Peranan auksin dan iklim mikro dalam keberhasilan penyetekan kakao (Theobroma cacao L.)
Sugito, Y. (1999). Ekologi Tanaman. Fak. Pertanian UNIBRAW, Malang. Thau Yin, J.P. (2004). Rootstock effects on cocoa in Sabah, Malaysia. Exp. Agric., 40, 445—452. Walton, J.D. & P.M. Ray (1981). Evidence for receptor function of auxin binding sites in maize. Red light inhibition of mesocotyl elongation and auxin binding. Plant Physiol., 68, 1334—1338. Vanderhoef, L.N. & W.R. Brigg (1978). Red Light-inhibited Mesocotyl Elongation in Maize Seedlings. Plant Physiology, 61, 534—537.
Weaver, R.J. (1972). Plant Growth Substances in Agriculture. W.H. Freeman & Co., San Francisco. Winarno, H. (2001). Kemampuan berakar setek beberapa klon kakao dan responsnya terhadap perlakuan bahan pemacu perakaran. Pelita Perkebunan, 17, 55– 63. Zimmerman, R.H. (1984).Rooting apple cultivars in vitro: Interactions among light, temperature, phloroglucinol and auxin. Plant Cell, Tissue and Organ Culture, 3, 301–311. *********
37
Prawoto, Arifin, Bachri dan Setyaningtyas
Plant Phys., 49, 886—892. Himanen, K.; E. Boucheron; S. Vanneste; de Almeida Engler J; D. Inze, & T. Beeckman (2002). Auxin-mediated cell cycle activation during early lateral root initiation. Plant Cell, 14, 2339— 2351. Luckman, A. & R.C. Menary (2002). Increased root initiation in cuttings of Eucalyptus nitens by delayed auxin application. Plant Growth Regulation, 38, 31—35. Mendoza, M.G. & H. F. Kaeppler (2002). Auxin and sugar effects on callus induction and plant regeneration frequencies from mature embryos of wheat (Triticum aestivum L.). In Vitro Cellular & Developmental Biology - Plant, 38, 39—45. Mulyana, W. (2001). Bercocok tanam Cokelat. Aneka Ilmu, Semarang. Naqvi, S.M. & S.A. Gordon (1967). Auxin transport in Zea mays coleoptiles II. Influence of light on the transport of indoleacetic acid-2-14C. Plant Physiol., 42, 138 – 143. Palacios, J.B. & W.R. Monteiro (2000). Mass multiplication on a semi-industrial scale of cocoa clones by rooted cuttings in Brazil. Proc. of the int. Workshop on New Techn. and Cocoa Breeding, 1617 Oct. 2000 Kota Kinabalu, Malaysia, 184–190. Pandey, D. & R.K. Pathak (1978). Biochemical basis of rooting potentiality in apple hardwood cuttings. I. Endogeneous levels of carbohydrates and nitrogen fractions. Indian J. Pl. Physiol. 21, 280–186. Patel, K.R., C.K. Shah & A.C. Dhar (1978). Effect of IAA on endogenous RNA con-
tent and cell elongation. Indian J. Pl. Physiol. 21, 133–141. Prawoto, A. Adi (1986). Beberapa aspek dalam pembuatan setek tanaman kakao (Theobroma cacao L.). Pelita Perkebunan, 2, 29–39. Prawoto, A. Adi & M. Saleh (1983). Pengaruh madu lebah, IBA dan bentuk setek terhadap perakaran setek kakao. Menara Perkebunan, 51, 7—16. Prawoto, A.Adi.; W. Soerodikoesoemo, Soemartono & H. Hartiko (1990). Kajian okulasi pada tanaman kakao (Theobroma cacao L.). IV. Pengaruh batang bawah terhadap dayahasil batang atas. Pelita Perkebunan, 6, 13–20. Rashotte, A.M.; S.R. Brady; R.C. Reed.; S.J. Ante, & G.K. Muday (2000). Basipetal auxin transport is required for gravitropism in roots of Arabidopsis. Plant Physiol., 122, 481–490. Raviv, M. & O. Reuveni (1984a). Mode of leaf shedding from avocado cuttings and the effect of its delay on rooting. Hortscience, 19, 529—531. Raviv, M. & O. Reuveni (1984b). Endogenous content of leaf substance(s) associated with rooting ability of avocado cuttings. Hortscience, 109, 284—287. Ribnicky, D.M.; N. Ilic; J. D. Cohen & T. J. Cooke (1996). The Effects of Exogenous Auxins on Endogenous Indole-3Acetic Acid Metabolism (The Implications for Carrot Somatic Embryogenesis) . Plant Physiology, 112, 549–558. Shen-Miller, J.; P. Cooper & S. A. Gordon (1969). Phototropism and Photoinhibition of Basipolar Transport of Auxin in Oat Coleoptiles. Plant Physiology, 44, 491—496
36
Peranan auksin dan iklim mikro dalam keberhasilan penyetekan kakao (Theobroma cacao L.)
terhadap penyinaran langsung, suhu udara 31,62OC dan RH udara 80,74%.
KESIMPULAN 1. Kandungan auksin endogen berkorelasi positif dengan kemampuan setek untuk berakar dan responsnya terhadap aplikasi auksin eksogen, juga positif. 2. Metode penyetekan kakao yang mampu menghasilkan setek berakar 80%—90% sudah ditemukan, yaitu menggunakan IBA 3000 atau 6000 ppm yang dicampur dengan PVP 6000 ppm, dan dilaksanakan pada musim hujan sehingga tercipta kondisi suhu udara di dalam sungkup bedengan penyetekan 24—27 O C dan kelembaban udara 78—87%. Di samping atap buatan, bedengan perlu berpenaung tanaman lamtoro yang cukup teduh. 3. Respons klon kakao KW 162, KW 163 dan KW 165 untuk disetek, adalah sama.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pengurus KP Kaliwining serta Sdr. Herwanto, Wagiyo, dan Surani, atas bantuannya dalam melaksanakan penelitian ini. Kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu kelancaran penelitian ini sampai kepada pelaporannya, pelapor juga mengucapkan terima kasih. DAFTAR PUSTAKA Aloni, R. (1979). Role of Auxin and Gibberellin in Differentiation of Primary Ph-
35
loem Fibers. Plant Physiology, 63, 609—614. Beyer, E.M. Jr. (1973). Support for a role of ethylene modification of auxin transport. Plant Physiol., 52, 1—5. Brian K. M. & N. L. Bassuk (1991). Stock plant etiolation and stem banding effect on the auxin dose-response of rooting in stem cuttings of Carpinus betulus L. ‘Fastigiata’. Plant Growth Regulation, 10, 305—311. Chhun, T.; S. Taketa; S. Tsurumi & M. Ichii (2003). The effects of auxin on lateral root initiation and root gravitropism in a lateral rootless mutant Lrt1 of rice (Oryza sativa L.). Plant Growth Regulation, 39, 161—170. Dindsa, R.S.; G. Dong, & L. Lalonde (1987). Altered Gene Expression during AuxinInduced Root Development from Excised Mung Bean Seedlings. Plant Physiol., 84, 1148—1153. Direktorat Bina Produksi Perkebunan (2006). Statistik Perkebunan 2003—2005. Kakao. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Jakarta. Epel, B.L. & M.A. Erlanger (1994). Light differentially regulates lateral and longitudinal auxin transport in the mesocotyl of etiolated maize seedlings. Plant Growth Regulation, 14, 167—171. Garcia-Gomez, M.L.; C. Sanchez-Romero; A. Barcelo-Munoz; A. Heredia & F. Pligo-Alfaro (1994). Levels of endogenous indole-3-acetic acid and indole3-acetyl-aspartic acid during adventitious rooting in avocado microcuttings. J. of Exp. Bot., 45, 865—870. Haissig, B.E. (1972). Meristematic activity during adventitious root primordium development. Influence of endogenous auxin and applied gibberellic acid.
Prawoto, Arifin, Bachri dan Setyaningtyas
Tabel 8.
Pengaruh faktor tunggal medium, konsentrasi IBA dan klon terhadap jumlah setek hidup, berakar, jumlah akar dan panjang akar
Table 8.
Single factor effect of rooting media, IBA concentration, and clone on the alive cuttings, rooted cuttings, number of roots and its length Panjang akar, cm Root length, cm
Hidup, % Alive, %
Berakar, % Rooted, %
Belotong + Pasir Filter press cake + sand
15.75 b
0.20 c
0.09 c
0.06 c
Coconut peat + pasir Coconut peat + sand
43.97 a
5.67 ab
1.99 ab
1.89 a
Pupuk kandang + pasir Dung + sand
15.78 b
2.33 b
0.78 b
0.64 b
Pasir (Sand)
50.89 a
8.93 a
2.30 a
1.50 a
0 ppm
67.82 a
0.00 b
0.00 b
0.00 c
3000 ppm
22.19 b
8.00 a
2.23 a
36.00 a
6000 ppm
15.98 b
6.35 a
0.70 b
24.50 b
KW 48
55.27 a
14.00 a
3.68 a
24.30 a
KW 84
34.17 b
4.58 b
0.91 c
17.23 ab
KW 162
26.39 bc
1.08 c
0.19 c
2.26 c
Perlakuan Treatment
Jumlah akar Root number
KW 163
14.83 c
0.25 c
0.14 c
1.56 c
KW 165
37.48 b
4.00 b
1.50 b
8.40 b
Catatan (Notes) : Data pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Tukey apabila diikuti huruf yang sama (Data in the same column followed by the same letter is not significantly different according to Tukey 5%).
Tabel 9. Iklim mikro bedengan penyetekan yang dilaksanakan pada musim kemarau Table 9. Microclimate inside rooting bin during dry season (October) Intensitas cahaya, %langsung (Light int., % to direct illumination)
Suhu udara siang, OC Day temperature, OC
Belotong + Pasir Filter press cake + sand
23.07
31.33
80.34
Serbuk sabut kelapa + pasir Coconut peat + sand
22.31
31.32
81.34
Pupuk kandang + pasir Dung + sand
22.30
32.22
80.54
Pasir (Sand)
23.20
32.04
80.62
Bedengan Rootting bin
Kelemb. udara, % Relative humidity, %
34
Peranan auksin dan iklim mikro dalam keberhasilan penyetekan kakao (Theobroma cacao L.)
menghasilkan kofaktor perakaran yang penting, yang bersama-sama karbohidrat dan auksin ditransfer ke pangkal untuk memacu pertumbuhan akar. Pengamatan pada setek tanaman apokat menunjukkan adanya korelasi positif antara kemampuan berakar dengan kadar kofaktor perakaran endogen yang diekstrak dari daun (Raviv & Reuveni, 1984b). Iklim Mikro Di dalam proses penyetekan kakao, peranan iklim mikro di dalam bedengan penyetekan, amatlah menentukan. Kondisi iklim yang mendukung keberhasilan penyetekan kakao adalah suhu yang tidak terlalu tinggi agar proses respirasi dapat ditekan, kelembaban cukup tinggi agar transpirasi dapat ditekan. Kedua parameter iklim tersebut dikendalikan oleh intensitas cahaya yang masuk ke dalam bedengan penyetekan. Cahaya diperlukan agar aktivitas fotosintesis daun pada setek dapat berjalan optimum, tetapi tidak boleh terlalu kuat agar suhu udara tidak terlalu tinggi dan kelembaban relatif udara terlalu rendah. Dari penelitian ini kondisi iklim mikro yang optimum (yang dapat menghasilkan setek berakar 80–90%) adalah intensitas cahaya sekitar 3% terhadap penyinaran langsung, suhu udara maksimum 27OC dan kelembaban udara terus menerus dipertahankan sekitar 80% (Tabel 7). Kondisi iklim mikro yang optimum tersebut adalah spesifik untuk setiap spesies. Untuk setek tanaman apel Malus domestica diperlukan kondisi gelap selama 4—7 hari dengan suhu 30OC, selanjutnya setek perlu dipindah pada kondisi penyinaran 16 jam
33
dan gelap 8 jam dengan suhu 25OC. Peningkatan suhu menjadi 35 O C menurunkan perakaran varietas ‘Vermont Spur Delicious’ (Zimmerman, 2004).
Penyetekan pada musim kemarau Kondisi bedengan penyetekan yang tidak mendukung untuk berakarnya setek kakao diperoleh dari penelitian terpisah yang dilaksanakan pada musim kemarau (Oktober) di tempat yang sama. Hasilnya menunjukkan jumlah setek berakar 0%, 8,0% dan 6,2% berturut-turut untuk perlakuan IBA 0 ppm, 3000 ppm dan 6000 ppm. Di samping suhu siang hari yang tinggi, penyebab rendahnya jumlah setek berakar pada musim kemarau juga karena kualitas bahan setek cenderung kurang segar dibandingkan bahan setek pada musim hujan. Walaupun dalam penelitian ini tanaman sumber entres juga disiram, tetapi tampaknya laju evapotranspirasi masih lebih kuat dibandingkan jumlah air yang disiramkan. Secara morfologis, ranting bahan setek pada musim kemarau lebih kisut dengan daunnya agak layu. Kondisi iklim mikro di bedengan penyetekan pada waktu itu khususnya suhu udara yang jauh lebih tinggi dibandingkan bedengan penyetekan yang dilakukan pada musim hujan. Tingginya suhu udara tersebut sebagai akibat dari intensitas cahaya yang masuk ke dalam bedengan juga cukup tinggi di samping memang terbatasnya awan yang meredam intensitas penyinaran matahari. Kelembaban udara cukup mendukung untuk berhasilnya penyetekan. Rerata intensitas cahaya di dalam sungkup sekitar 22,56%
Prawoto, Arifin, Bachri dan Setyaningtyas
dan jumlah akar meningkat dan mencapai maksimum pada konsentrasi 20 mM kemudian terjadi penghambatan pada konsentrasi yang lebih tinggi (Brian et al., 1991). Penelitian pada setek Eucalyptus nitens menunjukkan bahwa inisiasi akar dirangsang dengan perendaman ke dalam larutan auksin 20 mg/l selama 48 jam dan bahan setek tersebut telah dikumpulkan dan disimpan dalam mist-bed selama 4 minggu (Luckman & Menary, 2002).
Pengaruh IBA dan PVP Dari Tabel 6 tampak bahwa PVP bukanlah ZPT yang efektif untuk menumbuhkan akar setek kakao, tetapi apabila dicampur dengan IBA ternyata meningkatkan jumlah setek berakar, jumlah akar dan panjang akar. PVP (polyvinyl pyrrolidon) merupakan khemikalia yang mampu menghambat oksidasi hormon, lazim digunakan sebagai antioksidan sehingga diduga mampu melindungi kerusakan IBA dari oksidasi. Dari tabel tersebut juga sekali lagi dibuktikan peranan ZPT khususnya IBA dalam meningkatkan keberhasilan penyetekan kakao.
Tabel 7.
Iklim mikro di dalam bedengan penyetekan
Table 7.
Microclimate inside rooting bin
Waktu (Time)
Intensitas cahaya, %langsung (Light int., % to direct illumination)
Untuk berakarnya setek kakao, keberadaan daun pada setek cukup penting. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa setek yang daunnya sudah rontok, peluang untuk berakar makin sedikit. Setek yang sudah tidak berdaun terkadang masih hidup asalkan jaringan kalus pada pangkal setek sudah terbentuk. Pengamatan pada setek tanaman apokat (Persea americana) menunjukkan adanya korelasi positif antara jumlah daun yang dapat dipertahankan pada setek dengan kemampuannya untuk berakar (Raviv & Reuveni, 1984a). Penundaan kerusakan klorofil dan gugurnya daun dengan aplikasi BA (benzyl-amino-purine) dan pemacu pertumbuhan akar (NAA) dilaporkan juga meningkatkan jumlah setek berakar. Dari segi fisiologis, daun berperan sebagai organ tempat berlangsungnya fotosintesis, tetapi juga berperan mengatur diferensiasi secara kualitatif dan kuantitatif berkas floem primer dalam organ akar yang baru tumbuh. Kombinasi perlakuan IAA dan GA3 pernah dilaporkan mampu menggantikan peran daun sepenuhnya dalam diferensiasi berkas floem organ akar tersebut walaupun terjadi penurunan dampak dengan makin jauhnya dari sumber induksi (Aloni, 1979). Di samping itu, daun juga organ yang
Suhu udara, O C Temperature,O C
Kelemb. udara, % Relative humidity, %
8.00
1.67
24
87
12.00
3.33
27
78
16.00
3.00
27
78
32
Peranan auksin dan iklim mikro dalam keberhasilan penyetekan kakao (Theobroma cacao L.)
Tabel 5.
Pengaruh faktor tunggal klon dan IBA terhadap hasil penyetekan
Table 5.
Effect of single factor of clone and IBA on the rooted cuttings
Klon (Clone)
Hidup, % Alive, %)
Berakar, % Rooted, %
Jumlah akar Root no.
Panjang akar, cm Root length, cm)
Setek berdaun, % Cutting bear leaf, %
KW 162
95.56 a
50.00 a
4.10 a
3.13 a
50.60 a
KW 163
97.78 a
57.78 a
4.59 a
3.34 a
60.26 a
KW 165
90.00 a
53.33 a
5.88 a
3.86 a
52.56 a
IBA 0 ppm
98.88 a
2.22 b
0.03 b
0.04 b
5.20 b
3000 ppm
94.44 a
81.11 a
7.12 a
5.27 a
75.78 a
6000 ppm
90.00 a
77.78 a
7.38 a
5.02 a
70.68 a
Catatan (Notes) : Data pada kolom yang sama untuk setiap perlakuan yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Tukey 5% (Data in the same column for each treatment followed by the same letter is not significantly different according to Tukey 5%).
Tabel 6.
Pengaruh IBA dan PVP terhadap keberhasilan penyetekan kakao
Table 6.
Effect of IBA and PVP on the rooted cocoa cuttings
Perlakuan (Treatment)
Hidup, % Alive, %
Berakar, % Rooted, %
Jumlah akar Root no.
Panjang akar, cm Root length, cm
Setek berdaun, % Cuttings bear leaf, %
IBA 6000 ppm
90 b
80 a
8.5 a
5.5 a
82.0 a
PVP 6000 ppm
100 a
14 b
0.8 b
0.7 b
76.2 a
92 a
12.1 a
8.2 a
92.4 a
0.0 c
0.0 c
0.0 c
25.6 b
IBA + PVP 6000 ppm Kontrol
94 ab 100 a
Catatan (Notes) : Data pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Tukey apabila diikuti huruf yang sama (Data in the same column followed by the same letter is not significantly different according to Tukey 5%).
memiliki kemampuan berakar yang hampir sama. Auksin sudah dikenal luas memegang peran pada sejumlah pertumbuhan tanaman, yaitu fototropisme, gravitropisme, dominansi apikal, pertumbuhan buah, dan inisiasi akar. Auksin merangsang pertumbuhan akar adventif pada banyak spesies tanaman. Akar adventif lebih sering tumbuh dari batang (atau daun) daripada dari sistem perakaran
31
yang biasanya terjadi. Respons tanaman terhadap konsentrasi auksin yang diaplikasikan mengikuti pola kuadratik dan dalam penelitian ini konsentrasi 3000 ppm menunjukkan jumlah berakar tertinggi selanjutnya jumlahnya menurun dengan meningkatnya konsentrasi ke 6000 ppm. Penelitian pada tanaman Carpina betulus menunjukkan hal yang sama bahwa dari perlakuan IBA 0–79 mM menunjukkan persentase setek berakar
Prawoto, Arifin, Bachri dan Setyaningtyas
auksin, sebaliknya primordia yang sudah tumbuh, kurang peka perlakuan auksin. Pertumbuhan panjang akar berjalan seiring dengan kecepatan setek untuk berakar dan jumlah akar yang tumbuh. Pada setek tanaman buncis dilaporkan bahwa sedikitnya akar yang tumbuh pada pangkal setek disebabkan oleh transpor basipetal dan akumulasi auksin pada pangkal setek yang sedikit pula (Dhindsa et al., 1987). Bobot Kering Akar dan Tunas Dalam proses penyetekan kakao, pertumbuhan akar merupakan variabel paling penting, sementara pertumbuhan tunas bukanlah variabel yang utama. Setek yang berakar pasti akan bertunas, sebaliknya setek yang bertunas belum tentu berakar. Dalam kasus yang terakhir tersebut, pertumbuhan tunas yang tidak diikuti dengan pertumbuhan akar justru menyebabkan kondisi setek menjadi lemah dan mempercepat kematiannya. Akar merupakan organ utama untuk menyerap air dan unsur hara, sementara daun merupakan organ untuk menyediakan nutrisi organik bagi pertumbuhan akar tetapi juga organ tempat berlangsungnya transpirasi. Imbangan antara kemampuan akar untuk menyerap air serta laju transpirasi merupakan ukuran yang penting untuk keberhasilan penyetekan kakao. Dalam penelitian ini bobot kering akar dan tunas tidak berbeda antarperlakuan disebabkan karena setek baru berumur tiga bulan dan masih dipertahankan di dalam bedengan penyetekan. Pengaruhnya diduga akan tampak apabila nantinya sudah ditanam di lapangan.
Penelitian 2. Peranan ZPT dan iklim mikro bedengan penyetekan Penyetekan pada musim hujan Pengaruh Klon dan Auksin Dari Tabel 5 dan 6 diketahui bahwa jumlah setek berakar tidak berbeda antarklon (KW 162, KW 163 dan KW 165) yang diuji. Di lain pihak pengaruh ZPT sangat nyata, bahwa IBA meningkatkan jumlah setek berakar. Interaksi antara klon dan IBA tidak nyata sehingga data disajikan sebagai faktor tunggal. Respons antarklon kakao dapat terjadi karena dalam proses penyetekan, auksin hanyalah satu dari beberapa faktor endogen yang penting untuk berakarnya setek. Tersedianya karbohidrat, protein, kofaktor perakaran, dan senyawa penghambat aktivitas hormon auksin, juga menentukan keberhasilan penyetekan. Tercapainya level minimum imbangan tersedianya karbohidrat dengan kandungan Mn, dilaporkan penting untuk berakarnya setek Persea americana (Raviv & Reuveni, 1984a). Terdapat empat macam kofaktor perakaran yang disintesis dari daun P. americana, kofaktor-4 dilaporkan merupakan senyawa primer untuk memacu pertumbuhan akar setek (Hess cit. Raviv & Reuveni, 1984b). Di samping faktor yang mendukung pertumbuhan akar, beberapa faktor penghambat perakaran juga menentukan tingkat keberhasilannya. Faktor tersebut antara lain kondisi yang menyebabkan auksin teroksidasi, etilen, asam absisat, dan asam giberelin.Tiap klon telah dibuktikan mempunyai kemampuan untuk berakar yang berbeda-beda, dan dalam penelitian ini klon KW 162, KW 163 dan KW 165
30
Peranan auksin dan iklim mikro dalam keberhasilan penyetekan kakao (Theobroma cacao L.)
Tabel 4.
Bobot kering akar dan tunas pada umur 3 bulan
Table 4.
Root and shoot dry weight at 3 month old
Perlakuan (Treatment)
Bobot kering akar, g Root dry weight, g
Bobot kering tunas, g Shoot dry weight, g
Int. cahaya (Light int.), % 15 30 45
0.05 a 0.08 a 0.05 a
0.02 a 0.03 a 0.01 a
DR 2 ICS 13
0.03 b 0.09 a
0.01 b 0.03 a
0.05 0.04 0.09 0.05
0.01 0.02 0.02 0.03
Klon (Clone)
IBA, ppm 0 1500 3000 4500
a a a a
a a a a
Catatan (Notes) ; Data pada kolom yang sama untuk setiap perlakuan yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata mnurut BNT 5% (Data in the same column for each treatment followed by the same letter is not significantly different according to LSD 5%).
ekspresi gen (Dhindsa et al., 1987). Sintesis protein dilaporkan terjadi 6—12 jam setelah aplikasi auksin, dan mencapai maksimum setelah 24 jam, kemudian turun setelah 48 jam. Setek kontrol menunjukkan jumlah akar yang tumbuh sedikit karena akumulasi auksin pada pangkal setek hanya berlangsung alamiah secara basipetal. Keragaman antarklon yang terjadi juga disebabkan oleh keberadaan dan konsentrasi senyawa penghambat pertumbuhan akar. Senyawa penghambat transpor auksin adalah kelompok fitotropin antara lain NPA (N-1napthylphthalamic acid). NPA dilaporkan menghambat pembentukan akar (0,05 µM), menghambat respons gravitropik (>0,05 µ M), menghambat pemanjangan akar P. vulgaris (1 µM) (Rashotte et al., 2000). Oleh sebab itu konsentrasi auksin yang tinggi diperlukan untuk pemacuan pembentukan akar terutama pada klon yang sukar berakar.
29
Jumlah Akar dan Panjang Akar Seperti halnya dengan variabel jumlah setek berakar, jumlah akar juga menunjukkan kecenderungan yang sama terhadap perlakuan klon, intensitas penyinaran dan konsentrasi IBA. Perlakuan intensitas cahaya meningkatkan jumlah akar setek meskipun antara intensitas 15%, 30% dan 45% tidak berbeda nyata. Pengaruh klon kakao sama dengan variabel jumlah setek berakar, bahwa akar ICS 13 nyata lebih banyak daripada akar klon DR 2. Peningkatan konsentrasi IBA juga meningkatkan jumlah akar setek. Perlakuan yang menyebabkan persentase setek kakao berakar tinggi, menyebabkan makin banyak pula akar yang tumbuh. Referensi yang mendukung fenomena ini masih terbatas, hanya Haissig (1972) menyatakan bahwa primordia akar Salix fragilis yang sedang tumbuh, peka perlakuan
Prawoto, Arifin, Bachri dan Setyaningtyas
reseptor auksin. Salah satu sifat dari plant hormone receptor ini adalah ketergantungannya pada suhu yang rendah.
IBA dan auksin pada umumnya merangsang proses transkripsi (sintesis m-RNA) khususnya di dalam jaringan meristem, yang selanjutnya mempercepat translasi (sintesis protein). Protein pengatur berperan sebagai enzim sedang protein struktural berfungsi untuk menyusun jaringan baru. IBA dilaporkan juga berperan mengaktifkan enzim amilase yang berperan menguraikan karbohidrat dan cadangan makanan gula yang lain. Energi yang dihasilkan dari proses respirasi digunakan untuk berbagai reaksi sintesis jaringan yang baru, termasuk di antaranya adalah akar (Thimann cit. Weaver, 1972; Masuda et al., cit. Patel et al., 1978). Jalur mekanisme tersebut diduga sebagai penyebab meningkatnya berakarnya setek yang diperlakukan dengan IBA. Pengamatan pada setek tanaman Phaseolus vulgaris membuktikan mekanisme tersebut, bahwa auksin menginduksi pertumbuhan akar lewat
Peningkatan konsentrasi IBA sampai 4500 ppm masih meningkatkan jumlah setek berakar meskipun antara konsentrasi 3000 ppm dengan 4500 ppm hasilnya sama. Hasil ini senada dengan penelitian Prawoto & Saleh (1983), dan Winarno (2001). Pengaruh klon juga nyata, bahwa klon yang kandungan auksinnya tinggi, jumlah setek berakar juga lebih banyak. Secara biokimiawi, penyebab perbedaan tersebut selain keragaman kandungan auksin endogen juga disebabkan oleh tersedianya senyawa karbohidrat, protein, auksin, dan kofaktor perakaran (Pandey & Pathak, 1978). Tersedianya material tersebut berkaitan dengan macam klon, ukuran setek, dan saat pengambilan bahan setek.
Tabel 3. Rerata jumlah akar dan panjang akar per setek pada umur 3 bulan Table 3. Average number and length of root per cutting at 3 month old Panjang akar per setek, cm Root length per cutting, cm
Jumlah akar per setek No. of root per cutting
15 30 45
2.30 a 3.69 a 4.09 a
4.43 a 4.07 a 9.13 a
DR 2 ICS 13
2.39 b 4.32 a
5.69 a 6.06 a
1.76 3.42 4.14 4.12
3.36 8.49 5.80 5.84
Perlakuan (Treatment) Int. cahaya (Light int.), %
Klon (Clone)
IBA, ppm 0 1500 3000 4500
b a a a
a b ab ab
Catatan (Notes): Data pada kolom yang sama untuk setiap perlakuan yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata mnurut BNT 5% (Data in the same column for each treatment followed by the same letter is not significantly different according to LSD 5%).
28
Peranan auksin dan iklim mikro dalam keberhasilan penyetekan kakao (Theobroma cacao L.)
30
c 25
bc b
15
10
b
a
a a
4500 ppm
3000 ppm
1500 ppm
0 ppm
ICS 13
DR 2
45%
0
30%
5
15%
Setek berakar (Rooted cutttings), %
c b
20
Gambar 4. Jumlah setek berakar sebagai faktor tunggal dari perlakuan intensitas penyinaran, klon dan konsentrasi IBA. Figure 4.
Number of rooted cuttings as a single factor of light intensity, clone, and IBA concentration.
penyinaran diduga menyebabkan auksin lebih banyak terkonsentrasi pada basal setek sehingga memacu tumbuhnya akar seperti yang dinyatakan Sugito (1999) bahwa auksin bergerak menjauhi cahaya. Walaupun demikian jumlah setek berakar terbanyak dari penelitian ini masih jauh lebih rendah daripada hasil penelitian kedua dengan kondisi bedengan yang berbeda. Adanya respons berakarnya setek tanaman apel terhadap intensitas cahaya dan suhu bedengan, sudah dibuktikan oleh Zimmerman (1984). ‘Delicious apple’ dan beberapa strainnya yang sukar berakar, sudah berhasil diperbanyak dengan persentase berakar 100% melalui kombinasi perlakuan cahaya dan suhu udara. Kondisi tersebut adalah penempatan bahan setek
27
dalam medium perakaran dengan kondisi gelap selama satu minggu pada suhu 30O C kemudian dipindah ke kondisi terang selama 8 jam pada suhu 25OC. Peningkatan suhu dari 25OC menjadi 30OC masih meningkatkan perakaran, tetapi peningkatan suhu menjadi 35O C hanya meningkatkan perakaran pada ‘Royal Red Delicious’ tetapi menurunkan perakaran pada ‘Vermont Spur Delicious’. Di tingkat sel, pertumbuhan akar lateral pada setek melibatkan dua mekanisme utama yaitu aktivasi jaringan perisikel dan pertumbuhan sel-sel meristem (Himanen et al, 2002). Konsentrasi auksin endogen maupun eksogen sendiri bukan satu-satunya yang menentukan tumbuhnya akar lateral, melainkan perlu pula hadirnya senyawa
Prawoto, Arifin, Bachri dan Setyaningtyas
Suhu (Temperature), OC
Hasil penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya intensitas penyinaran me-
nurunkan kandungan auksin endogen tetapi meningkatkan jumlah setek berakar. Di lain pihak jumlah setek berakar ber-korelasi positif dengan konsentrasi auksin. Pada pembuatan setek kakao skala komersial di Brazil dengan metode penyiraman intermitten water atomization, intensitas cahaya di dalam bak penyetekan diatur pada 70% terhadap penyinaran langsung (Palacios & Monteiro, 2000). Peningkatan cahaya pada kisaran tersebut diduga justru menyebabkan peningkatan laju fotosintesis sehingga berdampak pada peningkatan jumlah setek berakar. Selain itu peningkatan intensitas
35
94
30
92
25
90
20
88
15
86
10
84
5
82
0
Kelembaban udara (RH), %
bahwa perlakuan intensitas cahaya berpengaruh positif terhadap jumlah setek berakar, demikian pula halnya dengan perlakuan IBA. Peningkatan intensitas penyinaran dari 15% sampai 45% terhadap penyinaran langsung, masih meningkatkan jumlah setek berakar. Dari data pengamatan iklim mikro, variabel suhu dan kelembaban udara masih dalam kisaran kondisi optimum untuk penyetekan kakao, yakni suhu udara pada siang hari berkisar pada 24–29OC dan kelembaban relatifnya 85–90% (Gambar 3).
80 15%
15%
30%
45%
30%
45%
Penyinaran, Penyinaran, %-langsung %-langsung (Illumination, (Illumination,%-direct) %-direct ) Suhu Pagi Suhu Pagi Temp., morning
Suhu Siang Suhu Temp.,Siang afternoon
Suhu Sore Suhu Temp.,Sore evening
RH PPagi RH agi
RH Siang RH Siang
RH Sore RH So re
Morning
Afternoon
Evening
Gambar 3. Suhu dan kelembaban udara di dalam ruang penyetekan dari tiga perlakuan intensitas penyinaran. Figure 3.
Temperature and relative humidity inside the rooting bin from three kinds of illumination intensity.
26
Peranan auksin dan iklim mikro dalam keberhasilan penyetekan kakao (Theobroma cacao L.)
Tabel 1. Rerata jumlah setek berkalus pada umur 3 bulan Table 1. Average of callused cocoa cuttings after 3 month old Intensitas cahaya Light intensity, %
IBA 0 ppm
1500 ppm
3000 ppm
4500 ppm
15%
32.22 ab
4.45 cd
3.89 cd
2.78 d
30%
34.44 a
30.56 ab
31.11 ab
23.89 abc
45%
40.56 a
12.22 bcd
12.22 bcd
9.99 cd
Catatan (Notes) : Data yang diikuti huruf yang sama tidak menunjukkan perbedaan nyata menurut DMRT 5% (Data followed by same letter is not significantly different according to DMRT 5%).
IBA sementara dengan meningkatnya konsentrasi IBA jumlah setek berakar makin banyak. Pengaruh klon terhadap jumlah setek berkalus cukup jelas dengan klon yang mudah berakar (ICS 13) menunjukkan persentase jumlah setek berkalus nyata lebih sedikit di lain pihak jumlah setek berakar klon tersebut lebih banyak. Dengan beberapa fenomena tersebut menjadi lebih jelas untuk menyatakan bahwa terbentuknya kalus terutama yang berukuran tebal justru menghambat tumbuh-
nya akar, tetapi keberadaan kalus diperlukan untuk menjaga agar setek tetap segar walaupun tidak menumbuhkan akar. Jaringan kalus selain berperan menutup luka, ditengarai juga berfungsi membantu penyerapan air. Setek Berakar Data jumlah setek berakar menunjukkan kecenderungan berlawanan dengan data jumlah setek berkalus. Dari Gambar 4 terlihat
Tabel 2. Persentase jumlah setek berkalus pada umur 1 dan 2 bulan Table 2. Percentage of callused cuttings at 1 and 2 month old Persentase setek berkalus umur, bulan Pct. of callused cuttings at the age, month
Perlakuan Treatment
1
2
Int. cahaya (Light int.), % 15 30 45
51.67 78.33 62.92
34.86 67.92 54.44
73.98 a 54.63 b
59.54 a 45.28 b
73.15 70.74 72.78 50.56
61.85 56.67 50.93 40.19
Klon (Clone) DR 2 ICS 13 IBA, ppm 0 1500 3000 4500
a ab b c
a ab b c
Catatan (Notes): Data pada kolom yang sama untuk setiap perlakuan yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut BNT 5% (Data in the same column for each treatment followed by the same letter is not significantly different according to LSD 5%).
25
Prawoto, Arifin, Bachri dan Setyaningtyas
600
+ 599 y y=-5.2473x = -5.2473x + 599 2 R2 =0.9503
R = 0.9503
Auksin (Auxin), ppm
500
400 + 667.52 y =y=-9.9492x -9.9492x + 667.52 R2=0.995 R2 = 0.995
300
200
100
0 0
10
20
30
40
50
Penyinaran (Illumination), % DR2
ICS 13
Gambar 2. Hubungan antara intensitas cahaya dengan kadar auksin setek. Figure 2.
Relationship between light intensity and auxin content in cocoa cuttings.
tanaman yang mendapat luka berlangsung lebih cepat. Penutupan luka ini diawali dengan akumulasi gula di sekitar luka selanjutnya gula digunakan untuk menghasilkan energi lewat respirasi, dan energi yang dihasilkan untuk menggiatkan pembelahan sel-sel parenkim yang berguna untuk menutup luka tersebut. Dari penelitian kultur embrio diketahui bahwa auksin memang memacu pertumbuhan kalus. Dari empat macam auksin sintetik yang diamati (2,4—D; dikamba; pikloram; 2—MCPP), semuanya menginduksi terbentuknya kalus kecuali 2—MCPP dan pengaruh pikloram paling kuat (Mendoza & Kaeppler, 2002). Auksin eksogen dilaporkan diperlukan untuk memacu proliferasi kalus (Ribnicky et al., 1996).
Tumbuhnya akar biasanya didahului dengan terbentuknya kalus, tetapi terbentuknya kalus bukan merupakan pertanda bahwa setek pasti akan berakar. Kaitan antara terbentuknya kalus dengan tumbuhnya akar pada setek, biasanya tidak berlangsung linier bahkan cenderung berkorelasi negatif. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa makin tinggi konsentrasi IBA makin sedikit setek yang berkalus tetapi makin banyak setek yang berakar (Gambar 3). Hasil pengamatan Prawoto & Saleh (1983) memperkuat fenomena tersebut bahwa kalus yang terlalu tebal justru menghambat tumbuhnya akar setek kakao walaupun setek yang berkalus biasanya masih tetap hidup. Dari Tabel 3 juga terlihat lebih jelas bahwa tumbuhnya kalus berkorelasi negatif dengan konsentrasi
24
Peranan auksin dan iklim mikro dalam keberhasilan penyetekan kakao (Theobroma cacao L.)
y=0.0183x + 400.3 y = 0.01 83x +400.3 2 =0.9996* R2 =R 0.9996*
60
Auksin (Auxin), ppm
50 40 y=0.0389x 281.59 y = 0.0389x+ + 281 .59 * R22=0.9724 = 0.9724* R
30 20 10 0 0
1000
2000
3000
4000
5000
IBA, ppm DR2
ICS 13
Gambar 1. Kandungan auksin setek kakao setelah 3 bulan aplikasi IBA. Figure 1.
Auxin content of cocoa cuttings after 3 months IBA treatment.
Penyinaran dengan cahaya putih dan cahaya biru, menghambat transpor auksin basipolar (photoinhibition), dan penghambatannya meningkat dengan peningkatan pencahayaan (Shen-Miller et al., 1969). Kondisi cekaman suhu yang tinggi sebagai akibat dari intensitas cahaya yang kuat dilaporkan berkorelasi positif dengan sintesis etilen, dan transpor auksin dihambat oleh etilen (Beyer, 1973). Secara biokimiawi, etilen dilaporkan menurunkan konsentrasi dan aktivitas karier auksin. Pengaruh penyinaran terhadap transpor auksin pernah diamati lebih intensif pada mesokotil bibit jagung, bahwa transpor lateral mengalami penghambatan oleh intensitas penyinaran yang rendah sekalipun (Epel & Erlanger, 1994). Cahaya merah dilaporkan menghambat transfer auksin lebih kuat daripada kualitas cahaya yang lain (Vander-hoef & Briggs, 1978). Jika bibit jagung yang ditumbuhkan dalam gelap
23
selama 3—4 hari kemudian disinari cahaya merah selama 4—9 jam, aktivitas auxin-binding pada membran endoplasmik retikulum turun 50—60% dan berdampak pada penghambatan pemanjangan sel (Walton & Ray, 1981). Setek Berkalus Hasil analisis statistik pada setek umur 3 bulan menunjukkan interaksi nyata antara pengaruh intensitas cahaya dengan konsentrasi IBA terhadap jumlah setek berkalus. Jumlah setek berkalus berbeda antarklon yang diuji, demikian pula halnya dengan pengaruh faktor tunggal konsentrasi IBA. Faktor tunggal intensitas cahaya tidak menunjukkan perbedaan nyata terhadap variabel ini. Kalus merupakan jaringan parenkim, terbentuk dari jaringan kambium maupun jaringan parenkim yang lain sebagai respons terhadap adanya luka. Respirasi jaringan
Prawoto, Arifin, Bachri dan Setyaningtyas
Sub kegiatan (b) Penelitian dilaksanakan pada musim kemarau (Oktober) di KP Kaliwining secara faktorial 3 x 3 x 5 dengan rancangan lapangan acak lengkap diulang tiga kali. Faktor petama adalah media penyetekan, yaitu (1) belotong + pasir, (2) serbuk sabut kelapa + pasir, (3) pupuk kandang + pasir. Faktor kedua adalah konsentrasi IBA, yaitu 0 ppm, 3000 ppm dan 6000 ppm. Faktor ketiga adalah klon, yaitu KW 48, KW 84, KW 162, KW 163 dan KW 165. Jumlah setek hidup, berakar serta iklim mikro merupakan variabel pengamatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian 1. Peranan auksin endogen, auksin eksogen dan intensitas penyinaran
Kandungan auksin bahan setek Dengan metode spektrofotometri, kadar auksin endogen dalam bahan setek pada awal penelitian adalah DR 2 = 40,90 ppm dan ICS 13 = 62,67 ppm. Tampak bahwa ada perbedaan kandungan auksin endogen antarklon kakao dan jika dikaitkan dengan kemampuannya untuk berakar, perbedaan kandungan auksin endogen ini berpengaruh positif. Seperti tampak dalam Gambar 3, jumlah setek berakar ICS 13 lebih tinggi daripada DR 2. Setelah berlangsung tiga bulan, kandungan auksin setek meningkat secara proporsional dengan perlakuan dan kadar awal dalam bahan setek. Penyebab dari peningkatan tersebut adalah terjadinya sintesis auksin di dalam tunas-tunas baru
yang mulai tumbuh, di samping pengaruh auksin eksogen. Aplikasi auksin terbukti juga meningkatkan kandungan auksin endogen setek kakao, harkat peningkatannya proporsional dengan kandungan auksin endogen awal dan konsentrasi IBA yang diaplikasikan. Semakin tinggi konsentrasi IBA yang diaplikasikan, semakin tinggi pula kandungan auksin yang terkandung (Gambar 1). Data tersebut juga membuktikan bahwa auksin yang diaplikasikan pada pangkal setek akan diserap bahan setek dan ditransfer akropetal ke seluruh bagian setek. Transpor auksin ini dapat berlangsung akropetal atau basipetal tergantung pada lokasi aplikasi (Rashotte et al., 2000). Hasil penelitian ini sama dengan yang terjadi pada setek tanaman apokat (Persea americana) bahwa aplikasi IBA meningkatkan kandungan IAA endogen sebesar dua kali lipat dalam waktu 6 jam setelah aplikasi (Garcia-Gomez et al., 1994) sementara aplikasi zat penghambat transpor auksin (TIBA) 200 M menurunkan kadar IAA endogen dan menghambat berakarnya setek. Hasil penelitian ini juga menunjukkan hubungan linier negatif antara intensitas cahaya dengan kandungan auksin dengan koefisien determinasi yang sangat tinggi (Gambar 2). Hal itu memperkuat pernyataan Beyer (1973) bahwa hambatan transpor auksin dan kerusakan auksin (oksidasi) dipacu oleh peningkatan suhu (intensitas cahaya), yaitu transpor auksin terhambat 70% pada suhu 27OC dibandingkan pada suhu 8OC. Cahaya juga dilaporkan menghambat transpor auksin basipetal pada koleoptil kecambah jagung (Naqvi & Gordon, 1967).
22
Peranan auksin dan iklim mikro dalam keberhasilan penyetekan kakao (Theobroma cacao L.)
lakukan penyiraman sehari sekali tergantung pada cuaca. Penyiraman dilakukan dengan cara pengkabutan menggunakan sprayer yang diarahkan ke atas. Variabel pengamatan adalah kandungan auksin bahan setek, dilakukan dengan metode spektrofotometri. Ranting bahan setek ditumbuk halus kemudian ditimbang 2 g dimasukkan ke dalam erlemeyer 250 ml. Ke dalamnya ditambahkan 50 ml air suling, dikocok selama 15 menit menggunakan shaker. Larutan selanjutnya disaring menggunakan kertas saring dan dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml. Ke dalamnya ditambah air suling sampai tanda 250 ml, dan dikocok. Dari larutan itu diambil 50 ml ditambah 2 ml NaNO3, ditambah 8 tetes HNO3, dikocok selama 1 menit kemudian absorbansinya dibaca menggunakan UV Vis pada 274 nm. Kadar auksin ditentukan dengan memasukkan datanya ke dalam persamaan regresi standar auksin. Kadar auksin dalam bahan setek tersebut diamati pada awal dan akhir penelitian. Variabel pengamatan lain pada umur 3 bulan adalah jumlah setek berakar, jumlah setek berkalus, jumlah dan panjang akar, jumlah dan panjang tunas, bobot segar akar dan tunas, bobot kering akar dan tunas. Data dianalisis menurut rancangan petak-petak terbagi dan uji lanjut menurut Duncan 5%.
Penelitian 2. Peranan ZPT dan iklim mikro bedengan penyetekan Penelitian terdiri atas dua sub kegiatan. Sub kegiatan (a) Penelitian dilaksanakan pada musim hujan di KP Kaliwining dirancang secara faktorial 3 x 3 dengan rancangan
21
lapangan acak lengkap ulangan tiga kali. Sebagai faktor pertama berupa klon kakao yakni KW 163, KW 162 dan KW 165 sementara faktor kedua berupa konsentrasi IBA yakni 0 ppm, 3000 ppm dan 6000 ppm. Bedengan penyetekan dibuat di bawah tanaman lamtoro dan atap daun nyiur yang masih meneruskan spot-spot cahaya. Media penyetekan adalah pasir halus. Iklim mikro di bawah atap dan di dalam sungkup yang meliputi suhu udara, kelembaban dan intensitas penyinaran matahari, diamati pada pukul 8.00, 12.00 dan 16.00. Sebagai karier IBA digunakan talk dan sebelum dioleskan pada pangkas setek, talk dibuat pasta dengan cara menambahkan sedikit air. Pengamatan yang dilakukan setelah setek berumur satu bulan meliputi jumlah setek hidup, jumlah setek berakar, jumlah akar dan panjang akar. Untuk mencari ZPT yang lebih mampu memacu berakarnya setek kakao, dilakukan pengujian senyawa PVP (polyvinyl pyrolidon), yakni khemikalia yang bersifat menghambat oksidasi (anti-oksidan). Dari referensi diketahui bahwa auksin adalah ZPT yang mudah rusak oleh oksidasi dan oleh penyinaran matahari langsung, maka dengan penambahan PVP diharapkan kerusakan auksin tersebut dapat dihambat. Penelitian dilaksanakan di KP Kaliwining pada musim hujan, menggunakan klon KW 165 dengan kondisi bedengan sama dengan penelitian sebelumnya. Dikaji empat macam perlakuan dengan rancangan acak lengkap tiga ulangan, yakni (a) IBA 6000 ppm, (b) PVP 6000 ppm, (c) IBA + PVP 6000 ppm, (d) Kontrol. Parameter pengamatan setelah setek berumur satu bulan meliputi jumlah setek hidup, jumlah setek berakar, jumlah akar dan panjang akar.
Prawoto, Arifin, Bachri dan Setyaningtyas
akar lateral. Pada setek Eucalyptus nitens, inisiasi akarnya dipacu dengan merendamnya dalam larutan auksin 20 mg/l selama 48 jam (Luckman & Menary, 2002). Untuk tanaman kakao, di antara ZPT yang selama ini efektif untuk memacu pertumbuhan akar adalah auksin dari senyawa IBA (β-indole-butyric acid). IBA 3000 ppm adalah konsentrasi optimum (Prawoto & Saleh, 1983). Sementara di Brazil, larutan IBA 6000 ppm digunakan untuk produksi massal setek kakao (Palacios & Monteiro, 2000).
terhadap penyinaran langsung, anak petak (sub plot) adalah klon kakao, yaitu DR 2 dan ICS 13, dan anak-anak petak (sub-sub plot) adalah konsentrasi auksin sintetik IBA, yaitu 0 ppm, 1500 ppm, 3000 ppm, dan 4500 ppm. Sebagai karier (carrier) IBA adalah talk. Dengan perlakuan tersebut maka terdapat 24 kombinasi perlakuan dan dengan tiga kali ulangan maka ada 72 petak. Ukuran petak perlakuan adalah 85 cm x 30 cm, jarak antarpetak 10 cm; jarak tanam setek 10 cm x 5 cm dan setiap petak digunakan 30 setek.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kandungan auksin bahan setek dengan kemampuan setek untuk berakar, pengaruh intensitas cahaya serta konfirmasi konsentrasi IBA optimum untuk keberhasilan penyetekan kakao. Selain itu juga akan diamati pengaruh PVP (Polyvinylpyrrolidone) yakni khemikalia yang diharapkan dapat menghambat fotooksidasi auksin.
Atap bedengan dibuat dari anyaman bambu dan intensitas cahaya yang masuk dikendalikan dengan mengatur jarak antaranyaman. Tinggi atap dari permukaan tanah 2 m. Dalam penelitian ini tidak digunakan tanaman penaung alami. Sebagai media perakaran adalah pasir halus dengan ketebalan 20 cm.
BAHAN DAN METODE Penelitian 1. Peranan auksin endogen, auksin eksogen dan intensitas penyinaran Penelitian dilaksanakan di KP Kaliwining Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, 45 m dpl dengan tipe iklim D (Schmidt Ferguson), pada musim hujan. Perlakuan dirancang secara faktorial dengan rancangan lapangan petak-petak terbagi (split-split plot) diulang tiga kali. Petak utama adalah intensitas cahaya yang sampai di atas sungkup bedengan penyetekan atau di bawah atap, yaitu 15%; 30% dan 45%
Bahan setek diambil dari tanaman yang sehat umur 8 tahun berupa cabang plagiotrop semi hardwood. Bahan setek dipotong sepanjang 4 ruas atau panjangnya sekitar 10 cm. Setek yang digunakan dari bagian ujung ranting dan satu bagian di bawahnya. Daun disisakan 2 helai lalu dikupir menyisakan sepertiga bagian luasnya. Menjelang ditanam, larutan IBA dibuat pasta dengan menambahkan sedikit air, media penyetekan disiram air sampai jenuh, dibuat lubang menggunakan kayu, pangkal setek dipotong miring dan bagian potongan tersebut dioleskan ke dalam larutan IBA dan segera ditanam. Setelah setek tertanam semuanya, setek disungkup rapat menggunakan plastik berwarna putih susu, ketinggian sungkup 50 cm. Pemeliharaan setek dengan me-
20
Peranan auksin dan iklim mikro dalam keberhasilan penyetekan kakao (Theobroma cacao L.)
PENDAHULUAN Berdasarkan data statistik perkebunan tahun 2006, luas areal kakao Indonesia sekitar 992.448 ha dengan tingkat produktivitas 657 kg/ha/th (Direktorat Bina Produksi Perkebunan, 2006). Produktivitas tersebut masih di bawah potensi genetik bahan tanam, yang rata-rata mampu di atas 1500 kg/ha/th, bahkan banyak klon unggul kakao baru dengan potensi produksi di atas 2000 kg/ha per tahun. Bahan tanam unggul kakao tersebut sebagian besar berupa klon. Tanaman kakao rata-rata sudah tidak produktif lagi setelah berumur lebih 25 tahun. Tingginya laju perkembangan kakao pada awal tahun 1980-an berarti selama satu dasawarsa mendatang terdapat 357 ribu ha lahan kakao di Indonesia yang berkategori tua dan tidak produktif. Terhadap areal demikian perlu dilakukan tanam ulang agar produktivitas lahan terjaga tetap tinggi. Untuk memperoleh jaminan produktivitas dan kualitas hasil yang tinggi, bahan tanam kakao klonal lebih menjanjikan daripada bahan tanam benih karena tidak terjadi segregasi pada keturunannya. Perbanyakan kakao dengan cara setek sudah dilakukan dengan skala semi-industri di Brazil untuk mengatasi masalah penyakit sapu setan (witches broom) yang disebabkan oleh jamur Crinipelis perniciosa Stahel. (Palacios & Monteiro, 2000). Pelaksanaannya dilakukan di dalam rumah kaca dengan kondisi lingkungan yang terkontrol dan metode penyiraman secara intermitten water atomiser. Di Indonesia, teknik ini kurang berkembang antara lain disebabkan oleh teknologi yang relatif mahal bila di-
19
bandingkan teknik sambung maupun okulasi fase bibit. Di samping itu perbanyakan kakao dengan cara sambungan (grafting) lebih menarik apalagi sudah dibuktikan tidak adanya pengaruh batang bawah terhadap pertumbuhan dan hasil batang atas pada sambungan kakao (Prawoto et al., 1990; Thau Yin, 2004) . Dari beberapa penelitian setek kakao yang sudah dilakukan diperoleh hasil bahwa kemampuan setek untuk berakar berbeda antarklon (Prawoto, 1986; Winarno, 2001). Keberhasilan penyetekan dipengaruhi sangat kuat oleh faktor lingkungan. Mulyana (2001) menyatakan bahwa kekurangan cahaya perlu dicegah karena dapat menyebabkan setek mati karena kekurangan cadangan nutrisi. Suhu yang terlalu tinggi perlu dihindarkan untuk menekan laju transpirasi dan beberapa reaksi katabolik dalam bahan setek. Kelembaban udara yang tinggi juga diperlukan untuk menekan laju transpirasi agar bahan setek tidak cepat kering sebelum berakar. Untuk keberhasilan setek tanaman kakao, aplikasi zat pengatur tumbuh (ZPT) mutlak diperlukan. Auksin berperan mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman, termasuk inisiasi akar lateral dan respons gaya gravitasi, tetapi bagaimana auksin endogen mengatur proses ini, masih belum banyak diketahui (Chhun et al., 2003). Auksin banyak macamnya, yang disintesis alami oleh tanaman adalah IAA dan yang dibuat sintetik antara lain IBA, NAA, IPA, 2,4D, 2,4,5-T. Hasil penelitian pada mutan padi Lrt1 yang sukar berakar, IBA memacu inisiasi akar lateral lebih efektif daripada IAA. Aplikasi NAA memperbaiki inisiasi
Prawoto, Arifin, Bachri dan Setyaningtyas
menghambat oksidasi IBA sehingga efek IBA menjadi lebih optimum. Penyetekan dilaksanakan pada musim hujan, bedengan berpenaung alami Leucaena sp. yang cukup teduh, kelembapan udara 78—87% dan suhu udara 24—27OC. Kemampuan berakar setek dari klon KW 162, KW 163 dan KW 165 untuk disetek, adalah sama. Keberhasilan penyetekan kakao pada musim kemarau rendah terutama karena entres bahan setek kurang segar dan suhu udara di dalam bedengan yang tinggi.
Summary In Indonesia, cocoa reproduction by cuttings is undeveloped yet because the available technology is more expensive than the other clonal reproduction methods. The success of cocoa cuttings is influenced by genetic and environmental factors. The purpose of this research is to study effect of endogenous auxin content, effects of light intensity and exogenous auxin application, on the rooted cuttings. The 2 n d research purpose is to study effects of PVP (Polyvinylpyrrolidon) and IBA (β-indole-butyric acid), clones, and microclimate. The experiment was conducted in Kaliwining Experimental Station of Indonesian Coffee and Cocoa Research Institute in Jember (45 m a.s.l. and D rainfall type according to Schmidt Ferguson). The design for the 1 st experiment was splitsplit plot, replicated three times. The main plot was light intensity inside the roof, i.e.15%, 30%, and 45% to direct sun radiation. The sub plot was cocoa clones, i.e. DR 2 and ICS 13, and the sub-sub plot was IBA concentration, i.e. 0 ppm, 1500 ppm, 3000 ppm and 4500 ppm. The 2 nd experiment was designed factorial 3 x 3 of CRD, replicated 3 times. Clones of KW 163, KW 162 and KW 165, and IBA at 0, 3000, and 6000 ppm were the factors. In the same time, effect of IBA 6000 ppm, PVP 6000 ppm IBA+PVP 6000 ppm, and control were observed using KW 165 clone, and designed in complete randomized design (CRD), replicated 3 times. The result showed that auxin content of ICS 13 was higher than DR 2 (62.67 ppm vs 40.90 ppm) so that gave higher rooted cuttings and more root number. Exogenous application of IBA improved auxin content of the cutting materials and promoted root growth. The optimum IBA concentration for root number was 3500 ppm. Light intensity of 45% improved number of rooted cuttings three times compared to 15%, however compared to the 2 nd research, percentage of rooted cuttings was still very low. Cocoa cutting method to gain rooted cuttings 80—90% has been obtained. The method was using IBA 3000 ppm or 6000 ppm mixtured with or without PVP 6000 ppm, conducted during rainy season, the nursery using permanent shade trees of leucena sp., temperature of 24—27OC and relative humidity was 78—87%. PVP was supposed inhibit oxidation of IBA so that the effect of IBA was more optimum. The response of KW 162, KW 163 and KW 165 clones to root were similar. Rooted cuttings during dry season was low due to the less fresh of cutting materials and high temperature inside the bed roof. Key Words : Theobroma cacao, cuttings, light intensity, auxin, β-indole-butyric acid, Polyvinylpyrrolidon.
18
auksin17 dan—iklim Pelita PerkebunanPeranan 2007, 23(1), 37 mikro dalam keberhasilan penyetekan kakao (Theobroma cacao L.)
Peranan Auksin dan Iklim Mikro Dalam Keberhasilan Penyetekan Kakao (Theobroma cacao L.) Role of Auxin and Microclimate on the Success of Rooted Cuttings of Cocoa A. Adi Prawoto1), Arifin2), Syamsul Bachri2) dan K.C. Setyaningtyas2) Ringkasan Di Indonesia, teknik perbanyakan kakao dengan cara setek kurang berkembang antara lain disebabkan karena teknologi yang tersedia masih lebih mahal dibandingkan teknologi perbanyakan klonal yang lain. Keberhasilan penyetekan kakao ditentukan oleh faktor genetis dan faktor lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kandungan auksin endogen bahan setek, pengaruh intensitas cahaya serta aplikasi auksin eksogen terhadap keberhasilan penyetekan kakao. Penelitian lain secara paralel bertujuan mengetahui konsentrasi IBA (βindole-butyric acid), PVP (Polyvinylpyrrolidone) dan kondisi iklim mikro yang tepat untuk penyetekan beberapa klon kakao. Penelitian dilaksanakan di KP Kaliwining Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (45 m dpl, tipe iklim D) dengan rancangan petak-petak terbagi (split-split plot) untuk penelitian pertama. Petak utama adalah intensitas cahaya yang masuk atap penyetekan dengan tiga level yaitu 15%, 30% dan 45% terhadap penyinaran langsung. Anak petak adalah klon kakao yang berbeda kandungan auksin endogennya, yaitu DR 2 dan ICS 13. Sub anak petak adalah konsentrasi IBA, yaitu 0 ppm, 1500 ppm, 3000 ppm dan 4500 ppm. IBA disiapkan dengan karier talk, setiap kombinasi perlakuan diulang tiga kali. Penelitian kedua disusun secara faktorial 3 x 3 dengan rancangan lapangan acak lengkap tiga ulangan. Tiga klon yang diuji yakni KW 163, KW 162 dan KW 165 sementara faktor kedua berupa konsentrasi IBA yakni 0 ppm, 3000 ppm dan 6000 ppm. Secara paralel dikaji pula perlakuan (a) IBA 6000 ppm, (b) PVP 6000 ppm, (c) IBA + PVP 6000 ppm, (d) Kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa klon ICS 13 dengan kandungan auksin awal 62,67 ppm menunjukkan kemampuan setek berakar dan jumlah akar lebih banyak daripada DR 2 yang kandungan auksinnya 40,90 ppm. Peningkatan intensitas cahaya dari 15% ke 45% masih menciptakan suhu dan kelembaban udara di dalam ruang penyetekan dalam kisaran yang optimum untuk berakarnya setek kakao. Pada intensitas penyinaran 45% jumlah setek berakar meningkat tiga kali dibandingkan intensitas cahaya 15%, tetapi masih jauh di bawah hasil penelitian kedua. Dari penelitian kedua disimpulkan bahwa metode penyetekan kakao dengan setek berakar 80—90% sudah ditemukan, yaitu menggunakan IBA 3000 atau 6000 ppm dicampur atau tidak dicampur dengan PVP 6000 ppm. PVP bukan ZPT tetapi ditengarai mampu
1) Peneliti (Senior Researcher); Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. P.B. Sudirman 90, Jember 68118, Indonesia. 2) Dosen dan Mahasiswa (Lecture and Student); Fakultas Pascasarjana, Universitas Brawijaya, Malang.
17