu upaya mendorong penurunan bunga kredit kecil akan sangat membantu industri tersebut dalam mengakses dan mendapatkan kredit. Kondisi ini juga sejalan dengan fenomena umum yang sering ditemui pada usaha kecil, dimana tingkat bunga kredit masih merupakan indikator utama yang menentukan besarnya pengambilan kredit. Pada kondisi dimana terjadi efisiensi usaha, maka kenaikan pengambilan kredit ini akan mampu meningkatkan kinerja kegiatan usaha kecil sehingga berkembang menjadi lebih besar. Tabungan (TABS) berpengaruh nyata terhadap Pengambilan Kredit (PKM) dengan nilai elastisitas sebesar 0.8028. Tabungan merupakan bagian dari pendapatan setelah dikurangi dengan konsumsi dan pengeluaran untuk pendidikan dan sosial lainnya. Nilai elastisitas ini juga menunjukkan bertambahnya tabungan pada usaha kecil akan meningkatkan jumlah kredit yang diambil. Hal ini diduga karena makin besar tabungan yang dimiliki makin besar pula akses yang dimiliki usah kecil untuk memperoleh pinjaman. Namun demikian kebiasaan menabung pada pelaku usaha kecil masih cukup rendah dan banyak bersifat tradisional karena masih banyak pula usaha kecil yang menyimpang uang dalam bentuk tunai atau aset lainnya. Kebiasaan ini diduga karena kelebihan dana yang dimiliki pelaku usaha masih ditanamkan dalam bentuk barang-barang yang memiliki
142 likuiditas yang tinggi misalnya perhiasan dan aset likuid lainnya, atau disimpan dirumah untuk keperluan menjaga kebutuhan tunai pada saat diperlukan untuk menjaga likuiditas usaha kecil. Dummy Sumber Kredit (DSK) yaitu: 0 adalah sumber pinjaman (kredit) dari lembaga non bank dan 1 adalah sumber kredit dari bank, berpengaruh nyata dan positif terhadap Pengambilan Kredit (PKM). Terdapat perbedaan sumber kredit (pinjaman) oleh pelaku usaha terhadap pengambilan kredit, kelompok pelaku usaha yang memperoleh sumber kredit dari bank memiliki tingkat pengambilan kredit yang lebih tinggi dibandingkan kelompok pelaku usaha kecil yang memperoleh sumber kredit atau pinjaman dari lembaga keuangan non bank. Semakin tinggi tingkat formalitas dari lembaga keuangan yang menjadi sumber pinjaman dan kredit, maka semakin besar pengambilan kredit oleh usaha kecil. Perbedaan ini diduga karena pada sumber pinjaman (kredit) yang berasal dari non bank (misalnya: dana bergulir, koperasi simpan pinjam) jumlah pinjaman yang diberikan telah ditentukan pagu pinjamannya, sedangkan sumber kredit dari bank (misalnya: BPR dan BRI Unit) jumlah kredit yang diberikan bisa lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan usaha dan agunan yang dimiliki usaha kecil, melalui beragam jenis kredit (skim kredit) yang ditawarkan. Menurut Robinson (2001), permasalahan utama yang sering muncul dalam penyaluran kredit adalah adanya imperfect information, yang pada akhirnya akan menimbulkan masalah berikutnya
yang dihadapi oleh lembaga penyalur kredit terkait dengan asymmetric information, moral hazard, adverse selection dan credit rationing. Salah satu
dampak dari permasalahan ini, umumnya pemberi pinjaman (kredit) akan cenderung memberikan pinjaman dalam jumlah yang lebih kecil daripada yang
143 diajukan dan dibutuhkan oleh peminjam. Lembaga bank umumnya mempunyai kemampuan lebih baik dalam mengatasi imperfect information, sehingga kredit yang diberikan lebih sesuai dengan besarnya kebutuhan kredit. Sedangkan Pengeluaran Non Tenaga Kerja (PNTK) tidak berpengaruh nyata terhadap Pengambilan Kredit (PKM). Hal ini diduga karena pengeluaran non tenaga kerja yang dilakukan oleh usaha kecil ini umumnya berkaitan dengan masih kecilnya skala usaha mereka. Pengeluaran non tenaga kerja merupakan pengeluaran usaha kecil untuk membeli bahan baku dan bahan bakar dalam satu periode siklus usaha. Dengan skala usaha yang masih
kecil ini maka perlu
dukungan untuk mendapatkan kredit. Sementara Pengalaman Usaha (LTU) walaupun bertanda negatif namun secara statistik tidak nyata, ini menunjukkan bahwa Pengambilan Kredit (PKM) tidak secara siginifikan dipengaruhi oleh pengalaman usaha. Hal ini menunjukkan usaha kecil pada awal kegiatan usahanya masih membutuhkan kredit untuk modal usaha, sementara itu umumnya usaha kecil ini masih menggunakan sumber pendapatan keluarga agar tetap bisa beroperasi, namun demikian dorongan untuk mendapatkan kredit lebih besar tidaklah semata-mata dari lama pengalaman usaha, tetapi diduga lebih banyak ditentukan oleh variabel internal lainnya yang berkaitan dengan kemampuan kewirausahaan, seperti keberanian mengambil risiko dan tingkat pengembangan produk (inovasi). Beberapa hal penting dapat disimpulkan dari persamaan pengambilan kredit oleh usaha kecil adalah; Pertama, pengambilan kredit memiliki respon yang tinggi terhadap perubahan tingkat bunga kredit. Ini mengindikasikan bahwa pengambilan kredit oleh usaha kecil untuk mengembangkan kegiatan usahanya
144 masih cukup besar. Kedua, pengeluaran tabungan oleh usaha kecil masih cukup rendah, sehingga perlu didorong lagi agar mampu meningkatkan pengambilan kredit lebih tinggi lagi. Ketiga, permintaan kredit oleh usaha kecil makanan olahan yang berasal dari sumber kredit bank menunjukkan pengambilan kredit yang lebih besar dibandingkan pengambilan kredit dari sumber kredit yang berasal dari non bank.
6.1.2. Penggunaan Bahan Baku
Bahan baku selalu dibutuhkan dalam setiap siklus kegiatan produksi yang dilakukan oleh usaha kecil, karena proses produksi merupakan aktivitas rutin yang selalu dilakukan hampir setiap hari selama setahun dan hanya libur pada saat hari raya atau pada musim tertentu yang berkaitan dengan lesunya pasar atau kelangkaan bahan baku pada beberapa jenis usaha kecil tertentu. Kebutuhan pengeluaran untuk penggunaan bahan baku ini bisa menjadikan beban bagi usaha kecil, apabila jumlah bahan baku yang dibutuhkan semakin bertambah, jumlah persediaan barang jadi yang belum terjual, serta penjualan barang jadi pembayaran tertunda, karena modal kerja yang dibutuhkan menjadi bertambah. Selama ini kebutuhan pengeluaran untuk penggunaan bahan baku bisa dikatakan selalu meningkat karena adanya kenaikan harga bahan baku, serta adanya kebutuhan untuk memenuhi kenaikan permintaan pasar pada musim tertentu atau memperluas pasar yang umumnya pembayaran tunainya menjadi lebih lama. Oleh karena itu tambahan modal dari luar (eksternal) dalam bentuk kredit sangat dibutuhkan bagi usaha kecil untuk membeli bahan baku kegiatan produksinya.
145 Penggunaan Bahan Baku (PBM) merupakan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh usaha kecil untuk membeli bahan baku guna menghasilkan produk makanan olahan dalam periode satu tahun dan dihitung dalam satuan rupiah. Berdasarkan perhitungan nilai rata-rata pengeluaran untuk penggunaan bahan baku setiap usaha kecil per tahun adalah sekitar Rp 235 990 000 atau sekitar 84 persen dari pengeluaran untuk total biaya produksi, nilai ini cukup besar bagi usaha kecil yang bergerak untuk menghasilkan produk makanan olehan dan berbasis tempat usaha di wilayah pedesaan. Kebutuhan pengeluaran untuk penggunaan bahan baku bisa didapatkan dari modal sendiri (internal) usaha yang didapat dari surplus usaha dalam setiap kali proses produksi juga akan digunakan lagi untuk membeli bahan baku, namun jumlahnya juga menjadi terbatas karena masih banyak tertahan dalam bentuk persediaan bahan baku, persediaan barang jadi dan penjualan tunai yang tertunda. Oleh sebab itu tambahan modal kerja dari luar usaha (eksternal) berupa kredit untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran bahan baku sangat mendukung usaha kecil, karena modal kerja yang berasal dari pengambilan kredit akan menambah Modal Usaha (MOUS). Tambahan modal usaha yang berasal dari pengambilan kredit sangat membantu usaha kecil dalam menjaga kebutuhan untuk pengeluaran secara tunai pada saat diperlukan (likuiditas usaha) terutama untuk membeli bahan baku, serta bahan bakar, dan membayar tenaga kerja untuk kegiatan produksi. Berbagai variabel yang meliputi modal usaha, harga input bahan baku, dan jumlah tenaga kerja, diduga akan mempengaruhi pengeluaran untuk penggunaan bahan baku.
146 Tabel 17. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Bahan Baku (PBM) No
Variabel
Parameter Prob > Elastisitas Dugaan │t│ 1 Intersep 20 367 366 0.6653 2 Modal Usaha (MOUS) 2.3972 0.0143 * 0.3239 3 Harga Input Produksi (PI) 630.02 0.8509 0.0120 4 Jumlah Tenaga Kerja (JTK) 65 441.69 0.0061 * 0.5778 2 R = 0.3244 F Hitung = 13.77 Prob > F = 0.0001 Keterangan: * = Parameter dugaan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0.10 Hasil pendugaan parameter persamaan Pengeluaran Bahan Baku (PBM), menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.3244. Ini menunjukkan 32.44 persen variasi dari variabel endogen Pengeluaran Bahan Baku (PBM) dijelaskan oleh variabel-variabel penjelas yang meliputi Modal Usaha (MOUS), Harga Input Produksi (PI) dan Jumlah Tenaga Kerja (JTK), dan signifikan pada taraf uji (α) 10 persen yang ditunjukkan oleh nilai Prob > F sebesar 0.0001. Modal Usaha (MOUS) berpengaruh nyata terhadap Pengeluaran Bahan Baku (PBM). Ini berarti bahwa peningkatan modal akan mampu menaikkan pengeluaran untuk penggunaan bahan baku. Oleh karena itu upaya mendorong peningkatan modal usaha melalui tambahan kredit bagi usaha kecil akan sangat membantu
usaha tersebut dalam meningkatkan kapasitas produksi melalui
tambahan penggunaan bahan baku. Dalam kegiatan produksi bahan baku merupakan komponen utama dan menyerap kebutuhan dana yang paling besar dari pengeluaran untuk total biaya produksi yang merupakan penjumlahan dari pengeluaran untuk penggunaan bahan baku, bahan bakar, dan tenaga kerja. Jumlah Tenaga Kerja (JTK) yang digunakan, juga berpengaruh nyata terhadap Penggunaan Bahan Baku (PBM) dengan nilai elastisitas sebesar 0.5778. Jumlah tenaga kerja dalam kegiatan usaha kecil ini masih cukup dominan mengingat usaha kecil makanan olahan ini merupakan kegiatan usaha yang
147 cenderung padat karya dengan masih tergantung pada penggunaan tenaga kerja dalam kegiatan produksinya mulai dari kegiatan persiapan, produksi dan pengemasan. Sedangkan untuk variabel harga input bahan baku (PI) tidak berpengaruh nyata terhadap pengeluaran untuk Penggunaan Bahan Baku (PBM), hal ini diduga tingkat harga input pada usaha kecil makanan olahan ini harganya relatif cenderung sama.
6.1.3. Penggunaan Bahan Bakar
Penggunaan
Bahan
Bakar
(PBB)
merupakan
pengeluaran
untuk
penggunaan bahan bakar yang meliputi minyak tanah dan kayu bakar dalam kegiatan usaha kecil dalam priode satu tahun dan dihitung dalam satuan rupiah. Selama ini bahan bakar yang digunakan oleh usaha kecil adalah minyak tanah dan kayu bakar, dengan jumlah yang dominan adalah kayu bakar. Seperti pula bahan baku, maka kebutuhan bahan bakar juga selalu dibutuhkan dalam setiap siklus kegiatan produksi yang dilakukan oleh usaha kecil. Hal ini dikarenakan bahan bakar adalah barang komplementer yang dibutuhkan dalam proses produksi bersama dengan bahan baku. Kebutuhan akan membiayai pengeluaran untuk penggunaan bahan bakar ini bisa menjadikan beban bagi usaha kecil, apabila jumlah bahan bakar yang dibutuhkan semakin bertambah, atau ketersedian bahar bakar menjadi langka dipasar sehingga harganya meningkat. Kebutuhan biaya untuk penggunaan bahan bakar bisa dikatakan selalu meningkat karena adanya kenaikan harga bahan bakar dan kelangkaan minyak tanah bersubsidi yang telah dikonversi menjadi gas, serta adanya kenaikan produksi pada saat-saat musim tertentu yang berkaitan dengan kenaikan permintaan seperti hari raya.
148 Berdasarkan perhitungan nilai rata-rata pengeluaran untuk penggunaan bahan bakar per tahun setiap usaha kecil adalah sekitar Rp 17 275 000 , nilai ini mencapai sekitar 6 persen dari total pengeluaran untuk biaya produksi dan merupakan beban bagi usaha kecil yang bergerak untuk menghasilkan produk makanan olehan. Jumlah ini dikeluarkan untuk membeli bahan bakar minyak tanah dan kayu bakar. Kebutuhan pengeluaran untuk penggunaan bahan bakar bisa didapatkan dari modal sendiri (internal) usaha yang didapat dari surplus usaha dalam setiap kali proses produksi juga akan digunakan lagi untuk membeli bahan baku, juga berasal dari tambahan Modal Usaha (MOUS) yang berasal dari permintaan kredit yang sangat membantu usaha kecil dalam menjaga kebutuhan untuk membiayai pengeluaran secara tunai terutama untuk membeli bahan baku untuk kegiatan produksi. Variabel yang meliputi modal usaha dan pengeluaran untuk penggunaan bahan bakar minyak tanah, diduga akan mempenguruhi pengeluaran untuk penggunaan bahan bakar. Tabel 18. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penggunaan Bahan Bakar (PBB) No
Variabel
Parameter Prob > Elastisitas Dugaan │t│ 1 Intersep 5 530 032 0.0001 2 Modal Usaha (MOUS) 0.15312 0.0001 * 0.2827 3 Pgl. Bahan Bakar M.Tanah (PBBM) 0.86324 0.0001 * 0.3972 2 R = 0.8876 F Hitung = 343.42 Prob > F = 0.0001 Keterangan: * = Parameter dugaan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0.10 Hasil pendugaan parameter persamaan Penggunaan Bahan Bakar (PBB), menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.8876. Ini menunjukkan 88.76 persen variasi dari variabel endogen pengeluaran untuk Penggunaan Bahan Bakar (PBB) dijelaskan oleh variabel-variabel penjelas yang meliputi Modal Usaha (MOUS), dan pengeluaran untuk Penggunaan Bahan Bakar Minyak Tanah
149 (PBBM), dan signifikan pada taraf uji (α) 10 persen yang ditunjukkan oleh nilai Prob > F sebesar 0.0001. Modal Usaha (MOUS) berpengaruh nyata terhadap pengeluaran untuk Penggunaan Bahan Bakar (PBB). Ini berarti bahwa peningkatan modal usaha akan menaikkan penggunaan bahan bakar. Hasil ini mengindikasikan bahwa modal usaha cukup mampu mendorong pengeluaran untuk penggunaan bahan bakar oleh usaha kecil. Namun demikian peningkatan jumlah penggunaan kayu bakar akibat beralihnya penggunaan minyak tanah perlu dicermati, karena akan mendorong kelangkaan kayu bakar di tingkat lokal dan dapat memicu kenaikan harga kayu bakar. Hal ini bisa menjadi problema kedepan, mengingat adanya kecenderungan sebagian usaha kecil untuk mengurangi biaya produksi dengan cara menekan pengeluaran pada komponen bahan bakar, seperti beralihnya ke penggunaan kayu bakar setelah adanya kebijakan konversi minyak tanah ke gas elpiji. Pengeluaran untuk penggunaan bahan bakar, bersama dengan penggunaan bahan baku dan tenaga kerja bagi usaha kecil yang bergerak dalam usaha makanan olahan, adalah merupakan komponen total pengeluaran untuk biaya produksi. Penggunaan Bahan Bakar Minyak Tanah (PBBM) juga berpengaruh nyata terhadap pengeluaran untuk Penggunaan Bahan Bakar (PBB) dengan nilai elastisitas sebesar 0.3972. Penggunaan bahan bakar minyak tanah dalam kegiatan usaha kecil ini sebelumnya masih cukup dominan mengingat harga minyak tanah cukup rendah sekitar Rp 2 300 per liter, karena masih disubsidi oleh pemerintah. Hal ini akan menjadi persoalan karena setelah adanya konversi bahan bakar minyak tanah ke gas elpiji, akan membuat usaha kecil beralih ke bahan bakar kayu bakar yang saat ini ketersediaannya di pasar lokal mulai agak sulit didapat.
150 6.1.4. Penggunaan Tenaga Kerja
Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) merupakan pengeluaran untuk penggunaan tenaga kerja yang meliputi tenaga kerja laki-laki dan perempuan dalam kegiatan usaha kecil dalam periode satu tahun dan dihitung dalam satuan rupiah. Penggunaan tenaga kerja dalam proses produksi merupakan hal yang sangat penting, mengingat usaha kecil makana olahan merupakan kegiatan usaha yang padat tenaga kerja dan mengandalkan ketrampilan tenaga kerja untuk menghasilkan produk yang spesifik dan unik sehingga disukai oleh konsumen. Selama ini tenaga kerja yang digunakan oleh usaha kecil cukup beragam ada beberapa jenis usaha kecil makanan olahan yang tenaga kerjanya dominan perempuan, namun ada pula yang tenaga kerjanya dominan laki laki. Hal ini dikarenakan masing-masing jenis usaha kecil makan olahan memiliki karakteristik yang berbeda, ada yang lebih mengandalkan tenaga ada pula yang lebih mengandalkan ketelitian dan rasa. Dalam usaha kecil makanan olahan, penggunaan tenaga kerja ini umumnya di upah dengan sistem upah harian atau mingguan tergantung pada jenis kegiatan yang dilakukan dan jenis usaha makanan olehan yang diproduksi. Berdasarkan perhitungan nilai rata-rata pengeluaran untuk penggunaan tenaga kerja per tahun setiap usaha kecil adalah sekitar Rp 27 500 000. Variabel yang meliputi modal usaha dan pengeluaran untuk penggunaan tenaga kerja perempuan, diduga akan mempenguruhi pengeluaran untuk penggunan tenaga kerja. Selama ini penggunaan tenaga kerja perempuan, terutama pada usaha kecil makan olahan cukup dominan. Hal ini dikarenakan usaha makanan olahan,
151 umumnya masih memerlukan ketrampilan untuk menghasilkan rasa dan kualitas lainnya. Tabel 19. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengeluaran Tenaga Kerja (PTK) No
Variabel
Parameter Prob > Elastisitas Dugaan │t│ 1 Intersep 2 986 745 0.1635 2 Modal Usaha (MOUS) 0.37557 0.0001 * 0.4352 3 Pengg. Tenaga Kerja Peremp.(PTKP) 0.94921 0.0001 * 0.4562 R2 = 0.7182 F Hitung = 110.88 Prob > F = 0.0001 Keterangan: * = Parameter dugaan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0.10 Hasil pendugaan parameter persamaan Penggunaan Tenaga Kerja (PTK), menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.7182. Ini menunjukkan 71.82 persen variasi dari variabel endogen pengeluaran untuk Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) dijelaskan oleh variabel penjelas yang meliputi Modal Usaha (MOUS) dan pengeluaran untuk Penggunaan Tenaga Kerja Perempuan (PTKP), dan signifikan pada taraf uji (α) 10 persen yang ditunjukkan oleh nilai Prob > F sebesar 0.0001. Modal Usaha (MOUS) berpengaruh nyata terhadap pengeluaran untuk Penggunaan Tenaga Kerja (PTK). Ini berarti bahwa peningkatan modal usaha akan menaikkan pengeluaran untuk penggunaan tenaga kerja. Hasil ini mengindikasikan bahwa modal usaha cukup mampu mendorong penggunaan tenaga kerja. Selama ini kebutuhan tenaga kerja untuk usaha kecil ini didapat dari wilayah setempat di desa tersebut dimana usaha kecil tersebut berada, namun demikian di beberapa tempat seperti: usaha kecil yang memproduksi soun di Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten, terdapat usaha kecil yang menggunakan tenaga kerja terutama laki-laki, berasal dari luar wilayah setempat yaitu: dari Kabupaten Boyolali, yang merantau musiman atau sementara. Hal ini juga
152 menunjukkan bahwa kebutuhan tenaga kerja juga terus mengalami perubahan dan adanya kebutuhan terhadap kesesuaian tenaga kerja yang spesifik dengan karakteristik usaha kecil yang mengandalkan ketrampilan tenaga kerja. Karena itu tambahan Modal Usaha (MOUS) yang berasal dari permintaan kredit yang sangat membantu usaha kecil dalam menjaga kebutuhan untuk pengeluaran secara tunai terutama untuk tenaga kerja tersebut. Pengeluaran untuk Penggunaan Tenaga Kerja Perempuan (PTKP) juga berpengaruh nyata terhadap pengeluaran untuk Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) dengan nilai elastisitas sebesar 0.4550. Pengeluaran untuk penggunaan tenaga kerja perempuan dalam kegiatan usaha kecil ini masih cukup dominan mengingat jumlahnya sekitar 46 persen dari pengeluaran tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja perempuan memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap perkembangan dan keberlangsungan usaha kecil makanan olahan, terutama yang berada di wilayah pedesaan.
6.1.5. Penerimaan Usaha
Penerimaan Usaha (PENU) adalah penerimaan usaha kecil yang merupakan nilai penjualan hasil produksi (kuantitas hasil dikalikan harga jual produk) yang dihasilkan oleh usaha kecil dalam periode satu tahun dan dihitung dalam satuan rupiah. Besarnya nilai penjualan hasil produksi rata-rata untuk setiap usaha kecil adalah sekitar Rp 384 890 000 , dengan nilai rata-rata ini menunjukkan nilai penjualan tahunan dari usaha ini tersebut termasuk dalam kategori usaha kecil (UU. No.20 Tahun 2008 Tentang UMKM), yaitu menghasilkan nilai penjualan tahunan diatas Rp 300 000 000 . Penerimaan usaha yang menunjukkan nilai penjualan tahunan ini diperoleh dari penerimaan usaha
153 setiap kali proses produksi dikalikan jumlah hari produksi dalam satu tahun. Nilai penjualan ini dipengaruhi oleh harga jual produk dan kuantitas produk, dengan asumsi bahwa harga jual produk sangat bersaing di pasar, maka harga jual produk menjadi relatif stabil karena lebih banyak ditentukan oleh pasar, sehingga nilai penjualan tahunan ini sangat dipengaruhi oleh kuantitas produk yang dihasilkan. Kuantitas produk yang dihasilkan dalam setiap kali siklus produksi pada setiap usaha kecil umumnya relatif tetap, kecuali pada saat menjelang hari raya. Karena itu pengembangan wilayah pemasaran untuk memperoleh pangsa pasar baru sehingga menambah kuantitas penjualan tahunan juga diperlukan. Beberapa variabel yang meliputi harga jual produk, total biaya produksi dan dummy wilayah pemasaran produk, diduga akan mempenguruhi penerimaan usaha. Gambaran hasil dugaan parameter persamaan penerimaan usaha kecil, dapat dilihat pada tabel 20. berikut. Tabel 20. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penerimaan Usaha (PENU) No
Variabel
Parameter Prob > Elastisitas Dugaan │t│ 1 Intersep -13 490 000 0.4144 2 Peng. Bahan Baku (PBM) 1.03637 0.0001 * 0.6354 3 Peng. Bahan Bakar (PBB) 1.49155 0.0080 * 0.0669 4 Peng. Tenaga Kerja (PTK) 2.99643 0.0001 * 0.2142 5 Harga Produk (PO) 2 714.44 0.0082 * 0.0693 6 Dummy Pemasaran Produk (DPP) 35 448 025 0.0501 * R2 = 0.9558 F Hitung = 363.28 Prob > F = 0.0001 Keterangan: * = Parameter dugaan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0.10 Hasil pendugaan parameter persamaan Penerimaan Usaha (PENU), menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.9558. Ini menunjukkan masing-masing 95.58 persen variasi dari variabel endogen Penerimaan Usaha (PENU) dijelaskan oleh variabel-variabel Penggunaan Bahan Baku (PBM), Penggunaan Bahan Bakar (PBB), Penggunaan Tenaga Kerja (PTK), Harga Jual
154 Produk (PO), dan Dummy Pemasaran Produk (DPP), dan secara signifikan pada taraf nyata (α) 10 persen yang ditunjukkan nilai Prob > F sebesar 0.0001. Penggunaan Bahan Baku (PBM) berpengaruh nyata dan responsif terhadap Penerimaan Usaha (PENU) dengan nilai elastisitas sebesar 0.6354. Artinya setiap kenaikan pengeluaran untuk penggunaan bahan baku sebesar 1 persen akan menaikkan penerimaan usaha sebesar 0.6354 persen. Respon penerimaan usaha oleh perubahan pengeluaran untuk penggunaan bahan baku ini menunjukkan bahwa penggunaan bahan baku menentukan besarnya penerimaan usaha, dimana kenaikan penggunaan bahan baku akan menaikkan penerimaan usaha. Respon ini terjadi karena kenaikan pengeluaran untuk penggunaan bahan baku akan menyebabkan bertambahnya penggunaan bahan baku untuk memproduksi produk usaha kecil, sehingga kuantitas produk meningkat yang pada akhirnya akan menaikkan penerimaan usaha. Nilai elastisitas yang cukup besar ini juga bisa menunjukkan tingkat efisiensi produksi yang cukup tinggi, dimana jumlah barang yang terbuang atau tersisa dari proses produksi relatif kecil. Penggunaan Bahan Bakar (PBB) juga berpengaruh nyata dan responsif terhadap Penerimaan Usaha (PENU) dengan nilai elastisitas sebesar 0.0669. Respon penerimaan usaha oleh perubahan pengeluaran untuk penggunaan bahan bakar ini menunjukkan, bahwa kenaikan penggunaan bahan bakar akan menaikkan penerimaan usaha. Respon ini walaupun kecil, menunjukkan bahwa kenaikan pengeluaran untuk penggunaan bahan bakar akan menyebabkan bertambahnya kuantitas produk meningkat sehingga menaikkan penerimaan usaha. Penggunaan bahan bakar yang sesuai dengan jenis kegiatan produksi yang dilakukan oleh usaha kecil, akan menyebabkan efisiensi dalam proses produksi
155 sehingga kuantitas produksi meningkat. Bahan bakar dan bahan baku merupakan input produksi yang secara komplementer mempengaruhi output produksi. Sedangkan Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) juga berpengaruh nyata dan responsif terhadap Penerimaan Usaha (PENU) dengan nilai elastisitas sebesar 0.2142. Respon ini menunjukkan bahwa kenaikan pengeluaran untuk penggunaan tenaga kerja akan menyebabkan bertambahnya kuantitas dan kualitas produk yang dihasilkan meningkat sehingga menaikkan penerimaan usaha. Penggunaan tenaga kerja yang sesuai dengan jenis kegiatan produksi yang dilakukan oleh usaha kecil dan kualitas produk yang diinginkan oleh pasar, akan menyebabkan efisiensi sehingga kuantitas dan kualitas produk akan meningkat sehingga penerimaan usaha juga meningkat. Keuntungan yang spesifik dari penggunaan tenaga kerja ini adalah meningkatnya kualitas produk sesuai yang diinginkan dan berkurangnya bahan baku yang terbuang. Hal ini karena pada usaha kecil makanan olahan, kualitas produk berupa: bentuk, rasa dan ukuran, sangat ditentukan juga oleh jumlah dan ketrampilan tenaga kerja yang digunakan. Harga Jual Produk (PO) berpengaruh nyata terhadap Penerimaan Usaha (PENU) dengan nilai elastisitas sebesar 0.0693. Respon yang relatif kecil dari penerimaan usaha oleh perubahan tingkat harga jual produk ini diduga karena tingkat harga jual produk di pasar sangat bersaing dan masing-masing produk telah memiliki segmen pasar dan wilayah pasar yang tersendiri. Namun setiap produk masih bisa kompetitif, sehingga cukup signifikan dalam memberikan kontribusi terhadap penerimaan usaha kecil. Karena itu upaya-upaya untuk memperkuat kegiatan produksi dan pemasaran produk, terutama: ketrampilan tenaga kerja, sarana pemasaran dan cara pembayaran, sangatlah diperlukan agar
156 diperoleh tingkat harga yang lebih tinggi. Selain itu struktur pasar yang cenderung bersaing dari produk-produk ini perlu diperhatikan oleh usaha kecil, sehingga mampu menghasilkan produk yang spesifik, unik dan unggul serta dapat bersaing pada pasar yang sangat kompetitif ini, seperti terlihat pada usaha kecil penghasil produk soun dan kripik tempe. Untuk itu peningkatan ketrampilan tenaga kerja juga perlu mendapat perhatian. Dummy Pemasaran Produk (DPP) yaitu: 0 adalah meliputi wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta, dan 1 adalah meliputi hingga wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, serta Jakarta dan sekitarnya, berpengaruh nyata terhadap Penerimaan Usaha (PENU). Luasnya wilayah pemasaran produk menembus luar wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta, secara nyata mampu meningkatkan penerimaan usaha dimana usaha kecil dengan wilayah pemasaran yang lebih luas memiliki tingkat penerimaan usaha yang lebih tinggi. Walaupun secara spesifik setiap jenis produk memiliki wilayah pemasarannya sendiri, namun pada beberapa jenis produk pelaku usaha kecil yang memiliki wilayah pemasaran ke Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Ini terlihat pada usaha kecil yang memproduksi ceriping (pisang, ketela, dan getuk), dan slondok ketela di wilayah Kabupaten Magelang, serta usaha kecil yang memproduksi soun di Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten. Sementara usaha kecil lainnya memasarkan produknya ke wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dari nilai koefisien elastisitas dari persamaan penerimaan usaha ini, ada beberapa catatan yang menarik untuk diperhatikan. Pertama, pengeluaran untuk total biaya produksi mampu mendorong kenaikan penerimaan usaha secara responsif, Kedua, penerimaan usaha kecil juga dipangaruhi secara nyata oleh
157 harga jual produk. Karena itu apabila terjadi kenaikan biaya produksi, sementara harga jual produk relatif tetap, maka akan sangat memberatkan usaha kecil. Ketiga, pelaku usaha yang memiliki wilayah pemasaran produk di Yogyakarta dan
luar Jawa Tengah mempunyai penerimaan usaha yang lebih tinggi.
6.1.6. Tabungan
Tabungan (TABS) adalah jumlah uang yang disisihkan untuk disimpan oleh usaha kecil baik di bank dan lembaga lainnya (koperasi atau kelompok simpan pinjam) atau disimpan di rumah dalam satu tahun dan dihitung dalam satuan rupiah. Besarnya nilai tabungan rata-rata per tahun oleh setiap usaha kecil adalah sekitar Rp 4 870 000 , nilai ini berarti setiap bulan nilai yang disisihkan untuk ditabung masih kurang dari setengah juta rupiah. Hasil pendugaan parameter persamaan Tabungan (TABS), menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.5678. Ini menunjukkan 56.78 persen variasi dari variabel endogen Tabungan (TABS) dijelaskan oleh variabel-variabel Pendapatan Usaha (PEND), Jumlah Anggota Keluarga (JAK), Tingkat Pendidikan (TP), dan Dummy Kelembagaan Tabungan (DJST), dan secara signifikan pada taraf nyata (α) 10 persen yang ditunjukkan nilai Prob > F sebesar 0.0001. Pendapatan Usaha (PEND) berpengaruh nyata terhadap Tabungan (TABS) dengan nilai elastisitas sebesar 0.1315. Artinya setiap kenaikan pendapatan usaha sebesar 1 persen akan menaikkan tabungan sebesar 0.1315 persen. Rendahnya respon tabungan oleh perubahan pendapatan usaha ini menunjukkan bahwa perilaku menabung pada pelaku usaha kecil ini masih rendah sehingga perlu ditingkatkan lagi. Disamping itu akses pelaku usaha kecil untuk menabung juga masih belum baik, akibat ketersediaan fasilitas lembaga keuangan
158 (bank) di wilayah sentra-sentra usaha kecil juga masih sedikit. Bank ataupun lembaga keuangan formal lainnya, umumnya hanya tersedia di tingkat kecamatan yang pada umumnya berjarak cukup jauh dari lokasi usaha kecil. Tabel 21. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tabungan (TABS) No
Variabel
Parameter Prob > Elastisitas Dugaan │t│ 1 Intersep 2 205 311 0.0140 2 Pendapatan Usaha (PEND) 0.00615 0.0182 * 0.1315 3 Jumlah Anggota Keluarga(JAK) -282 239 0.1053 ** -0.2401 4 Tingkat Pendidikan (TP) 664 601.6 0.0014 * 0.4517 5 Dummy Kelemb.Tabungan (DJST) 3 583 772 0.0001 * R2 = 0.5678 F Hitung = 27.92 Prob > F = 0.0001 Keterangan: * = Parameter dugaan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0.10 ** = Parameter dugaan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0.20 Jumlah Anggota Keluarga (JAK) berpengaruh nyata terhadap Tabungan (TABS) dengan nilai elastisitas sebesar -0.2401. Artinya setiap pertambahan jumlah anggota keluarga sebesar 1 persen akan menurunkan tabungan keluarga sebesar 0.2401 persen. Respon tabungan oleh perubahan jumlah anggota keluarga, menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga menentukan besarnya jumlah tabungan. Dengan tingkat pendapatan usaha yang relatif tidak tetap mengikuti fluktuasi usaha, maka prioritas pelaku usaha kecil akan lebih mendahulukan pengeluaran untuk anggota keluarga yang sebagian besar merupakan pengeluaran tetap (autonomus expenditure). Sehingga apabila jumlah anggota keluarga bertambah maka akan membuat pelaku usaha kecil mengurangi jumlah tabungan. Tingkat Pendidikan (TP) berpengaruh nyata terhadap Tabungan (TABS) dengan nilai elastisitas sebesar 0.4517. Nilai elastisitas yang cukup tinggi ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan menentukan besarnya tabungan, dimana peningkatan tingkat pendidikan akan mampu mendorong peningkatan tabungan. Respon ini diduga terjadi karena pada pelaku usaha kecil yang berpendidikan
159 lebih tinggi, lebih mampu membuat prioritas; Pertama, menabung adalah bentuk perilaku ekonomi jangka panjang yang menguntungkan bagi kegiatan usaha apabila tersedia kelebihan likuiditas dari usahanya. Kedua, pelaku usaha kecil yang
berpendidikan
lebih
tinggi
mempunyai
akses
informasi
tentang
perbandingan antara tingkat bunga tabungan dengan hasil lainnya. Ketiga, pelaku usaha kecil yang berpendidikan lebih tinggi umumnya juga lebih terbiasa dengan urusan bank (bank minded). Dummy Kelembagaan Tabungan (DJST) berpengaruh nyata dan positif terhadap Tabungan (TABS). Semakin formal lembaga tabungan yang digunakan oleh usaha kecil, maka semakin besar dorongan pelaku usaha kecil untuk menyisihkan pendapatan dalam bentuk tabungan, serta tidak menyimpan di rumah atau bahkan menggunakannya untuk keperluan konsumtif. Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari hasil ini adalah. Pertama, pendapatan usaha yang diperoleh usaha kecil berpengaruh positif terhadap tabungan. Kedua, kemampuan pelaku usaha kecil untuk menabung masih dipengaruhi oleh beban pengeluaran yang ditimbulkan oleh bertambahnya jumlah anggota keluarga, semakin banyak jumlah anggota keluarga akan semakin berkurang jumlah tabungan, karena itu perlu upaya untuk tetap menjaga dan mendorong kebiasan dan perilaku menabung bagi pelaku usaha kecil. Ketiga, tingkat pendidikan yang dimiliki oleh usaha kecil berpengaruh positif terhadap tabungan. Keempat, berkenaan dengan kebiasaan menabung yang masih rendah diantara pelaku usaha kecil, maka sudah mendesak saatnya untuk mendorong lembaga keuangan formal yang juga mempunyai komitmen besar dalam memobilisasi tabungan secara efektif.
160
6.1.7. Konsumsi
Konsumsi (PKON) merupakan pengeluaran untuk kebutuhan makanan dan listrik dalam periode satu tahun dan dihitung dalam satuan rupiah. Nilai konsumsi rata-rata per tahun pada usaha kecil ini sekitar Rp 22 350 000 , berarti setiap bulan rata-rata diatas satu juta rupiah. Tabel 22 menunjukkan hasil dugaan parameter persamaan pengeluaran konsumsi. Hasil pendugaan parameter persamaan PKON, menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.8387. Ini menunjukkan bahwa 83.87 persen variasi dari variabel endogen pengeluaran Konsumsi (PKON) dijelaskan oleh variabel-variabel Pendapatan Usaha (PEND), Jumlah Anggota Keluarga (JAK), Tingkat Pendidikan (TP) dan Konsumsi Tenaga Kerja (KTK), dan secara signifikan pada taraf nyata (α) 10 persen dengan nilai Prob > F sebesar 0.0001. Tabel 22. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Konsumsi (PKON) No
Variabel
Parameter Prob > Elastisitas Dugaan │t│ 1 Intersep 4 479 184 0.0643 2 Pendapatan Usaha (PEND) 0.01883 0.0654 * 0.0877 3 Jumlah Anggota Keluarga (JAK) 1 483 237 0.0021 * 0.2749 4 Tingkat Pendidikan (TP) -553 154 0.3219 -0.0819 5 Konsumsi Tenaga Kerja (KTK) 1.31575 0.0001 * 0.5190 2 R = 0.8387 F Hitung = 110.51 Prob > F = 0.0001 Keterangan: * = Parameter dugaan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0.10 Pendapatan Usaha(PEND) berpengaruh nyata terhadap Konsumsi (PKON) dengan nilai elastisitas sebesar 0.0877. Artinya setiap kenaikan pendapatan usaha sebesar 1 persen akan menaikkan pengeluaran konsumsi sebesar 0.0877 persen. Respon pengeluaran untuk konsumsi oleh perubahan pendapatan bersih usaha ini menunjukkan bahwa pendapatan usaha menentukan besarnya konsumsi, dimana
161 kenaikan pendapatan usaha akan menaikkan konsumsi. Rendahnya respon ini diduga karena jenis-jenis pengeluaran untuk konsumsi yang dikeluarkan adalah merupakan konsumsi untuk kebutuhan dasar dan rutin yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan yang berkaitan dengan kegiatan usaha, sehingga tidak terlalu terpengaruh dengan besarnya pendapatan bersih usaha. Jumlah Anggota Keluarga (JAK) berpengaruh nyata terhadap Konsumsi (PKON) dengan nilai elastisitas sebesar 0.2749. Respon dari konsumsi karena perubahan jumlah anggota keluarga ini memperlihatkan bahwa jumlah anggota keluarga menentukan besarnya konsumsi, dimana kenaikan jumlah anggota keluarga akan menaikkan konsumsi. Respon ini juga menunjukkan bahwa berbagai jenis pengeluaran konsumsi adalah merupakan konsumsi untuk kebutuhan dasar, sehingga apabila jumlah anggota keluarga yang merupakan tanggungan bertambah, maka pengeluaran untuk konsumsi juga akan meningkat. Variabel Tingkat Pendidikan (TP) bertanda negatif namun secara statistik tidak nyata, ini menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi tidak secara nyata dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Hal ini diduga karena pengeluaran konsumsi merupakan pengeluaran untuk kebutuhan dasar dan rutin bulanan, yang lebih merupakan pengeluaran untuk kebutuhan pokok bagi individu dalam keluarga tersebut (outonomous expenditure) , sehingga tidak terlalu terpengaruh tingkat pendidikan. Sedangkan Konsumsi Tenaga Kerja (KTK) berpengaruh nyata terhadap pengeluaran untuk Konsumsi (PKON) yang dikeluarkan oleh usaha kecil, dengan nilai elastisitas sebesar 0.5190. Respon yang cukup dari konsumsi karena adanya pengeluaran untuk konsumsi tenaga kerja ini juga menunjukkan bahwa jenis
162 pengeluaran untuk konsumsi tenaga kerja adalah merupakan hal yang cukup penting bagi keberlangsungan kegiatan produksi pada usaha kecil makanan olahan. Hal ini diduga karena selama ini usaha kecil masih menyediakan sendiri konsumsi bagi tenaga kerja yang bekerja di tempat usaha yang pada umumnya adalah merupakan tempat tinggal. Walaupun tidak semua jenis usaha dan tidak seluruh tenaga kerja diberikan konsumsi berupa makanan dan minuman secara penuh, namun pada umumnya seluruh usaha kecil mengalokasikan pengeluaran untuk konsumsi bagi tenaga kerja di tempat usahanya. Hal menarik dari hasil ini adalah. Pertama, pendapatan bersih usaha mempunyai pengaruh nyata terhadap konsumsi namun dengan respon yang relatif rendah. Kedua, jumlah anggota keluarga berpengaruh nyata terhadap konsumsi dengan respon yang cukup tinggi, sehingga kenaikan jumlah anggota keluarga akan menyebabkan tambahan pengeluaran yang terkait dengan pengeluaran konsumsi. Ketiga, konsumsi tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap pengeluaran konsumsi oleh usaha kecil dengan respon yang cukup tinggi.
6.1.8. Pengeluaran Pendidikan dan Sosial
Pengeluaran pendidikan dan sosial adalah pengeluaran oleh pelaku usaha kecil yang digunakan untuk pendidikan anggota keluarga dan kegiatan sosial masyarakat dalam periode
satu
tahun dan dihitung dalam satuan rupiah.
Besarnya nilai pengeluaran untuk pendidikan dan sosial per tahun adalah sekitar Rp 6 200 000 , berarti setiap bulan sekitar lima ratus ribu rupiah. Pengeluaran untuk kegiatan sosial bagi usaha kecil yang umumnya berada di perdesaan adalah sesuatu hal yang tidak bisa dihindarkan, karena berkaitan langsung aspek kelembagan sosial.
163 Tabel 23. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (PPKS) N Variabel Parameter Prob > Elastisitas o Dugaan │t│ 1 Intersep -3 467 540 0.0016 2 Pendapatan Usaha (PEND) 0.017714 0.0001 * 0.2972 3 Jumlah Anak Sekolah (JAS) 4 092 241 0.0001 * 1.0843 4 Pengeluaran Sosial (PSO) 0.42049 0.2073 0.1401 5 Dummy Jenis Kelamin (DJG) 305 509 0.6938 R2 = 0.6421 F Hitung = 38.12 Prob > F = 0.0001 Keterangan: * = Parameter dugaan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0.10 Hasil pendugaan parameter persamaan Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (PPKS), menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.6421. Ini menunjukkan bahwa 64.21 persen variasi dari variabel endogen Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (PPKS) dijelaskan oleh variabel-variabel Pendapatan Usaha (PEND), Jumlah Anak Sekolah (JAS), Pengeluaran Sosial (PSO) dan Dummy Jenis Kelamin (DJG), dan secara signifikan pada taraf nyata (α) 10 persen yang ditunjukkan oleh nilai Prob > F sebesar 0.0001. Pendapatan Usaha (PEND) berpengaruh nyata terhadap Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (PPKS) dengan nilai elastisitas sebesar 0.2972. Artinya setiap kenaikan pendapatan bersih usaha sebesar 1 persen akan menaikkan pengeluaran pendidikan dan sosial sebesar 0.2972 persen. Respon dari pengeluaran pendidikan dan sosial oleh perubahan pendapatan usaha ini menunjukkan bahwa pendapatan bersih usaha turut menentukan besarnya pengeluaran pendidikan dan sosial. Respon cukup rendah ini diduga karena pengeluaran untuk pendidikan anak dan sosial yang dikeluarkan ini merupakan investasi yang cukup mendasar dan jangka panjang sehingga tidak terlalu terpengaruh dengan besarnya pendapatan bersih usaha.
164 Jumlah Anak Sekolah (JAS) berpengaruh nyata terhadap Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (PPKS) dengan nilai elastisitas sebesar 1.0843. Respon pengeluaran pendidikan dan sosial oleh perubahan jumlah anak sekolah ini menunjukkan bahwa anak sekolah merupakan prioritas bagi keluarga, sehingga kenaikan jumlah anak sekolah akan menaikkan pengeluaran pendidikan dan sosial. Besarnya respon ini, menunjukkan tingginya kesadaran pelaku usaha kecil untuk melakukan investasi keluarga terutama dalam hal pendidikan anak. Dalam jangka panjang kondisi ini akan sangat menguntungkan bagi masyarakat secara umum. Karena itu upaya untuk mendorong dan meningkatkan kinerja usaha kecil, dalam jangka panjang juga akan turut memperbaiki kualitas sumber daya manusia terutama sentra-sentra usaha kecil yang banyak tersebar di wilayah perdesaan. Pengeluaran Sosial (PSO) walaupun bertanda positif namun tidak berpengaruh nyata terhadap Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (PPKS). Hal ini diduga karena pengeluaran sosial oleh usaha kecil ini umumnya bersifat kekerabatan dan frekuensinya relatif tidak tetap serta seringkali juga dalam bentuk barang. Walaupun tidak nyata, respon positif ini juga menunjukkan bahwa pelaku usaha kecil memiliki kewajiban dan kepedulian terhadap permasalahan sosial yang ada di wilayah usahanya. Dalam jangka panjang kondisi ini akan sangat membantu bagi masyarakat secara umum, karena biasa menjadi salah satu pendorong untuk memperkuat modal sosial. Dummy Jenis Kelamin (DJG) yaitu: 0 adalah pelaku usaha kecil perempuan, dan 1 adalah pelaku usaha kecil laki-laki, walaupun bertanda positif namun secara statistik juga tidak berpengaruh nyata terhadap Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (PPKS). Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin pelaku
165 usaha terhadap pengeluaran pendidikan dan sosial. Hal ini diduga karena adanya kesadaran yang tinggi untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik bagi anakanak mereka, sehingga pelaku usaha kecil baik perempuan maupun laki-laki tidak berbeda nyata dalam pengeluaran terutama untuk pendidikan. Beberapa hal yang menonjol dari hasil ini adalah. Pertama, pendapatan usaha dari kegiatan
usaha kecil mampu mendorong pengeluaran untuk
pendidikan, dan sosial dalam bentuk pengeluaran yang bersifat jangka panjang dan intangible seperti: pendidikan anak dan kewajiban sosial untuk masyarakat sekitar tempat usaha. Hal ini akan memperkuat ikatan sosial diantara usaha kecil yang umumnya berada dalam kawasan usaha yang sama (sentra produksi). Kedua, besarnya respon dari pengeluaran pendidikan dan sosial oleh jumlah anak sekolah yang dimiliki usaha kecil, menunjukkan bahwa kesadaran terhadap pendidikan anak di kalangan usaha kecil sangat tinggi, ini juga menunjukkan bahwa kesadaran mereka terhadap investasi jangka panjang di bidang pendidikan cukup bagus. Ketiga, masih terlihat adanya kesadaran pelaku usaha kecil untuk melakukan kewajiban dan kepedulian sosial sebagai bagian memperkuat modal sosial di masyarakat. Keempat, dummy jenis kelamin tidak berpangaruh nyata terhadap pengeluaran pendidikan dan sosial. Ini mengindikasikan bahwa kesadaran dan prioritas pelaku usaha kecil baik itu perempuan ataupun laki-laki, terhadap pendidikan dan sosial adalah relatif sama baiknya.
6.1.9. Perilaku Ekonomi Usaha Kecil
Peningkatan kegiatan usaha kecil dari pelaku usaha yang di dorong oleh permintaan kredit, mampu mempengaruhi perilaku ekonomi usaha kecil. Hal ini terlihat dari pendapatan usaha yang merupakan hasil dari penerimaan usaha
166 dikurangi pengeluaran untuk total biaya produksi, masih mempunyai pengaruh positif terhadap tabungan, konsumsi, dan pengeluaran pendidikan dan sosial. Beberapa catatan dari hasil analisis dan pembahasan diatas adalah: 1. Kegiatan usaha yang dilakukan oleh usaha kecil ini sebagian besar merupakan usaha skala kecil dengan jumlah tenaga kerja antara 5 orang sampai dengan 19 orang, yang menghasilkan produk makanan olahan dengan baku bahan utama pertanian seperti: ketela pohon, kedelai, beras ketan, pisang, tepung tapioka, tepung aren, tepung terigu, dan kulit rambak. Berdasarkan data penerimaan usaha rata-rata tahunan, maka angka penjualan tahunan sebesar Rp 384.89 juta yang diperoleh termasuk kategori kelompok usaha kecil. 2. Kegiatan usaha dari usaha kecil dapat dikelompokkan, pertama, kelompok usaha yang berorientasi untuk mencari kesempatan kerja, mencari nafkah dan masih kurang memiliki jiwa kewirausahaan (livehood activities),
kedua,
kelompok usaha yang lebih bersifat pengrajin dan sudah mulai memiliki jiwa kewirausahaan (micro enterprise), ketiga, kelompok usaha yang telah memiliki jaringan kerja dan mampu melayani pekerjaan pesanan atau subusaha dari pedagang, dan umumnya telah memiliki jiwa kewirausahaan (small dynamic enterprise), jumlah kelompok ini termasuk paling sedikit.
3. Dari segi manajemen umumnya kondisi dari usaha kecil adalah: pemilik langsung adalah pengelola, perencanaan dan sekaligus pelaksana usaha berdasarkan kebiasaan dan tidak tertulis, pendelegasian kerja masih melalui perintah lisan, saluran informasi yang tersedia tidak dibina, dan masih bergantung pada pelanggan dan pemasok lokal sekitar. Namun demikian pada kondisi ini pelaku usaha kecil diharapkan menjadi orang berkarakter baik,
167 yang mampu berinteraksi dengan tenaga kerja, membina jaringan kerja, dan mampu menjalin hubungan sosial di masyarakat. 4. Dari segi ekonomi umumnya kondisi dari usaha kecil adalah: sebagian besar memproduksi produk makanan sehingga elastisitas permintaan yang rendah tidak begitu berpengaruh pada permintaan produk yang dihasilkan, modal usaha yang relatif terbatas membuat usaha kecil memiliki produksi yang ketat (efisien) sehingga cukup fleksibel berpindah jenis produk yang lebih menguntungkan. Usaha kecil mampu memperkuat perekonomian dengan menyerap banyak tenaga kerja dan bahan baku lokal.
6.2.
KERAGAAN MODEL KETERKAITAN KREDIT DAN EKONOMI WILAYAH
Hasil pendugaan parameter model keterkaitan kredit dan ekonomi wilayah ini menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) dari persamaan-persamaan yang ada dalam model ini cukup beragam. Dari 11 persamaan struktural (perilaku) yang ada, terdapat 4 persamaan dengan nilai koefisien determinasi (R2) di atas 0.50 dan 7 persamaan lainnya memiliki nilai koefisien determinasi (R2) kurang dari 0.50. Namun sebagian besar variabel penjelas yang digunakan dalam persamaanpersamaan pada model ini memiliki pengaruh yang nyata, serta menunjukkan tanda yang diharapkan sesuai dengan apriori ekonomi (sesuai harapan yang didasarkan pada hipotesis, konsep teori, fenomena, dan pengalaman empiris). Beberapa variabel penjelas tandanya tidak sesuai dengan apriori ekonomi. Untuk melihat pengaruh secara bersama-sama dari variabel penjelas terhadap variabel endogen dari 11 persamaan struktural (perilaku), digunakan pengujian dengan uji F ( Prob > F ) pada taraf nyata (α) 10 persen. Hasil
168 pendugaan model dengan menggunakan uji F ( Prob > F ) pada taraf nyata (α) 10 persen, menunjukkan bahwa nilai uji F sebagian besar cukup tinggi dan seluruhnya signifikan pada taraf nyata (α) 10 persen. Sedangkan untuk menguji signifikansi pengaruh variabel penjelas secara parsial terhadap variabel endogen, dilakukan uji t ( Prob > │t│) pada taraf nyata (α) 10 persen.
6.2.1. Blok Kredit dari Lembaga Keuangan Mikro 6.2.1.1. Kredit dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Hasil pendugaan parameter persamaan Kredit Modal Kerja dari BPR (KMB) dan persamaan Kredit Investasi dan Konsumsi dari BPR (KIKB), menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.3253 dan sebesar 0.2118. Ini menunjukkan masing-masing 32.53 persen variasi dan 21.18 persen variasi dari variabel endogen KMB dan KIKB dijelaskan oleh masing-masing variabel penjelas di dalam persamaan Kredit Modal Kerja dari BPR (KMB) dan persamaan Kredit Investasi dan Konsumsi dari BPR (KIKB), dan signifikan pada taraf nyata (α) 10 persen yang ditunjukkan nilai Prob > F sebesar 0.0001. Hasil pendugaan parameter secara parsial menunjukkan bahwa Kredit Modal Kerja dari BPR (KMB) serta Kredit Investasi dan Konsumsi dari BPR (KIKB) dipengaruhi secara nyata oleh Jumlah Kantor BPR (JBPR), hubungan ini cukup elastis yang ditunjukkan dengan koefisien elastisitas sebesar 1.2748 dan sebesar 0.8341. Hal ini menunjukkan bahwa apabila JBPR bertambah sebesar 10 persen, maka KMB) dan KIKB akan mengalami kenaikan sebesar 12.748 persen dan 8.341 persen.
169 Tabel 24. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kredit dari BPR No
Variabel
Parameter Dugaan
Prob > │t│
Elastisitas
1. Kredit Modal Kerja dari BPR (KMB) 1 Intersep 1 110 252 0.9571 2 Suku Bunga Modal Kerja (SBBM) -337 994 0.4230 -0.3230 3 Jumlah Simpanan Giro (JG) 0.01306 0.7431 0.0233 4 Jumlah Kantor BPR (JBPR) 3 123 809 0.0001* 1.2748 2 R = 0.3253 F Hitung = 27.32 Prob > F = 0.0001 2. Kredit Investasi dan Konsumsi dari BPR (KIKB) 1 Intersep 14 892 866 0.1565 2 Suku Bunga Investasi (SBBI) -359 913 0.0304* -0.5049 3 Jumlah Simpanan Giro (JG) 0.0708 0.0400* 0.1841 4 Jumlah Kantor BPR (JBPR) 1 403 134 0.0001* 0.8341 R2 = 0.2118 F Hitung = 15.23 Prob > F = 0.0001 Keterangan: * = Parameter dugaan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0.10 Untuk hasil pendugaan parameter secara parsial lainnya menunjukkan bahwa Kredit Investasi dan Konsumsi dari BPR (KIKB) dipengaruhi secara nyata oleh Suku Bunga Kredit Investasi dari BPR (SBBI), dan Jumlah Giro Masyarakat di Bank Umum (JG), dengan nilai koefisien elastisitas sebesar -0.5049, dan sebesar 0.1841. Hal ini menunjukkan apabila SBBI turun sebesar 10 persen, maka KIKB akan mengalami kenaikan sebesar 5.049 persen. Sedangkan apabila JG bertambah sebesar 10 persen, maka KIKB hanya akan mengalami kenaikan sebesar 1.841 persen, hubungan yang tidak elastis ini menunjukkan kecilnya pengaruh simpanan giro di bank umum terhadap penyaluran kredit kecil oleh bank perkreditan rakyat
6.2.1.2. Kredit Usaha Kecil dari Bank Umum
Hasil pendugaan parameter persamaan Kredit Modal Kerja dari KUK Bank Umum (KMK), menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.5172. Ini menunjukkan 51.72 persen variasi dari variabel endogen KMK dijelaskan oleh variabel-variabel penjelas di dalam persamaan Kredit Modal Kerja
170 dari KUK Bank Umum (KMK) dan signifikan pada taraf nyata (α) 10 persen yang ditunjukkan oleh nilai Prob > F sebesar 0.0001. Hasil pendugaan parameter secara parsial menunjukkan bahwa Kredit Modal Kerja dari KUK Bank Umum (KMK) dipengaruhi secara nyata oleh Jumlah Tabungan Masyarakat (JT), Jumlah Giro di Bank Umum (JG), Kredit Kupedes dari BRI Unit (KBRI) dan Jumlah Nasabah Peminjam di BRI-Unit (JNB) , hubungan ini ditunjukkan masing-masing dengan nilai koefisien elastisitas sebesar 0.3540, -0.1314, 0.9771 dan -0.4000. Hal ini menunjukkan apabila JT dan KBRI bertambah 10 persen, maka KMK akan mengalami kenaikan 3.540 persen dan 9.771 persen. Sedangkan apabila JG dan JNB bertambah 10 persen, maka KMK akan berkurang 1.314 persen dan 4.000 persen. Hasil pendugaan parameter persamaan Kredit Investasi dan Konsumsi dari KUK Bank Umum (KIKK), menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.1214. Ini menunjukkan 12.14 persen variasi dari variabel endogen KIKK dijelaskan oleh masing-masing variabel penjelas di dalam persamaan Kredit Investasi dan Konsumsi dari KUK Bank Umum (KIKK), dan secara signifikan pada taraf nyata (α) 10 persen yang ditunjukkan oleh nilai Prob > F sebesar 0.0001. Hasil pendugaan parameter secara parsial menunjukkan bahwa Kredit Investasi dan Konsumsi dari KUK Bank Umum (KIKK) dipengaruhi secara nyata oleh Jumlah Deposito Masyarakat di Bank Umum (JD) dan Jumlah Kantor BRI Unit (JBRI), hubungan ini cukup elastis yang ditunjukkan dengan koefisien elastisitas sebesar 0.2451 dan sebesar 0.9074. Hal ini menunjukkan bahwa apabila JD dan JBRI bertambah sebesar 10 persen, maka KIKK akan mengalami kenaikan
171 sebesar 2.451 persen dan 9.074 persen. Jumlah Kantor BRI Unit (JBRI) mempunyai pengaruh yang responsif terhadap Kredit Investasi dan Konsumsi dari KUK, ini menunjukkan adanya kontribusi yang besar dari JBRI terhadap KUK. Tabel 25. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kredit Usaha Kecil dari Bank Umum No
Variabel
Parameter Dugaan
Prob > │T│
Elastisitas
1. Kredit Modal Kerja dari KUK (KMK) 1 Intersep 46 048 801 0.0350 2 Suku Bunga Modal Kerja (SBPM) -333 428 0.2763 -0.0766 3 Jumlah Tabungan (JT) 0.1806 0.0001* 0.3540 4 Jumlah Giro Masyarakat (JG) -0.2748 0.0646* -0.1314 5 Kredit Kupedes dari BRI (KBRI) 2.1595 0.0001* 0.9771 6 Jumlah Nasabah BRI Unit (JNB) -3 279.21 0.0178* -0.4000 R2 = 0.5172 F Hitung = 35.99 Prob > F = 0.0001 2. Kredit Investasi dan Konsumsi dari KUK (KIKK) 1 Intersep -10 250 000 0.5054 2 Suku Bunga Investasi (SBPI) 159 540 0.6645 0.1154 3 Jumlah Simpanan Deposito (JD) 0.0545 0.0004* 0.2451 4 Jumlah BRI Unit (JBRI) 1 498 967 0.0007* 0.9074 R2 = 0.1214 F Hitung = 7.83 Prob > F = 0.0001 Keterangan: * = Parameter dugaan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0.10 Sedangkan Suku Bunga Kredit Modal Kerja dari Bank Umum Milik Pemerintah (SBPM) dan Suku Bunga Kredit Investasi dari Bank Umum Milik Pemerintah (SBPI), masing-masing tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap Kredit Modal Kerja dari KUK Bank Umum (KMK) dan Kredit Investasi dan Konsumsi dari KUK Bank Umum (KIKK), namun hanya SBPM yang memiliki tanda parameter dugaan yang negatif. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan tidak berpengaruhnya suku bunga kredit SBPM dan SBPI terhadap KMK dan KIKK, (1) tingkat suku bunga kredit modal kerja dan kredit investasi dari bank-bank umum milik pemerintah pada periode tahun 2000-2005 cukup tinggi dan berfluktuasi, dimana pada tahun 2005 rata-rata suku bunga kredit modal kerja dan kredit investasi bank
172 pemerintah besarnya antara 25 persen sampai dengan 40 persen per tahun, (2) penyerapan kredit oleh masyarakat dipengaruhi juga oleh faktor lain diluar tingkat bunga kredit, terutama kondisi perekonomian di Jawa Tengah yang pada periode tahun 2000-2005 yang mulai membaik, sehingga tingkat bunga kredit yang tinggi tidak menghalangi penyerapan kredit oleh masyarakat.
6.2.1.3. Kredit Kupedes dari Bank Rakyat Indonesia Unit (BRI Unit)
Hasil pendugaan parameter persamaan Kredit Kupedes dari BRI Unit (KBRI), menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.9379 dan signifikan pada taraf nyata (α) 10 persen yang ditunjukkan nilai Prob > F 0.0001. Hasil pendugaan parameter secara parsial menunjukkan bahwa Kredit Kupedes dari BRI Unit (KBRI), dipengaruhi secara nyata oleh Jumlah Pinjaman per Nasabah BRI Unit (RPN), Jumlah Nasabah per Kantor BRI Unit (RNU) dan Jumlah Kantor BRI Unit (JBRI), hubungan ini ditunjukkan masing-masing dengan koefisien elastisitas sebesar 1.032,
0.970, dan
1.021. Hal ini
menunjukkan bahwa apabila masing-masing RPN, RNU dan JBRI, bertambah sebesar 10 persen, maka
KBRI, akan mengalami kenaikan masing-masing
sebesar 10.32 persen, 9.70 persen dan 10.21 persen. Nilai ini menunjukkan perkembangan kredit usaha pedesaaan yang disalurkan oleh BRI-Unit telah dikelola dengan baik, sehingga variabel nasabah dan internal bank mempunyai pengaruh yang signifikan. Untuk Suku Bunga Kredit Konsumsi dari Bank Umum Milik Pemerintah (SBPK), dan Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian (PDRB1) tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap Kredit Kupedes dari BRI Unit (KBRI).
173 Hal yang menarik dari hasil diatas adalah jumlah nasabah BRI Unit yang mampu mengakses kredit kupedes yang merupakan produk utama BRI Unit jumlahnya terus meningkat, demikian pula pinjaman per nasabah BRI Unit juga meningkat. Ini menunjukkan bahwa skema kredit kupedes telah mampu menjangkau dan memberikan dampak yang positif terhadap lapisan masyarakat menengah ke bawah di perdesaan. Tabel 26. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kredit Umum Pedesaan (Kupedes) dari BRI Unit No
Variabel
Parameter Dugaan
Prob > │t│
Elastisitas
1. Kredit Kupedes dari BRI. (KBRI) 1 Intersep -152 300 000 0.0001 2 Suku Bunga Konsumsi (SBPK) 42 825 0.2690 0.0219 3 JumlahPinjaman /Nasabah (RPN) 20 762 0.0001* 1.0332 4 Jumlah Nasabah /BRI Unit (RNU) 84 161 0.0001* 0.9698 5 Jumlah BRI Unit (JBRI) 3 319 319 0.0001* 1.0211 6 PDRB Pertanian (PDRB1) -0.0018 0.3870 -0.0214 R2 = 0.9379 F Hitung = 507.20 Prob > F = 0.0001 Keterangan: * = Parameter dugaan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0.10 6.2.1.4. Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam
Hasil pendugaan parameter persamaan Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam (KKSP), menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.6188. Ini menunjukkan 61.88 persen variasi dari variabel endogen KKSP dijelaskan oleh variabel-variabel penjelas di dalam persamaan Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam (KKSP) dan signifikan pada taraf nyata (α) 10 persen. Hasil pendugaan parameter secara parsial menunjukkan bahwa Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam (KKSP), dipengaruhi secara nyata positif oleh Jumlah Giro Masyarakat di Bank Umum (JG), Jumlah Anggota Koperasi Simpan Pinjam (JAKO) dan Jumlah Aset Koperasi Simpan Pinjam (AKO), hubungan ini ditunjukkan masing-masing dengan koefisien elastisitas sebesar 0.1240, 0.3918,
174 dan 0.7777. Hal ini menunjukkan jika JG, JAKO, dan AKO bertambah sebesar 10 persen, maka KKSP, akan mengalami kenaikan masing-masing sebesar 1.240 persen, 3.918 persen, dan 7.777 persen. Tabel 27. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam (KKSP) No
Variabel
Parameter Prob > Elastisitas Dugaan │t│ 1. Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam (KKSP) 1 Intersep 727.345 0.9383 2 Suku Bunga Modal Kerja (SBSM) 81.3163 0.6677 0.0514 3 Jumlah Kospin (JKSP) -95.9778 0.0015* -0.3440 4 Jumlah Giro Masyarakat (JG) 0.000088 0.0115* 0.1240 5 Jumlah Anggota Koperasi (JAKO) 0.2906 0.0001* 0.3918 6 Jumlah Aset Koperasi (AKO) 1.0647 0.0001* 0.7777 7 Jumlah Modal Koperasi (JMK) -0.0472 0.8509 -0.0145 R2 = 0.6188 F Hitung = 45.18 Prob > F = 0.0001 Keterangan: * = Parameter dugaan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0.10 Sedangkan apabila JKSP bertambah 10 persen, maka pinjaman KKSP, akan berkurang 3.440 persen. Hal ini mengindikasikan masih banyaknya unit Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang tidak aktif dalam menyalurkan pinjaman sehingga jumlah KSP yang aktif di beberapa kabupaten jumlahnya menurun, sedangkan jumlah pinjaman dari KSP dari tahun 2000-2005 terus meningkat. Untuk SBSM dan JMK, masing-masing tidak memiliki pengaruh nyata terhadap Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam (KKSP), namun SBSM memiliki tanda parameter dugaan yang positif. 6.2.1.5. Jumlah Giro Masyarakat di Bank Umum
Hasil pendugaan parameter persamaan Jumlah Giro Masyarakat di Bank Umum (JG), menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.5342. Ini menunjukkan 53.41 persen variasi dari variabel endogen JG dijelaskan oleh variabel-variabel penjelas di dalam persamaan Jumlah Giro Masyarakat di Bank
175 Umum (JG) dan signifikan pada taraf nyata (α) 10 persen dan (α) 15 persen yang ditunjukkan oleh nilai Prob > F sebesar 0.0001. Tabel 28. Jumlah Giro Masyarakat di Bank Umum (JG) No
Variabel
Parameter Prob > Elastisitas Dugaan │t│ 1. Jumlah Giro Masyarakat di Bank Umum (JG) 1 Intersep -47 550 000 0.0032 2 PDRB Industri Pengolahan (PDRB2) 0.0388 0.0037* 0.3743 3 PDRB Perdagangan (PDRB3) 0.0492 0.1421** 0.3699 4 PDRB Jasa (PDRB4) 0.2333 0.0001* 0.8536 2 R = 0.5342 F Hitung = 64.98 Prob > F = 0.0001 Keterangan: * = Parameter dugaan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0.10 ** = Parameter dugaan berbeda nyata pada taraf nyata (α) 0.20 Hasil pendugaan parameter secara parsial menunjukkan bahwa Jumlah Giro Masyarakat di Bank Umum (JG), dipengaruhi secara nyata oleh Produk Domestik Regional Bruto Sektor Industri Pengolahan (PDRB2), Produk Domestik Regional Bruto Sektor Perdagangan (PDRB3), dan Produk Domestik Regional Bruto Sektor Jasa-jasa (PDRB4), hubungan ini ditunjukkan masing-masing dengan koefisien elastisitas sebesar 0.3743, 0.3699 dan 0.8536. Hal ini menunjukkan bahwa apabila PDRB2, PDRB3, dan PDRB4 bertambah sebesar 10 persen, maka JG akan mengalami kenaikan masing-masing sebesar 3.743 persen, 3.699 persen, dan 8.536 persen. 6.2.2. Blok Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Hasil pendugaan parameter persamaan Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian (PDRB1), Produk Domestik Regional Bruto Sektor Industri Pengolahan (PDRB2), Produk Domestik Regional Bruto Sektor Perdagangan (PDRB3),
dan Produk Domestik Regional Bruto Sektor Jasa-jasa (PDRB4),
menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) masing-masing 0.4352, 0.0970, 0.0816 dan 0.2965. Ini menunjukkan masing-masing 43.52 persen variasi dari
176 variabel endogen PDRB1 dijelaskan secara bersama-sama oleh variabel-variabel Kredit dari BPR (KBPR), Kredit dari KSP (KKSP), Jumlah Penduuk (JP), dan Jumlah Angkatan Kerja (JAK).
Kemudian 9.70 persen variasi dari variabel
endogen PDRB2 dijelaskan secara bersama-sama oleh variabel-variabel Kredit dari KSP (KKSP), Jumlah Penduduk (JP), dan Jumlah Angkatan Kerja (JAK). Serta 8.16 persen variasi dari variabel endogen PDRB3 dijelaskan secara bersamasama oleh variabel-variabel Kredit KUK dari Bank Umum (KUK), Jumlah Penduduk (JP), dan Jumlah Angkatan Kerja (JAK). Sedangkan 29.65 persen variasi dari variabel endogen PDRB4 dijelaskan secara bersama-sama oleh variabel-variabel Kredit dari BPR (KBPR), Kredit KUK dari Bank Umum (KUK), Jumlah Penduduk (JP). Masing-masing signifikan dengan nilai Prob > F sebesar 0.0001, 0.0006, 0.0020, dan 0.0001. Rendahnya nilai R2 pada persamaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sektor Pertanian (PDRB1), Industri Pengolahan (PDRB2), Perdagangan (PDRB3), dan Jasa (PDRB4), ini diduga disebabkan keterbatasan variabel penjelas yang ada, karena ketidaktersediaan data di tingkat kabupaten seperti: data jumlah unit usaha mikro dan kecil dan data konsumsi dan investasi di tingkat kabupaten, serta data yang diperoleh dari data cross-section dan time series ini mempunyai keragaman yang relatif kecil. Nilai R2 yang kecil akan dapat ditingkatkan dengan menambah variabel penjelas pada suatu model persamaan (Gujarati, 1997). Hasil pendugaan parameter secara parsial menunjukkan bahwa Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian (PDRB1), secara signifikan hanya dipengaruhi oleh Jumlah Angkatan Kerja (JAK), dengan koefisien elastisitas
177 1.076. Hal ini menunjukkan apabila JAK bertambah 10 persen, maka produk PDRB1 akan mengalami kenaikan 10.76 persen. Sedangkan Kredit dari BPR (KBPR), Kredit dari Koperasi Simpan Pinjam (KKSP), dan Jumlah Penduduk (JP), tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian (PDRB1). Hasil pendugaan parameter secara parsial juga menunjukkan bahwa Produk Domestik Regional Bruto Sektor Industri Pengolahan (PDRB2), dipengaruhi oleh Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam (KKSP), hubungan ini ditunjukkan dengan koefisien elastisitas sebesar 0.6972. Hal ini menunjukkan apabila KKSP bertambah sebesar 10 persen, maka PDRB2 akan mengalami kenaikan sebesar 6.972 persen. Sedangkan Jumlah Angkatan Kerja (JAK) dan Jumlah Penduduk (JP) tidak berpengaruh nyata terhadap Produk Domestik Regional Bruto Sektor Industri Pengolahan (PDRB2), seperti terlihat di Tabel 29. Demikian juga hasil pendugaan parameter secara parsial lainnya menunjukkan bahwa Produk Domestik Regional Bruto Sektor Perdagangan (PDRB3), dipengaruhi oleh Kredit KUK dari Bank Umum (KUK), hubungan ini ditunjukkan dengan koefisien elastisitas sebesar 0.5482. Hal ini menunjukkan apabila KUK bertambah sebesar 10 persen, maka PDRB3 akan mengalami kenaikan sebesar 5.482 persen. Sedangkan Jumlah Angkatan Kerja (JAK) dan Jumlah Penduduk (JP) tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap Produk Domestik Regional Bruto Sektor Perdagangan (PDRB3). Sedangkan hasil pendugaan parameter secara parsial lainnya menunjukkan bahwa Produk Domestik Regional Bruto Sektor Jasa (PDRB4), dipengaruhi oleh Kredit dari Bank Perkreditan Rakyat (KBPR), Kredit Usaha Kecil dari Bank
178 Umum (KUK), dan Jumlah Penduduk (JP), hubungan ini ditunjukkan masingmasing dengan koefisien elastisitas sebesar 0.1374, 0.2209, dan 0.2491. Hal ini menunjukkan jika KBPR bertambah sebesar 10 persen, maka PDB4 akan mengalami kenaikan sebesar 1.374 persen. Sedangkan jika kredit KUK dari bank umum bertambah sebesar 10 persen maka PDRB4 akan mengalami kenaikan sebesar 2.209 persen. Serta jika JP meningkat 1 persen maka
PDRB4 akan
mengalami kenaikan sebesar 0.2491 persen. Tabel 29. No
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sektoral Variabel
Parameter Prob > Dugaan │t│ 1. Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian (PDRB1) 1 Intersep -220 600 000 0.0404 2 Kredit dari BPR (KBPR) 0.4940 0.4181 3 Kredit dari KSP (KKSP) -343.9480 0.6858 4 Jumlah Penduduk (JP) 133.7567 0.5755 5 Jumlah Angkatan Kerja (JAK) 1 934.1710 0.0007* R2 = 0.4352 F Hitung = 32.56 Prob > F = 0.0001 2. Produk Domestik Regional Bruto Sektor Industri (PDRB2) 1 Intersep 978 390 000 0.0029 2 Kredit dari KSP (KKSP) 9 485.5530 0.0001* 3 Jumlah Penduduk (JP) -433.8460 0.5234 4 Jumlah Angkatan Kerja (JAK) -615.9250 0.7158 R2 = 0.097 F Hitung = 6.09 Prob > F = 0.0029 3. Produk Domestik Regional Bruto Sektor Perdagangan (PDRB3) 1 Intersep 241 490 000 0.1033 2 Kredit KUK Bank Umum (KUK) 1.6021 0.0020* 3 Jumlah Penduduk (JP) -173.8470 0.5938 4 Jumlah Angkatan Kerja (JAK) 403.1822 0.6055 2 R = 0.0832 F Hitung = 5.14 Prob > F = 0.0052 4. Produk Domestik Regional Bruto Sektor Jasa (PDRB4) 1 Intersep 114 270 000 0.0001 2 Kredit dari BPR (KBPR) 0.5319 0.0009* 3 Kredit KUK Bank Umum (KUK) 0.3144 0.0032* 4 Jumlah Penduduk (JP) 72.2441 0.0089* R2 = 0.2965 F Hitung = 23.88 Prob > F = 0.0001 Keterangan: * = Parameter dugaan berbeda nyata pada (α) 0.10
Elastisitas
0.0410 -0.0214 0.1482 1.0758
0.6972 -0.5668 -0.4039
0.5482 -0.2919 0.3398
0.1374 0.2209 0.2491
179
VII. ANALISIS KEBIJAKAN Secara teoritis tujuan dari suatu simulasi kebijakan adalah untuk menganalisis dampak dari berbagai alternatif kebijakan dengan jalan mengubah dari salah satu atau beberapa nilai variabel atau instrumen kebijakan (policy instrument). Untuk mengetahui apakah model yang dibangun cukup baik untuk
digunakan dalam simulasi kebijakan, maka dilakukan validasi model. Tujuan dilakukannya validasi model adalah untuk mengetahui sejauhmana nilai estimasi tersebut sesuai dengan nilai aktual dari masing-masing variabel endogen. Ada beberapa kriteria statistik yang dapat digunakan untuk menilai kesahihan (validity) dari model tersebut, diantaranya adalah ”root mean square error” (RMSE), root mean square percent error” (RMSPE), dan Theil’s Inequality Coefficient” (TIC) atau nilai U. Namun karena dalam penelitian ini hanya terbatas
melakukan simulasi kebijakan, dan tidak melakukan peramalan (forecasting), maka tidak semua kriteria statistik yang dikemukakan tersebut relevan untuk digunakan. Dalam penelitian ini, kriteria statistik yang lebih tepat atau relevan untuk digunakan adalah nilai bias (UM), dimana apabila nilai UM semakin mendekati nol, maka model yang digunakan tersebut cukup baik untuk simulasi kebijakan. Berdasarkan hasil validasi model yang dilakukan, diketahui bahwa sebagian besar nilai UM adalah mendekati nol, yang berarti model yang digunakan ini cukup baik untuk malakukan simulasi kebijakan. Selanjutnya simulasi kebijakan yang akan dilakukan meliputi analisis dampak kebijakan terhadap model ekonomi usaha kecil.
180 7.1.
Model Ekonomi Usaha Kecil
Model ekonomi usaha kecil ini pada dasarnya digunakan untuk menggambarkan perilaku ekonomi usaha kecil yang menerima kredit atau pinjaman dari bank, koperasi, dan lembaga lainnya. Sebagai pelaku usaha, maka kredit atau pinjaman yang diperoleh akan memberikan kontribusi pada modal usaha, terutama menambah kemampuan modal kerja sehingga akan meningkatkan produksi dan penerimaan usaha, yang akhirnya akan menaikkan pendapatan usaha. Pendapatan usaha ini merupakan pendapatan bersih usaha yaitu penerimaan usaha dikurangi total biaya produksi. Peningkatan pendapatan bersih usaha ini, diharapkan akan mampu meningkatkan tabungan, konsumsi, serta pengeluaran pendidikan dan sosial. Untuk memperoleh gambaran tersebut, maka dilakukan validasi terhadap model ekonomi usaha kecil ini. Suatu model akan dikatakan cukup valid apabila memiliki nilai U Theil yang kecil. Dari hasil perhitungan validasi model maka dapat dilihat nilai U Theil. Tabel 30. Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Simulasi Kebijakan Dasar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Variabel Endogen Pengambilan Kredit (PKM) Modal Usaha (MOUS) Penggunaan Bahan Baku (PBM) Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) Penggunaan Bahan Bakar (PBB) Total Biaya Produksi (TBP) Penerimaan Usaha (PENU) Pendapatan Usaha (PEND) Tabungan (TABS) Konsumsi (PKON) Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (PPKS)
Nilai Dasar 16 282 049 31 887 605 233 910 000 27 517 423 17 275 175 278 700 000 382 730 000 104 030 000 4 871 744 22 357 864 6 204 833
Nilai U 0.4857 0.4202 0.4540 0.3616 0.3239 0.4516 0.3649 0.3641 0.2906 0.2120 0.3107
Dari tabel diatas terlihat bahwa sebelas persamaan pada model ekonomi usaha kecil, semuanya memiliki nilai U Theil dibawah 0.5. Adapun secara lebih rinci lima persamaan endogen yaitu persamaan Pengambilan Kredit (PKM),
181 Modal Usaha (MOUS), pengeluaran untuk Penggunaan Bahan Baku (PBM), dan Total Biaya Produksi (TBP) memiliki nilai U Theil antara 0.40 sampai 0.50. Sedangkan enam persamaan endogen lainnya yaitu pengeluaran untuk Penggunaan Tenaga Kerja (PTK), pengeluaran untuk Penggunaan Bahan Bakar (PBB), Penerimaan Usaha (PENU), Pendapatan Usaha (PEND), Tabungan (TABS), Konsumsi (PKON), dan Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (PPKS) memiliki nilai U Theil dibawah 0.40. Sehingga model ekonomi usaha kecil ini cukup valid.
7.1.1. Dampak Perubahan Suku Bunga Kredit
Pada bagian ini akan dilakukan analisis terhadap dampak perubahan Suku Bunga Kredit (SBK), yaitu kredit yang diambil oleh pelaku usaha kecil. Penurunan suku bunga kredit ini dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain melalui mekanisme subsidi bunga atau penjaminan kredit, sehingga risiko pinjaman akan menurun dan suku bunga kredit menjadi lebih rendah, seperti misalnya pada program Kredit Untuk Rakyat (KUR). Mekanisme ini sangat bermanfaat bagi usaha kecil yang pada umumnya sangat feasible tapi masih belum bankable.
Simulasi 1 adalah simulasi dampak penurunan suku bunga kredit sebesar 20 persen. Dengan tingkat bunga kredit rata-rata saat ini yang dinikmati oleh usaha kecil sebesar 19.05 persen per tahun, maka penurunan suku bunga kredit sebesar 20 persen diharapkan akan membuat suku bunga kredit turun menjadi 15.24 persen per tahun atau 1.27 persen per bulan. Tabel 31. menampilkan hasil simulasi dampak penurunan suku bunga. Penurunan SBK sebesar 20 persen akan berdampak positif terhadap seluruh variabel endogen. Kenaikan paling besar di
182 dapat variabel PKM dan MOUS, masing-masing sebesar 25.45 persen dan 12.99 persen. Perubahan pada variabel Pengambilan Kredit (PKM) ini cukup elastis, karena itu penurunan suku bunga kredit memberikan dampak positif yang besar terhadap PKM dan MOUS. Penurunan SBK ini juga akan mendorong peningkatan PBM sebesar 4.25 persen yang artinya kegiatan produksi meningkat, serta adanya kenaikan TBP, kenaikan PENU dan kenaikan PEND, masing-masing sebesar 4.35 persen, 4.15 persen dan 3.63 persen. Tabel 31. Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Penurunan Suku Bunga Kredit (SBK) No Variabel Endogen Nilai Nilai Hasil Perubahan Dasar Simulasi 1 (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pengambilan Kredit (PKM) Modal Usaha (MOUS) Penggunaan Bahan Baku (PBM) Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) Penggunaan Bahan Bakar (PBB) Total Biaya Produksi (TBP) Penerimaan Usaha (PENU) Pendapatan Usaha (PEND) Tabungan (TABS) Konsumsi (PKON) Pengeluaran Pend. dan Sos.(PPKS)
16 282 049 31 887 605 233 910 000 27 517 423 17 275 175 278 700 000 382 730 000 104 030 000 4 871 744 22 357 864 6 204 833
20 425 242 36 030 798 243 840 000 29 073 481 17 909 597 290 820 000 398 630 000 107 810 000 4 895 000 22 429 038 6 271 785
25.45 12.99 4.25 5.66 3.67 4.35 4.15 3.63 0.48 0.32 1.08
Keterangan Simulasi 1: Suku Bunga Kredit Turun sebesar 20 persen Sedangkan variabel endogen lainnya, meliputi variabel untuk Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (PPKS), Konsumsi (PKON),dan Tabungan (TABS) juga akan meningkat dengan adanya penurunan suku bunga kredit, walaupun kenaikan relatif kecil. Hasil simulasi ini menunjukkan kegiatan usaha kecil, sebenarnya masih sangat membutuhkan dukungan kredit bagi kelangsungan kegiatan usahanya. Karena itu kemudahan akses usaha kecil terhadap sumber kredit sangatlah diperlukan, seperti memperluas skim kredit dengan agunan ringan, dan membantu peningkatan formalitas usaha dan aset yang dimiliki oleh usaha kecil.
183 7.1.2. Dampak Kenaikan Pengambilan Kredit
Simulasi.2 digunakan untuk melihat dampak kenaikan Pengambilan Kredit (PKM) sebesar 100 persen. Kenaikan pengambilan kredit ini dapat dilakukan oleh pemerintah melalui dua cara; pertama, secara langsung dengan kebijakan pemberian dan perluasan skim-skim kredit baru dengan plafon kredit yang lebih besar, terutama di bank-bank pemerintah; kedua, secara tidak langsung melalui himbauan (suasion) dan insentif terhadap bank-bank non pemerintah dan lembaga non bank, yang memberikan kredit kepada usaha kecil dengan plafon kredit yang lebih besar. Kenaikan pengambilan kredit ini akan meningkatkan jumlah kredit yang diambil usaha kecil dari sekitar Rp 16 280 000 menjadi Rp 32 560 000. Perubahan ini akan mendorong peningkatan pada variabel-variabel endogen lainnya meliputi: Modal Usaha (MOUS) 51.07 persen, Total Biaya Produksi (TBP) 17.10 persen, Penerimaan Usaha (PENU) 16.33 persen, dan Pendapatan Usaha (PEND) 14.28 persen, serta Penggunaan Bahan Baku (PBM) 16.68 persen, Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) 22.23 persen, dan Penggunan Bahan Baku (PBB) sebesar 14.43 persen. Dari sisi pendapatan usaha peningkatan jumlah kredit yang diambil usaha kecil dari sekitar Rp 16 280 000 menjadi sekitar Rp 32 560 000 akan meningkatkan pendapatan usaha dari sekitar Rp 104 030 000 menjadi sekitar Rp 118 890 000. Apabila kredit yang diambil oleh usaha kecil ini terus berkelanjutan, maka kenaikan pendapatan usaha akibat peningkatan pengambilan kredit ini diharapkan akan dapat menambah modal usaha secara internal, sehingga akan mampu memperbesar kegiatan usaha.
184 Tabel 32. Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Kenaikan Pengambilan Kredit No Variabel Endogen Nilai Nilai Hasil Perubahan Dasar Simulasi 2 (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pengambilan Kredit (PKM) Modal Usaha (MOUS) Penggunaan Bahan Baku (PBM) Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) Penggunaan Bahan Bakar (PBB) Total Biaya Produksi (TBP) Penerimaan Usaha (PENU) Pendapatan Usaha (PEND) Tabungan (TABS) Konsumsi (PKON) Pengeluaran Pend. dan Sos.(PPKS)
16 282 049 31 887 605 233 910 000 27 517 423 17 275 175 278 700 000 382 730 000 104 030 000 4 871 744 22 357 864 6 204 833
32 564 098 48 172 222 272 940 000 33 633 436 19 768 741 326 350 000 445 230 000 118 890 000 4 963 150 22 637 610 6 467 985
100.00 51.07 16.69 22.23 14.43 17.10 16.33 14.28 1.88 1.25 4.24
Keterangan Simulasi 2: Pengambilan Kredit Naik sebesar 100 persen
7.1.3. Dampak Perubahan Sumber Kredit
Dummy Sumber Kredit (DSK) juga mempunyai arti yang penting dalam meningkatkan jumlah pengambilan kredit, karena usaha kecil yang memperoleh sumber kredit dari bank memiliki tingkat pengambilan kredit (pinjaman) yang lebih tinggi dibandingkan dengan usaha kecil yang memperoleh sumber pinjaman dari lembaga non bank. Dummy Sumber Kredit (DSK) yaitu: 0 adalah sumber pinjaman (kredit) dari non bank, dan 1 adalah sumber kredit dari bank. Perubahan sumber kredit terutama dari non bank ke sumber kredit dari bank, dapat didorong dan difasilitasi oleh pemerintah melalui kegiatan pendampingan secara indivudu atau kelompok terutama kepada usaha kecil yang telah feasible tetapi belum bankable, sehingga mampu memiliki akses yang baik terhadap perbankan.
Hasil simulasi 3 yaitu perubahan sumber kredit dari non bank ke sumber kredit dari bank, memberikan dampak yang positif terhadap seluruh variabel endogen yaitu: Pengambilan Kredit (PKM), Modal Usaha (MOUS), Penggunaan Bahan Baku (PBM), Penggunaan Tenaga Kerja (PTK), Penggunaan Bahan Bakar
185 (PBB), Total Biaya Produksi (TBP), Penerimaan Usaha (PENU), Pendapatan Usaha (PEND), Tabungan (TABS), Konsumsi (PKON), dan Pengeluaran Pendidikan dan Sosial PPKS). Dampak terbesar terjadi pada tiga variabel endogen yaitu: PKM meningkat 63.41 persen, MOUS meningkat 32.38 persen, PENU meningkat 10.36 persen dan PEND meningkat 9.06 persen. Tabel 33. Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Perubahan Sumber Kredit dari Non Bank Menjadi Kredit dari Bank No Variabel Endogen Nilai Nilai Hasil Perubahan Dasar Simulasi 3 (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pengambilan Kredit (PKM) Modal Usaha (MOUS) Penggunaan Bahan Baku (PBM) Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) Penggunaan Bahan Bakar (PBB) Total Biaya Produksi (TBP) Penerimaan Usaha (PENU) Pendapatan Usaha (PEND) Tabungan (TABS) Konsumsi (PKON) Pengeluaran Pend. & Sos. (PPKS)
16 282 049 31 887 605 233 910 000 27 517 423 17 275 175 278 700 000 382 730 000 104 030 000 4 871 744 22 357 864 6 204 833
26 606 646 42 212 201 258 660 000 31 395 031 18 856 119 308 910 000 422 360 000 113 450 000 4 929 696 22 535 225 6 371 674
63.41 32.38 10.58 14.09 9.15 10.84 10.36 9.06 1.19 0.79 2.69
Keterangan Simulasi 3: Perubahan Sumber Kredit Menjadi Kredit dari Non Bank ke Bank (DSK = 1) Sedangkan simulasi 4 adalah perubahan sumber kredit dari sumber kredit bank menjadi sumber kredit dari non bank juga akan mempengaruhi jumlah permintaan kredit, karena usaha kecil yang memperoleh sumber kredit dari non bank memiliki tingkat permintaan kredit (pinjaman) yang lebih kecil dibandingkan dengan usaha kecil yang memperoleh sumber pinjaman dari lembaga bank. Hasil simulasi ini yaitu perubahan sumber kredit dari lembaga bank ke non bank memberikan dampak yang negatif terhadap seluruh variabel endogen yaitu: PKM, MOUS, PBM, PTK, PBB, TBP, PENU, PEND, TABS, PKON, dan PPKS. Dampak terbesar terjadi pada dua variabel endogen yaitu: Pengambilan Kredit (PKM) berkurang 40.35 persen dan Modal Usaha (MOUS)
186 berkurang 20.60 persen, sedangkan Penerimaan Usaha (PENU) dan Pendapatan Usaha (PEND) masing-masing berkurang 6.59 persen dan 5.76 persen. Tabel 34. Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Perubahan Sumber Kredit dari Bank Menjadi sumber Kredit dari Non Bank No Variabel Endogen Nilai Nilai Hasil Perubahan Dasar Simulasi 4 (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pengambilan Kredit (PKM) Modal Usaha (MOUS) Penggunaan Bahan Baku (PBM) Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) Penggunaan Bahan Bakar (PBB) Total Biaya Produksi (TBP) Penerimaan Usaha (PENU) Pendapatan Usaha (PEND) Tabungan (TABS) Konsumsi (PKON) Pengeluaran Pend. & Sos. (PPKS)
16 282 049 31 887 605 233 910 000 27 517 423 17 275 175 278 700 000 382 730 000 104 030 000 4 871 744 22 357 864 6 204 833
9 711 852 25 317 407 218 160 000 25 049 853 16 269 120 259 480 000 357 510 000 98 035 992 4 834 865 22 244 997 6 098 661
-40.35 -20.60 -6.73 -8.97 -5.82 -6.90 -6.59 -5.76 -0.76 -0.51 -1.71
Keterangan Simulasi 4: Perubahan Sumber Kredit dari Bank Menjadi Sumber Kredit dari Non Bank (DSK = 0) 7.1.4. Dampak Kenaikan Harga Jual Produk
Harga Jual Produk (PO) juga turut menentukan besarnya penerimaan usaha kecil, simulasi 5 adalah simulasi yang digunakan untuk melihat dampak kenaikan Harga Jual Produk (PO) sebesar 10 persen terhadap variabel-variabel endogen lainnya. Kenaikan harga jual produk ini dapat terjadi apabila pemerintah melakukan perbaikan infrastruktur jalan, jembatan dan prasarana transportasi lainnya, terutama di daerah-daerah perdesaan dimana terdapat banyak sentrasentra usaha kecil. Peningkatan infrastruktur ini akan memberikan peluang lebih baik bagi produk-produk usaha kecil makanan olahan untuk dipasarkan ke wilayah lain, sehingga diperoleh harga jual yang lebih tinggi. Perbaikan dalam hal prasarana dan sarana ini secara tidak langsung akan menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan usaha kecil.
187 Perubahan akibat adanya kenaikan Harga Jual Produk (PO) sebesar 10 persen ini akan mendorong peningkatan paling besar pada variabel Pendapatan Usaha (PEND) dan Penerimaan Usaha (PENU), masing-masing sebesar 2.65 persen, dan 0.74 persen, sedangkan variabel endogen lainnya lebih rendah dari nilai tersebut. Dampak yang terjadi oleh kenaikan harga jual produk ini tidaklah besar, yang diduga karena elastisitas jangka pendek dari variabel eksogen Harga Jual Produk (PO) sangat kecil sekitar 0.069, dengan demikian kebijakan tunggal pada variabel ini tidaklah mempunyai dampak yang cukup berarti, sehingga perlu dilakukan simulasi kebijakan secara simultan dengan kombinasi perubahan variabel endogen maupun variabel eksogen lainnya. Salah satu variabel endogen yang layak digunakan untuk kombinasi simulasi adalah variabel Pengambilan Kredit (PKM). Tabel 35. Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Kenaikan Harga Jual Produk No Variabel Endogen Nilai Nilai Hasil Perubahan Dasar Simulasi 5 (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pengambilan Kredit (PKM) Modal Usaha (MOUS) Penggunaan Bahan Baku (PBM) Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) Penggunaan Bahan Bakar (PBB) Total Biaya Produksi (TBP) Penerimaan Usaha (PENU) Pendapatan Usaha (PEND) Tabungan (TABS) Konsumsi (PKON) Pengeluaran Pend. & Sos. (PPKS)
16 282 049 31 887 605 233 910 000 27 517 423 17 275 175 278 700 000 382 730 000 104 030 000 4 871 744 22 357 864 6 204 833
16 326 766 31 932 321 234 010 000 27 534 217 17 282 022 278 830 000 385 570 000 106 740 000 4 888 410 22 408 871 6 252 815
0.28 0.14 0.04 0.06 0.04 0.05 0.74 2.61 0.34 0.23 0.77
Keterangan Simulasi 5: Kenaikan Harga Jual Produk sebesar 10 persen 7.1.5. Dampak Perubahan Daerah Pemasaran Produk
Perubahan daerah pemasaran produk dapat dilakukan oleh pemerintah dengan memperbaiki kelembagaan pemasaran produk dan sarana transportasi, antara lain dengan memberikan kesempatan kepada usaha kecil untuk mengikuti
188 kegiatan pameran dagang, pelatihan maupun lokakarya (workshop) baik di tingkat regional ataupun nasional, serta memberikan subsidi terhadap transportasi umum bagi produk-produk usaha kecil. Kesempatan untuk mengikuti pameran dagang ini bagi usaha kecil akan mendorong kemampuan daya saing produk, sehingga mampu menembus pasar regional, nasional, atau bahkan pasar ekspor. Kegiatan semacam ini secara tidak langsung juga dapat mensinergikan usaha kecil dengan pelaku usaha menengah mupun besar. Simulasi perubahan daerah pemasaran produk ini dilakukan dengan menggunakan variabel Dummy Pemasaran Produk (DPP). Dummy pemasaran produk juga mempunyai arti yang penting dalam meningkatkan jumlah pengambilan kredit, karena usaha kecil yang mempunyai wilayah atau daerah pemasaran produk yang lebih luas diharapkan akan mampu meningkatkan jumlah (kuantitas) penjualan yang lebih besar karena mempunyai pasar yang lebih luas. Dummy Pemasaran Produk (DPP) yaitu: 0 adalah daerah pemasaran produk di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah, dan 1 adalah daerah pemasaran produk hingga wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, serta Jakarta dan sekitarnya. Hasil simulasi 6 yaitu perubahan daerah pemasaran produk dari hanya wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah menjadi wilayah pemasaran produk hingga mencakup juga wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya, diharapkan mempunyai dampak positif terhadap seluruh variabel endogen yaitu: pengambilan kredit, modal usaha, penggunaan bahan baku, penggunaan tenaga kerja, penggunaan bahan bakar, total biaya produksi, penerimaan usaha, pendapatan usaha, tabungan, konsumsi, dan pengeluaran untuk pendidikan dan sosial. Dampak terbesar terjadi pada tiga variabel endogen yaitu: Pendapatan
189 Usaha (PEND) oleh usaha kecil meningkat 16.14 persen, Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (PPKS) meningkat 4.80 persen, dan Penerimaan Usaha (PENU) meningkat 4.60 persen. Dari simulasi ini terlihat bahwa perluasan daerah pemasaran akan mampu mendorong peningkatan omset penjualan, sehingga penerimaan usaha dan pendapatan usaha meningkat. Tabel 36. Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Perluasan Daerah Pemasaran Produk dari Hanya di Wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah Menjadi Wilayah Pemasaran Mencakup Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Sekitarnya. No Variabel Endogen Nilai Nilai Hasil Perubahan Dasar Simulasi 6 (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pengambilan Kredit (PKM) Modal Usaha (MOUS) Penggunaan Bahan Baku (PBM) Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) Penggunaan Bahan Bakar (PBB) Total Biaya Produksi (TBP) Penerimaan Usaha (PENU) Pendapatan Usaha (PEND) Tabungan (TABS) Konsumsi (PKON) Pengeluaran Pend. & Sos. (PPKS)
16 282 049 31 887 605 233 910 000 27 517 423 17 275 175 278 700 000 382 730 000 104 030 000 4 871 744 22 357 864 6 204 833
16 559 312 32 164 867 234 570 000 27 621 554 17 317 631 279 510 000 400 340 000 120 820 000 4 975 085 22 674 137 6 502 346
1.70 0.87 0.28 0.38 0.25 0.29 4.60 16.14 2.12 1.42 4.80
Keterangan Simulasi 6: Perluasan Daerah Pemasaran Produk Hingga Mencakup Wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, serta Jakarta dan Sekitarnya (DPP = 1) Sedangkan simulasi 7 perubahan daerah pemasaran produk dari wilayah pemasaran yang mencakup hingga Jawa Timur, Jawan Barat, Jakarta dan sekitarnya menjadi hanya wilayah pemasaran produk di Yogyakarta dan Jawa Tengah, juga akan mempengaruhi variabel-variabel endogen lainnya. Hasil simulasi ini memberikan dampak yang negatif terhadap seluruh variabel endogen yaitu: pengambilan kredit, modal usaha, penggunaan bahan baku, penggunaan tenaga kerja, penggunaan bahan bakar, total biaya produksi, penerimaan usaha, pendapatan usaha, tabungan, konsumsi, dan pengeluaran untuk pendidikan dan sosial. Dampak terbesar terjadi pada tiga variabel endogen yaitu: pendapatan
190 usaha (PEND) oleh usaha kecil berkurang 18.45 persen, pengeluaran pendidikan (PPKS) berkurang 5.48 persen, dan penerimaan usaha (PENU) berkurang 5.26 persen. Keadaan ini menunjukkan bahwa pada saat sekarang ini, daerah pemasaran produk masih cukup besar terkonsentrasi di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Hal ini terlihat pada tabel 37 berikut. Tabel 37. Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Perubahan Daerah Pemasaran Produk dari Mencakup Wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Sekitarnya, Menjadi Hanya di Wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah No Variabel Endogen Nilai Nilai Hasil Perubahan Dasar Simulasi 7 (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pengambilan Kredit (PKM) Modal Usaha (MOUS) Penggunaan Bahan Baku (PBM) Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) Penggunaan Bahan Bakar (PBB) Total Biaya Produksi (TBP) Penerimaan Usaha (PENU) Pendapatan Usaha (PEND) Tabungan (TABS) Konsumsi (PKON) Pengeluaran Pend. & Sos. (PPKS)
16 282 049 31 887 605 233 910 000 27 517 423 17 275 175 278 700 000 382 730 000 104 030 000 4 871 744 22 357 864 6 204 833
15 965 179 31 570 734 233 150 000 27 398 415 17 226 655 277 770 000 362 610 000 84 834 970 4 753 639 21 996 409 5 864 818
-1.95 -0.99 -0.33 -0.43 -0.28 -0.33 -5.26 -18.45 -2.42 -1.62 -5.48
Keterangan Simulasi 7: Perubahan Daerah Pemasaran Produk Menjadi Hanya di Wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah (DPP = 0) 7.1.6. Dampak Kombinasi Simulasi Kebijakan
Simulasi 8 adalah kombinasi simulasi 2 dan simulasi 5 , yaitu untuk melihat dampak kenaikan Pengambilan Kredit (PKM) sebesar 100 persen dan kenaikan Harga Jual Produk (PO) sebesar 10 persen secara simultan. Dampak dari simulasi ini adalah adanya kenaikkan variabel-variabel endogen lainnya, dengan dampak paling besar pada kenaikan Modal Usaha (MOUS) sebesar 51.07 persen, sedangkan Total Biaya Produksi (TBP) meningkat 17.10 persen, Penerimaan Usaha (PENU) meningkat 17.03 persen, dan Pendapatan Usaha (PEND) meningkat 16.84 persen, seperti terlihat pada tabel 38.
191 Adanya kombinasi simulasi dengan melakukan perubahan secara simultan pada dua variabel, yaitu kenaikan pengambilan kredit dan kenaikan harga jual produk, akan terlihat dampaknya pada kenaikan yang lebih tinggi di beberapa variabel endogen, terutama variabel penerimaan usaha, pendapatan usaha, dan total biaya produksi. Tabel 38. Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Kombinasi Simulasi 2 dan Simulasi 5 No Variabel Endogen Nilai Nilai Hasil Perubahan Dasar Simulasi 8 (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pengambilan Kredit (PKM) Modal Usaha (MOUS) Penggunaan Bahan Baku (PBM) Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) Penggunaan Bahan Bakar (PBB) Total Biaya Produksi (TBP) Penerimaan Usaha (PENU) Pendapatan Usaha (PEND) Tabungan (TABS) Konsumsi (PKON) Pengeluaran Pend. & Sos. (PPKS)
16 282 049 31 887 605 233 910 000 27 517 423 17 275 175 278 700 000 382 730 000 104 030 000 4 871 744 22 357 864 6 204 833
32 564 098 48 172 222 272 940 000 33 633 436 19 768 741 326 350 000 447 900 000 121 550 000 4 979 566 22 687 849 6 515 245
100.00 51.07 16.69 22.23 14.43 17.10 17.03 16.84 2.21 1.48 5.00
Keterangan Simulasi 8: Kenaikan Pengambilan Kredit sebesar 100 persen dan Kenaikan Harga Jual Produk sebesar 10 persen Sedangkan skenario 9 meliputi simulasi terhadap dampak kebijakan kenaikan pengambilan kredit sebesar 100 persen dan perluasan wilayah pemasaran dari hanya di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah menjadi wilayah pemasaran mencakup Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya. Dampak dari simulasi ini adalah kenaikan variabel-variabel endogen lainnya secara lebih signifikan, terjadi peningkatan modal usaha sebesar 51.07 persen, total biaya produksi meningkat 17.10 persen, sedangkan penerimaan usaha meningkat 20.65 persen, dan pendapatan usaha usaha meningkat sebesar 30.18 persen. Simulasi ini menggabungkan perubahan pada pemasaran produk.
variabel pengambilan kredit dan dummy
192 Dari hasil simulasi terdapat kenaikan variabel-variabel endogen lainnya, yang lebih tinggi dibandingkan dengan simulasi sebelumnya. Hal ini karena pada simulasi.6 sebelumnya, yaitu perluasan daerah pemasaran produk hingga mencakup wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya, juga terjadi kenaikan yang besar pada variabel pendapatan usaha dan penerimaan usaha. Tabel 39. Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Kombinasi Simulasi 2 dan Simulasi 6 No Variabel Endogen Nilai Nilai Hasil Perubahan Dasar Simulasi 9 (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pengambilan Kredit (PKM) Modal Usaha (MOUS) Penggunaan Bahan Baku (PBM) Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) Penggunaan Bahan Bakar (PBB) Total Biaya Produksi (TBP) Penerimaan Usaha (PENU) Pendapatan Usaha (PEND) Tabungan (TABS) Konsumsi (PKON) Pengeluaran Pend. & Sos. (PPKS)
16 282 049 31 887 605 233 910 000 27 517 423 17 275 175 278 700 000 382 730 000 104 030 000 4 871 744 22 357 864 6 204 833
32 564 098 48 172 222 272 940 000 33 633 436 19 768 741 326 350 000 461 770 000 135 430 000 5 064 936 22 949 120 6 761 018
100.00 51.07 16.69 22.23 14.43 17.10 20.65 30.18 3.97 2.65 8.96
Keterangan Simulasi 9: Kenaikan Pengambilan Kredit sebesar 100 persen dan Perluasan Daerah Pemasaran Produk Hingga Wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Sekitarnya Skenario 10 adalah simulasi yang digunakan untuk melihat dampak kebijakan kenaikan pengambilan kredit sebesar 100 persen, kenaikan harga jual produk sebesar 10 persen dan perluasan wilayah pemasaran dari hanya di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah menjadi wilayah pemasaran mencakup Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya. Dampak dari kebijakan ini akan menaikkan variabel-variabel endogen lainnya secara lebih signifikan, terjadi kenaikan modal usaha sebesar 51.07 persen, total biaya produksi meningkat 17.10 persen, sedangkan penerimaan usaha meningkat 21.35 persen, dan pendapatan usaha usaha meningkat tajam 32.75 persen. Sedangkan pengeluaran untuk penggunaan bahan baku meningkat 16.69 persen, pengeluaran untuk penggunaan tenaga kerja
193 meningkat 22.23 persen, dan pengeluaran untuk penggunaan bahan bakar meningkat 14.43 persen. Pada skenario ini simulasi yang dilakukan pada tiga variabel sekaligus, memberikan dampak yang besar terhadap semua variabel endogen lainnya, seperti terlihat pada tabel 40. Tabel 40. Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Kombinasi Simulasi 2, Simulasi 5, dan Simulasi 6 No Variabel Endogen Nilai Nilai Hasil Perubahan Dasar Simulasi 10 (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pengambilan Kredit (PKM) Modal Usaha (MOUS) Penggunaan Bahan Baku (PBM) Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) Penggunaan Bahan Bakar (PBB) Total Biaya Produksi (TBP) Penerimaan Usaha (PENU) Pendapatan Usaha (PEND) Tabungan (TABS) Konsumsi (PKON) Pengeluaran Pend. & Sos. (PPKS)
16 282 049 31 887 605 233 910 000 27 517 423 17 275 175 278 700 000 382 730 000 104 030 000 4 871 744 22 357 864 6 204 833
32 564 098 48 172 222 272 940 000 33 633 436 19 768 741 326 350 000 464 440 000 138 100 000 5 081 351 22 999 360 6 808 277
100.00 51.07 16.69 22.23 14.43 17.10 21.35 32.75 4.30 2.87 9.73
Keterangan Simulasi 10: Kenaikan Pengambilan Kredit sebesar 100 persen, Kenaikan Harga Jual Produk sebesar 10 persen, dan Perluasan Daerah Pemasaran Produk Hingga Wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Sekitarnya 7.1.7. Rekapitulasi Simulasi Kebijakan
Untuk memberikan gambaran simulasi kebijakan yang telah dibuat, akan disajikan rangkuman atau rekapitulasi yang merupakan ikhtisar dari seluruh simulasi kebijakan melalui tabel 41. Dari tabel tersebut terlihat bahwa delapan simulasi kebijakan yaitu: 1, 2, 3, 5, 6, 8, 9, dan 10 merupakan simulasi pilihan untuk melakukan kebijakan. Hal ini berarti delapan alternatif kebijakan tersebut akan memberikan dampak kenaikan terhadap seluruh variabel endogen, yaitu: pengambilan kredit, modal usaha, penggunaan bahan baku, penggunaan tenaga kerja, penggunaan bahan bakar, total biaya produksi, penerimaan usaha, pendapatan usaha, pengeluaran pendidikan dan sosial, tabungan, dan konsumsi.
194
195 Apabila tujuan utama kebijakan yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan nilai rata-rata variabel endogen pengambilan kredit oleh usaha kecil, maka alternatif kebijakan simulasi 1 dan simulasi 3 yaitu penurunan suku bunga kredit sebesar 20 persen, dan perubahan sumber kredit dari non bank menjadi sumber kredit dari bank, adalah merupakan pilahan yang terbaik, yaitu akan meningkatkan pengambilan kredit oleh usaha kecil masing-masing sebesar 25.45 persen dan 63.41 persen. Alternatif
ini sangat erat berkaitan dengan
kebijakan di bidang moneter khususnya perbankan. Sedangkan apabila tujuan utama kebijakan yang ingin dicapai adalah untuk meningkatan nilai rata-rata variabel endogen penerimaan usaha dan pendapatan usaha, serta maka seluruh variabel endogen lainnya, maka alternatif kebijakan pilihannya adalah simulasi 9 dan 10. Simulasi 9 kenaikan pengambilan kredit sebesar 100 persen, perubahan dummy wilayah pemasaran hingga Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jakarta sekitarnya, akan meningkatkan penerimaan usaha sebesar 20.65 persen dan meningkatkan pendapatan usaha sebesar 30.18 persen. Simulasi 10 kenaikan pengambilan kredit sebesar 100 persen, kenaikan harga jual produk sebesar 10 persen, dan perubahan dummy wilayah pemasaran hingga Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jakarta sekitarnya, akan meningkatkan penerimaan usaha sebesar 21.35 persen dan meningkatkan pendapatan usaha sebesar 32.75 persen. Alternatif kebijakan pada simulasi 9 dan simulasi 10 ini erat berkaitan dengan kebijakan di perbankan, penciptaan iklim usaha yang kondusif, dan kelembagaan pemasaran. Karena itu kebijakan simultan ini memerlukan koordinasi yang baik antar kementerian terkait dan pihak perbankan, sehingga implementasi kebijakan di lapangan dapat dirasakan langsung oleh usaha kecil.
196 7.2.
Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi Wilayah
Model ini pada dasarnya digunakan untuk melihat pengaruh kredit mikro dan kecil dari lembaga kuangan mikro terhadap perekonomian wilayah kabupaten di provinsi Jawa Tengah. Peranan kredit mikro dan kecil yang disalurkan oleh bank meliputi bank umum, BRI-Unit, dan bank perkreditan rakyat, serta koperasi simpan pinjam (KSP) di masing-masing kabupaten, secara makro-regional akan memberikan dampak terhadap perekonomian wilayah yaitu meningkatnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di sektor pertanian, industri pengolahan, perdagangan, dan jasa-jasa pada tingkat kabupaten. Dampak makro dari kredit terhadap ekonomi wilayah ini merupakan salah satu bentuk transmisi kebijakan moneter ke sektor riil melalui jalur kredit. Mekanisme ini dimulai dengan adanya kebijakan kuantitatif yang longgar dari bank sentral di pasar uang, misalnya melalui operasi pasar terbuka (open market operation), sehingga likuiditas bank dari sisi kredit (aset) menjadi lebih longgar
dan kredit mikro dan kecil yang disalurkan oleh perbankan, dalam bentuk modal kerja dan investasi tersedia lebih banyak. Kredit mikro dan kecil dari perbankan ini bila diserap oleh pelaku usaha di sektor riil dalam bentuk pengambilan kredit, akan memberikan tambahan modal kerja dan investasi bagi pelaku usaha, sehingga akan bisa meningkatkan nilai penjualan (omset usaha tahunan) seperti yang terlihat pada Model Usaha Kecil pada sub-bab 6.1.5. Selanjutnya peningkatan omset penjualan tahunan dari pelaku usaha ini, pada tingkat agregat (regional) akan mendorong peningkatan kegiatan ekonomi secara sektoral pada lapangan usaha pertanian, industri pengolahan, perdagangan, dan jasa-jasa, sehingga Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor: pertanian, industri
197 pengolahan, perdagangan, dan jasa-jasa ditingkat kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Tengah diharapkan akan meningkat. Dari hasil analisis pada model keterkaitan kredit dan ekonomi wilayah seperti ditunjukkan pada Tabel.29 terlihat bahwa kredit dari koperasi simpan pinjam (KKSP) mempunyai pengaruh signifikan terhadap peningkatan Produk Domestik Regional Bruto sektor industri pengolahan (PDRB2), dengan elastisitas yang cukup sebesar 0.6023. Nilai ini menunjukkan bahwa kredit kecil dari koperasi simpan pinjam mampu meningkatkan kegiatan ekonomi wilayah kabupaten di provinsi Jawa Tengah, walaupun responnya cukup elastis. Sementara untuk Kredit Usaha Kecil (KUK) dari bank umum juga menunjukkan pengaruh signifikan terhadap peningkatan Produk Domestik Regional Bruto sektor perdagangan (PDRB3), dengan elastisitas yang cukup sebesar 0.5436. Ini menunjukkan bahwa kredit usaha kecil (KUK) dari bank umum juga mampu memberikan peningkatan terhadap kegiatan ekonomi wilayah kabupaten di provinsi Jawa Tengah, dengan respon cukup elastis. Kredit Usaha Pedesaan (Kupedes) dari BRI Unit, termasuk dalam kategori kredit usaha kecil dari bank umum. Untuk kredit dari bank perkreditan rakyat (KBPR) dan kredit usaha kecil (KUK) dari bank umum, juga menunjukkan pengaruh signifikan terhadap peningkatan Produk Domestik Regional Bruto sektor jasa (PDRB4), namun elastisitas yang kecil masing-masing sebesar 0.1279 dan 0.2037. Hasil ini menunjukkan kredit dari BPR dan kredit usaha kecil dari bank umum juga memberikan peningkatan terhadap perekonomian wilayah, namun dengan respon yang inelastis.
198 Sedangkan kredit dari Bank Perkreditan Rakyat (KBPR) dan pinjaman / kredit
dari koperasi simpan pinjam (KKSP), tidak menunjukkan pengaruh
signifikan terhadap peningkatan Produk Domestik Regional Bruto sektor pertanian (PDRB1). Tidak adanya pengaruh signifikan pada PDRB1 ini diduga karena kredit di sektor pertanian selama ini lebih banyak didominasi oleh kreditkredit program yang umumnya lebih sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Kondisi ini terjadi karena petani sebagai pelaku usaha di sektor pertanian pada umumnya masih belum bankable, salah satunya karena terbatasnya agunan atau jaminan yang dimiliki petani, sedangkan perbankan umumnya meminta agunan sebagai syarat utama untuk mendapatkan kredit. Secara historis kredit program di sektor pertanian ini telah berjalan cukup lama sejak awal tahun 1970-an. Menurut Nurmanaf (2007), adanya pembiayaan berupa kredit program yang difasilitasi oleh pemerintah secara terus menerus dan jangka waktu lama di perdesaan ini membuat petani “ tidak mengenal” sistem kredit komersial sehingga aksesibilitas sebagian besar petani terhadap lembaga pembiayaan formal sangat rendah. Kenyatan ini menjadikan sebagian besar petani lebih akrab dengan sumber-sumber pembiayaan informal seperti pedagang sarana produksi dan hasil produksi, pelepas uang, dan kelompok lainnya. Karena itu menurut Ashari (2009a), pelibatan dan keikutsertaan lembaga keuangan mikro di perdesaan untuk menyalurkan dana program ke masyarakat akan dapat membawa keuntungan, (1) biaya yang relatif murah, (2) dana program tetap utuh dan dapat berkembang, dan (3) mendidik masyarakat untuk mengenal lembaga keuangan dan mendapat akses ke lembaga keuangan.
199
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
8.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil estimasi model dan simulasi yang telah dikemukan pada bagian sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan penting dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Kredit mikro dan kecil berpengaruh terhadap penerimaan usaha yang merupakan indikator kinerja usaha kecil. Penerimaan usaha merupakan komponen utama pendapatan bersih usaha yang akan mendorong peningkatan terhadap pengeluaran untuk pendidikan dan sosial, konsumsi, dan tabungan yang dilakukan oleh usaha kecil. 2. Kredit mikro dan kecil yang diambil oleh usaha kecil ini akan meningkat dengan adanya penurunan suku bunga kredit, sehingga akan menambah modal usaha. Peningkatan modal usaha akan meningkatkan penggunaan bahan baku, bahan bakar dan tenaga kerja, sehingga meningkatkan penerimaan usaha. 3. Kredit mikro dan kecil yang berasal dari: Koperasi Simpan Pinjam (KSP), dan Kredit Usaha Kecil (KUK) dari bank umum, hanya berpengaruh kecil masingmasing terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di sektor industri pengolahan, dan sektor perdagangan. Demikian pula kredit mikro dan kecil dari BPR dan KUK juga hanya berpengaruh kecil terhadap PDRB di sektor jasa-jasa provinsi Jawa Tengah sebagai proksi ekonomi wilayah. Sedangkan produk domestik regional bruto di sektor pertanian tidak dipengaruhi secara nyata oleh kredit dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan kredit dari Koperasi Simpan Pinjam (KSP).
200 4. Kebijakan kenaikan pengambilan kredit oleh usaha kecil akan memberikan dampak kenaikan paling besar berturut-turut pada: modal usaha, penggunaan bahan baku, penerimaan usaha, dan pendapatan usaha. Sedangkan kombinasi kebijakan kenaikan pengambilan kredit oleh usaha kecil, kenaikan harga jual produk, dan perluasan wilayah pemasaran hingga mencapai Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya secara bersamaan, akan memberikan kenaikan paling besar berturut-turut pada: modal usaha, pendapatan usaha, penerimaan usaha, dan penggunaan bahan baku.
8.2.
Implikasi Kebijakan
Dari beberapa hasil temuan dalam penelitian ini, ada implikasi kebijakan yang dapat dimunculkan. 1.
Besarnya respon yang ditunjukkan oleh suku bunga kredit terhadap kredit yang diambil oleh usaha kecil, perlu diikuti dengan kebijakan perbankan antara lain dengan memperbanyak skim kredit terutama kredit modal kerja dan investasi dengan suku bunga yang rendah, sehingga dapat menjadi sumber tambahan modal usaha yang kompetitif bagi usaha kecil. Selain itu pemerintah dan perbankan perlu terus mengembangkan berbagai jenis skim kredit yang mampu mengakomodasi kondisi usaha kecil, dengan memberikan kelonggaran atau insentif dari sisi agunan (collateral) dan memperluas jangkauan kredit tersebut hingga mencapai wilayah sentra-sentra usaha kecil yang berada di perdesaan.
201 2.
Untuk meningkatkan kinerja usaha kecil terutama usaha kecil yang telah layak usaha (feasible) dan lokasinya berdekatan dengan bank dan sudah memiliki akses yang baik terhadap bank (bankable), perlu didorong dan difasilitasi agar dapat memperoleh skim kredit baru dari bank sehingga mendapatkan pinjaman yang lebih besar, agar dapat memenuhi kebutuhan modal usaha yang semakin meningkat, antara lain dengan mempermudah prosedur pinjaman dan memperbesar plafon kredit.
3.
Untuk mencapai dan menjaga pertumbuhan kredit untuk usaha kecil oleh BRI-unit dan bank umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan lembaga Koperasi Simpan Pinjam (KSP), perlu didorong pendirian dan pembukaan kantor bank cabang dan unit bank, dan kantor koperasi simpan pinjam di seluruh kecamatan sehingga mampu menjangkau dan memberikan dampak kepada usaha kecil yang telah feasible tapi belum bankable, serta melayani hingga lapisan masyarakat bawah di perdesaan.
4.
Untuk usaha kecil yang masih mengandalkan sumber kredit atau pinjaman dari lembaga non bank (koperasi simpan pinjam dan sumber pinjaman lainnya), pemerintah perlu terus mendorong keberadaan dan keberlanjutan lembaga non bank tersebut melalui penguatan sumber dan struktur pendanaan lembaga tersebut, penguatan kelembagaan, dan pengaturan (regulasi) yang jelas, sehingga mampu menjangkau usaha kecil yang telah feasible tapi belum bankable, atau bahkan usaha kecil lainnya yang produktif belum tapi belum feasible.
202 5.
Saran untuk penelitian lanjutan adalah agar dilakukan penelitian tentang, (a) peranan kredit terhadap peningkatan kinerja usaha kecil, dengan membuat disagregasi berdasarkan: karakteristik wilayah perdesaan dan perkotaaan, dan (b) peranan kredit terhadap peningkatan kinerja usaha kecil di beberapa jenis usaha diluar usaha makanan olahan, seperti: minuman, tekstil dan pakaian (garmen), kerajinan kulit dan kayu, atau pertanian.
203
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, B. 2006. Perbankan Sepatutnya Lebih Serius Garap Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Kompas, 10 Maret 2006. Adam, E.E. and J.E. Ronald. 1986. Production and Operations Management: Concepts, Models and Behavior. Third Edition. Prentice-Hall International, London. Arsyad, L. 2008. Lembaga Keuangan Mikro: Sustainabilitas. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Institusi,
Kinerja,
dan
Anderson, C.L., A. Locker and R. Nugent. 2002. Microcredit, Social Capital, and Common Pool Resources. World Development Journal, 30(1): 29-42. Arsyad, L. 1999. Ekonomi Pembangunan. Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, Yogyakarta. Ashari. 2009a. Optimalisasi Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 7(1): 21-42. _____. 2009b. Pendirian Bank Pertanian di Indonesia: “Apakah Agenda Mendesak”. Jurnal Analisis Kebijakan Petanian, 8(1): 13-27. Asian Development Bank. 2010. Microfinance: Definition, Sources and Problems. http://microfinancehub.com/2010/01/31/what-is-microfinance-definitionsources-problems. Badan Pusat Statistik. 2006. Sensus Ekonomi Tahun 2006. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Pusat Statistik Semarang. 2003. Direktori Industri Kecil Jawa Tengah 2003. Badan Pusat Statistik, Semarang. __________________________. 2006. Jawa Tengah dalam Angka Tahun 2006. Badan Pusat Statistik, Semarang. __________________________. 2007. Jawa Tengah dalam Angka Tahun 2007. Badan Pusat Statistik, Semarang. ___________________________. 2009. Jawa Tengah dalam Angka Tahun 2009. Badan Pusat Statistik, Semarang. Baker, C.B. 1968. Credit in the Production Organization of the Firm. American Journal of Agricultural Economics, 50(3). 507-520.
204 Bank Indonesia. 2005. Hasil Penelitian Profil Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta. ____________. 2006. Laporan Perekonomian Indonesia 2006. Bank Indonesia, Jakarta. Bank Indonesia Semarang. 2008. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Jawa Tengah: Profil UMKM Peserta Jateng Fair 2008. Bank Indonesia, Semarang. Becker, G.S. 1976. The Economic Approach to Human Behavior. The University of Chicago Press, Chicago. Bernarke, B.S. and M. Gertler. 1995. Inside the Black Box: The Credit Channel of Monetary Policy Transmission. Journal of Economic Perspectives, 9(4): 2748. Bintoro, B. 2003. Peranan Lembaga Keuangan Mikro dalam Penanggulangan Kemiskinan dalam Kemiskinan dan Keuangan Mikro. Gema-PKM Indonesia, Jakarta. Boediono. 1996. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi (BPFE) UGM, Yogyakarta. Chaves, R.A. and C. Gonzales-Vega. 1996. The Design of Successful Rural Financial Intermediaries. World Development Journal, 24(1): 77-94. Dharma, S. 2005. Manajemen Kinerja: Falsafah Teori dan Penerapannya. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Edy, H. 2004. Strategi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Melalui Perbankan Mikro. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Evenson, R.E. 1976. On The New Household Economics. Journal of Agricultural Economics and Development, 6 (1): 87-107. Fariyanti, A. 2008. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Sayuran dalam Menghadapi Risiko Produksi dan Harga Produk di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Firdaus, H.R. 2004. Manajemen Perkreditan Bank Umum: Teori, Masalah, Kebijakan dan Aplikasi. Alfabeta, Bandung. Fisher, I. 1911. The Purchasing Power of Money: Its Determination and Relation to Credit, Interest, and Crises. Macmillian, New York. http://www. encyclopedia.com
205 Haryanto, F.R. 2007. Dampak Instrumen Kebijakan Moneter terhadap Perekonomian Indonesia: Suatu Analisis Jalur Mekanisme Transmisi Moneter. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hasibuan, M. 2008. Dasar-Dasar Perbankan. Bumi Aksara, Jakarta. Henderson, J.M. and R.E. Quandt. 1980. Microeconomics Theory, A Mathematical Approach. Third Edition. McGraw-Hill International Company, Tokyo. Hollis, A. and A. Sweetman. 1998. Microcredit: What Can We Learn from the Past? World Development Journal, 26(10): 34-56. Hyman, D.N. 1997. Microeconomics. Fourth Edition. Irwin / McGraw-Hill International Company, New York. Ibrahim, M. 2003. Kerangka Hukum dalam Memperkuat dan Mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia dalam Kemiskinan dan Keuangan Mikro. Gema-PKM Indonesia, Jakarta. Intriligator, M. 1996. Econometric Models, Techniques and Applications. Second Edition. Prentice-Hall, New Jersey. Iqbal, M. 1981. The Demand and Supply of Funds among Agricultural Households: A Teoritical and Empirical Analysis. Dissertation. Faculty of The Graduate School of Yale University. Ismawan, B. 2003. Keuangan Mikro dalam Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dalam Kemiskinan dan Keuangan Mikro. Gema-PKM Indonesia, Jakarta. Jhingan. 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Rajawali Pers, Jakarta. Kamerschen, D. 1984. Money and Banking. Eighth Edition. South-Western Publishing, Cincinati, Ohio. Kemenkop dan UKM. 2006. Statistik Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Tahun 2004-2005. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Jakarta. _________________. 2009. Statistik Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Tahun 2007-2008. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Jakarta. Kohler, E.L. 1964. Dictionary For Accountants. Third Edition. Prentice-Hall, New York.
206 Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometric Methods. Second Edition. The Macmillan Press Ltd, London. Krause, K.R. 1969. Aplication of the Financial Management Fuction in the Family Size Farm Firm. American Journal of Agricultural Economics. 51(5): 1536-1542. Kuncoro, M. 2003. Usaha Kecil di Indonesia: Profil, Masalah dan Strategi Pemberdayaan. http://website.mudrajad.com/journals. Kuntjoro. 1983. Identifikasi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembayaran Kembali Kredit Bimas Padi: Studi Kasus di Kabupaten Subang Jawa Barat. Disertasi Doktor. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kusmiarso, B., E. Sukowati, A. Prasmuko, S. Pambudi, D. Angkoro, I.S. Hafid. 2002. Interest Rate Channel of Monetary Transmission in Indonesia dalam Warjiyo, P dan J. Agung (editor). Transmission Mechanism of Monetary Policy in Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta. Kusnadi, N. 1990. Penyediaan dan Penggunaan Kredit pada Usahatani Dampak “Model Farm” di Wilayah Hulu DAS Citanduy. Tesis Magister. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kusnadi, N. 2005. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani dalam Pasar Persaingan Tidak Sempurna di Beberapa Provinsi di Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lains, A. 2006. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi. Jilid II. Penerbit LP3ES, Jakarta. Ledgerwood, J. 1999. Microfinance Handbook: An Institutional and Financial Perspective. The World Bank, Washington D.C. Llanto, G.M. 2007. Overcoming Obstacles to Agricultural Microfinance: Looking at Broader Issues. Asian Journal of Agriculture and Development, 4(2): 2340. Mankiw, G. 2003. Macroeconomics. Fifth Edition. Worth Publishers, New York. Manurung. 2005. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi. Elex Media Komputindo, Jakarta. Morduch, J. 2000. The Microfinance Schism. World Development, 28(4): 617629. Nazar, F. 1990. Eonomi Miro Untuk Negara Sedang Berkembang: Teori, Aplikasi dan Kebijaksanaan, Suatu Pendekatan Matematika. UI Press, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
207 Nopirin. 2000. Ekonomi Moneter: Buku II. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi (BPFE). Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Nuridin, A. 2007. Membangun Bank UMKM : Concepts and Better Practices. IRPA, Jakarta. Nurmanaf, A.R. 2007. Lembaga Informal Pembiayaan Mikro Lebih Dekat dengan Petani. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 5(2): 99-109. Olivares-Polanco, F.J. 2005. Commercializing Microfinance and Deeping Outreach? Empirical Evidance from Latin America. Journal of Microfinance, 7(2). 63-110. Otero, M. 1999. Bringing Development Back, into Microfinance. Journal of Microfinance, 1(1). 98-107. Pindyck, R.S. and D.L. Rubenfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forecast. Third Edition. Mc Graw-Hill, Inc. New York. Pindyck, R.S. and D.L. Rubenfeld. 2001. Microeconomics. Fifth Edition. Prentice-Hall Inc. Upper Saddle River, New Jersey. Priyarsono, D.S. 2011. Dari Pertanian ke Industri: Analisis Pembangunan dalam Perspektif Ekonomi Regional. IPB Press, Bogor. Rachmina, D. 1994. Analisis Permintaan Kredit pada Industri Kecil: Kasus Jawa Barat dan Jawa Timur. Tesis Magister. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Radnor, Z.J. and D. Barnes. 2007. Historical Analysis of Performance Measurement and Management in Operations Management. International Journal of Productivity and Performance Management. 56(5/6): 384-396. Rahman, A. 1999. Micro-credit Initiatives for Equitable and Sustainable Development: Who Pays? World Development Journal, 27(1): 42-61. Ray, D. 1998. Development Economics. Princeton University Press, New Jersey. Raynor, J. 2003. The Impact of Large Capital Infusion to Community Development Credit Unions. Journal of Microfinance, 5(1). 71-97. Rhyne, E. 2009. Microfinance for Bankers and Investors: Understanding the Opportunities and Challanges of the Market at the Bottom of the Pyramid. McGraw-Hill, New York.
208 Ritonga, J.C. 2004. Studi Pengembangan Marine Banking untuk Pembangunan Ekonomi Wilayah Pesisir. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rivai, V. dan A.P.Veithzal. 2007. Credit Management Handbook: Teori, Konsep, Prosedur, dan Aplikasi. Raja Grafindo Persada, Jakarta Robinson, M.S. 2001. The Microfinance Revolution, Volume 1: Sustainable Finance for the Poor. The World Bank, Washington, D.C. _____________ 2004. Revolusi Keuangan Mikro, Volume2: Pelajaran dari Indonesia. Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Rose, P.S. 1999. Commercial Bank Management. Fourth Edition. Irwin McGrawHill, Boston. Schreiner, M. 2002. Aspects of Outreach: A Framework for Discussion of the Social Benefits of Microfinance. Journal of International Development. 14(5): 591-603. Seibel, H.D. 2003. History Matters in Microfinance. International Journal of Microfinance and Business Development. 14(2): 10-12. Setiawan, I.D.M.D. 2006. Peranan Sektor Unggulan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah: Pendekatan Input-Output Multiregional Jawa Timur, Bali. Dan Nusa Tenggara Barat. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Simanjuntak, J.M. 1993. Analisis Skala Usaha, Fungsi Permintaan Input dan Fungsi Penawaran Output Bank Perkreditan Rakyat. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sinaga, B.M. 1989. Econometric Model on the Indonesian Hardwood Products Industry: A Policy Simulation Analysis. Ph.D Dissertation, University of the Phillippines at Los Banos, Los Banos. __________. 1997. Pendekatan Kuantitatif dalam Agribisnis. Mimbar Sosek, Journal of Agricultural and Resource Socio-Economics, 10(1): 48-63. Sukirno, S. 2004. Ekonomi Pembangunan. Rajawali Press, Jakarta. Syukur, M. 2002. Analisis Keberlanjutan dan Perilaku Ekonomi Peserta Skim Kredit Rumahtangga Miskin. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syukur, M., Sugiarto, Hendiarto, dan Wiryono, B. 2003. Analisa Rekayasa Kelembagaan Pembiayaan Usaha Pertanian. Laporan Peneltian. Puslitbang Sosek Pertanian, Bandan Litbang Pertanian.
209 Tambunan, M. 2004. Usaha Kecil Menengah (UKM) dibawah Pemerintahan SBY-JK (2004-2009): Momentum Baru Menjadikan UKM Berdaya Saing dan Naik Kelas? Jurnal Infokop, 25(10):21-43. Tambunan, T. 2009. UMKM di Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta. Tarigan, R. 2003. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. ________. 2006. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. Triandaru, S dan T. Budisantoso. 2007. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Warjiyo, P. 2004. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK). Bank Indonesia, Jakarta. White, B. 1990. Agroindustri, Industrialisasi Pedesaan dan Transformasi Pedesaan. Sekindo Eka Jaya, Jakarta. Wibisono, D. 2006. Manajemen Kinerja: Konsep, Desain, dan Teknik Meningkatkan Daya Saing Perusahaan. Penerbit Erlangga, Yakarta. Wijono, W. 2005. Perberdayaan Lembaga Keuangan Mikro sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan. Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan. Edisi Khusus, 9(4): 86100. Wirawan. 2009. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia: Teori, Aplikasi dan Penelitian. Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Yaron, J., McD.P. Benjamin Jr and G.L. Piprek. 1997. Rural Finance: Issues, Design, and Best Practises. Environmentally and Socially Sustainable Development Studies and Monographs Series 14. The World Bank, Washington, D.C. p.87
210 Yusianto, Y. 2001. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2000. Jurnal Ekonomi. Fakultas Ekonomi, Universitas Tarumanagara, Jakarta, 6(2): 4767. Yunus, M. dan K. Weber. 2008. Menciptakan Dunia Tanpa Kemiskinan: Bagaimana Bisnis Sosial Mengubah Kehidupan Kita. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
211
LAMPIRAN
212 Lampiran 1.
Program Estimasi Model Ekonomi Usaha Kecil Menggunakan Metode Two-Stage Least Squares (2SLS) dan Prosedur SYSLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1
OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA UMK1; SET UMK1; MOUS = PKM + ALK; TBP = PBM + PBB + PTK; PEND = PENU ‐ TBP; RUN; PROC SYSLIN 2SLS DATA = UMK1 SIMPLE OUTEST=A; ENDOGENOUS PKM MOUS PBM PBB PTK PENU TBP PEND TABS PKON PPKS; INSTRUMENTS SBK ALK PO TP JAK JTK PBBM PTKP KTK JAS DSK DJG DPP PSO PNTK LTU PI DJST; MODEL PKM = SBK TABS PNTK LTU DSK/DW; IDENTITY MOUS = PKM + ALK; MODEL PBM = MOUS PI JTK/DW; MODEL PBB = MOUS PBBM/DW; MODEL PTK = MOUS PTKP/DW; MODEL PENU = PBM PBB PTK PO DPP/DW; IDENTITY TBP = PBM + PBB + PTK; IDENTITY PEND = PENU ‐ TBP; MODEL TABS = PEND JAK TP DJST/DW; MODEL PKON = PEND JAK TP KTK/DW; MODEL PPKS = PEND JAS PSO DJG /DW; RUN;
213 Lampiran 2.
Hasil Estimasi Model Ekonomi Usaha Kecil Menggunakan Metode Two-Stage Least Squares (2SLS) dan Prosedur SYSLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1
The SYSLIN Procedure Descriptive Statistics Uncorrected Std Variables Sum Mean SS Variance Deviation Varibl. Intercept 90.0000 1.0000 90.0000 0 0 Interc. SBK 1714.4 19.0489 39264.4 74.2358 8.6160 SBK ALK 1.4045E9 15605556 4.793E16 2.923E14 17096635 ALK PO 884575 9828.6 1.71E10 94477101 9719.9 PO TP 298.0 3.3111 1084.0 1.0931 1.0455 TP JAK 373.0 4.1444 1673.0 1.4283 1.1951 JAK JTK 187530 2083.7 5.3255E8 1593270 1262.2 JTK PBBM 7.1546E8 7949578 5.946E16 6.042E14 24580264 PBBM PTKP 1.1904E9 13226378 3.25E16 1.883E14 13723035 PTKP KTK 7.9374E8 8819356 1.172E16 5.306E13 7283932 KTK JAS 148.0 1.6444 298.0 0.6137 0.7834 JAS DSK 35.0000 0.3889 35.0000 0.2403 0.4902 DSK DJG 68.0000 0.7556 68.0000 0.1868 0.4322 DJG DPP 48.0000 0.5333 48.0000 0.2517 0.5017 DPP PSO 1.8606E8 2067333 4.862E14 1.141E12 1068219 PSO PNTK 95100050 1056667 2.201E14 1.344E12 1159189 PNTK LTU 1195.0 13.2778 23651.0 87.4613 9.3521 LTU PI 403230 4480.3 5.7886E9 44742001 6688.9 PI DJST 25.0000 0.2778 25.0000 0.2029 0.4504 DJST PKM 1.4655E9 16283333 8.24E16 6.578E14 25646916 PKM MOUS 2.87E9 31888889 1.951E17 1.163E15 34109521 MOUS PBM 2.124E10 2.3599E8 1.032E19 5.967E16 2.4428E8 PBM PBB 1.5548E9 17275378 7.844E16 5.796E14 24074948 PBB PTK 2.4766E9 27517911 1.154E17 5.308E14 23039513 PTK PENU 3.464E10 3.8489E8 2.442E19 1.246E17 3.5302E8 PENU TBP 2.527E10 2.8079E8 1.395E19 7.706E16 2.776E8 TBP PEND 9.3697E9 1.0411E8 1.957E18 1.103E16 1.05E8 PEND TABS 4.385E8 4872222 2.802E15 7.474E12 2733799 TABS PKON 2.0123E9 22359356 5.828E16 1.493E14 12218270 PKON PPKS 5.5856E8 6206222 5.86E15 2.689E13 5185688 PPKS
214
1. Persamaan Pengambilan Kredit : PKM The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model PKM Dependent Variable PKM Label PKM Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 2.293E16 4.586E15 11.63 <.0001 Error 84 3.313E16 3.944E14 Corrected Total 89 5.854E16 Root MSE 19859742.9 R‐Square 0.40904 Dependent Mean 16283333.3 Adj R‐Sq 0.37386 Coeff Var 121.96362 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 15104932 7925352 1.91 0.0601 Intercept SBK 1 ‐1071138 253520.5 ‐4.23 <.0001 SBK TABS 1 2.682963 1.074421 2.50 0.0145 TABS PNTK 1 2.554394 2.084780 1.23 0.2239 PNTK LTU 1 ‐49707.0 232748.6 ‐0.21 0.8314 LTU DSK 1 16640364 4351980 3.82 0.0003 DSK Durbin‐Watson 1.44787 Number of Observations 90 First‐Order Autocorrelation 0.268736
2. Persamaan Penggunaan Bahan Baku: PBM The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model PBM Dependent Variable PBM Label PBM Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 1.762E18 5.872E17 13.77 <.0001 Error 86 3.669E18 4.266E16 Corrected Total 89 5.311E18 Root MSE 206545303 R‐Square 0.32441 Dependent Mean 235993173 Adj R‐Sq 0.30084 Coeff Var 87.52173 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 20367366 46914505 0.43 0.6653 Intercept MOUS 1 2.397221 0.959034 2.50 0.0143 MOUS PI 1 630.0195 3341.378 0.19 0.8509 PI JTK 1 65441.69 23266.68 2.81 0.0061 JTK Durbin‐Watson 2.013513 Number of Observations 90 First‐Order Autocorrelation ‐0.01016
215
3. Persamaan Penggunaan Bahan Bakar: PBB The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model PBB Dependent Variable PBB Label PBB Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 2 4.611E16 2.306E16 343.42 <.0001 Error 87 5.841E15 6.714E13 Corrected Total 89 5.158E16 Root MSE 8193702.01 R‐Square 0.88757 Dependent Mean 17275377.8 Adj R‐Sq 0.88499 Coeff Var 47.42994 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 5530032 1259684 4.39 <.0001 Intercept MOUS 1 0.153124 0.029508 5.19 <.0001 MOUS PBBM 1 0.863239 0.036358 23.74 <.0001 PBBM Durbin‐Watson 1.985058 Number of Observations 90 First‐Order Autocorrelation ‐0.00793
4. Persamaan Penggunaan Tenaga Kerja: PTK The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model PTK Dependent Variable PTK Label PTK Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 2 3.532E16 1.766E16 110.88 <.0001 Error 87 1.386E16 1.593E14 Corrected Total 89 4.724E16 Root MSE 12619776.1 R‐Square 0.71823 Dependent Mean 27517911.1 Adj R‐Sq 0.71176 Coeff Var 45.86023 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 2986745 2125166 1.41 0.1635 Intercept MOUS 1 0.375570 0.046789 8.03 <.0001 MOUS PTKP 1 0.949213 0.103261 9.19 <.0001 PTKP Durbin‐Watson 2.24247 Number of Observations 90 First‐Order Autocorrelation ‐0.14185
216 5. Persamaan Penerimaan Usaha: PENU The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model PENU Dependent Variable PENU Label PENU Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 1.054E19 2.107E18 363.28 <.0001 Error 84 4.872E17 5.8E15 Corrected Total 89 1.109E19 Root MSE 76158956.4 R‐Square 0.95580 Dependent Mean 384894667 Adj R‐Sq 0.95317 Coeff Var 19.78696 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐1.349E7 16444168 ‐0.82 0.4144 Intercept PBM 1 1.036368 0.061712 16.79 <.0001 PBM PBB 1 1.491545 0.548822 2.72 0.0080 PBB PTK 1 2.996431 0.559319 5.36 <.0001 PTK PO 1 2714.439 1001.918 2.71 0.0082 PO DPP 1 35448025 17830950 1.99 0.0501 DPP Durbin‐Watson 1.941481 Number of Observations 90 First‐Order Autocorrelation 0.026064
6. Persamaan Tabungan: TABS The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model TABS Dependent Variable TABS Label TABS Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 3.767E14 9.416E13 27.92 <.0001 Error 85 2.867E14 3.373E12 Corrected Total 89 6.652E14 Root MSE 1836570.49 R‐Square 0.56780 Dependent Mean 4872222.22 Adj R‐Sq 0.54746 Coeff Var 37.69472 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 2205311 878971.5 2.51 0.0140 Intercept PEND 1 0.006153 0.002556 2.41 0.0182 PEND JAK 1 ‐282239 172395.9 ‐1.64 0.1053 JAK TP 1 664601.6 201705.4 3.29 0.0014 TP DJST 1 3583772 456292.5 7.85 <.0001 DJST Durbin‐Watson 1.320383 Number of Observations 90 First‐Order Autocorrelation 0.325273
217
7. Persamaan Konsumsi: PKON The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model PKON Dependent Variable PKON Label PKON Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 1.119E16 2.797E15 110.51 <.0001 Error 85 2.151E15 2.531E13 Corrected Total 89 1.329E16 Root MSE 5030791.87 R‐Square 0.83872 Dependent Mean 22359355.6 Adj R‐Sq 0.83114 Coeff Var 22.49972 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 4479184 2389977 1.87 0.0643 Intercept PEND 1 0.018831 0.010088 1.87 0.0654 PEND JAK 1 1483237 467187.9 3.17 0.0021 JAK TP 1 ‐553154 555140.7 ‐1.00 0.3219 TP KTK 1 1.315749 0.116787 11.27 <.0001 KTK Durbin‐Watson 1.652307 Number of Observations 90 First‐Order Autocorrelation 0.169161
8. Persamaan Pengeluaran Pendidikan dan Sosial: PPKS The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model PPKS Dependent Variable PPKS Label PPKS Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 1.496E15 3.739E14 38.12 <.0001 Error 85 8.337E14 9.809E12 Corrected Total 89 2.393E15 Root MSE 3131893.64 R‐Square 0.64209 Dependent Mean 6206222.22 Adj R‐Sq 0.62524 Coeff Var 50.46377 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐3467540 1062381 ‐3.26 0.0016 Intercept PEND 1 0.017714 0.004259 4.16 <.0001 PEND JAS 1 4092241 449442.4 9.11 <.0001 JAS PSO 1 0.420493 0.330893 1.27 0.2073 PSO DJG 1 305509.6 773344.3 0.40 0.6938 DJG Durbin‐Watson 2.029412 Number of Observations 90 First‐Order Autocorrelation ‐0.015
218 Lampiran 3.
Program Validasi Model Ekonomi Usaha Kecil Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1
OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA UMK1; SET UMK1; MOUS = PKM + ALK; TBP = PBM + PBB + PTK; PEND = PENU ‐ TBP; RUN; PROC SIMNLIN OUT=OUTDAS STAT SIMULATE OUTPREDICT THEIL; ENDOGENOUS PKM MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS; INSTRUMENTS SBK ALK PO TP JAK JTK PBBM PTKP KTK JAS DSK DJG DPP PSO PNTK LTU PI DJST; PARM A0 15104932 A1 ‐1071138 A2 2.682963 A3 2.554394 A4 ‐49707.0 A5 16640364 B0 20367366 B1 2.397221 B2 630.0195 B3 64441.69 C0 5530032 C1 0.153124 C2 0.863239 D0 2986745 D1 0.375570 D2 0.949213 E0 ‐13490000 E1 1.036368 E2 1.491545 E3 2.996431 E4 2714.439 E5 35448025 F0 2205311 F1 0.006153 F2 ‐282239 F3 664601.6 F4 3583772 G0 4479184 G1 0.018831 G2 1483237 G3 ‐553154 G4 1.315749 H0 ‐3467540 H1 0.017714 H2 4092241 H3 0.420493 H4 305509.6; PKM MOUS PBM PBB PTK PENU TBP PEND TABS PKON PPKS RUN;
= A0+A1*SBK+A2*TABS+A3*PNTK+A4*LTU+A5*DSK; = PKM + ALK; = B0+B1*MOUS+B2*PI+B3*JTK; = C0+C1*MOUS+C2*PBBM; = D0+D1*MOUS+D2*PTKP; = E0+E1*PBM+E2*PBB+E3*PTK+E4*PO+E5*DPP; = PBM + PBB + PTK; = PENU ‐ TBP; = F0+F1*PEND+F2*JAK+F3*TP+F4*DJST; = G0+G1*PEND+G2*JAK+G3*TP+G4*KTK; = H0+H1*PEND+H2*JAS+H3*PSO+H4*DJG;
219 Lampiran 4.
Hasil Validasi Model Ekonomi Usaha Kecil Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1
Model Summary Model Variables 11 Endogenous 11 Parameters 37 Equations 11 Number of Statements 11 The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= UMK1 OUT= OUTDAS Solution Summary Variables Solved 11 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 1.44E‐15 Maximum Iterations 1 Total Iterations 90 Average Iterations 1 Observations Processed Read 90 Solved 90 Variables Solved For PKM MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PKM 90 90 16283333 25646916 16282049 15613858 PKM MOUS 90 90 31888889 34109521 31887605 27465354 MOUS PBM 90 90 2.3599E8 2.4428E8 2.3391E8 1.3142E8 PBM PTK 90 90 27517911 23039513 27517423 20035686 PTK PBB 90 90 17275378 24074948 17275175 22739142 PBB TBP 90 90 2.8079E8 2.776E8 2.787E8 1.6325E8 TBP PENU 90 90 3.8489E8 3.5302E8 3.8273E8 2.2519E8 PENU PEND 90 90 1.0411E8 1.05E8 1.0403E8 68860037 PEND TABS 90 90 4872222 2733799 4871744 2060576 TABS PKON 90 90 22359356 12218270 22357864 10831897 PKON PPKS 90 90 6206222 5185688 6204833 3804638 PPKS
220 Statistics of fit Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS % Variable N Error Error Error % Error Error Error R‐Square Label PKM 90 ‐1283.8 97.2901 14025117 359.8 20019418 553.7 0.3839 PKM MOUS 90 ‐1283.8 26.1407 14025117 107.7 20019418 175.6 0.6517 MOUS PBM 90 ‐2086759 66.7619 1.1818E8 90.9503 1.9479E8 161.9 0.3570 PBM PTK 90 ‐488.6 17.7607 9781172 49.6855 13642632 68.9435 0.6454 PTK PBB 90 ‐202.6 48.7310 5566969 77.0617 7973205 129.0 0.8891 PBB TBP 90 ‐2087450 50.9776 1.244E8 74.3853 2.0118E8 125.4 0.4689 TBP PENU 90 ‐2166006 44.5737 1.5037E8 66.4472 2.2753E8 108.1 0.5799 PENU PEND 90 ‐78555.9 78.3112 55340052 104.8 76411516 161.9 0.4645 PEND TABS 90 ‐478.7 9.2006 1361742 26.7438 1795265 31.5740 0.5639 TABS PKON 90 ‐1492.0 6.5961 3623928 18.9449 4728161 24.6153 0.8486 PKON PPKS 90 ‐1389.4 20.9806 2417411 45.8323 3243503 58.4477 0.6044 PPKS Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U PKM 90 4.008E14 0.62 0.00 0.00 1.00 0.25 0.75 0.6616 0.3795 MOUS 90 4.008E14 0.81 0.00 0.00 1.00 0.11 0.89 0.4300 0.2261 PBM 90 3.794E16 0.60 0.00 0.01 0.99 0.33 0.67 0.5751 0.3211 PTK 90 1.861E14 0.81 0.00 0.01 0.99 0.05 0.95 0.3810 0.1955 PBB 90 6.357E13 0.94 0.00 0.00 1.00 0.03 0.97 0.2701 0.1375 TBP 90 4.047E16 0.69 0.00 0.02 0.98 0.32 0.68 0.5109 0.2809 PENU 90 5.177E16 0.77 0.00 0.04 0.96 0.31 0.69 0.4368 0.2359 PEND 90 5.839E15 0.68 0.00 0.00 1.00 0.22 0.78 0.5182 0.2809 TABS 90 3.223E12 0.75 0.00 0.00 1.00 0.14 0.86 0.3218 0.1652 PKON 90 2.236E13 0.92 0.00 0.01 0.99 0.09 0.91 0.1858 0.0941 PPKS 90 1.052E13 0.78 0.00 0.01 0.99 0.18 0.82 0.4020 0.2115 Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U PKM 89 51.8114 0.53 0.01 0.51 0.47 0.11 0.87 1.1741 0.4857 MOUS 89 7.8432 0.68 0.01 0.60 0.39 0.25 0.73 1.0699 0.4202 PBM 89 6.4114 0.54 0.01 0.27 0.72 0.00 0.98 0.9494 0.4540 PTK 89 0.7762 0.73 0.01 0.35 0.64 0.08 0.91 0.8100 0.3616 PBB 89 2.8868 0.77 0.01 0.06 0.94 0.01 0.98 0.6318 0.3239 TBP 89 4.0456 0.55 0.01 0.20 0.79 0.00 0.99 0.9011 0.4516 PENU 89 2.6071 0.71 0.01 0.06 0.93 0.02 0.97 0.6998 0.3649 PEND 89 11.5039 0.74 0.00 0.00 1.00 0.15 0.84 0.6447 0.3641 TABS 89 0.1924 0.82 0.01 0.02 0.97 0.03 0.97 0.5595 0.2906 PKON 89 0.0818 0.91 0.01 0.00 0.99 0.04 0.95 0.4093 0.2120 PPKS 89 0.7872 0.79 0.01 0.04 0.95 0.02 0.98 0.6017 0.3107
221
Lampiran 5.
Program Simulasi 1. Penurunan Suku Bunga Kredit (SBK) sebesar 20 persen Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1
MODEL EKONOMI USAHA KECIL
OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA UMK1; SET UMK1; MOUS = PKM + ALK; TBP = PBM + PBB + PTK; PEND = PENU ‐ TBP; SBK = SBK*0.8; RUN; PROC SIMNLIN OUT=OUTDAS STAT SIMULATE OUTPREDICT THEIL; ENDOGENOUS PKM MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS; INSTRUMENTS SBK ALK PO TP JAK JTK PBBM PTKP KTK JAS DSK DJG DPP PSO PNTK LTU PI DJST; PARM A0 15104932 A1 ‐1071138 A2 2.682963 A3 2.554394 A4 ‐49707.0 A5 16640364 B0 20367366 B1 2.397221 B2 630.0195 B3 64441.69 C0 5530032 C1 0.153124 C2 0.863239 D0 2986745 D1 0.375570 D2 0.949213 E0 ‐13490000 E1 1.036368 E2 1.491545 E3 2.996431 E4 2714.439 E5 35448025 F0 2205311 F1 0.006153 F2 ‐282239 F3 664601.6 F4 3583772 G0 4479184 G1 0.018831 G2 1483237 G3 ‐553154 G4 1.315749 H0 ‐3467540 H1 0.017714 H2 4092241 H3 0.420493 H4 305509.6; PKM = A0+A1*SBK+A2*TABS+A3*PNTK+A4*LTU+A5*DSK; MOUS = PKM + ALK; PBM = B0+B1*MOUS+B2*PI+B3*JTK; PBB = C0+C1*MOUS+C2*PBBM; PTK = D0+D1*MOUS+D2*PTKP; PENU = E0+E1*PBM+E2*PBB+E3*PTK+E4*PO+E5*DPP; TBP = PBM + PBB + PTK; PEND = PENU ‐ TBP; TABS = F0+F1*PEND+F2*JAK+F3*TP+F4*DJST; PKON = G0+G1*PEND+G2*JAK+G3*TP+G4*KTK; PPKS = H0+H1*PEND+H2*JAS+H3*PSO+H4*DJG; RUN;
222
Lampiran 6.
Hasil Simulasi 1. Penurunan Suku Bunga Kredit (SBK) sebesar 20 persen Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1
MODEL EKONOMI USAHA KECIL
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 11 Endogenous 11 Parameters 37 Equations 11 Number of Statements 11 The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= UMK1 OUT= OUTDAS Solution Summary Variables Solved 11 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 1.95E‐15 Maximum Iterations 1 Total Iterations 90 Average Iterations 1 Observations Processed Read 90 Solved 90 Variables Solved For PKM MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PKM 90 90 16283333 25646916 20425242 14419998 PKM MOUS 90 90 31888889 34109521 36030798 26571351 MOUS PBM 90 90 2.3599E8 2.4428E8 2.4384E8 1.2948E8 PBM PTK 90 90 27517911 23039513 29073481 19775132 PTK PBB 90 90 17275378 24074948 17909597 22684135 PBB TBP 90 90 2.8079E8 2.776E8 2.9082E8 1.6095E8 TBP PENU 90 90 3.8489E8 3.5302E8 3.9863E8 2.2203E8 PENU PEND 90 90 1.0411E8 1.05E8 1.0781E8 68105241 PEND TABS 90 90 4872222 2733799 4895000 2059608 TABS PKON 90 90 22359356 12218270 22429038 10819989 PKON PPKS 90 90 6206222 5185688 6271785 3795078 PPKS
223
Lampiran 7.
Program Simulasi.2. Kenaikan Pengambilan Kredit (PKM) sebesar 100 persen Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1
MODEL EKONOMI USAHA KECIL
OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA UMK1; SET UMK1; MOUS = PKM + ALK; TBP = PBM + PBB + PTK; PEND = PENU ‐ TBP; PKM = PKM*2.0; RUN; PROC SIMNLIN OUT=OUTDAS STAT SIMULATE OUTPREDICT THEIL; ENDOGENOUS /*PKM*/ MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS; INSTRUMENTS SBK ALK PO TP JAK JTK PBBM PTKP KTK JAS DSK DJG DPP PSO PNTK LTU PI DJST; PARM A0 15104932 A1 ‐1071138 A2 2.682963 A3 2.554394 A4 ‐49707.0 A5 16640364 B0 20367366 B1 2.397221 B2 630.0195 B3 64441.69 C0 5530032 C1 0.153124 C2 0.863239 D0 2986745 D1 0.375570 D2 0.949213 E0 ‐13490000 E1 1.036368 E2 1.491545 E3 2.996431 E4 2714.439 E5 35448025 F0 2205311 F1 0.006153 F2 ‐282239 F3 664601.6 F4 3583772 G0 4479184 G1 0.018831 G2 1483237 G3 ‐553154 G4 1.315749 H0 ‐3467540 H1 0.017714 H2 4092241 H3 0.420493 H4 305509.6; /*PKM = A0+A1*SBK+A2*TABS+A3*PNTK+A4*LTU+A5*DSK;*/ MOUS = PKM + ALK; PBM = B0+B1*MOUS+B2*PI+B3*JTK; PBB = C0+C1*MOUS+C2*PBBM; PTK = D0+D1*MOUS+D2*PTKP; PENU = E0+E1*PBM+E2*PBB+E3*PTK+E4*PO+E5*DPP; TBP = PBM + PBB + PTK; PEND = PENU ‐ TBP; TABS = F0+F1*PEND+F2*JAK+F3*TP+F4*DJST; PKON = G0+G1*PEND+G2*JAK+G3*TP+G4*KTK; PPKS = H0+H1*PEND+H2*JAS+H3*PSO+H4*DJG; RUN;
224 Lampiran 8.
Hasil Simulasi.2. Kenaikan Pengambilan Kredit (PKM) sebesar 100 persen Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1
MODEL EKONOMI USAHA KECIL
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 10 Endogenous 10 Parameters 37 Equations 10 Number of Statements 10 The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= UMK1 OUT= OUTDAS Solution Summary Variables Solved 10 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 9.5E‐16 Maximum Iterations 1 Total Iterations 90 Average Iterations 1 Observations Processed Read 90 Solved 90 Variables Solved For MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics ctual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label MOUS 90 90 31888889 34109521 48172222 57880503 MOUS PBM 90 90 2.3599E8 2.4428E8 2.7294E8 1.954E8 PBM PTK 90 90 27517911 23039513 33633436 27668651 PTK PBB 90 90 17275378 24074948 19768741 24594485 PBB TBP 90 90 2.8079E8 2.776E8 3.2635E8 2.3809E8 TBP PENU 90 90 3.8489E8 3.5302E8 4.4523E8 3.1738E8 PENU PEND 90 90 1.0411E8 1.05E8 1.1889E8 85237362 PEND TABS 90 90 4872222 2733799 4963150 2125422 TABS PKON 90 90 22359356 12218270 22637610 11085849 PKON PPKS 90 90 6206222 5185688 6467985 3828359 PPKS
225 Lampiran 9.
Program Simulasi.3. Perubahan Sumber Kredit (DSK) dari Non Bank Menjadi Sumber Kredit yang Berasal dari Bank Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1
MODEL EKONOMI USAHA KECIL
OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA UMK1; SET UMK1; MOUS = PKM + ALK; TBP = PBM + PBB + PTK; PEND = PENU ‐ TBP; DSK = 1; RUN; PROC SIMNLIN OUT=OUTDAS STAT SIMULATE OUTPREDICT THEIL; ENDOGENOUS PKM MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS; INSTRUMENTS SBK ALK PO TP JAK JTK PBBM PTKP KTK JAS DSK DJG DPP PSO PNTK LTU PI DJST; PARM A0 15104932 A1 ‐1071138 A2 2.682963 A3 2.554394 A4 ‐49707.0 A5 16640364 B0 20367366 B1 2.397221 B2 630.0195 B3 64441.69 C0 5530032 C1 0.153124 C2 0.863239 D0 2986745 D1 0.375570 D2 0.949213 E0 ‐13490000 E1 1.036368 E2 1.491545 E3 2.996431 E4 2714.439 E5 35448025 F0 2205311 F1 0.006153 F2 ‐282239 F3 664601.6 F4 3583772 G0 4479184 G1 0.018831 G2 1483237 G3 ‐553154 G4 1.315749 H0 ‐3467540 H1 0.017714 H2 4092241 H3 0.420493 H4 305509.6; PKM MOUS PBM PBB PTK PENU TBP PEND TABS PKON PPKS RUN;
= A0+A1*SBK+A2*TABS+A3*PNTK+A4*LTU+A5*DSK; = PKM + ALK; = B0+B1*MOUS+B2*PI+B3*JTK; = C0+C1*MOUS+C2*PBBM; = D0+D1*MOUS+D2*PTKP; = E0+E1*PBM+E2*PBB+E3*PTK+E4*PO+E5*DPP; = PBM + PBB + PTK; = PENU ‐ TBP; = F0+F1*PEND+F2*JAK+F3*TP+F4*DJST; = G0+G1*PEND+G2*JAK+G3*TP+G4*KTK; = H0+H1*PEND+H2*JAS+H3*PSO+H4*DJG;
226 Lampiran 10. Hasil Simulasi.3. Perubahan Sumber Kredit (DSK) dari Non Bank Menjadi Sumber Kredit yang Berasal dari Bank Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1 MODEL EKONOMI USAHA KECIL
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 11 Endogenous 11 Parameters 37 Equations 11 Number of Statements 11 The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= UMK1 OUT= OUTDAS Solution Summary Variables Solved 11 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 6.25E‐16 Maximum Iterations 1 Total Iterations 90 Average Iterations 1 Observations Processed Read 90 Solved 90 Variables Solved For PKM MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PKM 90 90 16283333 25646916 26606646 12604398 PKM MOUS 90 90 31888889 34109521 42212201 24940740 MOUS PBM 90 90 2.3599E8 2.4428E8 2.5866E8 1.2607E8 PBM PTK 90 90 27517911 23039513 31395031 19645408 PTK PBB 90 90 17275378 24074948 18856119 22659281 PBB TBP 90 90 2.8079E8 2.776E8 3.0891E8 1.5742E8 TBP PENU 90 90 3.8489E8 3.5302E8 4.2236E8 2.183E8 PENU PEND 90 90 1.0411E8 1.05E8 1.1345E8 67812805 PEND TABS 90 90 4872222 2733799 4929696 2054193 TABS PKON 90 90 22359356 12218270 22535225 10789955 PKON PPKS 90 90 6206222 5185688 6371674 3795735 PPKS
227 Lampiran 11. Program Simulasi.4. Perubahan Sumber Kredit (DSK) dari Bank Menjadi Sumber Kredit yang Berasal dari Non Bank Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1 MODEL EKONOMI USAHA KECIL OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA UMK1; SET UMK1; MOUS = PKM + ALK; TBP = PBM + PBB + PTK; PEND = PENU ‐ TBP; DSK = 0; RUN; PROC SIMNLIN OUT=OUTDAS STAT SIMULATE OUTPREDICT THEIL; ENDOGENOUS PKM MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS; INSTRUMENTS SBK ALK PO TP JAK JTK PBBM PTKP KTK JAS DSK DJG DPP PSO PNTK LTU PI DJST; PARM A0 15104932 A1 ‐1071138 A2 2.682963 A3 2.554394 A4 ‐49707.0 A5 16640364 B0 20367366 B1 2.397221 B2 630.0195 B3 64441.69 C0 5530032 C1 0.153124 C2 0.863239 D0 2986745 D1 0.375570 D2 0.949213 E0 ‐13490000 E1 1.036368 E2 1.491545 E3 2.996431 E4 2714.439 E5 35448025 F0 2205311 F1 0.006153 F2 ‐282239 F3 664601.6 F4 3583772 G0 4479184 G1 0.018831 G2 1483237 G3 ‐553154 G4 1.315749 H0 ‐3467540 H1 0.017714 H2 4092241 H3 0.420493 H4 305509.6; PKM MOUS PBM PBB PTK PENU TBP PEND TABS PKON PPKS RUN;
= A0+A1*SBK+A2*TABS+A3*PNTK+A4*LTU+A5*DSK; = PKM + ALK; = B0+B1*MOUS+B2*PI+B3*JTK; = C0+C1*MOUS+C2*PBBM; = D0+D1*MOUS+D2*PTKP; = E0+E1*PBM+E2*PBB+E3*PTK+E4*PO+E5*DPP; = PBM + PBB + PTK; = PENU ‐ TBP; = F0+F1*PEND+F2*JAK+F3*TP+F4*DJST; = G0+G1*PEND+G2*JAK+G3*TP+G4*KTK; = H0+H1*PEND+H2*JAS+H3*PSO+H4*DJG;
228 Lampiran 12. Hasil Simulasi.4. Perubahan Sumber Kredit (DSK) dari Bank Menjadi Sumber Kredit yang Berasal dari Non Bank Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1
MODEL EKONOMI USAHA KECIL
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 11 Endogenous 11 Parameters 37 Equations 11 Number of Statements 11 The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= UMK1 OUT= OUTDAS Solution Summary Variables Solved 11 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 9.22E‐15 Maximum Iterations 1 Total Iterations 90 Average Iterations 1 Observations Processed Read 90 Solved 90 Variables Solved For PKM MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PKM 90 90 16283333 25646916 9711852 12604398 PKM MOUS 90 90 31888889 34109521 25317407 24940740 MOUS PBM 90 90 2.3599E8 2.4428E8 2.1816E8 1.2607E8 PBM PTK 90 90 27517911 23039513 25049853 19645408 PTK PBB 90 90 17275378 24074948 16269120 22659281 PBB TBP 90 90 2.8079E8 2.776E8 2.5948E8 1.5742E8 TBP PENU 90 90 3.8489E8 3.5302E8 3.5751E8 2.183E8 PENU PEND 90 90 1.0411E8 1.05E8 98035992 67812805 PEND TABS 90 90 4872222 2733799 4834865 2054193 TABS PKON 90 90 22359356 12218270 22244997 10789955 PKON PPKS 90 90 6206222 5185688 6098661 3795735 PPKS
229 Lampiran 13. Program Simulasi.5. Kenaikan Harga Jual Produk (PO) sebesar 10 persen Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1 MODEL EKONOMI USAHA KECIL OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA UMK1; SET UMK1; MOUS = PKM + ALK; TBP = PBM + PBB + PTK; PEND = PENU ‐ TBP; PO = PO*1.1; RUN; PROC SIMNLIN OUT=OUTDAS STAT SIMULATE OUTPREDICT THEIL; ENDOGENOUS PKM MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS; INSTRUMENTS SBK ALK PO TP JAK JTK PBBM PTKP KTK JAS DSK DJG DPP PSO PNTK LTU PI DJST; PARM A0 15104932 A1 ‐1071138 A2 2.682963 A3 2.554394 A4 ‐49707.0 A5 16640364 B0 20367366 B1 2.397221 B2 630.0195 B3 64441.69 C0 5530032 C1 0.153124 C2 0.863239 D0 2986745 D1 0.375570 D2 0.949213 E0 ‐13490000 E1 1.036368 E2 1.491545 E3 2.996431 E4 2714.439 E5 35448025 F0 2205311 F1 0.006153 F2 ‐282239 F3 664601.6 F4 3583772 G0 4479184 G1 0.018831 G2 1483237 G3 ‐553154 G4 1.315749 H0 ‐3467540 H1 0.017714 H2 4092241 H3 0.420493 H4 305509.6; PKM MOUS PBM PBB PTK PENU TBP PEND TABS PKON PPKS RUN;
= A0+A1*SBK+A2*TABS+A3*PNTK+A4*LTU+A5*DSK; = PKM + ALK; = B0+B1*MOUS+B2*PI+B3*JTK; = C0+C1*MOUS+C2*PBBM; = D0+D1*MOUS+D2*PTKP; = E0+E1*PBM+E2*PBB+E3*PTK+E4*PO+E5*DPP; = PBM + PBB + PTK; = PENU ‐ TBP; = F0+F1*PEND+F2*JAK+F3*TP+F4*DJST; = G0+G1*PEND+G2*JAK+G3*TP+G4*KTK; = H0+H1*PEND+H2*JAS+H3*PSO+H4*DJG;
230 Lampiran 14. Hasil Simulasi.5. Kenaikan Harga Jual Produk (PO) sebesar 10 persen Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1 MODEL EKONOMI USAHA KECIL
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 11 Endogenous 11 Parameters 37 Equations 11 Number of Statements 11 The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= UMK1 OUT= OUTDAS Solution Summary Variables Solved 11 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 1.35E‐15 Maximum Iterations 1 Total Iterations 90 Average Iterations 1 Observations Processed Read 90 Solved 90 Variables Solved For PKM MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PKM 90 90 16283333 25646916 16326766 15624827 PKM MOUS 90 90 31888889 34109521 31932321 27475897 MOUS PBM 90 90 2.3599E8 2.4428E8 2.3401E8 1.3143E8 PBM PTK 90 90 27517911 23039513 27534217 20039424 PTK PBB 90 90 17275378 24074948 17282022 22739591 PBB TBP 90 90 2.8079E8 2.776E8 2.7883E8 1.6327E8 TBP PENU 90 90 3.8489E8 3.5302E8 3.8557E8 2.259E8 PENU PEND 90 90 1.0411E8 1.05E8 1.0674E8 70298601 PEND TABS 90 90 4872222 2733799 4888410 2062526 TABS PKON 90 90 22359356 12218270 22408871 10836238 PKON PPKS 90 90 6206222 5185688 6252815 3813195 PPKS
231
Lampiran 15. Program Simulasi.6. Perluasan Daerah Pemasaran Produk (DPP) dari Hanya di Wilayah Yogayakarta dan Jawa Tengah Menjadi Wilayah yang Mencakup Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Sekitarnya, Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1
MODEL EKONOMI USAHA KECIL OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA UMK1; SET UMK1; MOUS = PKM + ALK; TBP = PBM + PBB + PTK; PEND = PENU ‐ TBP; DPP = 1; RUN; PROC SIMNLIN OUT=OUTDAS STAT SIMULATE OUTPREDICT THEIL; ENDOGENOUS PKM MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS; INSTRUMENTS SBK ALK PO TP JAK JTK PBBM PTKP KTK JAS DSK DJG DPP PSO PNTK LTU PI DJST; PARM A0 15104932 A1 ‐1071138 A2 2.682963 A3 2.554394 A4 ‐49707.0 A5 16640364 B0 20367366 B1 2.397221 B2 630.0195 B3 64441.69 C0 5530032 C1 0.153124 C2 0.863239 D0 2986745 D1 0.375570 D2 0.949213 E0 ‐13490000 E1 1.036368 E2 1.491545 E3 2.996431 E4 2714.439 E5 35448025 F0 2205311 F1 0.006153 F2 ‐282239 F3 664601.6 F4 3583772 G0 4479184 G1 0.018831 G2 1483237 G3 ‐553154 G4 1.315749 H0 ‐3467540 H1 0.017714 H2 4092241 H3 0.420493 H4 305509.6; PKM MOUS PBM PBB PTK PENU TBP PEND TABS PKON PPKS RUN;
= A0+A1*SBK+A2*TABS+A3*PNTK+A4*LTU+A5*DSK; = PKM + ALK; = B0+B1*MOUS+B2*PI+B3*JTK; = C0+C1*MOUS+C2*PBBM; = D0+D1*MOUS+D2*PTKP; = E0+E1*PBM+E2*PBB+E3*PTK+E4*PO+E5*DPP; = PBM + PBB + PTK; = PENU ‐ TBP; = F0+F1*PEND+F2*JAK+F3*TP+F4*DJST; = G0+G1*PEND+G2*JAK+G3*TP+G4*KTK; = H0+H1*PEND+H2*JAS+H3*PSO+H4*DJG;
232
Lampiran 16. Hasil Simulasi.6. Perluasan Daerah Pemasaran Produk (DPP) dari Hanya di Wilayah Yogayakarta dan Jawa Tengah Menjadi Wilayah yang Mencakup Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Sekitarnya, Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1 MODEL EKONOMI USAHA KECIL
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 11 Endogenous 11 Parameters 37 Equations 11 Number of Statements 11 The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= UMK1 OUT= OUTDAS Solution Summary Variables Solved 11 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 1.29E‐15 Maximum Iterations 1 Total Iterations 90 Average Iterations 1 Observations Processed Read 90 Solved 90 Variables Solved For PKM MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PKM 90 90 16283333 25646916 16559312 15484963 PKM MOUS 90 90 31888889 34109521 32164867 27345224 MOUS PBM 90 90 2.3599E8 2.4428E8 2.3457E8 1.3106E8 PBM PTK 90 90 27517911 23039513 27621554 20001320 PTK PBB 90 90 17275378 24074948 17317631 22727393 PBB TBP 90 90 2.8079E8 2.776E8 2.7951E8 1.6284E8 TBP PENU 90 90 3.8489E8 3.5302E8 4.0034E8 2.1634E8 PENU PEND 90 90 1.0411E8 1.05E8 1.2082E8 61784019 PEND TABS 90 90 4872222 2733799 4975085 2024887 TABS PKON 90 90 22359356 12218270 22674137 10664442 PKON PPKS 90 90 6206222 5185688 6502346 3735138 PPKS
233 Lampiran 17. Program Simulasi.7. Perubahan Daerah Pemasaran Produk (DPP) dari yang Mencakup Wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Sekitarnya Menjadi Hanya di Wilayah Yogayakarta dan Jawa Tengah, Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1 MODEL EKONOMI USAHA KECIL OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA UMK1; SET UMK1; MOUS = PKM + ALK; TBP = PBM + PBB + PTK; PEND = PENU ‐ TBP; DPP = 0; RUN; PROC SIMNLIN OUT=OUTDAS STAT SIMULATE OUTPREDICT THEIL; ENDOGENOUS PKM MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS; INSTRUMENTS SBK ALK PO TP JAK JTK PBBM PTKP KTK JAS DSK DJG DPP PSO PNTK LTU PI DJST; PARM A0 15104932 A1 ‐1071138 A2 2.682963 A3 2.554394 A4 ‐49707.0 A5 16640364 B0 20367366 B1 2.397221 B2 630.0195 B3 64441.69 C0 5530032 C1 0.153124 C2 0.863239 D0 2986745 D1 0.375570 D2 0.949213 E0 ‐13490000 E1 1.036368 E2 1.491545 E3 2.996431 E4 2714.439 E5 35448025 F0 2205311 F1 0.006153 F2 ‐282239 F3 664601.6 F4 3583772 G0 4479184 G1 0.018831 G2 1483237 G3 ‐553154 G4 1.315749 H0 ‐3467540 H1 0.017714 H2 4092241 H3 0.420493 H4 305509.6; PKM = A0+A1*SBK+A2*TABS+A3*PNTK+A4*LTU+A5*DSK; MOUS = PKM + ALK; PBM = B0+B1*MOUS+B2*PI+B3*JTK; PBB = C0+C1*MOUS+C2*PBBM; PTK = D0+D1*MOUS+D2*PTKP; PENU = E0+E1*PBM+E2*PBB+E3*PTK+E4*PO+E5*DPP; TBP = PBM + PBB + PTK; PEND = PENU ‐ TBP; TABS = F0+F1*PEND+F2*JAK+F3*TP+F4*DJST; PKON = G0+G1*PEND+G2*JAK+G3*TP+G4*KTK; PPKS = H0+H1*PEND+H2*JAS+H3*PSO+H4*DJG; RUN;
234
Lampiran 18. Hasil Simulasi.7. Perubahan Daerah Pemasaran Produk (DPP) dari yang Mencakup Wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Sekitarnya Menjadi Hanya di Wilayah Yogayakarta dan Jawa Tengah, Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1 MODEL EKONOMI USAHA KECIL
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 11 Endogenous 11 Parameters 37 Equations 11 Number of Statements 11 The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= UMK1 OUT= OUTDAS Solution Summary Variables Solved 11 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 1.44E‐15 Maximum Iterations 1 Total Iterations 90 Average Iterations 1 Observations Processed Read 90 Solved 90 Variables Solved For PKM MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PKM 90 90 16283333 25646916 15965179 15484963 PKM MOUS 90 90 31888889 34109521 31570734 27345224 MOUS PBM 90 90 2.3599E8 2.4428E8 2.3315E8 1.3106E8 PBM PTK 90 90 27517911 23039513 27398415 20001320 PTK PBB 90 90 17275378 24074948 17226655 22727393 PBB TBP 90 90 2.8079E8 2.776E8 2.7777E8 1.6284E8 TBP PENU 90 90 3.8489E8 3.5302E8 3.6261E8 2.1634E8 PENU PEND 90 90 1.0411E8 1.05E8 84834970 61784019 PEND TABS 90 90 4872222 2733799 4753639 2024887 TABS PKON 90 90 22359356 12218270 21996409 10664442 PKON PPKS 90 90 6206222 5185688 5864818 3735138 PPKS
235
Lampiran 19. Program Simulasi.8. Kombinasi Simulasi.2 dan Simulasi.5 Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1
MODEL EKONOMI USAHA KECIL OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA UMK1; SET UMK1; MOUS = PKM + ALK; TBP = PBM + PBB + PTK; PEND = PENU ‐ TBP; PKM = PKM*2.0; PO = PO*1.1; RUN; PROC SIMNLIN OUT=OUTDAS STAT SIMULATE OUTPREDICT THEIL; ENDOGENOUS /*PKM*/ MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS; INSTRUMENTS SBK ALK PO TP JAK JTK PBBM PTKP KTK JAS DSK DJG DPP PSO PNTK LTU PI DJST; PARM A0 15104932 A1 ‐1071138 A2 2.682963 A3 2.554394 A4 ‐49707.0 A5 16640364 B0 20367366 B1 2.397221 B2 630.0195 B3 64441.69 C0 5530032 C1 0.153124 C2 0.863239 D0 2986745 D1 0.375570 D2 0.949213 E0 ‐13490000 E1 1.036368 E2 1.491545 E3 2.996431 E4 2714.439 E5 35448025 F0 2205311 F1 0.006153 F2 ‐282239 F3 664601.6 F4 3583772 G0 4479184 G1 0.018831 G2 1483237 G3 ‐553154 G4 1.315749 H0 ‐3467540 H1 0.017714 H2 4092241 H3 0.420493 H4 305509.6; /*PKM MOUS PBM PBB PTK PENU TBP PEND TABS PKON PPKS RUN;
= A0+A1*SBK+A2*TABS+A3*PNTK+A4*LTU+A5*DSK;*/ = PKM + ALK; = B0+B1*MOUS+B2*PI+B3*JTK; = C0+C1*MOUS+C2*PBBM; = D0+D1*MOUS+D2*PTKP; = E0+E1*PBM+E2*PBB+E3*PTK+E4*PO+E5*DPP; = PBM + PBB + PTK; = PENU ‐ TBP; = F0+F1*PEND+F2*JAK+F3*TP+F4*DJST; = G0+G1*PEND+G2*JAK+G3*TP+G4*KTK; = H0+H1*PEND+H2*JAS+H3*PSO+H4*DJG;
236
Lampiran 20. Hasil Simulasi.8. Kombinasi Simulasi.2 dan Simulasi.5 Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1 MODEL EKONOMI USAHA KECIL
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 10 Endogenous 10 Parameters 37 Equations 10 Number of Statements 10 The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= UMK1 OUT= OUTDAS Solution Summary Variables Solved 10 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 8.91E‐16 Maximum Iterations 1 Total Iterations 90 Average Iterations 1 Observations Processed Read 90 Solved 90 Variables Solved For MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label MOUS 90 90 31888889 34109521 48172222 57880503 MOUS PBM 90 90 2.3599E8 2.4428E8 2.7294E8 1.954E8 PBM PTK 90 90 27517911 23039513 33633436 27668651 PTK PBB 90 90 17275378 24074948 19768741 24594485 PBB TBP 90 90 2.8079E8 2.776E8 3.2635E8 2.3809E8 TBP PENU 90 90 3.8489E8 3.5302E8 4.479E8 3.1766E8 PENU PEND 90 90 1.0411E8 1.05E8 1.2155E8 86222268 PEND TABS 90 90 4872222 2733799 4979566 2127032 TABS PKON 90 90 22359356 12218270 22687849 11089574 PKON PPKS 90 90 6206222 5185688 6515245 3835578 PPKS
237
Lampiran 21. Program Simulasi.9. Kombinasi Simulasi.2 dan Simulasi.6 Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1
MODEL EKONOMI USAHA KECI OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA UMK1; SET UMK1; MOUS = PKM + ALK; TBP = PBM + PBB + PTK; PEND = PENU ‐ TBP; PKM = PKM*2.0; DPP = 1; RUN; PROC SIMNLIN OUT=OUTDAS STAT SIMULATE OUTPREDICT THEIL; ENDOGENOUS /*PKM*/ MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS; INSTRUMENTS SBK ALK PO TP JAK JTK PBBM PTKP KTK JAS DSK DJG DPP PSO PNTK LTU PI DJST; PARM A0 15104932 A1 ‐1071138 A2 2.682963 A3 2.554394 A4 ‐49707.0 A5 16640364 B0 20367366 B1 2.397221 B2 630.0195 B3 64441.69 C0 5530032 C1 0.153124 C2 0.863239 D0 2986745 D1 0.375570 D2 0.949213 E0 ‐13490000 E1 1.036368 E2 1.491545 E3 2.996431 E4 2714.439 E5 35448025 F0 2205311 F1 0.006153 F2 ‐282239 F3 664601.6 F4 3583772 G0 4479184 G1 0.018831 G2 1483237 G3 ‐553154 G4 1.315749 H0 ‐3467540 H1 0.017714 H2 4092241 H3 0.420493 H4 305509.6; /*PKM MOUS PBM PBB PTK PENU TBP PEND TABS PKON PPKS RUN;
= A0+A1*SBK+A2*TABS+A3*PNTK+A4*LTU+A5*DSK;*/ = PKM + ALK; = B0+B1*MOUS+B2*PI+B3*JTK; = C0+C1*MOUS+C2*PBBM; = D0+D1*MOUS+D2*PTKP; = E0+E1*PBM+E2*PBB+E3*PTK+E4*PO+E5*DPP; = PBM + PBB + PTK; = PENU ‐ TBP; = F0+F1*PEND+F2*JAK+F3*TP+F4*DJST; = G0+G1*PEND+G2*JAK+G3*TP+G4*KTK; = H0+H1*PEND+H2*JAS+H3*PSO+H4*DJG;
238
Lampiran 22. Hasil Simulasi.9. Kombinasi Simulasi.2 dan Simulasi.6 Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1 MODEL EKONOMI USAHA KECIL
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 10 Endogenous 10 Parameters 37 Equations 10 Number of Statements 10 The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= UMK1 OUT= OUTDAS Solution Summary Variables Solved 10 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 5.66E‐16 Maximum Iterations 1 Total Iterations 90 Average Iterations 1 Observations Processed Read 90 Solved 90 Variables Solved For MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label MOUS 90 90 31888889 34109521 48172222 57880503 MOUS PBM 90 90 2.3599E8 2.4428E8 2.7294E8 1.954E8 PBM PTK 90 90 27517911 23039513 33633436 27668651 PTK PBB 90 90 17275378 24074948 19768741 24594485 PBB TBP 90 90 2.8079E8 2.776E8 3.2635E8 2.3809E8 TBP PENU 90 90 3.8489E8 3.5302E8 4.6177E8 3.0816E8 PENU PEND 90 90 1.0411E8 1.05E8 1.3543E8 76529067 PEND TABS 90 90 4872222 2733799 5064936 2086851 TABS PKON 90 90 22359356 12218270 22949120 10916681 PKON PPKS 90 90 6206222 5185688 6761018 3739503 PPKS
239
Lampiran 23. Program Simulasi.10. Kombinasi Simulasi.2, Simulasi.5, dan Simulasi.6 Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1
MODEL EKONOMI USAHA KECIL OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA UMK1; SET UMK1; MOUS = PKM + ALK; TBP = PBM + PBB + PTK; PEND = PENU ‐ TBP; PKM = PKM*2.0; PO = PO*1.1; DPP = 1; RUN; PROC SIMNLIN OUT=OUTDAS STAT SIMULATE OUTPREDICT THEIL; ENDOGENOUS /*PKM*/ MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS; INSTRUMENTS SBK ALK PO TP JAK JTK PBBM PTKP KTK JAS DSK DJG DPP PSO PNTK LTU PI DJST; PARM A0 15104932 A1 ‐1071138 A2 2.682963 A3 2.554394 A4 ‐49707.0 A5 16640364 B0 20367366 B1 2.397221 B2 630.0195 B3 64441.69 C0 5530032 C1 0.153124 C2 0.863239 D0 2986745 D1 0.375570 D2 0.949213 E0 ‐13490000 E1 1.036368 E2 1.491545 E3 2.996431 E4 2714.439 E5 35448025 F0 2205311 F1 0.006153 F2 ‐282239 F3 664601.6 F4 3583772 G0 4479184 G1 0.018831 G2 1483237 G3 ‐553154 G4 1.315749 H0 ‐3467540 H1 0.017714 H2 4092241 H3 0.420493 H4 305509.6; /*PKM MOUS PBM PBB PTK PENU TBP PEND TABS PKON PPKS RUN;
= A0+A1*SBK+A2*TABS+A3*PNTK+A4*LTU+A5*DSK;*/ = PKM + ALK; = B0+B1*MOUS+B2*PI+B3*JTK; = C0+C1*MOUS+C2*PBBM; = D0+D1*MOUS+D2*PTKP; = E0+E1*PBM+E2*PBB+E3*PTK+E4*PO+E5*DPP; = PBM + PBB + PTK; = PENU ‐ TBP; = F0+F1*PEND+F2*JAK+F3*TP+F4*DJST; = G0+G1*PEND+G2*JAK+G3*TP+G4*KTK; = H0+H1*PEND+H2*JAS+H3*PSO+H4*DJG;
240
Lampiran 24. Hasil Simulasi.10. Kombinasi Simulasi.2, Simulasi.5, dan Simulasi.6 Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS ver.9.1 MODEL EKONOMI USAHA KECIL
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 10 Endogenous 10 Parameters 37 Equations 10 Number of Statements 10 The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= UMK1 OUT= OUTDAS Solution Summary Variables Solved 10 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 5.22E‐16 Maximum Iterations 1 Total Iterations 90 Average Iterations 1 Observations Processed Read 90 Solved 90 Variables Solved For MOUS PBM PTK PBB TBP PENU PEND TABS PKON PPKS The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label MOUS 90 90 31888889 34109521 48172222 57880503 MOUS PBM 90 90 2.3599E8 2.4428E8 2.7294E8 1.954E8 PBM PTK 90 90 27517911 23039513 33633436 27668651 PTK PBB 90 90 17275378 24074948 19768741 24594485 PBB TBP 90 90 2.8079E8 2.776E8 3.2635E8 2.3809E8 TBP PENU 90 90 3.8489E8 3.5302E8 4.6444E8 3.0845E8 PENU PEND 90 90 1.0411E8 1.05E8 1.381E8 77643481 PEND TABS 90 90 4872222 2733799 5081351 2088518 TABS PKON 90 90 22359356 12218270 22999360 10920512 PKON PPKS 90 90 6206222 5185688 6808277 3747017 PPKS
241
Lampiran 25. Program Estimasi Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi Wilayah Menggunakan Metode Two-Stage Least Squares (2SLS) dan Prosedur SYSLIN Software SAS/ETS ver.9.1
OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA EKMAK14; SET EKMAK14; KBPR = KMB + KIKB; KUK = KMK + KIKK; RUN; PROC SYSLIN 2SLS DATA = EKMAK14 SIMPLE OUTEST=A; ENDOGENOUS KMB KIKB KMK KIKK KBRI KBPR KUK KKSP JG PDRB1 PDRB2 PDRB3 PDRB4; INSTRUMENTS SBBM SBBI JBPR SBPM JT JNB SBPI JD JBRI SBPK RPN RNU SBSM JKSP JAKO AKO JMK JP JAK ; MODEL KMB = SBBM JG JBPR; MODEL KIKB = SBBI JG JBPR; MODEL KMK = SBPM JT JG KBRI JNB; MODEL KIKK = SBPI JD JBRI; MODEL KBRI = SBPK RPN RNU JBRI PDRB1; IDENTITY KBPR = KMB + KIKB; IDENTITY KUK = KMK + KIKK; MODEL KKSP = SBSM JKSP JG JAKO AKO JMK; MODEL JG = PDRB2 PDRB3 PDRB4; MODEL PDRB1 = KBPR KKSP JP JAK; MODEL PDRB2 = KKSP JP JAK; MODEL PDRB3 = KUK JP JAK; MODEL PDRB4 = KBPR KUK JP; RUN; MODEL PDRB3 = KUK JP JAK; MODEL PDRB4 = KBPR KUK JP; RUN;
242
Lampiran 26. Hasil Estimasi Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi Wilayah Menggunakan Metode Two-Stage Least Squares (2SLS) dan Prosedur SYSLIN Software SAS/ETS ver.9.1
Descriptive Statistics uncorrected Std Variables Sum Mean SS Variance Deviation Variables Intercept 174.0 1.0000 174.0 0 0 Intercept SBBM 7412.1 42.5983 322029 36.3349 6.0278 SBBM SBBI 7469.0 42.9250 351238 177.1 13.3069 SBBI JBPR 3165.0 18.1897 65897.0 48.1315 6.9377 JBPR SBPM 6646.2 38.1967 341296 505.4 22.4809 SBPM JT 5.671E10 3.2594E8 2.616E19 4.435E16 2.1059E8 JT JNB 3529753 20285.9 8.383E10 70647192 8405.2 JNB SBPI 4814.6 27.6700 146281 75.4980 8.6890 SBPI JD 2.994E10 1.7205E8 1.305E19 4.568E16 2.1372E8 JD JBRI 4028.0 23.1494 102554 53.8041 7.3351 JBRI SBPK 6688.8 38.4417 351024 542.7 23.2967 SBPK RPN 650977 3741.2 2.6134E9 1028447 1014.1 RPN RNU 150869 867.1 1.3746E8 38409.5 196.0 RNU SBSM 6214.4 35.7150 243700 125.7 11.2133 SBSM JKSP 35106.0 201.8 8979738 10964.2 104.7 JKSP JAKO 13246517 76129.4 1.428E12 2.4251E9 49244.9 JAKO AKO 7176729 41245.6 3.933E11 5.6221E8 23710.9 AKO JMK 3019771 17355.0 7.513E10 1.3133E8 11459.9 JMK JP 1.7465E8 1003717 1.919E14 9.593E10 309718 JP JAK 87654038 503759 4.718E13 1.748E10 132194 JAK KMB 7.7556E9 44572298 6.141E17 1.552E15 39390314 KMB KIKB 5.324E9 30597725 3.238E17 9.298E14 30493371 KIKB KMK 2.894E10 1.663E8 6.731E18 1.109E16 1.0533E8 KMK KIKK 6.6538E9 38240379 5.937E17 1.961E15 44285402 KIKK KBRI 1.309E10 75249350 1.222E18 1.367E15 36977653 KBRI KBPR 1.308E10 75170023 1.629E18 3.731E15 61083961 KBPR KUK 3.559E10 2.0454E8 9.918E18 1.525E16 1.235E8 KUK KKSP 9824569 56463.0 8.529E11 1.7233E9 41512.5 KKSP JG 1.384E10 79538080 2.077E18 5.644E15 75126792 JG PDRB1 1.576E11 9.0575E8 1.77E20 1.978E17 4.4471E8 PDRB1 PDRB2 1.337E11 7.6823E8 2.963E20 1.119E18 1.0578E9 PDRB2 PDRB3 1.04E11 5.978E8 9.966E19 2.166E17 4.6546E8 PDRB3 PDRB4 5.065E10 2.9107E8 1.682E19 1.198E16 1.0947E8 PDRB4
243 1. Persamaan Kredit Modal Kerja dari Bank Perkreditan Rakyat: KMB
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KMB Dependent Variable KMB Label KMB Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 8.704E16 2.901E16 27.32 <.0001 Error 170 1.805E17 1.062E15 Corrected Total 173 2.684E17 Root MSE 32587653.8 R‐Square 0.32531 Dependent Mean 44572298.4 Adj R‐Sq 0.31340 Coeff Var 73.11190 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 1110252 20605046 0.05 0.9571 Intercept SBBM 1 ‐337994 420865.1 ‐0.80 0.4230 SBBM JG 1 0.013063 0.039793 0.33 0.7431 JG JBPR 1 3123809 378009.1 8.26 <.0001 JBPR
2. Persamaan Kredit Investasi dan Konsumsi dari Bank Perkreditan Rakyat: KIKB The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KIKB Dependent Variable KIKB Label KIKB Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 3.422E16 1.141E16 15.23 <.0001 Error 170 1.273E17 7.49E14 Corrected Total 173 1.609E17 Root MSE 27367486.2 R‐Square 0.21184 Dependent Mean 30597724.8 Adj R‐Sq 0.19793 Coeff Var 89.44288 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 14892866 10463210 1.42 0.1565 Intercept SBBI 1 ‐359913 164848.1 ‐2.18 0.0304 SBBI JG 1 0.070804 0.034203 2.07 0.0400 JG JBPR 1 1403134 316914.8 4.43 <.0001 JBPR
244 3. Persamaan Kredit Usaha Kecil untuk Modal Kerja dari Bank Umum: KMK The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KMK Dependent Variable KMK Label KMK Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 9.822E17 1.964E17 35.99 <.0001 Error 168 9.171E17 5.459E15 Corrected Total 173 1.919E18 Root MSE 73883341.1 R‐Square 0.51715 Dependent Mean 166300776 Adj R‐Sq 0.50278 Coeff Var 44.42754 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 46048801 21665685 2.13 0.0350 Intercept SBPM 1 ‐333428 305291.0 ‐1.09 0.2763 SBPM JT 1 0.180607 0.045637 3.96 0.0001 JT JG 1 ‐0.27478 0.147727 ‐1.86 0.0646 JG KBRI 1 2.159456 0.356552 6.06 <.0001 KBRI JNB 1 ‐3279.21 1370.381 ‐2.39 0.0178 JNB
4. Persamaan Kredit Usaha Kecil untuk Investasi dan Konsumsi dari Bank Umum: KIKK The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KIKK Dependent Variable KIKK Label KIKK Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 4.12E16 1.373E16 7.83 <.0001 Error 170 2.981E17 1.753E15 Corrected Total 173 3.393E17 Root MSE 41873966.5 R‐Square 0.12144 Dependent Mean 38240379.3 Adj R‐Sq 0.10594 Coeff Var 109.50196 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐1.025E7 15355851 ‐0.67 0.5054 Intercept SBPI 1 159540.1 367217.4 0.43 0.6645 SBPI JD 1 0.054484 0.014956 3.64 0.0004 JD JBRI 1 1498967 435335.1 3.44 0.0007 JBRI
245
5. Persamaan Kredit Kupedes dari Bank Rakyat Indonesia-(BRI-Unit) : KBRI The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KBRI Dependent Variable KBRI Label KBRI Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 2.22E17 4.439E16 507.20 <.0001 Error 168 1.47E16 8.752E13 Corrected Total 173 2.366E17 Root MSE 9355371.18 R‐Square 0.93787 Dependent Mean 75249350.1 Adj R‐Sq 0.93602 Coeff Var 12.43249 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐1.523E8 6294598 ‐24.19 <.0001 Intercept SBPK 1 42825.05 38613.95 1.11 0.2690 SBPK RPN 1 20761.97 885.4871 23.45 <.0001 RPN RNU 1 84160.61 3724.288 22.60 <.0001 RNU JBRI 1 3319319 103263.0 32.14 <.0001 JBRI PDRB1 1 ‐0.00178 0.002054 ‐0.87 0.3870 PDRB1
6. Persamaan Kredit / Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam: KKSP The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model KKSP Dependent Variable KKSP Label KKSP Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 1.871E11 3.118E10 45.18 <.0001 Error 167 1.153E11 6.9022E8 Corrected Total 173 2.981E11 Root MSE 26271.9478 R‐Square 0.61877 Dependent Mean 56463.0402 Adj R‐Sq 0.60508 Coeff Var 46.52946 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 727.3453 9382.122 0.08 0.9383 Intercept SBSM 1 81.31633 189.0656 0.43 0.6677 SBSM JKSP 1 ‐95.9778 29.65238 ‐3.24 0.0015 JKSP JG 1 0.000088 0.000034 2.56 0.0115 JG JAKO 1 0.290603 0.069020 4.21 <.0001 JAKO AKO 1 1.064676 0.133988 7.95 <.0001 AKO JMK 1 ‐0.04724 0.250890 ‐0.19 0.8509 JMK
246
7. Persamaan Jumlah Giro Masyarakat di Bank Umum: JG The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model JG Dependent Variable JG Label JG Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 5.948E17 1.983E17 64.98 <.0001 Error 170 5.187E17 3.051E15 Corrected Total 173 9.764E17 Root MSE 55239820.5 R‐Square 0.53416 Dependent Mean 79538080.2 Adj R‐Sq 0.52594 Coeff Var 69.45078 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐4.755E7 15900991 ‐2.99 0.0032 Intercept PDRB2 1 0.038752 0.013154 2.95 0.0037 PDRB2 PDRB3 1 0.049219 0.033373 1.47 0.1421 PDRB3 PDRB4 1 0.233245 0.059647 3.91 0.0001 PDRB4
8. Persamaan Produk Domestik Regional Bruto sektor Pertanian: PDRB1 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model PDRB1 Dependent Variable PDRB1 Label PDRB1 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 1.492E19 3.731E18 32.56 <.0001 Error 169 1.936E19 1.146E17 Corrected Total 173 3.421E19 Root MSE 338499878 R‐Square 0.43524 Dependent Mean 905752818 Adj R‐Sq 0.42188 Coeff Var 37.37221 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐2.206E8 1.0679E8 ‐2.07 0.0404 Intercept KBPR 1 0.494009 0.608568 0.81 0.4181 KBPR KKSP 1 ‐343.948 848.7044 ‐0.41 0.6858 KKSP JP 1 133.7567 238.3742 0.56 0.5755 JP JAK 1 1934.171 559.3290 3.46 0.0007 JAK
247
9. Persamaan Produk Domestik Regional Bruto sektor Industri: PDRB2 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model PDRB2 Dependent Variable PDRB2 Label PDRB2 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 2.024E19 6.745E18 6.09 0.0006 Error 170 1.884E20 1.108E18 Corrected Total 173 1.936E20 Root MSE 1052742248 R‐Square 0.09699 Dependent Mean 768234630 Adj R‐Sq 0.08105 Coeff Var 137.03395 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 9.7839E8 3.2421E8 3.02 0.0029 Intercept KKSP 1 9485.553 2372.867 4.00 <.0001 KKSP JP 1 ‐433.846 712.5190 ‐0.61 0.5434 JP JAK 1 ‐615.925 1688.620 ‐0.36 0.7158 JAK
10. Persamaan Produk Domestik Regional Bruto sektor Perdagangan: PDRB3 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model PDRB3 Dependent Variable PDRB3 Label PDRB3 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 3.562E18 1.187E18 5.14 0.0020 Error 170 3.927E19 2.31E17 Corrected Total 173 3.748E19 Root MSE 480637146 R‐Square 0.08316 Dependent Mean 597804917 Adj R‐Sq 0.06698 Coeff Var 80.40033 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 2.4149E8 1.4743E8 1.64 0.1033 Intercept KUK 1 1.602115 0.510168 3.14 0.0020 KUK JP 1 ‐173.847 325.3113 ‐0.53 0.5938 JP JAK 1 403.1822 779.1480 0.52 0.6055 JAK
248
11. Persamaan Produk Domestik Regional Bruto sektor Jasa: PDRB4
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model PDRB4 Dependent Variable PDRB4 Label PDRB4 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 5.557E17 1.852E17 23.88 <.0001 Error 170 1.319E18 7.756E15 Corrected Total 173 2.073E18 Root MSE 88067982.0 R‐Square 0.29649 Dependent Mean 291074845 Adj R‐Sq 0.28407 Coeff Var 30.25613 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 1.1427E8 25018509 4.57 <.0001 Intercept KBPR 1 0.531931 0.157265 3.38 0.0009 KBPR KUK 1 0.314397 0.105223 2.99 0.0032 KUK JP 1 72.24406 27.30041 2.65 0.0089 JP