PERAN VALUE CHAIN (RANTAI NILAI) DALAM MENINGKATKAN KINERJA USAHA KECIL DAN MENENGAH
Editor : M. Soekarni, S.E, M.Si
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 2009
1
daftar isi soekarni.indd 1
6/22/2010 6:36:36 PM
©2009 Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Pusat Penelitian Ekonomi (LIPI) KATALOG DALAM TERBITAN PUSAT DOKUMENTASI DAN INFORMASI ILMIAH LIPI
Peran Value Chain (Rantai Nilai) Dalam Meningkatkan Kinerja UKM/ editor M. Soekarni. - [Jakarta] : Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2009.
i-xiii + 135 hlm: 15 cm x 21 cm
338 ISBN : 978-602-8659-15-4
Penerbit: LIPI Press, anggota Ikapi Pusat Penelitian Ekonomi (LIPI) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Widya Graha Lt. 4 - 5 Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta 12710 Telp: 021- 5207120 Fax: 021- 5262139
2
daftar isi soekarni.indd 2
6/22/2010 6:36:38 PM
KATA PENGANTAR
Pertama kami ingin memanjatkan syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan dan kelancaran bagi terselenggaranya kegiatan penelitian yang berjudul “Peran Value Chain (Rantai Nilai) Dalam Meningkatkan Kinerja Usaha Kecil dan Menengah”. Penelitian ini merupakan bagian dari Program Insentif Bagi Peneliti dan Perekayasa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Justifikasi pentingnya penelitian ini bertolak dari kenyataan masih banyaknya masalah dan kendala yang dihadapi oleh UMKM untuk berkembang secara optimal. Salah satu dari kendala tersebut adalah belum terbentuknya rantai nilai (value chain) yang mantap dalam lingkungan usaha yang kondusif bagi UMKM. Laporan ini ditulis menjadi 6 (enam) bab yaitu bab pertama berisi pendahuluan. Bab kedua menjelaskan analisis rantai nilai UMKM di Jawa Barat dengan mengangkat studi kasus UKM alas kaki di Sentra Sepatu Cibaduyut Bandung. Bab ketiga memuat analisis rantai nilai UMKM di Jawa Timur dengan studi kasus UKM Logam di Sentra Logam Ngingas Sidoarjo. Bab keempat menguraikan memuat analisis rantai nilai UMKM di DKI Jakarta berdasarkan studi kasus industri mebel di Sentra Mebel Klender. Bab kelima mengupas keterkaitan kinerja UMKM dengan lingkungan bisnis dan rantai nilai. Sedangkan bab terakhir berisi kesimpulan dan saran. Pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyelenggaraan penelitian ini baik dalam bentuk data, informasi, tenaga, waktu, kritikan dan juga saran. Bantuan dan kerjasama tersebut telah kami terima mulai dari awal penyusunan proposal, seminar disain penelitian,
i
daftar isi soekarni.indd Sec1:i
6/22/2010 6:36:38 PM
pengumpulan data lapangan, sampai pada seminar hasil akhir. Namun karena terbatasnya ruang, kami tidak dapat menyebutkan nama Bapak/Ibu satu persatu. Semoga Allah SWT membalas semua itu dengan pahala yang berlipat ganda. Aamiin.
Jakarta, Desember 2009
Tim Peneliti: 1. M. Soekarni, S.E, M.Si ( Koordinator) 2. Joko Suryanto, S.E, M.Si 3. Purwanto, S.E, Mecon. St 4. Teddy Lesmana, S.E, MMngt 5. Cahyo Pamungkas, S.E, M.Si
ii
daftar isi soekarni.indd Sec1:ii
6/22/2010 6:36:38 PM
ABSTRAK
Rantai nilai (value chain) adalah rangkaian kegiatan - mulai dari penyediaan input, proses produksi, proses akhir (merk, kemasan, penyimpanan), pemasaran, dan layanan purna jual bagi konsumen – yang membutuhkan berbagai kegiatan pendukung dari sisi infrastruktur perusahaan, manajemen sumberdaya manusia, pengembangan teknologi dan ketersediaan bahan baku dalam lingkup aktivitas yang luas untuk menghasilkan produk yang memiliki nilai pasar tinggi dan berdaya saing kuat. Pada umumnya UKM di Indonesia belum berjalan dalam suatu lingkungan bisnis yang bai dan alur rantai nilai yang stabil, sehingga perkembangannya masih relatif lambat dan daya saingnya juga relatif lemah. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menemukan hubungan antara rantai nilai dengan peningkatan kinerja UKM dalam perekonomian dan lingkungan bisnis di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei di tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan DKI Jakarta. UKM yang dijadikan sampel adalah UKM yang memproduksi alas kaki (di Bandung), barang-barang logam (di Sidoarjo), dan mebel (di Klender, Jakarta Timur). Temuan penting dari penelitian ini adalah UKM yang dijalankan dalam alur rantai nilai yang baik memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan UKM yang dijalankan secara individu. Kata Kunci: UKM, rantai nilai, lingkungan bisnis, kinerja UKM
iii
daftar isi soekarni.indd Sec1:iii
6/22/2010 6:36:38 PM
iv
daftar isi soekarni.indd Sec1:iv
6/22/2010 6:36:38 PM
ABSTRACT Value chain is the series of the activities – from the procurement input, the production process, finishing product, marketing and sales, and after sales service for the consumer – that need the supporting activities from the side of the company’s infrastructure, human resources management, development of technology and the availability of the raw material in the wide scope of the activities as an effort to produce the high quality and competitive product in the market. Generally, SME in Indonesia does not operate in a good business environment and a stable flow of the value chain, so as their development is relatively slow and their competitiveness is also relatively weak. The general aim of this research is to find the connection between the value chain and the increase in the SME’s performance in the Indonesian economy and business environment. This research carried out with the survey method in three provinces that are West Java, East Java, and the Special Capital District of Jakarta (DKI Jakarta). The sample of SME taken from the SME which make the production of footwear (in Bandung); metal (in Sidoarjo); and furniture (in Klender-Jakarta Timur). The main result of this research is SME that operated in some good value chain had the performance much better compared with SME that moved individually.
Key words: SME, value chain, business environment, SME’s performance.
v
daftar isi soekarni.indd Sec1:v
6/22/2010 6:36:38 PM
vi
daftar isi soekarni.indd Sec1:vi
6/22/2010 6:36:39 PM
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................ i ABSTRAK ............................................................................... iii ABSTRACT ............................................................................. v DAFTAR ISI............................................................................. vii DAFTAR TABEL ..................................................................... x DAFTAR GRAFIK ................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ................................................................. xiii BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................ Oleh Tim Peneliti 1.1 Latar Belakang Masalah ................................... 1.2 Rumusan Masalah ............................................. 1.3 Tujuan Penelitian ............................................... 1.4 Tinjauan Pustaka ............................................... 1.5 Alur Pikir Penelitian ............................................ 1.6 Metodologi ......................................................... BAB 2 ANALISIS RANTAI NILAI UMKM DI JAWA BARAT: STUDI KASUS SENTRA SEPATU CIBADUYUT BANDUNG ................................................................. Oleh Muhammad Soekarni dan Joko Suryanto 2.1. Pengantar .......................................................... 2.2. Lingkungan Usaha ............................................. 2.3. Lantai Nilai: Aktivitas Primer .............................. 2.4. Rantai Nilai: Aktivitas Sekunder ......................... 2.5. Faktor Pendukung Dan Kendala Terbentuknya Rantai Nilai ........................................................ 2.6. Kesimpulan. ........................................................
1 1 4 5 5 18 20
23 23 25 29 37 41 45
vii
daftar isi soekarni.indd Sec1:vii
6/22/2010 6:36:39 PM
BAB 3 ANALISIS RANTAI NILAI UMKM DI JAWA TIMUR: STUDI KASUS DI SENTRA LOGAM NGINGAS SIDOARJO .......................................................................... Oleh Purwanto dan Cahyo Pamungkas 3.1 Pengantar ........................................................ 3.2 Lingkungan Usaha ........................................... 3.3 Rantai Nilai: Aktivitas Primer .......................... 3.4 Rantai Nilai Dalam Aktivitas Sekunder ............. 3.5 Faktor Pendukung Dan Penghambat Penguatan Rantai Nilai UKM ............................................. 3.6 Kesimpulan . ....................................................
47 47 49 54 65 69 76
BAB 4
ANALISIS RANTAI NILAI UMKM DI DKI JAKARTA: STUDI KASUS DI SENTRA INDUSTRI MEBEL KLENDER ...................................................................... 77 Oleh Joko Suryanto dan Cahyo Pamungkas 4.1. Pendahuluan ................................................... 77 4.2. Lingkungan Bisnis ........................................... 79 4.3. Rantai Nilai Kegiatan UMKM Mebel/Furniture 82 4.4. Faktor Pendorong Dan Penghambat .............. 97 4.5. Penutup ............................................................ 101
BAB 5
KETERKAITAN KINERJA UMKM DENGAN LINGKUNGAN BISNIS DAN RANTAI NILAI ......... Oleh Muhammad Soekarni dan Purwanto 5.1 Pengantar ....................................................... 5.2 Keterkaitan Kinerja UMKM Dengan Lingkungan Bisnis ............................................................... 5.3 Keterkaitan Kinerja UMKM Dengan Aktivitas Primer Lantai Nilai ..........................................
103 103 104 113
viii
daftar isi soekarni.indd Sec1:viii
6/22/2010 6:36:39 PM
5.4 Keterkaitan Kinerja UMKM Dengan Aktivitas .. Sekunder Rantai Nilai .................................... 122 5.5 Penutup ........................................................... 125 BAB 6
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI..................... 127 Oleh Tim Peneliti 6.1. Kesimpulan ...................................................... 127 6.2. Rekomendasi ................................................... 129
DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 131 LAMPIRAN.............................................................................. 135
ix
daftar isi soekarni.indd Sec1:ix
6/22/2010 6:36:39 PM
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Tabel 1.2 Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5 Tabel 2.6 Tabel 2.7 Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.4 Tabel 3.5 Tabel 3.6
Kebijakan Pemerintah dan Lingkungan Usaha ... Faktor dan Variabel Penelitian ............................ Potensi Sentra IKM Sepatu Cibaduyut ............... Persentase Responden Berdasarkan Lokasi Pembelian Bahan Baku ...................................... Persentase Responden Berdasarkan Cara Pembayaran Bahan Baku ….. ............................ Persentase Responden Berdasarkan Mitra Kerjasama Dalam Pengadaan Bahan Baku ...... Persentase Responden Berdasarkan Upaya Memperluas Pemasaran ..................................... Persentase Responden Berdasarkan Mitra Kerjasama Pemasaran ....................................... Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Kemampuan/keahlian Tenaga Kerja Produksi .... Keterkaitan Kemitraan Usaha Dengan Bapak Angkat ............................... ...................... Pembinaan Yang Telah Dilakukan Instansi Terkait.. Sumber Pembelian, Banyaknya Penjual dan Cara Pembayaran dalam Pengadaan Bahan Baku .... Kualitas Tenaga Kerja dan Produk yang Dihasilkan Bidang Kerjasama dalam Proses Produksi dan Pengemasan Produk ......... ................................. Bentuk-Bentuk Kerjasama dalam Penguatan Rantai Nilai UKM ................................................
16 21 26 30 31 33 35 36 38 49 50 55 59 63 70
x
daftar isi soekarni.indd Sec1:x
6/22/2010 6:36:39 PM
Tabel 3.7 Persentase Responden Berdasarkan Alasan Melakukan Kerjasama diantara Para Pengusaha Logam di Ngingas................................................ 72 Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Kualitas Tenaga Kerja ...................................................... 93 Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Tempat Pembelian Bahan Baku ...................................... 96 Tabel 4.3 Jenis-Jenis Bahan Baku dan Cara Pembayaran . 97 Tabel 5.1 Persentase Responden Berdasarkan Keuntungan Usaha dan Dukungan/Bantuan Pemerintah ........ 107 Tabel 5.2 Persentase Responden Keuntungan Usaha dan Hambatan Lingkungan Usaha ............................. 108 Tabel 5.3 Persentase Responden Berdasarkan Cara Pembayaran Bahan Baku................................... 114 Tabel 5.4 Persentase Responden Berdasarkan Banyaknya Sumber Bahan Baku ......................................... 115 Tabel 5.5 Persentase Responden Menurut Mitra Kerjasama Dalam Pengadaan Bahan Baku .......................... 116 Tabel 5.6 Persentase Responden Berdasarkan Keuntungan Usaha dan Hubungan Kerjasama di Bidang Proses Produksi .............................................................. 117 Tabel 5.7 Persentase Responden Berdasarkan Keuntungan Usaha dan Hubungan Kontrak Kerjasama di Bidang Penjualan ............................................................ 118 Tabel 5.8 Persentase Responden Berdasarkan Keuntungan Usaha dan Jaminan Kepada Konsumen ............ 121 Tabel 5.9 Persentase Responden Berdasarkan Keuntungan Usaha dan Kemampuan Tenaga Kerja ............... 122 Tabel 5.10 Persentase Responden Berdasarkan Keuntungan Usaha dan Sumber Penguasaan Teknologi Proses Produksi .............................................................. 124 xi
daftar isi soekarni.indd Sec1:xi
6/22/2010 6:36:39 PM
DAFTAR GRAFIK Grafik 5.1 Perspektif Responden terhadap Indikator Penting Bagi pengembangan UMKM di Masa Lalu dan Masa Depan ....................................................... Grafik 5.2 Persentase Responden Menurut Keuntungan Usaha Berdasarkan Kerjasama dan tidak Kerjasama .......................................................... Grafik 5.3 Hubungan Antara Keuntungan Usaha dengan Kerjasama Antar Pengusaha di Bidang Pemasaran . ....................................................... Grafik 5.4 Hubungan Antara Keuntungan Usaha dan Cara Pemasaran .........................................................
111
113
119 120
xii
daftar isi soekarni.indd Sec1:xii
6/22/2010 6:36:39 PM
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Gambar 1.2 Gambar 1.3 Gambar 1.4 Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3
Rantai Nilai ........................................................ 9 The Value Chain ............................................... 11 Government Policies and the Business ............ 17 Alur Pikir Penelitian ........................................... 19 Pola Pasokan Bahan Baku Alas Kaki ................ 32 Rantai Pemasaran Alas Kaki ............................ 34 Pola Pasokan Bahan Baku Logam ................... 57 Jalur Order dan Sub-Order pada Usaha Logam 62 Prioritas Indikator Kebutuhan bagi Penguatan dan Pengembangan UMK Logam di Masa Depan ................................................................ 74 Gambar 4.1 Pola Rantai Nilai Kegiatan Usaha UMKM Mebel/ Furniture ............................................................ 91 Gambar 5.1 Persepsi Responden Tentang Perubahan faktorfaktor penentu pengembangan UKM ................. 110
xiii
daftar isi soekarni.indd Sec1:xiii
6/22/2010 6:36:39 PM
Pendahuluan
BAB 1 PENDAHULUAN Tim Peneliti
1.1 Latar Belakang Masalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) telah memainkan peranan yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah UMKM sudah mencapai 51,3 juta unit atau 99,9 persen dari total unit usaha di Indonesia tahun 2008. Dengan jumlah unit usaha yang demikian banyak, UMKM telah menjadi andalan dalam menciptakan kesempatan kerja. Rata-rata penyerapan tenaga kerja oleh UMKM mencapai 97 persen dari total tenaga kerja di Indonesia selama periode 2006-2008. Kesempatan kerja yang ditawarkan UMKM ini pada umumnya tidak membutuhkan keahlian tinggi sehingga cukup terbuka bagi angkatan kerja kita yang sebagian besar memang masih berpendidikan rendah. Dari sisi produksi, nilai output UMKM telah mencapai Rp 1.165 triliun pada tahun 2008. Dengan output sebesar itu, UMKM baru mampu memberikan sumbangan sebesar 58,3 persen dalam pembentukan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional tahun 2008. Sedangkan Usaha Besar (UB) yang jumlahnya hanya sekitar 0,1 persen dari total unit usaha mampu memberikan kontribusi sebesar 41,7 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa produktivitas UMKM masih jauh tertinggal dibandingkan dengan produktivitas UB. Menurut hasil kajian Snodgrass dan Biggs (1996), lemahnya perkembangan UKM dalam hal output memang banyak ditemui
1
isi soekarni.indd 1
6/22/2010 6:37:09 PM
Tim Peneliti
di negara-negara dalam tahap transisi pembangunan, termasuk di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari aspek internal maupun eksternal. Faktor internal merupakan permasalahan klasik yang dihadapi UMKM seperti keterbatasan modal, rendahnya keahlian tenaga kerja, kurang lancarnya akses pasar hingga keterbatasan teknologi dan informasi yang menopang produksi menjadi alasan sulitnya modernisasi UMKM. Di sisi lain, faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah yang masih belum terimplementasi dengan baik, ekonomi biaya tinggi seperti adanya pungutan liar mengambat UMKM untuk tumbuh dan berkembang. Pemerintah tentunya tidak tinggal diam dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang kerap timbul untuk mengembangkan UMKM. Pemerintah telah membuat perangkat hukum yang memayungi kebijakan pemerintah di bidang UMKM yaitu Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Landasan hukum ini menjadi pedoman bagi upaya meningkatkan kemandirian dan ketangguhan UMKM. Selain itu, pemerintah juga telah mengimbau dunia perbankan untuk mendukung pertumbuhan UMKM melalui penyediaan modal atau kredit usaha lunak. Sayangnya, peran intermediasi perbankan juga masih belum berjalan baik di sektor UMKM. Hal ini karena dari sisi perbankan biaya transaksi (transaction cost) untuk penyaluran kredit kepada UMKM masih cukup tinggi sehingga menyebabkan inefisiensi. Terlebih lagi prinsip kehati-hatian (prudential) dalam penyaluran kredit semakin mempersulit akses pelaku UMKM pada pembiayaan dari perbankan. Sebaliknya, dari sisi UMKM, meskipun permodalan menjadi salah satu permasalahan, namun bukanlah yang utama karena pada kenyataannya UMKM masih banyak yang mandiri dengan menggunakan modal sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa upaya-upaya pemerintah yang selama ini dilakukan secara parsial tidak cukup untuk menyelesaikan 2
isi soekarni.indd 2
6/22/2010 6:37:16 PM
Pendahuluan
permasalahan UMKM. Akibatnya, UMKM di Indonesia masih berorientasi pada tingkat survival dan subsisten. Hal ini berakibat pada lemahnya motivasi untuk perbaikan kualitas usaha, baik dari sistem produksi, sarana produksi hingga teknologi dan investasi. Lemahnya motivasi UMKM untuk berkembang tidak lepas dari rendahnya push factor yang mampu memaksa mereka untuk berkembang dan berkompetisi. Hal ini disebabkan masih lebarnya jurang (gap) antara UMKM dengan perusahaan besar, dengan kata lain adalah lemahnya keterkaitan antara UMKM dengan corporate karena UMKM belum menjadi bagian dari supply chain perusahaan-perusahaan besar. Jumlah UMKM yang sedemikian banyak tetap tidak cukup menyediakan supply bagi corporate. Hal ini disebabkan karakteristik UMKM yang masih terkonsentrasi pada produk-produk tradisional seperti barang konsumsi dan bukan produk-produk yang dibutuhkan sebagai supply bagi industri dan perusahaan skala besar. Di sisi yang lain, kemajuan yang diperoleh dari sekian banyak kebijakan pemerintah bagi peningkatan dan pemberdayaan UMKM masih belum dapat menjangkau seluruh pelaku usaha. Pada saat ini, pemerintah sebenarnya telah mengupayakan adanya sentra-sentra UMKM dan klaster-klaster, tetapi jumlahnya masih terbatas dan banyak yang belum dapat berjalan sebagaimana yang direncanakan. Hal ini tentunya membutuhkan peranan yang lebih luas dan sinergi yang kuat dari stakeholder UMKM di pusat dan daerah yang meliputi sektor swasta, lembaga pembiayaan, masyarakat dan pelaku UMKM itu sendiri. Apabila sinergi dari stakeholders ini semakin kuat maka dapat diarahkan dalam sistem value chain untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas dan daya saing. Dengan demikian maka peranan UMKM akan menjadi sangat strategis karena memberikan kontribusi yang signifikan dalam peningkatan kapasitas produksi nasional, perluasan kesempatan kerja, peningkatan ekspor, serta peningkatan pendapatan dan mengurangi kemiskinan. 3
isi soekarni.indd 3
6/22/2010 6:37:16 PM
Tim Peneliti
Dari konteks ini dapat dilihat relevansi dan signifikansi value chain dalam bisnis UMKM yang mantap akan dapat terintegrasi dalam suatu iklim/lingkungan usaha (business environment) yang kondusif. Iklim bisnis yang kondusif akan dapat mendukung daya saing usaha secara keseluruhan dan dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya UMKM. Hal ini sangat memerlukan adanya pemahaman pada tingkat substansi dan urgensi pengembangan UMKM dalam mengurai berbagai permasalahan yang menghambatnya. Namun demikian, studi mengenai penciptakan iklim usaha yang kondusif dalam upaya optimalisasi value chain dalam UMKM masih sangat terbatas. Studi ini dilakukan dalam rangka mengisi kekurangan itu. Salah satu sasaran yang ingin dicapai dari studi ini adalah dihasilkannya beberapa masukan yang berarti kepada pemerintah dan stakeholder lainnya dalam upaya memperbaiki strategi penguatan peran UMKM dalam perekonomian Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dikemukakan dalam pertanyaan berikut ini: Sejauhmana value chain mempengaruhi lingkungan usaha bagi peningkatan kinerja UMKM di Indonesia? Faktor-faktor apa yang menentukan keberhasilan penguatan value chain dalam pengembangan UMKM? Bagaimana strategi dan kebijakan yang harus dilakukan pemerintah dalam meningkatkan lingkungan bisnis yang kondusif guna mendukung keberhasilan value chain dalam pengembangan UMKM?
4
isi soekarni.indd 4
6/22/2010 6:37:16 PM
Pendahuluan
1.3 Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk dapat menemukan keterkaitan antara rantai nilai (value chain) dengan peningkatan kinerja UMKM dalam lingkungan bisnis. Sedangkan secara khusus tujuan penelitian ini adalah: Mengkaji lingkungan bisnis UMKM dan kaitannya dengan rantai nilai (value chain) Mengkaji sejauhmana rantai nilai (value chain) sudah terbangun dalam kegiatan UMKM. Mengetahui faktor-faktor penentu yang secara signifikan mampu mendorong terbentuknya value chain yang mantap dan dapat bekerja dengan baik dalam lingkungan bisnis UMKM. Memberikan rekomendasi kebijakan tentang langkah-langkah yang perlu diambil oleh pemerintah untuk mendukung keberhasilan value chain dalam pengembangan UMKM.
1.4 Tinjauan Pustaka Kerangka Value chain dalam Pengembangan UMKM Paradigma yang dibangun dalam mengidentifikasi permasalahan UMKM akan mempengaruhi cara pandang dalam menghasilkan suatu uraian yang mungkin akan berbeda satu sama lainnya (Mulyanto, 2001). Lebih jauh Mulyanto memberikan penjelasan misalnya dalam paradigma modernisasi, persoalan UMKM akan terletak pada persoalan keterbelakangan budaya, kemiskinan, dan keterbatasan kemampuan sumberdaya manusia (SDM). Paradigma ini memberikan pandangan perlunya peningkatan kualitas SDM sebagai inti pemecahan masalah 5
isi soekarni.indd 5
6/22/2010 6:37:16 PM
Tim Peneliti
UMKM. Sementara itu dalam paradigma liberal, persoalan UMKM bermuara pada kebijakan pemerintah yang kurang memberikan kesempatan pada semua pihak untuk berusaha sehingga perlu adanya perubahan kebijakan yang lebih berpihak kepada pasar dengan cara memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi kegiatan usaha. Sedangkan paradigma transformatif memberikan argumen bahwa permasalahan UMKM terletak pada struktur sosial dan hubunganhubungan didalamnya yang berkembang dengan tidak adil. Kondisi ini selanjutnya memerlukan adanya sistem atau penataan struktur sosial yang lebih kondusif dimana perubahan tersebut dilakukan oleh masyarakat secara internal. Dari beberapa paradigma tersebut sebenarnya dapat dilihat sebuah kenyataan betapa kompleksnya permasalahan UMKM. Terlebih lagi, keragaman UMKM misalnya dari segi skala usaha, jenis usaha, dan orientasi pasar juga ikut membedakan kemampuan berkembangnya UMKM. Di sisi lain, faktor eksternal juga ikut berperan dalam perkembangan UMKM. Studi yang dilakukan Suriadinata dan Fatwadi (2000) menjelaskan tentang peranan kondusifitas lingkungan usaha dalam pengembangan UMKM. Suriadinata dan Fatwadi menyebutkan kendala eksternal yang sering dihadapi oleh UMKM adalah birokrasi pemerintah yang membuat UMKM kesulitan mengakses informasi serta transparansi dalam kebijakan dan program pemerintah terkait dengan aksesibilitas pada pembiayaan bahan baku dan modal kerja. Selain itu, lembaga-lembaga terkait yang seharusnya ikut menunjang perkembangan UMKM seperti misalnya Business Development Services (BDS) ternyata belum dirasakan manfaatnya secara optimal oleh para pelaku UMKM. Permasalahan UMKM ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, belajar dari pengalaman negara lain, hasil studi Shanmugaratnam (2004) memberikan kesimpulan bahwa dalam konteks pembangunan 6
isi soekarni.indd 6
6/22/2010 6:37:16 PM
Pendahuluan
ekonomi di kawasan Asia Timur kecuali Taiwan dan Hong Kong, keberadaan usaha kecil dan menengah (UKM) walaupun cukup besar dalam hal kontribusi terhadap output dan kesempatan kerja, namun pada umumnya lebih berorientasi pada pasar domestik dan berada di sektor informal. Selanjutnya ia juga mengemukakan bahwa banyak UMKM berada pada aktivitas ekonomi yang tergolong sebagai low-cost dan low-productivity, serta kesenjangan tingkat efisiensi yang semakin besar antara UMKM dan non-UMKM. Selanjutnya Shanmugaratnam (2004) menyarankan agar perhatian lebih besar perlu diberikan kepada UMKM dalam suatu grand design pembangunan karena tiga alasan. Pertama, sektor UMKM yang kuat akan membantu strategi-strategi klaster untuk bekerja lebih baik1. Kedua, dalam lingkungan perekonomian yang begitu cepat berubah, akan menjadi lebih sulit untuk lebih bias pada kelompok-kelompok pemenang tertentu ataupun memilih pemenang potensial. Namun demikian akan jauh lebih baik jika didasarkan pada kelompok besar yang lebih umum dan terdiversifikasi guna lebih meningkatkan peluang keberhasilan. Ketiga, secara umum pentingnya perusahaan-perusahaan domestik di dalam menangkap nilai dari perekonomian yang digerakkan atas dasar pengetahuan (the knowledge based economy) Belajar dari pengalaman Singapura dalam strategi pengembangan UMKM, Shanmugaratnam (2004), memberikan tiga poin penting. Pertama, memberikan lingkungan berusaha yang probisnis baik bagi usaha besar dan kecil, seperti dalam bentuk pengurangan pungutan liar, mengurangi pajak pendapatan, mendorong lebih berani mengambil resiko, dan memajukan iklim persaingan. Kedua, meningkatkan daya 1
Klaster memiliki beberapa pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Schmitz (1997a) dalam Supratikno (2004) yang mendefinisikan klaster sebagai kelompok perusahaan-perusahaan yang terkonsentrasi dalam suatu wilayah geografis tertentu dan bekerja dalam sektor yang sama. Selanjutnya Porter (1998b) dalam Supratikno (2004) yang mendefinisikan klaster sebagai kelompok industri yang dibatasi dalam lingkup geografis tertentu yang memiliki interkoneksi dengan institusi terkait dalam suatu bidang tertentu, yang dihubungkan dalam suatu communalities dan complementarities.
7
isi soekarni.indd 7
6/22/2010 6:37:16 PM
Tim Peneliti
saing UMKM dengan berpegang pada tiga prinsip utama:(i) provide a leg-up and not a crutch yang artinya bantulah UMKM yang berani untuk mengambil inisiatif dalam meningkatkan kemampuannya sendiri; (ii) help them build capabilies (on the supply side rather than the demand side) yang berarti meningkatkan kemampuan UMKM dalam hal akses terhadap sumber daya yang paling penting seperti pelatihan, teknologi dan keuangan ; (iii) and leverage on market mechanisms rather than substitute for the market yang berarti skema-skema bantuan bagi UMKM dirancang untuk dapat masuk ataupun terangkat dalam kelompok yang diistilahkan sebagai market players. Ketiga, merubah pola intervensi terhadap UMKM dari basis individu perusahaan menjadi pembangunan klaster. Model pembangunan UMKM dengan sistem klaster akhir-akhir ini tengah menjadi trend. Hasil studi klaster yang ada di Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Supratikno (2004) menyimpulkan bahwa sekitar 90 persen klaster UMKM yang ada tergolong sebagai dormant klaster atau klaster-klaster yang istilahnya baru mampu bertahan hidup. Klaster semacam ini ditandai oleh kelompok sektor informal, dengan tingkat produktivitas dan upah yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok usaha menengah dan besar. Membangun value chain merupakan tujuan pengembangan sistem klaster. Menurut Porter (1998) value chain adalah:“..model that helps to analize specific activities through which firms can create value and competitive advantage.” Mengacu pada definisi Porter tersebut, maka value chain merupakan rangkaian aktivitas—dari input pemasok logistik (faktor produksi), proses operasional memproduksi, proses finishing product (merk, kemasan, penyimpanan), pendistribusian dan penjualan (marketing and sales) dan pelayanan bagi konsumen—yang membutuhkan aktivitas pendukung dari sisi infrastruktur perusahaan, manajemen sumberdaya manusia, pengembangan teknologi dan ketersediaan bahan baku dalam lingkup 8
isi soekarni.indd 8
6/22/2010 6:37:16 PM
Pendahuluan
aktivitas yang luas dan menghasilkan produk yang memiliki nilai pasar tinggi dan berdaya saing. Aktivitas value chain dapat melingkupi satu wilayah geografis tetapi bisa juga melingkupi area yang lebih luas dan terjalin dari berbagai industri terkait. Rantai nilai yang dijelaskan Porter tersebut dapat diilustrasikan melalui Gambar berikut:
SUPPORT ACRIVITIES
Firm Infrastructure Human Resource management
MARGIN
Technology Development Procurement
Inbound Operations
Outbound
Marketing
Service
MARGIN
PRIMARY ACTIVITIES Sumber: Michael E. Porter (1985).
Gambar 1.1 Rantai Nilai
Dari pemahaman value chain tersebut, terlihat betapa value chain membutuhkan sebuah kerjasama yang erat antar perusahaan terkait, koordinasi yang kuat, pendistribusian manfaat secara adil, dan proses pembelajaran dalam berinovasi. Hal ini tentunya tidak mudah dijalankan dalam level UMKM khususnya bagi industri kecil di Indonesia. Namun ini bukan berarti rangkaian aktivitas dalam value chain tidak dapat dijalankan dalam konteks UMKM di Indonesia. Field, Downing dan Kula (2006) menjelaskan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kerja value chain yaitu: 1.
Business enabling environment; meliputi kesepakatan internasional dan standar pasar, kebijakan nasional, reformasi dan 9
isi soekarni.indd 9
6/22/2010 6:37:17 PM
Tim Peneliti
pembangunan termasuk partisipasi sektor swasta, pembangunan ekonomi daerah dan penegakkan hukum dan peraturan lainnya. 2.
End markets; bisa berupa pasar lokal, domestik maupun internasional yang mendorong peningkatan permintaan (misalnya, kombinasi antara kualitas, kuantitas, harga dan lainnya yang bisa menjabarkan preferensi konsumen untuk membeli produk).
3.
Supporting markets, including finance and other sector - and non sector - specific services and products; dukungan pasar sangat dibutuhkan bagi peningkatan level atau skala usaha dan juga keuangan perusahaan yang dapat mendukung produk utama yang dihasilkan.
4.
Inter-firm cooperation
5.
a.
Vertical linkages; keterkaitan antar perusahaan, antar input produksi atau bahan baku dan distribusi dalam pasar utama.
b.
Horizontal linkages; keterkaitan antar produsen sangat dibutuhkan untuk mengurangi biaya tansaksi yang sangat membebani terutama bagi pengusaha untuk berkoordinasi dengan banyak perusahaan pemasok.
Firm-level upgrading (product and process upgrading); perubahan yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk meningkatkan daya saing melalui pengembangan produk dan peningkatan teknik produksi atau proses produksi.
Secara grafis value chain dalam konteks sebuah perusahaan dapat digambarkan sebagai berikut:
10
isi soekarni.indd 10
6/22/2010 6:37:17 PM
Pendahuluan
Global Enabling Environment Global Global Retailers Retailers National National Retailers Retailers
Supporting Markets Sector-specific Sector-specific providers providers
Exporters Exporters
Cross-cutting Cross-cutting providers providers Financial(cross(crossFinancial cutting)providers providers cutting)
Wholesalers Wholesalers
Processing Processing
Producers Producers InputSuppliers Suppliers Input National Enabling Environment
Sumber: Field, Downing dan Kula (2006) Gambar 1.2: The Value chain
Dalam sebuah penjelasan yang lebih sederhana dan dikaitkan dengan UMKM maka dapat diidentifikasi UMKM yang memanfaatkan value chain pada umumnya telah menerapkan konsep bisnis secara utuh. Artinya, UMKM tersebut telah menekuni seluruh mata rantai nilai (the value chain) mulai dari pembelian bahan baku, pemrosesan produksi bertahap, penyelesaian sampai menjadi barang jadi, serta melakukan logistik, pemasaran, dan seterusnya. Dengan menguasai value chain maka UMKM tersebut akan memiliki kemampuan lebih besar dalam menciptakan nilai tambah, lapangan pekerjaan, dan membangun pasar bagi produk yang dihasilkannya. UMKM dalam lingkaran value chain memiliki kemampuan berpikirnya yang terpola dalam kerangka sistem bisnis dalam jangka panjang. Artinya, UMKM ini akan terus berkembang dan bahkan bertransformasi membentuk skala usaha yang semakin besar. Misalnya UMKM yang bergerak di bidang
11
isi soekarni.indd 11
6/22/2010 6:37:17 PM
Tim Peneliti
furniture yang pada awalnya hanya memproduksi kursi kayu sederhana dalam jangka waktu tertentu dengan memanfaatkan value chain bisa berkembang membuat meja, lemari, peralatan rumah tangga, dan semacamnya yang diiringi dengan peningkatan kualitas produk dari sisi finishing, detail dan inovasi desain sehingga bisa memperluas pasar, meningkatkan kemampuan manajerial dan meningkatkan skala usaha dan seterusnya berproses dalam rangkaian value chain.
Faktor-faktor dalam integrasi vertikal perusahaan (Interfirm industry linkage) Sebagaimana telah dijelaskan di bagian awal, bahwa salah satu kendala atau permasalahan yang dihadapi oleh UMKM adalah keterbatasan modal dan akses pembiayaan yang diperparah dengan masih relatif tingginya biaya transaksi dalam aktivitas usahanya. Berkaitan dengan itu, maka sangat relevan apabila meninjau secara teoritis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi intergrasi vertikal dalam UMKM. Dalam pasar tidak sempurna, dalam arti ketika harga tidak lagi fleksibel, atau terdapat beberapa pemain yang mempengaruhi harga, penggunaan teknologi yang tidak sama, adanya ketidakpastian usaha, informasi yang tidak lengkap dan sebagainya, teori invisible hand tidak bisa dipertahankan. Secara teoritis, Adam Smith (1776) mengasumsikan kondisi pasar yang sempurna dimana terdapat sejumlah besar penjual dan pembeli yang dapat mengakses semua informasi yang mereka butuhkan, dan tidak satupun dari mereka memiliki kekuatan yang dominan untuk mempengaruhi harga, fungsi mekanisme penyesuaian harga dapat diperoleh dari mengoptimalkan sumber-sumber ekonomi yang ada untuk diarahkan pada tingkat keseimbangan tertentu tanpa melalui biaya transaksi yang berlebihan.
12
isi soekarni.indd 12
6/22/2010 6:37:17 PM
Pendahuluan
Menurut Lall (1980, dalam Sato, 2001) terdapat tiga alternatif pengaturan mekanisme harga dalam pasar. Yang pertama adalah alternative yang sudah jamak dilakukan yaitu melalui perencanaan pemerintah. Alternatif kedua adalah melalui integrasi vertikal yang merupakan proses produksi atau pengelolaan produk akhir, yang kebutuhan produksinya dapat dipenuhi oleh perusahaan secara mandiri. Sedangkan bentuk alternatif yang ketiga adalah keterkaitan antara perusahaan-perusahaan sebagai alternatif penghubung antara transaksi pasar dan organisasi. Dalam kaitan dengan integrasi vertikal sebagaimana disebutkan oleh Lall (1980) sebagai sebuah alternatif pengaturan mekanisme harga, maka sebuah perusahaan akan dapat menghemat biaya transaksi melalui internalisasi pasar. Lebih lanjut, mainstream ekonomi lainnya juga mengemukakan bahwa kegagalan pasar juga bisa menjadi sebab sebuah perusahaan berintegrasi dengan perusahaan lainnya.2 Faktorfaktor lainnya yang memungkinkan untuk terjadi integrasi perusahaan adalah skala ekonomi, faktor-faktor non ekonomi (teknologi komplementer, ketidakpastian usaha dan kekuatan pasar) (Crandall, 1968, Westphal, 1975, Warren-Boulton, 1978, dalam Sato, 2001). Akan tetapi ada pula kelemahan dari alternatif integrasi vertikal ini yaitu adanya pembebanan biaya organisasi sebagai konsekuensi adanya integrasi perusahaan yang sifatnya kompleks. Bahasan selanjutnya yang menjadi penting adalah dalam kondisi yang bagaimanakah seharusnya perusahaan dapat memilih model keterkaitan (linkage) ataukah integrasi vertikal. Menurut Sato (2001; 2-4 – 2-6) ada beberapa alasan yang mendasarinya yaitu: 1.
Biaya organisasi dan biaya transaksi (organizing cost and transaction cost).
2 Konsep kegagalan pasar lebih luas maknanya daripada konsep ketidaksempurnaan pasar. Kegagalan pasar terjadi ketika asumsi-asumsi untuk sebuah mekanisme pasar tidak dapat lagi dipenuhi.
13
isi soekarni.indd 13
6/22/2010 6:37:17 PM
Tim Peneliti
2.
Dualisme Pasar (market dualism)
3.
Resiko (risk)
4.
Opportunis (opportunism)
Dari konsep biaya organisasi yang ditawarkan Coase (1937) dapat diturunkan beberapa kecenderungannya yaitu semakin tinggi biaya untuk mengorganisasi sebuah transaksi ke dalam perusahaan maka semakin banyak perusahaan yang cenderung untuk memilih keterkaitan dalam bentuk integrasi vertikal. Sementara itu, ketika semakin tinggi probabilitas kegagalan pengusaha, maka justru semakin banyak perusahaan yang memilih untuk membangun keterkaitan (linkages). Tingginya probabilitas kegagalan dan biaya akan semakin besar apabila terdapat kondisi: 1) transaction are spatially dispersed; 2) transaction are diversified; 3) probabilities of fluctuation of related prices are large (Coase, 1937). Oleh karena itu pada kondisi seperti ini perusahaan akan lebih diuntungkan untuk membentuk keterkaitan daripada bentuk integrasi. Kebalikannya, semakin rendah biaya transaksi perusahaan akan cenderung memilih integrasi vertikal daripada keterkaitan. Dualisme pasar atau perbedaan harga penawaran faktor produksi yang disebabkan oleh skala usaha perusahaan juga dapat menjadi alasan penentuan pilihan perusahaan. Apabila tingkat upah tenaga kerja untuk perusahaan besar tinggi dan tingkat upah untuk perusahaan kecil rendah, perusahaan akan memilih untuk membentuk keterkaitan dengan perusahaan yang lebih kecil daripada menyewa tambahan biaya tenaga kerja di dalam perusahaan. Oleh karena itu, dualisme pasar tenaga kerja lebih cenderung untuk membangun keterkaitan daripada integrasi vertikal. Akan tetapi pada saat perusahaan sudah cukup besar, untuk akses pada biaya kapital yang relatif rendah, perusahaan dapat memilih keterkaitan dengan perusahaan yang lebih kecil dan memperluas modal kedalam lingkungan perusahaan 14
isi soekarni.indd 14
6/22/2010 6:37:18 PM
Pendahuluan
itu sendiri sehingga dapat membuat pendayagunaan biaya modal dan biaya tenaga kerja yang rendah, daripada mengeluarkan biaya tambahan untuk menyewa tenaga kerja (Hayami, Kikuchi and Marcano, 1998, dalam Sato, 2001). Perusahaan yang berintegrasi secara vertikal, meningkatnya resiko dari fluktuasi di pasar barang, pasar bahan baku, dan juga pasar faktor produksi yang secara dominan dikelola oleh perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu, dari sisi pandang pengawasan resiko, linkages antar perusahaan mungkin lebih menguntungkan daripada integrasi vertikal. Kempat konsep kunci utama diatas memberikan gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan perusahaan untuk melakukan integrasi vertikal atau membentuk keterkaitan antar perusahaan dalam value chain. Sebagai kesimpulan paling tidak terdapat tiga area penting yang perlu dicermati yaitu: (1) karakteristik industri dimana perusahaan itu berada; (2) faktor kebijakan pemerintah; dan (3) faktor sosial dan budaya. Sebagai contoh, industri dengan divisible process (contoh: komponen mesin) sangat cocok untuk model keterkaitan, sedangkan industri dengan continuous processes (contoh baja, kimia, dan lain sebagainya) akan lebih efisien dengan integrasi vertikal. Kemudian faktor kebijakan pemerintah dalam pilihan fasilitas untuk membatasi jumlah perusahaan (entry limitations, sistem lisensi, dan lain sebagainya) mungkin sangat cocok dengan bentuk integrasi. Gambaran sosial budaya dari masyarakat seperti kemampuan berkomunikasi dan juga distribusi informasi menyebabkan biaya transaksi yang rendah, sedangkan terlalu dekat hubungan antar manusia dapat membebani biaya transaksi.
Lingkungan Bisnis dalam Mendukung Kegiatan UMKM Porter (1998) menyatakan ada empat faktor penting yang dapat mempengaruhi kesuksesan suatu industri dalam suatu negara. Faktorfaktor tersebut adalah factor conditions, demand conditions, related and 15
isi soekarni.indd 15
6/22/2010 6:37:18 PM
Tim Peneliti
supporting industries, serta firm strategy, structure and rivalry (Porter, 1998). Factor conditions menjelaskan dimana posisi suatu negara dalam hal faktor produksi yang diperlukan untuk bisa berkompetisi, seperti ketersediaan tenaga kerja, lahan, sumber daya alam, modal dan infrastruktur. Demand conditions meliputi permintaan pasar domestic untuk industri barang atau jasa. Related and supporting industries adalah ketersediaan industri pemasok (supplier) dari suatu negara serta industri lainnya yang terkait yang mampu bersaing dengan pasar inernasional. Firm strategy, structure, and rivalry yaitu bagaimana perusahaan membentuk struktur organisasi, menyusun strategi, mengatur organisasinya dan menangani persaingan pasar domestik. Tabel 1.1 Kebijakan Pemerintah dan Lingkungan Usaha
x x x x x x x x x
Factor (input) conditions Regulasi, harga dan konservasi sumber daya alam Pendidikan dan training Perkembangan infrastruktur dan regulasinya Aspek hukum Administrasi publik Pengumpulan dan penyebaran informasi Kebijakan yang mempengaruhi tabungan Kebijakan pasar modal Kebijakan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
Context for firm strategy and rivalry x Undang-undang tenaga kerja x Kebijakan yang mempengaruhi investasi (seperti: pajak, investasi, insentif, dan pasar uang) x Kebijakan perdagangan dan FDI x Kebijakan antitrust x Peraturan mengenai harga x Kebijakan tentang BUMN x Hak paten
Demand conditions x Kebijakan (termasuk perpajakan) yang mempengaruhi pola konsumsi x Kebijakan perdagangan dan FDI x Kualitas produk, peraturan kesehatan, keselamatan kerja dan lingkungan x Informasi produk x Government procurement
x x x
x x
Related and supporting industries Free trade zones Kebijakan perdagangan dan FDI Lisensi, harga, distribusi dan kontrol pajak terhadap industri supplier Kebijakan terhadap BUMN Kebijakan pembangunan daerah
Sumber: Porter, 2003b.
16
isi soekarni.indd 16
6/22/2010 6:37:18 PM
Pendahuluan
Pemerintah, dalam konteks makro, harus mampu menciptakan kondisi makro ekonomi, aspek hukum dan kondisi politik yang stabil dan dapat diprediksi (Porter, 2003b). Kemudian, dalam rangka membangun lingkungan bisnis, pemerintah harus dapat meningkatkan ketersediaan faktor input, meningkatkan kualitas infrastruktur dan meningkatkan efisiensi dari institusi. Pemerintah juga harus dapat menjadi fasilitator dalam perkembangan dan pembentukan sistem klaster.
Government
Firm strategy, structure and rivalry
Factor (input) Conditions
Demand Conditions
Related and supporting industries
Sumber: Field, Downing dan Kula (2006) Gambar 1.3 Government Policies and the Business
Dari gambar diatas, dapat terlihat hubungan dan keterkaitan antara diamond industri yang merupakan rangkaian relasi bisnis yang saling menunjang satu sama lain dengan lingkungan usaha dalam dimensi yang luas menjadi prasyarat bekerjanya hubungan antar industri. Peranan pemerintah dapat terlihat dari pengaruhnya terhadap setiap faktor dalam lingkungan bisnis. Selain itu, gambar diatas 17
isi soekarni.indd 17
6/22/2010 6:37:18 PM
Tim Peneliti
menggambarkan value chain dalam lingkup industri secara makro dan dalam sebuah industri yang sudah mapan. Namun demikian, rangkaian tersebut masih relevan apabila diimplementasikan dalam lingkup yang usaha yang lebih kecil seperti UMKM. Hal ini dikarenakan lingkungan bisnis yang dibutuhkan juga relatif sama. Satu hal yang membedakan adalah dari sisi skala usaha yang dilaksanakan oleh UMKM lebih sederhana mengingat kemampuan manajerial UMKM yang berbeda-beda sehingga untuk dapat mencapai value chain yang optimal memerlukan upaya-upaya yang lebih intensif. Misalnya dilakukan melalui perbaikan kinerja internal UMKM sehingga dapat dicapai kesetaraan kapasitas usaha dalam industri terkait (supplier, producer and retailer).
1.5 Alur Pikir Penelitian Alur pikir penelitian ini digambarkan secara sederhana dalam Gambar 1.4 dibawah ini. Di satu sisi peranan UMKM di negara berkembang sangat strategis karena memberikan kontribusi yang signifikan dalam perluasan kesempatan kerja, peningkatan ekspor, peningkatan pendapatan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Hal ini dikarenakan kharakteristik UMKM yang umumnya berada dalam aktivitas usaha yang membutuhkan banyak tenaga kerja dengan tingkat ketrampilan yang dapat dipelajari secara informal. Selain itu, UMKM juga menghasilkan produk-produk kebutuhan lokal yang umumnya terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah. Namun disisi lain, berbagai permasalahan klasik masih dihadapi UMKM seperti keterbatasan akses pembiayaan, lemahnya kemampuan SDM, kurangnya informasi pasar dan pemasaran, mekanisme insentif pemerintah yang terbatas dan belum berjalannya aturan hukum yang mendukung pengembangan UMKM.
18
isi soekarni.indd 18
6/22/2010 6:37:18 PM
Pendahuluan
Kebijakan pemerintah Peranan UMKM
Aspek Hukum VALUE CHAIN
Permasalahan UMKM Internal Economies 9 Transaction Cost 9 Market Dualism 9 Opportunism 9 Risk
Karakteristik Industri, Industri pendukung dan Industri terkait
Industri Pesaing Sosial Budaya
Gambar 1.4 Alur Pikir Penelitian
Pengembangan UMKM yang terbentur pada masalah biaya ekonomi (transaction cost) yang tinggi, adanya market dualism dalam pasar tenaga kerja, faktor resiko usaha dan perilaku oportunis (mencari keuntungan sesaat). Kondisi ini akan mendorong UMKM untuk melakukan integrasi secara vertikal sehingga dapat mengurangi permasalahan tersebut dengan melakukan kerjasama dengan industriindustri terkait dalam suatu value chain. Namun demikian untuk dapat menghasilkan suatu value chain yang mantap dibutuhkan lingkungan bisnis yang kondusif. Kondusifitas lingkungan usaha dapat terjadi apabila terbangun sinergi antara kebijakan pemerintah, faktor hukum dan peraturan pendukung, karakteristik industri (keberlanjutan dan kesinambungan usaha) dalam keterkaitannya dengan industri pendukung dari hulu ke hilir, perilaku usaha industri pesaing dan kondisi sosial budaya dalam lingkungan usaha. Apabila faktor-faktor ini dapat disinergikan secara dinamis maka akan dapat mendukung 19
isi soekarni.indd 19
6/22/2010 6:37:18 PM
Tim Peneliti
terbentuknya suatu lingkungan usaha yang kondusif bagi optimalisasi value chain UMKM di Indonesia. Value chain ini memiliki peranan yang penting dalam pengembangan UMKM karena secara komprehensif bisa mengurangi permasalahan-permasalahan yang selama ini dihadapi UMKM. Apabila value chain dapat bekerja secara optimal maka UMKM akan dapat berkembang dan memiliki keunggulan kompetitif dalam pasar yang lebih luas.
1.6 Metodologi Pendekatan Studi Pendekatan penelitian yang akan digunakan dalam riset ini adalah pendekatan ekonomi industri dengan metode eksploratori. Penelitian ini akan berusaha untuk memperoleh informasi yang akurat mengenai kondisi perkembangan UMKM melalui kegiatan wawancara mendalam (in-depth interview) untuk menggali persepsi stakeholders terkait dengan upaya membangun rantai nilai bisnis yang didukung oleh lingkungan usaha yang kondusif. Pengumpulan data ini diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih empiris mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja UMKM. Selain itu, survey yang lebih spesifik akan dilakukan melalui pengumpulan data melalui kuesioner secara langsung kepada pelaku UMKM. Pengumpulan data dan analisis di tingkat pelaku UMKM diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih empiris mengenai performa UMKM, persepsi pelaku UMKM terhadap pentingnya kondisi lingkungan bisnis yang kondusif serta manfaat value chain dalam pengembangan usahanya.
20
isi soekarni.indd 20
6/22/2010 6:37:18 PM
Pendahuluan
Kebutuhan, Sumber dan Pengumpulan Data Jenis dan sumber data yang diperlukan sebagai bahan analisis adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan diskusi dengan narasumber-narasumber terpilih misalnya dari Departemen Koperasi dan UMKM, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Bappenas, Pemerintah Daerah dan instansiinstansi terkait lainnya. Data sekunder diperoleh melalui pengumpulan dokumen dan atau publikasi resmi baik yang dikeluarkan pemerintah maupun swasta yang mendukung analisis penelitian. Sedangkan data primer dikumpulkan dengan menyebarkan kuesioner kepada 60 responden yang didistribusikan secara proporsional terhadap populasi sampel penelitian di wilayah penelitian.
Faktor dan Variabel Penelitian Faktor dan variabel penelitian ini dapat diringkas dalam tabel dibawah ini. Tabel 1.2 Faktor dan Variabel Penelitian No Faktor
Variabel
1
Kinerja UKM
keuntungan usaha
2
Peranan UKM Permasalaha n UKM Rantai nilai
serapan tenaga kerja, nilai ekspor
(value chain)
produksi, pemasaran, layanan purna jual) dan aktivitas sekunder (manajemen SDm dan teknologi). kebijakan pemerintah, kondisi faktor (input), infrastruktur, industri pendukung dan industri terkait.
3 4
5
lingkungan usaha
permodalan, tenaga kerja, pemasaran, penguasaan teknologi, persaingan usaha Aktivitas primer (pengadaan bahan baku, proses
21
isi soekarni.indd 21
6/22/2010 6:37:18 PM
Tim Peneliti
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data untuk mengetahui kondisi lingkungan bisnis UMKM dilakukan dengan menggunakan cross-tabulation yang diperoleh dari hasil survey sedangkan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi value chain tersebut dilakukan dengan menggunakan analisis ekonomi. Data kuantitatif dianalisis dan dipaparkan dalam berbagai teknik penyajian (grafis, tabulasi) dari temuan-temuan selama penelitian berlangsung serta menganalisis hasil temuan dengan menggunakan alat-alat perhitungan dalam analisis ekonomi. Analisa kualitatif dilakukan berdasarkan hasil indepth interview dengan pelaku UMKM dan instansi terkait. Hasil indepth interview selanjutnya digunakan untuk mengidentifikasi dan mengumpulkan informasi tentang kondisi lingkungan usaha dan keberadaan value chain dalam dunia UMKM. Dengan memperoleh kejelasan mengenai kondisi riil UKM dengan segenap faktor-faktor penghambat dan pendorong pengembangannya dapat diketahui secara runtut sehingga dapat dirumuskan kebijakan secara komprehensif.
22
isi soekarni.indd 22
6/22/2010 6:37:19 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Barat: Studi Kasus di Sentra Sepatu Cibaduyut Bandung
BAB 2 ANALISIS RANTAI NILAI UMKM DI JAWA BARAT: STUDI KASUS DI SENTRA SEPATU CIBADUYUT BANDUNG Muhammad Soekarni dan Joko Suryanto
2.1 Pengantar Usaha kecil dan Menengah (UKM) telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam perekonomian Propinsi Jawa Barat, baik dalam bentuk penyerapan tenaga kerja maupun sumbangan terhadap pembentukan PDRB. Menurut catatan BPS1 tahun 2005, jumlah UKM tersebut mencapai 7,23 juta unit, sedangkan jumlah Usaha Besar (UB) hanya 1.214 unit. Dengan kata lain, 99,96 persen unit usaha yang menggerakkan perekonomian Jawa Barat masih terbatas pada skala usaha kecil dan menengah. Komposisi ini hampir tidak mengalami perubahan sampai tahun 2007, dimana porsi UKM hanya sedikit mengalami peningkatan menjadi 99,68 persen. Dengan jumlah unit usaha yang demikian besar maka UKM telah menjadi andalan dalam menciptakan kesempatan kerja. Sebagaimana dijelaskan dalam Laporan Evaluasi Peran KUKM Dalam Perekonomian Regional Tahun 2007 yang dikeluarkan oleh BPS bekerja sama dengan Dinas KUKM Propinsi Jawa Barat, UKM telah menjadi “bumper” perekonomian dalam penyerapan tenaga kerja. Kemampuan UKM dalam penyerapan tenaga kerja dikarenakan UKM memiliki teknologi pengolahan yang relatif sederhana sehingga tidak diperlukan keahlian dan keterampilan tinggi dalam proses produksi produk-produk yang 1 BPS Jawa Barat, 2008.
23
isi soekarni.indd 23
6/22/2010 6:37:19 PM
Muhammad Soekarni dan Joko Suryanto
dihasilkan UKM. Porsi tenaga kerja yang mampu diserap UKM mencapai 88,53 persen dan sisanya sebesar 11, 47 persen ditampung oleh UB. Kemampuan UKM di Jawa Barat dalam menghasilkan nilai tambah juga cukup signifikan. Selama periode 2005-2007, sumbangan UKM terhadap pembentukan PDRB Jawa Barat (Tanpa Migas) adalah sekitar 61,7 persen. Hal ini berbeda dengan peranan UKM dalam pembentukan pendapatan nasional yang relatif kecil yaitu lebih kurang 54 persen. Sumbangan terhadap PDRB Jawa Barat tersebut lebih banyak berasal dari UKM yang bergerak di sektor perdagangan, hotel dan restoran; pertanian; dan industri pengolahan yaitu masing-masingnya sebesar 32,4 persen; 27,9 persen; dan 20,3 persen pada tahun 2007. Penelitian ini telah memilih UMKM sektor industri pengolahan untuk melihat seberapa kuat rantai nilai yang terbentuk dalam proses kegiatan UMKM di Jawa Barat. Produk-produk yang dihasilkan UMKM Jawa Barat banyak yang sudah terkenal sampai ke daerah-daerah lain seperti baju kaos dengan berbagai motif yang kreatif, celana jeans yang trendy, makanan, pakaian jadi, dan sepatu. Namun karena keterbatasan waktu dan anggaran, yang diambil sebagai sampel dalam penelitian ini hanya pengrajin sepatu di Cibaduyut. Menurut informasi dari Dinas Perindustrian Jawa Barat, rantai nilai dan integrasi antara UMKM dan antara UMKM dengan UB sudah mulai terbangun di Sentra Sepatu/Alas Kaki Cibaduyut. Bab ini akan menjelaskan seberapa kuat rantai nilai yang sudah terbentuk di Sentra Sepatu Cibaduyut, baik dalam proses aktivitas primer (pengadaaan bahan baku, proses produksi, pemasaran, dan layanan purna jual), maupun dalam segmen aktivitas sekunder yang meliputi keadaan sumberdaya manusia serta penggunaan teknologi. Namun sebelum itu akan diuraikan terlebih dahulu tentang kondisi lingkungan usaha.
24
isi soekarni.indd 24
6/22/2010 6:37:19 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Barat: Studi Kasus di Sentra Sepatu Cibaduyut Bandung
2.2 Lingkungan Usaha Sentra Sepatu Cibaduyut sudah terbentuk secara alamiah sejak tahun 1920. Menurut sejarahnya, sentra sepatu ini dirintis oleh beberapa orang warga setempat yang kesehariannya bekerja pada sebuah pabrik sepatu di kota Bandung. Berbekal keterampilan dari pabrik sepatu tempat bekerja dan didorong oleh tekad yang kuat, para pengrajin tersebut memberanikan diri membuka usaha pembuatan sepatu secara kecil-kecilan di rumah masing-masing dengan bantuan anggota keluarga. Ternyata sepatu yang diproduksi cukup laku sehingga para pengrajin mulai merekrut pekerja dari warga sekitar. Akhirnya keterampilan membuat sepatu tersebut menyebar di daerah Cibaduyut dan berlanjut secara turun temurun sampai sekarang ini2. Gambaran umum tentang Sentra Sepatu/Alas kaki Cibaduyut dapat diuraikan secara ringkas sebagai berikut3: •
Secara geografis, Sentra Sepatu Cibaduyut terletak 5 Km dari pusat kota Bandung kearah selatan dengan luas areal mencapai 14 Km2 yang meliputi Kota Bandung 5 (lima) kelurahan dan Kabupaten Bandung 3 (tiga) desa.
•
Potensi ekonomi di Sentra Sepatu yang sudah terkenal luas ini dapat dilihat dari Tabel 2.1 berikut ini:
2
Dikutip dari Profil Sentra IKM Sepatu/Alas Kaki Cibaduyut yang disusun oleh Instalasi Pengembangan IKM Persepatuan Cibaduyut, Dinas Perindustria Jawa Barat. 3 Ibid.
25
isi soekarni.indd 25
6/22/2010 6:37:19 PM
Muhammad Soekarni dan Joko Suryanto
Tabel 2.1 Potensi Sentra IKM Sepatu Cibaduyut No. Potensi
Tahun 2002
1.
Unit Usaha
2.
Tenaga
3.
Investasi
2003
2004
2005
2006
859
861
848
845
828
Kerja
6.045
2.850
3.468
3.556
3.498
(Rp
7.727,2
(Org) 7.162,7 18.170,5 23.720,7 14.507,2
juta) 4.
Produksi (dalam
8.530
2.984,3
3.049,3
4.046,7
2.982,6
ribu pasang/th)
Sumber: Profil Sentra IKM Sepatu/Alas kaki Cibaduyut oleh Instalasi Pengembangan IKM Persepatuan Cibaduyut.
Dari tabel diatas diketahui bahwa potensi usaha sepatu di Sentra Sepatu Cibaduyut cukup besar. Akan tetapi, potensi tersebut mulai mengalami penurunan baik dilihat dari jumlah unit usaha, tenaga kerja, nilai investasi sampai pada jumlah produk yang dihasilkan. Meskipun data tahun 2007-2009 belum tersedia, namun menurut keterangan berbagai nara sumber di lapangan, kondisi Sentra Sepatu Cibaduyut tidak mengalami perubahan yang berati dalam tiga tahun terakhir. Hal ini tentunya perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah, terutama Pemda setempat melalui instansi terkait, agar kemerosotan yang terjadi di Sentra Sepatu/Alas Kaki Cibaduyut dapat segera teratasi. •
Keberadaan Sentra Sepatu Cibaduyut telah ditopang oleh berbagai industri pendukung yang meliputi 152 unit showroom/ outlet, 4 pusat perdagangan, 38 toko bahan baku dan bahan penolong, 8 industri shoelast/acuan kasar, tiga industri peralatan dan suku cadang (sparepart), 15 industri kemasan, dan lima unit industri sol karet.
26
isi soekarni.indd 26
6/22/2010 6:37:19 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Barat: Studi Kasus di Sentra Sepatu Cibaduyut Bandung
•
Pada tahun 1977/1978, Sentra Industri Sepatu Cibaduyut mulai mendapat perhatian dari pemerintah pusat, melalui Departemen Perindustrian dan Lembaga Penelitian Pendidikan, Penerangan, Ekonomi, dan Sosial (LP3ES). Perhatian itu ditunjukkan berupa pembangunan Unit Pelayanan Teknis (UPT). Pada 1989, dibangun wartel di UPT agar pengrajin lebih mudah berkomunikasi dengan pemasok bahan baku dan memperlancar pemesan dari luar kota dan luar provinsi.
•
Untuk membantu pelayanan distribusi, pada tahun 1990-an, Departemen Perdagangan bekerja sama dengan PT Pos Indonesia. Lewat jalur ini, pengrajin dan pengusaha mendapat kemudahan dalam pengiriman pesanan sepatu ke luar daerah. Di masa ini, wilayah kerja pengrajin kemudian meluas sampai ke Desa Sukamenak dan Desa Cangkuang, wilayah Kab. Bandung.
•
Setelah terbentuk otonomi daerah pada 2001, Kanwil Depperindag menyerahkan sepenuhnya kewenangan dan aset pada Pemprov Jawa Barat, termasuk UPT. Berdasarkan Keputusan Gubernur Jabar Nomor 33 Tahun 2003, UPT pun berubah nama menjadi Instalasi Pengembangan Industri Kecil Menengah (IKM) Persepatuan. Instalasi ini banyak mendatangkan manfaat bagi UKM di Sentra Industri Sepatu Cibaduyut dalam bentuk kesempatan menggunakan permesinan yang relatif maju dibandingkan peralatan-peralatan tradisional. Akan tetapi, menurut beberapa pengrajin sepatu yang diwawancarai, kebanyakan mesin yang dimiliki Instalasi Pengembangan IKM di Cibaduyut sebenarnya sudah agak ketinggalan dibandingkan mesin-mesin baru dengan teknologi yang lebih maju. Sebagian pengrajin di Cibaduyut sudah mempunyai mesin-mesin yang tergolong canggih. Meskipun demikian, masih banyak pengrajin yang memanfaatkan mesinmesin di Instalasi IKM, terutama pengrajin-pengrajin kecil yang 27
isi soekarni.indd 27
6/22/2010 6:37:19 PM
Muhammad Soekarni dan Joko Suryanto
dengan modal terbatas dan belum mampu berkembang dengan baik. Selain menyediakan permesinan, Instalasi IKM Persepatuan juga memberikan pembinaan-pembinaan, baik teknis produksi maupun manajemen usaha. Salah satu persyaratan untuk menciptakan lingkungan usaha yang kondusif dan menarik bagi pengusaha adalah ketersediaan infrastruktur secara memadai. Beberapa infrastruktur ekonomi telah dibangun di Sentra Sepatu/Alas Kaki Cibaduyut seperti fasilitas listrik, jaringan telepon, sarana dan prasarana transportasi, serta air bersih. Menurut hasil wawancara dengan para pengusaha kebutuhan listrik dan telepon sudah mencukupi serta bisa dikatakan tidak bermasalah di Sentra Sepatu Cibaduyut. Akan tetapi, pengusaha masih mengeluhkan beberapa hal yang berkaitan dengan belum terpenuhinya kebutuhan infrastruktur sebagaimana yang diinginkan sehingga dinilai masih cukup mengganggu kelancaran usaha pembuatan dan sekaligus pemasaran sepatu serta alas kaki lainnya di sentra ini. Masalah tersebut antara lain: pertama, jalan raya yang membelah dua Sentra Sepatu Cibaduyut relatif sempit sehingga menyebabkan sering terjadi kemacetan. Hal ini dapat mengurangi minat pengunjung karena memboroskan waktu dan tidak mendapatkan kenyamanan dalam berbelanja. Kedua, seringnya terjadi banjir karena buruknya saluran pembuangan air ditambah dengan banyaknya sampah yang dibuang secara sembarangan. Hal ini juga berdampak negatif bagi kunjungan wisata dan calon pembeli lainnya, terutama pada musim hujan, sehingga penjualan sepatu dan alas kaki lainnya di Sentra Sepatu Cibaduyut mengalami penurunan. Ketiga, keterbatasan air bersih. Namun, masalah air bersih ini tidak berdampak langsung karena bukan termasuk faktor input utama dalam usaha produksi alas kaki. Dari aspek sosial budaya, keberadaan Sentra Sepatu di Cibaduyut tidak menimbulkan masalah. Sebagaimana dijelaskan oleh petugas 28
isi soekarni.indd 28
6/22/2010 6:37:19 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Barat: Studi Kasus di Sentra Sepatu Cibaduyut Bandung
Instalasi IKM Persepatuan dan juga tokoh-tokoh masyarakat setempat, sentra alas kaki ini telah diterima oleh masyarakat karena mereka menyadari bahwa sentra sepatu ini sudah ada sejak lama dan pada umumnya juga dimiliki oleh masyarakat setempat. Masyarakat juga banyak yang memetik keuntungan dari keberadaan sentra ini yaitu dalam bentuk kesempatan bekerja dalam usaha produksi dan pemasaran, maupun usaha pendukung lainnya.
2.3 Rantai Nilai: Aktivitas Primer Kegiatan pengusaha alas kaki di Cibaduyut sudah mulai berjalan dalam suatu sistem rantai nilai berdasar prosedur dan informasi yang terbangun. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan pengusaha dalam memasok bahan baku, proses produksi maupun pemasaran. Berbagai keuntungan atau nilai tambah dapat dihasilkan dari adanya rantai nilai tersebut.
Rantai Nilai Dalam Pengadaan Bahan Baku Kelancaran dan keberlanjutan suatu usaha dalam bidang industri pengolahan sangat tergantung pada bahan baku. Oleh karena itu ketersediaan pasokan bahan baku dalam jumlah dan kualitas tertentu sangat penting untuk diperhitungkan. Selama ini UKM sering menghadapi kendala untuk memperoleh bahan baku dengan kualitas yang dibutuhkan dan harga terjangkau. Secara spesifik, permasalahan UKM yang berkaitan dengan bahan baku ini telah dijelaskan Primiana (2009:20) sebagai berikut: (a) harga bahan baku yang mahal dan berfluktuasi akibat diborong oleh pedagang besar yang mampu mengontrol harga; (b) ekspor/impor yang berlebihan berakibat pada fluktuasi harga; (c) bahan baku yang dibutuhkan tidak diproduksi lagi; (d) kesulitan penyim29
isi soekarni.indd 29
6/22/2010 6:37:19 PM
Muhammad Soekarni dan Joko Suryanto
pan; (e) pengiriman tidak tepat waktu; (f ) prosedur impor yang tidak jelas; (g) lokasi sumber bahan baku yang jauh; (h) terbatasnya leveransir bahan baku; (i) kurangnya informasi tentang sumber bahan baku; dan (j) kurangnya kerjasama dengan pengusaha besar dalam pengadaan bahan baku. Bahan baku yang dibutuhkan oleh industri alas kaki di Sentra Sepatu Cibaduyut antara lain kulit asli, kulit sintetis, lateks, paku dan lem. Pada umumnya bahan baku tersebut dibeli para pengusaha dari toko-toko penjualan bahan baku yang jumlahnya cukup banyak di sekitar Sentra Sepatu Cibaduyut. Sebagaimana dapat dilihat dari Tabel 2.2 berikut ini, sekitar 80 persen responden membeli bahan baku dari pedagang-pedagang atau toko-toko di lingkungan kecamatan setempat dan hanya 5 persen UMKM yang membeli bahan baku ke daerah lain. UMKM yang membeli bahan baku sampai ke daerah lain itu biasanya adalah pengrajin yang membuat sepatu atau alas kaki lainnya dengan model dan standar yang agak khusus seperti safety shoes. Tabel 2.2 Persentase Responden Berdasarkan Lokasi Pembelian Bahan Baku p
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Lokasi Di dalam lingkungan kelurahan setempat Di kelurahan lain dalam satu kecamatan Di kabupaten lain dalam satu propinsi Jawaban 1 dan 2 Tidak menjawab Total
% 60 20 5 10 5 100
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 20 orang)
Adanya toko-toko penjualan bahan baku di Sentra Sepatu Cibaduyut dan daerah sekitarnya telah memberikan keuntungan tersendiri bagi UMKM pengrajin dalam bentuk penghematan waktu dan ongkos
30
isi soekarni.indd 30
6/22/2010 6:37:19 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Barat: Studi Kasus di Sentra Sepatu Cibaduyut Bandung
transportasi. Meskipun demikian pengrajin terkadang masih menghadapi kendala dalam pengadaan bahan baku. Hal ini terjadi apabila terdapat gangguan pengiriman dari pabrik kepada pedagang bahan baku4. Sistem pembayaran yang biasa digunakan dalam pembelian bahan baku oleh pengrajin ke toko terdiri dari pembayaran tunai/kontan pada waktu pengambilan barang, pembayaran secara cicilan untuk beberapa waktu setelah barang diambil, dan kombinasi sistem pembayaran tunai dan cicilan. Sistem pembayaran kombinasi ini maksudnya untuk sebagian bahan baku dibayar secara tunai dan untuk bahan baku tertentu bisa dicicil. Para pedagang bahan baku biasanya memberikan kelonggaran pembayaran dalam bentuk cicilan kepada pengrajin yang sudah dijamin oleh distributor besar. Hasil pengumpulan data primer yang ditampilkan pada Tabel 2.3 dibawah ini menunjukkan bahwa 55 persen responden melakukan pembayaran dalam pembelian bahan baku secara tunai. Sedangkan yang melakukan sistem kombinasi mencapai 30 persen. Tabel 2.3 Persentase Responden Berdasarkan Cara Pembayaran Bahan Baku
No. 1. 2. 3. 4.
Cara Pembayaran Tunai Tunai dan cicilan Giro Lainnya Total
% 55 30 5 10 100
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009
Berdasarkan uraian diatas, rantai nilai yang terbentuk dalam kegiatan pengadaan bahan baku di Sentra Sepatu Cibaduyut dapat digambarkan secara sederhana dengan gambar 2.1 dibawah ini. Dari gambar tersebut terlihat dengan jelas bahwa pengrajin alas kaki 4 Wawancara dengan pelaku usaha alas kaki pengurus RAPEL (Rereongan Pengusaha Alas Kaki)
31
isi soekarni.indd 31
6/22/2010 6:37:20 PM
Muhammad Soekarni dan Joko Suryanto
memiliki tiga jalur untuk mendapatkan bahan baku yaitu: (a) melalui jalur langsung dari produsen bahan baku, namun hanya sedikit sekali pengrajin yang dapat menggunakan jalur ini karena sebagian besar pengrajin hanya membeli bahan baku dalam jumlah yang relatif kecil; (b) melalui jalur pedagang/toko besar, baik yang mendapatkan jaminan dari distributor besar dimana mereka sudah terikat kontrak untuk memasarkan alas kaki yang dihasilkan kepada distributor yang bersangkutan, maupun yang tidak terakit dengan distributor besar; (c) melalui pengecer yang pada umumnya menggunakan sistem pembayaran secara tunai. Produsen Bahan Baku
Pedagang/Toko Besar
Distributor Besar Alas Kaki
Pedagang/Toko Pengecer
UKM Alas Kaki
Keterangan: rantai pengiriman pasokan bahan baku kemungkinan kombinasi pola pasokan yang lebih pendek dan keterlibatan distributor besar
Gambar 2.1 Pola Pasokan Bahan Baku Alas Kaki
Responden yang mendapat jaminan dari pengusaha/distributor besar dalam pengadaan bahan baku ini cukup banyak jumlahnya. Dari hasil survey diketahui bahwa 65 persen responden telah menjalin kerjasama dengan para pengusaha/distributor alas kaki berskala usaha menengah dan besar dalam pengadaan bahan baku (Lihat Tabel 2.4). Kerjasama yang dimaksud adalah adanya jaminan yang diberikan oleh distributor besar kepada pedagang bahan baku atas pembelian bahan 32
isi soekarni.indd 32
6/22/2010 6:37:20 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Barat: Studi Kasus di Sentra Sepatu Cibaduyut Bandung
baku yang dilakukan oleh pengrajin dengan sistem cicilan. Dengan demikian, kerjasama ini jelas sangat membantu UMKM, terutama pengrajin yang masih memiliki keterbatasan modal. Tabel 2.4 Persentase Responden Berdasarkan Mitra Kerjasama Dalam Pengadaan Bahan Baku
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Mitra Kerjasama Pengusaha kecil Pengusaha menengah Pengusaha besar Tidak ada kerjasama Tidak menjawaab Total Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 20 orang)
% 5 60 5 5 25 100
Rantai Nilai Dalam Proses Produksi dan Pemasaran Secara garis besar, pola produksi yang dijalankan oleh pengrajin di Sentara Sepatu Cibaduyut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu pola kerja sama antara UMKM dengan pengusaha/distributor sepatu besar dan pola bekerja mandiri. Dalam pola pertama, UMKM akan membuat alas kaki sesuai dengan apa yang dipesan oleh pengusaha/ distributor5 besar. Akan tetapi, sebelum kontrak kerjasama disepakati, UMKM terlebih dahulu diminta untuk membuat model alas kaki yang akan dibuat. Model yang diajukan ini akan disortir oleh pengusaha/ distributor besar untuk selanjutnya dibuatkan katalog6. Pada tahap berikutnya, katalog ini akan disebarkan oleh pengusaha/distributor besar kepada calon pembeli. Apabila ada pemesanan, maka pengusaha/ distributor akan menghubungi UMKM yang mendisain model yang 5 Pemakaian istilah pengusaha digandengkan distributor karena distributor tersebut biasanya tidak hanya bergerak dalam bidang pemasaran, namun sekaligus juga ikut sebagai produsen dalam skala usaha yang relatif lebih besar. 6 Katalog, merupakan strategi pemasaran produk alas kaki yang dilakukan dengan mengadopsi pola pemasaran pihak luar. Pengusaha di Cibaduyut yang pada awalnya menggunakan strategi pemasaran dengan katalog adalah Garsel pada tahun 1998 sebagai salah satu pengusaha-pedagang besar.
33
isi soekarni.indd 33
6/22/2010 6:37:20 PM
Muhammad Soekarni dan Joko Suryanto
dipesan tersebut. Dalam pola pertama ini, penentuan harga lebih didominasi oleh pengusaha/distributor besar. Sedangkan pada pola kedua, UMKM akan mendisain, memproduksi dan memasarkan secara individual tanpa terikat kerjasama dengan pengusaha besar/distributor di lingkungan Sentra Sepatu Cibaduyut. Biasanya UKM mandiri ini lebih banyak menjual ke luar Bandung. Secara ringkas, kedua pola tersebut dapat diilustrasikan secara sederhana dengan Gambar 2.2 berikut ini:
Pola Kerjasama
Pesanan Distributor Besar
UMKM: Disain Model Katalog
Kontrak UMKM dg Distributor Besar
Pola Individual
Disain Sendiri
Distributor Menyebarkan Katalog
Pesanan Pembeli
Jual ke Luar Bandung
Gambar 2.2 Rantai Pemasaran Alas Kaki
Terbangunnya sistem kerjasama tersebut tidak terlepas dari peran pedagang besar7 yang memberikan jaminan produksi kepada para pengusaha pembuat alas kaki berdasarkan katalog yang dianggap diminati pasar. Jaminan produksi yang diberikan oleh pengusahapedagang besar didasarkan atas kemampuan produksi serta kualitas produk yang diajukan oleh pengusaha kecil dan menengah kepada pengusaha-pedagang besar, dimana pengusaha-pedagang besar 7 Pedagang besar tersebut ada juga yang sekaligus pengusaha pembuat alas kaki (punya bengkel sendiri).
34
isi soekarni.indd 34
6/22/2010 6:37:20 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Barat: Studi Kasus di Sentra Sepatu Cibaduyut Bandung
mengeluarkan PO. Berdasarkan PO tersebut pengusaha kecil dan menengah mendapatkan kemudahan penyediaan bahan baku bahkan menjadi referensi bagi penjual bahan baku untuk memberikan tenggang waktu pembayaran pembelian bahan baku (1-2 bulan). Sebagaimana telah dijelaskan diatas, salah satu upaya yang dijalankan oleh UMKM untuk memperluas jaringan pemasaran dari produk yang mereka hasilkan adalah dengan menjalin kerjasama dengan para pengusaha/distributor yang mempunyai skala usaha menengah dan besar. Dari data hasil survei diketahui bahwa 40 persen responden melakukan strategi kerjasama seperti ini. Sementara itu, strategi lain yang dijalankan oleh para pengrajin alas kaki di Sentra Industri Sepatu Cibaduyut adalah membuat dan menyebarkan brosur secara langsung (tanpa terikat dengan distributor besar) sebagai mediasi promosi untuk menarik minat calon konsumen. Sekitar 25 persen responden menerapkan strategi penyebaran brosur ini. Upaya lain yang dilakukan dalam rangka memperluas pemasaran adalah mengikuti acara pameran. Tabel 2.5 Persentase Responden Berdasarkan Upaya Memperluas Pemasaran
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Mitra Kerjasama Menyebarkan brosur Mengikuti pameran Melakukan kerjasama dengan pihak lain Tidak ada Lainnya Total
% 25 15 40 15 5 100
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 20 orang)
Kerjasama dalam bidang pemasaran tersebut diatas lebih banyak terjalin antara UMKM pengrajin dengan pengusaha menengah dan besar. Sebagaimana dapat dilihat dari Tabel 2.6 dibawah ini, 40 persen 35
isi soekarni.indd 35
6/22/2010 6:37:20 PM
Muhammad Soekarni dan Joko Suryanto
pengrajin melakukan kerjasama pemasaran dengan pengusaha yang berskala usaha menengah dan hanya 15 persen saja UMKM yang menjalin kerjasama dengan pengusaha besar. Para pengrajin tersebut tertarik untuk melakukan kerjasama karena mendapatkan keuntungan, terutama dalam bentuk kepastian pemasaran dan juga pengarahanpengarahan dari mitra tersebut. Dengan adanya kerjasama tersebut, UMKM secara tidak langsung sudah masuk kedalam jaringan pemasaran para pengusaha menengah dan besar. Tabel 2.6 Persentase Responden Berdasarkan Mitra Kerjasama Pemasaran
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Mitra Kerjasama Pengusaha kecil Pengusaha menengah Pengusaha besar Jawaban 2 dan 3 Tidak menjawab Total
% 0 40 15 5 35 100
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 20 orang)
Strategi lain yang dilakukan para pengusaha di Sentra Sepatu Cibaduyut dalam memperluas jaringan pemasaran adalah melalui jaringan internet. Strategi ini biasanya dilakukan oleh pengusaha besar dan juga sudah mempunyai merek sendiri. Dalam kaitannya dengan merek ini, pengusaha di Cibaduyut terbagi dalam dua kelompok. Pertama, pengusaha yang mementingkan merek sehingga berupaya untuk memiliki merek produksi sendiri walaupun belum terdaftar secara hukum. Kedua, pengusaha yang membuat produk berdasarkan merek yang dimiliki distributor/pengusaha besar. Pembentukan lembaga yang mendorong terjalinnya kerjasama antar pelaku usaha (Forum Pengusaha Alas Kaki) maupun konsep klaster atau sentra dengan menetapkan beberapa perusahaan dalam kategori perusahaan ”champion” perlu mendapat pembinaan secara kontinyu 36
isi soekarni.indd 36
6/22/2010 6:37:20 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Barat: Studi Kasus di Sentra Sepatu Cibaduyut Bandung
dari berbagai pihak. Persaingan yang terjadi di tingkat pengusaha alas kaki (khususnya pengusaha-pedagang besar) perlu di kelola menjadi modal untuk menghasilkan keunggulan dan ciri khusus produk alas kaki Cibaduyut.
2.4 Rantai Nilai: Aktivitas Sekunder Selain dari aspek aktivitas primer, rantai nilai yang terbangun dalam kegiatan UMKM alas kaki di Sentra Sepatu Cibaduyut juga dapat dicermati dari aspek aktivitas sekunder/pendukung. Upaya membangun aktivitas sekunder dalam suatu rantai nilai yang kuat penting diupayakan untuk meningkatkan efisiensi agar UMKM yang terlibat didalamnya mampu bersaing di pasar lokal, nasional sampai internasional.
Rantai Nilai Dalam Manajemen SDM Kualitas sepatu dan alas kaki lainnya yang dihasilkan para pengrajin UMKM dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kualitas bahan baku, kehandalan para pengrajin, dan peralatan atau mesin yang dipergunakan. Para pengrajin atau tukang sepatu dari Cibaduyut sudah sangat terkenal memiliki kemampuan yang cukup handal. Namun demikian, regenerasi nampaknya tidak berjalan dengan baik. Para tukang yang sudah ahli semakin berkurang seiring dengan menurunnya minat para generasi muda untuk menjadi tukang sepatu. Hal ini cukup mengkhawatirkan para UMKM di Sentra Sepatu Cibaduyut. Sebagaimana terlihat dari Tabel 2.7 berikut ini, hanya sekitar 5 persen dari UMKM yang masih memiliki tenaga kerja berkualifikasi sangat ahli, sedangkan sisanya hanya termasuk kategori cukp ahli dan ahli saja.
37
isi soekarni.indd 37
6/22/2010 6:37:20 PM
Muhammad Soekarni dan Joko Suryanto
Tabel 2.7 Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Kemampuan/keahlian Tenaga Kerja Produksi
No. Tingkat Keahlian Tenaga Kerja Produksi 1. Cukup ahli 2. Ahli 3. Sangat ahli Total
% 45 50 5 100
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 20 orang)
Pengusaha alas kaki di Cibaduyut sejak lama memiliki keahlian yang bersifat turun temurun. Kemampuan untuk membuat berbagai produk alas kaki yang pada awalnya secara penuh mengandalkan kerajinan tangan mulai bergeser pada penggunaan peralatan dan mesin yang berteknologi modern. Selain itu, sebagian bahan baku yang digunakan sebagiannya juga sudah dalam bentuk hasil olahan pabrik. Para pelaku usaha alas kaki di wilayah Cibaduyut pada dasarnya menyadari pentingnya kompetensi sumber daya manusia. Hal ini disampaikan oleh beberapa pengusaha dalam wawancara yang dilakukan di lapangan. Menurut mereka, sumber daya manusia yang kompeten adalah mereka yang menguasai teknik desain alas kaki, sehingga kualitas produk yang dihasilkan akan meningkat. Namun demikian, pengusaha alas kaki merasa berat untuk menggunakan sumber daya manusia yang memiliki keahlian khusus karena akan membebani ongkos produksi8. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa Barat melalui Instalasi Pengembangan Industri Kecil Menengah (IKM) Persepatuan9 telah berupaya meningkatkan kemampuan pengrajin alas kaki di Sentra Sepatu Cibaduyut dalam bidang desain produk alas kaki. Upaya tersebut dilakukan melalui kegiatan pelatihan desain product dengan 8 Wawancara dengan pengusaha Saca Sarifin pengusaha alas kaki. 9 Wawancara dengan staf Instalasi Pengembangan Industri Kecil dan Menengah Persepatuan Cibaduyut.
38
isi soekarni.indd 38
6/22/2010 6:37:20 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Barat: Studi Kasus di Sentra Sepatu Cibaduyut Bandung
bimbingan tenaga ahli desain grafis dari ITB dan Akademi Teknik Kulit Yogyakarta. Kerangka untuk membangun rantai nilai bagi pelaku usaha alas kaki berupa peningkatan kompetensi sumber daya manusia. Para pelaku usaha alas kaki di wilayah Cibaduyut pada dasarnya menyadari akan pentingnya kompetensi sumber daya manusia. Hal ini diketahui dari wawancara dengan beberapa pengusaha dimana kompetensi sumber daya manusia akan mendukung teknik desain produk alas kaki. Namun demikian pengusaha alas kaki merasa dengan menggunakan sumber daya manusia yang memiliki keahlian khusus karena upahnya relatif mahal sehingga memberatkan biaya produksi10. Sebagai bentuk kepedulian dari pemerintah, instansi teknis UPT melalukan terobosan dengan mengadakan pelatihan desain produk dengan bimbingan tenaga ahli. Pelatihan yang terkait dengan peningkatan kemampuan dan kapasitas sumber daya manusia tidak hanya dalam hal disain produk, melainkan juga dilengkapi dengan pelatihan manajemen usaha. Pihak instalasi Pengembangan IKM Persepatuan Cibaduyut telah melakukan beberapa kali pelatihan manajemen usaha tersebut. Para pengrajin cukup antuasias dalam mengikuti pelatihan tersebut. Namun sayangnya, menurut para petugas instalasi dan juga penuturan beberapa pengrajin yang sempat diwawancarai, teori manajemen yang diperoleh dari pelatihan belum diaplikasikan secara baik oleh pengusaha. Konsentrasi UMKM di Sentra Sepatu Cibaduyut lebih banyak tertuju dalam usaha mendapatkan jaminan pemasaran atas produk yang dihasilkan. Pola pikir seperti itu terutama berlaku pada pengusaha yang produknya dipasarkan melalui pengusaha/distributor besar berdasarkan sistem “maklun” sub order. Berbeda dengan itu, UMKM yang pemasarannya produknya tidak berdasar sub-order, upaya membangun kompetensi sumber 10 Wawancara dengan pengusaha Saca Sarifin pengusaha alas kaki.
39
isi soekarni.indd 39
6/22/2010 6:37:20 PM
Muhammad Soekarni dan Joko Suryanto
daya manusia sudah mulai mereka perhatikan secara serius dan hal itu dilakukan dalam upaya peningkatan standar mutu11. Keinginan untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang terkait dengan standar mutu didorong oleh keinginan untuk memahami berbagai persoalan yang terkait pengajuan standarisasi produk (SNI atau ISO). Melalui pencapaian standarisasi tersebut pelaku usaha berharap merek yang dibangun selama ini akan mampu bersaing di pasar nasional bahkan internasional.
Rantai Nilai dalam Pengembangan Teknologi Perubahan pola pembuatan produk alas kaki dari yang bersifat tradisional dengan mengandalkan keahlian tangan menjadi pola pembuatan yang lebih modern secara langsung juga berdampak terhadap kebutuhan peralatan produksi. Peralatan atau mesin yang minimal diperlukan UMKM alas kaki dewasa ini adalah mesin jahit sederhana. Sejalan dengan itu, model atau disain sepatu yang dibutuhkan pasar makin berkembang. Perkembangan produk alas kaki telah mengarah pada fashion, sehingga kemampuan untuk mendesain produk menjadi penting. Tanpa adanya keahlian tersebut, efisiensi produksi sulit untuk ditingkatkan sehingga produk yang dihasilkan menjadi sulit untuk memenangkan persaingan baik di pasar lokal, nasional apalagi di tingkat internasional. Dalam rangka membantu pengrajin kecil meningkatkan efisiensi produksi dan memperbaiki kualitas produk yang dihasilkan, Instalasi Pengembangan IKM Persepatuan Cibaduyut menyediakan berbagai peralatan dan mesin yang dibutuhkan pengarajin alas kaki skala kecil berupa mesin bubut pola sepatu, mesin bordir, mesin potong/sayat kulit. Para pengrajin dapat menggunakan peralatan dan mesin tersebut di bengkel Instalasi. Hal ini tentu sangat membantu pengrajin kecil karena mereka belum mampu untuk membeli mesin-mesin serupa secara 11 Wawancara dengan pemilik SAE Colection
40
isi soekarni.indd 40
6/22/2010 6:37:21 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Barat: Studi Kasus di Sentra Sepatu Cibaduyut Bandung
pribadi. Akan tetapi, menurut pengusaha sepatu yang sudah relatif besar, peralatan dan mesin yang disediakan Instalasi Pengembangan IKM Persepatuan Cibaduyut tersebut sudah agak usang karena sekarang ini sudah ada mesin-mesin yang jauh lebih canggih. UMKM alas kaki di Cibaduyut juga memperoleh kesempatan memperbaiki kualitas produksinya melalui pembinaan secara tidak langsung dari para pengusaha alas kaki yang lebih besar dan sudah lebih maju. Pembinaan tidak langsung tersebut berjalan melalui adanya order produk pengusaha/distributor besar telah menetapkan standar mutu sehingga produk mereka mendapat jaminan pasar. Para pengusaha/distributor besar akan berusaha mengarahkan UMKM untuk memproduksi alas kaki sesuai dengan standar mutu yang diinginkan. Pelatihan semacam teknik produksi yang dilakukan pengusahapedagang besar yang masuk kategori ”champion” telah diupayakan dengan menerapkan sebuah sistem mutu kerja yang terukur12.
2.5 Faktor Pendukung Dan Kendala Terbentuknya Rantai Nilai Membangun rantai nilai yang mantap dalam lingkungan usaha yang kondusif bukanlah pekerjaan mudah, namun membutuhkan waktu yang lama dan dukungan dari semua pemangku kepentingan (stakeholders). Meskipun cikal bakal Sentra Industri Sepatu Cibaduyut sudah bermula semenjak tahun 1920-an, namun rantai nilai yang terbentuk masih perlu diperkuat agar dapat menghasilkan nilai tambah yang optimal bagi UMKM yang terlibat didalamnya. Rantai nilai yang telah terbentuk tidak muncul dengan sendirinya, melainkan didukung oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari para pelaku usaha sendiri maupun dari pihak lain 12 Penerapan system kerja mutu coba diterapkan oleh Pak Gungun terhadap mitra binaan, namun hasilnya masih jauh dari harapan. Lambannya implementasi sistem kerja mutu diterapkan dalam kegiatan pengusaha alas kaki disebabkan berbagai faktor (misal: tingkat pendidikan rendah)
41
isi soekarni.indd 41
6/22/2010 6:37:21 PM
Muhammad Soekarni dan Joko Suryanto
seperti pemerintah. Apa saja dari faktor pendukung yang dimaksud dan bagaimana bentuk dukungannya terhadap penguatan rantai nilai di lingkungan Sentra Industri Sepatu Cibaduyut akan diuraikan secara ringkas berikut ini. Pertama, adanya motivasi dan pemahaman dari para pelaku usaha untuk membangun keterkaitan antara satu dengan yang lainnya dalam rangka meningkatkan keuntungan usaha secara bersama. Hal ini terjadi berkat adanya jalinan hubungan kekerabatan yang cukup kuat diantara para pengrajin sepatu yang dari awal, mulai dari generasi pertama, memang sudah hidup berdampingan. Selain itu, sebagian dari pengusaha masih memiliki keterkaitan kekeluargaan, baik sesama pengusaha maupun dengan para pekerja yang membantunya. Kedua, adanya dukungan dari pemerintah yang telah menetapkan Cibaduyut sebagai suatu sentra persepatuan dan alas kaki. Dalam hal ini pemerintah daerah melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat telah membentuk Instalasi Pengembangan Industri Kecil Menengah Persepatuan untuk memberikan bimbingan dan bantuan kepada para pengusaha, terutama pengusaha yang masih dalam skala mikro dan kecil. Instalasi tersebut juga berupaya membantu terciptanya sinergi antar pengusaha skala mikro kecil dengan pengusaha menengah besar melalui forum-forum pertemuan, diskusi, pembinaan dan pelatihan. Ketiga, keahlian dan keterampilan pengusaha kecil yang cukup handal dalam bidang teknis persepatuan. Hal ini menjadi bekal utama bagi pengusaha skala kecil untuk menjalin kerja sama dengan pengusaha yang sudah berskala menengah besar. Dengan berbekal keahlian dan keterampilan tersebut, pengusaha kecil mampu mendisain dan sekaligus membuat sepatu dengan kualitas yang relatif bagus sehingga bisa dipasarkan melalui jaringan pemasaran pengusaha/ distributor skala menengah besar.
42
isi soekarni.indd 42
6/22/2010 6:37:21 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Barat: Studi Kasus di Sentra Sepatu Cibaduyut Bandung
Keempat, Cibaduyut mempunyai brand image yang sudah terkenal secara luas. Hal ini tidak hanya mengundang konsumen, namun juga menjadi daya tarik bagi masuknya para pengusaha untuk membuka usaha-usaha pendukung dan menjalin kerjasama dengan para pengusaha alas kaki. Usaha pendukung tersebut antara lain toko bahan baku, toko bahan penunjang dan asesories. Sebagian dari pengusaha sepatu di Cibaduyut telah menjalin kerjasama dengan para pengusaha industri pendukung tersebut. Kelima, terbentuknya Forum Pengusaha Alas Kaki di Sentra Industri Sepatu Cibaduyut. Forum tersebut telah menjadi wadah bagi para pengusaha untuk memperkuat jalinan kerjasama antara mereka. Dengan demikian, persaingan usaha dapat diarahkan menjadi persaingan yang sehat untuk saling menguntungkan, bukan persaingan ”liar” yang berusaha untuk saling mematikan. Hal ini tentunya sangat membantu terciptanya rantai nilai yang semakin kuat dalam lingkungan persaingan usaha yang cukup sehat. Disamping adanya faktor-faktor pendorong yang telah diuraikan diatas, ditemukan pula beberapa faktor penghambat terbentuknya rantai nilai secara optimal di lingkungan Sentra Industri Sepatu Cibaduyut sebagai berikut. Pertama, sebagian besar pengusaha masih menghadapi keterbatasan permodalan. Hal ini menyebabkan para pengusaha kecil kesulitan untuk meningkatkan kapasitas produksi sehingga dapat memenuhi permintaan. Para pengusaha kecil tersebut masih mengalami kesulitan untuk mendapatkan suntikan modal dari pihak perbankan karena tidak mampu memenuhi persyaratan yang diajukan, terutama dalam hal agunan. Keterbatasan modal ini tidak hanya berpengaruh pada peningkatan kapasitas produksi, tetapi juga bisa mempengaruhi kualitas produksi karena pengusaha selalu berupaya untuk menggunakan bahan baku berkualitas rendah dan juga berusaha untuk menenkan upah para pekerja. Akibat lain dari keterbatasan modal adalah ketidakmampuan 43
isi soekarni.indd 43
6/22/2010 6:37:21 PM
Muhammad Soekarni dan Joko Suryanto
pengusaha untuk membeli bahan baku dalam jumlah yang besar kepada pedagang besar apalagi membeli secara langsung kepada produsen bahan baku. Padahal, sekiranya para pengusaha tersebut mampu membangun keterkaitan dengan produsen bahan baku, baik secara individual maupun kolektif, maka mereka akan mendapatkan harga bahan baku yang lebih murah. Kedua, belum terbangunnya sarana jalan dan parkir secara memadai. Jalan yang membentang di Sentra Industri Sepatu Cibaduyut kurang lebar, sehingga timbul kemacetan setiap hari, terutama pagi dan sore bertepatan dengan jam masuk dan pulang kerja/sekolah. Lahan parkir yang cukup luas hanya dimiliki toko-toko besar, sedangkan toko kecil tidak punya. Oleh karena itu konsumen yang datang dengan kendaraan sendiri banyak yang terpaksa memarkir kendaraannya di pinggir jalan. Hal ini jelas akan memperparah kemacetan. Kekurangan infrastruktur lainnya adalah buruknya saluran pembuangan air di kiri dan kanan jalan. Hal ini menyebabkan jalan sering mengalami banjir ketika terjadi hujan yang cukup deras. Berbagai keterbatasan infrastruktur tersebut memberikan pengaruh buruk pada pembentukan rantai nilai pada aspek pelayanan (services). Ketiga, ketidakmampuan sebagian besar UMKM untuk memenuhi standarisasi (SNI/ISO). Kompetensi kegiatan usaha alas kaki untuk dapat bersaing secara global dihadapkan pada persyaratan yang terkait asal usul bahan baku, proses produksi, kontrol produk hingga pemasaran. Bagi sebagian besar pengusaha alas kaki, terutama yang masih dalam skala usaha kecil dan menengah, persyaratan tersebut dipandang menyulitkan kegiatan usaha.
44
isi soekarni.indd 44
6/22/2010 6:37:21 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Barat: Studi Kasus di Sentra Sepatu Cibaduyut Bandung
2.6 Kesimpulan Industri Sepatu Cibaduyut pada dasarnya tumbuh secara alami yang dipelopori oleh beberapa orang saja dan selanjutnya berkembang secara bertahap menjadi suatu klaster yang cukup besar. Dalam perjalanannya, perkembangan klaster menjadi semakin cepat dengan adanya perhatian dan dukungan dari pemerintah. Akan tetapi, dukungan dari pemerintah belum begitu optimal, terutama dalam hal penyediaan infrastruktur jalan, saluran air dan lahan parkir. Keterbatasan dalam infrastruktur ini jelas telah menghambat perkembangan usaha di Sentra industri Sepatu Cibaduyut. Berdasarkan data yang ada, potensi ekonomi yang dilihat dari jumlah unit usaha, jumlah pekerja dan juga nilai investasi mulai mengalami penurunan. Oleh karena itu, pemerintah bersama dengan stakeholders lainnya dituntut meningkatkan perannya masing-masing untuk memperbaiki berbagai kekurangan yang menghambat perkembangan Sentra Industri Sepatu Cibaduyut. Para pengusaha yang bergerak di sentra sepatu ini sudah banyak yang menjalin kerjasama antara satu dengan yang lainnya dalam suatu rantai nilai mulai dari pengadaan bahan baku, proses produksi sampai pada pemasaran. Dengan adanya keterkaitan dalam bentuk kerjasama tersebut, maka masing-masing pihak telah mendapatkan keuntungan dan berbagai nilai tambah. Sementara itu, keterkaitan pada rantai nilai pelayanan purna jual (after sales) belum begitu kelihatan. Hal ini perlu mendapat perhatian dalam upaya penguatan rantai nilai di Sentar Industri Sepatu Cibaduyut di masa yang akan datang.
45
isi soekarni.indd 45
6/22/2010 6:37:21 PM
Muhammad Soekarni dan Joko Suryanto
46
isi soekarni.indd 46
6/22/2010 6:37:21 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Timur: Studi Kasus di Sentra Logam Ngingas Sidoarjo
BAB 3 ANALISIS RANTAI NILAI UMKM DI JAWA TIMUR: STUDI KASUS DI SENTRA LOGAM NGINGAS SIDOARJO Purwanto dan Cahyo Pamungkas
3.1 Pengantar Sentra UKM industri logam yang menjadi salah satu objek penelitian ini adalah Sentra Industri Kecil Logam yang terletak di Desa Ngingas, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo. Sentra ini sudah terbentuk sejak lama melalui proses yang bersifat alami. Sentra industri tersebut tidak hanya menjadi alat untuk mencari nafkah yang utama tetapi juga sudah menjadi identitas masyarakat di daerah tersebut yang memiliki nilai historis sebagai warisan dari generasi sebelumnya. Perkembangan Sentra Industri Logam Ngingas ini semakin cepat dengan berdirinya Koperasi Logam Waru Buana Putra pada 26 Desember 197813. Sampai sekarang jumlah anggota koperasi tersebut mencapai 128 orang pengusaha logam. Menurut dokumen Koperasi Waru Buana, usaha pengelolaan logam yang ada di desa tersebut telah berdiri sejak tahun 1920 namun masih bersifat individual. Koperasi Waru Buana Putra didirikan untuk mengakomodasi kepentingan para pengusaha kecil di bidang besi dan logam yang tidak terbatas pada wilayah Kecamatan Waru tetapi juga menjangkau pengusaha/pengrajin logam di daerah sekitarnya. Hasil produk dari sentra industri logam rakyat ini sangat beragam yaitu mulai dari komponen PLN/telepon, alat-alat/komponen konstruksi bangunan/jembatan/irigasi, komponen kendaraan bermotor, 13 Dikutip dari ”Industri Logam, www.sidoarjokab.go.id/02-pemerintahan/kecamatan/15-waru_potensi_logam. htm, diakses 26 Agustus 2009.
47
isi soekarni.indd 47
6/22/2010 6:37:21 PM
Purwanto dan Cahyo Pamungkas
komponen sepeda motor, alat-alat pertanian, alat-alat rumah tangga/ kantor, komponen sepeda dan becak, sampai pada alat-alat kerja/ mesin produksi. Meskipun masih mengandalkan manajemen keluarga dan tenaga manusia, penggunaan teknologi dan mesin-mesin sudah menjadi karakteristik dari sentra industri ini, walaupun masih relatif sederhana dibandingkan industri besar. Disamping mendirikan koperasi, UMKM di Waru juga telah mendirikan asosiasi usaha bernama ASPILOW (Asosiasi Pengusaha Industri Logam Waru) sejak tahun 2002. Bentuk-bentuk kerjasama usaha baik melalui koperasi maupun asosiasi yang berkembang di Waru ini dapat dilihat sebagai aktivitas kerjasama antar UMKM dalam berbagai aspek dan kebutuhan usaha. Para UMKM di Sentra Logam Ngingas berharap dengan terjalinnya kerjasama antar UMKM, kinerja usaha mereka akan meningkat sehingga usaha yang dijalankan semakin berkembang dan berkesinambungan dalam jangka panjang. Dalam perjalanannya, usaha besi dan logam di Waru ini mengalami tekanan persaingan UMKM sejenis dari daerah lain dan bahkan dari produk impor. Oleh karena itu, kerjasama usaha semakin diperkuat dan mulai diarahkan pada peningkatan kapasitas inovasi usaha yang banyak dilakukan melalui asosiasi usaha logam Waru. Inovasi dilakukan untuk menghasilkan produk yang semakin berkualitas, efisien dan berdaya saing di pasar. Tulisan dalam bab ini dimaksudkan untuk mengkaji keterkaitan antara rantai nilai dengan kinerja UKM besi dan logam di Sentra Logam Waru Sidoarjo. Bagian awal akan menguraikan kondisi lingkungan usaha. Selanjutnya akan dipaparkan analisis tentang rantai nilai pada aktivitas primer mulai dari bahan baku hingga pemasaran produk yang dihasilkannya dan juga aktivitas sekundernya. Pada bagian akhir akan dikaji tentang faktor-faktor yang mendukung dan menghambat aktivitas UMKM di Sentra Industri besi dan logam Waru-Sidoarjo.
48
isi soekarni.indd 48
6/22/2010 6:37:21 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Timur: Studi Kasus di Sentra Logam Ngingas Sidoarjo
3. 2 Lingkungan Usaha Sebagaimana telah dipaparkan pada Bab I, lingkungan usaha yang dimaksud dalam tulisan ini adalah lingkungan dalam perspektif ekonomi yang mencakup kebijakan pemerintah terkait, dukungan industri yang lebih besar, dan suasana kewirausahaan di sekitar lokasi industri tersebut. Lingkungan tersebut diharapkan akan memberikan dukungan bagi sentra industri sehingga memperbesar nilai tambah industri tersebut. Menurut catatan Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo tahun 1994 (terakhir), sentra logam di daerah ini telah menjalin kemitraan dengan industri yang lebih besar atau bapak angkat dalam bentuk: modal kerja, modal investasi, pemberian order spring dan mur baut, pemberian order komponen kereta api, dan pemberian order komponen kereta api. Untuk lengkapnya lihat tabel berikut: Tabel 3.1Keterkaitan Kemitraan Usaha Dengan Bapak Angkat No.
Bapak Angkat
1
PT. Krakatau Steel Cilegon, Jawa Barat
Jenis Pembinaan/Bantuan Modal kerja : Rp. 450.000.000
PLN Cabang Surabaya Selatan
Modal kerja : Rp. 10.000.000
2
3 4 5 6 7 8
9
PT. Pusri PT. Gudang Garam Kediri PT. Semen Gresik Menteri Koperasi PT. Barata, Ngagel Surabaya PT. Barata Unit Pengecoran Cab. Gresik PT. BBI Unit, Turangga-Pasuruan
Modal kerja : Rp. 70.000.000 Modal kerja : Rp. 20.000.000 Modal investasi : Rp.1.500.000 Rp. 500.000.000 Pemberian order spring dan mur baut
Mitra Usaha/Tahun Kelompok Usaha Logam Th. 1991 Kop. Waru Buana Putra Th 1992 H.Achmad Thoyib. Kop. Waru Buana Putra Idem Idem Idem
Pemberian order komponen kereta api
Idem
Pemberian order alat-alat pertanian.
Idem
49
isi soekarni.indd 49
6/22/2010 6:37:21 PM
Purwanto dan Cahyo Pamungkas
Sedangkan Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo telah memberikan pembinaan tercatat terakhir pada tahun 1994 antara lain yakni penyuluhan terpadu, studi banding ke daerah lain, temu wicara tentang keterkaitan mitra usaha dengan bapak angkat, dan pendidikan dan latihan pengenalan teknologi. Beberapa pembinaan dilakukan melalui kerjasama Pemda dengan pihak industri besar seperti Yayasan Dharma Bakti ASTRA, PUSTANA & UNIDO, dan PT SIER. Tabel 3.2 Pembinaan Yang Telah Dilakukan Instansi Terkait No. 1 2 3 4
5
6
7 8 9
Jenis Kegiatan / Pembinaan Penyuluhan terpadu Studi banding ke Tegal Jakarta, dan Klaten Temu wicara tentang keterkaitan Mitra Usaha dengan Bapak Angkat. Bantuan peralatan produklsi dan modal kerja Diklat pengenalan teknologi (pembuatan presstools) Pembinaan Technical Assistant dan seminar Three Pilot Project H. Achmad Thoyib (Desa Ngingas) Sueb Harun (Desa Ngingas) H. Sulthon Ridwan (Desa Kureksari) Pelatihan Gambar Teknik I, II dan III Pelatihan teknik magang di PT. ASTRA Jakarta Standarisasi dan kepastian mutu
Instansi Pembina Tim Pembina Tk.I, Tk. II instansi teknis terkait. Cabang Dinas Prindustrian Kab. Sidoarjo Idem Idem PT. SIER, UPT.MPSS,Dept. Perindustrian Kab Sidoarjo. GIAMM, PUSTAN, Dep. Perindustrian Sidoarjo
Yayasan Dharma Bhakti ASTRA ITS Suranaya Yayasan Dharma Bhakti ASTRA Pustana & Unido
Namun dari data empiris dapat diketahui bahwa dalam pemasaran produk, sebagian pengusaha-pengusaha logam yang diwawancarai
50
isi soekarni.indd 50
6/22/2010 6:37:21 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Timur: Studi Kasus di Sentra Logam Ngingas Sidoarjo
menjalin kerja sama dengan perusahaan besar (sebagai sub-kontraktor) dan sebagian lainnya hanya melayani kebutuhan pasar produk atau melakukan kedua-duanya. Sebagai catatan beberapa pengusaha yang menjadi sub-kontraktor kepada perusahaan besar bersifat tidak tetap dalam jangka panjang. Sedangkan dari aspek permodalan sebagian besar pengusaha bersifat mandiri, sebagian meminjam kepada koperasi Wira Buana, dan sebagian lainnya meminjam kepada perbankan. Sebagai contoh usaha H. M. Rizki (67 tahun) dalam produksi alatalat pertanian meminjam modalnya kepada Koperasi Wira Buana sebesar Rp 40 Juta Rupiah untuk satu masa produksi yang bisanya mencapai 3-4 bulan.14 Bunga yang harus dibayar adalah 5% per bulan. Selain itu ia membeli bahan baku berupa plat besi, cat, dempul, ancur, kepada para pengepul besi bekas di daerah Tandes, Margomulyo, Surabaya. Kemudian, ia menjual hasil-hasil pertaniannya kepada distributor yang akan menjualkan produknya ke daerah lain. Menurut keterangannnya, ia belum pernah bermitra dengan pengusaha besar karena kesulitan akses. Pemasok bahan baku dan pembeli produknya hanyalah pengumpul atau pedagang eceran berskala menengah kecil sampai menengah. Sedangkan dalam kasus Pak Hermanto (usia 41 tahun), pemilik PT Abadi, usaha kecil yang memproduksi mold (cetakan botol terbuat dari logam) bersifat mandiri dalam permodalan, namun bergantung kepada perusahaan besar dalam pemasokan bahan baku dan pemasaran produknya. Input yang dibeli adalah plat KW dan plat 211 dari pabrik milik PT Asap, Boiler, dan Wipenda. Sedangkan cetakan botolnya (mold) dijual ke PT Bimoli, Reklas, Adam Star, dan Tadu Jaya. Berbeda dengan H.M Rizki, pengusaha mold ini menjalin kerja sama dengan perusahaan besar walaupun sifatnya tidak permanen. Lingkungan bisnis di daerah ini yang ditandai oleh banyaknya perusahan besar dari Gresik sampai Pasuruan sebenarnya mendukung pengembangan UKM namun dalam belum bisa dimanfaatkan secara 14 Wawancara Purwanto dan Cahyo Pamungkas dengan H. M Rizki di Desa Ngingas Waru Sidoarjo pada 10 Agustus 2009.
51
isi soekarni.indd 51
6/22/2010 6:37:22 PM
Purwanto dan Cahyo Pamungkas
optimal. Hal ini disebabkan oleh kurangnya ketepatan waktu pengiriman dan kualitas produk yang kadang-kadang tidak standar.15 Pengamatan dari lapangan menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang menggunakan peralatan teknologi modern, manajemen profesional, jaringan bisnis yang luas sebagai salah satu faktor yang memungkinkan mereka memiliki akses terhadap perusahaan besar. Bertolak dari pengalaman para pengusaha logam, sebagian dari mereka mengatakan bahwa bantuan Pemerintah akhir-akhir ini yang bersifat kongkrit hampir tidak ada. Pada tahun sebelumnya hanya ada pelatihan penggunaan mesin, pelatihan manajemen, dan pelatihan tenaga kerja. Bantuan dalam permodalan untuk UMKM mungkin ada belum ada yang sampai kepada pengusaha UMKM Logam secara langsung. Justru akhir-akhir ini mereka merasa tidak suka jika ada pegawai pemerintah karena dicurigai akan melakukan penyelidikan atas usaha mereka yang bermuara pada pengenaan pajak industri. Salah seorang informan (H. Abdul Karim) mengatakan bahwa pada masa Orde Baru Pemerintah memberikan Kredit Usaha Kecil (KUK) secara rutin kepada UMKM tetapi program ini tidak diteruskan oleh pemerintah sekarang.16 Para pengusaha kecil ini berharap Pemerintah dapat memberikan bantuan berupa kredit modal dengan bunga rendah (bersubsidi) seperti telah dilakukan pada masa Orde Baru. Selain itu Pemerintah juga diminta untuk pro-aktif memberikan subsidi dalam hal bahan mentah dan impor mesin-mesin seperti telah dilakukan oleh Pemerintah RRC untuk mendukung UMKM mereka sehingga dapat bersaing di dunia internasional.17 Aspek yang tidak kalah penting dalam lingkungan bisnis adalah perubahan lingkungan itu sendiri atau perubahan pasar yang juga merubah perspektif pengusaha UMKM. Hampir dari semua wawancara 15 Wawancara M. Soekarni, Joko Suryanto, Purwanto dan Cahyo Pamungkas dengan Manajer PT Yanmar Indonesia di Pandaan Pasuruan 13 Agustus 2009. 16 Wawancara Cahyo Pamungkas dengan H Abdul Rokim di Desa Ngingas Waru Sidoarjo pada 12 Agustus 2009. 17 Wawancara Cahyo Pamungkas dengan Hermanto di Desa Ngingas Waru Sidoarjo pada 12 Agustus 2009.
52
isi soekarni.indd 52
6/22/2010 6:37:22 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Timur: Studi Kasus di Sentra Logam Ngingas Sidoarjo
menunjukkan bahwa produk-produk buatan RRC sekarang ini telah membanjir di pasar domestik dengan harga yang relatif lebih murah dari produk UMKM logam. Padahal, kualitas produk-produk UMKM logam di sentra industri ini relatif sama dan beberapa lebih tinggi dari produk buatan RRC. Kalau hal ini dibiarkan maka UMKM logam di daerah ini lama kelamaan akan kalah bersaing. Menurut keterangan Ketua Koperasi Wira Buana, faktor utama yang menjadi daya hidup UMKM di daerah ini adalah adaptasi teknologi sehingga produk mereka masih dapat bersaing di pasar.18 Perubahan lingkungan tersebut menyebabkan sebagian informan meletakkan jaminan pasar dan pemasaran sebagai prioritas pada masa depan. Jaminan pasar berarti akan adanya kepastian usaha, proses produksi, penggunaan tenaga kerja, dan daya hidup UMKM. Saya merasakan bahwa makna yang disampaikan ketika berbicara jaminan pasar adalah adanya jaminan bahwa pengusaha UMKM ini akan tetap memperkerjakan karyawan atau tidak hanya sebatas kelangsungan usaha mereka saja. Sesudah jaminan pasar baru persoalan kredit atau bantuan modal yang berfungsi sebagai pendukung proses produksi dan penggunaan teknologi serta ketersediaan bahan baku. Sementara, persoalan yang dihadapi pada masa lalu pada dasarnya tidak berbeda antara lain adalah jaminan pasar, permodalan, penggunaan teknologi, ketersediaan bahan baku, dan kualitas produk. Hal ini berarti bahwa UMKM jenis ini dapat dianggap kurang mampu menyesuaikan dengan perubahan lingkungan atau menyesuikan dengan perlahan-lahan. Namun, bagi UKM menengah seperti Pak Hermanto, yang sudah memiliki link dengan industri besar, masalah yang dirasakan sangat penting pada masa depan adalah penggunaan teknologi modern yang masih terbatas dan belum memadai. Kualitas teknologi tentu saja akan berpengaruh terhadap kualitas produk dan ketepatan pengiriman. 18 Disampaikan oleh Ketua Koperasi Wira Buana kepada tim peneliti LIPI di Surabaya pada 13 Agustus 2009.
53
isi soekarni.indd 53
6/22/2010 6:37:22 PM
Purwanto dan Cahyo Pamungkas
Menurutnya, sesudah penguasaan teknologi baru kemampuan SDM karyawan yang memadai agar bisa menjalankan teknologi. Informan ini mengatakan bahwa jaminan pasar sudah tidak menjadi masalah dan modal yang ada telah cukup karena skala produksinya yang masih relatif rendah. Sementara persoalan yang menjadi prioritas pada masa lalu adalah jaminan pasar, kualitas dan harga produk, permodalan, dan ketersediaan bahan baku.
3.3 Rantai Nilai: Aktivitas Primer Proses produksi dalam aktivitas usaha kecil dan menengah memiliki variasi yang cukup banyak. Variasi ini dapat terjadi pada aktivitas usaha memperoleh bahan baku, proses produksi, output yang dihasilkan, maupun dalam pemasaran produk. Secara umum dapat dikatakan bahwa aktivitas usaha kecil dan menengah lebih banyak pada kondisi memenuhi pesanan produk (by order) dibandingkan dengan model aktivitas usaha dalam skala mass production. Hal ini dikarenakan oleh relatif kecilnya modal kerja yang dimiliki sehingga tidak banyak usaha kecil menengah yang mengambil resiko untuk melakukan stok produksi yang dapat menyebabkan cash flow mereka terhambat yang dapat mengakibatkan stagnansi dalam proses produksi. Stagnansi dalam proses produksi dapat terjadi ketika usaha kecil menengah mengalami kekurangan modal kerja untuk membeli bahan baku dan membiayai proses produksi. Kondisi tersebut diatas juga terjadi pada industri logam di wilayah Ngingas, Waru, Sidoarjo yang menjadi lokasi penelitian ini.
Rantai Nilai Dalam Pengadaan Bahan Baku Secara umum dapat dikatakan bahwa kebutuhan dan ketersediaan bahan baku bagi usaha kecil menengah di Ngingas relatif mudah dan lancar 54
isi soekarni.indd 54
6/22/2010 6:37:22 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Timur: Studi Kasus di Sentra Logam Ngingas Sidoarjo
diperoleh di sekitar wilayah Siodarjo dan Surabaya. Apabila terjadi kelangkaan stok bahan baku, biasanya para pengusaha masih dapat memperoleh bahan baku meskipun ada perbedaan dari sisi kualitas dan harga bahan bakunya. Bahan baku utama dalam industri logam di Ngingas adalah plat baja/besi dan pipa besi. Sedangkan untuk bahan penolong terdiri dari bermacam jenis seperti cat, plat aluminium, pipa plastik, dan kayu. Bahan baku ini bisa diperoleh dari satu penyedia bahan baku, namun untuk bahan penolong harus dibeli dari sumber penyedia bahan yang lain. Lokasi tempat pembelian bagi kebutuhan usaha logam ini tersedia di wilayah Ngingas dan sekitarnya. Informasi tentang pengadaan bahan baku berdasarkan data survei dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 3.3 Distribusi Sumber Pembelian, Banyaknya Penjual dan Cara Pembayaran dalam Pengadaan Bahan Baku No.
Uraian
Persentase
A
Sumber Pembelian
1
Produsen
25
2
Pedagang Besar/Kulakan
50
3
Pedagang Kecil/Pengecer
25
B
Banyaknya Penjual
1
Hanya 1 Penjual
5
2
Antara 2 – 5 Penjual
45
3
Lebih dari 5 penjual
50
C
Cara pembayaran
1
Tunai
25
2
Kredit
25
3
Tunai dan Kredit
45
4
Giro
5
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 20 orang)
55
isi soekarni.indd 55
6/22/2010 6:37:22 PM
Purwanto dan Cahyo Pamungkas
Dari tabel diatas diketahui bahwa berkaitan dengan sumber penyedia bahan baku, sebagian besar pengusaha logam membeli di lebih dari 5 sumber dan sedikit sekali yang hanya membeli di 1 sumber. Dalam wawancara diketahui bahwa membeli bahan baku dari lebih banyak sumber karena item-itemnya dengan jenis yang berbeda-beda tidak dapat ditemukan pada salah satu sumber. Bahan baku dan bahan penolong umumnya dibeli dari pedagang pengecer dan pedagang besar serta sebagian disediakan juga melalui koperasi logam yang ada di wilayahnya. Kondisi ketersediaan bahan baku untuk usaha besi dan logam di Waru dapat digambarkan dari hasil petikan wawancara dg Bpk. HM19 berikut ini: “……Alhamdulillah persediaannya lancar, tapi harganya yang tidak lancar, harganya bermasalah. Selama ini harga tidak stabil, jadi ada kenaikan terus turun, naik lagi, turun lagi,……harganya ini kita itu menghitungnya suka bingung, belum dihitung lagi, harga sudah berubah lagi…” Dikarenakan skala usaha yang masih relatif kecil, maka tidak memungkinan bagi para pengusaha untuk membeli bahan baku dan bahan penolong dari produsen langsung seperti misalnya langsung membeli ke PT. Krakatau Steel. Untuk dapat memesan bahan baku ke produsen langsung membutuhkan dana yang besar terutama dalam hal jumlah pemesanan yang harus dalam besar. Sementara itu, kebutuhan bahan baku bagi setiap pengusaha tidak terlalu banyak dan tidak selalu dalam jumlah yang sama. Akibatnya, pengusaha logam hanya mampu membeli dari pedagang pengecer tingkat III atau IV dengan harga yang sudah cukup mahal dibandingkan dengan pembelian langsung 19
Wawancara dilakukan di Waru, Sidoarjo, 2009.
56
isi soekarni.indd 56
6/22/2010 6:37:22 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Timur: Studi Kasus di Sentra Logam Ngingas Sidoarjo
ke produsen. Berikut ini disajikan aktivitas rantai distribusi bahan baku pada usaha logam di Ngingas: Produsen Plat Besi/ Baja
Pengusaha Logam
Distributor/ Agen Utama
Sub distributor
Pedagang Pengecer Tk. II
Pedagang besar
Pedagang Pengecer Tk I
Keterangan: Garis langsung = pola pasokan bahan baku secara umum Garis putus = kemungkinan kombinasi pola pasokan yang lebih pendek
Gambar 3.1 Pola Pasokan Bahan Baku Logam
Rantai pasokan atau distribusi bahan baku pada usaha logam Ngingas cukup bervariasi. Rantai pasokan bahan baku yang panjang dapat terjadi hingga 5 tahap. Hal ini akan berakibat pada semakin mahalnya harga bahan baku yang harus dibayar oleh pengusaha kecil dan menengah. Akan tetapi berdasarkan informasi dari salah satu responden pengusaha logam skala menengah, pembelian bahan baku dimungkinkan secara langsung ke pihak produsen asal dapat memenuhi kriteria pembelian dalam jumlah tertentu dan sistem pembayaran yang sudah ditetapkan oleh pihak produsen20. Pembelian bahan baku umumnya dilakukan secara tunai dan kredit. Pembelian tunai dilakukan pada jumlah barang yang relatif kecil dan dilakukan pada pedagang-pedagang eceran yang belum memiliki ikatan khusus dengan para pengusaha. Ikatan khusus ini tidak bersifat formal, tetapi lebih cenderung pada kebiasaan untuk menjadi pelanggan 20
Hasil Wawancara Purwanto dan Joko Suryanto dengan responden PT. Armet pada tanggal 12 Agustus 2009.
57
isi soekarni.indd 57
6/22/2010 6:37:22 PM
Purwanto dan Cahyo Pamungkas
rutin sehingga bisa membentuk social trust diantara pedagang dan pembeli. Hal ini disampaikan oleh beberapa responden sebagaimana misalnya terdapat dalam petikan wawancara di bawah ini: ”......bahan baku tadi kalo kita tidak punya dana ya kita pinjam, … kalau pekerjaan kita selesai kan dapat bayaran. Bayaran dari hasil produk itu yang kemudian dipakai untuk bayar bahan baku tadi,......ya kita saling percaya” (petikan wawancara dengan Bpk. FR, Waru, Sidoarjo, 2009) ”......Kita kan istilahnya punya langganan, karena kita pelanggan tetap jadi sudah kebiasaan, jadi masalah bayaran tidak ada masalah. Tetapi karena di toko bahannya tidak ada, maka kita cari di toko yang lain, ini ada masalah, pembayarannya itu sudah lain....karena tidak sering terjadi transaksi, membelinya harus kontan....” (petikan wawancara dengan Bpk. HM, Waru, Sidoarjo, 2009) Terbentuknya kepercayaan antara penjual dan pembeli ini yang memungkinkan adanya pembelian dengan sistem pembayaran secara kredit ataupun bilyet giro. Menurut sebagian besar responden, pembelian secara kredit atau bilyet giro dirasakan lebih menguntungkan dan membantu kelancaran aktivitas usaha serta bisa membantu mengatasi permasalahan kebutuhan modal kerja. Hal ini disebakan oleh sebagian besar pengusaha melakukan produksi berdasarkan pesanan yang pembayarannya baru akan dilakukan pada saat barang sudah dikirim. Adanya penundaan pembayaran dari pihak pemesan mengharuskan pengusaha untuk dapat memenuhi kebutuhan modal kerjanya. Adanya kredit pembayaran bahan baku dari para pedagang langganannya dapat mengurangi beban modal kerja para pengusaha logam ini.
58
isi soekarni.indd 58
6/22/2010 6:37:22 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Timur: Studi Kasus di Sentra Logam Ngingas Sidoarjo
Rantai Nilai Dalam Proses Produksi Proses produksi pada usaha kecil dan menengah logam ini relatif masih sederhana dan lebih banyak mengandalkan tenaga dan ketrampilan dari manusia. Hal ini karena produk-produk yang dihasilkan juga tidak membutuhkan detail atau tingkat kesulitan yang tinggi misalnya seperti alat pertanian cangkul dan sekop. Pada produk komponen listrik dan komponen otomotif memang lebih tinggi dari sisi asupan teknologinya karena membutuhkan detail dan tingkat presisi produk yang sudah memiliki standar tertentu sesuai pesanan. Satu hal yang cukup menarik adalah tingkat keahlian para pengrajin21 sudah cukup baik. Hal ini bisa diketahui dari tingkat serapan pasar dari produk yang mereka hasilkan cukup tinggi dan juga rendahnya tingkat pengembalian (return) barang dari konsumen yang hanya sekitar 5 persen dari total produksi. Informasi tentang kualitas tenaga kerja dan produk yang dihasilkan pengrajin logam ngingas dikemukakan dalam tabel berikut: Tabel 3.4 Distribusi Responden Menurut Kualitas Tenaga Kerja dan Produk yang Dihasilkan No. A
Keterangan
Persentase
Kualitas Tenaga Kerja
1
Tidak Ahli
0
2
Cukup Ahli
80
3
Tidak Ahli
20
B
Kualitas Produk
1
Cukup Bagus
50
2
Bagus
25
3
Sangat Bagus
10
4
Bervariasi
15
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 20 orang) 21
Hasil wawancara Tim Peneliti dengan sebagian responden yang menyatakan lebih suka disebut sebagai pengrajin daripada pengusaha.
59
isi soekarni.indd 59
6/22/2010 6:37:23 PM
Purwanto dan Cahyo Pamungkas
Tingkat keahlian para pengrajin dan juga kemampuan pengrajin dalam teknik produksi lebih banyak diperoleh secara otodidak dan warisan keahlian turun temurun. Hal ini misalnya dapat diketahui dari petikan wawancara berikut ini: ”.......memang dasar orang Ngingas itu keterampilannya di bidang besi dan logam, dan mungkin secara historis, dari awal itu orangnya besi, pandai besi, jadi kalau melihat mesin seperti ini, sekali dua kali mengoperasikan mereka sudah bisa. Tidak hanya belajar melalui BLK, operator mesin memang kalau ada mesin-mesin khusus harus belajar dulu, kaya mesin las, mesin bubut itu ada teknis khusus yang harus dipelajari tetapi kalau untuk sistem … mungkin semua orang bisa, asalkan ada niat mau belajar. Kebanyakan mereka disini itu sekolahnya itu paling sampai lulusan SMU....” (petikan wawancara dengan Bpk. HW, Waru, Sidoarjo, 2009) Lamanya aktivitas usaha logam di Ngingas yang sudah memasuki generasi ketiga sejak awal berkembangnya usaha logam pada tahun 1930-an. Hal ini yang menyebabkan banyak warga sekitar lokasi yang memiliki ketrampilan berdasarkan pengalaman. Satu hal lagi yang juga cukup menarik diperhatikan adalah para pengusaha ini memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang logam yang cukup merata sehingga dimungkin untuk dilakukan alih usaha jika dirasakan suatu produk sudah tidak lagi prospektif di pasaran. Oleh karenanya banyak ditemukan pengusaha logam di Ngingas yang berkali-kali melakukan perubahan dalam jenis produk yang dihasilkan dan mereka mampu menyesuaikan dengan perkembangan pasar.
60
isi soekarni.indd 60
6/22/2010 6:37:23 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Timur: Studi Kasus di Sentra Logam Ngingas Sidoarjo
Selain itu, banyak pula pengrajin logam yang pada awalnya bekerja sebagai teknisi atau operator pada pengusaha yang sudah mapan. Ketika dirasakan sudah memiliki cukup keahlian, maka mereka ini pun beralih untuk menjadi pengusaha logam baru dan melepaskan diri pengusaha tempat mereka sebelumnya bekerja. Hal ini banyak terjadi di Ngingas sehingga pengusaha logam kemudian berkembang cukup baik di wilayah ini. Pemerintah daerah dan pihak swasta juga kadangkala memberikan pembekalan bimbingan dan pelatihan teknis dan non teknis kepada para pengusaha logam ini misalnya dalam bentuk bimbingan teknis standarisasi produk untuk meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan. Dalam proses produksi usaha logam ternyata juga sudah terbentuk kerjasama diantara para pengusaha khususnya dalam melakukan job order. Kerjasama yang dilakukan adalah dengan membagi order kepada pengusaha lain (bisa diberikan pada lebih dari satu pengusaha sub-order) apabila terjadi kelebihan permintaan produk yang tidak mampu dihasilkan oleh seorang pengusaha. Bentuk sharing dalam job order setidaknya terdapat beberapa 2 macam. Pertama, dengan membagi order kepada pengusaha lain secara penuh, misalnya membagi jumlah pesanan bagasi motor kepada pengusaha lain yang memiliki kemampuan sama dengan perusahaannya. Kedua, dengan cara memberikan sebagian proses produksi kepada pengusaha lain yang memiliki kemampuan dalam menghasilkan suatu unit produk. Dalam sistem sharing job order ini, pihak penerima order dari pemesan atau pembeli akan melakukan pembelian produk kepada pengusaha yang diberi sub-order sehingga hubungan dengan pembeli tidak dapat dilakukan oleh pengusaha sub-order.
61
isi soekarni.indd 61
6/22/2010 6:37:23 PM
Purwanto dan Cahyo Pamungkas
Pemesan/ Pembeli Order Pengusaha I
Pengusaha
Pengusaha III
Sub-Order Pengusaha II
Pengusaha IV
Gambar 3. 2 Jalur Order dan Sub-Order pada Usaha Logam
Ada beberapa alasan yang diungkapkan oleh pengusaha ketika melakukan sharing job order dengan pengusaha lain yaitu: 1.
Memperkuat jaringan usaha dengan pengusaha lain sehingga suatu waktu bisa juga memperoleh sub-order dari pengusaha lain.
2.
Mengurangi resiko usaha (ketepatan waktu dalam memenuhi pesanan)
3.
Keterbatasan skala usaha yang tidak memungkinkan untuk memenuhi jumlah produksi tertentu pada waktu tertentu.
4.
Keterbatasan kemampuan teknologi pada jenis atau unit produksi tertentu sehingga harus dilakukan oleh pengusaha lain yang memiliki teknologi dan keahlian khusus.
5.
Efisiensi usaha yang disebabkan karena tidak memungkinkan untuk menghasilkan unit produksi tertentu yang membutuhkan modal kerja besar tetapi sifat pesanannya hanya sementara.
62
isi soekarni.indd 62
6/22/2010 6:37:23 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Timur: Studi Kasus di Sentra Logam Ngingas Sidoarjo
Tabel 3.5 Bidang Kerjasama dalam Proses Produksi dan Pengemasan Produk
No.
Keterangan
Persentase
A
Kerjasama dalam Proses Produksi
1
Pengusaha Kecil
40
2
Pengusaha Menengah
5
3
Pengusaha Besar
5
4
Tidak Ada Kerjasama
50
B 1
Kerjasama dalam Kemasan/Merk Produk Pengusaha Kecil
0
2
Pengusaha Menengah
15
3
Pengusaha Besar
5
4
Tidak Ada Kerjasama
80
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 20 orang)
Para pengusaha logam di Ngingas pada umumnya sudah terspesialisasi pada produk-produk tertentu misalnya produk alat pertanian, komponen otomotif, komponen listrik, kompor, komponen mesin, dan peralatan rumah tangga. Spesialisasi ini umumnya dilakukan karena untuk menghasilkan jenis produk yang berbeda membutuhkan peralatan mesin dan teknologi yang berbeda. Kerjasama dalam proses produksi lebih banyak dilakukan dalam sharing job order dan karena sebagian besar menggunakan sistem order penjualan maka tidak banyak dijumpai kerjasama dalam hal penyimpanan stok barang maupun dalam kemasan/merk barang. Hal ini dikarenakan semua hal terkait dengan merk/kemasan ditanggung atau menjadi hak pemberi order. Hal ini pada satu sisi tidak memberikan peluang bagi pengusaha logam untuk memperluas jaringan informasi pasar bagi 63
isi soekarni.indd 63
6/22/2010 6:37:23 PM
Purwanto dan Cahyo Pamungkas
produknya karena konsumen akan mengenali produk dari merk yang tidak mencantumkan informasi para pengusaha logam di Ngingas. Konsumen pasti akan mengenali produk dari kemasan atau merk produk dan hanya sebagian kecil konsumen yang bisa mengenali produk yang dihasilkan dari Ngingas ini. Namun demikian, sudah ada beberapa pengusaha logam yang memperkenalkan merk perusahaan dan memasarkannya sendiri meskipun dalam skala yang masih kecil. Skala usaha yang relatif kecil dan sebagai aktivitas usaha yang banyak mengandalkan pada order produk sebagian pengusaha menghasilkan produk tanpa adanya merk dagang pada produk dan kemasannya. Sebagian pengusaha lainnya ada yang memiliki merk dagang dengan desain dan kemasan produk yang dihasilkannya. Produk tanpa merk dagang sudah menjadi bagian dari kerjasama dengan pihak pemberi order karena nantinya pihak pemberi order yang akan memasarkan produk tersebut dengan merk dagang mereka. Pihak pengorder sudah melakukan pengujian terhadap kualitas produk yang dihasilkan oleh pengusaha logam dan menetapkan standarisasi produk menurut kriteria mereka. Dalam hal ini, biasanya pihak pengusaha kecil tidak melakukan upaya sertifikasi, standarisasi atau mematenkan produk mereka karena sudah terikat kerjasama dengan pengorder. Keuntungan dari sistem order ini bagi pengusaha kecil adalah adanya kepastian pasar dan juga harga jual produk yang mereka hasilkan. Pengusaha hanya perlu untuk menjaga kualitas produk yang dihasilkan dan ketepatan waktu dalam pemenuhan pesanan tanpa harus memikirkan cara pemasaran produknya. Sedangkan pada pengusaha yang menjual produk dengan merk sendiri umumnya sudah memiliki merk dagang yang terdaftar melalui dinas terkait. Sedangkan untuk produk yang dihasilkan dilakukan standarisasi secara internal dan juga melalui instansi terkait misalnya dalam penerapan SNI dan juga ISO 9000. Salah satu isu yang cukup 64
isi soekarni.indd 64
6/22/2010 6:37:24 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Timur: Studi Kasus di Sentra Logam Ngingas Sidoarjo
berat dirasakan oleh para pengusaha logam di Ngingas adalah tentang paten produk. Adanya kasus atau konflik terkait dengan paten produk cukup merugikan para pengusaha di Ngingas ini. Para pengusaha kecil umumnya memiliki keterbatasan pengetahuan tentang paten dan prosedur pendaftaran paten produk sehingga ketika ada pengusaha lain yang mengklaim paten pada produk tertentu, para pengusaha kecil ini terkena dampaknya dan berada pada posisi yang lemah secara hukum. Dari sisi pemasaran produk, selain berdasarkan order, para pengusaha juga melakukan pemasaran sendiri dengan menawarkan produk pada para pedagang dan memanfaatkan sales freelance untuk memasarkan produk mereka. Sebagian pengusaha juga menjadikan koperasi sebagai sarana pemasaran produk yang kemudian akan ditawarkan pada para konsumen melalui media cetak (brosur), pameran produk, dan juga memanfaatkan jaringan internet untuk memperluas akses pasar.
3.4 Rantai Nilai Dalam Aktivitas Sekunder Sebagaimana telah dijelaskan di Bab I bahwa aktivitas sekunder dari rantai nilai meliputi pengembangan sumberdaya manusia dan penggunaan teknologi untuk mendukung proses produksi. Secara teoritik kalau ada keterkaitan antara UMKM dan pihak-pihak yang dapat mendukung baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengembangan SDM dan teknologi maka rantai nilainya akan semakin tinggi. Pada bagian ini akan dipaparkan hasil pengamatan langsung dan wawancara yang terkait dengan penggunaan teknologi modern dan juga persoalan sumberdaya manusia pada UMKM logam. Dari beberapa UMKM yang diwawancarai dapat diketahui bahwa penggunaan teknologi atau peralatan dalam proses produksi dapat 65
isi soekarni.indd 65
6/22/2010 6:37:24 PM
Purwanto dan Cahyo Pamungkas
dikategorikan kepada dua hal secara umum sebagai berikut: •
UMKM yang menggunakan teknik sederhana dan tenaga manusia. Sebagai contohnya adalah UMKM milik H. Abdul Rohim yang memproduksi stir dan kunci busi sepeda motor. Usahanya lebih banyak menggunakan tenaga manusia secara manual untuk membengkokkan atau meluruskan pipa besi agar menjadi produk akhir. Hasil produksinya dijadikan bahan mentah oleh UMKM lain dan untuk memperhalus baru menggunakan mesin press. Menurut responden ini justeru dengan menggunakan ketrampilan manual, kualitas hasilnya lebih baik dan desainnya dapat dikembangkan sesuai dengan selera konsumen.
•
UMKM yang menggunakan teknik yang sudah maju dan peralatan modern pada umumnya tergolong usaha kelas menengah. Salah satu contohnya di Ngingas adalah PT ARMET (Artono Metal) International. Perusahaan ini telah menggunakan mesin-mesin dan teknologi modern seperti halnya perusahaan besar tetapi berproduksi dalam skala yang lebih kecil. UMKM jenis ini dapat melakukan diversifikasi produk dan standarisasi hasil produk dengan kualitas yang relatif lebih baik.
Menurut salah seorang pengusaha UMKM skala menengah, pemilik PT Abadi, dengan memiliki teknologi yang sederhana maka biaya produksi UMKM menjadi relatif lebih tinggi karena harus meminjam mesin/ teknologi milik pihak lain untuk menghasilkan kualitas produk yang dapat bersaing di pasar. Menurutnya, para pengusaha logam di Waru biasanya membeli mesin-mesin bekas milik pabrik yang telah tutup pada masa lalu atau mesin-mesin pabrik yang sudah usang. Hal ini dirasakan menjadi beban tersendiri walaupun diakui bahwa rata-rata hampir semua UMKM menggunakan mesin-mesin sederhana. 66
isi soekarni.indd 66
6/22/2010 6:37:24 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Timur: Studi Kasus di Sentra Logam Ngingas Sidoarjo
Penggunaan mesin-mesin itu pada dasarnya tidak hanya menunjukkan kekayaan ekonomi dan efisiensi produksi tetapi juga simbol dan identitas dari pemilik UMKM itu sendiri. Mesin-mesin dan teknologi modern mengekspresikan bahwa mereka adalah UMKM skala menengah ke atas yang berbeda dengan UMKM skala kecil yang mengandalkan peralatan sederhana. Dari wawancara nampak adanya keinginan pengrajin logam ini untuk selalu meningkatkan kualitas dan kapasitas teknologi sehingga menjadi teknologi modern yang lebih efisien. Untuk mengoperasikan mesin-mesin tersebut, para pengusaha ini memiliki sistem yang relatif sederhana. Misalnya untuk mengendalikan 3-5 mesin kecil biasanya ada seorang yang menjadi teknisi atau tukang. Untuk usaha skala menengah ke atas biasanya lulusan D3 tetapi untuk usaha skala kecil cukup lulusan STM. Teknisi tersebut pada umumnya akan dibantu oleh 3-4 orang asisten yang berpendidikan STM atau di bawahnya. Selanjutnya tugas pemilik UMKM adalah menjadi supervisor yang mengawasi jalannya keseluruhan operasi mesin. UMKM berskala menengah ke atas biasanya memiliki seorang manajer yang khusus memimpin dan mensupervisi operasionalisasi mesin. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa pengetahuan dan keahlian dalam mengoperasionalkan mesin pada umumnya memiliki pola sebagai berikut:
Warisan pemilik sebelumnya yang biasanya adalah masih memiliki hubungan keluarga. Pengetahuan dan keahlian tentang cara-cara menjalankan mesin tersebut diturunkan melalui lisan dan praktik langsung kepada anaknya. Baru anaknya yang menjadi pemilik akan mengajarkan kepada karyawan-karyawan yang bekerja kepadanya. 67
isi soekarni.indd 67
6/22/2010 6:37:24 PM
Purwanto dan Cahyo Pamungkas
Pengalaman kerja sebelumnya. Pada kasus ini, seorang pemilik UMKM biasanya memiliki latar belakang bekerja pada bagian produksi perusahaan besar. Sesudah cukup memiliki pengetahuan tentang teknologi dan mesinmesin, kemudian ia keluar dan mendirikan UMKM logam sendiri. Sesudah itu, ia baru memperkenalkan pengetahuan dan keahliannya kepada karyawannya melalui praktik langsung. Pemilik tidak memahami permesinan tetapi cukup mempercayakan kepada tukang atau teknisi sehingga ia hanya berfungsi menjadi supervisi saja. Hal ini biasanya pada pemilik UMKM baru yang tidak memiliki latar belakang tentang bisnis logam. Walaupun bersifat sekunder, namun persoalan penggunaan teknologi dan SDM adalah sangat penting bagi UMKM untuk menunjang proses produksi. Kalau saja pengusaha UMKM logam ini diberikan fasilitas seperti subsidi mesin atau alih teknologi dari pihak lain, maka kualitas produknya akan mampu bersaing dengan produk-produk RRC. Pemerintah, perguruan tinggi (Institut Teknologi Surabaya), dan pihak swasta diakui pernah memberikan pelatihan cara mengoperasionalkan mesin-mesin pengolahan logam modern kepada UKM. Namun persoalannya adalah bukan pada kemampuan untuk menjalankan mesin, namun ketersediaan mesin-mesin itu, sehingga sesudah pelatihan tidak ada tindak lanjutnya.
68
isi soekarni.indd 68
6/22/2010 6:37:25 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Timur: Studi Kasus di Sentra Logam Ngingas Sidoarjo
3.5 Faktor Pendukung Dan Penghambat Penguatan Rantai Nilai UKM Usaha kecil dan menengah seringkali dihadapkan pada permasalahan-permasalahan klasik yang sudah menjadi pemahaman umum seperti keterbatasan akses modal, keterbatasan bahan baku, kemampuan SDM yang rendah, penguasaan teknologi yang masih sederhana, dan keterbatasan kemampuan pemasaran. Kondisi ini juga relatif banyak dialami oleh pengusaha logam di Ngingas. Para pengusaha sebenarnya sudah melakukan upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dalam hal permodalan, para pengusaha sudah melakukan upaya kerjasama dengan para pedagang sehingga dimungkinkan untuk melakukan pembayaran dengan cara kredit atas bahan baku dan bahan penolong yang sangat membantu dalam mengatasi masalah modal kerja yang terbatas dan adanya kepastian pasokan barang modal. Dari sisi SDM dan teknologi juga sudah dilakukan upaya kerjasama dalam bentuk pembagian aktivitas produksi melalui sharing job order pada produk tertentu. Keterbatasan kemampuan pasar diatasi dengan membentuk kelompok usaha (ASPILOW) dan juga memasarkan produknya dengan berbagai media yang ada. Namun demikian berbagai kendala dalam aktivitas usaha masih banyak dihadapi oleh para pengusaha. Dalam hal bahan baku, pada satu sisi ketersediaan bahan baku sudah relatif mencukupi. Akan tetapi di sisi lain seringkali terdapat fluktuasi harga bahan baku yang cukup tinggi sehingga dapat merugikan pengusaha karena terjadi peningkatan biaya produksi. Standar bahan baku pada kualitas tertentu juga kadang tidak tersedia di pasar sehingga terjadi perubahan spesifikasi teknis produk dan perlu ada modifikasi dalam proses produksi agar tetap dapat memenuhi tuntutan konsumen. Pada bagian proses produksi masih dihadapkan pada kendala kurangnya jalinan kerjasama atau kemitraan dengan pengusaha yang lebih besar atau mapan sehingga 69
isi soekarni.indd 69
6/22/2010 6:37:25 PM
Purwanto dan Cahyo Pamungkas
proses transfer teknnologi dan inovasi berjalan lamban serta sering dihadapkan pada permasalahan standarisasi produk dan paten. Sedangkan di sisi pemasaran adalah masih terbatasnya informasi pasar sehingga jaminan atau kepastian pasar tidak dapat diprediksi sehingga pengusaha lebih cenderung mengambil order daripada melakukan penetrasi pasar secara langsung. Tabel 3.6 Distribusi Responden Menurut Bentuk-Bentuk Kerjasama dalam Penguatan Rantai Nilai UKM
Bentuk Kerjasama Permodalan/modal kerja Penyediaan Bahan Baku Proses Produksi Merk/kemasan/stok Pemasaran Pelayanan konsumen
Kelompok Pengusaha (%) Pengusaha Pengusaha Pengusaha kecil Menengah Besar Koperasi
Total
0.00
3.64
7.27
5.45
16.36
5.45 16.36 0.00 1.82
9.09 5.45 5.45 12.73
9.09 1.82 0.00 7.27
0.00 0.00 0.00 7.27
23.64 23.64 5.45 29.09
0.00 23.64
1.82 38.18
0.00 25.45
0.00 12.73
1.82 100.00
Keterangan: Responden bisa mengisi setiap kolom kerjasama dan jawaban bisa lebih dari satu. Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 20 orang)
Berdasarkan data tabel diatas dapat diketahui bentuk-bentuk kerjasama yang telah dilakukan oleh UMK logam Ngingas selama ini. Kerjasama dilakukan baik secara vertikal maupun horisontal. Bentuk kerjasama yang paling banyak dilakukan adalah dalam proses produksi dengan sesama pengusaha kecil yaitu 16,36 persen. Kerjasama selanjutnya adalah dalam hal pemasaran produk dengan pengusaha menengah yang umumnya berupa order produk yaitu dilakukan oleh sebanyak 12,73 persen responden. Kerjasama dalam hal penyediaan bahan baku dan pemasaran juga dilakukan dan umumnya dengan 70
isi soekarni.indd 70
6/22/2010 6:37:25 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Timur: Studi Kasus di Sentra Logam Ngingas Sidoarjo
pengusaha yang lebih besar skala usahanya dan juga dengan koperasi dengan total pengusaha yang melakukan kerjasama di bidang pengadaan bahan baku sebanyak 23,64 persen. Kendala yang sering diungkapkan para pengusaha adalah dalam hal kesinambungan kerjasama itu sendiri. Bentuk kerjasama ini umumnya bersifat informal dan tidak baku sehingga suatu waktu dapat berubah atau berganti. Hal ini yang menimbulkan ketidakpastian dalam prospek usaha di masa depan tanpa mengurangi rasa optimis para pengusaha tentang usaha mereka di masa depan. Satu hal yang cukup menarik dari bentuk kerjasama usaha adalah sudah terjalinnya kerjasama antara pengusaha kecil dan menengah dengan perusahaan besar yang dilakukan oleh 25,45 persen responden. Dari sisi pengusaha besar, kerjasama dengan UMKM juga merupakan suatu kebutuhan karena tidak semua part dari produk yang dihasilkannya bisa diproduksi secara efisien di perusahaan sebagaimana terungkap dari petikan wawancara berikut ini:
”.........kalau ditempat kita itu kira-kira 20 persen proses itu dikerjakan oleh usaha kecil, mesin-mesin disini peralatan pertanian, komponen itu dikerjakan oleh pihak luar sebelum dirakit menjadi satu kesatuan, kalau kita berbicara masalah komponen sangat banyak dari awal sampai akhir banyak jenisnya. Mungkin komponen ada 7000 sampai 8000 macamnya, komponen kecil kita order dari banyak perusahaan termasuk UKM untuk kemudian disatukan lalu masuk asembling lalu ke finishing produk....” (petikan wawancara dengan PT. YM, Pandaan, 2009)
71
isi soekarni.indd 71
6/22/2010 6:37:25 PM
Purwanto dan Cahyo Pamungkas
Orientasi sebuah perusahaan dalam melakukan kerjasama bisnis adalah biaya produksi dan efisiensi. Hal ini disadari oleh para pengusaha dalam menjalin kerjasama bisnis yang saling menguntungkan. Jadi sebenarnya tidak terlihat adanya perbedaan persepsi dalam kaitan kerjasama antara pengusaha dengan skala usaha yang berbeda sepanjang masih tetap bisa menjaga kualitas produk sesuai dengan yang telah disepakati. Beberapa alasan yang mengemuka dari adanya kerjasama usaha logam dapat disarikan dalam tabel dibawah ini. Tabel 3.7 Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Melakukan Kerjasama diantara Para Pengusaha Logam di Ngingas No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Alasan Keterbatasan Modal/Modal Kerja (1) Mengurangi resiko usaha (2) Kepastian harga input dan output (3) Memperkuat jaringan usaha (4) Efisiensi usaha (5) Meningkatkan kualitas/daya saing produk (6) Tidak menjawab (1) dan (4) (1) dan (3) (4), (5), dan (6) (1), (2), (4), dan (5) (1), (3), (4), dan (5)
Persentase responden 5 5 5 15 5 5 5 10 10 10 5 20
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 20 orang)
Alasan pengusaha dalam melakukan kerjasama usaha umumnya cukup beragam. Alasan kerjasama sebagian besar untuk memperkuat jaringan usaha yang akan bermanfaat dalam aktivitas usahanya. Selain itu jaringan usaha juga lebih mudah dibentuk dalam aktivitas UMKM yang sudah tersentra atau mengelompok pada wilayah tertentu. Kemudahan ini dikarenakan adanya hubungan sosial yang sudah terjalin 72
isi soekarni.indd 72
6/22/2010 6:37:25 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Timur: Studi Kasus di Sentra Logam Ngingas Sidoarjo
dalam waktu yang cukup lama di suatu daerah. Hal ini diungkapkan oleh sebagian responden sebagaimana misalnya dapat dilihat dari petikan hasil wawancara sebagai berikut: ”Untungnya kita bekerjasama, kita sama-sama berdiri karena sama-sama anggota koperasi..... untuk temanteman bisa kerja atau ciptakan pekerjaan....jika ada yang menganggur maka akan diajak bekerja ketika ada cukup banyak order...” (Petikan Wawancara dengan CV. BS, Waru, Sidoarjo, 2009)
Selain itu, keterbatasan modal kerja juga banyak diungkapkan oleh responden sebagai alasan untuk melakukan kerjasama antara pengusaha logam. Selanjutnya dalam upaya peningkatan atau pengembangan UKM di masa depan, perlu adanya pemahaman tentang hal-hal yang menjadi prioritas menurut perspektif pengusaha. Berikut ini digambarkan indikator yang menjadi prioritas penguatan ataupun pengembangan UKM.
73
isi soekarni.indd 73
6/22/2010 6:37:25 PM
Purwanto dan Cahyo Pamungkas
Kondisi Masa Lalu
Kondisi Saat Ini
Permodalan dan atau kredit
Teknologi dan Inovasi produk
Jaminan pasar dan pemasaran
Permodalan dan atau kredit
Ketersediaan Bahan Baku
Jaminan pasar dan pemasaran
Teknologi dan Inovasi produk
Ketersediaan Bahan Baku
Kemampuan SDM
Kemampuan SDM
Kualitas dan Harga Produk
Kualitas dan Harga Produk
Kerjasama dg usaha lain
Kerjasama dg usaha lain
Bantuan Pemerintah
Kondisi Persaingan
Kondisi Persaingan
Bantuan Pemerintah
Infrastruktur
Infrastruktur
Gambar 3.3 Prioritas Indikator Kebutuhan bagi Penguatan dan Pengembangan UMK Logam di Masa Depan
Gambar prioritas indikator kebutuhan bagi penguatan dan pengembangan UKM di masa depan menunjukkan tidak adanya perubahan yang sangat drastis dalam perspektif pengusaha. Teknologi dan inovasi, permodalan, jaminan pasar, kemampuan SDM, kualitas dan harga produk masih menjadi indikator-indikator yang dominan bagi 74
isi soekarni.indd 74
6/22/2010 6:37:25 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di Jawa Timur: Studi Kasus di Sentra Logam Ngingas Sidoarjo
peningkatan UKM. Yang cukup menarik adalah bahwa permodalan usaha tidak selalu menjadi permasalahan paling utama yang dihadapi oleh pengusaha besi dan logam. Hal ini misalnya disampaikan oleh salah satu respoden yang menyebutkan: ”Kalau saya modal nomor dua. Yang saya utamakan adalah pasar dulu. Usaha saya pernah jatuh pada tahun 1982 padahal pada waktu itu saya ada modal untuk mengerjakan usaha tetapi tetap saja pada saat giliran tidak ada pasar rugi. Di satu sisi pasar ada dulu, setelah itu baru modal kita pinjam. Modal bisa didapat dari keluarga dengan saling membantu. Kalau tidak ada sumber permodalan dari keluarga, kita ke koperasi atau dari sumber lain...” (petikan wawancara dengan pelaku usaha CV. BS, Waru, Sidoarjo) Kerjasama usaha masuk dalam prioritas ketujuh dalam perspektif pengusaha. Demikian halnya dengan bantuan pemerintah, kondisi persaingan, dan infrastruktur relatif menjadi prioritas kedua (dibawah batas garis putus-putus) dalam upaya penguatan dan pengembangan UMKM. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan teknis dalam aktivitas primer UMKM masih menjadi prioritas kebutuhan UMKM di masa depan sehingga sudah seharusnya agar upaya program dan kebijakan pemerintah di bidang pengembangan UMKM juga diarahkan pada indikator prioritas tersebut.
75
isi soekarni.indd 75
6/22/2010 6:37:25 PM
Purwanto dan Cahyo Pamungkas
3.6 Kesimpulan UMKM yang berlokasi di Sentra Logam Ngigas sudah tumbuh sejak lama dan berkembang secara turun temurun. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa Sentra Logam Ngigas sebenarnya bukan bentukan pemerintah namun justru terbentuk secara alami. Dalam perjalanannya, perkembangan Sentra Logam Ngingas tentunya memang tidak dapat dilepaskan dari bantuan atau perhatian pemerintah dan Koperasi Logam Waru Buana Putra. Secara umum lingkungan usaha di Sentra Logam Ngingas cukup kondusif bagi UMKM. Keterkaitan antar UMKM sudah ada yang terjalin dan demikian pula kemitraan antara UMKM dengan Usaha yang lebih besar. Keterkaitan dan kemitraan tersebut terjalin dalam bidang permodalan, pengadaan bahan baku, proses produksi dan pemasaran. Akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa di Sentra ini pernah muncul sengketa antar UMKM berkaitan dengan patent produk. Perselisihan tersebut sempat mengganggu kerjasama dan keterkaitan antar UMKM yang telah terbina cukup baik selama ini. Kejaidian ini mengindikasikan bahwa keterkaitan yang sudah terjalin belum optimal sehingga perlu dibina agar lebih intensif lagi dalam semangat saling membutuhkan, saling mendukung dan saling menguntungkan.
76
isi soekarni.indd 76
6/22/2010 6:37:26 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di DKI Jakarta: Studi Kasus di Sentra Industri Mebel Klender
BAB 4 ANALISIS RANTAI NILAI UMKM DI DKI JAKARTA: STUDI KASUS DI SENTRA INDUSTRI MEBEL KLENDER Joko Suryanto dan Cahyo Pamungkas
4.1 Pendahuluan Peran penting kegiatan UMKM sangat dirasakan oleh sebagian besar masyarakat, khususnya pada wilayah sentra yang selama ini menjadi pusat kegiatan UMKM. Salah satu kegiatan UMKM yang telah lama berkembang dan memiliki nilai strategis bagi pemerintah daerah DKI Jakarta berupa UMKM mebel/furniture. Keberadaan UMKM mebel/ furniture yang berlokasi di wilayah Kotamadya Jakarta Timur atau yang lebih dikenal sebagai Sentra Mebel Klender (mencakup wilayah Kecamatan Pulogadung, Cakung dan Duren Sawit) telah lama ada. Aktivitas kegiatan pembuatan mebel/furniture maupun berbagai hal yang terkait dengan aktivitas tersebut dan berlokasi di sekitar kegiatan telah mengarah pada bentuk sebuah sentra atau kluster usaha. Pentingnya kegiatan UMKM mebel/furniture di Sentra Mebel Klender telah mendorong pemerintah DKI Jakarta mendirikan Pusat Promosi Industri Kayu dan Mebel (PPIKM). Keberadaan pusat tersebut dibawah koordinasi Dinas Koperasi dan UKM dengan Koperasi Industri Kayu Mebel sebagai pengelola kegiatan. Keberadaan dan besarnya jumlah pengrajin mebel yang ada di wilayah Sentra Mebel Klender tercermin dari jumlah sentra yang ada sebanyak 12 sentra. Berdasarkan data Suku Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jakarta Timur, pada tahun 2002 terdapat 2.011 perajin kayu dan mebel, namun pada tahun 2007 jumlah perajin kayu dan mebel mencapai 4.000 orang. Namun demikian menurut keterangan 77
isi soekarni.indd 77
6/22/2010 6:37:26 PM
Joko Suryanto dan Cahyo Pamungkas
Ade Firmansyah selaku ketua Koperasi Industri Kerajinan Mebel (KIKM) Klender22, dari sejumlah pengrajin tersebut hanya 400 orang yang menjadi anggota koperasi dan hanya 250 orang berstatus anggota aktif. Anggota koperasi yang aktif saat ini menjadi mitra binaan Bank Indonesia dalam kaitan berbagai pelatihan terkait model, finising yang secara umum berupaya mendorong pengembangan usaha. Keberadaan Pusat Promosi Industri Kayu dan Mebel (PPIKM) sedikit banyak telah membantu para pengrajin mebel dalam memasarkan produk mereka. Sebelum ada pusat promosi mereka hanya memasarkan produk dengan menjual dan atau menitipkan pada toko maupun langsung pada konsumen. Pusat promosi telah memberikan ruang bagi para pengrajin yang tergabung dalam koperasi dan dilakukan secara bergilir. Hingga tahun 2008, para pengrajin mebel Klender yang berada di pusat promosi sudah melakukan transaksi sebesar Rp. 16,572 miliar, sedangkan dari bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2009 sebesar Rp. 11,286 miliar, dan transaksi luar negeri di tahun 2008 sebesar $ 1.059 juta, sedangkan di periode Januari sampai dengan April 2009 sebesar $ 234.642.[2] Berdasarkan gambaran singkat transaksi perdagangan mebel yang terjadi dan besarnya jumlah pengrajin dapat dipastikan kegiatan UMKM yang berlokasi di Sentra Mebel Klender menjadi penting. Peran UMKM tersebut tidak dapat dipungkiri akan membantu mengurangi tingkat pengangguran yang dihadapi oleh Provinsi DKI Jakarta. Dalam upaya mendorong kegiatan UMKM kiranya dorongan untuk peningkatan daya saing perlu dilakukan oleh berbagai pihak baik pemerintah maupun swasta. Upaya meningkatkan daya saing usaha UMKM mebel/furniture dalam sebuah sentra/kluster perlu dipahami seberapa besar cakupan kegiatan usaha. Cakupan kegiatan usaha dapat dilihat berdasarkan konsep rantai nilai (value chain) sehingga akan diketahui berbagai faktor yang terkait upaya peningkatan daya 22
Wawancara Purwanto dengan Ade Firmansyah di Jakarta Timur tanggal 12 November 2009
78
isi soekarni.indd 78
6/22/2010 6:37:26 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di DKI Jakarta: Studi Kasus di Sentra Industri Mebel Klender
saing. Rantai nilai (value chain) didefinisikan sebagai sebuah rangkaian proses produktif mulai dari penyedia input dari suatu produk, produksi, pemasaran dan distribusi hingga ke konsumen akhir. Dalam konteks sentra/klaster penciptaan keterkaitan dan integrasi yang lebih kuat di antara para pelaku dalam memperkuat sentra/klaster, akhirnya meningkatkan daya saing dari sub-sektor yang bersangkutan akan dilihat sebagai sebuah rangkaian proses pencapaian peningkatan produktifitas setiap lini. Bagian ini memberikan gambaran atas kondisi dari setiap lini dari kegiatan usaha UMKM mebel/furniture yang ada di sentra/kluster Klender.
4.2 Lingkungan Bisnis Peningkatan daya saing UMKM mebel/furniture di wilayah Jakarta Timur, khususnya pada Sentra Mebel Klender, secara umum akan terkait dengan daya dukung lingkungan bisnis. Upaya mensinergikan lingkungan bisnis dengan kegiatan usaha UMKM pada Sentra Mebel Klender sangat terkait dengan kebijakan rencana pembangunan tata ruang kota. Dalam kebijakan tata ruang kota telah mendorong beberapa wilayah yang tadinya sebagai sentra/pusat kegiatan UMKM mebel menjadi kawasan industri dan perumahan. Menurut Rosyid, Sekretaris Koperasi Industri Kayu dan Mebel, ada beberapa wilayah yang kegiatan usaha mebel menjadi hilang seperti Rawa Kambing yang sebelumnya terdapat 2 sentra kini tergusur dengan adanya pembangunan Kawasan Industri Pulogadung (PIK), Kampung Jawa sebanyak 1 sentra berubah jadi pemukiman, Pondok Kelapa sebanyak 2 sentra berubah menjadi pemukiman, dan Kampung Tipar sebanyak 1 sentra berubah jadi perumahan23.
23
Post Kota 15 Oktober 2009, Sentra Mebel Klender Terancam Hilang, www.poskota.co.id
79
isi soekarni.indd 79
6/22/2010 6:37:26 PM
Joko Suryanto dan Cahyo Pamungkas
Dalam upaya membangun kegiatan usaha UMKM mebel terkait dengan lingkungan bisnis, berupa dukungan permodalan dari beberapa pihak. Salah satu pihak yang memiliki kepedulian terhadap pengembangan UMKM mebel di Sentra Mebel Klender adalah PT Jamsosetek. Pada tahun 2008 PT. Jamsostek mengucurkan bantuan modal senilai Rp 3 milliar, guna membantu 250 orang pengrajin mebel yang tergabung dalam Koperasi Industri Kayu dan Mebel (KIKM)24. Bantuan yang diberikan masing-masing berkisar Rp 10-15 juta dengan syarat anggota KIKM merupakan peserta Jamsostek. Bantuan modal yang diberikan PT. Jamsostek tersebut sangat membantu para pengrajin mebel karena suku bunga kredit modal yang diberikan hanya 6% per tahun atau 0,5% per bulan. Sementara suku bunga perbankan mencapai angka yang jauh lebih tinggi yakni 24% per tahun. Bantuan yang berikan PT. Jamsostek secara total semenjak tahun 1991 hingga Juni 2008 menurut Dirut Jamsostek Hotbonar Sinaga sebesar Rp. l33,89 miliar kepada sekitar 6.777 mitra binaan. Selain itu bantuan yang diberikan PT. Jamsostek berupa pendidikan dan pelatihan terhadap 5.931 mitra binaan atau setara dengan Rp. l2,71 miliar25. Lingkungan bisnis yang mendukung peningkatan kinerja UMKM mebel/furniture berupa pemasaran produk. Pemasaran menjadi hal kendala yang sering dihadapi oleh para pengrajin UMKM, untuk itu kedudukan Koperasi Industri Kayu dan Mebel (KIKM) yang selama ini berfungsi sebagai pendamping juga diarahkan untuk membantu pemasaran. Melalui ruang pamer yang disediakan oleh pemerintah DKI Jakarta berupa Pusat Promosi Industri Kayu dan Mebel (PPIKM) dengan dikelola Koperasi telah berupaya membantu pemasaran produk. Menurut keterangan Ketua Koperasi dalam kaitan penggunaan ruang pamer, mekanisme yang dijalankan dengan melakukan pergiliran rotasi penggunaan ruang pamer kepada 700 anggota sebab ruang pamer hanya dapat 24 25
Perajin Mebel Klender Dapat Bantuan Modal, http://www.mediacenterkopukm.com/detail-berita.php?bID=976 ibid
80
isi soekarni.indd 80
6/22/2010 6:37:26 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di DKI Jakarta: Studi Kasus di Sentra Industri Mebel Klender
menampung sebanyak 70 anggota. Keberadaan ruang pamer yang dikelola Koperasi menurut pengrajin sangat bermanfaat karena dapat memasarkan produk secara langsung pada konsumen dan dapat melakukan tawar menawar harga. Sebelumnya adanya ruang pamer pengrajin memasarkan produk ke toko-toko dari Jakarta Timur sampai dengan daerah Tangerang, Bekasi, Bogor, dan Bandung. Bahkan dengan cara menitipkan di toko, dimana keuntungan yang diperoleh hanya sebesar 10 % berdasar kesepakatan dengan pemilik toko26. Terkait dengan upaya membangun lingkungan bisnis yang dapat meningkatkan kinerja UMKM mebel di sentra Klender, menurut keterangan narasumber saat ini juga dilakukan kerjasama dengan BUMN dan Bank Indonesia. Ketua Koperasi dalam wawancaranya menyebutkan bahwa beberapa dari UMKM mebel juga menjadi binaan BUMN misalnya BNI yang telah melakukan pembinaan sejak 15 tahun yang lalu terutama dalam bidang promosi. Pihak BNI langsung melakukan kerja sama dengan UMKM tidak melalui Koperasi namun mereka otomatis harus menjadi nasabah BNI. Sedangkan BI melakukan kerja sama melalui koperasi dalam bentuk memberikan bantuan bantuan teknis, manajerial mulai dari pelatihan produksi, manajemen keuangan, administrasi, manajemen penjualan, dan promosi. Berdasarkan kesepakatan kerjasama antara Koperasi dan BI pada tahun 2010 akan diupayakan promosi ke luar negeri dan studi banding. Upaya membangun lingkungan bisnis kegiatan UMKM mebel memiliki beberapa kendala, menurut salah seorang pengusaha mebel kendala utama belum ada sinkronisasi berbagai program Pemerintah, BUMN dan UMKM27. Para pengrajin memang telah mendapatkan pelatihan-pelatihan dari Dinas-Dinas Pemda, BI, dan juga ada sentra pengusaha mebel. Namun, pelatihan-pelatihan yang telah dilakukan 26
Wawancara Cahyo Pamungkas dan Purwanto terhadap Pak Udin dan Ali hari tanggal 25 November 2009. Wawancara Cahyo Pamungkas dan Purwanto dengan Pak Kosasih di Jakarta Timur pada tanggal 20 November 2009
27
81
isi soekarni.indd 81
6/22/2010 6:37:26 PM
Joko Suryanto dan Cahyo Pamungkas
terhadap pengusaha mebel tidak menimbulkan keyakinan bagi perbankan untuk meminjamkan modalnya kepada UKM. Demikian juga, pelatihan-pelatihan tersebut tidak menodorng munculnya keyakinan bagi BUMN untuk mengorder produk mebel dari UMKM. Seandainya ada singkronisasi antara industri perbankan, BUMN, dan UMKM mebel, maka nasib pengusaha kecil di bidang permebelan ini akan jauh lebih baik. Pelatihan-pelaitihan yang ada sekarang ini terkesan hanya projek-projek Pemerintah tetapi kurang berdasarkan kebutuhan dari pengusaha kecil sendiri misalnya pelatihan desain produk.
4.3 Rantai Nilai Kegiatan UMKM Mebel/Furniture Dalam melihat aktivitas kegiatan usaha hingga dikenal dan memiliki kemampuan bersaing para pengusaha mebel/funiture melakukan berbagai aktivitas usaha. Aktivitas usaha tersebut tanpa disadari merupakan bagian dari konsep rantai nilai (value chain), dimana sentra kegiatan usaha mendukung untuk terjadinya berbagai aktivitas dengan tujuan membangun keunggulan kompetitif. Berbagai aktivitas kegiatan usaha, seperti penyediaan bahan baku, proses produksi, pemasaran dan distribusi, ketenagakerjaan, teknologi (aktivitas primer dan sekunder) kegiatan UMKM mebel yang tersentral di wilayah Kecamatan Pulogadung, Cakung dan Duren Sawit berupaya mencapai tingkat efisiensi usaha sehingga mampu berdaya saing. Berbagai upaya untuk mencapai efisiensi usaha telah dilakukan melalui kelompok usaha maupun koperasi yang menghubungkan antara pemasok bahan baku, pelaku usaha hingga pemasaran. Upaya tersebut tanpa disadari telah mengarah pada sebuah keterkaitan antar usaha, namun sejauh mana keterkaitan aktivitas primer dan sekunder dalam berusaha terjadi pada pengrajin mebel/furniture.
82
isi soekarni.indd 82
6/22/2010 6:37:26 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di DKI Jakarta: Studi Kasus di Sentra Industri Mebel Klender
4.3.1 Identifikasi Aktivitas Primer Pembentuk Rantai Nilai Aktivitas primer dalam kerangka rantai nilai merupakan dasar bagi pelaku usaha, dalam hal ini para pelaku UMKM mebel/furniture. Pelaku usaha akan memperoleh keuntungan ekonomis dengan mengelola beragai aktivitas primer, terlebih bila didukung oleh aktivitas sekunder. Mengelola aktivitas primer bagi sebagian besar UMKM merupakan hal yang dilakukan sehari-hari, namun bila setiap aktivitas tersebut terbangun dalam kerangka kosep rantai nilai kiranya keuntungan ekonomi yang lebih besar dapat diraih. Beberapa hal yang terkait dengan aktivitas primer (berdasar konsep rantai nilai/value chain) yang terjadi pada UMKM mebel/furniture di DKI Jakarta sebagai berikut: •
Inbound Logistik, menyangkut permodalan dan penanganan persediaan bahan baku. Kegiatan usaha UMKM mebel/furniture di kawasan Jakarta Timur (Kecamatan Pulogadung, Cakung dan Duren Sawit) dapat dibedakan berdasar modal usaha. Berdasarkan informasi yang diterima dari narasumber, pengusaha mebel/furniture dibedakan dalam katagori pertama, pengusaha mikro dengan modal kurang lebih Rp 5 juta; kedua, pengusaha kecil dengan modal antara Rp 10-15 juta dan ketiga pengusaha besar dengan modal usaha kurang lebih Rp 250 juta keatas. Permodalan yang dimiliki oleh pengusaha kategori mikro dan kecil (modal terbatas) akan terkait dengan strategi penyediakan bahan baku, namun hal ini tidak menjadi kendala bagi pengusaha besar. Bagi pengusaha mebel/ furniture yang memiliki modal terbatas, lokasi kegiatan usaha menjadi satu dengan tempat tinggal, lebih sebagai pengrajin yang melakukan produksi berdasar pesanan toko (pedagang) maupun konsumen pribadi.
83
isi soekarni.indd 83
6/22/2010 6:37:26 PM
Joko Suryanto dan Cahyo Pamungkas
Besarnya modal untuk memproduksi mebel/furniture sangat tergantung dari jenis produk yang akan dihasilkan. Harga produk yang dihasilkan pengrajin mebel/furniture dapat bervariasi sehingga besarnya modal yang dibutuhkan akan tergantung dari jenis produk yang di inginkan konsumen. Permodalan sebagian besar pengrajin mebel/furniture, menjadi kendala. Pengrajin sebagian tidak berkeinginan mengakses sumber penjamin modal (dalam hal ini perbankkan) dengan dalih berbelit-belit maupun rendahnya dana yang diterima setelah disetujui mendapatkan pinjaman modal. Dalam kaitan jaminan atas modal yang akan dipinjam oleh pengrajin kepada pihak pemberi modal, produk yang akan dihasilkan tidak dapat dijadikan jaminan dalam mencari modal usaha. Kondisi yang terjadi ada sebagian pengrajin memperoleh modal dari pihak pemesan (toko/pedagang) atas produk yang mereka pesan. Kondisi tersebut mengakibatkan pengrajin sangat tergantung pada “job order” bila tidak mendapatkan “pesanan/ job order” mereka tidak mampu berproduksi secara mandiri. Permodalan menjadi hal penting bagi setiap usaha kategori UMKM, pengrajin/pengusaha kategori UMKM mebel/furniture pentingnya modal disebabkan sebagian besar digunakan untuk membeli bahan baku secara tunai. Pembelian bahan baku secara tunai dilakukan oleh 50 persen responden sedangkan 40 persen memperoleh bahan baku dengan cara tunai dan kredit (pembayaran mundur) dan hanya 10 persen pengrajin/pengusaha yang memperoleh bahan baku dengan cara kredit (pembayaran mundur). Dalam memperoleh bahan baku untuk membuat mebel/furniture, bagi UMKM mebel/furniture tidak menjadi kendala karena sebagian besar bahan baku tersedia di sekitar tempat usaha. 84
isi soekarni.indd 84
6/22/2010 6:37:26 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di DKI Jakarta: Studi Kasus di Sentra Industri Mebel Klender
Kemudahan memperoleh bahan baku ini tercermin dari hasil penyebaran kuestioner, dimana sebanyak 35 persen responden menyatakan bahan baku dapat diperoleh di dalam lingkungan usaha, 30 persen responden menyatakan bahan baku berasal dari wilayah lain dalam satu kota, 15 persen responden menyatakan bahan baku berasal dari wilayah lain dalam satu kecamatan, 15 persen responden menyatakan bahan baku berasal dari wilayah propinsi lain dan hanya 5 persen responden yang menyatakan bahan baku berasal dari sekitar lingkungan usaha dan wilayah lain dalam satu kecamatan. Kemudahan memperoleh bahan baku bagi sebagian besar pengrajin/pengusaha UMKM mebel/furniture di kawasan Kecamatan Pulogadung, Cakung dan Duren Sawit disebabkan wilayah ini sudah sejak lama menjadi pusat kegiatan pengolahan hasil kayu baik yang berasal dari luar Jawa maupun dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. •
Operation, terkait dengan proses produksi meliputi peralatan permesinan, finishing dan ketenagakerjaan. UMKM mebel/furniture di wilayah Kecamatan Pulogadung, Cakung dan Duren Sawit telah menjadi sentra kerajinan produk kayu, khususnya mebel/furniture sejak lama. Produksi mebel/ furniture pengrajin dibedakan pertama, produk yang dibuat oleh pengrajin kelas mikro lebih banyak membuat produk mebel/ furniture setengah jadi. Pengrajin yang memiliki modal antara Rp. 15-20 juta (pengrajin kelas menengah) memproduksi mebel/ furniture setengah jadi maupun hingga produk jadi, dimana produk tersebut akan dijual kepada konsumen individu maupun pedagang. Proses produksi yang dilakukan oleh para pengrajin kelas kecil/mikro maupun menengah dilakukan di sekitar tempat tinggal atau “workshop” mereka dengan merangkai bahan baku seperti kayu papan dan playwood. Proses produksi untuk 85
isi soekarni.indd 85
6/22/2010 6:37:26 PM
Joko Suryanto dan Cahyo Pamungkas
membuat mebel/furniture selain bahan baku diperlukan peralatan permesianan, dimana para pengrajin dengan katagori mikro menggunakan peralatan permesinan yang relative sederhana. Terbatasnya peralatan permesinan yang dimiliki para pengrajin mebel/furniture katagori mikro mengakibatkan nilai jual produk yang rendah (karena kualitas yang dibawah standar, misala kurang presisi). Untuk dapat memproduksi mebel/furniture dengan kualitas relative baik pada dasarnya pengrajin mampu melakukan, namun diperlukan bahan baku yang berkualitas (kayu yang telah di oven). Bila mereka membeli bahan baku yang telah di oven, pengrajin katagori mikro menghadapi kendala ketidakmampuan membeli dengan harga sesuai kualitas oven, pada akhirnya mereka akan menggunakan bahan baku biasa dalam proses produksi. Pengrajin dengan katagori mikro dan sebagian menengah selain dalam proses finishing memerlukan suatu tempat dan peralatan yang memadai, pada kenyataannya mereka belum mampu menyediakan berbagai peralatan permesinan untuk mendukung proses produksi. Kegiatan usaha para pengrajin katagori mikro, sebagian besar kegiatan usaha dilakukan atas dasar pesanan baik melalui koperasi mabel maupun dari pedagang yang memiliki toko (‘ruang pamer”). Kegiatan membuat/memproduksi mebel/furniture tidak terlepas dari kemampuan tenaga kerja. Kemampuan tenaga kerja dalam membuat produk mebel/furniture dirasakan memiliki keahlian yang cukup, hal ini didasarkan pada hasil kuesioner yang sebesar 55 persen mengungkapkan kemampuan tenaga kerja dalam membuat produk cukup ahli sedangkan 45 persen menganggap sudah ahli. Walaupun dari ketenagakerjaan kemampuan untuk memproduksi mebel/furniture memadai namun untuk dapat bersaing kiranya pengusaha masih menganggap peralatan 86
isi soekarni.indd 86
6/22/2010 6:37:26 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di DKI Jakarta: Studi Kasus di Sentra Industri Mebel Klender
permesinan menjadi hal penting. Dengan menggunakan peralatan permesinan kualitas produk akan menjadi lebih baik, pada akhirnya harga akan dapat ditingkatkan. •
Outbound Logistics, merupakan kegiatan yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan dan pendistribusian produk barang jadi. Pengrajin mebel/furniture dalam melakukan aktivitas usaha terkait dengan kegiatan pasca produksi masih sangat tergantung pada pengusaha toko, artinya bahwa hubungan yang terbentuk antara pengusaha UMKM dengan pengusaha kelas menengah maupun besar disebabkan pengusaha UMKM tersebut tidak mampu mencari pasar atas produknya. Keberadaan Koperasi Mebel yang berdiri pada tanggal 21 Januari 2006, sebagai wadah para pengusaha UMKM mebel/furniture kategori mikro di kawasan Kecamatan Pulogadung, Cakung dan Duren Sawit amat membantu. Karasteristik permasalahan UMKM yang secara umum menyangkut permodalan, bahan baku dan pemasaran mulai terbantu dengan adanya Koperasi Mebel, khususnya menyangkut pemasaran. Bagi pengusaha mebel/furniture kategori mikro hasil produk masih berupa produk setengah jadi tanpa dilakukan finising. Produk mereka akan disalurkan pada pengusaha katagori menengah dengan kualitas dan desain yang sesuai keinginan pasar. Sangat sedikit pengusaha/pengrajin mebel/furniture kategori mikro yang langsung menjual produknya pada konsumen. Keberadaan koperasi mebel, bagi pengusaha katagori mikro dalam beberapa tahun terakhir ini dianggap cukup membantu. Bagi anggota koperasi mebel dengan kategori mikro maupun menengah yang tidak memiliki toko, koperasi menyediakan area/ruang pameran untuk menjual produknya baik kepada konsumen perorangan maupun pengusaha.
87
isi soekarni.indd 87
6/22/2010 6:37:26 PM
Joko Suryanto dan Cahyo Pamungkas
Menurut narasumber, selaku ketua koperasi mebel keberadaan koperasi yang berlokasi di kawasan sentra mebel memberikan manfaat berupa peluang kepada 70 pengusaha/pengrajin setiap bulan secara bergilir untuk mengisi area/ruang pameran28. Kesempatan untuk dapat menempati area/ruang pameran di koordinir melalui ketua/kelompok sentra. Koperasi tidak hanya menyediakan area/ruang pameran atas produk pengrajin/pengusaha, dalam kaitan lain koperasi menjadi tempat transaksi atas pemesanan produk dalam jumlah besar. Para pengusaha/pengrajin akan mendapatkan order pembuatan produk sesuai kemampuan mereka. Produk yang akan dikerjakan oleh pengrajin/pengusaha mebel/furniture didapat dengan cara lelang (batas minimal harga) dengan memperhatikan keuntungan para pengrajin/pengusaha. Terkait dengan produk yang dihasilakan selama ini sebelum adanya koperasi, para pengusaha/pengrajin melakukan penumpukan hasil produknya di sekitar workshop, bahkan ada yang mengandalkan pihak “broker” atau perantara untuk menyalurkan produk. •
Marketing and Sales, berupa sarana di mana konsumen dapat membeli produk Produk mebel/furniture pada kawasan sentra mebel Jakarta Timur dipasarkan dengan cara pertama, langsung pada konsumen (konsumen datang langsung ke lokasi produksi). Pemasaran langsung pada konsumen berdasar sampel responden dilakukan oleh 40 persen pengusaha yang ada di kawasan sentra mebel/furniture. Kedua, pengusaha mebel/furniture akan menitipkan produk pada toko besar yang lokasinya juga di sekitar tempat usaha. Pemasaran dengan cara menitipkan ini berdasar sampel responden dilakukan sebanyak 25 persen. Ketiga, menjual produk dengan menitipkan pada koperasi. Berdasarkan sampel responden pemasaran melalui koperasi dila-
28
Hasil wawancara dengan Ketua Koperasi Mebel tanggal 17 November 2009
88
isi soekarni.indd 88
6/22/2010 6:37:26 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di DKI Jakarta: Studi Kasus di Sentra Industri Mebel Klender
kukan oleh 20 persen pengrajin/pengusaha mebel/furniture yang ada di sentra mebel Jakarta Timur. Keempat, pemasaran dilakukan langsung dengan pedagang besar atau distributor. Pengusaha yang memasarkan produk ke pedagang besar relative kecil jumlahnya, berdasar sampel pengusaha hanya sebanyak 5 persen pengusaha yang melakukan pemasaran khusus pada pedagang besar. Pengusaha/pengrajin mebel/furniture dengan kondisi persaingan yang ada sekarang juga berupaya melakukan berbagai cara pemasaran, terdapat 5 persen responden yang melakukan kombinasi pemasaran berupa cara langsung atau menitipkan pada toko dan atau menitipkan pada koperasi. Walaupun, dalam melakukan pemasaran produk mebel/furniture telah dilakukan dengan berbagai cara namun pada kenyataannya pengusaha/pengrajin mebel/furniture masih belum mampu menjual produk secara optimal, sehingga secara tidak langsung akan terkait dengan likuiditas usaha termasuk bahan baku. Pengrajin/ pengusaha mebel/furniture katagori mikro lebih banyak menjual produk setengah jadi dengan harapan mereka akan dapat membeli bahan baku. Naiknya harga komoditas kayu berakibat terhadap kinerja pengusaha untuk membuat produk jadi, walaupun menjual/memasarkan produk setengah menurut mereka dengan cepat laku produk akan digunakan kembali untuk membeli bahan baku29. Kondisi yang agak berbeda terjadi pada pengrajin/pengusaha kategori menengah, pemasaran dilakukan dengan memanfaatkan berbagai jalur pemasaran (koperasi maupun pihak perantara bahkan kelompok/teman/kerabat). Pengusaha yang menjadi anggota koperasi memiliki peluang besar untuk memasarkan produk mereka melalui koperasi. Keberadaan area/ruang pameran yang 29
Hasil wawancara pada salah seorang pengusaha mebel katagori mikro, tanggal 24 November 2009
89
isi soekarni.indd 89
6/22/2010 6:37:26 PM
Joko Suryanto dan Cahyo Pamungkas
dikelola koperasi dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pemasaran (pameran) produk. Pengusaha yang memanfaatkan ruang pamer koperasi bagi pemasaran produk, berdasar sampel responden sebanyak 65 persen sedangkan yang memasarkan melalui kelompok/relasi sebanyak 20 persen. Cara pemasaran produk yang dilakukan dengan menggunakan area/ruang pameran tidak terbatas di area/ruang pamer yang dikelola koperasi. Pengusaha menganggap pemasaran produk dengan cara pameran merupakan cara yang efektif untuk menjual produk. Keikutsertaan pengrajin/ pengusaha dalam acara pameran produk mebel/furniture dilakukan oleh sebagian besar pengusaha, hal ini tercermin dari banyaknya responden yang menyatakan dalm memperlancar pemasaran dilakukan dengan pameran (65 persen) dan hanya 10 persen pemasaran dilakukan dengan brosur. •
Service, merupakan kegiatan yang berkaitan dengan penyediaan jasa untuk meningkatkan atau mempertahankan nilai produk. Produk yang dihasilkan pengrajin/pengusaha mebel/furniture yang dijual dalam bentuk jadi, melalui ruang pameran dilakukan service dengan memberikan biaya gratis antar barang bila lokasi masih di sekitar Jakarta namun bila diluar Jakarta mereka akan bernegoisasi biaya antar30. Produk mebel/furniture setelah menjadi barang jadi tidak memiliki jaminan garansi produk, namun pengrajin/pengusaha dalam memberikan jaminan kualitas sejak awal telah menentukan bahan baku yang akan digunakan. Pengetahuan tentang kualitas bahan baku menjadi penting, sebab kualitas produk mebel/furniture dan jaminan produk diawali dari pemilihan bahan baku. Proses finishing produk juga memiliki kaitan dengan jaminan produk maupun dalam upaya peningkatan nilai produk, sehingga pengrajin/pengusaha
30
Hasil wawancara dengan pengusaha/pengrajin mebel/furniture pada tanggal 25 November 2009
90
isi soekarni.indd 90
6/22/2010 6:37:27 PM
Ö
Analisis Rantai Nilai UMKM di DKI Jakarta: Studi Kasus di Sentra Industri Mebel Klender
akan mempekerjakan tenaga kerja yang memiliki kemampuan memadai agar produk yang dihasilkan dapat diterima pasar. Pemasok Bahan Baku Utama “Kayu”
Penjual Bahan Baku
Pengusaha/Pengrajin Katagori Mikro
Konsumen 9
Pemasok Bahan Baku Tambahan
Penjual Bahan Baku
Penjual Bahan Baku
Pengusaha/Pengrajin Katagori Menegah
Pengusaha/Pengrajin Katagori Besar
Show Room/ Pameran Mebel
Hasil wawancara dengan pengusaha/pengrajin mebel/furniture pada tanggal 25 November 2009
Gambar 4.1 Pola Rantai Nilai Kegiatan Usaha UMKM Mebel/Furniture
4.3.2 Identifikasi Aktivitas Sekunder Pembentuk Rantai Nilai Langkah peningkatan kegiatan usaha UMKM mebel selain ditentukan oleh berbagai aktivitas primer juga perlu dukungan aktivitas sekunder. Dimana aktivitas sekunder mencakup ketersediaan infrastruktur, manajemen sumberdaya manusia, penggunaan dan pengembangan teknologi, dan procurement. Berikut ini hasil survei tim peneliti yang berkaitan dengan aktivitas sekunder terungkap bahwa pengusaha mebel sebagian besar (55%) menggunakan tenaga kerja yang dinilai sebagai cukup ahli, sedangkan sebagian lainnya (45%) termasuk dalam tenaga kerja yang sudah ahli. Maksud dari sudah ahli 91
isi soekarni.indd 91
6/22/2010 6:37:27 PM
Joko Suryanto dan Cahyo Pamungkas
adalah bahwa mereka benar-benar sudah menguasai teknik pengerjaan baik penggunaan mesin-mesin modern maupun untuk mengukir. Serta memiliki pengalaman yang cukup lama dalam pekerjaan ini. Sedangkan cukup ahli dapat dimaknai bahwa mereka mendapatkan keahlian dan ketrampilan yang cukup namun belum memilki pengalaman yang cukup lama sebagaimana yang sudah ahlu. Mereka yang sudah ahli biasanya adalah para tukang yang memimpin pengerjaan. Berdasar wawancara diketahui bahwa rekruitmen tukang dilakukan berdasarkan jaringan yang sudah lama dimiliki yakni berasal dari masyarakat Cianjur.[8] Seorang tukang pada umumnya membawa saudaranya yang lain yang direkrut untuk membantu pengerjaan. Jika seorang pengusaha mebel sedang menerima banyak orderan, maka mereka akan merekrut tukang dari kampungnya lebih banyak orang. Tetapi jika mereka tidak banyak mendapat orderan, maka sebagian dari tukang-tukang itu dipulangkan ke Cianjur. Selain tukang, para pengusaha mebel juga merekrut tukang ukir yang langsung didadatangkan dari Jepara. Gaji mereka lebih tinggi dari tukang biasa, yakni mencapai Rp 1 juta per unit pengukiran yang biasanya dapat diselesaikan dalam waktu satu minggu. Tenaga ukir ini pada umumnya datang sendiri ke Jakarta dengan menumpang di rumah saudaranya dan mencari pekerjaan di workshop-workshop permebelan. Namun sebagian dari mereka ada yang khusus dipanggil pengusaha mebel dari Jakarta yang datang khusus ke Jepara. Motif mereka bekerja di Jakarta karena gaji mereka relatif jauh lebih tinggi daripada di bekerja di kampung halamannya sendiri di Jepara.
92
isi soekarni.indd 92
6/22/2010 6:37:27 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di DKI Jakarta: Studi Kasus di Sentra Industri Mebel Klender
Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Kualitas Tenaga Kerja No Kualitas Persentase 1. 2.
Cukup ahli Sudah ahli
55 45
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 20 orang)
Walaupun demikian, sebagian pengusaha mebel juga merekrut tukang ukir lokal yang dapat dibayar dengan upah yang lebih murah. Tetapi kualitas ukiran tukang ukir lokal ini masih kalah jauh jika dibandingkan dengan tukang ukir dari Jepara. Tukang ukir lokal ini memperoleh keahlian dari berbagai macam sumber antara lain, dari kursus atau sekolah, belajar dari tukang ukir dari Jepara, atau dari pengalaman sendiri. Tenaga ukir lokal ini masih digunakan terutama oleh para pengusaha yang belum cukup untuk membayar tukang ukir dari Jepara. Namun untuk pengusaha mebel dengan corak minimalis atau modern biasanya lebih banyak menggunakan tenaga ahli ini karena tidak memerlukan desain ukiran klasik model Jepara. Salah seorang pengusaha mebel, mengatakan bahwa bisnisnya adalah membeli bahan baku yang sudah diukir (barang setengah jadi) dari jepara kemudian hanya melakukan finishing di Klender31. Untuk tukang finishing diperlukan tukang khusus pemasangan jok yang direkrut dari Indramayu. Mereka digaji borongan berdasarkan unit yang diproduksi. Namun, secara keseluruhan informan ini memperkerjakan 5 orang karyawan tetap dan 2 orang tukang jok. Tukang jok dari Indramanyu ini kebanyakan tinggal di Jatinegara dan mereka dipanggil bekerja kalau ada order. Hal ini berbeda dengan karyawan tetap yang digaji setiap bulan, namun karyawan tetap ini pada umumnya adalah memiliki hubungan keluarga atau sudah mengenal dengan baik.
31
Wawancara Cahyo Pamungkas dan Purwanto dengan Pak Ali dan Udin di Jakarta Timur tanggal 25 November 2009
93
isi soekarni.indd 93
6/22/2010 6:37:27 PM
Joko Suryanto dan Cahyo Pamungkas
Ketua KIKM dalam wawancaranya menyebutkan bahwa KIKM pernah memfasilitasi pelatihan desain kepada pengusaha mebel agar mereka memiliki tenaga atau tukang ukir sendiri yang dididik secara khusus dan mengurangi ketergantungan terhadap tenaga ukir dari Jepara. KIKM mendatangkan beberapa ahli desain dari ITB untuk menggambarkan trend desain yang disukai masyarakat akhir-akhir ini. Mereka juga mencontohkan bahwa para desainer di RRC setiap waktu mengganti desainnya menyesuaikan selera masyarakat misalnya dengan mengubah penampilan warna. Perubahan desain baik dalam warna maupun bentuk diharapkan dapat menaikkan jumlah konsumen walaupun dengan harga yang tidak berubah. Kemampuan sumberdaya manusia dalam inovasi pada masa sekarang benar-benar dibutuhkan oleh dunia industri termasuk UKM. Para pengusaha mebel yang mengikuti pelatihan dari Bank Indonesia, perkembangannya dapat dipantau oleh KIKM karena mereka harus memberikan laporan secara reguler terkait dengan proses produksi. Misalnya adalah laporan bulaan dari bahan baku, produksi, pemasaran, dan permodalan. Berdasarkan pemantauan KIKM memang terlihat ada peningkatan walaupun kurang signifikan dalam jangka pendek. Setelah pelatihan, mereka akan mencari bahan baku yang cukup bagus, memproduksi secara lebih efisien, dan memasarkan dengan cara yang lebih inovatif. Peningkatan pengetahuan dari pelatihan-pelatihan ini cukup memberikan konstribusi pada kemampuan SDM terutama dalam manajemen produksi. Sementara itu, penggunaan teknologi antara pengusaha mebel yang satu dengan pengusaha mebel yang lain tidak banyak berbeda jauh. Mayoritas jawaban mereka dalam survei adalah menggunakan peralatan dan teknologi sederhana. Dari wawawancara dapat diketahui bahwa peralatan-peralatan yang digunakan antara lain mencakup gergaji listrik, gergaji manual, alat pengukur, mesin penghalus, dan alat ukir tradisional. 94
isi soekarni.indd 94
6/22/2010 6:37:27 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di DKI Jakarta: Studi Kasus di Sentra Industri Mebel Klender
Menurut mereka, alat-alat itu tersebut dapat dibeli dengan harga yang terjangkau dan terjual di hampir semua toko peralatan di sekitar kompleks sentra industri. Penggunaan peralatan dan teknologi belum menjadi masalah yang pokok dibandingkan dengan masalah pasar ataupun modal. Namun demikian, menurut informasi ketua koperasi KIKM, permasalahan yang terkait dengan peralatan adalah ketergantungan terhadap listrik yang seringkali mati. Penggunaan mesin manual atau tradisional menyebabkan kapasitas produksi tidak mencapai maksimal seperti halnya mesin-mesin modern. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh Ketua Koperasi, dapat diketahui bahwa Koperasi juga membantu para pengusaha mebel untuk pengusahaan mesin-mesin modern untuk produksi masal. Mereka sedang mengusahakan kerja sama dalam pengusahaan mesin dengan perusahan nasional yakni Propam Raya, Kawan Lama Group. Kawan Lama Group adalah salah satu distributor mesin terbesar di Indonesia dan memiliki potensi untuk diajak kerja sama dalam hal permesinan dan juga penyediaan bahan-bahan untuk finishing seperti cat dan amplas. Sementara aktivitas sekunder berupa procurement atau penyediaan bahan-bahan baku yang dilakukan oleh kalangan industri untuk keperluan produksi. Berdasarkan survei dapat diketahui bahwa sebagian besar pengusaha mebel Klender memperoleh bahan baku dari dalam satu kelurahan (35 %). Sebagian yang lain memperoleh bahan baku di lain kecamatan walaupun masih dalam satu kabupaten misalnya membeli bahan baku di Cakung atau Pulogadung (30 %). Sedangkan sebagian yang lain membeli bahan baku terutama kayu dari provinsi lain yakni Jawa Barat terutama Sukabumi dan Cianjur dan Jawa Tengah terutama dari Jepara (15 %). Untuk pembelian kayu di Jepara dilakukan oleh para pengusaha yang memproduksi produk mebel berukuran klasik karena mereka membeli barang setengah 95
isi soekarni.indd 95
6/22/2010 6:37:27 PM
Joko Suryanto dan Cahyo Pamungkas
jadi dan melakukan finishing sendiri. Sementara, untuk pengusaha yang memproduksi produk-produk mininalis atau modern melakukan pembelian kayu di sekitar Jatinegara atau paling jauh di Jawa Barat. Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Tempat Pembelian Bahan Baku No
Lokasi Pembelian
Persentase
1. 2. 3. 4. 5.
Dalam satu desa/kelurahan Di desa/kelurahan lain dalam 1 kecamatan Di kecamatan lain dalam 1 kabupaten Di provinsi lain Jawaban 1 dan 2
35 15 30 15 5
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 20 orang)
Sebagian besar para pengusaha mebel membeli bahan baku pada satu pedagang bahan baku terutama kayu yang terdiri atas 3 macam bahan baku (50%). Sedangkan sebagian yang lain membeli bahan baku terdiri atas dua macam (25%), dan lebih dari tiga jenis (20%), misalnya kayu albesia, kayu mangga, dan kayu jati. Berkaitan dengan bahan baku yang digunakan, pengrajin mebel melakukan pembayaran atas pembelian bahan baku dengan cara membayar tunai (50 %). Sebagian pengusaha yang lain (40%) adalah menggunakan metode campuran antara tunai (memberikan DP) dan cicilan. Sementara, sebagian kecil pengusaha (10%) melakukan pembayaran dengan kredit (cicilan) (Tabel 4.3). Ketika ditelusri dalam wawancara, mereka sebenanrya lebih suka membayar dengan metode gabungan, yakni sebagian dibayar tunai dan sebagian dicicil menunggu sampai kayunya menjadi barang jadi. Untuk cicilan/kredit biasanya waktu yang diberikan sampai dengan 1 atau 2 bulan jika antara pembeli dan penyedia bahan baku sudah saling kenal.
96
isi soekarni.indd 96
6/22/2010 6:37:27 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di DKI Jakarta: Studi Kasus di Sentra Industri Mebel Klender
Tabel 4.3 Jenis-Jenis Bahan Baku dan Cara Pembayaran No A. 1. 2. 3. 4. B. 1. 2. 3.
Keterangan Jenis Bahan Baku Tiga jenis Dua jenis Satu jenis Lebih dari tiga jenis Cara Pembayaran Tunai Cicilan Campuran tunai dan cicilan
Persentase 50 25 5 20 50 10 40
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 20 orang)
4.4 Faktor Pendorong Dan Penghambat Kegiatan pengrajin/pengusaha mebel/furniture di kawasan sentra Jakarta Timur, meliputi Kecamatan Pulogadung, Cakung dan Duren Sawit telah berlangsung lama. Keberlangsungan kegiatan usaha telah mendorong aktivitas lain yang terkait dengan pembuatan mebel/ furniture. Hubungan antara pengrajin/pengusaha dengan pemasok bahan baku terbangun secara alamiah, demikian halnya dengan pemasaran produk. Dalam melakukan proses produksi kerjasama terbatas pada proses finising, dimana produk unfinished/setengah jadi tersebut dijual putus kepada pengusaha lain. Permodalan bagi sebagian besar pengrajin/pengusaha mebel/furniture kategori mikro dan menengah masih relative terbatas, kaitan dengan kerjasama antar pengusaha maupun dengan pihak pemberi modal dilakukan secara perorangan dan lebih pada kedekatan Berbagai aktivitas usaha yang mengarah pada terbangunnya rantai nilai/value chain pada kegiatan UMKM mebel/furniture dihadapkan pada berbagai factor pendorong dan penghambat, antara lain:
97
isi soekarni.indd 97
6/22/2010 6:37:28 PM
Joko Suryanto dan Cahyo Pamungkas
Faktor Pendorong: a).
Lokasi Usaha Kegiatan pembuatan mebel/furniture berlokasi pada kawasan yang telah dapat dikatakan menjadi sebuah sentra usaha, sebab hampir setiap lokasi di Kecamatan Pulogadung. Cakung dan Duren Sawit terdapat pengusaha mebel/furniture. Hal ini didukung oleh lokasi yang berada dekat dengan jalur distribusi bahan baku maupun pemasaran. Lokasi usaha dapat diakses melalui jalan raya maupun kereta api (dalam hal pasokan bahan baku). Keberadaan lokasi usaha mengakibatkan bahan baku kayu berbagai jenis terdapat di sentra mebel/furniture Jakarta Timur. Walaupub DKI Jakarta merupakan wilayah yang tidak memiliki kawasan hutan, pada kenyataannya bahan baku yang relatif mudah di dapat (dari berbagai jenis kayu). Sehingga untuk membuat produk dengan spesifikasi maupun rentang harga tertentu akan mudah dilakukan oleh pengusaha/pengrajin mebel/furnitur di sentra Jakarta Timur.
b).
Kemampuan SDM Kemampuan sumber daya manusia untuk membuat maupun mendesain produk mebel/furniture tidak kalah dibanding dengan kemampuan SDM dari wilayah lain. Kemampuan untuk melakukan inovasi terhadap model terus di lakukan dengan bantuan ahli desain grafis maupun berdasar model yang sedang diminati konsumen. Pengusaha/pengrajin banyak melakukan inovasi/ membangun kreativitas antara lain menciptakan produk yang berasal dari limbah kayu. Langkah ekstensifikasi produk dirasakan cukup membantu dalam membangun ”image” bahwa wilayah Jakarta Timur, khususnya Kecamatan Pulogadung, Cakung dan Duren Sawit merupakan kawasan pengrajin kayu.
98
isi soekarni.indd 98
6/22/2010 6:37:28 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di DKI Jakarta: Studi Kasus di Sentra Industri Mebel Klender
c).
Pasar produk Pasar merupakan kunci bagi keberlanjutan kegiatan usaha, produk yang dihasilan oleh para pengrajin/pengusaha mebel/ furniture didorong untuk dapat dipasarkan melalui kegiatan pameran. Pemasaran produk melalui pameran berdampak positif bagi pengrajin/pengusaha mebel/furniture, karena mereka akan meningkatkan kualitas produk dan desain agar dapat menarik minat konsumen. Pasar produk jadi lebih banyak di lakukan dengan mengikuti pameran maupun memanfaatkan ruang pamer dibawah pengelolaan koperasi.
Faktor Penghambat: a)
Kualitas produk Masih terdapatnya pengusaha yang belum memahami bahwa kualitas produk akan menjadi pendorong bagi keberlanjutan usaha. Terdapat sebagian pengrajin/pengusaha yang menjual produk setengah jadi dengan alasan keberlanjutan usaha (mengejar harga bahan baku). Tanpa disadari mereka hanya menjadi tukang, disamping itu nilai tambah yang mereka dapat relatif kecil dibanding dengan menjual produk jadi dengan kualitas baik. Kualitas produk yang dihasilkan pengusaha/pengrajin mebel/furniture juga terkait dengan permesinan (peralatan pendukung), sebagian besar pengusaha/pengrajin kategori mikro tidak memiliki peralatan permesinan modern demikian pula katagori menengah tidak secara menyeluruh memiliki peralatan permesinan modern. Dampaknya produk yang dihasilkan kurang presisi sehingga harga jual tidak optimal. Perlu kiranya dicarikan solusi atas dukungan peralatan permesinan sehingga dapat mendorong kegiatan produksi, pada akhirnya akan meningkatkan kualitas produk. 99
isi soekarni.indd 99
6/22/2010 6:37:28 PM
Joko Suryanto dan Cahyo Pamungkas
b)
Bahan baku Harga produk mebel/furniture tersegmentasi berdasarkan proses produksi dan penggunaan bahan baku kayu. Peningkatan harga bahan baku kayu mendrong pengusaha/pengrajin mebel/ furniture menggunakan kayu dengan kualitas tertentu untuk dapat membuat produk sesuai kemampun daya beli konsumen. Pengusaha dihadapkan pada kondisi sulit dimana untuk membuat produk berkualitas mereka mampu dan didukung bahan baku, namun segmen pasar atas produk tersebut relatif kecil. Berbeda halnya dengan produk yang harganya relatif terjangkau dengan penggunan bahan baku tertentu, namun mereka dihadapkan pada kualitas. Sedangkan bahan baku tertentu untuk menjadi produk berkualitas memerlukan proses cukup lama (oven kayu) dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk membeli bahan baku yang telag dioven tersebut.
100
isi soekarni.indd 100
6/22/2010 6:37:28 PM
Analisis Rantai Nilai UMKM di DKI Jakarta: Studi Kasus di Sentra Industri Mebel Klender
4.5 Penutup Kegiatan usaha pengrajin mebel yang berlokasi di Sentra Mebel Klender merupakan sebuah bentuk usaha yang telah dijalankan secara turun temurun. Seiring dengan perkembangan kegiatan usaha yang telah dijalankan secara tidak langsung telah terjalin hubungan kerjasama antar para pelaku usaha baik antar pemasok bahan baku maupun antar pengrajin dan penjual (toko mebel). Keterkaitan antar pengrajin dengan para pelaku usaha (pendukung) kegiatan pembuatan mebel hanya sebatas kegiatan bisnis semata tanpa memperhatikan penguatan daya saing. Pengrajin masih belum mapu menjalin kerjasama secara optimal dengan pihak lain, misalnya dalam memperkuat permodalan dan memperbaharui permesinan. Hambatan dalam membangun rantai nilai sebagai salah satu upaya meningkatkan daya saing pengrajin mebel dapat diupayakan melalui koperasi. Keberadaan koperasi telah membantu dalam berbagai hal antara lain mengkordinir pemanfatan ruang pamer. Namun demikian, untuk meningkatkan daya saing pengrajin mebel di Sentra Mebel Klender, hal yang utama adalah bahan baku dan kualitas produk. Dalam hal bahan baku pengrajin menghadapi kendala harga yang relatif tinggi. Jaminan atas pasokan bahan baku memang tersedia cukup besar di sekitar sentra kerajinan Klender, akan tetapi bahan baku tersebut telah dikuasai oleh para pedagang besar. Koperasi atau pun lembaga yang mampu menjamin ketersediaan bahan baku dengan harga yang kompetitif bagi para pengrajin perlu diupayakan. Dengan adanya jaminan bahan baku dan pemasaran serta di dukung kualitas produk yang baik secara langsung akan meningkatkan kinerja pengrajin.
101
isi soekarni.indd 101
6/22/2010 6:37:28 PM
Joko Suryanto dan Cahyo Pamungkas
Persaingan usaha, khususnya produk mebel yang berasal dari Sentra Mebel Klender tidak hanya berasal dari produk yang dihasilkan oleh pengrajin setempat namun juga produk yang berasal dari luar daerah. Agar dapat merebut persaingan produk tersebut kemampuan pengrajin terkait berbagai hal perlu diupayakan dengan melakukan pendampingan. Pendampingan yang diperlukan haruslah secara sinergis dilakukan dengan tujuan memberdayakan kemampuan lokal sehingga akan menghasilkan produk dengan kualitas baik dan berciri khas.
102
isi soekarni.indd 102
6/22/2010 6:37:28 PM
Keterkaitan Kinerja UMKM Dengan Lingkungan Bisnis dan Rantai Nilai
BAB 5 KETERKAITAN KINERJA UMKM DENGAN LINGKUNGAN BISNIS DAN RANTAI NILAI Muhammad Soekarni dan Purwanto
5.1 Pengantar Kebijakan pemerintah dalam mengembangkan dunia usaha selama ini terkesan lebih berpihak kepada usaha berskala besar. Sementara itu Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) agak terabaikan. Dengan kata lain, pemerintah dalam membangun dunia usaha dan mendorong industrialisasi tidak bersifat netral terhadap ukuran usaha. Menurut Tambunan (2004:87), kebijakan pemerintah yang bias konglomerat (usaha besar) dibawah strategi Industri Substitusi Impor (ISI) dan Promosi Ekspor (PE) praktis telah membangun tembok dan hambatan kesempatan berusaha bagi UKM untuk memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan perhatian dan dukungan yang lebih proposional bagi percepatan perkembangan UMKM di masa yang akan datang. Salah satu aspek yang penting mendapat prioritas adalah penciptaan lingkungan usaha yang kondusif bagi kelancaran kegiatan UMKM. Dengan terciptanya lingkungan usaha yang sehat, maka penguatan rantai nilai dalam rangkaian aktivitas UMKM, mulai dari hulu hingga ke hilir, akan lebih mudah untuk diwujudkan. Rantai nilai dalam hal ini dapat menjadi alternatif jalan pintas bagi dunia usaha atas saluran-saluran formal yang berlaku umum dalam pasar persaingan. Sasaran akhir yang ingin dicapai adalah terjadinya peningkatkan kinerja dan daya saing UMKM. 103
isi soekarni.indd 103
6/22/2010 6:37:28 PM
Muhammad Soekarni dan Purwanto
Bab ini bermaksud untuk menguraikan keterkaitan kinerja UMKM dengan lingkungan usaha dan rantai nilai yang telah terbangun dalam berbagai aktivitasnya. Kinerja UMKM dalam bahasan ini diwakili oleh tingkat keuntungan yang berhasil dicapai oleh UMKM. Analisis yang dilakukan lebih banyak berdasarkan pada hasil survei kepada UMKM di Sentra Industri Sepatu Cibaduyut, Sentra Industri Logam Ngingas dan Sentra Industri Mebel Klender. Total responden dari ketiga lokasi penelitian adalah sebanyak 60 orang. Karakteristik dari responden tersebut antara lain: (1) sebagian besar (78,3 persen) responden masih termasuk kedalam golongan umur produktif yaitu dibawah 50 tahun; (2) secara umum tingkat pendidikan responden sudah cukup tinggi yaitu 63,3 persen lulusan SLTP dan SLTA, sedangkan yang berpendidikan akademi/universitas mencapai 30 persen; dan (3) responden yang lama usahanya diatas 10 tahun mencapai 51,7 persen.
5.2 Keterkaitan Kinerja UMKM Dengan Lingkungan Bisnis Aktivitas UMKM di masing-masing wilayah penelitian sudah berlangsung cukup lama. Selain itu aktivitas usaha juga mengelompok atau terkonsentrasi dalam suatu wilayah geografis tertentu. Kondisi ini menjadikan kegiatan UMKM di masing-masing lokasi penelitian berjalan relatif stabil dari segi perkembangan atau dinamika usahanya. Perhatian pemerintah terhadap aktivitas UMKM di masing-masing wilayah juga sudah banyak dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama. Wilayah-wilayah tersebut sudah diarahkan pada suatu kawasan sentra pengembangan UMKM produk tertentu bahkan sudah dianggap sebagai sebuah kluster industri kecil. Namun demikian, kondisi UMKM di masing-masing wilayah masih tetap menghadapi berbagai permasalahan yang bersifat klasik yaitu mulai dari keterbatasan permodalan hingga kesulitan dalam pemasaran produk-produk yang dihasilkan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa upaya-upaya 104
isi soekarni.indd 104
6/22/2010 6:37:28 PM
Keterkaitan Kinerja UMKM Dengan Lingkungan Bisnis dan Rantai Nilai
pengembangan UMKM belum banyak memberikan perubahan yang signifikan. Permasalahan yang dihadapi UMKM tersebut tidak hanya permasalahan internal seperti permodalan, bahan baku, SDM dan pemasaran, tetapi juga menghadapi permasalahan eksternal mulai dari kondisi perekonomian, daya dukung lingkungan, kondisi persaingan dan kondusifitas lingkungan usaha. Dampak dari permasalahan yang terus-menerus dialami adalah adanya stagnansi dalam aktivitas usaha. Hal ini diindikasikan dari lambatnya perkembangan usaha (bahkan ada beberapa usaha yang justru mengalami kemunduran) dan cenderung hanya berusaha mempertahankan usaha yang sudah ada. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan adanya harapan agar UMKM tetap mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang banyak sejalan dengan penciptaan nilai output yang besar. UMKM tentu saja tidak tinggal diam dalam menghadapi ancaman dan tantangan usaha yang semakin kompleks tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh UMKM dalam mengatasi kelemahan dan kendala dalam menjalankan usahanya adalah dengan memperkuat rantai nilai. Sebagaimana telah diungkapkan dalam babbab sebelumnya, pembentukan rantai nilai dalam UMKM juga telah dilakukan walaupun tidak secara formal dalam lingkungan UMKM. Selain itu, rantai nilai yang telah terjalin juga tidak secara utuh dapat dijalankan, namun lebih mengarah pada rantai nilai yang disesuaikan dengan kebutuhan. Artinya, aktivitas rantai nilai yang berkembang lebih didasarkan pada kebutuhan jangka pendek. Informasi yang diperoleh selama kegiatan lapangan menggambarkan aktivitas rantai nilai dilakukan hanya pada sisi hulu yaitu dalam hal pengadaan bahan baku dan ada juga yang hanya memanfaatkan rantai nilai dalam aktivitas pemasaran produknya.
105
isi soekarni.indd 105
6/22/2010 6:37:28 PM
Muhammad Soekarni dan Purwanto
Bentuk-bentuk rantai nilai yang berkembang dalam UMKM dapat dilihat dari aktivitas kerjasama antar UMKM dalam setiap aspek dan kebutuhan usaha. Sedangkan indikator keberhasilan dari terbentuknya rantai nilai yang mantap adalah adanya peningkatan kinerja UMKM dalam jangka panjang. Kinerja UMKM bisa diukur salah satunya dengan adanya perbedaan atau perubahan dalam proporsi keuntungan usaha yang diperoleh pada saat rantai nilai bekerja dalam sistim atau siklus bisnisnya. Akan tetapi perlu dipahami bahwa rantai nilai pun dapat menyebabkan terjadinya perolehan keuntungan usaha yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan aktivitas usaha tanpa rantai nilai. Misalnya pada UMKM yang melakukan penguatan rantai nilai di bidang pemasaran maka akan terikat pada komitmen usaha mulai dari jenis, kualitas, kuantitas, dan margin keuntungan yang diperoleh. Hal ini berbeda dengan pengusaha yang tidak menjalin hubungan bisnis dalam ikatan rantai nilai yang dapat leluasa melakukan penyesuaian dan perubahan sesuai dengan keinginannya. Kondisi tersebut diatas adalah sesuatu yang wajar dalam rantai nilai karena memang rantai nilai memberikan keuntungan bagi pengusaha dalam hal pendistorsian pasar (dari hulu hingga hilir) dalam segala aktivitas usahanya. Pendistorsian terhadap pasar ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi usaha dan memberikan kepastian pada keberlanjutan usaha dalam jangka panjang. Artinya, rantai nilai mungkin saja tidak dapat memberikan manfaat optimal bagi UMKM jika hanya dilakukan dalam jangka pendek dan tidak berkelanjutan namun dapat memberikan kepastian atau jaminan usaha dalam jangka panjang. Hal ini banyak diungkapkan oleh responden bahwasannya ketika UMKM menjalin hubungan bisnis dalam rantai nilai yang baik maka akan ada jaminan dari sisi pasokan bahan baku hingga pemasaran produk yang dapat diperkirakan sejak sebelum aktivitas produksi dilakukan.
106
isi soekarni.indd 106
6/22/2010 6:37:28 PM
Keterkaitan Kinerja UMKM Dengan Lingkungan Bisnis dan Rantai Nilai
Sementara itu peranan pemerintah juga sudah banyak dirasakan oleh pelaku usaha mengingat aktivitas usaha dari setiap wilayah studi merupakan sentra-sentra aktivitas UMKM pada produk tertentu. Oleh karenanya, sebagian besar responden juga menyebutkan bahwa dukungan atau bantuan pemerintah sudah cukup banyak dilakukan. Bentuk bantuan dari pemerintah antara lain dalam bentuk dukungan regulasi, pelatihan, bantuan peralatan kerja, dan informasi pasar sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.1 Persentase Responden Berdasarkan Keuntungan Usaha dan Dukungan/Bantuan Pemerintah Keuntungan Usaha (%)
Keuntungan Usaha dan Dukungan/Bantuan Pemerintah (%) Reg Pelatihan Informas Peralata Bantuan Tdk Ada lebih n i Pasar TK dan udari 1 Produksi lasi Manajeme macam n
Total
0–9
1.72
3.45
0.00
0.00
1.72
5.17
12.07
10 – 19
1.72
34.48
3.45
0.00
0.00
3.45
43.10
20 – 29
1.72
10.34
1.72
1.72
0.00
1.72
17.24
30 – 50
0.00
10.34
0.00
0.00
1.72
5.17
17.24
> 50
0.00
3.45
0.00
0.00
1.72
10.34
5.17
62.07
5.17
1.72
5.17
5.17 20.6 9
Total
100.00
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 60 orang)
Berdasarkan data tabel diatas dapat diketahui bahwa bentuk bantuan pemerintah sebagian besar adalah adanya pelatihan di bidang manajemen dan pelatihan keterampilan bagi tenaga kerja. Sebanyak 62,07 persen responden menyatakan pernah memperoleh pelatihan tersebut. Namun demikian, responden yang diwawancarai di ketiga lokasi banyak yang mengeluhkan bahwa bentuk pelatihan yang diberikan oleh pemerintah tidak banyak mengalami perubahan 107
isi soekarni.indd 107
6/22/2010 6:37:29 PM
Muhammad Soekarni dan Purwanto
sehingga cenderung membosankan. Dalam hal ini, pemerintah sangat diharapkan untuk dapat menyerap informasi tentang kebutuhan para pengusaha sehingga bentuk pelatihan yang diberikan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkat pengetahuan para pelaku usaha. Adanya bantuan pemerintah juga turut memberikan andil bagi besarnya keuntungan usaha UMKM rata-rata pada kisaran 10 – 19 persen dan merupakan tingkat keuntungan yang wajar bagi suatu aktivitas usaha. Disamping adanya bantuan dari pemerintah, pelaku UMKM juga masih banyak yang mengeluhkan adanya hambatan-hambatan dalam lingkungan usahanya sebagaimana dapat dijabarkan pada tabel dibawah ini. Tabel 5.2 Persentase Responden Lingkungan Usaha Keuntunga n Usaha (%
Keuntungan
Usaha
dan
Hambatan
Hambatan Lingkungan Usaha (1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(2), 3), & (6)
(3), (5), & (6)
TM Total
0–9
1.7 2 3.45 1.72 0.00 0.00 10.34 10 – 19 1.7 8.62 5.17 3.45 3.45 2 6.90 6.90 3.45 5.17 44.83 20 – 29 0.0 0.00 3.45 3.45 0.00 0 3.45 3.45 1.72 1.72 17.24 30 – 50 0.0 0.00 3.45 1.72 0.00 0 3.45 5.17 1.72 1.72 17.24 > 50 0.0 0.00 1.72 0.00 0.00 0 0.00 0.00 1.72 6.90 10.34 Total 15.5 10.3 3.4 17.2 8.62 2 4 3.45 5 4 17.24 8.62 15.52 100.00 Keterangan: (1) Tumpang Tindih Regulasi; (2) Dukungan kurang Kongkret dari Pemerintah; (3) Lemahnya Kewirausahaan; (4) Perilaku Negatif Lingkungan; (5) Sulit Menjalin Kerjasama; (6) Keterbatasan Informasi Bisnis Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 60 orang) 0.00
1.72
1.72
0.00
108
isi soekarni.indd 108
6/22/2010 6:37:29 PM
Keterkaitan Kinerja UMKM Dengan Lingkungan Bisnis dan Rantai Nilai
Hambatan-hambatan utama yang banyak dikeluhkan oleh pelaku usaha adalah masih kurang konkretnya dukungan dari pemerintah. Pemerintah masih dianggap setengah hati karena tidak menyentuh permasalahan mendasar yang dihadapi oleh para pelaku usaha. Selama ini pemerintah lebih fokus pada bentuk-bentuk pelatihan yang monoton sehingga tidak memberikan manfaat secara optimal bagi pelaku usaha. Sementara itu, bentuk bantuan dalam hal permodalan, dan peralatan produksi seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan sehingga tidak memberikan manfaat secara maksimal. Misalnya kebutuhan modal kerja UMKM adalah sebesar Rp 10 juta tetapi pemerintah hanya memberikan Rp 1 juta kepada pelaku usaha. Akibatnya bantuan modal yang ”tanggung” tersebut tidak terserap untuk mendukung kegiatan usaha tetapi malah dialihkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Hal yang sama juga terjadi pada bantuan peralatan produksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan sehingga tidak dapat termanfaatkan oleh pengusaha. Terkait dengan banyaknya permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh UMKM, pertanyaan penting yang harus dapat dijawab adalah bagaimana upaya yang paling baik dilakukan untuk pengembangan UMKM di masa depan. Pengalaman penanganan UMKM yang sudah cukup lama dilakukan seharusnya bisa memberikan pelajaran bahwa pemerintah sebagai pembina UMKM harus dapat menentukan skala prioritas dalam menentukan langkah dan strategi kebijakan pengembangan UMKM. Oleh karenanya pemerintah harus dapat mengetahui kebutuhan UMKM dengan tepat sehingga nantinya bentuk-bentuk bantuan pemerintah bagi UMKM dapat tepat guna dan tepat sasaran. Hasil perhitungan statistik dari pengumpulan informasi melalui kuesioner untuk menggali persepsi responden terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan UMKM dari pengalaman masa 109
isi soekarni.indd 109
6/22/2010 6:37:29 PM
Muhammad Soekarni dan Purwanto
lalu dan harapannya di masa depan dapat dilihat pada Gambar 5.1 dibawah ini. Gambar prioritas indikator kebutuhan bagi penguatan dan pengembangan UMKM di masa depan menunjukkan tidak adanya perubahan yang sangat drastis dari perspektif pengusaha terhadap faktor-faktor penentu pengembangan UMKM di level pertama (prioritas 1– 6). Permodalan, penguasaan teknologi dan inovasi, kemampuan SDM, jaminan pasar, ketersediaan bahan baku dan kualitas dan harga produk masih menjadi indikator-indikator yang dominan bagi peningkatan UMKM. Hanya ada sedikit perubahan persepsi terkait dengan semakin pentingnya penguasaan teknologi dan informasi di masa depan. Permodalan atau kredit Kemampuan Sumberdaya Manusia Ketersediaan bahan baku Teknologi dan inovasi dalam proses produksi Jaminan pasar dan pemasaran Kualitas dan harga produk Bantuan pemerintah Kerjasama dengan usaha lain Infrastruktur Kondisi persaingan usaha
Permodalan atau kredit Kemampuan Sumberdaya Manusia Teknologi dan inovasi dalam proses produksi Ketersediaan bahan baku Jaminan pasar dan pemasaran Kualitas dan harga produk Bantuan pemerintah Kerjasama dengan usaha lain Kondisi persaingan usaha Infrastruktur
Gambar 5.1 Persepsi Responden Tentang Perubahan faktor-faktor penentu pengembangan UKM
110
isi soekarni.indd 110
6/22/2010 6:37:29 PM
Keterkaitan Kinerja UMKM Dengan Lingkungan Bisnis dan Rantai Nilai
Sementara itu, pada skala proritas di level kedua (prioritas 7 – 10), peningkatan kerjasama usaha masuk dalam prioritas penting dari perspektif pengusaha. Demikian halnya dengan bantuan pemerintah, kondisi persaingan, dan infrastruktur relatif menjadi prioritas selanjutnya di level ini (dibawah batas garis putus-putus). Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan teknis dalam aktivitas primer UMKM masih menjadi prioritas kebutuhan UMKM di masa depan sehingga sudah seharusnya agar upaya program dan kebijakan pemerintah di bidang pengembangan UMKM juga diarahkan pada indikator prioritas tersebut. Sementara itu aktivitas sekunder harus dapat menjadi pendukung yang mampu mendorong pengembangan UMKM dengan mantap. Kondisi Masa Lalu 12
10
8
6
4
2
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 13141516 1718192021 22232425 2627282930 3132333435 36373839 4041424344 45464748 4950515253 54555657 585960 Series1
Series2
Series3
Series4
Series5
Series6
Series7
Series8
Series9
Series10
Harapan Masa Depan 12
10
8
6
4
2
0 1
2 3
4
5
6 7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 Series1
Grafik 5.1
Series2
Series3
Series4
Series5
Series6
Series7
Series8
Series9
Series10
Perspektif Responden terhadap Indikator Penting pengembangan UMKM di Masa Lalu dan Masa Depan
Bagi
111
isi soekarni.indd 111
6/22/2010 6:37:29 PM
Muhammad Soekarni dan Purwanto
Relatif tetapnya indikator-indikator dalam pengembangan UMKM tidak berarti bahwa persepsi responden terhadap indikator tersebut bersifat homogen. Sebagaimana terlihat pada grafik diatas terlihat adanya dinamika perspektif yang sangat heterogen antara satu pengusaha dengan pengusaha lainnya. Sisi sumbu X pada grafik diatas menunjukkan jumlah responden yang menjadi sampel dalam penelitian sedangkan sumbu Y merupakan 10 indikator yang menjadi kebutuhan pengembangan UMKM. Artinya, meskipun hasil analisis menunjukkan bahwa kebutuhan utama UMKM masih berupa kebutuhan modal, tetapi tidak semua responden mempersepsikan kebutuhan modal sebagai kebutuhan utama. Hanya saja secara keseluruhan (aggregate) hasil analisis menunjukkan bahwa indikator modal memiliki standarized value terbaik yaitu 0,039 dengan nilai mean sebesar 2,115 yang berarti bahwa responden selalu menempatkan indikator modal usaha maupun kebutuhan kredit usaha sebagai salah satu kebutuhan prioritas dalam upaya pengembangan UMKM di masa lalu dan di masa depan (Data hasil analisis selengkapnya lihat di lampiran). Hal ini juga berlaku dalam penentuan indikator-indikator lainnya. Pergeseran prioritas dalam indikator-indikator kebutuhan penguatan dan pengembangan UMKM di masa depan menunjukkan tidak adanya perubahan yang sangat drastis dalam perspektif pengusaha. Hal ini menggambarkan bahwa indikator bagi pengembangan UMKM masih berkutat pada hal-hal yang sama. Oleh karenanya bentukbentuk program peningkatan atau pemberdayaan UMKM di masa depan tetap fokus pada upaya mengatasi persoalan klasik UMKM. Peranan pemerintah selanjutnya adalah membantu UMKM mengatasi permasalahan teknis dalam aktivitas primer UMKM melalui penguatan rantai nilai UMKM.
112
isi soekarni.indd 112
6/22/2010 6:37:29 PM
Keterkaitan Kinerja UMKM Dengan Lingkungan Bisnis dan Rantai Nilai
5.3 Keterkaitan Kinerja UMKM Dengan Aktivitas Primer Rantai Nilai Secara teori, UMKM yang menjalin kerjasama dengan pihak lain dalam suatu rantai nilai yang telah terbangun dengan baik akan mendapatkan nilai tambah dan sekaligus daya saing lebih tinggi dibandingkan dengan UMKM sejenis lainnya yang tidak terlibat kerjasama dalam rantai nilai tersebut. Akan tetapi, teori tersebut nampaknya belum terbukti secara meyakinkan dalam penelitian ini. Dari 60 responden yang disurvei, 37 orang diantaranya menyebutkan bahwa mereka pernah melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam berbagai bentuk seperti pengadaan bahan baku, proses produksi, pemasaran dan juga pelayanan kepada pelanggan. UMKM yang melakukan kerjasama lebih banyak dan lebih unggul hanya sampai pada tingkat keuntungan ratarata 29 persen, sedangkan pada tingkat keuntungan 30 persen keatas didominasi oleh UMKM yang bermain sendiri. Hal ini mengindikasikan kerjasama yang dijalin belum memberikan nilai tambah yang cukup berarti bagi UMKM yang diteliti. 60,0 50,0
%
40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 0-9
10. -19
20 - 29 30 - 39 Interval Keuntungan
40 - 49
50 kea
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 60 orang)
Grafik 5.2 Persentase Responden Menurut Keuntungan Usaha Berdasarkan
Kerjasama dan Tidak Kerjasama 113
isi soekarni.indd 113
6/22/2010 6:37:29 PM
Muhammad Soekarni dan Purwanto
Pada analisis rantai nilai di masing-masing daerah diatas telah dijelaskan bahwa UMKM dalam pengadaan bahan baku menggunakan sistim pembayaran tunai, cicilan, dan giro. Dalam bagian ini akan dicoba mengaitkan sistim pembayaran tersebut dengan tingkat keuntungan yang berhasil diraih oleh UMKM. Sekitar 42 persen responden melakukan pembayaran tunai dalam pembelian bahan baku. Sedangkan yang menggunakan sistim cicilan; campuran tunai dengan kredit; dan giro masing-masingnya 12 persen; 35 persen; dan 3 persen. Selanjutnya, dari Tabel 5.3 berikut ini dapat dilihat bahwa UMKM yang mampu menghasilkan tingkat keuntungan lebih tinggi pada umumnya membeli bahan baku dengan cara pembayaran tunai dan kombinasi tunai dengan kredit. Sedangkan UMKM yang menggunakan cara cicilan/kredit dan giro meraih tingkat keuntungan relatif lebih kecil. Sungguhpun demikian, tentunya perlu diketahui bahwa tinggi rendahnya keuntungan yang bisa diraih UMKM dipengaruhi oleh banyak faktor dan bukan hanya tergantung pada sistim pembayaran yang digunakan dalam pembelian bahan baku. Tabel 5.3 Persentase Responden Berdasarkan Cara Pembayaran Bahan Baku Persentase Keuntungan 0-9 10.0-19 20-29 30-39 40-49 50 atau lebih Total
Tunai 12.0 48.0 16.0 4.0 12.0 8.0 100.0
Cara Pembayaran Bahan Baku Tunai dan Cicilan/Kredit cicilan/kredit 0.0 28.6 28.6 28.6 14.3 0.0 100.0
14.3 42.9 9.5 9.5 4.8 19.0 100.0
Giro 0.0 50.0 50.0 0.0 0.0 0.0 100.0
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 58 orang)
114
isi soekarni.indd 114
6/22/2010 6:37:30 PM
Keterkaitan Kinerja UMKM Dengan Lingkungan Bisnis dan Rantai Nilai
UMKM yang diteliti dalam pengadaan bahan baku tidak hanya tergantung pada satu sumber, melainkan dipasok oleh beberapa sumber. Dari 60 responden yang diteliti hanya 2 persen UMKM yang memasok bahan baku dari satu sumber, sedangkan 60 persen tergantung pada 2-5 pemasok dan 38 persen malahan biasa memasok bahan baku lebih dari 5 pemasok. Temuan ini paling tidak menunjukkan bahwa pemasok bahan baku yang dibutuhkan UMKM cukup banyak jumlahnya sehingga ada persaingan diantara pemasok. Hal ini diperkuat oleh hasil wawancara dimana sebagian besar responden menjelaskan bahwa dalam pengadaan bahan baku biasanya mereka bisa berpindahpindah dari satu pemasok ke pemasok yang lain, apalagi jika ada pemasok yang menawarkan harga lebih murah. Dengan demikian para pemasok tidak bisa memonopoli harga seenaknya. Banyaknya sumber pemasok bahan baku nampaknya tidak memberikan pengaruh tingkat keuntungan yang dapat diraup oleh UMKM. Dari Tabel 5.4 dibawah ini terlihat bahwa responden yang mempunyai sumber bahan baku lebih dari 5 pemasok lebih banyak yang mampu meraup tingkat keuntungan 30 persen keatas. Tabel 5.4 Persentase Responden Berdasarkan Sumber Bahan Baku y Banyaknya y Banyak Sumber Penyedia Bahan Baku Persentase Keuntungan 0-9 10-19 20-29 30-39 40-49 50 atau lebih Total
1 sumber
2 - 5 sumber
0,0 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0
14,3 37,1 28,6 8,6 5,7 5,7 100,0
> 5 sumber 4,5 54,5 0,0 9,1 13,6 18,2 100,0
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 58 orang)
115
isi soekarni.indd 115
6/22/2010 6:37:30 PM
Muhammad Soekarni dan Purwanto
Dalam pengadaan bahan baku ini kebanyakan responden sudah melakukan kerjasama dengan pemasok untuk memenuhi barangbarang tertentu. Dari 36 orang responden yang memberikan jawaban, 53 persen diantaranya telah menjalin kerjasama dengan pemasok kategori pengusaha menengah. Sedangkan responden yang melakukan kerjasama dengan pengusaha kecil dan besar, masing-masingnya sebesar 22 persen dan 19 persen. Dengan demikian berarti, pengadaan bahan baku tidak semuanya dilaksanakan dengan sistim jual beli putus kepada para pedagang, melainkan sudah dilakukan berdasarkan kerjasama. Dengan adanya kerjasama tersebut, maka keberlanjutan pasokan bahan baku biasanya lebih terjamin, baik ditinjau dari segi jumlah dan kualitas maupun harga. Bila dikaitkan dengan kinerja usaha, UMKM yang dalam pengadaan bahan bakunya dilakukan dengan suatu ikatan kerjasama, tingkat keuntungannya menjadi relatif lebih besar dibandingkan dengan UMKM yang hanya mengandalkan pada jual beli putus. Sementara itu, kerjasama pengadaan bahan baku yang dilakukan UMKM dengan pengusaha kecil dan besar nampaknya memberikan pengaruh lebih baik pada kinerja UMKM dibandingkan dengan kerjasama yang dilakukan dengan pengusaha menengah. Tabel 5.5 Persentase Responden Menurut Mitra Kerjasama Dalam Pengadaan Bahan Baku Mitra Kerjasama Persentase Keuntungan Pengusaha Pengusaha Pengusaha Tidak ada Jawaban Kecil menengah Besar kerjasama (2) & (3) Total (1) (2) (3) (4) 0-9 0,0 66,7 0,0 33,3 0,0 100,0 10.0-19 11,8 58,8 29,4 0,0 0,0 100,0 20-29 16,7 66,7 0,0 0,0 16,7 100,0 30-39 30,0 50,0 10,0 0,0 10,0 100,0 40-50 33,3 66,7 0,0 0,0 0,0 100,0 50 atau lebih 50,0 0,0 50,0 0,0 0,0 100,0 Total 22,2 52,8 19,4 2,8 2,8 100,0 Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 58 orang)
116
isi soekarni.indd 116
6/22/2010 6:37:31 PM
Keterkaitan Kinerja UMKM Dengan Lingkungan Bisnis dan Rantai Nilai
Aktivitas proses produksi yang baik tentunya akan menjamin kualitas produk yang dihasilkannya. Hubungan atau kerjasama yang terjalin dengan baik dalam proses produksi akan banyak memberikan keuntungan bagi pengusaha. Salah satunya adalah adanya kemampuan dalam menyerap teknologi dan informasi baru di bidang proses produksi sehingga dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan trend pasar. Sebagian besar (53 persen) responden belum melakukan kerjasama dalam proses produksi, melainkan murni dilakukan sendiri. Sementara itu, 29,31 persen responden menyatakan pernah melakukan kerjasama dalam proses produksi. Kerjasama tersebut tersebut pada umumnya terjalin antara sesama pengusaha kecil (Lihat Tabel 5.6). Salah satu bentuk kerjasama yang dilakukan adalah membagi pekerjaan (sharing job order) dan juga informasi teknologi. Akan tetapi responden yang tidak melakukan kerjasama ini tidak berarti tidak pernah melakukan komunikasi dalam hal pengembangan proses produksi. Komunikasi antar pengusaha tetap terjalin dengan baik melalui forum asosiasi, koperasi, maupun individual karena adanya hubungan antar masyarakat dalam suatu lingkungan/kawasan industri. Hanya saja, bentuk komunikasi di bidang proses produksi banyak dilakukan secara informal dan tidak menjadi sesuatu hal yang dilakukan secara berkelanjutan. Tabel 5.6
Persentase Responden Berdasarkan Keuntungan Usaha dan Hubungan Kerjasama di Bidang Proses Produksi Mitra Kerjasama
Total
Keuntungan Pengusaha Pengusaha Pengusaha Jawaban Tdk ada (1) & (2) Kerjasama Usaha (%) Kecil menengah Besar (1) (2) (3) 0–9 0.00 1.72 0.00 0.00 8.62 10 – 19 12.07 6.90 1.72 0.00 24.14 20 – 29 8.62 1.72 0.00 1.72 5.17 30 – 50 6.90 0.00 0.00 0.00 10.34 > 50
1.72
0.00
0.00
3.45
Total
29.31
10.34
1.72
5.17
5.17
10.34 44.83 17.24 17.24 10.34
53.45 100.00
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 58 orang)
117
isi soekarni.indd 117
6/22/2010 6:37:31 PM
Muhammad Soekarni dan Purwanto
Kualitas produk yang baik juga harus diimbangi dengan kemampuan dalam pemasaran agar produknya dapat terjual dan mendapat keuntungan yang memadai bagi keberlanjutan usaha dan peningkatan pendapatan pelaku usaha. Oleh karenanya indikator kinerja dan keberhasilan UKM digambarkan melalui proporsi keuntungan dari hasil usahanya. UMKM yang kinerjanya baik maka akan memperoleh proporsi keuntungan yang baik dan terhindar dari resiko gagal jual atau mengalami kerugian yang dapat mempengaruhi kelangsungan usahanya. Pada Tabel 5.7 di bawah ini disajikan data cross-tabulasi antara proporsi keuntungan usaha dengan hubungan kerjasama antar pengusaha dalam hal penjualan produk. UMKM dengan proporsi keuntungan usaha 10 – 19 persen adalah kelompok pengusaha yang melakukan kerjasama dalam hal penjualan melalui order produk. Order dapat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti order yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu (kontrak) dan ada juga order yang dilakukan hingga penentuan standarisasi dalam kualitas produk yang dihasilkan. Tabel 5.7 Persentase Responden Berdasarkan Keuntungan Usaha dan Hubungan Kontrak Kerjasama di Bidang Penjualan
Keuntungan Usaha (%)
0–9 10 – 19 20 – 29 30 – 50 > 50 Total
Hubungan Kerjasama dalam order penjualan Order Order Order Penjualan Tidak Penjualan Penjualan dalam jangka Ada langsung dalam jangka waktu tertentu waktu dan standarisasi tertentu kualitas produk 1.72 5.17 1.72 0.00 10.34 13.79 12.07 8.62 3.45 1.72 3.45 8.62 3.45 0.00 6.90 6.90 5.17 5.17 0.00 0.00 24.1 24.14 25.86 25.86 4
Total
6.90 44.83 17.24 17.24 5.17 100.00
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 58 orang)
118
isi soekarni.indd 118
6/22/2010 6:37:31 PM
Keterkaitan Kinerja UMKM Dengan Lingkungan Bisnis dan Rantai Nilai
Hubungan kerjasama dalam bidang pemasaran dilakukan tidak hanya antar UMKM tetapi bisa juga dilakukan dengan pengusaha besar ataupun koperasi sebagaimana terlihat pada Grafik 5.3 dibawah ini. Proporsi keuntungan usaha sebesar 10 – 19 persen banyak dialami oleh pengusaha kecil yang melakukan kerjasama dengan pengusaha besar dan antara pengusaha kecil dengan usaha menengah dan sebaliknya. Sementara itu bagi UMKM yang tidak melakukan kerjasama di bidang pemasaran juga banyak yang memperoleh keuntungan pada kisaran 10 – 19 persen. Hal ini menunjukkan tidak banyak perbedaan dalam hal kinerja UMKM pada saat melakukan kerjasama di bidang pemasaran. Namun demikian, bagi pengusaha yang tidak melakukan hubungan kerjasama akan menghadapi resiko ketidakpastian pasar yang lebih tinggi daripada pengusaha yang melakukan kerjasama di bidang pemasaran ini.
Keterangan: Sumbu X: PK=pengusaha kecil (1); PM=Pengusaha Menengah (2); PB=Pengusaha Besar (3); Koperasi (4). Sedangkan sumbu Y : proporsi keuntungan usaha (%) Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 58 orang)
Grafik 5.3
Hubungan Antara Keuntungan Usaha dengan Kerjasama Antar Pengusaha di Bidang Pemasaran
119
isi soekarni.indd 119
6/22/2010 6:37:31 PM
Muhammad Soekarni dan Purwanto
Intensitas kegiatan kerjasama di bidang pemasaran dapat terlihat dari cukup tingginya model pemasaran dengan menjual kepada pemasok atau distributor dibandingkan dengan sistim yang melakukan penetrasi pasar secara langsung yaitu mencapai 32,76 persen dari model pemasaran (Lihat grafik 5.4 dibawah ini). Model pemasaran melalui pemasok/distributor ini merupakan indikasi dari tingginya kerjasama antara UMKM dengan pengusaha yang lebih besar baik dengan menjual produk jadi maupun produk setengah jadi sebagai bagian dari integrasi sistim produksi pada perusahaan besar yang memberikan sub-order bagi pengusaha kecil pada produk-produk tertentu.
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 58 orang)
Grafik 5.4 Hubungan antara Keuntungan Usaha dan Cara Pemasaran
Untuk dapat meyakinkan calon pembeli maupun peminat dari produk yang dihasilkan oleh UMKM maka perlu adanya jaminan pelayanan konsumen yang baik. Jaminan ini akan menjadi suatu bahan pertimbangan konsumen dalam memutuskan pembeliannya pada suatu produk. Hal ini juga disadari oleh para pengusaha kecil dan 120
isi soekarni.indd 120
6/22/2010 6:37:31 PM
Keterkaitan Kinerja UMKM Dengan Lingkungan Bisnis dan Rantai Nilai
menengah yang menyebutkan bahwa garansi produk diberikan bagi konsumennya. Sebanyak 81,3 persen responden menyebutkan bahwa garansi produk diberikan kepada para pelanggan atau konsumen. Pemberian garansi ini secara signifikan mampu menunjukkan adanya perbedaan proporsi keuntungan usaha yang diperoleh UMKM sebagaimana terlihat pada Tabel 5.8 dibawah ini. Tabel 5.8 Persentase Responden Berdasarkan Keuntungan Usaha dan Jaminan Kepada Konsumen Keuntungan Usaha (%)
Jaminan Kepada Konsumen Mencantumkan Memberikan Tidak Sertifikasi Produk Garansi Ada
Total
0–9
1.72
6.90
1.72
10.34
10 – 19
6.90
37.93
0.00
44.83
20 – 29
0.00
13.79
3.45
17.24
30 – 50
1.72
13.79
1.72
17.24
> 50
1.72
8.62
0.00
10.34
Total
12.07
81.03
6.90
100.00
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 58 orang)
Tabel diatas menunjukkan bahwa para pelaku usaha yang memberikan jaminan atau garansi terhadap produk yang dijual sebagian besar mampu memperoleh keuntungan dari 10 persen hingga 50 persen. Hanya sebanyak 6,9 persen responden yang menyebutkan bahwa tidak ada jaminan apapun terhadap produk yang mereka jual ke konsumen. Sementara itu, masih sedikit pula pelaku usaha yang mencantumkan sertifikasi untuk standar kualitas produk yang dihasilkannya. Sedikitnya pencantuman sertifikasi produk karena sebagian besar pengusaha merupakan pengusaha yang memperoleh job order dan juga sub-order sehingga permasalahan kemasan produk tidak menjadi urusan mereka. Dalam hal ini kewajiban UMKM adalah memenuhi order tepat waktu dan sesuai dengan spesifikasi yang diminta oleh pemesannya. 121
isi soekarni.indd 121
6/22/2010 6:37:32 PM
Muhammad Soekarni dan Purwanto
5.4 Keterkaitan Kinerja UMKM Sekunder Rantai Nilai
Dengan
Aktivitas
Dua aspek penting dalam aktivitas sekunder suatu usaha adalah manajemen sumberdaya manusia dan teknologi. Kedua aspek tersebut akan sangat mempengaruhi kinerja usaha. Berikut ini akan dianalsis secara ringkas sejauhmana keterkaitan kedua aspek tersebut dengan tingkat keuntungan yang berhasil diraup UMKM di ketiga sentra industri yang di teliti. Berdasarkan Tabel 5.9 dibawah ini diketahui bahwa sebagian besar pengusaha menilai tenaga kerja yang membantu usaha mereka memiliki kemampuan cukup ahli. Sedangkan pengusaha yang menilai tenaga kerja mereka sudah termasuk kategori ahli dan sangat ahli lebih sedikit yaitu hanya sekitar 39 persen. Bila dikaitkan dengan persentase keuntungan yang berhasil diraup UMKM, penggunaan tenaga kerja yang sudah ahli dan sangat ahli nampaknya tidak memberikan pengaruh yang cukup signifikan. Hal ini diduga karena tenaga kerja yang lebih ahli tidak akan mampu memberikan nilai tambah yang lebih besar karena hasil kerja UMKM sudah ada standar tersendiri sehingga kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan UMKM juga cukup yang memenuhi standar saja. Tabel 5.9 Persentase Responden Berdasarkan Keuntungan Usaha dan Kemampuan Tenaga Kerja
Persentase Keuntungan 0-9 10-19 20-29 30-50 Diatas 50
Kemampuan Tenaga Kerja Cukup Sudah Sangat Ahli Ahli Ahli 5.2 5.2 0.0 29.3 15.5 0.0 10.3 6.9 0.0 8.6 6.9 1.7 6.9 3.4 0.0 60.3 37.9 1.7
Total 10.3 44.8 17.2 17.2 10.3 100.0
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 58 orang)
122
isi soekarni.indd 122
6/22/2010 6:37:32 PM
Keterkaitan Kinerja UMKM Dengan Lingkungan Bisnis dan Rantai Nilai
Salah satu kelemahan UMKM yang sering mendapat sorotan dalam berbagai kajian adalah relatif terbatasnya penguasaan teknologi. Dalam kaitan ini Primiana (2009: 4) menjelaskan beberapa bentuk kelemahan tersebut yaitu: (a) kurangnya pengetahuan tentang bagaimana memproduksi barang yang berkualitas, efisien dan penyelesaian tepat waktu; (b) tidak adanya transfer teknologi dari Usaha Besar; (c) tidak melakukan riset dan pengembangan; (d) tidak mengerti pentingnya kerjasama dengan pihak pemasok; dan (e) tidak adanya proses perbaikan yang berkesinambungan (continuous improvement). Penelitian ini belum sampai pada pengukuran tingkat penguasaan teknologi oleh UMKM, namun masih terbatas pada menggali informasi tentang sumber atau cara UMKM menguasai serta meningkatkan kemampuannya dalam bidang teknologi. Dari hasil survei yang ditampilkan dalam Tabel 5.10 dibawah ini dapat dilihat bahwa ada tiga sumber utama UMKM dalam penguasaan teknologi yaitu belajar sendiri, pendidikan formal, dan belajar dari wirausaha lain. Diantara ketiga sumber tersebut, ternyata belajar sendiri lebih dominan yang mana sebanyak 47 persen responden memperoleh pengetahuan tentang proses produksi dengan cara ini. Sementara itu, 40,35 persen responden mengakui bahwa kemampuannya dalam proses produksi diperoleh dari belajar dengan wirausaha lain dan dikembangkan sendiri dengan berbagai pengalaman selama melakukan aktivitas usaha. Proses belajar sendiri dan menimba pengetahuan dari wirausaha lain berkaitan erat dengan kegiatan usaha yang dilakukan UMKM sudah berjalan sejak lama dan terkonsentrasi dalam suatu wilayah. Hubungan sosial yang cukup baik juga memungkinkan bagi para pelaku usaha untuk berkomunikasi dan saling bertukar pengetahuan pada proses produksi. Selain itu, tidak sedikit responden yang menyatakan bahwa kemampuan atau ketrampilan teknik dalam proses produksi merupakan hasil dari pengalaman pribadi yang sebelumnya bekerja sebagai operator/kuli/pekerja dalam suatu UMKM yang sudah mapan. 123
isi soekarni.indd 123
6/22/2010 6:37:32 PM
Muhammad Soekarni dan Purwanto
Tabel 5.10 Persentase Responden Berdasarkan Keuntungan Usaha dan Sumber Penguasaan Teknologi Proses Produksi Sumber Penguasaan Teknologi Keuntungan Usaha (%)
Belajar Sendiri
Melalui Pendidikan Formal
Belajar dari Wirausaha Lain
Belajar Sendiri dan Dari Wirausaha Lain
Total
0–9
5.26
1.75
3.51
0.00
10.53
10 – 19
22.81
5.26
17.54
0.00
45.61
20 – 29
3.51
1.75
8.77
1.75
15.79
30 – 50
10.53
1.75
1.75
3.51
17.54
> 50
5.26
1.75
3.51
0.00
10.53
Total
47.37
12.28
35.09
5.26
100.00
Sumber: Data Primer P2E-LIPI, 2009 (n = 58 orang)
Dari satu sisi, kemampuan UMKM untuk belajar sendiri dan belajar dari UMKM lainnya adalah bentuk kreativitas, daya juang serta motivasi yang tinggi untuk maju. Namun dari sisi lain, cara seperti itu tentunya tidak selalu dapat diandalkan karena perkembangan teknologi yang demikian cepat. UMKM yang menerapkan cara seperti itu akan selalu ketinggalan, baik dari sisi waktu maupun keunggulan dibandingkan dengan UMKM-UMKM lain yang menjadi pionir. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan bisa berperan lebih aktif untuk memberikan pelatihan-pelatihan dalam bidang teknologi agar UMKM yang lemah tidak selalu ketinggalan.
124
isi soekarni.indd 124
6/22/2010 6:37:32 PM
Keterkaitan Kinerja UMKM Dengan Lingkungan Bisnis dan Rantai Nilai
5.5 Penutup Hasil survey lapangan menunjukkan bahwa kinerja UMKM yang diukur dengan persentase keuntungan yang dihasilkan cukup bervariasi. Variasi tingkat keuntungan UMKM tersebut terbukti dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu mulai dari lingkungan usaha, kebijakan pemerintah, ketersediaan bahan baku, kerjasama dengan pihak lain, infrastruktur, sumberdaya manusia, sampai pada penguasaan teknologi. UMKM yang telah melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam suatu rantai nilai, misalnya di bidang pengadaan bahan baku, proses produksi dan pemasaran, cenderung mampu menghasilkan tingkat keuntungan usaha yang relatif lebih tinggi. Oleh karena itu, upaya-upaya memperkuat keterkaitan dan kerja sama UMKM , baik sesama UMKM ataupun antara UMKM dengan Usaha Besar, perlu ditingkatkan dimasa yang akan datang.
125
isi soekarni.indd 125
6/22/2010 6:37:32 PM
Muhammad Soekarni dan Purwanto
126
isi soekarni.indd 126
6/22/2010 6:37:32 PM
Kesimpulan dan Rekomendasi
BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Tim Peneliti
6.1 Kesimpulan Berdasarkan data statistik dan observasi di lapangan dapat disimpulkan secara meyakinkan bahwa UMKM telah memainkan peranan penting dalam perekonomian, baik pada tingkat nasional maupun di daerah penelitian. Akan tetapi, peranan tersebut belum mencapai titik optimal karena masih terbentur pada berbagai permasalahan dan hambatan sehingga daya saing UMKM masih relatif lemah. Salah satu faktor yang menjadi hambatan adalah belum terciptanya lingkungan usaha yang kondusif bagi kelancaran kegiatan UMKM. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai hal seperti keterbatasan sarana dan prasarana, persaingan yang kurang sehat antara pelaku usaha, keterbatasan industri pendukung/penunjang, dan kurang kongkritnya dukungan dari pemerintah. Semua itu pada gilirannya ikut menghalangi terbentuknya rantai nilai (value chain) secara kuat. Rantai nilai (value chain) pada umumnya belum terbentuk dengan mantap pada keseluruhan aktivitas UMKM yang diteliti mulai dari aktivitas primer sampai aktivitas sekunder. Meskipun demikian, pada beberapa segmen aktivitas primer seperti pengadaan bahan baku dan pemasaran, UMKM telah bergerak dalam suatu rantai nilai yang cukup memadai. Dengan terbangunnya rantai nilai tersebut, UMKM berhasil menciptakan nilai-nilai tambah yang cukup membantu untuk memperbaiki kinerja usaha.
127
isi soekarni.indd 127
6/22/2010 6:37:32 PM
Tim Peneliti
UMKM yang beroperasi dalam suatu rantai nilai dan sekaligus menjalin integrasi dengan UMKM lain atau usaha besar memiliki kinerja lebih baik dibandingkan dengan UMKM yang bergerak secara individual. Sungguhpun demikian, kerjasama yang sudah terjalin antara UMKM dan pengusaha besar dalam suatu rantai nilai tidak selalu mendatangkan keuntungan sebagaimana yang diharapkan UMKM yang bersangkutan. Hal ini misalnya terjadi pada rantai nilai pemasaran alas kaki di Sentra Sepatu Cibaduyut melalui pola kerjasama antara UMKM dengan distributor besar. Dari satu sisi, dengan adanya keterkaitan antara UMKM dengan distributor/pedagang besar yang sudah menjadi champion memberikan kepastian dan kelancaran pemasaran bagi UMKM yang terlibat. Akan tetapi, dari sisi lain UMKM secara tidak langsung harus menerima tingkat harga yang ditetapkan oleh distributor besar. Akibatnya margin keuntungan atau nilai tambah yang tercipta cenderung lebih banyak mengalir kepada distributor besar yang memegang kendali ketika harga yang ditetapkan relatif rendah. Hal ini terjadi karena UMKM tidak memiliki posisi tawar yang kuat dalam menghadapi distributor/pedagang besar. Terbentuknya rantai nilai (value chain) dalam rangkaian kegiatan UMKM di ketiga lokasi penelitian ini sangat dipengaruhi oleh faktor lokasi usaha yang berada di sentra atau klaster industri. Aktivitas UMKM dalam suatu sentra industri yang telah berjalan dalam waktu yang lama menciptakan jalinan kerjasama antar UMKM dan antara UMKM dengan usaha besar. Sentra tersebut pada awalnya tumbuh secara alami dan dipelopori oleh beberapa orang pengusaha saja yang kemudian berkembang secara turun temurun. Sentra-sentra tersebut berkembang dengan adanya dukungan dan bantuan dari pemerintah, swasta dan koperasi berupa pembanguan sarana dan prasarana, bimbingan, pelatihan, penyediaan peralatan yang bisa disewa di instalasi pembinaan, dan pinjaman modal. Meskipun demikian, dukungandukungan tersebut menurut persepsi sebagian besar UMKM belum 128
isi soekarni.indd 128
6/22/2010 6:37:32 PM
Kesimpulan dan Rekomendasi
begitu konkrit dan belum sampai menyentuh UMKM di tingkat bawah. Hal ini terjadi, antara lain, karena dukungan yang diberikan belum berdasarkan pada aspirasi dan kebutuhan riil UMKM secara spesifik.
6.2 Rekomendasi Rekomendasi yang dapat diajukan untuk memperkuat rantai nilai (value chain) agar menghasilkan nilai tambah yang cukup besar bagi pelaku usaha, terutama UMKM adalah sebagai berikut: 1)
Penguatan rantai nilai perlu didukung oleh perbaikan lingkungan bisnis yang lebih kondusif bagi kelancaran kegiatan usaha, terutama di sentra-sentra industri yang sudah ada. Salah satu langkah yang perlu diambil dalam hal ini adalah melengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan seperti jalan, lahan parkir, air bersih dan listrik. Tanpa itu semua, upaya membangun rantai nilai yang mantap dalam suatu lingkungan usaha yang kondusif akan sulit untuk diwujudkan.
2)
Penguatan rantai nilai perlu dilaksanakan dari hulu ke hilir yaitu mulai dari aktivitas primer sampai ke aktivitas sekunder. Upaya ini perlu mendapatkan dukungan dari semua stakeholders. Untuk itu, pengelola sentra-sentra industri diharapkan mampu berperan lebih aktif untuk memfasilitasi terjalinnya kerjasama antara UMKM dengan UMKM, dan antara UMKM dengan Usaha Besar. Cara yang dapat ditempuh antara lain dengan meningkatkan koordinasi antar stakeholder, baik melalui forum-forum yang formal seperti seminar, lokakarya dan workshop; maupun dengan cara yang lebih informal seperti acara ramah-tamah dan forum bersama.
129
isi soekarni.indd 129
6/22/2010 6:37:32 PM
Tim Peneliti
3)
Pemerintah perlu mendorong terjalinnya kerjasama atau kemitraan antara Usaha Besar dengan UMKM dalam suatu rantai nilai. Kemitraan yang dibangun perlu dipastikan dapat berjalan secara adil, saling mendukung dan saling menguntungkan. Dalam hal ini pemerintah diharapkan untuk membuat kebijakan untuk membangun kerjasama antara UMKM dengan Usaha Besar.
4)
Pemerintah, melalui departemen dan dinas tekait, perlu membina dan mendampingi UMKM secara lebih intensif terkait berbagai hal seperti penggunaan teknologi tepat guna, strategi pemasaran, manajemen usaha, dan manajemen sumberdaya manusia. Pembinaan dan pendampingan perlu dilakukan secara professional dan sesuai dengan kebutuhan riil UMKM.
130
isi soekarni.indd 130
6/22/2010 6:37:32 PM
Kesimpulan dan Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
Anonimuos, 2005. The Development Impact of Small and Medium Enterprises: Lessons Learned from SEAF Investments, tersedia online di http://www.seaf.com/Development%20Impact%20Study/SEAF%20 Development%20Impact%20Report%20051304%20.pdf. Arrow, K.J., 1969. “The Organization of Economics Activities : Issues Pertinent to the Choice of Market versus Nonmarket Allocation”, The Analysis and Evaluation of Public Expenditure: the PPB system, Vol.1, US Join Economic Committee, 91st Congress, USA. ------------, 1975, “Vertical Integration and Communication”, Bell Journal of Economics No.6, pp. 173-183 Becattini, G.,1990, The Marshallian industrial district as a socio-economic notion. In Pyke, F., Becattini, G. and Sengenberger W. (eds) Industrial Districts and Inter-Firm Co-operation in Italy. Geneva: International Institute for Labour Studies Coase, R., 1937. The Nature of the Firm, Economica, vol 4. pp.386-405 Departemen Koperasi, 2007. Data UMKM 2004 - 2005, Jakarta. Hayami, Y, Kikuchi, M and Marciano, E.B., 1998. “Structure of Rural-Based Industrialisation: Metal Craft manufacturing on the Outskirts of Greate Manila, the Philippines”, The Developing Economies 36 (2): 132-54 http://timur.jakarta.go.id/v5/?mod=node&s=news&id=499, diakses desember 2009.
7
131
isi soekarni.indd 131
6/22/2010 6:37:33 PM
Tim Peneliti
http://timur.jakarta.go.id/v5/?mod=node&s=news&id=499 Ismawan, I., 2001. Suskes di Era Ekonomi Liberal, Grasindo, Jakarta. Mulyanto, D., (ed.), 2006. Usaha Kecil dan Persoalannya di Indonesia: Seri Bibliografi Bercatatan, Akatiga, Bandung. Porter, M.E., 1998. On Competition, A Harvard Busines Review Book, USA, Boston. ----------, 2003a. Session 5: The Diamond Model in Developing Economies, Microeconomics of Competitiveness, Institute for Strategy and Competitiveness, Harvard Business School, Boston, Massachusetts. ----------, 2003b. Session 10: National Economic Strategy and the Role of Government, Microeconomics of Competitiveness Spring 2003, Institute for Strategy and Competiitveness, Harvard Business School, Boston, Massachusetts. Primiana, I., 2009, Menggerakkan Sektor Riil: UKM & Industri, Bandung: Penerbit ALFABETA. Post Kota 15 Oktober 2009, Sentra Mebel Klender Terancam Hilang, www.poskota.co.id, diakses 7 desember 2009 Perajin Mebel Klender Dapat Bantuan Modal, http://www. mediacenterkopukm.com/detail-berita.php?bID=976, diakses 7 desember 2009 Post Kota 15 Oktober 2009, Sentra Mebel Klender Terancam Hilang, www.poskota.co.id Perajin Mebel Klender Dapat Bantuan Modal, http://www. mediacenterkopukm.com/detail-berita.php?bID=976 132
isi soekarni.indd 132
6/22/2010 6:37:33 PM
Kesimpulan dan Rekomendasi
Sato, Y., 2001. “ Features, Determinants and Impediments of Vertical Inter-Firm Linkages In Indonesia”, Doctoral Dissertation, Program studi Ilmu Managemen, bidang Ilmu Ekonomi, Program Pasca sarjana Universitas Indonesia. Shanmugaratnam, T., 2004. ‘SMEs: A New Role in Economic Growth Strategies’, dalam Hew dan Nee (editor), Enterpreneurship and SMEs in Southeast Asia, ISEAS, Singapore. Snodgrass, DR., Biggs, T., 1996. Industrialization and the Small Firm, A CoPublication of the International center for Economic Growth and the Harvard Institute for International Development, California. Supratikno, H., 2004. ‘The Development of SME Clusters in Indonesia’, dalam Hew dan Nee (editor), Enterpreneurship and SMEs in Southeast Asia, ISEAS, Singapore. Suriadinata, YSA., dan Fatwadi, M., 2000. Kajian Kondusifitas Lingkungan Usaha bagi Usaha Kecil dan Menengah, Kerjasama Asia Foundation, USAID, dan Swisscontact, Jakarta. Tambunan, Mangara, 2004, Strategi Industrialisasi: Sebuah Wacana Rekonstruksi, Jakarta: Balai Pustaka. Williamson, O.,E., 1975. Markets and Hierarchies: Analysis and Antitrust Implications, Free Press, New York. -----------, 1979. Transaction-cost Economics: The Governance of Contractual Relations, Journal of Law and Economics, Vol. 22:233 – 261. -----------, 1981. The Modern Corporation: Origins, Evolution, Attributes, Jornal of Economic Literature, Vol. 19: 1537 – 1568.
133
isi soekarni.indd 133
6/22/2010 6:37:33 PM
Tim Peneliti
-----------, 1985. The Economic Institutions of Capitalism: Firm, Markets, Relational Contracting, Free Press, New York. -----------, 1986. Economic Organization: Firms, Markets and Policy Control, Wheatsheaf Books Ltd. Wang, Wen-Cheng, 2009. “Globalizing the Network Economy: Local Advantage for High-Tech Development”, Makalah, dipresentasikan pada Seminar Knowledge-Based Economy and City Competitiveness, May 7, ICLSPT, Taiwan.
134
isi soekarni.indd 134
6/22/2010 6:37:33 PM
Pendahuluan
Lampiran 1 Pergeseran Faktor Utama dalam Pengembangan UKM (Masa Lalu dan Harapan di Masa Depan) No.
Indikator
Masa Lalu Permodalan atau kredit Kemampuan SDM Ketersediaan bahan baku Teknologi dan inovasi dalam proses 4. produksi 5. Jaminan pasar dan pemasaran 6. Kualitas dan harga produk 7. Bantuan pemerintah 8. Kerjasama dengan usaha lain 9. Infrastruktur 10. Kondisi persaingan usaha Masa Yang Akan Datang 1. Permodalan atau kredit 2. Kemampuan SDM Teknologi dan inovasi dalam proses 3. produksi 4. Ketersediaan bahan baku 5. Jaminan pasar dan pemasaran 6. Kualitas dan harga produk 7. Bantuan pemerintah 8. Kerjasama dengan usaha lain 9. Kondisi persaingan usaha 10. Infrastruktur Sumber: Diadopsi dari Wang, 2009. 1. 2. 3.
Data Mean Standarized 0.039 2.115 0.063 3.410 0.074 4.000 0.075 0.083 0.091 0.129 0.131 0.156 0.157
4.066 4.492 4.934 6.984 7.098 8.426 8.508
0.051 2.754 0.063 3.393 0.068 0.079 0.084 0.092 0.125 0.133 0.151 0.155
3.689 4.246 4.508 4.951 6.770 7.164 8.164 8.344
135
isi soekarni.indd 135
6/22/2010 6:37:33 PM