PERANAN KEBERADAAN KELENTENG SAM POO KONG TERHADAP KERUKUNAN UMAT BERAGAMA ISLAM DAN KONG HU CU Kris Panggraita, Sasana Danar Samudera, Agustinus Sufianto Binus University, Jl. Kemanggisan Ilir III/45, Palmerah, Jakarta Barat, 021-53276730
[email protected];
[email protected];
[email protected]
ABSTRACT The peaceful coexistence between Confusian and Muslim communities in the Sam Poo Kong area is truly unique. It occurs because of shared historic, cultural and social factors. The research was conducted by way of qualitative method. Data were obtained through interviews with and observations on 33 people consisting of pilgrims, temple keepers and tour guides at the Sam Poo Kong. The observations and data analysis conclude that the harmony among the two religious communities is achieved thanks to mutual respect as Franz Magnis Suseno points out in his theory on peaceful coexistence. The case of Sam Poo Kong offers a lesson on harmony in a religiously and culturally diverse community anywhere. (KS) Keywords
: Sam Poo Kong temple, Confucian, Muslim, harmony
ABSTRAK Kerukunan umat beragama Kong Hu Cu dan Islam di Kelenteng Sam Poo Kong merupakan hal yang unik. Kerukunan ini dapat terjadi karena faktor sejarah, budaya, dan faktor sosial lainnya. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan melakukan wawancara dan observasi kepada pengunjung yang beribadah, juru kunci, dan pemandu wisata di Kelenteng Sam Poo Kong. Hasil dari observasi dan analisis data diperoleh kerukunan antar umat Kong Hu Cu dan Islam dan kondisi yang saling menghormati dan menghargai sesuai dengan teori Franz Magnis Suseno mengenai prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Dengan memahami pentingnya kerukunan antar umat beragama di dalam satu lingkungan yang sama, akan memberikan contoh kepada masyarakat dan agar kerukunan antar umat beragama dapat terjadi dimana saja. (KS) Kata kunci
: Kelenteng Sam Poo Kong, Kong Hu Cu, Islam, kerukunan
1
2
PENDAHULUAN Di Indonesia terdapat banyak Kelenteng. Salah satunya adalah Kelenteng Sam Poo Kong di Semarang. Sam Poo Kong adalah kelenteng yang paling terkenal di Semarang. Sejarahnya berhubungan erat dengan kedatangan Cheng Ho. Cheng Ho merupakan bahariwan muslim, diplomat, dan kasim pada masa dinasti Ming Tiongkok. Karena anak buahnya yang bernama Wang Jinghong jatuh sakit, jadi dia dan anak buahnya berlabuh di Simongan, Semarang. Sepuluh hari kemudian, Cheng Ho meninggalkan Wang Jinghong beserta anak buahnya. Untuk mengenang kebaikan Cheng Ho, Wang Jinghong mendirikan sebuah patung gua. Sejak saat itu, masyarakat mulai menyembah patung Cheng Ho. Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat memugar patung tersebut menjadi sebuah kelenteng. Sejak itu, karena Cheng Ho adalah seorang muslim, jadi di dalam Kelenteng Sam Poo Kong terdapat sebuah musala, juga terdapat makam Wang Jinghong. Biasanya, di tempat ibadah hanya terdapat satu agama yang beribadah di tempat itu, tapi di Kelenteng Sam Poo Kong terdapat dua agama yang beribadah di sana. Kelenteng Sam Poo Kong memiliki dua budaya dan agama, yaitu budaya Tiongkok dan Indonesia, serta ajaran Kong Hu Cu dan Islam. Karena Kelenteng Sam Poo Kong memiliki sejarah Cheng Ho. Jadi umumnya di dalam Kelenteng tidak hanya digunakan oleh umat Kong Hu Cu untuk beribadah, tapi di dalam Kelenteng Sam Poo Kong juga terdapat sebuah musala untuk beribadah bagi umat muslim, juga terdapat makam Wang Jinghong untuk berziarah. Meskipun Kelenteng Sam Poo Kong memiliki percampuran tersebut, tapi tidak ada konflik. Kelenteng Sam Poo Kong dapat menjadi salah satu topik terciptanya kerukunan umat agama Kong Hu Cu dan Islam. Kerukunan umat beragama adalah sebuah hal yang sangat penting. Karena masyarakat yang memiliki kemajemukan beragama, permasalahan kepercayaan beragama di Indonesia cukup rumit, perbedaan umat beragama di dalam masyarakat dapat menimbulkan konflik. Oleh karena itu, lebih memahami bagaimana cara menjaga keharmonisan antarumat beragama dapat menghasilkan manfaat yang besar. Penulis ingin mengetahui kerukunan di sekitar Kelenteng Sam Poo Kong. Konflik agama di Indonesia adalah sebuah masalah yang sangat serius, karena sedikit saja perbedaan dapat menimbulkan konflik. Akan tetapi masyarakat tidak masalah terhadap dua agama yang terdapat di Kelenteng Sam Poo Kong. Dalam buku yang berjudul Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman dijelaskan bahwa demokratis yang terdapat di Indonesia juga harus dilihat secara pluralisme keberagamaan sehingga masyarakatnya dapat terbiasa hidup saling menghargai dan menghormati kemajemukan beragama dan pluralisme. Sikap saling menghargai dan menghormati keberagamaan itu dapat dilakukan dengan dialog dan kerja sama antaragama sehingga dapat mengurangi konflik dalam masyarakat karena kemajemukan agama yang ada di Indonesia. Penulis merujuk kepada teori yang dikemukakan oleh Franz Magnis Suseno dalam bukunya yang berjudul Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa yang mengungkapkan bahwa ada dua kaidah dasar yang mempengaruhi kerukunan umat beragama. Kaidah pertama ialah dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga sampai tidak timbul konflik. Kaidah kedua, menuntut agar manusia dalam berbicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Kaidah pertama disebut prinsip kerukunan, sedangkan dalam kaidah kedua disebut prinsip hormat. Beliau mengemukakan juga bahwa pengertian dalam keadaan rukun merupakan suatu keberadaan semua pihak dalam keadaan damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat. Penulis berharap masyarakat dapat lebih menghargai perbedaan agama yang ada. Penelitian ini agar dapat lebih membuka pemikiran masyarakat terhadap agama orang lain. Selain penelitian ini dapat memberikan masyarakat informasi mengenai kerukunan umat beragama di Kelenteng Sam poo Kong, juga sebagai referensi untuk skripsi lainnya, penelitian, dan artikel ilmiah.
METODE PENELITIAN Untuk mendukung penelitian ini, penulis menggunakan metode kuantitatif dan observasi. Pada tanggal 9 hingga 11 Mei dan 9 hingga 13 Juli 2015, penulis melakukan observasi dan wawancara kepada kepada 33 pengunjung, 2 orang juru kunci, dan 1 orang pemandu wisata di Kelenteng Sam Poo Kong. Dari 33 pengunjung tersebut, di antaranya 17 orang beragama Kong Hu Cu dan 16 orang beragama Islam. Penulis mengumpulkan data-data hasil wawancara yang telah dilakukan dan menganalisa kerukunan umat beragama Islam dan Kong Hu Cu yang terjadi di dalam Kelenteng Sam Poo Kong. Wawancara dilakukan dengan teknik Penulis menggunakan teknik nonprobability sampling. Teknik ini mengungkapkan bahwa setiap anggota populasi memiliki peluang nol. Artinya, dalam pengambilan sampel ini berdasarkan kriteria tertentu seperti status dan
3
kesukarelaan. Dalam hal ini, penulis hanya memilih narasumber dengan status sebagai pengunjung, juru kuci, dan pemandu wisata Kelenteng Sam Poo Kong yang secara sukarela diwawancara. Dalam menggunakan non-probability sampling, penulis menggunakan variasi sampling kebetulan (accidental sampling). Pengambilan sampel ini berdasarkan pada kenyataan bahwa narasumber kebetulan muncul. Dalam hal ini berarti pengunjung Kelenteng Sam Poo Kong yang tibatiba muncul. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan, penulis kemudian merangkum hasil wawancara, menganalisa penyebab terjadinya kerukunan umat beragama Islam dan Kong Hu Cu, sejauh mana kerukunan ini terjadi, dan pada akhirnya akan menyimpulkan dan menyarankan.
HASIL DAN BAHASAN Penulis telah melakukan observasi dan wawancara kepada 17 orang pengunjung yang beragama Kong Hu Cu dan 16 orang pengunjung yang beragama Islam, satu orang pemandu wisata, dan dua orang juru kunci di Kelenteng Sam Poo Kong pada tanggal 9 sampai 11 Mei 2015 dan 9 sampai 13 Juli 2015, penulis mendapatkan data-data sebagai berikut: Keberadaan Kelenteng Sam Poo Kong di kota Semarang memiliki hubungan yang sangat erat dengan kedatangan Cheng Ho di Semarang pada abad ke-15. Cheng Ho adalah seorang bahariwan, diplomat dan kasim muslim pada masa pemerintahan Kaisar Zhu, Dinasti Ming. Pada masa pemerintahannya, Kaisar Zhu mengutus armada yang besar untuk melakukan ekspedisi ke Laut Selatan. Armada tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho (dalam dialek Hokkian disebut sebagai Sam Poo Kong). Beliau dibantu oleh Wang Jinghong (dalam dialek Hokkian disebut Ong King Hong) sebagai tangan kanannya. Saat armada yang dipimpin oleh Cheng Ho berlayar melintasi pantai utara Pulau Jawa, Wang Jinghong mendadak sakit keras. Atas perintah Cheng Ho, akhirnya armada tersebut singgah untuk sementara waktu di daerah Simongan, Semarang. Saat mendarat di Simongan, Cheng Ho dan awak kapalnya menemukan sebuah gua. Gua itulah yang kemudian dijadikan sebagai tempat peristirahatan sementara bagi mereka. Sementara itu di luar gua dibuatlah sebuah pondok kecil sebagai tempat peristirahatan sekaligus pengobatan bagi Wang Jinghong. Sepuluh hari kemudian, setelah kesehatan Wang Jinghong mulai membaik, Cheng Ho memutuskan untuk melanjutkan pelayarannya ke barat. Beliau meninggalkan sepuluh awak kapal untuk menjaga Wang Jinghong, selain itu beliau juga meninggalkan sebuah kapal yang berisi perbekalan agar mereka bisa menyusul Cheng Ho. Akan tetapi, sesudah sembuh Wang Jinghong memilih untuk tinggal di Semarang karena merasa betah. Beliau memimpin sepuluh awak kapalnya untuk membuka lahan dan membangun tempat tinggal di Simongan. Beliau juga memanfaatkan kapal yang ditinggalkan oleh Cheng Ho untuk usaha perdagangan di daerah sekitar pantai Simongan. Berkat jerih payah yang telah dilakukan oleh Wang Jinghong dan anak buahnya, kawasan sekitar gua tersebut berangsur-angsur menjadi ramai dan makmur. Hal ini membuat semakin banyak orang Tionghoa datang untuk menetap serta bercocok tanam di daerah Simongan. Seperti Laksamana Cheng Ho, Wang Jinghong juga merupakan seorang muslim yang saleh. Beliau giat menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat Tionghoa dan penduduk setempat. Demi menghormati Laksamana Cheng Ho yang berjasa, Wang Jinghong kemudian mendirikan patung Cheng Ho di gua tadi untuk disembah orang. Konon, Wang Jinghong meninggal dunia dalam usia 87 tahun dan dikuburkan secara Islam. Atas jasanya, beliau diberi julukan sebagai Kyai Juru Mudi Dampo Awang. Sejak saat itu, setiap tanggal 1 dan 15 bulan Imlek, banyak orang berbondong-bondong datang untuk memberi penghormatan bagi patung Sam Poo Kong di gua Sam Poo sekaligus berziarah ke makam Kyai Juru Mudi Dampo Awang. Untuk memperingati Cheng Ho, orang-orang membangun Kelenteng Sam Poo Kong. Pada awalnya, kelenteng itu sangat sederhana. Di dalam gua itu hanya terdapat patung Cheng Ho. Pada tahun 1704 gua itu runtuh akibat bencana angin ribut dan hujan lebat. Peristiwa itu menyebabkan sepasang pengantin yang sedang bersembahyang tewas tertimbun reruntuhan. Tak lama kemudian, gua yang runtuh itu digali dan diperbaiki seperti semula. Kelenteng Sam Poo Kong dipugar oleh masyarakat Tionghoa setempat pada tahun 1724. Pada tahun 1879, masyarakat Tionghoa di Semarang mengadakan sebuah upacara sembahyang besar di Kelenteng Sam Poo Kong sebagai ucapan terima kasih pada Tuan Besar Sam Poo karena usaha perdagangan mereka semakin maju.
4 Pada tahun 1930, diadakan arak-arakan untuk memperingati ulang tahun Cheng Ho yang bertujuan untuk mengambil perhatian masyarakat Tionghoa. Arak-arakan tersebut berlangsung meriah setiap tahun, dan sejak saat itu dibentuklah Yayasan Sam Poo Kong. Arak-arakan itu selalu dibanjiri oleh masyarakat keturunan Tionghoa dan orang Indonesia asli. Tidak hanya penduduk dari Kota Semarang, bahkan pengunjung dari kota atau pulau lain juga datang untuk menyaksikan arak-arakan tersebut hingga saat ini. Arsitektur Kelenteng Sam Poo Kong dipengaruhi oleh kebudayaan Tiongkok dan Jawa. Pengaruh kebudayaan Tiongkok dapat dilihat dari corak warna merah dan kuning pada interior kelenteng, pilar-pilar di dalam kelenteng yang diukir dengan ornamen naga, dan lampion-lampion besar berwarna merah yang digantung di sekeliling kelenteng. Unsur kebudayaan Jawa dapat dilihat dari ukiran-ukiran seperti motif batik yang ada pada bangunan kelenteng dan pendopo serta adanya patung buto . Selain itu juga terdapat unsur agama Kong Hu Cu dan Islam pada bangunan Kelenteng Sam Poo Kong. Unsur agama Kong Hu Cu dapat dilihat dari bentuk altar dan adanya patung dewa-dewi Kong Hu Cu di depan kelenteng. Sedangkan unsur agama Islam dapat dilihat dari warna hijau di interior kelenteng dan bedug yang ada di dalam kelenteng. Bedug merupakan bagian dari kebudayaan Tiongkok yang di Indonesia lebih dikenal sebagai bagian dari agama Islam. Kelenteng Sam Poo Kong terbagi menjadi 2 kawasan yaitu kawasan wisata dan kawasan peribadatan. a. Di dalam kawasan wisata, terdapat bangunan mushola, aula besar, toko oleh-oleh dan penjualan peralatan ibadah, tempat penyewaan kostum tradisional Tiongkok, pendopo, dan toilet umum. b. Bangunan aula besar digunakan untuk perayaan ulang tahun Cheng Ho dan biasanya untuk beristirahat dan berfoto bagi para pengunjung. Saat hari perayaan ulang tahun Cheng Ho selalu diadakan acara hiburan seperti pertunjukan barongsai, wayang, dan kembang api yang biasa jatuh pada bulan Agustus berdasarkan kalender penanggalan Cina. Perayaan ini tidak hanya dibuka untuk umat Kong Hu Cu saja, tapi juga dibuka untuk umum dan tidak dipungut biaya. c. Di dalam kawasan peribadatan terdapat lima bangunan kelenteng, yaitu Kelenteng Dewa Bumi, dan Dewi Laut, Wang Jing Hong (Kyai Juru Mudi), Sam Poo Kong, Kyai Jangkar, dan Kyai dan Nyai Tumpeng. Gambar 1 Kawasan Wisata
5 Gambar 2 Kawasan Peribadatan
Di tiap-tiap kelenteng terdapat seorang Bio Kong untuk membantu para pengunjung dalam menjalankan ibadah. Khusus di Kelenteng Kyai Jangkar, juru kuncinya adalah seorang muslim yang juga mengerti tata cara peribadatan Kong Hu Cu. Tidak ada pembagian tempat ibadah bagi umat Islam dan Kong Hu Cu di Kelenteng Sam Poo Kong. Baik umat Islam maupun Kong Hu Cu dapat masuk ke kawasan peribadatan. Hanya saja untuk kegiatan ziarah yang biasa dilakukan oleh umat Islam, mereka hanya berziarah di 3 (tiga) kelenteng saja. Umat Islam berziarah ke makam Kyai Juru Mudi yang ada di Kelenteng Wang Jinghong, makam Kyai dan Nyai Tumpeng yang ada di Kelenteng Kyai dan Nyai Tumpeng, serta ke Kelenteng Kyai Jangkar karena terdapat sebuah jangkar besar yang dipercaya jangkar milik kapal Laksamana Cheng Ho. Mereka percaya bahwa berziarah ke tiga makam tersebut dapat mendatangkan berkah bagi mereka. Meskipun sama-sama beribadah di Kelenteng Sam Poo Kong, tapi tata cara peribatan yang dilakukan oleh masing-masing umat Kong Hu Cu dan Islam berbeda. a. Tata cara peribadatan umat Kong Hu Cu Bagi umat Kong Hu Cu, mereka bersembahyang di 5 kelenteng yang terdapat di dalam kawasan wisata Kelenteng Sam Poo Kong. Mereka diwajibkan membeli dupa yang dikhususkan untuk sembahyang di toko terlebih dahulu lalu mereka akan mengikuti urutan tempat sembahyang dari 5 kelenteng tersebut. Pertama, mereka bersembahyang di dalam kelenteng utama dan yang paling besar ) lalu dilanjutkan di Kelenteng Dewa Bumi dan yaitu Kelenteng Sam Poo Kong ( Dewi Laut, Kelenteng Wang Jing Hong, kemudian di Kelenteng Kyai Jangkar dan terakhir di Kelenteng Kyai dan Nyai Tumpeng. Di tiap-tiap kelenteng, mereka akan menyalakan beberapa dupa lalu bersembahyang terlebih dahulu di depan altar utama dan dilanjutkan dengan bersembahyang di depan altar kecil yang terletak di depan pintu masuk kelenteng dan di sisi samping bagian dalam kelenteng. Setelah membaca doa di tiap-tiap altar, mereka akan mengambil beberapa dupa yang telah dibakar dan menancapkannya di tempat dupa atau yang biasa disebut dengan hio lo. Ketika bersembahyang, mereka dapat melakukannya dengan berdiri ataupun berlutut. Setelah selesai bersembahyang di 5 kelenteng tersebut, umat Kong Hu Cu akan mendatangi semua altar utama di setiap-setiap kelenteng untuk membungkukkan badan sebagai tanda berpamitan sebelum mereka keluar meninggalkan kawasan peribadatan. Di setiap kelenteng memiliki Bio Kong yang akan bersedia untuk membantu para pengunjung yang ingin bersembahyang namun belum mengetahui tata cara urutan peribadahannya. Begitu juga dengan juru kunci di Kelenteng Kyai Jangkar, beliau mengerti tata cara peribadatan umat Kong Hu Cu walaupun ia beragama Islam. b. Tata cara peribadatan umat Islam Ada persamaan dan perbedaan tata cara peribadatan yang dilakukan oleh umat Islam dan Kong Hu Cu yang beribadah di Kelenteng Sam Poo Kong. Urutan sembahyang yang dilakukan di lima kelenteng sama, hal yang membedakan adalah umat Islam berdoa dengan menggunakan bahasa Arab atau bahasa Jawa dan tidak memberi hormat ke tiap kelenteng setelah mereka selesai sembahyang di 5 kelenteng tersebut.
三保大人
6 Gambar 3 Pengunjung yang Sedang Beribadah
c.
Ciam Si Kegiatan lainnya yang dapat dilakukan di sini adalah Ciamsi atau lebih dikenal dengan membaca peruntungan. Ciamsi dilakukan di Kelenteng Utama yaitu di Kelenteng Sam Poo Kong dan di Kelenteng Dewa Bumi dan Dewi Laut. Ritual dan doanya diwakilkan kepada seorang Bio Kong, jadi para pengunjung hanya menyerahkan dupanya yang dibeli terlebih dahulu di toko dalam kawasan wisata dan Bio Kong yang akan membakar dan berdoa dengan caranya. Ciamsi yang dilakukan di Kelenteng Utama dilakukan dengan cara: Pertama Bio Kong akan berdoa di dalam kelenteng, di depan altar utama kemudian di depan altar kecil yang berseberangan dengan altar utama. Dilanjutkan dengan berdoa di depan altar yang berada di belakang kelenteng. Setelah itu pengunjung akan diajak masuk ke dalam gua kecil yang berhadapan dengan belakang kelenteng. Di sini Bio Kong kembali berdoa, lalu mengambil tempat lidi bambu yang bertuliskan angka. Bio Kong akan mengocok dan mengeluarkan satu lidi lalu menunjukkan sebuah angka yang tertera di lidi tersebut. Selanjutnya ada 2 keping kayu yang dilempar. Hasil lemparannya tidak boleh sama harus satu muka dan satu belakang, bila ternyata sama maka ritual pengocokan lidi harus diulang, berarti lidi pertama tadi tidak sesuai untuk permohonan. Setelah Anda memperoleh nomor ciamsi maka akan diberikan selembar kertas yang di dalamnya terdapat makna dari nomor ciamsi tersebut. Sebenarnya bila sudah mendapatkan kertas ini, tinggal dibaca saja dan di sesuaikan dengan permohonan Anda, ada banyak hal yang terkandung di dalamnya. Bila ingin mendapatkan penjelasan, Bio Kong akan memberikan penjelasannya. Setelah Ciamsi selesai, Anda dapat memberi uang jasa peramalan ini dengan harga yang sewajarnya. Ciamsi yang dilakukan di dalam Kelenteng Dewa Bumi dan Dewi Laut kurang lebih sama dengan yang dilakukan di Kelenteng Utama. Yang membedakan hanya pengunjung dan Bio Kong tidak mengocok lidi bambu dan melempar keping bambu di dalam gua kecil yang terletak di seberang belakang Kelenteng Utama. Bio Kong akan melakukannya di meja besar yang terletak di tengah-tengah altar utama dan altar depan. Umat agama apapun dapat melakukan Ciamsi. Ciamsi di Kelenteng Sam Poo Kong dilakukan dengan tata cara Kong Hu Cu. Sebanyak 7 responden umat Islam yang melakukan ciamsi menyatakan tidak keberatan melakukan ciamsi dengan tata cara Kong Hu Cu. Mereka mempunyai pandangan bahwa semua agama dapat melakukan ciamsi di dalam kelenteng merupakan hal yang unik. Selain itu, mereka juga merasa senang karena mereka dapat mengetahui peruntungan mereka.
7 Gambar 4 Contoh 1 Kertas Hasil Ciamsi
Gambar 5 Contoh 2 Kertas Hasil Ciamsi
Menurut keterangan dari Ibu Eny (Pemandu wisata Kelenteng Sam Poo Kong) dan dua orang Bio Kong, pada malam Jumat Kliwon dan malam 1 Suro adalah puncak keramaian umat Islam untuk datang berziarah ke makam Wang Jinghong, Kyai Jangkar, dan Kyai-Nyai Tumpeng dengan membawa kemenyan dan bunga. Keramaian pada malam Jumat Kliwon dan malam 1 suro ini disebabkan karena pada hari tersebut dianggap hari keramat dan bagian dari kebudayaan Islam di Jawa. Ketika malam Jumat Kliwon, umat Kong Hu Cu tetap ada yang datang untuk beribadah, tetapi mereka akan datang beribadah sebelum jam 7 malam karena mereka ingin menyediakan tempat bagi banyaknya umat Islam yang datang pada malam hari. Puncak keramaian umat Kong Hu Cu datang beribadah di Kelenteng Sam Poo Kong adalah saat menjelang Imlek, Imlek, dan Cap Go Meh. Di saat Imlek dan Cap Go Meh tidak ada umat Islam yang datang untuk berziarah karena takut menganggu banyaknya umat Kong Hu Cu yang datang untuk beribadah. Menurut keterangan dua orang juru kunci Kelenteng Sam Poo Kong, dalam 1 bulan perkiraan jumlah pengunjung yang datang untuk beribadah yaitu 300 orang. Umat beragama Islam yaitu 100 orang dan yang beragama Kong Hu Cu yaitu 200 orang. Penulis melakukan wawancara kepada 17 pengunjung yang beragama Kong Hu Cu dan 16 orang yang beragama Islam. Semua umat Kong Hu Cu dan Islam yang telah penulis wawancarai tidak merasa keberatan apabila mereka beribadah dalam waktu yang sama di dalam Kelenteng Juru Mudi. Umat Islam yang sedang berziarah tidak menganggu umat Kong Hu Cu yang sedang bersembahyang, begitu juga sebaliknya. Mereka masing-masing tidak membaca doa dengan suara yang keras dan tidak membuat kegaduhan. Mereka saling menghormati dan menghargai, mereka juga menganggap hal ini sebagai bentuk kerukunan umat beragama Islam dan Kong Hu Cu di Kelenteng Sam Poo Kong.
8 Umat Kong Hu Cu tidak keberatan dengan adanya juru kunci yang beragama Islam di Kelenteng Kyai Jangkar dan tidak masalah apabila beliau memimpin ibadah umat Kong Hu Cu. Umat Islam pun tidak keberatan dipimpin oleh seorang juru kunci yang beragama Kong Hu Cu untuk melakukan ibadah dan ciamsi. Hanya 1 orang responden yang beragama Islam merasa keberatan, beliau mengatakan bahwa akan lebih baik apabila ia dipimpin oleh seorang juru kunci yang beragama Islam juga. Tujuan para responden datang ke Kelenteng Sam Poo Kong adalah untuk beribadah. Selain beribadah, mereka melakukan Ciam Si dan atau akan berjalan-jalan di area kawasan wisata Sam Poo Kong. Gambar 6 Kegiatan yang Dilakukan Pengunjung Selain Beribadah
Karena di Kelenteng Sam Poo Kong tidak hanya umat Kong Hu Cu saja yang datang, tetapi juga banyak umat Islam yang datang untuk beribadah, ziarah dan Ciam Si membuat pengurus Kelenteng Sam Poo Kong membangun sebuah mushola yang terletak di dalam kawasan wisata Kelenteng Sam Poo Kong. Mengenai keberadaan mushola ini, tidak adanya keberatan dari semua responden karena mereka menganggap mushola tersebut sebagai fasilitas bagi umat Islam yang sedang berwisata ataupun beribadah di dalam kawasan Kelenteng Sam Poo Kong. Mushola ini juga sebagai sarana untuk mendukung umat Islam yang ingin melakukan sholat 5 waktu. Mengenai adanya unsur-unsur Kong Hu Cu dan Islam di dalam Kelenteng Sam Poo Kong, semua responden tidak menyatakan keberatan. Mereka menganggap hal tersebut sebagai bentuk kerukunan yang terjadi di dalam Kelenteng Sam Poo Kong. Semua responden yang beragama Islam dan Kong Hu Cu melakukan interaksi. Namun, karena mereka tidak saling mengenal, maka interaksi yang mereka lakukan terbatas seperti: saat mereka berpapasan di dalam kelenteng, mereka saling tersenyum atau menganggukkan kepala. Hal ini mereka lakukan untuk menciptakan keharmonisan antarumat beragama di Kelenteng Sam Poo Kong sekaligus sebagai bentuk menghormati dan menghargai antarumat beragama. Menurut keterangan dua orang juru kunci kelenteng yang telah bekerja selama kurang lebih 5 tahun, tidak pernah terjadi konflik antara antara umat Islam dan Kong Hu Cu di dalam Kelenteng Sam Poo Kong. Peranan keberadaan kelenteng Sam Poo Kong terhadap kerukunan umat beragama Islam dan Kong Hu Cu berawal dari sejarah kedatangan Cheng Ho dan Wang Jinghong di Semarang. Karena keunikan nilai sejarah itulah, maka Kelenteng Sam Poo Kong menjadi tempat untuk memperingati Cheng Ho dan Wang Jinghong, tempat ibadah, sekaligus sebagai tempat wisata. 1. Tempat untuk Memperingati Cheng Ho dan Wang Jinghong Kelenteng Sam Poo Kong menjadi salah satu tempat untuk memperingati Cheng Ho, Wang Jinghong dan anak buahnya yang singgah di Simongan, Semarang. Cheng Ho dan Wang Jinghong menjadi tokoh yang dihormati oleh umat Islam dan Kong Hu Cu karena memiliki peranan yang penting bagi kedua umat agama tersebut, terutama yang berada di Indonesia. Umat Islam menghormati Cheng Ho dan Wang Jinghong sebagai penyebar agama Islam di Nusantara pada abad ke-15. Umat Kong Hu Cu menganggap Cheng Ho dan Wang Jinghong sebagai leluhur dan disembah sebagai dewa.
10
2.
3.
Karena sama-sama menghormati Cheng Ho dan Wang Jinghong, maka umat Islam dan Kong Hu Cu dapat beribadah di Kelenteng Sam Poo Kong guna memperingati Cheng Ho dan Wang Jinghong. Hal ini sudah menjadi kebiasaan yang turun-temurun pada masyarakat yang mempercayai Cheng Ho dan Wang Jinghong sejak beberapa ratus tahun yang lalu hingga sekarang. Tempat Ibadah Tidak hanya umat Kong Hu Cu yang datang ke Kelenteng Sam Poo Kong untuk beribadah, tapi umat Islam juga dapat datang ke Kelenteng Sam Poo Kong untuk beribadah. Umat Islam dan Kong Hu Cu yang datang ke Kelenteng Sam Poo Kong sama-sama memiliki kepercayaan bahwa mereka bisa mendapatkan berkah bila beribadah di Kelenteng Sam Poo Kong. Umat Islam yang percaya hal tersebut melakukan ritual sembahyang di Kelenteng Sam Poo Kong. Tidak ada perbedaan perlakuan bagi semua umat agama yang ingin beribadah di Kelenteng Sam Poo Kong. Kebebasan bagi semua umat agama ini menjadikan mereka saling menghormati dan menghargai satu dengan lainnya. Tempat Wisata Seiring dengan perkembangan zaman, kini Kelenteng Sam Poo Kong tidak hanya dikenal sebagai tempat ibadah saja, tapi juga tempat wisata. Nilai-nilai sejarah dan keunikan yang dimiliki oleh Kelenteng Sam Poo Kong menjadi nilai lebih untuk mempromosikan dan mengembangkan Kelenteng Sam Poo Kong sebagai salah satu tujuan wisata.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil yang telah penulis dapatkan, penulis mendapatkan keterkaitan kerukunan yang terjadi di Kelenteng Sam Poo Kong dengan teori Franz Magnis Suseno mengenai prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Kerukunan umat beragama Islam dan Kong Hu Cu dengan keberadaan Kelenteng Sam Poo Kong sejalan dengan dua prinsip yang disebutkan oleh Franz. Umat Islam dan Kong Hu Cu di dalam Kelenteng Sam Poo Kong dapat saling menghormati dan menghargai. Mereka tidak menganggu satu sama lain ketika sedang beribadah, tidak berdoa dengan suara yang keras, dan tidak membuat keributan. Mereka pun rukun satu sama lain, hal ini didukung dengan tidak pernah terjadinya sebuah konflik dan mereka tetap dapat menjalankan ibadahnya masing-masing walaupun di dalam tempat yang sama. Kerukunan antar umat Islam dan Kong Hu Cu dengan keberadaan Kelenteng Sam Poo Kong merupakan topik yang menarik dan pantas untuk diteliti. Penulis berharap hasil dari penelitian skripsi ini dapat memberikan referensi dan sebagai bentuk dukungan penulis dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama di berbagai tempat di Indonesia. Selain sebagai tempat ibadah, penulis juga berharap, kerukunan antarumat beragama di Kelenteng Sam Poo Kong dapat menjadi faktor untuk mengembangkan potensi wisata yang dimiliki oleh Kelenteng Sam Poo Kong. Hal ini didukung oleh keunikan nilai-nilai kerukunan umat beragama yang terjadi di Kelenteng Sam Poo Kong dan nilai sejarah yang dimiliki oleh Kelenteng Sam Poo Kong.
REFERENSI
雷宗友.郑和下西洋[M].少年儿童出版社, 2005 王新龙.大明王朝[M].中国戏剧出板社,2013 黄昆章.印尼华侨华人史[M].广东:广东高等教育出版社,2005 徐作生.鄭和寶船揚帆世界[M].香港:香港中和出版有限公司,2011 北京师范大学出版社.历史七年级下册[M].北京:北京师范大学版社,2007 中国新闻网——印尼三宝垄市纪念郑和下西洋 609 周年[Z].http://news.sina.com.cn/w/2014-0726/010830580966.shtml 2014-7-26/ 2015-6-2.
Achmad, Nur. 2001. Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Baidhawy, Zakiyuddin. 2005. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Erlangga. Dahana, A., dkk. 2005. Telapak Sejarah Sam Po Kong. Jakarta: DPP Partai Golkar Korbid Keagamaan. Gay. L. R., Mills. G.E., and Airasian. P., 2009. Educational Research Competencies for Analysis and Applications. Colombus, Ohio.Pearson. Given, Lisa M. 2008. The Sage Encyclopedia of Qualitative Research Methods. Thousand Oaks: Sage.
10 Hurlock,E.B. 2002. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Parker, Lyn. (2010). Religious Tolerance and Inter-faith Education in Indonesia. Tugas Akhir tidak diterbitkan. Asian Studies School of Social and Cultural Studies The University of Western Australia. Safitri, Dian Maya. (2011). The Amalgamation of Javanese Abangan, Islam, Taoism and Buddhism in the Sam Po Kong Shrine. South East Asia 2. 156-163. Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suherdjoko. 8 January, (2012). Semarang set for Sam Po Carnival. The Jakarta Post, page 8. Suseno, Franz Magnis. 2003. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Tutorial Penelitian. (2014). Jenis-Jenis Teknik Sampling, diakses 4 Juni 2015 dari http://tu.laporanpenelitian.com/2014/11/21.html Y, Dhee Shinzy., Tathagati, Arini, dkk. 2014. Asyik, Jelajah Nusantara. Yogyakarta: Diva Press. Yuanzhi, Kong. 2000. Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Yayasan Obor Indonesia. Yuanzhi, Kong. 2005. Silang Budaya Tiongkok Indonesia. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. (2012). Membangun Kerukunan Umat Beragama guna Terwujudnya Harmonisasi Kehidupan Masyarakat dalam rangka Ketahanan Nasional. Jurnal Kajian LEMHANNAS RI. 14: 122-136
RIWAYAT PENULIS Sasana Danar Samudera lahir di Kota Salatiga pada tanggal 25 Agustus 1993. Penulis menamatkan pendidikan S-1 di Binus University jurusan Sastra China pada tahun 2015. Kris Panggraita lahir di Kota Jakarta pada 15 April 1992. Penulis menamatkan pendidikan S-1 di Binus University jurusan Sastra China pada tahun 2015. Agustinus Sufianto lahir di Kota Surabaya pada 3 Agustus 1978. Beliau menamatkan pendidikan S-1 di University Of International Business and Economics jurusan International Finance. Saat ini bekerja sebagai pengajar di jurusan Sastra China Binus University.