52
PERAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DALAM RANGKA PENINGKATAN PROFESIOLISME GURU PENJASKES Sunarno Basuki Dosen JPOK FKIP Unlam Abstrak: School Based Management (SBM) is a standard in the management of educational units as mandated by Act No.20 of 2003 on National Education System Article 51 (1). It provides a foundation for schools to independently manage and develop the school. The professionalism of teachers as an important part in improving the quality of education in schools can be backed up by the School-Based Management system. The implementation of the SBM is not only on the level of the school or organization, but also up to the level of teachers and students. Teachers of physical education and sport can apply the principles of school-based management to enhance their professionalism. Some things which can be implemented namely: identification of real problems, arranging plan and program quality, identifying the functions required to achieve goals, SWOT analysis, implementation of program and evaluation. The management Pattern will lead the teachers to be more professional. Key Words: MSB, Professionalism, Physical and health education teacher
Abstrak: Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan standar dalam pengelolaan satuan pendidikan seperti yang diamanatkan oleh UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 51 (1). Hal tersebut memberikan dasar bagi sekolah untuk mandiri dalam mengelola dan mengembangkan sekolah. Profesionalisme guru sebagai bagian penting dalam meningkatkan mutu pendidikan di sekolah dapat didukung dengan adanya sistem pengelolaan Manajemen Berbasis Sekolah. Impelementasi MBS tidak hanya sampai pada tingkat sekolah atau organisasi, tetapi juga sampai tingkat guru dan siswa. Guru pendidikan jasmani dan olah raga dapat menerapkan prinsip-prinsip dari manajemen berbasis sekolah guna meningkatkan profesionalismenya. Beberapa hal dapat diimplementasikan, yaitu : identifikasi masalah yang nyata, menyusun rencana program dan mutu, identifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan mencapai sasaran, analisis SWOT, pelaksanaan program dan evaluasi. Pola manajemen seperti itu akan mengarahkan guru penjaskes lebih profesional. Kata Kunci : MSB, Profesionalisme, guru penjaskes
PENDAHULUAN Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa Pendidik adalah tenaga profesional. Selain itu, pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal 28 (2) PP No. 19 Tahun 2005, menjelaskan bahwa
53
kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang Guru dan Dosen pasal 11 (1) mengamanatkan bahwa sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Ayat (2), menyatakan bahwa sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakriditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah. Mencermati amanat peraturan perundang-undangan tersebut di atas, maka tidak mudah mewujudkan sertifikasi profesional bagi guru, termasuk guru pendidikan jasmani dan olah raga. Perlu banyak upaya, dukungan dan manajemen pendidikan yang tepat dalam rangka meningkatkan profesionalisme gur. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) di satuan pendidikan (sekolah). Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 51 (1) menyebutkan bahwa “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”. Landasan yuridis tersebut memperkuat bahwa manajemen berbasis sekolah menjadi manajemen kunci dalam pengelolaan sekolah. Namun demikian dalam prakteknya, kesiapan dan penerapan MBS tersebut masih belum maksimal bagi semua satuan pendidikan. Ali Hanan Fatah (2003) menemukan fakta di Kabupaten Banjarnegera bahwa kualitas penyelenggaraan pendidikan di kabupaten tersebut apabila dikaji berdasarkan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagian besar berada pada tingkat rendah. Demikian pula berkaitan dengan temuan tersebut, juga memberi fakta lain bahwa kualitas kegiatan guru dalam pembelajaran juga tergolong rendah. Ismet Sulila (2008) yang melakukan penelitian mengenai kaitan antara Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dengan kinerja guru di Gorontalo SMK menyimpulkan bahwa pelaksanaan manajemen sekolah dalam rangka peningkatan kinerja guru cukup baik, perencanaan dilaksanakan dengan baik terutama yang berhubungan dengan kesiapan guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. Namun demikian, juga diakui bahwa secara keseluruhan peran MBS dalam peningkatan kinerja guru masih perlu dikembangkan, misalnya dalam bentuk pemberian akses kesempatan bagi guru dalam melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan inovasi dan kreativitas. Berdasarkan beberapa uraian tersebut di atas, tulisan ini berupaya mengajukan konsep mengenai peningkatan profesionalimse guru penjaskes melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Manajemen Berbasis Sekolah Mulyasa (2002) mengungkapkan bahwa manajemen berbasis sekolah merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi dan
54
pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah. BPPN dan Bank Dunia (1999) yang dikutip Mulyasa (2002) memberi pengertian bahwa manajemen berbasis sekolah merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desentralisasi di bidang pendidikan yang ditandai oleh otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat dan dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Manajemen berbasis sekolah merupakan salah satu upaya untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi. Manajemen berbasis sekolah memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah disertai seperangkat tanggung jawab. Mulyasa (2002) mengungkapkan bahwa BPPN dan Bank Dunia telah mengkaji beberapa faktor yang perlu diperhatikan berkaitan dengan manajemen berbasis sekolah yaitu : Kewajiban Sekolah Manajemen berbasis sekolah yang menawarkan keleluasaan pengelolan sekolah. Oleh kerena itu, pelaksanaannya perlu disertai seperangkat kewajiban, monitoring dan tuntutan pertanggungjawaban (akuntabel) yang relatif tinggi. Kebijakan dan Prioritas Pemerintah Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan berhak merumuskan kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas terutama yang berkaitan dengan program peningkatan melek huruf dan angka (literacy and numeracy), efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Peranan Orangtua dan Masyarakat Manajemen berbasis sekolah menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas untuk membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefisiensikan sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih. Peranan Profesionalisme dan Manajerial Pelaksanaan manajemen berbasis sekolah berpotensi meningkatkan peranan yang bersifat profesional dan manajerial. Untuk memenuhi persyaratan manajemen berbasis sekolah, kepala sekolah, guru dan tenaga administrasi harus memiliki pengetahuan yang dalam tentang peserta didik dan prinsip-prinsip pendidikan. Pengembangan Profesi Agar sekolah dapat mengambil manfaat yang ditawarkan berbasis sekolah, perlu dikembangkan adanya pusat pengembangan profesi, yang berfungsi sebagai penyedia jasa pelatihan bagi tenaga kependidikan untuk manajemen berbasis sekolah. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah Manajemen berbasis sekolah memiliki karakteristik yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya. Sekolah yang ingin berhasil dalam menerapkan manajemen berbasis sekolah, maka sejumlah karakteristiknya perlu dimiliki. Menurut Suharsisni (2002) mengemukakan karakteristiknya sebagai berikut: Output yang Diharapkan
55
Output adalah kinerja sekolah, yaitu prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses sekolah. Kinerja sekolah diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, prodiktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerja dan moral kerjanya. Proses a. Efektifitas Proses Belajar Mengajar yang Tinggi b. Kepemimpinan Kepala Sekolah yang Kuat c. Lingkungan Sekolah yang Aman dan Tertib d. Pengelolaan Tenaga Kependidikan yang Efektif. e. Sekolah Memiliki Budaya Mutu f. Sekolah Memiliki Team Work yang Kompak, Cerdas dan Dinamis g. Sekolah Memiliki Kewenangan /Kemandirian h. Partisipasi Warga Sekolah dan Masyarakat i. Sekolah Memiliki Keterbukaan (Transparansi) Manajemen j. Sekolah Memiliki Kemampuan untuk Berubah k. Sekolah Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan l. Sekolah Responsif dan Antisipasif Terhadap Kebutuhan m. Sekolah Memiliki Komunikasi yang Baik n. Sekolah Memiliki Akuntabilitas o. Sekolah Memiliki Suistainabilitas Input Pendidikan a. Memiliki Kebijakan Mutu Sekolah menyatakan dengan jelas tentang keseluruhan maksud dan tujuan sekolah yang berkaitan dengan mutu. b. Sumber Daya Tersedia Lengkap Sumber daya yang mevamadai akan menghasilkan pencapaian sasaran sekolah seperti yang diharapkan. c. Staf yang Kompeten dan Berdedikasi Tinggi Sekolah yang efektif memiliki staf yang mampu dan berdedikasi tinggi terhadap sekolah. d. Memiliki Harapan Prestasi yang Tinggi Sekolah memiliki dorongan dan harapan yang tinggi untuk meningkatkan prestasi peserta didik dan sekolahnya. e. Fokus pada Pelanggan Pelanggan dalam hal ini adalah siswa harus menjadi fokus semua kegiatan sekolah. f. Input Manajemen Kepala sekolah dalam mengatur dan mengurus sekolahnya menggunakan sejumlah input manajemen. Kelengkapan dan kejelasan input manajemen akan membantu kepala sekolah untuk mengelola sekolahnya dengan efektif. Tahap-tahap pelaksanaan manajemen berbasis sekolah menurut Suharsimi (2002) adalah sebagai berikut : Melakukan Sosialisasi. Sekolah merupakan sistem yang terdiri dari unsur-unsur, semua unsur sekolah harus memahami konsep manajemen berbasis sekolah. Langkah pertama yang harus dilakukan oleh sekolah adalah mensosialisasikan konsep tersebut kepada setiap unsur sekolah mulai guru, siswa, wakil kepala sekolah, guru BK,
56
karyawan, orangtua siswa, pengawas, pejabat dinas pendidikan kabupaten atau propinsi dan sebagainya. Bentuk sosialisasi melalui berbagai mekanisme, misalnya seminar, diskusi dan sebagainya. Mengidentifikasi Tantangan Nyata Sekolah. Sekolah melakukan analisi output sekolah yang hasilnya berupa identifikasi tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah. Merumuskan Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Sekolah (Tujuan Situasional Sekolah). Sekolah yang melaksanakan manajemen berbasis sekolah harus memiliki rencana pengembangan sekolah yang pada ummnya berupa perumusan visi, misi,tujuan dan strategi pelaksanaannya. Mengidentifikasi Fungsi-Fungsi yang Diperlukan untuk Mencapai Sasaran. Fungsi-fungsi ini antara lain fungsi proses belajar mengajar beserta fungsifungsi pendukungnya yaitu fungsi pengembangan kurikulum, fungsi ketenagaan, fungsi keuangan, fungsi layanan kesiswaan, fungsi pengembangan fasilitas, fungsi perencanan dan evaluasi, dan fungsi hubungan sekolah dan masyarakat. Melakukan Analisis SWOT ( Strength, Weakness, Opportunity, and Threat). Artinya tingkat kesiapan harus memadai, minimal memenuhi ukuran kesiapan yang diperlukan untuk memenuhi ukuran kesiapan yang dinyatakan sebagai kekuatan (strength), peluang (opportunity), kelemahan (weakness) dan ancaman (threat ). Alternatif Langkah Pemecahan Persoalan. Memilih langkah pemecahan persoalan yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Menyusun Rencana dan Program Peningkatan Mutu. Sekolah bersama-sama dengan semua unsurnya membuat perencanaan beserta program untuk merealisasikan rencana tersebut. Melaksanakan Rencana Peningkatan Mutu. Sekolah bersama warga sekolah hendaknya mengambil langkah proaktif untuk mewujudkan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Melakukan Evaluasi Pelaksanaan. Sekolah perlu mengadakan evaluasi pelaksanaan untuk mengetahui tingkat keberhasilan program. Merumuskan Sasaran Mutu. Hasil evaluasi berguna untuk dijadikan sebagai alat bagi perbaikan kinerja program yang akan datang. Hasil evaluasi juga merupakan masukan bagi sekolah dan orang tua peserta didik berguna untuk merumuskan sasaran mutu baru untuk tahun yang akan datang. Guru Penjaskes Guru adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensinya baik ranah afektif, kognitif, maupun fisik dan psikomotorik. Guru pendidikan jasmani adalah individu yang telah memperoleh pendidikan akademik dan/atau profesional di bidang pendidikan jasmani dalam berbagai jenjang, yang memiliki seperangkat kemampuan dan kewenangan untuk melaksanakan pendidikan melalui aktivitas fisik (Ateng, dkk : 1999).
57
Dalam buku berjudul Kiat Menjadi Guru Profesional karangan Muhammad Nurdin telah dijelaskan bahwa ada 9 syarat yang harus ditempuh untuk menjadi guru yang profesional yaitu: Pertama, sehat jasmani dan rokhani, ini akan membuat seorang guru dapat melaksanakan proses pembelajaran tanpa ada gangguan dari segi jasmani dan rokhani, apalagi untuk guru pendidikan jasmani hal ini merupakan syarat yang mutlak. Kedua, bertaqwa, yaitu bahwa guru yang bertaqwa akan memberikan keteladanan kepada para peserta didiknya, sehingga dapat ditiru oleh peserta didiknya. Ketiga, berpengetahuan yang luas, artinya wajib bagi guru untuk selalu mengikuti perkembangan IPTEKS, mengingat perkembangan pada masa sekarang begitu pesat. Keempat, berlaku adil, sehingga tidak membedakan antara anak yang satu dengan anak yang lain. Sebagai guru pendidikan jasmani juga harus memberikan layanan kepada semua peserta didik, apakah peserta didik tersebut normal atau mengalami kecacatan. Jika ada peserta didik yang cacat maka pemberian layanannya disesuaikan dengan sifat kecacatannya, apakah tuna rungu, tuna wicara, tuna grahita, maupun tuna netra. Kelima, berwibawa, di sini dimaksudkan agar guru berpenampilan yang dapat menimbulkan wibawa dan rasa hormat sehingga peserta didik mendapat pengayoman dan perlindungan. Sekaligus para peserta didik tidak akan mengabaikan apa saja yang menjadi keputusan seorang guru. Keenam, ikhlas, sehingga pekerjaan yang dilakukan bukanlah sebuah sebuah beban melainkan merupakan amanah yang wajib dilaksanakan dengan tulus ikhlas agar mendapatkan pahala. Guru yang melaksanakan tugas dengan rasa ikhlas lahir batin akan dapat memudahkan untuk masuk sorga, karena manusia meninggal hanya ada tiga perkara yang dibawa, yaitu anak yang sholeh, ilmu yang bermanfaat, dan amal jariyah. Guru yang setiap hari menyampaikan ilmu yang bermanfaat kepada peserta didik akan memiliki bekal ilmu yang bermanfaat. Ketujuh, memiliki tujuan Rabbani, artinya segala sesuatu harus bersandar pada Allah swt. Tuhan yang Mahaesa dan selalu mentaatinya, mempunyai keyakinan bahwa manusia hanya dapat merencanakan dan melaksanakan, sedangkan semua keputusan dan takdir hanya dari Tuhan Allah swt.. Kedelapan, mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi pendidikan. Seorang guru yang profesional harus dapat membuat rancangan sesuai kaidah yang berlaku dan dapat melaksanakannya dengan baik. Kesembilan, menguasai bidang yang ditekuni. Guru pendidikan jasmani harus benar-benar menguasai tentang hakikat pendidikan jasmani, baik aspek pengetahuan, keterampilan, maupun sikapnya. Guru pendidikan jasmani merupakan tenaga kependidikan yang sangat dibutuhkan dalam semua jenjang pendidikan yaitu dari pra sekolah hingga sekolah menengah atas. Hal ini karena manfaat pendidikan yang sudah diketahui hasilnya, yaitu dalam rangka mendewasakan anak atau siswa, yaitu pendidikan pada semua ranah, ranah afektif, kognitif, fisik, dan psikomotorik. Dalam rangka menunjang tercapainya tujuan pendidikan nasional, maka pendidikan jasmani sangat dibutuhkan pada semua jenjang pendidikan. Tugas guru pendidikan jasmani secara nyata sangat kompleks antara lain: Sebagai pengajar Guru pendidikan jasmani sebagai pengajar tugasnya adalah lebih banyak memberikan ilmu pengetahuan yang mempunyai dampak atau mengarah pada ranah kognitif peserta didik menjadi lebih baik atau meningkat. Melalui
58
pembelajaran pendidikan jasmani dengan materi permainan dan bermain, atletik, senam, renang, beladiri, dan olahraga/aktivitas di alam terbuka para peserta didik mendapatkan banyak pengetahuan bagaimana hakikat masing-masing materi. Sebagai pendidik Guru pendidikan jasmani sebagi pendidik tugasnya adalah lebih banyak memberikan dan menanamkan sikap atau afektif ke peserta didik melalui pembelajaran pendidikan jasmani. Melalui pembelajaran pendidikan jasmani dengan materi permainan dan bermain, atletik, senam, renang, beladiri, dan olahraga/aktivitas di alam terbuka para peserta didik ditanamkan sikap, agar benar-benar menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur dengan unsur-unsur sikap : tanggung jawab, jujur, menghargai orang lain, ikut berpartisipasi, rajin belajar, rajin hadir, dan lain-lain. Sebagai pelatih Guru pendidikan jasmani sebagai pelatih tugasnya adalah lebih banyak memberikan keterampilan dan fisik yang mempunyai dampak atau mengarah pada ranah fisik dan psikomotorik peserta didik menjadi lebih baik atau meningkat. Melalui pembelajaran pendidikan jasmani dengan materi permainan dan bermain, atletik, senam, renang, beladiri, dan olahraga/aktivitas di alam terbuka para peserta didik fisik dan keterampilan gerak yang baik. Sebagai pembimbing Guru pendidikan jasmani sebagai pembimbing tugasnya adalah lebih banyak mengarahkan kepada peserta didik pada tambahan kemampuan para peserta didiknya. Sebagai contoh : membimbing baris berbaris, petugas upacara, mengelola UKS, mengelola koperasi, kegiatan pecinta alam, dan juga membimbing peserta didik yang memiliki masalah atau khusus. Untuk mengetahui seseorang guru penjas itu profesional atau tidak, dapat diketahui dari dua perspektif. Pertama, dilihat dari latar belakang pendidikannya, guru tersebut lulusan dari program studi pendidikan jasmani atau bukan, jika bukan lulusan dari program studi pendidikan jasmani jelas tidak profesional. Jika lukusan dari program studi pendidikan jasmani, dari jenjang DII ; DIII ; atau S1/DIV, jika guru tersebut lulusan DII sesuai dengan PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, maka termasuk para-profesional. Jika guru tersebut lulusan dari DIII berarti termasuk semi profesional, dan jika guru tersebut lulusan dari DIV/S1 berarti termasuk profesional, baik itu untuk SD/MI ; SMP/MTs ; maupun SMA/MA/SMK. Kedua, penguasan guru terhadap materi ajar, merencanakan pembelajaran, mengelola proses, mengelola siswa, melakukan tugas-tugas bimbingan, menilai, dan lain-lain lebih lengkap sesuai yang ada pada Standar Kompetensi Guru Pemula (SKGP. Dalam hal ini berarti guru pendidikan jasmani harus memiliki standar kompetensi minimal yang baik sesuai SKGP yang ada. Merujuk pada konsep yang dianut oleh Depdiknas selain SKGP yang ada, maka guru harus memiliki sepuluh standar kompetensi sebagai berikut: Mengembangkan kepribadian Menguasai landasan kependidikan Menguasai bahan pelajaran Menyusun program pengajaran Melaksanakan program pengajaran
59
1. 2. 3. 4. 5.
menilai hasil dan proses belajar-mengajar menyelengarakan program bimbingan menyelenggarakan administrasi sekolah kerjasama dengan sejawat dan masyarakat menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.
Profesionalisme Guru Istilah profesionalisme berasal dari profession. Dalam Kamus Inggris Indonesia, .profession berarti pekerjaan. Arifin (1995) dalam buku Kapita Selekta Pendidikan mengemukakan bahwa profession mengandung arti yang sama dengan kata occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus. Dalam buku yang ditulis oleh Kunandar (2007) yang berjudul Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan disebutkan pula bahwa profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif. Jadi, profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian tertentu. Menurut Martinis Yamin (2007) profesi mempunyai pengertian seseorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik, dan prosedur berlandaskan intelektualitas. Jasin Muhammad yang dikutip oleh Yunus Namsa, beliu menjelaskan bahwa profesi adalah .suatu lapangan pekerjaan yang dalam melakukan tugasnya memerlukan teknik dan prosedur ilmiah, memiliki dedikasi serta cara menyikapi lapangan pekerjaan yang berorientasi pada pelayanan yang ahli.. Pengertian profesi ini tersirat makna bahwa di dalam suatu pekerjaan profesional diperlukan teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual yang mengacu pada pelayanan yang ahli. Berdasarkan definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan atau keahlian yang mensyaratkan kompetensi intelektualitas, sikap dan keterampilan tertentu yang diperolah melalui proses pendidikan secara akademis. Dengan demikian, Kunandar mengemukakan profesi guru adalah keahlian dan kewenangan khusus dalam bidang pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang ditekuni untuk menjadi mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan. Guru sebagai profesi berarti guru sebagai pekerjaan yang mensyaratkan kompetensi (keahlian dan kewenangan) dalam pendidikan dan pembelajaran agar dapat melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif dan efisien serta berhasil guna H.A.R. Tilaar (2002) menjelaskan pula bahwa seorang profesional menjalankan pekerjaannya sesuai dengan tuntutan profesi atau dengan kata lain memiliki kemampuan dan sikap sesuai dengan tuntutan profesinya. Seorang profesional menjalankan kegiatannya berdasarkan profesionalisme, dan bukan secara amatiran. Profesionalisme bertentangan dengan amatirisme. Seorang profesional akan terus-menerus meningkatkan mutu karyanya secara sadar, melalui pendidikan dan pelatihan.
60
Adapun mengenai pengertian profesionalisme itu sendiri adalah, suatu pandangan bahwa suatu keahlian tertentu diperlukan dalam pekerjaan tertentu yang mana keahlian itu hanya diperoleh melalui pendidikan khusus atau latihan khusus. Profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian. Sementara itu, guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Dengan kata lain, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Guru yang profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya. Sedangkan Oemar Hamalik (2006) mengemukakan bahwa guru profesional merupakan orang yang telah menempuh program pendidikan guru dan memiliki tingkat master serta telah mendapat ijazah negara dan telah berpengalaman dalam mengajar pada kelas-kelas besar. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, profesi adalah suatu jabatan, profesional adalah kemampuan atau keahlian dalam memegang suatu jabatan tertantu, sedangkan profesionalisme adalah jiwa dari suatu profesi dan profesional. Dalam pembahasan profesionalisme guru ini, selain membahas mengenai pengertian profesionalisme guru, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan mengenai kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru yang profesional. Karena seorang guru yang profesional tentunya harus memiliki kompetensi profesional. Dalam buku yang ditulis oleh E. Mulyasa (2008), kompetensi yang harus dimiliki seorang guru itu mencakup empat aspek sebagai berikut: Kompetensi Pedagogik. Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir dikemukakan bahwa kompetensi pedagogik adalah kemapuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. a) Kompetensi Kepribadian Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir b, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. b) Kompetensi Profesioanal. Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir c dikemukakan bahwa yang dimaksud kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing pesrta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. c) Kompetensi Sosial
61
Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir d dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserte didik, dan masyarakat sekitar. Peran MBS dalam Peningkatan Profesionalitas Guru Penjaskes MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke ting kat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatanpengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka. Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan kondusif bagi pengembangan profesionalisme guru. Profesionalisme guru secara mudah diukur melalui sertifikat sebagai tenaga pendidikan profesional. Seorang guru profesional berarti sudah lulus uji sertifikasi. Dengan ukuran standar demikian, maka peran MBS dalam peningkatan profesionalisme pada awalnya adalah bagaimana mendorong para guru untuk lulus sertifikasi. Selanjutnya yang bisa dilakukan aalah terus meningkatkan empat kompetensi yang dimiliki oleh guru. Berkaitan dengan peningkatan profesionalisme guru, maka peran Manajemen Berbasis Sekolah adalah dalam bentuk : Identifikasi tantangan nyata di sekolah Para guru penjaskes bukan sekedar pelatih olah raga, tetapi dia adalah pengajar sekaligus pendidik. Banyak masalah dan tantangan yang sering dihadapi oleh guru penjaskes, seperti masalah kemampuan, prestasi, perilaku, kebiasaan dari murid berkaitan dengan pendidikan jasmani dan olah raga. Guru dituntut mampu mengidentifikasi permasalahan riil di sekolah. Tugasnya tidak hanya datang, mengajar atau melatih kemudian pulang. Masalah-masalah tersebut harus dapat dianalisis dan dicarikan solusi mengatasinya. Menyusun rencana program dan mutu Setelah memahami dan mengenal dengan baik permasalahan riil di kelas, guru penjaskes harus mampu menyusun program dan mutu dalam rangka mengatasi permasalah yang ada. Ketika permasalahannya adalah kemampuan ateltik siswa, maka guru penjaskes harus membuat rencana program dan mutu dalam masalah tersebut. Demikian seterusnya terhadap berbagai persoalan yang diidentifikasi. Identifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan mencapai sasaran Langkah berikutnya adalah mengenal berbagai solusi yang bisa dilakukan. Hal ini sangat berkaitan dengan fasilitas, sumber daya, sumber dana dan situasi di
62
sekolah. Guru penjaskes harus pandai-pandai mengenal apa yang dimiliki dan potensi di sekolah. Analisis SWOT Selanjutnya, dengan mengenali dan mengajukan berbagai prorgam alternatif dalam rangka menyelesaikan masalah, maka perlu dilakukan analisis SWOT dari setiap alternatif yang ada. Setiap program dianalisis mengenai kekuatan (strength), peluang (oportunity), kelemahan (weakness) dan ancaman (threat ). Melaksanakan program Berdasarkan analisis SWOT, maka dapat ditemukan prioritas program yang paling realistis dan memungkinkan untuk dilaksanakan baik dengan resiko kegagalan yang minimal, maupun guna mencapai sasaran mutu yang sudah dicanangkan Melakukan evaluasi Evaluasi dalam proses pelaksanaan maupun akhir pelaksanaan sangat penting. Hal ini dilakukan demi mengendalikan pelaksanaan itu sendiri agar sesuai perencanaan yang sudah dilakukan. Penerapan MBS bagi guru penjaskes tersebut mencerminkan bahwa konsep MBS bukan semata-mata menjadi wilayah kepala sekolah. Bahwa MBS harus menjadi aktivitas seluruh warga sekolah menuntut setiap guru juga ikut aktif dan partisipatif dalam pelaksanaan MBS di sekolah masing-masing. Oleh karena kemampuan manajerial tidak hanya harus dikuasai oleh kepala sekolah, tetapi setiap guru juga harus menguasainya. Penguasaan manajerial tidak terbatas pada manajemen kelas, tetapi jauh lebih besar dari itu bagaimana seorang guru penjaskes mampu menguasai kemampuan manajerial pendidikan secara luas, sehingga akan berguna baik dalam proses pembelajaran di kelas, penyusunan program pembelajaran, pengelolaan peserta didik, penyesuaian terhadap tuntutan jaman serta peningkatan profesionalisme guru itu sendiri. PENUTUP Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan pengelolaan sekolah yang berbasis sekolah itu sendiri. Dengan kata lain kemandirian sekolah dan warga sekolah menjadi dasar penting dalam MBS. Guru sebagai bagian dari sekolah tidak hanya sekedar obyek dari pelaksanaan MBS, tetapi menjadi kunci MBS melalui partisipasi aktif. Keikutsertaan para guru dalam MBS tidak sama dengan peran kepala sekolah dalam MBS. Demikian pula guru penjaskes, tentu memiliki bentuk tersendiri dalam pelaksanaan MBS. Proefesionalisme guru penjaskes dengan demikian menjadi sasaran dan unsur penting dari pelaksanaan MBS. Melalui MBS, guru diberi ruang dalam pengembangan profesionalisme. Demikian pula melalui MBS guru penjaskes dapat melaksanakan MBS bagi kepentingan peningkatan profesionalismenya.
63
DAFTAR PUSTAKA Ali Hanan Fatah, 2003, “Studi Persiapan Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah di Kabupaten Banjarnegara”, Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro, Semarang. Arifin, 1995, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Bumi Aksara, Jakarta. Asrorun Ni.am Sholeh, 2006, Membangun Profesionalitas Guru, Elsas, Jakarta. E.Mulyasa,2002, Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung : Remaja Rosdakarya. ----------------, 2008, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, PT. Remaja Rosda Karya: Bandung. H.A.R. Tilaar, 2002, Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, Jakarta. http://Suciptoardi.wordpress.com/2007/12/29/profesionalisme-duniapendidikanoleh -Winarno-Surakhmad/2008/05/12/. Ismet Sulila, 2008, “Pelaksanaan Fungsi-Fungsi Manajemen Sekolah dalam Rangka Meningkatkan Kinerja Guru di SMK Negeri Kota Gorontalo”, Jurnal Penelitian dan Pendidikan, Vol.5 No.2 Juli 2008. Kunandar, 2007, (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. M. Uzer Usman, 2006, Menjadi Guru Profesional, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Martinis Yamin, 2007, Profesionalisasi Guru dan Implementasi KTSP, Gaung Persada Press, Jakarta. Oemar Hamalik, 2006, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, PT. Bumi Aksara, Jakarta. Sagala, Syaiful, 2006, Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat Strategi Memenangkan Persaingan, Nimas Multima, Jakarta.
64
Soebagio Admodiwirio, 2000, Manajemen Pendidikan Indonesia, Ardadizyajaya, Jakarta. Suharsimi Arikunto. (2002). Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah. Buku 1 Konsep Dasar. Depdiknas, Jakarta