PERAN PIMPINAN PUSAT AISYIYAH DALAM PEMBERDAYAAN POLITIK PEREMPUAN
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh Jajang Kurnia NIM: 105032201069
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H. /2011 M
PERAN PIMPINAFT PUSAT'AISITTAH DALAM PEMBERDAYAAhT POLITIK PEREMPUAN
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Iknu Sosial dan Politik untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Jaians Kurnia 10s0322010969
Di Bawah Bimbingan
NlrP. 19621m6 199003 1 002
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAIilLTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLMIK UFIVERSITAS ISLAM I\TEGERI SYARIF IIII}AYATTILLAH
JAKARTA t432 rI/2011 M
,r
I
liillil
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul PERAN PIMPINAN PUSAT 'AISYIYAH DALAM PEMBERDAYAAN POLITIK PEREMPUAN, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ihnu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakartapada2l Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana sosial (S.Sos) pada Program Studi Sosiologi.
Jakafta,
2I Jwi201l
Sidang Munaqasyah,
Ketua Merangkap Anggota,
S
ekretaris Merangkap Anggota,
t
Dr. Zulkifly
NIP:
1966081
3
199103
1
161991032002
004
Anggota,
Penguji II
Penguji I
{a^*+
ffi:.fu, u1"-' t
v
Dzuriyatun Toyibah. S.Ag. M.Si NIP: 1 97608032003 122003
Iim Halimatusa'diyah. MA NIP; 1 981 01,122011 012009
Dosen Pembimbing
NrP. 196210061 99003 1 002
LEMBAR PERNYATAAN
B i s mil I ahir r ahm
annirc ahim
Saya yang bertandatangan di bawah
ini:
Nama
Jajang Kumia
NIM
10503201069
Program Studi
Sosiologi
Jurusan
Sosiologi
Fakultas
Ilmu Sosial dan Ihnu Politik
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini
merupakan hasil karya ffiya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu
(Sl) di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber dalam tulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi berdasmkan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
(Jajang
Kurda)
ABSTRAK
Jajang Kurnia Peran Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam Pemberdayaan Politik Perempuan
Program pembangunan yang selama ini dijalankan oleh pemerintah belum secara merata dinikmati oleh masyarakat. Salah satunya adalah kaum perempuan yang belum sepenuhnya menikmati hasil pembangunan saat ini. Hal ini dikarenakan partisipasi perempuan dalam pengambilan kebijakan masih cukup rendah. Maka dari itu peningkatan partisipasi perempuan dalam politik merupakan salah satu strategi yang cukup strategis agar kaum perempuan dapat terlibat lebih jauh dalam pengambilan kebijakan agar lahirnya kebijakankebijakan yang memiliki sense of gender. Peningkatan partisipasi perempuan dalam politik bukan hal yang mudah. Semenjak pemilu pertama kali diselenggarakan di era reformasi, ternyata partisipasi perempuan dalam parlemen (baca: DPR RI) masih rendah dari harapan yakni 30 persen. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua khusunya kaum perempuan. Maka dari itu perlunya peran organisasi perempuan sebagai kekuatan dari kaumnya sendiri untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Salah satu peranan yang bisa dilakukan oleh organisasi perempuan adalah dengan melakukan pemberdayaan politik kepada kaum perempuan. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana pandangan ‘Aisyiyah terhadap peran politik perempuan dan kegiatan pemberdayaan politik perempuan yang diselenggarakan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah di era reformasi. Melalui metode observasi wawancara dan studi dokumentasi terhadap Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah diketahui bahwa Organisasi ‘Aisyiyah sangat terbuka terhadap peran politik perempuan. ‘Aisyiyah berpandangan bahwa tidak ada larangan dalam Islam dan budaya masyarakat Indonesia bagi perempuan untuk berperan di ruang publik, baik untuk menjadi anggota dewan, kepala negara bahkan kepala negara sekalipun. Pengertian politik dalam pandangan ‘Aisyiyah memiliki cakupan yang luas, partisipasi perempuan dalam politik tidak hanya dalam lembaga politik formal, seperti DPR RI. Partisipasi perempuan dalam kegiatan rapat-rapat di tingkat desa/kelurahan juga merupakan bagian dari politik, karena kegiatan tersebut berkaitan dengan pengambilan keputusan untuk masyarakat. Secara organisasi ‘Aisyiyah tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis, hal ini untuk menjaga kemurnian gerakan ‘Aisyiyah sebagai organisasi masyarakat yang mana ‘Aisyiyah merupakan organisasi otonom khusus Muhammadiyah dengan kegiatannya di bidang sosial, ekonomi, dan pendidikan. Kegiatan ‘Aisyiyah di bidang politik dalam rangka merespon isu-isu sosial dan politik saat itu. Misalnya sistem demokrasi langsung dan kuota 30 persen perempuan dalam parlemen dan partai politik tidak disia-siakan oleh Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah untuk mengeluarkan kebijakan program pemberdayaan politik perempuan, memberikan pendidikan politik kepada kaum perempuan. Program tersebut termaktub dalam kegiatan-kegiatan diantaranya melalui seminar, workshop, pengajian, kajian-kajian, penerbitan buku pendidikan politik, pelatihan dan sebagainya.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kehadirat illahi rabbi, Allah swt yang telah memberikan ar-rahman dan ar-rahim kepada hamba-hambaNya. Teriring shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul Allah yang telah membawa kita semua dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang benderang saat ini. Akhirnya, telah sampai sudah detik-detik perjuangan ini untuk menuju ke gerbang ilmu pengetahuan yang selanjutnya.
Dengan
penuh suka cita dan peluh kesah akhirnya penulisan skripsi ini telah terselesaikan dengan sebaik-sebaiknya dan dengan perjuanga semaksimal mungkin.
Ini merupakan “kecelakaan” terbesar dalam dunia akademisi
penulis sehingga harus ke luar kota untuk penelitian skripsi. Enam tahun sudah berjuang di kampus dalam ranah akademisi dan pergerakan, hingga tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Kini semuanya itu menjadi bekal pengalaman bagi penulis demi mencapai masa depan untuk kehidupan yang lebih baik. Terhitung oleh penulis sejak pertama mengajukan proposal hingga selesai sekarang ini yang sedang pembaca pegang, sekitar enam bulan karya ilmiah disusun. Penulis menyadari tanpa ada bantuan moril dan materil serta sumbangsih pemikiran, skripsi ini tidak akan pernah ada dalam genggaman pembaca sekalian. Melalui kata pengantar ini penulis sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada pihak-pihak yang telah memberikan sumbangsih kepada penulis hingga sampai hingga mengantarkan penulis menjadi seorang sarjana.
ii
Adapun pihak-pihak yang penulis sampaikan rasa syukur dan terima kasih sedalam-dalamnya diantaranya: 1. Keluargaku tercinta; Mama, Bapak, Kakak dan Adik-adikku tercinta terima kasih atas do‟a dan pengertian kalian sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Moril dan materil yang telah kalian berikan tidak akan pernah penulis lupakan hingga akhir hayat. 2. Segenap seluruh jajaran karyawan dan dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat atas torehan sejarah yang kalian ukir di hati nubari penulis sewaktu masih menimba ilmu di sana. Tanpa mengurangi rasa syukur penulis karena tidak menyebut satu persatu nama bapak, ibu, mas, mba sekalian. Sumbangsih ilmu dan materil yang telah kalian berikan kepada penulis cukup besar dan tak ternilai. 3. Segenap jajaran karyawan dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik atas torehan sejarah baru dalam keluarga akademis yang kalian berikan kepada penulis diakhir-akhir perjuangan meraih gelar akademisnya. 4. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku dosen mata kuliah dan pembimbing dalam penyusunan skripsi ini. Rasa terimakasih sedalam-dalamnya saya sampaikan kepada bapak karena telah bersedia menjadi pembimbing penulis. Semoga Allah SWT membalas kebaikan bapak dengan cara dan dalam bentuk yang lebih baik. 5. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendi, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Walaupun penulis belum pernah secara langsung iii
menimba ilmu dari bapak, ucapan terima kasih ini saya sampaikan sebagai bentuk penghormatan penulis kepada bapak selaku petinggi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik serta bagian dari civil society dalam mengawal bayi demokrasi di Republik ini melalui pemikiranpemikiran bapak. 6. The Second Family of Writer, kawan-kawan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Ciputat. Ayu, Zaki, Ipin, Indra, Hasbi, Tarsih, Rijal, Kang Cecep, Kanda Fadhly, Kang Edi, Kang Ma‟ruf, Kang Endi, terima kasih atas kebersamaanya karena kalian telah menjadi keluarga kedua selama penulis menimba ilmu. 7. Kawan tiga serangkaiku di IMM Cabang Ciputat, kampus, serta kehidupan luar. Toto, Amir terima kasih kebersamaan dan pertolongan yang telah kalian berikan selama ini dan akan datang. Mari kita mengejar mimpi-mimpi indah dan menjadikannya kenyataan. 8. Adik-adikku tercinta di Ikatan Mahasiswa Cabang Ciputat. Yasin, Beni, Iqbal, Welly, Fauzi, Fadhly, Beni, Zuhri, Adik, Fuji, Fahmi, Syifa, Ukhti dll Ucapan terima kasih mendalam penulis sampaikan, karena telah menemani penulis dalam mengaktualisasikan diri di bidang politik. Mari kita jemput perubahan Hidup Progressive..! 9. Kawan-kawanku di kelas; Sahroji “Gho-Jiel”, Hasan “Kiv-Lie”, Ade, Alfan, Syukri “Iwes”, Rosidi ”Erros”, Sri, Ariel, Naldi “Jambronk”, Ibu Eva, Nenk serta teman lainnya yang tidak bisa penulis sebut satu persatu namun tidak akan mengurangi rasa syukur iv
dan terima kasih saat menimba ilmu. Canda dan tawa kalian menjadi bagian yang tidak pernah terlupakan. 10. Segenap pengurus dan staf kantor Pimpinan Pusat „Aisyiyah, terima kasih atas kerja sama yang telah terjalin selama penulis melakukan penelitian untuk skripsi ini. Terima kasih banyak kepada Mba‟ Emy yang
telah
membuka
jaringan
kepada
penulis
dalam
mempertemukan pihak-pihak yang terkait. Ibu Dra. Hj. Siti Noordjannah Djohantini, MM, M.Si selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat „Aisyiyah, Ibu Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag dan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, terima kasih telah besedia diwawancarai. Ucapan kalian adalah sumber-sumber ilmiah dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih kasih Mba Tami, selaku staff kantor telah menerima dan melayani penulis dengan baik dalam mencari sumber-sumber dan informasi penelitian. 11. Segenap pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhamadiyah (IPM) Yogyakarta. Bantuan kalian sangat fundamental saat penulis melakukan penelitian skripsi. Terima kasih Mas Juan, Indra, Widia, Kang Ajron, dan teman-teman IPM lainnya yang tidak bisa penulis sebut satu persatu namun tidak akan mengurangi rasa syukur dan terima kasih atas tumpangan gratis, sekaligus fasilitas-fasilitasnya (kopi, air minum, mandi, listrik dsb) yang telah kalian berikan selama seminggu lebih berada di Yogyakarta. 12. Kepada kawanku Lia terima kasih telah meminjamkan si Pinky sehingga membantu mobilitas penulis selama di Yogyakarta. Mas v
Sobar dan Bang Malik, IMM tercinta telah menyatukan kita dalam kultur kekeluargaan. Terima kasih telah menjadi bagian perjalanan penulis selama di Yogyakarta. 13. Terakhir, penulis ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Laela Fadhilah. Kamu adalah wanita satu-satunya yang pernah menjadi bagian hidup penulis selama menimba ilmu di kampus kita tercinta ini, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga kau hidup bahagia bersama suamimu, karena dia adalah orang terbaik yang telah dipilih oleh Allah SWT untuk menemanimu hingga akhir hayat nanti. Amin Demikian kata pengantar ini sampaikan sebagai bentuk apresiatif kepada pihak-pihak baik intansi maupun individu-individu yang menjadi bagian terpenting dan terindah selama menimba ilmu.
Yogyakarta, 07 April 2011 Penulis,
Jajang Kurnia 105032201069
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK
i
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI BAB I
vii
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1
B. Tinjauan Pustaka
5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
7
D. Tujuan Penulisan
8
E. Manfaat Penulisan
8
F. Metode Penelitian
9
1.Waktu dan Tempat
9
2.Tekhnik Pengumpulan Data
9
3.Analisis Data
9
G. Sistematika Penulisan BAB II
BAB III
10
KAJIAN TEORI A. Pengertian Pemberdayaan
12
B. Program dan Strategi Pemberdayaan
13
C. Pengertian Politik
17
D. Politik Perempuan di Indonesia
18
E. Gerakan Gender dan Feminisme di Indonesia
26
‘AISYIYAH DAN PEMBERDAYAAN POLITIK PEREMPUAN A. Mengenal Sejarah ‘Aisyiyah dan Perkembangannya
29
1. Kelahiran ‘Aisyiyah
31
2. Perkembangan Struktur Organisasi ‘Aisyiyah
32
3. Kiprah dan Perjuangan ‘Aisyiyah
36
vii
B. Pandangan ‘Aisyiyah Tentang Politik Perempuan
39
C. Strategi dan Kegiatan PP ‘Aisyiyah dalam Pemberdayaan Politik Perempuan
49
1. Strategi-strategi Pemberdayaan
49
2. Program-program Pemberdayaan
54
D. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pemberdayaan Politik Perempuan
66
1. Faktor-faktor Pendukung
66
2. Faktor-faktor Penghambat
67
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan
69
B. Rekomendasi
71
DAFTAR PUSTAKA
74
LAMPIRAN-LAMPIRAN
77
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sejak reformasi bergulir pada tahun 1998, Indonesia telah tiga kali menyelenggarakan PEMILU (Pemilihan Umum), namun presentase keterwakilan perempuan di lembaga legislatif (DPR RI) masih berbanding jauh dengan lakilaki. Pada Pemilu 1999 keterwakilan perempuan di parlemen semakin menurun dibandingkan era orde baru. Padahal Pemilu 1999 merupakan penyelenggaraan pemilu pertama di iklim yang lebih demokratis. Representasi perempuan di DPR RI hanya mencapai angka 9% saja. Efek domino dari fakta-fakta di atas berdampak pada pengabaian kepentingan perempuan karena kurang diikutsertakannya perempuan dalam berbagai perumusan legislasi. Hal yang paling nampak dikeluarkannya berbagai produk hukum yang kurang ramah terhadap kaum perempuan. Saat ini muncul perda-perda yang sarat bermuatan politik pencitraan dan mengkonstruksikan seksualitas perempuan. Salah satu bentuk
domestifikasi perempuan adalah
larangan untuk keluar malam karena adanya anggapan bahwa perempuan yang keluar malam bukan perempuan yang baik-baik dan berpotensi melakukan perbuatan maksiat. Faktanya belum tentu benar karena di masyarakat Indonesia perempuan-perempuan dari kalangan keluarga miskin biasanya harus berada di
1
2
jalan dan tempat umum untuk beraktifitas di sektor ekonomi informal di malam hari.1 Perjuangan di ranah grass root, gerakan sosial kemasyarakatan belum cukup kuat dalam mendesak pemerintah selaku pihak yang berkuasa. Dalam memperjuangkan kesetaraan dan melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasaan baik dalam keluarga (domestik) maupun pada saat mereka bekerja (publik), harus pula dibarengi secara bersama-sama dalam pergerakannya baik melaui jalur politik maupun gerakan akar rumput. UU RI No 10 tahun 2008 tentang Partai Politik pasal 2 ayat 5 dan UU RI No 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPRD-DPD-DPR RI pasal 53 yang memperjuangkan kuota perempuan dalam parlemen belum memperoleh hasil yang maksimal. Padahal peningkatan partisipasi perempuan dalam parlemen merupakan salah satu strategi yang strategis bagi perempuan dalam melahirkan kebijakan atau peraturan-peraturan yang ramah terhadap perempuan.2 Menurut Sucipto (2005) permasalahan mengenai peningkatan partisipasi perempuan dalam politik bukan pekerjaan rumah partai politik saja tapi diperlukan pula peran serta civil society, kalangan akademis dan masyarakat umum. Peranan organisasi perempuan sangat diperlukan dalam memberikan pendidikan politik kepada pemilih perempuan agar mereka dapat memilih secara dewasa dan independen. Selain itu, organisasi perempuan sangat diperlukan untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan perempuan dan politik. Hal itu bertujuan selain memperoleh dukungan juga memberikan 1
Lisa Wulansari, ed, Buku Referensi Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2009), h. 53 2 Ani Widya Sucipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, (Jakarta: Kompas, 2005), h. 59
3
pengetahuan dan wawasan kepada masyarakat agar mereka menjadi lebih cerdas dalam memilih. Selain itu, hal yang tidak kalah pentingnya peran civil society turut pula meningkatkan kemampuan mencari dana untuk mendukung kegiatan kampanye. Kandidat perempuan biasanya tidak memiliki dana yang cukup, dan ia tidak mungkin mengharapkan kocek suaminya, sedangkan kendaraan politiknya sendiri enggan mengalokasikan dana untuk kampanye caleg perempuannya. Perempuan
harus
memiliki
peranan
aktif
menjadi
agen
dalam
pembangunan, mengingat kuantitas perempuan saat ini lebih banyak dari pada laki-laki. Agar perempuan memiliki peranan penting dalam pembangunan, tentu saja diperlukan pemberdayaan terhadap perempuan oleh kaum perempuan itu sendiri. Melalui pemberdayaan perempuan diharapkan dapat memberikan wawasan dan pengetahuan kepada mereka sehingga tidak lagi terdiskriminasi oleh pembangunan. Peranan organisasi perempuan sebagai sebuah kekuatan dari kaumnya sendiri untuk melakukan gerakan sosial, salah satunya melalui pemberdayaan. Analisa ini sejalan dengan pendapat Kindervatter, ia memandang bahwa pemberdayaan merupakan proses pemberian kekuatan atau daya dalam bentuk pendidikan yang bertujuan bangkitnya kesadaran, pengertian, dan kepekaan warga belajar terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan politik.3 Salah satu tujuan pemberdayaaan politik perempuan diharapkan terjadinya peningkatan partisipasi perempuan dalam politik, sehingga tidak ada lagi kebijakan-kebijakan pembagunan yang tidak mengindahkan kepentingan perempuan.
3
Anwar, Manajemen Pemberdayaan Perempuan, (Bandung: Alfabeta, 2007), h.77
4
Sebagai sebuah organisasi perempuan yang telah berkiprah cukup lama, dalam usianya yang berdiri hampir bersamaan dengan organ induknya. „Aisyiyah memiliki nilai lebih sebagai sebuah organisasi yang lahir sebelum Indonesia merdeka. „Aisyiyah yang dilahirkan dari rahim Muhammadiyah bertujuan untuk memajukan kaum perempuan sesuai dengan tuntutan dan ajaran Islam. Sejak berdirinya Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan membina kaum perempuan dengan membentuk kelompok pengajian khusus perempuan di bawah bimbingan beliau dan istrinya Nyai Walidah dengan nama “Sopo Tresno”.4 Selain itu KH. Ahmad Dahlan menggerakkan dan mengadakan kursus-kursus, pengajian khusus puteri dan turut membantu mendirikan sekolah puteri.5 Dalam usianya yang menginjak hampir satu abad, „Aisyiyah tentu telah memiliki peranan yang cukup signifikan dalam memberdayakan perempuan di tanah air. Organisasi „Aisyiyah telah memiliki 33 Pimpinan Wilayah „Aisyiyah (setingkat provinsi), 370 Pimpinan Daerah „Aisyiyah (setingkat kabupaten), 2332 Pimpinan Cabang „Aisyiyah (setingkat kecamatan) dan 6924 Pimpinan Ranting „Aisyiyah (setingkat kelurahan). Muhammadiyah sebagai organisasi induk dari „Aisyiyah terkenal dengan amal usahanya, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah tersebar hampir di seluruh propinsi di Indonesia. Seperti halnya Muhammadiyah, tidak sedikit amal usaha yang dimiliki „Aisyiyah. Berdasarkan data yang dihimpun dari Website Pimpinan Pusat „Aisyiyah, amal usaha organisasi ini di bidang pendidikan saja telah berjumlah 4560 yang terdiri dari
4
Mahasri Shobahiya dkk, Studi kemuhammadiyahan, 7th ed. (Surakarta: LPID-UMS, 2008), h. 118 5 Sukanti Suryochondro, Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, (Jakarta: CV Rajawali, 1984), h. 78
5
Kelompok Bermain, Pendidikan Anak Usia Dini, Taman Kanak-Kanak, Tempat Penitipan Anak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan lain-lain.6 Selain di bidang pendidikan, sosial dan ekonomi, lantas bagaimana dengan gerakan Pimpinan Pusat „Aisyiyah di bidang politik pada era reformasi? Berdasarkan analisa dan data-data sederhana yang telah dipaparkan di atas menjadi sebuah ketertarikan bagi penulis untuk menganalisa lebih lanjut dan menjadi karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “PERAN PIMPINAN „AISYIYAH
PUSAT
DALAM
PEMBERDAYAAN
POLITIK
PEREMPUAN”. B. Tinjauan Pustaka (Literature Review) Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan, penulis menemukan beberapa karya ilmiah sebelumnya dalam bentuk tesis dan skripsi dengan tema yang berkaitan dengan perempuan, pemberdayaan dan politik. Dari beberapa karya ilmiah tersebut penulis hanya mengambil dua tesis sebagai literature review dalam penyusunan skripsi ini. Adapun karya ilmiah tersebut, pertama tesis Rita Pranawati yang berjudul THE IDEA OF FEMALE LEADERSHIP AMONG MUHAMMADIYAH
ELITE
MEMBERS
AFTER
THE
45TH
NATIONAL
CONFERENCE (2005). Pada tesis ini, Pranawati menjelaskan bahwa Organisasi Muhammadiyah cukup responsif terhadap kemajuan perempuan dan penerimaan keberadaan perempuan untuk menjadi pemimpin dalam kultur Muhammadiyah. Hasil penelitiannya yang memaparkan, tidak sedikit perempuan yang menduduki posisi penting di Pimpinan Muhammadiyah baik di tingkatan majelis maupun lembaga. 6
http://www.‟Aisyiyah.or.id/modules/view/11 diakses pada 25 November 2010
6
Kedua, tesis Siti Syamsiyatun dengan judul MUSLIM WOMEN’S POLITICS IN ADVANCING THEIR GENDER INTERESTS: A Case-Study of Nasyiatul ‘Aisyiyah in Indonesian New Order Era. Karya Syamsiyatun ini menjelaskan mengenai strategi perjuangan organisasi Nasiyatul „Aisyiyah bagi kemajuan perempuan di tanah air agar tidak terdiskriminasi dalam pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah orde baru. Adapun program-program pemberdayaan perempuan yang dijalankan oleh Nasiyatul „Aisyiyah antara lain pelatihan muballighat, kewirausahaan, keluarga sakinah, politik/pendidikan pemilih. Selain dua tesis tersebut di atas, dalam penyusunan skripsi ini juga mengambil dua skripsi sebelumnya sebagai bahan literature review, sebagai bahan pertimbangan skripsi tersebut mengambil studi kasus yang sama yakni, Organisasi „Aisyiyah. Skripsi pertama berjudul Peran Organisasi ‘Aisyiyah dalam Perubahan Sosial (Studi Kasus: „Aisyiyah Kelurahan Petir, Kecamatan Cipondoh, Tanggerang), karya Kiki Zakiyah (2006) dan skripsi kedua berjudul Manajemen Pendidikan dan Latihan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam Pemberdayaan Kaum Perempuan di Jakarta, karya Siti Lastariyah (2007). Pada tesis pertama pembahasan terbatas pada penjelasan kepemimpinan perempuan dalam kultur Muhammadiyah dan tesis kedua mengenai strategi Nasiyatul „Aisyiyah dalam pemberdayaan perempuan pada era orde baru dan belum menyentuh pada pembahasan mengenai pemberdayaan politik perempuan lebih dalam. Pada pembahasan skripsi pertama terbatas pada aspek-aspek respon masyarakat dalam mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Organisasi „Aisyiyah Kelurahan Petir, Kecamatan Cipondoh, Tanggerang.
7
Sedangkan skripsi kedua terbatas pada metode-metode yang digunakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam kegiatan pemberdayaan kaum perempuan di Jakarta. Demikian pembahasan dari keempat karya ilmiah tersebut belum membahas masalah yang berkaitan dengan pemberdayaan politik perempuan pada era reformasi. Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk meneliti lebih lanjut tentang peran Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan selama 10 tahun terakhir ini, yang tertuang dalam judul “Peran Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam Pemberdayaan Politik Perempuan” C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Pembatasan masalah dalam penelitian dan penulisan skripsi terbatas pada menganalisa kegiatan dan strategi Pimpinan Pusat „Aisyiyah yang berkaitan dengan pemberdayaan politik perempuan di era reformasi, sepanjang tahun 20002010. Pengurus atau anggota Pimpinan Pusat „Aisyiyah menjadi objek dalam penelitian ini sebagai narasumber untuk menggali informasi yang diperlukan. Mengingat luasnya cakupan studi kasus yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini yakni Pimpinan Pusat „Aisyiyah maka perumusan permasalahan dalam penyusunan skripsi ini terbatas pada pertanyaan berikut ini: 1. Bagaimana
pandangan
Organisasi
„Aisyiyah
terhadap
peran
politik
perempuan? 2. Bagaimana kegiatan
dan strategi Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam
pemberdayaan kaum perempuan di bidang politik pada era reformasi? 3. Faktor-faktor pendukung atau penghambat Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan?
8
D. Tujuan Penulisan Sebagai sebuah karya ilmiah, sudah tentu adanya tujuan yang diharapkan dari penulisan skripsi ini, adapun tujuan-tujuan tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pandangan Pimpinan Pusat „Aisyiyah terhadap peran politik perempuan. 2. Untuk mengetahui kegiatan dan strategi Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan di era reformasi. 3. Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan. E. Manfaat Penulisan Selain tujuan ada pula manfaat yang diharapkan oleh penulis dalam penyusunan karya ilmiah. Manfaat penulisan ini selain bersifat akademis, tidak bisa penulis pungkiri ada pula bersifat praktis. Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1.
Karya ilmiah ini penulis harapkan dapat bermanfaat untuk menambah khasanah ilmu tentang pemberdayaan politik perempuan.
2.
Karya ilmiah ini sekiranya dapat memberikan informasi tentang kegiatan dan strategi „Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan.
3.
Terakhir, manfaat praktis dari penyusunan karya ilmiah ini agar penulis mendapatkan gelar sarjana Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan gelar S.Sos.
9
F. Metode Penelitian Penyusunan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yakni penelitian yang datanya tidak diperoleh melalui prosedur kuantifikasi, perhitungan statistik atau bentuk cara-cara lainnya yang mengunakan ukuran angka-angka.7 Pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini menggunakan metode-metode sebagai berikut: 1. Waktu dan Tempat Observasi atau penelitian skripsi ini dilakukan dalam kurun waktu sekitar satu minggu di Kantor Pimpinan Pusat „Aisyiyah yang beralamat di Jl. KH. Ahmad Dahlan 32, Yogyakarta. 2. Tekhnik Pengumpulan Data a) Wawancara. Penulis melakukan wawancara terbuka kepada pengurus Pimpinan Pusat „Aisyiyah dan individu-individu yang terlibat dalam kegiatan pemberdayaan politik perempuan baik peserta maupun panitia. b) Studi
Dokumen.
Penulis
juga
melakukan
studi
dokumen
yakni
mengobservasi dokumen-dokumen yang memiliki keterkaitan dengan sumber data penelitian skripsi ini diantaranya buku, modul, laporan pertanggungjawaban, dan sebagainya. 3. Analisis Data Setelah data dan informasi yang dibutuhkan cukup kemudian penulis menganalisanya melalui analisa kualitatif, dalam bentuk narasi deskriftif
7
Wahyono, “Pengertian Penelitian Kualitatif”, artikel diakses pada 10 Mei 2011 dari http://penelitianstudikasus.blogspot.com/2009/03/pengertian-penelitian-kualitatif.html
10
tentang pandangan dan peran Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan. Laporan kegiatan baik dalam bentuk buku, makalah, draf dan sebagainya yang telah dikumpulkan kemudian penulis analisa dan mengkaitkannya dengan teori pemberdayaan. Hasil wawancara kepada pengurus dan individu-individu yang terlibat dalam kegiatan pemberdayaan politik perempuan, tidak terkecuali pula untuk dianalisa. Hal ini sangat penting karena melalui wawancara data yang diperoleh lebih mendalam. G. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dalam penyususan bab-bab pada karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
Bab I: Pada bab ini mengenai pendahuluan seperti latar belakang permasalahan, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, metode penelitian, analisis data, tinjauan pustaka
dan
sistematika penulisan
Bab II: Pada bagian ini penulis mengkaji teori-teori yang dipakai dalam penyusunan karya ilmiah ini, yakni pengertian pemberdayaan, program dan strategi pemberdayaan, pengertian politik, politik perempuan di Indonesia, gerakan gender dan feminisme di Indonesia.
Bab III: Pada bab ini akan membahas hasil penelitian mengenai „Aisyiyah dan pemberdayaan politik perempuan yang meliputi: mengenal sejarah „Aisyiyah, pandangan „Aisyiyah tentang politik perempuan, strategi dan kegiatan Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan serta faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam pemberdayaan politik perempuan.
11
Bab IV: Pada bab terakhir ini penulis membuat suatu kesimpulan penulisan ilmiah ini dan rekomendasi-rekomendasi yang ditujukan baik untuk objek yang diteliti maupun bagi kalangan akademis (mahasiswa dan dosen) apabila ingin menelaah lebih lanjut terhadap konsen ini.
Lampiran-lampiran
Daftar Pustaka
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Pemberdayaan Istilah pemberdayaan telah berkembang dan dipopulerkan oleh Engleberg, Rappaport, dan Hess sekitar tahun 1980an sebagai suatu strategi prevensi dan intervensi masyarakat. Melalui mereka telah terjadi pergeseran dan perkembangan mengenai pemberdayaan, yang semula dikenal pada tingkat mikro-individual kearah pemberdayaan kelompok dan masyarakat1.
Pemberdayaan merupakan
suatu upaya untuk mengenal, memahami kebijakan dan dapat mengatur atau menguasai kehidupan, keterampilan, dan kedudukannya menjadi partisipan kritis dan efektif dalam masyarakat, termasuk mengubah kekuatan itu 2. Dalam kaidah Bahasa Indonesia pemberdayaan berawal dari kata daya, yang artinya kemampuan melakukan sesuatu; proses, cara, sedangkan pengertian pemberdayaan adalah perbuatan memberdayakan.3 Menurut Suharto (2005) secara konseptual, pemberdayaan erat kaitannya dengan pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata “power” (kekuasaan atau keberdayaan). Pengertian kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan seseorang untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Adapun di bawah ini definisi-definisi pemberdayaan menurut beberapa ahli dilihat dari tujuan, proses, dan cara-cara pemberdayaan.4
1
Anwar, Manajemen Pemberdayaan Perempuan, (Bandung: Alfabeta, 2007), h. 77 Ibid., h. 79 3 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 3rd. (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 241 4 Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), h. 58-59 2
12
13
1. Pemberdayaan memiliki tujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Jim Ife). 2. Pemberdayaan adalah sebuah proses agar orang-orang menjadi kuat untuk berpartisipasi, mengontrol, dan mempengaruhi segala kejadian dan lembagalembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan memberikan keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan seseorang sehingga orang tersebut bisa mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Talcot Parson). 3. Pemberdayaan memiliki keterkaitan pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui perubahan struktur sosial (C. Swif dan G. Levin). 4. Pemberdayaan adalah suatu cara menyatukan dan mengarahkan rakyat, organisasi dan komunitas agar mampu menguasai atau berkuasa atas kehidupannya (J. Rappaport). Berdasarkan
pendapat
beberapa
ahli
di
atas
mengenai
definisi
pemberdayaan, terdapat suatu kesimpulan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses atau cara dalam bentuk serangkaian kegiatan kepada masyarakat atau kelompok lemah agar mereka mampu berkuasa atas kehidupannya. B. Program dan Strategi Pemberdayaan Pelaksanaan
pemberdayaan
masyarakat
diperlukan
program
dan
pengkoordinasian dalam aktivitasnya agar tujuan dari pemberdayaan itu sendiri tepat sasaran dan sesuai harapan masyarakat atau individu yang diberdayakan maupun pelaksana kegiatan pemberdayaan tersebut. Pemberdayaan merupakan bagian suatu kegiatan sosial tidak terkecuali pemberdayaan politik perempuan, maka penetapan sebuah program sangat diperlukan melalui perencanaan program.
14
Di bawah ini terdapat empat model perencanaan program yang biasa dipakai dalam pelayanan kesejahteraan sosial5: 1.
Model Rasional Komprehensif Model perencanaan ini biasa digunakan oleh pemerintah sebagai pembuat
keputusan dalam kebijakan pembangunan. Model perencanaan ini lebih menekankan pada aspek-aspek metodologis yang berdasarkan fakta-fakta, teoriteori dan nilai-nilai yang dianggap relevan. Pada model ini terlebih dahulu permasalahan
diagnosis
kemudian
dibuat
perencanaan
program
yang
komprehensif kemudian diuji efektivitasnya agar ditemukan jalan keluar permasalahan untuk mencapai tujuan yang paling sempurna. Sesuai namanya, model ini bersifat komprehensif terkadang program yang diusulkan tidak tepat dan kongkrit pada permasalahan di lapangan. 2.
Model Inkremental Model inkremental atau penambahan lahir sebagai jawaban atas
kekurangan pada model rasional komprehensif. Pada model ini perubahan tidak tidak dilakukan secara radikal atau komprehensif, namun melakukan perubahanperubahan kecil saja, sekedar menambahkan pada aspek-aspek program yang sudah ada. Model ini sejatinya tidak secara langsung membuat program secara menyeluruh pada masyarakat yang akan diberdayakan dan tidak perlu menentukan tujuan-tujuan. 3.
Model Pengamatan Terpadu Model yang dikembangkan oleh Amitai Etzioni ini merupakan perpaduan
dari model pertama dan kedua yakni melakukan penjajakan alternatif-alternatif
5
Ibid., h. 73-74
15
utama pada keputusan fundamental kemudian dihubungkan pada tujuan. Keputusan-keputusan inkremental atau tambahan dibuat dalam konteks yang ditentukan oleh keputusan-keputusan fundamental. 4.
Model Transaksi Model terakhir ini merupakan model yang paling efektif dalam kegiatan
pemberdayaan. Perencanaan program melibatkan proses interaksi antara stakeholder dengan masyarakat atau individu-individu yang akan diberdayakaan. Komunikasi yang bersifat pribadi baik lisan maupun tulisan dan terus-menerus dapat menemukan permasalahan yang kongkrit, sehingga program pemberdayaan tepat sasaran sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh pihak penerima pelayanan. Setelah model perencanan program ditentukan, tahapan selanjutnya adalah proses perencanaan program. Terdapat lima tahapan yang harus dilakukan dalam melakukan perencanaan program yakni (1) identifikasi masalah, ini erat kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat atau individu yang akan diberdayakan karena setelah permasalahan teridentifikasi maka akan direspon pada suatu program, (2) penentuan tujuan, harapan yang akan dicapai dalam kegiatan pemberdayaan perlu dibuat agar sejalan dengan program-program yang akan dilaksanakan, (3) penyusunan dan pengembangan program, membuat rencana program yang sistematis dengan menyertakan tujuan-tujuan yang akan dicapai baik tujuan khusus maupun umum. Kegiatan ini perlu mempertimbangkan identifikasi program alternatif dan hasil yang akan dicapainya, penentuan biaya, dan pemilihan program-program alternatif yang telah dibuat tadi6.
6
Ibid., h. 75-78
16
Pada dasarnya kegiatan pemberdayaan dilakukan secara kolektifitas atau kelompok dan biasanya dilakukan oleh organisasi dengan serangkaian kegiatan seperti pelatihan keterampilan tertentu, seminar sehari atau workshop. Proses pemberdayaan dilakukan secara kelompok kepada sekelompok individu yang akan diberdayakan, namun tidak menutup kemungkinan strategi pemberdayaan dilakukan secara individual yakni satu-lawan satu antara pekerja sosial dan klien, meskipun sebenarnya hal ini tetap berkaitan dengan kolektivitas. Menurut Suharto terdapat tiga aras strategi yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan pemberdayaan yakni: 1. Aras Mikro. Pemberdayaan melalui pendekatan secara individu melalui bimbingan, konseling dan sebagainya. 2. Aras Mezo. Pemberdayaan yang dilakukan terhadap sekelompok klien melalui pendidikan dan pelatihan. 3. Aras Makro. Pemberdayaan dengan pendekatan pada sasaran perubahan yang diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas seperti perumusan kebijakan, lobbying, pengorganisasian masyarakat dan kampanye7. Masih menurut Suharto, dalam pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan diperlukan pendekatan 5P, yaitu: (1) Pemungkinan, menciptakan kondisi dan suasana sekondusif mungkin agar potensi masyarakat berkembang secara optimal, (2) Penguatan, memperkuat pengetahuan dan potensi masyarakat agar mereka mampu memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhannya, (3) Perlindungan, melindungi masyarakat agar tidak terjadi diskriminasi antara kelompok kuat terhadap kelompok lemah sehingga terhindar dari persaingan yang
7
Ibid., h. 66-67
17
tidak sehat antara keduanya, (4) Penyokongan, pemberian dukungan serta bimbingan pada masyarakat yang diberdayakan agar mereka mampu bangkit dari kelemahannya dan tidak terperosok atau terpinggirkan, (5) Pemeliharaan, perlunya pemeliharaan kondisi yang kondusif di dalam masyarakat8. Demikian pemaparan mengenai program dan strategi yang biasa dilakukan dalam kegiatan pemberdayaan agar proses dan tujuan dari kegiatan ini bisa berjalan dengan baik dan sukses. Seperti yang dikemukakan kebanyakan para ahli, kegiatan pemberdayaan merupakan sebuah proses dan tujuan sehingga dibutuhkan perencanaan yang kuat dan matang di dalam programnya. C. Pengertian Politik Pembahasan mengenai pengertian politik selalu disandarkan pada kata polis yang dikembangkan oleh Filosof Aristoteles di Yunani Kuno yang berarti kota. Aristoteles memandang politik sebagai penerapan kota terbaik. Berdasarkan pandangan yang telah dikemukakan oleh Aristoteles mengenai “Negara-Kota”, beberapa ahli memberikan pandangan yang beragam mengenai pengertian politik, adapun di bawah ini pendapat beberapa ahli mengenai ilmu politik:9 1. Delia Noer menyatakan ilmu politik memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat. 2. Menurut Fleichteim, ilmu politik adalah ilmu sosial yang khusus mempelajari sifat dan tujuan dari Negara sebagai organisasi kekuasaan, beserta sifat dan tujuan dari gejala-gejala kekuasaan lain yang tak resmi, yang dapat mempengaruhi Negara.
8
Ibid., h. 67 Leo Agrustino, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Mengenai Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007) h. 6 9
18
3. David Easton menyatakan ilmu politik adalah studi mengenai terbentuknya kebijakan publik. 4. Miriam Budiarjo mengatakan definisi-definisi ilmu politik berkaitan dengan pembahasan mengenai Negara, kekuasaan, pengambil keputusan, kebijakan publik, distribusi/pembagian atau alokasi nilai-nilai dalam masyarakat. Berdasarkan pendapat beberapa para ahli di atas mengenai politik, dapat diambil kesimpulan mengenai pengertian politik yakni aktivitas yang berakaitan dengan kekuasaan, kebijakan publik, pengambil keputusan. Adapun konsep kekuasaan yang dimaksud bukan hanya kekuasaan resmi yakni negara, juga kekuasaan tak resmi yakni gerakan-gerakan sosial di masyarakat karena dapat mempengaruhi negara. D. Politik Perempuan di Indonesia Peran politik perempuan di Indonesia bukan merupakan hal yang baru atau asing bagi masyarakat Indonesia. Penjelasan mengenai perjalanan cakupan ruang politik perempuan di Indonesia pastilah berbeda-berbeda disetiap zamannya, hal ini tidak bisa dilepaskan dengan tantangan dan kebutuhan zamannya waktu itu. Dalam menjelaskan perihal perjalanan peran politik perempuan, penulis yang terbagi menjadi tiga zaman. Pertama, peran politik perempuan pada saat Indonesia masih bernama Nusantara dan masih terdapat kerajaaan-kerajaan. Kedua, peran politik perempuan pada zaman penjajahan melawan kolonial. Terakhir, peran politik perempuan pada era kemerdekaan atau saat ini. Perjalanan kepemimpinan perempuan banyak terukir dalam sejarah kerajaan dan kesultanan di Nusantara. Menurut Firdaus, kepemimpinan perempuan tertua dimulai di Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1328, setelah Raja
19
Jayanegara meninggal tanpa keturunan dan anak perempuannya, Rajapatni diangkat sebagai Ratu. Pada tahun 1350 Rajapatni mengundurkan diri dan digantikan oleh anaknya, Hayam Wuruk. Kerajaan Majapahit kembali dipimpin oleh Ratu Suhita, namun sayang kerajaan ini menjelang runtuh sekitar tahun 1400an.10 Setelah Islam masuk dan menyebar ke Nusantara mempengaruhi munculnya kepemimpinan perempuan di Nusantara, maka pemimpin-pemimpin perempuan pun bermunculan. Adapun tahun periode kepemimpinan perempuan tersebut antara lain11: 1.
Ratu Jepara, janda Sultan Prawata yang mati dibunuh oleh Adipati Jipang. Memerintah pada tahun 1546-1568.
2.
Dewi Peracu atau Kuning memerintah negeri Patani Melayu pada tahun 1602.
3.
Ratu Sinuhun pemegang kekuasaan Raja Palembang, hal ini dikarenakan pemerintahan suaminya, Pangeran Sindang Kayang sangat lemah.
4.
Setelah suaminya meninggal, Sultan „Ala al- Din. Sultanah Taj al-Alam Safiyah al-Din, putri Iskandar Muda ini memerintah Aceh selama 34 tahun (1641-1675).
5.
Ratu Nur al-„Alam Safiyah al-Din memerintah Aceh selama dua tahun (16751677).
6.
Kemudian dilanjutkan oleh Ratu Inayah Syah, memerintah Aceh (16771688).
10
Endis Firdaus, Imam Perempuan Dekonstruktif Perspektif Gender: Keniscayaan Kontektualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia, (Jakarta:Pustaka Ceria, 2008), h 158 11 Ibid., h. 159
20
7.
Kamalat Syah, memerintah Aceh selama sebelas tahun (1688-1699), atas perintah kaum ulama berdasarkan surat fatwa Makkah, kemudian digantikan oleh Sultan Badr al- „Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din.
8.
Dayang Lela, menjadi Ratu Mempawa di Pantai Barat Kalimantan pada tahun 1790. Beliau adalah janda dari Panembahan Adi Jaya Kusuma.
9.
Dayang Bomi, Raja Perempuan Negeri Gandis di tepi pantai Sungai Melawi, Kalimantan Barat, memerintah pada tahun 1824.
10.
Aji Siti, memerintah Negeri Kota Bangun-Bangun Kutei pada tahun 1847. Beliau merupakan janda Sultan Kutei Muhammed Motslihu‟uddin.
11.
Pada tahun 1870, tidak sedikit kaum perempuan memegang tampuk pemerintahan di Kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi Selatan. Ratu Daeng Pasuli memegang pemerintahan Perserikatan Aja Tamparang daerah Sawito dan daerah Alita oleh Ratu Pada. Raja Perempuan Adi Matanang memegang pemerintahan di daerah Rapang Raja dan daerah Barru dipegang oleh Raja Perempuan Siti Aisya dan kemudian diberi nama Basse Barru. I Madina Daeng Bau, Raja Perempuan di daerah Tanah Turatea dan tanah perdikan Ternate pernah pula diperintah oleh seorang perempuan bernama We Tanri Ole. Pada masa perang melawan kolonial, perempuan-perempuan tanah air
memiliki peranan yang cukup signifikan demi tercapainya kemerdekaan Indonesia. Kesadaran kaum perempuan dalam politik terbangun partisipasinya dalam
berbagai
bentuk
diantaranya
bermunculan
perempuan, baik yang kooperatif maupun non kooperatif.
organisasi-organisasi Melalui organisasi-
21
organisasi, kaum perempuan memiliki peranan penting dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa secara langsung maupun tidak langsung. Putri Mardika muncul sebagai organisasi perempuan pertama pada tahun 1912 di Jakarta, lantas disusul Kautmaan Istri di Tasikmalaya pada tahun 1913, Wanita Susilo pada tahun 1918 di Palembang.12 Selain daripada itu organisasiorganisasi yang telah ada pun mempunyai bagian perempuan tersendiri, Muhammadiyah memiliki „Aisyiyah, Nahdatul Ulama memiliki Muslimat atau Fatayat, Persis didampingi Persistri-nya. Organisasi-organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Islamitten Bond, Jong Ambon juga mendirikan seksi perempuan.13 Semangat Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 telah menginspirasikan organisasi-organisasi
perempuan
untuk
menyelenggarkan
kongres
yang
diselenggarakan pertama kalinya pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Hampir tiga puluh perkumpulan perempuan mengikuti kongres ini, mengangkat isu pendidikan dan perkawinan. Sebagai gerakannya, Kongres mengajukan tiga permintaan kepada pemerintah kolonial sebagai berikut: (1) bahwa sejumlah sekolah untuk anak perempuan harus ditingkatkan, (2) penjelasan resmi arti taklik diberikan kepada calon mempelai perempuan pada saat akad nikah, (3) peraturan yang menolong para janda dan anak yatim piatu dari pegawai sipil harus diangkat.14 Pada Kongres kedua, Nyonya Emma Puradireja dari Bandung dan Nona Sri Umiati dari Cirebon dan beberapa perempuan lainnya memperjuangkan hak
12
Ibid., h. 234 Cora Vreede-De Stures, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian. Penerjemah Elvira Rosa dkk, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), h. 134 14 Cora Vreede-De Stures, Sejarah Perempuan Indonesia, h. 134 13
22
perempuan dalam politik dan menghasilkan “passiefkiesrecht”. Walhasil terjadi perubahan paradigma perempuan tidak pantas berpolitik, komisi Visman dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1941 untuk menyelidiki keinginan bangsa Indonesia merubah ketatanegaraan, dan masih dalam kesempatan tersebut, Nyonya
Sunaryo
menuntut
Indonesia
berparlemen
dan
Nyonya
Sri
Mangunsarkoro menuntut Indonesia Merdeka.15 Ibu Soewarni Djojosepoetra pimpinan asosiasi perempuan, Istri Sedar (1930) dalam pertemuannya di Bandung (1932) menegaskan bahwa setiap perempuan perlu aktif dalam kegiatan politik dengan salah satu kegiatannya meningkatkan perempuan, terutama untuk rakyat.16 Setelah Belanda menyerah kepada Jepang tanpa syarat pada tahun 1942, tongkat kolonialisasi diserahkan kepada Jepang. Walaupun menjajah dalam waktu singkat sekitar tiga tahun, namun waktu itu dirasakan cukup lama oleh masyarakat Indonesia, tidak terkecuali pergerakan perempuan di tanah air. Semua organisasi pergerakan Indonesia dibubarkan, kemudian Jepang membentuk organisasi baru yang dapat membantu tercapainya kemenangan Jepang melawan sekutu.17 Organisasi-organisasi wanita melebur menjadi satu ke dalam organisasi wanita yang dibuat oleh Jepang yakni Gerakan Istri Tiga A, Barisan Pekerja Perempuan Putera, Jawa Hokokai Fujinkai. Organisasi-organisasi wanita pada masa pendudukan Jepang tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian-bagian dari organisasi umum tadi.18 Selain berdampak negatif karena ruang gerak organisasi perempuan dibatasi misalnya tidak mendapat kedudukan wanita dalam hukum
15
Endis Firdaus, Imam Perempuan, h. 235 Saparinah Sadli, Berbeda Tetapi Setara: Pemikiran Tentang Kajian Perempuan, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 106 17 A. Adaby Darban (ed), ‘Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia: Sebuah Tinjauan Awal, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 2010), h. 95 18 Ibid., h. 96 16
23
perkawinan dan hak untuk memilih tidak lagi terdengar.19 Adapula dampak positif diantaranya para perempuan dilatih militer dan Palang Merah. Harapan Jepang mengambil kekuatan para pimpinan nasional Indonesia untuk kepentingan kekuasaannya, sebaliknya pimpinan nasional memanfaatkan sarana Jepang untuk menyambut kemerdekaan Indonesia. seperti yang dilakukan oleh Ny. Sunaryo Mangunpuspito yang pada waktu itu dipercayai Jepang untuk memimpin organisasi Fujinkai. Membuat maklumat
pembubaran dan diganti dengan
Persatuan Wanita Indonesia dan bergerak ke kabupaten-kabupaten dan kotakota.20 Lantas bagaimana perjalanan peran politik perempuan di Indonesia pada masa kemerdekaan? 17 Agustus 1945 merupakan tonggak awal perjuangan bangsa Indonesia. Pada fase awal kemerdekaan ini perjuangan melawan penjajah masih bergejolak karena mereka belum menerima kemerdekaan Indonesia. lagilagi kaum perempuan tidak berpangku tangan, mereka juga terlibat dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, tidak terkecuali „Aisyiyah . "Seperti „Aisyiyah misalnya, secara formal tidak melakukan kegiatan organisasi namun kegiatan dakwah, sosial, dan pendidikan tetap dilakukan sesuai perkembangan situasi. Kegaiatan „Aisyiyah di daerahdaerah tidak dikoordinasi dari pusat, tetapi tiap-tiap daerah dianjurkan agar menyelenggarakan kegiatan untuk kepentingan perjuangan 21 kemerdekaan.‟‟ Kutipan di atas menggambarkan betapa gentingnya situasi saat itu sehingga gerakan Aisyiyah terfokus pada usaha mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. „Aisyiyah Pusat bergerak dalam memperjuangkan kemerdekaan dengan mengadakan latihan-latihan kemiliteran. 19
Ibid., h. 97 Ibid., h 101 21 Ibid., h 106 20
24
Setelah perang kemerdekaan usai dan terbentuklah Republik Indonesia Serikat. Tak ada lagi Belanda, tak ada lagi Jepang, tak ada lagi musuh bersama. Laki-laki menguasai panggung politik sedangkan perempuan di posisikan pada tugas-tugas sosial.22 Pada masa ini bermunculan organisasi-organisasi perempuan yang di bidang politik diantaranya Gerakan Wanita Indonesia Sedar (1950)23 yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, Wanita Demokrat Indonesia (1951) berafiliasi dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), dan Wanita Nasional (1953) merupakan afliasi dari Partai Indonesia Raya (PIR).24 Pengaruh Gerwani dalam Kowani terasa begitu kuat, sehingga hal ini memiliki pengaruh terhadap „Aisyiyah yang juga menghimpun di dalamnya. „Aisyiyah yang merupakan organisasi keagamaan dan non politis, akhirnya menjaga jarak dengan Kowani berbeda dengan Gerwani yang tujuan utama pergerakannya adalah politik.25 Pada masa kemerdekaan perkembangan peran politik perempuan di Indonesia dapat pula ditinjau berdasarkan presentase kaum perempuan dalam menduduki lembaga-lembaga politik misalnya DPR RI.
Walaupun jumlah
perempuan Indonesia lebih banyak yakni 101.628.816 jiwa atau 51% dari penduduk Indonesia,26 namun kesempatan perempuan untuk terpilih menjadi anggota parlemen masih berbanding jauh dengan laki-laki. Jumlah perempuan
22
Olvi Pristiana, Zulminarti, dan Chamsiah Djamal “Wanita dan Organisasi”, Toeti Herati dan Aida Vitalaya S. Hubeis (ed), Dinamika Wanita Indonesia Seri 01:Multidimensional, dalam A. Adaby Darban (ed), ‘Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia: Sebuah Tinjaun Awal, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 2010), h. 112 23 Dalam perjalanan selanjutnya Gerwis menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) 24 Olvi Pristiana, Zulminarti, dan Chamsiah Djamal “Wanita dan Organisasi”, Toeti Herati dan Aida Vitalaya S. Hubeis (ed), Dinamika Wanita Indonesia Seri 01:Multidimensional, dalam A. Adaby Darban (ed), ‘Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia: Sebuah Tinjaun Awal, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 2010), h. 112 25 A. Adaby Darban (ed), ‘Aisyiyah dan Sejarah, h. 114 26 Badan Pusat Statistik 2001 dalam Endis Firdaus, Imam Perempuan, Dekonstruksi Perspektif Gender Menuju Kontekstualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia, Jakarta-Bandung, Pustaka Ceria, 2008), h. 236
25
yang terpilih dalam parlemen selalu berkisar antara 8% sampai 10% saja. Di bawah ini jumlah anggota DPR RI berdasarkan jenis kelamin sejak era orde lama sampai reformasi.27 Presentase Anggota DPR-RI Berdasarkan Jenis Kelamin Periode
Perempuan
Laki-laki
1955-1960 (konstituante)
17 (63%)
272 (93,7%)
1956-1959
25 (5,1%)
488 (94,9%)
1971-1977
36 (7,8%)
460 (92,2%)
1977-1982
29 (6,3%)
460 (93,7%)
1982-1987
39 (8,5%)
460 (91,5%)
1987-1992
65 (13%)
500 (87%)
1992-1997
62 (12,5%)
500 (87, 5%)
1997-1999
54 (10,8%)
500 (89,2%)
1999-2004
40 (9%)
500 (91%)
2004-2009
61 (11,09%)
489 (88,9%)
2009-2014
101 (82,32%)
459 (17,68%)
Menjadi suatu keniscayaan bagi kaum perempuan agar dapat terlibat lebih jauh dan aktif dalam mengisi kemerdekaan dan memperoleh hasil maksimal dari pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah apabila kaum perempuan tidak dapat berpartisipasi lebih banyak dalam menentukan kebijakan. Walaupun UU Affirmative Action yang memperjuangkan kuota perempuan sebesar 30 % dalam parlemen belum juga memperoleh hasil yang maksimal, namun sejarah mencatat Megawati Soekarno Putri merupakan presiden perempuan pertama dalam sejarah perpolitikan di Indonesia dan dalam iklim politik yang lebih demokratis.
27
Ani Widya Sucipto, Politik Perempuan, h. 239
26
E. Gerakan Gender dan Feminisme di Indonesia Kata gender (jender) diambil dari Bahasa Inggris karena Bahasa Indonesia belum memiliki konsep gender. Sehingga menurut Mansoer Fakih akan sulit mengarahkan wacana gender atau perbedaan laki-laki dan perempuan selain jenis kelamin di Indonesia.28 Gender berbeda dengan jenis kelamin, gender merupakan konsep laki-laki dan perempuan yang terbentuk secara sosial sedangkan jenis kelamin merupakan konsep laki-laki dan perempuan yang terbentuk secara lahiriyah atau kodrati.
Saparinah Sadli mencontohkan sifat lembut, sabar,
berpenampilan rapi, dan senang melayani kebutuhan orang lain di lingkungan budaya kita merupakan karakteristik dari feminis atau sifat perempuan. Sejak masih kanak-kanak, seorang perempuan sudah ditanamkan sifat-sifat tersebut melalui cara berpakaian dan mainan yang dibelikan, namun si anak akan diberi peringatan apabila oleh lingkungannya tidak berperilaku feminis.29 Pengertian jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang sudah ditentukan secara biologis yakni laki-laki dan perempuan. Pembagian jenis kelamin laki-laki memiliki ciri-ciri: memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing), dan memproduksi sperma. Sedang perempuan memiliki ciri-ciri: memiliki rahim, memproduksi sel telur (ovum), memiliki vagina, dan memiliki alat menyusui30.
Ciri-ciri tersebut akan selamanya melekat pada
perbedaan laki-laki dan perempuan.
Singkatnya perbedaan gender dan jenis
kelamin yakni, gender terbentuk secara nurture sedangkan jenis kelamin terbentuk secara nature.
28
Mansoer Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 6 29 Saparinah Sadli, Berbeda Tetapi Setara, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 23 30 Endis Firdaus, Imam Perempuan, h.163
27
Mencermati gerakan gender dan feminisme di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan studi wanita di Negara-negara Barat, khususnya Amerika. Hal ini senada dengan Saparinah Sadli bahwa ada tiga faktor yang saling berkaitan mengenai gerakan gender atau studi wanita di Indonesia. Pertama, perkembangan studi wanita di Barat yang berkembang dengan cepat pada tahun 1960an.
Kedua, gerakan feminis dari Barat direspon dengan
munculnya organisasi-organisasi yang dipelopori dan dibentuk oleh kaum perempuan di Indonesia (adapun organisasi-organisasi yang dimaksud seperti yang sudah dibahas sebelumnya di sub D). Terakhir, terdapat fakta bahwa pada tahun 1980an, beberapa perempuan muda dan mereka adalah dosen-dosen di universitas menyelenggarakan Kongres Nasional dengan pembahasan mengenai status wanita. Selain itu, mereka juga menghadiri Kongres Perempuan di Meksiko pada tahun 1975, dimana para Feminis Barat menilai perlu menata kembali gerakan mereka karena perempuan dari Negara berkembang memiliki kebutuhan dan konsen yang berbeda dengan perempuan di Barat31. Sosok Kartini tidak dapat dilepaskan dari sebuah keterkaitan lahirnya semangat kemajuan bagi perempuan di Indonesia. Kartini merupakan seorang perempuan Jawa dari kalangan feodal yang terpaksa harus keluar sekolah pada usia 12 tahun dan terkurung di rumahnya. Pada usia tersebut, seorang perempuan yang keluar setiap hari untuk belajar ke sekolah merupakan pelanggaran besar terhadap adat. Perempuan-perempuan ketika itu “disangkar” dan menunggu seseorang laki-laki yang akan dijodohkan kepadanya setelah itu mereka bisa
31
Saparinah Sadli, Berbeda Tetapi Setara, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 363-364
28
kembali ke dunia luar.32 Pemikiran-pemikiran Kartini mengenai pendidikan dan isu-isu lainnya mengenai perempuan tertuang dalam surat menyuratnya kepada sahabat dekatnya di Belanda yang kemudian hari dipublikasikan sehingga menjadi inspirasi bagi perempuan di Indonesia untuk mengikuti jejaknya. Semangat Kartini untuk memajukan kaum perempuan di tanah kelahirannya terinspirasi dari tulisan-tulisan seorang Feminis India, Pandita Rambai.33 Selain Kartini sebagai pelopor gerakan feminis, Dewi Sartika memiliki peranan yang tidak kalah pentingnya dalam membangkitkan kemajuan perempuan di tanah air. Sebelum gerakan feminis mengemuka dan terorganisir, Dewi Sartika telah menyuarakan diskriminasi dalam pembagian upah buruh perempuan yang lebih rendah dari laki-laki dalam pekerjaan yang sama dan pada tahun 1904 Dewi Sartika mendirikan sekolah khusus perempuan, yang kemudian hari dikenal dengan nama Kautamaan Istri34. Kartini dan Dewi Sartika hanya sebagian kecil yang tercatat dalam sejarah sebagai sosok perempuan yang turut menginspirasi bagi gerakan feminisme di Indonesia. Ide-ide dan gerakan mereka dalam mempelopori kemajuan perempuan di tanah air memiliki peranan yang signifikan bagi generasi selanjutnya untuk membentuk organisasi agar gerakan mereka bergerak secara terorganisir dan berkelompok.
32
lihat surat Kartini yang pertama kepada Stella Zeehandelaar dalam Cora Vreede-De Stures, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian. Penerjemah Elvira Rosa dkk, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008) h 67. 33 Saparinah Sadli, Berbeda Tetapi Setara, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 364 34 Cora Vreede-De Stures, Sejarah Perempuan Indonesia, h. 74-73
BAB III ‘AISYIYAH DAN PEMBERDAYAAN POLITIK PEREMPUAN
“Urusan dapur janganlah dijadikan halangan untuk menjalankan tugas dalam menghadapi masyarakat” (KH. Ahmad Dahlan) A. Mengenal Sejarah ‘Aisyiyah dan Perkembangannya Kelahiran organisasi „Aisyiyah tidak bisa dilepaskan dari peran KH Ahmad Dahlan yang juga pendiri Muhammadiyah. Berkat keberanian dan wawasan yang dimilikinya, Kyai Dahlan mempelopori gerakan perempuan ke ruang publik dengan mendirikan „Aisyiyah, suatu hal yang dianggap tabu pada masa itu. Suatu hal yang tidak berlebihan bila beliau dijuluki Sang Pencerah dan salah satu alasan pula pemerintah Republik Indonesia mengangkat KH Ahmad Dahlan
sebagai
Pahlawan
Nasional
karena
kepeloporannya
mendirikan
„Aisyiyah.1 Organisasi „Aisyiyah telah memperlopori kebangkitan kaum perempuan Indonesia untuk mengecap pendidikan dan memiliki peran sosial. Perkembangan „Aisyiyah yang semakin pesat hingga saat ini merupakan buah perjuangan yang tak ternilai harganya dalam memajukan masyarakat dan berdakwah amal ma‟ruf nahi munkar. Hal ini sebagaimana termaktub dalam identitasnya
yakni
“'Aisyiyah,
organisasi
perempuan
persyarikatan
Muhammadiyah, merupakan gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi
1
lihat surat keputusan pemerintah mengenai ini dalam Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, (Jakarta: Suara Muhammadiyah, 2010), h. 353 29
30
mungkar, yang berazaskan Islam serta bersumber pada Al Quran dan Assunnah”.2 Perjalanan dan tegaknya tujuan organisasi tidak bisa dilepaskan dari visi dan misi organisasi tersebut. Berdirinya „Aisyiyah dan perkembangannya hingga saat ini, tidak dilepaskan dari visi dan misi organisasi tersebut sehingga mampu melewati perkembangan sosial dan politik di Indonesia. Berikut di bawah ini visi dan misi „Aisyiyah:3 Visi Ideal Tegaknya agama Islam dan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenarbenarnya. Visi Pengembangan Tercapainya usaha-usaha 'Aisyiyah yang mengarah pada penguatan dan pengembangan dakwah amar makruf nahi mungkar secara lebih berkualitas menuju masyarakat madani, yakni masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Misi Misi 'Aisyiyah diwujudkan dalam bentuk amal usaha, program dan kegiatan meliputi: 1) Menanamkan keyakinan, memperdalam dan memperluas pemahaman, meningkatkan pengamalan serta menyebarluaskan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan 2) Meningkatkan harkat dan martabat kaum wanita sesuai dengan ajaran Islam
2
Website Pimpinan Pusat „Aisyiyah, visi misi „Aisyiyah, diakses pada 21 April 2011 dalam http://www.aisyiyah.or.id/modules/view/31 3 Ibid
31
3) Meningkatkan kualitas dan kuantitas pengkajian terhadap ajaran Islam 4) Memperteguh iman, memperkuat dan menggembirakan ibadah, serta mempertinggi akhlak 5) Meningkatkan semangat ibadah, jihad, zakat, infaq, shodaqoh, wakaf, hibah, serta membangun dan memelihara tempat ibadah, dan amal usaha yang lain 6) Membina AMM Puteri untuk menjadi pelopor, pelangsung, dan penyempurna gerakan 'Aisyiyah 7) Meningkatkan pendidikan, mengembangkan kebudayaan, memperluas ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta menggairahkan penelitian
8) Memajukan perekonomian dan kewirausahaan ke arah perbaikan hidup yang berkualitas 9) Meningkatkan dan mengembangkan kegiatan dalam bidang-bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, kesehatan, dan lingkungan hidup 10) Meningkatkan dan mengupayakan penegakan hukum, keadilan, dan kebenaran
serta memupuk semangat kesatuan dan persatuan bangsa
11) Meningkatkan komunikasi, ukhuwah, kerjasama di berbagai bidang dan kalangan masyarakat dalam dan luar negeri 12) Usaha-usaha lain yang sesuai dengan maksud dan tujuan organisasi. 1. Kelahiran ‘Aisyiyah Awalnya „Aisyiyah merupakan perkumpulan pengajian yang dibidani langsung oleh KH Ahmad Dahlan yang diberi nama Sopo Tresno (siapa suka, siapa cinta). Adapun keanggotaan Sopo Tresno merupakan perempuan-perempuan
32
muda dengan usia sekitar lima belas tahunan yakni Aisyah (Hilal), Busyro Isom, Zahro Muchzin, Wadi‟ah Nuh, Dalalah Hisjam, dan Badilah Zuber.4 Meminjam istilah yang dikemukakan oleh Haedar Nashir, Sopo Tresno merupakan embrio dari „Aisyiyah, didirikan pada tahun 1914 M. Dalam perkembangan selanjutnya perkumpulan yang gerakannya terbatas pada kegiatan pengajian semata ini berganti nama menjadi „Aisyiyah. Pemberian nama „Aisyiyah sendiri berdasarkan hasil pertemuan antara KH. Mochtar, KH. Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusuma, KH Fachrudin dan pengurus Muhammadiyah yang lain di rumah Nyai Ahmad Dahlan. Awalnya muncul nama FATIMAH untuk perkumpulan ini namun usulan tersebut tidak diterima oleh para hadirin dalam rapat tersebut. Kemudian KH Fachrudin mengusulkan nama „Aisyiyah, sesuai namanya dengan harapan agar perjuangan perkumpulan ini seperti perjuangan istri Rasulullah, Siti Aisyah yang selalu membantu berdakwah rasul.5 Secara aklamasi forum menyetujui pemberian nama „Aisyiyah untuk perkumpulan ini yang sebelumnya bernama Sopo Tresno, kemudian bersamaan dengan perayaan Isra‟ Mi‟raj Nabi Muhammad Saw nama „Aisyiyah diresmikan pada tanggal 27 Rajab 1335 H atau bertepatan dengan 19 Mei 1917 M.6 2. Perkembangan Struktur Organisasi ‘Aisyiyah Setelah
nama
„Aisyiyah
diresmikan
sebagai
wadah
perjuangan
perempuan-perempuan Muhammadiyah dalam berbakti kepada masyarakat sehingga terlaksananya Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya seperti yang 4
Junus Salam, KH Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuangannya, (Jakarta: Al-Wasrat Publishing House, 2009), h 73 5 M. Yunan Yusuf dkk, ed, Ensiklopedia Muhammadiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005), h 13 6 Mahasri Shobahiya dkk, Studi Kemuhammadiyahan, 7th ed, (Surakarta: LPIDUMS, 2008), h. 118
33
tertuang dalam AD/ART „Aisyiyah. Saat itu pula disusun kepengurusan „Aisyiyah sebagai berikut: Siti Bariyah (Ketua), Siti Badilah (Penulis), Siti Aminah Harowi (Bendahara), Ny. H. Abdullah, Ny. Fatimah Wasol, Siti Wadingah, Siti Dalalah, Siti Dawimah, Siti Busyro (Pembantu-pembantu).
Seperti yang dikutip oleh
Haedar Nashir, menurut Junus Anis peran Nyai Ahmad Dahlan sejak berdirinya „Aisyiyah sebagai pemuka sekaligus mubhaligat „Aisyiyah7. Istri KH Ahmad Dahlan ini juga selalu menjadi pemegang palu persidangan dalam setiap penyelenggaraan Kongres „Aisyiyah dan terakhir pada Kongres/Muktamar Muhammadiyah ke-23 tahun 1934 di Yogyakarta.8 Kalangan feminisme kontemporer menganggap kelahiran „Aisyiyah dari rahim
Muhammadiyah
tidak
progresif
karena
masih
menjadi
bagian
Muhammadiyah.9 Namun bila dikaitkan dengan kondisi sosial pada waktu itu yang masih menganggap perempuan tidak pantas untuk keluar rumah, walaupun untuk sekedar menimba ilmu. Hal ini kiranya merupakan suatu gerakan yang progresif, gerakan pembaharuan perempuan muslim di tanah air dalam berkiprah di ruang publik, menggerakkan masyarakat dan dirinya. Sejalan dengan pesatnya perkembangan „Aisyiyah, maka status „Aisyiyah dalam tubuh organisasi Muhammadiyah sebagai organisasi induknya turut pula berubah mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman. Berikut di bawah ini perjalanan posisi dan struktur organisasi „Aisyiyah:
7
Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, (Jakarta: Suara Muhammadiyah, 2010), h. 354 8 Ibid. , h. 355 9 Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, h. 375
34
„Aisyiyah dikembangkan statusnya menjadi bagian Muhammadiyah pada tahun 1923.10
Pada tahun 1927 „Aisyiyah berubah menjadi Majelis „Aisyiyah, hal ini dikarenakan semakin meluas urusan-urusan pimpinan cabang-cabang serta ranting-rantingnya di seluruh Indonesia. Sejak ini pula „Aisyiyah telah bisa menjalankan Kongres sendiri walaupun penyelenggaraannya masih mengikuti Kongres/Muktamar Muhammadiyah.11
Sesuai dengan amanat Muktamar Muhammadiyah ke-32 tahun 1953 di Purwokerto,
„Aisyiyah
menjadi
bagian
Muhammadiyah
yang
berkedudukan otonom. Seperti yang tercantum dalam Anggaran Pokok „Aisyiyah tahun 1956 pasal 1 bahwa “„Aisyiyah adalah bahagian istimewa Muhammadiyah yang berkedudukan otonom. „Aisyiyah dibentuk oleh Muhammadiyah”. Bila dicermati betapa penting posisi dan peran „Aisyiyah, walaupun masih menjadi bagian Muhammadiyah.12
Pada tahun 1961 sesuai dengan Kongres ke-24 di Banjarmasin memantapkan istilah Majelis dalam struktur organisasi „Aisyiyah. Pada tingkatan Pimpinan Pusat disebut Pimpinan Pusat Majelis „Aisyiyah.13
Posisi organisasi „Aisyiyah yang sebelumnya menjadi organisasi bagian istimewa Muhammadiyah yang berkedudukan otonom, hal ini sesuai dengan keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-32 tahun 1953. Pada tahun 1966 status organisasi „Aisyiyah ditingkatan lagi menjadi Organisasi Otonom yang struktur organisasinya berjenjang dari Pusat (setingkat 10
Ibid., h. 354 Ibid., h. 354 12 Ibid., h. 355 13 Ibid., h. 356 11
35
nasional),
Wilayah
(setingkat
propinsi),
Daerah
(setingkat
kabupaten/kota), Cabang (setingkat kecamatan), dan Ranting (setingkat desa/kelurahan).14
Pada tahun 1968 dalam Muktamar Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta status „Aisyiyah didewasakan menjadi Pimpinan Pusat „Aisyiyah dan sampai saat ini. Sejak berstatus PIMPINAN PUSAT „Aisyiyah berkantor di Yogyakarta dan diketuai oleh Prof. Dra. Hj.Baroroh Baried.15
Pada Muktamar Muhammadiyah tahun 2000 di Jakarta, kemudian dimantapkan lagi pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 tahun 2005 di Malang. Posisi „Aisyiyah ditingkatkan lagi menjadi Organisasi Otonom Khusus yang berarti organisasi ini diberikan keluesan dalam mengelola amal
usaha
tertentu
seperti
yang
telah
dikembangkan
oleh
Muhammadiyah.16 Demikian dinamika perjalanan perkembangan posisi dan struktur „Aisyiyah yang awal mulanya hanya sekedar bagian dari Muhammadiyah namun dalam perkembangan selanjutnya organisasi ini merupakan organisasi otonom dan setelah itu menjadi organisasi otonom khusus Muhammadiyah. Sebagai organisasi yang memiliki posisi berbeda dengan organisasi otonom Muhammadiyah lainnnya seperti Nasiyatul Muhammadiyah (NA), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Ikatan Pelajar Muhammdiyah (IPM), Pemuda Muhammadiyah, dsb. Haedar Nashir mengungkapkan bahwa keotonoman tidak lantas menghilangkan relasi-relasi struktural yang fungsional yakni saling terkait dalam
14
Ibid., h. 357 Mahasri Shobahiya dkk, Studi Kemuhammadiyahan, h. 119 16 Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, h. 357 15
36
menjalankan fungsinya masing-masing. Walaupun „Aisyiyah sebagai organisai otonom
khusus,
berbeda
dengan
organisasi
otonom
lainnya
dalam
Muhammadiyah namun harus tetap berada dalam koridor sistem Persyarikatan Muhammadiyah sebagai organisasi induknya17. 3. Kiprah dan Perjuangan ‘Aisyiyah Pemerintah Republik Indonesia mengangkat KH Ahmad Dahlan menjadi Pahlawan Nasional merupakan hal yang tidak berlebihan. Kyai Dahlan mampu menjawab tantangan zaman dan pembaharu bagi pergerakan Islam di tanah air. Di saat masyarakat kita masih menganggap perempuan tempatnya di dapur dan bukan di luar (baca: masyarakat), dengan keberanian dan wawasan luas yang dimilikinya, Kyai Dahlan mendirikan „Aisyiyah yang semula merupakan kelompok pengajian putri. Kyai Dahlan mengajarkan mereka ilmu agama dan umum. Selain itu, disaat perempuan-perempuan tidak bisa keluar untuk bersekolah seperti yang dialami oleh Kartini namun Kyai Dahlan mendirikan sekolah dan asrama putri, hal ini tentu merupakan hal yang sangat langka dan nyeleneh pada zamannya namun sangat progresif. Kartini berontak karena tidak bisa melanjutkan sekolahnya karena tidak diijinkan untuk keluar rumah, namun Kyai Dahlan mendirikan asrama putri, jadi perempuan-perempuan tidak hanya keluar dari rumahnya namun sudah hidup di luar rumah untuk menimba ilmu. Sejak „Aisyiyah didirikan oleh Kyai Dahlan sebagai pembaharuan gerakan perempuan di ruang publik, telah terbukti banyak mengukir prestasi dan keberhasilan dalam meningkatkan peran perempuan di ruang publik. Dalam kurun waktu dua tahun saja (1917) „Aisyiyah telah mampu mendirikan Taman Kanak-
17
Ibid., h. 357
37
Kanak pertama di Indonesia bernama Frobel dan sekarang menjadi Taman KanakKanak „Aisyiyah Busthanul Atfhal. Tahun 1923 organisasi ini melakukan gerakan pemberantasan buta huruf Arab dan Latin, yang kemudian dikembangkan menjadi Sekolah Maghribi atau Maghribis Scholl (AMS).18 Gerakan „Aisyiyah tidak hanya di bidang pendidikan saja namun juga mencakup bidang-bidang yang lain. Organisasi „Aisyiyah berkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan di bidang kesehatan, sosial dan ekonomi. Namun agar tidak kehilangan informasi dalam isu-isu nasional dan strategis. sebagai bentuk responsivitas, salah satunya isu politik perempuan, seperti yang dibahas dalam tulisan ini. Hal ini dikarenakan „Aisyiyah adalah organisasi masyarakat yang tidak berkonsentrasi dalam kegiatan politik, sama seperti induknya, Muhammadiyah. Maka tujuan „Aisyiyah sama dengan tujuan Muhammadiyah, yaitu ”Tegaknya agama Islam dan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”19 Adapun dalam mencapai tujuannya tersebut, „Aisyiyah menyusun beberapa program antara lain: (1) Pembinaan Keluarga Sakinah, menyampaikan dakwah yang ditekankan pada konsep keluarga sejahtera berdasarkan Islam (2) Qoryah Thoyyibah, yakni suatu model pengembangan masyarakat dengan pendekatan mengerahkan seluruh sumber daya fisik dan insani dari desa yang diberdayakan, (3) Pembinaan Muallaf dan Dhuafa, yakni pembinaan pada orangorang atau masyarakat yang lemah iman dan lemah ekonomi, (4) Kesejahteraan Sosial, pembinaan dengan cara memberikan santunan kepada anak-anak yatim, pembinaan anak asuh, pemberian bantuan pendidikan dsb, (5) Bimbingan Calon Haji, yakni memberikan bimbingan pada umat Islam yang akan menunaikan 18
Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, h. 357 Pimpinan Pusat „Aisyiyah, Anggaran Dasar dan Rumah Tangga „Aisyiyah ,(Yogyakarta: PP „Aisyiyah, 2002) h 9 19
38
ibadah haji, (6) Mendirikan Taman Kanak-Kanak „Aisyiyah Busthanul Atfhal, saat ini „Aisyiyah telah memiliki 3350 sekolah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, (7) Mendirikan Badan Kesehatan, seperti mendirikan Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) dan Sekolah Bidan atau Akademi Keperawatan untuk mencukupi tenaga kesehatannya, (8) Peningkatan taraf hidup dan pendapatan keluarga, dalam kegiatan ini „Aisyiyah mendirikan Badan Usaha Ekonomi Keluarga atau biasa disebut BUEKA, (9) Pengkaderan¸ seperti umumnya setiap organisasi diperlukan generasi penerus dalam melanjutkan perjuangannya. „Aisyiyah menggantung kaderisasi organisasinya dengan munculnya kader dari Nasyi‟atul „Aisyiyah dan Mu‟allimat Muhammadiyah. 20 Demikian beberapa tujuan „Aisyiyah yang teraplikasikan dalam beberapa kegiatannya. Selain itu, „Aisyiyah juga memiliki tugas dan peran sebagai berikut:21 1. Membimbing dan menyadarkan perempuan dalam beragama dan berorganisasi. 2. Menghimpun perempuan-perempuan Muhammadiyah untuk turut serta menyalurkan dan menggembirakan amalan-amalannya. Eksistensi „Aisyiyah yang terus melaju dan berkembang hingga saat ini, merupakan buah prestasi yang perlu mendapatkan acungan jempol. Sejak pertama didirikan, pada masa penjajahan dan masih tetap eksis pada masa kemerdekaan saat ini. „Aisyiyah pun telah memiliki modal besar dalam mengantisipasi perubahan sosial, ekonomi dan politik di era globalisasi saat ini antara lain: (1) Usia „Aisyiyah yang telah menjelang satu abad, mampu melewati fase penjajahan, 20 21
M. Yunan Yusuf dkk, ed, Ensiklopedia Muhammadiyah, h. 15 Mahasri Shobahiya dkk, Studi Kemuhammadiyahan, 7th ed, h. 120
39
kemerdekaan, pembangunan dan reformasi, (2) Gerakan „Aisyiyah yang telah menjangkau ke pelosok tanah air, (3) Amal usaha „Aisyiyah yang hampir meliputi segala bidang kehidupan (pendidikan, ekonomi, kesehatan), (4) „Aisyiyah memiliki sumber daya manusia yang banyak dan berkualitas. 22 Kelahiran „Aisyiyah dalam mengangkat kehidupan perempuan agar keluar dari domestifikasi yang telah dibuat oleh budaya dan lingkungan masyarakat telah berhasil. Amal usaha dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya menjadi salah satu ukuran dari keberhasilan tersebut. Perkataan KH Ahmad Dahlan kepada muridmuridnya bahwa urusan dapur bukan faktor penghambat bagi perempuan dalam menghadapi masyarakat telah terbukti, bahwa perempuan juga bisa berbakti kepada masyarakat, bahwa perempuan juga memiliki peranan sosial. B. Pandangan ‘Aisyiyah Tentang Politik Perempuan Usia „Aisyiyah yang saat ini sudah menjelang satu abad yang lahir sebelum republik ini berdiri telah memiliki banyak pengalaman dalam mengabdi kepada masyarakat. Organisasi „Aisyiyah telah berhasil melewati fase-fase perkembangan dan sejarah Indonesia, sejak masa penjajahan oleh Belanda, Jepang, kemudian era orde baru dan reformasi saat ini. Kelahiran „Aisyiyah tidak bisa dilepaskan dari harapan dan tujuan agar kaum perempuan dapat berkiprah di ruang publik, namun bukan berarti harus mengabaikan wilayah domestik (kerumahtanggaan). „Aisyiyah sebagai organisasi kemasyarakatan yang bernaung dengan organisasi induknya Muhammadiyah tentu tidak terlibat lebih jauh dalam
22
M. Yunan Yusuf dkk, ed, Ensiklopedia Muhammadiyah, h. 16
40
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan politik praktis.23 Program-program yang nyata di masyarakat mengenai peran „Aisyiyah sejak berdirinya hingga saat ini diantaranya di bidang keagamaan, sosial, pendidikan, ekonomi dan kesehatan. „Aisyiyah juga turut serta mengajarkan kesadaran perempuan dalam politik sebagai responsivitas perubahan dan isu zaman. Sejak pemilu umum pertama kali diselenggarakan pada tahun 1955, „Aisyiyah telah terlibat aktif dalam kegiatan pemberdayaan politik perempuan. Kegiatan „Aisyiyah memberikan penerangan tentang pemilihan umum kepada masyarakat baik secara lisan lewat pengajian-pengajian, rapat-rapat yang diselenggarakan oleh „Aisyiyah, atau secara personal.24 Majalah Suara „Aisyiyah April 1954 memuat artikel pemilihan umum dan pelaksanaannya. Majalah tersebut memuat artikel tentang pemilihan umum dan pelaksanaanya, pengertian Konstituante, dan Dewan Perwakilan Rakyat menjelaskan bahwa keduanya masih sementara, selain daripada itu dijelaskan pula tujuan dilaksanakannya pemilihan umum yaitu membentuk Badan Konstituante untuk membuat UUD dan DPR pusat untuk menggantikan parlemen sementara. Tahapan-tahapan dan jadwal pelaksanaan pemilihan umum diuraikan pula dalam majalah tersebut.25 Mencermati kegiatan „Aisyiyah dalam politik adalah dalam rangka memberikan pendidikan politik kepada masyarakat luas yakni agar masyarakat, khususnya kaum perempuan agar lebih berpikir kritis dan terbuka terhadap
23
Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag, Yogyakarta, 07 April 2010 Kegiatan pemberdayaan politik perempuan yang dilakukan oleh „Aisyiyah pada era orde hanya dilakukan melalui pengajian-pengajian di tingkat grass root, sedangkan di era reformasi lebih terbuka melalui seminar-seminar, workshop dan sebagainya. Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si, 07 April 2010 25 Suara „Aisyiyah, No 4, Th XIX, April 1954, h. 77-82 dalam A. Adaby Darban (ed), „Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia: Sebuah Tinjaun Awal, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 2010), h. 119-120 24
41
politik. Jadi tidak bertujuan politik praktis dikarenakan „Aisyiyah didirikan sebagai
organisasi
perempuan
non-politik
sama
seperti
induknya,
Muhammadiyah. Fenomena kehadiran perempuan di ruang publik masih menjadi kritikan oleh sebagian kalangan masyarakat. Wilayah perempuan yang hanya boleh di dapur (baca: domestik) masih menghantui pola pikir sebagian masyarakat kita yang masih patriarkal. Padahal mencermati lebih jauh sejauhmana hasil pembangunan saat ini yang masih kurang berpihak pada kaum perempuan yang justru membutuhkan suara perempuan itu sendiri dalam proses pengambil kebijakan dalam struktur kekuasaan baik di level mikro maupun makro. Sedangkan tanpa kita sadari perempuan telah berkontribusi besar pada anggaran pemerintahan seperti retribusi pasar, puskesmas, dsb yang kebanyakan pelaku dalam sektor tersebut adalah perempuan. seperti yang diungkapkan oleh Bu Tri “lihat saja di pasar-pasar, puskesmas, kebanyakan kan perempuan yang berada di sana, Jadi perempuan telah berkontribusi besar bagi pemasukan anggaran pemerintah.” 26 Pandangan „Aisyiyah tentang peran politik perempuan dapat dicermarti berdasarkan keputusan yang telah dibuat oleh Muhammadiyah melalui lembaga yang berkenaan dengan itu dalam hal ini Majlis Tarjih dan Tajdid. Ketika pandangan patriarki masih sangat kental dalam kultur masyarakat Indonesia dan diskursus-diskursus jender belum mengemuka saat ini. Pada tahun 1976 Muhammadiyah melalui lembaga Majlis Tarjih dan Tajdid mengeluarkan keputusan tentang kedudukan perempuan dalam politik atau lebih tepatnya kedudukan perempuan Muslim dalam politik yang terhimpun dalam Adabul
26
Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si, 07 April 2010
42
Mar‟ah fil Islam. Berlandaskan firman Allah dalam Surat At-Taubah ayat 71 yang berbunyi:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh akan kebajikan dan melarang dari kejahatan; mereka mendirikan shalat, mereka mengeluarkan zakat. Dan mereka taat/patuh kepada Al-quran dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, karena sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” Pengertian mengajarkan amar ma‟ruf nahi munkar, memerintahkan kebajikan dan mencegah kejahatan yang dimaksud dalam ayat di atas mencakup dalam segala hal termasuk soal politik dan ketatanegaraan, karena bisa saja suatu waktu kaum perempuan diperlukan untuk turut serta memecahkan persoalanpersoalan bangsa dalam ketatanegaraan.27 Sedangkan kata “ba‟dhuhum auliyaa uba‟din” menjelaskan bahwa bukan saja laki-laki yang memimpin perempuan, namun perempuan juga memimpin laki-laki.28 Baik perempuan maupun laki-laki memiliki tugas dan kewajibannya yang sama sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan sebagai warga negara memiliki kewajiban untuk turut serta membantu mensejahteraan masyarakat, baik jalur lembaga politik formal atau konsep Qoryah Thoyyibah seperti yang telah dilakukan oleh „Aisyiyah selama ini. 27
Majlis Tarjih dan Tajdid, Adabul Mar‟ah fil Islam, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010), h.71 28 Dalam wawancara dengan Ibu Aisyah, kata “penolong” diartikan “pemimpin” oleh „Aisyiyah. Lihat pula Maftuchah Yusuf, Perempuan Agama dan Pembangunan, Wacana Kritik atas Peran dan Kepemimpinan Wanita, (Yogyakarta: Lembaga Studi dan Inovasi, 2000), h. 21
43
Adapun hadits diriwayatkan oleh Al-Bukhari yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, Tidak akan menang kaum perempuan yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan. Menurut Din Syamsudin pandangan ini karena dipengaruhi budaya arab yang didominasi laki-laki, sehingga mempengaruhi negara-negara muslim untuk menolak kehadiran atau tampilnya perempuan dalam wilayah kehidupan politik.29 Hadits di atas yang terkesan menyudutkan kaum perempuan untuk menjadi pemimpin menurutnya haruslah dipahami secara jernih dan lebih mendalam dengan melihat latar belakang (Asbabul Wurud) dari hadits tersebut. Dikeluarkannya hadits tersebut merupakan repon nabi Muhammad terhadap Raja Persia yang akan mengangkat puterinya sebagai pengganti atau penerus kepemimpinan ayahnya (Raja Persia) tersebut.30 Pernyataan Nabi tersebut karena berdasarkan pengetahuan beliau tentang ketidakmampuan Sang Puteri dalam mengurusi urusan kenegaraan yang kompleks dan berat. Keputusan Majelis Tarjih yang terhimpun dalam Adabul Mar‟ah fil Islam tersebut memberikan apresiasi dan afirmasi bahwasannya perempuan boleh menjadi pemimpin. Perempuan boleh menjadi hakim, direktur sekolah, direktur perusahaan, camat lurah, menteri, walikota dan sebagainya.31 Lantas bolehkan perempuan menjadi kepala negara? Menurut Syamsul Anwar walaupun dalam keputusan tersebut tidak secara jelas tegas menyebutkan kebolehan perempuan menjadi kepala negara semangat dari seluruh keputusan tersebut tidak melarang perempuan menjadi kepala negara. 29
Din Syamsudin dalam Wawan Gunawan dan Evie Shofia Inayati (ed), Wacana Fiqh Perempuan dalam Persfektif Muhammadiyah, (Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 2005), h. 44 30 Wawan Gunawan dan Evie Shofia Inayati (ed), h. 44 31 Ibid., h. 50
44
Menurut Syamsul Anwar peran politik perempuan yang dirumuskan dalam Adabul Mar‟ah fil Islam, dalam menilai peranan wanita dalam politik dapat dibagi menjadi dua bagian yakni: 1. Peranan yang langsung terjun dalam politik praktis dalam lembaga-lembaga politik formal, mulai dari tingkatan legislatif yakni DPR dari pusat sampai daerah. 2. Peranan tidak langsung, yaitu kegiatan yang disalurkan dari rumah tangga dengan turut berperan aktif dalam mengisi kesempatan-kesempatan bermanfaat di dalam masyarakat. 32 Seperti yang dituturkan oleh Bu Aisyah, selaku Ketua Bidang Pengkaderan Pimpinan Pusat „Aisyiyah, bahwa definisi politik dalam pandangan „Aisyiyah tidak diartikan secara sempit yakni kekuasaan semata dalam struktur pemerintahan atau lembaga politik.33 Pendapat senada pun diungkapkan oleh Ibu Hastuti Nur Rochima, selaku Ketua Lembaga Pengembangan dan Penelitian, bahwa „Aisyiyah membolehkan peran perempuan dalam bidang politik. Namun tidak harus dalam lembaga politik formal (baca: DPR) dalam cakupan yang lebih luasnya kaum perempuan dapat berperan aktif di masyarakat, misal tampil dalam rapat-rapat yang berkaitan dengan pengambilan keputusan demi keberlangsungan kehidupan masyarakat. Seperti Ibu Uji (panggilan akrabnya) yang juga Pimpinan „Aisyiyah
Daerah
Kendal
terlibat
dalam
Musrenbangdes
(musyawarah
perencanaan pembangunan desa).34 “Kondisi wanita di Indonesia sebagian besar belum mendukung peran sertanya dalam pembangunan. Masih jutaan yang buta atau setengah 32
Syamsul Anwar dalam Wawan Gunawan dan Evie Shofia Inayati (ed), Wacana Fiqh Perempuan dalam Persfektif Muhammadiyah, (Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 2005),, h. 49 33 Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag 34 Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si
45
buta huruf, sebagian dari tenaga kerja wanita adalah buruh rendah. Kesiapan fisik, mental, perlengkapan keterampilannya masih jauh dari standar yang diminta. Kelompok wanita yang duduk sebagai penentu kebijaksanaan masih sangat kecil‟‟.35 Kutipan di atas merupakan salah satu gambaran kondisi perempuan saat ini. Berangkat dari kondisi ketimpangan-ketimpangan dalam pembangunan saat ini, maka wacana dan gerakan untuk meningkatkan partisipasi perempuan di bidang politik banyak bermunculan. Dalam menyikapi perkembangan ini, „Aisyiyah pun sejalan bahwa peranan perempuan dalam politik sangat diperlukan agar perempuan dapat terlibat lebih jauh dalam pengambilan kebijakan. Perempuan yang menjadi kepala daerah (baca: walikota, bupati, gubernur) tidak menjadi suatu hal yang harus dipersoalkan terlebih-lebih dilarang, namun bukan berarti asal perempuan artinya dilihat dari jenis kelaminnya saja. Perempuan yang duduk dalam lembaga politik, baik sebagai kepala daerah atau anggota dewan adalah mereka yang benar-benar memiliki kompetensi dan sense of gender akan kebutuhan masyarakat serta bukan karena suaminya.36 Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas pandangan „Aisyiyah tentang politik perempuan terdapat beberapa kesimpulan diantaranya bahwasannya tidak ada larangan perempuan untuk berperan di ruang publik, termasuk dalam bidang politik. Pandangan ini berdasarkan keputusan Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah karena „Aisyiyah memiliki keterkaitan dengan Muhammadiyah, merupakan organisasi otonom khusus Muhammadiyah serta
35
Maftuchah Yusuf, Perempuan Agama dan Pembangunan, Wacana Kritik atas Peran dan Kepemimpinan Wanita, (Yogyakarta: Lembaga Studi dan Inovasi, 2000), h. 21 36 -Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag. -Di iklim demokrasi saat ini tidak sedikit para istri mantan kepala daerah turut mencalonkan diri sebagai bupati, walikota atau gubernur mengikuti jejak suaminya, bahkan diantaranya berhasil memenangkan pilkada contohnya, Anna Sopana sebagai Bupati Indramayu dan Haryanti Sutrisno sebagai Bupati Kediri.
46
memiliki cita-cita dan tujuan yang sama demi menegakkan ajaran Islam yang sebenar-benarnya. Ibu Aisyah juga menuturkan bahwa “…secara budaya pun tidak ada larangan perempuan untuk menjadi pemimpin, sejak dahulu sudah banyak perempuan-perempuan yang menjadi pemimpin di dalam kerajaan, namun faktor agama sehingga mereka tidak bisa lagi menjadi pemimpin…”37 Pandangan peran politik perempuan yang dimaksud oleh „Aisyiyah bukan sekedar kekuasaan semata, dalam cakupan yang lebih luas yakni perempuanperempuan menjadi local leader sehingga dapat tampil di daerahnya dalam kesempatan
rapat-rapat
yang
berkaitan
dengan
pengambilan
keputusan
masyarakat. Pendapat ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Prof. Miriam Budiarjo bahwasannya politik merupakan kegiatan yang berkaitan dengan negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan, pembagian atau alokasi nilai-nilai dalam masyarakat.38 Seperti yang telah ditegaskan oleh KH Ahmad Dahlan bahwasannya urusan dapur jangan dijadikan penghalang untuk berkiprah di ruang publik bagi perempuan. „Aisyiyah berpandangan bahwa ajaran Islam tidak melarang bagi perempuan untuk menjadi pemimpin dan mengenai urusan rumahtangga bukan tanggungjawab seorang istri saja namun tanggungjawab bersama (suami dan istri). Kiprah perempuan di ruang publik bukan berarti akan mengurangi kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, seorang istri kepada suaminya.39 Menurut Ibu Ais (sapaan akrabnya) menyatakan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya atau
37
Terdapat surat fatwa dari ulama Mekkah yang melarang perempuan menjadi pemimpin (ratu dalam kerajaan), lihat Endis Firdaus, Imam Perempuan, h. 159 38 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h 17 dan lihat pula Leo Agrustino, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Mengenai Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 6 39 Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag.
47
kasih sayang seorang istri kepada suaminya jangan diartikan kehadiran kasih sayang tersebut secara fisik. Perempuan yang berkiprah di ruang publik, misal menjadi kepala daerah, anggota dewan secara tidak langsung perempuan tersebut memberikan tauladan yang baik di dalam keluarga sehingga menjadi contoh bagi anak-anaknya.40 Maftuchah Yusuf juga menegaskan bahwa peran perempuan di ruang publik haruslah bertujuan untuk mengangkat derajat dan martabat keluarga.41 Pengurus „Aisyiyah yang berpartisipasi dalam lembaga politik tidaklah sedikit, mereka tersebar menjadi anggota dewan di berbagai daerah dan tersebar pula dalam berbagai partai politik.42 Keberadaan mereka diantaranya menjadi anggota legislatif, mulai dari DPR di tingkat daerah sampai pusat. Adapun saat ini pengurus Pimpinan Pusat „Aisyiyah yang terlibat di politik sekitar 5-10%43. Sesuai dengan instruksi Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 03/INS/I.0/A/2008 bahwasanya: “Kepada Pimpinan Persyarikatan, Majelis, Lembaga, Ortom, Amal Usaha, dan institusi-institusi lainnya yang berada dalam lingkungan Persyarikatan jika ada anggota pimpinan/fungsionaris yang menjadi anggota Tim Sukses partai politik dan/atau calon-calon anggota legislatif dari partai politik tertentu maka yang bersangkutan harus dinonaktifkan dari jabatannya sampai selesainya kegiatan Pemilu”.44 „Aisyiyah yang merupakan organisasi otonom Muhammadiyah sudah jelas harus mematuhi instruksi tersebut. Pengurus „Aisyiyah yang telah menjadi bagian dalam lembaga politik mulai dari tingkatan legislatif, eksekutif dan partai politik. mereka
40
ibid Maftuchah Yusuf, Perempuan Agama dan Pembangunan, Wacana Kritik atas Peran dan Kepemimpinan Wanita,h 183 42 Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si. 43 Wawancara Pribadi dengan Dra Latifah Iskandar, Yogyakarta, 14 April 2011 44 Instruksi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, lihat lampiran 41
48
di non-aktifkan dalam kepengurusan „Aisyiyah.45 Seperti yang dituturkan oleh Bu Latifah Iskandar: “Pada waktu pemilu 2004 yang lalu saya di dorong oleh teman-teman untuk mencalonkan diri jadi anggota legislatif, dan hal ini wajar-wajar saja toh. masa kita melakukan gerakan affirmative action tapi tidak melaksanakannya (mencalonkan diri jadi menjadi calon legislatif, pen, dan Alhamdulillah saya terpilih setelah itu saya tidak aktif lagi di „Aisyiyah dan hanya menjadi anggota biasa.”46 Mengkaji peran politik perempuan saat ini, menurut Ibu Latifah Iskandar selaku pengurus Pimpinan Pusat „Aisyiyah yang juga mantan anggota DPR-RI periode 2004-2009 lalu. Salah satu keberhasilan perempuan di bidang politik saat ini yakni terbentuknya undang-undang partai politik dan pemilihan anggota DPRD I, DPRD II, dan DPR RI sebagai bentuk aplikatif mengakomodir gerakan affirmative action; kuota 30 persen perempuan di parlemen. Selain itu, melalui peran politik perempuan pula secara tidak langsung peran perempuan di bidang sosial cukup besar dalam berkontribusi memecahkan permasalahan di masyarakat. lahirnya UU Traffiking, KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) merupakan indikator-indikator bahwa peran sosial perempuan saat ini cukup besar, belum termasuk kegiatan posyandu yang memang merupakan pekerjaan sosial perempuan.47 Peranan perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan di ruang publik adalah sebuah harapan agar lahir kebijakan yang sensitif gender sehingga nantinya hasil dari pada kebijakan tersebut benar-benar dapat dirasakan secara adil kepada masyarakat. Laki-laki dan perempuan bukan lawan namun adalah patner dalam mengatur kehidupan. Layaknya suami dan istri dalam rumah tangga. 45
Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si. Wawancara Pribadi dengan Dra Latifah Iskandar 47 Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag. 46
49
C. Strategi dan Kegiatan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam Pemberdayaan Politik Perempuan 1. Strategi –strategi pemberdayaan Semenjak reformasi bergulir pada tahun 1998, membawa angin segar pada perubahan sosial dan politik di Indonesia. Keran kebebasan masyarakat di ruang publik dibuka selebar-lebarnya oleh pemerintah, hal ini tentu sangat kontradikitif dengan era orde baru. Seluruh elemen masyarakat merasakan demokrasi yang sesungguhnya; mahasiswa, buruh, agamawan, tidak terkecuali organisasi perempuan, kebebasan mereka untuk menyuarakan isu-isu gender dalam pembangunan pada era orde baru merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan secara bebas. Organisasi PKK dan Dharma Wanita dibentuk oleh pemerintah sebagai ruang aktualisasi perempuan-perempuan tanah air, sehingga ruang gerak dan ide-ide gerakannya secara mudah dikontrol. Kini, keran berdemokrasi telah dibuka oleh pemerintah yang salah satunya melalui undang-undang. Meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik secara struktural sudah tidak ada batu sandungan lagi.
Undang-undang
Affirmative Action merupakan salah satu jalur kekuatan bagi perempuan agar mereka dapat berperan lebih untuk masuk dan terlibat dalam pengambilan keputusan dan kebijakan dalam pembangunan. Sistem demokrasi langsung saat ini, tidak disia-siakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan perempuan di bidang politik. Sejumlah kebijakan pun dikeluarkan dalam rangka pemberdayaan politik perempuan yang kemudian tertuang di dalam program-programnya. Misalnya pemilu legislatif lalu Pimpinan Pusat „Aisyiyah mendorong kader-kadernya yang berbakat dan berminat di politik
50
untuk berkiprah di lembaga legislatif, melakukan program pendidikan calon pemilih perempuan dan pemilih pemula, menyelenggarakan seminar-seminar dan diskusi politik, bekerjasama dengan berbagai pihak dalam rangka menyukseskan pemilu legislatif. Berdasarkan hasil analisa data yang diperoleh dari berbagai bentuk kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Strategi-strategi yang digunakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam pemberdayaan perempuan agar mereka memiliki kesadaran kritis akan perannya di ruang publik, sepenuhnya mengunakan tiga aras strategi dalam pemberdayaan yang dikemukakan oleh Soeharto yakni aras mikro, aras mezzo dan aras makro. 1)
Aras Mikro Merupakan strategi pemberdayaam dengan pendekatan secara individu
melalui konsultasi dan bimbingan konseling48. Strategi ini sudah sejak lama telah digunakan oleh „Aisyiyah. Sejak „Aisyiyah didirikan justru pendekatan secara individual ini telah berhasil menyadarkan kaum perempuan akan fungsi dan perannya baik sebagai istri bagi suami dan ibu bagi anak-anaknya serta individu sebagai warga negara. Kepengurusan „Aisyiyah yang telah tersebar kepelosok tanah air melalui kegiatan pengajian memberikan pendidikan agama yang seluasluasnya kepada kaum perempuan. Metode pengajian seperti ini telah berhasil dan tidak tergerus oleh perkembangan sosial, selama masa penjajahan kegiatankegiatan dakwah tetap berlangsung.49 Pendekatan-pendekatan individual berlangsung pada momentum tanya jawab antara guru dan murid. Pimpinan Pusat „Aisyiyah turut pula „…mendirikan dan mengaktifkan kembali Biro 48
Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), h. 66 49 Maftuchah Yusuf, Perempuan Agama dan Pembangunan, h. 127
51
Konsultasi Keluarga Sakinah disemua jenjang dengan cara pelayanan langsung ke kantor maupun melalui telepon…”50 2)
Aras Mezo Merupakan strategi pemberdayaan melalui melalui metode pelatihan,
pendidikan51. Strategi ini turut pula digunakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah dan stategi ini sering dilakukan dalam rangka memberikan pendidikan politik perempuan. Seperti menyelenggarakan pelatihan Manajemen Ruhaniyah bagi mahasiswa yang tinggal di asrama STIKES „Aisyiyah Yogyakarta,52 pelatihan pemantau pemilu 2009.53 3)
Aras Makro Pemberdayaan politik perempuan melalui strategi ini juga dilakukan oleh
Pimpinan
Pusat
„Aisyiyah.
Misalnya
Pimpinan
Pusat
„Aisyiyah
menyelenggarakan program pendidikan pemilih di Yogyakarta dengan cara penyusunan dan pengisian daftar pertanyaaan untuk calon kandidat (calon kepala daerah, pen), pembuatan dan penyebarluasan poster pendidikan pemilih, debat calon, kampanye untuk meningkatkan pengetahuan publik tentang pilkada yang berkualitas.54 Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Suharto bahwa aras mikro merupakan strategi pemberdayaan dengan pendekatan yang dilakukan
50
Laporan Kegiatan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Divisi Pembinaan Keluarga dan Masyarakat Periode 2005-2010, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke 46. Yogyakarta, 3-8 Juli 2010 51 Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, h. 67 52 Laporan Kegiatan Majelis Pembinaan Kader Pimpinan Pusat „Aisyiyah periode 20052010, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke 46. Yogyakarta, 3-8 Juli 2010 53 Laporan Kegiatan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Bidang Pendidikan Politik dan Pengembangan Masyarakat periode 2005-2010, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke 46. Yogyakarta, 3-8 Juli 2010 54 ibid.,
52
kepada sistem yang lebih luas seperti perumusan kebijakan, lobbying, pengorganisasian masyarakat dan kampanye.55 Kiprah „Aisyiyah yang telah menjelang satu abad telah mampu bertahan dalam memberdayakan perempuan di tanah air agar mereka sadar akan perannya di ruang publik. Ketiga strategi pemberdayaan yang digunakan oleh „Aisyiyah tersebut
menjadi
salah satu
faktor keberhasilan organisasi
peempuan
Muhammadiyah ini hingga bisa diterima dalam masyarakat dan terus bereksistensi hingga saat ini. „Aisyiyah telah mengambil peran dalam pemberdayaan politik perempuan baik secara struktural maupun kultural.56 Organisasi „Aisyiyah bukan organisasi politik sehingga kegiatan pemberdayaan yang selama ini dilakukan oleh „Aisyiyah.
semenjak orde baru sampai era
reformasi tidak secara langsung bertujuan ke arah itu misalnya pengurus, anggota, dan masyarakat diberikan pelatihan secara khusus agar menjadi anggota dewan atau kepala negara, namun dalam rangka memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Sebagaimana yang termaktub dalam keputusan Muktamar „Aisyiyah ke 45 bahwa: “„Aisyiyah bukan organisasi partai politik ataupun organisasi sosial politik, namun tanggap terhadap perkembangan politik dengan berperan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”57 berlandaskan keputusan tersebut Pimpinan Pusat „Aisyiyah mengeluarkan SK no 144/SK-PPA/VI/2008 tentang sikap „Aisyiyah dalam berpolitik. Adapun maksud
55
Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, h. 67 Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si. 57 Kebijaksanaan Pimpinan dalam Laporan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Periode 2005-2010, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke 46. Yogyakarta, 3-8 Juli 2010 56
53
dan tujuan dari kebijakan tersebut yakni agar menjaga komitmen dan kemurnian organisasi „Aisyiyah dari kepentingan politik praktis.58 Tampilnya
pengurus
„Aisyiyah
yang
menjadi
anggota
legislatif
dikarenakan pengalaman mereka selama menjadi anggota „Aisyiyah. Organisasi „Aisyiyah
yang
mengurusi
seluruh
aspek
masyarakat,
menggerakkan
(memberdayakan, pen) masyarakat telah memberikan pengalaman kepada pengurus „Aisyiyah terbiasa tampil di ruang publik, berpikir sistematis dan strategis. Hal tersebut sebagaimana yang telah dituturkan oleh Ibu Latifah Iskandar mantan anggota DPR RI periode 2004-2009 ini sejak berusia 14 tahun telah aktif dalam Organisasi Nasiyatul „Aisyiyah kemudian terus berlanjut hingga pada tahun 1990 diberi amanah menjadi pengurus Pimpinan Pusat „Aisyiyah.59 Bila disandarkan pada tujuan dari peran perempuan dalam politik yakni agar perempuan dapar berperan aktif dalam proses pengambilan kebijakan. Sehingga hasil yang diharapkan adalah tidak terdiskriminasinya perempuan dalam pembangunan. Adapun pengertian peran aktif yang dimaksud salah satunya dengan partisipasi perempuan menjadi anggota legisaltif. Kegiatan atau program yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah tidak serta bertujuan dengan yang telah dijelaskan di atas yakni agar masyarakat bahkan anggota dan pengurus „Aisyiyah diberikan pendidikan dan pelatihan agar mereka menjadi anggota dewan. Namun program pemberdayaan politik yang diselenggarakan oleh
58 59
Ibid., Wawancara Pribadi dengan Dra Latifah Iskandar
54
„Aisyiyah adalah agar perempuan mampu berpikir kritis dan berdaya terhadap politik.60 Lantas apa model perencanaan program yang digunakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat khususnya kaum perempuan? berdasarkan analisa terhadap laporan-laporan kegiatan dan wawancara yang telah dilakukan. Program pemberdayaan politik perempuan yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah jelas menggunakan model perencanaan inkremental yakni model perencanaan tambahan. Pelatihan kepemimpinan dan pendidikan keluarga sakinah, serta pengajian-pengajian merupakan program atau kegiatan organisasi „Aisyiyah yang semenjak era baru dan sampai saat ini telah berlangsung. Setelah reformasi program atau kegiatan tersebut di format dengan menambahkan dan menekankan pada aspek pendidikan politik. Misalnya pada kegiatan pengajian, Pimpinan Pusat „Aisyiyah menerbitkan buku “Panduan Pemilu 2004 untuk Mubalighat „Aisyiyah (2004).”61 2. Program-program Pemberdayaan Menurut Talcot Parson pemberdayaan adalah sebuah proses agar orangorang menjadi kuat untuk berpartisipasi, mengontrol, dan mempengaruhi segala kejadian
dan
lembaga-lembaga
yang
mempengaruhi
kehidupannya.
Pemberdayaan memberikan keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan seseorang sehingga orang tersebut bisa mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang
60
Laporan Kegiatan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Bidang Bidang Pendidikan Politik dan Pengembangan Masyarakat periode 2005-2010, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke 46. Yogyakarta, 3-8 Juli 2010 61 http://www.aisyiyah.or.id/modules/view/11 di akses pada 25 November 2010
55
lain yang menjadi perhatiannya.62 Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah pada 2009 lalu menyelenggarakan kegiatan pelatihan pemilu dan melakukan forum dan membentuk posko untuk pemilu 2009. Kegiatan ini bertujuan peningkatan partisipasi aktif dalam upaya penguatan masyarakat sipil dan meningkatkan peran kontrol sosial.63 Kegiatan-kegiatan Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam hal pemberian keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan kepada perempuan agar mereka mampu mengontrol, dan mempengaruhi segala kejadian dan lembaga-lembaga yang mempengaruhinya secara garis besar terbagi menjadi ke dalam beberapa bentuk yakni, pembinaan, pelatihan, kajian-kajian, workshop, seminar, penerbitan buku, pendidikan dan kampanye. Berikut di bawah ini rincian-rincian kegiatan yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir: a) Pelatihan Kepemimpinan Kegiatan pelatihan kepemimpinan diselengggarakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah yang termaktub dalam program kerja Majelis Perkaderan „Aisyiyah. Perkaderan „Aisyiyah dilaksanakan melalui beberapa jalur yakni perkaderan informal, perkaderan formal, perkaderan non formal, dan perkaderan khusus. Adapun perkaderan „Aisyiyah mencakup bidang kepemimpinan, ideologis, tabligh, kesehatan, sosial, pendidikan, ekonomi
62
Edi Suharto, Membangun Masyarakat, , Memberdayakan Rakyat (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), h. 58-59 63 Laporan Kegiatan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Bidang Pendidikan Politik dan Pengembangan Masyarakat 2005-2010, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke 46. Yogyakarta, 3-8 Juli 2010
56
dan politik.64 Materi pelatihan kepemimpinan ini terformat di dalam kegiatan perkaderan „Aisyiyah yakni Baitul Arqam dan biasanya diselenggarakan selama 1-3 hari. Kompetensi kepemimpinan yang dicapai dalam kegiatan perkaderan „Aisyiyah meliputi: 1) Keikhlasan (motif berjuang di ‟Aisyiyah hanya karena Allah semata). 2) Berjihad (memiliki semangat juang berdakwah menegakkan Islam melalui ‟Aisyiyah). 3) Syaja‟ah (sikap konsisten, berani menegakkan kebenaran, meskipun harus menanggung resiko perjuangan). 4) Rahmatan lil ‟alamin (kepemimpinannya berorientasi pada keramahan dan kesejahteraan). 5) Harakah (selalu siap berperan sebagai pelaku gerakan dan motor penggerak organisasi). 6) Muballighah (berkemampuan sebagai subyek dakwah, yang memiliki wawasan luas, menguasai teknologi, media dan informasi sebagai bagian dari strategi dakwah). 7) Musawa dan ‟adalah (memperhatikan semangat kesetaraan dan keadilan dalam pembinaan dan pemberdayaan perempuan). 8) Salih (mewujudkan kebaikan dalam seluruh kegiatan, program dan amal usaha ‟Aisyiyah)
64
Lihat Sistem Perkaderan „Aisyiyah
57
b) Pelatihan Manajemen Ruhaniyah „Aisyiyah (MRA)65 Kegiatan ini masih terbilang baru dalam rangka merespon berkembangnya kegiatan manajemen kalbu yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Misalnya dengan menampilkan proses kematian yang
kemudian
dikemas sedemikian rupa sehingga para peserta menangis histeris. Pandangan Muhammadiyah hal ini bertentangan dengan ajaran Islam.66 Maka atas dasar inisiatif para pengurus „Aisyiyah dalam melihat fenomena ini tergerak untuk membuat kegiatan manajemen rohani.67 ”Kegiatan Manajemen Ruhani ‟Aisyiyah merupakan pelatihan khusus dan fungsional yang dimaksudkan agar peserta memiliki kemampuan mengelola potensi-potensi ruhaniyah manusia, agar dapat berkembang secara optimal dan seimbang, sebagai pendukung dalam menunaikan tugas kepemimpinan.”68 c) Pelatihan dan Pembinaan Keluarga Sakinah Peran perempuan di ruang publik, tidak terkecuali menjadi politisi tidak akan
berjalan
dengan
baik
tanpa
adanya
dukungan
keluarga.
Bagaimanapun juga peran perempuan sebagai istri dan ibu harus dapat pula dijalankan sebaik-baiknya di dalam kehidupan berumahtangga. „Aisyiyah telah memahami akan persoalan tersebut, peran perempuan dalam politik secara hukum (baca: UU) sudah tidak ada lagi, namun terkadang hambatan tersebut datang dalam ranah domestik (baca: rumahtangga).69 Maka dalam menjawab dan menyelesaikan persoalan tersebut Pimpinan Pusat „Aisyiyah terus menggalakkan pelatihan dan
65
Untuk masyarakat umum kegiatan ini dinamakan Manajemen Ruhaniyah Islam Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag. 67 Ibid 68 Laporan Kegiatan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Majelis Pembinaan Kader Periode 20052010, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke 46. Yogyakarta, 3-8 Juli 2010 69 Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si. 66
58
pembinaan keluarga sakinah bagi perempuan agar mereka tidak kebablasan dalam berkarier sehingga melupakan perannya di dalam keluarga serta terbangun kepercayaan dari suami. Kegiatan ini terformat dalam bentuk kegiatan pengajian-pengajian dan khalaqoh dan masih bagian dari sistem perkaderan khusus. Perlu diketahui saat jumlah kelompok pengajian‟Aisyiyah sebanyak 12.149 tersebar di seluruh Indonesia.70 Tri Widia Astuti, salah satu mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pernah mengikuti pelatihan keluarga sakinah. Perempuan yang akrab disapa Widia ini menuturkan pengalamannya selama mengikuti pelatihan keluarga sakinah yang diselenggarakan di kampusnya. Materi yang disampaikan seputar akhlak dalam bergaul, berpakaian, serta diberikan pemahan keagamaan yang rutin kita jalani sehari-hari, seperti cara berwudhu dan shalat yang langsung dipraktekkan pada saat acara. Widia juga merasa selama ini cara dia berpakaian dan bergaul tidak sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Selain itu, melalui pelatihan keluarga sakinah, mengetahui hak dan kewajiban seorang istri dan suami sejak dini. Pada tanggal 20 s/d 21 Desember 2008, Pimpinan Pusat ‟Aisyiyah yang terangkum dalam Divisi Pengembangan Keluarga dan Masyarakat bekerja sama dengan Departemen Agama mengadakan pelatihan kesetaraan gender secara berjenjang (pra nikah dan pasca nikah). Kegiatan ini terus dipantau selama tiga bulan untuk melihat perkembangan dan aplikasinya di masyarakat. 70
http://aisyiyah.or.id/departemens/view/18 diakses pada tanggal 12 April 2011
59
d) Kajian-kajian „Aisyiyah bersama Muhammadiyah tergerak untuk melakukan kajiankajian tafsir ayat-ayat al-qur‟an dan hadits yang terkait dengan peran perempuan di ruang publik. Kegiatan ini mengkaji ayat-ayat al-Quran dan Hadis yang berkaitan dengan perempuan di ruang publik, termasuk hukum perempuan menjadi kepala negara dalam ajaran Islam. Seperti yang ditulis oleh Yunahar Ilyas dalam Jurnal Tarjih dan Pemikiran Islam mengkaji tentang ayat-ayat yang biasa dipakai untuk melegitimasi peran perempuan di ruang publik.71 Surat An-Naml ayat 20-24 menceritakan tentang Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis, seorang perempuan yang memimpin Kerajaan Saba‟. Surat Al-Qashas ayat 23 mengkisahkan Nabi Musa dengan dua putri Nabi Syu‟aib di Madyan yang sedang menunggu giliran menimba air untuk minum hewan ternak mereka. Memelihara dan memberi minum ternak termasuk pekerjaan perempuan di ruang publik. Serta Surat An-Nahl ayat 97 lebih memperjelas lagi memberi kesempatan dan menghargai laki-laki dan perempuan untuk melakukan amal saleh. Selain mengkaji ayat-ayat yang membolehkan peran perempuan di ruang publik, jurnal tersebut juga mengkaji ulang ayat yang biasa dipakai oleh golongan yang berpendapat perempuan tidak boleh menjadi kepala negara. Surat An-Nisa ayat 34 yang artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan 71
Yunahar Ilyas, “Problematika Kepemimpinan Perempuan dalam Islam, “ Jurnal Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, Edisi ke-3 (Januari 2002): h. 64
60
sebagian harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya,72maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. Ayat di atas dijadikan keabsahan untuk menolak perempuan sebagai kepala negara karena laki-lakilah yang menjadi pemimpin perempuan. Argumen ini dalam pandangan Yunahar Ilyas tidak bisa diterima karena secara keseluruhan ayat ini berbicara dalam konteks kerumahtanggaan. Ayat tersebut mengajarkan bagaimana menghadapai istri yang nusyuz yang tidak mungkin berlaku untuk konteks yang lain selain rumah tangga.73 Reinterprestasi terbangunnya
ayat-ayat
Al-Qur‟an
dan
Hadits
kesadaran
perempuan
dari
kesadaran
bertujuan magis,
agar naif
menjadi kesadaran kritis.74 Paradigma perempuan yang tidak boleh berperan di ruang publik terlebih politik yang tertuang dalam wahyuwahyu Tuhan menjadi terbantahkan setelah dilakukan kajian ulang terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan itu. Proses penyadaran ini merupakan salah satu komponen dari manajemen pemberdayaan.75 Selain mengkaji ayat-ayat al-quran dan hadis terdapat pula kajian-kajian umum lainnya yang pernah dilakukan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah
72
Nusyuz berarti pembangkangan atau ketidaktundukan, lihat Musdah Mulia, Nusyuz Pembangkangan Terhadap Perintah Tuhan, Bukan terhadap Perintah Suami diakses pada 13 April 2011 dari http://majalahtantri.wordpress.com/2009/01/21/nusyuz-pembangkanganterhadap-perintah-tuhan-bukan-terhadap-perintah-suami/, 73 Yunahar Ilyas, “Problematika Kepemimpinan Perempuan dalam Islam”, h. 70 74 Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si 75 lihat Anwar, Manajemen Pemberdayaan Perempuan, (Bandung: Alfabeta: 2007), h 37
61
salah satunya “Menyoal Keberpihakan Sistem Pemilu 2009 dalam Meningkatkan Kualitas Demokrasi dan Memperjuangkan Aspirasi Masyarakat”. Kegiatan tersebut bertujuan meningkatkan kesadaran, wawasan, dan partisipasi warga „Aisyiyah khususnya, umat dan masyarakat dalam dinamika kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara
menuju
kehidupan
yang
demokratik.76
Seperti
yang
diungkapkan oleh Kindervarter bahwa pemberdayaan merupakan proses pemberian kekuatan atau daya dalam bentuk pendidikan yang bertujuan bangkitnya kesadaran, pengertian, dan kepekaan warga belajar terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan politik.77 e) Workshop dan Seminar Sistem pilkada secara langsung memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada masyarakat untuk memilih calon pemimpin yang mempunyai komitmen terhadap masyarakat dan perempuan. Berangkat dari persoalan tersebut Pimpinan Pusat „Aisyiyah merasa perlu adanya pengawalan dalam proses demokrasi langsung tersebut. Maka LPPA (Lembaga Pengkajian dan Pengembangan „Aisyiyah) turut serta mengambil peran dalam proses pilkada dengan memberdayakan pemilih agar menjadi pemilih cerdas pada saat pilkada serta terus mampu mengawalnya hingga pasca pilkada. Berikut beberapa kegiatan workshop yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam merespon sistem pemilihan secara langsung:
76
Laporan Kegiatan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Bidang Pendidikan Politik dan Pengembangan Masyarakat 2005-2010, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke 46. Yogyakarta, 3-8 Juli 2010 77 Anwar, Manajemen Pemberdayaan Perempuan, (Bandung: Alfabeta, 2007), h.77
62
1)
Bekerjasama dengan beberapa pihak (UNDP, TAF, USAID) untuk pendidikan politik dan diskusi politik bagi calon anggota legislatif perempuan.78
2)
Bekerjasama dengan Pusat Studi Wanita Universitas Muhammadiyah Malang mengadakan Seminar Pendidikan Politik Perempuan.79
3)
Workshop
Pendidikan
Politik
Pemilih
Kritis
PWA
Jabar.
Narasumber: Dra. Siti Noordjannah Djohantini, MM, M.Si, Chamamah, Mahsunah, Hadiroh, Khusnul, dan Tri. Pada 19-21 Maret 2008 di Akper-Akbid „Aisyiyah Bandung-Jawa Barat.80 4)
Workshop isu-isu lokal pilkada Kota Yogyakarta dan Strategi Sosialisasi menjadi Pemilih Cerdas. Narasumber: Drs. Bambang Purwoko, MA.81
f) Penerbitan Buku Gerakan „Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan tidak hanya meluas dalam segala bentuk program dan kegiatan melalui pelatihanpelatihan,
workshop,
seminar
sebagai
bentuk
pendidikan
politik
perempuan baik sebagai pemilih dan dipilih dalam penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia. Penerbitan buku-buku juga menjadi bagian penting dalam memberikan wawasan kepada masyarakat khususnya kaum perempuan, karena tidak semua dapat berpartisipasi dalam kegiatan workshop dan seminar yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat
78
Laporan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Periode 2000-2005, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke-45 di Malang 79 Ibid 80 Laporan Pelaksanaan Program Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Tahun 2005 - 2008 81 Ibid
63
„Aisyiyah. Berdasarkan data yang dihimpun dari website Pimpinan Pusat „Aisyiyah, berikut beberapa buku yang telah diterbitkan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah yang berkaitan dengan pemberdayaan politik perempuan: Apresiasi Politik Pemilih Perempuan Pemula (2004), Modul Peningkatan Kemampuan Pengelola Pengajian/Majelis Taklim Perempuan Berbasis Kerukunan, Ekonomi dan Lingkungan Hidup Berperspektif Gender (2009), Panduan Menjadi Pemilih Kritis Pilkada Kota Yogyakarta 2006 (2006), Tanya-Jawab Pemilu 2004 dan Visi Pendidikan Pemilih 'Aisyiyah (2004), Panduan Pemilu 2004 untuk Muballighat 'Aisyiyah (2004) g) Pendidikan Gerakan „Aisyiyah di bidang pendidikan telah menghasilkan tidak sedikit sekolah, perguruan/sekolah tinggi dan pesantren dan sebagainya yang didirikannya. Amal usaha „Aisyiyah saat ini yang bergerak di pendidikan berjumlah 4.560 yang terdiri dari Kelompok Bermain, Pendidikan Anak Usia Dini, Taman Kanak-Kanak, Tempat Penitipan Anak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan lain-lain.82 Potensi tersebut tidak siasiakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah untuk memberdayakan kaum perempuan. Majelis Pembinaan Kader Pimpinan Pusat „Aisyiyah mengambil peranan ini untuk mendidik siswa maupun mahasiswi yang menimba ilmu di amal usaha „Aisyiyah. Kaderisasi salah satu faktor utama dalam menunjang keberlanjutan organisasi agar tetap eksis dan bertahan. Kaderisasi tidak sekedar mencari orang-orang atau individu semata namun penanaman keterampilan
82
http://www.aisyiyah.or.id/modules/view/11 di akses pada 25 November 2010
64
kepemimpinan dan ideologi juga menjadi faktor penting agar tujuan organisasi tidak berpindah haluan dari yang dicita-citakan oleh pendirinya dan harapan masyarakat. Menyoal permasalahan tersebut, maka Pimpinan Pusat „Aisyiyah perlu mengadakan perkaderan khusus melalui pondok pesantren dan sekolah kader. Program ini secara umum bertujuan agar perempuan memiliki kemampuan kepemimpinan sehingga dapat berperan di ruang publik, namun tidak bisa dipungkiri pula tujuan internalnya adalah lahirnya calon generasi pimpinan „Aisyiyah. ”Pondok pesantren dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan kualitas keislaman dan kepemimpinan siswi dan mahasiswi dari sekolah menengah dan PT Muhammadiyah/‟Aisyiyah maupun siswi dan mahasiswi keluarga Muhammadiyah/‟Aisyiyah atau masyarakat pada umumnya.”83 ”Sekolah kader yang dikembangkan adalah Sekolah Kader tingkat Pendidikan Menengah dan Tingkat Pendidikan Tinggi. Dalam sekolah kader dilaksanakan kegiatan pembinaan maupun pelatihan kepemimpinan. Yang termasuk dalam kategori Sekolah Kader, misalnya Madrasah Mu‟allimat untuk tingkat menengah dan STIKES „Aisyiyah Yogyakarta untuk tingkat Pendidikan Tinggi.”84 Berdasarkan kutipan di atas menggambarkan kepedulian Pimpinan Pusat „Aisyiyah terhadap perempuan. Sejak dini siswi-siswi diajarkan dan dilatih kepemimpinan, telah dilatih untuk tampil di ruang publik. Mereka mendapatkan pembinaan kepemimpinan melalui 1) Latihan Khitobah, yaitu latihan berbicara di depan umum, baik sebagai pembawa acara, pemberi sambutan, maupun penceramah85 2) Latihan muhadarah (diskusi) yaitu
latihan
melaksanakan
diskusi
baik
sebagai
penyelenggara,
moderator, peserta aktif maupun presentator 3) Kajian Bulanan dengan
83
Lihat Sistem Perkaderan „Aisyiyah, PP „Aisyiyah Ibid 85 Kegiatan ini diperuntukkan bagi siswa kelas dua. 84
65
tema
kepemimpinan
muslimah
dan
masalah-masalah
aktual
kepemimpinan.86 h) Kampanye Pimpinan Pusat „Aisyiyah juga melakukan kampanye sebagai bentuk pendidikan politik perempuan. Aksi turun ke jalan, penyebaran posterposter, stiker tidak luput digunakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik.87 Kegiatan „Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan sebelum reformasi tidak secara langsung mengarah ke pemberdayaan perempuan di bidang politik. Melalui pengajian-pengajian „Aisyiyah para perempuan diajarkan untuk menjadi individu yang kritis.
Ibu Latifah Iskandar
menuturkan pengalamannya selama menjadi anggota dan pengurus „Aisyiyah bahwa selama di „Aisyiyah sudah terbiasa berpikir secara nasional dan kemudian mengambil kebijakan, kemampuan kepemimpinan, menganalisa sosial, penggerak di masyarakat, berpikir strategis dan tekhnis, kesemuanya didapatkan selama menjadi pengurus „Aisyiyah sejak tahun 1990. Kemampuan dan pengalaman di atas menurutnya belum tentu didapatkan di organisasi lainnya, karena jaringan „Aisyiyah yang sudah menyebar ke pelosok tanah air. Kemampuan dan pengalamannya tersebut telah mengantarkannya menjadi anggota DPR RI periode 2004-2009. Demikian pemaparan di atas mengenai strategi dan kegiatan Pimpinan „Aisyiyah dalam pemberdayaan perempuan yang terformat dalam beberapa program dan terhimpun dalam program kerja masing-masing lembaga yang 86
Kajian bulanan dirancang selama 10 kali tatap muka dan diperuntukkan bagi siswa
kelas dua. 87
Wawancara Pribadi dengan Dra Latifah Iskandar, Yogyakarta , 14 April 2011.
66
terdapat dalam struktur kepengurusan Pimpinan Pusat „Aisyiyah. Kegiatan Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam meningkatkan kesadaran perempuan akan perannya di ruang publik mencakup segala aspek pembahasan. Mulai dari memberikan pemahaman agama tentang peran perempuan di ruang publik, membina keluarga sakinah agar tidak terjadi konflik peran perempuan sebagai ibu/istri, pendidikan politik bagi perempuan, pelatihan kepemimpinan bagi perempuan sebagai aspek utama dalam politik yakni kepemimpinan, menerbitkan buku-buku yang terkait dengan perempuan dan politik dan sebagainya. D. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pemberdayaan Politik Perempuan 1. Faktor-faktor Pendukung Selain faktor-faktor penghambat seperti yang telah dijelaskan di atas tadi tentu ada pula faktor-faktor pendukung dalam kegiatan yang selama ini dijalankan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah. Berikut di bawah ini faktor-faktor pendudukung tersebut: a) Struktural, yang dimaksud struktural ini adalah undang-undang. Tanpa disertai dukungan dari pemerintah yakni peraturan tentang kuota perempuan yang tertuang dalam UU Pemilu dan Partai Politik
tentu
kegiatan yang selama ini telah dijalankan akan menjadi sia-sia karena tidak dapat diaplikatifkan sehingga animo perempuan untuk menjadi peserta dalam kegiatan ini juga rendah.88 b) Kepercayaan, tanpa adanya kepercayaan tidak akan ada pemberian bantuan finansial dari pihak pendonor kepada Pimpinan Pusat „Aisyiyah
88
Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si.
67
dalam
bekerjasama
menyelenggarakan
serangkaian
kegiatan
pemberdayaan politik perempuan.89 c) Jaringan, organisasi Aisyiyah yang telah tersebar kepelosok tanah air menjadi bagian yang mendukung Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam menyelenggarakan serangkaian program. Kepengurusan „Aisyiyah mulai dari tingkatan provinsi (Pimpinan Wilayah), kabupaten atau kota (Pimpinan
Daerah),
Desa/Kelurahan
(Pimpinan
Ranting)
menjadi
kekuatan basis pergerakkan dalam menyukseskan program.90 d) Sumber Daya Manusia, ketersediaan para tokoh di internal („Aisyiyah dan Muhammadiyah) sebagai pembicara untuk mengisi kegiatan-kegiatan. Menghadirkan tokoh „Asiyiyah dan Muhammadiyah merupakan strategi yang cerdas untuk memberikan motivasi kepada peserta pelatihan.91 2. Faktor-faktor Penghambat Perjalanan Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam memberdayakan kaum perempuan untuk berkiprah di ruang publik bukan berarti tanpa hambatanhambatan. Peran sosial perempuan dalam ruang publik dan politik adalah salah satu diantaranya bukan persoalan yang mudah untuk dijalankan. Berikut faktorfaktor penghambat dalam pemberdayaan politik perempuan yang ditemukan dalam pelaksanaannya oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah: 1) Domestik (rumahtangga), menjadi faktor pertama yang masih dialami perempuan. Mendapatkan izin suami, mengasuh anak, menjadi persoalan utama yang terlebih dahulu diselesaikan dalam menjalankan perannya sebagai 89
Laporan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Periode 2000-2005, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke-45 di Malang dan Laporan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Periode 2005-2010, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke-46 di Yogyakarta 90 Wawancara Pribadi dengan Dra Latifah Iskandar. 91 Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag.
68
ibu.
Sehingga
tidak
bisa
hadir
dalam
kegiatan-kegiatan
yang
diselenggarakan.92 2) Waktu, ketersediaan waktu yang dimiliki panitia dan pengurus sangat sedikit sehingga berimbas pada jadwal kegiatan. Salah satunya, Program Baitul Arqam yang berlangsung sekitar 1-3 hari. Menurut Ibu Aisyah dan Widia, waktu ini dirasa kurang intensif agar materi yang disampaikan dapat lebih mendalam agar lebih dipahami oleh peserta.93 3) Rangkap jabatan, Pengurus Pimpinan Pusat „Aisyiyah banyak yang beraktivitas sebagai dosen, guru, anggota dewan dan sebagainya. Tidak sedikit pengurus Pimpinan Pusat „Aisyiyah yang rangkap jabatan dan beraktivitas di organisasi luar. Hal ini menjadi persoalan yang klasik dan serius untuk dicari jalan keluarnya mengenai pengurus yang rangkap jabatan. Sehingga tidak berlebihan bila ini pernah dibahas dalam Muktamar „Aisyiyah ke-44 tahun 2005 yang lalu di Jakarta.94 4) Minat perempuan, karakter dunia politik yang selama ini identik dengan dengan maskulinitas. Maka hal ini menjadikan kurangnya minat perempuan terhadap politik.95
92
Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si. Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag. 94 Laporan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Periode 2000-2005, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke-45 di Malang 95 Wawancara Pribadi dengan Dra Latifah Iskandar. 93
BAB IV PENUTUP
“Aisyiyah seperti negara di atas negara karena mengurusi semua kehidupan masyarakat (Latifah Iskandar)”
A. Kesimpulan Kelahiran
‘Aisyiyah
sebagai
organisasi
perempuan
muslim
merupakan suatu bentuk pembaharuan Islam dalam merubah paradigma perempuan yang harus di dapur saja.
KH Ahmad Dahlan mendirikan
‘Aisyiyah menilai bahwa perempuan juga mempunyai kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk menegakkan amal ma‟ruf nahi munkar. Dalam tesis Rita Pranawati yang berjudul The Idea of Female Leadership Among Muhammadiyah Elite Members After The 45th National Conference (2005), Muhammadiyah cukup responsif terhadap kemajuan perempuan dan penerimaan keberadaan perempuan untuk menjadi pemimpin dalam kultur Muhammadiyah. Hasil temuan dalam skripsi menambahkan pula bahwa keberadaan pemimpin perempuan tidak hanya dalam tubuh organisasi Muhammadiyah, namun di luar itu Muhammadiyah dan juga ‘Aisyiyah berpandangan bahwa tidak ada larangan dalam ajaran Islam bagi perempuan untuk menjadi anggota dewan, kepala daerah bahkan kepala negara sekalipun. Kiprah perempuan yang berperan di ruang publik bagi ‘Aisyiyah perempuan tersebut harus tetap dapat membagi perannya di ruang domestik. Peran perempuan sebagai ibu dan istri yang baik haruslah dijaga agar tidak 69
70
terjadi konflik peran diantara keduanya (publik dan domestik). Maka dari itu ‘Aisyiyah membuat program pendidikan keluarga sakinah salah satunya sebagai bentuk tindakan preventif dalam menjaga keutuhan rumah tangga. Dalam tesis Siti Syamsiyatun, Muslim Women‟s Politics in Advancing Their Gender Interests: A Case-Study of Nasyiatul „Aisyiyah in Indonesian New Order Era dimana pada masa orde baru, pergerakan organisasi perempuan selalu dibayang-bayangi oleh pemerintahan yang militeristik. Maka pemerintah membentuk Dharma Wanita dan PKK sehingga mudah dikontrol. Begitu juga ‘Aisyiyah kegiatan pemberdayaan politik perempuan hanya bisa dilakukan di dalam kegiatan pengajianpengajian di pelosok sebagai sebuah startegi pergerakan di masa itu. Pada era reformasi serangkaian program dan kegiatan diselenggarakan oleh ‘Aisyiyah bisa lebih terbuka dan leluasa karena tidak ada lagi hambatan, baik secara struktural (UU) dan kultural (kebebasan berpendapat). Adapun kegiatan pemberdayaan politik perempuan yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah yang terbaru di era reformasi saat ini seminar, workshop, kajian-kajian, penerbitan buku, kampanye, terangkum dalam bentuk pendidikan politik perempuan. Tidak hanya itu pelatihan kepemimpinan dan pendidikan kelurga sakinah yang sudah ada sejah dahulu masih tetap berlangsung
bertujuan memberikan keterampilan dan
pengetahuan kepada perempuan akan perlunya peran perempuan di masyarakat. Besarnya amal usaha yang dikelola oleh organisasi ‘Aisyiyah secara keseluruhan mulai dari rumah sakit, sekolah, sekolah tinggi, universitas
71
terkadang menjadi bumerang karena tidak sedikit pengurus ‘Aisyiyah yang merangkap jabatan. Sebagian pengurus Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah ada pula yang rangkap jabatan di amal usaha, sebagai dosen, pengajar dan sebagainya. Intensifitas pembagian waktu menjadi persoalan yang dilematis karena dapat menghambat kinerja roda organisasi. Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah telah memiliki amal usaha sendiri, walaupun begitu belum dirasa cukup dalam membiayai roda organisasi. Hal ini masih terus menjadi permasalahan klasik, selalu masuk dalam pembahasan muktamar. Hambatan-hamabatan pasti selalu ada sebagai bentuk ujian agar tetap istiqomah dalam berdakwah amal ma‟ruf nahi munkar. Eksistensi ‘Aisyiyah yang menjelang satu abad telah menjadi bukti bahwa hambatan-hambatan tersebut bukan menjadi batu sandungan yang berarti. B. Rekomendasi Dengan tidak mengurangi rasa hormat penulis kepada pengurus Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah yang bila dianalogikan seperti seorang anak kepada ibunya. Rekomendasi yang penulis sampaikan tidak sekedar yang berkaitan dengan pembahasan skripsi
ini, namun
tidak menutup
kemungkinan hal-hal lain yang terkait selama penelitian berlangsung. Berikut beberapa hal yang penulis rekomendasikan kepada Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah: 1. Kaderisasi. Permasalahan kaderisasi dalam suatu organisasi merupakan persoalan yang klasik, tidak sedikit organisasi-organisasi yang lambat laun
72
menghilang karena tidak adanya regenerasi kepemimpinan, tidak terkecuali ‘Aisyiyah. Kelunakan ‘Aisyiyah kepada para pengurus yang telah menjadi duduk di lembaga politik (parpol dan anggota dewan) tetap menjadi dibolehkan menjadi pengurus persyarikatan. Walaupun dengan catatan yang sebelumnya menjadi ketua harus turun menjadi ketua. Kebijakan ini muncul karena sulitnya mencari kader atau orang-orang yang berkomitmen kepada persyarikatan. Penulis merasa perlu menjadi suatu kehati-hatian bagi Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah agar jangan sampai kehilangan kepercayaan di mata masyarakat atas dedikasi yang sudah dibangun saat ini. Benturan konflik kepentingan bersama (baca: masyarakat) dengan kepentingan pribadi perlu diwaspasdai untuk menghindari individu-individu yang akan bersosialisasi atau kampanye di dalam program dan kegiatan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah sehingga kemurnian ikhlas dalam berdakwah amal ma‟ruf nahi munkar tidak lagi terjaga. 2. Kegiatan dan Program. Sebelum reformasi bergulir pergerakan ‘Aisyiyah dalam pemberdayaan masyarakat, khususnya kaum perempuan telah berhasil melahirkan local leader dengan pendekatan pendidikan kultural, yakni pengajianpengajian kepada kaum perempuan. Kegiatan Seminar, workshop, dan event-event sesaat tersebut lebih dikurangi selain untuk menghemat biaya, melalui pengajian tingkatan grass root masyarakat awam lebih memahami dan intensitas waktunya lebih efektif dan atraktif melalui tatap muka.
73
3. Penyediaan Sumber Informasi. Berdasarkan pengalaman pribadi penulis pada penulisan skripsi ini dari sejak awal sampai akhir. Animo kalangan akademisi untuk meneliti organisasi ‘Aisyiyah dalam karya ilmiah cukup besar, maka penyediaan sumber informasi tentang Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dan keseluruhan tingkatan se-nasional lebih ditingkatkan. Karya ilmiah yang dibuat oleh akademisi dapat menjadi masukan bagi peran dan perkembangan ‘Asiyiyah di tanah air. Demikian beberapa rekomendasi yang penulis sampaikan yang bertujuan peran ‘Aisyiyah kepada masyarakat terutama kaum perempuan di Indonesia lebih konstruktif dalam rangka menyambut satu abad ‘Aisyiyah. Selain kepada Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah penulis juga ingin menyampaikan rekomendasi kepada kalangan akademis baik mahasiswa dan dosen tentang penelitian politik perempuan ini. Penulis sadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penelitian ilmiah ini, jadi penulis harapkan agar ada penelitian lanjutan di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA Adam, Asvi Warman. Membongkar Manipulasi Sejarah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009. Agrustino, Leo, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Mengenai Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007. Alfian, Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan, Jakarta: UIPress, 1986. Anwar, Manajemen Pemberdayaan Perempuan, Bandung: Alfabeta: 2007. Bashin, Kamila. Memahami Gender, Jakarta: Teplok Press, 2003. Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008. Cora Vreede-De Stures, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian. Penerjemah Elvira Rosa dkk, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008. Darban, A. Adaby (ed), ‘Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia: Sebuah Tinjaun Awal, Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 2010. Fakih, Mansoer, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Firdaus, Endis, Imam Perempuan Dekonstruktif Perspektif Gender: Keniscayaan Kontektualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Ceria, 2008 Gunawan, Wawan dan Evie Shofia Inayati (ed), Wacana Fiqh Perempuan dalam Persfektif Muhammadiyah, Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 2005 Hidayat, Muhammad Rahz, ed., Perempuan Yang Menuntun: Sebuah Perjalanan Ispirasi dan Kreasi, Bandung: Ashoka Indonesia, 2000 Lastariyah, Siti. “Manajemen Pendidikan dan Latihan Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam Pemberdayaan Kaum Perempuan di Jakarta” Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, 2007. Majlis Tarjih, Adabul Mar’ah fil Islam, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010 Mudzhar, H.M. Atho dkk, ed. Wanita Dalam Masyarakat Indonesia, Akses Pemberdayaan dan Kesempatan, 1st ed. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001. Mulia, Siti Musdah dan Anik Farida. Perempuan dan Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005. Nashir, Haedar, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, Jakarta: Suara Muhammadiyah, 2010 74
Pambayun, Ellys Lestari. Perempuan vs Perempuan: Realitas Gender, Tayangan Gosip dan Dunia Maya, 1st ed. Bandung: Penerbit Nuansa, 2009. Pimpinan Pusat „Aisyiyah, Anggaran Dasar dan Rumah Tangga ‘Aisyiyah, Yogyakarta: PP „Aisyiyah, 2002 Rosa, Elvira dkk, penj. Sejarah Perempuan Indonesia, Gerakan dan Pencapaian, 1st ed. Jakarta: Komunitas Bambu, 2008. Sadli, Saparinah, Berbeda Tetapi Setara: Pemikiran Tentang Kajian Perempuan, Jakarta: Kompas, 2010 Salam, Junus, KH Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuangannya, Jakarta: AlWasrat Publishing House, 2009 Shobahiya, Mahasri dkk, Studi Kemuhammadiyahan, 7th ed. Surakarta: LPID-UMS, 2008 Suharto, Edi, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, Bandung: PT Refika Aditama, 2005 Suryochondro, Sukanti. Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, Jakarta: CV Rajawali, 1984 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 3rd. Jakarta: Balai Pustaka, 2007 Yusuf, Maftuchah, Perempuan Agama dan Pembangunan, Wacana Kritik atas Peran dan Kepemimpinan Wanita, Yogyakarta: Lembaga Studi dan Inovasi, 2000 Yusuf, Muhammad Yunan dkk, ed, Ensiklopedia Muhammadiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005 Widya Sucipto, Ani. Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Kompas, 2005 Wulansari, Lisa, ed, Buku Referensi Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum, Komnas Perempuan, 2009 Zakiyah, Kiki. “Peran Organisasi „Aisyiyah dalam Perubahan Sosial (Studi Kasus: „Aisyiyah Kelurahan Petir, Kecamatan Cipondoh, Tanggerang).” Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006 Ilyas, Yunahar “Problematika Kepemimpinan Perempuan dalam Islam”, Jurnal Tarjih Edisi ke-3 Januari 2002 Musdah Mulia, ”Nusyuz Pembangkangan Terhadap Perintah Tuhan, Bukan terhadap Perintah Suami.” Artikel ini diakses pada 13 April 2011 dari http://majalahtantri.wordpress.com/2009/01/21/nusyuz pembangkangan-terhadap-perintah-tuhan-bukan-terhadap-perinta suami/
75
Wahyono, “Pengertian Penelitian Kualitatif”. Artikel diakses pada 10 Mei 2011 dari http://penelitianstudikasus.blogspot.com/2009/03/pengertianpenelitian-kualitatif.html Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag. Yogyakarta, 07 April 2010 Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si. Yogyakarta, 07 April 2010 Wawancara Pribadi dengan Dra Latifah Iskandar. Yogyakarta, 14 April 2011
76
PERTANYAAN WAWANCARA
Nama
: Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si
Jabatan
: Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Periode 2010-2015
1. Apa pandangan Aisyiyah mengenai peran sosial perempuan di ruang publik saat ini? Jawaban: Setiap individu wajib berbakti kepada masyarakat untuk memecahkan persoalan yang ada di masyarakat. Maka perlunya organisisi agar lebih tercapai. Kontribusi perempuan membantu memecahkan problem masyarakat cukup besar. Indikatornya lahirnya Undang-undang Traffiking dan KDRT. 2. Apa pendapat Aisyiyah mengenai peran perempuan dalam politik ditinjau dari ajaran Islam dan budaya masyarakat Indonesia? misal perempuan menjadi kepala daerah dan anggota parlemen? Jawaban: ‘Aisyiyah menilai boleh perempuan ke politik tapi tidak harus di lembaga politik praktis. Kegiatan rapat Musrenbangdes juga merupakan kegiatan politik. 3. Menurut Aisyiyah, perlukah peranan perempuan dalam politik? Jawaban: Perlu, untuk menghilangkan ketertindasan secara struktural dan kultural. 4. Bagaimana pandangan Aisyiyah dalam menilai peran politik perempuan di era reformasi saat ini? Jawaban: Ada progress, perempuan dilibatkan dalam pengawasan pemilu. lahirnya undang-undang sensitif gender. 5. Apa saja kegiatan atau program PP Aisyiyah dalam meningkatkan kesadaran dan kemampuan politik kaum perempuan? sebutkan
Jawaban: Pengajian-pengajian, seminar, workshop, reinterprestasi ayat-ayat alqur’an dan hadits, kajian-kajian dsb. 6. Dan bagaimana hasilnya dari kegiatan tersebut? Jawaban: Terjadi perubahan pola pikir kaum perempuan dari kesadaran magis menjadi kesadaran naïf dan kritis 7. Apa saja faktor-faktor pendukung dalam kegiatan tersebut sehingga dapat terlaksana dengan baik? Jawaban:
Faktor
pendukung
terselenggaranya
kegiatan
kami
dalam
pemberdayaan perempuan salah satunya ya UU mengenai kuota 30 % perempuan dalam parlemen. 8. Selain itu, apa saja faktor-faktor yang menghambat dalam kegiatan tersebut? sebutkan Jawaban: Secara struktural sudah tidak ada hambatan tapi dalam wilayah domestik masih ada, sehingga partisipasi perempuan dalam kegiatan masih rendah. 9. Bagaimana partisipasi pengurus Aisyiyah dalam lembaga politik? misal anggota legislatif, eksekutif dan partai politik Jawaban: Pengurus ‘Aisyiyah yang masuk ke dalam partai politik dan terpilih sebagai anggota dewan juga ada tapi mengenai inventarisir jumlahnya kami tidak ada datanya. 10. Bagaimana peran Organisasi Aisyiyah dengan keberadaan mereka di sana dan peran selanjutnya setelah terpilih menjadi anggota legislatif atau lembaga politik lainnya?
Jawaban: Kami menyelenggarakan training untuk para kader yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif dan setelah mereka terpilih tidak boleh menjadi pengurus
PERTANYAAN WAWANCARA
Nama
: Dra Latifah Iskandar
Jabatan
: Mantan Anggota DPR RI 2004-2009 dan Ketua Majelis Ekonomi dan Ketenagakerjaan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Periode 2010-2015
1. Apa pandangan Aisyiyah mengenai peran sosial perempuan di ruang publik saat ini? Jawaban: 2. Apa pendapat Aisyiyah mengenai peran perempuan dalam politik ditinjau dari ajaran Islam dan budaya masyarakat Indonesia? misal perempuan menjadi kepala daerah dan anggota parlemen? Jawaban: 3. Menurut Aisyiyah, perlukah peranan perempuan dalam politik? Jawaban: 4. Bagaimana pandangan Aisyiyah dalam menilai peran politik perempuan di era reformasi saat ini? Jawaban: Sekarang gerakan Affirmative action telah teraplikasi dalam undangundang pemilu dan daftar caleg, yang bunyinya seperti ini diantara tiga nama caleg satu perempuan. 5. Apa saja kegiatan atau program PP Aisyiyah dalam meningkatkan kesadaran dan kemampuan politik kaum perempuan? sebutkan Jawaban: Melakukan pendidikan politik sampai ke daerah-daerah. workhsop, seminar, kampanye ada poster, spanduk-spanduk. pilih yang bersih, jangan pilih yang korupsi, pilih perempuan misalnya. 6. Dan bagaimana hasilnya dari kegiatan tersebut?
Jawaban:
Meningkatnya
wawasan
politik
masyarakat
khususnya
kaum
perempuan. 7. Apa saja faktor-faktor pendukung dalam kegiatan tersebut sehingga dapat terlaksana dengan baik? Jawaban: Suasana politik di tingkat nasional cukup mudah dipahami oleh pimpinan di ‘Aisyiyah untuk memperjuangkan partisipasi politik perempuan. 8. Selain itu, apa saja faktor-faktor yang menghambat dalam kegiatan tersebut? sebutkan Jawaban: Rendahnya minat perempuan terhadap politik, terus waktu juga 9. Bagaimana partisipasi pengurus Aisyiyah dalam lembaga politik? misal anggota legislatif, eksekutif dan partai politik Jawaban: Mengenai datanya, berapa jumlahnya saya tidak tahu. yah sekitar 5-10 persen kira-kira. 10. Bagaimana peran Organisasi Aisyiyah dengan keberadaan mereka di sana dan peran selanjutnya setelah terpilih menjadi anggota legislatif atau lembaga politik lainnya? Jawaban: Waktu saya masih di DPR, kita saling bekerja sama. Misalnya dalam membuat undang-undang, ‘Aisyiyah ingin memberikan masukan apa? karena ‘Aisyiyah kan stake holder
PERTANYAAN WAWANCARA
Nama
: Dr. Hj. Siti Aisyah, M.Ag
Jabatan
: Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah
1. Apa pandangan Aisyiyah mengenai peran sosial perempuan di ruang publik saat ini? Jawaban: Dalam memecahkan persoalan di masyarakat, memerlukan penguatan peran perempuan di ruang publik. Landasannya adalah Surat At-Taubah Ayat 71, ayat norma tentag perempuan dalam ruang publik. 2. Apa pendapat Aisyiyah mengenai peran perempuan dalam politik ditinjau dari ajaran Islam dan budaya masyarakat Indonesia? misal perempuan menjadi kepala daerah dan anggota parlemen? Jawaban: Tidak ada masalah perempuan menjadi kepala daerah tapi yang benar-benar berkompetensi bukan karena suaminya, bukan vote geter. Tidak ada larangan pula dalam budaya Indonesia mengenai kepemimpinan perempuan. Sejak dulu memang sudah ada perempuan memimpian kerajaan-kerajaan di Indonesia, namun setelah datang ajaran Islam baru dari Arab Saudi , terdapat larangan mengenai itu. 3. Menurut Aisyiyah, perlukah peranan perempuan dalam politik? Jawaban: Sangat perlu, untuk mengambil kebijakan yang sadar gender akan kebutuhan masyarakat.Berdasarkan kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Bilqis, kepemimpinan perempuan adalah untuk kesejahteraan masyarakat. 4. Bagaimana pandangan Aisyiyah dalam menilai peran politik perempuan di era reformasi saat ini? Jawaban: Memang harus ada affirmative action, untuk menegakkan keadilan
5. Apa saja kegiatan atau program PP Aisyiyah dalam meningkatkan kesadaran dan kemampuan politik kaum perempuan? sebutkan Jawaban: Pelatihan kepemimpinan pada masyarakat luas, Manajemen Ruhani ‘Aisyiyah (kalau untuk masyarakat umum dinamakan Manajemen Ruhani Islam) 6. Dan bagaimana hasilnya dari kegiatan tersebut? Jawaban: Para peserta menjadi sadar kemampuan dirinya 7. Apa saja faktor-faktor pendukung dalam kegiatan tersebut sehingga dapat terlaksana dengan baik? Jawaban: Banyaknya tokoh-tokoh ‘Aisyiyah, Muhammadiyah dan Amal Usaha menjadi salah satu faktor pendukung. Mereka dilibatkan sebagai pembicara untuk mengisi kegiatan-kegiatan seperti talkshow dsb 8. Selain itu, apa saja faktor-faktor yang menghambat dalam kegiatan tersebut? sebutkan Jawaban: Waktu yang kurang. Seperti kegiatan Baitul Arqam, yang hanya diselenggarakan 1-3 hari, biasanya mulai hari jum’at sampai mingu. Waktu tiga hari ini masih kurang. 9. Bagaimana partisipasi pengurus Aisyiyah dalam lembaga politik? misal anggota legislatif, eksekutif dan partai politik Jawaban: Cukup banyak. mengenai jumlahnya nanti silahkan tanya ke LPPA 10. Bagaimana peran Organisasi Aisyiyah dengan keberadaan mereka di sana dan peran selanjutnya setelah terpilih menjadi anggota legislatif atau lembaga politik lainnya? Jawaban: Sempat dari Dewan Faqarah untuk membentuk lembaga yang mewadahi anggota ‘Aisyiyah yang berperan di lembaga luar namun belum juga terbentuk.
PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH INSTRUKSI No. 03/INS/I.0/A/2008 Tentang: MENJAGA KEMURNIAN DAN KEUTUHAN MUHAMMADIYAH MENGHADAPI PEMILIHAN UMUM TAHUN 2009 Bismillahirrahmanirrahim Pimpinan Pusat Muhammadiyah sesuai dengan prinsip-prinsip khittah dan kebijakan-kebijakan yang selama ini berlaku tentang politik menyampaikan Instruksi dalam menghadapi Pemilihan Umum tahun 2009 sebagai berikut: 1. Menegaskan bahwa sebagai organisasi/gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang bergerak dalam lapangan keagamaan dan kemasyarakatan maka sesuai dengan khittah, Muhammadiyah tidak bergerak dalam lapangan dan kegiatan politik, tetapi tetap berada dalam posisi independen, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari suatu organisasi politik apapun. 2. Melarang Pimpinan Persyarikatan beserta Majelis, Lembaga, Ortom, Amal Usaha, dan institusi-institusi lainnya yang berada dalam lingkungan Persyarikatan melibatkan organisasi/Persyarikatan untuk kepentingan mendukung atau menolak partai politik dan/atau calon-calon anggota legislatif dari partai politik tertentu baik secara langsung maupun melalui kerjasama dengan partai politik dan/atau tim sukses partai politik/calon anggota legislatif dari partai politik tertentu. 3. Kepada Pimpinan Persyarikatan, Majelis, Lembaga, Ortom, Amal Usaha, dan institusi-institusi lainnya yang berada dalam lingkungan Persyarikatan jika ada anggota pimpinan/fungsionaris yang menjadi anggota Tim Sukses partai politik dan/atau calon-calon anggota legislatif dari partai politik tertentu maka yang bersangkutan harus dinonaktifkan dari jabatannya sampai selesainya kegiatan Pemilu. 4. Melarang penyelenggaraan kegiatan-kegiatan Persyarikatan termasuk di lingkungan Majelis, Lembaga, Ortom, Amal Usaha, dan institusi-institusi lainnya yang dimanfaatkan untuk kampanye partai politik dan/atau calon-calon anggota legislatif dalam bentuk apapun. 5. Melarang penggunaan lambang/simbol, dana, sarana, prasarana, dan fasilitas milik Persyarikatan seperti gedung sekolah/kampus, rumah sakit/poliklinik/balai pengobatan,
masjid/mushalla, panti asuhan, kantor Persyarikatan, dan lain-lain dengan perlengkapannya untuk kegiatan apapun yang diselenggarakan oleh partai politik. 6. Menganjurkan kepada seluruh jajaran Pimpinan Persyarikatan maupun warga Muhammadiyah untuk ikut mendorong dan mensukseskan penyelenggaraan Pemilu yang jujur, bersih, damai, dan memihak kepada kepentingan rakyat, serta dapat mencegah dan menjauhkan diri dari praktekpraktek kekerasan/anarkhis, praktek politik uang dan hal-hal yang melanggar norma-norma agama dalam Pemilu tersebut. Pimpinan Pusat Muhammadiyah meminta semua pihak untuk tidak menjadikan kampanye sebagai ajang konflik, kekerasan, dan hal-hal lain yang merugikan manusia dan hajat hidup publik, termasuk dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa. 7. Memberikan kebebasan kepada anggota/warga Muhammadiyah untuk menggunakan hak politik/hak pilih/hak asasi sesuai hati nuraninya, dengan sebaik-baiknya secara cerdas, kritis, disertai istikharah, dan mempertimbangkan kemaslahatan/kepentingan Persyarikatan, umat, dan masyarakat baik secara nasional, maupun di wilayah/daerah yang bersangkutan. Kebebasan menggunakan hak tersebut dimaknai sebagai wujud pertanggungjawaban amanah kepada Allah SWT dalam menentukan arah masa depan bangsa dan negara Indonesia. 8. Menghimbau warga Muhammadiyah yang memasuki dan apalagi menjadi pimpinan partai politik/tim sukses, selain dapat membawa missi Muhammadiyah juga tetap beraqidah dan berakhlaq Islam, serta memperjuangkan kepentingan rakyat dengan sebaik-baiknya. 9. Menyerukan kepada segenap warga dan Pimpinan Muhammadiyah untuk tetap menjaga keutuhan, meningkatkan kebersamaan dan lebih mempererat ukhuwah/persaudaraan antara anggota pimpinan khususnya serta antara anggota Muhammadiyah umumnya, sehingga Muhammadiyah tetap dapat melaksanakan perannya dalam rangka dakwah Islam amar ma`ruf nahi munkar. Garis kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut dimaksudkan agar supaya pimpinan Persyarikatan tetap dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan lancar di samping dapat berfungsi sebagai pengayom bagi warga Muhammadiyah secara keseluruhan yang berbeda dan beragam wadah dan saluran politiknya. Sedangkan bagi warga Muhammadiyah yang duduk di pimpinan partai, dengan adanya pengaturan dan pembagian tugas tersebut, tidak merasa terganggu bahkan dapat berperan maksimal dalam partai serta bisa memberikan keteladanan yang baik.
Demikianlah instruksi ini kami sampaikan agar dapat disosialisasikan kepada segenap Pimpinan Persyarikatan beserta Unsur Pembantu Pimpinannya, Amal Usaha, Ortom, dan warga Persyarikatan di tingkatan masing-masing untuk mendapat perhatian sepenuhnya dan dapat dilaksanakan dengan penuh kebijakan, kesadaran dan ketulusan. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan pertolongan dan perlindungan kepada kita. Nasrun min Allah wa fathun qarib. Yogyakarta, 16 Rajab 1429 H/ 19 Juli 2008 M
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Prof. Dr. H.M. Din Syamsudin, M.A. Ketua Umum
Drs. H. A. Rosyad Sholeh Sekretaris Umum
KHITTAH PERJUANGAN MUHAMMADIYAH
HAKIKAT MUHAMMADIYAH Perkembangan masyarakat Indonesia, baik yang disebabkan oleh daya dinamik dari dalam ataupun karena persentuhan dengan kebudayaan dari luar, telah menyebabkan
perubahan
tertentu.
Perubahan
itu
menyangkut
seluruh
segi
kehidupan masyarakat, diantaranya bidang sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan, yang menyangkut perubahan strukturil dan perubahan pada sikap serta tingkah laku dalam hubungan antar manusia. Muhammadiyah
sebagai
gerakan,
dalam
mengikuti
perkembangan
dan
perubahan itu, senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi-mungkar, serta menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang sesuai dengan lapangan yang dipilihnya ialah masyarakat, sebagai usaha Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya: "menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha tersebut, Muhammadiyah berjalan diatas prinsip gerakannya, seperti yang dimaksud di dalam Matan Keyakinan Cita-cita Hidup Muhammadiyah. Keyakinan landasan
dan
gerakan
Cita-Cita
Hidup
Muhammadiyah,
Muhammadiyah
juga
bagi
itu
gerakan
senantiasa
dan
amal
menjadi
usaha
dan
hubungannya dengan kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan, serta dalam bekerjasama dengan golongan Islam lainnya.
MUHAMMADIYAH DAN MASYARAKAT Sesuai dengan khittahnya, Muhammadiyah sebagai Persyarikatan memilih dan menempatkan masyarakat,
diri
sebagai
dengan
Gerakan
maksud
yang
Islam
amar-ma'ruf
terutama
ialah
masyarakat sejahtera sesuai dengan Dakwah Jamaah.
nahi
mungkar
membentuk
dalam
keluarga
dan
Di samping itu Muhammadiyah menyelenggarakan amal-usaha seperti tersebut pada Anggaran Dasar Pasal 4, dan senantiasa berikhtiar untuk meningkatkan mutunya Penyelenggaraan amal-usaha, tersebut merupakan sebagian ikhtiar Muhammadiyah untuk mencapai Keyakinan dan Cita-Cita Hidup yang bersumberkan ajaran Islam dan bagi usaha untuk terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.
MUHAMMADIYAH DAN POLITIK Dalam bidang politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya: dengan dakwah amar ma ma'ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenarbenarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil, secara operasionil dan secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera, bahagia, materiil dan spirituil yang diridlai Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha itu, Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada kepribadiannya Usaha Muhammadiyah dalam bidang politik tersebut merupakan bagian gerakannya
dalam
masyarakat,
dan
dilaksanakan
berdasarkan
landasan
dan
peraturan yang berlaku dalam Muhammadiyah. Dalam hubungan ini Muktamar Muhammadiyah ke-38 telah menegaskan bahwa: Muhammadiyah adalah Gerakan Dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang
kehidupan
manusia
dan
masyarakat,
tidak
mempunyai
hubungan
organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu Partai Politik atau Organisasi apapun Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah.
MUHAMMADIYAH DAN UKHUWAH ISLAMIYAH Sesuai dengan kepribadiannya, Muhammadiyah akan bekerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan Agama Islam serta membela kepentingannya. Dalam melakukan kerjasama tersebut, Muhammadiyah tidak bermaksud menggabungkan dan mensubordinasikan organisasinya dengan organisasi atau institusi lainnya.
DASAR PROGRAM MUHAMMADIYAH Berdasarkan
landasan
serta
pendirian
tersebut
di
atas
dan
dengan
memperhatikan kemampuan dan potensi Muhammadiyah dan bagiannya, perlu ditetapkan langkah kebijaksanaan sebagai berikut: Memulihkan kembali Muhammadiyah sebagai Persyarikatan yang menghimpun sebagian anggota masyarakat, terdiri dari muslimin dan muslimat yang beriman teguh, ta'at beribaclah, berakhlaq mulia, dan menjadi teladan yang baik di tengahtengah masyarakat. Meningkatkan pengertian dan kematangan anggota Muhammadiyah tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan kepekaan sosialnya terhadap persoalan-persoalan dan kesulitan hidup masyarakat Menepatkan kedudukan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai gerakan untuk melaksanakan dakwah amar-ma'ruf nahi-mungkar ke segenap penjuru dan lapisan masyarakat serta di segala bidang kehidupan di Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.
SUSUNAN PENGURUS PIMPINAN PUSAT ‘AISYIYAH PERIODE 2010 – 2015
Ketua Umum
: Dra. Hj. Siti Noordjannah Djohantini, MM, M.Si
Ketua
: Prof. Dr. Hj.Siti Chamamah Soeratno
Ketua
: Prof. Dr. Hj. Masyitoh Chusnan, M.Ag.
Ketua
: Dra. Hj. Shoimah Kastolani
Ketua
: Hj. Siti Hadiroh Ahmad, S.Pd
Ketua
: Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag.
Ketua
: dr, Hj. Atikah M. Zakki, MARS.
Sekretaris Umum
: Dra. Dyah Siti Nuraini
Sekretaris
: Dra. Trias Setiawati, M.Si.
Sekretaris
: Rohimi Zamzam, Psi., S.H
Bendahara Umum
: Hj. Mahsunah Syakir
Bendahara
: Dra. Hj. Noor Rochmah
Ketua Majelis dan Lembaga :
Ketua Majelis Tabligh
: Dra. Hj. Susilaningsih K. M.A.
Ketua Majelis Ekonomi dan Ketenagakerjaan
: Dra. Hj. Latifah Iskandar
Ketua Majelis Pembinaan Kader
: Evi Shofia Inayati
Ketua Mejelis Pendidikan Tinggi dan Kajian Lingkungan Hidup
: Prof. Dr. Ir. Hj.Muslimah Widyastuti, M.Sc
Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah : Dra. Rifqiyati, M.Ag Ketua Majelis Kesehatan
: Dra. Hafni Rochmah, MPH
Ketua Majelis Kesejahteraan Sosial
: Dra. Susilahati, M.Si
Ketua Majelis Hukum dan HAM
: Dra. Hj. Nurni Akma
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan : Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si Ketua Lembaga Kebudayaan
: Dra. Hj. Cholifah Sukri
FOTO-FOTO KEGIATAN