PERAN POLISI DAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI TERORISME Rizal Panggabean Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) Sekolah Pascasarjana UGM Definisi Terorisme
“the use of violent action in order to achieve politial aims or to force a government to act” (Oxford Advanced Learner's Dictionary, 7th Edition 2005, 1585) “Terrorism occurs both in the context of violent resistance to the state as well as in the service of state interests. If we focus on terrorism directed against governments for purposes of political change, we are considering the premeditated use of threat of symbolic, low-level violence by conspirational organizatioins.” (Crenshaw 1981, 379) Terrorism is the strategic use of violence and threats of violence by an oppositional political group against civilians of noncombatants, and is usually intended to influence several audiences (Goodwin 2006, 2028). “revolutionary terrorism may be defined as the strategic use of violence and threats of violence by a revolutionary movements against civilians or noncombatants, and is usually intended to influence several audiences” (Goodin 2006, 2028). “Terrorism is defined as the illegitimate use or threat of violence to further political objectives. It is illegitimate in that it targets civilians and/or non-combatants and it is perpetrated by clandestine agents of state and non-state actors in contravention of the laws of war and criminal statutes. It is symbolic and premeditated violence whose purpose is to communicate a message to a wider population than the immediate victims of violence. It is designed to affect this audience by creating psychological states of fear in order to influence decision-makers to change policies, practices or systems that are related to the perpetrators’ political objectives. These objectives can be either systemic or sub-systemic and may be motivated by complex social forces including, but not limited to, ideology, ethno-nationalism or religious extremism.” (Cunningham 2002, 23)
Penjelasan Terorisme
Ada banyak aspek atau topik yang dapat dijelaskan dalam mengkaji terorisme (Crenshaw 1980; Cunningham, Jr. 2003). Sebagai ilustrasi pembicaraan mengenai keterbatasan dan peluang riset terorisme, empat penjelasan berikut ini dipilih: 1
1. Mengapa sebagian orang memiliki keresahan dan kegelisahan (grievances) 2. Bagaimana mereka mengorganisasikan diri 3. Mengapa mereka menggunakan kekerasan 4. Mengapa mereka menggunakan kekerasan terhadap warga sipil dan nonkombatan
Keresahan atau Grievances
Organisasi
•
Keresahan yang dirasakan suatu kelompok – seperti minoritas etnis yang mengalami diskriminasi dipandang sebagai penyebab terorisme. Dalam hal ini, keresahan tersebut memunculkan gerakan sosial yang bertujuan menangani dan mengatasi keresahan tersebut baik dalam bentuk usaha meraih kesetaraan, otonomi, atau bahkan pemisahan diri. Sebagain dari orang yang berpartisipasi dalam gerakan tersebut menggunakan terorisme sebagai taktik dalam perjuangan gerakan.
•
Contoh: gerakan separatis dan nasionalis Basques, Bretons, Quebecois, dan gerakan-gerakan nasionalis yang ingin bebas dari kolonialisme.
•
Catatan: tidak semua kelompok yang resah karena mengalami diskriminasi menggunakan terorisme. Selain itu, terorisme tidak selalu mencerminkan deprivasi sosial ekonomi yang nyata dan obyektif. Tterorisme di Jerman Barat dahulu, di Jepang, dan Itali dilakukan oelh orang yang memiliki privelese, bukan orang yang tertindas. Bisa jadi perasaan diskriminasi dan diperlakukan tidak adil tersebu adalah persepsi (Crenshaw 1981, 383).
•
Salah satu sumber masalah di sini adalah pemilihan kasus dan sampel berdasarkan variabel dependen – karena yang dikaji dan diteliti hanya kelompok teroris, maka yang dihasilkan kesimpulan mengapa kelompok politik dan keagamaan misalnya menggunakan terorisme, padahal ada banyak kelompok politik dan keagamaan yang tidak menggunakan terorisme walaupun mereka juga memiliki keresahan.
•
Keresahan akan tetap menjadi keresahan apabila tidak digalang dan diorganisasi dalam rangka melancarkan aksi kolektif. Pengorganisasian terorisme, penggunaan jaringan dalam merekrut orang dan mempertahankan komitmen dan melaksanakan aksi terorisme menjadi penting.
•
Kaldor menyebutkan bahwa terorisme global yang baru berbeda dari terorisme lama dalam organisasi, penggunaan media (televisi, internet, videokaset, internet, dll., dan metode 2
pendanaan – misalnya lewat organisasi-organisasi filantropi dan LSM keagamaan. Organisasinya bergeser dari vertikal ke horisontal dalam bentuk struktur jaringan (Kaldor 2003).
Penggunaan kekerasan
Sasaran sipil
•
Banyak cara mengorganisasi gerakan teroris dan gaya rekrutmen yang digunakan tidak khas melainkan juga dilakukan oleh pengorganisasian gerakan sosial dan aksi kolektif lainnya – termasuk mereka yang menentang terorisme dan kekerasan (Goodwin 2004, 260).
•
Karenanya, uraian mengenai organisasi terorisme dan jaringan mereka tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menggunakan terorisme sebagai strategi dan bukan strategi lainnya.
•
Salah satu sumber masalah di sini adalah pemilihan kasus dan sampel berdasarkan variabel dependen – kita mengetahui bagaiman organisasi dan jaringan digunakan oleh kelompok teroris, padahal kelompok lain yang tidak menggunakan aksi teror (seperti sebagian kelompok gerilyawan, sekte agama, kelompok politik, organisasi sosial lain) juga menggunakan metode organisasi dan jaringan yang serupa. Jika demikian, mengapa kelompok teroris menggunakan aksi teror?
•
Mengapa kelompok yang memiliki keresahan politik dan ekonomi dan keagamaan menggunakan dan memilih aksi teror sebagai strategi perjuangan mereka?
•
Aksi teror bukan satu-satunya strategi yang digunakan kelompok-kelompk revolusioner dan pemberontak atau yang resah. Taktik lain adalah perang gerilya. Selain itu, penggunaan aksi teror juga berbeda dilihat dari sudut aksi teror yang digunakan. Meminjam pembedaan yang diberikan Goodwin, tidak semuanya menggunakan categorical terrorism. Terorisme yang terbatas dan selektif juga digunakan selain perang gerilya.
•
Salah satu masalah di sini adalah terorisme yang digunakan sebagai istilah umum. Padahal, terorisme bisa dipilah dan dipecah atau di-disagregate.
•
Goodwin mengusulkan supaya yang dijelaskan dalam kajiankajian terorisme adalah mengapa yang menjadi target adalah sipil dan nonkombatan secara tidak pandang bulu. Warga sipil dari suku, agama, kelas sosial, atau kebangsaan tertentu menjadi sasaran aksi teror. Dengan kata lain, yang perlu dijelaskan adalah categorical terrorism.
•
Categorical terrorism berbeda dari selective terrorism, ketika 3
yang menjadi sasaran aksi teror adalah nonkombatan juga, tetapi menjadi sasaran karena status dan kedudukan mereka, seperti politisi, pejabat negara, pemimpin dan aktivis kelompok oposisi dan lawan, kolaborator, dan kriminal.
Masyarakat
•
Yang perlu dikaji di sini adalah pertimbangan strategis apa yang berada di balik pemilihan warga sipil sebagai sasaran aksi teror? Bagaimana warga sipil (sering diberi kata sifat oleh media sebagai “yang tidak berdosa”) tertentu dicitrakan dan dipersepsikan sebagai musuh yang layak diserang? Apa yang menurut kelompok teroris dapat mereka capai dengan melakukan tindakan tersebut?
•
Terorisme dipahami sebagai bentuk kekerasan politik yang digunakan secara strategis terhadap warga sipil. Logikanya, menurut Englehart dan Kurzman, karena ada jarak sosial yang dirasakan teroris dari target potensial mereka, ketundukan/complicity warga sipil yang menjadi ssasaran terhadap pemerintah dan kebijakannya, dan persepsi kelompok teroris tentang masyarakat yang menjadi sasaran mereka tidak mungkin diyakinkan supaya memihak tujuan revolusioner mereka. Dengan kata lain, pilihan taktik teroris tergantung kepada bagaimana teroris mempersepsikan musuh mereka dan persepsi itu tidak bisa dirumuskan secara abstrak atau digeneralisasikan melainkan harus dikaji kasus demi kasus (Englehart & Kurzman 2006, 1962).
Setiap kali masyarakat dihadapkan kepada masalah berupa aksi teror, beberapa hal berikut perlu diperhatikan dalam rangka memikirkan respons terhadap aksi teror dan peran serta masyarakat di dalamnya. 1. Solidaritas. Menunjukkan konsensus kita bahwa memang kita menentang tindakan kekerasan terhadap manusia dan harta benda sebagai cara mencapai tujuan politik. Kita juga menolak orang-orang yang menggunakan cara kekerasan tersebut. Oleh sebab itu, mari mengarahkan dan mengerahkan emosi kita yang tergugah karena peristiwa pemboman itu menuju solidaritas menentang terorisme dan menolak kaum teroris, siapa pun mereka. 2. Aksi teror diarahkan kepada tatanan sosial secara keseluruhan, tidak pada korban tertentu karena alasan kekayaan atau agama, atau apa. Mereka ingin mengintimidasi publik secara keseluruhan. Para korban dan keluarganya, dengan demikian, adalah wakil dari seluruh komunitas, mereka mewakili perasaan kita semua, yaitu merasaan takut, demoralisasi, dan frustrasi. Apabila masyarakat merasa takut, tidak percaya kepada 4
pemerintah, atau malah saling tuding dan bertikai, maka pelaku aksis teror telah berhasil.
True terrorism represents a form of criminality perpetrated with the express purpose of creating confusion and anxiety in the community; a terrorist attack or campaign is a success, in its own terms, when it generates or aggravates public fear, citizen distrust of government, or conflict among elements of the private community. 398 3. Untuk sasasaran aksi teror tertentu yaitu tempat ibadah. Yang ada di kepala teroris itu adalah: bahwa hubungan antara umat beragama dapat mereka mainkan dan mereka permainkan. Dengan kata lain, perlu dipikirkan apakah kritik teroris itu perlu kita pikirkan bersama. Dengan kata lain, apakah memang hubungan antara umat beragama rapuh dan tegang sehingga dapat diprovokasi oleh aksi pemboman tempat ibadah. Selain itu, perlu juga kita pertanyakan apakah memang orang-orang beragama telah menghindari cara-cara kekerasan ketika mereka melaksanakan protes, baik protes yang legal maupun protes yang ilegal dan mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku. Oleh sebab itu, dalam jangka panjang, (a) perbaikan dalam hubungan antaraumat beragama harus ditingkatkan dan dikonsolidasikan. (b) umat beragama menolak dan menghindari penggunaan kekerasan dalam seluruh kegiatan mereka, (c) menggunakan ajaran agama tentang nirkekerasan supaya umat menghindari cara-cara kekerasan. 4. Media tokoh dan organisasi masyarakat, ketika memberitakan aksi terorisme dan pelakunya harus faktual dan jangan menglamorkan kekerasan dan aksi terorisme. Fokusnya pada reportase yang menumbuhkan kapasitas masyarakat pemerintah di bidang penangkalan dan pencegahan aksi-aksi kekerasan, pada dampak terorisme bagi korban dan pelaku aksi teror. 5. Langkah-langkah pencegahan. Kepentingan kita terhadap terorisme ada dua: yang pertama adalah mengontrol para teroris dan yang kedua adalah mengubah kondisi yang mendorong aksi-aksi teror. Program pembinaan jangka pendek dan panjang, termasuk program yang sering disebut dengan ”de-radikalisasi” teroris, perlu memperhatikan kedua hal ini. 6. Pemerintah: Kita menuntut supaya aparat keamanan memimpin masyarakat dalam usaha menentang aksi teror dan para teroris. Aparat keamanan dan pemerintah perlu diyakinkan bahwa kepercayaan masyarakat kepada mereka (atau kebaikan dan kekuatan mereka) tergantung pada kemampuan mereka menciptakan keamanan dan ketertiban. Brian Crozier, penulis A 5
theory of Conflict (1974) mengatakan, Good government prevents conflict; bad government fosters it. Strong government discourages conflict; weak government makes it inevitable.” 7. Akhirnya, kita perlu bertanya: Beranikah kita menghadapi fakta yang lebih mendasar, yaitu bahwa terorisme tidak dapat dikalahkan dengan memperkuat diri secara militer dan dengan cara-cara kekerasan lainnya. Aksi-aksi teror yang paling ganas pun bisa terjadi di negara yang lebih mampu dan kuat secara militer dan persenjataan seperti Amerika Serikat, Rusia, Israel, dan Inggris. Kita perlu menghindari situasi ketika aparat negara dan kelompok pelaku aksi teror terlibat dalam permainan mematikan yang tanpa ujung, ketika kekerasan dibalas dengan kekerasan, yang melahirkan dendam, trauma, dan kekerasan yang lebih tinggi lagi dari yang sebelumnya. 8. Oleh sebab itu, masyarakat perlu memikirkan cara-cara lain ”mengalahkan” terorisme dengan cara-cara nirkekerasan sehingga pelaku aksi kekerasan menjadi tidak relevan. Tetapi, kita dapat mengalahkan mereka, atau dengan kata lain menyebabkan mereka tidak relevan, yaitu dengan memulai suatu proses yang melibatkan berbagai unsur masyarakat, termasuk unsur yang menjadi asal dan sumber kelompok teroris untuk mencari masalah sosial dan politik dalam demokrasi kita dan kemudian menyelesaikannya. Pelibatan dan peran serta dalam mengidentifikasi masalah dan menyelesaikannya dapat menjadi arah selanjutnya dalam kebijakan menghadapi terorisme. 9. Yang dapat dilakukan masyarakat cukup bervariasi: mengejar tersangka, memberikan informasi yang sekiranya membantu, meningkatkan keamanan lingkungan masing-masing; melaporkan orang atau insiden yang mencurigakan. Perlu diingat bahwa teroris itu punya teman dan tetangga, langganan tempat beli keperluan, dan lain-lain. Boleh jadi, teroris itu punya dokter langganan, pengacara, atau menjadi anggota kelompok keagamaan tertentu yang secara terbuka giat di masyarakat. Setelah Insiden Terorisme
Setelah aksi teror: beberapa aksi supaya ketegangan segera menghilang. Memang, aksi teror dapat melanggengkan dampaknya karena mendramatisir masalah sosial kita yang peka (seperti hubungan antarumat beragama), menggoyahkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dan polisi, menimbulkan kekuatiran baru terhadap keselamatan perseorangan di tempat umum, dan lain-lain. Akan tetapi, dalam rangka rekonsiliasi dan penyembuhan, perlu dipertimbangkan beberapa hal:
6
1. Diskusi publik yang ditujukan membicarakan masalah mendasar dan keresahan pokok di balik insiden terorisme; reaksi masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum; reaksi terhadap kinerja badan resmi dan yang bukan resmi lainnya, langkah-langkah yang dapat diambil menghindari hal serupa di masa mendatang. 2. Mengendalikan berbagai isu dan rumor yang timbul, termasuk “teori konspirasi” yang seringkali muncul di masyarakat pasca aksi teror dan serangan aparat Densus 88 terhadap kelompok teroris. . 3. Pemerintah dan badan-badan pemberi bantuan kemanusiasan bekerja memberikan bantuan terhadap para korban, keluarga korban, dan pemilik properti yang rusak baik karena serangan teror maupun penanganan aparat terhadap aksi terorisme. 4. Dalam jangka panjang, masalah sosial yang mendasari atau melatari terorisme perlu ditangani dengan melibatkan banyak pihak; memperkuat lembaga-lembaga demokrasi yang berfungsi menangani dan mengelola konflik di masyarakat; dan meningkatkan pendidikan tentang saling pengertian dan toleransi terhadap perbedaan kepentingan dan pendapat dan ideologi di masyarakat. Riset perlu dilakukan pada masa pascainsiden teroris. Yang perlu dikaji adalah: 1. Apa saja proses sosial, ekonomi, pendidikan, dan politik di masyarakat yang menyebabkan munculnya kelompok-kelompok kecil yang radikal, ekstrem, dan menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan mereka. Apa peran polisi dan masyarakat di bidang ini? 2. Bagaimana pelaku aksi teror sampai kepada keyakinan mereka bahwa aksi menyerang sasaran sipil yang tidak pandang bulu dapat dibenarkan, termasuk ketika keyakinan itu ditopang dengan dalil dan idiom keagamaan. Apa yang dapat dilakukan masyarakat dan polisi di bidang ini? 3. Mengukur dampak terorisme dan respon terhadapnya, seperti dampak ekonomi langsung, dampak nonekonomi langsung, dampak tidak langsung. 4. Menganalisis pola pengambilan keputusan intra-agency dan intergovernmental pada saat insiden dan setelah insiden terjadi. 5. Mengevaluasi efektivitas teknik tertentu dalam mengatasi 7
terorisme seperti penggunaan kekerasan bersenjata yang dilakukan aparat, program pembinaan mantan pelaku terorisme, dan lain-lain. 6. Meneliti dampak pemberitaan media terhadap muasal, bentuk, dan penyelesaian kekerasan terorisme. 7. Mengkaji penanganan judisial dan legal terhadap orang-orang yang dituduh terlibat dalam aksi-aksi terorisme. Bahan Bacaan Crenshaw, Martha 1981. “The Causes of Terrorism” Comparative Politics Vol. 13, No 4, July, pp. 379-399. Cunningham, Jr. William G. 2003 “Terrorism Definitions and Typologies” Terrorism: Concepts, Causes, and Conflict Resolution. Fort Belvoir: Advanced Systems and Concepts Office, Defense Threat Reduction Agency & Working Group on War, Violence and Terrorism Institute for Conflict Analysis and Resolution, George Mason University Englehart, Neil and Charles Kurzman 2006 “Welcome to World Peace” Social Forces Vol. 84, No. 4, June, 1957-1967. Goodwin, Jeff 2004. “What Must We Explain to Explain Terrorism?” Social Movement Studies, Vol. 3, No. 2, October, p. 259-262. Goodwin, Jeff 2006. “A Theory of Categorical Terrorism” Social Forces Vol. 84, No. 4, June, 2028-2046. Kaldor, Mary 2003. “Terrorism as Regressive Globalisation.” tersedia di openDemocracy (http://www.opendemocracy.net). Scholte, Jan Aart 2000. Globalization. A critical introduction. New York: Palgrave
8