Peran pencitraan dalam diagnosis Emboli paru Alfian Nur Rosyid M.Yamin S.Suwandi
A. Pendahuluan
Emboli paru akut merupakan penyakit kardiovaskular yang sering berakibat fatal. Emboli paru dan Trombosis vena dalam (TVD - Deep Vein Trombosis/DVT) termasuk bagian dari Tromboemboli vena
dengan kesamaan proses patologis.1,2 Dilaporkan 60-80% kasus
Emboli paru terkait komplikasi dari TVD.3 Diagnosis emboli paru sulit, terutama bila disertai penyakit jantung atau penyakit paru. Diagnosis yang salah berakibat fatal sampai kematian, namun diagnosis yang berlebihan berakibat pemberian antikoagulan yang tidak seharusnya dipakai.4 Prevalensi Emboli paru sekitar 0,4%. Kematian karena Emboli paru yang terdiagnosis sebesar 2-10%, sedangkan yang tidak terdiagnosis mencapai 5-30%.2 Dilaporkan bahwa Emboli paru akut merupakan penyakit kardiovakuler tersering ketiga setelah infark miokard dan stroke.1 Emboli paru lebih fatal dibandingkan dengan TVD, disamping memiliki rekurensi lebih tinggi serta sering asimptomatis.5 Emboli paru yang fatal dapat terkait dengan hipotensi, syok dan sesak napas.6 Penderita yang dicurigai Emboli paru dengan penanganan strategi diagnosis yang benar akan menurunkan kesalahan diagnosis. Perlu beberapa pemeriksaan pada penderita yang dicurigai emboli paru.1, 2 Pemeriksaan tersebut mencakup penilaian klinis, faktor risiko, tes D-dimer dan atau pencitraan. Pencitraan diperlukan apabila dari penilaian sebelumnya diperlukan pemeriksaan tambahan.
Penegakan diagnosis diterapkan secara individual
disesuaikan kondisi pasien.6 Algoritma diagnosis Emboli paru disusun guna mempermudah diagnosis. Penderita yang dinyatakan tidak terdapat Emboli paru, memiliki tingkat kesalahan sebesar <1%.5 Penilaian klinis diantaranya menggunakan skor Well atau skor Geneva revisi.7, 8 Pencitraan akan dilakukan bila dipandang perlu setelah dilakukan evaluasi klinis. Pencitraan yang sering dimanfaatkan adalah CT scan Multi Detektor (MDCT), 9, 10, CT scan Angiografi Paru (CTPA) 11-16 V/Q scan (Ventilasi – Perfusi Scintigrafi) 17, dan MRI. 18 Terdapat perdebatan tentang modalitas pencitraan yang optimal untuk mendiagnosis emboli paru, sehingga perlu dikaji tersendiri dalam sebuah kajian Ilmiah Tinjauan Kepustakaan.
Tinjauan Kepustakaan Departemen Radiologi dan Ilmu Kedokteran Nuklir FK Unair – RSUD Dr.Soetomo 2014
Hal.1
B. Patogenesis Emboli paru terjadi karena terlepasnya bagian dari trombus yanng terbentuk di vena dalam ekstrimitas bawah atau pelvis. Trombus tersebut akan mengikuti aliran darah menuju arteri pulmonalis dan terjadi sumbatan. Hal ini akan meningkatkan resistensi vaskuler paru yang berakibat peningkatan tekanan Ventrikel kanan. Ventrikel kanan akan mengalami dilatasi.13
C. Faktor Risiko
Emboli paru sering dialami oleh penderita dengan faktor risiko tertentu diantaranya usia tua, riwayat tromboemboli vena (Emboli paru atau TVD), kanker aktif, kelainan neurologis dengan parese ekstrimitas, operasi, tirah baring lama, dan trombofilia kongenital atau didapat.1 Beberapa studi belum mengaitkan faktor lain seperti terapi estrogen, Gagal Jantung kongestif, penyakit jantung, trauma, merokok dan kehamilan sebagai faktor risiko terjadinya Emboli paru.2 Namun sekitar sepertiga kasus Emboli paru tanpa disertai faktor risiko, sehingga disebut Emboli paru idiopatik atau tanpa pemicu. 1 Sekitar 80-90% penderita dengan Emboli paru memiliki TVD baik ekstrimitas atas atau bawah 3 Untuk efisiensi dalam mendiagnosa emboli paru, pilihan uji awal harus didasarkan pada penilaian klinis kecurigaan emboli dan karakteristik pasien. Diagnosa emboli paru sangat tidak akurat bila didasarkan pada tanda klinis saja tanpa melihat faktor risiko.18
Tabel 1. Faktor Risiko Tromboemboli Vena. 5 Risiko kuat (OR: 10) Fraktur (panggung / kaki) Penggantin panggul / lutut Operasi besar Trauma hebat Injuri Korda Spinalis
Risiko sedang (OR: 2-9) Operasi artroskopi lutut Kemoterapi Penyakit jantung Gagal napas Terapi hormon Keganasan Kontrasepsi oral Stroke paralitik Hamil / setelah persalinan Riwayat Tromboemboli Trombofilia
Risiko ringan (OR<2) Tirah baring >3 hari Imobilisasi (duduk dalam perjalanan >8 jam) Usia tua Operasi laparoskopi 2 Obesitas (BMI>40kg/m ) Vena varikose
Hal.2
Gambar 1. Grafik faktor risiko penderita Emboli paru.10
D. Gejala
Gejala klinis Emboli paru bervariasi dan tidak spesifik, sehingga diagnosis yang akurat sulit ditegakkan. Gejala dapat asimptomatik sampai dengan yang berat dan mengancam nyawa terutama pada kasus Emboli paru akut dan masif.6 Gejala Emboli paru yang paling sering adalah sesak napas, nyeri dada, takipnea, sinkop, dan batuk. Laporan dari PISAPED (The Prospective Investigative Study of Acute Pulmonary Embolism Diagnosis) menyebutkan bahwa penderita 96% penderita dengan Emboli paru mengeluhkan sesak napas mendadak, nyeri dada atau pingsan (salah satu satu atau kombinasi).2 Gejala yang lebih jarang adalah demam, batuk darah, sianosis, hipotensi dan syok.5 Ringan beratnya gejala dipengaruhi oleh lokasi emboli di segmen atau subsegmen cabang arteri pulmonalis. Gejala yang berat akan dialami bila Emboli Parunya masif.2 Penderita Emboli paru dapat disertai keluhan TVD bila terjadi bersamaan, diantaranya ekstrimitas bengkak, nyeri, teraba hangat dan kemerahan. 5 Penderita yang sesak terkait komorbid penyakit jantung, paru atau lainnya maka gejala sesak yang makin memberat dapat merupakan indikasi adanya Emboli paru.5 Adanya faktor komorbid seperti penyakit jantung atau paru menambah sulitnya diagnosis Emboli paru.1
Tabel 2.Skor Well untuk mendiagnosis Emboli paru.8
Hal.3
Temuan klinis
Poin
Tanda dan gejala klinis TVD (ekstrimitas bengkak, nyeri tekan vena dalam) 3.0 Lebih mendukung diagnosis emboli paru dibandingkan yang lain 3.0 HR >100x/menit 1.5 Imobilisasi atau riwayat operasi 4 minggu terakhir 1.5 Riwayat TVD atau PE secara objektif 1.5 Batuk darah 1.0 Keganasan (dalam terapi, pernah terapi 6 minggu terakhir atau paliatif) 1.0 Keterangan: Skor <2: probabilitas rendah (3,6%), Skor 2-6: probabilitas sedang (20,5%), Skor >6: probabilitas tinggi (66,7%)
Tabel 3. Skor Geneva Revisi untuk Emboli paru. 8 Kriteria Usia >65 tahun Riwayat DVT/PE sebelumnya Operasi (anestesi total) atau fraktur (ekstrimitas bawah) dalam 4 minggu terakhir Keganasan aktif Nyeri ekstrimitas bawah unilateral Batuk darah Nadi 75-94 x/menit Nadi ≥95x/menit Nyeri tekan vena dalam ekstrimitas bawah atau edema unilateral Keterangan: Skor 0-3: probabilitas rendah, 4-10: probabilitas sedang; ≥11: probabilitas tinggi
Poin 1 3 2 2 3 2 3 5 4
E. Penegakan diagnosis
Penilaian obyektif untuk mendiagnosis emboli paru diperlukan karena penilaian klinis saja tidak dapat diandalkan. Tidak ada tes tunggal yang memiliki sifat ideal (sensitivitas dan spesifisitas 100 %, tanpa risiko, biaya murah).1, 5 Penegakan diagnosis Emboli paru sulit dan memerlukan beberapa pemeriksaan untuk menyingkirkan diagnosis banding dan menegakkan diagnosisnya. Beberapa kolegium seperti American College of Physicians, American Academy of Family Physicians, British Thoracic Society, dan European Society of Cardiology telah membuat panduan berupa algoritma untuk mempermudah diagnosis Emboli paru.4, 5 Penderita dengan kecurigaan Emboli paru setelah dilakukan penilaian faktor risiko dan tes probabilitas harus dilakukan pemeriksaan fisik. Temuan pemeriksaan fisik dapat bervariasi, seperti takipnea, takikardi, hipoksia, demam, sianosis, dan peningkatan JVP.2 Pemeriksaan penunjang berupa Analisa Gas Darah, foto Rontgen dada dan EKG (Elektrokardiografi) diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding Emboli paru namun
Hal.4
hasilnya tidak sensitif dan tidak spesifik.2 Biomarker jantung (Troponin T dan I) dan Ekhokardiografi dapat digunakan untuk menilai severitas Emboli paru terkait prognosis.4
Gambar 3.Algoritma Diagnosis Emboli paru.5
a. Pemeriksaan Analisa Gas Darah Dari pemeriksaan Analisa Gas Darah didapatkan hipoksemia, hipokapnea dan peningkatan AaDO2. Namun pada penderita usia muda, dapat ditemukan hasil Analisa Gas Darah yang normal.4 Hal.5
b. Pemeriksaan D-dimer
Gambar 4.Pemeriksaan D-dimer pada Emboli paru.1 Dilakukan pemeriksaan tes D-dimer pada penderita kecurigaan Emboli paru, ini bersifat wajib menyertai penilaian klinis. Hasil D-dimer negatif pada penderita dengan probabilitas rendah menunjukkan tidak perlu pencitraan lebih lanjut. Tes Ddimer tidak diperlukan bila probabilitasnya tinggi karena tidak mempengaruhi keputusan pemeriksaan tambahan berupa pencitraan.4 D-dimer plasma merupakan degradasi fibrin yang dihasilkan dari degradasi klot oleh fibrinolysis.7 Pemeriksaan ini merupakan tes dengan NPV (Negative Predictive Value) yang tinggi dan PPV (Positive Predictive Value) yang rendah. Pemeriksaan ini merupakan pilihan pertama pada penderita dengan pretest probability / penilaian klinis rendah sampai sedang. Konsentrasi D-Dimer >0,5 mg/L memiliki Sensitivitas 95% dan Spesifisitas 55% untuk mendiagnosa VTE (Venous Tromboemboli).1
c. Pemeriksaan Marker Jantung Pemeriksaan Troponin T dan I dipakai untuk menilai infark miokar, namun dapat meningkat pada penderita Emboli paru berat. Sehingga Pemeriksaan ini tidak dapat
digunakan
untuk
menyingkirkan
diagnosis
Emboli
paru.
Sedangkan
peningkatan BNP terkait disfungsi RV (ventrikel kanan) akibat Emboli paru.4 BNP hanya dapat digunakan sebagai biomarker pada Emboli paru risiko rendah.13
d. Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG) Pemeriksaan EKG bisa didapatkan hasil sinus takikardi, perubahan gelombang T-non spesifik, p-pulmonale, RV strain, Blok Cabang Bundle Kanan (RBBB), S1, Q3, T3 (gelombang S dalam di lead I, gelombang Q di lead II dan
Hal.6
gelombang T inversi di lead III). Pemeriksaan EKG ini berguna untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti infark miokard.4 F. Pencitraan a. Foto Rongsen Dada Foto rongsen dada posisi PA dan lateral penting dalam mengevaluasi penderita Emboli paru. Penderita dengan nyeri dada namun ditemukan infiltrat Pneumonia, Efusi pleura masif, Pneumotoraks, Edema paru14 sehingga dapat menyingkirkan pemeriksaan radiologis tambahan. Foto rontgen dada normal tidak menyingkirkan diagnosis Emboli paru. Tidak ada gambaran yang khas untuk Emboli paru.3 Pada pemeriksaan Foto Rongsen Dada bisa ditemukan hasil yang normal (14%) atau abnormal. Hasil yang normal pada penderita hipoksia tanpa bronkospasme mendukung adanya Emboli paru. Abnormalitas yang ditemukan antara lain atelectasis lempeng (68%), Efusi pleura (48%), Hampton hum (35% opasitas menyerupai efusi menunjukkan adanya infark parenkim distal dari trombus), peningkatan hemidiafragma (24%), Fleischner’s sign (15% - arteri pulmonalis sentral yang menonjol), Westermark’s sign (7% - oligemia perifer), kardiomegali (7%) dan edema paru (5%). Abnormalitas foto rongsen yang lain jarang ditemukan pada Emboli paru.4
Gambar 5.Gambaran Foto Rongsen Dada pada Emboli paru.4
b. Ekhokardiografi Ekhokardiograi transtorakal atau transesofagus tidak diindikasikan untuk mendiagnosis Emboli paru akut. 3 Ekhokardiografi penting untuk menilai disfungsi Ventrikel kanan pada penderita Emboli paru, karena terkait prognosis Hal.7
dan mortalitas pada Emboli paru serta terjadinya tromboemboli dikemudian hari.9 Temuan yang mendukung disfungsi Ventrikel kanan diantaranya dilatasi ventrikel kanan, dinding hipokinetik, gerakan dinding septum yang berlawanan, dilatasi arteri pulmonalis, gradient tekanan sistolik ventrikel kanan – kiri >30mmHg dan waktu akselerasi laju arteri pulmonalis <80 milidetik.13 Diagnosis disfungsi Ventrikel kanan bila didapati dua dari temuan berikut, yaitu rasio diameter RV/LV end-distolic > 0,9 (tampak apikal four chamber) atau RV/LV end-diastolic >0,7 (tampak parasternal long axis atau substernal fourchamber) atau geraka septum interventrikel yang berlawanan atau tekanan arteri pulmonalis sistemik >30mmHg.9 Adanya dilatasi Ventrikel kanan lebih tampak pada emboli di arteri pulmonalis utama dibandingkan pada segmen atau subsegmen.15
c. CT Angiografi Paru (CTPA)
CTPA memiliki peran yang signifikan dalam mendiagnosis Emboli paru sejak studi klinis besar yang pertama pada tahun 1992. Kemajuan teknologi di CT dari heliks ke multidetector menambah peningkatan resolusi arteri paru, besar dan kecil. CTPA sangat sensitif dan spesifik bila dibandingkan dengan angiografi konvensional terutama di tingkat subsegmental. Perbedaan intepretasi CTPA terbukti lebih baik untuk tingkat segmental dibandingkan V/Q scan.3 MDCT memiliki sensitivitas 83-100% dan spesifisitas 89-98%.11 Angiografi paru merupakan standar baku emas untuk mendiagnosis Emboli paru. 13 Akurasi CTPA lebi tinggi bila dikombinasikan dengan penilaian klinis dan pemeriksaan D-dime. Hasil CTPA positif pada penderita kecurigaan tinggi atau sedang maka nilai prediksi positifnya juga tinggi. Bila CTPA negatif pada kecurigaan klinis rendah maka diagnosis Emboli paru dapat disingkirkan.3 CTPA memiliki lebih sedikit temuan "nondiagnostic" dibandingkan V/Q scan. Tingkat negatif palsu CTPA sangat rendah. Hasil studi menunjukkan tidak ada efek yang merugikan pada pasien dengan CTPA negatif yang kemudian tidak diobati. Kombinasi multidetector CTPA dan tes D-dimer memiliki nilai prediksi positif dan negatif yang sangat tinggi Selain itu, CTPA kadang menunjukkan patologi selain Emboli paru yang terkait dengan gejala pasien.3 Selain berguna untuk melihat secara langsung adanya thrombus di arteri pulmonalis, CT scan dapat pula dipakai untuk menstratifikasi risiko Emboli paru dengan mengukur diameter Ventrikel Kanan/Kiri (RV/LV). Hal ini berguna untuk
Hal.8
prognosis dan implikasi pengobatan.3 Disebutkan bahwa MDCT (Multi Detector CT) lebih akurat dalam menilai disfungsi Ventrikel kanan dibandingkan Ekhokardografi, dengan mengukur rasio RV/LV.9 Prosedur pemeriksaan MDCT sebagai berikut: voltase 140Kv, tegangan 250300mA, waktu rotasi 0,5 detik, kolimasi 32x0,65mm, pitch 0,66. Scaning dilakukan dari kranial ke kaudal, dari apeks paru ke basal.11 CT scan dengan pemberian kontras standar kemudian foto diambil setelah menunggu 15-20 detik. Kontras yang dipakai adalah kontras nonionic iv (100ml iohexol, Omnipaque330) 320mg I/ml dengan dosis 2ml/kg (maksimal 125mg). Kontras disuntikkan dengan power injektor kecepatan 4 ml/detik dengan jarum 20G melalui vena antecubiti diikuti bolus 20ml Salin.9, 11 Gambar direkonstruksi dengan potongan tipis ketebalan 1 mm dengan matrik 512x512.11 CT scan tampak aksial dengan rasio RV/LV 0,9-1,5 menunjukkan adanya disfungsi Ventrikel Kanan serta prognosis yang kurang baik. Rasio ini memiliki PPV (Positive Predictive Value) yang rendah (10%), namun bila rasionya <1 maka akan memiliki NPV (Negative Predictive Value) yang tinggi.13 Beberapa peneliti menyatakan terdapat hubungan mortalitas Emboli paru dengan diameter Vena Azigos, namun korelasinya negatif pada dilatasi Vena Cava Superior maupun Inferior. Disebutkan juga tidak terdapatnya korelasi antara diameter Aorta Ascending dengan mortalitas Emboli paru.13, 15 Diagnosis Emboli paru bila didapatkan adanya filling defect arteri pulmonalis (sebagian atau total) minimal pada dua gambar berurutan dan terletak di tengah pembuluh darah atau memiliki sudut yang tajam terhadap dinding pembuluh darah. Lokasi Emboli dievaluasi pada tingkat arteri pulmonalis yang terlibat dan lokasi lobar yang terkait. Lokasi Emboli dikategorikan sebagai sentral (misalnya, arteri utama paru, arteri paru-paru sentral, dan kedua arteri interlobar paru), lobar, segmen, dan subsegmen.10, 11 Lokasi lobar Emboli paru dievaluasi sesuai dengan nomenklatur standar: lobus kanan atas, lobus tengah kanan, lobus kanan bawah, lobus kiri atas, Lingula, dan lobus bawah kiri. Lokasi dan tingkat PE ditentukan berdasarkan per-emboli, bukan per-pasien, karena beberapa pasien dapat memiliki lebih dari satu Emboli paru.10
Hal.9
Gambar 6.Lokasi Emboli paru.10 Beberapa peneliti mengaitkan Indek klot dengan mortalitas Emboli paru, namun hal itu dianggap tidak signifikan. Penelitian terbaru menyatakan bahwa penilaian klot di sentral arteri pulmonalis dapat menjadi prediktor mortalitas Emboli paru. Adanya tanda disfungsi Ventrikel kanan (rasio RV/LV>1) dan indek obstruksi >40% menunjukkan peningkatan mortalitas dalam 90 hari (PPV 18,8). Penelitian yang lain menyebutkan rasio RV/LV>1,5 dengan indek obstruksi >50% menunjukkan Emboli paru yang berat dengan outcome yang jelek. 15 Derajat obstruksi dibagi menjadi tiga yaitu tanpa obstruksi, obstruksi sebagian dan total obstruksi.14
Gambar 7.CTPA penderita Emboli paru akut (A) tampak emboli di arteri pulmonalis utama kanan dengan idek klot 50% (B) rasio RV/LV>2 mendukung adanya disfungsi Ventrikel kanan. Penderita diberikan terapi trombolitik dan terdapat perbaikan (C) terjadi resolusi thrombus dan (D) rasio RV/LV kembali normal (0,8). 15
Hal.10
Gambar 8.CT angiografi paru dengan adanya emboli di sentral arteri pulmonalis.18
Gambar 9.Skematik algoritma Emboli pada Arteri pulmonalis. Emboli arteri pulmonalis segemental non-oklusi diberikan skor 1, sedangkan arteri yang lebih proksimal diberikan skor yang lebih besar.12 Pemeriksaan MDCT dipandu EKG akan memberikan akurasi yang lebih baik dalam menilai jantung. Namun pemeriksaan ini memerlukan waktu yang lebih lama sehingga paparan radiasi juga yang lebih banyak, sehinga tidak dipakai sebagai pemeriksaan rutin pada kondisi gawat darurat. Namun MDCT tidak dapat digunakan untuk menilai fungsi ventrikel kanan (misalnya hipokinesia atau menilai tekanan arteri pulmonalis)9 Kemajuan teknologi terbaru seperti CT
ECG-gated dan dual-source CT memungkinkan evaluasi akurat dari pembuluh darah paru, aorta toraks, dan arteri koroner pada studi CT tunggal. Secara umum, multidetector CTPA lebih akurat dibandingkan single-slice CT atau V/Q scan.3
Hal.11
Gambar 10.CT Angiografi paru tampak cabang arteri pulmonalis dari sentral, segmen dan subsegmen.11
(A)
(B)
Gambar 11.CT angiografi yang menggambarkan (A) adanya sumbatan emboli, (B) pasca trombolitik.14 Diperkenalkan juga Perfusion Blood Volume (PBV) yang merupakan CT dualenergy. Pencitraan ini menilai perfusi paru, bila terdapat obstruksi karena trombus maka perfusi akan terganggu sesuai dengan derajat obstruksi klot.14
Gambar 12. Klasifikasi Skor Defek Perfusi paru. Hijau-Merah: perfusi normal, Biru-Hijau dengan distribusi merata: defek perfusi ringan, Biru dengan konfigurasi menyebar: defek perfusi sedang, biru-hitam: tanpa perfusi 14
Hal.12
Pajanan
terhadap
radiasi
ionizing
MDCT
yang
berlebihan
dapat
meningkatkan terjadinya kanker dan meningkatkan mortalitas, namun pada kasus Emboli paru menjadi dilematis karena dianggap Emboli paru yang tidak terdiagnosis dapat mengancam nyawa. Oleh karena itu manfaat dan risiko radiasi harus tetap dipertimbangkan. Dosis efektif radiasi MDCT sekitar 9mSv dan untuk wanita bisa lebih rendah (7,5mSv).16 Beberapa hal yang mempengaruhi hasil MDCT diantaranya adalah kurangnya tajamnya kontras, penderita yang banyak bergerak, faktor teknis (pemilihan media kontras, waktu bolus yang lambat.11
d. Kateter Angiografi Selektif Paru Angiografi paru dengan kateter jantung kanan dapat mengukur tekanan arteri pulmonalis dan jantung kanan. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang aman namun invasive serta memerlukan operator yang berpengalaman dan monitor pasien yang adekuat. Pemeriksaan ini dapat dilakukan bila diagnosis Emboli paru dengan cara non-invasif tidak dapat dilakukan.3 Kateter Angiografi paru ini dianggap lebih inferior disbanding Multidetector CTPA terkait teknis seperti penderita yang bergerak, overlap pembuluh darah serta variasi interpretasi pengamat. Kontras yang diberikan terbatas pada arteri pulmonalis yang dicurigai melalui pemeriksaan non-invasif V/Q scan.3 Karena Multi Detector CTPA merupakan pemeriksaan standar untuk mendiagnosis Emboli paru, maka pemeriksaan kateter Angiografi paru ini jarang dilakukan kecuali bila ada indikasi trombektomi atau trombolisis melalui kateter.3
e. V/Q scintigrafi Pemeriksaan Ventilasi Perfusi (V/D scan) diperkenalkan pertama pada pertengahan 1960 dan menjadi pemeriksaan untuk penderita yang dicurigai Emboli paru. Penggunaan V/D scan dan CTPA masih kontroversi. Keduanya memiliki akurasi diagnosis yang bagus.3 Pemeriksaan Ventilasi Perfusi (V/D scan) digantikan oleh CTPA sekitar tahun 2000 untuk mendiagnosis Emboli paru. Bila dibandingkan dengan V/Q scintigrafi, pencitraan CTPA memiliki kekurangan diantaranya radiasi yang lebih besar (7 kali lipat) sedangkan V/Q scan radiasinya lebih rendah.16 CTPA cenderung terjadi overdiagnosis karena ditemukannya tromboemboli. 17 Pada Emboli paru terjadi obstruksi arterial dan gangguan perfusi karena thrombus. Hal ini akan menyebabkan rilis vasoaktif dan bronkoaktif dari platelet
Hal.13
yang menyebabkan gangguan ventilasi dan perfusi.14 Gambaran beberapa proyeksi dengan perfusi regional dan ventilasi normal menunjukkan tidak adanya Emboli paru sehingga tidak perlunya adanya pemeriksaan yang lain. Gambaran abnormal perfusi regional (Q) mencurigakan sebagai Emboli paru namun tidak spesifik. Hal ini memerlukan pemeriksaan anatomi ditempat terjadinya defek perfusi (misalnya segmental) berupa pemeriksaan ventilasi dan foto rongsen dada.3 Secara umum temuan V/Q scan dibagi menjadi lima yaitu, probabilitas tinggi, sedang, rendah, sangat rendah dan normal.3 Scan paru kadang diindikasikan pada beberapa ibu hamil, tentunya dengan mengurangan dosis kontras. Pilihan penggunaan CTPA dan V/Q scan pada wanita hamil masih menjadi perdebatan. Sebuah studi menduga bahwa bila hasil rongsen dada normal maka scan perfusi
Ventilasi
Perfusi
saja cukup memuaskan hasilnya.3
Gambar 13.V/Q scan menunjukkan ventilasi normal dan defek perfusi kedua lapang paru.4
f.
MRI (Magnetic Resonance Imaging) Penggunaan MRI meningkatkan akurasi diagnosis Emboli paru bila dikombinasikan dengan angiografi dan perfusi paru. Akurasi MRI sebanding dengan MDCT 16-slice.18 Keuntungan MRI yaitu bebas radiasi (non-ionizing)16, bisa tanpa media kontras sehingga aman untuk penderita gangguan ginjal dan ibu hamil memperkuat penggunaannya.
Waktu yang diperlukan untuk
pemeriksaan MRI sekitar 10 menit. Temuan Emboli paru pada MRI adalah sama dengan CT scan, namun dibagi menjadi tanda vaskuler dan tanda parenkim.
Hal.14
Tanda vaskuler Emboli paru berupa penurunan diameter pembuluh darah, hilangnya kontras dibawah pembuluh darah yang tersumbat emboli. Tanda parenkimal yang dapat ditemukan adalah opasitas pleural-based, nodul perifer, opasitas ireguler linier di perifer, gambaran mosaik.18 Sensitivitas MRA yaitu 77-100% dan Spesifisitas 95-98%. Bila lokasi emboli di sentral dan lobar maka sensitivitasnya 100%, sedangkan bila di segmen sebesar 84% dan 40% bila di subsegmen. PIOPED III menyarankan agar MRA hanya digunakan bila terdapat kontraindikas dengan pemeriksaan yang lain.18 MRA (Magnetic Resonance Angiography) dan MR perfusi imaging dapat mengevaluasi arteri pulmonalis sentral dan segmental secara cepat. MR perfusi memiliki sensitivitas yang tinggi untuk mendiagnosis Emboli paru dan pemeriksaan yang paling sering digunakan bersama kombinasi dengan MRI dan MRA. MRI tanpa MRA tidak diindikasikan sebagai pemeriksaan rutin kecurigaan Emboli paru.3 MRI memiliki keterbatasan yaitu bila menggunakan kontras gadolinium harus hati-hati diberikan pada penderita dengan gangguan ginjal sehingga perlu penyesuaian dosis atau diganti dengan teknik tanpa kontras. Belum ada studi yang mengamati pengaruh kontras Gadolinium pada gangguan janin namun juga belum ada bukti bahwa kontras tersebut aman sehingga penggunaannya hanya bila terdapat indikasi saja.18
(A)
(B)
Gambar 14. MR Angiografi (A) emboli di sentral arteri pulmonalis (B) emboli di lobus bawah paru.18 g. USG Karena adanya keterkaitan antara TVD dengan Emboli paru, maka Ultrasonografi vena ekstrimitas bisa diindikasikan bila dicurigai. Yang dipakai adalah USG Doppler dupleks dengan kompresi tungkai atau continous-wave Doppler. Adanya TVD bukan pasti menunjukkan adanya Emboli paru, namun Hal.15
dapat meningkatkan kecurigaan Emboli paru. Hasil USG yang normal juga tidak menyingkirkan keberadaan Emboli paru, namun menurunkan kecurigaan Emboli paru.3
G. Prognosis Prognosis Emboli paru dinilai dengan PESI (Pulmonary Embolism Severity Index). Indek ini dipakai untuk menilai derajat keparahan, tatalaksana dan mortalitas.13 Penderita dengan severitas tinggi perlu penanganan segera, penderita dengaqn severitas sedang perlu rawat inap dan tatalaksana sesuai severitasnya. Sedangkan penderita dengan severitas rendah menjadi pertimbangan segera pulang dan terapi rawat jalan.15
Tabel 4.Indek severitas Emboli paru.13 Prediktor Usia Laki-laki Kanker Gagal jantung Penyakit paru kronis Nadi ≥110x/menit Tekanan darah sistolik <100 mmHg RR ≥30x/menit 0 Suhu <36 C Perubahan status mental Sat O2<90%
Skor dalam tahun 10 30 10 10 20 30 20 20 60 20
Severitas Rendah Kelas I: ≤65 Kelas II: 66-85 Tinggi Kelas III: 86-105 Kelas IV: 106-125 Kelas V: >125
Gambar 15. Perkiraan prevalensi dan mortalitas pada penderita Emboli paru dengan faktor risiko yang berbeda.13 Gambar diatas menunjukkan stratifikasi risiko dibandingkan mortalitas. Penderita dengan risiko tinggi memiliki mortalitas dalam 30 hari sebesar >15%, risiko sedang
Hal.16
dengan mortalitas 3-15% dan 1% pada risiko rendah. Penyebab kematian pada emboli paru akut adalah gagal jantung kanan.15
H. Kesimpulan Emboli paru merupakan kondisi yang sering dan kadang mengancam. Diagnosis yang tepat dapat menurunkan mortalitas. Perlu beberapa pemeriksaan untuk mendiagnosis Emboli paru, diantaranya dengan menilai faktor risiko, klinis, tes D-dimer dan pencitraan. Foto rongsen dada tidak dapat menyingkirkan Emboli paru namun pencitraan ini diperlukan untuk panduan pemeriksaan selanjutnya serta mencari diagnosis alternatif. Multi detector CT Angiografi Paru merupakan standar baku emas untuk diagnosis Emboli paru. Terdapat beberapa pencitraan lain yang bisa dipakai untuk mendiagnosis dan menilai severitas Emboli paru.
I.
Daftar Pustaka
1. Sadigh, G., Kelly, A., & Cronin, P. (2011). Challenges, Controversies, and Hot Topics in Pulmonary Embolism Imaging. AJR, 196, 497–515. 2. Gandara, E., & Wells, P. S. (2010). Diagnosis: Use of Clinical Probability Algorithms. Clin Chest Med, 31, 629-639. 3. Bettmann, M., Baginski, S., White, R., Woodard, P., & Abbara, S. (2011). Acute Chest Pain - Suspected Pulmonary Embolism. Radiology, 258(2), 590-598. 4. Hamad, M., Bathia, P., Ellidir, P., Abdelaziz, M., & Connolly, V. (2011). Diagnostic approach to pulmonary embolism and lessons from a busy acute assessment unit in the UK. Breathe, 7(4), 315-323. 5. Wilbur, J., & Shian, B. (2012). Diagnosis of Deep Venous Thrombosis and Pulmonary Embolism. American Family Physician, 86(10), 913-919. 6. Agnelli, G., & Becattini, C. (2010). Acute Pulmonary Embolism. N Engl J Med, 363, 266-74. 7. Warren, D., & Matthews, S. (2012). Pulmonary embolism: investigation of the clinically assessed intermediate risk subgroup. The British Journal of Radiology, 85, 37-43. 8. Penaloza, A., Verschuren, F., Meyer, G., Quentin-Georget, S., & Soulie, C. (2013). Comparison of the Unstructured Clinician Gestalt, the Wells Score, and the Revised Geneva Score to Estimate Pretest Probability for Suspected Pulmonary Embolism. Annals of Emergency Medicine, 62(2), 117-124.
Hal.17
9. Becattini, C., Agnelli, G., Vedovati, M., Pruszczyk, P., Casazza, F., Grifoni, S., et al. (2011). Multidetector computed tomography for acute pulmonary embolism: diagnosis and risk stratification in a single test. European Heart Journal, 32, 1657– 1663. 10. Lee, E., Neuman, M., Lee, N., Johnso, V., Zurakowski, D., Tracy, D., et al. (2012). Pulmonary Embolism Detected by Pulmonary MDCT Angiography in Older Children and Young Adults: Risk Factor Assessment. AJR, 198, 1431–1437. 11. Bogot, N., Fingerle, A., Shaham, D., Nissenbaum, I., & Sosna, J. (2011). Image Quality of Low-Energy Pulmonary CT Angiography: Comparison With Standard CT. AJR, 197, W273–W278. 12. Morris, M., Gardner, B., Gotway, M., Thomsen, K., Harmsen, W., & Araoz, P. (2012). CT Findings and Long-Term Mortality After Pulmonary Embolism. AJR, 198, 1346– 1352. 13. Abrahams-van Doorn, P., & Hartmann, I. J. (2011). Cardiothoracic CT: one-stopshop procedure? Impact on the management of acute pulmonary embolism. Insights Imaging, 2, 705–715. 14. Zhou, Y., Shi, Y., Kumar, A., Chi, B., & Han, P. (2012). Assessment of correlation between CT angiographic clot load score, pulmonary perfusion defect score and global right ventricular function with dual-source CT for acute pulmonary embolism. The British Journal of Radiology, 85, 972–979. 15. Venkatesh, S. K. (2011). CT pulmonary angiograp
hy for pulmonary embolism:
role beyond diagnosis? Int J Clin Pract, 65(Suppl. 171), iii-v. 16. Woo, J. K., Chiu, R. Y., Thakur, Y., & Mayo, J. (2012). Risk-Benefit Analysis of Pulmonary CT Angiography in Patients With Suspected Pulmonary Embolus. AJR, 198, 1332–1339. 17. Sheh, S., Bellin, E., Freeman, R., & Haramati, L. (2012). Pulmonary Embolism Diagnosis and Mortality With Pulmonary CT Angiography Versus VentilationPerfusion Scintigraphy: Evidence of Overdiagnosis With CT? AJR, 198, 1340–1345. 18. Hochhegger, B., Ley-Zaporozhan, J., Marchioro, E., Irion, K., Souza, A., Moreira, J., et al. (2011). Magnetic resonance imaging findings in acute pulmonary embolism. The British Journal of Radiology, 84, 282-287.
Hal.18