BAB 3 SEJARAH KELENTENG SAM PO KONG DAN KEBUDAYAAN CINA JAWA ISLAM DI KOTA SEMARANG
3.1. Pelayaran Cheng Ho ke Nusantara dan Persinggahannya di Kota Semarang Sebelum ingatan kita terhanyut dengan paparan ekspedisi Laksamana Cheng Ho dan Kelenteng Sam Po Kong, ada baiknya penulis menceritakan sejarah Semarang. Kota ini menjadi penting karena pada Abad XV disinggahi armada Cheng Ho. Kelenteng Sam Po Kong di Gedung Batu merupakan satu dari sekian banyak peninggalan dari persinggahan tersebut. Semarang, Cheng Ho, dan Kelenteng Sam Po Kong keberadaan ketiganya, masing-masing saling berkaitan
3.1.1. Asal-usul Semarang. Kota Semarang adalah Ibukota Propinsi Jawa Tengah. Secara geografis terletak di pesisir utara Pulau Jawa. Pada posisi 1100.23’.57’.79”BT dan Lintang 60.55’.6” LS serta 60.58’18” LS. Sedangkan secara topografis Kota Semarang terdiri atas dua wilayah, yaitu wilayah atas, dan wilayah bawah. Wilayah atas adalah wilayah perbukitan yang memanjang dari timur ke barat di bagian selatan kota Semarang. Wilayah bawah adalah wilayah bentukan yang muncul karena peristiwa alluvial.1 Menurut Prof. Dr. Ir. R.W. Van Bamellen, geolog asal Belanda mengatakan, lebih kurang 500 tahun yang lalu keadaan kota Semarang jadi berbeda dengan sekarang. Dikala itu garis pantai masih jauh menjorok ke dalam hingga ke kaki bukit Gajahmungkur, Mugas, Mrican, Gunung Sawo Simongan dan bukit-bukit lain sekitarnya. Seiring dengan berjalannya waktu terjadilah pendangkalan dan endapan lumpur hingga timbullah suatu dataran baru yang kemudian hari dikenal sebagai kota bawah dari kota Semarang. Sebab itulah
1
Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu, Tandjung Sari, Semarang, Jilid I, 1978,
hlm. 1
26
27
dikatakan unik dan indah karena terbagi dalam dua bagian yaitu bagian atas dan bagian bawah.2 Dengan kondisi geografis yang demikian, ada seorang isteri pejabat VOC, Meur B-P ( Nyonya B-P ) menyebut Semarang dengan, “een Oosterchs Venetie! Schimmen, glinstering,…bekoring!” ( sebuah Venesia dari negeri Timur—yang teduh, berkilauan…indah menawan! ).3 Ada beberapa pendapat dari para sejarawan mengenai asal-usul nama Semarang, yaitu ; Berdasarkan penyelidikan sejarah yang dilakukan oleh C. Lekkerkerker dari Nederland Java en Bali Instituut,4 asal mula nama Semarang diambil dari perkataan Asem-Arang. Alasannya banyak nama-nama tempat di Indonesia dinamakan sesuai dengan keadaan dan kondisi daerah yang bersangkutan. Seperti halnya Banyumas berasal dari perkataan Banyu-Amis. Kemudian Salatiga berasal dari perkataan salah tiga. Konon ada tiga orang yang salah, yaitu merampok Ki Ageng Pandan Arang II dan isteri. Dalam perjalanannya menuju Gunung Jabalkat untuk “ber-‘uzlah” dari gemerlapnya harta duniawi atas perintah gurunya, Sunan Kalijaga. Merujuk dari keterangan diatas, pada zaman dulu Semarang banyak ditumbuhi pohon asem yang keadaan daunnya jarang-jarang atau tidak nggempiok ( rimbun ). Maka tempat ini disebut Asem-Arang. Lama kelamaan untuk menggampangkan omongan berubah menjadi Semarang seperti sekarang. Sejalan dengan pendapat Lekkerkerker, D. Van Hinloopen Labberton juga menunjukkan adanya tempat-tempat yang mempunyai nama dengan menggunkan kata-kata arang dan kerep, seperti Jatingarang, Pelemkerep, dan Gempolkerep.5 Menurut Raden Mas Ngabehi Tjokro Hadiwikromo, Semarang berasal dari perkataan Semaran atau Kasemaran. Yakni, nama kediaman resmi Kyai Ageng Kasemaran, nama lain Ki Ageng Pandan Arang. Karena beliau menikah 2
Jongkie Tio, Kota Semarang Dalam Kenangan, ttp, tth, hlm. 7 Amen Budiman, Semarang Juwita, Semarang Tempo Doeloe, Semarang Masa Kini Dalam Rekaman Kamera, Tandjung Sari, Semarang, Jilid I, 1979, hlm. 1 4 Liem Thian Joe, Riwayat Semarang : Dari Djamanja Sam Po sampe Terhapoesnja Kongkoan, Boekhandel-Ho Kim Yoe, Semarang-Batavia, Tjitakan Pertama, 1933, hlm. 2 5 Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu…………, op. cit., hlm. 81 3
28
dengan Endang Kasmaran alias Endang Sejanila.6 Perkataan Kasemaran sendiri kemudian diperpendek menjadi Semaran yang pada akhirnya berubah menjadi Semarang. Dikarenakan, orang-orang Belanda jika melafalkan an selalu berubah menjadi ang. Misalnya, ketika mengucapkan Palimanan menjadi Palimanang, Kopen menjadi Kopeng dan lain sebagainya. J. Hageman Jcs menuliskan,7 pada tahun 1207 tahun Jawa ada dua orang Pangeran dari Kerajaan Pajajaran, yaitu Raden Tanduran dan Siyung Wanara terlibat peperangan sengit di sebelah Barat Semarang. Tepatnya di Tugu Rejo (dahulu masih masuk dalam wilayah Kendal). Untuk mengenang peristiwa sekaligus mengakhiri Civil War8 itu, maka dibangunlah sebuah “monumen perjanjian” yang dinamakan Tugu. Dengan kesepakatan, tanah Jawa sebelah Timur dari tiang batu itu—dinamakan Majapahit—menjadi milik Raden Tanduran. Sedangkan tanah Jawa sebelah Baratnya—dinamakan Pajajaran— adalah milik penuh dari Siyung Wanara. Hageman menyimpulkan, nama Semarang berasal dari Ka-Semaran dan Semaran, artinya kediaman Semar. Akan tetapi Hageman juga mempunyai pendapat lain. Menurutnya, Semarang justru berasal dari kata Harang—untuk yang lebih halusnya—orang menyebut dengan Arang. Yang berarti mahal atau jarang. Dalam bahasa Jawa Krama, nama Semarang disebut Semawis atau Samahawis. Berasal dari perkataan Hawis atau Awis, yang berarti sama mahal atau sama asing. Dari beberapa pendapat diatas, yang lebih faktual adalah yang menyebutkan nama Semarang berasal dari kata-kata asem dan arang. Alasannya adalah : Pertama, di kota Semarang dahulu kala banyak tumbuh pohon asam (sekarang pun masih bisa kita lihat meski hanya beberapa gelintir).
6
Ibid. Ibid., hlm. 82-83 8 Orang-orang jaman dulu menyebut perang saudara antara dua pangeran kerajaan Pajajaran tersebut dengan sama perang artinya perang bersama, dikemudian hari ternyata orangorang telah menghilangkan huruf p dalam kata-kata sama perang itu, hingga pada akhirnya lahirlah nama Semarang dan bukannya Sammerang atau Samrang. 7
29
Kedua, khususnya di tanah Jawa, cukup banyak nama kota yang menggunakan asem sebagai nama awal. Yaitu, Asembagus (pondoknya Alm. Kyai As’ad di Situbondo), Asembawang dan Asemkandang (keduanya berada di Pasuruan), Asemgajah (dekat Juana), Asem Legi (±18 km dari Solo). Ketiga, pemberian nama tempat dengan menggunakan nama pohon asam telah ada 10 abad yang silam. Berdasarkan prasasti yang dibuat atas perintah Raja Balitung. Berupa piagam tembaga bertahun 827 Saka (905 Masehi), menuturkan adanya sebuah desa Asampanjang (Pangurang I wka I sama lagi watak asampanjang—pangurang di Wka (Baka)—tuan Sanjat penduduk di Samalagi daerah Asampanjang). Drs. M. Soekarto menambahkan, desa tersebut sebenarnya masih ada, hanya saja telah berubah nama menjadi desa Sendawa, yang berasal dari kata-kata Asem-Dawa.9 Layaknya sebuah kota, minimal harus mempunyai empat unsur utama. Yaitu, ada wilayahnya, ada penduduknya, adanya pemerintahan dan kedaulatan (yakni kekuasaan tertinggi untuk mengatur pemerintahannya). Karenanya, lahirnya kota Semarang menjadi polemik tersendiri (berdasar pada saat kapan untuk pertama kalinya sebuah kota mempunyai empat unsur diatas sebagai sebuah totalitas). Sebagaimana kita ketahui, yang dinamakan Semarang awalnya adalah daerah pegisikan (tempat tinggal Ki Ageng Pandan Arang dan santrinya). Meliputi daerah Bubakan sampai daerah Djurnatan hingga Kauman.10 Kapan tepatnya kota Semarang lahir masih menjadi perdebatan panjang, meski tanggal 2 Mei 1547 (bertepatan dengan 12 Rabi’ul Awwal 954 H) ditetapkan Pemkot Semarang sebagai Hari Jadi kota Semarang. Hal ini bertepatan dengan pengangkatan Ki Ageng Pandanaran II menjadi Adipati Semarang oleh kerajaan Demak.11 Menurut Raden Ngabehi Tjokro Hadiwikromo dalam buku “pakem” milik Raden Hadisapoetra menyatakan, Pangeran Pandan Arang I telah mendirikan
9
Berdasarkan keterangan dari gubahan Serat Kandaning Ringgit Purwa naskah KBG Nr. 7, Serat Kanda terjemahan dalam bahasa Belanda naskah KBG Nr. 405 dan 540, Serat Wali Sana naskah KBG Nr. 1022, Babad Nagri Semarang dan Naskah Het Noorden. Ibid., hlm. 83 10 Pegisikan yakni sebuah kawasan yang terletak ditepi pantai. 11 Jongkie Tio, op.cit., hlm. 10
30
Semarang pada tahun 1564 Jawa (1642 M). Pendapat ini sangat kontradiktif dengan tulisan Tome Pires (sejarawan berkebangsaan Portugis). Dalam Summa Oriental, (yang ditulis antara tahun 1512-1515 M di India dan Malaka) ia menyebutkan, Semarang telah lahir sebelum tahun 1515 M.12 Berdasarkan candra sengkala “Awak Terus Cahya Jati” yang terdapat dalam Serat Kanda edisi Brandes, kota Semarang lahir pada tahun 1398 Saka (tahun 1476 M).13 Diawali dengan kedatangan seorang pemuda di daerah Mugas Bergota (pada waktu itu masih merupakan pulau kecil, Pulau Tirang), bernama Ki Pandan Arang, yang mengemban tugas untuk meng-Islamkan penduduk di wilayah tersebut. Seiring bertambahnya waktu, pengikutnya semakin bertambah banyak. Hingga membentuk suatu pemukiman penduduk yang teratur dan misi tersebut membawa “suksesi” yang mengantarkan Ki Pandan Arang menjadi Bupati Semarang Pertama. Pusat pemerintahan pada waktu itu ditempatkan di Bubakan, daerah ini semakin pesat perkembangannya hingga meluas sampai ke daerah Djurnatan (sekitar Jl. KH. Agus Salim) dan Kandjengan. Pada akhirnya, Ki Ageng Pandan Arang14 disebut sebagai pendiri kota Semarang. Sedangkan Syeh Wali Lanang15 (karibnya, yang diutus oleh Sunan Bonang untuk mengIslamkan Bethara Kathong, Bupati Ponorogo) merupakan pencipta nama kota Semarang.16 Pusat pemerintahan mengalami beberapa kali perpindahan. Setidaknya mulai tahun 1659 M di bawah pimpinan Bupati Mas Tumenggung Wongsoredjo. Yang dipindahkan ke daerah sekitar desa Gabahan (sekarang Kelurahan Gabahan). Kemudian oleh penggantinya, Bupati Mas Tumenggung Prawiroprodjo
12
Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu…, op. cit., hlm. 86 Ibid., hlm. 89 14 Dikenal juga dengan sebutan Kyai Pandanaran, Ki Gede Semarang, atau Maulana Ibnu Abdullah ada yang menyebutnya sebagai cucu dari Raden Patah, putra dari Pangeran Sabrang Lor/Adipati Unus (Serat Kanda edisi Brandes), atau sebagai putra Sunan Ampel (Serat Tjandrakanta), serta seorang Maulana dari negeri Arab (Serat Kanda dalam bahasa Belanda naskah KBG Nr.540/Babad Tanah Jawi edisi van Dorp). 15 Terkenal dengan sebutan Maulana Alus Islam, Syeh Waliyul Islam, ataupun Ibnu Jumadil Kubra adalah adik kandung Syeh Wali Lanang—ayah Sunan Giri—merupakan putra dari Syeh Jumadil Kubra, adalah seorang ulama dari negeri Campa (Serat Wali Sana naskah KBG Nr.1022 ab). 16 Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu…….., op.cit., hlm. 91 13
31
ditempatkan di Sekayu (sebelah selatan gedung GRIS). Pada tahun 1670 kembali dipindahkan ke daerah Kandjengan yang bertahan sampai tahun 1942.17 Masa pemerintahan Pandan Arang II menunjukkan kemakmuran dan kesejahteraan yang dapat dinikmati penduduknya. Namun masa itu tidak dapat berlangsung lama karena, seusai menerima nasihat Sunan Kalijaga, Bupati Pandan Arang II mengundurkan diri dari hidup keduniawian. la melepaskan jabatannya, meninggalkan Kota Semarang bersama keluarga menuju arah Selatan melewati Salatiga dan Boyolali. Akhirnya sampai ke sebuah bukit bernama Jabalkat di daerah Klaten. Didaerah ini, beliau menjadi seorang penyiar agama Islam dan menyatukan daerah Jawa Tengah bagian Selatan hingga bergelar Sunan Tembayat. Beliau wafat pada tahun 1553 dan dimakamkan di puncak Gunung Jabalkat. Pengganti Bupati Pandan Arang II dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut18 : 1. Raden Ketib alias Pangeran Kanoman atau Pandan Arang III (1553-1586). 2. Mas R.Tumenggung Tambi (1657-1659) 3. Mas Tumenggung Wongsorejo (1659 - 1666) 4. Mas Tumenggung Prawiroprojo (1666-1670) 5. Mas Tumenggung Alap-alap (1670-1674) 6. Kyai Mertonoyo, Kyai Tumenggung. Yudonegoro atau Kyai Adipati Suromenggolo (1674 -1701) 7. Raden Martoyudo atau Raden Sumingrat (1743-1751) 8. Marmowijoyo atau Sumowijoyo atau Sumonegoro atau Surohadimenggolo (1751-1773) 9. Surohadimenggolo IV (1773-tidak diketahui) 10. Adipati Surohadimenggolo V atau Kanjeng Terboyo (Tidak Diketahui) 11. Raden Tumenggung Surohadiningrat (tidak diketahui-1841)
17
Pendopo dan halaman luas nan indah, disertai aloon-aloonnya yang luas kini telah musnah “berubah” menjadi pusat pertokoan. Padahal menurut “master-plan” pemerintahan waktu itu pendopo tersebut akan direlokasikan ke Tembalang, namun keburu terkena terjangan angin puyuh. Lihat Jongkie Tio, Kota Semarang…….., op.cit., hlm.10 18 Lihat http//www.Semarang.go.id/Semarangtempodoeloe.
32
12. Putro Surohadimenggolo (1841-1855) 13. Mas Ngabehi Reksonegoro (1855-1860) 14. RTP Suryokusumo (1860-1887) 15. RTP Reksodirjo (1887-1891) 16. RMTA Purbaningrat (1891-tidak diketahui) 17. Raden Cokrodipuro (tidak diketahui-1927) 18. RM Soebiyono (1897-1927) 19. RM Amin Suyitno (1927-1942) 20. RMAA Sukarman Martohadinegoro (1942-1945) 21. R.Soediyono Taruna Kusumo (1945-1945) hanya berlangsung satu bulan. 22. M. Soemardjito Priyohadisubroto (Tahun 1946, 1949-1952 yaitu masa Pemerintahan Republik Indonesia). Pada waktu Pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat), yaitu pada masa Pemerintahan Federal, diangkat Bupati RM.Condronegoro hingga tahun 1949. Sesudah pengakuan kedaulatan dari Belanda, jabatan Bupati diserah terimakan kepada M. Sumardjito. Penggantinya adalah R. Oetoyo Koesoemo (1952-1956). Kedudukannya sebagai Bupati Semarang bukan lagi mengurusi kota, melainkan mengurusi kawasan luar kota Semarang. Hal ini terjadi sebagai akibat berkembangnya Semarang menjadi Kota Praja. Pada tahun 1906, berdasarkan Stanblat (semacam Surat Keputusan) Nomor 120 tahun 1906 dibentuklah Pemerintah Gemeente (Kota Praja). Pemerintahan kota besar ini dikepalai oleh seorang Burgemeester (Walikota). Sistem Pemerintahan ini dipegang oleh orang-orang Belanda. Berakhir pada tahun 1942 dengan datangnya penjajahan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, terbentuklah pemerintah daerah Semarang yang di kepalai Militer (Shico) dari Jepang. Didampingi oleh dua orang wakil (Fuku Shico), yang masing-masing dari Jepang dan seorang bangsa Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Pemerintahan daerah Kota Semarang belum dapat menjalankan tugasnya, karena pendudukan Belanda. Tahun 1946, lnggris atas nama sekutu, menyerahkan kota Semarang kepada pihak Belanda. Peristiwa ini terjadi pada tanggal l6 Mei 1946.
33
Tanggal 3 Juni 1946 dengan tipu muslihatnya, pihak Belanda menangkap Mr. Imam Sudjahri, Walikota Semarang sebelum Proklamasi Kemerdekaan. Tidak lama sesudah kemerdekaan, yaitu tanggal 15-20 Oktober 1945 terjadilah peristiwa kepahlawanan. Dimana pemuda-pemuda Semarang bertempur melawan pasukan Jepang yang bersikeras tidak bersedia menyerahkan diri kepada Pasukan Republik. Peristiwa ini dikenal dengan nama “Pertempuran Lima Hari di Semarang”. Selama masa pendudukan Belanda, tidak ada pemerintahan daerah kota Semarang. Namun para pejuang di bidang pemerintahan tetap menjalankan pemerintahan di daerah pedalaman atau daerah pengungsian diluar kota sampai dengan bulan Desember 1948. Daerah pengungsian berpindah-pindah mulai dari kota Purwodadi, Gubug, Kedungjati, Salatiga, dan akhirnya di Yogyakarta. Pimpinan pemerintahan berturut-turut dipegang oleh R Patah, R.Prawotosudibyo dan Mr Ichsan. Pemerintahan pendudukan Belanda yang dikenal dengan Recomba, berusaha membentuk kembali pemerintahan Gemeente seperti dimasa kolonial dulu di bawah pimpinan R Slamet Tirtosubroto. Hal itu tidak berhasil, karena dalam masa pemulihan kedaulatan, harus menyerahkan kepada Komandan KMKB Semarang pada bulan Februari 1950. Tanggal 1 April 1950, Mayor Suhardi Komandan KMKB menyerahkan tampuk pimpinan pemerintah daerah Semarang kepada Mr Koesoedibyono, pejabat tinggi Kementrian Dalam Negeri di Yogyakarta. Beliau menyusun kembali aparat pemerintah guna memperlancar jalannya pemerintahan. Kondisi kota Semarang di bawah kolonialisme Belanda memang cukup pesat
perkembangannya.
Dengan
dibangunnya
berbagai
fasilitas
untuk
kepentingan Belanda. Misalnya, sarana dan prasarana perkotaan seperti jalan, transportasi kereta api, pasar-pasar dan sebagainya. Bahkan, tanggal 16 Juni 1864 dibangun rel pertama di Indonesia. Dimulai dari Semarang menuju kota Solo dan Kedungjati, Surabaya dan ke Magelang serta Yogyakarta. Kemudian dibangun dua stasiun kereta api yang masih ada hingga sekarang, yaitu Stasiun Tawang dan Stasiun
Poncol.
Sedangkan
perusahaan
(kalau
sekarang
PJKA)
yang
mengelolanya adalah Nederlandsch Indische Spoorwagen (NIS) berkantor di
34
Gedung Lawangsewu. Kemudian , pada tahun 1875 Pelabuhan Laut Semarang (sekarang bernama Pelabuhan Tanjung Emas) sejak zaman dahulu (zaman Ki Ageng Pandan Arang I bernaman Pelabuhan Bergota) telah ramai, dibangun dengan fasilitas yang lebih memadai. Supaya kapal-kapal berbagai ukuran, baik kapal barang maupun kapal penumpang bisa bersandar. Ditengah hiruk pikuk perniagaan antar-bangsa, sekalipun dalam suasana penjajahan Belanda, agama Islam tetap berkembang. Sebagai dampak bertemunya para pendatang yang membawa kebudayaan masing-masing. Seperti bangsa Cina, Arab, India dan Belanda serta orang Jawa (Semarang) selaku “tuan rumah”.19 Hingga melahirkan tradisi Dugderan20 pada masa pemerintahan Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat tahun 1891 guna menandai dimulainya bulan suci Ramadhan. Sejak tahun 1945 para Walikota yang memimpin kota besar Semarang yang kemudian menjadi Kota Praja dan akhirnya menjadi Kota Semarang adalah sebagai berikut21 : 1. Mr. Moch.lchsan 2. Mr. Koesoebiyono (1949 - 1 Juli 1951) 3. RM. Hadisoebeno Sosrowardoyo (1 Juli 1951-1 Januari 1958) 4. Mr. Abdulmadjid Djojoadiningrat (7 Januari 1958-1 Januari 1960) 5. RM Soebagyono Tjondrokoesoemo (1 Januari 1961-26 April 1964) 6. Mr. Wuryanto (25 April 1964-1 September 1966) 7. Letkol. Soeparno (1September 1966-6 Maret 1967) 8. Letkol. R.Warsito Soegiarto (6 Maret 1967-2 Januari 1973) 9. Kolonel Hadijanto (2 Januari 1973-15 Januari 1980) 19
Sebagaimana penulis jelaskan di bagian lain pada bab ini, Semarang menjadi sebuah “fasilitator” bertemunya para pendatang yang mayoritas beragama Islam (terkecuali dari Eropa) dimulai sejak kedatangan armada Cheng Ho pada abad XV, maka gelombang para Imigran makin “menyerbu” Semarang dan yang paling menonjol adalah mereka (Cina-Jawa) yang “tertampung” dalam Sino Javanese Muslim Culture. 20 Dugderan berasal dari kata dug (yang merupakan bunyi bedug) dan der (yang merupakan bunyi meriam) sebuah “hajatan” rakyat Semarang sebagai tanda dimulainya bulan Ramadhan dengan mainan khasnya berupa Warak Ngendog dan telah menjadi agenda tahunan Pemkot Semarang hingga saat ini. 21 Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan dengan Humas Pemkot Semarang pada tanggal 27 Januari 2005.
35
10. Kol. H. Imam Soeparto Tjakrajoeda SH (15 Januari 1980-19 Januari 1990) 11. Kolonel H.Soetrisno Suharto (19Januari 1990-19 Januari 2000) 12. H. Sukawi Sutarip SH. MM. (19 Januari 2000-19 Januari 2005)
3.1.2. Biografi Laksamana Cheng Ho. Cheng Ho22 dilahirkan di Yunnan pada tahun 1371 M (tahun Hong Wu ke4) ditengah keluarga miskin etnis Hui.23 Tepatnya di desa He Dai, Kabupaten Kunyang, Propinsi Yunnan. Marganya adalah Ma, yang disana terkenal sebagai penganut Islam yang taat. Ayahnya bernama Ma Haji (1344-1382) adalah seorang pelaut yang meninggal pada usia 38 tahun. Ibu Cheng Ho berasal dari marga Oen/Wen. Cheng Ho anak ketiga dari enam bersaudara (2 laki-laki dan 4 perempuan). Mengenai asal nama Sam Po, ada sebuah keterangan yang menyebutkan, sebenarnya nama tersebut terdiri dari tiga orang, Sam Po sendiri kurang lebih artinya adalah tiga pelindung. Yaitu yang bermarga (she) The mempunyai peninggalan di Semarang. Yang ber-she Be (Ma) meninggalkan prasasti di Cirebon, dan yang marga-nya Ong mempunyai “petilasan” di Siam (Thailand).24 Dalam tulisan Tionghoa, Pao Tsen Peng mengemukakan, San Pao alias Cheng Ho ataupun Zheng He, ditulis dalam dua bentuk. Yang pertama bisa berarti Perlindungan Rangkap Tiga, sedangkan yang satunya mempunyai makna Tiga Orang Sida-sida Yang Baik Sekali. Dengan demikian, tidak mengherankan jika di kalangan etnis Tionghoa sampai timbul fantasi, yang dimaksud dengan San Pao atau Sam Po sebenarnya tiga orang sida-sida. Sida-sida adalah orang yang dikebiri (dipotong alat kelaminnya). Hal inipun terjadi pada Wang Jinghong (yang juga seorang sida-sida) disebutnya Wang San Pao, akibat syndrome keberhasilan yang
22
Cheng Ho, Zheng He, The Hoo, Sam Poo adalah satu nama yang dibelakang hari menjadi semacam “tokoh mitologi” yang sangat dikeramatkan dikalangan Cina, bahkan sampai sebagai dewa diberbagai kelenteng dengan sebutan “Sam Po Kong” oleh para penganut Konfusianis. Sebuah anakhronisme. Maestro Cheng Ho-pun di kemudian hari dikenal dengan banyak sebutan: Sam Po Tay Djien, Sam Poo Tay Kam, Sam Poo Toa Lang, dan lain sebagainya. 23 Hui adalah sebutan untuk orang-orang Muslim Cina keturunan Mongol-Turki. 24 Liem Thian Joe, Riwajat Semarang : dari Djamanja Sam Poo sampe Terhapoesnja Kongkoan, Boekhandel-Ho KimYoe, Semarang-Batavia, 1933, hlm. 2
36
telah diemban oleh Cheng Ho—gelar San Pao atau Sam Po—menjadi gelar pujian bagi semua orang sida-sida.25 Selama puluhan tahun sebelumnya, agama Islam telah menghampar di seluruh Eurasia. Ada banyak Muslim Turki dalam pasukan kavaleri Mongol. Ketika balatentara Mongol menyerbu Yunnan, kakek buyut Ma Ho (Cheng Ho) bertugas pada sebuah garnisum Mongol di Kunyang, di danau Tien Chili. Serdadu Cina dikirim oleh Kaisar Ming untuk “mengeluarkan” orang-orang Mongol dari barat daya. Disamping itu, mereka melakukan razia ke kampung-kampung pedalaman di seluruh kawasan pinggiran kota. Menangkapi semua lelaki dewasa dan anak-anak tanpa sisa. Kemudian memotong alat vital mereka sebagai teror agar tunduk terhadap Negara. Ma Ho adalah salah satu korbannya yang dikebiri saat Jenderal Fu Yu-te mengalahkan Yunnan tahun 1381 M. Perawakan Ma Ho tinggi besar dan tegap. Lingkaran pinggangnya lebih dari 10 jengkal telunjuk. Dahinya menonjol, telinganya lebar, berhidung kecil, giginya putih dan rapi bagaikan rangkaian mutiara. Langkah kakinya mantap, suaranya lantang, ditambah dengan otaknya yang tajam dan pandai.26 Hal ini mungkin disebabkan defisiensi hormon lelaki akibat emaskulasi27. Atas jasanya yang turut membantu dalam perampasan tahta dari tangan Kien Wen, Cheng Ho dianugerahi jabatan penting oleh Kaisar Yung Lo. Sebagai pemegang otoritas tertinggi atas ribuan rewang di Divisi Rumah Tangga Istana. Yang melayani kaisar sebagai polisi rahasia. Ini merupakan jabatan sangat berpengaruh. Bukan seperti penunjukkan Paus atas kepala baru Opus Dei Vatikan.
3.1.3. Agenda Pelayaran Cheng Ho. Pada era kekuasaan Kaisar Yung Lo ini, diplomasi politik yang semula lewat jalur darat (pada masa Kaisar Yuan-Mongol), di ubah menjadi jalur laut.28
25 26
Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu,…………, op. cit., hlm. 16 Khong Yuan Zhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho, Pustaka Populer Obor, Jakarta, 2000,
hlm. xvi 27
Sumanto Al-Qurtuby, Arus Cina Islam Jawa, Inspeal Press, Yogyakarta, 2003,
28
Ibid., hlm. 85, Lihat juga Jeanette Mirsky, China : Yesterday & Today, Bantam Book,
hlm. 84 1984
37
Tak tanggung-tanggung, untuk mewujudkan ambisi dalam babat-alas-nya lewat jalur laut ini, sang Kaisar mengerahkan armadanya yang berjumlah ±208 kapal besar maupun junk (kapal dengan ukuran kecil). Berisi ±28.000 orang, yang mengarungi samudera selama ± 28 tahun dalam 7 kali pelayaran, pada setiap pelayaran memakan waktu ±2 tahun.29 Sebagai “Commander in Chief”-nya diserahkan kepada Laksamana Cheng Ho lewat sebuah Imperial Decree (Dekrit Kerajaan). Wakil pimpinan dipegang oleh Heo Shien (Husain). Untuk katib ditunjuklah Ma Huan dan Fei Shien (Faisal), sebagai juru bahasa Arab disamping Ma Huan sendiri, juga Hassan (seorang Imam pada bekas ibu kota Sin An/Chang’an). Menempati bagian kemudi adalah Wang Jinghong (Ong King Hong) yang dikemudian hari “melegenda” dengan sebutan Kyai Dampo Awang (di pesisir utara Jawa Tengah sendiri menjadi tokoh mitologi). Sistem kerja awak kapalnya terbagi dalam beberapa bagian, yaitu bagian komando, bagian mekanik, bagian navigasi, bagian kemiliteran, bagian diplomasi, divisi pengobatan, cleaning service, agamawan, divisi logistik, dan bagian konsumsi. Semuanya diatur secara rapi dan disiplin oleh Admiral Cheng Ho. Tercatat dalam Sejarah Dinasti Ming (Ming Shih), ekspedisi Laksamana Cheng Ho mengemban missi antara lain,30 yaitu : Pertama, menangkap kembali Chu Yun-wen (Hwui-ti)31 sebagai “buronan negara”. Kedua, show of force atas militer-militer Kaisar Chu Ti pada dunia luar. Ketiga, ekspose kepada publik akan kekayaan dan kekuatan kerajaan Tiongkok. Pelayaran Laksamana Cheng Ho ke Samudera Barat yang termaktub dalam prasasti Tain Fei Ling Ying Zhi Ji ( Catatan tentang Kemujaraban Dewi Sakti ) dibangun oleh Cheng Ho di Changle Propinsi Fujian ( Hokkian ). Cheng
29
Khong Yuan Zhi, op.cit.,hlm.xiv Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu,………., op. cit., hlm. 9 31 Seorang bekas Kaisar Tiongkok yang telah berhasil ditaklukkan oleh Kaisar Chu Ti ketika terjadi pemberontakan antara tahun 1399 sampai tahun 1402. Melarikan diri dari tahanan ketika terjadi kebakaran. 30
38
Ho pernah mengadakan tujuh kali pelayaran menuju Samudera Barat, yang memakan waktu selama dua puluh delapan tahun,32 yaitu : 1. Tahun 1405-1407 M ( tahun Yong Le ke 3-5 ). 2. Tahun 1407-1409 M ( tahun Yong Le ke 5-7 ). 3. Tahun 1409-1411 M ( tahun Yong Le ke 7-9 ). 4. Tahun 1413-1415 M ( tahun Yong Le ke 11-13 ). 5. Tahun 1417-1419 M ( tahun Yong Le ke 15-17 ). 6. Tahun 1421-1422 M ( tahun Yong Le ke 19-20 ). 7. Tahun 1431-1433 M ( tahun Xuan De ke 6-8 ). Namun demikian, pada keberangkatan Cheng Ho yang ke-5, terdapat beberapa catatan sejarah antara lain, Ming Shi ( Sejarah Dinasti Ming ) vol.7 yang menulis bahwa pelayaran itu dimulai pada tanggal 10 Desember Imlek tahunYong Le ke-14 (1416 M). Sedangkan menurut prasasti Tain Fei Ling Ying Zhi Ji ( Catatan Kemujaraban Dewi Sakti ), pelayaran itu dimulai pada tahun Yong Le ke15 (1417 M). Menurut Cheng Ho Xiz Fan Lu Jing Quan Zhou Xing Xiang Bei Ji (prasasti Penyembahan Cheng Ho tatkala singgah di Quanzhou) pada 16 Mei Imlek tahun Yong Le ke-15 (1417 M). Keterangan-keterangan tersebut sebenarnya tidaklah bertentangan, bila kita mengingat bahwa armada Cheng Ho berangkat dari sungai Liujia di Tai Chang, Propinsi Jingsu dan singgah di Quanzhou, Propinsi Fujian, kemudian meninggalkan Tiongkok dan berlayar ke negara-negara Asia-Afrika untuk ke-5 kalinya. Dapat dikatakan, pelayaran itu dimulai pada tahun 1417 bila tahun keberangkatannya dihitung dari waktu meninggalkan Tiongkok.33 Dalam
literatur
Tiongkok,
tentang
kapan
masa
(tanggal/tahun)
berlangsungnya pelayaran Cheng Ho, terjadi kesimpangsiuran. Menurut Prof. Dr. J.J.L. Dryvendak, berdasarkan inskripsi yang langsung ditulis oleh Cheng Ho dan rekan-rekannya, yang terdapat dalam Kelenteng T’jien-fei di daerah Liu-chiach’ang, kawasan Tai ts’ang dibuat pada tanggal 14 Maret 1431—dan yang 32
Zhu Xie, Cheng Ho, Toko Buku San Lian, 1981, hlm. 53. Lihat juga Kong Yuan Zhi, op. cit., hlm. 61 33 Khong Yuan Zhi,…..Ibid., hlm. 79
39
satunya ditemukan di daerah Ch’ang lo dikawasan Fuchien antara tanggal 5 Desember 1431 sampai tanggal 3 Januari 1432. Ini berarti, Cheng Ho bertolak mengunjungi Jawa masing-masing pada tahun ketiga, kelima, dan ketujuh dari masa pemerintahan Kaisar Yung Lo (Chu Ti), bertepatan dengan tahun 1405, 1407, dan 1409 M.34 Dari hasil kajian Prof. Dryvendak disebutkan, pelayaran Cheng Ho yang pertama terjadi antara tahun 1405-1407 M, sedangkan pelayarannya yang kedua dan ketiga masing-masing berlangsung antara tahun 1407-1409 M dan antara tahun 1409-1411 M. Sebuah sumber sejarah Tiongkok Shih Lu menambahkan, antara tahun 1413-1414 M Cheng Ho telah mengunjungi pulau Jawa untuk yang keempat kalinya. Kemudian, J.V. Mills menambahkan lagi, pada tahun 1417-1419 M Cheng Ho mengadakan pelayarannya yang kelima, sedangkan pada tahun1431-1433 M itu merupakan misi muhibahnya yang ketujuh.35 Sejak tahun 1405 M sampai wafatnya, 1433, setidaknya Laksamana Cheng Ho telah mengunjungi ±37 negeri, antara lain yaitu : Jawa (Chao-wa), Sunda (Sun-la), Palembang (San-fo-ch’i), Aru (A’lu), Brunei (P’o-ni), Pahang (Pengh’eng), Malaka (Man-la-kia), Ormuz (Hu-lu-mossu), Callicut-India (Ku-li), Mogadishu-Somalia (Mu-ku-tu-shu), dll.36 Pembicaraan mengenai muhibah Laksamana Cheng Ho ke beberapa negara terutama di Nusantara ini , sebetulnya memang sangat menarik, hanya saja sedikit sekali literatur sejarah Indonesia yang menampilkan tokoh ini. Contohnya pada buku Sejarah Nasional Indonesia II yang ditulis oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto yang menuliskan, “Pada tahun 1405 Laksamana Cheng Ho memimpin sebuah armada perutusan ke Jawa, dan pada tahun berikutnya ia menyaksikan kedua raja Majapahit saling berperang, antara
34
Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu,……, op. cit., hlm. 18 Ibid. 36 Ibid., hlm. 9 35
40
keluarga
Wikramawardhana
dengan
keluarga
Bhre
Wirabhumi
mengakibatkan ikut terbunuhnya 170 orang dari rombongan Cheng Ho”.
yang
37
Kedatangan armada Cheng Ho ke daerah-daerah di Nusantara ini telah memberikan manfaat begitu besar. Disamping memberi kemajuan dalam berbagai bidang, baik pertanian, perniagaan, maritim, seni arsitektur/bangunan, seni ukir dan seni budaya lainnya. Cheng Ho beserta rombongannya mempunyai andil yang cukup besar dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara. Kita semua pun tahu, bahwa di bidang kuliner, terutama makanan rakyat kecil, banyak yang di“import” sewaktu rombongan Admiral Cheng Ho datang. Misalnya, tahu, taucho, taoge, mie, bihun, kweetiau, bakpao, baso, dan lain-lainnya. Mercon, kembang api, tembikar, keramik, dan porselen itupun merupakan “hasil perjumpaan” dengan rombongan etnis Cina tersebut. Sementara itu, pada saat Cheng Ho singgah di kerajaan Samudera Pasai, membawa tidak kurang 208 kapal dari berbagai ukuran. Di sana peninggalan yang masih bisa kita lihat adalah sebuah lonceng raksasa bernama Cakradonya, sekarang diletakkan didepan Museum Banda Aceh. Perjalanan dilanjutkan menuju ke sebelah barat Samudera Pasai tepatnya di kerajaan Nakur yang menghadap ke laut Lambri, sebuah kerajaan kecil dengan penduduk tidak lebih dari 1000 kepala keluarga. Pegunungan disana cukup luas, dengan adat-istiadat yang tidak begitu berbeda dengan kerajaan tetangganya, Samudera Pasai. Rombongan Laksamana Cheng Ho kemudian meneruskan pelayarannya menuju Palembang. Pada saat itu, Palembang dibawah kekuasaan Majapahit. Karena berakhirnya masa kejayaan kerajaan Buddha Sriwijaya. Disekitar pelabuhan banyak sekali berdiri menara batu bata,38 dan ketika itu akses untuk ke pusat kota harus menyusuri sungai Musi menggunakan perahu-perahu kecil. Ketika rombongan Cheng Ho singgah di pulau Bangka tepatnya di Bukit Durian (±2 km adalah pantai Tanjung Ketapang), bertepatan dengan bulan
37
Noegroho Notosoesanto dkk., Sejarah Nasional Indonesia II, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hlm. 440-441 38 Pada masa kejayaan Sriwijaya yang merupakan kerajaan Buddha, bangunan seperti itu banyak sekali didirikan, contohnya Candi Muara Takus di tepi sungai Kampar-Riau yang di bangun pada masa pemerintahan Raja Balaputra Dewa.
41
Ramadhan. Ada sebuah cerita rakyat yang mengatakan, sewaktu Cheng Ho datang sedang musim durian, dan ajaran sehabis makan buah durian agar kulitnya diisi air kemudian diminum untuk menghilangkan panas dalam, adalah warisan Cheng Ho. Sewaktu Laksamana Cheng Ho berlabuh di Sunda Kelapa (Jakarta) tepatnya di Tanjung Mas Ancol, mereka menyaksikan hiburan rakyat berupa tarian ronggeng. Walhasil, juru masak Cheng Ho yang bernama Sam Po Soei Soe jatuh cinta pada penarinya, Sitiwati yang kemudian dinikahinya. Perjalanan dilanjutkan menuju Muara Jati Cirebon tepatnya tahun 1415, salah satu peninggalannya adalah sebuah mercu suar. Kota Cirebon sendiri dulunya adalah sebuah perkampungan nelayan yang bernama Caruban (campuran). Dinamakan demikian karena penduduk yang bermukim disitu beraneka ragam, mulai dari suku, bangsa, ras dan berbagai jenis profesi.39 Sehabis dari Cirebon, armada Cheng Ho singgah di Semarang tepatnya di pelabuhan Simongan (sengaja penulis ceritakan dengan singkat, karena akan dipaparkan dibagian lain pada bab ini). Dilanjutkan menuju Tuban dan disitu banyak sekali perantauan Tionghoa dari Guangdong dan Zhang Zhou (Fujjian Selatan). Mereka menyebut Tuban dengan Xin Cun, yang berarti “Kampung Baru”. Kemudian pelayaran dilanjutkan menuju Gresik, setelah itu ke Surabaya dan diteruskan menuju Mojokerto tepatnya mendarat di Cangkir. Mojokerto merupakan pusat pemerintahan kerajaaan Majapahit yang waktu itu diperintah oleh Raja Wikramawardhana. Demikian, sedikit gambaran mengenai perjalanan Laksaman Cheng Ho ke Nusantara ini yang dilakukan dalam tujuh tahap pelayaran. Mengenai peta pelayaran rombongan Cheng Ho termuat dalam buku sejarah Wu Bei Zhi. Disunting oleh Mo Yuanyi pada masa Dinasti Ming dengan judul “Peta Pelayaran untuk Menuju Negara-negara Asing dari Dok Kapal Pusaka dan Berangkat dari Pelabuhan Sungai Naga” setebal 20 halaman.40 Ditilik dari segi kuantitas dan waktu, ekspedisi bahariwan dari Negeri Tirai Bambu ini jauh melampaui dari pelaut ulung manapun. Menurut Sterling 39
Khong Yuan Zhi, op. cit., hlm. xxvi. Lebih lanjut baca “Baluarti Keraton Kasepuhan Cirebon”, Keraton Kasepuhan Cirebon, Cirebon, 2000, hlm. 6 40 op. cit., hlm. xxxi
42
Seagreve, pada tahun 1430 angkatan laut Dinasti Ming ini lebih besar ketimbang gabungan seluruh angkatan laut Eropa. Tengok saja, Christophorus Columbus, orang kepercayaan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella (Kerajaan Spanyol). Saat pernikahannya pada waktu itu berhasil mempersatukan dua kerajaan Iberia kuno, Aragon dan Castile—baru di tahun 1492 memulai pelayarannya dari Spanyol hingga menemukan benua Amerika. Inipun dengan armada yang sangat terbatas, demikian halnya dengan Vasco da Gama, Ferdinand Magellan, Francis Dranke serta pelaut Eropa lainnya yang baru mengadakan kegiatan pelayaran pada abad ke-16. Bisa dimungkinkan ekspedisi bangsa Eropa ini termotivasi dan terinspirasi atas keberhasilan pelayaran Cheng Ho. Seperti yang diakui sendiri oleh Pangeran Henry dari Portugal.41 Lain daripada itu, upaya ekspedisi akbar tersebut sebenarnya sebagai “ijtihad” memantapkan perniagaan Cina yang sudah berkembang sebelumnya. Seperti yang disaksikan sendiri oleh Ibnu Battutah, adventurer dari tanah Maghribi yang semenjak tahun 1435 mengadakan lawatan ke berbagai Negara. Menunjukkan, setiap pelabuhan dan kota yang disinggahi Cheng Ho selalu ditempatkan deputy perniagaan, diplomat, dan gudang-gudang Cina.42 Rasanya fakta tersebut menggambarkan bagaimana “ketulusan” Imperium Ming untuk menjalin hubungan diplomatik (persahabatan) dengan negara lain. Juga dalam rangka menegaskan supremasi politik dan ekonomi bangsa Cina. Yang jelas, ekspedisi Laksamana Cheng Ho tidak se-“sederhana” itu (seperti yang tertera dalam Sejarah Dinasti Ming). Disamping memenuhi kepentingan pragmatis Kaisar Ming (menangkap “rival”-nya, Chu Ti, ekspansi politik, dan ekonomi) lebih dari itu adalah berupa “agenda terselubung” yaitu Islamisasi. Yang merupakan “kepentingan pribadi” Cheng Ho sebagai seorang Muslim yang taat.
41
Sumanto Al-Qurtuby,… op.cit., hlm. 86, Tercatat Columbus “hanya” membawa 3 kapal ketika sampai benua Amerika dengan bobot masing-masing 100, 60, dan 50 ton dengan jumlah awak kapal 88 orang. Vasco da Gama ketika mengarungi India membawa armadanya yang terdiri 4 kapal cepat (yang terbesar 120 ton dan yang terkecil 50 ton) dengan awak kapal berjumlah 171 orang. Sedangkan armada Magellan, yang total ABK-nya 270 orang, membawa 5 kapal, masing-masing dengan bobot 130 ton (2), 90 ton (2), dan 60 ton (1). 42 Lebih lanjut, baca Rose E. Dunn, Petualangan Ibnu Battuta Seorang Musafir Muslim Abad ke-14, Jakarta, 1995.
43
3.1.4. Persinggahan Cheng Ho di Semarang. Menurut tradisi cerita lisan sebagian masyarakat Cina di Semarang, jalur kedatangan armada Cheng Ho ketika menuju ke Semarang, yaitu lebih dahulu singgah di pelabuhan Mangkang.43 Setelah itu bersandar di pelabuhan Simongan Gedung Batu, karena salah satu awak kapal Cheng Ho, yaitu jurumudinya yang bernama Wang Jinghong (Ong King Hong) mendadak sakit keras. Di sekitar pelabuhan inilah, awak kapal Laksamana Cheng Ho membangun Kelenteng Sam Po Kong (yang akan penulis bahas di bagian lain pada bab ini). Di kawasan pelabuhan tersebut telah banyak orang-orang Tionghoa yang bermukim. Seperti yang dikatakan oleh pustakawan Belanda yang menulis buku “Oud Semarang”, J.R. van Berkum. Orang-orang Tionghoa telah bermukim disana (sekitar Gedung Batu) sebelum tahun 1000 M.44 Kemudian, sekalipun di Kelenteng Sam Po Kong yang terletak di Gedung Batu, terdapat sebuah inskripsi yang tertulis dalam tiga bahasa—Inggris, Tionghoa, dan, Indonesia—yang khusus dibuat oleh Liem Djing Tie pada tahun 1960 untuk memperingati kedatangan Cheng Ho di Semarang. Selengkapnya berbunyi sebagai berikut : Keramat Sutji Sam Poo “Goa tempat berziarah ini dan Kelenteng bernama Gedong Batu didirikan untuk memperingati djasa-djasa Sam Poo Tay Djien. Beliau adalah utusan dari Tiongkok pada permulaan zaman Keradjaan Ming (Tahun 1368 – 1643) berasal dari Yunnan dan wafat pada tahun 1435. sebagai utusan beliau mengundjungi berbagai-bagai negeri, antara lain Djawa, Sumatra, Melaka, Siam, Benggala, Ceylon, Arabia, untuk mengadakan perhubungan perdagangan dan persahabatan dengan negeri-negeri itu serta mempererat lagi persahabatanlagi persahabatan jang sedari 1000 tahun telah ada. (Perdjalanan Fa Shien antara tahun 400) untuk menghormati dan mengakui djasa-djasa beliau jang luhur itu, banjak negeri mengirimkan utusan-utusan ke Tiongkok. Beliau 43
Sewaktu rombongan Cheng Ho datang tempat tersebut belum punya nama, kemudian dinamakan Mangkang seperti sekarang ini yang berasal dari perkataan Tionghoa, wangkang yang artinya kapal. Karena ditempat tersebut banyak sekali berlabuh kapal-kapal nelayan setempat. Perubahan huruf m dari w diawal kata merupakan kebiasaan orang-orang jaman dulu untuk menggampangkan omongan. 44 Bahkan Prof. Dr. Muhammad Husayn M.A dalam desertasinya “Java as noticed by ARAB Geographers” memperkirakan komunitas Tionghoa telah ada sekitar tahun 921 M. Lihat Amen Budiman, Semarang Riwayatmu…….., op. cit., hlm. 21 serta Jongkie Tio, op. cit., hlm. 11
44
mengundjungi tanah Djawa dua kali di tahun 1406 dan 1416. di tahun 1416 beliau mendarat di Simongan jang pada waktu itu masih terletak di pantai laut. Penduduk kota Semarang berpendapat bahwa utusan Sam Poo Tay Djien ada suatu peristiwa kebangsaan. Maka untuk kehormatannya didirikan Kelenteng ini”.45 Yang harus kita cermati adalah tahun yang tertera dalam inskripsi tersebut, yang menunjukkan tahun 1416 M. Hal ini bukan berarti tahun 1416, sebagai tahun kedatangan Cheng Ho ke Semarang. Mengenai kapan tepatnya Laksamana Cheng Ho singgah di Semarang, ada beberapa pendapat yang mengemuka, yaitu46 : Pertama, tahun 1406 sebagai tahun kedatangan Cheng Ho di Semarang, tepatnya dalam pelayarannya yang pertama (1405-1407). Sarjana Tiongkok, Li Changfu menuliskan pada tahun1936. Armada Cheng Ho berangkat dari Sungai Liujia Kabupaten Suzhou Propinsi Jiangshu menuju Fujian terus berlayar ke selatan. Setelah singgah di Campa, armadanya sampai di Jawa. Kala itu armada Cheng Ho mungkin mendarat di Semarang.47 Sepaham dengan pendapat tersebut adalah apa yang ditulis oleh Wu Shehuang dalam bukunya Sejarah Indonesia (terbitan Jakarta tahun 1951) dan para sarjana Indonesia seperti Hartono Kasmadi, dan Wiyono pun menuliskan, tokoh Sam Po tidak lain adalah Laksamana Cheng Ho utusan dari Kaisar Yung Lo dari Dinasti Ming. Untuk mengadakan pelayaran ke daerah-daerah di Laut Selatan dari tahun 1405 sampai 1433. Dan mungkin telah mengunjungi Semarang pada tahun 1406.48 Kedua, Cheng Ho mendarat di Semarang pada pelayaran yang kedua, yaitu tahun 1407-1409. Liu Ruzhong menulis, pada pelayaran yang keduanya, armada 45
Penulis telah menyaksikan sendiri inskripsi tersebut pada kesekian kali kunjungannya (terakhir tanggal 17 Februari 2005), hanya saja karena kelenteng sedang direvitalisasi--yang nantinya inskripsi tersebut—akan diletakkan dibangunan utama didepan goa yang asli. Lihat juga Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu……, op. cit., hlm. 17 dan Khong Yuan Zhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho………, op. cit., hlm.72-73 46 Khong Yuan Zhi, op. cit., hlm. 71-74 keterangan serupa juga didapat penulis dari Jongkie Tio dan Kwa Tong Hay , Rabu 16 Februari 2005 47 Khong Yuan Zhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho,……….., op. cit., hlm.71 Lihat juga Li Changfu, Sejarah Penjajahan Tiongkok, Penerbit Shang Wu, Taiwan, 1983, hlm. 110 48 Hartono Kasmadi & Wiyono, Sejarah Sosial Kota Semarang (1900-1950), Dep Dik Bud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1985, hlm.77
45
Cheng Ho mendarat di Semarang, dikarenakan terjadi bentrokan antara wadyabala Cheng Ho dengan Raja Barat di Jawa. Ketiga, Cheng Ho mendarat di Semarang pada tahun1412. Sebagaimana yang dituliskan oleh Liem Ek Chiang dalam artikelnya, Cheng Ho telah mengunjungi tanah Jawa sebanyak dua kali. Yaitu pada tahun 1406 dan 1412, tepatnya mendarat di Mangkang di dekat Kendal. Senada dengan pendapat Ek Chiang adalah Nio Joe Lan. Keempat, tahun 1413 sebagai tahun kedatangan Laksamana Cheng Ho ke Semarang, sebagaimana dinyatakan oleh Mangaraja Onggang Parlindungan dalam buah karyanya Tuanku Rao. Antara lain : “Pada tahun 1413 ketika armada Cheng Ho berlabuh di Semarang, Cheng Ho dan dua pengikutnya Ma Huan dan Fei Xin bersama-sama bersembahyang di suatu masjid setempat”.49 Kelima, adalah pada tahun 1416 (sebagaimana penulis ungkapkan terlebih dahulu diatas). Keenam, pendaratan Cheng Ho di Semarang adalah antara tahun 14311433, berarti pada pelayaran yang ketujuh. Sebagaimana yang tertulis dalam arsip Kongkoan Semarang, yang penulis kutip dari Liem Thian Joe, disebutkan : “Doeloe, di masa baginda Soan Tik bertachta, ada satu thaykam jang bernama Ong Sam Poo, jalah jang sekarang disebut Sam Po Kong; ia dapet titah boeat tjari itoe moestika, maka bersama The Hoo an lain-lain lagi laloe berlajar ke sebelah Oetara.50 Ia lebih doeloe mendarat di Djambi, laoe toeroen di Bantam, kemoedian datang di Semarang”.51 Soan Tik adalah Xuan De menurut bahasa nasional Mandarin, demikian juga The Hoo adalah Cheng Ho. Menurut catatan sejarah, Kaisar Xuan De naik tahta sejak tahun 1426 sampai tahun 1436. Apabila Cheng Ho mendapatkan perintah berlayar dari kaisar Xuan De untuk berlayar jauh ke sebelah selatan, sudah tentu pelayarannya yang ketujuh yang berangkat pada tahun 1431. Karena,
49
Kong Yuan Zhi, op. cit., hlm. 72 Lihat juga Mangaraja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao, Tanjung Pengharapan, Jakarta, 1964, hlm. 653 50 Menurut Penulis, kata “oetara” itu salah tulis, yang benar adalah ke sebelah “selatan”, mengingat samudera Hindia berada disebelah selatan Cina. Lihat Khong Yuan Zhi, Muslim Tionghoa……….,op. cit., hlm. 80 51 Liem Thian Joe, op. cit., hlm. 2
46
pelayaran Cheng Ho yang keenam terjadi pada tahun 1421-1422, dan pada waktu itu Xuan De belum naik tahta. Menurut Qian Wen Ji (catatan Berita Mula-mula) yang ditulis oleh Zhu Yinming pada masa Dinasti Ming berkuasa, pada tanggal 19 Januari 1431 Imlek, armada Cheng Ho meninggalkan pelabuhan Long Wan Nanjing (Nanking) dan sampai di Campa pada 27 Januari 1432 Imlek. Kemudian meneruskan perjalanan pada 12 Februari dan tiba di Surabaya pada 7 Maret setelah mengarungi lautan selama 25 hari. Pada tanggal 13 Juli dari Surabaya mereka bertolak menuju Palembang. Tiba disana pada 24 Juli sesudah 11 hari berlayar.52 Ternyata dalam jadwal pelayaran diatas tidak tercatat pendaratan Cheng Ho di Semarang dalam pelayaran yang ketujuh. Perlu diketahui dari keenam pendapat yang penulis sebutkan diatas, sebagaimana yang penulis kutip dari Khong Yuan Zhi (2000) ternyata tidak disertai argumen-arguman sejarah yang cukup meyakinkan. Terbukti adanya katakata “mungkin” dari hasil penelitian-penelitian diatas. Sekalipun demikian bukan berarti bahwa kedatangan Cheng Ho di Semarang adalah a history. Disebabkan tidak mudah untuk mendeteksi kapan tepatnya persinggahan Laksamana Cheng Ho di Semarang. Hanya saja , rasanya bukan suatu kebetulan kemasyhuran Sam Po Kong di Semarang yang setiap tanggal 30 Juni Imlek diadakan perayaan secara besar-besaran. Bisa jadi, hal ini menurut perkiraan penulis, merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan oleh adanya Inpres No. 14 tahun 1967 pada masa pemerintahan Soeharto (karena pada waktu itu “kegiatan manipulasi” sejarah adalah hal yang “wajar”, terlebih kepada etnis Cina). Menurut Prof. Zhu Jieqin, cerita-cerita tempo dulu sering kali tidak dapat dipisahkan dengan fakta-fakta sejarah secara mutlak.53 Oleh karena itu, segala cerita mengenai kedatangan Cheng Ho di Semarang akan membantu para sejarawan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Tidak adanya catatan mengenai kedatangan Cheng Ho di Semarang dalam karya-karya Ma Huan, Fei Xin, dan Ghong Zheng, bukan berarti sang Bahariwan Agung itu tidak pernah ke 52 53
Khong Yuan Zhi, op. cit., hlm. 76 Ibid.
47
Semarang. Mungkin saja, pendaratan Cheng Ho di Semarang mereka anggap sebagai suatu peristiwa yang relatif kecil bila dibandingkan dengan peristiwaperistiwa lain. Apalagi ketiganya tidak ikut secara penuh. Ma Huan hanya ikut dalam pelayaran yang ke-4, 6, dan 7. Kemudian Fei Xin ikut dalam ekspedisi yang ke-3 dan 7, sedangkan Ghong Zheng hanya ikut pada pelayaran yang ke-7. Jika memang persinggahan Cheng Ho ke Semarang benar-benar terjadi pada tahun 1406, ketiga orang tersebut memang tidak ikut serta pada pelayaran pertama Laksamana Cheng Ho. Jadi wajar, peristiwa tersebut tidak dicantumkan dalam tulisan mereka. Terlepas dari perdebatan-perdebatan mengenai tahun kedatangan Cheng Ho di Semarang. Yang jelas, riwayat Semarang selalu dikaitkan orang dengan cerita kedatangan Cheng Ho di kota Atlas ini. Berdasarkan atas apa yang penulis baca dalam catatan Liem Thian Joe (1933), etnis Tionghoa bersama orang-orang pribumi bahu-membahu membangun kota Semarang sejak beberapa abad yang lalu.54 Sehingga perselisihan pendapat mengenai tahun kedatangan Admiral Cheng Ho di kota Semarang, tidak akan mengurangi rasa hormat orang kepada Cheng Ho. Bahariwan agung yang amat berjasa dalam memajukan persahabatan antara bangsa Cina dengan Indonesia, lewat apa yang disebut dengan Sino Javanese Muslim Culture maupun Sino Javanese Sub Culture.
3.2. Pembentukan Komunitas Cina dan Penyebaran Islam di Kota Semarang. Sebagaimana yang penulis jelaskan diatas, sebelum rombongan besar Laksamana Cheng Ho datang ke Semarang, di sekitar pelabuhan Gedung Batu Simongan sudah banyak berdiri pemukiman orang-orang Tionghoa. Yang bereksodus dari Cina daratan disebabkan peperangan dinegerinya yang tak kunjung padam. Banyak warga Cina yang meninggalkan negerinya dengan beragam alasan. Salah satunya mencari penghidupan baru ke berbagai negara dibelahan dunia, termasuk ke pulau Jawa ini. Semarang merupakan salah satu tujuan imigran dari 54
Lebih lanjut baca Liem Thian Joe, Riwajat Semarang……, op. cit.
48
daratan Cina. Kapan pertama kali etnis Cina datang ke Semarang akan dipaparkan oleh penulis dibawah ini. Dimana nanti akan terungkap peranan warga keturunan Tionghoa dalam penyebaran agama Islam di Jawa. Hingga “agen sejarah” penyebar Islam di Kota Semarang pun terungkap, yaitu etnis Tionghoa.
3.2.1. Awal-mula Pemukiman Orang-orang Cina di Semarang. Seperti yang telah dikatakan oleh J. R. van Berkum dan Muhammad Husayn, bahwa jauh sebelum rombongan Cheng Ho datang ke Semarang, telah ada pemukiman orang-orang Tionghoa di sekitar pelabuhan Gedung Batu (Simongan). Cukup beralasan. Karena, berdasarkan barang-barang kuno yang berhasil ditemukan. Misalnya tembikar, guci, dan sejenisnya di beberapa daerah di Indonesia, seperti Jawa Barat, Lampung, Batanghari (Riau), dan Kalimantan Barat. Benda lain yang ikut memberikan kemungkinan tersebut, ditemukannya sejumlah genderang perunggu berukuran besar di Sumatera Selatan, yang mempunyai kesamaan dengan genderang perunggu Tiongkok pada masa Dinasti Han. Termasuk dalam budaya Dongson atau Heger Type I yang diproduksi di desa Dongson. Sebuah desa kecil di propinsi Thanh Hoa, Teluk Tonkin (sebelah utara Vietnam) pada tahun 600 SM sampai abad 3 M.55 Bermula dari dugaan-dugaan tersebut dapat ditarik kesimpulan, hubungan lalu lintas antara orang-orang Tionghoa dari daratan Cina dengan Nusantara telah berlangsung lama. Berdasarkan kronik56 dan cerita dalam Dinasti Han maka pada masa pemerintahan Kaisar Wang Ming atau Wang Mang (1-6 SM), ternyata Tiongkok telah mengenal Nusantara yang disebut Huang-Tse. Perjalanan pulang pergi dari Tiongkok ke Nusantara memerlukan waktu satu tahun karena pengaruh musim. Sehingga banyak pengembara (pedagang) Tionghoa yang harus tinggal selama enam bulan dan akhirnya jatuh cinta dengan negeri yang kaya ini. Apa lagi kalau dibandingkan dengan negeri tempat mereka berasal, yang tandus dan banyak terjadi bencana alam dan peperangan yang berkepanjangan. 55 56
Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Elkasa, Jakarta, 2002, hlm. 17 Catatan berbagai peristiwa yang disusun berdasarkan urutan waktu.
49
Pada masa kerajaan Airlangga terdapat koloni-koloni Tionghoa yang menetap antara lain di Tuban, Gresik, Jepara, Lasem, dan Banten. Satu hal yang penting adalah orang-orang Tionghoa mau dan dapat memepertahankan kependudukannya. Karena mereka diterima oleh penduduk pribumi setempat untuk membaur dan hidup berdampingan dengan damai.57 Menurut catatan yang ada, orang – orang Tionghoa mulai berdatangan ke Indonesia pada abad IX yaitu pada masa pemerintahan Dinasti Tang untuk berdagang dan mencari kehidupan baru. Ketika Laksamana Cheng Ho mengunjungi Jawa, menjumpai berbagai pemukiman yang luas dari para pedagang Tionghoa yang tiba pada akhir abad XIV. Sekalipun pada masa itu, kaisar Zhu Yuanzhang dengan tegas melarang orang Tionghoa melakukan perdagangan dan perjalanan ke luar negeri sendirisendiri. Dalam sejarah diketahui pada zaman Mataram kuno kira – kira abad VII, Semarang sudah merupakan pelabuhan penting. Sekarang letaknya disekitar Pasar Bulu, di kaki bukit Bergota yang terdiri dari beberapa bukit kecil, seperti Bukit Brintik (kini masih bisa dilihat di perbukitan belakang Gereja Kathedral) dan Bukit Mugas (sekarang terdapat gedung PTP dan Universitas Stikubank di belakang pom bensin) hingga daerah Tlogo Bayem. Di sebelah selatan dan barat Bukit Bergota terdapat antara lain bukit Candi dan bukit Simongan yaitu daerah sekitar Gedong Batu sekarang. Waktu itu pendatang-pendatang dari daratan Tiongkok sudah banyak yang bermukim di sana. Tidak diketahui secara pasti, siapakah orang Tionghoa yang pertama kali bermukim di sekitar pelabuhan Gedung Batu. Meski dalam arsip Kongkoan58 disebutkan bahwa Sam Poo Tay Djien atau Cheng Ho adalah yang pertama kali menginjakkan kakinya di tanah Semarang. Yang jelas, mereka menganggap leluhurnya untuk pertama kali datang di Indonesia adalah mendarat di Bantam
57
Pramoedya Ananta Toer, Hoakkiau di Indonesia, Garba Budaya, Jakarta, 1998, hlm.
206-211 58
Kongkoan atau Chineese Raad adalah institusi resmi orang Tionghoa yang terdiri dari Mayor, Kapten, dan Letnan yang dibentuk oleh pemerintah Belanda untuk mengurusi masalahmasalah ringan dalam kelompok mereka (orang-orang Tionghoa) seperti pencatatan perkawinan, yang terdapat disetiap kota besar di Indonesia.
50
(Banten). Kemudian berpencar ke daerah lain seperti Jepara, Lasem, Rembang, Demak, Tanjung, Buyaran, dan akhirnya sampai ke Semarang. Adalah Wang Jinghong (Ong King Hong), sang jurumudi dan sepuluh awak kapal lainnya. Yang ditinggal di Semarang oleh rombongan besar Laksamana Cheng Ho ketika hendak meneruskan perjalanannya ke Tuban. Karena, Wang Jinghong sakit keras dan setelah sembuh, dengan dibantu oleh awak kapal yang ikut ditinggal, mereka membuka pemukiman baru di sekitar pelabuhan Gedung Batu (Simongan). Tidak jauh dari tempat mereka tinggal memang telah ada pemukiman penduduk yang dihuni oleh penduduk asli dan warga Tionghoa yang lebih dahulu datang ke Semarang. Belakangan orang-orang Tionghoa yang merantau ke Semarang memilih bertempat tinggal disekitar Kelenteng Sam Po Kong. Karena, Gedung Batu memiliki Hong-sui (Geomancy) yang bagus. Dibanding daerah lain di Semarang yang waktu itu masih berupa tegalan dengan beberapa rumah penduduk yang letaknya berdampingan dengan rawa-rawa ataupun comberan, disamping untuk “ngalap berkah” dari Sam Po Kong. Tidak jauh dari pemukiman Gedung Batu tinggallah seorang Tionghoa bernama Souw Pan Djiang59 yang jago silat dan dirumahnya sering diadakan semacam diskusi dengan warga Tionghoa yang lain tentang kiat-kiat berdagang di Semarang. Kebanyakan orang-orang Cina yang merantau ke Semarang ataupun daerah lain, mayoritas adalah pedagang dari berbagai jenis barang khas daratan Tiongkok. Seperti tembikar, porselen, kain sutera dan lain sebagainya. Kebiasaan dari mereka (pedagang Cina) adalah membawa uang tangci60 sebagai alat pembayaran yang sah. Lantaran bentuknya yang persegi dan berlubang ditengahnya, dan ketika mereka hendak bepergian selalu merenceng (merangkai) uang tersebut dan melilitkannya di pinggang.
59
Sekarang daerah tersebut dikenal dengan nama Panjangan (dulunya disebut desa Sepanjang) berasal dari kata Pan-Djiang yang merupakan dua kata terakhir dari nama Souw Pan Djiang. Baca, Liem Thian Joe, Riwayat Semarang……, op. cit. 60 Orang-orang Semarang menyebutnya uang kentang, sedangkan penduduk di wilayah Kedu (seperti Magelang, Temanggung, Kebumen, dan Purworejo) menyebutnya dengan uang gobok.
51
Sebelum kedatangan orang Belanda, orang Tionghoa di Semarang atau daerah lain di Indonesia hidup damai dengan penduduk setempat. Hidup membaur dan berakulturasi dengan budaya masing-masing. Disamping berdagang, orang Tionghoa juga bermata pencaharian sebagai petani, dan tukang. Umumnya tidak membawa serta istri dari Tiongkok dan menikah dengan perempuan lokal sehingga lahirlah keturunan campuran. Biasa disebut peranakan dan telah merasa menjadi orang Indonesia. Meski demikian, orang Indonesia pada umumnya memandang orang Tionghoa terbagi kedalam dua golongan, yaitu Peranakan dan Totok. Penggolongan tersebut bukan hanya berdasarkan faktor kelahiran saja, artinya, orang
Peranakan itu tidak hanya yang lahir di Indonesia, hasil
perkawinan silang antara orang Tionghoa dan orang Indonesia. Sedangkan orang Totok bukan hanya orang Tionghoa yang asli kelahiran Cina. Akan tetapi penggolongan tersebut juga menyangkut soal derajat penyesuaian dan akulturasi dari para perantau Tionghoa terhadap kebudayaan Indonesia yang ada di sekitarnya. Sedangkan derajat akulturasi itu tergantung kepada jumlah generasi para perantau itu telah berada di Indonesia dan kepada intensitet perkawinan campuran yang telah terjadi di antara para perantau itu dengan orang Indonesia.61 Major William Thorn dalam buku laporannya selaku Deputy QuarterMaster General to the Forces serving in Java, menyatakan orang-orang Tionghoa tidak membawa istri dari Tiongkok. Karena memang ada larangan untuk membawa atau mengirim perempuan keluar dari Tiongkok. Mereka pada umumnya mengawini perempuan Jawa atau Melayu, atau membeli budak untuk dijadikan gundik atau istri. Tidak kurang dari 5.000 orang Tionghoa yang segera datang ke Batavia. Kemudian menyebar ke seantero Jawa begitu mendengar kabar bahwa Inggris telah merebut Pulau Jawa.62
61
Penggolongan diatas jelas bernuansa politis, sebagaimana sentimen anti-cina dihembuskan oleh pemerintah Belanda ketika menjajah Indonesia, diperburuk lagi oleh pemerintahan pada masa Soeharto. Lihat Puspa Vasanty, “Kebudayaan Orang-orang Tionghoa di Indonesia”, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta, Cet. 19, 2002, hlm. 353-357 62 Benny G. Setiono, op. cit., hlm. 53-54
52
Migrasi wanita Tionghoa ke Asia Tenggara ini baru dimulai pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20. Sebelumnya imigran Tionghoa hanya terdiri dari laki-laki saja. Migrasi wanita Tionghoa ini bertalian dengan fasilitas penggunaan kapal api dan murahnya tarif angkutan. Sejak itu migrasi orang Tionghoa baik laki-laki maupun perempuan meningkat tajam. Menyinggung soal kemurnian penduduk Indonesia, Dr. Josef Glinko, pakar antropolog Universitas Airlangga. Menyatakan, khusus untuk masyarakat Tionghoa sebagai mereka yang telah ratusan tahun meninggalkan tanah airnya, memang hanya pria. Dengan demikian, mau tak mau mereka lantas kawin dengan para wanita disini, jadilah keturunannya anak-beranak ikut menghuni Indonesia. “Lha, mana yang tetap nonpribumi kalau begini? Hanya orang bodoh yang mempersoalkannya…..”.63 Kota Semarang telah dipetakan sebagai sebuah kota oleh van Bamellen di tahun 1659. Seperti yang penulis utarakan didepan adalah merupakan pelabuhan penting di jalur pantai utara Jawa. Yang mana keadaannya sangat menarik perhatian berbagai pedagang yang datang dari Arab, India, Persia, Cina, dan tak ketinggalan pula orang-orang Eropa. Orang Eropa yang pertama kali datang ke Semarang adalah orang Portugis, menetap di sekitar “kota lama” (Heerenstraat), yaitu sekitar Gereja Blenduk. Sedangkan Belanda masuk Semarang mulai awal abad ke-17. Pada masa itu, Semarang merupakan sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Kerajaan Demak yang kemudian jatuh dalam kekuasaan Mataram dibawah pimpinan Amangkurat I. Sewaktu terjadi peperangan antara Pangeran Trunojoyo (Souw Pan Djiang bersama warga Tionghoa lainnya yang menguasai ilmu silat, berada di pihak Trunojoyo) melawan pihak Mataram dibawah pimpinan Raja Amangkurat II.64
63
“Bodoh Mempersoalkan Masalah Pri-Nonpri” dalam Surat Kabar Harian Kompas, 08 Februari 2000, hlm. 9 64 Mengenai tahun terjadinya peristiwa pemberontakan tersebut berbeda-beda, misalnya dalam Arsip Kongkoan disebutkan terjadi pada tahun 1628, padahal menurut A.J. Eijkman dalam bukunya Geschiedenis van Nederland Oost-Indie, Kartasura baru didirikan oleh Amangkurat II pada tahun 1678, sedangkan menurut Raffles dalam bukunya Rafless History of Java, pemberontakan tersebut terjadi pada tahun 1731. Lihat lebih lanjut, Jongkie Tio, …op.cit.,
53
Pihak Mataram terdesak sampai di Kartasura. Penguasa Kartasura meminta bantuan kepada Mataram. Hingga Amangkurat II mengambil keputusan untuk meminta bantuan kepada VOC (Vereenidge Oost Indische Compagnie)65 untuk menumpas pemberontakan Trunojoyo.
VOC atau Kompeni berhasil
menumpas pemberontakan tersebut. Sebagai imbalannya, pihak Mataram menyerahkan daerah Semarang kepada Kompeni. Semarang resmi dibawah kekuasaaan Kompeni sejak tanggal 15 Januari 1678. Dalam Arsip Kongkoan yang penulis kutip dari Liem Thian Joe, peristiwa itu terjadi 15 Januari 1724. Namun pada tahun 1799 VOC mengalami bangkrut sehingga Semarang diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Secara otomatis diterapkan pemerintahan kolonial Belanda. Perpindahan pemukiman orang-orang Tionghoa yang lazim disebut Pecinan. Dari Gedung Batu ke tempat sekarang yang merupakan wilayah Kelurahan Kranggan. Adalah bermula dari perlawanan orang-orang Tionghoa di Batavia (Jakarta) pada tahun 1740 yang mengakibatkan terbunuhnya 10.000 orang Tionghoa. Pada tahun 1743 pemberontakan tersebut dapat ditumpas oleh Belanda. Untuk mengantisipasi peristiwa serupa, pemerintah Belanda di Semarang memaksa pindah orang-orang Tionghoa di Gedung Batu untuk bermukim di Semarang. Yaitu di daerah Kali Semarang agar mudah diawasi. Meliputi daerah sekitar Beteng, Wotgandul, Cap Kau King, Gang Pinggir, dan Kali Koping. Untuk pengawasan dibangunlah sebuah gedung sebagai tangsi militer di ujung Bojong tepatnya di Jl. Djurnatan. Gedung tersebut dinamakan “De Werttensbergse Kazerne”. Sekarang gedung itu telah dimusnahkan, menjadi kawasan pertokoan Semarang Plaza. Alasan Belanda memindahkan pemukiman orang-orang Tionghoa, agar mudah diawasi. Dan untuk menghambat kontak hubungan dengan warga Tionghoa di daerah lain. Oleh karena itu, Belanda memperkenankan warga Tionghoa untuk mendirikan tempat tinggalnya dimana saja asal masih dalam wilayah yang ditetapkan oleh penguasa.
65
Adalah kongsi dagang Belanda yang mempunyai tugas mengatur (memonopoli) perniagaan dinegeri jajahan Pemerintahan Belanda. Orang Jawa menyebutnya Kumpeni, dan orang Tionghoa menyebutnya Kong Pan Ge.
54
Untuk sebelah utara, selatan dan timur yaitu berbatasan dengan kali Semarang.66 Sedangkan sebelah barat berbatasan dengan sebuah tegalan yang dinamakan
Beteng.67
Akibatnya
orang-orang
Tionghoa
lalu
mendirikan
bangunannya sekenanya saja, sampai sekarang masih bisa kita lihat bekasbekasnya. Misalnya, jalan di Gang Baru sebelah selatan sedikit lebar, sedangkan yang disebelah utara sangat sempit. Selanjutnya, kota Semarang semakin maju perdagangannya. Hingga orang-orang Tionghoa ramai mengembangkan kebiasaan dari negeri moyangnya yaitu Judi.68 Pusat perjudian terkonsentrasi didaerah Gang. Pinggir, tepatnya diujung Gang. Tjilik. Dampak dari ramainya perjudian dikawasan baru tersebut adalah berdiri pula tempat-tempat pegadaian. Dimana para penjudi—yang tidak hanya orang Tionghoa, pendatang dari India, Arab, Persia, Belanda dan juga orang Jawa sendiri pun ikut serta—agar
mudah mendapatkan uang. Pihak
Belanda pun memungut pajak judi. Dan pada tahun 1724 pemerintah Belanda mengeluarkan uang resmi. Meski di Semarang waktu itu telah beredar pula uang Gobok (Tangci) dan Real. Uang resmi yang dikeluarkan Belanda disebut dengan Hollandsche Duitten. Sementara uang Gobok berlaku hingga tahun 1855, kemudian diganti dengan uang Cent.69 Perlu untuk diketahui, saat itu kali Semarang masih jernih dan dalam. Sehingga kapal-kapal berukuran sedang bisa masuk dan bersandar di Kali Koping Gang Pinggir. Yang kemudian membawa kemajuan pesat bagi daerah Pecinan sampai kearah timur yang sekarang dikenal dengan nama Petudungan. Pembauran antara warga Tionghoa dengan penduduk asli maupun dari suku-suku lain (mayoritas beragama Islam). Ditunjang adanya sebuah Pesantren, membawa Petudungan berkembang pesat hingga hutan-hutan dibuka untuk pemukiman baru dan jalan. Sebagai akses menuju Demak terutama lewat Jl. Ambengan. 66
Sebagaimana kita ketahui bahwa kali Semarang itu mengalir dan memutar diantara Cap Kauw King—Gang Pinggir dan Pekojan. Dan pada waktu itu merupakan akses terpenting sebagai jalur perdagangan dari pelabuhan menuju ke daerah-daerah pedalaman. 67 Liem Thian Joe, op. cit., hlm. 6 68 Seperti yang kita lihat dalam film-film, orang-orang Cina memang piawai dalam berjudi. Dan kebanyakan sebelum Togel atau Tjap-Jiekie dilarang beredar di Wilayah Polda Jawa Tengah, Bandar-bandar besarnya adalah orang-orang Cina. 69 Jongkie Tio, op.cit., hlm. 21
55
Kemudian pada tahun 1797, pihak Belanda membuka hutan-hutan di daerah Pekojan. Dahulu dikenal sebagai tempat bermukimnya orang Koja, yaitu warga keturunan India yang menikah dengan penduduk asli setempat. Pembukaan hutan tersebut untuk kenyamanan warga Belanda. Akibatnya, pekuburan Tionghoa dipindahkan di kaki bukit Candi, yaitu disekitar Jl. Sriwijaya, Jl. Gergaji, dan Jl. Diponegoro (Jl. Siranda). Untuk keperluan acara pemindahan kuburan tersebut, warga Tionghoa mengadakan upacara besar-besaran untuk menolak bala. Untuk mengenangnya dibuatlah inskripsi yang bertuliskan “Lam Boe O Mie Too Hoet Kian An”,70 yang dipahatkan diujung Jl. Petolongan yang tembusannya sampai Jl. Pekojan. Dalam perkembangannya, daerah Pekojan masuk kedalam wilayah Pecinan. Seiring bertambahnya pendatang yang bermukim, menyebabkan pelebaran daerah Pekojan. Sampai-sampai bekas penjara di pojok perempatan Djurnatan pun diubah menjadi pusat pertokoan. Untuk keamanan daerah Pecinan, warga Tionghoa mengajukan izin kepada pemerintah Belanda selaku penguasa agar diperbolehkan membangun pintu gerbang di empat penjuru daerah Pecinan. Pertama, di Jl. Sebandaran yang menikung kearah Jl. Jagalan. Kedua, disudut Jl. Cap Kau King berbatasan dengan Jl. Benteng. Ketiga, di Jl. Gang Warung. Dan keempat, diseberang jembatan Pekojan. Akhirnya pada tahun 1811, Semarang jatuh ketangan Inggris. Ketika itu Gubernur Jendral Hindia-Belanda adalah Jenderal Jannssens. Penyerahan kekuasaan dilakukan di Benteng Ungaran yang sekarang menjadi sebuah asrama.
3.2.2. Peranan Etnis Cina dalam Penyebaran Islam di Kota Semarang. Sebagaimana yang penulis baca dari berbagai sumber sejarah, mengenai kedatangan Islam di Nusantara, sampai saat ini para ahli masih terlibat diskusi panjang dan melelahkan untuk menuntaskan tiga masalah pokok. Meliputi, tempat asal kedatangan Islam, para pembawa Islam ke Nusantara, dan waktu kedatangan Islam ke Nusantara. Kurangnya data yang bisa diakses sebagai pendukung sebuah teori tertentu. Serta masih bersifat sepihak dari berbagai teori yang ada, agaknya 70
Ibid.
56
yang menjadi penghalang untuk sampai pada jawaban dari ketiga pokok masalah diatas. Umumnya sejarawan terbagi menjadi dua, yaitu pembawa Islam ke Indonesia adalah dari Timur Tengah dan Anak Benua India. Nuansa fanatisme dan apologetik masih menyelimuti pendukung kedua teori tersebut. Para pakar umumnya berpendapat, bahwa Islam dibawa dan disyi’arkan oleh para pedagang, kaum sufi dan pengamal tarekat. Sedangkan mengenai waktu kedatangan Islam, mereka kebanyakan berpendapat sejak abad ke-12. Sekalipun ada sejarawan Malaysia-Indonesia yang mempunyai pendapat berbeda, yaitu abad ke-7, artinya sejak permulaan perkembangan Islam.71 Ada empat tema pokok yang berkaitan dengan awal permulaan penyebaran Islam di Nusantara. Pertama, Islam dibawa langsung dari Arab. Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan juru dakwah professional. Ketiga, yang mulamula masuk Islam adalah penguasa. Dan keempat, para da’i tersebut datang ke Indonesia pada abad ke-12 dan 13. Meskipun mungkin Islam telah diperkenalkan ke Nusantara sejak abad ke-1 Hijriyah (abad VII M), akan tetapi pengaruh Islam kelihatan lebih nyata dan hidup setelah abad ke-12. Proses Islamisasi sendiri berkembang pesat antara abad ke-12 sampai ke-16. Keterlibatan Muslim Cina yang bermadzhab Hanafi dalam proses Islamisasi Jawa, sebagaimana di informasikan dalam “Kronik Kelenteng Sam Po Kong dan Kelenteng Talang” (Gus Dur pun berpendapat demikian dalam buku “Pergulatan Mencari Jatidiri”), oleh peneliti kawakan Belanda, De Graaf disebut dengan Catatan Tahunan Melayu atau Malay Annals. Dirasa oleh para sejarawan sebagai “pembangkangan” atas informasi yang selama ini berkembang di masyarakat tentang “sejarah islamisasi Jawa”.
71
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Penerbit Mizan, Bandung, Cet. I, 1994, hlm. 24-36. Baca juga, HAMKA, Sedjarah Umat Islam,…..(1963), A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,….(1989), Aboebakar Aceh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia,…..(1979), dan Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia,…..(1996).
57
Kita semua masih ingat atas kasus dilarangnya peredaran buku Slamet Mulyana, “Runtuhnya Keradjaan Hindhu-Djawa dan Timbulnja Negara-negara Islam di Nusantara” (yang memuat ulang teks Malay Annals), lewat SK. Jaksa Agung No. Kep. 043/DA/1971. Mulyana menjelaskan tentang penyamaran beberapa figur Walisongo dengan nama Cina. Seperti, Sunan Ampel dengan sebutan Bong Swie Hoo, Sunan Kudus dengan Jak Tik Su, kemudian Sunan Kalijaga dengan samaran Gan Sie Cang, sedangkan Sunan Gunung Djati dengan Toh A Bo.72 Hal ini yang menimbulkan pihak Muslim marah. Akan tetapi dalam batasan tertentu, “teori baru” ini bisa membantu menjelaskan kekosongan sejarah islamisasi Jawa yang sampai sekarang masih simpang siur. Terasa “kurang adil” memang, jika tidak menyebutkan peranan etnis Tionghoa dalam penyebaran Islam di Nusantara. Karena, begitu banyak fakta pendukung yang termuat didalamnya. Lihat saja, keberadaan Kelenteng Sam Po Kong, yang menjadi salah satu sumber utama bahan-bahan penelitian mengenai sejarah kota Semarang dan peranan orang Tionghoa dalam penyebaran Islam dan pembentukan sejumlah kesultanan Islam di Jawa. Peranan etnis Tionghoa dalam penyebaran Islam di Jawa banyak ditulis sejarawan Muslim Cina, yaitu Haji Ma Huan dalam bukunya Ying Yai Sheng Lan dan Haji Feh Tsing dalam karyanya Tsing Tsa Sheng Lan, pada tahun 1431.73 “Penemuan” paling kontroversial adalah perampasan yang dilakukan oleh Residen Poortman atas arsip-arsip Tionghoa kuno yang disimpan di Kelenteng Sam Po Kong selama 4-5 abad, pada tahun1928. Dengan dalih menumpas komunis, Residen Poortman dengan dibantu polisi menggeledah kelenteng Sam Po Kong. Dan berhasil menemukan berbagai catatan berbahasa Tionghoa—yang menceritakan tentang keterlibatan etnis Cina dalam penyebaran Islam dan pembentukan sejumlah kerajaan Islam di Jawa terutama kerajaan Islam di Demak dengan rajanya Raden Patah alias Jin Bun—sebanyak tiga cikar (gerobak).
72
H. J. de Graaf, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI : Antara Historisitas dan Mitos, Tiara Wacana, Yogyakarta, Cet. Kedua, 2004, hlm. 67 73 Kedua Haji tersebut adalah juru tulis sekaligus guide dalam ekspedisi Laksamana Cheng Ho yang pandai berbahasa Arab.
58
Namun demikian, banyak peneliti yang meragukan penemuan ini. Dengan melihat denah dan tata letak ruang-ruang yang ada di Kelenteng Sam Po Kong. Sulit untuk dipercaya jika selama ratusan tahun ditempat tersebut bisa menyimpan dokumen sejarah seaman dan sebanyak itu.74 Hasil penelitian Residen Poortman telah membuat penasaran peneliti dari Perancis, Dennys Lombard, yang mencari buktinya sampai ke negeri Belanda. Hasilnya pun nihil. Bahkan putera mendiang Residen Poortman
tidak tahu
menahu akan “dokumen negara” yang jumlahnya terbagi dalam lima eksemplar. Kemudian Dennys mencarinya ke Gedung Negara Rijswijk, yang disebut-sebut sebagai tempat penyimpanan prasaran tersebut di Den Haag. Hasilnya pun sama, yang ada cuma Algemeen Rijksarchief.75 Berawal dari Bong Swie Hoo alias Raden Rahmat yang bergelar Sunan Ampel yang berasal dari Yunnan, cucu seorang penguasa tertinggi di Campa, Bong Tak Keng. Pada tahun 1447 datang ke Jawa dan menikah dengan Ni Gede Manila, putri seorang kapten Tionghoa yang berkedudukan di Tuban (Tu-Pan), Gan Eng Cu alias Arya Teja. Dari hasil perkawinannya dengan Ni gede Manila, Bong Swie Hoo mempunyai seorang anak yang diberi nama Bo Bing Nang dan kelak bergelar Sunan Bonang. Bo Bing Nang diasuh bersama Raden Paku (Sunan Giri), anak Maulana Wali Lanang atau Maulana Iskak hasil perkawinannya dengan seorang putri Blambangan. Maulana Iskak sendiri adalah paman Bong Swie Hoo, anak dari Bong Tak Keng. Ipar Bong Swi Hoo, yaitu Gan Sie Cang (kelak setelah masuk Islam bergelar Sunan Kalijaga) bersama Kin San (Raden Kusen) anak Swan Liong alias Arya Damar mengembangkan usaha yang bergerak di bidang perkapalan di Semarang, dulunya usaha itu dibangun oleh Laksamana Cheng Ho sewaktu singgah di Semarang. Dengan meniru kapal milik Ja Tik Su (Sunan Kudus) yang sedang bersandar digalangan kapal Semarang karena mengalami kerusakan. Mereka berdua memimpin pembuatan junk-junk besar yang mempunyai kecepatan 74
Amen Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia, Tandjung Sari, Semarang, 1979, hlm. 17 Lebih lanjut Mangaraja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao, Penerbit Tandjung Pengharapan, Jakarta, 1964, hlm. 650-672 75 Ibid., hlm. 18
59
tinggi. Junk-junk inilah yang kelak pada tahun 1521 digunakan oleh pasukan Demak pimpinan Yat Sun (Adipati Unus) Sultan Demak II, untuk menyerang Portugis di Malaka. Pada tahun 1481, atas desakan para tukang kayu di galangan kapal Semarang, Gan Sie Cang selaku Kapten Tionghoa menyampaikan permohonan kepada Kin San, selaku Bupati Semarang (disebut juga Ki Ageng Pandan Arang I) untuk ikut menyelesaikan pembangunan Masjid Agung Demak (disebut juga Masjid Gelagah Wangi) dan diteruskan kepada Jin Bun selaku penguasa tertinggi di Demak. Dengan demikian, pembangunan Masjid Demak diselesaikan oleh para tukang kayu dari galangan kapal Semarang pimpinan Gan Sie Cang. Sebagaimana yang telah penulis sebutkan pada bab terdahulu, soko tatal Masjid Demak dibuat dengan mempergunakan teknik konstruksi tiang kapal. Tersusun dari kepingan-kepingan kayu yang sangat tepat dan rapih. Teknik ini lebih kuat menahan angin laut atau taufan daripada tiang kayu utuh.76 Demikian juga Raden Patah selaku pendiri Kerajaan Demak, sebenarnya adalah Jin Bun (dalam dialek Yunnan berarti “orang kuat”),77 adalah anak Kung Ta Bu Mi (Kertabumi) alias Prabu Brawijaya V. Raja Majapahit terakhir yang menikah dengan seorang putri Campa, anak saudagar kaya Tionghoa bernama Ban Hong (babah Bantong). Masa kecil Jin Bun diasuh oleh Swan Liong (Arya Damar) bersama Kin San (Raden Kusen) di Palembang. Kin San sendiri adalah seorang pakar pembuat petasan dan mesiu yang dipelajari dari ayahnya (Swan Liong), yang pernah menjadi kepala pabrik mesiu di Semarang. Setelah Jin Bun berhasil meruntuhkan Majapahit, maka Kin San, pada tahun 1478 diangkat menjadi Bupati Pertama Semarang. Demikian juga Sultan Demak yang kedua, Yat Sun, adalah putra Jin Bun yang mempunyai keberanian luar biasa. Karena, menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1521 yang telah mereka duduki sejak 1511. Sehingga dijuluki Pangeran Sabrang Lor, yang memerintah kesultanan Demak hanya tiga tahun. Kemudian digantikan oleh saudaranya Pangeran Trenggana alias Tung Ka Lo, 76 77
Benny G. Setiono, op. cit., hlm. 46 Amen Budiman, Masyarakat Islam……….., op. cit., hlm. 17
60
memerintah kerajaan Islam Demak paling lama, yaitu 40 tahun. Pengganti Tung Ka Lo adalah Muk Ming (Sunan Prawoto). Menurut beberapa buku cerita Jawa, Muk Ming membunuh saudara tuanya sebagai putra mahkota, agar bisa menduduki kursi nomor satu di kesultanan Demak Bintoro. Putra mahkota
itu adalah Pangeran Sekar Seda Ing Lepen.
Kemudian, Demak diserang oleh pasukan Jipang Panolang pimpinan Aryo Penangsang. Sebagai bentuk balas dendam atas kematian ayahnya yang dibunuh Muk Ming. Prajurit Demak terdesak sampai ke Semarang, terjepit diantara kapalkapal digalangan kapal Semarang yang kemudian dihancurkan oleh balatentara Jipang. Kota Semarang pun ikut diporak-porandakan. Pada akhirnya, pasukan Jipang bisa dikalahkan oleh pasukan Pajang pimpinan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir (anak Ki Kebo Kenongo), yang kemudian memindahkan pusat kerajaan di Pajang-Surakarta. Berakhirlah masa kejayaan Demak. Pemerintahan Pajang kurang begitu memperhatikan masalah maritim. Demikian juga ketika kerajaan Pajang runtuh dan pusat kerajaan Islam Jawa dipindahkan ke Mataram-Yogyakarta, yang semakin menggeser kekuatan politik dari pantai utara jauh ke pedalaman. Sejak saat itu, peranan kota Semarang semakin ditinggalkan. Sebagai pertanda runtuhnya kejayaan kerajaan-kerajaan Islam maritim Jawa, yang pada masa sebelumnya malang-melintang menguasai perairan Nusantara. Akhirnya, Semarang memasuki era baru, yaitu pada tahun 1677 oleh penguasa Mataram diberikan kepada VOC. Semarang dijadikan benteng pertahanan VOC sekaligus pusat perdagangan pada awal abad XVIII.78 Dari sini, kita bisa mengetahui eksistensi Cina Muslim dalam penyebaran Islam di Jawa. Pengaruhnya pun terasa sampai ke Semarang (karena berdekatan dengan Demak) pada kurun abad XV dan XVI yang tidak terbantahkan. Sekalipun minim data-data sejarah yang sampai kepada kita, fakta tersebut tidak begitu saja kita pungkiri. Praktis pada abad tersebut etnis Tionghoa menguasai jaringan perekonomian di Asia Tenggara (termasuk Jawa). Pun pula ketika Dinasti Ming naik tahta pada 1368 yang melarang perdagangan ke luar negeri. Akibatnya para 78
H.J. de Graaf dkk., op. cit., hlm. 119-123
61
Imigran Cina ini terdampar di daerah Selatan. Jumlah ini diperbesar lagi dengan mereka-mereka yang sudah kadung kerasan di Nusantara ketika ikut dalam ekspedisi akbar Laksamana Cheng Ho. Yang mana, komunitas itu membentuk armada niaga di kota-kota seperti Demak, Gresik, Palembang, Malaka, Pattani (Thailand) dan Ayutthaya. Menyusun perdagangan dengan dasar pajak (upeti) ke Cina dan membentuk jaringan perniagaan di seluruh wilayah tersebut.79 Bahkan, sejarawan sebesar de Graaf menyimpulkan “perkembangan masyarakat pribumi di Jawa tidak dapat digambarkan secara tepat tanpa menyebut pengaruh orang Cina”.80 Identitas ke-Cinaan penguasa-penguasa kerajaan Demak bukan kabar yang mengejutkan. Eksistensi mereka (Cina Muslim) yang sudah sejak lama mendiami kawasan pesisir utara Jawa tidak bisa dibantah. Sumber-sumber lokal di Jawa Barat seperti Sadjarah Banten atau Hikayat Hasanuddin (juga disebut Sadjarah Banten Rante-rante) maupun historiografi lokal Jawa Tengah. Mengatakan, Raden Patah, Sultan Demak I adalah seorang Cina Muslim. Letak perbedaannya hanya pada identifikasi genealogi Raden Patah. Jika sumber-sumber lokal Jawa Barat mengaitkan asal-usul Sultan Demak itu dengan Cina-Mongol (Hikayat Hasanuddin menyebut moyangnya bernama Cek Ko Po dari Munggul, sedangkan Sadjarah Banten menyebut Raden Patah dengan Cu Cu yang juga keturunan Mongol). Maka beberapa teks lokal Jawa Tengah seperti Babad Tanah Djawi, Serat Kandha, atau Tembang Babad Demak menyebut Raden Patah sebagai anak Prabu Brawijaya V. Raja Majapahit terakhir yang menikah dengan seorang putri Cina, anak Syeikh Bentong. Hanya saja, keterangan tentang ke-Cinaan penguasa Demak ini tidak diikuti dengan informasi nama-nama Cina mereka. Hanya The Chinese Chronicles of Semarang & Cerbon (Catatan Tahunan Melayu atau Malay Annals) yang sedikit memberi informasi nama-nama tersebut seperti kata Jimbun. Dalam sumber lokal yang sebetulnya berasal dari dialek Yunnan Jin-Bun, yang berarti “orang kuat”.81 79
Baca lebih lanjut, Dennys Lombard, Nusa Jawa : Silang Budaya, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Jilid II, 1996 80 H.J. de Graaf dkk., op. cit., hlm. 185 81 Sumanto Al-Qurtuby, op. cit., hlm . 214
62
Bahkan, beberapa sumber Cina menyebutkan kaum Cina Muslim sudah menunjukkan eksistensinya sejak awal abad ke-15. Ketika Ma Huan mengunjungi beberapa kota pelabuhan di Jawa Timur sekitar tahun1415. Mencatat, komunitas Cina Muslim yang kebanyakan berasal dari Kanton (Chang-chou/Ch’ai-chou) sudah menjadi masyarakat dengan status sosial yang tinggi. Mereka hidup berdampingan dengan komunitas Islam lain yang berasal dari India, Persia, dan penduduk “Pribumi”.82 Jika Ma Huan berpendapat demikian, hampir dapat dipastikan orang-orang Cina Muslim sudah mendiami wilayah ini jauh sebelum abad tersebut. Pramoedya Ananta Toer menyatakan, pada tahun 1292 saat terjadi ekspansi Cina-Mongol, hal itu merupakan titik balik sejarah Jawa. Sebab senjata cetbang (sejenis peluncur roket) Majapahit di abad XIV, menjadi simbol kebesaran Majapahit dalam dunia kemiliteran, yang diadopsi dari teknik senjata api yang dibuat Cina-Mongol. Bersama dengan balatentara pimpinan Kublai Khan, yang akan melakukan aksi balas dendam terhadap perlakuan Kertanegara raja Singasari kepada anak buahnya. “Nenek moyang” cetbang Majapahit, disamping kuda perang dari Mongolia dan Korea (turunan kuda Korea kemudian disebut kuda kore) ikut dibawa. Majapahit semasa Gajah Mada telah mengembangkan jenis senjata api ini menjadi cetbang. Lawan-lawan Majapahit pada mulanya menamai senjata ini “sihir lidah api”, karena dari bawah ia memancarkan api di udara atau pada sasaran dia meledak (senjata ini didasarkan pada prinsip roket yang dilemparkan
dan
diarahkan dengan laras dan tolakan ledakan). Dengan cetbang ini, Gajah Mada berhasil mempersatukan Nusantara menjadi kekaisaran Malaya—kekaisaran Asia Tenggara dalam waktu 20 tahun. Kelak, senjata api Cina Mongol yang arsiteknya seorang Muslim itu pula yang dibawa pengelana Marco Polo ke Portugis dan dikembangkan di sana menjadi musket dan meriam. Seperti Majapahit yang telah berhasil menjadi penguasa pada abad ke-14 dengan senjata cetbangnya, Portugis bersama Spanyol juga sempat merajai dunia dan melanglangbuana dengan musket
82
Amen Budiman, Masyarakat Islam… op. cit., hlm. 9-13
63
dan meriam diabad ke-16 sampai disebut lelananging jagad sebagai simbol keperkasaan negara ini.83 Puncak kejayaan dari komunitas Cina Islam yang mendiami Jawa (Semarang) ini, saat terjadi ekspedisi akbar Laksamana Cheng Ho. Utusan dari Dinasti Ming pada awal abad ke-15 dengan armada yang terdiri atas ribuan orang dan ratusan kapal. Ekspedisi ini telah meninggalkan petilasan-petilasan sejarah yang mengagumkan sekaligus “kontroversial” di Jawa (salah satunya Kelenteng Sam Po Kong di Semarang). Terlepas dari adanya muatan politis dalam sejarah ekspedisi ini, yang jelas kaum Cina Muslim yang ikut serta dalam rombongan Laksmana Haji Cheng Ho memainkan peran yang cukup penting dalam perkembangan Islam awal di kawasan ini. Seperti yang ditunjukkan dengan beberapa peninggalan kebudayaan Islam klasik di pesisir utara Jawa maupun tradisi lisan yang berkembang dimasyarakat. Salah satu jasa besar dari komunitas Cina Muslim ini adalah saat mereka bersama-sama komunitas Islam lain menggulingkan hegemoni politik Majapahit. Untuk kemudian memperkuat pendirian negara Maritim Demak. Ini artinya, telah terjadi hubungan baik antara Cina dengan Jawa. Yang kemudian membuat warga negara Cina secara bebas bisa mendatangi Jawa. Imigran Cina dari berbagai fase diatas bukanlah orang-orang yang tidak mempunyai keahlian fungsional. Melainkan orang-orang yang sudah terbiasa dan terlatih melakukan aktivitas perniagaan, sistem navigasi dan pakar konstruksi bangunan dan lain-lainnya. Karena itu, tidak mengherankan jika mereka (komunitas Cina Muslim) dikemudian hari semakin solid dan berwibawa di sepanjang pesisir utara Jawa. Menempatkan diri pada kelas sosial yang mapan, seperti yang telah disaksikan oleh Ma Huan. Yang selanjutnya memainkan peran penting sebagai “driving force” (kekuatan penggerak) dan “prime mover” (penggerak utama) dalam sejarah awal penyebaran Islam di daerah ini. Kemapanan ekonomi ditunjang dengan etos kerja yang tinggi, merupakan modal utama komunitas ini dalam penciptaan struktur sosial umat Islam yang 83
Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik : Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara di Awal Abad ke-16, Jakarta, 2001, hlm. 107
64
mandiri dan otonom. Sehingga mampu melepaskan ketergantungan dengan pemerintah pusat (Majapahit). Kepiawaian di dunia perdagangan dengan diimbangi kemampuan manajemen serta organisasi politik yang handal, menempatkan Cina Muslim pada posisi tawar dan prestise yang tinggi dimata penguasa Majapahit. Keahlian yang mereka miliki menghantarkan mereka diangkat sebagai bupati atau adipati atau pemegang hak penuh atas pengelolaan perekonomian negara di wilayah pesisir atau pelabuhan. Namun, dengan fasilitas politik dan perekonomian yang mereka miliki, justru digunakan untuk memperkuat basis dan pengorganisiran politik perjuangan masyarakat Islam dalam melawan kekuasaan Majapahit. Runtuhnya Majapahit pada tahun 1478, mengantarkan Jin Bun, menjadi penguasa pada kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang berkedudukan di Bintoro-Demak dan bergelar Raden Patah. Pun pula Nyoo Lay Way yang menjadi penguasa transisi kerajaan Majapahit di Trowulan. Sebelum akhirnya digantikan oleh Prabu Girindrawardhana pada tahun 1486, akibat protes dari raja-raja bawahan yang masih setia pada Majapahit. Berdasarkan paparan diatas, dalam upaya rekonstruksi sejarah Islamisasi Nusantara, sangat perlu kiranya teori tentang masuknya Islam di Nusantara (khususnya Jawa) ditambah dengan satu teori lagi, yaitu teori Cina. Selama ini perdebatan mengenai sejarah Islamisasi Indonesia khususnya di Jawa, hanya berputar-putar pada kedua teori, baik teori Arab (Timur-Tengah) maupun teori India. Yang cenderung menjurus pada bias ideologi dan terjebak dalam fanatisme apologetik semata.
3.3. Sejarah Kelenteng Sam Po Kong di Kota Semarang 3.3.1. Letak Geografis Kelenteng Sam Po Kong Kelenteng Sam Po Kong terletak di Kelurahan Bongsari Kecamatan Semarang Barat Kotamadya Semarang. Desa Bongsari terletak di piinggiran sebelah barat kota Semarang. Jaraknya ± 5 km dari pusat kota Semarang. Jika dilihat secara topografis, kota Semarang terbagi atas dua wilayah, yaitu wilayah atas dan wilayah bawah. Wilayah atas merupakan wilayah perbukitan yang memanjang dari timur ke barat di bagian selatan kota Semarang.
65
Sementara wilayah bawah adalah merupakan wilayah bentukan yang muncul karena pengendapan tanah alluvial (sebagaimana yang penulis jelaskan pada bagian depan bab ini). Maka, Kelurahan Bongsari sebagian terletak di wilayah bawah dan sebagian yang lain terletak di wilayah atas. Kelurahan Bongsari terletak di sebelah barat Kali Garang, pada jarak ± 1 km dari batas pantai.84 Batas-batas wilayah Kelurahan Bongsari adalah sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Demangan, sebelah timur laut berbatasan dengan Kelurahan Salaman, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Semarang Selatan, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Drono, dan sebelah barat laut berbatasan dengan Kelurahan Mloyo. Kelurahan Bongsari terdiri atas 8 RW (Rukun Warga) dan 69 RT (Rukun Tetangga). Kelenteng Sam Po Kong sendiri terletak di RW III, yaitu RW Bongsari.85 Wilayah Kelurahan Bongsari mencakup lahan tanah dan perbukitan kapur. Oleh karena itu, kondisi umum wilayahnya termasuk gersang dan tandus. Wajar, bila sebagian penduduknya memiliki pendapatan yang berasal dari sektor perdagangan dan industri. Keberadaan Kali Garang seolah tidak begitu bermanfaat. Belum adanya upaya pemanfaatan optimal yang ditujukan bagi pengairan lahan pertanian. Padahal, debit air Kali Garang cukup tinggi, sekalipun ada sebuah bendungan, fungsinya hanya sebagai pengendali banjir semata diwaktu musim hujan.86 Kelurahan Bongsari dimana komplek Kelenteng Sam Po Kong berdiri, termasuk dalam kategori wilayah Semarang yang rawan banjir. Jadi, setiap musim hujan ketika curah hujan tinggi, hampir dapat dipastikan komplek Kelenteng ikut terkena banjir. Yang merupakan kiriman dari wilayah hulu melalui aliran Kali Garang. Untuk sampai ke Kelenteng Sam Po Kong sangat mudah dicapai dengan memakai transportasi umum. Karena termasuk dalam jalur lalu lintas yang ramai. 84
Misbah Zulfah Elizabeth, Simbol Islam di Kelenteng Sam Po Kong, Laporan Penelitian Individual, PUSLIT IAIN Walisongo Semarang, 2003, hlm. 16 85 Sebagimana yang terpampang dalam papan demografi di kantor Kelurahan Bongsari. 86 Ibid.
66
Banyak rute angkutan umum yang melewati komplek Kelenteng Sam Po Kong. Apalagi setelah difungsikannya jalur Kali Banteng dengan jalur Kali Garang yang melalui kawasan komplek Kelenteng Sam Po Kong.
3.3.2. Asal-mula Berdirinya Kelenteng Sam Po Kong. Pada paruh abad ke-15, kaisar Zhu Di dari Dinasti Ming mengutus suatu rombongan besar yang tergabung dalam ekspedisi pelayaran yang menuju ke Laut Selatan. Dibawah pimpinan Laksamana Cheng Ho dan Jurumudi Wang Jinghong (Ong King Hong) sebagai wakilnya. Ketika rombongan tersebut sedang berlayar di pantai utara Jawa, sehabis singgah di pelabuhan Mangkang, sang Jurumudinya, yaitu Wang Jinghong mendadak sakit keras. Cheng Ho memerintahkan armadanya untuk singgah di pelabuhan Simongan (Gedung Batu). Setelah berlabuh, Cheng Ho dan awak kapalnya menemukan sebuah gua tidak jauh dari pelabuhan tersebut. Gua itu dijadikan sebagai tempat istirahat sementara bagi Cheng Ho dan armadanya. Untuk keperluan penyembuhan Wang, dibangunlah sebuah pondok kecil yang letaknya diluar gua dan Cheng Ho sendiri yang merebuskan obat untuk Wang. Ketika sakit Wang sudah mulai membaik, Cheng Ho meneruskan perjalanannya menuju Tuban. Tinggallah Wang Jinghong dengan ditemani 10 awak kapal lainnya serta sebuah Junk (kapal) dengan beberapa perbekalan sebagai bekal hidup didaerah baru. Tidak jauh dari Wang Jinghong dan teman-temannya tinggal, ada pemukiman penduduk yang sebagian warganya adalah etnis Tionghoa. Setelah sembuh, Wang Jinghong dan teman-temannya menjadi betah tinggal di Gedung Batu. Mereka memutuskan untuk membuka lahan dan membangun pemukiman baru di tempat tersebut. Berbaur dengan warga disekitar komplek pelabuhan yang lebih dahulu mendiami kawasan tersebut. Kemudian awak kapalnya berturut-turut menikah dengan wanita setempat. Lambat-laun kawasan sekitar gua menjadi rame dan semakin banyak warga Tionghoa dan pendatang lainnya bermukim di Gedung Batu. Disinilah cikal bakal Pecinan Semarang untuk pertamakalinya berdiri, sebelum akhirnya dipindahkan ketempat yang sekarang oleh pemerintah Belanda. Pasca terjadinya peristiwa pada tahun
67
1740 di Batavia (Jakarta) yang konon menewaskan 10.000 orang etnis Tionghoa.87 Sebagaimana Laksamana Cheng Ho, Wang Jinghong pun seorang muslim yang saleh. Dia giat melaksanakan penyebaran agama Islam kalangan penduduk Cina setempat dan orang Jawa lainnya. Selain itu, aktif pula mengajari penduduk sekitar untuk bercocok tanam, melaut dan berdagang.88 Untuk menghormati Laksamana Cheng Ho, Wang Jinghong mendirikan sebuah patung Cheng Ho. Dan pondok kecil yang dibangun sewaktu rombongan Laksamana Cheng Ho mendarat pertama kalinya untuk perawatan Wang sewaktu sakit, dipergunakan pula sebagai tempat ibadah (masjid) para awak kapal ekspedisi Cheng Ho yang kebanyakan Muslim. Juga oleh penduduk sekitar, setelah Cheng Ho bertolak menuju Tuban. Pada usia 87 tahun Wang Jinghong meninggal dunia. Dimakamkan didepan gua dan proses pemakamannya sendiri secara Islam. Dikemudian hari, atas jasa-jasanya, Wang Jinghong diberi gelar oleh penduduk sekitar gua Gedung Batu, dengan sebutan Kyai Juru Mudi Dampo Awang. Pada akhirnya, makam Kyai Juru Mudi Dampo Awang merupakan salah satu bangunan utama dalam komplek Kelenteng Sam Po Kong Gedung Batu. Praktis sejak saat itu, setiap tanggal 1 dan 15 bulan Imlek banyak sekali orangorang yang menyembah patung Cheng Ho yang letaknya didalam gua Gedung Batu. Sekaligus berziarah di makam Kyai Juru Mudi Dampoawang (disinilah terjadi sinkretisme Cina-Jawa-Islam). Untuk mengenang kebesaran Cheng Ho, dibangunlah Kelenteng Sam Po Kong yang dahulu masih sangat sederhana. Sedangkan patung Cheng Ho 87
Adanya pemutarbalikan fakta yang dilakukan Belanda atas peristiwa 1740, Belanda menganggap peristiwa itu terjadi karena dendam kesumat Jawa (yang disebut Pribumi) terhadap Cina Peranakan yang ditimbulkan akibat rasa iri penduduk Jawa atas kesuksesan Cina terutama di sektor ekonomi. Orang Jawa dikatakan lugu dan santai kalau bukannya dungu dan malas, sedangkan orang Cina digambarkan cerdik dan loba kalau bukannya “tak bermoral” dan rakus. Oleh Belanda, Cina dijadikan “kambing hitam” atas peristiwa ini, padahal Belanda-lah yang sebenarnya khawatir dengan kekuatan Cina melihat sepak terjangnya di Nusantara, terutama di Jawa. Sewaktu peristiwa 1740, Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia adalah Jenderal Adrian Valckenier (1731-1741) yang memerintahkan pembunuhan massal tersebut, dan ketika pemerintah Belanda di Nederland mengetahui, maka sang jenderal dipecat, dipenjara dan mati dipengasingan pada tahun 1741. Lebih lanjut lihat Dennys Lombard, (Nusa Jawa: Silang Budaya, II, 1996). 88 Khong Yuan Zhi, op. cit., hlm. 37
68
kemudian diletakkan diatas sebuah altar didalam gua. Pada tahun 1704, angin ribut melanda daerah Gedung Batu dan merobohkan gua itu. Sepasang pengantin yang tengah berdo’a didalam gua, menjadi korban. Tertimbun reruntuhan dinding gua. Setelah kejadian memilukan tersebut, dibangunlah gua yang baru pada tahun 1724. Berbagai jenis perlengkapan peribadatan termasuk patung Cheng Ho dan patung dewa-dewa lain, didatangkan khusus dari negeri Tiongkok.89 Menurut Ong Keng Siang yang pernah menjadi Bio-Kong90 menceritakan, Kelenteng Sam Po Kong yang lama letaknya 100 m dari Kelenteng yang ada sekarang.91 Jadi, Kelenteng yang ada sekarang itu telah mengalami proses renovasi beberapa kali. Pada saat penelitian ini dilakukan, rupanya Kelenteng Sam Po Kong sedang diadakan renovasi total tanpa menghilangkan keaslian bangunannya. Melihat dari sejarah berdirinya Kelenteng tersebut, pada awalnya bangunan diluar gua Gedung Batu yang dijadikan tempat perawatan Wang Jinghong sewaktu sakit, bukanlah sebuah Kelenteng (tempat ibadah agama Khong Hu Chu). Namun bangunan tersebut adalah sebuah masjid. Hal ini berdasarkan bukti, mayoritas awak kapal beragama Islam, dan Laksaman Cheng Ho sendiri seorang muslim yang ta’at. Seiring berjalannya waktu serta berbagai proses sosial yang melanda Indonesia pada umumnya, dan hal inipun terjadi diwilayah Semarang, maka “masjid eksklusif” di Gedung Batu itu beralih fungsi menjadi komplek pemujaan bagi umat Tri Dharma Khong Hu Chu.92
3.3.3. Keadaan Kelenteng Sam Po Kong Dulu dan Sekarang. Komplek Kelenteng Sam Po Kong yang sekarang berdiri diatas lahan seluas ± 3,2 hektar. Dahulu luas lahan hanya sekitar 30 m2, yaitu yang berada 89
Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu…op.cit, hlm. 30 Bio-Kong adalah semacam ta’mir masjid dalam agama Islam. 91 Keterangan yang diberikan Ong Keng Siang kepada Amen Budiman ini terjadi pada tahun 1957 dan bekas bangunan lama pun masih nampak.. Ibid., hlm. 31 92 Model atap bangunan utama kelenteng mirip dengan masjid-masjid dipesisir utara Jawa yang dibangun abad 15 & 16, Abdurrahman Wahid menyebutnya dengan Masjid Sam Po Toa Lang, dibuktikan adanya sebuah tulisan di tembok kelenteng dengan huruf Cina “Mo’ Zheng Lan Ing”, artinya “secara diam-diam membuktikan suara kebenaran Qur’an” (Kwa Tong Hay kepada penulis, 16 Februari 2005). 90
69
didepan gua Gedung Batu. Lahan Kelenteng Sam Po Kong yang cukup luas itu, mempunyai sejarah yang panjang hingga keberadaannya saat ini. Berawal dari setelah terbentuknya pemukiman Cina di sekitar Pelabuhan Simongan (Gedung Batu). Patung Cheng Ho yang dibuat oleh Wang Jinghong masih berada didalam gua.
Saat itu belum dirasa perlu untuk mendirikan
bangunan tambahan untuk menampung pengunjung (peziarah) dalam jumlah yang besar. Dengan demikian, peziarah yang datang untuk melakukan penghormatan atau nyekar terhadap patung Cheng Ho dan makam Juru Mudi Dampo Awang, tidak mungkin berlama-lama berdiam disana. Karena, tidak tersedianya tempat yang nyaman untuk berteduh.93 Pasca terjadinya angin ribut yang meruntuhkan gua Gedung Batu pada tahun 1704. Pihak warga Tionghoa Semarang baru melakukan revitalisasi dan renovasi gua pada tahun 1724. Renovasi itu juga menambah beberapa bangunan baru. Seperti rumah Abu Hoepeng dan tempat Kyai Jangkar. Makam Kyai Juru Mudi Dampo Awang (dengan dikasih atap dan bangunan permanen). Kelenteng Hok Tik Tjeng Sien atau Thouw Tee Kong94 (berada disamping kanan makam Juru Mudi).95 Paruh abad ke-19, kawasan Simongan dimana Kelenteng Sam Po Kong berdiri, dikuasai oleh tuan tanah Yahudi yang bernama Johannes. Melihat kawasan tersebut mempunyai prospek yang cerah dalam perekonomian, dia membangun sebuah gapura yang dilengkapi pintu ditepi Kali Banjir Kanal menuju arah Kelenteng. Menetapkan, warga Tionghoa yang akan melakukan ritual keagamaan di Kelenteng Sam Po Kong dan ziarah di makam Juru Mudi Dampo Awang, diharuskan membayar cukai atau uang “buka pintu”.96 Cukai yang ditetapkan oleh Johannes terlalu tinggi bagi masyarakat Tionghoa Semarang secara perorangan. Kemudian diadakan perundingan antara Johannes dengan pemuka masyarakat Tionghoa Semarang. Disepakati tarif “buka
93
Liem Thian Joe,….. op. cit., hlm. 20 Thouw Tee Kong atau Toapekong dalam mitologi agama Khong Hu Chu adalah Dewa Penunggu Bumi, yang dalam mitologi Jawa berarti semacam Danyang atau “Yang Mbahu-Rekso”. 95 Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu, ………, op. cit., hlm. 33 96 Ibid., hlm. 32 Lihat juga Liem Thian Joe, Riwayat Semarang…, op. cit., hlm. 20 94
70
pintu” sebesar f. 2000 (2000 gulden) untuk setiap tahunnya. Namun demikian, pada akhirnya tarif tersebut turun hingga mencapai f. 500 (500 gulden). Biaya tersebut ditanggung oleh opsir-opsir Tionghoa yang duduk dalam jajaran Kongkoan. Sehingga, perayaan tahunan, tepatnya tanggal 29 atau 30 Juni tahun Imlek (ada yang meyakini sebagai hari mendaratnya Cheng Ho di Semarang dan hari lahir Cheng Ho),97 hanya sampai tapal batas persil (sebidang tanah kosong) milik Johannes. Karena jalan menuju Kelenteng telah dipagari dengan bambubambu ori.98 Peristiwa itu terjadi karena dilarang oleh pemerintah Belanda, agar arakarakan hanya sampai di tapal batas tersebut. Karena, lahan didalam pagar yang ada Kelenteng Sam Po Kong-nya adalah milik Johannes. Keputusan pemerintah Belanda berdasarkan permohonan Johannes yang meminta “suaka” kepada Belanda agar keuntungan dari segi ekonomi tetap ia peroleh.99 Peristiwa ini membuat kesal masyarakat Tionghoa Semarang. Terutama bagi Oei Tjie Sien ayah Oei Tiong Ham yang dijuluki “Raja Gula Nusantara”. Hingga ia bernazar untuk membeli percil milik Johannes apabila usahanya mendapatkan untung besar. Niat tersebut akhirnya terkabul. Pada tahun Guan Xu ke-5 (1879 M) “kapling” milik orang Yahudi itu berhasil dibelinya, sekaligus mengadakan pemugaran kembali Kelenteng Sam Po Kong. Bangunan yang direnovasi atas biaya Oei Tjie Sien itu adalah tempat pemujaan Cheng Ho, kemudian makam Juru Mudi Dampo Awang, baru kemudian tempat pemujaan Dewa Bumi. Atas keberhasilannya tersebut dibuatlah sebuah pay atau tugu peringatan, letaknya tidak jauh dari makam Juru Mudi Dampo Awang. Menggunakan bahasa Mandarin dalam huruf Tionghoa. Pada tanggal 30 April 1938 majalah Sampoo Fonds Blad yang penulis kutip dari Amen Budiman pernah menterjemahkan tulisan pada tugu peringatan tersebut kedalam bahasa Melayu-Tionghoa, selengkapnya adalah sebagai berikut : 97
Peristiwa arak-arakan duplikat patung Cheng Ho yang ada di kelenteng Tay Kay Sie (kelenteng Keinsafan Besar) Gang Lombok yang dibangun tahun 1771 menuju kelenteng Sam Po Kong di Gedung Batu agar mendapatkan sawab dari patung yang asli, untuk kemudian dibawa lagi ke kelenteng Gang Lombok tersebut. 98 Ibid., hlm. 33 99 Misbah Zulfah Elizabeth, op. cit., hlm. 29
71
“Goenoeng Simongan pemandengannja ada begitoe bagoes dan ada satoe tempat jang Sam Poo Tay nDjien Kongtjouw pilih Tanah Soetjie, boeat ia poenya perdiyeman. Satoe pemandengan jang menjenengken, Goenoeng-goenoeng jang bebaris sekiternja ditepis piering Tanah Simongan, ada seperti petak-petaknya Bentengan jang koeat, dan Tegoeh Santosa. Aer-kali jang mengalir dari atas kabawah, ada bagoes dan Djernih sebagi Perak, bertjahaja gilang-goemilang bagoes sekali dipemandengan mata. Pepoehoenan-pepoehoenan jang soeboer keliatan angker, dan menambahken kaindahanja. Dan diperengan satoe Goenoeng disitoe ada keliatan satoe pintoe Batoe, jaitoelah satoe Goowa jang dari sebermoela Sam Poo Kong Tjouw mengoendjoek kasektianja ditempat jang terseboet. Maka Goowa itoe dapet djoeloekan nama Sam Poo Tong. Kita orang Tionghoa sekalian, teroetama poela-Soedagar-soedagar, jang berlajar, jang soedah dapet sawab pendonga banjak Redjeki, dan beroentoengan dari Sam Poo Kongtjouw, karma itoe djadi saben Tjee Iet, dan Tjap nGo, sama dateng bersoedjoet sampiken kepertjaiaannja boeat matoerkan ia poenja trima kasih, sama bersembahjang berdjedjelan dan ramee-ramee sembah Tanah Soetjie itoe. Goenoeng Simongan! Dahoeloe ada kepoenjakannja seorang Jahoedi tida heran djikaloe saben taoen ia (orang Jahoedi) minta persewaannja itoe Tanah jang diboeat Klenteng LIMA-RATOES-ROEPIAH. Persewaan mana dahoeloe ada Raad Kong Kwan jang saben taoenja memoengoet oewang oeroenan boeat membajar sadjoemlah jang terseboet. Maski poen dibilang boekan satoe djumlah jang besar tapi bisa dianggep satoe perkara koerang HORMAT bagi kasoetjian, dan bikin koesoet kabetjikan. Kami memperhatiken sekali pada ini hal jang loear biasa, dan soepaia djangan sampee djadi teroes meneroes, maka Kami berdaja oepaja tjari jalan boeat memperbaikin. Atas kesetiaan dan permoehoenan kami, dapetlah sawapnja Sam Po Kong-tjouw, begitoe kami poenja keniatan itoe bisa terkaboel. Pada Taoen Kie mBauw He Gwee kami soedah beli itoe Tanah. Dan saklekasnja kami bikin betoel bersihin Timbok-timbok dan mendiriken Pendopo baroe dimoeka Goowa Sam Poo Tay nDjien. Begitoepoen djoega atoer selokan-selokan soepaia orang-orang jang dateng mengoendjoengin bersoedjoet, dapet kagoembiraan, dan selama-lamanja soepaia soeka sembah Tanah Soetjie jang terseboet. Tjoema koewatir dihari kemoedian orang tida mengetahoei maksoed dan toedjoehan ini, maka perloe dioekir ini Batoe-bor (Tjiok Pie) sekedar menerangken kami poenja berdaja bisa terkaboel katoeroetan, dan itoe ada dapet sawab, dan kesaktianja, Sam Poo Tay nDjien Kongtjouw, begitoelah adanja. Tay Djing Kong Sie nGo Ndhie Swee Djoe Kie mBauw Taoen Masehi 1879 Toean Tanah Simongan OEI TJIEN SIEN100 100
Amen Budiman, op. cit., hlm. 33-34
72
Oei Tio Ham, selaku ahli waris dari Oei Tjie Sien meninggal pada tahun 1924. Menyerahkan sepenuhnya perawatan atas tanah-tanah di Simongan dimana Kelenteng Sam Po Kong berdiri kepada Oei Tiong Ham Concern. Yang diketuai oleh Lie Hoo Soen. Berawal dari menurunnya kepedulian warga Tionghoa Semarang yang menyebabkan Kelenteng Sam Po Kong agak sepi. Lie Hoo Soen mengambil inisiatif mengundang beberapa tokoh warga Tionghoa Semarang untuk mendirikan Komite Sam Po Tay Djien. Sehingga perayaan tahunan berupa arakarakan toapekong Sam Po meriah kembali. Kemudian, atas persetujuan dari ahli waris keluarga Oei Tiong Ham. Bermula dari surat kuasa dari Oei Tiong Ham Concern. Berupa hak pengelolaan atas “kapling” tanah dan bangunan yang ada percil Simongan pada tanggal 25 Mei 1937, Lie Hoo Soen mendirikan Yayasan Sam Po Kong.101 Yayasan Sam Po Kong inilah yang sampai sekarang mengelola Kelenteng Sam Po Kong.102 Beserta seluruh bangunan yang ada didalamnya sebagai salah satu cagar budaya dan “saksi bisu” mendaratnya rombongan ekspedisi pelayaran Laksamana Cheng Ho di kota Semarang. Sekaligus “jejak sejarah” romantisme hubungan Cina-Jawa-Islam yang terangkum dalam Sino Javanese Muslim Culture yang ke-“kontroversial”-annya masih diperdebatkan oleh para sejarawan baik lokal maupun manca negara.
3.3.4. Bangunan-bangunan di Komplek Kelenteng Sam Po Kong Ketika Kelenteng Sam Po Kong baru berdiri, hanya terdapat satu bangunan. Letaknya berada di muka gua Gedung Batu (yang asli sudah runtuh) dimana disitu terdapat patung Cheng Ho yang dibuat Wang Jinghong. Selanjutnya disebut sebagai bangunan utama dalam komplek Kelenteng Sam Po Kong.
101
Ibid., hlm. 35 Kelenteng Sam Po Kong yang tengah mengalami “renovasi total” dalam “Mega Proyek” Revitalisasi Kelenteng Sam Po Kong oleh Yayasan Kelenteng Sam Po Kong, nantinya akan dijadikan semacam “Khong Hu Chu Centre”, yang salah satunya dilengkapi dengan fasilitas “guest house” berlantai empat disamping makam Kyai dan Nyai Tumpeng. 102
73
Keberadaan makam Kyai Juru Mudi Dampo Awang (Wang Jinghong) pada masa dahulu merupakan yang terpisah dari bangunan utama. Letaknya dimuka gua yang asli. Bangunan utama itulah yang disinyalir oleh para sejarawan sebagai tempat ibadah Laksamana Cheng Ho dan awak kapalnya yang Muslim. Serta penduduk disekitar pelabuhan Simongan pada masa dahulu. Terutama sebelum “pengalih fungsian” dari “masjid” ke Kelenteng seperti sekarang ini. Saat penelitian ini dilakukan, ada beberapa bangunan yang berdiri diatas komplek Kelenteng Sam Po Kong. Bangunan-bangunan tersebut adalah sebagai berikut :. 1. Makam Kyai Juru Mudi Dampo Awang. Bangunan dimana dimakamkan Kyai Juru Mudi Dampo Awang terletak dibangunan utama pemujaan komplek Kelenteng Sam Po Kong bersama dengan bangunan pemujaan Sam Po Tay Djien. Makam Juru Mudi Dampo Awang ditempatkan didalam sebuah ruangan atau cungkup.103 Yang mana, bentuk nisannya adalah yang lazim dipergunakan pada makam-makam Islam.104 Menurut juru kunci makam setempat, makam Kyai Juru Mudi Dampo Awang ini semula merupakan makam sederhana dengan nuansa ciri khas makam Islam yang kental, berupa tanda makam yang terbuat dari kayu. Akan tetapi seiring berjalannya waktu dan dimakan usia, makam tersebut telah direnovasi dengan tetap mempertahankan bentuk aslinya. Hanya saja bahannya telah diganti dengan menggunakan semen.105 Makam Juru Mudi Dampo Awang ditempatkan dalam sebuah ruangan yang berukuran 20 m2. Bangunan tersebut berada dibawah pohon besar dengan lantai tegel dan memiliki sebuah pintu yang mengingatkan kita pada model pintu “peng-imam-an”106 masjid. Sebenarnya ruangan dimana makam 103
Cungkup (kijing) adalah sebuah bangunan yang lazim digunakan untuk makam orangorang yang mempunyai “karomah” seperti makam para waliyullah di pulau Jawa. 104 Nisan Islam perspektif arkeologi adalah yang menonjol di kedua ujung pathoknya. Nisan dengan bentuk ini banyak ditemukan pada makam Islam kuno, di Jawa maupun Indonesia. Lihat Baroto, Bangunan-bangunan Arkeologis, Makalah dalam Simposium Arkeologi Indonesia di Jogjakarta 12-15 Juli 1999. 105 Informasi tersebut penulis dapatkan sewaktu melakukan wawancara pada saat bulan Ramadlan, Jum’at 29 Oktober 2004. 106 Maksudnya adalah ruangan yang digunakan oleh pemimpin (Imam) shalat.
74
Juru Mudi Dampo Awang berada cukup luas. Hanya saja, ruangan ini serasa begitu sempit disebabkan, sebagian besar ruangan dipenuhi oleh akar pohon besar yang tumbuh dilereng bukit Simongan. Ruangan yang ada disisi kanan makam, kadang-kadang digunakan oleh pengunjung yang beragama Islam untuk menunaikan shalat. Akan tetapi lebih sering digunakan untuk bertafakkur (bersemedi) dan slametan oleh orangorang kejawen107 yang ada di kota Semarang dan sekitarnya. Ritual-ritual mistik tersebut (terutama semedi) biasanya dilakukan pada malam tanggal 15 bulan Jawa, malam Selasa Kliwon, dan malam Jum’at Kliwon.108 Dimana pada malam-malam tersebut dalam mitologi Jawa, adalah orang harus priatin artinya banyak mengingat Gusti Kang Murbeng Dhumadhi dan tidak terlalu memikirkan dunia. Motivasi yang melatar-belakangi lelaku tersebut yaitu agar cita-cita yang menjadi tujuan hidupnya dapat tercapai. Didalam ruangan itu juga ditemukan dua buah tungku untuk membakar kemenyan atau wewangian sejenis. Dan satu tempat sesajen yang biasa diisi dengan kembang setaman ataupun kembang telon. Serta perangkat lain yang lazim digunakan untuk melakukan kegiatan semedi. Bagian muka makam Juru Mudi Dampo Awang dijaga oleh Dwara 109
Pala.
Berbahan batu kali warna hitam legam dengan tinggi sekitar 70 cm,
lebar 30 cm. Yaitu sepasang Dewa Penjaga yang dalam mitologi Hindhu sebagai penjaga keamanan dan pemberi kesejahteraan manusia. Ditempatkan disisi kanan dan kiri pintu bangunan, dengan tujuan siapa saja yang berada dalam ruangan ini, maka akan terjaga dari segala marabahaya
yang
mengancam dirinya.
107
Maksudnya adalah orang-orang yang masih setia melaksanakan ritual-ritual adatistiadat Jawa. 108 Kliwon adalah salah satu nama hari pasaran dalam sistem penanggalan Jawa selain Legi, Paing, Pon, dan Wage. Bila pasaran Kliwon jatuh pada hari Selasa dan Jum’at oleh orangorang kejawen dianggap sebagai hari wingit atau sakral (mengandung nuansa spiritual tertentu). Lihat Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, Hanindita, Yogyakarta, 2001, hlm. 91-95 109 Dwara Pala digambarkan sebagai mahluk yang berbadan besar, kekar, dan berisi dengan memegang gadha (sejenis senjata pukul, senjata khas Werkudhara dalam dunia wayang).
75
Sebagaimana bangunan Kelenteng yang lain, di muka makam Juru Mudi Dampo Awang juga terdapat altar. Yaitu altar yang digunakan untuk pemujaan kepada Tuhan Allah, letaknya tepat dibagian depan pintu. Sedangkan altar Dewa Penjaga Pintu berada dibelakangnya.110 Pada bangunan makam Juru Mudi Dampo Awang, setidaknya ditemukan empat unsur yang “bertemu”. Pertama, unsur Islam (ditunjukkan oleh bentuk nisan dan bentuk pintu masuk keruangan dimana makam berada). Kedua, unsur Khong Hu Chu (ditunjukkan oleh altar, model konstruksi bangunan, dupa, hio dan lain sebagainya, serta dominasi warna merah dan kuning pada sebagian besar ruangan).111 Ketiga, unsur Jawa (ditunjukkan adanya peralatan semedi meliputi tungku dan tempat sesaji). Dan keempat, unsur Hindhu (yang ditunjukkan oleh adanya patung Dwara Pala dimuka makam).
2. Makam Kyai dan Nyai Tumpeng. Bangunan ini terletak di bagian paling selatan dari kompleks Klenteng Sam Po Kong. Didalamnya terdapat beberapa obyek material. Yaitu makam yang terdiri atas satu cungkup, merupakan gabungan dari dua cungkup makam. Makam Mbah Kyai dan Nyai Tumpeng dahulu berbahan kayu. Setelah direnovasi akhir tahun 1970-an, diganti dengan batu bata dilapisi keramik warna coklat kehitaman. Panjang 2 m, lebar 2 m, dan tingginya sekita 110 cm. Sedangkan alas makam juga dilapisi keramik warna krem keabu-abuan dengan panjang dan lebar sekitar 2,15 m. Dan tempat penguburan pusaka Laksamana Cheng Ho, yaitu Kyai Tjundrek Bumi.112 Tempat penyimpanan berbahan semen dengan hiasan pecahan kecil kaca berwarna-warni melapisi permukaannya. Dan panjang, 110
Hampir seluruh altar yang ada disetiap ruangan berbahan dasar kayu dengan ukiran campuran gaya Surakarta, Jepara dan Yogyakarta.. Alas permukaan altar adalah marmer putih (ada juga yang hijau dan merah kecoklatan), tinggi 75 cm, lebar 2,5 m, dan panjang 3,5 m. 111 Dalam mitologi Cina (Tao, Kong Hu Chu, dan Buddha) warna merah melambangkan kegembiraan, artinya manusia hidup di dunia harus selalu optimis, sedangkan kuning adalah warna kekaisaran dan sebagai lambang unsur tanah, yang melambangkan kesejahteraan hidup di dunia. Penjelasan ini penulis terima dari Kwa Tong Hay, 16 Februari 2005. 112 Kyai Tjundrek Bumi adalah senjata Cheng Ho yang berbentuk seperti keris namun ukurannya lebih pendek.
76
lebar, serta tingginya sekitar 50 cm. Kemudian altar penyembahan berbahan kayu berhias ukiran indah. Alas permukaannya keramik berwarna hijau dengan panjang 85 cm, lebar 50 cm dan tingginya 75 cm. Tungku tempat membakar kemenyan ataupun untuk menancapkan hio (dupa) pun menghiasi ruangan ini.113 Obyek material yang pertama, adalah makam Kyai dan Nyai Tumpeng. Konon menurut cerita warga sekitar Gedung Batu dan penjelasan dari juru kunci makam itu sendiri adalah juru masak Cheng Ho. Bentuk makam tidak menonjolkan atau mengacu pada ciri keagamaan tertentu. Makam tersebut dinamakan makam Kyai dan Nyai Tumpeng karena dahulu sering digunakan oleh warga sekitar (baik yang beragama Islam, Khong Hu Chu, dan orangorang kejawen) untuk mengadakan selamatan. Dengan membawa tumpeng untuk kemudian memanjatkan doa agar mendapatkan keselamatan bagi anggota keluarga yang bersangkutan. Sebagian dari hidangan untuk selamatan mereka nikmati ditempat itu. Sebagian yang lain mereka bawa kembali pulang ke rumah untuk dibagikan kepada semua anggota keluarga. Obyek material yang kedua, adalah tempat persemayaman pusaka milik Cheng Ho yaitu Kyai Cundrik Bumi. Tempat penguburan senjata tersebut berada di sebelah utara makam Kyai dan Nyai Tumpeng. Obyek material yang ketiga adalah altar penyembahan yang terdiri dari altar penyembahan untuk Tuhan Allah, dan altar untuk penyembahan Dewa Penjaga Pintu. Pada kedua altar penyembahan ini pengunjung bisa menancapkan dupa (hio lao) yang menyala. Hal ini dilakukan dengan pengharapan akan mendapatkan berkah dan dihindarkan dari bala (malapetaka). Obyek material yang keempat adalah tungku pembakaran kemenyan yang terletak di sebelah timur. Tepatnya disebelah kiri makam Kyai dan Nyai Tumpeng. Bagi pengunjung yang ingin memanjatkan doa didekat makam
113
Tempat untuk menancapkan Hio (dupa) pada setiap ruangan adalah semacam mangkok besar berdiameter sekitar 45 cm, dengan bahan dari besi tipis berlapis kuningan.
77
Kyai dan Nyai Tumpeng, biasanya membakar kemenyan terlebih dahulu kemudian membaca doa yang dibimbing oleh juru kunci dengan cara Islam.
3. Ruang Pemujaan Sam Po Tay Djien. Bangunan ini terletak di bangunan utama Kelenteng yang menyatu dengan makam Kyai Juru Mudi Dampo Awang. Di bangunan ini terdapat replika gua Gedung Batu yang sudah runtuh itu, ukurannya ± 6 m2, yang di dalamnya terdapat patung Cheng Ho dan terletak di bagian tengah dinding belakang beserta altar pemujaannya. Patung Cheng Ho berbahan dasar kayu, warna hitam legam, tingginya sekitar 30 cm dengan lebar kurang lebih 20 cm. Patung ini diapit oleh pengawal, Liu Yin dan Zhang Kie. Patung pengapit berbahan dasar kayu berwarna putih, dengan tinggi lebih kurang 40 cm dan lebar 30 cm. Selain patung Cheng Ho dan altar pemujaan terhadap arwah Cheng Ho, di bangunan ini juga terdapat dua altar pemujaan yang lainnya. Altar pemujaan itu adalah altar pemujaan kepada Tuhan Allah yang terletak di bagian terdepan dari bangunan itu, tepatnya didepan patung Cheng Ho. Sedangkan yang satunya adalah altar pemujaan terhadap Dewa Penjaga Pintu yang letaknya di bagian tengah, tepatnya di bangunan serambi replika gua Gedung Batu. Altar dimana bersemayam patung Cheng Ho berbahan dasar kayu warna hitam dan berukir. Dengan alas permukaannya adalah keramik berwarna putih. Tingginya sekitar 75 cm, lebar 2,5 m dan panjangnya lebih kurang 3,5 m. Diruang Sam Po Tay Djien ada dua buah lonceng dari besi berlapis kuningan. Yang kecil berdiameter sekitar 20 cm tahun pembuatannya tidak diketahui dengan pasti, hanya saja dari pihak Kelenteng menyebutnya sekitar abad ke-17. Yang ukurannya lebih besar berdiameter sekitar 45 cm, dibuat sekitar akhir abad ke-18. Disamping itu ada sebuah bedug berbahan kayu jati. Badan bedug bukan dari satu kayu utuh, melainkan bilah-bilah kayu yang dibentuk melingkar. Bagian tengahnya lebih gemuk daripada kedua ujungnya. Dengan diameter
78
kurang lebih 70 cm, tinggi 115 cm dan panjangnya 125 cm, warnanya asli kayu (kecoklatan) dan konon dibuat sekitar 1952.114
4. Ruang Pemujaan Dewa Bumi. Bangunan pemujaan Dewa Bumi merupakan sebuah bangunan yang letaknya dibagian paling utara kompleks Kelenteng Sam Po Kong. Dewa Bumi atau Toapekong (Thouw Tee Kong) dalam mitologi Khong Hu Chu adalah sosok Dewa yang memberikan berkah bagi kelangsungan hidup manusia, memberikan kesuburan tanah, memberikan panen yang berlimpah dan menentukan musim serta cuaca di bumi ini. Untuk mereka yang mempercayai keberadaan Dewa Bumi ini, maka akan secara rutin mendatangi tempat pemujaan Dewa Bumi yang tujuannya untuk memanjatkan rasa syukur atas segala kenikmatan yang telah mereka terima dan mengharapkan berkah dari Dewa Bumi agar mendapatkan kelangsungan hidup yang lebih “barokah”. Sosok Dewa Bumi yang digambarkan dalam bentuk orang tua berjenggot putih. Memegang tongkat pada tangan kirinya dan tangang kanannya memegang uang emas, di iringi oleh sekor harimau putih. Simbol orang tua berjenggot bermakna kebijaksanaan, tongkat ditangan kiri adalah penjagaan, uang emas ditangan kanan adalah kesejahteraan yang melimpah dan abadi. Sementara harimau putih yang berjalan di muka Dewa Bumi sebagai simbol pembuang sial. Altar pada ruangan Dewa Bumi dibuat dengan batu bata berlapis lempengan batu kali tipis berwarna hitam. Permukaan altar dilapisi keramik warna merah bata, sedangkan lapisan keramik putih membikin garis tepi altar. Tingginya sekitar 75 cm, sedangkan lebarnya 2,5 m dan panjangnya 4 m. Diatas altar (bagian dalam) terdapat patung Hauw Ciang Kun berbahan kayu, warna putih. Dengan tinggi sekitar 25 cm dan lebar sekitar 20 cm.
114
Konstruksi bedug mengingatkan kita pada konstruksi soko tatal Masjid Agung Demak. Tahun pembuatan bedug hanya perkiraan dari Kwa Tong Hay kepada penulis, bisa jadi lebih lama, begitu tambahnya.
79
Sedangkan dibawah meja altar, terdapat patung Hok Tik Cing Sing, dengan tinggi lebih kurang 35 cm dan lebar 25 cm, berbahan kayu warna putih. Diatas pintu tempat pemujaan Dewa Bumi terdapat hiasan yang bergambar 8 Dewa. Kedelapan Dewa tersebut adalah : 1. Dewa Han Sian Tjoe, yang digambarkan dengan sosok lelaki dewasa yang membawa sekuntum bunga teratai. 2. Dewa Lie Tok Kway, yang digambarkan dengan sosok lelaki tua dengan kaki pincang serta memakai tongkat besi. 3. Dewa Han Tjong Lie, yang digambarkan dengan sosok seorang jendral perang yang memegang kipas ditangan kanannya. 4. Dewa Loe Tong Pin, yang digambarkan dengan sosok sastrawan yang membawa sebilah pedang ditangan kanannya. Konon menurut cerita adalah tokoh sastrawan yang hidup pada masa Dinasti Tay. 5. Dewa Hio Kok Lo, yang digambarkan sebagai sosok yang sangat tua dan berumur panjang. 6. Dewa Jo Kok Gioe, yang digambarkan sebagai paman Kaisar. 7. Dewa Ho Sian Ko, yang digambarkan sebagai sosok seniman laki-laki yang membawa seruling. 8. Dewa Na Tjay Ho, yang digambarkan sebagai sosok perempuan yang membawa bunga. Patung-patung diatas berasal dari kayu berwarna kecoklatan dengan tinggi rata-rata lebih kurang 30 cm. Simbol penggambaran 8 Dewa merupakan gambaran berbagai profesi dalam kehidupan umat manusia di dunia. Makna yang terkandung dibalik simbol-simbol tersebut adalah apapun jenis pekerjaan dan jabatan yang dimiliki umat manusia, apapun jenis kelaminnya, serta berapapun usianya, masing-masing ada dewa yang akan melindungi mereka sehingga tercapai kehidupan yang harmonis dan bahagia sebagaiman yang didambakan oleh setiap manusia dimuka bumi. Bangunan pemujaan terhadap Dewa Bumi dikelilingi oleh pagar yang berhiaskan bungai teratai (lotus). Dalam kepercayaan agama Hindhu merupakan simbol kebaikan, pengorbanan, dan kehidupan.
80
5. Ruang Persemayaman Kyai Jangkar. Pada bangunan ini tersimpan sebuah jangkar kuno115 dengan ukuran terbilang cukup besar. Sebagai simbol dari jangkar kapal armada Cheng Ho waktu pertamakali mendarat di pelabuhan Simongan (Gedung Batu). Tinggi jangkar sekitar 2 m dan lebar bagian bawahnya (siripnya) sekitar 135 cm. Serta tiga buah altar penyembahan dan satu tungku tempat pembakaraan kemenyan. Ketiga altar terbuat dari kayu berwarna hitam dengan permukaan alasnya marmer warna putih. Tingginya sekitar 120 cm, lebarnya sekitar 2 m dan panjang lebih kurang 3,5 m. Sebagaimana keguanaan altar-altar yang tersedia pada setiap bangunan yang ada dikomplek klenteng Sam Po Kong, maka kegunaan altar yang ada di bangunan ini pun demikian adanya. Namun altar yang ketiga adalah untuk pemujaan kepada Nabi-nabi Khong Hu Chu dan roh-roh umum (Hoa Peng). Pengunjung pun dapat menancapkan dupa seraya memanjatkan do’a agar mendapatkan berkah dan keselamatan hidupnya, dan mendoakan kepada “arwah penasaran” atau roh-roh manusia yang meninggal tanpa perawatan keluarga dan langsung ditempat kejadian. Misalnya kebakaran, kecelakaan, dan pembunuhan, yang mana hal tersebut dilakukan dengan harapan arwaharwah dimaksud mendapatkan ketenangan di alam baka.
3.3.5. Aktivitas Keagamaan di Kelenteng Sam Po Kong. Kegiatan keagamaan yang dilaksanakan diKelenteng Sam Po Kong pada dasarnya dilaksanakan setiap hari oleh warga Semarang dan sekitarnya (baik yang beragama Khong Hu Chu, Islam, Orang-orang Kejawen, dan umat agama lain). Akan tetapi, kegiatan harian tersebut lebih bersifat pribadi, maka disamping kegiatan harian yang sifatnya individu, ada juga kegiatan keagamaan (peribadatan) yang melibatkan banyak orang yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu pada setiap bulan ataupun setiap tahun. 115
Sebuah jangkar kapal Eropa yang berasal dari zaman VOC, terbuat dari besi yang kuat dan berat. Ditemukan di Kali Koping sekitar tahun 1920-an.Balutan kain merah polos menghiasi pangkal jangkar tersebut. Lihat Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu…, op. cit. hlm. 18
81
Kegiatan-kegiatan keagamaan itu adalah116 : 1. Sembahyang Sang Ang (Pek Kong Naik) yang dilaksanakan pada setiap tanggal 24 Tjap Djie Gwee (Desember Imlek) yang merupakan sembahyang unrutan dengan sembahyang tahun baru untuk menghormati Dewa Dapur Zao Jun (Tjauw Koen Kong). 2. Sembahyang Nie Bwee (sembahyang Penghabisan Tahun) yang dilaksanakan setiap tanggal 30 Tjap Djie Gwee (Desember Imlek). 3. Sembahyang Sien Tjia (Tahun Baru Imlek). 4. Sembahyang Thauw Ge (Pembukaan Tahun dan Bulan). 5. Sembahyang Tjiek Ang (Pek Kong Turun). 6. Sembahyang King Thie Kong (Sembahyang Tuhan). 7. Sembahyang King Thie Kong dilengkapi dengan sajian untuk Dewa Tertinggi (Giok Hong Siang Tie). 8. Sembahyang Goan Siauw atau sembahyang Tjap Go Me yang dilaksanakan pada setiap malam tanggal 15 Tjia Gwee (Januari Imlek). 9. Sembahyang Thouw Tee Kong (Sieng Djiet) yang dilaksanakan pada setiap tanggal 2 Djie Gwee untuk merayakan hari kelahiran Pek Kong Tanah. 10. Sembahyang Go Gwee Tjik (Pek Tjoen) yang dilaksanakan setiap tanggal 5 Go Gween (Mei Imlek). 11. Sembahyang Poa Nie Tjik (Pertengahan Tahun) yang dilaksanakan pada setiap tanggal 15 Lak Gwee (Juni Imlek). 12. Sembahyang Sam Po Gia Hio (Kedatang Sam Po di Gedung Batu Semarang) yang dilaksanakan pada setiap tanggal 29 atau 30 Lak Gwee (Juni Imlek). 13. Sembahyang King Hong Ping Besar untuk memperingati awak kapal armada Cheng Ho. 14. Sembahyang Tjong Tjhioe Tjik (pada hari tersebut “jama’ah” makan Tjiong Tjhioe Pia) yang dilaksanakan pada setiap tanggal 15 Agustus Imlek. 15. Sembahyang Sam Po Tay Djien (Sieng Djiet) untuk memepringati hari kelahiran Sam Po Kong (Laksamana Cheng Ho). 116
Keterangan ini penulis dapatkan dari booklet dan pengurus Kelenteng Sam Po Kong pada tanggal 11 Januari 2005. Lihat juga Khong Yuan Zhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho…, op. cit., hlm. 62-63
82
16. Sembahyang Tang Tjik (Winter Solstice) pada setiap tanggal 21, 22, 23 Desember Imlek. 17. Sembahyang Bwee Gwee (Tutup Tahun). 18. Sembahyang Khong Hu Tju (Konfusius). Orientasi global dari kegiatan persembahyangan diatas adalah sebagai bentuk pemujaan terhadap arwah-arwah leluhur serta dewa-dewa yang mereka anggap memiliki kekuatan supra-natural tertentu. Disamping itu, ada juga kegiatan persembahyangan yang rutin dilaksanakan pada setiap tanggal 17 agustus untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 1 (Djee It) dan tanggal 15 (Tjap Go) setiap bulan Imlek. Dari sekian banyak kegiatan-kegiatan persembahyangan tersebut, yang paling ramai dikunjungi oleh orang-orang dari segala penjuru agama, kota, usia, dan jenis kelamin, adalah sembahyang Sam Po Gia Hio sebagai bentuk perayaan kedatangan Laksamana Cheng Ho di Semarang. Disamping kegiatan-kegiatan yang penulis sebutkan, juga dilaksanakan acara selamatan-selamatan sebagaimana yang lazim dilakukan oleh orang-orang Jawa yang meliputi ; selamatan ulang tahun, selamatan ruwahan (setiap bulan Sya’ban penanggalan Hijriyah), selamatan Pudunan atau Likuran (malam 21 bulan Ramadhan), selamatan 1 Suro dalam penaggalan Jawa atau 1 Muharram tahun baru Hijriyah. Biasanya upacara selamatan tersebut bertempat di makam Juru Mudi Dampo Awang ataupun makam Kyai dan Nyai Tumpeng, yang mana penentuan tempat diserahkan kepada orang yang mempunyai hajat.