Peran Sediaan COX-2 Inhibitor Dalam Modulasi Nyeri Aznan Lelo D.S. Hidayat M. Ichwan Fakultas Kedokteran Bagian Farmakologi dan Terapeutik Universitas Sumatera Utara Abstrak Penanggulangan nyeri akut pasca operasi masih tetap belum optimal, sekitar 80% penderita mengeluhkan masih merasakan nyeri sedang sampai berat pasca operasi. Inflamasi sering disertai dengan hiperalgesia. Inflamasi perifer menghasilkan prostaglandin dan berbagai sitokin yang menginduksi COX-2 setempat (local). Selanjutnya akan mensensitisasi nocicieptor perifer yang ditandai dengan timbulnya rasa nyeri. Sebagian sitokin melalui aliran darah sampai ke sistem syaraf pusat meningkatkan kadar interleukin-1 yang pada gilirannya menginduksi COX-2 di dalam neuron otak. Bagaimanapun, sekali enzim COX-2 dipicu berbagai aksi muncul di perifer dan susunan syaraf pusat. Perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin dengan bantuan enzim cyclooxygenase (COX) dapat dihambat dengan pemberian AINS (anti-inflamasi nonsteroid) yang juga dikenal sebagai “COX-inhibitor”. Pembentukan prostaglandin dapat ditingkatkan oleh bradikinin dan interleukin-1. Di perifer, prostaglandin dapat merangsang reseptor EP1 yang meningkatkan sensasi nyeri dan reseptor EP4 yang menurunkan sensasi nyeri. Namun prostaglandin yang dibentuk melalui aktivasi COX-2 berperan dalam percepatan transmisi nyeri di syaraf perifer dan di otak, terutama dalam peran sentralnya memodulasi nyeri hiperalgesia dan alodinia. Oleh karena kejadian nyeri inflamasi bukan hanya berkaitan dengan peningkatan produksi prostaglandin oleh aktivasi COX-2, AINS yang ideal hendaklah lebih nyata menghambat aktivitas COX-2 dan juga mampu menghambat aktivitas mediator-mediator inflamasi lainya seperti bradikinin, histamin dan interleukin, serta mampu merembes ke cairan serebrospinal. Pendahuluan Sediaan AINS (anti-inflamasi non-steroid) yang juga dikenal sebagai “COXinhibitor” menghambat aktivitas enzim cyclooxygenase (COX) dalam pembentukan mediator inflamasi prostaglandin, telah lama digunakan pada pengobatan rematik. Sediaan ini kemudian diperkenalkan dalam penanggulangan nyeri lainnya termasuk nyeri pasca operasi. Karena sediaan ini memberikan efek analgetik yang mengatap, AINS kurang berhasil guna bila digunakan secara tunggal untuk mengatasi nyeri pasca operasi besar (seperti bedah ortopedi, abdomen atau thorax). Dengan demikian AINS harus dikombinasikan dengan analgetik opiat (Joris, 1996). Akan tetapi dalam penanggulangan nyeri akut pasca operasi masih tetap belum optimal, sekitar 80% penderita mengeluhkan masih merasakan nyeri sedang sampai berat pasca operasi (Sinatra, 2002). Inflamasi sering disertai dengan hiperalgesia (Ibuki dkk, 2003). Nyeri sendiri merupakan fenomena 1 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
yang kompleks melibatkan sensitisasi perifer di tempat yang mengalami inflamasi dan sentral di otak. Dari kajian meta-analisis, Eisenberg dkk (1994) mendapatkan bahwa AINS sebagai dosis tunggal memberikan khasiat analgetik yang sangat nyata dibandingkan placebo, yang khasiat analgetiknya setara dengan yang diberikan pasca injeksi 5 – 10 mg morfin intramuscular. Pannuti dkk (1999) mengkaji perbedaan khasiat analgetik dan toksisitas AINS yang lebih selektiv menghambat COX-1 ketorolak dengan yang agak selektif menghambat COX-2 diclofenak dalam menanggulangi nyeri kanker. Kedua sediaan ternyata menunjukkan khasiat analgetik dan toksisitas yang sepadan, sebagaimana ditunjukkan oleh area under the pain-intensity time curve (AUC0-8), efek maksimum, atau masa kerja ke dua sediaan. Yang menarik adalah peningkatan gangguan lambung yang lebih nyata setelah ketorolak diberikan pada mereka yang sebelumnya diterapi dengan AINS lain. Suatu anggapan yang tak benar adalah bahwa semua AINS memiliki efek terapi yang sama, sehingga suatu AINS tertentu dapat digunakan sebagai pengganti AINS lain terhadap indikasi tertentu. Saat ini diketahui bahwa hambatan isoform COX-1 berakibat timbulnya efek samping AINS dan hambatan isoform COX-2 berkaitan dengan efek terapi yang diinginkan (yaitu analgetik dan anti-inflamasi). Meskipun AINS klasik dan AINS dengan hambatan spesifik COX-2 (COX-2 inhibitor; COXIB) memberikan khasiat yang hampir sama, “COX-2 inhibitor” memiliki tampilan keamanan yang lebih baik. Oleh karena itu, haruskah pengobatan memusatkan pendekatannya atas keparahan nyeri atau penyebab nyeri? Penggunaan rasional suatu AINS hendaknya berdasarkan pengertian mendasar tentang fisiologi persepsi nyeri disamping farmakologi obat bersangkutan. Oleh karena itu tiap klinisi harus memahami peran sediaan „COX-2 inhibitor“ dalam modulasi nyeri. Modulasi nyeri sendiri dapat terjadi diperifer, daerah dimana awal rangsangan nyeri terjadi, dan disepanjang sistem syaraf sensorik saat transmisi impuls nyeri berlangsung dan sampai di sentral. Di jaringan perifer, prostaglandin secara sinergis bekerja bersama dengan beberapa mediator inflamasi dan nyeri, termasuk bradikinin dan histamine. Peningkatan persepsi nyeri perifer dikenal sebagai hiperalgesi primer. Sedangkan peningkatan persepsi nyeri di sentral dikenal sebagai hiperalgesi sekunder. Peran sediaan „COX-2 inhibitor“ dalam modulasi nyeri perifer Tubuh kita kaya dengan serabut-serabut syaraf yang hanya berfungsi untuk mentransmisikan berbagai informasi dari dan ke sistem syaraf pusat. Adanya picuan nyeri fisik atau kimiawi pada awalnya diterima oleh reseptor khusus nociceptor yang diikuti dengan transmisi nyeri disepanjang syaraf sensorik. Bila nociceptor perifer disensitisasi, respon nyeri terhadap stimulus sakit ditingkatkan. Fenomena ini disebut hiperalgesia. Di perifer, kepekaan nociceptor terhadap stimulus yang menyakitkan makin meningkat oleh adanya prostaglandin, bradikinin, histamine dan lainnya. Dengan demikian mekanisme modulasi nyeri di perifer adalah berawal dari adanya sensitisasi ujung syaraf oleh mediator prostaglandin E-2 yang terbentuk akibat cedera jaringan dan peningkatan jumlah COX-2. Memang benar, hasil penelitian menunjukkan adanya peran sentral bradikinin (dibebaskan dari plasma darah) dan sitokin (dibebaskan dari jaringan dan selsel) dalam kejadian nyeri inflamasi. Pembebasan tumor necrosis factor-alpha (TNFalpha) menyebabkan bebasnya interleukin-1 dan interleukin-8 yang berikutnya diikuti 2 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
dengan bebasnya produk COX (prostaglandin, prostacyclin dan thromboxan) dan sympathomimetic amines. Dari beberapa kajian nyeri inflamasi diketahui bahwa bradikinin dapat menyebabkan hiperalgesia melalui pembebasan TNF-alpha. Obat-obatan yang mampu menghambat aktivitas COX (sediaan AINS) atau sediaan yang mampu mengantagonis efek sympathomimetic amine (beta-blocker) ternyata mampu mencegah sensitisasi nociceptor. Pada kenyataannya, selama terjadinya hiperalgesia hanya analgetik tertentu yang berkhasiat (Ferreira, 1993). Dari penelitian Henrotin dkk (1999) diketahui bahwa diclofenac dan nimesulide pada konsentrasi terapeutik merupakan penghambat yang kuat dari pembentukan prostaglandin E2 dan interleukin-6. Sanchez dkk (2002) mengkaji efek IL-1beta dan beberapa AINS pada metabolisme sel tulang rawan manusia. Ibuprofen, indometasin, piroxicam, diklofenak, nimesulid, celecoxib dan rofecoxib semuanya mampu menghambat sintesis PGE2. Hanya indometasin, diklofenak dan nimesulid yang secara bermakna menghambat IL-6 baik dalam keadaan basal maupun yang distimulasi dengan IL-1beta Sangkaan bahwa reseptor prostaglandin (khususnya reseptor prostaglandin E2 yaitu reseptor EP) yang memperantarai sensitisasi syaraf sensorik merupakaan kunci tercetusnya hiperalgesia. Omote dkk (2001) membuktikan bahwa sediaan penyekat EP1 (ONO-8711) dapat menghambat hiperalgesia mekanik yang disebabkan oleh sayatan bedah. Sitokin mempunyai peran yang menentukan dalam perkembangan dan perjalanan inflamasi dan nyeri rematik. Perangsangan reseptor prostaglandin subtipe EP4 akan menekan produksi sitokin pada sel-sel imun. Pemberian agonis EP4 secara intrakapsuler dapat menghambat hiperalgesia mekanik dan termis serta reaksi inflamasi akut dan kronis. Omote dkk (2002) beranggapan bahwa penggunaan agonis EP4 akan menjadi suatu strategi dalam penanggulangan nyeri inflamasi artritis dimasa datang. AINS yang tidak secara selektif menghambat COX mampu menurunkan produksi prostaglandin di jaringan yang mengalami inflamasi. Hasil kajian pada tikus menunjukkan bahwa hanya AINS dengan hambatan selektif COX-2 yang mampu mencegah hiperalgesia, inflamasi dan demam. Namun hasil penelitian Torres-Lopez dkk (2002) menunjukkan bahwa pemberian di perifer “COX-2 inhibitor” celecoxib tidak memberikan khasiat analgetik pasca pemberian formalin. Sebaliknya diclofenac (penghambat COX yang tidak selektif) dan resveratrol (penghambat selektif COX-1) menunjukkan efek analgetik yang sesuai dengan pertambahan dosis. Khasiat analgetik ke dua sediaan ini diyakini sebagai aksi setempat, dimana bila AINS ini diberikan di sisi kontralateral tidak memberikan efek analgetik. Peran sediaan „COX-2 inhibitor“ dalam modulasi nyeri sentral Inflamasi perifer menyebabkan peningkatan produksi prostaglandin di sumsum tulang belakang. Selain itu di cairan serebrospinal prostaglandin tidak terdeteksi pada keadaan normal, namun beberapa jam setelah inflamasi perifer kadar prostaglandin meningkat secara bermakna. Adanya tampilan COX-1 dan COX-2 di sumsum tulang belakang dan syaraf afferent primer mengisyaratkan bahwa sumsum tulang belakang adalah salah satu tempat kerja AINS sebagai analgetik. Pemberian prostaglandin langsung ke sumsum tulang belakang dapat menimbulkan modulasi nyeri berupa hiperalgesia dan alodinia (Vanegas & Schaible, 2001). Hal ini jelas memiliki aksi sentral. Pertama, prostaglandin bekerja pada terminal sentral, apakah di:
3 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
• Terminal presinaptik syaraf sensori akan meningkatkan pembebasan transmitter. • Post-sinaptik neuron kornu dorsalis akan langsung mencetuskan depolarisasi. Terakhir, prostaglandin dapat menghambat kerja reseptor glycin yang bertindak sebagai transmitter inhibitoris. Secara keseluruhan kerja sentral prostaglandin adalah peningkatan eksitabilitas neuron. Freshwater dkk (2002) menemukan peningkatan kadar COX-2 dan prostaglandin di sumsum tulang belakang tikus dengan diabetes yang menunjukkan modulasi nyeri hiperalgesi, sementara kadar COX-1 menurun. Hefferan dkk (2003) membuktikan bahwa cedera syaraf sumsum tulang belakang akan meningkatkan sintesis prostaglandin melalui aktivasi COX-2 di sumsum tulang belakang. Sedangkan modulasi nyeri alodinia terjadi sebagai akibat kerja prostaglandin di reseptor EP yang ada di sumsum tulang belakang. Hiperalgesia akibat inflamasi diperantarai oleh COX-2 dalam pembentukan prostaglandin di susunan syaraf pusat. Ibuki dkk (2003) menyuntikan carrageenan dan menemukan induksi COX-2 disertai dengan peninggian prostaglandin E-2 di cairan serebrospinal, yang dapat dikurangi dengan pemberian AINS yang selektif menghambat COX-2 secara intrathecal. Dari hasil penelitian pada penderita yang mengalami thoracotomy, McCrory & Fitzgerald (2004) menemukan peninggian kadar prostaglandin di cairan serebrospinal setelah pembedahan, yang dapat ditekan oleh nimesulide (selektif menghambat COX-2) tetapi tidak dapat diturunkan oleh ibuprofen (penghambat COX- yang tidak selektif). Pada inflamasi akut dan kronis, prostaglandin E2 merupakan prostaglandin utama yang dihasilkan di perifer dan sentral. Pembentukan prostaglandin ini, baik di perifer dan sentral, dihambat oleh penghambat COX-2. Celecoxib mampu menurunkan kadar prostaglandin E2 yang meninggi di otak tikus setelah pemberian kainate (Ciceri dkk, 2002). Dengan menggunakan model penelitian yang berbeda, Medhurst dkk (2002) mengkaji modulasi nyeri akibat kanker tulang pada hewan coba tikus. Setelah penyuntikan intra-tibia “syngeneic MRMT-1 mammary gland carcinoma cells” tumor segera merebak dan merusak tulang tikus, sementara itu secara perlahan muncul alodinia dan hiperalgesia mekanik. Pengobatan akut dengan analgetik opiat morfin secara subkutan memberikan pengurangan nyeri sesuai dengan dosis yang diberikan. Namun pengobatan akut dengan analgetik non-opiat “COX-2 inhibitor” celecoxib yang juga diberikan secara sub-kutan tidak mempengaruhi alodinia mekanik (Medhurst dkk, 2002). Dari temuan diatas, hambatan spesifik pada COX-2 tidak mampu meniadakan modulasi nyeri alodinia akibat kanker. Kenapa hal ini terjadi? Peran tampilan farmakologi AINS dalam modulasi nyeri Farmakokinetik AINS di cairan serebrospinal memberikan arti klinik tersendiri dalam hal efek terapi dan efek sampingnya. Untuk AINS yang larut dalam lemak (oxyphenbutazone, indomethacin, ketoprofen), pada kadar mapan kadar bentuk bebas AINS berhubungan dengan kadarnya di cairan serebrospinal, tidak demikian halnya dengan yang larut dalam air (asetosal) (Bannwarth dkk, 1989). Selain itu AINS yang telah terbukti mampu melewati sawar darah otak adalah diclofenac (Zecca dkk, 1991) dan nimesulide (Ferrario & Bianchi, 2003). Dari hasil penelitian Sanchez dkk (2002) diketahui bahwa kebanyakan AINS bekerja multifaktorial dan tidak terbatas pada penghambatan aktivitas cyclooxygenase. Modulasi nyeri inflamasi dapat juga berawal dari bebasnya berbagai mediator (multifactor origin), seperti histamin, bradikinin dan sebagainya, bukan hanya 4 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
diakibatkan oleh produk cyclooxyigenase prostaglandin. Oleh karena itu AINS yang ideal hendaklah mampu menghambat aktivitas cyclooxyigenase dalam pembentukan prostaglandin dan menghambat efek mediator-mediator inflamasi lainnya. Kesimpulan Inflamasi perifer menghasilkan prostaglandin dan berbagai sitokin yang menginduksi COX-2 setempat (local). Selanjutnya akan mensensitisasi nocicieptor perifer yang ditandai dengan timbulnya rasa nyeri. Sebagian sitokin melalui aliran darah sampai ke sistem syaraf pusat meningkatkan kadar interleukin-1 yang pada gilirannya menginduksi COX-2 di dalam neuron otak. Bagaimanapun, sekali enzim COX-2 dipicu berbagai aksi muncul di perifer dan susunan syaraf pusat. Perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin dengan bantuan enzim siklooksigenasi dapat dihambat dengan pemberian AINS. Pembentukan prostaglandin dapat ditingkatkan oleh bradikinin dan interleukin 1. Di perifer, prostaglandin dapat merangsang reseptor EP1 yang meningkatkan sensasi nyeri dan reseptor EP4 yang menurunkan sensasi nyeri. Namun prostaglandin yang dibentuk melalui aktivasi COX-2 berperan dalam percepatan transmisi nyeri di syaraf perifer dan di otak, terutama dalam peran sentralnya memodulasi nyeri hiperalgesia dan alodinia. Oleh karena kejadian nyeri inflamasi bukan hanya berkaitan dengan peningkatan produksi prostaglandin oleh aktivasi COX-2, AINS yang ideal hendaklah lebih nyata menghambat aktivitas COX-2 dan juga mampu menghambat aktivitas mediator-mediator inflamasi lainya seperti bradikinin, histamin dan interleukin, serta mampu merembes ke cairan serebrospinal. Rujukan: Bannwarth B, Netter P, Pourel J, Royer RJ, Gaucher A. Clinical pharmacokinetics of nonsteroidal anti-inflammatory drugs in the cerebrospinal fluid. Biomed Pharmacother. 43(2):121-6,1989. Ciceri P, Zhang Y, Shaffer AF, Leahy KM, Woerner MB, Smith WG, Seibert K, Isakson PC. Pharmacology of celecoxib in rat brain after kainate administration. J Pharmacol Exp Ther. 302(3):846-52,2002. Eisenberg E, Berkey CS, Carr DB, Mosteller F, Chalmers TC. Efficacy and safety of nonsteroidal antiinflammatory drugs for cancer pain: a meta-analysis. J Clin Oncol. 12(12):2756-65,1994. Ferreira SH. The role of interleukins and nitric oxide in the mediation of inflammatory pain and its control by peripheral analgesics. Drugs. 46 Suppl 1:1-9,1993. Ferrario P, Bianchi M. Simultaneous determination of nimesulide and hydroxynimesulide in rat plasma, cerebrospinal fluid and brain by liquid chromatography using solidphase extraction. J Chromatogr B Analyt Technol Biomed Life Sci. 785(2):22736,2003. Freshwater JD, Svensson CI, Malmberg AB, Calcutt NA. Elevated spinal cyclooxygenase and prostaglandin release during hyperalgesia in diabetic rats. Diabetes 51(7):2249-55,2002.
5 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Hefferan MP, Carter P, Haley M, Loomis CW. Spinal nerve injury activates prostaglandin synthesis in the spinal cord that contributes to early maintenance of tactile allodynia. Pain 101(1-2):139-47,2003. Henrotin YE, Labasse AH, Simonis PE, Zheng SX, Deby GP, Famaey JP, Crielaard JM, Reginster JY. Effects of nimesulide and sodium diclofenac on interleukin-6, interleukin-8, proteoglycans and prostaglandin E2 production by human articular chondrocytes in vitro. Clin Exp Rheumatol. 17(2):151-60,1999. Ibuki T, Matsumura K, Yamazaki Y, Nozaki T, Tanaka Y, Kobayashi S. Cyclooxygenase-2 is induced in the endothelial cells throughout the central nervous system during carrageenan-induced hind paw inflammation; its possible role in hyperalgesia. J Neurochem. 86(2):318-28,2003. Joris J. Efficacy of nonsteroidal antiinflammatory drugs in postoperative pain. Acta Anaesthesiol Belg. 47(3):115-23,1996. McCrory C, Fitzgerald D. Spinal prostaglandin formation and pain perception following thoracotomy: a role for cyclooxygenase-2. Chest. 125(4):1321-7,2004. Omote K, Kawamata T, Nakayama Y, Kawamata M, Hazama K, Namiki A. The effects of peripheral administration of a novel selective antagonist for prostaglandin E receptor subtype EP(1), ONO-8711, in a rat model of postoperative pain. Anesth Analg 92(1):233-8,2001. Omote K, Kawamata T, Nakayama Y, Yamamoto H, Kawamata M, Namiki A. Effects of a novel selective agonist for prostaglandin receptor subtype EP4 on hyperalgesia and inflammation in monoarthritic model. Anesthesiology 97(1):170-6,2002. Sanchez C, Mateus MM, Defresne MP, Crielaard JM, Reginster JY, Henrotin YE. Metabolism of human articular chondrocytes cultured in alginate beads. Longterm effects of interleukin 1beta and nonsteroidal antiinflammatory drugs. J Rheumatol 29(4):772-82,2002. Sinatra R. Role of COX-2 inhibitors in the evolution of acute pain management. J Pain Symptom Manage. 24(1 Suppl):S18-27,2002. Torres-Lopez JE, Ortiz MI, Castaneda-Hernandez G, Alonso-Lopez R, AsomozaEspinosa R, Granados-Soto V. Comparison of the antinociceptive effect of celecoxib, diclofenac and resveratrol in the formalin test. Life Sci 70(14):166976,2002. Vanegas H, Schaible HG. Prostaglandins and cyclooxygenases in the spinal cord. Prog Neurobiol 64(4):327-63,2001. Zecca L, Ferrario P, Costi P. Determination of diclofenac and its metabolites in plasma and cerebrospinal fluid by high-performance liquid chromatography with electrochemical detection. J Chromatogr. 567(2):425-32,1991.
6 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara