PERANAN H.ABDULLAH AHMAD DALAM PEMBAHARUAN PENDIDIKAN Sangkot Nasution Dosen Tetap Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sumatera Utara Jl. Williem Iskandar Psr. V Medan Estate, 20371 - Medan e-mail:
Abstrak: Islamic education in the future of one side will be faced with the challenges of current science and technology that continues to evolve, being on the other side will keep in touch with the socio-cultural values of society that is constantly changing. The problem is now up to us, but if the best alternative is desired, then we must be open to the changes that occur to the left idak fundamental values of Islam. For that, we must be able to express again our nation's treasures of Islamic education and menginterprestasikannya in a new language that is positive on the present and future as a contribution to our national education system. This means education reform efforts ever attempted Islam as Abdullah Ahmad will continue to happen. Kata Kunci: Abdullah Ahmad, Pembaharuan Pendidikan. A. Pendahuluan
D
alam sejarahnya, pembahuruan pendidikan Islam di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak awal abad ke-20. Fenomena ini di satu sisi muncul sebagai upaya untuk memperkenalkan berbagai hal yang baru sebagai pengaruh pemikiran baru yang berkembang didunia Islam lainnya dengan maksud memperbaiki apa-apa yang sudah ada dan terbiasa dilakukan dalam praktekpraktek pendidikan Islam sebelumnya. Namun dari sisi lain fenomena ini juga dilatorbelakangi oleh sikap responsive umat Islam, terutama tokoh-tokoh pendidikannya, untuk mengakomodasi, mengantisipasi dan menciptakan berbagai tindakan baru dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman yang terus berputar
Dalam fragmentasi sejarah pendidikan Islam di Indonesia, tercatat sejumlah tokoh yang berjasa besar dan telah memainkan peran penting dalam usaha pembaharuan pendidikan Islam. Diantara tokoh penting tersebut adalah DR. H. Abdullah Ahmad
B. Latar Belakang Pendidikannya Abdullah Ahmad yang dilahirkan di Padang panjang tahun 1978 adalah anak H. Ahmad, seorang ulama minangkabau yang senantiasa mengajarkan agama di surau-surau di samping sebagai seorang saudagar kain bugis. Semenjak kecil ia didik agama oleh ayahnya dan setelah balig ia dimasukkan ke sekolah kelas dua (sekolah yang diperuntukkan bagi kaum pribumi) di Padang panjang. Karena 200
Sangkot Nasution: Peranan H.Abdullah Ahmad Dalam Pembaharuan Pendidikan
ayahnya tergolong ulama yang berpikiran modern, maka ia sangat menginginkan agar Abdullah Ahmad kelak menjadi orang yang terpelajar dan memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang agama. Setelah Abdullah Ahmad berusia 17 tahun, ia berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji (1895). Disana ia melanjutkan pelajaran agama pada syeikh Ahmad Khatib yang juga berasal dari Minangkabau dan guru-gurunya yang lain (Yunus,1979: 156). Ia dikirim ayahnya untuk belajar di mekkah karena di Minangkabau sendiri belum ada sekolah agama yang teratur waktu itu, sedang nama mekkah sangat terkenal dan sudah banyak orang Minangkabau belajar kesana (Djaja, 1996: 679). Selama empat tahun beliau belajar disana, kemudian pada tahun 1899 ia kembali pulang ke Minangkabau dan mulai mengajar di surau jembatan besi di Padang Panjang yang merupakan cikal bakal organisasi “Sumatera Thawalib”
C. Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (Konsepsi, Realitas dan Kendala Yang Dihadapi) Sejak masa muda, Abdullah Ahmad telah melakukan kontak intelektual dengan kaum terpelajar, seperti siswa-siswa sekolah menengah pemerinthan di Padang dan sekolah dokter di Jakarta dan memberikan bantuannya dalam kegiatan Jong Sumatranen Bond (Noer,1980:47). Kontak itu dilakukan secara tatap muka dan melalui surat menyurat, terutama dengan gurunya Syeikh Ahmad khatib di mekkah dan sahabatnya syekh Tahir jalaluddin, pemimpin madrasah Al Iqbal dan majallah al Imam di Singapura, serta melalui perantaraan media cetak seperti majalah dan surat kabar. Kontaknya dengan berbagai pemikiran cukup berpengaruh terhadap karakteristik pribadi dan tercermin didalam gerakan dan pusat perhatiannya dikemudian hari. Abdullah Ahmad adalah seorang organisator (Djajam,1966: 705), jurnalis Islam (Hamka, 1982:100), politikus, pragmatis dan pengurus sekolah yang tidak terima dilingkungan agama yang tradisional (Steenbrink, 1986: 50). Disamping itu ia adalah juga seorang tokoh terkemuka dalam bidang agama yang berperan penting dalam gerakan permurnian agama Islam untuk unsur-unsur bid’ah (Schrieke, 1973: 5562). Kendati demikian, ketokohan yang paling menonjol adalah teletak pada bidang pendidikan (Steenbrink, 1986: 41). Pendidikan Islam dalam kacamata Abdullah Ahmad, bukannlah hanyak sekedar proses pewarisan pengetahuan agama Islam kepada peserta didik dengan praktek-praktek yang kaku (tradisional) sebagaimana dilakukan selama ini, tetapi pendidikan Islam dipahaminya sebagai upaya fasilitatif yang harus mampu menyediakan dan memungkinkan bagi tercipnya situasi atau lingkungan yang kondusif dimana potensi-potensi dasar yang dimiliki anak didik dapat berkembang sesuai dengan tuntutan zaman yang terus maju. Itulah sebabnya ketika pada tahun 1909 ia mendirikan sekolah adabiyah (Adabiyah School) di Padang, yang selain mengajarkan ilmu agama juga mengajarkan ilmu-ilmu keduniaan yang datang dari barat guna menciptakan calon-calon ulama yang pandai ber201
٢٠١٤ ،
–د
،٢ د
ا
ا ا
ا:
ءا
إ
bahasa berilmu barat demi meninggikan agama Islam dimata dunia (Djaja, 1966: 703). Sebagaimana telah disebutkan pada uraian yang lewat, bahwa aktifitas Abdullah ahmad dibidang pendidikan sebenarnya dimulai ketika ia kembali dari mekkah dan mengajarkan agama di surau jembatan besi Padang panjang menurut sistem lama (tradisional). Kemudian didirikan sekolah agama (madrasah) dengan menggunakan meja, bangku dan papan tulis (Yunus, 1979 :156). Usahanya ia mendapat tantangan yang serius dari kalangan masyarakat, terutama ulama tradisional (kolot) yang beranggapan bahwa penggunaan meja, bangku dan papan tulis adalah perbuatan orang kafir yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. (Bid’ah) Usahanya yang pertama untuk mengadakan pembaharuan terhadap pendidikan Islam diPadang panjang akhirnya gagal dikarenakan belum adanya kesiapan mental dan pikiran masyarakat dalam menerima perubahan, sehingga pada awal berdirinya dilaporkan hampir tidak ada muridnya (Steenbrink, 1986: 39). Kendati demikian, Abdullah Ahmad tidak berputus asa. Ketika ia diberi kepercayaan untuk menggantikan paman yang meninggal dunia, untuk memimpin sebuah surau diPadang pada tahun 1909, ia kemudian mendirikan sekolah Adabiyah disana. Inilah sekolah Islam yang pertama menggunakan sistem klasikal dan memakai bangku, meja dan papan tulis (Yunus, 1979:63). Orientasi lembaga pendidikan yang didirikan Abdullah Ahmad, menurut hemat penulis, aksentuasinya diarahkan kepada upaya menciptakan kemungkinan yang lebih besar bagi peserta didik untuk dapat menemukan propil dirinya sendiri yang lebih aktual dalam konteks lingkungan dan waktu dimana mereka sedang atau akan mengambil peran dalam hidupnya. Itulah agaknya yang menyebabkan sebagian orang menganggap Abdullah Ahmad lebih mementingkan pendidikan umum dari pendidikan agama (Steenbrink, 1986: 39). Padahal menurut hemat penulis, Abdullah Ahmad adalah seorang yang memiliki ketajaman daya analitis dalam membaca peta bumi, sosio politik dan soio kultural bangsa indonesia, khusunya umat Islam, sehingga ia menguasai seni bermain dalam rangka mencapai tujuan mencapai tujuan strategis yang telah dirumuskannya. Hipotesisis diatas agaknya tidaklah terlalu berlebihan, sebab pada tahun 1915 ketika sekolah Adabiyah diubah menjadi H.I.S Adabiyah, maka inilah HIS pertama di minangkabau yang memasukkan pelajaran agama dalam rencana pembelajarannya. Sekolah ini pada tahun 1916 diakui oleh pemerintahan kolonial Belanda sebagai HIS pertama yang didirikan oleh Organisasi Islam, yang setahun kemudian mendapat subsidi penuh gubernemen (Steenbrink 1986: 39-40). Dengan jalan demikian, ia berharap dapat memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah pemerintahan dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman umat Islam terhadap ajaran agamanya. Strategi Abdullah Ahmad untuk memberikan pendidikan yang layak dan terbuka bagi seluruh umat Islam ternyata tidak terpaku pada HIS adabiyah nya. Tetapi walaupun pemerintaan Belanda memberlakukan politik gradualisme yang 202
Sangkot Nasution: Peranan H.Abdullah Ahmad Dalam Pembaharuan Pendidikan
ekstrim, dengan mengusahakan pendidikan yang sesederhana mungkin bagi anak anak indonesia serta mempersulit lahirnya sekolah-sekolah yang berkualitas, namun Abdullah Ahmad dengan seni bermainnya berhasil mendapat restu dari pemerintahan kolonial belanda untuk mendirikan sekolah. Pada tahun 1920, Abdullah Ahmad menghimpin seluruh alim ulama Minangkabau dan berhasil mendirikan persatuan guru-guru agama Islam (PGAI) yang bertujuan untuk mengatur seluruh sekolah agama dalam rancangan yang satu menurut putusan PGAI (Djaja, 1996: 703). Disamping itu tujuan PGAI adalah untuk memperkuat persatuan antar alim ulama dan menghilangkan tentangan antara satu dan lainnya (Yunus, 1979:94). Meskipun untuk mempersatukan alim ulama dinilai kurang berhasil teralisir, namun PGAI berhasil menaungi dan menyeragamkan sistem pendidikan pada sekolah-sekolah Islam yang ada di Padang ketika itu. Dari sisi ini tampaknya bahwa usaha-sauah pembaharuan pendidikan Islam yang dimotori Abdullah Ahmad dinilai cukup berhasil. PGAI merupakan wadah perkumpulan guru-guru agama Islam pertama dibawah pimpinan Abdullah Ahmad, pada tahun 1930 berhaisl mendirikan gedung pemeliharaan anak yatim dan gedung normal Islam untuk membentuk calon-calon guru agama Islam, dan untuk memimpinya sebagai direktur diserahkan kepada Mahmud Yunus. Normal Islam mendapat sambutan yang hangat dari kalangan pelajar Muslim, karena selain belajar ilmu agama, mereka juga diberikan ilmu umum dan bahasa arab menurut sistem baru serta ditambah dengan ilmu pendidikan dan keguruan. Inilah sekolah guru Islam yang pertama menurut sistem baru, memiliki gedung besar dan aula serta alat-alat ilmu alam, kimia, ilmu hayat, dan falak yang tidak kalah dengan sekolah pemerintahan belanda ketika itu (Yunus, 1979: 158). Dalam proses pendirian normal Islam, maka peran serta teramat penting telah dimainkan oleh Abdullah Ahmad. Ia adalah seorang cerdik yang memiliki wawasan luas, diplomat yang ulung dan ahli strategi bermain yang sulit ditebak sepak terjangnya. Dalam pikiran Abdullah Ahmad, kebodohan adalah merupakan sumber dari segala penderitaan dan seluruh bangsa indonesia, sehingga mereka menjadi mangsa, yang empuk bagi kaum imperialis. Jalan terbaik untuk mengantisipasi kondisi yang demikian adalah dengan memberikan pendidikan kepada masyarakat. Mereka harus dibekali dengan berbagai pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang tangguh agar mampu berperan positif dalam kehidupannya. Itulah sebabnya mengapa Abdullah Ahmad merasa perlu menempuh berbagai cara asal umat Islam memperoleh pendidikan yang layak dan memadai, walaupun untuk itu ia harus menerima tuduhan dari sebahagian orang yang sebahagian menyebutnya bekerja sama dengan kolonial belanda Perhatian Abdullah Ahmad terhadap pendidikan umat Islam sangatlah besar. Hal ini tampak dari aktifitas-aktifitasnya kependidikannya yang tidak hanya membatasi diri pada lembaga-lembaga pendidikan formal. Dalam konteks ini tampanya Abdullah ahmad benar-benar menunjukkan kesungguhannya untuk 203
٢٠١٤ ،
–د
،٢ د
ا
ا ا
ا:
ءا
إ
mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan agama sampai kepada dimensi masyarakat secara keseluruhan. Disamping menerbitkan majalah dengan nama “Al-Munir” dan mengarang berbagai buku, ia juga aktif memberikan pelajaran kepada masyarakat yang diadakan setiap minggu. Sistem pemebelajaran yang diterapkannya berupa debatings club (Djaja,1966:704) adalah metode pendidikan Islam baru, dimana kepada para pelajarnya diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk bertanya dan berdialog secara terbuka tentang berbagai hal yang menyangkut masalah agama. Majalah al-munir sendiri banyak memuat artikel yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat, yang diantaranya banyak yang berhubungan secara langsung dengan konsep-konsep baru dalam bidang pendidikan, umpamanya seorang guru dalam mendidik harus memperhatikan taraf pemikiran anak, serta masalah masalah yang berhubungan dengan pendidikan dan perubahan sosial (Al-Munir, Tahun I No. 8: 97). Hal ini sangat bertentangan dengan praktek pendidikan agama yang berlaku pada waktu itu, dimana para pelajarnya hanya duduk mendengarkan materi yang diberikan guru serta kurang diberikan kesempatan untuk mempersoalkan berbagai hal yang berhubungan dengan agama karena dianggap tabu dan kurang hormat kepada guru. Pembaharuan yang dilakukan Abdullah ahmad dalam aspek ini membangkitkan perhatian dari berbagai kalangan. Ada yang menanggapi secara positif dan ada pula yang sebaliknyaa, tetapi yang pasti adanya persaingan diantara alim ulama dan ilmuan muslim ketika itu membuka era baru bagi kemajuan berkompetisi untuk sama-sama memajukan dan meningkatkan kualitas umat Islam Islam telah memasuki zaman, situasi sosial dan kultural yang berbeda dengan awal zaman kelahirannya, harus dapat menjawab tantangan kehidupan manusia yang senantiasa berkembang. Karena itu, karakter Islam yang absolut dan universal serta tidak terkait oleh ruang dan waktu serta perlu diinterpretasikan agar Islam tidak kehilangan identitas dalam menghadapi perkembangan dan perubahan masyarakat. Untuk itu Abdullah Ahmad sangat heran mengapa ada umat Islam yang melarang menggunakan akal pikiran dalam menterjemahkan pesan-pesan agama. (Schrieke, 1973: 59) padahal ia adalah karunia tuhan yang paling tinggi. Pengetahuan tentang sejarah telah membawanya kepada kesimpulan bahwa di dalam agama-agama lain telah terlahir suatu kategori atheis dan orangorang yang acuh tak acuh terhadap agama, karena agama tidak berkembang sejajar dengan perkemabgan intelektual (Schrieke, 1973: 59). Karenanya umat Islam perlu didik mendaya gunakan akal pikirannya guna mengaktualisasikan diri sebagai abdun dan khalifah Allah SWT. dimuka bumi Aktifitas-aktifitas Abdullah Ahmad sebagai tokoh pembaharuan baik dalam bidang pendidikan maupun agama, dalam sejarahnya telah berpengaruh luas tidak hanya terbatas diminangkabau, tetapi juga di pulau jawa melalui organisasi Muhammadiyah (Steenbrink, 1986: 42 dan 55). Bahkan tidak sampai disitu, kartika pada tahun 1926 ia bersama H.A. Karim Amrullah yang berangkat sebagai duta indonesa dalam kongres Islam sedunia di kairo mendapat gelar doktor fiddin (Doktor Honoris Causa) atas jasa-jasanya dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas umat Islam disumatera (Hamka, 1982:160) 204
Sangkot Nasution: Peranan H.Abdullah Ahmad Dalam Pembaharuan Pendidikan
Akhirnya tokoh pendidikan Islam ini meninggal dunia diPadang pada bulan November 1933 dengan meninggalkan karya-karya besar bagi merintis jalan dan menjiwai semangat pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.
D. Penutup Pendidikan Islam pada masa mendatang dari satu sisi akan dihadapkan pada tantangan arus IPTEK yang terus berkembang, sedang dari sisi lain akan terus bersentuhan dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang terus berubah. Dalam hal ini setidak-tidaknya ada dua kemungkinan yang akan terjadi, yang pertama, pendidikan Islam akan terbawa arus IPTEK dan perubahan nilainilai sosial budaya masyarakat. Kedua, pendidikan Islam akan memberi warna positif terhadap perkembangan IPTEK dan perubahan nilai-nilai sosial. Permasalahannya kini terserah pada kita, namun apabila alternatif terbaik yang diinginkan, maka kita harus membuka diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dengan idak meninggalkan nilai-nilai asasi Islam. Untuk itu, kita harus mampu mengungkapkan kembali khazanah pendidikan Islam bangsa kita dan menginterprestasikannya dalam bahasa yang baru agar bernilai positif pada masa kini dan mendatang sebagai sumbangan terhadap sistem pendidikan nasional kita. Ini berarti usaha-usaha pembaharuan pendidikan Islam sebagaimana pernah diupayakan Abdullah Ahmad akan terus terjadi.
DAFTAR PUSTAKA Djaja, Tamar, (1966), Pusaka Indonesia II, Jakarta: Bulan Bintang. Hamka, (1982), Ayahku, Jakarta: Umminda. Kedutaan Besar RI. (1983), Pendidikan Islam Di Indonesia dan Mesir, Buku I Cairo. Majalah Al-Munir, Tahun 1 No. 8,12 Juli 1911. Noer, Deliar, (1980), Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES. Schrike, B.J.O. (1973), Pergolakan Agama Di Sumatera Barat, Jakarta : Bhratara. Sumard, Muljanto, (1977), Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia, 19451975, Jakarta : LPIAK, Departemen Agama. Yunus, Mahmud, (1979), Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara.
205