TESIS
PERANAN KADAR LEPTIN SEBAGAI BIOMARKER STATUS NUTRISI BERKORELASI NEGATIF DENGAN DERAJAT PNEUMONIA KOMUNITI PADA PASIEN GERIATRI
I GEDE AGUS SASTRAWAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
PERANAN KADAR LEPTIN SEBAGAI BIOMARKER STATUS NUTRISI BERKORELASI NEGATIF DENGAN DERAJAT PNEUMONIA KOMUNITI PADA PASIEN GERIATRI
I GEDE AGUS SASTRAWAN NIM : 0914048101
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
PERANAN KADAR LEPTIN SEBAGAI BIOMARKER STATUS NUTRISI BERKORELASI NEGATIF DENGAN DERAJAT PNEUMONIA KOMUNITI PADA PASIEN GERIATRI
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Kekhususan Kedokteran Klinik (Combined Degree) Program Pascasarjana Universitas Udayana
I GEDE AGUS SASTRAWAN NIM : 0914048101
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL : 4 Juli 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
DR. Dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer,MARS, FINASIM
dr. IGP Suka Aryana, SpPD-KGer, FINASIM
NIP. 19591104 198903 2 003
NIP. 19710329 200604 1 001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur, Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr.dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And.FAACS NIP. 19461213 197107 1 001
Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP.19590215 198510 2 001
Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai Pada Tanggal 4 Juli 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana No: 1862/UN 14.4/HK/2014, Tanggal 24 Juni 2014
Ketua
: DR. Dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer,MARS FINASIM
Sekretaris
: dr. I GP Suka Aryana, SpPD-KGER, FINASIM
Anggota : 1. Prof. Dr.dr. Wimpie Pangkahila, M.Sc, Sp.And.FACSS 2. Prof. dr. N Agus Bagiada, Sp.Biok 3. Prof. Dr . dr. N. Adiputra, MOH
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur saya panjatkan kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa karena atas berkat, rahmat dan karunia-Nya tesis ini dapat saya selesaikan. Karya tulis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Magister
pada
Program Magister, Program Studi Biomedik, Kekhususan Kedokteran Klinik (Combined Degree) Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar serta Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedoteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar Kami menyadari bahwa penelitian ini dapat terlaksana dengan baik berkat bimbingan, arahan, dorongan semangat, sumbangan pikiran serta bantuan lainnya yang sangat berharga dari semua pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya menyampaikan rasa hormat dan penghargaan yang setinggi-tingginya serta terima kasih yang setulus-tulusnya kepada : 1. DR. Dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS, FINASIM
selaku
pembimbing I dan Kepala Divisi Geriatri Bag/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah, yang telah begitu banyak memberikan bimbingan yang sangat berharga 2. dr. I GP Suka Aryana, SpPD-KGER, FINASIM selaku pembimbing II sekaligus Sekretaris Program Studi PPDS-1 Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah, yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan dorongan terhadap penulis.
3. Prof Dr.dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS selaku ketua Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Universitas Udayana sekaligus penguji yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingan. 4. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan di Universitas Udayana 5. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K). M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan PPDS-I Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 6. DR. dr. K. Suega, Sp.PD-KHOM, selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah yang telah memberikan kesempatan, petunjuk dan bimbingan dan arahan sejak awal pendidikan 7. Prof. Dr. dr. I DN. Wibawa, Sp.PD.KGEH, selaku Ketua Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah yang telah memberikan kesempatan, petunjuk dan bimbingan dan arahan sejak awal pendidikan 8. dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes selaku Direktur RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja di RSUP Sanglah Denpasar. 9. Prof. Dr. dr N. Adiputra, MOH, selaku penguji yang telah begitu sabar memberikan masukan dan saran yang sangat berguna bagi penyusunan tesis ini
10. Prof. dr. N Agus Bagiada, Sp.Biok, selaku penguji yang telah begitu sabar memberikan masukan dan saran yang sangat berguna bagi penyusunan tesis ini 11. Prof. DR.Dr Raka Widana, Sp.PD. KGH atas saran dan bimbingannya dalam penyusunan tesis ini 12. Dr. Tangking Widarsa, MPH atas saran dan bimbingannya dalam penyusunan tesis ini 13. Dr.Nyoman Astika, Sp.PD. KGer, dr IB Putrawan, Sp.PD dan dr Rai Purnami, Sp.PD
selaku staf pengajar di Divisi Geriatri Bag/SMF Ilmu
Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah, atas dorongan, bimbingan dan masukannya yang sangat berharga bagi pelaksanaan penelitian ini. 14. Ayah dan ibu tercinta : Drs. I Gede Sujaya dan Dra. Ni Made Suniki, atas semua hal sangat berharga yang penulis terima 15. Kedua mertua saya: Drs I Ketut Sutha dan Dra. Ni Wayan Suwitri, yang turut memberikan dorongan sehingga dapat terselesaikannya penelitian ini 16. Istriku tercinta : dr. Ni Wayan Restuti Handayani dan kedua Ananda tersayang : Gede Septa Adi Wiguna dan Ni Gede Dwi Veda Swari, atas semua pengorbanan dan pengertian selama penulis menjalani pendidikan dan bantuannya dalam penyusunan tesis ini 17. Seluruh rekan sejawat peserta PPDS Ilmu Penyakit Dalam selaku Keluarga Besar Residen Interna (KBRI), atas semua bantuan dan dukungan kepada penulis
Kepada pihak-pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penyelesaian tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga Ida Sanghyang Widi Wasa membalas budi baik serta senantiasa melimpahkan rahmat dan berkat-Nya bagi kita semua Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi umat manusia secara keseluruhan.
Denpasar, Desember 2013 Penulis, I Gede Agus Sastrawan
ABSTRAK PERANAN KADAR LEPTIN SEBAGAI BIOMARKER STATUS NUTRISI BERKORELASI NEGATIF DENGAN DERAJAT PNEUMONIA KOMUNITI PADA PASIEN GERIATRI Malnutrisi pada Geriatri merupakan masalah kesehatan yang sering ditemukan. Keadaan malnutrisi akan menurunkan kadar leptin, yang menyebabkan terjadinya gangguan pada fungsi makrofag dan efektor neutrofil, penurunan komplemen serum, atrofi timus dan lien, penurunan kadar limfosit di sirkulasi, dan peningkatan kadar sitokin serta kadar mediator lipid pada paru. Salah satu risiko penurunan imunitas pada Geriatri adalah kejadian pneumonia. Pneumonia merupakan penyakit yang sering terjadi dan menimbulkan komplikasi yang serius pada pasien Geriatri. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peranan kadar leptin sebagai biomarker malnutrisi pada pasien Geriatri dengan pneumonia komuniti dan untuk mengetahui hubungan kadar leptin dengan derajat pneumonia komuniti pada pasien Geriatri. Penelitian observasional, studi potong lintang ini dilaksanakan di RSUP Sanglah dengan menggunakan 80 pasien Geriatri sebagai sampel. Variabel yang diperiksa pada penelitian ini yaitu biomarker nutrisi meliputi AC, TSF, AMC, INA, MNA, dan kadar leptin, serta derajat pneumonia komuniti mengunakan skor PORT. Kejadian malnutrisi pada 80 pasien Geriatri penderita pneumonia komuniti bervariasi berdasarkan masing-masing biomarker nutrisi antara 15%- 86,3%, sedangkan malnutrisi berdasarkan pemeriksaan leptin sebesar 77%. Terdapat hubungan kadar leptin dengan biomarker nutrisi seperti AC (r= 0,282; p= 0,005), TSF ( r= 0,245; p= 0,0018) dan INA (r= -0,209; p= 0,039), namun tidak terdapat hubungan dengan AMC (r= 0,028; p= 0,794) dan MNA (r= -0,159; p= 0,118). Berdasarkan skor PORTsampel sebagaian besar dalam resiko pneumonia berat ( kelas IV dan V) yaitu 63 pasien (78,8%). Ditemukan adanya hubungan antara berat pneumonia dengan kadar leptin ( r= 0,232; p= 0,020), hasil regresi logistik (p= 0,096; OR= 0,72; CI 95% (0,49-1,06). Biomarker nutrisi lainnya yang berhubungan dengan beratnya pneumonia komuniti yaitu MNA (r= -0,307; p= 0,006) dengan hasil regresi logistik (p= 0,035; OR= 2,27; CI 95%( 1,06-4,88). Berdasarkan kadar leptin dan MNA ditemukan kejadian malnutrisi yang tinggi pada pasien Geriatri yang menderita pneumonia komuniti. Terdapat hubungan kadar leptin dengan AC, TSF dan INA, tetapi tidak terdapat hubungan dengan ANC dan MNA. Ditemukan hubungan negatif antara kelompok leptin dengan derajat pneumonia komuniti pada pasien Geriatri melalui pengaturan imunitas. Menjaga nutrisi pada pasien komuniti penting dilakukan untuk mencegah morbiditas dan meningkatnya derajat pneumoni komuniti. Kata kunci : kadar leptin, biomarker status nutisi, berat pneumonia komuniti, geriatri
ABSTRACT THE ROLE OF LEPTIN LEVELS AS BIOMARKER OF NUTRITIONAL STATUS NEGATIVELY CORRELATED WITH SEVERITY OF COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA IN GERIATRIC PATIENT Malnutrition in geriatric health problem are often found. Malnutrition in geriatric could decreasing leptin serum, which impact on failure of the macrophage function, neutrofil effectors, decreasing complement, atrophy of lien and thymus. Pneumonia is commonly in Geriatric and can cause serious complication for Geriatric patient. Objective of this study are to know the role of leptin levels as biomarker of nutritional status and to know correlation between leptin level with severity of comunity acquired pneumonia in geriatric patient. This crossectional observational correlative analytic study was conducted at Sanglah Hospital, Denpasar and this study enrolled on 80 geriatric hospitalized patient with CAP as sample. Variables measured were AC, TSF, AMC, INA, MNA and leptin as biomarker of nutritional status,and PORT score to clasify the severity of CAP. The prevalence of malnutrition 80 geriatric patient with CAP varies by each nutitional biomarkers between 15%-86,3%, and prevalence of malnutrition based on leptin level was 77,6%. There were correlation between leptin with other nutrition biomakers such as AC ( r=0,282; P= 0,005), TSF (r=0,245; p= 0,0018), and INA ( r= -0,209; p= 0,039) but there was no correlation between leptin with AMC ( r= 0,028; p= 0,794) and MNA ( r= -0,159;p= 0,118). Based on the PORT score most of the samples are at severe pneumonia (class IV and V ) that was 63 patient (78,8%). There was correlation between leptin and severity CAP in geriatric patient ( r= -0,232; p= 0,020, with logistic regression result was ( p= 0,096; OR= 0,72; CI 95% ( 0,49-1,06)). The others nutritional biomarkers which had correlation with severity of CAP in Geriatric was MNA ( r= -0,307; p= 0,006) and logistic regression result was (p= 0,035; OR= 2,27; CI 95% (1,06-4,88). There was high prevalence of malnutritionin in geriatric patient with CAP based on leptin level and MNA. It’s concluded the correlation between leptin level with AC,TSF and INA but there was no correlation between leptin level with AMC and MNA. There was also negatively correlated between leptin level with severity of CAP in geriatric patient as immunoregulator. At the recommended treatment for geriatric patient, it’s sugested to maintain the nutritional status to prevent morbidity and increasing severity of the CAP. Keyword : leptin level, nutritional status, community acquired pneumonia severity, geriatric patient
DAFTAR ISI Halaman
SAMPUL DALAM................................................................................................
i
PRASYARAT GELAR MAGISTER .....................................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN ..................................................................................
iii
PRASYARAT GELAR SPESIALIS .....................................................................
iv
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................
v
PENETAPAN PANITIA PENGUJI .......................................................................
vi
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................. vii ABSTRAK ............................................................................................................
xi
ABSTRACT ............................................................................................................ xii DAFTAR ISI ......................................................................................................... xiii DAFTAR TABEL ................................................................................................. xvii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xviii DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA ................................................................ xix DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xxi
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1
Latar Belakang ...........................................................................................
1
1.2
Rumusan Masalah ......................................................................................
3
1.3
Tujuan Penelitian........................................................................................
4
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................................
4
1.3.2 Tujuan Khusus ...........................................................................................
4
1.4
Manfaat Penelitian ......................................................................................
5
1.4.1 Manfaaat Akademik ...................................................................................
5
1.4.2 Manfaat Praktis ..........................................................................................
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA ..............................................................................
6
2.1
Proses Menua dan Penyakit Geriatri ...........................................................
6
2.2
Malnutrisi pada Geriatri..............................................................................
8
2.2.1
Perubahan Komposisi Tubuh .....................................................................
9
2.2.2
Perubahan Nafsu Makan dan Regulasi Ambilan Energi ............................. 11
2.2.3 Perubahan Patofisiologi Yang Menyebabkan Kehilangan Pengecapan Lidah, Penciuman dan Nafsu Makan dengan Bertambahnya Usia .......................... 11 2.2.4
Keterkaitan Saluran Cerna Dan Efek Setelah Absorbsi Berpengaruh pada Selera Makan.............................................................................................. 12
2.2.5 Keterkaitan Psikologis, Sosial Ekonomi dan Kultural Dalam Selera Makan ................................................................................................................... 12 2.3
Metode Pemeriksaan Status Nutrisi pada Geriatri ....................................... 13
2.4.
Leptin ........................................................................................................ 14
2.4.1 Definisi Leptin .......................................................................................... 14 2.4.2 Ekspresi Leptin........................................................................................... 16 2.4.3 Faktor yang Pengaruhi Ekspresi Leptin....................................................... 21 2.5
Pneumonia Komuniti .................................................................................. 23
2.5.1 Definisi Pneumonia Komuniti .................................................................... 23 2.5.2 Etiologi Pneumonia Komuniti .................................................................... 24 2.5.3 Patogenesis Pnemonia ................................................................................ 24 2.5.4 Diagnosis Pneumonia Komuniti ................................................................. 25 2.5.5 Derajat Pneumonia Komuniti..................................................................... 26 2.5.6 Penatalaksanaan Pneumonia Komuniti ...................................................... 27 2.6
Hubungan Kadar Leptin dengan Pneumonia Komuniti ............................... 29
2.7
Peranan Biomarker Nutrisi Lainnya terhadap Pneumonia Komuniti............ 31
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ...................................................................................... 36 3.1
Kerangka Berpikir ...................................................................................... 36
3.2 .
Konsep ...................................................................................................... 37
3.3.
Hipotesis Penelitian .................................................................................... 37
BAB IV METODE PENELITIAN ...................................................................... 38 4.1
Rancangan Penelitian ................................................................................. 38
4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... 38
4.2.1 Lokasi Penelitian ........................................................................................ 38 4.2.2 Waktu Penelitian ........................................................................................ 38 4.3
Ruang Lingkup Penelitian .......................................................................... 38
4.4
Penentuan Sumber Data .............................................................................. 38
4.4. 1 Populasi Target........................................................................................... 38 4.4. 2 Populasi Terjangkau ................................................................................... 38 4.4.3 Sampel Penelitian ....................................................................................... 39 4.4.4 Penentuan Besar Sampel............................................................................. 39 4.4.5 Tehnik Pengambilan Sampel ...................................................................... 40 4.5
Variabel Penelitian ..................................................................................... 40
4.6
Definsi Operasional Variabel Penelitian ..................................................... 41
4.7
Bahan Penelitian………………………………………………………….. .. 49
4.8
Instrumen Penelitian dan Prosedur Penelitian…………………………….
4.9
Analisis data ............................................................................................... 50
4.10
Alur Penelitian ........................................................................................... 51
49
BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................. 52 5.1.
Uji normalitas Biomarker Status Nutrisi, Kadar Leptin dan Skor PORT .... 52
5.2.
Karakteristik Subjek Penelitian .................................................................. 53
5.3.
Status Nutrisi Subjek Penelitian .................................................................. 55
5.4.
Leptin sebagai Biomarker Malnutrisi ......................................................... 56
5.5.
Korelasi Kadar Leptin sebagai Biomarker Status Nutrisi dengan Berat Pneumonia Komuniti Pasien Geriatri berdasarkan Skor PORT ................... 57
BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................... 61 6.1
Uji normalitas Biomarker Status Nutrisi, Kadar Leptin dan Skor PORT .... 62
6.2
Karakteristik Subjek Penelitian .................................................................. 63
6.3
Status Nutrisi Subjek Penelitian .................................................................. 67
6.4
Leptin sebagai Biomarker Malnutrisi ......................................................... 69
6.5
Korelasi Kadar Leptin sebagai Biomarker Status Nutrisi dengan Berat Pneumonia Komuniti Pasien Geriatri berdasarkan Skor PORT ................... 74
6.6
Kelemahan Penelitian ................................................................................. 76
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN................................................................... 77 7.1
Simpulan .................................................................................................... 77
7.2
Saran .......................................................................................................... 77
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 79 Lampiran ............................................................................................................... 87
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1. Keuntungan dan Kerugian Masing Teknik Pemeriksaan Status Nutrisi Pada Pasien Geriatri .............................................................. 15 Tabel 2.2. Sistem Skor pada Pneumonia Komuniti berdasarkan PORT............... 26 Tabel 2.3. Derajat Skor Risiko Pneumonia Menurut PORT ................................ 27 Tabel 2.4. Terapi Antibiotika Pasien Pneumonia Komuniti ............................... 29 Tabel 4.1
Pembagian Kelompok Hasil Leptin ................................................... 45
Tabel 4.2. Sistem Skor pada Pneumonia Komuniti berdasarkan PORT............... 46 Tabel 4.3. Derajat Skor Risiko Menurut PORT .................................................. 47 Tabel 4.4. Indeks Wayne’s, Diagnosis Hipertiroidism berdasarkan Gejala dan Tanda ................................................................................................ 48 Tabel 5.1. Hasil Uji Normalitas Variabel Penelitian dengan Uji K-S .................. 53 Tabel5.2.
Karakteristik Subyek Penelitian berdasarkan Kelompok Kadar Leptin Serum ............................................................................................... 54
Tabel 5.3 Karakteristik Subyek Penelitian berdasarkan Derajat Pneumonia Komuniti ........................................................................................... 55 Tabel 5.4. Status Nutrisi Subyek Penelitian ....................................................... 56 Tabel 5.5. Korelasi antara Kelompok Leptin dengan Biomarker Nutrisi Lainnya 57 Tabel5.6. Korelasi antara Biomarker Status Nutrisi dengan Berat Pneumonia Komuniti berdasarkan Skor PORT .................................................... 58 Tabel 5.7 Regresi Logistik Variabel Kelompok Kadar Leptin terhadap Kelas Pneumonia Komuniti ......................................................................... 59 Tabel 5.8 Regresi Logistik Variabel Kelompok Kadar Leptin dan Status Nutrisi MNA terhadap Kelas Pneumonia Komuniti .......................... 60 Tabel 5.9 Matriks Korelasi antara Kelompok Leptin, Klasifikasi MNA, dan Derajat Pneumonia Komuniti............................................................ 60
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1. Hubungan Antara Faktor Resiko dengan Penyakit Degeneratif pada Geriatri ...............................................................................
7
Gambar 2.2 Kadar Leptin (rerata±SD) per- Jenis Kelamin dan Status Nutrisi. .
16
Gambar 2.3. Struktur Leptin.............................................................................
17
Gambar 2.4. Mekanisme Kerja Leptin terhadap Hipothalamus dan Organ Perifer (Pankreas, Hepar dan Otot rangka)................................................
19
Gambar 2.5. Peranan Leptin terhadap Sistem Imun ...........................................
20
Gambar 3.1. Konsep Penelitian Hubungan Kadar Leptin sebagai Prediktor Status Nutrisi dengan Beratnya Derajat Pneumonia Pasien Geriatri di RSUP, Sanglah ............................................................
37
Gambar 4.1. Alur Penelitian .............................................................................
51
DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA
AC
: Arm circumference
AMC
: Arm Midle Circumference
ASMM
: Appendiculas skeletal muscle mass (ASMM)
ATS
: American thoraxic society
BALF
: bronchoalveolar lavage fluid
BCG
: Bromocresol Green
BIA
: Bioimpedance assesment
CI
: Confidential Interval
CAP
: Community Acquired Pneumonia
CGA
: Comphrehensif Geriatric Assessment
CRP
: C-reactive protein
DEXA
: Dual energy x ray absorptiometry
dL
: desiliter
EBPα
: Enhancer binding protein α
EDTA
: Ethylenediaminetetraacetic acid
ESPEN
: European Society of Enteral and Parenteral Nutrition
FM
: Fat Mass
IFN
:interferon
IL
: interleukin
IMT
: Indeks massa tubuh
INA
: Instant Nutritional Asessment
kDa
: Kilo dalton
MAP
: mitogen-activated protein
MNA
: Mini Nutritional Assessment
NRI
: Nutritional Risk Index,
Ng
: nanogram
Ob-R
: Obese gene Reseptor
PPAR
: Peroxisome Proliferator Activated Receptor-
PDPI
: Persatuan Dokter Paru Indonesia
pg
: picogram
pH
: Derajat Keasaman
PMN
: Polymorfonuclear
PORT
: Pneumonia Patient Outcome Research Team
SGA
: Subjective General Assessment
TSF
: Triceps Skinsfold Test
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 : Jadwal Penelitian ........................................................................... 87 Lampiran 2 : Anggaran Penelitian ....................................................................... 88 Lampiran 3 : Informasi Penelitian ....................................................................... 89 Lampiran 4 : Formulir Persetujuan Penelitian ..................................................... 91 Lampiran 5 : Formulir pengumpulan data ........................................................... 92 Lampiran 6 : Alur Pemeriksaan Kadar Leptin Pasien .......................................... 98 Lampiran 7: Batas Nilai Antropometri Geriatri .................................................. 99 Lampiran 8: Ethical clearance ............................................................................ 100 Lampiran 9: Surat Izin Penelitian dari Direktur SDM dan Pendidikan RSUP Sanglah .............................................................................. 101 Lampiran 10. Hasil Pemeriksaan Kadar Leptin di Laboratorium Prodia .............. 102 Lampiran 11. Hasil Analisis Data Penelitian dengan Perangkat Lunak Komputer 104
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Malnutrisi merupakan aspek penting pada kesehatan Geriatri dan sering terjadi, namun sering tidak terdeteksi. Risiko malnutrisi pada Geriatri meningkat oleh karena penurunan lean body mass, penurunan asupan makanan, perubahan fungsi usus, metabolisme yang tidak efektif, kegagalan hemostasis dan defek utilisasi nutrien. Kejadian malnutrisi Geriatri di rumah sakit berhubungan dengan peningkatan disabilitas, morbiditas, mortalitas dan lama serta biaya di rumah sakit
Pemeriksaan status gizi pada penderita Geriatri dilakukan pada 48 jam pertama setelah masuk rumah sakit dengan mempergunakan berbagai macam indikator seperti Antropometri, Subjective General Assessment (SGA), instant Nutritional Asessment (INA), Bioimpedance assesment (Pablo et al., 2003)
Sebanyak 33,3-78,3% pasien Geriatri yang menjalani perawatan di rumah sakit mengalami malnutrisi (Pablo et al., 2003; Palmer, 2000). Penelitian di RS Dokter Kariadi meunjukkan sebanyak 36,5% Geriatri yang rawat inap di RS Dokter Kariadi Semarang mengalami malnutrisi dan 44,3% dalam risiko malnutrisi (Hardini, 2005).
Kejadian mortalitas lebih rendah pada pasien Geriatri dengan indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 30 dibandingkan dengan pasien yang IMT kurang atau normal. Massa lemak dalam tubuh memberikan keuntungan daya tahan tubuh lebih baik pada kondisi katabolik misalnya pada komplikasi infeksi sehingga dapat menrurunkan mortalitas pada Geriatri (Bouillanne et al., 2009).
Malnutrisi pada Geriatri menyebabkan penurunan total limphosit dan menyebabkan gangguan imunitas seluler dan humoral (Cereda et al., 2008). Selain itu keadaan malnutrisi menyebabkan gangguan fungsi otot, penurunan massa tulang, penurunan massa lemak subkutan, dan penyembuhan luka yang lambat
sehingga
meningkatkan risiko mortalitas dan morbiditas (Bouillanne et al., 2009; Boulos, 2009).
Penurunan kadar lemak subkutan menyebabkan penurunan kadar leptin dalam darah. Leptin merupakan adipokine dengan berat molekul 16 kDa yang mempunyai peranan dalam pengaturan sistem imun. Defisiensi leptin menyebabkan meningkatnya kerusakan organ akibat sepsis dan meningkatkan mortalitas pada model tikus (Tschöp et al., 2010; Yeh et al., 1999).
Peranan leptin dalam mengatur sistem imun yaitu mengaktivasi monosit, regulasi proliferasi secara naive dan memori sel , meningkatkan Th1 dan menekan produksi Th2, meningkatkan jumlah makrofag dan formasi koloni granulosit, (Fern´andez-Riejos et al., 2010; Houseknecht et al.,1998; Tschöp et al., 2010). Namun penelitian dari Diez et al.(2008) memperlihatkan tidak adanya perbedaan antara kadar leptin pada pasien dengan pneumonia dengan kontrol. Dan penelitian ini memperlihatkan peranan leptin hanya sebagai biomarker status nutrisi (Diez et al., 2008; Malli et al., 2010).
Salah satu risiko penurunan imunitas pada Geriatri adalah kejadian pneumonia. Pneumonia merupakan penyakit yang sering terjadi dan menimbulkan penyakit serius pada pasien Geriatri, walaupun sudah ditemukan antibiotika dan vaksin (Janssens, 2005). Di Amerika,
pneumonia komuniti merupakan penyebab kematian keenam, dan
merupakan penyebab pertama kematian pada pasien infeksi. Insiden pneumonia di Amerika Serikat sebesar 4,5- 5,6 juta pertahun. Mortalitas pneumonia komuniti dengan rawat jalan mencapai <1-5%, rawat inap mencapai 12%, dan 40% akibat bakterimia (American Thoraxic Society, 2001; Moore, 2003). Pneumonia komuniti pada Geriatri
berhubungan dengan status nutrisi, adanya gangguan kognisi (delirium) serta berulangnya opname di tahun berikutnya (Janssens, 2005).
Di RSUD Dr Soetomo Surabaya, pneumonia komuniti menempati peringkat keempat dari sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat pertahun, dengan angka kematian mencapai 20-35% (Soedarsono, 2010). Di Indonesia berdasarkan data SEAMIC Health Statistic (2000), influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor tiga (SEAMIC-IMFJ, 2001). Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2005, mendapatkan pneumonia penyebab kesepuluh pasien rawat inap di rumah sakit (Departemen Kesehatan Indonesia, 2007).
Risiko menderita pneumonia lebih tinggi pada pasien Geriatri yang disertai dengan penyakit komorbid seperti penyakit paru obstruktif kronis, diabetes melitus, gangguan ginjal, penyakit jantung kongestif, penyakit arteri koroner,
keganasan,
penyakit saraf kronis, dan penyakit hati kronis. Bakteri penyebab pneumonia telah terjadi resistensi seperti Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxellla catarrhalis dan berbagai bakteri gram negatif (American Thoraxic Society, 2001).
Karena peranan kadar leptin sebagai biomarker status nutrisi belum pernah diteliti di Indonesia dan masih terdapatnya kontradiksii hubungan antara kadar leptin terhadap derajat penyakit pneumonia komuniti pasien Geriatri maka penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1). Apakah kadar leptin dapat dijadikan sebagai biomarker status nutrisi pada penderita Geriatri dengan pneumonia komuniti?
2). Apakah kadar leptin sebagai biomarker status nutrisi memiliki hubungan dengan derajat pneumonia komuniti pada penderita Geriatri?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah:
1) Mengetahui kadar leptin dapat dijadikan sebagai biomarker status nutrisi pada penderita Geriatri dengan pneumonia komuniti. 2) Mengetahui kadar leptin sebagai biomarker status nutrisi memiliki hubungan dengan derajat pneumonia komuniti pada penderita Geriatri. 1.3.2
Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui tingkat status gizi pasien Geriatri yang menderita pneumonia komuniti yang rawat inap di RSUP Sanglah dengan mempergunakan Arm Circumference (AC), Triceps Skinfold (TSF), Arm Muscle Circumrference (AMC), Instant Nutritional Assessment (INA), Mini Nutritional Assessment (MNA) dan kadar leptin . 2. Mengetahui hubungan kadar leptin dengan biomarker nutrisi
seperti Arm
Circumference (AC), Triceps Skinfold (TSF) , Arm Muscle Circumrference (AMC), Instant Nutritional Assessment (INA), dan Mini Nutritional Assessment (MNA) pada pasien Geriatri yang menderita pneumonia komuniti yang rawat inap di RSUP Sanglah. 3. Mengetahui persentase risiko derajat pneumonia komuniti pasien Geriatri yang rawat inap di RSUP Sanglah.
4. Mengetahui korelasi kadar leptin sebagai biomarker status nutrisi dengan derajat pneumonia komuniti pada penderita Geriatri yang rawat inap di RSUP Sanglah . 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Manfaat Akademik
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1.4.1.1 Sebagai data awal untuk penelitian lainnya yang sejenis. 1.4.1.2 Sebagai penguat terhadap peranan kadar leptin sebagai biomarker status nutrisi dengan berat pneumonia penderita Geriatri yang rawat inap di RSUP Sanglah, Denpasar. 1.4.1.3 Mengetahui teknik yang lebih baik pemeriksaan status nutrisi pada Geriatri dengan mempergunakan kadar leptin sebagai biomarker. 1.4.2
Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini secara praktis dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1.4.2.1 Untuk mengetahui peranan leptin untuk mendeteksi dini risiko kejadian malnutrisi pada pasien Geriatri dengan pneumonia komuniti 1.4.2.2 Mengetahui peranan status nutrisi terhadap derajat pneumonia komuniti pasien Geriatri.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Proses Menua dan Penyakit Geriatri
Menua merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Manusia seiring dengan bertambahnya usia akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan semakin banyak gangguan metabolik dan struktural yang disebut penyakit degeneratif seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes mellitus, dan kanker, yang akan menyebabkan terjadinya proses menghadapi akhir hidup dengan episode terminal yang dramatik seperti
stroke, miokard infark, dan lainnya
(Boedhi-Darmojo., 2010, Kementerian Kesehatan RI., 2012; Miller, 2009). Proses menua merupakan kombinasi dari berbagai macam faktor yang saling berkaitan. Berbagai teori dikemukakan untuk menerangkan tentang proses penuaan, seperti teori “genetik clock”, mutasi somatik (teori Error Catastrophe), rusaknya sistem imun, teori menua akibat metabolisme, kerusakan akibat radikal bebas (Boedhi-Darmojo, 2010; Kirkwood, 2009). Tujuan dari kehidupan Geriatri adalah menjadi tua tetapi tetap sehat (Healthy aging). Healthy Aging ini dipengaruhi oleh faktor endogenic aging (cellular aging, tissue dan anatomical aging) dan faktor eksogen (lingkungan dan sosial budaya atau gaya hidup) (Boedhi-Darmojo., 2010; Kementerian Kesehatan RI., 2012).
Pelayanan kesehatan pada Geriatri berbeda dengan pelayanan kesehatan pada golongan populasi lain oleh karena pada Geriatri, 1) penyakit bersifat multipatologi atau
mengenai multi organ/sistem, bersifat degeneratif, saling terkait, 2) penyakit bersifat kronis cenderung menyebabkan kecacatan lama sebelum terjadinya kematian, 3) sering terjadi polifarmasi dan iatrogenesis, 4) biasanya mengandung kompenen psikologik dan sosial, dan 5) usia lanjut sensitif terhadap penyakit akut (Boedhi-Darmojo., 2010; Kementerian Kesehatan RI., 2012). Karena perbedaan penyakit Geriatri, maka pelayanan untuk pasien Geriatri yang dirawat di rumah sakit memerlukan kajian dengan pendekatan holistik dengan tata kerja dan tata laksana secara interdisiplin. Kajian pasien Geriatri meliputi Comphrehensif Geriatric Assessment (CGA) yang meliputi aspek anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan tambahan, pemeriksaan fungsi, assessmen lingkungan, dan daftar masalah (Martono., 2009). Terjadinya penyakit degeneratif pada Geriatri dipengaruhi oleh banyak faktor risiko yang bisa bersamaan dan memungkinkan menimbulkan banyak penyakit pada satu penderita. Hubungan antara faktor risiko dengan penyakit degeneratif pada para Geriatridapat lebih jelas dalam bentuk bagan menyerupai laba-laba (Gambar 2.1).
Faktor Risiko
Penyakit Degeneratif
Tekanan darah ↑
Penyakit Jantung CORE
Tembakau
Stroke
Dyslipidemia
Hipertensi
Diet yang kurang Demensia Gambar 2.1 Hubungan Antara Faktor Risiko dengan Penyakit Degeneratif pada Gula darah ↑
Geriatri (Boedhi-Darmojo., 2010)
2.2 Malnutrisi pada Geriatri
2.2 Malnutrisi pada Geriatri
Pasien Geriatri sering terjadi kekurangan energi protein dan bentuk-bentuk defisiensi gizi potensial yang tidak terdeteksi. Prevalensi malnutrisi pada Geriatri tinggi pada kondisi sakit kronik atau yang rawat inap di rumah sakit, nurshing home dan institusi kesehatan lainnya. Meskipun hubungan antara gizi, penyakit dan keluhan klinis sangat kompleks, namun kondisi kekurangan gizi energi protein memberikan sumbangan yang nyata pada kesakitan dan kematian (Wirth et al., 2009).
Penderita Geriatri yang rawat inap di rumah sakit mempunyai prevalensi malnutrisi sebesar 30-60 persen dan malnutrisi berat sebesar 10-25%. Penderita malnutrisi cenderung mengalami pemburukan selama perawatan disebabkan oleh kegagalan dokter dan perawat untuk menyadari dan mengobati malnutrisi dan kurangnya kesadaran akan pentingnya status gizi ini dengan pengaruhnya terhadap keluaran klinis (Hardini., 2005)
Kejadian malnutrisi dapat dipengaruhi oleh depresi, pengetahuan dan kemampuan yang kurang, kondisi kesehatan yang buruk, dan disertai dengan lebih banyak kesakitan (Castel et al., 2006). Hal ini disebabkan oleh adanya penekanan nafsu makan karena penyakit, perubahan mekanisme menelan makanan, kelainan maldigesti atau malabsorpsi, dan kehilangan kemampuan untuk mencukupi kebutuhan makan sendiri, penyakit keganasan dan infeksi kronis (Wirth et al., 2009; Yeh et al., 1999). Karena efek ini sulit untuk diprediksi, seorang penderita Geriatri dengan satu atau lebih masalah kesehatan yang kronis dan akut harus sering melakukan assesmen kembali
mengenai status gizi dan rencana perawatan gizi (Kementerian Kesehatan RI., 2012, Wirth et al., 2009).
Perubahan pada Geriatri yang mempengaruhi keadaan gizi seorang Geriatri, yaitu :
2.2.1 Perubahan Komposisi Tubuh.
Bertambahnya usia akan terjadi banyak perubahan komposisi tubuh yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi seorang Geriatri. Setelah berusia 60 tahun atau lebih berat badan cenderung turun dan untuk mempertahankannya semakin sulit dengan bertambahnya usia. Perubahan komposisi tubuh dicirikan dengan kehilangan secara progresif lean body mass, peningkatan relatif massa lemak dan redistribusi lemak dari perifer ke lokasi sentral tubuh. Kehilangan lean body mass yang berlanjut berhubungan dengan peningkatan prevalensi penyakit kronik pada Geriatri. Kehilangan massa otot yang terkait dengan usia tampak sebagai hasil dari faktor-faktor yang berhubungan dengan perubahan metabolisme, fungsi struktur jaringan organ, penyakit-penyakit dan pilihan tingkah laku serta cara hidup secara individual (Fatimah-Muis dan Puruhita., 2010)
Penelitian yang dilakukan Pablo et al.,(2003) menemukan 56,7% pasien mengalami deplesi lemak subkutan dan 30 % mengalami deplesi otot. Pasien dengan malnutrisi mengalami kehilangan lemak subkutan dan penurunan kadar insulin dibandingkan pasien yang status nutrisi normal (Campilo et al., 2001; Pablo et al., 2003;)
Mengukur lemak tubuh secara akurat sangat sulit karena memerlukan kontrol secara klinis yang ketat dan massa lemak tidak konsisten.
Persentase lemak tubuh
dipengaruhi oleh penyakit kronis seperti hipertensi, dislipidemia, diabetes melitus, dan penyakit jantung koroner (Dehghan and Merchant., 2008)
Kejadian mortalitas pada pasien Geriatri yang IMT > 30 (obesitas) lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang IMT kurang atau normal, hal ini disebabkan masa lemak dalam tubuh memberikan keuntungan daya tahan tubuh lebih baik pada kondisi katabolik misalnya pada komplikasi infeksi (Bouillanne et al., 2009). Fat Mass (FM) memiliki korelasi positif dengan outcome score pada pasien Geriatri (p = 0,023 saat disesuaikan
terhadap
gender,
p
= 0,044 saat
disesuaikan
terhadap gender,
hipoalbuminemia, dan C-reactive protein) (Bouillanne et al., 2009).
Fat Mass (FM ) dan Lean Mass (LM) dapat diukur dengan mempergunakan dual energy x ray absorptiometry (DEXA). Appendiculas skeletal muscle mass (ASMM) dilakukan dengan mengukur LM dari lengan dan kaki. FM indeks, LM indeks , ASMM indeks, dan body cell mass indeks dihitung mempergunakan ratio dari FM, LM , ASMM dan BCM dibagi perquadrat tinggi badan dalam satuan meter (Bouillanne et al., 2009). Untuk penelitian epidemiologi pemeriksaan lemak tubuh berdasarkan BMI, lingkar pinggang, ratio pinggag-pinggul, dan tebal lemak kulit. Namun teknik-teknik tersebut belum bisa memberikan gambaran karakteristik lemak tubuh penderita secara tepat. Pemeriksaan lemak tubuh dengan mengontrol berdasarkan kondisi laboratorium seperti underwater weigthing (densitometry), DEXA, BIA, dan MRI. Namun densitometry, DEXA dan MRI mahal, dan tidak nyaman pada partisipan, dan tidak memungkinkan untuk dilakukan di lapangan (Dehghan and Merchant., 2008).
Penelitian terakhir memperlihatkan kadar massa lemak berhubungan dengan kadar hormon leptin dalam darah. Shamsuzzaman et al. (2004), memperlihatkan hubungan yang bermakna antara indeks massa tubuh dengan leptin (r= 0.58, p=0.0001). Selain itu ditemukan hubungan yang signifikan antara indeks massa tubuh dengan kadar C-reaktif protein (CRP) (r = 0.47, p = 0.0001) (Shamsuzzaman et al., 2004). Kadar leptin
berhubungan dengan massa lemak dan persentase lemak tubuh pada pasien obesitas (PiSunyer and Laferre’re, 1999). Penelitian oleh Nasri et al.2006 terhadap 36 pasien hemodialisis, memperlihatkan hubungan yang bermakna antara indeks massa tubuh dengan leptin ( r = 0,44, p = 0,007) (Nasri et al., 2006).
2.2.2 Perubahan Nafsu Makan dan Regulasi Ambilan Energi.
Mempertahankan berat badan yang stabil pada usia tua membutuhkan keadaan yang tetap antara asupan nutrien dan kebutuhan energi. Dengan bertambahnya usia, alur metabolik, neural dan humoral yang secara normal dapat mempertahankan keseimbangan regulasi selera makan dan lapar, mengalami kehilangan responsibilitasnya unutk mengubah energi yang dibutuhkan oleh tubuh. Keterkaitan psikologis, sosial ekonomi dan kultural, dan bermacam-macam penyakit memperberat disregulasi keseimbangan masukan energi (Fatimah-Muis dan Puruhita, 2010).
2.2.3 Perubahan Patofisiologi yang Menyebabkan Kehilangan Pengecapan Lidah, Penciuman dan Nafsu Makan dengan bertambahnya Usia.
Perubahan besar fisiologik dan patologik yang terkait dengan usia mempunyai peranan untuk seorang Geriatri mengalami kesulitan mempertahankan keseimbangan kebutuhan metabolik dan asupan nutrien. Gangguan penglihatan, penciuman, pengecapan, dan tekstur makanan mempunyai andil untuk keinginan makan dan dapat menstimulasi atau menghambat konsumsi berikutnya. Kemampuan mencium dan mengecap merupakan komponen terpenting , sebab aroma makanan akan menstimulasi selera makan (FatimahMuis dan Puruhita, 2010).
2.2.4 Keterkaitan Saluran Cerna dan Efek Setelah Absorbsi Berpengaruh pada Selera Makan.
Perubahan kondisi usus dan enzim-enzim pencernaan mempunyai andil dalam ketidakmampuan seorang Geriatri untuk makan secara adekuat. Penyebab malnutrisi yaitu intake makanan menurun pada 21,7% pasien, 20% penderita mengalami penurunan nafsu makan, gejala gastrointestinal pada 56,7% pasien, 19% pasien mengalami gangguan nyeri abdomen, 11,7 % mengalami muntah-muntah, 5% pasien mengalami anoreksia, 3,3 % mengalami disfagia, dan 3,3% pasien mengalami diare. Sehingga pada pasien Geriatri yang malnutrisi lebih banyak mengalami deplesi lemak dibandingkan dengan pasien yang status nutrisi normal (Pablo et al.,2003).
2.2.5 Keterkaitan Psikologis, Sosial Ekonomi, dan Kultural dalam Selera Makan.
Faktor psikologis, sosial ekonomi dan kultural memberikan pengaruh terhadap adekuasi diet pada Geriatri. Pada Geriatri, kejadian depresi sering terjadi dan sering tidak disadari sebagai penyebab penurunan nafsu makan. Kejadian depresi dapat diobati dan sebaiknya sering dievaluasi pada penderita Geriatri yang kehilangan berat badan. Keadaan ini sulit dievaluasi bila penderita tersebut mengalami sakit yang berat atau demensia. Kemiskinan, pendidikan yang rendah, mobilitas terbatas, ketergantungan pada orang lain dan isolasi sosial merupakan faktor-faktor yang turut mempengaruhi. Faktor tempat tinggal misalnya berada di panti atau nurshing home akan turut mempengaruhi asupan nutrisi (FatimahMuis dan Puruhita., 2010).
Kondisi malnutrisi pada pasien Geriatri berhubungan dengan penurunan fungsi otot, fungsi pernafasan, fungsi imun, kualitas hidup, dan gangguan penyembuhan luka. Kehilangan kapasitas fungsional ditemukan pada 36,7% pasien. Perubahan kapasitas fungsional paling besar ditemukan pada pasien dengan penyakit saluran nafas dibandingkan dengan penyakit lainnya. Pasien bedah mengalami penurunan kapasitas fungsional lebih besar dibandingkan dengan pasien non bedah (Pablo et al., 2003)
2.3 Metode Pemeriksaan Status Nutrisi pada Geriatri
Mendiagnosis malnutrisi secara umum berdasarkan hasil pemeriksaan subjektif berdasarkan anamnesis intake energi, dan data objektif meliputi penurunan berat badan, data antropometri, determinasi sel yang memediasi imunitas, biomarker, dan analisis komposisi tubuh. Walaupun secara epidemiologi indikator-indikator tersebut memiliki manfaat namun belum memiliki standar baku. Sehingga evaluasi status nutrisi menjadi terabaikan, walaupun diketahui status nutrisi mempengaruhi outcome pasien. Bila pemeriksaan memakai indikator tunggal sering memberikan hasil yang tidak akurat. Untuk meningkatkan akurasi penilaian maka dikombinasikan indikator-indikator yang berbeda untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dari pemeriksaan (Pablo et al.,2003).
Terdapat perbedaan status nutrisi berdasarkan metode-metode pemeriksaan. Penelitian oleh Pablo et al., (2003), memperlihatkan kejadian malnutrisi pasien yang berbeda-beda. Berdasarkan SGA kejadian malnutrisi sebesar 63,3%, NRI sebesar 90%, antropometri ditemukan 56,7% pasien mengalami deplesi lemak subcutaneus dan 30 % mengalami deplesi otot. Dan berdasarkan Klasifikasi Gassull ditemukan 83,4% pasien mengalami malnutrisi (Pablo et al.,2003).
Kejadian malnutrisi yang tinggi pada Geriatri memerlukan pengkajian status nutrisi yang adekuat. Pendeteksian malnutrisi secara dini akan memberikan intervensi yang lebih baik. Beberapa teknik pemeriksaan status nutrisi dapat dipergunakan dengan kelebihan dan kelemahan pada masing-masing teknik tersebut (Tabel 2.1).
Pemeriksaan status gizi dilakukan pada 48 jam pertama setelah masuk rumah sakit dengan mempergunakan berbagai macam idikator seperti Antropometri, Subjective
General Assessment (SGA), Nutritional Risk Index (NRI), Gassull Classification, instant Nutritional Asessment (INA), Bioimpedance assesment (Pablo et al.,2003) .
2.4 Leptin
2.4.1 Definisi Leptin
Leptin merupakan proteo-hormon rantai tunggal dengan massa molekul berukuran 16 kDa. Leptin disekresikan oleh sel adipose putih mempunyai peranan dalam pengaturan sitokin. Secara normal leptin disekresikan sebesar 5-15 ng/mL. Sekresi leptin sangat erat hubungannnya dengan massa lemak tubuh dan ukuran sel adipose (Houseknecht et al.,1998). Selain di jaringan adipose, sebagian kecil leptin diproduksi oleh fundus gaster, hepar, dan plasenta (Meier and Gressner., 2004).
Tabel 2.1 Keuntungan dan Kerugian Masing Teknik Pemeriksaan Status Pada Pasien Geriatri (Dehgan and
Nutrisi
Merchant., 2008; Pablo et
al.,2003) Jenis Pemeriksaan
Keuntungan
Kerugian
Pemeriksaan
Lebih tepat untuk menentukan
Hanya mengukur fisik penderita
antropometri
BMI
tanpa memperhitungkan kelainan psikis, sosioekonomi
*
(IMT, AC, TSF, MAC ) Subjektive
Global
Paling Ringkas
Tidak spesific untuk menentukan
Assessment (SGA)
status gizi pada penderita Geriatri, tidak
mengetahui
riwayat
kesehatan pasien, diagnosis, hasil pemeriksaan
laboratorium,
dan
alasan masuk rumah sakit Tes (Instant
Laboratorium Nutritional
Assessment (INA))
*
Lebih
spesifik
dan
sensitif
untuk menentukan status gizi
Invasif,
mahal,
membutuhkan
keterampilan khusus dan waktu pemeriksaan lebih lama
Geriatric
Nutritional
Risk Index (GNRI)
Lebih
spesifik,
kombinasi
antara
antroppometri
dan
Tidak
memperhitungkan
psikis
dan sosioekonomi
laboratorium Tidak bisa dilakukan pada pasien imobilisasi Mini
Nutritional
Berlaku untuk 3 bulan, bisa
*
untuk penderita rawat jalan,
Assessment (MNA)
Membutuhkan waktu yang lama
dirawat di rumah sakit, dan institusi-institusi
yang
menampung Geriatri, meliputi antropometri Bioelectrical impedance
Non invasive, cepat,
assay (BIA)
Dipengaruhi oleh etnis, aktivitas, pola
makan,
bawah,
edema
tungkai
poliomyelitis,
riwayat
amputasi Keterangan . * dipakai sebagai indikator status nutrisi pada penelitian
Penelitian oleh Bouillane et.al.( 2007) memperlihatkan hubungan kadar leptin serum pada orang Geriatri dengan biomarker nutrisi lainnya yaitu IMT dan Skinfold thickness. Didapatkan kadar leptin yang berbeda-beda pada tiga kelas status nutrisi berdasarkan IMT dan Skinfold thickness, dengan batas untuk menyatakan malnutrisi yaitu 4.000 pg/dL pada laki-laki dan 6.480 pg/dL pada perempuan (sensitivitas 0,89 dan spesifitas 0,83) (Bouillane et.al., 2007).
Gambar.2.2 Kadar Leptin (rerata±SD) per- Jenis Kelamin dan Status
Nutrisi.(p < 0,001 (laki-laki), p < 0,0001 (perempuan)) (Bouilanne et al., 2009)
2.4.2 Ekspresi Leptin
Leptin distimulasi oleh kortisol dan insulin, β-adrenergic agonis, cAMP, dan thiazolidinediones. Mekanisme awal dari ekspresi leptin yaitu adanya leptin promotor yang berikatan dengan C/EBPα (CCAT/enhancer binding protein α) pada regio -58 sampai -42, yang merupakan tempat awal mulainya transkripsi. Pengaturan gene leptin diatur juga oleh PPARγ 1dan 2 yang merupakan family dari reseptor orphan nuklear, yang berfungsi sebagai trans-activator dari spesifik gene lemak seperti aP2 dan merupakan berperan secara dominan sebagai aktifator dari diferensiasi sel lemak. Isoform dari reseptor leptin merupakan anggota dari bagian dari family reseptor dari sitokin
interleukin 6 (IL-6) berupa Ob-Ra, Ob-Rb, Ob-Rc, Ob-Rd, dan Ob-Re (Houseknecht et al., 1998; Meier and Gressner., 2004).
Gambar 2.3 Struktur Leptin (Institute Européen de Chimie et Biologie., 2009)
Leptin disintesis dan disekresi pada sel adiposit putih dan ditranspor ke otak melalui sistem saturable. Secara sentral leptin menyebabkan hambatan neurotransmiter seperti neuropeptide Y (NPY) dari hipotalamus. Leptin menyebabkan penurunan intake makanan,
meningkatkan
kebutuhan
energi,
meningkatkan
thermogenesis
dan
meningkatkan aktifitas fisik (Houseknecht et al., 1998).
Peranan leptin non spesifik secara teoritikal melalui pengaturan
aksis
hipotalamus-hipofisis-adrenal, yang menyebabkan peningkatan kadar kortikosteron yang
dapat menekan fungsi imun. Pemberian leptin intracerebroentrikuler menurunkan kadar sitokin dan kemokin seperti IL-6, MCP-1 dan KC dan dapat meningkatkan survival. Peranan SSP dalam mengatur sistem imun, telah dicoba diterangkan melalui model Tracey yaitu sistem ANS mendeteksi timbulnya stimulus inflamasi dan mengembalikan modulasi produksi sitokin. Nervus vagus memberikan signal aferent ke otak menyebabkan aktifity efferent, menyebabkan pelepasan acethlcholine (Ach) dan mempengaruhi makrofag melalui reseptor nicotinic Ach subunit α7 dan menyebabkan penurunan pengeluaran sitokin (Tschöp et al., 2010).
Reseptor leptin ditemukan juga di perifer. Peranan leptin diperifer yaitu mempengaruhi sekresi insulin oleh sel β-pankreas dan mengatur kerja insulin, metabolisme energi pada sel lemak dan otot rangka, fungsi reproduksi, hematopoesis, anoreksia, dan pengaturan respon imun pada manusia dan tikus. Selain itu leptin menyebabkan penurunan 52% sekresi kortisol dari sel adrenokortikal (Houseknecht et al., 1998; Meier and Gressner., 2004; Tschöp et al., 2010; Yang and Barouch., 2007) .
Leptin secara in vitro mengaktivasi monosit melalui induksi produksi sitokin seperti tumor nekrosis faktor-α dan interleukin-6 (IL-6). Leptin secara spesifik memiliki peranan dalan respon limfosit T melalui regulasi proliferasi secara naive dan memori sel T. Leptin meningkatkan Th1 dan menekan produksi Th2. Peranan leptin dalam pengaturan sistem imun secara sentral dibandingkan secara langsung ke sel imun (Tschöp et al., 2010).
Leptin meningkatkan jumlah makrofag dan formasi koloni granulosit, serta merangsang hematopoesis bersama eritropoetin. Dengan memotong bentuk dari reseptor leptin, menyebabkan penurunan kadar populasi sel darah B dan T, serta penurunan kadar progenitor lymphopoetik (Houseknecht et al., 1998, Fern´andez-Riejos et al., 2010).
Gambar 2.4 Mekanisme Kerja Leptin terhadap Hipothalamus dan organ perifer (Pankreas, Hepar dan Otot rangka) ( Meier and Gressner., 2004) Pada tikus yang defisiensi leptin memiliki mortalitas lebih tinggi (p=0,0127). Rata-rata survival time menurun (44,4 ± 3,8 jam, p= 0,025) dibandingkan dengan tikus kontrol (66,1± 9,0 jam). Pada tikus yang diberikan injeksi leptin terjadi peningkatan survival rate dibandingkan tikus dengan defisiensi leptin (p= 0,0002) dan tikus kontrol (0,028). Defisiensi leptin menyebabkan penurunan fungsi phagositosis dari neutrofil, sehingga proses eliminasi bakteri menurun. Sedangkan jumlah neutrofil pada tikus yang defisiensi leptin dan kontrol adalah tidak berbeda (3,23 ± 0,3 vs 3,02 ± 0,7, n = 7 pergroup). Pada tikus yang defisiensi leptin terjadi penurunan pada jalur transduksi signal p38 mitogen-activated protein (MAP), melalui penurunan proses phosporilisasi sehingga
fungsi dari neutrofil menurun. Pemberian leptin pada tikus dengan defisiensi leptin dapat menormalisasi kadar IL-6 IL 6 dalam serum. Dengan pemberian injeksi leptin menyebabkan menyebabka proses fagositosis membaik sehingga kadar bakteri menjadi menurun. Pemberian leptin secara intraserebroventrikuler menyebabkan penurunan kadar IL-6 IL 6 dan kadar IL 10 tetap normal, serta kadar khemokin MCP MCP-1 dan KC menurun (Tschöp et al., ., 2010).
Gambar 2.5 5 Peranan Leptin terhadap Sistem Imun (Fern´andez-Riejos ( Riejos et al.,
2010)
Leptin dapat mencegah kerusakan organ dan mencegah kematian akibat sepsis. Leptin menurunkan produksi cast dari tubulus kortek ginjal dan menurunkan degenerasi vascular ginjal. Injeksi leptin mengurangi secara ektensive dari degenerasi difus dan nekrosis fokal dari epitel tubulus ginjal, walaupun edema dan degenerasi tubulus tetap berlangsung. Pemberian leptin secara langsung pada sistem saraf pusat menurunkan kadar
blood ureum nitrogen pada tikus dengan sepsis. Pada tikus dengan defisiensi leptin yang mengalami sepsis kadar ALT lebih tinggi secara bermakna dibandingkan tikus kontrol (p < 0,05). Dari pemeriksaan histopatologi ditemukan degenerasi hydropic dan nekrosis fokal dari hepatosit yang lebih berat pada tikus defisiensi leptin (Tschöp et al., 2010)..
2.4.3 Faktor yang Pengaruhi Ekspresi Leptin
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan faktor prediktor terbaik untuk menentukan kadar leptin dalam darah. Pasien dengan puasa 24 jam akan mengalami penurunan kadar leptin mencapai 30 % dan pasien dengan overfeeding massif akan meningkatkan 50% kadar leptin dalam darah (Meier and Gressner. 2004). Dengan meretriksi diet akan menurunkan kadar leptin mencapai 27,2% (CI 95%) (Campilo et al., 2001; Houseknecht et al.,1998)
Penurunan berat badan 10 % pada pasen obese akan menurunkan kadar leptin serum sebesar 53%, sedangkan peningkatan 10% berat badan akan meningkatkan 30% kadar leptin serum. Injeksi leptin serum akan menurunkan intake makanan, penurunan berat badan, kehilangan masa lemak, dan peningkatan metabolisme energi (Houseknecht et al.,1998). Namun pemberian leptin pada orang obese hanya memberikan efek yang terbatas, hal ini diduga disebabkan oleh kemampuan kelarutan leptin untuk melewati sawar darah otak atau gangguan pada tingkatan reseptor aktivasi atau transduksi signal (Meier and Gressner., 2004).
Kadar leptin pada perempuan (12,7 µg/L) lebih tinggi kadar leptin dibanding laki-laki (4,6 µg/L). Kadar leptin berhubungan dengan rerata 4 skinfold thickness (r= 0,74-0,8; p=<0,001), lingkar perut dan panggul (r= 0,38; p = < 0,001), etnis dan umur (Ruhl and Everhart., 2001).
Kadar leptin meningkat oleh overfeeding, insulin, glukokortikoid, endotoksin, dan
sitokin, dan menurun oleh puasa, testosterone, hormon tiroid, dan suhu dingin
(Houseknecht et al.,1998; Yang and Barouch., 2007, Pi-Sunyer and Leferre’re., 1999). Dengan pemberian glukokortikoid secara invivo dan in vitro akan meningkatkan ekspresi dari leptin serum. Peningkatan kadar leptin akan menghambat produksi kortisol dan sel adrenal ( Houseknecht et al.,1998, Pi-Sunyer and Leferre’re., 1999). Selain itu faktor lain yang mempengaruhi kadar leptin yaitu fungsi hepar. Penelitian yang dilakukan Campilo et al. (2001) memperlihatkan kadar leptin meningkat sesuai dengan perbaikan fungsi hepar pada 37 pasien sirosis hepatis akibat alkohol (Campilo et al., 2001)
Thiazolidinediones, yang merupakan ligand dari PPARγ, dapat menghambat dari regulasi mRNA leptin pada adiposit. Dilaporkan cannonical DR+1 PPARγ berikatan di lokasi ikatan pada -3,951 samapi -3,939 pada tikus sekuen 5’-flanking dari gene leptin. Dalam hal ini PPARγ2 berperan menghambat peranan dari promotor leptin dengan menghambat mediasi transkripsi dari C/EBP-α (Houseknecht et al.,1998).
Hubungan antara leptin dengan kadar lipid atau lipoprotein masih merupakan kontroversial, namun hubungan yang signifikan ditemukan dengan HDL, HDL-TG, dan HDL-apo (Pi-Sunyer and Leferre’re., 1999). Pada penelitian terhadap pasien hemodialisis ditemukan hubungan signifikan antara leptin dengan kadar LDL-C (r= -0,29, p= 0,09), dan leptin berhubungan signifikan dengan serum trigliserida (r = 0,30, p = 0,078) ( Nasri et al., 2006).
2.5 Pneumonia Komuniti
2.5.1 Definisi Pneumonia Komuniti
Pneumonia merupakan suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit), yang menyebabkan asinus berisi cairan radang, dengan
atau tanpa infiltrasi dari sel radang ke interstisium.. Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. Pneumonia komuniti ini merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan angka kematian tinggi di dunia (ATS, 2001; PDPI, 2003; Soedarsono., 2010).
2.5.2 Etiologi Pneumonia Komuniti
Pneumonia komuniti banyak disebabkan bakteri Gram positif, bakteri atipik, dan bakteri Gram negatif. Berdasarkan laporan
dari beberapa pusat paru di Indonesia (Medan,
Jakarta, Surabaya, Malang, dan Makasar) dalam 5 tahun terakhir didapatkan hasil pemeriksaan kultur sputum sebagai berikut : Klebsiella pneumoniae 45,18%, Streptococcus pneumoniae 14,04%, aureus 9%,
Streptococcus viridans 9,21%,
Pseudomonas aeruginosa 8,56%,
Staphylococcus
Steptococcus hemolyticus 7,89%,
Enterobacter 5,26%, dan Pseudomonas spp 0,9% (ATS, 2001; PDPI, 2003; Soedarsono., 2010).
2.5.3 Patogenesis Pnemonia
Pnemonia terjadi akibat ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, dan daya infiltrasi mikroorganisme. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan paru yaitu 1) inokulasi langsung, 2) penyebaran melalui pembuluh darah, 3). inhalasi bahan aerosol, dan 4) kolonisasi dipermukaan mukosa (PDPI, 2003; Soedarsono., 2010).
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan
diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui pseudopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan.
Tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu : 1) Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema, 2) Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah, 3) Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak dan 4) Zona resolusiE : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag (PDPI, 2003; Soedarsono, 2010).
2.5.4 Diagnosis Pneumonia Komuniti
Pneumonia pada pasien Geriatri dipermudah akibat proses menua berupa penurunan volume cadangan paru, elastisitas, kelenturan, dan ventilasi yang menimbulkan hilangnya refleks batuk, serta kolapsnya saluran udara. Terapi imunosupresif dan pemberian antibiotika jangka panjang, pada Geriatri meningkatkan risiko terjadinya pneumonia (Furman et al., 2004)
Pneumonia pada pasien Geriatri sering menunjukkan gejala klinis yang tidak khas. Onset pneumonia pasien Geriatri berlangsung perlahan. Keluhan berupa demam yang ringan, batuk dengan sputum hanya pada 60% penderita. Keluhan awalnya lebih sering berupa kelemahan dan anoreksia pada 30% pasien, penurunan kesadaran pada 20% pasien, distensi abdomen 5% dan tanda dehidrasi pada 50% pasien. Gejala klinis pneumonia seperti perkusi redup atau pekak, ronki basah, suara nafas bronchial, whispered pectoriloquy jarang ditemukan, akibat perubahan pemanjangan diameter muka-belakang dada pada usia lanjut (Rahmatullah., 2010)
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan jumlah leukosit normal atau sedikit meningkat. Nilai PaO2 pada usia lanjut lebih rendah dari orang dewasa, dan nilai PaCO2 lebih tinggi dari orang dewasa akibat penambahan perfusi darah ke lobus paru. Gambaran radiologis pada pasien Geriatri bila jelas akan tampak gambaran infiltrat, namun bila
disertai dehidrasi sering sulit untuk menilai infitrat pasein pneumonia (Rahmatullah., 2010).
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisik, foto toraks dan laboratorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala, seperti : batuk-batuk bertambah, perubahan karakteristik dahak / purulen, suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam, pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki, dan ditemukan leukosit > 10.000 atau < 4500 (ATS, 2001; PDPI, 2003; Soedarsono., 2010).
2.5.5 Derajat Berat Pneumonia Komuniti
Penilaian derajat kerahan penyakit pneumonia kumuniti dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) seperti tabel 2.2.
Berdasarkan kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah : 1) skor PORT lebih dari 70, dan 2) bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai salah satu dari kriteria : frekuensi napas > 30/menit,
Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks paru
menunjukkan kelainan bilateral, foto toraks paru melibatkan > 2 lobus, tekanan sistolik < 90 mmHg, atau tekanan diastolik < 60 mmHg (PDPI., 2003; Soedarsono., 2010).
Tabel 2.2. Sistem Skor pada Pneumonia Komuniti berdasarkan PORT (PDPI, 2003; Soedarsono., 2010). Karakteristik Penderita
Jumlah Poin
Faktor Demografi
Umur (tahun)
Usia : Laki-laki Perempuan
Umur (tahun)-10
Perawatan Di rumah
Penyakit Penyerta
+10
Keganasan
+30
Pemyakit Hati
+20
Gagal Jantung Kongestif
+10
Penyakit Cerebrovaskuler
+10
Penyakit Ginjal
+10
Pemeriksaan Fisik
Perubahan status mental
+20
Pernafasan ≥ 30 X/menit
+20
Tekanan darah sistolik ≤ 90 mmHg
+20
0
Suhu Tubuh < 35 C atau ≥40 C
+15
Nadi ≥ 125 kali/menit
+10
0
Hasil Laboratorium/Radiologi
Analisis Gas darah arteri : pH < 7,35
+30
BUN > 30 mg/dL
+20
Natrium < 130 mEq/L
+20
Glukosa > 250 mg/dL
+10
Hematokrit < 30 %
+10
PO2 ≤ 60 mmHg
+10
Efusi pleura
+10
Berdasarkan kelas risiko pneumonia maka berat pneumonia komuniti dapat dikategorikan sebagai ringan pada kelas I-III, sedang pada kelas IV dan berat pada kelas V (PDPI, 2003). Penderita pneumonia komuniti yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah penderita yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu (membutuhkan ventilasi mekanik dan membutuhkan vasopressor > 4 jam (syok
septik)) atau 2 dari 3 gejala minor tertentu (Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90 mmHg). Kriteria minor dan mayor yang lain bukan merupakan indikasi untuk perawatan Ruang Rawat Intensif (PDPI., 2003; Soedarsono., 2010)
Tabel 2.3 Derajat Skor Risiko Pneumonia menurut PORT (PDPI, 2003; Soedarsono. , 2010) Kelas Risiko
Total Skor
Mortalitas (%)
Perawatan
I
Tidak diprediksi
0,1
Rawat jalan
II
≤ 70
0,6
Rawat jalan
III
71-90
2,8
Rawat inap/rawat jalan
IV
91-130
8,2
Rawat jalan
V
130
29,2
Rawat jalan
2.5.6 Penatalaksanaan Pneumonia Komuniti
Pengobatan pneumonia komuniti perlu memperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat inap dapat diobati secara rawat jalan. Juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen yang spesifik misalnya S. pneumoniae yang resisten penisilin.
Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi rawat jalan, rawat inap diruang biasa, dan rawat inap di ruang intensif :
2.5.6.1 Penderita pada Instalasi Rawat Jalan Penatalaksanaan pneumonia komuniti rawat jalan meliputi : pengobatan suportif / simptomatik, istirahat di tempat tidur, minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi, bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas, bila perlu dapat diberikan
mukolitik dan ekspektoran, dan pemberian antibiotik harus diberikan (sesuai tabel 2.4) kurang dari 8 jam (ATS, 2001; PDPI, 2003; Soedarsono., 2010)
2.5.6.2 Penderita rawat inap di Instalasi Rawat Inap
Penatalaksanaan pneumonia rawat inap diruang biasa meliputi : pengobatan suportif/simptomatik, pemberian terapi oksigen, pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit, pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik, dan pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai tabel 2.4) kurang dari 8 jam (ATS., 2001; PDPI., 2003; Soedarsono., 2010)
2.5.6.3 Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif
Penatalaksanaan pneumonia rawat inap dia ruang intensif (High Care Unit /Intensive Care Unit) meliputi : pengobatan suportif/simptomatik, pemberian terapi oksigen, pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit, pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik, pengobatan antibiotik (Tabel 2.4) kurang dari 8 jam, dan bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik (ATS., 2001; PDPI., 2003; Soedarsono., 2010).
Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat di ruang rawat biasa; bila terjadi respiratory distress maka penderita dirawat di ruang intensif. Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan/memburuk maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitivitas (Tabel 2.4) (ATS., 2001; PDPI., 2003; Soedarsono., 2010).
Tabel 2.4 Terapi Antibiotika Pasien Pneumonia Komuniti (ATS., 2001; PDPI., 2003; Soedarsono., 2010) Perawatan
Antibiotika Tanpa penyakit kardiopulmoner atau faktor modifikasi :
Rawat Jalan
a. Makrolid atau doksisiklin Dengan penyakit kardiopulmoner atau faktor modifikasi :
Rawat inap ruang biasa
a. Β lakam : amoksisilin dosis tinggi, amoksiksilin/klavulanat atau parenteral seftriakson dengan makrolid atau doksisklin atau fluorokuinolon respirasi saja. Dengan penyakit kardiopulmoner atau faktor modifikasi : a. Β laktam iv dengan makrolid iv atau doksisiklin atau b. Fluorokuinolon iv saja Tanpa penyakit kardiopulmoner atau faktor modifikasi :
Ruang
inap
a. Azitromycin iv saja, jika alergi : doksisiklin, β laktam atau fluorokuinolon saja. rawat Tanpa risiko pseudomonas:
intensif a. Β laktam iv b. Makrolid azitromicin iv atau fluorokuinolon iv Dengan risiko pseudomonas : a. Β laktam antipseudomonas iv dengan fluorokuinolon antipseudomonas iv atau β laktam anti pseudomonas iv dengan aminoglikasid dengan makroli (azitromicin) atau fluorokuinolon nonpseudomonas 2.6. Hubungan Leptin dan Pneumonia Komuniti
Leptin memiliki peranan terhadap perkembangan dan pertumbuhan dari paru tikus. Leptin memiliki peranan terhadap peningkatan berat paru tikus, pematangan sel tipe II alveolar, dan berhubungan dengan ekspresi dari protein B dan C dari surfactan. Selain itu
diindikasikan leptin pada model tikus memiliki peranan terhadap pengaturan ventilasi, meningkatkan ventilasi dan volume tidal permenit, berhubungan secara signifikan dengan peningkatan PaCO2, dan menekan respon hiperkapnia (Malli et al., 2010).
Keadaan malnutrisi akan menurunkan kadar leptin, yang menyebabkan terjadinya gangguan pada fungsi makrofag dan efektor neutrofil, penurunan komplemen serum, atrofi timus dan lien, dan penurunan kadar limfosit di sirukulasi, dan peningkatan kadar sitokin pada paru dan kadar mediator lipid (Mancuso et al., 2005, Malli et al., 2010). Malnutrisi menyebabkan penurunan kemampuan makrofag dan neutrofil dalam menfagositosis Klebsiella pneumoniae. Kondisi ini menyebabkan penurunan imun sehingga memudahkan untuk terjadinya pneumonia, terutama akibat infeksi bakteri gram negatif (Mancuso et al., 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Mancuso et al. (2005), menemukan pada tikus yang puasa mengalami penurunan kadar polimorfonuklear sebesar 50% pada bronchoalveolar lavage fluid (BALF), penurunan kadar leukosit sebesar 65%, penurunan jumlah PMN, limfosit dan monosit serum setelah 24 jam diinfeksi dengan Streptokokus pneumoniae. Pemberian leptin eksogen meningkatkan kadar IL-6 dan MIP-2 pada BALF tikus yang puasa ( Mancuso et al., 2005).
Setelah terinfeksi Klebisiella pneumoniae terjadi peningkatan kadar leptin dalam darah dan paru. Peningkatan kada leptin juga terjadi pada kondisi infeksi dan inflamasi. Terjadinya permeabilitas mikrovaskuler selama inflamasi paru menyebabkan terjadinya infiltrasi sel lemak kedalam interstisial paru, sehingga terjadi peningkatan kadar leptin dalam paru (Mancuso et al., 2005).
Pemberian leptin secara in vivo terhadap tikus ob/ob meningkatkan kemampuan pembersihan bakterial dari paru dan survival dari tikus (Malli et al., 2010). Namun penelitian dari Diez et al.(2008) memperlihatkan tidak adanya perbedaan antara kadar leptin pada pasien dengan pneumonia dengan kontrol. Dan penelitian ini memperlihatkan peranan leptin hanya sebagai biomarker status nutrisi (Diez et al., 2008; Malli et al., 2010).
2.7 Peranan Biomarker Nutrisi Lainnya terhadap Pneumonia Komuniti Selain leptin masih terdapat biomarker nutrisi lainnya seperti biomarker lemak, protein, glukosa dan lainnya. Penelitian oleh Freedman et al. (2010) memperlihatkan pengaruh nutrisi terhadap penyakit sepenuhnya dimediasi oleh tingkat biomarker, namun tingkat mediasi melalui status nutirisi tidak sepenuhnya diketahui. Dalam studi epidemiologi sering kesulitan untuk mengetahui laporan pola makan. Salah satu usaha untuk mengatasi masalah tersebut adalah mempergunakan pemeriksaan biomarker untuk menilai status nutrisi. Penggunaan biomarker telah dapat dipergunakan sebagai faktor risiko penyakit misalnya kolesterol serum untuk penyakit jantung. Dengan diketahui peranan biomarker terhadap penyakti maka dapat dilakukan modifikasi dari biomarker tersebut untuk mencegah kesakitan, baik dengan pengaturan pola makan atau dengan medikasi (Freedman et al., 2010).
Untuk mengukur masa lemak secara akurat memerlukan kontrol secara klinis yang ketat dan pada keadaan di lapangan massa lemak tidak konsisten. Serta persentase lemak tubuh dipengaruhi oleh penyakit kronis seperti hipertensi, dislipidemia, diabetes melitus, dan penyakit jantung koroner (Dehghan and Merchant., 2008)
Untuk penelitian epidemiologi pemeriksaan lemak tubuh berdasarkan BMI, lingkar pinggang, ratio pinggang-pinggul, dan tebal lemak kulit. Namun teknik-teknik
tersebut belum bisa memberikan gambaran karakteristik lemak tubuh penderita secara tepat. Pemeriksaan lemak tubuh dengan mengontrol berdasarkan kondisi laboratorium seperti underwater weigthing (densitometry), DEXA, BIA, dan MRI. Namun densitometry, DEXA dan MRI mahal, menyebabakan ketidaknyamanan pada partisipan, dan tidak memungkinkan untuk dilakukan di lapangan.
Kelebihan leptin sebagai
biomarker lemak yaitu tidak dipengaruhi oleh faktor nonnutrisi, dan teknik pemeriksaan yang lebih praktis, hanya saja pemeriksaan leptin masih belum rutin dan biaya yang relatif mahal (Dehghan and Merchant., 2008.
Penelitian Shamsuzzaman et al. (2004), memperlihatkan hubungan yang bermakna antara indeks massa tubuh dengan leptin (r=0.58, p=0.0001). Selain itu ditemukan hubungan yang signifikan antara indeks massa tubuh dengan kadar C-reaktif protein (CRP) (r = 0.47, p = 0.0001) (Shamsuzzaman et al., 2004). Kadar leptin berhubungan dengan massa lemak dan persentase lemak tubuh pada pasien obesitas (PiSunyer and Laferre’re, 1999). Penelitian oleh Nasri et al. (2006) terhadap 36 pasien hemodialisis, memperlihatkan hubungan yang bermakna antara indeks massa tubuh dengan leptin ( r = 0,44, p = 0,007) (Nasri et al., 2006).
Hubungan antara biomarker protein lainnya dengan kondisi akut infeksi bervariasi. Biomarker dari komponen protein yaitu albumin, transferin, prealbumin, dan retinol-binding protein tidak berhubungan dengan fase akut infeksi, sedangkan C-reactive protein,dan ceruloplasmin berhubungan dengan fase akut infeksi. Pemeriksaan lainnya yaitu
nitrogen
balance
assessment
merupakan
satu-satunya
biomarker
yang
mencerminkan kandungan protein visceral dan somatic (Prins, 2010). Penelitian oleh Bouillanne et al., (2009), menemukan tidak adanya hubungan antara kadar CRP dengan outcome skor infeksi pasien geriatric (r=0,17, p= 0,06). Sedangkan biomarker nutrisi lainnya seperti IMT, lean mass indeks, Appendicular
skeletal muscle mass index dan body cell mass index tidak memiliki korelasi dengan keluaran pasien (Bouillanne et al., 2009). Albumin walaupun indikator yang buruk untuk malnutrisi namun sangat baik sebagai prediktor stress metabolik dan trauma, mortalitas dan morbiditas. Prealbumin berperan sebagai perubahan yang singkat dari malnutrisi energi protein dan sebagai penanda dari asupan protein. Kondisi hiopoalbuminemia memiliki korelasi terhadap buruknya keluarans infeksi pada Geriatri (Prins, 2010).
Insulin-like growth factor (IGF) sangat sensitif untuk mengetahui perubahan status energi protein, karena waktu paruhnya hanya 4 jam. Namun biaya pemeriksaan yang sangat mahal dan tidak memungkinkan sebagai pemeriksaan rutin Pemeriksaan lainnya yang dipergunakan untuk pemeriksaan kadar protein somatik yaitu urinary creatinine, the creatinine-height index dan ekskresi 3-methylhistidin (Prins, 2010).
Pemeriksan status anemia dengan pemeriksaan darah lengkap dapat diketahui anemia karena penyakit khronis atau anemia nutrisi (defisiensi besai atau B12 atau folat). Untuk konfirmasi defisiensi nutirisi maka dilakukan pemeriksaan tambahan meliputi status besi dan ferritin, atau pemeriksaan konsentrasi B12 atau folat (Prins, 2010).
Biomarker karbohidrat yaitu glukosa pada kondisi kritis sering meningkat. Hal ini sangat dipengaruhi oleh hormon kontra regulator akibat adanya stress. Namun kondisi hiperglikemia sering berhubungan dengan keluaran
yang buruk, peningkatan risiko
infeksi, dan gagal multi organ (Prins, 2010).
Pemeriksaan antropometri pada masa akut dan kritis sering sulit dilakukan karena pasien dalam posisi berbaring, terpasang kateter dan adanya faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi. Pemeriksaan berat badan dan skinfold gangguan status hidrasi (Prins, 2010).
sering tidak akurat akibat
Beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu perubahan status nutrisi merupakan perubahan yang perlahan. Pemeriksaan status nutrisi hanya dengan satu biomarker sering menimbulkan kesalahan, sehingga diperlukan pemeriksaan yang serial dan kombinasi antar data diet assessment, antropometri, biokimia dan asesmen klinis (Prins, 2010). Biomarker yang saat ini sedang dikembangkan untuk mendiagnosis pneumonia komuniti yaitu procalcitonin, C-reactive protein, IL-6. Dan biomarker yang sedang dikembangkan dan berhubungan dengan mortalitas pada pneumonia komuniti yaitu proadrenomedulin, copeptin, natriuteic peptides, dan kortisol. Sering kali untuk mendiagnosis pneumonia dengan kriteria tradisional seperti
gejala dan tanda klinis,
sistem skoring klinik, dan indikasi inflamasi secara umum sering sulit untuk dijadikan dasar diagnosis, mengetahui etiologi, pemilihan terapi yang optimal dan penentuan prognosis (Christ-Crain and Opal, 2010). Biomarker lainnya yang dapat dipergunakan sebagai biomarker mengetahui risiko pneumonia komuniti yaitu kadar 25-hydroxyvitamin D [25(OH)D]. Dari studi oleh Quraishi et.al. (2013) menemukan hubungan antara 25-hydroxyvitamin D [25(OH)D] serum dengan pneumonia komuniti pasien dewasa dengan analisis Tailor didapatkan p< 0,001, dengan CI 95%. Dengan OR antara kadar 25-hydroxyvitamin D [25(OH)D] < 30 ng/mL dengan kadar ≥ 30 ng/mL sebesar 1,58; CI 95% (1,17-2,07). 25-hydroxyvitamin D [25(OH)D] memiliki peranan pengaturan system imunitas secara sentral, dan hubungan dengan berbagai penyakit respirasi seperti infeksi saluran nafas atas, asthma, penyakit paru obstruksi khronis (PPOK), dan tuberculosis. Peranan 25-hydroxyvitamin D [25(OH)D] serum dalam imunitas yaitu peranan dalam respon sel T interferon-γ dependent, aktifitas makrofag dan aktifasi Toll Like Receptor (TLR) (Quraishi et.al., 2013).
Mortalitas dan komplikasi akibat pneumonia komunti merupakan hubungan yang kompleks antara pathogen dan host, dan perbaikan mortalitas selama empat dekade
terakhir perkembangannya sangat lambat. Pengaruh lainnya yang terbaru yaitu pengaruh dari komorbid dan penyakit yang mendasari lainnya menjadi factor yang mempengaruhi peranan pathogen, imunitas hoat, dan pengobatan antibiotika. Pengembangan sistem skoring berdasarkan klinis sampai saat ini belum memberikan manfaat ynag memuaskan untuk mengidentifikasi pasien untuk dirawat di perawatan intensif dan menurunkan mortalitas. Studi kohort selama 2 tahun terhadap pasien pneumonia komuniti yang survive didapatkan risiko kematian 25 kali lebih besar dibandingkan orang yang tidak pernah menderita pneumonia pada kelompok umur dan jenis kelamin yang sama. Faktor inflamasi seperti IL-6 dan Il-10 merupakan prediktor yang kuat untuk mortalitas dalam 90 hari (Wateree et. al. 2011).
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Perubahan fisiologis saluran nafas pasien Geriatri berupa penurunan volume cadangan paru, penurunan elastisitas, penurunan kelenturan, penurunan ventilasi, penurunan reflek batuk dan kolapsnya saluran nafas mempermudah pasien Geriatri menderita pneumonia komuniti. Malnutrisi pasien Geriatri akibat terjadinya perubahan komposisi tubuh, perubahan nafsu makan dan regulai ambilan energi, kehilangan pengecapan lidah, penciuman dan nafsu makan, gangguan saluran cerna dan psikologis, sosial ekonomi dan kultural menyebabkan penurunan lemak subkutan dan akan menurunakan kadar leptin dalam darah. Penurunan kadar leptin menyebabkan penurunan imunitas pasien Geriatri. Penurunan imunitas akan memperberat derajat pneumonia komuniti pasien Geriatri. Derajat pneumonia pasien Geriatri dipengaruhi juga oleh virulensi kuman dan perubahan fisiologik dari saluran nafas pasien Geriatri.
Berdasarkan uraian diatas maka penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui
hubungan leptin sebagai biomarker status nutrisi dengan derajat pneumonia komuniti pada pasien Geriatri yang rawat inap di RSUP Sanglah.
3.2 Konsep
36 Faktor meningkatkan
32 Status nutrisi - Arm circumference - Triceps Skinfold - Muscle cirumference - Instsnt nutritional assessment - Mini
-
Virulensi
overfeeding, insulin, glukokortikoidd, endotoksin, dan
agen
Derajat
Kadar
Berat
leptin
pneumonia Imunitas
Perubahan fisiologik
Faktor
sel nafas :
menurunkan - puasa, - testosterone, - hormon tiroid,
Keterangan Variabel bebas dan kendali
Variabel kendali
Variabel perancu
- Penurunan volume - Penurunan cadangan paru - Penurunan Elastisitas - Penurunan ventilasi - Hilanganya reflek batuk - Kolapsnya saluran
Gambar 3.1
Konsep Penelitian Hubungan Kadar Leptin sebagai Biomarker Status Nutrisi dengan Derajat Pneumonia Komuniti Pasien Geriatri
3.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini yaitu :
1) Kadar leptin dapat dijadikan sebagai biomarker status nutrisi pada penderita Geriatri dengan pneumonia komuniti. 2) Kadar leptin sebagai biomarker status nutrisi memiliki hubungan dengan derajat pneumonia komuniti penderita Geriatri.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan observasional, studi potong lintang analitikkorelatif untuk mengetahui hubungan kadar leptin sebagai biomarker status nutrisi dengan derajat pneumonia
komuniti penderita Geriatri yang rawat inap di RSUP
Sanglah, Denpasar.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar dan pemeriksaan kadar leptin di Laboratorium Riset dan Eksoferik Prodia Tower Pusat, Jakarta.
4.2.2.Waktu Penelitian
Waktu penelitian : Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2012- Desember 2012
4.3 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi Bidang Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam
4.4 Penentuan Sumber Data
4.4.1 Populasi Target
Populasi target penelitian ini adalah semua pasien Geriatri.
4.4.2 Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau penelitian ini adalah semua pasien Geriatri yang rawat inap di RSUP Sanglah dalam kurun waktu penelitian. 38
4.4.3 Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini adalah semua pasien Geriatri yang rawat inap di RSUP Sanglah dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.4.3.1 Kriteria inklusi
Kriteria inklusi dari sampel penelitian ini adalah :
1. Penduduk usia > 60 tahun. 2. Terdiagnosis pneumonia komuniti 3. Bersedia mengisi informed consent, dan bersedia mengikuti penelitian
4.4.3.2 Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi penelitian ini adalah :
1.
Penderita Diabetes mellitus
2.
Penderita kelainan hormon tiroid
3.
Pasien yang sedang mendapatkan terapi steroid
4.
Pasien yang sedang mendapatkan terapi testosteron
4.4.4 Besar Sampel Penelitian
Penelitian ini merupakan uji korelasi sehingga besar sampel ditentukan dengan menggunakan rumus koefisien korelasi (Hulley and Cummings, 1988; dikutip oleh Madiyono et al., 2010). Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini, yaitu :
2
Z Z n 3 0,5ln1 r) /(1 r)
Penelitian ini menggunakan power penelitian sebesar 80 % dengan Zß = 0,842. Nilai α ditetapkan 0,05 sehingga besar Zα (uji 2-arah) = 1,96. Oleh karena penelitian hubungan leptin dengan berat derajat pneumonia komuniti belum ada maka besar korelasi yang dipakai (r=0,32(asumsi peneliti)).
Keterangan : n
: jumlah sampel
α
: kesalahan tipe I (0,10)
Zα
: 1,96 (uji 2-arah)
β
: kesalahan tipe II, yaitu 0,20 (power 80 %)
Zβ
: 0,842
(1,96 + 0,84) 0,5 [(1 + 0,32) ÷ (1 − 0,32)]
+ 3
= 74,2 ≈ 75
Berdasarkan rumus tersebut didapatkan besar sampel minimal sebesar 75 sampel.
4.4.5 Teknik pengambilan sampel
Sampel diambil berdasarkan consecutive sampling, pada setiap pasien Geriatri yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang datang untuk rawat inap di RSUP Sanglah.
4.5 Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini merupakan karakteristik sampel penelitian yang diukur secara numerik dan kategorikal. Variabel-variabel tersebut ditentukan dan disusun menurut rancangan penelitian yang direncanakan (Sastroasmoro et al., 2009).
Klasifikasi variabel :
b. Variabel Bebas : kadar leptin sebagai biomarker status nutrisi
c. Variabel tergantung : derajat pneumonia komuniti c. Variabel kendali : diabetes mellitus, penyakit hati, terapi kortikosteroid jangka panjang, penyakit tiroid, dislipidemia dan terapi testosteron. d. Variabel rambang : usia, jenis kelamin, sosial ekonomi, Yang akan dikendalikan secara analisis. 4.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian 4.6.1
Pasien Geriatri
Pasien yang berusia 60 tahun atau lebih, mempunyai lebih dari satu macam penyakit, dengan penurunan cadangan faali, disertai gangguan fungsional dan nutrisi serta disertai problema sosial dan atau psikologi (Departemen Kesehatan, 2005).
4.6.2 Status nutrisi
Status nutrisi merupakan kondisi nutrisi pasien yang diukur berdasarkan AC, TSF, MAC, INA, dan MNA, Pemeriksaan dilakukan maksimal 48 jam setelah pasien rawat inap (Gariballa et al. 1998).
4..6.3. Pemeriksaan Arm Circumference
Arm Circumference (AC) diukur mempergunakan pita pada saat lengan fleksi (Wander Modard-1 model).
Usahakan pengukuran dilakukan sejajar dengan pandanga mata,
duduk jika memungkinkan.. Baju yang menutupi lengan kiri pasien disingkap. Dilakukan pengukuranan titik tengah lengan atas subjek. Lakukan pengukuran arm circumference dengan melingkarkan pita ukur pada lengan dengan tidak terlalu kencang atau terlalu longer. Hasil pengukuran dicatat pada kuesioner dalam centimeter. Selanjutnya diklasifikasikan status nutrisi berdasarkan percentile arm ciurference berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin (lampiran 12) menjadi malnutrisi bila AC kurang dari
percentile 5, nutrisi normal bila AC antara percentile 5-95, dan nutrisi berlebih bila AC melebihi percentile 95 (Pablo et al,2003, Rahman et al., 1998)
4.6.4 Pengukuran Triceps Skinfold Thickness
Triceps Skinfold Thickness (TSF) diukur tiga kali dengan mempergunakan Holtain skinfold caliper (Holtain Ltd, Crosswell, Crymmych, Dyfed, Great Britain), pada garis tengah lengan kiri belakang. Hasil dicatat dalam kuesioner dalam satuan centimeter. kemudian dicari reratanya. Selanjutnya diklasifikasikan status nutrisi berdasarkan TSF berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin (lampran 12) menjadi malnutrisi bila TSF kurang dari percentile 5, nutrisi normal bila TSF antara percentile 5-95, dan nutrisi berlebih bila TSF melebihi percentile 95 (Pablo et al,2003, Rahman et al., 1998)
4.6.5 Pengukuran Arm Muscle Circumference
Arm Muscle Circumference (AMC) diukur dengan mempergunakan rumus : AMC = AC – π (TSF). Dengan π = 3,14. Nilai antropometri kemudian dibandingkan dengan persenti nilai normal berdasarkan umur dan jenis kelamin (lampiran 12). Selanjutnya diklasifikasikan status nutrisi berdasarkan TSF berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin (lampran 12) menjadi malnutrisi bila TSF kurang dari percentile 5, nutrisi normal bila TSF antara percentile 5-95, dan nutrisi berlebih bila TSF melebihi percentile 95 (Pablo et al.,2003, Rahman et al., 1998).
4.6.6 Instant Nutritional Assessment (INA) Instant Nutritional Assessment (INA) mempergunakan kadar albumin serum dan kadar limposit total darah untuk mengukur status nutrisi. Berdasarkan kadar albumin dan limfosit pasien diklasifikasikan dalam empat status nutrisi yaitu
1) derajat pertama (serum albumin ≥ 3,5 gr/dl; Total lymphosit darah ≥ 1500 cells/mm3), 2) derajat kedua ( serum albumin ≥ 3,5 gr/dl; total lymphosit darah < 1500 cells/mm3), 3) derajat ketiga (serum albumin < 3,5 gr/dl; total lymphosit darah ≥ 1500 cells/mm3) dan 4) derajat keempat (serum albumin < 3,5 gr/dl; total lymphosit darah <1500 cells/mm3) (Pablo et al,2003) 4.6.7 Mini Nutritional Assessment (MNA) Dengan kuesioner yang merupakan terjemahan dari Mini Nutritional Assessment (MNA) dari Nestle (lampiran 5) (Boulus, 2009). Memiliki point maskismal 30 poin dengan pembagian kategori : 1) poin ≥ 24 : status normal nutrisi, 2) poin 17-23,5 status berisiko malnutrisi, 3) poin < 17, status malnutirisi.
4.6.8 Kadar Albumin Pemeriksaan kadar albumin yang dilakukan pada penelitian ini di lakukan di Laboratorium Pathologi Klinik RSUP Sanglah dengan mempergunakan alat Beckman Coulter CX9 Pro. Prinsip pemeriksaan dengan mempergunakan teknik dengan mempergunakan reagen bromocresol green (BCG) yang mengandung Succinate buffer (pH 4,2) 100 mmol/L, dan Bromocresol green 0,2 mmol/L. Spesimen untuk pemeriksaan mempergunakan serum yang terheparinisasi atau EDTA yang terbebas dari hemolisis, dan sudah terpisah dari sel darah. Dapat disimpan pada suhu 10-150C untuk seminggu dan 280C untuk sebulan. Hasil Pemeriksaan dinyatakan dalam g/dl. Dengan nilai normal 3,55,5 mg/dl. Reaksi kimia yang terjadi Albumin+Bromocresol (pH 4,2) Green Complex.
Hasil albumin dinyatakan dalam gr/dL, dengan nilai normal antara 3,5-5,5 gr/dL (Coulter, 2010). 4.6.9 Jenis Kelamin Jenis kelamin pada penelitian ini yaitu berdasarkan kartu tanda penduduk (KTP) atau identitas lainnya 4.6.10 Usia Usia berdasarkan kartu tanda penduduk, atau kartu keluarga, atau identitas pada rekam medik. 4.6.11 Kadar Leptin Darah vena 6 cc disentrifuge selama 30 menit untuk didapatkan plasma dan disimpan pada suhu -20oC. Plasma diencerken 100 kali dengan Calibrator Diluent RD5P Concentrate (Part 895151) (10 µL plasma ditambahkan 990 µL Calibrator Diluen RD5P). Leptin Conjugate (Part 890574) dituangkan untuk pre-coated keatas Leptin Microplate (Part 890573). Assay Diluent RD1-19 (Part 895467) 100 µL dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Leptin Standard (Part 890575) dan sampel masing-masing 100 µL dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan selanjutnya diinkubasikan selama 2 jam pada suhu ruangan. Selanjutnya dicuci 4 kali dengan Wash Buffer Concentrate (Part 895003) 400 µL untuk menghilangkan substan yang tidak berikatan. leptin diikatkan dengan antibodi Leptin Conjugate yang sudah pre-coated, ditutup dengan pita perekat dan diinkubasikan selama 1 jam pada suhu ruangan. Selanjutnya dicuci 4 kali dengan Wash Buffer Concentrate (Part 895003) 400 µL untuk menghilangkan substan yang tidak berikatan. Ditambahkan 200 µL Color Reagent A (Part 895000) dan Color Reagent B (Part 895001). Diinkubasikan selama 30 menit pada suhu ruangan, lindungi dari cahaya. Ditambahkan 50 µL Stop Solution (Part 895032) pada masing-masing tabung reaksi.
Selanjutnya dibaca kadar leptin dengan metode quantitative sandwich enzyme immunoassay
dengan pembacaan mikroplate pada panjang gelombang 450 nm di
Laboratorium Riset dan Eksoferik Prodia Tower Pusat Jakarta. Kadar Leptin dinyatakan dalam pg/mL (lampiran6 )
Jika kadar leptin yang diperiksa tidak dapat dibaca secara nominal absolut akibat keterbatasan kemampuan kit atau peralatan di Laboratorium Riset dan Esoterik Prodia Pusat, maka selanjutnya kadar leptin dijadikan data kategori berdasarkan modifikasi hasil penelitian Bouilanne et al., (2009),
Tabel 4.1 Pembagian Kelompok Hasil Leptin (Bouilanne et al., 2009)
Kelompok Leptin
Kadar Leptin (ng/dL) Laki-laki
Perempuan
<2,1
<3,68
2. Leptin Rendah
2,1-3,99
3,68-6,89
3. Leptin normal
4,0-6,99
6,9-20,5
4. Leptin Tinggi
7,0-10,8
20,6-32,4
>10,8
> 32,4
1. Leptin Sangat Rendah
5. Leptin Sangat Tinggi 4.6.12 Pneumonia Komuniti
Pneumonia
komuniti
adalah
suatu
peradangan
paru
yang
disebabkan
oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit) yang didapat di masyarakat, yang menyebabkan asinus berisi cairan radang, dengan atau tanpa infiltrasi dari sel radang ke interstisium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala, seperti : (ATS, 2001; PDPI, 2003; Soedarsono. 2010)
1. batuk-batuk bertambah, 2. perubahan karakteristik dahak / purulen, 3. suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam, 4. ditemukan tanda-tanda konsolidasi, 5. suara napas bronkial dan ronki, 6. ditemukan leukosit > 10.000 atau < 4500. 4.6.13 Derajat beratnya pneumonia Tabel 4.2. Sistem Skor pada Pneumonia Komuniti berdasarkan PORT 2003; Soedarsono. 2010).
Karakteristik Penderita Faktor Demografi Usia : Laki-laki Perempuan Perawatan Di rumah Penyakit Penyerta Keganasan Penyakit Hati Gagal Jantung Kongestif Penyakit Cerebrovaskuler Penyakit Ginjal Pemeriksaan Fisik Perubahan status mental Pernafasan ≥ 30 X/menit Tekanan darah sistolik ≤ 90 mmHg Suhu Tubuh < 350C atau ≥400C Nadi ≥ 125 kali/menit Hasil Laboratorium/Radiologi Analisis Gas darah arteri : pH < 7,35 BUN > 30 mg/dL Natrium < 130 mEq/L Glukosa > 250 mg/Dl Hematokrit < 30 % PO2 ≤ 60 mmHg Efusi pleura
Jumlah Poin Umur (tahun) Umur (tahun)-10 +10 +30 +20 +10 +10 +10 +20 +20 +20 +15 +10 +30 +20 +20 +10 +10 +10 +10
(PDPI,
Dihitung berdasarkan variabel yang ada, dan ditotal jumlah. Selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan kriteria :
Tabel 4.3. Derajat Skor Risiko menurut PORT (PDPI, 2003; Soedarsono. 2010)
Kelas Risiko I II III IV V
Total Skor Tidak diprediksi ≤ 70 71-90 91-130 130
4.6.14 Perawatan di rumah : Perawatan di rumah merupakan pelayanan kesehatan yang jangka panjang, yang memberikan pelayanan 24 jam meliputi perawatan dasar, rehabilitasi dan berbagai terapi serta program (Senagore, 2003) 4.6.15 Analisis Gas Darah dan Elektrolit Analisa gas darah dan elektrolit merupakan pemeriksaan darah arteri untuk memeriksa kadar oksigen dan karbondikosida, serta komponen darah lainnya yang dapat mempengaruhi kadar keasaman (pH) darah (bikarbonat (HCO3-)) serta kadar Kalium dan natrium. 4.6.16 Blood Ureum Nitrogen(BUN) dan Serum Creatinin Blood Ureum Nitrogen (BUN) dan serum creatinin merupakan pemeriksaan terhadap kadar urea nitrogen dalam darah yang merupakan hasil metabolism pemecahan protein yang terjadi dalam hati dan selanjutnya diekskresikan oleh ginjal (Pagana and Deska, 1998). Pemeriksaan dilakukan di laboratorium Pathologi Klinik RSUP Sanglah.
4.6.17 Diabetes mellitus
Diabetes melitus adalah pasien yang telah didiagnosis diabetes melitus atau penderita dengan konsentrasi gula darah puasa > 126 mg/dl, atau gula darah sewaktu > 200 mg/dl atau gula darah 2 jam setelah beban glukosa 75 gram pada tes toleransi glukosa oral > 200 mg/dl. Secara klinis terdapat gejala poliuri, polidipsi, dan polifagi serta berat badan menurun cepat (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011). 4.6.18 Kelainan Hormon Tiroid Kelainan hormon tiroid adalah pasien yang berdasarkan anamnesis dan fisik diagnosis berdasarkan Index Wayne. Pasien dianggap normotiroid bila skor Index Wayne kurang dari 19. Tabel 4.4 Indeks Wayne’s, Diagnosis Hipertiroidism berdasarkan Gejala dan Tanda (Crooks et al., 1959; Kendall-Taylor, 1972) Gejala saat Diperiksa dan/atau Peningkatan Derajat Berat
Skor
Tanda
Ada
Tidak ada
Dyspnoea on effort
+1
Nodul tiroid
+3
-3
Palpitasi
+2
Bruit di nodul tiroid
+2
-2
Kelelahan
+2
Exopthalmus
+2
-
Menyenangi suhu panas
-5
Retraksi Lid
+2
-
Menyenangi suhu dingin
+5
Lid lag
+1
-
Keringat banyak
+3
Hiperkinesis
+4
-2
Kecemasan
+2
Tangan : hangat
+2
-2
Nafsu makan : meningkat
+3
Lembab
+1
-1
Menurun Berat badan : meningkat Menurun
-3
Denyut Jantung :
-3
>80/mnt
-
-3
+3
> 90/mnt
+3
-
Atrial Fibrilasi 4.6.19 Riwayat terapi testosterone
+4
Pasien yang berdasarkan anamnesis terdapat riwayat telah mendapatkan terapi dengan hormon testosterone.
4.6.20 Riwayat terapi steroid Pasien yang berdasarkan anamnesis telah mendapatkan terapi dengan steroid 4.6.21 Dislipidemia
Dislipidemia adalah ditemukannya peningkatan kolesterol plasma, kolesterol LDL, trigliserida serta penurunan kolesterol HDL (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011) :
Hiperkolesterolemia (kolesterol total serum ≥ 200 mg/dl).
Hiperkolesterol LDL (kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl).
Hipokolesterol HDL (HDL ≤ 40 mg/dl pada laki-laki dan ≤ 50 mg/dl pada perempuan).
Hipertrigliseridemia (konsentrasi trigliserida serum ≥ 150 mg/dl)
4.7 Bahan Penelitian Bahan penelitian ini yaitu : 1. Kuesioner untuk mendapatkan data-data tentang Identitas, Jenis Kelamin, Usia, 2. Kueisoner MNA 3. Serum darah sampel untuk pemeriksaan Analisa Gas Darah dan elektrolit, BUN, kadar albumin, darah lengkap dan kadar leptin
4.8 Instrumen dan Prosedur Pengambilan Bahan Penelitian 4.8.1 Pengisian kuesioner.
Penderita akan dibacakan kuesioner dan penderita memberi jawaban berdasarkan pilihan di kuesioner dan dituliskan oleh peneliti. Bagi sampel yang tidak mengerti bahasa Indonesia (hanya bisa bahasa Bali) isi kuesioner akan diterjemahkan oleh peneliti dalam bahasa Bali, dengan tidak menngubah makna dari kuesioner tersebut.
4.8.2 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan dengan mengambil darah vena sebanyak 10 ml untuk pemeriksaan kadar limfosit, albumin dan BUN dan darah arteri 2 cc untuk pemeriksaan AGD dan elektrolit yang
diperiksa oleh lab Pathologi Klinik RSUP Sanglah. Darah vena 6 cc untuk
pemeriksaan kadar leptin di Laboratorium Riset dan Eksoferik Prodia Tower Pusat, Jakarta.
4.9 Analisis Data-Data Statistik
Analisis data dilakukan setelah evaluasi ulang data yang terkumpul dan melengkapi datadata yang belum terisi lengkap (Dahlan, 2009; Tumbelaka, et al.. 2007; Usman dan Akbar, 2011).
1. Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, digunakan untuk menguji data penelitian berdistribusi normal atau tidak. 2. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik usia, distribusi frekuensi dari berbagai variabel yaitu status nutrisi berdasarkan masing-masing teknik pemeriksaan, kadar leptin, dan derajat beratnya pneumonia. 3. Data penelitian yang mempunyai distribusi normal dilakukan analisis korelasi Pearson untuk menilai hubungan antara dua variabel.
4. Data penelitian yang tidak mempunyai distribusi normal dilakukan analisis korelasi Spearman untuk menilai hubungan antara dua variabel atau analisis korelasi Kendall Tau karena data berbentuk ordinal. 5. Analisis regresi logistik digunakan untuk menjelaskan setiap efek independen dari variabel luar terhadap berat derajat pneumonia bila variabel dalam skala numerik dengan distrubsi tidak normal. 6. Analisis statistik menggunakan nilai p<0,05 sebagai batas kemaknaan dengan memakai perangkat lunak komputer.
4.10 Alur Penelitian
Pasien Geriatri yang MRS di RSUP Sanglah Memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi Pemeriksaan Derajat pneumonia komuniti : Analisis gas darah elektrolit, BUN,
Pemeriksaan Status Nutrisi Maksimal 48 Jam setelah MRS
Antropometri Laboratorium (INA)
Analisis data
Hasil
Gambar 4.1 Alur Penelitian
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar setelah mendapatkan persetujuan berupa Surat Kelaikan Etik (Ethical Clearance) dari Unit Penelitian Kedokteran Pengembangan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan Surat Ijin Penelitian dari Direktur Sumber Daya Manusia dan Pendidikan RSUP Sanglah, Denpasar. Subjek yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah pasien Geriatri pneumonia komuniti yang rawat inap di RSUP Sanglah Denpasar yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 80 orang. Variabel utama yang diperiksa pada penelitian ini adalah kadar leptin serum sebagai biomarker status nutrisi dan skor PORT sebagai penanda derajat pneumonia komuniti. Penelitian ini bertujuan mencari hubungan antara kadar leptin sebagai biomarker status nutrisi dengan berat pneumonia komuniti pasien Geriatri. Adapun hasil analisis data penelitian ini disajikan dan dinarasikan seperti di bawah ini. 5.1.
Uji normalitas Biomarker Status Nutrisi, Kadar Leptin dan Skor PORT
Sebelum dilakukan uji statistik untuk mengetahui hubungan antara kadar leptin sebagai biomarker status nutrisi dengan derajat pneumonia komuniti pasien Geriatri berdasarkan skor PORT, maka dilakukan uji normalitas dengan tes Kolmogorov - Smirnov (KS) pada tingkat kemaknaan α= 0,05. Dari uji normalitas didapatkan sebaran data variabel arm circumference (AC), Arm Muscle Circumference (AMC), instant nutritional assessment (INA), Mini Nutritional Assessment (MNA) dan skor PORT berdistribusi normal dengan nilai p> 0,05, sedangkan karakteristik usia, kelompok leptin, variabel triceps skinfold thickness (TSF) tidak terdistribusi normal, sehingga dilakukan transformasi data. Setelah dilakukan tranformasi data didapatkan data TSF terdistribusi normal, sedangkan data
kelompok leptin dan INA tetap tidak terdistribusi dengan normal. Hasil analisis normalitas disajikan pada tabel di bawah ini (Tabel 5.1.) Tabel 5.1 Hasil Uji Normalitas Variabel Penelitian dengan Uji K-S Variabel Penelitian
Hasil Uji K-S Statistik K-S
Nilai P
Usia (tahun)
1.593
0.013
Arm circumferenc (cm),
1,208
0,108*
Triceps Skinfold Thickness (cm)
1,367
0,048
Arm Muscle Circumference (cm),
0,654
0,785*
Klasifikasi instant nutritional assessment
0,512
0,000
Skor Mini Nutritional Assessment
0,590
0,877*
Kelompok Leptin
3.304
0,000
PORT Skor
0,883
0,417*
trans_Triceps_Skin_Foldlg10
1,089
0,186
Keterangan : * = berdistribusi normal
5.2.
Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik subjek penelitian yang dapat mempengaruhi hubungan kadar leptin sebagai biomarker status nutrisi dengan berat pneumonia komuniti adalah usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan status perkawinan. Penelitian ini mengikutsertakan 80 subjek penelitian, yang terdiri dari laki - laki 52 orang (65%) dan perempuan 28 orang (35%). Subjek penelitian mempunyai median usia 70 tahun dengan rentang usia 68 sampai 90 tahun, dengan dominan pada kelompok Geriatri (60-74 tahun) sebanyak 54 (67,5%). Pendidikan subjek penelitian dominan pendidikan rendah mencapai 70 orang (87,6%), dengan pekerjaan dominan sebagai petani 45 (56,3%), yang sebagian besar masih dalam status perkawinan 64 (80%). Untuk derajat pneumonia komuniti berdasarkan skor PORT, kelas I tidak diikutkan dalam análisis karena tidak ada subjek penelitian yang dalam kelas
I, dan sebagian besar dalam pneumonia berat (kelas 4 dan 5) yaitu 63 pasien (78,8%). Selanjutnya karakteristik subjek penelitian ditampilkan berdasarkan kelompok kadar leptin. Pada data kadar leptin yang dilakukan oleh Laboratorium Riset dan Esoterik Laboratorium Pusat Prodia terdapat 30 nilai leptin yang tidak mencantumkan nilai absolute (<780 pg/mL) maka selanjutnya variabel kadar leptin dikelompokkan dalam kelompok undernutrisi, normal dan berlebih, selanjutnya kelompok undernutrisi dibuatkan sub kelompok yaitu leptin rendah dan sangat rendah, serta leptin berlebih dikelompokkan menjadi leptin tinggi dan sangat tinggi. Karakteristik subjek berdasarkan kelompok leptin tersaji dalam Tabel 5.2. Tabel 5.2. Karakteristik Subjek Penelitian berdasarkan Kelompok Kadar Leptin Serum
Karakter Pasien Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Usia , median (min;maks) Geriatri Geriatri_Tua Sangat_Tua Pendidikan Tidak Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA S1-Derajat Pekerjaan Tidak Bekerja Petani Pedagang Buruh Pensiunan PNS Lain Status Perkawinan Tidak Menikah Duda Janda Derajat Pneumonia Komuniti
N (%)
Kelompok Leptin N (%) Sangat Rendah Rendah Normal Tinggi 11 (13,8) 10 (12,5) 1 (1,3) 51 (63,8)
Sangat Tinggi 7 (8,8)
52 (65%) 28 (35%) 70 (68;90)
32 (61,5) 19 (67,9)
11 (21,2) 0
3(3,8) 7 (25,0)
1 (1,3) 0
5 (9,6) 2 (7,1)
54 (67,5) 21 (26,3) 5 (6,5)
34 (63,0) 12 (57,1) 5 (100)
6 (11,1) 5 (23,8) 0
8 (14,8) 2 (9,5) 0
1 (1,9) 0 0
5 (9,3) 2 (9,5) 0
39 (48,8%) 31 (38,8%) 3 (3,8%) 3 (3,8%) 4 (5,0%)
27 (69,2) 20 (64,5) 1 (33,3) 1 (33,3) 2 (50,0)
5 (12,8) 3 (9,7) 0 1 (33,3) 2 (50,0)
4 (10,3) 4(12,9) 1 (33,3) 1 (33,3) 0
0 1 (3,2) 0 0 0
3 (7,7) 3 (9,7) 1 (33,3) 0 0
6 (7,5%) 45 (56,3%) 13 (16,3%) 2 (2,5%) 5 (6,3%) 9 (11,3%)
3 (50,0) 32 (71,1) 7 (53,8) 1 (50,0) 2 (40,0) 6 (66,7)
1 (16,7) 7 (15,6) 0 0 3(60,0) 0
2 (33,3) 2 (4,4) 4 (30,8) 1 (50,0) 0 1(11,1)
0 1 (2,2) 0 0 0 0
0 3 (6,7) 2 (15,4) 0 0 2 (22,2)
1 (1,3%) 64 (80%) 7 (8,8%) 8 (10%)
1 (100) 42 (65,6) 4 (57,1) 4 (50,0)
0 9 (14,1) 1 (14,3) 1 (12,5)
0 8 (12,5) 0 2 (25)
0 1 (1,6) 0 0
0 4 (6,3) 2 (28,6) 1 (12,5)
II. III. IV. V.
(<=70) (71-90) (91-130) (> 130)
3 (3,8%) 14 (17,5%) 21(26,3%) 42(52,5%)
0 7 (50) 13 (61,9) 31 (73,8)
0 3 (21,4) 3 (14,3) 5 (11,9)
3 (100) 2 (14,3) 3 (14,3) 2 (4,8)
0 0 1(4,8) 0
0 2 (14,3) 1 (4,8) 4(9,5)
Derajat pneumonia komuniti berdasarkan variabel skor PORT dikelompokkan menjadi kelas I, II, III, IV dan V, selanjutnya untuk analisis regresi logistik dikelompokkan pneumonia ringan untuk kelas I, II dan III, dan pneumonia berat untuk kelas IV dan V. Karakteristik subjek berdasarkan derajat pneumonia komuniti tersaji dalam Tabel 5.3.
Tabel 5.3 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Derajat Pneumonia Komuniti
Karakter Pasien
N (%)
Derajat Pneumonia Komuniti N (%) II
III
IV
V
Jenis kelamin Laki-laki
52 (65%)
1 (1,9)
8 (15,4)
11 (21,2)
32 (61,5)
Perempuan
28 (35%)
2 (7,1)
6 (21,4)
10 (35,7)
10 (35,7)
Usia
,
median
70 (68;90)
(min;maks) Geriatri
54 (67,5)
3 (5,6)
8 (14,8)
17 (31,5)
26 (48,1)
Geriatri_Tua
21 (26,3)
0
5 (23,8)
3 (14,3)
13 (61,9)
Sangat_Tua
5 (6,5)
0
1 (20)
1 (20)
3(60)
Tidak
39 (48,8%)
1 (2,6)
6 (15,4)
11 (28,2)
21 (53,8)
Tamat SD
31 (38,8%)
1 (3,2)
7 (22,6)
8 (25,8)
15 (48,4)
Tamat SMP
3 (3,8%)
1 (33,3)
0
0
2 (66,7)
Tamat SMA
3 (3,8%)
0
1 (33,3)
2 (66,7)
0
S1-Derajat
4 (5,0%)
0
0
0
4 (100)
6 (7,5%)
0
1 (16,7)
1(16,7)
4 (66,7)
Petani
45 (56,3%)
1 (2,2)
7 (15,6)
12 (26,7)
25 (55,6)
Pedagang
13 (16,3%)
1 (7,7)
2(15,4)
4 (30,8)
6(46,2)
Buruh
2 (2,5%)
0
1 (50)
1(50)
0
Pensiunan PNS
5 (6,3%)
0
0
1(20)
4(80)
Pendidikan
Pekerjaan Tidak Bekerja
Lain
9 (11,3%)
1(11,1)
3(33,3)
2(22,2)
3(33,3)
Tidak
1 (1,3%)
0
0
1(100)
0
Menikah
64 (80%)
2(3,1)
11 (17,2)
16 (25)
35(54,7)
Duda
7 (8,8%)
0
1(14,3)
2(28,6)
4(57,1)
Janda
8 (10%)
1 (12,5)
2(25)
2(25)
3(37,5)
Status Perkawinan
5.3 Status Nutrisi Subjek Penelitian Status nutrisi subjek peneltian didapatkan bervariasi sesuai hasil pemeriksaan dengan biomarker status nutrisi. Berdasarkan pemeriksaan AC dan TSF didapatkan status malnutrisi sebesar 36,3% dan 15%. Sedangkan berdasarkan pemeriksaan biomarker status nutrisi lainnya didapatkan besarnya kondisi malnutrisi yaitu berdasarkan AMC sebesar 69 orang (86,3%), INA kelas 3 sebesar 10 orang (12,5%) dan kelas 4 sebesar 51 orang (63,8%), MNA status yang berisiko malnutrisi dan malnutrisi sebesar 69 orang (86,3%) , dan berdasarkan leptin serum sebesar 62 orang (77,5%). Hasil berdasarkan status nutrisi pada Table 5.3.
Tabel 5.4. Status Nutrisi Subjek Penelitian Variabel Arm Circumference (cm)
Mean±SD/median
N (%)
22,13 ± 4,3
Undernutrition
29 (36,3%)
Normal
24 (30,0%)
Overnutrition
27(33,8%)
Triceps Skinfold Thickness (cm)
1,0 (0,6 ; 1,5)
Undernutrisi
12 (15%)
Normal
65 ((81,3%)
Overnutrisi Arm Muscle Circumference (cm)
3 (3,8%) 18,3 ± 3,1
Undernutrisi
69 (86,3%)
Normal
11 (13,8%)
Instant nutritional Assessment 1.ALB >= 3,5; LIMFOSIT > 1500
3 (3,8%)
2.ALB >= 3,5; LIMFOSIT < 1500
16(20,0%)
3.ALB < 3,5; LIMFOSIT >1500
10 (12,5%)
4.ALB < 3,5; LIMFOSIT < 1500
51 (63,8%)
Mini Nutritional Assessment (skor)
16,25±6,26
Normal
11(13,8%)
Berisiko Malnutrisi
29(36,3)
Malnutrisi
40(50,0)
Leptin Undernutrisi
62 (77,5%)
Normal
10(12,5%)
Berlebih
8(10%)
5.4 Leptin sebagai Biomarker Malnutrisi
Untuk mengetahui kadar leptin sebagai biomarker malnutrisi maka dilakukan uji korelasi kadar leptin dengan biomarker malnutrisi lainnya. Uji korelasi kelompok leptin dengan status nutrisi berdasarkan AC, TSF, AMC, INA dan skor MNA menggunakan uji Kendall Tau. Dari hasil uji tersebut didapatkan korelasi antara kelompok kadar leptin dengan status nutrisi berdasarkan AC, TSF, dan INA, sedangkan dengan biomarker nutrisi lainnya tidak terdapat hubungan, Hasil tersaji pada Tabel 5.5
Tabel 5.5. Korelasi antara Kelompok Leptin dengan Biomarker Nutrisi Lainnya
Biomarker Nutrisi
Kelompok Leptin Serum r
P
Keterangan
Arm Circumference
0,282
0,005
Bermakna
Triceps Skinfold Thickness
0,245
0.018
Bermakna
Arm Muscle Circumference
0,028
0,794
Tidak bermakna
Instant nutritional asessment
-0,209
0.039
Bermakna
Klasifikasi Mini Nutritional assessment
-0,159
0,118
Tidak bermakna
5.5
Korelasi Kadar Leptin sebagai Biomarker Status Nutrisi dengan Derajat Pneumonia Komuniti Pasien Geriatri berdasarkan Skor PORT
Analisis korelasi antara kadar leptin,dan INA, sebagai biomarker status nutrisi dengan berat pneumonia komuniti pasien Geriatri berdasarkan skor PORT dilakukan dengan Korelasi antara AC,
analisis Kendall Tau.
TSF,
AMC , dan MNA dengan berat
pneumonia komuniti pasien Geriatri berdasarkan skor PORT dilakukan dengan analisis Pearson. Dari analisis korelasi ditemukan adanya hubungan antara berat pneumonia dengan kelompok kadar leptin (r = - 0,23, p = 0,020) dan skor MNA (r = -0,31, p= 0,006) (Tabel 5.6). Untuk mengetahui besarnya peranan leptin terhadap derajat pneumonia komuniti maka dilakukan regresi logistik. Sebelum melakukan regresi logistik, variabel derajat pneumonia dirubah dari kelas pneumonia berdasarkan skor PORT menjadi pneumonia ringan dan pneumonia sedang-berat. Kelas pneumonia I, II, dan III dikelompokkan menjadi pneumonia ringan sedangkan kelas pneumonia IV dan V menjadi pneumonia sedang-berat. Selanjutnya dilakukan regresi logistik dengan variabel independen kelompok leptin dan status nutrisi MNA, dan variabel dependen yaitu berat pneumonia komuniti. Tabel 5.6. Korelasi antara Biomarker Status Nutrisi dengan Derajat Pneumonia Komuniti berdasarkan Skor PORT Biomarker Status Nutrisi
PORT Skor R
p
-0,119
0,294
Tidak bermakna
-0,170
0,132
Tidak bermakna
-0,084
0,461
Tidak bermakna
Instant nutritional asessment
0,005
0,957
Tidak bermakna
Mini Nutritional assessmenta
-0,307
0,006
Bermakna
-0,232
0,020
Bermakna
Arm Circumference
a a
Triceps Skinfold Thickness
Arm Muscle Circumference
a b
b
Kelompok Leptin Serum
Keterangan
Keterangan : a = analisis Spearman, b = analisis Kendall –Tau
Hasil regresi logistik antara variabel kelompok leptin dan derajat pneumonia komunitti pasien Geriatri didapatkan hasil overall test dengan nilai G2 3,706 dengan p <0,001 (<0,05), sehingga dengan keyakinan 95% minimal satu variabel independen memiliki pengaruh pada variabel dependen dan model dapat dipergunakan untuk analisis lebih lanjut. Demikian juga pengujian Hosmer and Lemeshow Test dengan p = 0,144 (p> 0,05), membuktikan bahwa model regresi yang digunakan telah cukup mampu menjelaskan data dan layak untuk analisis selanjutnya karena tidak ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati. Dari r2 berdasarkan Nagerkerke dengan nilai 0,051, menandakan 5,1% variasi dari derajat pneumonia dapat dijelaskan oleh kelompok leptin dan MNA. Didapatkan nilai prediksi berdasarkan clasification table sebesar 78,8%, sehingga dengan keyakinan 95% variabel kelompok leptin dan status nutrisi MNA dapat menebak secara benar 78,8% kondisi derajat pneumonia komuniti. Dari analisis parsial regresi logistik dalam Tabel 5.7
Tabel 5.7 Regresi Logistik Variabel Kelompok Kadar Leptin terhadap Kelas Pneumonia Komuniti
Variabel
P
OR
CI 95%
Kelompok Kadar Leptin
0,096
0,72
0,49-1,06
Constant
0,000
6,98
Untuk mengetahui besar pengaruh variabel bebas yang bermakna
terhadap
derajat pneumonia komuniti pasien Geriatri sekaligus membentuk model korelasi maka dilakukan regresi logistik antara variabel dependen yaitu kelompok leptin dan klasifikasi MNA dengan variabel tergantung yaitu derajat pneumonia komuniti. Hasil overall test
dengan nilai G2 3,706 dengan p<0,001 (<0,05), sehingga dengan keyakinan 95% minimal satu variabel independen memiliki pengaruh pada variabel dependen dan model dapat dipergunakan untuk analisis lebih lanjut. Demikian juga pengujian Hosmer and Lemeshow Test dengan p = 0,195 (p> 0,05), membuktikan bahwa model regresi yang digunakan telah cukup mampu menjelaskan data dan layak untuk analisis selanjutnya karena tidak ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati. Dari r2
berdasarkan Nagerkerke dengan nilai 0,134,
menandakan 13,4% variasi dari derajat pneumonia dapat dijelaskan oleh kelompok leptin dan MNA. Didapatkan nilai prediksi berdasarkan clasification table sebesar 76,3%, sehingga dengan keyakinan 95% variabel kelompok leptin dan status nutrisi MNA dapat menebak secara benar 76,3% kondisi derajat pneumonia komuniti. Dari analisis parsial regresi logistik ditampilkan dalam Tabel 5.9.
Tabel 5.8 Regresi Logistik Variabel Kelompok Kadar Leptin dan Status Nutrisi MNA terhadap Kelas Pneumonia Komuniti
Variabel
P
OR
CI 95%
Kelompok Kadar Leptin
0,166
0,75
0,50-1,12
Kelompok MNA
0,035
2,27
1,06-4,88
Constant
0,983
1,02
Untuk mengetahui hubungan antara kelompok leptin, klasifikasi MNA dan derajat pneumonia komuniti pasien Geriatri dilakukan uji matrik, dengan hasil pada Tabel 5.9.
Tabel 5.9 Matriks Korelasi antara Kelompok Leptin, Klasifikasi MNA, dan Derajat Pneumonia Komuniti
Variabel
Kelompok Leptin r
P
Skor MNA
-0,17
-0,140
Derajat Pneumonia Komuniti
-0,26
0,020
Skor MNA r
P
-0,38
0,001
Kelompok Leptin
BAB VI
PEMBAHASAN
Risiko malnutrisi pada Geriatri meningkat oleh karena penurunan lean body mass, penurunan asupan makanan, perubahan fungsi usus, metabolisme yang tidak efektif, kegagalan hemostasis dan defek utilisasi nutrien (Hardini, 2005; Pablo et al., 2003; Palmer, 2000; Volkert et al., 2006). Keadaan malnutrisi akan menurunkan kadar leptin, yang menyebabkan terjadinya gangguan pada fungsi makrofag dan efektor neutrofil, penurunan komplemen serum, atrofi timus dan lien, dan penurunan kadar limfosit di sirkulasi, dan peningkatan kadar sitokin pada paru dan kadar mediator lipid (Mancuso et al., 2005, Malli et al., 2010). Penurunan imunitas memudahkan terjadinya pneumonia, terutama akibat infeksi bakteri gram negatif ( Mancuso et al., 2005).
Pneumonia merupakan penyakit yang sering terjadi dan menimbulkan penyakit serius pada pasien Geriatri, walaupun sudah ditemukan antibiotika dan vaksin. Mortalitas pasien Geriatri dengan pneumona komuniti mencapai 30%, dan berhubungan dengan komorbid, status nutrisi, adanya gangguan kognisi (delirium), kematian, dan berulangnya opname di tahun berikutnya (Janssens, 2005).
Penelitian ini menggunakan rancangan observasional, studi potong lintang analitik-korelatif untuk mengetahui hubungan kadar leptin sebagai biomarker status nutrisi dengan derajat pneumonia komuniti penderita Geriatri yang rawat inap di RSUP Sanglah, Denpasar.
6.1. Uji normalitas Biomarker Status Nutrisi, Leptin Serum dan Skor PORT Dari uji normalitas didapatkan sebaran data variabel AC, AMC, INA, MNA dan skor PORT berdistribusi normal dengan nilai p>0,05, sedangkan karakteristik usia, variabel TSF dan kelompok kadar leptin tidak terdistribusi normal, sehingga dilakukan transformasi data. Setelah dilakukan tranformasi data, data TSF terdistribusi normal sedangkan data kelompok kadar leptin tetap tidak terdistribusi normal. Penelitian ini telah dilakukan usaha untuk menghomogenisasikan variabel leptin dengan membuat kriteria inklusi yaitu usia > 60 tahun dan membuat kriteria eksklusi meliputi penderita diabetes mellitus, penderita kelainan hormon tiroid, pasien yang sedang mendapatkan terapi steroid, pasien yang sedang mendapatkan terapi testosteron, dan pasien dengan dislipidemia. Namun teknik untuk menilai kriteria eksklusi hanya berdasarkan anamnesis, tidak berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yang menjadi standar diagnosis, oleh karena keterbatasan dana, fasilitas pemeriksaan, dan kondisi pasien, sehingga terdapat variabel-variabel yang kemungkinan dapat mempengaruhi kadar leptin seperti diabetes, gangguan kolesterol, tyroid, dan kadar lipid dapat mempengaruhi hasil kadar leptin yang tidak terdistribusi secara normal. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar leptin yaitu indeks massa tubuh, jenis kelamin, skinfold thickness, lingkar perut dan panggul. Faktor yang dapat meningkatkan kadar leptin yaitu overfeeding, insulin, glukokortikoid, endotoksin, dan sitokin. Faktor yang dapat menurunkan kadar leptin adalah puasa, testosterone, hormon tiroid, suhu dingin, etnis dan umur, Thiazolidinediones, kadar lipid (Houseknecht et al.,1998; Nasri et al., 2006; Ozata et al., 1999; Pi-Sunyer and Leferre’re., 1999, Ruhl and Everhart., 2001; Yang and Barouch., 2007).
6.2. Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik subjek penelitian yang dapat mempengaruhi hubungan kadar leptin sebagai biomarker status nutrisi dengan berat pneumonia komuniti adalah usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan status perkawinan. Penelitian ini mengikutsertakan 80 subjek penelitian, yang terdiri dari laki - laki 52 orang (65%) dan perempuan 28 orang (35%).
Secara umum kejadian malnutrisi tinggi pada subjek penelitian berdasarkan kelompok kadar leptin yaitu 62 subjek (77,6%). Pada penelitian ini didapatkan pada lakilaki lebih banyak yang mengalami malnutrisi sebesar 82,7% dibandingkan kejadian pada perempuan sebesar 67,9%. Penelitian oleh Ruhl and Everhart (2001) mendapatkan pada perempuan lebih tinggi kadar leptin (12,7 ng/dlL) dibanding laki-laki (4,6 ng/dL) (Ruhl and Everhart., 2001). Penelitian Verrotti et al. menemukan jenis kelamin perempuan berhubungan dengan peningkatan kadar leptin (p <0,001) (Verrotti et al. 1998). Penelitian oleh Bouillanne et.al. (2011) memperlihatkan indeks massa lemak pada perempuan lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki (Bouillanne et.al., 2011).
Kejadian pneumonia berat pada penelitian ini sebanyak 63 subjek (78,7%). Jenis kelamin juga berpengaruh terhadap berat pneumonia, ini terlihat pada penelitian ini yaitu derajat pneumonia komuniti pada laki-laki kejadian pneumonia komuniti berat (kelas III dan IV) sebesar 82,7% dan pada perempuan sebesar 71,4%. Hasil ini sesuai dengan pernyataan bahwa jenis kelamin berpengaruh terhadap berat pneumonia, pada laki-laki akan ditemukan lebih berat pneumonia pada usia yang sama (American Thoraxic Society, 2001). Faktor yang lain berpengaruh yaitu kadar lemak dan kadar leptin lebih tinggi pada perempuan sehingga memberikan efek protektif terhada perempaun sehingga kejadian pneumonia berat lebih sedikit dibanding laki-laki (Bouillanne et al., 2009).
Usia memiliki pengaruh terhadap kadar leptin dan derajat pneumonia komuniti. Subjek penelitian mempunyai median usia 70 tahun dengan rentang usia 68 sampai 90 tahun, dengan dominan pada kelompok Geriatri(60-74 tahun) sebanyak 54 (67,5%). Pengaruh usia terhadap kejadian malnutrisi berdasarkan kadar leptin bervariasi pada kelompok umur yaitu pada kelompok Geriatri sebesar 74,1%, kelompok Geriatri tua sebesar 80,9%, dan pada kelompok sangat tua sebesar 100%. Berdasarkan penelitian oleh Forster et.al. memperlihatkan pasien dengan usia >75 tahun memiliki status nutrisi lebih rendah dibandingkan pasien usia < 75 tahun. Status nutrisi pasien penelitian tersebut ditentukan berdasarkan berat badan, indeks massa tubuh, AC, kadar hemoglobin, kadar serum albumin, dan kadar asam askorbat (Forster and Gariballa, 2005). Penelitian Verroti et al (1998) menemukan hal yang sama yaitu usia mempengaruhi kadar leptin pada pasien diabetes melitus tipe 1 (Veroti et al., 1998).
Pada penelitian didapatkan skor PORT semakin besar pada peningkatan usia. Pada kelompok Geriatri kejadian pneumonia berat sebesar 79,6%, pada kelompok Geriatri tua sebesar 76,2% dan pada sangat tua sebesar 80%. Kejadian pneumonia berat secara skoring dipengaruhi oleh banyak variabel selain umur, sehingga nampak pada penelitian ini kejadian pneumonia berat hampir sama pada semua kelompok umur (American Thoraxic Society 2001).
Penelitian oleh Jokinen et al.(1993)
memperlihatkan
peningkatan kejadian pneumonia komuniti per 1000 penduduk berdasarkan kelompok umur yaitu pada usia 15-59 tahun kejadian 6,0, usia 60-74 tahun kejadian 15,4 dan pada usia ≥ 75 tahun kejadian 34,2 (Marrie, 2000). Hasil penelitian ini memperlihatkan usia mempengaruhi kadar leptin, semakin tua kadar leptin semakin rendah yang menyebabkan kejadian pneumonia akan semakin sering pada usia yang lebih tua.
Pada penelitian ini pendidikan subjek penelitian dominan berpendidikan rendah yaitu tidak bersekolah mencapai 39 (48,8%) dan tamat SD 31 orang (38,8%), berpendidikan menengah yaitu tamat SMP tiga orang (3,8%) dan tamat SMA tiga orang
(3,8%), sedangkan yang berpendidikan tinggi yaitu S-1 atau sederajat sebanyak empat orang (5%). Pengaruh pendidikan terhadap kejadian malnutrisi berdasarkan kadar leptin yaitu pasien tidak pendidikan 82%, pada pendidikan tamat SD sebesar 74,2%, pada pendidikan tamat SMP sebesar 33%, pada pendidikan SMA sebesar 66,6% dan pada pendidikan S1 sebesar 100%.
Demikian pula kejadian pneumonia berat berdasarkan
tingkat pendidikan terdapat kejadian makin rendah pada kelompok pendidikan lebih tinggi pada kelompok tidak pernah mengenyam pendidikan kejadian 82%, kelompok tamat SD kejadian 74,2%, kelompok tamat SMP kejadian 66,7%, dan kelompok tamat SMA kejadian 66,7%, namun pada kelompok S-1 sederajat skor PORT paling tinggi yaitu 100%. Sehingga hal ini dapat memperlihatkan
tidak sepenuhnya pendidikan
mempengaruhi pengetahuan kesehatan seseorang, karena pengetahuan tentang kesehatan dapat juga dipengaruhi oleh pengalaman dan lingkungan sekitar (Wulandari et al. 2009).
Pekerjaan subjek peneltian dominan sebagai petani 45 (56,3%), pedagang 13 orang (16,3%), pensiunan PNS 5 orang (6,3%), buruh 2 orang (2,5%), pekerjaan lainnya sembilan orang (11,3%), dan tidak bekerja enam orang (7,5%). Kejadian malnutrisi berdasarkan kelompok leptin yaitu tidak bekerja 66,7%, pasien dengan pekerjaan petani 86,7%, pasien dengan pekerjaan pedagang kejadian malnutrisi 53,8%, pasien dengan pekerjaan buruh sebesar 50%, pasien dengan pensiunan PNS sebesar 100% dan pasien dengan pekerjaan lain malnutrisi sebesar 66,7%. Namun status ekonomi pasien dianggap sama, karena sampel diambil dari pasien kelas III.
Subjek penelitian ini sebagian besar masih dalam status perkawinan 64 orang (80%), duda tujuh orang (8,8%), janda delapan orang (10%) dan tidak menikah satu orang (1,3%). Kejadian malnutrisi berdasarkan status perkawinan yaitu tidak menikah kejadian 100%, pasien dengan menikah kejadian 79,7%, pasien status duda sebesar 71,4%, dan pasien dengan status janda malnutrisi sebesar 62,5%. Faktor perkawinan akan
mempengaruhi kejadian depresi pada Geriatri yaitu status menikah dan tidak
menikah (p < 0,05, =0,279, OR =4,25, CI = 2.449–7,374) (Wirasto et al., 2005). Status perkawinan berpengaruh terhadap dukungan sosial yang efektif terhadap kesehatan pasien. Dukungan dari pasangan akan membuat individu merasa berharga (Wulandari et al., 2009).
Kejadian malnutrisi dapat dipengaruhi oleh depresi, pengetahuan, sosial ekonomi dan kultural,
kemampuan yang kurang, kondisi kesehatan yang buruk, dan disertai
dengan lebih banyak kesakitan (Castel et al., 2006). Pada Geriatri, kejadian depresi sering terjadi dan sering tidak disadari dan merupakan penyebab penurunan nafsu makan. Kemiskinan, pendidikan yang rendah, mobilitas terbatas, ketergantungan pada orang lain dan isolasi sosial merupakan faktor-faktor yang turut mempengaruhi kejadian depresi (Bethalia, 2010; Fatimah-Muis dan Puruhita., 2010, ). Penelitian Marchira, dkk memperlihatkan faktor-faktor yang mempengaruhi depresi pada Geriatri meliputi jenis kelamin (p<0,05), umur (p<0,05), tingkat pendidikan (p=0,001), insomnia (p<0,001), dan dukungan sosial (p<0,001) (Marchira et al., 2007).
6.3. Status Nutrisi Subjek Penelitian Pada penelitian ini berdasarkan pemeriksaan AC dan TSF didapatkan status malnutrisi sebesar 36,3% dan 15%. Sedangkan berdasarkan pemeriksaan biomarker status nutrisi lainnya didapatkan besarnya kondisi malnutrisi yaitu berdasarkan AMC sebesar 69 subjek (86,3%) orang, INA kelas 3 sebesar 10 subjek (12,5%) orang dan kelas 4 sebesar 51 orang (63,8%), MNA status yang berisiko malnutrisi dan malnutrisi sebesar 69 subjek (86,3%), dan berdasarkan kadar leptin serum pasien Geriatri yang malnutrisi sebesar 62 subjek (77,6%). Pada penelitian ini status nutrisi subjek peneltian didapatkan bervariasi berdasarkan hasil pemeriksaan dengan biomarker-biomarker status nutrisi yaitu antara 15%-86,3%. Berdasarkan pemeriksaan MNA dan leptin kejadian malnutrisi tinggi yaitu 86,3% dan 77,6%. Prevalensi malnutrisi sering tinggi pada Geriatri dengan kondisi sakit
kronik atau yang rawat inap di rumah sakit, nurshing home dan institusi kesehatan lainnya (Wirth et al., 2009). Sebanyak 33,3-78,3% pasien Geriatri yang menjalani perawatan di rumah sakit mengalami malnutrisi (Pablo et al., 2003; Palmer, 2000). Penelitian Hardini di RS Dokter Kariadi menunjukkan sebanyak 36,5% Geriatri yang rawat inap di RS Dokter Kariadi Semarang mengalami malnutrisi dan 44,3 % dalam risiko malnutrisi (Hardini, 2005).
Secara epidemiologi biomarker-biomarker status nutrisi tersebut memiliki manfaat namun belum memiliki standar baku. Sehingga sering terdapat perbedaan status nutrisi berdasarkan metode-metode pemeriksaan. Bila pemeriksaan memakai biomarker tunggal sering memberikan hasil yang tidak akurat, sehingga sebaiknya dikombinasikan biomarker berbeda untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dari pemeriksaan.. Penelitian oleh Pablo et al., (2003), memperlihatkan kejadian malnutrisi pasien yang berbeda-beda. Berdasarkan
Subjectif Global Assessment (SGA) kejadian malnutrisi
sebesar 63,3%, dan berdasarkan nutritioanl Risk IndeksI sebesar 90%, berdasarkan pemeriksaan antropometri ditemukan 56,7% pasien mengalami deplesi lemak subcutaneus dan 30 % mengalami deplesi otot dan berdasarkan Klasifikasi Gassull ditemukan 83,4% pasien mengalami malnutrisi (Pablo et al.,2003).
Rendahnya kejadian malnutrisi berdasarkan AC dan TSF disebabkan oleh karena pemeriksaan AC dan TSF bertujuan memeriksa kadar lemak subkutan. Pada penelitian oleh Hughes et.al. memperlihatkan skinfold thickness tidak dapat dipergunakan untuk menilai perubahan dari lemak tubuh pasien pada Geriatri, karena adanya penurunan lemak subkutan (-17,2%; p < 0,001) akibat adanya redistribusi lemak karena faktor usia. Selain itu aktivitas fisik yang lebih tinggi selama lebih dari 10 tahun akan menurunkan appendicular jaringan bebas lemak pada Geriatri. Sehingga peranan sebagai prediktor perubahan masa lemak tubuh pada Geriatri relatif rendah (Hughes et al., 2004). Sehingga
hal ini mungkin bisa menyebabkan rendahnya kejadian malnutrisi berdasarkan AC, dan TSF dibandingkan dengan biomarker yang lainnya.
6.4. Leptin sebagai Biomarker Nutrisi Pada penelitian ini didapatkan kejadian malnutrisi berdasarkan kelompok leptin sebesar 77,6%.
Kadar leptin serum memperlihatkan hubungan yang bermakna dengan data
antropometri yaitu AC (r= 0,282; p= 0,005), dan TSF (r= 0,245; p=0,018) Berdasarkan penelitian Amirkalali et al. didapatkan hasil yang hampir serupa dimana didapatkan korelasi kadar leptin dengan AC (r= 0,474, p < 0,001) (Amirkalali et al, 2010)
Pemeriksaan antropometri seperti pemeriksaan skinfolds thickness arm, waist, hip dan thight circumference mempunyai hubungan dengan kadar leptin, Pemeriksaan skinfolds thickness merupakan cara yang secara langsung dapat memeriksa kadar lemak subkutan. Kadar lemak subkutan dapat mencerminkan kadar lemak tubuh secara keseluruhan (Kuczmarski 2001). Penelitian oleh Lönnqvist et.al. menemukan hubungan yang kuat antara volume sel lemak dengan kadar leptin (r = 0,7-0,9) (Lönnqvist et al,, 1997).
Penelitian oleh Cederholm et.al.(1997), memperlihatkan hubungan antara kadar leptin serum dengan TSF (r=0,74, p< 0,001) (Cederholm et.al., 1997). Triceps Skin fold merupakan biomarker nutrisi yang dapat mencerminkan adanya deplesi lemak tubuh pasien. Pasien dengan malnutrisi mengalami kehilangan lemak subkutan dan penurunan kadar insulin dibandingkan pasien yang status nutrisi normal (Campilo et al., 2001; Pablo et al., 2003). Penurunan kadar lemak subkutan menyebabkan penurunan kadar leptin dalam darah (Tschöp et al., 2010; Yeh and Schuster., 1999). Sekresi leptin sangat erat
hubungannnya dengan massa lemak tubuh dan ukuran sel adipose (Houseknecht et al.,1998). Leptin lebih akurat sebagai biomarker nutrisi pada Geriatri karena tidak dipengaruhi oleh kondisi inflamasi dan komplikasi sepsis atau gangguan cairan. Terbukti tidak adanya korelasi leptin dengan kadar C Reactive Protein (CRP) (Amirkalali et al, 2010; Schwenk et al., 2003).
Korelasi kelompok kadar leptin dengan INA yang memiliki hubungan walaupun lemah dengan r = -0,209; p= 0,039. Namun penelitian lainnya yang mempelajari hubungan antara INA dengan kelompok kadar leptin saat ini belum ditemukan. INA merupakan biomarker status nutrisi berdasarkan biomarker serum albumin dan leukosit darah. Walaupun perubahan kadar albumin atau prealbumin tidak konsisten dan tidak dapat memprediksi penurunan berat badan, retriksi kalori atau keseimbangan nitrogen. Kedua biomarker itu hanya mencerminkan respon inflamasi dari pada sebagai status nutrisi yang buruk, dan adanya keterbatasan hubungan dari biomarker protein terhadap fase akut malnutrisi (White et al., 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Tsutsumi et. al (2012) memperlihatkan kadar albumin serum pada pasien Geriatri tidak bisa dijadikan prediktor dari suatu penyakit atau infeksi. Namun kadar albumin serum dikombinasikan dengan pemeriksaan antropometri lebih bisa memprediksi outcome pasien dibandingkan serum albumin sendiri (Tsutsumi et al,, 2012). Pada penelitian yang lainnya kadar leptin tidak berkorelasi dengan kadar albumin serum atau total protein. Hal ini menandakan pasien dengan kondisi malnutrisi atau berisiko malnutrisi tidak selamanya mengalami kekurangan protein (Amirkalali et al, 2010).
Namun pada penelitian ini ditemukan hubungan yang tidak bermakna dengan AMC (r=0,028, p= 0,794) dan MNA (r = - 0,159; p=0,118). Antropometri dan biomarker malnutrisi lainnya memiliki kekurangan sebagai biomarker nutrisi karena dipengaruhi
oleh faktor nonnutrisional. AMC merupakan teknik pemeriksaan untuk menilai massa bebas lemak dari tubuh, dan pada pasien Geriatri telah terjadi perubahan kompoisi tubuh yaitu massa otot berubah menjadi lemak. Sedangkan leptin merupakan proteo-hormon yang dihasilkan oleh lipid putih tubuh, sehingga kemungkinan tidak adanya hubungan antara kadar leptin dengan AMC sangat besar (Amirkalali et al,, 2010). Pada penelitian Cederholm et al., (1997), memperlihatkan adanya hubungan negatif yang tidak bermakna antara kadar leptin dengan AMC (r= -0,41, p=0,09) pada pasien dengan malnutrisi energi protein, namun saat data digabungkan antara subjek malnutrisi energi protein dengan subjek sehat didapatkan hubungan yang tidak bermakna yang sama dengan penelitian ini(p=ns) (Cederholm et.al., 1997)
Pada penelitian ini ditemukan adanya hubungan tidak bermakna antara kadar leptin dengan
MNA ( r= -0,519; p=0,118). Pada hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian oleh Morley et al. (1999) yang menemukan hubungan yang tidak bermakna antara kadar leptin dengan MNA pada laki-laki, dan leptin sebagai indikator yang bagus untuk masa lemak pada perempuan (Morley et al., 1999). Namun hasil ini berbeda dengan penelitian Amirkalali et al.(2010) menemukan hubungan kadar leptin dengan status nutrisi pasien berdasarkan skor MNA (p=0,001). Dengan batas kadar leptin sebagai batas malnutrisi yaitu laki-laki sebesar 4,3 ng/mL dan perempuan sebesar 25,7 ng/mL (Amirkalali et al, 2010). Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan subjek penelitian yaitu pada penelitian ini dengan pasien Geriatri dengan pneumonia komuniti sedangkan penelitian lainnya dengan lansia sehat, skala yang dipergunakan pada penelitian ini dengan skala ordinal sedangkan penelitian lain dengan skala numerik, dan analisis yang dipergunakan pada penelitian ini dengan Kendall-Tau, sedangkan peneltian lain dengan Pearson. Penyebab lainnya kemungkinan kadar leptin lebih sebagai biomarker lemak memiliki pengaruh yang sangat lemah terhadap status nutrisi sehingga tidak tercermin dalam MNA.
Saat ini MNA merupakan salah satu biomarker nutrisi yang telah direkomendasikan untuk menilai risiko malnutrisi pada geriatri yang dirawat di rumah, panti jompo maupun runah sakit oleh European Society of Enteral and Parenteral Nutrition (ESPEN),
Departemen Kesehatan
Republik
Indonesia dan
berbagai
perkumpulan gizi lainnya. MNA meliputi biomarker antropometri dan kuesioner mengenai kehilangan berat badan dan penurunan intake makanan pada tiga bulan terakhir (Amirkalali et al, 2010, Kementrian Kesehatan, 2012).
Leptin dapat dijadikan biomarker nutrisi yang lebih baik dibandingkan dengan MNA, bila tidak ditemukan variabel perancu seperti diabetes, penyakit tiroid, penurunan fungsi ginjal atau penyakit pada fase akhir. Kelebihan leptin sebagai biomarker nutrisi yaitu pemeriksaan leptin lebih mudah, reliabel, tidak tergantung dari daya ingat pasien atau keluarga dan terhindar dari kemungkinan kesalahan intraexaminer dan interexaminer terutama saat pemeriksaan antropometri.
Pemeriksaan leptin juga sangat membantu
untuk memeriksa status nutrisi pada pasien yang imobilisasi dan instabilitas postural yang tidak memungkinkan untuk dilakukan penimbangan (Amirkalali et al., 2010).
Hal lain yang mungkin bisa menyebabkan perbedaan hasil dengan penelitian lainnya yaitu skala yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah skala ordinal sehingga analisis korelasi dengan Kendall Tau, sedangkan penelitian lain dengan skala numerik dan analisis dengan metode Pearson, dan subjek penelitian adalah pasien Geriatri yang telah terdiagnosis pneumonia komuniti, sedangkan penelitian lainnya dengan subjek Geriatri yang sehat. Penelitian oleh Bornstein et al. (1998) menemukan adanya peningkatan kadar leptin dan gangguan ritme sekresi diurnal dari leptin serum pada pasien dengan sepsis akut. Sehingga kondisi pneumonia pada subjek dapat mempengaruhi hasil leptin subjek (Bornstein et al., 1998).
Sehingga berdasarkan hasil korelasi antara kelompok kadar leptin dengan biomarker nutrsisi lainnya yang memperlihatkan adanya hubungan yang bermakna dengan AC, TSF, dan INA, sehingga dapat dipertimbangkan kemungkinan kadar leptin sebagai salah satu biomarker nutrisi khususnya sebagai biomarker kadar lemak dalam tubuh Geriatri.
Hasil penelitian oleh Ruhl et al., (2001), memperlihatkan kadar leptin dan BMI lebih baik memprediksi persentase total lemak pada Geriatri dibandingkan pemeriksaan yang lainnya. Tingkat korelasi kadar leptin dan IMT dengan persentase lemak tubuh keseluruhan pada Geriatri yaitu r2= 0,57 dan r2=0,65 (Ruhl et al., 2001).
Hasil pemeriksaan biomarker nutrisi lainnya akan dipengaruhi oleh banyak faktor lainnya. Biomarker dengan mempergunakan protein serum sebagai biomarker nutrisi akan dipengaruhi oleh variasi secara biologis, fungsi fisiologis, status hidrasi, postur pasien, fungsi hati dan ginjal, dan resposnsitas terhadap fase akut infeksi (Prins, 2010). Bertambahnya usia akan terjadi banyak perubahan komposisi tubuh yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi seorang Geriatri. Perubahan komposisi tubuh dicirikan dengan kehilangan secara progresif
lean body mass, peningkatan relatif massa lemak dan
redistribusi lemak dari perifer ke lokasi sentral tubuh (Fatimah-Muis dan Puruhita., 2010). Namun untuk mengukur masa lemak secara akurat memerlukan kontrol secara klinis dan dipengaruhi keadaan di lapangan sehingga massa lemak sering tidak konsisten. Persentase lemak tubuh dipengaruhi oleh penyakit kronis seperti hipertensi, dislipidemia, diabetes melitus, dan penyakit jantung koroner (Dehghan and Merchant., 2008).
6.5.
Korelasi Leptin sebagai Biomarker Status Nutrisi dengan Berat Pneumonia Komuniti berdasarkan Skor PORT
Pada penelitian ini berdasarkan analisis korelasi bivariat ditemukan adanya hubungan biomarker nutrisi yaitu kelompok kadar leptin (r = - 0,232, p = 0,020) dan klasifikasi
MNA (r =- 0, 3076, p= 0,006) dengan derajat pneumonia komuniti pasien Geriari berdasarkan skor PORT. Kadar leptin memiliki hubungan negatif namun lemah (r = 0,232). Hasil regresi logistik kelompok kadar leptin terhadap pneumonia komuniti yaitu p = 0,096; OR: 0,72; CI 95% (0,49-1,06). Hasil regresi logistik memperlihatkan setiap kenaikan satu kelompok kadar leptin memiliki kecenderungan menurunkan risiko 0,28 kali untuk menjadi pneumonia berat pada pasien Geriatri. Semakin rendah kelompok kadar leptin maka derajat pneumonia komuniti pasien Geriatri akan lebih berat. Dari regresi logistik variabel kelompok leptin dan klasifkasi MNA terhadap derajat pneumonia komuniti didapatkan regresi logistik kelompok leptin terhadap pneumonia komuniti
p= 0,1666; OR : 0,75; CI 95% (0,50-1,12),
regresi logistik
kelompok MNA terhadap derajat pneumonia komuniti dengan p = 0,035; OR: 2,27; Ci 95% (1,06-4,88).
Dari regresi logistik variabel bebas terhadap variabel tergantung
didapat tidak adanya perubahan yang bermakna dari hasil kelompok leptin. Pada klasifikasi MNA didapatkan setiap peningkatan satu kelompok MNA akan meningkatan risiko 2,3 kali menderita pneumonia komuniti yang lebih berat. Dari korelasi matrik didapatkan adanya hubungan antara kelompok leptin dengan derajat pneumonia komuniti dan klasifikasi MNA dengan derajat pneumonia komuniti. Namun tidak ditemukan hubungan antara kelompok leptin dengan klasifikasi MNA. Hasil regresi logistik dan korelasi matrik memperlihatkan adanya hubungan antara kelompok leptin dengan derajat pneumonia komuniti pasien geriatri. Namun berdasarkan tidak adanya hubungan kelompok leptin dengan klasifikasi MNA, kemungkinan pengaruh leptin terhadap derajat pneumonia tidak melalui peranan status nutrisi, kemungkinan melalui pengaruh lainnya yaitu melalui pengaturan sistem imunitas. Selain itu peranan leptin pada status nutrisi lebih mencerminkan kemampuan sebagai biomarker lemak namun tidak bisa mencerminkan kondisi nutrisi secara keseluruhan Leptin merupakan biomarker nutrisi yang diukur berdasarkan massa lemak pasien yang tidak dipengaruhi oleh faktor non-nutrisional. Selain itu peranan leptin secara
langsung dapat mempengaruhi sistem imunitas. Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Mikhail et. al. (1997) dengan pemberian leptin dengan konsentrasi yang lebih tinggi menyebabkan diferensiasi kultur sel punja embrio tikus lebih banyak dibandingkan yang mendapatkan leptin dengan konsentrasi lebih rendah. Diferensiasi sel punja embrio menyebabkan terjadinya diferensiasi hematopoesis pada yolk sac pada hari ke 7-8 dari perkembangan dan hematopoesis pada liver pada hari ke 12. Hematopoesis berlangsung tetap progresif sampai aktifitas hematopoesis berpindah ke sumsum tulang pada hari ke 18, yang ditandai dengan adanya reseptor leptin baik pada yolk sac dan liver fetal tikus. Leptin akan merangsang committed colony-forming cells (CFCs) dari linear makrofag dan neutrophil pada yolk sac, liver fetal dan sumsum tulang tikus dewasa. Sehingga kadar leptin mempengaruhi proses pembentukan sistem imun. Hal ini juga dibuktikan dengan tikus yang lebih tua dengan kadar lemak yang lebih banyak memiliki survival rate yang lebih baik terhadap paparan radiasi (Mikhail et al,, 1997). Penelitian oleh Mito et al., (2003), memperlihatkan pemberian leptin intraperitoneal pada tikus yang telah dipuasakan lebih dari 48 jam meningkatkan sel limpa, dan penurunan produksi sitokin. Terjadi peningkatan produksi IFN-γ dan IL-2 akibat stimulasi anti-CD3ε terhadap sel limpa (Mito et al., 2003). Bouillanne et al. (2009) menemukan indeks massa lemak pada Geriatri bersifat protektif terhadap outcome dan komplikasi yang ditimbulkan oleh infeksi pada Geriatri setelah disesuaikan dengan jenis kelamin, hipoalbumin, dan C-reactive protein (r=0,18, p= 0,043). Massa lemak merupakan bentuk dari cadangan energy yang utama dalam tubuh yang kemungkinan memberikan manfaat untuk bertahan hidup pada Geriatri yang mengalami kondisi hiperkatabolik, misalnya pada komplikasi infeksi (Bouillanne et al., 2009). Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat dibuktikan bahwa kadar leptin memberikan pengaruh terhadap pneumonia komuniti pada pasien Geriatri. Sehingga penelitian-penelitian in vitro dengan mempergunakan tikus sebagai subjek
penelitian misalnya oleh Mikhail et al,, 1997, Mito et al., 2003, Mancuso et al., 2005, Malli et al., 2010 terbukti dalam penelitian ini. 6.6 Kelemahan Penelitian
Kelemahan pada penelitian ini yaitu teknik eksklusi berdasarkan anamnesis sehingga tidak diketahui kondisi pasien yang menderita (diabetes melitus, hipertiroid, hiperkolesterolemia dan gangguan testeosteron) atau tidak, yang dapat mempengaruhi sebaran data kadar leptin
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Simpulan berdasarkan hasil penelitian ini adalah :
1. Didapatkan hubungan kadar leptin dengan AC, TSF, INA, namun tidak berhubungan dengan AMC dan MNA, sehingga leptin dapat dipertimbangkan sebagai biomarker status nutrisi khususnya sebagai biomarker lipid pada pasien Geriatri dengan pneumonia Komuniti. 2. Ditemukan adanya hubungan antara kelompok kadar leptin dengan derajat pneumonia komuniti, dengan kecenderungan peningkatan satu kelompok leptin akan menurunkan risiko 0,28 kali menderita pneumonia komuniti derajat berat. Hubungan leptin terhadap derajat pneumonia komuniti pasien Geriatri kemungkinan melalui pengaturan terhadap sistem imunitas. 7.2 Saran 1. Dengan diketahuinya kemungkinan leptin sebagai salah satu biomarker nutrisi maka diharapkan data ini dapat dijadikan data awal untuk penelitian leptin sebagai biomarker kadar lemak Geriatri. 2. Penelitian ini memperkuat peranan leptin terhadap berat pneumonia komuniti penderita Geriatri, sehingga dapat dilakukan penelitian lebih lanjut dengan meneliti pemberian leptin sebagai salah satu terapi ataupun pencegahan terhadap pneumonia komuniti penderita Geriatri. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui peranan leptin terhadap regulasi sistim imunitas pada Geriatri.
4. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan adanya peranan status nutrisi terhadap berat pneumonia komuniti penderita Geriatri, sehingga diharapkan pemeriksaan status nutrisi seharusnya dilakukan secara rutin misalnya dengan IMT dengan MNA terhadap Geriatri untuk mendeteksi secara dini kejadian malnutrisi, sehingga dapat mencegah kejadian pneumonia maupun
mencegah derajat
pneumonia komuniti yang berat. 5. Untuk penelitian lebih lanjut disarankan dilakukan pemeriiksaan laboratorium yang terstandar untuk menentukan kriteria inklusi dan eksklusi
DAFTAR PUSTAKA
American Thoracic Society.
2001. Guidelines for Management of Adults with
Community-Acquired Pneumonia. Diagnosis, Assessment of Severity, Antimicrobial Therapy, and Prevention. Am J Respir Crit.Care Med; 163: 1730-54. Amirkalali, B., Sharifi, F., Fakhrzadeha, H.,
Mirarefeina, M., Ghaderpanahia, M.,
Badamchizadeha, Z., and Larijania, B. 2010. Low Serum Leptin Serves as A Biomarker of Malnutrition In Elderly Patients. Nutr. Res: 30: 314–319 Bethalia, 2010. Pengetahuan Masyarakat tentang Kesehatan (Studi Kasus : Pemahaman Masyarakat Kelurahan Aua Tajungkang Tangah Sawah, Bukittinggi yang Pernah Menderita Penyakit DBD) (skripsi). Padang : Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Boedhi-Darmojo, R. 2010. Teori Proses Menua. In: Martono, M.H., dan Pranarka, K. Buku Ajar Boedhi-Darmojo : Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: BP FK UI. Hal 1-13 Bornstein, S.R., Licinio, J., Tauchnitz, R., Engelmann, L., Negrao, A.B., Gold, P., Chrousos, G.P., 1998. Plasma Leptin Levels are Increased in Survivors of Acute Sepsis: Associated Loss of Diurnal Rhytm, in Cortisol and Leptin Secretion. J Clin Endocrinol Metab. 83:280-283 Bouillanne, O.,
Dupont-Belmont, C., Hay, P., Hamon-Vilcot, B., Cynober, L., and
Aussel, C. 2009. Fat Mass Protects Hospitalized Elderly Persons Against Morbidity and Mortality. Am J Clin Nutr ;90:505–10. Availlable at : www.highwire.com, Accesible :13-9-2010
Boulos, C. 2009. Prevalence of Elderly Malnutrition; Lebanese Data. Saint oseph University: Beirut. Campillo, B., Sherman, E., Richardet, J.P., and Bories, P.N. 2001. Serum Leptin Levels in Alcoholic Liver Cirrhosis: Relationship with Gender, Nutritional status, Liver Function and Energy Metabolism. Eur J Clin Nutr ; 55, 980–988. Available at : www.nature.com/ejcn. Accesible. 6-6-2011. Castel, H., Shahar, D., and Harman-Boehm, I. 2006. Gender Differences in Factors Associated with Nutritional Status of Older Medical Patients. Am Coll Nutr, Vol. 25, No. 2, 128–134 Cederholm, T., arner, P., and Palmbald, J., 1997. Low circulating leptin levels in proteinenergy malnourished chronically ill elderly patients. J Intern Med ; 242: 377–382 Cereda, E., Pusani, C., Limonta, D., and Vanotti, A. 2008. The Association of Geriatric Nutritional Risk Index and Total Lymphocyte Count with Short-Term Nutrition- Related Complications in Institutionalised Elderly. J Am Coll Nutr, Vol. 27, No. 3, 406–413. Available at: www.highwire.org. Accesible : 9-13-2010. Christ-Crain,M., and Opal S.M., 2010. Clinical review: The role of biomarkers in the diagnosis and management of community acquired pneumonia. Crit Care, 14:203 Coulter, B. 2010. Albumin. Available from :www.beckman coulter.com
Crooks, J., Murray, I. P. C., and Wayne, E. J. 1959. Statistical Methods Applied to The Clinical Diagnosis of Tyhrotoxicosis . Quart J Med, 1959, 28, 211. Available at;http//qjmed.oxfordjournals.org/content/28/2.toc. Accessible: 30-082011 Dahlan M.S. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika. Dehghan, M., and Mercahnt, A.T. 2008. Bioelectrical Impedance Accurate for Use in Large Studies ?. Available at : http://www.nutritionj.com/content/7/1/26. Accessible: 2611-2010
Departemen Kesehatan Indonesia. 2007. Profil Kesehatan Indonesia 2005. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Departemen Kesehatan. 2005. Pedoman Pelayanan Kesehatan Usia Lanjut Di Rumah Sakit Umum. Cetakan III. Jakarta: Departemen Kesehatan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Díez, M.L., Santolaria, F., Tejera, A., Alemán, M.R., González-Reimers, E., Milena, A., de la Vega, M.J., Martínez-Riera, A.. 2008. Serum Leptin Levels in Community Acquired Pneumonia (CAP) are Related to Nutritional Status and Not to Acute Phase Reaction. Cytokine. May;42(2):156-60. Available at : http://www.ncbi.nlm. nih. go/pubmed?term. Fatimah-Muis, S., Puruhita, N. 2010. Gizi pada Geriatri. In: Martono, M.H., dan Pranarka, K. Buku Ajar Boedhi-Darmojo : Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: BP FK UI. Hal 626-644. Fern´andez-Riejos, P., Najib, S., Santos-Alvarez, J., Mart´ın-Romero, C., P´erezP´erez , A., Gonz´alez-Yanes, C., and S´anchez-Margalet, V. 2010. Role of Leptin in the Activation of Immune Cells. Hindawi Publishing Corporation : Mediators of Inflammation Available at : www.hindawi.com/journals /mi/2010/568343/ Forster, S., and Gariballa, S., 2005. Age as a Determinant Of Nutritional Status: A Cross Sectional Study. Nutri J, 4:28. available from: http://www.nutritionj.com/content/4/1/28 Freedman, L.S., Kipnis V., Schatzkin,A., Tasevska, N., and Potischman, N.,. 2010. Can we use biomarkers in combination with self-reports to strengthen the analysis of nutritional epidemiologic studies?. Epidemio Persp Inno, 7:2 Furman C.D., Rayner A.V., and Tobin E.V. 2004. Pneumonia in Older Residents of Long-term Care Facilities. Am Farm Physician. 70:1495-500 Gariballa, S.E., Parker, S.G., Taub, N., and Castleden, C.M.. 1998. Influence of Nutritional Status on Clinical Outcome After Acute Stroke. Available at: www.Highwirepress.com . Am J Clin Nutr 1998;68:275–81
Hardini, R.A.. 2005. “Hubungan Status Gizi (Mini Nutritional Assessment) dengan Outcome Hasil Perawatan Penderita di Divisi Geriatri Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang”. (Tesis). Semarang.: Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Rumah Sakit Dokter Kariadi Houseknecht, K. L., Baile, C. A., Matteri, R. L, and. Spurlock, M. E. 1998. The Biology of Leptin : a Review. J Anim Sci. 76: 1405-1420. Hughes, V.A., Roubenoff, R., Wood, M., Frontera, W.R., Evans, W.J., and Singh, M.A.F. 2004. Anthropometric assessment of 10-y changes in body composition in the elderly. Am J Clin Nutr;80:475–82. Hulley S.B., Cummings S.R.. Designing clinical research: an epidemiologic approach. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins. 1988 Institute Européen de Chimie et Biologie, 2009. Cell Biology Promotion. Available at : http://www.cellbiol.net/home/introduction.php. Janssens, J.P.. 2005. Pneumonia in the Elderly (Geriatric) Population. in Current Opinion in Pulmonary Medicine 2005, 11:226—230. Lippincott Williams & Wilkins. Kementrian Kesehatan., 2012. Pedoman Pelayanan Gizi Lanjut Usia. Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kendal-Taylor, P. 1972. Hypertyroidism. Br Med J,
2, 337-341. Available at :
www.bmj.org. Accesible : 30-08-2011. Kirkwood, T.B.L. 2009. Genetics of Age-Dependent Human Disease. In Halter, J.B., Ouslander, J.G., Tinetti, M.E., Studenski, S., High, K.P., and Asthana, S., Hazzard’s : Geriatric Medicine and Gerontology. Ed : 6. The McGraw-Hill Companies, Inc. Kuczmarski, R.J., 2001. Leptin concentrations in US adults. Am J Clin Nutr ;74:277 Lönnqvist, F., Nordfors, L., Jansson, M., Thörne, A., Schalling, M., and Arner, P., 1997. Leptin Secretion from Adipose Tissue in Women : Relationship to Plasma Levels and Gene Expression. J. Clin. Invest.:99: 10
Madiyono, B., Moeslichan, S., Sastroasmoro, S., Budiman, I. dan Purwanto, H.S., 2010. Perkiraan Besar Sampel. Dalam Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis ed Sastroasmoro, S., dan Ismael, S,. Sagung Seto : Jakarta. Malli, F., Papaioannou, A.I., Gourgoulianis, K.I., and Daniil, Z. 2010. The Role of Leptin in The Respiratory System: an Overview. Respiratory Research 2010, 11:152. Accessible. 11-7-2011 Mancuso, P., Huffnagle, G.B., Olszewski, M.A., Phipps, J., and Peters-Golden, M. 2005.Leptin Corrects Host Defense Defects after Acute Starvation in Murine Pneumococcal Pneumonia. Am J Respir Crit Care Med Vol 173. pp 212–218. Available at : www.atsjournals.org Marchira, C.R.,
Wirasto, R.T.,
Sumarni, D.W. 2007. Pengaruh Faktor-Faktor
Psikososial Dan Insomnia Terhadap Depresi Pada Geriatri Di Kota Yogyakarta. Berita Kedokteran Masyarakat Vol. 23, No. 1, Martono, H. 2009. Penderita Geriatri dan Assessmen Geriatri. In: Martono, M.H., dan Pranarka, K. Buku Ajar Boedhi-Darmojo : Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: BP FK UI. Hal 115-141. Marrie,T.J., 2000. Community-Acquired Pneumonia in the Elderly. Clinical Infectious Diseases;31:1066–78 Meier,
U.,
and
Gressner,
A.M.
2004.
Endocrine
Regulation
of
Energy
Metabolism:Review of Pathobiochemical and Clinical Chemical Aspects of Leptin, Ghrelin,Adiponectin, and Resistin. Clin Chem 50:9 .1511–1525 (2004). Available at : www.highwire-press.com. Accessible : 6-6-2011 Mikhail, A.A., Beck, E.X., Shafer, A., Barut, B., Gbur J.S., Zupancic T.J., et. al. 1997. Leptin Stimulates Fetal and Adult Erythroid and Myeloid Developm. Blood ; 89; 1507-12
Miller, R.A., 2009. Biology of Aging and Longevity. In Halter, J.B., Ouslander, J.G., Tinetti, M.E., Studenski, S., High, K.P., and Asthana, S., Hazzard’s : Geriatric Medicine and Gerontology. Ed : 6. The McGraw-Hill Companies, Inc. Mito N., Yoshino H., Hosoda T., and Sato K., 2003. Analysis of the effect of leptin on immune function in vivo using diet-induced obese mice. Journal of Endocrinology ; 180, 167–173 Moore, A. 2003. Community-Acquired Pneumonia. Available of: www.rand.org /content/dam/rand/pubs/ monograph.../mr1282.ch6.pdf Morley,J.E., Miller, D.K., And Perry H.M., 1999. Anorexia of Aging, Leptin, and the Mini Nutritional Assessment (abstract). In Nestle Nutr Workshop Ser Clin Perform Programe. Available at : www. ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11490597. Nasri, H., Shirani, S., and Baradaran, A. 2006. Lipid in Association with Leptin in Maintenance Hemodialysis Patients. J.Med.Sci. 6(2). 173-179. Ozata, M., Ozdemir, I.C., And Licinio, J.. 1999. Human Leptin Deficiency Caused by a Missense Mutation: Multiple Endocrine Defects, Decreased Sympathetic Tone, and Immune System Dysfunction Indicate New Targets for Leptin Action, Greater Central than Peripheral Resistance to the Effects of Leptin, and Spontaneous Correction of Leptin-Mediated Defects. J Clin Endocrinol Metab: 84:10 Pablo, A.M., Izaga, M.A., and Alday, L.A. 2003. Assessment of Nutritional Status on Hospital Admission: Nutritional Scores . Eur J Clin Nutri. Availlable at : www.nature.com, Accesible at : 9-9-2010. Pagana, and Deska, K. 1998. Mosby's Manual of Diagnostic and Laboratory Tests. St. Louis: Mosby, Inc., Palmer, R.M. 2000. Acute Hospital Care : Future Directions. In Acute Emergencies and Critical Care of the Geriatric Patient ed Yoshikawa TT and Norman, D.C., Marcell Dekker Inc : New York.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Pneumonia Komuniti : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perkumpulan Endrokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta : PB Perkeni. Pi-Sunyer, F.X. and Laferre`re, B. 1999. Metabolic Abnormalities and the Role of Leptin in Human Obesity. In Pi-Sunyer , F.X., Laferrere, B., Aronne, L.J., AND Bray, G.A.. Therapeutic Controversy : Obesity—A Modern-Day Epidemic. J Clin Endocrinol Metab: 84:1. Accessible : 11-7-2011 Prins, A. 2010. Nutritional Assessment of the Critically Ill Patient. S Afr J Clin Nutr;23(1):11-18 Quraishi, S.A., Bittner, E.A., Christopher, K.B.,and Camargo, C.A., 2013. Vitamin D Status and Community-Acquired Pneumonia: Results from the Third National Health and Nutrition Examination Survey. Plos One:8:11: Rahman S.A. , Zalifah M.K., Zainorni, M.J., Shafawi, S.,Mimie Suraya, S., Zarina N. And Wan Zainuddin W.A. 1998. Anthropometric measurements of the elderly. Mal J Nutr 4:55-63, Rahmatullah, P.2010. Penyakit Paru pada Usia Lanjut. In: Martono, M.H., dan Pranarka, K. Buku Ajar Boedhi-Darmojo : Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: BP FK UI. Hal 458-480. Ruhl, C.E., and Everhart, J.E.. 2001. Leptin Concentrations in the United States: Relations with Demographic and Anthropometric Measures. Am J Clin Nutr 2001;74:295–301 Sastroasmoro, S., Aminullah, A., Rukman, Y., dan Munasir, Z., 2009. Variabel dan Hubungan Antar Variabel.
Dalam Sastroasmoro, S., dan Ismael, S .Dasar-dasar
Metodologi Penelitian Klinis. 3 ed. Jakarta: Sagung Seto
Schwenk, A., Hodgson, L., Rayner, C.F.J, Griffin, G.E, and Macallan, D.C.,2003. Leptin and energy metabolism in pulmonary tuberculosis. Am J Clin Nutr ;77:392
Senagore, J.A.,2003. Gale Encyclopedia of Surgery: A Guide for Patient and Caregiver. Available at : www.surgeryencyclopedia.com Shamsuzzaman, A.S.M., Winnicki, M., Wolk, R., Svatikova, A., Phillips, B.G., Davison, D.E., Berger, P.B., and Somers, V.K. 2004. Independent Association Between Plasma Leptin and C-Reactive Protein in Helathy Humans.AHA journals. Available at : http://circ/ahajournals.org/content/109/18/2181 Soedarsono. 2010. Pneumonia. Ed Wibisono, M.J., Winariani, Hariadi, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Departemen Ilmu Penyakit Paru, FK Unair-RSUD Dr Soetomo : Surabaya. Southeast Asian Medical Information Center-International Medical Foundation of Japan (SEAMIC-IFJ). 2001. SEAMIC Health Statistic 2000. http://www.seamic-imfj.or.jp Tscho¨p, J., Nogueiras, R., Haas-Lockie, S., Kasten, K.R., Castan˜eda, T.R., Huber, N., Guanciale, K., Perez-Tilve, D., Habegger, K., Ottaway, N., Woods, S.C., Oldfield, B., Clarke, I., Chua, Jr.S., Farooqi, I.S., O’Rahilly, S., Caldwell, C.C., and Tscho¨p, M.H.. 2010. CNS Leptin Action Modulates Immune Response and Survival in Sepsis. J. Neurosci. 30(17):6036–6047 Tsutsumi, R., Tsutsumi, Y.M., Horikawa, Y.T., Takehisa, Y., Hosaka, T., Harada, N., Sakai, T., et al. 2012. Decline in Anthropometric Evaluation Predicts a Poor Prognosis in Geriatric Patients. Asia Pac J Clin Nutr ;21 (1):44-51 Tumbelaka, A.R., Riono, P., Sastroasmoro, S., Wirjodiarjo, M., Pudjiastuti, P., dan Firman, Kemas. 2007. Pemilihan Uji Hipotesis. Dalam Sastroasmoro S., dan Ismael, S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. 3. Ed. Jakarta : Sagung Seto. Hal. 279-330 Usman, H., Akbar. P.S., 2011. Pengantar Statistika. Ed II Yogyakarta : Bumi Akasara.
Verrotti, A., Basciani, F., Morgese, G. and Chiarelli, F., 1998. Leptin levels in non-obese and obese children and young adults with type 1 diabetes mellitus. Eur J Endocrino: 139 49–53 Volkert, D., Bernerb, Y.N., Berryc, E., Cederholmd, T., Bertrande, P.C., Milne, A., et al.. 2006.
ESPEN
Guidelines
on
Enteral
Nutrition:
Geriatrics.
Available
at
:
http://intl.elsevierhealth.com/journals/clnu, Accessible : 9-8-2010. Waterer, G.W., Rello, J., and Wunderink, R.G. 2011. Management of Communityacquired Pneumonia in Adults. Am J Respir Crit Care Med Vol 183. pp 157–164, White, J.V., Guenter, P., Jensen, G., Malone, A., and Schofield, M. 2012. Consensus Statement of the Academy of Nutrition and Dietetics/American Society for Parenteral and Enteral
Nutrition:
Characteristics
Recommended
for
the
Identification
and
Documentation of Adult Malnutrition (Undernutrition). J Acad Nutr Diet.;112:730-738. Wirasto, R, Mukhlas,M, dan
Moetrarsi, 2005, Bobot Pengaruh Faktor-Faktor
Sosiodemografi Terhadap Depresi Pada Usia Lanjut Di Kota Yogyakarta (Tesis). Yogyakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa RS DR Sardjito/Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Wirth, R., Volkert, D., Rosler, A., Sieber, C.C., and Bauer, J.M., 2009. Bioelectrical Impedance Phase Angle is Associated with Hospital Mortality of Geriatric Patients .Arch.Gerontol.Geriatr.(2009), doi:10.1016/j. archger. 2009.12.002. Available at : www.elsevier.com/locate/archger. Access : 2-11-2010 Wulandari, I.Y., Djannah, S.N., dan Utami, I.K.., 2009. Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Menopause dengan Dukungan Sosial Suami Saat Istri Menghadapi Menopause di Desa Somagede Kecamatan Somagede Banyumas. KES MAS Vol. 3, No. 3, Yang, R., and Barouch, L.A., 2007. Leptin Signaling and Obesity: Cardiovascular Consequences.
Circ.
Res.;101;545-559.
Available
at
:
http://circres.ahajournals.org/cgi/content/full/101/6/545. access : 25-5-2011 Yeh, S.S., Schuster, M.W., 1999. Geriatric Cachexia: the Role of Cytokines. Am J Clin Nutr ,70:183–97.
Lampiran 1 Jadwal Penelitian
Rencana penelitian ini yaitu :
No
Kegiatan
2011 Mei
1
Pembuatan dan presentasi proposal
2
Persiapan pelaksanaan penelitian
3
Pengambilan sampel
4
Pengolahan data simpulan
dan
Jun
Juli
Ags
2012 Sep
Okt
Nov
Des
Jul
Sept Okt
Des
Lampiran 2
Anggaran Penelitian
Anggaran penelitian untuk pembelian reagen dan material lain untuk penelitian disusun sebagai berikut :
Kegiatan 1
2
3
Jumlah
Pembelian kertas dan alat-alat tulis a. Kertas, Fotokopi dan alat tulis
Rp. 2.000.000,-
b. Tinta printer
Rp.
500.000,-
Pembelian bahan dan reagen penelitian a. Pmeriksaan kadar leptin 80pasien
Rp.12.000.000,-
b.Pemeriksaan Albumin 80 pasien @ Rp. 60.000
Rp. 4.800.000,-
c..Pemeriksaan Darah Lengkap 80 pasien @ Rp.40.000,-
Rp. 3.200.000,-
d. Pemeriksaan AGD +elek 80 pasien @ Rp 150.000,-
Rp 12.000.000,-
e. Pemeriksaan BUN 80 pasien @ Rp. 30.000,-
Rp. 2.400.000,-
f. Pemeriksaan Foto thorax 80 pasien @ Rp. 50.000,-
Rp. 4.000.000,-
Kebutuhan di lapangan a. Transportasi
Rp. 500.000,-
b. Konsumsi
Rp. 500.000,-
4
Analisa Data
Rp. 1.500.000,-
5
Percetakan dan pengadaan hasil
Rp.3.000.000,-
6
Seminar Proposal dan Hasil Penelitian
Rp. 6.000.000,-
Jumlah Total
Rp. 52.400.000,-
Lampiran 3.
INFORMASI PADA PASIEN DAN FORMULIR PERSETUJUAN IKUT SERTA DALAM PENELITIAN
Kami mengharapkan partisipasi anda dalam penelitian ilmiah yang akan dilakukan oleh dr. I Gede Agus Sastrawan.
Secara keseluruhan 70 peserta termasuk anda akan berperan serta. Sebelum memutuskan untuk ikut serta dalam penelitian ini, anda membaca informasi ini dan peneliti akan memberikan informasi yang seluas - luasnya bagi anda yang belum mengerti akan penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar leptin sebagai biomarker status nutrisi dengan beratnya derajat pneumonia penderita Geriatri yang rawat inap di RSUP Sanglah, Denpasar. Pada penelitian ini akan dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Bila anda ikut serta pada penelitian ini maka anda akan diwawancarai dan menjawab beberapa pertanyaan dan dilakukan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan darah. Pada pemeriksaan laboratorium maka akan diperlukan darah anda sebanyak 10 cc untuk pemeriksaan limfosit total dan Albumin. Pada pemeriksaan laboratorium ini anda tidak akan dipungut biaya dan anda berhak untuk mengetahui hasil pemeriksaan laboratorium tersebut.
Data - data yang terkumpul nantinya akan dianalisis dan disimpan dalam komputer tanpa disertai identitas anda. Hasil dari penelitian ini mungkin nantinya akan dipublikasikan di majalah kesehatan tanpa disertai identitas anda.
Petugas yang ditunjuk dari lembaga pemerintahan atau karyawan dari perusahaan tanpa melanggar kerahasiannya akan menjaga riwayat kesehatan anda dan melakukan wawancara dan pemeriksaan fisik dan laboratorium secara baik dan benar. Hal ini akan dapat dilakukan atas seizin anda dan anda telah memahami dan menandatangani informasi penelitian ini. Apabila dengan partisipasi anda dalam penelitian ini dirasakan terdapat hal –hal yang merugikan dan terbukti maka peneliti akan mengganti rugi sesuai dengan hukum yang berlaku.
Bilamana terdapat informasi yang belum jelas dan menimbulkan pertanyaan bagi anda atau pada kasus yang merugikan anda yang ikut berperan serta maka anda dapat menghubungi peneliti
dr. I Gede Agus Sastrawan
telp 081353227303
Peneliti juga menghaturkan terima kasih yang sebesar - besarnya pada anda yang berperan serta ataupun yang tidak dalam penelitian ini dan permohonan maaf bila ada yang kurang berkenan bagi anda.
dr. I Gede Agus Sastrawan.
Lampiran 4 FORMULIR PERSETUJUAN PENELITIAN Saya (nama, huruf cetak ) ..........................................................................................
Telah membaca informasi penelitian, dan telah berdiskusi mengenai penelitian ini dengan dr (huruf cetak) ..........................................................dan sudah memahami hal – hal yang menyangkut penelitian ini.
PASIEN Saya bersedia untuk ikut serta dalam penelitian
..................................... Tanggal
....................................... tanda tangan
PENELITI
Saya telah menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian ini kepada pasien atas nama tersebut diatas
...................................
.......................................
Tanggal
tanda tangan
Lampiran 5 FORMULIR PENGUMPULAN DATA HUBUNGAN KADAR LEPTIN SEBAGAI BIOMARKER STATUS NUTRISI DENGAN BERAT DERAJAT PNEUMONIA KOMUNITI PASIEN GERIATRI DI RSUP SANGLAH, DENPASAR
I. IDENTITAS 1. Nomor/Kode penelitian : 2. Tanggal pengambilan data
:
3. Nama
:
4. Jenis kelamin
:
5. Umur
:
6. Alamat
:
7. Suku bangsa
:
8. Nomor telp
:
9. Pendidikan
:
10. Pekerjaaan
:
11. Status perkawinan
:
12. No CM
:
L/P
belum menikah/menikah/duda/janda
II. Status Nutrisi 1. Data Antropometri A. Klasifikasi Gassul 1. Arm Circumference
: ..............................cm
2. Triceps Skinfold thickness
: .............................cm
3. Arm-muscle circumference : ..................................
2. Instant Nutritional Assessment (INA) 1. Albumin serum
: .............................gr/dL
2. Total Lymphosit Darah
:...............................cells/mm3
3. Klasifikasi INA
:
1) serum albumin ≥ 3,5 gr/dl; Total lymphosit darah ≥ 1500 cells/mm3 2)
serum albumin ≥ 3,5 gr/dl; total lymphosit darah < 1500 cells/mm3
3) serum albumin < 3,5 gr/dl; total lymphosit darah ≥ 1500 cells/mm3 4) serum albumin < 3,5 gr/dl; total lymphosit darah <1500 cells/mm3
3. Mini Nutritional Assessment (MNA) A. Apakah konsumsi makanan menurun dalam 3 bulan terkahir akibat penurunan nafsu makan, gangguan pencernaan, kesulitan mengunyah atau menelan? 0 = penurunan konsumsi makanan berat 1 = penurunan konsumsi makanan sedang 3 = tidak ada penurunan konsumsi makanan B. Penurunan berat badan dalam 3 bulan 0 = penurunan berat badan > 3 kg 1 = tidak tahu 2 = penurunan berat badan 1-3 kg 3 = tidak ada penurunan berat badan C. Mobilitas 0 = tergantung di tempat tidur atau kursi
1 = dapat keluar dari tempat tidur atau kursi, tapi tidak dapat keluar kamar 2 = keluar kamar D. Pernah menderita stress psikologis atau penyakit akut dalam 3 bulan terakhir ? 0 = ya 2 = tidak E. Gangguan Neuropsikologis 0 = demensia atau depresi berat 1 = demensia ringan 2 = tidak ada gangguan psikologis F. Indeks Massa Tubuh (IMT) (kg/m2) 0 = IMT < 19 1 = IMT 19-<21 2 = IMT 21-<23 3= IMT ≥ 23 G. Hidup mandiri (tidak di rumah perawatan atau rumah sakit) 1 = ya 0 = tidak H. Minum obat lebih dari 3 obat perhari : 0 = ya 1 = tidak I.
Pressure sore atau ulkus kulit 0= ya 1 = tidak
J. Berapa kali pasien makan makanan secara penuh sehari : 0 = 1 kali 1 = 2 kali 3 = 3 kali K. Pilihan konsumsi protein -
Paling sedikit satu porsi produk susu (susu, keju, yogurt) perhari
-
Dua kali atau lebih konsumsi legumes atau telur per minggu
-
Daging, ikan atau unggas setiap hari
0,0 = jika 0 atau 1 ya 0,5 = jika 2 ya 1,0 = jika 3 ya L. Konsumsi 2 atau lebih dari buah atau sayur perhari 0 = tidak 1 = ya M. Berapa banyak cairan (air, jus, kopi, teh, susu) dikonsumsi perhari : 0,0 = kurang dari 3 gelas 0,5 = 3 – 5 gelas 1,0 = lebih dari 5 gelas N. Cara Makan : 0 = tidak bisa makan tanpa bantuan 1 = makan sendiri dengan beberapa penyulit 2 = makan sendiri tanpa ada penyulit O. Pandangan diri sendiri terhadap status nutrisi 0 = menilai diri sebagai malnutrisi 1 = ragu-ragu mengenai status nutrisi 2 = menilai diri tidak memilik masalah nutrisi P. Dibandingkan dengan orang lain yang usianya sama, bagaimana penilaian pasien terhadap status kesehatan diri pasien sendiri ? 0,0 = tidak lebih baik 0,5 = tidak tahu 1,0 = sama baiknya 2,0 = lebih baik Q. Mid-arm circumference (MAC) dalam cm 0,0 = MAC < 21 0,5 = MAC 21-22 1,0 = MAC >22 R. Calf circumference (CC) dalam CM 0 = CC < 31 1 = CC ≥ 31 Total skor : ..........................
7. poin ≥ 24 : status normal nutrisi, 8. poin 17-23,5 status berisiko malnutrisi, 9. poin < 17, status malnutirisi. 4. Kadar Leptin : ..........................pg/mL (Normal 1-50ng/ml) III. Derajat Berat Pneumonia Komuniti 1. Diagnosis Pneumonia No
Gejala/Tanda
Ya
1
foto toraks trdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif
2
batuk-batuk
3
Dahak
4
Demam
5
Tanda konsolidasi
6
Suara nafas bronkhial
7
Suara nafas rhonki
8
Leukosist >10.000 atau < 4.500
Tidak
2. Derajat beratnya pneumonia
Tabel 1. Sistem skor pada pneumonia komuniti berdasarkan PORT( PDPI, 2003; Soedarsono. 2010). Karakteristik Penderita
Jumlah Poin
Faktor Demografi
Usia : Laki-laki Perempuan
Perawatan Di rumah
Penyakit Penyerta
Umur (tahun) Umur (tahun)-10 +10
Keganasan
+30
Pemyakit Hati
+20
Gagal Jantung Kongestif
+10
Penyakit Cerebrovaskuler
+10
Penyakit Ginjal
+10
Pemeriksaan Fisik
Poin Pasien
Perubahan status mental
+20
Pernafasan ≥ 30 X/menit
+20
Tekanan darah sistolik ≤ 90 mmHg
+20
0
Suhu Tubuh < 35 C atau ≥40 C
+15
Nadi ≥ 125 kali/menit
+10
0
Hasil Laboratorium/Radiologi
Analisis Gas darah arteri : pH < 7,35
+30
BUN > 30 mg/dL
+20
Natrium < 130 mEq/L
+20
Glukosa > 250 mg/dL
+10
Hematokrit < 30 %
+10
PO2 ≤ 60 mmHg
+10
Efusi pleura
+10
Total Skor
Derajat Skor Risiko Menurut PORT (PDPI, 2003; Soedarsono. 2010)
Kelas Risiko
Total Skor
I
Tidak diprediksi
II
≤ 70
III
71-90
IV
91-130
V
130
Lampiran 6
ALUR PEMERIKSAAN KADAR LEPTIN PASIEN
1.Persiapkan reagen, standard, dan sampel
2. Tambahkan 100 µL AssayDiluent RD 1-19 pada tabung reakis
3. Tambahkan 100 µL Leptin Standard atau Sampel pada masing-masing tabung reaksi Inkubasi 2 jam. RT 4. Aspirasi dan cuci 4 kali (Wash Buffer Concentrate)
5. Tambahkan 200 µL Leptin Conjugate. Tutup dengan tutup Pita perekat. Inkubasi selama 1 jam. RT
6. Aspirasi dan cuci 4 kali (Wash Buffer Concentrate)
7. Tambahkan 200 µL Color Reagent A dan B ke setiap tabung reaksi. Inkubasi selama 30 menit. RT. Lindungi dari sinar
8. Tambahkan 50 µL Stop Solution ke masing, Dibaca pada 450 nm selama 30 menit λ koreksi 540 sampai 570 nm
Lampiran7: Batas Nilai Antropometri Geriatri (Rahman et. al, 1998)
Lampiran 9 : Hasil Pemeriksaan Kadar Leptin di Laboratorium Prodia
Lampiran 10 : Hasil Analisis Data Dengan Perangkat Lunak Komputer
N Normal Mean Parameters a,b Std. Deviation
ARM _CIR CUM KLAS FER IFIKA ENC SI_A E C 80 80 22.13 .98 13 4.388 .842 38
Most Absolute .135 Extreme Positive .135 Differences Negative -.073 Kolmogorov-Smirnov Z 1.208 Asymp. Sig. (2-tailed) .108 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
.239 .239 -.226 2.139 .000
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test INST TRIC ARM ANT_ EPS_ _MU NUT SKIN Klasifi SCLE RITIO FOLD kasi_ _CIR Klasifik NAL_ KLAS _THI Maln CUM asi_Mal ASSE SKO IFIKA CKN utrisi_ FERE nutrisi_ SSM R_M SI_M ESS TSF NCE AMC ENT NA NA 80 80 80 80 80 80 80 1.218 .89 18.30 .14 3.36 16.25 2.36 1 63 6 .7944 .421 3.147 .347 .931 6.265 .716 1 48 7
KELA PSI_ S_RE SKO SIKO R _PSI 80 80 135.2 4.28 6 43.15 .886 5
.153 .153 -.139 1.367 .048
.099 .099 -.056 .883 .417
.455 .357 -.455 4.073 .000
.073 .073 -.066 .654 .785
.517 .517 -.346 4.622 .000
.391 .247 -.391 3.495 .000
.066 .066 -.065 .590 .877
.313 .194 -.313 2.803 .000
.319 .206 -.319 2.849 .000
ST U N RI KELO S MPO U LEPT K_LE LE IN PTIN I 80 80 5722. 1.78 4750 1511 1.253 . 3.162 85 .372 .369 . .325 .369 . -.372 -.268 -. 3.326 3.304 4. .000 .000 .
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
N Normal Mean Parame tersa,b Std. Deviati on
Trans _Inst ant_n trans trans utritio _Tric _Tric nal_a eps_ eps_ ssess Skin_ Skin_ mentl Foldl Foldl ngam g10 n ma 80 80 80 .0100 .0231 1.228 9
tran s_l trans epti _lepti trans trans n_L trans n_lng trans _limfo trans _lepti G1 _lepti amm _umu sit_lo _limfo n_sqr 0 n_ln a rlog g sit_ln t 80 80 80 80 80 80 80 3.3 7.654 5052 1.856 2.929 6.745 57.05 244 7 9.347 2 3 0 49 1 .7772 .51 1.190 1.595 .0504 .3378 .7778 49.98 2 704 52 04E5 0 2 6 438
.2543 7
.5857 0
Absolut e Positive
.122
.122
.403
.114
.114
.234
Negativ e
-.122
-.122
-.403
Kolmogorov1.089 1.089 Smirnov Z Asymp. Sig. (2.186 .186 tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
3.605
Most Extrem e Differen ces
.000
.20 2 .19 4 .20 2 1.8 03 .00 3
.202
.386
.162
.108
.108
.280
.194
.334
.162
.061
.061
.230
-.202
-.386
-.080
-.108
-.108
-.280
1.803
3.455
1.448
.965
.965
2.505
.003
.000
.030
.310
.310
.000
tran s_l tra epti trans trans s_ n_p _lepti trans _lepti trans ep ers n_ab _lepti n_RN _lepti n_ qrt s n_cos d n_Sin un 80 80 80 80 80 8 .02 5722. .1730 5722. .3596 57 50 4750 4750 2 75 .01 1511 .6936 1511 .6084 15 090 3.162 8 3.162 7 1 85 85 16 8 .21 .372 .309 .372 .261 .3 5 .16 .325 .129 .325 .151 .3 1 - -.372 -.309 -.372 -.261 .21 .3 5 1.9 3.326 2.764 3.326 2.334 3 23 2 .00 .000 .000 .000 .000 .0 1
N Normal Parametersa,b Most Extreme Differences Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test trans_trans_leptin_lg10_ln 80 Mean .8792 Std. Deviation .06318 Absolute .199 Positive .199 Negative -.189 1.777 .004
trans_trans_leptin_ln_lg10 80 1.1904 .14547 .199 .199 -.189 1.777 .004
Descriptive Statistics
N
Std. Deviati on 8.802 .606 1.087 1.458 4.3883 8 .842 .79441
UMUR KELOMPOK_UMUR PENDIDIKAN PEKERJAAN ARM_CIRCUMFERENCE
80 80 80 80 80
Mean 72.30 .39 .79 1.78 22.1313
KLASIFIKASI_AMC TRICEPS_SKINFOLD_THI CKNESS Klasifikasi_Malnutrisi_TSF ARM_MUSCLE_CIRCUMF ERENCE Klasifikasi_Malnutrisi_AMC ALBUMIN TOTAL_LYMPOSIT
80 80
.98 1.2181
80 80
.89 18.3063
80 80 80
.14 2.9307 1117.94
INSTANT_NUTRITIONAL_ ASSESSMENT SKOR_MNA KLASIFIKASI_MNA PSI_SKOR KELAS_RESIKO_PSI LEPTIN
80
3.36
.421 3.1474 8 .347 .64529 942.91 8 .931
80 80 80 80 80
STATUS_NUTRISI_SESU AI_LEPTIN
80
16.256 2.36 135.26 4.28 5722.475 0 .14
6.2657 .716 43.155 .886 15113. 16285 .347
Percentiles 50th (Median) 70.00 .00 1.00 1.00 22.0000
75th 77.50 1.00 1.00 2.00 24.0000
.00 .6000
1.00 1.0000
2.00 1.5000
2 27.16
1.00 16.3250
1.00 18.4300
1.00 20.4300
0 1.60 100
1 4.80 7100
.00 2.5000 537.50
.00 2.9000 1005.00
.00 3.3975 1370.00
1
4
3.00
4.00
4.00
4.0 1 60 2 780.00
28.0 3 249 5 126213.00
11.250 2.00 97.25 4.00 780.0000
20.375 3.00 169.00 5.00 3910.0000
0
1
.00
16.750 2.50 133.50 5.00 1485.500 0 .00
Minimu m 60 0 0 0 9.00
Maximum 98 2 5 5 36.00
25th 66.00 .00 .00 1.00 19.0000
0 .30
2 4.20
0 7.12
JENIS_KELAMIN
Valid
Laki-Laki Perempuan Total
Frequency 52 28 80
Percent 65.0 35.0 100.0
Valid Percent 65.0 35.0 100.0
Cumulative Percent 65.0 100.0
.00
KELOMPOK_UMUR
Valid
Lanjut_Usia(60-74) Lansia_Tua(75-90) Sangat_Tua(>90) Total
Frequency 54 21 5 80
Percent 67.5 26.3 6.3 100.0
Valid Percent 67.5 26.3 6.3 100.0
Cumulative Percent 67.5 93.8 100.0
PENDIDIKAN
Valid
Frequency 39 31 3 3 4 80
Tidak Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA S1-Derajat Total
Percent 48.8 38.8 3.8 3.8 5.0 100.0
Valid Percent 48.8 38.8 3.8 3.8 5.0 100.0
Cumulative Percent 48.8 87.5 91.3 95.0 100.0
PEKERJAAN
Valid
Tidak Petani Pedagang Buruh Pensiunan PNS Lain Total
Frequency 6 45 13 2 5 9 80
Percent 7.5 56.3 16.3 2.5 6.3 11.3 100.0
Valid Percent 7.5 56.3 16.3 2.5 6.3 11.3 100.0
Cumulative Percent 7.5 63.8 80.0 82.5 88.8 100.0
STATUS_PERKAWINAN
Valid
Tidak Menikah Duda Janda Total
Frequency 1 64 7 8 80
Percent 1.3 80.0 8.8 10.0 100.0
Valid Percent 1.3 80.0 8.8 10.0 100.0
Cumulative Percent 1.3 81.3 90.0 100.0
KLASIFIKASI_AMC
Valid
Undernutrition normal Overnutrition Total
Frequency 29 24 27 80
Percent 36.3 30.0 33.8 100.0
Valid Percent 36.3 30.0 33.8 100.0
Cumulative Percent 36.3 66.3 100.0
Klasifikasi_Malnutrisi_TSF
Valid
Undernutrisi Normal Overnutrisi Total
Frequency 12 65 3 80
Percent 15.0 81.3 3.8 100.0
Valid Percent 15.0 81.3 3.8 100.0
Cumulative Percent 15.0 96.3 100.0
Klasifikasi_Malnutrisi_AMC
Valid
Valid
Undernutrisi Normal Total
Frequency 69 11 80
Percent 86.3 13.8 100.0
Valid Percent 86.3 13.8 100.0
Cumulative Percent 86.3 100.0
INSTANT_NUTRITIONAL_ASSESSMENT Freque ncy Percent Valid Percent ALB >= 3,5; LIMFOSIT > 1500 3 3.8 3.8 ALB >= 3,5; LIMFOSIT < 1500 16 20.0 20.0 ALB < 3,5; LIMFOSIT >1500 10 12.5 12.5 ALB < 3,5; LIMFOSIT < 1500 51 63.8 63.8 Total 80 100.0 100.0
Cumulative Percent 3.8 23.8 36.3 100.0
KLASIFIKASI_MNA
Valid
NORMAL BERESIKO MALNUTRISI MALNUTRISI Total
Frequency 11 29 40 80
Percent 13.8 36.3 50.0 100.0
Valid Percent 13.8 36.3 50.0 100.0
Cumulative Percent 13.8 50.0 100.0
KELAS_RESIKO_PSI
Valid
Frequency 3 14 21 42 80
<=70 71-90 91-130 > 130 Total
Percent 3.8 17.5 26.3 52.5 100.0
Cumulative Percent 3.8 21.3 47.5 100.0
Valid Percent 3.8 17.5 26.3 52.5 100.0
KELOMPOK_LEPTIN
Valid
Kelompok Leptin Sangat Rendah Kelompok Leptin Rendah Kelompok Leptin Normal Kelompok Leptin Tinggi Kelompok Leptin Sangat Tinggi Total
Frequency 51
Percent 63.8
Valid Percent 63.8
11 10 1 7 80
13.8 12.5 1.3 8.8 100.0
13.8 12.5 1.3 8.8 100.0
Cumulative Percent 63.8 77.5 90.0 91.3 100.0
STATUS_NUTRISI_SESUAI_LEPTIN
Valid
Frequency 66 14 80
Undernutrisi Normal Total
Percent 82.5 17.5 100.0
Cumulative Percent 82.5 100.0
Valid Percent 82.5 17.5 100.0
Group Statistics JENIS_KELAMIN PSI_SKOR
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Laki-Laki
52
139.88
40.235
5.580
Perempuan
28
126.68
47.683
9.011
dim e nsio n1
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
PSI_ SKO R
Equal variances assumed Equal variances not assumed
F 1.706
Sig. .195
t 1.311
df 78
1.246
47.94 1
Sig. Std. (2Mean Error tailed Differen Differen ) ce ce .194 13.206 10.070 .219
13.206
10.599
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -6.842 33.254 -8.105
34.517
JENIS_ Laki-Laki KELAM IN
Perempu an
Total
JENIS_KELAMIN * KELOMPOK_LEPTIN Crosstabulation KELOMPOK_LEPTIN Kelompok Leptin Kelompok Kelompok Kelompok Sangat Leptin Leptin Leptin Rendah Rendah Normal Tinggi Count 32 11 3 1 % within 61.5% 21.2% 5.8% 1.9% JENIS_KEL AMIN % of Total 40.0% 13.8% 3.8% 1.3% Count 19 0 7 0 % within 67.9% .0% 25.0% .0% JENIS_KEL AMIN % of Total 23.8% .0% 8.8% .0% Count 51 11 10 1 % within 63.8% 13.8% 12.5% 1.3% JENIS_KEL AMIN % of Total 63.8% 13.8% 12.5% 1.3%
Kelompok Leptin Sangat Tinggi 5 9.6%
Total 52 100.0%
6.3% 2 7.1%
65.0% 28 100.0%
2.5% 7 8.8%
35.0% 80 100.0%
8.8%
100.0%
KELOMPOK_UMUR * KELOMPOK_LEPTIN Crosstabulation KELOMPOK_LEPTIN Kelompok Leptin Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Sangat Leptin Leptin Leptin Leptin Sangat Rendah Rendah Normal Tinggi Tinggi KELOMPOK_ Lanjut_Usia Count 34 6 8 1 5 UMUR (60-74) % within 63.0% 11.1% 14.8% 1.9% 9.3% KELOMPOK_ UMUR % within 66.7% 54.5% 80.0% 100.0% 71.4% KELOMPOK_ LEPTIN % of Total 42.5% 7.5% 10.0% 1.3% 6.3% Lansia_Tua Count 12 5 2 0 2 (75-90) % within 57.1% 23.8% 9.5% .0% 9.5% KELOMPOK_ UMUR % within 23.5% 45.5% 20.0% .0% 28.6% KELOMPOK_ LEPTIN % of Total 15.0% 6.3% 2.5% .0% 2.5% Sangat_Tua Count 5 0 0 0 0 (>90) % within 100.0% .0% .0% .0% .0% KELOMPOK_ UMUR % within 9.8% .0% .0% .0% .0% KELOMPOK_ LEPTIN % of Total 6.3% .0% .0% .0% .0% Total Count 51 11 10 1 7 % within 63.8% 13.8% 12.5% 1.3% 8.8% KELOMPOK_ UMUR % within 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% KELOMPOK_ LEPTIN
Total 54 100.0%
67.5%
67.5% 21 100.0%
26.3%
26.3% 5 100.0%
6.3%
6.3% 80 100.0%
100.0%
KELOMPOK_UMUR * KELOMPOK_LEPTIN Crosstabulation KELOMPOK_LEPTIN Kelompok Leptin Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Sangat Leptin Leptin Leptin Leptin Sangat Rendah Rendah Normal Tinggi Tinggi KELOMPOK_ Lanjut_Usia Count 34 6 8 1 5 UMUR (60-74) % within 63.0% 11.1% 14.8% 1.9% 9.3% KELOMPOK_ UMUR % within 66.7% 54.5% 80.0% 100.0% 71.4% KELOMPOK_ LEPTIN % of Total 42.5% 7.5% 10.0% 1.3% 6.3% Lansia_Tua Count 12 5 2 0 2 (75-90) % within 57.1% 23.8% 9.5% .0% 9.5% KELOMPOK_ UMUR % within 23.5% 45.5% 20.0% .0% 28.6% KELOMPOK_ LEPTIN % of Total 15.0% 6.3% 2.5% .0% 2.5% Sangat_Tua Count 5 0 0 0 0 (>90) % within 100.0% .0% .0% .0% .0% KELOMPOK_ UMUR % within 9.8% .0% .0% .0% .0% KELOMPOK_ LEPTIN % of Total 6.3% .0% .0% .0% .0% Total Count 51 11 10 1 7 % within 63.8% 13.8% 12.5% 1.3% 8.8% KELOMPOK_ UMUR % within 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% KELOMPOK_ LEPTIN % of Total 63.8% 13.8% 12.5% 1.3% 8.8%
PENDI DIKAN
PENDIDIKAN * KELOMPOK_LEPTIN Crosstabulation KELOMPOK_LEPTIN Kelompo k Leptin Kelompo Kelompok Kelompok Sangat k Leptin Leptin Kelompok Leptin Sangat Rendah Rendah Normal Leptin Tinggi Tinggi Tidak Count 27 5 4 0 3 % within 69.2% 12.8% 10.3% .0% 7.7% PENDIDIKAN % within 52.9% 45.5% 40.0% .0% 42.9% KELOMPOK_LE PTIN % of Total 33.8% 6.3% 5.0% .0% 3.8% Tama Count 20 3 4 1 3 t SD % within 64.5% 9.7% 12.9% 3.2% 9.7% PENDIDIKAN
Total 54 100.0%
67.5%
67.5% 21 100.0%
26.3%
26.3% 5 100.0%
6.3%
6.3% 80 100.0%
100.0%
100.0%
Total 39 100.0% 48.8%
48.8% 31 100.0%
Tama t SMP
Tama t SMA
S1Deraj at
Total
% within KELOMPOK_LE PTIN % of Total Count % within PENDIDIKAN % within KELOMPOK_LE PTIN % of Total Count % within PENDIDIKAN % within KELOMPOK_LE PTIN % of Total Count % within PENDIDIKAN % within KELOMPOK_LE PTIN % of Total Count % within PENDIDIKAN % within KELOMPOK_LE PTIN % of Total
39.2%
27.3%
40.0%
100.0%
42.9%
38.8%
25.0% 1 33.3%
3.8% 0 .0%
5.0% 1 33.3%
1.3% 0 .0%
3.8% 1 33.3%
38.8% 3 100.0%
2.0%
.0%
10.0%
.0%
14.3%
3.8%
1.3% 1 33.3%
.0% 1 33.3%
1.3% 1 33.3%
.0% 0 .0%
1.3% 0 .0%
3.8% 3 100.0%
2.0%
9.1%
10.0%
.0%
.0%
3.8%
1.3% 2 50.0%
1.3% 2 50.0%
1.3% 0 .0%
.0% 0 .0%
.0% 0 .0%
3.8% 4 100.0%
3.9%
18.2%
.0%
.0%
.0%
5.0%
2.5% 51 63.8%
2.5% 11 13.8%
.0% 10 12.5%
.0% 1 1.3%
.0% 7 8.8%
5.0% 80 100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
63.8%
13.8%
12.5%
1.3%
8.8%
100.0%
PEKERJAAN * KELOMPOK_LEPTIN Crosstabulation KELOMPOK_LEPTIN Kelompok Leptin Kelompok Kelompok Sangat Leptin Leptin Rendah Rendah Normal PEKER Tidak Count 3 1 2 JAAN % within 50.0% 16.7% 33.3% PEKERJAAN % within 5.9% 9.1% 20.0% KELOMPOK_LEPT IN % of Total 3.8% 1.3% 2.5% Petani Count 32 7 2 % within 71.1% 15.6% 4.4% PEKERJAAN % within 62.7% 63.6% 20.0% KELOMPOK_LEPT IN % of Total 40.0% 8.8% 2.5% Pedagang Count 7 0 4
Kelompo k Leptin Tinggi 0 .0% .0%
.0% 1 2.2%
Kelompo k Leptin Sangat Tinggi Total 0 6 .0% 100.0% .0%
7.5%
.0% 7.5% 3 45 6.7% 100.0%
100.0%
42.9%
56.3%
1.3% 0
3.8% 2
56.3% 13
Buruh
Pensiuna n PNS
Lain
Total
STATUS _PERKA WINAN
Tidak
Menikah
Duda
% within PEKERJAAN % within KELOMPOK_LEPT IN % of Total Count % within PEKERJAAN % within KELOMPOK_LEPT IN % of Total Count % within PEKERJAAN % within KELOMPOK_LEPT IN % of Total Count % within PEKERJAAN % within KELOMPOK_LEPT IN % of Total Count % within PEKERJAAN % within KELOMPOK_LEPT IN % of Total
53.8%
.0%
30.8%
.0%
15.4% 100.0%
13.7%
.0%
40.0%
.0%
28.6%
8.8% 1 50.0%
.0% 0 .0%
5.0% 1 50.0%
.0% 0 .0%
2.0%
.0%
10.0%
.0%
.0%
1.3% 2 40.0%
.0% 3 60.0%
1.3% 0 .0%
.0% 0 .0%
.0% 2.5% 0 5 .0% 100.0%
3.9%
27.3%
.0%
.0%
.0%
2.5% 6 66.7%
3.8% 0 .0%
.0% 1 11.1%
.0% 0 .0%
.0% 6.3% 2 9 22.2% 100.0%
11.8%
.0%
10.0%
.0%
28.6%
7.5% 51 63.8%
.0% 11 13.8%
1.3% 10 12.5%
.0% 1 1.3%
2.5% 11.3% 7 80 8.8% 100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0% 100.0%
63.8%
13.8%
12.5%
1.3%
8.8% 100.0%
16.3%
2.5% 16.3% 0 2 .0% 100.0% 2.5%
6.3%
11.3%
STATUS_PERKAWINAN * KELOMPOK_LEPTIN Crosstabulation KELOMPOK_LEPTIN Kelompok Leptin Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Sangat Leptin Leptin Leptin Leptin Sangat Rendah Rendah Normal Tinggi Tinggi Count 1 0 0 0 0 % within 100.0% .0% .0% .0% .0% STATUS_PERKAW INAN % within 2.0% .0% .0% .0% .0% KELOMPOK_LEPT IN % of Total 1.3% .0% .0% .0% .0% Count 42 9 8 1 4 % within 65.6% 14.1% 12.5% 1.6% 6.3% STATUS_PERKAW INAN % within 82.4% 81.8% 80.0% 100.0% 57.1% KELOMPOK_LEPT IN % of Total 52.5% 11.3% 10.0% 1.3% 5.0% Count 4 1 0 0 2
Total 1 100.0%
1.3%
1.3% 64 100.0%
80.0%
80.0% 7
Janda
Total
% within STATUS_PERKAW INAN % within KELOMPOK_LEPT IN % of Total Count % within STATUS_PERKAW INAN % within KELOMPOK_LEPT IN % of Total Count % within STATUS_PERKAW INAN % within KELOMPOK_LEPT IN % of Total
57.1%
14.3%
.0%
.0%
28.6%
100.0%
7.8%
9.1%
.0%
.0%
28.6%
8.8%
5.0% 4 50.0%
1.3% 1 12.5%
.0% 2 25.0%
.0% 0 .0%
2.5% 1 12.5%
8.8% 8 100.0%
7.8%
9.1%
20.0%
.0%
14.3%
10.0%
5.0% 51 63.8%
1.3% 11 13.8%
2.5% 10 12.5%
.0% 1 1.3%
1.3% 7 8.8%
10.0% 80 100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
63.8%
13.8%
12.5%
1.3%
8.8%
100.0%
JENIS_KELAMIN * KELAS_RESIKO_PSI Crosstabulation KELAS_RESIKO_PSI <=70 JENIS_KE Laki-Laki
Count
LAMIN
%
71-90
91-130
> 130
Total
1
8
11
32
52
within
1.9%
15.4%
21.2%
61.5%
100.0%
within
33.3%
57.1%
52.4%
76.2%
65.0%
1.3%
10.0%
13.8%
40.0%
65.0%
2
6
10
10
28
within
7.1%
21.4%
35.7%
35.7%
100.0%
within
66.7%
42.9%
47.6%
23.8%
35.0%
2.5%
7.5%
12.5%
12.5%
35.0%
3
14
21
42
80
within
3.8%
17.5%
26.3%
52.5%
100.0%
within
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
3.8%
17.5%
26.3%
52.5%
100.0%
JENIS_KELAMIN %
KELAS_RESIKO_PSI % of Total Perempuan
Count % JENIS_KELAMIN %
KELAS_RESIKO_PSI % of Total Total
Count % JENIS_KELAMIN %
KELAS_RESIKO_PSI % of Total
KELOMPOK_UMUR * KELAS_RESIKO_PSI Crosstabulation KELAS_RESIKO_PSI <=70 KELOMP
Lanjut_Usia( Count
OK_UMU
60-74)
R
%
71-90
91-130
> 130
Total
3
8
17
26
54
within
5.6%
14.8%
31.5%
48.1%
100.0%
within
100.0%
57.1%
81.0%
61.9%
67.5%
3.8%
10.0%
21.3%
32.5%
67.5%
0
5
3
13
21
within
.0%
23.8%
14.3%
61.9%
100.0%
within
.0%
35.7%
14.3%
31.0%
26.3%
.0%
6.3%
3.8%
16.3%
26.3%
0
1
1
3
5
within
.0%
20.0%
20.0%
60.0%
100.0%
within
.0%
7.1%
4.8%
7.1%
6.3%
.0%
1.3%
1.3%
3.8%
6.3%
3
14
21
42
80
within
3.8%
17.5%
26.3%
52.5%
100.0%
within
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
3.8%
17.5%
26.3%
52.5%
100.0%
KELOMPOK_UMUR %
KELAS_RESIKO_PSI % of Total Lansia_Tua( Count 75-90)
% KELOMPOK_UMUR %
KELAS_RESIKO_PSI % of Total Sangat_Tua Count (>90)
% KELOMPOK_UMUR % KELAS_RESIKO_PSI % of Total
Total
Count % KELOMPOK_UMUR %
KELAS_RESIKO_PSI % of Total
PEKERJAAN * KELAS_RESIKO_PSI Crosstabulation KELAS_RESIKO_PSI <=70 PEKERJA Tidak
Count
AN
% within PEKERJAAN
71-90
91-130
> 130
Total
0
1
1
4
6
.0%
16.7%
16.7%
66.7%
100.0%
%
within
.0%
7.1%
4.8%
9.5%
7.5%
.0%
1.3%
1.3%
5.0%
7.5%
1
7
12
25
45
2.2%
15.6%
26.7%
55.6%
100.0%
33.3%
50.0%
57.1%
59.5%
56.3%
1.3%
8.8%
15.0%
31.3%
56.3%
1
2
4
6
13
7.7%
15.4%
30.8%
46.2%
100.0%
33.3%
14.3%
19.0%
14.3%
16.3%
1.3%
2.5%
5.0%
7.5%
16.3%
0
1
1
0
2
% within PEKERJAAN
.0%
50.0%
50.0%
.0%
100.0%
%
.0%
7.1%
4.8%
.0%
2.5%
.0%
1.3%
1.3%
.0%
2.5%
0
0
1
4
5
KELAS_RESIKO_PSI % of Total Petani
Count % within PEKERJAAN %
within
KELAS_RESIKO_PSI % of Total Pedagang
Count % within PEKERJAAN %
within
KELAS_RESIKO_PSI % of Total Buruh
Count
within
KELAS_RESIKO_PSI % of Total Pensiunan
Count
PNS
% within PEKERJAAN
.0%
.0%
20.0%
80.0%
100.0%
%
.0%
.0%
4.8%
9.5%
6.3%
.0%
.0%
1.3%
5.0%
6.3%
1
3
2
3
9
% within PEKERJAAN
11.1%
33.3%
22.2%
33.3%
100.0%
%
33.3%
21.4%
9.5%
7.1%
11.3%
1.3%
3.8%
2.5%
3.8%
11.3%
3
14
21
42
80
3.8%
17.5%
26.3%
52.5%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
3.8%
17.5%
26.3%
52.5%
100.0%
within
KELAS_RESIKO_PSI % of Total Lain
Count
within
KELAS_RESIKO_PSI % of Total Total
Count % within PEKERJAAN %
within
KELAS_RESIKO_PSI % of Total
PENDIDIKAN * KELAS_RESIKO_PSI Crosstabulation KELAS_RESIKO_PSI <=70 PENDIDIKA Tidak
Count
N
% within PENDIDIKAN %
within
71-90
91-130
> 130
Total
1
6
11
21
39
2.6%
15.4%
28.2%
53.8%
100.0%
33.3%
42.9%
52.4%
50.0%
48.8%
1.3%
7.5%
13.8%
26.3%
48.8%
1
7
8
15
31
3.2%
22.6%
25.8%
48.4%
100.0%
33.3%
50.0%
38.1%
35.7%
38.8%
1.3%
8.8%
10.0%
18.8%
38.8%
1
0
0
2
3
KELAS_RESIKO_PSI % of Total Tamat SD
Count % within PENDIDIKAN %
within
KELAS_RESIKO_PSI % of Total Tamat
Count
SMP
% within PENDIDIKAN
33.3%
.0%
.0%
66.7%
100.0%
%
33.3%
.0%
.0%
4.8%
3.8%
1.3%
.0%
.0%
2.5%
3.8%
0
1
2
0
3
within
KELAS_RESIKO_PSI % of Total Tamat
Count
SMA
% within PENDIDIKAN
.0%
33.3%
66.7%
.0%
100.0%
%
.0%
7.1%
9.5%
.0%
3.8%
.0%
1.3%
2.5%
.0%
3.8%
0
0
0
4
4
.0%
.0%
.0%
100.0%
100.0%
.0%
.0%
.0%
9.5%
5.0%
.0%
.0%
.0%
5.0%
5.0%
3
14
21
42
80
3.8%
17.5%
26.3%
52.5%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
3.8%
17.5%
26.3%
52.5%
100.0%
within
KELAS_RESIKO_PSI % of Total S1-Derajat Count % within PENDIDIKAN %
within
KELAS_RESIKO_PSI % of Total Total
Count % within PENDIDIKAN %
within
KELAS_RESIKO_PSI % of Total
STATUS_PERKAWINAN * KELAS_RESIKO_PSI Crosstabulation KELAS_RESIKO_PSI <=70 STATUS_P
Tidak
Count
ERKAWINA
%
N
STATUS_PERKAWINAN %
within
within
71-90
91-130
> 130
Total
0
0
1
0
1
.0%
.0%
100.0%
.0%
100.0%
.0%
.0%
4.8%
.0%
1.3%
.0%
.0%
1.3%
.0%
1.3%
2
11
16
35
64
3.1%
17.2%
25.0%
54.7%
100.0%
66.7%
78.6%
76.2%
83.3%
80.0%
2.5%
13.8%
20.0%
43.8%
80.0%
0
1
2
4
7
.0%
14.3%
28.6%
57.1%
100.0%
.0%
7.1%
9.5%
9.5%
8.8%
.0%
1.3%
2.5%
5.0%
8.8%
1
2
2
3
8
12.5%
25.0%
25.0%
37.5%
100.0%
33.3%
14.3%
9.5%
7.1%
10.0%
1.3%
2.5%
2.5%
3.8%
10.0%
3
14
21
42
80
3.8%
17.5%
26.3%
52.5%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
3.8%
17.5%
26.3%
52.5%
100.0%
KELAS_RESIKO_PSI % of Total Menikah
Count %
within
STATUS_PERKAWINAN %
within
KELAS_RESIKO_PSI % of Total Duda
Count %
within
STATUS_PERKAWINAN %
within
KELAS_RESIKO_PSI % of Total Janda
Count %
within
STATUS_PERKAWINAN %
within
KELAS_RESIKO_PSI % of Total Total
Count %
within
STATUS_PERKAWINAN %
within
KELAS_RESIKO_PSI % of Total
KELOMPOK_LEPTIN * KELAS_RESIKO_PSI Crosstabulation KELAS_RESIKO_PSI <=70 KELOMPO
Kelompok
Leptin Count
K_LEPTIN
Sangat Rendah
%
within
71-90
91-130
> 130
Total
0
7
13
31
51
.0%
13.7%
25.5%
60.8%
100.0%
.0%
50.0%
61.9%
73.8%
63.8%
.0%
8.8%
16.3%
38.8%
63.8%
0
3
3
5
11
.0%
27.3%
27.3%
45.5%
100.0%
.0%
21.4%
14.3%
11.9%
13.8%
.0%
3.8%
3.8%
6.3%
13.8%
3
2
3
2
10
30.0%
20.0%
30.0%
20.0%
100.0%
100.0%
14.3%
14.3%
4.8%
12.5%
3.8%
2.5%
3.8%
2.5%
12.5%
0
0
1
0
1
.0%
.0%
100.0%
.0%
100.0%
.0%
.0%
4.8%
.0%
1.3%
.0%
.0%
1.3%
.0%
1.3%
0
2
1
4
7
KELOMPOK_LEPT IN %
within
KELAS_RESIKO_ PSI % of Total Kelompok Rendah
Leptin Count %
within
KELOMPOK_LEPT IN %
within
KELAS_RESIKO_ PSI % of Total Kelompok Normal
Leptin Count %
within
KELOMPOK_LEPT IN %
within
KELAS_RESIKO_ PSI % of Total Kelompok Tinggi
Leptin Count %
within
KELOMPOK_LEPT IN %
within
KELAS_RESIKO_ PSI % of Total Kelompok
Leptin Count
Sangat Tinggi
%
within
.0%
28.6%
14.3%
57.1%
100.0%
.0%
14.3%
4.8%
9.5%
8.8%
.0%
2.5%
1.3%
5.0%
8.8%
3
14
21
42
80
3.8%
17.5%
26.3%
52.5%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
3.8%
17.5%
26.3%
52.5%
100.0%
KELOMPOK_LEPT IN %
within
KELAS_RESIKO_ PSI % of Total Total
Count %
within
KELOMPOK_LEPT IN %
within
KELAS_RESIKO_ PSI % of Total
Correlations
Kendall's tau_b
KELOMPOK_LEPTIN
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N KLASIFIKASI_AC Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
KELOMPOK_L KLASIFIKASI_A EPTIN C 1.000 .282** . .005 80 80 ** .282 1.000 .005 . 80 80
Correlations
Kendall's tau_b
KELOMPOK_LEPTIN
Klasifikasi_Malnutrisi_TSF
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
KELOMPOK_LEP Klasifikasi_Malnut TIN risi_TSF 1.000 .246* . .018 80 80 .246* 1.000 .018 . 80 80
Correlations
Kendall's tau_b
KELOMPOK_LEPTIN
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Klasifikasi_Malnutrisi_AMC
KELOMPOK_LEP Klasifikasi_Malnut TIN risi_AMC 1.000 .028 . .794 80 80 .028 1.000 .794 . 80 80
Correlations
Kendall's tau_b
KELOMPOK_LEPTIN
INSTANT_NUTRITIONAL_ASS ESSMENT
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
KELOMPOK_LEP TIN 1.000 . 80 -.209* .039 80
INSTANT_NUTRI TIONAL_ASSES SMENT -.209* .039 80 1.000 . 80
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Correlations
Kendall's tau_b
KELOMPOK_LEPTIN
KLASIFIKASI_MNA
KELOMPOK_LEP KLASIFIKASI_MN TIN A 1.000 -.159 . .118 80 80 -.159 1.000 .118 . 80 80
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Correlations
ARM_CIRCUMFERENCE
PSI_SKOR
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
ARM_CIRCUM FERENCE 1 80 -.119 .294
PSI_SKOR -.119 .294 80 1
Correlations
ARM_CIRCUMFERENCE
ARM_CIRCUM FERENCE 1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
PSI_SKOR
N
PSI_SKOR -.119 .294
80 -.119 .294
80 1
80
80
Correlations
trans_Triceps_Skin_Foldlg1 0
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
PSI_SKOR
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
trans_Triceps_ Skin_Foldlg10 1
N
PSI_SKOR -.170 .132
80 -.170 .132
80 1
80
80
Correlations
ARM_MUSCLE_CIRCUMF ERENCE
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
PSI_SKOR
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
ARM_MUSCLE _CIRCUMFERE NCE 1
N
PSI_SKOR -.084 .461
80 -.084 .461
80 1
80
80
Correlations
Kendall's tau_b
KELAS_RESIKO_PSI
INSTANT_NUTRITIONAL_ASS ESSMENT
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
KELAS_RESIKO_ PSI 1.000 . 80 .005 .957
INSTANT_NUTRI TIONAL_ASSES SMENT .005 .957 80 1.000 .
Correlations
Kendall's tau_b
KELAS_RESIKO_PSI
INSTANT_NUTRITIONAL_ASS ESSMENT
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
KELAS_RESIKO_ PSI 1.000 . 80 .005 .957 80
INSTANT_NUTRI TIONAL_ASSES SMENT .005 .957 80 1.000 . 80
Correlations SKOR_MNA 1
PSI_SKOR -.307** .006
80 -.307** .006
80 1
N 80 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
80
SKOR_MNA
PSI_SKOR
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Correlations
Kendall's tau_b
KELOMPOK_LEPTIN
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N KELAS_RESIKO_PSI Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
KELOMPOK_LEP KELAS_RESIKO_ TIN PSI 1.000 -.232* . .020 80 80 -.232* 1.000 .020 . 80 80
Logistic Regression
[DataSet1] D:\INTERNA\Penelitian PENELITIAN\hasil editan\DATA EDIT_4.sav
Agus
Sastrawan\HASIL
Case Processing Summary a Unweighted Cases N Percent Selected Cases Included in Analysis 80 100.0 Missing Cases 0 .0 Total 80 100.0 Unselected Cases 0 .0 Total 80 100.0 a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding Original Value
Internal Value
Pneumonia Ringan
0
Pneumonia Berat
1
Block 0: Beginning Block
a,b
Classification Table Observed
Step 0
Predicted
Kelas_PSI
Pneumonia Ringan Pneumonia Berat Overall Percentage
Kelas_PSI Pneumonia Pneumonia Ringan Berat 0 17 0 63
Percentage Correct .0 100.0 78.8
a. Constant is included in the model. b. The cut value is .500 Variables in the Equation B Step 0
Constant
1.310
S.E. .273
Wald
df
22.972
Sig. 1
.000
Variables not in the Equation Score Step 0
Variables
KELOMPOK_LEPTIN
Overall Statistics
df
Sig.
2.952
1
.086
2.952
1
.086
Exp(B) 3.706
Block 1: Method = Enter Omnibus Tests of Model Coefficients Step 1
Step Block Model
Chi-square 2.675 2.675 2.675
df 1 1 1
Sig. .102 .102 .102
Model Summary Cox & Snell R Nagelkerke R -2 Log likelihood Square Square a 1 80.085 .033 .051 a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than .001. Step
Step 1
Step 1
Hosmer and Lemeshow Test Chi-square df 3.877 2
1 2 3 4
Sig. .144
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test Kelas_PSI = Pneumonia Ringan Kelas_PSI = Pneumonia Berat Observed Expected Observed Expected 2 3.347 6 4.653 5 2.787 5 7.213 3 2.390 8 8.610 7 8.477 44 42.523
Total 8 10 11 51
Classification Tablea Observed
Step 1
Kelas_PSI
Pneumonia Ringan Pneumonia Berat Overall Percentage
a. The cut value is .500
Predicted Kelas_PSI Pneumonia Pneumonia Ringan Berat 0 17 0 63
Percentage Correct .0 100.0 78.8
Variables in the Equation Wald 2.779
df 1
1.94 .492 15.623 3 a. Variable(s) entered on step 1: KELOMPOK_LEPTIN.
1
Step 1a
KELOMPOK_LEPTI N Constant
B -.331
S.E. .198
Sig. Exp(B) .096 .718 .000
95% C.I.for EXP(B) Lower Upper .487 1.060
6.983
Correlation Matrix
Step 1
Constant KELOMPOK_LEPTIN
Constant 1.000 -.824
KELOMPOK_LE PTIN -.824 1.000
Logistic Regression
[DataSet1] D:\INTERNA\Penelitian PENELITIAN\hasil editan\DATA EDIT_4.sav
Agus
Case Processing Summary a Unweighted Cases N Percent Selected Cases Included in Analysis 80 100.0 Missing Cases 0 .0 Total 80 100.0 Unselected Cases 0 .0 Total 80 100.0 a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Sastrawan\HASIL
Dependent Variable Encoding Original Value
Internal Value
Pneumonia Ringan
0
Pneumonia Berat
1
Block 0: Beginning Block
a,b
Classification Table Observed
Step 0
Predicted
Kelas_PSI
Pneumonia Ringan Pneumonia Berat Overall Percentage
Kelas_PSI Pneumonia Pneumonia Ringan Berat 0 17 0 63
Percentage Correct .0 100.0 78.8
a. Constant is included in the model. b. The cut value is .500
Variables in the Equation B Step 0
Constant
S.E.
1.310
.273
Wald
df
22.972
Sig. 1
.000
Variables not in the Equation Score Step 0
Variables
df
Sig.
KELOMPOK_LEPTIN
2.952
1
.086
KLASIFIKASI_MNA
5.605
1
.018
7.519
2
.023
Overall Statistics
Exp(B) 3.706
Block 1: Method = Enter Omnibus Tests of Model Coefficients Step 1
Chi-square 7.233 7.233 7.233
Step Block Model
df 2 2 2
Sig. .027 .027 .027
Model Summary Cox & Snell R Nagelkerke R -2 Log likelihood Square Square a 1 75.527 .086 .134 a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than .001. Step
Hosmer and Lemeshow Test Step
Chi-square
1
Step 1
df
6.061
1 2 3 4 5 6
Sig. 4
.195
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test Kelas_PSI = Pneumonia Ringan Kelas_PSI = Pneumonia Berat Observed Expected Observed Expected 4 3.991 4 4.009 4 3.425 6 6.575 1 2.288 8 6.712 4 3.224 12 12.776 3 1.174 5 6.826 1 2.898 28 26.102
Total 8 10 9 16 8 29
a
Classification Table Observed
Step 1
Kelas_PSI
Pneumonia Ringan Pneumonia Berat Overall Percentage
a. The cut value is .500
Predicted Kelas_PSI Pneumonia Pneumonia Ringan Berat 1 16 3 60
Percentage Correct 5.9 95.2 76.3
Variables in the Equation
Step KELOMPOK_LEPTIN 1a KLASIFIKASI_MNA Constant
B -.287 .821 .021
S.E. .207 .390 .995
Wald 1.918 4.429 .000
df 1 1 1
Sig. .166 .035 .983
Exp(B) .750 2.273 1.022
95% C.I.for EXP(B) Lower Upper .500 1.127 1.058 4.884
a. Variable(s) entered on step 1: KELOMPOK_LEPTIN, KLASIFIKASI_MNA.
Correlation Matrix
Step 1
Constant KELOMPOK_LEPTIN KLASIFIKASI_MNA
Constant 1.000 -.470 -.858
KELOMPOK_LE KLASIFIKASI_M PTIN NA -.470 -.858 1.000 .054 .054 1.000
Nonparametric Correlations
[DataSet1] D:\INTERNA\Penelitian PENELITIAN\hasil editan\DATA EDIT_4.sav
Agus
Sastrawan\HASIL
Correlations
Spearman's KELAS_RESIKO rho _PSI
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N KELOMPOK_LEP Correlation TIN Coefficient Sig. (2-tailed) N SKOR_MNA Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
KELAS_RESIKO_PSI 1.000
KELOMPOK_LEPT IN -.260*
SKOR_MNA -.378**
. 80 -.260*
.020 80 1.000
.001 80 .167
.020 80 -.378**
. 80 .167
.140 80 1.000
.001 80
.140 80
. 80