PERANAN GURU AGAMA HINDU DALAM MENUMBUHKEMBANGKAN KARAKTER SISWA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 KEDIRI TABANAN Oleh Ketut Suteler NIM 11.1.2.5.2.0637 ABSTRAK Sehubungan dengan lemahnya peranan guru agama di sekolah, eksistensi guru agama khususnya guru agama Hindu sebagai ujung tombak pembentukan karakter siswa SMA Negeri 1 Kediri Tabanan menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan agama Hindu dalam menumbuhkembangkan karakter siswa SMA Negeri 1 Kediri tahun pelajaran 2011/2012 secara kognitif (intelektual), nilai pendidikan agama Hindu responden yang terendah adalah 75, sedangkan nilai tertinggi adalah 87. Jika dihubungkan dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) untuk mata pelajaran agama Hindu SMA Negeri 1 Kediri adalah 70 secara individual, sedangkan untuk kentutasan kelompok adalah 85% dari jumlah siswa secara kesuluruhan mendapatkan nilai 70. Hal ini berarti bahwa tidak seorang pun melakukan remidial teaching dalam pendidikan agama Hindu. Ada beberapa kendala yang muncul dalam menumbuhkembangkan karakter siswa SMA Negeri 1 Kediri. Pertama, adanya krisis moralitas siswa. Kedua, terbatasnya koleksi buku agama Hindu pada sekolah ini. Ketiga, guru cenderung berfokus pada materi pembelajaran yang akan diajarkan tanpa menghubungkan dengan kenyataan riil di sekolah dan di masyarakat. Keempat, terpengaruhnya siswa dengan adanya perkembangan kepariwisataan dunia. Kelima, terpengaruhnya siswa dengan adanya budaya global. Keenam, adanya pertentangan pikiran pada diri siswa tentang teori dan praktik. Ketujuh, kurangnya komunikasi antara guru agama Hindu dan siswa. Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan, Pertama, pemberian keteladanan yang diwujudkan oleh guru agama Hindu dengan cara memberikan contoh tentang bagaimana menerapkan ajaran Tri Kaya Parisudha dan Panca Sradha. Kedua, pemberian nasihat dengan lemah lembut, menarik, bersimpati terhadap siswa yang melanggar tata tertib sekolah sehingga siswa tersebut merasa tersentuh dan dapat mempengaruhi perasaan dan kepribadiannya. Ketiga, pemberian bimbingan pada siswa yang mengalami masalah pribadi. Kata Kunci:
Peranan Guru Agama Hindu, Menumbuhkembangkan Karakter Siswa.
1
THE ROLE OF HINDU RELIGION TEACHERS IN GROWING UP THE CHARACTER OF THE STUDENTS AT THE PUBLIC SENIOR HIGH SCHOOL OF KEDIRI TABANAN
ABSTRACT With respect to the weak role of religion teachers in schools, the existence of religious teachers especially Hindu religious teacher spearheading the formation of student character of the Students of the Public Senior High School at Kediri, be an interesting thing to study. The results showed that the implementation of Hindu religious education in developing students' character at Public Senior High School at Kediri in the year 2011/2012 as cognitive (intellectual), the educational value of the lowest Hindu respondents is 75, while the highest score was 87. If connected with Mastery Minimal Criteria for subjects Hinduism at Public Senior High School at Kediri is 70 individually, while for mastery learning in a group is 85% of the number of students as a whole get the value 70. This means that no one is doing remedial teaching in the education of the Hindu religion. There are several problems were encountered in developing the character of students at Public Senior High School at Kediri. First, the crisis of morality students. Second, the limited collection of Hindu religious books at the school. Third, teachers tend to focus on the lessons that will be taught without connecting with real reality in schools and in the community. Fourth, its impact students with the rapid development of tourism in the world. Fifth, its impact students with a global culture. Sixth, there is a conflict in the mind of the student about the theory and practice. Seventh, the lack of communication between teachers and students. There are some solutions that can be performed, First, giving the example that is realized by Hindu religious teacher by providing examples of how to apply the teachings of Tri Kaya Parisudha (Three Purification Ways) and Panca Sradha (Five Principle of Hindu Religion). Second, the provision of advice to the gentle, charming, sympathetic to students who violate the school discipline so that students were touched and can affect feelings and personality. Third, providing guidance to students experiencing personal problems. Key words:
The Role of Hindu Religion Teachers, Growing up the Character of the Students.
2
I. PENDAHULUAN Dewasa ini telah terjadi degradasi moral sebagai akibat dari kemajuan teknologi, pergaulan global, masalah-masalah sosial yang timbul di masyarakat, maka lembaga-lembaga pendidikan mempunyai tanggung jawab moral untuk lebih menguatkan sradha dan bhakti untuk meminimalisasi dampak yang ditimbulkan secara lebih besar. Oleh karena itu, peran keluarga, pemerintah, dan masyarakat merupakan tiga simpul yang harus bersama-sama mengemban misi mencerdaskan kehidupan bangsa. Demikian pula, dalam konsep pengembangan pendidikan yang berwawasan Wiyata Mandala diupayakan secara bersama-sama pengembangan logika, etika, dan estetika sebagai wujud kepribadian insan-insan pendidikan sesuai dengan harapan tujuan pendidikan nasional yang digariskan, maka pendidikan dasar merupakan acuan utama dan pertama untuk menumbuhkan nilai-nilai kepribadian Dampak dari masalah sosial tersebut, maka para remaja cenderung melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang antara lain melakukan hubungan seks pranikah dan tawuran. Sebabnya, para remaja dengan sangat mudah mendapatkan informasi sesuai dengan keinginannya termasuk yang semestinya belum patut mereka nikmati seperti film porno dan tindak kekerasan. Selain itu, apa yang ditayangkan di televisi akan menjadi prasangka buruk bagi sebagian besar kalangan remaja sehingga mereka cenderung meniru perbuatan tersebut yang dianggap sesuai dengan perkembangan zaman. Kondisi ini sangat memprihatinkan apalagi bentuk kenakalan remaja telah bergeser ke arah tindakan kriminal yang mengancam taraf keselamatan dan ketentraman masyarakat (Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI, 2001: 30). Fenomena kenakalan remaja dewasa ini dapat dikategorikan sebagai masalah sosial yang sangat serius. Sebagai bukti, bisa dilihat dan didengar dari pemberitaan
3
media massa. Ternyata, kurun waktu beberapa tahun terakhir ini kenakalan remaja semakin marak dan meningkat. Bukan saja dalam frekuensinya, tetapi juga dalam variasi dan intensitasnya. Pertama, data yang cukup mengejutkan dipaparkan oleh Dr. Pangkahila pada seminar sehari “Bahaya HIV/AIDS, penyalahgunaan obat-obatan terlarang (narkoba) dan seks bebas di kalangan remaja dan dewasa” di Gianyar Kamis 23 Desember 2004. Pangkahila mengatakan bahwa sekitar 2,5 juta wanita Indonesia melakukan aborsi (pengguguran kandungan) setiap tahunnya. Ironisnya lagi kasus aborsi itu didominasi kaum remaja angkanya mencapai 1,5 juta/tahun. Kedua, berdasarkan hasil penelitian di Kabupaten Buleleng, disebutkan selama tahun 2004 pengidap HIV/AIDS positif di Bali utara ini berjumlah 55 orang yang hampir semuanya dari kalangan remaja dan usia produktif. Selain itu, yang lebih mengejutkan lagi banyak remaja yang diindikasikan mengidap penyakit menular seksual (PMS), hanya mereka malu untuk menceritakannya apalagi untuk berobat ke rumah sakit (Bali Post, 18-12-2004). Ketiga, demikian juga dalam prilaku penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang (Narkoba) di berbagai kota di Indonesia termasuk di Bali, para remaja dewasa ini juga disinyalir telah banyak menjadi pengedar dan malah pecandu mulai sejak usia sekolah dasar (SD). Keempat, penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para remaja (teenagers) merupakan perbuatan-perbuatan yang merugikan dirinya sendiri dan masyarakat. Misalnya, suka bolos di sekolah, anak suka berdusta baik terhadap guru maupun pada orang tuanya, melakukan pemerkosaan, menipu, minuman keras, mencuri, berkelahi dengan teman sebaya dan perbuatan lain yang bersifat merusak keindahan serta kelestarian lingkungan (Conduct Disorder) (Sudarsono,1990:8). Kelima, dari media elektronik Lativi dalam acara “Brutal” pada tanggal 10 Juli 2005 diberitakan adanya kasus pemerkosaan yang melibatkan anak-anak di bawah umur yang bernama Bunga (nama samaran) yang baru berumur 7 tahun baru kelas I di SD di kota
4
Bandung. Dia diperkosa oleh 5 orang anak berumur rata-rata berumur 5 sampai 6 tahun. Perkosaan ini diakibatkan oleh anak-anak yang bersangkutan diajak bersama menonton video porno oleh orang tuanya, sehingga pada saat adanya kesempatan terjadilah pemerkosaan tersebut. Keenam, tatakrama, etika, dan kreativitas siswa saat ini disinyalir kian turun akibat melemahnya pendidikan budaya dan karakter bangsa. Padahal, ini telah menjadi satu kesatuan kurikulum pendidikan yang diimplementasi dalam kegiatan belajar- mengajar di sekolah. ''Pendidikan budaya dan karakter bangsa ini cenderung pada implementasi, harus dipraktikkan sehingga titik beratnya bukan pada teori. Karena itu, pendidikan ini seperti hidden curiculum,'' ujar Direktur Pembinaan SMP Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), Didik Suhardi, kepada pers, Jumat (15/1). Munculnya berbagai fenomena tersebut disinyalir tidak lepas dari lemahnya peranan pendidikan agama terhadap para remaja. Pendidikan agama di sekolah maupun di keluarga tidak sepenuhnya berhasil membentuk moral yang baik. Sehubungan dengan lemahnya peranan pendidikan agama di sekolah, eksistensi guru agama khususnya guru agama Hindu sebagai ujung tombak pembentukan karakter pada siswa di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kediri Tabanan menjadi hal yang menarik untuk diteliti.
II. METODE PENELITIAN Oleh karena penelitian ini tergolong penelitian kualitatif, dengan sumber data primer, artinya sumber data langsung memberikan data kepada peneliti. Data dalam penelitian ini, dikumpulkan melalui observasi atau pengamatan, wawancara, dan pencatatan dokumen (studi dokumen). 1) Observasi Observasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek yang diteliti secara cermat, kemudian dilanjutkan dengan mencatat hal-hal yang dianggap penting untuk memperkuat 5
akurasi data. Observasi yang akan dilakukan terhadap sikap guru-guru agama dan siswa yang berorientasi pada karakter siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kediri Tabanan. 2) Wawancara Maksud mengadakan wawancara, seperti yang ditegaskan oleh Lincoln dan Guba (1985) sebagaimana dikutip oleh Moleong (2005 : 186), antara lain : mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain kebulatan; merekonstruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang dialami dimasa lalu; memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang; memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain baik manusia maupun bukan manusia (triangulasi); dan memverifikasi, mengubah dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota. Wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur atau wawancara baku, karena peneliti telah menyiapkan pedoman wawancara dan informasi yang ingin diperoleh telah diketahui dengan pasti yaitu mengenai peranan, kendalakendala yang timbul bagi guru agama Hindu untuk menumbuhkembangkan karakter siswa dan solusi atau pemecahan masalah sebagai langkah mengantisipasi kendala-kendala yang timbul di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kediri Tabanan. 3) Pencatatan Dokumen Pencatatan dokumen adalah suatu cara untuk memperoleh data yang dilakukan dengan jalan mengumpulkan dokumen-dokumen serta mengadakan pencatatan yang sistematis (Sujana, 2008:26). Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan pencatatan dokumen adalah suatu cara
6
memperoleh data dengan mengumpulkan dokumen-dokumen secara sistematis. Dokumen yang dimaksudkan berupa data dan nama siswa, guru agama Hindu, serta kasus yang terakumuluasi di raunag BP serta solusi yang diambil sebagai problem solving (pemecahan masalah) dalam menumbuhkembangkan karakter siswa di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kediri Tabanan. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992) bahwa analisis deskriptif dilakukan melalui tiga jalur kegiatan yang merupakan satu kesatuan yaitu: (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penyimpulan atau verifikasi. Sehubungan dengan hal tersebut, teknik analisis data dalam penelitian ini dilaksanakan melalui tiga proses penting yang merupakan satu kesatuan yang saling mengait sebagai berikut. 1) Reduksi data Reduksi data menurut Miles dan Huberman (1984:25) adalah suatu proses memilah, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabsahan, dan transformasi data mentah atau data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis yang diperoleh di lapangan. Reduksi data tidak hanya dilakukan ketika penelitian terhadap suatu objek telah selesai dilaksanakan, tetapi berlangsung terus-menerus selama penelitian. Dalam penelitian ini, reduksi dilakukan dengan membuat ringkasan data, menelusuri tema-tema yang tersebar, baik dari ungkapanungkapan dari analisis dokumen, analisis hasil observasi, maupun hasil kuesioner. 2) Penyajian data Penyajian data menurut Miles dan Huberman (1984:25) dimaksudkan untuk menemukan pola-pola yang bermakna serta memberikan kemungkinan adanya penarikan simpulan dan pengambilan tindakan. Dalam penelitian ini, data yang didapat dari analisis dokumen, analisis hasil observasi, maupun hasil kuesioner
7
disajikan secara deskriptif. Tujuannya, untuk lebih mudah melihat kompleksitas dalam kesatuan bentuk yang lebih sederhana sehingga relatif
lebih mudah
memahami makna tema-tema yang terkandung di dalamnya. 3) Menarik simpulan Menarik simpulan berdasarkan reduksi data dan penyajian data yang telah dilakukan sebelumnya. Simpulan yang masih melebar seperti telah dirumuskan pada tahap reduksi data disempurnakan
lagi pada tahap penyajian data dan
akhirnya menjadi final pada tahap menarik simpulan.
III. SIMPULAN DAN SARAN Pelaksanaan pendidikan agama Hindu dalam menumbuhkembangkan karakter siswa SMA Negeri 1 Kediri tahun pelajaran 2011/2012 secara kognitif (intelektual), nilai pendidikan agama Hindu responden yang terendah adalah 75, sedangkan nilai tertinggi adalah 87. Jika dihubungkan dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) untuk mata pelajaran agama Hindu SMA Negeri 1 Kediri adalah 70 secara individual, sedangkan untuk kentutasan kelompok adalah 85% dari jumlah siswa secara kesuluruhan mendapatkan nilai 70. Hal ini berarti bahwa tidak seorang pun melakukan remidial teaching dalam pendidikan agama Hindu. Dengan kata lain, pembelajaran pendidikan agama Hindu telah mampu menumbuhkembangkan karakter siswa SMA Negeri 1 Kediri.
Hal ini dapat
diilustrasikan bahwa (1) Rata-rata nilai pendidikan Agama Hindu adalah 78,53; (2) Daya serap pendidikan Agama Hindu adalah 79%; dan (3) Ketuntasan klasikal adalah 100%. Ada beberapa kendala yang muncul dalam menumbuhkembangkan karakter siswa SMA Negeri 1 Kediri. Pertama, adanya krisis moralitas siswa.
8
Kedua, terbatasnya koleksi buku agama Hindu pada sekolah ini sehingga wawasan siswa tentang ajaran agama Hindu juga kurang. Ketiga, guru cenderung berfokus pada materi pembelajaran yang akan diajarkan tanpa menghubungkan dengan kenyataan riil di sekolah dan di masyarakat. Keempat, terpengaruhnya siswa dengan adanya perkembangan kepariwisataan dunia yang pesat serta komunikasi antarbangsa yang sangat cepat. Kelima, terpengaruhnya siswa dengan adanya budaya global sehingga budaya lokal perlahan-lahan ditinggalkan. Keenam, adanya pertentangan pikiran pada diri siswa tentang teori dan praktik dari ajaran agama Hindu karena kenyataannya kadang-kadang terbalik. Ketujuh, kurangnya komunikasi antara guru agama Hindu dan siswa tentang hal-hal yang bersifat keagamaan dan larut dalam pernyataan mule keto. Di samping juga, ada faktorfaktor internal (dari diri siswa sendiri, seperti keluarga, sastus sosial, faktor ekonomi, dan lain-lain) dan faktor eksternal (seperti lingkungan sekolah, teman sepermainan, kemajuan teknologi). Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan oleh guru agama Hindu SMA Negeri 1 Kediri tahun pelajaran 2011/2012 dalam upaya menumbuhkembangkan karakter siswa. Pertama, pemberian keteladanan yang diwujudkan oleh guru agama Hindu dengan cara memberikan contoh tentang bagaimana menerapkan ajaran Tri Kaya Parisudha dan Panca Sradha. Kedua, pemberian nasihat dengan lemah lembut, menarik, bersimpati terhadap siswa yang melanggar tata tertib sekolah sehingga
siswa tersebut merasa tersentuh dan dapat mempengaruhi
perasaan dan kepribadiannya. Ketiga, pemberian bimbingan pada siswa yang mengalami masalah pribadi.
9
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, I Gusti Ngurah. 1982. Sumbangan Nilai Budaya Bali Dalam Pembangnnan Kebudayaan Bnasional. Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Cudamani. 1993. Pengantar Agama Hindu. Hanuman Sakti, Jakarta. Dahki, Zohrah, 2001. Pendidikan Budhi pekerti SMU kelas X. Jakarta: penerbit Grassindo. Goleman, Daniel, 1977. Kecerdasan Emosional (terjemahan), cet. VII, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Juniati, dkk, 2002. Pendidikan Budhi Pekerti untuk SMA kls XI. Jakarta: Penerbit Garassindo. Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan Mentalitass dan Pembangunan. Jakarta : PT. Gramedia, Jakarta. Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Antropologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta, Jakarta. Mas, Raka. 2003. Membangun Masyarakat Berkualitas Melalui Kepedulian Pada Tata Susila dan Bhudi Pekerti Hindu. Surabaya: Paramita. Maswinara, I Made. 1999. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha). Paramita Surabaya. Ngurah, IB dkk. 2005. Dharma Prawerti, Bahan Ajar Pendidikan Budhi Pekerti. Bali: Tri Agung. Sudirga I B, dkk. 2005. Panduan Pendidikan Budhi Pekerti. Denpasar: Dwi jaya Mandiri. Sunarno, 2003. Model Pengintegrasian Budhi Pekerti ke dalam Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Zohar, Danah and Ian Marshall, 2000. Spiritual Intelligence : The Ultimate Intelligence, Bloomsbury, London.
10