PERAN LEMBAGA EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAH ACEH Zulfahmi Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan
Abstract The background of this study is the Implementation of The Law of the Government of Aceh(UUPA) by Legislative and Executive Institutions. The role of both Institutions are demanded by people of Aceh,so that the whole derivation of UUPA are considerably imposed. In fact, however, ishas been 9 years since UUPA was legalised, the implementation has not been comprehensive yet.This study aims to observe how both legislative and executive Institutions impose UUPA,the resistantfactors, and the way out of problematic implementation in Post-UUPA. Moreover,this study also aims to contribute to the development of islamic sosio-politict in relation to the role legislative and executive Institutions. This study elaborates descriptive-qualitative mothod to search, analse, interpret the data,obtained from decumentaries,interviews,andobservations. To analyse the data,this study involves reduction,ptresenting,and summarising the research results. Among the resultsare the role of legislative Institutions In the implementation UUPA in transferring UUPA to Qanun, asking for approval of central government,the role of the executive Institutions on implying UUPA, running the government upon the Qanun, asking for support from Central House of Representatives(DPR RI),supervising the disitinctive autonomy of Aceh to finalise some law products from UUPA,making serious effort to coordinate with central government in order to resolve all derivatives of UUPA in short time,and asking for support DPR RI monitoring team to intensify the concern to Aceh. The obstacle of the legislative and executive Institutions in theimplementation of UUPA is the dissimilar perception in understanding UUPA, political contest among authorities in Aceh, the vestite interest of Central Government in economic, the weakness of lobby or advocate team of Aceh, intanse activiesof both boards, interrupted coordination mechanism, the power of sectoralandegocentrical, external andinternal factor of the government of Aceh. The solution of the problem is to advocate with central government, mutual coordination of whole parties, stengthening advocation lobby from the government of Aceh through influential figures of Aceh at central government Keywords: legislative, executive, Implementation, UUPA
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran eksekutif dan legislatif dalam mengimplementasikan Undang-Undang Pemerintah Aceh. Metodologi penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan mencari, menganalisis dan membuat interprestasi data yang ditemukan melalui hasil dokumen, wawancara dan pengamatan. Sedangkan Teknik analisa data adalah mereduksi, deduksi, menyajikan dan membuat kesimpulan hasil penelitian.
20 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 19-47 Adapun hasil penelitian yang didapatkan adalah Peran Lembaga Legislatif dalam mengimplementasikan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) adalah menuangkan UUPA menjadi Qanun, meminta persetujuan dari pemerintah pusat, malakukaan diskusi bersama, mengontrrol eksekutif dalam menjalankan Qanun yang telah disahkan, Peran Lembaga Eksekutif dalam mengimplementasi Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA), menjalankan pemerintahan sesuai dengan Qanun yang telah disahkan, meminta dukungan para anggota DPR RI, pemantau otonomi khusus Aceh untuk segera menuntaskan beberapa produk hukum yang menjadi turunan dari UUPA, berupaya berkoordinasi dengan pemerintah pusat agar semua turunan UUPA dapat dituntaskan dalam waktu yang tidak terlalu lama, dan meminta dukungan dari anggota tim pemantau dari DPR RI agar perhatian terhadap Aceh dapat terus ditingkatkan, Yang menjadi faktor penghambat Lembaga Legislatif dan Eksekutif dalam mengimplementasikan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) adalah perbedaan persepsi dalam memahami UUPA, terperangkap rebutan dalam kewenangan yang bersifat khusus di Aceh, kuatnya faktor kepentingan ekonomi pemerintah pusat terhadap provinsi Aceh, lemahnya tim lobi atau advokasi dari pemerintah Aceh, terlalu sibuk kedua belah pihak dalam urusan masing-masing, tidak berjalannya mekanisme koordinasi kedua belah pihak, masih kuatnya ego sentris atau sektoral kedua belah pihak, faktor eksternal dan internal pemerintah Aceh, dan Adapun solusi terhadap masalah tersebut adalah melakukan advokasi dengan pemerintah pusat, melakukan kerja sama dengan semua pihak, menyatukan persepsi, memperbaiki koordinasi kedua belah pihak, menguatkan lobi Advokasi dari pemerintah Aceh melalui tokoh Aceh yang mempunyai pengaruh ditingkat pusat. Kata Kunci: legislatif, eksekutif, implementasi, UUPA
Pendahuluan Lintasan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, Aceh merupakan wilayah yang memiliki kontribusi cukup besar bagi pertumbuhan republik Indonesia. Aceh memiliki catatan yang panjang tentang perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Perjuangan Aceh dalam panggung revolusi Nasional merupakan salah satu perjuangan yang paling menonjol dibandingkan daerah lainnya. sehingga berkat kontribusi tersebut, presiden pertama republik Indonesia, Ir. Sukarno memberikan julukan pada daerah Aceh sebagai “daerah Modal”.1 Modal yang pertama adalah Radio rimba raya yang merupakan satusatunya sarana diplomasi politik Indonesia. Peran radio ini sangat besar dalam mengkomunikasikan berita-berita tentang kemerdekaan republik Indonesia. Sejak Agresi Belanda ke-dua, pada tahun 1948, Dalam tempo enam bulan mengudara, radio ini telah mampu membentuk opini dunia serta ”membakar” semangat perjuangan di tanah air, bahkan keberadaan negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 diakui oleh beberapa negara manapun di
Peran Lembaga Eksekutif Dan Legislatif (Zulfahmi) 21 dunia. Pasca proklamasi kemerdekaan Aceh merupakan satu-satunya wilayah republik Indonesia yang benar-benar merdeka dan tidak bisa diduduki kembali oleh Belanda. Namun radio rimba raya terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Pada masa perjuangan revolusi kemerdekaan, rakyat Aceh telah dengan rela menyumbangkan harta mereka demi perjuangan Indonesia, sehingga berkat sumbangan itu Indonesia mampu membeli pesawat terbang yang kemudian diberi nama Seulawah RI-007 dan Dakota-002. Ketika masa rovolusi kemerdekaan berkecemuk, konsolisasi kekuasaan pemimpin pusat dengan para pemimpin Aceh sangat kuat dan bahkan saling bergantung. Namun takala revolusi berakhir hubungan Aceh dan pemerintahan pusat putus.2 Sejak awal kemerdekaan dan berdirinya negara kesatuan republik Indonesia (NKRI), pemerintah pusat seolah-olah mencampakan pengorbanan masyarakat Aceh dan melupakan rakyat Aceh bahkan menyakiti lagi bagi rakyat Aceh dengan dibatalnya status provinsi Aceh dan kemudian disatukannya dengan Sumatera Utara. padahal pada bulan Desember tahun 1949 pemerintah darurat republik Indonesia yang dipimpin Syafruddin Prawiranegara telah menempatkan Aceh sebagai provinsi untuk menggantikan status militer sebelumnya, 3 dan janji presiden Soekarno bahwa jika perjuangan kemerdekaan antara Indonesia dengan Belanda selesai, Aceh diperbolehkan menjalankan syariat Islam. Namun pada masa Pasca kemerdekaan, janji bahwa Aceh dapat menjadi suatu wilayah sendiri yang menegakkan syariat Islam ternyata tidak di laksanakan. Sementara Daud Beureueh beserta pengikutnya yang menuntut otonomi khusus bagi Aceh sebagai alternatif agar Aceh tidak digabungkan dengan Provinsi Sumatera Utara.4 Ketika pengorbanan dan kesetiaan Aceh terhadap Republik Indonesia tidak dihargai bahkan cendrung dilupakan, sementara ruang untuk kompromi dan tawar menawar sangat terbatas, atau bahkan tertutup maka orang Aceh terdorong untuk memilih dan berpikir secara hitam putih yaitu kalau tidak untuk aku biarlah untuknya. Maka dengan ini semua menjadi pemicu atas letupan besar terjadinya pemberontakan, khusus setelah jalan kompromi dan negosiasi tak dihiraukan pusat, rakyat Aceh sangat kecewa dan tidak bisa menerima perlakuan semenamena pemerintah pusat. karena alasan itulah Daud Beureueh melakukan perlawanan.
22 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 19-47 Sebagaimana tercatat dalam sejarah pemberontakan Aceh babak pertama terjadi pada September tahun 1953, ketika Tgk Daud Beureueh mendeklarasikan negara Islam Indonesia (NII).5 Kemudian dilanjutkan pada tanggal 4 Desember 1976-1989 lahirnya gerakan Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF), yang dikenal dengan gerakan Aceh merdeka (GAM), gerakan ini diproklamasikan oleh Hasan Tiro di gunung Halimun pada tanggal 4 Desember 1976 di Pidie telah menjadi konflik babak kedua di Aceh.6 Hasan Tiro, setelah sekembalinya dari Amerika pada awal orde baru, gencar menyuruhkan agar rakyat Aceh bergerilya melawan pemerintahan pusat. Ia mengaku telah mampu meyakinkan presiden Amerika pada saat itu yaitu Nixon, untuk mendukung masyarakat Aceh. pada saat itulah kembali konflik kontak senjata antara pemerintah pusat dengan daerah. Namun berbagai macam upaya yang dilakukan pemerintah pusat untuk mengakhiri
konflik
Aceh
dengan
membuat
peraturan-peraturan
untuk
diberlakukan di Aceh. Supaya konflik Aceh bisa diselesaikan dengan cara perdamaian. Upaya yang dijalankan pemerintahan pusat untuk menyelesaikan konflik Aceh itu, mulai dari era Seokarno, Seoeharto sampai dengan pasca Reformasi Serangkaian kebijakan desentralisasi, berupa pemberian keistimewaan dalam bidang ekonomi dan sosial budaya, tak kunjung mampu menyelesaikan konflik Aceh. Operasi militer penuh kekerasan pun tidak dapat meredamkan pemberontakan di Aceh. baru ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan wakil Presiden Jusuf Kala memerintah, konflik Aceh dapat diselesaikan dengan cara damai.7 Tatkala Aceh dilanda gempa bumi dan Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, akhirnya pada tanggal 15 Agustus 2005 terjadilah perundingan antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka kembali untuk menyelesaikan konfik atas dasar desakan semua pihak, maka kedua pihak menyepakati Nota Kesepahaman antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka
untuk
perdamaian,
dengan
disahkan
penandatanganan
MoU
(Memorendum of Understanding) di Helsingki, dalam penandatangan Nota Kesepahaman tersebut setidaknya disepakati enam point perdamaian yaitu menyangkut: a. Penyelenggaraan Pemerintah di Aceh b. Hak Asasi Manusia
Peran Lembaga Eksekutif Dan Legislatif (Zulfahmi) 23 c. Amnesti dan Reintegrasi ke dalam Masyarakat d. Pengaturan Keamanan e. Pembentukan Misi Monitoring di Aceh f. Penyelesaian perselisihan.8 Pasca penandatanganan MoU tersebut Aceh diberikan wewenang untuk dapat hidup mandiri, baik itu bidang ekonomi maupun politik dan hukum dari bidang hukum Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 untuk pemerintah daerah Aceh. Secara politik Aceh diberikan wewenang untuk mendirikan partai politik lokal yang tercantum dalam MoU yakni: Poin 1.2.1 segera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah Republik Indonesia menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan Nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, pemerintah RI dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk mendirikan partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan DPR. Pelaksanaan kesepahaman ini yang tepat akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut. Sebagai gambaran nyata Pemerintah daerah Aceh menuntut agar persoalan Aceh bisa selesai. tentang UUPA dan Qanun Wali Nanggroe, serta qanun bendera dan PP migas harus bisa dituntaskan dengan segera di akhir periode presiden SBY. Namun hal itu masih jauh dari harapan legislatif eksekutif maupun masyarakat Aceh. Sekarang pada masa pemeintahan Ir. Joko Widodo belum dapat tertuntaskan secara keseluruhan sesuai butir-butir yang ada dalam undangundang pemeintahan Aceh padahal pemerintah pusat telah mengeluarkan Undang Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh dalam undang-undang tersebut secara tegas dijelaskan bahwa undang-undang aceh akan diberlakukan paling lambat 18 bulan setelah ditanda tangan harus di tuntaskan sesuai dengan perjanjian. Sebenarnya lembaga Legislatif dan Ekseukutif memiliki wewenang dan keistimewaan dalam menjalankan amanah rakyat dibandingkan dengan daerah lain, adanyanya perluasan wewenang ini bisa terbaca dalam MOU Helsingki Fillandia, pasal 1 ayat 1.1.2 b, c dan d sebagai berkut:
24 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 19-47 1. Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia yang terkait dengan hal ihwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan persetujuan dan konsultasi legeslatif Aceh. 2. Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan persetujuan dan konsultasi legeslatif Aceh. 3. Kebijakan-kebijakan administrasi yang diambil pemerintah Indonesia berkaintan dengan Aceh akan dilaksanakan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.9 Dari 3 ayat di atas mereka paling berperan dalam mengimplementasikan UUP di Aceh, tetapi kenyataan yang terjadi belum berjalan sesuai dengan yang diamanahkan dalam MOU tersebut, akan terjadi kesenjangan yang berlarut-larut bila tidak diketahui penyebabnya, penelitian ini berusaha menjawab masalah sehingga kemakmuran bisa diwujudkan di bumi serambi Mekkah, oleh karena demikian dalam penulisan karya ilmiah ini penulis ingin mengetahui lebih dalam bagaimana Peran Legislatif Dan Eksekutif dalam Mengimplementasikan UndangUndang Pemerintah Aceh. Masalah utama dalam pelitian ini secara umum adalah bagaimana peran Legeslatif
dan
Eksekutif
dalam
mengimplementasikan
Undang-Undang
Pemerintah Aceh (UUPA) 1. Bagaimana peran Lembaga Legeslatif dalam mengimplementasikan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA)? 2. Bagaimana peran Lembaga Eksekutif
dalam mengimplementasikan
Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA)? 3. Apa saja faktor penghambat Lembaga Legislatif dan Eksekutif dalam mengimplementasikan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA)? 4. Apa solusi alternatif bagi kondisi tersebut pasca Undang-Undang Pemerintah Aceh?
Metode Penelitian a. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pemilihan pendekatan ini berdasarkan atas pertimbangan bahwa yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah suatu penelitian yang tidak memakai angka-angka dalam mengolah data,
Peran Lembaga Eksekutif Dan Legislatif (Zulfahmi) 25 data yang akan menggambarkan realita yang terjadi di lapangan (fild research) sesuai dengan fokus penelitian. Penelitian kualitatif dilaksanakan untuk membangun pengetahuan melalui pemamhaman dan penemuan. Pendekatan penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian dan memahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fonomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terperinci dari pandangan responden, dan melakukan studi yang alami.10 Penelitian kualitatif dapat diartikan dengan penelitian yang tidak menggunakan Angka-angka, penelitian kualitatif ini disebut juga dengan penelitian Naturalistik, yaitu penelitian yang datanya dalam keadaan yang sewajarnya atau sebagaimana adanya dengan tidak diubah kedalam bentuk angka atau bilangan.11 Metode kualitatif dianggap cocok dengan penelitian ini karena sesuai dengan karekteristik penelitian, yaitu:12 1. Latar ilmiah (natural setting) 2. Manusia sebagai alat (instrumer) 3. Metode kualitatif 4. Analisis data secara induktif 5. Teori dasar grounded theory 6. Bersifat deskriptif 7. Adanya “batas” yang ditentukan oleh “fokus” 8. Lebih mementingkan proses dari pada hasil 9. Adanya criteria khusus untuk keabsahan data 10. Desaiannya bersifat sementara 11. Hasil penelitian dirumuskan dan disepakati bersama. Sedangkan Bogdan dan Taylor menejelaskan bahwa metodologi penelitian kualitatif merupakan prosudur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.13 Dalam penelitian kualitatif, seorang peneliti berbicara langsung dan mengobservasi beberapa orang, dan melakukan interaksi selama beberapa bulan untuk mempelajari latar belakang masalah, kebiasaan, perilaku, dan ciri-ciri fisik dan mental orang yang diteliti. Sedangkan data kualitatif merupakan sumber dari diskripsi yang luas dan kokoh serta memuat penjelasan tentang proses-proses
26 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 19-47 yang terjadi dalam dalam mengimplementasikan UUPA. Bagaimana peran legislatif dan eksekutif dalam mengimplementasikan UUPA. Dalam penelitian legislatif dan ekseukutif Aceh yang dijadikan sebagai objek penelitian. Atas dasar pertimbangan tersebut, penulis ingin mengunggapkan bagaimana peran lembaga legislatif dan eksekutif dalam mengimpementasikan UUPA Dengan dasar tujuan tersebut maka peneliti memilih metode kualitatif deskriptif karena dianggap sesuai dengan penelitian yang penulis lakukakan, Maka dilihat dari judul penelitian ini juga sangat relevan dengan menggunakan penelitian kualitatif karena memenuhi karakteristik penelitian kualitatif, terutama dalam hal penggungkapan data melalui wawancara, observasi dan dokumentasi.
b. Sumber Data Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Untuk mempermudah mengindentifikasi sumber data penulis mengklarifikasikannya menjadi 3 tingkatan hurup p dari bahasa inggris, yaitu: P = person , sumber data berupa orang yang bisa memberikan data berupa jawaban lisan melalui wawancara atau jawaban tertulis. P = place, sumber data berupa tempat yaitu sumber data yang menyajikan tampilan berupa keadaan diam dan bergerak. P = paper, sumber data berupa simbol, yaitu sumber data yang menyajikan tanda-tanda berupa huruf, angka, gambar, atau simbol-simbol lain.14 Sumber data primer diperoleh langsung dari Ketua DPRA Aceh dan anggotanya, Gubernur Aceh dan stafnya serta pihak yang terkait yang memahami pengimplementasian UUPA. Sedangkan data sekunder diperoleh dari buku, jurnal ilmiah, seperti Jurnal tentang kewenangan Aceh yang diatur dalam UU No 11 Tahun 2006 yang menggambarkan akan terjadi konflik rebutan kekuasaan dengan pemerintah pusat dan kecemburuan dari provinsi lain, artikel-artikel dan karya tulis ilmiah lainnya yang berkenaan dengan fokus penelitian ini, seperti dokumentasi hasil seminar tentang UUPA, yang menggambarkan 45 Qanun yang telah disahkan dari 54 Qanun serta hambatannya.
Peran Lembaga Eksekutif Dan Legislatif (Zulfahmi) 27 c. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data penelitian ini dilakukan melalui 3 (tiga) tahapan kegiatan, yaitu; proses memasuki lokasi penelitian (getting in), ketika berada dilokasi penelitian (getting a long) dan tahap pengumpulan data (logging the data). Untuk mendapatkan hasil yang optimal, selama penelitian, peneliti akan mengamati perkembangan yang dilakukan lembaga legislatif dan eksekutif untuk mengimplementatsikan undang-undang pemerintahan Aceh (UUPA) baik dilokasi ataupun pengamatan melalui media untuk memperoleh data yang dibutuhkan. Adapun prosedur pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Observasi Observasi deskriptif dilakukan peneliti pada saat memasuki situasi sosial tertentu sebagai obyek penelitian. Pada tahap ini peneliti belum membawa masalah yang akan diteliti, maka peneliti melakukan penjelajahan umum, dan menyeluruh, melakukan deskripsi terhadap semua yang dilihat, didengar, dan dirasakan, semua data direkam, oleh karena itu hasil dari observasi ini disimpulkan dalam keadaan yang belum tertata. Observasi tahap ini sering disebut sebagai grand tour observation, dan peneliti menghasilkan kesimpulan pertama. Bila dilihat dari segi analisis maka peneliti melakukan analisis Domain, sehinggan mampu mendeskripsikan terhadap semua yang ditemui. Observasi (field research) adalah penelitian yang digunakan untuk memperoleh data dilapangan yaitu mengobservasi atau mengamati objek-objek penelitian.15 Dengan kata lain, peneliti mengadakan pengamatan langsung terhadap subjek atau lapangan yang akan diteliti, yaitu tentang peran legislatif dan eksekutif dalam mengimplementasikan UUPA. Peneliti melakukan observasi langsung ke lapangang dan pada ketua DPRA dan anggotanya, Gubernur dan jajarannya yang dapat membantu penelitian ini. 2. Wawancara Wawancara yaitu percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak dan kelompok partai,
yaitu pewawancara yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara, yaitu yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.16 Wawancara mengadakan tanya jawab dengan beberapa pihak yang berkompeten dari pihak lembaga legislatif dan eksekutif berjumlah 13 orang yang terdiri dari:
28 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 19-47 a. Ketua DPRA, ketua komisi satu bidang politik dan hukum dan beberapa anggotanya, serta anggota dari komisi lainnya, karena ketua DPRA dan komisi satu adalah Legislator utama yang menangani masalah UndangUndang Pemerintah Aceh . b. Gubernur Aceh dan kepala biro hukum serta beberapa anggotanya, karena pihak
ini
adalah
Eksekutor
utama
yang
bertugas
terhadap
pengimplementasian Undang-undag Pemerintah Aceh (UUPA). 3. Studi Dokumentasi Studi dokumentasi merupakan kajian yang dapat dimanfaatkan untuk menarik kesimpulan yang replikatif dan shahih dari data atas dasar konteksnya. Dokumentasi
berupa
foto,
Undang-Undang,
manuskrip,
Koran
yang
membicarakan tentang penerapan UUPA di Aceh yang digunakan untuk memperoleh data tentang lokasi nyata yang akan dijadikan sebagai objek peneliti, baik keberadaan fisik maupun keadaan lembaga legislatif dan eksekutif provinsi Aceh secara khusus.
d. Teknik Analisis Data Proses analisis data ini dilakukan secara terus menerus, bersamaan dengan pengumpulan data dan kemudian dilanjutkan setelah pengumpulan data selesai dilakukan. Di dalam melakukan analisis data peneliti mengacu kepada tahapan
yang
dijelaskan
Miles
dan
Huberman,
sebagaimana
dikutip
Sukmadinata, yang terdiri dari tiga tahapan yaitu: reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclusion drawing/verivications),17 biasa dikenal dengan model analisis interaktif data yang diperoleh dari lapangan melalui observasi dan wawancara lembaga legislatif dan eksekutif Aceh, dianalisis dahulu untuk mengetahui maknanya dengan cara menyusun data, menghubungkan data, mereduksi data, menyajikan data dan menarikan kesimpulan, selama dan sesudah pengumpulan data berlangsung. Analisis ini berlangsung secara sirkuler dan dilakukan sepanjang penelitian. Karena itu, sejak awal penelitian, peneliti sudah memulai pengumpulan dan analisis data berkenaan dengan masalah penelitian. 1. Deduksi Data Duduksi data digunakan untuk mempelajari suatu hal yang bersifat umum untuk mendapatkan suatu hasil atau kesimpulan yang kemudian dipelajari pada
Peran Lembaga Eksekutif Dan Legislatif (Zulfahmi) 29 keadaan lebih sempit atau lebih khusus. Kesimpulan umum dari hasil penelitian kemudian peneliti urainkan menjadi contoh-contoh kongkrit atau fakta-fakta untuk menjelaskan kesimpulan generalisasi. 2. Reduksi Data Data yang diperoleh dalam penelitian
direduksi, agar tidak terlalu
bertumpuk-tumpuk dan memudahkan dalam mengelompokkan data serta memudahkan dalam menyimpulkan. Reduksi data
sebagai suatu
proses
pemilihan, memfokuskan pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data "mentah/kasar" yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan hal-hal yang penting, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak dibutuhkan, dan mengorganisasikan data agar lebih sistematis, sehingga dapat dibuat suatu kesimpulan yang bermakna. Data yang telah direduksi dimaksudkan dapat memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan. Reduksi data dapat dibantu dengan peralatan elektronik seperti computer mini, dengan memberikan kode pada aspek tertentu.18
e. Penyajian data Penyajian data merupakan proses pemberian sekumpulan informasi yang sudah disusun yang memungkinkan untuk penarikan kesimpulan. Penyajian data merupakan gambaran secara keseluruhan dari sekelompok data yang diperoleh, agar mudah dibaca secara menyeluruh. Penyajian data dilakukan secara naratif dan dibantu dengan penggunaan tabel dan bagan atau skema, dapat berupa matriks, grafik, jaringan kerja, dan lainnya. Dengan adanya penyajian data maka peneliti dapat memahami apa yang sedang terjadi dalam kancah penelitian dan apa yang dilakukan peneliti dalam mengantisipasinya.
Peran Lembaga Legislatif dalam Mengimplementasikan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) Peran lembaga legislatif Aceh yang utama adalah menuangkan butir-butir undang-undang pemerintah Aceh ( UUPA) menjadi qanun, dalam hal ini para anggota legislatif melakukan sidang pleno dan diskusi menuangkan UUPA kedalam qanun dan membahasnya hingga selesai.
30 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 19-47 Menurut Abudullah Saleh, selaku ketua komisi I DPR Aceh bidang Politik Hukum dan Pemerintahan " Peran lembaga legislatif Aceh dalam implementasi UUPA adalah menuangkan UUPA menjadi Qanun, adapun proses lahirnya qanun bisa diprakarsai dari eksekutif dan legislatif," Usulan qanun dari DPR Aceh, bisa berasal dari komisi, badan ataupun usulan perorangan anggota dewan minimal 8 orang.19 “Usulan Qanun tersebut harus dijadikan program legislasi yang disahkan oleh Gubernur Aceh,” Dia mengatakan, setelah usulan qanun masuk dalam program legislasi, baru kemudian draft rancangan qanun dibuat, dibahas oleh lembaga eksekutif dan legislatif dan dibawa ke dalam rapat paripurna DPR Aceh. Beliau juga
mengatakan dalam rapat paripurna itulah pengesahan
rancangan Uundang-undang Pemerintah Aceh ( UUPA)
menjadi qanun.
“Kemudian berlaku setelah dilembar acehkan yang ditandatangani oleh gubernur. Adapun mengenai klarifikasi dari Menteri Dalam Negeri, dia menjelaskan hanya berlaku pada Qanun Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Menurut Kepala Biro Hukum dan Pemerintahan Pemerintah Aceh Erdian, “Usulan qanun tidak langsung dibahas, usulan qanun masuk dulu di program legislasi. Usulan qanun akan dipilih untuk dijadikan prioritas pembahasan,20 Saat pembahasan qanun, dilakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dan juga mahasiswa. Tujuannya, kata dia, agar qanun menjadi milik masyarakat. Beliau juga menjelaskan tentang pembahasan qanun yang open kumulatif atau kumulatif terbuka, yaitu pembahasan qanun yang tidak masuk dalam program legislasi tapi akan dibahas karena penting dan mendesak. 1. Mendorong Eksekutif Peran lembaga legislatif dalam mengimplementasikan Undang-undang pemerintah Aceh ( UUPA) menurut Azhari cage, mendorong eksekutif untuk komit terhadap UUPA.21 pihak legislatif mendorong dalam hal ini gubernur, wakil gubernur beserta jajarannya untuk selalu komit dalam mengimplementasikan Undang-undang pemerintah Aceh. 2. Meminta Persetujuan dari Pemerintah Pusat Setelah UUPA dituangkan kedalam qanun, kemudian diajukan kepada pemerintah pusat, untuk disahkan supaya bisa dijalankan oleh pemerintah Aceh beserta jajarannya, menurut Azhari Cage meminta persetujuan pemerintah pusat dengan cara mengajukan hasil qanun yang telah disahkan oleh DPR Aceh kepada
Peran Lembaga Eksekutif Dan Legislatif (Zulfahmi) 31 pemerintah pusat baik itu di Aceh dengan mengundang pemerintah pusat maupun pemerintah Aceh berangkat ke Jakarta.22 Terhadap pengajuan Qanun yang telah disahkan oleh DPR Aceh, pemerintah pusat akan mempelajari kembali apa yang telah di ajukan oleh pemerintah Aceh, ini bertujuan supaya tidak menentang dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Peraturan Presiden, seandainya menentang maka pemerintah pusat tidak akan menandatanganinya, seperti qanun bendara, himne, dan lambang Aceh yang dinilai oleh pemerintah pusat menentang dengan UU No. 11 Tahun 2006 dan UUD 1945. Bila hal itu terjadi maka pihak pemerintah Aceh dan Pemerintah pusat melakukan peninjauan kemabali terhadap qanun tersebut, dan melakukan diskusi untuk mencari jalan keluar yang dapat menjadikan qanun tersebut dapat diimplementasikan dan direalisasikan. 3. Melakukan Diskusi Bersama Diskusi merupakan tugas semua legislatif yang ada di Indonesia untuk membahas sesuatu yang dipandang penting, di Aceh hal yang penting bagi terciptanya kemakmuran adalah Implementasi Undang-undang pemerintah Aceh, diskusi yang dilakukan tidak terbatas sesama legislatif akan tetapi melibatkan semua pihak. Melakukan diskusi semua pihak ini melibatkan pihak eksekutif, ulama, tokoh, cendikiawan dan lain-lain, setalah selesai dibahas oleh DPR bersama pemerintah masyarakat Aceh, Menurut Darmawati A. Gani, merupakan peran legislatif untuk melakukan diskusi dengan pihak lain itu dilaksanakan setelah selesainya pembuatan qanun yang dilaksanakan oleh legislatif dan pihak pemerintah, ini bertujuan supaya qanun menjadi kebutuhan semau rakyat Aceh.23 Diskusi yang dilakukan melibatkan tokoh masyarakat, para pakar, organisasi masyarakat, mahasiswa, Ulama, wartawan dan lain-lain, 4. Mengontrol Lembaga Eksekutif dalam Menjalankan Qanun yang Telah Disahkan Berdasarkan Pasal 23 UU No. 11 tahun 2011, tugas pengawasan DPRA adalah melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun Aceh dan peraturan
perundang-undangan
lain,
melaksanakan
pengawasan
terhadap
kebijakan Pemerintah Aceh dalam melaksanakan program pembangunan Aceh, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta penanaman modal dan kerja sama internasional.
32 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 19-47 Mengontrol eksekutif dalam menjalankan qanun yang telah disahkan, dalam hal ini legislatif berperan dalam memberikan kritik, saran yang membangun terhadap pelaksanaan qanun yang telah disahkan, sehingga menjadikan Aceh sebagaimana yang diamanahkan dalam MOU Helsingki. Legislatif mengawasi kinerja Guburnur yang terkait dengan pelaksanaanya dilapangan, pengawasan ini adalah bentuk peran yang dilakukan legislatif terhadap implementasi undangundang pemerintah Aceh (UUPA). Dalam BAB VII Pasal 23. UU No 11 tahun 2006 dijelasakan bahwa melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun Aceh dan peraturan perundang-undangan lain. Nah, dalam hal ini DPRA memilik kewenangan mengawasi kinerja Qanun. Fakta di lapangan yang menunjukkan masih banyaknya anggota parlemen Aceh yang kurang disiplin baik menyangkut dengan kehadiran dalam persidangan, pertemuan/audiensi maupun rapat-rapat lainnya. Menjadi indikator masih rendahnya funsi pengawasan DPRA terhadap Qanun. UU 11/2006 juga sarat akan korupsi terbukti kasus korupsi di serambi mekah itu mencapai 141 kasus yang masih mengambang di kejaksaan, 43 kasus diantaranya tahap penuntutan dan 54 lainnya tahap penyidikan. Sebanyak 56% responden menyatakan bahwa Pemprov Aceh tidak efektif dalam usaha memberantas korupsi selama perioderisasi pemerintahan Aceh (2006-2011). Permasalahan politik lokal Aceh seperti seperti sifat paternalistik dan menguatnya elitisme lokal yang bersandar pada tokoh-tokoh lokal, serta praktik politik uang, tentunya harus mampu diatasi dengan merujuk kembali kepada pasal 77, 78 dan 79 UU 11/2006 tentang kedudukan, tujuan dan fungsi partai politik lokal
Aceh,
dengan
mengembangkan
menciptakan
kehidupan
pendidikan
demokrasi
politik
berdasarkan
masyarakat pancasila
dan
menuju
kesejahteraan.
Peran Lembaga Eksekutif dalam Mengimplementasikan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) 1. Menjalankan Pemerintahan Sesuai Qanun yang Telah Disahkan Eksekutif berperan aktif dalam menjalan Qanun yang telah disahkan, membuat program-program yang berorientasi pada Qanun dan menjalankan melalui jajarannya, seperti dinas-dinas, ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh
Peran Lembaga Eksekutif Dan Legislatif (Zulfahmi) 33 Firza anggota Biro Hukum Pemerintah Aceh, peran eksekutif yang pokok adalah menjalankan Qanun melalui programnya.24
2. Meminta Dukungan Kepada Para Anggota Tim Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR-RI) Pemantau Otonomi Khusus Aceh untuk Segera Menuntaskan Beberapa Produk Hukum yang Menjadi Turunan dari Undang Undang Pemerintah Aceh (UUPA) Dalam usaha terwujudnya implementasi UUPA
Zaini Abdullah
mengatakan selaku eksekutif di Aceh, kami meminta dukungan dari DPRI perwakilan Aceh, untuk menuntaskan produk hukum yang menjadi turunan dari Undang Undang Pemerintah Aceh (UUPA).25 Diantara beberapa peraturan yang perlu segera dituntaskaan menurut Zaini Abdullah adalah PP Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah Yang Bersifat Nasional di Aceh, Perpres Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengalihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Kantor Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota dan PP Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Bersama Minyak dan Gas Bumi di Aceh.26
3. Berupaya Berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat agar semua Turunan UUPA Dapat Dituntaskan dalam Waktu Yang Tidak Terlalu Lama, Dan Dukungan dari Anggota Tim Pemantau dari DPR RI Pihak pemerintah Aceh melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat, dengan cara membina hubungan yang harmonis, dan kerja sama dengan semua pihak, seperti DPD yang bertugas di Jakarta, serta perwakilan-perwakilan lainnya, sehingga masalah implementasi UUPA bisa dilakukan dengan cara yang lebih cepat karena hubangan baik telah terbina, Muzakir Manaf selaku wakil gubernur Aceh mengatakan kita akan mecoba membuat koordinasi yang lebih baik sehingga pemerintah pusat dan anggota DPRI perwakilan Aceh dapat mempercepat penandatanganan Qanun yang telah disahkan oleh eksekutif dan legislatif Aceh.27
34 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 19-47 4. Meminta Dukungan Kepada Bapak Ibu Anggota Tim Pemantau Dari DPR RI, Agar Perhatian Terhadap Aceh Dapat Terus Ditingkatkan Gubernur meminta anggota tim pemantau dan anggota DPRI perwakilan Aceh, suapaya meningkatkan perhatian terhadap Aceh terutama yang menyangkut dengan Undang-undang pemerintah Aceh agar segera ditandatangani, sehingga pemerintah Aceh dapat menjalankanya. Doto Zaini mengatakan, Tim Pemerintah Aceh berkoordinasi terusmenerus dengan Pemerintah Pusat agar semuanya segera dituntaskan dalam waktu dekat. Dudukungan seluruh Tim Pemantau Otsus ini sangat penting, imbuhnya .Sebab, selain ada sejumlah PP yang belum tuntas, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) lainnya juga belum selesai. Pemerintah Aceh siap membahasnya bersama Pemerintah Pusat. “Kita harap Pemerintah Pusat lebih tegas dan jujur dalam memberikan hak dan wewenang Aceh sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh”,28
Faktor
Penghambat
Lembaga
Legislatif
dan
Eksekutif
dalam
Mengimplementasikan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) 1. Perbedaan Persepsi dalam Memahami UUPA Menurut Abdullah Saleh, faktor pengahambat implementasi UUPA salah satunya beda persepsi, Perbedaan persepsi dalam memahami qanun antara pemerintah pusat dengan pemerintah Aceh, sehingga implementasi qanun menjadi terhambat, pemerintah Aceh tidak bisa menjalankan sebuah qanun jika belum ditanda tangani oleh pemerintah pemerintah pusat. Perbedaan persepsi ini dikarenakan apa yang dipahami pemerintah Aceh berbeda dengan yang dipahami oleh pemerintah pusat, seperti qanun bendera, lambang dan himne, pemerintah pusat menganggap bendera yang disahkan oleh DPR Aceh tidak sesuai dengan Undang-undang pemerintah Aceh (UUPA)
sementara pemerintah
Aceh
menganggap itu sudah sesuai. Perbedaan persepsi ini sudah memekan waktu yang lama, karena Qanun bendera disahkan sejak awal tahun 2013, akan tetapi hingga sekarang belum juga ditandatangani oleh pemerintah pusat, walaupun berbagai upaya telah dilakukan kedua belah pihak namun persepsi masih saja berbeda
Peran Lembaga Eksekutif Dan Legislatif (Zulfahmi) 35 2. Terperangkap Rebutan dalam Kewenangan yang Bersifat Khusus di Aceh Terkait adanya Rebutan dalam Kewenangan yang Bersifat Khusus di Aceh, menurut Zaini Abdullah “Saya melihat bahwa ada hal yang dapat menjadi rebutan kekuasan antara pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat berkaitan dengan kewenangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang kewenangan Pemerintah Aceh, sampai hari ini belum ada kejelasan. Hanya beberapa item, Perpres tentang BPN, dan dana bagi hasil Migas, itu pun masih mengambang, belum jelas. Inilah yang menjadi kendala implementasi Undang-Undang Pemerintah Aceh.29 Bila
ditelaah
Undang-undang
Nomor
11
Tahun
2006
tentang
Pemerintahan Aceh tersebut, pada bagian Ketentuan Umum UU No 11/2006 ditegaskan, Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Sementara Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Pembagian kewenangan, UU No 11/2006 juga potensial terperangkap rebutan kewenangan dengan pemerintah pusat. Potensi itu muncul karena adanya frasa urusan pemerintahan yang bersifat nasional. Berkenaan dengan frasa itu, Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) UU No 11/2006 Urusan pemerintahan yang bersifat nasional yang dimaksudkan dalam ketentuan ini termasuk kebijakan di bidang perencanaan nasional, kebijakan di bidang pengendalian pembangunan nasional, perimbangan keuangan, administrasi negara, lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional. Penjelasan frasa urusan pemerintahan yang bersifat nasional sekali lagi membuktikan bahwa pembagian kewenangan antara pusat dan daerah sulit dirumuskan dan diimplementasikan. Apalagi, hampir tidak urusan daerah yang terkait dengan urusan pemerintahan yang bersifat nasional. Jadi, prinsip residu
36 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 19-47 power dielemininasi sedemikian rupa sehingga pemerintah pusat dapat melakukan intervensi untuk semua urusan yang sudah diserahkan kepada daerah. Posisi pemerintah pusat akan semakin dominan karena menurut Pasal 249 UU No 11/2006 menentukan bahwa pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota dilaksanakan oleh pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selain pembagian kewenangan dengan pusat, UU No 11/2006 juga menentukan masalah pembagian urusan antara Pemerintahan Aceh dengan Pemeintahan Kabupaten/Kota. Kalau dibaca pembagian urusan wajib dan urusan wajib lainnya yang terdapat dalam Pasal 16 dan Pasal UU No 11/2006 potensi terjadinya perhimpitan urusan cukup besar. Dengan kondisi tersebut, maka akan terjadi
tumpang-tindih
antara
Pemerintah
Aceh
dengan
Pemerintah
Kabupaten/Kota. Bukan tidak mungkin, urusan-urusan yang bersifat pembiayaan juga akan terjadi kevakuman. 3. Kuatnya Faktor Kepentingan Ekonomi Pemerintah Pusat Terhadap Provinsi Aceh Kepentingan ekonomi pemerintah pusat terhadap provinsi Aceh masih kuat, sehingga pemerintah pusat terkesan menghambat proses implementasi Undang-undan pemerintah Aceh, ini terlihat adanya PP yang belum disahkan, seperti PP Migas, menurut Tgk Muharuddin selaku ketua DPRA faktor terhambatnya
implementasi
Undang-Undang
pemerintah
Aceh
(UUPA)
disebabkan oleh kuatnya faktor kepentingan ekonomi pemerintah pusat terhadap provinsi Aceh, meraka merasa bila UUPA disahkan terutama menganai kewenangan Aceh yang bersifat khusus dan PP Migas, maka jatah pembagian hasil bumi Aceh sudah berkurang.30 Padahal dalam nota kesepahaman Helsingki mereka telah sama-sama sepakat tentang hal ini, pemerintah pusat masih belum sepenuhnya ikhlas memberikan kewengang tersebut hingga berimbas pada macetnya implementasi Undang-Undang Pemerinta Aceh (UUPA). 4. Lemahnya Tim Lobi atau Advokasi dari Pemerintah Aceh Lemahnya tim lobi atau advokasi pemerintah Aceh dan Pemerintah pusat ketika melaksanakan realisasi MoU Helsingki menjadi UUPA juga setalah RUUPA selasai dibuat untuk dituangkan kedalam Qanun, sebagaimana diungkapkan oleh Darmawati A. Gani salah seorang anggota DPR Aceh dari
Peran Lembaga Eksekutif Dan Legislatif (Zulfahmi) 37 Partai PNA ”tidak dilibatkan mantan juru runding GAM dan RI dalam advokasi turunan dari UUPA dan realisasi MoU Helsinki, birokrasi institusi pemerintah pusat yang menghambat, belum seirama pemahaman akan MoU Helsinki dan UUPA antarperangkat pegawai negeri sipil Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh.31 5. Terlalu Sibuk Kedua Belah Pihak dalam Urusan Masing-Masing Terlalu sibuk dengan urusan lain, dipihak pemerintah pusat dengan banyaknya tugas lain, sehingga masalah Aceh menjadi tidak terperhatikan secara serius, ditubuh pemerintah Aceh juga demikian sibuk dengan masalah lain, seperti masalah-masalah proyek, masalah dana aspirasi, sibuk dengan mengurus partai politiknya. Oleh karena demikian turun atau tidaknya PP dari UUPA tidak saja menjadi tugas Pemerintah Aceh, tapi juga semua pihak, termasuk LSM dan rakyat, di samping pemerintah dan wakil rakyat Aceh di DPR dan DPD-RI,” tegasnya.Untuk jangka pendek, perlu ada rekonsiliasi politik para pihak di tingkat lokal Aceh, untuk berjuang bersama merealisasikan berbagai turunan UUPA untuk kepentingan Aceh. Menurut M. Adi Adullah, saat ini Pemerintah Aceh dinilai belum cukup solid untuk menjalankan perannya mendorong Jakarta mempercepat penyelesaian RPP dan Perpres terkait. “Masalahnya kita tidak kompak. Terjebak pada kepentingan politik personal,” ucapnya.32 6. Tidak Berjalannya Mekanisme Koordinasi Kedua Belah Pihak Koordinasi yang telah terbangun belum berjalan sebagaimana yang diharapkan,
komunikasi
pemerintah
Aceh
dengan
pusat
sering
terjadi
miskomunikasi, menjadi salah satu kendala implementasi UUPA di Aceh, kebenaran ini bisa dilihat dari kurangnya koordinasi kedua belah pihak. Hal inilah sangat diraskan oleh masyarakat Aceh, betapa tidak masyarakat sangat menginginkan kemakmuran disamping kedamaian yang sudah terbentuk. Dalam wawancara penulis dengan Ermiadi, membenarkan bahwa mekanisme koordinasi antara pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat mengalami kelemahan, sehingga sulit untuk menyatukan persepsi terhadap UUPA yang berujung pada lambannya terimplementasi kedalam Qanun sehingga dapat dijalankan oleh pemerintah Aceh.33
38 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 19-47 7. Masih Kuatnya Ego Sentris atau Sektoral Kedua Belah Pihak Menurut Irwan Johan Implementasi Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh melalui beberapa Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) yang belum tuntas, seakan berbelit-belit dan tiada habisnya. Betapa tidak, hingga kini Pemerintah Aceh sibuk menuntut dan menyalahkan Pemerintah Pusat berkenaan dengan berlarut-larutnya pengesahan Rancangan 2 PP dan 1 Perpres sebagai turunan UU Pemerintahan Aceh. Polemik beberapa turunan UU No. 11 Tahun 2006 semestinya tidak terus-menerus menjadi perbincangan, manakala Pemerintah Aceh bersama tim-nya tidak “mempersulit” pengesahan dengan penambahan klausul-klausul yang telah mengubah substansi yang tercapai antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh, tatkala Pemerintah Aceh di bawah pimpinan Irwandi Yusuf selaku Gubernur Aceh masa itu (20062011).34 Tetapi, pengesahan sejumlah turunan UU yang dimaksud, tertunda setelah Irwandi tidak lagi menjabat sebagai Gubernur Aceh. Dan, Pemerintah Pusat berharap agar dapat dituntaskan pada masa Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf yang terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2012-2017. Namun bukannya mempercepat. Malah sebaliknya, memperlambat proses yang telah memasuki tahap finalisasi. 8. Faktor Eksternal dan Internal Pemerintah Aceh Faktor ekternal bisa seperti bentuk tidak ikhlasnya pemerintah pusat dalam memperhatikan masalah Aceh, usulan-usulan yang diajukan oleh pemerintah Aceh terlihat tidak tangani secara serius, dalam hal ini Azhari cage mengungkapkan bahwa salah satu faktor eksternal pemerintah pusat belum ikhlas memberi kewenangan terhadap Aceh.35 Penyataan Azhari Cage ini terlihat dari beberapa kali pemerintah Aceh berdiskusi di Jakarta dengan pemerintah pusat, namun belum ada hasil sebagaimana yang diharapkan, kemudian ditambah lagi tidak adanya kekompakan diinternal pemerintah Aceh, menjadi penghambat implementasi UUPA, seperti gubernur tidak singkron dengan wakil gubernur, masih terjadi sikap saling ketidak cocokan, Pihak legislatif tidak singkron pihak eksekutif, sebaliknya pihak eksekutif singkron pihak legislatif, faktor ini yang harus diselesaikan terlebih dahulu sehingga bisa bergerak bahu membahu mengimplementasi UUPA.
Peran Lembaga Eksekutif Dan Legislatif (Zulfahmi) 39 Solusi Alternatif bagi Kondisi Tersebut Pasca UUPA 1. Melakukan Advokasi dengan Pemerintah Pusat Menurut Kautsar UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh masih banyak kelemahan yang harus dilakukan advokasi dengan melakukan parlement review agar UUPA ini menjadi lebih kokoh bukan sebaliknya melakukan judicial review. Kautsar menambahkan kita harus membuat dua advokasi, pertama advokasi internal dengan mengedepankan kekuatan yang ada di Aceh dan advokasi eksternal yang dilakukan oleh orang luar Aceh terhadap Jakarta termasuk anggota DPR RI, DPD RI, dan elemen sipil di Jakarta. Karena angka kemiskinan, menurun buta huruf, menurun gizi buruk, pendidikan bagus dan sebagainya menjadi alat ukur bagi pemerintah pusat dalam implementasi UUPA demi mendapat simpati masyarakat Aceh dan nasional,” jelasnya.36 Penyataan tersebut cocok karena Aceh mempunyai sumber yang sangat mendukung untuk mengadvokasikan kesejahteraan Aceh kepada pemerintah pusat. daya manusia “Seharusnya kita pemuda harus mampu melihat UUPA ini sebagai alat untuk mensejahterakan masyarakat Aceh bukan yang lainnya. 2. Melakukan Kerja Sama dengan Semua Pihak Pemerintah Aceh, khususnya Gubernur Zaini Abdullah, perlu merangkul tokoh Aceh yang berpengaruh di pusat dan punya lobi kuat ke presiden/wapres terpilih. Saya kira, RPP turunan dari UUPA adalah relasi politik hukum antara pusat dengan daerah. Jadi, peran komisi-komisi di DPR-RI, khususnya Komisi II, harus terdepan,” tugas tersebut sebetulnya bukan hanya peran dari Pemerintah Aceh, melainkan semua pihak turut andil dalam mendorong pemerintah pusat mempercepat penyelesaian regulasi turunan UUPA. Implementasi UUPA membutuhkan keterlibatan semua pihak, terutama sekali pemerintah dan DPR. Peran yang lebih besar dapat dimainkan oleh pemerintah. Mulai dari perancangan qanun hingga pelaksanaanya di lapangan. Sehingga penempatan anggaran pun memungkinkan di pemerintahan. Menurut M. Jafar Ada yang perlu kita dorong terkait UUPA, khususnya dalam hal advokasi yang belum tuntas dan menjadi kewajiban pemerintah untuk menuntaskannya. Misalnya, persoalan PP dan Perpres yang belum terlaksana, tapi kita akan tetap mendorong untuk mewujudkannya. Menyangkut hal itu yang menonjol yaitu dari pemerintah. Memang sudah ada advokasi yang dilakukan seperti pertemuan-
40 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 19-47 pertemuan Pemerintah Aceh dengan pusat di Jakarta. Tetapi, saya melihat upaya tersebut belum optimal karena yang melakukan hanya eksekutif saja.37 Tim advokasi dari pemerintahan telah berulang-ulang melakukan advokasi, bahkan tim advokasi dari pemerintah sudah pernah ke Eropa. Hasilnya, banyak yang belum bisa dicapai termasuk penyelesaian sejumlah PP dan Perpres. Bahkan yang menyangkut dengan pertanahan praktis tidak berjalan. Saya melihat, dorongan ini sebenarnya tidak efektif kalau hanya dilakukan oleh pemerintah saja. Maka perlu dilibatkan banyak pihak, apakah itu DPRA, LSM, atau elemen lainnya yang sesuai dengan keahlian bidangnya untuk mengadvokasi. Selama ini, gebrakan itu masih terkonsentrasi di tim ekesekutif saja, belum melibatkan lembaga politik seperti DPRA ataupun elemen sipil. Getolnya DPRA menolak putusan MK dan memperjuangkan Pasal 256 agar tidak digangu oleh lembaga apapun, karena jika pasal itu terganggu maka secara otomatis akan mengganggu eksistensi UUPA itu sendiri. Artinya, penjabaran hukum yang dilakukan menjadi persoalan. Jika eksistensi UUPA rapuh, maka pasal-pasal lainnya akan dengan mudah dirongrong. Nantinya pasal demi pasal akan dihapus satu per satu. Muncul kekhawatiran terhadap kekuatan UUPA yang menjadi rapuh dan begitu mudah dipatahkan. Jadi, reaksi politik kalangan PA ingin mengangkat eksistensi UUPA sebagai solusi konflik. Maka eksistensinya harus betul-betul kokoh dan bisa dijaga atau diamankan. Menyinggung hal kecil yakni perubahan status nama Aceh, seharusnya ahli hukum tidak langsung menegur Gubernur Aceh. 3. Menyatukan Persepsi Semua pihak dan seluruh elemen masyarakat Aceh dapat memahami dengan jelas semangat MoU Helsinki dan eksistensi serta jiwa UU Pemerintahan Aceh sebagai langkah penting dalam mengakhiri permusuhan dan menciptakan perdamaian Aceh. Dengan memahami kedudukan, eksisten, serta semangat tersebut maka tidak akan ada lagi bias tafsir dan bias implementasi dalam kehidupan bermasyarakat dengan titik tolak pembangunan Aceh ke arah lebih maju, lebih demokratis dan lebih bermartabat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jajaran Pemerintah serta seluruh aparatur dan tingkatannya diaharapkan dapat meningkatkan keikhaasan dalam hal kedudukan Aceh sebagai daerah dengan predikat otonomi khusus –yang berbeda dengan provinsi lain di Indoensia,
Peran Lembaga Eksekutif Dan Legislatif (Zulfahmi) 41 sehingga dalam semua kebijakan dan keputusan politik, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan tentang Aceh harus mengacu kepada UUPA, yang salah satu poin penting ialah adanya mekanisme konsultasi antara Pemerintah Pusat dengan DPR Aceh. Mahkamah Agung sebagai badan yudikatif dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang bertugas menguji semua materi perundang-undangan kiranya
dapat
membantu
kesinambungan
perdamaian
Aceh
dengan
mempertimbangkan aspek-apek pisikologis dan dalam memberi keputusan menyangkut dengan masalah Aceh, sehingga tidak berdampak pada terganggunya kondisi keamanan dan perdamaian di Aceh. Pihak-pihak keamanan yang bertanggung jawab terhadap kemaslahatan masyarakat agar dapat menciptakan rasa aman secara persuasif edukatif. Dengan demikian jika ada pihak-pihak yang terkait “bermain” dalam semua aksi kekerasan di Aceh akhir-akhir ini dapat dideteksi sedini mungkin dan terhadap kasus-kasus yang telah terjadi polisi dapat mengungkapkan pelaku yang diduga berada di balik peristiwa tersebut. Hanya dengan cara demikian maka kepercayaan kepada aparat keamanan tumbuh di kalangan rakyat serta terujudnya rasa aman perdamaian Aceh dapat diperkokoh dan terjaga kesimbungannya sehingga terjaga pula keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah
Pusat
hendaknya
dapat
menuntas
berbagai
regulasi
menyangkut dengan inplementasi UU Perintahan Aceh sebagaimana diamanatkan dalam undang undang tersebut agar daerah ini dapat berperan secara maksimal melaksanakan pembangunan tanpa terganggunya nilai-nilai perdamaian yang teleh dibangun. Agar dapat menjamin kelangsungan keseluruhan dari cita-cita Aceh dimana suasana damai tetap terbangun dan terpelihara di Aceh, ke depan Aceh harus dipimpin oleh kalangan yang dapat memadukan dua poros menuju perdamaian. Kedua poros itu ialah sosok yang mengetahui bagaimana pahit getirnya perjuangan dan sosok yang mengerti bagaimana proses perdamaian – yang dikenal dengan MoU Helsinki- berlangsung, sehingga UU Pemerintahan Aceh sebagai acuan dan spirit masa depan Aceh yang damai, demokratis, dan bermartabat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia terus terpelihara.
42 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 19-47 4. Memperbaiki Mekanisme Koordinasi Kedua Belah Pihak Perbaikan koordinasi pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat, akan dapat memperlancar proses implementasi UUPA, koordinasi yang kurang bagus telah membuat UUPA lamban terimplementasikan, menurut Tarmizi salah seorang anggota DPR Aceh mengatakan dalam upaya mencari solusi implementasi UUPA pihaknya akan membentuk Tim dan mendorong supaya membuat koordinasi yang baik dengan pemerintah pusat.38 Memberbaiki koordinasi melalui pendekatan emosional akan memberikan jalan keluar atas selesainya implementasi UUPA, kedua belah pihak akan terjadi jalinan hubungan yang akrab sehingga apapun masalah bisa dikomunikasikan dengan mudah, tanpa harus selalu dilakukan pertemuan secara formal yang dapat menghabiskan waktu, uang dan tenaga. 5. Menguatkan Lobi atau Advokasi dari Pemerintah Aceh Pemerintah Aceh dan Partai Aceh yang dominan di DPRA, harus mendorong anggota DPRA dari partai lain mengambil tanggung jawab bersama memperjuangkan kepentingan rakyat Aceh di Jakarta. Dapat juga dengan cara mendorong pressure groups untuk mengambil peran menyuarakan kepentingan rakyat Aceh kepada Pemerintah Pusat. Kelompok penekan ini bisa berasal dari tokoh Aceh yang ada di Jakarta, kelompok informal, bussinessman, LSM, akademisi serta para aktivis yang kredibel.Perlu diingat, tidak cukup sekadar berteriak lantang untuk mengubah satu kebijakan atau melahirkan kebijakan baru. Membuat atau mengubah kebijakan diperlukan lobi-lobi dan komunikasi intensif. Kini, sejauhmana tim Pemerintah Aceh mampu menyakinkan Pemerintah Pusat bahwa kewenangan yang diberikan sebesar-besarnya untuk rakyat? Bukan untuk sebuah kata merdeka seperti dituduhkan segelintir para elit Jakarta selama ini. Gubernur Aceh, Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakkir Manaf harus menargetkan seluruh turunan UUPA itu bisa diselesaikan ketika kedua mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu berkuasa di Aceh. Jika tidak, ini akan menjadi persepsi buruk dan berdampak pada merosotnya kepercayaan publik pada pemerintahan yang dipegang oleh mantan gerilyawan ini. Jika regulasi turunan UUPA ini telah ditandatangani Presiden SBY sebelum mengakhiri masa jabatannya, maka pemerintahan baru penerusnya hanya akan mengamini kebijakan tersebut.
Peran Lembaga Eksekutif Dan Legislatif (Zulfahmi) 43 Urusan akan jadi panjang karena Presiden SBY tidak tandatangan masalah ini, karena bisa jadi administrasi pemerintah yang baru memiliki pandangan yang berbeda atau terjadi perubahan struktur besar-besaran yang membuat komunikasi harus dibangun kembai dari awal. Rakyat Aceh menuntut keseriusan dan kemampuan lobi dari pemerintah Aceh untuk menuntaskan pekerjaan ini dalam waktu relatif singkat. Pengesahan RPP dan perpres ini sangat penting karena dapat membantu dan bekerja sama dengan Pemerintah Aceh untuk meningkatkan kesejahteraan 5 juta penduduk di provinsi Aceh ini. Karena itu Menurut M. Jafar kita perlu juga partisipasi warga masyarakat Aceh untuk turut menekan Pemerintah Pusat agar bersedia menyelesaikannya, bukan hanya menunggu. Seluruh masyarakat Aceh harus menyadari ketika regulasi itu disahkan, akan membawa dampak positif untuk pembangunan Aceh.39 Aceh akan memiliki dana berlimpah untuk menggenjot pembangunan baik itu sektor pendidikan, kesehatan maupun infrastruktur. Aceh bisa mengurangi pengangguran dengan menciptakan lapangan kerja.Dan yang lebih penting, kekhususan ini merupakan kompensasi dari perjuangan panjang yang dilakukan dengan tetesan darah dan air mata.
Penutup Peran lembaga Legislatif dalam mengimplementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) adalah menuangkan UUPA menjadi Qanun, meminta persetujuan dari pemerintah pusat, malakukaan diskusi bersama, mengontrrol eksekutif dalam menjalankan Qanun yang telah disahkan. Peran lembaga Eksekutif dalam mengimplementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), menjalankan pemerintahan sesuai dengan Qanun yang telah disahkan, meminta dukungan para anggota DPR RI, pemantau otonomi khusus Aceh untuk segera menuntaskan beberapa produk hukum yang menjadi turunan dari UUPA, berupaya berkoordinasi dengan pemerintah pusat agar semua turunan UUPA dapat dituntaskan dalam waktu yang tidak terlalu lama, dan dukungan dari anggota tim pemantau dari DPR RI, meminta dukungan kepada bapak ibu anggota tim pemantau dari DPR RI, agar perhatian terhadap aceh dapat terus ditingkatkan. Faktor
penghambat
mengimplementasi
lembaga
Undang-Undang
Legislatif
Pemerintahan
dan Aceh
Eksekutif
dalam
(UUPA)
adalah
perbedaan persepsi dalam memahami UUPA, terperangkap rebutan dalam
44 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 19-47 kewenangan yang bersifat khusus di Aceh, kuatnya faktor kepentingan ekonomi pemerintah pusat terhadap provinsi Aceh, lemahnya tim lobi atau advokasi dari pemerintah Aceh, terlalu sibuk kedua belah pihak dalam urusan masing-masing, tidak berjalannya mekanisme koordinasi kedua belah pihak, masih kuatnya ego sentris atau sektoral kedua belah pihak, faktor eksternal dan internal pemerintah Aceh. Adapun solusi terhadap masalah tersebut pasca UUPA adalah melakukan advokasi dengan pemerintah pusat, melakukan kerja sama dengan semua pihak, menyatukan persepsi, memperbaiki koordinasi kedua belah pihak, menguatkan lobi Advokasi dari Pemerintah Aceh.
Catatan 1
Badan Pusat Statistik, Provinsi Aceh Dalam Angka 2005 (Banda Aceh: BPS Aceh, 2005), h. 21 2
Ibid., h. 84.
3
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Drama Di Tanah Rencong: Dosa Kolektif, Dalam Abdul Wachid B.S., Fikar W, Eda, Dan Lian Sahar (Banda Aceh: Penerbit kaSUHA, 1991), h. 233. 4
Agus Sudibyo, Realitas Aceh Dan Realitas Media, Dalam Kompas 11 Juni 2003
5
Kamaruzzaman Komunikasi Politik Ulama Huda Dalam Penyelesaian Konflik Aceh, (Jakarta: Kementerian Agama Repulik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Islam), h.83. 6
Ibid. h. 90
7
Darmansjah Djumala, Soft Power Untuk Aceh Resolusi Konflik dan Desentralisasi (Jakarta : Gremedia Pustaka Utama,2013), h.1 8
Nota Kesepahaman Antara Pemerintahan Republik Indonesia Dan Gerakan Aceh Merdaka, (Memorendum Of Understanding Between The Goverment Of The Republik Of Indonesia And The Free Aceh Movement) 9
Darmansjah Djumala, SoftPower Untuk Aceh Resolusi Konflik dan Politik Disentralisasi ( Jakarta: Kompas Gremedia, 2003), h.197 10
Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Gaung Persada, 2009), h. 11
11
Hadari Nawawi dan Mini Kartini, Penelitian Kualitatif (Yokyakarta: Gajah Mada University Prees, 1994), h.174. 12
Lexy. J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), h. 2. 13 14
Lexy J. Meleong, Metodologi…, h. 2.
Suharisimin Arikonto, Prosudur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta PT Rineka Cipta) Edisi Revisi 2010. h. 172
Peran Lembaga Eksekutif Dan Legislatif (Zulfahmi) 45
15
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), h. 115.
16
Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 86. 17
Margono, Metode logi Penelitian (Jakarta: Remaja Rosda Karya, 1999), h. 59
18
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2007), h. 92
19
Hasil Wawancara dengan Abdullah Saleh, Ketua Komisi I DPR Aceh Bidang Politik Hukum dan Pemerintahan, Tanggal 10 Mei 2016 20
Hasil Wawancara dengan Erdian, Kepala Biro Hukum dan Pemerintahan Tanggal 10 Mei 2016 21
Aceh,
Hasil Wawancara dengan Azhari Cage, salah seorang Anggota DPRA Aceh
22
Hasil Wawancara dengan Abdullah Saleh, Salah Satu Anggota, Komisi I DPR Aceh Bidang Politik Hukum dan Pemerintahan, Tanggal 10 Mei 2016 23
Hasil Wawancara dengan, Darmawati A.Gani, Salah Seorang Anggota DPR Aceh, Tanggal 11 Mei 2016 24
Hasil Wawancara dengan Firza, Anggota Biro Hukum Pemerinta Aceh, Tanggal 13
Mei 2016 25
Hasil Wawancara dengan dr. Zaini Abdullah, Gubernur Aceh, Tanggal 10 Mei 2016
26
Hasil Wawancara dengan dr. Zaini Abdullah, Gubernur Aceh, Tanggal 10 Mei 2016
27
Hasil Wawancara dengan Muzakir Manaf wakil Gubernur Aceh, Tanggal 11 Mei 2016
28
Hasil Wawancara dengan dr. Zaini Abdullah, Gubernur Aceh, Tanggal 10 Mei 2016
29
Hasil Wawancara dengan dr. Zaini Abdullah, Gubernur Aceh, Tanggal 10 Mei 2016
30
Hasil Wawancara dengan Tgk. Muharuddin, Ketua DPR Aceh, Tanggal, 12 Mei 2016
31
Hasil Wawancara dengan Darmawati A. Gani, Tanggal 12 Mei 2016
32
Hasil Wawancara dengan M Adli Abdullah SH MCL, Wakil Ketua Tim Asistensi Gubernur Aceh, Tanggal 12 Mei 2016 33
Hasil Wawacara dengan Ermiadi, Salah Seorang Anggota DPRA Aceh, Tanggal 11
Mei 2016 34
Hasil Wawancara dengan Irwan Johan, Salah Seorang Anggota DPRA Aceh, Tanggal 11 Mei 2016 35
Hasil Wawancara dengan Azhari Cage, Salah seorang Anggota DPR Aceh, Tanggal 11
Mei 2016 36
Hasil Wawancara dengan Kautsar, Salah Seorang Anggota DPR Aceh, Tanggal 11 Mei
37
Hasil Wawancara dengan M. Jafar Staf Ahli Gubernur Aceh, Tanggal 12 Mei 2016
38
Hasil Wawancara dengan Tarmizi Salah Seorang Anggota DPR Aceh,tanggal 13 Mei
39
Hasil Wawancara dengan M. Jafar Staf Ahli Gubernur Aceh, Tanggal 12 Mei 2016
2016
2016
46 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 19-47
Daftar Pustaka Abdul, A’la Al-Maudud. Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam, Penerjemah Asep. Hikmah Bandung: Mizan, 1993. AIPI. Fungsi Legislatif dalam Politik Indonesia. Raja Grafindo Persada: Jakarta Utara, 1993 Alisyah, Samir. Sistem Pemerintahan, Peradilan & Adat dalam Islam, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari. Jakarta: KHALIFA, 2004 Badan Pusat Statistik Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Nanggroe Aceh Darussalam Dalam Angka 2005. Banda Aceh: BPS NAD, 200 Barbara, Kozier. Buku Ajar Praktik Perawatan Klinik. Surakarta: Aksara Sinergi Media 1995 Darmansjah, Djumala. Soft Power Untuk Aceh Resolusi Konflik Dan Desentralisasi. Jakarta : Pt Gremedia Pustaka Utama,2013 Gazali, Abbas Adan. Win-Win Solution Penyelesaian Aceh. Dalam Musni Umar (ed). Hasjmy. Dimana Leteknya Negara Islam. Banda Aceh, Bina Ilmu, 1984 http://el-kawaqi.blogspot.co.id/2012/12/pengertian-implementasi-menurutpara.html Iskandar. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada, 2009 J. Meleong Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif , Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001 Kamaruzzaman. Komunikasi Politik Ulama Huda Dalam Penyelesaikan Konflik Aceh Periade 1999-2006 Studi Kasus Di Aceh Utara Dan Kota Lhokseumawe., Jakarta Pusat: Kementriana AGAMA Republik Indonesia, 2012 Kansil. Latihan Ujian Ilmu Negara. Jakarta: Sinar Grafika, 1992 Kozier, Barbara. Buku Ajar Praktik Perawatan Klinik, Surakarta: Aksara Sinergi Media 1995 Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Drama Di Tanah Rencong: Dosa Kolektif, Dalam Abdul Wachid B.S., Fikar W, Eda, Dan Lian Sahar. Banda Aceh: Penerbit Kasuha, 1991 Ma’arif, Syafi’i., Drama Di Tanah Rencong: Dosa Kolektif, Dalam Abdul Wachid B.S., Fikar W, Eda, Dan Lian Sahar. (Banda Aceh: Penerbit kasuha, 1991
Peran Lembaga Eksekutif Dan Legislatif (Zulfahmi) 47
Miniam, Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Media Pustaka Utama, 2015 Muhammad, Said. Aceh Sepanjang Abad, Cet ke III. Medan: Harian Waspada Medan, 2007 Muliadi,
Kurdi. Sultan Iskandar Muda Pelambang Kegemilangan Aceh. Banda Aceh: Asa, 2013
Kemakmuran
dan
Nawawi, Hadari dan Mini Kartini. Penelitian Kualitatif. Yokyakarta: Gajah Mada University Prees, 1994 Nota Kesepahaman Antara Pemerintahan Republik Indonesia Dan Gerakan Aceh Merdaka, (Memorendum Of Understanding Between The Goverment Of The Republik Of Indonesia And The Free Aceh Movement) Nota Kesepemahaman Pemerintah RI-GAM di Helsingki/MoU Helsingki Panitia Khusus Aceh Mulai Bekerja, Koran Tempo , 1 Maret 2006 Pulungan, Suyuti. Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002 Subagyo. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2001 Sudibyo, Agus. Realitas Aceh Dan Realitas Media, Dalam Kompas 11 Juni 2003 Suharisimin, Arikonto. Prosudur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT Rineka Cipta Sumber Kantor DPRA Provinsi Aceh Suyuti, Pulungan. Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002 Syafi’i, H. Inul Kencana. Ilmu Politik. Jakarta: Reneka Cipta, 2001 Zahari, Tahun 2014, Stategi Komunikasi Partai Aceh dalam Pemenangan Pemilihan Legislatif Tahun 2009 (Analisis Perspektif Komunikasi Politik Islam), UIN Sumatera Medan