PERAN SARANA TELEKOMUNIKASI DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
Oleh : YR Subakti A. Pendahuluan Kesadaran sejarah masyarakat sebagai warga bangsa cenderung kian meluntur. Hal itu tak hanya terlihat dari makin sempitnya cara pandang kesejarahan dalam konteks waktu dan kesinambungannya, tetapi juga rendahnya kesadaran akan perbedaan dan persamaan kontekstual. Diduga, persoalan ini terkait erat dengan pengajaran atau pemaparan sejarah yang terlalu indoktrinatif. Demikian juga kalau dikaji lebih dalam, akar dari semua masalah yang kini membelenggu bangsa Indonesia yakni keterpurukan, keterombang-ambingan dan keresahan yang merisaukan serta mengerikan adalah pengingkaran adanya fakta sejarah. Kebenaran dan kesadaran sejarah bahwa kelahiran bangsa dan negara Republik Indonesia adalah sebagai buah dari pemanfaatan secara arif kemajemukan yang senyatanya ada menjadi satu kekuatan dasar keberadaan bangsa ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesadaran sejarah memegang peranan sangat penting, terutama kesadaran bahwa bangsa Indonesia ini bersifat majemuk. Kemajemukan yang mendasar, baik dalam aspek sosial, budaya, maupun agama. Semuanya itu dirumuskan dengan rumusan sederhana namun penuh makna, Bhineka Tunggal Ika. Kemajukan itu akan selalu terbawa dalam perjalanan bangsa dan negara Indonesia dalam waktu dan ruang untuk selamanya, termasuk dalam hal kesadaran sejarah nasional yang dimiliki oleh individu, masyarakat dan bangsa Indonesia. Makna kesadaran sejarah sebagai suatu kesadaran, sikap mental atau sikap jiwa pada diri suatu individu, masyarakat atau bangsa yang ditumbuhkan dari hasil penggalian kebenaran yang dikandung fakta sejarah lengkap dengan hubungan kasualitasnya secara menyeluruh untuk mengembangkan kearifan dan kebijaksanaan yang bersangkutan dalam menghadapi masa sekarang dan mendatang. Penggalian ditandai oleh digunakannya logika dan hukum sejarah tertentu dan pada tingkat pendalaman tertentu pula. Kata kunci untuk memaknai kesadaran sejarah secara berurutan adalah kebenaran sejarah, kearifan dan kebijaksanaan. Artinya dengan menelaah, menemukan, memahami dan menghayati adanya kebenaran sejarah, seseorang atau sekelompok masyarakat akan dapat mengambil keputusan bertindak yang bijaksana dan penuh kearifan untuk menghadapi hidup dan kehidupan mereka, baik sebagai individu, kelompok masyarakat, pimpinan masyarakat, elite politik, pimpinan negara ataupun pimpinan pemerintahan. Sementara peran pendidikan atau pelajaran sejarah adalah menumbuhkembangkan kesadaran sejarah itu dalam setiap diri siswa. Idealnya, pelaksanaan pembelajaran sejarah di sekolah, baik yang termuat dalam pengajaran IPS di Sekolah Dasar dan SLTP, maupun di SMU dan SMK bebas dari segala hambatan yang menimbulkan permasalahan-permasalahan. Guru memiliki kebebasan untuk menentukan tujuan dan materi pembelajaran sejarah. Sementara fungsi kurikulum hanyalah sebagai pedoman yang bersifat terbuka. Drs. Y.R. Subakti, M.Pd., adalah dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Pengembangan materi pengajaran disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat. Dengan demikian para anak didik akan betul-betul memahami perkembangan sejarah di wilayahnya. Selain itu, guru dalam menyampaikan materi pembelajaran sejarah tidak hanya bersifat hafalan belaka, namun lebih berintikan pada analisis permasalahan yang menyelimuti fakta sejarah. Hal ini juga didukung oleh teknik evaluasi yang tidak hanya menekankan aspek kognitif belaka, melainkan sudah didukung pengukuran dalam aspek afeksi dan psikomotorik. Seandainya guru menekankan pada aspek kognitif karena adanya tuntutan materi, maka penyampaiannya pada tataran kognitif tingkat atas, misalnya evaluasi, analisis dan sintesa. Hal di atas adalah aspek ideal. Namun, pada kenyataannya, banyak guru yang menyampaikan materi pembelajaran sejarah bersifat hafalan, kognitif tingkat rendah dan evaluasi yang mengagung-agungkan pilihan ganda. Anak didik tidak dihadapkan pada analisis problematika sejarah, melainkan dihadapkan pada pilihan yang sudah disiapkan tanpa ada kemungkinan untuk mengajukan alternatif jawaban yang lain. Pemikiran-pemikiran anak didik diberangus tanpa ada kesempatan untuk berkembang. Dengan demikian pembelajaran sejarah menjadi sangat tidak menarik, membosankan. Ini hanyalah salah satu problematika dalam pembelajaran sejarah. Masalah lain adalah adakah solusi atas permasalahan di depan yang dapat ditemukan oleh guru untuk memperbaiki pembelajaran sejarah di sekolahnya? B. Problematika Pembelajaran Sejarah Di Sekolah Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pembelajaran sejarah di sekolah cukup banyak. Bahkan pembelajaran tersebut dengan berbagai permasalahan adalah hal yang biasa, sehingga tidak terasa bahwa hal itu adalah sebuah masalah. Berbagai permasalahan berkaitan dengan pembelajaran sejarah yang ditemukan di lapangan sebagai berikut : 1. Pembelajaran Sejarah Sering Tidak Sesuai dengan Fakta Pembelajaran sejarah di sekolah yang sering bertentangan dengan fakta yang sebenarnya terjadi. Hal ini membuat siswa bingung, akhirnya menganggap guru sejarahnya bohong. Minat siswa untuk belajar sejarah turun. Alhasil, nilai mata pelajaran tersebut jatuh dan guru kembali harus menanggung risiko, akibat dinilai atasan tidak becus mengajar. Akibat lebih jauh lagi, keberadaan guru sejarah terancam, sebab penilaian atasan bisa membuat mata pelajaran tersebut dihilangkan, sehingga guru kehilangan tugasnya (Kompas, 15 Maret 1999). Ketidakpercayaan para siswa tersebut akhirnya juga berimbas pada tingkat kepercayaan guru terhadap bidang yang digelutinya, yaitu pembelajaran sejarah. Muncul suatu pertanyaan, apakah benar fakta sejarah ini benar-benar terjadi ? Hal ini akhirnya mendorong ketidakberdayaan guru semakin meningkat. Ketidakberdayaan guru dalam bidang studi sejarah tersebut semakin mencuat dalam beberapa materi pelajaran sejarah, antara lain masalah Supersemar, Serangan Umum 1 Maret 1949, pemberontakan G 30 S/PKI, dan kelahiran Pancasila. Apa yang ditulis dan diajarkan di dalam buku-buku sejarah untuk siswasiswa SLTA ke bawah amat berbeda dengan apa yang didengar siswa dari televisi dan surat kabar. Seorang guru mencontohkan, di buku disebutkan, integrasi Timtim ke Republik Indonesia atas kemauan sendiri. Atas informasi
itu, murid bertanya, kalau atas kemauan sendiri mengapa sekarang mereka minta merdeka? (Kompas, 15 Maret 1999). Para guru mengaku kesulitan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan para siswanya. Apalagi kalau siswa tersebut di rumah memiliki sarana untuk mendapatkan berbagai informasi yang cukup lengkap. Sementara gurunya justru miskin dengan informasiinformasi yang aktual. 2. Penyimpangan Kurikulum Mata Pelajaran Sejarah Berbagai faktor menyebabkan munculnya kondisi yang kurang menggembirakan dalam lingkup pembelajaran sejarah. Salah satu diantaranya kecenderungan tumpang tindih dalam kurikulum sejarah. Sofyan Saad (1992 : 4) sejak lama telah mengisyaratkan “perlunya kurikulum sejarah direnovasi atau setidaknya diperkaya”. Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK 2004 meski akhirnya prematur) maupun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP 2006) harapan ini tampaknya sudah mulai menemukan titik cerahnya meskipun harus diakui masih banyak bagian yang perlu dikritisi bahkan direvisi, bukan saja menyangkut perbandingan isi kurikulum SD (IPS), SMP (IPS Sejarah), dan SMA/MA melainkan pada tingkat satuan pendidikan khususnya SMA (Kelas X – XII) kurikulum sejarah kurang sistematis. Di sisi lain Daliman (2005 : 114) mensinyalir bahwa penyebab rendahnya minat belajar terhadap pembelajaran sejarah, karena “materi yang disajikan tidak lebih kisah dari rekonstruksi peristiwa dan aktivitas manusia di masa lampau, yang bagi siswa sifatnya abstrak”. Hal ini menunjukkan bahwa kurikulum sejarah memang masih menyisakan sejumlah masalah sehingga berakibat pembelajaran sejarah di kelas tidak lebih dari aktivitas hafal-menghafal atau terbatas pada pengembangan ingatan. Terlalu padatnya kurikulum pembelajaran sejarah di sekolah semakin diperparah dengan waktu pelajaran yang sangat terbatas, yaitu seminggu hanya dua jam pelajaran. Dengan demikian dapat diduga bahwa materi yang disampaikan hanyalah pada tataran kognitif, bahkan kognitif tingkat rendah. Anak tidak dihadapkan pada tataran evaluasi dan analisis permasalahan. Dengan demikian materi yang disampakan hanyalah bersifat hafalan. Akhirnya muncul gambaran bahwa sejarah identik dengan pelajaran hafalan. Hal ini pernah penulis buktikan kepada para calon mahasiswa Universitas Sanata Dharma yang memilih Program Studi Pendidikan Sejarah. Mengapa memilih sejarah ? Jawaban yang keluar adalah yang enak dan gampang, karena bersifat hafalan. Padahal pelajaran sejarah tidak identik dengan hafalan. Dalam belajar sejarah sangat dituntut adanya sifat analisis, yaitu analisis permasalahan dan interpretasi atas fakta sejarah. 3. Materi Buku-buku Ajar Sejarah Selain kurikulum pelajaran, keberadaan buku pelajaran yang dijadikan pegangan guru menjadi penting, karena akan ikut menentukan arah ke mana anak akan dibawa. Bagi siswa, buku pelajaran bisa dikatakan sebagai perangkat terpenting, baik sebagai sarana pembuka cakrawala berpikir maupun wahana untuk mempengaruhi nilai-nilai dan caranya bersikap. Dalam kaitannya dengan buku pelajaran sejarah, menjadi semakin penting dipersoalkan, apakah buku-buku yang ada sekarang sudah memungkinkan anak belajar dari peristiwa sejarah? Atau justru sebaliknya, fakta-fakta yang
tersaji dalam rangkaian angka, tahun, nama pelaku, tempat kejadian dan peristiwa yang digambarkan secara kering di dalam buku-buku sejarah yang ada hanya menimbulkan kejenuhan? Banyaknya penerbit yang mencetak buku-buku sejarah, tidak secara otomatis akan meningkatkan kualitas materi pembelajaran sejarah. Banyak guru yang menilai bahwa materi buku-buku sejarah sangat kurang. Materi yang menyangkut sejarah terlalu singkat dan kurang cermat dalam penyajian data atau informasinya. Banyaknya penulis mengakibatkan kedalaman materi sejarah yang ditulis, bervariasi. Ada yang dalam, ada yang dangkal pembahasannya. Bahkan pada tahun 2007 banyak buku-buku sejarah yang dibakar. Pembakaran ini sesuai dengan Surat Keputusan Jaksa Agung RI Nomor: Kep-019/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007 tentang Larangan Beredarnya Cetakan Buku-buku Teks Pelajaran Sejarah SMP/MTS dan SMA/MA/SMK yang mengacu kepada kurikulum 2004. Hanya karena buku-buku sejarah tersebut tidak memuat peristiwa G30 S/PKI, maka bukubuku tersebut harus dibakar dan dimusnahkan. Sayang, memang. Padahal jika ingin meluruskan sejarah, jika ingin sungguh-sungguh memaparkan sejarah apa adanya, maka ada banyak sekali peristiwa-peristiwa penting yang layak diluruskan, termasuk kasus terbunuhnya para jenderal di Jakarta saat menjelang subuh pada 1 Oktober 1965. Jika sekarang ini pemerintah memberi restu upaya pembakaran buku-buku sejarah yang tidak ada tertulis G30S/PKI, maka seharusnya pemerintahan ini melakukan penulisan ulang sejarah Indonesia secara lebih menyeluruh dan jujur. Tapi harapan ini sepertinya mustahil dilakukan mengingat yang berkuasa saat ini masih partai-partai politik zaman Orde Baru yang seharusnya sudah menjadi partai terlarang. Peristiwa pembakaran bukubuku sejarah saat ini membuktikan bahwa rezim represif dan fasis Orde Baru sekarang ini masih berkuasa. Sementara itu penulisan sejarah Indonesia yang hanya mengambil dari sumber- sumber tertulis, dokumen, arsip, surat kabar atau majalah kini patut dikritisi karena tidak banyak berpihak pada rakyat bawah. Sejarah semestinya tidak hanya tentang presiden, raja, atau orang- orang besar, tetapi juga orang-orang biasa atau disebut "sejarah dari bawah" (Kompas, Kamis, 01 Juli 2004). Guru di lapangan mengalami kebingungan dalam mendampingi para siswa untuk mempelajari sejarah. Mereka sudah bingung dalam metode pembelajaran sejarah, ditambah lagi dengan kebingungan memilih materi yang sesuai dengan tuntutan kompetensi dasar yang harus dikembangkan. Akibatnya adalah guru sangat tergantung dengan buku-buku dari para penerbit. Sementara guru kurang mampu mengembangkan materi sejarah sesuai dengan kondisi wilayah dan sekolah di mana mereka bertugas. Sebagai bukti ketergantungan guru-guru sejarah terhadap buku-buku sejarah adalah guru-guru di Atambua, Bali, Kalimantan Barat, menggunakan bukubuku ajar sejarah yang diterbitkan oleh penerbit dari Jakarta. Apakah penulis buku sejarah di Jakarta memahami betul kondisi daerah-daerah di luar Jakarta ? Tindakan seperti ini sebenarnya sudah menyimpang dari filosofi Kurikulum 2006.
4. Kondisi Guru Bidang Studi Sejarah Pembinaan bangsa dan pembentukan watak berkaitan erat dengan pendidikan. Guru yang miskin dengan fasilitas mengajar yang kurang dan jelek, akan menghasilkan manusia dan bangsa yang kurang bermutu. Metode pembelajaran sejarah harus segera diperbaiki. Siswa harus diajar menghayati sejarah bukan menghafal sejarah. Guru harus pandai berkisah mengenai peristiwa bersejarah, bukan hanya bisa menyuruh murid menghafal tahun kejadian sejarah. Begitu murid bisa menulis, maka diperbanyak tugas menulis esai, mulai dari kisah sehari-hari di rumah, di sekolah, atau ketika piknik sampai secara bertahap membuat makalah sederhana sehingga memaksa mereka mencari referensi. Mengajar menulis berarti mengajar menggunakan logika. Guru kurang bermutu memiliki penyebab, yaitu, antara lain, peningkatan kualitas inteletualitas guru juga kurang. Guru setelah menjadi guru, tidak lagi mampu mengembangkan dirinya melalui berbagai cara, seperti pengadaan buku-buku, mengikuti kursus penyegaran, mengikuti kuliah lanjutan dan sebagainya. Sumber dari segalanya itu adalah ketiadaan biaya, baik yang disediakan oleh lembaga atau instansi, maupun biaya pribadi guru itu sendiri. Guru selalu tertinggal dalam berbagai informasi bila dibandingkan dengan murid-muridnya. Guru di rumah hanya memiliki sebuah pesawat televisi dan radio. Itupun khusus untuk program-program hiburan. Sementara informasi menjadi nomor kesekian di bawah program-program hiburan. Sementara para siswanya memiliki sarana komunikasi yang lebih canggih, telepon genggam, parabola, internet dan lain sebagainya yang mempermudah akses informasi. Akibatnya adalah, guru menjadi bulanbulanan para siswa atas suatu informasi. Namun, pada masa sekarang sudah ada perubahan dalam proses pembelajaran sejarah, terutama di sekolah-sekolah maju. Tidak semua guru sejarah mengalami stereo type seperti yang digambarkan di atas. Banyak guru sejarah sudah mengubah pola pembelajarannya. Seperti pernyataan seorang guru sejarah di sebuah SMA Jakarta Timur : Tak semua guru puas atas keadaan tersebut. Di antara mereka ingin membawa anak didiknya ke museum atau tempat sejarah lain. "Tapi membawa anak didik keluar dari sekolah bukan urusan gampang lho. Pihak sekolah harus izin dulu ke Dinas Pendidikan. Ujung- ujungnya tak dapat izin," ujar seorang guru berterus terang. Sebagai pendidik, ia pun merasakan buku teks pokok atau malahan buku referensi sekalipun tak akan cukup memberi gambaran lebih lengkap dan mendalam kepada siswa. "Langkah tepat, ya, membaca buku lalu mengajak mereka datang ke tempat sejarah sebagaimana dipelajari siswa saat itu," kata Albertus Rustarmadji, guru sejarah di SMU Slamet Riyadi Cijantung, Jakarta Timur. (Kompas, Sabtu, 6 September 2003) : 5. Evaluasi Pembelajaran sejarah Banyak alat evaluasi untuk mengukur pencapaian sejarah. Paling banyak dan umum dilaksanakan oleh para guru adalah dengan tes pilihan berganda (multiple choice) yang menuntut tingkat kehafalan tertentu dari para siswa.
Mengapa demikian ? Karena soal-soal yang disampaikan memang hanya tataran kognisi rendah dan bersifat hafalan. Dalam sistem ini, dari satu pertanyaan hanya tersedia sebuah jawaban yang benar. Murid diminta melingkari atau menyilangi jawaban yang dinilai benar tersebut. Seringkali bukan hanya pertanyaan yang membingungkan tetapi juga jawabannya. Pada kolom jawaban yang disediakan kadang-kadang ada kemungkinan lebih dari satu jawaban yang benar. Siswa tidak mempunyai peluang untuk mendiskusikan hal ini, tetapi hanya dipaksa menjawab sesuai dengan kemauan guru atau sesuai dengan kunci jawaban yang telah dibuat oleh penerbit. Sebaliknya, di dalam kolom jawaban itu tidak ada satu pun jawaban yang benar. Toh sang murid harus memilih salah satu, meskipun disadarinya hal itu tidak benar. Sedari dini anak didik sudah dibiasakan untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan akal sehat atau dengan hati nuraninya. Akibatnya pembelajaran sejarah hanya terbelenggu dalam sisi hafalan dan sangat matematis. Sisi humaniora dari pelajaran ini hilang sama sekali.
C. Beberapa Usulan Solusi Atas Problematika Pembelajaran sejarah Dari berbagai permasalahan di atas dan sangat mempengaruhi tercapainya pencapaian tujuan belajar sejarah, maka perlu adanya suatu solusi atas permasalahan. Solusi ini hanyalah sebuah tawaran yang harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi masing-masing locus. Di sini tidak dituntut suatu keseragaman, namun harus ditinjau kembali tujuan dari belajar sejarah itu dan sejarah sebagai suatu alat pendidikan bangsa yang dapat dilihat sebagai alat pendidikan moral, alat pendidikan penalaran, alat pendidikan politik dan alat pendidikan kebijakan dan keindahan (Kuntowijoyo, 1995). Pembelajaran sejarah harus dilakukan revitalisasi. Mendiagnosis lebih dalam problematika pengajaran sejarah dewasa ini, tentu tidak proporsional bila penyebab ketidakmenarikan pelajaran sejarah hanya dialamatkan pada faktor kurikulum dan cara guru sejarah melaksanakan pembelajaran. Dyah Kumalasari (2005 : 12) menyimpulkan, setidaknya ada empat komponen yang saling berkait dan menjadi penyebab munculnya masalah dalam pembelajaran sejarah: “(1) tenaga pengajar sejarah yang pada umumnya miskin wawasan kesejarahan karena ada semacam kemalasan intelektual untuk menggali sumber sejarah, baik berupa benda-benda, dokumen maupun literatur. Pengajar sejarah yang baik adalah mereka yang mampu merangsang dan mengembangkan daya imajinasi peserta didik sedemikian rupa sehingga cerita sejarah yang disajikan menantang rasa ingin tahu; (2) buku-buku sejarah dan media pembelajaran sejarah yang masih terbatas; (3) peserta didik yang kurang positif terhadap pembelajaran sejarah; dan (4) metode membelajaran sejarah pada umumnya kurang menantang daya intelektual peserta didik”. 1. Pembelajaran Sejarah Sering Tidak Sesuai dengan Fakta Pembelajaran sejarah di sekolah sering bertentangan dengan kenyataan. Fakta atas kejadian sangat berbeda dengan yang termuat dalam kurikulum dan materi. Tentunya membuat siswa bingung, akhirnya menganggap guru sejarahnya bohong. Minat siswa untuk belajar sejarah turun. Alhasil, nilai mata pelajaran tersebut jatuh dan guru kembali harus menanggung risiko, akibat dinilai atasan tidak bisa mengajar. Bagaimana cara meluruskan pembelajaran sejarah nasional? G. Moedjanto dalam Kompas 1 Mei 1999 menyatakan bahwa pelurusan atau pembenahan pembelajaran sejarah tidak sekadar mengubah yang baik (benar) bagi rezim Orde Baru adalah jelek (salah) bagi rakyat banyak dan karenanya harus direformasi. Reformasi mesti dilakukan dengan memeriksa kembali berbagai informasi dalam sumber-sumber belajar sejarah yang dapat diandalkan. Itulah tulisan-tulisan para sejarawan yang memiliki integritas keilmuan. Seharusnya, materi pembelajaran sejarah dari tingkat SD sampai SLTA mengalami perkembangan baik berdasarkan kajian kawasan tetapi juga tingkat analisisnya. Semestinya mata ajar sejarah dari SD, SLTP sampai SLTA harus berkembang. Celakanya materi pelajaran untuk SD dengan SMP sama. Sebagai contoh, kejadian perang Diponegoro diceriterakan begitu-begitu saja dari SD sampai SMP dengan tidak ada bedanya. Semestinya, pelajaran sejarah untuk SD diajarkan tentang tempat di mana ia berada, SMP diajarkan konsep dimensi waktu. Apa artinya untuk kesadaran waktu. Itu sangat penting untuk membedakan masyarakat agraris tradisional dengan masyarakat modern.
Asvi Warman Adam, seorang peneliti dari LIPI memberi contoh tentang materi ajar pelajaran sejarah di Jepang. Di Jepang ada buku sejarah yang menyebut tahun 660 SM (Sebelum Masehi) sebagai tahun penciptaan negeri Sakura itu oleh Dewi Amaterasu. Ketika bukti arkeologi menunjukkan bahwa itu tidak benar, kalangan nasionalis ekstrem bereaksi keras. Mereka mempertanyakan keabsahan bukti itu (Kompas, 24 April 1999). Lebih lanjut Asvi Warman Adam (dalam Kompas, 24 April 1999) menjelaskan bahwa demi kepentingan tertentu, sejarah bisa direkayasa. Tahun 1968, terbit buku sejarah karya Ienaga Saburo. Pemerintah Jepang tidak melarang buku ini, tetapi minta supaya dilakukan 216 modifikasi atau penghilangan, serta 38 penambahan, antara lain karena di situ tidak diberikan "yustifikasi" keterlibatan Jepang dalam Perang Dunia II sejak tahun 1941. Pembelajaran sejarah di SD Jepang dipadukan dengan pendidikan moral, geografi dan bahasa. Keempatnya disebut kokutai, yaitu wawasan yang harus dimiliki setiap warga mengenai bangsa, jatidiri dan masa lalunya. Pelajaran sejarah tidak hanya bertujuan menanamkan loyalitas dan pengorbanan pada negara, tetapi juga mengangkat derajat pemimpin bangsa/kaisar pada tingkat dewa-dewa. Pengetahuan sejarah ini dapat membimbing anggota masyarakat agar terhindar dari jebakan pidato normatif atau propaganda ideologis yang disampaikan para penguasa dari berbagai bidang (politik, agama, adat, dan lain-lain). Namun demikian, kebenaran itu jelas tidak satu atau hanya satu pihak saja yang menganggap apa yang disampaikannya benar. Ketidaksamaan antara yang tertulis dalam buku-buku ajar sejarah dengan fakta yang terjadi di lapangan, akhirnya membuka mata dan pikiran para pembacanya, khususnya para siswa. Mereka menjadi sadar bahwa demi kepentingan tertentu, sejarah bisa direkayasa. Akhirnya terjadilah konflik pandangan dan wacana yang bermuara pada munculnya konflik fisik antar pendukungnya. Di satu sisi ada pihak tertentu yang ingin memberikan legitimasi atas kekuasaannya dengan melakukan rekayasa sejarah. Di sisi lain, demokratisasi pengajaran dan penyebaran pengetahuan sejarah melalui media massa seperti film dan televisi serta berbagai sarana informasi lainnya, memberikan kontribusi bagi warganegara untuk menemukan identitas dan sekaligus menyadarkan mereka tentang politisasi sejarah. Semakin luas penyebaran pengetahuan, semakin terbatas kontrol terhadap produksi sejarah 2. Penyimpangan Kurikulum Mata Pelajaran Sejarah Kurikulum menjadi pedoman dalam penyusunan materi dan pelaksanaan pengajaran. Kalau terjadi pembiasan atau penyimpangan dalam kurikulum, maka tentunya harus ada reorientasi kurikulum. Pertanyaannya adalah apakah Kurikulum 2006 untuk mata pelajaran sejarah SMA memang sudah memenuhi dan sesuai untuk tingkatan ini. Kurikulum 2006 tidak memberi gambaran atau arahan yang jelas kepada guru untuk pencapaian tujuan pembelajaran sejarah. Akibatnya, dalam penafsiran tujuan kurikulum 2006 oleh masing-masing guru menjadi bias. Bagi guru di kota-kota besar yang penuh dengan prasarana media informasi, mungkin menjadi mudah untuk menterjemahkan tujuan kurikulum 2006 dengan cara mencari bahan-bahan ajar. Namun bagi guru-guru yang berada
di pelosok pedalaman, atau di kota-kota kecil, penafsiran kurikulum 2006 penuh dengan hal-hal yang bias. Hal ini menyebabkan bergesernya tujuan kurikulum itu sendiri. Akibatnya pemahaman guru terhadap tujuan kurikulum juga mengalami pergeseran dan muaranya adalah guru hanya bertujuan untuk menghabiskan bahan ajar saja tanpa melakukan peninjauan analisis terhadap materi-materi tersebut. Sekali lagi, aplikasi hafalan bagi mata pelajaran ini tetap berlaku. Guru tidak dibekali dengan arahan yang pasti untuk pencapaian tujuan kurikulum. Akibatnya, dalam penafsiran tujuan kurikulum tersebut oleh masing-masing pelaksana Kurikulum 2006 untuk mata pelajaran sejarah di SMA menjadi bias. Lebih celaka lagi, dalam upaya mengoperasionalkan konsep tujuan kurikulum oleh masing-masing unit pelaksana pada lini di bawahnya juga terjadi bias tafsir yang menyebabkan semakin bergesernya tujuan kurikulum. Akibat bergesernya konsep tujuan kurikulum di tingkat pelaksana, yaitu guru, maka sangat mungkin proses pembelajaran yang ada sudah menyimpang dari arahnya, atau menuju ke arah yang tidak dirancang kurikulum. Tujuan programatik kurikulum mata pelajaran sejarah, yakni yang mengacu ke pembentukan keterampilan dan sikap kesejarahan sebagai alat bantu bagi siswa dalam memecahkan masalah hidup dan kehidupannya di waktu yang akan datang, dapat diduga tidak akan terjadi, apalagi berhasil. Untuk membenahi kurikulum ini, tentunya pelaksanaannya tidak mungkin dilakukan dengan cara tambal-sulam. Kiranya harus ada penyusunan kembali sebuah kurikulum yang lengkap dan mampu menampung tujuan pengajaran seutuhnya. Penyusunan kurikulum ini bukan dikerjakan secara cepat, melainkan harus secara matang dengan pemikiran yang jernih. Di samping itu harus mempertimbangkan kebutuhan lapangan. Untuk mengadakan perubahan kurikulum, maka harus dimulai dari adanya kesempatan bagi anak untuk menghayati bahwa generalisasi itu merupakan hasil observasi. Sebelum dihasilkan teori, generalisasi itu juga sudah dites berkali-kali. Proses berpikir seperti ini harus diakomodasi dalam kurikulum. Akan tetapi untuk dihayati sampai ke situ, sebuah ilmu tidak boleh diajarkan secara meloncat-loncat. Pengalaman sistem pendidikan di Indonesia, peserta didik langsung diperkenalkan dengan rumus, tanpa tahu bagaimana rumus itu diperoleh. Akibatnya anak sampai tidak menyenangi sebuah ilmu. Malah, ada yang membuat anak takut dengan ilmu itu. 3. Materi Buku-buku Ajar Sejarah Pengadaan materi sejarah sangat erat kaitannya dengan pengadaan bukubuku teks sejarah. Sejarah tidak boleh berandai-andai. Pelajaran dari sejarah yang bisa diambil adalah ada yang salah dalam menangani setiap gejolak. Setiap terjadi gejolak yang dilihat adalah aspek fisiknya. Tidak dipertanyakan mengapa hal itu terjadi. Dengan demikian pelajaran sejarah hanyalah penyampaian fakta untuk dihapalkan, bukan untuk dipahami dan diinterpretasikan. Bagi siswa, buku pelajaran bisa dikatakan sebagai perangkat terpenting, baik sebagai sarana pembuka cakrawala berpikir maupun wahana untuk mempengaruhi nilai-nilai dan caranya bersikap. Dalam kaitannya dengan buku pelajaran sejarah, menjadi semakin penting dipersoalkan, apakah buku-
buku yang ada sekarang sudah memungkinkan anak belajar dari peristiwa sejarah? Atau justru sebaliknya, fakta-fakta yang tersaji dalam rangkaian angka, tahun, nama pelaku, tempat kejadian dan peristiwa yang digambarkan secara kering di dalam buku-buku sejarah yang ada hanya menimbulkan kejenuhan? Buku sejarah seperti buku-buku pelajaran lain yang dipelajari seorang siswa SMA ada dua macam, buku wajib (buku paket yang diterbitkan Pusat Perbukuan Depdikbud) dan buku penunjang dari berbagai penerbit. Mengenai buku penunjang, para guru sejarah sebenarnya harus membebaskan muridnya dalam memilih buku penunjang dari bermacam penerbitan. Di samping itu pada dasarnya judul atau pokok bahasan buku penunjang yang beredar di pasaran hampir sama, karena mengacu kepada Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP). Buku teks sejarah yang sudah ada memiliki materi yang sangat kurang. Kalau dikaji secara mendalam, materi yang menyangkut sejarah terlalu singkat dan kurang cermat dalam penyajian data atau informasinya. Banyaknya penulis mengakibatkan kedalaman materi sejarah yang ditulis, bervariasi. Ada yang dalam, ada yang dangkal pembahasannya. Masyarakat, terlebih para guru bidang studi sejarah dan juga para siswa, saat sekarang ini mendambakan sebuah buku pelajaran sejarah yang komplit, dengan penyajian yang mudah dipahami dan tidak mengaburkan fakta. Buku penunjang tetap dibutuhkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan berpikir. Saat kini adalah waktu yang tepat untuk menggali fakta sejarah yang benar karena tokoh-tokoh terkait masih banyak yang hidup. Buku sejarah haruslah mampu mengakomodir percepatan sejarah. Guru juga harus menyusun sendiri materi pembelajaran sejarah yang sesuai dengan kondisi siswa dan sekolahnya. Merujuk pendapat Moedjanto (dalam Kompas 10 April 2000), untuk menyusun suatu materi ajar yang sesuai dengan kurikulum dan juga sesuai dengan kondisi siswa dan sekolah, maka perlu kiranya para siswa diberi pemahaman beberapa prinsip : Pertama, bagaimana kisah masa lalu itu disusun. Berbeda dengan ilmu alam atau sosiologi, yang sumber informasinya dihadapi langsung, dalam sejarah peneliti dan obyek yang diteliti dipisahkan oleh jarak waktu. Kedua, jangan memaksakan kepastian. Sumber sejarah tidak selalu memberikan informasi yang mencukupi dan jelas. Maka sejarawan harus berani berendah hati menyatakan peristiwa yang diteliti dengan keterangan barangkali, mungkin, atau menurut sumber A begini, menurut sumber B begitu. Dengan demikian, untuk menulis sejarah diperlukan keberanian dan kemampuan membuat tafsiran, yang demi mendekati kebenaran, tafsiran itu tidak boleh sembarangan, melainkan harus metodis. Bahkan kadang-kadang harus berani menerima adanya dua tafsiran (simpulan atau teori), sebab dalam membuat tafsir sejarah, pandangan subyektif penulis yang satu dan yang lain tak dapat dihindari 100 persen. Maka pentinglah perspektif sejarah. Ketiga, kebenaran sejarah itu selalu bersifat sementara. Pada masa kemudian penulisan kembali sejarah harus dilakukan. Hal itu terkait dengan ditemukannya sumber sejarah yang baru, pemakaian pendekatan dan
metode penulisan baru dan lepasnya penulis sejarah dari zaman atau situasi yang menjeratnya. Pertanyaannya sekarang adalah dengan hadirnya suplemen sejarah nasional akan memperingan beban guru ? Ternyata tidak begitu mudah. Menilik langkah-langkah yang harus dilakukan guru dalam menggunakan pedoman bahan pengajaran suplemen, serta evaluasi hasil belajarnya, guru justru lebih ditantang untuk menjadi semacam "mediator" dan bukan sekadar fasilitator dalam mendekati sebuah peristiwa sejarah. Misalnya pada butir (3) bagian C tentang panduan yang harus dilakukan guru disebutkan: "Sesuai dengan keterampilan proses yang dianjurkan kurikulum, peserta didik diberi kesempatan untuk mengemukakan fakta dan penafsiran lain. Sedangkan butir (4) menuntut guru agar mendiskusikan fakta dan penafsiran lain yang dikemukakan anak didik itu, sehingga kemampuan berpikir peserta didik semakin kuat. Jika dua hal ini tidak dikembangkan, bukan tidak mungkin guru malah terjebak pada langkah pada butir (5) yang menyebutkan, "fakta dan penafsiran resmi yang tercantum digunakan sebagai dasar evaluasi hasil belajar peserta didik dalam pendidikan sejarah di sekolah" (Kompas, 13 April 2000). 4. Kondisi Guru Bidang Studi Sejarah Kondisi guru bidang studi sejarah sebenarnya menjadi cerminan kondisi guru-guru lainnya. Kurang informasi, tidak bisa mengakses informasi dengan profesinya. Akibatnya, dalam bidang pengembangan informasi pengetahuan jelas menjadi tertinggal. Efek dari hal ini adalah kemampuan mengajar menjadi rendah, karena tidak mampu mengakses berbagai informasi dengan cepat dan tepat, apalagi untuk meningkatkan kemampuannya dengan menempuh belajar lagi. Guru harus diberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuan intelektualnya melalui kesempatan belajar. Beasiswa untuk belajar ke negara lain harus diperbanyak dan dilakukan secara lebih profesional. Belajar ke negara lain selain untuk alih iptek juga sangat bermanfaat untuk memperluas wawasan. Melihat penanganan tugas belajar ke luar negeri yang terkesan asal-asalan, pemerintah harus memberi perhatian lebih serius terhadap masalah ini dan jika perlu membentuk lembaga khusus untuk menangani masalah ini. Undang-undang perumahan harus dilaksanakan secara konsekuen untuk mengurangi timbulnya pemukiman eksklusif. Mutasi guru lintas propinsi harus dilakukan agar mereka mengenal budaya lain. 5. Evaluasi Pembelajaran Sejarah Pada hal-hal terdahulu dijelaskan bahwa evaluasi pembelajaran sejarah hanya bersifat hafalan. Padahal sejarah tidak identik dengan hafalan. Dengan kata lain, sebenarnya evaluasi pembelajaran sejarah harus diubah. Sistem pengujian yang memakai multiple choice perlu ditinjau kembali. Sistem ini tidak memberi kesempatan anak untuk berpikir lebih luas. Siswa tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan imaginasi dan argumentasi dalam mempertahankan pendapatnya. Akibatnya siswa menjadi tumpul pikirannya. Padahal, evaluasi pembelajaran sejarah sebenarnya menuntut pemahaman tingkat tinggi. Kalau mempergunakan sistem taksonomi Bloom, maka tataran kognisi untuk pembelajaran sejarah harus mencapai tataran evaluasi, tidak hanya pada tataran pengetahuan atau pemahaman saja. Alat
evaluasi untuk mengukur tataran analisis, sintesis dan evaluasi bukan tes objektif, melainkan tes uraian. Ketika ujian ataupun ulangan, siswa tidak perlu harus menghafal yang menghabiskan energi cukup banyak dengan manfaat yang kurang. Seharusnya pelaksanaan ujian atau ulangan harian, para siswa boleh membuka buku (open book), bahkan kalau perlu soal-soal dikerjakan di rumah (take home). Siswa dapat mengerjakan permasalahan yang diberikan oleh gurunya dengan menggunakan berbagai sumber yang kemudian mensintesakan dalam bentuk pendapatnya. Hasilnya adalah, suatu pekerjaan siswa yang penuh analisis tajam. Gurupun tidak perlu lagi repot-repot mengawasi siswa dengan mata melotot ketika ulangan atau ujian. Para siswa bukanlah pencuri yang harus diawasi dengan ketat. Mereka harus diberi kepercayaan juga, bahwa mereka mampu menyelesaikan permasalahan yang diberikan guru dengan kemampuannya sendiri. Keunggulan evaluasi sejarah dengan menggunakan tes uraian terbuka sangat banyak. Kelemahannya adalah justru terletak pada guru. Selama Orde Baru, tes pilihan berganda seolah-olah menjadi suatu yang sangat baik dan sangat cocok untuk mengukur segala kemampuan para siswa. Hal ini sudah meninabobokan para guru yang dipermudah dengan segala macam bank soal chek point, tes bersama/Ulangan Umum Bersama (UUB) dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa guru tidak lagi mengukur pencapaian tujuan mengajar atas kemampaunnya sendiri dan siswanya sendiri, melainkan menyerahkan pada orang lain untuk mengukur pencapaian tujuan mengajarnya. Para siswa sangat dituntut untuk dapat menuangkan segala perasaan, pengetahuan dan kemampuan mengevaluasi atas kejadian atau fakta. Dengan demikian para siswa dilatih untuk melakukan interpretasi terhadap fakta-fakta sejarah. Hal ini akhirnya akan menghasilkan pembelajaran sejarah yang berbobot, tidak kering dan tidak ada hafalan. D. Peran Sarana Telekomunikasi dalam Pembelajaran Sejarah Berkaitan dengan berbagai problem yang telah dipaparkan di atas dan sejalan dengan meningkatnya peranan informasi dalam bisnis, science dan teknologi, akses terhadap sumber dan jaringan informasi menjadi semakin penting bagi kehidupan manusia. Akses terhadap sumber-sumber informasi ini sangat membantu juga dalam pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Akses ini dapat melalui berbagai sarana, terutama sarana telekomunikasi yang saat sekarang perkembangannya sangat cepat. Sarana telekomunikasi sebenarnya dapat digunakan untuk membantu pemecahan berbagai keterbatasan yang muncul dalam aspek verbal dan nonverbal pendidikan. Bahkan sarana komunikasi ini sebenarnya mampu meretas hambatan-hambatan fisik yang ada, seperti batas negara, ideologi negara, keterbatasan ruang dan waktu, dsb. Bahkan sarana komunikasi yang mampu menunjang pembelajaran sejarah, khususnya terkait dengan penyediaan bahanbahan ajar, maka telekomunikasi melalui internet menjadi salah satu hal yang tidak dapat ditinggalkan. Pertanyaan yang sering muncul bagi orang awam adalah apa yang dimaksud dengan internet. Internet adalah kumpulan komputer antar satu wilayah dan wilayah lainnya yang terkait dan saling berkomunikasi, dimana keterkaitan dan
komunikasi ini diatur oleh protokol. Dengan kata lain, internet adalah media komunikasi yang menggunakan sambungan seperti halnya telepon, yang tentunya disambungkan dengan komputer serta modem. Namun, berbeda dengan telepon yang komunikasinya harus dilakukan dengan oral dan dilaksanakan secara bersamaan atau simultan, maka pada internet komunikasi yang dilakukan umumnya tertulis tanpa perlu dilakukan secara bersamaan antara pengirim dan penerima berita tersebut. Internet telah mengubah wajah komunikasi dunia yang sejak lama didominasi oleh perangkat digital non-komputer, seperti: telegram, telepon, fax, dan PBAX, menjadi komunikasi komputer yang global. Dengan internet, maka di manapun kita berada dapat berhubungan satu sama lainnya dengan perangkat komputer tanpa dibatasi lagi oleh ruang dan waktu. Hal inilah yang mensyaratkan adanya sambungan kabel telepon. Bersamaan dengan perkembangan pesat teknologi informasi sekarang ini, ada semacam persiapan yang bisa ditempuh sekolah dan orang tua dalam membantu anak-anak mereka untuk tetap berjalan seiring dalam era informasi ini. Beberapa langkah persiapan yang bisa ditempuh sekolah dan orang tua adalah : 1. Sekolah dan orang tua harus memastikan diri bahwa mereka mempunyai pengetahuan dan kemampuan praktis tentang komputer pribadi. Alasannya sangat sederhana, bagaimana guru-guru dan orang tua bisa mengajarkan pengetahuan dan aplikasi internet terhadap anak didik atau anak-anak mereka sedangkan mereka sendiri tidak bisa mengoperasikan komputer. Namun demikian, guru dan orang tua tidak perlu menjadi seorang ahli dalam menggunakan komputer supaya menjadi contoh positif bagi anakanak mereka menggunakan teknologi ini. Dapat dipertimbangkan untuk mengikuti pelajaran komputer disekolah, atau mempelajari melalui buku tentang komputer bagi pemula khususnya. 2. Mulai membiasakan anak-anak untuk menggunakan komputer. Ini seperti layaknya mengendarai sepeda, karena sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, mengendarai sepeda menjadi sebuah pengalaman tersendiri. Langsung menggunakan komputer juga dapat memberikan semacam pengalaman bagi anak-anak untuk merasakan nyaman dan senang, sehingga dapat berkreasi dalam mengoperasikan teknologi canggih tersebut. Bila di rumah anda belum terpasang jaringan internet, jangan khawatir, banyak cara untuk dapat melakukan akses informasi melalui internet. Sekarang sudah banyak warnet, warung internet. Kita bisa menggunakan (baca: sewa) selama kita mau dan mampu. Hanya tinggal membayar sewanya, dan harga sewanya cukup terjangkau dengan tarif rata-rata adalah Rp.4.000,- per jam pada waktu jam-jam sibuk dan Rp 2.000,- pada happy hour. Sedangkan internet untuk keperluan anak-anak, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan servis internet yang digunakan untuk internet biasa secara umum, yang menonjol di sini mengenai informasi dan isi pengetahuan yang ditampilkannya, khususnya yang mendukung perkembangan anak. Namun, salah satu tantangan yang cukup besar di dunia internet adalah masalah penggunaan bahasa Inggris, sehingga dibuatkan perbendaharaan kata dan pemahaman bahasa Inggris yang memadai bagi mereka untuk menjelajahi jaringan Internet. Hal ini sekaligus merupakan suatu sarana untuk melatih dan mempraktikan kemampuan berbahasa Inggris.
Beberapa contoh aplikasi internet untuk pendidikan yang mungkin akan menarik untuk anak kita akan diberikan di bawah ini. 1. Situs www.safekids.com yang didirikan tahun 1994. Lawrence Magid menulis "Child Safety on the Information Highway" dan melanjutkan penelitiannya pada masalah ini serta menciptakan Safekids.com. Sebuah situs yang membantu orang tua guru, anak-anak dan remaja dalam mempelajari cara-cara yang aman dalam menjelajahi dunia Internet. 2. Knowledge adventure, sebuah pembuat software pendidikan yang mensponsori www.letsfindout.com sumber eksiklopedia untuk anak-anak. Mesin pencari ini bersifat langsung dan mendukung operasi AND dan OR. Anda juga dapat melakukan pencarian berdasarkan subyek, misalnya anda bisa menemukan "snakes" dengan memasukan kata tersebut dalam kotak pencarian, atau dengan mencari katagori "reptile". Artikel yang berada dalam situs ini mudah dibaca dan umumnya berisi secara singkat. Letsfindout.com merupakan tempat yang sangat baik untuk menambah pengetahuan atau untuk anakanak atau siapapun yang ingin tahu tentang berbagai hal. Guru-guru bidang studi sejarah dapat melakukan penelusuran data ataupun materi-materi sejarah di situs-situs yang ada dalam dunia virtual ini. Banyak jurnal ilmiah, ataupun perpustakaan dan museum dapat diakses melalui internet dari seluruh penjuru dunia. Majalah sekolah merupakan media yang sangat bermanfaat bagi para siswa sebagai sarana untuk belajar mengekspresikan diri, menuangkan ide atau gagasan dalam bentuk tulis-menulis, bahkan sebagai media komunikasi dengan lingkungan di sekelilingnya. Lebih lanjut manfaat lain bagi sekolah yang bersangkutan adalah untuk menjalin hubungan dengan para alumninya yang diharapkan dapat memberikan masukan kepada sistem pendidikan sekolahnya agar lebih baik pada masa-masa mendatang. Kemajuan teknologi komunikasi saat sekarang bila dibandingkan dengan kemajuan penulisan buku sejarah, bagaikan perbandingan deret ukur dengan deret hitung. Teknologi handphone saat sekarang dapat diibaratkan sebagai sebuah komputer berjalan. Dalam sebuah handphone terdapat fasilitas kamera, bluethote, microsoft office, juga ada yang berfasilitas untuk akses internet. Bila seorang guru mempunyai handphone dengan fasilitas di atas dan dapat memanfaatkan semua fitur yang ada dalam Hp-nya, maka guru tersebut tidak akan kehilangan atau tertinggal informasi. Terlebih informasi yang berkaitan dengan disiplinnya yaitu sejarah. Melalui Hp-nya seorang guru dapat menyajikan Candi Borobudur, fakta demonstrasi, sidang-sidang dan lain sebagainya. Tempat bertanya Melalui laptop ataupun HP maka guru dan siswanya dapat bertanya melalui media internet. Di media internet ini banyak sekali tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi bahkan dirancang untuk memberikan kepuasan rasa ingin tahu bagi siswa, anak yang melakukan akses. Secara sederhana, dengan menggunakan mesin pencari (search engine) dalam internet apapun yang kita inginkan dapat diketemukan, misalnya melalui www.yahoo.com; www.altavista.com; www.lycos.com; www.bimasakti.com; www.USD.ac.id ;
www.google.com ; atau berbagai blog yang tersedia di search engine dan lain sebagainya. Satu lagi situs yang dapat penulis temukan adalah Ask ERIC yang menyediakan akses internet ke pusat informasi pendidikan atau ERIC (Education Resources Information Center). Ask ERIC mencakup tiga sumber informasi utama. Database ERIC sendiri berisi abstrak lebih dari 950.000 jurnal dan membahas tentang penelitian dan teknik pendidikan. Ask ERIC Virtual Library menyediakan akses ke perencanaan belajar, panduan menonton televisi, dan arsip daftar layanan yang berkaitan dengan pendidikan. Terakhir Ask ERIC Q dan A Service berjanji akan menjawab pertanyaan dengan topik pendidikan, dalam dua hari kerja. Artinya pelayanan yang diberikan oleh Ask ERIC adalah mencoba untuk memberikan kecepatan dalam memenuhi kepuasan para pengunjungnya. Sebuah teknologi yang lebih menggembirakan dan menambah semangat kita semua untuk bergabung dengan internet, pada bagian ini penulis akan sedikit membahas tentang aktivitas video conference di internet yang dilakukan oleh murid-murid sekolah di negara-negara maju. Jadi, kalau komputer kita sudah tersambung dengan internet, maka sebenarnya telah 95% perlengkapan yang kita butuhkan untuk melakukan video conference telah siap. Sebagian besar perangkat lunak (software) yang dibutuhkan dapat diperoleh di internet dengan istilah mendownload dari berbagai sponsor yang ada. Tinggal membutuhkan satu lagi alat dengan apa yang biasa disebut sebagai camera. Ada cukup banyak jenis kamera digital yang dapat dipergunakan untuk keperluan ini, salah satunya yang paling murah adalah Connetix QuickCam, yang dapat diperoleh dengan harga kurang lebih US$ 80,- Dengan kata lain, sebenarnya untuk melakukan video conference peralatan yang dibutuhkan tidak terlalu mahal. Para peminat video conference di sekolah-sekolah saat ini banyak tergabung pada kelompok diskusi e-mail yang berpusat Global School Network (GSN) dengan tempat berdiskusi yang beralamat di
[email protected]. Keberadaan teknologi ini, memungkinkan bagi siswa di seluruh dunia untuk saling berkenalan satu dengan lainnya. Dengan demikian diharapkan kita akan melihat bangsa-bangsa di dunia akan saling mengenal akan alam dan budayanya satu sama lain, serta menjadikan seluruh bangsa di dunia ini akan dapat hidup dalam kedamaian. Pembelajaran sejarah juga dapat menggunakan internet untuk meningkatkan wawasan. Begitu banyak sumber yang dapat diakses di internet, maka bisa terjadi guru akan tertinggal informasi bila dibandingkan dengan anak didik-anak didiknya. Materi-materi sejarah dapat dilacak melalui homepage-homepage nasional ataupun internasional, misalnya melalui melalui www.google.com; www.yahoo.com; www.altavista.com; www.lycos.com; www.geogle.com; www.msn.com; www.kompas.com, dan masih banyak lagi. Bahkan untuk www.kompas.com, kita dapat mengakses berbagai kliping berita ataupun artikel sejarah sesuai dengan topik-topik yang diinginkan. Ini sangat mempermudah guru, siswa ataupun siapa saja dalam mengumpulkan data, tanpa harus pergi ke sana kemari dengan biaya tinggi hanya untuk mencari artikel koran tahun 1990an (seabad yang lalu). Cara melakukan pelacakan (surfing atau searching) adalah dengan menggunakan kata-kata kunci yang dimasukkan ke dalam kotak-kotak searching. Kata-kata kunci ini dapat menggunakan kata-kata dalam bahasa Indonesia. Misalnya akan
mencari data tentang demokrasi, maka tinggal memasukkan kata demokrasi ke dalam kotak searching tersebut di homepage yang kita gunakan. Tidak lama kemudian akan muncul banyak hal yang berkaitan dengan demokrasi di layar komputer. Kita tinggal memilih, dengan cara mengklik, kemudian akan tampil data yang diinginkan. Internet tidak hanya dapat digunakan untuk mencari data yang berkaitan dengan pendidikan, politik, dan lain sejenisnya, tetapi juga dapat digunakan untuk mencari uang tambahan. Caranya adalah dengan mengklik iklan-iklan yang tampil. Alamat-alamat yang menyajikan layanan ini adalah www.geocities.com; www.riosoft.id.cf.; www.riosoft2000.tripod.com; www.our.affiliatetracking.net; www.ahmoola.com ; www.google.com dan masih banyak lagi. Sekolah juga dapat membuka atau membuat website bagi sekolah dan dapat diakses ke seluruh penjuru dunia. Ini sangat menguntungkan sekolah, misalnya untuk mengumpulkan alumni, untuk berbagai kepentingan yang menyangkut pendidikan dan perkembangan sekolah. Demikian sekilas tentang manfaat internet bagi anak-anak, sekolah, dan keluarga. Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan semacam motivasi dan menambah semangat bagi kita semua, minimal dalam menggunakan internet dalam proses pendidikan untuk lingkungan keluarga. E. Penutup Pembelajaran sejarah memang harus dibenahi, tidak saja pelurusan materi sejarah, juga kurikulum sejarah dan juga peningkatan kualitas guru-guru sejarah. Demikian juga metodologi pengajaran juga harus mengalami perubahan, termasuk juga sistem evaluasinya. Gambaran mata pelajaran sejarah yang hanya bersifat hafalan, harus diubah menjadi mata pelajaran yang penuh dengan analisis dan ceritera yang menarik. Dengan kata lain, perlu adanya reformasi total terhadap pembelajaran sejarah. Untuk itu Kurikulum 1994 mesti dibenahi. Hal itu dilakukan tanpa membongkar seluruh bagiannya, melainkan dibatasi pada pokok-pokok bahasan yang memerlukan pelurusan mendesak. Hasil dari usaha pembenahan itu adalah suplemen Garis-garis Besar Program Pengajaran alias GBPP pelajaran sejarah bertanggal 15 Oktober 1999 . Masyarakat yang kita dambakan pada masa mendatang adalah masyarakat madani, yakni masyarakat demokratis tetapi juga pluralis. Masyarakat yang majemuk dan menghargai perbedaan. Untuk mencapai masyarakat yang demikian, rakyat harus dipersiapkan mampu menghargai perbedaan. Itu dimulai dari sekolah. Sistem multiple choice dihapuskan dan diganti dengan sistem esei. Kepada siswa ditanyakan pendapatnya tentang suatu peristiwa sejarah. Jawaban yang diterima mungkin saja beragam, karena siswa boleh menjawab sesuai dengan pengetahuan yang diperoleh dan berdasarkan akal sehatnya. Sejarah adalah ilmu tentang masa lalu yang tak pernah usang, karena ia memperbarui dirinya dengan penemuan data baru dan cara melihat suatu peristiwa dari sudut pandang yang baru. Sejalan dengan sistem pengajaran yang dialogis serta buku ajar yang mengandung berbagai versi suatu peristiwa, maka pelajaran sejarah sedikit banyaknya dapat menyumbang kepada penciptaan masyarakat Indonesia yang lebih demokratis di masa datang.
Pembelajaran sejarah akan selalu up to date bila ditunjang dengan sarana telekomunikasi dalam penyajiannya. Sarana telekomunikasi tersebut adalah internet. Dengan internet, maka berbagai keterbatasan ruang, waktu, ideologi dapat diretas.
Daftar Acuan Ask ERIC, Education Information with the Personal Touch Daliman, A. (2005) Perspektif Materi Pendidikan Sejarah Yang Ideal, Socio, Vol. I, Nomor 1, Yogyakarta: HISPISI dan FIS UNY, 113-127 Forrester Research, Info Komputer Internet, Edisi Mei-Juni 1999 Kompas (Sabtu, 6 September 2003). Lawatan Sejarah Tingkat Nasional Belajar Sejarah Tak Cukup dari Buku Teks Kompas 10 April 2000 Kompas, 1 Mei 1999 Kompas, 24 April 1999 Kompas, Kamis, 01 Juli 2004. Penulisan Sejarah Belum Berpihak ke Rakyat Kumalasari, Dyah. (2005). Sejarah dan Problematika Pendidikan, Istoria. Edisi pertama. 7-22. Magid, Lawrence, "Child Safety in the Information Highway”, Safe Kids. Com. Saad, Sofyan. (1992). Kurikulum Pengajaran Sejarah di Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan. (makalah). Jakarta : Universitas Indonesia The Knowledge Adventure Encylopedia, Letsfind out.com